Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 5


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



Ouwyang Seng mengacungkan jempolnya.

   "Tentu saja, dan mereka pun hebat"

   Aku mempunyai dua orang suheng dan seorang suci, dan kepandaian mereka saja sudah cukup menggegerkan dunia dan tidak ada lawannya. Akan tetapi menurut suhu, kalau aku tekun belajar, aku akan lebih lihai daripada mereka.

   Han Han dapat menduga bahwa putera pangeran ini sedang bersombong, maka ia tidak begitu mengacuhkannya. Pikirannya sendiri bekerja dan ia amat tertarik untuk mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, bukan sekali-kaii karena ia ingin menggunakannya untuk berkelahi memukul apalagi membunuh orang, melainkan keanehan ilmu-ilmu itulah yang menarik hatinya. Ingin ia mengetahui rahasianya. Ketika ia menuangkan air tadi, ada air dari kwali, air yang mendidih dan berwarna agak merah, memercik ke atas dan setetes air mengenai lengannya. Kulit lengannya terasa panas sekali dan melepuh. Hal ini adalah wajar, akan tetapi mengapa Ouwyang Seng dapat merendam kedua lengannya di air panas tanpa terluka?

   "Kau lanjutkan pekerjaanmu menggodok batu bintang sampai hancur mencair, Han Han. Jangan sampai gagal dan jangan menggangguku. Ingat lagi, tak boleh sekali-kali kau keluar dari lian-bu-thia ini, apalagi berkeliaran di daerah terlarang di belakang gedung. Kalau melanggar, engkau akan mati dalam keadaan mengerikan."

   Sudah menjadi watak Han Han, juga mungkin watak sebagian besar anak-anak, makin terlarang makin ingin tahu.

   "Ada apanya sih di daerah terlarang itu, Kongcu?"

   "Hush! Mana aku tahu? Di situ tempat suhu bersamadhi dan melatih ilmu, tidak ada yang boleh masuk. Aku pun baru tiga kali diperkenankan masuk dan keadaannya mengerikan dan menyeramkan. Ada tengkorak-tengkorak hidup.... hihhh.... ada setan-setannya di situ. Akan tetapi, suhu menguasai setan-setan itu semua yang membantunya memperdalam ilmu-ilmunya."

   Han Han merasa seram juga, akan tetapi diam-diam ia makin tertarik dan ingin sekali menjenguk daerah terlarang. Namun tentu saja hai ini hanya ia simpan dalam hati dan karena melihat Ouwyang Seng sudah tekun bersamadhi dan berlatih, ia pun lalu duduk bersila di depan perapian menjaga godokan batu bintang. Ho-han-hwe (Perkumpulan Kaum Patriot) adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah Mancu, terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang kemudian di dunia kang-ouw sendiri dikenal dengan golongan putih atau kaum bersih sebagai tandingan dari mereka yang mendukung pemerintah penjajah yang mereka namai golongan hitam atau kaum sesat.

   Di mana-mana ada Ho-han-hwe ini, namun tidak pernah ada tempat atau markasnya tertentu karena tentu saja perkumpulan ini merupakan perkumpulan rahasia yang oleh pemerintah Mancu dicap sebagai pemberontak. Setiap saat dapat saja diadakan pertemuan rahasia antara tokoh-tokoh patriot ini yang secara diam-diam selalu mengadakan hubungan satu dengan yang lain. Kang-lam Sam-eng Si Tiga Pendekar Kang-lam merupakan tokoh-tokoh bersemangat dari Ho-han-hwe. Tiga orang murid Siauw-lim-pai inilah yang memelopori pertemuan antara orang gagah di Tiong-kwan yang menjadi pusat dari Pek-lian Kai-pang. Tentu saja Pek-lian Kai-pang merupakan sepaham atau sahabat karena perkumpulan pengemis di bawah pimpinan Lauw-pangcu ini menjadi anak buah musuh Mancu di barat, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi.

   Akan tetapi, tiga hari sebelum pertemuan penting ini diadakan, terjadilah malapetaka menimpa Pek-lian Kai-pang sehingga hampir seluruh anggauta perkumpulan pengemis pejuang ini terbasmi habis oleh datuk hitam Gak Liat, bahkan Lauw-pangcu sendiri terluka, juga Kang-lam Sam-eng yang tadinya datang mengunjungi sahabat mereka ikut pula mengalami nasib malang. Khu Cen Tiam dan Liem Sian terluka dan Bhok Khim Si Pedang Cantik malah tertawan oleh Setan Botak yang lihai luar biasa itu. Semua ini masih ditambah lagi dengan terpecahnya rahasia pertemuan Ho-han-hwe sehingga kini pertemuan itu terancam oleh hadirnya Kang-thouw-kwi Gak Liat. Peristiwa ini yang segera terdengar oleh kaum bersih, membuat mereka sibuk sekali membuat persiapan. Nama besar Gak Liat sudah dikenal mereka semua, sungguhpun belum pernah ada yang bertemu, apalagi bertanding melawan datuk hitam itu. Mereka sibuk mengundang tokoh-tokoh besar dari golongan putih, namun tak seorang pun yang merasa akan sanggup menandingi kesaktian Setan Botak.

   Akhirnya, hati mereka lega, ketika Khu Cen Tiam dan Liem Sian berhasil mengundang Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pendekar Pedang Siauw-lim-pai) yang masih terhitung paman-paman guru Kang-lam Sam-eng, atau murid-murid dari Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Agaknya hanya Siauw-lim Chit-kiam ini sajalah yang akan sanggup menandingi musuh itu. Selain Siauw-lim Chit-kiam yang diundang datang oleh Khu Cen Tiam dan Liem Sian, juga ada beberapa orang tokoh undangan lain sehingga kedudukan Ho-han-hwe yang diadakan di Tiong-kwan itu cukup kuat. Namun mereka itu telah mengatur siasat dan rencana, karena khawatir kalau-kalau yang muncul bukan hanya Setan Botak sendiri dan siapa tahu kalau-kalau di belakang Setan Botak ini terdapat pasukan pemerintah penjajah yang akan membasmi mereka.

   Demikianlah, pada hari yang ditetapkan, semua orang gagah berkumpul dengan hati berdebar, dalam suasana penuh ketegangan. Mereka memilih tempat di sebuah kuil tua, yaitu sebuah kuil di luar kota Tiong-kwan sebelah barat. Kuil ini selain sudah tua tidak terpakai lagi, juga memiliki pekarangan yang luas dan jauh dari tetangga, letaknya sunyi dan dari tempat itu akan mudah diketahui kalau ada pihak musuh datang menyerang. Semenjak pagi, sudah banyak anggauta-anggauta Ho-han-hwe yang berdatangan. Sambungan pundak Liem Sian yang terlepas telah dapat disambung kembali, dan lengan Khu Cen Tiam juga sudah diobati dan masih terbalut. Semua ini dapat dilakukan berkat ilmu pengobatan yang tinggi dari seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Namun tentu saja kedua orang ini masih harus beristirahat dan tidak mungkin dapat menghadapi dan ikut dalam pertandingan melawan musuh pandai.

   Ada tiga puluh orang lebih yang berkumpul, kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian, juga menjadi pusat harapan mereka, adalah Siauw-lim Chit-kiam yang rata-rata berusia lima puluhan tahun dan bersikap tenang sekali, ditambah lagi dua orang tokoh undangan lain yang namanya tidak kalah tenarnya dari Siauw-lim Chit-kiam. Mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi kakek kurus kering bermuka pucat. Laki-laki tinggi besar itu bernama Giam Ki, akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Selaksa Kati). Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun ini selain memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang lihai, juga memiliki tenaga yang dahsyat.

   Adapun laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kecil tubuhnya dan bermuka pucat itu amat terkenal dengan julukannya It-ci Sin-mo (Iblis Berjari Sakti) dan bernama Tan Sun. Kalau Giam Ki terkenal dengan tenaga luar yang dahsyat, adalah Tan Sun ini terkenal sebagai ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang amat pandai mempergunakan jari tangan untuk melakukan ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah). Akan tetapi berbeda dengan sikap Siauw-lim Chit-kiam yang tenang dan diam, kedua orang ini agak sombong dan berlagak memandang rendah ancaman Kang-thouw-kwi Gak Liat"

   Sikap ini hanya mendatangkan perasaan lega dan percaya di antara golongan muda yang hadir di Ho-han-hwe itu, akan tetapi bagi mereka yang lebih tua, bahkan menimbulkan kekhawatiran dan keraguan.

   "Mengapa khawatir menghadapi Si Setan Botak?"

   Demikian antara lain Ban-kin Hek-gu berkata sambil mengangkat dadanya yang lebar dan kuat.

   "Kita sekalian hanya baru mendengar namanya sebagai seorang di antara Lima Datuk Hitam, Tak perlu gelisah. Macam datuk-datuk hitam yang berkecimpung di dunia kemaksiatan, mana mungkin bisa memiliki kesaktian tulen? Kalau dia datang, biarlah aku yang maju menghadapinya."

   Karena semua orang maklum bahwa Si Kulit Hitam tinggi besar ini memang berkepandaian tinggi dan lihai sekali, mereka tidak mau membantah, apalagi mereka semua sedang dalam suasana berkabung. Sebuah meja sembahyang besar dipasang di tengah ruangan dan mereka tadi satu demi satu telah melakukan sembahyang untuk mengenang dan menghormat kematian teman-teman mereka, yaitu anggauta-anggauta Pek-lian Kai-pang yang telah dibasmi oleh Setan Botak secara mengerikan.

   "Kami percaya akan kemampuan Giam-taihiap dan amat mengharapkan bantuan taihiap yang berharga,"

   Kata pula Khu Cen Tiam tenang.

   "Akan tetapi kami harap sukalah Giam-taihiap dan semua saudara-saudara yang lain berhati-hati sekali. Setan Botak itu benar-benar amat lihai dan kesaktiannya dahsyat sekali. Kita telah mengatur rencana dan siasat, apabila dia datang dan tak dapat dilawan, kita harus mengandalkan tenaga bantuan ke tujuh orang susiok (Paman Guru) kami untuk menghadapinya."

   Sambil berkata demikian, Khu Cen Tiam memandang ke arah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang duduk diam dan sejak tadi tidak berkata-kata, hanya mendengarkan dengan sikap tenang. Seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang tertua, kakek berjenggot putih panjang berpemandangan tajam dan bernama Song Kai Sin, berkata dengan suara halus dan tenang.

   "Kami bukanlah anggauta-anggauta Ho-han-hwe dan kami datang memenuhi undangan murid-murid keponakan kami hanya karena seorang keponakan perempuan kami ditawan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Meman, Gak Liat amat keji dan jahat, sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya, apalagi kalau Bhok Khim dia ganggu. Akan tetapi, dia amat sakti, sungguhpun kami sendiri belum pernah melawannya, namun menurut perhitungan kami, hanya kalau kami bertujuh maju bersama, mungkin baru dapat menahannya. Kalau sudah terjadi demikian, hendaknya rencana diteruskan dan jangan pedulikan kami. Kami Siauw-lim Chit-kiam sekali turun tangan memenuhi kewajiban, sudah rela dan siap untuk mengorbankan nyawa untuk membersihkan dunia dari tangan kotor seorang di antara Lima Datuk Hitam."

   Setelah bicara demikian, Song Kai Sin kembali menundukkan mukanya dan bersamadhi seperti enam orang saudara seperguruannya.

   Ketika orang memperhatikan, kiranya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini sejak tadi bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan diam-diam mereka sedang meyakinkan latihan untuk menyatukan semangat dan sin-kang mereka. Untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Setan Botak, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini yang sudah maklum akan kelihaian lawan, tanpa banyak cakap telah berlatih dan bersiap-siap. Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang hadir pula dalam pertemuan ini, telah mendapat pengobatan pula dari lukanya di sebelah dalam tubuh akibat pukulan jarak jauh Setan Botak. Wajah ketua Pek-lian Kai-pang ini pucat sekali dan tubuhnya masih lemah, namun semangatnya sama sekali tidaklah lemah, bahkan berkobar-kobar karena ia merasa sakit hati terhadap Setan Botak atas kematian hampir seluruh anggauta Pek-lian Kai-pang.

   Setelah membawa puterinya, Sin Lian, ke rumah seorang sahabatnya di Tiong-kwan, menitipkan anak itu dan memesan kepada Sin Lian agar jangan keluar dari rumah, ia sebagai seorang terpenting dalam Ho-han-hwe itu lalu mengatur persiapan bersama Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka semua telah bersepakat menjalankan siasat, yaitu dengan cara apa pun harus dapat mereka tewaskan Si Setan Botak, kalau mungkin dalam pertandingan, kalau tidak mungkin, telah disediakan cara untuk membakar Setan Botak hidup-hidup di dalam kuil tua. Setelah semua hadir, pertemuan itu dibuka oleh Lauw-pangcu yang membicarakan tentang usaha perlawanan Raja Muda Bu Sam Kwi di wilayah barat untuk menentang pemerintah penjajah bangsa Mancu. Kemudian ia menceritakan pula malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang dan dengan suara pilu bercampur sesal hebat ia menambahkan.

   "Kalau saya merenungkan betapa malapetaka ini didatangkan oleh.... murid saya sendiri.... sungguh perih sekali perasaan hatiku...."

   Tak tertahankan lagi, Lauw-pangcu yang sudah tua ini menitikkan air mata. Ia merasa menyesal bukan main telah bertemu Sie Han dan mengambil anak itu sebagai murid. Lebih-lebih perih rasa hatinya betapa muridnya itu membawa datang Si Setan Botak, bahkan membawakan buntalan yang isinya lima buah kepala pembantu-pembantunya. Kenangan ini mendatangkan kemarahan luar biasa dan biarpun lukanya masih belum sembuh benar, ia menggerakkan tangan menghantam remuk sisa arca batu di sampingnya sambil berkata,

   "Selama hidup aku takkan melupakan murid murtad yang bernama Sie Han itu. Sekali waktu tentu akan kubalas dendam ini."

   Napasnya terengah dan ia menyambung.

   "Mohon bantuan para saudara untuk kelak menangkap murid ini dan menyerahkannya kepada saya."

   Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu muntahkan darah segar. Song Kai Sin, orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam, berkata tenang.

   "Lauw-pangcu, seorang gagah dapat menerima segala keadaan, betapapun buruknya, dengan penuh kesabaran dan ketenangan. Keluh-kesah dan kesedihan tiada gunanya, hanya akan melemahkan semangat dan badan."

   Kemudian ia bangkit berdiri, menghampiri Lauw-pangcu dan menggunakan dua jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung ketua Pek-lian Kai-pang yang akhirnya menjadi tenang kembali. Akan tetapi ucapan kakek ini telah membangkitkan amarah di hati para orang gagah yang hadir dan diam-diam mereka ini pun membenci Sie Han, apalagi Khu Cen Tiam dan Liem Sian dua orang murid Siauw-lim-pai itu yang menganggap bahwa hilangnya sumoi mereka adalah gara-gara murid murtad itu pula.

   Kalau murid murtad Lauw-pangcu tidak berkhianat, tentu Setan Botak tidak akan datang dan sumoi mereka tidak akan terculik. Para anggauta Ho-han-hwe itu lalu saling menceritakan hasil perjuangan mereka menentang penjajah dan mengatur siasat untuk melakukan gerakan-gerakan selanjutnya. Ada yang mengusulkan agar mereka itu menculik anak-anak para pembesar Mancu sehingga selain hal ini merupakan pukulan batin bagi para pembesar penjajah, juga dapat mereka pergunakan untuk membebaskan teman-teman seperjuangan yang ditawan. Usul ini diterima, bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki masing-masing berjanji untuk menculik anak pembesar yang paling tinggi kekuasaannya, kalau mungkin malah akan menculik putera Raja Mancu"

   Kesanggupan kedua orang sakti ini tentu saja disambut gembira. Di antara mereka yang hadir dan membicarakan semua rencana perlawanan dengan bermacam cara terhadap penjajah ini, hanya Siauw-lim Chit-kiam saja yang tidak mencampuri dan mereka tetap bersamadhi sambil melatih diri untuk menghadapi Setan Botak yang mereka tahu amatlah lihainya. Akan tetapi, sehari itu mereka menanti-nanti, Setan Botak belum juga tampak muncul. Menjelang senja, tiba-tiba dari luar menyambar sebatang piauw beronce merah ke arah Khu Cen Tiam. Pendekar Siauw-lim-pai ini cepat mengulurkan tangan dan menyambar piauw itu sambil berseru heran karena ia mengenal piauw ini sebagai senjata rahasia sumoinya. Juga Liem Sian mengenalnya, maka pendekar ke dua dari Kang-lam Sam-eng ini sudah melesat tubuhnya keluar dari kuil tua dan terdengar suaranya di luar kuil.
(Lanjut ke Jilid 05)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
"Sumoi....."

   Akan tetapi, tak lama kemudian Liem Sian kembali ke dalam kuil dengan wajah muram dan pandang mata heran.

   "Dia benar sumoi, akan tetapi sudah pergi jauh."

   Ucapan ini ia tujukan kepada suhengnya. Khu Cen Tiam menarik napas panjang.

   "Biarlah, memang dia tidak ingin datang ke sini, buktinya ini dia mengirim surat dengan piauwnya. Betapapun juga, dia selamat, sute, dan kita boleh bersyukur karenanya."

   Akan tetapi setelah Khu Cen Tiam membuka surat yang terikat pada piauw tadi, keningnya berkerut dan ia menoleh ke arah Siauw-lim Chit-kiam yang masih bersamadhi.

   "Susiok, teecu persilakan membaca surat sumoi,"

   Bisik Khu Cen Tiam kepada Song Kai Sin. Kakek ini membuka mata memandang, lalu dengan tenang mengulur tangan menerima surat dan dibacanya. Wajahnya masih tenang, namun pandang matanya mengandung sinar kilat, lalu menyerahkan surat itu kepada hwesio gendut di sebelahnya, orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam. Hwesio ini menerima surat, membaca dan bibirnya bergerak,

   "Omitohud....."

   Lalu menyerahkan surat itu kepada orang ke tiga. Sebentar saja surat itu beralih tangan dan Siauw-lim Chit-kiam sudah membaca semua. Yang terakhir dari ketujuh orang tokoh Siaiw-lim-pai ini adalah seorang kakek kurus bermuka merah. Setelah membaca surat itu, bibirnya mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan surat yang dikepalnya itu hancur menjadi bubuk ketika ia membuka kembali tangannya. Kemarahannya membuat kakek ini lupa diri dan kekuatan yang ia perlihatkan sungguh dahsyat. Mengepal hancur benda keras bukanlah hal yang amat mengagumkan, akan tetapi mengepal benda lemas seperti kertas sampai hancur membubuk, benar-benar tidaklah mudah dilakukan oleh sembarang ahli.

   "Chit-te (Adik ke Tujuh), simpan tenagamu untuk menghadapi lawan tangguh, bukan diumbar dan habis dihisap kemarahan,"

   Kata pula Song Kai Sin dengan nada menegur. Orang ke tujuh yang bernama Liong Ki Tek ini menghela napas panjang dan segera meramkan mata kembali. Apakah bunyi surat yang dikirim secara aneh oleh Bhok Khim itu? Bunyinya pendek saja namun isinya difahami oleh dua orang suhengnya dan tujuh orang susioknya.

   Kedua Suheng,
Perbuatan keji biadab Kang-thouw-kwi memaksa aku tidak ada muka untuk bertemu dengan orang lain, memaksa aku pergi mengurung diri ke dalam "kamar siksa diri"

   Di kuil. Kalau suheng berdua dapat menewaskannya, syukurlah. Kalau tidak, aku akan memperdalam ilmu dan kelak aku sendiri yang akan menghancurkan kepalanya.
Bhok Khim.

   Tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu diam-diam mengeluh dan menangis dalam hati. Mereka tahu bahwa murid wanita Siauw-lim-pai itu telah diperhina oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat dan mereka tahu bahwa mengurung diri ke dalam "kamar siksa diri"

   Merupakan perbuatan nekat seperti orang membunuh diri.

   "Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa dengan Kang-thouw-kwi....."

   Tiba-tiba Song Kai Sin berseru keras ke arah luar kuil. Semua orang terkejut dan ketika mereka memandang keluar, ternyata Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah tampak berdiri di luar kuil bersama dua orang lain yang kelihatan amat menarik karena perbedaan muka mereka.

   Yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam seperti pantat kwali, adapun yang seorang lagi bertubuh pendek kurus bermuka putih seperti kapur. Akan tetapi mereka yang mengenal dua orang ini maklum bahwa dua orang yang menemani Si Setan Botak ini bukanlah sembarang orang, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat terkenal, yaitu kakak beradik yang terkenal dengan julukan Hek-pek Giam-ong (Raja Maut Hitam Putih). Mereka ini adalah murid-murid Si Setan Botak. Masih ada seorang lagi murid Si Setan Botak, yaitu seorang murid wanita yang bernama Ma Su Nio, berjuluk Hiat-ciang Sian-li (Dewi Bertangan Darah) yang kabarnya malah lebih lihai daripada Hek-pek Giam-ong dan lebih kejam daripada gurunya. Akan tetapi iblis wanita itu tidak nampak hadir.

   "Hah-ha-ha-ha-ha."

   Terdengar Si Setan Botak tertawa, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya tertawa dengan nada mengejek. Yang membuka mulut bicara adalah Hek-giam-ong, muridnya yang bermuka hitam. Hek-giam-ong melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring sekali.

   "Bukankah Siauw-lim Chit-kiam murid-murid Ceng San Hwesio? Sejak kapankah murid-murid Ceng San Hwesio bersekutu dengan para pemberontak?"

   "Sejak iblis-iblis macam kalian membantu penjajah Mancu."

   Bentak Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang suaranya lebih menggeledek dari suara Si Muka Hitam.

   "Kalau kalian berani, masuklah ke dalam kuil, di sini lega dan memang sudah disediakan untuk kita bertanding mengadu ilmu."

   Tantangan Ban-kin Hek-gu Giam Ki ini bukan sekedar karena wataknya yang keras dan kasar, melainkan menurut rencana Ho-han-hwe untuk memancing musuh yang tangguh ke dalam kuil.

   "Hah-ha-ha-ha-ha."

   Si Setan Botak makin keras tertawa dan ia melangkah memasuki kuil, diikuti oleh dua orang muridnya yang kelihatan agak ragu-ragu. Hek-pek Giam-ong maklum betapa berbahaya memasuki "sarang"

   Musuh, akan tetapi karena di situ ada guru mereka, dan melihat guru mereka sudah memasuki kuil, tentu saja mereka berbesar hati dan melangkah masuk sambil mengangkat dada. Suara ketawa Si Setan Botak makin nyaring dan biarpun mereka bertiga sudah tiba di ruangan kuil yang luas, kakek botak ini masih tertawa terus,

   Makin lama makin keras dan terkejutlah mereka semua yang hadir karena tubuh mereka tergetar hebat oleh suara ketawa yang mengandung tenaga khi-kang amat luar biasa ini. Hanya mereka yang sudah tinggi tingkat sin-kangnya saja yang tidak terpengaruh, hanya tergetar dan masih mampu mengatasi getaran hebat ini. Siauw-lim Chit-kiam, kedua Kang-lam Sam-eng, Lauw-pangcu, Ban-kin Hek-gu dan It-ci Sin-mo yang masih dapat bertahan, sungguhpun mereka ini diam-diam harus mengerahkan sin-kang untuk melawan suara ketawa itu. Beberapa orang anggauta Ho-han-hwe juga masih mampu melawan sambil cepat duduk bersila, akan tetapi belasan orang lain yang tingkat tenaga sin-kang mereka masih kurang kuat, sudah terjungkal dan cepat-cepat merangkak lalu berlari menjauhi ruangan itu ke sebelah belakang kuil sambil menutupi telinga mereka.

   Kalau mereka tidak cepat pergi dan menutupi telinga, mereka akan mati oleh suara ketawa itu yang mengguncangkan jantung. Melihat ini, Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang berwatak keras berangasan menjadi marah sekali. Ia seorang ahli silat tinggi dan tentu saja maklum bahwa Setan Botak itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, mengerti bahwa orang yang telah pandai mempergunakan khi-kang dalam suaranya untuk menyerang lawan dengan Ilmu Ho-kang seperti auman suara harimau, adalah seorang sakti yang sukar dikalahkan. Akan tetapi, selain kasar dan keras, Ban-kin Hek-gu ini juga terkenal tidak pernah takut menghadapi siapapun juga. Dengan kemarahan memuncak, keberaniannya bertambah dan ia menerjang maju menyerang Si Setan Botak sambil berseru.

   "Setan Botak"

   Jangan menjual lagak di depan Ban-kin Hek-gu."

   Ban-kin Hek-gu bertenaga besar dan kini menyerang dengan penuh kemarahan, maka pukulan tangan kanannya yang dikepal mengarah kepala Kang-thouw-kwi Gak Liat amatlah dahsyatnya. Pukulan belum tiba anginnya sudah menyambar hebat. Akan tetapi kakek botak itu tenang-tenang saja, masih tertawa lebar sungguhpun sudah tidak mengeluarkan suara lagi. Setelah kepalan tangan yang besar itu menyambar dekat, hanya tinggal sepuluh sentimeter lagi dari dahinya, kakek ini mengangkat tangan kirinya dan menerima kepalan tangan Ban-kin Hek-gu dengan telapak tangan.

   "Plakkk."

   Si Kerbau Hitam itu terkejut bukan main karena merasa betapa telapak tangan Setan Botak itu lunak dan panas seperti air mendidih, di mana tenaganya sendiri seperti tenggelam. Cepat ia menarik tangannya, akan tetapi kepalan itu melekat pada telapak tangan Setan Botak yang tertawa-tawa. Ban-kin Hek-gu Giam Ki meronta-ronta dan rasa panas dari telapak tangan itu menerobos lengannya, membuat tubuhnya mandi keringat dan mukanya yang hitam berubah makin hitam.

   "Ha-ha-ha, siapa yang berlagak?"

   Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa.

   "Pergilah, kau tidak berharga untuk bertanding melawan aku."

   Sekali kakek botak itu mendorongkan lengannya, Ban-kin Hek-gu Giam Ki terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia memang bandel dan berani. Cepat ia meloncat bangun lagi dan memaki.

   "Siluman botak. Hayo bertanding menggunakan ilmu silat, jangan menggunakan ilmu siluman. Aku masih dapat berdiri, sebelum mati aku Giam Ki tidak sudi mengaku kalah terhadapmu."

   "Phuahhh, sombongnya."

   Hek-giam-ong yang juga bermuka hitam dan sama tinggi besarnya dengan Giam Ki sudah melompat maju dan bertolak pinggang.

   "Engkau ini berjuluk Kerbau Hitam, memang otakmu seperti otak kerbau. Suhuku telah berlaku lunak terhadapmu, akan tetapi kau masih banyak lagak. Kerbau macam engkau ini tidak perlu suhu melayaninya, cukup dengan aku yang akan mencabut nyawa kerbaumu."

   "Bagus! Memang hendak kubasmi sampai ke akar-akarnya, baik guru maupun murid harus dibasmi agar jangan mengotori dunia."

   Ban-kin Hek-gu Giam Ki sudah menerjang maju dengan kepalannya yang besar. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding, sama tinggi besar dan karenanya suka mempergunakan tenaga kasar. Dengan ilmu Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) ditambah tenaganya yang besar, dia benar amat lihai. Melihat datangnya pukulan Giam Ki, ia tidak mengelak melainkan menangkis dengan lengannya.

   "Dukkk."

   Dua buah lengan yang besar dan kuat bertumbuk dan keduanya terpental ke belakang. Tenaga mereka seimbang, akan tetapi Hek-giam-ong menang dalam hal "isi"

   Lengannya yang mengandung hawa panas. Giam Ki merasa betapa lengannya panas akan tetapi ia maju terus dan ternyata bahwa gerakan tubuhnya lebih cepat daripada gerakan Hek-giam-ong. Dengan kemenangan ini ia bisa menutup kekalahannya dalam hal ilmu pukulan Hwi-ciang.

   Segera terdengar suara bak-bik-buk dan dak-duk-dak-duk ketika dua orang raksasa ini saling gebuk. Mereka ini selain bertenaga besar, juga memiliki kekebalan sehingga pukulan yang tidak tepat kenanya, tidak cukup merobohkan mereka. Akan tetapi terjadi perubahan aneh pada diri Ban-kin Hek-gu Ciam Ki sehingga membuat teman-temannya yang tentu saja menjagoinya menjadi heran dan juga gelisah. Kini raksasa tinggi besar hitam ini sering mempergunakan kedua tangannya bukan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menggaruk-garuk seluruh bagian tubuhnya. Karena diseling dengan garuk sana garuk sini, pertandingan menjadi kacau karena ternyata gerakan-gerakan menggaruk ini malah membingungkan Hek-giam-ong. Raja Maut Hitam ini sudah mengirim pukulan Toat-beng Hwi-ciang ke arah dada lawan.

   Ketika melihat tangan kiri Giam Ki bergerak menuju ke dada, Hek-giam-ong menarik kembali pukulannya karena takut lengannya dicengkeram. Akan tetapi ternyata bahwa Giam Ki menggerakkan tangan itu bukan untuk mencengkeram tangan lawan, melainkan untuk menggaruk-garuk keras dadanya. Kemudian Giam Ki berseru aneh dan membawa tangan kanannya ke atas seperti hendak menyerang dari bagian atas. Melihat ini, Hek-giam-ong cepat mengelak, akan tetapi kembali ia kecelik karena tangan kanan yang bergerak ke atas itu kini menggaruk-garuk kepala. Kejadian-kejadian ini aneh dan lucu sekali, juga menegangkan dan mendatangkan kekecewaan bagi para teman kedua pihak. Hek-giam-ong menjadi marah, merasa seolah-olah ia dipermainkan, maka ia menerjang lagi dengan gerakan dahsyat.

   Giam Ki yang diam-diam mengeluh di hatinya karena secara tiba-tiba tubuhnya diserang penyakit gatal yang tak tertahankan, cepat menangkis dan kembali pertemuan dua lengan yang kuat itu membuat mereka terpental mundur. Giam Ki meloncat maju lagi, kini menggerakkan tangan kiri ke atas. Hek-giam-ong meragu. Hendak memukul ataukah hendak garuk-garuk tangan itu? Akan tetapi ia tidak mau menanggung resiko dan cepat menggerakkan kedua tangan ke atas, maksudnya kalau lawan memukul benar-benar, ia akan menangkap lengan itu dan akan mematahkannya, kalau hanya garuk-garuk, ia akan mencengkeram kepala lawan. Dan ternyata tangan kiri Giam Ki itu kembali hanya menggaruk kepala, akan tetapi kepalan kanannya sudah menonjok ke depan. Gerakan ini sama sekali tidak tersangka oleh Hek-giam-ong sehingga dadanya tertonjok.

   "Bukkk."

   Tubuh Hek-giam-ong terjengkang dan bergulingan di atas tanah. Dadanya ampek, napasnya sesak dan setelah terbatuk-batuk, barulah ia meloncat bangun dan menghadapi lawannya dengan mata merah. Akan tetapi Giam Ki tidak peduli dan masih terus garuk-garuk.

   "Kau masih belum mampus?"

   Bentaknya dan kembali ia menerjang. Memang gerakan Giam Ki lebih cekatan daripada Hek-giam-ong. Kembali tangan Giam Ki diangkat ke atas. Hek-giam-ong mengejek dengan dengusan marah, ia tidak mau ditipu lagi dan tahu bahwa lawannya yang agaknya mempunyai penyakit kudis ini tentu mengangkat tangan untuk menggaruk kepala yang gatal. Maka ia pun tidak mau mengelak, bahkan cepat melangkah maju dan menonjok dada Giam Ki.

   "Bukkk, Desssss....."

   Dua tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki roboh kelenger (pingsan) karena tertonjok dadanya sehingga napasnya menjadi sesak, akan tetapi di lain pihak, Hek-giam-ong tadi pun kecelik karena sekali ini Giam Ki mengangkat tangan bukan untuk garuk-garuk lagi melainkan untuk memukul sehingga dalam saat yang bersamaan, Giam Ki berhasil menghantam pangkal leher Hek-giam-ong dengan tangan miring. Robohlah Hek-giam-ong dan tidak bergerak-gerak karena ia pun telah semaput (pingsan). Pek-giam-ong sudah menyambar tubuh kakaknya dan ia merasa lega bahwa kakaknya tidak terluka parah, hanya terguncang oleh kerasnya pukulan. Di lain pihak, para anggauta Ho-han-hwe telah mengangkat tubuh Ban-kin Hek-gu, dipimpin oleh Lauw-pangcu. Atas isyarat Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiang tubuh Giam Ki yang pingsan itu dibawa mendekat. Song Kai Sin cepat memeriksa dan ia menghela napas panjang.

   "Untung...."

   Kata tokoh Siauw-lim-pai ini.

   "Tadinya ia keracunan maka ketika bertanding terus diganggu rasa gatal-gatal di tubuhnya. Tentu ia terkena racun ketika beradu tangan dengan iblis tua itu. Baiknya, pukulan Hek-giam-ong tadi pun mengandung hawa panas dan pukulan ini malah membuyarkan pengaruh racun di tubuhnya sehingga nyawanya tertolong."

   Pek-giam-ong yang marah menyaksikan saudaranya terluka, kini melangkah maju dengan sikap menantang. Akan tetapi ia dibentak gurunya,

   "Mundurlah."

   Bagaikan seekor anjing dipecut, Pek-giam-ong mundur dan kembali ia merawat kakaknya. Kini Kang-thouw-kwi Gak Liat melangkah maju, menyapu semua anggauta Ho-han-hwe dengan pandang mata yang membuat mereka itu merasa seram, kemudian sambil tersenyum lebar Si Setan Botak ini berkata.

   "Aku sudah datang, siapa di antara anggauta Ho-han-hwe yang ternyata hanyalah segerombolan pemberontak ingin menyusul para anggauta Pek-lian Kai-pang?"

   Suaranya penuh ejekan, akan tetapi matanya menatap ke arah Siauw-lim Chit-kiam karena hanya tokoh-tokoh Siauw-lim-pai ini sajalah yang dipandang cukup berharga untuk menjadi lawannya. It-ci Sin-mo Tan Sun biarpun tubuhnya kecil namun hatinya besar. Ia maklum akan kelihaian kakek botak ini, namun ia merasa tidak puas kalau ia tidak turun tangan. Kalah atau mati sekalipun bukan apa-apa bagi seorang patriot, akan tetapi sungguh hina dan rendah kalau dianggap takut bertemu dengan lawan tangguh.

   "Kang-thouw-kwi! Engkau bukan saja seorang datuk hitam yang jahat, juga sekarang malah menjadi pengkhianat bangsa. Aku It-ci Sin-mo Tan Sun tidak takut kepadamu, jagalah seranganku ini."

   Gerakan It-ci Sin-mo Tan Sun cepat sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan Ban-kin Hek-gu Giam Ki. Tubuhnya melesat ke depan dan kedua tangannya digerakkan untuk menyerang dengan totokan-totokan maut. Si Setan Botak tertawa-tawa dan hanya tampak ia menggoyang-goyangkan tubuhnya akan tetapi aneh, semua totokan It-ci Sin-mo tidak ada satu pun yang menyentuh kulitnya.

   "Sut-sut-sut-cet-cet....."

   Cepat sekali It-ci Sin-mo Tan Sun melanjutkan totokan-totokannya secara bertubi-tubi, tubuhnya berloncatan mencari posisi yang baik.

   Namun, tak pernah ia mampu mengenai tubuh lawan biarpun kecepatan gerakannya membuat ia berada di belakang tubuh Si Setan Botak. Padahal Kang-thouw-kwi Gak Liat tak pernah mengubah kedudukan kedua kakinya, hanya tubuhnya saja yang bergoyang-goyang akan tetapi entah bagaimana semua serangan lawan tidak ada yang berhasil. Belasan orang anggauta Ho-han-hwe yang melihat betapa It-ci Sin-mo seperti dipermainkan, sudah bergerak mengurung hendak mengeroyok Si Setan Botak. Melihat ini, Pek-giam-ong berteriak keras dan tubuhnya menyambar ke depan, langsung ia menyerbu dan gegerlah tempat itu dengan jerit-jerit kesakitan dan robohnya beberapa orang anggauta Ho-han-hwe karena amukan Pek-giam-ong.

   "Krek-krekkk....."

   Setan Botak menggerakkan kedua tangan menampar lengan lawan dan tubuh It-ci Sin-mo Tan Sun terlempar, kedua tengannya tergantung lumpuh karena tulang-tulang lengannya telah patah-patah"

   "Huah-ha-ha-ha, Pek-giam-ong, pergilah dan bawa kakakmu pergi."

   Pek-giam-ong yang terkenal berwatak kejam seperti iblis itu kini merupakan seorang murid yang amat taat. Tanpa berani berlambat sedikit pun ia lalu meninggalkan para lawan yang tadi mengeroyoknya, menyambar tubuh kakaknya yang masih pingsan lalu sekali melompat ia lenyap dari tempat itu. Lauw-pangcu dan kedua orang saudara Kang-lam Sam-eng membiarkannya saja lewat, karena yang menjadi sasaran untuk dibinasakan adalah Si Setan Botak yang kini hanya seorang diri saja di dalam kuil.

   "Ha-ha-ha, Siauw-lim Chit-kiam, hanya kalianlah yang patut main-main denganku. Majulah."

   Lima orang anggauta Ho-han-hwe yang masih penasaran karena banyaknya kawan mereka yang roboh, masih mencoba untuk menyerang Si Setan Botak dengan senjata mereka, akan tetapi kini kakek botak itu berseru keras, kedua tangannya mendorong ke depan dan.... lima orang itu roboh dengan tubuh hangus dan mati seketika. Itulah kehebatan ilmu pukulan Hwi-yang-sin-ciang yang sengaja diperlihatkan oleh Kang-thouw-kwi untuk membikin gentar hati lawan. Memang semua anggauta Ho-han-hwe menjadi pucat wajahnya melihat kedahsyatan ilmu kepandaian kakek botak ini, akan tetapi melihat itu, Siauw-lim Chit-kiam bukannya menjadi gentar, sebaliknya malah menjadi marah sekali.

   "Kang-thouw-kwi, engkau telah berani menghina seorang murid Siauw-lim-pai. Hari ini kami Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa denganmu. Beranikah engkau menghadapi gabungan Siauw-lim Chit-kiam?"

   Kata Song Kai Sin dengan suara tenang namun sinar matanya membayangkan kemarahan.

   "Huah-ha-ha-ha. Siauw-lim Chit-kiam masih terlalu ringan, boleh ditambah guru kalian. Mana Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai? Boleh datang membantu kalian, aku masih akan kurang puas. Ha-ha."

   "Omitohud.... engkau benar-benar tokoh sesat yang sengsara, Gak-locianpwe,"

   Kata Lui Kong Hwesio orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam sambil menggeser duduknya, bersila di sebelah kiri Song Kai Sin.

   Kemudian secara berjajar, ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini duduk bersila, menurutkan urutan tingkat mereka. Dari kanan ke kiri mereka ini adalah Song Kai Sin, Lui Kong Hwesio, Ui Swan dan adiknya Ui Kiong, Lui Pek Hwesio, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek. Sebetulnya, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini merupakan orang-orang berilmu tinggi yang mempunyai keistimewaan masing-masing. Jika dinilai secara perseorangan, tingkat masing-masing masih lebih tinggi daripada tingkat Ban-kin Hek-gu Giam Ki atau bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun. Akan tetapi, sekali ini, menghadapi seorang di antara Lima Datuk Besar, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat yang amat terkenal di antara golongan sesat sebagai seorang yang memiliki kesaktian luar biasa,

   Ketujuh orang toakoh Siauw-lim-pai ini tidak berani berlaku sembrono, tidak berani memandang rendah dan karenanya mereka lalu bergabung untuk mengeluarkan ilmu gabungan mereka yang paling ampuh, yaitu Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang secara khusus digubah oleh Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai untuk diajarkan kepada tujuh orang muridnya. Chit-seng-sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bintang) ini dapat dimainkan secara perorangan dan sudah merupakan sebuah ilmu pedang yang ampuh, akan tetapi permainannya tidak akan menjadi lengkap dan utuh kalau tidak dimainkan secara bergabung oleh tujuh orang itu. Kalau dimainkan secara bergabung, maka Chit-seng-sin-kiam merupakan sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang sukar dilawan karena amat kuat.

   Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang dengan wajah berseri. Sudah lama ia mendengar akan ciptaan ilmu pedang ketua Siauw-lim-pai ini yang disarikan dari inti ilmu kepandaian Ceng San Hwesio. Kini ia berhadapan dengan kiam-tin ini, berarti bahwa ia berhadapan dengan Ceng San Hwesio, yang sejak dahulu merupakan lawan seimbang darinya. Kalau ia bisa menangkan kiam-tin ini, berarti ia akan dapat menangkan Ceng San Hwesio pula. Ia melihat betapa tujuh orang murid Siauw-lim-pai itu sudah duduk bersila dengan pedang di tangan kanan, pandang mata lurus ke depan menatapnya. Bahkan tujuh pasang mata itu seolah-olah bersatu ketika memandangnya, menimbulkan wibawa yang kuat sekali.

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku sudah lama ingin melihat sampai di mana lihainya Chit-seng-sin-kiam dari Ceng San Hwesio."

   Sambil tertawa, kakek botak ini lalu duduk bersila pula di depan ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai. Jarak di antara Setan Botak dan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu ada tiga meter jauhnya, dan kalau tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu semua bersenjatakan pedang pusaka, adalah Setan Botak ini sambil tersenyum menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong. Memang datuk hitam ini sombong, akan tetapi kesombongannya tidaklah kosong belaka.

   Ia memang amat sakti dan biarpun kakek botak ini menyimpan sebatang pedang lemas yang ia belitkan di pinggang sebelah dalam bajunya, namun tidak pernah orang melihat ia mempergunakan senjata dalam pertempuran. Hal ini berarti bahwa ia masih memandang rendah Siauw-lim Chit-kiam. Song Kai Sin dapat menduga sikap lawan, maka ia pun tidak mau banyak sungkan lagi. Kakek botak ini selain merupakan tokoh sesat yang amat jahat dan sudah sepatutnya dibasmi, juga telah menghina murid keponakan mereka, telah mencemarkannya dan berarti mencemarkan kehormatan Siauw-lim-pai pula. Oleh karena itu, Song Kai Sin dan adik-adik seperguruannya maklum bahwa sekali ini mereka akan bertanding mati-matian, bukan saja untuk melenyapkan seorang tokoh sesat yang jahat, juga untuk mempertabankan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai.

   "Sudah siapkah engkau, Kang-thouw-kwi?"

   "Ha-ha, sudah, sudah. Lekas keluarkan Chit-seng-sin-kiam itu."

   Jawab Si Botak sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang segera menjadi kemerahan.

   "Lihat pedang."

   Song Kai Sin berseru dan pedang di tangannya itu ia tusukan ke depan. Menurut pendapat dan pandangan umum, biarpun lengan dilonjorkan ditambah panjangnya pedang, masih belum dapat melewati jarak tiga meter itu. Akan tetapi tanpa dapat dilihat mata, dari ujung pedang itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat sehingga selain tampak sinar pedang yang keemasan juga terdengar suara mencicit yang aneh. Kang-thouw-kwi mengangkat lengan kirinya dan menggetarkan jari tangannya. Tentu saja tangannya tidak menyentuh pedang yang dipegang Song Kai Sin, akan tetapi jelas tampak betapa pedang itu terpental dan lengan tangan orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam itu tergetar"

   Melihat kehebatan tenaga sin-kang yang amat panas dari tangan Setan Botak, tokoh Siauw-lim-pai yang lainnya maklum bahwa mereka harus maju bersama. Maka serentak pedang-pedang mereka bergerak, ada yang membacok, ada yang menusuk, ada pula yang membabat. Tampak sinar pedang berkelebatan menyilaukan mata, pantulan cahayanya gemerlapan di dinding ruangan yang luas itu. Apalagi setelah beberapa orang anggauta Ho-han-hwe tadi menyalakan belasan batang lilin dan menaruh lilin-lilin itu di atas lantai di kanan kiri ruangan, maka sinar-sinar pedang itu menjadi amat indahnya. Tanpa terasa, senja telah berganti malam dan kini para anggauta Ho-han-hwe menonton pertandingan yang amat aneh dan yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya. Betapa mereka tidak akan terheran-heran dan bengong menyaksikan pertandingan itu?

   Baik ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu maupun Setan Botak, hanya duduk berhadapan, bersila di atas lantai dan jarak antara mereka terlampau jauh sehingga mereka itu tidak dapat saling menyentuh. Akan tetapi, kini mereka "bertanding"

   Dan tujuh orang itu mengeroyok Si Setan Botak dengan serangan-serangan pedang yang berubah menjadi sinar-sinar gemerlapan. Sebaliknya, Setan Botak menggerak-gerakkan kedua lengannya, kadang-kadang menangkis, ada kalanya mencengkeram dan mendorong, bahkan balas memukul tanpa menyentuh pedang dan tubuh para pengeroyoknya. Kedua tangannya kini selain berwarna merah seperti api membara, juga mengepulkan uap putih seperti asap panas. Kalau dilihat begitu saja, seolah-olah Si Setan Botak dan ketujuh Siauw-lim Chit-kiam sedang bermain-main.

   Mereka tidak saling sentuh, namun mereka bergerak dengan sungguh-sungguh dan ruangan itu kini seperti dihujani sinar-sinar gemerlapan dan udara menjadi sebentar panas sebentar dingin. Hanya beberapa orang saja di antara mereka, yaitu Lauw-pangcu, kedua Kang-lam Sam-eng, Ban-kin Hek-gu yang sudah sadar dari pingsannya, dan It-ci Sin-mo yang maklum apa yang sedang terjadi dan mereka memandang dengan hati penuh ketegangan. Mereka ini mengerti bahwa Siauw-lim Chit-kiam sedang bertanding melawan Si Setan Botak mengadu ilmu pedang yang digerakkan oleh tenaga sin-kang tingkat tertinggi. Mengerti pula betapa selain sinar-sinar gemerlapan itu mengandung hawa maut, juga gerakan tangan Setan Botak itu mengandung hawa pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.

   Akan tetapi mereka yang tidak mengerti cara pertandingan seperti ini, menjadi amat penasaran. Si Setan Botak dan kedua muridnya telah menyebar maut, kini Setan Botak itu hanya duduk bersila dan menggerak-gerakkan kedua tangan. Bukankah ini membuka kesempatan baik untuk membinasakannya? Mereka yang merasa amat benci kepada Setan Botak ini yang sudah membasmi Pek-lian Kai-pang dan menewaskan lima puluh orang lebih anggauta perkumpulan itu yang merupakan kawan-kawan seperjuangan mereka, kini ingin membalas dendam. Tujuh orang anggauta Ho-han-hwe setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata dan diam-diam mengambil jalan memutar, serentak maju menerjang tubuh kakek botak yang bersila itu dari belakang. Mereka bertujuh menggunakan senjata dan menyerang secara berbareng.

   "Celaka....."

   It-ci Sin-mo Tan Sun berseru. Juga teman-temannya yang tahu akan bahaya mengancam, berseru kaget namun sudah tidak keburu mencegah. Segera terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang anggauta Ho-han-hwe itu yang roboh tewas dengan tubuh tersayat-sayat dan ada pula yang roboh dengan tubuh hangus. Mereka tadi seperti sekumpulan nyamuk yang menerjang api, tidak tahu bahwa udara di sekitar arena pertandingan aneh itu penuh dengan berkelebatnya sinar pedang yang tajam dan hawa pukulan yang mengandung panasnya api.

   Sebelum mereka dapat menyentuh tubuh Si Setan Botak, tubuh mereka lebih dulu sudah dihujani sinar pedang yang menyambar-nyambar dan hawa pukulan yang membakar. Melihat ini, Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiam berseru keras. Mereka bertujuh tadi terdesak hebat oleh Setan Botak yang benar-benar amat tangguh dan lihai sekali. Karena mereka melakukan pengeroyokan secara bertubi, maka setiap orang dari mereka mengadu tenaga dengan Kang-thouw-kwi dan ternyata bahwa mereka kalah kuat jauh sekali. Karena itu, gerakan pedang mereka makin lama makin lemah dan terdesak sehingga ketika tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi maju, biarpun mereka tahu akan bahayanya, mereka tidak keburu menarik sinar pedang dan sinar pedang mereka itu ada yang mengenai tubuh para penyerbu.

   Maka begitu Song Kai Sin berseru keras, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam lalu menggunakan siasat terakhir. Dengan tangan kiri mereka menyentuh punggung kawan yang bersila di sebelah kiri, tangan kanan memegang pedang dan kini mereka telah menyatukan tenaga. Getaran sin-kang mereka bersatu dan karenanya gerakan pedang mereka pun sama, hanya merupakan satu serangan saja, akan tetapi yang mengandung tenaga tujuh kali lipat kuat daripada tenaga perorangan. Ketika Si Setan Botak menangkis dengan dorongan Hwi-yang-sin-ciang, menghalau sinar pedang yang amat besar dan kuat yang menyambarnya, ia mengeluarkan seruan marah dan kaget. Ia berhasil menghalau sinar pedang itu, akan tetapi telapak tangan kirinya robek sedikit dan mengeluarkan darah"

   "Keparat! Kalian sudah bosan hidup."

   Bentaknya dan kini Si Setan Botak menggunakan kedua tangannya menahan.

   Hebat bukan main adu tenaga sakti ini. Tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang menyentuh punggung dan menyalurkan tenaga disatukan dengan teman-teman seperguruan, sehingga tenaga mereka menjadi satu, kini menghadapi dorongan kedua tangan Setan Botak dan terjadilah adu tenaga, keras lawan keras. Mereka tidak bergerak-gerak lagi, pedang mereka menuding ke satu jurusan, yaitu ke arah Kang-thouw-kwi yang sebaliknya mengulur kedua lengan ke depan, dengan kedua telapak tangan mendorong ke arah tujuh orang pengeroyoknya. Wajah Siauw-lim Chit-kiam pucat dan penuh keringat, di lain pihak, wajah Kang-thouw-kwi menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan uap panas. Dorong-mendorong terjadi, akan tetapi sedikit demi sedikit keadaan Siauw-lim Chit-kiam terdesak.

   Lauw-pangcu yang melihat keadaan tidak menguntungkan ini lalu mendekati Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka bertiga ini sudah terluka, tentu saja tidak berani membantu. Andaikata mereka tidak terluka sekalipun, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk mencampuri pertandingan tingkat tinggi itu. Mereka berbisik-bisik dan akhirnya mengambil keputusan untuk menjalankan siasat yang telah mereka atur sebelumnya, yaitu hendak membakar kuil itu selagi Si Setan Botak terikat dalam pertandingan mati-matian melawan Siauw-lim Chit-kiam. Memang siasat ini kalau dijalankan berarti akan membahayakan keselamatan Siauw-lim Chit-kiam sendiri, namun memang telah mereka sepakati sebelumnya bahwa untuk membasmi Si Setan Botak, Siauw-lim Chit-kiam bersedia untuk mergorbankan nyawa.

   Dengan isyarat Lauw-pangcu, mereka semua mengundurkan diri dan mulailah mereka membakar kuil itu dari luar. Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang membantu pekerjaan ini mengucurkan air mata, karena maklum bahwa nyawa ketujuh orang susiok (paman guru) mereka terancam maut bersama nyawa Setan Botak. Para anggauta Ho-han-hwe demikian sibuknya dengan pekerjaan menuangkan minyak dan membakar kuil sehingga mereka tidak tahu betapa di antara kegelapan malam itu, sesosok tubuh kecil menyelinap memasuki kuil melalui bagian yang belum terbakar. Tubuh cilik ini bukan lain adalah Lauw Sin Lian, gadis cilik puteri Lauw-pangcu. Sin Lian tadinya dititipkan kepada seorang sahabatnya oleh Lauw-pangcu. Akan tetapi, anak perempuan ini diam-diam merasa tidak senang.

   Ia tahu bahwa ayahnya dan teman-teman ayahnya sedang berusaha membalas dendam atas kematian semua anggauta Pek-lian Kai-pang. Dia ingin sekali menonton, bahkan kalau mungkin ingin sekali membantu. Selain itu, juga anak ini amat mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, maka diam-diam ia minggat keluar dari rumah sahabat ayahnya itu dan berlari menyusul ayahnya. Bocah ini amat cerdik dan ia menduga bahwa Ho-han-hwe pasti diadakan di kuil tua yang sudah tak terpakai di luar kota. Tanpa ragu-ragu ia langsung lari menuju ke kuil itu dan malam telah tiba ketika ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Karena melihat banyak orang sibuk membakar kuil, hatinya makin gelisah. Ia tidak melihat ayahnya, dan untuk bertanya ia tidak berani, takut mendapat marah. Maka ia lalu menyelinap dan berhasil memasuki kuil dari bagian yang gelap dan yang belum dicium api.

   Ruangan dalam kuil kosong itu mulai berasap. Di antara asap tipis, Sin Lian melihat musuh besar ayahnya, Setan Botak, duduk bersila membelakanginya, tak bergerak seperti sebuah arca batu yang menyeramkan, dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan dan telapak tangan dibuka ke arah tujuh orang laki-laki yang bersikap keren dan yang kesemuanya memegang pedang. Juga tujuh orang itu diam tak bergerak seperti arca, akan tetapi muka mereka pucat dan penuh peluh, bahkan tubuh mereka, terutama tangan yang memegang pedang, mulai gemetar. Melihat musuh besar itu, Sin Lian menjadi marah. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan tujuh orang berpedang itu dengan musuhnya, akan tetapi melihat musuhnya duduk membelakanginya, diam seperti arca, ia melihat kesempatan baik untuk menyerang. Berindap-indap Sin Lian menghampiri kakek itu, setelah dekat ia lalu menerjang maju, memukul tengkuk.

   "Dukkk....."

   Sin Lian terjengkang dan terbanting keras. Kepalanya menjadi pening, tangannya sakit, akan tetapi ia bandel, terus melompat bangun dan siap menyerang lagi. Ia tadi merasa betapa tengkuk kakek botak itu keras seperti baja, dan amat panas seperti baja dibakar. Ia tidak tahu betapa tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam memandang kepadanya dengan heran dan juga khawatir. Memang bocah ini masih baik nasibnya, tidak seperti tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi yang tewas secara konyol. Kalau Siauw-lim Chit-kiam dan Setan Botak sedang bertanding seperti tadi, serang-menyerang antar sinar pedang yang digerakkan sin-kang dan pukulan jarak jauh Hwi-yang-sin-ciang yang amat dahsyat, tentu sebelum menyentuh tubuh Setan Botak, Sin Lian telah roboh tewas,

   Kalau tidak hangus karena Hwi-yang-sin-ciang, tentu tersayat-sayat oleh sinar pedang Chit-seng-sin-kiam. Akan tetapi kebetulan sekali pada saat itu, kedua pihak sedang mengadu tenaga sehingga kedua pihak seolah-olah saling menempel, saling mendorong dan tidak bergerak ke mana-mana. Inilah sebabnya mengapa ketika Sin Lian memukul, ia tidak terkena pengaruh Hwi-yang-sin-ciang, melainkan terbanting roboh karena kekebalan tubuh kakek botak itu. Betapapun juga, karena berani memukul Kang-thouw-kwi, tentu saja nyawa anak ini berada dalam cengkeraman maut. Sekali saja Kang-thouw-kwi bergerak, tentu bocah itu takkan dapat tertolong lagi nyawanya. Hal inilah yang membuat Siauw-lim Chit-kiam menjadi gelisah. Keadaan mereka sendiri terancam maut dan sedang terdesak hebat, bagaimana mereka akan dapat menolong bocah ini?

   Mereka tadinya tidak mengharapkan dapat keluar sebagai pemenang karena makin lama, tenaga Setan Botak itu makin hebat, hawa di situ makin panas sebagai bukti bahwa Hwi-yang-sin-ciang makin unggul. Akan tetapi mereka merasa lega bahwa para anggauta Ho-han-hwe sudah mulai bergerak membakar kuil. Mereka akan mati dengan lega karena merasa yakin bahwa Si Setan Botak juga akan mati terbakar hidup-hidup. Kang-thouw-kwi Gak Liat maklum akan gangguan seorang anak perempuan di belakangnya. Akan tetapi ia tidak peduli, karena kalau ia membagi perhatian, apalagi membagi tenaga, ia akan celaka. Menghadapi persatuan Siauw-lim Chit-kiam ini ia merasa bahwa amat sukar mencapai kemenangan dan hanya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya saja ia akan dapat menang. Akan tetapi kini kuil mulai terbakar dan tahulah ia bahwa keadaannya berada dalam bahaya pula.

   Kalau saja tidak ada gangguan ini, tentu ia akan dapat segera merobohkan Siauw-lim Chit-kiam dan masih ada kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dalam usahanya untuk segera dapat merobohkan tujuh orang pengeroyok yang berilmu tinggi itu, Kang-thouw-kwi Gak Liat tidak mempedulikan Sin Lian sama sekali, karena anak itu sama sekali tidak ada arti baginya. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaga, kedua lengannya menggigil dan lengan yang diluruskan ke depan itu menjadi makin panas. Kekuatan mukjizat yang amat dahsyat kini menerjang maju bagaikan hembusan angin badai yang panas ke arah Siauw-lim Chit-kiam. Getaran gelombang tenaga sakti ini segera terasa oleh Siauw-lim Chit-kiam dan betapa pun mereka ini menggerakkan tenaga mempertahankan diri, tetap saja tangan mereka yang menudingkan pedang gemetar keras.

   "Werrrrr.... cringgg.... krak-krak....."

   Pertahanan Siauw-lim Chit-kiam menjadi berantakan ketika dua batang pedang di tangan Ui Swan dan Ui Kiong, dua orang di antara mereka, patah dan terlepas dari tangan mereka, yang menjadi pucat wajahnya.

   Melihat betapa orang ke tiga dan ke empat dari Siauw-lim Chit-kiam ini kehilangan pedang yang tadi bergetar keras lalu patah-patah, lima orang tokoh Siauw-lim itu mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan gelombang tenaga hebat yang menekannya, namun kini mereka jauh kalah kuat setelah tenaga mereka berkurang dua orang. Pedang mereka mulai tergetar hebat, muka mereka pucat dan napas terengah. Ui Swan dan Ui Kiong yang sudah bertangan kosong, tentu saja tidak dapat berdiam diri begitu saja menyaksikan keadaan saudara-saudaranya terdesak, mereka ini lalu menggunakan tangan kanan yang kosong untuk mendorong ke depan dengan pukulan jarak jauh, sedangkan tangan kiri masih menempel punggung saudara yang berada di sebelahnya seperti tadi.

   Akan tetapi dengan pedang di tangan saja mereka tadi tidak dapat bertahan, apalagi bertangan kosong. Begitu mereka mendorong dengan tangan, telapak tangan mereka bertemu dengan hawa panas yang menyusup kuat, terus menyerang isi dada. Kedua kakak beradik Ui ini mengeluh perlahan dan tubuh mereka rebah miring. Melihat ini, lima orang Siauw-lim Chit-kiam menjadi terkejut. Tahulah mereka bahwa mereka akan roboh semua, namun mereka berkeras untuk mempertahankan diri sampai api menjilat tempat itu agar musuh mereka yang amat tangguh itu mati pula terbakar. Pada seat mereka terhimpit dan terancam hebat itu, tiba-tiba Kang-thouw-kwi Gak Liat berteriak marah den bajunya sudah termakan api. Bagaimanakah baju Setan Botak ini dapat terbakar padahal api kebakaran kuil itu belum menjilat ke situ?

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 10 Istana Pulau Es Eps 8 Istana Pulau Es Eps 32

Cari Blog Ini