Istana Pulau Es 27
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
"Pangcu...."
Kembali Siauw Bwee melangkah maju.
"Jangan, biarkan saja. Dia sedang terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku sedang mempelajari penyakitnya."
Seperti tadi Yu Goan mendekat dan memandang penuh perhatian. Siauw Bwee merasa heran dan juga kagum. Kiranya pernuda itu, yang sudah ia saksikan ilmu silatnya yang sungguh tak boleh dikatakan masih rendah tingkatnya, bahkan amat tinggi mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian pengobatan! Pemuda yang aneh dan mengagumkan! Kurang lebih satu jam lamanya kakek itu menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia membuka mata, mengeluh dan meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan lehernya, memandang kepada dua orang muda itu dan berkata perlahan.
"Maafkan.... ah, aku telah membuat Ji-wi kaget saja. Sedikit gangguan kesehatanku...."
"Gangguan kesehatan? Aihh, Pangcu tidak tahukah pangcu bahwa yang Pangcu ceritakan ini bukan sekedar gangguan kesehatan, melainkan ancaman jiwa Pangcu? Pangcu telah menderlta keracunan hebat sekali, racun yang menimbulkan hawa meresap ke dalam pusar dan mempengaruhi seluruh tubuh Pangcu!"
Kakek itu menjadi pucat wajahnya.
(Lanjut ke Jilid 26)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26
"Bagaimana Sicu bisa tahu?"
"Sedikit-sedikit aku tahu akan ilmu pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?"
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian duduk bersila dan Yu Goan mempersilakan dia membuka bajunya. Dengan gerakan tangan tetap pemuda itu lalu memeriksa denyut nadi, kemudian menempelkan telapak tangan ke pusar dan ke atas kedua dada kakek itu. Keningnya berkerut tanda bahwa pemuda itu memusatkan pikiran, kemudian berkata,
"Benar seperti dugaanku. Pangcu terkena racun yang amat hebat. Bukankah kadang-kadang hawa sin-kang di tubuh Pangcu tak dapat dikendalikan, di pusar terasa sakit seperti ditusuk, dada sesak dan kadang-kadang terasa amat dingin adakalanya amat panas hampir tak tertahankan? Pandangan mata menjadi berkunang telinga terdengar bunyi melengking?"
Kakek itu terbelalak.
"Sicu benar! Ahh, kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru Sicu?"
"Aku mendapat ilmu pengobatan dari kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin."
"Ahh, kiranya Si Raja Obat Song Hai?"
Kakek itu berseru girang, lalu merangkap kedua tangannya.
"Mohon pertolongan Sicu untuk mengobati dan menalong nyawaku."
"Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang menderita, Pangcu. Akan tetapi mengobati Pangcu tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sin-kang yang amat besar dan pula bukan di sini tempatnya."
"Ahh, aku berlaku kurang hormat. Marilah, silakan Ji-wi datang ke tempat kami!"
Yu Goan mengangguk dan Siauw Bwee memandang kepadanya dengan penuh rasa kagum. Mereka berdua mengikuti kakek itu pergi meninggalkan tebing menuju ke dalam hutan. Di tengah jalan Siauw Bwee berkata,
"Wah, kiranya engkau seorang ahli pengobatan yang lihai, Yu-twako."
"Ahh, pengertianku hanya dangkal saja, Lihiap. Pula, aku merasa sangsi apakah aku akan cukup kuat untuk menyembuhkan orang tua ini."
"Harap Sicu jangan khawatir. Berhasil atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap berterima kasih kepada Sicu yang telah sudi melimpahkan budi dan berusaha menolong aku, padahal tadi anak buahku telah mengganggu Ji-wi. Bolehkah aku mengetahui Ji-wi yang gagah? Aku sendiri bernama Ouw Teng dan sudah belasan tahun menjadi ketua di sini."
Siauw Bwee dan Yu Goan menjura dan pemuda itu berkata,
"Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee, dan aku bernama Yu Goan."
Biarpun kakek itu belum pernah mendengar nama dua orang muda itu, namun karena sudah lama dia tidak muncul di dunia kang-ouw, dia percaya bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh muda murid orang pandai, maka ia bersikap menghormat sekali. Setelah melalul jalan berliku-liku, akhirnya tibalah mereka di perkampungan yang sederhana, di tengah hutan gelap akan tetapi tanah di daerah ini amat subur dan sebagian dari hutan itu telah berubah menjadi sawah dan kebun sayur.
"Daerah kami ini jarang didatangi orang luar dan kami hidup tenang di sini, tidak pernah kekurangan makan. Di dalam kesederhanaan kami, kami tidak membutuhkan apa-apa, karena itu kami hidup cukup bahagia,"
Kata Ouw-pangcu sambil mempersilakan kedua orang muda itu memasuki pondok terbesar yang menjadi rumahnya. Orang-orang yang berpakaian sederhana seperti yang mengeroyok mereka tadi, nampak hilir mudik dan sibuk bekerja. Agaknya mereka semua telah mendengar tentang kedua orang muda itu, maka mereka memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani membuka suara karena kini dua orang muda itu datang bersama ketua mereka.
Diam-diam Yu Goan tersentuh oleh ucapan ketua itu. Terbukti kebenaran pelajaran yang pernah ia dengar dari kakeknya bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang tidak membutuhkan apa-apa! Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri! Keinginan timbul karena panca indera ditempeli pikiran yang membayangkan dan mengenang segala pengalaman kenikmatan jasmani dan kesenangan. Kalau keinginan sudah timbul, maka memuaskan keinginan itulah yang menciptakan kebutuhan. Ada kebutuhan disusul dengan usaha pencarian, yaitu mencari apa yang dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan sulit ditempuh, padahal setelah mencapai apa yang dicari, hahya mendatangkan kesenangan sesaat saja, kemudian dilupakan untuk disambung kebutuhan lainnya yang tak kunjung habis, tak kunjung henti karena kebutuhan itu diciptakannya sendiri tanpa sadar.
Betapa mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar kebutuhan yang diciptakan sendiri oleh kehausan dan kerakusan akan kenikmatan duniawi, dapat merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah senang bukan pula susah, bukan jntung bukan pula rugi, karena itu tidak ada kebalikannya, tidak ada perbandingannya. Jika masih dapat dibandingkan, itu bukanlah bahagia! Pondok tempat tinggal Ouw Pangcu cukup besar, akan tetapi amatlah sederhana. Dindingnya terbuat daripada bata bertumpuk-tumpuk secara kasar, daun pintunya dari kayu dengan bentuk bersahaja. Pembaringan kakek ini pun hanya merupakan sebuah dipan bambu! Belum pernah selama hidupnya dua orang muda itu melihat seorang ketua semiskin ini! Mereka duduk berhadapan di atas dipan, Yu Goan dan Ouw-pangcu. Adapun Siauw Bwee duduk di atas bangku tak jauh dari situ mendengarkan percakapan dua orang itu. Dia sendiri tidak mengerti ilmu pengobatan maka dia hanya ingin menonton bagaimana sahabatnya itu mengobati Ouw-pangcu.
"Bagaimanakah aku sampai keracunan? Aku sama sekali tidak pernah bertanding dengan orang lihai dan tidak pernah kena pukul,"
Kata kakek itu, menyatakan keheranannya biarpun dia tidak meragukan keterangan Yu Goan yang cocok dengan penderitaannya.
"Engkau tidak terluka oleh pukulan, Pangcu. Akan tetapi karena makanan atau minum sesuatu yang dicampuri racun. Dan racun ini mengacaukan hawa murni di tubuhmu. Karena engkau telah melatih diri dengan sin-kang yang tinggi dan aneh, yang agaknya telah dapat kau kuasai sedemikian rupa sehingga engkau mampu mempergunakan Im-kang dan Yang-kang yang amat kuat, maka kini kedua hawa yang sifatnya bertentangan itu saling menggempur tubuhmu sendiri."
Kakek itu membelalakkan matanya.
"Betapa mungkin makanan atau minumanku diracuni orang? Akan tetapi.... keteranganmu tepat sekali, Sicu. Memang aku telah melatih diri dengan sin-kang yang.... yang...."
Kakek itu kelihatan ragu-ragu.
"Hemm, bukankah engkau melatih Im-yang-sin-kang secara berbareng dan pandai menggunakan kedua sin-kang itu secara berbareng?"
Tiba-tiba Siauw Bwee menyambung ketika melihat kakek itu agak ragu-ragu untuk memberi tahu. Kakek itu makin kaget dan memandang Siauw Bwee penuh kagum.
"Engkau tahu akan hal itu, Nona? Bukan main! Agaknya di dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang berilmu tinggi! Tidak salah, sesungguhnya ilmuku ini merupakan rahasia, akan tetapi heran sekali mengapa engkau dapat menduga begitu tepat, dan Sicu ini dapat pula memberi keterangan yang cocok."
"Hemm, apa anehnya Pangcu?"
Siauw Bwee berkata.
"Anak buahmu tidak pandai ilmu silat tinggi, namun mereka rata-rata memiliki sin-kang yang amat kuat. Dan juga sastrawan itu...."
Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat.
"Aihh! Apakah bisa jadi....?"
"Apa yang hendak kaukatakan, Pangcu?"
Yu Goan berkata.
"Racun itu....! Anak buahku tidak mungkin meracuniku, akan tetapi dia.... Ang-siucai itu.... dia banyak mengajarkan ilmu masakan kepada para koki kami! Dan anggur yang dibuatnya itu....!"
Tiba-tiba ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan dengan suara lirih hampir berbisik,
"Ah, aku sudah membuka rahasia. Akan tetapi agaknya keadaan gawat, dan entah mengapa, timbul kepercayaan besar di hatiku terhadap Ji-wi. Biarlah kuceritakan keadaan kami sebelum engkau mencoba mengobatiku, Sicu."
Kakek ini dengan suara perlahan lalu menceritakan keadaan orang-orang di situ yang dipimpinnya. Dahulu di tempat itu tinggal sekelompok orang, kurang lebih dua ratus orang jumlahnya, yang hidupnya masih terbelakang dan jarang bertemu dengan orang luar. Mereka hidup sederhana, bahkan masih setengah liar. Kemudian muncullah seorang kakek sakti yang aneh dan berilmu seperti dewa. Melihat keadaan sekelompok manusia yang wajar dan sederhana ini, kakek itu lalu memimpin mereka dan mengajarkan ilmu kepandaian agar mereka itu dapat menjaga diri, dan dapat mengalahkan segala tantangan hidup dalam dunia yang masih liar itu.
"Karena pimpinan Locianpwe itulah maka kami memiliki sedikit ilmu kepandaian sehingga kami dapat menangkap binatang buas yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi, sungguh celaka, nasib buruk menimpa kami. Tidak lama setelah Locianpwe itu berada di sini dan beliau suka sekali hidup di antara orang-orang yang masih sederhana, wajar dan liar seperti kami, malapetaka menimpa kami, yaitu berupa penyakit yang menyeramkan."
"Penyakit apakah, Pangcu?"
Siauw Bwee bertanya, hatinya tertarik sekali mendengar penuturan itu dan menduga-duga siapa gerangan kakek sakti itu.
"Penyakit kusta."
"Kusta....?"
Yu Goan sebagai seorang ahli pengobatan tentu saja merasa ngeri mendengar penyakit yang belum pernah dapat diobati itu.
"Lalu bagaimana, Pangcu?"
"Inilah sebetulnya rahasia besar kami yang sekarang kubuka kepada Ji-wi karena Ji-wi sudah kuanggap bukan orang lain. Mereka yang terkena penyakit itu terpaksa harus menjauhkan diri agar jangan sampai menular kepada orang lain. Hal ini diatur oleh Locianpwe itu dan mereka itu ditempatkan di lembah."
"Di bawah sana itu? Jadi orang-orang di bawah itu adalah penderita-penderita penyakit kusta?"
Tanya Siauw Bwee.
"Benar, jadi di antara mereka dan kami sebenarnya masih ada hubungan erat, bahkan masih keluarga, dan lebih lagi, di antara mereka yang menderita itu terdapat ketua kami yang dahulu dipilih oleh Locianpwe itu sehingga sampai sekarang pun, tingkat mereka lebih tinggi dari pada kami orang-orang penghuni hutan di bukit ini. Karena penderitaan mereka itulah, Locianpwe menurunkan ilmu melatih sin-kang yang disebut Jit-goat-sin-kang (Hawa Sakti Matahari Bulan). Hanya mereka yang berada di lembah saja yang memperoleh ilmu itu, dan di atas sini hanya ketuanya, yaitu aku sendiri yang mendapatkan ilmu itu. Aku melatih sin-kang itu dengan mengambil tenaga sakti matahari dan bulan, kulatih bertahun-tahun. Siapa mengira, sekarang aku menjadi korban dari sin-kang itu sendiri."
"Kenapa engkau keracunan, Pangcu. Dan agaknya ada orang yang sengaja meracunimu,"
Kata Yu Goan.
"Tentu orang yang tahu akan Jit-goat-sin-kang, dan satu-satunya.... hemmm, hanya Ang-siucai yang kuberi tahu akan rahasia ilmu itu untuk membalas budinya. Setelah Locianpwe itu pergi beberapa tahun yang lalu, datanglah Ang-siucai sebagai utusan pemerintah yang bersikap baik sekali kepada kami, mengajarkan masak dan baca tulis. Mungkinkah dia....? Aihh, jangan-jangan sikap beberapa orang anak buahku yang berubah ini pun hasil perbuatannya! Celaka, dan aku terluka. Ah, Sicu, tolonglah aku agar aku dapat menyelidiki hal ini dan mencegah terjadinya hal yang lebih hebat lagi. Aku khawatir kalau-kalau akan terjadi pemberontakan di sini. Dalam beberapa bulan ini aku sudah melihat gejala-gejala perlawanan dan sikap tidak mau menaati perintahku, termasuk penyerangan mereka kepada Ji-wi tadi."
"Baik, Pangcu. Akan kucoba. Silakan Pangcu duduk bersila dan aku akan membantumu membersihkan hawa beracun yang mengacaukan sin-kang di tubuhmu."
Kata Yu Goan. Pemuda ini lalu duduk bersila di atas dipan, di belakang kakek itu, kemudian ia menempelkan kedua telapak tangannya di atas punggung yang telanjang itu, mengerahkan sin-kangnya. Tak lama kemudian, Yu Goan berteriak keras dan tubuhnya terpelanting jatuh dari atas dipan, mukanya pucat penuh keringat dan matanya terbelalak. Siauw Bwee cepat menyambar lengan Yu Goan dan membantu pemuda itu berdiri. Kakek itu menoleh dan mengerutkan alisnya yang putih.
"Bagaimana, Sicu?"
"Bagaimana, Twako? Kenapa kau jatuh?"
Siauw Bwee juga bertanya. Yu Goan mengusap peluhnya dan menggeleng kepala.
"Percuma. Agaknya Jit-goat-sin-kang yang kaumiliki itu luar biasa kuatnya, Pangcu. Aku tidak kuat menahan. Untuk mengobatimu membutuhkan orang yang memiliki sin-kang jauh lebih tinggi daripada kekuatanmu sendiri. Sin-kangmu yang dua macam saling berlawanan itu mana mungkin dilawan orang biasa seperti aku? Yang mengobati harus membagi tenaganya, sebagian untuk menahan penolakan Jit-goat-sin-kang yang berlawanan itu, sebagian untuk mengirim hawa murni ke pusarmu dan membantumu menguasai kembali sin-kangmu dan bersama-sama mengusir hawa beracun. Tak mungkin aku melakukannya, bahkan seluruh sin-kangku masih tidak kuat menghadapl pergolakan Jit-goat-sin-kang yang saling berlawanan itu, apalagi untuk mengusir hawa beracun."
"Aihh, sudah nasibku. Untuk menghadapi maut, bagiku bukan apa-apa, karena aku pun sudah cukup tua. Akan tetapi kalau yang kukhawatirkan terjadi, kalau samnpai timbul pemberontakan, celakalah anak buahku semua...."
Kakek itu mengeluh dengan air muka berduka sekali.
"Pangcu, jangan khawatir. Aku akan membantumu mengobati penyakitmu. Twako, jelaskan apa yang harus kulakukan?"
"Khu-lihiap...., hal itu.... berbahaya sekali. Jit-goat-sin-kang di tubuhnya liar dan amat kuatnya. Salah-salah engkau akan terluka parah di sebelah dalam tubuhmu!"
"Sicu benar, Lihiap. Harap jangan main-main dan mengorbankan diri sendiri untukku,"
Ouw-pangcu juga berkata dengan hati tulus. Siauw Bwee tersenyum.
"Kalau belum dicoba mana kita tahu, Twako? Biarlah aku mencobanya."
"Khu-lihiap, ini bukan main-main, mana boleh dicoba-coba? Aku tahu bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada tingkatku. Aku tidak hendak mengatakan bahwa sin-kangmu lebih lemah daripada sin-kangku, akan tetapi betapapun, tak mungkin dapat melawan Jit-goat-sin-kang yang liar di tubuh Ouw-pangcu."
Kembali Siauw Bwee tersenyum.
"Ouw-pangcu, Locianpwe yang kausebutkan tadi, apakah dia seorang kakek bertubuh kecil seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar sekali dan namanya Bu-tek Lo-jin?"
Ouw-pangcu begitu kaget mendengar ini sampai dia meloncat turun dari dipan dan memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak.
"Ini.... ini.... rahasia besar.... bagaimana Lihiap bisa tahu....?"
Tanyanya gugup dan Yu Goan juga terkejut. Dia pernah mendengar dari ayahnya akan nama Bu-tek Lo-jin itu, seorang manusia setengah dewa yang sakti dan aneh sekali, bahkan lebih terkenal daripada nama Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek beradik yang tidak lumrah manusia itu dan hanya kalah kebesaran dan keanehannya oleh Bu Kek Siansu!
"Karena engkau telah mempercayakan rahasiamu kepadaku, Pangcu, dan karena aku sudah percaya penuh kepada Yu-twako, maka tidak perlu aku menyembunyikan rahasia diriku lagi. Aku mendengar nama besar Bu-tek Lo-jin dari suhengku ketika aku digemblengnya di Pulau Es."
"Pulau Es....?"
Kini seruan itu keluar hampir berbareng dari mulut Yu Goan dan Ouw-pangcu.
"Khu-lihiap, jadi engkau.... murid penghuni Istana Pulau Es? Engkau murid manusia dewa Bu Kek Siansu....?"
Yu Goan bertanya dengan mata terbelalak. Siauw Bwee tersenyum, mengangguk.
"Aku murid beliau, akan tetapi beliau tidak ikut bersama kami ke Pulau Es dan yang mengajarku adalah Suheng. Penghuni Pulau Es hanyalah kami bertiga, aku, suciku dan suhengku."
"Ah, aku bersikap kurang hormat....!"
Ouw-pangcu cepat menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi baru setengahnya, tangan Siauw Bwee telah menangkap lengannya dan sekali tarik, tubuh kakek itu telah melayang ke atas dipan! Kakek itu duduk bersila dan memejamkan mata sambil berkata,
"Khu-lihiap penghuni Istana Pulau Es, aku menyerahkan nyawaku ke tangan Lihiap!"
"Jangan terlalu sungkan, Ouw-pangcu. Aku pun belum dapat menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkanmu. Twako, jangan banyak pujian dan sungkan-sungkan lagi, lekas terangkan bagaimana caranya mengobati luka Ouw-pangcu."
Dengan keheranan dan kekaguman masih menyelubungi hatinya, Yu Goan lalu memberi petunjuk. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, suara beradunya senjata dan teriakan anak buah Ouw-pangcu,
"Pemberontak! Pengkhianat! Manusia palsu Ang Hok Ci!"
Ouw-pangcu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dengan tenang Siauw Bwee berkata,
"Twako, kau menjaga di pintu, biar aku mengobatinya."
Lalu dara perkasa ini menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung kakek itu. Ouw-pangcu hendak melawan karena ingin dia menghadapi para pemberontak, akan tetapi sungguh aneh, tenaga Jit-goat-sin-kang di tubuhnya tiba-tiba bertemu dengan sin-kang yang amat kuat, juga sin-kang yang keluar dari kedua tangan dara itu merupakan dua macam sin-kang, panas dan dingin.
Dia terheran-heran. Apakah dara ini pandai pula Jit-goat-sin-kang? Sebenarnya bukanlah demikian, Siauw Bwee tidak pernah melakukan ilmu sin-kang dari inti hawa sakti matahari dan bulan, akan tetapi dia berlatih di Pulau Es di bawah petunjuk Han Ki dan menurut kitab-kitab pelajaran Bu Kek Siansu tentu saja dia menguasai Yang-kang dan Im-yang dengan baiknya. Sementara itu, di luar pondok terjadi perang yang amat seru. Anak buah yang masih setia kepada Ouw-pangcu diserbu anak buah lain yang telah dipengaruhi Ang Hok Ci atau Ang-siucai. Kiranya diam-diam Ang-siucai selama setengah tahun berada di situ, telah menurunkan ilmu silat kepada para kawan yang dipengaruhinya sehingga dalam pertempuran itu, anak buah Ouw-pangcu banyak yang roboh dan tewas.
"Bunuh Ouw-pangcu!"
Terdengar teriakan Ang-siucai dan ternyata bahwa kini selain Ang-siucai dan para anak buah yang dapat dipengaruhinya, muncul pula beberapa orang kawan Ang-siucai yang datang dari luar dan pada saat itu sudah menyerbu masuk perkampungan itu untuk membantu pemberontakan yang dicetuskan oleh sastrawan itu! Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan Ang-siucai sendiri sekarang pun tidak pura-pura. Biasanya, dia menyembunyikan kepandaiannya maka ia selalu bergerak dengan kaku seperti orang-orang di situ, akan tetapi sekarang, di samping tenaga Jit-goat-sin-kang yang telah dimilikinya walaupun belum mencapai tingkat tinggi, dia juga menggunakan ilmu silatnya sendiri yang ternyata cukup hebat. Seorang demi seorang robohlah para pengikut Ouw-pangcu dan sebagian kini menyerbu ke pondok tempat tinggal Ouw-pangcu!
Daun pintu dibobol dari luar dan Yu Goan cepat menggerakkan pedangnya, merobohkan orang pertama yang menyerbu masuk. Pemuda itu maklum bahwa selagi Siauw Bwee mengobati Ouw-pangcu, kedua orang itu tidak berdaya untuk membantunya. Bahkan kalau mereka berdua diganggu, amat berbahaya bagi keselamatan mereka. Selain itu, cara pengobatan menggunakan sin-kang itu tidak dapat dihentikan di tengah jalan karena hal ini akan membahayakan yang diobati. Dia harus dapat bertahan seorang diri sampai Siauw Bwee selesai mengobati kakek itu. Dua orang dengan gerakan liar menyerbu masuk dengan tangan memegang golok. Mereka menyerang berbareng ke arah Yu Goan.
Pemuda ini sudah melolos pedang dan sarung pedangnya karena dia maklum akan menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Melihat datangnya dua batang golok yang digerakkan dengan tenaga kuat itu, ia menangkis dengan pedang dan sarung pedangnya. Untung baginya bahwa dua orang itu hanya memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat akan tetapi gerakan mereka sama sekali tidak berbahaya, maka begitu menangkis, pedangnya terus berkelebat ke kanan kiri menusuk dada dan menyabet perut. Dua orang itu berteriak keras, akan tetapi benar-benar tubuh mereka kebal, karena tusukan ke arah dada itu meleset dan hanya mendatangkan luka pada kulit, sedangkan sabetan pada perut hanya merobek baju dan kulit.
Dua orang itu sambil berteriak kaget sudah menerjang lagi dengan buas, akan tetapi Yu Goan yang melihat betapa di belakang dua orang itu menyerbu banyak sekali lawan, bergerak cepat sekali. Serangan orang di sebelah kanannya ia elakkan sehingga orang itu terhuyung ke belakang, cepat pedangnya dibalik dan secara tiba-tiba pedangnya menusuk ke belakang dan tepat menancap pada punggung lawan ini yang menjerit dan muntahkan darah segar dari mulutnya lalu terjungkal. Adapun penyerangnya dari kiri ia sambut dengan totokan sarung pedang pada pergelangan tangan orang itu sehingga goloknya terlempar karena tangan itu menjadi lumpuh.
Pedang Yu Goan menyambar, kini mengarah leher dan biarpun leher itu juga kebal, namun goresan mengenai jalan darah di leher sehingga tampak getar ketika bertemu dengan golok yang dipegang seorang berpakaian seperti orang Han, dahinya lebar sekali dan gerakan goloknya aneh dan tangkas. Bersama orang ini, menyerbu pula enam orang liar dan Yu Goan segera dikeroyok di depan pintu. Pemuda ini memutar pedang dan sarung pedangnya. Namun kepandaian orang Han yang menjadi kawan Ang-siucai itu benar-benar tak dapat dipandang ringan sehingga Yu Goan harus bersikap hati-hati sekali. Dia memutar pedang dan sarung pedang, berloncatan ke sana-sini tanpa meninggalkan posisinya melindungi Siauw Bwee yang sedang mengobati Ouw-pangcu di sebelah belakangnya.
Dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok pula, akan tetapi kini Ang-siucai sendiri bersama teman-temannya datang, dan Yu Goan terkurung oleh delapan orang termasuk Ang-siucai, dan dua orang Han yang lihai! Yu Goan bukanlah seorang pendekar muda biasa. Dia adalah putera tunggal pendekar besar Yu Siang Ki, keturunan langsung dari tokoh-tokoh besar Ketua Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis pendekar yang amat terkenal itu. Ayahnya sendiri yang telah menggemblengnya dalam ilmu silat, bahkan ayahnya yang menjadi seorang ahli ilmu tongkat keluarga Yu, telah mengubah ilmu pedang dari ilmu tongkatnya itu. Kini, Yu Goan mainkan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri yang dipergunakan sebagai tongkat, dapat menangkis dan juga menotok jalan darah lawan!
Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Roboh dua maju empat orang dan sebentar saja banyak lawan menyerobot masuk sehingga Yu Goan menjadi sibuk dan bingung juga karena dia harus melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu. Andaikata dia tidak harus melindungi dua orang itu, tentu saja sejak tadi dia sudah meloncat keluar mencari tempat yang lebih luas agar enak dia mengamuk. Kini, di tempat sempit itu, dan separuh perhatiannya ia tujukan untuk melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu, tentu saja dia kurang menjaga diri sendiri sehingga beberapa kali dia terkena sambaran senjata yang bagaikan hujan datangnya. Pundaknya, pangkal lengan kirinya dan paha kanannya sudah terluka, namun Yu Goan tak pernah berhenti bergerak menahan musuh yang seolah-olah air bah mengancam Siauw Bwee dan Ouw-pangcu.
"Kurung dia rapat-rapat!"
Ang-siucai berseru dan kini dua belas orang mengepung Yu Goan. Pemuda ini bingung sekali karena dia tidak dapat lagi melindungi Siauw Bwee. Baginya hanyalah Siauw Bwee yang penting maka kembali dia terkena tusukan ujung golok pada dada kanannya yang mengakibatkan luka lumayan dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena dia nekat meloncat keluar dari kepungan mendekati Siauw Bwee. Pada saat itu, dua orang liar telah dekat di belakang Siauw Bwee, telah mengangkat golok hendak membacok wanita muda yang duduk bersila dan memejamkan mata, kedua telapak tangan menempel di punggung Ouw-pangcu itu.
"Trang-trang! Cepp! Cepp!"
Dalam kemarahan dan kegelisahannya, Yu Goan menangkis golok dari belakang, kemudian dua kali pedangnya amblas memasuki lambung dua orang itu yang tidak sempat mengerahkan sin-kang karena serangan itu datangnya amat cepatnya.
"Bukkk!"
Tubuh Yu Goan terguling ketika pukulan tangan kiri Ang-siucai mengenai punggungnya. Belasan batang golok dan pedang menghunjam ke bawah mengarah tubuh pemuda ini, akan tetapi dengan sikap seperti seekor burung terbang, tubuh Yu Goan sudah mencelat ke atas dan terdengar bunyi nyaring ketika pedang dan sarung pedangnya menangkis sekian banyaknya senjata!
Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang Han pembantu Ang-siucai untuk menerjang Siauw Bwee dari belakang. Mereka telah melihat Siauw Bwee dan diam-diam mereka ini tergila-gila, maka ketika mereka menerjang, mereka tidak ingin membunuh dara jelita itu, melainkan ingin menangkapnya. Dua orang ini menubruk dan karena tanpa berunding lebih dulu memang mereka mempunyai nafsu hati yang sama, seorang mencengkeram pundak kiri Siauw Bwee dan orang ke dua mencengkeram pundak kanan. Niat hati mereka, dara itu akan ditangkap, dipeluk, dipondong dan dibawa lari!
"Auugghhh!"
"Aiiighhh!"
Dua orang itu begitu menyentuh pundak Siauw Bwee, terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Yang memegang pundak kiri seketika menjadi kejang, mula-mula menggigil lalu mati kaku dengan muka dan tubuh membiru karena darahnya telah membeku terserang Im-kang yang dahsyat. Adapun yang menyentuh pundak kanan tadi menjadi hitam seluruh tubuhnya dan mati seperti orang terbakar karena darahnya telah terbakar oleh Yang-kang!
"Ihhhh....!"
Ang-siucai berteriak kaget dan memberi aba-aba kepada para kawannya agar tidak menyerang nona itu. Namun terlambat dua orang pembantunya, anak buah Ouw-pangcu yang memberontak telah menusukkan golok mereka ke punggung Siauw Bwee. Begitu ujung golok menyentuh punggung, keduanya memekik dan terjengkang ke belakang dan mati seketika!
Pada saat itu Siauw Bwee sedang mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, dan tenaga itu bercampur dengan tenaga Jit-goat-sin-kang dari Ouw-pangcu, maka dahsyatnya bukan kepalang. Tenaga itu seolah-olah melindungi tubuh mereka berdua dan tentu saja penyerang yang kurang kuat sin-kangnya akan mati seketika seperti yang dialami empat orang sembono itu. Ang-siucai membawa teman-temannya keluar dan kini pertandingan dilanjutkan di luar. Pihak pengikut Ouw-pangcu terdesak hebat dan Yu Goan yang masih mengamuk dan terkurung dan terdesak karena pemuda perkasa ini sudah menderita banyak luka. Keadaannya berbahaya, sekali, namun Yu Goan sedikit pun tidak menjadi gentar dan, bertekad melawan sampai detik terakhir. Ouw-pangcu menghela napas panjang, tubuhnya bergerak dan ia berkata dengan suara nyaring,
"Terima kasih, Lihiap. Budimu takkan kulupakan dan ternyata Lihiap tidak kecewa menjadi murid Bu Kek Siansu!"
"Tidak perlu berterima kasih, Pangcu. Lebih baik lekas kita membantu Yu-twako."
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua orang ini meloncat keluar. Ouw-pangcu masih bertelanjang baju dan tangannya sudah menyambar goloknya yang tadi tergantung di dinding, begitu tiba di luar, Siauw Bwee dan Ouw-pangcu mengamuk. Terutama sekali Ouw-pangcu yang masih menyaksikan Yu Goan menderita banyak luka dan orangnya banyak yang tewas. Ketua ini mengamuk seperti harimau terluka dan banyak kaum pemberontak roboh dan tewas di ujung golok atau di bawah telapak tangan kirinya. Namun, ketika para pemberontak melemparkan senjata dan berlutut minta ampun, di antara mereka tidak terdapat Ang-siucai dan kawan-kawannya yang telah lebih dulu melarikan diri.
Hanya dua orang Han yang menyerang Siauw Bwee tadi yang tewas, selebihnya telah berhasil melarikan diri semua. Ouw-pangcu yang merasa penasaran, mengerahkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran, namun Ang-siucai dan teman-temannya lenyap seperti ditelan bumi. Dengan hati penuh penasaran dan duka Ouw-pangcu memimpin anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan, dan mengobati yang terluka. Yu Goan mencerita luka, namun tidak ada yang berbahaya sehingga setelah mengobati dirinya sendiri, pemuda perkasa ini masih sibuk mengobati anak buah Ouw-pangcu yang terluka. Hati Ouw-pangcu menjadi terharu sekali. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw Bwee dan Yu Goan. Ketika dua orang itu menolak dan membujuknya untuk berdiri, dia berkata,
"Aku tidak mau berdiri kalau Ji-wi tidak suka menjadi anak-anak angkatku!"
Yu Goan dan Siauw Bwee saling pandang akhirnya keduanya mengangguk.
"Baiklah, Gihu!"
"Bangkitlah sekarang, Gihu!"
Kata pula Siauw Bwee yang mencontoh Yu Goan menyebut gihu (ayah angkat) kepada kakek itu. Ouw-pangcu melompat bangun, tertawa bergelak dan merangkul pundak kedua orang muda itu, memandang muka mereka saling berganti penuh kebanggaan.
"Ha-ha-ha-ha! Mempunyai dua orang anak angkat seperti kalian, biar sekarang mati pun aku akan mati dengan senyum bahagia!"
Siauw Bwee dan Yu Goan menjadi terharu sekali dan diam-diam mereka tidak menyesal, bahkan bangga mempunyai seorang ayah angkat yang demikian gagah perkasa, jujur, dan hidup dalam keadaan wajar.
"Marilah, anak-anakku. Marilah kuajarkan ilmu melatih sin-kang untuk memperoleh tenaga inti matahari dan bulan. Kebetulan bulan sedang purnama malam ini, kau bisa mulai."
Bagi Yu Goan tentu saja ilmu ini merupakan keuntungan besar bukan main dan dengan tekun ia mulai melatih diri. Bagi Siauw Bwee, sesungguhnya dia memiliki sin-kang yang lebih dahsyat daripada yang dimlilki Ouw-pangcu, akan tetapi ketika dia mempelajari teori pelajaran ini, dia mendapat kenyataan bahwa kalau orang dapat mencapai tingkat tertinggi dari ilmu ini, bukan saja akan memliiki sin-kang yang dahsyat, pun akan dapat memetik hawa mujijat dari matahari dan bulan! Maka dia pun lalu mempelajari dengan teliti dan mulai berlatih bersama Yu Goan.
Ouw Teng, ketua penghuni tebing dan hutan itu, bersikap amat baik kepada Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek ini tidak mempunyai isteri atau anak, dan rasa terima kasih membuat dia berusaha sedapatnya untuk menyenangkan hati kedua orang anak angkatnya. Dia menceritakan segala hal mengenai keadaan para penghuni di situ tanpa menyimpan rahasia. Anak buahnya, yaitu para penghuni tebing dan hutan, tadinya berjumlah seratus orang lebih. Mereka membentuk keluarga di situ dan beranak bini. Akan tetapi pemberontakan itu menewaskan belasan orang anak buahnya, sedangkan yang terbujuk oleh Ang-siucai dan tewas serta melarikan diri, ada tiga puluh orang.
Setelah tinggal di tempat itu selama dua bulan, Siauw Bwee dan Yu Goan mendapat kenyataan betapa orang-orang itu sesungguhnya hidup jauh lebih bahagia daripada orang-orang kota. Dan sesungguhnya mereka hidup dengan tenang, tenteram dan penuh damai. Tidak pernah ada percekcokan. Tidak pernah ada pencurian karena mereka tidak mengenal istilah mencuri. Semua benda yang terdapat di situ adalah milik mereka bersama dan siapa yang membutuhkan boleh mengambilnya. Tidak ada iri hati karena keadaan hidup mereka sama, bahkan Ouw-pangcu sendiri hidupnya tidak berbeda dengan mereka. Melihat keadaan ini, Siauw Bwee diam-diam membenarkan Bu-tek Lo-jin yang menaruh kasihan dan mengajarkan ilmu kepada mereka.
Hidup secara liar seperti itu tentu saja lebih membutuhkan kekuatan untuk melawan ancaman binatang buas, penyakit yang timbul dari hawa udara dan lain ancaman lagi. Karena melihat bahwa mereka itu hanya memiliki kekebalan, Siauw Bwee lalu mengajarkan beberapa jurus ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ketika malam-malam mereka mengintai dia dan Yu Goan, mereka itu melenyapkan diri bukan karena memiliki gerakan cepat, melainkan karena mempunyai tempat persembunyian di hutan-hutan yang tentu saja sudah mereka kenal betul keadaannya. Pula, karena mata mereka mengeluarkan cahaya mencorong berkat sin-kang mereka, maka begitu mereka memejamkan mata dan mendekam di tempat gelap, Siauw Bwee tidak dapat melihat mereka.
Bagi Siauw Bwee yang sudah mengalami banyak hal aneh, bahkan pernah tinggal di tempat Pulau Es yang sunyi, kini tinggal di dalam hutan di antara orang-orang yang demikian sederhana hidupnya, ia merasakan ketenteraman hati yang amat menyenangkan. Ia merasa kerasan di tempat itu, hidup di antara pohon-pohon dan tanaman-tanaman liar, tidak pernah terlihat kemewahan kota, tidak pernah melihat kesibukan manusia mengejar uang, tidak pernah melihat percekcokan-percekcokan. Juga Yu Goan, di samping tekun melatih diri dengan Ilmu Jit-goat-sin-kang, juga merasa amat senang tinggal di situ. Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Siauw Bwee, pemuda ini maklum bahwa jangankan tinggal di tempat yang tenang itu, biar tinggal di dalam neraka sekalipun dia akan merasa
senang kalau di situ terdapat Siauw Bwee di sampingnya!
Pemuda ini menyadari sedalamnya bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara jelita yang sakti itu. Jatuh bertekuk lutut, mencinta Khu Siauw Bwee bukan hanya dengan jiwa raganya, melainkan seluruh hidupnya seakan-akan kini ia tujukan demi cinta kasihnya kepada dara itu! Dia tidak berani mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi setiap pandang matanya, suaranya, gerak-geriknya jelas membayangkan cintanya yang amat mendalam. Siauw Bwee sendiri bukan tidak tahu akan perasaan pemuda itu, dan hal ini amat mengganggu hatinya. Dia suka kepadanya. Yu Goan yang ia tahu adalah seorang pemuda yang amat halus budi pekertinya, seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat, juga dalam kesusastraan dan ilmu pengobatan, sopan-santun dan jujur, pendeknya seorang pemuda pilihan.
Akan tetapi, hatinya yang sudah jatuh cinta kepada suhengnya Kam Han Ki, tidak mungkin mencinta pria lain. Dia merasa kasihan kepada Yu Goan, terharu kalau melihat betapa sinar mata pemuda itu memandangnya penuh kasih, dan ia mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan pemuda itu dengan satu-satunya jalan yang ia ketahui, yaitu memisahkan diri dari pemuda itu. Pagi itu mereka berdua berlatih di waktu matahari mulai naik tinggi, duduk bersila dan melatih sin-kang menerima cahaya matahari dan membiarkan sinar matahari yang mengandung inti hawa panas yang menjadi sumber segala hawa panas itu meresap ke dalam tubuh mereka. Setelah mereka menghentikan latihan mereka dan tubuh mereka basah oleh peluh, mereka mengaso di bawah pohon yang teduh sambli menghapus peluh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Bwee untuk mengutarakan keinginan hatinya.
"Yu-twako, kurasa kita sudah cukup memahami cara melatih diri dengan Jit-goat-sin-kang. Kini yang penting hanya tinggal melatih diri yang dapat kita lakukan di manapun juga. Sudah terlalu lama kita tinggal di tempat ini."
Yu Goan menoleh dan memandang dara itu dengan matanya yang lembut. Kemudian ia berkata,
"Ucapanmu benar, Lihiap...."
"Aihh, sudah berapa kali aku minta agar engkau tidak menyebutku dengan lihiap, Twako. Bukankah sejak lama aku menyebutmu Twako?"
"Terima kasih, ....eh, Bwee-moi. Sesungguhnya engkau baik sekali dan aku merasa amat beruntung diperbolehkan menyebutmu adik. Akan tetapi, engkau adalah seorang pendeker wanita yang tiada keduanya di dunia ini, den aku.... aku merasa terlalu rendah untuk manyebutmu adik."
"Omongan apakah ini? Aku hanya seorang manusia biasa, Twako. Kalau kau tidak menyebutku adik, aku tidak mau menjawabnya."
"Baiklah, Bwee-moi. Maafkan aku. Apa yang kaukatakan tadi benar bahwa kita sudah memaharni Jit-goat-sin-kang dan sudah terlalu lama tinggal di sini mengganggu ayah angkat kita. Akan tetapi...., kita akan pergi ke manakah?"
Inilah yang berat bagi Siauw Bwee dan semua tadi ia ucapkan hanya untuk dipergunakan sebagai alasan belaka. Maksudnya hanya untuk mencari jalan agar ia dapat memisahkan diri dari pemuda ini.
"Aku akan melakukan perjalananku mencari suci dan suheng, Twako. Kita berpisah di sini, aku melanjutkan perjalanan dan engkau pun melanjutkan perjalananmu sendiri."
Dengan hati perih Siauw Bwee melihat betapa wajah yang tampan itu menjadi pucat, mata itu memandangnya dengan sinar mata penuh permohonan.
"Bwee-moi...., mengapa.... mengapa kita harus saling berpisah? Bukankah kita dapat melakukan perjalanan bersama? Aku akan membantumu mencari suheng dan sucimu sampai engkau dapat bertemu dengan mereka!"
Siauw Bwee menggeleng kepalanya.
"Twako, engkau baik sekali dan percayalah bahwa aku selamanya tidak akan melupakan engkau sebagai seorang sahabat yang paling baik, bahkan sebagai saudara angkat karena setelah kita berdua menjadi anak-anak angkat Ouw-pangcu, kita pun menjadi saudara angkat. Akan tetapi, tidak baik kalau kita melakukan perjalanan bersama, apalagi aku tidak ingin menyusahkanmu. Urusan pribadiku masih amat banyak, dan engkau sendiri tentu mempunyai urusan pribadi. Biarlah kita berpisah di sini dan tentu kelak kita masih akan dapat saling berjumpa kembali."
Yu Goan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya untuk menyembunyikan kedukaan yang membayang di wajahnya.
"Ah, Bwee-moi.... aku mohon kepadamu, jangan aku harus berpisah darimu.... jangan kita saling berpisah lagi...."
Siauw Bwee tentu saja sudah menduga akan isi hati pemuda ini, akan tetapi ia mengeraskan hati, memandang dengan alis berkerut dan bertanya dengan suara nyaring mendesak,
"Twako! Apa maksudmu dengan kata-kata itu?"
Yu Goan menurunkan kedua tangannya dan memandang wajah dara itu dengan muka pucat namun sinar mata membayangkan isi hatinya tanpa disembunyikan lagi. Suaranya menggetar, namun ia memaksa diri untuk menggunakan saat itu mengeluarkan semua isi hatinya.
"Bwee-moi, dengarlah. Semenjak saat pertama aku melihatmu, kemudian mendengar bahwa engkau adalah puteri dari mendiang pahlawan Khu Tek San, cucu murid Menteri Kam Liong, kemudian dilanjutkan melihat sepak terjangmu, menyaksikan kelihaian ilmu kepandaianmu dan watakmu yang amat mulia, aku telah jatuh cinta kepadamu! Tidak tahukah engkau, Bwee-moi? Aku cinta kepadamu, Bwee-moi, dan aku tidak akan dapat hidup kalau harus berpisah dari sampingmu. Engkau telah menjadi separuh nyawaku dan aku...."
"Cukup, Twako!"
Siauw Bwee berkata keras, tidak marah, hanya sengaja memperkeras sikapnya untuk "mengobati"
Penyakit yang menyerang hati pemuda itu.
"Aku bukan seorang buta yang tidak melihat tanda-tanda itu semua, dari sinar matamu, dari suara dan gerak-gerikmu. Aku tahu bahwa engkau sudah jatuh cinta kepadaku. Akan tetapi, karena aku tahu pula bahwa amat tidak mungkin bagiku untuk membalas perasaan hatimu itu, aku mengambil keputusan bahwa kita harus saling berpisah sebelum penyakitmu menjadi makin berat."
Yu Goan memandang dengan mata terbelalak kosong, sekosong hatinya yang mengalami pukulan hebat. Wajahnya yang pucat, matanya yang memandang kosong, mulutnya yang agak terbuka seolah-olah sukar mengeluarkan suara, merupakan ujung pedang yang menusuk hati Siauw Bwee.
"Meng.... mengapa tidak mungkin...., Bwee-moi?"
Suara ini lebih mirip rintihan yang membuat Siauw Bwee memejamkan mata sejenak. Ketika dibukanya kembali, dua titik air mata menetes turun. Sejenak dia memandang wajah Yu Goan yang pucat, rambutnya yang mawut, matanya yang sayu, mulutnya yang tertarik derita hatinya. Ahhh, betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, pikiran ini seperti kilat memasuki kepalanya. Akan tetapi di sana ada Kam Han Ki dan dia tidak mau menukar suhengnya itu dengan pria lain yang manapun juga, betapa tampan dan baik pun!
"Yu-twako, aku suka kepadamu, aku menganggap engkau sebagai sahabat terbaik, bahkan sebagai saudara, akan tetapi tidak mungkin aku membalas cintamu karena.... karena cinta kasihku telah dimiliki pria lain, Twako."
Yu Goan terbelalak, kemudian kedua lengannya bergerak ke atas, yang kanan menjambak rambut sendiri, yang kiri menutupi muka, tubuhnya gemetar dan suaranya menggetar,
"Ahhhh.... maafkan aku, Bwee-moi.... maafkan aku....!"
Siauw Bwee memegang kedua tangan Yu Goan dan menariknya turun. Ia memandang air mata yang menetes-netes turun di wajah yang pucat itu, menahan air matanya sendiri dan mengeraskan suaranya,
"Twako! Begini lemahkan engkau? Seorang pemuda gagah perkasa, begini sajakah kekuatan batinmu?"
Yu Goan memandang dara itu, lalu memejamkan mata dan menundukkan mukanya.
"Maafkan aku.... maafkan...."
Siauw Bwee mengguncang kedua lengan pemuda itu.
"Yu-twako! Engkau mengatakan bahwa engkau cinta kepadaku, akan tetapi kalau ternyata bahwa engkau menderita batin karena aku tidak bisa membalas cintamu, berarti bahwa engkau bukan mencinta aku melainkan mencinta dirimu sendiri!"
Yu Goan mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang terbelalak.
"Apa maksudmu, Bwee-moi?"
"Di balik cintamu itu tersembunyi nafsu mementingkan diri sendiri, tersembunyi keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, kau ingin dicinta, ingin memiliki, itu bukanlah cinta sejati, Twako, melainkan cinta diri yang bergelimang nafsu. Karena di balik cintamu bersembunyi hal-hal itulah maka engkau menjadi berduka dengan merasa sengsara ketika mendengar bahwa aku tidak dapat membalas cintamu! Renungkanlah, Twako, siapakah yang kaucinta itu? Aku ataukah dirimu sendiri?"
Yu Goan termenung, tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian ia mengangguk.
"Akan tetapi.... adakah cinta yang murni, tanpa keinginan untuk tidak berpisah lagi selamanya dari orang yang dicintanya?"
"Tentu saja ada, Twako. Cinta murni melupakan keinginan hati sendiri, hanya ingin melihat orang yang dicintanya bahagia. Karena kita yakin bahwa aku tidak mungkin membalas cinta kasihmu, robahlah cintamu itu, bersihkan daripada nafsu berahi. Lihatlah, aku memegang tanganmu, tanpa getaran nafsu, akan tetapi dengan rasa cinta sepenuhnya, cinta saudara. Dapatkah engkau merasakan itu, Twako?"
Yu Goan memandang tajam, kemudian menghela napas panjang dan mengangguk.
"Aku mengerti, Bwee-moi."
Ia lalu meraih tubuh dara itu dan mencium dahinya, ciuman yang lembut dan bersih daripada nafsu, jauh daripada kemesraan kasih sayang lawan kelamin. Siauw Bwee dapat melaksanakan pula hal ini, maka dia tidak kaget, tidak membantah, dan diam-diam ia merasa bersyukur dan kagum bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki budi pekerti yang bersih. Yu Goan menekan keharuannya dan melepaskan pelukannya. Mereka hanya duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Kini terbayang senyum di bibir Yu Goan biarpun pada matanya yang biasanya tajam penuh kegembiraan itu kini berganti pandang sayu tanda bahwa hatinya terluka oleh ujung anak panah Dewa Cinta yang beracun.
"Bwee-moi, terima kasih. Aku memang bodoh sekali, bodoh karena mementingkan diri sendiri saja. Bwee-moi, kalau boleh aku bertanya, apakah cinta kasihmu terhadap pria yang berbahagia itu juga murni dan bersih daripada nafsu?"
Wajah Siauw Bwee tiba-tiba menjadi merah sekali dan ia menggenggam tangan Yu Goan ketika menjawab,
"Aku.... aku juga bodoh seperti engkau, Twako. Aku.... aku mencinta dia seperti engkau mencintaku tadi. Ahhh.... sudah mengerti namun tetap tidak dapat mengalahkan perasaan sendiri, betapa lemah dan bodohnya aku, lebih bodoh dan lebih lemah daripada engkau, Twako."
Tiba-tiba Siauw Bwee menangis, teringat akan Han Ki, teringat akan Maya, teringat akan cintanya yang masih berbelit-belit itu karena dia tidak tahu kepada siapakah sesungguhnya Han Ki mencinta, cinta seorang pria terhadap wanita, cinta yang tak dapat dibagi-bagi, kepada dia ataukah kepada Maya? Yu Goan menjadi terharu dan merasa kasihan sekali. Ia merangkul pundak Siauw Bwee, menepuk-nepuk punggungnya perlahan sambil berkata,
"Bwee-moi, kasihan engkau....! Engkau sedang menderita, ditambah oleh gangguan lagi. Tenanglah, Bwee-moi, aku berjanji takkan mengganggumu lagi dan aku akan bersembahyang setiap saat kepada Tuhan semoga engkau akan berbahagia dalam cinta kasihmu itu."
"Terima kasih, Yu-twako, engkau baik sekali."
Tiba-tiba kedua orang ini tersentak kaget dan meloncat berdiri ketika pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk kentongan-kentongan bambu yang dipukul bertalu-talu. Tanpa bicara keduanya melesat meninggalkan tempat itu, kembali ke perkampungan dan mereka melihat orang-orang lari tergopoh-gopoh berkumpul di depan pondok Ouw-pangcu. Ketika melihat dari jauh wajah Ouw-pangcu dan wajah anak buahnya kelihatan tegang, Siauw Bwee dan Yu Goan tidak mau mengganggu, hanya memandang bengong ketika melihat Ouw-pangcu memimpin anak buahnya, berbondong-bondong lari menuruni bukit memasuki hutan. Siauw Bwee dan Yu Goan saling berpandangan, kemudian mereka bergerak mengikuti rombongan itu dari belakang.
Sudah lama Siauw Bwee dan Yu Goan mempunyai keinginan bertemu dengan penghuni lembah di bawah, atau setidaknya ketuanya karena mereka itu adalah orang-orang yang menerima pendidikan langsung dari Bu-tek Lo-jin. Biarpun mereka mendengar dari Ouw-pangcu bahwa Bu-tek Lo-jin sudah lama sekali meninggalkan daerah itu, namun menurut Ouw-pangcu, ilmu kepandaian para tokoh penderita kusta itu amat tinggi dan karena inilah maka Siauw Bwee dan Yu Goan ingin sekali bertemu dan menyaksikan sendiri keadaan mereka. Akan tetapi menurut penuturan Ouw-pangcu, tidak ada seorang manusia boleh turun ke lembah, pula tidak ada jalan menuruninya, kecuali jalan rahasia yang dikuasai oleh orang-orang lembah. Kini melihat kesibukan itu, dan ketegangan yang tampak pada wajah Ouw-pangcu dan anak buahnya, Siauw Bwee dan Yu Goan menduga-duga bahwa tentu ada urusan yang menyangkut orang-orang lembah yang penuh rahasia itu.
Siauw Bwee dan Yu Goan yang mengikuti rombongan itu memasuki hutan yang belum pernah mereka datangi. Mereka menerobos ke sana ke mari, melalui hutan yang penuh pohon-pohon raksasa, kemudian melintasi padang rumput yang tinggi dan tebal, melalui tanaman-tanaman berduri yang agaknya sudah bertahun-tahun tidak dilalui manusia. Dari jauh terdengar suara melengking tinggi dan agaknya ke arah suara itulah mereka menuju. Rombongan itu berhenti di dalam sebuah hutan, tak jauh dari sebatang pohon raksasa yang amat besar dan tua. Di bawah pohon ini tampak sebuah batu besar yang dilihat dari jauh berbentuk sebuah kepala raksasa. Ouw-pangcu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut dalam jarak lima meter dari pohon raksasa itu, berlutut tanpa berkutik seperti menanti sesuatu. Siauw Bwee dan Yu Goan bersembunyi di balik pohon, mengintai dengan hati tegang karena mereka tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa yang akan terjadi di situ.
Suara melengking yang terdengar dari pohon tua itu berhenti. Keadaan sunyi senyap, sunyi yang mendebarkan jantung penuh ketegangan. Tiba-tiba Siauw Bwee dan Yu Goan memandang terbelalak ke arah batu besar itu. Batu itu bergerak perlahan, bergeser dari kanan ke kiri. Dan tampaklah sebuah lubang di bawah batu itu, seperti sebuah sumur dan batu itu terus menggeser sampai lubang itu tampak semua, berbentuk bundar dan bergaris tengah satu meter. Tiba-tiba terdengar suara kelentingan ramai dari dalam lubang, seperti suara banyak kelenengan kecil dibunyikan berbareng. Keadaan makin tegang dan kalau Ouw-pangcu dan anak buahnya semua berlutut menundukkan muka tanpa berani memandang, Siauw Bwee dan Yu Goan terbelalak memandang ke arah lubang sumur itu.
Tiba-tiba di depan lubang itu telah berdiri seorang manusia yang amat menyeramkan! Demikian cepat gerakan orang itu, seolah-olah dia seorang iblis yang muncul dari alam lain, seperti pandai melenyapkan diri dan tiba-tiba kini menampakkan diri di depan lubang. Hanya pandang mata Siauw Bwee saja yang lebih tajam dan kuat dari pandang mata Yu Goan dapat melihat berkelebatnya sinar hitam dari dalam lubang, maka dara sakti ini maklum bahwa orang itu muncul dari dalam lubang dengan gerakan yang amat ringan dan cepat, tanda bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Akan tetapi ketika ia memandang orang itu, seperti juga Yu Goan, ia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Orang itu benar-benar amat menyeramkan dan keadaan tubuhnya amat mengerikan. Tubuhnya jangkung kurus, seperti tengkorak terbungkus kulit, badannya tertutup jubah hitam yang sudah butut, dekil kotor dan robek-robek di pinggir dan ujungnya.
Jubah yang panjang sampai menutupi lutut, berlengan lebar panjang, namun karena robek-robek maka jubah itu tidak dapat menyembunyikan keadaan tubuh yang mengerikan. Tubuh yang tidak normal, penuh cacat-cacat seperti batang pohon yang dikerokoti kutu. Tangan kiri orang itu memegang tongkat, karena kelingking dan jari tengahnya sudah hilang, tinggal sisanya sedikit saja. Tangan kanannya sudah hilang sama sekali, tinggal lengan yang tulangnya menonjol halus merupakan ujungnya, keluar dari lengan baju amat mengerikan, jari-jari kakinya pun tidak utuh. Jari kaki kiri tinggal dua buah ibu jari dan jari tengah, sedangkan jari kaki kanannya tinggal tiga buah saja.
Kulit yang membungkus kaki pun tidak utuh, sudah pecah-pecah di sana-sini seperti digerogoti rayap. Ketika Siauw Bwee yang bergidik itu memandang ke arah muka orang itu, ia merasa betapa seluruh bulu tubuhnya berdiri saking ngerinya! Kepala orang itu ditutup kain hitam yang menyembunyikan seluruh kepalanya dan bagian muka, yaitu di bagian atas sehingga yang tampak hanya mulai dari alis ke bawah. Akan tetapi itu pun sudah amat menakutkan! Kalau kulit kaki hanya sebagian yang lenyap, maka kulit muka itu boleh dibilang sudah hampir habis dimakan rayap! Tampak tulang-tulang pipi menonjol, dagunya menjadi runcing karena tidak ada kulitnya, putih mengerikan. Bibirnya habis pula sehingga tampak mulut ompong menonjol panjang.
Separuh hidungnya hilang sehingga merupakan lubang hitam. Matanya seperti melotot terus karena pelupuknya tinggal separuh, tidak dapat dipejamkan. Benar-benar amat mengerikan dan melihat sebuah tengkorak tidak akan sengeri ini. Manusia yang berdiri di depan lubang itu tak patut disebut manusia, akan tetapi juga tidak atau belum menjadi mayat! Di samping perasaan ngeri dan serem ini, timbul rasa iba yang besar di hati Siauw Bwee dan Yu Goan yang sebagai seorang ahli pengobatan maklum betul betapa menderita dan sengsaranya keadaan orang yang ia tahu menjadi korban penyakit kusta yang dahsyat itu. Kini muncul dua orang lain dari dalam lubang, keadaan mereka juga mengerikan seperti orang pertama.
Akan tetapi kedua orang ini tidak meloncat seperti orang pertama tadi, melainkan berjalan terpincang-pincang keluar dari lubang dan berdiri di kanan kiri orang pertama yang sudah marah-marah, mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Siauw Bwee dan Yu Goan. Orang itu bicara tidak karuan dan karena tidak mempunyai bibir, giginya ompong-ompong dan lidahnya tinggal sepotong, bicaranya sukar dimengerti. Akan tetapi agaknya Ouw-pangcu sudah biasa mendengar suara seperti itu, buktinya ketua ini lalu menjawab dan membela diri, menceritakan tentang peristiwa pemberontakan di perkampungan yang dipimpinnya. Dari jawaban Ouw-pangcu ini mengertilah Siauw Bwee dan Yu Goan bahwa agaknya Ouw-pangcu dipersalahkan oleh orang-orang lembah tentang peristiwa pertempuran di antara orang-orang tebing.
"Harap para Locianpwe dari lembah mengetahui bahwa saya dan anak buah saya sama sekali tidak melakukan pelanggaran. Yang melakukan pelanggaran adalah mereka yang memberontak dan mereka telah diberi hukuman setimpal. Tolong disampaikan kepada Pangcu di bawah bahwa kami semua tidak pernah melanggar perintah."
Orang penderita kusta yang pertama itu kembali bicara ribut-ribut tidak karuan. Ouw-pangcu menjawab, mukanya memperlihatkan kekagetan dan ketakutan. Ia menggoyang tangan kiri yang diangkat ke atas sambil berkata,
"Tidak bisa, Locianpwe! Saya tidak bersalah, maka tentu saja menolak untuk dibawa turun menerima hukuman. Pula, siapa pun tidak boleh turun, kalau saya sudah turun, bukankah berarti saya melanggar? Saya tidak merasa bersalah, maka saya pun tidak mau ikut Locianpwe turun ke bawah!"
Orang ke dua yang berdiri di sebelah kanan orang pertama, mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang terluka, kemudian tubuhnya meloncat maju dengan kecepatan kilat sehingga diam-diam Siauw Bwee kagum karena orang ini pun memiliki gin-kang yang amat luar biasa! Dengan tangan kirinya yang tinggal empat buah jarinya itu, orang sakit kusta ini mencengkeram pundak Ouw-pangcu.
"Crottt!"
Empat buah jari tangan itu menancap di pundak seperti empat buah pisau tajam, akan tetapi tiba-tiba orang itu terpental ke belakang karena Ouwpangcu telah mengerahkan Jit-goat-sin-kang. Ketika terpental, orang itu memandang tangan kirinya yang ternyata tertinggal di pundak Ouw-pangcu! Penyakit kusta membuat buku-buku dan ruas-ruas tangannya lemah dan rapuh, maka tentu saja tidak dapat melawan aliran sin-kang yang demikian kuatnya! Dua buah jari yang tertinggal di pundak Ouw-pangcu juga tercabut keluar terdorong oleh daya tolak sin-kang Ouw-pangcu. Anehnya, biarpun dua buah jari tangannya putus, orang itu tidak kelihatan menderita nyeri dan tangannya tidak berdarah. Seolah-olah hanya dua batang kayu saja yang potong!
"Maaf, saya tidak sengaja menyusahkan para Locianpwe,"
Kata Ouw-pangcu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali karena maklum bahwa penyakit kusta yang hebat itu ternyata membuat orang-orang lembah ini tidak mungkin lagi dapat menyimpan tenaga Jit-goat-sin-kang di tubuh mereka. Hal ini pun dapat diduga oleh Siauw Bwee dan Yu Goan ketika menyaksikan serangan dan akibatnya tadi. Si Lengan Buntung, orang pertama tadi, kini sudah mengeluarkan sebuah bendera kecil berwarna hitam dan menggerak-gerakkan bendera kecil itu di atas kepalanya. Melihat bendera kecil itu, Ouw-pangcu terkejut sekali, berlutut dan memberi hormat ke arah bendera sambil berkata,
Mutiara Hitam Eps 6 Mutiara Hitam Eps 32 Cinta Bernoda Darah Eps 32