Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 15


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



"Kalian memang dapat disebut murid-murid Hoa-san-pai, akan tetapi ilmu yang kuberikan kepada kalian sesungguhnya bukanlah ilmu aseli dari Hoa-san-pai. Karena itu, kalian harus berhati-hati terhadap Hoa-san-pai. Para tosu Hoa-san-pai, yaitu Suheng-suheng dan Sute-suteku, adalah tosu-tosu yang kukuh dan terlalu kaku memegang peraturan sehingga kadang-kadang mereka itu keras sekali. Memang demikian watak orang-orang yang terikat oleh keadaan pada lahirnya namun sesungguhnya batinnya belum dapat mereka sesuaikan dengan keadaan lahir. Mereka banyak yang merasa iri hati melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan tosu yang hidup serba bebas dan dapat mengecap kenikmatan hidup tanpa pantangan-pantangan. lebih baik kalau kalian menjauhkan diri dari urusan Hoa-san-pai."

   Demikianlah pesan suhu mereka dan kini, di luar kehendak mereka, mereka dihadapkan dengan urusan yang amat sulit yang menyangkut Hoa-san-pai.

   "Mengapa kalian tidak lekas turun tangan? Apakah kalian hendak menentang perintah pinto dan hendak menjadi murid murtad Hoa-san-pai pula?"

   Kini suara Bhok Seng-cu terdengar keras dan tidak senang, mengandung tekanan menyindir bahwa guru kedua orang muda itu adalah seorang murid murtad Hoa-san-pai Soan Li hanya dapat memandang kepada suhengnya dengan pandang mata penuh permohonan agar suheng ini dapat mengambil keputusan. Sin Kiat menghela napas panjang lalu berkata.

   "Supek, mohon maaf, bukan sekali-kali teecu membantah. Hanya teecu teringat akan pesan Suhu bahwa segala perbuatan teecu berdua harus didasarkan kebenaran. Teecu menganggap bahwa Saudara Sie Han dan Lulu tidak bersalah dalam urusan ini, bagaimana mungkin teecu berdua harus memusuhi mereka?"

   "Wan Sin Kiat! Bocah ini telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai yang terhitung Suheng-suhengmu sendiri dan kau masih hendak membelanya? Dan gadis ini, sudah terang dia itu gadis Mancu, seorang musuh bangsa kita, dan engkau pun hendak membelanya? Pelajaran macam apakah ini yang diberikan Gurumu kepada kalian?"

   Bentak Kong Seng-cu. Ucapan keras yang menambah ketegangan itu disusul suara Lulu yang perlahan akan tetapi karena keadaan yang amat sunyi, terdengar oleh semua telinga,

   "Koko, Tosu Codet itu galak sekali. Kalau terjadi pertempuran, kau bikin mukanya bertambah satu codet lagi, baru puas hatiku."

   "Hush...", Lulu, jangan lancang mulut...."

   Han Han menjawab lirih, akan tetapi tentu saja terdengar pula oleh semua orang. Kong Seng-cu hampir tak dapat menahan kemarahannya dan ia memandang kepada Lulu dengan mata melotot. Untuk turun tangan sendiri, ia merasa malu hati, tidak turun tangan, jantungnya serasa ditusuk-tusuk oleh sindiran dan ejekan gadis Mancu itu.

   "Supek,"

   Jawab Sin Kiat dengan suara tenang.

   "Suhu mengajarkan agar teecu tidak sembrono dalam sepak terjang teucu, tidak menurutkan panasnya hati melainkan menggunakan pertimbangan pikiran dan liangsim (hati nurani). Biarpun Han Han membunuh kedua orang Suheng teecu, akan tetapi dia membunuh bukan karena kejahatan, melainkan karena tertipu muslihat Puteri Mancu. Adapun Adik Lulu ini....dia bukanlah musuh.dia tidak memusuhi kita.

   "Kreeekkkkk."

   Lengan kursi yang di.duduki Bhok Seng-cu hancur berkeping-keping karena dicengkeram tangan tosu lihai ini yang sudah tak dapat mengendalikan lagi kemarahannya.

   "Murid murtad."

   Ia menudingkan telunjuknya kepada Sin Kiat, kemudian menoleh ke arah Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap, dan murid-murid Hoa-san-pai pembantu Tan-piauwsu yang lain sambil berseru,

   "Tangkap dua orang murid murtad ini, dan kami akan turun tangan sendiri menangkap bocah dan gadis Mancu itu."

   "Serrr.. serrrrr..."

   Bhok Seng-cu menggerakkan tangan kanannya, dua sinar hitam menyambar ke arah Han Han dan Lulu. Itulah hancuran kayu lengan kursi yang dicengkeramnya tadi, kini ditimpukkan dengan pengerahan sinkang sehingga merupakan senjata rahasia yang amat berbahaya, menyambar ke arah dada Han Han dan Lulu yang sejak tadi hanya berdiri dengan sikap tenang di tengah ruangan itu. Han Han mengibaskan tangannya sehingga hancuran kayu itu runtuh ke bawah, sedangkan, Lulu dengan sikap lincah meloncat ke samping, mengelak sambil tertawa mengejek,

   "Wah, sayang luput Tosu galak."

   Tan-piauwsu dan para sutenya, juga anak buah Pek-eng-piauwkiok yang sudah menganggap diri mereka sebagai anak buah Hoa-san-pai, tidak berani membantah perintah itu dan mereka telah mencabut senjata masing-masing, kini telah mengurung ruangan itu.

   Di luar tahunya semua orang, Kwee Twan Giap sute termuda dari Tan-piauwsu yang amat cerdik, telah memberi tanda dengan jari tangan agar Sin Kiat dan SoanLi cepat melarikan diri saja sehingga terhindar pertandingan antara murid Hoa-san-pai sendiri. Melihat ini, Sin Kiat dan Soan Li mencatat dalam hati mereka akan niat baik Kwee Twan Giap. Akan tetapi, sebelum dua orang murid Im-yang Seng-cu ini sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba terdengar pekik .melengking keras sekali yang membuat semua orang tertegun, bahkan banyak diantara mereka meremang bulu tengkuk-nya mendengar suara ini. Suara ini keluar dari mulut Han Han yang sudah meloncat ke depan sambil melengking keras, kemudian berkata.

   "Majulah semua! Tosu-tosu picik, hayo majulah kalian. Kalau kekerasan yang kalian kehendaki, kekerasan yang kalian dapat."

   Lulu juga meloncat ke dekat kakaknya sambil membusungkan dadanya yang sudah membusung,

   "Jangan mengeroyok Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li, keroyoklah kami kalau kalian sudah bosan hidup."

   Akan tetapi tiba-tiba Han Han sudah menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke kanan kiri dan terdengarlah suara hiruk-pikuk jatuhnya beberapa buah senjata pedang dan golok karena pemiliknya rebah terguling disambar hawa pukulan hebat luar biasa, yaitu yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan Han Han.

   Amat mengerikan akibatnya karena empat orang itu roboh dengan lengan kanan sebatas siku gosong seperti dibakar. Masih untung bahwa Han Han menyerang mereka mengarah lengan, kalau tubuh mereka yang terkena sambaran hawa pukulan yang merupakan inti dari Hwi-yang Sin-ciang ini, pasti nyawa mereka telah melayang. Lulu menjadi gembira, tubuhnya berkelebat ke kiri dan sebuah tendangan membuat orang anak buah piauwkiok menjerit kesakitan, lengan tangannya patah tulangnya dan pedangnya mencelat ke atas. Tubuh Lulu meloncat dengan gerakan indah dan cepat, seperti seekor burung walet terbang dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangannya, dan la melayang turun, berdiri tersenyum-senyum menimang-nimang dan memandang pedang, sikapnya seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah boneka.

   "Pedang yang bagus sekali"'"

   Ia memainkan ronce-ronce pedang yang berwarna kuning itu dan mengelus-elus mata pedang yang tajam. Melihat ini, Tan-piauwsu dan para sute serta anak buah mereka mau tak mau lalu maju menyerbu, bukan menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, melainkan menyerbu Han Han dan Lulu yang telah bergerak terlebih dulu. Biarpun sampai mati dalam pertandingan, mereka ini memilih mati di tangan Han Han dan Lulu yang merupakan orang-orang lain, bahkan boleh juga dianggap musuh karena Han-Han telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai sedangkan Lulu adalah seorang gadis Mancu. Kalau mereka menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, berarti mereka bermusuhan dengan murid-murid Hoa-san-pai sendiri dan kalau tewas berarti mati konyol.

   "Han Han... Lulu-moi.., kasihanilah mereka yang tak berdosa, jangan bunuh mereka..."

   Sin Kiat berteriak dengan hati sedih dan amat terkejut menyaksikan sepak terjang Han Han. Lulu mendengar getaran suara Sin Kiat ini dan ketika ia mengerling kepada kakaknya, ia melihat bahwa kakaknya telah diserang nafsunya yang aneh, yang kadang-kadang datang seperti ketika kakaknya ini menyiksa ular merah di Pulau Es. Ia cepat berbisik.

   "Koko, jangan bunuh orang..."

   Pada saat itu, Han Han memang telah kemasukan nafsu iblis yang selalu menyerangnya apabila ia mengerahkan sinkang di tubuhnya. latihan-latihan yang ia tempuh selama bertahun-tahun adalah latihan-latihan ilmu golongan hitam yang selalu menimbulkan nafsu ingin menyiksa dan membunuh. Begitu menyaksikan sikap tiga orang tosu Hoa-san-pai, kemarahannya bangkit dan sekali ia mengerahkan sinkang, nafsu membunuh ini telah bangkit di dadanya, sepasang matanya yang amat tajam itu menjadi agak kemerahan, napasnya agak terengah dan ia merasa seolah-olah ia bukan bernapas hawa melainkan api. Akan tetapi aneh sekali, bisikan suara Lulu itu merupakan embun dingin sejuk yang seketika dapat menekan gairahnya untuk membunuh musuh sebanyaknya, dan ia mengangguk sambil berkata lirih.

   "Lulu, kau tahan mereka itu, biar aku menghadapi tiga orang tosu sombong."

   Lulu tersenyum, menggerakkan tubuh ke kanan menghindarkan bacokan seorang anak buah piauwkiok,

   Tangan kirinya menyambar tengkuk dan orang itu mengeluh dan roboh dengan mata mendelik, pingsan. Jurus-jurus pukulan Lulu amat aneh, selain karena memang ilmu silat tangan kosong yang dilatihnya dari kitab kuno di Pulau Es memang aneh, juga di-tambah dengan gerakan-gerakan yang ia ciptakan di luar kesengajaannya ketika ia berlatih dengan beruang es yang lihai sekali. Biasanya, kalau ia memukul tengkuk beruang es dengan tangan miring, beruang itu kadang-kadang dapat mengelak atau menangkis, dan kalau terkena juga, beruang es itu hanya akan terhuyung. Siapakira orang ini sekali kena disambar tengkuknya terus roboh pingsan. Hebat bukan main sepak terjang Lulu. Dia kini telah meloncat dekat kakak nya menyerahkan pedang dengan sikap seperti anak kecil dan berkata,

   "Aku titip dulu,Koko, jangan sampai hilang pedangkul"

   Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat, berputaran seperti orang menari, namun cepat bukan main sehingga para anak buah Peng-eng-piauwkiok hanya melihat bayangan berkelebatan di sekeliling mereka dan mencium keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Lulu dan pada detik-detik berikutnya, senjata-senjata di tangan mereka beterbangan dan orangnya pun mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lenganya, ada yang terkilir kakinya kena tendangan, ada yang pening kepalanya dengan mata berkunang, karena ditempiling, dan ada pula yang mulas perutnya kena dicium ujung sepatu gadis itu. Mereka seolah-olah melawan bayangan setan, membacok ,dan menusuk secara ngawur karena tidak dapat melihat jelas lawannya, dan tahu-tahu dua puluh orang lebih telah kehilangan senjata dan tubuh mereka malang-melintang di ruangan itu"

   "Bukan main."

   Sin Kiat berseru sambil menahan napas saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang ahli silat kelas tinggi, memiliki ginkang yang hebat, akan tetapi menyaksikan gerakan Lulu, ia menjadi bengong karena gerakan gadis itu seolah-olah terbang saja. Betapa mungkin dara remaja itu memiliki ginkang setinggi itu? Siapakah gerangan gurunya?

   Melihat gerakannya yang jelas membayangkan ilmu dari golongan bersih, kaum putih, ia tidak percaya kalau Lulu juga murid Ma-bin Lo-mo. Kalau Han Han memang amat boleh jadi, karena gerakan dan pukulan pemuda mengerikan sekali, Jelas termasuk Ilmu dari kaum sesat. Kini hanya tinggal Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap dan dua orang sutenya yang lain saja diantara para piauwsu yang belum roboh. Mereka berempat ketika menyaksikan betapa semua anak buah piauwkiok roboh oleh gadis Mancu itu menjadi kaget akan tetapi juga marah. Tanpa dikomando lagi mereka sudah mencabut senjata dan menerjang maju.Tentu saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang sudah bertingkat empat atau lima ilmu silat mereka sudah hebat dan gerakan mereka ketika menyerang Lulu tak boleh disamakan dengan gerakan para anak buah Pek-eng-piauwkiok tadi.

   "Pergilah..."

   Terdengar bentakan Han Han yang tidak membiarkan adiknya. dikeroyok murid-murid Hoa-san-pai ini. Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke kanan kiri..dan empat orang murid Hoa-san-pai itu terpental sampai empat meter ke belakang, roboh tak dapat bangkit kembali karena tulang pundak mereka remuk disambar hawa yang keluar dari kedua telapak tangan Han Han. Untung bagi mereka bahwa Han Han masih ingat akan cegahan adiknya sehingga ia membatasi dorongannya dan hanya membuat mereka roboh pingsan dengan tulang remuk saja.

   "Siancai.. pemuda iblis...."

   Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu dengan gerakan tenang namun sesunggunnya cepat dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, meloncat turun dari kursi mereka diikuti oleh Kong Seng-cu. Melihat tiga orang kakek tokoh Hoa-san-pai itu hendak turun tangan, diam-diam Sin Kiat dan Soan Li menjadi khawatir sekali. Mereka maklum akan kelihaian tiga orang supek mereka ini dan karena sekali ini yang turun tangan adalah tokoh tinggi yang berkepandaian hebat, maka akibatnya pun tentu mengerikan. Mereka masih bingung dan serba salah, tidak tahu harus berbuat apa. Membantu sana salah membantu sini tak benar. Maka mereka hanya memandang bengong dan jantung mereka serasa berhenti berdetik.

   "Koko, mana pedangku. serahkan si Codet galak itu kepadaku."

   Kata Lulu yang agaknya tidak mengenal bahaya. Pedang itu tadi oleh Han Han ditancapkan di atas tanah ketika ia membantu Lulu dan merobohkan empat orang murid Hoa-san-pai. Kini Lulu menyambar pedang itu dan terus dimainkan sambil mengejek ke arah Kong Seng-cu.

   "Hayo, Tosu Codet, berani kau melawan pedang wasiatku?"

   Kong Seng-cu yang sudah sejak tadi diejek dan dipermainkan Lulu, memuncak kemarahannya. Ia lupa diri, lupa bahwa adalah pantangan pertama dan terutama bagi seorang ahli tapa seperti dia untuk mudah dirangsang nafsu amarah. Dengan seruan keras ia telah mencabut pedangnya dan menerjang Lulu. Sinar pedangnya yang bersinar kehijauan itu bagaikan kilat menyambar ke arah leher Lulu.

   "Cring.. iiihhhhh..., Pedangmu bagus sekali, Tosu Codet. Wah, kau berikan saja pedangmu itu padaku dan aku serta kakakku akan mengampunimu. Hayo, serahkan pedangmu sebagai pengganti nyawamu. Lulu berteriak kaget dan mandang pedangnya yang tinggal sepotong. Ketika menangkis tadi, pedang rampasannya bertemu dengan pedang Kong Seng-cu yang bersinar kehijauan, dan sekali beradu pedang rampasannya buntung. Maka ia menjadi tertarik sekali dan wajah serta matanya berseri memandang pedang kehijauan yang dipegang Kong Seng-cu. Dapat dibayangkan betapa marah dan mendongkol hati Kong Seng-cu mendengar ucapan gadis itu. Sudah terang bahwa sekali serang saja, biarpun gadis itu berhasil menangkisnya, namun pedang gadis itu menjadi buntung sehingga hal ini dapat dipakai ukuran bahwa dia sudah menang dalam satu gebrakan.

   Namun gadis itu masih mengeluarkan ucapan untuk menukar pedangnya dengan nyawa. Seolah-olah gadis itu baru mau mengampuninya kalau dia sudah memberi "thiap" (sogokan) kepada gadis Mancu itu berupa pedangnya. Padahal pedangnya itu bukanlah sembarang pedang. ltulah pedang Cheng-kong-kiam (Pedang Sinar Hijau), sebuah pusaka Hoa-san-pai"

   Cheng-kong-kiam ini dahulu amat terkenal didunia kang-ouw sebagai senjata ampuh dari para pimpinan Hoa-san-pai dan kini berada di tangan Kong Seng-cu karena dia merupakan seorang diantara pemimpin Hoa-san-pai dan di antara ketiga orang tosu itu, dialah yang paling pandai dalam kiam-sut (ilmu pedang) Hoa-san-pai. Dan sekarang, pedang itu diminta oleh Lulu sebagai barang "sogokan". Sung-guh keterlaluan sekali"

   "Perempuan Mancu keparat, engkau tak patut dibiarkan hidup."

   Kong Seng-cu yang sudah memuncak kemarahannya itu kini menerjang maju dengan ganas, mengeluarkan jurus-jurus maut dari Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-sut.

   "Ayaaaaa.., Tosu Codet selain galak juga ganas sekali."

   Mulut Lulu berkata demikian, akan tetapi sesungguhnya dia tidak berpura-pura dan menjadi kaget sekali. Kasihan dara remaja ini. Biarpun dia telah mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dan aneh dari Pulau Es, akan tetapi dia kurang pengalaman dan selamanya dia hanya berlatih dalam pertandingan pura-pura melawan beruang es. Kini dia diserang oleh seorang tosu Hoa-san-pai tingkat empat yang memegang sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai pula, yang sudah menjadi ahli pedang sebelum dia terlahir. Tentu saja dia terkejut dan kewalahan. Baiknya, selama di Pulau Es, gadis ini telah berlatih secara aneh dan hebat sehingga dia memiliki sinkang dan ginkang yang tidak lumrah manusia biasa sehingga biarpun terdesak ia, selalu dapat bergerak cepat, menghindar diri dengan meloncat ke sana kemari, mengelak terus karena tidak berani menangkis dengan pedangnya yang tinggi sepotong.

   "Sing-sing-sing.. siuuuuutttt.. aihhh...."

   Untuk ke sekian kalinya,. hampir saja ujung pedang bersinar hijau itu mencium kulit leher Lulu yang putih halus sehingga gadis itu membelalakkan matanya dan untung ia masih dapat cepat sekali menarik tubuh ke belakang lalu meloncat keatas dan berjungkir-balik empat meter disebelah belakangnya. Namun Kong Seng-cu yang sudah marah dan penasaran itu menerjang terus tanpa mengenal kasihan. Kong Seng-cu tidak malu menyerang dengan pedangnya karena tadi Lulu juga memegang pedang, bahkan biarpun sekarang pedang gadis itu tinggal sepotong, namun masih terus dipegangnya sehingga gadis itu dapat dikatakan "bersenjata"

   Dan dia tidak akan disebut menyerang seorang yang bertangan kosong dengan senjatanya. Berbeda dengan Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu.

   Mereka berdua setelah menyaksikan betapa Kong Seng-cu sudah turun tangan terhadap gadis Mancu yang telah merobohkan para anak buah Pek-eng-piauwkiok, lalu melangkah maju menghampiri Han Han pula. Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat juga, maka mereka pun tidak malu-malu untuk turun tangan berdua, sungguhpun mereka masih merasa sungkan menggunakan senjata. Mereka percaya bahwa andaikata seorang diri masih diragukan untuk dapat menundukkan pemuda liar itu, berdua tentu akan dapat menawannya untuk diseret kedepan ketua Hoa-san-pai. Dengan demi-kian, barulah nama besar dan wibawa Hoa-san-pai tidak akan tercemar karena tewas dan robohnya beberapa orang anak murid Hoa-san-pai di tangan bocah ini.

   "Pemuda iblis, menyerahlah."

   Lok Seng-cu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah pundak Han Han. Pemuda ini sudah menjadi marah, apalagi melihat betapa Lulu diserang dengan pedang oleh Kong Seng-cu. Kini menghadapi cengkeraman tangan Lok Seng-cu, ia sama sekali tidak mengelak, bahkan menggerakkan tangan pula menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan lengan kiri.

   "Plakkkkk ....."

   "Ayaaaaa......"

   Tubuh Lok Seng-cu terpelanting dan hampir saja tosu ini roboh kalau saja dia tidak cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik, wajahnya pucat dan lengan kirinya agak membiru. Hawa dingin seperti es menusuk nusuk lengannya itu. Dia sudah mendengar akan kelihaian Ma-bin Lo-mo yang kabarnya memiliki ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Es) yang mengandung Im-kang yang amat kuat.

   Akan tetapi sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa murid datuk hitam itu rnemiliki sinkang sekuat ini. Cepat Lok Seng-cu menghimpun tenaga dalamnya dan segera rasa dingin rne-nusuk-nusuk itu lenyap kernbali. Melihat sutenya hampir roboh dalam segebrakan, Bhok Seng-cu terkejut bukan main dan cepat ia pun menubruk maju dari sebelah kanan pemuda itu dan mengirim dorongan dengan telapak tangan-nya ke arah dada Han Han. Dorongan ini .bukan sembarang dorongan, melainkan pukulan sakti yang dilakukan dengan pengerahan sinkang yang kuat sekali. Han-Han dapat merasai sambaran angin dahsyat yang panas, maka ia pun segera membuka tangan kanan dan memapaki telapak tangan kakek itu yang mendorong-nya.

   "Plak..."

   Dua telapak tangan yang mengandung hawa Yang-kang bertemudan melekat"

   Bhok Seng-cu kembali tertegun dan cepat-cepat mengerahkan sinkangnya untuk memperkuat Yang-kang yang mendorong keluar dari telapak tangannya. Pemuda ini menggunakan Yang-.kang yang amat panas. Hal ini benar-benar mengagetkan Bhok Seng-cu karena hawa panas yang menyambut telapak tangannya itu hampir tak tertahankan olehnya. Melihat betapa suhengnya telah turun tangan akan tetapi belum mampu merobohkan pemuda itu, Lok Seng-cu menjadi penasaran dan ia pun menerjang maju dan kini ia memukul dengan mengerahkan hawa Im-kang.

   Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi Hoa-san-pai, tiga orang tosu ini tentu saja telah kuat sekali sinkangnya sehingga mereka pun menguasai tenaga Yang-kang maupun Im-kang. Lok Seng-cu yang sudah merasai betapa pemuda itu tadi menerima cengkeramannya dengan tangkisan yang mengandung hawa sakti dingin, kini me-nyerang pula dengan Im-kang karena ia maklum pula melihat jurus yang dipergunakan suhengnya bahwa Bhok Seng-cu menyerang pemuda itu dengan Yang-kang dan bahwa pemuda itu menyambut dorongan suhengnya dengan hawa sakti panas pula. Kesempatan bagus pikirnya. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tangan kiri pemuda itu menerima telapak tangannya dengan sinkang yang berhawa dingin pula. Betapa mungkin ini? Dengan tangan kanannya pemuda itu melawan hawa panas Bhok Seng-cu dengan hawa panas pula,

   Dan dengan tangan kirinya menghadapi Lok Seng-cu dengan sinkang yang berlawanan, yaitu dengan hawa dingin. Lok Seng-cu juga merasa betapa hawa dingin yang keluar dari telapak. tangan pemuda itu amat luar biasa dan hampir ia tidak kuat menahannya. Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk melawan. Adapun Bhok Seng-cu yang sudah berkeringat dahinya karena hawa panas menjalari seluruh tubuhnya, juga mengerahkan tenaga dengan mata setengah dipejamkan untuk melawan sinkang pemuda itu yang benar-benar amat luarbiasa. Tiga orang ini, dengan telapak tangan beradu, hanya berdiri tak bergerak, telapak tangan mereka saling melekat. Melihat ini, Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menjadi bengong saking heran dan kagumnya. Han Han seorang diri mampu menahan pukulan-pukulan sakti kedua orang supek mereka.

   Mereka sudah menduga bahwa Han Han adalah seorang pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa, akan tetapi sungguh jauh melampaui batas dugaan mereka bahwa pemuda itu mampu menahan serangan hawa sakti kedua orang kakek itu, dan bahkan Han Han masih dapat menengok dan memperhatikan keadaan Lulu yang terdesak hebat oleh pedang Kong Seng cu yang lihai. Dua orang muda ini menjadi makin gelisah dan bingung. Melihat anak buah Pek-eng-piauwkiok terluka semua termasuk Tan-piauwsu dan tiga orang sutenya sehingga ruangan itu penuh dengan mereka yang rebah dan merintih-rintih, kini melihat betapa Lulu terancam maut di ujung pedang Kong Seng-cu, dan melihat Han han juga bergulat dengan maut, mereka menjadi bingung tak tahu harus berbuat apa.

   Betapapun juga, Han Han dan Lulu jelas merupakan musuh atau lawan pihak Ho-san-pai, sehingga menurut patut, sebagai murid-murid Hoa-san-pai pula, mereka semestinya membantu para supek mereka. Kalau mereka yang memiliki ilmu silat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan tiga orang tosu itu, bahkan dalam hal ilmu silat mungkin mereka lebih lihai, pada saat itu turun tangan membantu, tentu Han Han dan lulu takkan dapat bertahan lebih lama lagi. Namun hati mereka tidak mengijin kan mereka turun tangan dan karena itu,mereka hanya memandang dengan muka pucat. Apalagi Sin Kiat yang jatuh cinta kepada lulu, menjadi bingung sekali hatinya ingin sekali membantu lulu membebaskan gadis itu dari desakan berbahaya pedang Kong Seng-cu, namun bagaimana mungkin ia melawan supeknya sendiri?

   Sementara itu, Han Han memandang ke arah adiknya dengan hati penuh kekhawatiran. Ia maklum bahwa menghadapi ilmu pedang tosu itu, adiknya takkan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi. Jangankan lulu, dia sendiri pun kalau harus bertanding mempergunakan atau mengandalkan ilmu silat, bukanlah tandingan tosu-tosu Hoa-san-pai ini. Han Han maklum bahwa menghadapi mereka, ia hanya dapat mengandalkan kekuatan sinkangnya, karena dalam hal ilmu silat, dia tidak lebih pandai daripada Lulu kalau tidak mau dikatakan bahkan lebih rendah lagi karena Lulu telah mempelajari ilmu silat dari kitab peninggalan pemilik Pulau Es. Untuk menolong adiknya, ia harus cepat menundukkan dua orang kakek ini.

   "Aiiiggghhhhh...."

   Seruan dahsyat ini keluar dari dada Han Han dan kedua orang tosu yang mempertahankan desakan sinkangnya menjadi kaget seperti disambar petir ketika tiba-tiba mereka merasakan perubahan pada kedua lengan pemuda itu. Bhok Seng-cu yang tadinya menghadapi hawa Yang-kang panas dari tangan Han Han, tiba-tiba merasa betapa telapak tangan pemuda itu berubah menjadi dingin sekali, terlalu dingin sehingga seluruh lengannya seperti ditusuk-tusuk jarum. Di lain pihak, Lok Seng-cu yang tadinya menghadapi Im-kang dingin, tiba-tiba merasa betapa tangan pemuda itu berubah menjadi panas luar biasa. Cepat kedua orang tosu itu pun mengubah sin-kang mereka untuk menyesuaikan diri, akan tetapi kembali Han Han menukar sinkangnya secara tiba-tiba. Dua orangtosu itu hampir tidak dapat percaya ke pada perasaan tangannya sendiri. Selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan hal seperti ini.

   Betapa mungkin mengubah-ubah sinkang secara mendadak seperti itu? Karena perubahan-perubahan ini, mereka menjadi kacau dan tak kuat bertahan lagi, sehingga ketika Han Han mengerahkan tenaga mendorong tubuh mereka mencelat ke belakang dan mereka roboh terbanting dengan napas megap-megap hampir putus karena dada mereka terluka oleh sinkang mereka yang.membalik secara tiba-tiba. Cepat mereka bersila dan memejamkan mata untuk menolong nyawa mereka yang terancam maut. Han Han sudah meloncat ke dekat adiknya dan sekali kedua tangannya mendorong ke depan, Kong Seng-cu tak dapat bertahan. Tosu ini merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi dingin, seolah-olah darah di tubuhnya membeku. Ia menggigil dan tanpa dapat ia cegah lagi, pedang pusaka Cheng-kong-kiam terlepas dari tangannya yang menjadi kaku.

   Lulu cepat menyambar pedang itu dan tertawa tawa girang sekali, tidak mempedulikan lagi Kong Seng-cu yang sudah cepat duduk bersila, seperti kedua orang saudara seperguruannya, mengerahkan tenaga sakti untuk menolong nyawanya yang terancam maut. Suasana menjadi sunyi, yang terdengar hanya rintihan beberapa orang anak buah Pek-eng-piauwkiok yang tak dapat menahan nyeri. Namun, tak seorang pun tewas dalam pertempuran aneh yang hanya memakan waktu sebentar saja itu. Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li terlampau terheran-heran sehingga mereka itu masih bengong. Han Han menggandeng tangan Lulu yang masih mengagumi pedang rampasannya, kemudian Han Han menoleh kepada dua orang murid Im-yang Seng-cu sambil berkata.

   "Sin Kiat dan Adik Soan Li, selamat tinggal. Kami berdua harus pergi sekarang juga"

   Lulu juga menoleh kepada dua orang muda itu, tersenyum manis dan mengedipkan matanya yang lebar kepada Sin Kiat sambil berkata,

   "Selamat berpisah dan sampai jumpa lagi, ya?"

   Hati Sin Kiat terasa sakit dan ia bersedih harus berpisah dari gadis yang telah merampas hatinya itu, akan tetapi pada saat seperti itu dia tidak dapat berkata apa-apa, apalagi menahannya, bahkan ia maklum. bahwa paling baik kedua orang itu cepat pergi dari tempat itu. Juga Soan Li hanya dapat memandang punggung Han Han yang bidang sampai bayangan kedua orang itu lenyap dari situ, keluar dari piauwkiok melalui pintu gerbang yang sudah tidak terjaga lagi. Sin Kiat memandang ke arah tiga orang supeknya yang masih duduk bersila dengan wajah pucat akan tetapi napas mereka tidak begitu sesak lagi, kemudian memandang kepada para suhengnya yang terluka. Hatinya berduka sekali. la segera menghampiri Bhok Seng-cu dan berkata dengan suara terharu.

   "Supek, sungguh teecu merasa menyesal sekali telah terjadi malapetaka ini."

   "Teecu mohon maaf tidak dapat membantu Supek,"

   Kata pula Soan Li.

   "Dia terlalu hebat, seperti dewa....andaikata teecu berdua melawan pun tidak akan ada gunanya..."

   Kata pula Sin Kiat, masih kagum bukan main menyaksikan sepak terjang Han Han tadi. Bhok Seng-cu membuka matanya memandang kepada Sin Kiat dan Soan Li. Dua orang muda ini terkejut dan otomatis melangkah mundur melihat betapa sinar mata Bhok Seng-cu penuh dengan api kemarahan.

   "Manusia-manusia khianat! Murid-murid murtad, Pergilah. Mulai detik ini kalian bukanlah murid, melainkan musuh Hoa-san-pai."

   "Supek.."

   "Pinto bukan Supek kalian, keparat, pergi."

   Bentak pula Bhok Seng-cu. Sin Kiat dan Soan Li saling pandang Di mata gadis itu tampak dua butir air mata yang ditahannya agar tidak runtuh Sin Kiat menghela napas panjang, bangkit berdiri karena tadi mereka berlutut, lalu berkata lirih kepada Soan lie.

   "Marilah kita pergi, Sumoi. Kelak Suhu tentu akan dapat mengerti keadaan kita..."

   Soan li juga bangkit berdiri dan pergilah kedua orang muda itu meninggalkan rumah piauwkiok itu pergi dengan hati perih karena sebagai tokoh-tokoh muda Hoa-san-pai yang sudah membuat nama besar dan mengharumkan nama Hoa-san-pai, kini mereka diusir pergi dan tidak diaku sebagai murid. Padahal julukan mereka pun memakai nama Hoa-san.

   Siauw-lim-pai merupakan perkumpulan atau partai silat yang bukan saja paling tua. Banyak orang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai merupakan sumber dari semua partai persilatan yang kemudian timbul, dan sudah tentu saja ilmu silat yang keluar itu bercampur baur dengan gerakan-gerakan dari lain golongan dan suku bangsa sehingga ratusan tahun kemudian, ilmu silat dari partai lain sudah tak dapat dibedakan lagi dengan sumbernya. Tentu saja amat berbeda dalam lagak ragam dan kembangannya saja karena kalau dilihat lebih mendalam pada dasarnya memang tiada perbedaan dalam ilmu silat yang hanya terdiri dari dua pokok, yaitu menjaga diri serapat mungkin dan menyerang lawan setepat mungkin.Semenjak pertama kali didirikan oleh tokoh besar dalam dunia persilatan maupun Agama Buddha, yaitu Tat Mo Couw-su,

   Siauw-lim-pai selalu berada di bawah bimbingan para hwesio sehingga di mana-mana didirikan kuil Siauw-lim atau Siauw-lim-si. Sesuai dengan alam fikiran manusia yang selalu berubah ubah, di dalam Siauw-lim-pai sering kali terjadi perubahan yang tentu saja ditentukan oleh pimpinan setempat dan terdorong oleh keadaan pula. Perubahan peraturan yang kadang-kadang amat menyolok. Pernah terdapat peraturan dalam kuil Siauw-lim-si yang mengeluarkan pantangan bagi seluruh murid untuk berdekatan dengan wanita"

   Bahkan ada larangan keras bagi tamu-tamu wanita yang datang bersembahyang ke kuil untuk melangkah melewati pintu tengah yang sudah dijadikan garis demarkasi. Mungkin peraturan ini dikeiuarkan untuk memperkuat batin para murid yang sedang digembleng agar jangan sampai ternoda oleh nafsu berahi karena sesungguhnya, t

   Terutama bagi mereka yang sedang melatih sinkang, hubungan dengan wanita merupakan pantangan dan penghalang besar sekali bagi penghimpunan tenaga murni. Akan tetapi, peraturan yang kelihatan seolah-olah "anti wanita"

   Ini pun tidak dapat dipertahankan dan kembali terjadi perubahan di mana para tokoh Siauw-lim-pai ada yang mulai menerima murid-murid wanita. Hal ini terutama sekali terjadi atas kesadaran para tokoh Siauw-lim-pai bahwa dalam keadaan negara kacau, pihak wanitalah yang sering kali mengalami penghinaan dan kekejian-kekejian karena pihak wanita termasuk golongan lemah. Maka,dalam keadaan negara kacau dan kejahatan merajalela, perlu sekali wanita diharuskan menjadi nikouw (pendeta), sekarang murid murid itu, baik pria maupun wanita tidak diharuskan mencukur rambut menjadi pendeta,

   Akan tetapi tentu saja mereka ini sekaligus menjadi pula murid murid agama Budha. Hal ini adalah penyebarluasan agama mereka melalui perguruan silat. Demikianlah, peraturan bebas kewajiban menjadi pendeta ini sudah berjalan seratus tahun lebih, jauh sebelum bangsa Mancu menyerbu pedalaman dan menjajah dengan mendirikan Kerajaan Ceng sehingga di dalam Siaw-lim-pai terdapat tokoh-tokoh bukan pendeta seperti Kang-lam Sang-eng, dan bahkan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai sendiri, murid-murid langsung dari ketua Siauw-lim-pai, yaitu Siauw-lim Chit-kiam, terdiri dari hanya dua orang hwesio dan lima orang bukan hwesio. Pada masa itu, anak murid Si-auw-lim-pai tersebar luas di kalangan rakyat jelata, ada yang menjadi petani,nelayan, piauwsu, kauwsu (guru silat) dan banyak pula yang menjadi pendekar-pendekar perantau.

   Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah guru Siauw-lim Chit-kiam berjuluk Ceng San Hwesio. Hwesio ini usianya kurang lebih delapan puluh tahun, bertubuh tegap agak kurus, berwajah keren dan penuh wibawa. Seperi halnya Hoa-san-pai dan banyak perkumpulan silat lainnya, diam-diam Siauw-lim-pai juga menentang bangsa Mancu yang datang menjajah. Sunguhpun tidak secara terang-terangan, namun banyak para pendekar Siauw-lim-pai membantu perjuangan para patriot yang berusaha menentang dan mengusir penjajah yang.makin lama makin kuat itu. Apalagi karena Ceng San Hwesio sendiri adalah seorang yang anti penjajahan, sehingga sejak penjajahan Mancu, lenyaplah sebagian besar kesabarannya sebagai seorang hwesio dan semangat patriotnya timbul, mengeraskan hatinya dan mengeraskan wajahnya.

   Di dalam setiap pertemuan dengan murid-muridnya, dia selalu memberi wejangan agar para anak murid Siauw-lim-pai melakukan segala usaha untuk menentang bangsa Mancu kalau perlu dengan taruhan nyawa. Sebagai ketua Siauw-lim-pai, tentu saja Ceng San Hwesio memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Dia seorang ahli lweekeh yang sudah matang sehingga benda apa pun juga yang berada di tangannya dapat menjadi senjata yang ampuh. Akan tetapi Ceng San Hwesio tidak pernah mempergunakan senjata, tidak mau mempergunakan tongkat hwesio sebagai senjata seperti kebiasaan para ketua lainnya, melainkan lebih suka mengandalkan tasbih putih yang terbuat dari pada biji jagung jali yang besar-besar. Seperti telah disinggung; di bagian de beberapa kali telah terjadi bentrokan-bentrokan antara anak murid Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai.

   Akan tetapi bentrokan-bentrokan ini hanya terjadi karena urusan pribadi dan berkat kebijaksanaan para pimpinan kedua pihak, bentrokan antara kedua partai yang sama-sama menjadi pembantu-pembantu para pejuang itu dapat diredakan, bahkan diantara para pimpinan telah menghukum murid masing-masing dan saling minta maaf sehingga urusan dianggap telah selesai. Ceng San Hwesio yang memegang keras peraturan, berdisiplin terhadap murid-muridnya, selain memberi hukuman kepada murid-murid yang menimbulkan.bentrokan juga mengeluarkan ancaman bahwa siapa yang membuat gara-gara keributan dan menimbulkan bentrokan baru dengan pihak Hoa-san-pai, akan dihukum berat. Akan tetapi, beberapa hari kemudian ketika hwesio penjaga pintu membuka pintu gerbang Siauw-lim-si dan siap untuk menyapu pekarangan,

   Dia melihat tubuh tiga orang menggeletak di depan pintu. Ketika diperiksa, hwesio ini kaget sekali mendapat kenyataan bahwa mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang membuka toko obat di kota Seng-kwan. Segera ia berseru minta tolong dan beberapa orang hwesio mengangkat tiga batang tubuh itu ke dalam. Dua di antaranya sudah tewas, sedangkan seorang diantara mereka masih hidup akan tetapi sudah empis-empis napasnya dan keadaannya payah sekali. Kebetulan sekali pada waktu itu, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam berada di kuil itu. Mereka ini adalah Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam. Ketika mendengar ribut-ribut, dua orang pendekar pedang Siauw-jim yang sedang menghadap suhu mereka, segera keluar untuk melihat mewakili Ceng San Hwesio.

   Mereka berdua kaget sekali dan cepat memeriksa. Tiga orang anak murid Siauw-lim-pai itu terluka oleh pedang yang menggorok leher mereka. Yang dua orang hampir putus lehernya dan telah mati, sedangkan yang masih hidup terluka parah, tak dapat diharapkan lagi dapat tertolong. Liong Ki Tek yang bersikap tenang, cepat menotok beberapa jalan darah dipundak clan punggung orang yang terluka hebat itu sehingga rasa nyeri tidaklah terlalu hebat lagi. Begitu rasa nyeri mereda, orang yang sekarat itu mengeluarkan suara yang tidak jelas, berbisik dan seperti mengorok tertahan di kerongkongannya. Akan tetapi Liong Ki Tek dan Liok Si Bhok sudah dapat mendenga rapa yang dimaksudkan anak murid yang sekarat itu.

   "....Hoa-san-pai...Tee-kong-bio..."

   Setelah mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas itu, anak murid Siauw-lim-pai itu pun menghembuskan napas terakhir menyusul kedua orang saudaranya yang tewas lebih dulu. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek lalu menghadap guru mereka untuk merundingkan peristiwa menyedihkan itu. Ceng San Hwesio yang biasanya bersikap tenang saat itu menjadi merah mukanya dan jelas sekali bahwa hwesio tua ini diserang nafsu kemarahan yang besar.

   "Kalian pergilah, carilah mereka di Tee-kong-bio, akan tetapi jangan bunuh tangkap mereka dan seret ke sini. Pinceng menghendaki agar dia menjadi tawanan kita sehingga ada pimpinan Hoa-san-pai yang datang untuk mendengarkan kekejaman-kekejaman anak murid mereka. Sungguh keji sekali."

   Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek segera berangkat meninggalkan kuil Siauw lim-si untuk mencari Tee-kong-bio (Kuil Dewa Bumi) yang terletak di luar dusun Ciu-si-bun. Kuil ini sebenarnya hanyalah bekas kuil, karena sudah tidak dipakai lagi tidak dipergunakan sebagai kuil. Letaknya pun di luar kota, di pinggir jalan sebuah hutan dan karena tidak ada yang merawatnya, maka menjadi kotor dan rusak.

   Akan tetapi, perlengkapan kuil itu masih ada, seperti meja-meja sembahyang yang reyot, arca-arca dan ukiran-ukiran di dinding yang sudah berlumut.Tidak ada yang berani mengambil benda-benda di situ atau mengganggunya karena menurut desas-desus di dusun-dusun sekeliling tempat itu, Tee-kong-bio sekarang dihuni oleh mahluk-mahluk halus atau iblis-iblis sehingga tempat itu menjadi angker. Karena keadaan kuil yang dianggap angker inilah maka ketika Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek keluar dari dusun Ciu-si-bun menuju ke kuil itu, keadaan disekeliling tempat itu sunyi seperti kuburan. Waktu itu sudah menjelang senja, dan sungguhpun cuaca belum gelap, namun tidak ada penduduk dusun yang berani berada di daerah angker ini. Kesunyian itu amat terasa oleh dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini dan mereka berjalan terus dengan tenang dan penuh kewaspadaan.

   "Liong-sute, aku masih ragu-ragu akan kebenaran ucapan murid yang sudah dalam sekarat itu. Mereka adalah pedagang pedagang obat di kota, bagaimanama mereka bisa menyebut nama Hoa-san-pai di Tee-kong-bio?"

   "Entahlah, Liok-suheng. Aku sendiripun ragu-ragu. Akan tetapi, agaknya tidak sembarangan dia mengatakan itu tentu ada hubungannya. Aku yakin terdapat rahasia dalam peristiwa itu dan rahasianya terletak di kuil depan itu."

   Liok Si Bhok yang sudah berusia enampuluh tahun lebih itu mengangguk-angguk. Dia merupakan tokoh ke enam dari Siauw-lim Chit-kiam, seorang yang bertubuh pendek gemuk namun tubuhnya itu dapat bergerak dengan gesit sekali,

   Wajahnya bundar dan selalu kelihatan serius, namun mulutnya hampir tersenyum selalu menandakan bahwa dalam keseriusannya itu sebetulnya dia adalah seorang yang peramah. Adapun Liong Ki Tek, orang ketujuh atau yang termuda dari Siauw-lim Chit-kiam, usianya kurang lebih limapuluh lima tahun, berbeda dengan suheng ke enam itu, tubuhnya tinggi kurus sehingga tinggi suhengnya hanya sampai dipundaknya. Sikap orang termuda. Dari Tujuh Pedang Siauw-lim-pai ini amat tenang sehingga kelihatan lamban, akan tetapi biji matanya yang bergerak-gerak terus itu menandakan bahwa biarpun tenang ia sarna sekali tidak lamban melainkan terus waspada dan setiap urat syaraf di tubuhnya sudah siap. Ketika kedua orang tokoh Siauw-lim-paj ini memasuki pekarangan kuil Tee-kong-bio yang sunyi, tiba-tiba mereka mendengar kepak sayap burung. Dengan kaget mereka mengangkat muka memandang.

   Kiranya ada tiga ekor burung gagak terbang dari atas genteng kuil itu, agaknya terkejut oleh kedatangan mereka. Melihat ini, kedua orang itu saling pandang dan menjadi agak kecewa. Terbangnya tiga ekor burung itu dapat diartikan bahwa di kuil itu tidak ada orangnya tentu burung yang ketakutan melihat mereka datang itu tidak akan berani tinggal di situ. Akan tetapi mereka melangkah maju terus, melewati pekarangan yang lebar dan yang tertutup rumput agak tinggi itu, sampai di anak tangga yang cukup tinggi, ada dua puluh anak tangga banyaknya sehingga ruangan depan kuil itu tingginya hampir dua meter dari tanah dipekarangan. Biarpun mulut kedua orang kakek ini tidak mengeluarkan suara, namun keduanya seperti te"ah bersepakat dan melangkahlah mereka menaiki anak tangga dengan langkah ringan dan sikap tenang.

   Begitu mereka melangkahi anak tangga terakhir dan tiba di ruangan depan, terdengar suara bercicit keras daan keduanya siap untuk menghadapi serangan senjata rahasia ketika pandang mata mereka yang tajam dapat menangkap meluncurnya dua buah Benda hitam dari sebelah dalam kuil. Akan tetapi sebelum benda itu menyerang mereka, benda benda itu menyambar ke atas dan mengeluarkan bunyi bercicit, dan ternyata dua buah benda hitam itu adalah dua ekor kelelawar besar. Li-ok Si Bhok dan Liong Ki Tek saling pandang, tersenyum dan menghela napas panjang. Mereka tadi sudah merasa agak tegang, dan kini ternyata mereka kecelik. Bahkan keluarnya dua ekor kelelawar dari sebelah dalam kuil ini lebih meyakinkan dugaan mereka bahwa kuil itu kosong karena kalau memang ada orangnya, tentu dua ekor kelelawar itu sudah sejak tadi terbang pergi, tidak menanti kedatangan mereka yang mengejutkan binatang itu.

   "Ah.. Chit-te (Adik ke Tujuh), tempat ini tidak ada orangnya...."

   Kata Liok Si Bhok, kecewa.

   "Sebaiknya kita menyelidiki keadaan di dalam Liok-heng (Kakak ke Enam),"

   Jawab Liong Ki Tek. Karena hubungan diantara Siauw-lim Chit-kiam amat erat sehingga mereka itu bukan hanya merupakan kakak beradik seperguruan melainkan merasa seperti kakak beradik sekandung kadan-kadang mereka menyebut kakak dan adik.

   Mereka maju terus akan tetapi karena hati mereka merasa makin yakin bahwa kuil itu kosong, mereka tidaklah menjadi tegang lagi, bahkan ada sebagian atapnya yang runtuh. Arca-arca yang tidak terawat di situ bahkan kelihatan makin menyeramkan. Mereka melangkah maju terus, meneliti setiap ruangan yang mereka lalui. Tiba-tiba keduanya menghentikan langkah karena pada saat yang sama kedua orang gagah perkasa ini mencium bau yang amat harum. Bau minyak harum yang biasa dipakai wanita. Mereka mengerutkan kening. Seperti para suheng mereka, baik yang menjadi hwesio seperti Lui Kong Hwesio dan Lui Pek Hwesio orang ke dua dan ke lima dari Siauw-lim Chit-kiam, kedua orang ini.

   Pun merupakan murid-murid angkatan lama sehingga mereka pemah mengalami pelajaran pantangan mendekati wanita. Bahkan mereka itu, seperti suheng-suheng mereka, tidak pernah kawin. Maka, begitu mencium bau harum minyak wangi yang menandakan bahwa di situ ada wanitanya, mereka mengerutkan kening. Bukan hanya karena mereka segan berurusan dengan wanita, melainkan juga mereka terkejut menghadapi kenyataan ini. Kalau di situ ada orangnya, apalagi wanita, hal ini berarti bahwa wanita atau siapa adanya orang yang memakai wangi-wangian itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Sedemikian halus dan ringan tentu gerakan-gerakannya sehingga kelelawar dan burung gagak yang berada di kuil itu sampai tidak tahu dan tidak menjadi kaget.

   "Sahabat-sahabat Hoa-san-pai, silakan keluar. Kami dua orang utusan Siauw-lim-pai ingin bertemu dan bicara."

   Liok Si Bhok berseru sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya bergema diseluruh kuil, bahkan menggetarkan sarang laba-laba yang banyak terdapat di sudut-sudut ruangan itu. Mereka berdiri ditengah-tengah sebuah ruangan lebar dimana terdapat empat buah pintu, menjurus ke empat penjuru. Daun-daun pintunya tertutup, hanya sebuah yang menuju keluar terbuka karena mereka yang membukanya tadi ketika masuk dari luar.

   Hati mereka makin yakin bahwa kuil ini ada penghuninya ketika melihat bahwa berbeda dengan ruangan-ruangan lain dibagian depan, ruangan yang paling lebar dan berada di bagian belakang kuil ini lantainya bersih seolaholah sering disapu Gema suara Liok Si Bhok mengaung menyeramkan, kemudian sunyi kembali. Selagi dua orang tokoh Siauw-lim-pai jtu meragu apakah benar-benar ada penghuninya kuil itu, terdengar suara tertawa merdu, suara ketawa wanita yang halus dan bernada genit, seperti suara ketawa kuntilanak yang menyeramkan. Biarpun dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan tidak pernah mengenal takut, namun suasana di kuil itu dan suara ketawa ini membuat bulu tengkuk mereka meremang. Namun mereka dapa segera menindas perasaan ngeri ini dan Liong Ki Tek lalu membentak.

   "Manusia atau siluman, kami orang keenam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam tidak merasa takut."

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hi-hi-hi-hik, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek mengantar kematiannya, masih bermulut besar."

   Perlahan-lahan tiga buah daun pintu terbuka dari luar dan masuklah tiga orang dari tiga buah pintu itu. Dari pintu belakang masuk seorang wanita yang usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih, akan tetapi masih kelihatan cantik sekali, berpakaian mewah dan bersikap genit, terutama sekali matanya yang penuh dengan sinar nafsu berahi. Akan tetapi yang. amat mengerikan adalah kedua buah tangannya. Tangan yang kecil berjari runcing halus bagus sekali, hanya warnanya merah seolah-olah kedua tangan itu berlumur darah. Dari pintu kiri muncul seorang kakek yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam seperti dipulas arang, usianya mendekati enam puluh tahun namun masih jelas tampak bahwa dia kuat sekali dan bertenaga besar. Kesombongan bersinar dari sepasang matanya yang bulat dan lebar.

   Adapun dari pintu kanan muncul seorang kakek yang usianya sebaya akan tetapi dalam segala hal merupakan lawan merupakan lawan kakek muka hitam karena kakek ini tubuhnya pendek kecil mukanya putih seperti dibedaki, keliahatannya lemah tak bertenaga dan pandang matanya seperti orang mengatuk, matanya sipit. Liok Si Bhok dan Liok Ki Tek adalah orang-orang yang sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, bahkan sudah mengenal tokoh-tokoh besar. Maka begitu melihat tiga, orang ini, jantung mereka berdebar keras karena mereka mengenal mereka itu sebagai tokoh-tokoh sakti dari golongan sesat. Wanita cantik genit itu bukan lain adalah Ma Su Nio yang terkenal dengan julukan Hiat-ciang Sian-Ii (Dewi Bertangan Darah), seorang tokoh sakti yang cabul genit dan kejamnya seperti iblis betina.

   Adapun kakek bermuka hitam yang tinggi besar itu adalah Hek-giam-ong (Raja Maut Hitam), sedangkan kakek bermuka putih adalah Pek-giam-ong (Raja Maut Putih). Mereka berdua adalah kakak beradik.dan terkenaldengan sebutan Hek-pek Giam-ong yang selalu muncul berdua dan setiap kali turun tangan tentu berdua sehingga merupakan lawan yang amat tangguh. Tiga orang ini adalah murid-murid dan juga pembantu-pembantu Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam atau kaum sesat. Akan tetapi, dari tiga orang yang muncul ini tidak ada tercium bau harum tadi. Memang Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio ada juga membawa bau wangi, akan tetapi berbeda dengan keharuman tadi,

   Bahkan di antara bau wangi, yang datang dari tubuh Dewi Tangan Darah ini tercium bau amis darah. Adapun Hek-pek Giam-ong sama sekali tidak membawa bau harum, kalau ada membawa bau, paling-paling juga bau apek karena pakaian berkeringat yang tak pernah dicuci. Setelah kini semua pintu yang menembus ruangan itu terbuka, bau harum itu makin keras dan ternyata datangnya dari atas. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek cepat memandang ke atas dan..jauh di atas balok melintang tampak duduk dua orang muda, seorang gadis cantik dan yang seorang lagi pemuda yang tampan. Gadis itu cantik sekali, tubuhnya ramping padat hidungnya mancung dagunya runcing dan sepasang mataya seperti mata burung hong jantan. Rambutnya yang hitam panjang itu hanya diikat dengan
(Lanjut ke Jilid 15)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15
sutera di belakang tengkuk, dibiarkan melambai ke punggung.

   Kepalanya ditutup atau lebih pantas dihias sebuah topi buIu putih yang kecil, dengan sebatang buIu burung menjadi penghias.Kedua telinganya digantungi sepasang anting-anting emas dan kedua lengannya bergelang emas pula. Gadis yang usianya sukar ditaksir, kurang lebih dua puluhtahun ini, tersenyum-senyum dan agaknya bau wangi yang sedap harum itu keluar dari tubuh dan pakaiannya. Di sebelah kirinya duduk pula di atas balok itu, seperti si gadis, dengan kedua kaki ongkang-ongkang, seorang pemuda tampan dan gagah, Usianya sebaya dengan gadis itu. Pemuda ini tubuhnya tinggi tegap wajahnya ganteng dan pakaiannya amat indah, dari sutera disulam menyaingi keindahan pakaian gadis itu. Wajahnya yang tampan itu terawat baik, berklulit putih halus dan rambut nya pun tersisir rapi dan halus kelimis.

   Sayang bahwa wajah yang tampan itu memiliki hidung yang agak besar terlalu besar dan melengkung, dengan sepasang mata yang mengandung sinar tajam, bengis dan kejam. Dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal dua orang muda itu, akan tetapi kenyataan bahwa mereka itu dapat berada di situ sejak tadi tanpa mereka ketahui bahkan tanpa diketahui kelelawar dan burung yang hanya terbang setelah mereka berdua datang, membuktikan bahwa dua orang muda itu bukanlah orang sembarangan. Akan tetapi karena tidak tahu siapa adanya kedua orang muda itu, dan tidak tahu pula apa hubungannya mereka dengan tiga orang murid Kang-thouw-kwi ini, dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu hanya menggunakan seluruh perhatian untuk menghadapi Hek-pek Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-Ii.

   "Hemmm, kirananya Hiat-cian Sian-Ii dan Hek-pek Giam-ong yang berada didalam kuil ini. Sungguh tidak kami sangka. Akan tetapi karena ternyata Sam wi yang berada di sini, kiranya Sam-wi dapat memberi keterangan kepada kami tentang tiga orang anak murid Siauw-lim-pai yang terluka parah.."

   Tiga orang murid Setan Botak itu kelihatan terkejut clan mereka memandang ke atas dengan sikap tenang.

   "Kongcu (Tuan Muda), bagaimana mereka ini bisa tahu...?"

   Kata Hiat-ciang Sian-lie

   "Hemmm, agaknya Suheng bekerja kurang sempurna sehingga di antara mereka ada yang belum mampus dan membuka rahasia.."

   Pemuda tampan itu mencela.

   Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek adalah tokoh-tokoh yang sudah banyak pengalaman. Begitu mendengar percakapan ini, mengertilah mereka akan duduk perkara. Kiranya murid-murid Setan Botak yang memang menjadi kaki tangan pemerintah penjajah Mancu yang telah membunuh tiga orang murid Siauw-lim-pai dan agaknya mereka itu menyamar sebagai orang-orang Hoa-san-pai untuk menjalankan siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Hanya mereka merasa heran mendengar betapa pemuda itu menyebut suheng kepada murid-murid Setan Botak yang menjadi tanda bahwa pemuda itu murid Setan Botak pula, akan tetapi mengapa Hek-pek Giam-ong dan juga Hiat-ciang Sian-Ii menyebutnya kongcu? Siapakah pemuda itu yang melihat sikapnya dan mendengar ucapannya seolah-olah yang menjadi pemimpin di antara mereka?

   "Bagus sekali."

   Liong Ki Tek sudah membentak marah.

   "Kiranya kalian ini orang-orang sesat yang membunuh anak murid kami kemudian menyamar sebagai orang Hoa-san-pai untuk mengadu domba."

   Sambil membentak demikian, Liong Ki Tek sudah mencabut pedangnya, berbareng dengan suhengnya. Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, akan tetapi lidahnya asing sehing ga bahasa yang diucapkannya terdengar lucu,

   "Lebih baik lagi begini, Sudah kukatan bahwa memancing ikan besar harus menggunakan umpan besar pula. Tiga orang itu hanya merupakan ikan teri, kurang besar untuk dijadikan umpan. Kalau kita menggunakan yang besar ini sebagai umpan, pasti berhasil. Siauw-lim-pai sukar dipancing, hendak kulihat nanti kalau mereka melihat mayat dua orang ini. Ouwyang-twako, jangan khawatir, rencana kita sekali ini pasti berhasil. Eh, kalian bertiga tidak lekas turun tangan, hendak menunggu apa lagi?"

   Berbareng dengan teriakan-teriakan mereka, tiga orang murid Setan Botak itu maju menyerbu. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek memutar pedang melindungi diri, dan di dalam hati mereka timbul pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka menjadi heran terhadap gadis itu. Jelas bagi mereka bahwa gadis itu adalah seorang gadis Mancu yang agaknya malah lebih berpengaruh dari pada si pemuda she Ouwyang itu, terbukti dari ucapannya yang nadanya seperti orang bicara kepada bawahannya. Akan tetapi, dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini tidak dapat memecah perhatian mereka karena tiga orang lawan mereka sudah mengirim pukulan-pukulan maut yang amat berbahaya. Mereka itu adalah murid-murid pilihan dari Kang-thouw-kwi Gak Liat. yang terkenal sebagai seorang ahli Yang-kang.

   Tidak mengherankan apabila kedua orang kakek Hek-pek Giam-ong itu amat lihai, karena keduanya mempunyai ilmu pukulan berdasarkan Yang-kang disebut Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dan setiap kali mereka mengirim pukulan, tangan mereka didahului menyambarnya hawa yang amat panas melebihi panasnya api. Mereka berdua inilah yang telah membunuh tiga orang anak murid Siauw-lim-pai dan karena mereka itu hendak menimbulkan kesan seolah-olah orang-orang Hoa-san-pai yang biasa menggunakan pedang, mereka tidak menggunakan pukuIan Toat-beng Hwi-ciang mereka ketika membunuh tiga orang anak murid Siauw-lim-pai itu, melainkan dengan sebatang pedang. Akan tetapi, lebih hebat lagi daripada dua orang Raja Maut itu adalah serangan yang keluar dari sepasang tangan merah Ma Su Nio. Hawa pukulan wanita.

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 5 Istana Pulau Es Eps 16 Kisah Pendekar Bongkok Eps 21

Cari Blog Ini