Ceritasilat Novel Online

Misteri Lukisan Tengkorak 7

Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 7


tak berani berbuat begitu!"
"Dulu" Itu cerita dulu!" ujar Li Siau-hong sambil tertawa,
"waktu itu aku ... aku hanya seorang piausu tak bernama di
bawah perintah Ko-kokcu, mana mungkin aku punya
kesempatan untuk bicara" Tapi sekarang ... asal kau menikah
denganku, ibumu berarti ibu mertuaku, tentu saja aku akan
bersikap baik kepadanya, aku akan melakukan apapun sesuai
keinginannya, bagaimana menurut kau?"
Saking jengkelnya Ko Siau-sim sampai tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun.
Di meja lain duduk dua orang lelaki kekar, salah seorang di
antaranya segera berseru, "Lo-li, tak usah membuang banyak
waktu dan tenaga, untuk menghadapi seorang cewek kenapa
mesti repot-repot" Mending kau naiki dulu badannya, kalau
nasi sudah jadi bubur masa dia tak akan menurut?"
Seorang rekannya yang lain tertawa tergelak, serunya pula
dengan suara yang menyebalkan, "Mendingan tua muda
disikat semuanya, terus terang yang muda masih kenyal, yang
tua pun masih mulus kulitnya, kalau kau tak mau, biar aku
Tan Lui yang menyikat keduanya!"
Dalam ruang tengah hadir seorang pelayan tua, saat itu
dengan mata merah padam menerkam ke depan sambil
berteriak keras, "Kalian semua memang telur busuk sialan!
Jaga mulut kalian ... aku... aku..."
Sambil menerkam maju, dia mengayunkan kepalannya
memukul kedua orang itu.
"Sin-pek!" jerit Ko-hujin.
Sebenarnya kungfu yang dimiliki Sin-pek terhitung cukup
tangguh, namun baru maju beberapa langkah, ia sudah disapu
Li Siau-hong hingga jatuh terjerembab.
Dua orang petugas yang lain segera menerkam ke muka
sambil mengayunkan kepalan dan kakinya, menghajar pelayan
itu habis-habisan.
"Dasar keparat!" umpat salah seorang lelaki itu sambil
mencabut senjatanya, "kau ingin cari mampus!"
Senjata itu siap ditusukkan ke bawah.
"Sin-pek!" jerit Ko Siau-sim sambil mencabut pedangnya
dan maju ke depan.
"Traaang!", tusukan itu segera ditangkis.
Lelaki itu menyeringai licik, tiba-tiba dia mengegos ke
samping, lalu memanfaatkan kesempatan itu untuk meremas
payudara sang nona.
Merah padam wajah Siau-sim lantaran jengah, dengan
gusar dia mundur ke belakang, sedemikian mendongkolnya
gadis itu hingga ujung pedangnya kelihatan gemetar keras.
"Nyo Beng-hoa, apa-apaan kau?" bentak Li Siau-hong tak
senang. "Ada apa" Meremasnya sebentar juga tak boleh?" sahut
lelaki itu sambil tertawa.
"Kau berani!"
"Hahaha!" Nyo Beng-hoa tertawa cabul, "kau tak perlu
berlagak sok suci, masih ingat beberapa hari berselang"
Bukankah kau pun ikut menaiki badan Siau-kim, si budak cilik
itu?" Paras muka Li Siau-hong sebentar memerah sebentar
memucat, untuk sesaat dia tak mampu berkata-kata.
Dalam pada itu Tan Lui, lelaki yang lain sudah mendekati
Ko-hujin, kelihatannya dia pun bermaksud kurangajar. Kohujin
yang tak mengerti ilmu silat segera mundur ketakutan,
segera Siau-sim melintangkan pedangnya menghadang.
"Jelas ini berbeda!" teriak Li Siau-hong kemudian.
"Aaah, semuanya toh perempuan, apa bedanya?" kata Tan
Lui sambil tertawa, "kalau dinaiki, rasanya juga sama saja ...
hahaha ... mungkin ada sedikit perbedaan, tapi kita mesti
menjajal dulu satu per satu"
"Tidak bisa!" hardik Li Siau-hong marah. "Meskipun selama
berada di piaukiok Ko Hong-liang tak pernah menghargaiku,
namun berulang kali Ko-hujin mempromosikan aku, apalagi...
Siau-sim pun pernah menaruh perhatian kepadaku, suatu saat
ketika aku sedang sakit, ia pernah mengambilkan obat dan
mengganti perban di lukaku"
Bagi seorang lelaki kangouw yang terbiasa hidup diujung
senjata, dia akan merasa sangat berhutang budi bila ada
orang mau menaruh perhatian kepadanya, dan biasanya orang
semacam ini tak akan melupakan budi kebaikan itu kendati
hubungan mereka berada dalam kondisi terjelek pun.
Tan Lui saling bertukar pandangan sekejap dengan Nyo
Beng-hoa, kemudian sambil mengangkat tangannya mereka
berkata, "Yaa sudahlah, bila kau ingin melindungi mereka,
kami sebagai orang yang diutus atasan untuk mengikuti
perintahmu juga tak bisa berbuat apa-apa. Cuma ingat, bila
kau telah berhasil mendapatkan orang dan hartanya, kain
pembungkus mayat itu mesti secepatnya ditemukan dan
diserahkan kepada Thayjin!"
"Benar, kalau tidak ... jangan harap kau bisa hidup dengan
hati tenang!"
Butiran peluh mulai bercucuran membasahi ujung hidung Li
siau-hong, kepada Ko-hujin segera tanyanya, "Kain
pembungkus jenazah Ko Hway-sik sebenarnya kalian
sembunyikan dimana?"
"Peti mati pun sudah kalian bongkar, darimana aku bisa
tahu?" sahut Ko-hujin sengit.
"Masalah ini merupakan sebuah masalah yang amat serius,
masalah yang menyangkut mati hidup kita semua, bila kau
tahu lebih baik cepat katakan."
"Aku tidak tahu, darimana bisa menjawab?" Ko-hujin
tertawa pedih. "Kau betul-betul tidak tahu?" hardik Li Siau-hong dengan
mata mendelik. Dengan perasaan gugup Ko-hujin menggeleng.
Menyaksikan mimik mukanya, Li Siau-hong tahu dia tidak
sedang berbohong, tanpa terasa gumamnya, "Tidak mungkin,
mana bisa begini" Tempo hari sewaktu kami bongkar peti
matinya, Ko Hway-sik hanya tinggal seonggok tulang yang
bau, jelas di tubuhnya tidak ditemukan kain pembungkus
mayat." "Waah, bisa celaka kali ini," sambung Nyo Beng-hoa,
"seandainya mayat Ko Hway-sik sudah dirusak oleh air tanah
dan lumpur sehingga dasar peti mati rusak dan jenazahnya
membusuk, biar ada kain pembungkus mayat pun bisa jadi
sudah ikut hancur berantakan, mana mungkin bisa ditemukan
bekas-bekasnya."
"Bekas apa?" tanya Tan Lui.
"Aku sendiri pun tidak jelas," Nyo Beng-hoa mengangkat
bahunya, "atasan hanya berpesan supaya kain pembungkus
mayat dari keluarga Ko disembunyikan di dalam peti mati batu
lapisan ketiga, di dalamnya sudah diberi obat anti
pembusukan sehingga menurut aturan tak bakal rusak atau
membusuk dalam jangka waktu dua tiga puluh tahun, karena
itu kita diperintahkan untuk mengambilnya. Tapi ketika kita
bongkar kuburan itu, dasar peti mati sudah hancur, bukan
saja lapisan pertama dan kedua hancur, lapisan ketiga pun
ikut hancur, isinya sudah hancur berantakan, busuk dan tidak
dijumpai kain pembungkus mayat, tentang tanda-tanda
bekas..." Bicara sampai di situ sorot matanya segera dialihkan ke
wajah Li Siau-hong.
Hijau membesi wajah Li Siau-hong, serunya, "Pesan yang
disampaikan atasan kepadaku merupakan perintah rahasia,
aku tidak perlu menjelaskan kepada kalian!"
Begitu Li Siau-hong membentak, Tan Lui dan Nyo Beng-hoa
segera menyahut, "Baik!"
Namun dalam hati mereka merasa sangat tidak puas,
pikirnya, "Kau menggunakan bulu ayam sebagai lencana
perintah, hmm, akan kulihat bagaimana cara matimu bila
sampai saatnya kau tetap tak berhasil menemukan kain
pembungkus mayat itu!"
Li Siau-hong sendiri pun merasa hatinya sangat kalut, dia
tahu jika kain pembungkus mayat tak berhasil ditemukan,
maka dirinya pun akan tertimpa nasib malang.
Setelah berpikir sesaat, ujarnya kemudian, "Enso Ko, aku
selalu menghormatimu, aku tak ingin menggunakan
kekerasan, bila kau tidak segera menjawab pertanyaanku,
jangan sampai kesabaranku habis."
"Tapi aku benar-benar tidak tahu kain pembungkus mayat
itu berada dimana," seru Ko-hujin sambil menangis, suaranya
gemetar, "Ketika jenazah Loya dimasukkan ke dalam peti
mati, aku tidak tahu betapa pentingnya kain putih yang ada di
situ, aku tak pernah menaruh perhatian"
"Kalau begitu, malam ini juga aku akan meniduri Siau-sim!"
tukas Li Siau-hong habis kesabarannya.
"Terlambat sudah!" mendadak terdengar seseorang
menimpali, "hari ini aku datang untuk mencabut nyawa
anjingmu!"
Li Siau-hong merasa sangat mengenal suara itu, dengan
terperanjat ia berpaling, tampak empat sosok bayangan
manusia telah menerjang masuk ke dalam, lalu dengan gerak
serangan yang luar biasa cepatnya menghabisi nyawa Nyo
Beng-hoa serta Tan Lui yang masih berdiri tertegun.
Baru saja Li Siau-hong hendak melarikan diri, keempat
orang itu sudah mengepungnya dari empat penjuru.
"Hong-liang!" teriak Ko-hujin kegirangan.
Ko Siau-sim pun berteriak dengan nada terkejut bercampur
gembira, "Engkoh Tong!"
Rasa gembira yang menyelimuti perasaan Ko-hujin serta Ko
Siau-sim benar-benar tak terlukiskan, bahkan untuk
ditampilkan pada mimik mukanya pun susah.
Rasa gembira bercampur kaget yang mereka rasakan saat
ini boleh dibilang merupakan luapan perasaan yang luar biasa.
Biarpun sejak awal Ko Hong-liang serta Tong Keng sudah
membuat persiapan, tak urung mereka ikut terharu atas
perjumpaan ini, dengan cepat Ko Hong-liang memeluk istri
serta putrinya, sedangkan Tong Keng segera membangunkan
Sin-pek yang terkapar di tanah.
Menggunakan kesempatan itu, sekuat tenaga Li Siau-hong
melarikan diri!
Dia tahu, kepandaian silat yang dimiliki Yong Seng hampir
seimbang dengan kemampuannya, tapi semenjak terluka
parah tempo hari, kemampuan silat Yong Seng sudah
mengalami kemunduran, dia termasuk orang yang tak berani
mencari gara-gara, apalagi terhadap orang yang punya
dukungan pejabat negara.
Dia pun tahu, bila berhasil menerobos keluar ruang utama,
maka kelima orang jago lihai yang dikirim Li-thayjin dan saat
ini sedang beristirahat di ruang depan tentu akan turun
tangan bersama, bila sudah begitu dia tak perlu takut lagi
menghadapi Ko Hong-liang.
Maka dia pun mengincar sisi samping Tong Keng dan
menerobos keluar.
Dengan satu gerakan cepat Yong Seng menerobos dari
samping seraya melakukan penghadangan.
Kaitan kanan Li Siau-hong diayunkan untuk membuka jalan,
sementara kaitan sebelah kiri dibacokkan ke tubuh Yong Seng.
Sepasang kapak Yong Seng segera dibacokkan ke depan,
menghantam persis di atas kaitan lawan.
"Traaang!", diiringi percikan bunga api, dentingan nyaring
bergema memecah keheningan.
Menggunakan peluang itu Li Siau-hong menjejakkan
kakinya dan menerobos keluar dengan menjebol jendela.
Sayang dia melupakan sesuatu, dia lupa masih ada Ting
Tong-ih. Walaupun Ting Tong-ih adalah seorang wanita cantik,
namun dia tak tahu kalau ada sementara wanita justru
memiliki kehebatan ilmu silat yang tak boleh dipandang
enteng. Baru saja dia menerobos jendela sambil bersiap minta
tolong, tiba-tiba selapis awan berkelebat, awan berwarna
ungu, warna ungu yang memancarkan cahaya kilat.
Biarpun dia sudah menghindar cukup cepat, tak urung
tubuhnya tersambar juga oleh sambaran cahaya kilat itu, tak
ampun kaitan di tangan kanannya terjatuh ke tanah.
Tergopoh-gopoh Li Siau-hong mengayunkan kaitan di
tangan kirinya untuk membendung datangnya sambaran
mantel ungu lawan, tapi saat itulah ayunan kapak Yong Seng
telah menyambar tiba.
Dalam gugup dan terdesaknya, tak ada kesempatan lagi
bagi Li Siau-hong untuk berteriak minta tolong.
Sementara itu Tong Keng sudah terjun pula ke dalam arena
pertarungan. Li Siau-hong merasa tenaga tekanan yang menghimpit
tubuhnya semakin bertambah kuat, dia makin tercecar hebat,
sebuah tendangan Yong Seng yang bersarang telak di
lambungnya membuat ia mundur dengan sempoyongan.
Baru beberapa langkah dia mundur, sesosok bayangan
manusia kembali berkelebat di hadapannya, sebilah golok
raksasa langsung dibacokkan ke atas kepalanya.
Tak terlukiskan rasa kaget, ngeri dan takut yang mencekam
perasaannya, serasa nyawa meninggalkan raga lekas dia
melakukan tangkisan.
"Traaang!", kembali terjadi benturan nyaring, kaitannya
segera mencelat ke udara.
Yong Seng merangsek maju, melihat musuhnya terhuyung,
dia segera melepaskan satu tendangan kilat yang persis
menghajar tulang pinggulnya, tak ampun tubuhnya segera
jatuh terkapar di atas tanah.
Pada saat bersamaan golok besar itu sudah menempel di
atas keningnya.
Hati Li Siau-hong serasa tenggelam, air mata bercucuran
membasahi pipinya, tak tahan dia menjerit, "Jangan bunuh
aku, kumohon, jangan bunuh aku!"
Ternyata orang yang memegang golok besar itu tak lain
adalah Ko Hong-liang.
Dengan sorot mata setajam sembilu Ko Hong-liang
mengawasinya, lalu teriaknya pedih, "Jawab! Kenapa kau
harus berbuat begini?"
Li Siau-hong termangu, lalu sahutnya sambil tertawa pedih,
"Aku tak punya pilihan lain, Li-thayjin yang menyuruh aku
menuduh kalian sebagai perampok uang pajak itu, bukan
keinginanku sendiri!"


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ko Hong-liang ikut tertegun, dia tak menyangka akan
mengetahui rahasia besar ini, sebuah rahasia yang luar biasa
pentingnya, saking tertegunnya, untuk sesaat dia lupa untuk
bertanya lebih jauh.
Ting Tong-ih segera menghardik, "Kalau begitu siapa yang
sebenarnya yang membegal uang pajak itu?"
"Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu," seru Li Siauhong
ketakutan, "Li-thayjin minta aku jangan mencampuri
urusan ini, katanya sampai waktunya nanti ada orang yang
akan membegal uang pajak itu."
Ko Hong-liang saling bertukar pandang sekejap dengan
Tong Keng, rasa kaget dan tercengang yang mencekam
perasaan mereka tak terlukiskan dengan kata.
Sementara itu Ting Tong-ih telah menekan ujung
pedangnya ke tenggorokan Li Siau-hong, seketika orang itu
merasa bagaimana ujung pedang yang tajam mulai
menembus kulit tenggorokannya.
"Cepat jawab, bagaimana ceritanya hingga kau bisa
berhubungan dengan Li Ok-lay?" hardik perempuan itu lagi.
Li Siau-hong mulai menjerit-jerit, suaranya seperti babi
yang sedang disembelih, dengan air mata bercucuran
pintanya, "Jangan bunuh aku, jangan bunuh aku"
"Kalau kau tidak menjawab, segera akan kubunuh!" ancam
Ting Tong-ih sambil menekan ujung pedangnya lebih dalam,
mata pedang mulai menembus kulit lehernya, darah pun mulai
bercucuran. Li Siau-hong merasa sukmanya serasa melayang
meninggalkan raganya, "Aku ... aku ... dengan Li-thayjin ...
ooh bukan ... Li Ok-lay ... kami tidak saling mengenal... yang
... yang kenal... Li-thayjin adalah Lu-thayjin"
Dengan gagang goloknya Ko Hong-liang mengetuk jidatnya
dengan keras, hardiknya, "Bicara perlahan-lahan, yang jelas
sedikit!" "Baik, baik ..." dengan susah payah Li Siau-hong berusaha
mengendalikan kegagapannya, "aku sebetulnya tidak kenal
dengan Li-thayjin ... tapi sudah dua kali bertemu dengan LuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
thayjin ... suatu kali ... kira-kira pada akhir tahun ... Lu-thayjin
memanggil aku, Tiong Ing serta The Tiong untuk menghadiri
perjamuan di rumah makan Thian-keng-lau, malam itu kami
makan minum sampai mabuk, bahkan..."
"Peduli amat apa yang kalian lakukan pada malam itu,"
tukas Ting Tong-ih dengan kening berkerut, "cepat jawab, apa
saja yang disampaikan Lu Bun-chang kepada kalian?"
Bayangan keindahan dan kenikmatan yang pernah
dicicipinya di rumah makan Thian-keng-lau seketika
berantakan dari benak Li Siau-hong, yang tersisa kini hanya
kekerasan dan situasi gawat yang harus dihadapinya.
"Lu-thayjin bertanya kepada kami," katanya kemudian,
"apakah ada yang tahu tentang tatto di tubuh Lokokcu?"
Ting Tong-ih terperangah, tapi Ko Hong-liang segera
manggut-manggut dengan wajah serius.
"Kami semua menjawab tahu tentang tatto itu, maka dia
pun bertanya, apakah kami pernah memperhatikan dengan
jelas gambar apa tatto di atas tubuh Ko-lokokcu, kami pun
menjawab, Ko-lokokcu jarang sekali bertelanjang dada, kami
baru sempat menyaksikan gambar tatto di atas dadanya jika ia
selesai berlatih silat ketika bajunya basah kuyup oleh keringat,
sehingga kami tak tahu apa gambar tattonya ... malam itu Luthayjin
pun hanya menjamu kami makan minum, dia tidak
menyinggung soal apa-apa lagi"
"Kemudian?" tanya Ting Tong-ih sambil mengernyitkan alis
matanya yang lentik.
"Kemudian ... sekali lagi Lu-thayjin mengundang kami, dia
berpesan agar kami tidak mengatakan kejadian itu kepada
Kokcu." Mendengar sampai di sini Ko Hong-liang segera mendengus
dingin, ujarnya, "The-piauthau pernah memberitahukan
persoalan ini kepadaku, waktu itu kusangka tak ada masalah
lain, sebab walaupun aku tak suka berhubungan dengan
mereka, namun aku tak pernah menghalangi anak buahku
berhubungan dengan para pejabat negara dan menjadi kaya
raya karena itu, karenanya aku tidak bertanya lebih jauh."
Dalam hatinya tentu saja timbul perasaan amat menyesal,
dia menyesal kenapa waktu itu tidak bertanya lebih jelas.
"Betul, betul ... Kokcu memang selalu menganggap kami
sebagai saudara kandung sendiri. Hari itu Ko-thayjin berkata,
'Ketika jenazah Ko Hway-sik dimakamkan, apakah tubuhnya
dibungkus dengan kain pembungkus mayat yang sangat
tebal"'. Kami pun menjawab, 'benar.'. Lu-thayjin segera
menghembuskan napas lega seraya bergumam, 'Aah, akhirnya
diperoleh juga sedikit titik terang.'."
"Kemudian ia perintahkan kami untuk menggali jenazah Kokokcu,
katanya dia hendak memeriksa sesuatu benda, waktu
itu kami sangka dia hendak memeriksa tatto yang tertinggal di
tubuh Ko-kokcu, maka Tiong-hupiauthau berkata, 'Lokokcu
sudah dikubur tujuh tahun, besar kemungkinan tubuhnya
sudah membusuk, hancur dan rusak.'. Dengan wajah tak
senang Lu-thayjin segera menjawab, 'Bila tubuhnya sudah
hancur, kalian mesti mengambil keluar kain pembungkus
mayatnya!'."
"Kemudian" tiba-tiba Ko Hong-liang memotong, "apa yang
terjadi dengan Tiong dan The dua orang piausu itu?"
"Mereka ... mereka telah menyalahi Lu-thayjin, maka ...
maka..." suara Li Siau-hong mulai tergagap.
"Omong kosong!" hardik Ko Hong-liang sambil mengayun
goloknya, "sudah jelas mereka mati dicelakai bajingan she Lu
itu gara-gara tak mau mengusik jenazah ayah."
Melihat golok yang mulai diayunkan ke udara, Li Siau-hong
semakin gugup dan gelagapan.
"Bukan Lu-thayjin, melainkan Li-thayjin, ya ... Li-thayjin..."
serunya. "Bagaimana ceritanya hingga Li Ok-lay tampil" Cepat
katakan!" bentak Ko Hong-liang.
Dengan wajah masam dan nyaris menangis sahut Li Siauhong,
"Malam itu Li-thayjin ikut muncul dalam pertemuan, dia
minta kami pergi menggali kuburan Lokokcu, kami menolak
melakukannya, maka Li-thayjin pun berkata, 'Kalian menolak
karena takut menghadapi Ko Hong-liang bukan" Kujamin
hanya cukup dalam satu malam Sin-wi-piau-kiok bakal bubar,
siapa di antara kalian yang ingin menjadi Kokcu"'. Kami semua
menampik, dalam gusarnya Li-thayjin pun membunuh Tiong
dan The piausu berdua!"
"Hmm, kenapa hanya kau yang tidak dibunuh?" jengek
Ting Tong-ih sambil mendengus dingin, "mungkin di antara
ketiga orang itu, hanya kau seorang yang tertarik dengan
iming-imingnya."
Sementara Ko Hong-liang bergumam sambil menghela
napas panjang, "Aaai, demi piaukiok, Tiong Ing dan The Tiong
harus mengalami nasib tragis!"
Tong Keng tak kuasa menahan diri, dia mencengkeram
kerah baju Li Siau-hong dan" teriaknya, "Jawab, apakah kau
yang telah mencelakai Tiong Ing serta The Tiong dua orang
piausu itu?"
Dengan gugup Li Siau-hong menggeleng, cengkeraman
yang kuat pada kerah bajunya membuat napasnya sesak.
"Sudahlah," ujar Ting Tong-ih sambil mendengus dingin,
"ditanya juga percuma, tak nanti dia mau mengaku."
"Aku benar-benar tidak membunuh mereka" teriak Li Siauhong
keras. "He, kenapa berteriak?" tegur Ko Hong-liang gusar,
"memangnya kau berharap teriakanmu bisa didengar orangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
orang di ruang seberang hingga datang menolongmu" Sekali
lagi berteriak, segera kupotong lidahmu!"
Li Siau-hong segera membungkam dan tak berani berteriak
lagi. "Jadi siasat yang digunakan Li Ok-lay untuk meruntunkan
perusahaan Sin-wi-piau-kiok adalah memfitnah perusahaan ini
telah merampok uang pajak yang sedang dikawalnya?" kata
Ting Tong-ih kemudian.
"Ia tidak mengatakan begitu, tapi setelah kejadian aku pun
menduga begitu."
"Ada beberapa orang yang bersembunyi di ruang
seberang?" tanya Ting Tong-ih lagi.
"Ada puluhan orang anak buah Li-thayjin, kelihatannya Lithayjin
telah membawa ratusan orang jago tangguh,
tujuannya adalah untuk menghadapi batas akhir penyerahan
uang pajak besok pagi, dia kuatir rakyat melakukan
pergolakan dan pemberontakan, selain itu dia pun ingin
mengawasi wilayah seputar sini."
"Hmmm, untungnya kami berhasil menyusup kemari tanpa
diketahui siapa pun," kata Tong Keng sambil tertawa.
"Engkoh Tong, jadi kalian melalui..." seru Ko Siau-sim
kegirangan. "Benar!" tukas Tong Keng sambil tertawa tergelak. "Lantas
apakah kau bertemu dengan mayat yang tempo hari itu?"
tanya si nona sambil memandang mesra pemuda itu. "Tidak,
sama sekali!" jawab Tong Keng tertegun.
oooOOooo 29. Jenazah Yang Mencurigakan.
Waktu itu Ko Hong-liang hanya berdiri termangu sambil
membayangkan kembali rekan-rekannya yang mati
mengenaskan, sementara Li Siau-hong kembali ingin kabur
dengan memanfaatkan kesempatan itu, tapi lagi-lagi tubuhnya
diinjak Yong Seng hingga sama sekali tak mampu bergerak.
Yong Seng berjuluk 'Tiada tempat tanpa jejak kaki',
sepasang kaki bajanya boleh dibilang memiliki kekuatan luar
biasa, siapa pun yang diinjak kakinya sekalipun Ko Hong-liang
sendiri, jangan harap bisa melepaskan diri secara mudah.
Terdengar Yong Seng berkata dengan jengkel, "Oleh sebab
itu kau pun memfitnah Kokcu telah merampok barang
kawalannya bukan?"
"Yong-loji," seru Li Siau-hong penuh dendam, "sebenarnya
Li-thayjin sudah ingin melenyapkan dirimu sejak awal, tapi
selalu berhasil kuhalangi, aku bilang kau baik bagaikan
saudara sendiri, tapi hari ini... kau ... kau seperti sudah
melupakan budi kebaikanku itu"
"Hmm ... hmmm" Yong Seng tertawa dingin, "luka dalamku
ini merupakan hadiah pemberianmu, coba terangkan kenapa
kau bersikap begitu keji kepadaku?"
"Li Siau-hong!" sela Ko Hong-liang pula, "aku pun selalu
bersikap baik kepadamu, tapi kenyataan kau telah
menyebabkan keluargaku berantakan, usahaku hancur dan
anak buahku tewas"
Li Siau-hong menundukkan kepala dengan lesu dan tak
berani membantah lagi.
"Ada beberapa orang di ruang seberang?" tanya Ting Tongih
kemudian. "Lima orang!" sahut Yong Seng.
"Kita habisi dulu orang-orang itu!" kata Ko Hong-liang
kemudian dengan wajah serius.
Sekali lagi sekujur badan Li Siau-hong gemetar keras,
sekarang baru ia tahu bagaimana tersiksanya bila seseorang
sedang dicekam rasa takut.
"Jangan," terdengar Ting Tong-ih mencegah, "lebih baik
kita biarkan mereka hidup, siapa tahu mereka bersedia
membantu kita menuntut balas."
"Sudah jelas semua peristiwa berdarah ini merupakan ulah
Li Ok-lay seorang, mana mungkin kita punya peluang untuk
membalas dendam!"
"Belum tentu, jangan lupa masih ada Leng-hiat!"
"Betul," sambung Tong Keng lantang, "di atas opas Leng
masih ada Cukat-sianseng!"
"Baik, kalau begitu kita ampuni jiwa anjingnya," kata Ko
Hong-liang kemudian sambil menotok tujuh jalan darah
penting di tubuh Li Siau-hong, kemudian sambil menengok
keluar ruangan, ujarnya lagi, "Kita bantai kelima orang di
seberang sana!"
"Tapi ... mereka semua adalah petugas keamanan" seru
Ko-hujin ketakutan.
Sambil menuding ke arah mayat Nyo Beng-hoa dan Tan Lui
yang terkapar di lantai, ujar Ko Hong-liang, "Membunuh
seorang juga dituduh sebagai pembunuh, dua orang tetap
pembunuh, bagaimana pun kita memang sudah dianggap
orang berdosa, apa salahnya kita habisi mereka" Toh para
petugas keamanan itupun bukan manusia baik-baik!"
Ting Tong-ih, Tong Keng maupun Yong Seng merupakan
sekelompok manusia yang sudah lama hidup dalam tekanan,
kini mereka merasa semangat berkobar kembali, tanpa
membuang waktu lagi serentak mereka menyerbu ke dalam
ruang Ciang-siang-lo.
Waktu itu kelima orang petugas keamanan itu ada tiga di
antaranya sedang minum arak, seorang sedang meniduri Siaukim
dan seorang lagi sedang tertidur lantaran mabuk.
Dengan sekali gebrakan saja keempat orang petugas itu
sudah berhasil mereka habisi nyawanya.
Sisanya yang seorang sebetulnya sedang tertidur nyenyak,
begitu membuka mata dan melihat keempat rekannya sudah
kehilangan nyawa, segera dia bermaksud menyambar senjata
andalannya. Sayang sebuah bacokan kapak membuat senjatanya
tersampuk jatuh, tahu-tahu sebilah golok besar ditambah
sebilah pedang sudah menempel di atas tengkuk dan
dadanya. Orang itu ketakutan setengah mati, bahkan saking takutnya
hingga terkencing-kencing, dia menyesal kenapa saat bertugas
harus tertidur pulas sehingga tak punya kesempatan melarikan
diri. "Apakah kau diutus Li Ok-lay dan Lu Bun-chang?" tanya Ko
Hong-liang kemudian.
Orang itu mengangguk.
"Siapa namamu?"
"Pan Kiat-beng!"
"Beberapa banyak jago yang dibawa Li Ok-lay dalam
operasinya kali ini?"
"Mendekati ratusan orang."
"Ada beberapa banyak jago kelas satu yang menyertainya?"
tanya Ting Tong-ih, "tentu saja tidak termasuk manusia
sampah macam dirimu."


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pan Kiat-beng berpikir sejenak, lalu sahutnya tergagap,
"Ada ... Li-thayjin ... Lu-thayjin ... lalu ... ada si harimau yang
mengaum ... manusia she ... she Ni... Ni itu..."
"Ni Jian-ciu maksudmu" Aku tahu, lanjutkan!" tukas Ting
Tong-ih. Pan Kiat-beng tak berani membantah, katanya lagi, "Masih
ada lagi Li Hok, Li Hui..."
"Sepasang manusia hokki dan cerdas?"
"Benar, memang mereka berdua"
"Kemudian?"
"Masih ada tiga orang lagi, satu tua, satu menengah, satu
muda ... konon jauh lebih menakutkan ketimbang si harimau
mengaum itu ... aku ... aku tidak tahu siapa ... siapa nama
mereka bertiga"
Sorot mata ngeri, seram dan kaget segera memancar
keluar dari balik mata Ko Hong-liang, Ting Tong-ih, Tong Keng
serta Yong Seng, tanpa terasa mereka membayangkan ketiga
orang tokoh ampuh yang konon sudah bergabung dengan
pihak kerajaan dan sekarang menjadi andalan atasan Li Oklay.
Apakah ketiga orang tokoh sakti itu yang dimaksud"
Benarkah Li Ok-lay telah berhasil mengundang kehadiran
ketiga orang itu"
Ko Hong-liang, Ting Tong-ih, Tong Keng serta Yong Seng
merasa keringat dingin telah membasahi tubuh mereka,
tangan mereka terasa basah dan dingin, bahkan senjata yang
sedang menempel di tubuh Pan Kiat-beng pun kelihatan mulai
gemetar keras. Bila ketiga orang gembong iblis itupun turun tangan,
biarpun mereka berhasil kabur dari kota ini, jangan harap bisa
lolos dari kejaran mereka walau sampai ke ujung langit.
Nama besar gabungan ketiga orang ini jauh lebih tersohor
ketimbang nama empat opas, biasanya orang yang terjatuh ke
tangan mereka hanya menyesalkan akan satu hal, tidak
seharusnya mereka dilahirkan di dunia ini!
Tiga orang manusia yang betul-betul menakutkan!
Sebenarnya Ko Hong-liang ingin menghadiahkan sebuah
tebasan untuk menghabisi nyawa budak anjing yang suka
menindas rakyat ini, tapi begitu terbayang akan ketiga orang
itu, keinginannya untuk membunuh orang hilang seketika, dia
hanya menotok jalan darahnya saja.
Ketiga gembong iblis itu merupakan sekawanan manusia
aneh, cara turun tangannya aneh dan memiliki nama aneh
pula. Yang tua bernama si Tua tak mau mati. Yang menengah
bernama Manusia penengah. Yang muda bernama si Bambu
muda. Ketiga orang ini sudah tidak membutuhkan nama lagi,
mereka hanya memerlukan julukan, julukan yang didengar
dan diketahui setiap orang.
Tujuan kedatangan Ko Hong-liang semula adalah
menyusup masuk ke situ dan berpamitan dengan sanak
keluarganya, kemudian setelah mengatur segala sesuatunya
mereka berencana kabur sejauh-jauhnya.
Tapi sekarang mereka telah menghapus ingatan itu, bila si
tua, si menengah dan si muda telah mendekati kota Cingthian,
kemana pun mereka kabur, biar punya sayap pun
jangan harap bisa meloloskan diri.
Mereka hanya saling menatap sorot mata rekannya, walau
tanpa mengucapkan sepatah kata pun semua orang sudah
paham apa arti semua itu.
Suara hujan di luar rumah terdengar semakin lirih, Ting
Tong-ih membuka jendela sambil menengok keluar kebun,
ternyata air hujan telah berubah menjadi bunga salju, lapisan
putih bagai kapas mulai menyelimuti seluruh permukaan bumi.
Ko Hong-liang dan Tong Keng memasang hio dan
bersembahyang di depan meja abu Ko Hway-sik, selesai
menyembah, dengan sedih Ko Hong-liang berkata, "Ayah,
maafkan anakmu yang tidak berbakti, bukan saja aku gagal
membuat jaya nama besar Sin-wi-piau-kiok, sebaliknya kini
perusahaan terjerumus dalam ketidak-pastian, gara-gara
fitnah dari anjing pejabat, aku..."
Bicara sampai di situ dia tak sanggup lagi melanjutkan
perkataannya, air mata bercucuran membasahi wajahnya.
Dengan sedih Tong Keng bersembahyang pula, "Toaloya,
aku Tong Keng tak akan melupakan budi kebaikanmu yang
telah memelihara dan membesarkan aku, apapun yang akan
kukerjakan pasti akan kuselesaikan hingga titik darah terakhir.
jika Kokcu ditangkap, aku akan ikut masuk penjara, bila Sin-wi
tumbang aku pun akan mati duluan, siapa berani membunuh
Kokcu, aku akan mengadu jiwa dengannya
Kebetulan waktu itu Ting Tong-ih sedang berjalan masuk
dari depan pintu, tiba-tiba dia menyela, "Masih ada sebuah
cara lagi..."
Serentak semua orang berpaling sambil menantikan
perempuan itu melanjutkan perkataannya.
"Kita masih mempunyai dua orang saksi hidup," kata Ting
Tong-ih kemudian.
"Kau maksudkan Pan Kiat-beng dan Li Siau-hong?" tanya
Ko Hong-liang, semua orang tidak mengerti apa maksud dan
tujuan perempuan itu.
"Li Siau-hong adalah pemfitnah, dialah saksi yang
memberikan laporan palsu," kata Ting Tong-ih lebih lanjut,
"sementara Pan Kiat-beng adalah orang yang dikirim Li Ok-lay
serta Lu Bun-chang untuk memusnahkan perusahaan Sin-wiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
piau-kiok, asal kita serahkan kedua orang ini kepada Lenghiat,
ia pasti akan melaporkan peristiwa ini kepada Cukatsianseng,
ada kemungkinan kasus ini bisa terungkap hingga
jelas." "Hanya kuatirnya sampai saat itu, tulang belulang kita
semua sudah lama mendingin," kata Ko Hong-liang sedih.
"Sekalipun kita mati, asal kasus ini bisa terungkap, nama
baik kita pun bisa dipulihkan," sambung Tong Keng penuh
semangat. "Tidak!" kata Ting Tong-ih tegas, "yang lebih penting lagi
adalah membongkar semua kejahatan serta rencana busuk
yang dilakukan kawanan anjing pejabat itu, bisa membuat
kejahatan mereka terungkap, paling tidak bisa membuat
mereka kelabakan dan kalang-kabut"
"Baiklah," seru Ko Hong-liang kemudian dengan
bersemangat, kesempatan hidup yang muncul secara tiba-tiba,
meski kecil sekali membuat semangatnya timbul kembali,
"Ayo, kita segera berangkat."
Tapi membayangkan harus berpisah kembali dengan
istrinya yang baru saja dijumpai, hatinya terasa sedih dan
perih, namun sambil mengertak gigi ia berusaha
mengendalikan perasaannya.
"Pergi sih harus pergi, cuma bukan hari ini," kata Ting
Tong-ih. "Kalau hari ini tidak berangkat, aku kuatir..." Ko Hong-liang
tertawa getir, "aku kuatir kita tak bakal bisa pergi lagi!"
"Secepat apapun tindakan yang bakal mereka lakukan,
paling tidak juga mesti menunggu besok pagi," ujar Ting
Tong-ih tegas, nampaknya ia sudah mempunyai rencana yang
matang, "aku telah bertanya kepada Li Siau-hong dan Pan
Kiat-beng, menurut mereka paling cepat pun anak buah Li Oklay
baru akan masuk kota tengah malam nanti, mereka
berencana bila besok masih ada yang enggan membayar
pajak atau ada orang berani melakukan perlawanan, maka
mereka akan membantai anggota Sin-wi-piau-kiok lebih
dahulu kemudian baru membantai yang lain, tampaknya
mereka menduga kita belum tiba di sini, apalagi di luar sana
ada orang-orang Lu Bun-chang yang melakukan pengawasan,
sedang di dalam pun sudah ditaruh Li Siau-hong beserta
begundalnya, pikir mereka pertahanan semacam ini cukup
tangguh dan tak mungkin bobol, oleh sebab itu sebelum fajar
menyingsing, tak bakal terjadi sesuatu di sini, aku pikir
berangkat di saat fajar pun masih belum terlambat."
Padahal tujuan utama rencananya ini adalah ingin memberi
waktu yang cukup kepada orang-orang Sin-wi-piau-kiok untuk
saling berkumpul melepaskan rindu.
Yong Seng segera menyatakan persetujuannya, "Betul,
seandainya tak sempat, biar berangkat sekarang pun sama
saja tak sempat."
Yang dia maksudkan adalah seandainya si tua, si
menengah dan si muda sudah datang, cepat atau lambat
semuanya sama saja.
Sambil tertawa Ko Siau-sim berkata, "Sungguh tak disangka
gua yang kita gali tempo hari ternyata mempunyai manfaat,
gara-gara urusan itu ayah sempat mencaci-maki kita habishabisan!"
Tampaknya Ko Hong-liang terbayang juga peristiwa itu,
serunya sambil tertawa, "Ya, kau masih nampak gembira!
Gara-gara kalian berhasil menggali keluar sesosok mayat,
Yong-sute dan Tiong-piauthau jadi repot setengah mati
mengubur kembali mayat itu."
Begitu kata "mayat" berkelebat dalam benak Tong Keng,
untuk kedua kalinya satu ingatan melintas dalam pikirannya,
tak kuasa lagi dia berseru, "Mayat!"
"Aaah, betul! Mayat!" Ko Hong-liang serta Yong Seng ikut
berseru tertahan, tampaknya mereka pun teringat sesuatu.
Ting Tong-ih, Ko-hujin maupun Ko Siau-sim tidak mengerti
apa gerangan yang terjadi, serentak mereka berdiri tertegun
dengan perasaan keheranan.
Yong Seng segera berkata lagi, "Delapan tahun lalu, kota
Cing-thian pernah dilanda gempa bumi"
"Gempa itu sangat kuat," sambung Tong Keng, "bukan saja
membuat tanah merekah, bahkan sempat membuat retak
peti-peti mati."
"Aaah, mungkinkah jenazah ayah!" tiba-tiba Ko Hong-liang
menjerit tertahan.
Kini Ting Tong-ih baru mengerti apa yang sedang mereka
pikirkan, rupanya tempat itu pernah dilanda gempa yang
sangat kuat sehingga mereka curiga gempa itu membuat batu
peti mati retak dan terbelah sementara jenazahnya bergeser
tempat. Retakan yang ditemukan Tong Keng dan Siau-sim
ketika menggali gua tempo hari merupakan sebuah bukti yang
paling tepat. "Kalian ... kalian telah mengubur jenazah itu dimana?"
segera Ko Hong-liang bertanya.
"Dikubur di tengah pekuburan umum belakang bukit sana!"
jawab Yong Seng.
Karena waktu itu mereka tidak tahu dengan pasti jenazah
siapakah yang ada di sana, terpaksa mereka kubur di
belakang bukit, kebetulan saat itu Li Siau-hong sedang
bertugas mengawal barang sehingga dia tak tahu adanya
peristiwa itu, sekembalinya dari bertugas juga tak ada yang
menyinggung kembali.
"Jadi mereka telah membongkar kuburan Ko-toaya dan
memeriksa peti matinya?" tanya Ting Tong-ih.
"Benar," sahut Ko-hujin, "tapi berhubung peti mati itu
sudah retak dan kuburan pun kosong ... mereka pun bertanya
kepadaku apakah pernah memindahkan kuburan itu, aku
bilang tak pernah, setelah membuktikan sendiri peti mati itu
sudah retak, mereka baru percaya"
Bicara sampai di situ dia jadi ragu untuk melanjutkan katakatanya.
"Peristiwa ini sangat mencurigakan," Ko Hong-liang segera
berseru, "kalau ada sesuatu, katakan saja terus terang."
"Mereka ... mereka bertanya pula kepadaku ... apakah ...
apakah aku pernah melihat..."
"Melihat apa?" tanya Ko Hong-liang dengan kening
berkerut. "Pernah melihat tubuh Loya ... tentu saja aku tak pernah
melihat ... mereka bertanya lagi apakah kau pernah melihat
tubuh ayahmu ... kujawab aku tidak tahu, kemudian aku
berbalik menanyakan kabar beritamu, tapi mereka menghindar
dan tak mau menjawab"
"Ngaco-belo!" dengus Ko Hong-liang jengkel, tapi dalam
hati dia berpikir, "Aneh juga, kenapa ayah tak pernah
bertelanjang dada sekalipun di musim panas yang gerah,
aneh, benar-benar sangat aneh!"
Setelah termenung beberapa saat Ting Tong-ih berkata,
"Kelihatannya di tubuh Ko-lotoaya tertatto sesuatu rahasia
besar, jenazahnya bergeser ke tempat lain ketika terlanda
gempa bumi, bisa jadi jenazah yang dikubur di belakang bukit
adalah jenazahnya, Li Ok-lay maupun Li Siau-hong sekalian
tidak mengetahui terjadinya perubahan alam itu, tentu saja
mereka tak akan menemukan apa-apa meski sudah
membongkar kuburannya, maka terpaksa mereka pun mencari
tahu soal tatto yang ada di tubuh Lotoaya
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kita harus
menyelidiki tatto apa yang ada di tubuh Lotoaya, sebab hal itu
ada sangkut paut penting dengan peristiwa ini"
Tiba-tiba terdengar Ko Siau-sim menjerit tertahan.
Semua orang segera berpaling, tampak ia sedang menutupi
mulut sambil berusaha mencegah suaranya terdengar orang
lain. Meski semua orang keheranan, namun tak ada yang
menggubrisnya karena mereka mengira gadis itu sedang
terbayang kembali kejadian waktu itu.
Terdengar Ting Tong-ih berkata lebih jauh, "Berarti Li Oklay
sekalian baru mengalihkan perhatian untuk mencari kain
pembungkus mayat setelah gagal menemukan jenazah Loya
dalam peti matinya, mungkin mereka sangka dari kain
pembungkus mayat itu bisa ditemukan sesuatu petunjuk"
Mendadak terdengar Ko Siau-sim menjerit lagi.
Kalau jeritan pertama suaranya sangat wajar, maka jeritan
kedua seperti orang kaget karena teringat sesuatu.
Sekali lagi semua orang mengalihkan perhatian ke arahnya.
"Kain pembungkus mayat itu bisiknya agak tergagap, "aku
... aku telah menyimpan kain itu."
Sekali lagi semua orang terperangah, berita ini sangat
mengagetkan seolah suara yang datang dari luar angkasa.
"Aku pikir ... kita tak kenal mayat siapakah itu ... mungkin
di kemudian hari ada keturunannya yang datang mencari,
maka ... maka kusimpan kain itu sebagai barang bukti... maka
... maka aku ... aku pun menyimpannya"
"Aaah, bagus sekali," puji Ting Tong-ih girang bercampur
emosi, "kau simpan dimana kain itu" Cepat bawa kemari."
"Tapi...."
"Sudah kau buang?" Ko Hong-liang mempertinggi suaranya.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan, bukan...." jawab Ko Siau-sim gugup, setelah ragu
sejenak akhirnya dia mengambil keputusan dan melanjutkan.
"Cuma aku telah mencucinya hingga bersih."
ooOOOoo 30. Setia Dan Mati.
Selembar kain pembungkus mayat, tentu saja harus dicuci
dulu hingga bersih kemudian baru disimpan, kejadian
semacam ini adalah kejadian lumrah.
Tapi bila kain pembungkus mayat sudah dicuci bersih, tentu
saja tak ada tanda apapun yang tertinggal.
Jantung semua orang yang sudah berdebar keras sekali lagi
tenggelam ke bawah.
Ko Siau-sim muncul kembali sambil membawa secarik kain
putih yang sudah menguning, semua orang coba memeriksa
dengan seksama, namun kecuali bekas lumpur dan lumut
yang tak bisa hilang, mereka tidak menemukan sesuatu
apapun. Melihat kekecewaan yang diperlihatkan semua orang, Ko
Siau-sim menggigit bibirnya, dia harus menggigit bibirnya
sampai memutih sehingga air matanya tak meleleh.
Ting Tong-ih yang memperhatikan hal itu segera berkata
sambil tertawa, "Padahal kita sudah berlebihan, kain itu sudah
sangat lama terpendam di dasar lumpur, sekalipun diperiksa
dengan lebih seksama pun tak ada gunanya, kecuali bekas
lumpur, apa lagi yang bisa dijumpai" Aku rasa Li Ok-lay hanya
mengada-ada saja!"
Ko Hong-liang mengerling ke arah putrinya sekejap, dia
tidak memakinya, hanya sambil berlutut di depan meja abu
ayahnya dia berdoa, "Ananda memang tak berbakti, tidak tahu
kalau benda itu merupakan sebuah benda yang amat berharga
... bila suatu hari nanti perusahaan Sin-wi dapat berjaya
kembali, ananda pasti akan mengebumikan kembali jenazah
kau orang tua dengan sebaik-baiknya."
Tong Keng ikut berlutut, gumamnya, "Lotoaya, semua ini
adalah kesalahan aku Tong Keng, aku tidak pantas
mengganggu tubuh kau orang tua"
Sambil bergumam, ia menampar wajah sendiri berulang kali
hingga sembab merah.
Ko Siau-sim ikut berlutut, serunya, "Yaya..." Dia pun
menangis tersedu-sedu.
Ting Tong-ih menggeleng kepala berulang kali, katanya,
"Aku adalah orang luar, tolong dengarkan dulu perkataan
orang luar. Kalian semua telah melakukan kesalahan apa"
Mungkin seandainya tak ada penemuan kalian, jenazah Kolokokcu
bukan saja sudah terlempar keluar dari peti matinya
yang merekah, bahkan bisa jadi akan ditemukan para petugas
keamanan yang melakukan penggalian. Mungkin arwah Kolosianseng
di alam baka yang telah memberi petunjuk
terjadinya semua peristiwa ini sehingga masih terbuka
kesempatan untuk melakukan upacara pemakaman lagi di
kemudian hari. Sudah, janganlah bersedih."
Setelah dihibur Ting Tong-ih, rasa sedih Ko Siau-sim mulai
mereda, dia pun berhenti menangis.
Yong Seng yang melihat Ko Hong-liang, Tong Keng serta
Ting Tong-ih basah kuyup macam manusia lumpur segera
berkata, "Kalau memang tak punya rencana untuk berangkat
sekarang, lebih baik beristirahat dulu sambil membersihkan
badan, akan kusuruh Sin-pek menanak nasi, apapun yang
bakal terjadi esok, malam ini kita harus menikmati dulu
hidangan sambil merayakan berkumpulnya kembali kita
semua." Tong Keng serta Ting Tong-ih beranggapan sudah saatnya
bagi mereka untuk mengundurkan diri, bagaimana pun
mereka harus memberi kesempatan kepada Ko Hong-liang
untuk berkumpul kembali dengan keluarganya.
Sebaliknya Ting Tong-ih pun merasa perlu memberi
kesempatan kepada Tong Keng untuk berbincang dengan Ko
Siau-sim. Maka masing-masing dengan jalan pemikiran yang
berbeda segera mengundurkan diri dari ruang utama.
Walaupun sisa anggota Sin-wi-piau-kiok sudah tak banyak
lagi, namun setelah melihat kembalinya ketua mereka, semua
orang merasa amat gembira. Mereka tak peduli apa yang
bakal terjadi esok pagi, seluruh kegembiraan mereka
dilampiaskan dalam santap malam bersama untuk merayakan
pertemuan ini. Namun Lu Bun-chang tidak berpendapat demikian.
Waktu itu dia sedang duduk di belakang meja pengadilan,
sementara pejabat yang sebenarnya hanya berdiri
mendampingi tanpa banyak bicara.
Siapa pun tak ingin menyalahi Lu Bun-chang, apalagi sejak
awal kota itu memang berada dalam kekuasaannya, dan
sekarang ada pejabat yang lebih berkuasa macam Li Ok-lay
mendukung dirinya, biar orang sudah makan nyali macan pun
tak nanti berani mengusik dirinya.
Baru saja duduk Lu Bun-chang bangkit berdiri, kemudian
berjalan mondar-mandir dengan rasa jengkel, kembali ia
duduk. Pejabat yang berdiri di sisinya hanya menyaksikan ulah itu
dengan perasaan kebat-kebit, baru saja hatinya menjadi
tenteram, tiba-tiba terlihat Lu Bun-chang melompat bangun
seraya berteriak, "BunTio!"
Pejabat itu merasa sangat terperanjat, jantungnya nyaris
melompat keluar dari rongga dadanya.
"Hamba siap!"
"Kenapa kau nampak sangat ketakutan setiap kali
mendengar aku memanggil namamu?" tegur Lu Bun-chang
sambil melototkan matanya, lagaknya seperti seorang pejabat
pengadilan yang sedang memeriksa seorang terdakwa,
"Apakah kau sempat korupsi ketika mengumpulkan uang pajak
rakyat?" Sebetulnya dia hanya ingin bertanya apakah di luar sana
bunga salju telah menyelimuti jalan, namun menyaksikan
ketakutan Bun Tio, dia pun unjuk gigi menggertaknya.
"Tidak, sama sekali tak pernah," jawab Bun Tio ketakutan,
"benar-benar tidak pernah, hamba selalu setia dan jujur,
sepeser pun tak berani ambil, bisa berbakti kepada Thayjin
pun sudah merupakan sebuah berkah bagiku."
"Lantas kenapa kau begitu ketakutan?" tanya Lu Bun-chang
sambil tertawa.
"Sebab Thayjin kelihatan sangat keren dan berwibawa"
segera Bun Tio menundukkan kepalanya, "sebab sewaktu
Thayjin memanggil nama hamba tadi, ketika hamba
mendongakkan kepala, maka terlihatlah..."
"Melihat apa?" tanya Lu Bun-chang keheranan.
"Hamba tak berani menjawab."
"Kenapa tak berani menjawab?"
"Hamba kuatir Thayjin akan menjatuhkan hukuman berat
setelah mendengar jawaban itu, hamba tak sanggup
memikulnya!"
Bun Tio semakin tak mau berterus terang, Lu Bun-chang
semakin ingin mengetahuinya, kembali dia berseru, "Biar
bersalah pun tidak usah takut, akan kupikul semua tanggung
jawab itu!"
"Ketika hamba mendongakkan kepala tadi, hamba
melihat..." Bun Tio sedikit tergagap, "hamba melihat ada
selapis asap tipis muncul dari kepala Thayjin, asap itu mirip
sekali dengan..."
"Asap tipis?" Lu Bun-chang semakin tak habis mengerti.
"Betul, selapis asap tipis yang mirip sekali dengan seekor
naga emas yang sedang terbang ke angkasa!"
"Sungguh?" seru Lu Bun-chang girang, tapi seperti teringat
sesuatu, dengan perasaan bergetar keras hardiknya, "Omong
kosong!" Segera Bun Tio menjatuhkan diri berlutut, serunya
ketakutan, "Hamba memang pantas mati, hamba memang
pantas mati!"
"Bun Tio!" hardik Lu Bun-chang sambil menggebrak meja,
"perkataanmu tadi ... tahukah kau ... ucapanmu itu sangat
berbahaya?"
"Hamba tahu salah, tapi apa yang disampaikan adalah
sebuah kenyataan, hamba tidak berbohong, juga tidak
mengarang cerita ... bukankah ... bukankah Thayjin sudah
berjanji akan mengampuni dosaku?"
"Jadi kau bicara sejujurnya?"
"Tentu saja hamba bicara jujur."
Diam-diam Lu Bun-chang merasa kegirangan, segera
pesannya, "Kali ini kuampuni dosa dan kesalahanmu ... cuma,
Bun Tio! Kau jangan bicara sembarangan di luaran sana!"
"Hamba mengerti, hamba pasti akan menutup mulut rapatrapat
dan tak akan membocorkan kepada siapa pun."
Mendengar itu Lu Bun-chang segera berkata, "Kau memang
pintar sekali, bila di kemudian hari kuangkat dirimu
mendampingi aku, apakah kau bersedia?"
Bun Tio memang sangat mengharapkan janji seperti itu,
sebab dia tahu wilayah di seputar sini ibarat lampu yang
kehabisan minyak, tak mungkin bisa menghasilkan apa-apa
lagi, sebaliknya dengan mengikuti Lu Bun-chang, jelas dia
akan memperoleh ladang subur lagi.
Maka sambil menyembah berulang kali serunya, "Hamba
pasti akan setia kepada Thayjin, hamba pasti akan berbakti
kepada Thayjin sampai mati!"
Lu Bun-chang tidak bicara lagi, dia melanjutkan kembali
lamunannya, "Sialan betul Ting Tong-ih itu, kenapa dia
meninggalkan aku dan malah kabur dengan seorang
narapidana macam Kwan Hui-tok" Bahkan sekarang malah
bergabung dengan para pemberontak Sin-wi-piau-kiok?"
Dia benar-benar tak habis mengerti.
Sesaat kemudian Lu Bun-chang baru bertanya lagi kepada
Bun Tio, "Bukankah kau sudah mengirim orang untuk
menyambut kedatangan Li-thayjin" Kenapa hingga sekarang
belum balik?"
"Besok baru batas akhir penarikan pajak," mendadak
terdengar seseorang berseru.
"Oleh sebab itu Li-thayjin tak perlu datang lebih awal,"
sambung suara yang lain.
Begitu mendengar suara jawaban itu, Lu Bun-chang merasa
hatinya bergetar keras, hampir saja dia melolos senjata.
Sementara itu Bun Tio telah menjura sambil menyapa,
"Siauhiap berdua, selamat datang!"
Yang muncul adalah dua orang pemuda berbaju perlente
yang mirip satu dengan lainnya, mereka adalah Li Hok dan Li
Hui. Lu Bun-chang segera mendengus dingin, tegurnya, "Kalau
mau masuk juga harus lapor dulu, benar-benar tak tahu sopan
santun." Li Hok tertawa dingin. "Kami masuk dengan blak blakan,
siapa suruh anak buahmu buta semua matanya hingga tidak
melihat kehadiran kami."
"Masih untung yang datang adalah kami berdua," sambung
Li Hui, "coba kalau orang lain, mungkin..."
Bicara sampai di sini, kedua orang bersaudara itu tidak
melanjutkan kembali kata-katanya.
Bun Tio tahu, meskipun Lu Bun-chang dan dua bersaudara
Li sama-sama bekerja pada Li Ok-lay, namun hubungan
mereka tak pernah baik, bahkan secara diam-diam saling
menjegal, saling gontok sendiri.
Lu Bun-chang adalah anak buah Li Ok-lay yang sudah
bekerja cukup lama bahkan menguasai bun maupun bu, tapi
Li Ok-lay sendiri pun tahu orang ini selain suka main
perempuan, gampang emosi, dia pun mempunyai ambisi
besar, wataknya serakah dan punya keinginan mengangkangi
sendiri semua keuntungan yang ada, maka dia tak pernah
menyerahkan urusan penting kepadanya.
Sementara Li Hok dan Li Hui adalah anak angkatnya, kedua
orang pemuda ini sudah dipeliharanya sejak kecil, meskipun
selalu menganggap dirinya bagai malaikat, sayang cara kerja
mereka kurang pengalaman, mereka lebih cocok mendapat
tugas melenyapkan seseorang, karena tugas yang lain selalu
tak dapat diselesaikan secara baik.
Karena itu Li Ok-lay hanya mengajarkan ilmu silat
kepadanya dan selama ini hanya menjadi pengawal
pribadinya. "Tentu saja anak buahku tidak mengetahui kehadiran
kalian, karena ilmu meringankan tubuh kalian berdua cukup
hebat," seru Lu Bun-chang sambil menahan emosi, "lantas apa
keinginan Li-thayjin untuk menghadapi rakyat yang tak mau
membayar pajak besok pagi" Biar sekarang juga aku membuat
sedikit persiapan."
"Kau tak usah membuat persiapan lagi," tukas Li Hok.
"Kita akan habisi dulu orang-orang Sin-wi-piau-kiok,"
sambung Li Hui, "kemudian mengirim rakyat yang tak mau
membayar pajak keluar perbatasan, tanah dan rumah yang
mereka tinggalkan akan menjadi milik Li-thayjin, yang akan
dijual di kemudian hari."
"Ini namanya siasat sekali timpuk mendapat dua ekor
burung, mengerti kau?" kata Li Hok lagi.
"Oleh sebab itu kau tak perlu membuat persiapan," Li Hui
menambahkan. Lu Bun-chang benar-benar tak sanggup mengendalikan diri
lagi, pikirnya, "Bagus, kalian dua orang bocah sialan juga
berani menghina aku" Peduli amat kalian anak angkat Lithayjin
atau bukan, kalau harimau tidak mengaum
dianggapnya aku hanya kucing buduk!"
Berpikir sampai di situ, ia segera membentak nyaring,
"Ketika aku mulai menjual nyawa bagi Li Thay-jin, kalian
berdua entah masih berada di langit lapisan ke beberapa,
memangnya kau anggap aku tidak paham" Sejak Li-thayjin
menyuruh aku bersama 'si Tua tak mau mati' dengan
membawa manusia berkerudung merampok uang pajak, aku
sudah mengerti permainan catur apa yang sedang dilakukan
Thayjin, kalian..."
"Tutup mulut!" kali ini Li Hui membentak duluan.
Lu Bun-chang tidak menyangka kalau pemuda itu berani
menghardiknya, untuk sesaat dia terbungkam.
"Kau berani membocorkan rahasia besar ini?" sambung Li
Hok pula dengan suara geram.
Tampaknya Lu Bun-chang sendiri pun sadar kalau dia
sudah salah bicara, walaupun begitu ia tetap menjengek
dengan nada keras, "Apa yang mesti ditakuti" Waktu itu Bun


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tio juga terlibat dalam peristiwa ini, kita semua toh orang
sendiri!" Bun Tio tidak berani banyak komentar, dia hanya mengikuti
pembicaraan itu sambil menentukan arah angin, walaupun Lu
Bun-chang adalah atasannya namun Li Hok dan Li Hui adalah
orang yang diutus Li Ok-lay, sementara Li Ok-lay merupakan
atasan yang memiliki kekuasaan untuk membunuh orang,
tentu saja dia tak ingin bertindak gegabah dengan berpihak
pada satu golongan.
Dalam pada itu Li Hui telah meraba gagang pedangnya dan
berkata lagi sambil tertawa dingin, "Jadi kau menuduh Lithayjin
merampok uang pajak lebih dulu kemudian baru
menindas rakyat?"
"Aku sama sekali tak punya pikiran begitu," sahut Lu Bunchang
tak kalah gusarnya, "Li-thayjin sengaja berbuat begini,
tujuan utamanya adalah demi lukisan tengkorak, karena
lukisan itu merupakan rencana besar perdana menteri Hu, kau
tak usah menuduh aku dengan kesalahan yang sengaja
dibuat-buat!"
Li Hok dan Li Hui saling bertukar pandang sekejap,
kemudian Li Hok berkata lagi, "Ternyata dugaan Thayjin tidak
meleset, semua rahasia besar selalu bocor melalui mulutmu,
berarti tidak menjamin di kemudian hari kau tetap akan
merahasiakan peristiwa ini."
Lu Bun-chang bukan orang bodoh, ucapan itu segera
meningkatkan kewaspadaannya, seakan baru sadar akan
sesuatu, serunya terkejut, "Jadi kalian ... kalian diutus Lithayjin
untuk ...?"
Dua bersaudara Li tertawa terbahak-bahak. "Lu-thayjin,"
kata Li Hui kemudian, "memang ayah angkat yang mengutus
kami berdua datang kemari, beliau ingin memberi kabar
kepadamu bahwa sebentar lagi pangkatmu akan dinaikkan
tiga tingkat."
Lu Bun-chang melengak.
Sambil tertawa Li Hok berkata pula, "Ayah angkat
menyuruh kami menjajal kesetiaanmu."
"Aku selalu setia kepada Li-thayjin, biar harus mati pun tak
akan menyesal!" segera Lu Bun-chang menyahut.
"Kalau soal ini kami sudah tahu," ujar Li Hui sambil tertawa
juga, "itulah sebabnya tadi kami sengaja mencoba dirimu,
ternyata kau memang selalu melindungi ayah angkat, tak
heran ayah angkat sering berkata, 'Banyaklah belajar dari
paman Lu..."
Sikap dan ucapan dua bersaudara Li yang begitu hangat
dan mesra membuat sikap permusuhan Lu Bun-chang seketika
hilang sebagian besar, katanya sambil tertawa, "Aaah, mana,
mana ... budi yang diberikan saudara Ok-lay kepadaku lebih
berat dari bukit karang, selain sangat berterima kasih, aku
malah belum sempat membalas semua budi kebaikannya itu."
"Benar," sambung Li Hok, "ayah angkat selalu memuji kau
sebagai seorang yang jago baik soal bun maupun soal bu,
konon kemampuanmu jauh melebihi siapa pun."
"Malah katanya sangat menguasai dalam berpantun dan
menulis indah..."
Lu Bun-chang tertawa terbahak-bahak, sambil berjalan
mendekat katanya, "Ayah angkat kalian pandai amat bergurau
... memang kadangkala saudara Ok-lay minta aku berpantun,
maka aku pun memenuhi keinginannya, hahaha ... lain kali
jika kalian ada waktu senggang, aku pun bersedia
membuatkan pantun untuk kalian berdua."
"Lu-thayjin, kau benar-benar kuda tua yang hapal dengan
jalanan," puji Li Hok.
Sambil merangkul pundak Li Hok, kata Lu Bun-chang lagi,
"Bukan aku takabur, hampir semua orang di karesidenan ini
mengenal Lu Bun-chang dengan baik."
"Nah, apa kubilang, ayah angkat bilang kau memang
pandai mengambil hati orang, selain itu juga terhitung
seorang pejabat hebat, oleh sebab itu beliau berniat
menaikkan pangkatmu dan memindahkan kau ke kotaraja"
"Benarkah?" berseri wajah Lu Bun-chang, "sebelum
berangkat ke kotaraja, aku pasti akan mengajak kalian
berpesiar dulu ke tempat-tempat yang indah"
Sementara dia berpikir, "Waah, berarti apa yang disaksikan
Bun Tio tadi memang ada betulnya, setibanya di kotaraja
kesempatanku menggaet rezeki pasti akan semakin banyak,
aku tentu akan kaya raya dan hidup terhormat."
Berpikir sampai di situ, ia merasa semakin perlu mengambil
hati kedua orang ini agar di kemudian hari ada orang yang
mau memperhatikan dirinya.
Dengan setengah berbisik Li Hok berkata lagi, "Ayah angkat
bilang, kau terlalu banyak menyimpan rahasia besar, terlalu
berat dan tersiksa kalau hidup terus di luaran, maka ada
baiknya kau pulang ke kotaraja saja."
"Betul, betul," seru Lu Bun-chang semakin percaya,
"setibanya di kotaraja nanti, berarti setiap hari aku akan
mendampingi Li-thayjin, tentu saja beliau pun tak perlu
merisaukan diriku lagi."
"Bahkan kau bisa langsung berbakti kepadanya, hingga
mati pun tak perlu dirisaukan."
"Betul, betul sekali!" Lu Bun-chang tertawa tergelak,
kembali dia merangkul pundak Li Hui berlagak mesra.
"Keliru besar, seharusnya bukan betul betul sekali," sela Li
Hok tiba-tiba sambil tertawa.
"Kalau bukan betul lantas apa?" tanya Lu Bun-chang tak
habis mengerti.
"Seharusnya, mati, matilah!" sambung Li Hui.
Lu Bun-chang tertegun.
Mendadak dua bersaudara Li melolos pedangnya dan
dihujamkan ke pinggang kiri dan kanannya, setelah itu
serentak mereka melompat menghindar.
Lu Bun-chang hanya merasakan dua buah benda tajam
menghujam ke dalam pinggangnya hingga tembus ke
lambung, ia menjerit keras, untuk sesaat tubuhnya maju
sempoyongan. "Kenapa?" jerit Lu Bun-chang sambil maju lagi setengah
langkah. "Bukankah kau bilang setia sampai mati" Bukankah kau
bilang sampai mati pun tak menyesal" Sekarang pergilah
mati!" ejek Li Hok sambil tertawa.
"Kalau toh kau memang kuda yang berpengalaman,"
sambung Li Hui sambil tertawa mengejek, "lebih baik
berangkatlah lebih dulu ke alam baka, sehingga suatu saat
nanti kau bisa menjadi petunjuk jalan bagi kami berdua."
Dua orang bersaudara ini benar-benar saudara kembar
sejati, bukan saja wajahnya mirip, potongan badannya mirip
bahkan perasaan mereka pun seakan sudah menyatu, selain
turun tangan pada saat bersamaan, waktu mundur, bicara dan
tertawa pun seakan sama.
Darah segar menyembur keluar dari mulut Lu Bun-chang,
dengan perasaan tak terima teriaknya, "Aku benar ... benar
setia..." "Sayang terlalu banyak rahasia yang kau ketahui," tukas Li
Hok sambil tertawa, "bayangkan sendiri, mungkinkah ayah
angkat membiarkan manusia yang kelewat banyak
mengetahui rahasianya tetap hidup di dunia ini?"
"Apalagi kau rakus, kemaruk harta dan tidak tahu diri,"
sambung Li Hui sambil tertawa juga, "baru menjadi seorang
pejabat kecil saja sudah ingin memiliki naga emas kepala,
betul-betul mimpi di siang hari bolong."
Mendengar perkataan itu Lu Bun-chang segera berpaling
dengan susah payah, umpatnya sambil menuding ke arah Bun
Tio, "Kau ... kau manusia rendah yang tak tahu malu."
Tiba-tiba ia mematahkan sisir besi dalam genggamannya,
kemudian disambitkan ke tubuh dua bersaudara Li.
Mimpi pun dua bersaudara Li tidak menyangka kalau
menjelang ajalnya Lu Bun-chang masih bisa melancarkan
serangan balasan, tergopoh-gopoh yang satu menghindar ke
samping dan yang lain menangkis dengan tangan kosong.
"Duuuk, duuuuk!", dua kali benturan nyaring bergema,
separuh potongan sisir menancap di telapak tangan Li Hok
dan separuh yang lain menembus bahu Li Hui.
Sekuat tenaga Lu Bun-chang menerjang ke depan, siap
melancarkan serangan maut lagi, mendadak sebilah golok
yang berlumuran darah muncul dari balik dadanya diikuti
semburan darah bagai pancuran.
Lu Bun-chang tertegun, tubuhnya terhentak, matanya
terbelalak dan mimik mukanya mulai kaku.
Bun Tio melepaskan tangannya, membiarkan pisau belati
tetap menancap di punggung Lu Bun-chang, setelah mundur,
jengeknya, "Yang rendah dan tak tahu malu itu siapa?"
Kemudian sambil membalikkan badan dan menjura kepada
dua bersaudara Li, katanya, "Tugas telah selesai!"
"Blaaam!", tubuh Lu Bun-chang roboh terjungkal ke tanah,
ketika menghembuskan napasnya yang terakhir, sepasang
matanya masih melotot.
Sambil menahan rasa sakit dua bersaudara Li mencabut
keluar potongan sisir dari tubuh mereka, kemudian sesudah
mengobati lukanya yang berdarah, kata Li Hok, "Bagus sekali
cara kerjamu."
"Kau sudah tahu bukan perbuatan ini atas perintah siapa?"
tanya Li Hui. "Hamba tidak tahu, tapi sangat paham di dalam hati,"
jawab Bun Tio dengan wajah tak berubah.
"Bagus bagus, tidak tahu tapi tahu, kau memang seorang
pintar!" puji Li Hok tertawa.
"Hamba hanya seorang bodoh!" kembali Bun Tio
merendah. "Besok, jika Li-thayjin bertanya kepadamu, katakan saja
kalau Lu-thayjin tewas di tangan rakyat yang memberontak,
mengerti?" pesan Li Hui.
Sambil berkata dia mencabut keluar pedang dan golok yang
bersarang di tubuh Lu Bun-chang.
Mendadak terdengar seseorang bertanya sambil terbatukbatuk,
"Kalau begitu Li-thayjin pasti bisa menggunakan alasan
ini untuk menumpas pemberontakan, memaksa rakyat
menyingkir dari sini, memusnahkan anggota piaukiok dan
melakukan pembantaian sesuka hati bukan?"
Li Hok, Li Hui serta Bun Tio amat terkesiap, sebab mereka
sama sekali tak menyangka kalau di atas penglari, di belakang
papan nama ternyata bersembunyi seseorang!
ooOOOoo 31. Salju Atau Bunga.
Suara itu berasal dari atas tiang penglari, tapi meja besar
yang berada di hadapan mereka justru hancur berantakan
diiringi suara benturan nyaring.
Di antara debu dan pasir yang beterbangan, di atas bekas
meja itu sudah bertambah dengan dua sosok tubuh manusia.
Bun Tio hanya kenal salah seorang di antaranya, "Kwan
Siau-ci!" Selama ini dia selalu beranggapan bahwa orang ini
hanyalah seorang opas rendahan yang tak pantas dikuatirkan,
ditinjau dari ilmu meramal wajah, dia berpendapat usia orang
ini tak lebih dua puluh lima tahun.
Tapi seorang yang lain sangat dikenal oleh Li bersaudara.
"Leng-hiat!"
Paras muka Leng-hiat sama sekali tak berperasaan, hanya
garis mukanya seakan-akan tergurat jauh lebih jelas.
Suara batuk masih berkumandang dari belakang papan
nama di atas penglari.
Suara batuk itu mulai bergeser, dengan berdiri di atas
dinding perlahan melangkah turun ke bawah.
Kali ini Li Hok dan Li Hui betul-betul terbelalak dengan
mulut melongo, beberapa saat mereka seakan tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun.
Papan nama itu tergantung di atas, tapi orang yang
berpenyakitan itu berjalan di atas dinding seolah sedang
berjalan di tanah datar saja, selangkah demi selangkah
berjalan turun ke bawah.
Seangkuh dan sejumawa apapun, kini Li bersaudara tak
berani ayal lagi, mereka sadar telah berjumpa musuh tangguh.
Tapi mereka sudah tidak memiliki pilihan lagi, karena ketiga
orang itu jelas sudah mendengarkan semua pembicaraan yang
mereka lakukan tadi.
Raja opas Li Hian-ih, Leng-hiat maupun Kwan Siau-ci
memang sudah mendengar semua pembicaraan yang
berlangsung, bahkan menyaksikan juga siasat 'di balik
senyuman sembunyi golok' yang dilakukan dua bersaudara itu.
Sebenarnya selesai hujan tadi mereka akan meminta Kwan
Siau-ci membawa mereka berdua ke perusahaan Sin-wi-piaukiok,
tapi ketika Leng-hiat menemukan ada batang hio dalam
gardu, ia segera tahu kalau Ting Tong-ih sekalian baru saja
melalui tempat itu.
Leng-hiat tak ingin mengganggu Ko Hong-liang sekalian
yang baru berkumpul kembali dengan keluarganya setelah
buron cukup lama, maka dia sengaja mengulur waktu.
Tentu saja Raja opas memahami maksudnya itu.
Tak lama setelah hujan berhenti, Leng-hiat mengajukan
usul dan minta Kwan Siau-ci mengajaknya menyelidiki kantor
pengadilan kota Cing-thian, dia ingin mencari sedikit data
mengenai pajak rakyat sebelum pergi ke kantor perusahaan
Sin-wi-piau-kiok.
Raja opas tidak menyatakan setuju, namun tidak
menampik, karena Leng-hiat ingin ke situ maka dia pun
mengikutinya, maka mereka bertiga pun dengan menerjang
hujan salju berangkat ke kantor pengadilan.
Belum lama mereka tiba di kantor pengadilan, Lu Bunchang
telah muncul di situ diikuti Bun Tio.
Leng-hiat sama sekali tak menyangka gara-gara
kehadirannya di situ, secara kebetulan mereka malah
mengikuti jalannya drama pembunuhan itu serta mendengar
sebuah rahasia besar.
Sebenarnya Kwan Siau-ci ingin melompat keluar, tapi Lenghiat
segera mencegahnya, sebab dia merasa kematian Lu Bunchang
memang tak perlu disayangkan, justru yang penting
adalah mengetahui rahasia lain.
Akhirnya Bun Tio berhasil membunuh Lu Bun-chang secara
tiba-tiba, kejadian ini berlangsung mendadak dan di luar
dugaan siapa pun, dalam keadaan begini tak sempat bagi Li
Hian-ih sekalian mencegahnya.
"Mereka semua telah melanggar hukum, mereka pun


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan saksi kunci," ujar Leng-hiat kemudian.
Setelah melewati dua bersaudara Li, tanyanya kepada Raja
opas, "Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?"
Dia memang ingin memancing reaksi Li Hian-ih, jika Raja
opas berniat mencari pangkat, dia pasti akan mendukung Li
Hok dan Li Hui, Leng-hiat merasa dirinya belum tentu mampu
mencegah mereka.
Raja opas terbatuk-batuk lagi, setelah memuntahkan darah
segar dia menjawab singkat, "Tangkap mereka!"
Dengan cepat dua bersaudara Li dapat melihat Leng-hiat
serta orang berpenyakitan itu sudah menyumbat jalan maju
maupun jalan mundurnya, tapi Li Hok maupun Li Hui tidak
menjadi takut karena kejadian ini, sebab sejak awal mereka
memang berniat membunuh Leng-hiat dan membuat sebuah
pahala besar. Mereka sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap
kakek penyakitan itu, bahkan seolah memandangnya sebagai
seonggok sampah.
"Bunuh mereka!" perintah Li Hok kepada Bun Tio.
Bun Tio sama sekali tak bergerak. Ilmu silatnya masih jauh
di bawah kemampuan Li Hok maupun Li Hui, bahkan dengan
Lu Bun-chang pun masih kalah jauh.
Namun sudah cukup lama dia menjadi pejabat negeri,
hingga sekarang dia sudah dua puluh delapan tahun
mengabdikan diri pada kerajaan, tentu saja pengalaman
bertempurnya jauh lebih matang dari siapa pun.
"Aku sudah terluka," katanya dengan wajah masam.
"Sialan! Kau terluka apa?" teriak Li Hui tertawa dingin.
"Ketika membunuh Lu Bun-chang tadi, isi perutku sudah
terluka oleh getaran tenaga dalamnya!" jawab Bun Tio sambil
meringis. Dua bersaudara Li tahu kalau Bun Tio sedang berbohong,
saking jengkelnya ingin sekali mereka bunuh orang ini dengan
sekali tusukan, tapi musuh tangguh di depan mata, apalagi
musuh yang harus dihadapi adalah Leng-hiat, tentu saja
mereka tak ingin memecah perhatiannya.
"Criiing, criiing!", dua bersaudara Li telah mencabut keluar
pedangnya. Leng-hiat masih berdiri dengan wajah dingin, tangannya
memegang gagang pedang, selangkah demi selangkah ia
berjalan mendekat.
Dua bersaudara Li memang mempunyai hubungan batin
yang hebat, mereka menggerakkan bahunya dan siap
melancarkan serangan.
Mendadak dari arah belakang terdengar orang penyakitan
itu menghardik, "Lihat serangan!"
Serentak Li Hok dan Li Hui berpaling, tapi dengan cepat
mereka dibuat kaget setengah mati, sukma seraya melayang
meninggalkan raganya, untuk sesaat mereka tak tahu
bagaimana harus menghadapi ancaman itu.
Selama hidup belum pernah mereka jumpai senjata sebesar
ini. Papan nama itu panjangnya mencapai dua puluh kaki, tapi
kakek berpenyakitan itu sudah mengayunkan papan itu ke
arah mereka, "Weesss!", diiringi deru angin tajam, papan itu
menyapu ke dada mereka berdua.
Tergopoh-gopoh Li Hok dan Li Hui melompat mundur, tapi
papan kayu itu merangsek terus dan membuat mereka berdua
segera terpojok di sudut dinding ruangan.
Menggunakan kesempatan itu dua bersaudara Li menarik
napas panjang, pedang mereka serentak dicabut keluar dan
langsung dibabatkan ke atas papan nama itu.
Siapa tahu baru saja sepasang pedang dua bersaudara Li
menusuk papan nama itu, mendadak Li Hian-ih mengendorkan
tangannya. "Plaaak, plaaaak!", sepasang tangannya
menghantam papan itu hingga jebol sementara tangan
kanannya secepat kilat mencengkeram pergelangan tangan
kiri Li Hok, sementara tangan kirinya mencengkeram bahu
kanan Li Hui. Kedua tempat itu merupakan mulut luka yang diderita
mereka berdua, susah bagi dua bersaudara itu untuk
menghindarkan diri, tak ampun tubuh mereka segera berhasil
dicengkeram. Li Hok dan Li Hui mencoba memberontak, sayang
cengkeraman itu membuat sekujur tubuh mereka kesemutan,
apalagi ketika Raja opas melancarkan tendangan berantai,
jalan darah di tubuh mereka segera terhajar telak.
Tak ampun tubuh mereka menjadi lemas, roboh terjungkal
ke tanah dan tak mampu bergerak lagi.
Saat itulah Raja opas baru mengendorkan tangannya,
membuang papan nama itu dan berkata kepada Leng-hiat
sambil tertawa, "Aku kuatir pedangmu langsung mencabut
nyawa mereka!"
Diam-diam Leng-hiat terkesiap, dia tak menyangka Li Hianih
hanya menggunakan papan nama sebagai senjata bisa
membekuk kedua orang jago tangguh itu hanya dalam dua
gebrakan, bukan saja cara kerjanya cepat, bahkan tak perlu
melukai lawan, satu hal yang tak mungkin bisa dilakukan si
Darah dingin. Sementara itu Kwan Siau-ci berseru dengan nada jengkel,
"Orang-orang ini memang bedebah, bukan saja sudah
merampok uang pajak, mereka pun memaksa rakyat untuk
membayar pajak untuk kedua kalinya! Betul-betul laknat!"
Li Hian-ih tidak bicara apa-apa, dia hanya termenung
dengan kening berkerut kencang.
"Ada apa" Apakah kau sedang memikirkan masalah lukisan
tengkorak?" tiba-tiba Leng-hiat bertanya.
"Kenapa tidak kita tanyakan kepada mereka?" ujar Li Hianih
kemudian, kini mereka baru sadar bahwa Bun Tio telah
melarikan diri.
"Haah! Dia telah kabur!" seru Kwan Siau-ci terperanjat.
"Ternyata ilmu silat yang dimiliki orang ini jauh di atas
kepandaian Li Hok dan Li Hui," gumam Li Hian-ih dengan
kening semakin berkerut.
"Kalau begitu kita tanyakan saja kepada Li bersaudara!"
usul Leng-hiat.
Hasil interogasi yang berhasil mereka kumpulkan hanyalah
membuktikan bahwa Li Ok-lay memang memberikan beberapa
tugas kepada Lu Bun-chang, antara lain merebut kembali
lukisan tengkorak, memusnahkan perusahaan ekspedisi Sinwipiau-kiok. merampok uang pajak kemudian memaksa
rakyat untuk membayar pajak lagi.
Selain itu mereka juga membubarkan pasukan yang telah
dipersiapkan di sekitar perusahaan Sin-wi-piau-kiok, tentang
lukisan tengkorak ternyata mereka sama sekali tidak tahu.
Leng-hiat serta Li Hian-ih tahu pengakuan kedua orang itu
tidak bohong, sebab dua bersaudara Li belum pernah
mengalami siksaan dan kejadian semacam ini, ketika Leng-hiat
memerintahkan Kwan Siau-ci mengurungi sebuah kakinya
lebih dulu, dua bersaudara ini sudah ketakutan setengah mati
hingga terkencing-kencing dalam celana.
Berada dalam kondisi dan situasi seperti ini, tak ada alasan
bagi dua bersaudara Li untuk tidak menjawab dengan
sejujurnya. Kwan Siau-ci masih menguatirkan kaburnya Bun Tio,
katanya, "Mungkinkah dia pergi melaporkan kejadian ini
kepada Li Ok-lay?"
"Tentu saja," jawab Leng-hiat, "tapi aku pikir ada baiknya
kita berangkat ke Sin-wi-piau-kiok terlebih dulu baru kemudian
mencari mereka."
"Apa leluasa dengan membawa serta dua orang bersaudara
ini?" tanya Li Hian-ih.
Di seputar gedung Sin-wi-piau-kiok masih terdapat pasukan
yang disiapkan Li Ok-lay, mereka semua tak ingin membabat
rumput mengejutkan ular.
"Serahkan saja kepadaku," Kwan Siau-ci mengusulkan, "toh
mereka tidak banyak tahu tentang persoalan ini, biar kusekap
mereka di dalam kamar tahanan."
"Tempat ini merupakan sarang serigala gua ular, kau tidak
takut menggelandang dua orang jagoan sekaligus sambil
setiap saat harus berjaga-jaga terhadap serangan lain?" tanya
Li Hian-ih sambil tertawa.
Berkilat sepasang mata Kwan Siau-ci, serunya, "Tahukah
kau, bagaimana kakakku mengajarkan padaku" Kami anggota
keluarga Kwan tak pernah takut melakukan perbuatan
apapun, bahkan berani melakukan perbuatan yang tidak
seharusnya dilakukan, berani berbuat apa yang orang lain tak
berani memikirkan dan menyatakan suka pada sesuatu yang
disukai." Kemudian sambil bertepuk dada lanjutnya lagi dengan
suara lantang, "Aku memang tidak sebanding dengan
kegagahan kakakku, tapi aku harus belajar seperti dia,
menjadi seorang enghiong, karena aku adalah adiknya!"
Sebenarnya Leng-hiat ingin bertanya siapa kakaknya, tapi
karena tak ada waktu maka dia pun mengurungkan niatnya.
"Bagus, bagus sekali," terdengar Li Hian-ih berseru sambil
tertawa, "generasi Lak-san-bun berikut tampaknya harus
tergantung pada manusia macam kalian, kalau aku memiliki
seorang anak macam kau"
Tiba-tiba ia mulai terbatuk-batuk.
"Aku pun merasa gembira, merasa sangat bangga bisa
menyumbang tenaga untuk kalian berdua," seru Kwan Siau-ci
penuh bersemangat.
"Jaga dengan hati-hati, kedua orang ini merupakan saksi
kunci, penting sekali" kembali ia terbatuk keras, begitu
kerasnya seolah-olah paru-parunya akan meledak, membuat
seluruh tubuhnya seakan menyusut menjadi satu, membuat
badannya seperti sebatang ranting kering yang setiap saat
bakal patah dan rubuh oleh hembusan angin.
Untuk sesaat dia seolah kehabisan daya, seolah tak tahu
bagaimana harus mengatasi batuknya itu.
Kwan Siau-ci juga tak bisa berbuat apa-apa, sebab ia dapat
melihat batuknya sudah mencapai saat yang paling kritis,
penyakit batuknya sudah berada pada tingkat yang begitu
parah hingga setiap saat bisa merenggut nyawanya.
Leng-hiat dan Li Hian-ih telah keluar dari dalam gedung,
kini mereka sedang berjalan di tanah yang putih berlapiskan
salju. Air sungai di kejauhan sana sudah mulai membeku, tapi
masih nampak riak air yang mengalir perlahan, membawa
bongkahan salju yang hancur.
Bunga yang tumbuh di sepanjang sungai pun telah
memutih, membuat orang susah membedakan mana salju dan
mana bunga.... Di ujung jembatan duduk seorang kakek, sedang
memancing ikan.
Pancingan itu ada mata kail namun tiada senar.
Tapi kakek itu masih memancing dengan santainya, setiap
kali berhasil mengail seekor ikan, dia pun membesut ujung
hidungnya. Sekilas pandang dia mirip seorang kakek yang sedang asyik
memancing ikan.
Tapi begitu Leng-hiat dan Li Hian-ih melihat kehadiran
orang itu, paras muka mereka berdua segera berubah hijau
membesi. Leng-hiat bisa memiliki posisi dan nama besar setenar ini
dalam dunia persilatan antara lain karena dia berani, ampuh,
telengas dan ulet.
Dia pernah membunuh tokoh paling misterius dalam dunia
persilatan 'Na-jin', dia pun berhasil menghabisi nyawa si opas
sakti Liu Ci-yan, anak murid si iblis darah, kemudian dalam
keadaan terluka parah dia pun berhasil menghabisi nyawa To
Ko-wi, murid paling ampuh Kiu-yu Sinkun, lalu pernah
bertarung melawan Cap-ji-tan-ih-kiam, di dusun Tan-ke-cun
pernah membunuh lima belas orang jago buas, malah Tio
Yan-hiap yang konon memiliki lima puluh empat orang guru
pun akhirnya terluka parah di tangannya.
Belum pernah terdengar Leng-hiat takut terhadap
seseorang. Tapi sekarang dia justru takut menghadapi orang yang
berada di ujung jembatan itu.
Takut terhadap kakek pemancing yang sedang memancing
ikan dari sungai yang hampir membeku itu.
Sebab dia tahu dengan jelas siapakah orang tua itu.
Kakek itu begitu tersohor, begitu termashur namanya jauh
sebelum dia mulai berlatih silat.
Ketika ia selesai belajar silat, ketika mendengar para
Cianpwe membicarakan ketiga tokoh manusia yang
menakutkan ini, ia pernah bertanya kepada Cukat-sianseng.
"Apa yang harus aku lakukan bila bertemu dengan si Tua
tak mau mati?"
"Bertarung melawannya" Kau masih bukan tandingannya."
"Bagaimana kalau bertemu dengan si Manusia menengah?"
"Kabur!" jawab Cukat-sianseng singkat.
"Lantas bagaimana kalau bertemu dengan si Bambu
muda?" "Tak ada cara lain," Cukat-sianseng menghela napas, "bila
orang awam bertemu dengan seekor ular kobra yang sudah
melilit kakinya, cara terbaik adalah jangan bergerak."
"Bila kau bertemu dengannya, keadaanmu tak jauh
berbeda dengan posisi seorang manusia cacad yang di
lehernya telah dililit seekor ular berbisa", itulah kesimpulan
yang disampaikan Cukat-sianseng.
Selama ini Cukat-sianseng tak pernah membesar-besarkan
masalah yang diucapkan, Leng-hiat sangat percaya dengan
kesimpulan yang diambil Cukat-sianseng, karena dia pun
merupakan murid hasil didikan Cukat-sianseng.
Tidak percaya dengan Cukat-sianseng sama halnya dengan
tidak percaya pada diri sendiri.
Jalan pikiran Li Hian-ih sekarang pun tidak jauh berbeda
dengan apa yang dipikirkan Leng-hiat, dia cuma berbisik lirih,
"Si Tua tak mau mati?"
Leng-hiat mengangguk.
"Dengan dua lawan satu, mungkin kita masih bisa meraih
kemenangan," bisik Li Hian-ih lagi.
Sebenarnya Leng-hiat ingin berkata, "Bagaimana kalau si
Manusia menengah dan si Bambu muda ikut datang?".
Belum sempat perkataan itu diucapkan, terlihat sesosok
tubuh manusia telah meluncur datang dari balik lapisan salju.
Orang itu muncul dengan mengenakan jas hujan, bahkan


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil bersenandung.
Dari balik irama lagunya yang lembut, terselip semangat
yang berkobar. Orang itu mengenakan topi caping yang nyaris menutupi
wajahnya, berjalan sambil bernyanyi, tak lama sudah tiba di
ujung jembatan dan menghentikan langkahnya.
Kakek pemancing itu segera membesut ujung hidungnya,
kemudian bangkit berdiri.
Tiba-tiba ia sudah menerjang ke depan jembatan,
menerjang ke hadapan manusia berjas hujan itu, dipandang
dari kejauhan tampak tangannya telah bersentuhan dengan
caping bambu yang dikenakan orang berjas hujan itu.
Seketika suara nyanyian orang yang mengenakan jas hujan
itu terhenti di tengah jalan.
Kemudian kedua orang itupun sama-sama berdiri tegak
tanpa bergerak.
Selang beberapa saat kemudian di atas lapisan salju yang
membentang di ujung jembatan mulai tersirat cahaya merah.
warna merah yang makin lama semakin melebar dan
bertambah luas.
Manusia berjas hujan itupun mulai bernyanyi lagi,
melanjutkan nyanyiannya yang terhenti setengah jalan tadi.
Si Tua tak mau mati perlahan-lahan roboh terkapar ke
tanah, Leng-hiat sempat melihat sebuah garis luka
memanjang di pundaknya, dari situ darah menyembur keluar.
Jurus serangan apa yang telah digunakan" Kenapa si
jagoan tangguh si Tua tak mau mati bisa tertusuk sebilah
golok di punggungnya ketika sedang bertarung saling
berhadapan dengan lawannya"
Si Tua tak mau mati kini sudah tergeletak di ujung
jembatan, tergeletak kaku untuk tidak bangkit kembali.
Manusia berjas hujan itu melanjutkan nyanyiannya,
berjalan sambil bernyanyi.
Ketika tiba di tengah jembatan, mendadak terdengar suara
deburan air yang nyaring diikuti munculnya seseorang dari
balik lapisan salju, orang itu meluncur ke udara dan melayang
turun di atas jembatan.
Tampaknya orang itu sudah cukup lama bersembunyi di
dalam air, namun dia sama sekali tak nampak kedinginan,
bukan saja tidak kedinginan, pakaian yang dikenakan pun
seolah tak basah.
Padahal orang itu jelas baru muncul dari dalam air, muncul
dari balik lapisan salju yang mulai membeku di permukaan
sungai. "Manusia menengah!" Leng-hiat berseru tertahan.
Li Hian-ih tidak mengucapkan sepatah kata pun, tampaknya
dia masih terkesima menyaksikan si Tua tak mau mati
menemui ajalnya di ujung golok manusia berjas hujan itu,
tertusuk di punggungnya.
Manusia menengah sama sekali tidak melancarkan
serangan bokongan setelah melompat keluar dari balik sungai,
karena bokongan hanya akan berhasil bila digunakan untuk
menyergap jagoan kelas dua.
Ketika melompat keluar dari balik salju tadi, dia bukannya
tak berniat melakukan serangan bokongan, tapi niat itu segera
diurungkan setelah menyaksikan sikap lawannya yang begitu
tenang dan teratur.
Dia tahu bokongannya tak nanti bisa mencabut nyawa
orang ini dalam sekali gempuran.
Setelah berada di atas jembatan, dia pun tidak mencoba
melancarkan serangan, orang itu hanya bersiap sambil berdiri
saling berhadapan.
Berada di atas jembatan, apalagi dalam selisih jarak yang
begitu dekat, pada hakikatnya tak mungkin bagi pihak lawan
untuk menghindar, mau berkelit pun susah.
Tapi manusia berjas hujan itu masih melanjutkan
langkahnya, berjalan sambil menyanyi.
Lagu yang dinyanyikan masih tetap lagu yang tadi, ayunan
langkahnya juga tetap lebar, seperti ayunan langkahnya tadi.
Manusia menengah sudah menyiapkan anak panahnya, siap
melancarkan serangan mematikan, namun dia tak yakin panah
yang bakal dilepaskan bisa menghajar mati lawannya, maka
kembali dia mundur setengah langkah.
Manusia berjas hujan itu masih melanjutkan langkahnya
maju ke depan. Sekarang suara nyanyiannya berubah jadi lebih sendu dan
menyedihkan. Manusia menengah belum berhasil juga menemukan
kesempatan untuk turun tangan, lagi-lagi dia mundur satu
langkah. Tangan manusia berjas hujan itu mulai meraba gagang
golok yang terselip di pinggangnya, namun ia masih tetap
berjalan maju sambil tertawa.
Mendadak Manusia menengah membuang busurnya,
melemparkan anak panahnya ke tanah, lalu gumamnya sambil
menghela napas panjang, "Aku kalah!"
"Byuuurr!", dia melompat ke bawah jembatan dan
menceburkan diri ke dalam sungai yang membeku.
Pusaran air segera menggelombang di atas permukaaan,
tapi hanya selang sesaat kemudian permukaan air kembali
tenang. Manusia berjas hujan itu masih berdiri di tengah jembatan,
hembusan angin membawa suara nyanyiannya menggema
lembut di angkasa.
Tiba-tiba terdengar suara seruling, irama seruling itu
mengalun di angkasa mengiringi suara nyanyiannya.
Suara nyanyian manusia berjas hujan itu mulai bergetar,
nadanya mulai bergelombang, seakan bongkahan salju di atas
permukaan sungai yang membentur sesuatu benda.
ooOOOoo 32. Nyanyian Manusia Berjas Hujan.
Orang yang memainkan seruling itu adalah seorang
pemuda berbaju putih yang berwajah bersih, tampan dan
berperawakan tegap.
Sambil meniup serulingnya orang itu berjalan mendekat
bagai sebuah sampan yang mengikuti arus sungai.
Ia berhenti setibanya di ujung jembatan, mencabut keluar
sebatang bambu yang masih berdaun hijau dan melanjutkan
langkahnya ke depan.
Suara nyanyian manusia berjas hujan itu masih bergema
tiada hentinya.
Batang bambu itu panjangnya sekitar dua setengah meter,
ketika tiba lebih kurang empat meter di hadapan manusia
berjas hujan itu tiba-tiba ia berhenti.
"Aaah, rupanya kau!" serunya terperanjat.
"Ya, memang aku!"
Pemuda itu melanjutkan permainan serulingnya, tapi irama
lagu yang dibawakan kali ini adalah irama lagu yang sangat
memedihkan hati.
Permainan serulingnya memang sangat hebat dan mungkin
sudah mencapai tingkat kesempurnaan, baru mendengar
sejenak, Leng-hiat sudah merasakan matanya berkaca-kaca,
nyaris air matanya bercucuran, Li Hian-ih sendiri pun ikut
terhanyut dalam kesedihan.
Tapi dengan cepat si Raja opas tersadar kembali, segera
bisiknya kepada Leng-hiat, "Dia adalah si Bambu muda!"
Kini irama seruling itu sudah berada lebih kurang lima
meter dari posisi semula, namun Li Hian-ih tidak mendengar
reaksi Leng-hiat, saat itulah baru ia sadar kalau suara
pembicaraannya sudah tenggelam di balik irama seruling itu.
Manusia berjas hujan itu masih melanjutkan pula
nyanyiannya. Nyanyian tetap nyanyian, tapi lagu yang dibawakan sudah
bukan lagu yang pertama kali tadi, nyanyiannya kali ini
mendatangkan kesan seolah-olah berasal dari suatu tempat
yang sangat jauh.
Mendadak cahaya golok berkelebat.
Bambu yang berada di tangan pemuda itu terpapas kutung,
ruas demi ruas terpotong jadi beberapa bagian.
Terakhir batok kepala pemuda itupun ikut terpapas kutung,
tercebur ke dalam sungai.
Kembali terlihat cahaya golok berkelebat, tahu-tahu senjata
itu sudah disarungkan kembali.
Manusia berjas hujan itu memandang sekejap mayat sang
pemuda tanpa kepala itu, kemudian sambil melanjutkan
nyanyiannya ia berjalan menuju ke arah Leng-hiat serta Li
Hian-ih. Li Hian-ih segera menjumpai bahu kiri orang itu sedikit
miring ke samping sewaktu berjalan, ia berpaling dan
maksudnya akan memberitahukan hal ini kepada Leng-hiat,
tapi dengan cepat ia lihat sorot mata rekannya sedang
memandang orang itu dengan sikap penuh hormat, wajahnya
tulus dan mimik mukanya menampilkan kemesraan dan
kehangatan. Dalam waktu singkat Li Hian-ih jadi paham siapa gerangan
orang itu. Manusia berjas hujan itu berhenti lebih kurang dua meter di
hadapan Leng-hiat, tampak dia mengulapkan tangannya
mencegah Leng-hiat memberi hormat.
Entah mengapa ternyata Li Hian-ih pun merasakan suatu
luapan emosi yang luar biasa setelah berjumpa dengan orang
itu, biarpun sudah puluhan tahun ia hidup malang melintang
dalam dunia persilatan, belum pernah sekalipun timbul
perasaan aneh semacam ini di hatinya.
Manusia berjas hujan itu masih tetap menyembunyikan
wajahnya di balik topi lebar, Li Hian-ih tak sempat melihat raut
mukanya namun ia dapat merasakan sorot mata yang dingin
bagai sambaran petir sedang mengawasi wajahnya.
"Dulu si Bambu muda pernah mendapat didikan ilmu silat
dariku, keluarganya pernah berhutang budi kepadaku maka
dia sama sekali tak melakukan perlawanan, tapi wataknya
kelewat keras, kelihatannya dia memang berniat menghabisi
nyawa sendiri, aaaai ... Dia tak ingin membunuhku, tapi dia
pun tak bisa menyelesaikan tugasnya, orang angkuh macam
dia akhirnya sengaja membiarkan dirinya tewas di tanganku.
Manusia menengah sadar bukan tandinganku, dia mundur
sebelum bertarung dengan harapan di kemudian hari masih
bisa bangkit kembali, manusia seperti dialah terhitung
manusia paling pintar di dunia ini. Walaupun aku berhasil
membunuh si Tua tak mau mati, namun tubuhku sendiri ikut
terluka oleh getaran tenaga dalamnya, lagi pula aku harus
mengejar si Manusia menengah hingga keluar dari daratan
Tionggoan. Bun Tio adalah orang kepercayaan Li Ok-lay, dia
sudah mengirim burung merpati untuk mengabarkan kalau
kalian sudah mengetahui rahasianya, itulah sebabnya Li Ok-lay
segera mengutus 'tua, menengah dan muda' untuk
membunuh kalian. Tapi kini 'tua, menengah dan muda' sudah
menderita kekalahan, atasan mereka manusia she Coa itu
pasti akan mengubah semua rencananya, orang itu pandai
sekali mengikuti arus, tapi aku pikir perubahan yang terjadi
pasti akan menguntungkan pihak rakyat kecil maupun Sin-wipiaukiok, berarti persoalannya tinggal Li Ok-lay seorang, dia
kuserahkan kepada kalian untuk menyelesainya, mengenai
lukisan tengkorak, bila sudah ditemukan segera dimusnahkan
saja. Kalian mesti mengutamakan keselamatan negara."
Perkataan manusia berjas hujan itu seperti kata-kata
nasehat saja, begitu selesai berkata dia melanjutkan kembali
nyanyiannya dan berlalu dari situ.
Tak lama kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap di
balik putihnya salju.
Siapakah orang itu"
Darimana dia tahu Leng-hiat sedang menghadapi kesulitan
sehingga tiba tepat waktunya" Dengan cara apa dia
menghabisi nyawa 'tua, menengah dan muda' itu"
Li Hian-ih sama sekali tak bertanya.
Ketika suara nyanyian itu sudah semakin jauh, Raja opas
hanya mengajukan satu pertanyaan, "Apakah dia?"
"Ya, memang dia!" Leng-hiat mengangguk.
Li Hian-ih tidak bertanya lagi. Asal sudah tahu kalau orang
itu adalah 'dia', ia merasa tak perlu mengajukan pertanyaan
lagi. "Sekarang aku harus pergi mencari seseorang," kata Lenghiat
kemudian. "Siapa?"
"Ong Beng-kun!"
"Suya itu?"
Leng-hiat mengangguk, pandangan matanya dialihkan ke
tempat jauh, mengawasi salju nan putih dengan termangu.
"Walaupun Ong Beng-kun sudah melanggar hukum, tapi
pelanggaran yang dia lakukan tidak terhitung serius,
semestinya kita harus menyelesaikan dulu persoalan di depan
mata," kata Li Hian-ih kemudian.
"Aku mencarinya bukan lantaran dia sudah menyerahkan
diri atau belum."
"Aaah, lantaran Ni Jian-ciu?" Li Hian-ih segera tersadar.
"Oleh karena saudara angkatnya berkhianat, Ni Jian-ciu
menjadi sedih, dalam keputus asaan dia pun menempuh jalan
sesat. Besok dia pasti akan berpihak pada Li Ok-lay, aku tak
ingin melangsungkan pertarungan yang tak bermanfaat
dengan dirinya, selain itu aku pun ingin menyingkirkan salah
satu pembantu tangguh Li Ok-lay ini."
"Kau ingin membujuk Ong Beng-kun agar bertobat, minta
maaf kepada Ni Jian-ciu dan berusaha mengembalikan
harapan serta rasa percaya diri Ni Jian-ciu?"
"Bila kita benar-benar dapat berbuat begitu, jelas hal ini
merupakan satu kebaikan, cuma ... aku kurang begitu percaya
dengan Ong Beng-kun!"
"Bila dia keras kepala, ngotot dan tak mau merubah
sifatnya, apakah kau akan membunuhnya?"
"Kali ini aku tak akan menuruti nasehatmu, lagi pula..." dia
memandang sekejap genangan darah di atas jembatan,
"dalam pertarungan esok, berapa banyak kemungkinan kita
tetap hidup" Jika nasib kita kurang beruntung hingga tertimpa
musibah, apakah kita akan membiarkan manusia macam Ong
Beng-kun tetap merajalela di kolong langit sambil melakukan
perbuatan yang menyengsarakan rakyat" Jika dia tak mau
bertobat, aku bersumpah akan mencabut nyawa anjingnya!"
Li Hian-ih seketika terbungkam.
"Kau akan menghalangi aku?" tanya Leng-hiat kemudian.
Li Hian-ih menggeleng. "Setelah persoalan di sini selesai,


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku pun akan membunuh seseorang, aku berharap sampai
waktunya kau pun jangan menghalangi aku."
Sebenarnya Leng-hiat ingin bertanya siapakah dia, namun
ketika melihat Li Hian-ih tidak bermaksud mengungkap nama
orang itu, terpaksa dia pun bertanya, "Sekarang kau akan
kemana?" "Aku akan tetap tinggal di sini, kini kedok Li Ok-lay sudah
tersingkap, besar kemungkinan dia tak akan membiarkan
Kwan Siau-ci dan kedua orang saksi kunci itu tetap hidup, kita
tak bisa meninggalkan mereka begitu saja," kata Li Hian-ih,
"aku pikir sebelum fajar menyingsing baru berkunjung ke
perusahaan Sin-wi-piau-kiok, karena jauh lebih aman."
Leng-hiat setuju dengan usul itu, katanya, "Aku rasa besok
Li Ok-lay pasti akan mengalihkan seluruh pasukannya ke kota
ini, pertumpahan darah tampaknya tak terhindarkan lagi!"
Dengan termangu kedua orang itu memandang salju yang
tampak begitu bersih, begitu hening, entah bagaimana pula
pemandangan di esok hari"
"Aku tidak habis mengerti," mendadak Li Hian-ih berkata.
Leng-hiat berpaling dengan sorot mata penuh tanda tanya.
Sambil mengawasi potongan bambu yang berserakan di
atas jembatan, kata Li Hian-ih, "Seandainya tua, menengah
dan muda turun tangan bersama, sanggupkah mereka
membunuhnya?"
"Aku sendiri pun kurang jelas, mungkin mereka terlalu
yakin dengan kemampuan sendiri hingga merasa tak perlu
main kerubut, bisa juga lantaran mereka bukan datang secara
berombongan. Atau mereka tak menyangka kalau dia akan
muncul di situ hingga gelagapan dan gugup sendiri, bisa juga
si tua tak mengira akan bertemu musuh tangguh, si
menengah kabur karena merasa tak mampu melawan dan si
muda rela berkorban demi membayar budinya dulu, itulah
sebabnya mereka bertiga tak turun tangan bersama."
Sesudah menghembuskan napas panjang, tambahnya,
"Tentu saja semua ini hanya sebatas dugaan, siapa yang tahu
keadaan sebenarnya."
Malam itu Li Hian-ih sedang berbincang-bincang dengan
Kwan Siau-ci. "Dia memelihara aku, mendidik aku, agar setelah
menginjak dewasa nanti menjadi seorang lelaki yang berguna.
Aku harus meniru dia menjadi seorang enghiong hohan, untuk
mewujudkan cita-cita itu aku bergabung dengan Sin-wi-piaukiok
untuk menimba pengalaman, dia pun setuju dengan
langkahku ini, sekarang aku sudah menjadi anggota
keamanan, aaai ... mungkin dia masih belum tahu
perkembanganku sekarang... aku... aku tak akan membiarkan
dia kecewa."
Baru bicara sampai di situ, terlihat seseorang sudah
melayang masuk ke tengah ruangan.
Tanpa berpaling Li Hian-ih tahu orang itu Leng-hiat.
Sekulum senyuman menghiasi wajah Leng-hiat yang dingin.
Ia berjalan mendekati perapian, membiarkan cahaya api
menghangatkan tubuhnya.
Kwan Siau-ci mengambil secawan arak dan disodorkan
kepadanya. Menggenggam cawan arak itu Leng-hiat merasakan suatu
kehangatan, tegurnya sambil tersenyum, "Sedang berbincangbincang?"
"Ya," sahut Kwan Siau-ci, "bagaimana dengan rencanamu
mencari Ong-suya?"
"Di luar dugaan Ong-suya benar-benar mengajak kedua
orang petugas keamanan itu pergi menyerahkan diri," kata
Leng-hiat dengan rasa puas, "ketika aku berhasil menemukan
dia dan mengungkit masalah Ni Jian-ciu, ia segera
menyatakan penyesalannya, dia bilang Ni Jian-ciu telah
menaruh salah paham kepadanya, padahal dia bersama
saudara lainnya amat merindukan Ni Jian-ciu, katanya dia
akan minta maaf dan memohon kepadanya untuk berkumpul
kembali." "Aaai, baguslah kalau begitu," Li Hian-ih menghela napas.
"Kuberitahu Ong Beng-kun bahwa Ni Jian-ciu sudah datang,
mungkin dia sedang beristirahat di luar kota, saking girangnya
ia melelehkan air mata, katanya segera akan dicari saudara
yang lain untuk segera menyambangi Toakonya itu, melihat
ketulusan hatinya, aku pun memberi nasehat agar dia tidak
menindas rakyat kecil lagi."
"Jika Ong Beng-kun benar-benar bisa membujuk Ni Jian-ciu
meninggalkan jalan sesat dan kembali ke jalan benar, jasa itu
sudah cukup untuk menebus dosa-dosanya."
"Semoga saja dia sanggup melakukannya," bisik Leng-hiat
kemudian, "aku akan gembira sekali bila tidak membunuh Ong
Beng-kun, sebaliknya malah bisa menolong Ni Jian-ciu!"
"Sayangnya, aku justru harus membunuh seseorang," kata
Li Hian-ih sambil meneguk araknya.
Ko Siau-sim merasa jantungnya berdebar keras, sejak Tong
Keng muncul kembali hingga kini rasa gembiranya belum juga
mereda, luapan kegembiraan yang tak berbendung membuat
dia bertanya pada diri sendiri, begitu pentingkah Tong Keng
baginya ketimbang mati hidup ayahnya"
Ia tak berani berpikir lebih jauh, kini hanya berharap bisa
banyak berbincang dengan pemuda pujaan hatinya ini.
"Apakah selama ini kau ... kau menderita?"
"Tidak, sama sekali tidak menderita."
"Apakah kau ... kau selalu tersiksa?"
"Tidak jadi masalah."
"Selama ini ... kau sebenarnya..." dia ingin bertanya
'apakah kau kangen padaku', tapi sebagai seorang gadis, dia
merasa jengah untuk melanjutkan perkataannya itu.
"Ehmm?" Tong Keng mendesis keheranan.
"Aku tahu kau pasti kembali," sambung Siau-sim riang.
"Aku sendiri pun tak menyangka masih bisa pulang ke
rumah" Tong Keng terbayang kembali pengalamannya selama
ini, "sungguh berbahaya, sangat mengerikan, sayang ...
sayang saudara Go masih tertinggal dalam penjara."
"Setelah berhasil kabur dari penjara, kenapa kau masih
berani menyerempet bahaya pulang ke sini?" tanya Siau-sim
hati-hati, "seharusnya kau kabur ke tempat jauh."
"Karena Kokcu ingin pulang, aku pun mengikutinya
pulang," jawab Tong Keng jujur, "dalam keadaan begini, aku
tak bisa meninggalkan Kokcu."
"Kau pulang kemari..." sambil mempermainkan ujung
bajunya Siau-sim mencoba bertanya, "apakah kau secara
khusus ingin menjumpai seseorang?"
Tong Keng menghela napas panjang. "Aaai, si ketapel cilik
telah pergi, perusahaan besar ini telah kosong, yang pergi,
yang kabur"
"Tapi toh masih ada aku," dengan tak senang Siau-sim
membuang muka. "Ya, terpaksa hanya bertemu dengan kau," tapi begitu
ucapan itu diucapkan, ia segera tahu artinya menjadi berbeda.
Kontan saja Siau-sim menangis tersedu.
Segera Tong Keng menarik tangannya sambil berseru, "Aku
bukan bermaksud begitu, maksudku..."
Dengan air mata bercucuran Ko Siau-sim mengebas
tangannya, namun ia tidak pergi juga.
"Kalau tak ingin menemui aku, tak usah datang kemari,"
serunya jengkel.
Tong Keng tak menyangka kalau Ko Siau-sim yang sejak
kecil main bersamanya kini sudah tumbuh dewasa, sudah
barang tentu pikiran seorang gadis dewasa sangat berbeda
dengan jalan pikiran seorang nona cilik.
Dalam gelisah dan cemas ia berseru, "Aku memang ingin
bertemu denganmu, aku memang ingin bertemu denganmu"
"Hmmm, siapa tahu kalau kau hanya berbohong, dasar tak
punya perasaan, kapan kau pernah teringat diriku?"
"Aku benar-benar teringat dirimu," seru Tong Keng cepat,
"aku selalu merindukanmu."
"Benar kau teringat padaku?"
"Benar, hanya tadi aku kurang perhatian sebab sedang
memikirkan soal lain, kau jangan marah"
Siau-sim semakin jengkel, serunya, "Aku sedang
mengajakmu bicara, kemana kau taruh perhatianmu?"
"Aku ... aku sedang memikirkan nona Ting, dia ada di atas
loteng, aku tidak tahu apakah dia menemukan ember untuk
cuci muka?"
Ko Siau-sim kontan merasa hatinya amat sakit, dia tak
menyangka kalau pemuda pujaan hatinya ternyata malah
memikirkan perempuan lain.
Sekalipun sakit hati, ia berlagak seakan tak pernah terjadi
sesuatu, sahutnya, "Kau tak usah bingung, ada dayang yang
menyiapkannya untuk nona Ting."
"Aaah benar, benar..."
Mendadak Ko Siau-sim berseru, "Sebenarnya kau anggap
aku ini siapa?"
Tong Keng melengak, dia tidak menduga pertanyaan itu.
Kembali Ko Siau-sim berkata, "Engkoh Keng, kau tahu aku
tak punya saudara, orang tuaku pun hanya memiliki seorang
putri, aku sangat berharap bisa memiliki seorang kakak lelaki."
"Kau memang adikku," jawab Tong Keng cepat, "apalagi
kita teman bermain bersama sejak kecil, selama ini aku
memang selalu menganggap kau sebagai saudaraku."
Seketika itu juga Siau-sim merasakan hatinya seakan
tercebur ke dalam salju yang dingin, semua impian indah yang
dibayangkan selama ini seakan hilang tak berbekas.
Tapi dia berusaha mengendalikan diri, segera ujarnya lagi,
"Coba kau lihat tubuhmu, penuh dengan lumpur, cepat
bersihkan badan sebelum bertemu nona Ting, kalau tidak,
siapa yang mau ambil peduli dengan seorang kakak macam
kau." Sekali lagi Tong Keng menengok ke arah loteng dimana
Ting Tong-ih berada, kemudian baru garuk-garuk kepala.
Saat itu kebetulan Lan-ci, sang dayang berjalan lewat,
ketika Siau-sim melihat dayang itu membawa baskom air dan
handuk, segera tanyanya, "Hendak kau berikan nona Ting?"
"Benar, sudah tiga kali ganti air bersih," jawab Lan-ci.
"Kalau begitu biar aku yang mengantar air ini," kata Siausim
sambil menyambut ember air itu, "kau boleh ke dapur
membantu Sin-pek!"
Kemudian sambil berpaling lagi ke arah Tong Keng yang
masih berdiri bodoh, ujarnya sambil tertawa, "Kenapa belum
pergi mandi" Jangan kuatir, kan ada adikmu yang akan
melayani nona Ting?"
Sambil berkata ia bergerak naik ke loteng, cahaya api
menyinari rubuhnya, membiaskan sesosok bayangan bagaikan
bidadari naik ke awan.
ooOOoo Bab VIII. KEJADIAN SEBENARNYA.
33. Wajah Cantik.
Ko Siau-sim dengan membawa sebaskom air berjalan naik
ke atas loteng, air dalam baskom memang hangat tapi
perasaan hatinya dingin membeku, hatinya seakan tenggelam
ke dasar samudra.
Ketika melewati pintu kamar, tiba-tiba ia lihat seorang
wanita cantik sedang bercermin, wajah cantik yang terbias
dari cermin tembaga itu menampilkan seraut wajah yang
cantik luar biasa.
Waktu itu dia sedang menyisir rambutnya yang hitam,
ujung baju yang terbuka membuat kulit lengannya yang putih
mulus tertera jelas.
Wanita itu memang cantik, tubuhnya indah, kulitnya putih
bersih dan payudaranya montok, jangan kan kaum pria,
wanita seperti Ko Siau-sim pun merasa jantungnya berdebar
keras, dia seakan lupa sedang apa di situ.
Ketika mendengar ada suara langkah kaki berhenti di
depan pintu, sambil melanjutkan menyisir Ting Tong-ih
menyapa, "Nona Ko?"
Mendengar sapaan itu Ko Siau-sim baru melangkah masuk
sambil balas menyapa, "Enci Ting!"
Sekarang ia dapat menyaksikan raut muka cantik dari Ting
Tong-ih yang baru selesai mencuci muka, alis matanya yang
lentik kelihatan masih basah, bibirnya nampak merah sambil
mengulum senyum, dia nampak begitu cantik, begitu anggun,
begitu mempesona hati, jangan kan kaum pria bahkan Siausim
sendiri terbuai perasaannya dan ingin sekali mencium
bibirnya. Segera dia letakkan baskom air di atas meja sembari
berbisik, "Aku datang membawakan air untuk Cici mencuci
muka." Di atas permukaan air muncul dua lembar wajah, Ting
Tong-ih berada di bagian depan dan ia sendiri berada sedikit
jauh, dua lembar wajah dengan dua aroma yang berbeda dan
warna berbeda pula.
Mendadak Ting Tong-ih menggenggam tangannya seraya
berpaling, tegurnya, "Ada apa" Kau tidak senang?"
Segera Siau-sim berusaha menutupi perasaannya, sayang
air mata keburu menetes di atas lengan Ting Tong-ih.
"Aaai, kenapa kau bersedih" Kenapa kau meneteskan air
mata?" kembali tegurnya.
"Mana mungkin kau tahu?" pikir Siau-sim dalam hati,
"bagaimana kau bisa memahami perasaanku?"
Cepat dia menyeka air matanya sambil menjawab, "Aku
terlalu gembira, aku kelewat gembira hingga mengucurkan air
mata." Ting Tong-ih tahu gadis itu sedang berbohong, kembali
dibelainya tangan si nona yang halus dan berkata, "Ayahmu
telah kembali, sudah tentu kau merasa sangat gembira,
bagaimana dengan Tong Keng" Apakah dia mengajakmu
ngobrol?" "Dia, dia baik sekali," sahut Siau-sim sambil menarik
kembali tangannya.
Dari nada suara gadis itu Ting Tong-ih yang pintar dan
berpengalaman segera memahami apa yang telah terjadi.
Untuk sesaat dia pun bingung dan tak tahu apa yang mesti
diucapkan, terpaksa katanya sambil membelai rambut gadis
itu, "Dasar anak bodoh... dasar bodoh"
Tampaknya Siau-sim pun sadar Ting Tong-ih telah
mengetahui rahasia hatinya, segera katanya, "Enci Ting, aku
berharap kalian bisa selalu baik, aku berharap kalian bisa
rukun, sungguh..." Kemudian sambil menutupi wajahnya
Seruling Samber Nyawa 2 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Amanat Marga 12

Cari Blog Ini