Ceritasilat Novel Online

Panji Sakti 6

Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 6


Akan tetapi, Pek Giok Liong pun cepat-cepat mengayunkan
sebelah kakinya ke dalam pintu, sehingga pintu itu tidak bisa
ditutup. Orang berbaju hijau melotot, kemudian membentak kasar.
"Hei! Bocah sialan! Mau apa engkau?"
"Aku tidak mau apa-apa," sahut Pek Giok Liong sambil
tersenyum. "Hanya ingin tahu dengan jelas!"
Orang berbaju hijau mengerutkan kening, ia menatap Pek Giok
Liong dengan tajam.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kawan!" Suara Pek Giok Liong mulai bernada dingin. "Aku ingin
bertanya, bagaimana orang tua pincang itu mati?"
Sepasang bola mata orang berbaju hijau itu berputar-putar,
kemudian balik bertanya, "Bocah! Engkau ke mari untuk menyelidiki
kematiannya?"
"Aku ke mari sebetulnya ingin menengoknya tapi dia sudah mati.
Sebagai kenalan, tentunya aku boleh bertanya mengenai
kematiannya!"
"Oh, begitu!" Orang berbaju hijau itu manggut. "Jadi engkau
bukan sengaja ke mari untuk menyelidiki kematiannya?"
Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Tentu bukan."
Orang berbaju hijau itu tertawa.
"He he! Kalau begitu, aku akan memberitahukan, dia mati
karena sakit."
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening "Kawan! Dulu
sepertinya aku tidak pernah melihatmu, sudah berapa lama engkau
berada di keluarga Siauw ini?"
"Hampir setengah tahun. Kenapa?"
"Oh, tidak." Pek Giok Liong tersenyum. "Kawan, betulkah orang
tua pincang itu mati karena sakit?"
"Bocah! Engkau tidak percaya" Dia adalah orang tua pincang,
tentunya tidak mungkin mati dibunuh orang!"
"Oooh! Kawan, aku ingin bertanya ".."
"Mau bertanya apa lagi?" Orang berbaju hijau itu tampak mulai
tidak sabar. "Jenazahnya dimakamkan di mana?"
273 "Di sebelah barat perkampungan ini, kira-kira lima li, di sana
terdapat pekuburan," ujar orang berbaju hijau dan menambahkan.
"Bocah, engkau sudah boleh pergi, pintu mau kututup."
Pek Giok Liong menggelengkan kepala dan kakinya masih
mengganjal di pintu itu.
"Kawan, jangan cepat-cepat tutup pintu, aku masih ada sedikit
urusan." katanya.
"Eh?" Orang baju hijau itu tampak tidak senang. "Masih ada
urusan apa?"
"Kawan!" Pek Giok Liong menatapnya. "Tolong laporkan, bahwa
aku ingin bertemu cung cu!"
Air muka orang berbaju hijau itu berubah, ditatapnya Pek Giok
Liong dengan mata menyorotkan sinar tajam.
"Engkau kenal cung cu?"
Pek Giok Liong manggut-manggut sambil tersenyum.
"Kalau tidak kenal, untuk apa aku menemuinya?"
"Kenal pun percuma." Orang berbaju hijau itu menggelengkan
kepala. "Kenapa?" tanya Pek Giok Liong heran.
"Sebab cung cu tidak mau bertemu dengan siapa pun."
"Oh?" Pek Giok Liong tersenyum. "Engkau harus tahu, aku ini
merupakan tamu istimewa! Cung cu kalian pasti mau bertemu
denganku, kawan. Cobalah engkau masuk untuk melapor!"
"Tidak usah dicoba!" sahut orang berbaju hijau itu dingin.
"Meskipun engkau tamu istimewa, namun cung cu tetap tidak akan
menerimamu."
"Kalau begitu, aku ingin bertemu nona kalian," ujar Pek Giok
Liong. "Tentunya boleh kan"
Air muka orang berbaju hijau itu berubah, itu tidak terlepas dari
mata Pek Giok Liong.
"Engkau juga kenal nona?"
Pek Giok Liong tersenyum dan manggut manggut.
"Kawan aku bukan cuma kenal nona, bahkan aku pun kenal
semua orang di sini, kalau masih tetap orang-orang yang setahun
lalu." "Oh" Bolehkah aku tahu namamu?"
"Hek Siau Liong!"
Orang berbaju hijau itu mengerutkan kening seakan sedang
berpikir, kemudian menggelengkan kepala.
274 "Aku tidak pernah mendengar namamu!"
"Kawan!" Pek Giok Liong tertawa. "Baru setengah tahun engkau
di sini, sedangkan aku sudah setahun meninggalkan rumah Siauw
ini, tentunya engkau tidak pernah dengar namaku."
"Oh?"
"Nah, kawan! Cepatlah engkau masuk dan melapor pada nona,
bahwa aku Hek Siau Liong ingin bertemu dengannya."
Orang berbaju hijau itu tampak serba salah.
"Maaf!" ucapnya. "Aku tidak bisa melapor."
"Lho, kenapa?" Pek Giok Liong tercengang.
"Nona dalam keadaan sakit, tidak bisa bertemu siapa pun."
Orang baju hijau memberitahukan.
"Oh?" Pek Giok Liong terkejut. "Parahkah sakitnya?"
"Entahlah." Orang berbaju hijau menggelengkan kepala. "Aku
kurang jelas. Lebih baik lain hari engkau balik ke mari lagi!"
Pek Giok Liong diam sambil berpikir. Mendadak sepasang
matanya menyorotkan sinar tajam, lalu mengajukan pertanyaan
yang mengejutkan.
"Di mana Gin Tie (Raja perak)?"
Orang berbaju hijau tertegun, bahkan tampak kaget.
"Gin Tie" Siapa dia?"
"Kawan!" Pek Giok Liong menatapnya tajam seakan menembus
ke dalam hatinya. "Sungguhkah engkau tidak tahu?"
"Aku sungguh tidak tahu," jawab orang berbaju hijau itu tidak
pura-pura. Dia sungguh tidak tahu atau dugaanku keliru" Pek Giok Liong
membatin. Apakah Gin Tie itu bukan Tu Cu Yen"
"Oh ya!" tanya Pek Giok Liong mendadak. "Tu Cu Yen ada?"
"Tuan muda Tu sudah pergi."
"Engkau tahu dia pergi ke mana?"
"Tidak tahu."
"Di mana Siauw Peng Yang?"
"Tuan muda Yang dan Tuan muda Kiam ada di dalam."
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Kalau begitu, aku
ingin bertemu mereka berdua."
Mendadak, terdengar suara bentakan yang amat dingin.
"Hu Piau, siapa di luar?"
Hu Piau, orang berbaju hijau itu segera memberi hormat seraya
menjawab. 275 "Cong koan (Kepala pengurus), yang di luar adalah seorang
tamu istimewa."
Yang membentak dengan suara dingin itu, ternyata adalah cong
koan. Justru membuat Pek Giok Liong tidak habis berpikir.
Setahunya dulu tidak ada cong koan di keluarga Siauw ini. Tapi kini
".. Siapa orang itu" Pek Giok Liong bertanya dalam hati. Walau
suaranya begitu dingin, namun amat bertenaga. Itu pertanda orang
itu memiliki tenaga dalam tingkat tinggi "..
Pek Giok Liong memandang ke dalam, tampak seseorang berdiri.
Orang itu berusia empat puluhan, sepasang matanya berkilat-kilat.
Tampang orang itu tidak jahat, namun wajahnya amat dingin
dan kelihatan tidak berperasaan. Siapa yang melihatnya, pasti
bergidik. "Mau apa dia ke mari?" tanya kepala pengurus itu dingin.
"Mau menengok orang tua pincang," jawab Hu Piau
memberitahukan.
"Hu Piau!" bentak kepala pengurus itu. "Orang tua pincang
sudah mati, engkau tidak memberitahukan padanya?"
"Hamba sudah beritahukan."
"Kalau engkau sudah beritahukan, kenapa dia masih belum
pergi?" Mendadak Pek Giok Liong menyela.
"Aku ingin bertemu cung cu atau nona. Bolehkah?"
"Sebetulnya boleh, tapi kedatanganmu tidak tepat pada
waktunya," sahut kepala pengurus dingin.
"Maksud cong koan?"
"Cung cu dalam keadaan kesal dan risau, maka tidak akan mau
bertemu dengan siapa pun. Sedangkan nona masih sakit berbaring
di tempat tidur, juga tidak bisa bertemu siapa pun."
"Kalau begitu ".." Pek Giok Liong tertawa ringan.
"Kedatanganku sungguh tidak pada waktunya?"
"Tidak salah." sahut cong koan sambil tertawa hambar.
"Kalau begitu, bolehkah aku bertemu Peng Yang dan Kiam
Meng?" "Ada urusan apa?"
"Engkau ingin tahu?"
"Ada urusan apa, bilang padaku! Itu sama saja."
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening.
276 "Engkau bisa mengambil keputusan?"
Cong koan itu tertawa gelak.
"Aku cong koan di sini, tentunya berhak mengambil suatu
keputusan. Nah! Engkau ada urusan apa, katakanlah!"
Pek Giok Liong tidak segera menyahut, melainkan tertawa
dingin. "Sungguhkah engkau bisa mengambil suatu keputusan?"
"Tentu," sahut cong koan itu lalu tertawa dingin pula.
"Kawan!" Pek Giok Liong tertawa. "Aku sarankan, lebih baik
engkau jangan paksa diri untuk mengambil suatu keputusan!"
Cong koan itu tertegun, ia tidak mengerti akan ucapan Pek Giok
Liong. "Mengapa?"
"Sebab tiada manfaatnya bagimu." sahut Pek Giok Liong dingin.
"Oh?" Sepasang mata cong koan itu menyorot dingin. "Kalau
begitu, engkau adalah ".."
"Kawan! Aku tamu jauh, begitukah sikapmu terhadap tamu?"
Cong koan itu terperangah, kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Maaf, aku kurang hormat! Silakan masuk!" katanya.
"Terimakasih! Kalau begitu, aku pun tidak berlaku sungkansungkan
lagi," ujar Pek Giok Liong, lalu melangkah ke dalam.
"Ha ha ha!" Cong koan itu tertawa lagi. "Silakan duduk!"
Pek Giok Liong duduk, sedangkan cong koan itu duduk di
hadapannya. Seorang pembantu segera menyuguhkan dua cangkir
teh. Setelah itu, segera pula mengundurkan diri.
"Sobat!" Cong koan menatap Pek Giok Liong. "Bolehkah
sekarang aku tahu maksud tujuan kedatanganmu?"
"Aku memang harus memberitahukan." Pek Giok Liong manggutmanggut
sambil tersenyum. "Kalau tidak, engkau pasti terus
bercuriga."
"Ha ha!" Cong koan itu tertawa. "Aku tidak akan bercuriga apa
pun." "Bagus." Pek Giok Liong menatapnya. "Aku ingin bertanya,
sungguhkah engkau bisa mengambil suatu keputusan?"
"Sudah kukatakan tadi, aku adalah cong koan di sini. Tentunya
berhak mengambil suatu keputusan."
"Walau urusan apa pun?"
"Tidak salah."
"Juga tidak akan menyesal?"
277 Cong koan itu tertegun sejenak, kemudian tertawa terbahakbahak.
"Pasti tidak akan menyesal," jawabnya tegas.
"Bagus." Pek Giok Liong manggut-manggut dan
memberitahukan. "Aku ke mari untuk menagih hutang."
"Oh?" Cong koan itu terbelalak, lalu tertawa gelak. "Kukira ada
urusan penting, tidak tahunya cuma mau menagih hutang! Sobat,
berapa banyak hutang padamu?"
"Jumlah yang mengejutkan. Kalau aku beritahukan, mungkin
engkau tidak sanggup membayarnya."
"Kekayaan keluarga Siauw berlimpah, pasti mampu membayar.
Sobat, tentunya engkau mengerti."
"Aku memang mengerti." Pek Giok Liong tertawa hambar. "Tapi
".." "Lho" Kenapa lagi?"
"Itu bukan hutang yang biasa."
"Oh" Beritahukanlah!"
"Itu bukan hutang uang, melainkan hutang berdarah."
"Apa"!" Cong koan itu tersentak, wajahnya pun langsung
berubah. "Hutang berdarah?"
"Tidak salah," sahut Pek Giok Liong dingin. "Cong koan merasa
di luar dugaan kan?"
"He he he!" Cong koan itu tertawa terkekeh-kekeh. "Itu memang
sungguh di luar dugaan!"
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Aku ingin bertanya, Siauw cung cu punya hutang berdarah
padamu?" Cong koan itu menatap Pek Giok Liong dalam-dalam.
"Tidak salah. Nah, apakah engkau dapat mengambil keputusan
mewakilinya untuk membayar hutang itu?"
"Ini ".." Cong koan itu mengerutkan kening. "Bolehkah aku tahu
namamu?" "Sebelum bertanya, jawablah dulu pertanyaanku barusan!"
"Sobat! Aku harus tahu dulu asal-usulmu, barulah bisa
mengambil suatu keputusan."
"Oh?" Pek Giok Liong tertawa hambar. "Apakah engkau merasa
sedikit menyesal?"
"Bukan menyesal, melainkan aku harus tahu jelas urusan itu."
tegas cong koan itu. "Tidak bisa sembarangan mengambil suatu
278 keputusan, terutama terhadap hutang berdarah itu. Engkau paham
kan?" "Tentu paham. Kalau begitu, engkau memang tahu diri dan tahu
aturan." Pek Giok Liong terawa-tawa.
"Karena itu ".." Cong koan itu tertawa dingin. ?".. diriku bisa
terpilih jadi cong koan di sini."
"Oooh!"
"Sobat! Engkau belum memberitahukan namamu berikut asalusulmu."
"Seandainya aku tidak sudi memberitahukan?"
Kening cong koan itu berkerut-kerut.
"Itu tidak jadi masalah, aku pun tidak akan memaksamu
memberitahukan. Tapi ".."
"Kenapa" Lanjutkanlah ucapanmu!"
"Sobat!" Cong koan itu tertawa dingin. "Maaf, sudah waktunya


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku mengantarmu."
"Kau kira aku tamu yang begitu gampang diantar?"
"Jadi ".. engkau tidak mau pergi?"
"Bukan masalah pergi atau tidak, melainkan engkau tiada cara
untuk mengusirku."
"Oh, ya?" Sepasang alis cong koan terangkat. "Engkau
beranggapan begitu?"
"Betul," sahut Pek Giok Liong dingin.
"Ada satu cara untuk mengusirmu." tegas cong koan.
"Tidak salah." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Cara yang
amat sederhana sekali!"
"Tepat!" Cong koan itu tertawa gelak. "Coba katakan, cara apa
itu?" "Lepaskan kedokmu, biar aku melihat wajah aslimu!" sahut Pek
Giok Liong. Itu sungguh mengejutkan cong koan tersebut, namun ia masih
bisa tertawa menghilangkan rasa kejutnya.
"Ha ha! Ucapanmu sungguh menggelikan!"
"Memang menggelikan, namun nyata." tandas Pek Giok Liong
sambil menatapnya tajam.
"Kau anggap mukaku mengenakan kedok?"
"Engkau tidak mau mengaku, aku pun tidak bisa apa-apa. Tapi,
dalam waktu sekejap aku akan membuatmu harus mengaku."
"Oh?" Cong koan itu tertawa. "Engkau begitu yakin?"
279 "Tentu." Pek Giok Liong mengangguk. "Berani ke mari berarti
sudah yakin. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani ke mari?"
"Ngmm!" Cong koan itu manggut-manggut. "Aku pun sudah
tahu, bahwa engkau memiliki kepandaian yang lumayan. Namun "..
masih berada di bawah tingkat kepandaianku."
"Oh, ya?" Pek Giok Liong tertawa lebar. "Percuma omong
kosong, engkau akan tahu setelah mencobanya."
"Tidak salah. Itu memang harus dicoba baru bisa tahu." sahut
cong koan itu dan sekaligus mengangkat sebelah tangannya siap
menyerang. "Tunggu!" Cegah Pek Giok Liong.
"Ha ha!" Cong koan itu tertawa jumawa. "Engkau takut?"
"Takut?" Pek Giok Liong tersenyum dingin. "Ada orang datang!"
Cong koan tersentak dan membatin. Sungguh tajam
pendengaran pemuda itu!
"He he! Tajam juga pendengaranmu!" Ujarnya seakan
meremehkan Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong cuma tersenyum-senyum, sama sekali tidak
menyahut. Tak lama terdengarlah suara langkah yang amat ringan,
muncul seorang pemuda yang memakai baju putih.
Bagian ke 35: Pukulan Penghancur Hati
Siapa pemuda berbaju putih itu" Ternyata keponakan Siauw
cung cu yang bernama Siauw Peng Yang.
Ketika melihat Pek Giok Liong, Siauw Peng Yang tampak
tertegun, namun kemudian sepasang matanya berbinar-binar penuh
mengandung kegembiraan.
Akan tetapi, pada waktu bersamaan, wajah Pek Giok Liong
berubah dingin dan sekaligus membentak.
"Siauw Peng Yang! Engkau tetap berdiri di situ, jangan ke mari!
Kalau engkau berani ke mari, aku akan mencabut nyawamu!"
Bentakan Pek Giok Liong membuat Siauw Peng Yang termangumangu
di tempat. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Pek Giok
Liong berubah menjadi begitu. Padahal ketika Pek Giok Liong berada
di keluarga Siauw ini, Siauw Peng Yang cukup baik terhadapnya.
"Siauw Peng Yang, aku ke mari untuk menagih hutang berdarah!
Sebelum hutang berdarah itu dibayar, aku tidak akan pergi! Nanti
kita pun akan membuat perhitungan!" ujar Pek Giok Liong dingin,
280 kemudian mengarah pada cong koan. "Engkau harus tahu, Siauw
Peng Yang juga punya hutang padaku! Karena dia telah muncul,
maka aku pun memberitahukan padamu, namaku Seng Sin Khi!
Keluarga Siauw berhutang tujuh nyawa padaku, Siauw cung cu dan
putrinya, ditambah Siauw Peng Yang serta tiga saudara
seperguruannya hanya berjumlah enam orang! Kini ditambah
engkau, jadi cukup berjumlah tujuh orang! Tentunya engkau paham
akan maksudku kan?"
Apa yang dikatakan Pek Giok Liong, sungguh membuat Siauw
Peng Yang tidak mengerti dan tidak habis berpikir. Apa gerangan
yang telah terjadi" Kenapa saudara Hek Siau Liong mengganti nama
menjadi Seng Sin Khi" Lagi pula dengan keluarga Siauw ".."
Akan tetapi, Siauw Peng Yang adalah pemuda yang cerdas.
Dalam waktu singkat ia telah bisa menduga maksud Pek Giok Liong.
Oleh karena itu, ia pun menatap Pek Giok Liong dengan tajam.
Sementara itu, cong koan sudah tertawa terbahak-bahak, suara
tawanya bergema ke mana-mana.
"Huaha ha ha! Kelihatannya engkau pandai berhitung."
"Tidak salah!" Pek Giok Liong tersenyum. "Hanya saja aku tidak
menghitung bunganya!"
"Sobat! Kuanggap engkau tidak dapat menagih hari ini, bahkan
kemungkinan besar engkau pun tidak bisa meninggalkan tempat ini
dengan selamat! Percayakah engkau?"
"Itu harus lihat bagaimana kepandaianmu!"
"Betul! Kalau begitu, lihatlah kepandaianku!" ujar cong koan dan
sekaligus mendorongkan sebelah telapak tangannya ke arah dada
Pek Giok Liong.
Tampak begitu tidak berarti, namun sesungguhnya dorongan itu
penuh mengandung tenaga dalam yang amat dahsyat.
Hati Siauw Peng Yang tersentak, ia sangat mencemaskan Pek
Giok Liong, sehingga wajahnya pun berubah tegang.
Sedangkan Pek Giok Liong cuma tertawa ringan.
"Pukulanmu itu cukup lumayan, namun masih jauh untuk
menghadapiku!" ujarnya.
Mendadak Pek Giok Liong mengibaskan tangannya, sekaligus
menyentil dengan jari telunjuknya.
Betapa terperanjat cong koan itu, sebab sentilan telunjuk Pek
Giok Liong telah memunahkan pukulannya.
"Engkau murid Siau Lim?" tanyanya terbelalak.
281 "Cukup tajam matamu, yang kupergunakan adalah Kim Kong Ci
(Jari Sakti Arhat), ilmu tingkat tinggi Siau Lim! Namun, aku bukan
murid Siau Lim!"
"Oh?" Cong koan itu tercengang.
"Engkau tidak percaya" Nah, saksikanlah jurusku ini berasal dari
partai mana?"
Pek Giok Liong yang masih tetap duduk, mendadak menjulurkan
tangannya ke atas, tapi sungguh mengejutkan karena sekonyongkonyong
tangan Pek Giok Liong mengarah pada muka cong koan itu.
Betapa terperanjat cong koan itu, tanpa banyak pikir lagi ia
langsung mundur bersama kursi yang didudukinya.
"Liu Sing Hui Jiau (Cakar terbang) dari partai Bu Tong!" serunya
dengan hati terkesiap.
"Tidak salah!" Pek Giok Liong mengangguk. "Berdasarkan jurus
ini, apakah engkau masih percaya bahwa aku murid Siau Lim?"
"Jadi ".." Cong koan itu menatapnya dengan mata tak berkedip.
"Engkau murid partai Bu Tong?"
Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Aku bukan murid Bu
Tong!" "Kalau begitu, engkau adalah ".."
"Sekarang aku akan perlihatkan satu jurus lagi, ingin tahu
engkau mengenali jurus ini tidak?" ujar Pek Giok Liong. Pada waktu
bersamaan, Pek Giok Liong pun mendorongkan telapak tangannya
ke depan, arahnya pada sebuah patung batu yang jaraknya sekitar
dua meter. Dorongan telapak tangan Pek Giok Liong persis seperti pukulan
cong koan tadi. Akan tetapi, patung batu itu sama sekali tidak
bergeming. Pek Giok Liong menarik kembali tangannya. Pada saat itulah
patung batu tersebut telah berubah seperti tepung terbang ke manamana
terhembus angin.
Terbelalak Siauw Peng Yang, namun wajahnya tampak berseriseri.
Sungguh hebat tenaga dalamnya. Hanya berpisah satu tahun,
tapi dia justru telah berhasil belajar kepandaian tingkat tinggi. Siauw
Peng Yang membatin dengan kagum.
Lain halnya dengan cong koan itu, ia tampak bodoh dan
sukmanya seakan terbetot keluar oleh pukulan Pek Giok Liong.
Siapa pemuda ini, bagaimana dia bisa Chui Sim Ciang (Pukulan
Penghancur Hati)" tanya cong koan itu dalam hati.
282 "Bagaimana dengan pukulanku itu" Engkau kenal pukulan apa
itu?" tanya Pek Giok Liong sambil tertawa ringan.
"Sebetulnya engkau siapa?" Cong koan itu balik bertanya dengan
mata terbelalak lebar.
"Bukankah aku telah beritahukan tadi, bahwa namaku Seng Sin
Khi!" "Dari perguruan mana?"
"Maaf! Tidak bisa kuberitahukan."
"Kalau begitu, aku bertanya, dari mana engkau belajar pukulan
itu?" "Engkau tidak perlu bertanya, nanti akan kuberitahukan," sahut
Pek Giok Liong dingin. "Jawab dulu, engkau kenal pukulan itu?"
Cong koan itu menggelengkan kepala. "Tidak kenal." katanya.
"Oh?" Pek Giok Liong menatapnya dingin. "Sungguhkah engkau
tidak kenal pukulan itu?"
"Aku menjawab sejujurnya. Kalau engkau tidak percaya, itu
terserah."
"Bagaimana tenaga pukulanku dibandingkan dengan tenaga
pukulanmu tadi?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
Cong koan itu mengerutkan kening, namun air mukanya tampak
aneh. "Sulit dikatakan."
"Kenapa sulit dikatakan?"
"Karena tenaga pukulan berbeda."
"Oooh!" Pek Giok Liong tertawa hambar. "Ternyata begitu!"
"Memang begitu."
"Cong koan!" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Engkau punya
hubungan apa dengan Liok Tay Coan?"
Hati cong koan itu tergetar keras, tapi wajahnya tampak dingin.
"Aku tidak kenal."
Wajah Pek Giok Liong tampak berubah. "Engkau masih tidak
mau mengaku?"
Cong koan itu tertawa ringan, kemudian ujarnya acuh tak acuh.
"Aku tidak mengerti maksudmu, engkau menghendaki aku
mengaku apa?"
"Engkau tidak mau mengaku ya sudahlah!"
Pek Giok Liong tertawa dingin dan menambahkan, "Sekarang
aku memperbolehkanmu mengerahkan kepandaian untuk
menyerang diriku, namun hanya batas sepuluh jurus. Dalam sepuluh
283 jurus itu, aku sama sekali tidak akan membalas menyerangmu. Asal
engkau mampu mendesak diriku mundur, itu terhitung aku yang
kalah. Kalau tidak ".."
"Tentunya aku yang kalah! Ya, kan?" Cong koan itu tertawa
gelak. "Engkau mau mengaku kalah atau tidak itu terserah." Sahut Pek
Giok Liong sambil tertawa hambar. "Karena engkau bukan
tandinganku dalam satu jurus."
Hati cong koan itu tersentak, tapi kemudian ia malah tertawa
seakan tidak percaya.
"Engkau sungguh jumawa!" katanya.
"Hm!" dengus Pek Giok Liong. "Jangan banyak bicara, cepatlah
serang diriku!"
Sepasang mata cong koan itu menyorot tajam, diam-diam ia
mulai mengerahkan tenaga dalamnya. Mendadak ia memekik keras
dengan tubuh melambung ke atas, lalu secepat kilat diserangnya Pek
Giok Liong dengan sepasang telapak tangannya.
Pada waktu bersamaan, Pek Giok Liong mengibaskan tangannya.
Seketika juga cong koan itu terpental mundur beberapa langkah.
Cong koan itu penasaran sekali. Ia berdiri tegak lurus,
diangkatnya sepasang tangannya, kemudian diputar-putarkan dan
makin lama makin cepat, sehingga muncul entah berapa puluh
pasang tangan. Meja yang terletak di sisi kiri ruangan itu pun mulai
tergoncang hebat. Tak lama terdengarlah suara yang menderu-deru.
Itu adalah Suan Hong Ciang (Pukulan Angin Puyuh) yang amat
dahsyat, siapa yang terkena pukulan itu, pasti mati seketika.
Sementara Pek Giok Liong masih tetap duduk di kursi, namun ia
telah menghimpun Thai Ceng Sin Kang (Tenaga Sakti Pelindung
Badan)nya. Mendadak cong koan itu memekik keras dan secepat kilat
menyerang Pek Giok Liong. Betapa dahsyatnya angin pukulan itu,
begitu Pek Giok Liong mengibaskan tangannya, seketika juga badan
berikut kursi yang didudukinya berputar melambung ke atas.
Cong koan itu masih terus menerus menyerangnya. Tiba-tiba
Pek Giok Liong membentak mengguntur.
"Berhenti!"
Cong koan itu segera berhenti, ia tahu telah menyerang Pek Giok
Liong sebanyak sebelas jurus.
"Sudah sepuluh jurus ya?"
284 "Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin. Ia telah melayang turun
bersama kursi itu. "Jangan pura-pura bodoh, aku tidak percaya
engkau tidak tahu sudah berapa jurus engkau menyerang diriku!"
Cong koan itu pura-pura tertegun, kemudian menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku sungguh tidak tahu, sudah berapa jurus aku
menyerangmu?"
"Sebelas jurus!"
"Hah "..?"
"Sekarang engkau harus bagaimana?"
"Memangnya harus bagaimana?"
"Perlukah aku turun tangan?"
"Eh?" Cong koan itu tercengang. "Apa maksudmu" Aku sama
sekali tidak mengerti!"
"Tidak mengerti?" Pek Giok Liong menatapnya dingin.
"Aku memang tidak mengerti."
"Cepat lepaskan kedokmu, kemudian aku akan menotok jalan
darahmu, setelah itu akan kuserahkan dirimu pada Liok Tay Coan!"
"Engkau ".." Cong koan itu menatap Pek Giok Liong dengan
mata tak berkedip. "Engkau sudah tahu siapa diriku?"
"Aku tidak tahu siapa engkau!"
"Kalau begitu, kenapa engkau ingin menyerahkan diriku pada
Liok Tay Coan?"
Pek Giok Liong tertawa.
"Tentu ada alasannya!"
"Apa alasan itu?"
"Chui Sim Ciang (Pukulan Penghancur Hati) merupakan ilmu


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

simpanan Liok Tay Coan. Engkau mahir pukulan itu, tentunya punya
hubungan dengan orang itu! Mengerti?"
"Dia ".. dia berada di mana sekarang?"
"Saat ini mungkin dia sudah berada di Kota Ling Ni!"
"Oh?" Kening cong koan itu berkerut. "Kalau aku tidak mau
menyerah?"
"Kalau sampai aku turun tangan menangkapmu, itu akan
membuat dirimu celaka!"
"Kenapa celaka?"
"Aku pasti melenyapkan kepandaianmu!"
285 Cong koan itu terkejut bukan main, tapi kemudian malah tertawa
dingin seraya bertanya, "Dalam berapa jurus engkau mampu
menangkap diriku?"
"Cukup satu jurus!"
"Oh?" Cong koan itu tertawa. "Bagaimana kalau engkau tidak
mampu menangkap diriku dalam satu jurus?"
"Aku akan melepaskanmu!"
"Sungguh?"
"Aku tidak pernah ingkar janji!"
"Ngmm!" Cong koan itu manggut-manggut. "Kalau begitu, aku
ingin melihat cara bagaimana engkau menangkapku dalam satu
jurus!" Sekonyong-konyong cong koan itu menyerang dada Pek Giok
Liong. Itu merupakan serangan yang tak terduga.
Begitu menyerang, cong koan itu pun segera meloncat ke arah
pintu. Ia yakin ketika ia menyerang secara mendadak, Pek Giok
Liong pasti membalas menyerangnya, maka ia bergerak cepat
meloncat ke arah pintu.
Pek Giok Liong pasti menyerang tempat kosong, itu berarti
sudah satu jurus. Perhitungan yang sungguh matang, akan tetapi,
sungguh di luar dugaannya, sebab pada waktu bersamaan di
hadapannya telah muncul sosok bayangan. Pek Giok Liong sudah
berdiri di situ sambil tertawa dingin.
"Bertemu aku, lebih baik engkau menyerah saja!" ujar Pek Giok
Liong dan sekonyong-konyong menyerang cong koan itu dengan It
Ci Tiam Hoat (Ilmu Totok Satu Jari). Serangan itu secepat kilat,
sehingga cong koan itu tidak sempat mengelak.
"Aaakh...!" Cong koan itu terkulai lalu pingsan.
Begitu melihat cong koan itu pingsan, Siauw Peng Yang terkejut
bukan main. Ketika ia baru mau membuka mulut, Pek Giok Liong
telah menggoyangkan tangannya dan segera pula berbicara dengan
ilmu menyampaikan suara.
"Saudara Peng Yang, sekarang jangan omong apa-apa! Malam
ini harap ke tempat Hui Ceh menungguku! Ingat jangan
memberitahukan pada siapa pun, bahwa aku telah kembali!"
Usai berbicara dengan ilmu menyampaikan suara, mendadak Pek
Giok Liong pun membentak.
"Dengar baik-baik, Siauw Peng Yang! Tiga hari kemudian aku
akan ke mari lagi, harap kalian bersiap-siap! Mengenai cong koan
286 itu, aku harus membawanya pergi, sebab dia punya hubungan
dengan temanku, dia akan kuserahkan padanya!"
Setelah berkata begitu, Pek Giok Liong pun menyeret cong koan
itu meninggalkan rumah Siauw.
Kini Siauw Peng Yang semakin jelas, Seng Sin Khi itu adalah Hek
Siau Liong. Dan mengenai hutang berdarah yang dikatakannya, itu
cuma alasan belaka. Ia pun dapat menduga, kenapa Hek Siau Liong
bersandiwara begitu, maka ia pun ikut bersandiwara.
"Hei!" bentaknya dingin. "Tinggalkan cong koan, barulah engkau
boleh pergi dari sini!"
"Siauw Peng Yang!" sahut Pek Giok Liong tanpa menoleh. "Kalau
engkau mampu menghadangku, pasti kutinggalkan cong koan ini!
Kalau engkau tidak mampu, jangan harap!"
Siauw Peng Yang memekik keras, lalu mengerahkan ginkangnya.
Ia melayang ke hadapan Pek Giok Liong dan mendadak
menyerangnya dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam.
"Ha ha ha!" Pek Giok Liong tertawa gelak. "Dengan
kepandaianmu yang tak berarti ini ingin menghadang diriku" Jangan
mimpi!" Pek Giok Liong segera menghimpun Thai Ceng Sin Kang (Tenaga
sakti pelindung badan) untuk menyambut pukulan itu.
Bukan main terkejut Siauw Peng Yang, karena tenaga
pukulannya buyar seketika. Mendadak matanya menjadi silau.
Ternyata Pek Giok Liong telah menyerangnya dengan jurus Ban
Thian Sing (Ribuan Bintang Langit).
Pada waktu bersamaan, ia merasa sekujur badannya semutan,
kemudian tidak bisa bergerak sama sekali.
"Maaf, Saudara!" Pek Giok Liong mengirim suara padanya. "Aku
terpaksa bertindak demikian agar engkau tidak dicurigai!"
Siauw Peng Yang menatapnya, sedangkan Pek Giok Liong telah
tertawa terbahak-bahak.
"Siauw Peng Yang, aku mau membunuhmu seperti membalik
telapak tangan saja! Tapi aku sudah bilang tadi, tiga hari kemudian
aku akan kemari lagi, biar engkau masih bernafas tiga hari!"
Pek Giok Liong melangkah pergi sambil menyeret cong koan itu.
Lalu diangkatnya cong koan itu ke atas punggung kuda. Setelah itu
ia pun melompat ke atas punggung kuda.
Seketika terdengarlah suara ringkikan kuda, tak lama kuda itu
pun berlari kencang meninggalkan tempat itu.
287 Setelah kuda itu tidak tampak lagi, barulah Siauw Kiam Meng
berhambur keluar mendekati Siauw Peng Yang, dan cepat-cepat
membuka jalan darah Siauw Peng Yang yang tertotok itu.
"Adik Peng Yang, engkau tidak apa-apa kan?" tanya Siauw Kiam
Meng setelah membuka jalan darah itu.
"Aaakh!" Siauw Peng Yang menarik nafas dalam-dalam. "Terima
kasih Kakak ketiga, aku tidak apa-apa."
"Kalau begitu, cepat kita kejar dia!" ujar Siauw Kiam Meng.
Siauw Peng Yang menggelengkan kepala. "Kakak ketiga, kita
tidak usah mengejarnya!"
"Kenapa?"
"Percuma. Kita berdua bukan lawannya."
"Tapi ".." Siauw Kiam Meng mengerutkan kening. "Dia
membawa cong koan pergi, kalau toa suheng pulang, kita
bagaimana?"
"Ceritakan saja apa yang telah terjadi!" sahut Siauw Peng Yang
sambil menarik nafas panjang.
Bagian ke 36: Ruang Istirahat
Ketika hari mulai malam, tampak Tu Cu Yen melangkah ke dalam
ruang depan, lalu duduk dengan wajah dingin.
Siauw Kiam Meng dan Siauw Peng Yang duduk di hadapannya,
di belakang Tu Cu Yen berdiri delapan orang berbaju hitam.
Hening suasana di ruang itu, tiada seorang pun membuka mulut.
Berselang beberapa saat kemudian, Tu Cu Yen menatap Siauw Peng
Yang seraya berkata, "Adik keempat, aku dengar orang yang
membawa cong koan pergi itu Hek Siauw Liong. Benarkah itu?"
"Wajahnya memang mirip, namun dia mengaku bernama Seng
Sin Khi!" Siauw Peng Yang memberitahukan.
Tu Cu Yen mengerutkan kening, kemudian tanyanya lagi.
"Bagaimana kepandaiannya?"
"Tinggi sekali," jawab Siauw Peng Yang. "Menangkap cong koan
hanya dalam satu jurus."
"Oh?" Tu Cu Yen berpikir keras. "Jurusnya berasal dari
perguruan mana?"
"Entahlah." Siauw Peng Yang menggelengkan kepala. "Cong
koan bertanya padanya, tapi dia tidak menjawab sama sekali."
288 "Jadi tidak tahu dia berasal dari partai mana?" Tanya Tu Cu Yen
dingin. "Tidak tahu." Siauw Peng Yang menggelengkan kepala lagi. "Oh
ya! Jurus-jurus yang dikeluarkannya merupakan jurus simpanan
partai terkemuka masa kini."
"Oh?" Tu Cu Yen tertegun. "Jurus-jurus apa yang
dikeluarkannya?"
"Kim Kong Ci, Liu Sing Hui Jiau dan jurus yang terakhir sangat
mengejutkan."
"Jurus apa yang sangat mengejutkan?" tanya Tu Cu Yen heran.
"Itu adalah jurus Chui Sim Ciang." Siauw Peng Yang
memberitahukan.
"Apa?" Wajah Tu Cu Yen berubah. "Dia juga bisa jurus itu?"
"Ya." Siauw Peng Yang mengangguk. "Aku menyaksikannya
sendiri." "Oh?" Tu Cu Yen mengerutkan kening. "Apakah dia seperguruan
dengan cong koan?"
"Itu tidak mungkin." Siauw Peng Yang menggelengkan kepala.
"Apa alasannya?" Tu Cu Yen menatapnya tajam. "Kenapa
engkau mengatakan tidak mungkin?"
"Sebab ketika dia mau pergi, dia bilang cong koan punya
hubungan dengan temannya, maka cong koan harus diserahkan
pada temannya itu!"
"Kalau begitu ".." Tu Cu Yen berpikir keras, kemudian
melanjutkan. "Dia tidak seperguruan dengan cong koan, tentunya
juga bukan Hek Siau Liong!"
"Menurut aku ".." sela Siauw Kiam Meng. "Seng Sin Khi itu
memang bukan Hek Siau Liong."
"Oh?" Tu Cu Yen tersenyum. "Apa alasanmu mengatakan
begitu?" "Karena kepandaian Seng Sin Khi sangat tinggi, sedangkan Hek
Siau Liong meninggalkan tempat ini baru setahun, maka tidak
mungkin dia memiliki kepandaian yang begitu tinggi."
Alasan tersebut memang masuk akal, namun Tu Cu Yen malah
tidak mengangguk, cuma tersenyum aneh.
"Adik keempat!" bentak Tu Cu Yen mendadak dengan wajah
berubah dingin. "Nyalimu sungguh tidak kecil!"
Siauw Peng Yang tersentak, ia memandang Tu Cu Yen dengan
mata terbelalak lebar.
289 "Kakak tertua, aku tidak mengerti maksudmu!"
"Engkau tidak mengerti?" Tu Cu Yen tertawa dingin.
"Aku sungguh tidak mengerti!"
"Makan di dalam bantu diluar! Engkau mengerti?"
Hati Siauw Peng Yang tergetar hebat, namun ia tetap berusaha
tenang dan pura-pura kebingungan.
"Kakak tertua, aku jadi bingung, bagaimana mungkin aku ".."
"Adik keempat!" bentak Tu Cu Yen mengguntur. "Engkau masih
berpura-pura?"
"Kakak tertua, aku ".. aku tidak berpura-pura." Siauw Peng
Yang sudah merasa tegang dalam hati.
"He he!" Tu Cu Yen tertawa dingin. "Adik keempat, tiada
kebaikan bagimu untuk berpura- pura."
"Kakak tertua ".."
"Namun kita kecil dan besar bersama, bahkan juga saudara
seperguruan! Berdasarkan itu, kini aku masih tidak mau
menyusahkanmu! Cobalah pikir baik-baik, engkau berbuat begitu
apa gunanya?"
"Kakak tertua, aku tidak mengerti ".."
"Kalian berdua ke mari!" seru Tu Cu Yen sambil memberi isyarat
ke belakang. Seketika juga dua orang berbaju hitam yang berdiri di
belakangnya maju menghadap.
"Hamba siap menerima perintah." Kedua orang berbaju hitam itu
memberi hormat pada Tu Cu Yen.
"Bawa Siauw Peng Yang ke ruang istirahat!" Tu Cu Yen memberi
perintah. Yang dimaksudkan ruang istirahat adalah penjara, maka tidak
aneh kalau wajah Siauw Peng Yang langsung berubah.
"Kakak tertua ".."
"Adik keempat, engkau harus mengerti!" ujar Tu Cu Yen dingin.
"Aku bertindak demikian demi kebaikanmu. Beristirahatlah beberapa
hari sambil berpikir baik-baik!"
"Kakak tertua ".."
Tu Cu Yen mengibaskan tangannya, itu berarti menyuruh kedua
orang berbaju hitam membawa Siauw Peng Yang pergi.
"Tuan muda Peng Yang!" Kedua orang baju hitam menjura.
"Mari ikut kami!"
"Tunggu!" seru Siauw Kiam Meng mendadak.
290 "Eh?" Tu Cu Yen menatapnya tajam. "Adik ketiga, engkau ingin
membela Siauw Peng Yang?"
"Aku ingin mohon pengampunan untuk Siauw Peng Yang," jawab
Siauw Kiam Meng serius.
Tu Cu Yen menggelengkan kepala. Air mukanya pun tampak
dingin sekali. "Adik ketiga, saat ini tidak bisa. Biar dia beristirahat beberapa
hari dulu, barulah kita bicarakan kembali."
Bibir Siauw Kiam Meng bergerak ingin mengatakan sesuatu,
namun telah didahului Tu Cu Yen.
"Engkau tidak perlu banyak bicara lagi. Aku telah memberi
perintah, tidak bisa ditarik kembali. Maka percuma engkau bicara
apa pun." Siauw Kiam Meng terpaksa diam, sedangkan kedua orang
berbaju hitam itu menjura lagi pada Siauw Peng Yang.
"Tuan muda Peng Yang, mari ikut kami!"
Siauw Peng Yang mengerutkan kening, ia mengarah pada Tu Cu
Yen dengan sorotan dingin, lalu melangkah pergi dikawal kedua
orang berbaju hitam itu.
Pada waktu bersamaan, ketika Tu Cu Yen pulang, di sebuah kuil
tua yang terletak sepuluh li dari Siauw keh cung (Perkampungan
keluarga Siauw). Tampak duduk enam orang tua di dalam kuil itu.
Mereka berenam memakai jubah abu-abu dan rata-rata berusia di
atas tujuh puluhan.
Mendadak terdengar derap kaki kuda, salah seorang tua itu
segera membuka mulut.
"Sudah datang!"
Kelima orang tua itu manggut-manggut. Orang tua yang berkata
tadi melanjutkan ucapannya.
"Mari kita sambut di pintu!"
Mereka berenam bangkit berdiri, lalu menuju pintu kuil itu dan
berdiri diam di situ.
Seekor kuda berhenti di depan pintu kuil, yang duduk di
punggung kuda itu adalah Pek Giok Liong.
Keenam orang tua itu segera menjura memberi hormat.
"Hamba menyambut kedatangan ketua panji!" ucap mereka
serentak. 291 Ternyata keenam orang tua itu Siang Sing (Sepasang Bintang),
Thian Koh Sing dan Thian Kang Sing. Keempat orang tua adalah Si
Kim Kong (Empat Arhat), yakni Penakluk iblis, Pembasmi siluman,
Penangkap setan dan Pembunuh jin. Mereka semua ikut Pek Giok
Liong ke daratan tengah ini, merangkap sebagai pelindung pula.


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pek Giok Liong melompat turun, dan segera membalas memberi
hormat pada keenam orang tua itu.
"Terimakasih atas penyambutan kalian berenam orang tua!" Usai
berkata begitu, Pek Giok Liong pun menambatkan kudanya di
sebuah pohon, lalu menyeret cong koan yang dibawanya itu ke
dalam kuil. Keenam orang tua mengikutinya dari belakang dengan
sikap hormat. Setelah berada di dalam kuil, Pek Giok Liong menaruh cong koan
itu ke bawah. "Siapa orang itu?" tanya Thian Koh Sing sambil menatap cong
koan itu. "Entahlah." Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Tapi dia
kepala pengurus baru di keluarga Siauw. Marganya Ho, belum tahu
asal-usulnya. Namun dia mahir jurus Chui Sim Ciang (Pukulan
penghancur hati), ilmu andalan Liok Tay Coan."
"Apa?" Thian Koh Sing Ma Hun tercengang. "Dia mahir jurus
itu?" "Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Bahkan sudah mencapai
tingkat kedelapan."
"Kalau begitu, mungkin dia murid Liok Tay Coan." ujar Thian Koh
Sing Ma Hun. "Buka jalan darahnya!" sela Thian Kang Sing. "Kita tanya saja
dia!" "Tidak usah!" Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Lebih baik
serahkan saja pada Liok Tay Coan."
"Baiklah!" Thian Koh Sing manggut-manggut. "Ketua sudah
bertemu orang yang dicari itu?" tanyanya.
"Belum."
"Tidak adakah dia ?"
Pek Giok Liong menarik nafas panjang, lalu ujarnya dengan
wajah murung. "Dia memang sudah tiada, sudah meninggal tiga bulan yang
lalu." 292 "Oh" Itu sungguh tidak beruntung!" Thian Koh Sing
menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik nafas.
"Oh ya! Siauw kiong cu berada di mana sekarang?" Tanya Pek
Giok Liong mendadak.
"Beliau berada di vihara Si Hui di dekat Kota Ling Ni, menunggu
kedatangan ketua," jawab Thian Koh Sing memberitahukan.
Pek Giok Liong berpikir lama sekali, setelah itu ujarnya sambil
menunjuk Ho cong koan yang tergeletak di lantai.
"Kalian bawa orang itu dan serahkan pada Liok Tay Coan, besok
sore aku pasti ke vihara Si Hui."
Thian Kob Sing tertegun.
"Ketua tidak mau berangkat bersama kami?"
"Aku punya sedikit urusan malam ini."
"Bolehkah ketua memberitahukan tentang urusan itu?"
"Malam ini aku harus ke rumah Siauw untuk menyelidiki
seseorang."
"Oh?" Thian Koh Sing menatapnya. "Orang itu Siauw cung cu?"
"Bukan." Pek Giok Liong menggeleng kepala. "Melainkan putri
majikan perkampungan Siauw."
"Jadi tadi ketua belum bertemu dengannya?" Thian Koh Sing
heran. "Belum." Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Kemungkinan
besar keluarga Siauw sudah dalam bahaya, kalau dugaanku tidak
meleset, Siauw cung cu dan putrinya berada dalam pengawasan,
keadaan mereka sangat bahaya ".."
"Oh?" Thian Koh Sing juga mengerutkan kening.
"Lagi pula mengenai orang tua pincang itu, kematiannya
sungguh mencurigakan, maka aku harus bertanya langsung pada
Nona Hui Ceh."
"Kalau begitu ".." Thian Koh Sing setelah berpikir sejenak.
"Mungkinkah orang tua pincang itu mati dibunuh?" tanyanya.
"Memang mungkin." Pek Giok Liong mengangguk. "Sebab orang
tua pincang itu memiliki kepandaian tinggi, maka aku tidak percaya
dia mati karena sakit."
"Oooh!" Thian Koh Sing manggut-manggut. "Jangan-jangan
keluarga Siauw telah dikuasai oleh para penjahat!"
"Menurut aku juga begitu! Kalau tidak, bagaimana mungkin
muncul Ho cong koan yang tidak jelas asal-usulnya?"
"Dia bukan kepala pengurus pilihan Siauw cung cu?"
293 "Bukan."
"Kalau begitu, siapa yang berhak memilihnya sebagai cong
koan?" Pek Giok Liong tidak segera menjawab, melainkan berpikir keras,
berselang sesaat barulah menjawab.
"Itu pasti Tu Cu Yen, anak angkat Siauw cung cu."
"Majikan perkampungan itu tidak punya anak?"
"Hanya putri, seorang putri bernama Hui Ceh."
"Ketua!" Thian Koh Sing menatapnya. "Tu Cu Yen itu sangat
licik?" "Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Selain licik, dia pun
sangat jahat dan banyak akal busuk."
"Kini keluarga Siauw telah dikuasainya, malam ini ketua mau
pergi menemui nona Hui Ceh, bagaimana mungkin Tu Cu Yen akan
memperbolehkan?"
"Oh?" Hati Pek Giok Liong tergerak. "Kalau begitu, aku harus
memasuki rumah itu secara diam-diam, agar tidak diketahui Tu Cu
Yen kan?" "Betul." Thian Koh Sing manggut-manggut. "Memang harus
begitu." "Orang-orang yang di rumah Siauw itu, kebanyakan telah
menjadi anak buah Tu Cu Yen, maka aku pun tidak tahu siapa yang
masih bisa dipercaya."
"Ketua, menurut hamba ".." Thian Koh Sing mengerutkan
kening. "Kalau cuma seorang diri memasuki rumah Siauw itu ".."
"Kenapa?"
"Agak berbahaya?"
Pek Giok Liong tertawa.
"Engkau khawatir aku akan terjebak di sana?" ujarnya.
"Ya." Thian Koh Sing mengangguk. "Ketua memang memiliki
kepandaian yang amat tinggi, namun sulit menjaga serangan gelap."
"Sebetulnya Ketua tidak perlu menempuh bahaya itu." sela Arhat
Penakluk Iblis, Ciu Hoa Jin.
"Kenapa?" tanya Pek Giok Liong.
"Lebih baik kami berempat ke rumah Siauw untuk mengundang
Nona Hui Ceh ke mari menemui ketua." Ciu Hoa Jin menjelaskan.
"Memang baik." Pek Giok Liong tertawa. "Tapi ".."
"Kenapa?" tanya Ciu Hoa Jin cepat.
294 "Aku dengar Nona Hui Ceh dalam keadaan sakit. Maka tidak
mengejutkannya, lebih baik aku yang pergi menemuinya secara
diam-diam," jawab Pek Giok Liong. "Kalau kalian berempat yang
tampil, itu akan mengejutkan semua orang di rumah Siauw itu,
bahkan Tu Cu Yen pasti segera bertindak terhadap Siauw cung cu
dan putrinya."
"Kalau begitu, izinkanlah kami menyertai Ketua!" ujar Thian Koh
Sing. Pek Giok Liong tahu bahwa mereka semua mengkhawatirkannya
pergi seorang diri, namun pura-pura tidak tahu.
"Aku ke sana bukan mau bertarung, maka tiada gunanya kalian
menyertaiku," ujarnya.
"Ketua pergi seorang diri, bagaimana kami bisa berlega hati?"
Thian Koh Sing menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah kukatakan barusan, aku pergi cuma ingin menemui Nona
Hui Ceh, tidak akan bertarung dengan siapa pun."
"Hamba mengerti, tapi tugas kami melindungi Ketua. Oleh
karena itu, kami semua tidak akan membiarkan Ketua pergi seorang
diri." tegas Thian Koh Sing. "Kalau Ketua terjadi sesuatu, bagaimana
kami menghadap Siau kiong cu?"
Pek Giok Liong diam, ia yakin bahwa malam ini mereka pasti
menyertainya, itu yang tidak diinginkannya.
"Thian Koh Sing!" ujar Pek Giok Liong dengan suara dalam.
"Kalau dengan kedudukanku sebagai ketua panji memerintahkan
kalian tidak boleh ikut, bagaimana kalian" Apakah kalian berani
membangkang perintahku?"
Thian Koh Sing tertegun, dan seketika juga membungkam. Pek
Giok Liong memang ketua Panji Hati Suci Matahari Bulan, sedangkan
Cai Hong To masih dibawah perintah panji tersebut, lalu bagaimana
mungkin mereka berenam berani membangkang apa yang
diperintahkan Pek Giok Liong"
"Harap kalian berlega hati!" Pek Giok Liong tersenyum. "Aku
akan berhati-hati, lagi pula tidak mungkin akan terjadi sesuatu atas
diriku." "Tapi ".." Thian Koh Sing mengerutkan kening.
"Kalau merasa tidak tenang, lebih baik kalian menunggu di sini
saja. Sebelum pagi, aku pasti sudah kembali." Pek Giok Liong
memberitahukan.
295 "Baiklah." Thian Koh Sing mengangguk. "Kami akan menunggu
di sini, lalu bersama berangkat ke vihara Si Hui!"
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Kuda kutinggalkan
di sini, kalian pun boleh beristirahat, aku pergi ".."
Pek Giok Liong mengerahkan ginkangnya melayang pergi, cepat
bagaikan kilat dan dalam waktu sekejap sudah tidak kelihatan lagi
bayangannya. "Saudara Ma, apakah kita harus menunggu di sini sampai pagi?"
tanya Ciu Hoa Jin pada Ma Hun.
"Apa boleh buat!" Ma Hun atau Thian Koh Sing itu menggelenggelengkan
kepala. "Kita terpaksa menunggu di sini."
"Terus terang." Ciu Hoa Jin tertawa. "Aku punya akal, entah
kalian setuju atau tidak?"
"Akal apa?" tanya Thian Koh Sing Ma Hun cepat.
"Akal ini mungkin kurang baik, namun dari pada kita semua
harus menunggu di sini dengan hati kebat-kebit."
"Jelaskanlah! Jangan main teka-teki!" tegur Ih Cong Khi, Arhat
Penangkap Setan. "Engkau senang ya, melihat kami seperti cacing
dalam kuali?"
"Begini ".." bisik Ciu Hoa Jin. "Kita ikuti dia secara diam-diam."
"Itu ".." Thian Koh Sing Ma Hun menggelengkan kepala. "Itu
kurang baik."
"Kenapa kurang baik" Kita cuma di luar rumah Siauw itu sambil
mengawasi keadaan. Seandainya ada sesuatu, bukankah kita dapat
melindunginya?"
"Itu memang akal yang bagus." ujar Thian Kang Sing Wie Kauw
sambil manggut-manggut.
"Tapi ".." Thian Koh Sing Ma Hun menunjuk cong koan yang
tergeletak di lantai. "Bagaimana dia?"
"Aku punya akal," sahut Ciu Hoa Jin. "Engkau punya akal lagi?"
Ma Hun menatapnya.
"Salah seorang di antara kita tetap tinggal di sini untuk
menjaganya. Bagaimana?"
"Akal yang baik!" Thian Koh Sing Ma Hun mengangguk. "Tapi
siapa yang menjaganya di sini?"
"Engkau." Ciu Hoa Jin menunjuk Ban Kian Tong, Arhat Pembasmi
Siluman. "Tugasmu menjaga Ho cong koan."
"Eeeh?" Ban Kian Tong tampak tidak senang. "Ini tidak adil."
296 "Saudara keempat!" Ciu Hoa Jin tertawa gelak. "Siapa suruh
usiamu paling kecil di antara kita" Maka yang kecil harus tetap di sini
menjaga cong koan itu."
"Saudara tua!" sahut Ban Kian Tong. "Justru yang tua harus di
sini, tidak boleh ke mana-mana."
"Saudara keempat ".."
"Pokoknya aku tidak mau tinggal di sini."
"Lebih baik engkau berada tinggal di sini." bujuk Thian Koh Sing
Ma Hun. "Sebab tugas menjaga Ho cong koan cukup berat."
"Benar." sambung Thian Kang Sing Wie Kauw. "Tugas itu
memang berat, maka kami semua mempercayaimu menjaga orang
ini." "Aaaakh "..!" keluh Ban Kian Tong. "Sudahlah! Aku akan
menjaga orang sialan itu di sini!"
"Terimakasih!" ucap Ciu Hoa Jin sambil tersenyum.
"Tapi ingat, hanya kali ini, lain kali tidak!" tegas Ban Kian Tong.
"Tentu!" Ciu Hoa Jin tertawa gelak. "Lain kali pasti aku yang
menjaga cong koan itu!"
"Hmm!" dengus Ban Kian Tong. "Kalau tidak sabaran menjaga,
aku pasti membunuhnya!"
"Eh?" Ciu Hoa Jin terkejut. "Jangan begitu, kalau ketua tahu ".."
"Jangan khawatir!" Ban Kian Tong tertawa. "Aku tidak akan
bertindak begitu ceroboh, hanya saja saat ini aku lagi kesal."
Bagian ke 37: Di Luar Dugaan
Malam hari, di halaman belakang rumah Siauw muncul sosok
bayangan hitam, begitu cepat dan ringan sosok bayangan hitam
tersebut. Para penjaga sama sekali tidak mengetahui kemunculan
bayangan hitam itu. Betapa tingginya ilmu meringankan tubuh orang
tersebut yang tidak lain adalah Pek Giok Liong.
Ia mengerahkan ginkangnya menuju lantai atas, karena ia tahu
bahwa kamar Siauw Hui Ceh berada di lantai atas itu.
"Heran?" gumamnya. "Kenapa semua lampu sudah dimatikan"
Apakah dia tidak sudi bertemu denganku, ataukah Siauw Peng Yang
tidak memberitahukannya?"
Pek Giok Liong tidak habis berpikir, ia menengok ke sana ke
mari, kemudian bergumam lagi.
297 "Mungkinkah dia sengaja mematikan semua lampu, agar aku
lebih leluasa bergerak?"
Karena berpikir demikian, maka ia segera menuju kamar Siauw
Hui Ceh. Kebetulan pintu kamar itu setengah terbuka, ia pun
memberanikan menerobos ke dalam dan seketika juga terdengar
suara yang amat lembut.
"Siapa?"
"Aku Siauw Liong."
"Siapa"!" Nada suara itu agak bergemetar. "Engkau ".. Kakak
Siau Liong?"
"Betul, Nona."
"Kakak Liong, kenapa engkau beruhah begitu sungkan?" tegur
Siauw Hui Cch. "Hanya berpisah setahun, apakah engkau telah lupa
akan ucapan sendiri?"
"Aku tidak lupa," sahut Pek Giok Liong sambil tersenyum.
"Kalau begitu, kenapa engkau memanggilku nona?"
Setahun yang lalu, ketika Pek Giok Liong menderita luka karena
pukulan Tu Cu Yen, Siauw Hui Ceh begitu memperhatikannya. Apa
yang terjadi ketika itu terbayang kembali di pelupuk mata Pek Giok
Liong. "Adik Hui, maafkan aku!" ucapnya dengan suara rendah.


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakak Liong, engkau tidak perlu minta maaf," ujar Siauw Hui
Ceh lembut. "Yang penting engkau tidak melupakan apa yang kau
ucapkan setahun yang lalu itu."
"Aku tidak akan lupa."
"Kakak Liong, duduklah!" ucap Siauw Hui Ceh yang duduk di
pinggir tempat tidur.
Pek Giok Liong mengangguk, kemudian duduk seraya bertanya.
"Adik Hui, aku dengar engkau sakit, sekarang sudah membaik?"
"Kakak Liong, terimakasih atas perhatianmu! Padahal
sesungguhnya, aku sama sekali tidak sakit, hanya karena hati
sedang risau sekali, maka aku katakan sakit."
"Oooh!" Pek Giok Liong memandangnya dengan penuh
perhatian. "Adik Hui, engkau kelihatan agak kurus."
"Kakak Liong, engkau dapat melihat jelas diriku?" tanya Siauw
Hui Ceh. "Ya." Pek Giok Liong mengangguk.
"Tapi aku tidak dapat melihat dirimu dengan jelas. Kakak Liong,
mendekatlah ke mari sedikit!"
298 "Baiklah." Pek Giok Liong menggeser kursinya mendekat pada
Siauw Hui Ceh. "Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh memandangnya dengan mata
berbinar-binar. "Aku dengar dari kakak keempat, engkau telah
berhasil belajar kepandaian yang amat tinggi. Betulkah itu?"
Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Kakak Liong ".." Wajah Siauw Hui Ceh cerah ceria. "Aku
gembira sekali mendengarnya."
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menatapnya seraya bertanya,
"Kenapa saudara Peng Yang tidak berada di sini menunggu
kedatanganku?"
"Dia ".." Siauw Hui Ceh menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa dia?" tanya Pek Giok Liong dengan air muka berubah.
"Dia telah ditahan."
"Apa"! Kenapa dia ditahan?"
"Entahlah, aku tidak begitu jelas."
"Adik Hui, siapa yang menahannya?"
"Tu Cu Yen."
"Oh!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Dia ditahan di
mana?" "Di penjara bawah tanah."
"Penjara bawah tanah?" Pek Giok Liong terkejut. "Apakah di sini
terdapat penjara bawah tanah?"
"Ada, baru dibangun setahun yang lalu."
"Tu Cu Yenkah yang membangun penjara bawah tanah itu?"
Siauw Hui Ceh mengangguk.
"Selain dia siapa lagi?"
"Heran?" gumam Pek Giok Liong. "Apakah ayahmu
mengijinkannya membangun penjara bawah tanah itu?"
"Meskipun melarang, juga percuma." Siauw Hui Ceh
menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik Hui, kenapa engkau mengatakan begitu?" Pek Giok Liong
heran. "Sebab ayah sudah tidak dapat mengendalikannya lagi."
"Dia berani begitu" Bukankah secara tidak langsung telah
merupakan murid murtad?" Siauw Hui Ceh tersenyum getir.
"Walau dia telah murtad, ayah pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Karena ayah ".."
299 Siauw Hui Ceh tidak melanjutkan ucapannya, melainkan cuma
menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah murung.
"Adik Hui, kenapa ayahmu?"
"Ayah menderita semacam penyakit aneh."
"Hah?" Pek Giok Liong terperanjat. "Bagaimana penyakit aneh
itu?" "Sesak nafas." Siauw Hui Ceh memberitahukan. "Kalau banyak
bicara, pasti sesak nafas."
"Sudahkah diperiksa tabib?"
"Sudah, tapi ".."
"Kenapa?"
"Semua tabib cuma menggelengkan kepala setelah memeriksa
nadi ayah. Mereka sama sekali tidak mampu mengobati."
"Sejak kapan ayahmu menderita penyakit itu?"
"Entahlah." Siauw Hui Ceh menggelengkan kepala. "Ayah sendiri
pun tidak tahu, kenapa bias menderita penyakit itu."
"Sudah berapa lama ayahmu menderita penyakit itu?"
"Kalau tidak salah, sudah hampir delapan bulan."
"Oh ya, Adik Hui!" Pek Giok Liong teringat sesuatu. "Apakah
ayahmu masih tinggal di tempat itu?"
"Ya." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Kakak Liong mau pergi
menengoknya?"
"Ng!" Pek Giok Liong manggut-manggut. "Aku ingin memeriksa
nadi ayahmu."
"Oh?" Siauw Hui Ceh gemhira sekali. "Kakak Liong bisa
memeriksa nadi ayah?"
"Adik Hui, aku pernah membaca sebuah buku pengobatan, maka
aku mengerti sedikit dalam hal penyakit." Pek Giok Liong
memberitahukan. "Sesak nafas bukan merupakan penyakit yang
tiada obatnya, aku yakin dapat mengobati ayahmu. Tapi ".."
"Kenapa?"
"Kalau penyakit itu akibat dari perbuatan seseorang, agak sulit
mengobatinya."
"Apa"!" Siauw Hui Ceh tertegun. "Perbuatan orang ".."
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Kalau ada orang meracuni
ayahmu secara diam-diam, sehingga ayahmu menderita penyakit itu,
tentunya akan sulit penyembuhannya."
"Haah "..?" Siauw Hui Ceh terkejut bukan main. "Itu...."
Pek Giok Liong memberi isyarat agar Siauw Hui Ceh diam.
300 "Ada orang ke mari." bisiknya kemudian. Usai berkata begitu,
Pek Giok Liong langsung melayang ke atas untuk bersembunyi.
Siauw Hui Ceh terbelalak menyaksikannya dan membatin.
Sungguh tinggi ginkang kakak Liong!
Tak seberapa lama kemudian, terdengarlah suara di luar.
"Adik Hui, ada urusan apa?"
"Tidak ada urusan apa-apa," sahut Siauw Hui Ceh yang sudah
tahu bahwa yang berada di luar adalah Siauw Kiam Meng.
"Adik Hui, belum tidur?"
"Kakak Kiam Meng ada urusan?"
"Urusan sih tidak ada, cuma ingin bercakap-cakap denganmu."
"Oh?" Siauw Hui Ceh mengerutkan kening. "Kakak Kiam Meng,
aku sudah mau tidur, bagaimana kalau kita bicara besok saja?"
"Tidak bisa bicara besok."
"Kenapa?"
"Aku harus menyampaikan kabar gembira padamu."
"Kabar apa?"
"Adik Hui, bukakan pintu dulu!"
"Tapi ".."
"Adik Hui!" Pek Giok Liong yang bersembunyi itu segera
berbicara pada Siauw Hui Ceh dengan ilmu menyampaikan suara.
"Biar dia masuk!"
"Kakak Kiam Meng, tunggu sebentar!" Siauw Hui Ceh segera
pergi membuka pintu kamarnya.
"Adik Hui!" Siauw Kiam Meng memandang ke dalam. "Kok tidak
menyalakan lampu?"
"Sudah malam, lagi pula ".. aku merasa lebih tenang tidak
menyalakan lampu." sahut Siauw Hui Ceh. "Kakak Kiam Meng ingin
menyampaikan kabar gembira padaku?"
"Ya."
"Kalau begitu, silakan masuk!"
Siauw Kiam Meng melangkah ke dalam, sedangkan Siauw Hui
Ceh menutup kembali pintu kamarnya.
"Silakan duduk, Kak!" ucapnya sambil duduk. Siauw Kiam Meng
mengangguk, lalu duduk di hadapan gadis itu.
"Adik Hui!" Siauw Kiam Meng menatapnya. "Dengarkah kau
bahwa tadi sore telah terjadi sesuatu?"
"Mengenai Ho cong koan yang ditangkap pemuda baju hitam?"
301 "Ya." Siauw Kiam Meng manggut-manggut. "Tahukah engkau
siapa pemuda berbaju hitam itu?"
Siauw Hui Ceh pura-pura berpikir, kemudian menjawab perlahan.
"Kalau tidak salah, pemuda baju hitam itu bernama Seng Sin Khi.
Ya, kan?" Siauw Kiam Meng menggelengkan kepala. "Menurut aku bukan."
"Kok bukan?"
"Seng Sin Khi mungkin merupakan nama samarannya."
"Kalau begitu ".." Siauw Hui Ceh pura-pura tertegun. "Siapa dia
dan siapa nama aslinya?"
"Adik Hui!" Mendadak Siauw Kiam Meng balik bertanya.
"Bagaimana kesanmu terhadapku?"
Siauw Hui Ceh adalah gadis yang cerdas, maka ia telah menduga
sesuatu, namun pura-pura bingung.
"Kenapa Kakak menanyakan itu?"
"Adik Hui, jangan bertanya! Jawab dulu pertanyaanku tadi!"
Siauw Kiam Meng menatapnya sambil tersenyum. "Bagaimana
kesanmu terhadapku?"
"Itu ".."
"Adik Hui, kita kakak beradik, maka kuharap engkau menjawab
secara terus terang! Tentunya engkau mengerti maksudku kan?"
"Aku mengerti."
"Bagus." Siauw Kiam Meng tersenyum. "Nah, jawablah
sekarang!"
"Terus terang, Kakak suka pelesir, namun tidak jahat."
"Bagaimana diriku dibandingkan dengan kakak tertua dan kakak
kedua?" tanya Siauw Kiam Meng lagi.
"Engkau ingin dibandingkan dengan mereka?" Wajah Siauw Hui
Ceh berubah dingin.
"Adik Hui!" Siauw Kiam Meng tersenyum. "Jangan salah paham,
aku cuma sekedar bertanya!"
"Hmm!" dengus Siauw Hui Ceh. "Mereka berdua tidak berharga
untuk dibicarakan, juga tidak perlu dibanding-bandingkan. Kalau
harus begitu, aku pun tidak mengijinkan engkau duduk di dalam
kamarku." "Oooh!" Siauw Kiam Meng manggut-manggut. "Kalau begitu,
bolehkah aku dibandingkan dengan Siauw Peng Yang?"
"Dia sangat jujur dan terbuka, bisa dipercaya dan lebih
berpendirian dari padamu," ujar Siauw Hui Ceh sungguh-sungguh.
302 "Emmh!" Siauw Kiam Meng tersenyum. "Pandanganmu memang
tidak salah, namun aku ingin bertanya ".."
"Mau bertanya apa?"
"Apakah aku terhitung orang yang dapat dipercaya?"
"Masih boleh dipercaya. Tapi kenapa engkau menanyakan itu?"
"Kalau begitu ".." Siauw Kiam Meng tersenyum lagi. "Kesanmu
terhadapku tidak begitu buruk?"
"Juga tidak begitu baik," sambung Siauw Hui Ceh.
"Oh ya!" Siauw Kiam Meng menatapnya. "Dalam hatimu paling
merindukan siapa" Bolehkah aku tahu?"
Seketika juga wajah Siauw Hui Ceh berubah dingin, kemudian
tegurnya dengan nada tidak senang.
"Kenapa engkau bertanya begitu?"
"Adik Hui, jangan gusar! Aku bertanya begitu tentunya punya
suatu alasan tertentu."
"Alasan apa?"
"Pemuda berbaju hitam yang menangkap Ho cong koan itu,
kemungkinan besar adalah orang yang sangat kau rindukan."
Siauw Hui Ceh tersentak, namun wajahnya tetap tampak tenang,
bahkan kemudian menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata
hambar. "Kakak Kiam Meng, di dalam hatiku sama sekali tidak
merindukan siapa pun. Engkau jangan menduga yang bukan-bukan!
Siapa pemuda baju hitam itu, lebih baik kau beritahukan saja!"
"Adik Hui!" Siauw Kiam Meng menatapnya tajam. "Dia Hek Siau
Liong." Meskipun Siauw Hui Ceh telah menduga juga bahwa pemuda
berbaju hitam yang menangkap Ho cong koan itu Pek Giok Liong,
namun ia berpura-pura terkejut.
"Siapa yang bilang?"
"Tu Cu Yen."
"Kakak Kiam Meng, menurutmu, mungkinkah dia?"
Siauw Kiam Meng menggelengkan kepala.
"Adik Hui, sesungguhnya aku pun tidak percaya. Tapi ".. Peng
Yang ditahan di penjara bawah tanah, justru karena urusan itu.
Maka ".."
"Maka engkau percaya bahwa pemuda berbaju hitam itu Hek
Siau Liong. Ya, kan?" Siauw Hui Ceh menatapnya.
303 "Ya." Siauw Kiam Meng mengangguk dan menambahkan,
"Alangkah baiknya jika pemuda berbaju hitam itu Hek Siau Liong."
"Kenapa?" tanya Siauw Hui Ceh dengan mata berbinar.
"Kalau dia benar Hek Siau Liong, tidak perlu takut Tu Cu Yen
lagi." "Kau kira kepandaiannya di atas Tu Cu Yen?"
"Dia mampu dengan satu jurus menangkap Ho cong koan, itu
membuktikan bahwa kepandaiannya berada di atas Tu Cu Yen."
Siauw Kiam Meng memberitahukan. "Sebab belum tentu Tu Cu Yen
mampu menangkap Ho cong koan dalam satu jurus."
"Kakak Kiam Meng, sungguhkah engkau berharap dia adalah Hek
Siau Liong?"
"Adik Hui!" Siauw Kiam Meng tampak sungguh-sungguh.
"Engkau masih tidak mempercayaiku?"
"Bagaimana aku tidak mempercayaimu?" sahut Siauw Hui Ceh, ia
mendongakkan kepala seraya berseru, "Kakak Liong, turunlah
menemui Kakak Kiam Meng!"
"Adik Hui ".." Siauw Kiam Meng juga ikut mendongakkan
kepala. "Kakak Kiam Meng!" Siauw Hui Ceh menatapnya. "Engkau harus
ingat bahwa dirimu adalah anak cucu keluarga Siauw!"
"Aku tentu ingat itu." Siauw Kiam Meng tertawa.
Siauw Hui Ceh berseru lagi.
"Kakak Liong, turunlah!"
Pek Giok Liong yang bersembunyi dapat mendengar jelas
pembicaraan mereka. Bahkan ia telah melihat jelas pula mimik Siauw
Kiam Meng yang tampaknya tak begitu beres.
Akan tetapi, karena Siauw Hui Ceh telah berseru memanggilnya,
maka terpaksa ia harus menemui Siauw Kiam Meng.
Oleh karena itu, ia segera melayang turun dari tempat
persembunyiannya. Begitu sepasang kakinya menginjak lantai, ia
langsung menjura pada Siauw Kiam Meng.
"Aku memberi hormat padamu, Saudara Kiam Meng!" ucapnya.
"Oooh!" Betapa terkejutnya Siauw Kiam Meng, tapi wajahnya


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetap tampak tenang dan berseri. "Adik Liong, ternyata memang
engkau!" "Saudara Kiam Meng merasa di luar dugaan?" tanya Pek Giok
Liong sambil tersenyum.
304 "Ya." Siauw Kiam Meng tertawa gelak. "Sungguh di luar dugaan.
Oh ya, cara bagaimana engkau ke mari?"
"Saudara Kiam Meng!" Pek Giok Liong menatapnya curiga.
"Kenapa engkau menanyakan itu?"
"Terus terang, aku merasa heran," jawab Siauw Kiam Meng
serius. "Kenapa kau merasa heran?"
"Sebab penjagaan di sini sangat ketat, bahkan seekor burung
terbang pun pasti ketahuan. Tapi engkau bisa sampai di sini. Nah,
bukankah sangat mengherankan?"
Pek Giok Liong tertawa-tawa.
"Engkau perlu heran! Tentunya aku berjalan ke mari."
"Tiada seorang pun melihatmu?" Siauw Kiam Meng mengerutkan
kening. "Kalau ada orang melihat diriku, apakah aku masih bisa bicara
denganmu di sini?"
Ucapan yang masuk akal, beralasan dan nyata, maka membuat
sepasang bola mata Siauw Kiam Meng berputar-putar.
"Adik Liong, tahukah engkau tentang urusan Peng Yang?" tanya
Siauw Kiam Meng mendadak.
"Apakah dia telah ditahan?"
"Engkau sudah tahu?"
"Sebelumnya aku tidak tahu, tapi aku tadi mendengar engkau
yang mengatakan."
"Oh?" Siauw Kiam Meng menatapnya dalam-dalam. "Adik Liong,
kini bagaimana rencanamu?"
"Maksudmu?"
"Peng Yang ditahan karena urusanmu, apakah engkau diam saja,
tidak mau menolongnya?"
"Bagaimana menurutmu?"
"Eh?" Siauw Kiam Meng tertegun, ia tak menyangka bahwa Siau
Liong akan balik bertanya begitu. "Menurut pendapatku, tentunya
engkau akan pergi menolongnya. Ya, kan?"
"Alasannya karena diriku?"
"Ya." Siauw Kiam Meng mengangguk. "Namun masih ada alasan
lain." "Apa alasan lain itu?"
305 "Adik Liong!" Siauw Kiam Meng tersenyum. "Dulu engkau pernah
tinggal di sini beberapa bulan. Ketika itu semua keluarga Siauw
memujimu berhati bajik dan solider ".."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut sambil tersenyum.
"Terimakasih, engkau mengingatkan hal itu padaku. Akan tetapi ".."
"Kenapa?"
"Ada dua orang setengah justru tidak seperti mereka,
menganggap diriku seperti duri dalam matanya!"
"Dua orang setengah?" Siauw Kiam Meng tercengang. "Apa
maksudmu?"
"Memang dua orang setengah."
"Kok begitu?" Siauw Kiam Meng bingung. "Adik Liong,
jelaskanlah!"
"Dua orang sangat tidak puas terhadap diriku, dan seorang lagi
cuma setengah tidak puas. Nah, engkau mengerti sekarang?"
"Oh!" hati Siauw Kiam Meng tersentak. "Aku mengerti."
"Bagus engkau mengerti."
"Apakah dua orang itu Tu Cu Yen dan Siauw Sauw Nam?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Memang mereka berdua."
"Lalu siapa yang setengah itu?"
"Saudara Kiam Meng." Pek Giok Liong tertawa. "Engkau tidak
bisa menerkanya ya?"
Siauw Kiam Meng menggelengkan kepala.
"Ya. Aku tidak bisa menerka."
"Saat ini engkau tidak bisa menerkanya, lain kali saja terkalah
perlahan-lahan! Suatu hari nanti, engkau pasti dapat menerkanya."
"Adik Liong ".."
"Saudara Kiam Meng, karena dua alasan itu, maka engkau yakin
aku akan pergi menolong Peng Yang?" tanya Pek Giok Liong
mendadak. "Ya." Siauw Kiam Meng mengangguk. "Aku tahu sifatmu.
Tentunya engkau akan pergi menolongnya!"
Pek Giok Liong tertawa hambar.
"Saudara Kiam Meng, sifat seseorang terhadap orang lain, akan
berubah terpengaruh oleh situasi dan keadaan. Engkau tahu itu
kan?" "Adik Liong ".." Siauw Kiam Meng tertegun. "Jadi ".. engkau
tidak mau menolong Peng Yang?"
306 "Bukan begitu, melainkan ".." Pek Giok Liong menggelengkan
kepala. ".. karena ".."
Melainkan dan karena apa, Pek Giok Liong tidak melanjutkan
ucapannya, cuma menatap Siauw Kiam Meng.
"Eh" Adik Liong, kok tidak dilanjutkan?" tanya Siauw Kiam Meng.
"Saudara Kiam Meng, karena sesungguhnya aku punya
kesulitan." sahut Pek Giok Liong dengan suara dalam.
"Karena itu, maka engkau membiarkan Peng Yang tetap ditahan
di penjara bawah tanah itu?"
"Yaah." Pek Giok Liong menarik nafas panjang. "Itu terpaksa."
"Terpaksa?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Peng Yang adalah orang
yang berpengertian, maka apabila tahu kesulitanku, dia pasti mau
memaafkanku."
"Adik Liong!" Siauw Kiam Meng menatapnya. "Sebetulnya apa
kesulitanmu itu" Bolehkah aku tahu?"
"Saudara Kiam Meng, pertama aku tidak tahu di mana letak
penjara bawah tanah itu ".."
"Itu bukan kesulitan," sambung Siauw Kiam Meng cepat.
"Saudara Kiam Meng, jangan dipotong dulu! Tunggu ucapanku
selesai, barulah kemukakan pendapatmu!" ujar Pek Giok Liong dan
melanjutkan, "Kedua, aku cuma seorang diri. Maka kalau pergi
menolong Peng Yang, itu sungguh membahayakan diriku, lagi pula
belum tentu dapat berhasil. Oleh karena itu, lebih baik aku
menunggu kesempatan."
"Ooh, ternyata begitu!" Siauw Kiam Meng tampak berpikir,
kemudian ujarnya, "Apa yang engkau katakan memang masuk akal,
tapi ada pepatah mengatakan, Kalau tidak masuk sarang macan,
bagaimana mungkin mendapatkan anaknya. Nah, engkau takut
menempuh bahaya, itu bukan sifat kesatria."
"Saudara Kiam Meng." Pek Giok Liong tertawa. "Ada pepatah lain
mengatakan, Tidak bisa bersabar akan merusak rencana besar.
Menempuh bahaya tapi tiada hasilnya, itu konyol."
Siauw Kiam Meng mengerutkan kening, nada suaranya pun
mulai dingin. "Adik Liong, aku sungguh kecewa terhadapmu."
Pek Giok Liong malah tersenyum.
307 "Benar. Apa yang kukatakan tadi memang mengecewakanmu,
namun ".." Mendadak Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Saudara
Kiam Meng, sudikah engkau membantu aku?"
"Kalau pergi menolong Peng Yang, itu tidak akan kutolak. Namun
mengenai yang lain, maaf! Aku tidak akan membantu," sahut Siauw
Kiam Meng tegas.
"Saudara Kiam Meng, aku tidak akan minta bantuanmu untuk
urusan lain, aku cukup tahu diri."
"Oh?" Siauw Kiam Meng tersenyum.
"Nah, aku pastikan begini saja. Mengenai penjara bawah tanah
itu, akan kita bicarakan nanti. Sekarang lebih baik engkau
beristirahat."
Usai berkata begitu, mendadak Pek Giok Liong menyentil jari
telunjuknya ke arah Siauw Kiam Meng. Siauw Kiam Meng terbelalak
dan kemudian terkulai.
Pek Giok Liong bergerak cepat, dipapahnya tubuh Siauw Kiam
Meng sekaligus ditaruhnya di kursi.
"Kakak Liong ".." Siauw Hui Ceh terperangah. "Kenapa engkau
berbuat begitu terhadap Kakak Kiam Meng?"
"Adik Hui!" Pek Giok Liong tersenyum. "Engkau begitu gampang
mempercayainya?"
"Kakak Liong ".." Siauw Hui Ceh menatapnya heran. "Apakah
tidak boleh aku mempercayainya?"
"Ketika kalian berbicara, aku memperhatikan air muka saudara
Kiam Meng terus menerus berubah. Maka aku yakin ada sesuatu
yang tak beres pada dirinya. Oleh karena itu, kita tidak boleh
mempercayainya sepenuhnya."
"Ooh!" Siauw Hui Ceh manggut-manggut.
"Adik Hui, aku ingin bertanya padamu mengenai suatu urusan
yang sangat penting, maka aku harus menotok jalan darah tidurnya,
agar dia tidak mendengar."
"Oh, ternyata begitu!" Kemudian Siauw Hui Ceh mengalihkan
pembicaraan. "Kakak Liong, apakah penyakit ayah benar perbuatan
orang?" "Sulit dipastikan," jawab Pek Giok Liong dengan kening berkerut.
"Namun aku pikir, itu memang mungkin."
"Kakak Liong, apakah Tu Cu Yen berani ".."
308 "Adik Hui, sebelum ada bukti, janganlah menuduh
sembarangan!" tegas Pek Giok Liong. "Tentunya engkau mengerti,
kan?" Siauw Hui Ceh mengangguk dengan wajah agak kemerahmerahan.
"Aku ".. aku mengerti. Tentang ini, ayah pun pernah
mengatakan padaku?"
"Oh, ya?" Pek Giok Liong menatapnya. "Ayahmu pernah
mengatakan apa?"
"Tentang dirimu, Kakak Liong!"
"Tentang diriku?" Terbelalak Pek Giok Liong.
"Ayahku mengatakan, engkau keras di luar, namun lembut di
dalam." Siauw Hui Ceh memberitahukan. "Cerdik dan tenang,
menghadapi urusan apa pun masih dapat mengendalikan diri, sama
seperti ayahmu."
"Oh?" Pek Giok Liong tertawa.
"Ayah juga menghendaki agar aku selanjutnya tetap
bersamamu, harus pula mendengar kata-katamu."
"Adik Hui, ayahmu terlampau memandang tinggi diriku."
"Kakak Liong, ada satu hal, yang aku masih merasa heran dan
tidak mengerti."
"Mengenai hal apa?"
"Ketika berbicara denganku, nada suara ayah seakan kenal baik
dengan ayahmu. Tapi aku justru merasa heran, pada waktu engkau
meninggalkan tempat ini, kenapa ayahku tidak mau menahanmu?"
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menatapnya dalam-dalam. "Kapan
engkau mulai merasa heran tentang itu?"
"Setelah engkau pergi."
"Engkau tidak bertanya pada ayahmu?"
"Aku pernah tanya, tapi setiap kali aku bertanya, ayahku selalu
mengelak dan katanya ".."
"Apa kata ayahmu?"
"Katanya, kelak setelah aku bertemu denganmu otomatis akan
mengerti itu."
"Oh! Kalau begitu, apakah sekarang engkau sudah mengerti?"
"Cuma mengerti sedikit."
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian tanyanya
mendadak, "Tahukah engkau bagaimana orang tua pincang itu
meninggal?"
309 "Karena sakit. Memangnya kenapa?"
"Adik Hui!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Terus terang,
aku bercuriga tentang itu."
"Engkau bercuriga apa?"
"Mengenai kematiannya."
"Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh menatapnya. "Engkau bercuriga
bahwa orang tua pincang itu mati dibunuh orang?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku memang bercuriga
begitu." "Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh serius. "Aku punya suatu cara
untuk menyelidikinya, entah engkau setuju atau tidak?"
"Cara apa itu?" tanya Pek Giok Liong cepat.
"Menggali mayat untuk diperiksa."
"Apa?" Pek Giok Liong tergetar. "Menggali mayat untuk
diperiksa?"
"Bagaimana dengan cara ini?"
Pek Giok Liong tampak tertegun.
"Kenapa engkau bisa memikirkan cara itu?" tanyanya heran.
Siauw Hui Ceh tidak menyahut, melainkan balik bertanya.
"Kakak Liong, baik atau tidak cara itu?" Pek Giok Liong
menggelengkan kepala sambil menarik nafas panjang.
"Itu mana boleh?"
"Kenapa tidak?"
"Orang tua pincang itu telah mati, bagaimana boleh digali
mayatnya?" ujar Pek Giok Liong sungguh-sungguh. "Itu perbuatan
yang tidak baik."
"Kalau begitu, jangan mengharap bisa tahu sebab musabab
kematiannya!" ujar Siauw Hui Ceh dan menambahkan, "Biar
kematiannya merupakan teka-teki dan tidak bisa tenang di sana!"
"Adik Hui ".." Pek Giok Liong menarik nafas.
"Menggali mayat orang tua pincang itu memang tidak baik,
namun demi menyelidiki kematiannya, itu sudah lain urusan. Maka
Kakak Liong, pikirkanlah!"
Pek Giok Liong berpikir keras, kemudian hatinya mulai tergerak
dan sepasang matanya pun menyorot tajam.
"Adik Hui, mengenai caramu itu sungguh membuat aku merasa
heran, juga tidak begitu mengerti."
"Apakah aku terlampau emosi?"
"Ya."
310 "Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh tersenyum. "Setelah menggali
mayat itu engkau akan mengetahuinya."
"Oh, ya" Apa alasannya?"
"Alasannya ".. setelah menggali mayat itu, engkau akan
mengetahuinya."
Pek Giok Liong mengerutkan kening sambil berpikir, lama sekali
barulah mengangguk seraya berkata.
"Baiklah. Kalau begitu, besok malam kita pergi menggali kuburan
orang tua pincang itu."
Siauw Hui Ceh tersenyum, akan tetapi, senyumannya agak aneh.
"Kini telah lewat tengah malam, kita harus mengerjakan sesuatu
yang amat penting." Ujar Pek Giok Liong serius.
"Maksudmu?"


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menolong orang dan menemui ayahmu. Kedua urusan itu harus
diselesaikan sebelum subuh."
"Oh?"
"Adik Hui, tolong ambilkan kertas dan pit (Pensil Cina kuno)!"
"Ya." Siauw Hui Ceh segera mengambil kertas dan sebatang pit,
lalu diberikan pada Pek Giok Liong.
"Terimakasih!" ucap Pek Giok Liong lalu segera menulis
beberapa huruf di kertas itu.
Sementara nyawamu dititipkan, selanjutnya harus memperbaiki
diri. Lain kali kalau masih berani bertindak licik terhadapku,
kepandaianmu pasti kumusnahkan!
"Eh?" Siauw Hui Ceh terheran-heran. "Buat siapa tulisan itu?"
"Kini tidak usah bertanya, nanti engkau akan mengetahuinya."
Pek Giok Liong tersenyum.
Setelah itu, Pek Giok Liong mendekati Siauw Kiam Meng, dan
sekaligus membuka jalan darahnya yang ditotoknya tadi.
"Aaakh!" Siauw Kiam Meng membuka sepasang matanya,
kemudian bangkit berdiri sambil menatap Pek Giok Liong dengan
wajah gusar. "Hei! Siau Liong, apa maksudmu?"
"Saudara Kiam Meng!" Pek Giok Liong tersenyum. "Jangan
gusar, aku akan menjelaskan."
"Oh" Baiklah. Aku siap mendengarkan."
"Saudara Kiam Meng, di saat aku menjelaskan dan ada
perkataan yang menyinggung perasaanmu, aku harap engkau mau
memaafkan!"
"Asal beralasan, aku tidak akan menyalahkanmu."
311 "Kalau begitu, terlebih dahulu aku ucapkan terimakasih
padamu!" Pek Giok Liong menjura.
"Tidak usah sungkan-sungkan!" Siauw Kiam Meng pun membalas
menjura. "Cepat jelaskan!"
Bagian ke 38: Pelayan Pribadi
Pek Giok Liong tidak segera menjelaskan, melainkan menatap
Siauw Kiam Meng dengan penuh perhatian.
"Saudara Kiam Meng, bagaimana sikapmu terhadap orang,
tentunya engkau tahu kan?" tanyanya kemudian.
"Eh?" Siauw Kiam Meng mengerutkan kening. "Kenapa engkau
menanyakan itu?"
"Jangan bertanya, jawab saja!"
"Ketika engkau bersembunyi, sudah pasti telah mendengar
semua pembicaraanku dengan Hui Ceh!"
"Ng!" Pek Giok Liong mengangguk. "Aku memang telah
mendengar dengan jelas sekali."
"Kalau begitu, kenapa engkau masih bertanya tentang itu?"
Wajah Siauw Kiam Meng tampak tidak senang.
"Jadi engkau mengaku sikapmu sangat jujur dan terbuka,
terhadap orang?"
"Memang begitulah sikapku." Siauw Kiam Meng mengangguk,
lalu menatap Pek Giok Liong tajam seraya bertanya. "Apakah itu ada
kaitannya dengan tindakanmu menotok jalan darahku?"
"Tentu ada kaitannya," sahut Pek Giok Liong sungguh-sungguh.
"Karena dulu engkau tidak begitu jujur, maka tidak dapat dipercaya
sepenuhnya."
"Tentang itu, bukankah telah kubicarakan dengan Hui Ceh"
Walau aku tidak begitu jujur dan lurus, namun tetap anak cucu
keluarga Siauw. Aku tidak akan kehilangan hati nuraniku."
"Bagus." Pek Giok Liong tertawa. "Engkau yang mengatakannya
sendiri. Akan tetapi, laut dapat diduga, hati orang siapa tahu.
Tentunya engkau mengerti itu."
"Oh?" Kening Siauw Kiam Meng berkerut-kerut. "Kalau begitu,
engkau masih bercuriga dan tidak mempercayaiku?"
"Kejujuranmu belum terbukti, maka lebih baik aku berhati-hati."
"Adik Liong!" Siauw Kiam Meng menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau terlampau banyak bercuriga!"
312 "Mungkin. Namun itu ada baiknya ".."
"Oh ya!" potong Siauw Kim Meng. "Engkau menghendaki bukti
apa, agar bisa mempercayaiku?"
"Itu sulit dikatakan. Namun ".." Pek Giok Liong menatapnya
tajam. "Asal engkau bersedia memberitahukan padaku siapa
sebenarnya Tu Cu Yen itu, maka aku pun mempercayaimu."
Hati Siauw Kiam Meng tergetar, namun air mukanya sama sekali
tidak berubah. "Tu Cu Yen adalah Tu Cu Yen, tidak mungkin orang lain. Aku "..
tidak mengerti maksudmu."
"Seharusnya dia punya julukan lain."
"Setahuku tidak, kalau engkau tidak percaya, silakan bertanya
pada Hui Ceh!"
"Seandainya Hui Ceh bisa tahu, itu sudah tidak mengherankan
lagi." Pek Giok Liong tertawa.
"Siau Liong!" Mendadak Siauw Kiam Meng tertawa dingin.
"Engkau harus tahu! Kalau aku satu jalur dengan Tu Cu Yen, apakah
aku akan memperbolehkan engkau berada di sini?"
"Betul." Pek Giok Liong tertawa ringan. "Tentang ini, aku pun
bisa menjelaskan."
"Jelaskanlah!"
"Aku ingin bertanya, bagaimana kepandaianmu dibandingkan
dengan kepala pengurus Ho?"
"Hanya kalah setingkat."
"Nah!" Pek Giok Liong tersenyum. "Aku mampu menangkapnya
hanya satu jurus. Maka bagaimana mungkin engkau macam-macam
di hadapanku?"
"Tapi engkau pun harus tahu, bahwa di empat penjuru lantai
bawah, banyak terdapat orang yang berkepandaian tinggi. Asal aku
memberi isyarat, segera akan muncul belasan orang berkepandaian
tinggi ke mari."
"Aku percaya itu. Namun engkau harus berpikir baik-baik, sebab
yang akan celaka duluan adalah dirimu, mungkin engkau akan
segera melayang ke bawah dan tak bernyawa lagi!"
Hati Siauw Kiam Meng tersentak, tapi ia justru tertawa dingin.
"Engkau pun tidak bisa kabur dalam keadaan hidup!"
"Oh, ya?" Pek Giok Liong tertawa hambar. "Engkau harus ingat,
kalau aku tidak yakin mampu pergi dari sini, tentunya aku tidak
berani ke mari seorang diri!"
313 "Jadi ".." Siauw Kiam Meng menatapnya tajam. ?".. engkau
telah mengatur sesuatu?"
Pek Giok Liong tidak menyahut, melainkan cuma tersenyum
dingin. Itu justru membuat hati Siauw Kiam Meng kebat-kebit tidak
karuan. Hening dalam kamar itu, suasana pun tampak mulai
mencekam. "Kakak Kiam Meng!" ujar Siauw Hui Ceh mendadak memecahkan
keheningan. "Walau kakak Liong berkata begitu dan sangat berhatihati,
tapi itu demi kebaikan kita! Sudahlah Kakak Kiam Meng!"
"Adik Hui! Kalau bukan demi kebaikan kita, bagaimana mungkin
aku sedemikian sabar" Lagi pula ".." Mendadak Siauw Kiam Meng
menggeleng-gelengkan kepala dan menarik nafas sambil tersenyum
getir. "Kalau begitu ".." Pek Giok Liong menjura pada Siauw Kiam
Meng. "Aku sangat berterima-kasih atas kelapangan hatimu!"
"Sudahlah!"
"Saudara Kiam Meng!" Pek Giok Liong mengalihkan
pembicaraan. "Bagaimana kalau sekarang kita merundingkan
bagaimana cara menolong Peng Yang" Apakah engkau punya akal?"
"Kalau aku punya akal, sudah kutolong dia," sahut Siauw Kiam
Meng dan menambahkan, "Padahal sesungguhnya, kita tidak perlu
berunding soal itu."
"Maksudmu?"
"Aku akan menemanimu ke penjara bawah tanah itu, adapun
bagaimana cara engkau menolong Peng Yang, itu urusanmu. Sebab
kepandaianmu jauh lebih tinggi dariku, maka aku cuma menurut
saja." "Kalau begitu, aku yang mengatur, dan engkau cuma menurut?"
"Ya." Siauw Kiam Meng mengangguk. "Itu agar engkau tidak
mencurigaiku."
"Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian
mengarah pada Siauw Hui Ceh. "Oh ya, di mana Hiang Bwee?"
Hiang Bwee adalah pelayan kesayangan Siauw Hui Ceh,
hubungan mereka bagaikan kakak beradik.
Begitu Pek Giok Liong bertanya tentang Hiang Bwee, wajah
Siauw Hui Ceh berubah muram. "Sudah empat bulan dia hilang."
"Oh?" Pek Giok Liong tertegun. "Bagaimana hilangnya?"
"Alangkah baiknya kalau aku tahu."
"Lalu siapa yang melayanimu sekarang?"
314 "Pelayan baru, namanya Hoa Giok."
"Hoa Giok" Tu Cu Yen yang mencari untukmu?"
"Ya." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Tapi aku tidak tahu dia
mencari di mana."
"Hoa Giok itu dari mana, aku justru pernah membicarakannya
dengan Tu Cu Yen." Sela Siauw Kiam Meng memberitahukan. "Kalau
tidak salah, dia membeli dengan harga ratusan tael perak."
"Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut, kemudian mengarah
pada Siauw Hui Ceh seraya bertanya, "Dia baik terhadapmu?"
"Cukup baik." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Tapi aku merasa dia
agak misterius."
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Dia bisa silat?"
"Kelihatannya ".. tidak bisa."
"Dia berada di mana sekarang, kok tidak kelihatan?" Pek Giok
Liong mengerutkan kening lagi.
"Dia berada di kamar sebelah." Siauw Hui Ceh memberitahukan.
"Telah kutotok jalan darah tidurnya."
"Saudara Kiam Meng! Mari kita ke kamar sebelah melihat-lihat!"
ajak Pek Giok Liong.
"Mau apa melihatnya?" tanya Siauw Kiam Meng.
"Melihat-lihat saja. Nanti baru dibicarakan!"
"Sudahlah!" Siauw Kiam Meng menggelengkan kepala. "Mana
ada waktu untuk pergi melihatnya" Lebih baik kita mengurusi
pekerjaan yang penting."
"Saudara Kiam Meng, itu termasuk urusan penting." Pek Giok
Liong memberitahukan dengan sungguh-sungguh.
"Siau Liong!" Siauw Kiam Meng menatapnya heran. "Engkau
sungguh sulit dimengerti."
"Oh?" Pek Giok Liong tersenyum.
"Siau Liong, kalau engkau ingin melihatnya, pergilah sendiri! Aku
dan Hui Ceh menunggu di sini."
Pek Giok Liong menggelengkan kepala.
"Aku menginginkan kalian ikut juga."
"Siau Liong!" Siauw Kiam Meng mengerutkan kening. "Kenapa
engkau begitu memaksa orang?"
"Kakak Liong!" Siauw Hui Ceh menyela, "Dia tidak mau pergi ya
sudahlah! Aku akan ikut."
"Kalau begitu, biar aku sendiri di sini," sahut Siauw Kiam Meng.
315 "Saudara Kiam Meng, kalau engkau tidak mau ikut, itu sudah
tiada artinya lagi." kata Pek Giok Liong.
"Oh?" Siauw Kiam Meng tercengang. "Lalu apa artinya aku ikut?"
"Engkau akan mengetahuinya setelah sampai di sana."
"Aku tidak paham akan maksudmu." Siauw Kiam Meng
menggeleng-gelengkan kepala. "Sebetulnya engkau mau apa?"
"Aku ingin membuat suatu kejutan," sahut Pek Giok Liong sambil
tertawa ringan. "Ayolah! Mari kita ke sana, jangan membuang waktu
lagi!" Siauw Hui Ceh merasa ada keanehan, sebab air muka Pek Giok
Liong memang tampak aneh, maka ia pun mendesak Siauw Kiam
Meng untuk ikut.
"Kakak Kiam Meng, ayolah ikut!"
Sesungguhnya Siauw Kiam Meng tidak mau ikut, tapi karena
didesak oleh Siauw Hui Ceh, ia terpaksa mengangguk.
"Baiklah."
Mereka bertiga lalu menuju kamar sebelah.
Hoa Giok berbaring di tempat tidur, sepasang matanya terpejam
dan nafasnya pun begitu tenang, pertanda dia sangat pulas.
Pek Giok Liong mendekatinya, kemudian menjulurkan tangannya
untuk memegang nadi di lengan Hoa Giok.
Berselang sesaat, Pek Giok Liong memandang Siauw Hui Ceh
seraya bertanya.
"Adik Hui, betulkah engkau menotok jalan darah tidurnya?"
"Betul." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Apakah ada sesuatu yang
tidak beres pada dirinya?"
Pek Giok Liong tertawa ringan, lalu mengarah pada Hoa Giok
yang berbaring itu seraya berkata.
"Nona Hoa Giok, tidak usah berpura-pura lagi! Cepatlah bangun
dan mari kita bicara baik-baik!"
Kini Siauw Kiam Meng telah mengerti, sehingga hatinya
tersentak. Justru pada waktu bersamaan mendadak Hoa Giok
membalikkan badannya, sekaligus mencengkeram urat nadi di
lengan kiri Pek Giok Liong.
"Hek Siau Liong!" Hoa Giok tertawa dingin. "Engkau memang
luar biasa, namun kini engkau telah jatuh di tanganku!"
Menyaksikan itu, Siauw Hui Ceh terkejut bukan main dan segera
membentak. "Hoa Giok! Cepat lepaskan dia!"
316 Hoa Giok menggelengkan kepala.
"Nona, maafkan aku tidak menurut perintahmu!" sahutnya.
"Hoa Giok ".." Siauw Hui Ceh ingin memarahinya, namun
mendadak ia mendengar suara Pek Giok Liong mengiang di dalam
telinganya. Ternyata Pek Giok Liong berbicara padanya dengan ilmu
menyampaikan suara.
"Adik Hui, jangan khawatir! Dia tidak bisa melukaiku."
Seketika juga Siauw Hui Ceh merasa lega. Justru pada saat itu
terdengar suara bentakan Siauw Kiam Meng.
"Hoa Giok, kenapa engkau berani membangkang" Nona Hui
begitu baik terhadapmu, tapi engkau begitu berani tidak menurut
perintahnya!"
"Tuan muda Kiam Meng!" sahut Hoa Giok dengan alis terangkat.
"Engkau jangan turut campur urusan ini!"
"Engkau ".." Wajah Siauw Kiam Meng merah padam.
Hoa Giok tidak menimpalinya, sekonyong-konyong ia menotok
jalan darah Pek Giok Liong. Tentunya Pek Giok Liong tidak bisa
mengelak, karena urat nadinya dicengkeram.
Setelah menotok Pek Giok Liong, Hoa Giok pun tertawa puas.
"Hek Siau Liong, engkau bisa apa sekarang?" ujarnya sepatah
demi sepatah. Pek Giok Liong tampak tenang, ia tersenyum hambar sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau telah menotok jalan darahku sehingga aku tidak bisa
bergerak sama sekali, lalu aku masih bisa apa?"
"Hmm!" dengus Hoa Giok dingin.


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau telah menotok jalan darahku, kenapa masih tidak mau
melepaskan cengkeramanmu?"
Jalan darah lumpuh Pek Giok Liong telah tertotok. Walau ia
memiliki kepandaian tinggi, namun bisa berbuat apa"
Oleh karena itu, Hoa Giok pun tersenyum. Ia memandang Pek
Giok Liong sejenak, lalu melepaskan cengkeramannya.
Pada waktu bersamaan, mendadak air muka Hoa Giok berubah
aneh. Siapa pun tidak tahu akan hal itu, hanya Pek Giok Liong yang
tahu. Ia pura-pura batuk, kemudian memandang Hoa Giok dengan
penuh perhatian.
"Nona Hoa Giok, sekarang kita boleh bicara baik-baik kan?"
Hoa Giok tersenyum.
"Engkau ingin bicara apa denganku?"
317 "Bagaimana kalau membicarakan tentang dirimu?"
"Engkau ingin tahu asal-usulku kan?"
"Tidak salah." Pek Giok Liong tertawa. "Nona Hoa Giok sangat
cerdas, aku amat kagum padamu."
"Terimakasih atas pujianmu!"
"Nona Hoa Giok, mengenai asal-usulmu, aku telah menduganya
dalam hati! Namun tepat atau tidak, aku tidak berani
memastikannya."
"Oh?" Hoa Giok tertawa cekikikan. "Coba beberkan dugaanmu
itu, aku datang dari mana!"
"Kalau tidak salah, Nona pasti datang dari Bun Jiu Kiong (Istana
Lemah Lembut)! Ya, kan?"
Air muka Hoa Giok langsung berubah, kemudian tanyanya
dengan nada terkejut.
"Engkau tahu tentang Bun Jiu Kiong itu?" Pek Giok Liong
tersenyum. "Kalau begitu, dugaanku tidak meleset kan?"
Hoa Giok menggertak gigi dan jawabnya dingin.
"Benar! Aku memang datang dari Istana Lemah Lembut!"
"Nona, aku ingin menasihatimu, entah engkau sudi mendengar
atau tidak?" Pek Giok Liong menatapnya.
"Engkau ingin menasihatiku agar meninggalkan istana itu?"
"Benar." Pek Giok Liong mengangguk. "Engkau memiliki
kepandaian yang cukup tinggi, kenapa mau membiarkan dirimu
tetap kotor di sana?"
"Hi hi hi!" Hoa Giok tertawa cekikikan. "Nasihatmu sungguh
menyentuh hati, tapi tidak tepat pada waktunya."
"Maksud Nona?"
"Kalau jalan darahmu itu belum kutotok, mungkin aku akan
mempertimbangkan nasihatmu itu!"
"Oooh!" Pek Giok Liong tersenyum. "Kau kira jalan darahku
sudah tertotok maka aku tidak bisa apa-apa lagi?"
Hoa Giok terkejut. Ia menatap Pek Giok Liong dengan tajam.
"Apakah aku belum dapat mengendalikan jalan darahmu?"
"Tidak salah."
"Aku tidak percaya!"
"Nona tidak percaya?"
"Ya." Hoa Giok mengangguk. "Aku memang tidak percaya!"
318 "Kalau begitu ".." Pek Giok Liong tersenyum. "Aku akan
membuktikannya."
Usai berkata begitu, Pek Giok Liong pun menyentilkan jari
telunjuknya ke arah dinding.
Cess! Dinding itu langsung berlubang.
"Haah?" Wajah Hoa Giok berubah pucat pias. "Engkau "..
engkau bisa membuka jalan darah itu dengan hawa murnimu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Lagi pula aku pernah belajar
semacam ilmu pemindahan jalan darah, maka ketika engkau
menotok jalan darahku itu, totokanmu meleset."
Hoa Giok tertegun, ditatapnya Pek Giok Liong dengan mata
terbelalak lebar, lama sekali barulah membuka mulut.
"Aku tetap tidak percaya!" Tiba-tiba Hoa Giok menotok jalan
darah di dada Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong sama sekali tidak bergerak, dan malah tertawa
ringan seraya berkata, "Nona Hoa Giok, percayakah engkau
sekarang?"
Hoa Giok termangu. Kini ia baru tahu jelas, bahwa Pek Giok
Liong memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kemudian diliriknya
Siauw Kiam Meng, pemuda itu berpura-pura tidak tahu.
"Nona Hoa Giok!" ujar Pek Giok Liong dengan suara rendah.
"Lebih baik engkau kembali ke jalan yang benar, pikirkanlah itu!"
"Engkau ".." Hoa Giok melotot.
Pek Giok Liong tersenyum, lalu mendadak menggerakkan jari
telunjuknya. Seketika juga empat jalan darah penting Hoa Giok telah
tertotok. Begitu cepat membuat Hoa Giok sendiri nyaris tidak
percaya. Tapi buktinya sekujur badannya telah semutan dan
mulutnya pun jadi kaku. Kemudian Pek Giok Liong mengibaskan
tangannya, dan tubuh Hoa Giok pun melayang dan jatuh di tempat
tidur dalam posisi berbaring.
Bukan main! Itu membuat sekujur badan Siauw Kiam Meng
menggigil ketika menyaksikannya.
"Adik Hui!" ujar Pek Giok Liong. "Tolong ambilkan pakaian Hoa
Giok!" "Ya." Siauw Hui Ceh segera mengambil pakaian Hoa Giok yang di
dalam lemari, lalu diberikan pada Pek Giok Liong.
"Terima kasih!" Ucap Pek Giok Liong, lalu cepat-cepat memakai
pakaian itu. Setelah itu ia bertanya pada Siauw Hui Ceh,
"Bagaimana" Cukup mirip kan?"
319 "Hi hi!" Siauw Hui Ceh tertawa geli. "Lumayan!"
"Nah! Adik Hui, cepat ambilkan beberapa buah buku untukku!"
"Kakak Liong!" tanya Siauw Hui Ceh heran. "Buat apa buku-buku
itu?" "Mendapat perintah dari nona, mengantar buku untuk Tuan
Muda Peng Yang." sahut Pek Giok Liong.
"Hi hi!" Siauw Hui Ceh tertawa geli lagi. "Siau Liong!" sela Siauw
Kiam Meng. "Engkau membuatku salut!"
"Apa boleh buat! Harus mengelabui mata para penjaga," ujar
Pek Giok Liong sambil tertawa. "Meskipun aku bersamamu, tetap
tidak akan terlepas dari kecurigaan para penjaga. Maka aku harus
menyamar."
"Oooh!" Siauw Kiam Meng manggut-manggut.
"Adik Hui!" pesan Pek Giok Liong. "Setelah aku pergi bersama
Kiam Meng, engkau harus ke tempat ayahmu, dan tunggu kami di
sana!" "Ya, tapi ".. Kakak Liong harus berhati-hati!"
"Adik Hui boleh berlega hati!" Pek Giok Liong tersenyum.
"Bersama Kiam Meng, tentunya tiada bahaya."
Bagian ke 39: Pembicaraan Rahasia
Ketika Pek Giok Liong dan Siauw Kiam Meng menuju penjara
bawah tanah, pada waktu bersamaan, di bangunan kecil di halaman
belakang ekspedisi Yang Wie, telah terjadi pembicaraan rahasia
antara Kim Tie dan Gin Tie.
"Bukankah engkau telah pulang, kok balik ke mari lagi?" tanya
Kim Tie bernada heran.
"Telah terjadi sesuatu yang di luar dugaan di rumah," jawab Gin
Tie memberitahukan.
"Oh" Apa gerangan yang telah terjadi?"
"Ho cong koan ditangkap orang."
"Apa"!" Kim Tie terkejut. "Ho cong koan ditangkap orang?"
"Ya."
"Siapa orang itu?"
"Dia bernama Seng Sin Khi."
"Apa"!" Kim Tie terkejut bukan main. "Seng Sim Ki (Panji Hati
Suci)?" 320 "Nadanya hampir sama." sahut Gin Tie. "Kata beberapa orang di
rumah, Seng Sin Khi itu mirip Hek Siau Liong."
"Engkau percaya?"
"Percaya tapi juga kurang percaya!"
"Apa alasanmu kurang percaya?"
"Cuma berpisah satu tahun, maka aku kurang percaya Hek Siau
Liong telah memiliki kepandaian yang begitu tinggi."
"Dia mampu menangkap Ho cong koan, itu membuktikan bahwa
kepandaiannya memang tinggi."
"Kalau diceritakan, mungkin tiada seorang pun akan percaya."
"Maksudmu?"
"Dia menyuruh Ho cong koan menyerangnya sepuluh jurus,
bahkan dengan syarat dia tidak akan membalas dan tidak akan
bergeser dari tempat duduknya ".."
"Ho cong koan menyerangnya?"
"Ya." Gin Tie mengangguk. "Namun sampai sebelas jurus, Ho
cong koan sama sekali tidak mampu mendesaknya tergeser dari
tempat duduk."
"Oh?"
"Sebaliknya dia mampu menangkap Ho cong koan cuma dalam
satu jurus." Gin Tie memberitahukan.
"Hah?" Kim Tie terkejut bukan main. "Siapa yang
memberitahukan padamu?"
"Siauw Peng Yang."
Dugaan Pek Giok Liong memang tidak salah, Gin Tie itu tidak lain
adalah Tu Cu Yen. Lalu siapa Kim Tie"
"Siauw Peng Yang menyaksikan dengan mata sendiri?" tanya
Kim Tie yang kelihatan kurang percaya.
"Dia memang menyaksikan dengan mata sendiri," jawab Gin Tie
dan melanjutkan, "Ketika Seng Sin Khi mau membawa Ho cong koan
pergi, Siauw Peng Yang ingin mencegahnya, namun kepandaiannya
jauh di bawah orang itu, maka sebaliknya malah dia yang tertotok
jalan darahnya ".."
"Tunggu!" potong Kim Tie mendadak.
"Ada apa?" tanya Gin Tie.
"Ucapanmu itu kurang beres."
"Kurang beres?"
"Ya. Aku ingin bertanya, bagaimana kekuatan pukulan Siauw
Peng Yang?"
321 "Dapat menghancurkan batu."
"Siauw Peng Yang mencegah orang itu dengan apa?"
"Pukulan."
"Nah! Kalau begitu, kok orang itu tidak apa-apa" Bagaimana
mungkin tubuhnya lebih keras dari batu?"
"Maksudmu ".. pukulan itu tidak mengandung lwee kang "..?"
"Ya. Tapi kalau pukulan itu mengandung lwee kang, kecuali
orang itu ".." Kim Tie tidak melanjutkan ucapannya, melainkan
berpikir keras, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Hanya ada
satu kemungkinan."
"Kemungkinan apa?"
"Berapa usia orang itu?" tanya Kim Tie mendadak.
"Sekitar enam belas."
"Ngmm!" Kim Tie manggut-manggut. "Tahukah engkau ilmu apa
yang membuat tubuh tidak mempan segala pukulan?"
"Menurut ayah angkat, itu semacam lwee kang pelindung
badan," jawab Gin Tie.
"Untuk mencapai tingkat itu, harus berlatih berapa lama?"
"Itu ".. lama sekali!"
"Nah! Dalam bu lim siapa yang berhasil mencapai tenaga dalam
pelindung tubuh?"
"Menurut ayah angkat, hanya majikan Ciok Lau San Cung yang
telah mati itu, namun dia cuma mencapai tingkat kelima. Dalam bu
lim masa kini, tiada orang kedua yang mencapai tingkat."
"Sekarang engkau sudah mengerti, kenapa aku barusan
mengatakan hanya ada satu kemungkinan?"
"Aku sudah mengerti."
"Oh ya. Kenapa dia seorang diri ke sana" Engkau tahu apa
maksud tujuannya?" tanya Kim Tie mendadak.
"Aku sudah menyelidiki persoalan itu. Seng Sin Khi mengatakan
bahwa keluarga Siauw mempunyai hutang padanya," jawab Gin Tie.
"Mungkinkah Siauw cung cu punya hutang padanya?"
"Yang ditagihnya justru bukan harta benda."
"Oh?" Kim Tie tertegun. "Apakah hutang nyawa?"
Gin Tie mengangguk.
"Dia memang menagih hutang nyawa. Katanya, Siauw cung cu
berhutang tujuh nyawa padanya."
"Apa"! Siauw cung cu berhutang tujuh nyawa padanya?" Kim Tie
tampak terkejut, namun kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
322 "Itu ".. itu tidak mungkin. Sebab Siauw cung cu tidak pernah
membunuh orang."
Tu Cu Yen atau Gin Tie diam saja. Ia terus mendengar dengan
penuh perhatian. Sedangkan Kim Tie telah melanjutkan.
"Sejak kecil engkau ikut Siauw cung cu, bahkan kemudian
diangkat anak. Pernahkah selama itu engkau mendengar, bahwa dia
punya musuh?" lanjut Kim Tie.
"Tidak pernah."
"Kalau Siauw cung cu berhutang nyawa padanya, seharusnya dia
cari majikan Siauw. Tapi kenapa menangkap Ho cong koan" Lagi
pula sama sekali tidak melukai siapa pun?"
"Semula aku pun merasa heran tentang itu, setelah kutanya
secara teliti, barulah kutahu sebab musababnya."
"Apa sebab musabab?"
"Sebab Ho cong koan menyerangnya dengan jurus Chui Sim
Ciang (Pukulan penghancur hati)."
"Karena Chui Sim Ciang itu, maka dia menangkap Ho cong
koan?" "Ya." Tu Cu Yen mengangguk. "Karena orang itu pun mahir jurus
tersebut, bahkan kehebatan pukulannya jauh di atas pukulan Ho
cong koan."
"Kalau begitu, dia pasti seperguruan dengan Ho cong koan,"
"Tidak." Tu Cu Yen menggelengkan kepala. "Nada ucapannya
kedengaran tidak mungkin seperguruan dengan Ho cong koan."
"Bagaimana nada ucapannya?"
"Ketika mau pergi, dia bilang harus membawa Ho cong koan
untuk diserahkan pada temannya."
"Oh" Dia tidak bilang siapa temannya itu?"
"Tidak." Lanjut Tu Cu Yen. "Tapi aku telah menduga, siapa
temannya itu."
"Siapa temannya itu?"
"Mungkin Liok Tay Coan."
"Kenapa engkau menduga Liok Tay Coan?"
"Aku dengar, ketika Ho cong koan mengerahkan jurus Chui Sim
Ciang itu, dia pun bertanya pada Ho cong koan, ada hubungan apa
dengan Liok Tay Coan?" Tu Cu Yen memberitahukan. "Maka kuduga,
temannya itu pasti Liok Tay Coan."
"Tapi ".. bagaimana jawab Ho cong koan?"
"Tidak mengaku kenal dengan Liok Tay Coan."
323

Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak Gin Tie menarik nafas panjang, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata, "Ho cong koan itu
sungguh bodoh. Pengakuannya justru membuktikan bahwa dia kenal
dengan Liok Tay Coan." Kim Tie menarik nafas lagi, "Kalau
diserahkan pada Liok Tay Coan, Ho cong koan pasti mati." lanjutnya.
"Apakah Liok Tay Coan guru Ho cong koan?"
"Ya." Kim Tie mengangguk dan memberitahukan. "Ketika Liok
Tay Coan berkecimpung di bu lim, dia selalu bergerak seorang diri.
Tidak mau bergaul dengan siapa pun, lagi pula dia pun amat sadis.
Kemudian dia menerima Ho cong koan sebagai murid."
"Kalau begitu ".."
"Dua puluh tahun lalu, mendadak Liok Tay Coan menghilang dari
bu lim. Ho cong koan pun tidak tahu jejak gurunya itu. Justru
sungguh di luar dugaan, ternyata Liok Tay Coan masih hidup. Nah,
kalau Ho cong koan berada di tangannya, bukankah akan mati?"
"Lain pula dengan pendapatku, Ho cong koan ".." Tu Cu Yen
tidak melanjutkan ucapannya melainkan menatap Kim Tie.
"Menurutmu, Ho cong koan tidak akan mati?"
"Aku memang berpendapat begitu."
"Apa alasanmu mengatakan begitu?" tanya Kim Tie sambil
tertawa. "Meskipun cong koan orang kita, namun dia tidak banyak
berbuat dosa, maka Liok Tay Coan tidak akan sembarangan
membunuhnya, dia pasti menyelidiki dulu, lagi pula mereka itu guru
dan murid."
"Ngmm!" Kim Tie manggut-manggut sambil tersenyum. "Cukup
masuk akal, tapi engkau telah melupakan satu hal."
"Hal apa?"
"Hal yang amat kecil, tapi bagi Liok Tay Coan merupakan hal
yang amat besar." ujar Kim Tie dan melanjutkan, "Seharusnya dia
jangan mengaku tidak kenal Liok Tay Coan. Cobalah engkau pikir!
Seorang murid yang tidak mau mengaku gurunya, bukankah
termasuk murid murtad" Lagi pula Liok Tay Coan berhati sadis dan
tak kenal ampun. Nah, bagaimana mungkin dia akan mengampuni
murid yang tidak mengakunya guru" Oleh karena itu, kalau Ho cong
koan jatuh di tangannya, apakah masih ada harapan untuk hidup?"
"Sungguh teliti engkau!" Tu Cu Yen tertawa. "Aku masih tidak
begitu teliti."
324 "Sudahlah!" Kim Tie tertawa gelak. "Jangan memuji diriku.
Padahal engkau lebih pintar dariku, hanya saja engkau tidak mau
berpikir."
"Yang jelas engkau jauh lebih pintar dariku!" Tu Cu Yen masih
tertawa. "Berdasarkan itu ".." ujar Kim Tie melanjutkan, "Kemungkinan
besar pemuda baju hitam itu murid baru Liok Tay Coan, jadi dia
bukan Hek Siau Liong."
"Hek Siau Liong atau bukan, belum bisa dipastikan. Tapi
menurutku, dia bukan murid Liok Tay Coan."
"Oh?" Kim Tie tertegun. "Mengapa" Bukankah dia juga mahir
jurus Pukulan Penghancur Hati" Lalu kenapa dia bukan murid Lick
Tay Coan?"
"Karena dia juga memiliki ilmu-ilmu rahasia partai lain."
"Oh, ya?" Kim Tie tercengang. "Ilmu apa lagi yang dimilikinya?"
"Siau Lim Kim Kong Ci dan Bu Tong Liu Sing Hui Jiau."
"Apa?"
"Kim Kong Ci dan Liu Sing Hui Jiau merupakan ilmu tunggal Siau
Lim dan Bu Tong. Kecuali ketua partai dan tetua, para murid sama
sekali tidak belajar ilmu-ilmu itu."
"Siapa yang bilang dia memiliki kedua ilmu itu?"
"Siauw Peng Yang."
"Oh?" Kim Tie heran. "Kok dia tahu?"
"Ketika Ho cong koan mengeluarkan jurus Pukulan penghancur
hati, pemuda berbaju hitam itu menangkis dengan jurus Jari Sakti
Arhat. Ho cong koan segera bertanya padanya murid Siau Lim atau
bukan, pemuda berbaju hitam tidak mengaku, bahkan kemudian
memperlihatkan jurus Cakar Terbang, setelah itu mengeluarkan
jurus Pukulan Penghancur Hati. Itu untuk membuktikannya bukan
murid Siau Lim maupun Bu Tong Pay."
"Kalau begitu ".." gumam Kim Tie. "Murid siapakah dia
sebetulnya?"
"Karena pemuda baju hitam itu memiliki kepandaian yang begitu
tinggi, lagi pula belum tahu asal-usul dan perguruannya, maka aku
kembali ke mari untuk melaporkan itu, agar engkau bisa segera
memberi kabar pada Taytie."
"Tentang ini, kita rundingkan nanti saja." ujar Kim Tie dan
kemudian bertanya. "Bagaimana Siauw Peng Yang" Engkau apakan
dia?" 325 "Bagaimana menurutmu?" Tu Cu Yen balik bertanya sambil
tertawa ringan.
"Masih harus dibilang?" Kim Tie tertawa. "Dari dulu engkau
memang sudah ingin melenyapkannya, hanya saja tiada alasan dan
kesempatan. Kini Ho cong koan ditangkap dan cuma dia seorang diri
di tempat, maka aku yakin engkau akan memanfaatkan kesempatan
itu, kan?"
"Ha ha ha!" Tu Cu Yen tertawa gelak. "Engkau memang
memahami diriku."
"Engkau apakan dia sekarang?" tanya Kim Tie mendadak dengan
nada suara agak berubah.
Pertanyaan itu membuat Tu Cu Yen tertegun. Ia menatap Kim
Tie seraya bertanya.
"Apakah engkau tidak setuju aku memanfaatkan kesempatan itu
untuk melenyapkannya?"
"Engkau sudah melenyapkannya?"
"Belum."
"Kalau begitu, engkau pasti mengurungnya di penjara bawah
tanah kan?"
"Ya." Tu Cu Yen mengangguk. "Aku menahannya di ruang
istirahat."
Kim Tie menggelengkan-gelengkan kepala. "Urusan kau
kacaukan lagi!" gumamnya.
"Apa" Maksudmu?" Tu Cu Yen terkejut. Karena Kim Tie
mengatakannya begitu, tentunya membuat Tu Cu Yen terkejut dan
tidak mengerti.
"Kalau dugaanku tidak meleset, pemuda berbaju hitam itu Hek
Siau Liong. Kalaupun bukan, dia pasti punya hubungan erat dengan
cung cu Siauw Thian Lin. Seandainya engkau tidak menahan Siauw
Peng Yang, cepat atau lambat pemuda berbaju hitam itu pasti akan
menemui Siauw Peng Yang. Nah, bukankah cukup menyuruh
seseorang untuk mengawasinya, dan sekaligus menyelidiki pemuda
berbaju hitam itu" Engkau menahan Siauw Peng Yang, bukankah
urusan malah jadi kacau?"
Tu Cu Yen tersenyum.
"Apa yang kau katakan memang benar. Justru itu, aku pun
sudah mengatur sesuatu."
"Engkau sudah mengatur apa?"
Jodoh Rajawali 30 Anak Berandalan Karya Khu Lung Rahasia Mo-kau Kaucu 1

Cari Blog Ini