Pendekar Tanpa Bayangan 3
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Kemudian, setelah tiba saat yang telah dijanjikan itu, Suma Tiang Bun mengajak Cun Giok pergi untuk mulai menyelidiki siapa ayah kandung pemuda itu. Dalam perjalanan inilah mereka melihat peristiwa yang menimpa keluarga Siok sehingga guru dan murid itu selain membasmi kejahatan Bhong-kongcu dan kaki tangannya, juga menyelamatkan Siok Kan dan puterinya.
Ketika Siok Kan mengusulkan perjodohan, Suma Tiang Bun menyetujuinya. Hal ini bukan hanya karena dalam penilaiannya, Siok Eng cukup cantik jelita dan baik budi pekertinya, melainkan juga dia dapat menduga bahwa anak angkatnya itu agaknya tertarik kepada Siok Eng. Selain itu, dia ingin agar anak angkatnya itu tidak mudah terpikat oleh kecantikan wanita lain dan selalu ingat bahwa dia telah bertunangan dan kelak harus kembali ke Shan-tung menjemput calon isterinya. Kakek ini khawatir kalau anak angkat atau murid yang amat dikasihinya itu kelak akan menjadi seperti ia, membujang seumur hidup! Pula, dia diam-diam berharap untuk mendapat kesempatan menimang seorang cucu!
Sejak jaman dahulu, biarpun kerajaan demi kerajaan jatuh bangun dan berganti-ganti, sebuah hal yang agaknya sudah membudaya dan yang mencemaskan rakyat, selalu terjadi dan terulang. Setelah balatentara Mongol menduduki Tiongkok, hal ini bahkan makin sering terjadi. Peristiwa yang selalu mencemaskan hati rakyat itu adalah pengumpulan dan pemilihan Siu-li (Gadis Cantik) untuk dijadikan pelayan atau dayang istana yang sesungguhnya tiada lain adalah menjadi pengisi harem istana kaisar atau para pangeran.
Pasukan pengawal istana yang dipimpin seorang perwira tinggi ditugaskan untuk mengumpulkan Siu-li. Mereka mencari gadis-gadis cantik di kota dan dusun. Masih baik nasib gadis puteri orang kaya yang dapat menyelamatkan gadisnya dengan cara menyogok komandan pasukan. Mereka yang tidak mampu menyogok, terutama gadis-gadis dusun, sama sekali tidak berdaya. Mereka akan dibawa oleh pasukan itu entah ke mana! Alasannya memang gadis itu dibutuhkan oleh Istana Kaisar, akan tetapi kenyataannya, banyak yang tidak sampai ke istana kaisar, melainkan "dijual" kepada para bangsawan, pangeran, atau hartawan yang mampu membelinya dengan harga tinggi!
Pasukan istana yang menerima tugas mengumpulkan Siu-li tentu saja tidak jalan sendiri mencari ke mana-mana. Bagi mereka mudah saja. Komandan pasukan, seorang perwira tinggi tinggal menghubungi para kepala daerah dan memesan kepada mereka. Di kota A memesan sepuluh orang gadis cantik, di kota B sepuluh orang pula, demikian seterusnya di kota-kota dan dusun-dusun lainnya, seperti orang memesan domba-domba gemuk saja!
Dan bagaimana cara kerja para pembesar setempat yang menerima pesanan itu? Tentu saja mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang amat baik ini, kesempatan untuk menambah simpanan selir muda yang cantik dan menambah isi peti uang mereka. Mereka ini memeras uang, merampas gadis orang, semua dilakukan dengan dalih yang amat kuat, yaitu atas nama kaisar yang ingin mengambil gadis yang terpilih itu sebagai Siu-li!
Tidak dapat disangkal bahwa terdapat banyak di antara gadis-gadis itu maupun orang tua mereka, yang mengajukan diri secara sukarela. Banyak gadis yang bahkan ingin sekali diterima menjadi Siu-li, karena memang harus diakui bahwa kedudukan Siu-li atau dayang istana bukanlah kedudukan yang tidak enak. Kalau awak sedang mujur ada harapan mereka sebagai bunga-bunga yang sedang mekar itu "dipetik" oleh kaisar dan menjadi selir resmi yang tercinta. Atau setidaknya, oleh kaisar mereka akan "dihadiahkan" kepada seorang pembesar yang berjasa dan menjadi selir pembesar itu. Bagi orang tua yang mata duitan tentu saja hal ini pun amat diharapkan dan disukai, karena anaknya mungkin akan menjadi sumber uang dan kehormatan.
Namun, banyak pula gadis yang tidak sudi dan hanya menurut karena dipaksa. Gadis-gadis seperti ini terpaksa ikut dengan hati hancur dan air mata bercucuran di sepanjang perjalanan ketika mereka dibawa oleh pasukan istana. Para ayah memukul-mukul dada sendiri dan para ibu menangis bergulingan seperti anak kecil. Akan tetapi, bagi rakyat jelata di jaman itu, Kaisar adalah Cin Beng Thian-cu (Putera Allah)! Siapa berani menentang kehendaknya?
Peristiwa pengumpulan gadis cantik ini, setelah Tiongkok berada dalam jajahan bangsa Mongol, menjadi semakin hebat. Kalau pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan atau dinasti yang lalu yang memerintahkan pengumpulan Siu-li hanya kaisar saja, sekarang boleh dibilang setiap orang pembesar suka menggunakan wewenang atau kekuasannya untuk memaksa gadis-gadis itu berkumpul dan dibawa ke kota raja untuk mereka berikan sebagai "hadiah" atau semacam sogokan kepada para pembesar yang menjadi atasan mereka, atau kepada kaisar untuk menjilat atau mencari muka!
Pada suatu hari di kota Pao-ting sebelah selatan kota raja, pembesar setempat mencari duapuluh empat orang gadis dengan maksud untuk dipersembahkan kepada kaisar. Pada masa itu, hampir sebagian besar pejabat tinggi adalah orang-orang berwatak rendah yang bisanya hanya melakukan korupsi dan mencekik rakyat dan kepandaiannya hanya dipergunakan untuk menjilat atasan agar pangkatnya dinaikkan. Semua pembesar berebut untuk mendapatkan perhatian kaisar, maka seringkali kaisar menerima persembahan berupa barang-barang kuno yang indah berharga, atau barang-barang hidup, yaitu gadis-gadis cantik jelita untuk dijadikan Siu-li.
Di antara para gadis yang menjadi korban pemilihan kali ini, terdapat seorang gadis dari keluarga Cong yang miskin. Cong Siu Hwa terkenal di kota Pao-ting sebagai seorang gadis yang amat pandai dan cantik jelita. Pandai dalam hal pekerjaan wanita, menyulam dan pekerjaan tangan lainnya, adapun kecantikannya membuat ia dikenal sebagai Bunga kota Pao-ting. Banyak pria, muda maupun tua, tergila-gila kepadanya.
Ayahnya bekerja sebagai seorang pedagang tahu dan sekeluarga Cong ini bekerja giat dalam perusahaan tahu mereka. Tahu buatan keluarga Cong terkenal lezat dan langganannya terdiri dari orang-orang berpangkat. Perusahaan ini membuat kehidupan mereka cukup berada, dan selain itu juga mereka dianggap terlindung karena mempunyai langganan para pembesar di kota Pao-ting.
Hari dan saat penyerahan gadis cantik Cong Siu Hwa telah ditetapkan dan diminta kepada Cong Kai untuk mengantarkan puterinya ke gedung Kui-thaijin (Pembesar Kui). Cong Kai, isterinya, dan Cong Siu Hwa bertangis-tangisan dan sampai tiba saat yang ditentukan, Siu Hwa tidak mau pergi ke gedung Pembesar Kui itu. Juga ayah ibunya tidak rela menyerahkan puteri mereka untuk dijadikan Siu-li.
Ayah, ibu, dan anak ini menanti akibat penolakan mereka itu dengan rasa takut dan penuh kekhawatiran. Sudah tiga hari tiga malam sejak datang perintah untuk mengantarkan Siu Hwa, mereka tidak dapat tidur dan pada hari yang keempat mereka duduk dengan muka pucat dan hati bingung dan gelisah.
Tidak lama kemudian apa yang mereka khawatirkan terjadi. Sepasukan perajurit, dipimpin seorang perwira yang bertubuh gemuk berkumis tebal, dengan garangnya mendatangi rumah keluarga Cong.
"Cong Kai, kami datang untuk mengambil puterimu. Suruh ia cepat berkemas. Kui-thaijin sudah tidak sabar lagi menunggu!" kata perwira itu tanpa memberi salam lagi. Empatbelas orang anak buahnya menjenguk ke dalam rumah dan tersenyum-senyum ceriwis ketika melihat Siu Hwa yang biarpun mukanya pucat dan rambutnya awut-awutan pakaiannya kusut, tetap saja tampak cantik jelita menggairahkan hati mereka.
"Tidak, jangan sekarang! Harap beri waktu satu dua hari lagi," jawab Cong Kai sambil berdiri dan menghadang di depan pintu, membentangkan kedua lengannya. Penolakan Cong Kai ini adalah usaha penolakan orang yang sudah nekad. Dia tidak dapat menemukan jalan untuk keluar dari musibah ini. Sudah lelah dia pergi kepada beberapa orang pembesar langganannya untuk mohon bantuan agar anak perempuannya jangan menjadi korban pemilihan Siu-li. Akan tetapi semua usahanya sia-sia. Tidak ada seorang pun berani menentang Kui-thaijin yang hendak mempersembahkan Siu-li kepada kaisar."
"Ciang-kun (Perwira), ampuni dan kasihanilah kami! Jangan bawa anak kami yang hanya seorang ini......" Nyonya Cong menangis sambil berlutut di depan komandan pasukan yang gemuk berkumis itu. Sedangkan Cong Siu Hwa sendiri menangis terisak-isak dalam rangkulan ibunya.
Akan tetapi Si Gendut berkumis tebal itu menyeringai dan sepasang matanya berkedip-kedip, mulutnya mengejek.
"Huh, kalian ini bagaimana sih? Orang lain menyambut kedatangan kami dengan senyum bahagia dan menghidangkan arak dan makanan untuk menyatakan rasa terima kasih dan kegirangan mereka! Mengapa kalian menyambut kami dengan tangisan seolah-olah anakmu akan dihukum gantung? Menjadi Siu-li adalah hal yang amat baik dan menguntungkan, juga amat membanggakan. Kalau sampai puteri kalian ini menjadi Siu-li di istana, bukankah hal itu merupakan sebuah kehormatan besar sekali bagi kalian? Sudahlah, jangan banyak rewel agar kami tidak menjadi marah. Nona, lekas engkau berkemas, berdandan yang cantik dan keringkan air matamu. Sungguh tidak baik kalau nanti Kui-thaijin melihat engkau habis menangis."
"Tidak, aku tidak sudi menjadi Siu-li, lebih baik aku mati!" gadis itu berseru sambil menangis tersedu-sedu.
Ibunya memeluknya dan berkata di antara isaknya.
"Tidak, Anakku, jangan takut. Aku melarang siapapun juga membawamu pergi."
Cong Kai yang tidak rela kalau puterinya dibawa pergi lalu berdiri menghadang di depan isteri dan anaknya.
Melihat ini, perwira itu mulai marah.
"Kalian jangan main-main! Tidak tahukah engkau, Cong Kai, bahwa orang yang membantah perintah Sribaginda Kaisar berarti dia pemberontak dan akan dihukum mati seluruh keluarganya?"
Mendengar ancaman ini, Cong Kai gemetar ketakutan dan akhirnya dia menjatuhkan diri, menangis seperti isteri dan anaknya.
"Thai-ciangkun (Perwira Tinggi), kasihanilah kami. Kami tidak memberontak, kami hanya mohon dengan segala hormat dan kerendahan hati agar anak kami jangan dibawa pergi. Biarlah saya menebusnya dengan kepala saya, dengan nyawa saya......"
Melihat kekerasan kepala keluarga itu, Sang Perwira kehabisan kesabaran.
"Anjing busuk, menyingkir kau!" Kakinya menendang dan Cong Kai mengaduh kesakitan, tubuhnya terlempar membentur tembok terkena tendangan kaki Sang Perwira. Dia roboh dan tidak dapat bangkit lagi, hanya mencoba untuk merangkak namun dadanya yang tertendang terasa nyeri sekali sehingga dia hanya dapat merintih-rintih.
"Anakku tidak boleh dibawa! Tidak boleh! Kalian orang-orang jahat yang kejam!" Nyonya Cong menjerit-jerit sambil menangis dan merangkul puterinya erat-erat.
Perwira gendut itu melangkah maju dan kaki tangannya sudah merasa gatal-gatal untuk menendang dan memukul wanita itu. Akan tetapi agaknya dia merasa malu sebagai seorang perwira kalau memukul seorang perempuan setengah tua yang lemah, maka dia menoleh dan memberi perintah kepada anak buahnya.
"Lempar anjing betina itu, jangan biarkan ia menggonggong terus!"
Beberapa orang perajurit serentak maju dan mencoba untuk menarik lengan Nyonya Cong. Akan tetapi wanita itu sudah nekat. Betapapun kuatnya perajurit-perajurit itu menarik dan membetot, ia tidak mau melepaskan Siu Hwa yang dipeluknya erat-erat. Ibu dan anaknya itu menangis sambil mengeluh dan menyebut-nyebut nama Thian (Allah).
"Goblok semua, masa melemparkan anjing betina tua ini saja tidak mampu?" Perwira gemuk berkumis tebal itu marah sekali. Dia melompat ke depan lalu menggerakkan tangan menampar.
"Plakk!!" Nyonya Cong menjerit dan tubuhnya terpental saking kuatnya tamparan itu dan rangkulannya pada Siu Hwa terlepas.
Perwira itu tertawa bergelak dan di lain saat dia sudah menyeret Siu Hwa keluar dari rumah itu. Siu Hwa meronta-ronta, menjerit-jerit, namun sia-sia belaka.
"Kalau engkau bukan calon Siu-li, sudah kupukul kau!" Perwira itu mengomel panjang pendek sambil terus menarik gadis itu dengan memegang pergelangan tangannya. Semua orang di sepanjang jalan yang melihat peristiwa ini hanya dapat menghela napas panjang. Siapakah yang berani melawan pasukan pemerintah? Pasti akan dicap pemberontak dan bukan hanya si pelaku, bahkan seluruh keluarganya akan dibasmi habis!
Ketika rombongan pasukan itu tiba di sebuah jalan raya yang ramai, dari tengah-tengah orang banyak melompat keluar seorang gadis yang berpakaian mewah dan sikapnya lincah sekali. Gadis ini masih remaja puteri, usianya paling banyak limabelas tahun. Rambutnya dikepang model puteri-puteri bangsawan, dihias tusuk rambut yang indah sekali terbuat dari emas dan batu kemala berbentuk Burung Hong yang indah. Pakaiannya dari sutera halus, celananya berwarna biru dan bajunya berkembang-kembang merah kuning.
Tidak ada yang tahu dari mana datangnya gadis remaja ini karena yang tampak tadi hanya bayangan berkelebat dan tahu-tahu ia telah berdiri di depan perwira gendut berkumis tebal yang sedang menarik lengan dan menyeret tubuh Siu Hwa.
"Kamu babi gemuk tak tahu malu!" Tiba-tiba gadis itu memaki dan kedua tangannya bergerak cepat.
"Plak-plak-plak-plak!" Kedua pipi perwira itu ditampar bertubi-tubi sehingga mukanya bergoyang ke kanan kiri dan menjadi matang biru! Luar biasa sekali! Kedua tangan yang mungil dan lembut itu dapat bergerak dengan cepat luar biasa dan ternyata mengandung tenaga yang dahsyat!
Untuk beberapa detik sepasang mata perwira itu melotot lebar seolah-olah hendak melompat keluar dari rongga mata saking marah dan herannya.
"Keparat......! Kau setan perempuan......."
"Wuuuttt...... crattt...... aduuuuhhh.......!"
Makian perwira itu disusul oleh jeritnya dan darah mengucur dari bawah hidungnya. Ternyata kumisnya yang tebal itu telah copot disambar secepat kilat oleh lima jari tangan yang mungil dan runcing halus itu!
"Tidak pantas seekor babi gemuk macam engkau berkumis tebal," gadis itu mengejek sambil melempar kumis itu dengan sikap jijik.
"Engkau menghina seorang gadis. Ia tidak mau menjadi Siu-li, mengapa engkau memaksanya? Kaisar tidak pernah menginginkan Siu-li paksaan, kau tahu?"
Perwira itu tampak lucu dan juga patut dikasihani. Lucu karena dia tidak kelihatan garang lagi dan mukanya menjadi lucu dan jelek seperti seekor kucing tak berkumis. Akan tetapi melihat darah menetes-netes dari atas bibirnya membuat orang merasa ngeri dan menaruh iba.
Akan tetapi perwira itu marah sekali. Dia adalah seorang perwira dan biasanya dia amat dihormati dan ditakuti orang, juga ditaati, bukan saja oleh para perajurit bawahannya, melainkan juga oleh rakyat pada umumnya. Kini dia mengalami penghinaan seperti itu, sungguh membuat dia hampir gila saking marahnya. Dia mencabut goloknya dan hendak menyerang gadis remaja yang berdiri di depannya sambil bertolak pinggang menantang dan tersenyum mengejek. Akan tetapi tiba-tiba seorang perajurit melompat ke depan dan membisikkan sesuatu dekat telinga Sang Perwira.
Wajah perwira tanpa kumis itu berubah pucat sekali dan otomatis goloknya kembali ke pinggangnya. Dia tampak lemas dan kedua kakinya gemetar, lalu dia memberi hormat kepada gadis remaja itu sambil membungkuk-bungkuk.
"Mohon maaf sebesarnya karena saya tadi tidak mengenal Siocia (Nona). Akan tetapi...... tentang gadis ini".. saya...... saya hanya menjalankan tugas, saya hanya diperintah oleh Kui-thaijin......."
"Tidak peduli yang memerintahmu pembesar atau setan she Kui, tidak boleh engkau memaksa seorang gadis yang tidak suka menjadi Siu-li! Hayo engkau antarkan kembali Nona ini ke rumahnya dan selanjutnya kalau sampai dia diganggu, pengganggunya akan kubikin pecah kepalanya! Tentang si orang she Kui, biar sekarang juga aku yang akan bereskan!"
Aneh sekali! Perwira itu sambil meringis menahan rasa nyeri dan malu, mengangguk-angguk lalu memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengantarkan kembali Cong Siu Hwa pulang ke rumah orang tuanya. Gadis remaja lincah dan galak itu setelah melihat perintahnya ditaati, tersenyum puas, mengangguk-angguk lalu pergi menuju ke gedung Kui-thaijin.
Tentu saja rakyat yang kebetulan melihat peristiwa itu, menjadi heran dan bertanya-tanya.
"Siapa ia?"
"Hebat betul gadis remaja itu. Siapakah ia?"
"Bagaimana mungkin perwira itu begitu takut kepadanya?"
Bagi semua orang yang melihat peristiwa tadi, memang terasa aneh sekali dan kalau mereka hanya mendengar cerita orang lain, pasti tidak akan percaya. Seorang di antara mereka, yang berpakaian sebagai seorang pedagang keliling dan dia sudah menjelajah banyak tempat sampai ke kota raja, merasa bangga akan pengetahuannya dan dia menceritakan kepada mereka yang bergerombol dan mendengarkan ceritanya.
"Bagaimana perwira itu tidak akan takut? Nona tadi adalah Lu-siocia, puteri tunggal dari Pangeran Lu Kok Kong di kota raja. Pangeran Lu adalah keluarga Sribaginda Kaisar yang dekat dan besar sekali pengaruhnya, bahkan beliau merupakan seorang yang menjadi seorang di antara para penasehat Sribaginda Kaisar! Kukira sekarang Kui-thaijin juga menghadapi perkara yang amat tidak enak baginya. Syukurlah, pada musim pemilihan Siu-li di sini muncul Lu-siocia, benar-benar penduduk Pao-ting bernasib baik, pada waktu susah muncul bintang penolong."
Apa yang diceritakan pedagang itu memang benar. Gadis remaja yang lincah dan cantik jelita itu adalah puteri tunggal Pangeran Lu Kok Kong, seorang keluarga istana yang memiliki kedudukan tinggi di kota raja dan memiliki pengaruh yang besar. Gadis itu merupakan anak tunggal dan tentu saja amat disayang oleh ayahnya.
Lu Kok Kong adalah seorang pangeran yang sejak mudanya terkenal mata keranjang dan sudah puluhan kali berganti selir. Bahkan sekarang juga, selain isteri pertama yang masih keluarga bangsawan besar, dia mempunyai sembilan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik! Mungkin karena sejak mudanya dia terlalu suka pelesir mengumbar nafsu berahinya sebagai seorang yang gila perempuan, maka di antara semua selirnya, hanya seorang saja yang melahirkan anak, yaitu selir terakhir atau termuda yang diambilnya sebagai selir sekitar tujuhbelas tahun yang lalu secara paksa. Lebih tepat lagi dikatakan bahwa selir terakhir ini dia dapatkan sebagai "persembahan" atau hadiah dari seorang panglima besar bernama Kong Tek Kok, seorang panglima Mongol yang amat lihai dan terkenal sebagai seorang "jagoan" di kota raja.
Tentu mudah diduga siapa adanya selir ini kalau kita ingat akan peristiwa yang terjadi pada awal cerita ini. Selir termuda itu bukan lain adalah Pouw Sui Hong, adik perempuan Pouw Keng In. Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika keluarga Pouw dibasmi oleh pasukan yang dipimpin Panglima Kong Tek Kok di So-couw, Pouw Keng In bersama isterinya yang mengandung tua dan adiknya perempuan melarikan diri. Akhirnya Pouw Keng In tewas oleh anak panah yang dilepas Panglima Kong Tek Kok, juga isterinya, Tan Bi Lian, terluka dan hanyut terbawa arus Sungai Huai. Akan tetapi Pouw Sui Hong, adiknya yang menjadi kembang kota So-couw itu, ditawan Panglima Kong Tek Kok.
Sebetulnya, melihat kecantikan Pouw Sui Hong, Panglima Kong Tek Kok juga tergila-gila, akan tetapi nafsunya untuk mendapatkan kedudukan tinggi lebih besar daripada rasa cintanya terhadap gadis tawanannya itu. Maka dia lalu membawa Pouw Sui Hong ke kota raja dan mempersembahkannya kepada seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi dan pengaruh besar di istana, yaitu Pangeran Lu Kok Kong.
Pangeran yang mata keranjang ini tentu saja menerima persembahan itu dengan girang karena memang kecantikan Sui Hong membuat jantungnya hampir copot. Demikianlah, pada hari itu Pouw Sui Hong yang tidak berdaya terjatuh ke dalam tangan pangeran yang mata keranjang itu dan menjadi selirnya yang kesembilan!
Akan tetapi, Pouw Sui Hong yang tadinya berduka dan ingin sekali membunuh diri, lambat laun merasa betapa besar cinta kasih pangeran itu kepadanya. Perlakuan yang amat baik dan manis, sikap yang amat mencinta, akhirnya menjatuhkan hatinya. Kemudian Sui Hong berjanji dengan suka rela suka menjadi selir pangeran itu asalkan pangeran itu bersumpah bahwa selanjutnya tidak akan mengganggu gadis lain dan tidak akan menambah jumlah selirnya.
Memang aneh sekali kalau orang sudah jatuh cinta. Kalau yang mengajukan syarat itu wanita lain, mungkin Pangeran Lu Kok Kong akan marah sekali dan setelah puas mempermainkannya dengan paksa, akan melemparkannya menjadi permainan anak buahnya! Akan tetapi sebaliknya, Pangeran Lu Kok Kong mau bersumpah dan memenuhi keinginan selir terbarunya itu. Ternyata kemudian bahwa pangeran itu memang benar-benar amat mencinta dan tunduk, bahkan menjadi lemah menghadapi Sui Hong yang bersikap wajar, tidak pernah bersikap genit bermuka-muka kepadanya seperti para selir lain yang seolah berlumba untuk menarik hatinya.
Lebih-lebih lagi setelah dia mendapat kenyataan bahwa Pouw Sui Hong mengandung! Pangeran Lu menjadi girang sekali dan cintanya makin mendalam. Kalau saja Sui Hong tidak mencegahnya, tentu Pangeran Lu Kok Kong sudah mengusir dan menceraikan semua selir yang lain, bahkan mau mengangkat Sui Hong sebagai Toa Hujin, sebagai isteri pertama. Akan tetapi Sui Hong tidak membolehkannya. Ia adalah seorang wanita dari keturunan baik-baik, keturunan orang-orang gagah yang tidak sudi membuat sengsara orang lain demi kesenangan diri sendiri.
Hubungannya dengan para madunya, yaitu selir-selir yang lain, amat baik, dan terhadap isteri pertama Pangeran Lu ia tetap menghormati sebagai saudara tua. Oleh karena itu, baik isteri pertama maupun para selir Pangeran Lu, mereka semua suka dan berterima kasih kepada Sui Hong. Sikap Pangeran Lu berubah banyak dan menjadi baik dan lembut sehingga kehidupan keluarga Lu selalu aman dan damai semenjak Sui Hong menjadi penghuni gedung itu.
Beberapa kali Pouw Sui Hong menyatakan rasa sakit hatinya yang mendalam terhadap Panglima Kong Tek Kok, bahkan pernah ia membujuk suaminya untuk membalaskan sakit hati keluarganya. Ia membujuk suaminya agar suka mempergunakan pengaruh dan kekuasannya untuk menjatuhkan Kong Tek Kok. Akan tetapi Pangeran Lu Kok Kong membujuknya dan menyabarkan hatinya, dengan halus menjawab.
"Sui Hong sayang, hal itu mudah dibicarakan akan tetapi sukar dilaksanakan. Kong Tek Kok adalah seorang panglima yang banyak jasanya terhadap negara dan Kaisar. Memusuhi seorang seperti dia, bagiku memang mudah, akan tetapi akibatnya juga akan hebat dan berbahaya. Sui Hong, mengapa engkau tidak mau melupakan hal-hal yang sudah lalu? Ingatlah bahwa Panglima Kong Tek Kok membasmi keluargamu bukan karena rasa benci atau permusuhan pribadi, melainkan karena dia harus menjalankan tugas dan memenuhi kewajibannya. Bagi seorang petugas, siapa saja yang menjadi musuh negara harus dibasminya, tidak peduli siapa orangnya."
"Pendapat Paduka ini memang tidak dapat saya bantah, akan tetapi saya yang melihat keluarga saya dibasmi orang, bagaimana mungkin tidak merasa sakit hati? Biarpun yang menyuruh pembasmian atas keluarga saya itu pemerintah, tetapi yang melaksanakannya adalah Panglima Kong. Kalau bukan kepada dia saya menaruh dendam, lalu kepada siapa?" Sepasang mata Sui Hong mulai membasah, bibir yang halus lunak itu mulai gemetar, hendak menangis.
Pangeran Lu Kok Kong memeluk selirnya itu dengan penuh kasih sayang dan menghiburnya.
"Sui Hong, engkau tidak melihat hikmat kebaikan yang tersembunyi di balik peristiwa yang buruk. Semua hal yang terjadi di dunia ini sudah dikehendaki Thian (Allah). Buktinya, kalau saja Panglima Kong Tek Kok tidak melakukan tugas itu, apakah kita dapat saling bertemu dan menjadi suami isteri? Betapapun juga, kita patut berterima kasih kepada Panglima Kong untuk dua hal. Pertama, dia menaruh kasihan kepadamu dan tidak membunuhmu dan yang kedua, dia mempertemukan kita. Kalau lain panglima yang melakukan tugas itu, mungkin sekali engkau sudah ikut tewas dan kita tidak dapat saling berjumpa! Nah, hentikan kesedihanmu dan kita lupakan saja semua yang telah lalu."
Dalam kesedihannya, hampir saja Sui Hong menjawab bahwa ia lebih suka mati bersama dengan keluarganya. Akan tetapi ia menahan kata-katanya itu karena ia harus mengakui bahwa setelah menjadi isteri Pangeran Lu Kok Kong, timbul rasa cinta kepada suaminya yang selalu bersikap baik dan meruperlihatkan kasih sayangnya itu.
Setelah melahirkan puterinya, Sui Hong sudah tidak begitu ingat lagi akan hal itu dan ia juga tidak pernah mendesak lagi kepada suaminya untuk membalaskan dendam sakit hatinya kepada Panglima Kong Tek Kok.
Pangeran Lu Kok Kong yang cerdik juga diam saja, bahkan dia tidak memberitahu isterinya ketika secara diam-diam dia menyuruh puterinya yang diberi nama Lu Siang Ni berguru kepada Panglima Kong Tek Kok. Dia hanya memberitahu bahwa Siang Ni di samping belajar ilmu sastra, juga belajar ilmu silat kepada guru silat yang pandai di istana. Tadinya Sui Hong merasa keberatan puterinya disuruh belajar ilmu silat, akan tetapi Pangeran Lu Kok Kong dengan cerdik berkata.
"Sui Hong, ilmu silat adalah olah raga yang menyehatkan tubuh dan membesarkan semangat. Pula, biarpun anak kita seorang perempuan, kalau ia pandai ilmu silat, kelak tidak ada orang yang berani bermain gila dan mengganggunya. Coba saja pikir dan pertimbangkan, bukankah akan baik sekali bagi Siang Ni kalau ia pandai membela diri?"
Akhirnya Sui Hong mengalah dan membiarkan pendidikan puterinya diatur oleh suaminya. Kehidupan yang serba kecukupan, terhormat dan penuh kesenangan membuat Sui Hong menjadi tidak acuh. Baginya, asal ia melihat anaknya dan suaminya hidup berbahagia, ia pun merasa puas dan bahagia.
Demikianlah, Lu Siang Ni menjadi murid Panglima Kong Tek Kok, panglima yang menduduki tempat tinggi berkat bantuan Pangeran Lu Kok Kong yang merasa berhutang budi kepadanya karena panglima itu telah mempersembahkan Sui Hong yang kemudian menjadi selir tercinta, bahkan yang dapat melahirkan keturunannya.
Mula-mula Panglima Kong Tek Kok hanya menurunkan ilmu silat kepada Lu Siang Ni secara iseng-iseng saja, karena dia merasa sungkan kepada Pangeran Lu Kok Kong. Kalau saja anak itu bukan puteri Pangeran Lu, pasti dia tidak sudi menerimanya sebagai muridnya. Akan tetapi dia terkejut dan juga girang bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa Siang Ni memiliki bakat yang luar biasa baiknya dalam ilmu silat: Bahkan puteranya yang lima tahun lebih tua daripada Siang Ni, yang bernama Kong Sek, biarpun juga berbakat, namun masih kalah cerdas oleh Siang Ni.
Setelah melihat bakat besar ini, timbul harapan dan kegembiraan dalam hati Panglima Kong dan beberapa tahun kemudian, Siang Ni telah menjadi muridnya yang amat dia sayang. Dalam usia empatbelas tahun saja, kepandaian Siang Ni telah meningkat demikian cepatnya sehingga dalam latihan silat, ia dapat membuat suhengnya, yaitu Kong Sek, menjadi kewalahan dan terdesak. Melihat ini, Panglima Kong menjadi semakin bersemangat memberi pelajaran kepada Siang Ni sehingga ketika ia berusia limabelas tahun, gadis remaja ini telah menjadi seorang ahli silat yang pandai dan lihai, terutama sekali ilmu pedangnya.
Siang Ni amat dimanja, baik oleh ayah bundanya yang amat mencintanya, maupun oleh semua ibu tirinya, yaitu isteri dan para selir ayahnya yang tidak mempunyai anak. Selain orang serumah termasuk para pelayan yang mencintanya, juga gurunya, Panglima Kong amat sayang kepadanya. Boleh dibilang semua orang yang dekat dengan keluarga Pangeran Lu, tentu memperlihatkan sikap sayang kepada Siang Ni, baik yang sungguh-sungguh sayang maupun yang hanya pura-pura, mengingat bahwa gadis remaja itu adalah puteri Pangeran Lu Kok Kong yang berkuasa.
Mereka yang benar-benar suka dan sayang disebabkan karena puteri pangeran itu memang lincah gembira dan ramah terhadap semua orang, tidak sombong dan suka mengulurkan tangan mereka yang membutuhkan. Akan tetapi karena semua orang bersikap manis kepadanya dan merasa dimanja, Siang Ni menjadi lincah dan agak binal! Andaikata ia bukan puteri seorang pangeran Mongol, tentu orang-orang akan menganggap ia seorang gadis "liar".
Sudah sering ibunya marah kepadanya, namun tetap saja Siang Ni melanggar larangan ibunya dan seringkali gadis remaja ini keluar dari rumah dan bermain-main sampai jauh, bukan hanya jauh dari rumah, terkadang bahkan keluar kota raja. Dengan kudanya yang berbulu putih, gadis remaja ini seringkali tampak membalapkan kudanya keluar kota, meninggalkan debu mengebul tinggi di belakang kudanya.
Selain suka keluyuran keluar kota. Siang Ni juga berbeda dari puteri-puteri bangsawan lainnya. Kalau para puteri bangsawan berwatak tinggi hati dan tidak sudi mendekati rakyat kecil, apalagi bergaul, Siang Ni sudah biasa beramah-tamah dengan rakyat. Bahkan tidak jarang terlihat gadis remaja ini dijamu makan di rumah sebuah keluarga petani miskin dan gadis ini makan masakan sederhana di dusun sambil bersenda-gurau, kemudian sebelum pergi ia meninggalkan sepotong uang emas kepada keluarga itu. Inilah sebabnya maka Siang Ni amat dikenal rakyat di kota maupun di desa sekitar kota raja, dan diam-diam ia dikagumi dan disukai rakyat.
Setelah meninjau sepintas lalu riwayat gadis remaja aneh dari kota raja itu, maka tidak mengherankan kalau pedagang keliling itu segera mengenal Siang Ni ketika gadis itu mempermainkan perwira gemuk berkumis tebal dan menolong Cong Siu Hwa, gadis kota Pao-ting yang dipaksa untuk dijadikan Siu-li. Mari sekarang kita ikuti perjalanan Lu Siang Ni.
Seperti kita ketahui, gadis remaja itu setelah memberi hajaran keras kepada perwira gemuk berkumis tebal dan memaksanya mengembalikan Cong Siu Hwa ke rumah orang tuanya, lalu pergi mengunjungi rumah Kui-thaijin, pembesar yang memberi perintah mengumpulkan para gadis cantik untuk dijadikan Siu-li.
Kui-thaijin adalah seorang pembesar angkatan baru. Baru beberapa bulan dia diangkat menjadi kepala daerah di Pao-ting. Setelah berusia limapuluh tahun baru dia dapat lulus ujian di kota raja. Hal ini pun bukan berkat kepintarannya, melainkan karena dia menggunakan cara licik, yaitu memberi uang sogokan kepada Ko-khoa (Kepala Ujian) di kota raja.
Pada jaman itu, seperti juga terjadi dalam jaman-jaman sebelumnya dan jaman berikutnya sampai sekarang, sogok menyogok dan suap menyuap dilakukan manusia segala bangsa dan segala negara. Kecurangan Kui-thaijin berhasil dan dia "dibikin" lulus oleh Ko-khoa dengan mendapat pujian. Oleh karena itu, maka kaisar yang menganggap dia pandai melihat hasil ujiannya, orang she Kui ini diangkat menjadi Kepala Daerah di Pao-ting. Sebetulnya, bukan Kaisar yang mengangkatnya, melainkan ada pembesar yang menangani urusan pengangkatan jabatan ini. Kaisar hanya menyetujuinya saja.
Karena maklum bahwa apabila dia ingin memperoleh kedudukan baik, dia harus berani "menyogok" atasan, maka begitu tiba di Pao-ting, sebulan kemudian dia lalu memerintahkan perwira yang bertugas di bawah pangkatnya, untuk mengumpulkan duapuluh empat orang gadis tercantik di Pao-ting untuk "dipersembahkan" kepada kaisar. Tentu saja dalam urusan ini dia berdalih bahwa kaisar yang menghendaki penambahan Siu-li dari Pao-ting dan dia hanya melaksanakan perintah.
Tentu saja hal ini tidak benar dan sesungguhnya semua itu adalah kehendaknya sendiri yang ingin mengambil hati kaisar, orang pertama dan terbesar di Cina waktu itu. Para pembesar lainnya, termasuk perwira gemuk berkumis tebal itu, bukan tidak dapat menduga akan isi hati dan akal pembesar baru Kui ini, akan tetapi mereka pun tiada bedanya dengan Pembesar Kui. Mereka pun hendak mempergunakan kesempatan ini untuk membantu dan mengambil hati Pembesar Kui yang menjadi atasan mereka, maka dengan senang hati perwira gemuk berkumis tebal itu pun melaksanakan perintah Kui-thaijin dengan senang hati.
Penguasa atasan seyogianya menjadi pemimpin dan tauladan bawahannya. Kalau tangan para atasan kotor, bagaimana mungkin mengharapkan tangan bawahan mereka bersih? Kalau tangan seorang penguasa atasan bersih, pasti dia akan bertindak dan menegur bawahannya yang bertangan kotor sehingga para bawahannya takut mengotori tangan mereka. Akan tetapi kalau tangan atasan sendiri kotor, tentu dia akan merasa sungkan dan malu untuk menindak bawahannya yang bertangan kotor.
Sebagai hasil pengumpulan gadis-gadis cantik di Pao-ting, di rumah gedung Pembesar Kui sudah penuh dengan gadis-gadis cantik yang dikumpulkan dari berbagai dusun daerah Pao-ting, juga terdapat gadis-gadis kota Pao-ting sendiri. Ada duapuluh tiga orang gadis muda berusia antara limabelas sampai tujuhbelas tahun dikumpulkan di ruangan tengah yang luas.
Menarik sekali untuk memperhatikan sikap dan gerak-gerik mereka ini. Rata-rata mereka adalah gadis-gadis cantik yang memiliki kecantikan melebihi gadis pada umumnya. Mereka merupakan gadis-gadis pilihan. Sebagian besar di antara mereka mengenakan pakaian mereka yang paling indah. Mereka pun mempersolek diri dengan bedak dan gincu, sikap mereka dibuat-buat sehingga tampak halus menarik dan kalau melenggang bagaikan pohon yang-liu (cemara) tertiup angin. Sebagian besar dari duapuluh tiga orang gadis itu tampak gembira dan sengaja memamerkan kecantikan atau menonjolkan kelebihannya dengan maksud agar dapat terpilih, baik terpilih oleh pembesar yang mengumpulkan mereka, oleh atasannya, oleh Kaisar, atau oleh siapa saja yang kiranya berkedudukan tinggi!
Gadis-gadis itu tidak dapat terlalu disalahkan. Pada masa itu, dan mungkin juga sampai masa kini, para orang tua siang malam menimang-nimang anak perempuan mereka dengan kata-kata harapan agar kelak anak mereka menjadi isteri atau selir pembesar tinggi yang kaya raya, kalau mungkin menjadi selir kaisar. Karena sejak kecil dijejali harapan orang tua mereka seperti itulah maka di dalam hati mereka, para gadis itu membayangkan bahwa kebahagiaan hidup mereka hanya dapat diujudkan sesuai dengan harapan mereka, yaitu apabila mereka menjadi isteri atau selir orang-orang berpangkat tinggi yang kaya raya!
Akan tetapi, ada enam orang di antara duapuluh tiga orang gadis itu yang kelihatan berduka, bahkan ada yang sejak dibawa ke tempat itu menangis tersedu-sedu. Mereka ini berkerumun di sudut ruangan, saling rangkul dan saling menghibur. Akan tetapi apakah artinya hiburan orang senasib?
Pada saat itu, Pembesar Kui duduk di ruangan depan, bercakap-cakap dengan para pembesar bawahannya dan mereka tampak gembira sekali.
"Bagus, bagus!" kata Kui-thaijin setelah minum arak dari cawannya.
"Hong-siang (Kaisar) tentu akan senang sekali melihat semua gadis itu. Apalagi kalau melihat puteri keluarga Cong yang sudah terkenal cantik sebagai Bunga Pao-ting."
Seorang pembesar bawahannya yang belum begitu tua dan memiliki mata seperti mata burung, mengangguk-angguk dan mengacungkan ibu jarinya.
"Memang gadis keluarga Cong itu hebat sekali, Thaijin!" katanya.
"Semua gadis yang sudah dikumpulkan di sini sekarang, kalau dibandingkan dengan kecantikan Nona Cong, mereka hanya pantas menjadi pelayannya. Pendeknya, kalau Nona Cong itu diberi pakaian sutera putih, tiada ubahnya seperti Kwan Im Pouw-sat (Dewi Kwan Im)!" Para pembesar lain yang berada di situ mengeluarkan pujian masing-masing, tentu saja terutama sekali untuk menyenangkan hati Kui-thaijin, atasan mereka.
"Saya setiap hari membeli tahu, bukan hanya karena tahu buatan keluarga Cong memang enak sekali, melainkan terutama sekali karena saya yakin bahwa tahu-tahu itu tentu bekas disentuh tangan Nona Cong maka menjadi begitu...... hmmm....... begitu lezat!"
Kembali mereka tertawa-tawa, kemudian seorang di antara empat orang pembesar bawahan Kui-thaijin itu berkata.
"Kui-thaijin sudah beristeri akan tetapi selir Thaijin belum cukup banyak, mengapa tidak menahan saja Nona Cong di sini untuk Thaijin sendiri? Hong-siang tidak akan tahu dan pula, bukankah gadis-gadis lain itu pun cukup cantik menggiurkan?"
Kui-thaijin tertawa, akan tetapi telunjuknya diangkat dan ditudingkan ke arah pembesar itu sambil berkata.
"Hemm, kalau saja ada telinga istana mendengar ucapanmu itu......"
Wajah pembesar yang mengajukan usul tadi berubah pucat sekali. Dia maklum bahwa sekali saja Kui-thaijin melaporkan ucapannya itu ke istana, dia akan mendapat celaka besar! Buru-buru dia bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada atasannya itu.
"Kui-thaijin, harap maafkan saya. Saya tadi hanya bicara main-main. Sebetulnya kalau memang Thaijin menginginkan tambahan selir, saya mempunyai simpanan beberapa bunga cantik yang belum dipetik di taman saya." Dengan ucapan ini dia bermaksud bahwa dia pun mempunyai beberapa orang gadis simpanan di gedungnya yang hendak dipersembahkan kepada atasannya itu.
Kui-thaijin tertawa bergelak sambil minum araknya dari cawan.
"Ha-ha-ha, dan bagaimana dengan puterimu? Aku mendengar bahwa puterimu itu pun amat jelita......"
Wajah pembesar itu berubah merah sekali.
"Hal itu...... ah...... maksud saya anak saya itu...... ia amat buruk rupa dan bodoh......"
Tiba-tiba dari luar masuk seorang gadis remaja yang cantik dan berpakaian indah. Gadis itu adalah Lu Siang Ni yang menerobos dengan nekat memasuki gedung itu. Beberapa orang penjaga di depan pintu menghadangnya dan seorang di antara mereka menegur dengan kata-kata menggoda.
"Eh, Nona manis, engkau hendak mencari siapakah? Apakah engkau hendak mohon menjadi Siu-li?"
Siang Ni tersenyum manis sekali. Ia tidak marah oleh teguran itu yang dianggapnya sebagai main-main yang tidak menyinggung perasaan. Baginya, menjadi Siu-li adalah soal biasa yang sudah dihadapinya sehari-hari di lingkungan istana.
"Memang aku hendak bertemu dengan Pembesar Kui untuk bicara tentang pengiriman Siu-li ke istana," jawabnya dengan ramah dan manis.
Mendengar ucapan dan melihat sikap Siang Ni yang manis dan melihat kecantikannya yang menggiurkan, para penjaga itu menjadi ceriwis dan timbul kekurangajaran mereka.
"Aduh, Nona manis. Gadis secantik engkau sungguh sayang kalau menjadi Siu-li. Engkau akan menderita kedinginan di istana karena terlalu banyak sainganmu," kata seorang.
"Eh, Nona manis. Daripada engkau menderita di sana, lebih baik engkau ikut saja dengan aku. Aku masih perjaka tulen dan belum menikah!" kata yang lain sambil cengar-cengir memasang aksi.
Beberapa orang bahkan dengan lancang sekali mencoba untuk mencolek dan meraba tubuh gadis itu. Kini timbul kemarahan dalam hati Siang Ni.
"Hemm, kalian mulai kurang ajar!" bentaknya.
"Aduh galaknya! Akan tetapi makin galak malah makin cantik dan lucu. Bukankah begitu, kawan-kawan?" seru seorang penjaga lain.
"Betul sekali! Nona manis, mari bersenang-senang dengan kami saja kalau engkau ingin benar mendapatkan kawan pria," kata mereka.
Saat itulah ditentukannya nasib para penjaga itu. Memang benar kata-kata para bijak di jaman dahulu bahwa sikap dan kata-kata merupakan jembatan licin yang dapat menjebloskan manusia ke dalam jurang petaka. Begitu mengeluarkan sikap dan kata-kata .yang tidak sopan dan kurang ajar, para penjaga itu sudah menentukan nasib yang akan mereka alami.
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian anjing-anjing tak tahu malu!" bentak Siang Ni dan di lain saat kaki dan tangannya bergerak cepat bagaikan kilat menyambar-nyambar. Dalam sekejap mata saja, lima orang penjaga itu roboh tanpa sempat mengeluarkan suara lagi. Mereka menggeliat-geliat di atas tanah seperti cacing terkena abu panas, sakit-sakit rasanya seluruh tubuh mereka akan tetapi mereka tidak dapat mengeluarkan suara!
Siang Ni tersenyum mengejek sambil menepuk-nepuk kedua tangan seperti orang membuang debu yang menempel di telapak tangan. Kemudian ia melangkah masuk gedung itu tanpa mempedulikan lagi lima orang penjaga itu.
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya Pembesar Kui dan empat orang bawahannya yang sedang duduk makan minum di ruangan depan sambil bercakap-cakap itu ketika mereka melihat masuknya seorang gadis remaja cantik jelita dari luar tanpa ada laporan dari para penjaga.
Akan tetapi saking kagumnya melihat kecantikan Siang Ni, Pembesar Kui terpesona dan berseru.
"Aduh, betapa cantik jelitanya gadis ini! Siapakah ia? Apakah termasuk seorang diantara calon Siu-li?"
Akan tetapi, tiga orang bawahannya yang sudah lama menjabat pangkat mereka dan sudah seringkali pergi ke kota raja dan mengenal Lu Siang Ni, menjadi pucat mendengar kata-kata Kui-thaijin. Mereka memberi isyarat kepada atasan mereka dengan kedipan mata disertai suara "sstt...... sstt......" dengan maksud agar Kui-thaijin menutup mulutnya. Akan tetapi Kui-thaijin tidak mengerti akan isyarat mereka, bahkan ketika melihat Siang Ni menghampiri ke tempat mereka dengan senyum manis sekali dan lenggang yang mengairahkan, dia segera bangkit berdiri dan mengucapkan kata-kata merayu.
"Nona manis, apakah engkau bidadari dari kahyangan? Siapakah namamu dan bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu? Katakanlah, manis!"
Siang Ni melihat bahwa pembesar itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih limapuluh tahun, matanya juling dan daun telinganya kecil seperti telinga tikus, dan pada muka dan sikapnya jelas sekali tampak ciri-ciri watak yang licik dan buruk.
"Apakah kamu yang bernama Kui Leng dan menjadi Kepala Daerah di Pao-ting ini?" tanya Siang Ni sambil menyipitkan mata kanannya. Inilah kebiasaan yang lucu dari Siang Ni sejak kecil. Kalau ia memikirkan sesuatu, atau sedang dikuasai perasaan marah atau malu, otomatis mata kanannya menyipit dan tampak lucu dan manis sekali!
Melihat wajah gadis remaja itu, Kui-thaijin semakin tertarik dan sambil menyeringai dia berkata lagi.
"Benar sekali, Nona manis. Aku adalah Kui-thaijin, Kepala Daerah yang baru di kota ini. Engkau siapakah, siapa orang tuamu dan ada keperluan apakah engkau datang berkunjung?" Peristiwa apa yang menimpa lima orang penjaga di luar gedung tadi sama sekali tidak diketahuinya.
"Aku mendengar bahwa engkau mengumpulkan gadis-gadis di daerah ini. Untuk apakah itu?" Siang Ni bertanya, suaranya masih biasa.
Pembesar Kui tertawa dan dia melirik kepada empat orang bawahannya dan bukan main herannya melihat empat orang pembesar itu menundukkan muka dan tampak seperti orang-orang yang ketakutan. Akan tetapi hal ini belum menyadarkannya, maka dia berkata lagi dengan lagak dibuat-buat agar tampak gagah berwibawa dan menarik.
"Benar, Nona manis. Aku mengumpulkan dan membutuhkan duapuluh empat orang calon Siu-li untuk Sribaginda Kaisar. Apakah engkau ingin...... ah, jangan! Lebih baik engkau ikut saja dengan aku di sini dan hidup makmur bahagia. Bagaimana, engkau mau, bukan?"
Tiba-tiba Pembesar Kui terkejut sekali dan menjadi semakin terheran-heran ketika dia melihat empat orang pembesar bawahan itu bangkit dari kursi mereka dan mereka berempat menghadap gadis itu, menjura dan membungkuk dengan sikap hormat sekali kepada Siang Ni dan seorang dari mereka berkata dengan sikap hormat dan takut-takut.
"Lu-siocia, mohon maaf sebanyaknya kalau Kui-thaijin bicara main-main karena agaknya dia belum mengenal Siocia." Kemudian pembesar itu menoleh kepada Kui-thaijin dan berkata.
"Kui-thaijin, ketahuilah bahwa Nona ini adalah Lu-siocia, puteri tunggal dari Pangeran Lu Kok Kong di kota raja."
Kalau ada petir menyambar kepalanya saat itu, agaknya Pembesar Kui tidak akan begitu kaget seperti ketika mendengar ucapan bawahannya ini. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia merasa mulutnya mendadak kering. Dia bangkit dari kursinya dengan kedua kaki menggigil, lalu menjura dengan hormat dan berkata dengan lirih dan gagap.
"...... Saya...... eh, .......Nona, harap Nona maafkan...... mengapa Nona tidak memberitahu dari tadi? Eh...... Lu-siocia, bagaimana...... bagaimana kabarnya ayah Nona yang mulia? Saya harap dalam keadaan baik dan selamat, dan saya harap...... Nona sudi menyampaikan hormat saya yang setingginya kepada beliau......."
Melihat perubahan sikap pembesar itu, Siang Ni menggerakkan bibirnya dan tersenyum mengejek.
"Orang she Kui, baru saja menjabat pangkat di kota ini, engkau sudah memperlihatkan sikap sombong dan tengik! Kau tahu apa dosamu?" bentaknya.
Kui-thaijin merasa terkejut dan ketakutan karena dia sudah mendengar akan nama besar Pangeran Lu Kok Kong dan tahu bahwa pangeran itu mempunyai pengaruh besar di istana. Akan tetapi kalau puteri pangeran itu sampai begini kurang ajar, dia sungguh tidak mengerti. Apa yang diandalkan seorang gadis remaja yang lemah biarpun ia puteri bangsawan? Bagaimana seorang gadis bangsaaan dapat bersikap begini liar dan kasar?
"Nona, harap suka maafkan sikap saya tadi. Saya hanya main-main dan sungguh mati saya tidak tahu bahwa Nona adalah Lu-siocia yang terhormat," kembali dia memberi hormat sambil membungkuk.
"Bukan itu, tikus!" Siang Ni membentak marah.
"Untuk kesalahanmu yang itu, baik nanti aku bicarakan lagi. Sekarang yang kuurus dan kutanyakan, tahukah engkau akan dosamu dalam hal mengumpulkan calon Siu-li?"
"Dosa saya? Apakah yang Nona maksudkan? Saya mengumpulkan calon Siu-li untuk Yang Mulia Hong-siang, apakah salahnya dengan itu?" tanya Pembesar Kui dengan sikap setengah menantang. Dia pikir bahwa mengumpulkan Siu-li untuk kaisar merupakan jasa besar dan dengan menggunakan nama kaisar, siapa berani menentang? Dia tidak perlu takut akan gertakan seorang bocah perempuan yang manja!
"Tikus tua busuk! Engkau mengumpulkan Siu-li, katamu? Engkau tidak mengumpulkan, melainkan memaksa anak orang dengan kekerasan untuk menyerahkan anak perempuan mereka! Sungguh kepalamu yang penuh kotoran itu harus dipukul!"
Pembesar Kui tampak marah dan hendak membantah, akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu berkelebat dan terdengar suara "takk!", topi kebesaran di atas kepala Kui-thaijin terlempar jatuh dan kulit kepalanya terasa nyeri dan di situ timbul benjolan sebesar telur ayam! Pembesar Kui menjadi pucat sekali dan meringis kesakitan, tangan kiri mengelus benjol kepalanya dan tangan kanan mencari topinya yang terjatuh. Hampir saja dia memaki dan memanggil penjaga, akan tetapi empat orang bawahannya sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Siang Ni sambil memintakan ampun untuknya.
Kui-thaijin merasa heran sekali melihat empat orang bawahannya demikian takut terhadap gadis remaja itu. Hal ini membuat dia merasa agak gentar pula, apalagi kalau dia mengingat betapa ketika menampar kepalanya tadi, gadis remaja itu bergerak sedemikian cepatnya. Ini membuka matanya bahwa gadis itu bukan hanya galak dan liar, akan tetapi juga memiliki kecepatan gerakan dan kuat sekali. Tadi tampak perlahan saja ia menampar, namun kepalanya menjadi benjol dan sakitnya bukan kepalang. Merasa bahwa dia tidak bersalah, pembesar itu membela diri dan berkata dengan nada penasaran.
"Lu-siocia, sungguh saya tidak mengerti mengapa Nona marah dan memukul kepala saya, seorang tua. Memang benar saya yang menyuruh pasukan mengambil gadis-gadis yang dipilih untuk menjadi calon Siu-li. Ada di antara mereka yang tidak setuju, terpaksa harus dilakukan kekerasan. Nah, apakah salahnya dengan itu?"
"Memilih calon Siu-li boleh saja, akan tetapi harus gadis yang memang sukarela ingin menjadi Siu-li. Tidak boleh memaksa gadis yang memang tidak mau. Gaya dan lagakmu seperti kepala perampok saja, tidak pantas menjadi Kepala Daerah!"
Ku Thaijin menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, masih berusaha membela diri.
"Habis bagaimana baiknya, Nona? Gadis-gadis yang dikirim ke kota raja haruslah yang cantik dan bersih, maka diadakan pemilihan. Kalau yang dipilih tidak mau dan tidak dilakukan paksaan, saya khawatir tidak akan ada Siu-li yang dapat dikirim ke istana."
"Bohong! Engkau bilang sendiri bahwa di antara mereka ada yang tidak mau, ini berarti bahwa banyak pula di antara mereka yang mau, bukan? Nah, kau pilih saja yang mau dan dengan sukarela dikirim ke istana, yang tidak mau tidak boleh dipaksa. Gadis keluarga Cong dipaksa dan diseret-seret, baiknya aku melihat dan menolongnya. Engkau benar-benar tidak patut menjadi Kepala Daerah yang harus memimpin dan mengayomi rakyatnya! Hemm, ingin aku tahu apa kata ayah kalau kuceritakan hal ini kepadanya!"
Mendengar ini, Pembesar Kui makin ketakutan. Akan tetapi dia masih berpegang kepada pendapatnya bahwa mengumpulkan Siu-li untuk kaisar adalah jasa besar, maka dia mencoba untuk membantah.
"Nona, harap maafkan kalau pendapat saya keliru. Akan tetapi, semua ini saya lakukan agar dapat mengumpulkan calon Siu-li yang terbaik dan tercantik untuk Hong-siang, semua saya lakukan demi kesenangan Sribaginda Kaisar. Bukankah hal itu baik sekali?"
Siang Ni melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Kui-thaijin sehingga pembesar itu melangkah mundur ketakutan, khawatir akan digampar lagi.
"Tikus goblok! Orang macam engkau ini bisa mendapatkan kedudukan Kepala Daerah? Sungguh menggelikan! Buka telingamu dan dengarkan baik-baik, Kaisar mengumpulkan Siu-li untuk menjadi pelayan istana, untuk menghibur hati Kaisar dan keluarga Kaisar. Untuk pekerjaan ini harus dipilih gadis-gadis yang selain cantik, juga yang dengan sukarela dan senang hati ingin melayani keluarga Kaisar di istana. Kalau engkau memilih secara paksa, memaksa gadis-gadis yang tidak suka menjadi Siu-li, bukankah itu sama halnya dengan engkau memasukkan musuh dan memancing timbulnya bahaya dalam istana? Apakah engkau berani bertanggung-jawab bahwa gadis-gadis yang kau paksa itu kelak tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan keselamatan keluarga Kaisar untuk membalas dendam karena mereka dipaksa? Nah, coba engkau mau bicara apa lagi, kau tikus tua yang bodoh!"
Kui-thaijin tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja ini demikian lincah dan pandai bicara. Untuk menghadapi serangan kata-kata yang tidak dapat dielakkan lagi itu, dia dapat bicara apa lagi? Dia hanya mampu mengangguk-anggukkan kepalanya dan mendengar empat orang kawannya berkata dengan penuh hormat.
"Lu-siocia benar sekali!"
Siang Ni tidak mempedulikan mereka karena gadis yang besar di kota raja ini sudah hafal akan sikap menjilat para pembesar macam Kui-thaijin dan empat orang kawannya ini. Orang-orang macam mereka merupakan orang-orang berwatak rendah yang biasanya suka menjilat atasan dan menginjak bawahan.
"Nah, sekarang perlihatkan kepadaku gadis-gadis yang telah dikumpulkan. Cepat!"
Pembesar Kui sudah mati kutu. Tanpa berani bercuit lagi dia lalu mengiringi Siang Ni masuk ke ruangan dalam di mana para gadis calon Siu-li berkumpul. Begitu Siang Ni memasuki ruangan itu, sebagian besar para gadis cantik menyambutnya dengan senyum manis dan terdengar mereka berkomentar.
"Ah, inilah orang terakhir. Kita segera diberangkatkan ke kota raja!"
"Ia cantik dan manis sekali!"
"Alangkah indah pakaiannya!"
"He, rambutnya model sanggul puteri bangsawan! Berani benar ia!"
Demikianlah, di antara para gadis yang dengan sukarela ingin menjadi Siu-li, terdengar sambutan-sambutan dan pendapat-pendapat tentang diri Siang Ni. Akan tetapi alangkah kaget dan heran hati mereka ketika Pembesar Kui berkata dengan suara lantang.
"Nona sekalian, ketahuilah, Siocia ini adalah Lu-siocia, puteri Pangeran Lu di kota raja. Semua memberi hormat kepada Lu-siocia!"
Semua gadis yang berada di ruangan itu, kecuali enam orang gadis yang masih bertangisan, menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Siang Ni dengan berbagai gaya. Akan tetapi Siang Ni yang bermata tajam dan sejak tadi memperhatikan mereka, langsung saja menghampiri enam orang gadis yang memisahkan diri di sudut. Dengan lembut ia bertanya kepada mereka.
"Enci sekalian, hentikan tangis kalian dan jawablah pertanyaanku. Mengapa kalian bersedih dan menangis? Bukankah mestinya kalian bergembira terpilih menjadi calon Siu-li seperti yang lain ini?"
Enam orang gadis itu mengangkat muka dan seorang di antara mereka menjawab.
"Siocia, kami dipisahkan dari ayah ibu, bagaimana kami tidak gelisah dan bersedih?"
"Kalian hendak dibawa ke kota raja, dipersembahkan kepada Sribaginda Kaisar untuk dipilih menjadi Siu-li. Menjadi pelayan di istana pekerjaannya ringan, hidupnya senang, pakaiannya selalu indah, makan selalu yang enak-enak. Kalau baik peruntungan kalian, dapat dipilih menjadi selir dan hidup mulia dan dihormati, mengapa kalian tidak mau? Apakah kalian membenci Sribaginda Kaisar?"
Ketika bertanya, Siang Ni bertolak pinggang dan memandang tajam. Kalau saja ada yang berani bilang membenci kaisar, tentu akan ditampar orang itu. Bahkan sebagai anggauta keluarga istana yang setia kepada kaisar, Siang Ni tidak akan ragu-ragu untuk membunuh orang yang berani berkhianat atau menghina kaisar.
"Kami tidak membenci Sribaginda Kaisar, Siocia. Bertemu pun belum pernah, melihat pun belum, bagaimana bisa membenci? Bukan sekali-kali kami tidak suka menjadi calon Siu-li dan tidak suka hidup senang, akan tetapi....... kami lebih suka melayani ayah ibu kami sendiri......" Gadis itu menangis, diikuti lima orang kawannya senasib.
Siang Ni menoleh kepada Kui-thaijin.
"Enam orang ini harus dikembalikan kepada orang tua masing-masing dan diberi uang kerugian masing-masing tigapuluh tail perak. Selanjutnya, engkau harus menjaga agar tidak ada yang mengganggu mereka!"
Pembesar Kui hanya dapat mengangguk akan tetapi mukanya cemberut.
Kemudian Siang Ni berkata kepada tujuhbelas orang gadis yang lain, yang masih berlutut di atas lantai.
"Kalian yang memang dengan sukarela suka dipilih menjadi calon Siu-li, perhatikan baik-baik. Kalau di antara kalian mendapat perlakuan tidak baik dari para petugas, baik di sini maupun di tengah perjalanan ke kota raja, ingat saja siapa orangnya. Kelak kalau kalian sudah menghadap Sribaginda Kaisar, sebut saja nama orang jahat itu dan Sribaginda pasti akan mengambil tindakan dan menjatuhkan hukuman berat. Aku mendengar ada pembesar yang suka merampas atau menahan seorang dua orang calon Siu-li yang disukainya untuk diambil sebagai selirnya sendiri. Nah, kalau terjadi hal demikian dengan seorang di antara kalian, yang lain kelak harus melaporkannya kepada Sribaginda Kaisar. Hanya dengan persatuan dan saling menolong kalian akan selalu mendapat perIakuan baik di sepanjang perjalanan."
Naga Beracun Eps 8 Naga Beracun Eps 8 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 18