Pendekar Tanpa Bayangan 18
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
"Aku sama sekali tidak mulia, Koko. Aku sama saja dengan engkau atau orang-orang lain. Mungkin aku hanya lebih menyadari tentang makna kehidupan. Perbuatan yang didasari dan disengaja oleh pelakunya sebagai perbuatan baik, maka perbuatan itu sama sekali tidak baik lagi. Kalau orang menyadari bahwa dia melakukan kebaikan, maka di balik perbuatannya itu pasti tersembunyi pamrih mendapatkan imbalan. Imbalan itu dapat berujud uang atau benda berharga, dapat juga harapan atau pamrih imbalan lebih halus lagi seperti pujian dan dianggap orang yang baik, atau ditingkatkan lagi harapan imbalan mendapatkan sorga."
Cun Giok terkejut.
"Aih, Ceng-moi. Aku mengerti kalau melakukan kebaikan dengan pamrih mendapatkan imbalan uang, harta, atau pujian adalah salah. Akan tetapi apa salahnya kalau orang berbuat baik dengan harapan mendapatkan sorga kelak?"
"Giok-ko, pamrih atau harapan mendapatkan imbalan sorga apa bedanya dengan pamrih mendapatkan imbalan pujian atau harta benda? Pujian, harta benda, ataupun sorga itu dianggap menyenangkan dan menguntungkan, bukan? Kita menggambarkan sorga sebagai tempat yang indah dan menyenangkan, karena itu diinginkan orang. Coba, andaikata sorga itu digambarkan sebagai tempat yang amat tidak menyenangkan, apakah kita lalu tidak mau berbuat baik lagi karena imbalannya tidak menyenangkan? Perbuatan seperti itu, betapapun baik tampaknya seperti menolong sesama manusia umpamanya, bukan lain merupakan jual beli yang mengharapkan keuntungan atau kesenangan bagi diri sendiri. Kalau kita sengaja dan menyadari melakukan perbuatan baik dengan harapan mendapatkan sorga kelak, sama saja dengan kita menyogok Tuhan dengan perbuatan baik agar kelak mendapatkan sorga. Alangkah munafik dan palsunya perbuatan baik seperti itu, Giok-ko!"
"Aduh, Ceng-moi! Engkau bicara seperti seorang pendeta saja!" Seru Cun Giok terkagum-kagum.
Ceng Ceng tersenyum lembut dan manis.
"Sudah dua kali aku mendengar ucapan itu. Pertama Li Hong yang mengatakannya, sekarang engkau, Giok-ko. Untuk mengerti makna kehidupan, orang tidak harus menjadi pendeta."
"Kalau melakukan perbuatan baik yang disadari dan disengaja kauanggap munafik, lalu perbuatan bagaimana yang kauanggap baik?"
"Tidak ada perbuatan yang baik atau buruk, Giok-ko. Yang ada hanya perbuatan benar atau tidak benar. Perbuatan itu baru benar kalau dilakukan dengan dasar kasih sayang terhadap sesama manusia, hanya merupakan penyaluran Kasih yang dari Tuhan dan dianugerahkan kepada kita. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menyalurkan segala berkat Tuhan kepada mereka yang membutuhkan. Berkat itu dapat berujud kepandaian, kekuatan, atau harta benda. Kewajiban kita untuk menyalurkannya kepada mereka yang sungguh-sungguh memerlukannya. Jadi, kalau perbuatan itu didorong oleh kasih sayang, maka kita hanya memenuhi kewajiban yang sudah seharusnya kita lakukan. Dengan demikian, maka apa yang kita lakukan itu merupakan suatu kewajaran, bukan kebaikan lagi dan di situ tidak ada pamrih apa pun."
"Ceng-moi, alangkah mulianya Ayah Ibu dan Paman Gurumu yang telah tiada. Engkau mendapatkan pengertian luar biasa itu dari mereka, bukan?"
"Orang tua dan Paman Guruku memberi dasarnya, lalu berkembang dengan cara membuka mata melihat seluruh alam semesta yang dipenuhi Kasih dari Tuhan. Hangatnya sinar matahari, sejuknya angin semilir, segarnya daun-daun pohon menghijau, harumnya bunga-bunga, indahnya suara burung, gemersik angin di pohon, gemerciknya air mengalir bercanda dengan batu-batu, nikmatnya hawa udara yang kita hisap, pendeknya dalam segala sesuatu penuh dengan Kasih itu. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menyalurkan kasih sayang kepada mereka yang membutuhkan? Kasih sayang itu membuahkan sikap yang lembut dan ramah, perbuatan yang dilakukan demi kepentingan orang lain, sabar, tidak pemarah dan tidak iri, jauh dari perasaan dendam dan benci."
"Aduh, Ceng-moi. Mau rasanya aku berguru kepadamu. Begitu banyak pengertian yang membuka hatiku seperti air yang bening menyejukkan. Akan tetapi masih ada sebuah hal lagi yang membuat aku merasa ragu. Tadi engkau mengatakan bahwa tidak ada yang dinamakan perbuatan baik atau buruk. Ceng-moi, Bukankan ada orang yang baik dan tidak baik?"
"Maaf, Giok-ko. Bukan maksudku hendak menggurui atau menganggap bahwa semua yang kukatakan itu baik atau benar. Aku hanya bicara mengeluarkan isi hati dan akal budiku, terserah kepada yang mendengar akan dianggap benar atau salah. Baik dan buruk bukanlah sifat aseli, melainkan pendapat orang berdasarkan penilaian. Adapun penilaian ini sebagian besar dilandasi kepentingan diri sendiri. Contohnya begini. Bagaimanakah hujan itu? Baik atau burukkah hujan? Hujan ya hujan, itu wajar, tidak baik dan tidak buruk. Baru muncul pendapat bahwa hujan itu baik atau hujan itu buruk kalau sudah dinilai orang yang berdasarkan kepentingan pribadi. Kalau hujan itu merugikan dirinya, tentu dianggap buruk, sebaliknya kalau menguntungkan, tentu dianggap baik! Sama saja penilaian terhadap orang. Kalau orang sedunia ini menganggap aku baik, akan tetapi kepadamu aku melakukan hal-hal yang merugikanmu, memusuhimu, apakah engkau bisa menganggap aku baik? Tentu tidak karena aku merugikanmu, maka engkau tentu menganggap aku jahat atau buruk. Sebaliknya kalau semua orang menganggap aku ini jahat, akan tetapi kepadamu aku bersikap baik dan menyenangkan, menguntungkanmu, apakah engkau bisa menganggap aku jahat? Tentu juga tidak, engkau pasti akan mengatakan bahwa aku baik! Nah, pendapatmu itu belum tentu benar, bukan?"
Cun Giok mengangguk-angguk. Dia menghela napas panjang dan semakin kagum dan heran kepada gadis itu. Seorang gadis masih begitu muda namun sudah memiliki pengertian yang demikian mendalam tentang hidup. Mungkin masih banyak pengertian yang tersimpan dalam kepala yang berambut hitam lebat dan berwajah jelita itu. Cinta yang timbul dalam hati Cun Giok diperkuat oleh kekaguman dan penghormatan.
"Giok-ko, sudah terlalu lama kita duduk bercakap-cakap di sini, marilah kita melanjutkan perjalanan kita mencari harta karun itu," kata Ceng Ceng dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki Bukit Sorga dengan hati-hati karena sekarang mereka maklum bahwa bukit itu mengandung bahaya yang besar bagi mereka.
Li Hong lari sambil menangis. Baru sekali ini selama hidupnya ia merasa betapa hatinya hancur. Tadinya ia marah mendengar betapa Cun Giok selalu membenarkan semua pendapat Ceng Ceng, hatinya dipenuhi cemburu dan iri sehingga saking marahnya ia melarikan diri meninggalkan mereka. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa Cun Giok menganggap ia seorang pemuda. Kalau ia muncul sebagai seorang wanita, belum tentu hati Cun Giok akan condong kepada Ceng Ceng.
Teringat akan hal ini, ia mengambil keputusan untuk menguji hati pemuda itu. Ia menanggalkan pakaian prianya dan di bawah pakaian pria itu ia memang sudah memakai pakaian wanita agar tubuhnya tampak lebih besar dan pinggangnya tidak begitu kecil.
Kini ia berubah menjadi seorang gadis yang langsing dan jelita. Tata rambutnya juga ia ubah sehingga kini Li Hong tampak sebagai seorang gadis cantik jelita. Setelah berdandan sebagai seorang gadis, dengan hati-hati ia lalu kembali ke tempat tadi dan apa yang dilihatnya membuat ia marah dan panas seperti dibakar api! Ia melihat Cun Giok dan Ceng Ceng saling berdekapan dengan mesra!
Kepalanya seperti akan meledak, isi dadanya terbakar panas dan ia pun tidak dapat mengendalikan diri lagi. Dengan kebencian dan kemarahan yang meluap-luap terhadap Ceng Ceng, Li Hong langsung saja menyerang Ceng Ceng dengan pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang yang mematikan karena kebencian membuat ia ingin membunuh Ceng Ceng pada saat itu juga. Akan tetapi Cun Giok menepis serangannya sehingga Ceng Ceng terhindar dari serangan, bahkan ia sendiri terhuyung.
Akan tetapi ia segera menyerang Ceng Ceng dengan Hek-tok-ciam dan dua batang jarum mengenai dada gadis itu. Dalam kemarahannya, Li Hong tidak menyadari betapa terhadap semua serangannya itu Ceng Ceng sama sekali tidak membela diri, tidak mengelak atau menangkis! Setelah dapat melukai Ceng Ceng dengan dua batang jarumnya, Li Hong lalu berlari pergi sambil menangis!
Luka di hatinya semakin parah. Ia bukan saja melihat Cun Giok dan Ceng Ceng saling peluk, akan tetapi ditambah lagi sikap Cun Giok yang membela Ceng Ceng, menangkis pukulannya. Hal ini sungguh amat menyakitkan hatinya dan gadis itu berlari dan menangis terisak-isak. Ia tidak peduli lagi ke arah mana ia berlari cepat. Tanpa disadarinya ia mendaki Bukit Sorga!
Setelah kesedihan dan kekecewaannya agak mereda dan kesadarannya kembali, baru Li Hong menyadari bahwa ia telah berlari sampai di lereng bukit bagian tengah. Teringatlah ia akan gambar peta yang dibawa Ceng Ceng. Ia herhenti berlari dan menggigit bibir dengan gemas. Aku akan ambil harta karun itu, pikirnya. Aku akan mendahului Ceng Ceng, akan menggagalkan usahanya mencari harta karun! Pendeknya, ia akan melakukan apa pun juga untuk menghalangi dan menggagalkan semua usaha Ceng Ceng!
Ia membayangkan kembali isi peta itu dan ia merasa bahwa ia telah berada tepat di tengah lereng bukit. Di daerah tengah inilah letaknya guha itu, pikirnya. Mulailah ia berjalan perlahan, hendak mengitari bukit sambil memeriksa kanan kiri dengan teliti. Ia harus menemukan guha itu lebih dulu dari Ceng Ceng dan Cun Giok!
Timbul pula gairah hidup dalam hati Li Hong. Kini ada sesuatu yang penting, yang harus ia lakukan. Kalau tadi rasanya ia lebih baik mati saja, kini timbul semangat baru, yaitu untuk membalas sakit hatinya kepada Ceng Ceng! Kalau tidak lagi Ceng Ceng di dunia ini, tentu tidak ada halangan lagi baginya untuk mendapatkan cinta Pouw Cun Giok! Ia merasa pasti bahwa kalau Ceng Ceng sudah disirnakan, tentu Cun Giok akan mencintanya. Ia sudah merasakan betapa akrabnya sikap Cun Giok kepadanya ketika ia masih menyamar sebagai pria.
Selagi ia melangkah perlahan-lahan sambil mengadakan pengamatan di kanan kiri untuk mencari guha seperti dimaksudkan dalam peta. Tiba-tiba ada angin besar meniup dari depan, menggerakkan puncak-puncak pohon. Li Hong berhenti dan memandang heran, rambut dan ujung bajunya berkibas ditiup angin yang kuat. Lalu terdengar tawa menyeramkan, suaranya berat dan mengandung getaran yang kuat sehingga Li Hong cepat mengerahkan sin-kang untuk melindungi jantungnya.
Sesosok bayangan berkelebat dari depan dan berhenti di depan Li Hong. Bayangan itu ternyata seorang laki-laki tua. Kakek itu berusia sekitar tujuhpuluh tahun, wajahnya penuh keriput, punggungnya bongkok, mulutnya menyeringai akan tetapi sepasang matanya mencorong seolah mata naga yang berapi-api! Tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam yang gagangnya berupa kepala naga. Pakaiannya mewah, seperti pakaian seorang bangsawan tinggi dan dia bahkan mengenakan perhiasan emas permata seperti kalung, gelang dan hiasan topinya yang tinggi. Pakaian indah dan perhiasan serba mahal itu membuat kakek itu tampak lucu, akan tetapi juga menyeramkan.
Li Hong adalah seorang gadis yang tak pernah merasa takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Biarpun ia dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti dan aneh, ia tidak merasa gentar, bahkan bertanya dengan sikap seenaknya seolah ia berhadapan dan bicara dengan seorang kakek petani.
"Kakek tua, apakah engkau yang berkuasa di bukit ini?"
Kakek itu bukan lain adalah Cui-beng Kui-ong, datuk besar utara yang menjadi seorang di antara guru-guru Kim Bayan dan datuk besar ini sudah amat berjasa ketika pasukan Mongol menyerbu daratan Cina. Maka dia mendapatkan banyak imbalan jasa dari Pemerintah Mongol. Bahkan Kaisar Kubilai Khan menghadiahkan bukit itu kepadanya dan Cui-beng Kui-ong menamakan bukit itu Bukit Sorga.
Hampir tidak pernah ada orang berani berkeliaran di daerah bukit itu, maka ketika mendengar pelaporan para anak buahnya yang diam-diam melakukan penjagaan bahwa ada seorang gadis muda cantik mendaki bukit, Cui-beng Kui-ong sendiri cepat menghadangnya. Kini mendengar pertanyaan Li Hong yang diajukan tanpa basa-basi itu, Cui-beng Kui-ong menyeringai lebar dan dari kerongkongannya terdengar suara menggelegak seperti tawa iblis.
"Hak-hak-hak, bocah dari manakah engkau maka tidak mengenalku? Akulah yang disebut Cui-beng Kui-ong, majikan dari Bukit Sorga ini! Berani betul engkau berkeliaran di bukit ini tanpa ijin! Mau ke mana engkau, heh bocah perempuan yang lancang?"
Li Hong mengerutkan alisnya. Kakek itu terlalu memandang rendah padanya! Hatinya yang memang masih panas itu menjadi semakin marah.
"Huh, aku Tan Li Hong pergi ke manapun yang aku suka! Bukit ini merupakan sebagian dari alam, mana bisa kau akui sebagai milikmu begitu saja? Aku bebas melakukan perjalanan di sini dan jangan coba-coba untuk menakut-nakuti aku. Aku tidak takut kepada Raja Iblis Pengejar Arwah (Cui-beng Kui-ong)! Biar engkau memakai julukan Raja Kucing Pengejar Tikus pun aku tidak takut!"
Cui-beng Kui-ong kembali tertawa dalam kerongkongannya. Seorang datuk besar yang sesat dan aneh seperti dia, bahkan tertarik dan senang melihat sikap Li Hong yang liar dan tidak mengenal takut. Akan tetapi sebutan Raja Kucing Pengejar Tikus itu membuat matanya melotot lebar dan dia merasa dihina.
"Hak-hak, Tan Li Hong. Engkau ini bocah kemarin sore sudah berani menghinaku!"
"Kalau aku menghinamu, engkau mau apa!" bentak Li Hong yang sudah nekat karena sakit hati dan kemarahannya yang disebabkan oleh Ceng Ceng dan Cun Giok tadi. Ia sudah nekat dan tidak takut mati, bahkan kini ia hendak menumpahkan semua kemarahan dan kebenciannya kepada kakek itu yang menjadi orang pertama yang ditemuinya sejak ia meninggalkan Ceng Ceng dan Cun Giok.
"Eh, eh, bocah gila, kalau aku ingin membunuhmu, engkau kira dapat terhindar dari maut?" Cui-beng Kui-ong terkekeh walaupun dia mulai marah.
"Ingin membunuhku? Kakek setan, engkaulah yang akan mampus di tanganku!" Setelah berkata demikian Li Hong sudah menerjang dan langsung saja ia menyerang dengan pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang yang dahsyat!
"Wuuuttt.......!" Dua buah tangan halus itu berubah menghitam, menyambar dengan dahsyatnya ke arah dada dan muka Cui-beng Kui-ong.
"Uhhhh......, plak-plakk.......!" Cui-beng Kui-ong terkejut bukan main, akan tetapi masih sempat menangkis serangan dua buah tangan itu. Tadi dia mengenal pukulan yang mengandung hawa beracun hitam dan kuat sekali sehingga dia yang tadinya memandang rendah itu hampir saja terlambat menangkis!
"Eh, bukankah itu Hek-tok Tong-sim-ciang?" dia bertanya sambil melompat ke belakang dan memandang penuh perhatian kepada Li Hong.
"Engkau takut? Kalau takut pergilah dan jangan ganggu perjalananku!" kata Li Hong dengan suara mengejek.
"Tan Li Hong, apakah hubunganmu dengan Ban-tok Kui-bo?"
"Jangan sembarangan menyebut nama orang! Ban-tok Kui-bo tidak ada, yang ada Ban-tok Niocu majikan Coa-to (Pulau Ular) dan aku adalah muridnya!"
"Hak-hak-hak! Kebetulan sekali. Belum sempat menghajar gurunya, sekarang muridnya. Hak-hak, lumayan juga untuk melampiaskan dendamku!" kata Cui-beng Kui-ong.
Mendengar ini, Li Hong tersenyum mengejek. Kalau kakek ini mendendam kepada gurunya, hal itu mudah diduga sebabnya.
"Hi-hik, engkau dulu pasti dihajar jatuh bangun oleh guruku! Sekarang aku yang mewakili guruku untuk menghajarmu sekali lagi!" Setelah berkata demikian, Li Hong mencabut Ban-tok-kiam, lalu menyerang kakek itu dengan ganas. Bukan hanya pedang di tangan kanannya yang menyambar-nyambar seperti cakar maut, akan tetapi juga tangan kirinya menyelingi sambaran pedang dengan pukulan yang tidak kalah besar bahayanya karena gadis itu menggunakan pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun!
Biarpun dia lihai dan memiliki kesaktian ilmu sihir, namun Cui-beng Kui-ong merasa gentar juga menghadapi penyerangan gadis itu. Pedangnya mengandung racun yang amat berbahaya, demikian pula pukulan tangan kirinya. Maka, dia tidak mau menghadapi resiko mati keracunan. Dia mengenal benar betapa hebatnya kepandaian Ban-tok Kui-bo dalam hal penggunaan racun, Cui-beng Kui-ong lalu membentak dengan suara menggetar dan tangan kanan menggunakan tongkat menangkis pedang sedangkan tangan kirinya begitu dibuka dan didorongkan ke depan, tampak asap hitam tebal menyambar ke arah Li Hong!
Dari bau asap hitam itu, Li Hong yang ahli tentang racun tahu bahwa asap itu tidak mengandung racun. Akan tetapi asap hitam itu membuat pandang matanya tertutup sehingga ia tidak dapat melihat di mana adanya kakek itu. Tiba-tiba ada angin pukulan menyambar-nyambar dari segala jurusan. Dalam kegelapan asap hitam itu, Li Hong memutar pedangnya untuk melindungi dirinya dari serangan yang tidak dapat dilihatnya.
"Trakk!" Pedangnya tertangkis dan menempel pada tongkat Cui-beng Kui-ong yang menggunakan tenaga sakti untuk menempel pedang dan pada saat itu, tangan kiri kakek itu telah menyambar dan menotok pundak kiri Li Hong. Gadis itu mengeluh dan terguling roboh dengan tubuh lemas. Pedang Ban-tok-kiam terlepas dari pegangan tangan kanannya.
Cui-beng Kui-ong tertawa berkakakan dengan gembira. Dia mengebut-ngebutkan jubah luarnya yang mewah mengusir asap hitam buatannya. Setelah asap itu membuyar dan pergi, dia melihat Li Hong telentang di atas tanah dengan sepasang mata memandang kepadanya penuh kebencian. Sedikit pun gadis itu tidak memperlihatkan rasa takut walaupun ia sudah tidak dapat membela dirinya lagi.
"Hak-hak-hak-hak!" Cui-beng Kui-ong memegang tongkat hitamnya dengan tangan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. Dia tertawa-tawa sambil menghampiri Li Hong.
"Aku tidak akan membunuhmu, Tan Li Hong! Aku hanya akan membuntungi lengan kananmu dan kaki kirimu sehingga engkau akan dapat berloncatan pulang ke Pulau Ular. Heh-heh-heh, ingin aku melihat bagaimana muka Ban-tok Kui-bo kalau melihat muridnya!"
Li Hong maklum bahwa kakek iblis ini bukan sekedar mengancam. Iblis tua itu pasti dapat melakukan apa saja dan ia berada dalam ancaman yang amat gawat. Ia tidak takut mati akan tetapi ia merasa ngeri juga membayangkan dirinya hidup dengan kaki kiri dan lengan kanan buntung! Akan tetapi karena ia tidak dapat mengerahkan tenaga saktinya dan kaki tangannya tidak dapat digerakkan, Li Hong hanya mampu memandang marah ketika kakek itu menggerakkan tongkatnya ke atas.
Ia tahu bahwa walaupun kakek itu hanya memegang senjata tongkat, namun dengan kepandaiannya yang tinggi dia tentu dapat menggunakan tongkat itu untuk membuntungi kaki dan tangannya seperti ancamannya tadi. Li Hong tidak memejamkan mata melainkan memandang dengan mata terbuka lebar. Ia sanggup menghadapi kematian dengar mata terbuka!
Akan tetapi pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Li Hong itu, mendadak terdengar jerit melengking.
"Kui-ong tua bangka tolol! Jangan bunuh muridku!"
Bayangan putih berkelebat dan seorang nenek berpakaian mori putih seperti mayat hidup telah berdiri di dekat Cui-beng Kui-ong dan di tangannya terdapat sebatang tongkat hitam seperti milik Cui-beng Kui-ong. Agaknya ia siap untuk menangkis apabila tongkat Majikan Bukit Sorga itu akan melanjutkan serangannya untuk membuntungi kaki dan lengan Li Hong.
Cui-beng Kui-ong memandang kepada nenek yang seperti mayat hidup itu dan dia terbahak sambil menurunkan tongkatnya.
"Mo-li, kau iblis betina cerewet! Siapa bilang Tan Li Hong ini muridmu, jangan bohong kau!"
"Tua bangka, siapa bohong. Dengar sendiri pengakuan gadis ini." Lalu Song-bun Moli, nenek yang seperti mayat hidup itu, memandang Li Hong dan bertanya.
"Heh, gadis liar setan cilik, engkau menjadi muridku, bukan? Atau, engkau memilih kehilangan tangan kanan dan kaki kiri?"
Tadinya Li Hong tidak sudi mengaku sebagai murid nenek iblis itu. Ia pun tidak peduli kalau kaki tangannya dibuntungi atau dibunuh sekalipun. Akan tetapi sebuah pikiran menyelinap di otaknya yang masih panas. Ia teringat akan sakit hatinya terhadap Ceng Ceng. Belum tentu ia mampu mengalahkan Ceng Ceng yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) istimewa itu, apalagi kalau ia dilindungi Pouw Cun Giok! Akan tetapi, kalau ia dapat memperoleh ilmu dari nenek yang sakti ini, tentu ada harapan baginya untuk mengalahkan Ceng Ceng dan Cun Giok sehingga ia akan dapat membunuh Ceng Ceng yang sudah mengkhianatinya dan sudah merampas Cun Giok! Kalau saja tidak ada pikiran ini, pasti ia tidak sudi mengakui nenek ini sebagai guru dan ia tidak takut mati!
"Baiklah, aku menjadi muridmu!" katanya dengan suara ketus.
"Hi-hi-hi......! Nah, kaudengar sendiri, Kui-ong? Gadis ini muridku, apakah engkau masih ingin membunuhnya? Aku pasti akan membelanya mati-matian!" kata nenek itu.
"Ha-ha-hak, terserah kalau engkau hendak mencari penyakit, Mo-li!" Sambil tertawa terbahak-bahak kakek itu lalu berkelebat pergi menuju puncak bukit.
Nenek itu lalu menghampiri Li Hong yang masih rebah telentang di atas tanah.
"Heh, muridku. Aku lupa lagi, siapa namamu?"
"Namaku Tan Li Hong."
"Bagus, Li Hong, mulai sekarang engkau menjadi murid Song-bun Moli dan kelak engkaulah yang akan mengangkat namaku menjadi semakin besar dan terkenal, he-he-heh. Berjanjilah bahwa engkau akan menjadi muridku yang baik."
Li Hong memang tidak berniat membohongi nenek ini. Ia memang bersungguh-sungguh ingin mempelajari ilmu dari Song-bun Moli untuk memperkuat diri agar ia dapat membalas dendamnya kepada Ceng Ceng. Maka ia pun menjawab dengan tegas.
"Aku berjanji akan menjadi murid Subo Song-bun Moli, murid yang taat dan baik."
"Hi-hi-hik, bagus-bagus. Engkau muridku yang baik!" Nenek itu menggerakkan tongkatnya. Ujung tongkatnya menotok pundak Li Hong dan gadis itu seketika dapat bangkit berdiri lagi dengan pedang masih di tangannya. Song-bun Moli memandang dengan waspada dan siap siaga seandainya gadis liar itu menyerangnya. Akan tetapi Li Hong tidak menyerangnya, bahkan ia lalu menyarungkan kembali Ban-tok-kiam dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. Bagaimanapun juga, ia masih merasa belum dapat melakukan penghormatan yang lajim, yaitu berlutut di depan kaki nenek yang mengerikan itu.
"Subo, (Ibu Guru), teecu (murid) Tan Li Hong siap menerima petunjuk."
"Li Hong, mari kita pulang dulu. Kui-ong sedang menanti kunjungan muridnya dan tamu dari kota raja. Di sana ada pesta, kita jangan ketinggalan!"
"Pulang ke mana, Subo?" Li Hong bertanya.
"Ke mana lagi? Ke puncak, aku tinggal bersama Cui-beng Kui-ong, Suhengku (Kakak Seperguruanku). Hayo, jangan kita terlambat!"
Diam-diam Li Hong terkejut. Kiranya nenek yang lihai ini adalah adik seperguruan Cui-beng Kui-ong yang sakti. Padahal, Kim Bayan menyebut ibu guru kepada nenek ini. Kalau begitu, mereka yang berada di belakang Kim Bayan, yaitu kakek dan nenek ini, adalah dua orang yang amat sakti! Pantas saja Panglima Kim Bayan berani bertindak sewenang-wenang terhadap siapa saja. Kiranya di belakangnya ada dua orang yang dapat dia andalkan!
Mendengar bahwa Cui-beng Kui-ong mengadakan pesta menyambut kedatangan muridnya dan tamu dari kota raja, Li Hong mengerutkan alisnya. Mungkin Panglima Kim Bayan akan muncul dan kalau bertemu dengannya tentu terjadi keributan. Akan tetapi ia tidak takut, apalagi sekarang ia telah diaku sebagai murid Song-bun Moli.
Mereka lalu berlari cepat mendaki bukit menuju puncak. Song-bun Moli merasa girang melihat betapa muridnya itu dapat berlari cepat sekali, bahkan dapat mengimbanginya! Ia pun pernah bertanding dengan Li Hong maka ia tahu bahwa gadis ini setelah menerima pelajaran ilmu-ilmu yang paling diandalkan olehnya, tentu akan menjadi seorang tokoh wanita yang sulit dicari tandingannya di dunia persilatan! Dan ia sebagai gurunya tentu akan merasa bangga sekali!
Ketika mendaki bukit menuju puncak, di sepanjang jalan Li Hong melihat perajurit berpakaian hitam-hitam berdiri berjajar di tepi jalan. Mereka itu berdiri seperti patung, tak bergerak sama sekali. Teringatlah ia akan lima orang mayat hidup yang pernah membantu Song-bun Moli dan Kim Bayan menghadapi ia, Ceng Ceng, dan Cun Giok. Mayat-mayat hidup juga berpakaian hitam-hitam seperti mereka yang melakukan penjagaan di sepanjang jalan menuju puncak itu!
"Subo, apakah mereka itu mayat-mayat hidup seperti yang pernah membantu Subo ketika menghadapi aku?"
"Hi-hik, bukan, Li Hong. Mereka ini sama dengan anak buah yang dulu dibawa Kim Bayan, hanya orang-orang biasa yang sudah dilatih silat. Ketika mayat-mayat itu hidup lagi, itu adalah karena aku menggunakan ilmuku untuk menghidupkan mereka! Engkau akan kuajari ilmu sihir yang menghidupkan anak buah yang sudah mati, heh-heh-heh!"
Li Hong bergidik. Biarpun gurunya seorang yang disebut Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun) sebelum berganti menjadi Ban-tok Niocu dan gurunya itu ahli menggunakan racun yang amat hebat, namun gurunya tidak pernah mempelajari segala macam ilmu setan seperti itu! Menghidupkan kembali orang mati? Hebat sekali, akan tetapi mengerikan karena mayat-mayat hidup itu sudah bukan merupakan manusia biasa, melainkan benda mati yang hidup! Baru setelah ditusuk jantungnya, mayat hidup itu akan tewas. Kalau cuma ada bagian badannya yang buntung, dia akan menyerang terus. Mengerikan! Dan ia akan mempelajari ilmu setan itu? Ia tidak suka, akan tetapi tentu saja ia diam dan tidak membantah.
Mereka tiba di puncak. Di situ terdapat sebuah gedung mewah dan besar, teratur rapi dan dikelilingi taman bunga yang indah. Di pekarangan depan terdapat sebuah alun-alun yang cukup luas.
Ketika mereka melewati alun-alun itu, Li Hong melihat beberapa orang laki-laki berpakaian serba putih berjalan-jalan di situ. Akan tetapi cara mereka berjalan tidak seperti manusia biasa, melainkan dengan gerakan kaki yang kaku dan kedua lengannya tergantung kaku, tidak ikut bergerak! Ia menghitung, ada sembilan orang seperti itu. Rata-rata mereka bertubuh tinggi besar dan ketika ia melewat dekat, ia melihat betapa muka mereka itu pucat sekali dan mata mereka memandang kosong ke depan, tak pernah melirik, apalagi berkedip!
"Subo, siapakah mereka itu?" ia tak dapat menahan keinginan-tahunya.
Song-bun Moli menyeringai.
"Jangan pandang rendah mereka, Li Hong! Aku sendiri pun gentar kalau membayangkan ketangguhan mereka. Mereka itu adalah Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Berjalan) yang merupakan Kiu-kwi-tin (Barisan Sembilan Iblis) yang diciptakan oleh Suheng Cui-beng Kui-ong. Mereka itu selain diisi tenaga mujijat oleh Kui-ong, juga diisi ilmu silat yang tinggi sehingga mereka menjadi barisan yang luar biasa tangguhnya."
Li Hong bergidik. Ia merasa masuk ke sarang Raja Setan yang amat berbahaya. ia memang dapat menimba ilmu-ilmu yang lihai di sini, akan tetapi apakah ia juga harus menjadi anggauta keluarga setan? Hatinya menolak, akan tetapi ia diam saja.
Dari pintu depan muncul kakek berpakaian mewah tadi. Cui-beng Kui-ong melangkah Keluar bersama seorang berpakaian panglima Kerajaan Mongol. Hati Li Hong berdebar tegang karena ia mengenal Kim Bayan, bekas musuhnya. Selain dua orang ini, terdapat pula seorang pemuda tampan gagah yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian mewah seperti seorang Kongcu (Tuan Muda) bangsawan. Pemuda itu bukan lain adalah Kong Sek.
Seperti kita ketahui, Kong Sek adalah putera mendiang Panglima Kong Tek Kok. Setelah dia gagal membunuh Pouw Cun Giok untuk membalas dendam kematian ayahnya dan musuh besarnya itu bahkan dibela Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, sumoi (adik seperguruan) yang juga menjadi tunangannya, Kong Sek merasa sedih dan juga marah sekali. Dia merasa sedih melihat betapa Ai Yin yang dicintanya itu malah menentangnya dan membela musuh besarnya, dan dia juga marah karena gagal membunuh Pouw Cun Giok. Maka dia lalu menghadap Bu-tek Sin-liong Cu Liong, gurunya dan juga ayah kandung Ai Yin dan mengadu kepada datuk besar itu.
Akan tetapi Bu-tek Sin-liong Cu Liong adalah seorang datuk besar yang keras dan aneh, akan tetapi juga gagah perkasa dan menghargai keadilan. Dia menyambut dingin saja ketika Kong Sek mengadu tentang Ai Yin dan mengatakan bahwa menjadi hak Ai Yin untuk menentukan jodohnya dan dia tidak mau mencampuri urusan permusuhan antara Kong Sek dan Pouw Cun Giok.
Melihat gurunya tidak mendukungnya, Kong Sek lalu menghubungi Panglima Kim Bayan yang dulu menjadi pembantu ayahnya. Dia menceritakan segala tentang Pouw Cun Giok yang berjuluk Pendekar Tanpa Bayangan dan minta bantuan panglima itu untuk menangkap atau membunuh musuh besarnya itu. Ketika mendengar bahwa Kim Bayan sedang berusaha mencari peta harta karun, dia pun menyatakan siap membantu panglima itu.
Bahkan Kong Sek juga minta agar Kim Bayan membawanya kepada Cui-beng Kui-ong agar dia dapat mempelajari ilmu-ilmu kakek sakti guru Kim Bayan, maka pada hari itu dia bersama Kim Bayan berkunjung ke Bukit Sorga. Karena Kong Sek putera Panglima Kong Tek Kok yang terkenal, juga karena pemuda itu membawa hadiah yang amat berharga, Cui-beng Kui-ong menerimanya, sehingga Kong Sek merasa gembira sekali.
Ketika Song-bun Moli muncul bersama seorang gadis yang amat cantik dan sikapnya gagah, Kong Sek memandang dengan heran akan tetapi juga tertarik sekali. Di gedung milik Cui-beng Kui-ong memang terdapat belasan orang wanita muda yang cantik, yang menjadi selir-selir merangkap pelayan kakek itu, akan tetapi Kong Sek tidak merasa tertarik. Maka, kini melihat seorang gadis cantik di situ, dia merasa heran akan tetapi diam-diam juga girang.
Sebaliknya melihat gadis itu, Cui-beng Kui-ong mengerutkan alisnya. Gadis itu telah berani menghinanya dan dia diam-diam merasa iri kepada Song-bun Moli yang mendapatkan seorang murid yang demikian baiknya. Dia sendiri hanya mempunyai seorang murid, yaitu Panglima Kim Bayan dan dia belum merasa puas memiliki murid yang seorang ini karena dia menganggapnya masih kurang berbakat. Karena itu pula dia mau menerima Kong Sek sebagai murid dan mengharapkan pemuda itu yang kelak akan mengangkat namanya.
Yang terkejut sekali adalah Kim Bayan. Panglima ini terkejut karena dia mengenal wajah Li Hong, yang pernah dua kali dijumpainya sebagai lawan membantu Ceng Ceng. Akan tetapi ketika itu Li Hong berpakaian sebagai seorang pemuda. Dia ingat betul wajah Li Hong, akan tetapi karena Li Hong kini berpakaian wanita, dia menjadi ragu.
Sebaliknya, ketika Li Hong melihat Kim Bayan berada di situ dan panglima itu memandangnya dengan mata melotot penuh selidik, ia tidak dapat menahan kemarahannya.
"Mau apa engkau melotot memandangku? Apa ingin melanjutkan perkelahian antara kita tempo hari?" katanya dengan ketus.
Kini Panglima Kim Bayan tidak ragu-ragu lagi. Inilah pemuda yang pernah melawan dia dan membantu Ceng Ceng sehingga dia gagal menangkap Ceng Ceng yang dia yakin tentu mempunyai peta harta karun itu. Dia mencabut goloknya dan siap untuk menyerang gadis itu.
"Inilah orangnya yang menggagalkan aku menangkap gadis puteri bekas Panglima Liu Bok Eng itu!" serunya sambil melangkah maju.
"Kim Bayan, jangan lancang engkau! Gadis ini adalah muridku, berani engkau hendak menyerangnya?" Song-bun Moli berkata dengan sikap marah.
Mendengar ini, Panglima Kim Bayan terbelalak heran.
"Murid Subo.......?"
Cui-beng Kui-ong terbahak.
"Hak-hak, Tan Li Hong ini memang menjadi murid Song-bun Moli. Jangan ganggu ia, Kim Bayan. Ia bahkan dapat membantu kita!" Lalu kakek itu menghadapi Li Hong dan berkata sambil menyeringai lebar.
"He, bocah liar. Kenalkan, ini juga muridku yang baru, namanya Kong Sek!"
Akan tetapi Li Hong hanya memandang kepada Kong Sek tanpa memberi hormat. Sebaliknya Kong Sek sambil tersenyum mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata lembut.
"Nona Tan Li Hong, aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu."
"Mari, kita duduk dan menikmati hidangan, baru kita bercakap-cakap!" kata Cui-beng Kui-ong dan dia memberi isyarat kepada para pelayan.
Mereka duduk mengitari sebuah meja bundar dan para pelayan lalu datang menghidangkan bemacam-macam sayuran dan minuman anggur. Makanan yang dihidangkan itu serba mewah, juga disediakan anggur manis selain arak yang harum dan keras. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil hidup di Pulau Ular, makanan mewah dan makan bersama orang-orang lain merupakan hal biasa bagi Li Hong, maka ia pun makan dengan lahapnya karena memang perutnya sudah terasa lapar sekali.
Baru saja mereka selesai makan dan duduk di ruangan depan, Song-bun Moli yang sudah mendengar dari Kim Bayan tentang peta harta karun yang menurut dugaan dibawa Ceng Ceng, bahkan ia pun sudah membantu Kim Bayan untuk mendapatkan peta itu dari puteri mendiang Liu Bok Eng, segera bertanya kepada muridnya.
"Li Hong, muridku yang manis. Katakan kepada kami apakah gadis puteri mendiang Liu Bok Eng yang bernama Liu Ceng Ceng dan berjuluk Pek-eng Sianli itu mempunyai sebuah peta tentang harta karun yang dulu disembunyikan oleh mendiang Bong Thaikam kemudian terjatuh ke tangan mendiang bekas Panglima Liu Bok Eng ayah gadis itu?"
Li Hong menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu, Subo."
"Tan Li Hong, jangan berbohong engkau!" Panglima Kim Bayan membentak.
"Sudah jelas engkau membela Liu Ceng Ceng dan engkau masih dapat berbohong bahwa engkau tidak tahu akan hal itu?"
Li Hong mengangkat muka dan memandang dengan sinar mata galak.
"Kalau aku tidak tahu, engkau mau apa?"
Lalu timbul lagi kemarahannya kepada Ceng Ceng. Bagaimanapun bencinya kepada Ceng Ceng, bukan watak Li Hong untuk menjadi pengkhianat dan membuka rahasia tentang peta itu yang sudah ia janjikan untuk ia ketahui sendiri besama Ceng Ceng dan Cun Giok. Justeru kesetiaannya memegang janji ini membuat ia semakin marah kepada Ceng Ceng! Ia lalu membentak.
"Persetan dengan Liu Ceng Ceng! Biar ia mampus, aku tidak peduli!"
Kim Bayan saling berpandangan dengan Cui-beng dan Song-bun Moli. Agaknya mereka senang mendengar ucapan terakhir Li Hong.
"Li Hong muridku! Apakah engkau ingin melihat Ceng Ceng mati?"
"Aku akan senang kalau dapat membunuhnya!" kata Li Hong.
"Hemm, engkau memiliki ilmu yang cukup tinggi. Mengapa engkau tidak membunuhnya, bahkan membantunya? Jangan bohong! Engkau membantu Ceng Ceng mati-matian, kenapa sekarang mendadak berubah pikiran dan ingin membunuhnya?" tanya Cui-beng Kui-ong.
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Li Hong cemberut karena teringat kepada Cun Giok yang selalu membela Ceng Ceng.
"Ia mengkhianatiku! Ia harus mati di tanganku!" katanya seperti sedang bermimpi.
"Hi-hik, muridku. Apa sih sukarnya membunuhnya? Kulihat ilmu kepandaianmu sudah cukup tinggi untuk dapat membunuhnya," kata Song-bun Moli.
"Aku tidak takut kepada Ceng Ceng! Akan tetapi Pouw Cun Giok itu selalu membelanya dan terus terang saja aku tidak mungkin dapat mengalahkan Pouw Cun Giok, apalagi mereka berdua!" kata pula Li Hong dengan suara gemas dan marah.
"Ah, Pouw Cun Giok Si Pendekar Tanpa Bayangan? Nona, biarkan aku membantumu! Aku harus bunuh si jahanam Pouw Cun Giok itu!" kata Kong Sek sambil bangkit berdiri dan mengepal tinjunya dengan muka berubah kemerahan dan matanya bersinar penuh kemarahan.
Akan tetapi, betapa heran dan kaget hati Kong Sek ketika tiba-tiba Li Hong juga bangkit dan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah mukanya.
"Engkau hendak membunuh Pouw Cun Giok? Aku akan lebih dulu membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Li Hong mencabut pedang hitamnya.
Cui-beng Kui-ong berkata tanpa mengeluarkan suara tawanya yang terbahak. Suaranya terdengar marah.
"Song-bun Moli, murid macam apakah yang engkau pilih ini? Sebentar ia berpihak kepada kita, di lain saat ia membela pihak musuh dan menentang kita!"
Song-bun Moli menghadapi murid barunya.
"Hei, Li Hong. Apa maksud sikapmu ini? Engkau membenci dan hendak membunuh Ceng Ceng, akan tetapi engkau marah dan membela Cun Giok mati-matian! Bagaimana sesungguhnya isi hatimu? Engkau memihak kami atau memihak musuh?"
"Subo, aku harus membunuh Ceng Ceng karena ia telah merebut Pouw Cun Giok dariku!"
Mendengar ini, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli tertawa, suara tawa mereka yang aneh itu amat menyeramkan. Suara tawa Cui-beng Kui-ong berkakakan seperti suara burung gagak atau kabarnya ular yang besar suka mengeluarkan suara seperti itu. Adapun suara tawa Song-bun Moli seperti orang tertawa setengah menangis. Li Hong yang pemberani itu merasa ngeri juga mendengarnya. Memang kelemahan Li Hong adalah kalau menghadapi sebangsa setan, iblis atau siluman yang serba menyeramkan!
"Hak-hak-hak, kiranya muridmu sedang tenggelam ke dalam lautan asmara, Mo-li! Hak-hak-hak!"
"Li Hong, jadi engkau mencinta Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng itu merampasnya darimu? Aduh kasihan muridku sayang. Jangan khawatir, Ceng Ceng pasti akan mampus di tanganmu dan Pouw Cun Giok pasti akan kembali ke pelukanmu! He-he-heh-hi-hi-hik!"
Li Hong diam saja. Bagaimanapun juga, persekutuan dengan kakek dan nenek ini sebetulnya membuat hatinya tidak nyaman. Akan tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Kalau tadi ia tidak menyerah, ia pasti sudah mati dan ia tidak ingin mati dulu sebelum dapat membunuh Ceng Ceng dan lebih dari itu, sebelum ia mendapatkan Cun Giok sebagai kekasihnya. Dan kiranya mereka inilah yang akan dapat membantunya sehingga niatnya itu terlaksana.
Kong Sek juga diam saja. Akan tetapi hatinya merasa panas sekali. Pouw Cun Giok adalah musuh besarnya yang telah membunuh ayahnya dan telah membasmi banyak perajurit kerajaan. Dia harus membalas dendam sakit hati ini. Akan tetapi sekarang, Cui-beng Kui-ong yang menjadi guru barunya itu agaknya hendak menyetujui keinginan Li Hong untuk membunuh Ceng Ceng dan menyelamatkan Pouw Cun Giok!
Dia harus menghalangi tindakan ini. Dia harus membunuh Pouw Cun Giok! Kalau perlu dia akan mengerahkan pasukan kerajaan yang besar jumlahnya. Akan tetapi sementara ini, dia akan diam saja, karena dia merasa yakin bahwa Cui-beng Kui-ong dan Panglima Kim Bayan tentu akan mendukungnya. Kalau mereka berdua mendukung, dia tidak takut lagi akan dukungan Song-bun Moli terhadap Li Hong!
Sementara itu, Panglima Kim Bayan juga tidak peduli akan urusan Li Hong yang hendak membunuh Ceng Ceng dan merampas kembali Pouw Cun Giok dari tangan Ceng Ceng. Yang penting baginya hanyalah peta harta karun. Dia harus mendapatkan peta itu! Lalu dia teringat ketika untuk pertama kali dia dapat menangkap Ceng Ceng. Dia tahu bahwa Ceng Ceng memiliki gin-kang yang amat hebat akan tetapi dia pun tahu akan kelemahan gadis itu. Maka dia lalu berkata dengan tegas.
"Tidak dapat disangkal bahwa Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok memiliki kepandaian yang lihai, akan tetapi aku tahu bagaimana kita dapat mengalahkan mereka. Yang terpenting sekarang kita perlu mengetahui lebih dulu di mana mereka berada dan hal ini tentu diketahui oleh Nona Tan Li Hong. Nona, setelah engkau menjadi murid Subo Song-bun Moli, berarti engkau menjadi warga dan segolongan dengan. kami. Maka sudah selayaknya engkau membantu kami dan menceritakan di mana kita dapat bertemu dengan Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok."
Li Hong merasa ragu-ragu. Ia memang membenci Ceng Ceng dan ingin membunuhnya, akan tetapi ia sama sekali tidak ingin menjadi pengkhianat, tidak mau menceritakan bahwa tadinya mereka bertiga bermaksud mencari harta karun yang menurut perhitungan banyak kemungkinannya terdapat di bukit itu. Maka ia menjawab perkataan Panglima Kim Bayan tadi dengan gelengan kepalanya dan berkata.
"Memang tadinya aku bersama mereka, akan tetapi kami lalu berpisah dan aku tidak tahu mereka berdua itu berada di mana sekarang."
Pada saat itu, seorang anak buah Bukit Sorga yang berpakaian hitam-hitam datang memasuki ruangan depan di mana mereka sedang berbincang-bincang. Dia membungkuk dengan hormat kepada Cui-beng Kui-ong. Kakek ini membentak anak buahnya.
"Mau apa engkau mengganggu pembicaraan kami di sini?"
Anak buah itu membungkuk lagi dan tampak ketakutan melihat Cui-beng Kui-ong marah.
"Mohon beribu ampun! Hamba hendak melaporkan bahwa saat ini ada seorang pemuda dan seorang gadis mendaki bukit dan sampai di lereng tengah."
"Huh, begitu saja lapor. Lalu apa gunanya kalian melakukan penjagaan? Bunuh saja dua orang muda yang berani memasuki wilayah kita!"
"Ampunkan hamba. Tadi kami belasan orang sudah mencoba untuk menangkap atau membunuh mereka. Akan tetapi pemuda dan gadis itu pandai...... menghilang. Tiba-tiba saja mereka menghilang dan tahu-tahu kami semua terkena tamparan sehingga berulang-ulang kami roboh. Akhirnya kami tidak kuat melawan dan mundur, lalu hamba yang bertugas menyampaikan laporan kepada Paduka."
"Tidak salah lagi!" Panglima Kim Bayan berseru.
"Mereka tentu Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok. Memang mereka berdua gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi sehingga Ceng Ceng dijuluki Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih) dan Cun Giok dijuluki Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan)."
"Benar sekali! Mereka tentu Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok! Bagaimana menurut pendapatmu, Li Hong?" kata Song-bun Moli sambil memandang muridnya.
Tentu saja Li Hong tahu benar bahwa dua orang yang dimaksudkan dalam laporan anak buah itu pasti Ceng Ceng dan Cun Giok. Kalau dua orang itu kini ketahuan keberadaan mereka di Bukit Sorga, hal ini bukan karena ia yang memberitahu. Ia menjawab sambil lalu.
"Mungkin saja, Subo."
"Bagus! kalau begitu, mari kita tangkap mereka!" kata Cui-beng Kui-ong dengan girang.
Akan tetapi Kim Bayan segera berkata.
"Suhu dan Subo, harap jangan tergesa-gesa. Tentu saja kalau kita maju bersama, kita akan mampu mengalahkan mereka berdua. Akan tetapi harap diingat bahwa kita ingin menangkap mereka hidup-hidup. Dan mengingat kelihaian mereka, saya suka menangkap mereka hidup-hidup. Mereka tentu akan melawan sampai mati dan kalau hal ini terjadi lalu apa untungnya bagi kita? Saya mempunyai siasat yang jauh lebih baik sehingga kita dapat menangkap mereka tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan mengorbankan banyak anak buah."
Kim Bayan bicara lirih mengemukakan siasatnya dan mendengar siasat panglima itu, Cui-beng Kui-ong terbahak dan Song-bun Moli terkekeh. Keduanya merasa setuju dan girang sekali, memuji-muji kecerdikan Kim Bayan. Akan tetapi Kong Sek dan Li Hong mengerutkan alisnya.
Mereka merasa kecewa mendengar bahwa dua orang muda itu akan ditangkap hidup-hidup. Padahal Li Hong menghendaki matinya Ceng Ceng dan Kong Sek ingin melihat Cun Giok dibunuh untuk membalas dendam kematian ayahnya! Akan tetapi mereka tidak berani membantah, apalagi mereka masih mempunyai banyak kesempatan untuk membunuh orang-orang yang mereka benci itu.
Setelah Panglima Kim Bayan mengemukakan siasatnya, mereka lalu meninggalkan gedung untuk melaksanakan apa yang telah diatur oleh Kim Bayan tadi.
Matahari telah naik tinggi. Tengah hari baru saja lewat. Cun Giok dan Ceng Ceng yang melangkah perlahan-lahan karena selain harus waspada terhadap kemungkinan adanya jebakan-jebakan, juga mereka meneliti setiap bukit yang mereka lalui, mencari-cari guha yang dimaksudkan dalam peta.
Setelah lama mereka mencari dan belum juga menemukan guha yang mereka cari, mereka berhenti sejenak sambil mengaso di bawah sebatang pohon yang rindang. Cun Giok mengusap keringat dari muka dan lehernya, memandang kepada Ceng Ceng yang duduk tak jauh di depannya. Juga gadis itu mengusap keringat dengan sehelai saputangan.
"Ceng-moi, mengapa engkau bersusah payah mencari harta karun itu? Engkau dan aku juga sama sekali tidak membutuhkan harta karun dan kalau pencarian ini terlalu membahayakan dirimu, untuk apa engkau memaksakan diri? Apakah tidak lebih baik hentikan usaha pencarian harta karun itu dan kita kembali turun bukit?"
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Giok-ko. Engkau sendiri pernah mengatakan bahwa sebelum aku menyerahkan peta ini kepada para pejuang bangsa, sebaiknya kalau kita teliti dan buktikan dulu. Kalau kuberikan sekarang kepada para pejuang kemudian setelah mereka cari ternyata harta karun itu tidak ada, tentu aku dan terutama ayahku akan dianggap sebagai pembohong. Memang banyak resikonya dan berbahaya, Giok-ko. Akan tetapi demi menaati pesan terakhir ayah, aku siap untuk berkorban nyawa, kalau perlu. Akan tetapi engkau tidak ada sangkut pautnya dengan tugas ini, maka kalau engkau hendak pergi, silakan Giok-ko!"
"Ah, bukan begitu maksudku, Ceng-moi. Aku tadi hanya mengkhawatirkan keselamatan dirimu. Maafkan ucapanku tadi. Jangan katakan bahwa aku tidak ada sangkut pautnya dengan pencarian harta karun itu, Ceng-moi. Mendiang ayahmu adalah sahabat keluarga kakek dan ayahku dan setiap orang gagah wajib menentang kekuasaan penjajah. Karena itu, kalau engkau siap berkorban nyawa untuk melaksanakan tugas itu, demikian pula aku. Aku akan menemanimu sampai engkau dapat menemukan harta karun itu!"
Ceng Ceng tersenyum dan berkata lembut, dengan pandang mata penuh kasih.
"Terima kasih, Giok-ko!"
Tiba-tiba Cun Giok menyentuh lengan Ceng Ceng dan berbisik.
"Awas, Ceng-moi, ada orang datang!"
Pada saat itu memang ada tiupan angin yang tiba-tiba datangnya dan bagi kedua orang muda ahli silat itu sudah jelas bahwa ini bukan angin alami, melainkan angin buatan orang yang memiliki kesaktian.
Terdengar suara tawa yang menyeramkan. Cun Giok dan Ceng Ceng cepat memutar tubuh menghadap ke arah datangnya suara itu. Tampak asap putih mengebul tebal dan ketika asap itu perlahan-lahan pergi terbawa angin, muncullah dua orang dari dalam kepulan asap itu. Seorang kakek dan seorang nenek yang menyeramkan.
Kakek Cui-beng Kui-ong yang bertubuh bongkok, mukanya keriputan dan usianya sudah tujuhpuluh tahun, mengenakan pakaian mewah yang membuat dia tampak semakin aneh, lucu, dan menyeramkan. Di sampingnya berdiri nenek Song-bun Moli, berusia enampuluh tahun, kurus dan juga bongkok, pakaiannya mori putih, mukanya pucat seperti mayat. Melihat sepasang kakek nenek yang menyeramkan ini, Cun Giok dan Ceng Ceng siap siaga karena mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan dua orang yang amat lihai dan berbahaya.
"Hak-hak-hak-hak! Dua orang bocah berani sekali memasuki daerah kekuasaanku tanpa ijin! Kalian agaknya sudah bosan hidup!" Cui-beng Kui-ong mengangkat tangan kiri ke atas dan terdengar gerakan banyak orang, lalu muncul sekitar tigapuluh orang berpakaian hitam-hitam mengepung tempat itu.
Keadaan dua orang muda itu sungguh terancam dan gawat. Baru menghadapi kakek dan nenek itu saja sudah merupakan tugas amat berat dan mereka tidak dapat merasa yakin akan mampu mengalahkannya, kini muncul sekitar tigapuluh orang berpakaian hitam yang siap mengeroyok dengan golok mereka! Dan dua orang muda itu berada di tempat yang asing bagi mereka, tempat tinggal pihak lawan!
Akan tetapi Ceng Ceng dan Cun Giok sama sekali tidak merasa takut. Ceng Ceng sudah memegang sebatang tongkat ranting pohon, sedangkan Cun Giok siap untuk mencabut Kim-kong-kiam.
"Hak-hak-hak! Kalian yang bernama Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng? Orang-orang muda yang nekat dan bosan hidup. Kalian berdua lebih baik menyerah saja daripada kami harus menggunakan kekerasan. Kalian melawan pun tidak ada gunanya!" kata Ciu-beng Kui-ong.
"Hik-hik-hik!" Song-bun Moli terkekeh.
"Sayang kalau orang-orang muda seperti kalian mati konyol di sini. Liu Ceng Ceng, engkau tentu tahu apa yang kami cari! Serahkan peta harta karun Thaikam Bong itu kepada kami dan kami tidak akan membunuh kalian!"
Pada saat itu, Ceng Ceng dan Cun Giok teringat bahwa peta itu masih disimpan dalam baju Ceng Ceng. Rencana mereka untuk menyembunyikan peta itu ketika mereka hendak mendaki bukit tidak jadi dilaksanakan karena kemarahan Li Hong yang lari meninggalkan mereka kemudian kembali dan menyerang Ceng Ceng.
Peta itu kini berada dalam saku di balik baju Ceng Ceng, Cun Giok mengenal benar watak Ceng Ceng yang sudah mengatakan bahwa ia akan melaksanakan pesan ayahnya dengan taruhan nyawa. Benar saja, ketika mendengar ucapan Song-bun Moli dan Cui-beng Kui-ong tadi, Ceng Ceng menjawab dengan tegas.
"Aku tidak akan menyerah dan tidak dapat memberikan peta itu kepada kalian."
"Hak-hak-hak! Engkau rela mati dan tidak mau menyerahkan peta itu kepada kami?" Cui-beng Kui-ong membentak dan memberi isyarat dengan tangannya. Tigapuluh orang anak buah berpakaian hitam itu kini mempersempit lingkaran dan agaknya mereka sudah siap untuk mengeroyok.
"Terserah, aku hanya menipertahankan benda yang bukan menjadi hak milik kalian," kata pula Ceng Ceng.
"Hi-hi-hik! Engkau hendak memiliki sendiri harta karun itu, bukan? Serahkan saja kepada kami, kita bekerja sama dan nanti setelah harta itu ditemukan, engkau akan mendapatkan bagianmu." Nenek Song-bun Moli membujuk.
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.
"Aku juga tidak berhak memiliki harta itu."
"Lalu siapa yang berhak?" Cui-beng Kui-ong bertanya penasaran sehingga dia lupa tertawa.
"Harta karun itu milik Kerajaan Sung. Karena kerajaan itu sudah jatuh, maka harta itu yang berhak memiliki adalah rakyat!"
Cui-beng Kui-ong marah dan dia memberi isyarat lagi. Kini tigapuluh orang lebih anak buahnya yang berpakaian hitam itu mulai bergerak maju. Ceng Ceng melintangkan tongkatnya di depan dada sedangkan Cun Giok sudah mencabut Kim-kong-kiam. Mereka siap membela diri.
Begitu para pengepung itu menerjang maju, Ceng Ceng dan Cun Giok bergerak cepat seolah tubuh mereka menghilang dan terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya delapan orang anak buah Bukit Sorga! Dalam segebrakan saja dua orang muda perkasa itu telah mampu merobohkan delapan orang!
"Tahan! Semua mundur!!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Liu Ceng Ceng, lihat siapa yang menjadi tawanan kami!"
Ceng Ceng dan Cun Giok memandang dan ternyata yang membentak dan menyuruh semua pengeroyok mundur itu adalah Panglima Kim Bayan. Yang membuat wajah Ceng Ceng dan Cun Giok terkejut adalah ketika mereka melihat Kim Bayan menempelkan golok besarnya yang berkilauan itu pada leher seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Li Hong!
"Li Hong......!" Mereka berseru dengan mata terbelalak. Li Hong yang ditawan dan ditempeli golok lehernya itu menjadi tawanan dengan kedua tangan diikat ke belakang. Akan tetapi gadis yang tertawan itu memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata berapi penuh kebencian!
"Liu Ceng Ceng, sekarang pilih. Kau serahkan peta itu kepada kami atau harus kami sembelih dulu gadis ini, baru kami akan membunuh kalian?"
Li Hong sama sekali tidak tampak takut dengan ancaman itu dan ia masih memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh kebencian. Ancaman Kim Bayan itu hanya merupakan siasat yang sudah diatur lebih dulu. Kim Bayan minta ia berpura-pura menjadi tawanan dan menurut panglima itu, dengan siasat ini, pasti Ceng Ceng akan menyerahkan peta itu dengan suka rela.
Ia sudah membantah pendapat ini karena ia tahu bahwa tidak mungkin sama sekali Ceng Ceng mau menyerahkan peta hanya untuk menolongnya. Ia pernah membunuh paman guru Ceng Ceng, bahkan baru saja ia menyerang untuk membunuh Ceng Ceng dan telah melukainya dengan jarum Hek-tok-ciam. Mana mungkin Ceng Ceng mau menukarkan peta yang amat penting baginya itu dengan nyawanya?
Akan tetapi Kim Bayan didukung Song-bun Moli mengatakan bahwa kalau siasat ini tidak berhasil, baru akan dilakukan kekerasan terhadap Ceng Ceng dan Cun Giok. Mungkin saja Ceng Ceng menyembunyikan peta itu di suatu tempat, demikian kata Kim Bayan. Dan kalau demikian halnya, percuma saja membunuh Ceng Ceng karena peta tidak akan dapat mereka temukan. Li Hong menganggap alasan ini mungkin terjadi, apa lagi ia sudah mendengar rencana Ceng Ceng untuk menyembunyikan peta itu, maka ia pun menyetujui berpura-pura menjadi tawanan dan kedua tangannya diikat ke belakang.
Akan tetapi Li Hong melihat peristiwa yang sama sekali tidak disangkanya. Mendengar ancaman K im Bayan untuk membunuhnya kalau Ceng Ceng tidak menyerahkan peta itu, tanpa ragu Ceng Ceng berkata.
"Panglima Kim Bayan, berjanjilah dulu sebagai seorang panglima bahwa engkau tidak aknn membunuh Li Hong, baru peta akan kuserahkan padamu."
"Ceng-moi......!" Cun Giok berseru kaget.
Sikap kedua orang ini seketika membuat Li Hong merasa seolah semua tenaga dalam badannya melayang dan ia menjadi lemas. Ceng Ceng mau menyerahkan peta demi menyelamatkannya, setelah apa yang ia lakukan terhadap gadis itu! Padahal Ceng Ceng tahu betul bahwa ia akan membunuhnya, akan tetapi tetap saja Ceng Ceng berusaha menyelamatkannya! Dan ia pun teringat ketika ia menyerang Ceng Ceng di kaki bukit, gadis itu sama sekali tidak mau mengelak, menangkis atau melawan.
Dan hal kedua yang membuat hatinya seperti disayat adalah melihat sikap Cun Giok. Pemuda itu terkejut dan agaknya mencela sikap Ceng Ceng yang hendak menukarkan peta dengan nyawanya. Ini berarti bahwa pemuda itu tidak cinta padanya. Dugaannya selama ini ternyata keliru. Cun Giok memang tampak suka, ramah dan baik terhadap ia sebagai seorang pria, dan tidak mencinta ia sebagai seorang wanita!
Ingin rasanya Li Hong menangis dan dorongan ini ditahan-tahannya, namun tetap saja kedua matanya mengalirkan butiran-butiran air mata. Melihat Li Hong menangis tanpa suara, Kim Bayan merasa girang sekali dan kagum. Disangkanya gadis yang kini menjadi murid Song-bun Moli itu bersandiwara agar siasat itu berjalan dengan baik dan berhasil.
"Berjanji? Ha-ha-ha, aku sudah bersumpah bahwa aku tidak akan membunuh Nona Tan Li Hong kalau engkau mau menyerahkan peta itu kepada kami!"
"Akan tetapi engkau harus berjanji bahwa kalau peta diserahkan, engkau tidak akan membunuh Nona Liu Ceng Ceng!" kata Cun Giok cepat-cepat.
Naga Sakti Sungai Kuning Eps 15 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 26 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 2