Pendekar Super Sakti 24
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
Im-yang Seng-cu, setua ini engkau mudah tertipu seorang bocah."
Akan tetapi kakek itu tidak mempedulikan ejekan Toat-beng Ciu-sian-li, dan sambil menatap tajam wajah Han Han, ia bertanya lagi,
"Siapakah nama Jai-hwa-sian yang kau sebut Kong-kongmu itu?"
"Namanya Sie Hoat."
"Hi-hi-hi, heh-heh. Kebohongan yang dipaksakan, sungguh menggelikan."
Kembali nenek itu mengejek, lalu menenggak arak dari gucinya.
"Dan siapa nama Ayahmu?"
Im-yang Seng-cu bertanya lagi. Han Han mengerutkan keningnya. Ia merasa seolah-olah seorang pesakitan yang diperiksa untuk kemudian dijatuhi hukuman, dan seolah-olah ia hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri. Biarpun Jai-hwa-sian itu kakeknya seperti yang diceritakan Sie Leng kepadanya, namun ia tidak suka kepada kakeknya yang amat jahat itu. Dia tidak sudi mencoba untuk menolong nyawanya dengan menggunakan nama kakeknya.
"Dengarlah, locianpwe dan juga engkau, Toat-beng Ciu-sian-li. Jangan sekali-kali mengira bahwa aku hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri dengan mengaku sebagai cucunya. Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya yang juga belum lama aku dengar dari Enciku. Ayahku bernama Sie Bun An yang dulu tinggal di kota Kam-chi dan menurut Enciku, Kakekku bernama Sie Hoat berjuluk Jai-hwa-sian. Dan biarpun dia itu Kakekku, aku tidak sudi menyelamatkan diri dengan berlindung di belakang namanya."
Im-yang Seng-cu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, diam-diam ia kagum sekali melihat sikap dan mendengar ucapan Han Han. Teringatlah ia akan sahabatnya itu dan ia menarik napas panjang.
"Tak salah lagi.... tak salah lagi, ia mewarisi kenekatan dan keganasan Keluarga Suma.... akan tetapi mewarisi kekerasan hati dan kegagahan Keluarga Kam...., Sian-li, terpaksa aku menentang kalau engkau hendak membunuh mereka."
Toat-beng Ciu-sian-li mendengus.
"Hemmm, Im-yang Seng-cu, engkau tidak tahu diri"
Andaikata benar Han Han ini cucu Jai-hwa-sian dan ada alasanmu melindunginya, akan tetapi Kim Cu adalah muridku dan kalau aku hendak membunuhnya sebagai muridku sendiri, setan manakah yang berhak mencampuri?"
"Bukan setan, melainkan akulah yang akan menentangmu, Ciu-sian-li."
Tiba-tiba Han Han berkata.
"Engkau tidak boleh membunuh Kim Cu. Dia tidak berdosa. Kalau mau bunuh, kau bunuhlah aku dan bebaskan Kim Cu."
"Kalau subo hendak membunuh Han Han, terpaksa teecu akan menentang dan melawan subo untuk membelanya."
Tiba-tiba Kim Cu juga berseru sambil menggandeng pemuda itu. Toat-beng Ciu-sian-li kelihatan kaget, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak. Sejenak keadaan sunyi dan tegang, kemudian terpecah oleh suara ketawa Im-yang Seng-cu,
"Ha-ha-ha-ha. Cinta, betapa besar kekuasaanmu....."
Tubuhnya bergerak dan ia sudah meloncat di dekat Han Han menghadapi nenek itu, lalu berkata,
"Sian-li, apakah engkau masih berkeras dan hendak mencoba-coba melawan kami bertiga?"
Kemarahan Toat-beng Ciu-sian-li memuncak, matanya berkilat menyambar-nyambar ke arah tiga orang itu berganti-ganti. Akan tetapi dia bukanlah seorang bodoh yang hanya menuruti nafsu amarahnya. Tidak, Toat-beng Ciu-sian-li amat cerdik dan otaknya yang sudah masak itu penuh dengan perhitungan. Ia mengenal siapa adanya Im-yang Seng-cu yang biarpun merupakan tokoh murtad dari Hoa-san-pai, namun memiliki ilmu kepandaian hebat karena tokoh ini memetik banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi dari luar yang ia gabung dengan ilmu silat Hoa-san-pai, sehingga mungkin tingkat kepandaiannya sekarang tidak berada di bawah tingkat supeknya sendiri yaitu Thian Cu Cinjin ketua Hoa-san-pai.
Andaikata ia masih dapat mengatasi Im-yang Seng-cu dan tingkatnya masih menang sedikit, akan tetapi di situ masih ada Kim Cu yang telah mewarisi sebagian besar kepandaiannya, belum dihitung lagi Han Han yang biarpun buntung namun sesungguhnya memiliki kepandaian yang aneh dan luar biasa. Masih bergidik nenek ini kalau mengingat betapa ketika ia bertanding melawan Han Han di kota raja, pemuda itu dapat "memecah diri"
Menjadi tiga orang, kepandaian yang hanya ia dengar dalam dongeng saja, seperti yang dimiliki Sun Go Kong, atau Kauw Cee Thian Si Raja Monyet tokoh dalam dongeng See-yu. Kalau mereka ini maju dan sampai kalah, hal ini benar-benar akan amat memalukan. Kemarahannya dapat ia tekan dengan pertimbangan yang cerdik, dan wajah yang keruh itu tiba-tiba berseri-seri, kemudian terdengar ia menarik napas panjang dan berkata.
"Im-yang Seng-cu, engkau yang penuh dengan muslihat dan akal bulus. Engkau tahu bahwa aku tidak akan pernah mau membunuhmu, mengingat betapa engkau dahulu adalah seorang bocah yang dikasihi mendiang suamiku. Biarlah mengingat akan suamiku, aku memaafkanmu. Tentang bocah yang dua orang ini, hi-hi-hik, apa aku khawatirkan? Han Han telah buntung, tiada gunanya dan kalau Kim Cu lebih senang hidup sengsara di sampingnya daripada mati sebagai murid yang berbakti, terserah. Kalau aku menghendaki, kelak mereka akan dapat lari ke manakah? Engkau pun tidak mungkin melindungi mereka selamanya. Hi-hi-hik."
Setelah berkata demikian, Toat-beng Ciu-sian-li melangkah pergi, rantai panjang di kedua telinganya mengeluarkan bunyi berkerincingan. Setelah nenek itu pergi, Han Han tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya dan ia bertanya,
"Locianpwe, apakah artinya ucapan locianpwe tentang Keluarga Suma dan Keluarga Kam tadi? Dan apakah benar kuburan Kakekku berada di sini?"
"Engkau mau tahu? Mari ikut bersamaku."
Setelah berkata demikian, Kakek itu membalikkan tubuh melangkah pergi menuju ke selatan. Han Han terpincang-pincang dibantu tongkatnya mengikuti dan Kim Cu cepat menggandeng lengan pemuda itu untuk membantunya. Han Han yang merasa sentuhan tangan Kim Cu menoleh. Mereka berpandangan sejenak dan Han Han melihat betapa sepasang mata gadis itu basah dengan air mata, air mata kebahagiaan bahwa mereka telah bebas daripada bencana. Betapa dengan kasih sayang yang mesra pandang mata gadis itu kepadanya.
Han Han terharu dan sejenak jari tangannya menggenggam tangan gadis itu. Akan tetapi mereka segera melanjutkan langkah agar tidak tertinggal oleh kakek yang berjalan terus tanpa pernah menengok kepada mereka. Kakek itu keluar dari hutan, melalui pantai sebuah telaga kecil dan memasuki hutan di sebelah telaga. Hutan ini amat sunyi dan kecil, pohon-pohon di situ jarang sekali. Tak lama kemudian tibalah kakek itu di depan sebuah gundukan tanah kuburan, mengeluarkan hio, menyalakannya dan bersembahyang. Bungkusan itu hanya terisi tiga batang dupa. Kakek itu mengacungkan dupa menyala di atas tadi, mulutnya berkemak-kemik seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan bayangan orang yang dikubur di situ, kemudian menancapkan tiga batang dupa berasap itu di atas tanah, di depan batu nisan yang sederhana.
"Inilah kuburan Jai-hwa-sian,"
Katanya sambil melangkah mundur dan berdiri sambil termenung seolah-olah ia hendak merenungkan masa lalu ketika orang yang kini tinggal kuburannya saja itu masih hidup. Semenjak ia mendengar cerita encinya betapa jahatnya orang yang menjadi kakeknya dan berjuluk Jai-hwa-sian itu sehingga encinya sendiri mengakui bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah orang jahat, Han Han merasa tidak suka kepada kakeknya. Kini, melihat kuburannya, ia maju menghadapi batu nisan dan karena ia melihat ukiran-ukiran huruf yang sudah hampir tak terbaca pada batu itu, ia lalu duduk di atas tanah depan kuburan. Dengan teliti ia memandang ukiran huruf-huruf itu dan membaca:
MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT
Berdebar jantung Han Han membaca nama itu. Suma Hoat? Mengapa she-nya Suma, bukan Sie? Teringat ia akan arca di In-kok-san yang harus disembah-sembah para murid In-kok-san, arca guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang bernama Suma Kiat. Dan teringat pula ia akan dongeng yang dituturkan Kim Cu bahwa sukong mereka itu mempunyai seorang putera yang bernama Suma Hoat dan yang menghilang entah ke mana. Melihat wajah pemuda itu, Kim Cu cepat menghampiri dan ikut membaca tulisan itu. Tiba-tiba gadis itu meloncat mundur dan menoleh kepada Im-yang Seng-cu sambil berkata.
"Ahhh.... ini kuburan supek yang menjadi putera sukong Suma Kiat. Kiranya sudah meninggal dan dikubur di sini."
"Ini bukan kuburan Kakekku. Kakekku she Sie, bukan she Suma."
Kata Han Han, penasaran. Im-yang Seng-cu yang berdiri dengan tongkat di tangan kiri tersenyum, lalu menundingkan telunjuk kanannya kepada Han Han sambil berkata,
"Dan memang sesungguhnya engkau bukan she Sie, melainkan Suma. Engkau bukan Sie Han, akan tetapi Suma Han."
Wajah Han Han menjadi pucat. Dengan limbung ia bangkit berdiri, dibantu tongkatnya dan memandang kakek itu dengan mata tajam penuh selidik. Diam-diam Im-yang Seng-cu menaruh hati iba kepada pemuda ini.
"Marilah kita duduk dan dengarkan penuturanku, Suma Han."
Han Han dapat menekan gelora batinnya dan dengan muka masih pucat ia duduk di depan kuburan itu. Kim Cu yang memegang lengan Han Han duduk di sebelahnya sedangkan Im-yang Seng-cu duduk pula di atas batu, menghadapi mereka. Ia menarik napas panjang, mengangguk-angguk dan berkata.
"Benar, engkau adalah Suma Han. Ini adalah kuburan Kakekmu yang bernama Suma Hoat, putera tunggal Suma Kiat yang menjadi Guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Jadi Suma Kiat adalah Kakek Buyutmu, sedangkan Toat-beng Ciu-sian-li tadi, yang menjadi selir Suma Kiat, adalah Nenek Buyutmu."
Han Han mendengar kata-kata ini seperti dalam mimpi.
"Akan tetapi, locianpwe. Kalau benar aku keturunan Suma, mengapa Ayahku bernama keturunan Sie?"
Ia membantah, ragu-ragu.
"Hal itu tidak mengherankan dan mudah saja diduga. Suma Hoat, Jai-hwa-sian itu, semoga Tuhan mengampuni sahabatku itu, sungguhpun seorang jantan gagah perkasa, ditakuti lawan, memiliki kelemahan. Ia tidak dapat menahan nafsunya apabila bertemu wanita sehingga banyaklah ia mengganggu wanita, perbuatan sesat yang dilakukannya karena kesadarannya menjadi buta oleh nafsu berahi, sehingga ia dijuluki Jai-hwa-sian. Jangankan wanita biasa penduduk desa, biarpun puteri dalam istana kaisar tentu akan didatanginya kalau hatinya sudah tertarik. Mungkin sekali, dan hal ini aku tidak meragukan, Ayahmu terlahir dari seorang di antara wanita-wanita yang diganggunya. Karena Kakekmu yang she Suma itu banyak dimusuhi orang, dan mungkin karena keluarga Nenekmu tidak suka menggunakan she Suma, maka Ayahmu, putera Suma Hoat, diberi she Sie. Aku yakin akan kebenaran dugaanku ini, melihat betapa wajahmu mirip sekali dengan sahabatku, terutama pandang matamu. Dia tampan, banyak wanita jatuh hati kepadanya, akan tetapi dia hanya mengejar wanita yang menarik hatinya."
Kakek itu lalu bercerita tentang Jai-hwa-sian Suma Hoat.
Menurut Im-yang Seng-cu, Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berilmu tinggi, karena seperti juga Im-yang Seng-cu sendiri, Suma Hoat merupakan seorang petualang dan perantau yang selalu memperdalam ilmu-ilmunya dan tidak segan-segan untuk mencangkok ilmu dari lain cabang. Mereka bersahabat ketika keduanya berusaha mencari kakek sakti Koai-lojin. Keduanya berhasil bertemu kakek sakti seperti dewa itu dan diberi petunjuk sehingga mereka menjadi makin lihai. Juga mereka berdua sering kali berjuang bahu-membahu menentang kejahatan-kejahatan. Sayang sekali, Suma Hoat tidak dapat mengendalikan nafsu berahinya seperti nafsu-nafsu lain yang sudah dapat ia kendalikan, bahkan ia menjadi hamba nafsu berahi ini yang sering kali menggelapkan pikirannya, membuat ia nekat mendapatkan wanita yang disukanya, baik wanita itu gadis, janda maupun isteri orang.
"Darah Suma yang mewariskan watak seperti itu,"
Kata pula Im-yang Seng-cu.
"Semenjak nenek moyangnya dahulu, Keluarga Suma ini selalu dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw karena watak mereka yang tidak baik, semenjak Pangeran Suma Kong nenek moyangmu. Akan tetapi, di tubuh Kakekmu ini mengalir pula darah keluarga pendekar yang turun-temurun menggemparkan dunia, yaitu Keluarga Kam, keturunan dari Kam Si Ek, seorang Jenderal Kerajaan Hou-han yang gagah perkasa lahir batin dan yang menurunkan pendekar sakti Suling Emas. Engkau masih mempunyai darah Keluarga Kam ini pula, Han Han. Mudah-mudahan saja kalau terjadi pertempuran dalam sanubarimu antara kedua darah keturunan ini, watak Keluarga Kam yang akan menang."
Han Han tertegun, wajahnya pucat. Cerita ini terlalu hebat baginya. Kini dia tidak merasa heran lagi mengapa kadang-kadang ada dorongan dan rangsangan liar dalam hatinya, apalagi kalau dia mengerahkan sin-kang, seolah-olah ia menjadi buas kalau belum melihat musuh menggeletak tak bernyawa di depan kakinya. Agaknya itulah dorongan watak Suma. Terkutuk.
"Kalau dia begitu jahat, kenapa locianpwe bisa menjadi sahabatnya?"
"Kelemahannya hanya menghadapi wanita, kalau tidak sedang dikuasai nafsu berahinya, dia seorang pendekar yang gagah. Karena itu, sungguhpun banyak pendekar di dunia kang-ouw yang memusuhi, tidak sedikit pula yang menjadi sahabatnya, termasuk aku sendiri."
Han Han penasaran.
"Kalau begitu banyak sahabat baiknya seperti locianpwe sendiri, mengapa tidak ada yang menasihatinya seperti locianpwe sekarang menasihati saya?"
Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya, tergetar jantungnya ketika ia bertemu pandang dengan pemuda itu. Pandang mata itu "Mata setan, Mata iblis"
Belum pernah ia melihat mata orang seperti mata pemuda ini. Celaka, pikirnya, kalau sampai pemuda ini menyeleweng, tentu akan menjadi tokoh dunia yang terjahat di antara semua keturunan Suma yang pernah hidup, pikirnya.
"Siapa berani menasehatinya setelah apa yang ia lakukan terhadap Kian Ti Hosiang yang di waktu itu menjadi tokoh Siauw-lim-pai?"
Han Han teringat akan hwesio tua di Siauw-lim-pai yang amat mengesankan hatinya itu dan segera bertanya,
"Apakah yang telah dilakukannya terhadap hwesio Siauw-lim-pai itu?"
Im-yang Seng-cu menghela napas.
"Waktu itu sungguh ia sedang gelap mata. Kian Ti Hosiang adalah seorang berilmu tinggi, tidak hanya memiliki ilmu silat yang sukar dicari bandingnya, juga memiliki ilmu batin yang amat tinggi. Hwesio itu menemui Jai-hwa-sian yang hendak mengganggu puteri seorang pembesar yang terkenal bijaksana, memberinya wejangan-wejangan. Jai-hwa-sian marah dan menantang hwesio itu. Kian Ti Hosiang mempersilakan ia menyerang asal Jai-hwa-sian berjanji untuk menghentikan perbuatannya yang sesat. Dan Jai-hwa-sian menyerangnya, tanpa ada perlawanan sama sekali dari orang berilmu itu. Kian Ti Hosiang mengorbankan dirinya untuk menyadarkan Jai-hwa-sian dan hwesio itu dipukul sampai lumpuh kedua kakinya."
"Ahhh...., Jahat benar dia."
Han Han memaki dan mengepal tinjunya. Kiranya, hwesio tua yang mengesankan hatinya itu lumpuh kedua kakinya karena dipukul kakeknya sendiri, sengaja mengorbankan diri untuk menyadarkan kesesatan kakeknya yang jahat.
"Hemmm, dia adalah Kakekmu sendiri."
Im-yang Seng-cu memperingatkan sambil mengerutkan keningnya.
"Dia boleh seribu kali Kakekku, akan tetapi kalau dia melakukan perbuatan-perbuatan sesat seperti itu, aku tetap akan mengutuknya."
Kata Han Han yang marah sekali. Kemudian ia menggerakkan tongkat di tangannya, memukul ke arah batu nisan.
"Bresssss....."
Batu nisan itu hancur berkeping-keping terkena pukulan tongkat Han Han. Im-yang Seng-cu terbelalak menyaksikan betapa pemuda itu dengan senjata hanya sebatang ranting dapat menghancurkan batu nisan, padahal ia melihat sendiri bahwa ranting itu hampir tidak menyentuh batu nisan. Jelas bahwa pemuda itu telah menghancurkan batu nisan dengan tenaga sin-kang yang amat luar biasa kuatnya.
"Kenapa engkau merusak nisan Kakekmu sendiri yang kubuat dengan sengaja agar namanya tidak lenyap?"
Im-yang Seng-cu bertanya dengan suara dingin. Jelas terdengar dari suaranya bahwa ia marah. Dengan bersandar pada tongkatnya, Han Han menoleh kepadanya.
"Saya menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan locianpwe, juga terhadap, kuburan Kakek saya. Akan tetapi nama seperti yang dimiliki Kakek saya perlukah dipertahankan? Hanya akan mendatangkan aib dan noda saja pada keturunannya."
Suara Han Han terdengar penuh kepahitan ketika ia mengucapkan kata-kata terakhir "keturunannya"
Itu, ketika ia teringat betapa sesungguhnya ia adalah keturunan seorang yang begitu bejat akhlaknya. Im-yang Seng-cu juga kelihatan marah.
"Orang muda, engkau sombong. Biarpun Kakekmu tersesat dalam hal kelemahannya terhadap wanita, namun aku sebagai sahabat baiknya maklum betapa dengan susah payah ia melawan pengaruh jahat yang mengalir dalam tubuhnya sebagai darah nenek moyang Suma. Engkau pun hanya seorang manusia yang tentu memiliki kelemahan-kelemahan. Kalau engkau tak dapat memaafkan Kakekmu sendiri, bagaimana engkau akan dapat memaafkan orang lain? Hemmm, hendak kulihat engkau kelak apakah lebih baik daripada Suma Hoat."
Setelah berkata demikian, Im-yang Seng-cu melesat pergi dan lenyap dari situ. Han Han menghela mapas panjang dan merasa menyesal bahwa guru Sin Kiat itu pun marah kepadanya. Melihat Han Han termenung dengan wajah keruh, Kim Cu mendekatinya dan menyentuh lengannya.
"Han Han, biar semua orang marah dan tidak suka kepadamu, ingatlah bahwa di sini masih ada aku yang selamanya takkan dapat membencimu...."
Hati Han Han seperti dibetot-betot dan ia memeluk gadis itu yang membenamkan mukanya di dadanya yang masih panas karena kemarahannya tadi. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, kemudian Kim Cu dapat menguasai hatinya, melepaskan pelukan Han Han dan berkata.
"Marilah kita cepat pergi dari tempat ini."
Bisikannya mengandung perasaan takut.
"Jangan takut, Kim Cu. Kalau sampai gurumu muncul dan hendak mengganggu kita, kita lawan mati-matian."
"Aku tidak takut, Han Han, hanya aku merasa ngeri kalau harus berpisah denganmu. Marilah kita pergi."
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan. Biarpun keduanya tidak takut lagi menghadapi ancaman Toat-beng Ciu-sian-li, namun mereka juga bukan orang-orang nekat yang ingin mencari mati. Mereka mengambil jalan melalui hutan-hutan dan mendaki lereng yang tersembunyi agar jangan sampai bertemu dengan nenek itu.
"Han Han, kesehatanmu belum pulih kembali. Kalau kita melanjutkan perjalanan terlalu lama, tentu engkau akan jatuh sakit. Maka, kurasa lebih baik kita mencari tempat persembunyian dan tinggal dulu di tempat itu sampai kesehatanmu pulih. Bagaimana?"
Han Han mengangguk.
"Terserah kepadamu, Kim Cu. Akan tetapi di mana kita mencari tempat yang baik?"
Kim Cu tersenyum. Manis sekali wajahnya setelah kini mereka terlepas dari bahaya dan ia dapat tersenyum dengan hati lapang.
"Kau tahu, dahulu ketika kita mendapat waktu libur dan diperbolehkan pergi untuk beberapa hari, setelah bertemu dengan engkau yang tidak mau kembali, aku lalu pergi mendaki sebuah puncak di antara puncak-puncak pegunungan ini dan bersembunyi di sebuah goa yang amat tersembunyi. Tempat itu indah sekali, goa itu merupakan terowongann yang menjurus ke tepi jurang yang tak berdasar saking tingginya. Tak seorang pun akan datang ke tempat itu."
"Hemmm, mau apa engkau dahulu bersembunyi di tempat itu?"
Wajah Kim Cu menjadi merah.
"Mau.... menangis...."
Han Han memandang wajah cantik itu dengan mata terbelalak heran.
"Menangis? Menangis saja mengapa mencari tempat yang tersembunyi?"
Kim Cu mengangguk.
"Ya, biar tidak ketahuan orang. Aku kecewa sekali melihat engkau pergi tidak mau kembali, dan aku menangis di sana sampai kedua mataku bengkak-bengkak."
"Ah.... Kim Cu.... Kim Cu...."
Han Han makin terharu menyaksikan betapa gadis ini sejak dahulu telah jatuh cinta kepadanya. Dan ia pun merasa heran bukan main melihat perubahan dirinya. Mengapa kini ia mudah terharu, mudah berduka? Padahal dahulu ia tidak pernah selemah ini. Dan ketika ia marah-marah tadi, menghancurkan batu nisan kakeknya tidak timbul kebuasan untuk membinasakan orang. Kemarahannya tadi masih terkendali dan ia menghancurkan batu nisan dengan sadar. Ia menunduk, memandang kakinya yang buntung. Karena kebutungan kakinya itulah maka terjadi perubahan pada dirinya? Dia tidak tahu. Melihat pemuda itu memandang kakinya yang buntung, Kim Cu salah menduga dan berkata,
"Jangan khawatir, Han Han. Jalan ke puncak yang kumaksudkan itu memang sukar. Akan tetapi di bagian yang paling sukar, aku bisa menggendongmu."
Han Han tersenyum.
"Apa kau kira aku anak kecil? Betapapun sukarnya, dengan bantuan tongkatku ini dan dengan bantuanmu, tentu akan dapat kulalui."
Kim Cu tiba-tiba menari kegirangan mengelilingi Han Han, membuat pemuda itu makin heran.
"Eh, eh, apa-apaan engkau ini? Apa kau sudah gila?"
"Hi-hik, memang aku gila. Gila karena girang melihat perubahanmu. Engkau tidak putus asa lagi dan semangatmu telah bangkit kembali. Bagus! Bukankah hal itu amat menggirangkan hati?"
Han Han memegang kedua tangan gadis itu, tongkatnya ia kempit.
"Kim Cu...."
Katanya penuh keharuan.
"Engkau seorang gadis yang baik sekali. Dengan engkau di sampingku, aku merasa seolah-olah mendapatkan Adikku Lulu yang hilang itu kembali. Memang, aku tidak akan putus asa, Kim Cu. Aku akan membuktikan kepada dunia, kepada Im-yang Seng-cu, dan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya bahwa biarpun aku keturunan Keluarga Suma yang terkutuk, akan tetapi aku tidak jahat seperti mereka, dan aku akan membuktikan bahwa seorang buntung, seperti katamu, masih dapat melakukan hal yang berguna bagi manusia dan dunia."
"Bagus! Dan aku yakin bahwa engkau kelak tentu akan menjadi orang yang amat berguna, jauh melebihi mereka yang kakinya utuh, dan akan dapat membersihkan nama keturunan Suma yang berlepotan noda yang diperbuat oleh nenek moyangmu."
Han Han mengangguk-angguk.
"Mudah-mudahan, Kim Cu."
Berangkatlah kedua orang muda itu mendaki puncak yang dimaksudkan Kim Cu. Menjelang malam mereka tiba di goa yang dimaksudkan, sebuah goa yang berada di puncak. Kim Cu membuat obor dari kayu kering dan mereka memasuki goa yang merupakan mulut terowongan itu. Perjalanan itu amat melelahkan, terutama sekali bagi Han Han yang kesehatannya belum pulih sama sekali.
"Sebelum gelap, aku akan keluar mencari daun-daun obat untuk lukamu. Lukamu perlu dicuci, diobati dan diganti kain pembalutnya."
Han Han mengerutkan kening.
"Eh, aku membuatmu repot sekali, Kim Cu. Daun obat dan air pencuci bisa dicari di puncak, akan tetapi kain pembalut....?"
Kim Cu memandang pakaiannya.
"Pakaianku masih utuh, diambil sedikit-sedikit untuk pembalut masih lebih daripada cukup."
Han Han hanya menggeleng kepala dan menghela napas melihat gadis itu sambil tertawa sudah berlari keluar goa. Dia duduk bersandar pada dinding goa, diam-diam ia merasa gelisah memikirkan Kim Cu. Gadis itu dengan jelas membuktikan cinta kasihnya yang amat mendalam kepadanya.
Ia berhutang budi, dan ia suka sekali kepada Kim Cu. Akan tetapi cinta? Ah, bagaimana kalau dia tidak dapat membalas cintanya? Dia merasa gelisah kalau-kalau harus membuat gadis itu berduka kelak karena tidak mampu membalas cinta kasihnya yang demikian murni. Pula, dia seorang pemuda buntung, keturunan keluarga jahat. Dia terlalu kotor dan tidak berharga bagi seorang gadis semulia Kim Cu. Malam itu Kim Cu datang membawa daun obat, air dan buah-buahan. Dengan tekun di bawah penerangan api unggun, gadis ini membuka balut kaki buntung Han Han, sedikit pun tidak kelihatan jijik, mencuci paha yang buntung, menaruh obat, dan membalutnya lagi menggunakan sabuk suteranya. Setelah selesai, mereka makan buah-buahan lalu mengaso dan tertidur di dekat api unggun.
Sampai jauh malam Han Han tidak dapat tidur. Terlalu banyak hal-hal memenuhi otaknya, dari memikirkan Lulu sampai pengalamannya di Pulau Es, memikirkan keadaan nenek moyangnya, dan akhirnya memikirkan Kim Cu. Gadis itu tertidur nyenyak sekali di dekat api unggun, tidur miring dengan muka menghadap ke arahnya. Wajah yang cantik itu tampak pucat di bawah sinar api unggun, rambutnya kusut karena tidak disisir. Bibirnya agak terbuka memperlihatkan deretan ujung gigi yang putih. Han Han mendekati api unggun, menambah kayu kering yang tadi dikumpulkan gadis itu. Sampai hampir pagi barulah Han Han dapat tidur, sambil bersandar pada dinding goa setelah tadi ia duduk bersila dengan kaki yang tinggal satu untuk memulihkan tenaga dan mengatur pernapasannya. Han Han terkejut dan bangun dari tidurnya ketika lengannya diguncang-guncang Kim Cu.
"Han Han...., Han Han.... bangunlah....."
Han Han memandang gadis itu yang mukanya pucat sekali. Segera kewaspadaannya timbul.
"Ada apakah, Kim Cu?"
(Lanjut ke Jilid 23)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
"Ada orang di luar.... kulihat bayangannya berkelebat...."
"Hemmm, mengapa bingung. Biarkan saja."
"Tidak, siapa tahu dia subo. Bayangannya berkelebat cepat sekali. Mari kita sembunyi."
Gadis itu menarik-narik tangan Han Han. Pemuda ini menurut, bangkit dan jalan terpincang-pincang dengan tongkatnya, tangannya ditarik Kim Cu yang memasuki terowongan. Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinarnya menerobos memasuki terowongan itu sehingga keadaan dalam goa tidak terlalu gelap. Tiba-tiba terdengar suara yang amat mereka kenal, datangnya dari luar goa,
"Hi-hi-hik, Kalian hendak lari ke mana? Biar ada Im-yang Seng-cu aku harus mengambil nyawamu, murid murtad."
"Celaka.... dia subo....."
Kim Cu berbisik dan menarik tangan Han Han sambil melangkah maju lebih cepat lagi. Tak lama kemudian mereka tiba di ujung terowongan dan Han Han melihat bahwa mereka berada di pinggir sebuah jurang yang amat luas. Ketika ia menjenguk ke bawah, matanya berkunang. Demikian tinggi dan curamnya jurang ini sehingga dasarnya tidak tampak, terhalang oleh embun pagi dan awan. Mereka berhenti dan membalikkan tubuh memandang ke arah terowongan, menanti munculnya Toat-beng Ciu-sian-li yang tadi mereka dengar suaranya dengan hati berdebar-debar. Melihat betapa tubuh gadis itu menggigil dan wajahnya pucat sekali, Han Han berkata halus,
"Jangan takut, Kim Cu. Aku akan selalu mendampingimu."
"Jangan.... jangan mencampuri.... biar aku menghadapi subo,"
Bisik Kim Cu sambil menjauhkan diri dari pemuda itu. Dalam terowongan itu sunyi dan secara tiba-tiba, seperti munculnya iblis sendiri tampak tubuh Toat-beng Ciu-sian-li yang tersenyum-senyum mengerikan. Melihat gurunya ini, Kim Cu maklum bahwa biarpun Han Han membantunya, mereka tidak akan menang, dan akhirnya mereka berdua tentu akan tewas. Maka ia cepat berkata.
"Subo, teecu merasa berdosa kepada subo. Kalau teecu mau dihukum, hukumlah. Mau bunuh, bunuhlah. Akan tetapi..... teecu mohon, jangan subo mengganggu Han Han, dia sudah cukup menderita..... bunuhlah teecu saja...."
"Kim Cu....."
Han Han membentak.
"Heh-heh-hi-hik, muridku yang paling kusayang, yang paling banyak kuberi ilmu-ilmuku, kini hendak menentangku sendiri? Murid murtad engkau."
Toat-beng Ciu-sian-li yang masih tersenyum-senyum menyeramkan itu memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata beringas. Kim Cu merasa ngeri hatinya, bulu tengkuknya berdiri dan maklum bahwa tangan maut telah menjangkaunya.
"Toat-beng Ciu-sian-li! Tahan dulu. Jangan kau membunuh Kim Cu."
Han Han membentak marah sambil maju terpincang-pincang.
"Bocah buntung, kau tunggulah giliranmu."
Bentak Toat-beng Ciu-sian-li sambil terkekeh dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sinar berkilauan menyambar ke arah Kim Cu dan itu adalah sebuah gelang rantai anting-antingnya yang kini dipergunakan sebagai senjata rahasia yang menyambar dengan kecepatan kilat ke arah gadis itu. Kim Cu memang tidak ingin melawan, maka dia berdiri seperti arca menanti datangnya senjata rahasia yang menyambar ke arah dahinya untuk merenggut nyawanya.
"Kim Cu....."
Han Han berteriak ketika melihat betapa gadis itu sama sekali tidak berusaha menghindarkan diri dari sambaran senjata itu. Han Han lupa diri dan lupa bahaya, melepaskan tongkatnya dan langsung meloncat ke depan menubruk Kim Cu pada kakinya dengan maksud menghindarkan gadis itu daripada ancaman maut.
"Han Han....."
"Kim Cu....."
"Heh-heh-heh, hi-hi-hik."
Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh ketika melihat tubuh kedua orang muda itu tergelincir ke bibir jurang. Han Han memang berhasil menyelamatkan Kim Cu dari sambaran senjata rahasia, akan tetapi ia membawa Kim Cu bersama-sama terjerumus ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya. Perlahan-lahan Toat-beng Ciu-sian-li melangkah ke pinggir jurang, menjenguk ke bawah lalu tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya kecewa.
"Sayang...., kalau dia bisa membawaku ke Pulau Es."
Nenek ini lalu berjalan keluar dari terowongan itu, sedikit pun tidak memikirkan lagi keadaan Han Han dan Kim Cu yang dianggapnya tentu akan hancur lebur tubuhnya terbanting pada dasar jurang yang sedemikian curamnya. Biarpun Toat-beng Ciu-sian-li seorang nenek yang amat lihai dan pengalaman hidupnya sudah seratus tahun, namun ia sungguh lancang kalau berani menentukan mati hidup manusia. Hidup dan matinya manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan.
Kalau Tuhan menentukan seseorang harus hidup, biar dia dihujani selaksa batang anak panah, ada saja sebabnya yang membuat ia lolos dari bahaya maut. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang harus mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, tetap saja maut akan datang menjemput tanpa dapat dihindarkan lagi. Kim Cu sudah hampir pingsan ketika tubuhnya meluncur ke bawah. Tenaga luncuran itu sedemikian kuatnya sehingga tidak mungkin mempergunakan gin-kang dan kepalanya menjadi pening, napasnya seperti terhenti. Masih dapat dilihatnya bayangan tubuh Han Han berkelebat mendahuluinya karena tubuh Han Han yang lebih berat itu lebih cepat lagi tenaga luncurannya, apalagi Han Han terdorong oleh tenaga loncatannya ketika menolongnya tadi. Teringat akan Han Han, Kim Cu menjadi sadar kembali dan ia menjerit panjang,
"Han Han....."
Seakan-akan tidak akan ada akhirnya tubuhnya meluncur ke bawah dan Kim Cu yang sudah setengah pingsan itu terheran apakah dia tidak sudah mati dan kini yang melayang-layang turun itu adalah nyawanya? Terbayang dalam otaknya akan dongeng yang pernah didengarnya bahwa sorga letaknya di atas, sedangkan neraka di bawah. Kalau begitu, apakah nyawanya sedang melayang menuju ke neraka? Ia merasa ngeri, akan tetapi ia teringat akan Han Han. Kalau di neraka ia akan bertemu dan berkumpul dengan Han Han biarlah ia menuju ke neraka.
"Byurrrrr....."
Kim Cu merasa seolah-olah tubuhnya remuk dan ia tidak ingat apa-apa lagi"
Tiga hari tiga malam kemudian, pada pagi harinya, Kim Cu membuka mata. Tubuhnya masih terasa nyeri semua, akan tetapi ia dapat menggerakkan kaki tanganya dan membuka matanya.
"Omitohud...., Nona sudah sadar....? Omitohud, syukurlah,"
Terdengar suara halus. Kim Cu menoleh ke kiri dan melihat seorang nikouw yang kepalanya gundul kelimis, sikapnya halus, mukanya menyinarkan kebahagiaan batin, tersenyum memandangnya. Nikouw ini usianya tidak akan kurang dari enam puluh tahun, namun wajahnya halus dan merah penuh kesehatan dan ada sesuatu dalam gerak-gerik nikouw ini yang membuat ia tampak seperti seorang dewi.
"Siankouw.... seorang dewi penjaga hukuman di neraka?"
Tanya Kim Cu yang masih menduga bahwa dia kini telah berada dalam neraka, sungguhpun ia heran mengapa neraka begini bersih dan enak, dalam sebuah kamar yang bersih dan dia rebah di atas dipan yang bertilam putih bersih pula.
"Omitohud...."
Memang dunia ini neraka bagi yang belum sadar, anakku, akan tetapi sorga bagi yang telah sadar. Engkau masih hidup, Nona. Thian belum menghendaki engkau mati."
Serentak Kim Cu bangkit duduk dan tidak memperhatikan tubuhnya yang nyeri semua rasanya.
"Aku masih hidup? Han Han.... di mana dia....? Han Han....."
Ia menjerit, memanggil nama itu. Nikouw itu bangkit berdiri mendekatinya dan menaruhkan tangannya yang halus di pundak Kim Cu.
"Tenangkan hatimu, Nona. Engkau belum sembuh benar, tidak baik banyak bergerak. Berbaringlah kembali."
Suara itu halus sekali, namun mengandung wibawa yang tak mungkin dapat dibantah sehingga Kim Cu merebahkan tubuhnya lagi di atas dipan.
"Akan tetapi.... tolonglah beri tahu, subo. Di mana Han Han?"
"Han Han siapakah yang Nona maksudkan?"
"Han Han.... temanku. Kami berdua jatuh dari atas, dan kalau aku masih hidup dia tentu hidup pula. Ah, di mana dia?"
Nikouw itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Sukar dipercaya ada orang yang jatuh dari atas tebing gunung itu masih dapat hidup seperti engkau, Nona. Engkau telah berada di sini tiga hari tiga malam, pingsan. Dan pinni (aku) tidak pernah mendengar tentang temanmu yang bernama Han Han itu...."
"Tiga hari tiga malam? Dan Han Han tidak ada? Ah, mana mungkin? Subo, tolong ceritakan, apakah yang sesungguhnya telah terjadi?"
"Nona, sebaiknya kau ceritakan dulu kepada pinni bagaimana engkau tiba-tiba saja jatuh dari atas, seperti dari langit saja."
Kalau dia masih hidup, lebih baik dia tidak bercerita tentang dirinya, karena kalau hati ini terdengar oleh Toat-beng Ciu-sian-li, tentu nenek itu akan mencarinya, demikian pikirnya.
"Kami.... aku dan temanku ikut berjalan di atas tebing, dan aku tergelincir, dia berusaha menolongku dan kami terjerumus ke bawah. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Subo, ceritakanlah bagaimana aku dapat berada di sini."
Dengan sabar nikouw itu mengambil sebuah mangkok dari atas meja.
"Kau minumlah obat ini dulu, Nona. Minumlah."
Karena maklum bahwa ia ditolong oleh nikouw ini, maka tanpa membantah Kim Cu minum obat yang pahit rasanya itu sampai habis, kemudian ia rebah kembali, siap mendengarkan cerita nikouw tua yang ramah dan amat halus tutur sapanya itu.
"Menurut nalar orang yang jatuh dari tempat setinggi itu tentu mati. Akan tetapi agaknya Thian menghendaki lain. Engkau jatuh ke dalam Sungai Hek-ho yang mengalir tepat di bawah tebing itu menuju ke timur, masuk ke saluran besar. Sungai itu di bagian bawah tebing amat deras alirannya, dan banyak mengandung batu-batu karang menonjol di permukaan dan di bawah permukaan air. Akan tetapi, omitohud.... engkau agaknya jatuh di bagian yang dalam sehingga tidak terluka. Dan lebih kebetulan sekali seperti telah diatur oleh tangan Thian sendiri ketika tubuhmu yang pingsan itu timbul ke permukaan air, dari jauh kelihatan oleh perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Engkau mereka tolong dan melihat engkau seorang wanita, mereka lalu membawamu ke sini. Pinni adalah ketua dari Kwan-im-bio di sini bersama tujuh orang nikouw lain, dan karena pinni sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan, maka pinni cepat mengobatimu. Syukurlah, atas kemurahan Thian, engkau selamat."
"Akan tetapi temanku itu bagaimana dia? Di mana dia?"
"tentu telah ditolong pula oleh para nelayan. Akan tetapi tak seorang pun melihatnya dan seperti kukatakan tadi, tempat itu banyak mengandung batu karang. Kalau jatuhnya menimpa batu karang, atau seperti engkau pingsan lalu hanyut oleh air yang sedemikian derasnya.... hemmm.... agaknya tidak ada harapan lagi baginya."
"Tidak.... Tidaaakkkk....."
Kim Cu menjerit dan bangkit duduk, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.
"Tidak boleh dia mati aku masih hidup. Nikouw tua yang mulia, aku harus mencari dia."
Dari pintu kamar yang terbuka itu muncul tujuh orang nikouw, yang lima sudah berusia lima puluhan tahun, yang dua masih muda, kurang lebih tiga puluh tahun. Sikap mereka juga halus-halus dan wajah mereka membayangkan ketenangan. Melihat Kim Cu hendak turun, para nikouw yang tadi mendengar jeritan gadis itu mendekati dipan dan hendak mencegahnya, mengira bahwa gadis ini menjadi bingung karena kecelakaan hebat itu. Nikouw tua mengangkat tangan mencegah mereka, lalu memegang tangan Kim Cu dan berkata,
"Engkau hendak mencari temanmu itu, Nona? Baiklah, boleh saja dan mari pinni menemanimu ke tepi sungai."
Kim Cu berjalan dengan tubuh menggigil dan masih lemah sekali. Akan tetapi nikouw tua yang baik hati itu menggandengnya dan pergilah mereka berdua keluar dari kelenteng kecil itu, diikuti pandang mata tujuh orang nikouw yang menggerakkan pundak masing-masing, hati mereka penuh iba terhadap Kim Cu. Dengan hati yang tidak karuan rasanya Kim Cu bersama nikouw tua itu menuju ke pinggir sungai. Ngeri hatinya melihat sungai yang benar-benar amat deras airnya, lebih ngeri menyaksikan batu-batu yang runcing tajam menonjol di seluruh permukaan sungai, akan tetapi ia benar-benar mengkirik (meremang bulu tengkuknya) ketika berdongak ke atas melihat tebing yang amat tinggi yang puncaknya tertutup mega. Dari tempat setinggi itu dia jatuh"
Kim Cu mengeluarkan seruan tertahan dan kedua pundaknya menggigil.
"Percayakah engkau kini bahwa hanya tangan Tuhan saja yang mampu menyelamatkan engkau, Nona? Tentang nasib temanmu itu, benar-benar pinni meragukan keselamatannya."
"Tidak, kalau aku selamat, dia harus selamat, suthai. Tolong panggil para nelayan."
Nikouw itu bertepuk tangan, lalu menggapai ke arah seorang nelayan yang sedang menjemur jala di tepi sungai. Nelayan itu menengok dan cepat berlari menghampiri. Melihat Kim Cu, ia memandang dengan muka berseri.
"Ah, inikah Nona yang jatuh dari langit itu, Sian-kouw? Sungguh beruntung, dia dapat tertolong dan kembali terbukti kelihaian Sian-kouw mengobati orang."
Ia membungkuk-bungkuk, sikapnya kasar sederhana. Kim Cu berkata,
"Lopek, aku berterima kasih sekali kepada para nelayan yang telah menolongku. Sekarang aku mohon kepada kalian untuk mencari temanku."
"Temanmu, Nona? Temanmu yang mana?"
Kim Cu menahan mulutnya yang hendak menyebut nama Han Han ketika teringat bahwa nama itu takkan ada artinya bagi si nelayan.
"Temanku, seorang pemuda yang ikut pula terjerumus dari tebing atas bersamaku."
"Heh....?"
Nelayan itu terkejut.
"Masih ada lagi yang jatuh dari langit?"
"A-liuk, harap kau panggil berkumpul para nelayan ke sini."
"Baik, Sian-kouw."
Nelayan itu lalu berlari menuju ke dusun di mana tinggal para nelayan, tidak jauh dari Kuil Kwan-im-bio yang terletak di ujung dusun. Tak lama kemudian di situ telah berkumpul dua puluh orang lebih nelayan-nelayan yang sederhana. Mereka semua, seperti A-liuk, merasa girang melihat Kim Cu selamat dan merasa kagum akan kepandaian nikouw yang mengobati Kim Cu.
"Paman sekalian, selain bersyukur dan amat berterima kasih kepada paman sekalian, saya minta tolong sukalah paman menceritakan teman saya yang pada hari dan saat itu jatuh pula dari atas."
"Kami tidak melihat ada orang lain."
Terdengar suara mereka riuh rendah bicara sendiri dan saling bertanya sendiri.
"Mungkin paman semua tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi karena aku selamat, kiranya dia pun selamat. Harap paman suka menggunakan perahu dan mencari di sekeliling pantai dan di seberang kalau-kalau ia terdampar dan mendarat di suatu tempat dalam keadaan terluka."
"Kalian penuhi permintaannya. Kasihan temannya itu kalau memang benar dia selamat."
"Baik, Sian-kouw,"
Jawab mereka serempak.
"Tunggu dulu, paman-paman yang baik."
Kim Cu berkata ketika melihat mereka hendak pergi melaksanakan permintaannya. Ia meloloskan delapan buah gelang emas, satu-satunya perhiasan yang berada di tubuhnya, dan menyerahkan gelang-gelang emas itu kepada mereka.
"Aku hanya mempunyai gelang-gelang ini, harap paman sekalian membaginya sebagai hadiah dariku atas pertolongan kalian mencarikan temanku."
Akan tetapi tidak ada seorang pun diantara mereka yang menerima pemberian ini. Seorang nelayan tua lalu berkata,
"Nona, hadiah adalah pernyataan hati girang dan untuk membalas jasa. Teman Nona belum diketemukan, bahkan kami belum mencarinya, bagaimana kami dapat menerima hadiah darimu? Kalau kami begitu loba, tentu Sian-kouw takkan mendoakan rejeki kami dan tentu ikan-ikan pada lari bersembunyi dari jala dan kail kami."
Setelah berkata demikian, semua nelayan itu bubar, meninggalkan Kim Cu yang masih memegangi gelang-gelangnya dengan melongo. Nikouw tua itu tersenyum menyaksikan keheranan Kim Cu.
"Mereka adalah nelayan-nelayan desa yang polos, jujur dan bersih, Nona. Dan jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh seperti pendapat orang kota. Orang kota menilai kepintaran berdasarkan akal, yang banyak akalnya dikatakan pintar, padahal akal itu hanya mereka gunakan untuk akal-akalan, saling mengakali dan menipu. Orang-orang yang tidak tahu akan akal-akal macam itu adalah sepintar-pintarnya orang."
Selama seminggu lebih, setiap hari para nelayan mencari jejak atau tanda-tanda Han Han, namun mereka selalu kembali dengan tangan hampa, membuat hati Kim Cu yang menanti terus di tepi sungai menjadi makin hampa. Dua minggu kemudian, para nelayan menyatakan keyakinannya bahwa kalau pemuda itu benar terjatuh dari atas seperti halnya Kim Cu, tentu tubuh pemuda itu menimpa batu dan hancur lebur, atau tenggelam dan mungkin juga hanyut oleh air sungai yang amat deras. Mereka tidak mencari lagi.
Kim Cu tidak mau kembali ke kuil. Selama menanti para nelayan yang mencari-cari, dia selalu ditemani oleh nikouw tua atau kadang-kadang ditemani seorang di antara para nikouw secara bergilir. Makan dan minum pun hampir dipaksa oleh para nikouw, baru Kim Cu mau makan dan minum. Akan tetapi ia tidak pernah kembali ke kuil, tidur pun di tepi sungai. Ketika para nelayan menghentikan pencariannya, Kim Cu seperti gila. Tidak lagi ia mau makan atau minum, tidak tidur, hanya berdiri atau duduk di tepi sungai, wajahnya makin kurus dan pucat, rambutnya kusut dan matanya sipit dan bengkak karena terlalu banyak menangis sehingga air matanya kering. Beberapa hari kemudian, para nikouw terpaksa menggotong tubuhnya yang menggeletak pingsan di tepi sungai, dibawa kembali ke kuil. Kembali nikouw tua itu yang sibuk mencekokkan obat ke mulutnya sampai ia siuman kembali dan dipaksa makan bubur atau obat.
"Mengapa engkau menyiksa hatimu sampai sedemikian rupa, Nona? Dicari lagi pun percuma, agaknya temanmu itu sudah tewas."
"Kalau dia mati, aku pun akan mati."
Kata Kim Cu dan ia menangis sesenggukan.
"Suthai, biarkan aku mati....."
Ia terisak-isak.
"Engkau keliru, Nona. Andaikata temanmu itu mati, matinya adalah karena kehendak Tuhan. Kalau engkau memaksa ingin mati, matimu adalah mati paksaan dan amatlah tidak baik mati seperti itu, Nona."
"Suthai, kalau Han Han mati, apa gunanya lagi aku hidup?"
Nikouw itu mengangguk-angguk dan mengelus-elus rambut gadis itu.
"Nona, engkau tentu amat mencinta pemuda itu, bukan?"
Mendengar suara yang masih tenang akan tetapi menggetar penuh rasa iba dan haru ini, Kim Cu memandang dengan mata basah.
"Benar, suthai. Aku men cintanya. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki."
"Kalau begitu, engkau harus hidup, Nona. Kalau engkau mati, engkau takkan dapat berguna untuk dia. Akan tetapi kalau engkau hidup, tidak hanya engkau akan dapat berguna bagi orang yang kaucinta, akan tetapi engkau malah akan dapat berguna bagi semua orang dan dunia."
Kim Cu memeluk nikouw itu dan berkata,
"Ah, suthai. Benarkah itu? Benarkah aku akan dapat berguna, berguna bagi Han Han biarpun dia sudah sudah mati?"
Nikouw itu mengusap air mata dari kedua pipi Kim Cu dan di dalam hatinya ia pun mengusap air matanya sendiri yang mengucur di hatinya, matanya dikejap-kejapkan untuk menahan panasnya keharuan yang mendorong air mata, mulutnya tersenyum untuk menekan keharuan hati, dan kepalanya mengangguk-angguk untuk mengganti kegaguannya untuk sementara. Setelah keharuannya reda dan ia yakin suaranya tidak menggetar, nikouw itu berkata.
"Tentu saja, anakku yang baik. Kalau engkau menghambakan dirimu kepada kebajikan, menjadi murid Kwan Im Pouwsat, menjadi seperti pinni, engkau akan dapat berguna sekali bagi temanmu itu."
"Menjadi.... nikouw....?"
Nikouw tua itu mengangguk-angguk.
"Tidak langsung sekarang, terserah kepadamu. Kau pelajarilah dahulu kebajikan-kebajikan dari Kwan Im Pouwsat, kelak engkau boleh menentukan sendiri apakah suka menjadi nikouw atau tidak. Akan tetapi, setidaknya engkau sudah akan lebih tahu akan arti hidup, dan engkau dapat berdoa setiap saat untuk temanmu itu sehingga andaikata dia sudah mati, semoga ia akan mendapatkan tempat yang layak dan damai, sebaliknya kalau masih hidup, semoga dia hidup bahagia. Bukankah dengan demikian engkau akan berguna baginya? Dan berguna pula bagi orang lain...."
Kim Cu kembali menubruk dam memeluk nikouw itu sambil menangis, kemudian ia melorot turun dam berlutut di depan nikouw itu.
"Teecu, Kim Cu, mohon petunjuk dari subo...."
Demikianlah, mulai hari itu Kim Cu menjadi murid Thian Sim Nikouw dan mempelajari pelajaran kebatinan yang berpusat pada penyembahan Kwan Im Pouwsat. Akan tetapi, nasib malang masih mengharuskan Kim Cu mengelami banyak penderitaan hidup. Enam bulan sejak ia tinggal di situ, pada musim hujan, air Sungai Hek-ho meluap dan terjadi banjir besar yang menghanyutkan dusun itu, termasuk Kwan-im-bio.
Para nikouw dan Kim Cu terpaksa mengungsi setelah mereka semua memberi pertolongan kepada para korban banjir. Dalam pekerjaan inilah, yang dipimpin Thian Sim Nikouw, Kim Cu merasa betapa hidupnya amat berguna bagi orang lain, yang nyata dan dapat dirasainya. Ia makin tekun belajar dan makin lama ia mendapat ketenangan batin sehingga ketika semua pindah ke utara, ke sebuah lereng bukit dan mendirikan kuil kecil sederhana di sana, Kim Cu mengambil keputusan menggunduli rambutnya dan masuk menjadi nikouw. Oleh gurunya ia diberi nama Kim-sim Nikouw (Pendeta Wanita Berhati Emas). Ia telah mendapat ketenangan dam kebahagiaan batin, dan rasa rindunya yang kadang-kadang muncul terhadap Han Han, ia tekan dengan doa-doa bagi keselamatan pemuda itu, baik di dunia maupun di akherat.
Di dalam sebuah gubuk di kaki Gunung Lu-liang-san, Lulu sadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya sedang dirawat oleh kakek pengemis yang mengobati luka-lukanya. Melihat gadis itu bergerak, kakek itu berkata perlahan.
"Jangan bergerak dulu, Nona. Luka-lukamu bekas bacokan senjata tajam tidak berbahaya, akan tetapi pukulan di punggung membuat tulangmu ada yang retak. Kau rebahlah saja dan jangan banyak bergerak."
Lulu tersenyum, hatinya girang bahwa dia belum mati. Dia mengenal kakek gembel ini yang telah menyelamatkan nyawanya ketika golok Twa-to-kwi Liok Bu Tang si Mata Satu menyambar lehernya, yaitu kakek yang telah menangkis golok itu dengan tongkatnya.
"Locianpwe, aku berhutang satu nyawa kepadamu."
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakek itu memandangnya dan tersenyum melihat gadis yang berpakaian pria itu tersenyum, kaget dan kagumlah dia.
"Wah, engkau memiliki daya tahan yang hebat. Hal ini membuktikan bahwa engkau telah mempelajari sin-kang yang luar biasa."
"Eh, jangan pura-pura tidak mendengar omonganku dan mengeluarkan puji-pujian kosong, locianpwe. Aku telah hutang satu nyawa kepadamu karena aku tentu telah mati kalau locianpwe tidak datang menolong."
Kakek itu menyelesaikan pekerjaannya membalut luka-luka di tubuh Lulu, kemudian berkata sungguh-sungguh,
"Nona, saling bantu di antara kita segolongan adalah wajar, bahkan saling menolong di antara manusia sudah semestinya, sama sekali tidak dapat dikatakan hutang-berhutang. Apalagi kalau kita bersama menghadapi orang-orang Mancu yang amat jahatnya. Ah, bukan semata-mata orangnya yang jahat, karena orang Mancu pun manusia seperti kita. Yang jahat adalah pimpinan mereka yang mengatur penjajahan dan menimbulkan perang. Perang adalah jahat dan kejam, membuat manusia-manusia seperti kita menjadi binatang-binatang buas. Aku sungguh amat membenci perang, akan tetapi lebih membenci orang-orang Mancu yang menimbulkan perang."
Hati Lulu tertarik sekali. Ucapan kakek ini benar-benar memiliki arti yang dalam, apalagi terdengar oleh telinganya, telinga seorang gadis Mancu.
"Locianpwe, apakah engkau demikian membenci orang Mancu? Engkau sendiri mengatakan tadi bahwa orang Mancu juga manusia seperti kita, mengapa locianpwe amat membenci mereka?"
"Mengapa tidak? Karena merekalah maka orang-orang seperti aku menjadi binatang-binatang buas yang membunuhi manusia lain tanpa berkedip. Dahulu, sebelum ada perang, manusia mengenal prikemanusiaan dan aku akan merasa bangga kalau dapat menyelamatkan nyawa seorang manusia lain daripada ancaman bahaya maut. Dahulu, nyawa manusia amat dihargai sehingga sebuah pembunuhan akan menggegetkan dan pembunuhnya akan dikutuk manusia lain. Akan tetapi sekarang? Ah, dalam keadaan perang, manusia menjadi makhluk sejahat-jahatnya. Betapa banyaknya nyawa manusia melayang oleh per buatanku, dan kedua tanganku yang berlumuran darah ini telah membunuh entah berapa banyak manusia lain."
Lulu makin tertarik. Kakek itu mengucapan kata-kata penuh semangat dan kesungguhan, dan wajah yang keriputan itu tampak berduka sekali.
"Akan tetapi yang Locianwe lakukan adalah demi perjuangan. Locianpwe berjuang demi negara dan bangsa, dan Locianpwe membunuh musuh bangsa. Bukankah hal itu merupakan perbuatan mulia?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Lulu berdiri. Kelihatannya saja tertawa, akan tetapi nadanya seperti orang menangis.
"Ha-ha-ha, Inilah yang menyedihkan. Manusia menganggap penyembelihan sesama manusia ini sebagai perbuatan mulia, Makin banyak menyembelih manusia, makin banyak merenggut nyawa sesama manusia, akan gagah perkasa, makin mulia dan disebut pahlawan. Memang perjuangan membela nusa bangsa, membela tanah air adalah sebuah tugas yang mulia, akan tetapi penyembelihan sesama manusia, sungguhpun berlainan bangsa, yang dianggap mulia oleh manusia itu, apakah juga mulia dalam pandangan Thian? Apakah Thian akan bersenang hati menyaksikan manusia ciptaan-Nya saling bunuh hanya karena memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi. Tidak, Nona. Aku yakin bahwa Thian tidak menghendaki manusia berbunuh-bunuhan, dan aku yakin bahwa penyembelihan antara manusia yang oleh masing-masing golongan manusia disebut mulia dan dipuji-puji ini dikutuk Thian."
Lulu menjadi terharu. Ia dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, dan tentu saja bagi dia, seorang gadis Mancu, ucapan itu berkesan amat dalam.
"Kata-kata locianpwe benar-benar mengejutkan hatiku. Akan tetapi, aku ingin sekali mendengar maksud ucapan locianpwe tadi bahwa perang antara manusia hanya memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi. Apakah yang locianpwe maksudkan?"
Kakek itu menarik napas panjang.
"Maksudku, tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak menganggap bahwa perang yang dilakukannya berdasarkan kebenaran. Lihat contohnya perang yang dikobarkan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiongkok. Bangsa Mancu menyerbu ke selatan dan mereka merasa benar karena mereka menganggap bahwa mereka semenjak dahulu direndahkan, dan menganggap bahwa mereka itu datang untuk membebaskan rakyat Tiongkok daripada cengkeraman pemerintahan yang tidak baik. Mereka berperang dengan dasar kebenaran mereka, karena hanya kalau mereka berkuasa di sinilah maka rakyat akan dapat hidup makmur, terbebas daripada penindasan kaisar dan pembesar-pembesar Kerajaan Beng yang lemah dan jahat dalam pandangan mereka. Jelaslah bahwa bangsa Mancu berperang dengan dasar kebenaran mereka, kebenaran palsu. Di lain pihak, Kerajaan Beng berikut semua pejuang yang melawan mereka, termasuk aku, mendasarkan perjuangan dengan kebenaran kita sendiri, kebenaran orang mempertahankan tanah airnya, kebenaran negara mempertahankan hak dan kedaulatannya. Padahal, yang diperebutkan adalah kemenangan, dan sesungguhnyalah bahwa kemenangan yang akan mendatangkan kemuliaan duniawi kepada mereka yang menang. Kalau perang hanya terbatas kepada mereka yang bercita-cita, baik para pembesar yang memperebutkan kedudukan, maupun para perajurit yang berperang karena menerima upah, atau pejuang yang berperang karena dorongan cita-cita, masih tidak mengapa. Mereka sudah sengaja ingin terjun ke dalam kancah perang yang isinya menang atau kalah, hidup atau mati. Celakanya, rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban keganasan perang."
Kakek itu menarik napas panjang, kemudian memandang Lulu tajam-tajam dan melanjutkan kata-katanya.
"Jahat sekali perang ini akibatnya. Pertengkaran pribadi hanya menimbulkan kebencian, akan tetapi perang menimbulkan kebendaan antara bangsa. Tidak ada lagi pertimbangan antara baik dan buruk, bangsa yang dibencinya karena perang, dianggapnya semua jahat dan semua harus dibasmi. Sungguh menyedihkan sekali karena baru dalam hal inilah ada persamaan pendapat antara orang baik dan orang jahat. Pendeta-pendeta dan perampok-perampok dapat bekerja sama menghadapi musuh. Dalam perang antar bangsa, biar dia perampok yang sekejam-kejamnya kalau sebangsa, dianggap sekutu. Biar sama-sama pendeta kalau menjadi bangsa yang dibenci dianggap lawan yang harus dibunuh. Dan maut yang disebar tidak memandang bulu, tidak mengenal prikemanusiaan lagi. Kebencian melanda dan menguasai hati nurani manusia sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan yang kejamnya melebihi srigala. Membunuh dan menyiksa dianggap perbuatan yang baik dan gagah perkasa. Semua karena gara-gara perang dan andaikata bangsa Mancu tidak mengobarkan perang lebih dulu, tidak akan terjadi segala kekejaman itu. Karena itu, aku membenci orang-orang Mancu yang menimbulkan perang, membenci mereka yang telah membuat aku sekarang menjadi seorang pembunuh berdarah dingin."
Istana Pulau Es Eps 2 Istana Pulau Es Eps 27 Istana Pulau Es Eps 30