Pendekar Super Sakti 12
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
"Lulu, Kau kenapa?"
Han Han membentak karena pandang mata itu seperti menembus dadanya dan mendatangkan rangsang yang lebih hebat lagi. Ia seingaja membentak marah untuk menutupi perasaannya. Lulu terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Pipi gadis itu menjadi merah seperti dibakar dan pandang matanya seperti orang mabuk.
"Entahlah...... aku...... pun merasa panas sekali, tak tertahankan, Koko....."
Gadis itu seperti dalam keadaan tidak sadar membuka kancing bajunya bagian atas sehingga tampaklah pakaian dalamnya yang tipis. Han Han meramkan matanya dan meloncat bangun. Ia mengerahkan seluruh sinkangnya untuk melawan perasaan panas ini, akan tetapi hasilnya malah membuat tubuhnya makin panas, lalu berubah dingin, dan seluruh tubuh seperti dimasuki gelembung-gelembung tenaga mukjizat yang membuat ia merasa seperti sebuah bola karena penuh angin. Ia mengeluh danterhuyung-huyung.
"Han-ko....., kau kenapa..... hati-hati, kau bisa jatuh."
Lulu meloncat bangun dan memeluk kakaknya untuk mencegah kakaknya terguling. Akan tetapi sentuhan tubuh mereka yang tadinya sebagai sentuhan seperti biasa itu mendatangkan getaran yang aneh dan mereka akhirnya berpelukan dan kembali mereka berciuman dengan penuh nafsu, penuh gairah dan dalam keadaan tidak atau setengah sadar.
Seluruh hati dan pikiran mereka sepenuhnya dikuasai oleh nafsu yang bergolak tak tertahankan, membuat darah mereka mendidih dan pikiran mereka gelap. Mereka lupa segala, saling membelai mesra, berdekapan dengan mata dipejamkan. Ketika Han Han membuka mata dan melihat betapa tanpa disadari ia hampir menelanjangi Lulu yang tidak melawan bahkan membantunya penuh gairah nafsu berahi, ia terkejut seperti disambar halilintar. Kekuatan batin dan sinkang Han Han jauh lebih besar daripada Lulu, maka ia masih dapat sadar dan cepat ia mendorong tubuh adiknya itu sehingga Lulu terhuyung dan roboh terlentang dengan napas terengah-engah dan mata terpejam, tubuh menggeliat-geliat.
"Lulu, Ini tidak benar. Engkau Adikku."
Han Han berkata, berteriak dengan suara nyaring.
"Han-ko..... ahhh, Han-ko..... jangan tinggalkan aku.... aku bukan Adikmu, Han-ko......"
"Gila."
Han Han membentak lagi, menahan diri sekuatnya agar tidak menubruk dan memeluk gadis itu, melanjutkan hasrat berahi yang memenuhi benak dan hatinya.
"Kita keracunan, Ular merah itu. Keparat....."
Terlintas dalam benaknya bunyi tulisan pada batu dan kini mengertilah ia mengapa Suma Hoat mengutuk ular salju merah. Agaknya Suma Hoat juga makan daging dan darah ular itu dan merasa pula rangsangan nafsu berahi seperti ini. Teringat akan ini, Han Han lalu mengeluarkan pekik menyeramkan dan tubuhnya meloncat keluar dari dalam pondok itu. Ia berlari-lari seperti orang gila menjauhi pondok dan ketika ia tiba di pantai yang berbatu-batu, ia lalu mengamuk.
Dipergunakan kaki tangannya untuk memukul, menendang, dengan pengerahan tenaga sinkang, kadang-kadang menggunakan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang di luar kesadarannya, akan tetapi lebih banyak ia menggunakan tenaga Im-kang. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika batu-batu besar itu pecah berantakan oleh amukan Han Han yang seperti telah menjadi gila. Han Han terus mengamuk sepanjang malam sampai pagi, sampai habis tenaga sinkangnya dan ia menggunakan tenaga biasa sehingga kaki dan tangannya luka-luka dan akhirnya ia roboh pingsan di antara batu-batu yang sudah hancur berantakan itu. Matahari telah naik tinggi ketika Lulu mengguncang-guncang tubuh Han Han yang menggeletak di pantai, tubuh atas telanjang, tangan kaki luka-luka. Gadis itu menangis dan memanggil-manggil.
"Han-koko.. Han-ko... jangan tinggalkan aku..., Han-ko...."
Han Han membuka matanya, mengejap-ngejapkan matanya karena silau oleh sinar matahari.
"Han-ko, kau kenapa?"
Lulu bertanya penuh kekhawatiran, air mata masih membasahi kedua pipinya. Han Han menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningannya. Juga mengusir pemandangan yang aneh. Kini, melihat wajah Lulu yang cantik, sepasang pipi yang merah itu, ia merasa berbeda dari biasanya. Tidak seperti biasanya ia memandang gadis ini seperti adiknya. Kecantikan Lulu kini menyentuh hatinya dan membingungkannya, sungguhpun gairah gila seperti yang mendorongnya malam tadi sudah lenyap.
"Tidak apa.. Aku... aku hanya mimpi buruk... tanpa sadar, kuhantami batu-batu ini.."
Ia melihat kaki dan tangannya yang lecet-lecet.
"Aku pun mimpi, Koko. Mimpi aneh akan tetapi indah sekali..."
"Mimpi apa?"
Han Han memandang tajam, diam-diam memaki diri sendiri nengapa kini Lulu tampak lain dalam pandangannya.
"Aku tadi pagi terbangun di pondok taman dan... dan pakaianku tidak karuan, aku mimpi... engkau seperti bukan Kakakku, melainkan.. ah, sungguh aneh akan tetapi aku aku senang sekali, Koko.."
Dan gadis itu menundukkan mukanya. Kedua pipinya menjadi makin kemerahan sampai ke telinganya.
"Hushhh! Kau gila, Kita keracunan ular Merah itu."
Lulu memandang muka Han Han penuh selidik. Gadis ini masih terlalu murni dan polos dan dia bertanya,
"Betulkah, Koko? Keracunan ular itu? Akan tetapi.., setelah mimpi itu, aku.. heran sekali, kau seperti bukan Kakakku dan aku khawatir kalau-kalau kau akan meninggalkan aku."
"Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Lulu, kita harus meninggalkan pulau ini."
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara tetap karena di dalam hatinya Han Han maklum bahwa makin lama mereka berada di pulau itu, makin besar bahayanya dan ia khawatir bahwa akhirnya ia tidak akan kuat bertahan. Ia mengeraskan hatinya, memusatkan tenaga batinnya dan kemauannya untuk men gambil keputusan bahwa gadis ini adalah adiknya, adiknya. Ia merasa kuat kini dan mulai berani memandang wajah Lulu lagi, diperkuat oleh kemauannya yang memaksa hati dan pikirannya bahwa Lulu adalah adiknya, bukan orang lain dan bahwa tidak boleh ia mencinta Lulu seperti perasaannya malam tadi.
"Lulu adiknya, Lulu adiknya"
Kekuatan kemauan Han Han memang luar biasa dan ia sudah tenang kembali. Sambil tertawa ia menangkap tangan Lulu, diajak bangkit berdiri dan sambil berkelakar ia berkata.
"Kita harus membuat perahu, kita akan meninggalkan tempat ini secepat mungkin. Kau bocah malas, harus membantu."
Kekuatan kemauan yang terpancar keluar dari mata Han Han mempengaruhi Lulu pula. Gadis itu pun menjadi biasa dan bertanya keras.
"Pergi ke mana, Koko?"
"Eh, anak bodoh dan pelupa. Apakah kau selamanya akan tinggal di pulau ini sampai menjadi nenek-nenek? Apakah kau tidak ingin rnencari musuh besarmu?"
Lulu menjadi bersemangat.
"Betul, Kita harus pergi mencari musuh besar kita."
Demikianlah, kedua orang muda itu lalu mulai membuat perahu. Han Han bukan seorang ahli maka tentu saja membuat perahu amatlah sukar baginya. Namun, berkat tenaga dan kemauannya yang kuat, tiga hari kemudian selesailah dia membuat sebuah rakit dari kain dan bambu seadanya, menggandeng-gandengnya dengan ikatan akar yang cukup kuat. Ia menyediakan dua buah cabang pohon untuk mendayung. Baru saja selesai ia mengikat sambungan terakhir, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis keras sekali dan terdengar Lulu berlari-lari sambil menjerit-jerit.
"Ular..! Ular...! Banyak sekali ular...."
Han Han terkejut dan menengok. Dilihatnya Lulu beriari-lari menghampirinya dengan wajah pucat penuh jijik dan dari jauh tampaklah ratusan, mungkin ribuan ekor ular merah mendatangi sambil mengeluarkan suara mendesis mengerikan sekali.
"Cepat! Naikkan bekal makanan dan air itu ke atas perahu."
Teriak Han Han dan sibuklah mereka mengangkuti bekal makanan dan minuman ke atas perahu. Beberapa ekor ular merah sudah datang dekat dan Han Han membunuhnya dengan injakan-injakan kakinya pada kepala ular-ular itu. Setelah semua bekal diangkut ke perahu, Han Han lalu mendorong perahu rakit itu ke air dan bersama Lulu ia mendayung perahunya ke tengah laut.
Ular-ular itu agaknya tidak takut air, buktinya mereka itu terus mengejar dan berenang sambil terus mendesis-desis. Lulu yang merasa geli itu memukuli ular-ular terdekat dengan dayungnya. Tenaga pukulan gadis ini sudah kuat sekali sehingga dalam waktu singkat puluhan ekor ular mati dengan kepala remuk. Han Han mengerahkan tenaga mendayung perahu yang meluncur cepat sehingga mereka dapat meninggalkan ular-ular yang mengejar. Dari jauh, kedua orang anak muda itu memandang ke arah pulau dengan pandang mata sayu. Betapapun juga, selama enam tahun mereka hidup di pulau itu, Pulau Es yang tadinya amat indah, namun yang kini menjadi pulau ular yang menyeramkan. Dari jauh tampak warna merah ular-ular itu seolah-olah pulau itu penuh dengan bunga-bunga merah yang mulai mekar.
"Arah mana yang kita tuju ini, Han-ko?"
Tanya Lulu sambil membantu kakaknya mendayung.
"Arah selatan. Pulau Es adanya hanya di utara, maka kita harus kembali ke selatan."
"Bagaimana kau tahu bahwa arah yang kita tempuh ini menuju ke selatan?"
"Ha-ha, kau bodoh sekali"
Kau tahu dari mana munculnya matahari?"
"Dari timur."
"Nah, kau lihat. Matahari yang baru muncul itu berada di sebelah kiri kita, berarti kita kini maju ke arah selatan."
Mulailah Han Han dan Lulu menuju kepada pengalaman-pengalaman baru dengan hati penuh ketegangan, juga kegembiraan karena mereka kini akan memasuki dunia ramai yang sudah enam tahun mereka tinggalkan.
Bekal yang mereka bawa cukup banyak, juga mereka membawa bekal pakaian. Han Han tidak lupa untuk membawa kantung karet berisikan surat-surat peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es, karena sesuai dengan pesan di luar sampul, ia hendak menyampaikan surat-surat peninggalan itu kepada yang berhak sebagai tanda terima kasih dan tanda bakti kepada penghuni Pulau Es. Tentu saja ia tidak tahu kepada siapa surat itu akan diberikan, akan tetapi hal ini akan dia selidiki kelak. Sungguhpun kedua orang muda itu, terutama sekali Han Han, kini telah merupakan seorang yang memiliki tenaga luar biasa dan jauh sekali bedanya dengan ketika dahulu menjadi tawanan Ma-bin Lo-mo, namun perjalanan pulang ini bukanlah merupakan perjalanan yang mudah.
Apa lagi kalau diingat bahwu perahu mereka bukanlah perahu biasa, melainkan hanya batang-batang kayu dan bambu disambung-sambung sehingga biarpun mereka dapat mendayung dengan kuat dan cepat, namun perahu yang melaju di laut bebas itu sering kali mundur lagi karena terbawa ombak. Juga dalam perjalanan selama belasan hari ini tiga kali mereka diserang badai yang ganas sehingga kalau saja mereka tidak kuat-kuat berpegang kepada rakit itu, tentu mereka sudah terlempar ke laut dan binasa. Perbekalan mereka hanya sedikit saja yang dapat diselamatkan selama mereka diserang badai dan akhirnya mereka harus berjuang melawan ombak selama tiga hari tiga malam, tanpa makan dan minum"
Untung bahwa mereka berdua telah memiliki daya tahan yang luar biasa sehingga mereka hanya merasa lelah sekali ketika akhirnya mereka berhasil mendarat di pantai yang sunyi dan penuh dengan hutan liar.
Dapat dibayangkan betapa gembira hati mereka setelah dapat mendarat, melihat tanah dan pohon-pohon berdaun hijau. Selama enam tahun mereka tidak pernah melihat tanah karena daratan di Pulau Es itu seluruhnya tertutup salju dan es membatu. Juga di Pulau Es, hanya ada beberapa macam tanaman saja yang dapat hidup dan berdaun, dan sekarang mereka melihat pohon-pohon raksasa yang hidup subur dengan daun-daun hijau. Sambil tertawa-tawa kedua orang muda itu lalu mencari buah-buah yang dapat mereka makan dan ketika mereka menemukan buah-buah apel yang dapat dimakan dan sudah masak, mereka makan buah-buahan seperti seorang kelaparan. Han Han juga menangkap seekor rusa yang mereka panggang dagingnya dan sehari itu mereka berdua berpesta-pora dan makan dengan lahap sampai perut mereka penuh kekenyangan.
"Kita mendarat di mana, Koko?"
"Siapa tahu? Dan aku tidak peduli, pokoknya mendarat di tanah. Ah, Lulu, aku merasa seolah-olah hidup kembali. Mari kita melanjutkan perjalanan terus ke selatan. Akhirnya tentu kita bertemu manusia menuju ke kota raja."
"Keluarga Ayahku dahulu tinggal di kota raja."
Kata Lulu dengan suara terharu, teringat akan keluarganya yang sudah terbasmi habis.
"Dan musuh-musuhku tentu berada di kota raja pula."
Kata Han Han penuh semangat dan terbayanglah wajah-wajah para perwira Mancu yang menjadi musuh besarnya. Dengan penuh semangat. dan kegembiraan, kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju ke barat, menjauhi pantai taut. Mereka melakukan perjalanan sampai belasan hari, naik turun gunung, masuk keluar hutan dan belum juga mereka bertemu dengan dusun yang ada manusianya. Namun mereka tidak menjadi putus asa dan terus melakukan perjalanan seenaknya. Mereka tidak tergesa-gesa karena tidak ada sesuatu yang memaksa mereka tergesa-gesa.
Kurang lebih dua bulan kemudian, setelah Han Han dan Lulu bertemu dengan dusun dan mendapat keterangan bahwa kota raja tidak jauh lagi berada di sebelah selatan, pada suatu pagi mereka memasuki sebuah hutan besar. Mereka mengikuti jalan yang masuk ke hutan itu, sebuah jalan umum yang biasa dipergunakan oleh orang yang melakukan perjalanan jauh. Ada tapak-tapak kereta menjalur panjang di jalan itu dan dengan hati gembira Han Han dan Lulu berjalan sambil melihat-lihat burung yang beterbangan di antara dahan-dahan pohon menyambut datangnya pagi dengan kicau dan tarian mereka dari dahan ke dahan. Keadaan Han Han mengherankan orang-orang yang melihatnya. Pemuda ini bertubuh tegap dan jangkung, pakaiannya cukup bersih dan terbuat dari kain mahal, akan tetapi bentuknya sederhana.
Yang amat menarik adalah rambutnya yang dibiarkan terurai ke punggungnya, rambut yang hitam dan kaku mengkilap, tak pernah disisir karena Han Han memang sarna sekali tidak mempunyai keinginan untuk bersolek. Lebih hebat lagi adalah sepasang matanya. Mata itu kini merupakan dua buah benda yang mengeluarkan sinar aneh. Kadang-kadang tenang seperti air telaga, seperti orang termenung kehilangan semangat, kadang-kadang secara tiba-tiba menjadi amat tajam dan panas seperti mengandung bara api. Tidak pernah ada orang yang berani menentang pandang mata Han Han dan setlap orang yang beradu pandang menjadi ngeri mengkirik karena pandang mata itu seolah-olah menelanjangi mereka dan dapat menembus terus ke lubuk hati. Lulu juga amat menarik perhatian orang, akan tetapi bukan karena anehnya, melainkan karena cantik jelitanya dan karena sikapnya yang polos dan tidak pernah malu-malu seperti gadis-gadis biasa.
Sepasang mata gadis remaja inilah yang menjadi daya penarik luar biasa, sepasang mata yang lebar dan jeli, yang pandang matanya dapat membuat segala sesuatu di dunia ini tampak lebih cemerlang, lebih indah. Pakaian Lulu termasuk mewah dan indah karena gadis ini memang mengenakan pakaian-pakaian indah yang ia dapatkan di dalam kamarnya. Bahkan ia memakai pula sebuah anting-anting bermata mutiara yang amat besar dan mahal. Namun hanya sepasang anting-anting dan pita rambut sutera merah saja, yang menghias tubuhnya, dengan jikat pinggang kuning emas, baju berwarna merah muda dan sepatu putih. Gadis remaja ini benar cantik jelita mengagumkan semua pria yang memandangnya. Akan tetapi setiap orang pria yang memandang kagum, begitu bertemu pandang dengan kakak gadis itu, seketika mengkeret dan mundur teratur karena merasa ngeri.
"Koko, apakah kau mengetahui nama musuh-musuhmu, para perwira yang membunuh orang tuamu?"
Sebetulnya Han Han tidak pernah merasa suka membicarakan tentang musuh-musuhnya dengan adik angkatnya ini. Bukankah Lulu seorang anak per wira Mancu pula? Bicara tentang perwira-perwira Mancu yang menjadi musuh besarnya tentu mendatangkan rasa tidak enak dalam hati Lulu.
"Tidak, Lulu. Aku tidak tahu,"
Jawabnya singkat.
"Tapi kau mengenal wajah mereka? Aku ingin sekali melihat mereka yang begitu kejam terhadap keluargamu, Koko. Engkau seorang yang begini baik. Kalau Ayahku masih ada, tentu perwira-perwira yang kejam itu akan dilaporkan dan dijatuhi hukuman. Aku masih ingat betapa Ayah dahulu mencela keras perajurit-prajurit yang melakukan perampokan."
Han Han diam saja. Hemm, benarkah ayah Lulu perwira yang baik?
Adakah perwira Mancu yang baik? Ma-bin Lo-mo dan semua murid In-kok-san mengutuk semua orang Mancu. Demikian banyaknya anak-anak yang menjadi murid Ma-bin Lo-mo adalah korban-korban kebiadaban orang-orang Mancu, termasuk Kim Cu. Bahkan Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak itu, baru menjadi kaki tangan Mancu saja sudah begitu kejamnya. Orang-orang Mancu dan kaki tangannya adalah orang-orang yang seperti iblis. Akan tetapi, Han Han membantah sendiri pendapat ini, Ma-bin Lo-mo adalah seorang yang anti Mancu, akan tetapi mengapa kekejamannya tidak kalah oleh Gak Liat? Apakah semua orang yang berkepandaian tinggi di dunia ini adalah orang-orang berwatak iblis? Han Han menjadi bingung dan ia mengambil keputusan untuk menentang semua orang-orang yang berilmu tinggi.
"Bagaimana, Koko?"
"Ha..? Apa...?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau mengenal wajah mereka?"
Han Han mengangguk dan terbayanglah wajah tujuh orang perwira Mancu itu, terutama Si Muka Kuning dan Si Brewok. Yang lima lainnya juga akan dikenalinya setiap saat dan tujuh orang ini harus ia bunuh, lebih-lebih dua orang perwira yang telah memperkosa ibunya dan kakaknya.
"Aku mengenal mereka, akan tetapi sukar dikatakan... sudahlah, Lulu. Aku tidak suka membicarakan mereka."
"Baiklah, Han-ko. Memang sebuah kenang-kenangan yang tidak enak. Akan tetapi aku akan mencari Lauw-Pangcu.."
"Sukar, Lulu.."
"Mengapa sukar?"
Tanya Lulu dan memandang penuh selidik.
"Dia seorang pejuang.."
"Pemberontak, maksudmu?"
"Ya, pemberontak bagi pihak Mancu, pejuang bagi rakyat. Sama saja. Kalau tidak dia sudah mati, tentu dia selalu bersembunyi, sukar ditemukan..."
"Aku tidak khawatir. Ada engkau di sampingku, masa tidak dapat mencarinya? Kau tentu akan membantuku, Koko."
"Tentu saja, Moi-moi. Hanya, kurasa sukar melawan dia. Kau takkan menang, dia lihai sekali."
"Kalau kau membantuku, tentu akan menang."
Kata pula Lulu dengan suara mengandung penuh kepercayaan.
"Belum tentu. Kawan-kawannya banyak sekali dan amat lihai.."
Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda dan bunyi roda kereta. Terpaksa Lulu menghentikan percakapan itu dan hati Han Han menjadi lega. Bagaimana ia dapat bicara dengan enak hati kalau pembicaraan itu mengenai permusuhan dengan Lauw-pangcu, gurunya yang pertama? Bagaimana nanti sikap Lauw Sin Lian puteri Lauw-pangcu kalau dia membantu Lulu memusuhi Lauw-pangcu? Kereta yang lewat tak lama kemudian menyusul mereka itu adalah sebuah kereta besar ditarik oleh empat ekor kuda dan di dalamnya tidak ada penumpangnya, melainkan dua buah peti yang panjangnya ada dua meter, tinggi dan lebarnya satu meter. Dua buah peti itu ditaruh berjajar di dalam kereta dan di atas kereta hanya ada seorang kusir dan seorang laki-laki bersenjata golok. Di kanan kiri dan belakang kereta ada belasan orang berpakaian piauwsu (pengawal) yang dikepalai oleh seorang laki-laki berjenggot panjang.
Mereka ini semua menunggang kuda, sikap mereka keren dan gerak-gerik mereka membayangkan bahwa para piauwsu ini memiliki kepandaian silat yang tidak lemah. Ketika para piauwsu ini lewat, semua mata mereka ditujukan kepada Lulu dan mereka tertawa-tawa, pandang mata mereka kagum sekali. Han Han tidak mempedulikan hat ini, dan Lulu malah tersenyum, sama sekali dia tidak tahu bahwa mereka itu bersikap kurang ajar. Han Han hanya memperhatikan sebuah bendera di atas kereta, bendera yang bersulam gambar seekor burung garuda putih di atas dasar biru, dan empat huruf besar yang berbunyi HOA SAN PEK ENG (Garuda Putih dari Hoa-san) sedangkan di bawahnya terdapat dua huruf kecil yang berbunyi Piauwkiok (Perusahaan Pengawal Barang).
"Mereka itu ramah."
Kata Lulu setelah rombongan piauwsu ini lewat. Han Han tidak menjawab. Dia juga tidak tahu bahwa seperti kebanyakan kaum pria kalau melihat wanita cantik, para piauwsu tadi tertawa-tawa dengan sikap kurang ajar, hanya ia harus mengakui bahwa mereka itu ramah sungguhpun keramahan mereka tidak menyenangkan hatinya.
"Hoa-san Pek-eng Piauwkiok"
Apa artinya itu, Koko?"
"Mereka itu adalah rombongan piauwsu, yaitu pengawal-pengawal barang kiriman dan nama itu adalah merk-nya. Mungkin piauwkiok itu dipimpin oleh orang dari Hoa-san atau.. ah, benar juga. Agaknya pemimpinnya adalah seorang anak murid Hoa-san-pai."
"Kalau begitu, mereka itu adalah orang-orang kang-ouw, Koko"
Kenapa tidak kau katakan dari tadi?"
"Kalau mereka orang-orang kang-ouw, habis kau mau apa?"
"Ah, kita harus berkenalan dengan mereka. Tentu mereka dapat bercerita banyak tentang dunia kang-ouw. Bukankah engkau menjadi buronan In-kok-san? Dan engkau pun mencari tahu tentang penghuni Pulau Es, bukankah kau ingin menyampaikan surat-surat peninggalan manusia sakti itu? Mungkin sekali para piauwsu yang tentu banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, akan dapat memberi keterangan kepada kita."
"Wah, kau benar juga, Moi-moi. Mari kita kejar mereka."
Han Han lalu menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan Lulu juga cepat mengejarnya. Biarpun Lulu tidak dapat bergerak secepat Han Han, namun dibandingkan dengan orang biasa, gadis ini dapat berlari amat cepat karena ia memiliki keringanan tubuh, tenaga sinkang, dan napasnya tidak kalah panjang oleh napas kuda. Lebih dari seperempat jam mereka berlari cepat dan hutan itu makin lebat. Ketika mereka tiba di bagian yang berbatu-batu, mereka mendengar suara ribut-ribut dan sayup-sayup terdengar pula suara beradunya senjata berdencing-dencing.
"Koko, ada orang bertempur..."
"Hemmm, agaknya para piauwsu itu menghadapi musuh. Mari kita percepat lari kita."
Han Han mengerahkan tenaganya meloncat dan tentu saja Lulu tertinggal jauh. Akan tetapi Lulu sekarang bukan seperti Lulu enam tahun yang lalu. Dahulu ia penakut, akan tetapi sekarang Lulu menjadi seorang yang tabah dan pemberani, biarpun tertinggal di belakang ia tidak takut dan mempercepat juga larinya agar dapat sampai ke tempat pertempuran itu. Dugaan Han Han ketika dia bicara dengan Lulu tadi memanglah tepat.
Pek-eng-piauwkiok adalah sebuah piauwkiok yang kenamaan di kota Kwan-teng. Terkenal sebagai piauwkiok yang boleh dipercaya dan yang dapat menjamin keamanan semua barang kiriman sehingga tidak hanya para saudagar besar menjadi langganannya, bahkan para bangsawan yang mengirimkan barang-barang berharga selalu minta diantar dan dikawal oleh perusahaan pengawalan barang Garuda Putih ini. Hal ini bukan hanya karena Pek-eng-piauwkiok mempunyai banyak sekali piauwsu yang cakap dan kosen, melainkan terutama sekali karena piauwkiok itu dipimpin oleh seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ketua atau pemimpin piauwkiok ini adalah seorang tokoh Hoa-san-pai, seorang bekas pendekar perantauan yang gagah perkasa bernama Tan Bu Kong yang berjuluk Hoa-san Pek-eng (Garuda Putih dari Hoa-san).
Setelah ia bosan merantau dan sudah berusia lima puluh tahun, juga mengingat bahwa sebagai seorang kepala keluarga tidak baik kalau dia menjadi perantau terus, ia membuka piauwkiok itu yang ia beri nama mengambil dari julukannya yang sudah terkenal. Dalam masa sepuluh tahun saja, nama piauwkiok itu menjadi terkenal sekali dan setiap pengiriman barang yang diberi tanda bendera piauwkiok ini tentu akan lewat dengan aman sampai ke tempat tujuan karena para perampok dan penjahat merasa segan untuk memusuhi Pek-eng-piauwkiok. Setelah perusahaannya menjadi besar, Tan-piauwsu lalu mendatangkan adik-adik seperguruannya, yaitu anak-anak murid Hoa-san-opai yang masih menganggur untuk membantunya bekerja, mewakilinya mengantar barang-barang yang penting.
Kiriman barang yang tidak begitu penting cukup dikawal oleh orang-orangnya yang kesemuanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Dengan demikian, selain ia dapat menjamin nafkah hidup para sutenya, juga mereka dapat berkumpul dan dapat melanjutkan cita-cita yang dipesansankan oleh guru besar Hoa-san-pai, yaitu diam-diam membantu perjuangan para patriot yang menentang kekuasaan pemerintah Mancu. Akan tetapi, perjuangan ini selalu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena pada waktu itu, kekuasaan pemerintah Mancu sudah terlalu meluas dan hampir seluruh pedalaman telah diduduki sehingga perlawanan berupa perang terbuka takkan ada gunanya dan pasti akan mengalami kekalahan dan kegagalan.
Dengan demikian, di samping tugasnya menjadi piauwkiok, Pek-eng-piauwkiok juga menjadi tempat rahasia dari para patriot untuk mengadakan pertemuan, perundingan, pengiriman barang-barang rahasia, dan juga pembantu dalam bidang pembiayaan. Beberapa hari yang lalu, kantor pusat Pek-eng-piauwkiok di Kwan-teng kedatangan seorang wanita yang cantik jelita dan berpakaian mewah. Wanita ini datang berkuda dan melihat pakaiannya, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang gadis Mancu yang berpengaruh dan berkuasa. Kedatangannya saja dikawal oleh selosin perajurit Mancu yang bersenjata lengkap. Adapun gadis cantik ini sendiri menunjukkan bahwa dia bukan gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian.
Hal ini dapat dilihat dari cara melompat turun dari kuda, dari gerak-geriknya yang gesit, dan dari cara bicaranya. Gadis bangsawan Mancu ini dengan suara keras menyatakan kepada para penjaga piauwkiok bahwa dia ingin berjumpa dengan ketua Pek-eng-piauwkiok. Hati Tan-piauwsu merasa tidak enak, akan tetapi sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, ia keluar dengan sikap tenang dan dengan sikap hormat ia menyambut gadis Mancu yang usianya kurang lebih delapan belas tahun itu. Ia memberi hormat, mempersilakannya duduk, menghidangkan air teh kemudian menanyakan maksud kedatangannya. Biarpun gadis itu masih berpegang kepada kebiasaan lama, yaitu berpakaian sebagai seorang wanita bangsawan Mancu, namun setelah membuka mulut bicara, ternyata ia dapat berbicara bahasa Han dengan fasih sekali.
"Apakah saya berhadapan dengan Tan Bu Kong piauwsu sendiri yang berjuluk Hoa-san Pek-eng?"
Tan-piauwsu tidak menjadi heran menyaksikan lagak gadis muda ini. Dalam pengalamannya ia sudah banyak menyaksikan wanita-wanita yang berkepandaian, dan sudah mendengar bahwa di antara para tokoh Mancu banyak terdapat wanitaa-wanita yang berilmu tinggi. Apalagi wanita-wanita yang berasal dari bangsa Khitan dan yang kini banyak masuk dalam pasukan Mancu sehingga pasukan itu merupakan pasukan gabungan yang amat kuat.
"Tidak salah dugaan Nona. Saya adalah Tan Bu Kong yang memimpin piauwkiok ini. Apakah yang dapat saya lakukan untukmu, Nona?"
"Pek-eng-piauwkiok adalah sebuah piauwkiok kenamaan yang katanya dapat menjamin keamanan setiap barang kiriman. Sampai di manakah kebenaran berita itu?"
"Saya tidak perlu bersombong, Nona. Namun kenyataannya, selama sepuluh tahun ini, tidak ada barang kiriman yang tidak sampai di tempat tujuannya. Sungguhpun ada terjadi gangguan-gangguan di tengah jalan, namun semua gangguan dapat diatasi dan kami belum pernah merugikan para langganan kami."
Gadis itu tersenyum mengejek. Senyumnya manis sekali dan pasti akan mudah merobohkan hati setiap orang pria, akan tetapi di balik senyum ini membayang kekerasan hati yang dingin membeku sehingga diam-diam Tan-piauw-su bergi dik. Wanita muda ini amat berbahaya, pikirnya.
"Hemmm, bagus kalau begitu. Saya memiliki dua buah peti kiriman yang harus dibawa ke Nam-keng. Apakah engkau berani menjamin bahwa barang-barang itu akan sampai ke tempat tujuan dengan seJamat, Tan-piauwsu?"
"Menjamin sampainya barang kiriman ke tempat tujuan dengan selamat adalah kewajiban mutlak setiap piauwkiok, Nona, karena itu, saya berani menjamin."
Kembali senyum mengejek itu sehingga Tan-piauwsu menjadi mendongkol, akan tetapi segera ditutupnya dengan sikap hati-hati dan waspada.
"Bagaimana andaikata kiriman itu dirampok di tengah jalan?"
"Akan kami bela mati-matian."
"Bagaimana andaikata, hemmm, maaf, piauwsu. Bagaimana andaikata kalian gagal mempertaruhkan keselamatan barang-barang itu dan kemudian sampai terampas orang?"
"Hah, Tak mungkin. Dan kalau terjadi demikian.. hal ini... tak ada lain jalan kecuali mengganti harga barang-barang kiriman itu."
Gadis itu tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang putih seperti mutiara.
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Barang-barangku dalam dua peti itu biarpun diganti dengan seluruh benda milikmu ditambah milik penduduk kota ini masih takkan cukup, Tan-piauwsu. Dengar baik-baik. Aku menghendaki dua buah peti mati itu dikirimkan sekarang juga dan berapapun kau minta untuk biayanya akan kubayar. Akan tetapi, kalau sampai hilang di jalan, tanggungannya adalah nyawamu. Engkau akan ditangkap dan dihukum mati sebagai pemberontak."
Berubah wajah Tan-piauwsu dan ia nemandang gadis muda itu dengan alis terangkat.
"Mengapa begitu?"
"Tentu saja. Selama sepuluh tahun engkau mengawasi barang, kesemuanya selamat, akan tetapi sekarang mengawal benda penting dari seorang Puteri Mancu, kalau sampai hilang maka ini berarti bahwa kau sengaja membikin hilang dan berarti kau memusuhi pemerintah Mancu. Nah, sekarang aku tanya Beranikah engkau mengawal barang-barangku ini ke Nam-keng? "
Ditanya begitu, Tan-piauwsu merasa tersinggung kehormatannya. Juga piauwsu yang berpengalaman luas ini berpikir bahwa kalau ia menolak, akan menimbulkan kesan bahwa dia anti kepada pemerintah Mancu. Ia percaya bahwa para tokoh kang-ouw tidak ada yang akan mengganggunya, apalagi di daerah selatan ia memiliki banyak sahabat dan namanya sudah terkenal. Siapa yang akan berani dan mau mengganggu barang kiriman yang dikawalnya?
"Baiklah, Akan tetapi karena jaminannya adalah nyawa, maka biaya pengirimannya tentu harus lipat sepuluh kali dari biasa."
"Hi-hik, Jangankan sepuluh kali lipat, biar dua puluh kali pun kubayar sekarang juga. Nih, cukupkah?"
Gadis itu mengeluarkan sebuah pundi-pundi uang dan melemparkannya di atas meja. Tan-piauwsu mengambilnya dan membuka. Matanya terbelalak melihat bahwa pundi-pundi itu isinya potongan-potongan emas belaka yang menurut taksirannya berharga tiga empat puluh kali daripada tarip biasa.
"Terlalu banyak. Saya tidak setamak itu dan nyawa saya yang tua pun tidak semahal ini,"
Katanya tersenyum.
"Engkau benar-benar jujur dan gagah, Tan-piauwsu. Saya boleh berlapang dada kalau dua buah petiku itu dilindungi oleh Pek-eng-piauw-kiok. Biarlah semua emas itu kuserahkan kepada Pek-eng-piauwkiok, akan tetapi kuminta hari ini juga barang-barangku dikirim."
"Di manakah dua peti itu?"
Gadis itu kembali tersenyum.
"Sudah tersedia di luar pintu piauwkiok ini."
Ia bertepuk tangan tiga kali dan selosin pengawalnya memberi hormat di depan pintu.
"Bawa masuk dua peti ke sini."
Para pengawal mundur dan tak lama kemudian mereka masuk lagi menggotong dua buah peti yang panjangnya dua meter, lebar dan tingginya satu meter. Peti-peti itu terbuat dari kayu besi yang kuat dan keras, dicat keemasan dan selain kokoh kuat, juga rapi dan halus. Batas antara peti dan tutupnya tidak tampak sehingga agaknya untuk membuka peti itu jalan satu-satunya hanya merusaknya, yaitu membukanya secara paksa. Agaknya hal ini sengaja dilaku kan untuk mencegah orang luar yang ingin tahu membuka peti-peti itu.
"Agaknya Nona tidak akan memberi tahu apa isi buah peti ini?"
Tan-piauwsu memancing.
"Perlukah itu? Tugasmu hanya mengawal dan mengantar sampai ke tempat tujuan. Tentang isinya adalah rahasiaku, Tan-piauwsu."
"Baiklah, dalam waktu paling lama sebulan dua buah peti ini tentu akan tiba di tempat tujuannya di Nam-keng. Harap Nona suka memberi alamat penerimanya."
Gadis Mancu itu lalu menuliskan alamat penerimanya dengan gerakan tangan cepat dan ternyata huruf-huruf tulisannya amat indah dan halus. Alamat di Nam-keng itu adalah alamat sebuah rumah penginapan.
"Eh, mengapa tidak ada nama penerimanya? Hanya nama penginapan."
"Tidak perlu karena penerimanya adalah aku sendiri yang tentu akan berada di rumah penginapan itu pada saat barang-barang itu tiba."
Tan-piauwsu tidak mau banyak bertanya lagi, padahal merupakan hal yang aneh kalau gadis ini menyatakan dapat berada di sana lebih dulu daripada rombongan piauwsu yang melakukan perjalanan cepat"
Dia mulai menaruh curiga, akan tetapi untuk menjaga keselamatan diri dan piauwkioknya, dia tidak dapat menolak kiriman itu.
"Nah, sampai bertemu kembali, Tan-piauwsu. Hati-hati, kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menangkapmu."
Setelah berkata demikian, gadis itu tertawa dan meninggalkan piauwkiok, dikawal oleh selosin orang perajurit. Suara derap kaki kuda mereka meninggalkan kesan yang menyeramkan bagi para piauwsu yang berada di situ, seolah-olah derap kaki kuda itu mendendangkan peringatan yang mengerikan. Setelah gadis Mancu yang tidak memperkenalkan namanya bersama para perajurit Mancu Itu pergi, Tan-piauwsu cepat berkata kepada seorang di antara sutenya yang bertubuh kurus tinggi.
"Teng-sute, lekas kau selidiki ke mana mereka itu pergi."
Orang she Teng yang kurus itu mengangguk dan sekali berkelebat ia sudah lari keluar dari tempat itu. Dia memang ahli ginkang yang dapat berlari cepat sekali, maka dialah yang disuruh oleh Tan-piauwsu untuk mengejar rombongan gadis itu dan mengetahui dimana tempat tinggal dan siapa gerangan gadis aneh itu. Kemudian Tan-piauwsu mengumpulkan lima orang sutenya yang lain dan diajaknya masuk ke ruangan dalam untuk berunding.
"Sute sekalian, gadis Mancu tadi amat mencurigakan. Aku dapat merasa yakin bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Tentu dia mengandung maksud tertentu di balik pengiriman ini."
"Aku pun berpikir demikian, Suheng. Mengapa Suheng tidak menolak saja tadi?"
Berkata sutenya yang tertua, seorang berusia lima puluh tahun lebih, berjenggot panjang dan bertubuh kecil pendek, namun bermata tajam. Dia ini adalah seorang Hoa-san-pai yang bernama Lie Cit San dan dialah merupakan orang ke dua di Pek-eng-piauwkiok karena tingkat kepandaiannya pun paling tinggi di antara para sute dari Tan-piauwsu.
"Tidak bisa menolak, Sute. Dia sudah sengaja memilih kita dan kalau aku menolak, dia memiliki
(Lanjut ke Jilid 12)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
alasan untuk mengecap kita sebagai pemberontak-pemberontak yang tidak mau mengawal barang milik seorang Puteri Mancu. Aku khawatir kalau-kalau rahasia perjuangan kita tercium oleh mereka dan sekarang ini mereka menggunakan ujian di balik pengiriman barang."
"Dugaanmu bagaimana, Suheng?"
"Ada dua kemungkinan. Kalau dia mau mengganggu kita, mungkin dia sendiri yang akan mempersiapkan orang-orangnya untuk merampas peti-peti itu di tengah jalan sehingga dengan mudah akan menghancurkan kita."
"Keji sekali! Akan tetapi kita akan lawan dia, Suheng."
Kata Ok Sun, sutenya yang berangasan, seorang berusia tiga puluh lebih yang bertubuh kekar dan di pinggangnya tergantung sebuah golok besar.
"Tentu saja akan kita lawan, akan tetapi ada kemungkinan lain yang lebih melegakan hati. Yaitu mungkin ini hanya merupakan ujian bagi kesetiaan kita terhadap Pemerintah Mancu. Kalau benar demikian, kita akan selamat."
"Jangan-jangan dua peti itu terisi peralatan untuk menghancurkan kawan-kawan seperjuangan kita."
Kata seorang sute lain.
"Hal itu tidak penting dan kurasa tidak demikian. Untuk menjaga kemungkinan pertama, yaitu gadis aneh itu mengerahkan orang-orang untuk mengganggu kita di jalan, aku sendiri akan mengawalnya."
Kata Tan-piauwsu sambil mengepal tinju. Dia harus unjuk gigi, dan untuk menjaga nama baik Pek-eng-piauwkiok, akan dia lawan mati-matian setiap usaha untuk merampas dua buah peti itu. Tiba-tiba Kwee Twan Giap, sutenya yang paling muda akan tetapi terkenal paling cerdik, berkata.
"Suheng, justeru inilah yang aku khawatirkan. Agaknya justeru pemikiran dan keputusan Twa-suheng ini yang sudah diperhitungkan mereka."
"Apa maksudmu, Kwee-sute?"
"Bukan lain, tipu muslihat memancing harimau keluar dari sarang."
Tan-piauwsu dan empat orang sutenya yang lain terkejut dan membelalakkan mata. Tan-piauwsu meninju meja di depannya.
"Ah, tepat sekali, Sute. Mengapa hal yang mungkin sekali ini kulupakan? Memancing harimau keluar dari sarang. Ah, bisa jadi itulah inti dari rahasia pengiriman aneh ini. Kita harus bersiap-siap untuk kemungkinan itu."
"Sebaiknya begini saja, Twa-suheng,"
Kata pula sute termuda yang cerdik itu.
"Pengawalan barang ini diserahkan saja kepada seorang di antara kami, karena untuk menghadapi gangguan di jalan, kurasa tidaklah amat berat. Apalagi kalau diingat bahwa perjalanan itu menuju ke Nam-keng. Daerah sepanjang perjalanan ke selatan penuh dengan sahabat-sahabat kita, sehingga kalau terjadi sesuatu, banyak sahabat yang dapat membantu. Adapun Suheng sendiri bersama para Suheng lainnya menjaga di sini untuk menghalau setiap gangguan dan juga untuk dapat melihat perkembangan, kalau perlu merundingkan dengan kawan-kawan seperjuangan yang datang dan lewat di kota ini."
Usul ini dapat diterima dan akhirnya Tan Bu Kong menetapkan Lie Cit San dan Ok Sun sebagai wakilnya mengawal dua buah peti itu, membawa pasukan piauwsu pilihan sebanyak lima belas orang. Berangkatlah hari itu juga dua orang piauwsu dan lima belas orang anak buahnya, mengawal dua buah peti yang dimasukkan ke dalam kereta yang ditarik empat ekor kuda besar. Seperti telah dituturkan di bagian depan, di dalam hutan, rombongan piauwsu ini bertemu dengan Han Han dan Lulu. Ketika dari jauh mereka melihat seorang pemuda dan seorang pemudi berjalan di hutan yang liar dan sunyi itu, Lie Cit San sudah menjadi curiga dan berbisik.
"Awas, semua siap sedia. Dua orang di depan itu mencurigakan."
Demikianlah, rombongan piauwsu itu lewat dan ketika mereka melihat bahwa yang mereka curigai itu hanyalah seorarg pemuda sederhana dan seorang gadis remaja yang cantik, mereka tertawa-tawa dan memandang ke arah Lulu dengan kagum dan tentu saja timbul sifat-sifat kurang ajar mereka, sungguhpun di depan Lie Cit San dan Ok Sun para anak buah itu tidak berani mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan. Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu, mendadak muncul sembilan orang laki-laki yang gagah sikapnya dan mereka ini sengaja menghadang di tengah jalan. Usia sembilan orang ini dari dua puluh sampai empat puluh tahun dan melihat pakaian mereka yang rapi dan seperti biasa dipakai orang-orang yang pandai ilmu silat, mereka itu seperti bukan golongan perampok. Seorang di antara mereka, yang paling tua, sudah mengangkat tangan ke atas dan berseru.
"Pek-eng-piauwsu yang mengawal kereta, berhenti dulu."
Lie Cit San yang menunggang kuda, segera mengajukan kudanya, mengerutkan kening dan matanya yang tajam memandang penuh selidik, kemudian bertanya.
"Sahabat-sahabat yang berada di depan siapakah dan apa maksudnya menghentikan kami? Hendaknya diketahui bahwa kami mewakili Suheng kami Hoa-san Pek-eng untuk mengawal barang-barang dalam kereta menuju ke Nam-keng. Harap sahabat-sahabat suka minggir dan membiarkan kami lewat."
Sembilan orang laki-laki itu mengeluarkan suara marah dan yang tertua di antara mereka segera mengangkat tangan memberi isyarat agar teman-temannya bersikap tenang. Kemudian ia berkata kepada Lie Cit San.
"Orang-orang Hoa-san-pai amat sombongnya sehingga seperti buta, tidak membedakan orang. Kami bukanlah golongan perampok rendah yang menjadi sahabat para piauwsu. Kami adalah anak-anak murid Siauw-lim-pai yang sengaja mencegat kalian di sini untuk membalas dendam."
Lie Cit San terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Dia memang tahu bahwa beberapa bulan yang lalu terjadi bentrokan antara beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dengan anak murid Hoa-san-pai, akan tetapi bentrokan itu terjadi antara orang-orang muda yang masih kurang pengalaman dan hal itu telah dibereskan oleh golongan tua.
Urusannya hanya kecil karena terjadi hubungan cinta antara seorang murid wanita Hoa-san-pai dengan seorang murid pria Siauw-lim-pai. Hubungan cinta ini menimbulkan rasa iri pada saudara-saudara seperguruan lain sehingga terjadilah bentrokan itu. Dalam bentrokan itu pun hanya mengakibatkan luka-luka tak berarti di kedua pihak. Mengapa hal yang sudah padam itu kini hendak digali dan dipanaskan kembali oleh sembilan orang anak murid Siauw-lim-pai yang tidak dapat dikatakan orang-orang muda ini? Lie Cit San bukan seorang anak muda yang berdarah panas, maka ia menyabarkan hatinya dan mengangkat kedua tangan setelah meloncat turun dari atas kuda. Sutenya, Ok Sun yang tadinya berada di atas kereta, juga meloncat turun dengan gerakan gesit, berdiri di dekat suhengnya dalam keadaan siap-siap. Tokoh Hoa-san-pai yang berangasan ini sudah meraba-raba gagang senjata.
"Maafkan kalau kami salah menyangka,"
Kata Lie Cit San.
"Kiranya Cu-wi adalah para Enghiong dari Siauw-lim-pai, Lebih baik lagi kalau begitu. Hendaknya Cu-wi suka memberi tahu apakah sebabnya Cu-wi sekalian menahan kami?"
Ok Sun yang marah menyambung,
"Biarpun anak-anak murid Siauw-lim-pai namun lagaknya seperti perampok, menghadang perjalanan orang. Suheng, kurasa mereka ini telah menjadi antek-antek Mancu dan sekarang mereka diperalat oleh gadis Mancu itu."
"Tutup mulutmu."
Bentak seorang pemuda diantara sembilan orang murid Siauw-lim-pai itu. Lie Cit San dan pemimpin rombongan Siauw-lim-pai segera menghardik saudara masing-masing agar suka diam. Kemudian orang Siauw-lim-pai itu berkata,
"Aku Liong Tik adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang menjunjung kebenaran dan keadiIan. Maksud kami sembilan orang murid Siauw-lim-pai menahan kalian tidak lain hanya untuk bertanya apa isinya kereta yang kalian kawal."
"Ada sangkut-paut apakah hal itu dengan kamu orang-orang Siauw-lim-pai yang sombong?"
Bentak Ok Sun yang memang berangasan dan sebagai seorang murid Hoa-san-pai tentu saja masih panas hatinya oleh bentrokan antara murid-murid keponakannya dengan murid-murid Siauw-lim-pai beberapa bulan lalu. Akan tetapi kembali Lie Cit San yang masih sabar itu menyambung.
"Mengapakah para sahabat gagah dari Siauw-lim-pai ingin mengetahui hal itu? Hendaknya Cu-wi sekalian tahu bahwa kami sendiri hanya bertugas untuk mengawal barang dan sama sekali tidak tahu apa isinya dua buah peti yang kami kawal, bahkan kami pun tidak ingin mengetahui barang milik orang lain."
"Dua buah peti..?"
Sembilan orang Siauw-lim-pai itu saling pandang penuh arti, kemudian memandang marah ke arah kereta. Liong Tik yang tertua di antara saudara-saudaranya mengimbangi kesabaran Lie Cit San dan kini ia berkata, suaranya masih halus namun nadanya memaksa,
"Kami percaya bahwa dua orang saudara Hoa-san-pai yang gagah tidak mengetahui isinya, akan tetapi kami minta agar kedua buah peti itu dibuka agar kita bersama dapat melihat isinya."
"Perampok-perampok berkedok Siauw-Lim-Pai. Kalau ternyata isinya emas permata tentu kalian akan merampoknya."
Bentak Ok Sun sambil mencabut golok besarnya. Para anak murid Siauw-lim-pai juga sudah mencabut senjata masing-masing dengan sikap marah. Lie Cit San menggeleng kepala.
"Tidak mungkin hal itu dilakukan,"
Katanya.
"Kami harus menjaga nama baik kami sebagai piauwsu, tidak akan membuka peti kiriman barang orang lain, juga tidak memperbolehkan siapa juga membukanya."
"Twa-suheng, sudah jelas bahwa mereka hendak menyembunyikan. Kalau tidak lekas turun tangan, mau menanti apa lagi?"
Bentak seorang di antara anak murid Siauw-lim-pai yang paling berangasan sambil meloncat maju dengan pedang di tangan. Ok Sun menggereng dan kedua orang itu sudah bertanding dengan sengit. Melihat ini, Lie Cit San dan Liong Tik maklum bahwa bentrokan tak dapat dielakkan lagi, terpaksa mereka pun maju. Lie Cit San mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang cambuk besi yang kecil panjang, sedangkan Liong Tik mengeluarkan senjata sepasang tombak bercagak dan kedua orang ini pun sudah bertanding hebat.
Tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai yang lain sudah menyerbu ke arah kereta dan mereka disambut oleh lima belas orang anak buah piauwsu sehingga sebentar saja di situ terjadi pertandingan yang seru, terdengar bunyi senjata-senjata bertemu diseling teriakan marah mereka. Pertandingan antara dua orang murid Hoa-san-pai melawan dua orang murid Siauw-lim-pai terjadi seru dan berimbang, akan tetapi lima belas orang anak buah rombongan piauwkiok itu segera terdesak hebat oleh tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai dan setelah lewat belasan jurus, mulailan pihak piauwkiok terdesak dan empat orang sudah roboh terjungkal mandi darah. Tiba-tiba terdengar bentakan yang amat keras,
"Semua berhenti."
Aneh sekali. Bentakan itu selain keras dan penuh wibawa, juga mengandung tenaga mukjizat yang membuat mereka yang sedang bertempur itu serentak meloncat mundur dengan kaget dan gentar, menahan senjata masing-masing dan memandang terbelalak kepada seorang pemuda rambut riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di tengah antara mereka. Pemuda ini bukan lain adalah Han Han yang segera dapat memilih pihak karena melihat betapa tadi rombongan piauwsu itu terdesak, bahkan ada empat orang di antara mereka yang roboh dan tewas. Kini ia memutar tubuh, membelakangi para piauwsu, menghadapi para murid Siauw-lim-pai dan membentak marah.
"Perampok-perampok laknat, berani kalian mengganggu orang lewat? Orang-orang jahat macam kalian ini patut dibasmi."
Para piauwsu yang mengenal Han Han sebagai pemuda yang tadi mereka lewati, memandang heran namun juga geli. Pemuda hijau macam ini mana mungkin dapat menakuti hati para anak murid Siauw-lim-pai yang lihai itu. Dan betul saja dugaan mereka, murid-murid Siauw-lim-pai marah sekali karena mengira bahwa pemuda liar yang bermata setan ini pasti seorang anak murid Hoa-san-pai pula. Maka seorang di antara mereka yang termuda, yang tidak memandang mata kepada Han Han, sudah menerjang sambil membentak.
"Bocah setan, mampuslah."
Pemuda Siauw-lim-pai itu bersenjata sebuah toya dan senjata toya ini memang merupakan sebuah di antara senjata kaum Siauw-lim-pai yang ampuh. Begitu tara digerakkan terdengar bunyi mengaung dan ujung toya itu tergetar menimbulkan bayangan belasan batang banyaknya. Kini toya itu rneluncur ke arah tubuh Han Han, menyodok ke dadanya. Han Han sama sekali tidak bergerak.
"Krakkk."
Toya itu dengan tepat menyodok ulu hati Han Han, akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak bergeming, sebaliknya toya itu patah-patah rnenjadi tiga potong. Anak murid Siauw-lim-pai itu terdorong tenaganya sendiri sehingga menubruk tubuh Han Han. Pemuda ini mengangkat tangan kiri yang terbuka, memukul ke arah tengkuk lawannya.
"Krekkk."
Murid Siuw-lim-pai roboh dengan batang leher patah dan tewas seketika. Peristiwa ini menirnbulkan geger. Delapan orang anak murid Siauw-lim-pai menjadi marah sekali dan mereka maju dengan senjata mereka menerjang Han Han. Saking marahnya menyaksikan seorang saudara mereka tewas, mereka itu lupa akan sifat kegagahan dan delapan orang jagoan Siauw-lim-pai dengan senjata di tangan kini menerjang dan mengeroyok seorang pemuda tanggung yang tak terkenal dan bertangan kosong. Pada saat itu, Lulu juga sudah tiba di situ dan gadis ini dengan mata berkilat dan muka berseri berteriak-teriak,
"Han-ko, sikat saja perampok-perampok itu."
Akibat pengeroyokan itu sungguh hebat. Han Han kaku sekali gerakannya dan ia tidak mempunyai ilmu silat tertentu untuk dimainkan menghadapi pengeroyokan itu.
Biarpun ia sudah mempelajari gerak kaki, namun gerak tangannya hanya ia pelajari sepintas lalu saja karena selama enam tahun ini ia hanya memusatkan ketekunannya untuk memupuk tenaga sinkang. Ia memasang bhesi dengan kuda-kuda Chi-ma-se, kedua kakinya terpentang dan lutut ditekuk, akan tetapi kedua lengannya dikembangkan dan diputar-putar menghadapi setiap serangan para pengeroyok. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya kedua pihak yang bermusuhan melihat akibat pertandingan ini. Setiap kali ada senjata datang menyerang, Han Han memapakinya dengan dorongan atau kibasan tangannya dan.. si penyerang terguling, senjatanya patah-patah dan orangnya roboh tewas, ada kalanya tewas dengan muka kebiruan seperti membeku, ada kalanya pula tewas dengan tubuh hitam seperti hangus terbakar.
Dalam keadaan tidak sadar akan kekuatan sendiri, Han Han telah "mengisi"
Lengan kiri dengan tenaga inti Im-kang, sedangkan tangan kanannya mengandung tenaga inti Yang-kang. Kekuatan dan kedahsyatan setiap gerak tangannya tidak kalah oleh ilmu pukulan Swat-im Sin-kang maupun Hwi-yang Sin-kang. Karena dia tidak menyerang hanya memapaki mereka yang menyerang saja, maka dalam gebrakan-gebrakan itu robohlah tujuh orang murid Siauw-lim-pai dalam keadaan tak bernyawa lagi, sedangkan Liong Tik dan seorang sutenya yang lebih tinggi ilmunya dapat meloncat ke belakang sehingga terhindar dari bahaya maut, akan tetapi juga senjata mereka itu remuk oleh hantaman hawa pukulan yang keluar dari tangan Han Han.
Pada saat itu keadaan Han Han benar-benar mengerikan sekali. Ia masih berdiri seperti tadi karena ia telah merobohkan tujuh orang murid Siauw-lim-pai dalam keadaan tak mengubah kedudukan kaki sama sekali. Ia berdiri menghadapi Liong Tik dan sutenya, siap menerima serangan, matanya mengeluarkan cahaya yang tajam sekali, mulutnya tersenyum mengerikan seperti senyum setan mengejek sehingga wajahnya yang tampan itu kelihatan menyeramkan, kedua lengannya dikembangkan ke kanan kiri. Karena pihak lawan yang tinggal dua orang itu terbelalak dan tidak menyerangnya, maka ia pun diam tak bergerak dan sesaat keadaan di situ menjadi sunyi karena Lie Cit San, Ok Sun dan semua anggauta piauw-su juga terbelalak dengan hati ngeri. Derap kaki kuda terdengar jelas di saat yang sunyi itu dan Lulu menengok ke kanan. Seekor kuda hitam datangseperti terbang cepatnya dan di atas kuda itu duduk seorang gadis cantik.
Bukan duduk, lebih tepat berdiri karena gadis itu memang berdiri dengan kaki di kanan kiri perut kuda, di atas tempat kaki. Dapat berdiri seperti itu selagi kuda membalap dengan miring membuktikan betapa pandainya gadis cantik ini menunggang kuda. Akan tetapi wajah gadis itu diliputi kedukaan dan kegelisahan. Melihat betapa anak murid Siauw-lim-pai banyak yang tewas dan kereta yang membawa dua buah peti berada di situ dalam keadaan ditinggalkan karena para piauwsu tadi menyambut penyerbuan para murid Siauw-lim-pai, gadis itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya meluncur cepat sekali mendahului kuda dan tahu-tahu ia telah berada di belakang kereta. Para piauwsu terkejut, akan tetapi sebelum ada yang sempat bergerak, gadis itu sudah menggerakkan tangan dua kali.
"Brakkkkk, Brakkkkk."
Dua buah peti itu terpukul bagian atasnya oleh dua tangan yang kecil halus, akan tetapi seketika bagian tutupnya remuk dan terbukalah kedua peti itu. Si gadis cantik menjenguk ke dalam peti-peti itu dan terdengar teriakannya menyayat hati.
"Liok-suhu..., Chit-suhu..."
Dan gadis itu menangis tersedu-sedu. Para piauwsu tercengang keheranan, apalagi setelah Liong Tik dan seorang sutenya berlari menghampiri kereta, menjenguk isi peti dan menjatuhkan diri berlutut pula sambil menangis. Lie Cit San dan Ok Sun, diikuti para piauwsu lari pula mendekat dan ketika mereka melihat isi peti, mereka terbelalak.
"Aihhhhh..."
Lie Cit San dan Ok Sun terhuyung ke belakang dengan muka pucat sekali. Kiranya di dalam dua buah peti itu terisi dua sosok mayat orang yang bukan lain adaiah Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam. Gadis cantik itu sudah menghentikan tangisnya lalu bangkit berdiri. Sikapnya dingin sekali, penuh hawa amarah meluap-luap, penuh dendam sakit hati yang harus dilampiaskan. Ia bertanya kepada Liong Tik dan sutenya.
"Siapa yang membunuh saudara-saudaramu itu?"
"Sukouw (Bibi Guru)... mohon bantuan.. para Sute dibunuh oleh bocah iblis itu..."
Liong Tik menuding ke arah Han Han yang masih berdiri seperti arca. Tadi ia seperti kemasukan pengaruh yang aneh, terdapat rasa gembira sekali ketika kedua tangannya merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi kini Han Han memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu dengan bengong. Ia baru sadar ketika ada suara wanita membentak di depannya.
"Siapa engkau yang begini kejam telah membunuh tujuh orang murid keponakanku?"
Tiba-tiba Lulu yang berdiri di belakang Han Han tertawa geli sehingga suasana tegang itu menjadi terpecah.
"Hi-hi-hi, aneh sekali. Melihat muka dan tubuhmu, usiamu tidak akan banyak selisihnya dengan usiaku, akan tetapi engkau mempunyai keponakan-keponakan yang sudah tua-tua. Aneh dan lucu, hi-hi-hik."
Akan tetapi gadis itu tidak mempedulikannya, bahkan seperti tidak mendengarnya karena gadis itu kini sedang memandang Han Han penuh perhatian, bahkan wajahnya yang cantik kini menjadi agak pucat, sinar matanya penuh keheranan dan tidak percaya. Han Han yang sadar akan teguran suara wanita, mengangkat muka dan begitu ia memandang wajah gadis cantik di depannya itu, ia terbelalak dan sampai lama tidak dapat menge1uarkan suara. Kedua orang ini saling pandang, kadang-kadang meragu, kemudian merasa yakin dan Han Han berkata lirih.
Istana Pulau Es Eps 37 Istana Pulau Es Eps 16 Kisah Pendekar Bongkok Eps 5