Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 29


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



Kim Sim Nikouw melepaskan pelukannya lalu duduk bersila di atas tanah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, bekas murid orang-orang sakti seperti Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Cui-sian-li, tentu saja samadhi merupakan hal yang sudah biasa ia lakukan. Akan tetapi dalam keadaan batin tertekan seperti itu, kalau tidak dibantu Thian Sim Nikouw, tak mungkin dia dapat mengheningkan ciptanya. Tak lama kemudian terasalah olehnya getaran yang halus memasuki dirinya dan ia tahu bahwa gurunya yang biarpun tidak pandai ilmu silat akan tetapi dalam soal kebatinan jauh lebih tinggi tingkatnya daripada Toat-beng Ciu-sian-li, telah membantunya. Sebentar saja Kim Sim Nikouw dapat mengheningkan cipta dan setelah mereka menghentikan samadhi, Kim Sim Nikouw sudah dapat tenang, sungguhpun pikirannya masih tertekan dan bayangan Han Han masih belum mau lenyap dari depan matanya.

   "Muridku, pinni akan berusaha membantumu memberi petunjuk. Akan tetapi, pinni tidak sekali-kali hendak mempengaruhimu, karena hal ini menyangkut jalan hidupmu sendiri. Kalau pinni memaksanya, yaitu memaksakan kehendak hati pinni, hal itu berarti pinni menyalahi hukum yang sudah ditentukan dalam hidup manusia. Nah, pinni mulai dengan pertanyaan yang hendaknya kau jawab sejujur-jujurnya."

   "Baiklah, subo."

   "Apakah engkau mencinta Han Han?"

   "Teecu mencintanya, subo. Dahulu, Han Han adalah satu-satunya orang yang teecu cinta. Dan sekarang pun, hati teecu masih rindu kepadanya, rindu akan cintanya, sungguhpun perasaan itu hanya merupakan lamunan belaka karena sesungguhnya, setelah mempelajari dan melatih pelajaran dari subo untuk mengubah cinta kasih perorangan menjadi cinta kasih alam semesta, mencinta setiap manusia, bahkan setiap mahluk, dunia dan isinya, teecu menjadi ragu-ragu apakah cinta kasih teecu masih sekuat dulu terhadap Han Han."

   Nikouw tua itu mengangguk-angguk, kelihatannya lega mendengar ini. Akan tetapi ia masih belum yakin benar, maka tanyanya kembali,

   "Apakah engkau masih mempunyai keinginan untuk menyerahkan tubuhmu kepadanya, ingin melakukan hubungan badani dengan dia? Apakah engkau masih ingin untuk menjadi isterinya dan kemudian melahirkan anak-anak keturunannya?"

   Kim Sim Nikouw menundukkan mukanya yang menjadi merah, berpikir sampai lama menjenguk hati dan pikiran sendiri agar dapat memberi jawaban sejujurnya karena dia maklum bahwa gurunya berusaha keras untuk menolongnya dan hanya gurunya inilah yang akan dapat menunjukkan jalan yang tepat baginya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang gurunya dengan sinar mata tulus dan berkata.

   "Subo tentu maksudkan apakah teecu masih mengandung nafsu terhadap dia? Kalau benar demikian pertanyaan subo, maka jawaban teecu adalah tidak. Berkat bimbingan subo, teecu telah dapat menguasai dan mengendalikan nafsu. Tidak, subo, cinta teecu terhadap Han Han bukanlah cinta agar menjadi isterinya dan agar teecu menjadi ibu anak-anaknya."

   "Omitohud.... syukurlah, engkau telah dapat membebaskan diri dari ikatan yang amat kuat. Dan kalau begitu, maka sebaiknya, bagimu sendiri dan bagi dia pula, engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia. Akan tetapi, harus engkau sendiri yang mengatakan kepadanya, karena kalau demikian barulah dia akan yakin, dan hal ini pun merupakan ujian terakhir bagimu. Yang kau nyatakan tadi hanyalah ucapan yang dapat dipengaruhi oleh pertimbangan, akan tetapi kalau engkau berhadapan sendiri dengan dia dan perasaanmu pun menguasaimu, nah, dalam keadaan seperti itulah maka pernyataanmu akan merupakan keputusan."

   "Maaf, subo. Betapa beratnya kalau harus teecu sendiri yang mengatakannya. Tadinya pun teecu sudah menganggap dia mati. Begitu dia muncul dengan tiba-tiba, melihat raut wajahnya yang penuh bayangan duka, melihat kakinya yang buntung.... ah, rela rasanya teecu mengorbankan apa pun juga demi untuk membahagiakan dia."

   "Kemukakanlah kesemuanya ini kepadanya, muridku. Dan jika engkau berhadapan dengan dia, sebutlah nama Kwan Im Pouwsat di hatimu, mohon kekuatan. Pinni hanya dapat mengatakan bahwa kalau engkau berhasil memutuskan hubungan dengan dia, maka engkau akan dapat berbuat lebih banyak daripada kalau engkau melanjutkan ikatan itu. Engkau akan menderita karena setelah menjadi isterinya, engkau akan selalu teringat akan keadaanmu yang murni di sini, engkau akan disiksa oleh perasaan berdosa dan dengan demikian engkau akan menyeret pula dia ke dalam kesengsaraan. Pinni yakin akan hal ini karena engkau telah mencapai tingkat setinggi itu di mana kasih sayang alam semesta telah menyerap dan berakar di hati sanubarimu. Demikianlah, muridku. Kini beristirahatlah dan besok engkau boleh menjumpainya."

   Setelah berkata demikian, nikouw tua itu meninggalkan Kim Sim Nikouw dan memasuki kamarnya sendiri.

   Kim Sim Nikouw naik ke pembaringannya, berbaring dan berusaha untuk tidur. Akan tetapi ia gelisah, miring ke kanan, kembali ke kiri, terlentang, tertelungkup dan akhirnya ia bangun duduk bersila dan bersamadhi lagi"

   Setelah bersamadhi, barulah ia dapat tenang dan dalam keadaan hening ini ia dapat menenteramkan hati dan pikirannya, lalu ia terus melatih diri mengumpulkan hawa murni di tubuhnya. Menjelang tengah malam, tiba-tiba dia terkejut. Ia mendengar suara kaki di genteng. Tentu Han Han, pikirnya dengan jantung berdebar. Biarlah ia bersamadhi terus, karena menghadapi Han Han, dalam keadaan seperti ini ia akan merasa lebih kuat batinnya. Ia harus memutuskan hubungan mereka, harus mematahkan ikatan di antara mereka. Ia harus menolaknya, betapapun hal ini menyakitkan.

   Akan tetapi sampai lama, ia tidak mendengar gerakan lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara rintihan perlahan di kamar seperti rintihan orang tercekik atau terbungkam mulutnya, kemudian diam. Hatinya menjadi curiga dan kembalilah wataknya sebagai Kim Cu murid In-kok-san. Sekali mencelat, tubuhnya sudah melayang keluar dari jendela dan menerobos memasuki jendela Pui Sim Nikouw, yaitu sucinya yang berusia tiga puluh tahun, yang cantik dan berkulit putih. Dan apa yang dilihatnya dalam kamar yang hanya diterangi sebatang lilin itu membuat ia hampir mengeluarkan makian saking marahnya. Ia melihat tubuh sucinya itu telanjang bulat, pakaian nikouw telah robek-robek semua di kanan kiri tubuhnya yang putih mulus. Sucinya dalam keadaan tertotok, air matanya bercucuran dan seorang laki-laki tinggi besar sambil menyeringai meraba-raba dada sucinya dan menciumi bibirnya.

   "Manusia jahat."

   Kim Sim Nikouw masih dapat menahan makian yang lebih kotor, dan ia meloncat ke dekat pembaringan. Laki-laki itu meloncat turun dan menyeringai lebar.

   "Ha-ha-ha, engkaulah yang kucari sebetulnya. Engkau paling muda dan paling cantik. Dan engkau.... heh-heh, engkau masih perawan. Siang tadi kulihat engkau, akan tetapi aku salah masuk. Betapapun juga, dia ini boleh juga."

   "Pergilah."

   Kim Sim Nikouw mengayun kakinya dan tubuh laki-laki itu terlempar ke belakang menabrak dinding. Ia kaget sekali dan cepat merangkak bangun sambil menyambar golok yang tadi ia letakkan di atas meja.

   "Ehhh, kiranya engkau pandai silat? Bagus, engkau menyerah atau kupenggal lehermu, kubawa kepalamu yang gundul dan cantik itu untuk hiasan kamarku, ha-ha."Golok menyambar, akan tetapi sekali menggerakkan tangan, laki-laki itu berteriak dan goloknya terlepas, tangannya lumpuh karena pergelangan tangannya patah tercium jari tangan Kim Sim Nikouw yang amat kuat. Kim Sim Nikouw yang sudah marah sekali lalu menubruk maju, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam ke arah dada laki-laki itu. Pukulan ini sepenuhnya mengandung pukulan Toat-beng-ciang dan sudah dapat dipastikan bahwa laki-laki itu tentu mati. Untung sekali baginya, pada detik terakhir, melihat wajah laki-laki yang ketakinan itu, Kim Sim Nikouw teringat akan sifat welas asih, dan ia menaikkan sasarannya.

   "Kekkk-krekkkkk."

   Bukan dada laki-laki itu yang pecah, melainkan kedua tulang pundaknya yang hancur.

   "Aduh tobaaat.... aduhhh.... aduhhh.... ampunkah saya, Siankouw....."

   Laki-laki itu mengaduh-aduh sambil berkelojotan di atas lantai.

   "Hemmm."

   Kim Sim Nikouw mendengus, lalu cepat menubruk sucinya, membebaskan totokannya dan menyelimuti tubuhnya yang telanjang bulat. Nikouw itu menangis, akan tetapi dihibur oleh Kim Sim Nikouw,

   "Syukur kepada Pouwsat bahwa kedatanganku belum terlambat, suci."

   Nikouw itu memeluk Kim Sim Nikouw sambil menangis. Pintu kamar terbuka dan Thian Sim Nikouw masuk sambil memegang sebatang lilin, diikuti oleh para nikouw karena mendengar suara gaduh dalam kamar itu.

   "Apakah yang terjadi di sini?"

   "Subo, manusia sesat ini hendak melakukan perbuatan terkutuk,"

   Kata Kim Sim Nikouw. Nikouw tua itu mengeriing ke arah Pui Sim Nikouw yang berkerudung selimut dan memandang laki-laki yang patah pergelangan lengan kanan dan remuk kedua tulang pundaknya itu.

   "Hemmm, ambilkan tempat obat penyambung tulang,"

   Perintahnya kepada seorang murid yang segera memenuhi perintah gurunya. Setelah keranjang obat itu datang, Thian Sim Nikouw lalu mengobati kedua pundak dan pergelangan tangan laki-laki itu yang terus merintih-rintih dan minta-minta ampun. Setelah selesai membalut, Thian Sim Nikouw lalu berkata.

   "Kalau mau minta ampun, mintalah ampun kepada Thian dan jadikanlah pengalaman pahit ini sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang jiwamu. Nah, pergilah."

   Laki-laki itu menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sim Nikouw, kemudian ia diperbolehkan keluar melalui pintu samping yang dibuka oleh seorang nikouw. Kemudian para nikouw itu kembali memasuki kamar masing-masing. Akan tetapi Kim Sim Nikouw tidak kembali ke kamarnya, melainkan memasuki ruangan liam-keng dan berlutut di depan sebuah arca Buddha yang besar. Ia bersila, bersamadhi dan mulutnya berkemak-kemik membaca liam-keng.

   Hatinya gelisah sekali karena tadi ia dikuasai kemarahan, bukan karena melihat sucinya hendak diperkosa orang, melainkan karena tadinya ia mengira Han Han-lah yang akan berbuat jahat melakukan perkosaan. Ia merasa makin berdosa dan kasihan kepada Han Han, juga merasa betapa sebetulnya ia masih amat lemah. Dia tadi telah dibakar api cemburu, dan cemburu ini hanyalah menjadi bukti bahwa nafsu berahinya terhadap pemuda itu, yang bergulung menjadi satu dengan cintanya, sebenarnya masih belum lenyap sama sekali seperti yang ia katakan di depan gurunya. Ternyata Thian Sim Nikouw kembali betul. Dia harus menyatakan semua di depan Han Han dan ia bermohon kepada Buddha agar dia diberi kekuatan dan agar Han Han diberi penerangan suci sehingga pemuda itu akan memudahkan keputusan yang diambilnya ini.

   "Kim Cu....."

   Nikouw muda itu terkejut, membuka matanya dan menoleh, ternyata Han Han telah berdiri di belakangnya. Sama sekali ia tidak mendengar gerakan pemuda buntung itu, dan diam-diam Kim Sim Nikouw kagum bukan main. Dahulu, sebelum buntung sekalipun, ia tentu akan dapat mendengar gerakannya, akan tetapi sekarang, ia sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di situ.

   "Omitohud.... kenapa engkau berani mengotori tempat suci ini, dan mengapa engkau selalu mengejar-ngejarku?"

   Kim Sim Nikouw berkata, suaranya halus penuh wibawa, akan tetapi mukanya menunduk karena ia tidak berani bertemu pandang dengan Han Han, yang ia tahu mempunyai sinar mata yang luar biasa tajamnya, dan yang akan mampu menjenguk isi hatinya.

   "Aku akan terus mengejar dan mengikutimu, biar sampai dunia kiamat sekalipun, selama engkau belum mau berterus terang karena aku merasa yakin bahwa engkau adalah Kim Cu. Apa kau kira aku tidak dapat mengenal pukulan Toat-beng Sin-ciang yang kau lakukan untuk membikin remuk kedua tulang pundak jai-hwa-cat tadi?"

   "Ohhh, jadi engkau tadi melihatnya....? Ya Thian Yang Maha Kasih...., Baiklah.... baiklah. Han Han.... aku memang Kim Cu.... akan tetapi sekarang aku telah menjadi Kim Sim Nikouw.... engkau tidak boleh mendekatiku, maka pergilah kau, Siangkong. Pergilah kau.... Han Han.... kasihani aku dan pergilah tinggalkan aku...."

   "Hemmm.... ke manakah perginya kegagahanmu, Kim Cu? Manusia tidak boleh membohongi dirinya sendiri, tidak boleh mengingkari perasaan hatinya sendiri. Ceritakan dulu, mengapa engkau menjadi nikouw dan mengapa engkau mengusirku, baru aku akan mempertimbangkan permintaanmu itu. Setelah semua yang kita alami bersama....."

   "Ya, setelah apa yang kita alami bersama....."

   Kim Sim Nikouw berbisik dan ia membalikkan tubuh membelakangi Han Han, lalu jatuh berlutut karena kakinya menggigil, suaranya masih berbisik-bisik namun terdengar jelas oleh Han Han.

   ".... engkau tidak tahu betapa aku telah menderita hebat.... betapa aku sekarang telah menemukan ketenteraman kembali.... ketika engkau menolongku, agar aku tidak terkena senjata rahasia Toat-beng Ciu-sian-li, engkau menolongku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri.... kita berdua jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar. Ahhh.... betapa senang dan bahagianya hatiku ketika melayang jatuh karena aku yakin bahwa kita akan mati bersama.... mati bersamamu di waktu itu merupakan kebahagiaan yang tak terhingga bagiku...., Akan tetapi, ohhh.... hancurlah hatiku ketika ada nelayan menolongku dan aku masih hidup. Aku hidup dan engkau mati. Aduhh, Han Han.... tidak ada penderitaan yang lebih hebat daripada itu, hatiku tersayat-sayat.... ohhh...."

   Nikouw itu menangis terisak-isak. Han Han tak dapat berkata-kata, hanya memandang gadis itu dengan wajah pucat dan mata basah, perasaannya diserang keharuan yang membuat ia tak dapat bicara, melainkan membayangkan penderitaan batin gadis ini yang amat mencintanya. Dengan ujung lengan bajunya yang lebar nikouw muda itu menyusuti air mata yang mengalir deras di kedua pipinya, kemudian melanjutkan.

   "Aku tidak kuat menahan derita batin itu, dan tentu sudah membunuh diri kalau tidak ada Thian Sim Nikouw ketua Kwan-im-bio yang menolongku, menyadarkan aku.... merupakan pelita yang menerangi kegelapan hatiku.... aku diberi wejangan, aku sadar lalu menjadi muridnya.... menjadi nikouw setelah bertahun-tahun aku sembahyang setiap hari untukmu.... untuk arwahmu yang kusangka sudah mati.... akhirnya hidupku tenang dan tenteram, sebagai nikouw...."

   "Kim Cu...."

   Suara Han Han menggetar dan berbisik penuh perasaan haru.

   "apakah tidak ada jalan lain....?"

   "Jalan lain yang mana? Aku.... aku murid seorang wanita jahat...., seorang datuk hitam yang penuh dosa.... dunia akan mengutuk aku.... manusia akan memandang rendah kepadaku.... hanya dengan menjadi nikouw aku dapat menebus dosa.... dan.... dan dapat melupakan engkau...."

   Han Han tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya jatuh bertitik. Ia tahu betapa besar, betapa murni perasaan cinta kasih Kim Cu terhadap dirinya. Dan demi cinta kasihnya itu pula gadis ini melakukan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita. Menjadi nikouw. Pengorbanan nyawa masih kalah besar, karena sekali kehilangan nyawa habislah sudah. Akan tetapi sedemikian muda dan cantiknya, berkepandaian tinggi, mempunyai harapan besar untuk menikmati hidup, sudah melempar dirinya menjadi patung hidup, menjadi nikouw. Betapa besar pengorbanan itu. Patutkah seorang gadis seperti Kim Cu berkorban sedemikian rupa untuknya?

   "Kim Cu, tidak boleh. Engkau tidak boleh berkorban untukku seperti ini. Tidak, tidak.... Kalau memang engkau mencintaku.... setelah semua pengorbanan yang kau lakukan untukku.... wahai Kim Cu, budimu kepadaku bertumpuk-tumpuk, tak mungkin dapat kubalas selama hidupku.... mengapa setelah itu semua engkau lalu mengambil jalan terpendek ini? Kim Cu, engkau mungkin akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup dengan menjadi nikouw.... akan tetapi aku...., aku yang kau usir.... aku yang merasa terhimpit oleh budimu.... betapa aku akan dapat bersenang hati, mengenangkan engkau yang selalu bersamadhi dan bersembahyang di dalam kelenteng yang sunyi? Ah, Kim Cu.... jelas bahwa engkau masih mencintaku, mengapa.... mengapa engkau merenggutnya putus membiarkan hatimu terkoyak-koyak berdarah....?"

   "Han Han....."

   Nikouw itu menjerit, mendekap mukanya dan menangis sesunggukan. Sampai lama ia menangis, berlutut dan air matanya yang bening seperti mutiara menetes-netes keluar melalui celah-celah jari tangannya yang kecil meruncing.

   "Kalau begitu, kalau aku merusak hatimu, kalau aku mendatangkan sengsara kepada engkau orang yang kukasihi dengan seluruh jiwa ragaku dengan kelanjutan hidupku menjadi nikouw.... kalau begitu...., biarlah aku mati saja....."

   Cepat sekali nikouw muda yang sudah menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang ke depan dengan muka beringas, meloncat kedepan, ke arah arca Sang Buddha yang tersenyum cerah, hendak membenturkan kepalanya yang gundul licin itu kepada kaki arca yang terbuat daripada batu hitam.

   "Wuuuuuttttt....."

   Tubuh nikouw itu meluncur ke depan karena dalam kenekatannya nikouw ini sudah mengerahkan gin-kang ketika meloncat dan tidak menggunakan tenaga sin-kang untuk melindungi kepalanya karena ia ingin agar sekali bentur, kepalanya akan pecah.

   "Plakkk....."

   Kepala nikouw itu bertemu dengan telapak tangan Han Han yang lunak karena Han Han sama sekali tidak menggunakan tenaga pula ketika ia tadi cepat meloncat ke depan arca dan menaruh tangannya di depan kaki arca, telapak tangannya menyambut kepala nikouw itu sehingga tangannyalah yang terhimpit dengan keras ke kaki arca. Nikouw itu terpental ke belakang, cepat meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak kepada Han Han. Ia melihat tangan kanan pemuda buntung itu bercucuran darah yang keluar dari luka di punggung tangannya, darah yang membasahi kaki arca sehingga menjadi merah.

   "Kim Sin Nikouw, apa yang kau lakukan ini?"

   Kini suara Han Han terdengar keras dan pandang matanya penuh daya pengaruh menundukkan. Nikouw muda itu seperti terpesona, seperti baru bangun dari mimpi dan ia mamandang wajah Han Han yang pucat, dahi berkerut, mulut yang membayangkan derita, akan tetapi sinar mata yang tajam berwibawa.

   "Han Han....."

   Kim Sim Nikouw mengeluh.

   "Kim Sim Nikouw, sadarlah bahwa tidak ada dosa yang lebih besar, tidak ada sifat pengecut yang paling rendah daripada membunuh diri."

   Suara Han Han kini tidak menggetar penuh keharuan seperti tadi, bahkan keras dan tegas.

   "Akulah yang salah dan engkau benar. Memang sebaiknya begini. Engkau menjadi nikouw dan menemukan kebahagiaan. Adapun aku.... hemmm.... terus terang saja, Kim Sim Nikouw, aku hanya kasihan dan ingin membalas budi, dan melihat engkau berbahagia di sini, aku pun akan merasa lega. Biarlah kita saling mendoakan saja. Selamat tinggal....."

   Tubuh Han Han berkelebat dan lenyap dari ruangan itu. Sejenak nikouw muda itu berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Han,

   Kemudian ia menjerit kecil yang merupakan rintihan dan menubruk depan arca Sang Buddha yang masih tersenyum penuh pengertian, seolah-olah memandang kelakuan dua orang anak manusia itu sebagai kelakuan dua orang anak-anak nakal. Kim Sim Nikouw merintih dan menangis, menciumi ujung kaki arca yang merah oleh darah Han Han, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Han Han dan air matanya mencuci noda darah di kaki arca itu. Darah Han Han. Han Han sejenak memandang penglihatan yang meremas hatinya itu. Melihat betapa Kim Cu menangis dan menciumi bekas darahnya, ingin Han Han masuk kembali dan mendekapnya, memaksanya meninggalkan kuil dan memasuki dunia memeluk kebahagiaan bersama dia. Akan tetapi, kesadarannya membisikan bahwa perbuatannya itu tidaklah benar.

   Sudah pastikah bahwa kelak Kim Cu akan hidup bahagia di sampingnya? Apakah dia mencinta Kim Cu? Memang, mengingat akan budi gadis yang cantik jelita dan amat murni cintanya itu, siapakah orangnya tidak akan menyatakan cinta kepadanya? Betapapun juga, Han Han ragu-ragu dan merasa yakin bahwa sebaiknya ia meninggalkan Kim Cu dalam usaha menemukan bahagia. Tadi ia sengaja keras, sengaja menyadarkan Kim Cu bahwa dia hanya kasihan dan ingin membalas budi, sama sekali bukan mencinta. Sekali lagi Han Han memandang Kim Cu, seolah-olah hendak mengusir bayangan nikouw muda itu di lubuk hatinya, kemudian ia menghela napas dan berkelebat pergi menghilang di dalam gelap. Peristiwa pertemuannya dengan Kim Cu itu tanpa disadarinya sudah menambah sebuah guratan lagi di dahinya.

   Penjahat yang tadi memasuki Kuil Kwan-im-bio dengan niat jahat memperkosa nikouw muda dan telah mendapat hajaran keras dari Kim Sim Nikouw, malam-malam itu juga meninggalkan dusun menunggang kudanya perlahan-lahan. Tubuhnya masih lemah dan kedua pundaknya terasa nyeri apabila terguncang terlalu keras, maka ia tidak berani melarikan kudanya, ia menyumpahi nasibnya yang amat buruk. Siapa kira di dalam kuil sunyi seperti itu terdapat seorang nikouw muda yang demikian lihai? Tadinya ia mendengar berita bahwa Kuil Kwan-im-bio mempunyai nikouw-nikouw muda yang amat cantik, sehingga tergeraklah hatinya. Dan sore tadi ia telah menyelidiki dan melihat bahwa memang desas-desus yang didengarnya itu ternyata benar. Ia melihat nikouw muda yang amat cantik jelita.

   "Sialan....."

   Pikirnya. Sudah banyak wanita yang ia renggut kehormatannya. Memang dia terkenal sebagai jai-hwa-cat di samping seorang pencuri ulung. Akan tetapi belum pernah ia memperkosa seorang nikouw. Tentu seorang nikouw sebagai wanita yang selalu menjaga kesucian tubuh dan hatinya, akan merupakan mangsa yang hebat, maka ia tidak peduli lagi apakah dia melakukan pelanggaran yang amat besar, dan malam itu hampir saja terlaksana apa yang ia sering kali mimpikan. Akan tetapi, agaknya para dewa tidak mengijinkan perbuatannya sehingga ia bertemu dengan nikouw muda itu.

   Hemmm, masih untung, pikirnya. Justeru nikouw muda itu ia incar. Kalau ia tidak salah masuk ke kamar nikouw ke dua yang juga memiliki tubuh yang benar-benar tidak disangka-sangka, amat menggairahkan, kalau ia masuk ke kamar wanita muda yang lihai itu.... ihhh, ngeri ia membayangkan. Agaknya ia belum tentu akan keluar dari kuil itu dalam keadaan bernyawa. Tiba-tiba ada bayangan berkelebat, kudanya meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas seperti ketakutan. Ketika penjahat itu berhasil menenangkan kudanya dan memandang dengan bantuan sinar bulan, ia terkejut melihat seorang pemuda buntung telah berdiri di depan kuda, memandangnya dengan sepasang mata seperti mata harimau. Karena dia sedang murung, penjahat itu yang memandang rendah si pemuda buntung, membentak.

   "Heh, bocah buntung! Minggir, Apa kau ingin mampus diinjak-injak kuda?"

   Pemuda yang bukan lain adalah Han Han ini, tersenyum dingin. Dia tadi melarikan diri dari kuil dan hatinya yang sedang dilanda perasaan duka itu membuat ia berloncatan seperti kilat cepatnya, mempergunakan ilmu kepandaiannya yang istimewa. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul penjahat berkuda itu dan begitu melihat penjahat ini, Han Han timbul kesebalan hatinya dan ia sengaja menghadang.

   "Hemmm, jai-hwa-cat, apakah yang kau lakukan di kuil tadi?"

   Penjahat itu pucat wajahnya. Ia membesar-besarkan hatinya, akan tetapi karena kedua pundaknya tak dapat digerakkan sehingga kedua lengannya pun setengah lumpuh, pergelangan tangan kanannya pun tidak boleh dipakai bergerak, ia maklum akan keadaan dirinya yang sedang terluka dan lemah.

   "Aku.... aku terluka.... dan aku sudah diampuni para nikouw...."

   Katanya gagap. Han Han memandang penuh selidik.

   "Andaikata aku membantumu mendapatkan nikouw muda itu dalam keadaan tidak berdaya sehingga engkau akan dapat melakukan apa juga atas dirinya tanpa ia mampu melawan, engkau akan memberi hadiah apa kepadaku?"

   "Wah, jangan main-main, orang muda. Nikouw yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian lihai bukan main, sedangkan kau seorang buntung kakimu...."

   "Hemmm, apakah dia selihai ini?"

   Han Han mengempit tongkatnya, kedua lengannya dikembangkan secara tiba-tiba ke kanan kiri.

   "Kraaakkk.... kraaakkkkk.... bruukkk....."

   Dan batang pohon di kiri kanannya ambruk dan terjebol akarnya. Penjahat itu terbelalak, dan wajahnya berubah girang setengah ngeri ketika ia berkata,

   "Hebat sekali! Orang muda perkasa, kalau engkau mampu menangkap nikouw itu dalam keadaan tak berdaya sehingga aku dapat.... eh, dapat membalas dendam kepadanya, aku.... aku akan memberimu kuda ini, dan sekantung uang perak."

   "Kau tentu hendak memperkosanya?"

   Penjahat itu menyeringai.

   "Akan dia rasakan, sepuasku, sampai dia mampus."

   "Keparat."

   Tongkat di tangan Han Han berkelebat, penjahat itu menjerit dan roboh dari atas kudanya dengan tubuh terlempar, kudanya meringkik dan melarikan diri. Sejenak Han Han berdiri tegak memandang tubuh yang tidak berkepala lagi itu, karena kepalanya sudah pecah berantakan tak berbentuk lagi, tercecer ke mana-mana. Han Han yang tadinya tenggelam dalam kedukaan karena Kim Cu, ditelan keharuan, kemudian menjadi marah mendengar kata-kata jawaban penjahat yang sengaja dipancingnya, tiba-tiba terisak, air matanya mengucur turun dan bibirnya terdengar mengeluarkan rintihan, lututnya yang tinggal sebuah itu ditekuk, ia berlutut dan mengeluh.

   "Kakekku seorang jai-hwa-sian. Ahhh, Kong-kong, kenapa engkau begitu sesat? Aku keturunan keluarga Suma yang jahat, yang sesat. Kalau kakekku masih hidup, akan kubunuh juga.... ahhh, Kong-kong, kenapa kau sejahat itu....?"

   Kemudian ia meloncat bangun, wajahnya keruh dan beringas, suaranya keras,

   "Karena darah terkutuk itu mengalir di tubuhku, aku dibenci sana-sini, dimusuhi, nasibku selalu buruk.... ya Tuhan, ampunilah hamba...."

   Ia lalu mencelat jauh dan seperti gila melanjutkan perjalanan sambil mengerahkan kepandaiannya yang membuat tubuhnya makin lama mencelat makin jauh dan makin cepat sehingga seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah lagi.

   Puteri Nirahai memenuhi janjinya. Lulu diterima di istana dan tidak dituntut oleh kaisar, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan puteranya pura-pura tidak tahu bahwa gadis yang menjadi adik angkat Han Han itu kini kembali ke istana. Lulu tekun belajar ilmu silat di bawah bimbingan Nenek Puteri Maya yang amat sakti itu, juga Nirahai digembleng oleh nenek ini. Ternyata bahwa yang dilatih oleh Lulu ketika ia berada di Pulau Es adalah Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu ilmu silat yang dasar geraknya mengambil dari coretan huruf-huruf indah. Karena ketika berlatih di Pulau Es itu tidak ada yang memimpin, maka Lulu hanya mempelajari secara ngawur saja, sehingga ia hanya menguasai kulitnya, tidak menguasai isinya. Kini, setelah digembleng oleh Puteri Mayat baru ia dapat mengerti inti dari Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat.

   Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang diciptakan oleh Bu Kek Siansu, seorang manusia dewa yang selain sakti dalam ilmu silat, juga seorang ahli dalam ilmu sastra. Oleh kakek dewa ini kedua ilmu itu digabungkan sehingga dalam gerakan ilmu silat itu dimasukkan unsur-unsur keindahan tulisan, seolah-olah yang menggunakan ilmu silat ini sedang mencoret-coret tulisan huruf indah di udara. Karena inilah maka disebut Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan). Dahulu, jika Lulu bersilat, kelihatannya hanya indah sehingga oleh Han Han dikatakan sebagai tarian. Kini, setelah mengetahui inti sari ilmu itu, setiap gerakan Lulu adalah didasari goresan menulis huruf. Di jaman dahulu, Ilmu Hong-in-bun-hoat ini oleh Bu Kek Siansu hanya diturunkan kepada pendekar sakti Suling Emas.

   Kemudian diajarkan pula kepada muridnya yang terkasih, yaitu Kam Han Ki yang kini menjadi Koai-lojin. Oleh Kam Han Ki inilah ilmu itu disusun menjadi kitab yang dipelajari Lulu (Kam Han Ki di waktu muda dalam cerita tersendiri: ISTANA PULAU ES). Selain dilatih ilmu silat yang pada dasarnya telah dipelajari Lulu ini, juga Nenek Maya menurunkan ilmu yang amat dahsyat, yaitu ilmu Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas) yang kelihatannya dimainkan tanpa tenaga, dengan kedua tangan berubah sehalus kapas, namun mengandung inti tenaga sin-kang yang dapat menahan tenaga sin-kang lawan yang kuat. Lulu amat berbakat dan juga amat cerdik sehingga dalam waktu singkat, hanya beberapa bulan saja, ia telah dapat menguasai kedua ilmu itu sehingga tingkat kepandaiannya melonjak cepat bukan main.

   Hal ini adalah karena ia telah memiliki tenaga sin-kang murni yang ia dapatkan ketika bersama Han Han melatih diri di Pulau Es. Adapun Nirahai yang memang tadinya sudah lihai bukan main sebagai pewaris ilmu-ilmu dahsyat dari Mutiara Hitam, yang dahulunya menjadi ilmu-ilmu tangguh dari tokoh wanita perkasa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ibu kandung Suling Emas, kini setelah digembleng oleh Nenek Maya, kepandaiannya pun meningkat secara hebat sekali. Bahkan ia telah dilatih untuk mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan dengan suling emas yang dipinjamnya dari Gu Toan si kakek bongkok penjaga kuburan Suling Emas. Kini dara perkasa ini menguasai dua ilmu pedang yang sebenarnya berlawanan, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa).

   Dengan penggabungan dari kedua ilmu pedang yang berlawanan ini dapat dibayangkan betapa lihainya Puteri selir Kaisar Mancu ini. Makin lama, Lulu makin betah tinggal di istana yang indah dan mewah, juga yang mencukupi segala kebutuhannya. Apalagi Nirahai amat baik kepadanya, memperlakukannya sebagai adik sendiri. Dan memang sesungguhnya Nirahai amat mencinta Lulu sehingga Lulu yang halus perasaannya itu membalas kasih sayang sucinya. Mereka amat rukun dan kerukunan ini mempengaruhi juga pendirian Lulu tentang pertentangan antara Kerajaan Mancu dan pemberontak yang berpusat di Se-cuan. Memang pada mulanya, secara terus terang ia berani menentang Nirahai dengan mengemukakan pendapatnya yang timbul dari pengalamannya.

   "Suci, sebetulnya aku tidak ingin mencampuri tugas suci sebagai puteri Kaisar dan sebagai pemimpin para pengawal. Akan tetapi karena suci ingin mengajak aku membantu, perlu kuberitahukan kepadamu bahwa aku tidak mempunyai kesan baik terhadap sepak terjang bangsaku sendiri."

   Nirahai memandang tajam dan berkata,

   "Sumoi, lupakah engkau bahwa keluarga orang tuamu dibasmi oleh para pemberontak? Kalau engkau tidak memiliki kesetiaan dan kebaktian kepada bangsa dan negara, hal itu masih dapat kumengerti karena sejak kecil engkau hidup sebatangkara bahkan kemudian menjadi adik angkat kakakmu Han Han. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engkau akan melupakan ayah bundamu yang tewas oleh para pemberontak. Aku tidak percaya bahwa engkau akan tidak berbakti kepada orang tuamu."

   Lulu mengerutkan alisnya yang hitam. Sepasang matanya memandang Nirahai dengan mata terbelalak.

   "Yang kau katakan pemberontak itu sebetulnya adalah pejuang-pejuang yang baik, suci. Sebailknya, dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan betapa kejamnya tentara Mancu yang membunuhi rakyat yang tak berdosa, memperkosa, merampok, membunuh seperti sekawanan binatang buas saja."

   "Hemmm, pendirianmu itu salah sungguhpun aku tidak sangsi akan keteranganmu tentang perbuatan sebagian tentara Yang kejam. Akan tetapi, apakah kau anggap bahwa perbuatan para pemberontak yang membunuhi ayahmu sekeluarga itu juga tidak kejam?"

   "Memang kuakui bahwa mereka telah membunuh orang tuaku bahkan telah kudapatkan pembunuhnya. Akan tetapi ternyata dia seorang gagah yang melakukan pembunuhan itu demi perjuangan, demi pembelaan terhadap bangsa mereka. Sama sekali tidak terkandung hati benci di dada mereka terhadap perorangan, bahkan mereka tidak mengenal orang tuaku yang tewas sebagai akibat perang."

   Nirahai mengangguk-angguk.

   "Memang aku percaya benar demikian. Akan tetapi engkau pun lupa bahwa aku dan teman-teman yang memimpin usaha penindasan para pemberontak pun terdorong oleh tugas membela bangsa dan negara. Aku seorang bangsa Mancu, kalau aku tidak membela bangsa Mancu, habis bagaimana? Engkau pun seorang gadis Mancu, sudah selayaknya kalau engkau membantu perjuangan bangsa sendiri. Kini para pemberontak yang bersarang di Se-cuan harus dihancurkan, kalau tidak, perang tidak akan pernah terhenti dan penderitaan rakyat pun takkan dapat dihabiskan. Kalau kau menganggap bahwa orang tuamu tewas dalam perang dan engkau tidak menaruh dendam perorangan, engkau pun harus dapat mengerti bahwa perbuatan tentara-tentara kita itupun adalah akibat perang dan bukan merupakan perbuatan kejam perorangan, melainkan, kekejaman perang. Akan tetapi percayalah bahwa pimpinan kita tidak menghendaki hal demikian itu terjadi. Hal itu hanya terjadi sebagai akibat-akibat yang berkelebihan dari perang yang memang ganas."

   Lulu merasa terdesak karena pikirannya yang cerdik dapat menangkap kebenaran-kebenaran dalam ucapan Nirahai.

   "Apakah engkau percaya bahwa aku adalah seorang manusia yang begitu curang sehingga sudi mengadu domba Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai kalau bukan karena hal itu kuanggap sebagai taktik perjuangan? Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, bahkan aku mengagumi tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar dari kedua partai itu. Akan tetapi, sebagai pejuang untuk negaraku, aku melihat bahaya besar kalau sampai kedua partai yang kuat itu membantu pemberontak, maka jalan satu-satunya adalah mengadu domba mereka agar mereka tidak berkesempatan membantu pemberontak sehingga kedudukan para pemberontak tidak begitu kuat, mudah dihancurkan. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan dua tokoh di antara Siauw-lim Chit-kiam yang kukagumi karena kegagahan mereka, akan tetapi aku membunuh mereka, sebagai musuh negara, bukan sebagai musuhku."

   "Kalau seorang saudaramu kebetulan memihak peluang yang menentang kerajaan, apakah engkau juga akan membunuhnya, suci?"

   "Tentu Saja. Kalau dia memihak pemberontak, dia berarti menjadi musuh negara. Bagi seorang pejuang yang mencinta bangsa dan negaranya, musuh sendiri bisa dimaafkan, akan tetapi musuh negara tidak."

   "Wah, kejinya. Aku benci...., Aku benci perang."

   Lulu mencela, teringat akan kakaknya. Kalau Han Han kebetulan membantu pejuang, apakah dia pun harus memusuhi kakak yang disayangnya itu? Tidak mungkin. Nirahai merangkul leher Lulu dan mengecup pipinya.

   "Adikku, siapakah orangnya yang mencinta perang? Hanya orang gila yang miring otaknya saja yang tidak membenci perang. Aku pun benci dengan perang. Aku pun rindu akan perdamaian di mana hidup manusia ini tenang tenteram, di mana nyawa manusia dihargai, di mana hak hidup seorang manusia lebih terjamin, di mana harga seorang manusia lebih dinilai tinggi. Akan tetapi, perang timbul bukan atas kehendak seseorang, dan kalau sudah timbul dan kita terseret di dalamnya, hanya dengan kemenangan saja perang itu dapat dihentikan.

   "Menang atau kalah"

   Itulah persoalannya dan sekuat tenaga tentu saja kita ingin menang. Dengan kemenangan, atau pun dengan kekalahan, perang baru habis dan perdamaian timbul. Percayalah, aku ingin sekali menikmati masa damai di mana kita tidak akan bicara tentang bunuh-membunuh, tentang siasat-siasat curang, tentang taktik-taktik memalukan dan sebagainya. Prikemanusiaan akan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Akan tetapi untuk mendapatkan perdamaian itu, kita semua harus sekarang mengerahkan tenaga untuk menumpas musuh sehingga perang pun terhenti."

   Lulu termenung. Ucapan sucinya itu meresap ke dalam hatinya dan diam-diam ia kagum sekali. Sucinya ini cantik, berkedudukan tinggi, berpengaruh dan berkuasa, juga memiliki pandangan yang luas seperti kakaknya. Han-koko. Ah, alangkah cocoknya kalau Han-koko dapat menjadi suami Nirahai. Pikiran yang tiba-tiba menyelinap di kepalanya yang kecil itu membuat ia serta-merta bertanya.

   "Suci, kalau begitu engkau tidak mempunyai rasa benci perorangan kepada bangsa pribumi?"

   Nirahai mengangkat alisnya.

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Eh? Tentu saja tidak."

   "Juga kepada para pejuang kau tidak benci?"

   Nirahai tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Tidak sama sekali, sumoi. Bahkan aku merasa kagum akan kebudayaan mereka, akan kegagahan para pendekar. Bagaimana aku bisa membencinya kalau tokoh-tokoh perkasa yang kukagumi seperti Suling Emas, Mutiara Hitam dan lain-lain adalah bangsa Han juga? Malah aku adalah keturunan Khitan, dan karena Kerajaan Khitan memiliki darah campuran dengan bangsa Han, kaisar wanita Khitan adalah isteri Suling Emas, sedikit banyak ada pula darah Han di tubuhku."

   "Wah, kalau begitu, tentu engkau tidak akan keberatan kalau menikah dengan seorang bangsa Han, bukan?"

   Kembali Puteri cantik itu membelalakkan matanya, lalu tertawa geli mencubit pipi dan Lulu.

   "Huh, engkau menggemaskan dan genit, sumoi. Bertanya yang bukan-bukan."

   Akan tetapi Lulu mendesak,

   "Aku tidak main-main, suci, melainkan benar-benar ingin mengetahui isi hatimu. Bagaimana, andaikata engkau menikah dengan seorang pribumi, apakah engkau akan merasa terlalu rendah?"

   Nirahai menghela napas panjang.

   "Ratu Khitan dahulu menikah dengan Suling Emas seorang pendekar Han. Aku tidak memandang rendah bangsa Han, apa alasanku untuk merasa rendah? Akan tetapi, adikku yang nakal. Pernikahan harus berdasarkan cinta kasih kedua pihak, tanpa cinta mana bisa hidup bahagia sebagai suami isteri? Pula, aku seujung rambut pun belum memikirkan hal itu. Perang belum berakhir, mana bisa berpikir tentang cinta dan pernikahan?"

   Lulu memandang dengan wajah berseri.

   "Wah, engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang hebat, suci. Dan menurut pandanganku, engkau hanya patut menjadi isteri seorang yang paling mulia di dunia ini."

   "Hi-hik, kau lucu. Siapa yang paling mulia di dunia ini? Raja kahyangan?"
(Lanjut ke Jilid 28)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28
"Bukan, suci. Bukan raja bukan pangeran. Orang biasa saja, seorang pria sederhana, yang budiman, gagah perkasa, tampan, seorang yang semulia-mulianya di dunia ini...."

   Pandang mata Lulu merenung jauh, matanya bersinar-sinar.

   "Siapa dia?"

   "Han-koko."

   "Aihhh...., kakak angkatmu itu? Pewaris pusaka Pulau Es? Hemmm, engkau berkelakar, sumoi."

   "Tidak, suci. Dia seorang yang semulia-mulianya, tiada keduanya di dunia ini. Dan hanya dialah yang paling patut menjadi suamimu."

   Nirahai tersenyum dan menarik napas panjang.

   "Sumoi, enak dan mudah saja kau bicara. Aku belum melihat dia, dia pun belum pernah melihat aku. Andaikata kami saling bertemu, belum tentu pula dia dan aku akan saling jatuh cinta."

   "Pasti."

   Lulu berteriak.

   "Pria mana yang takkan jatuh hati melihat engkau? Termasuk kakakku. Dan wanita mana yang tidak akan mencintanya? Sekali bertemu dengan dia, aku tanggung engkau akan terjungkir balik....."

   "Hahhh....? Kau anggap aku selemah itu mudah dijungkir-balikkan?"

   Nirahai menantang akan tetapi pandang matanya berseri tanda bahwa dia tidak merasa direndahkan oleh sumoinya yang nakal itu.

   "Eiiit-eiit-eiiittttt, sabar, suci. Bukan orangnya yang dijungkir-balikkan, akan tetapi hatimu. Engkau tentu akan jatuh bertekuk lutut...."

   "Heiiiii....?"

   "Yang bertekuk lutut hatimu, engkau akan jatuh cinta...."

   "Sudah, sudah eh, sumoi, engkau mencinta betul kepada kakakmu itu, ya?"

   Lulu mengerutkan keningnya dan menjawab sungguh-sungguh,

   "Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, suci. Tidak ada yang lebih kucinta daripada Han-koko."

   "Nah, nah.... kalau begitu engkaulah yang patut menjadi isterinya."

   Lulu meloncat bangun seperti diserang ular berbisa.

   "Suci, engkau gila....?"

   Nirahai menuding-nuding telunjuknya ke hidung Lulu.

   "Eh, eh, beginikah sikap seorang sumoi? Bocah kurang ajar, engkau memaki sucimu gila?"

   Akan tetapi mata yang tajam bening itu masih berseri, tidak marah.

   "Eh, eh maaf, suci. Maksudku, perkataan suci itu benar-benar tidak masuk akal. Dia itu kakakku, ingat? Jangan bicara begitu, aku marah, suci."

   "Sudahlah, maafkan aku. Kita lihat saja nanti, apakah kakakmu itu benar-benar sehebat yang kau banggakan dan pamerkan."

   "Aku tanggung engkau akan kagum. Bahkan wanita-wanita pendekar yang cantik jelita tergila-gila kepadanya. Seperti Hoa-san Kiam-li, seperti Enci Sin Lian...."

   Tiba-tiba Lulu terhenti dan teringat, wajahnya menjadi seperti kaget, matanya merenung dan kedua pipinya merah. Ia teringat betapa ia pernah bicara dengan Lu Soan Li tentang kakaknya bahkan ia telah menawarkan kakaknya itu menjadi suami Lauw Sin Lian. Kini dia menawarkan kakaknya menjadi suami Nirahai. Wah, tanpa disadarinya ia telah menjadi perantara dari tiga orang gadis.

   "Ada apakah, sumoi?"

   Nirahai bertanya ketika melihat perubahan pada wajah sumoinya yang termenung seperti orang bingung.

   "Ti.... tidak apa-apa, suci."

   "Engkau memang aneh, mari kita berlatih saja agar kelak kalau kakakmu datang, tidak mudah bagi dia untuk menjungkir-balikkan aku, hi-hik."

   Akan tetapi Lulu masih termenung.

   "Suci, bagaimana kabarnya dengan usahamu menyelidiki tentang dia?"

   Nirahai menarik napas panjang. Hampir setiap hari ia dibikin repot oleh pertanyaan Lulu.

   Tentu saja dia sudah menyelidiki dan malah sudah mendenger tentang keributan yang ditimbulkan oleh Han Han di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok, betapa kemudian Han Han ditangkap ketika dikeroyok oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan Gak Liat, lalu dibawa pergi oleh nenek itu. Dia sudah pula menyuruh orang menyelidiki ke In-kok-san, akan tetapi karena keadaan di situ dapat dikatakan menjadi sarang musuh, amatlah sukar menyelidik ke sana dan tidak ada penyelidik yang tahu apa yang terjadi dengan diri Han Han. Hanya diketahui bahwa pemuda itu lenyap, entah masih hidup entah sudah mati. Tentu saja ia tidak menceritakan semua itu kepada Lulu, hanya menceritakan bahwa ketika dikeroyok Oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat seperti yang diketahui Lulu ketika ditangkap Ouwyang Seng, pemuda itu dapat melarikan diri.

   "Sampai sekarang belum ada beritanya, sumoi. Kakakmu itu orang aneh sekali, dan entah menghilang ke mana. Akan tetapi aku masih mengirim penyelidik ke semua jurusan"

   Demikianlah, Lulu berlatih terus bersama Nirahai dan ilmu kepandaiannya meningkat secara hebat sehingga diam-diam Nirahai sendiri menjadi kagum. Puteri yang sakti ini maklum bahwa kalau dia sendiri tidak digembleng oleh Maya, kiranya kepandaian Lulu sekarang sudah melampaui tingkatnya ketika ia belum menjadi murid nenek sakti itu. Setahun mereka berlatih tekun. Pada suatu hari, Nirahai pulang dari pertemuannya dengan para pembantunya, langsung mengunjungi Lulu yang sedang berlatih di depan Nenek Maya di kebun bunga belakang tempat tinggal mereka di lingkungan istana. Wajah Nirahai tampak tegang dan datang-datang berkata.

   "Wah, kembali pasukan-pasukan kita terpukul mundur di Se-cuan. Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai sehingga kini Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri mengirim berita minta bantuan orang-orang pandai. Agaknya teecu sendiri harus berangkat ke sana, subo. Dan mengingat bahwa di pihak musuh banyak terdapat orang sakti, teecu mengharap subo dan sumoi suka pula membantu."

   Nenek Maya tersenyum.

   "Aku sudah tua untuk berperang. Engkau berangkatlah bersama Lulu, dan aku sendiri akan keluar dari istana karena sudah bosan di sini. Kelak kalau ada waktu, aku akan menyusul ke sana, hanya untuk melihat-lihat."

   Nirahai tidak berani memaksa.

   "Sumoi, sekali ini, sucimu benar-benar membutuhkan bantuanmu. Tentu engkau suka membela bangsa dan negara, bukan? Selain itu, hanya daerah barat yang belum diselidiki. Siapa tahu kita akan dapat mendengar tentang kakakmu di barat."

   Memang Nirahai pandai sekali. Dia mendengar akan munculnya seorang panglima musuh yang berkaki buntung, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia menduga bahwa pemuda buntung itu agaknya Han Han, akan tetapi ia ragu-ragu karena kalau Han Han, mengapa kakinya buntung? Pula, kalau ia menceritakan hal ini kepada Lulu dan sumoinya itu kemudian menduga bahwa Han Han membela musuh, agaknya akan sukar mengajaknya untuk membantu. Lulu mengangguk.

   "Baiklah, suci. Biarpun aku juga seperti subo, tidak suka perang, akan tetapi biarlah aku hitung-hitung membalas budimu."

   Nenek Maya lalu meninggalkan istana dan mendapat kehormatan besar karena kaisar sendiri mengantar keberangkatannya dengan pesta perpisahan. Kemudian tiga hari berikutnya, Puteri Nirahai bersama Lulu berangkat ke Se-cuan, memimpin sebuah pasukan besar.

   Puteri Nirahai nampak gagah sekali dengan pakaian perangnya, gagah dan cantik jelita. Adapun Lulu yang tidak mau memakai pakaian perang, tidak mau pula menerima pangkat panglima, berpakaian biasa yang ketat dan dia menunggang kuda di samping Nirahai. Banyak orang di sepanjang jalan mengelu-elukan keberangkatan Puteri Nirahai yang telah banyak dikenal. Akan tetapi mereka kagum dan heran melihat seorang gadis cantik berpakaian biasa yang berkuda di samping puteri itu, karena memang selama berada di kota raja, Lulu tidak pernah keluar dari istana, juga Puteri Nirahai diam-diam mengatur agar kehadiran Lulu di kota raja tidak sampai diketahui orang. Hal ini untuk menjaga agar gadis itu tidak dicari oleh Han Han atau oleh para pejuang yang menganggap gadis itu sudah menjadi sekutu mereka.

   Bagaimanakah ada berita bahwa pemuda buntung yang amat lihai menjadi panglima musuh di Se-cuan? Siapakah pemuda buntung ini? Dia itu bukan lain adalah Han Han. Seperti kita ketahui, setelah membunuh jai-hwa-cat yang berusaha memperkosa nikouw di Kwan-im-bio, di mana Han Han hancur hatinya menghadapi pertemuannya dengan Kim Cu, pemuda ini lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja. Mungkin karena kakinya yang buntung, juga karena ketika dahulu ia berada di kota raja, ia tidak menimbulkan kecurigaan kecuali hanya rasa kasihan yang timbul di hati orang yang melihat kakinya yang buntung. Akan tetapi kebuntungan kakinya pun tidak menimbulkan keheranan karena di masa itu, perang telah menimbulkan banyak malapetaka sehingga banyak terdapat orang yang buntung kakinya, tangannya, atau cacat tubuhnya.

   Pada malam harinya, Han Han mempergunakan kepandaiannya, tanpa terilhat oleh seorang pun penjaga, ia meloncat ke atas rumah encinya, yaitu rumah gedung Giam-ciangkun, perwira she Giam, kakak iparnya atau suami encinya. Menjelang tengah malam itu keadaan sunyi sekali dan ketika ia mengintai kamar encinya yang ia sudah hafal karena ia pernah tinggal di rumah gedung ini, ia menjadi girang melihat encinya tidur berdua saja dengan Giam Kwi Hong, puteri encinya itu yang kini sudah berusia hampir lima tahun. Cepat ia menyelinap masuk dan dengan hati-hati ia membangunkan encinya dengan jalan memijit ibu jari kaki encinya. Sie Leng terbangun, kaget ketika melihat wajah Han Han yang dikenalnya betul, cepat bangkit duduk dan membetulkan pakaiannya. Han Han menaruh telunjuk ke depan bibirnya dan berbisik.

   "Leng-cici, aku datang...."

   Sie Leng kini sudah sadar betul, melihat adiknya dan matanya terbelalak ketika melihat kaki Han Han.

   "Adik Han.... kaki.... kakimu....."

   "Sssttttt.... tidak apa-apa, Enci. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Di mana dia.... eh.... suamimu?"

   Berat rasa lidah Han Han untuk menyebut Perwira Giam Cu sebagai cihu.

   "Dia.... dia sudah sebulan.... berangkat ke Se-cuan...."

   Sie Leng memandang khawatir sekali karena takut kalau-kalau adiknya masih mendendam. Han Han bernapas lega, lalu duduk di atas bangku. Sie Leng duduk di ranjang, menengok puterinya. Melihat puterinya tidur nyenyak, ia lega dan menoleh kepada adiknya.

   "Han Han, engkau pergi tanpa pamit, kata cihumu, engkau mencari adik angkatmu...."

   "Cici, kedatanganku ini memang untuk bertanya kepadamu. Pertama, tahukah engkau tentang Lulu, adik angkatku itu?"

   Sie Leng menggeleng kepala.

   "Adikmu itu aneh seperti engkau. Dia menjadi pelayan istana lalu tiba-tiba lenyap, melarikan diri"

   Semenjak itu, tidak ada lagi yang tahu di mana dia berada, dicari oleh sepasukan pun tidak dapat ditemukan."

   Han Han tersenyum. Lega dadanya, bahwa adiknya tidak berada di istana. Memang ia sudah menduga akan hal ini.

   "Sekarang pertanyaan ke dua, Enci, dan kuharap Enci benar-benar akan jujur dan memenuhi permintaanku, menjawab pertanyaanku secara jujur. Di manakah tempat tinggal Giam Kok Ma, bedebah yang dahulu memperkosa Ibu kita, perwira muka kuning itu?"

   "Han-te...., Apa yang akan kau lakukan?"

   "Apa yang akan kulakukan tak perlu kau ketahui, Enci, dan juga bukan urusanmu lagi. Aku bersumpah bahwa engkau tidak akan tersangkut. Katakanlah, di mana dia dan di mana pula lima orang perwira yang lain, yang dahulu ikut bersama suamimu membasmi keluarga kita?"

   Pucat wajah Sie Leng. Ia merasa takut kalau-kalau adiknya itu akan mengamuk. Apa dayanya seorang yang buntung? Kalau adiknya tertangkap dan dihukum mati, ahhh.... ia merasa ngeri dan otomatis ia menggeleng-geleng kepalanya.

   "Enci, dengarlah."

   Han Han berkata tak sabar.

   "Aku sudah melupakan perbuatan suamimu terhadap engkau, aku sudah mengampunkan dia. Akan tetapi aku minta ganti. Enam orang perwira yang lain harus dapat kuketahui tempat tinggalnya, dan engkau harus memberitahu aku. Harus, kau dengar? Kalau engkau tidak mau memberitahukan di mana adanya enam orang perwira terkutuk itu, demi Tuhan, terpaksa aku akan mencari dan membunuh suamimu."

   "Tidak...., Jangan....."

   Sie Leng berteriak, menjerit kecil dan anaknya terbangun. Bocah itu bangkit duduk dan melihat Han Han ia terbelalak memandang.

   "Eh, Ibu? Siapakah dia ini? Apakah dia mengganggu Ibu? Awas, siapa yang mengganggu Ibu, akan aku hajar."

   Kwi Hong yang masih kecil itu sudah berdiri dan mengepal tinjunya. Han Han memandang dengan mata terbelalak penuh kekaguman.

   "Lihat, Enci. Puterimu lebih berbakti daripadamu."

   Encinya memangku Kwi Hong, menciumnya dan berbisik,

   "Hussshhhhh, dia ini Pamanmu, tidak akan mengganggu Ibu. Tidurlah, Nak....."

   Setelah ditepuk-tepuk pahanya, anak yang masih mengantuk itu tertidur kembali dan dibaringkan oleh ibunya.

   "Han Han, jangan kira bahwa aku tidak punya semangat. Aku tidak berdaya, akan tetapi kutanamkan sejak kecil di dalam hati Kwi Hong bahwa dia harus menjadi anak yang berbakti, yang akan membela ayah bundanya dengan taruhan nyawa, tidak seperti aku....."

   Ia menangis pula.

   "Syukurlah kalau begitu. Sekarang katakan, di mana adanya enam orang perwira musuh kita itu?"

   "Han Han, apa dayamu menghadapi mereka? Apalagi kakimu sudah buntung...."

   "Jangan khawatir, setelah kakiku buntung, aku malah lebih banyak harapan untuk membalas dendam. Di mana mereka?"

   Setelah menarik napas panjang berulang kali, Sie Leng lalu berkata,

   "Giam Kok Ma berada di kota raja. Gedungnya tidak jauh dari sini, di sebelah utara, gedung besar yang ada arca singa batu di depannya...."

   Ia berhenti sebentar.

   "Akan tetapi, engkau tidak akan menemukan dia di gedungnya, dia pun bersama cihu.... eh, dengan suamiku, telah berangkat sebulan yang lalu ke Se-cuan. Dia dan suamiku adalah perwira-perwira pasukan tempur yang kini berangkat untuk menggempur Se-cuan."

   Hati Han Han kecewa sekali akan tetapi ia percaya akan keterangan encinya.

   "Dan siapakah perwira-perwira yang lain, yang lima orang itu? Di mana mereka?"

   "Ahhh, aku tidak tahu.... aku hanya berhasil tahu dari suamiku bahwa seorang di antara mereka itu adalah Su-ciangkun yang kini memimpin pasukan melakukan pembersihan terhadap para pemberontak, entah di mana. Han Han, sungguh.... biarpun aku tidak pernah mempunyai harapan untuk menuntut balas kehancuran keluarga kita, namun dengan susah payah aku dahulu selalu membujuk suamiku agar menerangkan nama mereka itu, dan agar suamiku suka membalaskan dendamku. Akan tetapi dia selalu mencelaku dan mengatakan bahwa peristiwa itu sudah jamak terjadi di dalam perang. Maka aku hanya berhasil mengenal Giam Kok Ma dan Su-ciangkun yang tak kuketahui nama lengkapnya itu, orangnya tinggi besar, jalannya agak pincang. Adapun empat orang lainnya aku sungguh tidak tahu."

   Han Han mengerutkan alisnya. Benar-benar amat sukar membalas dendam keluarganya, pikirnya murung. Yang seorang adalah suami encinya sendiri. Yang ke dua sedang pergi ke Se-cuan, yang ke tiga bernama Su-ciangkun tidak diketahui ke mana perginya. Bahkan empat orang yang lain tidak dikenal, tidak diketahui namanya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa sekali bertemu dengan mereka, dia tentu akan mengenal mereka, musuh besarnya itu. Tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menangkap dulu seorang di antara mereka dan memaksanya mengaku dan menunjukkan siapa adanya teman-temannya yang dahulu melakukan pembasmian terhadap keluarganya. Kalau dia tidak berhasil menangkap seorang di antara mereka, apa boleh buat, ia akan menangkap dan memaksa Giam Cu, kakak iparnya sendiri dan memaksa keterangan tentang enam orang musuh besarnya dari mulut suami encinya itu.

   "Leng-cici, jagalah dirimu dan anakmu baik-baik. Aku pergi...."

   "Han Han....."

   Sie Leng mengeluh perlahan, akan tetapi ia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu adik kandungnya yang buntung itu telah lenyap dari kamar itu. Sie Leng lari ke jendela, melongok keluar, akan tetapi sunyi saja di luar jendela dan tidak ada suara sedikit pun. Mimpikah dia? Atau benarkah Han Han tadi yang datang? Adiknya yang sudah buntung kakinya? Adik kandungnya yang demikian sengsara dan berkeras hendak menuntut balas atas kehancuran keluarga mereka? Sie Leng merintih dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, merangkul Kwi Hong dan menangis terisak-isak.

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 5 Istana Pulau Es Eps 30 Istana Pulau Es Eps 6

Cari Blog Ini