Darah Pendekar 3
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Pek-bin-houw menarik napas panjang. Dia sudah banyak pengalaman dan tidak merasa heran. Betapapun tinggi kedudukan seorang manusia, betapapun pandainya dia, selama sang aku masih menguasai diri, sang aku yang selalu mengejar kelebihan, sudah pasti hidup ini menjadi arena persaingan, permusuhan dan kebencian, Dia adalah orang luar, tidak berhak mencampuri urusan keturunan datuk sakti itu. Akan tetapi, melihat betapa sikap Bu Seng Kun demikian polos, demikian terbuka terhadap dirinya, diapun merasa tidak enak kalau hanya diam saja.
"Bu-taihiap, sungguh patut disayangkan bahwa ilmu-ilmu dari mendiang kakek buyut gurumu itu, Sin-yok-ong Lo-cianpwe, telah terpecah-pecah dan terbagi-bagi sehingga tentu saja menjadi berkurang kelihaiannya. Siapa tahu kalau-kalau usaha peminjaman pusaka itu bermaksud untuk mempersatukan kembali ilmu-ilmu yang tercecer-cecer itu? Apakah tidak pernah taihiap mempunyai minat untuk mempelajari semua ilmu keturunan perguruan taihiap, dengan jalan mempersatukan dan saling mempelajari dengan ilmu-ilmu yang terjatuh kepada murid-murid yang lain?"
"Ahhh...!" Bu Seng Kun terbelalak dan berteriak kaget.
"Benar juga kata-katamu, paman! Kenapa keluarga kami tidak berpikir sejauh itu? Bukankah lebih baik kalau kami memberikan kitab itu dan sebaliknya meminjam pusaka mereka dan kami saudara-saudara seperguruan saling mempelajarinya sehingga kami semua dapat mewarisi seluruh ilmu dengan lengkap?" Pek-bin-houw tersenyum.
"Sebuah pikiran yang baik sekali, butaihiap. Akan tetapi, melihat sikap mereka, agaknya mereka itu tidak dapat digolongkan pendekar-pendekar dan mungkin saja akan bertindak curang. Bagaimanapun juga, sebaiknya kalau taihiap memperbincangkannya dengan ayah taihiap." Mereka terus meronda dan bulan sudah naik tinggi.
Keadaan amat sunyi sekali. Sunyi yang mengerikan karena mereka masih menduga akan adanya ancaman pihak yang tidak beritikad baik terhadap keluarga Bu. Tiba-tiba saja keadaan menjadi terang-benderang didaerah hutan itu. Kiranya awan tipis yang tadinya lewat dan menghalangi sinar bulan, kini lenyap dan bersih terbawa angin. Langit nampak terang dan bulan tidak terhalang apapun sehingga dapat menjatuhkan sinarnya kebumi, sepenuhnya. Pek-bin-houw dan Bu Seng Kun yang mengadakan perondaan, tiba ditepi hutan. Keadaan tetap amat sunyi dan tiba-tiba terdengar bunyi gonggong anjing dari jauh. Bukan seperti anjing menggonggong kearah bulan purnama, dengan suara yang menyayat hati, seolah-olah anjing yang menggonggong bulan itu menjadi berduka dan menangis, melainkan gonggong anjing pelacak!
"Sungguh aneh, suara itu bukan suara anjing hutan," kata Bu Seng Kun,
"Dan setahuku, disini tidak ada anjing jinak peliharaan orang." Akan tetapi, Pek-bin-houw memegang lengannya dan menarik pemuda itu menyelinap dibalik sebatang pohon besar yang gelap dalam bayangan daun-daun lebat. Hidung pendekar tua itu bergerak mencium-cium seperti hidung anjing pelacak pula.
"Mereka datang..." bisik kakek itu dan mukanya berobah pucat.
"Apa...? Siapa...?" Seng Kun bertanya, heran sekali melihat kakek pendekar yang gagah perkasa itu nampak seperti orang ketakutan.
"Ssttt... tunggu dan lihatlah..." kata kakek itu. Pemuda itu kini dapat pula mencium bau harum. Namun dia masih belum mengerti. Dan tak lama kemudian, terdengar lagi gonggong anjing bahkan suaranya ada beberapa ekor. Kemudian muncullah empat orang yang memikul sebuah keranjang bambu yang besar dan panjang. Pek-bin-houw memandang kepada rombongan orang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Memang keadaan mereka itu amat memeramkan. Pakaian mereka putih-putih dan wajah mereka yang tertimpa sinar bulan itu nampak pucat seperti muka mayat, muka orang yang jarang terkena sinar matahari rupanya. Mereka semua ada delapan orang, empat orang memikul keranjang dan empat orang lagi menjaga dikanan kiri. Empat ekor anjing hitam, putih, coklat dan belang berjalan bersama rombongan ini, kadang-kadang dibelakang kadang-kadang mendahului didepan. Anjing-anjing biasa saja, tidak terlalu besar, namun mereka itu nampak liar dan ganas. Setelah tiba diluar hutan, delapan orang itu berhenti, dengan hati-hati empat orang pemikul keranjang bambu itu menurunkan keranjang dan seorang diantara empat yang lain, yang suaranya nyaring halus mengandung wibawa yang menyeramkan, berkata,
"Kita telah sampai ditempat yang dituju. Kalian harus berhati-hati. Suhu bilang bahwa ilmu silat keturunan Lo-cianpwe Sin-yok-ong amat lihai. Biarlah kita berhenti disini dulu, nanti setelah lewat tengah malam kita mengetuk pintu." Sementara itu, Bu Seng Kun yang memandang penuh perhatian, tidak juga mengenal siapa adanya orang-orang aneh yang berpakaian putih dan bermuka pucat itu. Melihat bahwa agaknya kakek Pek-bin-houw mengenal mereka, maka diapun berbisik lirih bertanya.
"Ah, apa kau tidak dapat menduga, taihiap? Mereka itu jelas adalah orang-orang dari Kuburan Besar, iblis-iblis dari Tai-bong-pai!" Kini Seng Kun terkejut sekali dan memandang kearah rombongan orang yang berhenti agak jauh dari situ dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar banyak tentang Tai-bong-pai. Nama Tai-bong-pai muncul pada jaman kakek buyut gurunya, kira-kira seabad yang lalu. Karena agaknya Pek-bin-houw tahu banyak tentang partai ini, maka dia bertanya lagi,
"Paman, benar-benar hebatkah mereka itu?"
"Mereka mengerikan!" kata Pek-bin-houw lirih.
"Akan tetapi kenapa mereka itu datang kesini? Padahal, mereka hampir tidak pernah keluar dari sarang mereka, yaitu sebuah kuburan kuno yang amat luasnya, yaitu bekas kuburan para bangsawan dijaman dahulu dan yang letaknya jauh didaerah barat melalui Gurun gobi. Kuburan dibawah tanah itu berisi kamar-kamar seperti sebuah Istana dengan benteng yang kuat dan luas. Seratus tahun lebih yang lalu, tempat ini dimanfaatkan oleh seorang datuk iblis yang membuat jalan-jalan terowongan antara makam-makam itu dan dijadikan sarang, turun-temurun sampai sekarang." Seng Kun mengangguk-angguk kagum.
"Iblis-iblis Tai-bong-pai ini mudah diketahui karena kemunculan mereka tentu membawa bau dupa dari tubuhnya apabila mereka berkeringat. Akan tetapi mereka itu jarang sekali keluar sehingga keadaan mereka tidak dikenal orang."
"Paman, mari kita keluar dan kita temui mereka. Mereka tiba didaerah kami, perlu kutanya apa maksud mereka mengunjungi kami ditengah malam begini," kata Seng Kun. Selagi Pek-bin-houw meragu karena maklum betapa berbahayanya bertemu dengan iblis-iblis atau kawanan Tai-bong-pai itu, tiba-tiba ada anjing menggonggong didekat mereka. Tentu saja anjing-anjing itu dengan mudah dapat menemukan tempat persembunyian mereka dan kini empat ekor anjing pelacak itu sudah mengurung mereka dan menggonggong dengan ribut sekali. Melihat keadaan anjing-anjing mereka itu, seorang diantara delapan orang aneh itu sekali menggerakkan kakinya sudah mencelat dan tiba didepan Seng Kun dan Pek-bin-houw yang terpaksa harus keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Orang-orang jahat, keluarlah dari tempat persembunyian kalian untuk menerima hukuman!" kata orang Tai-bong-pai itu yang ternyata adalah si pemimpin yang bersuara nyaring tadi. Muka orang ini pucat sekali, pakaiannya putih-putih seperti orang dalam keadaan berkabung, dari mori kasar dan berlengan pendek. Rambutnya digelung keatas dan keadaannya amat sederhana, agaknya disesuaikan dengan keadaan orang berkabung. Ditengah dahinya terdapat sebuah benjolan sebesar kacang yang berwarna merah, membuat wajahnya nampak lebih menyeramkan lagi. Pek-bin-houw melangkah maju dan memandang kepada orang itu, lalu berkata tenang dan sabar,
"Harap saudara jangan sembarangan memaki orang sebagai orang jahat. Sebaliknya kalianlah yang datang ditempat orang dimalam buta, sungguh amat mencurigakan."
"Nanti dulu, apakah engkau keturunan dari Raja Tabib Sakti?" tanya orang itu. Tentu saja Pek-bin-houw menggeleng kepalanya.
"Bukan, aku..."
"Tak perduli engkau siapa, kalau bukan keturunan Raja Tabib Sakti, engkau harus mati karena telah melihat kami!" Berkata demikian, orang berpakaian putih itu sudah menyerang Pek-bin-houw dengan tamparan kedua tangan dari kanan kiri!
"Plak-plak-plak-plakk!!" Empat kali Pek-bin-houw diserang dan empat kali dia menangkis dengan pengerahan tenaga, akan tetapi ternyata orang itu kuat sekali dan sama sekali tidak terdorong oleh tangkisan-tangkisannya, bahkan dia sendiri merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat!
Bukan main, pikirnya. Kembali dia telah bertemu dengan orang yang amat lihai, yang agaknya memiliki tingkat kepandaian tidak kalah tinggi dari padanya. Dan orang berpakaian putih itupun agaknya penasaran karena empat kali serangannya berturut-turut dapat dihindarkan lawan, maka dia mendesak terus dengan pukulan-pukulan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pek-bin-houw mengelak, menangkis dan balas menyerang, namun dia segera terdesak oleh lawan yang memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya itu. Terutama sekali bau dupa harum itu membuatnya agak muak dan pening. Melihat keadaan Pek-bin-houw yang terdesak itu, Bu Seng Kun menjadi tidak tega, marah dan penasaran.
"Berhenti!" teriaknya sambil meloncat kedepan.
"Tamu dari manakah yang berani kurang aturan mengacau daerah kami?" Si muka pucat itu menghentikan serangannya dan memandang kepada Bu Seng Kun.
"Apakah engkau keturunan Raja Tabib Sakti?"
"Benar, aku adalah anggauta keluarga Bu!"
"Maafkan kami!" Orang itu lalu menjura dengan hormatnya kepada Bu Seng Kun.
"Karena tidak tahu, kami telah membikin ribut." Dan tujuh orang temannya semua menjura kepada Bu Seng Kun dengan sikap hormat sekali. Tiba-tiba terdengar seruan kaget dari Pek-bin-houw. Ujung lengan bajunya terkena noda merah seperti terkena darah, padahal dia sama sekali tidak merasa telah terluka dalam perkelahian tadi. Keringatnya yang keluar dilengan telah bercampur darah! Dengan mata terbelalak dia memandang kepada bekas lawannya.
"Kau... kau menggunakan ilmu siluman apakah?" tanyanya gagap karena dia teringat akan ilmu-ilmu aneh dari Tai-bong-pai yang pernah didengarnya didunia kang-ouw. Si muka pucat itu memandang kepada Pek-bin-houw, sikapnya sama sekali berbeda dengan sikapnya ketika dia menghadapi pemuda she Bu itu. Terdengar dia mendengus, lalu berkata,
"Hemm, ilmu itu belum kukeluarkan semua. Kalau tadi dilanjutkan, sebentar kemudian engkau akan menggeletak disini tanpa darah setetespun ditubuhmu lagi, semua akan keluar membasahi tempat ini."
"Ilmu... ilmu penghisap darah...!" Pek-bin-houw berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia memandang kepada lengannya dan melihat betapa disetiap pori-pori lengan yang bajunya disingkapkannya itu nampak butiran-butiran darah keluar bersama keringat.
"Berterimakasihlah kepada bukongcu karena kalau tidak ada bukongcu yang menghentikan pertempuran tadi, engkau tentu sudah menjadi mayat tanpa darah. Melihat muka tuan rumah yang kami hormati, biarlah kuberi obat kepadamu."
"Tidak perlu!" kata Bu Seng Kun.
"Paman ini adalah tamuku, maka akulah yang wajib menolongnya." Pemuda ini mengeluarkan sebutir pel merah dan memberikannya kepada Pek-bin-houw. Paman, telanlah pel ini." Pek-bin-houw menjadi girang, menerima pel itu dan menelannya. Hal ini dilihat oleh delapan orang kawanan Tai-bong-pai itu dengan pandang mata kagum. Mereka agaknya sudah tahu akan kelihaian tuan rumah dalam ilmu pengobatan, maka mereka merasa kagum sekali betapa hanya dengan sebutir pel saja, maka seketika darah yang keluar dari lubang-lubang lengan bersama keringat itu seketika berhenti!
"Siapakah kalian?" Bu Seng Kun bertanya.
"Benarkah dugaan kami bahwa kalian adalah para anggauta Tai-bong-pai?" Delapan orang itu menjura dengan hormat, dan pemimpin mereka yang tadi melawan Pek-bin-houw menjawab,
"Tidak keliru dugaan bukongcu. Harap dimaafkan kalau kami mendatangkan keributan, akan tetapi kami perlu sekali untuk menghadap keturunan Raja Tabib Sakti yang kalau tidak salah bernama Bu Kek Siang taihiap dan tinggal disini."
"Beliau adalah ayahku. Kalau kalian hendak bertemu dengan keluarga kami, mengapa datang malam-malam?"
"Maaf, kongcu, akan tetapi kami tidak pernah keluar pada siang hari!" Orang itu berkata dan agaknya merasa heran dan penasaran. Teringatlah Seng Kun akan kebiasaan yang luar biasa dari kawanan Tai-bong-pai, yaitu mereka hanya keluar dimalam hari saja. Maka, maklum bahwa mereka itu tentu mempunyai urusan penting sekali dan kalau dia berdua dengan Pek-bin-houw saja yang harus melayani delapan orang ini, tentu keadaannya akan berbahaya sekali.
"Kalau begitu, marilah kalian ikut bersamaku menghadap ayah." Beramai merekapun mengikuti Bu Seng Kun menggotong lagi keranjang bambu itu. Pek-bin-houw berjalan mengikuti mereka dari belakang, diam-diam menduga-duga apa gerangan isi keranjang bambu yang dipikul dengan amat hati-hati oleh empat orang itu.
Dia, sudah banyak mendengar akan kekejaman orang-orang aneh dari Tai-bong-pai yang terdiri dari golongan sesat, maka diapun merasa curiga dan menduga bahwa kedatangan mereka ini tentu membawa niat yang kurang baik. Bu Seng Kun membawa para tamu itu kepekarangan luar rumah keluarganya. Pemuda ini bersikap hati-hati sekali maka membawa mereka kepekarangan, tempat terbuka dan kedatangan mereka tentu saja dapat dilihat dengan baik oleh ayah-bundanya. Dan memang sesungguhnyalah. Kedatangan rombongan itu sudah dapat dilihat oleh Bu Kek Siang. Pendekar ini telah melihat dan dapat menduga siapa yang datang berkunjung, maka diapun sudah menanti diruangan tamu yang berada didepan sebelah kanan.
"Ayah, tamu-tamu dari Tai-bong-pai datang berkunjung!" teriak puteranya dari luar.
"Persilahkan mereka memasuki ruangan tamu!" jawabnya dari dalam ruangan itu yang sudah diterangi oleh cahaya beberapa batang lilin yang dinyalakan. Bu Seng Kun lalu mempersilahkan tamu-tamunya masuk. Dia mendahului sebagai penunjuk, jalan sedangkan dibelakang rombongan itu berjalan Pek-bin-houw. Ketika mereka semua memasuki ruangan tamu, ternyata disitu Bu Kek Siang telah menanti bersama isterinya, puterinya, dan juga Kim-suipoa telah siap sedia dan berada disitu Ketika delapan orang itu memasuki ruangan tamu, bau dupa menyerang hidung. Keranjang bambu diturunkan perlahan-lahan dan delapan orang itu lalu menjura dengan hormatnya.
"Cu-wi jauh-jauh datang kesini malam-malam, tidak tahu ada urusan apakah dengan kami?" Bu Kek Siang bertanya dengan sikap tenang dan dialah yang dapat menduga bahwa isi keranjang itu tentulah seorang manusia, mungkin yang sedang menderita sakit, karena kalau tidak begitu, apa perlunya mereka ini datang? Selama hidupnya dia belum pernah berurusan dengan pihak Tai-bong-pai.
Akan tetapi delapan orang itu tidak menjawab. Tiba-tiba terdengar suara melengking halus dan tinggi sekali, seperti suara beberapa ekor nyamuk beterbangan dalam ruangan tamu itu, makin lama semakin kuat dan nyaring menyakitkan telinga Kemudian, tahu-tahu diambang pintu telah berdiri seorang wanita berusia kira-kira lima puluh tahun, membungkuk dan menjura dengan sikap hormat sekali kepada pihak tuan rumah. Bau dupa kini luar biasa kerasnya, mengalahkan bau dupa yang dibawa oleh delapan orang pertama tadi! Wanita itupun memakai pakaian serba putih dan walaupun kainnya terbuat dari bahan yang lebih baik dari pada delapan orang tadi, namun tetap saja potongannya sederhana sekali. Wajahnya masih membayangkan kecantikan walaupun sudah mulai keriputan, sepasang matanya yang bersinar tajam itu kini nampak diliputi kegelisahan dan kedukaan.
"Maafkan kami," katanya dengan suara halus.
"Kami datang dari seberang Gurun gobi, untuk minta pertolongan keturunan dari Raja Tabib Sakti yang kami hormati. Puteri kami sedang menderita sakit hebat akibat kesalahan mempelajari ilmu perguruan kami sehingga lumpuh kaki tangannya. Sudah setahun ia menderita dan segala usaha kami sia-sia berlaka. Kemudian kami teringat bahwa dijaman dahulu, Raja Tabib Sakti merupakan satu-satunya orang yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit yang ada didunia ini. Maka kami mencari keturunannya yang mewarisi kepandaian beliau dan mendengar bahwa butaihiap adalah keturunan itu, maka kami datang untuk minta tolong. Harap dimaafkan bahwa kami datang ditengah malam, maklumlah karena kami tidak biasa melakukan perjalanan pada siang hari."
Setelah berkata demikian, wanita itu menghampiri keranjang bambu lalu membuka tutupnya dengan hati-hati sekali. Nampaklah seorang gadis yang berwajah cantik rebah disitu. Namun gadis itu kurus sekali dan wajahnya, lehernya, kedua tangan yang tidak tertutup itu nampak pucat kebiruan seperti membeku. Bahkan bibirnyapun nampak kebiruan sehingga dipandang sepintas lalu saja orang tentu akan mengira bahwa yang rebah didalam keranjang itu tentu telah menjadi mayat Wanita itu berusaha untuk menahan perasaannya, namun tidak urung air matanya berlinang dan menuruni pipinya yang keriputan. Agaknya karena kedukaan maka wanita ini menjadi kurus keriputan.
"Anakku..." bisiknya menahan isak. Bu Kek Siang mengerling kearah puterinya sendiri yang berdiri didekat Bu Seng Kun. Dia dapat membayangkan betapa akan sedih hatinya sebagai seorang tua kalau melihat puterinya, Bu Bwee Hong mengalami penderitaan seperti gadis dalam keranjang bambu itu. Selain itu, diapun mempunyai watak sebagai seorang ahli pengobatan tulen, selalu merasa kasihan kepada yang sedang menderita sakit dan setiap macam penyakit merupakan musuh atau tantangan yang harus ditanggulanginya dan dikalahkannya. Makin berat penyakit itu, makin besar pula gairah didalam batinya untuk mengalahkannya.
"Bu-taihiap, tolonglah anakku..." Nyonya itu meratap.
"Baiklah, toanio. Biarkan aku memeriksanya." Bu Kek Siang lalu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri keranjang itu lalu melakukan pemeriksaan. Diperiksanya nadi pergelangan tangan gadis itu, dibukanya pelupuk mata itu, dan setelah dia mengetuk sana-sini dengan penuh ketelitian, pendekar itu lalu kembali ketempat duduknya, menarik napas panjang berkali-kali dan setiap gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata nyonya itu dengan penuh kegelisahan.
"Bagaimana, Bu-taihiap...?" Akhirnya dia bertanya dengan gelisah, akan tetapi penuh harap-harap cemas.
"Keadaan puterimu memang parah, toanio. Kami suka membantu, walaupun aku tidak dapat menjamin apakah kami akan berhasil. Untuk menyembuhkan puterimu, selain pengobatan berupa obat minum dan tusuk jarum, juga dibutuhkan sinkang yang kuat dari aliran persilatan kami. Tenaga sinkangku sendiri terbatas, maka terpaksa aku harus minta bantuan anak isteriku. Kalau kami semua turun tangan, kiranya baru berhasil, walaupun aku belum yakin apakah kekuatan kami itu sudah cukup untuk menembus semua pembuluh darah dan urat-urat syaraf dalam tubuh puterimu yang seperti sudah membeku itu. Kami dengan segala senang hati akan berusaha menolongnya, akan tetapi..."
"Akan tetapi, bagaimana, taihiap...?" sang ibu bertanya penuh kegelisahan.
"Ketahuilah, toanio, pada saat ini keluargaku sedang mengalami gangguan dan ancaman dari... musuh-musuh kami!" Bu Kek Siang menarik napas panjang dan merasa berduka sekali. Alangkah akan baiknya kalau ji-susioknya itu membantunya mengobati gadis ini, bukannya memusuhinya untuk merampas kitab pusaka seperti sekarang ini. Dengan tenaga sinkang dari ji-susioknya yang amat hebat, yang lebih tinggi dari pada ilmunya sendiri, apa lagi kalau, dibantu pula oleh sinkang dari sam-susioknya, dan dia sendiri turun tangan mengobati, pasti gadis ini akan dapat disembuhkan dengan cepat. Mendengar keterangan tuan rumah yang amat diharapkan akan dapat menyelamatkan nyawa puterinya, wanita itu lalu menjatuhkan diri berlutut didepan Bu Kek Siang.
"Bu-taihiap, kalau taihiap bersama keluarga taihiap sudi menolong puteriku maka kami yang akan menjaga rumah ini dari gangguan siapapun juga. Kami anak murid dari Partai Kuburan Besar, biarpun bukan orang-orang yang disukai oleh kaum persilatan, akan tetapi kami tahu membalas budi kebaikan orang lain. Selama hidup turun-temurun, anak murid kami akan menjunjung tinggi budi kecintaan keluarga Bu sampai turun-temurun." Bu Kek Siang tersenyum.
"Toanio salah sangka. Melawan penyakit mengobati orang merupakan kewajiban seorang ahli pengobatan. Bukan hanya kewajiban, juga merupakan suatu pekerjaan yang kucinta. Siapapun yang datang minta tolong kepadaku untuk diobati tentu akan kutolong tanpa pandang bulu, tanpa minta imbalan jasa, tanpa pamrih. Sekarang, baiklah kita mengadakan pembagian kerja. Aku bersama isteri dan kedua orang anakku akan mencoba untuk mengobati puterimu. Tiga orang tamu kami dapat membantu kalau mereka suka..."
Bu Kek Siang memandang kearah Pek-bin-houw, Kim-suipoa, dan Pek Lian. Sebenarnya, Bu Kek Siang tidak mengharapkan bantuan mereka untuk mengobati gadis itu, melainkan mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi lawan kalau mereka muncul. Karena, selagi melakukan pengobatan, kalau musuh-musuh itu datang sungguh amat berbahaya sekali, dan diapun belum tahu bagaimana nanti sikap orang-orang Tai-bong-pai.
"Jangan khawatir, Lo-cianpwe. Saya akan membantu keluarga Lo-cianpwe!" kata Pek Lian yang menghampiri Bwee Hong, gadis cantik jelita yang telah menjadi sahabat baiknya itu.
"Benar, kami berduapun siap untuk membantu," kata Kim-suipoa sedangkan Pek-bin-houw juga mengangguk menyetujui. Diam-diam Bu Kek Siang merasa girang, akan tetapi dia masih mencoba lagi,
"Akan tetapi, pengobatan ini akan memakan waktu yang cukup lama, mungkin sampai belasan hari lamanya! Apakah sam-wi akan dapat membantu terus?" Dua orang pendekar dari puncak Awan Biru itu menjadi ragu-ragu mendengar ini, akan tetapi mereka telah didahului oleh Pek Lian yang berkata dengan nada suara tetap dan nyaring,
"Tentu saja kami akan terus membantu sampai pengobatan itu berhasil baik!" Wanita berpakaian putih itu cepat menghadap kepada Pek Lian dan dua orang gurunya, lalu menjura dengan hormat.
"Tak tahu bagaimana kami harus berterimakasih kepada sam-wi, dan kami sungguh merasa malu sekali bahwa murid kami pernah menyerang penolong kami." Tiba-tiba wanita itu menoleh kearah anak-buahnya yang tadi berkelahi dengan Pek-bin-houw dan membentak,
"A-jui, hayo maju dan serahkan nyawamu!" Orang yang disebut A-jui itu terbelalak, tubuhnya menggigil akan tetapi dia lalu maju berlutut didepan wanita itu. Semua orang merasa terkejut sekali, akan tetapi ketika wanita itu mengangkat tangannya, tiba-tiba Pek-bin-houw meloncat kedepan dan berseru,
"Tahan!!" Wanita itu tidak jadi menurunkan pukulan mautnya dan menoleh kepada Pek-bin-houw.
"Apakah saudara hendak turun tangan sendiri? Lakukanlah, dia sudah menyerahkan nyawanya untuk menebus dosa tadi."
"Tidak!" bentak Pek-bin-houw, bergidik menyaksikan kekejian ini.
"Aku sama sekali tidak ingin melihat dia dibunuh hanya karena tadi berkelahi denganku. Kami berkelahi karena salah paham. Toanio, jangan bunuh dia!" Bu Kek Siang juga melangkah maju.
"Siancai...! Aku disuruh menyelamatkan nyawa seseorang dari ancaman maut, akan tetapi sekarang ada orang hendak dibunuh begitu saja. Sama sekali tidak boleh hal ini dilakukan. Toanio, kalau engkau hendak membunuh orangmu, terpaksa aku tidak akan sanggup mengobati puterimu." Wanita itu nampak terkejut dan matanya terbelalak, seperti orang keheranan, lalu iapun berkata kepada tuan rumah,
"Ah, maafkan, butaihiap, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan kami untuk menghukum anak-buah kami yang bersalah. Biarpun demikian, melihat betapa para tuan penolong kami telah mintakan ampun, terpaksa kamipun akan mentaati. A-jui, tidak lekas menghaturkan terimakasih kepada tuan-tuan ini yang telah mengembalikan nyawamu?" A-jui, laki-laki yang ditengah dahinya ada benjolan merah itu, cepat menghaturkan terimakasih kepada Bu Kek Siang dan Pek-bin-houw sambil berlutut. Tentu saja pihak tuan rumah dan tamu-tamunya merasa heran sekali melihat sikap luar biasa ini.
"Nah, kulanjutkan pembagian tugas," kata Bu Kek Siang.
"Ho-siocia dan kedua saudara Kim-suipoa dan Pek-bin-houw membantu kami dalam ruangan ini, juga sambil menjaga keamanan kami yang sedang mengobati, dan toanio bersama anak buan toanio harap menjaga disekitar rumah, dan mencegah masuknya orang luar yang nendak mengganggu kami."
"Baik, sekarang juga kami melakukan tugas itu!" kata wanita itu sambil melangkah keluar diikuti oleh delapan orang anak-buahnya, setelah ia melempar pandangnya kearah puterinya dengan pandang mata penun harapan. Pek Lian dan dua orang gurunya lalu membantu keluarga itu mengadakan persiapan. Sebuah meja panjang diangkat kedalam ruangan itu, juga sebuah perapian dengan alat-alat menggodok obat dipersiapkan disitu. Kemudian mereka semua beristirahat karena menurut Bu Kek Siang, pengobatan baru akan dimulai besok paginya. Malam itu ternyata tidak terjadi sesuatu, tidak ada penyerbuan dari orang-orang yang rambutnya riap-riapan itu.
Hati mereka menjadi lapang dan merasa dapat beristirahat untuk menghimpun tenaga. Baru pada keesokan harinya, setelah sarapan, keluarga Bu mulai dengan pengobatannya atas diri gadis yang nampaknya seperti sudah mati itu. Pek Lian dan kedua orang gurunya menyaksikan cara pengobatan yang amat aneh, yang mula-mula dilakukan oleh Bu Kek Siang sendiri, yaitu melakukan totokan-totokan pada beberapa jalan darah rahasia yang merupakan cara pengobatan sukar dan berbahaya sekali. Totokan-totokan pada jalan darah rahasia itu kalau kurang tepat dilakukan, akibatnya malah akan mencelakakan pasien, dapat membunuhnya! Apa lagi totokan-totokan dibagian leher dan kepala. Selain sukar dan harus tepat, juga membutuhkan pengerahan tenaga yang amat besar sehingga nampak pucat seperti tanpa darah sama sekali.
Bu Kek Siang, Kim-suipoa dan Pek-bin-houw adalah pria-pria yang sudah tua, akan tetapi Bu Seng Kun adalah seorang pemuda, sehingga kalau menurut kebiasaan umum, tidak pantaslah bagi seorang pemuda untuk melihat tubuh seorang wanita muda yang telanjang. Akan tetapi, Bu Seng Kun tidak dapat disamakan dengan orang-orang muda biasa. Sejak kecil dia sudah mempelajari ilmu pengobatan dari ayahnya dan dialah yang merupakan ahli waris terakhir dari Raja Tabib Sakti. Sejak muda sekali Seng Kun telah membantu ayahnya mengobati bermacam-macam orang dengan bermacam-macam penyakit sehingga baginya, tidak merupakan hal aneh untuk melihat wanita bertelanjang bulat ketika diobati.
Apa lagi pengobatan yang harus mempergunakan totokan atau penusukan jarum dibagian-bagian yang penting, haruslah bagian itu dibuka agar penusukan dapat dilakukan dengan tepat sekali. Maka, kini melihat keadaan nona yang kadang-kadang harus telanjang sama sekali itu, dia dapat memandang tanpa bayangan-bayangan cabul sama sekali, yang dilihatnya hanyalah sebatang tubuh yang menderita dan harus diobati sampai sembuh! Memanglah, kecabulan atau yang dinamakan porno merupakan hal yang amat relatip sekali. Apa dan bagaimanakah porno itu? Apakah porno itu identik dengan tubuh telanjang? Apakah porno itu berarti terbukanya tanpa ditutupi anggauta rahasia pria atau wanita, termasuk buah dada wanita? Itukah porno?
Ataukah juga penulisan tentang hal-hal seksuil, hubungan sanggama dan yang menyangkut dengan hal itu? Lalu sampai dimanakah batas-batas kepornoannya? Hal ini agaknya menjadi masalah yang selalu diributkan karena memang tidak mungkin orang menemukan batas-batas tertentu, tidak mungkin menggariskan antara porno dan tidak, seperti juga menggariskan tentang kegilaan dan kewarasan seseorang. Kecabulan bukan terletak dalam kenyataan diluar. Kecabulan terletak didalam batin masing-masing. Cabulkah atau pornokah kalau ada seorang wanita mandi disungai bertelanjang bulat? Pornokah wanita itu dan pornokah yang melihatnya? Tergantung dari si wanita dan si pemandang sendiri. Wanita mandi telanjang disungai itu adalah suatu kenyataan, dan kalau si wanita mandi karena tidak ada tempat lain baginya untuk mandi,
Kalau ia mandi karena kebutuhan akan mandi tanpa mempunyai dasar untuk memamerkan tubuh telanjangnya itu untuk menarik perhatian orang, untuk menimbulkan gairah pria yang memandangnya, maka ia sama sekali tidak porno! Sebaliknya kalau ia mandi telanjang itu dengan kesengajaan untuk menimbulkan gairah pada pria yang melihatnya, maka jelaslah bahwa perbuatannya itu porno! dilain fihak, kalau ada pria yang melihat ia mandi, melihat tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal lain dari pada yang ada, maka diapun sama sekali tidak porno walaupun boleh jadi dia akan melihat wanita mandi itu. Sebaliknya kalau diwaktu dia memandang tubuh wanita telanjang itu dia membayangkan kemesraan-kemesraan seperti misalnya dia bermain cinta dengan wanita itu sehingga timbullah napsu berahi, maka tentu saja dia itu porno!
Contoh ini dapat saja diterapkan dengan pelukis dan penonton lukisan, pengarang dan pembaca karangan, dan sebagainya. Bukan gambar atau cerita yang menentukan porno tidaknya, melainkan batin si pelaku itu sendirilah, baik dia itu pencipta keadaan itu maupun si pemandang keadaan. Dan tentu saja, kalau diteliti mudah saja terasa apakah si pencipta keadaan itu menciptakan sesuatu dengan dasar batin porno ataukah tidak. Seorang wanita mandi telanjang bulat belum tentu porno, akan tetapi kalau wanita ini dengan pakaian lengkap bersikap memancing gairah dengan menyingkap sedikit gaun memperlihatkan betis saja, ia sudah porno.
Wanita berpakaian putih bersama delapan orang anak-buahnya menjaga dengan tertib dan dengan teliti, bergiliran siang malam dan mereka itu menyediakan keperluan makan mereka sendiri, tanpa mengganggu keluarga tuan rumah. Hanya beberapa kali sehari saja wanita itu menjenguk kedalam kamar tamu yang menjadi kamar pengobatan itu untuk melihat keadaan puterinya. Pengobatan itupun tidak dilakukan terus-menerus. Bermacam-macam cara pengobatan dilakukan oleh Bu Kek Siang.
Tubuh gadis itu telah digosok seluruhnya oleh arak obat, totokan-totokan dan tusukan-tusukan jarum telah dilakukan. Semua berjalan dengan baik dan lancar, hanya satu hal yang membuat keluarga itu kewalahan. Mereka belum berhasil menembus pembuluh-pembuluh darah dan urat-urat syaraf yang seperti membeku itu. Bagaimanapun juga, lewat lima hari pengobatan, keadaan gadis itu sudah mengalami banyak sekali perobahan. Tubuhnya yang tadinya pucat kebiruan seperti tubuh mayat itu kini sudah mulai memerah. Pemapasannya yang tadinya seperti telah hampir terhenti itu kini nampak lebih lancar dan longgar.
Bahkan ada senyum membayang dibibir yang mulai agak merah itu, cuping hidungnya sudah dapat berkembang-kempis kalau bernapas, hanya gadis itu masih lumpuh sama sekali. Ibu gadis itu kelihatan gembira bukan main. Biarpun gadisnya masih lumpuh, akan tetapi jelas nampak perobahan-perobahan yang menggembirakan, tanda-tanda bahwa usaha pengobatan sekali ini akan berhasil baik. Dan keluarga Bu juga merasa lega bahwa selama beberapa hari itu tidak ada gangguan pihak musuh sama sekali. Hal ini tentu saja menggirangkan hati mereka dan menimbulkan dugaan bahwa agaknya pihak musuh merasa segan mengganggu karena disitu terdapat orang-orang Tai-bong-pai! Akhirnya, pengobatan itu mencapai puncaknya pada hari kesepuluh.
"Hari ini bagaimanapun juga kita harus berhasil menembus jalan darah gadis itu," kata Bu Kek Siang.
"Sebetulnya, melihat keadaannya, nona Kwa sudah berada diambang pintu kematian. Maka, perjumpaannya dengan kita dapat dikatakan jodoh, dan kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya."
"Akan tetapi, ayah," kata Seng Kun.
"Kalau ayah masih hendak melaksanakan penggabungan tenaga, bukankah hal itu amat berbahaya sekali bagi kita dan juga bagi nona Kwa? Kalau terjadi penyerbuan."
"Jangan khawatir, bukankah sudah sepuluh hari ini tidak terjadi sesuatu? Dan sekali ini, biar kita beritahukan bahaya itu kepada Kwa-toanio agar ia ikut pula melakukan penjagaan terhadap diri puterinya." Selama beberapa hari tinggal ditempat terpencil itu, wanita berpakaian serba putih telah memperkenalkan diri.
"Sebetulnya, kami selalu merahasiakan nama dan keadaan kami, akan tetapi melihat pertolongan cuwi yang demikian penuh pengorbanan, kami akan meniadakan kebiasaan itu dan perkenalkanlah, saya adalah isteri dari Kwa Eng Ki, seorang diantara tokoh Tai-bong-pai. Dan anak ini adalah puteri tunggal kami bernama Kwa Siok Eng. Penyakit yang diderita oleh Siok Eng ini sebetulnya adalah karena kelancangannya sendiri. Diambilnya kitab pusaka partai kami dan diam-diam ia mempelajarinya tanpa memberi tahu kepada kami, sedangkan tingkatnya masih terlampau rendah untuk mempelajari ilmu simpanan partai kami itu, maka beginilah jadinya. Nah, setelah saya memperkenalkan diri, maka mulai sekarang kita telah menjadi sahabat-sahabat karib."
Tentu saja bagi pihak tuan rumah, cerita itu sama sekali bukan pembukaan rahasia, dan hanya memperkenalkan sedikit saja, yaitu hanya nama ibu dan anak itu sehingga keadaan mereka masih tetap diliputi rahasia. Akan tetapi mereka tidak mau bertanya lebih banyak, karena merekapun sebenarnya tidak mempunyai minat untuk bersahabat dengan Tai-bong-pai yang terkenal sebagai perkumpulan golongan hitam yang disamakan dengan iblis-iblis yang kejam sekali. Setelah diberi tahu bahwa hari itu pihak tuan rumah akan mengadakan pengobatan terakhir yang besar-besaran dengan penggabungan tenaga, nyonya Kwa merasa tegang dan iapun segera menyatakan siap sedia untuk melakukan penjagaan dengan kuat diluar rumah. Pek Lian dan kedua orang gurunya juga melakukan penjagaan diluar.
Mereka bertiga maklum akan bahayanya keadaan mereka ketika fihak tuan rumah sekeluarga sedang melakukan pengobatan dengan penggabungan tenaga itu. Pengobatan dengan pengerahan sinkang membuat orang yang melakukan pengobatan itu sama sekali tidak berdaya terhadap serangan dari luar, karena kalau dia melawan, berarti membahayakan nyawa yang diobati. Dan kini, menurut keterangan Bu Seng Kun terhadap mereka, pemuda itu bersama ayah dan ibunya akan menggabungkan tenaga sehingga kalau sewaktu mereka mengadakan pengobatan itu datang. musuh, mereka bertiga takkan berdaya untuk membela diri. Dengan demikian, maka penjagaan seluruhnya hanya berada ditangan mereka bertiga, dan orang-orang Tai-bong-pai. Bahkan nona Bu sendiripun membantu pengobatan itu dengan tusukan-tusukan jarum.
Pagi itu mereka sudah bersiap-siap. Yang berada dikamar pengobatan, selain si sakit, juga empat orang keluarga Bu lengkap. Kwa Siok Eng telah direbahkan diatas meja panjang dengan menelungkup. Kulit tubuhnya yang putih mulus itu tidak begitu pucat lagi, akan tetapi masih belum dapat bergerak sama sekali. Ibunya, nyonya Kwa, menjaga didekat pintu, sepasang matanya hampir tidak pernah berkedip memandang kepada puterinya dan kadang-kadang saja beralih kepada empat orang yang sedang mengobati puterinya itu. Hatinya terharu. Nampak jelas olehnya betapa keluarga itu berusaha sungguh-sungguh. Tadi sebelum melakukan pengobatan, Bu Kek Siang telah memberi penjelasan kepadanya sekedarnya sehingga dia tahu bahwa mereka berempat itu, sungguh-sungguh berusaha untuk menolong puterinya, terutama sekali kakek Bu sendiri bersama Bu Seng Kun, pemuda itu.
Mereka berdua ini akan mengerahkan sinkang sekuatnya untuk menembus jalan darah gadis itu yang belum pulih, dan sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja nyonya itu tahu apa artinya ini. Pengerahan sinkang untuk menolong orang seperti itu amatlah berbahaya karena tenaganya dikerahkan terus-menerus, kalau keliru sedikit saja tentu dapat membunuh si sakit atau membunuh diri sendiri! Memang amat menegangkan keadaan dalam ruangan itu. Bu Seng Kun bertelanjang dada, karena dia mempergunakan dadanya itu untuk menempel pada kedua telapak kaki Kwa Siok Eng dan dengan penyaluran tenaga sinkang sepenuhnya dia menyalurkan hawa murni melalui kedua telapak kaki gadis itu.
Pemuda ini memejamkan kedua matanya dan dadanya nampak membesar, wajahnya menjadi merah dan kedua tangannya mencengkeram belakang lutut gadis itu. Diseberangnya, ayahnya berdiri dan menempelkan tangan kirinya diubun-ubun kepala gadis itu. Seperti juga puteranya, Bu Kek Siang, kakek ini mengerahkan sinkangnya disalurkan melalui ubun-ubun kepala gadis itu, kedua matanya juga dipejamkan. Isterinya, nenek yang masih nampak cantik itu, berdiri ditepi meja, kedua tangannya ditaruh diatas pinggang telanjang itu dan nenek inilah yang menjadi semacam penghubung atau penampung saluran tenaga dari atas dan bawah itu untuk kemudian, setelah dapat bertemu dan bersatu, dipergunakan untuk membobol semua jalan darah dalam tubuh.
Dan ditepi meja seberangnya, Bu Bwee Hong sibuk mempergunakan jarum-jarum emas untuk menusuki bagian-bagian yang penting untuk mengurangi hambatan-hambatan penyaluran tenaga ayahnya dan kakaknya. Dan memang, dalam hal ilmu pengobatan, gadis inilah yang telah mewarisi kepandaian ayahnya dan dibandingkan dengan ibunya dan kakaknya, ia memang lebih pandai dalam hal tusuk jarum. Pekerjaan gadis ini, seperti juga ibunya, tak dapat dikatakan ringan, bahkan mengharuskan adanya ketelitian yang luar biasa. Empat orang itu sungguh mengerahkan dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk menolong gadis itu. Hal ini nampak jelas sehingga seorang seperti nenek Kwa yang selamanya berkecimpung dalam dunia hitam itu merasa terharu.
Matahari telah naik tinggi. Setengah hari telah lewat dan suasana dalam ruangan pengobatan itu menjadi semakin tegang. Empat orang keluarga Bu itu bermandi peluh, namun agaknya usaha mereka itu sia-sia belaka karena seluruh tenaga ayah dan anak itu belum juga dapat dipertemukan! Seng Kun yang telah mengerahkan seluruh tenaganya itu hanya bisa mendorong sampai kepangkal paha dan dia telah menemui rintangan-rintangan disepanjang kedua kaki itu yang seolah-olah telah membeku. Ayahnya lebih sukar lagi, hanya dapat mendorong sampai dibawah pundak. Bwee Hong sibuk menusuk sana-sini sehingga tubuh belakang gadis yang diobati itu penuh dengan jarum kecil-kecil, perak dan emas. Dan nyonya Bu juga sibuk sekali, menggunakan sinkang seperti hendak menyedot hawa murni dari atas bawah, namun belum juga terasa olehnya datangnya sinkang yang disalurkan oleh suaminya dan puteranya itu.
"Cepat, tambah lagi tenaganya!" Ibu ini mendorong dan mengerutkan alisnya.
"Ahhh... tidak... tidak bisa lagi... ibu, aku tidak kuat lagi... ahhhh!" Seng Kun mendesah dan tiba-tiba dari sudut bibirnya mengalir darah segar.
"Koko!" Bwee Hong berseru khawatir. Akan tetapi pemuda itu tidak memperdulikan dirinya.
"Moi-moi, cepat kau bantu ayah!" Bwee Hong menoleh memandang ayahnya dan semakin gelisah ia melihat betapa ayahnya juga payah sekali keadaannya, wajahnya pucat pasi dan dari lubang hidungnya juga mengalir darah.
"Ibu, ayah itu" Akan tetapi, ibunya hanya menggeleng kepala dengan sikap tenang karena ibu ini percaya bahwa suaminya dan puteranya masih akan dapat menolong diri sendiri. Kalau sudah ada darah keluar dari mulut atau hidung, berarti bahwa tenaga mereka sudah sampai di Puncaknya, dan tentu mereka akan mengendurkan tenaga karena kalau dilanjutkan berarti mencari mati sendiri. Ibu gadis yang sakit itu sejak tadi melihat ini. Wajahnya pucat dan beberapa kali ia memejamkan mata, mengepal tinju dan membanting-banting kakinya. Akhirnya iapun berseru,
"Sudahlah!, Sudahlah!!" Ia melihat betapa usaha keluarga Bu yang mati-matian itu telah menemui kegagalan. Keadaan yang amat menegangkan itu membuat mereka semua tidak sadar bahwa diluar rumah telah terjadi penyerbuan! Ada beberapa orang yang luar biasa datang menyerang dan tentu saja serbuan itu disambut oleh para penjaga yang berada diluar rumah, yaitu Ho Pek Lian dan dua orang gurunya, dan delapan orang anggauta perkumpulan Tai-bong-pai. Akan tetapi, para penyerang itupun lihai bukan main. Dua orang diantara mereka adalah orang-orang yang berambut riap-riapan dengan pakaian berwarna coklat! Masih ada lagi teman-teman mereka, yaitu empat orang berjubah biru dan delapan orang berjubah hijau! Tentu saja pihak penyerbu menjadi jauh lebih kuat.
Seperti telah kita ketahui, seorang yang berjubah biru saja kepandaiannya sudah sedemikian hebatnya sehingga ketika dikeroyok oleh Kim-suipoa dan Pek-bin-houw, dua orang pendekar inipun kewalahan. Apa lagi kini terdapat dua orang yang berjubah coklat, ditambah empat orang murid mereka dan delapan cucu murid. Sebentar saja delapan orang anak-buah Tai-bong-pai sudah terpukul roboh dan Pek Lian sendiri bersama dua orang gurunya juga hanya mampu menangkis saja ketika dikeroyok oleh orang-orang berjubah biru dan hijau. Dua orang yang berjubah coklat itu sudah menerjang pintu ruangan dan dengan mengeluarkah suara hiruk-pikuk pintu itu pun jebol! Tentu saja Bwee Hong dan Kwa-toanio terkejut bukan main.
"Awas musuh...!!" Kwa-toanio berseru dan Bwee Hong sudah meloncat dan memapaki kedua orang itu dengan sambitan jarum-jarumnya, jarum perak dan emas yang tadinya dipergunakan untuk menusuk dan mengobati Siok Eng. Akan tetapi, dengan amat mudahnya kedua orang yang berjubah coklat itu meruntuhkan semua jarum dengan kebutan lengan baju mereka. Dan dibelakangnya masih bermunculan orang-orang berjubah hijau. Mereka ini segera mengeroyok Kwa-toanio yang merobohkan dua orang diantara mereka. Ketika melihat betapa jarum-jarumnya tidak ada gunanya, Bwee Hong menerjang kedepan sambil mencabut pedangnya, menyerang seorang diantara dua orang berjubah coklat itu.
Akan tetapi orang itu mengelak dan dari belakangnya, Bwee Hong merasakan sambaran angin pukulan dahsyat. Dia mengelak dan membalik, dan ternyata yang menyerangnya telah tidak ada lagi dan juga orang berjubah coklat yang pertama yang diserangnya tadi sudah tidak ada. Mereka berdua itu telah meloncat dengan gerakan yang amat cepatnya, seorang berada dibelakang ayahnya dan seorang pula dibelakang kakaknya! Kwa-toanio sendiri sibuk dikeroyok oleh orang-orang baju biru sebanyak empat orang. Ternyata bahwa Pek Lian dan dua orang gurunya juga sudah terluka dan kini hanya dikeroyok oleh orang-orang jubah hijau, sedangkan empat orang berjubah biru sudah menyerbu kedalam dan mengurung Kwa-toanio, membuatnya tidak berdaya.
Dua orang berjubah coklat itu tahu bahwa diantara mereka semua, yang paling lihai adalah Bu Kek Siang dan Bu Seng Kun, maka merekapun langsung saja meloncat kebelakang ayah dan anak yang masih mengerahkan tenaga kepada si sakit itu. Juga nyonya Bu tak dapat meninggalkan tempatnya, karena hal itu akan membahayakan si sakit. Pula, peristiwanya terjadi sedemikian cepat dan tiba-tiba. Tahu-tahu kedua orang berjubah coklat itu telah mengirim serangan kilat kearah ayah dan anak itu. Kakek berjubah coklat yang pertama sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari tangan terbuka kearah lambung Bu Kek Siang, sedangkan kakek kedua dengan kepalan tangan kanannya sudah menghantam kearah punggung Bu Seng Kun. Kedua pukulan ini datang dengan berbareng dan tepat benar.
"Blaaarrrr...!!'" Akibatnya hebat! Ayah, anak dan ibu roboh tersungkur! Dari mulut mereka muncrat darah segar dan seketika mereka itu roboh pingsan. Akan tetapi yang lebih aneh lagi, pada saat pukulan itu tiba, terdengar jeritan nyaring dari mulut gadis yang menelungkup itu, dan beberapa batang jarum yang masih menancap ditubuhnya mencelat sedangkan bekas-bekas tusukan jarum itu mengeluarkan darah, dan iapun terkulai dan pingsan. Kwa-toanio marah sekali, mengira bahwa puterinya tentu menjadi korban dan tewas.
Dengan kemarahan meluap, tokoh Tai-bong-pai ini mengamuk, dikeroyok oleh empat orang berjubah biru yang agaknya kewalahan juga menghadapi amukan ibu yang marah ini. Bwee Hong sudah memutar pedangnya, menyerang seorang berjubah coklat akan tetapi ia tidak mampu mencegah ketika seorang berjubah coklat yang lain telah memasuki rumah keluarganya. Sedangkan menghadapi si jubah coklat itu saja ia sudah merasa amat kewalahan pedangnya tak mampu berbuat banyak karena lawannya itu sedemikian lihainya sehingga lengan orang itu berani menangkis pedangnya tanpa terluka sedikitpun, sebaliknya malah setiap kali terjadi benturan keras, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena seluruh lengannya tergetar hebat. Kwa-toanio yang marah sekali itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Kini ditariknya sehelai sabuk putih yang ia gerakkan seperti cambuk dan tangan kirinya kadang-kadang menyambitkan hio-hio yang bernyala. Entah bagaimana hio-hio itu dapat dinyalakan, akan tetapi senjata-senjata rahasia ini memang hebat sekali sehingga para pengeroyoknya yang berjubah biru itu menjadi repot juga karena mereka tidak berani menyambut senjata rahasia itu. Melihat kehebatan nenek ini, si jubah coklat yang mendesak Bwee Hong lalu meloncat dan menyerang Kwa-toanio, sedangkan dua orang berjubah biru kini mengeroyok Bwee Hong yang masih tetap kewalahan. Setelah si jubah coklat maju mengeroyok, repotlah Kwa-toanio dan akhirnya sebuah tendangan kilat dari si jubah coklat mengenai pahanya dan membuatnya terhuyung. Pada saat itu, kakek berkubah coklat yang tadi memasuki rumah keluarga Bu, muncul sambil berkata,
"Sudah kudapatkan, mari kita pergi!" Teman-temannya yang masih bertempur segera meloncat keluar dan para anak-buah mereka yang berjubah hijau juga sudah melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka. Sebentar saja, keadaan disitu menjadi sunyi. Melihat keadaan pihak keluarga tuan rumah, Kwa-toanio menjadi berduka sekali. Tanpa memperdulikan lagi puterinya yang masih rebah menelungkup tak sadarkan diri, pertamatama yang ditolongnya adalah nyonya rumah karena ia melihat Bwee Hong berlutut dan merangkul nyonya itu sambil berusaha untuk membuat pernapasan dengan cara meniupkan napasnya sendiri melalui mulut ibunya dengan menutup lubang hidungnya.
Bwee Hong tidak menangis, hanya air matanya saja berlinang. Gadis yang juga telah mempelajari ilmu pengobatan ini berusaha untuk bersikap tenang sungguhpun hatinya merasa amat gelisah dan bingung. Hati siapa tidak akan menjadi bingung melihat betapa ayahnya, ibunya, dan kakaknya seluruh keluarganya roboh pingsan dan semuanya menderita luka yang hebat? Setelah berhasil mengembalikan pernapasan ibunya, walaupun masih amat lemah, gadis itu cepat merebahkan kembali ibunya dan menghampiri ayahnya. Ternyata ayahnya sudah siuman, walaupun keadaannya masih amat payah karena ayahnya juga menderita luka yang amat berat disebelah dalam tubuhnya.
"Coba periksa kakakmu..., hentikan jalan darah koan-goan-hiat" ayahnya berkata dengan napas terengah.
Gadis itu bangkit dan menghampiri kakaknya. Ternyata pemuda itu masih pingsan, akan tetapi setelah memeriksanya, hati Bwee Hong tidak begitu khawatir akan keadaan kakaknya. Biarpun kakaknya juga menerima pukulan hebat, namun agaknya tubuh muda kakaknya itulah yang menyelamatkannya dan mampu melindungi isi dadanya.
(Lanjut ke Jilid 03)
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 03
Memang serangan dua orang berjubah coklat yang mendadak itu telah mendatangkan keanehan-keanehan. Selain ayah dan anak itu yang langsung menerima pukulan dan menderita luka parah, juga hawa sinkang dari kedua orang penyerang yang kuat itu telah mendorong hawa sinkang dari ayah dan anak itu sendiri, membuat kekuatan yang mengalir kedalam tubuh Siok Eng menjadi berlipat ganda dan tenaga sinkang itu, yang tadinya kurang kuat dan hanya berhenti sampai pada pangkal paha dan bawah pundak,
Kini dengan serentak mengalir dan menyerbu sehingga dapat bertemu dan ditampung oleh nyonya Bu melalui kedua telapak tangannya yang berada dipunggung gadis sakit itu. Seperti aliran listrik yang ditampung dan terlalu besar, maka ibu inipun tidak kuat bertahan dan seperti menerima hantaman dahsyat dari kanan kiri melalui kedua telapak tangannya, membuat ia roboh seketika dan menderita luka yang parah sekali. Akan tetapi, peristiwa ini mendatangkan keuntungan yang besar kepada Siok Eng. Dengan adanya penambahan tenaga sinkang dari luar, dari kedua orang jubah coklat itu, maka semua pembuluh darah dan urat syaraf dapat ditembus, dan semua kebekuan telah dapat mencair. Kalau tadinya ia tak mampu bicara, sekarang tiba-tiba saja ia sudah dapat bicara bahkan ia sudah dapat menggerakkan semua anggauta tubuhnya.
Setelah siuman dari pingsannya, gadis ini dapat bergerak dan mengenakan pakaian sendiri. Hanya tubuhnya masih amat lemah dan ia masih belum mampu turun dan berjalan, walaupun sudah dapat bangkit duduk kembali tanpa bantuan orang lain. Melihat keadaan ini, Kwa-toanio yang sejak muda telah menjadi tokoh sesat dalam dunia hitam, sekali ini meruntuhkan air mata dan menangis sesenggukan. Ia melihat betapa keluarga itu telah berusaha sungguh-sungguh untuk menyelamatkan puterinya, dan akibatnya, puterinya benar-benar sembuh, akan tetapi keluarga itu sendiri menjadi hancur! Maka tentu saja ia merasa berterimakasih sekali, bukan hanya kepada keluarga Bu, akan tetapi juga kepada Ho Pek Lian dan kedua orang gurunya yang juga mengalami luka-luka dalam pertempuran itu.
Biarpun penyerbuan itu dilakukan orang kepada keluarga Bu tanpa ada sangkut-pautnya dengan rombongannya, namun kalau tidak ada bantuan Pek Lian dan kedua orang gurunya, tentu akibatnya akan lebih hebat pula. Memang akibat penyerbuan itu hebat sekali. Kakek Bu Kek Siang dan isterinya ternyata tidak dapat menahan gempuran hebat itu. Bahkan pada keesokan harinya, nyonya Bu yang jatuh pingsan lagi tidak sadar lagi dan tewas! Juga Bu Kek Siang sendiri napasnya tinggal satu-satu. Dia lebih banyak menggunakan isyarat tangan dari pada bicara ketika dia minta agar diambilkan sebuah peti hitam kecil yang disimpannya ditempat rahasia bersama kitab-kitab pusaka. Kitab-kitab pusaka itu telah lenyap diambil oleh si jubah coklat, akan tetapi peti itu biarpun sudah dibuka, ternyata tidak dibawa pergi. Isinya sebuah kitab catatan kakek Bu Kek Siang sendiri.
"Terimalah ini" katanya kepada puterinya.
"Dan kelak, berdua dengan kakakmu, bacalah" Hanya itulah pesan yang ditinggalkan pendekar ini. Agaknya, kematian isterinya membuat dia seolah-olah ingin mempercepat perjalanannya meninggalkan dunia yang penuh kepalsuan ini. Tentu saja, kematian ayah-bundanya ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Seng Kun dan adiknya. Terutama sekali bagi Bwee Hong. Gadis ini berusaha untuk bersikap gagah dan tidak menangis, akan tetapi ternyata usaha ini malah membuat ia menjadi pucat sekali dan air matanya selalu berlinang dikedua matanya dan setiap kali ia berkedip, beberapa butir air mata mengalir keatas kedua pipinya yang pucat. Rumah keluarga Bu itu kini menjadi rumah duka yang penuh dengan orang sakit. Karena kakaknya masih terluka dan belum dapat turun dari pembaringan, maka Bu Bwee Hong seoranglah yang menjadi wakil keluarga Bu, menghadapi semua itu.
Ayah-bundanya tewas, kakaknya terluka berat. Untung disitu terdapat Ho Pek Lian yang menghiburnya, menemani dan membantunya. Juga kedua orang guru dari Pek Lian yang dengan penuh rasa kasihan membantu sekuat tenaga. Masih ada lagi nyonya Kwa yang merasa berhutang budi dan berterimakasih sekali kepada keluarga itu. Maka nyonya ini mengerahkan sisa anak-buahnya yang hanya luka ringan, yaitu hanya enam orang, untuk membantu segala keperluan untuk mengubur jenazah Bu Kek Siang dan isterinya. Dikubur secara sederhana saja, dibelakang rumah dimana terdapat sebuah bukit kecil. Sebelum kedua peti jenazah diangkat, diadakan upacara sembahyang dan dalam kesempatan inilah baru Bu Bwee Hong dapat menangis terisak-isak seperti anak kecil.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemandangan waktu itu sungguh amat memilukan hati. Dua peti jenazah itu dijajarkan dengan satu meja sembahyang didepannya. Tidak ada orang lain yang hadir kecuali mereka yang berada disitu semenjak terjadinya penyerbuan itu. Nyonya Kwa dan delapan anak-buahnya, dua diantaranya luka parah. Kwa Siok Eng yang terpaksa dituntun ibunya ketika hendak bersembahyang. Dan juga Bu Seng Kun yang dirangkul dan dipapah oleh adiknya. Dua orang kakak-beradik itu menjatuhkan diri berlutut didepan peti dan menangis. Seng Kun ternyata adalah seorang gagah yang cepat dapat menguasai hatinya. Dia menyusut air matanya dan melihat betapa adiknya menangis seperti tak sadarkan diri, dia mencengkeram lengan adiknya itu, mengguncangnya dan berkata,
"Moi-moi, mana kegagahanmu? Apakah engkau kira ayah dan ibu akan senang hati mereka melihat engkau cengeng seperti ini?" Bwee Hong mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada kakaknya sejenak, kemudian menjerit dan merangkul kakaknya, dan pingsan dalam pelukan kakaknya! Seng Kun merasa jantungnya seperti diremas-remas, akan tetapi dia menahan diri dan dengan adiknya masih dalam rangkulannya, diapun menghadap dua peti jenazah itu.
"Ayah, ibu..., ampunkanlah kelemahan moi-moi, ia masih kanak-kanak... Dan menghadapi semua ini... ah, ayah dan ibu, aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ayah dan ibu tewas dalam tangan saudara seperguruan sendiri, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan??"
Pendekar Tanpa Bayangan Eps 5 Naga Beracun Eps 2 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 9