Ceritasilat Novel Online

Naga Beracun 27


Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 27




   "Ciangkun, saya akan menjawab semua itu. Penjahat yang satu ini memang licik sekali," kata Thian Ki melihat keraguan di mata komandan itu, lalu diapun berkata dengan lantang sehingga terdengar oleh semua anak buah Koai-liong-pang dan para perajurit yang mengepung tempat itu.

   "Can Hong San, tidak perlu engkau bersilat lidah dan memutar"balikkan kenyataan.! Ingatlah kami telah mengetahui semua rahasiamu. Belasan tahun yang lalu engkau sudah ditangkap dan dihukum oleh Kerajaan Sui sebagai seorang penjahat dan pemberontak. Setelah Kerajaan Tang berdiri engkau lolos dari penjara dan membantu Pangeran Cian Bu Ong melakukan pemberontakan, bahkan engkau dan kawan"kawanmu yang menyerbu dan membunuh para pendekar Hek-houw-pang yang membantu pemerintah. Setelah pemberontakan Pangeran Cian Bu Ong gagal, engkau berhasil menjadi pengawal pribadi Pangeran Tua Li Siu Ti yang memberontak pula dan yang dihancurkan oleh pemerintah. Akan tetapi engkau dapat lolos dan membentuk Koai-liong-pang di tempat ini. Dan engkau semakin jahat! Engkau dan anak buahmu menguasai semua tempat hiburan, memeras para pedagang, bahkan tidak segan menculik dan meraperkosa wanita, baik isteri orang maupun gadis. Dan isterimu sendiri bukan saja kau sia-siakan, kau siksa dan hina, bahkan engkau memberikannya kepada anak buahmu untuk dipermainkan. Ia melarikan diri dan di dalam hutan, ia mencoba untuk menggantung diri! Aku datang menyelamatkannya, lalu datang empat orang pembantumu yang kausuruh untuk mengejar dan menangkapnya, dan kauberikan isterimu itu kepada mereka. Aku melindungi nyonya itu dan mengalahkan orang"orangmu. Nah, masihkah engkau hendak menyangkal? Kalau engkau benar merasa difitnah dan tidak berdosa, menyerah sajalah agar Gan"taijin dapat mengirimmu ke kota raja dan di sana engkau akan diadili."

   Mendengar tuduhan panjang dari pemuda itu wajah Can Hong San sebentar pucat sebentar merah. Bagaimana pemuda ini dapat mengetahui semua itu? Bahkan isterinya sendiri tidak tahu bahwa dia pernah membantu Pangeran Cian Bu Ong yang memberontak! Kalau tentang sepak terjang Koai-liong-pang, tentu isterinya yang telah membocorkannya.

   "Bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu? Siapa engkau?" bentaknya marah.

   "Namaku Coa Thian Ki dan ayahku menjadi seorang di antara korban di tanganmu ketika engkau dan kawan-kawanmu membantu Pangeran Cian Bu Ong dan menyerbu Hek-houw-pang di dusun Ta-bun-cung!"

   "Kau.. tentu isteriku yang telah mengkhianatiku. Aku harus membunuhnya, dan sebelum itu, aku akan membunuhmu lebih dulu!" Karena sudah tidak melihat kemungkinan untuk menyangkal lagi. Can Hong San menjadi nekat dan diapun menerjang ke depan, mengirim serangan kilat. Karena sudah mendengar dari para pembantunya bahwa pemuda ini lihai sekali, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan ilmu andalannya yang dipakai untuk nama perkumpulannya, yaitu Koai"liong-kun (Silat Naga Setan). Tangan kirinya yang membentuk cakar naga itu menyambar dari atas ke arah ubun-ubun kepala lawan, sedangkan tangan kanannya menyusul cepat mencengkeram ke arah dada dengan tenaga yang dike rahkan se pe nuhnya.

   Thian Ki mengenal jurus ampuh dan berbahaya, maka diapun cepat menarik kepala ke belakang dan menggeser kaki ke kiri, lalu tangan kanannya sendiri dengan jari terbuka dihantamkan menyambut cengkeraman tangan kanan lawan ke arah dadanya itu. Melihat pemuda itu berani menyambut tangan kanannya, Can Hong San khawatir kalau jari jari tangannya tidak kuat menahan telapak tangan lawan, maka dia sudah mengepal jari jarinya sehingga kini yang bertemu dengan telapak tangan Thian Ki adalah kepalan tangan kanannya.

   "Wuuuuuuuutttt desss...!!" Kepalan tangan kanan Can Hong San yang didorong tenaga sinkang amat kuat itu, yang dapat menjebolkan tembok, merobohkan pohon bahkan menghancurkan batu, kini bertumbuk pada telapak tangan Thian Ki yang tetap tidak mau mempergunakan kelebihannya, yaitu hawa beracun di tubuhnya. Akibat benturan dua tenaga dahsyat itu, tubuh Can Hong San terdorong ke belakang sampai tiga langkah, sedangkan tubuh Thian Ki hanya bergoyang-goyang saja. Tentu saja hal ini membuat Can Hong San terkejut setengah mati.

   Bagaimana mungkin ada seorang pemuda mampu menahan cengkeramannya, bahkan tangkisan itu dapat membuat dia sampai melangkah mundur sedangkan pemuda itu kuat tegak berdiri dan hanya bergoyang-goyang? Ini tidak mungkin! Selama hidupnya, hanya beberapa orang saja yang mampu menandingi kekuatannya, yaitu para pendekar yang terkenal di dunia persilatan seperti Huang-ho Sin-liong Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng atau isterinya yang bernama Giok Cu, dan Pangeran Cian Bu Ong. Dengan perasaan penasaran dan marah, juga nekat karena dia telah tersudut dan akan ditangkap pasukan, dia mencabut pedangnya, pedang Koai-liong-kiam, dan tangan kiri mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya. Itulah senjatanya yang ampuh, pedang dan suling.

   "Jahanam busuk, kau harus mampus di tanganku!" bentaknya sambil memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar dengan kedua lutut ditekuk, dan sepasang senjata itu bersilang di atas kepalanya, matanya mencorong menatap lawan.
(Lanjut ke Jilid 31)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 31
Karena tahu bahwa lawannya lihai dan berbahaya. Thian Ki juga mengeluarkan pedangnya dan begitu pedang dicabut, nampak sinar hitam yang menyeramkan seolah pedang itu mengandung hawa dingin yang dahsyat. Itulah pedang Cui-mo Hek-kiam (Pedang Hitam Pengejar Iblis), pedang berwarna Hitam milik ibunya yang diberikan kepadanya sebagai bekal ketika dia berangkat melaksanakan dua tugasnya. Pertama, dia harus mencari orang-orang pandai untuk membersihkan darahnya agar dia dapat menikah tanpa membahayakan nyawa isterinya, dan kedua, dia harus mencari dan mendapatkan pedang pusaka Liong-cu-kiam seperti yang dikehendaki ayah tirinya atau gurunya.

   Kini Thian Ki juga memasang kuda-kuda berhadapan dengan Can Hong San, dan ingatannya mulai bekerja, perlahan-lahan terbayanglah semua peristiwa yang lalu, ketika dia masih kecil. Lamat-lamat saja ia teringat betapa ketika dia masih kecil sekali, mungkin baru berusia empat tahun, dalam kamar mereka, yaitu kamar dia, ibu dan ayahnya, masuk seorang Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang amat lihai. Penjahat cabul itu me nyande ranya, dan dengan me ngancam akan me mbunuhnya, me maks a ibunya menotok ayahnya sehingga tidak mampu bergerak, kemudian memaksa ibunya untuk melayaninya dan mau digaulinya! Dalam keadaan yang amat gawat itu muncul Si Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng menyelamatkan ibunya dari aib dan ayahnya dari maut.

   Dan orang jahat cabul itu bukan lain adalah Can Hong San ini! Kemudian, ketika dia berusia lima enam tahun, dua tahun sesudah itu, ketika dia diajak ayah ibunya berkunjung ke Hek-houw-pang di Ta-bun-cung, dan perkumpulan itu diserbu oleh para pembantu Pangeran Cian Bu Ong, ayahnya tewas dan ibunya ditangkap pula oleh Can Hong San ini! Semua itu kini membayang di benaknya, membuat sepasang mata Thian Ki mencorong. Biarpun kini ibunya menjadi isteri Cian Bu Ong yang ternyata merupakan seorang gagah perkasa dan yang se lain me nj adi ayah tirinya juga menj adi gurunya, namun tentu dia akan memilih kehidupan dahulu, bersama ayah kandungnya.

   Melihat pedang hitam di tangan pemuda itu, Hong San mengerutkan alisnya.

   "Heii, bukankah itu pedang Ban-tok Hek-kiam? Pedang itu milik seorang wanita, puteri mendiang Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun). Apa hubunganmu dengan Sim Lan Ci?"

   "Can Hong San, kejahatanmu bertumpuk sehingga engkau lupakan semua perbuatanmu yang terkutuk. Engkau membunuh ayahku ketika menyerbu Hek-houw-pang dan engkau menawan ibu kandungku dan aku. Sekarang, engkau harus menebus semua dosamu itu!"

   Hong San terbelalak dan suaranya agak gemetar ketika dia bertanya,

   "Kau... kau... tok-tong (anak beracun) itu?"

   Thian Ki tersenyum.

   "Biarpun dengan mudah aku dapat menggunakan hawa beracun untuk membunuhmu, akan tetapi aku tidak akan mempergunakannya. Aku akan menaklukkanmu dengan ilmu silat, bukan dengan racun. Majulah, manusia berhati iblis!"

   Diam-diam Can Hong San gentar bukan main. Anak ini, dalam usia lima atau enam tahun, pernah membuat dia bergidik ngeri karena bocah yang belum mengenal ilmu silat itu telah menewaskan beberapa orang rekannya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan menjadi tokoh"tokoh kang-ouw terkenal seperti Thio Ki Lok dan Gulana, dua orang di antara para pembantu Cian Bu Ong yang tewas oleh anak beracun ini, hanya karena Gulana digigit tengkuknya, dan Thio Ki Lok mencengkeram punggung anak itu. Anak Beracun! Dalam usia lima enam tahun saja sudah mampu membunuh orang-orang yang tangguh, apalagi sekarang.! Dan diapun teringat ketika mereka mengadu tangan tadi, betapa dia terdorong ke belakang oleh kekuatan yang amat dahsyat. Can Hong San gentar dan diapun memberi perintah kepada anak buahnya.

   "Serbu...!"

   Anak buah Koai-liong-pang mencabut senjata dan dengan nekat mereka menerjang maju, disambut oleh Lui-ciangkun yang menggerakkan pasukannya. Terjadilah pertempuran berat sebelah karena pihak pasukan sepuluh kali lebih banyak dibandingkan anak buah Koai-liong-pang. Biarpun para anggota itu merupakan jagoan jagoan pilihan, namun tiap orang dikeroyok sepuluh, bagaimana mungkin mereka akan mampu bertahan.

   Sementara itu, Can Hong San sudah bertanding melawan Thian Ki. Pedang dan suling di tangan Hong San mengamuk, suara pedangnya bercuitan, suara sulingnya berdengung-dengung.

   Memang hebat sekali ilmu pedang Koai-liong-kiam dan Hong San telah memiliki ilmu yang matang. Namun, sekali ini dia terkejut bukan main. Tubuh lawannya tidak nampak, yang nampak hanya gulungan sinar hitam yang berdesing-de sing, seolah-olah ribuan lebah yang menyerangnya.

   Ketika Hong San melihat betapa para anak buahnya mulai berjatuhan, dia merasa gentar sekali. Baru belasan jurus saja dia bertanding melawan Thian Ki, dia maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tanpa mempergunakan hawa beracun di tubuhnya sekalipun, pemuda itu merupakan lawan yang amat berbahaya dan amat sukarlah baginya untuk mendapatkan kemenangan. Kalau sampai para perajurit mengepung ketat dan dia harus menandingi pemuda ini, dia akan celaka dan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meloloskan diri.

   "Hyaattttt....!!" Dia menyerang dengan pedangnya, membabat ke arah kedua kaki Thian Ki sambil menggulingkan diri di atas tanah. Thian Ki meloncat ke belakang, dan sebatang suling dengan kecepatan seperti anak panah, meluncur ke arah dadanya dari jarak dekat. Itulah suling di tangan kiri Hong San yang dilontarkan dengan pengerahan tenaga.

   "Trakkkk!!" Suling itu patah-patah bertemu dengan pedang hitam di tangan Thian Ki. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hong San untuk melompat dari medan pertempuran yang sedang berlangsung. Thian Ki mengejar, akan tetapi lawannya itu menyelinap dan hilang di dalam keadaan yang sedang kacau itu.

   Hong San terus berlari sambil membabat siapa saja yang menghalanginya. Banyak perajurit berjatuhan ketika Can Hong San membuka jalan darah mencari kebebasan, dan akhirnya dia dapat melarikan diri dari tempat itu, terus berlari ke luar kota Sin-yang. Hal ini mudah dia lakukan karena penduduk kota sedang ketakutan dan kacau karena adanya penyerbuan pasukan ke pusat Koai-liong-pang.

   Melihat Can Hong San melarikan diri, Thian Ki tidak mau membiarkan begitu saja, diapun melakukan pengejaran. Biarpun agak terlambat, namun dapat me mpe role h kete rangan dan me ne mukan j ej ak lawan yang melarikan diri ke luar kota melalui pintu gerbang selatan. Thian Ki segera melakukan pengejaran. Sebelah selatan Sin-yang merupakan daerah tandus yang jarang ditempati orang, maka jalan menuju ke selatan selain buruk dan tidak terpelihara, juga sunyi dan berbukit-bukit, namun tanahnya agak tandus mengandung kapur.

   Akan tetapi, setelah keluar kota, tidak nampak seorangpun dan sudah setengah jam dia mengejar, tidak nampak ada orang lewat. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat tiga orang laki-laki yang berpakaian seperti petani, berlari-lari dari depan. Mereka kelihatan ketakutan.

   "Paman, ada apakah? Kalian kelihatan ketakutan!" kata Thian Ki.

   "Di sana ada orang berkelahi. Seorang laki-laki melawan seorang wanita. Kami takut terbawa-bawa, maka kami melarikan diri."

   Mendengar keterangan itu, Thian Ki meloncat dan lenyap dari depan mereka. Tentu saja tiga orang petani sederhana itu menjadi semakin ketakutan dan mereka berlari tunggang langgang menuju kota Sin-yang.

   Belum jauh Thian Ki berlari cepat, di sebuah tikungan dia melihat dua orang yang sedang berkelahi dengan serunya. Yang seorang jelas adalah Can Hong San, yang kini hanya menggunakan pedangnya, karena sulingnya tadi telah dia pergunakan untuk menyerang Thian Ki dengan sambitan. Akan tetapi ketika Thian Ki melihat siapa yang menjadi lawan Hong San, dia terbelalak dan jantungnya berdebar tegang. Lawan itu seorang wanita, seorang gadis yang mempergunakan sebatang pedang bersinar hijau dan yang gerakannya tangkas dan dahsyat, akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas pergelangan.

   "Cin Cin..!" Thian Ki menahan teriakan hatinya ketika mengenal gadis itu. Dia termangu, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Pertandingan antara kedua orang itu seru dan yang membuat dia tertegun dan heran adalah ketika melihat betapa gerakan kedua orang itu sama! Mereka jelas memainkan satu macam ilmu pedang yang sama, bahkan gulungan sinar pedang sama, yaitu sama-sama hijau.

   Bagaimana Cin Cin dapat berkelahi dengan Hong San di tempat itu? Ketika tadi Can Hong San berhasil keluar dari pintu gerbang kota Sin- yang, dia merasa lega karena tidak terkejar Thian Ki. Akan tetapi di samping kelegaan hati bahwa dia dapat meloloskan diri, tentu saja terdapat kemarahan, penasaran dan kesedihan. Dia telah mendapatkan kedudukan yang lumayan, hidupnya sudah enak dan mewah, biarpun tidak seperti dulu ketika menjadi pembantu Pangeran Tua, akan tetapi sekarang dia kehilangan segala-galanya, isterinya yang sudah membosankannya, selir-selir yang banyak, harta bendanya, perkumpulannya, kehilangan teman dan penghibur hidupnya, kehilangan harta bendanya, kehilangan kedudukannya. Semua itu gara-gara si anak beracun! Dan teringat betapa munculnya pemuda itu karena ulah Li Ai Yin, dia merasa menyesal mengapa tidak dulu-dulu dia melenyapkan wanita yang sudah tidak ada gunanya baginya itu.

   Hatinya lega ketika tiba di luar kota, di tempat sunyi, dan tiba-tiba saja wajahnya berseri-seri ketika dia melihat seorang wanita berjalan dari depan. Makin dekat, semakin berseri wajahnya dan lupalah dia akan semua kehilangannya, karena gadis itu ternyata cantik jelita, manis bukan kepalang! Ah, agaknya para dewa telah menolongnya, mengantarkan seorang penghibur kepadanya. Wanita itu akan menjadi penghiburnya, menggantikan semua kehilangannya. Wanita itu seorang gadis muda, usianya kurang lebih duapuluh satu tahun, berjalan seperti melamun dan tangan kirinya dimasukkan ke dalam baju, tangan kanan melenggang perlahan dan seolah ia tidak melihat Can Hong San.

   "Aih, nona manis, kenapa berjalan seorang diri di tempat yang sunyi ini, dan kenapa pula melamun? Engkau masih muda dan cantik jelita, masa depanmu cerah, kenapa membiarkan diri tenggelam ke dalam lamunan duka?" Hong San berkata dengan gayanya yang memang menarik.

   Gadis itu adalah Cin Cin! Mendengar ucapan yang merayu itu akan tetapi tidak kasar, dengan kata-kata lembut, ia mengangkat muka memandang dan hatinya semakin tertarik melihat bahwa yang bicara adalah seorang laki-laki yang jantan gagah dan tampan, dan usianya empatpuluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak muda dan menarik. Hanya saja, pandang matanya itu mengandung cahaya yang aneh dan sekali pandang saja Cin Cin tahu bahwa ia berhadapan dengan orang yang mempunyai wibawa dan kekuatan.

   "Paman, kenapa engkau usil menegur seorang gadis yang berjalan seorang diri di tengah jalan? Apakah engkau hendak kurang ajar?"

   Can Hong San tertawa.

   "Ha-ha, jangan khawatir, nona. Aku Can Hong San bukan laki-laki yang kurang ajar kepada wanita! Aku bahkan selalu ingin menyenangkan seorang wanita cantik sepertimu ini dan." Hong San tidak melanjutkan rayuannya karena melihat betapa gadis itu tiba"tiba saja memandang dengan sinar mata mencorong, bahkan begitu tangan kanannya bergerak, gadis itu telah mencabut sebatang pedang dan nampak sinar hijau berkelebat. Melihat pedang itu, mata Can Hong San semakin terbelalak lebar.

   "Engkau bernama Can Hong San. putera mendiang Cui-beng Sai-kong?" tanya Cin Cin dengan suara lantang.

   Hong San tertegun. Jarang ada orang yang mengetahui bahwa mendiang ayahnya bernama atau berjuluk Cui Beng Sai-kong, akan tetapi gadis ini anehnya mengetahui hal itu! Dan ketika gadis itu bergerak tadi, tangan kirinya juga keluar dari dalam baju dan ternyata bahwa tangan itu buntung sebatas pergelangan! Melihat tangan kiri buntung itu, makin yakin hati Hong San bahwa dia belum pernah bertemu dengan gadis ini dan sama sekali tak mengenalnya. Akan tetapi, menghadapi seorang gadis yang buntung tangan kirinya, tentu saja dia tidak takut sama sekali. Bahkan hatinya makin tertarik, karena biarpun tangan kiri gadis itu buntung, hal itu tidak terlalu mengurangi daya tariknya, bahkan menambah titik menyentuh perasaan mendatangkan iba dan memperdalam kasih sayang. Apalagi gadis itu memegang pedang yang membuat dia terkejut dan terheran-heran.

   "Benar sekali, nona. Siapakah nona dan bagaimana dapat mengetahui julukan ayahku?"

   "Bagus! Can Hong San, bersiaplah engkau untuk mampus di tanganku. Aku Kam Cin, sengaja mencarimu untuk membunuhmu!"

   "Eh, nanti dulu, nona manis. Boleh saja engkau membunuhku, akan tetapi katakan dulu apakah alasannya, agar kalau aku mati di tanganmu, aku tidak akan menjadi setan penasaran."

   "Ada dua hal yang membuat aku bertekad untuk membunuhmu. Pertama, karena engkau merupakan seorang penjahat keji yang pernah membantu Cian Bu Ong menyerbu Hek-houw-pang di Ta-bun-cung. Aku adalah puteri ketua Hek-houw-pang yang terbunuh dalam penyerbuan kejam itu. Dan ke dua, aku mentaati perintah guruku untuk membunuhmu karena engkau telah membunuh suhengnya, yaitu ayahmu sendiri."

   "Gurumu adik seperguruan mendiang ayahku? Ahhh, jadi engkau ini agaknya murid Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan? Pantas engkau memegang sebatang Koai-liong-kiam! Ha-ha-ha, mari kita bertaruh. Kalau aku kalah olehmu, tentu saja engkau akan membunuhku. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku sebagai kekasihku, sampai aku merasa bosan kepadamu!"

   Kedua pipi Cin Cin menjadi merah sekali dan matanya mencorong.

   "Jahanam busuk, engkau layak mati seribu kali!" dan iapun sudah menyerang dengan pedangnya sehingga nampak sinar hijau meluncur cepat. Hong San meloncat ke belakang dan di lain saat, dia sudah mencabut pedangnya yang berbentuk persis sama dengan pedang di tangan Cin Cin, juga ketika dia gerakkan, mengeluarkan sinar kehijauan. Memang pedang itu sama. Mendiang Cui-beng Sai-kong Can Siok, selain lihai ilmu silatnya dan pendiri Thian-te Kwi-ong yang disembah-sembah, juga seorang ahli pembuat pedang. Dialah yang membuat pedang Koai?liong-kiam untuk sumoinya dan sebatang lagi untuk puteranya. Maka, setelah Cin Cin dan Hong San bertemu dan bertanding, keduanya menggunakan pedang yang sama segala-galanya, karena memang merupakan pedang kembar buatan mendiang Cui-beng Sai-kong.

   Ketika Hong San menggerakkan pedangnya, maka ilmu pedang merekapun sama. Tentu saja perkelahian mati-matian itu nampak seperti latihan saja, karena keduanya mempergunakan ilmu pedang yang sama. Hanya, Hong San lebih matang karena lebih berpengalaman, juga dia memiliki tenaga sin-kang yang agak lebih unggul, sehingga setelah mereka bertanding mati-matian selama limapuluh jurus, Cin Cin mulai terdesak.

   Pada saat itulah Thian Ki tiba dan pemuda ini menyelinap dan mendekati kedua orang yang bertanding itu, mengintai dari belakang semak-semak yang terdekat. Dia melihat betapa Cin Cin terdesak, akan tetapi dia masih ragu-ragu. Kalau dia keluar membantu, apakah gadis itu tidak akan bertambah marah dan benci kepadanya? Akan tetapi, tiba-tiba Hong San memperkuat serangannya dan hampir saja leher gadis itu tertusuk pedang.

   Cin Cin masih dapat mengelak ke samping, akan tetapi karena sanggul rambutnya terlepas, sebagian ujung rambutnya terbabat pedang dan berhamburan!

   Hong San tertawa dan mendesak, bermaksud menawan gadis itu hidup"hidup. Akan tetapi pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan Thian Ki telah menyerangnya dari samping sambil berseru,

   "Can Hong San iblis jahat!"

   Hong San kaget setengah mati. Tak disangkanya pemuda beracun yang ditakutinya itu dapat muncul begitu tiba-tiba. Sinar hitam Cui-mo Hek"kiam menyambar dahsyat dan Hong San terpaksa menjatuhkan diri ke samping untuk menghindarkan diri. Akan tetapi pedang di tangan Cin Cin sudah menyambutnya dengan cepat sekali.

   "Wuuuttt...... crakkk!" Hong San berteriak kesakitan dan tangan kirinya buntung sebatas siku!

   Karena rasa nyeri yang luar biasa, Hong San menjadi marah. Terdengar suara tangis dari kerongkongannya dan diapun menubruk dengan pedangnya, menyerang Cin Cin seperti orang gila.

   "Trangg!!" Cin Cin menangkis dan gadis ini terhuyung ke belakang.

   Dalam keadaan marah dan nekat itu, agaknya tenaga Hong San bertambah kuat. Kini Hong San tertawa bergelak. Dia sudah menjadi gila, hal yang memang agaknya sejak dahulu telah mencengkeram batinnya. Sejak muda, Hong San memang memiliki kelainan, wataknya berubah"ubah, kadang seperti pe nde kar, kadang te ramat kejam, kadang mudah menangis dan tertawa. Kalau dia seorang yang berbatin normal, kiranya tidak mungkin dia membunuh ayah kandungnya sendiri!

   Kini, setelah tertawa bergelak. Hong San kembali menyerang Cin Cin. Dia tidak memperdulikan lengan kiri yang buntung sebatas siku dan yang masih bercucuran darah. Gerakan tubuhnya membuat darah itu berceceran dan menyambar ke mana-mana, membuat Cin Cin merasa ngeri dan meloncat terus ke belakang, terdesak. Kembali Thian Ki maju membantu. Sebuah dorongan tangan kirinya membuat Hong San terhuyung ke samping dan kesempatan ini dipergunakan Cin Cin untuk menggerakkan lagi pedangnya.

   "Singggg cappp!" Pedangnya sekali ini terbenam ke dalam lambung Hong San, akan tetapi cepat gadis itu mencabut pedangnya kembali dan meloncat ke belakang karena Hong San dengan nekat, seolah tidak merasakan bahwa lambungnya sudah ditembus pedang gadis itu, dia menubruk dan mengayunkan pedangnya ke arah Cin Cin.

   Melihat Cin Cin mundur, Hong San hendak mengejar, akan tetapi mendadak dia terkulai. Darah bercucuran dari lambung dan siku kiri yang buntung. Dia menggelepar seperti ayam disembelih dan tak lama kemudian diapun tewas dengan mata terbelalak.

   Thian Ki menghampiri mayat itu, menggunakan jari tangan untuk menutupkan kedua mata yang terbelalak dan diapun bangkit berdiri lagi, memandang kepada Cin Cin, lalu memandang kepada mayat itu dan menghela napas panjang.

   "Cin Cin......" katanya lirih karena dia masih gelisah sekali kalau-kalau gadis itu masih marah dan semakin marah kepadanya.

   Cin Cin menatap wajah Thian Ki, sinar mata itu mencorong dan mengandung kemarahan.

   "Kau? Kenapa engkau membantuku? Aku tidak butuh bantuanmu dan tidak minta kau bantu!" suaranya terdengar ke tus.

   "Maaf, Cin Cin, aku tidak membantumu, hanya ."

   "Cukup! Sudah jelas bahwa engkau tadi menyerangnya dan karena seranganmu maka aku berhasil membunuhnya. Kalau engkau tidak membantu, mungkin aku yang menggeletak mati. bukan dia. Akan tetapi, aku lebih senang mati di tangannya daripada menang karena bantuanmu. Engkau membuntungi tanganku, sekarang bahkan datang untuk menghinaku dengan bantuanmu!"

   Gadis itu marah sekali dan suaranya menggetar, mengandungi tangis. Thian Ki memandang dengan penuh iba, diapun menundukkan muka dengan sedih.

   "Engkau tentu tahu bahwa aku tidak sengaja membuntungi tanganmu, melainkan untuk mencegah engkau mati keracunan, dan sekarangpun aku bukan datang sengaja membantumu. Akan tetapi, kalau engkau merasa sakit hati, kalau engkau tetap menganggap aku bersalah, akupun rela menerima pembalasanmu, Cin Cin. Aku.... demi Tuhan, aku merasa menyesal sekali mengenai peristiwa itu, aku menyebabkan engkau kehilangan tangan kiri. Aku menyesal sekali dan engkau boleh menghukumku untuk itu...."

   "Coa Thian Ki, engkau tentu tahu, hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa. Engkau berhutang tangan kepadaku, harus membayar dengan tangan kirimu pula!"

   Gadis itu mengamangkan pedangnya, akan tetapi tangan yang memegang pedang itu tergetar dan wajahnya nampak pucat.

   Thian Ki tersenyum sedih. Setelah kini dia berhadapan dengan Cin Cin, dia semakin yakin bahwa dia mencinta gadis ini! Dia rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan gadis ini. Entah mengapa, ada sesuatu pada diri Cin Cin yang amat menarik hatinya, mempesonakan, menimbulkan rasa sayang, iba dan haru. Diapun menjulurkan lengan kirinya ke depan, berkata lembut.

   "Silakan, Cin Cin. Kalau itu yang kau kehendaki, ini tangan kiriku!" katanya dengan sikap tenang dan suaranya yang lembut itu mengandung kesungguhan dan ketegasan.

   Sejenak Cin Cin memandang nanar ke arah tangan yang dijulurkan itu, tidak percaya bahwa pemuda itu begitu saja menyerahkan tangannya untuk dibuntungi! Ia mengeluarkan suara aneh, seperti isak tertahan di kerongkongannya, lalu diangkatnya pedangnya ke atas, dan kini ia menatap wajah Thian Ki, seolah hendak bertanya apakah pemuda itu benar-benar rela tangannya ia buntungi dan ia melihat Thian Ki tersenyum rela. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga dan membacokkan pedangnya ke arah pergelangan tangan kiri Thian Ki yang sudah dijulurkan. Akan tetapi sebelum pedang itu menyambar turun, ia mengeluh, gemetar pedangnya terlepas dan tangan kanannya memegang pundak kiri, dan Cin Cin terhuyung dan terkulai, tentu akan roboh kalau saja Thian Ki tidak cepat menahan dan merangkul punggungnya.

   "Cin Cin, kau kenapakah...... ?" Dengan khawatir Thian Ki lalu membantu gadis itu rebah di atas rumput. Cin Cin menyeringai menahan rasa nyeri dan ia merintih dalam keadaan setengah sadar.

   Melihat gadis itu menggeliat dan merintih, dan tangan kanannya memegangi pundak kiri, Thian Ki khawatir sekali. Apakah racun dari tubuhnya dahulu masih juga menjalar naik dari lengan? Tanpa banyak membuang waktu lagi, dia lalu merobek sedikit baju di bagian pundak kanan gadis itu untuk memeriksanya. Dan di sana, di depan tulang pundak, nampak ada titik hitam kebiruan sebesar ibu jari!

   Bukan, bukan karena racun tubuhnya, dia berpikir. Pula, kalau yang bekerja itu racun dari tubuhnya, tentu tidak sampai selama ini gadis itu bertahan hidup. Dia memeriksa lebih teliti dan mengerti bahwa gadis itu telah terkena totokan jari beracun yang cukup ganas.

   "Cin Cin, engkau terluka!" katanya, akan tetapi Cin Cin tidak menjawab. Gadis itu telah pingsan.

   Kebetulan malah, pikir Thian Ki. Kalau Cin Cin dalam keadaan sadar, gadis yang masih marah dan sakit hati kepadanya itu, tentu tidak mau dia obati! Kini, dalam keadaan pingsan, gadis itu tentu tidak tahu apa yang terjadi dan dia dapat cepat mencoba untuk menghilangkan pengaruh totokan beracun itu... Tentu ketika tadi berkelahi melawan Can Hong San, gadis itu telah terkena totokan Hong San yang lihai dan menderita luka dalam keracunan.

   Thian Ki membuka kancing baju Cin Cin, dengan hati-hati menyingkap bagian pundak, menjaga jangan sampai dia menyingkap bagian dada sehingga titik hitam di depan tulang pundak itu nampak nyata sekali pada kulit yang putih kuning mulus itu. Lalu sambil duduk bersila di dekat tubuh Cin Cin, dia mengerahkan sin-kang, menempelkan telapak tangan kirinya di bawah titik hitam, lalu jari tangan kanannya mengurut di seputar titik yang semakin lama semakin membesar, namun warnan hitamnya menjadi pucat.

   Kemudian dia menempelkan telapak tangan kanan tepat di atas titik yang membesar itu, dan mengerahkan tenaga sin"kang untuk menyedot hawa beracun. Karena tubuhnya sendiri merupakan sumber racun, maka dengan mudah racun dari Cin Cin dapat tersedot keluar, seperti air yang terjun ke dalam telaga. Penambahan sedikit hawa beracun dari pundak Cin Cin itu tidak ada artinya bagi Thian Ki.

   Cin Cin mengeluh dan membuka mata. Ia berseru kaget dan bangkit sambil menggerakkan tangan menampar ke arah muka Thian Ki yang tidak mengelak.

   "Plakkk!!"

   Pipi kiri Thian Ki terkena tamparan tangan Cin Cin, demikian kerasnya tamparan itu sampai membuat Thian Ki terpelanting dan ketika dia bangkit berdiri, pipi kirinya membengkak merah kebiruan! Dia melihat betapa Cin Cin sudah mengancingkan lagi bajunya dan wajah gadis itu merah sekali, matanya berapi-api.

   "Jahanam busuk kau, Thian Ki! Tak kusangka bahwa putera mendiang Paman Coa Siang Lee dan Bibi Sim Lan Ci menjadi seorang berhati keji, kotor dan hina seperti engkau! Aku dalam keadaan pingsan dan engkau berani berbuat hina dan kurang ajar kepadaku? Alangkah rendahnya"

   "Tenanglah, Cin Cin. Tenanglah karena kemarahan membuat engkau tidak mampu mempertimbangkan dengan baik. Aku sama sekali tidak melakukan kesesatan, sama sekali tidak bermaksud rendah dan keji, melainkan terpaksa melakukan hal itu.... ."

   "Thian Ki! Dahulu ketika membuntungi tanganku, engkau memakai alasan bahwa aku keracunan dan engkau terpaksa membuntungi tangan kiriku. Sekarang, alasan apalagi yang akan kau kemukakan sehingga engkau terpaksa membuka kancing bajuku dan meraba melakukan kekurangajaran seperti tadi?"

   "Dengarlah baik-baik. Engkau tadi hendak membuntungi tangan kiriku sebagai hukuman, lalu tiba-tiba engkau roboh dan memegangi pundak kirimu, lalu pingsan, bukan? Nah, ketika aku memeriksamu, ternyata memang engkau keracunan, di pundak kirimu. Aku terpaksa membuka kancing bajumu bagian atas untuk dapat mengobatimu. Sekarang, racun itu telah lenyap, dan sebagai upah pengobatanku, engkau malah menamparku dan memaki, menuduh yang bukan-bukan. Rabalah pundakmu, tentu sudah tidak terasa lagi kenyerian tadi."

   Cin CIn menggunakan jari tangan kanannya untuk meraba pundak kirinya. Tadi memang amat nyeri di sana, akan tetapi sekarang sudah tidak lagi. Ia meragu. Agaknya pemuda itu tidak berbohong dan sekarang ia teringat bahwa tadi ketika ia berkelahi melawan Can Hong San, ia memang terkena totokan jari tangan kiri musuh itu, yang mula-mula tidak terasa terlalu nyeri, akan tetapi tadi ketika ia hendak membuntungi tangan kiri Thian Ki, tiba-tiba pundak itu terasa nyeri bukan main sampai menusuk ke jantung dan kepala.

   "Nah, sekarang engkau baru percaya, bukan. Atau engkau masih tidak percaya? Kalau begitu boleh kau lakukan apa saja untuk melampiaskan dendammu kepadaku, Cin Cin. Kalau tamparan ini masih belum cukup, boleh kau lakukan apa saja. Nah, ini kedua tanganku yang tadi menyedot hawa beracun dari pundakmu," Thian Ki menjulurkan kedua tangannya ke arah Cin Cin.

   Cin Cin memandang ke arah kedua tangan itu, lalu mengangkat pandang matanya, menatap wajah Thian Ki. Dua pasang mata bertemu dan bertautan dan perlahan-lahan, kedua mata Cin Cin menjadi basah. Lalu Cin Cin menundukkan mukanya dan suaranya terdengar lirih berbisik ketika ia berkata,

   "Maafkan aku......"

   Wajah Thian Ki berseri. Mendengar gadis itu minta maaf, berarti menyadari kesalahannya, mendatangkan perasaan yang amat berbahagia di dalam hatinya. Sikap gadi itu membuktikan bahwa perkiraannya benar.

   Cin Cin, biar telah mempelajari ilmu dari guru yang sesat, terbukti bahwa ilmu pedangnya, bahkan pedangnya juga sama dengan ilmu pedang dan pedang Can Hong San, namun ternyata gadis itu hanya mewaris i ke galakan dan ke ke ras an saja, namun pada das arnya masih memiliki kegagahan dan pribadi luhur sehingga berani mengakui ke salahan.

   "Tidak Cin Cin, engkau tidak bersalah dan tidak ada yang dapat dimaafkan. Akulah yang bersalah, dan aku minta maaf padamu. Karena kecerobohanku, engkau menderita, dan aku hanya menimbulkan prasangka dan kesan buruk saja ke padamu."

   "Thian Ki, aku memusuhi ayah tirimu, dan sekarang, baru saja aku membalas pertolonganmu dengan tamparan dan kata-kata keji. Kenapa engkau masih bersikap baik kepadaku? Kenapa engkau begitu baik kepadaku?" sepasang mata itu kini mengamati wajah Thian Ki penuh selidik.

   Thian Ki tersenyum.

   "Aih, Cin Cin. Andaikata engkau bukan Cin Cin puteri mendiang paman Kam Seng Hin, andaikata di antara kita tidak ada hubungan apapun sejak kecil, aku tetap akan menolongmu. Bukankah menolong siapa saja yang terancam bahaya merupakan kewajiban kita sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu silat?"

   "Ibuku pernah mengatakan bahwa mungkin engkau menjadi anak beracun karena nenekmu, yaitu mendiang Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu. Benarkah engkau menjadi tok-tong (anak beracun)?"

   "Ibumu memang bijaksana dan pandai, dugaannya tepat. Memang aku telah dibuat menjadi tok-tong oleh mendiang nenekku, diluar pengetahuanku ketika aku masih kecil. Karena itulah, ketika engkau mencengkeram pundakku, tanpa dapat kucegah lagi, engkau keracunan pada tangan kirimu. Ketika hal itu terjadi, aku sama sekali tidak berdaya mencegahnya, Cin Cin."

   "Hemm, sudahlah, jangan bicara lagi tentang hal itu. Tadi kau mengatakan bahwa engkau membantuku melawan Can Hong San juga bukan sengaja membantu, apa maksudmu?"

   "Aku memang sedang mengejarnya. Dia merupakan seorang pelarian, karena tadi pasukan keamanan Sin-yang sedang menyerbu perkumpulan Koai-liong-pang yang didirikan oleh Can Hong San ini. Dia berhasil melarikan diri, maka aku mengejarnya dan melihat dia berkelahi denganmu di sini."

   Dengan singkat Thian Ki bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan Li Ai Yin dan tentang Hong San, didengarkan penuh perhatian oleh Cin CIn. Gadis itu lalu memandang ke arah mayat Can Hong San, dalam hati merasa puas karena tugas yang diperintahkan subonya telah berhasil ia laksanakan, yaitu membunuh Can Hong San seperti yang dikehendaki ibunya.

   "Hemm, hatiku puas sudah, tugas pertamaku sudah dapat terlaksana..." ia menoleh ke arah Thian Ki.

   "......hei, apa yang sedang kau lakukan itu?" tanyanya melihat Thian Ki mempergunakan pedangnya untuk menggali tanah.

   "Aku menggali tanah untuk mengubur jenazah Can Hong San."

   "Hemm, orang sejahat itu!" cela Cin Cin.

   "Dia ikut menjadi sebab kematian ayahku dan hancurnya Hek-houw"pang, dia bahkan membunuh ayahnya sendiri!" Thian Ki menghela napas panjang.

   "Memang, ketika hidupnya dia telah tersesat, menjadi hamba dari nafsu-nafsu rendah. Ayah kandungku juga tewas di tangannya dan aku melihat dia melakukan banyak kejahatan. Akan tetapi itu terjadi ketika dia masih hidup. Sekarang dia sudah mati, mengubur mayat sendiripun tidak mampu. Tidak sampai hatiku membiarkan mayatnya terlantar."

   Dia melanjutkan pekerjaaannya. Sejenak Cin Cin hanya menonton saja, akan tetapi mendadak ia mengambil pedang yang tadi terlepas dari tangan Can Hong San, lalu membantu Thian Ki menggali tanah dengan pedang itu!

   Thian Ki diam saja, kalau bicara khawatir menyinggung, akan tetapi diam-diam dia merasa gembira sekali. Ini masih Cin Cin yang dahulu, seorang anak yang pada dasarnya memiliki watak yang baik. Dia masih ingat ketika berkunjung ke Hek-houw-pang dulu, Cin Cin adalah seorang anak yang lincah jenaka, periang, tabah dan pandai bicara. Kalau sekarang ia nampak begitu dingin, keras dan pendiam, tentu karena gemblengan gurunya, seorang datuk sesat, dan mungkin ditambah lagi karena terbuntungnya tangan kirinya.

   Kasihan sekali! Aku akan mencoba untuk membahagiakanmu, Cin Cin, bisik hatinya, mengembalikan seperti dahulu!

   Setelah selesai menguburkan jenazah itu secara sederhana, Cin Cin menyimpan pedang Koai-liong-kiam milik Can Hong San. Akan ia kembalikan kepada gurunya, katanya kepada Thian Ki.

   Mereka lalu mengaso, duduk di bawah sebatang pohon dimana terdapat sumber air yang menjadikan sungai kecil yang airnya jernih, dimana tadi mereka mencuci tangan dan muka setelah tangan mereka berlepotan tanah.

   Thian Ki semakin terharu melihat cara Cin Cin mencuci tangan kanannya, menggosok-gosokkan jari tangan itu kepada rumput dan ilalang di dekat sumber air. Ingin sekali dia menolong member sihkan tangan itu, akan tetapi dia tidak berani, takut kalau-kalau hal itu akan membuat Cin Cin tersinggung dan teringat akan kebuntungan tangan kirinya.

   Mereka duduk berhadapan, duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah, saling berhadapan.

   "Thian Ki, sekarang aku ingin mendengarkan pengalamanmu sejak kita dipisahkan oleh penyerbuan ke Ta-bun-cung itu," kata Cin Cin yang agaknya sudah dapat menghapus rasa benci dan dendam kepada Thian Ki.

   Thian Ki menceritakan semua pengalamannya, mulai dari malam penyerbuan itu, dimana tanpa sengaja dia telah menewaskan dua orang penyerbu dengan keadaan tubuhnya yang beracun, betapa kemudian dia dan ibunya ditawan dan dilarikan oleh Can Hong San dan Gan Lui, yang menjadi pembantu Cian Bu Ong dan diserahkan kepada bekas pangeran itu.

   Kemudian diceritakannya pula dengan jelas untuk menghapus salah sangka gadis itu terhadap ibunya, kenapa ibunya akhirnya menjadi isteri Cian Bu Ong dan dia menjadi anak tiri dan juga murid. Tentu saja dia tidak menceritakan bahwa dia telah ditentukan menjadi calon suami Cian Kui Eng, saudara tiri dan juga adik seperguruannya.

   Cin Cin mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa menyela, akan tetapi setelah Thian Ki selesai bercerita, ia berkata penasaran,

   Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku merasa heran sekali kenapa bibi Sim Lan Ci yang dahulu kuanggap sebagai seorang wanita bijaksana dan gagah perkasa, mau menjadi isteri Cian Bu Ong, padahal bukankah Cian Bu Ong yang menjadi biang keladi kehancuran Hek-houw-pang dan menewskan ayah kita?"

   "Akupun tadinya merasa penasaran, akan tetapi setelah mengetahui segalanya dengan jelas, aku tidak dapat menyalahkan ibu. Ayah telah meninggal dunia, dan ibu menjadi janda. Cian Bu Ong adalah seorang yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan bijaksana. Memang tidak dapat disangkal bahwa dia yang menyuruh para pembantunya untuk menyerbu Hek-houw-pang, akan tetapi hal itu ada alasannya yang amat kuat. Dia adalah seorang pangeran Kerajaan Sui yang digulingkan oleh Li Si Bin yang kemudian mendirikan kerajaan Tang. Tentu saja dalam pandangan Cian Bu Ong, kera jaan Tang adalah kerajaan yang dibangun oleh pemberontak kerajaan Sui. Karena itu, sudah jamak kalau ia berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Sui dan memusuhi kerajaan Tang. Kemudian dia mendengar bahwa Hek-houw-pang adalah sebuah pe rkumpulan yang me ndukung ke raj aan Tang, maka te ntu s aj a dia menganggap Hek-houw-pang sebagai musuhnya dan menyuruh para pembantunya melakukan penyer buan. Dia bukan orang jahat, Cin Cin. Dia hanya menjadi korban dari perang, korban keadaan yang menjadikan dia seperti itu. Nah, sekarang kuharap engkau suka menceritakan pengalamanmu sejak malam itu."

   Cin Cin menghela napas. Wajahnya yang cantik itu menjadi muram dan sampai beberapa saat lamanya ia tidak bicara. Akan tetapi Thian Ki tidak mendesak, hanya menanti dan akhirnya Cin Cin menceritakan semua yang dialaminya. Ia menceritakan betapa ayahnya tewas dan ibunya lenyap dilarikan penyerbu.

   Kemudian betapa ia, oleh kakeknya dikirim ke dusun Hong-cun untuk menjadi murid Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng, dan kepergiannya diantar oleh paman gurunya, yaitu Lai Kun. Betapa di dalam perjalanan ia dijual oleh Lai Kun kepada seorang mucikari dan betapa ia disiksa dan dipaksa untuk belajar segala macam kesenian, dipersiapkan untuk kelak menjadi seorang pelacur kalau sudah dewasa. Betapa kemudian ia berhasil melarikan diri dan dikejar tukang"tukang pukul, akan tetapi ia ditolong oleh Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan dan menjadi muridnya.

   "Begitulah, aku mempelajari segala macam ilmu dari su-bo, kemudian su-bo memberi tugas kepadaku, yaitu untuk mencari Can Hong San dan membunuhnya, karena Can Hong San telah membunuh ayahnya sendiri, Cui-beng Sai-kong Can Slok, yang menjadi suheng dari su-bo. Dan juga agar aku membunuh Cian Bu Ong, karena bekas pangeran itu telah menghancurkan kehidupan subo dengan menyia-nyiakan dan mengkhianati cinta mereka. Akan tetapi, usahaku membunuh Cian Bu Ong gagal karena engkau Thian Ki, dan usahaku membunuh Can Hong San berhasil karena engkau pula. Inilah nasib...." gadis itu termenung.

   Thian Ki menghela napas. Dia takkan pernah bebas dari penyesalan kalau mengingat akan buntungnya tangan Cin Cin karena dia itu.

   "Dan engkau belum bertemu ibumu?"

   Cin Cin mengerutkan alisnya dan cemberut.

   "Sudah, dan itulah yang membuat hatiku jengkel, biarpun sekarang aku sudah mengerti mengapa ibuku menikah lagi dengan dia!"

   "Ibumu menikah? Dengan siapakah?" Tanya Thian Ki heran. Betapa sama nasib gadis ini dengan nasibnya. Ibu mereka kehilangan suami ketika Hek-houw-pang diserbu, dan kini ibu mereka yang sudah menjadi janda telah menikah lagi!

   "Itulah yang tadinya membuat aku jengkel. Kalau ibumu menikah dengan Pangeran Cian Bu Ong, maka ibuku menikah dengan pembantunya, seorang di antara mereka yang dahulu menyerbu Hek"houw-pang!"

   "Ahh!!" Thian Ki benar-benar terkejut mendengar ini. Ibu Cin Cin? Bibi Coa Liu Hwa yang cantik dan lemah lembut itu? Akan tetapi dia tidak berani bertanya lagi, khawatir menyinggung.

   "Setelah aku mendengar penuturan ibuku dan ayah tiriku, aku tidak menyalahkan mereka, bahkan aku bangga karena suami ibu sekarang adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang terkenal, yaitu Lie Koan Tek."

   Lalu Cin Cin menceritakan tentang pengalaman ibunya sehingga menjadi isteri pendekar itu. Thian Ki mengangguk-angguk, merasa lega karena ibu Cin Cin tidak melakukan hal yang memalukan.

   "Aku sudah mendengar akan nama besar ayah tirimu itu, Cin Cin."

   Keduanya diam agak lama, kemudian Cin Cin menghela napas panjang dan berkata,

   "Aku heran sekali, kenapa ibu kita menikah lagi? Aku sekarang hanya mempunyai ibu seorang, akan tetapi ia telah menikah dengan pria lain, dan aku merasa seperti kehilangan ibuku. Ia mengecewakan hatiku, padahal aku amat mencintanya. Apakah engkau juga tidak berpikir begitu, Thian Ki?"

   Thian Ki diam sejenak. Kalau dia mau jujur, memang ada perasaan tidak enak itu. Tentu dia akan merasa jauh lebih berbahagia kalau ibunya masih bersanding dengan ayahnya, walau itu tidak mungkin. Dia menarik napas panjang.

   "Cin Cin, kalau kita selalu mementingkan perasaan sendiri, kurasa dalam hidup ini kita akan selalu menghadapi hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan, karena apa yang kita senangi belum tentu disenangi orang lain, walau oleh ibu kita sendiri sekalipun. Sebaliknya, apa yang disenangi orang lain, termasuk ibu kita, belum tentu kita senangi. Karena itu, kita harus memiliki cinta kasih, Cin Cin. Dan cinta kasih bukan berarti menuntut kesenangan hati kita sendiri dari orang yang kita cinta. Bukankah begitu?"

   Cin Cin diam saja. Ini merupakan hal baru baginya. Semenjak ia dewasa, ia hanya mendengar dan melihat segala tentang hidup ini dari gurunya, dan pandangan gurunya lain sama sekali dari apa yang diucapkan Thian Ki. Bagi gurunya, yang terpenting adalah perasaan sendiri, diri sendiri, sehingga segala sepak terjang dalam hidup hanya didasari kepentingan diri sendiri!

   Apa yang diucapkan oleh Thian Ki, kalimat terakhir, yaitu bahwa cinta kasih bukan berarti menuntut kesenangan hati kita sendiri dari orang yang kita cinta, merupakan ucapan yang teramat penting untuk ditelaah oleh kita semua. Bukan hanya menyangkut cinta kasih pada umumnya yang dianggap hanya merupakan perasaan timbal balik antar insan berlawanan jenis, antara pria dan wanita, melainkan juga mencakup cinta kasih antara orang tua dan anak, timbal balik. Betapa sering terjadi konflik atau pertentangan batin antara orang tua dan anak, padahal kedua pihak berani bersumpah saling mencinta.!

   Kalau benar ada cinta kasih di antara orang tua dan anak secara timbal balik bagaimana mungkin sampai terjadi konflik batin antara mereka?

   Konflik batin antara yang tua dan yang muda menimbulkan suatu celah atau jurang pemisah antara orang tua dengan anaknya sendiri. Yang tua menganggap anak mereka bandel dan murtad, mengecewakan dan tidak mentaati orang tua, sedangkan yang muda menganggap orang tua mereka itu kuno, kolot, terlalu mengekang, terlalu menggurui, menjadi penghalang kesenangan, dan sebagainya. Maka terjadilah konflik yang menghancurkan sendi-sendi cinta kasih di antara mereka.

   Mengapa begitu? Kalau, kita singkirkan dulu perasaan keakuan, mementingan diri sendiri, dan menarik diri sebagai orang luar, bukan anak bukan orang tua, lalu menjenguk isi hati kedua pihak, mungkin akan nampak jelas bagi kita mengapa terjadi konflik seperti itu. Konflik terjadi karena bentrokan kepentingan, bentrokan selera, bentrokan pandangan hidup.

   Kedua pihak, baik orang tua maupun anak, lupa bahwa alam pikiran yang tua dan yang muda berbeda jauh. Yang tua lupa bahwa kebiasaan hidup ini mengalami perubahan dan kukuh berpegang kepada nilai-nilai yang sudah dianggap mapan, nilai-nilai lama, tanpa memperdulikan adanya perubahan nilai.

   Penilaian selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Orang tua selalu mengandalkan pengalaman sebagai senjata untuk memamerkan ke le bihannya kepada s i anak, lupa bahwa pengalaman itu adalah pengalaman dahulu dan kalau dia tidak mau mengikuti perkembangan jaman, dia bahkan akan ketinggalan dan sama sekali tidak berpengalaman dalam hal-hal baru yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, si anak juga lupa bahwa orang tuanya adalah orang-orang yang pandangan hidupnya terikat masa lalu.

   Dari bentrokan ini timbullah konflik. Jarang terdapat orang tua yang tidak mengikatkan diri kepada masa lalu, melainkan arif mengikuti perkembangan jaman sehingga waspada terhadap perubahan nilai-nilai, seperti jarangnya anak yang mau memaklumi keadaan orang tuanya, lupa bahwa dengan cara mereka sendiri, orang tuanya sebetulnya bermaksud baik bagi dirinya, hanya caranya saja yang menimbulkan konflik.

   Semua pertentangan itu akan lenyap kalau orang tua mencinta dengan tulus, dalam arti kata bukan mencinta dengan pamrih kepentingan dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti membahagiakan yang dicinta, bukan menuntut sesuatu dari yang dicinta.!

   Cinta yang menuntut balas, yang berpamrih, adalah cinta nafsu, yang mempergunakan cinta demi mencapai kesenangan hati sendiri, dan cinta macam ini pasti menimbulkan konflik batin. Cinta kepada anak berarti memberi kebebasan kepada anak, seperti membiarkan tunas tumbuh menjadi pohon, bebas terkena sinar matahari dan tersiram hujan, dan orang tua hanya mengamati, menjaga-tanpa mengatur, tanpa memaksakan kehendak.

   Orang tua turun tangan .hanya kalau melihat perkembangan pertumbuhan itu tidak benar atau terancam, seperti orang menjaga tanaman dan membersihkannya dari ulat, memberi pupuk, mencabut rumput liar, akan tetapi tidak mencampuri pertumbuhan itu sendiri. Cinta kasih bukan berarti mengikat!

   Dilain pihak, anak-anak harus selalu menyadari sepenuhnya bahwa dengan cara apapun, orang tua tetap menyayang anak-anak, baik cara itu dianggap benar atau keliru, dan dasar kesadaran ini harus menjadi pengingat bahwa mereka sepatutnya berterima kasih dan tidak menyakiti hati orang tuanya.

   Kalau kepada orang tua sendiri tidak menyayang, bagaimana mungkin dapat menyayang orang lain? Ibu adalah manusia yang paling besar kasihnya terhadap dirinya, sesudah itu baru ayah. Kalau kepada ayah ibu tidak dapat menaruh hati kasih sayang, maka cinta kasih kepada orang lain tentu saja patut di ragukan.!

   Memang tidak mudah bagi orang tua maupun anaknya untuk mengatasi nafsu sendiri yang menimbulkan kekecewaan, kemarahan sehingga si orang tua tidak menyumpahi anaknya dan si anak tidak menyumpahi orang tua.

   Dalam keadaan dicengkeram nafsu amarah, manusia dapat melakukan apa saja. Namun, kesukaran itu pasti akan mudah diatasi kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan, kalau kita pasrah dan mohon bimbingan kekuasaan Tuhan. Karena hanya kekuasaan Tuhan jualah yang akan mampu menundukkan nafsu-nafsu daya rendah yang menyesatkan kita.

   Sampai lama Cin Cin menunduk saja, kemudian mengangkat muka menatap wajah Thian Ki yang kebetulan juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu lagi untuk kesekian kalinya dan bertaut.

   "Thian Ki, sekarang aku tidak lagi dendam padamu, dan aku menyadari sepenuhnya bahwa perbuatanmu membuntungi tanganku dahulu terpaksa kau lakukan dan aku sendiri yang bersalah telah mencengkeram pundakmu, karena aku tidak tahu bahwa tubuhmu beracun. Ini yang namanya nasib, dan aku tidak menyalahkanmu lagi."

   "Terima kasih, Cin Cin. Seolah-olah batu besar yang sejak peristiwa itu menindih hatiku, kini terangkat, membuat dadaku lapang. Terima kasih!"

   "Akan tetapi ada sebuah permintaanku dan kuharap engkau tidak menolak, karena penolakanmu tentu akan membuat aku tidak dapat menerimamu sebagai sahabatku lagi, seperti ketika dahulu di Hek-houw"pang."

   "Permintaan apakah itu, Cin Cin? Aku pasti akan memenuhinya!" kata Thian Ki gembira.

   "Aku pasti akan mencari dan menantang Cian Bu Ong, dan kuharap engkau tidak akan mencampurinya lagi." Setelah berkata demikian, Cin Cin menatap wajah pemuda itu dengan pandang tajam menyelidik.

   "Cin Cin, setelah mengetahui bahwa perbuatan Cian Bu Ong itu hanya me rupakan aki bat pe rang, engkau mas ih me nde ndam ke padanya karena penyerbuan terhadap Hek-houw-pang itu?"

   Cin Cin menggeleng kepala dengan tegas.

   "Tidak, Thian Ki. Aku menyadari bahwa tidak ada permusuhan pribadi antara dia dan Hek"houw-pang. Akan tetapi aku harus melaksanakan tugas yang diberikan su-bo kepadaku. Sejak kecil aku ditolong, dipelihara dan dididik su-bo, sudah selayaknya kalau sekarang aku membalas budinya dengan melaksanakan perintahnya. Aku akan membunuh Cian Bu Ong untuk mentaati perintah subo."

   Melihat kerut alis pemuda itu, Cin Cin menambahkan, suaranya mengandung tantangan,"Engkau tidak setuju dan hendak membela ayah tiri dan gurumu?"

   "Tidak, Cin Cin. Aku hanya akan membela orang yang lemah dan tidak bersalah. Akan tetapi dua hal yang patut kau renungkan dan kau pertimbangkan dengan baik sebelum bertindak sejauh itu. Pertama, tingkat kepandaian Cian Bu Ong amat tinggi dan engkau tidak akan dapat menang, Cin Cin."

   "Aku tidak takut! Kalau aku tidak berhasil melaksanakan tugas itu, biar aku mati di tangannyapun aku tidak merasa penasaran!" kata Cin Cin dengan nekat.

   "Aku percaya akan kegagahan dan keberanianmu, Cin Cin. Akan tetapi, kalau kita sudah tahu bahwa kita tidak akan menang melawan seorang musuh,, akan tetapi kita nekat dan tewas di tangannya, bukankah itu mati konyol namanya? Sama dengan bunuh diri."

   "Aku tidak peduli, Thian Ki. Aku rela dalam menjalankan tugas mentaati perintah subo."

   "Baiklah, sekarang hal yang ke dua. Urusan antara su-bomu dan Cian Bu Ong adalah urusan yang amat pribadi, urusan cinta kasih di antara mereka. Dalam urusan cinta kasih antara seorang pria dan seorang wanita, sebetulnya tidak boleh dicampuri siapapun juga, karena itu adalah urusan hati yang hanya dapat diselami oleh kedua pihak yang bersangkutan. Rasanya janggal dan tidak pantas kalau ada yang mencampuri, apalagi yang mencampuri urusan cinta antara kedua orang itu adalah murid sendiri. Coba renungkan baik-baik, Cin Cin, dan sadarilah bahwa aku mengemukakan kedua hal ini demi kebaikanmu, bukan untuk membela Cian Bu Ong."

   Cin Cin menunduk dan alisnya berkerut. Ia tahu bahwa pencegahan yang dilakukan Thian Ki itu adalah untuk menjaga agar ia tidak sampai tewas atau terluka oleh Cian Bu Ong yang memang harus ia akui jauh lebih lihai darinya.

   Akan tetapi, masalah ke dua yang diajukan Thian Ki itu yang menarik hatinya. Menurut subo-nya, ia sakit hati terhadap Cian Bu Ong yang dahulu menjadi kekasihnya, karena Cian Bu Ong menyia"nyiakan, meninggalkannya. Dan perbuatan pangeran itu adalah karena dia mengetahui akan keadaan subo-nya sebagai seorang tokoh sesat, dan terpaksa dilakukan karena pangeran itu memiliki cita-cita besar menjadi kaisar dan tentu saja akan mencemarkan nama baiknya kalau dia berhubungan dengan seorang wanita sesat.

   Subo-nya mendendam dan menghendaki kematian Cian Bu Ong, akan tetapi kenapa subonya menyuruhnya? Padahal, subonya tentu tahu betapa lihainya Cian Bu Ong! Kalau subonya merasa sakit hati, kenapa tidak turun tangan sendiri sejak dulu?

   "Thian Ki, kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" Ia bertanya lirih, hatinya mulai terasa bimbang."Tentu tidak mungkin kalau aku kembali kepada subo menyatakan ketidak-sanggupanku!"

   "Cin Cin, engkau telah dapat menunaikan tugas yang diperintahkan subomu dengan baik, sudah berhasil membunuh Can Hong San, bahkan engkau sudah pula menemukan Cian Bu Ong dan menyerangnya, walaupun engkau tidak berhasil. Nah, engkau dapat melaporkan semua itu kepada subomu. Aku akan menemanimu menghadap subomu, dan aku yang mencoba membujuknya agar ia menghadapi sendiri Cian Bu Ong."

   "Ahh! Ia tentu akan marah sekali kepadaku, juga kepadamu dan mungkin ia akan menyerangmu, Thian Ki!"

   "Belum tentu, Cin Cin. Andaikata demikian, aku dapat melindungi diriku. Aku dapat menduga bahwa tentu subomu itu masih mencinta Cian Bu Ong. Inilah sebabnya mengapa ia tidak dapat turun tangan sendiri untuk membunuh bekas kekasihnya itu, melainkan menanti sampai engkau dewasa dan memiliki kepandaian. Mungkin dengan penjelasanku, ia akan sadar dan tidak lagi menyuruhmu membunuh Cian Bu Ong."

   Kembali Cin Cin terdiam sampai agak lama, hatinya bimbang, akan tetapi usul itupun amat menarik hatinya.

   Pertama, iapun ingin sekali melihat bagaimana nanti tanggapan subonya terhadap pemuda ini. Dan ke dua, ini yang membuat jantungnya berdebar, pemuda ini hendak menemaninya pulang, berarti, mereka akan melakukan perjalanan berdua! Entah bagaimana, sejak tangannya buntung oleh Thian Ki, ia tidak pernah mampu melupakan pemuda itu. Kadang ia teringat dengan hati penuh kebencian, penuh dendam karena pemuda itu telah membuntungi tangannya.

   

Naga Sakti Sungai Kuning Eps 20 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 23 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 18

Cari Blog Ini