Ceritasilat Novel Online

Misteri Bayangan Setan 1

Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Bagian 1


Misteri Bayangan Setan
Lanjutan Pendekar Bayangan Setan
Karya : Khu Lung saduran Tjan ID
File ini kiriman Lavilla di web Dimhad
Ebook by Dewi KZ
Tiraikasih website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/
http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/
JILID: 1 Belum habis ia mengucapkan kata-katanya mendadak gadis itu menjerit ngeri dan menggeletak di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa.
Tan Kia-beng yang sedang memusatkan seluruh perhatian untuk mendengarkan perkataannya sama sekali tidak menduga kalau pada waktu itu ada orang yang melancarkan serangan bokongan ke arahnya, menanti ia tersadar kembali keadaan sudah terlambat.
Dengan cepat kepalanya didongakkan melakukan
pemeriksaan di sekeliling tempat itu, tampaklah dari balik sebuah batu cadas di sebelah kiri agaknya tampak sesosok bayangan manusia sedang berkelebat lewat.
Ia segera membentak keras, dengan tangan sebelah
melindungi dada dan tangan yang lain dipentangkan siap-siap melancarkan serangan, tubuhnya menubruk ke depan.
Mendadak telapak tangannya didorong ke depan
melancarkan satu pukulan berhawa dingin yang amat dahsyat, bagaikan tiupan angin topan dengan cepat hawa pukulan tersebut menghajar batu cadas dihadapannya sehingga hancuran batu beterbangan memenuhi angkasa. Tetapi tak sesosok bayangan manusiapun yang ditemukan disana.
Setelah melancarkan serangan tadi, hawa murninya lantas buyar sedang tubuhnyapun melayang turun kembali ke atas tanah.
Tiba-tiba.... Segulung angin serangan jari yang amat santar dengan amat tajam menerjang jalan darah "Leng Thay Hiat"nya diikuti suara seseorang yang aamt menyeramkan sedang tertawa dingin tiada hentinya.
Ketika ia menengok ke samping bayangan manusia yang baru saja membokong dirinya itu kembali sudah lenyap tak berbekas.
Tetapi dengan ketajaman matanya, sebentar saja ia sudah berhasil menemukan kurang lebih tiga puluh kaki dari dirinya berada secara samar-samar tampak sesosok bayangan manusia yang sedang berkelebat lewat.
Ia merasa bayangan manusia yang tinggi kurus itu mirip sekali dengan perawakan dari "Gien To Mo Lei" Go Lun, di dalam keadaan amat gusar tubuhnya siap-siap melakukan pengejaran ke arah depan.
Mendadak ia teringat kembali peristiwa yang sedang berlangsung di atas kuil Sam Cing Kong digunung Bu-tong, tak terasa lagi teriaknya keras, "Aduuh celaka! aku sudah membuang banyak waktu untuk suatu peristiwa besar"
Niatnya untuk mengejar Gien To Mo Li segera dibatalkan, sebaliknya ia lantas putar badan, laksana anak panah yang terlepas dari busurnya meluncur ke arah kuil Sam Cing Kong.
Dari tempat kejauhan tampaklah di dalam kuil Sam Cing Kong sudah terang benderang oleh cahaya obor, suara bentakan gusar bergema silih berganti, hal ini membuat hatinya merasa semakin menyesal.
Gerakan tubuhnya segera dipercepat, hanya di dalam sekejap saja ia sudah tiba di depan ruangan Yen Si Tien.
Tampaklah di depan bangunan tersebut sedang
berlangsung dua pertempuran yang amat sengit, It Jan Tootiang serta Wie Jan Tootiang masing-masing dengan menyebarkan diri memimpin sebuah barisan pedang Kiu Kong Kiam Tin disebelah kiri kanan bangunan tersebut.
Sedang orang yang melakukan terjangan ke dalam barisan adalah dua orang Lhama gendut yang memakai jubah warna merah.
Leng Hong Tootiang, si kakek tongkat perak serta Sak Ih sekalian berdiri sejajar di atas tangga di depan pintu ruangan, disampingnya berdiri pula seorang Toosu tua yang amat gagah dengan rambut berwarna keperak perakan serta mencekal sebuah Hut-tim ditangannya. jelas dialah sang Bu tong cianpwee yang berdiam dibelakang gunung.
Di tengah-tengah kalangan, berdiri pula serombongan manusia dengan seorang lelaki berperawakan tinggi besar yang rambut kuning, bermuka hijau dengan mata tunggal serta gigi seperti taring berdiri dipaling depan, agaknya manusia berwajah seram ini merupakan pemimpin dari penyerbuan kali ini
Agaknya Leng Hong Tootiang sekalian pada saat ini sedang memusatkan seluruh perhatiannya pada kedua barisan pedang Kiu Kong Kiam Tin tersebut, sehingga sewaktu Tan Kia-beng tiba disisinya mereka sama sekali tidak merasa.
Tan Kia-beng pun tidak ingin mengganggu perhatian mereka, diam-diam ia berdiri disamping dan memperhatikan perubahan selanjutnya dari kalangan pertempuran itu.
Ia merasakan pengaruh dari kedua buah barisan pedang itu jauh lebih dahsyat jika dibandingkan dengan barisan yang menghadapi dirinya kemarin, segulung hawa pedang yang amat santer dengan rapatnya mengurungi seluruh angkasa membuat kalangan tersebut penuh diliputi oleh kawan pembunuhan.
Kedua orang Lhama ada di dalam barisan, semuanya
melakukan perlawanan dengan mengandalkan tangan kosong, kedua buah ujung jubahnya yang lebar berkelebat kesana kemari tiada hentinya.
Dimana sambaran ujung bajunya tiba, cahaya pedang segera buyar dan kalut diiringi suara dengungan yang membisingkan telinga.
Cukup ditinjau dari keadaan ini, sudah jelas memperlihatkan kalau tenaga dalam dari kedua orang Lhama tersebut sangat sempurna sekali, bahkan jurus jurus serangan yang mereka gunakan pun sama sekali berbeda dengan jurus jurus dari daerah Tionggoan.
Pertempuran kali ini tak dapat disamakan dengan
pertandingan silat keadaan biasa, pertempuran kali ini menyangkut mati hidupnya partai Bu-tong-pay, karena itu It Jan Tootiang serta Wie Jan Tootiang yang bertindak selaku pimpinan dari kedua buah barisan pedang tersebut berusaha keras untuk mempertahankan diri dengan sekuat tenaga dan dengan paksakan diri memperkecil lingkungan barisan pedang itu.
Tetapi, lingkaran seluas dua depa yang ada di tengah-tengah kalangan selama ini tak berhasil diperkecil bahkan untuk mendesak maju selankahpun tidak sanggup.
Tan Kia-beng dengan tenangnya berdiri disamping
memperhatikan kedua orang Lhama yang terkurung di dalam barisan pedang itu, ia merasa kedua orang hweesio tersebut sebenarnya belum mengeluarkan seluruh tenaganya.
Hal ini membuat dia diam-diam merasa bergidik atas keselamatan para toosu2 Bu-tong pay itu, ketika diliriknya Leng Hong Tootiang maka tampaklah air mukanyapun sudah berubah serius, agaknya ciangbunjin dari Bu-tong pay inipun sudah melihat bila barisan pedang Kiem Kong Kiam Tin sebagai barisan andalan partai Bu-tong pay sebentar lagi akan hancur ditangan kedua orang Lhama berbaju merah itu.
Pada waktu itulah mendadak si kakek tua berambut putih bermata tunggal itu memperdengarkan suara tertawanya yang amat menyeramkan....
"Heee.... heee.... heee.... waktunya sudah tiba, barisan bobrok ini tiada harganya kalian pertahankan terus, cepat-cepat dihancurkan saja!"
Kedua orang Lhama berbaju merah itu segera menyahut dengan suara yang lancang dari kedudukan bertahan kini mereka berganti melancarkan serangan.
Tampaklah awan merah berkelebat kesana kemari,
segulung hawa pukulan yang mana dahsyat dengan tiada hentinya menyambar keempat penjuru.
Hanya di dalam sekejap saja suara jeritan ngeri salng susul menyusul bergema memenuhi angkasa, dari barisan pedang yang dipimpin oleh It Jan Tootiang ada dua orang toosu yang berhasil kena dihajar pental dari barisan dan rubuh ke atas tanah tak berkutik.
Leng Hong Tootiang perlahan-lahan menghela napas
panjang, baru saja ia ada maksud untuk menghentikan serangan itu, kembali suara jeritan ngeri berkumandang memenuhi angkasa.
Sang Lhama yang berada di dalam barisan Wie Jan
Tootiang berhasil mengirim satu pukulan ke atas dada toosu tersebut sehingga terpukul mundur ke belakang dengan sempoyongan.
Kedua buah barusan pedang itu kontan jadi kacau balau, sebenarnya dengan mudah sekali kedua orang Lhama berbaju merah itu dapat menerjang keluar dari kepungan tetapi mereka berdua yang sudah terbiasa melakukan tindakan kejam mendadak bersuit aneh.
Ujung jubahnya kembali dibabat ke depan dengan dahsyat, diiringi suara jeritan ngeri beberapa orang toosu sekali lagi kena terpukul luka oleh serangan mereka.
Sak Ih yang melihat saudara seperguruannya kena dijagal dengan begitu kejam, dalam hati merasa teramat gusar.
pedangnya segera dicabut keluar dari sarung lalu meloncat ke depan.
"Jangan turun tangan jahat terlebih dulu, aku orang she-Sak sudah datang!"
Pedangnya laksana serentetan pelangi dengan mendadak menggulung ke depan sedang tubuhnyapun dengan cepat melayang turun ke tengah kalangan.
Mendadak.... Di tengah udara kembali terlihat cahaya keperak perakan berkelebat lewat, "Gien To Mo Lei" Go Lun dengan mencekal sebilah golok melengkung laksana taburan bintang dilangit sudah melayang datang dari balik tembok pekarangan menghadang dihadapan Sak Ih.
"Heee.... heee.... sembilan orang bersama-sama mengerubuti seorang, sekalipun mati semua juga tak usah disayangkan." teriaknya sambil tertawa dingin tiada hentinya.... "Orang lain menganggap barisan Kiu Kong Kiam Tin dari partai Bu-tong-sangat dahsyat tetapi kami orang-orang dari Isana Kelabang Emas menganggapnya seperti sebuah permainan kanak kanak saja, bilamana kalian sudah terbiasa menggunakan barisan hidung kerbau, kenapa tidak kumpulkan seluruh hidung kerbau yang ada untuk
mengerubuti bersama dengan begitu siauw ya mupun tak usah repot repot pergi mencari mereka satu persatu.
Sak Ih yang mendengar perkataan itu saking gusarnya tak sepatah katapn bisa diucapkan keluar, mendadak ia membentak keras pedangnya dengan mendadak dibabat ke arah depan.
Di sekeliling tubuhnya segera tergulunglah serentetan ombak pedang yang amat dahsyat, bagaikan berpuluh puluh bilah pedang bersama-sama menyerang ke depan seketika itu juga seluruh kalangan kena terkurung olehnya rapat rapat.
"Haaa.... haaa.... jurus serangan ini sih masih lumayan juga!" seru si Gien To Mo Lei sambil tertawa sombong.
Tubuhnya segera miring kesamping, kakinya menginjak kedudukan "Ci Wu" memotong tajam kepinggir golok melengkungnya, dengan menimbulkan cahaya yang
menyilaukan mata segera menyambut datangnya serangan pemuda tersebut.
Keanehan dari jurus serangannya serta perubahan gerak dari golok lengkungnya yang telengas benar-benar luar biasa sekali.
Sak Ih yang melihat sikapnya sangat congkak, diam-diam makinya dalam hati, "Hmmm! Bangsat cilik kau jangan sombong dulu! Sebentar lagi aku akan suruh kau merasakan kelihayanku."
Mendadak pergelangan tangannya digetarkan, dimana cahaya kehijau hijauan berkelebat mengurung seluruh angkasa pedangnya laksana sambaran kilat membabat ke depan.
Hanya di dalam sekejap saja ia sudah melancarkan dua belas buah serangan dengan berganti delapan buah saja, kontan saja seluruh angkasa dipenuhi dengan desiran hawa pedang yang menggidikkan badan.
Gien To Mo Lei yang melihat Sak Ih berhasil menyalurkan hawa murninya melalui ujung pedang, dalam hati baru mulai merasa berdesir, senyuman yang semula menghiasi bibir pun segera lenyap tak berbekas.
Ia tidak berani lagi bersikap sombong seperti
kedatangannya semula, golok lengkung ditangannya diputar sedemikian rupa mengeluarkan ilmu goloknya yang paling dahsyat untuk mempertahankan diri dari kurungan cahaya hijau pihak lawan.
Seketika itu juga cahaya hijau serta cahaya putih berkilauan menusuk hati. dalam waktu yang amat singkat semua orang sudah merasa sulit untuk membedakan siapa kawan siapa lawan.
Ketika itu kedua buah barisan pedang Kiu Kong Kim Tin yang mengerubuti kedua orang Lhama berjubah merah itu sudah kacau balau tidak karuan, kecuali yang terluka dan mati para toosu toosu lainnya pada mengundurkan diri ke belakang.
Sang Lhama berjubah merah yang ada di sebelah kiri dengan wajah lebar persegi mendadak tertawa seram.
"Haaaaaa.... haaaaaa.... Bu-tong pay menyebut dirinya sebagai partai pedang nomor satu dikolong langit dan selamanya cuma berani bertempur mengandalkan jumlah banyak untuk mencari kemenangan, ternyata tak seorang diantara kalian ada yang berani bergebrak seorang lawan seorang dengan Hud-ya mu...."
Air muka Leng Hong Tootiang segera berubah hebat, dengan cepat pedangnya dicabut keluar siap-siap meloncat masuk ke dalam kalangan.
Tan Kia-beng yang selama ini berdiam diri, ketika itu mulai merasa bahwa dirinya yang sudah datang untuk membantu orang saat inilah seharusnya menampilkan diri.
Dengan cepat ia membentak nyaring, "Tootiang sebagai seorang ketua partai yang terhormat kenapa harus turun tangan sendiri melayani kaum penjahat yang sangat rendah kedudukannya" biarlah cayhe yang turun tangan menjajal kepandaian silat dari jagoan gurun pasir ini."
Sembari berkata tubuhnya meloncat ke depan dan
melayang tepat dihadapan Lhama berjubah merah itu.
Leng Hong Tootiang yang melihat Tan Kia-beng berebut untuk turun tangan, dalam hati baru merasa lega.
Sang Lhama ini berhasil menghancurkan barisan Kiu Kong Kiam Tin dengan begitu mudah, jelas bahwa kepandaian silatnya luar biasa sekali, bilamana misalnya dia yang turun tangan sendiri jikalau menang masih tidak mengapa, tetapi bila kalah" bukankah nama besar dari Bu-tong pay selama ratusan tahun ini akan terkubur bersama-sama dirinya"
Sang Lhama itu sebenarnya sedang membakar hati Leng Hong Tootiang agar cepat-cepat turun tangan sehingga tugasnya untuk membasmi partai Bu-tong pay bisa segera terlaksana, siapa sangka di tengah jalan sudah muncul seorang pemuda tampan yang masih muda sekali usianya, tak terasa lagi ia tertawa terbahak-bahak.
"Haaaa.... haaaa.... haaaa.... apakah partai Bu-tong pay benar-benar tidak ada orang lagi" buat apa mengirim seorang bocah cilik untuk menghantar kematian?" ejeknya.
"Hmmm! lebih baik kau jangan keburu bangga" balas jengek Tan Kia-beng dingin, "lebih baik cepat-cepat sebutkan gelarmu yang bau!"
Mungkin disebabkan kata-kata "Gelar bau" itu membuat hawa amarahnya berkobar, sepasang matanya yang sipit mendadak memancarkan cahaya hijau yang amat tajam.
"Hud-ya mu adalah Tolunpah!" teriaknya seram, "Jika kau betul-betul ingin cari mati, biar Hud-ya mu mengabulkan keinginanmu itu."
Tangannya yang besar segera dipentangkan dan
mencengkeram ke arah dada pemuda tersebut. Jurus ini sama sekali tidak memakai aturan jelas menandakan bila dia selalu memandang enteng pihak musuhnya.
Tan Kia-beng tertawa dingin tiada hentinya, ia tetap berdiri tegak tanpa berkelit, menanti kelima jari pihak lawan hampir menempel pakaian di depan dadanya mendadak ia menarik dadanya itu ke belakang. Sedang datang laksana sambaran kilat meluncur ke depan mencengkeram pergelangan
tangannya. Melihat datangnya serangan tersebut To Lun Pah baru merasa terperanjat, sang pergelangan tangan ditendang ke bawah, ujung jubahnya dikebut ke depan mengancam jalan darah "Chiet Kan" di depan dada.
Serangan tangan kanan dari Tan Kia-beng yang didorong ke depan tetapan tidak berubah, sedang telapak kirinya disilangkan di depan dada kemudian mendorong pula ke depan.
"Blaaam...." dengan keras lawan keras ia menerima datangnya serangan kebutan tersebut, tak kuasa lagi masing-masing pihak mundur satu langkah ke belakang.
Saat inilah To Lun Pah baru merasakan hatinya benar-benar terperanjat bercampur bergidik, ia tidak menyangka pemuda ini memiliki kepandaian silat yang begitu dahsyat.
Melihat serangan yang dilancarkan ke depan tidak mencapai hasil, lhama berjubah merah ini segera bersuit nyaring, sepasang ujung jubahnya bersama-sama dibabat ke depan segencar tiupan angin topan dan curahan hujan badai.
Di dalam sekejap saja ia sudah melancarkan dua puluh satu buah serangan berantai
Dalam waktu yang amat singkat angin pukulan menderu deru menyesakkan napas, pasir dan kerikil beterbangan mengaburkan pandangan, daerah sekitar tiga kaki kena terkurung dibawah sambaran ujung jubahnya.
Tan Kia-beng mengerti pertempuran malam ini menyangkut mati hidup dari partai Bu-tong pay dikemudian hari, sepasang telapak tangan segera dibentangkan keluar, tubuhnya menerobos masuk ke dalam lingkaran cahaya merah kemudian mengeluarkan ilmu pukulan "Swie Soat Peng Hun San Tiap Sin" nya yang paling lihay.
Angin pukulan segera menderu-deru diiringi hawa dingin yang menusuk tulang, laksana gelombang di tengah-tengah samudra dengan gencarnya menerjang masuk ke dalam lingkaran cahaya merah itu kemudian memecah dan
mengurung keseluruh angkasa.
Dengan demikian suatu pertempuran sengit yang amat seru dengan cepat segera berlangsung dengan ramainya.
---ooo0dw0ooo--Kita balik pada Sak Ih yang bergebrak melawan Gien To Mo Lei, walaupun sudah bergebrak sebanyak lima puluh jurus lebih diantara mereka masih belum juga barhasil menentukan siapa dia menang siapa yang kalah.
Dalam hati mulai merasa sangat cemas, pikirnya diam-diam.
"Bilamana cuma seorang manusia tak bernama yang tak tahu diri saja aku sudah merasa sulit untuk meringkusnya, buat apa aku ikut memperebutkan gelar jago pedang nomor wahid dikolong langit?"
Gerakan pedangnya segera berubah, dengan cepat ilmu pedang "Jan Jan Pek Swie Siauw Tiong Han nya dikeluarkan tampaklah segunung cahaya tajam yang menyilaukan mata membumbung tinggi keangkasa menggulung ke arah gerakan golok musuh.
Siapa sangka, masing-masing pihak ternyata mempunyai maksud hati yang sama. Gien To Mo Lei yang merupakan putra angkat dari majikan Isana Kelabang Emas bukan saja mempunyai sifat yang tinggi hati bahkan tindakannya pun sangat kejam dan telengas, cukup ditinjau dari tindakannya membunuh Lo Hong-ing serta membokong Tan Kia-beng sudah jelas kelihatan sekali.
Kini sesudah bergebrak beberapa saat melawan Sak ih belum juga berhasil meringkus pihak lawannya, dalam hati ia mulai merasa cemas bercampur kuatir.
Baru saja serangan gencar dari Sak Ih dikerahkan, jurus-jurus beracunnyapun ikut mengalir keluar laksana air bah.
Terdengar suara dengungan keras diiringi pekikan keras serasa naga saktinya membumbung tinggi ke tengah angkasa, di tengah berkelabatnya bayangan manusia masing-masing pihak budak pada berpisah dan mundur beberapa langkah ke belakang.
Bentrokan kekerasan yang baru saja terjadi ini sama sekali tidak berhasil menentukan siapa yang menang siapa yang kalah, tetapi dalam hati masing-masing, pada tahu untuk
merubuhkan pihak lawan bukanlah suatu pekerjaan yang gampang.
Si "Gien To Mo Lei" segera membabatkan golok lengkungnya ke tengah udara, kemudian memperdengarkan suara tertawanya yang amat menyeramkan.
"Heee.... heee.... bangsat cilik! bilamana kau punya kepandaian, ayoh terimalah jurus serangan Hong Im Si Pian ku ini!"
Mendadak golok lengkungnya membentuk segumpalan
cahaya tajam keperak perakan kemudian laksana perputaran bintang dilangit menekan ke arah bawah dengan sangat gencar.
Sreeet! Sreeet! Sreeet! laksana sebuah bukit golok serangan tersebut menggulung datang dengan gencar dan mengerikan.
Buru-buru Sak Ih menggetarkan pedangnya membentuk serangkaian bayangan bunga bunga pedang.
"Kau lihat saja aku orang she Sak hendak menghancurkan jurus seranganmu itu!" bentaknya keras.
Criiinng! Criiing! Percikan bunga api menyambar keempat penjuru, masing-masing pihak mundur dua langkah ke belakang dengan sempoyongan.
Melihat serangannya gagal si Golok Perak Go Lun memutar mutar biji matanya, selapis napsu membunuh dengan cepat melintas di atas wajahnya mendadak ia memasukkan kembali golok lengkungnya ke dalam sarung.
"Ilmu pedangmu sudah aku coba, mari sekarang kita adu kepandaian dengan menggunakan kepalan kosong." teriaknya setengah meraung.
Tanpa berpikir panjang lagi Sak Ih pun segera memasukkan pedangnya itu ke dalam.
"Heee.... heeee.... sang majikan akan mengiringi maksud hati tetamunya. aku orang she-Sak akan mengiringi keinginanmu itu" serunya sambil tertawa dingin.
Di atas wajah Gien To Mo Lei kontan terlintaslah serentetan senyuman kejam, mendadak tubuhnya mencelat ke depan, di dalam waktu yang amat singkat kepalannya melancarkan sembilan buah serangan gencar serta delapan buah tendangan kilat, semua serangannya tersebut tertunjuk pada tempat tempat yang berbahaya.
Saat ini napsu membunuh pada benak Sak Ih pun sudah berkobar, ia sama sekali tidak berkelit maupun menghindar dari datangnya serangan tersebut.
Sepasang telapak tangannya segera dipentangkan, dengan gerakan yang sama tidak banyak tidak kurang ia balas mengirim tujuh belas buah pukulan dahsyat.
Masing-masing pihak dengan mengandalkan gerakan yang tercepat untuk berusaha menundukkan pihak lawannya, di dalam sekejap saja dua puluh jurus sudah berlalu tanpa berhasil menentukan siapa yang menang siapa yang kalah.
Disebabkan oleh kejadian ini nafsu membunuh semakin berkobar di dalam benak mereka, serangan serangan yang dilancarkanpun semakin ganas dan semakin berbahaya.
Mendadak.... "Braaaak!" di tengah suara getaran yang sangat keras, mereka berdua kembali mengadu tenaga dalam untuk kedua kalinya.
Leng Hong Tootiang yang dari jauh melihat kejadian ini benar-benar mengerutkan alisnya rapat rapat, saking
kuatirnya sehingga tanpa terasa lagi kakinya mulai bergeser ke tengah kalangan siap-siap melancarkan serangan disaat sutenya menghadapi keadaan kritis.
Pada waktu itulah di tengah suara bentrokan yang keras, Sak Ih muntahkan darah segar dan mundur terhuyung huyung sejauh depa ke belakang.
Sedangkan Gien To Mo Lei pun jatuh telungkup ke depan, tetapi dikarenakan sifatnya yang sombong sebentar kemudian ia sudah bangun berdiri dengan sempoyongan, tak kuasa lagi pemuda suku Biauw inipun muntahkan darah segar.
Kiranya mereka berdua sama-sama sudah menderita luka dalam yang amat parah.
Sak ih dibawah bimbingan dua orang toosu berusia
pertengahan buru-buru mengundurkan diri dari kalangan, sedang Gien To Mo Lei pun dibawah bimbingan seorang busu suku Biauw mengundurkan diri dari tempat itu. Melihat kejadian semakin lama semakin menegangkan si orang tua berambut kuning yang mempunyai wajah sangat
menyeramkan itu segera maju dua langkah ke depan agaknya ia sudah merasa tidak sabaran lagi.
"Hey! kau adalah seorang ciangbunjin sebuah partai besar, mengapa tidak cepat-cepat turun tangan bergebrak dengan Loohu?" teriaknya sambil menuding Leng Hong Tootiang.
"Sikapnya yang main sembunyi seperti cucu kura-kura boleh dihitung manusia macam apakah itu?"
Walaupun Leng Hong Tootiang adalah seorang beribadat yang punya iman tebal, setelah mendengar perkataan tersebut hawa amarahnya berkobar juga, ia mendengus dingin kemudian melangkah ke depan siap-siap untuk turun tangan.
Belum sempat dia melangkah dua tindak ke depan, si toosu tua yang berdiam di belakang gunung tahu-tahu sudah menjelang ke depan si kakek berambut kuning itu sambil menjura.
"Pinto Thian Liong Ci sudah lama tidak mencampuri urusan dunia kangouw" katanya keren. Isana Kelabang Emas jauh berada di gurun pasir dengan kami orang-orang Bulim di daerah Tionggoan sama sekali tiada ikatan ikatan sakit hati apapun, mengapa kalian beberapa kali berbuat jahat dengan menjagali kawan-kawan Bulim" kali ini kalian mengirim tanda Kouw Hung Leng Tiap kepada partai kami dengan maksud hendak membasmi kami dari muka bumi, sebenarnya apakah maksud tujuanmu" harap saudara suka memberi penjelasan!"
"Haaaa.... haa.... kau kira perkara ini bisa dijelaskan dengan dua tiga patah kata saja?" Sela si kakek berambut kuning itu sambil tertawa terbahak-bahak, Aku "Touw Yen Lu" atau si Bangau Mata Satu cuma tahu menerima perintah untuk datang kemari melaksanakan tugas, sedang soal omongan yang tidak berguna rasanya malas untuk dibicarakan lagi, lebih baik kau keluarkan kepandaianmu saja untuk menentukan siapa yang lebih unggul diantara kita!"
Mendengar perkataan itu Thian Liong Ci mengerutkan alisnya rapat-rapat kemudian tertawa terbahak-bahak dengan nyaringnya, suara tertawa tersebut keras bagaikan pekikan naga serta ringkikan bangau membuat seluruh angkasa bergema dan bergetar tiada hentinya.
Daun dan ranting pada bergoyang keras, pasir beterbangan memenuhi angkasa, hal ini jelas menunjukkan bagaimanakah hebatnya tenaga dalam yang dimiliki sang toosu tua ini.
Air muka si Touw berubah hebat, di dalam pandangan seorang jagoan semacam dia dalam sekali pandang saja ia
sudah tahu bagaimanakah sempurnanya ilmu lweekang toosu itu.
Ia sama sekali tidak menduga bila di dalam partai Bu-tong pay masih ada seorang manusia yang demikian lihaynya, hal ini membuat dirinya tak berani turun tangan secara gegabah.
Baru saja suara tertawa dari Thian Liong Ci sirap dari tengah udara, di tengah kalangan pertempuran kembali berlangsung suara getaran yang memekikkan telinga.
Tolunpak sang Lhama berjubah merah itu ternyata berhasil dihantam oleh Tan Kia-beng dengan menggunakan jurus "Jiet Ceng Tiong Thian" sehingga muntah darah segar dan tubuhnya mencelat sejauh tujuh, delapan depa kemudian rubuh dengan sempoyongan.
Sedangkan Tan Kia-beng sendiri pun tergetar mundur dua langkah ke belakang oleh tenaga pantulan tersebut. Baru saja kuda-kudanya berhasil dibetulkan, mendadak.... cepat bagaikan sekuntum awan merah menubruk datang dimana ujung jubahnya berkelebat segulung hawa pukulan laksana tiupan angin topan menggulung ke bawah dengan ganas, dahsyat dan mengerikan.
Tan Kia-beng yang hawa murninya belum pulih tak berani menerima datangnya serangan tersebut dengan keras lawan keras, tubuhnya segera mencelat ke samping untuk
menghindar. Gelar dari Lhama ini adalah Khela dan merupakan suheng dari Tolunpak. Ilmu "Budhie Sian Kang" nya sudah berhasil dilatih mencapai delapan bagian kesempurnaan, silatnyapun jauh lebih ganas dari Tolunpak.
Tubuhnya bagaikan seekor burung elang raksasa berputar putar di tengah angkasa, kemudian sambil pentangkan jubah
warna merahnya segera menerjang ke atas tubuh Tan Kia-beng.
Tan Kia-beng yang melihat posisinya terdesak sehingga dirinya berada dalam keadaan berbahaya, berturut-turut melancarkan beberapa gerakan sekaligus, setelah bersusah payah akhirnya ia berhasil juga untuk meloloskan diri dari datangnya serangan tersebut.
Tetapi waktu itu serangan dari Khela sudah seperti orang kalap saja, dahsyat dan lancar bagaikan titiran air hujan, hanya di dalam waktu yang singkat ia berhasil mengurung pemuda tersebut ke dalam lingkaran awan merahnya.
Si kakek tongkat perak yang melihat Tan Kia-beng berada dalam keadaan bahaya, tongkat peraknya segera dibabat ke depan dengan gencar.
Belum sempat ia ikut menerjunkan diri ke dalam kalangan dari pihak Isana Kelabang Emas segera muncul beberapa orang Bu-su suku Biauw yang langsung menghadang
perjalanannya. "Heee.... heee.... hendak mengandalkan jumlah banyak untuk merebut kemenangan." bentaknya keras.
Di tengah suara bentakan nyaring serangan melanda datang bagaikan air bah, kontan saja si kakek bertongkat perak kena terdesak mundur berulang kali.
Ketika itu It Jan Tootiang sudah berhasil membentuk sebuah barisan Kiu Kong Kiam Tin kembali, melihat si kakek tongkat perak kena terhadang ia segera memimpin anak buanya menerjunkan diri ke dalam kalangan pertempuran.
Agaknya satu pertumpahan darah yang amat mengerikan segera akan berlangsung kembali.
Terhadap kepandaian silat yang dimiliki Tan Kia-beng, agaknya Leng Hong Tootiang mempunyai kepercayaan yang amat besar bersama itu pula ia tidak ingin menciptakan pertumpahan darah yang lebih besar, karena itu buru-buru bentaknya.
"It Jan sute, untuk sementara kau jangan keburu napsu.
Tan Sauw-hiap tidak akan menderita kalah!"
Sedikitpun tidak salah, pada waktu itu Tan Kia-beng sudah berhasil menguasai keadaan kembali, telapak tangannya laksana mengamuknya taupan serta menggulungnya ombak disamudra balas menghajar ke arah tubuh musuhnya.
Sekalipun Khela memahami sakti "Budhie Sian Kang", tidak urung kena didesak pula sehingga mundur ke belakang berulang kali.
Dalam keadaan gusar ia segera berseru nyaring, "Anjing cilik! bilamana kau punya nyali, terimalah pukulan dari Hud-ya mu ini!" teriaknya keras.
Sepasang ujung jubahnya dikebut ke depan sejajar dengan dada, segulung awan merah yang tipis bagaikan kabut mengikuti gerakan tersebut segera mendesak ke arah depan.
Kelihatannya gerakan itu lemah lembut tak bertenaga, padahal sekalipun emas maupun baja akan hancur bila tersambar oleh pukulan tersebut.
Tan Kia-beng mengerutkan alisnya rapat-rapat, sepasang matanya berubah merah membara, sambil membentak keras sepasang telapak tangannya didorong ke depan melancarkan ilmu pukulan "Sian Im Kong Sah Mo Kang"
Begitu kedua gulung hawa pukulan tersebut terbentur menjadi satu maka terdengarlah suara ledakan yang
memekikkan telinga. angin taupan melanda keempat penjuru memaksa tubuh Tan Kia-beng tak tertahan lagi mundur tujuh, delapan langkah ke belakang.
Khela sendiripun kena terdesak mundur sebanyak tiga, empat langkah, tak terasa lagi ia tertawa aneh dengan seramnya.
"Heee.... heee.... ilmu pukulan aliran hitam yang demikian ganas pun bisa muncul di atas gunung Bu-tong-san, sungguh menggelikan sekali," ejeknya.
"Kau tidak usah keburu merasa bangga," teriak Tan Kia-beng sambil membetulkan kuda kudanya dan tertawa panjang.
"Aku suruh kau merasakan pukulanku!"
Sepasang telapak tangannya membentuk gerakan Thay khek di tengah udara kemudian ditekan ke arah depan.
Dua gulung asap hijau serta asap putih dengan hebatnya lantas meluncur ke depan dengan kecepatan laksana kilat.
Khela yang melihat serangannya dilancarkan ke depan dengan begitu halus tak bertenaga, di dalam anggapannya pemuda itu kembali melancarkan serangan dengan ilmu kepandaian semacam "Sian Im Kong Sah Mo Kang", ia sama sekali tak ambil gubris.
Ujung jubahnya disambar ke arah depan dengan gunakan delapan, sembilan bagian tenaga sakti "Budhie Sian Kang"
nya. Dalam hati ia ada maksud menggunakan jurus serangan ini hendak memukul luka musuh tangguhnya ini.
Siapa sangka.... begitu kedua gulung hawa pukulan tersebut terbentur jadi satu, ia baru merasakan keadaan sedikit tidak beres.
Untuk menarik diri sudah tak sempat lagi di tengah suara jeritan ngeri yang menyayat hati, tubuhnya terpental setinggi dua kaki ke tengah udara. Dari mulutnya muntahkan darah segar dengan derasnya.
Dimana angin gulung bertiup lewat, semburan darah segar tersebut menyebar keempat penjuru bagai curahan hujan deras.
Ilmu pukulan "Jie Khek Kun Yen Kan Kun So" dari Tan Kia-beng ini adalah sebuah ilmu kepandaian istimewa, semakin besar tenaga perlawanan yang dilancarkan pihak musuh maka daya kekuatan pukulannya pun semakin besar.
Dalam keadaan terdesak tadi ia sudah menggunakan ilmu saktinya ini, kontan saja membuat seluruh hadirin yang ada di dalam kalangan jadi terperanjat semua dibuatnya.
Terutama Si Touw Yen Lu yang menaruh perhatian serius terhadap ilmu pukulan tersebut mendadak tubuhnya
berkelabat ke depan mendekati Tan Kia-beng.
Tindakannya ini sama sekali bukan bermaksud meminjam kesempatan itu hendak membokong Tan Kia-beng, sebaliknya ia hendak menyelidiki asal usul dari ilmu kepandaian tersebut.
Sebaliknya Thian Liong Ci yang berdiri dihadapannya sudah salah menyangka maksud hatinya, melihat dia melayang ke depan iapun segera ikut mencelat ke depan menghalangi jalan perginya.
"Heee.... heee.... tindakan dari saudara bukankah kurang terus terang?" serunya sambil tertawa dingin.
Si Bangau Mata Satu sudah terbiasa bersikap tinggi hati, iapun malas untuk memberikan penjelasan, telapak tangannya itu dengan ringan lantas didorong ke depan.
"Jadi kau merasa tidak puas?" jengeknya.
"Bu Liang So Hud!" seru Thian Liong Ci sambil menjura.
"Pinto memang ada maksud minta beberapa petunjuk kepandaian sakti yang dimiliki saudara."
Sewaktu mereka berdua sedang berbicara itulah secara diam-diam masing-masing pihak sudah saling mengukur tenaga lweekang pihak lawannya, walaupun begitu tubuh mereka sama sekali tidak bergerak sedikitpun, jelas kekuatan mereka adalah seimbang.
Tetapi diam-diam Thian Liong Ci merasa terperanjat juga, usianya pada tahun ini sudah mencapai sembilan puluh. Ilmu lweekangnyapun sudah berhasil dilatih mencapai taraf kesempurnaan, tetapi saat ini ia tidak dapat mengapa apakan pihak lawannya. Hal ini jelas menunjukkan kalau si Bangau Mata Satu ini bukanlah manusia sembarangan.
Selagi kedua orang itu siap mengerahkan hawa murninya untuk suatu pertempuran yang sengit, mendadak di depan ruang Yen Si Tien berkumandang datang suara pujian kepada Sang Buddha yang amat keras disusul munculnya seorang hweesio gemuk besar yang memakai jubah abu abu dengan memimpin delapan belas orang hweesio bersenjata toya melayang datang.
"Pinceng Hwee Gong dari Siauw-lim-sie mendapat perintah dari ciangbunjin untuk menunggu perintah dari tootiang,"
ujarnya sambil menjura ke arah Leng Hong Tootiang
"Terima kasih atas bantuan kalian.... Silahkan masuk ke dalam ruangan," seru Leng Hong Tootiang buru-buru sambil membalas hormat.
Baru saja perkataan itu selesai diucapkan, kembali terdengar suara ujung baju yang tersampok angin. Delapan
orang tosu berjubah merah dengan menyoren pedang bagai delapan kuntum awan merah melayang turun dari atas wuwungan rumah bangunan Yen Si Tien tersebut.
"Kun-lun Pat To menghunjuk hormat buat supek!" seru mereka hampir serentak sambil memberi hormat.
"Haaa.... haaa.... tidak kusangka saudara-saudara sekalian suka turun tangan memberi bantuan kepada kami, hal ini membuat aku Leng Hong merasa sangat menyesal sekali" seru Leng Hong Tootiang sambil tertawa terbahak-bahak.
Mendadak dari kejauhan berkumandang datang suara
tertawa terbahak-bahak disusul suara yang menyambung perkataan yang lain, "Tujuh partai besar selamanya bersatu padu sejak kapan pernah terpecah belah" ini hari aku orang she Loo Hu baru tersadar kembali dari impian!"
Sreeet! laksana anak panah yang terlepas dari busur tahu-tahu Loo Hu Cu sudah melayang mendatang dari mulut gunung.
Di dalam sekejap saja kekuatan dari partai Bu-tong pay berlipat ganda, si Bangau Mata Satu yang melihat beberapa orang pembantu utamanya sudah menderita luka parah sedang pihak lawan memperoleh bala bantuan yang begitu kuat, dalam hati tahu bila rencananya malam ini sudah menemui kegagalan.
Mendadak ia merangkap tangannya menjura ke arah Thian Liong Ci.
"Gunung nan hijau tak akan berubah, air yang tenang tetap mengalir, pertempuran kita malam ini lebih baik ditunda sampai kemudian hari saja!" serunya.
Tubuhnya lantas mencelat ke tengah udara sambil berteriak keras, "Bubar!"
Tubuhnya bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari busur segera melayang melewati tembok pekarangan, di dalam beberapa kali kelebatan saja sudah lenyap tak berbekas.
"Haaa.... haaa.... kalian boleh mengundurkan diri secara perlahan-lahan, kami pihak Bu-tong-pay bukanlah manusia manusia yang suka melakukan pembunuhan secara besar besaran" seru Thian Liong Ci sambil tertawa tergelak.
Menanti orang-orang dari Isana Kelabang Emas sudah pada membubarkan diri, semua ia baru putar badan dan menghela nafas panjang, dengan wajah yang amat serius ujarnya kepada Leng Hong Tootiang, "Walaupun diluaran partai kita yang memperoleh kemenangan dalam pertempuran malam ini tetapi pihak kita sudah mengeluarkan seluruh kekuatan yang ada bahkan memperoleh pula bantuan yang amat berharga dari Tan Sauw-hiap, sebaliknya orang lain tidak lebih cuma menggunakan sebagian kekuatannya saja, soal ini kau harus mengerti dan selalu waspada.
Buru-buru Leng Hong Tootiang memberi hormat.
Nasehat dari Supek sedikitpun tidak salah. tecu akan memperhatikan terus"
"Ehmmm! sekarang kau pergilah menyambut kedatangan para tetamu...." ujar Thian Liong Ci lagi sambil ulapkan tangannya "Bagaimana dengan luka Ih jie" suruh mereka hantar dirinya ke belakang gunung"
Setelah itu sambil tersenyum ia mengangguk pula ke arah Tan Kia-beng kemudian baru melayang ke arah gunung sebelah belakang.
Ketika itu It Jan Ci sudah memerintahkan anak buahnya untuk mengubur mereka yang mati dan merawat mereka yang terluka, kemudian bersama-sama berkumpul ke dalam ruangan Yan Si Tien.
Para tetamu yang hadir pada saat ini kebanyakan pernah melakukan pertempuran dengan Tan Kia-beng, dan boleh dikata mereka merupakan musuh musuh besarnya.
Oleh karena itu untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, Tan Kia-beng segera bangun berdiri mohon pamit.
"Musuh tangguh yang menyerang partai Bu tong sudah berlalu, cayhe pun akan mohon pamit, bersamaan itu pula aku hendak melakukan pengejaran terhadap mereka dan
melakukan penyelidikan terhadap gerakan Isana Kelabang Emas kali ini.
Pada saat ini Loo Hu Cu seperti sudah berganti dengan manusia yang lain mendadak ia berjalan ke depan dan mencekal tangan pemuda itu erat-erat.
Peristiwa yang pernah terjadi tempo dulu, kebanyakan ditimbulkan karena kesalah pahaman," ujarnya perlahan. "Tan heng tidak usah merasa sakit hati lagi karena urusan ini. Kini kalangan Bulim di daerah Tionggoan sudah terancam oleh suatu peristiwa pembunuhan secara besar besaran, kau janganlah menyingkir dari sini! Mari kita bersama-sama mengatur siasat untuk menghadapi mereka."
Ia merandek sejenak kemudian setelah hela napas panjang tambahnya, "Terus terang saja pinto katakan, tindakanku tempo dulu memang mengandung maksud untuk merebut gelar jagoan pedang nomor wahid dari kolong langit itu, tetapi setelah mengalami berbagai kejadian aku baru merasa bila pikiranku tempo dulu sebenarnya terlalu tak tahu diri!"
Tan Kia-beng yang secara mendadak melihat ia berubah seratus delapan puluh derajat dalam hati merasa rada ada diluar dugaan, buru-buru sambungnya, "Ilmu pedang Tootiang sangat tinggi dan memang sepatutnya mendapatkan gelar jago pedang nomor wahid dikolong langit, sedang mengenai urusan yang telah silam masing-masing pihak merasa sulit untuk menghindarkan diri, cayhepun merasa ada tempat tempat yang tidak benar."
Leng Hong Tootiang sewaktu melihat sikap Loo Hu Cu sama sekali berubah, dalam hatipun merasa kegirangan, dengan cepat ia menimbrung dari samping, "Urusan yang sudah silam biarkanlah berlalu dan tidak usah diungkap kembali. Saudara saudara sekalian silahkan ambil tempat duduk. Pinto ada urusan penting yang hendak disampaikan kepada saudara saudara sekalian."
Ia merandek sejenak kemudian dengan wajah serius
sambungnya kembali, "Dihadapan kita saat ini ada dua persoalan yang harus kita selidiki, pertama. Mengapa secara tiba-tiba pihak Isana Kelabang Emas melakukan penyerbuan ke atas kuil Sam Cing Kong digunung Bu-tong san ini" setelah kejadian ini apakah tindakan tersebut dapat dilakukan pula terhadap partai-partai yang lain" Kedua, secara bagaimana saudara saudara sekalian bisa mengetahui kalau partai kami kena diserang dan segera berangkat kemari untuk memberi pertolongan?"
"Menurut penglihatan dari aku si pengemis tua" sambung kakek tongkat emas Thio Cau dengan cepat. "Bilamana gerakan penyerbuan ke atas gunung Bu-tong san pada malam ini berhasil mencapai pada sasarannya maka pihak Isana Kelabang Emas segera akan melakukan penyerbuan secara besar-besaran keseluruh Bulim, tetapi ternyata malam ini mereka tidak berhasil memperoleh hasil kemungkinan sekali di
dalam suatu jangka waktu tertentu mereka akan bungkamkan diri. Sedangkan mengapa pihak musuh melakukan penyerbuan ke atas gunung Bu-tong, menurut penglihatan aku si pengemis tua, maksud tujuan dari Isana Kelabang Emas adalah hendak menguasahi seluruh Bulim di daerah Tionggoan. Bu-tong-pay tidak lebih hanya sasaran mereka yang pertama."
"Omintohud!" puji Hwee Gong Thaysu dari Siauw-lim-pay.
"perkataan dari Thio Thay hiap sedikitpun tidak salah, kedatangan partai kami untuk memberi pertolongan kepada pihak Bu-tong pay tidak lebih hanya kebetulan saja, setelah peristiwa kereta maut, hampir boleh dikata pandangan seluruh partai sudah ditujukan ke gurun pasir, karena itu sewaktu segerombolan manusia-manusia aneh itu memasuki daerah Tionggoan mata-mata yang disebar berbagai tempat partai segera mendapatkan berita ini, ternyata gerak gerik mereka sangat mencurigakan sekali, terutama di sekitar daerah Mo Pak. Hal ini jelas membuktikan bahwa tujuannya sudah tentu partai Bu-tong-pay, karenanya ciangbunjin kami segera memberi perintah agar pinceng sekali setiap saat bersiap sedia memberi bantuan pada pihak Bu tong."
Perlahan-lahan Leng Hong Tootiang menghela napas


Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang. "Heeei.... jika demikian adanya, tindakan dari partai kami sedikit rada gegabah"
"Soal ini sih bukan demikian adanya...." bantah Loo Hu Cu sambil menggeleng. "Inilah yang dimaksudkan dengan yang menghadapi bingung yang menonton terang. Too heng pun tak perlu terlalu menyalahkan diri sendiri, hal yang penting pada saat ini adalah secara bagaimana menghadapi tantangan bertempur yang telah disampaikan oleh pihak Isana Kelabang Emas!"
Mendengar perkataan tersebut si kakek tongkat perak segera berteriak keras, "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. aku percaya semua partai yang ada di daerah Tionggoan suka menggabungkan diri untuk bersama-sama menghancurkan musuh tangguh. Peristiwa di atas gunung Bu tong pada malam ini merupakan suatu bukti yang nyata, aku si pengemis tua segera akan melaporkan urusan ini kepada Pangcu kami, maaf aku harus mohon diri terlebih dulu!"
Selesai berkata ia bangun berdiri, menjura keempat penjuru kemudian meloncat keluar dari ruangan tersebut.
Tujuan kedatangan Tan Kia-beng ke atas gunung Bu tong kali ini, tidak lain adalah pertama mencari tahu waktu diadakannya pertemuan puncak para jago. Kedua,
mempersatukan kekuatan seluruh partai untuk bersama-sama membendung serbuan dari Isana Kelabang Emas.
Kini melihat para pemimpin semua partai sudah tersadar kembali, hal ini menunjukkan bila urusan tersebut tak usah dikuatirkan olehnya kembali.
Sekarang tinggal soal kapan diselenggarakannya pertemuan puncak para jago, bilamana seperti yang dikatakan Leng Hong Tootiang, pertemuan tersebut hendak diundur, maka menggunakan kesempatan yang sangat baik ini ia tidak hendak melakukan perjalanan ke gurun pasir.
Tempo dulu yang dikuatirkan keselamatannya cuma "Ban Lie Im Yen" Lok Tong, suhunya seorang saja, tetapi kini iapun harus merasa kuatir terhadap keselamatan dari suhengnya Si Penjagal Selaksa Lie" Hu Hong beserta "Pek Ih Loo Sat" Hu Siauw-cian.
Disamping itu semua, iapun ingin membongkar rahasia lenyapnya Cu Swie Tiang Ciang bertiga di gurun pasir, jika
didengar dari perkataan dari bercelana hijau Lo Hong-ing, agaknya mereka bertiga masih hidup dan cuma tertawan oleh pihak Isana Kelabang Emas saja.
Hanya sayang eprkataan dari Lo Hong-ing belum selesai diucapkan ia sudah dibunuh mati oleh Gien To Mo Lei, dengan demikian keadaan yang sebenarnya jadi tidak diketahui jelas.
Selagi pemuda ini putar otak dan termenung berpikir keras, mendadak terdengar Hwee Gong Siansu dari Siauw-lim-pay sudah buka mulut kembali.
"Supek kemi Yen Yen Thaysu meminta pinceng untuk menyampaikan suatu kabar kepada Thian Liong Cianpwee mengenai pertemuan puncak para jago di atas gunung Ui san yang akan datang" katanya perlahan, "Setelah dirundingkan dengan Liok lim Sin Ci dan meminjam pula keadaan situasi Bulim saat ini yang lagi kacau maka pertemuan tersebut bermaksud hendak kami undur selama setahun kemudian, entah bagaimana pendapat dari dia orang tua?"
"Menurut pendapat pinto sendiri, rasanya keputusan ini memang sangat cocok sekali" jawab Leng Hong Tootiang setelah termenung sebentar. "Tetapi mengenai urusan ini lebih baik Siansu rundingkan sendiri dengan supek kami."
Ia lantas memerintahkan seorang toosu cilik yang ada dibelakangnya untuk memimpin Hwee Gong thaysu menuju ke belakang gunung guna menemui Thian Liong Ci.
Tan Kia-beng yang mendengar toosu tersebut sedang membicarakan soal pertemuan puncak digunung Ui san, ia merasa inilah suatu kesempatan yang paling baik untuk mencari berita, buru-buru tanyanya, "Tootiang! Tolong tanya pertemuan puncak para jago di atas gunung Ui san ini
diputuskan oleh siapa yang siapa pula penyelenggaranya"
siapa pula yang berhak ikut serta di dalam pertemuan ini?"
"Sebetulnya pertemuan ini pada mula hanya diadakan oleh beberapa orang sahabat karib untuk saling mengukur kepandaian silat masing-masing." kata Leng Hong Tootiang mulai memberi keterangan. "Tetapi akhirnya orang-orang yang mengikuti pertemuan ini semakin lama semakin banyak dan akhirnya berubah menjadi suatu pertemuan sekali dalam lima tahun untuk memperebutkan gelar 'Jago pedang nomor wahid dikolong langit' tempo dulu pertemuan ini tak ada yang bertindak sebagai penyelenggara, menanti pada dua pertemuan yang lalu kami baru berhasil menentukan suatu peraturan, baik dari golongan Hek-to maupun dari golongan Pek-to masing-masing kita memilih dua orang ciangpwee yang mempunyai kedudukan tinggi, ditambah pula dengan jago pedang pada pertemuan yang lalu sehingga berjumlah lima orang bergabung sebagai sebuah panitia penyelenggara.
Barang siapa yang pernah belajar ilmu silat, tidak perduli dari golongan apapun mereka berhak untuk ikut serta di dalam pertemuan ini.
"Sedang panitia penyelenggara pertemuan puncak para jago pada kali ini masing-masing adalah Yen Yen Thaysu dari Siauw-lim-pay serta Thian Liong Tootiang dari Bu-tong-pay golongan Pek-to kemudian Liok lim Sin Ci serta Hay Thian Shin shu mewakili golongan Hek-to.
"Bilamana salah satu yang termasuk sebagai panitia penyelenggara mati atau disebabkan sesuatu urusan tak dapat hadir, maka orang itu boleh memberikan tanda pengenal pribadinya kepada orang lain untuk mewakili dirinya melakukan tugas"
Saat itulah Tan Kia-beng baru tahu situasi yang jelas mengenai pertemuan puncak para jago di atas gunung Ui san, tak terasa diam-diam, "Diantara lima orang penyelenggara sudah ada tiga orang yang setuju bila pertemuan puncak tersebut diundur penyelenggaraannya.
Cu Swie Tiang Ciang pun jauh lenyap di gurun pasir, aku rasa pertemuan ini sudah pasti akan diundur, kenapa ada orang tidak menggunakan kesempatan yang sangat baik ini untuk berangkat ke gurun pasir?"
Setelah mengambil keputusan, iapun lantas bangun berdiri untuk mohon pamit.
"Cayhe sudah lama sekali datang mengganggu ketenangan Tootiang, karena ada sedikit urusan yang hendak diselesaikan, maaf cayhe akan mohon diri terlebih dulu" katanya.
Selesai berkata tubuhnya lantas meloncat keluar dari ruangan Yen Si Tien dan berlari turun gunung.
Terkisahkan Tan Kia-beng seorang diri dengan menunggang kuda melakukan perjalanan cepat menuju ke gurun pasir.
Dia adalah seorang Tionggoan ketujuh yang melakukan perjalanan menuju ke gurun pasir, sudah tentu perkataan ini diucapkan menurut apa yang ia ketahui. Disamping itu masih ada pula orang-orang yang tak dikenal atau tak diketahui olehnya yang berangkat ke gurun pasir berapa jumlah yang pasti tentu saja ia tidak faham.
Sembari melanjutkan perjalanan, hatinya terus menerus berpikir, "Cu Swie Tiang Cing, Tan Ci Lian Thiat Bok Tootiang serta Leng Siauw Kiam khek semuanya merupakan jagoan lihay dari Bulim mengapa diantara mereka bertiga tak seorang pun yang berhasil kembali ke Tionggoan dengan selamat"
dengan mengandalkan kepandaian silat yang mereka miliki
bagaimana mungkin bisa bersama-sama terjebak di dalam cengkeraman pihak musuh"
Disamping itu suhunya si "Ban Lie Im Yen" Lok Tong walaupun kepandaian silatnya tak dapat melampaui ketiga orang yang ada di depan tetapi dengan pengalamannya yang luas serta kepergian yang terencana bagaimana mungkin tak ada kabar beritanya pula" dia harus berusaha untuk memecahkan teka teki ini dengan mengandalkan seluruh kepandaian silat yang dimilikinya ia hendak mengadu kekuatan dengan orang-orang Istana Kelabang Emas.
---ooo0dw0ooo--JILID: 2 Karena si "Penjagal Selaksa Lie" Hu Hong, Pek Ih Loo Sat serta Ui Tootiang berturut turut sudah berangkat ke gurun pasir, ia harus mengejar dan menyusul mereka.
Oleh sebab itu selama diperjalanan jarang sekali ia berhenti, tidak lama kemudian sampailah pemuda itu didaeran luar perbatasan yang paling ditakuti oleh kaum pelancong....
Saat itu musim rontok baru mulai, padang rumput, di daerah Kang Lam walaupun masih menghijau tetapi di daerah diluar perbatasan sudah mengering dan mulai berubah jadi layu, angin dingin bertiup serasa menyayat wajah. padang pasir terbentang tiada ujung pangkalnya....
Pandangan ini benar-benar membuat hati terasa sedih, sunyi dan seram....
Sang pemuda yang dibesarkan di daerah Kang Lam, setelah melihat pemandangan di sekitar sana yang begitu
mengenaskan, tak terasa lagi ia mulai bersenandung syair dari penyair terkenal Cang Jien Leng
"....Tetamu dari luar perbatasan, berkawan dengan pasir dan debu, jangan belajar pendekar kelana, bersenandung sambil menuntun keledai...."
Diam-diam pikirnya kembali, "Tidak kusangka gurun pasir adalah demikian sunyi dan seramnya, asap rumah
pendudukpun tidak kelihatan, aku harus pergi kemana untuk mencari Isana Kelabang Emas tidak aneh kalau orang-orang tempo dulu paling takut melakukan perjalanan melalui tempat ini"
Setelah merasa ragu ragu sejenak, akhirnya ia membakar dan memberi samangat pada diri sendiri, "Teringat aku orang she Tan adalah seorang lelaki sejati yang berhasil memiliki kepandaian silat amat tinggi, seharusnya aku berusaha keras untuk menemukan sarang kaum penjahat dan membasminya dari muka bumi, kenapa cuma sedikit siksaan yang belum apa apa ini sudah membuat dirimu putus asa?"
Teringat akan hal ini, semangatnya pun mulai berkobar kembali, mendadak ia mengempit kencang lambung kudanya.
Diiringi suara ringkikan yang keras, kembali pemuda tersebut melanjutkan perjalanannya di atas padang pasir yang sunyi dan tiada ujung pangkalnya itu.
Sang surya perlahan-lahan lenyap dibalik permukaan tanah, angin dingin mulai bertiup menyayatkan wajah malam hari perlahan-lahan mulai menjelang datang.
Ketika itu Tan Kia-beng masih melakukan perjalanan cepat di atas gurun pasir, walaupun semangatnya berkobar-kobar untuk menaklukan padang pasir yang tiada ujung pangkalnya
ini tetapi saat ini ia merasaakan kesedihan juga di dalam hatinya.
Akhirnya ia menggertak gigi kencang dan menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya, kemudian melarikan kudanya kembali ke depan.
Mendadak.... Disebelah kiri dibawah sebuah bukit batuan yang tinggi secara samar-samar memancar keluar serentetan cahaya lampu.
Keadaan dari Tan Kia-beng waktu itu seperti telah menemukan sesuatu yang berharga, tanpa berpikir panjang lagi kudanya segera dilarikan ke arah berasalnya sinar itu.
Setelah kudanya mendekati tempat tersebut, ia baru menemukan bila tempat itu boleh dikata merupakan sebuah sorga di tengah padang pasir.
Tempat itu merupakan sebuah tebing gunung yang putih bersih, terdapat pula pohon pohon yang rindang serta air yang putih bersih.
Sinar lampu yang ditemuinya tadi ternyata beradal dari sebuah gua tebing disisi kolam tersebut.
Dengan cepat ia meloncat turun dari kudanya, baru saja ia hendak menyapa, mendadak dari balik gua sudah
berkumandang keluar suara seseorang yang amat merdu sekali, "Tia! seperti ada orang datang."
"Sejak tadi Tia mu sudah tahu!" sahut seseorang dengan suara serak dan agak tidak sabaran. "Coba kau tanya, dia datang kemari hendak berbuat apa"
Diikuti dari balik gua menongol keluar sebuah batok kepala yang bertanya dengan suara merdu, "Eeei.... kau datang kemari mau apa?"
"Cayhe sedang melakukan perjalanan lewat sini"
"Cis....! Siapa yang tidak tahu kalau kau adalah tetamu yang melakukan perjalanan dan lewat tempat ini, aku tanya kau hidup dengan bekerja sebagai apa?"
Hal ini seketika itu juga membuat Tan Kia-beng merasa susah untuk menjawab. Selama ini ia tak pernah bekerja apapun untuk hidup, lalu secara bagaimana diriya pada saat ini harus memberikan jawaban"
Setelah termenung berpikir sebentar, mendadak teringat olehnya akan syair yang pernah disenandungkan olehnya tempo dulu, ".... Jangan belajar pendekar kelana, bersenandung sambil menuntun keledai."
Dengan keras segera sahutnya, "Seorang pendekar kelana!"
Ketika itulah suara yang serak dan tua kembali
berkumandang keluar, "Suruh dia masuk!"
"Tia suruh kau masuk!" lanjut suara yang merdu tadi dengan keras.
Perkataan-perkataan yang diucapkan sama sekali tidak pakai aturan dan tidak tahu sopan santun ini, bilamana dihadapi Tan Kia-beng pada hari-hari biasa, ia tentu tak akan suka untuk masuk ke dalam gua tersebut.
Tapi saat ini mau tak mau terpaksa ia harus masuk ke dalam gua sambil menundukkan kepalanya.
Begitu berada di dalam gua, ia merasakan pandangannya jadi terang benderang. Kiranya ruangan di dalam gua tersebut
sangat lebar sekali bahkan ruangan itu dapat dibagi menjadi ruangan depan serta ruangan belakang.
Meja, kursi, pembaringan bangku, tungku dan bermacam-macam alat keperluan sehari hari semuanya terdapat dalam ruangan tersebut, seorang kakek tua berambut panjang yang berbadan bongkok duduk bersila di atas pembaringan.
Disisi pembaringan tersebut berdirilah seorang nona yang rambutnya dikuncir menjadi dua bagian.
Walaupun pakaian yang dikenakan nona ini adalah pakaian rakyat Mongolia tetapi tak dapat menutupi kecantikan wajahnya yang benar-benar sangat menarik itu, terutama sekali sepasang biji matanya yang bulat besar dan jeli serta kedua buah sujennya yang menarik hati hal ini membuat jantungnya terasa rada berdebar pikirnya, "Tidak kusangka di daerah yang demikian sunyi dan sepinya ternyata bisa muncul seorang nona yang sedemikian cantiknya"
Walaupun di dalam hati ia berpikir demikian tetapi sinar matanya tidak berani memandang ke arah nona itu terlalu lama sambil menundukkan kepalanya pemuda itu langsung berjalan kehadapan si orang tua tersebut lalu menjura.
"Cayhe sedang melakukan perjalanan jauh dan kini
kemalaman sehingga harus mengganggu ketenangan Loo tiang, bilamana kau orang tua merasa leluasa ijinkanlah cayhe untuk menginap semalam disini."
Si kakek tua itupun agak dibuat keheranan oleh munculnya sang pemuda tersebut melihat wajahnya yang gagah serta sikapnya yang romantis keadaannya mirip sebagai seorang terpelajar tetapi ia menyebutkan dirinya pendekar kelana, hal ini jelas menunjukkan bila ia pun memiliki kepandaian silat.
Tetapi mengapa gerak geriknya sama sekali tidak mirip sebagai seorang jagoan" tak terasa lagi pikirnya kembali,
"Apakah tenaga dalamnya sudah berhasil dilatih hingga mencapai pada puncak kesempurnaan?"
Setelah ragu ragu sejenak kembali ia membantah sendiri pendapatnya itu.
"Tidak! tidak mungkin. bila ditinjau dari usianya, dia tidak lebih baru berusia dua puluh tahunan."
Apa yang dipikirkan olehnya sangat tepat tenaga lweekang yang dimiliki Tan Kia-beng pada saat ini benar-benar sudah berhasil mencapai pada puncak kesempurnaan seperti apa yang dipikirkan oleh si orang tua itu apalagi sesudah ilmu pukulan "Jie Khek Kun Yen Kan Kun So" nya berhasil miliki boleh dikata hawa murni yang didapatkan dari Han Tan Loojien pada saat ini hampir separuh bagian sudah bersatu dan bergabung dengan kekuatan yang ditimbulkan dari pil ular raksasa seribu tahun itu.
Atau boleh dikata setiap kali ia menemui suatu pertempuran yang sengit, tenaga dalamnyapun memperoleh kemajuan satu tingkat lebih sempurna, hanya saja ia sendiri sama sekali tidak merasakan.
Tan Kia-beng yang mengajukan permohonan untuk
menginap semalam disana ternyata sama sekali tidak memperoleh jawaban yang memuaskan hati dari si orang tua itu.
"Entah Khek koan ada maksud hendak pergi kemana sehingga harus menginap semalam disini?" balik tanyanya dengan nada sangat dingin.
Pertanyaan ini benar-benar membuat Tan Kia-beng
gelagapan setengah mati. Thian tahu bila maksud tujuan
datang ke gurun pasir adalah hendak mencari tahu letak Isana Kelabang Emas.
Tetapi dimana Isana Kelabang Emas itu berada dia
sendiripun sama sekali tidak tahu, sudah tentu kepergiannya kali inipun tak ada tujuan yang tertentu, dengan demikian pemuda tersebut harus memberikan jawabannya dengan kata-kata yang bagaimana"
Lama sekali, akhirnya dengan paksakan diri ia menyahut,
"Tujuan cayhe adalah berkelana diseluruh daerah luar perbatasan, dengan demikian tujuannya tertentu tak ada"
"Oooouw.... begitu"....." jengek si orang tua itu sambil tertawa dingin.
Cukup dua patah kata sudah mengandung berbagai
persoalan yang mencurigakan didalamnya.
Tampaklah sang nona yang berada disisi orang tua itu segera mencibirkan bibirnya.
"Hmmm! Melihat bentuk tubuhnya kelihatan kau adalah seorang yang jujur, kiranya kaupun seorang pembohong,"
serunya keras. Tan Kia-beng segera mengerutkan alisnya baru saja hendak memberi penjelasan, si orang tua itu sudah mengulapkan tangannya.
"Siapa yang suruh kau banyak bicara! Cepat siapkan sedikit makanan untuk menangsal perut tetamu yang sedang
kelaparan ini" perintahnya.
Kembali nona itu mencibirkan bibirnya setelah itu baru putar badan berjalan menuju kegua sebelah belakang.
Tan Kia-beng yang melihat sikap dari kedua orang itu segera merasakan bila keadaan situasi di tempat tersebut
sama sekali tidak cocok dengan kebiasaannya. Lama sekali ia harus berpikir untuk mengucapkan sesuatu patah kata.
"Loo tiang tahukah kau di tengah gurun pasir ini ada sebuah Isana Kelabang Emas?" akhirnya dia bertanya.
Diam-diam si orang tua itu menganggukkan kepalanya berulang kali.
"Ehmmm....! ternyata sedikitpun tidak salah" pikirnya diam-diam sedang diluaran sengaja ia bersikap wajar, jawabnya,
"Isana Kelabang Emas memang ada, cuma saja tidak jelas tempatnya yang pasti, Khek koan! apakah kau hendak pergi kesana?"
"Benar!"
"Entah apa maksudmu pergi kesana?"
"Soal ini...."
"Apakah kau memiliki tanda pengenal?"
Tan Kia-beng segera merasakan hatinya rada bergerak, buru-buru dari dalam sakunya ia mengambil keluar tanda pengenal pualam yang didapatkan dari si pencuri sakti Su Hay Sin Tou untuk ditunjukkan kepada si orang tua itu.
"Tanda pengenal pualam ini sebagai bukti" katanya.
Ia menganggap si orang tua ini adalah mata mata dari Isana Kelabang Emas sehingga ia telah pura pura berlagak pinter dan mengeluarkan tanda pualam tersebut.
Siapa sangka justru disebabkan tingkahnya ini hampir hampir saja nyawanya ikut melayang secara mengeewakan.
Si orang tua itu segera menerima medali pualam itu untuk dipandang sekejap. selintas hawa napsu membunuh dengan
cepat berkelebat di atas wajahnya yang tua, tetapi sebentar kemudian sudah pulih kembali seperti sedia kala.
"Aaah....! tidak kusangka usia Khek koan kecil ternyata sudah memperoleh penghargaan yang begitu tinggi dari majikan Isana Kelabang Emas" seru si orang tua itu sambil mengembalikan medali pualam itu ketangannya, "Sungguh mengagumkan.... sungguh mengagumkan! tetapi entah Khek-koan berasal dari partai mana?"
Bilamana semisalnya secara terus terang ia mengucapkan nama dari suhunya "Ban Lie Im Yen" Lok Tong, kemungkinan sekali tidak bakal terjadi suatu urusan, justru pada saat ini pemuda tersebut pura pura berlagak pintar.
"Suhuku selamanya berkelana tidak menentu, selama ini belum pernah mendirikan perguruan maupun partai"
jawabnya. "Goooo...." si orang tua tidak lagi bertanya lebih lanjut.
Ketika itu sang nona berkuncir tersebut sudah muncul kembali dari ruangan belakang dengan membawa secawan air teh serta sepiring daging lalu dihidangkan di atas meja.
"Di tengah gurun pasir tak ada makanan yang enak untuk melayani para tetamu, harap Khek koan suka bersantap ala kadarnya" ujarnya perlahan.
Suara perkataan tersebut amat halus dan merdu bahkan membawa nada ucapan dari daerah ibu kota. Ketika itulah secara mendadak Tan Kia-beng baru merasakan heran serta curiga terhadap kedua orang itu.
Di tempat yang begini sunyi dan jauh di luar perbatasan bagaimana mungkin kedua orang itu bisa berbicara bahasa Han dengan demikian lancar"
Jika demikian adanya maka si ayah beranak ini tentulah orang-orang bangsa Han. Tetapi pada saat ini perutnya benar-benar merasa lapar dan dahaga sehingga tanpa sungkan sungkan lagi ia menyapu habis makanan yang dihidangkan di atas meja.
Setelah terasa kenyang, sambil membersihkan bibirnya ia baru bertanya kembali, "Loo tiang mungkin juga bangsa Han, bukan?"
"Ehmm!"
"Siapakah namamu?"
Diam-diam si orang tua itu mulai berpikir, "Bagaimanapun dia tak bakal lolos lagi dari cengkeramanku, beritahukan namaku pun rasanya tak ada halangan."
Perlahan-lahan lantas jawabnya, "Hay Thian Sin Shu!"
Mendengar disebutnya nama tersebut saking terperanjatnya hampir hampir saja Tan Kia-beng melompat ke atas dari tempat duduknya, walaupun ia tidak kenal Hay Thian Sin Shu tetapi Leng HOng Tootiang pernah memberi tahukan
kepadanya kalau Hay Thian Sin Shu adalah jagoan dari kalangan Hek-to yang telah dipilih sebagai anggota panitia penyelenggara pertemuan puncak para jago digunung Ui san yang akan datang tetapi mengapa dia bisa muncul disini"
"Loocianpwee apakah Hay Thian Sin Shu yang pernah angkat nama bersama-sama Liok lim Sin Cie?" tanyanya dengan perasaan sangat kaget bercampur berdesir.
"Ehmmm....! kau merasa sedikit heran bukan?"
Mendadak si orang tua itu meloncat turun dari
pembaringan, lalu melepaskan otot-ototnya sehingga berbunyi gemurutukan yang amat ramai.
Tubuhnya secara mendadak mengembang semakin besar, dari sepasang matanya memancarkan cahaya tajam kemudian menengadah ke atas tertawa terbahak-bahak dengan
seramnya. "Haaa.... haaa.... haaa.... sudah lama Loohu tidak pernah berburu. Malam ini loohu kepingin sekali membunuh kau anak kelinci untuk memuaskan hatiku."
Suara tertawanya ini secara diam-diam disalurkan pula tenaga lweekang yang sempurna membuat seluruh tubuh Tan Kia-beng goncang amat keras dengan telinga mendengung yang tiada hentinya.
Buru-buru ia mengerahkan hawa murninya untuk menekan goncangan tersebut kemudian dengan wajah melengak memandang ke arah si orang tua itu dengan penuh
keheranan. Perlahan-lahan Hay Thian Sin Shu menghentikan suara tertawanya, dengan wajah seram ujarnya dingin, "Sorga ada jalan kau tidak mau lalui, neraka tak ada jalan sengaja kau menerjang datang. Hm! memang nasibmu yang lagi sial"
Ia merandek sejenak, kemudian sambil menggape
sambungnya kembali, "Bangsat cilik, Mari ikutilah diriku, aku mau suruh kau matipun menjadi setan yang jelas mengetahui duduk persoalannya".
Tan Kia-beng merasa tidak paham apa maksud yang
sebenarnya dari si orang tua itu, tetapi dikarenakan selama ini pemuda tersebut menaruh rasa kagum dan menghormat terhadap Hay Thian Sin Shu maka sengaja ia bersabar dan mengikuti apa yang diucapkan untuk berjalan keluar dari gua tersebut.
Hanya sebentar saja, sampailah kedua orang itu disebuah padang batuan yang terjal dan tiba di pinggiran sebuah jurang yang sangat curam serta berbahaya.
Tiga penjuru dari tebing curam ini terkurung oleh dinding tebing yang terjal dengan sebuah jurang yang dalamnya ribuan kaki.
Secara samar-samar tampaklah dibalik lembah yang sangat dalam itu kerangka manusia berserakan memenuhi seluruh permukaan tanah, keadaannya sangat mengerikan sekali.
Melihat pemandangan semacam itu, tidak terasa lagi Tan Kia-beng merasakan hatinya berdesir.
"Heee.... heee kau sudah melihat bukan?" seru Hay Thian Sin Shu sambil tertawa dingin tiada hentinya. "Kerangka kerangka putih itu adalah kawan kawan sejalanmu, mereka bersama-sama menemui ajalnya disini. sudah tentu kau tak akan merasa kesunyian bukan?"
Kembali kepalanya didongakkan dan tertawa terbahak-bahak.
"Inilah jalan yang tercepat untuk menuju keIsana Kelabang Emas, kalu hendak terjun sendiri ke bawah jurang itu ataukah menunggu Loohu yang turun tangan memaksa dirimu?"
Sekali lagi Tan Kia-beng dibuat melengak oleh perkataan dari si orang tua itu, alisnya dikerutkan kemudian bentaknya keras, "Sebenarnya apa maksudmu?"
"Tempat inilah merupakan tempat tinggal yang paling sempurna bagi manusia-manusia yang menganggap bajingan sebagai ayah dan ikut berbuat jahat terhadap sesamanya"
Mendadak tubuhnya bergerak maju ke depan, kelima
jarinya dipentangkan lebar-lebar kemudian mencengkeram dada pemuda tersebut.
Serangannya ini dilakukan secepat sambaran kilat, kehebatannyapun luar biasa sekali.
Diam-diam Tan Kia-beng merasa sangat terperanjat sekali, telapaknya segera diputar membentuk serangkaian bayangan telapak menutup seluruh tubuhnya dengan sangat rapat, inilah jurus "Hoa Yu Peng Hun" atau hujan bunga laksana tepung dari ilmu pukulan aliran Khong tong pay.
"Hmmm! Seorang murid perguruan kenamaan!" jengek Hay Thian Sin Shu dingin.
Kelima jarinya mendadak dipentangkan lebar-lebar, segulung angin serangan yang tajam menembusi datangnya angin pukulan langsung mengancam jalan darah kematian "Yu Bun".
Kesempurnaan dari tenaga dalamnya, serta kelincahan di dalam gerakan serangannya ditambah lagi kematian dalam tenaganya tidak malu disebut sebagai seorang jago kenamaan.
Ketika itu Tan Kia-beng sudah tak sempat lagi untuk mengundurkan diri ke belakang terpaksa sambil
menggerakkan pundaknya ia menerjang ke depan, tenaga dalamnya dengan lembek tapi mantap meluncur keluar menyambut datangnya serangan tersebut.
Jurus yang digunakan olehnya pada saat ini merupakan sebuah gerakan dari aliran Bu-tong pay, sedang tenaga pukulan yang ia gunakanpun sebesar lima bagian.
Dua gulung angin pukulan tersebut begitu bertemu menjadi satu, desiran tajam yang ditimbulkan dari angin pukulan tersebut kontan saja lenyap tidak berbekas bagaikan batu yang tenggelam di tengah samudra, sedangkan pundak Tan Kia-beng tak kuasa untuk menahan diri sehingga bergetar amat keras.
Diluaran jelas Tan Kia-beng sudah kalah satu jurus, padahal di dalam hati Hay Thian Sin Shu merasa amat terperanjat.
Disebabkan ia ada maksud untuk membinasakan pihak musuhnya di dalam pukulan ini, maka dalam jurus tersebut si orang tua itu sudah mengerahkan tenaganya sebesar tujuh, delapan bagian. Tidak disangka ternyata pihak lawan sama sekali tidak terluka oleh pukulan tersebut, ini sudah tentu membuat hatinya bergetar sangat keras, hawa napsu membunuhpun mulai terlintas di atas wajahnya.
"Hmmm! tidak kusangka kepandaianmu masih mempunyai juga beberapa bagian kesempurnaan" serunya sambil tertawa dingin.
Telapak tangannya segera disilangkan di depan dada dan siap-siap untuk menerjang kembali ke depan.
Mendadak.... "Papa....! untuk sementara kau jangan turun tangan dulu, biarlah aku yang turun tangan membereskan dirinya!"
serentetan suara yang sangat merdu berkumandang datang.
Nona yang berdandan seperti gadis mongol itu dengan mencekal sebilah pedang pendek yang memancarkan cahaya keemas-emasan laksana serentetan pelangi terbang mencelat ke tengah udara langsung menerjang ke arah tubuh Tan Kia-beng.
Tan Kia-beng yang melihat datangnya serangan tersebut amat ganas, ia tidak berani berlaku gegabah. Kakinya meluncur lima depa ke belakang untuk menghindar.
Siapa sangka ilmu pedang dari nona tersebut begitu dilancarkan keluar, laksana mengalirnya air disungai meluncur keluar dan menerjang ke depan tiada hentinya.
Tampaklah cahaya keemas-emasan berkelebat menyilaukan mata, hawa pedang berdesir menggidikkan badan, jurus-jurus serangan yang aneh ganas dan telengas kontan saja mendesak pemuda itu harus mundur ke belakang berulang kali, ternyata untuk beberapa saat tak ada sedikit kesempatanpun baginya untuk balas melancarkan serangan.
Apalagi pedang pendek itu memancarkan cahaya yang sangat tajam dan agaknya merupakan sebilah pedang pusaka hal ini membuat pemuda tersebut merasa rada ragu-ragu.
Pada waktu itu Tan Kia-beng sudah berada dekat sekali dengan tepi jurang, kurang lebih tiga depa dibelakang tubuhnya sudah merupakan sebuah jurang yang amat dalam.
"Aku tidak boleh menghindar lagi" diam-diam pikir dalam hati. "Bilamanya sampai terperosok masuk ke dalam jurang, kejadian itu bukanlah suatu permainan ringan!"
Setelah berpikir sampai disitu, mendadak ia membentak keras. Telapak tangannya kontan melancarkan dua buah serangan dahsyat disertai dengan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya, kehebatan serangan tersebut benar-benar sangat luar biasa.
Begitu telapak tangannya didorong, segulung angin pukulan berhawa Yan sangat dahsyat laksana tiupan angin taupan menguglung ke arah depan membuat sang nona tersebut bergetar sangat keras.
Tubuhnya berturut-turut terdesak mundur delapan depa ke belakang, sedang sinar pedangnya dipaksa kacau balau tidak karuan.
Tetapi dengan sipatnya yang keras kepala sesudah kena terdesak mundur mendadak badannya kembali mendesak maju. Ia membentak keras pedangnya dengan menimbulkan desiran angin tajam kembali membabat ke depan.
Pada saat itu Tan Kia-beng pun sudah mencabut keluar seruling pualamnya, diantara berkelebatnya cahaya putih yang membumbung keangkasa terdengarlah suara bentrokan senjata tajam bergema memenuhi angkasa disertai percikan bunga-bunga api.
Di tengah bentrokan pedang pendek serta seruling itulah, tubuh sang nona cantik tersebut kembali terpukul pental, pedang pendek ditangannya hampir-hampir saja terlepas dari cekalan sedang tubuhnya tergetar mundur lima enam langkah dengan sempoyongan.
Beberapa kali kena didesak mundur! hal ini membuat nona tersebut saking gemasnya air matanya bercucuran mebasahi pipi.
"Aku akan adu jiwa dengan dirimu!" teriaknya melangking.
Gerakan pedang laksana pelangi menubruk ke arah depan.
Tetapi, belum sempat ia berhasil mencapai pada sasarannya tangannya sudah kena dicengkeram oleh sebuah tangan yang besar dan penuh keriputan.
"Yong jie! aku mundurlah, biar aku tanyai dulu dirinya"
bentaknya nyaring.
Tan Kia-beng yang kena terpukul mundur oleh serangan dari sang nona itu tadi, ia sama sekali tidak mendesak ke
depan lebih lanjut, seruling pualamnya dilintangkan di depan dada, wajahnya sangat serius.
Jelas sekali ia sudah dibuat gusar oleh tindakan mereka ayah beranak yang berulang kali melancarkan serangan ke arahnya.
Hay Thian Sin Shu setelah berhasil mencegah gerakan dari nona tersebut, dengan wajah keheranan tanyanya keren, "Apa hubunganmu dengan Han Tan Loo jien" cepat katakan sejujurnya sehingga jangan sampai aku salah turun tangan mengambil tindakan!"
"Ooouw aku" aku adalah ahli warisnya!"
"Haaa.... haaa.... haaa.... bilamana dikatakan kau adalah cucu muridnya mungkin Loohu masih suka percaya" seru Hay Thian Sin Shu sambil tertawa terbahak-bahak "Sekarang kau mengaku sebagai ahli warisnya, bukankah hal ini sama dengan kau lagi menipu dirimu sendiri?"
"Seruling pualam putih ini merupakan bukti yang nyata, mau percaya atau tidak itu terserah padamu, Sekarang aku mau bertanya kepadamu, kalian ayah beranak tanpa sebab melancarkan serangan gencar kepadaku sebetulnya apa maksud tujuanmu" Bilamana kalian tidak suka memberi penjelasan, Hm.... sampai waktunya janganlah salahkan aku orang she Tan akan turun tangan terlalu telengas!"
Dalam hati Hay Thian Sin Shu berpikir keras, akhirnya setelah lewat beberapa saat lamanya ia menghela napas panjang.
"Heeei.... bilamana kau adalah ahli waris dari dia orang tua, hal ini membuat loohu merasa serba salah," ujarnya kemudian.
Kembali ia termenung beberapa saat, mendadak orang tua itu mendongakkan kepala
"Sebenarnya siapakah kau?" bentaknya keras. "Siapa yang memperkenalkan dirimu untuk memasuki Isana Kelabang Emas" Mengapa dengan usiamu yang masih muda bukannya berjalan pada arah yang benar sebaliknya malah
mengecewakan susah payah dari dia orang tua, apakah kau merasa punya muka untuk mempertanggung jawabkan
perbuatanmu ini terhadap Han Tan Loo cianpwee?"
Sehabis mendengar perkataan tersebut Tan Kia-beng baru tersadar kembali apa sebenarnya yang sudah terjadi.
Kiranya mereka ayah beranak sungguh sungguh telah menganggap dirinya sebagai anak buah Isana Kelabang Emas.
Tak terasa lagi pemuda itu tertawa terbahak-bahak.
"Haaa.... haaa.... sekalipun cayhe tidak berbaktipun tidak akan melepaskan kedudukan yang terhormat dari seorang Kauwcu, sebaliknya pergi berbakti kepada orang lain!" serunya keras.
"Terus terang saja aku katakan, kedatangan cayhe kali ini ke gurun pasir bukan lain khusus bertujuan hendak mencari perhitungan dengan orang-orang pihak Isana Kelabang Emas".
"Sungguh"...." tanya Hay Thian Sin Shu setengah percaya setengah tidak.
Tetapi sikapnya sudah jauh lebih ramah.
"Tindakan orang-orang Isana Kelabang Emas amat ganas, kejam dan telengas, secara samar-samar mereka ada hasrat untuk membasmi seluruh jagoan Bulim di daerah Tionggoan, Tindakannya melakukan serbuan secara besar-besaran ke atas kuil Sam Cing Kong barusan ini tanpa sebab merupakan suatu
bukti yang nyata" ujar Tan Kia-beng lebih lanjut. "Kedatangan dari cayhe kali ini, pertama, hendak mencari tahu jejak dari suhuku si 'Ban Lie Im Yen' Lok Tong dan kedua, ingin mencari kesempatan untuk bergebrak melawan majikan Isana
Kelabang Emas".
"Ha.... ha.... ha.... kalau begitu hampir saja lohu sudah salah melukai dirimu!" seru Hay Thian Sin Shu sambil tertawa terbahak-bahak sehabis mendengar perkataan tersebut.
Tan Kia-beng sendiripun ikut tertawa terbahak-bahak.
"Bilamana bukan nona ini sudah ikut campur, hampir-hampir saja cayhepun akan salah melukai Loocianpwee!"
katanya pula. "Hmmm! sungguh besar sekali lagaknya!" diam-diam pikir Hay Thian Sin Shu di dalam hati.
Sebaliknya nona itu sudah mencibirkan bibirnya sambil tertawa dingin tiada hentinya.
"Hmm! dengan mengandalkan kau dapat melukai
ayahku"...." jengeknya.
Agaknya gadis itu menaruh kepercayaan penuh terhadap kepandaian silat yang dimiliki ayahnya.
"Tutup mulut!" buru-buru Hay Thian Sin Shu membentak keras. "Bocah cilik, kau harus sedikit tahu sopan!"
Kembali si orang tua itu menoleh ke arah Tan Kia-beng dan sambil menuding ke arah gadis tersebut perkenalkannya.
"Dia adalah siauw li, Cha Giok Yong orang-orang kangouw memberi julukan kepadanya sebagai Leng Poo Sian ci!"
Buru-buru Tan Kia-beng maju ke depan menjura,
"Ooouw...." Kiranya nona Cha, cayhe she Tan bernama Kiabeng, dikemudian hari masih membutuhkan banyak petunjuk dari nona" sapanya halus.
"Huuu.... usil!" seru Leng Poo Sianci sambil tertawa cekikikan.
Dengan cepat ia putar badan dan berlari meninggalkan tempat tersebut.
"Tempat ini bukan tempat untuk bercakap-cakap. mari kita berbicara di dalam saja" ajak Hay Thian Sin Shu kemudian sambil mengulapkan tangannya.
Dengan cepat orang itu memimpin Tan Kia-beng kembali ke dalam gua semula.
Sambil berjalan diam-diam Tan Kia-beng mulai berpikir, ia merasa heran mengapa Hay Thian Sin Shu memilih tempat ini untuk mengasingkan diri" bukankah pandangan di Kang Lam jauh lebih bagus jika dibandingkan dengan tempat itu, kendati tempat yang didiami oleh mereka pada saat ini boleh dikata jelek jika dibicarakan dari sudut pandangan sekeliling daerah luar perbatasan ini"
Selagi ia berpikir keras itulah tiba-tiba terdengar Hay Thian Sin Shu sudah buka suara menegur, "Mungkin kau merasa heran bukan mengapa aku bisa berdiam di tempat yang sunyi dan tandus ini?"
Tan Kia-beng mengangguk....
Perlahan-lahan Hay Thian Sin Shu menghela napas
panjang. "Heee.... kemungkinan sekali kau pernah mendengar orang berkata bukan bahwa jago pedang nomor wahid dikolong langit pada saat ini si 'Cu Swie Tiang Cing' Tan Cu Liang


Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertiga menerima undangan untuk mengunjungi daerah gurun pasir?"
Sekali lagi Tan Kia-beng mengangguk, tetapi paras mukanya berubah rada tegang karena persoalan inilah yang ingin dia ketahui selama ini.
"Karena sejak kepergian mereka bertiga ke gurun pasir ternyata tidak ada kabar beritanya lagi, waktu itu Loohu merasa sangat keheranan oleh sebab itu dengan seorang diri aku lantas berangkat menuju ke gurun pasir untuk menyelidiki sebab sebab lenyapnya mereka, siapa sangka bukannya memperoleh berita yang aku inginkan, sebaliknya hampir-hampir saja Loohu terluka dibawah pukulan ilmu 'Hong Mong Cie Khie' dari 'Ci Lan Pak' Kong Sun Su.
"Setelah Loohu terpukul sehingga terluka parah, dan tanpa memperoleh sedikit hasil pun, dengan mati matian aku melarikan diri ke arah Selatan, siapa sangka ketika itulah aku menerjang sampai ke tempat ini dan di dalam sebuah gua telah menemukan kitab pusaka 'Lei Hwee Sin Kang'
peninggalan dari seorang Lhama yang pernah mengasingkan diri di tempat ini. bersamaan itu pula aku merasa tempat ini sangat cocok sekali sebagai tempat latihan ilmu "Lei Hwee Sin Kang" tersebut.
"Demi suksesnya melatih ilmu sakti tersebut dari kitab pusaka itu, Loohu lantas mengambil keputusan untuk kembali dulu ke daerah Kang Lam dan mengajak Yong-Jie datang kemari agar kami bisa bersama-sama berlatih."
"Selama ini apakah kau orang tua pernah memperoleh kabar yang menyangkut keselamatan dari Cu Swie Tiang Cing?"
"Setelah Loohu berdiam selama tiga tahun lamanya disini, aku baru tahu bila di Gurun pasir ada suatu Isana Kelabang Emas yang mempunyai pengaruh sangat kuat serta asal usul yang tidak jelas, aku lantas menduga bila Cu Swie Tiang Cing sekalian telah terperangkap di dalam isatana tersebut. Cuma saja dikarenakan pada waktu itu ilmu sakti Lei Hwee sin Kang ku belum berhasil kulatih hingga mencapai titik sempurna, maka aku tidak berani bertindak secara gegabah."
"Tempat ini merupakan pusat persimpangan jalan baik dari Selatan, Timur, Barat maupun Utara. apakah Loocianpwee pernah menemui orang-orang yang mencurigakan?"
"Haaa.... haaa....haaa.... justru disebabkan soal inilah barusan hampir-hampir saja aku hendak turun tangan jahat terhadap dirimu" ujar Hay Thian Sin Shu sambil tertawa terbahak-bahak. "Tempat ini terlalu terasing dan sepi, sudah tentu buatan merupakan persimpangan jalan yang tragis, hanya saja ada beberapa orang seperti halnya dengan dirimu telah salah jalan dan tiba di sini, bilamana aku menemui mereka-mereka yang ada maksud hendak menggabungkan diri dengan pihak Isana Kelabang Emas maka tanpa sungkan sungkan lagi Loohu segera turun tangan dan mempersilahkan dia untuk berdiam didasar jurang ini, selama beberapa tahun ini mungkin sekali sudah ada ratusan orang banyaknya yang terkubur didasar jurang tersebut"
Selesai mendengar perkataan itu tak terasa dalam hati Tan Kia-beng mulai merasa bilatindakan dari si orang tua tersebut sebenarnya pada kelewat kejam, mendadak tanya lagi, "Lalu apakah suhuku si 'Ban Lie Im Yen' Lok Tong pernah lewat tempat ini?"
"Suhumu memang lewat tempat ini, hanya saja niatnya untuk menolong 'Cu Swie Tiang Cing' Tan Cu Liang terlalu
besar sehingga tanpa sayang ia cukur gundul rambut sendiri menjadi Hweesio, dan kini berdiam di dalam sebuah kuil yang bernama kuil Bu Lah Sie yang tidak jauh dari Isana Kelabang Emas."
"Apa! suhuku sudah jadi pendeta?"
"Tindakannya ini tidak lain hanya merupakan suatu siasat belaka, pada tahun ini karena latihan ilmu 'Lei Hwee Sin Kang'
dari Loohu sudah mencapai pada taraf puncaknya maka jarang sekali aku mengadakan hubungan dengan dirinya, dengan demikian urusan yang menyangkut soal Isana Kelabang Emaspun rada kurang paham, kurang lebih tujuh tujuh empat puluh sembilan hari lagi ilmu Sin Kang dari Loohu sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya."
Tan Kia-beng menggerakkan bibirnya hendak berbicara mendadak air mukanya berubah hebat, sambil tertawa dingin tubuhnya berkelebat keluar dari gua diikuti Hay Thian Sin Shu menyusul dari belakang.
Tampaklah di pinggir batu-batu cadas yang berserakan diluar gua berdirilah lima orang jagoan berdandan suku Biauw sambil tertawa seram tiada hentinya.
"Heee.... heee.... heee.... tidak kusangka di tempat ini ternyata bersembunyi mata-mata heee....heee.... nyali kalian betul-betul sangat!" serunya hampir berbareng.
Air muka Hay Thian Sin Shu berubah seram, dengan cepat ia mengerling sekejap ke arah Tan Kia-beng kemudian tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya.
"Haaa.... haaa.... haaa.... entah kawan-kawan sekalian berasal dari aliran mana" mengapa kalian mengatakan Loohu adalah seorang mata mata?" tegurnya.
Seorang kakek tua berkepala kecil bermata tikus dengan mencekal sebuah golok lesar bergerigi munculkan dirinya dari barisan.
"Yayamu adalah anak buah dari majikan Isana Kelabang Emas!" sahutnya sambil memandang ke arah Hay Thian Sin Shu tajam-tajam. "Thian Huang Ngo Oh khusus datang kemari untuk memeriksa keadaan di delapan penjuru, gerak gerik kau keledai tua sangat mencurigakan sekali, hal ini bagaimana mungkin lolos dari pandangan mata yayamu semua?"
Di dalam kalangan hitam Hay Thian Sin Shu terkenal sebagai seorang cianpwee dan seorang jago kenamaan yang dikenal oleh setiap orang.
Walaupun dia sama sekali tidak kenal degan Thay Huang Ngo Oh ini, tetapi ia pernah juga mendengar disebutkannya nama tersebut, cuma saja dikarenakan ia harus berlatih ilmu sakti Lei Hwee Sin Kang maka kulit tubuhnya sudah berubah jadi merah padam, apalagi iapun berdandan dengan potongan orang mongolia maka untuk beberapa waktu Thian Huang Ngo Oh sama sekali tidak mengenali si orang tua ini.
Selesai mendengar perkataan dari Toa-Oh tersebut, Hay Thian Sin Shu tak kuat menahan sabar lagi ia tertawa terbahak-bahak sedang ujung bajunya mendadak dikebutkan ke depan.
Dimana cahaya merah berkelebat lewat.... tiba-tiba Toa-Oh menjerit kesakitan. Tubuhnya mencelat ke tengah udara setinggi dua kaki kemudian jatuh dengan kerasnya di atas batu cadas.
Seketika itu juga darah segar memancar keluar memenuhi angkasa, baju yang dikenakan hancur lebih menjadi
berkeping-keping dan tersebut tersebar keempat penjuru tertiup angin.
Kiranya Hay Thian Sin Shu telah menggunakan ilmu sakti
"Lei Hwee Sin Kang" nya.
Pada waktu Hay Thian Sin Shu turun tangan itulah Tan Kia-beng pun laksana serentetan sambaran kilat menubruk ke arah Su-Oh lainnya.
Tubuhnya belum sampai, segulung angin pukulan berhawa dingin sudah menggulung keluar dan menekan mereka dengan sangat dahsyat.
Di dalam dunia kangouw terutama di dalam kalangan Hek-to, Thian Huang Ngo Oh juga terhitung jago-jago kejam yang sangat lihay. Melihat serangan Tan Kia-beng menyambar datang mereka bersama-sama membentak gusar.
Masing-masing sambil mencabut keluar senjata tajam golok bergeriginya melancarkan serangan balasan yang dahsyat ke arah depan.
Hanya di dalam sekejap saja angin serangan disertai kelebatan cahaya golok menyambar lewat dari empat penjuru.
Tan Kia-beng membentak keras. telapak tangan didorong ke depan membuat dengan gerakan mendatar, diikuti badannya berputar kelima jarinya laksana pancingan baja mencengkeram dua bilah golok yang menyambar datang dari sebelah kiri.
Terdengarlah serentetan suara jeritan ngeri bergema lewat, Sam Oh serta Su-Oh yang ada disebelah kanan bagaikan layang-layang putus tali terpental jatuh ke tengah angkasa bersama-sama goloknya dengan meninggalkan serangkaian hujan darah yang amat deras.
Bluuk! Bluuk! dengan menimbulkan suara benturan keras, tubuh mereka berdua tahu-tahu sudah terjatuh ke atas permukaan dan jatuh tertanam di dalam tanah.
Kejadian yang sangat mendadak ini seketika juga membuat Jie-Oh serta Ngo-Oh saking takutnya jadi tertegun dan lupa untuk melarikan diri.
Ketika itulah Hay Thian Sin Shu sudah melayang datang kehadapan mereka, belum sempat jari tangan melancarkan untuk menotok jalan darah mereka mendadak dari tempat kejauhan terdengar suara bentakan yang amat nyaring tetapi merdu, "Papa.... jangan bunuh mereka, tinggalkan kedua orang itu buat diriku"
Terlihatlah serentetan cahaya pelangi laksana seekor naga menyambar lewat, selagi Tan Kia-beng dibuat melengak oleh tindakan yang secara mendadak itu, suara jeritan ngeri sudah berkumandang memenuhi angkasa.
Jie-Oh yang berada jauh lebih dekat dengan gadis tersebut sudah kena terbabat mati oleh sambaran pelangi berwarna keemas-emasan tersebut.
Bagaimanapun Hay Thian Sin Shu mempunyai pengalaman sangat luas, begitu mendengar suara bentakan ari Leng Poo Sianci tadi, laksana kilat ia sudah melancarkan serangan menotok jalan darah dari Ngo Oh kemudian mengempit badannya dan meloloskan diri dari lingkungan cahaya pedang.
"Kau jangan bergurau, ayoh cepat berhenti!" bentaknya keras.
Ketika Leng Poo Sianci berhasil membabat mati Jie Oh dan mendengar pula suara bentakan tersebut dengan cepat ia menarik kembali pedangnya ke belakang, dengan sepasang
mata dipentangkan lebar-lebar ujarnya keheranan, "Mengapa mereka tidak boleh dihukum mati?"
"Bunuh memang harus dibunuh, tapi harus tinggali satu untuk ditanyai!"
Dengan amat gusar Hay Thian Sin Shu melotot sekejap ke arah putrinya, kemudian ia membanting tubuh Ngo Oh keras keras ke atas tanah.
"Heee.... heee.... heee.... kau kenal siapakah Loohu?"
serunya sambil tertawa dingin.
Saat itulah Ngo Oh baru mengenal kembali bilamana si orang tua tersebut bukan lain adalah nenek moyang dari para jago di kalangan Hek, Hay Thian Shu adanya.
Saking takut dan terperanjatnya seluruh tubuhnya gemetar sangat keras.
"Noow.... kii....ranya, Cha Loocianpwee maaf hamba tidak tahu!" serunya gelagapan.
"Hmm! Sejak kapan kau menggabungkan diri dengan pihak Isana Kelabang Emas?"
"Belum sampai dua, tiga bulan."
"Bagaimana dengan gerakan pihak Isana Kelabang Emas pada waktu dekat ini?"
"Siauw jien cuma tahu mereka tiada hentinya mengirim jago-jago lihay menuju daerah Tionggoan, karena urusan apa Siauw jien tidak berhasil mengetahuinya."
"Ehmm....! Apakah pihak Isana Kelabang Emas pernah mengungkap soal Cu Swie Tiang Cing, Tan Cu Lian?"
"Urusan yang sangat penting ini siauw-jien semakin tidak tahu."
Tan Kia-beng mengerti bila apa yang diucapkan oleh Ngo-Oh ini adalah perkataan yang benar, sambungnya mendadak,
"Seorang petugas keamanan yang baru saja diterima sebagai anggota bagaimana mungkin bisa tahu urusan sebegitu banyak?"
Dengan dingin Hay Thian Sin Shu mendengus, mendadak tangannya diayunkan ke atas kemudian menekan ke arah bawah.
Terdengarlah suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memenuhi angkasa, tahu-tahu Ngo-Oh sudah kena terhajar oleh angin pukulannya sehingga darah segar mengucur keluar dari tujuh lubang, nyawanya seketika itu juga melayang meninggalkan raganya.
Terhadap perbuatan Hay Thian Sin Shu yang suka
membunuh ini, dalam hati Tan Kia-beng merasa sangat tidak puas. Dengan cepat ia merangkap tangannya menjura.
"Setelah mengetahui berita yang menyangkut soal suhuku, cayhe kepingin sekali cepat-cepat berangkat untuk mengadakan pertemuan, baiklah aku orang she Tan mohon diri terlebih dulu." katanya.
"Tunggu sebentar! Aku berangkat bersama-sama dirimu,"
mendadak Leng Poo Sianci berseru dari samping.
Mendengar perkataan itu Tan Kia-beng kerutkan alisnya rapat-rapat.
"Kepergianku kali ini harus menempuh keadaan yang sangat berbahaya sekali, lebih baik nona jangan ikut pergi"
katanya. "Heee.... heee.... kau kira aku bisa menjegal kakimu ya....?"
teriak Leng Poo Sianci sambil tertawa dingin tiada henti.
"Hmm!! Jangan menganggap kau adalah seorang manusia yang luar biasa. Kau tidak suka mengajak aku pergi aku bisa berangkat sendiri."
Kedua buah kuncirnya dikebaskan kesamping, dengan sangat marah ia putar badan dan berlari masuk ke dalam gua.
Tan Kia-beng yang dikatai demikian dalam hati merasa serba susah dan tidak enak.
"Buat apa kau harus bersikap demikian?" katanya sambil tertawa malu-malu.
"Aaah....! buat apa kau perduli dirinya" kau cepatlah pergi!"
seru Hay Thian Sin Shu buru-buru. "Ingat! suhumu berada dikuil Bu Lah sie dengan sebutan Im Yen!"
Tan Kia-beng mengangguk mengiakan setelah merangkap tangannya menjura ia lantas meloncat naik ke atas kudanya dan melanjutkan perjalanan menuju ke arah utara.
Sejak memperoleh berita yang menyangkut keselamatan suhunya, semangat Tan Kia-beng kembali berkobar.
Disamping itu iapun sudah menghilangkan sebuah batu yang mengganjel hatinya.
Selama di tengah perjalanan kali ini ia melarikan kudanya cepat-cepat menuju kekuil Bu Lah Sie.
Di daerah Gurun Pasir jarang sekali kelihatan orang melakukan perjalanan, selama di dalam perjalanan kali ini jarang sekali pemuda dengan sesosok manusiapun.
Pada saat itulah mendadak sinar matanya dapat menemui sesosok bayangan kuda yang secara samar-samar berlari kebalik tumbuhan alang-alang kemudian lenyap tak berbekas hatinya merasa sangat curiga.
"Hmmm! jika ada orang hendak mencari gara-gara dengan diriku, akan kusuruh dia merasakan kelihayanku," pikirnya di dalam hati.
Hawa murninya segera disalurkan mengelilingi seluruh tubuh, telapak tangannya diam-diam dilintangi ke depan siap-siap melancarkan serangan.
Tidak selang beberapa saat kemudian sampailah pemuda itu disisi tumbuhan alang tadi, selagi ia bersiap-siap hendak melakukan pemeriksaan dengan teliti mendadak dari tumbuhan alang-alang terdengarlah suara tertawa cekikikan yang amat merdu.
Sinar matanya dengan cepat berkelebat, tetapi sebentar kemudian pemuda tersebut sudah dibuat melengak.
Kiranya orang itu bukan lain adalah Leng Poo Sianci, si gadis nakal tersebut. Pada saat ini ia sedang berbaring di atas alang-alang sambil memandang ke arahnya tertawa,
"Eeei.... mengapa kau ikut datang?" tegurnya kemudian dengan alis yang dikerutkan.
"Ehmmm.... kau boleh kemari, lalu apa aku tidak boleh ikut datang kesini?" seru Leng Poo Sianci sambil mencibirkan bibirnya.
"Bukannya aku melarang kau datang kemari, sebaliknya aku tidak ingin kau ikut menempuh bahaya."
"Hmmm! aku senang sekali! buat apa kau ikut mengurusi diriku?"
Terhadap gadis yang nakal ini agaknya Tan Kia-beng tak dapat berbuat apa-apa, dengan gusar ia mengempit perut kudanya kemudian melanjutkan perjalanan cepat ke arah depan tanpa memperduli dirinya lagi.
"Eeeiii.... eeeii.... kau tunggu sebentar. Aku ada perkataan yang hendak kusampaikan kepadamu" mendadak terdengar Leng Poo Sianci berteriak keras dari arah belakang.
Mendengar suara teriakan tersebut terpaksa Tan Kia-beng menahan tali les kudanya kembali.
Sedang Leng Poo Siancipun menggunakan kesempatan itu untuk berlari mengejar.
"Eeeii.... kau marah?" tanyanya takut-takut, lagaknya mirip seorang bocah yang telah melakukan kesalahan.
"Kenapa aku harus marah?"
"Ehmm....! kalau tidak marah kenapa kau tidak menggubris diriku?"
"Bukannya aku tidak mau menggubris dirimu, aku tak mengharapkan kau suka ikut aku dan pergi menempuh bahaya."
"Kau tidak mengharapkan aku pergi menempuh bahaya seorang diri?"
"Heeei....!" perlahan-lahan Tan Kia-beng menghela napas panjang. "Aku berbuat demikian demi suhuku beserta keselamatan dari beratus ratus orang jago-jago Bulim. Aku harus pergi menempuh bahaya!"
"Lalu kau anggap tindakan itu benar" kau pergi menempuh bahaya demi suhumu dan ak upergi menempuh bahaya demi kau bukankah hal ini cocok sekali" Eeei.... kau boleh berlega hati! Aku masih bisa menjaga diriku sendiri, kau tidak perlu merasa khawatir buat keselamatanku."
Sikapnya terhadap Tan Kia-beng sangat mesra melebihi hubungan kawan yang diakrabi bahkan tanpa sungkan sungkan sudah mengucapkan kata-kata tersebut, hal ini
membuat Tan Kia-beng tak bisa berbuat apa apa lagi dan terpaksa cuma bisa menghela napas panjang.
"Orang semacam kau tentu mempunyai banyak kawan bukan?" sambung Leng Poo Sianci lebih lanjut. "Oouw....!
Sekarang aku sudah tahu, tentunya kau tidak suka aku berada disisimu bukan"...."
"Huusss....! Kau jangan berpikir dan berbicara sembarangan," potong Tan Kia-beng sambil menggeleng. "Aku hanya tidak ingin kau ikut pergi menempuh bahaya, bilamana sampai terjadi sesuatu peristiwa maka kau suruh aku berbuat apa untuk mempertanggung jawabkan persoalan ini
dihadapan ayahmu?"
"Haah. kalau kau sudah bicara begitu, aku bisa merasa berlega hati sudah!" teriak Leng Poo Sianci sambi lmeloncat kegirangan.
Maksud hati dari Tan Kia-beng yang sebenarnya tidak ingin membawa serta dirinya tetapi sekarang gadis tersebut sudah datang, pemuda tersebut jadi tak ada alasan lagi untuk menolak!
Ia merasa nona ini amat cantik tetapi kasar dan mau menang sendiri, bahkan gemar membunuh. Sikapnya sama sekali berbeda dengan Pek Ih Loo Sat maupun Mo Tan-hong.
Disamping itu iapun merasa bila membawa serta gadis tersebut maka hal ini hanya mendatangkan kerepotan saja buat dirinya.
Selama di dalam perjalanan pergaulan mereka berdua makin lama semakin akrab, ada kalanya Tan Kia-beng pun menceritakan hal hal yang lucu dan menggelikan sehingga sering sekali membuat si gadis tersebut bertepuk tangan
kegirangan. Lagaknya mirip sekali dengan seorang nona cilik yang lincah dan polos.
Disebabkan "Leng Poo Sianci" Cha Giok Yong sudah sangat lama berdiam diluar perbatasan, terhadap jalanan disekitar sana ia sangat hafal sekali. Beruntung sekali membawa serta gadis ini sehingga pemuda itu tidak sampai salah jalan.
Hari itu, kuil Bu Lah Sie sudah berada di depan mata. Tan Kia-beng yang disebabkan sebentar lagi akan bertemu muka dengan suhunya dalam hatinya merasa sangat girang Hampir tiga tahun lamanya ia belum pernah menemui suhunya, untuk sekali dia orang tua berada dalam keadaan sehat walafiat bagaimana hal ini tidak membuat dia jadi kegirangan"
Tidak sampai beberapa saat kemudian sampailah mereka di depan kuil Bu Lah Sie
Kuil tersebut adalah sebuah kuil besar yang angker dan megah, begitu tiba di depan pintu Tan Kia-beng tak dapat menahan sabar lagi, ia segera meloncat turun dari kudanya kemudian langsung menerjang masuk ke dalam pintu kuil.
Siapa sangka.... baru saja kakinya melangkah masuk ke dalam pintu kuil tersebut di dalam benaknya terlintaslah suatu bayangan hitam yang tak beres.
Ia menemukan kuil yang amat sunyi, tenang dan keren ini sama sekali tak mendatangkan bau harum dupa
sembahyangan, sebaliknya secara samar-samar menyiarkan bau amis darah yang memuakkan.
Dengan hati yang kebat kebit dan tidak tenang, Tan Kia-beng segera menerjang masuk ke dalam ruangan besar, berputar keberanda....
Mendadak.... Suatu pemandangan yang sangat mengerikan dan
mendebarkan hati, hampir hampir saja merenggut hatinya meloncat keluar dari mulut. Terlintaslah di dalam halaman yang luas mayat mayat hweesio berserakan dan
bergelimpangan memenuhi seluruh permukaan tanah.
Potongan lengan, buntungan kaki, kucuran darah segar berceceran mengotori seluruh tempat, pemandangan yang amat mengerikan ini benar-benar membuat setiap orang merasa bergidik.
Kendati Tan Kia-beng memiliki kepandaian serta tenaga Sin Kang yang maha dahsyat tak urung dibuat tertegun juga setelah melihat kejadian yang sangat mengerikan ini.
"Suhuku sudah cukur gundul dan menjadi hweesio di dalam kuil ini," pikirnya diam-diam. "Mungkinkah iapun ikut terbunuh di antara mayat mayat hweesio yang berserakan ini?"
Ketika itu Leng Po Siancipun sudah ikut datang ke dalam halaman tersebut. Walaupun dia adalah seorang gadis yang benci akan kejahatan dan tindakannya kejam serta telengas, tetapi setelah melihat pembunuhan secara besar besaran terhadap satu, dua ratus orang hweesio tidak urung saking kagetnya seluruh paras mukanya berubah menjadi pucat pasi bagaikan mayat.
Bagaimanapun ia yang cuma bertindak sebagai penonton jauh lebih cepat berhasil menenangkan pikirannya dari pada Tan Kia-beng, dengan besarkan nyali ujarnya kemudian sambil tepuk tepuk pundak pemuda tersebut.
"Kau kuatir suhumu ikut terbunuh?" tegurnya, "Menurut penglihatanku dengan kepandaian silat yang dimilikinya
sekalipun tak berhasil menangkan musuh, untuk
mengundurkan diri rasanya masih sanggup!...."
Diingatkan oleh perkataan tersebut Tan Kia-beng menjadi tersadar kembali, ia merasa perkataan tersebut sedikitpun tak salah.
"Menurut penglihatanku," sambung Leng Poo Sianci lebih lanjut, "para hweesio yang kena dibunuh kebanyakan adalah para hweesio yang tak berilmu. Bilamana mereka
berkepandaian mengapa disekitar sini tidak kelihatan adanya bekas bekas suatu pertarungan?"
Pada waktu itu darah panas sudah bergolak diseluruh tubuh Tan Kia-beng, hawa gusarnya sudah memuncak sampai pada taraf yang tak terkendalikan lagi.
Mendadak ia tertawa keras dengan seramnya.
"Haaa.... haaa.... haa.... bajingan bangsat!.... Tindakan kalian sungguh kejam sekali, terhadap anak murid kaum Buddha yang tidak tahu urusanpun kalian sudah turun tangan kejam. Tidak perduli suhuku sudah terbunuh atau belum, pokoknya dendam berdarah akan mewakili arwah arwah para hweesio dari kuil Bu Lah Sie ini menuntut balas."
Agaknya Leng Poo Sianci pun kena terpengaruh oleh semangat serta nadanya yang penuh kesedihan ini.
"Aku Leng Poo Sianci pun akan ikut satu bagian di dalam pembalasan dendam ini!" teriaknya keras.
Baru saja mereka selesai berseru, tiba-tiba
"Heee.... heee.... heee.... aku takut patung arca tanah liat sukar melewati sungai, untuk melindungi kalian sendiripun tidak tentu bisa berhasil," dari balik ruangan kuil tersebut
berkumandang keluar suara yang amat dingin dan
menyeramkan menyambut perkataan mereka.
"Siapa?" bentak Tan Kia-beng keras, tubuhnya dengan kecepatan laksana sambaran kilat berkelebat ke depan disusul Leng Poo Sianci dari belakang.
Setelah masuk ke dalam kuil maka tampaklah di atas meja sembahyang duduk seorang manusia aneh berbaju hitam dengan rambut kuning seperti alang alang panjang terurai sepundak, wajahnya berwarna hijau menyeramkan, sedikitpun tak kelihatan arah maupun daging sehingga persis mirip sesosok kerangka manusia. Sepasang tangannya yang kurus hitam dan berkuku seperti kuku burung garuda tersilang didelan dada.
Bilamana bukannya dari sepasang matanya yang jauh lebih menjorok ke dalam itu memancarkan cahaya ekhijau hijauan, boleh dikata orang akan menyangka dia hanyalah sesosok mayat kering belaka.
Leng Poo Sianci si gadis cilik itu setelah menemui keanehan dari orang tersebut, hatinya terasa berdebar sehingga tanpa terasa lagi ia sudah mundur dua langkah ke belakang.
Sebaliknya air muka Tan Kia-beng sangat tawar, sedikit perubahanpun tidak kelihatan.
"Apakah kau yang membasmi Hweesio penghuni kuil ini?"
tegurnya dingin.
---ooo0dw0ooo--JILID: 3 "Heee.... heee.... heee.... Sudah tentu bukan orang lain, memang benar Loohu yang turun tangan!"
"Mereka mempunyai dendam sakit hati apa dengan dirimu?"
"Barang siapa yang berani menyalahi loohu, semuanya akan kuhukum mati. Termasuk kalian berduapun tidak terkecuali."
Begitu selesai si orang aneh itu berbicara Leng Poo Sianci sudah mencabut keluar pedangnya sambil membentak keras,
"Bangsat busuk! setan mayat hidup, Nona akan cabut nyawamu!"
Tubuhnya mencelat ke depan siap melancarkan serangan, tetapi keburu ditahan oleh Tan Kia-beng.
"Tunggu sebentar, biar aku tanyai dirinya terlebih dulu!"
serunya. Perlahan-lahan ia menoleh ke arah si manusia aneh tersebut kemudian tanyanya, "Siapakah sebenarnya dirimu?"
apakah kau dikirim oleh orang-orang Isana Kelabang Emas?"
"Loohu adalah 'Kui So Siang Ong' atau si kakek dewa bertangan setan Im Khei, telah lama aku si orang tua dengar dari perguruan Teh Leng Kauw sudah muncul seorang bocah cilik yang menimbulkan gelombang di dalam dunia kangouw, mungkin orang itu adalah kau bukan?"
Perlahan-lahan ia menoleh ke arah Leng Poo Sianci, kemudian tertawa seram bagaikan suara kuntilanak.
"Heee.... heee....hee.... kau bocah perempuan berani juga memaki secara begitu kurang ajar terhadap aku si kakek dewa bertangan setan.... kurang ajar.... memang kau sudah bosan hidup!" teriaknya.
Mendadak sang tangan diayunkan ke depan, Leng Poo Sianci segera merasakan pergelangan tangannya jadi kaku dan tegang, pedang pendeknya tahu-tahu sudah terlepas dari
cekalan kemudian meluncur ke arah tangan si Kui So Sian Ong.
Saking kagetnya ia menjerit keras, badannya buru-buru mencelat ke depan siap-siap merebut pedangnya kembali.
Sekonyong-konyong....
Dari samping meluncur datang segulung angin pukulan yang amat halus menghadang di tengah jalan.
Daya hisap yang sedang menarik pedang pendek itu
menjadi lemas kembali dan jatuh ke atas tanah.
Belum sampai pedang itu mengenai tanah kebetulan tubuh Leng Poo Sianci sudah meluncur datang, dengan cepat tangannya menyambar mencekal kembali pedangnya.
"Heee.... heee.... heee.... tidak nyana ternyata kau masih mempuny
Bentrok Rimba Persilatan 15 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Pendekar Sadis 9

Cari Blog Ini