Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 8
dia berlari keluar ruangan.
Untuk beberapa saat lamanya Ting Tong-ih berdiri
tertegun, dia merasa bimbang, merasa ragu, apa yang harus
diperbuatnya sekarang" Mencari gadis itu dan menghiburnya"
Baru saja dia berniat mencari Siau-sim, tiba-tiba cahaya
ruangan terasa gelap dan sesosok tubuh tinggi besar telah
muncul di hadapannya, berdiri di depan pintu tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
Ting Tong-ih segera berpaling dan dia pun menyaksikan
Tong Keng sudah berdiri di hadapannya dengan wajah
gelisah. Mimik muka lelaki itu sangat aneh, setelah berdiri sesaat
dengan bibir gemetar, tiba-tiba ia menubruk maju,
memeluknya sambil berbisik, "Aku..."
Kemudian dia pun menciumi perempuan itu secara kalap,
menciumi seluruh tubuhnya, menciumi seluruh wajahnya.
Saat ini dada Tong Keng yang bidang menempel rapat
payudara Ting Tong-ih yang hanya tertutup selembar baju
tipis. Kekenyalan, kelembutan dan montoknya payudara
seketika membuat seluruh tubuh Tong Keng terbakar,
napasnya mulai kasar, dengus napasnya mulai tersengal.
Bagaimana pun juga Ting Tong-ih adalah seorang wanita
dewasa yang sudah matang, ciuman dan pelukan Tong Keng
segera membangkitkan pula napsu birahinya.
Perempuan itu mulai memejamkan matanya, mulai
merintih, mendesis, "Oooh, Kwan Hui-tok!"
Sekujur tubuh Tong Keng seketika membeku, seketika
menjadi kaku, peredaran darahnya yang semula cepat dan
mendidih seketika menjadi dingin lalu membeku. Seluruh
napsunya hilang, bahkan kini dia mulai berdiri dengan tubuh
gemetar. Pada saat itulah Ting Tong-ih mulai melepaskan
pelukannya, menyeka air liur yang tertinggal di bibirnya dan
memandang wajahnya dengan pandangan sayu.
Tong Keng sangat tersiksa, merasa amat menderita,
desisnya, "Nona Ting, aku..."
Sambil menuding sebatang hio yang terletak di atas meja,
tukas Ting Tong-ih, "Dalam hidupku kini, hatiku hanya milik
dia seorang!"
"Maaf..." Tong Keng mengepal tinjunya, kulit mukanya
mengejang keras.
"Kau tak perlu minta maaf," kata perempuan itu lembut,
"aku hanya wanita murahan yang sudah sering tidur dengan
kaum pria, siapa pun orangnya, asal dia suka dan aku pun
suka, setiap saat kita bisa tidur bersama, setiap kali bisa
berhubungan badan, tapi hatiku hanya untuk Kwan-toako
seorang." Kemudian sambil menatap wajah Tong Keng, lanjutnya,
"Kau sudah memiliki nona Ko, dia adalah seorang gadis yang
baik, gadis semacam itulah yang pantas menjadi pasangan
hidupmu. Jangan gara-gara kehadiranku, hubungan kalian
yang baik menjadi berantakan."
"Aku..." Tong Keng merasa tenggorokannya kering.
Ting Tong-ih mengalihkan pokok pembicaraan, katanya,
"Apakah di tempat ini masih terdapat perusahaan piaukiok
lain, maksudku piaukiok yang sudah dibuka sejak tujuh
delapan tahun?"
Tong Keng berpikir sejenak, dengan susah payah akhirnya
baru menjawab, "Perusahaan piaukiok ... rasanya yang cukup
lama hanya ada satu ... perusahaan lain rasanya tak ada yang
tahan lama ... Oya, Li-piauthau telah membuka perusahaan
ekspedisi, tapi perusahaannya baru berjalan beberapa bulan"
Beberapa saat Ting Tong-ih termangu, sesudah berpikir
sejenak katanya, "Berarti di perusahaan ini terdapat seorang
marga Kwan yang berusia antara dua puluh tahunan,
mempunyai sebuah tahi lalat di atas alis matanya."
"Punya tahi lalat di atas alis matanya," Tong Keng tertegun,
meskipun ciri itu gampang dikenal namun untuk sesaaat dia
tak menemukan seseorang dengan ciri semacam itu.
Akhirnya Ting Tong-ih menambahkan, "Dia bernama Kwan
Ci." "Kwan Ci" Kwan Siau-ci!" Tong Keng melompat kaget,
"Kwan Siau-ci adalah si ketapel cilik!"
Ting Tong-ih turut dibuat terperanjat. "Jadi si ketapel cilik
adalah..."
"Ya, tapi sekarang si ketapel cilik telah menjadi seorang
petugas keamanan di kantor pengadilan!"
"Menjadi petugas keamanan di kantor pengadilan"
Maksudmu..."
"Tentu saja dia menjadi seorang opas!"
Segera Ting Tong-ih masuk ke dalam kamar, berganti
pakaian, mengambil pedang dan mengenakan mantel ungu
sambil bersiap pergi dari situ.
"Nona Ting, mau kemana kau?" segera Tong Keng
menegur. Dengan wajah dingin bagaikan salju, ujar Ting Tong-ih,
"Kwan-toako paling menguatirkan keselamatan adiknya, dia
hanya mempunyai seorang adik yang amat disayanginya, aku
tak boleh membiarkan dia menderita atau mengalami sesuatu
kejadian yang tak diinginkan."
Tong Keng ingin menghalanginya, namun tak tahu
bagaimana harus bicara.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Ko Hong-liang berkata,
"Nona Ting, kalau sampai kami pun tidak mengetahui lelaki
yang setiap dua tiga bulan sekali datang menjenguk adalah
Kwan-tayhiap, aku rasa pihak keamanan serta pengadilan pun
tak bakal mengetahui rahasia ini, untuk sementara waktu
keselamatan Kwan Siau-ci tak akan ada masalah."
Melihat Ko Hong-liang suami istri telah muncul di situ, dia
pun merasa kurang leluasa untuk memaksakan kehendaknya,
katanya, "Kwan-toako tahu namanya kurang baik di luaran,
maka dia tak ingin adiknya tahu dia mempunyai seorang kakak
yang menjadi perampok."
"Heran, kenapa selama ini aku pun tak pernah melihat
Kwan-toako datang menjenguk si ketapel," gumam Tong Keng
termangu. "Aaah, kau kan cuma pintar menggali lubang," goda Kohujin
sambil tertawa, "mana sempat memperhatikan tamu
yang datang?"
"Padahal Kwan-tayhiap adalah seorang pendekar sejati, dia
pun seorang perampok budiman," sambung Ko Hong-liang,
"oleh karena pihak pemerintah membencinya maka mereka
mencap dia sebagai perampok. Siau-ci memang masih muda,
namun dia bukan orang bodoh yang tak bisa memilah-milah,
semestinya Kwan-tayhiap tak perlu mengelabui adiknya!"
Ting Tong-ih menghela napas panjang.
"Kwan-toako selalu berharap adiknya bisa lebih berjaya
ketimbang dirinya, dulu Kwan-toako berasal dari keluarga
ningrat, karena dicelakai orang, rumah tangganya hancur
berantakan, terpaksa Kwan-toako pun menjadi perampok
budiman, tapi ia tetap berharap suatu saat keturunan keluarga
Kwan akan muncul seorang yang bisa menjayakan kembali
nama keluarganya."
"Nona Ting, aku sangat memahami perasaanmu," kata Ko
Hong-liang dengan tulus, "selesai bersantap malam nanti, aku
pasti akan mengajakmu menyusup ke kantor pengadilan, aku
rasa kau belum pernah bertemu Siau-ci bukan" Kalau ada aku
sebagai perantara, urusan tentu akan lebih gampang."
"Kalau begitu, baiklah."
"Kokcu!" tiba-tiba Tong Keng berseru.
"Ada apa?"
"Selesai bersantap malam nanti, aku juga ingin ikut!"
Sebenarnya Ko Hong-liang tidak berniat mengajak dirinya,
namun melihat keinginan Tong Keng, terpaksa dia pun
mengabulkan permintaannya.
Meskipun penghuni kantor pengadilan sudah kabur, namun
di situ masih tersedia banyak bahan makanan, tiga orang
sedang memanggang daging, bau harum membuat seluruh
ruangan terasa lebih hangat.
"Menurut pendapatmu, lukisan tengkorak sebetulnya benda
macam apa?" kata Leng-hiat, "kenapa bisa membuat Li Ok-lay
ketakutan" Apa pula hubungannya dengan perusahaan
ekspedisi Sin-wi-piau-kiok?"
"Aku sendiri pun tidak tahu," sahut Li Hian-ih, "tapi aku
dengar pendiri perusahaan Sin-wi-piau-kiok, Ko Hway-sik,
mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan Menteri
sekretaris negara saat itu, Sik Hong-sian, sementara Sikthayjin
berseteru dengan perdana menteri Hu, Li-thayjin
adalah orang kepercayaan perdana menteri Hu, jadi urusan ini
... mungkin ada keterkaitan."
"Aku sama sekali tak paham dengan pertikaian antar
pejabat Negara," seru Kwan Siau-ci.
"Jika tidak paham, kenapa mesti jadi petugas negara?" seru
Li Hian-ih sambil tertawa.
"Justru karena tak paham maka aku menjadi petugas
Negara." "Oya?"
"Kakakku pernah bilang, bila aku sudah tahu urusan maka
tirulah yang baik dan hindarilah yang jelek," kata Kwan Siau-ci
dengan mata berkilat.
"Siapa sih nama kakakmu yang luar biasa itu?" tanya Lenghiat
sambil tertawa.
"Kwan Hui-tok!"
Leng-hiat maupun Li Hian-ih berseru tertahan.
Melihat perubahan aneh di wajah kedua orang itu, Kwan
Siau-ci ingin memberi penjelasan, tapi pada saat itulah dari
atas tiang penglari terdengar seseorang berseru, "Ternyata tak
malu disebut Raja opas dan opas kenamaan, ternyata jejakku
sudah kalian ketahui."
Paras muka Leng-hiat maupun Li Hian-ih berubah hebat, di
antara lidah api yang bergoyang tersampuk angin, tampak
sesosok bayangan manusia meluncur turun dari atas tiang
penglari, ternyata dia adalah Li Ok-lay.
Begitu orang itu muncul, seluruh ruangan terasa berubah
menjadi lebih kecil, lebih gelap dan lebih pendek.
Sebilah pedang berwarna hijau tersoreng di punggungnya,
cincin batu kemala yang melingkar di jari tangannya
membiaskan cahaya yang menyilaukan mata, kemunculan
orang ini benar-benar ibarat munculnya sesosok bayangan
setan dari balik kegelapan.
Begitu muncul, dengan senyuman masih menghiasi
wajahnya ia menyapa, "Saudara Li, tempo hari aku tak
berhasil mengenalimu sebagai Raja opas Li Hian-ih yang nama
besarnya telah menggetarkan sungai telaga, mohon kau sudi
memaafkan."
"Aku pun minta maaf karena dalam pertemuan tempo hari
tidak memberi hormat padamu," sahut Li Hian-ih hambar.
Mereka berdua merasa terperanjat sekali ketika
menyaksikan Li Ok-lay secara tiba-tiba muncul dari balik tiang
penglari, seandainya waktu itu Li Ok-lay melancarkan
serangan bokongan, mungkin siapa pun di antara mereka tak
ada yang mampu menghadapinya.
Yang membuat mereka keheranan adalah mengapa Li Oklay
muncul karena merasa jejaknya telah mereka ketahui"
Rupanya sewaktu Leng-hiat berdua berseru tertahan
karena kaget mendengar Kwan Siau-ci menyebut nama
kakaknya, secara kebetulan Li Ok-lay yang bersembunyi di
atas tiang penglari sedang meraba gagang pedangnya siap
melancarkan serangan bokongan.
Baru saja pedangnya dicabut setengah, dia pun mendengar
suara teriakan kaget Leng-hiat berdua.
Li Ok-lay menyangka suara tarikan pedangnya telah
ketahuan lawan, karena tak yakin sergapannya akan berhasil,
maka dia pun muncul dari tempat persembunyiannya.
"Saudara Li, padahal kita berdua mempunyai hubungan
yang sangat erat, kenapa kau mesti bersikap sungkan
padaku," ujar Li Ok-lay.
"Oya?"
"Saudara Li dan aku sama-sama bekerja di bawah perintah
perdana menteri Hu, berarti kita adalah sesama rekan kerja.
Putra saudara Li pun sudah lama hidup bersamaku, selama ini
aku sudah menganggapnya bagai anak kandung sendiri,
berarti di antara kita berdua sudah terjalin hubungan keluarga.
Aaai, sayangnya putramu mati terbunuh di tangan orangorang
Sin-wi-piau-kiok dan perguruan Bu-su-bun, untuk
membalaskan dendam kematian putramu ini, kita sudah
seharusnya bersatu-padu, sebab musuh yang harus kita
hadapi adalah sama."
Leng-hiat yang mendengar uraian itu menjadi sangat
terkejut, dia tak menyangka Li Wan-tiong ternyata adalah
putra tunggal Li Hian-ih, sementara Li Ok-lay hanya
memelihara serta mendidiknya.
Kedekatan hubungan antara Li Hian-ih dan Li Ok-lay benarbenar
di luar dugaan Leng-hiat, ternyata Li Ok-lay pun baru
kali pertama ini bertemu muka dengan Li Hian-ih.
Terdengar Li Hian-ih bertanya, "Apakah Wan-tiong adalah
orang yang menyiksa narapidana, menguliti tubuh mereka
serta membuat lukisan tengkorak?"
"Benar!" jawab Li Ok-lay tenang.
"Sewaktu Wan-tiong terbunuh, apakah dia sedang
menyiksa Tong Keng bahkan mencelakai Kwan Hui-tok hingga
tewas?" "Rasanya memang begitu," jawab Li Ok-lay lagi setelah
berpikir sejenak.
"Berarti uang pajak yang dikawal Sin-wi-piau-kiok dirampok
oleh si Tua tak mau mati beserta seorang jago tangguh
lainnya atas perintahmu?"
Leng-hiat tertegun, dia tak menyangka Li Hian-ih bakal
mengajukan pertanyaan secara langsung dan blak-blakan.
"Betul, seorang jago yang lain adalah Gi Ing-si."
"Kemudian kau telan sendiri uang pajak hasil rampokan itu
dan memerintahkan rakyat menyetor uang pajak untuk kedua
kalinya?" "Benar!" ternyata Li Ok-lay mengakui berterus terang.
"Kenapa kau mesti memfitnah Sin-wi-piau-kiok?"
"Dulu ketika Sik Hong-sian masih berkuasa, dia pernah
mengancam dan memojokkan posisi Hu-thayjin, kini Sik Hongsian
sudah disingkirkan, tentu saja semua sisa ancaman dan
bibit bencana di masa lalu harus dibasmi hingga keakarakarnya."
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebenarnya di tubuh Ko Hway-sik terdapat rahasia apa"
Kenapa kalian bersikeras ingin mendapatkannya?" tanya Li
Hian-ih lebih jauh.
Sambil menggendong tangan Li Ok-lay memperhatikan
kedua orang itu sekejap, kemudian ujarnya, "Bila aku tidak
menceritakan rahasia ini, jangan harap kalian bisa
mengetahuinya sekalipun sampai mati."
"Tapi aku percaya kau akan menceritakannya malam ini,"
jawab Li Hian-ih yakin.
"Oya" Masa aku tak boleh membungkam?"
"Kecuali malam ini kau tak muncul di sini, sekarang kau
sudah dating, berarti hanya ada dua jalan untuk kau pilih.
Pertama, bunuh kami berdua untuk menghilangkan saksi dan
yang kedua, menyuap kami agar menyimpan rahasia ini."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Sebab kami sudah
memegang banyak bukti kesalahanmu."
"Lantas kau suruh aku memilih jalan yang mana?" tanya Li
Ok-lay. ooOOoo 34. Pedang Sepasang Tangan.
Li Hian-ih tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya malah
berkata lagi, "Sekarang kau pun hanya mempunyai dua jalan
yang bisa dipilih."
"Coba katakan."
"Pertama, yaitu membunuh kami berdua, membunuh
orang-orang Sin-wi-piau-kiok, membunuh semua saksi hidup.
Kedua, bunuh diri atau segera kembali ke kotaraja dan minta
maaf kepada Hu-thayjin sambil menunggu hukuman darinya."
"Tahukah kau bagaimana akibat yang harus diterima orang
yang gagal melaksanakan tugas yang dibebankan Hu-thayjin
kepadanya?" tanya Li Ok-lay sambil tertawa, tiba-tiba sorot
mata tajam memancar keluar dari matanya dan beradu
dengan sorot mata Li Hian-ih.
"Itulah sebabnya, terlepas siapa yang bakal mati malam ini,
kau sudah seharusnya membongkar rahasia ini, toh andaikata
kami yang mati, rahasia itu akan ikut terpendam di dalam
tanah liat, sebaliknya bila kau yang mati, masalah rahasia ini
terbongkar atau tidak, paling hanya menyangkut Hu-thayjin,
sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirimu lagi."
"Bagaimana kalau aku hanya berhasil membunuh salah
satu di antara kalian sementara yang lain berhasil kabur dan
membocorkan rahasia ini?" tanya Li Ok-lay lagi.
"Sudahlah, mau bicara atau tidak terserah padamu," tukas
Li Hian-ih dingin.
"Tahu tidak, aku paling mengagumi akan satu hal pada diri
kalian," tiba-tiba Li Ok-lay berkata.
Li Hian-ih maupun Leng-hiat tidak bertanya, dengan
mengucapkan perkataan itu mereka tahu Li Ok-lay pasti akan
melanjutkan perkataannya.
"Tampaknya Ni Jian-ciu telah mengikuti perkataan dan
bujukan kalian sehingga dalam situasi yang amat kritis dan
penting dia telah pergi meninggalkan aku."
"Bukan menuruti perkataan kami, tapi saudara angkatnya
yang telah menemukan kembali dirinya," sambung Leng-hiat.
"Maksudmu saudara angkatnya yang keji dan tega itu?"
tanya Li Ok-lay dengan kening berkerut dan tercengang.
"Dia memang berbuat jahat dan sesat lantaran saudarasaudaranya
berkhianat dan meninggalkan dirinya."
Li Ok-lay tertunduk sedih.
"Kalian masih ingat Hong Yu-kang, ajudan menteri
peperangan pada masa lalu?" dia bertanya.
Li Hian-ih maupun Leng-hiat tidak mengerti mengapa dia
mengajukan pertanyaan itu, karena itu mereka hanya
mengangguk tanda tahu.
"Dulu, Hu Tiong-su, Hong Yu-kang dan Cukat-sianseng
adalah tiga orang kepercayaan mendiang kaisar, kemudian
ketika mendiang kaisar mulai mencelakai banyak pembesar
setia hingga menimbulkan pergolakan, ketiga orang ajudan ini
menyadari kalau gelagat tidak menguntungkan, melihat
pemerintah kerajaan terjerumus dalam kondisi kritis dan
berbahaya, sementara mereka sendiri pun sulit menjaga
keselamatan diri sendiri dimana setiap saat kemungkinan
besar bisa ikut dimusnahkan, maka ketiga orang ajudan kaisar
inipun merencanakan sebuah pemberontakan."
Leng-hiat maupun Li Hian-ih tidak menyangka kalau Li Oklay
bakal menceritakan sebuah rahasia besar yang begitu
mengerikan dan menggetarkan, untuk sesaat mereka berdiri
tertegun. "Ketiga orang ini membuat rencana yang amat teliti dan
seksama, mereka mempersiapkan sebuah rencana untuk
mencopot kaisar lama dengan kaisar baru. Oleh sebab itu
semua tempat strategis khususnya dimana ada pemusatan
pasukan dituangkan dalam sebuah peta, di samping itu
mereka pun mulai membahas langkah dan gerakan cepat
untuk bisa mengumpulkan kekuatan, peta rahasia ini
mencakup semua tempat penting, tempat rahasia dan tempat
strategis yang ada dalam istana sehingga boleh dibilang peta
itu merupakan sebuah peta yang maha penting."
Secara lamat-lamat Li Hian-ih dan Leng-hiat mulai dapat
merasakan hubungan penting peta rahasia itu dengan lukisan
tengkorak, hanya untuk sesaat mereka tak tahu bagaimana
cara menghubungkan kedua hal itu.
"Tapi kemudian kaisar tua keburu mangkat dan diganti oleh
kaisar muda, perubahan politik pun terjadi, banyak
pembaharuan dilakukan, banyak peraturan diperbaiki, karena
situasi kembali berjalan normal maka ketiga orang itupun
menunda rencana pemberontakannya, tapi peta rahasia itu
keburu sudah dibuat, padahal isinya menyangkut sebuah
rahasia kekuatan luar biasa, barang siapa berhasil
mendapatkannya apalagi jika dia pun memegang kekuasaan
tertinggi keprajuritan, maka berdasarkan petunjuk peta itu
dengan mudah dia bisa menurunkan sang kaisar, waktu itu
Cukat-sianseng, Hu Tiong-su dan Hong Yu-kang sangat
mempercayai Sik Hong-sian, mereka merasa sayang untuk
memusnahkan peta rahasia itu, lagi pula untuk persiapan
bilamana suatu ketika dibutuhkan kembali, tapi mereka pun
tidak percaya bila peta itu disimpan oleh satu orang, maka
diusulkan untuk merajah peta tadi di tubuh Sik Hong-sian!"
Bicara sampai di sini, dengan sorot mata tajam dia
menyapu kedua orang itu sekejap, kemudian baru
melanjutkan, "Waktu itu Sik-thayjin mengusulkan untuk
merajah peta itu di tubuh seseorang yang sama sekali tidak
mengetahui persoalan sebenarnya, karena tindakan itu jauh
lebih aman. Maka pilihan pun jatuh pada Ko Hway-sik, pemilik
perusahaan Sin-wi-piau-kiok. Itulah sebabnya lukisan
tengkorak akhirnya dirajah di badan Ko Hway-sik."
"Masa ketiga pembesar negeri tidak ingat isi lukisan
tengkorak itu?" tanya Leng-hiat.
"Pertanyaan yang bagus, ketiga orang itu masing-masing
merajah kode rahasia yang mereka ketahui, tapi untuk
merangkai semua kode itu menjadi satu maka sebelum
dirajahkan, masing-masing pihak sudah mengetahui dahulu
bagian mana yang menjadi wilayahnya, oleh sebab itu mereka
hanya mengingat bagian terpenting dari wilayah sendiri dan
tak pernah mengetahui kode pihak lain. Hanya perajah kode
saja yang mengetahui dengan pasti ketiga bagian itu yakni
ketika menggabungkannya di tubuh Ko Hway-sik. Selama
merajah dilakukan, ketiga pejabat tinggi itu tidak hadir,
sedang Ko Hway-sik juga tak tahu gambar apa yang
dirajahkan di tubuhnya, dia hanya tahu masalah itu
menyangkut sebuah rahasia besar negara."
"Ko Hway-sik jujur dan bisa dipercaya, itulah sebabnya
semua orang memilihnya, benar saja, selama puluhan tahun
bahkan hingga Ko Hway-sik meninggal dunia, memang tak
pernah ada orang yang menyaksikan lukisan rahasia ini," Li
Ok-lay menambahkan, "apalagi kecuali ketiga pejabat tinggi
itu hadir bersama dan menurunkan perintah untuk melihat
peta itu, siapa pun dilarang mengintipnya, bahkan Ko Hwaysik
sendiri pun pernah bersumpah, bila keadaan terdesak dia
akan memusnahkan rajah di dadanya dan mati bersama
lukisan itu"
"Aku tidak mengerti," gumam Leng-hiat.
"Kalau memang begitu, kenapa peta rahasia itu bukan
disulam pada secarik kain sutera atau kulit hewan dan
disembunyikan?" sambung Li Hian-ih.
"Aku pun tidak paham persoalan ini," Leng-hiat
menambahkan. "Alasannya sangat sederhana, penjagaan dan pertahanan
yang dilakukan di seputar istana seringkali dilakukan
perombakan dan perubahan, bila titik pemusatan pasukan
dipindah, jika tempat strategis dirubah, dengan sendirinya
kegunaan peta itu menjadi tak ada artinya. Selain itu bila
disimpan di tubuh Ko Hway-sik, dengan ilmu silat yang
dimilikinya, meski belum tentu bisa melindunginya, paling
tidak ia memiliki kekuatan untuk memusnahkannya!"
"Tapi..."
"Tapi perhitungan manusia tak bisa mengungguli kemauan
takdir, konon kaisar yang sekarang berhasil mendapatkan peta
pertahanan istana peninggalan mendiang kaisar tua, ditambah
bujukan Coa-thaysu, dia justru memperkuat posisi pertahanan
lama, oleh karena itu arti peta rahasia ini menjadi lebih
penting lagi."
"Aaah, aku tahu sekarang," seru Leng-hiat.
"Katakan!" Li Ok-lay tertawa.
"Setelah kaisar yang sekarang naik tahta, dia menuruti
bisikan Hu Tiong-su untuk membasmi sembilan keturunan
Hong-thayjin, hanya tinggal Cukat-sianseng seorang yang
masih dipertahankan," ujar Leng-hiat, "sayang pengaruh iblis
bertambah meluas, Sri Baginda pun semakin mempercayai Hu
Tiong-su, akibatnya semua peraturan berjalan terbalik, negara
makin kacau dan rakyat makin sengsara, walaupun Sianseng
berulang kali memberi masukan, namun tak pernah berhasil.
Coba kalau Hu Tiong-su tidak kelewat dini menggerakkan Kanliokong untuk melakukan pemberontakan hingga akhirnya
berhasil dihancurkan Cukat-sianseng, mungkin Baginda betulbetul
akan menyerahkan semua urusan penting negara ke
tangan manusia she Hu itu."
"Justru karena pemberontakan raja muda Kan-liok-ong
mengalami kegagalan, Hu-thayjin semakin getol mencari tahu
peta rahasia itu, dia merasa perlu menguasai keadaan dalam
istana terlebih dahulu, sesudah yakin gempurannya berhasil
baru ia akan melakukan gerakan lagi," lanjut Li Ok-lay.
"Maka dari itu dia pun membujuk kaisar untuk meniru
sistim pertahanan kaisar yang lama, sementara mengutus kau
untuk menemukan lukisan tengkorak. Li Hian-ih pun termasuk
salah satu jago andalan Hu Tiong-su. Rencana perdana
menteri Hu sudah barang tentu harus mendapat persetujuan
dari Coa-thaysu, padahal intrik busuk dan konspirasi jahat ini
sudah diketahui setiap insan masyarakat, mungkin yang belum
menyadari akan hal ini tinggal kaisar seorang."
"Padahal Hu-thayjin hanya mengutus aku untuk
membereskan urusan Sin-wi-piau-kiok," kata Li Ok-lay sambil
tertawa getir, "tugas penting untuk menemukan kembali
lukisan tengkorak tetap diserahkan kepada 'si tua, menengah
dan muda' untuk melaksanakannya, tak disangka gara-gara
orang Bu-sun-bun menyerbu ke dalam penjara untuk
menolong orang, masalahnya berkembang menjadi besar,
dimana pada akhirnya memancing kehadiran opas Leng dan
mengejutkan Cukat-sianseng yang ada di kotaraja."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, dengan
nada serius Li Ok-lay bertanya lagi, "Apakah orang berjas
hujan yang berhasil memusnahkan tua, menengah dan muda
itu adalah ...?"
Leng-hiat mengangguk.
Li Ok-lay nampak tertegun, akhirnya ia tertawa nyaring,
begitu nyaring suaranya hingga menggugurkan bunga salju
dari atas ranting pohon.
"Kalau begitu kematian si Tua tak mau mati dan si Bambu
muda bukan kematian yang sia-sia!"
"Hu Tiong-su toh bisa datang sendiri untuk membantu
kekuatannya," sela Leng-hiat.
Dengan cepat Li Ok-lay menggeleng. "Kau anggap Cukatsianseng
itu siapa" Sejak awal dia sudah mengatur rencana
dan tindakan sehingga membuat Hu-thayjin tak bisa menyusul
kemari. Hal ini disebabkan Cukat-sianseng maupun perdana
menteri Hu adalah orang yang terlibat langsung dalam
rencana pemberontakan di masa lalu, maka dari itu kedua
belah pihak sama-sama tak ingin mengganggu pihak lain,
yang berbeda sekarang adalah Hu? thayjin dengan segala
upaya berusaha mendapatkan lukisan tengkorak, sementara
Cukat-sianseng berusaha mencegah terjadinya kekalutan
dalam kerajaan, tapi lantaran kuatir Coa Keng memanfaatkan
kesempatan ini melakukan kekacauan, maka dia sendiri pun
harus membuat persiapan untuk menghadapinya."
"Saat ini dunia kacau, rakyat sengsara dan musuh sudah
mendekati perbatasan, dalam keadaan seperti ini sepantasnya
jika kita bersatu padu menghadapi serbuan musuh, jangan
sampai orang sendiri malah saling gontok," ujar Li Hian-ih
perlahan. Li Ok-lay berpaling memandang sekejap ke arahnya,
setelah menghela napas panjang ujarnya, "Padahal perdana
menteri Hu telah salah memperhitungkan satu hal."
"Soal apa?" tanya Li Hian-ih.
"Dia telah salah menilai dirimu."
"Dia selalu memandang tinggi kemampuanku."
"Tapi dia salah sangka, dalam perkiraannya kau pasti akan
membalas dendam bagi kematian putramu, kau akan
menghabisi nyawa orang-orang Sin-wi-piau-kiok dan Bu-subun,
dia sangka kau bakal membantu pihakku."
"Sayang keinginan kalian tak sesuai dengan harapan,
apalagi hingga sekarang aku belum bertemu dengan musuh
yang telah membunuh putraku."
"Li-cianpwe..." seru Leng-hiat dengan perasaan bergetar
keras. Li Hian-ih tidak menanggapi, tukasnya, "Kenapa peta
rahasia itu disebut lukisan tengkorak?"
"Baik, kau bertanya dan aku menjawab, yang digunakan
dalam lukisan itu hampir semuanya berupa kode rahasia,
sehingga bila orang awam melihat maka mereka tak akan
mengartikan apa-apa. Lukisan itu menggambarkan
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekelompok tengkorak yang sedang mengadakan perjamuan,
menurut laporan kode rahasia yang digunakan Cukat-sianseng
berupa alat-alat minum arak seperti cawan, guci dan lain
sebagainya, kode rahasia Hu-thayjin lebih menitik beratkan
pada bangunan loteng, gardu pemandangan, sedang kode
rahasia Hong-thayjin lebih ke arah lentera, gunung-gunungan,
bunga dan jembatan. Lukisan tengkorak itu terdiri dari tiga
bagian, setelah diisi dengan kode rahasia, lukisan itu
diserahkan ke tangan seorang pakar rajah untuk dipersatukan
dan dipindahkan ke dada Ko Hway-sik, tapi sejak
menyelesaikan pekerjaan itu, pakar rajah itu turut lenyap
sehingga rahasia itupun hanya ada di tubuh Ko Hway-sik."
"Tapi dengan matinya Ko Hway-sik, bukankah segala
sesuatunya akan kembali menjadi tanah," sela Leng-hiat
dingin. "Sebetulnya memang begitu."
"Lantas buat apa kalian menggali kubur untuk mencari kain
pembungkus mayatnya?" desak Leng-hiat lebih jauh.
"Selama ini aku telah menjawab semua pertanyaan yang
kalian ajukan," kata Li Ok-lay sambil tertawa, "tapi
menyangkut pertanyaan ini, asal aku tidak menjawabnya
maka semua rahasia yang telah kalian ketahui inipun menjadi
percuma, tak ada gunanya karena tak nanti kalian bisa
memecahkan misteri ini."
"Itulah sebabnya kau telah memberitahukan semua rahasia
itu kepada kami kecuali rahasia terakhir," sambung Li Hian-ih
cepat, "agar bila kau tak mampu menandingi kami berdua,
paling tidak masih bisa menyelamatkan nyawa sendiri."
"Tapi ingat," kata Li Ok-lay pula sambil tertawa, "sekali
kalian tak mampu menandingiku, aku tak bakal mengampuni
kalian berdua."
"Aku tahu, kau memang harus membunuh kami," tukas Li
Hian-ih langsung, "sebab kau telah membocorkan begitu
banyak rahasia besar kepada kami."
"Bila aku mati, tentu saja tak ada keharusan bagiku untuk
menyimpankan rahasia ini bagi Hu-thayjin, selama ini meski
dia selalu memupuk aku, mempromosikan aku, namun aku
pun selalu berjuang mati-matian demi dirinya, aku sudah
banyak memeras keringat dan darah bagi kepentingannya,
boleh dibilang antara kami berdua sudah impas, tak ada yang
saling berhutang," kata Li Ok-lay, "bila aku tetap hidup, berarti
kalianlah yang mati, aku mau memberitahu atau tidak,
hasilnya sama saja, setelah kematian kalian, paling kalian
berdua hanya bisa membocorkan rahasia ini kepada kawanan
setan." "Aku masih ingin menanyakan satu pertanyaan lagi," tibatiba
Li Hian-ih menyela.
"Harus kulihat dulu, dapatkah kujawab pertanyaanmu itu."
"Peran apa yang sedang kau jalankan dalam persoalan ini
hingga Hu-thayjin menaruh kepercayaan penuh kepadamu?"
Li Ok-lay tertawa bangga. "Akulah yang dikirim untuk
melenyapkan sang pakar rajah waktu itu."
Li Hian-ih termenung sejenak, kemudian katanya, "Dulu
ada seorang pakar rajah bernama Am-hoa Thaysu, konon dia
bisa merajah seekor harimau putih di punggung seseorang
dan hasil rajah itu bisa mengundang auman harimau lain yang
melihatnya, dia pun pernah merajah seekor rajawali raksasa di
punggung seseorang, semua burung di angkasa yang melihat
lukisan itu hampir semuanya terbang mendekat."
Tampaknya Leng-hiat pun pemah mendengar dongeng
seperti itu, lanjutnya, "Betul, aku pun mendengar Am-hoa
Thaysu pernah merajah lukisan seorang pria di punggung
seseorang, lukisan yang membuat pelacur kenamaan di kota
Tiang-an jadi tergila-gila, membuat mereka tak enak makan
tak enak tidur dan akhirnya bersama-sama membunuh pemilik
rajah itu lalu menguliti punggungnya."
"Ternyata pakar rajah semacam ini akhirnya tewas di
tanganmu," kata Li Hian-ih setelah terbatuk.
"Hanya orang kenamaan yang pantas kuhadapi sendiri,"
ujar Li Ok-lay sambil tertawa, kemudian setelah memandang
Li Hian-ih dan Leng-hiat sekejap, tambahnya, "Kalian berdua
pun terhitung orang-orang kenamaan."
Tampaknya dia sama sekali tak pandang sebelah mata
terhadap Kwan Siau-ci.
"Siapa hidup siapa mati susah untuk dikatakan," sela Li
Hian-ih sambil menarik napas, "mau di sini, atau di luar?"
Dia bertanya mau bertarung di situ atau di lapangan luar,
tapi jawaban dari Li Ok-lay aneh sekali, "Sekarang!"
Begitu ucapan itu diutarakan, tiba-tiba Leng-hiat merasa
ada desingan angin tajam membokong punggungnya.
Dalam terkejut dan ngerinya dia tak sempat lagi
menghindarkan diri.
Namun tubuhnya tetap berusaha mengegos ke samping,
sekalipun egosan itu tak bisa membuatnya lolos dari tusukan
maut, paling tidak ia berhasil menciptakan perbedaan yang
besar pada akibat yang diterimanya.
Tusukan maut itu sebenarnya diarahkan ke punggungnya,
jika punggung itu tertusuk telak, dapat dipastikan Leng-hiat
akan tewas. Egosan itu membuat mata pisau hanya menusuk iga
kanannya, meskipun berakibat ia menderita luka parah namun
tak sampai merenggut jiwanya.
Tampaknya sang penyergap memang berniat menghabisi
nyawanya. Karena kuatir tusukan itu belum tentu bisa menewaskan
Leng-hiat, pada saat yang bersamaan jari tangan kirinya
melancarkan pula sebuah totokan ke punggung lawan.
Saat itulah Leng-hiat telah melancarkan serangan balasan,
pedangnya langsung menusuk ke belakang.
Tapi totokan jari itu sudah keburu menghajar jalan darah
Hian-ci-hiat di punggungnya.
Leng-hiat muntah darah, tusukan pedangnya tak mampu
dilanjutkan, tubuhnya segera roboh terjungkal ke samping.
Walaupun begitu, tusukan pedang yang dilancarkan Lenghiat
berhasil juga memukul mundur sang pembokong.
Ternyata orang yang melancarkan serangan bokongan itu
tak lain adalah Kwan Siau-ci.
Begitu tusukannya mengenai sasaran, sebenarnya Kwan
Siau-ci hendak menotok jalan darah kematian Leng-hiat untuk
mencabut nyawanya.
Siapa sangka serangan balik yang dilakukan Leng-hiat
sedemikian cepatnya, dalam keadaan tak menduga, tulang
rusuknya termakan satu tusukan, dalam kagetnya ia segera
melompat mundur, dengan begitu sodokan jari tangannya pun
hanya ada tenaga dua bagian yang menghantam jalan darah
lawan. Di satu sisi Kwan Siau-ci melancarkan bokongan untuk
membunuh Leng-hiat, di pihak lain Li Ok-lay telah
menggunakan kesempatan itu untuk membunuh Li Hian-ih.
Sambil membentak nyaring, pedangnya telah dilolos dari
punggungnya. Sungguh dahsyat tenaga yang dipancarkan dari pedangnya
itu, begitu dicabut keluar dari sarungnya, seluruh angkasa
seolah dilapisi kabut tebal yang penuh mengandung hawa
pembunuhan. Sebetulnya saat itu Li Hian-ih sedang berkonsentrasi
menghadapi Li Ok-lay, serangan bokongan yang diarahkan ke
punggung Leng-hiat membuat perhatiannya bercabang.
Sebenarnya dia ingin menolong Leng-hiat, tapi hawa
pedang Li Ok-lay sudah keburu menyelimuti angkasa.
Kalau bukan gara-gara Leng-hiat, mungkin saat ini dia
sudah tewas. Walaupun Leng-hiat sudah terluka parah, namun di saat
tubuhnya berguling ke samping itulah dia telah menggunakan
pedangnya untuk menangkis serangan maut Li Ok-lay.
Sayang dia dalam keadaan terluka parah, bagaimana
mungkin sanggup menghadapi serangan maut Li Ok-lay"
"Traaang!", diiringi suara dentingan nyaring, pedang itu
sudah mencelat ke udara.
Li Ok-lay membentak gusar, dia ingin menusuk untuk
kedua kalinya, tapi waktu itu Li Hian-ih sudah menghadang di
depan Leng-hiat sembari membangunkan tubuhnya.
Bukan hanya begitu, dengan garpu baja yang sedang
dipakai untuk memanggang daging dia lancarkan sebuah
tusukan ke belakang.
Garpu baja itu meluncur cepat ke belakang, menembus
bahu kiri Kwan Siau-ci yang sedang mundur dan menancap di
atas dinding ruangan.
Kini ia berada dalam keadaan tanpa senjata. Dengan sorot
mata tajam dia mengawasi lawannya, biarpun tanpa
senjata, Li Hian-ih masih tetap bersikap tenang, mengawasi Li
Ok-lay tanpa berkedip.
Tampaknya Li Ok-lay sendiri pun tidak ingin segera
menghabisi nyawa lawannya.
Menurut rencananya semula, dia akan memancing Li Hianih
dengan pembicaraan yang asyik hingga membuatnya
terlena, kemudian baru sekali gempur menghabisi nyawa
mereka berdua. Kini rencana itu hanya berhasil setengahnya.
Dia tak menyangka dalam keadaan terluka parah, Leng-hiat
masih sanggup menyelamatkan rekannya.
Tapi dalam perintah rahasia yang disampaikan Hu-thayjin
kepadanya, dia memang hanya diperintahkan untuk
membunuh Leng-hiat seorang, berarti jika di sana hanya ada
Leng-hiat seorang, mungkin sejak tadi dia sudah tewas.
Tapi sekarang di situ masih ada Li Hian-ih, kehadiran si
Raja opas ini membuatnya tak bisa bertindak leluasa.
Namun dia tak kuatir, dia pun tidak merasa takut sebab Li
Ok-lay selalu percaya diri, sebab dia berpendapat ilmu
pedangnya sudah tiada tandingan di kolong langit.
Ucapan 'tiada tandingan di kolong langit' memang tak bisa
digunakan siapa pun, sebab jika tidak, selain akan
ditertawakan orang dan dianggap orang gila, bahkan
kemungkinan besar akan memancing datangnya bibit bencana
kematian. Li Ok-lay cukup mengerti kemampuan silat yang dimilikinya,
dengan ilmu pedang tangan sebelah, dia memang merasa
belum cukup disebut sebagai jagoan yang tiada tandingan.
Tapi ilmu pedang Siang-jiu-kiam-hoat (ilmu pedang
sepasang tangan) miliknya benar-benar sudah mencapai
tingkatan yang luar biasa, tingkatan yang tak mungkin bisa
ditandingi siapa pun.
Tentu saja Li Ok-lay pun cukup mengerti kehebatan ilmu
silat yang dimiliki Li Hian-ih sudah mencapai tingkatan yang
luar biasa. Konon dalam menghadapi perampok ulung atau jago silat
sehebat apapun, Li Hian-ih selalu berhasil menangkapnya
hidup-hidup, cukup ditinjau dari kemampuannya ini, Li Ok-lay
merasa dirinya belum tentu bisa melakukan hal yang sama.
Karena membunuh orang itu gampang, menawannya
hidup-hidup baru merupakan satu pekerjaan yang sulit.
Dia pun tahu Li Hian-ih bisa merubah setiap benda yang
dijumpai menjadi senjata pembunuh yang mematikan, padahal
selama ini hanya ada tiga orang tokoh silat yang mampu
melakukan hal seperti ini.
Tak disangka Pui Ceng-bi (Fang Cen-mey) adalah salah
satu di antaranya, kebetulan Li Hian-ih pun merupakan salah
satu di antara ketiga orang itu.
Namun Li Ok-lay tak ambil pusing, karena dia sudah
mempunyai keyakinan yang matang untuk menghadapinya.
Dia percaya tak lama lagi darah Li Hian-ih akan bercucuran
membasahi sepasang pedangnya. Bercucuran karena
termakan ilmu pedang sepasang tangannya.
"Bagaimana?" jengek Li Ok-lay kemudian sambil
mengayunkan pedang di tangan kirinya.
ooOOOoo 35. Pertarungan Dua Jago Bermarga Li.
Senja yang redup telah mengubah lapisan salju menjadi
keabu-abuan. Tong Keng sedang duduk di halaman belakang, di atas
undak-undakan yang dipenuhi lumut dengan wajah termangu.
Dia sedang melamun, sedang berpikir dengan hati murung.
Ternyata Ting Tong-ih begitu membencinya. Ia rela
memberikan tubuhnya kepada orang lain, tapi tak rela
memberikan kepadanya.
Berpikir akan hal itu dia merasa malu sekali, rasa malu
yang membuatnya ingin menggali liang dan menyembunyikan
kepalanya dalam liang itu, ingin membenturkan kepalanya di
atas dinding, membenturkan sampai mati.
Biasanya seorang lelaki akan merasa malu, merasa terhina
ketika cintanya ditolak wanita, seperti sebuah balon udara
yang tiba-tiba tertusuk jarum, meledak dan lenyap begitu saja.
Kini dia benar-benar merasa sedih, sedihnya setengah mati,
dia pun jengkel, mendongkol dan ingin mengumbar hawa
amarahnya. Mungkin saja ia dapat memaafkan wanita itu, namun tak
bisa memaafkan diri sendiri, perasaan semacam ini hanya bisa
terobati bila ada wanita lain yang mau berada dalam
pelukannya, mau dibelai olehnya dengan lembut.
"Kenapa aku harus mengungkap perasaanku kepadanya!"
Tong Keng sangat menyesal, bila ia tak pernah mengungkap
perasaannya, tak mungkin dia akan menerima penolakan, asal
dia tak pernah ditolak maka dirinya tak perlu begitu malu,
sedih dan serba salah.
Pikir punya pikir, ia melihat ada seekor belalang berjalan di
hadapannya, berhenti sejenak sambil mengawasinya, tapi
sejenak kemudian sang belalang mendesis lirih sambil
melanjutkan langkahnya, seolah-olah serangga itu hanya
bermaksud mengejek Tong Keng, menertawakan
kebodohannya. Tong Keng sangat mendongkol, ingin sekali dia menginjak
belalang itu sampai mati.
Tapi ingatan lain segera melintas, Thian maha pengasih,
siapa tahu dengan tidak membunuh belalang itu, Thian akan
memberi kesempatan kepadanya untuk berbaikan lagi dengan
Ting Tong-ih, memberi kesempatan kepadanya untuk
menyatakan rasa cintanya.
Tong Keng mencoba menarik napas panjang, kemudian
bisiknya, "Ooh, harum sekali."
Waktu itu sang belalang sudah menemukan sebuah liang
kecil dan menerobos masuk ke dalam, Tong Keng mencoba
berjongkok sambil melongok, pikirnya, "Liang itu begitu kecil,
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa dia tidak salah masuk?"
Mendadak sorot matanya terhenti di atas sepasang ujung
sepatu, sepatu yang terbuat dari kain kuning dengan renda
berwarna biru. Dengan tertegun Tong Keng mendongakkan kepalanya, dia
pun segera melihat wajah Ting Tong-ih yang bermandikan
cahaya, cahaya rembulan yang membias di atas wajahnya.
Kontan Tong Keng merasa pipinya menjadi amat panas,
sepanas terkena cahaya sang surya.
"Sedang menikmati salju?" sapa Ting Tong-ih sambil
tersenyum. Tong Keng hanya termangu, mengawasi wajah Ting Tongih
yang cantik bak bidadari dari kahyangan.
"Atau sedang menikmati bunga?" kembali Ting Tong-ih
bertanya. Tong Keng tidak menjawab, dia hanya tertawa bodoh.
"Boleh duduk di sini?" kembali si nona bertanya, tapi ia segera
duduk. Ting Tong-ih duduk bersanding dengan Tong Keng, bau
harum terasa makin menusuk penciuman. Pemuda itu
mencoba melirik gadis itu sekejap, wajahnya putih bersih tapi
terasa dingin bagai salju.
Mau apa dia datang kemari" Menghiburnya karena
penolakan tadi" Dia berpikir terus, lantai terasa makin dingin.
"Kehidupan manusia memang sangat aneh, sekarang kita
masih hidup segar bugar, tapi sejenak kemudian kita tak tahu
apa yang bakal terjadi, mungkin masih hidup, mungkin sudah
mati, mungkin merasa gembira, mungkin juga bersedih,"
sewaktu mengutarakan perkataan itu Ting Tong-ih nampak
sangat murung. Tong Keng semakin merasa kehadiran gadis itu memang
berniat menghiburnya, rasa malu, rasa terhina segera tumbuh
kembali, hawa amarah pun mulai menggelora.
Sesungguhnya Ting Tong-ih pun merasa amat menyesal,
dia merasa tidak seharusnya menampik luapan cinta lelaki itu.
Terlebih selewatnya malam ini siapa pun tak bisa
meramalkan bagaimana nasib yang akan mereka hadapi,
dapatkah ia melewati hari esok"
Maka untuk menghilangkan rasa sedih dan murungnya,
Ting Tong-ih berjalan menelusuri serambi samping, berusaha
mencari ketenangan hati di malam yang dingin.
Tapi Tong Keng tidak memahami perasaan perempuan itu.
Dia mengira Ting Tong-ih merasa kasihan kepadanya,
karena kasihan baru ia menyampaikan simpatinya,
menghampirinya dan mencoba berbagi sedikit kepuasan
kepadanya. Tong Keng bukan lelaki yang senang menerima simpati,
apalagi simpati berdasarkan rasa kasihan.
Salju kembali menyelimuti angkasa, sekuntum demi
sekuntum, selembar demi selembar beterbangan di udara,
melapisi ujung ranting, atap rumah, pelataran depan ....
"Ayo, kita masuk saja?" gadis itu mengajak.
Tong Keng tidak menjawab, dia memang tak tahu
bagaimana harus menjawab ajakan itu.
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan sekarang," dengan
perasaan puas Ting Tong-ih memejamkan matanya, dia
seakan sudah memahami jalan pikiran lelaki itu.
"Aku tidak memikirkan apa-apa!" mendadak Tong Keng
bangkit berdiri dengan perasaan gusar, "jangan kau anggap
aku adalah seorang lelaki yang tak punya harga diri! Apa
maksudmu bersikap begitu" Simpati" Mengejek" Atau berbelas
kasihan" Terus terang aku katakan, aku tidak butuh semua
itu! Aku adalah seorang lelaki, aku tak butuh belas
kasihanmu!"
Dengan wajah sedingin salju Ting Tong-ih ikut berbangkit,
kemudian tangannya diayunkan ke depan, menghadiahkan
sebuah tempelengan ke wajahnya.
"Kau sebenarnya memang begitu! Siapa yang sedang
bersimpati" Siapa yang sedang memberi belas kasihan"
Memangnya kau buta" Tuli" Tangan kakimu buntung" Kenapa
aku mesti memberi derma kepadamu, aku beritahu sekarang,
aku kemari karena aku ingin mengajak kau merasakan sedikit
kehidupan yang senang menjelang datangnya kematian esok,
aku tak peduli dengan semua itu, apakah kau peduli" Justru
karena aku suka padamu maka aku ingin berbuat begitu,
berbicara begitu, tapi kau ... kau justru menganggap dirimu
seorang idiot yang pincang, seorang bocah dungu yang tak
punya otak!"
Selesai bicara, sambil mendengus dingin perempuan itu
segera beranjak pergi.
Tong Keng tertegun, berdiri termangu di tengah halaman.
Bunga salju mulai melapisi alis matanya, hidungnya,
bibirnya .... Lama sekali dia termangu, kepergian Ting Tong-ih
membuat suasana di situ terasa dingin, membeku, bunga pun
terasa tidak harum lagi.
Sambil menghentakkan kakinya jengkel ia membalikkan
tubuh hendak mengejarnya, mendadak seseorang muncul di
hadapannya, nyaris mereka saling bertumbukan. Ternyata
Yong Seng yang datang.
"Ayo, makan malam," ajak Yong Seng kemudian, "mari kita
rayakan malam pertemuan ini dengan makan bersama!"
ooOOoo "Bagaimana?" tanya Li Ok-lay.,
"Aku ingin makan dulu," jawab Li Hian-ih.
Jawaban yang membuat Li Ok-lay tertegun.
"Dalam cuaca begini dingin dan membeku, setelah makan
kita baru bertarung lebih bersemangat," Li Hian-ih
menjelaskan, "sayur adalah hawa, nasi adalah tenaga."
Li Ok-lay tertawa tergelak, sambil bertepuk tangan serunya,
"Pengawal, ambilkan nasi untuk si Raja opas!"
Ternyata sekeliling gedung itu sudah dipenuhi manusia,
manusia bersenjata lengkap.
Li Hian-ih mencoba menghitung, ternyata jumlah mereka
mencapai ratusan orang.
"Kelihatannya malam ini aku harus membuka pantangan
membunuhku," dengus Leng-hiat dingin.
Padahal luka yang dideritanya terasa amat sakit, jangan
lagi beratus orang, untuk menghadapi tiga empat orang pun
belum tentu dia sanggup.
"Heran," kembali ia menertawakan diri sendiri, "setiap kali
menyelesaikan kasus, aku harus melakukan pembantaian
secara besar-besaran terlebih dulu sebelum bisa
menyelesaikan tugas itu."
"Kali ini kau tak perlu membunuh siapa pun," ujar Li Hian-ih
sambil berjaga di hadapan Leng-hiat, "aku yang akan
mewakilimu melakukan pembunuhan."
Leng-hiat berusaha menarik tangannya menyingkir, tapi
begitu bergerak, lukanya terasa sakit sekali, tampaknya luka
yang ia derita jauh lebih parah daripada bayangannya.
"Kau tak pernah membunuh orang, biar aku saja yang
menghadapi mereka," katanya.
"Tidak, kali ini aku akan melanggar pantangan
membunuhku!"
"Kau tak perlu melanggar pantangan membunuhmu, Li Oklay
seorang sudah cukup membuatmu kerepotan."
Li Hian-ih segera tertawa tergelak. "Hahaha, baik, aku tak
akan membunuh manusia, yang kubunuh adalah buaya, buaya
tua yang makan manusia berikut tulangnya!"
"Buaya tua memang hebat, tapi tidak selicik buaya muda!"
seru Leng-hiat sambil menahan sakit.
Dengan pandangan sinis Li Hian-ih menengok sekejap
Kwan Siau-ci yang masih memegangi lukanya, darah
bercucuran dengan derasnya membasahi tubuh orang itu.
"Hebat, hebat sekali, ternyata Kwan Hui-tok, Kwan-tayhiap
mempunyai adik yang luar biasa!"
"Dia memang adik kandung Kwan Hui-tok," ujar Li Ok-lay
sambil tertawa, "tapi begitu tahu kakaknya adalah buronan,
seorang narapidana mati yang busuk namanya, demi masa
depan sendiri terpaksa dia menggabungkan diri dengan pihak
pemerintah. Aku memang sengaja menyuruh dia berperan
seperti seorang enghiong, kalian pasti senang melihat
sikapnya yang gagah perkasa, hahaha ... biarpun ilmu silatnya
tidak hebat, tapi hampir saja serangannya berhasil membunuh
kalian berdua, maka dari itu kemampuan otak selalu lebih
penting daripada kemampuan tangan!"
"Hmm, dia memang seorang begundalmu yang hebat!"
sindir Li Hian-ih sambil tertawa dingin.
"Jika tak yakin pasti menang, aku tak bakal datang sendiri
kemari," seru Li Ok-lay tertawa tergelak.
"Jangan lupa, kau belum seratus persen menang!"
"Aku pun belum sampai mampus," sambung Leng-hiat.
"Baiklah," kata Li Ok-lay kemudian sambil mengulap
tangan, "ketika kemenangan seratus persen berada di
tanganku, kalian pasti sudah mampus!"
Tangannya diayunkan ke muka, lalu mendulang dari bawah
ke atas. Pedang di tangan Leng-hiat bergetar di udara, bagaikan
seekor ular berbisa secepat kilat menerobos ke arah lima buah
jalan darah penting di tubuh Li Ok-lay.
Mimpi pun Li Ok-lay tidak menyangka, dalam keadaan
terluka parah ternyata Leng-hiat masih sanggup melancarkan
serangan sehebat itu, segera dia menggerakkan pedangnya
untuk menangkis, tak urung badannya terdesak juga hingga
mundur lima langkah.
Pada saat itulah Li Hian-ih turun tangan. Telapak tangan
kirinya dihantamkan ke tubuh Li Ok-lay.
Waktu itu pedang di tangan kanan Li Ok-lay sedang
digunakan untuk menghadapi serangan berantai Leng-hiat,
tergopoh-gopoh dia sambut datangnya pukulan Li Hian-ih
dengan telapak tangan kirinya.
Mimpi pun dia tak menyangka serangan Li Hian-ih itu
ternyata adalah serangan tipuan.
Tenaga pukulan yang dilontarkan pun seakan-akan
menghantam di atas dinding kosong.
Tenaga serangan sudah telanjur dilontarkan, sementara
'dinding' pun hanya ruang hampa, ditambah tekanan dahsyat
yang dilontarkan kelima jurus serangan pedang Leng-hiat, tak
ampun keseimbangan tubuh Li Ok-lay gontai, tubuhnya
langsung menerjang ke sisi kiri.
Sisi kirinya merupakan ruang bagian dalam gedung
pengadilan. Ruang bagian dalam itu merupakan ruangan yang biasa
dipakai untuk menginterogasi narapidana berat, bentuknya
mirip leher sebuah botol dan hanya memiliki sebuah pintu
keluar. Terhuyung-huyung Li Ok-lay terjerumus ke dalam ruang
rahasia itu.. Secepat kilat telapak tangan kiri Li Hian-ih melepaskan
serangkaian serangan maut mengancam lima buah jalan darah
penting di punggung Li Ok-lay.
Dengan kecepatan luar biasa Li Ok-lay mundur ke
belakang, sambil menyusup masuk ke dalam ruangan untuk
menghindari ancaman Li Hian-ih, pedangnya ditusukkan ke
depan langsung membabat tubuh musuh.
Terlihat sekilas bianglala berwarna hijau melintas dalam
ruangan, diikuti percikan bunga darah.
Sebuah luka memanjang berdarah segera muncul di tubuh
Li Hian-ih. Tapi Raja opas tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia ikut
menerobos masuk ke dalam ruangan.
Begitu berada dalam ruangan itu, Li Ok-lay baru sadar ia
sudah terjebak dalam sebuah ruangan buntu yang
sekelilingnya berdinding rapat, cepat dia mundur lagi ke
belakang. Dengan cepat Li Hian-ih menghadang di depan pintu.
Mulut pintu amat sempit, bila ingin keluar dari situ maka
satu-satunya jalan adalah menerjang dengan kekerasan.
Dalam keadaan begini, mau tak mau Li Ok-lay harus
menyerbu dengan kekuatan penuh.
Li Hian-ih mendengus dingin, kembali sebuah pukulan
dilontarkan ke depan.
Li Ok-lay menyambut datangnya serangan dengan keras
lawan keras, maksudnya setelah menerima kedua pukulan
lawan, dia akan mengandalkan kehebatan ilmu pedangnya
untuk menghancurkan dulu pertahanan si setan penyakitan
ini. Sayangnya dia tak menyangka kalau tenaga pukulan itu
disertai tenaga serangan yang maha dahsyat.
Begitu bentrokan terjadi, seketika itu juga ia merasa hawa
darah bergolak keras dalam dadanya, terhuyung dia mundur
tiga langkah sambil mengatur pernapasan.
Dia berniat melancarkan serangan lagi selesai mengatur
napas nanti. Seandainya dia tidak mengatur napas mungkin
keadaan masih mendingan, begitu hawa murninya disalurkan,
tubuhnya segera bergetar keras, sekali lagi badannya mundur
sejauh tujuh langkah dengan sempoyongan.
Sekuat tenaga dia berusaha berdiri tegap, tapi sayang
kakinya seolah-olah kehilangan tenaga, lagi-lagi badannya
terlempar sejauh dua setengah meter. "Blaaam!",
punggungnya menghantam dinding ruangan dengan keras.
Kini Li Ok-lay baru tahu, ternyata tenaga pukulan yang
dimiliki Li Hian-ih benar-benar sangat menakutkan.
Sekalipun begitu, Li Hian-ih tertusuk juga oleh serangan
pedangnya. Selangkah demi selangkah Li Hian-ih berjalan masuk ke
dalam ruangan, kemudian menutup pintu ruangan dengan
rapat. Ia memang sudah bersiap melakukan duel satu lawan satu
dengan Li Ok-lay.
Di luar ruangan terlalu banyak anak buah Li Ok-lay, dia
merasa bukan satu pekerjaan mudah untuk menaklukkan
orang ini di bawah dukungan anak buahnya.
Dia pun tahu bila tak berhasil menguasai Li Ok-lay berarti
sedikit kesempatan untuk hidup pun tak akan mereka miliki.
Padahal bukan pekerjaan yang mudah untuk menaklukkan
jagoan tangguh macam Li Ok-lay, paling tidak dia butuh
waktu. Tapi berapa lamakah waktu yang dibutuhkan" Persoalannya
sekarang, sebeberapa lama Leng-hiat sanggup
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempertahankan diri"
Li Ok-lay bukan orang bodoh, tentu saja dia pun
memahami keadaan itu.
Dia tahu Leng-hiat pasti berusaha mati-matian
mempertahankan pintu masuk, padahal situasi di situ tidak
memungkinkan untuk pertarungan dalam jumlah banyak.
Li Ok-lay tahu, bila ingin menjebol pertahanan yang dijaga
Leng-hiat, dia harus membiarkan anak buahnya menyerang
secara bergilir, bergantian terus satu dengan lainnya, lama
kelamaan lawan yang sudah terluka parah pasti tak akan
sanggup mempertahankan diri.
Maka sebelum pintu ruangan itu ditutup, teriaknya dengan
suara nyaring, "Serang dengan sekuat tenaga, bunuh orang
itu dengan cara apapun, orang pertama yang berhasil
membunuh Leng-hiat, dialah yang akan kuangkat menjadi
wakil komandan!"
Begitu seruan itu berkumandang, kawanan prajurit dan
jagoan yang berada di luar serentak menyahut, "Siap jalankan
perintah!"
Kini pintu sudah tertutup rapat.
Li Hian-ih telah berdiri saling berhadapan dengan Li Ok-lay.
Dengan pedang terhunus, Li Ok-lay mengawasi gerak-gerik
musuhnya tanpa bergerak.
Dalam ruangan itu tak ada jendela, hanya ada lilin, dua
batang lilin yang memancarkan sinar.
Ruangan itupun tak ada perabot apapun, seluruh dinding
terbuat dari batu bata, di balik batu bata tertanam batang besi
yang kurang dan kokoh.
Cahaya lilin bergoyang lembut, membuat suasana dalam
ruangan bagaikan kilatan cahaya air, membuat tempat itu
bagaikan sebuah perahu yang terombang-ambing.
Batang lilin manakah yang akan padam duluan"
Mampukah Leng-hiat yang berada di luar ruangan
menghadapi serbuan brutal kawanan manusia srigala itu"
ooOoo 36. Firman Kaisar.
Selesai bersantap malam, ruangan Sin-wi-piau-kiok
diterangi bebeberapa lentera yang sudah lama tak pernah
disulut, semua orang telah berganti pakaian ringkas dan
berkumpul di depan meja bundar.
Selesai membagi tugas, Ko Hong-liang memperhatikan
wajah semua orang, kemudian tanyanya, "Kita bisa
berangkat?"
Tong Keng menengok ke arah Ting Tong-ih.
Gadis itu tersenyum, biar bagaimanapun seramnya hawa
pembunuhan yang menyelimuti suasana di situ, namun
baginya semua tetap tenang dan santai.
"Baik," seru Ko Hong-liang sambil membalikkan badan dan
mengucapkan beberapa patah kata pada istrinya.
Tentu saja perkataan yang disampaikan adalah kata-kata
perpisahan. Tiba-tiba Tong Keng merasa ujung bajunya ditarik orang,
ketika berpaling ia lihat Ko Siau-sim sedang mengawasinya
dengan air mata berlinang.
"Aku tahu, tadi akulah yang salah," kata gadis itu sambil
menyandarkan kepalanya di atas bahu Tong Keng, "Tongtoako,
sekalipun sikapmu kurang baik padaku, namun aku
tetap akan baik padamu, barusan pikiranku telah terbuka,
selama ini kau anggap aku sebagai adikmu lantaran kau
menyayangi aku, merindukan aku, aku pun merindukan
dirimu, selama hidup sampai mati pun aku tetap akan
merindukan dirimu."
"Ayo, kita berangkat!" kata Ko Hong-liang kemudian sambil
berdehem. ooOOoo Leng-hiat berdiri dengan punggung menempel pintu. Bila Li
Ok-lay melancarkan sebuah tusukan dari balik pintu, dengan
posisinya saat ini dia pasti akan mati konyol.
Tapi mau tak mau dia harus bertahan dengan cara begini.
Sebab Li Hian-ih tak boleh kalah.
Jika Li Hian-ih kalah, bukan saja mereka berdua bakal mati,
seluruh anggota Sin-wi-piau-kiok akan turut musnah, seluruh
penduduk kota Cing-thian akan tertimpa bencana.
Dia percaya Li Hian-ih tak bakal membiarkan Li Ok-lay
menghujamkan tusukan mautnya itu.
Tempat yang dia pertahankan saat ini hanya merupakan
sebuah lorong, sebuah lorong dengan sebuah pintu masuk.
Lorong itu panjangnya hanya seputar dua meter.
Jika musuh ingin menyerbu ke dalam ruang rahasia,
mereka harus menyerang dari arah depan, tentu saja harus
melangkahi juga mayatnya.
Siapa pun yang ingin melangkahi mayat Leng-hiat, dia
harus membayar dengan sangat mahal.
Membayar dengan suatu nilai yang mengerikan!
Tapi teriakan Li Ok-lay menjelang tertutupnya pintu lorong
tak disangkal mendatangkan daya tarik yang luar biasa.
Siapa yang tak ingin dinaikkan pangkatnya menjadi wakil Li
Ok-lay, di bawah kekuasaan satu orang tapi di atas berjuta
orang" Siapa pun pasti rela mempertaruhkan nyawanya untuk
mencoba meraih peluang itu, mencoba mendapatkan suatu
posisi yang terhormat, yang akan mendatangkan kekayaan
yang berlimpah-ruah.
Setelah terjadi sedikit kegaduhan, orang pertama yang
muncul dengan langkah lebar adalah seorang pria bersenjata
golok besar. Sambil maju mendekat, serunya dengan lantang, "Gak
Seng-bun dari perguruan Lampu Buddha datang minta
petunjuk."
Leng-hiat mengangguk sebagai pertanda memberi hormat.
Kini ia sudah terluka parah, dia tak ingin banyak bicara
sehingga membuang tenaga percuma.
Gak Seng-bun segera memutar goloknya melancarkan
serangan, secara beruntun dia melepaskan tujuh bacokan,
satu jurus dengan tujuh perubahan, semuanya merupakan
jurus ganas yang mematikan.
Terlihat cahaya pedang berkelebat, "Criiit!", tahu-tahu
ujung pedang milik Leng-hiat sudah menembus tenggorokan
Gak Seng-bun. Diiringi jeritan ngeri, Gak Seng-bun roboh terkapar
bersimbah darah.
Seorang lelaki kekar lainnya dengan membawa senjata
sekop melangkah masuk ke dalam, serunya dengan suara
nyaring bagai genta, "Gi-san-tin-hay (memindah bukit
membendung samudra) Tong Pak-an datang minta petunjuk."
Leng-hiat membutuhkan tiga jurus serangan untuk
menusuk roboh orang ini.
Kembali seorang lelaki muncul sambil berseru, "Lip Tan-san
dari perguruan Wi-tou-bun datang minta petunjuk."
Dengan kepalan bajanya dia langsung merangsek maju
sambil melancarkan serangan maut.
Leng-hiat butuh lima jurus serangan untuk membuatnya
terluka parah, namun pergelangan tangan sendiri ikut pecah
karena tenaga getaran lawan.
Ketika ia berhasil menusuk mati penantang ketujuh. Siang
Hong-in dari perguruan Seng-ko-kou, darah yang mengalir
dari luka Leng-hiat bertambah deras, ia sudah mulai kehabisan
tenaga dan tak mampu mempertahankan diri lagi.
Ketika ia harus menghadapi penantang yang kesebelas,
tubuh Leng-hiat telah bertambah dengan sebuah luka lebar
sebelum berhasil menghabisi nyawanya.
Kini luka yang diderita Leng-hiat bertambah parah, situasi
pun makin lama bertambah gawat.
Pintu rahasia yang tertutup rapat masih tertutup.
Ketika penantang yang kedua belas dengan membawa
sebuah tombak menyerbu ke dalam, paras muka Leng-hiat
telah pucat pias seperti mayat, sementara penantangnya, Ko
Tay-san menyeringai semakin seram.
Di saat yang amat kritis itulah tiba-tiba terdengar
seseorang berseru, "Bagaimana kalau aku mewakilimu
melakukan pertarungan ini?"
Suara itu berasal dari belakang punggung Ko Tay-san.
Dengan satu gerakan cepat Ko Tay-san membalikkan
badan, kemudian terdengar suara pekikan nyaring yang
dipenuhi perasaan gusar.
Di tengah pekikan itu, tombak emas di tangan Ko Tay-san
telah patah, diikuti tulang lengan, tulang ketiak, tulang iganya
patah berantakan, dia sudah terdesak keluar dari lorong
sempit itu. Pendatang adalah seorang lelaki berambut hitam, wajahnya
kurus tapi bermata tajam.
"Rupanya kau yang datang," sapa Leng-hiat sambil tertawa
lebar. "Kau terluka?" tegur Ni Jian-ciu.
"Bila ingin berduel, kedatanganmu bukan waktu yang
tepat!" jawab Leng-hiat cepat.
"Tidak, aku datang tepat pada waktunya," jawaban Ni Jianciu
terdengar sangat hangat, "berkat kau, saudara-saudaraku
mau bertobat dan kembali ke jalan yang benar, aku berhutang
budi kepadamu, bagaimana kalau aku yang mewakilimu dalam
pertarungan selanjutnya?"
Sebelum Leng-hiat sempat menjawab, penantang ketiga
belas telah melancarkan tusukan dengan sebilah lembing.
Ni Jian-ciu segera melancarkan serangan balasan.
Dia menyerang diiringi suara pekikan nyaring, orang itupun
menemui ajalnya di tengah pekikan itu.
Ketika penantang ketiga puluh satu masuk ke dalam lorong
rahasia, darah mulai mengalir keluar dari tubuh Ni Jian-ciu.
Ketika penantang ketiga puluh sembilan roboh terkapar,
tubuhnya telah bertambah dengan tujuh delapan buah luka
berdarah. "Biar aku yang menggantikan!" bentak Leng-hiat nyaring.
Dengan napas tersengal Ni Jian-ciu tertawa tergelak,
"Hahaha, memangnya kau sangka kondisimu jauh lebih baik
ketimbang aku?"
Dengan sekali puntiran dia patahkan tengkuk si penyerang
berikut, tapi perutnya terhajar tendangan lawan, lagi-lagi Ni
Jian-ciu memuntahkan darah segar.
Penantang keempat puluh satu kembali melancarkan
serangan dengan cambuknya.
Leng-hiat ingin sekali mewakili Ni Jian-ciu menghadapi
serangan itu, sayang lorong itu kelewat sempit, tak mungkin
baginya untuk menerobos lewat.
Mendadak terjadi kegaduhan di luar lorong rahasia diikuti
suara pertarungan yang berlangsung sangat ramai, dengan
pedang terhunus Leng-hiat segera menerjang keluar dari situ,
sementara Ni Jian-ciu berjaga di depan pintu rahasia.
Tampak para jago yang mengepung di depan pintu sedang
bertarung sengit melawan beberapa orang Ya-heng-jin yang
baru saja muncul.
Tak terkirakan rasa gembira Leng-hiat setelah menyaksikan
kehadiran beberapa orang itu, serunya tertahan, "Akhirnya
kalian datang juga!"
"Ya, kami telah datang!" jawab Ko Hong-liang sambil
mengayunkan goloknya membacok roboh seorang lawannya.
Ko Hong-liang, Ting Tong-ih, Tong Keng serta Yong Seng
telah bermunculan di arena pertarungan.
Orang persilatan memang selalu mengutamakan persatuan,
sekalipun masing-masing orang memiliki jalan pikiran berbeda,
namun asal bisa bersanding dengan temannya, asal dapat
bertarung bersama rekan-rekannya, mereka tak akan
mengundurkan diri dari keramaian.
Kawanan jago yang dibawa Li Ok-lay mencapai ratusan
orang banyaknya, di antara sekian banyak orang, sebagian di
antaranya merupakan jago-jago suku asing yang memiliki
kemampuan luar biasa.
Walaupun begitu, di antara sekian banyak jago, tokoh sakti
seperti Ni Jian-ciu telah berpaling, Gi Ing-si, Yan Yu-sim, Yan
Yu-gi telah tewas, bahkan Li Hok dan Li Hui pun telah
menemui ajalnya, hal itu membuat kekuatan musuh
mengalami kerugian yang amat besar.
Sayangnya Leng-hiat maupun Ni Jian-ciu sudah kehabisan
tenaga, tubuh mereka telah dipenuhi luka yang cukup parah,
sementara pihak lawan paling tidak masih ada lima puluhan
jago yang belum turun tangan.
Kehadiran Ko Hong-liang, Ting Tong-ih, Tong Keng serta
Yong Seng memang berhasil merobohkan paling tidak sepuluh
orang jago, namun luka yang diderita keempat orang itupun
cukup parah. Jadi kalau diperhitungkan, posisi Leng-hiat sekalian justru
sudah terjerumus ke dalam kondisi yang amat kritis.
Pada saat itulah mendadak dari luar gedung berjalan
masuk serombongan pasukan berpakaian lapis baja, begitu
tiba di situ, pasukan itu serentak membagi diri menjadi dua
rombongan dan berdiri di kiri kanan jalan.
Dari tengah jalan itulah terlihat seseorang dengan
membawa sebuah kotak berjalan masuk ke dalam ruangan.
Ternyata orang itu tak lain adalah sang pembesar Bun Tio.
Terdengar komandan pasukan yang berada paling depan
membentak keras, "Semuanya berhenti! Terima firman
kaisar!" Firman kaisar memang jauh lebih penting daripada apapun
juga, keempat puluh orang jago yang sedang bertempur
serentak menghentikan serangannya dan menjatuhkan diri
berlutut di tanah.
Leng-hiat, Ko Hong-liang, Ni Jian-ciu, Ting Tong-ih, Tong
Keng serta Yong Seng saling bertukar pandang sekejap,
akhirnya mereka ikut menjatuhkan diri berlutut sambil
menunggu dibacakannya firman kaisar.
Perintah apa yang akan disampaikan sang kaisar lalim yang
selama ini hanya memandang nyawa rakyat bagai sampah"
Kecuali mayat yang terkapar di tanah, para jago yang
terluka tak sanggup merangkak bangun serta dua orang jago
yang sedang berduel dalam kamar rahasia, semua yang hadir
telah berlutut, berlutut sambil menerima perintah itu.
ooOOoo Pertarungan yang berlangsung antara Li Hian-ih melawan Li
Ok-lay berjalan makin sengit.
Li Hian-ih dengan mengandalkan pukulan tangan kosong
selalu mengancam dan menyerang bagian tubuh lawannya
serta bagian yang sulit dipertahankan.
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setengah jam kembali berlalu, telinga kiri Li Ok-lay sudah
terpapas kutung, darah segar bercucuran dari lukanya, tumit
kaki kirinya sudah terinjak patah, kaki kanan dihajar remuk,
lengan kanan kena ditendang patah, jari tangan kirinya
sebagian patah, selain itu hidungnya lecet dan rambutnya pun
sudah terpapas separoh.
Sekalipun berbagai luka telah menghiasi seluruh tubuhnya,
namun isi perutnya masih sehat, hawa murninya juga sama
sekali tidak berkurang.
Mula-mula dia melancarkan serangan dengan tangan
sebelah, namun betapa sempurna dan ganasnya jurus
serangan yang digunakan, ia tak pernah berhasil melukai Li
Hian-ih. Tapi begitu dia mulai mengembangkan serangannya
dengan ilmu pedang sepasang tangannya, keadaan segera
berubah. Kemana pun Li Hian-ih berusaha kabur, berkelit, melompat
atau menghindar, sulit bagi si Raja opas itu untuk meloloskan
diri dari pengejaran ujung pedangnya.
Dalam situasi yang amat gawat inilah Li Hian-ih telah
melakukan satu tindakan.
Dia menghajar meja berisi lilin itu hingga roboh terjungkal
ke tanah. Sekarang tinggal sebatang lilin saja yang menerangi
seluruh ruangan.
Kini ia sedang menerjang ke arah cahaya lilin yang terakhir.
Li Ok-lay kuatir lawannya akan memadamkan lilin yang
terakhir itu, segera dia memutar pedangnya melakukan
penghadangan. Angin pedang bergetar menimbulkan suara yang
menggidikkan hati.
Tiba-tiba Li Hian-ih menghindar dan kemudian menyingkir
jauh-jauh dari serangan itu.
Ketika angin pedang menusuk ke sasaran kosong,
hembusan angin tajam itu seketika memadamkan cahaya lilin
di meja. Seketika itu juga seluruh ruangan tercekam dalam
kegelapan. Li Ok-lay sadar dirinya terjebak oleh siasat Li Hian-ih, angin
pedang yang dilancarkan justru telah membantu lawan
memadamkan lilin itu.
Kini suasana berubah gelap gulita, dalam kegelapan siapa
pun tak dapat melihat keadaan lawan.
Berada dalam keadaan begini, terpaksa Li Ok-lay tak berani
banyak bergerak, dia berdiri tegap sambil bersiaga.
Sama sekali tak terdengar suara apapun, bahkan dengus
napas Li Hian-ih pun tidak terdengar.
Akhirnya Li Ok-lay tak sanggup menahan diri lagi, dia
memutar pedangnya sambil diobat-abitkan ke sekeliling
tubuhnya, dia memutuskan untuk melacak setiap jengkal
tanah dalam ruangan itu, asal Li Hian-ih masih berada di situ,
pada akhirnya dia pasti dapat melubangi tubuh lawannya
bagaikan sebuah sarang lebah.
Pedang masih berada dalam genggaman Li Ok-lay, oleh
sebab itu dia merasa lega.
Dalam waktu singkat seluruh ruang rahasia telah dipenuhi
deru angin pedang yang menusuk pendengaran.
Kegelapan yang mencekam dalam ruangan membuat kedua
orang itu sama-sama tak tahu apa yang bakal terjadi
selanjutnya. Siapa yang bakal mati"
Siapa yang bakal hidup"
ooOoo Di luar dugaan.
Ko Hong-liang maupun Tong Keng sekalian tidak
menyangka kalau persoalan berkembang menjadi suatu
keadaan yang di luar dugaan.
Bahkan Leng-hiat sendiri pun sama sekali tak menyangka.
Firman kaisar berbunyi,
"Setelah dilakukan penyelidikan dan pelacakan yang
seksama, diketahui bahwa tuduhan yang dialamatkan kepada
Sin-wi-piau-kiok ternyata merupakan tuduhan yang tak
terbukti dan merupakan fitnah.
Ternyata semua kekacauan dan perampokan uang pajak
yang terjadi selama ini merupakan rencana busuk yang
dimotori Li Ok-lay, oleh karena itu diperintahkan kepada Lenghiat
dan Li Hian-ih sekalian untuk menangkap orang ini dan
menyeretnya ke meja pengadilan.
Wilayah Cing-thian juga dibebaskan dari kewajiban
menyetor pajak tahunan lagi, kepada para penanggung jawab
daerah diperintahkan untuk segera menemukan kembali uang
pajak yang dirampok dan mengirimnya ke kotaraja.
Mengenai kasus penyerbuan ke dalam penjara, peristiwa ini
diketahui sebagai ulah pemimpin Bu-su-bun, Kwan Hui-tok,
tapi karena yang bersangkutan sudah tewas maka persoalan
ini tak perlu diselidiki lebih lanjut.
Seluruh anggota Sin-wi-piau-kiok dipandang sebagai orangorang
yang setia dan berani melindungi barang milik negara,
kesetiaan dan keberanian ini dianggap sebagai sebuah pahala
besar, karena itu dianugerahkan gelar 'Hu-kok-piau-kiok',
perusahaan ekspedi pelindung negara, Kokcu Ko Hong-liang
diperintahkan datang ke kotaraja untuk menerima anugerah
itu. Semua anak buah Li Ok-lay yang tidak terlibat dalam
peristiwa ini dibebaskan dari hukuman dan diperintahkan
untuk menangkap antek-antek lainnya yang terlibat sebagai
penebus dosanya".
Dalam firman kaisar itupun dijelaskan bahwa semua
peristiwa bisa terungkap berkat penyelidikan yang dilakukan
perdana menteri Hu Tiong-su secara diam-diam.
Meskipun jabatan Li Ok-lay sangat tinggi, namun
jabatannya masih jauh di bawah kekuasaan Hu Tiong-su.
Apalagi perintah itu datang melalui firman kaisar!
Begitu selesai mendengar pembacaan firman tadi, hampir
sebagian besar kawanan jago itu tak berani berkutik lagi,
semua orang berusaha membebaskan diri dari keterlibatan
mereka dari peristiwa ini, bahkan banyak di antara mereka
yang ingin membunuh Li Ok-lay untuk membuktikan
kebersihan mereka.
Di antara sekian orang, Ko Hong-liang yang paling
terperangah dibuatnya.
Dia sebenarnya adalah seorang buronan kelas kakap.
Perusahaan Sin-wi-piau-kiok pun sebenarnya sudah
tumbang, sudah hancur dan musnah, tapi secara tiba-tiba
segala sesuatunya telah berubah.
Kini bukan saja sudah terbebas dari segala tuduhan,
bahkan mendapat anugerah sebagai perusahaan ekspedisi
pelindung negara sementara dia sendiri pun mendapat
pangkat. Kenyataan itu benar-benar membuat Ko Hong-liang
terkejut bercampur gembira, sambil menyembah berulang kali,
teriaknya, "Hidup kaisar, hidup kaisar..."
Tentu saja Tong Keng pun ikut merasa amat gembira.
Hanya Ting Tong-ih seorang yang berdiri termangu-mangu.
Isi Firman kaisar sudah jelas sekali, bukan saja semua
persoalan telah diputar balikkan, bahkan seluruh kesalahan
dan tanggung jawab telah dilimpahkan ke tubuh Li Ok-lay
seorang. Bukan cuma itu, bahkan kesalahan lain pun sudah
dilimpahkan ke tubuh Kwan Hui-tok.
Tapi Ting Tong-ih tahu, Kwan Hui-tok tak pernah
melakukan pelanggaran seperti apa yang dituduhkan, dia mati
di penjara karena dicelakai anak buah Li Ok-lay, dia mati
karena membela kaum lemah.
Dia tak bisa mengakui tuduhan itu.
Dia tak ingin Kwan Hui-tok tercemar namanya, meski
orangnya sudah lama mati.
"Bukan perbuatan Kwan-toako" jeritnya kemudian, "Kwan
Hui-tok tidak bersalah!"
Semua orang segera berpaling, memandang ke arah Ting
Tong-ih dengan sinar mata bermusuhan.
Segera Ko Hong-liang mencegahnya, "Nona Ting, jangan
bicara sembarangan!"
"Akulah yang menyerbu ke dalam penjara, persoalan ini tak
ada sangkut-pautnya dengan Kwan-toako," teriak Ting Tongih,
"dia merampok yang kaya untuk menolong yang miskin,
dia tak pernah punya niat berkhianat pada negara, tak pernah
memberontak pada kerajaaan!"
"Nona Ting..." tukas Ko Hong-liang.
Sementara itu Bun Tio dengan kening berkerut telah
menghardik, "Hanya orang pintar yang tahu keadaan, kau
berani membangkang perintah kaisar?"
Serentak para jago yang ada di situ bergerak maju, mereka
siap mengepung Ting Tong-ih.
"Nona Ting..." segera Tong Keng berseru.
"Aku tak boleh membiarkan arwah Kwan-toako di alam
baka tak bisa beristirahat dengan tenang, aku tak ingin dia
jadi kambing hitam."
"Nona Ting," hardik Ko Hong-liang kemudian, "perintah
kaisar telah dibacakan, lebih baik kita jangan mencari
masalah, jangan sampai kau menghancurkan masa depanmu."
Perlahan-lahan Ting Tong-ih berpaling, dengan sorot mata
dingin dan hambar ia memandang ke arah Ko Hong-liang,
seakan-akan baru pertama kali ini dia bersua dengan orang
itu. "Sekarang kau sudah memperoleh apa yang kau inginkan,
namamu sudah bersih dari segala tuduhan, tentu saja kau
jangan ikut campur urusan orang lain."
"Omong kosong!" bentak Ko Hong-liang dengan wajah
merah padam. Dalam pada itu kawanan jago telah maju mengepung Ting
Tong-ih, asal Bun Tio menurunkan perintah, serentak mereka
akan melancarkan serangan.
Tiba-tiba Tong Keng melompat maju dan berdiri bersanding
di sisi perempuan itu.
"Minggir kau!" bentak Ting Tong-ih dengan hati bergetar.
"Tidak, aku tak akan pergi," sahut Tong Keng lantang,
"kalau harus berangkat, mari kita berangkat bersama."
Ting Tong-ih merasa sangat terharu, kecuali terhadap
Kwan Hui-tok, belum pernah perasaan semacam itu tumbuh
dalam hati kecilnya.
Tapi sekarang, kembali dia merasakan hal itu.
"Nona Ting," tiba-tiba Leng-hiat berseru, "kau..."
"Kau tak perlu membujuk aku," tukas Ting Tong-ih.
Tiba-tiba Leng-hiat melangkah maju ke samping Bun Tio,
dengan ketakutan Bun Tio mundur selangkah.
Tapi Leng-hiat sudah berbisik di sisi telinganya, "Aku tahu,
oleh karena perdana menteri Hu sadar bila Cukat-sianseng
telah mencampuri urusan ini dan sedang mengumpulkan
bukti, maka dia manfaatkan peluang ini untuk menjadi orang
baik dengan membujuk Sri baginda menurunkan firmannya,
kau sebagai pelapor tentunya juga ada pahala besar bukan
"Mau apa kau?" tanya Bun Tio.
"Nona Ting adalah anak buah Cukat-sianseng."
"Oya?" Bun Tio segera menunjukkan wajah sangsi,
"baiklah, apakah Kwan Hui-tok difitnah orang atau tidak pasti
akan kulaporkan ke atasan agar Paduka Yang mulia
melakukan penyelidikan lagi. Kalau begitu kita tunda dulu
persoalan ini, harap semuanya menunggu perintah berikut
dengan sabar."
Selesai bicara dia bersama orang-orangnya segera
menyingkir ke samping.
Kini tinggal bekas anak buah Li Ok-lay yang berdiri saling
berpandangan, mereka tak tahu bagaimana Leng-hiat akan
menghukum mereka.
Sementara itu Leng-hiat sudah merasakan kepalanya
pening. Darah yang mengalir keluar dari tubuhnya kelewat banyak,
seandainya Ni Jian-ciu tidak datang membantu, mungkin sejak
tadi ia sudah tak mampu menahan diri.
Luka yang diderita Ni Jian-ciu pun cukup parah, tapi sambil
tertawa dia sempat menepuk bahu Leng-hiat sambil berkata,
"Budi kebaikanmu telah kubayar lunas!"
Tiba-tiba ia menyusupkan sesuatu benda ke tangan Lenghiat
sambil bisiknya lagi, "Sejak awal aku sudah tak tahan
menyaksikan ulah Li Ok-lay dan putranya, maka ketika terjadi
kekacauan dalam penjara, diam-diam kucuri lukisan tengkorak
ini, aku tak ingin peristiwa pengulitan terhadap narapidana
terulang kembali, tapi aku pun tak tahu apa gunanya benda
ini, tapi aku yakin benda ini sangat penting karena semua
orang mencarinya, sekarang biar kuhadiahkan untukmu!"
"Kau..." saking terharunya Leng-hiat sampai tak sanggup
berkata-kata. Sementara itu Ni Jian-ciu sudah berjalan meninggalkan
ruangan itu, tanpa berpaling serunya lagi, "Aku akan pergi
mencari saudara-saudaraku."
Kemudian setelah tertawa tergelak, lanjutnya, "Karena
merekalah kesunyian bagiku, juga kebanggaan bagiku!"
"Sehari dia menjadi saudaraku, selama hidup dia adalah
saudaraku!"
Ketika mengucapkan kata-kata itu, bayangan tubuhnya
sudah lenyap di balik salju nan tebal. Leng-hiat hanya berdiri
termangu. Mendadak terdengar suara benturan keras bergema dari
arah belakang, menyusul kemudian tampak pintu rahasia
dibuka orang. oooOOooo 37. Salju Di Awal Fajar.
Dalam ruang rahasia yang gelap gulita, pertarungan tinggal
berlangsung satu gebrakan.
Waktu itu Li Ok-lay merasa Li Hian-ih menyelinap maju
menghampiri rubuhnya.
Maka dengan satu gerakan cepat dia melepaskan sebuah
tusukan kilat, serangan ini dilancarkan dengan sepenuh
tenaga dan disertai sebuah tekad, menghabisi nyawa lawan.
"Crriiit!", tusukan itu langsung bersarang telak di perut Li
Hian-ih. Li Ok-lay sangat girang, belum sempat ingatan kedua
melintas, tubuh Li Hian-ih sudah merangsek maju ke depan,
dan dalam waktu singkat dia sudah menotok tujuh buah jalan
darah penting di tubuhnya.
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Li Ok-lay mendesis tertahan, tubuhnya seketika terkulai
lemas di tanah.
Ternyata Li Hian-ih sengaja membiarkan badannya
tertembus tusukan pedangnya dengan niat menangkapnya
hidup-hidup. Dalam keadaan begini Li Ok-lay hanya bisa menghela napas
panjang. "Bunuhlah aku," keluhnya.
Li Hian-ih terbatuk-batuk, dengan susah payah jawabnya,
"Sayang aku tak punya wewenang untuk membunuhmu."
Kini Li Ok-lay dapat mendengar tetesan darah yang
mengalir keluar dari tubuh Li Hian-ih, kembali serunya,
"Ternyata kau berani mengadu nyawa ... jauh lebih ulet, jauh
lebih mengerikan ketimbang Leng-hiat!"
"Ilmu silatmu sangat tangguh," Li Hian-ih merintih, "bila
aku tidak berkorban ... mana mungkin bisa membekukmu
hidup-hidup."
"Dengan mengandalkan ilmu silatmu, menangkapku
memang bukan pekerjaan yang gampang, tapi untuk
membunuhku, seharusnya tidak sulit untuk kau lakukan!"
Li Hian-ih menghela napas panjang. "Aaai, aku heran,
kenapa kalian ... kalian begitu suka membunuh orang, apakah
tidak terkecuali terhadap keselamatan diri sendiri?"
Di balik kegelapan, meski kedua orang itu tak dapat saling
memandang, tapi kedua belah pihak sama-sama menghargai
kemampuan lawannya.
Sampai lama sekali Li Ok-lay termenung, kemudian baru
bertanya, "Dalam hidupmu ini ... apakah ... apakah tak pernah
berpikir untuk membunuh seseorang?"
"Ada..." ada seorang jawab Li Hian-ih dengan suara pedih.
Belum selesai dia berkata, pintu sudah dibuka dan dia
muncul sambil menggelandang Li Ok-lay.
Melihat pemimpin mereka sudah tertawan, anak buah Li
Ok-lay semakin tak berani berkutik lagi.
Leng-hiat sekalian pun merasa gembira setelah
menyaksikan kemenangan yang berhasil diraih Li Hian-ih,
namun mereka pun terkejut ketika melihat sebilah pedang
masih menancap di lambungnya.
Segera Leng-hiat menotok beberapa jalan darah di seputar
luka Li Hian-ih, kemudian mencabut keluar pedang itu dan
membubuhi obat.
"Aku ... aku berhasil membekuknya!" bisik Li Hian-ih sambil
tertawa getir. "Bunuh!" tiba-tiba Bun Tio menurunkan perintahnya.
Serentak semua orang melolos senjata sambil meluruk
maju ke depan. "Tahan!" hardik Li Hian-ih gusar.
"Kenapa?" tanya Bun Tio sambil menarik wajah.
"Akulah yang menangkap dia, akan kubawa dia ke kotaraja,
dia harus diperiksa sesuai dengan prosedur."
"Kau berani membangkang perintah kaisar?" jengek Bun
Tio sambil tertawa dingin.
Li Hian-ih melengak, sambil manggut-manggut Leng-hiat
berkata, "Benar, firman kaisar baru saja turun, diperintahkan
untuk menghabisi nyawa Li Ok-lay!"
Sementara Li Hian-ih masih tertegun, tiba-tiba tampak
seseorang menyelinap maju ke depan sambil menghujamkan
goloknya ke punggung Li Ok-lay.
Jerit kesakitan bergema memecah keheningan, rasa sakit
yang luar biasa membuat jalan darah Li Ok-lay yang tertotok
seketika tertembus bebas, dengan mata melotot gusar ia
berpaling. Ternyata sang pembokong adalah Kwan Siau-ci!
"Kalian ... kalian hendak melenyapkan saksi ...!" jeritnya
gusar. Kwan Siau-ci mendengus sinis, sekali lagi dia
menghujamkan goloknya ke hulu hati lawan.
Darah segar segera menyembur ke empat penjuru, seketika
itu juga Li Ok-lay terkapar di tanah dan tewas.
Li Hian-ih maupun Li Ok-lay tahu perbuatan itu merupakan
perintah Hu Tiong-su, setelah rencana busuk mereka
mengalami kegagalan, tentu saja dia perlu menghilangkan
nyawa Li Ok-lay secepatnya.
Tak disangka tampaknya Li Ok-lay sudah mendapat firasat
jelek, maka sebelum mulutnya dibungkam, dia membongkar
dulu rahasia besar itu.
"Kau memang manusia laknat yang tak tahu malu!" umpat
Li Hian-ih sambil melotot ke arah Kwan Siau-ci.
Dengan cepat Kwan Siau-ci mundur selangkah, sahutnya
cepat, "Aku hanya melaksanakan perintah kaisar."
Dengan gemas Leng-hiat maju selangkah, kini dia benarbenar
ingin menghabisi nyawa manusia rendah yang licik dan
tak tahu malu itu.
"Siau-ci!" tiba-tiba terdengar Ting Tong-ih berteriak keras.
Rupanya Tong Keng telah memberitahu kepada Ting Tongih
bahwa orang ini adalah adik kandung Kwan Hui-tok.
Kwan Siau-ci melongo, tentu saja dia tak mengenal
siapakah wanita cantik yang memanggil namanya itu.
"Ketapel cilik" Ko Hong-liang segera berseru, "dia adalah
nona Ting, sahabat karib kakakmu Kwan Hui-tok, kakakmu...
berpesan kepada nona Ting untuk datang menengokmu."
Kwan Siau-ci sadar, posisinya saat ini sangat berbahaya,
sejak Li Ok-lay membocorkan rahasia tentang lukisan
tengkorak kepada Leng-hiat dan Li Hian-ih, dia tahu dirinya
telah menjadi salah satu saksi, maka bila rencana Li Ok-lay
mengalami kegagalan, dia pun pasti akan dihabisi nyawanya.
Tak ingin kehilangan nyawa maka dia pun mendahului
turun tangan dengan membunuh Li Ok-lay.
Tapi dia pun sadar bahwa Leng-hiat sekalian tak bakal
melepaskan dirinya begitu saja, maka begitu tahu di antara
kerumunan musuh tiba-tiba muncul 'orang sendiri', dia segera
memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
Segera dia menyongsong ke depan seraya berseru, "Enci
Ting, Toako pernah menyinggung tentang dirimu."
Leng-hiat tahu, Kwan Siau-ci yang licik ingin menggunakan
perlindungan Ting Tong-ih untuk menyelamatkan diri, dalam
keadaan begini dia tak ingin mencari masalah lain maka
sambil menghela napas dia hanya menggelengkan kepala
berulang kali. Bun Tio yang melihat tugasnya telah selesai dilaksanakan,
segera mengajak anak buahnya untuk pergi meninggalkan
tempat itu. Hingga menjelang tengah malam Leng-hiat dan Li Hian-ih
baru tiba kembali di kantor Sin-wi-piau-kiok
Karena sama-sama terluka parah, kedua orang itu harus
saling membantu mendekati kantor Sin-wi-piau-kiok.
Saat itulah mereka mendengar suara Ko Hong-liang sedang
berseru dengan nada gembira, "Ayo, cepat, cepat ganti papan
nama itu, kita harus segera menggantung papan nama
pemberian Sri Baginda."
"Yong-sute, cepat ambil buku catatan, kita harus menyebar
undangan untuk mengundang semua sahabat dunia
persilatan, peristiwa besar ini harus kita rayakan dengan
ramai." "Baginda memang bijaksana, Thian memang punya mata,
akhirnya aku tidak mempermalukan kejayaan serta nama baik
mendiang ayahku!"
Terenyuh juga Li Hian-ih dan Leng-hiat menyaksikan
kegembiraan yang melanda perasaan Ko Hong-liang waktu itu.
"Aaai..." Leng-hiat menghela napas panjang, "setelah
kehilangan banyak nyawa, setelah menanggung semua
penderitaan dan hinaan, akhirnya hanya dengan sepucuk
firman kaisar semuanya telah berlalu, semua luka telah
terobati, semua dendam sakit hati sudah terlupakan ... tak
heran orang selalu bilang, bersin seorang pembesar tinggi
jauh lebih berharga daripada mati hidup seorang rakyat kecil."
"Ko-kokcu tidak mengingat dendam, tidak mengingat rasa
benci, hal ini menunjukkan kebesaran jiwanya," Li Hian-ih
mencoba menjelaskan.
Ketika mereka berdua mendekati pintu gerbang, terdengar
Tong Keng kembali bertanya kepada Ko Hong-liang, "Kokcu,
Go Seng... Go-piauthau masih berada dalam penjara,
apakah..."
"Kita tak usah pedulikan dia lagi!" tukas Ko Hong-liang tak
senang, "Sri baginda pasti akan mengutus orang untuk
menyelidiki persoalan ini, cepat atau lambat dia pasti akan
dibebaskan, tak ada gunanya kita merasa cemas!"
"Tapi ... Go-piauthau masuk penjara bersama kita, sudah
seharusnya dia telah dibebaskan dari penjara ... apa perlu kita
kirim orang untuk menyelidikinya?"
"Menyelidiki?" terdengar Ko Hong-liang semakin jengkel.
"bukankah Kaisar telah berkata akan dilakukan
penyelidikan" Urusan kita masih banyak, kalau sampai
membikin gusar kaisar, hidup kita bisa sengsara lagi..."
Kelihatannya kehidupan yang berat dan penderitaan selama
ini telah membuat hatinya ciut, dia tak ingin mencari masalah
lagi. Diam-diam Leng-hiat memberi tanda kepada Tong Keng
agar keluar ruangan.
Tong Keng mengajak Leng-hiat dan Li Hian-ih naik ke
loteng, selesai menghidangkan air teh baru ia berkata, "Biar
kuundang Kokcu datang kemari."
"Tidak usah," tampik Leng-hiat, "dia... dia tentu sedang
repot sekali."
Saat itulah tiba-tiba muncul seorang gadis berwajah cantik,
ternyata dia adalah Ko Siau-sim, segera Tong Keng
memperkenalkan gadis itu kepada semua yang hadir.
Dari dalam sakunya Ko Siau-sim mengeluarkan selembar
kain putih yang sudah agak menguning, katanya tiba-tiba,
"Inilah benda yang sedang dicari kawanan opas itu,
sebenarnya apa sih kegunaannya?"
"Apakah kain itu adalah kain pembungkus jenazah
Lotoaya?" tanya Li Hian-ih.
"Kita semua tak tahu...." Leng-hiat tertawa getir,
mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, segera
dia mengeluarkan gulungan kain yang diserahkan Ni Jian-ciu
kepadanya dan membukanya lebar.
Ternyata gulungan kain itu merupakan kulit manusia
dengan sulaman berpuluh buah tulang tengkorak berwarna
putih, ada yang besar ada pula yang kecil, tengkoraktengkorak
itu dilukiskan sedang mengadakan pesta di sebuah
gedung, ada yang memegang cawan arak, ada bangunan
gedung, ada gunung-gunungan, ada pula lentera indah,
semua benda itu disulam sangat indah.
"Oooh, sungguh menakutkan" pekik Ko Siau-sim lirih.
Leng-hiat tahu lukisan itu terbuat dari beberapa lembar
kulit manusia yang diperoleh dari menguliti para narapidana,
tapi dia tak tahu apa kegunaannya, dengan perasaan sedih dia
pun meletakkan lukisan itu di atas meja.
Siapa tahu ketika lukisan tengkorak saling menempel
dengan kain pembungkus mayat itu, terjadilah kilatan cahaya
fosfor yang menyilaukan mata.
Segera Leng-hiat menyambar kedua lembar kain itu dan
direntangkan di bawah cahaya lentera, tampak bentuk serta
potongan kedua lembar kain itu persis satu dengan lainnya,
bahkan di atas tengkorak-tengkorak itu segera muncul banyak
sekali kilatan cahaya fosfor yang merupakan kode-kode
rahasia. Menyaksikan keanehan itu, tak kuasa lagi Li Hian-ih
menghela napas sambil memuji, "Ternyata Am-hoa Thaysu
memang tak malu disebut tokoh ilmu rajah, biarpun orangnya
sudah lama terkubur dalam tanah, namun ketika kain
pembungkus mayat disatukan dengan lukisan pada kulit
manusia itu, seluruh kode rahasianya segera bermunculan,
benar-benar sebuah maha karya yang luar biasa!"
Rupanya Hu Tiong-su telah memerintahkan Li Wan-tiong
untuk membuat seperangkat lukisan tengkorak dari kulit
manusia, tentu saja semua lukisan yang tertera pada kulit
manusia itu dibuat persis sama dengan gambar rajah yang
ada di dada Ko Hway-sin.
Tampaknya dia memang sengaja melakukan hal itu agar
setelah ditempelkan pada kain pembungkus mayat, semua
kode rahasia yang tersimpan segera akan bermunculan dan
terbaca dengan jelas, dengan sendirinya semua tempat
rahasia dan strategis yang ada dalam istana pun dapat terlihat
jelas. Dengan perasaan girang Leng-hiat segera berseru, "Akan
kubawa pulang benda ini dan kuserahkan kepada Cukatsianseng"
Tiba-tiba dia susupkan kain pembungkus mayat dan lukisan
tengkorak itu ke tangan Ko Siau-sim, lalu pasang telinga
sambil mendengarkan dengan seksama.
Ternyata pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda
yang bergerak mendekat, ketika tiba dalam lorong dekat pintu
gerbang Sin-wi-piau-kiok, terlihat tubuh seseorang terjatuh
dari atas pelana kuda.
Serentak Leng-hiat dan Li Hian-ih melompat bangun,
membuka jendela dan menengok ke bawah.
Tampak seekor kuda telah berhenti di depan pintu, di
punggung kuda itu terlihat noda darah kental, sesosok tubuh
manusia terkapar di atas permukaan salju, darah kental pun
berceceran membasahi lapisan salju di seputar sana.
Orang itu berambut panjang berwarna hitam.
Li Hian-ih saling bertukar pandang sekejap dengan Lenghiat,
kemudian secepat kilat mereka melompat turun sambil
membangunkan orang tadi.
"Aaah, Ni Jian-ciu!" jerit mereka tertahan.
Ternyata orang yang terluka parah dan berada dalam
keadaan sekarat itu tak lain adalah manusia latah berambut
putih Ni Jian-ciu.
Saat itu darah kental berwarna hitam masih meleleh keluar
dari mulut, hidung dan telinga Ni Jian-ciu, dengan susah
payah dia membuka matanya lalu berbisik lirih, "Saudarasaudaraku
... Ong Beng-kun ... mereka ... mereka telah
membohongi aku ... mereka melarikan ketiga buli-buli mestika
yang ... yang telah kuperbaharui ... mereka telah ... telah
meracuni aku ... aku ... sangat... sangat menyesal..."
Tiba-tiba ia berpekik nyaring, suaranya lirih dan
mengenaskan, lalu tubuhnya mengejang keras, rambutnya
yang hitam berubah menjadi putih kembali dan akhirnya dia
menghembuskan napasnya yang terakhir.
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Leng-hiat menggenggam kencang sepasang tangan Ni Jianciu
yang mulai mendingin, teriaknya, "Aku pasti akan
membalaskan dendam sakit hatimu!"
Dia sangat sedih dan menyesal, bagaimanapun dia merasa
kematian Ni Jian-ciu gara-gara ulahnya yang telah
mempersatukan kembali dia dengan saudara-saudaranya yang
telah berkhianat, akibatnya Ong Beng-kun bukan saja tidak
berubah watak jahatnya, mereka justru telah mencelakai
nyawa Ni Jian-ciu dan memperoleh ketiga buli-buli mestika itu.
Dalam pada itu Tong Keng telah ikut melompat turun, dia
menjadi tertegun setelah menyaksikan Ni Jian-ciu tergeletak di
tanah bersimbah darah.
Li Hian-ih segera berkata kepada Leng-hiat, "Aku akan
menemanimu pergi menangkap Ong Beng-kun, cepat kau
ambil kembali lukisan tengkorak serta kain pembungkus mayat
itu sementara aku dan saudara Tong akan mengubur jenazah
Ni Jian-ciu."
"Baik!" sahut Leng-hiat sambil melompat kembali ke atas
loteng. Mendadak ia teringat luka tusuk yang diderita Li Hian-ih
pada lambungnya, luka itu cukup parah dan seharusnya tak
baik kelewat lama berada di tempat yang dingin.
Kalau ingin mengubur jenazah Ni Jian-ciu, sepantasnya bila
mereka menggali tanah kubur bersama.
Berpikir begitu segera dia balik kembali ke tempat semula.
Dari atas atap rumah ia lihat Li Hian-ih sedang berbicara
dengan Tong Keng, kemudian tampak Raja opas itu mencabut
keluar pedang hijau milik Li Ok-lay dan langsung ditusukkan
ke tubuh Tong Keng.
Kepandaian silat yang dimiliki Tong Keng masih jauh
ketinggalan dibandingkan kepandaian Li Hian-ih, baru berhasil
menghindari sebuah tusukan, tubuhnya sudah roboh
terjungkal ke atas tanah.
Tampak Li Hian-ih segera berkomat-kamit seperti membaca
doa, kemudian pedangnya langsung ditusukkan ke bawah.
"Ampuni jiwanya!" segera Leng-hiat berteriak, secepat kilat
dia melompat turun sambil berusaha menangkis tusukan itu.
Li Hian-ih segera menarik kembali pedangnya, lalu sambil
menuding ke arah Leng-hiat serunya, "Urusan ini tak ada
sangkut-pautnya dengan dirimu!"
Mimpi pun Leng-hiat tidak menyangka kalau Li Hian-ih yang
tak pernah membunuh orang ternyata berusaha menghabisi
nyawa Tong Keng, teriaknya tertahan, "Kenapa kau berbuat
begitu?" Rasa sedih, pedih dan murung terlintas di atas wajah Li
Hian-ih, dia sama sekali tidak menjawab.
Tong Keng yang terkapar di atas tanah segera berseru,
"Dia bilang Li Wan-tiong adalah putranya! Dia bilang Li Wantiong
adalah putranya!"
"Jadi kau bilang harus membunuh seseorang, orang itu
adalah dia" Kau ingin membalas dendam atas kematian
putramu?" tanya Leng-hiat tercengang.
Li Hian-ih tertawa pedih.
"Aku hanya mempunyai seorang anak saja, Li Wan-tiong
adalah satu-satunya putraku, justru karena aku tak ingin dia
hidup menderita seperti aku, maka kuserahkan dia kepada Huthayjin
untuk dipelihara, ternyata perdana menteri Hu
menyerahkan Wan-tiong kepada Li Ok-lay ... aku ... aku tidak
menyangka akhirnya dia tewas dibunuh orang ini ... aku tahu
anakku memang jahat dan banyak melakukan kekejaman, tapi
aku hanya mempunyai seorang anak, aku harus membalas
dendam atas kematiannya!"
Dengan cepat Leng-hiat menghadang di hadapan Tong
Keng, serunya, "Anakmu terbunuh karena Li Ok-lay telah salah
mendidik, karena Li Ok-lay kelewat memanjakan dirinya, bila
ingin membalas dendam, seharusnya kau mencari Li Ok-lay,
Tong Keng sama sekali tak bersalah."
"Aku tahu dia memang tak salah," Li Hian-ih sangat sedih,
"tapi aku harus mencabut nyawanya sebagai ganti nyawa
putraku ... Li Ok-lay sudah tewas, dia pun harus mati!"
"Hmm, aku sangka kau selalu adil dan bijaksana dalam
mengambil keputusan," jengek Leng-hiat sambil tertawa
dingin, "ternyata sama saja, kau pun egois, kau hanya tahu
memikirkan kepentingan sendiri, kau sama seperti mereka, tak
bisa membedakan mana besar mana salah, kau pun
membunuh manusia baik!"
"Kau bisa berkata begitu karena kau belum pernah punya
anak!" bentak Li Hian-ih sambil mengayunkan pedangnya,
"aku menantangnya berduel karena aku menggunakan hukum
yang berlaku dalam dunia persilatan, peristiwa ini sama sekali
tak ada sangkut-pautnya dengan hukum negara!"
Mendengar ucapan itu Leng-hiat menghela napas panjang.
"Aaai, aku tak bisa membiarkan kalian berduel, sebab dia pasti
bukan tandinganmu!"
"Batukku sudah membuat paru-paruku membusuk," kata Li
Hian-ih sambil tertawa getir, "sebuah tusukan maut juga telah
merusak ususku, bukan sesuatu yang sulit baginya bila ingin
membunuhku!"
"Aku pun sudah menderita luka parah" kata Leng-hiat
sambil tertawa, "kita semua sudah terluka dan kehabisan
tenaga, bila kau ingin bertarung melawannya, lebih baik
menangkan dulu diriku!"
"Aku tak ingin membunuhmu," ucap Li Hian-ih sambil
menghela napas panjang.
"Kalau begitu, ampunilah nyawa Tong Keng."
Kembali Li Hian-ih terbatuk hebat, batuknya begitu keras
dan hebat seakan-akan kedua paru-parunya telah hancur,
lama kemudian baru ia berkata, "Tidak! aku harus
membunuhnya!"
Pedangnya langsung ditusukkan ke tubuh Tong Keng.
Leng-hiat mengayunkan pedangnya dan menangkis
bacokan itu. Sambil terbatuk-batuk Li Hian-ih melambung ke udara,
melewati tubuh Leng-hiat dan mengejar ke arah Tong Keng.
Sekali lagi Leng-hiat berguling di atas tanah sambil
melancarkan serangan, kembali dia tangkis tusukan maut itu.
Salju yang turun di awal fajar tampak semakin deras, hawa
dingin semakin menusuk tulang.
Li Hian-ih terbatuk tiada hentinya, dia seolah tak tahan
menghadapi hawa pembunuhan yang terpancar dari
pedangnya serta hawa dingin bunga salju yang berguguran.
"Kenapa kau selalu menghalangi aku?"
"Kenapa pula kau ingin membunuh seseorang yang sama
sekali tak tersangkut dalam kejadian ini?"
Sambil menghela napas Li Hian-ih kembali melancarkan
serangan, tapi Leng-hiat segera menghadang serangan itu.
Dengan cepat Raja opas memutar badannya sambil
melakukan babatan, sebuah garis luka yang memanjang
segera muncul di tubuh Leng-hiat.
Dengan melukai Leng-hiat sebenarnya Li Hian-ih berharap
opas kenamaan itu agak terhalang gerakan tubuhnya sehingga
dia mendapat peluang untuk membunuh Tong Keng.
Siapa tahu justru karena luka itu, Leng-hiat jadi
terangsang, watak nekadnya segera muncul, dengan penuh
semangat ia justru balas melancarkan serangkaian serangan
berantai. Batuk Li Hian-ih semakin parah, tapi serangannya sama
sekali tak mengendor.
Bunga salju makin deras berguguran ke bumi, kini seluruh
permukaan jalan sudah dilapisi oleh salju yang tebal.
Ketika bunga salju menempel di tubuh mereka, segera
berubahlah menjadi bunga darah, luka di tubuh mereka pun
mengucurkan darah semakin deras, pergulatan yang sengit
membuat luka-luka itu merekah semakin lebar.
Lama kelamaan Tong Keng menjadi tak tega juga, dia tahu
Leng-hiat sedang mati-matian melindungi keselamatan
jiwanya. "Leng-suya, biarkan dia membunuhku" teriaknya.
Leng-hiat seakan tidak mendengar teriakan itu, dia masih
mendesak musuhnya dengan sepenuh tenaga.
Suara batuk Li Hian-ih makin menghebat dan bertambah
parah, kini suaranya sudah mirip kotak angin yang bobrok,
suara yang seakan bisa terhenti secara tiba-tiba.
Bebeberapa kali Li Hian-ih ingin melampaui Leng-hiat untuk
membunuh Tong Keng, tapi ia tak pernah berhasil membobol
pertahanan Leng-hiat yang ketat.
Untuk membunuh Tong Keng, dia harus menjatuhkan
Leng-hiat terlebih dulu.
Tapi sayang Leng-hiat bukan seorang jago yang gampang
dirobohkan. Bila ingin merobohkan Leng-hiat, satu-satunya jalan adalah
mencabut nyawanya.
Semakin lama pertarungan berlangsung, daya semangat
dan kemampuan yang dimiliki Leng-hiat semakin terangsang
keluar, makin bertempur Leng-hiat makin gigih dan kosen,
sekalipun darah bercucuran dari lukanya semakin deras.
Ilmu silat yang dimiliki Li Hian-ih memang sangat hebat,
tenaga dalamnya jauh di atas kemampuan Leng-hiat, oleh
sebab itu semakin bertarung, semua kehebatan ilmu silatnya
semakin terpancar keluar.
Tapi gaya pertarungan yang dilakukan Leng-hiat adalah
gaya pertarungan orang nekad, menghadapi manusia nekad
semacam ini, biar seseorang memiliki ilmu silat tiga empat kali
lebih hebat pun tetap sulit mengalahkannya dalam waktu
singkat. Salju turun semakin deras.
Fajar pun mulai menyingsing, secercah sinar terang mulai
muncul di ufuk timur.
Waktu itu Tong Keng sudah terdesak hingga tiba di atas
dinding loteng, Leng-hiat masih berusaha melindungi Tong
Keng dengan punggung membelakangi bangunan, sedangkan
Li Hian-ih persis menghadap ke arah bangunan loteng Sin-wipiaukiok. Tiba-tiba Li Hian-ih berpekik panjang, tubuhnya
melambung ke tengah udara.
Jurus serangan ini sungguh sangat menakutkan, rupanya
dia ingin menyergap dari atas.
Leng-hiat sama sekali tak menyangka kalau Li Hian-ih bakal
mengeluarkan jurus serangan mematikan semacam ini, satu
ingatan dengan cepat melintas dalam benaknya, "Kau ingin
membunuhku, aku pun ingin membunuhmu, aku tak akan
membiarkan kau membunuh Tong Keng!"
Leng-hiat membentak gusar, tubuh berikut pedangnya
meluncur ke atas sambil melepaskan sebuah tusukan.
"Bluuusss!", ujung pedang meluncur ke atas menembus
dada Li Hian-ih.
Tapi gerakan tubuh Li Hian-ih sama sekali tak berhenti, dia
masih melesat ke arah ruang loteng dan sama sekali tidak
mempedulikan tusukan pedang Leng-hiat yang telah
menembus dadanya.
Ternyata tusukan maut yang dilancarkan Li Hian-ih tertuju
ke dalam ruang loteng itu.
Dengan perasaan terkesiap Leng-hiat berpaling, dia
saksikan Kwan Siau-ci yang berada di ruang loteng sedang
menghujamkan pisau belatinya ke punggung Ting Tong-ih,
sementara tusukan pedang Li Hian-ih telah menghujam di
punggung Kwan Siau-ci.
Dalam waktu singkat Ting Tong-ih roboh terkapar, Kwan
Siau-ci juga roboh terkapar, Li Hian-ih sambil melepaskan
pedangnya ikut terkapar.
Dari balik ruang loteng segera terdengar jeritan kaget Ko
Siau-sim. Bedanya, tubuh Li Hian-ih masih tertinggal di luar jendela,
oleh karena itu tubuhnya segera terjungkal dan roboh ke atas
tanah. Dengan perasaan amat pedih Leng-hiat berlari
menghampiri, memeluk tubuh Li Hian-ih dengan erat.
Ujung pedang masih menongol di depan dada Li Hian-ih, ia
memandang sayu wajah Leng-hiat, beribu kata terkandung
dalam tatapan itu, namun tak sepatah kata pun yang
diucapkan. Akhirnya dia mulai batuk.
Bersama dengan batuknya, darah segar menyembur keluar
dari mulutnya, Li Hian-ih menghembuskan napasnya yang
penghabisan. Leng-hiat memeluk tubuh Li Hian-ih erat-erat, dia sangat
membenci, dia amat membenci diri sendiri!
Dia tahu apa yang hendak diucapkan Li Hian-ih, dia bukan
ingin membunuh Leng-hiat, karena ia saksikan Kwan Siau-ci
yang berada di ruang loteng sedang turun tangan membunuh
Ting Tong-ih, karena tak sempat memberi penjelasan, maka ia
segera meluncur ke atas berusaha menghalanginya.
Tapi Leng-hiat mengira dia akan melancarkan serangan
dengan sepenuh tenaga sehingga akhirnya malah mencabut
nyawanya. Selama hidup Li Hian-ih tak pernah membunuh seorang
manusia pun, hari ini untuk pertama kalinya dia membunuh,
tapi dia harus mengorbankan juga nyawa sendiri.
Sambil memeluk jenazah Li Hian-ih, Leng-hiat berlutut di
atas permukaan salju, mengawasi fajar yang baru
menyingsing, ia berdiri termangu.
Dalam waktu singkat bunga salju telah menyelimuti seluruh
tubuhnya, membuat Leng-hiat berubah seperti manusia salju.
Sementara itu Ko Siau-sim sedang menangis di atas loteng,
sambil berlari ke dalam pelukan Tong Keng, serunya, "Si
ketapel cilik, dia ... dia menggunakan kesempatan di saat
kalian sedang bertempur pergi mencuri kain pembungkus
mayat dan lukisan tengkorak... Cici Ting tidak mengizinkan,
dia pun berlagak tidak jadi ... tiba-tiba dia mencabut pisaunya
dan membokong Cici Ting...."
Tong Keng memeluk kepala Ting Tong-ih erat-erat, kulit
tubuhnya masih terasa lembut dan halus, tapi darah segar
telah membasahi seluruh dadanya, menggenangi seluruh
permukaan lantai.
Tak selang beberapa saat kemudian Ting Tong
menghembuskan napas terakhir. Tong Keng tahu kenapa dia
kehilangan nyawanya. Bukan lantaran Kwan Siau-ci. Melainkan
karena Kwan Hui-tok.
TAMAT
Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Super Sakti 22 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama