Harta Karun Kerajaan Sung 8
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Hemm, kalian berdua manusia curang!" terdengar seruan lembut dan bayangan putih berkelebat cepat sekali ketika Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng sudah melompat dan terjun ke arena pertempuran untuk membantu adik angkatnya yang dikeroyok. Ceng Ceng yang menggunakan senjata ranting, namun karena gerakannya yang luar biasa cepat dan ringannya, dan tenaga sin-kang tinggi yang membuat ranting itu menjadi senjata yang kuat dan berbahaya, maka begitu diterjang oleh gadis ini, Hek Mo-ko terpaksa melindungi dirinya dari ancaman bayangan putih yang seolah mengepung dan mengitari dirinya itu!
Kui-tung Sin-kai dan Yauw Tek hanya saling pandang dan Yauw Tek menggerakkan kedua pundaknya tanda bahwa dia tidak berdaya. Memang tidak mungkin mencegah Li Hong bertindak. Tidak mungkin mencoba untuk menghentikan Li Hong yang mengamuk itu. Dan Ceng Ceng hanya membantu Li Hong melihat adiknya dikeroyok. Tentu saja kedua orang gagah ini tidak mau maju mengeroyok walaupun pi-bu itu kini salah alamat. Yang ditantang adalah Ketua Kai-pang, akan tetapi kini yang maju adalah dua orang gadis luar yang sama sekali bukan anggauta Ang-tung Kai-pang!
Akan tetapi melihat Yauw Tek agaknya tidak dapat menghentikan amukan Li Hong yang kini dibantu Ceng Ceng, Kui-tung Sin-kai juga tidak berani turun tangan dan terpaksa dia hanya menjadi penonton. Ketua Kai-pang ini pun terkejut dan kagum bukan main. Dia sudah tahu akan kelihaian Yauw Tek, akan tetapi melihat sepak terjang dua orang gadis cantik itu ketika melawan Hek Pek Mo-ko, dia benar-benar kagum. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dua orang gadis itu memiliki ilmu silat yang demikian hebatnya sehingga mereka bedua mampu menandingi Hek Pek Mo-ko!
Sementara itu, Yauw Tek juga tidak dapat berbuat sesuatu. Dia tidak berani menghentikan atau mencegah dua orang gadis itu, terutama Li Hong, untuk berhenti mengamuk. Dan dipikir memang dua orang macam Hek Pek Mo-ko itu pantas untuk diberi hajaran keras!
Anak buah kedua pihak juga tercengang melihat perubahan keadaan ini. Mereka tidak jadi melihat kedua pimpinan mereka melakukan pi-bu, melainkan dua orang gadis jelita yang amat lihai bertanding mati-matian melawan Hek Pek Mo-ko! Ketika Kui-tung Sin-kai memandang kepada Yauw Tek dengan sinar mata mengandung pertanyaan dan minta pendapat, Yauw Tek menggelengkan kepala.
"Biarkan saja, Pangcu. Tidak mungkin menghentikan Hong-moi, dan aku kira mereka tidak akan kalah. Aku sudah siap melindungi mereka kalau terancam bahaya."
Legalah hati Kui-tung Sin-kai mendengar ini. Tentu saja hatinya merasa khawatir dan tidak enak sekali kalau sampai dua orang gadis itu menderita luka atau tewas karena membela perkumpulannya.
Perkelahian itu memang seru dan hebat sekali. Mula-mula mereka memang bertanding secara terpisah. Pek Mo-ko melawan Li Hong, dan Hek Mo-ko melawan Ceng Ceng. Akan tetapi dalam pertandingan satu lawan satu ini, Pek Mo-ko kalah ganas dibandingkan Li Hong, sedangkan Hek Mo-ko kalah cepat dari lawannya, Ceng Ceng. Maka, melihat pihaknya terdesak, Hek Mo-ko memberi isyarat dan mereka berdua kini bekerja sama, menggabungkan ilmu silat pedang dan golok mereka.
Begitu mereka bergabung, memang dua orang gadis itu terkejut dan agak kewalahan. Lawan yang bergabung itu menjadi kuat bukan main, juga mereka menggunakan penggabungan tenaga Hek-tok-ciang dan Pek-tok-ciang, menambah serangan senjata mereka dengan dorongan pukulan tangan kiri mereka yang berubah hitam dan putih.
Namun, Li Hong menyambut dengan dorongan tangan kiri dengan ilmu andalannya, yaitu Hek-tok-tong-sim-ciang, sedangkan Ceng Ceng mengandalkan kelebihannya dalam gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan dan sulit untuk dapat dijadikan sasaran.
Melihat betapa Hek Pek Mo-ko menjadi kuat sekali setelah menjadi pasangan yang tergabung, Yauw Tek mengerutkan alisnya. Berbahaya juga bagi dua orang gadis itu kalau keadaannya terus begini, pikirnya. Dia diam sejenak memperhatikan jalannya pertandingan lalu dia berseru kepada dua orang gadis itu.
"Ceng-moi, engkau bagian pertahanan dan Hong-moi di bagian penyerangan!"
Dua orang gadis itu dapat menangkap apa yang dimaksudkan Yauw Tek dengan seruan itu. Yauw Tek memang sudah memperhitungkan ketika dia mengamati perkelahian itu. Li Hong amat ganas dengan penyerangannya, membahayakan lawan. Sedangkan Ceng Ceng yang memiliki gerakan luar biasa cepatnya itu, lebih kuat dalam pertahanan. Hal ini mungkin karena watak lembut dan hati penuh kedamaian itu membuat Ceng Ceng tidak terlalu kejam dan bahkan tidak tega untuk membunuh lawan sehingga penyerangannya kurang ganas, tidak seperti Li Hong yang mengamuk seperti seekor naga marah!
Dua orang gadis perkasa itu percaya sepenuhnya kepada Yauw Tek. Maka, mendengar seruan pemuda itu, mereka lalu mengubah cara tata kelahi mereka. Li Hong mengamuk dan membagi-bagi serangannya kepada dua orang lawan itu, sedangkan Ceng Ceng dengan gerakannya yang cepat membentuk pertahanan dan rantingnya membentuk perisai yang kuat dan yang dapat menahan atau menangkis semua serangan golok dan pedang Hek Pek Mo-ko!
Perkelahian itu semakin seru dan menegangkan. Akan tetapi juga indah ditonton. Menakjubkan sekali melihat bayangan putih Ceng Ceng berkelebatan seolah menjadi banyak, berkelebatan di antara bayangan hitam dan putih dari Hek Pek Mo-ko, ditambah sinar pedang Ban-tok-kiam di tangan Li Hong, sinar putih pedang dan golok di tangan Hek Pek Mo-ko, dan sinar kuning dari ranting yang digerakkan Ceng Ceng!
Para anak buah kedua pihak menonton dengan penuh rasa kagum, tegang dan juga terkejut karena semula tidak ada yang mengira bahwa dua orang gadis cantik itu memiliki kepandaian setinggi itu. Yang paling terkejut dan juga cemas adalah Hek Pek Mo-ko. Tadi ketika mereka bergabung, mereka hampir yakin akan mampu mengalahkan dua orang gadis itu. Akan tetapi sekarang ternyata pertahanan yang dilakukan gadis baju putih yang memiliki gerakan amat ringan dan cepat itu kokoh sekali, juga serangan-serangan gadis yang memiliki pedang hitam mengerikan itu amat berbahaya dan ganas. Kini mereka menyadari bahwa kalau dilanjutkan, mereka akan kalah dan mendapat malu. Maka, untuk mencari jalan agar dapat keluar dari desakan Li Hong, Hek Mo-ko berseru memberi isyarat kepada anak buahnya.
Mendengar isyarat ini, sekitar limapuluh orang anak buah Hek Pek Mo-ko bersorak dan mereka maju dengan senjata di tangan, hendak mengeroyok dua orang gadis itu. Tentu saja Kui-tung Sin-kai segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyambut mereka. Dia sendiri juga mengamuk dengan tongkat merahnya.
Anak buah Hek Pek Mo-ko itu pun maju dua-dua seperti pimpinan mereka. Seorang anggauta berpakaian hitam ditemani seorang anggauta berpakaian putih dan senjata mereka yang berlainan, yang hitam bersenjata golok, yang putih pedang, dan mereka bergerak saling bantu dengan kompak sekali! Terjadilah pertempuran yang seru di antara anak buah kedua pihak. Yauw Tek sendiri hanya menonton karena dia merasa kurang adil kalau dia melawan para anak buah Hek Pek Mo-ko yang tentu saja tidak akan mampu menandinginya.
Hek Pek Mo-ko yang sudah memperhitungkan keadaan, ketika beberapa orang anak buah mereka datang membantu, mereka menggunakan kesempatan selagi terjadi kekacauan itu, mereka melompat jauh ke belakang dan melarikan diri!
"Anjing-anjing busuk, kalian hendak lari ke mana?" Li Hong melompat dan melakukan pengejaran memasuki hutan.
"Hong-moi......!" Ceng Ceng hendak mengejar, akan tetapi Yauw Tek sudah berada di dekatnya.
"Ceng-moi, biarkan aku yang mengejar Hong-moi." Pemuda itu memandang ke sekeliling di mana terjadi pertempuran itu.
"Engkau di sini saja membantu Ketua Kai-pang." Sebelum Ceng Ceng menjawab Yauw Tek sudah melompat dan mengejar ke arah larinya Li Hong yang mengejar dua orang lawannya itu.
Pertempuran itu masih berlangsung seru. Ketika para anak buah Hek Pek Mo-ko melihat dua orang pemimpin mereka melarikan diri, hati mereka merasa gentar. Sudah ada belasan orang rekan mereka yang roboh. Maka setelah tidak ada lagi yang memimpin, mereka lalu melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka dan meninggalkan lima orang rekan yang sudah tewas.
Kui-tung Sin-kai melarang anak buahnya untuk melakukan pengejaran terhadap lawan yang melarikan diri. Ceng Ceng sibuk memeriksa dan mengobati sembilan orang anak buah Kai-pang yang terluka. Tidak ada yang tewas di antara mereka. Sebelum kembali ke perkampungan mereka, Kui-tung Sin-kai memerintahkan anak buahnya untuk mengubur mayat lima orang anggauta Hek Pek Mo-ko.
Melihat ini, Ceng Ceng semakin suka kepada Ketua Kai-pang itu. Sebaliknya, Kui-tung Sin-kai kagum bukan main melihat betapa cekatan dan pandainya Ceng Ceng mengobati mereka yang terluka. Gadis yang lemah lembut ini, selain lihai ilmu silatnya, ternyata juga merupakan seorang ahli pengobatan yang pandai pula.
Setelah semua selesai dan para anggauta Kai-pang disuruh pulang, Kui-tung Sin-kai berkata kepada Ceng Ceng.
"Nona Liu, bagaimana dengan Nona Tan dan Yauw-sicu yang mengejar musuh tadi?"
"Pangcu, tadi ketika terjadi serbuan dari anak buah Hek Pek Mo-ko, dalam kekacauan itu Hek Pek Mo-ko lalu melarikan diri. Hong-moi segera mengejar mereka. Hong-moi tidak dapat dicegah, Pangcu, karena ia memang berhati keras dan membenci Hek Pek Mo-ko yang telah menghinanya. Aku hendak mengejar, akan tetapi Yauw-twako melarangku, menyuruh aku tinggal dan dialah yang melakukan pengejaran."
"Hemm, berbahaya sekali." Ketua Kai-pang itu mengelus jenggotnya yang panjang.
"Sekarang Hek Pek Mo-ko berada di bagian Utara pegunungan ini, di Bukit Batu yang terletak jauh dari sini yang berada di bagian Selatan. Dua orang itu licik dan berbahaya, aku khawatir kalau-kalau Nona Tan akan terjebak oleh mereka."
"Tidak perlu khawatir, Pangcu. Hong-moi memiliki ilmu silat yang amat tangguh, cukup kuat untuk menjaga diri. Apalagi ada Yauw-twako yang mengejarnya."
"Syukurlah kalau begitu, hatiku tidak gelisah lagi. Nona Liu, sekarang terbuktilah bahwa urusan harta karun Kerajaan Sung yang kabarnya dicuri orang yang berasal dari Thai-san sudah diketahui banyak orang dan pasti akan menggegerkan dunia kang-ouw. Hek Pek Mo-ko sudah menuduh bahwa Ang-tung Kai-pang sebagai pencurinya. Bagaimana menurut pendapatmu? Benarkah pendapat Nona Tan tadi bahwa agaknya Hek Pek Mo-ko sendiri yang mencurinya dan hendak mengalihkan perhatian agar orang-orang mengira kami yang mencurinya?"
"Biarpun perkiraan Hong-moi itu mungkin dilakukan oleh pencuri harta karun untuk mengalihkan perhatian sehingga si pencuri sendiri tidak dicurigai, akan tetapi menurut pendapatku, agaknya Hek Pek Mo-ko tidak mencuri harta itu. Mereka memang mengira bahwa harta itu ada pada Ang-tung Kai-pang, maka mereka sengaja mencari permusuhan. Tentu saja dengan harapan kalau mereka dapat mengalahkan dan menguasai Ang-tung Kai-pang, harta karun itu akan dapat mereka miliki. Tidak, Pangcu, kukira pencurinya adalah orang yang jauh lebih lihai dan berbahaya dibandingkan Hek Pek Mo-ko. Orang yang berani menantang seperti pencuri itu dengan mengaku bahwa dia datang dari Thai-san, pasti bukan orang sembarangan dan dia sudah yakin bahwa dia mampu menandingi siapa saja yang hendak mengganggunya."
Mereka lalu pulang dan menanti kembalinya Li Hong dan Yauw Tek di perkampungan Ang-tung Kai-pang.
Akan tetapi setelah menanti sehari semalam Li Hong dan Yauw Tek belum juga kembali ke perkampungan itu, Kui-tung Sin-kai mulai merasa gelisah. Bagaimanapun juga, Li Hong dan Yauw Tek adalah tamunya yang telah membela Ang-tung Kai-pang sehingga mereka terlibat permusuhan dengan Hek Pek Mo-ko. Kalau mereka tertimpa bencana, dia merasa bertanggung jawab. Ketika dia mengemukakan kekhawatirannya kepada Ceng Ceng, gadis itu berkata tenang.
"Harap Pangcu tenang. Aku percaya sepenuhnya kepada Hong-moi dan Yauw-twako. Mereka pasti mampu menjaga diri dengan baik. Tentu ada sesuatu yang sedang mereka selidiki maka mereka belum kembali ke sini."
"Akan tetapi, bagaimana kalau sesuatu itu mengancam keselamatan mereka? Aku merasa tidak enak sekali karena mereka terlibat karena membela kami."
Ceng Ceng tersenyum memandang ketua itu.
"Baiklah, Pangcu. Aku akan menyusul mereka." Setelah berkata demikian, Ceng Ceng berkemas lalu pergi mencari Yauw Tek dan Li Hong. Ketika Kui-tung Sin-kai hendak menemaninya atau menyuruh anak buahnya mengawal, Ceng Ceng menolaknya dengan halus. Ia mengatakan bahwa ia biasa melakukan perjalanan seorang diri dan minta agar ketua itu tidak khawatir.
Dengan penuh kemarahan Li Hong melakukan pengejaran terhadap Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang melarikan diri ke dalam hutan. Dua orang itu telah berani menghinanya, karena itu ia tidak akan merasa puas sebelum dapat membunuh mereka! Sebetulnya, dalam hal ilmu berlari cepat, Li Hong masih lebih unggul dibandingkan Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi kelebihannya ini tidak ada artinya karena ia sama sekali tidak mengenal daerah itu. Maka terkadang ia kehilangan bayangan dua orang yang dikejarnya.
Li Hong tidak mau menghentikan pengejarannya. Ia mencari terus dan setelah mendapatkan jejak mereka, ia mengejar terus dengan penuh semangat. Saking semangatnya, ia tidak menyadari bahwa ia telah melakukan pengejaran setengah hari lebih, juga tidak menyadari bahwa ia telah jauh meninggalkan tempat pertandingan tadi. Ia telah keluar masuk beberapa buah hutan, naik turun beberapa buah bukit dan masih terus ia membayangi dua orang itu, seperti seorang pemburu sedang mengejar dua ekor binatang buruannya!
Perubahan cuaca tidak disadarinya. Perlahan-lahan cuaca menjadi kurang cerah karena matahari telah condong ke barat. Baru setelah ia memasuki sebuah hutan lebat di lereng Thai-san itu, menyadari bahwa cuaca mulai gelap.
Hutan itu lebat, penuh pohon-pohon yang tinggi dan besar sehingga sinar matahari yang mulai melemah itu sukar dapat menembus celah-celah pohon. Begitu menyadari bahwa hari telah mulai sore dan ia kembali kehilangan jejak dua orang yang diburunya, Li Hong menyadari keadaannya dan ia menjadi bingung juga. Ia berada di tengah hutan lebat, tidak akan mudah mencari jalan pulang ke perkampungan Ang-tung Kai-pang. Ia juga menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi melanjutkan pengejaran karena sebentar lagi tentu gelap dan tak mungkin ia melanjutkan pengejaran. Dua orang itu tidak akan dapat disusulnya. Ia merasa gemas dan penasaran sekali.
Ia berdiri di tengah hutan, menghentikan pengejarannya, mengepal kedua tangan dan berkata gemas.
"Biarlah! Hari ini kalian dapat melarikan diri. Tunggu, aku akan mendatangi sarangmu dan di sana aku akan membunuh Hek Pek Mo-ko!"
Setelah berkata demikian, ia mulai mencari jalan untuk kembali ke perkampungan Ang-tung Kai-pang. Namun ia menjadi bingung karena di dalam hutan lebat itu ia kehilangan arah. Akan tetapi ia tidak mau kemalaman dalam hutan lebat itu dan melangkah terus untuk dapat keluar dari dalam hutan.
Senja telah masuk ke dalam hutan. Cuaca mulai remang-remang. Li Hong mulai merasa khawatir. Kalau ia tidak mampu keluar dari dalam hutan sebelum malam tiba, berarti ia harus melewatkan malam di dalam hutan lebat dan gelap itu! Karena cuaca mulai gelap dan hatinya merasa penasaran, jengkel dan agak bingung, kewaspadaannya berkurang. Ketika ia melangkah di bawah sebatang pohon besar, ia menginjak tanah berumput, tiba-tiba kedua kakinya terperosok ke sebuah lubang, disambut sebuah jala dan ia pun terangkat ke atas di dalam sebuah jala hitam yang kuat!
"Keparat!" Li Hong mengutuk. Ia telah terjerat jebakan yang agaknya dipasang orang untuk menjebak binatang dan menangkapnya hidup-hidup! Li Hong meronta dan meraba gagang pedangnya di punggung. Karena jala itu kuat dan ketat membungkus tubuhnya, agak sukar baginya untuk mencabut pedangnya guna membabat putus jala itu.
Tiba-tiba, sebelum ia berhasil mencabut pedangnya, sesosok bayangan berkelebat dalam keremangan cuaca itu, lalu cepat sekali bayangan itu memukul tengkuk Li Hong yang masih rebah telentang dalam jala dan tergantung. Li Hong tidak mampu menghindarkan diri dan begitu tengkuknya ditepuk, ia pun pingsan dan tidak tahu apa-apa lagi!
Ketika siuman dari pingsannya, Li Hong mendapatkan dirinya berada dalam pondongan seorang laki-laki tinggi besar. Tubuhnya telungkup di pundak orang itu dan ketika dengan marah ia hendak mengerahkan tenaga untuk meronta dan melepaskan diri, dengan kaget ia mendapatkan bahwa kaki tangannya tidak mampu digerakkan! Ternyata ia telah tertotok secara lihai sekali sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak dapat mengerahkan tenaga!
Li Hong adalah seorang gadis pemberani yang cerdik. Ia tidak merasa takut dan tidak bergerak, berpura-pura masih pingsan akan tetapi ia diam-diam memperhitungkan segalanya. Laki-laki tinggi besar yang tak dapat dilihat wajahnya dengan jelas karena cuaca sudah gelap itu, melangkah lebar dan di sebelah kirinya terdapat orang kedua yang berjalan. Orang kedua ini pun tinggi besar dan mereka berjalan tanpa mengeluarkan suara. Tak lama kemudian, mereka sudah keluar dari dalam hutan itu dan berjalan di atas jalan umum yang kasar berbatu-batu.
Tak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah gubuk yang berada di tepi jalan, di luar sebuah hutan lagi. Pemanggul tubuh Li Hong berkata dengan suara yang kasar, dalam logat bahasa orang Mongol, kepada temannya.
"Buka pintunya dan nyalakan lampu," sambil memindahkan tubuh Li Hong dari pundak kiri ke pundak kanan.
"Magu, gubuk ini punyaku, maka berikanlah gadis itu lebih dulu kepadaku, baru kemudian engkau boleh......"
"Enak saja engkau! Siapa yang menangkap gadis ini? Perangkapku! Yang masuk perangkapku berarti milikku! Akan tetapi karena engkau rekanku dan engkau yang punya gubuk ini, maka nanti engkau boleh mengambil bagian. Akan tetapi aku lebih dulu! Kalau engkau tidak mau, biar aku mencari tempat lain. Untuk bersenang-senang, tidak harus di dalam gubukmu!"
"Baiklah, mari masuk," kata orang kedua.
Mereka memasuki gubuk dan sebuah lampu dinyalakan. Si Pemanggul itu lalu melepaskan tubuh Li Hong ke atas sebuah dipan kayu yang kasar. Tubuh gadis itu rebah telentang. di atas dipan dan kini ia dapat melihat agak jelas wajah kedua orang laki-laki itu dan diam-diam ia merasa ngeri. Mereka itu ternyata merupakan dua orang yang berpakaian kasar seperti para pemburu. Wajah mereka pun tampak bengis dan kasar, dengan mata, hidung dan bibir serba besar. Tubuh mereka juga kokoh dengan otot melingkar-lingkar di lengan dan dada mereka yang bajunya terbuka lebar. Li Hong merasa muak ketika tercium bau keringat dan badan mereka yang apak.
Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya sekitar empatpuluh tahun itu memandang kepada Li Hong dan mereka tampaknya terkejut dan terpesona. Agaknya mereka tidak pernah membayangkan bahwa tangkapan mereka ternyata seorang gadis yang demikian cantik jelitanya seperti bidadari! Mata mereka yang melotot seperti hendak menelan dan melahap tubuh langsing yang terbujur di hadapan mereka. Sinar mata mereka seperti menggerayangi seluruh tubuh Li Hong, membuat gadis itu merasa ngeri.
"Wah, Magu, kita untung besar! Seorang dewi yang cantik jelita menjadi kekasih kita! Ha-ha-ha, sungguh beruntung sekali kita!"
"Ya, dan engkau cepat pergi dari sini. Baru besok malam engkau mendapatkan giliran. Malam ini dan besok sehari aku tidak mau diganggu! Engkau berjagalah di luar agar jangan ada yang mengganggu kita!" kata orang yang tadi memanggul Li Hong dan bernama Magu. Temannya mengomel, akan tetapi keluar juga dan duduk di atas batu yang terdapat di luar gubuk itu.
Sejak tadi Li Hong sudah berusaha untuk meronta, namun tubuhnya belum juga dapat digerakkan. Rasanya lemas seluruh badannya, lemah lunglai. Bahkan ketika ia mencoba untuk mengeluarkan suara, yang terdengar hanya suara lirih saja.
"Lepaskan aku, jahanam...... lepaskan......!" Ia sudah berteriak, namun karena tidak ada tenaganya, suara itu terdengar lirih seperti bisik-bisik saja. Akan tetapi kerut merut di tubuhnya, pandang matanya yang penuh kebencian, agaknya dimengerti oleh Magu bahwa gadis ini dalam hatinya menolaknya dan berusaha untuk meronta. Dia terkekeh.
"Heh-heh-heh, rupanya engkau keras nati dan tidak mau menyerah, manisku. Engkau perlu dipaksa!" Dia lalu mengambil tali yang cukup kuat dari sudut gubuk itu dan dengan tali itu dia mengikat kedua pergelangan tangan dan kedua pergelangan kaki Li Hong, diikatkan pada keempat kaki dipan itu. Tentu saja Li Hong ingin memberontak, akan tetapi ia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya. Kembali Magu tertawa dan memandang kepadanya dengan mata penuh nafsu.
"Manisku, aku tidak ingin memaksamu, aku ingin engkau menyerahkan diri dengan manis!"
Setelah berkata demikian, dia mengambil sebuah bungkusan dari saku bajunya yang kotor, kemudian membawa bungkusan ke meja di sudut di mana terdapat sebuah guci dan beberapa cawan kosong. Dibukanya bungkusan dan dituangkan isinya, bubuk merah, ke dalam cawan lalu cawan itu diisi minuman dari guci. Kemudian dibawanya cawan kecil berisi arak itu ke dekat dipan dan disodorkannya cawan itu kepada Li Hong.
"Nah, minumlah arak ini, manis, dan engkau akan merasa senang dan sehat!"
Akan tetapi tentu saja Li Hong tidak sudi minum, akan tetapi ia tidak mampu menolak dengan tangannya yang telah diikat dan terbentang. Ia hanya berusaha untuk memalingkan mukanya dan mengatupkan mulutnya, walaupun dengan gerakan lemah.
"Minum!" Orang itu membentak, lalu duduk di tepi dipan dan menggunakan tangan kirinya memaksa mulut Li Hong terbuka dengan menekan rahangnya, lalu dia menuangkan arak itu ke dalam mulut Li Hong! Gadis itu tak dapat menolak lagi, mencoba untuk menutup kerongkongannya, namun akhirnya arak itu memasuki perutnya dan ia tersedak-sedak.
Li Hong merasa betapa ada hawa panas mengamuk di dalam perutnya dan hawa panas itu menjalar ke dalam kepalanya, membuat ia merasa pening. Akan tetapi ia terkejut bukan main karena tiba-tiba saja ia merasakan rangsangan yang amat hebat dan kuat! Ia memejamkan matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk melawan rangsangan yang tidak wajar itu. Biarpun selama hidupnya ia belum pernah merasakan rangsangan seperti itu, namun nalurinya mengatakan bahwa itu merupakan pengaruh yang tidak baik.
"Tidak...... tidak""!" Berulang kali ia berseru sekuatnya, namun terdengar suara lirih saja. Makin lama semakin pusing dan ia segera merasakan sesuatu yang membuatnya merasa ngeri bukan main. Pakaiannya dilucuti orang! Ia masih memejamkan matanya dan ia pun dapat menduga apa yang akan terjadi padanya. Sesuatu yang dianggapnya lebih mengerikan daripada maut! Ia tidak berani membuka matanya, hanya menggelengkan kepalanya dan agaknya pengaruh totokan itu mulai berkurang karena tiba-tiba dapat menjerit nyaring.
"Jangan......! Ah, jangan......! Tolong...... tolonggg......!"
Laki-laki itu terkejut juga mendengar Li Hong mampu menjerit nyaring, akan tetapi dia tertawa dan berkata,
"Percuma engkau menjerit, manisku, tidak ada yang dapat mendengarmu, ha-ha-ha! Mengapa engkau menjerit? Kita akan bersenang-senang!"
Li Hong merasa betapa rangsangan dalam tubuhnya, terutama pada otaknya, semakin kuat dan panas. Ia melawannya dengan menanamkan dalam ingatannya sambil berbisik,
"Kalau kalian memperkosaku, kelak aku akan mencabik-cabik jantung kalian dan melumatkan kepala kalian!!"
Pikiran ini merupakan hiburan satu-satunya, dan ini untuk melawan rangsangan itu sehingga ia tidak akan menyerah dengan suka rela. Ia akan membunuh dan menyiksa mereka, baru kemudian ia akan membunuh diri! Ini tekadnya dan ia mengerahkan seluruh tenaga ingatannya agar tidak merasakan apa pun yang akan terjadi dengan dirinya, hanya air matanya yang mengucur deras.
Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di luar gubuk, disusul teriakan mengaduh. Laki-laki yang hendak menggerayangi tubuh Li Hong itu terkejut dan melompat ke pintu.
"Apa yang terjadi?" Dia bertanya kepada kawannya yang tadi menjaga di luar gubuk.
Tiba-tiba daun pintu gubuk itu roboh dan sesosok bayangan berkelebat masuk. Laki-laki yang hendak memperkosa Li Hong itu terkejut, cepat mencabut goloknya dan menyerang. Akan tetapi bayangan itu dengan tangkas mendahului dengan tendangan. Begitu kakinya mencuat, perut laki-laki tinggi besar itu tertendang dan dia roboh terjengkang! Penolong itu menangkap kakinya dan sekali dia melempar, tubuh Magu yang tinggi besar itu terlempar keluar. Penolong itu melompat keluar mengejar dan terdengar teriakan-teriakan dua orang itu, lalu terdiam.
Li Hong yang menangis tanpa mengeluarkan suara, membuka matanya dan ia sempat melihat penolongnya itu melemparkan penjahat itu ke luar pintu gubuk. Karena api lampu bergerak-gerak tertiup angin yang masuk melalui pintu yang terbuka, Li Hong tidak dapat melihat siapa penolongnya. Setelah teriakan dua orang itu tak terdengar lagi, dara ini melihat seorang laki-laki memasuki gubuk dan menutupkan pintu yang jebol pada lubang pintu sehingga api lampu itu tidak lagi bergerak-gerak tertiup angin dan Li Hong dapat melihat jelas wajah pemuda yang kini mendekati dipan.
"Twako......!" serunya dengan terisak-isak.
Pemuda yang menolongnya itu adalah Yauw Tek. Cepat Yauw Tek melepaskan tali yang mengikat kaki dan tangan Li Hong dan menepuk pundak gadis itu. Begitu dapat bergerak, Li Hong bangkit duduk sambil menangis dan merangkul Yauw Tek. Tadi ia ketakutan setengah mati, takut dan ngeri, maka pelepasan ini membuat ia merasa sangat bersyukur, girang dan juga terharu sehingga ia menangis mengguguk di dada Yauw Tek yang merangkulnya.
Demikian terguncang batin Li Hong oleh peristiwa dan kengerian yang tadi mengancam dan nyaris melanda dirinya, membuat ia lupa bahwa ia masih dalam keadaan telanjang bulat karena tadi pakaiannya telah dilucuti semua oleh Magu dan hampir tidak dirasakan Li Hong dengan cara menanamkan dendamnya.
Setelah tangisnya mereda, Li Hong berbisik,
"Yauw-twako...... engkau telah menolongku...... aku berhutang budi dan nyawa kepadamu......"
"Hushh, Hong-moi, hal ini sudah wajar. Aku pasti akan membelamu dan melindungi selamanya......"
"Selamanya, Twako......" Lengan Li Hong merangkul leher sehingga Yauw Tek agak terkejut.
"Tentu saja selamanya, Hong-moi karena aku cinta padamu."
"Aku...... aku pun...... cinta padamu, Yauw-twako......"
Merangkul gadis yang telah menjatuhkan hatinya sejak pertama kali bertemu itu, yang kini dalam keadaan bugil sehingga terasa hangat dalam dekapannya, membuat Yauw Tek gemetar. Pengakuan cinta Li Hong terasa merdu sekali, mengobati hatinya yang tadinya kecewa oleh penolakan cinta Ceng Ceng. Dia lalu mendekatkan mukanya dan mencium pipi Li Hong. Akan tetapi, mendadak Li Hong memperketat rangkulannya dan membalas ciumannya dengan panas!
"Hong-moi......!!" Yauw Tek terkejut dan menegur, agak menarik dan menjauhkan mukanya dari Li Hong.
Saat itu, semua pertahanan dalam batin Li Hong sudah buyar dan hilang. Pengaruh racun perangsang yang diminumnya secara paksa kini sedang bekerja mencapai puncaknya. Tadi daya rangsangan itu sudah menyerangnya, namun dengan sekuat tenaga batinnya ia melawan dan mempertahankan diri agar tidak hanyut, dengan penanaman dendam kebencian terhadap orang yang memperkosanya itu. Akan tetapi sekarang, ia merasa lega, girang, dan terharu ketika diselamatkan oleh Yauw Tek, pemuda yang memang telah menarik hatinya. Ditambah Iagi kesadarannya bahwa ia ditemukan pemuda itu dalam keadaan tanpa pakaian, membuat ia mengambil keputusan bahwa ia hanya dapat menghapus rasa malu itu dengan menjadi isteri Yauw Tek.
Semua ini merupakan dorongan sehingga rangsangan yang dibangkitkan racun perangsang itu menjadi berlipat ganda kuatnya, membuat ia tidak ada keinginan lain kecuali menyerahkan dirinya kepada pemuda yang dicintanya itu. Dalam pandangannya, sepasang mata Yauw Tek itu demikian indah cemerlang, demikian penuh wibawa sehingga membuat ia kagum dan tunduk. Akan tetapi melihat Li Hong semakin kuat merangkulnya dengan napas terengah-engah, Yauw Tek menarik diri ke belakang dan kedua tangannya menahan kedua pundak gadis itu, matanya memandang tajam.
"Hong-moi, ingat dan sadarlah! Perbuatan ini kalau dilanjutkan tidak baik sama sekali! Jangan, Hong-moi, aku hanya seorang manusia biasa, kalau engkau bersikap seperti ini, aku tidak akan kuat bertahan! Hong-moi, aku cinta padamu dan aku tidak ingin merusak kehormatanmu, aku cinta dan hormat padamu......"
Li Hong mendengar dan menyadari akan kebenaran ucapan itu, akan tetapi justeru penolakan itu membuat ia semakin nekat.
"Aku pun cinta padamu, Twako. Aku ingin menyerahkan segala milikku, kalau perlu nyawaku, kepadamu. Yauw-twako......!" Li Hong kembali menubruk, merangkul dan Yauw Tek tidak kuat bertahan untuk menolak lagi. Dia pun balas merangkul dan keduanya tenggelam dalam nafsu berahi, terbuai asmara yang membuat manusia lupa akan segala sesuatu, lupa akan baik buruk, kehilangan semua pertimbangan, bahkan kehilangan kesadaran, diri sendiri pun terlupa dan yang hidup menguasai seluruh diri hanya nafsu berahi yang mendesak untuk disalurkan dan dipuaskan.
Sejak jaman dahulu, para manusia yang dipilih Tuhan, menerima wahyu untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia, sejak yang primitip (kuna) sampai yang paling modern, selalu menekankan agar manusia waspada dan berhati-hati terhadap setan yang menguasai diri manusia melalui nafsu-nafsu manusia sendiri. Namun kenyataannya, jarang sekali terdapat manusia yang mampu menguasai atau mengendalikan nafsunya sendiri.
Bermacam usaha yang timbul dari ulah hati akal pikiran dilakukan untuk mengalahkan nafsu, namun sebagian besar atau hampir semua usaha itu menemui kegagalan. Hal ini terjadi karena semua usaha itu dilakukan oleh pikiran yang selalu mementingkan diri sendiri, mementingkan si-aku yang selalu mengejar kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan. Maka, usaha untuk menguasai nafsu itu pun bersumber dari keinginan untuk kepentingan si aku. Pikiran yang mengaku-aku ini melihat betapa nafsu dapat menjerumuskannya dan akhirnya mencelakakannya, maka timbul keinginan untuk menghentikan hal yang membahayakan itu. Jadi, yang mendorong menghentikan nafsu itu pun nafsu juga! Nafsu untuk menyenangkan diri, memetingkan si aku yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri.
Nafsu sudah disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita manusia sejak kita lahir di dunia. Nafsu itu teramat penting bagi kehidupan. Nafsu membuat kita ingin menikmati segala sesuatu dalam kehidupan ini melalui panca indera kita. Nafsu datang tanpa dipelajari karena memang sudah ada pada diri kita. Setiap orang bayi sudah memiliki nafsu makan atau minum yang amat diperlukan bagi hidupnya. Nafsu membuat dia menikmati air susu yang diminumnya.
Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi juga sudah disertakan manusia, menjadi alat atau menjadi peserta, juga hamba dari manusia. Nafsu ini, seperti nafsu-nafsu lain, juga teramat penting karena dengan adanya nafsu ini, maka manusia dapat berkembang biak. Akan tetapi kalau sampai nafsu yang disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita untuk menjadi hamba kita ini kita biarkan menguasai dan memperhamba diri kita, maka malapetaka yang timbul. Nafsu berahi yang mendorong hubungan suami isteri adalah baik, benar, dan bersih karena sesuai dengan Kehendak Sang Maha Pencipta. Namun, kalau nafsu ini menguasai diri manusia, maka muncullah perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari Kehendak Tuhan, seperti pelacuran, perjinaan, pemerkosaan, dan sebagainya.
Segala perbuatan yang disebut jahat di dunia ini, segala macam kebencian, permusuhan, perang, dan semua kejahatan umum, semua itu adalah ulah manusia yang sudah diperhamba oleh nafsu yang menguasai dirinya.
Masalahnya sekarang, bagaimana kita dapat terbebas dari pengaruh nafsu? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kita INGIN BEBAS dari nafsu. Lalu siapa yang ingin itu? Yang ingin itu aku, karena aku tidak mau diperbudak nafsu yang mendatangkan sengsara. Aku tidak mau sengsara. Aku ingin hidup tenteram. Aku ingin hidup damai! Aku ingin ini, aku ingin itu, ingin yang lebih baik, lebih menyenangkan dari pada yang ada. Si aku yang ingin tenteram ini apakah berbeda dengan si-aku yang ingin menikmati kesenangan melalui pemuasan nafsu? Kita dipermainkan oleh pikiran sendiri, berputar-putar dalam ruangan yang itu juga. Tetap saja pada dasarnya adalah yang ingin senang. Menuruti nafsu agar puas berarti mengejar kesenangan. Menghentikan nafsu agar tenteram juga berarti mencari kesenangan karena tenteram itu mendatangkan kesenangan pula.
Lalu bagaimana? Kalau menuruti nafsu salah dan meniadakan nafsu salah, apa yang harus kita perbuat? Yang salah adalah keinginan itu sendiri! Keinginan mendapatkan kesenangan melalui pemuasan nafsu ataupun keinginan mendapatkan kesenangan melalui penghentian nafsu. Maka, satu-satunya hal yang dapat dilakukan manusia adalah tidak menginginkan kesenangan dalam bentuk apa pun selama keinginan itu timbul dari pementingan diri sendiri. Kita tidak mungkin dapat menguasai nafsu. Yang dapat menguasai nafsu itu hanyalah Sang Maha Pencipta yang menciptakan nafsu dan memberikan itu kepada kita sebagai pelayan dalam hidup. Hanya kalau Jiwa kita disinari Kekuasaan Tuhan, maka Jiwa itu akan dapat melaksanakan tugas semula, yaitu menjadi Kusir (Sais) dari kendaraan yang berupa tubuh kita. Hanya dengan bimbingan Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan membuat Jiwa kuat untuk mengendalikan nafsu-nafsu sehingga dengan sendirinya, pikiran, ucapan, dan perbuatan kita tidak lagi selalu ditujukan untuk kepentingan dan kesenangan diri pribadi. Jiwa yang dibimbing Kekuasaan Tuhan saja yang mampu membebaskan kita dari perbudakan nafsu atau membebaskan kita dari kekuasaan setan!
Pada keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar mengusir kegelapan malam dan mengangkat halimun membubung ke atas, ketika burung-burung menyanyikan pujian bagi Sang Maha Pencipta sebelum mereka mulai dengan kehidupan baru di hari itu, diseling kokok ayam hutan yang membungkam segala macam jengkerik belalang dari senandung malam mereka, Yauw Tek terbangun dari tidur nyenyak.
Dia melihat dirinya tadi rebah di dipan kayu yang kasar dalam gubuk itu. Dia terkejut ketika teringat akan peristiwa semalam. Li Hong tidak ada di situ. Cepat dia mengenakan pakaiannya dan keluar dari gubuk. Dilihatnya Li Hong, dengan pakaian kusut dan rambut tidak tersisir, duduk di atas batu sambil menangis tanpa suara.
Yauw Tek cepat menghampiri dan dia menjatuhkan diri berlutut di dekat batu di mana Li Hong duduk.
"Hong-moi......, aku telah berdosa padamu"" ah, Hong-moi, dosaku terlalu besar...... engkau boleh bunuh aku, Hong-moi, untuk menebus kesalahanku padamu......" Suara Yauw Tek tergetar.
Li Hong menurunkan kedua tangannya yang tadi dipakai menutupi mukanya. Kedua matanya basah, wajahnya agak pucat dan ia memandang pemuda yang berlutut di depannya itu.
"Yauw-twako......" Suara Li Hong juga gemetar dan ketika Yauw Tek mengangkat muka memandang, melihat wajah yang memelas (menimbulkan iba) dengan sepasang mata basah itu, Yauw Tek juga menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran keluar dari sepasang matanya dan dia berkata dengan suara lirih gemetar.
"Li Hong...... ampuni aku...... ah, tidak, jangan, ampuni aku...... bunuhlah aku dengan pedangmu...... aku akan menerima kematian di tanganmu dengan bahagia karena telah dapat menebus dosaku......"
Dalam tangisnya, Li Hong tersenyum, menjulurkan kedua tangannya, menarik Yauw Tek agar duduk di atas batu, di sampingnya.
"Twako, aku tidak menyesal, aku tidak marah kepadamu. Engkau tidak bersalah, Yauw-twako. Sekarang aku ingat betul. Iblis-iblis itu memaksaku minum arak, lalu tubuhku terasa tidak karuan...... kemudian engkau menyelamatkan aku...... aku begitu bahagia...... aku lupa segala...... dan terjadilah itu dengan kita. Aku sungguh tidak menyalahkanmu, dan aku tidak menyesal, Twako. Apakah engkau menyesal?"
"Bukan salahmu, Hong-moi. Akulah yang salah, aku tidak dapat menahan diri, aku hanyut. Aku memang menyesal kalau sampai hal itu membuat engkau berduka......"
"Sama sekali tidak, Twako! Aku tidak berduka dan aku tidak menyesal."
"Tapi...... engkau tadi menangis......"
"Aku menangis karena bahagia, Twako. Aku kini menjadi milikmu, untuk selamanya! Bukankah engkau sangat mencintaku, Twako?"
"Tentu saja, aku sangat mencintamu, Hong-moi."
"Dan engkau berjanji tidak akan meninggalkan aku?"
"Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu."
"Juga tidak akan mencinta wanita selain aku?"
Yauw Tek menggelengkan kepalanya.
Li Hong menghela napas penuh kelegaan dan kebahagiaan dan ia lalu menyandarkan kepalanya di dada Yauw Tek yang merangkulnya dengan mesra. Sampai lama mereka hanya duduk diam, kediaman yang menenggelamkan Li Hong dalam kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bagaikan dalam mimpi ia membayangkan semua yang terjadi sejak ia terjebak dan ditawan dua orang jahat itu.
Pagi tadi, ketika ia terbangun, ia cepat berpakaian dan menyambar Ban-tok-kiam lalu melangkah keluar, pikirannya masih termenung dan kacau oleh ingatan semalam. Ia masih merasakan kemesraan yang dialaminya bersama Yauw Tek dan merasa berbahagia sekali, merasa betapa kini ia menjadi milik Yauw Tek dan pemuda itu menjadi miliknya! Saking terharu dan berbahagia, ia menangis tanpa suara. Kini ia teringat akan dua orang penjahat itu.
"Yauw Twako, di mana mereka?" tanya Li Hong sambil bangkit duduk kembali.
Yauw Tek kaget juga merasa betapa Li Hong yang tadi begitu lembut, hangat dan pasrah dalam rangkulannya, kini menjadi tegang dan kekerasan membayang di sinar matanya yang jernih tajam.
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa maksudmu? Ah, dua orang penjahat itu? Aku sudah melempar mereka ke dalam jurang di sana." Dia menuding dan Li Hong lalu melompat dari atas batu dan lari ke tepi jurang tak jauh dari situ. Yauw Tek menyusulnya.
"Nah, itu mereka, Hong-moi. Sudah tewas!" kata Yauw Tek sambil menunjuk ke bawah jurang.
Jurang itu cukup dalam dan Li Hong melihat dua orang yang semalam menangkapnya itu. Yang seorang rebah miring dan seorang lagi, yang semalam memperkosanya, rebah telentang. Dengan kebencian masih mengganjal hatinya, Li Hong mengambil sebuah batu sebesar kepala orang lalu melontarkan batu itu ke bawah.
"Wuuuttt...... prakk!" Kepala penjahat yang telentang itu pecah tertimpa batu yang ditimpukkan dengan kuat. Batu kedua menyusul memecahkan kepala penjahat kedua.
"Mari kita kembali ke perkampungan Ang-tung Kai-pang, Twako. Tentu Enci Ceng sudah merasa khawatir karena aku belum kembali ke sana," kata Li Hong setelah merasa puas dapat membalas dendam dengan menghancurkan kepala dua orang penjahat yang menculiknya itu, walaupun yang dihancurkan adalah kepada yang sudah menjadi mayat.
Mereka berdua lalu melakukan perjalanan cepat ke Bukit Cemara di bagian Selatan pegunungan Thai-san. Hari telah siang ketika mereka tiba di perkampungan Kai-pang, disambut gembira oleh Ang-tung Kai-pang.
"Ah, kami gembira sekali melihat Ji-wi (Kalian Berdua) kembali dalam keadaan selamat. Kami sudah merasa khawatir sekali karena Nona Tan semalam tidak pulang. Bagaimana, apakah yang terjadi dengan Hek Pek Mo-ko?"
Wajah Li Hong berubah merah dan Yauw Tek cepat berkata.
"Hek Pek Mo-ko pergi dan menghilang. Hong-moi mengejar terlalu jauh sehingga kemalaman dan tidak dapat pulang karena malam gelap. Baru pagi tadi kami saling bertemu dan aku mengajak ia kembali ke sini, Pangcu."
"Pangcu, di mana Ceng-ci? Mengapa ia tidak keluar menyambut kami?" tanya Li Hong.
"Nona Liu pergi menyusul dan mencarimu, Nona. Sampai sekarang ia juga belum kembali," jawab ketua itu.
Mendengar ini, Yauw Tek dan Li Hong merasa khawatir sekali dan mereka segera berpamit kepada Kui-tung Sin-kai untuk mencari Ceng Ceng. Akan tetapi ketua itu menahan mereka dan mengajak mereka berdua makan siang terlebih dulu.
"Jangan khawatir, Yauw-sicu dan Nona Tan. Nanti kami akan mengerahkan semua anak buah kami untuk berpencar dan mencari Nona Liu Ceng Ceng. Seka-rang, harap Ji-wi suka menerima hidangan, yang telah kami siapkan untuk Ji-wi."
Terpaksa Yauw Tek dan Li Hong menerima tawaran ini. Setelah selesai makan minum, dua orang muda itu berkemas lalu pamit dan meninggalkan perkampungan Ang-tung Kai-pang. Kui-tung Sin-kai lalu mengerahkan sebagian anak buahnya untuk berpencar dan berusaha mencari Nona Liu Ceng Ceng.
Pada waktu itu, memang banyak tokoh-tokoh dunia persilatan berbondong-bondong datang ke Thai-san begitu mereka mendengar berita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dicuri oleh orang yang mengaku bertempat tinggal di Thai-san. Mereka berlumba untuk memperebutkan dan mendapatkan harta karun yang kabarnya amat banyak jumlahnya itu.
Di antara mereka yang berdatangan itu, tampak Bu-tek Sin-liong Cu Liong, majikan Bukit Merak bersama puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin. Bu-tek Sin-liong adalah seorang yang tidak menginginkan harta karena dia sudah cukup kaya raya. Akan tetapi dengan cerdiknya Cu Ai Yin dapat membangkitkan semangat ayahnya dengan mengatakan bahwa perebutan harta karun itu dapat mengangkat nama besar Bu-tek Sin-liong sehingga sesuai dengan julukannya Naga Sakti Tanpa Tanding!
Sudah tiga hari ayah dan anak ini tiba di kaki Pegunungan Thai-san. Namun mereka belum juga mendaki karena Cu Liong masih belum dapat mengambil keputusan ke bagian mana dia harus melakukan penyelidikan. Selama tiga hari itu, Ai Yin sudah berkali-kali mendesak ayahnya untuk mulai mencari dan mendaki pegunungan itu, akan tetapi ayahnya masih ragu-ragu.
"Pegunungan Thai-san begini tinggi dan besar, begini luas. Ke mana kita harus mencari pencuri yang hanya meninggalkan tulisan THAI SAN? Mencarinya dengan menjelajahi seluruh pegunungan ini kukira memakan waktu beberapa tahun!" katanya ketika puterinya merengek lagi.
Datuk ini duduk bersila di atas sebuah batu besar memandang puterinya yang berdiri di depannya. Biarpun usianya sudah sekitar limapuluh enam tahun, Bu-tek Sin-liong Cu Liong masih tampak gagah sekali. Tubuhnya tinggi besar, mukanya merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam Kok, kumis jenggotnya pendek terpelihara pakaiannya mewah seperti pakaian seorang hartawan dan Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas) menempel di punggungnya. Sikapnya acuh tak acuh dan biasanya dingin. Hanya kalau dia berhadapan dengan puteri tunggalnya yang tersayang itu dia bersikap ramah dan memanjakan puterinya.
"Tapi, Ayah!" Ai Yin merengek.
Kalau berhadapan dengan ayahnya, sikap Cu Ai Yin menjadi kekanak-kanakan dan manja. Gadis sembilanbelas tahun ini memang cantik jelita dan daya tariknya terutama terdapat pada mulut dan matanya yang menggairahkan. Di rambutnya yang hitam panjang dan lebat itu selalu terhias sebatang bunga putih dan karena inilah dara ini dijuluki Pek-hwa Sianli (Dewi Bunga Putih). Wajahnya yang bulat telur itu menjadi manis dengan adanya setitik tahi lalat di sudut mulut sebelah kanan. Di punggungnya tergantung sepasang hui-kiam (pedang terbang) pendek. Pakaian sutera merah muda membungkus ketat tubuhnya yang padat dan ramping.
"Tapi apa, Ai Yin?"
"Kita sudah jauh-jauh datang ke sini, apakah hanya untuk duduk termenung di kaki pegunungan saja? Kalau begitu, untuk apa kita capek-capek (kelelahan) datang ke sini?" Dara itu merajuk dan bibirnya yang merah lembut itu cemberut.
"Ha-ha-ha-ha!" Datuk itu tertawa bergelak.
"Kalau engkau sudah merajuk seperti itu, aku jadi teringat kepada mendiang ibumu! Ketahuilah, Ai Yin, bukan aku bermalas-malasan di sini. Aku sengaja mendatangi Thai-san di bagian barat ini karena aku mendengar bahwa Huo Lo-sian bermukim di sini. Menurut pendapatku, Dewa Api itu merupakan orang pertama yang kucurigai sebagai pencuri harta karun. Aku percaya kehadiranku di sini pasti akan dia ketahui dan tanpa mencarinya, dia akan datang menemuiku di sini!"
Ucapan datuk itu membayangkan keangkuhannya. Bukan dia yang mencari Huo Lo-sian, melainkan Dewa Api itu yang akan lebih dulu mencari dan datang kepadanya, seolah dia menganggap bahwa Dewa Api memiliki kedudukan yang lebih rendah daripadanya! Ai Yin merasa tidak puas dengan (Lanjut ke Jilid 09)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
jawaban itu dan ia berkata dengan masih bersungut-sungut.
"Aku tidak betah tinggal menganggur di sini lebih lama lagi, Ayah. Aku akan mendekati bukit di depan itu untuk melihat-lihat. Siapa tahu aku akan mendapatkan petunjuk di sana."
Setelah berkata demikian, Ai Yin meninggalkan ayahnya yang masih duduk bersila. Ia mendaki bukit di depannya itu, tidak menyadari bahwa yang didaki itu adalah Bukit Merah yang menjadi tempat tinggal Dewa Api dan anak buahnya!
Memang benarlah dugaan Bu-tek Sin-liong Cu Liong bahwa kehadirannya di kaki Bukit Merah yang menjadi bagian Barat Pegunungan Thai-san itu sejak semula telah diketahui oleh Huo Lo-sian yang mendapat laporan dari anak buahnya. Dia memesan kepada anak buahnya agar jangan mengganggu datuk yang namanya sudah dia kenal itu.
Seperti juga Bu-tek Sin-liong, Huo Lo-sian juga memiliki watak sombong dan angkuh. Dia tidak mau menyambut kedatangan Majikan Bukit Merak itu dan menunggu datuk itu yang akan datang lebih dulu mengunjunginya. Dia hanya memesan kepada anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan melihat gerak-gerik datuk itu. Selama tiga hari tidak terjadi sesuatu karena menurut laporan anak buahnya, datuk itu bersama seorang gadis cantik masih saja duduk di kaki bukit dan tidak ada tanda-tanda akan mendaki bukit.
Pada hari keempat, pagi itu Huo Lo-sian mendapat laporan bahwa gadis cantik yang tadinya bersama datuk itu mendaki bukit seorang diri. Mendengar ini, Huo Lo-sian memerintahkan anak buahnya untuk menangkap gadis itu karena dianggap melanggar wilayahnya.
"Tangkap gadis itu, akan tetapi jangan dibunuh!" kata Huo Lo-sian yang merasa sayang kalau gadis yang kabarnya cantik jelita itu dibunuh. Apalagi gadis itu datang bersama Bu-tek Sin-liong dan akan tidak menguntungkan kalau bermusuhan dengan datuk yang namanya sudah terkenal di dunia kang-ouw itu.
Ai Yin mendaki bukit itu dengan sikap waspada karena ia sudah mendengar bahwa bukit itu adalah Bukit Merah yang menjadi tempat tinggal Dewa Api dan anak buahnya. Ketika ia sudah mendaki di lereng tengah, ia mendengar gerakan dari sekelilingnya, Ai Yin menghentikan langkahnya dan siap menghadapi segala kemungkinan. Ia tetap tenang saja ketika melihat sekitar duapuluh orang bermunculan mengepungnya. Mereka adalah laki-laki berusia sekitar tigapuluh sampai limapuluh tahun, kesemuanya berpakaian serba hijau dan memegang sebatang golok yang punggungnya merupakan gergaji! Sikap mereka amat bengis menyeramkan.
Tanpa rasa takut sedikit pun terhadap sekitar duapuluh orang yang mengepungnya, Ai Yin bertanya dengan garang.
"Siapa kalian dan mau apa kalian menghadang perjalananku?"
Seorang dari mereka, yang berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak, menjawab dengan suara tenang.
"Nona, engkau telah melanggar wilayah kami, maka menyerahlah untuk kami hadapkan kepada majikan kami yang akan mengambil keputusan terhadap engkau yag melanggar."
"Hemm, aku tidak tahu siapa kalian dan tidak merasa melanggar. Aku hanya mendaki bukit ini. Siapa sih kalian yang mengaku bahwa tempat ini wilayah kalian?"
"Kami adalah para penghuni Bukit Merah ini, dan pemimpin kami atau majikan kami adalah Huo Lo-sian. Mari, Nona, kami tidak menggunakan kekerasan asalkan engkau mau menghadap majikan kami dengan sukarela."
"Ah, kiranya ini tempat tinggal Dewa Api! Dan kalian ini anak buahnya? Katakan kepadanya bahwa aku Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin datang sebagai tamu. Mengapa dia tidak menyambutku malah mengerahkan anak buahnya untuk mengepungku? Begitu sombongkah Huo Lo-sian? Ingin kuketahui sampai di mana kepandaiannya maka dia berani begitu sombong!"
Laki-laki botak itu mengerutkan alisnya. Hatinya mendongkol juga mendengar gadis muda ini mencela pemimpinnya dan memakinya sombong, bahkan seperti memandang rendah kepandaian Si Dewa Api!
"Nona Cu, kami tidak tahu akan semua itu. Setahu kami, engkau telah memasuki wilayah kami tanpa ijin, engkau telah melakukan pelanggaran dan adalah kewajiban kami untuk menangkapmu dan menghadapkanmu kepada pimpinan kami."
"Kalau aku tidak mau?" tantang Ai Yin.
"Kalau engkau tidak mau ikut kami menghadap pimpinan kami secara sukarela, terpaksa kami akan menggunakan paksaan!"
"He-heh! Kalian hendak menggunakan kekerasan? Menangkap aku?" Ai Yin tertawa dan dia mencabut sepasang pedangnya lalu menantang.
"Hendak kulihat bagaimana kalian dapat menangkap aku!"
Melihat sikap gadis itu, kepala regu itu menoleh kepada kawan-kawannya lalu menggerakkan golok memberi aba-aba,
"Serbu dan ingat pesan Suhu!" Hal ini dia ingatkan karena kalau sampai gadis itu terbunuh, yang akan mendapat marah besar tentu dia sebagai pemimpin rombongan itu. Huo Lo-sian sudah berpesan kepada mereka agar jangan sampai gadis itu terbunuh.
Mendengar aba-aba ini, rombongan yang terdiri dari duapuluh dua orang itu lalu bergerak, melangkah dan mengitari gadis itu. Biarpun mereka tidak boleh membunuh, namun melihat Ai Yin mencabut pedang, tentu saja mereka tidak berani menyerbu dengan tangan kosong. Melihat mereka melangkah dan mengitarinya, Ai Yin berdiri diam saja, akan tetapi matanya waspada dan seluruh syaraf tubuhnya siap menghadapi serangan mereka.
Tiba-tiba pemimpin rombongan membuka serangan lebih dulu sebagai isyarat kepada kawan-kawannya. Goloknya menyambar dari atas membacok ke arah kepala Ai Yin. Gerakannya cukup cepat dan kuat. Namun bagi Ai Yin, gerakan itu tampak lamban dan dengan mudah ia miringkan tubuh sehingga sambaran golok itu luput. Akan tetapi pada saat berikutnya, mereka mulai mengeroyoknya. Golok menyambar-nyambar dari semua penjuru dan Ai Yin segera memutar pedang di kedua tangannya.
Ilmu pedang gadis ini hebat sekali. Dari ayahnya ia berhasil menguasai Jit-seng Siang-kiam (Sepasang Pedang Tujuh Bintang) dan ketika pedangnya itu diputar untuk melindungi dirinya, seolah-olah sepasang pedang itu berubah menjadi tujuh bintang yang sinarnya bergulung-gulung. Terdengar bunyi berdentingan dan para pengeroyok berseru kaget karena golok mereka terpental hampir terlepas dari pegangan dan tangan mereka terasa panas dan tergetar kuat.
Kenyataan itu membuat mereka semua menyadari bahwa gadis cantik yang mereka keroyok ini ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali sehingga baru sekarang mereka mengerti mengapa Dewa Api menyuruh anak buahnya sebanyak itu hanya untuk menangkap seorang gadis muda yang cantik! Kalau tadinya merasa heran, geli dan memandang ringan, sekarang mereka merasa gentar dan hati-hati. Mereka lalu menyerang lebih hebat lagi dan ulah mereka seperti segerombolan srigala yang mengeroyok seekor harimau.
"Haiiiittt""!" Ai Yin menggunakan keringanan tubuhnya melompat keluar dari kepungan dan begitu ia membalik, pedang kanannya meluncur ke arah pengejar terdepan.
"Singg...... cratt!"
Seorang pengeroyok roboh disambar pedang dan pedang itu setelah melukai seorang pengeroyok, lalu terbang kembali ke tangan Ai Yin! Inilah yang dinamakan "pedang terbang". Sesungguhnya bukan pedangnya yang dapat terbang kembali kepada pemiliknya, melainkan karena pada gagang pedang itu dipasangi tali sutera hitam yang amat lembut sehingga tidak tampak dan begitu disentakkan pedang itu melayang kembali ke tangan kanan Ai Yin.
Para pengeroyok terkejut melihat seorang kawan mereka roboh. Mereka kini mengepung dengan menjaga jarak dan hanya ada empat orang yang mengepung dekat dari empat penjuru. Mereka sudah membawa obor yang bernyala, kemudian mereka menyemburkan api begitu obor didekatkan muka mereka. Api itu menerjang ke arah Ai Yin! Tentu saja Ai Yin terkejut bukan main diserang dengan semburan api dari empat penjuru secara bergantian itu. Tidak mungkin ia dapat menangkis serangan api. Ia hanya dapat menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini. Akan tetapi kini maju empat orang lagi dan delapan orang itu secara bergantian menyemburkan api menyerang Ai Yin.
Ai Yin mulai merasa ngeri karena belum pernah ia menghadapi pengeroyokan delapan orang yang menyemburkan api untuk menyerangnya! Kalau ia melompat tinggi keluar dari kepungan, belasan oran yang lainnya menyambutnya dengan serangan golok dan begitu ia menangkisi golok-golok itu, delapan orang penyembur api itu sudah menyerang dan mengepungnya lagi!
Naga Beracun Eps 27 Naga Beracun Eps 24 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 6