Amanat Marga Karya Khu Lung Bagian 1
"Amanat Marga
(Hu Hua Ling) Karya : Khu Lung
Saduran : Gan KL
Angin menderu, awan berarak mengelilingi
lereng bukit Jong-liong-nia yang merupakan lereng
pegunungan Hoa. Bukit yang memanjang terjal
dengan jurang yang dalam, puncaknya yang
menegak dipandang dari jauh serupa sebilah pisau
mengilat yang menembus awan di tengah langit.
Cahaya fajar menyimak awan, kabut pun mulai
menipis. Di puncak Jong-liong-nia itu, di bawah
tugu peringatan pujangga Han-bun-kong berdiri
seorang gadis rupawan dengan gayanya yang indah
sedang memandang jauh ke arah jalan yang
menuju ke atas bukit dengan kening bekernyit.
Tidak lama kemudian, benarlah di jalan
pegunungan itu muncul beberapa sosok bayangan
orang. Wajah si nona cantik berubah berseri, lalu
mendengus perlahan penuh rasa benci dan
dendam. Sekejap kemudian beberapa sosok bayangan itu
sudah melayang tiba dan berhenti di depan si nona
cantik. Nona itu mengerling sekejap, lalu berucap
dengan dingin, "Ikut padaku!"
Dengan suatu gerakan indah ia melompat
mundur beberapa tombak jauhnya, tanpa
memandang lagi ia terus melayang ke atas menuju
ke puncak selatansana .
Pendatang itu seluruhnya terdiri dari lima orang,
seorang di antaranya lelaki kekar berbaju hitam,
bermuka berewok, berbaju ringkas dan membawa
pedang, alis tebal dan mata besar, ia berkata
kepada seorang nyonya muda berbaju merah di
sampingnya dengan tertawa, "Hah, latah benar
nona cilik tadi, tampaknya lebih angkuh daripada
waktu engkau masih muda."
"Masa?" si nyonya muda berpaling dengan
tersenyum. "Sudah tentu benar," seru lelaki baju hitam
dengan tertawa. "Bilamana orang memperistrikan
dia, tanggung akan lebih runyam daripada aku
Liong Hui. Hahaha!"
Suara tertawanya menggema angkasa,
mengandung rasa kasihan atas diri sendiri dan
juga penuh rasa puas.
Si nyonya muda bersuara aleman dan mendekap
ke dada si berewok, rambutnya tertebaran tertiup
angin dan bertaut dengan jenggot pendek si lelaki
kekar. Di tengah gelak tertawa, seorang pemuda
berbaju merah dan berbadan kurus yang menyusul
tiba mendadak berdehem dan berucap, "Suhu
datang!" Seketika si berewok berhenti tertawa dan si
nyonya baju merah juga berdiri tegak kembali.
Tertampaklah muncul seorang kakek berjubah
satin, muka memakai kerudung kain sutera tipis
wama hitam. Di belakangnya mengikut dua lelaki
kekar lain dan juga berbaju hitam mulus,
berdandan ringkas dan membawa golok.
Kedua orang ini menggotong sepotong barang
sepanjang satu tombak dan lebarnya antara tiga
kaki, berbentuk lonjong, tapi tertutup oleh sehelai
kain pancawama sehingga tidak jelas kelihatan
sesungguhnya barang apa yang mereka usung ini.
Melihat si kakek, si berewok, nyonya muda baju
merah dan pemuda kurus tadi sama berdiri dengan
sikap hormat dan tidak berani bersuara lagi.
Sesudah berhenti, si kakek menyapu pandang
sekejap dengan sinar matanya yang tajam, lalu
bertanya dengan suara tertahan, "Di mana dia?"
"Sudah naik ke atas," jawab si berewok dengan
hormat. Si kakek mendengus, "Ayo berangkat!"
Segera ia mendahului menuju ke atas puncak
gunung, ujung jubahnya tersingkap oleh tiupan
angin sehingga kelihatan sarung pedangnya yang
berwama hijau terbuat dari kulit ikan hiu.
Si nyonya muda yang tertinggal di belakang
berucap perlahan, "Ai, hari ini ayah ..." dia tidak
meneruskan ucapannya.
Si pemuda kurus tadi berpaling memandang dua
orang muda-mudi sekejap, ia terkesima sejenak,
lalu berkata. "Sumoay (adik perempuan keempat)
dan Gote (adik kelima), boleh kalian menunggu di
bawah gunung saja."
Habis berkata ia lantas menyusul si berewok dan
si nyonya muda. Kedua muda-mudi saling pandang
sekian lama dan tiada yang bicara apa pun.
Puncak selatan merupakan puncak tertinggi di
Jong-liong-nia, hampir seluruhnya tertutup oleh
gumpalan awan, angin meniup kencang, sejak
dahulu kala jarang ada manusia berkunjung ke
sini. Namun sekarang sang surya baru terbit, puncak
utama pegunungan Hoa yang terkenal ini telah
banyak didatangi orang. Tertampak empat
perempuan setengah umur dengan rambut sudah
mulai beruban dan berbaju hijau singsat berdiri
berjajar di bawah pohon cemara tua, wajah setiap
orang tampak prihatin.
Ketika si nona cantik tadi melayang tiba segera
ia mendesis, "Itu dia sudah datang!"
Baru lenyap suara, dari bawah puncak lantas
berkumandang seruan orang, "Janji sepuluh tahun
yang lalu tidak pemah dilupakan Liong Po-si,
mengapa Sip-tiok-li tidak menyambut kedatangan
kenalan lama?"
Suaranya tidak keras, namun setiap katanya
berkumandang dengan jelas.
Keempat perempuan berbaju hijau itu saling
pandang sekejap, tapi tidak ada yang bergerak.
Sedangkan si nona cantik hanya mendengus saja,
lalu berduduk santai di atas batu hijau di samping
pohon cemara. Baru saja suara orang tadi lenyap, di atas
puncak sudah muncul bayangan si kakek yang
tinggi besar dan berwibawa itu, dengan sorot mata
tajam ia menyapu pandang kelima orang
perempuan di bawah pohon, lalu bertanya,
"Apakah tempat ini puncak Hoa-san yang tertinggi"
Apakah kalian anak murid Tan-hong?"
Dengan tak acuh si nona cantik menjawab,
"Betul!"
"Dan di manakah Tan-hongYap Jiu-pek?" tanya
pula si kakek sambil melangkah maju.
Perlahan si nona cantik berbangkit, ia
mengawasi si kakek beberapa kejap dari atas ke
bawah dan dari bawah kembali ke atas, lalu
menjengek, "Apakah engkau ini Put-si-sin-liong
Liong Po-si?"
Put-si-sin-liong atau si naga sakti tak
termatikan, Liong Po-si, yaitu si kakek berjubah
satin itu tampak melenggong, mendadak ia
menengadah dan tertawa terbahak-bahak,
"Hahaha, bagus, bagus! Tak tersangka hari ini di
dunia Kangouw masih ada orang berani menyebut
namaku langsung di depanku!"
Si nona cantik tertawa dingin, ucapnya dengan
sikap pongah, "Bagus, bagus! Tak terduga hari ini
di dunia Kangouw ada orang berani menyebut
nama guruku di hadapanku."
Melengak juga si kakek, mendadak ia mendekati
keempat perempuan berbaju hijau, ia tuding si
nona cantik dan bertanya, "Apakah dia muridYap
Jiu-pek?" Keempat perempuan berbaju hijau
memandangnya tanpa berkedip dan menjawab
berbareng, "Betul!"
Serentak Liong Po-si berpaling dan menegur
dengan gusar, "Sepuluh tahun yang lalu gurumu
berjanji akan bertemu denganku di sini, mengapa
sekarang dia tidak muncul, sebaliknya
menyuruhmu bersikap kurang sopan kepada kaum
Cianpwe?" "Hm, betapa pentingnya janji pertemuan juga
takkan dipenuhi lagi oleh guruku," kata si nona
dengan dingin. "Memangnya kenapa?" bentak Liong Po-si
dengan gusar. "Guruku telah wafat tiga bulan yang lalu," jawab
si nona dengan perlahan. "Sebelum meninggal
beliau memberi pesan agar kuwakili pertemuan ini,
tapi beliau tidak pemah memberitahukan padaku
bahwa engkau ini kaum Cianpwe apa segala."
Dia bicara dengan tenang, nadanya dingin tanpa
emosi, sama sekali tidak ada tanda duka seorang
murid lagi menyampaikan berita tentang
meninggalnya sang guru.
Kembali Liong Po-si melengak, kain sutera yang
mengerudungi mukanya tampak bergetar, jenggot
perak di bawah dagunya juga rada gemetar.
Keempat perempuan berbaju hijau juga saling
pandang lagi sekejap, tapi tetap tidak bersuara.
Dalam pada itu si berewok, si nyonya muda dan
pemuda kurus berlima juga sudah menyusul tiba.
Kedua lelaki berbaju hitam menaruh perlahan
barang yang mereka usung itu, lalu menyurut
mundur dengan sikap hormat.
Si berewok alias Liong Hui mendekati Liong Posi,
dengan suara perlahan ia tanya, "Bagaimana,
ayah?" Mendadak Liong Po-si menghela napas dan
berkata, "Yap Jiu-pek sudah mati!"
Dengan menyesal ia lantas membalik tubuh dan
melangkah pergi.
Sorot mata si nona cantik yang dingin itu
memancarkan cahaya yang aneh, mendadak ia
menengadah dan tertawa dingin, "Hah, sayang,
sungguh sayang! Tak tersangka tokoh paling gagah
yang termasyhur di dunia Kangouw Put-si-sin-liong
ternyata cuma begini saja setelah kulihat."
Serentak Liong Po-si berhenti di tempat. Alis
Liong Hui juga menegak, dampratnya gusar, "Apa
katamu?" "Apa kataku tiada sangkut pautnya denganmu,"
jawab si nona ketus, "Di sini tidak ada hak bicara
bagimu." Tentu saja Liong Hui tambah gusar, tapi Liong
Po-si telah memutar balik dan menegur si nona,
"Kau bilang apa tadi?"
Dengan tenang si nona menjawab, "Apa yang
ditetapkan dalam perjanjian guruku denganmu
sepuluh tahun uang lalu mengenai pertemuan ini?"
Liong Po-si tampak kecewa, jawabnya, "Yang
menang akan ditetapkan menjadi pemimpin dunia
Kangouw selamanya, dan yang kalah .... Ai,
kalauYap Jiu-pek sudah mati, biarpun orang she
Liong dapat merajai dunia Kangouw ...."
"Meski guruku sudah wafat, apakah engkau
pasti dapat merajai dunia Kangouw?" mendadak si
nona memotong dengan ketus.
"Memangnya hendak kau tantang diriku untuk
bertanding?" tanya si kakek.
"Hm, biarpun ada maksudku demikian, mungkin
engkau juga tidak sudi bergebrak denganku,"
sahut si nona. "Memang betul," ujar Liong Po-si.
"Selama berpuluh tahun kira-kira ada berapa
kali engkau bertanding dengan guruku?" tanya si
nona mendadak. "Berapa kali, sukar dihitung lagi."
"Dan pemahkah engkau menangkan beliau
setengah atau satu jurus?"
"Tapi juga tidak pemah kalah."
"Nah, kalau kalah dan menang tidak pemah
terjadi dan engkau lantas ingin merajai dunia
Kangouw, apakah di dunia ini ada urusan
segampang ini?"
Liong Po-si melenggong, "Yap Jiu-pek sudah
mati, masakah harus kutantang orang mati untuk
bertanding?"
"Hm, meski guruku sudah meninggal, tapi beliau
meninggalkan satu seri ilmu pedang, bila engkau
tidak mampu mengalahkan ilmu pedang ini,
hendaknya segera engkau membunuh diri di
puncak Hoa-san ini dan setiap anak murid Ci-hausanceng selanjutnya dilarang berkecimpung di
dunia Kangouw."
Belum lagi Liong Po-si menjawab, mendadak si
berewok Liong Hui bergelak tertawa dan berteriak,
"Dan bagaimana kalau ayahku menang?"
Sama sekali si nona tidak menghiraukannya,
melirik pun tidak, ucapannya seolah-olah tidak
terdengar olehnya.
Liong Hui tertawa keras dan berseru pula, "Jika
ayahku kalah diharuskan segera membunuh diri,
bila ayah menang, memangnyaYap Jiu-pek itu
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat mati sekali lagi" Apalagi jelas-jelas kau tahu
ayahku tidak sudi bergebrak dengan kaum muda,
apa gunanya biarpunYap Jiu-pek meninggalkan
ilmu pedang segala?"
"Diam?" mendadak Liong Po-si membentak. Lalu
ia mendekati si nona cantik dan berucap dengan
suara tertahan, "Selama sepuluh tahun ini, apakah
dia telah menciptakan pula seri ilmu pedang
baru?" "Betul," jawab si nona.
Mencorong sinar mata Liong Po-si, tapi lantas
menghela napas lagi dan berkata, "Biarpun ada
ilmu pedang mahasakti, kalau tidak dimainkan
oleh orang yang menguasai keuletan yang cukup,
memangnya dapat mengalahkanku begitu saja?"
Perlahan ia menunduk, tampaknya sangat
kecewa. Dengan ketus si nona berkata pula, "Jika ada
orang yang keuletannya sebanding denganmu, lalu
dengan ilmu pedang tinggalan guruku untuk
bergebrak denganmu, bukankah hal itu serupa
halnya guruku bertempur sendiri denganmu?"
Sorot mata Liong Po-si tambah buram, ucapnya
dengan hampa, "Sejak 17 tahun yang lalu segenap
jago dunia persilatan kelas top berkumpul di Wisan,
kecuali gurumu dan aku, semuanya gugur
dalam pertarungan di Wi-sansana . Sekarang bila
ingin mencari seorang yang mempunyai kekuatan
sebanding denganku, untuk itu mungkin perlu
menunggu tiga ataulima puluh tahun lagi."
"Untuk menguasai ilmu pedang dengan baik
memang diperlukan kekuatan latihan yang cukup,
kurang salah satu di antaranya takkan mampu
menjadi jago kelas tinggi, dalil ini cukup jelas,
sebab itulah setelah pertemuan Wi-san, tiada lagi
jago lain yang mampu mengungguli Tan-hong dan
Sin-liong. Biarpun di antara angkatan muda ada
juga yang mendapatkan penemuan mukjizat dan
memperoleh ilmu gaib, tapi tetap juga tiada
seorang pun yang berkekuatan melebihi Tan-hong
dan Sin-liong, betul tidak?"
"Ya, memang," sahut si kakek.
"Sepuluh tahun yang lalu, apakah kekuatan
guruku sebanding denganmu?"
"Umpama ada selisih juga tidak ada artinya."
"Tapi selama sepuluh tahun ini guruku tidak
pemah melupakan janji pertarungan denganmu di
sini, beliau giat berlatih siang dan malam."
"Memangnya aku tidak begitu?" ujar si kakek.
"Jika begitu keadaannya, bila sekarang kalian
berhadapan, bukankah kekuatan kalian juga tetap
tidak berbeda banyak?"
"Ya, kecuali di dalam sepuluh tahun ini gurumu
(perempuan) bisa mendapatkan obat mukjizat yang
dapat menambah kekuatannya dengan cepat,
kalau tidak pati tidak dapat melebihiku."
Setelah menghela napas, mendadak ia berpaling
dan berkata kepada si berewok, "Nah, anak Hui,
ketahuilah bahwa bertambahnya kekuatan latihan
seorang serupa halnya kawanan burung membuat
sarang dan manusia membangun gedung, harus
setingkat demi setingkat maju secara teratur,
sedikit pun tidak dapat dipaksakan, pantang tinggi
hati dan ingin maju dengan cepat, fondasi harus
terpupuk dengan kuat, kalau tidak, biarpun
bangunan gedung sudah berdiri, jelas tidak tahan
lama. Memang ada juga obat-obat mukjizat yang
dapat menambah kekuatan, tapi obat ajaib
demikian sukar dicari. Banyak juga orang Kangouw
yang ingin menemukan obat mukjizat demikian
sehingga menimbulkan macam-macam peristiwa
menyedihkan."
Liong Hui menunduk dan mengiakan.
"Apalagi, pertarungan di antara jago kelas tinggi,
waktu, tempat dan si pelaku sendiri adalah faktor
yang menentukan," kata Liong Po-si pula.
"Tapi kalau guruku berhasil menciptakan satu
seri ilmu pedang tanpa ciri, bukankah dengan
mudah dapat mengalahkanmu?" kata si nona
cantik. "Di dunia ini mutlak tidak ada Kungfu yang
tanpa ciri kelemahan," ujar Liong Po-si. "Namun
bila ciri di antara ilmu pedang gurumu itu tidak
dapat kutemukan, atau satu jurus serangannya
membuatku tak berdaya untuk mematahkannya,
maka jelas aku akan kalah."
"Janji pertemuanmu dengan guruku belum
terlaksana dan guruku lantas wafat, sungguh di
alam baka pun beliau tak bisa tenang," ucap si
nona cantik. "Hm, memangnya tidak kurasakan sebagai
penyesalan selama hidupku ini?" jengek Liong Posi.
Nona itu menengadah, katanya pula, "Sebelum
wafat guruku pemah berkata kepadaku bahwa di
dalam sepuluh tahun ini engkau pasti juga akan
menciptakan Kungfu baru untuk menghadapi
beliau." "Haha, memang cumaYap Jiu-pek saja benarbenar
sahabat yang tahu perasaanku," seru Liong
Po-si dengan tertawa, namun tertawa yang pedih
dan mengharukan.
Tiba-tiba si nona berkata pula, "Tapi kau pun
tidak perlu risau karena Kungfu yang kau latih
selama ini tidak berguna lagi. Sebelum wafat
guruku sudah memikirkan satu cara bagimu
bilamana engkau ingin menentukan kalah-menang
dengan beliau."
Suara tertawa Liong Po-si seketika berhenti, ia
pandang si nona dengan tajam.
Nona cantik itu tidak menghiraukannya, katanya
lagi, "Begini caranya, jika boleh kututuk tiga Hiatto
tubuhmu, yaitu Koat-bun-hiat di bagian bahu,
Sin-cong-hiat di punggung dan Yang-koan-hiap di
dekat pinggul, dengan begitu tertutuplah urat nadi
Tok-im yang dapat mengekang sebagian tenagamu,
dengan kelihaianmu tentu tertutuknya ketiga Hiatto
itu takkan membahayakan jiwamu, tapi
tenagamu dapatlah susut menjadi cuma tujuh
bagian saja dan berarti sama kuatnya denganku,
lalu akan kugunakan ilmu pedang guruku untuk
bergebrak sendiri denganmu."
Dia bicara kian kemari, akhirnya yang dituju
ternyata begini. Liong Po-si jadi melengak lagi.
Didengarnya si nona berkata pula, "Cara ini
adalah pesan guruku sebelum wafat, bilamana
tidak kau terima, tentu juga aku tak dapat
memaksa." Mendadak pemuda berewok Liong Hui berseru,
"Huh, kau bicara seperti permainan anak kecil
saja, mana boleh pertandingan dilakukan secara
begitu." Si nyonya muda berbaju merah yang berdiri
agak jauhsana mendadak melompat maju dan
menjengek, "Hm, jika begitu, bila kugunakan ilmu
silat ayahku untuk bergebrak denganmukan juga
sama saja."
Nona cantik itu mendengus dan melengos,
mendadak ia menengadah dan menghela napas,
katanya, "Wahai Suhu,kansudah kukatakan dia
pasti takkan terima caramu ini, tapi engkau tidak
percaya, sekarang terbukti dugaan Suhu memang
salah." Lalu ia mendekati keempat perempuan berbaju
hijau di bawah pohonsana dan berucap, "Ayolah
kita pergi, apa alangannya membiarkan Ci-hausanceng merajai dunia persilatan."
"Nanti dulu!" bentak Liong Po-si mendadak.
Si nona menoleh dan mengejek, "Jika engkau
tidak mau menepati janji terhadap orang mati,
tentu juga aku tidak menyalahkan dirimu. Anggap
saja memang tidak pemah ada perjanjian sepuluh
tahun yang lalu itu."
Liong Po-si menengadah dan bergelak tertawa
lantang, serunya, "Selama berpuluh tahun, entah
sudah berapa kali aku menyerempet bahaya dan
belum pemah kupikirkan soal mati dan hidup,
lebih-lebih tidak pemah ingkar janji terhadap siapa
pun. Meski Yap Jiu-pek sudah mati, namun janji
tetap janji, jika dia telah meninggalkan pesan cara
bertanding denganku, mana boleh kuingkar janji
padanya." Keruan Liong Hui dan si nyonya muda terkejut,
cepat mereka berseru, "Ayah! ...."
Tapi Liong Po-si terus menarik kain
kerudungnya. Sekilas pandang terkesiap juga hati si nona
cantik. Dilihatnya wajah orang penuh bekas luka
silang-menyilang, biarpun dipandang di siang hari
tetap juga menimbulkan rasa seram.
Dengan suara berat Liong Po-si berkata kepada
Liong Hui, "Selama hidup ayahmu sudah
mengalami beratus kali pertempuran besar atau
kecil dan belum pemah kalah, betapa pun
tangguhnya lawan tetap dapat kutundukkan dia
dengan pedangku, semua itu adalah karena
dadaku lapang, tekadku yang bulat, tidak ada
sesuatu yang kutakuti, tapi bila satu kali aku
ingkar janji, tentu dadaku tidak lagi selapang itu,
dan bisa jadi sudah lama kumati."
Sinar matanya menjadi buram, dia seperti
tenggelam dalam lamunan masa lampau.
Cahaya sang surya yang baru terbit menembus
kabut tipis dan menyinari wajahnya yang penuh
bekas luka sehingga garis-garis bekas luka itu
bersemu merah. Perlahan ia meraba dahi sebelah kanan, di situ
ada sejalur luka pedang memanjang dari dahi
kanan hingga ujung mata, bila miring lagi sedikit
ke kiri tentu mata kanan itu sudah lama cacat.
"Empat puluh tahun yang lalu, di benteng Giokluikoan ...." dia bergumam perlahan dan scakanakan
terbayang kembali adegan dahulu ketika dia
berhadapan dengan Ko Siau-thian, itu tokoh utama
Go-bi-pay yang berjuluk Coat-ceng-kiam atau si
pedang tanpa kenal ampun, dengan sejurus
"Thian-ce-keng-hong" atau pelangi menghias ujung
langit, pedang Ko Siau-thian telah meninggalkan
bekas luka pada dahinya itu, sekarang dirabanya
dengan perlahan, rasanya masih dapat merasakan
penderitaan waktu kulit dagingnya tersayat pedang
dahulu. Mendadak ia menengadah dan bersuit, lalu
bergelak tertawa dan berteriak, "Wahai Ko Siauthian,
meski aku tidak mampu menangkis jurus
seranganmu Thian-ce-keng-hong itu, tapi engkau
sendiri masakah mampu lolos dari pedangku" ...."
Suara tertawanya berubah lemah, tapi waktu
tangan menyentuh tiga garis bekas luka di dahi
kanan, kembali terkenang olehnya kejadian lain,
waktu itu dia berkelana menjelajah dunia, dia
berhadapan dengan Pah-san-kiam-kek, melawan
jago keluarga Pang dan juga mengunjungi Siaulimsi, di mana-mana dia menantang bertanding,
setiap kali menyerempet bahaya, tapi selalu lolos
dari elmaut dan akhirnya menang, semua itu
mendatangkan julukan baginya sebagai Put-si-sinliong
atau si naga sakti tak termatikan. Teringat
olehnya 30 tahun yang lalu orang Bu-lim
mengadakan pesta di Sian-he-nia untuk
mengukuhkan julukannya, di mana, berkumpul
kesatria dari segenap penjuru, pesta yang meriah
dan juga membanggakan, terkenang pada kejadian
dulu itu, tanpa terasa tersembul senyuman pada
ujung mulutnya.
Perlahan ia mengelus jenggotnya sehingga
menyentuh setitik bekas luka tusukan pedang,
inilah akibat serangan Sam-hoa-sin-kiam atau si
pedang sakti tiga bunga, luka ini paling ringan,
tapi juga paling berbahaya pada waktu itu.
"Kiu-ih-hui-eng (si elang sembilan sayap) Tik
Bong-peng sungguh tokoh paling sulit dihadapi
selama hidupku ...." demikian Liong Po-si
bergumam pula perlahan, "tapi betapa lihai ilmu
pedangnya tetap tidak dapat lolos di bawah
pedangku."
Lalu dia meraba lagi bekas luka di tepi mata
kanan, itulah tusukan pedang jago Kun-lun-pay.
Malahan bagian iganya juga terdapat bekas luka
pedang Bu-tong-pay, diam-diam ia mengakui
kebaikan hati orang Bu-tong, hanya menyerang
tubuh tanpa merusak wajahnya, sebab itulah Liong
Po-si sendiri juga tidak membunuh lawannya, tapi
siapa yang menyangka dalam pertarungan di Wisan
itu, ketiga sesepuh Bu-tong-pay yang berhati
welas asih itu juga tewas.
Terkenang kepada semua kejadian masa lampau
itu, tanpa terasa Liong Po-si menghela napas
panjang lagi. Bahwa dalam pertarungan di Wi-san
itu hampir segenap jago inti dunia persilatan telah
tewas seluruhnya, sebaliknya Liong Po-si sendiri
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mengalami cedera apa pun, memangnya apa
sebabnya" "Hal ini lantaran segala ilmu silat di dunia ini
telah kuuji dan kupelajari, maka tidak ada lagi
sesuatu Kungfu yang mampu melukaiku!"
Ia memandang jauh puncak di gunung
seberangsana , mendadak timbul semacam
perasaan kosong yang sukar dijelaskan. Ingin
menang tidak bisa adalah hal yang menyedihkan,
minta kalah tidak dapat juga mengharukan. Segala
kejadian masa lampau seolah-olah awan yang
mengambang di udara itu melayang lewat dalam
benaknya .... Mendadak suara elang berkumandang dari
bawah gunung menyadarkan lamunan Put-si-sinliong
Liang Po-si. Suasana di atas puncak terasa
sunyi senyap, sorot mata tajam si nona cantik lagi
menatapnya, seperti sedang menunggu, seperti
juga hormat dan kagum, tapi juga seperti
meremehkan. Sekonyong-konyong Liong Po-si tertawa lantang
sambil membentangkan kedua tangannya,
terdengar suara "trang-tring" nyaring, belasan
kancing emas jubahnya sama rontok jatuh ke
tanah. Terkesiap si berewok Liong Hui, serunya, "Ayah,
buat apa" ...."
"Jika tidak kulayani ilmu pedang tinggalan Yap
Jiu-pek, selain dia mati tidak tenteram di alam
baka, aku pun akan menyesal selama hidup," kata
Liong Po-si dengan tertawa.
Si nona cantik mendengus, perlahan ia
mengeratkan tali pinggang dan siap tempur.
"Tapi ... tapi hal ini kurang adil, Ayah ...." seru
Liong Hui pula.
"Kau tahu apa?" bentak Liong Po-si. Mendadak
ia tertawa lagi. "Hahaha, selama hidupku dijuluki
Put-si (tak termatikan), bilamana sudah tua harus
mati di bawah pedang orang lain, rasanya juga
menggembirakan bagiku."
Cepat Liong Hui menyurut mundur ketika
melihat tangan sang ayah bergerak, jubah satin
berwama ungu mendadak terlempar ke atas serupa
segumpal awan terbang ke angkasa, lalu semampir
di pucuk cemara.
"Koat-bun, Sin-cong, Yang-koan ...." dengan
ketus si nona cantik menyebut nama ketiga Hiatto.
Liong Po-si mendengus, ia lantas memutar
punggungnya ke arah Liong Hui, katanya dengan
tenang, "Anak Hui, apakah masih ingat gerakan
Ho-cui-keng (tenaga cocokan bangau)?"
"Masih," jawab Liong Hui dengan ragu.
"Nah, gunakangaya Ho-cui-keng untuk menutuk
ketiga Hiat-to yang disebutnya itu," ucap Liong Posi.
"Tapi ... ayah ...."
"Cepat!" bentak si kakek.
Liong Hui ragu sejenak pula, akhirnya ia
mengertak gigi dan memburu maju ke belakang
sang ayah, tangan kanan terangkat, jari telunjuk
dan jempol terangkap serupa paruh burung
bangau dan perlahan menutuk Koat-bun-hiat di
bagian pundak. Si nyonya muda berbaju merah menghela napas,
ia berpaling ke arah lain, sekilas terlihat barang
yang tertutup oleh kain satin yang diusung kedua
orang berbaju hitam tadi, serentak ia berpaling
kembali dan dilihatnya si berewok Liong Hui belum
lagi melancarkan tutukannya, rupanya baru
terjulur sampai setengah jalan tangan Liong Hui
lantas bergemetar dan tidak sanggup turun tangan
lebih lanjut. Liong Po-si melirik ke belakang dan
mendamprat, "Manusia tak ... becus!"
Cukup bengis dia memaki, tapi ketika
mengucapkan "becus", suaranya berubah menjadi
lunak. Liong Hui meluruskan kembali kedua tangannya
dan menghela napas, ucapnya, "Ayah, kupikir
urusan ini agak ganjil ...."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong
sesosok bayangan orang melayang tiba, kiranya si
pemuda belia dan tampak lemah lembut dan selalu
mengikut di belakang pemuda kurus berbaju hitam
itu bersama seorang anak dara tadi.
"Untuk apa kau datang kemari, Gote"!" seru
Liong Hui dengan kening bekernyit.
Pemuda lemah itu menjawab dengan lugas, "Jika
Toako tidak sanggup turun tangan, biarlah Siaute
saja menggantikan engkau."
"Apa kau gila?" bentak Liong Hui dengan
mendelik. Pemuda lemah itu memandang lurus ke depan
dengan air muka kaku.
Put-si-sin-liong membalik tubuh dan mengawasi
anak muda itu beberapa kejap, lalu berkata dengan
gegetun, "Ai, selama ini kuanggap kau terlalu
lemah lembut serupa anak perempuan, tak
tersangka di luar kau halus tapi keras di dalam,
serupa diriku pada waktu muda, jika sekali ini aku
dapat ...." mendadak ia terbatuk, lalu
menyambung, "Baiklah, jika kau pun paham
gerakan Ho-cui-keng, boleh lekas kau turun
tangan." Liong Hui lantas melangkah mundur dengan
menunduk seperti tidak ingin melihat apa yang
bakal terjadi. Maka terdengarlah suara "tek-tek-tek" perlahan
tiga kali, Liong Po-si lantas menghela napas lega,
lalu menarik napas lagi dalam-dalam disusul
dengan suara mendering dan cahaya pedang yang
menyilaukan mata.
Dalam pada itu si nyonya muda lantas
mendekati Liong Hui, dibisikinya, "Untuk apa kau
sedih, toh ayah tidak pasti kalah."
Mendadak Liong Hui mengangkat kepalanya,
seperti mau bicara, tapi urung.
Terlihat si nona cantik tadi telah menerima
sebatang pedang dari salah seorang perempuan
berbaju hijau tadi, disentilnya batang pedang
dengan dua jarinya, "tring", terdengar suara
nyaring bergema.
Liong Po-si juga sedang memandang pedang
sendiri yang bercahaya hijau, sampai sekian lama
ia tidak bergerak, hanya jarinya saja yang merabaraba
batang pedang serupa seorang ibu sedang
membelai anak kesayangannya.
Kemudian dia menanggalkan sarung pedang
yang masih tergantung di pinggangnya, ia
membalik dan menyerahkan sarung pedang itu
kepada si pemuda lemah tadi.
Pemuda yang berwajah putih cakap itu
mendadak terkilas rasa kejut dan heran, cepat ia
sambut pemberian sarung pedang itu.
"Mulai hari ini, pedang Yap-siang-jiu-loh (embun
musim rontok di atas daun) ini adalah milikmu,"
demikian kata Liong Po-si.
Dengan sinar mata mencorong pemuda itu
memegang sarung pedang dan melangkah mundur,
lalu dia berlutut dan menyembah tiga kali kepada
Liong Po-si. Air muka si berewok Liong Hui berubah hebat,
alisnya yang tebal terkerut, dia seperti mau bicara,
tapi si nyonya baju merah telah menarik ujung
bajunya, keduanya saling pandang sekejap, lalu
menunduk diam. "Jangan sia-siakan pedang ini!" demikian pesan
Liong Po-si. Pemuda lembut itu lantas berbangkit, mendadak
ia mendekati benda panjang yang tertutup oleh
kain satin itu, perlahan ia menjulurkan sarung
pedang untuk menyingkap kain penutup
pancawama itu. Maka tertampaklah benda itu
ternyata sebuah peti mati terbuat dari kayu
cendana. Liong Po-si menatap anak muda itu tanpa
berkedip, tanyanya dengan suara berat, "Adakah
yang ingin kau katakan?"
Pemuda itu kembali berlutut lagi perlahan dan
menyembah tiga kali terhadap peti mati itu,
mendadak ia melolos sebilah belati berbentuk
naga, dengan ujung belati ia menusuk ujung jari
sendiri, darah lantas mengucur keluar, ia
kebaskan tangannya sehingga beberapa titik darah
menetes di atas peti mati.
Air muka Liong Po-si yang kereng mendadak
tersembul senyuman puas, ucapnya, "Bagus,
bagus!" Habis itu barulah ia mendekati si nona cantik
tadi. "Anda menyiapkan peti mati dengan harapan
akan kalah, Put-si-sin-liong memang tidak malu
disebut sebagai jago perkasa nomor satu di dunia
persilatan," kata si nona dengan tersenyum.
Sampai di sini barulah nona ini memperlihatkan
senyumannya, senyum yang manis bagai bunga
yang mekar semarak, senyum yang memikat dan
sukar untuk dilukiskan.
Pemuda lemah tadi telah menggantungkan
sarung pedang kulit ikan hiu pada pinggangnya,
mendadak sorot matanya memancarkan cahaya
aneh menatap wajah si nona cantik, lalu selangkah
demi selangkah didekatinya dengan perlahan.
Nona itu mengerling, sinar mata kedua orang
kebentrok, tanpa terasa si nona terkesima,
sesudah pemuda itu berada di depannya barulah ia
menegur, "Kau mau apa?"
Liong Po-si juga lantas berkata, "Di sini sudah
tidak ada lagi urusanmu, kenapa tidak
mengundurkan diri saja!"
Namun anak muda itu tidak menjawab,
mendadak kedua tangannya terpentang, telapak
tangan kiri menghantam iga si nona, sebaliknya
telapak tangan kanan memukul iga kiri Put-si-sinliong
Liong Po-si. Sungguh luar biasa kecepatan dan ketepatan
kedua serangan pemuda ini, si nona cantik dan
Liong Po-si sama terkesiap, mereka tidak
menyangka mendadak bisa diserang.
Pada saat mereka melenggong itulah tangan si
pemuda lemah sudah menyambar tiba, cepat si
nona cantik menangkis dengan sebelah tangan,
"plok", kedua tangan beradu.
Liong Po-si terpaksa juga menangkis, ia
menggeser dan angkat sebelah tangannya, ia pun
beradu tangan dengan muridnya itu.
Di tengah suara adu pukulan itu, si berewok
Liong Hui memburu maju sambil membentak, "Apa
kau gila, Gote?"
Tapi segera terlihat pemuda lembut itu menarik
kembali tangannya dan menggeser mundur, lalu
berkata dengan hormat, "Suhu, nona ini tidak
berdusta!"
"Maksudmu, kekuatanku sekarang telah
scimbang dengan dia?" tanya Liong Po-si,
mendadak ia bergelak tertawa dan berkata pula,
"Haha, bagus, bagus, baru sekarang ketemukan
lawan yang sama kuat!"
Liong Hui tampak tercengang sejenak, katanya
kemudian kepada pemuda lembut, "Kiranya
tujuanmu cuma untuk menguji kekuatan
perempuan itu apakah sebanding dengan Suhu
atau tidak?"
"Ya, begitulah," sahut anak muda itu dengan
menunduk. "Jika maksudnya bukan untuk mencoba, mana
dia bisa menyerang guru sendiri,kan mubazir
pertanyaanmu itu," ujar Liong Po-si dengan tertawa
cerah. Kakek yang gagah dan kereng ini, meski
sekarang menghadapi pertempuran yang pasti
sangat berbahaya, namun hatinya justru terasa
sangat gembira, entah lantaran menemukan lawan
yang "sama kuat" atau karena merasa tindakan
muridnya itu sangat cocok dengan seleranya"
Liong Hui tampak kikuk dan mundur teratur
sambil melirik sekejap kepada pemuda lembut itu.
Si nyonya muda berbaju merah tertawa dan
berkata, "Usia Gote masih muda belia, tak
tersangka sudah mempunyai kecerdasan dan
kekuatan sehebat ini."
Liong Po-si berucap dengan gegetun, "Sesudah
lama baru ketahuan hati manusia, setelah
perjalanan jauh baru tahu tenaga kuda. Untuk
mengetahui watak dan kecerdasan seorang juga
baru kelihatan bilamana menghadapi keadaan
genting." Pemuda lembut tadi menunduk. Sedangkan
Liong Hui saling pandang sekejap dengan si nyonya
muda. Anak dara yang berdiri berdampingan dengan si
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda lembut tadi tampak tersenyum senang dan
bangga. Baru sekarang pandangan si nona cantik
berpindah dari wajah si pemuda lembut, lalu
menjengek, "Nah, sesudah dicoba, bolehkah
dimulai sekarang?"
"Tentu saja," kata Liong Po-si sambil mengayun
pedangnya sehingga menerbitkan suara dering
nyaring dan mengakibatkan rontoknya lidi cemara
yang menjatuhi tubuh keempat perempuan berbaju
hijau ringkas itu.
Meski tenaga dalam Liong Po-si sudah susut
banyak, tapi tetap selihai ini, tanpa terasa keempat
perempuan itu saling pandang dengan terkesiap.
Tapi si nona cantik anggap seperti tidak tahu,
ucapnya ketus, "Jika boleh mulai, silakan Anda
ikut padaku!"
Liong Po-si jadi melenggong lagi, "Masakah
bukan di sini?"
"Ya, di sini bukan tempat yang baik untuk
bertanding," segera si nona cantik seperti hendak
membalik kesana .
"Sebab apa?" tanya Liong Po-si.
"Jika kubunuh dirimu, tentu anak murid-mu
akan menuntut balas padaku, padahal pengaruh
Ci-hau-san-ceng di dunia persilatan sangat besar,
sebaliknya guruku cuma menerima seorang murid
seperti diriku saja, bila mereka menuntut balas
padaku, tentu aku tidak mampu melawannya,
betul tidak?"
"Dengan sendirinya engkau tidak mampu
melawan!" bentak Liong Hui
"Hm, hanya mengandalkan sedikit
kepandaianmu ini kau kira dapat mengalahkan
guru kami?" jengek si nyonya muda mendadak.
Liong Po-si melirik kedua anak muridnya itu
sekejap, diam-diam seperti merasa menyesal,
segera ia berkata, "Tentu maksudmu ingin
merahasiakan ilmu pedangmu untuk berjaga
bilamana anak muridku menuntut balas padamu
setelah berhasil kau bunuh diriku, begitu?"
"Betul," jawab si nona cantik. "Pada waktu Suhu
mengajarkan ilmu pedang ini padaku, kecuali
menugaskanku membunuhmu, ada juga orang lain
yang harus kubunuh, mana boleh kuperlihatkan
ilmu pedang ini di depan umum sehingga orang
sempat mempelajari ciri kelemahan ilmu pedangku
ini?" "Ya, betul juga, bilamana aku menciptakan
sesuatu Kungfu baru, tentu aku pun akan
merahasiakannya," ujar Liong Po-si dengan
mengangguk. Mendadak ia menghela napas
panjang, dan menatap tajam si nona cantik, lalu
bertanya sekata demi sekata. "Menjelang wafatnya
gurumu, apakah dia masih begitu benci padaku?"
"Bila benci dan dendam sudah mendalam, apa
bedanya waktu hidup atau sudah mati?" jengek si
nona. "Haha, apa bedanya ... apa bedanya ...."
mendadak Liong Po-si menengadah dan bersuit,
lalu membentak, "Baik, di mana tempatnya" Ayo,
akan kuikuti!"
Tanpa bicara lagi si nona cantik lantas,
membalik tubuh dan melangkah pergi.
Mendadak si berewok Liong Hui membentak,
"Nanti dulu!"
Tapi si nona tetap melangkah ke depan seperti
tidak mendengar. Tiba-tiba terdengar kesiur angin
lewat, tahu-tahu si pemuda lembut sudah
mengadang di depannya.
Bekernyit juga kening si nona cantik, ia menoleh
memandang Liong Po-si sekejap.
Segera Put-si-sin-liong Liong Po-si membentak,
"Kalian mau apa lagi?"
Si nyonya muda melompat maju dan berkata,
"Betapa pun kita harus berjaga segala
kemungkinan, apabila mereka telah mengatur
perangkap disana , bukankah Suhu akan
terjebak?"
Liong Po-si menjadi sangsi, ia memandang
sekejap si nona cantik.
Si nona cantik batas menatapnya dengan dingin
scakan-akan sedang berkata, "Pergi atau tidak
terserah padamu ...."
Sebelum Liong Po-si berkata pula, cepat si
nyonya muda mendahului bicara, "Sampai saat ini
belum juga kami minta petunjuk akan nama nona
yang terhormat, sungguh kurang sopan."
Dia bicara dengan lemah lembut dan tersenyum
pula sehingga mau tak mau orang harus menjawab
pertanyaannya. Meski air muka si nona tetap dingin, tidak urung
ia menjawab singkat, "Namaku Yap Man-jing."
"Sungguh nama yang bagus," ujar si nyonya
muda dengan tersenyum. "Dan namaku Kwe Giokhe,
nama kampungan, tapi ... ai, apa boleh buat."
Dalam keadaan demikian dan di tempat seperti
ini dia justru bicara tetek bengek, tampaknya Liong
Po-si merasa tidak sabar, tapi agaknya dia sangat
sayang kepada nyonya muda itu, maka dia tidak
mencegahnya. Si berewok Liong Hui tampaknya juga sangat
hormat dan juga jeri terhadap nyonya muda itu.
Hanya si pemuda lembut saja tetap kelihatan kaku
tanpa emosi, tidak bicara juga tidak tertawa.
Terdengar nyonya muda itu menyambung lagi,
"Nona Yap, meski kita tidak pemah bertemu
sebelum ini, namun nama gurumu sudah lama
kami dengar, ditambah lagi nona Yap sendiri
ternyata begini cantik dan menyenangkan, sebab
itulah segala apa yang diucapkan nona Yap telah
kami turuti semua."
Si nona cantik alias Yap Man-jing hanya
mendengus saja tanpa menanggapi.
Maka Kwe Giok-he meneruskan lagi, "Cuma
syarat yang dikemukakan nonaYap tadi betapa pun
kami rasakan agak kurang baik ...."
"Kurang baik apa" Urusan ini tidak ada sangkut
pautnya denganmu, mengapa engkau ikut
campur?" jengekYap Man-jing dengan ketus.
Namun Kwe Giok-he tetap tersenyum cerah dan
berkata, "Jika benar nonaYap tidak menghendaki
kami melihat rahasia ilmu pedang gurumu,
seharusnya hal ini kau bicarakan jauh
sebelumnya, mengapa mesti menunggu sampai
sekarang baru dikemukakan olehmu. Sungguh aku
tidak habis mengerti akan dalil ini."
Yap Man-jing memandangnya beberapa kejap,
lalu menjengek, "Hm, apa benar kau minta
kukatakan terus terang?"
"Sebabnya kutanya kepada nona memang
berharap engkau suka memberitahukan apa
alasannya, kalau tidak untuk apa kuikut bicara?"
ujar Kwe Giok-he dengan tersenyum.
Perlahan Yap Man-jing mengerling sekejap,
setiap orang yang hadir di sini seolah-olah sudah
dipandangnya semua, lalu menjengek, "Sebabnya
hal ini tidak kukemukakan tadi adalah lantaran
kulihat di antara kalian yang berada di sini tidak
ada seorang pun yang dapat melihat ciri
kelemahan ilmu pedangku,"
"Dan mengapa sekarang harus kau
kemukakan?" tanya Kwe Giok-he.
Seperti tidak sengajaYap Man-jing melirik
sekejap si pemuda lembut, lalu berkata, "Sebabnya
kukemukakan syaratku ini adalah lantaran tibatiba
kulihat di antara anak murid Put-si-sin-liong
ternyata bukan orang goblok semua, sedikitnya
ada satu di antaranya terhitung pintar."
Air muka Kwe Giok-he rada berubah, tapi segera
ia tersenyum lagi dan berkata, "Terima kasih atas
pujian nonaYap . Pantas Sip-tiok-li mati begitu dini
dengan hati lega, sebab dia mempunyai seorang
murid baik sebagai nona."
Kata berjawab, gayung bersambut, kontan Kwe
Giok-he membalas ucapan orang dengan sama
tajamnya, namun tetap ramah tamah dan
tersenyum manis.
Air mukaYap Man-jing tampak berubah juga, ia
mendengus terus hendak melangkah pergi.
Dengan tersenyum Kwe Giok-he memandang
bayangan punggung orang, agaknya dia merasa
senang karena dapat mengalahkan orang dengan
perang lidah. Siapa tahu mendadak Liong Po-si menghela
napas dan memandangnya dengan sorot mata
buram, ucapnya, "Alangkah baiknya bilamana
anak Hui memiliki setengah kecerdasanmu."
Giok-he menunduk dengan tersenyum, tapi
Liong Po-si lantas menambahkan, "Cuma sayang
engkau terlampau pintar."
Habis ini segera ia berteriak, "Tunggu dulu,
nonaYap !"
Sekali lagiYap Man-jing berhenti, katanya tanpa
menoleh, "Ikut pergi atau tidak terserah kepada
keputusanmu, buat apa banyak bicara lagi."
Liong Po-si berdehem, lalu berkata pula, "Selama
hidupYap Jiu-pek terkenal jujur, kuyakin anak
muridnya pasti juga bukan manusia pengecut.
Selama hidupku tidak pemah gentar terhadap apa
pun, andaikan disana terdapat sesuatu perangkap
juga bukan soal bagiku."
Mendadak Yap Man-jing berpaling, meski tetap
dingin air mukanya, tapi tampak menampilkan
rasa kagum dan hormat.
"Hanya saja pedangku ini sudah mendampingiku
selama beberapa puluh tahun, meski bukan
senjata wasiat segala, namun juga pemah banyak
mengalahkan berbagai tokoh temama dunia
persilatan," demikian Liong Po-si bicara lebih lanjut
dengan bangga dan juga setengah terharu. "Maka
bilamana hari ini aku tidak dapat pulang dengan
hidup, kuharap nona dapat menyerahkan kembali
pedangku ini kepada muridku Lamkiong Peng."
Suaranya yang kereng kini telah berubah
menjadi rada duka dan sedih, suara duka
demikian belum pemah didengar oleh anak
muridnya, sampai si pemuda lembut, Lamkiong
Peng, juga tercengang.
"Dan bila aku yang tidak kembali dengan hidup,
kuharap juga kau serahkan pedangku Liong-gimsinim (ringkik naga suara malaikat) ini kepada
mereka," tiba-tiba si nona cantikYap Man-jing juga
meninggalkan pesan sambil menunjuk keempat
perempuan berbaju hijau tadi.
"Baik," sahut Liong Po-si.
Serentak Yap Man-jing melangkah kesana sambil
berkata, "Ayo berangkat!"
Sekilas ia lirik lagi Lamkiong Peng sekejap.
Tanpa ragu lagi Liong Po-si lantas ikut
berangkat. Tapi baru saja lewat di samping
Lamkiong Peng, mendadak ia menyurut mundur
lagi selangkah dan menepuk pundak anak muda
itu, seperti mau bicara, tapi urung. Ia cuma
tersenyum saja, lalu menghela napas perlahan,
ketika dia melangkah ke depan lagi, dalam sekejap
lantas menghilang di balik gumpalan awan.
Meski bayangan sang guru sudah menghilang,
Lamkiong Peng masih berdiri mematung sambil
memandangi awan yang mengambang di udara itu,
meski wajahnya kaku dingin, namun sorot
matanya memancarkan perasaan hangat.
Terdengar Kwe Giok-he yang berdiri di
belakangnya lagi bergumam, "Yap-siang-jiu-loh ...
Liong-gim-sin-im ...." Tak tersangka antara Suhu
dan Tan-hongYap Jiu-pek memang terjalin ...."
Tiba-tiba Liong Hui berdehem, katanya, "Urusan
pribadi Suhu sebaiknya jangan kita bicarakan."
Dia mendekati Lamkiong Peng dan berdiri diam
sejenak sambil mengelus janggut, lalu memutar
balik dan berduduk di atas batusana serta
mengelamun memandangi awan yang mengapung
di udara. Kwe Giok-he juga memandang Lamkiong Peng
sejenak, mendadak ia menggapai dan memanggil,
"Kemari, Sumoay!"
Anak dara yang berdiri agak jauh itu mendekat
dengan menunduk, langkahnya kelihatan enteng
dan gesit, jelas tidak lemah Kungfunya, tapi gerakgeriknya
kelihatan malu-malu serupa gadis
pingitan, sama sekali tidak ada ciri khas sebagai
anak murid Ci-hau-san-ceng atau perkampungan
Ci-hau yang disegani.
Dengan tangan memainkan ujung baju seperti
anak gadis yang takut-takut ia menyapa, "Adaapa,
Toaso (kakak ipar)?"
Giok-he tersenyum dan berkata, "Gote datang
belakangan tapi menonjol paling atas sehingga
mewarisi pusaka Yap-siang-jiu-loh dari Suhu, kau
gembira atau tidak?"
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak dara yang memang malu-malu itu tambah
likat, mukanya yang putih lantas bersemu merah,
kepala menunduk terlebih rendah.
Pemuda kurus yang sejak tadi diam saja
mendadak menimbrung, "Bukan saja Sumoay
merasa gembira, aku juga sangat senang!"
Dengan wajah berseri Kwe Giok-he memandang
mereka kian kemari, lalu berkata, "Kalian sungguh
dua sejoli yang setimpal, sampai kata hati
keduanya juga sama. Pantas orang Kangouw suka
merangkai Ciok Tim dan So-so menjadi satu dan
menyebut mereka sebagai Liong-bun-siang-kiam
(sepasang pedang keluarga Liong), cuma sayang
...." Sampai di sini ia lantas berhenti dan cuma
berdehem perlahan saja sambil melirik Lamkiong
Peng. Ciok Tim, pemuda kurus itu juga memandang ke
arah Lamkiong Peng, di antara mata alisnya
samar-samar kelihatan menampilkan rasa iri, tapi
dengan lantang ia lantas berseru, "Tapi selanjutnya
bila ditambah Gote, mungkin orang Kangouw akan
menyebut kami sebagai Liong-bun-sam-kiam (tiga
pedang keluarga Liong)!"
"Rupanya engkau belum tahu," kata Giok-he
dengan tertawa, "meski belum lama Gote masuk
perguruan kita, tapi keluarga Lamkiong dari
daerah Kanglam sudah lama terkenal sebagai
keluarga hartawan, maka sudah lama juga orang
Bu-lim sama memberi suatu nama julukan kepada
Gote sebagai Hu-kui-sin-liong (si naga sakti kaya
dan jaya)!"
"Toaso memang berpengetahuan banyak dan
berpengalaman luas," kata Ciok Tim dengan
tertawa ewa, "Siaute sendiri jarang berkelana di
dunia Kangouw, pengetahuanku kalau
dibandingkan Toaso sungguh selisih terlalu jauh."
Tiba-tiba si berewok Liong Hui menimbrung,
"Memang pemah kudengar disebutnya nama Hukuisin-liong, tapi itu cuma sanjung puji dari
kalangan Piaukiok (perusahaan pengawalan) yang
ada hubungan erat dengan grup keluarga
Lamkiong, masa kau anggap sungguh-sungguh?"
"Baik, baik, kau lebih tahu dan aku tidak tahu,"
gerutu Giok-he sambil melotot.
Mestinya Liong Hui hendak omong lagi, tapi demi
melihat air muka sang istri yang kurang senang
itu, seketika ia urung bicara.
Semua orang menjadi bungkam, hanya angin
mendesir dan dedaunan gemersik, awan yang
mengambang di udara melayang kian kemari
serupa urusan dunia persilatan yang selalu
berubah dengan suka dukanya.
Sampai sekian lamanya keempat perempuan
berbaju hijau ringkas itu jaga tetap berdiri di
bawah pohon cemara, hanya terkadang mereka
melirik ke arah anak murid Ci-hau-san-ceng ini,
agaknya dapat mereka rasakan juga di antara anak
murid keluarga Liong ini terdapat pertentangan
dan saling curiga, sebab itulah di antara kerlingan
mereka terkadang juga menampilkan rasa
menghina dan mencemoohkan.
Sudah cukup lama juga, mendadak Liong Hui
berbangkit dan memandang cuaca, ucapnya
dengan suara tertahan, "Rasanya kepergian Suhu
sudah ... sudah lebih setengah jam!"
Kwe Giok-he menjawab, "Engkau selalu tidak
sabaran, pantas Suhu tidak mau mewariskan Yapsiangjiu-loh kepadamu. Coba kau lihat, sedikit
pun Gote tidak kelihatan gelisah."
Mau tak mau berubah juga air muka Liong Hui,
ucapnya dengan tergagap, "Toh sesama saudara
sendiri, diwariskan kepada ... kepada siapakan
sama saja."
"Hm, tentu saja sama," jengek Giok-he.
Lamkiong Peng tampak adem ayem saja, ia
tersenyum dan mendekati Kwe Giok-he, katanya
dengan tersenyum, "Toaso, apakah kau tahu sebab
apa aku tidak gelisah?"
Meski dia bicara dengan tersenyum, namun
ucapannya tegas dan mantap.
Giok-he tersenyum dan menjawab, "O, dari ...
dari mana kutahu?"
Mendadak Liong Hui menyela, "Masa kau tahu
hati Gote tidak gelisah" Sebelum jelas kalahmenang
Suhu, setiap orang pasti gelisah."
"Setiap orang memang gelisah, cuma aku saja
tidak," ujar Lamkiong Peng.
Seketika air muka Ciok Tim dan Liong Hui
berubah, Kwe Giok-he lantas mendengus,
sedangkan Ong So-so, si anak dara, juga
mengernyitkan dahi dan memandang anak muda
itu dengan heran.
Perlahan Lamkiong Peng menutur, "Sebabnya
aku tidak gelisah adalah karena aku lebih daripada
yakin bahwa Suhu pasti takkan kalah!"
Mendadak keempat perempuan berbaju hijau di
bawah pohon sama mendengus dan melengos
kesana . Giok-he juga mendengus, Liong Hui lantas
bertanya, "Berdasarkan apa kau berani
memastikannya" Setelah tenaga dalam Suhu susut
sebanyak itu, sungguh hampir tidak ada
kesempatan menang bagi beliau, apalagi genduk
sheYap itu kelihatan sangat licin dan licik."
"Sebenarnya dalam hal menganalisis sesuatu
urusan biasanya Gote sangat meyakinkan, tapi apa
yang kau katakan tadi rasanya sukar dipercaya
orang!" tukas Ciok Tim tiba-tiba, dia selalu bicara
dengan perlahan, setiap kalimat diucapkan secara
teratur scakan-akan khawatir salah omong.
Dengan tersenyum Lamkiong Peng menjawab,
"Pukulanku tadi selain berhasil menguji kebenaran
keterangan nona sheYap itu dan memang tidak
berdusta kepada Suhu, juga dapat kuketahui gerak
tubuh Suhu jauh lebih cepat daripada nona itu."
Dia berhenti sejenak, lalu menyambung dengan
perlahan, "Waktu itu kulancarkan serangan
sekaligus kepada mereka berdua, nona sheYap itu
berdiri di sebelah kananku, meski tangan
kanannya memegang pedang, tapi tanpa bergeser
dia dapat menangkis pukulanku dengan tangan
kiri ...."
Dengan telapak tangan kiri ia memberi contoh,
lalu menyambung, "Tapi waktu itu Suhu berdiri di
sebelah kiriku, tangan kanan beliau juga
memegang pedang, waktu kupukul dengan
sendirinya beliau tidak dapat menangkis dengan
pedang yang dipegangnya pada tangan kanan,
sebab itulah beliau baru berputar untuk
menangkis seranganku dengan telapak tangan
kiri." Dia bicara dengan teratur dan jelas sehingga
tanpa terasa keempat perempuan berbaju hijau itu
pun berpaling dan ikut mendengarkan dengan
cermat. "Dalam keadaan begitu," demikian Lamkiong
Peng menyambung, "gerak tangan Suhu jelas lebih
banyak satu kali dan pada waktu menangkis
pukulanku seharusnya juga lebih lambat sejenak
daripada nona she Yap itu, namun pada waktu
empat tangan beradu, suara yang timbul terjadi
berbareng tanpa ada perbedaan mana lebih dulu,
dari kejadian ini bukankah terbukti gerak tangan
Suhu memang lebih cepat daripada nona Yap itu.
Walaupun selisihnya tidak banyak, tapi
pertarungan di antara jago kelas tinggi, selisih
sedetik saja dapat menentukan kalah dan menang,
apalagi Suhu sudah berpengalaman beratus kali
tempur, maka kubilang beliau tidak mungkin
kalah." Uraian Lamkiong Peng ini membuat si anak dara
alias Ong So-so tersenyum cerah, Ciok Tim juga
mengangguk-angguk, Kwe Giok-he bertopang dagu
dan termenung. Malahan Liong Hui lantas
berkeplok tertawa, "Haha, betul, memang
ditimbang dari sudut mana pun, tidak nanti Suhu
bisa kalah."
Dengan telapak tangannya yang lebar ia tepuk
pundak Lamkiong Peng dengan keras sambil
berseru, "Gote, engkau memang hebat, sekarang
Toako juga tidak perlu cemas lagi."
Mendadak keempat perempuan berbaju hijau
ringkas itu sama mendengus, yang berdiri di ujung
kiri lantas bertanya kepada teman di sebelahnya,
"Leng-cu, apakah kau cemas?"
Leng-cu menggeleng kepala dan ganti bertanya
kepada kawan di sebelahnya lagi, "Apakah kau
cemas, Wat-cu?"
"Aku juga tidak cemas!" jawab Wat-cu.
"Jika begitu Ho-cu tentu juga tidak perlu cemas,"
ujar Leng-cu. "Aku memang tidak cemas sedikit pun," kata Hocu
dengan tertawa. "Barangkali An-cu yang lagi
cemas." "Aku pun tidak cemas," kata An-cu yang berdiri
di ujung kanan, "Tapi apa sebabnya aku tidak
cemas tidak dapat kuberi tahukan kepada kalian."
Keempat orang lantas saling pandang, lalu sama
mendekap mulut dan tertawa cekikak dan cekikik.
Dengan mendongkol mendadak Liong Hui
menjengek, "Hm, kalau tidak mengingat kalian ini
orang perempuan, tentu akan kuberi hajar adat!"
Serentak keempat perempuan itu berhenti
tertawa, kontan An-cu balas menjengek, "Hm,
kalau tidak mengingat kau ini orang lelaki, pasti
kuberi hajaran setimpal!"
Tidak kepalang gusar Liong Hui, sambil
membentak mendadak ia membalik dan
menghantam sepotong batu hijau di sebelahnya,
"blang", batu hancur dan kerikil munerat. Batu
karang yang keras itu ternyata terpukul remuk.
"Hm, tenaga pukulan yang hebat!" jengek An-cu,
mendadak tangannya berputar, "creng", pedang
dilolosnya. Di tengah berkelebatnya sinar pedang dia terus
melompat ke depan sepotong batu lain, sekali
menusuk, "bles", tahu-tahu ujung pedangnya telah
amblas lebih satu kaki ke dalam batu serupa
bambu menancap di atas lumpur saja,
Selagi Liong Hui terkesiap, terdengar An-cu telah
berkata dengan tertawa, "Hah, rupanya batu di sini
sangat lunak!"
"Ilmu pedang hebat!" seru Kwe Giok-he tiba-tiba,
dengan tersenyum ia mendekati An-cu dan
berucap, "Taci, bolehkah aku pun mencobanya?"
An-cu tampak melengak, sebelum dia menjawab,
mendadak Kwe Giok-he turun tangan secepat kilat,
jari tangannya yang putih halus itu mengebas ke
iga lawan. Karena terkejut An-cu menggeser ke samping,
meski dapat menghindarkan serangan lawan, tapi
pedang tidak sempat ditariknya kembali dan masih
tertancap di dalam batu.
Dengan suara halus Giok-he lantas berkata,
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, setelah
kucoba segera kukembalikan!"
Perlahan ia lantas menarik pedang itu dari
jepitan batu, dipandangnya pedang itu dengan
cermat, tampaknya dia lagi mengamat-amati
pedang yang dipegangnya, tapi sebenarnya sedang
menyelami batu gunung itu.
Sejenak kemudian dia tersenyum manis lagi,
perlahan ia angkat pedang ke atas, sekali berputar
pedang lantas disurung ke depan, kembali
terdengar suara "bles" perlahan, batas pedang
amblas lagi ke dalam batu hampir separuh.
Selagi keempat perempuan berbaju hijau itu
terkesiap, dengan suara lembut Giok-he berkata
pula, "Benar juga batu di sini sangat lunak seperti
tahu!" Lalu pedang ditariknya kembali, perlahan ia
mendekati An-cu dan mengembalikan pedang itu.
Air muka An-cu sebentar merah sebentar pucat,
jantung pun berdetak, tanpa bicara terima kembali
pedang itu dan melangkah ke tempat semula.
Dengan suara lembut Giok-he berkata pula,
"Kuharap engkau jangan kesal, meski tusukan
pedangku kelihatan jauh lebih dalam, padahal ilmu
pedang dan tenagaku selisih tidak terlalu banyak
daripadamu."
Diam-diam ia bersyukur telah dapat mengelabui
lawan dengan cara yang licik.
Kiranya pedang yang ditusukkannya itu tadi
mengulangi lagi tempat yang ditusuk An-cu
semula, jadi sesungguhnya dia cuma menambah
dalam sebagian saja tusukannya itu, namun
kelihatannya menjadi amblas jauh lebih banyak
daripada tusukan An-cu.
Dengan sendirinya An-cu tidak memerhatikan
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hal ini, dengan gemas ia kembali ke tempatnya
tadi, mendadak ia berpaling dan mendengus, "Hm,
mungkin betul Kungfumu lebih tinggi daripadaku,
tapi gurumu .... Hm, kukira kalian tidak perlu lagi
menunggunya."
Serentak air muka Lamkiong Peng, Liong Hui,
Ciok Tim, Kwe Giok-he dan Ong So-so sama
berubah. "Apa katamu?" bentak Liong Hui sambil
melompat maju. An-cu seperti mau bicara lagi, tapi dia keburu
ditarik mundur oleh ketiga orang kawannya.
Tiba--tiba Kwe Giok-he mendekati An-cu,
ucapnya dengan tersenyum, "Orang suka
sembarangan mengocehkan pantas diberi
hukuman, betul tidak?"
Tanpa menghiraukan lagi apa rcaksi lawan,
secepat kilat jarinya menutuk Koh-cing-hiat di
bahu An-cu. Seketika An-cu melenggong, seperti menyesal
akan ucapannya tadi, maka tutukan Giok-he itu
seperti tidak dirasakannya. Untunglah Wat-cu yang
berada di sebelahnya lantas menangkis tutukan
Giok-he, berbareng ia balas mencengkeram
pergelangan tangan lawan.
"Hm, berani kalian melawan diriku?" ucap Giokhe
dengan tersenyum, ia tarik kembali tangannya,
menyusul ia menutuk lagi iga kanan Wat-cu.
Sembari mendorong ke samping An-cu yang
masih berdiri melenggong, Wat-cu juga menggeser,
menyusul terdengarlah suara "crang-creng" dua
kali, sekaligus ia lolos dua pedang terus balas
menusuk pinggang Giok-he.
Karena didorong, An-cu tersandar, mendadak ia
pun melolos pedang dan melancarkan serangan
gabungan. "Berhenti! ... Berhenti! ...." Liong Hui berteriakteriak.
Siapa tahu, bukannya berhenti, sebaliknya Lengcu
dan Ho-cu juga lantas ikut menerjang maju.
Liong Hui menjadi khawatir, serunya, "Selama
hidupku tidak pemah bergebrak dengan orang
perempuan, mengapa kalian tidak lekas membantu
Toaso"!"
Terpaksa Ong So-so melompat maju, kontan ia
hantam Wat-cu sehingga pertarungan bertambah
seru. Perlahan Ciok Tim melangkah maju, ucapnya
dengan kening bekernyit, "Suhu melarang kita
membawa pedang ke atas gunung, agaknya beliau
tidak menghendaki kita main kekerasan, bilamana
nanti kita disalahkan beliau, lantas bagaimana?"
Liong Hui menjadi ragu, waktu ia pandang ke
sana, terlihat sinar pedang bertaburan, Giok-he
dan So-so berdua telah terkurung oleh barisan
pedang keempat perempuan berbaju hijau, meski
seketika tidak sampai kalah, tapi jelas sukar
memperoleh kemenangan.
"Bagaimana pendapatmu, Gote?" tanya Liong
Hui kepada Lamkiong Peng.
Anak muda itu memandang sarung pedang hijau
yang tergantung di pinggangnya dan menjawab,
"Terserah kepada keputusan Toako."
Alis Liong Hui bekernyit rapat dan sukar
mengambil keputusan.
Lamkiong Peng lantas berkata pula, "Jika kuduk
kita terancam pedang orang, apakah kita pun tidak
boleh turun tangan?"
Mendadak Liong Hui berteriak, "Betul, ayo maju,
Samte dan Gote!"
Tapi belum lagi mereka bertindak, mendadak
terdengar seorang menjengek di belakang mereka,
"Empat lawan dua memang tidak pantas, jikalima
lawan empat, rasanya juga kurang adil!
Tampaknya anak murid Tan-hong (burung Hong
cantik) dan Sin-liong sama suka main kerubut?"
Cepat Lamkiong Peng berpaling, dilihatnya di
samping peti mati sana entah sejak kapan telah
berdiri seorang Tojin (pendeta agama To atau Tao)
dengan rambut disanggul tinggi di atas kepala,
dahi lebar dan pipi kempot dengan sinar mata
setajam mata elang, tubuhnya yang tinggi dan
sangat kurus mengenakan jubah pertapaan
berwama hijau tua.
Meski jengekannya terdengar tidak keras, tapi
seketika membuat Kwe Giok-he di satu pihak dan
para perempuan berbaju hijau di lain pihak sama
berhenti bertempur.
"Siapa kau?" segera Liong Hui membentak.
"Siapa aku" Em, sampai aku saja tidak kau
kenal?" jengek Tojin sanggul tinggi itu sembari
mendekati peti mati dengan perlahan.
Kedua lelaki penggotong peti sejak tadi berdiri
diam saja, mendadak mereka membentak dan
mengadang di depan si Tojin. Dalam pada itu
terdengar kesiur angin lewat, Lamkiong Peng juga
memburu maju untuk menjaga peti.
Tojin itu mendengus dan berhenti melangkah, ia
mengamat-amati Lamkiong Peng beberapa kejap,
lalu menegur, "Kau mau apa?"
"Dan kau mau apa?" jengek Lamkiong Peng
dengan sama ketusnya.
"Haha, bagus, bagus!" mendadak Tojin itu
terkekeh dan berputar ke depan Liong Hui, lalu
bertanya, "Janji pertemuan gurumu danYap Jiupek
sepuluh tahun yang lalu apakah sudah
diselesaikannya?"
Liong Hui jadi melengak, jawabnya, "Dari ... dari
mana kau tahu?"
"Hahaha, masakah urusan gurumu aku tidak
tahu?" seru si Tojin dengan gelak tertawa, lalu ia
menyapu pandang sekeliling situ dan bertanya
pula, "Ke mana perginya mereka berdua?"
"Peduli apa denganmu?" jawab Liong Hui dengan
kurang senang. "Hehe, bagus, bagus!" Tojin itu terkekeh pula,
lalu berputar ke depan Ciok Tim dan bertanya,
"Siapa yang kalah dan siapa yang menang?"
"Tidak tahu!" jawab Ciok Tim perlahan.
Kembali si Tojin terkekeh dan menggeser ke
depan keempat perempuan berbaju hijau, lalu
bertanya, "Apakah akhirnyaYap Jiu-pek dapat
mengalahkan Put-si-sin-liong?"
Keempat perempuan itu saling pandang sekejap,
tapi Kwe Giok-he lantas mengikik tawa.
Serentak si Tojin membalik tubuh dan menegur,
"Apa yang kau tertawakan?"
"Kutertawa geli karena akhirnyaYap Jiu-pek
telah mendahului guruku lebih cepat satu
langkah!" sahut Giok-he dengan tersenyum.
"Mendahului apa?" tanya si Tojin.
"Akhirnya dia mati lebih dulu daripada guruku!"
jawab Giok-he. Tergetar hati si Tojin, seketika ia melenggong,
sejenak kemudian barulah ia berucap dengan
lemas, "Jadi ... jadiYap Jiu-pek sudah ... sudah
mati?" "Ya," jawab Giok-he.
Mendadak si Tojin menghela napas panjang,
katanya kemudian, "Tak tersangka ucapan Thianah
Tojin sebelum ajalnya pada 20 tahun yang lalu
ternyata sangat tepat."
"Ucapan apa?" tanya Liong Hui."
"Sin-liong pasti menangkan Tan-hong ...." kata si
Tojin dengan menunduk.
Mendadak An-cu, salah seorang perempuan
berbaju hijau itu mendengus, "Hm, meski nonaYap
sudah meninggal, tapi Put-si-sin-liong juga tidak
pemah menang."
Si tojin menengadah, semangatnya tampak
terbangkit, serunya, "Put-si-sin-liong tidak pemah
menang! .... Memangnya mereka telah gugur
bersama"!"
"Ken ... omong kosong!" damprat Liong Hui.
Dengan tajam si Tojin menatap Liang Hui dan
bertanya sekata demi sekata, "Kau mau bilang ken
... apa?" "Kentut!" teriak Liong Hui.
Mendadak si Tojin melolos pedang yang
tergantung di pinggangnya, tapi baru tercabut
setengah lantas dilepaskan kembali, ucapnya,
"Meski engkau kurang sopan, tidak boleh aku
meniru perbuatanmu."
Lalu ia bergelak tertawa.
"Hm, memang ada sementara orang tidak sudi
bergebrak dengan kaum muda, akan tetapi ... saat
ini Put-si-sin-liong justru sedang bertanding
dengan murid nonaYap ," demikian jengek An-cu.
"Kau bilang Put-si-sin-liong bertanding dengan
kaum muda?" si Tojin menegas dengan heran.
"Betul," jawab An-cu tegas.
Segera Liong Hui berteriak, "Biarpun guruku
bergebrak dengan murid Yap Jiu-pek, namun lebih
dulu beliau telah menutuk beberapa Hiat-to
tertentu sehingga tenaganya telah susut tujuh
bagian, tindakan beliau yang luhur budi dan jujur
ini mungkin jarang ada di dunia ini."
Gemerdep sinar mata si Tojin, sambil mengelus
jenggotnya yang sudah kelabu ia tersenyum,
gumamnya. "Dia ternyata menyusutkan tenaga
sendiri untuk bergebrak dengan orang ...."
"Ya, walaupun begitu beliau tetap akan menang!"
seru Liong Hui.
"Apa betul?" ucap si Tojin perlahan.
"Tentu saja ...." teriak Liong Hui pula dan
mendadak suaranya berubah lemah, "... betul."
Padahal dia tidak yakin akan ucapannya itu dan
sesungguhnya lagi berkhawatir.
Tojin itu memandangnya dua-tiga kejap, lalu
melirik Lamkiong Peng yang berdiri di samping peti
mati, katanya kemudian, "Sesungguhnya siapa di
antara kalian yang menjadi murid utama Put-sisinliong?" "Peduli apa denganmu"!" jawab Liong Hui
dengan kurang senang.
"Ah, agaknya dirimu inilah!" kata si Tojin dengan
tersenyum. "Memangnya mau apa jika betul?" jengek Liong
Hui. Mendadak Tojin itu menuding sarung pedang
hijau di pinggang Lamkiong Peng dan bertanya,
"Jika benar engkau Ciangbun-tecu (murid pewaris
ketua) Ci-hau-san-ceng, mengapa pedang Yapsiangjiu-loh itu berada padanya?"
Pertanyaan si Tojin membuat Liong Hui
melenggong, ia pandang Lamkiong Peng sekejap
lalu berpaling kembali dan menjawab, "Tidak perlu
kau ikut campur!"
Tojin itu mendengus, "Hm, jika hari ini gurumu
kalah dan tidak kembali lagi, apakah kau tahu
siapa yang akan menjadi kepala Ci-hau-san-ceng
yang disegani dunia persilatan itu?"
Liong Hui berdiri tegak tanpa menjawab, sampai
sekian lama mendadak ia membentak, "Siapa
bilang Suhuku takkan kembali lagi" Siapa yang
mampu mengalahkan beliau" Put-si-sin-liong
selamanya tak termatikan!"
Suaranya yang kereng berkumandang jauh dan
menimbulkan gema yang sahut-menyahut dari
empat penjuru lembah gunung.
Mendadak terdengar seorang menjengek dengan
suara tajam, "Siapa bilang di dunia ini tidak ada
yang mampu mengalahkan Put-si-sin-liong" Siapa
bilang Put-si-sin-liong tak termatikan!"
Hati Lamkiong Peng, Liong Hui dan lain-lain
sama tergetar, cepat mereka berpaling ke sana,
tertampak dari balik kabut sana muncul sesosok
bayangan dan akhirnya terlihat jelas ialah Yap
Man-jing dengan bajunya yang berkibar tertiup
angin laksana dewi kahyangan yang turun dari
langit. Pada kedua tangannya jelas memegang dua
batang pedang bersinar gilap, sebatang di
antaranya bercahaya hijau kemilau, segera dikenali
mereka pedang hijau inilah Yap-siang-jiu-loh yang
selama berpuluh tahun tak pemah berpisah
dengan Put-si-sin-liong Liong Po-si itu.
Seketika Liong Hui melotot, rambut jenggotnya
scakan-akan menegak, dengan beringas ia
memburu ke depan Yap Man-jing dan membentak,
"Suhuku bagaimana" Di mana Suhuku?"
"Di mana gurumu saat ini tentu kau tahu
sendiri, masakah perlu tanya?" jawab Yap Man jing
ketus. Tubuh Liong Hui terasa lemas dan hampir saja
tidak sanggup berdiri tegak.
Air muka Lamkiong Peng mendadak juga
berubah pucat lesi seperti mayat.
Ciok Tim juga merasa seperti dada mendadak
digodam orang, sekujur badan serasa kaku,
sampai Ong So-so yang berdiri di sampingnya
menjerit perlahan terus jatuh kelengar juga tidak
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diketahuinya. Kwe Giok-he juga terperanjat dan bergemetar.
Sedangkan keempat perempuan berbaju hijau tadi
terus berlari menyongsong kedatanganYap Manjing.
Sambil meraba pedangnya si Tojin tadi pun
bergumam, "Akhirnya Put-si-sin-long mati juga! ....
Ai, akhirnya dia mati juga!"
Suaranya, makin lama makin lemah, entah
menyesal atau bersyukur" Entah gembira atau
berduka" Dengan sorot matanya yang tajamYap Man-jing
mengawasi mereka dengan tenang.
Mendadak Liong Hui berteriak, "Engkau yang
membunuh guruku, bayar jiwa guruku!"
Seperti kerbau gila ia terus menerjang ke depan.
Serentak Ciok Tim dan Kwe Giok-he juga
memburu maju. Sedangkan Lamkiong Peng baru
maju selangkah lantas menyurut mundur kembali
ke samping peti mati sambil memandang sekejap si
Tojin, tanpa terasa air matanya menitik.
Dalam pada itu Liong Hui sudah menerjang ke
depanYap Man-jing, sebelah tangannya
mencengkeram muka si nona, tangan yang lain
terus meraih pedang hijau yang dipegangnya.
Terdengar Yap Man-jing tertawa dingin, segera
Liong Hui pun merasakan pandangannya menjadi
silau oleh sinar pedang, tahu-tahu keempat
perempuan berbau hijau telah memutar pedang
masing-masing dan mengadang di depannya
dengan membentuk selapis dinding sinar pedang.
Yap Man-jing sendiri lantas menyurut mundur,
ia pindahkan pedang hijau pada tangan kanan,
mendadak ia membentak, "Kim-liong-cai-thian
(nama emas di atas langit)!"
Berbareng ia mengeluarkan sesuatu benda emas
dan diacungkan ke atas, kiranya sebilah belati
bertangkai ukiran naga terbuat dari emas.
Perlahan ia menurunkan belati naga emas itu
sebatas hidung, lalu membentak lagi, "Kawanan
naga hendaknya menerima perintah!"
Melihat belati emas itu air muka Liong Hui
berubah pucat lagi, ia berdiri terkesima, pikiran
menjadi kacau seperti merasa bingung oleh apa
yang terjadi ini.
Sinar mata si Tojin tadi tampak gemerdep,
kembali ia bergumam, "Kim-liong-bit-leng (perintah
rahasia naga emas) kembali muncul lagi di dunia
Kangouw .... Hehe!"
Mendadak terlihat Liong Hui melangkah mundur
dua-tiga tindak, lalu bertekuk lutut dan
menyembah, meski wajahnya menampilkan rasa
gusar dan gemas, suatu tanda menyembahnya itu
tidak sukarela melainkan terpaksa.
Yap Man-jing tertawa dingin pula, keempat
perempuan baju hijau lantas menarik kembali
pedangnya. Lalu Yap Man-jing menggeser maju melewati
keempat perempuan berbaju hijau, setiap langkah
selalu diserta ketukan pedang yang dipegangnya
sehingga menerbitkan suara "tring" yang nyaring
memecah suasana yang mencekam ini
Kwe Giok-he lantas mendekati Liong Hui,
katanya dengan suara tertahan, "Meski Kim-liongbitleng berada padanya, tapi ...."
Pandangan Yap Man-jing beralih kepada Kwe
Giok-he, mendadak ia membalik belati emas itu ke
bawah dan mendengus, "Hm, apakah kau tidak
mau tunduk?"
Giok-he memandang belati yang dipegangnya,
jawabnya tenang, "Kalau tunduk bagaimana, bila
tidak tunduk bagaimana pula?"
Berubah lagi air muka Liong Hui yang masih
berlutut, ia menoleh memandang istrinya sekejap,
lalu berucap dengan rada gemetar, "Moaycu
(adikku), mana ... mana boleh ...."
Mendadak alis Kwe Giok-he menegak, teriaknya,
"Dia telah membunuh guru kita dan mencuri
benda pusaka beliau, apakah kita masih harus
tunduk kepada perintahnya?"
Saat itu Ciok Tim baru saja mengangkat bangun
Ong So-so yang jatuh pingsan tadi, mendadak
terlihat bayangan orang berkelebat, tahu-tahu
Giok-he sudah berada di depannya dan bertanya,
"Samte dan Sumoay, bagaimana dengan kalian,
apakah kita harus tunduk kepada perintahnya?"
Ciok Tim melirik sekejap ke arah belati emas
yang dipegangYap Man-jing, lalu menunduk diam
tanpa menjawab.
Giok-he lantas mendekati Lamkiong Peng,
tanyanya dengan suara gemetar, "Gote, biasanya
engkau paling bisa berpikir, meski Kim-liong-bitleng
merupakan pusaka tanda kebesaran Ci-hausanceng kita, tapi dalam keadaan demikian
apakah kita masih harus tunduk kepada
perintahnya?"
Dengan wajah dingin Lamkiong Peng
memandang sekejapYap Man-jing.
Sejak tadiYap Man-jing mengawasi Kwe Giok-he,
tiba-tiba ia mendengus, "Hm, Kim-liong-bit-leng
sudah muncul dan kalian berani membangkang
atas perintahnya, masakah Put-si-sin-liong baru
saja mati lantas kalian melupakan sumpah yang
pemah kalian ucapkan waktu mengangkat guru
padanya?" Rambut Giok-he agak kusut, butiran keringat
juga menghiasi dahinya, biasanya dia banyak
akalnya dan seorang periang, menghadapi urusan
genting apa pun dapat diselesaikannya dalam
suasana senda gurau, tapi sekarang dia kelihatan
gugup dan bingung, agaknya dia telah menduga
perintah yang akan diucapkan Yap Man-jing pasti
sangat tidak menguntungkan dia.
Liong Hui memandang sekejap lagi kepada
istrinya, lalu menghela napas panjang dan berkata,
"Jika Kim-liong-bit-leng sudah berada di
tanganmu, apa pula yang dapat kukatakan."
"Hm, mendingan engkau belum lupa kepada
ajaran gurumu!" jengek Man-jing.
"Hanya kenal pada Leng (tanda perintah) dan
tidak kenal orang (yang memegang tanda perintah)
...." ucap Liong Hui dengan lesu, mendadak ia
menengadah dan membentak, "Tapi telah kau
bunuh guruku, aku ...."
Sampai di sini suaranya menjadi tersendat dan
penuh emosi, sukar lagi meneruskan ucapannya.
Lamkiong Peng tetap tenang saja, katanya
kemudian, "Kutahu, biarpun Kim-liong-bit-leng
berada padamu, tapi di balik urusan ini pasti ada
persoalan yang belum diketahui. Kalau tidak,
tanda perintah ini pasti akan dimusnahkan oleh
Suhu dan tidak nanti dibiarkan jatuh ke
tanganmu. Apa pun juga, boleh coba uraikan dulu
apa pesan beliau yang akan kau sampaikan kepada
kami?" Yap Man-jing menghela napas panjang, katanya,
"Nyata, hanya engkau saja yang dapat menyelami
jalan pikiran Put-si-sin-liong."
Mendadak Kwe Giok-he membentak, "Tapi pesan
lisan tidak ada bukti, cara bagaimana kami dapat
membedakan benar dan tidaknya pesan yang akan
kau sebutkan" Samte, Sumoay, perempuan ini
telah membunuh Suhu, jika kita tidak menuntut
balas apa terhitung manusia?"
Seketika Ciok Tim mengangkat kepala dengan
mata melotot sambil mengepal erat kedua tinjunya.
Tiba-tiba Yap Man-jing menjengek, "Hm, kau
bilang pesan lisan tanpa bukti ...."
Ia terus menggigit belati emas dengan mulut,
lalu mengeluarkan lagi sehelai kertas yang terlipat
rajin, sekali jari menyelentik, kertas itu
disambitkan ke depan Liong Hui.
Segera Giok-he memburu maju sambil
membentak, "Coba kulihat."
Selagi dia hendak menjemput kertassurat itu,
sekonyong-konyong bagian iga terasa kesemutan.
Rupanya Yap Man-jing jaga telah bertindak,
dengan ujung belati emas ia ancam iga Giok-he
dan membentak, "Kau mau apa?"
"Sebagai muridnya, masakah aku tidak dapat
membacasurat wasiat guru sendiri?" teriak Giokhe,
meski di mulut ia membantah, namun tubuh
tidak berani bergerak sama sekali.
"Mundur dulu kesana !" bentak Man-jing.
"Kau ini apa, berani memerintah diriku"!" jawab
Giok-he dengan gusar.
Tapi segera dirasakan setengah badan kaku
kesemutan, tanpa terasa ia menyurut mundur ke
belakang Liong Hui.
Karena perhatiannya terpusat kepadasurat
wasiat gurunya sehingga agak lengah dan dapat
diatasi olehYap Man-jing, sungguh tidak kepalang
rasa gusar dan dongkol Giok-he, bibir sampai
gemetar dari sukar bicara lagi.
Liong Hui sangat sayang kepada sang istri, cepat
ia berbangkit dan memegang tangannya yang
terasa sangat dingin itu, tanyanya dengan
khawatir, "Ba ... bagaimana, Moaycu, engkau tidak
apa-apa bukan?"
Tersembul senyuman terhibur di ujung mulut
Kwe Giok-he, sahutnya, "Aku ... aku tidak apaapa!"
Mendadak ia mengisiki Liong Hui dengan suara
tertahan, "Lekas kau bacasurat wasiat itu, bila
isinya tidak menguntungkan kita, sebaiknya
jangan kau baca dengan suara keras!"
Liong Hui melengak, dipandangnya sang istri
dengan bingung, agaknya baru sekarang ia dapat
memahami jalan pikiran istrinya itu.
Didengarnya Yap Man-jing lagi mengejek, "Hm,
pesan tinggalan guru tidak lekas dibaca, tapi buruburu
menghibur istri yang sok aksi, huh ...."
Muka Liong Hui menjadi merah, perlahan ia
membalik tubuh, segera ia hendak
menjemputsurat wasiat itu.
Siapa tahu pedang Yap Man-jing lantas
menyambar dari samping, dengan ujung pedang
hijau Yap-siang-jiu-loh ia cungkitsurat itu.
"Apa maksudmu ini?" damprat Liong Hui dengan
kurang senang. "Kau kelihatan ogah membacasurat ini, biarkan
orang lain saja yang membacanya," jengek Manjing.
Sorot matanya lantas berputar, setiap orang
dipandangnya sekejap secara bergiliran,
tampaknya sedang mencari calon untuk disuruh
membacasurat wasiat itu. Tiba-tiba ia mendekati
Ong So-so dan berkata, "Ambilsurat ini dan
bacalah dengan suara keras supaya didengar
semua orang!"
So-so baru saja siuman dari pingsannya,
mukanya masih pucat, ia coba melirik Giok-he
sekejap, lalu bertanya "Kenapa kau suruh kubaca
pesan tinggalan Suhu?"
Sembari bicara, tidak urung ia ambil jugasurat
yang tersunduk di ujung pedang orang itu, setelah
ragu sejenak lagi, dipandangnya Ciok Tim, lalu
memandang pula Lamkiong Peng, akhirnya dia
membentang kertassurat itu.
"Baca dengan suara keras, satu kata pun tidak
boleh ketinggalan, baca selengkapnya!" seruYap
Man-jing. Giok-he saling pandang sekejap dengan Liong
Hui, dirasakan tangan sang istri sedingin es, ia
menghela napas dan menghiburnya, "Segala apa
terserah kepada takdir, buat apa engkau cemas."
Giok-he memejamkan mata, dua titik air mata
lantas menetes.
Liong Hui menggenggam tangan istrinya dengan
erat. Didengarnya So-so telah mulai membaca.
"Janji pertarunganku dengan Yap Jiu-pek sudah
dilakukan sejak sepuluh tahun yang lalu, yang
menang tetap hidup, yang kalah harus mati, apa
pun yang terjadi takkan disesalkan pihak mana
pun, juga takkan benci dan dendam, jika aku
kalah dan mati, ini pun kulakukan dengan
sukarela, setiap anak muridku dilarang menuntut
balas terhadap anak murid Tan-hong, yang
melanggar pesan ini bukanlah muridku, pemegang
Kim-liong-bit-leng berhak memecatnya dari
perguruan."
Mungkin karena tegang dan juga emosional,
meski sedapatnya ia menenangkan diri, tidak
urung suara So-so tetap agak bergemetar. Sampai
di sini ia berganti napas, setelah agak tenang
barulah ia membaca lebih lanjut.
"Di antara anak muridku, anak Hui yang
pertama masuk perguruan, ia juga terhitung
keponakanku sendiri, jujur dan lugas, sangat
kusayang, hanya pribadinya teramat lugu dan
kaku, mudah menerima kisikan, inilah cacatnya
sehingga sukar memegang pekerjaan besar dan
tidak dapat menghasilkan sesuatu."
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sampai di sini So-so berhenti sejenak sambil
melirik Liong Hui sekejap.
Liong Hui tampak menunduk kikuk.
Segera So-so menyambung lagi, "Adapun pribadi
anak Tim cukup kuat, tegas dan bijaksana, So-so
halus budi dan lemah lembut ...."
Karena menyangkut diri sendiri, muka So-so
menjadi merah, ia membetulkan rambutnya yang
kusut, lalu menyambung, "Hanya anak Peng saja
berasal dari keluarga temama, sejak kecil
mendapat didikan ketat, tidak ada sifat dugal atau
nakal. Terlebih pembawaannya pendiam dan tidak
suka menonjol, malahan bakatnya sangat tinggi,
maka kuputuskan ...."
Sampai di sini mendadak terdengar Kwe Giok-he
menangis sedih.
Liong Hui menghela napas dan merangkulnya
perlahan. Terdengar Giok-he berkeluh, "Oo ... sudah
banyak yang kukerjakan bagi Ci-hau-san-ceng,
tapi ... tapi beliau sama sekali tidak menyinggung
diriku di dalam pesannya ini."
"Sabarlah, Moaycu, mengapa hari ini engkau
berubah menjadi begini"!" ucap Liong Hui dengan
kening bekernyit.
Giok-he mengangkat kepala, mukanya penuh air
mata, katanya. "Sungguh hatiku sangat sedih,
sudah ... sudah sekian tahun kukerja keras bagi
Suhu, tapi ... tapi apa yang kita peroleh" Apa yang
kita peroleh" ...."
Mendadak Yap Man-jing mendengus dan
melengos, seperti tidak sudi melihatnya. Namun
dia tetap berjaga di samping So-so.
Sesudah termangu sejenak, lalu So-so membaca
lagi, "Maka sudah kuputuskan menyerahkan Yapsiangjiu-loh yang sudah berpuluh tahun tidak
pemah berpisah denganku ini serta tugas menjaga
peti wasiat kepada anak Peng, tugas ini harus
dilaksanakan hingga tuntas, peti rusak orang pun
binasa." Bekernyit juga kening So-so, agaknya dia tidak
paham arti kalimat terakhir itu, ia termenung
sejenak dan mengulang lagi kalimat itu, "Peti rusak
orang pun binasa!"
Kemudian ia melanjutkan, "Selama hidupku ada
tiga cita-citaku yang belum terlaksana, semua ini
juga harus dilaksanakan oleh anak Peng. Ketiga
urusan ini sudah kuberi tahukan kepada nonaYap
Man-jing ...."
Kembali So-so berhenti, sinar mata Ciok Tim
tampak gemerdep.
So-so lantas melanjutkan, "Selama beberapa
puluh tahun aku berkecimpung di dunia Kangouw,
tidak bisa terhindar dari lumuran darah kedua
tanganku, tapi bila kuraba hati dan bertanya pada
diri sendiri, rasanya aku tidak pemah berbuat
sesuatu yang melanggar keadilan dan
kemanusiaan. Selanjutnya aku tidak mampu
mengikuti kejadian duniawi lagi, Ci-hau-san-ceng
yang kudirikan ini seterusnya kuserahkan kepada
...." Mendadak So-so berhenti pula sambil menarik
napas dalam-dalam, air mukanya kelihatan
terheran-heran.
"Serahkan kepada siapa, lanjutkan!" seruYap
Man-jing dengan tidak sabar.
Berputar bola mata Ong So-so, tanyanya lirih,
"Memangnyasurat ini belum kau baca?"
Alis Yap Man-jing menegak, katanya lantang,
"Memangnya kau kira anak murid Tan-hong adalah
manusia rendah begitu?"
So-so menghela napas hampa, katanya, "Oo,
tadinya kukirasurat ini sudah kau baca, karena
menguntungkanmu tentu saja kau serahkan
kepada kami, jika isinya tidak menguntungkanmu
tentu takkan kau serahkan kepada kami."
Nadanya jelas penuh rasa kagum dan hormat
kepada orang, juga penuh rasa kasih sayang dan
lemah lembut. Setiap gerak-gerik So-so memang
timbul sewajarnya dan setulusnya sehingga siapa
pun tidak tega membikin susah dia.
Tangis Giok-he mulai reda, tiba-tiba ia
menengadah dan bertanya, "Apakah betulsurat itu
tulisan tangan Suhu?"
So-so mengangguk perlahan.
Giok-he mengusap air matanya dan berkata
pula, "Kau kenal tulisan pribadi Suhu?"
"Akhir-akhir ini Suhu sering berlatih menulis,"
tutur So-so dengan perlahan, "dan akulah yang
selalu meladeni beliau dengan mengasahkan tinta
bak baginya."
Sampai di sini dua titik air mata lantas menetes,
rupanya dia terkenang kepada sang guru yang
berbudi itu. Ketika dia hendak menyeka air
matanya, tiba-tiba dirasakan pundak ditepuk
orang perlahan, ternyataYap Man-jing telah
menyodorkan saputangan kepadanya.
Giok-he terdiam sejenak, kemudian ia tanya,
"Lantas bagaimana, Suhu menyerahkan
pengurusan Ci-hau-san-ceng kepada siapa!"
So-so mengusap air matanya, lalu
mengembalikan saputangan kepada Yap Man-jing
dengan tersenyum terima kasih, dibetulkannya
kertassurat yang dipegangnya, lalu membaca lagi,
"Ci-hau-san-ceng seterusnya kuserahkan kepada
anak Hui dan Giok-he suami-istri!"
Serentak Giok-he berdiri tegak dan memandang
langit yang biru kelam itu, ia termangu-mangu
sekian lama, air mukanya tampak malu dan
menyesal. Liong Hui berdehem perlahan, ucapnya lirih,
"Moaycu, betapa pun Suhu ternyata tidak
melupakan dirimu!"
"O, Suhu ...." mendadak Giok-he berseru dan
menjatuhkan diri ke dalam pelukan sang suami
dan menangis pula.
Kembali Yap Man-jing mengejek hina lagi
padanya, "Hm, baru sekarang kau ingat kepada
Suhu dan baru berduka baginya"!"
Tangis Giok-he tambah keras, sedangkan Liong
Hui menunduk diam.
Terdengar So-so membaca lagi, "Ci-hau-san-ceng
adalah hasil usaha selama hidupku, tanpa orang
jujur dan lugas sebagai anak Hui tentu takkan
mampu mengerahkan para pahlawan sedunia,
tanpa kecerdasan dan kepintaran Giok-he untuk
membantu kekurangan anak Hui, tentu juga Cihausan-ceng sukar berdiri tegak abadi."
Lamkiong Peng menghela napas, agaknya dia
sangat kagum dan bersyukur terhadap pembagian
tugas dan kewajiban dalam pesan sang guru itu.
Waktu ia memandang kesana , dilihatnya Ong
So-so lagi memandangsurat yang terpegang dengan
terkesima dan tidak membaca lebih lanjut.
Ciok Tim juga memandang kesana , mendadak
tertampil rasa girangnya, serunya, "Sumoay,
kenapa tidak kau lanjutkan membaca"!"
"Aku ... aku ...." mendadak So-so menunduk
dengan muka merah, tapi air mata lantas
berlinang. "Pesan Suhu masakah tidak kau baca lebih
lanjut?" ujar Ciok Tim, dia cuma
memerhatikansurat wasiat itu, sikap So-so yang
malu dan juga kecewa itu tidak dilihatnya.
Perlahan So-so mengusap air mata, lalu
membaca lagi, "Kim-liong-bit-leng adalah pusaka
tertinggi perguruan kita, selanjutnya kuserahkan
kepada anak Tim dan ... dan So-so untuk dipegang
bersama. Dengan ketulusan anak Tim dan
kepolosan So-so, kuyakin mereka takkan
sembarangan menyalahgunakan benda pusaka ini.
Dengan Liong-bun-siang-kiam, gabungan kedua
pedang ini pasti takkan membikin nama perguruan
kehilangan wibawa. Segala urusan penting
perkampungan sudah teratur dengan baik, untuk
ini anak Peng tidak perlu resah, sesudah pulang
dan berbenah seperlunya, tiga bulan kemudian
boleh menemui nona Yap Man-jing di puncak Hoasan
untuk bersama-sama menyelesaikan tiga citacitaku
yang belum terlaksana itu, tapi juga jangan
jauh meninggalkan peti sakti tinggalanku. Ingat
dengan baik."
So-so membaca semakin cepat, rasa kecewa
pada wajahnya juga tambah mencolok.
Sementara itu tangis Giok-he sudah reda, ia
menghela napas perlahan dan membisiki Liong
Hui, "Segala apa cukup diketahui oleh Suhu,
hanya perasaan Sumoay saja tidak diketahuinya."
"Perasaan apa?" tanya Liong Hui dengan
melenggong. "Sumoay lebih suka berkelana di dunia Kangouw
bersama Gote daripada bersama Samte memegang
Bit-leng tanda kekuasaan perguruan kita," tutur
Giok-he. "Oo, tampaknya engkau serbatahu," ujar Liong
Hui. Dalam pada itu So-so telah membaca lagi,
"Selama hidupku ke atas tidak bersalah kepada
Thian, ke bawah tidak malu terhadap sesamanya,
biarpun mati, di alam baka pun dapatlah kututup
mata dengan tertawa."
Ketika mengakhiri isi surat wasiat ini, suara Soso
menjadi tersendat, perlahan ia melipat surat itu,
dilihatnya Yap Man-jing telah menyodorkan belati
naga emas kepadanya sambil berpesan, "Jagalah
dengan baik!"
"Terima kasih," jawab So-so lirih.
Man-jing tersenyum.
Tiba-tiba So-so menambahkan dengan perlahan,
"Hendaknya selanjutnya kau pun dapat menjaga
dia dengan baik."
Dengan mata merah basah So-so lantas
menyingkir. Keruan Yap Man-jing melengak, sejenak ia
berdiri termenung, lalu ia mendekati Lamkiong
Peng, tanpa bicara ia tancapkan pedang Yap-siangjiuloh di depan anak muda itu dan berucap
dengan dingin, "Pada tangkai pedang terdapat lagi
sepucuk surat rahasia, boleh kau ambil dan dibaca
sendiri!" Lalu dia membalik tubuh dan tinggal pergi.
Pada sebelum So-so selesai membacasurat
wasiat Put-si-sin-liong tadi, Lamkiong Peng
memang sudah tenggelam dalam lamunannya.
Setelah mendengar ucapanYap Man-jing, segera ia
cabut pedang dengan kening bekernyit dan tetap
merasa bimbang.
Ketika bayangan Yap Man-jing sudah hampir
menghilang baru mendadak ia berteriak, "Nanti
dulu, nonaYap !"
Segera pula ia melayang kesana .
Man-jing berpaling dan berkata dengan ketus,
"Adaapa" Memangnya hendak kau bunuh diriku
untuk membalas dendam bagi gurumu?"
Wajah Lamkiong Peng yang selalu tenang itu
menjadi agak emosi, ucapnya dengan suara berat,
"Betulkah guruku belum lagi meninggal" Di mana
sekarang beliau berada?"
Tubuh Yap Man-jing seperti rada tergetar, tapi
cepat ia bisa menenangkan diri dan menjawab,
"Jika Put-si-sin-liong belum mati mengapa dia
tidak pulang ke sini?"
"Untuk ini perlu ditanyakan padamu," jengek
Lamkiong Peng. "Kenapa tidak kau tanya dulu kepada dirimu
sendiri?" sahut Man-jing dengan lebih ketus. Tanpa
menoleh lagi ia memberi tanda kepada keempat
perempuan pengiringnya dan berkata, "Berangkat!"
Hanya sekejap sajalima sosok bayangan sudah
menghilang di bawahsana .
Liong Hui, Giok-he, Ciok Tim dan So-so lantas
mendekati Lamkiong Peng, berbareng mereka
bertanya, "Mengapa engkau bilang Suhu mungkin
belum meninggal?"
Dengan kening bekernyit Lamkiong Peng
berkata, "Jika Suhu sudah meninggal, kenapa
beliau meninggalkan kata-kata seperti 'bila kalah
dan mati' dan 'bilamana aku mati' dan sebagainya.
Apalagi kalau Suhu benar gugur dalam
pertandingan tadi, dengan watak beliau yang
keras, mana mungkin ditinggalkannya pesan yang
ditulisnya sejelas dan selengkap ini?"
So-so segera menambahi, "Ya, tulisan beliau juga
sangat rajin dan teratur, serupa waktu beliau
berlatih menulis indah biasanya."
"Nah, kan tambah jelas lagi," ujar Lamkiong Peng
dengan mata mencorong, "Dalam keadaan begitu,
umpama Suhu tidak langsung dicederai lawan,
pasti juga tidak mungkin meninggalkan surat
wasiat serapi ini, kuyakin di balik urusan ini pasti
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada sesuatu yang tidak beres ...."
Ia berhenti sejenak, sorot matanya mendadak
berubah guram, katanya pula dengan menyesal,
"Akan tetapi, jika beliau belum meninggal,
mengapa beliau tidak kembali ke sini?"
Semua orang saling pandang dan tak bisa
memberi komentar. Kedua lelaki penggotong peti
tadi juga ikut mendengarkan dengan cermat.
Si Tojin yang sejak tadi cuma menonton saja di
samping rupanya tidak mendapat perhatian
mereka oleh karena suasana yang tegang tadi.
Kini Lamkiong Peng agak jauh meninggalkan peti
mati yang dijaganya dan asyik bicara dengan
saudara seperguruannya, mendadak Tojin itu
menggeser ke peti mati, secepat kilat ia menyergap
selagi kedua penggotong peti ikut mendengarkan
pembicaraan Lamkiong Peng, tahu-tahu bagian
belakang kepala mereka terpukul.
Tanpa sempat bersuara, "bluk-bluk", kedua
orang lantas roboh kelengar.
Sama sekali si Tojin tidak menghiraukan
korbannya lagi, secepatnya ia angkat peti mati itu
terus dibawa lari ke bawah gunung.
Lamkiong Peng sendiri lagi memikirkan isi surat
wasiat yang mencurigakan itu, ketika itulah
terdengar suara "bluk" dua kali disusul dengan
jeritan kaget Ong So-so, "Hei, apa yang kau
lakukan"!"
Pembawaan So-so memang polos dan pemalu,
mimpi pun tak terduga olehnya ada orang akan
merampas peti mati kayu cendana itu, karena
kagetnya ia hanya berdiri kesima saja.
Tapi karena jeritannya, buyarlah lamunan
Lamkiong Peng, cepat ia membalik tubuh dan
sekilas pandang sempat melihat bayangan si Tojin
yang kabur ke bawah gunung dengan mengangkat
peti mati itu. Sungguh tidak kepalang kejutnya, tanpa pikir ia
lantas mengejar, hanya beberapa kali loncatan saja
sudah jauh di bawahsana .
"Toako, Samko ...." seru So-so khawatir.
Liong Hui juga berteriak, "Lekas kejar!"
"Kejar apa?" kata Giok-he.
"Kejar perampok peti mati itu," seru Liong Hui
dengan gusar. "Hanya sebuah peti mati saja, biarpun terbuat
dari kayu cendana, memangnya berapa harganya?"
ujar Giok-he. "Tapi apakah boleh kita membiarkan Gote
sendiri menyerempet bahaya?"
"Dan bagaimana dengan Suhu, apakah beliau
tidak kita urus lagi?" jengek Giok-he.
Serentak Liong Hui memutar balik dan menegas,
"Apa katamu?"
Giok-he menghela napas, ucapnya, "Kukira apa
yang dikatakan Gote tadi memang beralasan.
Pokoknya kita tidak peduli apakah Suhu benar
sudah meninggal atau belum, yang penting kita
harus memeriksa ke tempat yang didatangi beliau
tadi, apabila Suhu memang benar belum
meninggal,kan beruntung sekali kita!"
"Akan ... akan tetapi bagaimana dengan Gote?"
ucap Liong Hui ragu.
"Tadi telah kau lihat gerakan 'Kim-liong-coanhun'
(naga emas menembus awan) Gote itu,
bagaimana kalau dibandingkan kepandaianmu?"
tanya Giok-he. Liong Hui jadi melenggong, "Ini ...."
"Ini menandakan kepandaian Gote
sesungguhnya di luar ukuran kita," tukas Giok-he,
"Dengan Kungfu yang dikuasainya sekarang,
bukan soal lagi baginya untuk menghadapi jago
mana pun, untuk menjaga diri tentu saja terlebih
mudah." Liong Hui termenung, katanya kemudian, "Ya,
ini ... ini juga betul."
So-so tampak gelisah, selanya, "Akan tetapi
kalau Tojin itu berani main rampas peti mati, hal
ini menandakan di dalam peti itu pasti ada sesuatu
rahasia yang tidak kita ketahui ...."
Perlahan Giok-he menepuk pundak So-so dan
berkata dengan lembut, "Sumoay, apa pun usiamu
masih terlalu muda, ada sementara urusan yang
sukar kau pahami. Sebabnya Tojin itu
menyerempet bahaya merampas peti mati itu,
tujuannya tidak lebih hanya menggunakan
kejadian ini untuk membuat namanya terkenal
saja." "Namun ... namun bila tiada sesuatu rahasia
dalam peti, untuk apa Suhu menyuruh ...
menyuruh dia menjaga peti itu dengan baik?" kata
So-so. Giok-he menjadi kurang senang, katanya pula,
"Sekalipun di dalam peti mati ada rahasia,
memangnya rahasia itu bisa lebih penting daripada
urusan mati-hidup Suhu?"
So-so meremas-remas kedua tangan sendiri
dengan bimbang, meski ia merasa ucapan sang
Suci kurang benar, tapi rasanya sukar
membantahnya. Segera Liong Hui menyela dengan mengangguk,
"Sumoay, ucapan Toasomu memang cukup
beralasan. Kulihat kepandaian Tojin itu toh tidak
terlalu tinggi, Gote pasti tidak akan mengalami
kesukaran, lebih penting kita menyelidiki urusan
Suhu saja."
Sejak tadi Ciok Tim hanya termenung saja, dia
seperti mau ikut bicara, tapi setelah memandang
So-so sekejap, lalu urung buka mulut.
Giok-he tertawa cerah, perlahan ia tepuk pundak
So-so lagi sekali, katanya, "Turutlah pada
perkataan Toaso, pasti tidak salah lagi. Bila terjadi
apa-apa atas diri Gote, boleh kau minta
pertanggungan jawab Toasomu ini, tidak perlu
khawatir."
Ciok Tim tampak berpaling ke arah lain.
Giok-he lantas berkata pula, "Samte dan
Sumoay, mari kita pergi mencari Suhu!"
So-so mengangguk dan ikut melangkah kesana
bersama Giok-he, namun melirik sekejap juga ke
arah menghilangnya bayangan Lamkiong Peng
dengan perasaan berat.
"Jika Sumoay tidak mau ikut mencari Suhu,
dengan tenaga kita bertiga rasanya juga cukup,"
kata Ciok Tim tiba-tiba.
"Ah, kenapa Samte bicara demikian." ujar Giokhe
dengan tertawa. "Biasanya Sumoay paling
berbakti kepada Suhu, selama ini Suhu juga paling
sayang pada Sumoay, mana bisa dia tidak mau
mencari Suhu?"
"Ya, betul," tukas Liong Hui.
Pada saat itulah terlihat seekor burung terbang
tinggi menembus awan, mendadak berbunyi
panjang, suaranya bergema scakan-akan lagi
mengejek kebodohan Liong Hui, kecerdikan Kwe
Giok-he, kecemburuan Ciok Tim dan kelemahan
So-so, cuma sehabis berbunyi, mendadak burung
itu pun menumbuk dinding tebing di tengah kabut
tebal. Liong Hui berjalan di depan dengan cepat,
memandangi bangkai burung yang terjerumus ke
bawah itu, katanya sambil menoleh, "Burung ini
sungguh amat bodoh!"
"Burung yang kehilangan pasangan tidak mau
hidup sendirian, maka sengaja membunuh diri
dengan menumbuk dinding tebing," tutur Ciok
Tim. "Jika aku menjadi burung itu, aku lebih suka
mati merana!" ucap So-so dengan hampa.
"Kalian keliru semua," kata Giok-he dengan
tersenyum. "Burung itu tidaklah bodoh, juga tidak
kesepian, dia tertumbuk mati hanya lantaran
terbangnya terlalu tinggi dan karena lengahnya
sendiri." "Terbang terlalu tinggi bisa mati tabrakan,
terbang terlalu rendah bisa terbidik oleh pemburu,"
ujar Liong Hui dengan menyesal. "Ai, tak tersangka
menjadi manusia sulit, menjadi burung juga tidak
sederhana,"
Tengah bicara mereka berempat sudah bergerak
cukup jauh, tanah pegunungan yang kacau tadi
kini tertinggal pohon cemara tua yang tetap berdiri
tegak dengan desir angin kencang dan awan tebal.
Burung yang terjerumus ke jurang itu tertiup
angin melayang jatuh ke bawahsana ....
Saat itu Lamkiong Peng sedang mengejar si Tojin
secepat terbang, dia sudah melampaui tugu Hanbunkong, dengan gelisah ia mengejar sepenuh
tenaga. Meski Tojin itu mengangkat sebuah peti mati,
tapi gerak tubuhnya tetap sangat gesit dan cepat,
Lamkiong Peng merasa bayangan di depan makin
jelas kelihatan, tapi seketika tetap tak tersusulkan.
Sungguh ia tidak tahu mengapa Tojin ini sengaja
menyerempet bahaya hanya untuk merampas
sebuah peti mati, juga tidak dimengertinya
mengapa gurunya menyuruhnya menjaga peti mati
dengan baik. Tiba-tiba teringat olehnya macam-macam
dongeng kuno. Apakah mungkin di dalam peti mati
ini tersimpan sesuatu rahasia dan rahasia ini
menyangkut seperti harta karun yang sudah lama
diincar orang atau tersimpan semacam senjata
wasiat atau sejilid kitab pusaka ilmu silat
mahatinggi"
Pikiran demikian terkilas dalam benaknya
dengan cepat, dan pada detik itulah bayangan
Tojin di depan mendadak bergerak lamban. Ketika
ia menoleh, tiada tertampak seorang saudara
seperguruan yang menyusul kemari, ia menjadi
ragu apakah telah terjadi sesuatu disana .
Pada saat itu tidak sempat baginya untuk
memikirkan hal-hal yang demikian, mendadak ia
melompat terlebih cepat ke depan hanya beberapa
kali naik turun, jaraknya dengan si Tojin semakin
dekat. Mendadak terasa setitik bayangan hitam
menyambar tiba, menghantam lengan kanannya,
terkesiap juga Lamkiong Peng oleh sambaran angin
keras ini, cepat ia membaliki tangan kanan dan
meraihnya, dengan tepat setitik bayangan ini kena
dipegangnya, tapi lantaran itu sarung pedang hijau
yang dipegangnya judi terlepas dan jatuh ke dalam
jurang. Waktu bayangan hitam itu terpegang, segera
dirasakan dingin dan basah, sekilas lirik ternyata
yang terpegang itu adalah bangkai burung.
Ia tersenyum mengejek pada diri sendiri,
sungguh terlalu, dunia selebar ini, masakah seekor
burung mati bisa begitu kebetulan menimpanya.
Betapa pun hal ini dirasakan sebagai "ada jodoh",
bangkai burung dimasukkan ke dalam bajunya.
Waktu ia memandang ke depan, sudah dekat
dengan ujung puncak gunung, jaraknya dengan si
Tojin juga tinggal beberapa meter saja.
Biarpun Tojin itu sangat kuat, tapi dengan
mengangkat sebuah peti mati dan berlari di tanah
pegunungan yang curam demikian, akhirnya ia
mulai lelah juga. Ketika larinya mulai kendur,
mendadak terdengar bentakan dari belakang,
"Berhenti!"
Ia sedikit melirik ke samping, tertampaklah
sebatang pedang hijau kemilau menyambar dari
belakang, jaraknya sudah cukup dekat, angin
tajamnya sudah dapat dirasakan.
Si Tojin masih terus berlari, cuma diam-diam ia
telah siap berputar. Ketika menurut
perhitungannya saatnya sudah tepat, mendadak ia
membentak sambil membalik, peti mati
diangkatnya terus dikeprukkan ke atas kepala
Lamkiong Peng. Peti mati buatan kayu cendana itu sangat berat,
ditambah lagi si Tojin menghantam dengan sekuat
tenaga, bobot peti itu menjadi beribu kati beratnya.
Cepat Lamkiong Peng bermaksud menahan
langkahnya, akan tetapi sudah terlambat,
tertampak segumpal bayangan hitam dengan angin
dahsyat menindih dari atas. Berada di lereng
gunung yang terjal begini jelas sukar baginya
untuk menghindar.
Karena kepepet, Lamkiong Peng juga membentak
sambil putar pedangnya, dengan cepat ujung
pedang memapak peti mati yang menindih dari
atas itu. Dalam sekejap saja ujung pedangnya menutul
beberapa kali, terdengar suara "tok-tek" berulangulang,
setiap tutulan pedangnya serentak
mengurangi daya tindih peti, inilah gerakan ringan
melawan berat kaum ahli, gerak tangkis demikian
memerlukan perhitungan yang jitu dan berani.
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan wajah kelam si Tojin berusaha menekan
peti mati itu sekuatnya, Lamkiong Peng juga
pasang kuda-kuda dengan kuat dan menegakkan
pedang untuk menyanggah daya tekan peti.
Dalam keadaan demikian, kedua orang sama
tidak berani ayal, sebab mereka tahu sedikit
meleng saja tentu akan terjerumus ke jurang yang
tak terbayangkan dalamnya.
Panjang peti itu lebih dua meter, sedang ujung
pedang cuma setitik saja. Peti menindih dari atas,
pedang harus menegak untuk menahan daya tekan
yang kuat itu, betapa berbahayanya tentu dapat
dibayangkan. Lamkiong Peng merasakan daya tekan peti
semakin berat, batang pedang buatan baja itu
mulai melengkung.
Kain baju Lamkiong Peng mulai mengembung,
rambut dan jenggot si Tojin scakan-akan menegak,
kedua orang sama mengerahkan segenap tenaga
dan berdiri sekukuh tonggak, namun sedikit demi
sedikit kaki Lamkiong Peng mulai bergeser dengan
perlahan. Jika dia tidak geser kaki akhirnya kaki akan
amblas, tapi geseran yang perlahan ini baginya
sekarang boleh dikatakan mahasulit. Yang lebih
sulit lagi adalah dia harus berjaga jangan sampai
ujung pedangnya menusuk masuk ke dalam peti.
Sebab kalau ujung pedang masuk peti, segera peti
akan menindih ke bawah dan ini berarti maut
baginya. Angin gunung mendesir lewat di sisi telinganya,
Lamkiong Peng merasakan pedang yang
dipegangnya dari dingin mulai berubah menjadi
panas. Pandangannya mulai kabur, maklumlah
segenap tenaganya hampir terkuras habis.
Wajah si Tojin kelihatan tambah guram, sinar
matanya tambah beringas, dengan menyeringai
mendadak ia membentak, "Tidak turun ke
bawah!?" "Belum tentu bisa!" jawab Lamkiong Peng sambil
membusungkan dada.
"Hm, usiamu masih muda belia, jika mati begini
saja tanpa ada yang mengurus mayatmu, sungguh
aku merasa kasihan bagimu," jengek si Tojin.
"Huh, entah siapa yang akan mati!" kata
Lamkiong Peng, diam-diam ia merasa menyesal
kenapa tiada seorang pun saudara seperguruannya
menyusul kemari, apakah betul akan terjadi
mayatnya tak terurus"
"Mengapa mereka tidak menyusul kemari,
apakah ...." selagi dia membatin demikian,
sekonyong-konyong dirasakan daya tekan peti mati
tambah kuat, ia terkejut dan cepat menenangkan
diri dan bertahan lebih kuat. Ia sadar agaknya si
Tojin sengaja membuyarkan konsentrasinya
dengan ucapannya.
Tiba-tiba dilihatnya di bawah bayangan peti mati
dahi si Tojin berhias butiran keringat, tergerak
pikirannya, agaknya lawan sendiri juga sudah
payah, asalkan aku bertahan sebentar lagi tentu
akan dapat mengatasi lawan.
Segera ia balas mengejek, "Hm, memangnya kau
kira aku tidak tahu keadaanmu. Biarpun
Lwekangmu lebih tinggi daripadaku, tapi engkau
telah berlari sejauh ini dengan mengangkat benda
seberat ini, tenaga yang telah kau kuras jelas jauh
lebih banyak daripadaku, biarpun keadaanku
cukup payah, akan tetapi engkau justru serupa
pelita yang kehabisan minyak."
Air muka si Tojin yang kelam itu kembali
berubah terlebih gelap, peti mati yang dipegangnya
terasa bergetar, kesempatan itu digunakan
Lamkiong Peng untuk menolak dengan pedangnya
sehingga terangkat lebih tinggi sedikit. Lengan si
Tojin yang putih itu mulai berubah merah dan
akhirnya menjadi kebiru-biruan.
Lamkiong Peng merasa lega, perlahan ia berkata
pula, "Jika kita terus bertahan seperti ini, meski
aku bisa celaka, tapi engkau pasti mampus."
Dia sengaja mempertegas kata "mampus" dengan
suara keras, lalu menyambung pula, "Hm, hanya
karena sebuah peti mati kayu cendana saja kenapa
kau bela mati-matian, jika kau mau lepas tangan
sekarang juga, mengingat sesama kaum persilatan,
takkan kuusut lebih lanjut perbuatanmu ini dan
akan kulepaskan kau pergi."
Uraiannya meski bermaksud mengacaukan
semangat tempur lawan, tapi ada sebagian kata
katanya juga timbul dari lubuk hatinya yang
mumi. Tak terduga si Tojin lantas tertawa dingin dan
membentak, "Hm, masakah gampang kumati
begitu saja" Jika mati tentu juga bersamamu!"
Mendadak ia mengerahkan sisa tenaganya dan
menekan peti mati terlebih kuat. Selagi Lamkiong
Peng terkesiap, dilihatnya si Tojin mendak ke
bawah sedikit dan sebelah kakinya bahkan terus
menendang. Tenaga si Tojin dikerahkan seluruhnya pada
kedua tangannya, maka tendangannya sebenarnya
tidak keras, tapi tempat yang di arah justru sangat
berbahaya, yaitu bagian selangkangan, bagian
lemah ini cukup fatal bila terdepak dengan tepat,
tidak perlu terlalu keras.
Dalam keadaan begini, jika Lamkiong Peng
menghindari tendangan ini, berarti kuda-kudanya
akan goyah dan peti mati akan jatuh dari atas,
sebaliknya kalau tidak mengelak, pasti juga akan
celaka. Dalam gusarnya tanpa pikir ia mengayun
telapak tangan kiri ke bawah, ditabasnya
pergelangan kaki lawan. Baik waktu maupun
tempat yang di arah sungguh sangat tepat.
Tapi Tojin itu segera juga berganti gerakan,
kedua tangan tetap memegang peti mati, tubuh
terapung, kaki kanan ditarik kembali, kaki kiri
terus menendang pula secepat kilat.
Lamkiong Peng juga tidak kalah cepatnya,
tangan kiri berputar, kembali ia cengkeram kaki
lawan. Diam-diam ia pun terkesiap, cara si Tojin
ini jelas sudah kalap, kalau perlu ingin gugur
bersama dengan dia. Sebab dengan tubuh
bergantungan dan kedua kaki menendang secara
bergantian, bilamana Lamkiong Peng tertendang
dan jatuh ke dalam jurang, si Tojin sendiri juga
pasti akan ikut terjeblos ke jurang.
Dalam sekejap itu meski Lamkiong Peng dapat
menahan beberapa kali tendangan berantai si
Tojin, tapi tangan kanan yang memegang pedang
terasa linu pegal, peti mati terasa semakin
menekan ke bawah, tangan kiri juga mulai sukar
menahan tendangan kilat musuh.
Dalam keadaan kepepet kalau dia mau
melepaskan pedang dan melompat mundur, jelas
dia dapat menyelamatkan jiwa sendiri. Tapi dia
lantas teringat kepada pesan sang guru yang telah
menyerahkan pedang pusaka Yap-siang-jiu-loh
kepadanya dengan tugas membela peti sakti itu,
"peti rusak orang binasa", demikian kata terakhir
amanat sang guru itu.
Diam-diam ia menghela napas, sukar
diselaminya sesungguhnya ada keistimewaan apa
pada peti mati ini sehingga perlu dibela matimatian,
tapi apa pun juga dia harus patuh kepada
amanat sang guru.
"Peti rusak orang binasa", itulah amanat yang
tidak boleh dilupakan, mendadak ia berteriak,
"Baiklah, biar kita gugur bersama!"
Mendadak ujung pedang menolak sekuatnya ke
atas, tangan kiri terus mencengkeram ke depan,
dia tidak lagi menangkis tendangan si Tojin
melainkan mencengkeram dada orang. Ia menjadi
nekat dan tidak memikirkan akibatnya lagi, yang
penting amanat sang guru telah dilaksanakannya.
Berubah juga air muka si Tojin melihat
kekalapan anak muda itu, mendadak ia tertawa
keras, "Hahaha! Bagus, bagus, biarlah kita bertiga
gugur bersama!"
Tergetar hati Lamkiong Peng, "Bertiga"!" ucapnya
tanpa terasa. Mendadak ia tahan serangannya dan
kembali menegas dengan membentak, "Dari mana
datangnya orang ketiga?"
Meski timbul rasa curiganya dan ingin tahu
sesungguhnya apa yang dimaksudkan si Tojin, tapi
dalam keadaan begini, ibarat orang sudah berada
di punggung harimau, ingin turun pun tidak bisa
lagi. Didengarnya si Tojin lantas membentak, "Di sini
juga ada tiga orang!"
Berbareng kedua kakinya menendang pula
secara berantai. Diam-diam Lamkiong Peng juga
sudah siap untuk gugur bemama orang gila ini
untuk menunaikan kewajibannya membela peti
mati itu sesuai amanat sang guru.
Siapa duga, pada detik terakhir yang
menentukan itu, tiba-tiba terjadi sesuatu yang
mendekati keajaiban. Dirasakan oleh Lamkiong
Peng pedang yang menolak peti mati itu mendadak
terasa ringan, peti mati yang semula menindih ke
bawah dengan sangat kuat itu telah berubah
seperti benda tak berbobot.
Begitu bobot peti mati berubah ringan, keadaan
segera berubah. Si Tojin mendadak merasakan
timbul semacam tenaga gaib dari dalam peti yang
menghilangkan tenaga mumi pada kedua
tangannya yang berpegangan pada peti itu
sehingga tubuh bagian bawah kehilangan daya
gerak. Baru saja kedua kakinya menendang,
seluruh tubuhnya lantas anjlok ke bawah.
Perubahan yang terjadi secara mendadak ini
sama sekali tidak memberi peluang baginya untuk
berpikir, dalam kagetnya cepat ia melejit di udara
sehingga hinggap ke permukaan tanah dengan
setengah berjongkok, lalu cepat melompat mundur.
Lamkiong Peng juga terkejut dan menarik
pedang dari peti terus melompat mundur.
Kedua orang sama melompat mundur dan tetap
berdiri berhadapan, si Tojin mengepal tinju dengan
muka kelam dan mata melotot memandangi peti
mati itu. Lamkiong Peng juga memandang peti mati itu
dengan penuh rasa heran dan bingung.
Tertampak peti mati itu bisa berhenti sejenak di
atas udara meski sudah terlepas dari dukungan
kedua orang itu, habis itu baru menurun ke bawah
dengan perlahan scakan-akan di bagian bawah
ditopang oleh seorang yang tidak kelihatan,
malahan jatuhnya ke tanah begitu enteng tanpa
menimbulkan suara sama sekali.
Mau tidak mau ngeri juga Lamkiong Peng
menyaksikan kejadian luar biasa ini. Meski sudah
banyak dongeng seram yang pemah didengarnya,
tapi apa yang dilihatnya ini sungguh sukar untuk
dipercaya. Si Tojin juga lagi menatap peti mati itu dengan
sorot mata yang kejut dan sangsi, malahan
bibirnya kelihatan rada gemetar, katanya
mendadak, "Ba ... bagus sekali, ternyata benar
engkau tidak ... tidak mati!"
Habis itu, serentak ia menubruk maju lagi ke
arah peti mati.
Kembali Lamkiong Peng terkejut, tanpa pikir ia
membentak, "Kau mau apa?"
Segera ia putar pedangnya dan menyongsong si
Tojin. Betapa pun dia lebih muda dan kuat,
tenaganya dapat pulih lebih cepat.
Saat itu si Tojin sudah menerjang sampai di
depan peti mati, tahu-tahu sinar hijau menyambar
tiba, kalau dia tidak segera menarik diri berarti
maut baginya. "Mundur!" terdengar Lamkiong Peng membentak.
Benar juga, terpaksa Tojin melompat mundur
kembali ke tempat semula. Dengan pedang
melintang di depan dada, Lamkiong Peng lantas
mengadang di depan peti mati.
Mendadak si Tojin menghela napas, ucapnya,
"Ai, ada permusuhan apa antara dirimu denganku,
mengapa engkau berbuat begini padaku"!"
Ucapan orang ini membingungkan Lamkiong
Peng, sukar dirasakan ucapan menyesal mengomel
atau memohon"
Sesudah melenggong sejenak barulah ia
menjawab, "Selamanya kita tidak kenal, mana ada
permusuhan?"
Si Tojin seperti orang linglung dan masih
memandang peti mati dengan termenung, sejenak
kemudian, tiba-tiba ia berkata pula, "Asalkan kau
serahkan peti ini kepadaku, seterusnya engkau
adalah penolongku yang terbesar, selama hidupku
takkan melupakan budi kebaikanmu ini dan pasti
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan kuberi balas jasa sebesar-besarnya."
Lamkiong Peng menatapnya dengan tajam, lalu
mendengus, "Hm, setelah tidak mampu merampas
dengan kekerasan, lalu hendak kau gunakan cara
memohon dengan halus?"
Mendadak si Tojin membusungkan dada dan
menjawab dengan angkuh, "Selama hidupku tidak
pemah memohon kepada orang."
"Hm, apa pun juga selangkah saja tidak boleh
lagi kau dekati peti ini," jengek Lamkiong Peng.
Sungguh si Tojin kecewa dan tak berdaya, sudah
digunakannya macam-macam jalan, main rampas,
main labrak dan memohon secara halus, semua itu
tetap tidak dapat melunakkan tekad anak muda itu
yang membela peti mati dengan teguh.
Karena kehabisan akal, akhirnya Tojin itu
berkata dengan sungguh-sungguh, "Apakah kau
tahu sebabnya gurumu menyuruhmu membela peti
mati ini!"
"Tidak tahu!" jawab Lamkiong Peng.
Sorot mata si Tojin menampilkan setitik sinar
harapan pula, ucapnya, "Jika tidak tahu sebabnya,
apakah berharga kau bela dengan jiwa ragamu?"
"Pokoknya itulah amanat perguruan, tiada
gunanya kau putar lidah dan berusaha
menghasut," jengek Lamkiong Peng,
"Hehe, apakah kau kira aku benar-benar tak
dapat menundukkan dirimu" Bila sebentar
tenagaku pulih seluruhnya, memangnya kau
mampu melawan lebih lama?"
"Belum lagi dicoba, tidak perlu membual dulu.
Pokoknya mati-hidupku sudah kupertaruhkan atas
peti pusaka ini."
Si Tojin memejamkan mata sejenak dan
termenung, waktu ia membuka mata lagi, ia
menghela napas panjang dan berucap perlahan,
"Ai, sungguh aku tidak habis mengerti mengapa
kau bela peti ini mati-matian tanpa sayang akan
jiwamu sendiri."
"Hm, aku pun tidak habis mengerti untuk apa
peti ini hendak kau rampas dengan mati-matian,"
jawab Lamkiong Peng dengan ketus.
Si Tojin mengepal tinjunya erat-erat sambil
mengg Dewi Ular 1 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pukulan Naga Sakti 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama