Harta Karun Kerajaan Sung 5
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Benarkah laporanmu itu? Hayo coba ulangi!" kata datuk itu sambil meraba-raba jenggotnya.
Terpaksa Kong Sek mengulang pelaporannya. Dia menceritakan betapa ketika dia membawa Pouw Cun Giok sebagai tawanan, dikawal para perajuritnya, tiba-tiba muncul Cu Ai Yin yang memaksa membebaskan tawanan itu!
"Sumoi ( Adik Seperguruan ) bukan hanya membebaskan Pouw Cun Giok dengan paksa, bahkan ia dan tawanan itu mengamuk, merobohkan para perajurit dan Sumoi melukai lengan teecu (murid)."
"Kurang ajar! Berani ia berbuat begitu? Membela orang luar dan menentang ayahnya sendiri?"
"Sumoi memang keterlaluan, Suhu. Akan tetapi teecu dapat memaafkannya. Harap Suhu jangan terlalu memarahinya kalau ia pulang. Tentang si jahanam Pouw Cun Giok, harap Suhu jangan khawatir, teecu pasti akan dapat menangkapnya. Teecu akan membawa pasukan untuk mengejar, mencari dan menangkapnya." Kemudian dia menambahkan, suaranya lirih membujuk.
"Suhu, melihat betapa Sumoi terkadang liar membawa kehendak sendiri dan tidak dapat dikendalikan, bagaimana kalau Suhu melangsungkan dengan segera pernikahan kami? Kalau ia sudah menjadi isteri teecu, tentu ia akan berubah sehingga Suhu tidak akan terlalu pusing dibuatnya."
Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk lemah dan pandang matanya tampak ragu.
"Sebaiknya begitu, mungkin lebih baik begitu......" Dia lalu memberi tanda dengan tangannya menyuruh muridnya pergi.
"Selamat tinggal, Suhu. Teecu hendak kembali ke kota raja dan melaporkan tentang Pouw Cun Giok kepada panglima bagian keamanan, minta dibantu pasukan untuk mencari jahanam itu."
Cu Liong hanya mengangguk dan pemuda itu segera meninggalkan tempat itu lalu turun dari Bukit Merak dan menuju ke kota raja.
Setelah muridnya pergi, Bu-tek Sin-liong Cu Liong duduk termenung di kursinya. Teringat dia akan keadaan keluarganya. Dia telah malang melintang di dunia persilatan dan berhasil mengumpulkan kekayaan yang cukup besar. Ketika usianya hampir empatpuluh tahun, dia menikah dan mempunyai seorang anak, yaitu Cu Ai Yin. Setelah mempunyai anak, barulah dia merasa berkeluarga dan dia lalu tinggal di Bukit Merak bersama Isteri dan anaknya. Akan tetapi, baru setahun tinggal di situ, isterinya meninggal dunia karena sakit, padahal ketika itu usia Cu Ai Yin baru tiga tahun.
Setelah isterinya meninggal dan dia harus memelihara puterinya seorang diri, Cu Liong lalu mengambil empat orang wanita muda menjadi selir-selirnya, bahkan dia lalu menerima sebanyak limapuluh orang yang menjadi anak buahnya di Bukit Merak.
Bu-tek Sin-liong Cu Liong menghela napas panjang. Dia amat menyayang puterinya, akan tetapi sekali ini Ai Yin bertindak keterlaluan. Tidak saja gadis itu berani minggat tanpa pamit, juga puterinya itu telah membebaskan Pouw Cun Giok bahkan melukai Kong Sek, putera mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok, suhengnya sendiri.
Mengingat puterinya, terbayanglah semua kenangan tentang Cu Ai Yin. Gadis itu amat disayangnya, juga biasanya gadis itu amat sayang dan patuh kepadanya walaupun agak manja. Dan dia tahu betul bahwa Ai Yin adalah seorang gadis yang keras hati dan teguh pendiriannya. Bahkan niatnya untuk menjodohkan puterinya itu dengan muridnya, Kong Sek, agaknya tidak disetujui Ai Yin.
Dan sekarang, agaknya Ai Yin jatuh cinta atau memilih seorang pemuda buruan pemerintah seperti Pouw Cun Giok. Dia sendiri memang kagum kepada pemuda itu yang memiliki ilmu silat lihai sekali, juga wajah pemuda itu cukup tampan, tidak kalah oleh ketampanan Kong Sek. Akan tetapi Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu itu adalah seorang buronan yang telah membunuh sahabat baiknya, Kong Tek Kok, dan Pangeran Lu Kok Kong, di samping membunuh banyak perajurit. Pemuda itu adalah seorang pemberontak yang selalu menjadi buruan pemerintah. Dia membayangkan betapa kehidupan puterinya akan selalu menderita dan terancam bahaya kalau menjadi isteri Pouw Cun Giok. Sebaliknya kalau Ai Yin menjadi isteri Kong Sek, ia tentu akan menjadi seorang puteri bangsawan yang dimuliakan dan dihormati.
Berhari-hari lamanya laki-laki setengah tua yang jantan dan gagah perkasa ini lebih banyak duduk melamun di dalam kamarnya. Bahkan dia melarang empat orang isterinya mendekatinya. Dia merasa tidak bahagia. Empat orang isterinya itu tidak ada yang mempunyai anak. Anaknya hanya Cu Ai Yin seorang dan kini anaknya itu pergi meninggalkannya. Baru terasa betapa sunyi hidupnya tanpa adanya Ai Yin di situ. Dia ingin menyusul dan mencari puterinya, akan tetapi ke mana? Anaknya pergi tanpa pamit dan dia tidak dapat menduganya ke mana anaknya pergi.
Setelah mengurung diri dengan muka muram selama beberapa bulan lamanya, akhirnya Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak kuat menahan lagi keinginannya untuk mencari dan menemukan puterinya.
Pada suatu hari dia memanggil keempat isterinya lalu berkata kepada mereka.
"Kalian berempat jagalah rumah baik-baik, Aku akan pergi meninggalkan Bukit Merak untuk entah berapa lamanya, tergantung kapan aku dapat menemukan Ai Yin. Aku akan pergi mencari Ai Yin dan baru pulang kalau ia telah dapat kutemukan. Sekarang panggil semua anak buah untuk berkumpul di sini."
Setelah semua anak buahnya datang, Cu Liong memesan agar mereka semua melaksanakan tugas seperti biasa dan jangan ada yang melanggar peraturan.
Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar seruan seorang anak buah yang bertugas jaga di gapura perkampungan, yang berseru sambil berlari-lari datang ke ruangan depan gedung di mana para anak buah berkumpul menghadap majikan Bukit Merak.
"Thai-ya (Tuan Besar)...... Siocia (Nona) telah pulang!"
Mendengar ini Cu Liong bangkit dari duduknya, wajahnya yang beberapa hari lamanya ini muram dan kusut, tiba-tiba menjadi berseri dan pandang matanya bersinar gembira. Tak lama kemudian dia melihat Cu Ai Yin berjalan cepat memasuki pekarangan dan menuju ke ruangan depan gedung itu.
Begitu melihat ayahnya, Ai Yin yang juga rindu kepada ayahnya lari menghampiri dan di lain saat ia telah berada dalam rangkulan ayahnya.
"Anak nakal!" Cu Liong mengomel akan tetapi mulutnya tersenyum lega.
"Ke mana saja engkau pergi? Hayo kita bicara di dalam!"
Ayah dan anak itu bergandengan tangan memasuki ruangan dalam dan empat orang selir itu lalu membubarkan para anak buah yang ikut merasa lega bahwa nona majikan mereka sudah pulang dengan selamat. Empat orang wanita selir yang usianya antara tigapuluh lima tahun itu tidak berani mengganggu ayah dan anak yang bicara di ruangan dalam. Mereka tidak berani memasuki ruangan itu tanpa dipanggil.
Cu Liong tidak mau langsung memarahi puterinya. Dia khawatir kalau-kalau puterinya yang berhati keras itu marah dan pergi lagi. Setelah mereka duduk, dia bertanya.
"Ai Yin, ke mana saja engkau pergi selama ini?"
Sambil memandang kepada ayahnya dengan sikap manja, Ai Yin menjawab,
"Ayah, telah lama sekali aku ingin melihat dunia ramai di luar wilayah Bukit Merak. Aku pergi merantau."
"Hemm, mengapa engkau pergi tanpa pamit?"
"Maafkan aku, Ayah......" Ai Yin merengek.
"Hemm, jawab dulu mengapa engkau pergi tanpa pamit kepada Ayahmu?"
"Karena aku...... ketika itu, aku marah dan jengkel, Ayah."
"Eh? Marah dan jengkel? Kepadaku? Mengapa?"
"Karena Ayah hendak memaksa aku menikah dengan Suheng......"
"Hemm, siapa yang memaksa? Aku hanya ingin engkau menjadi isteri bangsawan dan terhormat. Pula, apa salahnya menjadi isteri Kong Sek? Dia seorang pemuda bangsawan yang baik, cukup tampan dan gagah. Pula, aku melihat bahwa hubunganmu dengannya tampak akrab."
"Aku memang suka kepada Suheng, Ayah, akan tetapi tidak mencintanya dan tidak ingin menjadi isterinya. Ayah tidak akan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak kusukai dan tidak ingin kulakukan, bukan?"
"Ya sudahlah, aku tidak akan memaksamu menikah dengan siapapun juga apabila tidak engkau sukai. Akan tetapi ada sebuah hal yang membuat aku menjadi penasaran. Mengapa engkau membela seorang asing seperti Pouw Cun Giok itu, menentang keputusanku untuk membawa pembunuh dan pemberontak itu ke kota raja untuk diadili, bahkan engkau tega melukai lengan Suhengmu sendiri? Nah, jawab, apa alasanmu membela Pouw Cun Giok mati-matian?"
Cun Ai Yin tersenyum dan mengangguk-angguk "Hemm, aku mengerti, Ayah. Sudah pasti Suheng Kong Sek itu mengadu kepada Ayah, bukan? Hal ini saja membuktikan bahwa dia adalah seorang yang curang dan pembohong besar!"
"Eh? Apa maksudmu, Ai Yin? Engkau malah memaki dia curang dan pembohong besar?"
"Ayah, Ayah tahu bahwa sejak kecil Ayah mendidikku untuk bersikap adil dan hidup sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan sebagai seorang gagah. Pouw Cun Giok berada di sini adalah aku yang menolongnya ketika dia kudapatkan pingsan di tepi sungai, berarti dia adalah tanggung jawabku. Kemudian Ayah dapat menerimanya sebagai tamu setelah kita mengujinya dan ternyata dia adalah seorang pendekar yang tinggi ilmunya. Kemudian muncul Suheng yang menyerang Cun Giok dan dalam perkelahian mereka Suheng juga bukan tandingan Cun Giok. Akan tetapi Ayah mencampuri urusan mereka dan membela Suheng."
"Tentu saja!" bantah Cu Liong.
"Pouw Cun Giok itu membunuh ayah Kong Sek, yaitu Panglima Besar Kong Tek Kok yang menjadi sahabat baikku. Dan tentu saja aku membela Kong Sek karena dia muridku. Apa salahnya dengan itu?"
"Ayah telah khilaf dan tidak adil, membela satu pihak saja tanpa mempertimbangkan persoalannya. Ketahuilah, Cun Giok membunuh Kong Tek Kok karena panglima itu telah membasmi seluruh keluarganya, yaitu keluarga Pouw di So-couw. Kakek Buyutnya, Ayahnya, Ibunya, semua terbasmi oleh Panglima Kong Tek Kok! Bukankah sudah sepantasnya kalau Cun Giok membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk itu? Kemudian ketika diserang Suheng, Cun Giok mengalah dan tidak melukainya, padahal kalau dia mau, tentu dengan mudah dia dapat membunuh Suheng! Dia tidak mau mengaitkan Suheng dengan dosa-dosa Ayahnya. Kemudian, Ayah mencampuri dan hendak menangkap Cun Giok agar dibawa Suheng ke pengadilan di kota raja. Lagi-lagi Cun Giok mengalah, tidak melawan dan menyerah karena dia merasa telah ditolong Ayah maka tidak mau membantah dan menentang kehendak Ayah yang berat sebelah itu. Bukankah itu menunjukkan bahwa Cun Giok memiliki watak jantan dan seorang pendekar sejati?"
Cu Liong mengangguk-angguk.
"Hemm, mungkin aku telah keliru, akan tetapi agaknya engkau membela Cun Giok' mati-matian, membebaskannya dengan kekerasan dan melukai Kong Sek. Apakah tindakanmu itu bisa dianggap adil dapat dibenarkan?"
"Lebih dari adil dan seratus persen benar, Ayah! Ayah telah dikelabuhi kebohongan Suheng Kong Sek. Sesungguhnya kejadiannya begini, Ayah. Ketika aku melarikan diri dari sini, di tengah perjalanan tanpa kusengaja aku melihat Kong Sek mengayun pedang hendak membunuh Cun Giok yang menjadi tawanan tak berdaya itu. Tentu saja aku tidak bisa melihat perbuatan licik dan curang lagi sewenang-wenang itu. Aku lalu menangkis dan ketahuilah, Ayah, pada saat itu Cun Giok dengan mudah mampu mematahkan belenggu dan membebaskan diri sendiri! Jelas dia di sini mengalah dan mau ditawan karena melihat muka Ayah. Suheng Kong Sek tidak mau mengerti, mengerahkan pasukan untuk menyerang aku dan Cun Giok. Tentu saja kami berdua melakukan perlawanan dan aku melukai, lengan Suheng. Kalau aku tidak ingat dia itu Suhengku, tentu pedangku bukan menggores lengan, melainkan memenggal lehernya! Akhirnya dia melarikan diri bersama pasukannya. Nah, harap Ayah pertimbangkan. Kalau Ayah masih tetap menganggap aku yang bersalah, silakan Ayah menghukumku, biar dihukum mati sekalipun aku tidak akan membantah, Ayah." Setelah berkata demikian, Ai Yin yang merasa penasaran dan terharu, tak dapat menahan diri dan menangis terisak-isak! Melihat puterinya menangis, Bu-tek Sin-liong merangkulnya.
"Sudahlah, kalau begitu halnya, ternyata aku telah salah pilih ketika menerimanya sebagai murid. Sudah, jangan menangis. Aku tidak menyalahkanmu dan kalau Kong Sek datang ke sini, aku akan memaki dan memarahinya!"
"Apakah sekarang setelah melihat kelakuannya, Ayah masih ingin mengambil dia sebagai mantu?" tanya Ai Yin sambil menahan isaknya.
"Hemm, untuk itu...... ah, kalau engkau tidak mau, aku pun tidak akan memaksamu."
"Ah, terima kasih, Ayah! Hatiku menjadi lega sekarang. Ternyata Cun Giok memang benar sekali!"
"Eh? Cun Giok benar sekali? Apa maksudmu?"
"Ayah, dalam perjalananku ketika aku melewati sebuah dusun, ada tiga orang perajurit Mongol bersikap kurang ajar terhadapku. Aku menghajar mereka dan membunuh dua orang di antara mereka akan tetapi yang seorang dapat lolos. Agaknya yang lolos itu lalu memberi tahu kawan-kawannya dan aku dikejar-kejar. Ketika aku menyeberangi sungai dengan sebuah perahu, tiba-tiba muncul dua perahu besar yang penuh dengan perajurit Mongol. Aku melawan dan mengamuk, berhasil membunuh banyak perajurit yang mengeroyokku, akan tetapi ketika aku dihujani anak panah, sebatang anak panah mengenai punggungku sehingga aku terjatuh ke dalam air sungai."
"Ah......! Keparat pasukan itu! Lalu bagaimana, Ai Yin?"
"Dalam keadaan pingsan aku hanyut, akan tetapi ada yang menolongku dan membawaku berenang ke darat. Orang itu menyelamatkan aku dari maut dan mengobati luka di punggungku."
"Bagus, siapa orang itu?"
"Dia adalah Pouw Cun Giok, Ayah."
"Ahh! Dia? Hemm, dia telah membayar hutang kepadamu karena engkau juga menyelamatkan nyawanya."
"Setelah menolongku dia lalu bercerita tentang urusannya dengan Panglima Besar Kong Tek Kok. Setelah itu, mendengar ceritaku bahwa aku minggat dari Bukit Merak karena hendak dipaksa menikah dengan Kong Sek, Cun Giok menasihati aku agar aku segera pulang dan minta maaf padamu, Ayah. Dia meyakinkan aku bahwa Ayah yang menyayangku pasti tidak akan memaksaku menikah dengan orang yang tidak aku suka."
Bu-tek Sin-liong mengelus jenggotnya dan tersenyum.
"Hemm, Ai Yin, agaknya engkau akrab dengan Pouw Cun Giok dan dia amat baik kepadamu. Katakan, apakah pemuda itu mencintaimu?"
Wajah gadis itu menjadi kemerahan.
"Aku...... aku mana tahu, Ayah? Dia memang baik sekali padaku, akan tetapi tentang hal itu, aku...... ah, bagaimana aku dapat mengetahui isi hatinya?"
"Hemm, apakah engkau mencintanya?"
Wajah Ai Yin menjadi semakin merah dan beberapa kali ia mengerutkan alis, menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya sebelum menjawab.
"Ini...... aku pun tidak tahu, Ayah! Dia memang baik sekali dan aku kagum padanya, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu cinta itu bagaimana."
"Ha-ha, kalau engkau cinta padanya, dia harus mau menjadi suamimu. Akan kuceritakan hal ini dengan dia kalau aku bertemu dengan Cun Giok."
"Ih, Ayah! Malu dong kalau kita yang mulai membicarakan soal itu! Sudahlah, Ayah, jangan kita bicarakan soal itu sekarang. Ada berita yang lebih penting lagi dan Ayah pasti tertarlk mendengarnya."
"Berita tentang apa, Ai Yin?"
"Tentang Harta Karun Kerajaan Sung!"
"Harta karun Kerajaan Sung? Apa itu dan bagaimana ceritanya?" Bu-tek Sin-long tertarik sekali.
Ai Yin sudah mendengar tentang harta karun itu dari Cun Giok maka ia menceritakan dengan singkat bahwa harta karun itu milik Kerajaan Sung yang disembunyikan, akan tetapi ketika tempat persembunyian itu ditemukan, harta karun telah lenyap. Peti harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya terdapat tulisan huruf THAI SAN.
"Sekarang, berita itu telah tersebar luas, Ayah. Semua orang di Bu-lim (Rimba Persilatan, kaum pendekar) dan Kang-ouw (Sungai Telaga, kaum sesat) hendak mencari dan memperebutkan harta itu. Mereka semua mencari ke Thai-san. Cun Giok juga hendak pergi ke sana untuk mencari pencuri harta dan merebutnya."
"Hemm, untuk apa mereka semua memperebutkan harta itu?"
"Ayah, menurut cerita Cun Giok, harta itu adalah hasil korupsi seorang pembesar korup dari Kerajaan Sung yang bernama Thaikam Bong. Dia mencuri harta karun itu dan menyembunyikannya, lalu membuat peta. Peta itu tadinya terjatuh ke tangan Cun Giok dan kawan-kawannya, akan tetapi mereka tertawan oleh Panglima Kim Bayan, bahkan Suheng Kong Sek juga berada dalam rombongan Panglima Kim Bayan. Cun Giok dan kawan-kawannya dipaksa membantu Panglima Kim Bayan mencari harta karun menurut petunjuk peta. Akan tetapi, ketika ditemukan tempat itu hartanya telah lenyap, tinggal peti kosong di mana terdapat tulisan THAI SAN."
"Hemm, biarkan mereka berebut. Aku tidak butuh harta karun. Hartaku sudah cukup."
"Akan tetapi, Ayah. Harta karun itu banyak sekali dan pula, perebutan itu juga berarti persaingan nama, siapa yang berhasil mendapatkan harta karun, berarti dialah yang paling kuat!"
Kelemahan Bu-tek Sin-liong adalah soal nama besar. Dia menggunakan julukan Bu-tek (Tidak Terlawan) sudah menunjukkan betapa dia amat mementingkan nama besar. Maka begitu Ai Yin yang cerdik menyebut tentang persaingan nama besar, hatinya segera tertarik.
"Siapa saja yang memperebutkan harta karun itu?"
"Aku tidak tahu, Ayah. Akan tetapi yang jelas ada tiga golongan. Pertama adalah orang-orang Kerajaan Mongol seperti Panglima Besar Kim Bayan dan mungkin juga Suheng Kong Sek dan mereka ini berusaha mendapatkan harta karun mungkin untuk diserahkan kepada pemerintah Kerajaan Mongol atau mungkin juga untuk diri mereka sendiri. Golongan kedua adalah para tokoh sesat, para petualang yang ingin memiliki harta besar itu, atau para datuk dan tokoh besar yang ingin membuat nama besar. Adapun golongan ketiga adalah para pendekar yang menentang Kerajaan Mongol dan seperti yang diceritakan Cun Giok, mereka ini berusaha mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para pejuang yang menentang dan ingin menumbangkan kekuasaan penjajah Mongol."
Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk. Hatinya semakin tertarik.
"Dan bagaimana dengan engkau, Ai Yin? Apakah engkau juga ingin mencari harta itu?"
"Aku ingin sekali, Ayah, bukan karena ingin memiliki harta itu, melainkan ingin mencari pengalaman. Perebutan harta karun itu tentu ramai sekali, Ayah. Banyak orang-orang sakti akan datang ke tempat itu. Kalau aku datang ke sana, tentu aku akan mendapatkan banyak pengalaman. Akan tetapi, terus terang saja, aku agak takut, Ayah. Dengan kepandaian yang kumiliki, bagaimana mungkin aku dapat menghadapi orang-orang sakti itu dengan aman?"
"Apakah engkau tidak ingin ke sana agar dapat bertemu dengan Cun Giok?" tanya Sang Ayah.
"Aih, Ayah. Tentu saja kalau bertemu dia, kami dapat bekerja sama. Aku akan membantunya memperebutkan harta itu."
"Dan dia akan menyerahkan kepada para pejuang? Bukankah kita ini orang-orang yang tidak ingin memihak, baik memihak Kerajaan Mongol maupun memihak para pejuang yang memusuhinya?"
"Tentu saja, Ayah. Akan tetapi aku hanya membantu, karena Cun Giok adalah sahabat baikku. Akan tetapi kalau Ayah pergi juga, tentu saja aku akan membantu Ayah."
"Baik, kita pergi ke Thai-san!" akhirnya Bu-tek Sin-liong tertarik juga karena kalau dia dapat merampas harta karun itu, seluruh tokoh di dunia persilatan akan mengakuinya sebagai pendekar yang benar-benar Bu-tek (Tanpa Tanding)! Ai Yin gembira sekali mendengar ini dan ia merangkul ayahnya dengan gembira dan manja.
Pegunungan Thai-san adalah sebuah pegunungan yang amat luas. Thai-san memiliki banyak puncak yang tinggi menjulang ke langit dan menembus awan. Ratusan bukit-bukit terdapat di pegunungan itu. Biasanya, pegunungan ini sepi karena biarpun tanah pegunungan itu cukup subur, namun banyak bagian daerah itu merupakan daerah rawan yang ditakuti penduduk. Hanya di bagian timur, yang menjadi pusat Partai Persilatan Thai-san-pai saja yang tidak ditakuti rakyat sehingga di daerah itu terdapat beberapa buah desa yang dihuni para petani. Akan tetapi di daerah barat, utara, dan selatan merupakan daerah rawan yang amat berbahaya dan dikabarkan sebagai daerah maut oleh penduduk di sekitar Thai-san.
Di daerah Barat dikuasai oleh seorang yang oleh penduduk dianggap sebagai seorang manusia iblis. Tidak ada yang mengetahui nama tokoh ini, karena hanya julukannya saja dikenal orang. Julukannya adalah Huo Lo-sian (Dewa Api) dan siapa saja yang kebetulan melihat dia, dari jauh saja orang itu akan melarikan diri ketakutan. Tokoh ini berusia sekitar limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya mirip muka singa penuh berewok. Hebatnya, baik rambutnya yang panjang riap-riapan maupun berewoknya yang menutupi muka itu berwarna kemerahan seperti api!
Huo Lo-sian yang menguasai pegunungan bagian barat ini mempunyai anak buah sebanyak kurang lebih limapuluh orang. Mereka tinggal di sebuah perkampungan bersama keluarga para anak buahnya dan Huo Lo-sian sendiri tinggal di sebuah rumah gedung di tengah perkampungan, sedangkan anak buahnya tinggal di pondok-pondok di sekeliling rumah gedung itu bersama keluarga mereka. Huo Lo-sian tidak mempunyai keluarga. Sejak dulu datuk ini tidak pernah berkeluarga, hanya hidup seorang diri saja. Wataknya amat aneh dan ganas maka andaikata dia berkeluarga, tentu keluarganya tidak akan dapat tinggal bersama seorang seperti dia.
Tentu saja wataknya yang ganas liar dan kasar itu dicontoh anak buahnya. Anak buahnya dapat dikenal dengan pakaian mereka yang serba hijau. Mereka memang segolongan perampok, akan tetapi kalau saja ada yang berani melanggar wilayah kekuasaan mereka, jangan harap orang itu dapat keluar dari situ dengan selamat!
Adapun tokoh yang menguasai bagian Utara pegunungan itu adalah sepasang orang kembar yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), Yang pertama atau yang lebih tua berjuluk Hek Mo-ko (Iblis Hitam), disebut demikian karena memang mukanya hitam seperti arang, juga kedua telapak tangannya hitam. Adapun orang kedua atau yang lebih muda dijuluki Pek Mo-ko, yang artinya Iblis Putih. Muka Pek Mo-ko juga aneh, putih seperti kapur sehingga lebih mengerikan lagi dibandingkan kakaknya. Juga telapak tangan Pek Mo-ko berwarna putih seperti kapur.
Kalau bagian barat yang menjadi tempat tinggal Huo Lo-sian disebut Bukit Merah, maka bagian Utara tempat tinggal Hek Pek Mo-ko inl dlkenal dengan sebutan Bukit Batu. Hek Pek Mo-ko juga mempunyai anak buah sebanyak kurang lebih limapuluh orang.
Di bagian selatan pegunungan itu, disebut Bukit Cemara, menjadi markas perkumpulan Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang sebetulnya memiliki cabang hampir di semua kota besar, bahkan di kota raja juga ada. Akan tetapi pusatnya, atau tempat tinggal tokoh utama berada di Bukit Cemara di bagian Selatan Pegunungan Thai-san. Ketuanya adalah seorang pengemis tua berusia sekitar limapuluh lima tahun yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan). Di situ tinggal kurang lebih seratus orang murid atau anggautanya.
Perkumpulan ini dahulunya juga merupakan perkumpulan orang-orang yang anti penjajah. Akan tetapi setelah penjajah Mongol berkuasa, mereka menjadi diam dan tidak acuh. Hal ini adalah karena mereka takut kalau-kalau pemerintah baru akan membasmi mereka. Karena mereka merupakan perkumpulan pengemis, maka tentu akan mudah diketahui pemerintah dan tidak sulit membasmi para pengemis ini. Demikianlah, Kui-tung Sin-kai memberi peringatan keras kepada para anggautanya di seluruh kota-kota besar agar tidak mengambil sikap memusuhi pemerintah.
Demikianlah, di empat penjuru Pegunungan Thai-san terdapat empat golongan yang dipimpin orang-orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja besar kemungkinan masih ada tokoh-tokoh rahasia yang lain yang menyendiri, pertapa-pertapa sakti yang mengasingkan diri dari dunia luar.
Akan tetapi, yang paling terpandang dan disegani di dunia persilatan tentu saja adalah Thai-san-pai, sebuah perguruan silat yang terkenal memiliki murid-murid yang menjadi pendekar gagah perkasa. Thai-san-pai, seperti aliran persilatan lain kecuali Siauw-lim-pai yang dipimpin para hwesio (Pendeta Buddha) yang menyebarkan Agama Buddha, dipimpin oleh para tosu (Pendeta Agama To).
Pada waktu itu, yang menjadi ketua Thai-san-pai adalah Thai-san Sianjin Thio Kong, seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun. Wajahnya bersih tanpa kumis, hanya terhias jenggot pendek yang dipotong rapi sehingga tampak tampan. Namun tarikan mulut dan pandang matanya menimbulkan kesan angkuh, seperti sikap kebanyakan pemimpin perkumpulan yang besar dan kuat. Selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga saktinya.
Thai-san Sianjin ini amat terkenal kelihaian siang-kiamnya (sepasang pedang nya). Murid Thai-san-pai terdiri dari sekitar seratus orang dan ketuanya diwakili lima orang sutenya (adik seperguruannya). Mereka berlima itu dikenal dengan sebutan Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti Thai-san). Sebagai adik-adik seperguruan Ketua Thai-san-pai, tentu saja ilmu silat mereka juga tinggi. Bahkan kalau mereka berlima maju bersama, tingkat kepandaian mereka hanya kalah sedikit dibandingkan tingkat suheng (kakak seperguruan) mereka.
Pada masa itu, biarpun terdapat banyak agama dan aliran kebatinan, namun yang terbesar dan dianut sebagian besar rakyat adalah tiga agama, yaitu Agama Buddha, Agama To, dan Agama Khong-hu-cu. Sungguhpun semua agama di dunia ini berdasarkan wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa, yang diturunkan kepada manusia untuk memberi tuntunan agar manusia hidup di dunia ini dapat menjadi penyalur berkat dari Tuhan, saling mengasihi, saling tolong, dan bersama-sama mengatur agar kehidupan manusia di dunia ini tenteram, damai, aman dan sejahtera, namun kenyataannya oleh manusia bahkan dipertentangkan.
Banyak yang tidak dapat melihat kenyataan bahwa semua agama itu menuntun manusia agar mendekati dan kembali kepada Sang Sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Tunggal. Memang cara yang ditempuh saling berbeda karena wahyu-wahyu itu diturunkan dalam waktu yang berbeda, kepada bangsa yang latar beIakang kebudayaannya berbeda. Namun, biarpun cara atau jalan itu berlainan dan berbeda, itu hanya merupakan upacaranya belaka. Intinya adalah membimbing manusia agar berusaha mendekati Tuhan dengan hidup sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Bukti bahwa semua agama itu merupakan wahyu dari Tuhan adalah bahwa semua agama, biarpun dengan cara yang berbeda, pada intinya adalah hidup melalui jalan kebenaran dan kebajikan, dan menjauhi dosa dan kejahatan.
Namun sungguh menyedihkan melihat betapa manusia dikuasai oleh nafsu-nafsunya sendiri sehingga memiliki ke-akuan yang amat kuat, lebih kuat daripada pelajaran agama masing-masing. Karena ke-akuan inilah yang masing-masing menganggap agama sendiri yang benar, jalannya sendiri yang tepat menuju kepada Tuhan, sedangkan agama lain itu salah dan nyeleweng, bahkan ada yang lebih bengis lagi menganggap bahwa Tuhan yang disembah agama lain itu bukan Tuhan mereka, bukan Tuhan yang aseli! Masing-masing memperebutkan Kebenaran, lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu sudah tidak benar lagi.
Ada pula golongan yang dapat menerima tiga agama terbesar saat itu. Mereka mempelajari ketiganya dan melihat perpecahan bahkan permusuhan di antara agama-agama itu, mereka lebih suka mengasingkan diri, bertapa di tempat-tempat sunyi, tidak mencampuri urusan manusia ramai yang hanya mendatangkan pertentangan dan permusuhan.
Thai-san-pai termasuk umat beragama To yang bersikap keras, yang menolak pelajaran agama lain, menganggap golongan sendiri yang paling benar, paling baik, dan karenanya paling dekat dengan Tuhan, seolah Tuhan hanya milik pribadi golongan mereka sendiri. Sikap umat beragama seperti inilah yang menimbulkan persaingan dan pertentangan sehingga seringkali terjadi perang di antara mereka.
Biarpun Thai-san-pai menganut aliran agama yang teguh dan fanatik, namun mereka tidak pernah memusuhi golongan atau agama lain secara terbuka. Mereka bukanlah golongan sesat yang memiliki watak jahat.
Karena berita tentang harta karun yang dicuri orang yang mengaku berasal dari Thai-san itu tersebar luas, maka Thai-san-pai juga sudah mendengar berita itu. Thai-san Sianjin memanggil kelima orang sutenya dan mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa akibat pengakuan pencuri harta karun itu, pasti Thai-san-pai merupakan satu di antara golongan yang dicurigai mencuri harta karun. Juga diam-diam mereka ingin ikut menemukan harta karun itu, karena di lubuk hati para pimpinan Thai-san-pai itu, mereka juga membenci pemerintahan penjajah Mongol dan mereka akan merasa lebih suka kalau harta karun terjatuh ke tangan para pejuang. Mulai hari itu, para murid diperintahkan untuk melakukan penjagaan ketat di sekeliling perkampungan Thai-san-pai. Bahkan Thai-san Ngo-sin-kiam sendiri sering mengadakan perondaan, menjaga segala kemungkinan.
Pada suatu pagi, ketika matahari telah naik agak tinggi sehingga sinarnya mulai mengusir hawa dingin di puncak bukit yang menjadi markas Thai-san-pai, tampak Pouw Cun Giok berjalan santai di samping sepasang gadis kembar, yaitu The Kui Lan dan The Kui Lin. Seperti kita ketahui, Cun Giok bersahabat dengan sepasang gadis kembar puteri The Toanio majikan Lembah Seribu Bunga dan ketika dia bercerita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dicuri orang, Kui Lan dan Kui Lin merengek kepada ibu mereka, minta agar diperkenankan ikut dan membantu Cun Giok mencari harta karun itu ke Thai-san.
Ketika mereka bertiga tiba di kaki Pegunungan Thai-san yang amat luas, Kui Lin berkata dengan alis berkerut.
"Wah, Thai-san merupakan pegunungan yang demikian panjang dan luasnya. Bagaimana mungkin mencari pencuri itu? Untuk menjelajahi pegunungan ini, kukira biar sampai bertahun-tahun sekalipun pasti tidak akan dapat selesai!"
"Kukira tidak perlu menjelajahi seluruh pegunungan ini, Lin-moi," kata Cun Giok.
"Aku mendengar bahwa perkumpulan terbesar di daerah ini adalah Thai-san-pai, aliran persilatan yang cukup terkenal walaupun tidak sebesar Siauw-lim-pai atau Bu-tong-pai. Aku memang tidak percaya kalau Thai-san-pai yang terdiri dari para pendekar itu melakukan pencurian harta karun dan dengan sombongnya menantang para ahli silat dengan memberitahukan tempat tinggalnya. Akan tetapi setidaknya kita akan bisa mendapatkan keterangan dari mereka."
"Kalau begitu sebaiknya kita mencari dan mengunjungi Thai-san-pai, Giok-ko!" kata Kui Lan.
Mereka lalu mencari keterangan kepada penduduk dusun di sekitar kaki Pegunungan Thai-san. Dengan mudah mereka mendapatkan keterangan karena semua orang di daerah itu tahu belaka di mana adanya markas Thai-san-pai, yaitu di bagian Timur pegunungan itu.
Demikianlah, pagi hari itu, Cun Giok, Kui Lan dan Kui Lin mendaki bukit yang menjadi asrama Thai-san-pai. Keindahan pemandangan alam di sekeliling mereka ketika mereka mendaki bukit di pagi hari itu membuat mereka berjalan dengan santai sambil menikmati keindahan panorama sepuas hati. Kui Lin yang berwatak riang dan lincah itu berulang-ulang mengeluarkan seruan kagum memuji keindahan itu.
Setelah tiba di lereng paling tinggi, mereka bertiga memandang takjub. Bukan main luasnya pegunungan itu. Puncak-puncak bukit menjulang di sekelilingnya dan mereka merasa betapa di setiap bukit itu mungkin saja menjadi kediaman si pencuri harta karun! Akan tetapi yang mana? Benar Kui Lin tadi, kalau harus dikunjungi satu demi satu, mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun!
Akhirnya mereka itu tiba di depan perkampungan Thai-san-pai. Terdapat sebuah gapura besar dan di atas gapura terdapat papan nama THAI-SAN-PAI yang ditulis dengan huruf-huruf besar yang gagah dan indah.
Tiba-tiba dari dalam gapura itu berloncatan tujuh orang laki-laki yang memegang pedang terhunus. Mereka adalah anak murid Thai-san-pai yang melakukan penjagaan. Ketika dari jauh mereka melihat seorang pemuda dan dua orang gadis mendaki puncak, mereka bersembunyi di balik gapura dan mengintai gerak-gerik mereka. Melihat tiga orang pengunjung itu tampak santai dan tidak menimbulkan kesan mencurigakan, setelah Cun Giok dan dua orang gadis kembar tiba di depan gapura, mereka bertujuh berlompatan keluar dan menghadang di depan tiga orang pengunjung itu.
"Berhenti!" Seorang di antara mereka yang paling tua, berusia sekitar empatpuluh tahun, menegur dengan suara lantang.
"Kalian bertiga melanggar wilayah Thai-san-pai! Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang berkunjung ke tempat kami?"
Sikap tujuh orang yang memandang penuh kecurigaan itu membuat Kui Lin merasa jengkel.
"Uih, Giok-ko, apakah mereka ini murid-murid Thai-san-pai yang kaubilang terdiri dari para pendekar? Sikapnya lebih mendekati penjahat daripada pendekar!"
Biasanya, kalau atasan bersikap keras kepada bawahannya, maka si bawahan itupun bersikap keras kepada yang lebih rendah kedudukannya, dan yang paling bawah tentu bersikap keras pula kepada orang lain. Tujuh orang murid atau anak buah Thai-san-pai ini pun demikian. Karena sudah terbiasa menghadapi sikap keras dari atasan mereka, kini mereka pun memuntahkan sikap keras mereka terhadap orang lain.
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami adalah murid-murid Thai-san-pai yang gagah, dan kalian bertiga tentulah orang-orang yang tidak mempunyai niat baik. Maka, menyerahlah kalian untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami!" hardik kepala regu penjaga itu. Dia memandang dengan mata melotot dan tujuh orang murid itu melintangkan pedang di depan dada dan tangan kiri mereka bertolak pinggang.
Kui Lin yang lincah dan galak itu bertolak pinggang dengan kedua tangannya, melangkah maju dengan sikap menantang dan berkata sambil tersenyum mengejek.
"Apa? Tikus-tikus macam kalian ini hendak menangkap kami? Tidak usah menangkap kami bertiga, kalian coba tangkap aku saja, kalau kalian berhasil baru kalian patut menjadi murid-murid Thai-san-pai!" Tantangan dengan sikap mengejek dan merendahkan ini tentu saja membuat tujuh orang murid Thai-san-pai itu marah sekali.
"Tangkap gadis sombong ini!" teriak kepala regu itu dan tujuh orang murid Thai-san-pai itu bergerak maju setelah menyimpan pedang masing-masing. Tangan-tangan mereka meluncur seolah berebutan untuk dapat menangkap gadis yang tertawa-tawa mengejek itu.
"Lin-moi, jangan lukai orang!" seru Kui Lan yang khawatir kalau-kalau adiknya melukai dan membunuh orang. Padahal mereka datang berkunjung ke Thai-san-pai bukan dengan niat bermusuhan.
Biarpun wataknya keras, namun Kui Lin bukan seorang gadis kejam dan dia selalu taat kepada kakak kembarnya. Maka, ketika tujuh orang itu menyerbu, ia pun mengandalkan kelincahan gerakannya, mengerahkan gin-kang dan tubuhnya berkelebatan di antara para pengeroyoknya. Jari-jari tangannya yang lembut dan kecil runcing itu pun menotok ke kanan kiri dan tubuh tujuh orang murid Thai-san-pai itu pun berpelantingan roboh dan tidak dapat berkutik pula karena jalan darah mereka tertotok sehingga tubuh mereka lemas tidak mampu menggerakkan tangan dan kaki lagi!
Kui Lin mengusap-usap dan mengebut-ngebutkan kedua telapak tangannya seolah hendak membersihkan bekas sentuhan tangannya kepada tubuh tujuh orang pengeroyok itu.
Tiba-tiba terdengar seruan "Siancai......!" dan tampak bayangan lima orang berkelebat. Tahu-tahu di situ muncul lima orang berpakaian tosu (Pendeta To) yang masing-masing mempunyai pedang di punggung mereka. Seorang di antara mereka yang paling tua, usianya sekitar limapuluh dua tahun, berjenggot panjang dan rambutnya diikat ke atas dengan sehelai pita putih, memandang ke arah tiga orang muda itu, lalu memandang kepada tujuh orang murid yang rebah tanpa luka namun tidak mampu bergerak itu. Dia lalu menghampiri para murid dan jari tangannya menotok mereka satu demi satu. Tujuh orang murid itu dapat bangkit berdiri dan dengan suara ribut mereka berkata.
"Suhu, gadis liar ini......"
Tosu itu membentak dengan suara tegas.
"Kalian mundur! Bikin malu saja!" Mendapatkan bentakan ini, tujuh orang murid itu pun mundur dengan patuh setelah membungkuk dengan hormat.
Kui Lin terkekeh senang.
"Nah, bagus! Murid-murid kurang ajar harus mendapatkan teguran keras!"
Tosu itu adalah Song Bu Tosu, orang pertama dari Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti dari Thai-san). Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Kui Lin yang masih tersenyum.
"Nona, engkaukah yang menghina murid-murid kami dan menotok mereka?"
Sebelum Kui Lin menjawab, Cun Giok yang tidak ingin gadis lincah galak itu memperburuk keadaan dengan sikapnya yang keras, cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat.
"To-tiang (Bapak Pendeta), harap maafkan kelancangan Adik kami. Kami datang tidak dengan niat buruk, melainkan hendak menghadap Lo-cianpwe Thai-san Sianjin. Akan tetapi tujuh orang murid tadi bersikeras hendak menangkap kami sehingga timbul pertengkaran antara mereka dengan Adik kami ini. Maafkan kami, To-tiang dan perkenankan kami menghadap Ketua Thai-san-pai."
Song Bu Tosu yang tadinya marah kepada Kui Lin, menjadi agak reda kemarahannya melihat sikap dan kata-kata Cun Giok yang lembut dan sopan.
"Orang muda, kalian bertiga ini siapakah dan apa keperluan kalian ingin bicara dengan Ketua Thai-san-pai?"
"Perkenalkan, To-tiang, saya bernama Pouw Cun Giok......"
"Siapa gurumu?" Song Bu Tosu memotong, seolah nama pemuda itu tidak ada artinya baginya, maka dia menanyakan gurunya.
"Suhu adalah mendiang Suma Tiang Bun, kemudian Kakek Guru saya Pek-kong Lojin membimbing saya."
Mendengar nama dua orang tokoh itu, lima orang tosu itu agak terkejut juga.
"Hemm, siapa tidak mengenal nama besar Suma Tiang Bun, pendekar pahlawan bangsa murid Siauw-lim-pai itu? Sayang sungguh sayang, sekarang Siauw-lim-pai bukan lagi perkumpulan pahlawan bangsa, melainkan penjilat bangsa Mongol! Siapa dua orang gadis kembar ini? Apakah juga murid-murid Siauw-lim-pai?"
"Kami bukan murid Siauw-lim-pai!" Kui Lin berseru.
"Kami adalah puteri Ibu kami yang menjadi majikan Lembah Seribu Bunga!"
Mendengar ini, lima orang tosu itu saling pandang dan mereka merasa terkejut. Mereka sudah pernah mendengar tentang Lembah Seribu Bunga yang kabarnya merupakan tempat yang amat gawat, tempat yang amat sukar didatangi karena mengandung banyak alat rahasia dan jebakan berbahaya. Juga mereka mendengar bahwa majikan Lembah Seribu Bunga yang disebut The Toanio adalah seorang wanita aneh yang tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw akan tetapi yang memiliki kepandaian tinggi.
"To-tiang, sekali lagi kami bertiga mohon maaf atas kelancangan kami berkunjung ke Thai-san-pai dan mohon Totiang memberi kesempatan kepada kami untuk bertemu dan menghadap Ketua Thai-san-pai," kata Cun Giok.
"Siancai! Suheng kami Ketua Thai-san-pai tidak mempunyai banyak waktu untuk bertemu dengan sembarang orang. Akan tetapi mendengar bahwa kalian bertiga adalah murid-murid orang pandai, kami hendak menguji kebenaran keterangan kalian."
Tosu itu menggerakkan tangan kanannya ke belakang punggung dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.
"Kalau engkau sebagai wakil kalian bertiga mampu menandingi ilmu pedang pinto (aku) selama lebih dari tigapuluh jurus, maka kalian cukup berharga untuk menghadap Ketua Thai-san-pai."
"Giok-ko, biarkan aku yang maju menandinginya!" kata Kui Lin.
"Lin-moi, biar aku yang mewakili kalian," kata Cun Giok.
"Giok-ko, aku tidak takut padanya!" kata Kui Lin.
"Lin-moi, jangan mencampuri. Biarkan Giok-ko yang mengambil keputusan!" kata Kui Lan menegur adiknya dan Kui Lin tidak membantah lagi, hanya memandang kepada lima tosu itu dengan mulut diruncingkan, cemberut.
Cun Giok menjura kepada Song Bu Tosu.
"Totiang, kami datang berkunjung bukan untuk menguji kepandaian. Kami percaya sepenuhnya bahwa ilmu pedang Totiang berlima pasti amat tinggi dan lihai. Kami tidak berani main-main dan harap Totiang perkenankan kami menghadap Ketua Thai-san-pai."
"Tidak bisa, kalau kalian tidak mau diuji tingkat kepandaian kalian atau seorang di antara kalian, maka terpaksa kami tidak dapat mengijinkan kalian memasuki markas kami."
Cun Giok menghela napas panjang. Dia tahu bahwa lima orang tosu itu agaknya berwatak keras dan seperti kebanyakan ahli silat, selalu haus untuk menguji kepandaian dengan orang lain.
"Baiklah, Totiang, saya akan melayani kehendak Totiang, akan tetapi harap Totiang menaruh hati kasihan kepada saya yang bodoh." Setelah berkata demikian, dengan perlahan Cun Giok mencabut pedangnya dan tampaklah sinar keemasan ketika pedang Kim-kong-kiam berada di tangannya.
"Kim-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Emas)?" kata Song Bu Tosu sambil memandang pedang di tangan Cun Giok dengan mata terbelalak.
"Benar, Totiang. Pedang ini pemberian mendiang Suhu Suma Tiang Bun," jawab Cun Giok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
Biarpun kaget melihat Kim-kong-kiam, Song Bu Tosu tentu saja tidak merasa gentar karena melihat bahwa calon lawannya itu masih amat muda usia sehingga betapapun pandainya tidak mungkin dapat menandinginya yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun! Dia membuat gerakan perlahan mengatur pasangan kuda-kuda ilmu pedang Thai-san Kiam-hoat (Ilmu Pedang Thian-san), pedangnya menjulur lurus ke depan menyambung pundak dan dua jari tangan kirinya menunjuk ke atas.
"Orang muda, bersiaplah dan coba tahan seranganku."
"Saya sudah siap, Totiang. Harap Totiang tidak terlalu mendesak."
"Sambutlah, hiaaaattt""!" Tosu itu menggerakkan tubuhnya dan pedangnya berubah menjadi sinar yang gemilang menyambar ke arah leher Cun Giok dengan jurus San-jin-sia-houw (Orang Gunung Menahan Harimau).
Cun Giok maklum bahwa lawannya seorang ahli pedang yang amat tangguh, maka dia pun cepat memutar tubuh ke samping sambil mengelebatkan pedangnya untuk menangkis. Tentu saja dia membatasi tenaganya karena dia sadar akan keampuhan Kim-kong-kiam dan tidak ingin merusak pedang tosu itu.
"Tranggg""!" Bunga api berpijar dan merasa betapa tangannya tergetar, Song Bu Tosu melangkah ke belakang untuk memeriksa pedangnya. Bagaimanapun juga, melihat Kim-kong-kiam tadi, dia merasa khawatir kalau pedangnya rusak walaupun pedangnya itu juga sebatang pedang pusaka yang ampuh. Melihat pedangnya masih utuh tidak rusak sama sekali, tosu itu berbesar hati dan mengira bahwa lawannya tadi telah mengerahkan seluruh sin-kangnya akan tetapi pedangnya tidak sampai rusak. Nama besar Kim-kong-kiam itu agaknya hanya kosong belaka.
"Hiaaattt""!" Dia menyerang lagi dengan jurus Cap-sha-kiam-ci-tian (Tigabelas Pedang Mengeluarkan Kilat). Ini merupakan jurus ampuh dari Thai-san Kiam-hoat. Merupakan serangan berantai yang kesemuanya terdiri dari tigabelas jurus serangan pedang yang susul menyusul dan amat sukar bagi lawan untuk dapat membebaskan diri dari serangan berantai susul menyusul yang amat cepat ini.
Cun Giok membela diri dengan mengelak, berlompatan ke sana-sini, bahkan terkadang harus bergulingan dan ada kalanya pedangnya menangkis. Rangkaian serangan itu datang seperti hujan, seolah olah pedang di tangan tosu itu telah berubah menjadi tigabelas batang pedang yang menyambar-nyambar seperti kilat.
Bukan main heran dan penasaran rasa hati tosu itu setelah tigabelas jurus serangannya sama sekali tidak mengenai tubuh lawan, dan semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua jurus simpanannya, namun semua hasilnya sia-sia belaka. Karena pemuda itu hanya mengelak dan menangkis, sama sekali tidak pernah membalas, dia merasa penasaran dan juga marah karena sikap pemuda itu seperti mempermainkan atau memandang rendah padanya. Maka, sambil mempercepat serangannya, dia berseru.
"Orang muda, balaslah seranganku!" Tadinya dia mengira bahwa Cun Giok tidak mampu membalas karena terdesak olehnya dan tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangannya. Akan tetapi kini dia mulai menyadari bahwa pemuda itu mengalah dan tidak mau membalas. Hal ini membuat dia penasaran sekali.
Kini Song Bu Tosu mengeluarkan jurus simpanannya, yaitu Sin-kiam-toat-beng (Pedang Sakti Pencabut Nyawa), yaitu ilmu pedang yang tidak pernah diajarkan kepada para murid. Yang menguasai ilmu pedang ini hanyalah Sang Ketua dan lima orang sutenya ini. Maka dapat dibayangkan betapa dahsyat ilmu pedang ini yang merupakan ilmu pedang simpanan dari para pimpinan Thai-san-pai dan hanya kalau keadaan amat mendesak, baru ilmu ini dikeluarkan. Agaknya, Song Bu Tosu yang berwatak keras itu lupa bahwa dia hanya ingin menguji kepandaian Cun Giok. Baginya, karena sejak tadi serangannya gagal, dia merasa dipermalukan kalau tidak mampu mengalahkan pemuda itu.
Ketika dia mainkan ilmu pedang ini, terdengar suara berdesingan, dan angin gerakan pedang itu menyambar-nyambar, pedangnya lenyap menjadi gulungan sinar putih yang melingkar-lingkar. Sepasang gadis kembar itu sampai merasa khawatir, bahkan Kui Lin yang biasanya tak kenal takut dan galak itu kini diam dan hanya memandang dengan mata terbelalak, demikian pula Kui Lan.
Empat orang tosu itu pun terbelalak, bukan karena kehebatan ilmu pedang Song Bu Tosu yang juga mereka kuasai itu, melainkan karena kini tampak pemandangan yang luar biasa dalam pertandingan ilmu pedang itu. Tiba-tiba saja bayangan Cun Giok lenyap sama sekali dan yang ada hanya sinar kuning emas yang bergulung-gulung mengelilingi Song Bu Tosu dan gerakan pedangnya. Gulungan sinar pedang putih dari tosu itu makin lama semakin mengecil dan menciut, seolah terdesak dari luar oleh sinar kuning emas yang berputar mengelilinginya! Setelah beberapa lama saat lamanya, terdengar seruan Song Bu Tosu.
"Siancai......! Cukup sudah......!" Bayangannya melompat jauh ke belakang dan dia sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan, lalu dimasukkannya pedangnya itu kembali ke sarung pedang di punggungnya. Gulungan sinar kuning emas itu pun lenyap dan tahu-tahu Cun Giok sudah berdiri di depan Song Bu Tosu dengan pedang sudah disimpannya kembali.
(Lanjut ke Jilid 06)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Kini Song Bu Tosu memandang pemuda itu dengan sinar mata kagum. Dia tadi kehilangan lawannya dan menjadi bingung, juga khawatir. Kalau lawannya menyerangnya, maka amat berbahaya baginya. Akan tetapi pemuda itu tidak menyerangnya sehingga dia melompat keluar dari medan perkelahian karena merasa bahwa kalau dilanjutkan, dia pasti akan kalah.
"Pouw-sicu (Orang Gagah Pouw), ilmu pedangmu sungguh luar biasa sekali!" katanya dengan nada suara sungguh-sungguh.
"Totiang telah banyak mengalah. Terima kasih atas petunjuk Totiang," kata Cun Giok merendah.
"Hemm, sekarang baru tahu akan kelihaian Bu-eng-cu!" kata Kui Lin dengan lantang.
Mendengar disebutnya julukan ini, Song Bu Tosu membelalakkan matanya.
"Ah, jadi engkaukah Bu-eng-cu yang menggemparkan kota raja itu?"
"Tentu saja Giok-ko adalah Bu-eng-cu!" kata Kui Lin.
"Sekarang bagaimana? Bolehkah kami bertemu Ketua Thai-san-pai ataukah kami enci adik juga akan kau uji?"
Kini tahulah lima orang tosu itu bahwa tiga orang muda yang datang ini memang benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan mereka tidak ragu lagi bahwa dua orang gadis kembar itu juga benar-benar puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Mereka kini bersikap lain dan Song Bu Tosu menghela napas panjang.
"Pouw-sicu dan Ji-wi The-siocia (Kedua Nona The), apakah kedatangan kalian ini ada hubungannya dengan harta karun Kerajaan Sung yang ramai dibicarakan itu?"
"Hei! Bagaimana Totiang tahu?" Kui Lin bertanya heran.
"Berita itu kami dengar dibicarakan ramai di dunia kang-ouw, kabarnya harta karun itu dicuri orang yang bertempat tinggal di Thai-san-pai. Keadaan yang tidak menentu ini, yang mungkin membuat sebagian orang menduga bahwa kami yang menjadi pencurinya, membuat kami mencurigai siapa saja yang datang ke sini. Karena itu ketika kalian muncul, tentu saja kami menaruh curiga. Sekarang kami percaya bahwa engkau adalah Bu-eng-cu dan dua orang Nona ini puteri-puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Maka, marilah kalian kami antarkan menghadap Suheng Thai-san Sianjin."
Mereka lalu memasuki perkampungan Thai-san-pai yang terdiri dari sebuah kuil besar dan beberapa bangunan kecil. Thai-san Sianjin, ketua Thai-san-pai yang tinggal di kuil itu menerima mereka dalam sebuah bangunan tanpa dinding yang berada di tengah sebuah taman. Ketua itu bersama lima orang sutenya mempersilakan Cun Giok, Kui Lan dan Kui Lin duduk dalam ruangan tanpa dinding yang kecil namun indah itu. Udara amat sejuknya dan keharuman bunga di taman itu menyambut mereka.
Ketika Cun Giok bertiga memberi hormat kepada Thai-san Sianjin dan diperkenalkan oleh Song Bu Tosu, Thai-san Sianjin Thio Kong tersenyum mengangguk-angguk sambil merangkap kedua telapak tangan depan dada sebagai sambutan penghormatan.
"Siancai......!" Dia berseru gembira.
"Sungguh merupakan kegembiraan besar sekali bagi Thai-san-pai dapat menyambut kunjungan murid Suma Tiang Bun dan Pek-kong Lojin, juga dua orang puteri Nyonya The dari Lembah Seribu Bunga. Duduklah, Pouw-sicu dan kalian juga, dua orang Nona, dan ceritakan apa keperluan kalian bertiga datang berkunjung ke Thai-san-pai dan ingin berjumpa dengan pinto (saya)."
"Maafkan kami bertiga yang telah mengganggu ketenangan di sini, Lo-cianpwe. Terus terang saja kunjungan kami bertiga ini ada hubungannya dengan hilangnya harta karun Kejaraan Sung. Kami bertiga bertugas untuk mencarinya......"
"Siancai......!" Ketua Thai-san-pai itu memotong sambil mengerutkan alisnya yang sudah beruban.
"Berita yang menggemparkan itu sudah pinto dengar. Akan tetapi, apakah kalian tiga orang-orang muda ini mempunyai dugaan bahwa kami yang mencuri harta karun itu?" Suaranya mengandung penasaran karena kalau Thai-san-pai dituduh mencuri, hal itu sungguh merupakan penghinaan!
"Sama sekali tidak, Lo-cianpwe. Justeru kedatangan kami menghadap Lo-cianpwe adalah untuk mohon petunjuk Lo-cianpwe, siapa kiranya pencuri yang berani mengambil harta karun yang menjadi hak para pejuang untuk membela tanah air dari penjajahan bangsa Mongol," kata Cun Giok.
"Siancai, pinto tidak berani sembarangan menyangka seseorang sebelum mendengar bagaimana terjadinya pencurian itu, dan siapa yang memiliki peta harta karun sehingga jelas siapa yang berhak. Akan tetapi, besar kemungkinan yang merampas atau mencurinya tentulah pihak Pemerintah Mongol."
"Saya kira bukan, Lo-cianpwe, karena mereka pun masih mencari."
Cun Giok lalu menceritakan betapa dahulu Thaikam Bong dari Kerajaan Sung korup mencuri harta itu dari istana Sung dan menyembunyikan harta karun itu lalu membuat sehelai peta. Ketika mendiang Panglima Sung Liu Bok Eng membasminya, Liu Bok Eng mendapatkan peta itu dan sebelum dia dibunuh para panglima Mongol, dia meninggalkan peta itu kepada puterinya, yaitu Liu Ceng Ceng. Kemudian dia menceritakan dengan singkat betapa Liu Ceng Ceng, dia dan seorang gadis lain tertawan oleh Panglima Mongol Kim Bayan dan terpaksa mereka bertiga menyerahkan peta dan bahkan membantu panglima itu mencari harta karun. Harta karun itu akhirnya ditemukan, berada di Bukit Sorga di dekat kota raja yang kini menjadi tempat tinggal Cui-beng Kui-ong.
"Demikianlah, Lo-cianpwe. Tempat harta karun dapat ditemukan akan tetapi ketika digali, yang ada hanya peti harta yang sudah kosong dan di dalamnya terdapat tulisan THAI SAN. Maka, jelaslah bahwa pencuri itu bukan Pemerintah Mongol, kemungkinan besar pencurinya bertempat tinggal di Thai-san. Maka kami mohon petunjuk Lo-cianpwe, siapa kiranya yang patut dicurigai."
Mendengar cerita Cun Giok tadi, Ketua Thai-san-pai dan lima orang sutenya saling pandang dan kini Thai-san Sianjin menghela napas panjang.
"Siancai......! Panglima Kim Bayan itu dibantu Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li, sepasang iblis yang sakti dan amat jahat itu? Wah, kalau bukan Pemerintah Mongol yang mengambilnya, tentu dicuri orang yang berilmu tinggi! Akan tetapi mungkinkah ada pencuri yang mengakui tempat tinggalnya? Pinto kira pencuri harta karun yang amat berharga itu bukan orang yang demikian tololnya untuk memberitahukan tempat tinggalnya. Siapa tahu hal itu hanya untuk menyesatkan para pencarinya dan untuk menghilangkan jejaknya, Pouw-sicu."
"Memang kami juga sudah memikirkan kemungkinan itu, Lo-cianpwe. Akan tetapi karena kami tidak tahu harus mencari ke mana, maka terpaksa kami melakukan penyelidikan ke Thai-san, siapa tahu pencuri itu memang seorang yang amat sombong sehingga dia berani menentang siapa saja yang hendak merampas harta karun dari tangannya."
"Pouw-sicu dan The-siocia berdua, Thai-san-pai sejak dulu membenci penjajah Mongol. Tentu saja kami tidak dapat berbuat apa-apa karena apa artinya kekuatan kami yang hanya kurang lebih seratus orang dibandingkan balatentara mereka yang ratusan ribu jumlahnya. Akan tetapi, kalau ada usaha perjuangan menentang mereka, kami pasti akan mendukung dan membantu. Kami siap membantu kalian yang hendak mencari pencuri itu dan merampas kembali harta karun Kerajaan Sung yang sepatutnya diserahkan kepada para pejuang untuk membiayai perjuangan mereka mengusir penjajah Mongol dari tanah air."
Naga Beracun Eps 20 Naga Beracun Eps 24 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 2