Pendekar Super Sakti 8
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Han Han tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung sebelah selatan. Akan tetapi Han Han menolaknya dan seorang diri ia turun dari puncak menuju ke utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan hampir setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti pakaian seorang pengemis. Akan tetapi kali ini pakaiannya indah dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan diikat di atas kepala. Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan kekuatan. Han Han kelihatan seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum-senyum.
Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan hatinya karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara. Ia melakukan perjalanan menuruni bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki bukit. Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Seperti juga kota-kota dan dusun lain pada hari itu, penduduk dusun itu merayakan hari raya Sin-cia dengan meriah. Apalagi dusun itu merupakan dusun kaum petani. Musim semi merupakan musim yang dinanti-nanti dan dicinta, karena musim ini menjadi harapan para petani agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah musim bercocok tanam, maka disambutlah musim semi sebagai menyambut seorang dewa yang membagi-bagikan rejeki kepada mereka.
Menyaksikan kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali. Wajah semua orang nampak berseri, terutama sekali anak-anak berpakaian serba baru kelihatan riang gembira, berlari-larian dan bermain-main setelah perut mereka terisi kenyang dengan hidangan-hidangan istimewa, tangan mereka membawa main-mainan yang dihadiahkan oleh orang tua mereka. Akan tetapi betapa heran hati Han Han ketika ia melalui sebuah rumah gedung yang berpekarangan lebar, ia mendengar suara anak perempuan menangis. Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan suara laki-laki kasar dan parau. Saking herannya, apalagi karena hatinya tergerak penuh rasa iba kepada anak yang menangis,
Han Han lupa diri dan memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan biasa, ia tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki tempat kediaman orang tanpa ijin. Begitu memasuki pintu gerbang, alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik, paling banyak sepuluh tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan, sedang berdiri dan menangis, menyusuti air mata yang membasahi kedua pipi yang pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor. Seorang laki-laki yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat atau seorang tukang pukul, berdiri dengan muka merah di atas anak tangga, tangan kanan bertolak pinggang di atas sebatang golok besar yang tergantung di pinggang, tangan kiri menuding-nuding dengan marahnya sambil membentak-bentak.
"Maling cilik, Bocah hina. Kalau tidak lekas minggat, kuhancurkan kepalamu."
Anak itu menggigil seluruh tubuhnya.
"Aku.... tidak mencuri apa-apa...."
"Tidak mencuri, ya? Kau hendak maling buah dan bunga, masih berani bilang tidak mencuri? Mau apa kau memanjat pohon ang-co (korma) tadi?"
"Aku.... aku ingin makan buahnya.... dan ingin memetik sedikit bunga, masa tidak boleh?"
"Setan alas! Masih banyak membantah?"
Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak perempuan itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak itu terangkat ke atas. Anak itu terbelalak ketakutan memandang wajah yang begitu bengis menakutkan, yang amat dekat dengan mukanya. Mata anak perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan tubuhnya kurus, mata itu kelihatan makin lebar. Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai.
"Eh, engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus putih..... Hemmm, sayang engkau masih begini kecil, dan kurus...."
Kini tangan kanan laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang tergantung itu secara kurang ajar.
"Ah, masih terlalu kecil.... kalau kau lebih besar dua tahun lagi, hemmm.... hebat juga....."
"Lepaskan aku...., Lepaskan....."
Anak itu meronta-ronta.
"Ha-ha, tentu saja kulepaskan kau. Minggat."
Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu ke arah pintu gerbang. Han Han cepat menggerakkan tubuh dan menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh anak perempuan yang menggigil ketakutan dan menangis itu, kemudian melangkah maju sambil memandang laki-laki yang kejam tadi dengan sinar mata penuh kebencian.
"Kau manusia berhati keji, pengecut rendah yang hanya berani menghina anak perempuan kecil."
Han Han memaki. Laki-laki itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat tubuh anak perempuan itu tahu-tahu disambar oleh seorang pemuda tanggung. Melihat pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja sebagai pengawal dan tukang pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah putera seorang berpangkat atau hartawan, maka ia berkata.
"Kongcu siapakah dan hendak mencari siapa? Harap jangan pedulikan gembel busuk ini."
"Keparat"
Hayo lekas berlutut dan mohon ampun kepadanya."
Han Han menuding ke arah anak itu. Merah muka si tukang pukul.
"Apa? Engkau siapa?"
"Aku seorang pelancong yang kebetulan lewat dan menjadi saksi kekejamanmu."
"Wah-wah, lagaknya. Habis, kau mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?"
Tukang pukul itu mengejek dan berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang rendah pemuda tanggung yang kelihatan lemah ini.
"Kalau tidak mau, aku akan memaksamu."
"Ha-ha-ha, Engkau bosan hidup? Baik, mampuslah."
Tukang pukul yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya ini sudah menerjang maju dengan sebuah tendangan kilat ke arah dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han Han tidak menjadi gugup. Ia mengatur langkah, menggerakkan tubuhnya miring mengelak dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ia hantamkan ke arah kaki yang menendang.
"Krakkk...., Aauggghhh....."
Tubuh laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang betisnya telah patah.
"Tidak lekas minta ampun?"
Han Han membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki itu baginya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka brewok, dan anak perempuan itu mengingatkan ia akan cicinya dan juga ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi.
"Setan kecil."
Tukang pukul itu tentu saja tidak mau terima dan biarpun kakinya terasa nyeri, ia sudah meloncat bangun, golok besar terpegang di tangannya. Sambil menggereng seperti harimau terluka ia meloncat terpincang-pincang, menggunakan goloknya membacok. Biarpun dia pandai ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah ilmu silat tukang pukul rendahan, sedangkan Han Han biarpun tidak pandai silat namun dia telah dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Dengan mudah Han Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah, tangan kanannya memukul ke arah kepala orang itu.
"Prokkk....."
Tubuh orang itu terbanting, goloknya terlempar dan kepalanya pecah. Di luar kesadarannya, Han Han yang amat marah itu telah menggunakan tenaga yang timbul karena latihan Hwi-yang Sin-ciang. Dia terbelalak dengan muka pucat, sejenak seperti arca memandang ke arah mayat orang itu yang menggeletak dengan kepala pecah, muka penuh darah, amat mengerikan. Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia menoleh dan melihat betapa anak perempuan gembel itu menangis, menggosok-gosok kedua matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan yang menimbulkan takut di hatinya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh orang, dan tentu akan berakibat hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak perempuan itu, menyambar tangannya dan diajaknya anak itu berlari.
"Hayo kita cepat pergi dari sini."
Bisiknya Berlari-larianlah kedua orang ansk itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang berpesta-ria merayakan hari Sin-ciag tidak ada yang mempedulikan mereka karena memang dalam suasana pesta seperti itu, tidak mengherankan melihat dua orang anak itu berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua orang anak yang sedang bergembira dan bermain-main. Keganjilan melihat seorang anak laki-laki berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti anak gembel, tidak terasa pada saat itu.
"Aduhhh.... aduhhh.... kakiku.... aahhh, berhenti dulu.... napasku mau putus....."
Anak perempuan gembel itu menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa diri dan mempergunakan ilmu lari cepat. Mereka telah tiba jauh di luar dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan tangan anak itu. Anak perempuan itu lalu menjatuhkan diri saking lelahnya, duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil menangis. Han Han berdiri memandangnya.
"Engkau bocah cengeng benar."
Katanya dengan suara gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa iba terhadap anak ini. Teringat ia akan keadaannya sendiri dahulu, yang menjadi seorang gembel berkeliaran tanpa teman. Anak perempuan itu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar dan jeli, memandang dengan sinar mata polos ke wajah Han Han, air matanya menetes turun ke atas pipi, kemudian terdengar ia berkata,
"Apakah engkau juga akan membunuhku?"
Melihat sepasang mata itu, seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah dan sikap serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya yang gembel, tapi anaknya sendiri tidak patut menjadi gembel. Han Han segera ikut pula duduk di atas rumput dekat anak itu.
"Tentu saja tidak. kau ini siapa? Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran di dusun itu dalam keadaan seperti anak gembel?"
Mendengar pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini menangis sesenggukan. Han Han menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak ini perengek benar, akan tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat pahit dalam hidupnya, ia dapat memaklumi keadaan anak ini dan bersikap sabar. Ia membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah tangis itu agak reda, ia berkata.
"Sudahlah, jangan bersedih. Engkau hidup sebatangkara, bukan? Kehilangan keluargamu?"
Anak itu mengangguk, pundaknya bergoyang-goyang karena isaknya.
"Nah, aku pun sebatangkara, aku pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau menjadi adikku, dan aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan seorang saudara, bukan?"
Anak perempuan itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata merah dan muka basah. Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak menyelidiki kesungguhan hati Han Han dengan sinar matanya yang bening. Han Han tersenyum.
"Maukah engkau menjadi Adikku?"
Anak itu mengangguk perlahan, kemudian tersenyum pula, senyum di antara isak tangis. Dan hati Han Han makin suka kepada anak ini. Tidak hanya sepasang matanya yang indah bening dan lebar, juga senyumnya membuat sinar matahari menjadi makin cerah.
"Engkau menjadi Adikku dan kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han Han, she Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapakah namamu dan bagaimana kau sampai sebatangkara dan tiba di tempat ini?"
Sejenak anak itu memandang Han Han dengan mata terbuka lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk dan merangkul Han Han, menangis di atas dada Han Han. Kali ini ia menangis keras, sampai tersedu-sedu. Dan mulut yang kecil itu berbisik, setengah mengerang atau merintih.
"Koko.... Han-ko (Kakak Han).... Koko....."
Han Han menjadi terharu. Ia mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang menangis karena mendapat hiburan yang amat mendalam, menyentuh hatinya seolah-olah anak yang tadinya terombang-ambing dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan ketakutan dan kengerian selalu, tiba-tiba mendapatkan pegangan yang dapat dijadikan penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han mengedip-ngedipkan kedua matanya agar matanya yang mulai menjadi panas tidak sampai menjatuhkan air mata. Setelah tangis anak itu mereda, ia lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari dadanya, memandangnya dan berkata.
"Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa namamu?"
"Lulu...."
Han Han tercengang.
"Eh, namamu lucu sekali. Lulu? Ayahmu she apa?"
"Ayahku seorang pembesar Mancu di kota raja...."
"Haaahhh....?"
Han Han benar-benar merasa kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak pembesar Mancu?
"Ayahmu seorang perwira Mancu?"
Tanyanya seperti dalam mimpi dan terbayanglah wajah perwira muka kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan dingin. Kedua tangannya yang masih memegang pundak Lulu mencengkeram. Lulu terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu erat, namun cukup menyakitkan.
"Ada apakah, Han-ko....?"
Akan tetapi Han Han sudah mendorong tubuh anak itu sehingga terjengkang dan bergulingan. Anehnya, sekali ini Lulu malah tidak menangis, melainkan merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han dengan matanya yang lebar itu terbelalak.
"Ko-ko, engkau kenapa?"
"Aku benci orang Mancu."
Bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu karena sesungguhnya hatinya penuh penyesalan mengapa ia telah memperlakukan Lulu seperti itu. Melihat sepasang mata itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan tubuh. Lulu lari menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan polos itu menjelajahi wajah Han Han penuh pertanyaan.
"Kenapa, Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau begitu baik...."
"Benci, ya, benci. Aku benci semua orang Mancu."
"Tapi, kenapa....? Tentu ada alasannya. Apakah engkau.... pemberontak?"
Kalau bukan Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi bicara lebih banyak lagi. Akan tetapi pandang mata itu seperti mengikutinya, membuat ia tidak dapat pergi, bahkan kini ia menjawab sebagai penjelasan sikapnya.
"Orang tuaku dibunuh, keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu. Maka aku benci orang Mancu."
"Membenci aku juga?"
"Kalau kau orang Mancu, ya."
"Tapi aku Adikmu."
"Aku tidak sudi mempunyai Adik seorang Mancu."
Tiba-tiba Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia tidak menangis, tapi muka pucat sekali dan Lulu berkata dengan suara gemetar.
"Han-ko, jangan.... jangan membenci aku. Aku Adikmu.... jangan membenci aku. Aku Adikmu...., dan aku, akupun sebatangkara. Ayah bundaku, biarpun orang-orang Mancu, mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh orang, keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya dengan maksud agar aku menderita, agar aku menjadi seorang gembel. Malah pakaianku ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian gembel.... Yang melakukan pembasmian keluargaku adalah pemberontak-pemberontak, para pengemis pemberontak, dan dan.... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi.... aku tidak membenci semua orang pribumi, tidak membenci engkau, Koko."
Han Man tertegun mendengar ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan ia percaya. Kenyataan bahwa gadis cilik yang dibasmi keluarganya ini tidak membenci semua orang yang sebangsa dengan mereka yang membasmi keluarganya, menusuk perasaannya. Memang sungguh tidak adil kalau dia membenci semua orang Mancu, apalagi gadis cilik ini yang tidak tahu apa-apa. Mereka berdua hanyalah menjadi korban perang yang kejam dan jahat.
"Maafkan aku, Moi-moi...."
Ia berkata dan menarik bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han Han. Mereka berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajaknya melanjutkan perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena andaikata orang telah mendapatkan mayat si tukang pukul, siapa yang akan menyangka seorang anak kecil seperti dia yang telah membunuhnya?
"Lulu-moi, kau bilang tadi bahwa pembasmi keluargamu adalah kaum pengemis?"
Lulu mengangguk sambil berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan tangan, atau lebih tepat Lulu yang selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya ini.
"Ayah sedang berangkat ke selatan untuk menempati tugas baru di selatan, sekalian memboyong keluarganya, yaitu ibu, dua orang Kakakku, aku sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan kami dihadang oleh sekelompok pengemis, terjadi perang dan rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku seorang yang tidak dibunuh, melainkan ditukar pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh pergi. Para pemberontak itu lihai sekali, semua pengawal Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang gembel tua yang membawa tongkat butut, tinggi kurus dan rambutnya riap-riapan. Dialah yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia pulalah yang melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah bunda dan Kakakku, aku tidak akan lupa kepadanya, dan sekali waktu aku pasti akan membalas semua ini. Aku tidak akan melupakan kakek gembel yang disebut Lauw-pangcu itu."
Tiba-tiba kaki Han Han tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan, terhuyung hampir jatuh.
"Hemmm...., dia....?"
Kata Han Han dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu.
"Mengapa? Kau kenal dia Koko?"
"Ya, begitulah."
"Kau hebat, kau lihai, dapat membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko. Maukah kau membalaskan sakit hatiku ini terhadap Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?"
"Ah, mudah saja kau bicara, Moi-moi. Untuk dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan kepandaian yang amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar sampai menjadi orang-orang pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam. Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke manapun aku pergi."
Lulu mempererat pegangannya, hatinya terhibur dan ia sudah tersenyum-senyum lagi, wajahnya yang manis berseri dan matanya yang lebar itu bersinar-sinar.
"Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau berpisah darimu."
Ucapan terakhir ini mengharukan hati Han Han. Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar otaknya. Tidak ada lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo, minta kepada gurunya itu untuk menerima Lulu menjadi murid. Hanya dengan jalan inilah adik angkatnya tidak akan berpisah darinya, dan Lulu akan dapat mempelajari ilmu yang tinggi.
"Sute....."
Han Han dan Lulu berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil Han Han dan anak perempuan ini datang berlari-lari cepat sekali sehingga Lulu memandang penuh kekaguman. Kim Cu memakai pakaian yanS indah, dan sebuah bungkusan menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu kemerahan karena ia telah berlarian cepat mengerahkan tenaga ketika dari jauh melihat bayangan Han Han.
"Wah, sute. Setengah mati aku mencarimu."
"Ada apakah, suci? Bukankah waktu libur masih sehari lagi sampai besok?"
"Ada perubahan, sute. Suhu sendiri yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua harus kembali sekarang juga karena suhu hendak pergi jauh, juga Sian-kouw akan pergi, karena itu kita harus berada di sana. Dan.... eh, siapakah dia ini?"
Agaknya karena ketegangan hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari, baru sekarang Kim Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga, seorang anak perempuan bermata lebar yang berdiri memandangnya penuh kagum dan heran.
"Aku hendak membawa dia menghadap suhu, agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san."
"Wah, agaknya tidak akan mudah, sute. Siapa sih anak ini?"
"Namanya Lulu, seorang bocah Mancu.... heee, tahan, suci....."
"Dukkk."
Tubuh Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu ditangkis oleh Han Han. Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot marah.
"Sute! Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi seorang setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan aku membunuh dia."
Kim Cu melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak ketakutan itu.
"Tidak, suci. Jangan! Dia ini bukan musuh kita."
"Siapa bilang bukan kalau dia seorang setan cilik Mancu? Orang-orang Mancu yang telah membasmi keluargaku, dan keluargamu juga."
"Benar, akan tetapi bukan dia ini yang membasmi keluarga kita, suci. Sebaliknya, keluarga Lulu ini pun terbasmi habis oleh bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap kita sebagai musuhnya. Kita harus berpikir luas dan adil, suci. Kalau seseorang melakukan kesalahan lalu seluruh bangsa orang itu dianggap ikut bersalah, alangkah picik dan tidak adilnya ini. Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai orang-orang yang jahat, termasuk bangsa kita, suci. Kalau karena kejahatan beberapa gelintir orang-orang itu lalu bangsanya dianggap jahat juga, wah, agaknya dunia ini tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan terus-menerus terjadi. Tidak, suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biarpun dia anak seorang perwira Mancu."
Kim Cu termenung. Memang semenjak berdekatan dengan Han Han, dia tahu betapa sutenya ini amat pandai, betapa pikiran sutenya amat luas dan sutenya mengerti akan segala macam urusan dunia. Hanya ilmu silat sajalah yang agaknya tidak begitu diperhatikan sutenya dan tingkat sutenya masih lebih rendah daripada tingkat murid lainnya. Ucapan Han Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim Cu timbul rasa kasihan kepada Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak. Alangkah indahnya mata itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu begitu buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah semua kemarahannya. Memang Kim Cu seorang anak yang jujur dan wataknya bersahaja, mudah pula menguasai perasaan hatinya.
"Agaknya engkau benar dalam hal ini, sute. Akan tetapi engkau salah besar kalau engkau hendak membawa Lulu kepada suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu suhu, dia tentu akan langsung dibunuh tanpa banyak cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, sute."
(Lanjut ke Jilid 08)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
"Tidak bisa, suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh suhu, lebih baik aku tidak kembali ke In-kok-san."
"Eh, mengapa begitu? Apamukah bocah ini, sute? Jangan bodoh...."
"Dia ini Adikku."
Apa? Adikmu? Anak Mancu ini.... mana mungkin Adikmu....?"
"Dia betul Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku sudah berjanji akan melindunginya, tidak akan berpisah lagi. Dia tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang telah menjadi kakaknya, suci,"
Kata Han Han, suaranya tetap. Wajah Kim Cu menjadi berduka.
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sute, kalau kau tidak kembali.... bagaimana dengan aku? Aku akan kehilangan...."
"Suci, engkau adalah murid In-kok-san, dan engkau mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan. Sedangkan Lulu tidak mempunyai siapa-siapa. Dia harus ikut bersamaku, dan pula, sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi di In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, suci. Harap suci suka mengingat hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi."
Kim Cu termenung dengan muka sedih.
"Kalau engkau tidak kembali, suhu akan marah sekali. Terutama sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari suhu, dan kalau sampai engkau tertangkap.... ah, hukumannya mengerikan, sute."
"Kalau melarikan diri dan tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?"
Lulu mengeluarkan jerit tertahan.
"Keji....."
Kim Cu memandang bocah itu dengan mata marah.
"Tidak keji. Ini peraturan dan orang yang berdisiplin saja yang akan mendapatkan kemajuan"
Sute, engkau sudah tahu akan hukumannya. Maka harap kau jangan pergi."
"Biarlah, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan melarikan diri bersama Adikku, akan bersembunyi. Kalau sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku percaya engkau tidak akan mengatakan di mana kau bertemu denganku, suci."
Kim Cu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
"Aku tidak akan memberi tahu, sute. Tapi.... ah...."
"Sudahlah, suci. Harap suci suka kembali. Aku mau pergi sekarang juga. Marilah, Lulu."
Kim Cu berdiri dengan muka sedih memandang bayangan dua orang itu yang makin menjauh.
"Sute....! Tunggu dulu....."
Ia meloncat dan berlari mengejar. Han Han membalikkan tubuh, alisnya berkerut.
"Suci, benarkah engkau akan melupakan persahabatan dan hendak menghalangi aku?"
Kim Cu maju dan memegang tangan Han Han. Air matanya menitik turun.
"Tidak sama sekali, sute. Aku.... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini.... ah, setelah dia menjadi Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu...."
Gadis cilik ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya, mengeluarkan sepasang sepatu cadangan dan satu stel pakaian, diserahkannya kepada Lulu.
"Lulu, kau pakailah ini agar engkau pantas menjadi adik Sie Han sute."
Lulu menerima pakaian dan sepatu, memandang terharu, lalu berkata,
"Enci, kau baik sekali, dan alangkah mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko...."
"Cihhhhh....! Kanak-kanak bicara tentang cinta, Cinta apa?"
"Engkau mencinta Han-ko, Enci...."
"Hush! Sudahlah....."
Suara Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan lari dari situ dengan gerakan yang amat cepat. Han Han berdiri melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu lenyap dari pandang matanya, kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata,
"Apa kau bilang tadi? Cinta? Cinta bagaimana?"
Lulu tersenyum.
"Dia sungguh cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku akan senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar) seperti dia."
"Eh-eh, gilakah engkau?"
Entah bagaimana, sungguhpun ia hanya menduga-duga dan hanya mengerti setengah-setengah saja apa yang dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan jantungnya berdebar-debar.
"Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan kita melanjutkan perjalanan."
Lulu segera bersembunyi di balik semak-semak untuk bertukar pakaian. Ketika ia muncul kembali, Han Han memandang kagum. Benar saja. Lulu ternyata ada lah seorang gadis cilik yang cantik jelita. Setelah kini pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak yang manis sekali.
"Kita ke mana, Koko?"
"Hayo ikut sajalah. Aku ingin ke kota raja, akan tetapi belum tahu jalannya."
"Aku datang dari sana, akan tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya orang, tentu akan sampai juga."
Maka pergilah kedua anak ini, tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari In-kok-san. Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan akan mencarinya, dan kalau yang mengejar dan mencarinya seorang sakti seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main. Juga ia tidak berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan menghindari perjumpaan dengan orang-orang agar tidak meninggalkan jejak. Ia selalu mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini maka biarpun pakaian yang dipakai Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan baik, setelah lewat sebulan mulai robek di pundak dan oleh Lulu ditambal sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak kepanjangan.
Han Han menjadi makin suka kepada Lulu, setelah mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu benar-benar memiliki watak yang menyenangkan. Biarpun usianya baru sembilan atau sepuluh tahun, Lulu adalah seorang anak yang tahu diri, tidak rewel, tidak banyak kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia mentaati segala kehendak Han Han sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh kasih sayang kepada kakaknya ini, dan juga tidak pernah mau ketinggalan kalau Han Han mencari makanan untuk mereka. Betapapun lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan perjalanan yang sukar, gadis cilik ini tak pernah mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini menjadi seorang buronan. Ia pun berkali-kaii menyatakan kegelisahannya kalau-kalau kakaknya akan tertangkap oleh guru kakaknya yang dianggapnya seorang manusia keji dan mengerikan.
Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai, sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi keluarganya. Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia berusaha untuk menerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat perang.
"Lulu, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,"
Katanya hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam sebuah hutan. Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran.
"Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kauceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam kepada perwira-perwira itu?"
"Tentu saja."
"Kalau engkau menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam kepada pembasmi keluargaku?"
"Ah, jauh sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perang sungguhpun hal ini terjadi dalam perang, pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda. Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu adalah seorang pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian bukan berdasarkan kebencian pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh seorang kaki tangan Mancu?"
Lulu merengut dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apapun yang menjadi alasan, akibatnya sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar daripada perbuatan para pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan mereka?"
Ditegur oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia tidak dapat menjawab, hanya berkali-kali menghela napas kemudian berkata,
"Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir, semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji. Perang menimbulkan malapetaka yang mengerikan. Perang membuktikan betapa kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-membunuh antar manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa gelintir manusia belaka. Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang, kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang menjadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat."
"Koko, bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?"
"Tidak tahulah.... tidak tahulah.... mungkin kelak kita akan lebih mengerti."
Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah depan. Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar tampak dinding di puncak bukit.
"Di puncak bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuli tentu sebuah dusun. Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi."
"Bukan hanya untukku, Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja, apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau mencuci, membersihkan rumah, apa saja."
"Engkau puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?"
"Jangan begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah gemb...."
"Hanya Adikku yang baik dan manis."
Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun, ketika mereka telah tiba di lereng, tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru.
"Lihat! Kebakaran."
Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat sekelompok rumah-rumah yang kini terbakar.
"Celaka....! Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api, Moi-moi."
"Aku.... takut...., Koko."
"Ada aku di sampingmu, takut apa? Hayolah."
Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok. Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han menarik tangan adiknya diajak bersembunyi. Kiranya di dalam perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan terdengar nyaring suara senjata beradu. Di sana-sini, jelas tampak karena disinari api yang membakar rumah, menggeletak mayat-mayat orang, malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan.
Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapatkan diri kepada kakaknya, napasnya terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya. Perang tanding yang lebih banyak terdengar daripada terlihat itu berlangsung semalam suntuk. Demikian pula kebakaran yang agaknya tidak ada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat. Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga setelah api membakar dan tidak ada usaha memadamkannya, semua dimakan api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi.
Han Han yang memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang, menjadi silau matanya menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat menduga babwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil. Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus mendekam bersembunyi, namun bagi kedua orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat cepatnya.
Tahu-tahu sudah pagi. Dan menjelang pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan, ternyata tidak ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran. Han Han bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang erat-erat oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu bangkit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan. Lulu yang masih menggigil ketakutan, berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan ujung bajunya yang belakang.
Dua orang anak itu seperti sedang main naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan kiri, wajah pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar. Yang amat mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka besar, seperti terbabat senjata tajam, ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus. Mayat ini mandi darahnya sendiri
"Han-koko.... aku.... aku takut hiiii....."
Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang menggigil, wajahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak.
"Tenanglah, Adikku.... aku pun takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana..... eh, dengar.... ada orang merintih...., Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu...."
"Aku.... aku takut.... nge.... ngeri....."
Akan tetapi Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati, namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai tembus ke punggung. Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena justeru dua orang ini di antara puluhan mayat yang hidup. Han Han memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Lulu sudah hampir pingsan saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan tangan Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang itu sambil berkata.
"Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita tolong mereka....."
Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari meninggalkannya. Seperti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk lari pula mengejar.
"Koko.... Han-ko, tunggu aku....."
Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan gagah. Kakek itu masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya terawat rapi, pakaiannya seperti seorang sastrawan. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik. Adapun nenek itu biarpun sudah tua masih nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita.
Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. Adapun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke punggung. Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, juga serupa gagangnya, pedang yang amat indah, yang putih berkilau seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut ditembusi pedang tidak terasa nyeri olehnya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.
"Tenanglah, Yan Hwa.... tenanglah menghadapi maut bersamaku, sumoi (Adik Seperguruan) tenanglah, Adikku, kekasihku...."
"Oughhh.... suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), mengapa baru sekarang menyebut kekasih....? Aku.... aku.... selamanya cinta kepadamu, suheng...."
"Hushhh.... ada orang datang, diamlah...."
"Aughhh.... ahhh, panas rasa kerongkonganku...., aduh, Kanda, minum.... minum...."
Hati Han Han sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu, ia terheran-heran dan juga timbul rasa iba di hatinya.
"Locianpwe, biarlah saya yang mencarikan air minum....."
Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang dalam sekarat itu, ia bangkit den cepat pergi mencari air.
"Han-ko.... tunggu....."
Lulu berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu ngeri kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu.
"Mari kita mencari air minum untuk mereka. Kasihan mereka...."
Kata Han Han yang menanti adiknya lalu menggandeng tangan adiknya. Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air lalu kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan dada.
"Ini airnya, locianpwe,"
Kata Han Han. Ia menyebut locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada hubungannya dengan mereka. Adapun Lulu berdiri di belakang Han Han, terbelalak memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling berpelukan mesra itu.
"Oohhh, mana air....?"
Nenek itu mengeluh. Kakek itu membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han. Kakek itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han, akan tetapi segera menerima tempat air dan memberi minum nenek yang kehausan dan sedang sekarat itu.
Air diminum dengan lahap sampai terdengar menggelogok dan sebagian besar tumpah. Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi tenang, dengan sikap manja merebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu, tangannya memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi tidak merintih lagi. Kakek itu tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air. Han Han terkejut sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya yang masih setengah itu tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa melayang tangan yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu. Wajah kakek itu kelihatan dingin ketika memandang kepadanya dan bertanya.
"Engkau siapa?"
Han Han adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh), babkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan yang bagaimana aneh wataknya sekalipun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu, timbul keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan suara kakek itu.
"Namaku Sie Han."
Hanya sekian ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa adanya kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu. Kembali dua pasang mata beradu pandang dan kakek itu makin terbelalak.
"Eh...., Matamu....."
"Mataku kenapa?"
Balas tanya Han Han, makin penasaran.
"Seperti...."
"Mata setan."
Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya dengan Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya. Kakek itu menggeleng-geleng kepala, dan aneh.... dia tersenyum geli.
"Wah, tidak hanya matanya, juga wajahmu dan sikapmu yang kepala batu.... akan tetapi pada dasarnya berhati penuh welas asih.... eh, engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang amat baik."
"Hemmm, locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak membayangkan bahwa locianpwe baru saja bertemu dengan seorang sahabat,"
Han Han menuding ke arah dua batang pedang yang masih menancap di tubuh mereka. Nenek itu mengangkat muka memandang kakek yang masih dipeluknya.
"Koko.... siapa bocah setan ini? Perlu apa bicara dengan dia? Mana.... mana dia.... Jai-hwa-sian?"
"Sabar, Moi-moi.... Jai-hwa-sian belum juga datang.... ahhh, sayang sekali.... kalau sampai kita keburu mampus sebelum dia muncul...."
Han Han terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang tua renta ini demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian disebut-sebut, ia terkejut.
"Locianpwe mencari Kong-kongku?"
Kakek itu mengangkat muka memandang, cemberut.
"Siapa mencari Kong-kongmu? Siapa itu Kong-kongmu?"
"Jai-hwa-sian....."
"Hehhh....?"
"Ihhhhh....?"
Kakek dan nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia tadi telah kelepasan bicara, mungkin ia mengaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya karena merasa penasaran tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa dia adalah cucu Jai-hwa-sian
"Heh, anak setan, siapa nama Kong-kongmu?"
"Namanya Sie Hoat."
Kakek itu mengerutkan alisnya, sedangkan nenek itu yang masih lemah telah menyandarkan kembali pipinya ke pundak Si Kakek dengan sikap manja.
"Bagaimana kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?"
"Yang memberi tahu adalah Setan Botak."
"Setan Botak? Kau maksudkan Setan Botak si....?"
"Siapa lagi kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?"
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Han Han, masih panas hatinya, apalagi karena kakek itu menganggapnya main-main. Kini mata kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu.
"Di mana Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu sekarang?"
Kakek itu mulai menduga-duga barangkali Jai-hwa-sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya itu datang lebih dulu. Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi. Akan tetapi anak itu menggeleng-geleng kepala.
"Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti yang diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, sudah puluhan tahun pergi merantau, menurut cerita Ayah...."
"Siapa nama Ayahmu dan di mana tinggalnya?"
"Ayah bemama Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi...."
"Sie Bun An? Suma Bun An? Di Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga."
Kakek itu tertawa bergelak sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat ini menjadi berubah ingatannya alias menjadi gila.
"Sekarang di mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?"
"Locianpwe! Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma segala?"
"Ha-ha-ha. Dasar pengecut, mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya.. ya, biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya Kakekmu?"
"Ayah dan sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira Mancu...."
"Ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma.... Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi...."
"Locianpwe."
Han Han membentak, marahnya bukan main. Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada siapapun juga dan kalau dia mau menceritakan tentang ayahnya dam keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah tertembus pedang itu takkan dapat hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang menceritakan, malah ditertewakan. Inilah yang benar-benar dapat disebut bocengli (tak tahu aturan). Akan tetapi kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri,
"Ha-ha-ha, hukum karma. Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan. Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma pasti mengejarmu, betapapun engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah daripada pohon perbuatan sendiri akan dipetik sendiri.... seperti juga kami berdua...., kami berdua mungkin lebih sesat daripada engkau, maka buahnya pun lebih pahit.... aahhh."
Kakek itu kini menangis terisak-isak.
"Kakek.... kenapa menggali hal-hal lampau....? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu pahit.... engkau mati di tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di ambang maut.... kita mati dalam cinta.... alangkah bahagianya...."
Dengan napas terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan mencium bibirnya. Mereka berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka. Kini Han Han berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah, seperti seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya.
"Moi-moi.... anak ini cucunya.... kita berikan saja kepadanya, ya?"
"Terserah, Koko.... terserah kepadamu. Lekas berikan.... aku sudah ingin sekali melayang pergi bersamamu, Koko...."
Kakek itu kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya, dan tangan kirinya mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya meraba-raba dan merogoh saku di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah sekali.
"Dengar, anak yang bernama Sie Han.... dengarlah baik-baik, berlututlah...."
Suara yang lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi menghormat dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga dapat merasakan suasana penuh kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan dada, penuh hormat dan takut-takut. Dengan tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning.
"Kau terimalah ini.... kau simpan baik-baik dalam bajumu. Lekas.... jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan...."
Han Han tidak diberi kesempatan membantah dan seperti ada sesuatu yang menggerakkan hatinya anak ini menerima sepasang kitab yang kecil itu, langsung ia masukkan ke balik bajunya.
"Dekatkan telingamu...."
Han Han menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya.
"Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun...."
"Sudah mengertikah engkau?"
Han Hen mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguhpun ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.
"Simpan kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut pesan yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan kami berdua, pesan dua orang yang mau mati."
Kembali Han Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini kepadanya?
"Aku berjanji, locianpwe."
Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah terutama nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat.
Istana Pulau Es Eps 33 Istana Pulau Es Eps 35 Kisah Pendekar Bongkok Eps 5