Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 4


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Ayahhhhh....."

   Sin Lian menjerit. Anak ini lebih maklum bahwa Han Han berada di bawah ancaman maut mengerikan. Dia suka dan sayang kepada sutenya, maka tanpa ia sadari ia menjerit. Tiba-tiba tubuh Lauw-pangcu yang melayang dan yang sudah menggerakkan tongkatnya dekat dengan Han Han, hanya terpisah satu meter lagi, terpental ke samping dan roboh terguling. Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini cepat menggulingkan diri dan meloncat bangun, tongkat di tangannya dan wajahnya pucat sekali. Ia menoleh ke arah Si Setan Botak yang masih duduk di atas kuda, kemudian berkata, suaranya masih hormat namun nyaring dan ketus.

   "Gak-locianpwe, saya hendak turun tangan membunuh murid sendiri, mengapa locianpwe mencampurinya? Apakah perbuatan ini sesuai dengan nama besar locianpwe sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar?"

   Baru sekarang semua yang hadir, termasuk Han Han sendiri, tahu bahwa tadi Lauw-pangcu yang hendak membunuh Han Han telah dihalangi oleh Si Setan Botak. Semua orang terkejut dan terheran. Kakek di atas kuda itu tidak kelihatan bergerak, bagaimana tahu-tahu Lauw-pangcu yang lihai luar biasa itu terlempar dan terbanting ke samping? Lebih-lebih Han Han memandang dengan penuh perhatian. Kakek botak itu manusia ataukah setan? Dia tadi sudah menyaksikan keanehannya, yaitu tahu-tahu si kakek itu berada di atas punggung kuda, seperti pandai menghilang saja.

   Kini tanpa bergerak atau turun dari kuda sudah merobohkan Lauw-pangcu dan menolong dia. Terutama sekali ia tertarik ketika mendengar disebutnya kakek botak ini sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar. Apakah artinya Lima Datuk Besar? Dan siapakah mereka ini? Kang-thouw-kwi Gak Liat tampak melayang turun dari atas punggung kudanya. Kembali semua anggauta Pek-lian Kai-pang tertegun. Kakek ini turun dari kuda bukan meloncat karena kedua kakinya tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah tubuhnya itu "terangkat"

   Oleh tenaga yang tak tampak dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang turun dan berdiri tegak di tengah-tengah kepungan para anggauta Pek-lian Kai-pang, berhadapan dengan Lauw-pangcu. Mulutnya menyeringai dan kumisnya yang panjang bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil hidup.

   "Orang she Lauw, Bagus engkau mengenal aku. Engkau berani menegurku mencampuri urusanmu? Huh, lancang sekali engkau. Mendiang Pek-lian-kauwcu (Ketua Agama Teratai Putih) dahulu pun belum pernah berani menegurku. Bocah ini mungkin muridmu, akan tetapi sekarang telah menjadi pelayanku. Mana bisa kau bunuh dia begitu saja? Pula, kedatanganku ini memang hendak membasmi Pek-lian Kai-pang perkumpulan pemberontak rendah. Nah, kau serahkanlah kepalamu dan kepala semua anggauta-anggautamu seperti yang terjadi pada lima orang pembantu-pembantumu ini."

   Ucapan ini terdengar seperti halilintar di siang hari dan menimbulkan kemarahan semua anggauta pengemis Pek-lian Kai-pang yang berkumpul di situ.

   Mereka tetdiri dari lima puluh orang lebih, tentu saja tidak takut terhadap kakek itu yang hanya datang seorang diri saja. Demikian pula pikiran Lauw-pangcu. Biarpun ia sudah mendengar akan kesaktian Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar, namun teman-temannya amat banyak dan pula, mereka adalah pejuang-pejuang yang tidak takut mati. Lauw-pangcu mengangkat tongkatnya ke atas, memberi isyarat kepada anak buahnya dan serentak para anak buahnya itu menerjang maju dengan tongkat mereka. Bagaikan air bah mereka ini menyerbu dan menerjang kakek botak itu dari segala jurusan. Melihat ini, hati Han Han sudah berdebar tegang. Tentu Si Botak akan dihajar oleh Pek-lian Kai-pang, pikirnya. Maka ia berseru kepada Sin Lian.

   "Suci, mari hajar bocah setan ini."

   Katanya sambil menuding ke arah Ouwyang Seng. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Sin Lian tiba-tiba malah menerjangnya sambil memaki.

   "Engkau murid murtad."

   Han Han yang amat kaget itu tidak dapat menghindar dan sebuah tendangan mengenai dadanya, tepat di ulu hati, membuat ia terjengkang dengan napas sesak dan jatuh terduduk. Setelah merobohkan Han Han, Sin Lian lalu menerjang Ouwyang Seng yang menyambutnya sambil tertawa-tawa mengejek. Bertandinglah dua orang anak itu dengan seru. Akan tetapi, ternyata Ouwyang Seng jauh lebih pandai dan Sin Lian segera terdesak. Hanya karena keberaniannya yang luar biasa ditambah kemarahannya saja yang membuat anak perempuan itu bergerak dengan ganas dan dahsyat sehingga untuk sementara dapat membuat Ouwyang Seng repot juga. Han Han lebih tertarik menonton ke arah Si Setan Botak yang diserbu oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya, karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat sekali.

   Jauh lebih hebat daripada perkelahian antara dua orang anak itu yang tidak menarik hatinya. Apalagi karena Sin Lian telah menendangnya, ia menjadi marah dan tidak sudi membantu anak perempuan itu menghadapi Ouwyang Seng. Dianggapnya bahwa dua orang anak itu sama saja jahatnya sehingga siapa pun juga yang kalah di antara mereka, ia tidak peduli. Dengan pikiran ini, Han Han lalu bangkit, dadanya masih sesak akan tetapi ia memaksa diri berjalan lalu memanjat pohon agar dapat menonton lebih jelas lagi. Apa yang dilihat Han Han membuat ia begitu kaget dan ngeri sehingga hampir saja ia terjungkal dari atas pohon kalau ia tidak cepat-cepat memeluk cabang pohon. Mula-mula yang maju adalah tujuh Orang pengemis Pek-lian Kai-pang yang mengurung kakek botak itu sambil menerjang dengan tongkat mereka. Akan tetapi Si Setan Botak hanya berdiri tegak.

   Sambil tersenyum ia menangkap tongkat pertama, mencengkeram ujung tongkat menjadi berkeping-keping dan sekali tangannya bergerak memutar, kepingan kayu itu menyambar sekelilingnya dan.... tujuh orang pengemis Pek-lian Kai-pang itu roboh dan berkelojotan terus mati. Itulah semacam kejadian yang seperti main sulap saja, sukar untuk dipercaya. Akan tetapi bagi para ahli silat di situ merupakan kepandaian yang amat hebat. Kepingan-kepingan ujung tongkat kayu itu hanya benda kecil yang ringan dan tidak terlalu keras, namun di tangan kakek botak ini, dapat menjadi senjata rahasia yang tepat sekali menancap dan memasuki dahi tujuh orang lawan sehingga menembus otak dan membuat mereka roboh binasa seketika. Kepandaian yang hebat dan juga kekejaman yang amat menyeramkan.

   "Heh-heh-heh....."

   Si Setan Botak terkekeh, kelihatannya girang sekali dan matanya memandang para anggauta Pek-lian Kai-pang yang menjadi marah dan mengepungnya ketat itu seperti mata seorang guru memandang murid-murid kecil yang nakal. Kembali belasan orang pengemis maju menerjang dengan tongkat, kini secara berbareng sambil berteriak keras.

   Harus diketahui bahwa para anggauta Pek-lian Kai-pang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi sehingga serangan mereka ini bukanlah serangan ngawur, melainkan dengan jurus-jurus Pek-lian-kun-hoat yang ampuh. Namun, kakek botak itu sama sekali tidak mengelak. Belasan batang tongkat itu dengan tepat mengenai sasaran, ada yang mengemplang kepala botaknya, ada yang menghantam leher, menusuk dada, menotok lambung. Pendeknya, seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya pada saat yang hampir sama secara bertubi-tubi menerima hantaman atau tusukan ujung tongkat. Riuh-rendah teriakan para pengemis, dan ramai pula suara bak-bik-buk tongkat-tongkat itu mengenai tubuh Si Kakek Botak. Namun sama sekali kakek itu tidak bergeming, senyumnya masih melebar dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar kaki seorang pengemis dan mulailah ia mengamuk.

   Tubuh pengemis yang menjadi senjata di tangannya itu diputar sedemikian rupa dan terdengarlah suara "prak-prak-prak."

   Berulang kali ketika kepala orang itu bertemu dengan kepala-kepala para lawannya. Para pengeroyok itu roboh malang-melintang dengan kepala pecah, sedikitnya ada sepuluh orang jumlahnya. Mereka itu binasa karena sedikitnya kepala mereka retak-retak bertemu dengan kepala orang yang dijadikan senjata. Adapun kepala orang itu sendiri setelah dilempar ke samping, telah hancur dan tidak menyerupai kepala. Lauw-pangcu marah bukan main sampai hampir pingsan. Melihat betapa anak buahnya tewas, dalam keadaan mengerikan seperti itu, ia bukannya menjadi takut, sebaliknya ia malah menjadi nekat untuk mengadu nyawa. Sambil berseru nyaring, Lauw-pangcu menyerbu ke depan, diikuti oleh teman-temannya yang masih ada kurang lebih tiga puluh orang.

   "Heh-heh-heh, bagus. Biar kubasmi habis kalian hari ini."

   Kata Si Setan Botak dan tiba-tiba tubuhnya berputar satu kali, kedua lengannya didorongkan ke depan. Han Hen yang melihat kakek itu, terbelalak heran karena melihat betapa telapak kedua tangan kakek itu kemerahan dan mengepulkan asap, seolah-olah tangan itu telah menjadi besi panas. Dan akibatnya hebat sekali. Dua puluh orang lebih menjerit ngeri den roboh bergelimpangan, tak dapat bangun kembali. Hanya Lauw-pangcu, dan dua orang pembantunya yang paling tinggi ilmunya, terhuyung ke belakang akan tetapi tidak roboh. Muka mereka pucat dan napas mereka terengah-engah, mata mereka terbelalak memandang teman-teman yang roboh.

   Hampir lima puluh orang anggauta Pek-lian Kai-pang dalam sekejap mata saja, dalam tiga gebrakan, telah tewas menjadi korban Si Setan Botak yang ternyata lihai bukan main itu. Han Han kini menjadi ngeri, akan tetapi di dalam hatinya juga timbul rasa kagum terhadap Si Setan Botak. Bagaimana ada orang sampai bisa begitu sakti? Dan ia mulai khawatir melihat gurunya. Ketika ia mengerling ke arah Sin Lian, ternyata gadis cilik ini pun sudah terdesak hebat, bahkan beberapa kali telah kena ditampar oleh Ouwyang Seng. Ia melihat betapa Sin Lian menjadi nekat, menerjang maju tanpa perhitungan lagi den sebuah sabetan kaki Ouwyang Seng membuat gadis itu terguling roboh. Ouwyang Seng menubruknya denmenangkap kedua lengannya terus dipuntir ke belakang, ditelikung sehingga Sin Lian tidak mampu bergerak lagi.

   "Kau bocah galak seperti kucing, Kucing tidak berpakaian. Maka akan kutelanjangi kau, biar kapok dan hendak kulihat apakah kau masih berani banyak lagak."

   Kata Ouwyang Seng tertawa-tawa dan tangannya mulai merenggut pakaian gadis cilik itu. Wajah Han Han menjadi merah. Teringat ia akan peristiwa di dalam rumahnya, teringat akan keadaan kakak perempuannya dan keadaan ibunya, dan dengan hati panas ia memaki.

   "Ouwyang Seng, kau bangsat kecil tak tahu malu. Apa yang akan kau lakukan itu? Tidak tahu sopan,
(Lanjut ke Jilid 04)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04
tidak bersusila kau."

   Ouwyang Seng hanya terkekeh dan tangannya sudah mencengkeram leher baju Sin Lian yang meronta-ronta tanpa hasil. Pada saat itu, tubuh Ouwyang Seng terlempar dan seorang wanita cantik sudah berdiri di situ, membangunkan Sin Lian dan berkata halus.

   "Anak, kau minggirlah."

   Han Han terbelalak. Gerakan wanita itu amat cepat seperti seekor burung walet menyambar, tiba-tiba sudah di situ, melemparkan tubuh Ouwyang Seng. Dia itu seorang wanita yang usianya antara tiga puluh tahun, cantik dan gagah sekali, pakaiannya serba hitam sehingga membuat kulit leher dan tangannya tampak amat putih kemerahan.

   Rambutnya disanggul tinggi dan di punggungnya tergantung sebatang pedang dalam sarung pedang indah terukir. Dan kiranya yang datang secara cepat dan aneh bukan hanya wanita cantik itu, karena entah dari mana Han Han sendiri tidak tahu, di situ telah berdiri pula dua orang. Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh pendek kecil dan tangannya memegang sebatang cambuk besi. Laki-laki ini biarpun pendek kecil, namun memiliki pandang mata yang keren berwibawa. Adapun laki-laki ke dua adalah seorang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar berwajah gagah, di tangannya memegang sebatang toya kuningan yang kelihatannya berat sekali. Laki-laki pendek yang memegang cambuk besi itu menjura ke arah Lauw-pangcu yang masih pucat dan berkata,

   "Lauw-pangcu harap jangan khawatir, sekuat tenaga kami akan membantumu menghadapi iblis ini."

   Lauw-pangcu kelihatan lega ketika menyaksikan munculnya tiga orang ini, akan tetapi ia pun merasa tidak enak dan cepat berkata,

   "Kang-lam Sam-eng harap tidak mencampuri urusan ini, biarlah kami semua mati sebagai seorang ksatria di tangan Kang-thouw-kwi Gak Liat."

   Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang gagah yang disebut Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) ini menjadi terkejut sekali. Otomatis mereka itu saling mendekati dan siap dengan senjata masing-masing, bahkan wanita cantik itu pun telah mencabut pedangnya.

   "Hemmm, sudah lama mendengar Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang datuk persilatan tingkat tinggi, baru sekarang menyaksikan kekejamannya. Lauw-pangcu, kami akan siap membantu mati-matian."

   Kata pula laki-laki pendek penuh semangat. Si Setan Botak memandang penuh perhatian lalu tertawa.

   "Ha-ha-ha, kalian bocah-bocah kemarin sore. Aku pernah mendengar bahwa Kang-lam Sam-eng adalah jago-jago cilik murid-murid Siauw-lim-pai. Benarkah?"

   "Kami memang anak murid Siauw-lim-pai. Dan sudah menjadi tugas setiap orang murid Siauw-lim-pai untuk membasmi orang jahat dan pengkhianat bangsa."

   Kata wanita cantik itu, suaranya nyaring dan merdu.

   "Heh-heh, kau cantik dan bersemangat. Apakah kalian bertiga ini murid Ceng San Hwesio?"

   Tanya pula Si Setan Botak memandang rendah.

   "Ceng San Hwesio adalah Sukong (Kakek Guru) kami."

   Kini Si Tinggi Besar menjawab, suaranya sesuai dengan tubuhnya, menggeledek. Tiga orang itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan murid-murid Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa.

   Karena mereka tinggal di Kang-lam dan selalu melakukan perjuangan bersama, maka mereka terkenal sebagai Kang-lam Sam-eng atau Tiga Pendekar Kang-lam yang amat disegani kawan ditakuti lawan. Yang tertua dan bertubuh pendek kecil itu adalah Khu Cen Tiam berjuluk Thi-pian-sian (Dewa Cambuk Besi). Orang ke dua yang tinggi besar bernama Liem Sian berjuluk Sin-pang (Si Toya Sakti) dan orang ke tiga, wanita cantik itu adalah seorang wanita yang masih gadis tidak mau menikah karena belum juga menjumpai pria yang mencocoki hatinya, bernama Bhok Khim dan berjuluk Bi-kiam (Si Pedang Cantik). Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai, tentu saja mereka berjiwa patriot dan selalu mendukung perjuangan kaum pemberontak yang menentang masuknya penjajah bangsa Mancu. Akan tetapi ketika Kang-thouw-kwi Gak Liat mendengar jawaban Liem Sian, ia tertawa bergelak,

   "Ha-ha-ha-ha, Kiranya hanya cucu si tua Ceng San Hwesio? Ahhh, bocah-bocah tak tahu diri. Lebih baik kalian lekas pergi karena aku tidak mau melihat Ceng San Hwesio kehilangan tiga orang cucunya. Kalau Ceng San Hwesio sendiri yang datang, barulah patut melayani aku beberapa jurus."

   Ucapan ini amat tekebur dan memang sesungguhnya bukan semata-mata karena sombong, akan tetapi karena memang tingkat kepandaian Si Setan Botak ini hanya akan dapat dilayani oleh ketua Siauw-lim-pai yang tua itu. Bagi Kang-lam Sam-eng yang belum pernah mengenal kelihaian Si Setan Botak, ucapan itu dianggap sombong dan amat menghina, maka mereka lalu membentak nyaring dan maju menerjang, diikuti pula oleh Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya sehingga kini Si Setan Botak dikeroyok oleh enam orang yang berkepandaian tinggi.

   Han Han yang menonton dari atas pohon dan dapat melihat setiap pertempuran itu dengan jelas, merasa tak senang hatinya. Ia tidak tahu siapa salah siapa benar, siapa jahat siapa baik di antara kedua pihak itu, akan tetapi terhadap Si Setan Botak ia tidak senang karena menganggapnya amat kejam, membunuhi banyak orang seperti orang membunuh semut saja. Terhadap Lauw-pangcu dan Kang-lam Sam-eng, ia merasa tidak senang karena menganggap mereka ini curang, mengeroyok seorang lawan dengan begitu banyak kawan. Sebagai murid-murid perguruan tinggi Siauw-lim-pai, tentu saja Kang-lam Sam-eng tidak bersikap seperti para anak buah Pek-lian-pai yang suka "main keroyok"

   Secara kacau-balau.

   Pertempuran sekacau itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang masih rendah tingkatnya. Memang, mereka mengurung dan mengeroyok, namun mereka melakukan penyerangan secara teratur dan boleh dibilang satu demi satu, hanya saling susul dan berganti-ganti. Mula-mula terdengar bentakan nyaring dan tubuh Bhok Khim si wanita cantik sudah melayang ke atas, pedangnya berubah menjadi sinar terang ketika ia menyerang kakek botak itu. Sebuah serangan yang amat dahsyat, karena selain tubuh itu meluncur ke depan dengan cepat dan kuat, pedangnya digerak-gerakkan ujungnya, sukar diduga lawan bagian mana dari tubuhnya yang akan menjadi sasaran. Namun kakek botak itu hanya tertawa dan masih tetap berdiri tegak seperti tadi, sama sekali tidak mengelak. Ketika sinar pedang sudah menyentuhnya, ia hanya menggerakkan kedua tangan ke atas.

   "Krakkk. Brettttt...., Ha-ha-ha-ha."

   Tubuh Bhok Khim mencelat ke samping dan jatuh bergulingan, lalu gadis itu meloncat bangun, tangan kiri sibuk berusaha menutupkan baju bagian dadanya yang sudah robek lebar memperlihatkan sebagian buah dadanya, sedangkan pedangnya sudah pindah ke tangan kakek botak dalam keadaan patah menjadi dua. Pucatlah wajah semua orang. Kakek itu tadi menerima sambaran pedang dengan tangan kosong"

   Menangkap pedang dan mematahkannya sambil tangannya yang satu lagi secara nakal merobek baju Bhok Khim. Sungguh merupakan perbuatan yang amat luar biasa.

   "Iblis tua bangka."

   Liem Sian menerjang dengan toya kuningannya. Siauw-lim-pai amat terkenal dengan ilmu toyanya, terkenal kokoh kuat dan sukar dicari bandingnya. Dan kini Liem Sian membuktikan keunggulannya. Buktinya kakek botak itu tidak berani lagi berdiri diam, melainkan menggeser kakinya dan begitu ujung toya menyodok perutnya, ia memapaki ujung toya itu dengan tendangan kaki dari samping.

   "Ayaaa....."

   Liem Sian terhuyung. Bukan main kuatnya tendangan itu, membuat ia hampir saja roboh dan toyanya hampir terlempar. Saat itu dipergunakan oleh Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng untuk menerjang dengan cambuk besinya.

   "Tar-tar....."

   Cambuk besi ini meledak dan menyambar kepala kakek botak. Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa dan mengangkat pedang rampasan yang tinggal sepotong tadi, membabat ujung cambuk.

   "Cringgg....., Bunga api berpijar dan ujung cambuk itu patah"

   Lauw-pangcu dan dua orang kawannya sudah maju pula menubruk dan mulailah Si Kakek Botak dikeroyok. Bahkan Bhok Khim yang sudah membetulkan bajunya yang robek kini telah menyambar sebatang pedang lain yang ia temukan di antara mayat-mayat anggauta Pek-lian Kai-pang, lalu maju mengeroyok. Kakek botak itu gerakannya tidak cepat, bahkan kelihatan amat lambat. Namun setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga senjata lawan tidak ada yang dapat menyentuh kulitnya. Sambil tertawa-tawa ia menghalau semua serangan dengan dorongan-dorongan hawa pukulan dahsyat ini, kemudian melanjutkan dengan pukulan.

   Setiap pukulan atau dorongan yang disertai pengerahan sin-kang yang aneh dari tangannya yang berubah merah dan mengeluarkan asap, tentu merobohkan lawannya. Akibatnya, dalam waktu singkat saja, dua orang pembantu Lauw-pangcu roboh tewas, Lauw-pangcu sendiri roboh terluka. Khu Cen Tiam kehilangan cambuk dan lengannya patah tulangnya. Liem Sian patah-patah toyanya dan sambungan pundaknya patah pula, adapun Bhok Kim sudah tertotok dan kini pinggang gadis itu dikempit oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Kakek ini terbahak-bahak tertawa sedangkan muridnya, Ouwyang Seng, kini sudah datang mendekat sambil menuntun kuda, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh kebanggaan. Sin Lian lari menubruk ayahnya yang terluka dadanya sambil memanggil nama ayahnya yang pingsan.

   "Ayah...., Ayahhh....."

   Biarpun lengannya sudah patah tulangnya, Khu Cen Tiam masih berdiri gagah. Demikian pula Liem Sian yang terlepas sambungan pundak kirinya. Mereka berdiri dengan muka pucat dan memandang kakek botak penuh kemarahan dan kebencian.

   "Locianpwe adalah seorang datuk terkemuka. Kami sudah kalah, hal ini sudah lazim dalam pertandingan, kalau tidak menang tentu kalah. Akan tetapi mengapa locianpwe menawan sumoi kami? Harap locianpwe membebaskannya,"

   Kata Khu Cen Tiam yang menyebut locianpwe, karena memang dalam hatinya ia takluk dan kagum akan kehebatan ilmu kepandaian kakek yang merupakan seorang di antara Lima Datuk Hitam itu. Lima Datuk Besar atau Lima Datuk Hitam sama saja karena Lima Datuk itu adalah lima orang berilmu tinggi yang merupakan orang-orang tingkat pertama di dunia persilatan, akan tetapi karena kelimanya merupakan tokoh-tokoh yang kejam, maka diam-diam orang menyebut mereka Lima Datuk Hitam.

   "Heh-heh-heh, kalau tidak memandang muka Ceng San Hwesio, apakah kalian bertiga masih dapat bernapas saat ini? Sumoimu ini manis, biar dia menemaniku untuk beberapa hari, sebagai penebus nyawa kalian."

   Khu Cen Tiam dan Liem Sian membentak marah. Biarpun sudah terluka, kemarahan mereka membuat mereka menerjang maju, namun dengan hanya dorongan tangan kiri saja, keduanya sudah terbanting dan terjengkang ke belakang.

   "Baik, kalau kamu iblis tua bangka memang ada keberanian, datanglah ke kota Tiong-kwan tiga hari lagi. Kami para anggauta Ho-han-hwe (Perkumpulan Para Patriot) menantangmu membuat perhitungan."

   "Sute....."

   Khu Cen Tiam menegur, akan tetapi ucapan sudah dikeluarkan dan kakek botak itu tertawa bergelak.

   "Bagus.... bagus.... kiranya akan diadakan pertemuan di Tiong-kwan? Tentu saja aku datang, sekalian mengembalikan sumoimu yang kupinjam. Ha-ha-ha."

   Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melayang, kakek itu sambil mengempit tubuh Bhok Khim yang tak dapat bergerak itu sudah berada di atas kuda, kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan berkata,

   "Mari, Kongcu. Jangan lupa ajak pelayan itu."

   Dengan tangannya kakek itu mendorong ke arah pohon dan "kraaakkkkk."

   Batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang, membawa tubuh Han Han runtuh ke bawah bersama-sama. Han Han bergulingan, kulitnya lecet-lecet dan cambuk di tangan Ouwyang Seng sudah meledak di atas kepalanya.

   "Hayo tuntun kuda suhu, kau pemalas."

   Bentak putera pangeran itu. Han Han menoleh ke arah Sin Lian, melihat Sin Lian melotot kepadanya. Ia menghela napas, mengangkat pundak, lalu berjalan menghampiri kuda dan menuntun kendali kuda itu, berjalan di depan kuda. Terdengar olehnya tangis Sin Lian, akan tetapi karena kuda itu jalannya cepat sehingga punggungnya beherapa kali terdorong moncong kuda, Han Han mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah keluar dari dalam hutan itu.

   Dapat dibayangkan betapa hancur dan sakit hati Lauw-pangcu melihat anak buahnya terbasmi habis oleh Si Setan Botak yang lihai itu. Kematian kurang lebih lima puluh orang anggauta Pek-lian Kai-pang ini hampir menghabiskan semua anggautanya sehingga mereka yang kebetulan tidak berada di situ dan bebas dari kematian hanya tinggal beberapa orang saja. Dengan dendam sedalam lautan, Lauw-pangcu mengurus jenazah semua anak buahnya, dibantu oleh Kang-lam Sam-eng yang kini tinggal dua orang, Khu Cen Tiam dan Liem Sian saja karena sumoi mereka, Bhok Khim, terculik oleh Si Kakek Sakti. Dua orang anak murid Siauw-lim-pai ini pun di samping amat menyesal, juga amat marah dan sakit hati.

   "Sudah kucegah tadi ji-wi enghiong bersama Bhok-lihiap untuk tidak mencampuri urusan kami,"

   Demikian Lauw-pangcu berkata penuh penyesalan.

   "Sekarang terbukti, selain ji-wi terluka, juga Bhok-lihiap terculik. Ahh, semua ini gara-gara Pek-lian Kai-pang. Lebih celaka lagi, malapetaka ini dibawa datang oleh muridku sendiri, si jahanam Sie Han."

   Khu Cen Tiam dan Liem Sian menghibur ketua kai-pang yang berduka itu.

   "Pangcu jangan berkata demikian. Kita sama-sama anggauta Ho-han-hwe, sudah bersumpah sehidup semati menghadapi penjajah dan para pengkhianat bangsa. Lebih baik kita lekas bereskan pekerjaan di sini dan cepat mengumpulkan saudara-saudara di Ho-han-hwe untuk merundingkan hal ini dan agar dapat menolong Sumoi dari tangan iblis itu."

   "Ahhhhh, iblis itu terlampau sakti. Di dunia ini hanya ada lima orang datuk besar yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Kita di Ho-han-hwe, siapakah kiranya yang akan mampu melawannya?"

   Demikian keluh Lauw-pangcu dengan hati gentar kalau ia teringat akan sepak terjang Si Setan Botak tadi.

   "Di antara saudara kita banyak yang lihai, kalau perlu aku akan memberi tahu para susiok dan juga tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw. Sute tadi telah menantangnya tiga hari lagi. Dalam waktu tiga hari kita harus dapat mendatangkan bala bantuan untuk membunuh iblis itu dan menolong sumoi."

   Demikianlah, setelah penguburan sekian banyaknya jenazah itu selesai, tiga orang gagah ini bersama Sin Lian yang dalam usia sekecil itu sudah mengalami hal-hal yang menegangkan dan pembunuhan-pembunuhan massal yang mengerikan, pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota Tiong-kwan lalu menghubungi para pejuang yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-hwe. Sibuklah mereka semua itu mengundang orang-orang pandai dalam persiapan mereka menghadapi Kang-thouw-kwi Gak Liat. Adapun Kang-thouw-kwi Gak Liat yang menunggang kuda sambil memangku tubuh Bhok Khim yang tertotok lemas, diiringkan oleh Ouwyang Seng dan Han Han, pergi menuju ke timur menyusuri pantai Sungai Huang-ho. Setelah melakukan perjalanan setengah hari, mereka tiba di pantai yang berbatu-batu dan kakek itu berkata.

   "Berhenti di sini."

   Ia meloncat turun, masih memondong tubuh Bhok Khim.

   "Apakah disinik tempatnya batu-batu bintang yang suhu cari?"

   Tanya Ouwyang Seng. Si Setan Botak mengangguk.

   "Kau ajak Han Han mencari di pantai, sebanyak mungkin. Kau sudah tahu macamnya, seperti yang pernah aku perlihatkan dulu, Kongcu. Batu-batu itu penting sekali untuk latihanmu. Nah, aku mau mengaso bersama Si Manis ini."

   Ouwyang Seng melihat betapa gurunya membungkuk dan mencium leher Bhok Khim yang menggeliat dan meronta lemah, tertawa bergelak, kemudian menangkap tangan Han Han dan ditarik sambil membentak.

   "Bujang malas, hayo bantu aku mencari batu bintang."

   Akan tetapi sekali merenggutkan tangannya, Han Han melepaskan diri. Matanya terbelalak marah memandang ke arah Gak Liat Si Setan Botak yang sudah duduk di atas batu-batu kecil yang halus sambil memangku tubuh Bhok Khim dan mempermainkan rambut gadis itu yang hitam panjang. Han Han dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh kakek botak itu terhadap Bhok Khim dan terbayanglah semua peristiwa jahanam yang menimpa diri kakak perempuannya dan ibunya. Melihat Bhok Khim ia merasa seperti melihat cicinya sendiri yang telah lenyap, sungguhpun pandang mata Bhok Khim padanya bukanlah seperti pandang mata cicinya yang penuh kasih sayang. Dengan langkah lebar ia menghampiri Gak Liat dan setelah tiba di depannya, Han Han menudingkan telunjuknya dan berkata, suaranya nyaring.

   "Locianpwe adalah seorang yang sakti, dapat mengalahkan pengeroyokan puluhan orang. Akan tetapi mengapa kini melakukan perbuatan yang amat hina dan rendah?"

   "Han Han, tutup mulutmu yang busuk."

   Ouwyang Seng membentak marah, akan tetapi Si Setan Botak tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada muridnya untuk mundur. Kemudian ia memandang wajah Han Han. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan kakek botak itu berseru perlahan.

   "Demi iblis...., Matamu mata iblis.... Eh, bocah, perbuatan hina dan rendah apa yang telah aku lakukan?"

   Han Han menuding ke arah Bhok Khim yang menggeliat-geliat di pangkuan kakek botak itu.

   "Lepaskan cici itu dan aku baru dapat menganggap locianpwe seorang gagah dan sakti yang tidak melakukan perbuatan hina."

   Si Setan Botak memandang terbelalak, lalu menunduk dan memandang wajah Bhok Khim yang cantik manis, kemudian tertawa terbahak-bahak.

   "Ini kau anggap perbuatan hina dan rendah? Ha-ha-ha-ha."

   Dengan sengaja kakek ini lalu mengelus-elus pipi Bhok Khim yang halus, kemudian jari-jari tangannya menjalar ke bawah, meraba-raba leher dan dada. Gadis itu menggeliat dan meronta lemah, akan tetapi karena ia berada dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat melepaskan diri, kemudian meramkan mata dan merintih perlahan. Kemarahan Han Han memuncak. Depgan mata berapi ia memandang kakek botak itu dan membentak,

   "Locianpwe! Kau tidak boleh menghina wanita."

   Kakek itu mengangkat mukanya memandang sambil tertawa, akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Han Han, seketika tawanya terhenti, ia terbelalak, mulutnya ternganga dan terdengarlah ia berkata perlahan,

   "Aku.... aku...."

   Tentu saja Ouwyang Seng menjadi bengong menyaksikan keadaan suhunya ini, maka ia berseru keras dan heran,

   "Suhu....! Apa artinya ini....?"

   Sesungguhnya, pandang mata dan suara Han Han yang sedang marah itu mengandung tenaga mukjizat yang tidak sewajarnya. Demikian kuat dan mukjizat tenaga sakti ini sehingga seorang seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri, seorang di antara Lima Datuk Besar, sampai terpengaruh.

   Sayangnya, Han Han sendiri tidak sadar dan tidak tahu akan kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam pandang mata dan kekuatan pikirannya sehingga tentu saja ia tidak dapat memanfaatkannya. Selain itu, Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang kakek yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali dalam ilmu-ilmunya, maka ia cepat tersadar begitu mendengar seruan muridnya. Ia sadar dengan kaget sekali dan melempar tubuh Bhok Khim ke samping. Gadis itu terguling dan rebah miring, tanpa dapat bangun. Di lain saat Gak Liat telah menyambar lengan Han Han dan ditariknya anak itu duduk di atas batu-batu kali, di depannya. Sejenak kakek itu memandang dengan penuh perhatian sepasang mata Han Han yang masih bersinar-sinar sungguhpun kini kemarahan anak itu mereda karena melihat Bhok Khim sudah dilepaskan.

   "Eh, Han Han, coba katakan, siapakah nama Ayahmu?"

   Kalau Han Han ditanya riwayatnya, tentu ia tidak akan sudi menceritakannya, karena hal itu akan mengharuskan ia bercerita tentang malapetaka ngeri yang menimpa ayah bundanya. Akan tetapi kalau hanya ditanya nama ayahnya saja, ia tidak keberatan untuk menjawab, apalagi ia memang hendak menyenangkan hati kakek ini agar selanjutnya tidak akan mengganggu Bhok Khim.

   "Ayahku bernama Sie Bun An."

   "Ayahmu ahli silat tinggi dan tokoh kang-ouw?"

   "Ah, tidak sama sekali, locianpwe. Ayah seorang sastrawan, dan semenjak kecil Ayah melarang aku belajar silat, hanya memberi pelajaran tulis dan baca."

   Ia berterus terang dengan suara keras. Kalau dahulu di depan Lauw-pangcu ia tidak mengaku pandai membaca, kini di depan Si Setan Botak ia malah sengaja mengatakan ayahnya sastrawan. Hal ini pun ada sebabnya, yaitu karena di situ hadir Ouwyang Seng. Han Han yang sering kali mengalami penghinaan dari Ouwyang Seng putera pangeran, kini mendapat kesempatan untuk menyatakan bahwa dia adalah putera sastrawan dan pandai membaca kitab, dan dalam hal ini ia tidak mau kalah oleh Ouwyang Seng. Mendengar ini, kakek botak itu tampak kecewa dan pandang matanya penuh selidik terheran-heran.

   "Matamu itu.... hemmm.... Han Han, kau katakan, siapa nama Kong-kongmu (Kakekmu)? Barangkali aku mengenalnya."

   "Aku tidak pernah melihat Kong-kong,"

   Jawab Han Han sejujurnya.

   "Dan Ayahku tidak banyak bercerita tentang Kong-kong. Hanya mengatakan bahwa Kong-kong adalah seorang perantau dan namanya Sie Hoat...."

   Kakek botak itu meloncat bangun dan tertawa terbahak-bahak.

   "Sie Hoat....? Sie Hoat Si Dewa Pencabut Bunga? Ha-ha-ha-ha-ha, engkau cucu Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Pantas.... pantas...."

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Han Han bengong, mengira bahwa Si Botak ini selain lihai juga miring otaknya. Ayahnya adalah seorang sastrawan yang kaya raya, biarpun ayahnya belum pernah bercerita tentang kakeknya, namun ia dapat menduga bahwa kakeknya pun tentu seorang sastrawan. Mengapa kakek botak ini menyebutnya Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Dengan pandang mata penasaran Han Han menatap wajah kakek botak itu dan bertanya.

   "Kenapa locianpwe tertawa? Apakah locianpwe mengenal Kakekku?"

   "Ha-ha-ha. Mengenal Jai-hwa-sian Sie Hoat? Ha-ha, dia sainganku terbesar dahulu. Dia masih hutang beberapa pukulan dariku. Dan kau.... ha-ha-ha, engkau cucunya mencela aku karena aku membelai seorang gadis cantik? Sungguh lucu, dan ingin aku melihat muka Sie Hoat kalau mendengar dan melihat ini semua ha-ha-ha-ha."

   "Locianpwe, apa yang locianpwe maksudkan....?"

   Han Han bertanya dengan suara keras, hatinya penuh rasa penasaran. Akan tetapi Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya tertawa bergelak, lalu seperti orang gila ia memandang ke atas, ke arah awan yang berarak di langit.

   "Dan kini cucumu menjadi pelayanku, Sie Hoat. Kalau engkau masih hidup, hayo datanglah dan jemputlah cucumu, ha-ha-ha."

   Kemudian matanya memandang ke arah tubuh Bhok Khim yang masih rebah miring di atas tanah dan dengan langkah lebar menghampiri, lalu menyambar tubuh itu yang diangkatnya.

   "Locianpwe tidak boleh....."

   Akan tetapi ucapan Han Han ini terhenti karena lengannya telah ditangkap oleh Ouwyang Seng dan tubuhnya diseret pergi dari tempat itu.

   "Engkau bocah tak tahu diri, berani sekali mengganggu suhu. Apakah engkau sudah bosan hidup? Anak kecil mencampuri urusan orang tua, sungguh lancang. Lebih baik kau bantu aku mencari batu-batu bintang. Kau pemberani, aku suka kepada anak pemberani dan aku tidak senang melihat kau dibunuh suhu kalau dia sudah marah. Kalau kau baik kepadanya, siapa tahu engkau akan diambil murid seperti aku."

   Han Han yang terus diajak pergi sampai di tepi sungai yang banyak batu-batu karangnya, mengerti juga betapa tak mungkin ia dapat mencegah perbuatan kakek botak yang demikian sakti itu. Sedangkan dalam pegangan Ouwyang Seng saja ia sudah tidak mampu berkutik. Ia tertarik mendengar tentang bintang dan tentang kemungkinan ia diambil murid.

   "Untuk apakah batu bintang? Dan batu bintang macam apa yang dimaksud?"

   Tanyanya sambil memperhatikan ketika Ouwyang Seng mulai memilih-milih batu di antara batu karang yang banyak terdapat di situ.

   "Kau lihat baik-baik batu ini dan bantu mencari sebanyaknya, nanti kucerita kan,"

   Jawab Ouwyang Seng. Han Han melihat batu yang dipilih bocah itu dan melihat bahwa batu itu kecil-kecil, paling besar sebesar tangannya dan bentuknya seperti pecahan batu karang, runcing-runcing dan tajam, akan tetapi warnanya kemerahan.

   Ia lalu membantu dan mencari batu-batu seperti itu yang tidak banyak terdapat di situ, harus dicari dan dipilih dengan teliti baru dapat menemukan beberapa potong. Sambil mencari Ouwyang Seng lalu memberi keterangan. Seperti yang pernah didengar bocah ini dari gurunya, ratusan tahun yang lalu banyak orang menyaksikan benda besar seperti bola api melayang turun di daerah lembah Sungai Huang-ho ini. Benda itu menurut dugaan banyak orang pandai adalah sepotong batu besar pecahan dari bintang, karena itu, melihat bahwa di daerah itu kemudian tampak banyak sekali pecahan-pecahan batu berwarna kemerahan, batu-batu ini disebut batu bintang. Akan tetapi ketika orang berusaha mempergunakannya, batu-batu yang kecil ini tidak ada gunanya, bahkan untuk bahan bangunan pun tidak sebaik batu kali biasa, maka sampai ratusan tahun kemudian batu-batu ini tidak diperhatikan orang.

   "Akan tetapi suhu yang sakti luar biasa melihat sifat yang mukjizat dari batu-batu ini,"

   Demikian Ouwyang Seng melanjutkan ceritanya.

   "Sifat yang cocok sekali untuk memperhebat ilmu kepandaian suhu yang berdasarkan pada tenaga Yang-kang."

   Sambil memandangi batu-batu kemerahan itu penuh perhatian dengan hati tertarik sekali, Han Han lalu bertanya.

   "Sifat mukjizat apakah? Dan apa itu Yang-kang?"

   "Ah, dasar kau hijau bodoh tidak tahu apa-apa."

   Ouwyang Seng mengomel.

   "Masa tidak tahu Yang-kang? Ketahuilah, guruku adalah seorang di antara Lima Datuk Besar, dan ilmu kesaktiannya menjulang setinggi bintang di langit. Di dunia ini tidak ada seorang pun manusia sanggup menandingi ilmunya yang disebut Hwi-yang-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api). Dengan hawa dari tangannya, guruku dapat membuat kayu terbakar. Nah, batu-batu bintang ini mengandung tenaga mukjizat dari Yang-kang, dan menurut suhu, ada inti panasnya matahari tersembunyi di dalamnya. Agaknya bintang yang pecah ini tadinya berada di dekat matahari, aku tidak tahu jelas. Batu-batu ini dipergunakan oleh suhu untuk melatih kedua lengan."

   "Bagaimana caranya?"

   "Kau akan melihat sendiri. Tahukah engkau bahwa kedua lenganku ini dapat bertahan direndam air yang mendidih?"

   "Ah, masa....?"

   Tentu saja Han Han tidak percaya. Ouwyang Seng tersenyum bangga dan menyingsingkan kedua lengan bajunya sehingga tampak kedua lengannya yang berkulit putih dan halus.

   "Kedua lenganku ini kelak kalau sudah jadi benar seperti kedua lengan suhu, akan membuat aku dapat menjagoi seluruh jagat"

   Kalau sudah selesai latihanku, sekali sampok saja aku dapat membuat hangus tubuh lawan yang bagaimana kuat sekalipun."

   Han Han memandang dengan melongo, setengah tidak percaya, akan tetapi juga ngeri dan kagum. Benarkah di dunia ada ilmu seperti itu? Ia akan melihat dan membuktikan sendiri. Berkali-kali ia dihina orang karena ia tidak bisa silat dan tidak memiliki kekuatan yang mukjizat. Kalau dia sampai dapat menjadi seorang pandai, bukankah dengan mudah ia dapat menentang semua orang yang jahat-jahat itu? Memang ia dapat membayangkan betapa senangnya memiliki sepasang lengan tangan yang lihai seperti itu, dapat mengeluarkan hawa panas seperti api.

   "Benarkah semua yang kau katakan itu, Ouwyang Seng?"

   Tiba-tiba bocah itu melotot dan membentak marah,

   "Han Han! Di mana kesopananmu? Katamu sendiri kau keturunan sastrawan, mengapa tidak tahu sopan santun? Kau sekarang menjadi pelayan suhuku, berarti kau pelayanku juga. Dan ketahuilah bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpengaruh besar sekali di kota raja. Sudah seharusnya kalau kau juga menghormat padaku kalau kau tahu akan sopan santun."

   Wajah Han Han menjadi merah. Tentu saja ia tahu akan semua peraturan ini, peraturan "sopan santun"

   Yang diciptakan oleh kerajaan, yang mengharuskan sikecil mencium ujung sepatu si bangsawan, si miskin menyembah-nyembah si kaya. Ia mengerti bahwa dia memang bersalah, maka ia menghela napas dan mengulangi pertanyaannya.

   "Maaf, benarkah semua yang kau ceritakan tadi, Ouwyang-kongcu?"

   Berseri wajah Ouwyang Seng.

   "Bagus! Memang benar dugaanku, kau bukan sembarangan pengemis dan kini aku percaya bahwa engkau tentu keturunan seorang terpelajar. Guruku sendiri menyebutku Kongcu, tentu saja engkau pun harus menghormatku. Tentu benar apa yang aku ceritakan tadi dan engkau ini memang bernasib baik sekali, Han Han. Menjadi pelayan guruku berarti menemukan harta yang tak ternilai harganya, karena sedikit banyak engkau tentu akan dapat memetik ilmunya. Akan tetapi sudah tentu saja jangan harap mendapatkan sebanyak aku, karena aku muridnya. Mengerti? Hayo cepat kumpulkan batu bintang yang banyak."

   Han Han mengangguk dan mereka berdua asyik mencari-cari batu bintang sampai terkumpul cukup banyak. Ouwyang Seng membungkus batu-batu itu dengan kantung kain yang memang sudah dibawanya, lalu menyuruh Han Han memanggulnya. Mereka berdua lalu kembali ke tempat di mana tadi mereka meninggalkan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Ketika kedua orang anak itu tiba di situ, Han Han melihat bahwa kakek botak itu duduk di atas batu dengan mata dipejamkan dan mulut menyeringai, sedangkan tak jauh dari situ ia melihat Bhok Khim sedang melangkah pergi. Wajah wanita itu pucat dan ia melangkah pergi sambil terisak menangis.

   "Ho-ho, Manis, kenapa menangis? Laporkan saja kepada Ceng San Hwesio bahwa akulah yang mengganggumu, dan dia tentu tidak akan bisa berbuat sesuatu ho-ho-ha-ha."

   Wanita muda itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan Han Han melihat betapa mata yang merah itu memandang penuh kebencian, wajah yang pucat itu basah air mata dan ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan wajah yang membayangkan kemarahan, kebencian dan dendam sehebat itu. Bhok Khim lalu membalikkan tubuhnya lagi dan berlari, meninggalkan isak tangis yang bercampur dengan suara ketawa bergelak Si Kakek Botak.

   "Sudah mendapatkan banyak batu bintang? Bagus, mari kita melanjutkan perjalanan pulang agar dapat cepat-cepat engkau berlatih, Kongcu."

   Tubuh kakek botak yang tadinya duduk, tiba-tiba melambung ke atas dan pandang mata Han Han sampai menjadi berkunang ketika ia berusaha mengikuti gerakan kakek itu. Tahu-tahu Si Kakek Botak sudah duduk di atas punggung kudanya. Ouwyang Seng agaknya tidak heran menyaksikan demonstrasi kepandaian yang bagi Han Han seperti orang bermain sulap ini, bahkan lalu menepuk pundaknya.

   "Hayo kita berangkat, Han Han. Hari sudah hampir gelap."

   Kembali mereka melakukan perjalanan tanpa banyak cakap. Kuda yang ditunggangi oleh kakek botak yang duduk melenggut seperti orang mengantuk itu berjalan di depan, diikuti oleh Han Han yang memanggul kantung berisi batu-batu bintang, dan paling belakang adalah Ouwyang Seng yang berjalan sambil kadang-kadang mendorong pundak Han Han disuruh cepat agar jangan tertinggal langkah kuda. Menjelang malam, tibalah mereka di tempat yang dijadikan tempat tinggal Kang-thouw-kwi Gak Liat. Han Han tertegun dan memandang kagum. Rumah itu adalah sebuah gedung yang indah sekali, yang letaknya berada di sebelah timur kota Tiong-kwan, di dekat Sungai Suang-ho dan mempunyai tanah yang luas, yang dipagari dengan pagar tembok tinggi. Inilah bukan sembarang rumah, pikirnya. Seperti istana saja.

   "Rumah siapa ini....?"

   Tanyanya ketika mereka memasuki rumah itu setelah dua orang pelayan menyambut kuda tunggangan Si Kakek Botak dan Ouwyang Seng mengajak Han Han untuk terus menuju ke belakang melalui pintu samping, berbeda dengan kakek botak yang langsung memasuki gedung dari pintu tengah.

   "Heh-heh, rumah siapa lagi? Ini rumahku."

   "Rumahmu....?"

   Han Han makin kagum.

   "Bodoh, bukankah sudah kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok? Apa artinya rumah ini bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah pesanggrahan yang biasanya ditinggali keluargaku di waktu musim panas. Kini dipergunakan oleh suhu untuk mengajar ilmu silat kepadaku. Hayolah. Kau makan dulu, kemudian tidur. Besok kita bekerja."

   Ouwyang Seng lalu memanggil pelayan, menyuruh pelayan memberi makan kepada Han Han dan memberi sebuah kamar untuk tidur. Kemudian kongcu itu pun melenyapkan diri ke dalam rumah gedung dan malampun tiba. Pada keesokan harinya, Han Han terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan di dalam gedung masih sunyi, tanda bahwa semua penghuninya masih tidur. Ia berindap-indap keluar dari kamarnya, yaitu sebuah kamar kecil di antara kamar-kamar untuk bujang di bagian belakang gedung, dan dengan hati-hati Han Han mencari jalan untuk lari minggat dari situ.

   Betapapun tertarik hatinya untuk menyaksikan Ouwyang Seng berlatih dan kalau mungkin dia sendiri menerima pelajaran dari Setan Botak itu, namun ia masih memilih bebas daripada tekanan mereka dan dipaksa menjadi pelayan. Karena kedua kaki Han Han telanjang, ia dapat melangkah secara hati-hati sekali tanpa mengeluarkan suara dan berhasil melewati kamar-kamar bujang tanpa membangunkan mereka. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa rumah gedung itu terkurung tembok tinggi sekali dan tidak ada jalan keluar sama sekali kecuali memanjat pintu gerbang atau tembok. Akan tetapi pintu gerbang pun terlalu tinggi untuknya. Selagi ia termangu bingung, terdengar suara tertawa.

   "Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari ke mana?"

   Han Han terkejut dan cepat menengok, akan tetapi keadaan di sekelilingnya tetap sunyi dan gelap.

   Tidak tampak bayangan seorang manusia pun, juga tidak tampak di mana adanya Setan Botak tua yang tadi ia dengar suaranya. Ia bergidik. Hebat bukan ilmu kesaktian kakek itu. Mungkinkah dapat melihatnya dari dalam gedung dan dapat mengirim suaranya seperti itu? Karena maklum bahwa usahanya untuk lari sia-sia belaka dan tak mungkin dapat ia lakukan, Han Han lalu kembali ke dalam kamarnya dan ia duduk bersila dan bersamadhi seperti yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan Lauw-pangcu. Setelah Ouwyang Seng bangun, Han Han diajak pergi ke tempat latihan. Tempat ini dahulunya dijadikan sebuah gudang besar, akan tetapi sejak Gak Liat tinggal di situ, oleh kakek ini dijadikan semacam lian-bu-thia (ruangan bermain silat) lengkap dengan dapurnya di mana ia melatih diri dan muridnya untuk memperkuat Yang-kang dengan bantuan batu-batu bintang.

   Masih ada lagi sebuah tempat yang letaknya di belakang gedung dan tempat ini penuh rahasia. Kalau para pelayan di gedung itu masih diperbolehkan memasuki lian-bu-thia, maka tidak seorang pun kecuali kakek botak itu sendiri yang boleh memasuki tempat terlarang di belakang gedung ini. Tempat itu dahulunya menjadi kebun dari gedung itu, akan tetapi kabarnya sebelum Pangeran Ouwyang membangun gedung di situ, kebun itu dahulunya sebuah tanah kuburan kuno. Di tempat inilah Gak Liat secara rahasia menggembleng diri memperdalam kesaktian karena sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar ia harus selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai kalah oleh datuk lain. Han Han mendengar semua ini dari Ouwyang Seng.

   "Engkau harus taat akan perintah suhu kalau kau ingin hidup,"

   Antara lain putera pangeran itu berkata.

   "Kalau suhu sudah marah dan menghendaki nyawamu, biar ada seribu orang dewa sekalipun tidak akan dapat menolongmu. Kau ingat baik-baik, sekali-kali jangan memasuki daerah terlarang di belakang gedung ini karena siapa saja, termasuk aku sendiri, kalau berani melanggar larangan ini, akan mati."

   Diam-diam Han Han tidak puas hatinya. Terlalu sekali Setan Botak itu, demikian pikirnya. Karena ketidak senangan hatinya ia memberi nama Setan Botak kepada kakek itu. Mudah saja memutuskan mati hidupnya orang lain. Akan tetapi ia tidak mau banyak cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang tahanan, tidak dapat lari dan terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak bodoh, tidak mau nekat memperlihatkan ketidak senangannya karena berada dalam keadaan tidak berdaya. Aku harus dapat memetik keuntungan sebanyaknya dalam keadaan seperti ini, pikirnya. Maka ia lalu membantu pekerjaan di dalam lian-bu-thia seperti yang diperintahkan Ouwyang Seng.

   Ia harus mengisi air yang diambilnya dari sumur, memenuhi sebuah kwali baja yang amat besar dan yang ditaruh di atas perapian. Juga ia harus memukuli batu-batu bintang sampai menjadi kecil-kecil, mempergunakan sebuah palu besi. Pekerjaan ini sukar dan meletihkan karena batu-batu bintang itu cukup keras. Tiap kali beradu dengan palu besi, mengeluarkan titik-titik api dan kalau mengenai kulit lengan, terasa panas sekali. Pecahan batu-batu bintang ini lalu dituangkan ke dalam kwali besar yang airnya mulai mendidih. Pada saat itu, muncullah Gak Liat dan seperti biasanya, kemunculannya secara tiba-tiba seperti ia pandai menghilang saja. Padahal ia dapat muncul seperti itu karena menggunakan gin-kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakannya selain ringan tak terdengar, juga amat cepat.

   "Suhu, apakah teecu (murid) sudah boleh berlatih dengan batu bintang?"

   Ouwyang Seng bertanya.

   "Hemmm...., masih jauh. Kedua lenganmu belum cukup kuat, Kongcu. Lebih baik kau tekun melatih kedua lenganmu dengan air panas beracun itu. Itu pun amat berguna, dan kelak kalau tingkatmu sudah cukup kuat, baru akan kulatih dengan air panas batu bintang. Mulailah, Kongcu. Dan kau, Han Han, air di kwali besar itu kurang penuh, hayo ambil lagi dan isi sampai penuh, kemudian besarkan apinya. Batu-batu kecil merah itu harus digodok sampai hancur."

   Dengan muka keruh karena kecewa Ouwyang Seng menghampiri kwali yang lebih kecil, yang tadi ia tumpangkan di atas perapian kecil di sudut. Air dalam kwali itu kelihatan menghitam, dan airnya sudah mulai panas akan tetapi masih belum mendidih. Setelah menggulung kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng memasukkan kedua tangannya ke dalam kwali air hitam, akan tetapi ia menyeringai kesakitan dan menarik kembali kedua tangannya keluar.

   "Aduh, terlalu panas....."

   Serunya.

   "Hemmmmm, Kongcu kurang tekun berlatih."

   Setan Botak menegur dan suaranya jelas membayangkan bahwa hatinya tidak puas.

   "Yang begini saja tidak kuat, apalagi berlatih dengan batu bintang. Masukkan lagi tangan Kongcu ke dalam kwali itu, jangan ragu-ragu, masukkan."

   Ouwyang Seng memandang ke arah suhunya dengan muka pucat, kemudian ia menggigit bibirnya dan dengan nekat memasukkan kedua lengannya ke dalam kwali di depannya. Tubuhnya menggigil dan hampir ia tidak kuat menahan, akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur tangan kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, bahkan wajahnya kelihatan tenang.

   "Bantulah dengan hawa dalam tubuh, Kongcu harus dalam keadaan siulian (samadhi) jika tidak kuat,"

   Suara kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu meramkan kedua mata dan mulai mengatur napas mengumpulkan perasaan, mengerahkan hawa dari dalam pusar dan ketika kakek itu menarik kembali tangannya, Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, wajahnya tenang.

   "Berlatih terus sampai dua hari dua malam, jangan hentikan kecuali makan, dari ulangi lagi sampai aku kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,"

   Pesan Si Kakek sambil berdiri dan bertolak pinggang. Han Han yang sejak tadi berdiri memandang dan mendengarkan, menjadi terheran. Air hitam itu terang amat panas, bahkan sudah mulai menguap, akan tetapi kini Ouwyang Seng dalam keadaan samadhi mampu menahan dengan kedua lengannya direndam air panas.

   "Hei, mana airnya? Cepat tambah sampai penuh dan godok batu bintang sampai hancur. Kalau airnya menguap habis dan batunya masih belum hancur betul, tambah terus dan godok terus sampai hancur. Mengerti?"

   Han Han terkejut dan sadar dari keadaan bengong tadi, cepat-cepat ia menyambar ember kosong dan lari ke sumur, mengambil air dan menuangkannya ke dalam kwali besar berisi batu bintang. Kakek itu masih berdiri di situ, kemudian berkata.

   "Kerjakan penggodokan batu ini sampai hancur, terus besarkan api sampai aku datang kembali. Awas, kalau aku datang batu-batu ini belum hancur, kau yang akan aku masukkan ke dalam air ini."

   Setelah mengeluarkan kata-kata ini, tubuh Setan Botak yang tinggi kurus itu berkelebat dan lenyap dari situ. Han Han sejenak memandang dan mencari-cari dengan matanya, kemudian melirik ke arah Ouwyang Seng yang masih duduk bersamadhi dengan kedua lengan direndam air hitam yang panas. Han Han mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya, maklum bahwa ia tidak berdaya melarikan diri dan terpaksa harus melakukan perintah Setan Botak. Akan tetapi betapa mendongkol hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat sukar dicairkan. Sampai berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kwali dan menambah kayu perapian sehingga hawa panas memenuhi ruangan "dapur"

   Dari lian-bu-thia ini.

   Baiknya ia bekerja kepada Ouwyang Seng, putera pangeran yang amat dihormat, dan diperhatikan keadaannya oleh para pelayan sehingga pada waktu-waktu tertentu tidak pernah pelayan lupa untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang Seng kelihatan gembira bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan gurunya, ia sudah dapat bertahan merendam kedua lengannya di air racun yang panas. Karena kegembiraannya, ia sering bercerita di waktu mengaso sehingga Han Han banyak tahu akan keadaan yang aneh di tempat itu dan akan keadaan Setan Botak yang amat luar biasa itu. Diam-diam di dalam hatinya Han Han bergidik. Kalau saja ia tahu sebelumnya, tentu ia tidak akan membawa Setan Botak itu kepada sarang Pek-lian Kai-pang.

   Bergidik ia teringat betapa banyaknya manusia menjadi korban kekejaman Si Setan Botak ini. Menurut penuturan Ouwyang Seng yang sesungguhnya tidak banyak pengetahuannya tentang keadaan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagaimana yang ia ceritakan penuh kebanggaan kepada Han Han, kakek itu adalah tokoh terbesar di antara Lima Datuk Besar yang pada saat itu menguasai dunia kang-ouw golongan hitam. Merupakan tokoh yang amat terkenal karena ilmunya yang mengerikan, yaitu Hwi-yang-sin-ciang, dan sudah banyak jasanya terhadap Pemerintah Mancu karena ketika barisan Mancu menyerbu ke selatan, kakek inilah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang melancarkan jalan dengan merobohkan pejuang-pejuang yang memiliki kesaktian.

   "Menurut kata Ayahku, Pangeran Ouwyang Cin Kok, ilmu kepandaian suhu tidak ada lawannya di kolong langit ini, maka aku disuruh menjadi muridnya. Kau lihat sendiri, betapa hebat ilmunya. Dan aku.... aku sudah mulai dapat menggembleng kedua lenganku agar kelak menjadi jago nomor satu di dunia, setelah suhu."

   Han Han amat tertarik. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu kesaktian yang aneh-aneh, sungguhpun sudah banyak ia membaca cerita tentang orang-orang sakti di jaman dahulu. Kini ia tidak saja mendengar, bahkan ia menyaksikan dengan mata sendiri.

   "Kongcu, tadi gurumu mengatakan telah mengenal Kakekku dan menyebut Kakekku Jai-hwa-sian, apakah kau pernah mendengar tentang Kakekku itu?"

   Ouwyang Seng menggeleng kepala.

   "Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin para suheng (Kakak Seperguruan Laki-laki) atau suci (Kakak Seperguruan Perempuan) pernah mendengar dan mengetahuinya. Kelak akan kutanyakan mereka."

   "Ah, jadi Kongcu masih mempunyai suheng dan suci?"

   

Istana Pulau Es Eps 27 Istana Pulau Es Eps 22 Istana Pulau Es Eps 34

Cari Blog Ini