Ceritasilat Novel Online

Naga Beracun 30


Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 30




   Tentu saja Siong Ki tidak berani menyinggung tentang pekerjaannya membantu pangeran yang memberontak dan usahanya membunuh kaisar namun gagal itu. Ia teringat akan tugas yang diberikan gurunya kepadanya, yaitu mencari puteri gurunya yang diculik orang belasan tahun yang lalu.

   Bahkan ketika Si Hong Lan. puteri Suhunya itu diculik oleh Kwa Bi Lan, dia yang semestinya bertanggung jawab, karena ketika itu, dia yang baru berusia enam tahun yang mengasuh Hong Lan yang berusia dua tahun.

   "Maaf. subo"

   "Lancang! Siapa memberi ijin engkau menyebut subo kepadaku?" bentak Bu Giok Cu.

   "Maaf . maafkan saya. bibi. saya sudah berusaha semampu saya mencari jejak mereka, akan tetapi belum berhasil."

   "Sudahlah," kata Si Han Beng.

   "Engkau beristirahatlah, atau boleh menemani Thian Ki dan Cin Cin. Kami hendak melanjutkan bersamadhi di kamar dan nanti kalian bertiga boleh makan malam di ruangan makan, kami tidak ingin diganggu sebelum hari menjadi gelap."

   Setelah berkata demikian, Si Han Beng dan isterinya meninggalkan taman dan masuk kembali ke dalam rumah.

   Karena ia sendiri sedang merasa berbahagia dan hatinya senang karena baru saja ia dan Thian Ki sudah saling membuka rahasia hati masing-"masing yang saling mencinta, maka hati Cin Cin menjadi tak tega dan ia sudah dapat memaafkan Siong Ki sepenuh hatinya. Apalagi melihat betapa Siong Ki dimarahi oleh kedua orang gurunya, iapun merasa kasihan.

   "Tentu engkau disuruh mencari puteri paman Si Han Beng yang diculik orang itu, bukan?" tanya Cin Cin kepada Siong Ki.

   Pemuda itu menjatuhkan diri di atas bangku taman dan menghela napas panjang berulang-ulang. Memang hatinya sedang kesal bukan main. Usahanya di kota raja gagal, bahkan hampir saja dia tidak dapat meloloskan diri dari istana. Dan diapun belum berhasil mendapatkan puteri gurunya yang hilang itu.

   "Memang nasibku yang buruk. Dahulu, adik Hong Lan diculik oleh Kwa Bi Lan ketika sedang kuajak bermain-main di taman ini. Aku baru berusia enam tahun dan tak berdaya, ditotok oleh Kwa Bi Lan. Dan sekarang, suhu menugaskan aku untuk mencari puterinya, akan tetapi aku sama sekali tidak berhasil menemukan jejak Kwa Bi Lan. Sudah kutanyakan ke seluruh penjuru, kepada para tokoh kangouw, namun tidak ada yang dapat memberitahu dimana adanya Kwa Bi Lan, seolah ia lenyap ditelan bumi bersama anak yang diculiknya."

   "Aku yang akan dapat menemukannya, Siong Ki. Aku dan Thian Ki akan membantu paman dan bibi menemukan kembali anak mereka," kata Cin Cin.

   "Cin Cin, engkau tahu di mana adanya Kwa Bi Lan yang menculik puteri suhu?" tanya Siong Ki heran.

   "Aku juga belum tahu, akan tetapi dapat kutanyakan kepada ayah tiriku. Kiranya dia mengetahui atau dapat menduga di mana adanya wanita itu kerena Kwa Bi Lan adalah keponakan ayah tiriku."

   "Ah, begitukah?" kata Siong Ki gembira "Kalau begitu, aku yakin bahwa akhirnya engkau dan Thian Ki yang akan mampu mengembalikan adik Si Hong Lan kepada suhu!"

   Kini Siong Ki kelihatan gembira sekali. Memang hatinya bergembira karena lega. Biarpun kedua orang gurunya tidak puas dengan kegagalannya menemukan Hong Lan, akan tetapi mereka tidaklah terlalu marah kepadanya. Dan kini ternyata Cin Cin telah memaafkannya. Tidak ada sesuatu yang dapat dia khawatirkan lagi.

   Peristiwa di istana kerajaan itu tentu tidak akan diketahui gurunya, dan dia kini telah aman berada di rumah gurunya. Karena gembira, maka dia lalu mengajak Thian Ki dan Cin Cin bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing"masing. Akan tetapi tentu saja cerita mereka itu terbahas, hanya yang seperlunya saja diceritakan.

   Siong Ki tentu saja menyimpan rahasia, sedangkan Cin Cin yang bagaimanapun juga tidak sepenuhnya melupakan perbuatan Siong Ki, juga tidak mau menceritakan semua keadaan dirinya. Demikian pula dengan Thian Ki. Sikap Siong Ki yang tadi terdengar angkuh itu saja sudah membuat dia tidak menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pemuda ini.

   Karena dia menghadapi pengobatan yang akan dilakukan Si Han Beng dan Bu Giok Cu, Thian Ki berpamit dari kedua orang itu untuk me lakukan s amadhi di kamarnya, s e bagai pe rsiapan me ne rima bantuan pengobatan dari suami isteri pendekar itu dengan mengumpulkan hawa murni ke dalam tubuhnya. Cin Cin yang memaklumi keadaan kekasihnya dan mengharapkan Thian Ki sembuh atau terbebas dari hawa beracun itu, menyetujui. Iapun mengajak Siong Ki untuk bercakap-cakap di dalam taman itu menanti lewatnya siang hari.

   Siong Ki memang seorang yang pandai membawa diri. Dia bersikap sopan dan ramah, bahkan akrab sekali sehingga semakin menipis kesan buruk atas diri pemuda itu dalam hati Cin Cin.

   "Maafkan aku, Cin Cin, kalau pertanyaanku ini menyinggung perasaanmu. Kalau engkau tidak suka menjawab, anggap saja pertanyaanku ini tidak pernah ada." Dia menghentikan kata-katanya sambil memandang wajah gadis itu untuk memberi kesempatan kepada Cin Cin mengambil keputusan.

   Cln Cin mengerutkan alisnya. Pemuda aneh, akan tetapi juga ia merasa tertarik untuk mengetahui pertanyaan apa gerangan yang akan diajukan pemuda itu.

   "Katakanlah, aku tidak akan tersinggung, asal engkau tidak sengaja hendak menyinggung atau menghinaku."

   "Cin Cin, aku ingat benar sekarang ketika kita masih sama-sama menjadi sahabat, bahkan saudara seperguruan di Hek-houw-pang. Ketika itu, aku ingat bahwa kedua tanganmu masih utuh. Maaf kan aku tangan kirimu"

   Cin Cin tersenyum. Ia merasa heran sendiri karena semenjak tangan kirinya buntung, setiap kali ada orang menyinggung tentang tangan itu, ia merasa jengkel dan marah, bahkan banyak orang sudah ia buntungi tangannya hanya karena orang itu menyinggung tentang cacatnya itu.

   Akan tetapi sekarang, ia sama sekali tidak merasa tersinggung. Ia tidak tahu bahwa hal itu terjadi karena pengakuan cinta dari Thian Ki tadi. Kebencian dan kemarahannya karena tangannya buntung adalah kebencian yang timbul karena kekecewaan bahwa pemuda yang dicintanya yang melakukannya. Kini, tangannya yang buntung sama sekali tidak membuat ia menyesal lagi!

   "Tangan kiriku ini, Siong Ki?" tanyanya sambil tersenyun dan ia mengangkat lengan kirinya yang buntung sebatas pergelangan tangan. Ujung lengan itu terbungkus sutera putih."Ah, tangan kiriku dipenggal pedang sehingga buntung"

   "Ahh! Siapa jahanam yang melakukannya. Cin Cin? Aku akan membantumu membalas dendam atas perbuatannya yang kejam itu!"

   Senyum di bibir Cin Cin mengembang."Tidak perlu, Siong Ki, karena orang yang membuntungi tangan kiriku adalah Thian Ki sendiri."

   "Ehh? Bagaimana pula ini? Kenapa Thian Ki membuntungi tangan kirimu, padahal kulihat..." Dia menghentikan ucapannya karena merasa te rlanj ur bicara.

   "Kami memang saling mencinta dan telah bersepakat untuk menjadi suami isteri, Siong Ki. Pembuntungan tanganku ini telah terjadi beberapa waktu yang lalu."

   "Tapi kenapa? Sungguh aneh kalau dia mencintamu akan tetapi membuntungi tanganmu!"

   "Justeru karena dia mencintaku maka dia membuntungi tangan kiriku, Siong Ki. Karena kalau dia tidak melakukan itu, tentu sekarang aku sudah tidak berada di dunia lagi, sudah mati."

   "Ehh? Kenapa begitu? Apa yang telah terjadi?" Tentu saja Siong Ki menjadi semakin penasaran dan heran.

   "Panjang ceritanya, Siong Ki," Kata Cin Cin.

   "Ketika itu, aku memenuhi permintaan guruku untuk membunuh guru dan ayah tiri Thian Ki ."

   "Maksudmu Cian Bu Ong?"

   "Benar. Cian Bu Ong yang dimusuhi oleh guruku. Thian Ki hendak melindungi ayah tirinya, dan aku mencengkeram pundaknya, tidak tahu bahwa dia seorang tokjin (manusia beracun) sehingga tangan kiriku yang mencengkeram itu bahkan keracunan. Melihat itu Thian Ki cepat membuntungi tangan kiriku karena kalau tidak, racun akan menjalar naik dan nyawaku tidak akan dapat diselamatkan lagi."

   "Luar biasa sekali! Kalau tidak mendengar sendiri darimu, bagaimana aku dapat percaya? Engkau sudah dibuntungi tangan kirimu oleh Thian Ki dan sekarang engkau bahkan memilihnya menjadi calon suamimu!"

   "Akan tetapi, dia melakukannya untuk menyelamatkan nyawaku, dan akulah yang mencengkeram pundaknya."

   Siong Ki mengangguk-angguk."Hemm, jadi Thian Ki adalah seorang manusia beracun? Mengerikan."

   "Dia dijadikan tok-tong oleh mendiang neneknya, ketika dia masih kecil. Hal itu bukan kehendak nya dan kini justeru dia datang mencari paman Si Han Beng dan isterinya untuk minta pertolongan mereka agar suka membantunya membebaskan dirinya dari pengaruh hawa beracun itu." Cin Cin membela kekasihnya.

   Siong Ki mengangguk-angguk."Dan suhu sudah menyanggupinya?"

   "Sudah, paman dan bibi akan berusaha mengobatinya malam nanti, sekarang paman dan bibi sedang melakukan siu-lian (samadhi) untuk menghimpun kekuatan."

   Siong Ki berdiam diri sampai lama, alisnya berkerut. Betapa lihainya Coa Thian Ki. Tubuhnya mengandung hawa beracun yang amat ampuh! Bahkan Cin Cin yang demikian lihainya, setelah mencengkeram Thian Ki, tangannya sendiri keracunan hebat dan kalau tidak dibuntungi, akan tewas! Kalau saja dia yang mempunyai tubuh beracun seperti itu, alangkah senangnya! Tidak akan ada yang mampu mengalahkannya, dan dia akan dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia ini.

   Akan tetapi, Thian Ki berusaha keras hendak melenyapkan pengaruh hawa beracun itu, agar tubuhnya tidak beracun lagi! Sungguh gila!

   Melihat pemuda itu termangu dan termenung, Cin Cin tersenyum.

   "Siong Ki, apa yang kau pikirkan?" tanyanya.

   "Sungguh aku merasa heran bukan main, Cin Cin. Thian Ki dapat menjadi tok-tong itu sungguh luar biasa sekali! Belum tentu seorang anak dari sejuta orang dapat seberuntung dia. Akan tetapi, memiliki tubuh yang demikian lihainya, yang dapat membuat dia menjadi seorang lawan yang sukar dikalahkan dan amat berbahaya, sepatutnya dia bahagia dan bangga. Akan tetapi kenapa dia malah hendak membebaskan dirinya dari hawa beracun di tubuhnya itu?"

   Setelah bercakap-cakap dengan Siong Ki, Cin Cin merasa akrab kembali dengan pemuda yang di waktu kecilnya adalah teman bermainnya itu, maka iapun tidak ragu lagi untuk berterus terang.

   "Siong Ki, Thian Ki bukan seorang yang haus akan kemenangan, tidak ingin menjadi jagoan yang paling kuat di dunia persilatan. Dia ingin menjadi manusia biasa, jatuh cinta dan dicinta, kemudian menikah dan membentuk keluarga. Sedangkan kalau tubuhnya masih beracun seperti sekarang ini, dia tidak mungkin dapat menikah."

   "Eh, kenapa begitu? Apa salahnya kalau dia menikah?"

   "Kalau dia menikah, isterinya akan tewas keracunan," kata Cin Cin singkat.

   Hampir saja Siong Ki mengeluarkan suara hatinya dalam kata-kata bahwa dia tidak akan perduli apakah wanita yang diperisterinya akan tewas, dia bahkan akan dapat berganti-ganti isteri, dengan tubuhnya yang demikian ampuh, apapun akan dapat diraihnya! Biarpun Siong Ki dapat menahan diri dan tidak mengucapkan suara hatinya, namun Cin Cin yang hendak membela kekasihnya, seolah dapat mendengar isi hati Siong Ki dan iapun berkata, bukan tidak ada kebanggaan terkandung dalam suaranya.

   "Sebetulnya, tanpa diobatipun, Thian Ki akan dapat membebaskan dirinya dari pengaruh racun itu kalau ia sudah memperisteri banyak wanita dan menewaskan mereka. Akan tetapi Thian Ki bukanlah seorang yang jahat seperti itu. Dia tidak ingin menyebabkan kematian siapapun, apalagi kematian seorang wanita yang menjadi isterinya. Dia akan berupaya agar tubuhnya bebas dari pengaruh hawa beracun, barulah dia mau menikah. Kalau usahanya itu gagal, dia lebih senang selama hidupnya tidak menikah dan tidak menewaskan siapapun yang tidak berdosa."

   Siong Ki hanya mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya dia mencela Thian Ki sebagai seorang yang bodoh sekali. Cin Cin lalu meninggalkan pemuda itu untuk pergi mandi karena hari telah sore. Siong Ki ditinggalkan seorang diri dalam lamunannya.

   Betapa jauh perbedaannya sekarang setelah dia kembali ke rumah gurunya. Dahulu, sebelum dia pergi, dia merasa bahwa tempat itu seperti tempat tinggalnya sendiri. Dia merasa betah dan senang tinggal di situ, senang membantu kedua orang gurunya bekerja di sawah ladang sebagai petani atau naik perahu mencari ikan di sungai. Akan tetapi sekarang, setelah mengalami banyak peristiwa dalam perantauannya, dia merasa betapa tidak menyenangkan hidup di dusun yang sunyi itu. Tidak ada keramaian, tidak ada kemewahan, tidak ada kesenangan sama sekali!

   Terutama sekali setelah dia mengalami kemesraan dengan mendiang Bi Tok Siocia Ouw Ling, kini dia merasa kehilangan sesuatu dalam hidupnya.

   Bagaikan seseorang yang mulai ketagihan candu, dia merasa tidak sanggup hidup bersunyi diri jauh dari seorang teman wanita!

   Setiap kali dia membayangkan kemesraan dengan Ouw Ling, timbul desakan gairah yang membuat dia menderita sekali, bagaikan seorang kelaparan dan mulailah timbul pikiran bermacam-macam untuk dapat melampiaskan dorongan gairahnya yang berkobar.

   Hati akal pikiran merupakan tempat yang amat penting bagi nafsu, karenanya nafsu bersarang di sana. Hati akal pikiran kita sudah bergelimang dengan nafsu, oleh karena itu apapun yang kita pikirkan, selalu diboncengi nafsu yang selalu mendesak untuk dipenuhi tujuannya, yaitu kesenangan. Segala macam perasaan, senang susah, iri benci dengki timbul melalui pikiran yang mengenang atau membayangkan segala peristiwa yang lalu atau yang akan datang.

   Batin tidak akan diguncang gelombang perasaan itu kalau pikiran tidak mengenang atau memba yangkan. Segala macam perasaan senang, susah, marah, benci dan sebagainya itu tidak akan timbul ketika kita sedang tidur atau pingsan, karena pikiran tidak bekerja.

   Itulah sebabnya mengapa para arif bijaksana sejak jaman dahulu mengatakan bahwa musuh kita yang paling berbahaya adalah pikiran sendiri, karena pikiran kita sendirilah sumber segala kesengsaraan batin.

   Tak dapat disangkal. Dari pikiran timbulnya segala macam perasaan itu, akan tetapi pikiran pula merupakan alat kita yang terpenting. Hati akal pikiran inilah yang membuat kita menjadi manusia, berbeda dengan mahluk lain. Kalau harimau mempertahankan hidupnya dengan cakar dan taringnya, kita mempertahankan hidup dengan hati akal pikiran kita.

   Karena hati akal pikiran yang memegang peranan utama dalam kehidupan kita. maka nafsu menjadikan sebagai sarangnya. Kalau tadinya hati akal pikiran disertakan kita untuk dipergunakan memenuhi kebutuhan hidup kita, oleh nafsu diubah menjadi alat untuk mengejar kesenangan. Pengejaran kesenangan inilah yang menimbulkan semua konflik, semua pertentangan, dimulai dari pertentangan dalam batin sendiri, lalu tercurah keluar menjadi pertentangan antara manusia, antara golongan, antara bangsa.

   "Sungguh tolol Thian Ki!" Siong Ki memaki dalam hatinya.

   Kalau saja dia yang menjadi tok-tong! Dan ada jalan yang lebih menyenangkan untuk membebas kan diri dari pengaruh hawa beracun, walaupun keinginan inipun gila, kenapa memilih cara yang lebih sukar dan tidak menyenangkan? Kalau dia, tentu akan memilih cara yang menyenangkan itu, membuang hawa beracun itu melalui kesenangan menggauli wanita. Berapa banyaknya wanita yang akan tewas menjadi korban keracunan, apa salahnya? Bukan sengaja membunuh, melainkan suatu cara pengobatan.

   Siong Ki lalu memasuki kamarnya di samping. Dia merasa berterima kasih juga bahwa suhunya dan subonya tidak terlalu memarahinya, bahkan kamarnyapun masih terawat bersih, juga tidak diberikan kepada Thian Ki sebagai tamu yang menempati kamar tamu di belakang, sedangkan Cin Cin diberi kamar yang selalu dirawat akan tetapi tidak pernah dipakai, yaitu kamar yang dipersiapkan kalau-kalau puteri suhunya pulang.!

   Mereka semua makan malam bersama karena ketika Si Han Beng dan Bu Giok Cu keluar dari kamar, tiga orang muda itu belum makan, masih menanti mereka. Wajah suami isteri pendekar itu nampak kemerahan dan bercahaya, menunjukkan bahwa saat itu tenaga sakti mereka terkumpul dan mereka berada dalam ke adaan yang amat kuat . Me re ka be rlima makan malam tanpa banyak cakap.

   Setelah selesai makan malam, kembali suami isteri itu memasuki kamar mereka dan baru beberapa jam kemudian mereka keluar dan mengajak Thian Ki ke dalam ruangan kosong di samping kiri rumah itu, sebuah ruangan yang juga dipergunakan untuk berlatih silat. Ruangan itu bersih dan udaranya segar karena terdapat banyak jendela dan pintu angin yang menembus ke taman.

   Siong Ki pamit kepada gurunya untuk berkunjung kepada kenalan"kenalan di dusun itu, dan Cin Cin ikut pula memasuki ruangan itu, mempersiapkan diri kalau-kalau kedua suami isteri itu dalam mengobati Thian Ki membutuhkan bantuannya.

   Si Han Beng menyuruh Thian Ki duduk bersila di atas lantai. Dia sendiri duduk di depan pemuda itu dan isterinya duduk bersila pula di belakang Thian Ki.

   "Thian Ki, apa saja yang telah kau pelajari dari mendiang nenekmu untuk menguasai hawa beracun dari tubuhmu itu. Ceritakan sejelasnya."

   "Paman, sebelum nenek menggemblengku selama hampir dua tahun, aku tidak dapat menguasai hawa beracun yang liar, sehingga setiap kali menggerakkan kaki tangan, tentu hawa beracun itu bekerja dan aku bahkan tidak berani berlatih silat dengan sumoi karena takut kalau-kalau hawa beracun bekerja mencelakainya. Selama hampir dua tahun, mendiang nenek melatihku cara untuk menguasai hawa beracun itu dan akhirnya aku berhasil mengendalikannya. Tanpa pengerahan sin-kang tertentu, hawa beracun itu tidak akan melukai orang. Akan tetapi, paman, hal itu tidak berarti bahwa aku telah bebas dari hawa beracun itu. Kalau ada yang menyerangku dengan tangan kosong, secara otomatis, diluar kemampuanku untuk mencegahnya, hawa beracun itu bekerja, seperti yang terjadi pada Cin Cin."

   Si Han Beng mengangguk-angguk, lalu menyuruh pemuda itu membuka bajunya. Kini Thian Ki bertelanjang dada.

   "Sekarang coba kerahkan sin-kang yang dapat menggerakkan hawa beracun pada tubuhmu."

   Thian Ki mengerutkan alisnya.

   "Harap paman dan bibi jangan menyentuh tubuhku, apalagi menekan," pesannya. Suami isteri itu agak menjauh, kemudian Thian Ki mengerahkan sin-kangnya. Cin Cin terbelalak melihat betapa dari tubuh Thian Ki mengepul uap hitam dan tiba-tiba ia merasa kepalanya pening.

   Melihat Si Han Beng dan Bu Giok Cu menyalurkan sin-kang, Cin Cin juga cepat mengerahkan tenaga menyalurkan sin-kang untuk menolak pengaruh hawa beracun yang seolah memenuhi ruangan itu.

   "Cukup, Thian Ki." kata Si Han Beng.

   Thian Ki menghentikan pengerahan sin-kangnya dan uap hitam itupun makin menipis dan akhirnya menghilang.

   "Berbahaya sekali!" Bu Giok Cu berseru sambi memandang kagum.

   "Mendiang nenekmu memang ahli racun yang hebat dan ia telah berhasil membuat engkau seperti yang dikehendakinya, Thian Ki. Aku telah melihat ilmu silatmu ketika engkau menandingi Tung-hai Mo-li, dan aku percaya bahwa dengan hawa beracun di tubuhmu itu, kalau engkau menghendaki dan mempergunakannya, kiranya tidak ada seorangpun tokoh persilatan yang akan mampu mengalahkanmu. Bahkan mereka terancam maut keracunan."

   "Kami akan berusaha, Thian Ki. Akan tetapi kurasa tidak akan mudah, melihat betapa hebatnya hawa beracun di tubuhmu tadi. Sekarang, kami akan mencoba dulu dan ingin mengetahui, racun macam bagaimana yang membuatmu menjadi tok-tong. Aku dan bibimu akan mempergunakan sin-kang untuk menepukmu dari depan dan belakang. Engkau kendalikan hawa beracun itu dan pergunakan kekuatan itu untuk menolak......"

   "Tapi itu berbahaya sekali bagi paman dan bibi! Tidak, aku tidak berani"

   "Thian Ki, jangan membantah pamanmu," kata Bu Giok Cu dengan nada menegur.

   "Dan jangan pandang rendah kepada kami. Kami akan menggunakan sin-kang melindungi diri dari hawa beracun."

   "Benar, Thian Ki, asal engkau tidak mengerahkan seluruh hawa beracun itu, kami tidak akan terancam bahaya. Kami hanya ingin menguji dan mengetahui kekuatannya, baru akan dapat menentukan dengan cara bagaimana membantumu."

   "Baiklah, paman akan tetapi, harap paman dan bibi berhati-hati. Kalau sampai paman dan bibi keracunan, selama hidup aku tidak akan dapat memaafkan diriku sendiri."

   Mendengar ini, Cin Cin tidak tahan untuk tinggal diam saja. Kekasihnya perlu didukung dan dibesarkan hatinya.

   "Thian Ki, kenapa engkau masih banyak ragu? Paman Si Han Beng dan bibi Bu Giok Cu yang memerintahkan, engkau hanya tinggal menurut saja. Kalau terjadi apapun, siapa yang akan menyalahkanmu? Juga, mereka adalah sepasang pendekar yang berilmu tinggi, tidak dapat disamakan dengan orang-orang yang pernah tewas oleh hawa beracun di tubuhmu."

   "Maaf, paman dan bibi. Aku tidak ingin menjadi manusia beracun seperti itu. Aku ingin menjadi manusia biasa, berkeluarga, mempunyai keturunan. Maka, aku mohon dengan sangat, sudilah paman dan bibi menolongku.

   Mendengar ucapan kekasihnya itu, agak berkurang kekhawatiran hati Thian Ki.

   "Baiklah, paman dan bibi. Aku sudah siap."

   Si Han Beng saling pandang dengan isterinya. Memang mereka sudah membicarakan tentang usaha penyembuhan itu dan sudah mengatur sebelumnya sehingga kini keduanya sudah tahu apa yang akan mereka lakukan.

   "Thian Ki, sambutlah, kami menyerang kedua pundakmu dengan tamparan ringan."

   Suami isteri itu bergerak secara berbareng, Si Han Beng yang berada di depan Thian Ki menepuk pundak kirinya dengan tangan kanan sambil mengerahkan sinkang yang berhawa dingin, sebalik nya isterinya, Bu Giok Cu, menampar pundak kanan Thian Ki dengan tangan kanan sambil mengerahkan sin-kang yang berhawa panas.

   Gerakan mereka cepat dan dari telapak tangan mereka sudah menyambar hawa yang dingin dan panas ke arah kedua pundak Thian Ki. Pemuda itu mengendalikan hawa beracun di tubuhnya dan menyalurkannya ke pundak, namun tentu saja dia berhati-hati dan hanya mempergunakan sebagian kecil saja dari tenaganya yang mematikan itu.

   "Plak! Plak!" Thian Ki merasa betapa pundak kirinya tergetar oleh hawa yang amat dingin, sedangkan pundak kanannya diguncang hawa panas.

   Ketika kedua tangan itu menampar pundaknya, kedua tangan terpental oleh tenaga dari hawa beracun dan suami isteri itu cepat sudah menarik kembali tangan mereka. Thian Ki melihat betapa telapak tangan kanan Si Han Beng berwarna Hitam! Tanpa menengokpun dia dapat menduga bahwa tentu tangan Bu Giok Cu sama juga, keracunan.

   "Paman...! Bibi!" serunya kaget.

   Akan tetapi, ketika dia dalam keadaan duduk bersila itu meloncat ke samping, berdiri dan memandang kepada dua orang suami isteri yang kini duduk bersila saling berhadapan karena tidak lagi terhalang dirinya, dia melihat mereka memejamkan mata dan membuat gerakan "Satu Tangan Menyangga Langit" dan dari telapak tangan mereka itu mengepul uap hitam.

   Hanya beberapa menit saja mereka mengerahkan sin-kang dan semua warna hitam itu lenyap dari tangan mereka tadi. Cin Cin memandang kagum bukan main, juga Thian Ki tertegun dengan hati yang lega bukan main. Tadi dia sudah terkejut dan khawatir bukan main melihat betapa tangan suami isteri pendekar itu menjadi hitam setelah menepuk pundaknya.

   Akan tetapi ternyata mereka memiliki kekuatan sin"kang yang dahsyat, yang mampu mengusir hawa beracun itu dari tangan mereka. Giranglah hatinya dan dia merasa yakin bahwa suami isteri inilah yang akan mampu menolongnya, membebaskan dirinya dari hawa beracun.

   "Paman dan bibi sungguh hebat!" serunya dan diapun bersila kembali di tengah antara suami isteri itu.

   Akan tetapi suami isteri itu saling pandang dan Si Han Beng menghela napas.

   "Thian Ki, mendiang nenekmu yang telah membuat engkau menjadi tok-tong memang seorang yang amat lihai dalam hal racun, dan tidak ada duanya di dunia kang-ouw. Racun di tubuhmu amatlah hebatnya, bergerak otomatis, mengimbangi keadaan sin-kang lawan yang menyerangmu. Tadi aku mempergunakan sin-kang berhawa dingin, sedangkan bibimu menggunakan sin-kang berhawa panas, akan tetapi akibatnya sama saja, kami berdua keracunan. Kami akan berusaha, akan tetapi jangan terlalu memastikan bahwa kami akan berhasil sepenuhnya. Nah, sekarang kendurkan semua urat syarafmu, sedikitpun jangan melawan tenaga kami. Kami akan membantumu mendorong keluar hawa beracun dari tubuhmu."

   "Baik, paman," kata Thian Ki dengan pasrah.

   Kini suami isteri itu menjulurkan kedua tangan ditempelkan ke dada dan punggung Thian Ki.

   Mereka mengerahkan tenaga sin-kang, perlahan-lahan, makin lama semakin kuat. Thian Ki merasa betapa hawa yang hangat menyusup ke dalam tubuhnya. Perlahan-lahan, uap hitam mengepul keluar dari tubuhnya, terutama dari mulut dan hidungnya.

   Dia merasa pening dan ada dorongan untuk menentang, untuk melawan dua tenaga sakti yang menyusup ke dalam tubuhnya itu. Dia maklum bahwa sekali dia menuruti dorongan ini, suami isteri itu akan terancam bahaya maut. Oleh karena itu, dia menekan dorongan itu yang semakin kuat saja sehingga dia harus menggigit giginya.

   Peluh membasahi seluruh tubuhnya yang tergetar hebat karena ada perang dalam dirinya sendiri. Kesadarannya menuntut agar dia tetap mengendurkan seluruh urat syaraf di tubuhnya, meniadakan bentuk perlawanan sedikitpun, akan tetapi dilain pihak, ada suatu keinginan kuat yang mendorongnya untuk melakukan perlawanan. Dia merasa kepalanya pening, tubuhnya sebentar panas sebentar dingin.

   Cin Cin memandang dan tertegun, penuh kekaguman, juga penuh kekhawatiran terhadap kekasihnya dan kedua suami isteri itu. Ia maklum bahwa cara pengobatan itu amat berbahaya, baik bagi yang diobati maupun bagi yang mengobati. Akan tetapi ia tidak berdaya mencampuri, dan hanya dapat memandang dengan terpukau, seperti patung, bernapaspun ditahannya agar jangan banyak menimbulkan suara. Akan tetapi diam-diam ia harus mengerahkan tenaganya pula karena uap hitam yang keluar dari tubuh Thian Ki membuatnya pening. Bahkan akhirnya ia tidak tahan lagi dan keluar dari ruangan itu, hanya menonton dari luar, dimana udaranya jernih.

   Kurang lebih setengah jam suami isteri itu mengerahkan sin-kang untuk membantu Thian Ki terbebas dari hawa beracun. Akhirnya Bu Giok Cu mengeluh dan melepaskan kedua tangannya, disusul oleh suaminya. Suami isteri itu masih bersila, memejamkan mata dan nampak lemas.

   Mereka kini duduk diam dan menghimpun hawa murni. Bukan hanya suami isteri itu yang kehabisan tenaga, juga Thian Ki nampak pucat dan lemas, seluruh tubuhnya penuh keringat.

   Diapun masih duduk bersila dan tidak ada lagi uap hitam mengepul dari tubuhnya! Dia juga harus menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaganya yang bagaikan tersedot keluar bersama uap hitam tadi. Dia merasa lemah lunglai, kepalanya tetap pening.

   Melihat tidak ada uap hitam lagi mengepul dari tubuh Thian Ki, Cin Cin berani memasuki ruangan itu dan mendekati mereka. Hatinya berdebar girang karena ia mengira bahwa tentu kekasihnya sekarang telah terbebas dari hawa beracun itu.

   Iapun memandang dengan penuh kagum dan juga terharu kepada suami isteri yang gagah perkasa itu. Mereka telah mempertaruhkan keselamatan sendiri, bahkan kini kehabisan tenaga untuk menolong Thian Ki. Betapa mulia budi suami isteri pendekar itu.

   Si Han Beng membuka matanya dan menghela napas panjang. Agaknya helaan napas itu menyadarkan pula isterinya yang membuka mata. Suami isteri itupun seperti Thian Ki, agak pucat dan kelihatan lelah bukan main.

   "Bukan main!" Bu Giok Cu berkata sambil menggeleng-geleng kepala kagum memandang kepada Thian Ki yang masih bersila di depannya, membelakanginya.

   Thian Ki membuka matanya, kemudian menggeser duduknya ke belakang, menghadapi suami isteri itu dan dia berlutut kepada mereka."Terima kasih paman dan bibi. Budi paman dan bibi takkan kulupakan selama hidupku."

   "Aih, Thian Ki, jangan berkata begitu." kata Si Han Beng.

   "Kami bahkan merasa menyesal bahwa kami telah gagal membersihkan hawa beracun dari tubuhmu, mungkin hanya beberapa bagian saja. Hawa itu terlampau kuat."

   Thian Ki maklum karena dia juga merasa bahwa hawa beracun di tubuhnya belum bersih, baru sebagian saja yang terusir pergi. Mungkin hanya mengurangi keampuhannya saja sehingga kalau tubuhnya dipukul orang, si pemukul itu hanya terkena racun yang tidak begitu berbahaya lagi. Namun, tetap saja tubuhnya masih mengandung racun dan hal ini tidak memungkinkannya untuk menikah.

   "Kurasa hawa beracun itu telah membuat darahmu juga beracun, Thian Ki, harus ditemukan obat untuk mencuci darahmu." kata Bu Giok Cu.

   Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena pekerjaan itu amat melelahkan, menguras habis tenaga suami isteri itu dan Thian Ki, maka mereka bertiga lalu kembali ke kamar masing masing untuk beristirahat dan menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaga. Malam itu Cin Cin gelisah di dalam kamarnya. Ia tak dapat tidur nyenyak karena selalu teringat akan kekasihnya, Coa Thian Ki. Ia maklum bahwa kekasihnya itu belum terbebas sama sekali dari hawa beracun, seperti yang didengarnya dari percakapan dengan suami isteri tadi seusai pengobatan.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Cin sudah bangun, mencuci badan lalu memasuki taman untuk mencari udara segar karena tubuhnya terasa agak lesu karena kurang tidur. Ternyata ia mendapatkan Thian Ki sudah berada di taman, berlatih silat!

   Pemuda itu nampak berlatih silat tangan kosong, gerakannya gesit dan mantap sekali, pukulan kedua tangannya mendatangkan angin. Memang hebat ilmu tangan kosong pemuda ini. Dia telah menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh bekas pangeran Cian Bu Ong, juga dia telah mewarisi ilmu-ilmu yang diajarkan oleh ibunya dan neneknya.

   Kini dia memainkan ilmu silat tangan kosong yang diajarkan gurunya atau ayah tirinya, yaitu Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti). Gerakannya gagah sekali, kedua tangan dibuka, jari jari membentuk cakar naga. Agaknya tenaga Thian Ki sudah pulih kembali.

   Ketika pemuda itu mengakhiri ilmu silatnya, dia mengangkat kedua tangan yang membentuk cakar naga itu ke atas, mengerahkan tenaga saktinya dan kedua tangannya berubah kehitaman sampai sebatas pergelangan dan ada uap hitam mengepul dari jari jari tangannya. Dia menghentikan gerakannya, kedua lengannya tergantung lemas dan lunglai seolah kehabisan tenaga dan dia menundukkan mukanya yang nampak kecewa.

   "Thian Ki!" Cin Cin menghampiri.

   Thian Ki yang agaknya berada dalam keadaan berduka itu sadar dari lamunannya dan dia mengangkat mukanya, dan sebentar saja wajahnya telah berseri kembali.

   "Eh, sepagi ini engkau sudah bangun, Cin Cin?"

   "Engkau malah sudah berlatih silat, Thian Ki. Bagaimana dengan hawa beracun di tubuhmu?" Cin Cin berpura-pura mengajukan pertanyaan ini, padahal tadi ia melihat sendiri bahwa kedua tangan itu masih berwarna hitam ketika Thian Ki mengerahkan tenaga sin-kang.

   Thian Ki tersenyum.

   "Berkat bantuan paman dan bibi, sudah banyak berkurang hawa beracun itu."

   "Thian Ki, kepadaku engkau tidak perlu menyembunyikan. Berterus"teranglah saja bahwa hawa beracun itu belum hilang dan engkau belum terbebas, bukan? Aku semalam sudah mendengar ucapan Paman Si Han Beng, juga tadi aku melihat kedua tanganmu berubah hitam."

   Thian Ki menghela napas lalu duduk di atas bangku. Cin Cin juga duduk di sampingnya.

   "Engkau benar, Cin Cin. Memang sudah banyak hawa beracun yang keluar, akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku telah bebas sama sekali. Biasanya, kalau aku mengerahkan tenaga seperti tadi, mengendalikan hawa beracun itu ke arah lengan, tanganku menghitam dari jari tangan sampai ke siku. Sekarang masih menghitam, akan tetapi hanya sampai di pergelangan tangan saja dan ini be rarti bahwa biarpun sudah berkurang, akan tetapi belum bersih betul. Benar seperti yang dikatakan bibi Bu Giok Cu, hawa beracun telah membuat darahku beracun, maka kalau hanya dengan doro ngan sin-kang saja, tidak mungkin dapat dibersihkan. Darah yang beracun itu akan menambah kekuatan hawa beracun lagi, maka haruslah ditemukan obat yang dapat membersihkan darahku dari racun. Cin Cin, kebetulan sekali kita dapat bicara berdua. Setelah aku melihat keadaan diriku, kurasa belum terlambat bagimu untuk menjauhkan diri dariku, Cin Cin." kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara gemetar.

   Cin Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu.

   "Thian Ki, apa maksud ucapanmu ini? Jelaskan!" Ia nampak marah.

   Sejenak mereka saling pandang dan Thian Ki yang lebih dulu menundukkan pandang matanya.

   "Cin Cin, agaknya keadaan diriku ini tidak dapat dipulihkan, tidak dapat disembuhkan dan aku akan menjadi orang beracun selamanya"

   "Aih, kenapa engkau mendadak menjadi begini cengeng dan lemah, Thian Ki? Ini tidak pantas bagimu. Engkau tidak boleh putus asa!" Kata Cin Cin bersemangat.

   "Aku tidak putus asa, Cin Cin, aku akan tetap berusaha sampai aku berhasil menemukan obatnya. Akan tetapi, aku tidak berhak mengikatmu, Cin Cin. Kita memang saling mencinta, akan tetapi dengan keadaanku seperti ini, bagaimana mungkin? Aku tidak ingin melihat engkau kelak kecewa dan sengsara karena aku tidak berhasil sembuh. Maka, sebelum terlambat, sebelum ikatan di antara kita semakin kuat, sebaiknya kalau engkau meninggalkan aku. Engkau berhak hidup berbahagia, dengan calon jodoh lain yang normal, bukan manusia beracun seperti aku."

   Sejenak Cin Cin mengamati wajah pemuda itu dengan kaget, heran dan tidak pe rcaya, ke mudian ia menangis .

   "Cin Cin, kenapa? Kenapa engkau menangis ?" Cin Cin mengusap air matanya, matanya mencorong marah.

   "Thian Ki, engkau sungguh kejam! Tega benar engkau menikam hatiku dengan ucapanmu itu. Kaukira aku ini seorang wanita macam apa, begitu dangkal cintanya, begitu palsu dan mementingkan diri sendiri? Thian Ki, aku mencintamu dengan setulus hatiku, apa dan bagaimana keadaanmu, aku akan tetap mencintamu. Andaikata kita kelak tidak dapat menikah, aku bersedia hidup sebagai sahabat selamanya, dan aku akan tetap mencintamu. Andaikata kelak kita menikah dan aku mati keracunan, akupun tidak akan menyalahkanmu dan aku rela, aku akan tetap mencintamu. Dan engkau sekarang.... engkau menganjurkan agar aku meninggalkanmu?" Gadis itu menangis lagi.

   Thian Ki merasa terharu dan juga berbahagia sekali. Ternyata cinta gadis ini kepadanya membesarkan hatinya. Diapun memegang tangan kanan gadis itu dan berkata dengan sungguh-sungguh.

   "Cin Cin, maafkan aku. Sungguh mati, aku mengeluarkan kata-kata itu demi cintaku kepadamu, karena aku tidak ingin melihat engkau menderita. Biarlah aku sendiri yang menderita akan tetapi jangan engkau, orang yang paling kusayang di dunia ini, ikut pula menderita karena keadaan tubuhku. Maafkan aku, Cin Cin, kini aku semakin yakin bahwa dengan engkau disampingku, aku akan menghadapi apapun juga dengan tabah. Biarlah kita hadapi bersama, suka sama dinikmati, duka sama ditanggung."

   Cin Cin menghentikan tangisnya dan ketika Thian Ki merangkulnya, ia berbisik di dekat telinga pemuda itu.

   "Thian Ki, bagiku, penderitaan di sampingmu merupakan suatu kebahagiaan, sebaliknya, kebahagiaan tanpa engkau akan merupakan penderitaan."

   Thian Ki semakin terharu. Dengan lembut dia memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya untuk dapat melihat wajahnya dan sambil menatap wajah itu dengan sinar mata yang penuh kasih sayang, diapun berkata lirih.

   "Cin Cin, demi Tuhan cinta kasihmu yang begini tulus dan mendalam tidak akan sia-sia, tidak akan sia-sia.. ."

   "Aku tahu, Thian Ki, kita saling mengetahui isi hati masing-masing dan semoga Tuhan melindungi kita. Sekarang, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"

   "Aku ingin memenuhi pesan guruku, juga ayah tiriku, yaitu mendapatkan pedang pusakanya yang berada di gudang pusaka kerajaan. Aku harus melakukan itu, dan harus berhasil, untuk membalas segala budi kebaikannya kepadaku dan kepada ibuku. Setelah berhasil, aku akan memperkenalkan engkau kepada ibuku dan ayah tiriku, dan mengakui kepada mereka bahwa engkau adalah calon isteriku."

   Berkata sampai di situ Thian Ki tertegun. Baru dia teringat bahwa ayah tirinya telah menjodohkan dia dengan Cian Kui Eng! Dan terkenang dia kepada sumoinya atau juga adik tirinya itu bahwa Kui Eng juga mencintanya, bukan sebagai adik kepada kakak, melainkan sebagai seorang wanita kepada seorang pria. Sejenak dia menjadi gelisah akan tetapi segera terhapus kegelisahan itu begitu dia menatap wajah kekasihnya.

   "Engkau kenapa, Thian Ki?" tanya Cin Cin yang melihat perubahan sejenak tadi pada wajah kekasihnya.

   "Tidak apa-apa, aku hanya teringat bahwa aku mempunyai sebuah tugas lagi yang harus kulakukan, demi membalas budi kebaikan paman Si Han Beng dan bibi Bu Giok Cu."

   "Aku tahu, mencari dan membawa kembali puteri mereka, bukan?" Cin Cin memotong,

   "aku akan membantumu sekuat tenagaku, Thian Ki."

   Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut dari depan rumah dan disusul suara beradunya senjata tajam yang nyaring. Tentu saja Thian Ki dan Cin Cin terkejut sekali dan mereka berloncatan dan berlari keluar dari taman menuju ke pekarangan luar. Dan di sana, mereka melihat dua orang sedang berkelahi dengan seru dan mati-matian. Setelah dekat, mereka mengenal Siong Ki yang sedang berkelahi dengan seorang pemuda yang bertubuh kecil, berwajah tampan sekali dan gerakan pedangnya jelas menunjukkan bahwa orang ini memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai. Namun, sekali pandang saja tahulah Cin Cin dan Thian Ki, bahwa pemuda tampan itu tidak akan dapat menandingi Siong Ki yang jauh lebih unggul ilmu pedangnya, sehingga kini pemuda itu terdesak oleh sinar pedang yang dimainkan Siong Ki. Namun, pemuda itu nampaknya bertekad untuk menyerang mati-matian, sehingga Thian Ki khawatir kalau-kalau Siong Ki akan lupa diri dan membunuh orang.
(Lanjut ke Jilid 35)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 35
"Tahan senjata..!!" teriaknya dan diapun meloncat ke depan, ke tengah-tengah medan pertandingan. Mendengar angin yang dahsyat menyambar, pemuda itu terkejut dan melompat mundur. Demikian pula Siong Ki juga menahan pedangnya ketika melihat munculnya Thian Ki dan Cin Cin.

   "Sabarlah, Siong Ki dan engkau juga, sobat. Kalau ada persoalan dapat dibicarakan dan didamaikan. Kenapa kalian sepagi ini sudah saling serang mati-matian seperti itu? Siong Ki, siapakah sobat ini dan mengapa kalian bertanding mati-matian?" tanya Thian Ki.

   Siong Ki mengamati pemuda di depannya itu dengan alis berkerut dan sinar mata marah dan penasaran.

   "Orang sinting ini datang ingin bertemu dengan suhu dan subo dengan nada suara yang merendahkan, ketika kuberitahu bahwa suhu dan subo masih tidur, tiba-tiba saja ia menyerangku dan hendak membunuhku."

   "Jahanam keparat, memang aku akan membunuhmu!" bentak pemuda itu dan dia sudah hendak menyerang lagi. Dari cara dia bicara, dari sikapnya, Thian Ki merasa bahwa pemuda ini bukanlah orang kangouw biasa saja. Kata-katanya, walaupun sedang marah dan merupakan makian, tetap saja menggunakan kata-kata yang halus, dengan pengucapan yang teratur, seperti seorang bangsawan!

   "Tahan dulu, sobat," katanya sambil memberi hormat kepada pemuda itu dengan merangkapkan kedua tangan depan dada."Agaknya terjadi kesalah pahaman di sini. Tahukah engkau siapa pemuda ini?" Thian Ki menuding ke arah Siong Ki.

   "Dia adalah The Siong Ki, murid dari paman Si Han Beng yang berjuluk Huang-ho-Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning)"

   "Kalau begitu, Huang-ho Sing-liong adalah seorang jahat yang memiliki murid jahat!" pemuda itu membentak marah.

   "Orang gila!" Siong Ki sudah marah lagi, akan tetapi sebelum dia melakukan sesuatu, terdengar suara dari dalam rumah.

   "Siapakah yang mengatakan bahwa kami jahat?"

   Dan Si Han Beng bersama isterinya telah muncul dari pintu depan. Suami isteri ini masih nampak agak pucat dan lemah, tanda bahwa mereka belum dapat memulihkan tenaga yang malam tadi terkuras habis ketika mereka mencoba untuk mengobati Thian Ki.

   "Apa yang terjadi di sini?" tanya Bu Giok Cu melihat muridnya berdiri dengan sebatang pedang di tangan, berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang kelihatan marah-marah dan yang juga memegang sebatang pedang di tangannya.

   "Paman dan bibi, agaknya terjadi kesalah pahaman antara Siong Ki dan tamu ini," kata Thian Ki.

   "Siong Ki, apa yang terjadi?" tanya Si Han Beng dengan suara tegas karena guru ini masih merasa kecewa melihat muridnya pulang tanpa hasil mencari puterinya, bahkan telah melukai ibu Cin Cin.

   "Suhu, teecu sendiri tidak mengerti. Orang ini tadi muncul di pekarangan dan teecu segera menemuinya dan menanyakan maksud kunjungannya. Dia hendak bertemu dengan suhu dan subo, dan ucapannya terdengar kasar, bahkan tidak menghormati suhu dan subo. Teecu menjawab bahwa suhu dan subo masih belum bangun dari tidur dan menyuruh dia pergi agar tidak mengganggu, karena sikap dan kata"katanya yang tidak menghormat. Eh, tiba-tiba dia mencabut pedang dan menyerang teecu, bukan sekedar menguji kepandaian, melainkan dengan sungguh-sungguh akan membunuh teecu."

   Mendengar laporan muridnya itu, Si Han Beng memandang penuh perhatian kepada tamunya, dan Bu Giok Cu sudah tidak sabar lagi.

   "Orang muda, engkau masih muda dan tampan, kenapa begini pemarah? Setidaknya, jelaskan dulu kenapa engkau hendak membunuhnya dan apa pula keperluanmu mencari kami berdua."

   Pemuda itu menatap wajah Si Han Beng dan Bu Giok Cu bergantian, kemudian, dengan suara mengandung kemarahan dia berkata,

   "Aku harus membunuh jahanam busuk ini! Apalagi setelah ternyata dia ini murid Huang-ho Sing-liong Si Han Beng, dia harus mati di tanganku! Kalau kalian suami isteri hendak membelanya, boleh! Biar aku mendapat kenyataan bahwa nama besar Huang-ho Sin-liong hanyalah nama kosong belaka, dia bukan seorang pendekar budiman yang bijaksana, melainkan seorang yang pengecut, tidak bertanggungjawab, juga mempunyai murid yang jahat, pengkhianat dan pemberontak!"

   Bu Giok Cu menjadi marah sekali.

   "Bocah sombong kau!"

   Akan tetapi suaminya sudah menyentuh lengannya menyabarkan. Suami isteri itu sama sekali tidak tahu betapa wajah Siong Ki berubah mendengar tuduhan bahwa dia jahat, pengkhianat dan pemberontak itu. Orang ini telah mengetahui rahasianya, pikirnya terkejut sekali.

   "Engkau yang jahat! Engkau bohong dan melakukan fitnah! Dia berbohong, suhu dan subo!" kata Siong Ki. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Thian Ki memperhatikan, sehingga Thian Ki melihat pula betapa wajah Siong Ki tadi berubah agak pucat dan nampak kaget dan gelisah.

   Si Han Beng sendiri cukup waspada untuk melihat sesuatu yang ganjil dan tidak beres dalam pemunculan pemuda itu, dalam tuduhan-tuduhannya terhadap muridnya.

   "Nanti dulu, sobat muda!" kata Si Han Beng dan suaranya berwibawa, sinar matanya mencorong memandang wajah tampan itu.

   "Engkau menuduh muridku jahat, pengkhianat dan pemberontak. Apa alasanmu menuduhnya sekeji itu. Tanpa alasan dan bukti yang kuat, bagaimana kami dapat percaya bahwa murid kami me lakukan seperti yang kau tuduhkan itu?"

   "Alasannya? Buktinya? Hem, tanyakan saja kepada muridmu yang brengsek itu, Huang-ho Sin-liong. Atau engkau juga telah mengajarkan kepadanya bagaimana untuk menjadi pengecut, tidak berani bertanggung jawab?"

   "Jahanam, engkau menabur fitnah yang bukan-bukan kepadaku!"

   Siong Ki menggertak karena tanpa ada buktinya, tak mungkin ada orang yang mengetahui bahwa dia pernah berusaha membunuh kaisar di istananya, bahwa dia adalah kaki tangan Pangeran Li Seng Cun yang memberontak.

   "Fitnah? Hemm, kiranya engkau memang seorang pengecut besar. Aku sendiri yang mencegahmu dan Bi Tok Siocia Ouw Ling menyerbu kamar kaisar dan hendak membunuh Sribaginda Kaisar. Bahkan ibuku juga tewas di tanganmu, karena tusukan pedangmu. Mana pedangmu yang tumpul itu, itulah buktinya!"

   Wajah suami isteri pendekar itu berubah mendengar ucapan ini. Murid mereka bekerja sama dengan wanita iblis Bi Tok Siocia menyerang kaisar!? Juga Siong Ki terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat sekali. Sekarang dia ingat bahwa ada dua orang wanita yang menghalangi dia dan Ouw Ling ketika menyerang kaisar, dan seorang di antara dua wanita itu adalah orang yang kini berdiri di depannya, menyamar sebagai seorang pemuda.!

   "Bohong kau!!"

   Siong Ki membentak nyaring dan diapun sudah menerjang ke depan, membacokkan pedangnya ke arah pemuda itu. Kini dia tidak seperti tadi yang hanya membela diri, kini dia menyerang untuk membunuh, maka dia mencerahkan seluruh tenaganya dan pedang itu menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Si Han Beng dan Bu Giok Cu masih lemah, tenaga mereka masih belum pulih, maka mereka tidak berdaya mencegah. Sedangkan Thian Ki dan Cin Cin masih bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Pemuda tampan itu menggerakkan pedangnya menangkis.

   "Tranggg!!"

   Pedang di tangan pemuda itu terpental jauh, terlepas dari pegangannya dan ujung kaki Siong Ki sudah menendang dan membuatnya roboh terjengkang. Orang ini harus mati, pikir Siong Ki karena rahasia tentang dirinya akan dibuka. Kalau hal itu terjadi, bukan saja dia akan berhadapan dengan kedua orang gurunya, bahkan dengan pasukan keamanan pemerintah yang tentu sedang memburunya!

   "Siong Ki, jangan!!" bentak Bu Giok Cu ketika melihat murid itu menerjang lagi untuk memberi serangan mematikan kepada tubuh pemuda yang sudah terjengkang itu. Akan tetapi, nyonya yang menghadang ini terdorong oleh tangan kiri Siong Ki dan Bu Giok Cu terhuyung ke belakang. Si Han Beng yang juga tahu bahwa dia sendiri tidak mempunyai tenaga, cepat berseru.

   "Thian Ki cegah dia!"

   Thian Ki maklum apa yang harus dia lakukan, sekali melompat dia sudah menghadang dan dia mendorong dengan kedua tangannya ke arah Siong Ki. Bukan dengan tenaga dari hawa beracun, melainkan dengan tenaga s inkangnya.

   "Wuuuuuttt dessss!" Siong Ki berseru kaget dan terhuyung ke belakang.

   "Siong Ki, perlahan dulu. Paman dan bibi melarangmu membunuhnya!" kata Thian Ki.

   Sementara itu, pemuda tampan tadi terjengkang ke dekat Si Han Beng dan pendekar ini hendak membantunya bangun, melihat pemuda itu terkena tendangan dan menyeringai kesakitan. Akan tetapi pemuda itu menepiskan tangannya yang hendak membantunya bangkit.

   "Hemm, aku sudah kalah. Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan Bu Giok Cu, kalian sepasang pendekar besar yang namanya terkenal di seluruh dunia kangouw. Kalian bunuhlah aku agar sebelum mati aku dapat menyaksikan sendiri, betapa kalian yang bernama besar ini tiada lain hanyalah dua orang pengecut besar, tidak bertanggung jawab, bahkan kini membantu murid kalian yang pemberontak.!"

   "Sobat, berulang kali engkau memaki kami pengecut tidak bertanggung jawab! Apa maksudmu?" Si Han Beng merasa penasaran sekali dan ingin mengetahui.

   "Bagus, engkau masih berpura-pura, Huang-ho Sin-liong? Engkau dan isterimu membiarkan anak kalian diculik orang, tak pernah berusaha merebutnya kembali, bukankah itu merupakan sikap pengecut yang tak bertanggung jawab? Orang macam apa itu? Dan sekarang, kalian mempunyai murid yang jahat dan pengkhianat, membantu pemberontakan Pangeran Li Seng Cun dan nyaris membunuh kaisar, sehingga ibuku yang melindungi kaisar tewas oleh pedang murid kalian yang bagus ini!"

   "Jahanam kau........!!" Siong Ki mengeluarkan teriakan seperti binatang buas yang marah sekali dan dia sudah menerjang maju, tidak memperdulikan suhu dan subonya. Akan tetapi sejak tadi Thian Ki waspada dan selalu memperhatikan gerak-gerik Siong Ki, maka begitu melihat pemuda itu meloncat dan menerjang, diapun bergerak ke depan menyambut.

   Melihat ini, Cin Cin juga melompat ke depan dengan pedangnya menyambar pedang Siong Ki pada saat Thian Ki mendorongnya dengan tenaga sin-kangnya.

   "Trangg" Pedang di tangan Siong Ki terpental. Sebetulnya, kalau saja dia tidak didorong oleh Thian Ki yang membuat tubuhnya terhuyung, tidak semudah itu pedangnya dapat terpental oleh pukulan pedang Cin Cin.

   "Cin Cin, mundurlah," kata Thian Ki dan dia menghampiri Siong Ki dengan sikap tenang dan sabar.

   "Siong Ki, ingat, segala persoalan dapat dibicarakan. Engkau tidak boleh menentang kehendak gurumu. Mari kita bicara baik-baik Sementara itu, Si Han Beng dan Bu Giok Cu menjadi pucat wajah mereka mendengar kata-kata pemuda itu.

   Mereka terbelalak, bahkan Bu Giok Cu menekan dadanya dan terhuyung ke belakang, seolah-olah ucapan pemuda itu menusuk jantungnya.! Si Han Beng juga terbelalak memandang kepada pemuda itu.

   "Siapa siapa ibumu ?"

   "Ibuku bernama Kwa Bi Lan, wanita yang jauh lebih baik terhadap diriku daripada orang tuaku sendiri, walaupun ia telah menculik diriku"

   "Dia bohong! Bocah sinting itu bohong! Suhu dan subo tidak semestinya percaya omongan seorang tukang fitnah macam dia!" teriak Siong Ki marah.

   Sementara itu, Si Han Beng dan Bu Giok Cu menjadi pucat wajah mereka mendengar kata-kata pemuda itu. Mereka terbelalak, bahkan Bu Giok Cu menekan dadanya dan terhuyung ke belakang, seolah-olah ucapan pemuda itu menusuk jantungnya.! Si Han Beng juga terbelalak memandang kepada pemuda itu.

   "Siapa...... siapa..... ibumu........?"

   "Ibuku bernama Kwa Bi Lan, wanita yang jauh lebih baik terhadap diriku daripada orang tuaku sendiri, walaupun ia telah menculik diriku dari tangan ayah dan ibu kandungku yang tidak berani bertanggung jawab, yang membiarkan saja aku diculik orang......" Dan kini "pemuda" itu menangis tersedu-sedu.

   "Lan Lan!!" Bu Giok Cu menjerit.

   "Hong Lan!" Si Han Beng juga berteriak.

   Dengan bercucuran air mata, suami isteri pendekar itu mengembangkan kedua lengan hendak merangkul pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Hong Lan yang menyamar pria, meloncat ke belakang.

   "Tidak. tidak... sebelum kalian menjelaskan kenapa kalian tidak merebut aku kembali dari tangan penculik, jangan sentuh aku.........!"

   Menyaksikan peristiwa hebat ini, Thian Ki dan Cin Cin terbelalak, kaget dan heran, dan terharu. Akan tetapi yang paling kaget adalah The Siong Ki. Seperti disambar petir rasanya ketika ia melihat kenyataan bahwa pemuda itu adalah seorang gadis, dan puteri suhunya yang selama belasan tahun ini hilang! Dan justeru puteri suhunya itu yang mengetahui rahasianya. Celaka, pikirnya dan dengan wajah pucat dia mengambil keputusan nekat. Kalau dia tidak cepat bertindak, tentu gadis itu akan membongkar segalanya dan dia tidak mendapatkan alasan lagi untuk menyangkal.

   "Jahanam bohong kau!!" bentaknya dan kini dengan tangan kosong, dia sudah menerjang ke arah Hong Lan yang kebetulan meloncat ke belakang tadi dan berada dekat dengannya.

   Dia meloncat bagaikan seekor harimau menerkam dan kedua tangannya berubah merah! Ternyata dalam kemarahan dan kenekatannya, pemuda ini telah menggunakan ilmu Silat Hui-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Terbang) dan mengerahkan tenaga Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) ke dalam kedua tangannya yang mencengkeram.

   Sebetulnya, ilmu Ang-tok-ciang ini adalah ilmu sesat dari mendiang Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu yang pernah menjadi guru Bu Giok Cu dan telah mengajarkan ilmu sesat itu kepadanya. Bu Giok Cu sendiri, mengajarkan Ang-tok-ciang kepada Siong Ki bukan untuk dikuasai, melainkan untuk menambah pengetahuan murid suaminya itu agar mengenal ilmu sesat dari golongan hitam dan dapat menjaga diri.

   Tidak tahunya, diam-diam Siong Ki melatih dirinya dengan ilmu pukulan beracun itu dan kini dia sengaja menggunakan ilmu itu agar sekali cengkeram dapat membunuh Hong Lan. Dan dia telah menguasai ilmu silat Rajawali Terbang dengan baik, maka gerakannya itu hebat bukan main, bagaikan seekor rajawali, dia menyambar turun menyerang Hong Lan yang sedang lengah karena marah dan bersedih, sedang menangis.

   Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Hong Lan itu, di mana ayah ibunya yang sakti tidak berdaya karena mereka telah kehilangan tenaga untuk mengobati Thian Ki dan belum pulih, terdengar suara melengking nyaring dan tubuh Thian Ki sudah meloncat ke atas, menghadang serangan Siong Ki yang dahsyat sekali itu.

   Akan tetapi, karena tadinya Thian Ki tidak menyangka Siong Ki akan menyerang secara tiba-tiba kepada Hong Lan, dia agak terlambat sehingga tidak dapat menangkis atau membalas serangan itu, melainkan hanya membuat tubuhnya sebagai penghalang agar Siong Ki tidak dapat menyerang Hong Lan.

   Melihat tubuh Thian Ki menghalang di udara, Siong Ki menjadi marah bukan main. Semua kekecewaan, kemarahan, dan ketakutan tertumpah keluar kepada Thian Ki. Maka dengan gerengan buas, kedua tangan yang merah itu mencengkeram ke leher Thian Ki untuk mencekiknya!

   Kalau saja yang kena cengkeram itu leher Thian Ki, agaknya sukarlah baginya untuk menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi, dalam keadaan tersudut itu, Thian Ki masih mampu menarik lehernya ke belakang sehingga cengkeraman itu mengenai pundak dan bahunya.

   "Thian Ki!!" Cin Cin berseru dengan wajah pucat dan dengan pedang di tangan ia siap membantu kekasihnya. Matanya terbelalak melihat betapa kini kedua orang pemuda itu terbanting jatuh dan kedua tangan merah Siong Ki itu masih mencengkeram pundak dan bahu Thian Ki. Jari jari tangan itu bagaikan cakar harimau, telah menancap dan masuk ke dalam kulit pundak dan bahu, dan nampak Thian Ki menyeringai kesakitan.

   Tubuh mereka bergulingan di atas tanah, namun tetap saja cengkeraman kedua tangan itu terus menempel di tubuh Thian Ki. Cin Cin mengejar dan siap untuk menyerang Siong Ki.

   Akan tetapi, dua orang pemuda itu berhenti bergulingan dan Thian Ki bangkit sambil mengerang kesakitan, sementara itu, Siong Ki menggeletak tak dapat bergerak lagi. Kedua tangan, bahkan juga mukanya, berubah menghitam dan ternyata dia telah tewas keracunan!

   Kiranya ilmu pukulan beracun Ang-tok-ciang yang dipergunakan mencengkeram itu bahkan memperkuat hawa beracun di tubuh Thian Ki, dan hal ini tidaklah aneh karena Ang-tok-ciang adalah ilmu yang dirangkai oleh mendiang Ban-tok Mo-li, jadi masih satu sumber dengan racun yang mengeram di tubuh Thian Ki. Oleh karena itu, biarpun hawa beracun di tubuh Thian Ki sudah berkurang, namun dengan masuknya racun Ang-tok-ciang melalui cengkeraman Siong Ki, hawa beracun itu bertambah kuat.

   Thian Ki tidak mengerahkan hawa beracun itu, akan tetapi ketika tubuhnya dimasuki racun Ang-tok-ciang, dengan sendirinya hawa beracun di tubuhnya bangkit dan menyambut, sehingga Siong Ki keracunan sedemikian hebatnya, sehingga dalam waktu beberapa detik saja hawa beracun telah merenggut nyawanya dan membuat mukanya menjadi hitam.

   "Thian Ki....!" Cin Cin menghampiri kekasihnya dan Thian Ki tersenyum, memandang ke arah pundak kiri dan bahu kanannya yang luka berdarah, lalu menoleh ke arah tubuh Siong Ki, menghela napas dan berkata.

   

Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 5 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 20 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 4

Cari Blog Ini