Lembah Selaksa Bunga 12
Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
"Beliau meninggal......?" Tek Kun berseru kaget.
"Akan tetapi kenapa? Bagaimana beliau yang belum tua benar sampai meninggal?" Siauw Kim menggelengkan kepala dengan sedih.
"Sejak hidup bersamanya, kami melihat Suhu seperti hidup dalam timbunan duka. Beliau tidak pernah tampak gembira, bahkan seringkali tampak gelisah dan berduka, dan kesehatannya sering terganggu. Akhir-akhir ini beliau sering batuk-batuk dan...... kalau batuk terkadang mengeluarkan darah...... dan pada suatu malam, sekitar empat bulan yang lalu, Suhu meninggal dunia......"
"Aih, kasihan susiok......" Sim Tek Kun menghela napas panjang. Lian Hong dan Siang Lan juga menundukkan muka mereka.
Dahulu, mereka menganggap bahwa Kim-gan-liong merupakan seorang di antara musuh besar yang mengeroyok dan membunuh guru mereka, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu ayah kandung Ong Lian Hong. Akan tetapi kemudian Siang Lan mengetahui bahwa Kim-gan-liong sama sekali tidak ikut mengeroyok, melainkan dia mengajak pi-bu Pat-jiu Kiam-ong karena memang pi-bu merupakan kesukaan Kim-gan-liong. Agaknya peristiwa itu, walaupun dia tidak ikut mengeroyok namun menjadi penyebab tewasnya Pat-jiu Kiam-ong yang diracuni dan dikeroyok banyak orang. Hal itu meracuni hatinya sehingga dia sakit-sakitan, menjadi pertapa dan dalam usia yang belum tua, baru sekitar limapuluh empat tahun, telah meninggal karena digerogoti penyakit yang timbul dari penyesalan dan duka!
"Siauw Kim, setelah gurumu meninggal, lalu engkau dan kakekmu pergi ke kota raja?" Siang Lan bertanya. Seperti yang telah dilakukan sejak tadi dan ini tidak luput dari perhatian Siang Lan, Siauw Kim mengerling ke arah wajah Chang Hong Bu, kerling tajam yang mengandung penuh kekagumanan terima kasih!
"Sebelum meninggal dunia Suhu memesan kepada saya, karena saya sudah tidak mempunyai keluarga lain kecuali kong-kong, Suhu memerintahkan saya untuk pergi ke kota raja. Kami orang miskin, Suhu juga tidak mempunyai apa-apa. Setiap hari kami hanya makan dari tanaman di lereng bukit. Maka ketika kami berangkat kami tidak membawa bekal uang, hanya membawa bahan makanan.
"Akan tetapi setelah bahan makanan habis, terpaksa kami...... minta sumbangan dan untuk balas jasa, saya memperlihatkan ilmu silat yang pernah saya pelajari dari Suhu selama tiga tahun ini. Saya dan kong-kong tidak tahu bagaimana harus mencari uang untuk sekedar makan dan kami hanya mengharapkan belas kasihan dan kedermawanan orang.
"Setiba kami di sini, kami kehabisan uang dan terpaksa tadi saya dan kong-kong minta sumbangan sekadarnya. Sama sekali tidak kami sangka akan muncul tiga orang jahat itu. Ah, kalau saja tidak ada...... In-kong (Tuan Penolong) ini...... ah, tentu kami kakek dan cucu telah menjadi korban......"
"Nanti dulu, Siauw Kim. Kenapa gurumu menyuruh engkau dan kakekmu pergi ke kota raja? Apa tujuan kalian datang ke kota raja ini?" tanya Siang Lan.
"Suhu berpesan agar kami mencari seorang murid keponakan suhu yang berada di kota raja dan suhu mengharapkan agar murid keponakannya itu dapat membantu dan memberi jalan demi kebaikan hidup kami kakek dan Cucu."
(Lanjut ke Jilid 12)
Lembah Selaksa Bunga (Seri ke 02 " Serial Iblis dan Bidadari)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
"Siapakah murid keponakan Gurumu itu, Siauw Kim?" tanya Siang Lan sambil mengerling kepada Sim Tek Kun. Sim Tek Kun dan isterinya juga memandang Siauw Kim dengan hati tegang karena mereka berdua sudah menduga siapa yang dimaksudkan Siauw Kim sebagai murid keponakan Kim-gan-liong itu.
"Kata Suhu, murid keponakannya itu adalah putera seorang pangeran dan bernama Sim Tek Kun," kata Siauw Kim yang sama sekali tidak pernah mengira bahwa orang yang disebut namanya itu berada di depannya.
"Hemm, Siauw Kim, apakah engkau pernah bertemu dengan murid keponakan Gurumu itu?" desak Siang Lan. Siauw Kim menggelengkan kepalanya dan lagi-lagi ia mengerling kepada Chang Hong Bu yang ikut mendengarkan.
"Nah, kalau begitu kuperkenalkan. Dia inilah putera pangeran yang bernama Sim Tek Kun dan ini adalah isterinya, Ong Lian Hong adikku," kata Siang Lan sambil menudingkan telunjuknya kepada Tek Kun. Tentu saja Siauw Kim terkejut bukan main dan ia pun cepat menjura dengan hormat kapada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong.
"Ah...... kiranya Paduka......"
"Hushh, jangan menyebut Paduka kepada suamiku, Siauw Kim," kata Lian Hong.
"Bagaimanapun juga, engkau masih merupakan adik misan seperguruan dari suamiku. Engkau dan suamiku satu perguruan, sama-sama murid Kun-lun-pai, maka engkau adalah Sumoinya (Adik Perempuan seperguruan) dan suamiku adalah Suhengmu (Kakak laki-laki Seperguruanmu)."
"Ah, mana saya pantas menjadi adik seperguruan beliau......?" bantah Siauw Kim dengan sungkan.
"Sumoi Siauw Kim, jangan bersikap begitu. Isteriku benar, bagaimanapun juga engkau adalah murid mendiang Susiok Kim-gan-liong, berarti engkau adalah Sumoiku dan aku adalah Suhengmu." Siauw Kim merasa terharu bukan main. Sambil mengusap air matanya, ia berkata.
"Ah, engkau sungguh seorang yang berbudi mulia dan isterimu juga seorang yang baik sekali, Suheng. Ternyata benar seperti yang diceritakan mendiang Suhu, bahwa Suheng seorang bangsawan tinggi akan tetapi berwatak seorang pendekar sejati."
"Pangeran...... terimalah hormat dan terima kasih kami!" kata Kakek Lim Bun sambil menjura dengan hormat.
"Cukup, Kakek Lim Bun, tidak perlu memakai banyak peradatan," kata Sim Tek Kun.
"Akan tetapi, Sumoi, aku masih merasa heran dan tidak mengerti, apa maksud mendiang Susiok Kim-gan-liong menyuruh engkau dan kakekmu datang kepadaku. Apa yang dapat kami lakukan untukmu?" Mendengar pertanyaan ini, Siauw Kim tampak bingung dan ia saling berpandangan dengan kakeknya, lalu dengan suara lirih ia berkata.
"Suheng...... Suhu hanya berpesan agar kami menghadap suheng dan...... dan mohon petunjuk dan menolong kami...... ah, saya...... saya tidak tahu harus bilang apa......" Kakek Lim Bun segera membantu cucunya.
"Pangeran, saya mohon dapat diberi pekerjaan. Pekerjaan apa saja, yang penting kami berdua mendapatkan tempat tinggal dan dapat makan setiap hari......" Siauw Kim memotong ucapan kakeknya.
"Suheng, kami berdua tidak membutuhkan yang berlebihan. Kami hanya butuh pekerjaan yang tetap agar kami berdua tidak perlu lagi merantau tanpa tempat tinggal yang tetap dan minta-minta sumbangan untuk biaya hidup kami sehari-hari. Saya siap untuk membantu keluarga dan rumah tangga Suheng, menjadi pelayan misalnya...... dan kakek saya juga dapat membantu, menjadi tukang kebun atau apa saja. Kami tidak takut bekerja keras......"
Semua orang terharu mendengar ucapan gadis yang lugu dan bersemangat itu. Chang Hong Bu yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian merasa kasihan akan tetapi juga kagum. Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis dusun sederhana yang demikian gagah berani, jujur dan bersemangat tinggi menjaga nama dan kehormatannya, juga tidak segan untuk bekerja keras agar dapat menghidupi dirinya sendiri dan kakeknya. Benar-benar seorang gadis yang walaupun belum terlalu tinggi ilmunya, namun sudah memiliki jiwa pendekar!
"Aih, kebetulan sekali!" tiba-tiba Siang Lan berseru.
"Hong-moi, sebentar lagi engkau akan membutuhkan bantuan orang yang dapat kaupercaya sepenuhnya. Tiga-empat bulan lagi saja engkau sudah harus menjaga dirimu baik-baik. Bagaimana kalau kalian menerima Siauw Kim membantumu di sini? Adapun kakek Lim Bun tentu saja dapat membantu mengawasi para pelayan di gedung ini!" Lian Hong tersenyum dan memandang suaminya.
"Bagaimana pendapatmu dengan usul Enci Siang Lan, Kun-ko?" Sim Tek Kun tersenyum.
"Terserah kepadamu, aku sih setuju saja dan kurasa Ayah dan Ibu akan menyetujuinya pula." Mendengar ini, Siauw Kim dengan girang menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Tek Kun dan isterinya.
"Terima kasih, Suheng berdua sungguh telah membangkitkan gairah hidup baru kepada kami!" Kakek Lim Bun juga berlutut, akan tetapi Tek Kun cepat membangunkannya dan Lian Hong juga mengangkat bangun Siauw Kim yang berlutut di depannya.
"Sumoi, kami menerima bantuanmu untuk mengatur rumah tangga di sini dan membantu pekerjaan isteriku, akan tetapi kami tidak suka kalau engkau bersikap sebagai seorang pelayan. Engkau kuterima sebagai Sumoiku, maka kalau engkau bersikap merendahkan diri sebagai seorang pelayan, hal itu berarti merendahkan kehormatanku sebagai Suhengmu. Mengertikah engkau?" kata Sim Tek Kun dengan suara tegas.
"Baik Suheng dan maafkan sikap kami tadi," kata Siauw Kim.
"Bagus, urusan ini sudah dapat diselesaikan dengan baik. Engkau bekerjalah dengan baik, Siauw Kim, dan kakek Lim Bun, kalian berdua menerima budi kebaikan adikku Ong Lian Hong dan suaminya, maka kuharap kalian berdua mampu membalas budi kebaikan mereka itu dengan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya dan setia. Seandainya kelak engkau tidak ingin bekerja di sini, engkau boleh ikut denganku ke Lembah Selaksa Bunga dan membantu aku di sana. Akan tetapi karena lembah Selaksa Bunga merupakan tempat tinggal khusus untuk wanita, maka tentu saja Kakekmu tidak mungkin dapat ikut tinggal di sana." Tiba-tiba Siang Lan teringat akan sesuatu dan ia berkata kepada Siauw Kim.
"Siauw Kim, tahukah engkau siapa penolongmu ini?" Ia menuding kepada Chang Hong Bu. Siauw Kim memandang wajah Hong Bu dan menggelengkan kepalanya.
"Saya tidak berani menanyakan nama In-kong," katanya lirih.
"Ketahuilah bahwa dia ini bernama Chang Hong Bu, pendekar muda murid Siauw-lim-pai yang amat lihai dan dia adalah keponakan dari Jenderal Chang Ku Cing yang terkenal." Mendengar ini, Siauw Kim terkejut sekali dan cepat ia memberi hormat sambil menjura kepada pemuda yang amat dikaguminya itu.
"Maaf kalau saya bersikap kurang hormat kepadamu, Chang In-kong!" Disebut Chang In-kong (Tuan Penolong Chang) Hong Bu menjadi merah mukanya dan dia cepat berkata.
"Nona, jangan sebut aku In-kong karena bukan aku saja yang tadi mengusir tiga orang jahat itu, akan tetapi terutama sekali Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dan Adik Ong Lian Hong. Pula tentu sebagai murid Kun-lun-pai engkau juga mengetahui bahwa menentang orang-orang jahat merupakan kewajiban bagi seorang murid perguruan silat yang baik. Jadi, dalam peristiwa tadi tidak ada hutang budi maupun tuan penolong."
"Terima kasih dan maafkan saya, Chang Tai-hiap," kata Siauw Kim. Dengan hati merasa bahagia sekali Siauw Kim lalu dengan rajin mulai membantu pekerjaan rumah tangga di gedung Pangeran Sim Liok Ong. Pangeran itu dan isterinya menerima Siauw Kim dan kakeknya dengan senang hati karena dua orang itu sungguh merupakan orang-orang yang tahu diri dan rajin bekerja.
Malam itu, Nyo Siang Lan tak dapat tidur. Ia gelisah rebah di atas pembaringan dalam kamarnya, memikirkan tentang dirinya. Ia sungguh merasa bingung dan gelisah. Keadaan dirinya sendiri sudah ternoda dan ia merasa dirinya tidak berharga dan membawa aib. Ia merasa benar bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya. Rasanya tidak akan sukar untuk jatuh cinta kepada seorang pendekar muda seperti Chang Hong Bu. Masih muda, gagah dan tampan, keponakan seorang jenderal besar yang terkenal bijaksana dan pandai, memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Ah, tidak banyak pemuda sehebat Hong Bu. Ia merasa kagum dan suka kepada pemuda yang sopan itu. Akan tetapi cinta?
Ia meragukan dirinya sendiri. Rasanya sulit ia dapat jatuh cinta kepada seorang laki-laki setelah ia menjadi korban kebuasan dan kekejian laki-laki, yaitu Thian-te Mo-ong! Tiba-tiba wajah Bu-beng-cu terbayang depan matanya. Wajah seorang laki-laki yang matang dan sudah dewasa benar. Usia Bu-beng-cu tentu sudah sekitar empatpuluh empat tahun. Wajah yang lembut penuh pengertian, sinar mata yang mengandung kebijaksanaan dan senyumnya yang penuh kesabaran. Kepada Bu-beng-cu ia menaruh kepercayaan besar sekali, bahkan Bu-beng-cu merupakan satu-satunya orang di samping Kui Li Ai yang telah ia ceritakan tentang dirinya yang sudah dinodai orang. Dan apa kata Bu-beng-cu? Bahwa kalau dapat ia harus memaafkan pemerkosanya atau kalau tidak dapat mengampuninya, bunuh saja!
Siang Lan terkenang akan pengalamannya yang aneh. Ketika dia ditangkap Hoat Hwa Cin-jin dan nyaris diperkosa orang lagi, muncul Bu-beng-cu menyelamatkannya bahkan ia berhasil membunuh Hoat Hwa Cin-jin. Pada saat itu, rasa haru dan juga lega karena terhindar dari nasib diperkosa orang lagi, ia merangkul gurunya dan pada saat itulah ia merasa betapa perasaan hatinya dekat sekali dengan Bu-beng-cu. Baru ia menyadari bahwa tanpa ia ketahui ia telah jatuh cinta kepada Bu-beng-cu. Sungguh aneh dan mengherankan hatinya. Mengapa bertemu dengan pemuda-pemuda yang tampan dan gagah perkasa ia tidak jatuh cinta? Bahkan cintanya kepada Sim Tek Kun dahulu tidaklah sedalam apa yang ia rasakan terhadap Bu-beng-cu!
Apakah karena laki-laki itu teramat baik kepadanya, berkali-kali membela dan menolongnya, melindunginya bahkan dengan sungguh-sungguh menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya agar kelak dapat membalas dendam sakit hatinya kepada Thian-te Mo-ong? Ia sendiri tidak tahu. Akan tetapi awan gelap menyelubungi hati gadis itu ketika ia teringat betapa sikap Bu-beng-cu seolah tidak menyambut cintanya! Hal ini memang juga dapat diterimanya karena bagaimana mungkin seorang gadis yang sudah ternoda seperti dirinya pantas menjadi pasangan hidup seorang pendekar besar yang bijaksana seperti Bu-beng-cu? Siang Lan teringat lagi kepada Chang Hong Bu. Tidak, ia tidak akan membiarkan dirinya terjerat cinta dengan pemuda itu! Tidak mungkin! Kalau ia menerima dan membalas cinta pemuda itu, ia harus bersikap jujur, harus berani mengaku kepadanya bahwa dirinya bukan perawan lagi, bahwa ia telah diperkosa seorang penjahat.
Dan ia sudah dapat membayangkan. Bibir pemuda yang murah senyum itu akan berjebi mengejeknya, sedangkan matanya yang bersinar tajam berwibawa itu tentu akan memandang rendah! Ah, kalau sampai demikian, ia tentu akan berubah amat membenci pemuda itu! Ah, tidak! Lebih baik ia tidak melibatkan diri dalam cinta dengan seorang laki-laki. Ia sudah tidak layak untuk menjadi isteri orang karena tidak akan tahan melihat suaminya kelak memandang rendah dan hina kepadanya! Ia lalu teringat akan Siauw Kim! Gadis itu jauh lebih layak menjadi jodoh Chang Hong Bu. Biarpun gadis itu seorang gadis dusun namun ia memiliki watak gagah seorang pendekar tabah dan berani menjaga kehormatannya yang lebih dihargainya daripada nyawa. Dan ia melihat sinar mata penuh kagum dari sepasang mata gadis itu kepada Chang Hong Bu!
Lebih baik ia segera kembali ke Lembah Selaksa Bunga. Mendadak saja hatinya merasa rindu kepada gurunya? Bu-beng-cu, gurunya pernah mengatakan bahwa setahun lagi belajar dengan tekun, ia pasti akan mampu menandingi Thian-te Mo-ong! Baru sekarang ia merasa betapa setelah berada di kota raja, jauh dari Bu-beng-cu, ia merasa kehilangan dan hidupnya terasa tidak lengkap! Dengan pikiran mengambil keputusan ini akhirnya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dapat tidur pulas. Malam hari itu terjadi peristiwa yang penting di istana Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu telah menyuruh para datuk yang membantunya, yaitu Hongbacu tokoh Mancu, Tarmalan tokoh suku bangsa Hui, dan Hwa Hwa Hoat-su datuk Pek-lian-kauw, untuk sementara keluar dari kota raja dan bersembunyi.
Sejak malam itu, Pangeran Bouw Ji Kong lebih banyak termenung dalam kamarnya dalam keadaan murung. Dia melihat betapa perkembangan usahanya untuk merebut tahta kerajaan tidak berjalan mulus. Pihak pemerintah terlampau kuat, bukan saja di sana ada Jenderal Chang Ku Cing yang gagah perkasa dan pandai, juga masih ada Menteri Yang Ting Ho yang bijaksana dan yang merupakan pembantu terpercaya dari kaisar Wan Li selain itu juga dihormati dan disegani para pejabat tinggi. Bukan kenyataan ini saja yang membuat hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi risau, akan tetapi juga melihat betapa para sekutunya dari Mancu dan Pek-lian-kauw, terutama sekali para pendukungnya, merupakan orang-orang yang memerasnya.
Banyak sekali permintaan mereka berupa uang dan harta benda lain sehingga dia sudah mengeluarkan banyak harta simpanannya untuk menyenangkan hati mereka agar mereka tetap mendukungnya. Adapun hal yang paling menyakitkan hatinya adalah lenyapnya putera tunggalnya, Bouw Cu An! Puteranya hanya seorang itu, anak-anaknya yang lain adalah perempuan. Tentu saja dia merasa amat sayang kepada puteranya itu yang sejak kecil sudah dia panggilkan ahli-ahli sastra dan tata negara, dia persiapkan agar kelak puteranya itu pantas menjadi seorang pangeran mahkota calon kaisar! Bahkan juga puteranya telah dilatih ilmu silat yang cukup memadai.
Biarpun akhirnya Bouw Cu An memperlihatkan sikap menentangnya dalam urusan melaksanakan rencananya merebut tahta kerajaan, namun kemarahannya kepada puteranya hanyalah di luarnya saja agar terlihat oleh para pendukungnya. Di dalam hatinya, tetap saja ayah ini amat sayang kepada puteranya. Maka, mendengar laporan Hongbacu bahwa puteranya telah diculik Ouw-yang Sianjin dan sampai sekarang belum juga dapat ditemukan, hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi gelisah sekali. Dia melihat rencana pemberontakannya, selain kurang maju perkembangannya, juga amat merugikannya.
Tentu saja selama ini, tindakan dan rencana pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong dia anggap sebagai "perjuangan", demi rakyat demi mengubah pemerintah sang korup menjadi pemerintah yang bersih, dan sebagainya yang muluk-muluk lagi. Akan tetapi sesungguhnya, Pangeran Bouw Ji Kong mempunyai jiwa dan watak pedagang! Watak pedagang membuat dia dalam segala tindakannya mendasari dengan untung rugi. Kalau tindakannya itu menguntungkan, hal ini memperkuat semangatnya untuk melanjutkan apa yang dia perjuangkan, akan tetapi kalau kenyataannya merugikan, dia kehilangan semangat dan mulai memikirkan tindakan apa yang harus dia lakukan untuk menghindarkan dirinya dari kerugian.
Pemimpin seperti ini, dan sebagian terbesar seperti yang tercatat dalam sejarah memang demikian, selalu akan mabok kemenangan dan menyelam ke dalam lautan kesenangan kalau usahanya berhasil, melupakan rakyat yang tadinya dijadikan tulang punggung untuk mendukung "perjuangannya". Malam yang dingin itu Pangeran Bouw Ji Kong duduk termenung seorang diri di dalam kamarnya, tidak dapat tidur memikirkan kegagalannya, terutama sekali dengan hati rindu dan sedih memikirkan puteranya yang hilang. Semua penghiburan yang diberikan isteri dan para selir ditolaknya dan dia malam itu tidak mau diganggu, duduk termenung seorang diri dalam kamarnya yang besar. Angin malam yang berhembus memasuki kamar melalui celah-celah dinding bagian atas membawa hawa dingin menyusup tulang.
Tiba-tiba daun jendela kamar itu terkuak dari luar, menimbulkan suara berderit. Pangeran Bouw Ji Kong terkejut dari lamunannya, menoleh ke arah jendela dan cepat dia melompat berdiri sambil menyambar pedang yang diletakkan di atas mejanya. Pangeran ini memang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan ilmu silatnya itulah yang pernah dia ajarkan pula kepada Bouw Cu An, putera tunggalnya. Jendela itu terbuka dan sesosok tubuh melayang memasuki kamar. Pangeran Bouw Ji Kong siap untuk menyerang, akan tetapi pemuda yang telah berada di depannya itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran.
"Ayah......!" Pedang yang sudah diangkatnya itu turun kembali dan bahkan dilemparnya di atas meja. Dalam suaranya terkandung kemarahan dan kerinduan serta kegembiraan sekaligus.
"Cu An......! Ke mana saja selama ini engkau pergi?"
"Maafkan saya, Ayah. Selama ini saya memperdalam ilmu silat saya. Maafkan saya yang pergi tanpa pamit kepada Ayah."
"Tidak perlu minta maaf, Anakku. Bangkit dan duduklah, dan ceritakan apa yang terjadi! Apakah pendeta jahanam itu yang telah menculikmu, tidak mengganggumu?" Bouw Cu An bangkit, duduk di depan ayahnya dan memandang dengan mata terbelalak heran.
"Pendeta jahanam yang menculik saya, Ayah? Apa dan siapa yang Ayah maksudkan?"
"Siapa lagi kalau bukan pendeta jahat Ouw-yang Sianjin yang telah menculikmu!" Cu An menjadi semakin heran.
"Ayah, darimana Ayah mendengar bahwa saya diculik oleh Ouw-yang Sianjin?"
"Ketika malam itu engkau pergi, Hongbacu datuk Mancu itu mengejarmu dan dialah yang melaporkan bahwa engkau diculik Ouw-yang Sianjin dan dia tidak berhasil menolongmu."
"Aduh! Makin ketahuan sekarang betapa Ayah telah bekerja sama dengan orang-orang jahat. Hongbacu menolong saya? Ayah telah dibohongi dan ditipu. Hongbacu bukan menolong saya melainkan mencoba untuk membunuh saya!"
"Hahh......?" Pangeran Bouw Ji Kong terbelalak.
"Benarkah? Apa...... apa yang terjadi, Cu An......?"
"Ayah agaknya telah mendengarkan fakta yang diputarbalikkan. Begini kejadiannya, Ayah. Malam itu saya merasa kesal dan terus terang saya tidak dapat menyetujui rencana Ayah hendak merebut tahta kerajaan, apalagi Ayah bersekutu dengan orang-orang Mancu dan perkumpulan-perkumpulan pemberontak jahat seperti Pek-lian-kauw, Ngo-lian-kauw dan lain-lain. Karena hati saya kesal dan tidak setuju, maka malam itu saya meninggalkan rumah ini dengan hati sedih. Tiba-tiba muncul Hongbacu yang hendak membunuh saya karena saya dianggap merintangi niat Mancu untuk memanfaatkan Ayah dan merebut tahta kerajaan. Saya tentu sudah mati karena tidak mampu melawan Hongbacu, kalau saja pada saat itu tidak muncul Suhu Ouw-yang Sianjin. Dialah yang telah menyelamatkan saya, mengalahkan dan membuat Hongbacu melarikan diri. Sungguh saya tidak mengerti, mengapa Ayah begitu tega untuk menyuruh Hongbacu membunuh saya, Ayah......" Suara pemuda itu mengandung isak kesedihan.
"Ah, tidak......! Sama sekali tidak, Cu An! Aku sama sekali tidak menyuruh untuk membunuhmu, hanya menyuruh dia memanggilmu kembali. Dia kembali dan mengatakan bahwa engkau diculik Ouw-yang Sianjin......"
"Karena saya mengira bahwa Ayah benar-benar tega untuk menyuruh membunuh saya, maka saya tidak berani pulang dan saya lalu ikut Suhu Ouw-yang Sianjin, memperdalam ilmu silat saya." Pangeran Bouw Ji Kong mengepal tangan kanannya.
"Keparat busuk Hongbacu! Dia membohongiku! Berani dia hendak membunuh puteraku!" Sang Pangeran yang marah itu merasa tidak terdaya karena pada saat itu Hongbacu tidak berada di situ, sudah menyembunyikan diri keluar kota raja menanti berita darinya.
"Sekarang engkau pulang, lalu apa kehendakmu, Cu An?"
"Ayah, setelah saya menjadi murid Ouw-yang Sianjin, saya semakin menyadari bahwa Ayah telah mengambil jalan yang keliru sama sekali. Saya pulang ini untuk menyadarkan Ayah. Orang-orang yang mendukung niat Ayah memberontak itu semua bukan orang baik-baik dan mereka itu hanya ingin membonceng dan memanfaatkan Ayah demi keuntungan mereka sendiri. Harap Ayah menyadari benar hal ini." Tiba-tiba terdengar suara lembut dari luar kamar itu, suara lembut namun beribawa dan terdengar jelas seolah pembicaranya berada di dalam kamar itu.
"Semua yang diucapkan Bouw Cu An itu benar dan bijaksana. Masih belum terlambat bagi orang yang bertindak salah untuk memperbaiki tindakannya! Mengubah langkah dan bertaubat sebelum terlambat, itulah tindakan yang bijaksana."
"Suhu......" kata Bouw Cu An lirih. Pangeran Bouw Ji Kong menoleh ke arah jendela yang masih terbuka. Wajahnya agak pucat ketika mendengar bahwa Ouw-yang Sianjin berada di luar kamarnya. Tentu saja anggapan bahwa Ouw-yang Sianjin merupakan seorang musuh yang berbahaya masih menguasai perasaannya. Akan tetapi dia percaya kepada puteranya, maka dia berseru ke arah jendela.
"Ouw-yang Sianjin, kalau engkau sudah berada di sini, masuklah dan beri penjelasan kepada kami!"
Sesosok bayangan yang ringan dan cepat berkelebat. Ouw-yang Sianjin sudah berada dalam kamar itu, berdiri menghadap Pangeran Bouw Ji Kong dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. Pangeran Bouw melihat seorang berpakaian sebagai tosu, pakaian sederhana serba kuning, usianya sekitar empatpuluh delapan tahun, bertubuh tinggi kurus dan punggungnya tergantung sebatang pedang terbuat dari bambu! Tosu sederhana namun sikapnya lembut dan berwibawa. Dia segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan tosu itu.
"Pangeran, maafkan kalau pinto datang tanpa diundang karena pinto memenuhi permintaan puteramu, Bouw Cu An." kata Ouw-yang Sianjin.
"Duduklah, Totiang. Kami senang Totiang suka datang ke sini karena pada saat ini kami membutuhkan penjelasan. Semua orang sudah mengetahui bahwa jalan yang kita ambil masing-masing tidak sama bahkan berlawanan, akan tetapi mengapa Totiang menolong putera kami dan suka datang ke sini malam ini?" Ouw-yang Sianjin duduk berhadapan dengan Pangeran Bouw dan Bouw Cu An.
"Pangeran, pinto menjadi saksi akan kebenaran apa yang diceritakan puteramu Bouw Cu An tadi. Secara kebetulan dan agaknya Yang Maha Kuasa sudah menentukan demikian. Pada malam itu pinto (saya) melihat puteramu sedang diserang dan akan dibunuh oleh Hongbacu tokoh Mancu itu. Pinto segera turun tangan membelanya dan berhasil menggagalkan usaha Hongbacu yang jahat itu dan mengusirnya. Pada waktu itu juga, pinto minta kepada Bouw Cu An untuk kembali ke rumah orang tuanya, akan tetapi dia tidak mau pulang dan ingin memperdalam ilmu silatnya, juga menceritakan tentang cita-cita Pangeran yang ditentangnya. Nah, hari ini, dia pulang dan minta kepada pinto untuk membantu dia menyadarkan Pangeran agar kembali ke jalan benar." Pangeran Bouw Ji Kong yang tadinya mengalami kekecewaan, bahkan kemerosotan semangat itu kini menatap wajah tosu itu dengan penuh selidik.
"Totiang, engkau mengatakan hendak menyadarkan kami agar kami kembali ke ja1an benar? Hemm, dalam hal apakah totiang menganggap kami melalui jalan yang salah? Anak kami mungkin belum mengetahui benar akan keadaan pemerintah dan bangsa, maka dia bisa menyalahkan kami. Akan tetapi Totiang adalah seorang yang berpengalaman. Bagaimana totiang dapat menganggap bahwa kami salah jalan?"
"Siancai, agaknya Pangeran mendasarkan sikap dan perbuatan Pangeran kepada apa yang dianggap benar! Pangeran, dipandang dari sudut mana pun, perbuatan kekerasan dengan maksud untuk mengadakan pemberontakan jelas perbuatan yang salah sama sekali. Yang sudah jelas Pangeran adalah anggauta keluarga dekat Sribaginda Kaisar, bahkan telah diberi kedudukan tinggi dan terhormat sebagai penasihat Kaisar di bidang hubungan dengan luar negeri. Maka, pemberontakan yang Paduka lakukan itu merupakan suatu pengkhianatan terhadap pemerintah dan keluarga sendiri. Pinto yakin Paduka tidak mau disebut sebagai seorang pengkhianat, bukan?" Wajah Pangeran Bouw berubah merah dan alisnya yang tebal dikerutkan.
"Ouw-yang Sianjin, tahu apa engkau tentang perjuangan? Siapa orang-orang yang telah berkhianat terhadap nusa dan bangsa? Mereka itulah, para penguasa, para pembesar dan pejabat tinggi, yang melakukan kecurangan, korupsi, mencuri uang negara, menindas rakyat untuk memperkaya diri sendiri, mereka adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa dan negara. Kalau sekarang ada orang yang berusaha untuk menghancurkan mereka dan mengubah keadaan, mendirikan pemerintahan yang sehat dan bersih, yang dikelola para pejabat yang benar-benar berjiwa patriot yang lebih mementingkan kesejahteraan bangsa daripada kemakmuran diri sendiri dan keluarganya, bukankah hal itu merupakan perbuatan yang gagah perkasa dan mulia? Orang-orang yang memegang kekuasaan boleh menamakannya pemberontak dan pengkhianat, namun sesungguhnya mereka itu pejuang sejati demi kesejahteraan rakyat dan menentang kelaliman para penguasa!" Ouw-yang Sianjin tersenyum tenang dan sabar, membiarkan Pangeran itu menumpahkan segala kemarahan hatinya. Setelah Pangeran Bouw Ji Kong berhenti bicara, dia bertanya.
"Sudah cukupkah Pangeran bicara? Pinto akan menjawab semua pernyataan Paduka tadi. Agaknya Paduka hanya memandang dari segi baiknya dan untungnya, akan tetapi lengah bahkan mengabaikan segi buruknya dan kerugiannya bagi rakyat. Mari kita telaah bersama. Kita mulai dari segi baik dan untungnya sebuah pemberontakan. Kebaikan dan keuntungannya itu hanya baru bayangan dan harapan belaka, yaitu akan terjadi kesejahteraan bagi rakyat kalau: Satu, kalau pemberontakan itu berhasil seperti yang diidamkan, dan dua, kalau kelak para pejabat dari pemerintahan baru benar-benar terdiri dari orang-orang bijaksana yang patriotik dan tidak suka korupsi atau menyeleweng atau lalim mengandalkan kekuasaan mereka! Hanya dua itu keuntungannya, itupun kalau keduanya berhasil seperti yang diharapkan. Padahal untuk dapat berhasil bukanlah hal semudah dibicarakan. Pertama, amat sukar untuk mengalahkan pemerintah yang memiliki balatentara kuat, memiliki panglima-panglima lihai seperti Jenderal Chang Ku Cing dan lain-lain, masih dukung para pendekar pula. Harapan menang dalam perebutan tahta kerajaan amatlah tipis. Kemudian yang kedua, andaikata pemberontakan berhasil dan dibentuk pemerintahan baru, apakah Paduka kira sudah pasti akan menemukan orang-orang bijaksana yang akan menduduki kursi jabatan? Bagaimana kalau mereka malah lebih berengsek daripada pejabat yang sekarang? Nah, dua segi baik dan untungnya itu masih amat diragukan. Sekarang segi buruk dan ruginya yang tidak dapat diraguan lagi pasti timbul. Pertama, kelak nama Paduka akan tercatat dalam sejarah sebagai seorang pemberontak dan anggauta keluarga yang mengkhianati keluarga sendiri. Kedua, dalam perang pemberontakan sudah pasti akan jatuh banyak sekali korban orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, perajurit-perajurit biasa yang kalau kalah mereka tewas kalau menangpun mungkin hanya mendapat sekadar pujian kosong belaka. Ketiga, kalau terjadi perang maka kehidupan rakyat akan menjadi kacau, para penjahat akan bermunculan untuk mengail di air keruh, melakukan kejahatan tanpa ada yang merintangi karena semua petugas pemerintah sibuk dengan perang. Keempat, Paduka akan menanam bibit permusuhan, dendam-mendendam dan balas-membalas yang tiada hentinya. Dan bukan hanya itu, sekarang orang-orang yang mendukung Paduka itu sudah bertindak keji, diam-diam hendak membunuh putera Paduka tanpa setahu Paduka. Nah, pikirkanlah baik-baik, Pangeran, sebelum mengambil keputusan apakah Paduka hendak melanjutkan langkah yang keliru atau tidak."
"Ouw-yang Sianjin, ingin sekali kami mengetahui, bagaimana sikap para pendeta, pendekar atau tokoh kang-ouw yang mengutamakan keadilan dan kebenaran, bersikap kalau melihat para pimpinan pemerintahan, dari kaisar sampai pejabat tinggi dan rendah, bertindak sewenang-wenang, curang dan korup, tidak adil dan hanya mementingkan kekayaan diri dan keluarganya sendiri? Bagaimana kalian akan bersikap? Memberontak tidak baik katamu, lalu apakah kita rakyat ini harus tinggal diam saja, menerima keadaan dengan segala penderitaannya, hanya mengeluh kepada Tuhan dan sama sekali tidak berusaha untuk memperbaiki keadaan? Coba jawab pertanyaanku itu dengan jelas. Totiang!" Suara Pangeran Bouw Ji Kong penuh teguran dan sekaligus tantangan. Ouw-yang Sianjing tersenyum dan memandang kepada Bouw Cu An.
"Cu An. kita sudah membicarakan urusan yang ditanyakan Ayahmu itu secara panjang lebar. Harap engkau saja yang menjawab pertanyaan Ayahmu itu." Pangeran Bouw Ji Kong kini menatap wajah puteranya dengan alis berkerut. Dia merasa penasaran akan tetapi juga ingin sekali mengetahui pendapat puteranya yang dianggapnya masih kanak-kanak dan kurang pengalaman.
"Ayah, harap Ayah memaafkan saya kalau jawaban saya dianggap tidak benar dan lancang, akan tetapi sesungguhnya pengertian akan hal ini telah saya bicarakan dengan semasak-masaknya dengan suhu Ouw-yang Sianjin dan saya merasa yakin bahwa semua pendapatnya itu benar. Begini, Ayah, Suhu dan saya, tentu tidak dapat membenarkan kalau para pejabat dari kaisar sampai bawahannya melakukan penindasan, bertindak sewenang-wenang, korup dan bersaing memperkaya diri dan keluarganya sendiri. Juga adalah tidak benar kalau kami sebagai warganegara, terutama para pejabat yang menyadari akan ketidakbenaran itu tinggal diam dan tidak ada usaha untuk mengubahnya. Tidak, kita memang harus bertindak! Akan tetapi bukan dengar cara memberontak! Kita dapat saja melakukan kritik dan protes, sebagai wakil rakyat yang tidak berani bicara sendiri, dan kita himpun kekuatan suara kita melalui persatuan para pejabat pemerintah yang setia kepada bangsa dan negara. Kalau kita dapat memperlihatkan dengan bukti-bukti bahwa tindakan para pejabat tinggi, terutama Kaisar itu tidak benar, akhirnya Kaisar dan para pembantunya pasti lambat laun akan merasa malu dan sadar. Kita patut mencontoh sikap Menteri Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku Cing yang bijaksana, adil dan jujur, yang tangannya bersih dari kotoran korupsi dan menyalah-gunakan kekuasaan. Siapakah yang meraguan kesetiaan dan kebijaksanaan mereka? Nama mereka kelak pasti akan tercatat dalam sejarah dengan tinta emas, akan menjadi pujaan bangsa sebagai patriot-patriot sejati yang berjuang benar-benar demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk menumpuk harta bagi keluarga sendiri atau untuk mengangkat nama dan kekuasaan mereka sendiri. Kalau saja Ayah mau bertindak mencontoh kedua orang pejabat tinggi yang bijaksana itu, saya siap membantu ayah dan rela berkorban nyawa sekalipun." Pangeran Bouw Ji Kong termenung, diam-diam dia terharu karena jalan pikiran puteranya itu ternyata membayangkan budi pekerti yang luhur.
"Hemm, kau kira begitu mudahnya? Kurang bagaimana pemerintah mengadakan peraturan dan hukum untuk menjadikan para pembesar itu setia kepada negara dan bangsa, akan tetapi apa buktinya? Mereka bukan berlumba membuat jasa yang baik untuk negara dan bangsa, melainkan berlumba menumpuk kekayaan pribadi!"
"Suhu dan saya mengerti, Ayah. Akan tetapi apa artinya diadakan seribu satu macam peraturan dan hukum kalau semua itu tidak dilaksanakan dengan tertib, bahkan dilanggar sendiri oleh si pembuat hukum? Seolah hukum itu dibuat demi kepentingan mereka yang berkuasa dan diberlakukan kepada rakyat kecil. Suhu mengingatkan saya akan apa yang diajarkan Guru Besar Khong Cu dalam Kitab Tiong-yong Pasal 21 ayat 12: Ada sembilan syarat untuk dapat memimpin negara dan bangsa, yaitu: 1. Memperbaiki diri sendiri lahir batin. 2. Menghargai orang-orang bijaksana dan pandai. 3. Mencinta sanak saudara dan keluarga. 4. Menghargai pejabat-pejabat tinggi. 5. Tenggang rasa terhadap para pejabat biasa. 6. Mencinta rakyat seperti anak sendiri. 7. Mengkaryakan sebanyak mungkin ahli pembangunan. 8. Ramah tamah terhadap para tamu negara. 9. Mengikat hubungan baik dengan negara lain."
"Hemm, apakah semua itu akan menjamin para pejabat dari yang tinggi sampai yang rendah akan dapat mentaati apa yang dikehendaki pemimpin besar mereka, yaitu Kaisar? Bicara memang mudah, akan tetapi pelaksanaannya tidaklah semudah itu!"
"Suhu dan saya menyadari akan hal itu, Ayah. Memang semua teori itu mudah dan sama sekali tidak ada gunanya kalau tidak dipraktekkan. Akan tetapi kita benar-benar jujur dan ingin menjadi hamba Tuhan, menjadi manusia yang utama, dan kita laksanakan semua teori itu, sudah pasti akan berhasil. Sekarang bukan jamannya lagi untuk menjejali rakyat dengan slogan-slogan, dengan pelajaran-pelajaran, dengan hukum-hukum kalau semua itu hanya omongan kosong belaka dan tidak dilaksanakan dengan tertib dari yang paling atas sampai yang paling bawah. Rakyat tidak butuh nasihat tentang kebaikan lagi, melainkan membutuhkan TAULADAN, membutuhkan CONTOH dari mereka yang mengeluarkan slogan, pelajaran, dan nasihat itu. Para pimpinan negara merupakan Bapak bagi rakyat dan menjadi suri tauladan. Apa artinya Sang Bapak menasihatkan anak-anaknya untuk hidup sederhana dan hemat kalau Si Bapak sendiri hidupnya serba mewah, royal dan menghamburkan uang? Akan tetapi rakyat sebagai anak melihat Pemimpinnya sebagai bapaknya hidup sederhana, tidak usah disuruh lagi mereka tentu akan hidup sederhana pula! Jadilah tauladan, jangan hanya penasihat tanpa tanggung jawab. Kalau seorang pejabat tinggi bertangan bersih, para bawahannya otomatis tidak berani bertangan kotor karena atasannya yang bertangan bersih tentu akan menindaknya. Sang bawahan ini setelah dia sendiri mencontoh atasan bertangan bersih, tentu akan menjaga agar bawahannya sendiri juga bertangan bersih. Demikian pula seterusnya, terus dari atas memberi contoh dan menindak bawahan sehingga petugas yang paling bawah pun disegani rakyat karena bertangan bersih. Otomatis rakyat pun akan patuh dan taat karena semua yang dikerjakan pemerintah demi kesejahteraan rakyat, termasuk diri dan keluarga mereka sendiri yang juga sebagian dari rakyat. Akan tetapi kalau atasannya bertangan kotor, bagaimana mungkin dia dapat mencegah bawahannya bermain kotor pula? Bahkan dia akan dijadikan tauladan, tauladan berbuat buruk dan korupsi, oleh bawahannya tanpa dia berani menegur karena dia sendiri bertangan kotor, kemudian bawahannya juga "bertoleransi" kepada bawahannya lagi, demikian terus menurun menjadi budaya korupsi yang turun menurun sampai rakyat menjadi terbiasa dengan keadaan semacam itu."
"Maafkan saya, Ayah, pandangan ini bukan sekadar teori, akan tetapi dapat dibuktikan dan dipraktekkan dalam kelompok yang paling kecil seperti sebuah keluarga dalam sebuah rumah tangga. Kalau Sang Ayah menghendaki anak-anaknya tidak menjadi penjudi, apa artinya kalau dia hanya menegur dan marah akan tetapi dia sendiri menjadi penjudi? Bukan teguran atau nasihat yang dibutuhkan sang Anak dari orang tuanya, atau rakyat dan bawahan dari atasannya, melainkan tauladan yang baik! Rakyat sudah kenyang bahkan muak dengan slogan-slogan dan petuah-petuah, akan tetapi rakyat rindu akan para pemimpin rakyat yang bersih dan patut dijadikan panutan. Kalau para pemimpin kerajaan bersih dan bijaksana, maka kekayaan negara tidak akan bocor dan digerogoti tikus-tikus berpakaian pembesar sehingga negara menjadi kaya dan kekayaan ini dapat dimanfaatkan demi kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya, di mana dicukupkan sandang pangan papan dari SETIAP warga negara kerajaan ini. Alat-alat negara yang bersih dapat bertindak tertib dan melaksanakan semua hukum tanpa pandang bulu, tidak dapat dipengaruhi suap dan hubungan sahabat atau keluarga. Kalau sudah begini, kami kira para pejabat akan kehilangan keberaniannya, apalagi karena mencari sandang pangan papan menjadi mudah. Rakyat akan menjadi senang dan taat kepada pemerintah, dan tidak mungkin lagi ada rakyat yang mau diajak memberontak terhadap pemerintah yang dicinta rakyat karena keadilan dan kebijaksanaannya."
Mendengar ucapan yang panjang lebar penuh semangat dari puteranya itu, Pangeran Bouw Ji Kong terkagum-kagum dan terheran-heran, akan tetapi dia mulai dapat menangkap intinya yang berlandaskan kepada kebenaran. Ucapan puteranya itu sama sekali bukan didasari perasaan iri, dengki ataupun benci, melainkan membuka kenyataan bukan sekedar teori yang muluk-muluk. Melihat pangeran itu termenung, dengan harapan bahwa pangeran itu akan dapat menyadari kesalahannya, Ouw-yang Sianjin segera berkata dengan suaranya yang lembut penuh kesabaran.
"Pangeran, maafkan puteramu kalau bicaranya terlampau tegas, akan tetapi di jaman seperti ini kita seluruh rakyat hanya menggantungkan harapan kepada kaum mudanya. Hanya para mudanya yang memiliki semangat dan keberanian, memiliki pandangan yang kritis, untuk membawa kita semua keluar dari kemelut keadaan yang tidak sehat ini. Kalau kita orang-orang tua masih berpegang kepada peraturan lama, menjadi lemah dan tidak berdaya, lalu para mudanya juga kehilangan semangat dan hanya mengejar kesenangan dan foya-foya belaka, apa akan jadinya dengan tanah air dan bangsa kita tercinta ini!
"Para arif bijaksana di jaman dahulu berkata bahwa pembangunan di atas segala bidang tidak akan berhasil kecuali kalau pembangunan dasar manusia, yaitu pembangunan jiwanya dilaksanakan lebih dulu sampai berhasil. Manusia yang sudah terbangun jiwanya berarti manusia yang mengenal jati dirinya sebagai mahluk hamba Tuhan yang memiliki tugas di dunia ini, yaitu menyejahterakan dunia dan semua isinya. Jiwanya terbangun kalau seorang manusia selalu dekat dengan Tuhannya, taat dan cinta akan perbuatan bajik dan takut serta pantang akan perbuatan jahat.
"Hanya manusia-manusia yang sudah terbangun jiwanya sajalah yang akan mampu menjadi pemimpin-pemimpin rakyat karena kebajikannya akan menjadi tauladan bagi rakyat. Kalau sudah begitu, kemakmuran bagi suatu bangsa bukan hal yang langka lagi karena bangsa yang sudah terbangun jiwanya pasti dikasihi Tuhan dan apa yang dinamakan kemakmuran adalah suatu keadaan dan perasaan yang merupakan karunia dari Tuhan, tidak mungkin dibuat manusia."
Mendengar semua ini, tanpa disadarinya kedua mata Pangeran Bouw Ji Kong menjadi kemerahan dan basah air mata. Teringat dia akan semua nafsu keinginan dan perbuatannya, betapa dia sudah bersekutu dengan para golongan sesat pemberontak seperti Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw, dengan suku ibunya, yaitu suku Hui, dan bahkan dengan bangsa Mancu yang jelas merupakan musuh dan ancaman bagi kerajaan Beng. Dia teringat pula betapa dia telah menyuruh bunuh enam orang pejabat tinggi yang sama sekali tidak bersalah, hanya karena mereka adalah orang-orang atau pejabat-pejabat yang setia kepada Kaisar! Dan yang lebih lagi, dia tidak tahu bahwa puteranya sendiri, nyaris dibunuh seorang sekutunya, yaitu Hongbacu datuk Mancu.
Belum tercapai keinginannya, dalam keadaan masih berjuang saja sekutunya dari Mancu sudah tega untuk membohonginya dan hampir membunuh puteranya! Apalagi kalau mereka sudah berhasil, dapat dia bayangkan betapa para sekutunya itu tak dapat diragukan lagi akan saling berebut, memperebutkan hasil pemberontakan mereka! Teringat pula dia bahwa sekarang, kedudukannya sudah terhormat sebagai penasihat Kaisar. Kalau perjuangannya memberontak yang penuh resiko itu gagal, bukan hanya dia yang celaka, melainkan seluruh keluarganya! Makin dikenang dan dipikir, makin jelas Pangeran Bouw Ji Kong dapat melihat segala isi hati, pikiran, dan semua yang mendorong perbuatannya.
Kini dia mulai melihat bahwa semua apa yang dia anggap sebagai "perjuangan" untuk menyejahterakan rakyat dengan mengambil alih tahta kerajaan itu sesungguhnya hanyalah merupakan ambisi pribadi belaka. Nafsu keinginan untuk mendapatkan yang lebih daripada apa yang dimilikinya sekarang, ya kekuasaan, ya kemuliaan, ya harta kekayaan. Semua ambisi pribadi itu tertutup oleh apa yang dianggapnya sebagai perjuangan suci demi kemakmuran rakyat! Kini dia merasa dirinya seperti ditelanjangi oleh ucapan puteranya sendiri dan Ouw-yang Sianjin. Maka dia teringat akan seorang hwesio yang pernah mengajarkan ilmu silat dan juga tentang budi pekerti kepada dia dan para murid lain.
"Pinceng (aku) tidak ingin melihat murid-muridku menjadi orang-orang pintar, berkuasa, atau kaya raya kalau kalian tidak memiliki kebenaran! Orang pintar yang jiwanya tersesat dan jahat hanya akan menggunakan kepintarannya untuk menipu orang-orang yang bodoh. Orang kuat berkuasa yang tidak benar hanya akan menggunakan kekuatan dam kekuasaannya untuk menindas orang-orang yang lemah. Orang kaya raya yang jahat dan tidak benar hanya akan menggunakan kekayaannya untuk memuaskan nafsu-nafsunya mengejar kesenangan dan menghina orang yang miskin.
"Pinceng hanya menginginkan murid-murid yang menjadi orang-orang benar! Orang-orang yang benar, berjiwa bersih, baik budi, hatinya penuh dengan rasa cinta sesama dan berbelas kasihan, baik dia itu miskin atau kaya, bodoh atau pintar, kuat kuasa atau lemah, orang yang begini adalah kekasih Yang Maha Kuasa. Semua prilaku dan tindakannya mendatangkan berkat bagi sesama dan dialah yang pantas menjadi pembantu dan penyalur berkat Tuhan, dan hanya orang-orang begini yang berhasil sebagai manusia dan selalu disinari kebahagiaan." Demikianlah antara lain hwesio yang menjadi gurunya itu berkata. Dan dia telah membuktikan bahwa dia sama sekali tidak termasuk orang-orang yang seperti dikehendaki gurunya itu! Dia penuh keinginan, penuh ambisi dan untuk mencapai keinginan itu, dia tidak pantang menggunakan cara apa pun, bahkan cara yang jahat!
Bouw Cu An diam saja dan hanya memandang ayahnya yang menutupi muka dengan kedua tangan itu. Ayahnya menangis! Dia merasa terharu akan tetapi juga lega. Tangis ayahnya itu mungkin sekali timbul dari penyesalan dan mudah-mudahan ayahnya akan sadar bahwa pemberontakan itu adalah salah! Ouw-yang Sianjin tersenyum dan dia duduk bersila di atas kursi sambil memejamkan kedua mata. Tosu ini melakukan samadhi sambil menanti tuan rumah memulihkan gejolak hatinya. Baru setelah menjelang pagi, Pangeran Bouw Ji Kong menurunkan kedua tangannya. Dia menggunakan ujung lengan baju mengusap sisa air mata yang membasahi kedua pipinya, lalu dia menoleh dan memandang Bouw Cu An yang masih duduk menunggui ayahnya.
"Ayah!" Pemuda itu memanggil dengan lirih. Mendengar ini, Ouw-yang Sianjin juga membuka matanya dan memandang kepada pangeran itu. Pangeran Bouw Ji Kong kini berkata kepada mereka dengan suara serak dan lirih.
"Ouw-yang Sianjin dan Cu An, sekarang aku menyadari akan semua kekeliruanku dan aku merasa menyesal sekali telah menuruti hati yang dipenuhi iri dan nafsu kemurkaan. Sekarang, beritahu aku, apa yang seharusnya kulakukan?"
"Ayah, saya tidak berani memberi nasihat kepada Ayah. Sebaiknya Suhu Ouw-yang Sianjin yang menjawab pertanyaan Ayah itu......" kata pemuda itu dengan suara terharu karena dia merasa lega dan girang bahwa akhirnya ayahnya dapat menyadari kesalahannya.
"Siancai! Apa yang sepatutnya dilakukan oleh seorang yang telah menyadari akan kekeliruannya? Pinto kira hanya dua, yaitu pertama menghentikan perbuatan yang keliru itu dan bertaubat."
"Bertaubat dengan cara bagaimana?" tanya Pangeran Bouw Ji Kong.
"Pangeran, Paduka bersalah terhadap Sribaginda Kaisar, maka sewajarnyalah kalau Paduka bertaubat dengan pengakuan kesalahan di depan Sribaginda dan mohon pengampunan," kata pula pendeta itu. Pangeran Bouw Ji Kong mengerutkan alisnya lalu menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Totiang, itu terlalu mudah bagiku, terlalu ringan bagi kesalahanku yang besar. Kalau aku hanya mohon pengampunan, andaikata Kaisar mengampuniku, juga namaku akan tercoreng dalam sejarah dan rakyat akan mengutuk namaku. Aku harus melakukan aksi balik yang tepat untuk menebus kesalahanku dan aku hanya dapat mengharapkan Totiang untuk membantu rencanaku sehingga akan berhasil baik."
"Apa yang Paduka maksudkan, Pangeran?"
"Begini, Totiang. Kesesatanku telah mengakibatkan jatuhnya korban. Aku harus membalas semua kejahatan yang dilakukan para sekutuku itu atas rencanaku yang jahat. Maka, aku ingin menjebak mereka, mengundang mereka berkumpul kemudian engkau dan Cu An mengatur dan mengumpulkan para pendekar, juga para panglima dan pasukannya dan tentu saja engkau dapat minta bantuan Panglima Chang Ku Cing untuk keperluan itu. Nah, setelah aku berhasil membasmi mereka yang tadinya bersekutu denganku, para pengkhianat yang sama dengan aku, orang-orang Pek-lian-kauw, wakil Mancu, dan suku Hui, barulah aku akan menyerah dan akan menerima hukuman apa pun yang dijatuhkan kaisar kepadaku. Dengan demikian, setidaknya aku telah melakukan sesuatu untuk menghancurkan mereka yang memusuhi kerajaan. Aku tidak takut namaku sendiri kotor karena memang apa yang kulakukan itu salah, akan tetapi aku merasa sedih kalau sampai nama keturunanku menjadi ternoda karenanya." Ouw-yang Sianjin mengangguk-angguk dan dapat menerima usul itu.
Demikianlah, Pangeran Bouw Ji Kong mengajak Ouw-yang Sianjin berunding dan mengatur rencana untuk menjebak mereka yang tadinya mendukungnya untuk memberontak. Baru setelah pagi, Ouw-yang Sianjin meninggalkan istana Pangeran Bouw Ji Kong, Cu An sendiri tetap berada di rumah orang tuanya karena dia akan membantu ayahnya dalam rencana menjebak dan membasmi para pemberontak. Sepekan kemudian, di sebuah bukit kecil yang penuh hutan, berdatanganlah banyak orang. Karena bukit di sebelah timur kota raja itu berada di daerah yang tandus dan sunyi dan di daerah itu tidak terdapat dusun, maka mereka yang berdatangan di situ tidak diketahui umum. Sejak pagi, tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi, berdatangan di tempat tersembunyi itu, di mana telah dibangun tenda-tenda besar yang disediakan oleh Pangeran Bouw Ji Kong.
Di antara mereka yang datang berkumpul di situ terdapat Hwa Hwa Hoat-su, datuk Pek-lian-kauw, Hongbacu, tokoh Mancu utusan istimewa Nurhacu pemimpin besar Mancu, Tarmalan datuk suku Hui yang dukun ahli sihir. Selain tiga orang sakti yang dulu melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi, juga tampak beberapa orang panglima yang sudah dipengaruhi pangeran Bouw Ji Kong dan mendukung rencana pemberontakan dengan janji imbalan kedudukan yang lebih tinggi apabila pemberontakan itu berhasil. Pangeran Bouw Ji Kong memang hanya mengundang para komandannya saja dan mereka diminta agar tidak mengerahkan pasukan. Setelah semua undangan berkumpul di tempat itu, muncul Pangeran Bouw Ji Kong.
Sekitar tigapuluh orang, para pendukung pemberontakan yang lengkap, telah berkumpul dan setelah Pangeran Bouw Ji Kong datang, semua berkumpul di tenda besar di mana telah dipersiapkan meja yang disambung-sambung memanjang dan kursi-kursi berhadapan terhalang meja. Pangeran Bouw Ji Kong menempati kursi kehormatan yang berada di ujung deretan meja sehingga semua orang duduk di depannya di kanan kiri meja dan memandang kepadanya. Wajah Pangeran Bouw Ji Kong tidak cerah seperti biasa, melainkan tampak seperti orang marah. Semua orang yang hadir memandang heran, apalagi ketika pangeran Bouw Ji Kong bangkit berdiri dan berkata nyaring, tangannya menuding ke arah Hongbacu, tokoh Mancu yang duduk di deretan terdepan bersama Tarmalan dukun suku Hui dan Hwa Hwa Hoat-su tokoh Pek-lian-kauw.
"Saudara-saudara para panglima dan pejabat, kita telah dikhianati oleh orang-orang yang datang dari luar dan mengaku sebagai pendukung kita! Hongbacu orang Mancu ini telah berusaha hendak membunuh puteraku! Kita telah disesatkan oleh golongan Mancu, suku Hui, dan golongan Pek-lian-kauw. Mereka itu masing-masing hendak menguasai kita dan kalau gerakan berhasil, mereka tentu akan berusaha menyingkirkan kita dan menguasai negara!" Hongbacu terkejut dan marah, demikian pula Tarmalan dan Hwa Hwa Hoat-su.
"Pangeran!!" bentak mereka bertiga.
"Pangeran, bukan aku yang berkhianat, melainkan puteramu sendiri! Dia menentang gerakan dan perjuangan kita, tentu saja seorang pengkhianat yang berada di antara kita amat berbahaya. Akan tetapi dia melarikan diri dan diculik Ouw-yang Sianjin......"
"Bohong!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncul Bouw Cu An.
"Hongbacu berusaha membunuhku, dan suhu Ouw-yang Sianjin bahkan yang menyelamatkan aku dari tangan keji Hongbacu!"
"Nah, Saudara-saudara para panglima dan pejabat, kita selama ini telah bertindak keliru. Kita dipengaruhi oleh gerombolan bangsa Mancu, gerombolan Hui, dan gerombolan pemberontak Pek-lian-kauw. Padahal mereka itu hanya akan memanfaatkan kita dan kalau pemberontakan berhasil, pasti mereka itu akan saling memperebutkan kekuasaan seperti tiga anjing kelaparan memperebutkan tulang. Dan kita yang menjadi korban berikutnya.
"Cita-cita kita adalah untuk mendirikan pemerintahan yang sehat dan adil, kesejahteraan rakyat. Untuk itu, kalau ada pejabat tinggi yang bertindak sewenang-wenang, kita dapat mengajukan protes keras. Bukan dengan cara memberontak, karena kalau begitu kita tidak ada bedanya dengan tiga gerombolan itu!" Tempat itu menjadi gaduh karena semua orang, terutama para panglima dan pejabat, terkejut bukan main mendengar ucapan Pangeran Bouw Ji Kong.
"Pangeran Bouw Ji Kong sudah menjadi gila!" teriak Hwa Hwa Hoat-su.
"Saudara-saudara, kita maju terus! Tanpa Pangeran Bouw Ji Kong kita masih dapat merebut tahta kerajaan ini. Pangeran pengkhianat ini dan puteranya sudah sepatutnya dihukum mati!" Setelah berkata demikian, Hwa Hwa Hoat-su maju menyerang Pangeran Bouw Ji Kong dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri. Hongbacu tokoh Mancu juga sudah menggunakan golok gergajinya untuk menyerang Bouw Cu An.
"Tranggg......!" Pangeran Bouw Ji Kong menangkis serangan pedang Hwa Hwa Hoat-su dan cepat mengelak dari sambaran kebutan. Akan tetapi Hwa Hwa Hoat-su terus mendesaknya dengan serangan yang gencar dan dahsyat. Sebentar saja pangeran itu terdesak karena memang tingkat kepandaian dan tenaganya masih kalah jauh dibandingkan lawannya.
"Cringg......!" Bouw Cu An juga menangkis golok gergaji dengan pedangnya. Hongbacu tokoh Mancu ini memang lihai sekali sehingga sekali menangkis saja Bouw Cu An sudah terhuyung ke belakang. Ketika Hongbacu melompat dan menerjangnya kembali, tiba-tiba berkelebat bayangan kuning.
Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Trakk!" Golok gergaji di tangan Hongbacu terpental ketika bertemu dengan pedang bambu di tangan Ouw-yang Sianjin yang melindungi muridnya. Sementara itu, ketika Pangeran Bouw Ji Kong terdesak, tiba-tiba tampak sinar kilat menyambar dan menangkis pedang tokoh Pek-lian-kauw itu.
"Cringg......!" Hwa Hwa Hoat-su terkejut sekali dan melihat bahwa yang membuat pedangnya terpental adalah tangkisan Lui-kong-kiam (Pedang halilintar) di tangan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Dia terkejut dan melangkah ke belakang untuk siap siaga menghadapi lawan tangguh. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
Pedang Sinar Emas Eps 27 Iblis Dan Bidadari Eps 6 Pemberontakan Taipeng Eps 15