Ceritasilat Novel Online

Naga Sakti Sungai Kuning 18


Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 18




   Giok Cu mengangguk-angguk.

   "Akan tetapi aku hendak menghadangnya untuk membebaskan dua orang gadis yang di hadiahkan tadi."

   "Tapi........., tapi gadis-gadis macam itu untuk apa dibebaskan? Bukankah mereka tadi kelihatan begitu jinak dan bahkan melayani pembesar kota raja itu dengan gembira?"

   "Aih, engkau seorang laki-laki, tentu lak dapat melihat dengan jelas. Biarpun mereka melayani, namun mereka itu terpaksa dan takut kepada pembesar gendut. Aku melihat betapa mata dan bibir mereka menahan derita yang hebat. Aku akan membebaskan mereka."

   "Kalau begitu, kita dapat bekerjasama, Nona. Kita robohkan dulu para pengawalnya, kemudian kita serbu kereta, engkau membebaskan dua orang gadis itu dan aku merampas peti."

   "Baiklah, akan tetapi, kalau boleh aku bertanya, mau kaupakai apakah harta dalam peti itu?" Giok Cu bertanya sambil lalu, padahal di dalam hatinya dara ini ingin sekali tahu mengapa pemuda yang dikaguminya itu hendak merampas peti berisi harta itu.

   Dengan cerdik Hong San yang semakin yakin bahwa Giok Cu adalah seorang pendekar wanita, menjawab seperti sudah sewajarnya.

   "Untuk apa? Tentu saja untuk kukembalikan ke rakyat jelata! Harta itu akan kubagikan kepada rakyat miskin di dusun-dusun!"

   Dengan hati girang sekali Hong melihat betapa gadis perkasa yang cantik jelita dan manis itu memandang kepadanya dengan sinar mata kagum, seperti sudah saling bersepakat keduanya lalu menanti sambil bersembunyi, pura-pura berjalan-jalan di sepanjang jalan raya itu, namun mereka selalu memperhatikan ke arah kereta yang berhenti di depan rumah makan.

   Tak lama kemudian, saat yang mereka nanti-nantikan pun tiba. Nampak Taijin yang kurus itu naik ke atas kereta bersama dua orang gadis yang telah dihadiahkan kepadanya, dan peti pun dinaikkan ke atas kereta. Cang Tai-jin yang gendut menyeringai dan membungkuk-bungkuk mengantar tamunya naik kereta, akan tetapi dia sendiri tidak naik kereta itu. Pasukan pengawal yang tiga belas orang banyaknya, pengawal dari Kota raja yang rata-rata nampak gagah-gagah menjadi dua, sebagian mengawal di depan kereta, sebagian lagi di belakang kereta. Mereka semua menunggang kuda yang besar, dan kereta itu sendiri ditarik oleh empat ekor kuda. Berangkatlah kereta yang dikawal ketat itu meninggalkan rumah makan, diantar lambaian tangan Cang Tai-jin.

   Melihat kereta itu menuju ke pintu gerbang kota sebelah utara, Giok Cu dan Hong San lalu cepat mengambil jalan memotong, mendahului rombongan itu keluar dari pintu gerbang utara. Setelah tiba di luar kota dan melalui jalan raya yang tidak begitu ramai, mereka lalu mengerahkan kepandaian dan berlari cepat, mengambil jalan kecil melewati sawah ladang agar tidak menarik perhatian orang yang berlalu-lalang di jalan raya. Akan tetapi mereka menanti sampai kereta itu muncul, dan dari jauh mereka membayangi kereta yang dilarikan cepat menuju ke utara, memasuki daerah berhutan dan lalu lintas jalan raya itu mulai sunyi.

   Setelah rombongan pembesar itu mu masuki hutan, dua orang muda itu pun berlari cepat melakukan pengejaran mengambil keputusan untuk turun tangan setelah kereta tiba di hutan, atau yang sudah agak jauh dari jalan yang ramai.

   Tiba-tiba mereka berdua terkejut karena mendengar suara pertempuran depan. Mereka segera mempercepat lari mereka dan ternyata kereta itu telah dikepung oleh belasan orang dan sudah terjadi pertempuran antara para pengepung yang berpakaian macam-macam melawan tiga belas orang pengawal. Sedangkan kusir kereta yang sudah turun, berusaha menenangkan empat ekor kuda di depan mereka itu.

   Tentu saja kedua orang muda itu menjadi terkejut dan juga terheran-heran membuat mereka meragu karena mereka tidak mengenal siapa belasan orang yang melakukan penyergapan terhadap rombongan pembesar itu. Karena mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, maka Giok Cu dan Hong San hanya menonton saja. Kini mereka baru melihat bahwa pembesar itu agaknya seorang yang amat penting, karena pasukan pengawal yang berkuda itu sungguh tangguh. Mereka itu pandai menunggang kuda, dan pandai pula menggerakkan pedang mereka dari atas kuda sehingga beasan orang yang mengepung itu menjadi kewalahan dan kocar kacir. Para penyerang itu diterjang kuda yang besar, dan pedang yang bergerak cepat lagi kuat. Namun, dua orang muda itu pun dapat melihat bahwa belasan orang penyerang itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan rata-rata memiliki ilmu silat yang baik.

   "Ini kesempatan baik," tiba-tiba Hong San berkata kepada Giok Cu.

   "Selagi para pengawal menghadapi orang-orang itu, kita turun tangan. Kaubebaskan dua orang gadis itu dan aku akan mengambil peti itu! Dan kita bunuh saja pembesar korup tukang makan sogokan itu!"
(Lanjut ke Jilid 19)
Naga Sakti Sungai Kuning/Huang Ho Sin-liong (Seri ke 01 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
"Jangan............!" Tiba-tiba Giok Cu berkata agak ketus sehingga mengejutkan hati Hong San.

   "Tidak boleh membunuhnya!" Memang semenjak menjadi murid Hek-bin Hwesio selama lima tahun Giok Cu sudah mendapat gembleng batin dari hwesio itu sehingga ia tid merasa tega untuk membunuh orang. Gurunya itu menanamkan perasaan kasih sayang di dalam hatinya terhadap semua orang, dan yang ia tentang hanyalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Maka, ia mau memberi hajaran kepada orang jahat agar orang itu bertobat dan tidak berani melakukan kejahatan lagi, bukan membunuhnya karena benci kepada orangnya.

   Hong San tersenyum, dan mengangguk. Dia mulai mengenal watak gadis itu. Gagah perkasa, cantik jelita, riang jenaka, pemberani akan tetapi juga berbudi luhur! "Mari kita bergerak!" katanya setelah mengangguk menyetujui.

   Bagaikan dua ekor burung garuda, Hong San dan Giok Cu meloncat seperti melayang saja, menuju ke arah kereta yang kini tidak terlindung karena tiga belas orang pengawal sibuk menghadapi pengeroyokan belasan orang itu. Akan tetapi pada saat itu, dari lain jurusan berkelebat pula bayangan orang yang tidak kalah cepat dan ringannya dibandingkan dua orang muda itu. Baru saja Giok Cu dan Hong San tiba di dekat kereta, terdengar bentakan nyaring
.
"Perampok-perampok jahat!" Dan muncullah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar, kokoh kuat dan tampan gagah. Mendengar bentakan ini dan melihat munculnya seorang pemuda yang gagah perkasa, Giok Cu dan Hong San terkejut. Saat itu dipergunakan oleh pemuda tinggi besar untuk berseru kepada kusir kereta.

   "Kenapa engkau tidak cepat melarikan kereta ini, menyingkir dari sini, menyelamatkan majikanmu dan minta bantuan pasukan? Hayo cepat larikan kereta, biar aku menahan para perampok!"

   Barulah kusir itu tergopoh-gopoh naik ke atas keretanya dan melarikan empat ekor kuda yang menarik kereta. Kereta bergerak ke depan dengan cepatnya.

   "Heiii, tinggalkan peti itu!" Hong San berteriak dan hendak mengejar, akan tetapi pemuda tinggi besar itu telah menghadangnya dengan mata menyam tajam.

   "Sayang, begini tampan dan gagah menjadi perampok!" katanya. Melihat pemuda tinggi besar itu menghadang, dan mengeluaran kata ejekan, mengatakan dia perampok, hati Hong San menjadi panas sekali.

   "Engkau penjilat pembesar korup bentaknya dan tangan kanannya mengirim hantaman ke arah muka lawan dengan pengerahan tenaga yang dahsyat. Karena dia dapat menduga bahwa pemuda tinggi besar ini tentu lihai sekali, mungkin seorang jagoan dari kota raja yang bertugas melindungi Liu Tai-jin, maka dia pun begitu menyerang sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga dalam hantamannya itu terkandung kekuatan dasyat yang dapat menghancurkan batu padas!

   Namun, pemuda yang diserangnya it sama sekali tidak menjadi gugup, bahkan dia pun memutar lengan kirinya menangkis. Melihat lawannya menangkis Hong San sudah merasa girang karena jarang ada yang mampu mempertahankan tenaga pukulannya, maka lawan yang menangkis itu tentu akan patah tulang tangannya atau setidaknya akan terpental atau roboh terbanting. Akan tetapi, tidak demikianlah dugaan Giok Cu. Gadis ini melihat betapa kedudukan kaki pemuda tinggi besar itu kokoh kuat, dan betapa sikapnya yang tenang itu membayangkan kekuatan dahsyat, maka dengan hati berdebar ia menanti bagaimana kelanlajutan adu tenaga antara Hong San yang juga belum diketahuinya benar tingkat kepandaiannya, dengan pemuda tinggi besar itu. Wajah pemuda tinggi besar yang tampan gagah itu seperti wajah yang tidak asing baginya, namun ia sama sekali tidak dapat mengingat di mana ia pernah bertemu dengan pemuda itu. Mungkin seorang di antara tamu gurunya yang pertama, yaitu Ban-tok Mo-li. Seorang teman Ban-tok Mo-li sudah pasti bukan orang baik-baik, dan tidak aneh kalau menjadi jagoan pengawal seorang pembesar koruptor besar yang kaya raya.

   "Dukkk!" Dua buah lengan bertemudan tubuh Hong San terhuyung kebelakang, sedangkan tubuh pemuda tinggi besar itu tetap kokoh, sama sekali tidak terguncang! Hal ini amat mengejutkan Hong San. Dia tadi merasa betapa lengannya bertemu dengan lengan yang bagaikan baja kuatnya, dan tenaganya menyambut tenaga pukulannya juga amat dahsyat sehingga dia tidak mampu la mempertahankan kedua kakinya sehingga terhuyung ke belakang. Marahlah Hong San dan dia pun mencabut pedang dengan tangan kanannya.

   Giok Cu juga melihat adu tenaga itu dan ia hanya menganggap bahwa mungkin tenaga Hong San belum begitu kuat. Dan melihat betapa dalam adu tenaga itu Hong San terhuyung ke belakang, ia pun menganggap bahwa lawan itu agaknya lebih lihai dari Hong San. Akan tetapi masih ingin melihat bagaimana kalau Hong San menyerang dengan pedangnya.

   "Singgggg.............!" Pedang di tangan Hong San berubah menjadi sinar menyambar dahsyat, lalu sinar pedang itu bergulung-gulung bagaikan ombak samudera menerjang ke arah lawannya. Barulah Giok diam-diam terkejut dan kagum. Ilmu pedang Hong San ternyata amat hebat. Bukan sembarang orang dapat men gerakkan pedang seperti itu, dan tentu tadi pun Hong San telah mengerahkan sinkang yang kuat. Mulailah Giok Cu menduga bahwa jagoan muda yang melindungi pembesar korup itu tentu memiliki kepandaian yang hebat pula.

   Karena pemuda tinggi besar itu tidak memegang senjata, maka dia lalu melolos sabuknya yang terbuat dari sutera putih. Pada saat itu, setelah berloncatan dengan gerakan yang aneh seperti gerakan orang mabuk terhuyung-huyung nampak selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran gulungan sinar pedang, sinar pedang ditangan Hong San mencuat dengan sinar menyilaukan mata mengejar tubuh lawan dan menusuk ke arah perut. Pemuda tinggi besar itu meloncat kebelakang dan ketika pedang itu mengejar cepat, tiba-tiba nampak sinar putih meluncur ke depan menangkis pedang.

   "Takkk.........!" Pedang itu pun terpental dan Hong San membelalakkan matanya. Sabuk sutera putih itu tadi menangkis pedangnya dan berubah menjadi keras seperti logam yang kuat. Tanulah dia bahwa lawannya memang lihai bukan main, merupakan seorang lawan yang memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Maka dia pun cepat mencabut sulingnya dengan tangan kiri dan kini dia menyerang lawan kalang kabut dengan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri!

   Namun, sabuk sutera putih itu lihai bukan main gerakannya. Kadang-kadang menjadi keras, kadang-kadang menjudi lemas dan suatu saat, suling di tangan kiri Hong San hampir dapat terampas karena sudah terlibat ujung sabuk yang imat kuat. Terpaksa Hong San membacokkan pedangnya ke arah sabuk yang nenegang itu dan dia berhasil melepaskan libatan sabuk dari sulingnya. Akan tetapi kini lawannya memutar sabuknya dan sabuk itu bagaikan berubah menjadi seekor naga yang melayang-layang dan menyambar-nyambar dari sega jurusan ke arah Hong San. Pemuda itu menjadi sibuk sekali mengelak atau menangkis dengan pedang dan sulingnya, dan dia pun terdesak. Hong San semakin kaget dan juga penasaran sekali. Dia memutar kedua senjatanya sehingga tidak lagi terdesak walaupun dia jarang mendapat kesempatan untuk balas menyerang walaupun senjatanya dua buah.

   Melihat perkelahian itu, Giok Cu menjadi kagum bukan main. Kiranya sahabat atau kenalan barunya itu lihai bukan main dengan pedang dan sulingn Tingkat kenalan baru itu agaknya tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya sendiri. Namun, lawannya yang tinggi besar itu ternyata tidak kalah lihainya. Dengan sabuk suteranya, pemuda tinggi besar itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Maka, tanpa banyak cakap lagi ia pun mencabut senjatanya dan melompat ke dalam kalangan pertempuran itu untuk membantu Hong San. Melihat gadis ini meloncat dekat, Hong San berseru,

   "Jangan, dia lihai sekali, engkau dapat celaka nanti!"

   Seruan ini penuh ketulusan hati, tanda bahwa Hong San amat menyayang Giok Cu, khawatir kalau gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu terluka oleh lawan yang lihai itu. Mendengar seruan itu, untuk kedua kalinya jantung dalam dada Giok Cu berdebar. Ia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik ucapan itu. Hong San sendiri kewalahan dan terdesak lawan, namun dia melarang ia maju. Hal ini membuktikan betapa pemuda bercaping merah itu amat memperhatikan dan mengkhawatirkan dirinya! Tanpa banyak cakap lagi, tanpa menjawab ucapan Hong San, Giok Cu sudah menerjang dengan pedangnya ke arah pemuda tinggi besar.

   Pemuda itu sedang mendesak Hong San dan tiba-tiba dia merasa ada angin dahsyat menyambar diikuti suara mencuit nyaring dan melihat ada sebatang pedang mencuat dan meluncur masuk di antara lingkaran sinar sabuknya! Ketika sabuknya menyentuh pedang itu, sabuknya terpukul mundur, seolah-olah seekor ular yang merasa ngeri berdekatan den alat pemukul! Dia terkejut, apalagi ketika pedang yang tumpul, tidak tajam tidak runcing itu meluncur ke arah lehernya! Terpaksa dia melempar tubuh ke belakang, lalu melakukan gerak bergulingan ke belakang. Ketika dia bangkit kembali, dia sudah memegang sebatang kayu cabang pohon yang didapatkan di atas tanah, dan sabuk itu sudah disimpannya kembali. Kiranya, menghadapi dua orang lawan yang amat lihai itu, pemuda tinggi besar ini telah mengganti sabuknya dengan sebatang tongkat.

   Hong San terkejut dan girang melihat kelihaian Giok Cu! Semangatnya bangkit kembali. Dia tadi tahu bahwa seorang diri saja, amat terlalu sukarlah, baginya untuk dapat mengalahkan lawannya. Akan tetapi, melihat betapa serangan pedang di tangan Giok Cu membuat lawan seperti terkejut dan kewalahan, bahkan kini berganti senjata, dia menjadi gembira sekali dan bersama Giok Cu, dia pun cepat mendesak ke depan dan menghujankan serangan kepada lawannya.

   Kini pemuda tinggi besar itu menggerakkan tongkatnya dan sungguh aneh, gerakannya ganjil sekali, kacau balau dan seperti orang mabuk saja. Tubuhnya terhuyung ke sana-sini, bahkan seperti kadang-kadang hendak jatuh. Hebatnya, semua gerakan aneh itu dapat membuat tubuhnya bukan saja terhindar dari hujan serangan dua orang lawannya, bahkan ujung tongkatnya masih sempat melakukan serangan balasan yang cukup ampuh, membuat Hong San dan juga Giok Cu terpaksa meloncat mundur dengan kaget.

   Sementara itu, para penyerang tadi juga terdesak hebat oleh tiga belas orang pengawal berkuda. Beberapa orang di antara para penyerbu itu sudah roboh terluka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah sedikitnya lima puluh orang, berlarian ke tempat itu dengan segala macam senjata di tangan. Mereka adalah orang-orang yang pakaiannya bermacam-macam, akan tetapi sebagian dari mereka, yang terbanyak, dapat dikenal dari pakaiannya bahwa mereka adalah suku bangsa Hui. Dengan senjata di tangan, mereka menyerbu dan mengamuk sehingga tiga belas orang pengawal itu tentu saja terkejut dan terdesak!

   Melihat ini, pemuda tinggi besar yang tadi dikeroyok oleh Giok Cu da Hong San, tiba-tiba membuat gerakai melompat jauh meninggalkan dua orang lawannya, mendekati para pengawal lalui berseru dengan suara nyaring.

   "Kalian tidak lekas pergi mau tunggu mati? Cepat pergi susul majikan kalian dan lindungi dia!"

   Para pengawal itu seperti diingatkan bahwa kereta yang membawa Liu Taijin sudah sejak tadi pergi maka kini mendengar seruan pemuda tinggi besar itu, mereka lalu membalikkan kuda dan melarikan diri. Tiga orang teman mereka yang roboh dan tewas terpaksa mereka tinggalkan. Para penyerbu itu tidak dapat melakukan pengejaran karena mereka tidak mungkin dapat menyusul lawan yang berkuda. Maka, kini semua kemarahan mereka tumpahkan kepada pemuda tinggi besar yang lihai itu. Akan tetapi, di antara suara riuh rendah mereka, tiba-tiba seorang di antara orang-orang Hui itu berteriak.

   "Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning)!! Dia Huang-ho Sin-liong..............!"

   Teriakan ini membuat semua orang menghentikan gerakan mereka yang hendak mengeroyok pemuda tinggi besar itu. Mereka terkejut mendengar disebutnya nama julukan ini, sebuah nama julukan yang baru muncul akan tetapi sudah menggemparkan karena sepak terjang Huang-ho Sin-liong amat mengejutkan bagaikan seekor naga sakti yang turun dari angkasa untuk membersihkan segala bentuk kejahatan di sepanjang Sungai Huang-ho!

   Hong San juga menahan serangannya dan dia berdiri tertegun memandang pemuda tinggi besar itu. Kini dia teringat. Biarpun malam itu tidak begitu terang, akan tetapi dia ingat bahwa inilah orang yang pernah dilawannya, yaitu ketika dia hendak memperkosa seorang wanita gagah dan pemuda tinggi besar inilah yang menggagalkannya! Kini teringat, terutama sekali permainan tongkatnya yang aneh itu! Jadi orang yang telah dua kali ditempurnya ini berjul Huang-ho Sin-liong? Dia akan mencat nama itu.

   Mempergunakan kesempatan selagi semua orang tertegun yang membuat dua orang pengeroyoknya yang lihai tadi pun menghentikan serangan mereka, pemuda tinggi besar itu lalu berloncatan cepat dan sebentar saja bayangannya sudah lenyap di antara pohon-pohon. Kalau saja Giok Cu tahu siapa pemuda itu, siapa Huang-ho Sin-liong itu! Pemuda tinggi besar itu bukan lain adalah Si Han Beng, Tentu saja Giok Cu tidak mengenalnya juga sebaliknya Han Beng tidak lagi mengenal gadis yang kini menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, manis dan lihai itu. Ketika mereka saling berpisah, Han Beng berusia dua belas tahun dan Giok Cu baru berusia sepuluh tahun! Dan dua belas tahun telah lewat sejak mereka saling bertemu dan menjadi sahabat.

   Kini semua orang yang tadi menyerang kereta, juga puluhan orang Hui yang datang membantu, memandang kepada Giok Cu dan Hong San. Tiga orang diantara mereka, yaitu seorang yang memimpin orang-orang Hui, dan dua orang yang memimpin penyerangan pertama, sudah melangkah maju menghampiri dua orang muda itu. Mereka memberi hormat dan seorang di antara mereka berkata.

   "Terima kasih atas bantuan Ji-wi yang gagah perkasa. Akan tetapi sayang sekali bahwa sergapan kita terhadap pembesar lalim penindas rakyat itu gagal karena Huang-ho Sin-liong melindunginya!"

   "Siapakah kalian dan mengapa kalian menyerang kereta pembesar Liu itu?" Giok Cu bertanya sambil memandang tajam kepada tiga orang itu.

   Tiga orang itu saling pandang, lalu orang yang menjadi wakil pembicara tadi tersenyum.

   "Kami adalah orang-orang yang membenci para pembesar lalim dan agaknya tidak berbeda dengan Ji-wi yang juga memusuhi mereka. Kami mewakili rakyat yang menderita tekanan dan penindasan sehubungan dengan pengerahan rakyat yang dipaksa untuk bekerja membangun terusan! Kami dipaksa, kalau tidak dapat menyogok, maka pemuda-pemuda kami dipaksa bekerja, gadis-gadis kami dipaksa pula bekerja di dapr umum dan untuk menghibur para mandor. Kami ingin memberontak terhadap para pembesar lalim yang menindas rakyat! Dan para kawan yang baik ltu adalah orang-orang suku Hui yang juga membenci pemerintah karena banyak antara mereka yangmenderita karena tanah hak milik mereka disepanjang sungai dirampas."

   Hong San tertawa mengejek.

   "Wah, kiranya kalian adalah pemberontak-pemberontak?"

   "Kalian memang benar! Para pembesar lalim yang melaksanakan pengumpulan tenaga pekerja terusan, memang patut dibasmi!" tiba-tiba Giok Cu berkata dan hal ini diam-diam mengejutkan hati Hong San. Kiranya gadis perkasa ini pun setuju dengan para pemberontak itu! Dia sendiri sebetulnya tidak perduli akan pemberontakan terhadap pemerintah. Dia hanya akan bertindak demi keuntungan diri sendiri. Dan apa untungnya menentang pemerintah? Akan tetapi karena dia melihat betapa gadis itu membenarkan mereka yang menentang pemerintah, dia pun pura-pura setuju.

   "Memang, para pembesar itu menjemukan sekali, korup dan tukang menerima sogokan, mereka menindas rakyat untuk menggendutkan perut sendiri!"mengangguk-angguk, walaupun dalam hatinya berbisik bahwa apa salahnya dengan perbuatan seperti itu? Semua orang di dunia ini mencari kesenangan bagi diri sendiri!

   Mendengar ucapan dua orang muda yang tadi mereka saksikan sendiri keIihaiannya, orang-orang yang menamai dirinya pejuang rakyat itu merasa gembira sekali. Mereka lalu mengundang Giok Cu dan Hong San untuk berkunjung ke tempat tinggal pimpinan mereka untuk berkenalan.

   "Beng-cu (Pimpinan Rakyat) akan merasa gembira sekali kalau dapat bertemu dan berkenalan dengan Ji-wi yang gagah perkasa, yang tadi telah membantu kami."

   Sebetulnya Hong San tidak tertarik akan tetapi karena Giok Cu ingin sekali tahu lebih banyak tentang orang-orang yang dianggapnya gagah perkasa dan berjiwa patriot, pembela rakyat tertidas itu, ia menerima undangan mereka dan dengan sendirinya Hong San menerimanya. Pemuda ini tidak ingin segera berpisah dari gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Maka, pergilah mereka berdua bersama tiga orang pimpinan itu, menyusup-nyusup ke dalam hutan dan akhirnya mereka tiba di dekat sebuah bangunan darurat yang berdiri di tengah-tengah hutan, di tempat yang amat liar dan tak pernah didatangi, orang dari luar.

   Bangunan darurat itu terjaga kuat dan di belakang bangunan itu terdapat sebuah dataran luas dimana terdapat banyak sekali pria yang sedang berlatih silat. Kiranya tempat ini menjadi sarang para pemberontak yang menamakan diri mereka pejuang rakyat itu. Dan memang harus diakui bahwa banyak pula penduduk dusun, terutama mereka yang masih muda, yang melarikan diri karena tidak mau dijadikan pekerja paksa, di tampung oleh gerombolan ini dan menjadi anggauta "pejuang". Dipandang sepintas lalu, memang mereka pantas dinamakan pejuang yang hendak membela rakyat dari penindasan para pembesar yang menyalahgunakan perintah dari istana dalam hal pembuatan terusan itu. Giok Cu sendiri tertarik dan merasa kaget kepada mereka, maka ia mau diajak kesitu untuk bertemu dan berkenalan dengan orang yang menjadi beng-cu (pemimpin rakyat), yaitu yang memimpin gerakan membela rakyat tertindas itu.

   Di dekat bangunan besar terdapat pula banyak pondok yang didirikan oleh para anggauta pemberontak, bahkan terdapat pula banyak wanita dan kakan-kanak, yaitu keluarga dari mereka yang terpaksa melarikan diri, yang dikejar-kejar petugas untuk menjadi pekerja paksa. Melihat ini, Giok Cu merasa makin suka kepada mereka. Ia teringat akan keadaan dirinya sendiri. Orang tuanya juga terpaksa melarikan diri dusun mereka. Mendiang ayahnya, Hok Gi, adalah seorang pejabat lurah Kiong-cung, di tepi Huang-ho. Karena ayahnya itu dipaksa oleh pembesar atasan untuk mengumpulkan semua pemuda dusun itu agar menjadi pekerja paksa, ayahnya merasa tidak sanggup dan diam-diam melarikan diri karena dia tahu akan kegagalan atau ketidaksanggupan itu tentu akan berakibat hukuman berat baginya. Dalam pelarian ini, ayahnya dan ibunya tewas oleh........ Liu Bhok Ki! Sampai sekarang, ia belum berhasil menemukan Liu Bhok Ki yang membunuh ayah dan ibunya! Karena persamaan nasib itulah maka diam-diam Giok Cu merasa suka kepada para pemberontak ini.

   Mereka memasuki rumah dan setelah tiga orang pimpinan para penyerang kereta Liu Tai-jin tadi melaporkan ke dalam, Giok Cu dan Hong San dipersilakan masuk ke dalam ruangan belakang, sebuah ruangan yang luas dan di situ ketulan sedang diadakan pertemuan tara para pimpinan pejuang dan berapa orang suku bangsa Hui. Di atas meja panjang sederhana terdapat hidangan sederhana dan arak, dan ada sembilan orang duduk mengepung meja panjang, saling berhadapan dan suasananya cukup gembira dan bersemangat.

   Ketika dua orang muda itu memasuki ruangan, sembilan orang yang sudah menerima laporan itu segera bangkit berdiri dengan sikap hormat. Seorang diantara mereka, seorang laki-laki yang usianya kurang lebih enam puluh empat tahun, segera berkata dengan suara nyaring.

   "Selamat datang, dua orang Saudara Muda yang lihai. Kami girang sekali mendengar bahwa Ji-wi (Anda Berdua) telah membantu anak buah kami. Silakan Ji-wi mengambil tempat duduk!"

   Giok Cu dan Hong San mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu mereka mengambil tempat duduk yang masih kosong, menghadapi kakek yang bicara tadi. Setelah mereka duduk, sembilan orang itu pun duduk dan kakek tinggi kurus yang wajahnya menyeramkan itu segera menuangkan arak kedalam dua cawan bersih dan memberikannya kepada dua orang tamu muda itu.

   "Saudara sekalian, mari kita memgucapkan selamat datang kepada orang pendekar muda ini! Ji-wi, silakan minum dan menerima ucapan selamat datang dari kami!" Berkata demikian, dia berdiri mengangkat cawan arak, diturut oleh delapan orang lain dan terpaksa Liok Cu dan Hong San juga mengangkat cawan arak mereka dan meminumnya.

   Giok Cu dan Hong San juga memperkenalkan diri dan Kim-bwe-eng Gan Lok berkata sambil tersenyum.

   "Kunjung Ji-wi sungguh menambah kegembiraan kami. Kami mendengar bahwa Ji-wi memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan .agaknya Ji-wi juga membenci para pembesar yang menindas rakyat jelata. Kami akan menerima dengan penuh kegembiraan kalau Ji-wi suka bekerja sama dengan kami."

   Giok Cu mengerutkan alisnya.

   "Hem, untuk bekerja sama, aku harus lebih dahulu mengetahui benar apa maksud tujuan kalian, dan bagaimana pula kekuatan kalian yang berani menentang para pembesar, berarti akan berhadapan dengan pasukan pemerintah." Mendengar itu Hong San kagum dan mengangguk-angguk. Gadis yang diam-diam dipujanya itu ternyata juga amat cerdik.

   Kim-bwe-eng Gan Lok tertawa bergerlak sehingga wajahnya yang menyeramkan itu sejenak nampak lucu.

   "Ha-ha-ha , Nona tidak perlu khawatir. Biarpun kami hanya kelihatan sebagai pelarian di hutan begini, namun sesungguhnya kedudukan kami kuat sekali. Di mana-mana kami mempunyai teman dan kalau dikumpulkan seluruhnya, anak buah kami mendekati lima ratus orang! Kami sudah berhasil merampas atau mencuri barang-barang berharga dari para pembesar korup, kami kumpulkan dan jumlahnya cukup besar untuk membiayai ribuan orang pasukan yang akan kami bentuk. Selain itu, ada pula para saudara suku bangsa Hui yang mendukung gerakan perjuangan kami. Mereka sanggup mengerahkan sedikitnya dua ribu orang, dan juga mereka bersedia untuk menyumbangkan banyak emas yang mereka miliki!"

   Mendengar ini, diam-diam Hong San terkejut dan kagum. Demikian banyaknya harta terkumpul dan dia mulai tertarik. Ada harganya juga untuk dapat menjadi pimpinan dari gerakan menguntungkan ini.

   "Kalian memperkuat diri dan hendak membentuk pasukan, bahkan dibantu oleh orang-orang suku bangsa Hui, apa maksudnya? Apakah hendak memberontak terhadap pemerintah, mengadakan perang melawan pemerintah?"

   Menghadapi pertanyaan yang langsung dan berterang itu, Kim-bwe-eng Gan Lok nampak tertegun. Akan tetapi Kim-kauw pang Pouw In Tiong tertawa.

   "Ha-ha-ha, Nona yang baik! Kalau bukan kami para pendekar yang turun tangan membela rakyat, siapa lagi yang akan peduli? Kalau pemerintah sudah mulai menindas rakyat jelata, jalan apalagi yang dapat kami tempuh selain memberontak? Kalau perlu, pemerintah ini digulingkan, diganti pemerintah baru yang tentu akan membahagiakan rakyat

   "Hemmm, dan kalian yang akan jadi penguasa baru?" Giok Cu mendesak dengan alis berkerut.

   "Kalau perlu! Ya, kalau perlu, kami para pendekar yang akan memimpin
pemerintahan yang bersih dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata!" Akhirnya Kim-bwe-eng Gan Lok dapat bicara dengan suara lantang.

   Giok Cu kini diam saja akan tetapi di alam hatinya timbul keraguan. Ia memang condong untuk menentang para penguasa setempat yang lalim, yang menyalahgunakan kekuasaan, memaksa rakyat untuk menjadi pekerja paksa membangun waduk dan terusan. Akan tetapi hal itu bukan berarti harus memberontak dan mengobarkan perang terhadap pemerintah. Perang berarti kesengsaraan baru bagi rakyat yang mungkin jauh lebih parah daripada kerja paksa itu sendiri. Ia ragu dan sangsi. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hong San untuk bicara. Suaranya lembut dan halus, namun lantang sehingga terdengar jelas oleh semua orang yang berada di ruangan itu, bahkan para petugas jaga di luar ruangan itu pun ikut mendengarkan.

   "Aku dapat menghargai usaha kailan ntuk membebaskan rakyat dari penindasan. Akan tetapi, untuk dapat melawan pasukan pemerintah, selain harus memiliki modal emas yang banyak untuk persiapan melatih pasukan, dan memiliki jumlah pasukan yang kuat, juga harus pula memiliki pimpinan yang cakap, Tidak tahu, syarat apa yang menentukan orang diangkat menjadi pimpinan dari gerakan yang mulia ini?" Berkata demikian, dengan sinar mata tajam menyelidik, Hong San memandang bergantian kepada beng-cu dan wakilnya itu. orang pimpinan itu saling pandang, terdengar suara Kim-bwe-eng Gan tertawa disambung suaranya yang Lantang.

   "Ha-ha-ha, pertanyaanmu sungguh lucu, orang muda yang gagah perkasa. Syarat apa yang menentukan orang diangkat menjadi pimpinan dalam perjuangan membela rakyat ini? Tentu saja dia harus cerdik, bijaksana, gagah perkasa memiliki pengalaman yang matang dan luas!"

   "Hanya itu saja, Paman Gan Lok? engkau melupakan syarat yang terutama dan mutlak penting!"

   Ketua persekutuan pemberontak Itu mengerutkan alisnya. Pemuda itu boleh jadi lihai ilmu silatnya, akan tetapi sikapnya tidak menyenangkan, tidak mau Menghormati tuan rumah dengan sebutan Beng-cu".

   "Hemmm, orang muda, apa maksudmu dengan syarat yang terutama itu?"

   "Untuk memimpin rakyat dalam masa damai, memang dibutuhkan pemimpin yang sudah berusia lanjut karena orang tua lebih teliti, sabar dan tekun. Akan tetapi, memimpin rakyat dalam masa perang, dibutuhkan seorang pemimpin yang masih muda, penuh semangat yang Menggebu, barulah diharapkan perjuangan akan berhasil baik!"

   "Orang muda she Gan, kata-katamu sayang sekali kurang tepat!" bantah Kim-bwe-eng Gan Lok yang mulai merasa panas perutnya.

   "Dalam perjuangan, semangat besar saja tidak ada gunanya tanpa diimbangi kepandaian yang tinggi. Seorang pemimpin muda, biarpun semangatnya menggebu, jelas kepandaiannya belum matang dan pengalamannya belum luas sehingga perjuangan itu akan gagal."

   "Keliru sama sekali pendapat Paman Gan itu!" Hong San membantah suaranya juga nyaring walaupun wajahnya masih berseri Jenaka.

   "Biarpun berpengalaman, mana mungkin seorang yang sudah tua dapat menjadi seorang yang gagah perkasa dan kuat? Semangatnya juga pasti sudah layu dan apa yang dapat diharapkan dari pimpinan yang tua loyo? Tentang kepandaian, belum tentu yang muda kalah oleh yang tua. Hal ini perlu dibuktikan. Aku yang masih muda ini, belum tentu kalah melawan orang-orang tua seperti kedua Paman yang menjadi ketua dan wakil ketua di sini!"

   Mendengar ucapan yang mengandung tantangan ini, Kim-kauw-pang (Tongkat Monyet Emas) Pouw ln Tiong yang wataknya angkuh itu menjadi marah dan tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Dia sudah bangkit berdiri dan tubuh yang gendut pendek itu sama sekali tidak mengesankan ketika dia marah. Namun suaranya menggeledek karena dalam kemarahannya dia telah mengerahkan Khikang dari perutnya, dan matanya melotot mengeluarkan sinar berapi.

   "Bocah she Can! Sungguh engkau sombong dan suka berlagak. Biarpun belum tentu aku Kim-kauw-pang Pouw In Tiong dapat mengalahkanmu, akan tetapi jangan dikira aku takut. Mari, coba bukti-bahwa omonganmu tadi bukan bual belaka!" Berkata demikian, Si Pendek gendut ini sudah melompat ke tengah dengan sambil memutar tongkatnya. Tongkatnya itu setinggi tubuhnya dan berlapis emas sehingga ketika diputar berubah menjadi payung emas yang lebar.

   Giok Cu mengerutkan alisnya. Sebetulnya ia tidak setuju dengan sikap yang diperlihatkan Hong San tadi. Mereka datang sebagai tamu yang dihormati, akan tetapi pemuda bercaping lebar itu malah mengeluarkan kata-kata yang mengandung celaan dan tantangan dengan sikap memandang rendah terhadap tuan rumah. Akan tetapi karena ia pun tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Hong San, ia merasa bahwa segala tingkah laku pemuda itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Ia lupa bahwa datang dan bergerak di samping Hong San sehingga pihak tuan rumah menganggapnya sebagai sekutu atau kawan baik pemuda itu. Giok Cu diam dan ingin menyaksikan bagaimana perkembangan selanjutnya setelah Hong San ditantang mengadu ilmu oleh Kim-kauw pang Pouw In Tiong. Ia pun ingin melihat bagaimana lihainya Hong San dan bagaimana wakil ketua para pemberontak akan mempertahankan kehormatan dirinya sebagai seorang tokoh yang dipilih sebagai wakil ketua, la tidak akan mencampuri urusan mereka.

   Ditantang oleh wakil ketua itu, Hong San tersenyum. Memang inilah yang kehendakinya. Begitu tadi mendapat keterangan akan kekayaan yang dimiliki gerombolan pemberontak ini, hatinya sudah merasa amat tertarik, apalagi terdapat kemungkinan kemenangan besar dimana para pemimpin mendapat kesempatan untuk merebut tahta kerajaan. Betapa muluknya! Inilah yang dicarinya kekayaan besar dan kedudukan tinggi, dua hal yang dahulu juga dikejar-kejar mendiang ayahnya. Dia tahu bahwa ayahnya tidak pernah berhasil karena ayahnya mencarinya melalui jalan yang biasa dilalui golongan sesat. Dia sendiri harus mengubah siasat itu. Dia tidak ingin sekedar menjadi pimpinan golongan hitam yang selalu dimusuhi pemerintah. Kalau saja dia mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahan! Maka, melihat kemungkinan, betapapun kecilnya bsgi gerakan ini untuk merampas kedudukan dan kelak menjadi pemimpin-pemimpin yang menguasai pemerintahan, ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan sikap tenang sekali, senyum tak pernah meninggalkan bibirnya, bangkit dan menoleh ke arah Giok Cu, seolah hendak minta persetujuannya atau hendak melihat bagaimana sikap gadis yang amat menarik hatinya itu. Akan tetapi, Giok Cu bersikap acuh saja, maka dia pun lalu melangkah dan menghsmpiri orang yang menantangnya.

   Hong San melihat betapa banyak anak buah gerombolan pemberontak itu, juga orang-orang Hui yang puluhan orang banyaknya berada di luar, demikian ia pula Yalami Cin kepala suku Hui yang hadir di situ, kini menaruh perhatian. Mereka menonton dengan sikap tegang dan tertarik. Dia pun tersenyum, Inilah kesempatan baik baginya untuk memperlihatkan kepandaian dan menciptakan kesan yang baik, kalau dia ingin berhasil mendapatkan kedudukan seperti yang dikehendakinya.

   "Paman Pouw In Tiong, sama sekali aku bukan sombong atau berlagak. Aku berbicara sejujurnya saja karena aku merasa kagum kepada semua saudara, yang telah berani melawan pemerintah yang menindas rakyat. Justeru karena aku kagum dan suka, maka aku ingin melihat pasukan pejuang yang kokoh kuat, dipimpin oleh orang-orang yang tepat, bukan oleh orang-orang tua yang sepantasnya hanya menjadi penasehat dibelakang saja. Kalau Paman masih penasaran dan hendak membuktikan kebenaran omonganku, silakan!" berkata demikian Hong San sudah mengeluarkan pedang dan sulingnya. Dengan lagak seorang pendekar yang gagah perkasa, dia pun memasang kuda-kuda, menyilangkan pedang dan suling di depan dada, tersenyum dan nampak tenang dan memandang rendah sekali.

   Makin panas rasa hati Pouw In Tiong. adalah seorang pendekar yang terkenal kelihaiannya, nama julukannya sudah dikenal di dunia persilatan, terutama di sepanjang lembah Huang-ho sebelah selatan. Jarang ada ahli silat yang akan mampu menandingi tongkatnya yang berlapis emas itu. Selama bertahun-tahun ini, hanya Kim-bwe-eng Gan Lok saja yang mampu menandingi dan mengalahkannya ketika kelompok pejuang itu mengadakan pemilihan ketua. Akhirnya, Gan Lok yang terpandai dipilih menjadi ketua dan dia menjadi orang nomor dua, di samping masih ada belasan orang pembantu yang kesemuanya tidak ada yang dapat mengungguli ilmu kcpandainnya. Dia dihormati oleh ratusan orang anak buah persekutuan mereka, bahkan dihormati Yalami Cin, ke suku Hui yang mempunyai anak buah ribuan orang. Dan sekarang, seorang pemuda ingusan yang memiliki sedikit ilmu silat saja berani menghina dan menantangnya, mengatakan bahwa dia Gan Lok tidak tepat menjadi pemimpin para pejuang!

   "Bocah she Can! Kalian datang sama Nona ini sebagai tamu dan kami hormati. Akan tetapi sekarang engkau menantang kami. Aku peringatkan bahwa kalau aku sudah menggerakkan Kim-kauw pang ini untuk menyerang orang andai kata orang itu tidak mati pun, sedikitnya tentu akan patah tulang dan terluka. Aku tidak ingin dikatakan sebagai orang yang mencelakai tamunya!"

   Mendengar ucapan wakil ketua dari persekutuan pejuang itu, Giok Cu merasa tidak enak juga. Maka cepat ia berka "Hendaknya semua orang mengetahui bahwa kedatanganku bersama Saudara Can hanya kebetulan saja. Di antara kami tidak ada hubungan persahabat kami pun merupakan orang-orang yang baru saja bertemu dan berkenalan, oleh karena itu, apa yang dia lakukan bukanlah tanggung jawabku. Harap aku tidak di ikut-ikutkan!" lalu cepat ia menambahkan,

   "Aku pun bukan seorang tamu yang suka menghina tuan rumah yang telah Menerimaku dengan baik. Pernyataanku ini sejujurnya, bukan berarti aku takut menghadapi apa dan siapa pun."

   Wajah Hong San menjadi agak kemerahan mendengar ucapan gadis itu. Akan tetapi, karena memang kenyataannya demikian, dia pun hanya tersenyum, lalu berkata halus,

   "Nona Bu memang tidak ada sangkutannya dengan keinginanku menguji kepandaian para pimpinan pejuang. Paman Pouw, jangan khawatir, tidak akan ada yang menuduhmu tuan rumah yang mencelakai tamunya, karena tongkatmu itu sama sekali tidak akan mampu melukai aku, apalagi Menjatuhkan aku. Majulah dan buktikan sendiri!"

   Biarpun ucapan ini nadanya halus, namun tetap saja masih mengandung ejekan yang memandang rendah.

   "Bagus, Can Hong San, lihat tongkatku!" bentak Pouw In Tiong yang memang wataknya angkuh dan keras. Tongkat yang diputar-putar seperti payung itu kini menjadi sinar bergulung-gulung dan tiba-tiba mencuat ke arah Hong San dengan kecepatan kilat dan terdengar suara mengaung tanda bahwa tongkat itu memang berat dan berbahaya sekali.

   Biarpun sikapnya memandang rendah kepada lawan, namun Hong San yang cerdik sekali itu sama sekali tidak memandang rendah, bahkan dia bersikap hati-hati dan tenang. Sikapnya memandang rendah tadi hanya merupakan pancingan agar dapat memperoleh jalan memperlihatkan kepandaiannya dan menundukkan para pimpinan persekutuan itu.

   "Tranggggg.........!" Bunga api berpijar ketika ujung tongkat bertemu pedang. Dalam pertempuran tenaga ini, Hong San sengaja hendak mengukur sampai dimana kekuatan lawan, maka dia hanya mengerahkan tiga perempat tenaganya saja. Dan akibat benturan tenaga melalui senjata mereka, keduanya terhuyung kebelakang. Melihat kenyataan ini, Pouw In Tiong terkejut sekali. Dia telah menyerahkan semua tenaganya, namun ketika pemuda itu menangkis, dia sampai terhuyung dan telapak tangannya terasa panas. Walupun pemuda itu juga terhuyung, namun hal ini sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang memiliki tenaga yang sama kuatnya dengan dia. dilain pihak, Hong San tersenyum dan merasa girang. Dia tahu bahwa tenaganya lebih kuat.

   Kembali Pouw In Tiong menyerang, sekali ini menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan dia memainkan ilmu tongkat Kim-kauw-pang-hoat yang kabarnya merupakan ilmu tongkat yang hebat, warisan dari ilmu tongkat yang dimainkan oleh Sun Go Kong Si Raja Monyet! Di dalam cerita dongeng See-yu terdapat seorang tokoh monyet dewa bernama Go Kong yang amat sakti. Sun Go Kong ini memiliiki tongkat emas yang disebut Kim-kauw-pang. Benar atau tidak ilmu tongkat yang dimainkan Pouw In long itu warisan dari Sun Go Kong, tidak ada yang tahu karena Sun Go Kong pun hanya merupakan seorang tokoh dalam dongeng saja, dongeng tentang perjalanan seorang pendeta Buddha melakukan perjalanan dari Tiongkok ke India dan di sepanjang perjalanan bertemu dengan siluman-siluman yang mengganggunya. Dongeng tentang konflik antara kebaikan dan kejahatan, tentang setan-setan dan dewa-dewa.

   Namun, diam-diam Hong San harus mengakui bahwa memang tongkat ditangan Si Gendut Pendek itu berbahaya sekali. Ilmu tongkat yang dimainkann amat tangguh, mempunyai gerakan yang kuat dan cepat. Bagaimanapun juga, karena tingkat kepandaiannya lebih tinggi dengan mudahnya dia mampu menghindarkan semua serangan tongkat, bahkan melakukan pembalasan dengan pedang diseling oleh totokan-totokan suling di tangan kiri.

   Yang merasa terkejut sekali adalah Kim-kauw-pang Pouw In Tiong. Setelah bertanding selama dua puluh lima jurus belum juga dia mampu mengalahkan lawannya. Apalagi kini dia merasakan betapa setiap kali tongkatnya bertemu pedang, tangannya tergetar semakin keras beberapa kali hampir saja ujung sulingberhasil menotok jalan darahnya sehingga dia terpaksa melempar tubuh kebelakang untuk menyelamatkan diri. Nafasnya sudah mulai memburu. Maklum, usianya yang sudah enam puluh empat tahun itu tentu saja tidak dapat disamakan dengan daya tahannya dua tiga puluh thun yang lampau. Sedangkan lawannya Ialah seorang yang masih muda belia, maka jelaslah kalau mengandalkan daya tahan dan pernapasan, dia akan kalah!

   "Singggggg ......... brettt........... !" Kim-kauw-Pang Pouw In Tiong terkejut bukan main dan dia terhuyung. Ujung bajunya terpotong oleh sambaran pedang! Dalam keadaan terhuyung, dia masih dapat mengerakkan tongkatnya menyerang dengan
sambaran ke arah kepala lawan, serangan yang juga dimaksudkan agar lawan tidak dapat mendesak dia yang sedang terhuyung. Akan tetapi, Hong San sudah menyelipkan suling di ikat pinggangnya dan dengan tangan kirinya, dia menyambut tongkat yang gerakannya tidak begitu kuat lagi. Dia berhasil menarik menangkap ujung tongkat, ditariknya dengan pengerahan tenaga sehingga pemilik tongkat itu ikut tertarik. Kalau Hong San menghendaki, dalam keadaan seperti itu, sekali menggerakkan pedangnya tentu dia akan dapat merobohkan lawan bahkan membunuhnya seketika, tetapi dia terlalu cerdik untuk berbuat seceroboh itu. Pedangnya tidak digerakkan, akan tetapi kakinya yang bergerak menyambar ke depan dalam sebuah tendangan yang terarah.

   "Desssss!!" Tubuh wakil ketua terlempar dan tongkatnya berpindah tangan.

   Kim-kauw-pang Pouw In Tiong meringis dan merangkak, berusaha utuk bangun. Melihat ini, Kim-bwe-eng Lok menjadi marah sekali. Melihat wakilnya dirobohkan tamu, tanpa alasan dia merasa terhina dan dia pun sudah bangkit berdiri.

   "Orang muda she Can, engkau sungguh keterlaluan. Karena tamu sudah melakukan pelanggaran, aku sebagai tuan rumah terpaksa harus memberi hajaran!" Dia sudah melolos senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang golok yang gagangnya dipasangi rantai besi yang panjangnya ada dua meter, rantai yang tadinya melilit pinggangnya. Juga dia memasangkan sabuk tempat penyimpanan belasan batang pisaunya. Ketua ini dijuluki Kim bwe-eng (Garuda Ekor Emas) karena dia pandai mempergunakan senjata rahasia pisau terbang yang bentuknya seperti 4 ekor burung dan berwarna merah. Pisau-pisau itu disimpan di sabuk dan dapat pergunakan setiap saat dan kabarnya, ketua ini memiliki kepandaian yang didisebut Pek-pouw-coan-yang (dalam jarak seratus kaki mengenai sasaran), bahkan ada yang bilang bahwa sambitan pisau terbang dari ketua ini tidak pernah tidak mengenai sasaran!

   Dengan sikap tenang, Hong San sudah siap menghadapi lawan ke dua yang dia tahu tentu lebih kuat itu. Akan tetapi, sebelum Kim-bwe-eng Gan Lok menghampiri lawan yang berdiri di tengah ruangan, tiba-tiba muncul tiga orang diambang pintu dan seorang di antara mereka berseru,

   "Tidak perlu Gan Pan (Ketua Gan) sendiri yang turun tangan. Biarkan kami memberi hajaran kepada bocah sombong yang masih berhutang pukulan kepada kami!"

   "Baik, Kim-bwe Sam-houw, kalau kalian hendak mewakili aku menghajar bocah kurang ajar ini, silakan!" kata Sang Ketua yang duduk kembali.

   Hong San menengok dan melihat tiga orang berpakaian kuning yang pernah ditemuinya di rumah makan Ho-tin, tersenyum.

   "Wah, kiranya tiga ekor lalat dari rumah makan telah terbang pula sini?"

   Mendengar ini, terdengar suara ledakan-ledakan cambuk dan tiga orang telah mencabut senjata cambuk mereka dan mereka kini menghadapi Hong San. Mereka adalah Kim-bwe Sam-houw Siong-an, tiga orang jagoan yang biasa menjadi anak buah sewaan dari Can Taijin. Seorang di antara mereka, yang termuda dan bernama Loa Pin berusia tiga puluh lima tahun, sudah membentak marah.

   "Orang muda yang sombong! Di rumah makan engkau telah menghina kami dan sekarang engkau berani membuat kacau sini? Engkau sungguh sudah bosan hidup!" katanya dengan suara lantang.

   Hemmm, perlu dibuktikan dulu siapa yang sombong dan siapa yang menghina orang. Di rumah makan, kalian sudah memperlihatkan tingkah sombong dan kurang ajar terhadap Nona Bu yang duduk di sana itu! Dan sekarang mendengar
nama julukanmu, kembali kalian bersikap sombong terhadap Ketua Gan. Kalian berani menggunakan julukan Kim-bwe-houw (Harimau Ekor Emas). Nah, siapa yang sombong sekarang? Akan tetapi tidak mengapalah. Kalau kalian hendak bertiga mengeroyok aku, aku pun tidak gentar sama sekali!"

   Semua orang terkejut, kecuali Giok Cu tentu saja. Semua orang tahu siapa adanya Kim-bwe Sam-houw dari Siong-ini. Mereka adalah tiga jagoan yang lihai, yang menjadi orang-orang kepercayaan Cang Tai-jin kepala daerah Siog-an. Tiga orang jagoan inilah yang menjadi utusan Cang Tai-jin kalau mengadakan hubungan dengan persekutuan mereka. Kim-bwe Sam-houw diutus oleh Cang Tai-jin untuk mencari keterangan kesitu ketika tadi mendengar bahwa usaha mereka untuk merampok Liu Taijin itu mengalami kegagalan. Diam-diam Cang Tai-jin mengadakan hubungan kerjasama dengan gerombolan pemberontak, biarpun pembesar itu sama sekali bukan seorang yang berjiwa patriot atau menderita karena melihat kehidupan rakyat yang sengsara tertindas oleh pemerintah yang mengerahkan tenaga rakyat untuk menjadi pekerja pembuat Terusan Besar. Sama sekali tidak, bahkan sebaliknya malah. Dia yang mendapat tugas untuk mengumpulkan tenaga, bahkan memeras rakyat. Biaya yang datang dari kotaraja masuk ke dalam gudang uangnya sendiri, sedangkan dengan kekuasanya, dia memaksa rakyat untuk menjadi pekerja paksa tanpa dibayar! Tidak, kala dia bersekutu dengan perkumpulan yang menamakan diri pejuang yang disebut Pauw-beng-pang (Perkumpulan Penjaga rakyat) itu, adalah karena dia melihat keuntungan-keuntungan di sana. Dia pun diam-diam menjadi sekutu perkumpulan itu. Kalau perkumpulan itu berhasil kelak sehingga dapat merebut kekuasaan, dia tentu akan kebagian kedudukan tinggi sebagai sekutu! Andaikata gagal pun, dia sudah mendapat keuntungan karena lain kedudukannya sekarang tidak akan diganggu, juga dia masih memperoleh bagian kalau terjadi perampokan harta para pembesar dan hartawan seperti mereka rencanakan bersama tadi. Dia menyogok Liu Taijin dengan maksud agar mendapatkan laporan baik ke atasan di kota raja, dan diam-diam dia menghubungi Pouw-beng-pang agar harta itu dirampok dan tentu dia pun akan memperoleh bagian.

   Diam-diam Giok Cu mengerutkan alisnya dan merasa heran melihat munculnya tiga orang dari Siong-an ini. Dari sikap mereka ketika berada di rumah makan, yaitu selagi mereka marah-marah dan hendak menyerang Hong San, mereka seperti mati kutu dan tidak berani ribut-ribut karena ruangan restoran akan dipergunakan oleh Cang Tai-jin, ia sudah menduga bahwa tiga orang jagoan takut atau setidaknya segan kepada pembesar-pembesar itu. Akan tetapi bagaimana sekarang tahu-tahu mereka memiliki hubungan baik dengan para pemberontak yang memusuhi para pembesar? Apakah tiga orang jagoan memang merupakan mata-mata pihak pemberontak untuk menyelidiki keadaan para pembesar di kota-kota? Akan tetapi ia pun diam saja dan hanya menonton. Kini ia pun sudah dapat melihat betapa lihainya Can Hong San dan diam-diam, merasa kagum. Pemuda itu selain me miliki kepandaian tinggi, juga amat tabah dan berani. Di dalam sarang gerombolan yang demikian kuatnya, di mana tidak saja terdapat banyak orang pandai, akan tetapi juga memiliki anak buah yang amat banyak. Kalau mereka itu mengerahkan orang-orangnya melakukan pengeroyokan, sungguh amat berbahaya bagi keselamatan Hong San. Akan tetapi, Hong San kelihatan tenang saja, bahkan gembira seolah-olah dia sudah merasa yakin akan hasil baik akibat ulahnya itu. Kini pemuda itu berhadapan dengan Kim-bwe Sam-houw, dan Giok Cu diam-diam ingin sekali melihat bagaimana kelanjutan ulah pemuda itu. Sekali ini, setelah tadi menyaksikan kelihaian Hong San, diam-diam ia memperhitungkan bahwa walaupun tiga orang itu juga merupakan lawan berat, namun jelas bahwa pemuda itu akan mampu membela diri dengan baik dan bukan tidak mungkin akan dapat mengalahkan tiga orang lainnya itu pula.

   
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Semua orang merasa terkejut dan juga penasaran mendengar pemuda itu menantang Kim-bwe Sam-houw untuk maju mengeroyoknya, walaupun mereka itu banyak yang merasa kagum kepada Hong San. Semua orang tahu bahwa tingkat kepandaian Kim-bwe Sam-houw itu masing-masing tidak jauh bedanya dengan tingkat kepandaian wakil ketua yang tadi kalah. Kalau mereka maju bersama, arti merupakan lawan yang tiga lebih berat daripada Kim-kauw-pang Pouw In Tiong!

   Kim-bwe Sam-houw juga merupa orang-orang yang angkuh dan tinggi hati terlalu menghargai diri sendiri terlampau tinggi hati sehingga biasanya mereka memandang rendah kepada orang lain. Karena merasa diri sudah jarang ada yang dapat melawan itu, mereka pun ham pir tidak pernah maju bersama. Seorang saja dari mereka sudah jarang menemukan tanding. Akan tetapi, tadi ketika mereka datang, mereka sempat melihat betapa wakil ketua Pouw-beng-pang kalah oleh pemuda itu. Maka, tentu mereka pun merasa gentar kalau harus maju seorang demi seorang. Kini, mendengar pemuda itu menantang mereka untuk maju bersama mengeroyok tentu saja mereka menjadi girang. Mereka tidak perlu merasa kehilangan muka sekarang kalau maju bersama, karena mereka ditantang!

   "Bagus! Orang muda yang sombong memang agaknya sudah nasibmu untuk mampus di tangan kami. Kami menerima tantanganmu untuk maju bersama'" Sambil berkata demikian, Thio Kwan, orang tertua dari mereka sudah menggerakkan cambuknya ke atas kepala, diikuti pula oleh dua orang temannya.

   "Tar-tarrr-tarrrrr.......!" Suara cambuk meledak-ledak di udara dan nampak asap mengepul! Tiga orang yang berpakaian serba kuning itu sudah berpencar mengepung Hong San dari tiga penjuru, cambuk mereka meledak-ledak di atas, seperti tiga ekor singa yang siap menubruk domba yang berada di dalam kepungan mereka. Agaknya mereka seperti mengambil ancang-ancang untuk berlumba, siapa yang lebih dulu merobohkan lawan.

   Hong San bersikap tenang namun penuh kewaspadaan. Dia berdiri tegak, sama sekali tidak tegang dan bahkan melemaskan seluruh tubuhnya, namun setiap lembar syarafnya siap menghadapi serangan dari mana pun datangnya. Pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri seolah-olah tak terasa lagi oleh kedua tangannya, seolah-olah kedua senjata itu telah menjadi bagian dari tangan. Tenaga sakti berputar-putar dalam pusarnya, siap dikirim ke mana saja bagian tubuh membutuhkan.

   Tiba-tiba ada sinar emas menyambar dari arah kiri, menyambar bagaikan kilat dari angkasa, mengarah kepala Hong San. Pemuda yang sudah siap siaga memiringkan tubuhnya dan cambuknya menyambar tanpa suara itu memecut lewat. Akan tetapi segera disusul menyambarnya cambuk dari kanan dan dari depan. Namun, dengan gerakan yang amat gesit, Hong San dapat mengelak dari sambaran dua batang cambuk itu. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu untuk membalas, cambuk pertama sudah menyambar lagi dan kini, tiga batang cambuk itu sambung-menyambung, menyerang bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada Hong San untuk membalas sama sekali! Hong San mempergunakan kesigapannya, dengan dasar gin- kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan di antara tiga gulungan sinar cambuk. Diam-diam dia terkejut juga. Kiranya setelah bekerja sama, tiga batang cambuk ini amat berbahaya, kalau dilanjutkan begini, dia selalu akan diserang dan tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Namun, Hong San adalah seorang yang amat cerdik. Sebentar saja dia sudah mendapat akal bagaimana agar dia dapat terlepas dari kepungan sinar cambuk itu. Dia melihat bahwa cambuk-cambuk itu hanya menyerang secara bergiliran dan dia tahu mengapa demikian. Kalau tiga batang cambuk yang panjang itu menyerang secara berbarengan ada bahayanya ujung cambuk-cambuk itu akan saling bertemu, bahkan saling belit sehingga akan merugikan mereka sendiri. Jelaslah bahwa kalau yang satu menyerang, yang dua lainnya hanya bersiap untuk menyusulkan serangan berikutnya andaikata serangan pertama itu dapat dielakkan oleh lawan. Dan ke mana pun Hong San mengelak, selalu dalam pengawasan dua orang yang lain agar dapat menyusulkan serangan berikutnya yang tepat.

   Mula-mula Hong San mencoba untuk menggunakan pedangnya menangkis serangan dengan maksud membabat putus cambuk lawan. Akan tetapi, usahanya bukan saja gagal karena cambuk itu terbuat dari bahan yang kuat dan lembek tidak mungkin dibabat putus, bahkan hampir saja pedangnya terampas karena ujung cambuk, bagaikan ekor ular, telah membelit pedang itu dan baru setelah sulingnya digerakkan menghantam kearah cambuk, pedangnya dapat terbebas. Melihat betapa jalan satu-satunya hanyalah bahwa dia harus balas menyerang seketika, Hong San lalu mengubah siasatnya.

   

Si Bayangan Iblis Eps 11 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 6 Pedang Naga Hitam Eps 6

Cari Blog Ini