Pendekar Super Sakti 3
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Sampai hari menjadi gelap barulah keduanya meninggalkan taman. Tiga bulan kemudian Han Han masih belum dilatih gerak pukulan, akan tetapi di samping latihan bhesi, ia mulai dilatih mengatur napas dan bersamadhi oleh gurunya. Pelajaran ini pun membosankan baginya, namun setidaknya ia cukup mengerti akan manfaat siulian (samadhi) dan mengatur pernapasan, karena dalam kitab-kitab kuno hal ini pun selalu disebut-sebut sebagai kewajiban setiap orang yang hendak menguasai diri pribadi dan menguasai nafsu-nafsunya. Karena itu, latihan siulian dan mengatur napas ini lebih mudah ia pelajari. Hanya bedanya, kalau siulian untuk menguasai diri pribadi dan mengendalikan nafsu dilakukan dengan duduk diam dan belajar mengendalikan pikiran dan menenteramkan hati serta menutup semua perasaan,
Adalah siulian yang diajarkan oleh Lauw-pangcu ini ditujukan untuk melancarkan jalan darah, untuk menguasai pernapasan dan terutama sekali untuk menggunakan hawa dalam tubuh sebagai kekuatan. Lauw-pangcu kembali tertegun dan terheran-heran ketika pada hari-hari pertama ia mengajar murid barunya ini bersamadhi, dalam waktu singkat saja Han Han sudah dapat mematikan semua rasa dan berada dalam keadaan hening yang hanya akan dapat dicapai oleh orang yang sudah berbulan-bulan belajar samadhi"
Ia hanya mengira bahwa Han Han memang memiliki bakat luar biasa dan kemauan yang amat keras seperti baja, tidak tahu bahwa hal ini timbul dari keadaan yang "tidak wajar"
Dalam diri Han Han akibat terbantingnya kepalanya pada dinding dahulu.
Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melatih Han Han untuk mengumpulkan hawa ke pusar dan bertanya apakah ada terasa hawa di situ, anak itu mengangguk. Ia lalu menyuruh muridnya menggunakan kemauan untuk mendorong hawa panas itu naik ke dada dan kembali Han Han mengangguk, sebagai tanda bahwa ia telah melakukan perintah suhunya. Lauw-pangcu tidak percaya, lalu meraba dada muridnya. Ia terbelalak. Dada itu mengeluarkan getaran yang amat kuat sehingga tubuh bocah itu menggigil, mukanya merah seperti terbakar. Cepat-cepat ia menurunkan lagi hawa panas itu turun ke pusar sehingga keadaan anak itu normal kembali. Setelah Han Han dan gurunya duduk mengaso tidak berlatih, gurunya berkata.
"Dalam latihan siulian, kau cepat maju, Han Han. Hati-hatilah, jangan kau sembrono dengan hawa panas di pusar itu. Itu merupakan kekuatan hebat dan kalau kau sudah dapat mengendalikannya, hawa itu dapat kau dorong ke bagian tubuh yang manapun juga, merupakan kekuatan sin-kang yang luar biasa. Akan tetapi kalau kau sembrono dan keliru menggunakannya, dapat merusak bagian dalam tubuhmu sendiri. Sebaiknya secara perlahan kau latih dan kuasai hawa itu, mendorongnya perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit maju, sampai dapat kau perintah dia maju ke pundak, kemudian turun ke lengan dan sebagainya. Hawa itu dapat diperkuat dengan latihan samadhi dan pernapasan yang benar seperti yang aku ajarkan kepadamu. Kau sudah hafal akan teorinya, tinggal melaksanakan dalam latihan-latihan yang tekun."
Demikianlah, hanya dengan setengah hati Han Han melanjutkan latihannya, yakni memperkuat kuda-kuda dan latihan samadhi.
Sebetulnya ia sudah tidak kerasan sama sekali tinggal di sarang Pek-lian Kai-pang ini. Ia merasa tidak bebas lagi, tidak seperti ketika ia berkeliaran tanpa tujuan. Sekarang ia terikat oleh kewajiban-kewajiban berlatih dan membantu pekerjaan rumah tangga yang dilakukan Sin Lian. Ia tidak lagi dapat berlaku sekehendak hatinya, mau tidur tinggal tidur, mau jalan tidak ada yang melarang, bisa tertawa sesukanya atau menangis semaunya kalau ia kehendaki. Di situ, ia terpaksa berlaku tidak wajar tidak bebas. Ia tidak suka berlatih silat, namun terpaksa ia lakukan. Kalau hatinya sedang mangkal, ia seharusnya cemberut, menurutkan hatinya, akan tetapi di depan gurunya, Sin Lian dan para anggauta kai-pang, ia memaksa diri tersenyum"
Benar-benar hidup tersiksa baginya.
Lebih-lebih kalau ia mengingat akan sikap para suheng-suheng (kakak seperguruan) atau susiok-susiok (paman seperguruan) terhadap dirinya, membuat ia makin tidak kerasan lagi. Mereka itu, anggauta-anggauta kai-pang yang taat, memandang rendah dan hina kepadanya karena ia bukan termasuk golongan pengemis. Kalau tidak mau menjadi pengemis, mengapa belajar ilmu silat di situ dan memakai pakaian rombeng, demikian mereka sering kali menegurnya. Han Han sering kali
(Lanjut ke Jilid 03)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
dihina, dipukul dan diejek. Akan tetapi dasar dia memiliki watak keras dan berani, sedikit pun tidak mempunyai watak pengecut, ia tidak pernah mengeluh di depan gurunya. Bahkan di depan Sin Lian ia tidak pernah menceritakan perlakuan mereka itu terhadap dirinya. Sikap ini menolongnya karena para anggauta kai-pang yang gagah itu merasa kagum menyaksikan sikap Han Han dan gangguan-gangguan mereka makin berkurang.
Sudah lima bulan Han Han berada di sarang Pek-lian Kai-pang itu. Pada suatu pagi, datanglah serombongan pengemis ke tempat itu. Mereka ini terdiri dari belasan orang pengemis, tampak kuat-kuat seperti para anggauta Pek-lian Kai-pang. Hanya bedanya, kalau pakaian para anggauta Pek-lian Kai-pang, biarpun bertotol-totol berkembang atau tambal-tambalan, dasarnya selalu warna putih, adalah rombongan pengemis yang datang ini pakaiannya serba hitam. Wajah mereka juga bengis-bengis, dan mereka dipimpin seorang pengemis tua bongkok berpakaian hitam yang matanya hanya satu, yaitu yang kanan karena mata kirinya buta. Han Han yang sedang berlatih bersama Sin Lian, segera berlari-lari menghampiri bersama gadis cilik itu yang menjadi tegang dan berbisik,
"Ah, mereka adalah orang Hek-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Tentu mencari keributan."
Han Han menjadi berdebar tegang hatinya. Benar-benarkah akan terjadi bentrokan antara para pengemis? Alangkah aneh dan lucunya. Sama-sama pengemis, masih bertengkar. Ia dan Sin Lian menonton dari pinggir karena saat itu, Lauw-pangcu sendiri telah menyambut datangnya rombongan pengemis baju hitam ini bersama anak buahnya yang sudah berbaris rapi. Rata-rata para anggauta Pek-lian Kai-pang bersikap keren. Lauw-pangcu telah mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata,
"Biarpun belum pernah jumpa, namun tidak akan keliru dugaan saya kalau yang datang berkunjung ini adalah Song-pangcu (Ketua Pengemis Song) dari lembah utara."
Kakek bongkok itu mengeluarkan suara mendengus seolah-olah sikap sopan dan ramah ini malah tidak menyenangkan hatinya.
"Benar, Lauw-pangcu. Aku orang she Song ketua Hek-i Kai-pang dari seberang sungai. Tak perlu kiranya kita berpanjang debat, Lauw-pangcu, karena kita sama tahu bahwa di antara anak buah kita sudah sering kali timbul bentrok, dan...."
"Bentrokan yang sengaja dilakukan oleh anggauta-anggautamu, Song-pangcu."
Bantah Lauw-pangcu dengan suara keren.
"Sudah jelas daerah kita dibatasi sungai, namun para anggautamu sengaja menyeberang sungai dan mendesak daerah kami di selatan."
"Tidak perlu dibicarakan lagi urusan itu."
Song-pangcu memotong marah.
"Kami tidak perlu lagi banyak cakap dengan segala pemberontak...."
"Song-pangcu, Mengapa kau menuduh yang bukan-bukan?"
"Ha-ha-ha. Menuduh, katamu? Siapa tidak tahu bahwa Pek-lian Kai-pang adalah cabang dan pecahan dari Pek-lian-kauw yang memberontak dan jahat? Siapa tidak tahu akan kontak antara kalian dengan pemberontak di barat?"
Lauw-pangcu menjadi pucat mukanya lalu berubah merah sekali
"Song-pangcu, memang tidak perlu banyak cakap. Antara kita terdapat jurang pemisah dan bibit permusuhan. Sekarang, kalian datang mau apa?"
"Ha-ha, mau apa lagi? Membereskan urusan antara kita dengan senjata."
Kata It-gan Hek-houw sambil terkekeh dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang juga berwarna hitam seperti pakaiannya. Lauw-pangcu memberi isyarat dengan tangan dan melompatlah lima belas orang anggauta Pek-lian Kai-pang tingkat tinggi. Mereka inilah yang oleh Sin Lian dan Han Han disebut susiok (paman guru) dan mereka ini yang mewakili Lauw-pangcu melatih ilmu silat kepada para murid. Hanya Sin Lian dan Han Han berdua saja yang menerima pendidikan langsung dari ketua Pek-lian Kai-pang ini. Lima belas orang itu bergerak secara teratur, berputaran dan terbentuklah sebuah barisan lingkaran tiga lapis. Yang luar terdiri dari delapan orang, sebelah dalamnya lima orang dan yang paling dalam dua orang. Bentuknya seperti teratai.
"Song-pangcu, bicara tentang mengadu senjata berarti mengadu kepandaian. Seorang pangcu yang mempunyai banyak anak buah, tidak patut kalau turun tangan sendiri sebelum mengajukan anak buahnya. Cobalah kau pecahkan barisan kami yang bernama Pek-lian-tin (Barisan Teratai Putih) ini."
Kata Lauw-pangcu. Barisan itu hanya bentuknya saja seperti teratai, akan tetapi sebenarnya merupakan gabungan daripada pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang diwakili oleh lingkaran pertama di luar, ngo-heng-tin (barisan lima unsur) yang diwakili oleh lingkaran ke dua dan im-yang-tin (barisan im-yang) diwakili oleh dua orang, yaitu sesungguhnya bukan barisan hanya kerja sama antara dua orang yang menggunakan dua jenis tenaga yang berlawanan dalam gerakan mereka. Dapat diduga betapa hebat dan kuatnya barisan Pek-lian-tin yang terdiri dari gabungan tiga barisan kuat. Akan tetapi It-gan Hek-houw yang sudah mendengar akan Pek-lian-tin ini memandang rendah dan tertawa mengejek.
Ia sudah siap dengan anak buahnya yang dipilih atas tokoh-tokoh terpandai dari Hek-i Kai-pang. Ia pun memberi tanda dengan tongkatnya diangkat ke atas maka majulah lima belas orang pengikutnya yang rata-rata bertubuh kuat, tidak seperti ketua mereka yang bongkok. Seperti Pek-lian-tin itu, mereka pun masing-masing memegang sebatang tongkat hitam, yang hanya warnanya saja berbeda dengan tongkat lawan yang putih. Lima belas orang pengemis pakaian hitam ini lalu bergerak pula membentuk lingkaran besar, mengelilingi Pek-lian-tin. Mereka ini harus terus berlari-larian mengelilingi barisan pengemis Pek-lian Kai-pang yang tetap pada kedudukan mereka, tidak bergerak, hanya pandang mata mereka saja tetap memperhatikan lawan yang berada di depan mereka masing-masing.
Dengan lingkaran terdiri dari lima belas orang itu, maka barisan luar pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang itu menghadapi jumlah lawan yang hampir dua kali lebih banyak. Namun mereka tetap tenang, siap dengan tongkat di tangan, demikian pula ngo-heng-tin yang berada di dalam, dan dua orang yang membentuk im-yang-tin. Han Han menonton dengan jantung berdebar. Baru sekali ini ia akan menyaksikan pertempuran hebat antara orang-orang yang pandai ilmu silat dan mulailah rasa tidak senang menggerogoti hatinya. Jadi mereka itu mati-matian berlatih ilmu silat hanya untuk ini? Untuk berkelahi, saling serang dan mungkin saling bunuh? Apakah kelak kalau dia sudah pandai ilmu silat juga seperti mereka ini? Ia pun memikirkan tuduhan kakek mata satu itu yang dilontarkan terhadap Pek-lian Kai-pang.
Benarkah Pek-lian Kai-pang itu sebuah perkumpulan pemberontak? Benarkah Pek-lian Kai-pang adalah cabang dari Pek-lian-kauw? Dia sudah pernah membaca tentang Pek-lian-kauw ini, yang merupakan perkumpulan Agama Teratai Putih, akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan kaum pemberontak yang gigih terhadap Kerajaan Beng-tiauw yang telah jatuh di tangan bangsa Mancu. Menurut patut, pemberontak terhadap Kerajaan Beng tentunya bekerja sama dengan bangsa Mancu. Akan tetapi mengapa sekarang masih disebut pemberontak dan malah tadi dituduh mengadakan kontak dengan pemberontak di barat? Han Han tidak mengerti dan menjadi bingung, akan tetapi hal itu ia lupakan karena perhatiannya lebih tertarik kepada pertempuran hebat yang akan berlangsung.
"Anjing-anjing hitam itu tidak mungkin dapat menangkan Pek-lian-tin."
Kata Sin Lian dengan suara berbisik.
"Akan tetapi jumlah mereka lebih banyak. Mana bisa lingkaran luar yang terdiri dari delapan orang dapat bertahan?"
Bantah Han Han yang mau tidak mau tentu saja berpihak kepada Pek-lian Kai-pang.
"Kau lihat saja, nanti tahu kelihaian Pek-lian-tin."
Han Han tidak keburu bertanya lagi karena kini pertandingan sudah dimulai, perhatiannya tertarik dan ia menonton dengan hati tegang. Batu pertama kali ini selama hidupnya Han Han menonton pertempuran seperti ini dan karena ia tahu bahwa dalam pertempuran ini akan banyak orang terluka dan tewas, maka hatinya tegang sekali.
Pertempuran itu dimulai dengan bentakan-bentakan dan sorakan-sorakan nyaring dari kedua pihak. Mula-mula lima belas orang pengemis baju hitam itu setelah tadi berlari-larian memutari Pek-lian-tin, bersorak dan menyerbu secara tiba-tiba. Lima belas orang itu bergerak dengan cepat dan dalam detik yang sama, karena memang mereka itu bergerak menurut aturan barisan yang telah mereka susun dan latih sebelumnya. Tongkat mereka maju menerjang dan setiap dua orang pengemis baju hitam telah memilih seorang pengemis Teratai Putih sebagai lawan sehingga penyerangan mereka tidak kacau, mempunyai sasaran yang tertentu. Kalau diukur tingkat kepandaian perorangan antara anggauta kedua "tin"
Ini, agaknya berimbang dan tidak banyak selisihnya. Maka jika seorang di antara mereka dikeroyok dua orang lawan, tentu akan kalah.
Kalau lingkaran luar Pek-lian-tin itu menerima serangan lawan begitu saja, tentu mereka akan hancur mengingat bahwa jumlah mereka hanya delapan orang menghadapi serangan lima belas orang. Akan tetapi, setelah bertanding, barisan ini memperlihatkan kehebatannya. Tiba-tiba mereka itulah yang sekarang bergerak memutar sambil menangkis sebuah serangan. Dan karena mereka bergerak memutar ini maka setiap orang pengemis Pek-lian Kai-pang hanya cukup menangkis serangan seorang lawan saja lalu bergerak ke kiri menerima pula serangan tongkat hitam yang lain. Adapun orang ke dua pihak lawan yang menyerangnya otomatis telah "diterima"
Oleh teman yang datang menggeser dari kanan. Memang gerakan ini membuat mereka menerima serangan secara bertubi-tubi, namun tetap saja mereka itu masing-masing hanya menghadapi seorang lawan saja.
Kemudian secara tiba-tiba sekali, barisan sebelah dalam yang terdiri dari lima orang, cepat dan tidak terduga-duga oleh barisan lawan yang sedang gembira mendesak lingkaran luar yang berputaran itu, menerjang dari celah-celah antara dua orang kawan yang membentuk Pak-kwa-tin. Mereka ini menerjang dengan tongkat mereka menuju ke sebuah sasaran saja, yaitu ke arah seorang lawan yang mereka lihat dari dalam tadi berada dalam posisi lemah. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah tiga orang pengemis baju hitam. Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu telah berhasil merobohkan tiga orang lawan dan karena serangan mereka tadi amat tiba-tiba, maka pihak lawan hanya ada dua orang saja yang mampu menangkis, sedangkan yang tiga orang kena dihantam kepalanya dan roboh berkelojotan dengan kepala retak.
"Nah, kau lihat kelihaian Pek-lian-tin."
Seru Sin Lian dengan suara nyaring, sebetulnya ucapan ini ditujukan kepada Han Han akan tetapi terdengar oleh semua orang karena keadaan di situ sunyi dan tegang, kecuali suara beradunya tongkat dan terengahnya napas mereka yang sedang bertempur. Han Han merasa kagum, akan tetapi juga ketidak-senangannya terhadap ilmu silat bertambah. Ia terbelalak memandang ke arah tiga orang pengemis baju hitam yang berkelojotan kaki tangannya, mulutnya mengeluarkan rintihan perlahan, darah mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut.
Kemudian mereka berhenti berkelojotan dan tidak bergerak lagi. Han Han bergidik. Untuk inikah ilmu silat dilatih? Untuk inikah perkumpulan kai-pang dibentuk? Ia menyapu wajah mereka yang sedang bertempur seru. Wajah penuh keringat, berkilat-kilat, akan tetapi masih kalah oleh kilatan mata mereka yang penuh nafsu membunuh, mulut yang menyeringai, seolah-olah mereka amat gembira menghadapi perjuangan antara mati dan hidup ini. Seolah-olah mereka itu sekumpulan kanak-kanak tengah bermain-main, tidak ada ketakutan terbayang di wajah mereka, yang ada hanya nafsu untuk menang, untuk menghancurkan lawan, untuk membunuh. Setelah kehilangan tiga orang kawan, barisan pengemis baju hitam menjadi hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, selain penyerangan mereka akan gagal,
Juga mereka akan sukar melindungi diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh lima orang di sebelah dalam barisan lawan itu. Terdengar It-gan Hek-houw ketua mereka bersuit nyaring dan kini barisan pengemis baju hitam mengubah gerakan. Mereka pun berjalan mengitari barisan lawan, mengimbangi gerakan Pat-kwa-tin, kemudian mereka menyerang lagi, bukan menyerang sambil berhenti di tempat seperti tadi, dan kini mereka menyerang tidak berbareng, melainkan berganti-ganti sehingga yang tidak menyerang dapat menjaga kawan yang menyerang dari bahaya. Keadan makin seru dan kacau karena pihak pengemis Pek-lian-tin dibikin bingung oleh penyerangan seperti itu. Mereka melawan sekuat tenaga, kadang-kadang dibantu oleh Ngo-heng-tin dari dalam yang kini bertugas membela kawan-kawan yang di luar.
Perang campuh terjadi dan berjatuhanlah korban kedua pihak. Akan tetapi sekali ini, pihak Pek-lian-tin roboh empat orang sedangkan di pihak Hek-i Kai-pang roboh tiga orang lagi. Pat-kwa-tin yang kehilangan empat orang itu menjadi ompong dan kehilangan daya keampuhannya. Hal ini tidak disia-siakan oleh pihak pengemis baju hitam yang langsung menyerang dan menghimpit. Akan tetapi kini bergeraklah barisan Ngo-heng-tin, menutup bagian-bagian yang lowong dan balas menyerang. Terjadi perang tanding yang amat seru dan mati-matian antara sembilan orang pengemis Pek-lian-tin melawan delapan orang pengemis Hek-i Kai-pang. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dan roboh pula empat orang pengemis baju hitam. Kiranya sekarang im-yang-tin yang terdiri dari dua orang itu telah bergerak. Gerakan mereka sungguh mengagetkan.
Kiranya mereka ini merupakan "inti"
Dari Pek-lian-tin, dan tingkat kepandaian mereka lebih tinggi daripada tiga belas orang teman yang lain. Selain tingkat kepandaian mereka lebih tinggi, juga gerakan mereka sukar diduga lawan karena mereka itu menyusup di antara dua barisan depan yang sengaja menyembunyikan mereka dan hanya bergerak memberi jalan setelah mendapat isyarat dari dalam. Maka sekali menerjang keluar dalam keadaan tak terduga-duga, tongkat mereka berkelebat dan masing-masing dapat merobohkan dua orang lawan. Bersoraklah pihak Pek-lian Kai-pang melihat hasil ini. Kini pihak pengemis baju hitam sudah tewas atau luka berat sepuluh orang, sisanya hanya lima orang lagi saja. Sedangkan pihak Pek-lian Kai-pang hanya roboh empat orang, jadi masih sebelas orang. Kini keadaan terbalik, lima orang pengemis baju hitam melawan sebelas orang pengemis Pek-lian.
Namun, harus dipuji semangat bertempur pengemis-pengemis baju hitam itu. Agaknya mereka ini merasa sakit hati sekali menyaksikan robohnya teman-teman mereka dan kini mereka bertanding seperti orang-orang kemasukan setan, dengan nekat dan tidak peduli akan diri sendiri. Karena amukan yang hebat ini, keadaan makin kacau. Pihak Pek-lian Kai-pang baru dapat merobohkan sisa lima orang lawan ini setelah merobohkan pihak sendiri dengan empat orang lagi. Lima belas orang pengemis baju hitam dan delapan orang anggauta Pek-lian Kai-pang menggeletak mandi darah, sebagian besar mati dan sebagian lagi luka-luka berat. Tujuh orang anggauta Pek-lian Kai-pang masih berdiri dalam bentuk barisan biarpun lawannya sudah roboh semua, wajah mereka membayangkan kebanggaan karena dalam pertempuran ini merekalah yang berada di pihak menang.
Tapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan tubuh It-gan Hek-houw yang bongkok itu telah bergerak maju, tongkat hitamnya diputar-putar cepat sekali. Ia maju menerjang tujuh orang sisa barisan Pek-lian-tin itu yang tentu saja sudah cepat bergerak menyambut terjangan ketua Hek-i Kai-pang. Namun gerakan Si Bongkok bermata satu itu memang hebat. Tongkatnya yang hitam itu biarpun kecil, mengandung tenaga luar biasa sehingga terdengarlah suara pletak-pletok ketika tongkat-tongkat ketujuh orang lawannya itu patah-patah setelah bertemu dengan tongkatnya dan dalam waktu singkat saja, tongkatnya telah merobohkan tujuh orang Pek-lian-tin itu. Lauw-pangcu memekik marah melihat ini, dan tiba-tiba tubuh kakek ini mencelat ke depan, tongkatnya menyambar ganas.
"Desssss....."
Dua tongkat itu bertemu dengan hebat dan akibatnya, keduanya terhuyung mundur. Akan tetapi, kalau Lauw-pangcu hanya terhuyung dua langkah ke belakang, adalah Si Bongkok itu terhuyung enam tujuh langkah dan hampir terjengkang roboh.
"It-gan Hek-houw, Engkau tua bangka tak tahu malu. Jangan hanya memperlihatkan kegarangan terhadap anak buahku, hayo lawanlah aku. Kita tua sama tua, mari kita lihat siapakah di antara kita yang lebih unggul."
Bentak Lauw-pangcu yang menjadi marah sekali menyaksikan musuh ini merobohkan anak buahnya.
"Orang she Lauw, manusia sombong, pemberontak rendah."
It-gan Hek-houw balas memaki sambil lari maju dan melakukan serangan dengan dahsyat. Lauw-pangcu yang memang sudah siap sedia, menyambutnya dan bertandinglah kedua orang ketua kai-pang ini dengan seru.
Ilmu tongkat Lauw-pangcu yang diciptakannya sendiri dari gabungan banyak ilmu silat tongkat yang dikenalnya, diambil intinya dan bagian-bagian yang paling lihai, yaitu Ilmu Tongkat Pek-lian-kun-hoat, memang lihai luar biasa. Memang sesungguhnyalah bahwa Lauw-pangcu ini, yang tadinya bernama Lauw Tai Kim, adalah seorang tokoh dari Pek-lian-kauw yang telah dihancurkan oleh Kerajaan Beng-tiauw. Pek-lian-kauw sudah hancur dan tokoh-tokohnya banyak yang tewas, akan tetapi Lauw Tai Kim berhasil menyelamatkan diri. Diam-diam ia lalu mengumpulkan kawan-kawan, dan menerima kawan-kawan baru lalu membentuk perkumpulan pengemis Pek-lian Kai-pang. Memang benar bahwa Pek-lian-pai atau Pek-lian-kauw dahulu terkenal sebagai perkumpulan pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kerajaan Beng.
Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa jiwa Lauw-pangcu adalah jiwa pemberontak yang suka bersekutu dengan penjajah asing. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Kerajaan Beng musnah lalu muncul Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiong-goan, Lauw-pangcu ini diam-diam menentang penjajah ini dan mengadakan hubungan dengan Bu Sam Kwi yang membangun kerajaan kecil di barat dan menentang pemerintah Mancu. Bahkan perkumpulan Pek-lian Kai-pang ini sekarang dijadikan mata-mata untuk Bu Sam Kwi, dan diam-diam selain mengawasi gerak-gerik pemerintah Mancu, juga melakukan pengacauan-pengacauan, sabotase-sabotase terhadap pemerintah penjajah. Inilah sebabnya mengapa Lauw-pangcu sering kali bentrok dengan serdadu-serdadu Mancu. Akan tetapi pihak pemerintah Mancu juga tidak bodoh dan buta.
Pemerintah ini, dengan menggunakan kekuasaan, pengaruh dan sogokan harta benda, berhasil pula memikat hati golongan-golongan di Tiong-goan sehingga suka bekerja sama dan membantu pemerintah mereka. Juga perkumpulan Hek-i Kai-pang telah menjadi kaki tangan pemerintah baru. Tentu saja lama-kelamaan gerak-gerik Pek-lian Kai-pang ketahuan dan karena ini pula maka Hek-i Kai-pang memusuhinya dan sampai hari ini terjadi bentrok hebat antara ketua sama ketua. It-gan Hek-houw juga bukan seorang lemah. Ilmu tongkatnya adalah gubahan dari ilmu toya Siauw-lim-pai, maka memiliki gaya yang kokoh kuat dan sukar ditundukkan. Namun. dalam hal ilmu kepandaian, ia masih kalah banyak oleh Lauw-pangcu sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Lauw-pangcu berhasil memukul pundak kirinya.
"Krakkk....."
It-gan Hek-houw mencelat ke belakang, lalu terjatuh berlutut, akan tetapi cepat berdiri lagi. Lengan kirinya tergantung lumpuh, tulang pundak kirinya remuk. Mukanya pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar penuh kemarahan dan kebencian. Tidak sedikit pun terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya dan hal ini saja membuktikan bahwa ketua Hek-i Kai-pang memang gagah.
"Orang she Lauw, hari ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kau tunggulah pembalasanku."
Setelah berkata demikian, It-gan Hek-houw lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ, diikuti sisa orang-orangnya yang memondong teman-teman yang terluka. Beberapa orang tokoh Pek-lian Kai-pang bergerak maju dan hendak mengejar, akan tetapi Lauw-pangcu membentak dan melarang mereka.
"Pangcu, anjing macam dia kalau tidak dibunuh sekarang, besok tentu akan menimbulkan keributan saja,"
Bantah seorang di antara mereka.
"Jangan gosok-gosok luka yang sudah parah. Kita harus bersiap-siap dan segera pergi dari sini. Tak lama lagi tentu barisan Mancu datang menyerbu. Kalian sudah mendengar sendiri tadi ucapan-ucapan It-gan Hek-houw. Rahasia kita telah diketahui dan lebih baik kita kembali ke barat, bergabung dan menyampaikan laporan kepada Ong-ya (Raja). Sehari ini kita harus dapat membereskan segalanya dan berkemas, paling lambat besok pagi kita harus sudah berangkat meninggalkan tempat ini."
Wajah para pengemis itu berubah, sebagian besar merasa tidak suka untuk pergi dari daerah Tiong-goan yang sudah menjadi tempat mereka mencari rejeki. Akan tetapi tidak seorang pun berani membantah perintah ketua mereka dan diam-diam mereka itu hanya saling pandang, kemudian mulai mengurus mayat teman-teman mereka yang roboh dalam pertandingan tadi, serta merawat yang luka.
"Han Han, engkau di mana....?"
Teriakan nyaring dari Sin Lian ini menyadarkan Lauw-pangcu yang sedang melamun sambil menonton ahak buahnya menolong para korban. Ia cepat membalikkan tubuhnya, dan menghampiri puterinya.
"Ada apakah, Lian-ji? Ke mana Han Han?"
Sin Lian mengerutkan alisnya yang kecil hitam.
"Entahlah, Ayah. Tadi dia berada di sini bersamaku menonton pertandingan. Akan tetapi tiba-tiba ia lenyap entah ke mana. Kupanggil-panggil tidak menyahut."
Lauw-pangcu membantu puterinya memanggil-manggil dan mencari Han Han, akan tetapi tidak tampak bayangan anak itu. Bahkan ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk bantu mencari. Namun sia-sia, Han Han telah lenyap tak meninggalkan bekas. Ke manakah perginya anak itu? Tadinya Han Han menonton pertandingan, dan ia menjadi kagum sekali menyaksikan ilmu tongkat gurunya yang amat hebat dan aneh.
Akan tetapi, di sudut hatinya ia makin tidak senang. Ia benci melihat bunuh-membunuh itu, melihat sesama pengemis saling bunuh seperti itu. Andaikata mereka itu merupakan gembel-gembel biasa yang tidak tahu ilmu silat, tidak mungkin mereka itu akan bertengkar dan bercekcok lalu berkelahi saling bunuh seperti itu. Apalagi setelah ia mendengar ucapan gurunya, mengertilah ia bahwa memang betul perkumpulan pengemis yang dipimpin gurunya itu adalah perkumpulan pemberontak yang bergabung dengan kekuasaan yang dipimpin "ong-ya"
Di barat. Ia menjadi makin tidak senang. Bukan ia tidak senang melihat perlawanan terhadap pemerintah Mancu, hanya ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertentangan politik yang ia tidak mengerti.
Semua ini membuat hatinya makin terasa hambar terhadap pelajaran ilmu silat, maka ketika melihat bahwa Sin Lian sedang tertarik dan tidak memperhatikannya, diam-diam anak ini lalu pergi dari situ dan terus berlari cepat keluar dari dalam hutan. Ia takut kalau-kalau gurunya akan mengejar, maka ia berlari terus tak kunjung henti sehingga ketika Lauw-pangcu dan anak buahnya mencari-cari di sekitar hutan, ia telah berada amat jauh di luar hutan. Han Han kembali ke kota Tiong-kwan. Sudah hampir setengah tahun ia belajar di bawah asuhan Lauw-pangcu. Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan ia merasa betapa cepatnya sang waktu berlalu. Seolah-olah baru kemarin saja ia tiba di Tiong-kwan dan bertemu Lauw-pangcu di bekas rumah terbakar.
Masih terbayang jelas betapa ia bertemu dengan gembel cilik dan membagi-bagi roti. Oh ya, siapa pula nama gembel cilik yang bercita-cita menjadi seorang perwira itu? Wan Sin Kiat. Berseri wajah Han Han ketika teringat akan bocah yang telah menjadi sahabatnya itu. Ia harus pergi mencarinya. Akan senang juga berkawan dan mengobrol dengan Sin Kiat. Pula, ia harus mencari pekerjaan, mencari hasil untuk mengisi perutnya. Maka pergilah Han Han ke tempat yang dahulu, di dekat pasar, bekas gedung yang terbakar. Dari jauh sudah terdengar suara ribut-ribut seperti suara anak-anak berkelahi. Han Han lari menghampiri dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang anak laki-laki berpakaian mewah memukul dan menendang roboh dua orang gembel cilik.
Gerakan anak berpakaian mewah itu gesit sekali, dan pukulan serta tendangannya juga antep buktinya dua orang anak gembel itu roboh dan mengaduh-aduh. Ketika Han Han meneliti, kiranya seorang di antara dua anak jembel itu bukan lain adalah Wan Sin Kiat. Dan ketika ia memperhatikan anak berpakaian mewah itu, kemudian melihat pula seekor kuda tinggi besar berdiri di belakang anak itu, ia segera teringat dan merahlah mukanya. Bocah berpakaian mewah itu bukan lain adalah pemuda sombong yang pernah menyiksanya dan menyeretnya dengan kuda lima bulan yang lalu itu. Pemuda yang disebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang) dan yang ditakuti penduduk kampung. Melihat betapa kini Ouwyang-kongcu itu memukuli dua orang anak gembel itu, Han Han segera melompat maju dan berdiri menghadapinya sambil membentak marah.
"Kau bocah sombong dan jahat"
Di mana-mana kau suka memukul orang."
Melihat datangnya seorang bocah gembel lain, Sin Kiat yang sudah lupa lagi kepada Han Han, mengeluh dan memegangi pantatnya.
"Aduhhh.... kau main curang, awas kau kalau aku sudah dapat berdiri lagi....."
Adapun bocah pengemis ke dua, yang usianya sudah jauh lebih tua, sedikitnya ada empat belas tahun, agaknya tidak memiliki nyali sebesar Sin Kiat. Buktinya dia yang sudah dapat bangkit kembali itu hanya berdiri mengaduh-aduh sambil memegangi pundak yang terpukul. Bocah berpakaian mewah membawa kuda itu memang Ouwyang Seng adanya. Berbeda dengan Sin Kiat yang sudah pangling dan tidak mengenal Han Han, Ouwyang Seng ternyata memiliki ingatan yang lebih kuat. Apalagi karena dia pernah digigit pundaknya oleh Han Han yang sampai sekarang pun masih ada bekas lukanya. Ia berdiri bertolak pinggang, memandang dengan sikap mengejek, kemudian berkata.
"Hemmmmm, kau ini bocah edan yang dulu pernah kuhajar setengah mampus. Dahulu pun setengah tahun yang lalu, kau bukan lawanku. Apalagi sekarang setelah aku memperoleh kemajuan pesat dengan ilmu silatku. Kau petentang-petenteng, apa kau berani melawan kongcumu? Ingat, sekali ini kalau aku turun tangan, kau akan roboh dan tidak akan dapat bangun kembali."
"Sombong! Mentang-mentang kau ini anak bangsawan dan kaya, pandai silat, apa kau kira aku takut padamu? Apa artinya kebangsawananmu kalau itu tidak ditrapkan dalam tata susila dan kesopanan? Apa artinya kaya kalau kau tidak suka membantu orang-orang miskin? Apa artinya pandai silat kalau kau tidak mau membela yang lemah? Semua itu malah akan menyeretmu ke dalam jurang kehinaan, bocah setan."
Ucapan Han Han ini sungguh tidak patut keluar dari mulut seorang bocah berusia sepuluh tahun seperti dia, akan tetapi Han Han pun hanya menyebut semua itu dari dalam kitab yang pernah dibacanya.
"Wah-wah, yang sombong ini sebenarnya siapa? Engkau ini seorang bocah gembel tidak mengerti ilmu silat, bisanya hanya ngawur dan asal nekat saja. Aku adalah seorang gagah, mana mungkin turun tangan menghajar orang kalau tidak ada sebabnya?"
"Huh, macam engkau bicara tentang kegagahan. Kalau kau memukuli dua orang miskin dan tak berdosa ini, apakah itu juga gagah?"
"Kau tidak tahu. Aku dengan baik-baik menanyakan mereka di mana tinggalnya gembel tua yang suka berada di sini. Aku menanyakan di mana tinggalnya Lauw-pangcu. Akan tetapi mereka pura-pura tidak kenal. Aku sudah bersedia untuk memberi hadiah kalau mereka mau menunjukkan tempat Lauw-pangcu, akan tetapi mereka ini selain menyangkal malah memaki. Apakah itu tidak patut dihajar?"
Han Han tertarik, jantungnva berdebar.
"Mau apa kau tanya-tanya tentang tempat tinggal Lauw-pangcu?"
"Eh, engkau tahu tempatnya?"
"Tentu saja, Aku muridnya."
Ouwyang Seng terbelalak memandang.
"Kau....? Muridnya....? Ha-ha-ha"
Kebetulan sekali. Kau tunjukkan padaku di mana dia."
"Mau apa sih kalau sudah tau?"
Han Han menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang ajar. Memang sebaiknya diberi hajaran. Akan tetapi dia belum belajar ilmu silat. Apakah segala macam kuda-kuda yang pernah ditatihnya itu akan ada gunanya untuk bertanding? Tak mungkin. Kalau ia hanya memasang kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan ditendangi lawan, tentu akan celaka. Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian dan Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar sampai kapok. Juga gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian oleh Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya.
"Siapa gurumu? Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi hajaran."
"Ha-ha-ha-ha"
Aku sudah berada di sini, apakah kau buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha."
Han Han memandang dengan hati terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda besar di belakang Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini tiba-tiba saia ada orang duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana datangnya? Ia memandang penuh perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa tadi, yang tahu-tahu telah duduk di punggung kuda, adalah seorang kakek yang lucu sekali mukanya. Kepalanya botak kelimis. Kulit kepala bagian atas itu sama sekali tidak ada rambutnya, kulitnya halus licin dan terkena sinar matahari, kepala itu berkilauan seperti batu digosok.
Sedikit rambut yang tumbuh di sekeliling kepala bagian bawah, kasar dan besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya. Kumisnya panjang, juga putih, melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil. Alisnya tebal sekali, dan matanya mengeluarkan sinar aneh, seperti mata orang juling, padahal mata kakek ini tidak juling. Pakaiannya terbuat dari sutera kuning yang halus mahal, sepatunya juga terbuat dari kulit mengkilap. Sukar sekali menaksir usia orang tua ini. Dagunya halus tak berjenggot sama sekali, seperti orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang muda pula, tubuhnya kurus tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari kain tebal. Entah apa isinya.
"Suhu, bocah gembel ini adalah murid Lauw-pangcu. Sungguh kebetulan sekali, Kita paksa dia mengantarkan kita kepada kakek gembel itu."
Si Botak tertawa lagi.
"Memang sebaiknya begitu, ha-ha-ha. Sungguhpun tidaklah sukar untuk mencari sendiri. Nah, Kongcu, kau bawakan buntalan ini."
Memang aneh kalau seorang guru menyebut "kongcu"
Atau tuan muda kepada muridnya. Memang demikianlah. Guru Ouwyang Seng menyebut kongcu karena bocah ini bukan anak biasa, melainkan putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpangkat tinggi dalam Kerajaan Mancu. Namun, hanya dalam sebutan saja guru itu menghormat, karena buktinya ia berani memerintah muridnya itu membawakan buntalannya yang besar. Ouwyang Seng menerima buntalan besar yang dilemparkan gurunya kepadanya. Cara menerimanya cekatan dan jelas membayangkan tenaga besar pada diri anak yang usianya paling banyak tiga belas atau empat belas tahun ini. Sambil tertawa Ouwyang Seng lalu mengambil sebuah cambuk dari sela kuda yang kini ditunggangi gurunya, lalu menggerakkan cambuknya ke atas.
"Tar-tar-tar. Hei, bocah murid Lauw-pangcu. Siapa namamu?"
Ujung cambuk itu melecut-lecut dan meledak-ledak di atas kepala Han Han, namun Han Han sedikit pun tidak merasa gentar, bahkan berkedip mata pun tidak.
"Namaku Han Han, dan biarpun aku orang miskin, hal ini belum menjadi alasan bagimu untuk bersikap sombong kepadaku."
"Ha-ha-ha-ha. Kongcu, bocah ini hebat. Lihat matanya.... aiiihhhhh, sebaiknya jangan lepaskan dia. Boleh dijadikan pelayan."
Kiranya kakek botak itu bermata tajam, dapat melihat keadaan Han Han yang aneh dan luar biasa. Dan memang kakek botak ini bukan manusia sembarangan"
Kakek inilah yang oleh dunia kang-ouw diberi nama poyokan Si Setan Botak. Namanya Gak Liat, julukannya Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja). Setiap orang di dunia persilatan kalau mendengar nama ini menjadi bergidik dan mengkirik, bahkan jarang ada yang berani mengeluarkan kata-kata keras menyebut nama ini yang lebih ditakuti daripada setan sendiri. Kang-thouw-kwi Gak Liat ini adalah seorang sakti yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sukar diukur, seorang datuk hitam, pentolan kaum sesat yang hanya ada beberapa orang saja pada masa itu. Dan dialah seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti.
Karena pandainya pemerintah Mancu, datuk hitam ini sampai terpikat, tidak saja menjadi "pelindung"
Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendapat tugas dari pemerintahnya untuk mempertahankan bagian selatan yang sudah ditaklukkan, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat berkenan mengambil putera pangeran itu sebagai muridnya"
Namun sesungguhnya, Kang-thouw-kwi Si Setan Botak tidaklah begitu menaruh harapan besar terhadap muridnya, bocah bangsawan ini. Ilmu-ilmunya terlampau tinggi sedangkan bakat yang dimiliki Ouwyang Seng terlalu rendah. Inilah sebabnya maka mata Si Setan Botak yang amat awas itu sekali melihat Han Han menjadi tertarik. Dia bertugas untuk mencari dan menyelidiki Lauw-pangcu dan perkumpulan pengemis yang disebut Pek-lian Kai-pang.
Hal ini ada sangkut-pautnya dengan serdadu-serdadu yang pernah dihajar oleh Lauw-pangcu sehingga Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendengar akan hal ini, cepat memerintahkan jagoannya untuk turun tangan karena "gengsi"
Pasukan Mancu terancam kecemaran. Bagi seorang sakti seperti Setan Botak ini, tidak akan sukar mencari Lauw-pangcu. Akan tetapi karena muridnya rewel dan hendak ikut menyaksikan gurunya menghancurkan Pek-lian Kai-pang, maka usaha mencari perkumpulan itu menjadi lebih sukar dan lama. Akhirnya, secara kebetulan Ouwyang Seng bertemu dengan Han Han dan anak ini yang ingin memberi "hajaran"
Kepada Ouwyang Seng dan gurunya yang dipandangnya rendah, bahkan dengan senang hati mengantar mereka ke sarang Pek-lian Kai-pang"
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di tengah jalan, Ouwyang Seng membentak,
"Heh, Han Han. Enak saja kau berjalan tanpa membawa apa-apa. Mari kita mengadu tenaga. Siapa yang kalah harus membawakan buntalan suhuku ini sampai di tempat yang kau tunjukkan. Berani tidak kau mengadu tenaga melawan aku?"
Kalau hanya ditantang berkelahi, tentu Han Han tidak sudi melayani. Dibujuk pun ia tidak akan sudi. Akan tetapi ditanya "berani atau tidak", segera bangkit semangatnya. Kata-kata tidak berani merupakan pantangan besar baginya, karena di dalam hati bocah ini, semenjak kepalanya terbanting pada dinding setengah tahun yang lalu, tidak ada lagi rasa takut atau susah.
"Tentu saja berani. Mengapa tidak? Mengadu tenaga bagaimana? Kalau berkelahi seperti dulu aku tidak sudi. Aku bukan tukang pukul, bukan tukang berkelahi macam kau."
"Tidak usah berkelahi, kau takkan menang dan kalau kau mati, kami rugi. Kita saling dorong saja, siapa yang terdorong mundur keluar dari lingkaran yang dibuat di atas tanah, dia akan kalah dan harus memanggul buntalan suhu."
"Boleh."
Han Han menjawab. Si Setan Botak hanya tertawa-tawa dan menghentikan kudanya untuk menonton permainan kedua orang anak itu. Ouwyang Seng menurunkan buntalannya, lalu membuat guratan melingkar di atas tanah. Keduanya lalu memasuki lingkaran, saling berhadapan.
"Siap?"
Tanya Ouwyang Seng.
"Siap."
Jawab Han Han.
"Mulai."
Ouwyang Seng mengeluarkan kedua lengannya ke depan, diturut oleh Han Han.
Mereka mengadu kedua telapak tangan dan mulailah mereka saling dorong. Han Han yang merasa betapa kedua lengan lawan itu amat kuatnya, cepat ia mengerahkan tenaganya pada kedua kaki, memasang bhesi seperti yang pernah ia latih sampai berbulan-bulan di bawah asuhan Lauw-pangcu dan pengawasan Sin Lian. Kedua kakinya seperti telah berakar di tanah dan ia mempertahankan diri dari dorongan Ouwyang Seng. Untuk balas mendorong, Han Han tidak kuat karena ia segera dapat merasakan betapa tenaga yang tersalur pada kedua lengan Ouwyang Seng hebat bukan main. Maka ia sendiri harus menggunakan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, disalurkan pada kedua kakinya. Kedua lengannya sudah terdorong, siku-siku lengannya sudah tertekuk dan kedua tangannya terdorong sampai menempel dadanya.
"Heh-heh, Han Han, kau masih belum menerima kalah?"
Ouwyang Seng tertawa mengejek. Masih dapat bicara dan tertawa dalam adu tenaga ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga Ouwyang Seng memang amat besar dan lebih menang daripada Han Han. Namun Han Han menggeleng kepala. Ia tidak mampu bicara karena menahan napas, akan tetapi ia belum merasa kalah, karena dia belum keluar dari garis lingkaran. Ia sudah tertekuk sikunya, sudah mendoyong ke belakang tubuh atasnya, namun kedua kakinya masih kokoh berakar di tanah, belum terdorong mundur dan sama sekali belum keluar dari lingkaran.
"Kau kepala batu."
Ouwyang Seng menegur marah dan mulai mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkan pertandingan lebih cepat. Akan tetapi, daya tahan Han Han memang hebat. Tubuhnya sudah mendoyong, hampir terjengkang, namun ia enggan mengangkat kakinya dan bertekad untuk bertahan sampai roboh. Bukankah kalau sudah roboh sekalipun, ia masih belum kalah karena belum keluar dari garis lingkaran?
"Huah-ha-ha-ha, anak luar biasa....."
Terdengar tawa Si Setan Botak dari atas kudanya dan tiba-tiba tubuh Han Han terdorong, terseret berikut kakinya sampai keluar dari garis lingkaran. Han Han terkejut dan terheran-heran, mau tidak mau kagum karena mengira bahwa ia terdorong karena tenaga Ouwyang Seng yang hebat. Dia tidak tahu bahwa ia terdorong keluar karena ilmu kesaktian Si Setan Botak yang mengerahkan sedikit tenagat mendorongnya dengan hawa pukulan jarak jauh yang amat ampuh. Dengan bangga Ouwyang Seng lalu menghampiri Han Han yang masih terengah-engah namun sudah bangkit berdiri memandang heran, setelah putera pangeran ini menyambar bungkusan milik suhunya.
"Nah, terang kau kalah jauh olehku, Han Han. Sekarang berlututlah engkau, agar mudah aku menaruh bungkusan ini di pundakmu."
Han Han amat cerdik. Biarpun ia tidak tahu apa sebabnya dan bagaimana caranya, namun ia dapat menduga bahwa kekalahannya tadi tidaklah wajar. Hal ini membuatnya penasaran dan marah sekali. Apalagi sekarang mendengar penghinaan Ouwyang Seng yang menyuruh dia berlutut, padahal tadi tidak ada janji apa-apa tentang yang kalah harus berlutut. Kemarahan membuat jantungnya berdebar, darahnya panas naik ke kepala dan pandang matanya berkilat-kilat aneh sekali.
"Aku? Berlutut padamu? Tidak sudi."
Bentaknya dan suaranya makin tegas dan nyaring ketika ia menyambung.
"Ouwyang Seng! Engkaulah yang sepatutnya berlutut di depanku, menyerahkan bungkusan itu dengan hormat."
Tiba-tiba saja Ouwyang Seng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han dan mengangkat bungkusan itu, disodorkan kepada Han Han, sikapnya penuh penghormatan seperti sikap seorang bujang yang takut kepada majikannya. Han Han mengira bahwa Ouwyang Seng benar-benar memenuhi permintaannya karena menyesal atas penghinaan tadi, seketika lenyap kemarahannya. Ia menerima bungkusan itu, mengangkatnya ke pundak sambil berkata,
"Wah, engkau baik sekali. Tidak perlu berlutut sungguh-sungguh. Aku hanya main-main."
Ouwyang Seng kini tersentak kaget seperti orang bangun tidur. Melihat betapa ia berlutut di depan Han Han, ia lalu melompat berdiri dan mulutnya mengomel.
"Kenapa....? Kenapa aku berlutut....?"
"Ajaib.... ajaib....."
Kang-thouw-kwi Si Setan Botak berulang-ulang mengomel dan tiba-tiba Han Han merasa betapa tubuhnya melayang ke atas. Tahu-tahu ia telah tergantung di atas kuda, dengan kakek botak itu yang memegangi tengkuk bajunya dan mendekatkan mukanya sehingga berhadapan dengan muka Si Botak. Ia melihat betapa sepasang mata Si Botak itu bersinar kekuningan, aneh sekali dan maniknya tidak mau berhenti, bergerak-gerak terus menjelajahi wajahnya sendiri. Ia sudah tidak marah lagi, hanya merasa terheran-heran dan juga kaget.
"Ajaib.... bocah ajaib.... matamu ini.... ah, luar biasa."
Si Setan Botak melontarkan tubuh Han Han yang melayang turun, akan tetapi ia turun dengan kedua kaki lebih dulu dan dapat berdiri dengan ringan dan seolah-olah lontaran itu sudah diatur tenaganya, membuat Han Han terhuyung pun tidak. Han Han makin terheran, akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah penggunaan sin-kang yang amat luar biasa dari Si Kakek Botak. Adapun Ouwyang Seng yang tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya tadi, tidak tahu betapa ia menurut dan taat saja "diperintah"
Oleh Han Han sehingga ia berlutut, kini menjadi uring-uringan.
"Tar-tar-tar."
Cambuk panjang di tangannya dilecutkan ke atas kepala Han Han dan ia membentak.
"Han Han, hayo cepat berjalan, bawa kami ke tempat gurumu Si Gembel Tua."
Han Han sudah berjalan sambil memanggul bungkusan besar itu. Mendengar ucapan Ouwyang Seng yang tadinya ia sangka berhati baik dan suka main-main, buktinya suka berlutut kepadanya, Han Han menjadi gemas.
"Ouwyang Seng....."
"Keparat! Menyebut aku harus Kongcu, mengerti? Gembel macam engkau berani menyebut namaku sesukanya?"
"Namamu memang Ouwyang Seng, bukan? Kalau tidak mau dipanggil, sudahlah, aku pun tidak butuh memanggil namamu."
"Setan pengemis"
Apa kau minta dipukul dan diseret-seret lagi?"
Ouwyang Seng kembali membentak dan cambuknya kini menyambar, mengenai punggung dan kaki Han Han.
"Tar-tar....."
Han Han yang merasa betapa punggungnya dan kakinya sakit-sakit terkena ujung cambuk, melepaskan bungkusan itu yang jatuh ke atas tanah, berdebuk. Biarpun hatinya panas dan marah, namun Han Han maklum bahwa menghadapi Ouwyang Seng dengan kekerasan ia tidak akan menang, apalagi di situ masih ada guru bocah nakal itu, Si Botak yang aneh dan lihai. Maka ia lalu mengambil bungkusan itu lagi dan memanggulnya di atas pundak. Hidungnya mencium bau yang busuk dari dalam bungkusan, membuat ia mau muntah seperti bau bangkai tikus.
Akan tetapi ia tidak mau menerima cambukan-cambukan lagi, ia diam saja dan mempercepat langkahnya menuju ke hutan yang menjadi sarang Pek-lian Kai-pang. Rasakan kalian nanti, bocah setan dan Si Botak yang sombong. Kalau berada di depan Lauw-pangcu yang banyak anak buahnya, kalian akan menerima hajaran yang setimpal. Demikian ia berpikir. Senja hari itu mereka tiba di dalam hutan dan langsung Han Han membawa dua orang guru dan murid itu ke sarang Pek-lian Kai-pang. Pada saat itu Lauw-pangcu dan para anak buahnya sedang berkemas karena besok pagi-pagi mereka harus sudah meninggalkan sarang mereka itu. Banyak barang-barang sudah dimuat dalam beberapa buah kereta dan kuda, dan mereka semua sibuk mengangkati barang-barang. Juga Sin Lian tampak membantu ayahnya.
"Han Han....."
Tiba-tiba Sin Lian berseru girang ketika melihat sutenya itu datang memanggul sebuah bungkusan besar, akan tetapi ia tidak jadi lari menyambut karena melihat bahwa Han Han datang bersama Ouwyang Seng dan seorang kakek botak yang menunggang kuda, dengan sikap tenang sekali. Semua anggauta kai-pang yang sedang sibuk bekerja berhenti, siap-siap menjaga segala kemungkinan dan semua mata ditujukan kepada penunggang kuda ini dengan kening berkerut.
Sungguhpun Si Botak ini sama sekali tidak mendatangkan kesan yang mengkhawatirkan, namun semenjak peristiwa penyerbuan Hek-i Kai-pang, para anggauta Pek-lian Kai-pang selalu berhati-hati. Lauw-pangcu sendiri pada saat itu sedang berkemas di dalam pondok. Ketika mendengar seruan puterinya, ia terkejut dan girang. Ketua Pek-lian Kai-pang ini menaruh harapan besar kepada muridnya, karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang hebat dalam diri Han Han, ada semacam kekuatan yang amat mukjizat dan yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya. Tadinya ia kecewa ketika mereka tidak berhasil mencari Han Han yang lenyap dalam pertempuran, maka ia kini girang sekali mendengar Sin Lian memanggil muridnya itu dan bergegas ia lari keluar pondok.
Akan tetapi begitu ia berada di luar pondok dan melihat penunggang kuda yang datang bersama Han Han, seketika wajahnya menjadi pucat sekali dan kedua kaki Lauw-pangcu menggigil. Ia mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, untuk menekan perasaannya yang gentar dan berguncang, kemudian memaksa kakinya melangkah maju menghampiri kakek botak yang masih duduk di atas punggung kuda. Dapat dibayangkan betapa herannya para anggauta Pek-lian Kai-pang ketika melihat ketua mereka yang terhormat dan yang terkenal lihai itu kini menjura dengan penuh hormat kepada kakek botak penunggang kuda yang tidak mengesankan itu sambil berkata dengan suara mengandung rasa cemas.
"Sungguh tidak tersangka-sangka dan merupakan penghormatan besar sekali bahwa Gak-locianpwe sudi mengunjungi tempat kami yang butut dan mohon maaf sebesarnya karena tidak tahu lebih dahulu, kami tidak dapat menyambut dengan sepatutnya."
Mendengar ucapan itu, para anggauta Pek-lian Kai-pang menjadi makin heran dan di dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa gerangan kakek botak yang disebut Gak-locianpwe (Orang Tua Sakti she Gak) oleh ketua mereka itu. Akan tetapi sikap Lauw-pangcu yang sangat merendahkan diri ini seolah-olah tidak dihiraukan oleh Si Setan Bongkok, malah sebaliknya kakek ini menoleh kepada Han Han dan bertanya.
"Bocah, apakah dia ini ketua Pek-lian Kai-pang dan gurumu?"
"Benar,"
Jawab Han Han. Si Setan Botak tertawa.
"Bagus, kalau begitu, bungkusan itu boleh kau hadiahkan isinya kepada gurumu, ha-ha-ha."
Han Han menjadi girang. Memang dia tidak suka perkelahian, apalagi kalau ia ingat betapa perkumpulan suhunya sudah berkelahi sehingga jatuh banyak korban.
Tadinya ia ingin supaya gurunya menghajar Ouwyang Seng dan gurunya, akan tetapi siapa kira, Si Botak itu bermaksud baik. Jadi buntalan yang selama ini ia panggul itu adalah hadiah yang akan diberikan suhunya. Tanpa berkata apa-apa lagi karena girang ia lalu menurunkan buntalan yang cukup berat itu, menurunkannya di depan kaki suhutiya dan membuka tali pengikatnya. Begitu bungkusan terbuka, tercium bau busuk yang membuat Han Han terpaksa menutup hidung, matanya terbelalak memandang isi bungkusan. Lauw-pangcu sendiri pucat wajahnya dan para anggauta Pek-lian Kai-pang yang tadi ikut melongok untuk melihat apa isi hadiah itu, berseru marah dan kaget. Kiranya bungkusan itu berisi lima buah kepala orang yang sudah kering darahnya. Lima kepala orang anggauta Pek-lian-pai yang merupakan tokoh di bawah Lauw-pangcu. Pantas saja tadi baunya menyengat hidung, seperti bau bangkai tikus"
"Aihhh....."
Banyak mulut mengeluarkan teriakan ini dan terdengar suara ketawa Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak. Lauw-pangcu memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak melotot marah sekali. Telunjuk kirinya menuding ke arah anak itu.
"Murid jahanam! Engkau kembali membawa malapetaka. Baiklah sebelum semua mati, kau harus mampus di tanganku lebih dulu."
Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu sudah menggerakkan tongkatnya dan tubuhnya melayang maju ke arah Han Han. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tubuhnya seperti seekor naga menyambar, tongkatnya seperti cengkeraman maut menusuk ke arah dada Han Han.
Jangan lagi Han Han yang belum mengerti ilmu silat, andaikata ia sudah belajar selama sepuluh tahun di bawah asuhan Lauw-pangcu sekalipun, ia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri daripada serangan maut ini. Gerakan Lauw-pangcu ketika menyerang ini adalah jurus yang disebut Hui-hong-phu-lian (Angin Meniup Bunga Teratai), sebuah jurus yang paling ampuh dari Ilmu Tongkat Pek-lian-tung-hoat. Lawan yang bagaimana tangguh pun akan sukar menjaga diri dari tikaman dengan tubuh melayang dan meluncur di udara secepat dan sekuat itu. Mengapa Lauw-pangcu menjadi begitu marah dan membenci Han Han, dan mengapa pula menghadapi seorang bocah yang ia tahu belum pandai ilmu silat itu ia langsung mengeluarkan jurus terampuh untuk menyerangnya? Padahal diserang dengan jurus sembarangan sekalipun Han Han tak mungkin dapat menyelamatkan diri.
Sesungguhnya adalah karena salah duga. Lauw-pangcu yang melihat Han Han pulang bersama Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah ia dengar namanya yang besar, segera dapat menduga bahwa tentu bocah itu yang menjadi penunjuk jalan dan ia tahu pula bahwa ia dan teman-temannya menghadapi bencana hebat. Apalagi melihat Han Han tadi membawakan bungkusan terisi kepala dari lima orang pembantunya, tentu saja ia menganggap bahwa Han Han sudah mengkhianati Pek-lian Kai-pang dan menjadi pembantu musuh. Adapun mengapa ia mengeluarkan jurus mematikan yang paling ampuh, karena di situ terdapat Kang-thouw-kwi Gak Liat yang ia tahu mempunyai kesaktian luar biasa, maka ia ingin agar sekali turun tangan terhadap Han Han tidak akan gagal lagi. Han Han bukan tidak tahu bahwa gurunya marah-marah tanpa sebab dan hendak memukulnya dengan tongkat, akan tetapi karena dia memang berhati keras dan tidak kenal takut, ia hanya memandang tanpa berkedip.
Kisah Pendekar Bongkok Eps 2 Istana Pulau Es Eps 28 Istana Pulau Es Eps 38