Ceritasilat Novel Online

Panji Wulung 10

Panji Wulung Karya Opa Bagian 10


tidak mampu mendekati mereka.
Setengah jam telah berlalu.
Dengan tiba-tiba, di medan pertempuran itu terdengar
suara beradunya pedang yang amat nyaring, setelah itu,
tampak berkelebatnya sinar pedang melesat tinggi, langsung
menuju ke atas tebing yang setinggi lima tombak.
Pedang yang lain tampak tidak bergerak, dan berdiri di
tempatnya. Lima imam yang menyaksikan pertempuran tadi, kini
pada pasang mata untuk mengawasi apa yang terjadi,
ternyata orang yang berdiri tidak bergerak itu adalah Touw
Liong, sedangkan sinar pedang yang melesat tinggi tadi kini
sudah menghilang tak tampak lagi bayangannya.
Touw Liong berkata kepada lima imam baju hijau sambil
menunjuk ke tanah:
"It-tiem telah terpapas tiga jari tangannya oleh
pedangku. Sekarang karena aku masih ada urusan lain
yang lebih penting, biarlah ia hidup lagi beberapa hari.
Tuan mudamu yang masih mengingat dirinya dengan susah
payah mendapatkan kepandaiannya, maka tidak suka
bertindak keterlaluan. Sekarang kuberikan kalian satu jalan
hidup, asal kalian mau dengar dan bertindak menurut
ucapanku, setelah urusan ini selesai, kuakan melepaskan
kalian turun gunung."
Lima imam itu mengawasi tempat yang ditunjuk oleh
Touw Liong, benar saja di tempat itu terdapat banyak tanda
darah dan tiga kutungan jari tangan.
Touw Liong dengan gerakannya yang luar biasa, waktu
sekejap kalau ia mau, dengan mudah membinasakan lima
imam yang menjadi anak murid It-tiem itu. Hal ini juga
diketahui oleh lima imam berbaju hijau itu, maka mereka
benar-benar sudah merasa gentar, dan ketika mendengar
Touw Liong berkata demikian, satu persatu lantas pada
menundukkan kepala tak berani mengeluarkan suara.
Touw Liong yang melihat lima imam itu sudah
ditundukkan olehnya, Lalu mengibaskan pedangnya, dan
mengeluarkan perintah, ia menunjuk kepada dua imam
yang berada di kiri yang sudah terkutung masing-masing
sebelah lengan tangannya, dan berkata:
"Kalian lekas masuk ke dalam goa Cong-cin-tong, minta
kepada Hian-hian Locianpwee supaya keluar, dan bantu ia
ke kuil Sam-ceng-tian."
Kemudian ia berkata pula sambil menunjuk seorang
imam sebelah kanan yang kehilangan sepotong kakinya:
"Kuperintahkan kau seperti melepaskan Cang-tien
Ciangbunjin yang ditawan bersama-sama dengan kawankawannya,
juga bawa mereka ke kuil Sam-ceng-tian."
Lima orang itu saling berpandangan sejenak, lantas
mengundurkan diri dan berlutut di depan Touw Liong.
Katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya:
"Harap Touw tayhiap suka berlaku murah hati, supaya
mintakan ampun dosa kita di depan Ceng-tiem Susiok."
"Menurut aturan, kalian semua sudah dihitung orangorang
yang berkhianat kepada partaynya sendiri. Dosa itu
sebetulnya terlalu besar. Tetapi aku tadi mengeluarkan
kata-kata, asal kalian berbuat menurut apa yang kuperintah,
aku akan jamin kalian keluar dari sini dalam keadaan
hidup." Lima imam itu mengucapkan terima kasih, tiga
diantaranya lantas bangkit dan pergi untuk melaksanakan
tugas yang diberikan oleh Touw Liong.
Sementara itu Touw Liong dengan membawa dua imam
yang lain, pergi membersihkan dan menangkap kawankawan
It-tim yang dibawa ke gunung Bu-tong. Semua itu
dibawa ke kuil Sam-ceng-tian dan dihadapkan sebagai
pesakitan. Di dalam kuil, sinar lilin yang terang-benderang bagaikan
tengah hari, di bagian atas duduk Hian-hian Totiang, di
bagian bawah duduk Ceng-tin Totiang, di bagian lain
berdiri beberapa imam yang tubuhnya kurus kering,
sedangkan Touw Liong membawa dua puluh empat orang
komplotan It-tim berjalan masuk ke dalam kuil.
Ceng-tim Totiang buru-buru bangkit dari tempat
duduknya dan menyongsong kedatangannya. Dua orang
itu saling memberi hormat sebentar, Touw Liong lalu
menghampiri Hian-hian Totiang untuk mengucapkan
selamat, Hian-hian Totiang menyambutnya sambil tertawa.
Dua puluh empat imam komplotan It-tim, semua berlutut
di depan pendopo, dua imam yang kakinya cacad yang ikut
kepapa Touw Liong menatap kawanan It-tim, berdiri di lain
sudut, begitu Touw Liong tiba, lalu bersama-sama tiga
imam yang ditugaskan semua berlutut di tanah.
Touw Liong menyapu lima orang itu sejenak lalu berkata
di telinga Ceng-tim Totiang. Ceng-tim menganggukanggukkan
kepalanya, dan berkata kepada Hian-hian
Totiang beberapa patah kata, Hian-hian Totiang dengan
sinar mata gemas menyapu lima orang yang berlutut di
tanah, kemudian matanya ditujukan kepada Touw Liong,
katanya sambil memaksa tertawa:
"Dengan memandang muka Touw tayhiap, begitu saja
kita bertindak."
Di bawah pendopo waktu itu suasana sunyi senyap,
Touw Liong duduk di sisi Hian-hian Totiang, saat itu Cengtim
Totiang perlahan-lahan bangkit dari tempat duduknya
dan berkata: "Hian-thian, Hian-tee, Hian-hay, Hian-hong dan Hianseng,
kamu berlima telah mengikuti suhumu mengkhianati
perguruanmu sendiri, dosa-dosamu seharusnya dihukum
mati, karena mengingat kamu semua masih bisa menyesal
dan berjasa untuk menindas kerusuhan, maka jasamu itu
boleh kalian gunakan untuk menebus dosa, sekarang kalian
akan dihukum dikeluarkan dari perguruan, selama-lamanya
tidak boleh mendaki gunung Bu-tong lagi."
Lima imam itu mengucapkan terima kasih atas
keputusan Ceng-tim, setelah itu mereka berlima turun
gunung. Ceng-tim lantas mengeluarkan perintahnya yang kedua:
"Semua orang komplotan It-tim yang turut memberontak
terhadap Bu-tong, harus dimusnahkan kepandaian ilmu
silatnya, setelah itu harus diusir keluar dari partay Bu-tong."
Saat itu lalu maju keluar delapan imam berjubah hijau,
untuk membawa pergi dua puluh empat orang yang
menjadi komplotan It-tim. Selanjutnya Ceng-tim
mengeluarkan perintahnya yang ketiga dan keempat ....
Dengan demikian, maka tata tertib di Bu-tong-san pulih
kembali. Pada saat itu, di pertengahan pendopo Sam-ceng-tian
diadakan perjamuan bagi kaum imam. Hian-hian Totiang,
Touw Liong dan Ceng-tim bertiga duduk di satu meja, di
tengah-tengah perjamuan Touw Liong mengeluarkan
sebuah kitab kuno, dengan kedua tangannya ia
menyerahkan kepada Hian-hian Totiang seraya berkata:
"Barang pusaka sangat berharga seperti ini, boanpwee
tak berani menerimanya, kini totiang sudah bebas kembali,
tak disangka-sangka keadaan telah berubah demikian cepat,
maka boanpwee yang menyimpan kitab ini juga merasa
tidak enak. Oleh karenanya, boanpwee akan serahkan
kepada locianpwee."
Hian-hian Totiang menjawab sambil menggoyanggoyangkan
tangannya: "Kitab ini adalah kitab rahasia dan simpanan golongan
kami, disimpan di dalam goa tiada orang yang mengerti
atau memahami. Setelah pinto ketemukan, meskipun kitab
ini merupakan kitab ajaib, sayang, orang-orang golongan
kami tiada orang yang dapat mempelajarinya, hanya
seorang yang memiliki bakat baik dan mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang sudah sempurna seperti tayhiap ini,
barulah bisa mempelajari. Lagipula, buku ini yang sudah
keluar dari tempat simpanannya, boleh dikata sudah
menemukan orangnya yang tepat. Apabila kita letakkan
dan disimpan saja di dalam almari, mudah dibuat rebutan
oleh orang lain. Sekarang begini saja, untuk sementara
pinto pinjamkan kepada taihiap, jika ada waktu boleh baca
dan pelajari pelahan-lahan. Satu tahun kemudian, barulah
taihiap kembalikan kepada kami."
Touw Liong tak dapat menolak lagi, maka terpaksa
menerimanya. Selanjutnya ia minta diri kepada Hiang-hiang Totiang
dan Ceng-tiem meninggalkan Bu-tong-san. Ia
mengkhawatirkan keselamatan sumoynya Kim Yan, maka
setelah meninggalkan Bu-tong, pada malam itu juga ia pergi
melakukan perjalanannya ke gunung Tiam-cong-san.
Namun ia tak tahu persis, apakah sumoynya itu benar pergi
ke gunung Tiam-cong-san" Sebab, Panji Wulung Wanita
itu yang sudah sembuh kembali luka-lukanya, kalau benar
ia yang membawa pergi Kim Yan, maka ia tak perlu untuk
kembali lagi ke gunung Tiam-cong. Hanya sedikit
kemungkinan ia balik ke Tiam-cong dulu baru melanjutkan
perjalanannya lebih jauh.
Kemanakah sebetulnya ia pergi"
Dalam hal ini It-tim pasti tahu dimana ia berada, asal
bisa menemukan It-tiem, tentu bisa mencari keterangan di
mana tempat Panji Wulung. Akan tetapi kemana pula Ittim
pergi" Apakah ia juga pergi ke gunung Tiam-cong"
Touw Liong hanya dapat menduga-duga saja, ia mau
menduga It-tim menuju ke Tiam-cong, maka dengan
mengikuti arah lari It-tim ia pergi mengejar.
Hari kedua waktu tengah hari, ia sudah tiba di sungai
Pek-hong. Sungai Pek-hong itu membentang di sebuah desa kecil,
waktu Touw Liong singgah di desa itu, ia mampir dulu ke
sebuah rumah makan, lalu minta keterangan kepada kasir
rumah makan itu, ia menggambarkan bagaimana bentuk
dan dandanan It-tim. Tanya,
"Apakah hari ini kau pernah melihat ada seorang imam
yang dandanannya demikian rupa?"
Kasir rumah makan berpikir dulu sejenak, baru
menjawab sambil menggelengkan kepala,
"Tidak ada imam yang mengenakan dandanan
demikian."
Touw Liong masih belum putus asa, otaknya bekerja
lagi, dan bertanya pula,
"Tidak peduli ia imam atau padri, orang itu usianya kirakira
enam puluh tahun, jari tangan kirinya putus tiga buah!"
"Kurang tiga buah jari tangannya"!" tanya kasir rumah
makan kaget. Lalu terbenam dalam pikirannya sendiri.
Lama sekali, kembali ia menggelengkan kepalanya, dan
berkata, "Orang itu usianya cocok, wajahnya juga cocok, hanya
tangan kirinya dibungkus dengan kain hijau .... ah tidak!
Orang itu adalah seorang guru sekolahan, tak mungkin
seorang imam!"
Touw Liong mendengar itu, rupanya ngelantur terlalu
jauh, maka buru-buru berkata,
"Benar! Orang yang kucari justru dia! Kapan ia berjalan
di sini" Dan kemudian menuju ke mana?"
Kasir rumah makan itu menunjuk jalan timur, katanya,
"Satu jam berselang, sama dengan kau, ia datang dari
pintu kota timur, di rumah makan kita ini mengaso dan
makan sebentar, kemudian berjalan lagi menuju ke barat!"
"Kalau ke pintu barat itu menuju kemana?"
"Bisa menuju ke Bukit She-hong-san lalu masuk ke
Kiam-kok, atau ke gunung Ceng-shia."
"Kalau ke pintu selatan?"
"Ke gunung Bu-san, kemudian dengan menyusuri
sungai, ke barat masuk ke Pa-ciu, dan terus menuju ke
gunung Ngo-bi."
Touw Liong lalu membayar uang makannya, setelah
memberi hormat lantas keluar dari rumah makan, ia
berjalan sambil berpikir,
"Jikalau It-tiem keluar dari pintu barat, mungkin ia akan
menuju ke Ceng-shia. Apabila ia ke pintu selatan,
kemungkinan besar ia ke gunung Ngo-bi, atau ke barat pergi
ke gunung Tiam-cong!"
Touw Liong berpikir sejenak, ia anggap kemungkinan
besar It-tiem melakukan perjalanan ke selatan, maka ia juga
mengambil jalan yang menuju ke selatan.
Dengan beruntun beberapa hari, ia tidak menemukan
jejak It-tiem, sampai di situ ia baru merasa menyesal, tidak
seharusnya ia berlagak pintar, hingga meninggalkan
tujuannya ke barat mengambil jalan ke selatan.
Apabila pada saat itu ia harus berjalan kembali, ini
berarti terlalu membuang banyak waktu.
Hari itu ia tiba di daerah Gunung Bu-san. Di tempat itu
ia teringat kepada Anak Sakti dari Gunung Bu-san, dan
Sepasang Burung Hong yang pernah bertempur dengan
Kakek Seribu Muka di Gunung Pak-bong. Sejak
pertemuannya terakhir di Gunung Pak-bong itu, selama
setengah tahun lebih tak pernah mendengar kabar berita
mereka. Akhirnya ia telah mengambil keputusan hendak
berkunjung ke Gunung Bu-san.
Touw Liong yang ingin cepat sampai, hari ini juga senja
hari, ia tiba di puncak Cut-in. Dari situ memandang jauh
ke puncak Sin-li-hong tempat kediaman Anak Sakti
Gunung Bu-san, karena masih sejauh kira-kira dua tiga
ratus pal, tidak ingin malam-malam berkunjung ke puncak
gunung Sin-li-hong, ia mencari ke sebuah kuil, minta
menginap satu malam. Malam itu ia berdiamlah di kuil
tersebut. Malam itu malam terang bulan, Touw Liong sehabis
makan, ia berjalan keluar untuk menikmati pemandangan
di waktu malam.
Dengan memandang awan-awan putih yang mengitari
puncak gunung, dan mendengar angin yang meniup pohon
cemara masih ada lagi pemandangan gunung di tempat jauh
dan pohon-pohon di sekitarnya, perasaannya merasa tenang
dan tenteram. Ia memikirkan dirinya sendiri yang waktu
itu sudah termasuk salah seorang terkuat dalam rimba


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan, namun kalau dipikir kepandaiannya sendiri
masih selisih jauh sekali kalau dibanding dengan
kepandaian Panji Wulung, ia diam-diam sedang berpikir,
sampai dimana hebatnya ilmu Hek-kong-im-kang yang
dipelajari oleh Panji Wulung itu"
Dengan tiba-tiba ia teringat bahwa dalam sakunya masih
membekal beberapa jilid kepandaian ilmu yang jarang
terdapat di dalam dunia persilatan, salah satu di antaranya
ialah Thay-it Sin-kang yang ia sendiri sudah berhasil
mempelajarinya, Tay-lo-kim-kong dan Tay-lo Kim-kongciang
yang sudah berhasil dipelajarinya, hanya Tay-lo Kimkongsinkang yang masih belum sempurna betul-betul.
Kalau menghendaki berhasil seluruhnya bukanlah dalam
waktu singkat dapat menyelesaikannya. Touw Liong
menarik nafas panjang, dengan langkah lambat-lambat
menuju pulang ke kuil. Sambil berjalan, pikirannya terus
bekerja: Apabila aku bisa mempelajari Tay-lo Kim-kong
Sin-kang sehingga betul-betul sempurna lalu mempelajari
pula ilmu meringankan tubuh Hui-eng Pat-sek, dan setelah
itu dengan tangan kiri gunakan Thay-it Sin-kang dan tangan
kanan ilmu Tay-lo Kim-kong Sin-kang. Dan kaki ia
menggunakan ilmu Hui-eng Pat-sek, dengan demikian aku
merupakan salah seorang yang mungkin tidak ada yang
menandingi dalam dunia ini.
Ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata kepada
dirinya sendiri:
"Sayang, ilmu meringankan tubuh Hui-eng Pat-sek itu
adalah ilmu yang dimiliki oleh saudaraku Kang Kie,
sedangkan ilmu Tay-lo Kim-kong Sin-kang, juga bukan
suatu ilmu yang dapat dipelajari dalam waktu satu hari satu
malam bisa berhasil. Apalagi di dalam waktu yang
bersamaan kalau ingin mempelajari dua macam kepandaian
ilmu, itu adalah suatu hal yang tidak mungkin!"
Dari dalam sakunya ia mengeluarkan kitab Tay-lo.
Ketika ia membuka lembaran bagian ilmu Sin-kang,
kemudian dibacanya dengan sangat teliti sekali.
Semakin membaca, semakin bernafsu, setelah membaca
beberapa lembar, ia sesalkan kepada dirinya sendiri.
Mengapa aku begini tak berguna, aku sudah mempunyai
dasar dari ilmu sin-kang "membuka langit", juga sudah
mempelajari ilmu Thay-it Sin-kang hanya selisih sedikit
saja, bagaimana aku tak dapat mempelajari seluruhnya"
Memang benar, ilmu Tay-lo Kim-kong sin-kang itu
bukanlah ilmu biasa, apabila sudah berhasil mempelajari
sepenuhnya, orang bisa mencapai ke taraf menggunakan
hawa pernafasan dan jari tangan untuk menghadapi
lawannya. Karena masih belum menemukan kunci pelajaran itu,
Touw Liong merasa agak kecewa, ia menghela nafas.
Selagi masih menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan
tiba-tiba ia teringat kepada kitab yang diberikan oleh Hianhian
Totiang dalam goa Cong-cing-tong.
Ucapan imam tua itu kini menggerakkan pikirannya,
kitab yang tipis itu mulai dikeluarkan dari sakunya, dan
dibacanya dari awal sampai akhir. Sambil membaca,
wajahnya menunjukkan rasa kegirangan, seolah-olah
menemukan harta karun.
Bab 39 Kitab itu hanya merupakan kitab yang terdiri beberapa
lembar saja, tidak ada namanya, juga tak ada
penjelasannya, seolah-olah merupakan sobekan dari
lembaran-lembaran kitab yang lain, boleh dikata tidak
merupakan sejilid kitab yang utuh.
Ketika Touw Liong membuka lembaran pertama, dalam
lembaran itu sudah terdapat tulisan yang berbunyi
demikian: "Hawa dalam manusia hidup, hawa yang disebut
Yang timbul di waktu pagi hari; dan yang disebut Im timbul
di waktu tengah hari ...."
JILID 15 Dengan tiba-tiba dalam otaknya timbul suatu pikiran,
dalam hatinya menduga bahwa pelajaran pertama itu
adalah pelajaran penting bagi golongan imam yang hendak
mempelajari hawa tenaga dalam manusia. Ia membaca
kelanjutannya, di situ tertulis kata-kata,
Di waktu siang hari ada di kiri, di waktu malam ada di
kanan, pada jam-jam perlintasan, dua lubang terbuka
semua, apabila dalam waktu bersamaan berlatih dua jenis
ilmu tertinggi, bisa mendapat hasil berlipat ganda ...."
Membaca sampai di situ, Touw Liong menutup
kitabnya, menundukkan kepala sambil menggumam
sendiri, "Dua lubang terbuka semua .... berlatih dua jenis
ilmu tertinggi ..."
Ilmu yang oleh golongan imam disebut ilmu tertinggi
yang dimaksudkan ialah ilmu batin yang sudah ada sedikit
dasar dan dilatih lagi menjadi ilmu tertinggi. Touw Liong
seorang yang memiliki otak cerdas, beberapa kali ia
mencobanya, lantas sadar, ia lompat bangun dan berkata
sendiri, "Liang-gie Sim-hwat!"
Ia membuka lagi kitab tipis itu dan dibacanya seterusnya,
apa yang tertulis dalam kitab itu semua merupakan
petunjuk-petunjuk bagaimana untuk melatih ilmu
pernafasan yang tertinggi. Sekaligus ia membaca habis
kitab tipis itu, kemudian dari awal hingga akhir, diingatingatnya
dan dipelajarinya satu persatu.
Pada akhirnya ia telah dapat memahami isi kitab itu, di
situ ia menarik suatu kesimpulan. Hawa dalam manusia
terbagi menjadi hawa Im dan Yang. Dengan menurut
perhitungan dua belas jam dalam waktu sehari, dalam
tubuh manusia mengeluarkan hawa im dan yang, yang
dimaksudkan dua lubang itu adalah dua lubang hidung
yang mengatur jalannya pernafasan hingga menuju ke paruparu,
hawa manusia di waktu tengah hari terkumpul di
bagian paru-paru kiri, hawa pernafasan itu mengalir melalui
lubang hidung, dan waktu malam berada di sebelah kanan,
hanya pada waktu tengah malam sehingga pagi hari hawa
itu melalui paru-paru dan menghembus keluar dari lubang
hidung, itulah yang dinamakan lubang terbuka semua.
Dalam pelajaran itu di sin terdapat suatu keistimewaan,
apabila orang yang melatih ilmu tertinggi itu, setiap hari
memilih waktu yang tertentu untuk memulai latihannya,
dengan menuruti petunjuk-petunjuk dari dalam kitab itu,
maka hawa yang mengalir dari Im danYang bisa mengalir
terus tak henti-hentinya. Kemudian bisa mencapai ke taraf
dua lubang terbuka semua, sehingga ia menghentikan
latihannya, barulah pulih asalnya hawa Yang yang berada
di kiri dan Im berada di kanan.
Touw Liong setelah memahami aturan itu, lalu
memejamkan matanya, menghapalkan kembali pelajaranpelajarannya
Tay-lo Kim-kang Sim-kang dan Thay-it Sinkang.
Setelah itu ia mempelajari pula pelajaran-pelajaran
yang ada di kitab tipis itu, tiga macam pelajaran itu
dihapalkannya dengan matang, waktu itu sudah hampir
tengah malam, ia lalu memadamkan pelitanya, duduk di
atas pembaringan dan memulai pelajarannya yang lama dan
yang baru. Menurut petunjuk dalam kitab tipis itu ia mengerahkan
dahulu ilmu Thay-it Sin-kang, kemudian melanjutkan
pelajarannya Tay-lo Sin-kang. Dengan meminjam
kekuatan dari dua macam ilmu itu mengadakan perubahan,
dalam waktu sekejap mata, dua lubang hidung Touw Liong
samar-samar mengepul kabut putih. Sebentar disedot,
sebentar keluar, seolah-olah menurut peraturan yang
tertentu. Ini merupakan suatu tanda bahwa apa yang ditulis
oleh kitab tadi yang dinamakan dua lubang terbuka semua
sudah merupakan suatu kenyataan dalam diri Touw Liong!
Pemandangan ajaib seperti itu, sayang Touw Liong yang
waktu itu dalam keadaan seperti melupakan diri sendiri,
sudah tidak bisa menyadari. Jikalau tidak, entah betapa
girangnya waktu itu.
Tanpa dirasa sudah menjelang pagi hari ketika Touw
Liong membuka matanya, buru-buru membuka pintu
kamar dan keluar dari kuil untuk menyongsong datangnya
pagi sambil melakukan pernafasannya. Matahari sudah
naik tinggi, Touw Liong baru menghentikan latihannya dan
kembali ke dalam kuil.
Sejak memulai latihannya dengan cara yang baru itu,
Touw Liong mendapat perasaan bahwa dirinya pada waktu
itu seolah-olah menjadi ringan dan gesit sekali, segala
tindakannya sangat lincah. Setelah dahar santapan pagi,
Touw Liong minta diri untuk meneruskan perjalanannya ke
puncak gunung Sin-lie-hong. Di waktu senja baru tiba di
bawah kaki puncak gunung Sin-lie-hong, ia beristirahat
sebentar untuk makan makanan kering, malam itu juga
melanjutkan perjalanannya ke Sin-lie-hong.
Satu jam kemudian, kediaman Anak Sakti dari gunung
Bu-san dahulu sudah tampak tidak jauh di depan matanya.
Hati Touw Liong tergoncang, sebab di rumah itu tidak
tampak sinar lampu juga tak terdengar suara orang.
Tiba di depan rumah, sikap Touw Liong berubah, karena
pintu rumah itu tertutup rapat, di atas pintu terdapat tulisan
yang menandakan bahwa rumah itu sudah tidak ada
penghuninya. Tulisan-tulisan itu tampak sangat kuat, tetapi
tulisan itu ditulis sendiri oleh Anak Sakti dari gunung Busan
atau bukan, ia masih belum berani memastikan. Tetapi
tanda waktu di atas tulisan itu menunjukkan waktu pada
setengah tahun berselang.
Touw Liong lalu menarik kesimpulan bahwa orang tua
itu sudah tidak ada di dalam rumah. Ia merasa agak
kecewa karena orang tua itu ternyata sudah tidak terdapat
di situ. Dengan tindakan lesu ia memutari puncak gunung
Sin-lie-hong, ia ingin turun dari bagian belakang, sebab di
bagian belakang itulah tempat yang dinamakan Hong-ciat,
dan kota Hong-ciat itu merupakan suatu pelabuhan darat
dan air. Mungkin dari situ ia dapat mencari sedikit
keterangan, lagipula kalau hendak ke barat menuju ke
gunung Ngo-bie, dari pelabuhan Hong-biat bisa
menumpang perahu, waktunya bisa dipersingkat.
Belakang puncak gunung Sin-lie-hong, Touw Liong
berdiri di suatu tebing, dengan termenung-menung
memandang ke sebuah tebing di bagian seberang lalu
berkata kepada diri sendiri, "Setengah tahun aku .... Ah!
Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Sebagai manusia yang
belajar ilmu silat, paling menggenaskan jikalau kepandaian
ilmu silatnya dimusnahkan."
Kiranya di tempat itulah dahulu ia bertemu dengan Panji
Wulung Wanita, yang dengan tongkatnya telah
memunahkan kepandaian ilmu silatnya. Tidak heran ketika
Touw Liong berada di tempat itu lagi, mengenangkan
semua kejadiannya yang lampau dan dianggapnya sebagai
kejadian yang patut disesalkan.
Kemudian ia berkata sendiri dengan suara gemas,
"Apabila Panji Wulung Wanita itu sekarang masih ada!
Kalau aku tidak menuntut balas dendam sakit hatiku ini,
bukanlah keturunan pendekar tangan besi menggetarkan
Sam-kang Touw-giok Khun."
Baru saja ia diam, dari atas tebing lain tiba-tiba terdengar
suara seruan kaget, disusul oleh munculnya bayangan
orang, kemudian di hadapannya tampak berdiri dua orang.
Touw Liong semula agak terkejut, tetapi setelah
mengetahui siapa orangnya, bukan kepalang girangnya,
sehingga mengeluarkan air mata kegirangan. Cepat-cepat ia
menubruk kepada dua orang yang berada di depannya itu.
Dua orang itu juga mementang kedua tangannya
menyambuti kedatangannya.
Tiga orang itu saling berpelukan, tiada seorangpun yang
mengeluarkan suara. Lama sekali barulah terdengar suara
seorang wanita yang berkata dengan suara terharu,
"Adik Liong, kalian dua saudara saling mengenal
seharusnya merupakan suatu hal yang sangat
menggirangkan, jangan berlaku seperti anak-anak lagi, aku
merasa turut gembira bagi kalian!"
Orang yang bicara itu adalah seorang perempuan cantik
berpakaian putih, dan seorang lagi yang berdiri berhadapan
dengan Touw Liong, ternyata adalah orang yang setiap hari
siang malam dipikirkan olehnya. Dia bukan lain adalah
Kang Kie. Kang Kie yang mendengar ucapan itu
menghentikan tangisnya, dengan kedua tangan ia
merangkulkan tangannya, diamat-amatinya sekian lama,
Touw Liong juga lama memandang kepada Kang Kie. Dua
orang itu saling berpandangan sekian lama.
Dengan suara sangat halus Touw Liong memanggil
Kang Kie, "Engko." Kang Kie hanya mengeluarkan air
mata tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya, hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Touw Liong
kembali berpaling dan berkata kepada perempuan muda
tadi, "Enci Lo?"
Sudah tentu perempuan muda itu bukan lain daripada
Lo Yu Im dari Kun-lun-pay.
"Bagaimana kau bisa berada di atas gunung Bu-san ini?"
bertanya Kang Kie.
"Aku justru sedang mencari kalian berdua. Banyak soal
yang akan kutanyakan kepada kalian," menjawab Touw
Liong. "Kita jangan berdiri di tempat ini saja, marilah kita
jalan!" berkata Lo Yu Im.
Lo Yu Im berjalan lebih dahulu dengan diikuti oleh
Touw Liong dan Kang Kie, ketika orang itu melompat ke
sebuah puncak tinggi lalu berjalan masuk ke kelenteng Sinlinbio. Kelenteng Sin-lin-bio itu tidak besar, tetapi oleh
karena usianya yang terlalu tua dan jarang diperbaiki, maka
dinding-dinding temboknya banyak yang sudah pecah dan
keadaannya sudah hampir rusak. Meskipun sudah rusak,
dirawat oleh Lo Yu Im dengan baik. Touw Liong yang
menyaksikan keadaan kelenteng itu mengerti bahwa Kang
Kie dan Lo Yu Im telah berdiam lama dalam kelenteng ini
dalam waktu yang cukup lama. Jika tidak, tak mungkin
bisa dirawat demikian bersih.
Patung yang dipuja dalam meja sembahyang sudah lama


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ada. Kisah-kisah mengenai diri putri gunung Bu-san
itu sedikitpun tidak ada tandanya bagi orang-orang
sekarang, tetapi meja bundar dan kursi-kursi batu yang
terdapat di hadapan meja sembahyang, utuh dan teramat
bersih. Tiga orang itu duduk di atas kursi batu. Touw Liong lalu
mengeluarkan kitabnya Hui-eng-pat-sek, diberikan kepada
Kang Kie, katanya,
"Hui Eng locianpwee juga sudah menutup mata, barang
peninggalan locianpwee hanya sejilid kitab ini, selain
daripada itu ialah pedang di atas punggungku ini." Setelah
berkata demikian, ia menurunkan pedang Khun-ngokiamnya,
diberikan kepada Kang Kie.
Kang Kie sangat sedih sekali berlutut menghadap ke
utara sambil menangis dengan suara pilu ia berkata,
"Suhu, tecu seorang murid yang tidak berbakti, hingga
tak bisa mengantarkan arwah suhu."
Lo Yu Im menghiburi dengan suara lemah lembut.
"Kesehatanmu baru pulih belum lama, kalau terlalu
berduka bisa mengganggu kesehatanmu lagi. Kau harus
sayang kepada dirimu sendiri!"
Touw Liong mengerti bahwa saudara sekandungnya itu
barangkali setelah terluka dalam pertempuran di Pak-bong,
hingga saat ini baru sembuh. Ia merasa menyesal yang ia
sudah mengabarkan berita tentang kematian suhunya.
Sementara itu Kang Kie bertanya sambil menggertek gigi,
"Dengan cara bagaimana kematian suhu?"
Touw Liong menghela nafas, ia memandang kepada Lo
Yu Im sambil mengangguk-anggukkan kepala, kemudian
berkata lambat-lambat,
"Hui Eng locianpwee sewaktu mengadu kekuatan tenaga
dalam dengan Ngo-gak Sin-kun, terluka bagian dalamnya
...." Tidak menunggu Touw Liong menjelaskan
persoalannya, Kang Kie sudah lompat dan berkata dengan
suara gusar. "Bagus sekali si makhluk aneh Ngo-gak itu. Jikalau aku
tidak bisa mencincang tubuhnya, aku masih belum merasa
puas!" Touw Liong dari dalam sakunya mengeluarkan lagi kitab
Tay-lo Sin-kang dan dua jilid Thay-it Cin-keng, diberikan
kepada Kang Kie seraya berkata,
"Ini juga merupakan barang peninggalan Hui Eng
locianpwee, harap engko terima dengan baik."
Kang Kie menyambuti kitab yang diberikan kepadanya,
setelah dibacanya satu per satu, ia menyimpan kitab Huieng
Pat-sek, berkata sambil menunjuk kitab Tay-lo,
"Kitab ini seharusnya menjadi milikmu."
Ia menyesapkan kitab itu ke tangan Touw Liong seraya
berkata, "Di atas puncak Thian-tu-hong, Dewa Arak locianpwee
telah memancing aku mengambil kitab wasiat ini. Beliau
sebenarnya telah salah anggap aku sebagai dirimu."
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula sambil
menunjuk dua jilid kitab Thay-it Cin-keng,
"Dua jilid kitab ini sebetulnya berasal dari partai Butong,
yang kemudian terjatuh ke dalam tangan Siao-limpay.
Seratus tahun berselang, kitab ini dicuri oleh Un Khun
dari gereja Siao-lim-sie, di tengah jalan telah dirampas oleh
murid golongan Thian-san, kalau diusut asal-usulnya kitab
ini seharusnya milik Bu-tong dan Siao-lim, sedangkan Kiuhwa
yang justru menjadi cabang golongan Thian-san, oleh
karenanya maka dua jilid kitab ini seharusnya kaulah yang
menyimpan!"
Touw Liong tidak menolak, dua jilid kitab itu
diterimanya dengan baik, dan kemudian disimpannya baikbaik.
"Aku sudah terlalu banyak berhutang budi kepada Enci
Lo, maka sebilah pedang ini seharusnya kembali kepada
pemilik yang aslinya. Terimalah pedang ini dengan baik."
Dengan kedua tangannya ia menyerahkan pedang itu
kepada Lo Yu Im.
Lo Yu Im menerimanya, pedang itu dipeluknya, ia
mengusap-usap dengan tangannya sambil mengeluarkan air
mata. Dengan hati pilu ia memandang Kang Kie,
kemudian berpaling dan berkata kepada Touw Liong,
"Perkataan encimu yang dahulu kuucapkan kepadamu,
ada sedikit tidak benar terhadap engkomu."
Sampai di situ wajahnya menjadi merah, dengan penuh
cinta kasih ia memandang Kang Kie sejenak, katanya
dengan suara parau,
"Batu Khun-ngo-giok sebetulnya adalah aku yang diamdiam
mencurinya dan memberikan kepada engkomu ini.
Tetapi ia juga tidak seharusnya mendapatkan batu giok itu
lantas pergi tanpa pamit, sementara mengenai diri ayah, ai!
Karena barang yang menjadi kesayangannya itu telah
kucuri dan kuberikan kepada kekasihku, dengan cara
bagaimana kalau ayah tidak menjadi marah dan akhirnya
membawa kematiannya?"
Berkata sampai di situ, ia memandang lagi kepada Kang
Kie. Kang Kie menghela nafas dan berkata,
"Musuh yang paling besar dalam dunia ini tak ada yang
lebih besar daripada musuh orang tuanya, setelah aku
mendapatkan batu Khun-ngo-giok, saat itu dalam hatiku
hanya memikirkan dengan cara bagaimana harus
dibuatnya pedang untuk menuntut balas. Maka waktu itu
aku terpaksa mengendalikan perasaan hatiku sendiri untuk
sementara aku meninggalkan enci, pulang ke gunung Pakbong
untuk membuat pedang. Masih untung Tuhan telah
mengabulkan permintaanku, sebelum pedang ini berhasil
dijadikan pedang, musuh-musuhku sudah dapat kubunuh
semuanya."
Berbicara tentang musuh ayahnya, Touw Liong juga
mengucurkan air mata. Kang Kie juga merasa terharu,
maka ia bertanya kepada Touw Liong,
"Adik, tahukah kau siapa musuh kita yang
membinasakan ayah dan ibu?"
Touw Liong menganggukkan kepala dan berkata,
"Murid pengkhianat dari Bu-tong-pay!"
"It-tiem?"" demikian Kang Kie balas menanya dengan
perasaan terkejut.
"Jadi orang-orang yang kubunuh itu bukanlah
pembunuh aslinya?"
Touw Liong kembali menganggukkan kepala dan
berkata, "Sepuluh batok kepala di atas danau Thian-tie itu tiada
satu dari mereka yang dahulu terlibat dalam pembunuhan
ayah dan ibu."
Kang Kie tercengang. Touw Liong lalu menceritakan
apa yang dijelaskan oleh Hian-hian Totiang. Kang Kie
yang mendengar itu dadanya seperti mau meledak.
Lo Yu Im sementara itu lantas menghibur padanya,
"Pedang pusaka seharusnya dihadiahkan kepada ksatria.
Adik Kie, kau sebetulnya mempunyai banyak musuh yang
tak terhitung jumlahnya, pedang ini biarlah kau yang
membawanya!"
Kang Kie bersangsi sejenak, pedang itu diterimanya,
kemudian diberikan kepada Touw Liong katanya,
"Pedang ini untuk sementara kau saja yang bawa."
Touw Liong menolak, katanya,
"Pedang ini Engko yang membawa juga sama saja, aku
sudah mencapai ke taraf yang tidak akan perlu lagi
menggunakan pedang. Pedang ini meskipun merupakan
pedang sangat tajam, bagiku juga tidak berarti banyak."
Kang Kie tercengang, Touw Liong memberikan
penjelasannya! "Sekarang aku sedang melatih ilmu yang tertinggi, ialah
Tay-lo Kim-kong Sin-kang, mungkin tidak lama lagi sudah
kupelajari dengan sempurna. Setelah berhasil, dalam waktu
yang bersamaan aku bisa mengeluarkan serangan dua jenis
ilmu Sin-kang. Tangan kiri ilmu Thay-it Sin-kang, tangan
kanan ilmu Tay-lo Sin-kang."
Memang sebenarnya, apabila seorang sudah berhasil
mempelajari ilmu Tay-lo Kim-kong Sin-kang, dalam rimba
persilatan sudah susah mendapatkan tandingan, tentang ini
Kang Kie juga mengerti.
Orang anggap ia sudah mencapai ke taraf demikian,
memang benar bahwa senjata tajam tidak berarti banyak.
Khang Kie merasa girang mendapat dengar hasil yang
dicapai oleh adiknya, begitupun dengan Lo Yu Im, ia juga
merasa sangat gembira. Ia sebetulnya tidak berdaya maka
pedang itu terpaksa diterimanya. Setelah itu Touw Liong
berkata pula, "It-tiem ada mempunyai sebilah pedang kuno juga sudah
belajar ilmu pedang Thay-it Sin-kiam. Sekarang juga sudah
tergolong salah seorang terkuat dalam rimba persilatan.
Karena ia merupakan musuh besar kita maka kemudian
hari bila kita ketemu dengannya, harus hati-hati
menghadapinya."
"Aku sudah mempelajari ilmu Kim-kong-sin-sek .... takut
apa?" Touw Liong menggelengkan kepala dan berkata,
"Masih belum cukup. Sebaiknya kau pelajari semuanya,
ilmu pedang Tay-lo Kim-kong-kiam yang terdiri dari seratus
delapan gerakan, juga perlu dipelajari seluruhnya, barulah
kita bertanding dengannya."
Kang Kie tak berkata apa-apa, ia hanya berpikir sambil
mengerutkan alisnya. Touw Liong tidak berani
mengganggu lagi, ia berpaling dan berkata kepada Lo Yu
Im, Enci, siaote numpang tanya, dengan cara bagaimana
suhu menemui kematiannya?"
Lo Yu Im menghela nafas panjang, lalu menggelenggelengkan
kepalanya dan baru berkata,
"Hari itu aku mengejar engkomu keluar dari gunung
Pak-bong-san, setelah meninggalkan tanah kuburan Siangong,
engkomu karena terluka parah, waktu itu sudah tidak
ingat orang, aku lalu memberikan makanan sebutir pil
padanya dan menggendong ia menuju ke gunung Kiu-hwa,
untuk minta pertolongan suhumu. Di luar dugaanku
suhumu ternyata sudah menutup mata ...."
"Apa terdapat tanda luka?" bertanya Touw Liong
dengan nada cemas.
"Tidak ada," menjawab Kang Kie.
Touw Liong bertanya pula sambil mengerutkan alisnya.
"Seorang beribadat seperti suhu, kalau memang sudah
waktunya harus pulang ke alam baka, seharusnya sudah
mendapa firasat lebih dahulu, pasti berusaha sedapat
mungkin untuk memanggil pulang siaote dan sumoy, tetapi
sekarang suhu telah mangkat tanpa meninggalkan sepatah
pesan, sesungguhnya sangat aneh. Jikalau mau dikata
bahwa kematiannya itu disebabkan penyakit yang tidak
terduga-duga, rasanya tidak mungkin."
"Apakah kau curiga atas kematian suhumu?" berkata
Kang Kie. Touw Liong menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Kang Kie tampak berpikir lama kemudian baru berkata,
"Apabila suhumu itu terbokong oleh orang jahat, tetapi
orang kuat dalam rimba persilatan dewasa ini yang mampu
melakukan kejahatan terhadap suhumu jumlahnya tidak
banyak. Apalagi orang tua itu bisa bertindak tanpa
meninggalkan sedikit bekas, dapat diduga bahwa ia pasti
menggunakan sejenis ilmu yang tertinggi."
"Pek Thian Hiong sudah terluka bagian dalam, tidak
mungkin dapat melakukan perbuatan itu. Apalagi ia
dengan suhumu juga tidak mempunyai permusuhan,"
berkata Lo Yu Im.
"Ngo-gak Lo-koay sewaktu di gunung Bu-tong telah
terkena pukulan tangan suhu, lukanya sudah tentu tidak
ringan, dia lebih tidak mungkin dapat melakukan tindakan
keji itu," berkata Kang Kie.
"Apakah tidak mungkin Panji Wulung wanita?" berkata
Lo Yu Im. Touw Liong menggelengkan kepala dan berkata,
"Menurut keterangan sumoyku, waktu itu Panji Wulung
wanita karena melatih ilmu Hek-hong Im-kang kurang hatihati,
hingga mendapat kecelakaan, ia berada di dalam
gunung Tiam-cong-san dalam keadaan menderita, juga tak
mungkin bisa melakukan perbuatan itu."
Kang Kie berpikir lagi sejenak, kemudian berkata,
"Kalau begitu, hanya It-tiem seorang yang merupakan
persoalan!"
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
"Waktu ia menghadapi aku saja masih belum sanggup,
apalagi terhadap suhu, maka juga tidak mungkin dia!"
"Kalau begitu siapa yang melakukan perbuatan itu?"
berkata Kang Kie.
Touw Liong berpikir dulu, baru berkata,
"Salah seorang dari sembilan partai ...."
"Mungkin orang-orang dari sembilan partai besar,"
berkata Kang Kie sambil mengerutkan alisnya.
"Aku akan berangkat dengan segera untuk mengadakan
penyelidikan terhadap sembilan partai besar," berkata
Touw Liong. "Musuh terhadap ayah bunda! Musuh terhadap suhu!
Ditambah dengan soal sumoymu, tiga perkara besar telah
terkumpul menjadi satu pada dirimu, aku pikir jikalau kita
berjalan bertiga bersama-sama, urusannya mungkin agak
mudah dihadapi," berkata Lo Yu Im dengan penuh
perhatian. "Sudah tentu, baiknya kita bertiga berjalan bersamasama,
supaya satu sama lain dapat saling membantu.
Tetapi urusan di dalam dunia ini tidak demikian lancar
seperti apa yang kita pikirkan, barangkali sedikit waktunya
bagi kita berkumpul seperti sekarang ini."
"Lukaku sejak tadi sudah sembuh, besok bagi aku sudah
bisa mulai bergerak untuk keluar," berkata Kang Kie sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
Malam itu tiada ada kejadian yang mengganggu mereka,
maka mereka masing-masing bisa melewatkan dengan


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenang. Sebelum terang tanah, Touw Liong sudah
mendusin, selagi Lo Yu Im masih tidur nyenyak, ia diamdiam
membangunkan Kang Kie. Ia ditarik ke samping, dan
memberitahukan padanya cara-cara melatih ilmu yang
ditulis di dalam kitab kecil itu. Kang Kie ingat-ingat dengan
baik, hingga di kemudian hari ia mendapatkan banyak
faedah dalam pelajaran itu.
Hari itu setelah santapan pagi, Touw Liong memberikan
pelajaran ilmu Thay-it Sin-kiam yang terdiri dari delapan
jurus pukulan kepada engkonya dan Lo Yu Im berdua.
Kang Kie dan Lo Yu Im sedapat mungkin hendak
menggunakan waktunya yang singkat itu untuk
mempelajari sampai habis pelajaran ilmu pedang itu. Di
waktu makan tengah hari, Lo Yu Im mengajukan usul,
"Sin-lie-kong sunyi dan tenteram, .... merupakan tempat
ideal untuk melatih ilmu silat, kita lebh cepat satu hari atau
lambat satu hari turun gunung, tidak menjadi soal. Aku
pikir, adik Kie yang sudah mempelajari ilmu Hui-eng-patsek,
jikalau mau mempelajari lebih dalam, bukankah itu ada
lebih baik?"
Siapapun tahu, kali ini mereka turun dari puncak gunung
Sian-lie-hong jikalau hendak mencari tempat yang lebih
baik untuk melatih ilmu silat, barangkali tidak mudah lagi.
Oleh karenanya maka Touw Liong lalu menganggukkan
kepala menyetujui usul tersebut.
Kembali lima hari telah berlalu, Kang Kie dan Lo Yu Im
yang mempelajari ilmu Hui-eng-pat-sek sudah mendapat
kemajuan pesat demikian pula dengan Touw Liong yang
memperdalam ilmu sian-hongnya.
Esok harinya pagi-pagi sekali, tiga orang itu
meninggalkan Sin-lie-hong. Ketika tiba di kota pelabuhan
Hong-ciat, menurut keterangan penduduk kota itu, pada
tiga hari berselang memang ada orang seperti It-tim pernah
singgah di kota itu, tetapi kini sudah berlalu lagi.
Bab 40 Touw Liong yang mendapat keterangan itu menghela
nafas dan dalam hatinya berpikir : "Sayang, kesempatan
baik itu telah dilewatkan, alangkah baiknya apabila tiga hari
berselang kita turun gunung! Kehilangan kesempatan ini,
entah di mana kita baru bisa menemukan anjing itu lagi."
Sementara itu Kang Kie lantas mengusulkan, "Kita
jangan ayal lagi, mari kita menyusul segera."
Tiga orang itu buru-buru meninggalkan kota Hong-ciat
dan menuju ke barat dengan melalui jalan air. Tiba di kota
Pa-ciu lantas mencari keterangan, akan tetapi It-tiem sudah
kehilangan jejaknya lagi.
Touw Liong lalu bertanya kepada Kang Kie sambil
menunjuk sungai Kha-leng,
"Kita menuju ke utara lewat kota Sheng-to, terus ke kota
Ceng-shia. Dari sana melanjutkan perjalanan ke barat
gunung Ngo-bi, apabila kita menuju turun ke barat lagi,
justru tiba di daerah Tiam-cong, sekarang kita harus menuju
ke mana baiknya?"
Kang Kie berpikir dulu, kemudian berkata,
"Bangsat itu bayangannya saja demikian
membingungkan, sebentar berada di depanmu, sebentar lagi
tiba-tiba berada di belakang, jikalau kita usut sebab
musababnya, bukan lain daripada hendak menyingkiri kau.
Menurut pikiranku, tempat tujuannya mungkin hendak
menggabungkan diri dengan Panji Wulung wanita, atau
pergi ke gunung Ngo-bi dan Ceng-shia untuk
menggabungkan diri dengan komplotannya dahulu!"
"Sekarang adalah dia yang menghindarkan kita, kita
seharusnya mencari daya upaya supaya dia yang berbalik
mencari pihak kita," berkata Touw Liong.
"Ah, aku pikir, sebaiknya kita menyamar saja," berkata
Kang Kie sambil menepuk tangannya.
Menyamar adalah keahlian Kang Kie. Ia bersama Lo
Yu Im menyamar menjadi guru sekolah dan kacungnya,
sedangkan Touw Liong di bawah bantuan Kang Kie,
menyamar menjadi seorang pelajar yang sudah agak lanjut
usianya. "Kota Pa-ciu ini merupakan pusat dari perjalanan darat
dan air, dari sini bisa menuju ke berbagai jurusan, kita harus
mengejar kemana?" bertanya Kang Kie kepada Touw
Liong. "Dari jalan darat ada tiga, dan kita di sini orangnya
hanya ada dua rombongan. Tampaknya kita barangkali
harus berpencaran," menjawab Touw Liong.
Touw Liong yang belum lama bertemu dengan Kang
Kie, bagaimana ia merasa tega hati harus berpisah lagi"
Akan tetapi karena keadaan memaksa, terpaksa ia harus
mengucapkan perkataan demikian.
Kang Kie adalah seorang lelaki jantan, walaupun
demikian ia juga menhela nafas, lama baru menganggukkan
kepala dan berkata,
"Tampaknya terpaksa hanya demikian saja yang kita
bisa tempuh!"
Tiga orang itu setelah berunding masak-masak, Touw
Liong menuju ke Ceng-to terus ke kota Ceng-sia. Dari situ
balik ke Ciong-lay. Sedang Kang Kie bersama Lo Yu Im
menuju ke barat pergi ke gunung Ngo-bi terus ke gunung
Tiam-cong. Alasan Touw Liong memilih kota Ceng-sia ialah karena
selama lima tahun ini, dalam gua Thian-su-tong di daerah
Ceng-sia muncul seorang tokoh kuat, kabarnya tokoh kuat
itu juga sudah memimpin partai Ceng-sia, bahkan bersama
It-tiem ada hubungan pribadi yang sangat erat. It-tiem ada
kemungkinan pergi ke Ceng-sia, karena ia merupakan
penjahat yang utama atau biang keladinya peristiwa
berdarah itu, sudah seharusnya kalau Touw Liong memilih
kota Ceng-sia. Jika ia bisa menemukan It-tiem, tidak sulit baginya untuk
mencari keterangan di mana jejak Panji Wulung wanita.
Tiga orang itu setelah mengambil keputusan, Touw
Liong dengan perasaan masih berat harus melanjutkan
perjalanannya untuk menuju ke kota Ceng-to. Kang Kie
dengan dikawani oleh Lo Yu Im menuju ke gunung Ngo-bi.
Ketika Touw Liong tiba di pos Liong-cwan-tek di luar
pintu kota timur Ceng-to, telah mencari tandu, dengan
menaiki tandu, ia masuk ke kota Ceng-to.
Dalam perjalanannya dari kota Paciu hingga kota Cengto,
belum pernah menemukan apa-apa, bayangan It-tiem
tetap tidak tampak.
Dengan naik tandu Touw Liong masuk dari pintu timur,
di dalam kota itu mencari salah satu rumah penginapan
besar, sebagai tempat untuk bermalam, di waktu siang hari
ia berputaran ke tempat-tempat rekreasi di daerah Ceng-to
untuk menyerepi jejak It-tiem, di waktu malam ia tidak lupa
mempelajari ilmunya Tay-lo Kim-kong Sian-kang dan
Liang-gie Sin-hwat.
Tiga hari telah berlalu. Touw Liong menjelajahi semua
tempat rekreasi di daerah Ceng-to namun tidak berhasil
menemukan orang yang dicari.
Beberapa kali ia ingin membuka surat rahasia dalam
sakunya untuk melihat apa isinya sebenarnya, tetapi ia
takut perbuatan itu nanti akan mengganggu pikirannya,
sehingga mengganggu pula usahanya untuk mempelajari
ilmu Sin-kang. Maka akhirnya ia membatalkan maksudnya
itu. Tanpa dirasa, sepuluh hari lagi kembali telah berlalu.
Sebabnya ia tidak mau tergesa-gesa pergi ke kota Ceng-sia
karena sebelum menuju ke kota Ceng-sia, sekaligus ia
hendak menyelesaikan pelajarannya ilmu sin-kang dan ilmu
sim-hwat, karena dalam perjalanan ke kota Ceng-sia itu
apabila berjumpa dengan musuh tangguh, bukankah akan
menjadi halangan dalam usahanya" Oleh karena itu ia
terpaksa harus tinggal dulu di Ceng-to untuk mempelajari
dua macam ilmunya itu.
Ia sudah mengambil keputusan, dua hari lagi akan
berangkat menuju ke Ceng-sia, di waktu masih pagi sekali,
ia pergi keluar dulu ke bagian barat kota menuju ke Cengyangkiong, lalu memutar ke kelenteng Bu-kao-sie, sebelum
orangnya sampai di kuil itu, baru saja menginjak jembatan
Wan-lie-kio, dari depan terdengar suara derap kaki kuda,
seekor kuda juga sedang berjalan menuju ke jembatan
tersebut. Penunggang kuda itu ternyata merupakan seorang nona
muda yang memakai ikat kain sutera di kepalanya dan di
punggungnya menyoren sebilah pedang panjang. Sikap
gagah dari nona muda itu menarik setiap orang yang
dilalui, hanya di antara sikap yang gagah dan
kecantikannya itu tampak sedikit murung.
Touw Liong terkejut ketika melihat nona itu. Dalam
hatinya ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, "O, dia!"
Gadis penunggang kuda itu adalah sancu muda Citphoasan Pek Giok Hwa. Setengah tahun Touw Liong
tidak melihat, Pek Giok Hwa tampak lebih kurus, kalau
diingat bagaimana dahulu gadis itu banyak memberikan
bantuan padanya, maka kini dalam pertemuannya yang tak
terduga-duga itu ia memandangnya agak lama.
Pek Giok Hwa waktu itu agaknya ada urusan penting, ia
tidak memperhatikan adanya seorang pelajar yang sedang
mengawasi dirinya dengan penuh perhatian, dan pelajar itu
justru adalah Touw Liong sendiri yang menyamar. Begitu
kudanya melalui jembatan, lantas dipacu melanjutkan
perjalanannya. Touw Liong agak berpikir sejenak, dalam
hatinya mendapat suatu akal, maka ia lantas memutar balik
dan pergi mengejar.
Pek Giok Hwa larikan kudanya ke Ceng-yang-kiong,
lantas dilarikan ke barat, tujuannya ialah gunung Ceng-siasan.
Touw Liong terus mengejarnya, sementara dalam
hatinya bertanya-tanya kepada diri sendiri, ada perlu apa
dia pergi ke gunung Ceng-sia-san"
Ia tidak berhasil menyandak, terpaksa balik kembali ke
penginapannya. Ia lalu membereskan bawaannya, menukar
dengan dandanan semula. Ia membeli seekor kuda, dari
kota Ceng-to terus ditujukan ke gunung Ceng-sia-san.
Waktu senja, Touw Liong sudah melarikan kudanya
seratus pal lebih, malam itu tiba di kota Kwan Sien, ia
mencari keterangan kepada penduduk, ada orang yang
menunjuk ke bukit Pek-in-nia di sebelah barat kota.
Katanya, "Tidak salah lagi, setengah jam berselang ada seorang
nona yang seperti tuan gambarkan dengan menunggang
seekor kuda menuju ke gunung Ceng-sia."
Touw Liong memandang ke arah gunung hijau yang
diliputi oleh sinar matahari sore. Kuda tunggangannya
dikirim ke rumah penginapan, dengan menyusuri jalan
pengunungan ia melanjutkan perjalanannya dengan jalan
kaki. Sebagai orang yang ilmunya meringankan tubuh
sudah mencapai taraf yang tinggi, ia jalan laksana terbang.
Dalam waktu setengah jam ia sudah berhasil mengejar kuda
tunggangan Pek Giok Hwa. Ia mengikuti dari jarak agak
jauh, namun matanya terus ditujukan kepada gadis itu,
gadis di atas kuda itu memang benar Pek Giok Hwa
adanya. Pek Giok Hwa menghentikan kudanya di kuil Tiangsengtian di bawah kaki gunung Ceng-sia. Pada waktu itu,
hari sudah mulai gelap, bulan sabit di tengah udara. Touw
Liong tampak ia mengawasi keadaan di bawah, kemudian
dengan gerakannya yang sangat lincah bagaikan burung
walet, terus mendaki ke atas gunung. Baru setengah tahun
Touw Liong tidak melihat, kini ternyata kepandaian ilmu
silatnya sudah mendapat kemajuan pesat sekali. Dari
gerakan kakinya kalau dibandingkan dengan keadaannya
sewaktu masih berada di danau Thian-tie di gunung Hu-san
entah berapa jauh sudah mendapat kemajuan"
Touw Liong terus mengikuti jejaknya, saat itu Pek Giok
Hwa masih belum mengetahui di belakang dirinya ada
orang yang mengintai.
Pek Giok Hwa terus melakukan perjalanannya, setelah
melalui beberapa lapis karangan gundul, ternyata tiada
orang yang melihat. Dengan diam-diam ia mendaki ke gua
Thian-su-tong yang berada di belakang gunung.
Thian-su-tong letaknya di tempat yang paling tinggi, di
depan gua itu ada dua buah bangunan kuil di depan samarsamar
tampak papan merknya yang ditulis dengan huruf
emas. Pek Giok Hwa agaknya kenal baik keadaan di
gunung Ceng-sia, tanpa ragu-ragu sedikitpun juga ia terus
masuk ke kuil, pada waktu itu, gerakan kakinya baru
tampak agak perlahan.
Touw Liong masih mengintai dari jarak agak jauh. Ia
sembunyi di belakang sebuah batu besar yang terdapat di
depan kuil. Ia hendak melihat apa yang dilakukan oleh
gadis itu. Di dalam kuil lantas muncul dua imam yang berbaju
kuning. Orangnya sebelum muncul suaranya sudah
terdengar lebih dahulu. Tegur dari mulut si imam,
"Siapa yang begitu berani malam-malam berkunjung ke
Co-su-tian?"
Pek Giok Hwa menyongsong dua imam itu untuk
memberi hormat, kemudian menjawab,
"Pek Giok Hwa dari Cit-phoa-san, ingin berjumpa
dengan ciangbunjin kalian."
Dua imam berjubah kuning itu sama-sama mengeluarkan
suara terkejut, kedua-duanya lantas memberi hormat dan
bertanya, "Harap nona tunggu sebentar, biarlah pinto yang akan
melapor kepada Cosu lebih dahulu ...."
Seorang di antaranya masuk ke dalam, yang lain maju
dua langkah menghalangi perjalanan Pek Giok Hwa. Ia
mengajak bicara Pek Giok Hwa untuk menutupi
maksudnya yang merintangi nona itu masuk ke dalam.
Sementara itu Touw Liong lantas bergerak, dengan
sangat hati-hati ia menyusup ke bawah dinding kuil,
kemudian ia melesat ke atas genteng, dengan menggunakan
payon-payon rumah sebagai alingan, matanya ditujukan ke
kuil yang kedua. Di dalam pendopo kuil yang kedua itu,
ada sebuah tempat duduk piranti orang semadi, di atasnya
duduk bersila seorang imam setengah umur yang wajahnya


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah dan mengenakan jubah warna ungu. Imam itu
sepasang alisnya menunduk, sedikitpun tidak bergerak.
Di hadapan imam itu ada sebuah meja sembahyangan, di
atas meja itu ada tiga rupa barang. Yang di tengah adalah
sebuah tempat pendupaan yang masih mengepul asapnya,
sebelah kanan adalah sebilah pedang panjang, dan sebelah
kiri adalah sebuah kecapi kuno dengan tujuh senar.
Di depan meja sembahyangan, berlutut seorang imam
berjubah kuning yang baru lari masuk dari kuil pertama.
Keadaan dalam pendopo kedua itu luar biasa tenangnya,
hampir sebatang jarum jatuh di tanah juga bisa terdengar
suaranya. Touw Liong yang menyaksikan pemandangan
itu tercengang. Sementara itu imam berjubah ungu tadi
tiba-tiba membuka matanya, memandang kepada imam
berjubah kuning sejenak, lantas bertanya dengan suara
berat, "Ada urusan apa?"
Imam berjubah kuning itu kembali menjura dan berlutut
di tanah sambil berkata,
"Nona Pek dari Cit-phoa-san datang minta ketemu
dengan cosu!"
Imam berjubah ungu itu mengerutkan alisnya kemudian
bertanya, "Kau sudah tanya kepadanya, ada urusan apa hendak
menemui aku?"
Imam berjubah kuning itu menggeleng-gelengkan kepala
dan menjawab, "Ia datang dengan tergesa-gesa, setelah tiba di pendopo
depan baru kita ketahui, hingga tak keburu menanyakan
kepadanya. Namun dari sikap dan wajahnya, agaknya ada
urusan penting!"
"Oo! Setengah tahun tidak melihat, tak disangka
kepandaian budak itu sudah maju demikian pesat, benarbenar
kaum muda harus ditakuti!" berkata imam berjubah
ungu, "Beritahukan padanya, aku sedang bersemedi, tidak
sempat menerima tamu."
Imam berjubah kuning itu menunjukkan sikap berat, ia
berlutut di tanah dan meminta-minta,
"Biar bagaimana harap cosu temui dia sebentar, barulah
dia pergi, tecu sekalian sesungguhnya tak sanggup
merintangi dia ..."
Imam berjubah ungu itu perlahan-lahan membuka
matanya, sinar matanya ditujukan kepada kecapi tujuh
senar di atas meja, setelah itu perlahan-lahan ia berpaling
dan bertanya kepada imam berjubah kuning,
"Kamu adalah anggota-anggota pelindung hukum di
bawah tanganku, dalam hal kepandaian atau derajat, kamu
semua masih bisa ditimbangkan dengan orang-orang
golongan kelas satu dalam rimba persilatan biasa saja,
seharusnya tahu asal-usul kecapi kuno ini!"
Imam berjubah kuning itu mengangkat muka dan
mengawasi kecapi kuno di atas meja, setelah itu ia
menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
"Tecu seorang bodoh, harap cosu supaya suka
menerangkan."
"Ini adalah salah satu dari tiga barang pusaka simpanan
partai Bu-tong yang dinamakan Cit-sian-kow-khiem,"
berkata imam berjubah ungu.
"OO!" demikian imam berjubah kuning itu berseru
kaget, sehingga tidak bisa mengucapkan suara lagi.
Imam berjubah ungu balas bertanya kepadanya,
"Tahukah kau" Maka aku tak bisa menemui budak itu?"
Sehabis berkata demikian, ia menundukkan kepala dan
memejamkan matanya.
Sementara itu imam berjubah kuning lalu berkata dengan
sikap hormat, "Tecu mengerti!"
Setelah itu ia berlalu meninggalkan imam berjubah ungu.
Kalau dua imam berjubah kuning itu diliputi oleh tekateki,
demikian juga dengan Touw Liong. Ia tidak mengerti
dalam hal ini ada permainan apa. Tetapi dalam hati ia
mengerti, kecapi kuno yang merupakan salah satu dari tiga
benda pusaka milik Bu-tong sudah berada di Ceng-sia,
bahkan dengan cara terang-terangan diletakkan di atas meja
sembahyang, dus, beradanya kecapi kuno di tempat ini jelas
adalah orang-orang Bu-tong sendiri yang mengantarkan
kemari. Siapakah orangnya yang demikian royal sudah
memberikan barang pusakanya kepada orang lain"
Apakah Hian-hian Totiang" Ceng-tien" Ataukah Ittiem"
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala sementara
dalam hatinya berpikir, "Benar! Pasti It-tiem, sewaktu
melarikan diri dari gunung Bu-tong, sudah membawa pergi
alat musik kuno ini, dan diberikan kepada imam berjubah
ungu itu."
Baru saja berpikir demikian, lain pikiran terlintas dalam
otaknya, "Kalau begitu pasti pernah datang kemari."
Tubuh Touw Liong bergetar, dengan tiba-tiba di
belakang pendopo terdengar suara bentakan perlahan.
"Nona, silahkan kembali! Jangan bertindak
sembarangan di tempat ini!"
Suara itu, kemudian disusul oleh munculnya beberapa
sosok bayangan orang di atas atap pendopo belakang itu.
Bayangan orang itu ternyata terdiri dari enam orang imam
berjubah kuning, masing-masing membawa pedang panjang
dan mengurung Pek Giok Hwa di tengah-tengah mereka.
Touw Liong diam-diam merasa bersyukur karena di
dalam dan atas serta bawah pendopo kedua itu ada enam
imam berjubah kuning yang melindungi imam berjubah
ungu. Tadi, seandainya ia dengan gegabah memasuki
pendopo belakang, barangkali sudah lama diketahui oleh
enam imam itu. Ia juga mengerti apa sebabnya Pek Giok
Hwa bisa menyerbu ke bagian belakang itu. Dua imam
berjubah kuning yang di pendopo depan tadi suruh ia
pulang, karena ia merasa penasaran, barulah menyerbu ke
belakang. Touw Liong masih berdiam di tempat sembunyinya,
tetapi diam-diam sudah mengambil keputusan.
Kesatu, ia hendak menyelidiki, apakah It-tiem pernah
datang ke Ceng-sia apakah tidak"
Kedua, kepandaian Pek Giok Hwa cukup tinggi, enam
imam berjubah kuning itu pasti tak bisa berbuat apa-apa
terhadapnya, nanti setelah ia berada di dalam pendopo dan
berhadapan langsung dengan imam berjubah ungu, jikalau
keadaan berbahaya, barulah turun tangan memberi
bantuan. Dua imam berjubah kuning yang tadi menjaga di
pendopo depan, ketika mendengar suara ribut-ribut lantas
lari ke belakang, kedua-duanya berdiri di muka pintu untuk
berjaga-jaga, sedangkan imam berjubah ungu yang
bersemedi di atas tempat duduknya, masih tetap tidak
bergerak. Dari atas genteng pendopo belakang terdengar suara
bentakan, kemudian terdengar suara Pek Giok Hwa yang
membentak dengan suara lantang,
"Ciangbunjin kalian tak mau menemui nonamu, suatu
tanda bahwa ia memang ada bersalah, kalau begitu apa
yang tersiar di luar itu semuanya benar! Tak kusangka dia
melupakan budi orang lain, ia juga tidak memikirkan
dirinya sendiri, kalau ia mendapat kedudukan seperti hari
ini semata-mata karena mendapat bantuan ayah, jika ayah
tidak memandang Ciangbunjin kalian yang terdahulu, apa
dia bisa mendapat kedudukan seperti hari ini?"
Imam berjubah ungu yang duduk di tempat semedinya
ketika mendengar ucapan Pek Giok Hwa, mendadak
membuka matanya. Matanya ditujukan kepada kecapi
kuno di atas meja sejenak, kemudian memberikan perintah
dengan ulapan tangan kepada seorang imam berjubah
kuning yang mendampingi dirinya. Imam itu mengerti, lalu
mengambil kecapi kuno dan dibawanya ke belakang.
Imam berjubah ungu itu lantas mengambil pedang
panjang di atas meja, diselipkan di atas punggungnya,
perlahan-lahan bangkit dari tempat duduknya.
Pada waktu itu, di atas atap pendopo itu terdengar suara
bentakan berulang-ulang, tujuh bilah pedang di tangan
tujuh imam sudah mulai melakukan serangan kepada Pek
Giok Hwa. Dalam hati Touw Liong kembali timbul pertanyaan :
Siapakah imam berjubah ungu itu" Apakah ia Thian-siem
Tojin murid murtad golongan Ceng-sia yang pada dua
puluh tahun berselang diusir oleh perguruannya"
Bantuan apa yang diberikan oleh Pek Thian Hong
kepadanya"
Thian-siem sudah diusir oleh golongannya, bagaimana
secara diam-diam kembali ke partai Ceng-sia" Dengan cara
bagaimana pula ia bisa menjabat kedudukan ketua partai
itu" Dari sinar matanya yang bercahaya, Touw Liong mau
menduga bahwa kekuatan tenaga dalam Thian-siem Tojin
sudah mencapai ke taraf sempurna. Dari manakah
kepandaian dan kekuatan tenaganya itu" Apakah Pek
Thian Hiong membantu ia kembali ke perguruannya"
Ataukah membantu ia memulihkan kepandaian dan
kekuatan tenaganya"
Apabila imam berjubah ungu itu benar adalah Thiansiem,
yang pada dua puluh tahun berselang diusir oleh
perguruannya, apakah lantaran dia dahulu turut ambil
bagian mengepung dan membinasakan Hong-tim Sam Kiat,
hingga diketahui oleh ketuanya dan kemudian diusir oleh
perguruannya. Ketika Touw Liong berpikir sampai di situ,
darahnya terasa bergolak, katanya kepada diri sendiri
sambil menggertek gigi, "Jika benar imam itu adalah
seorang yang dahulu pernah ikut membinasakan ayah
bundaku, hari ini aku akan bunuh padanya untuk kubuat
sembahyang kepada arwah ayah bundaku di Gak-yang."
Sementara itu Pek Giok Hwa yang menghadapi kawanan
imam di atas genteng, mainkan pedangnya demikian rupam
semua gerakan ilmu pedang yang dahulu belum pernah
Touw Liong saksikan. Ilmu pedang yang hebat itu telah
berhasil mengelakkan setiap serangan rombongan imam
berjubah kuning, kemudian ia berhasil pula melepaskan diri
pula dari kepungan dan melayang turun ke bawah, berdiri
di tengah-tengah pelataran dalam.
Imam berjubah ungu waktu itu sudah keluar menyambut
kedatangan Pek Giok Hwa. Imam itu ternyata sangat licin,
begitu melihat Pek Giok Hwa, ia lantas unjukkan senyum
iblisnya, pura-pura tidak tahu ia bertanya kepada Pek Giok
Hwa. "Pinto sedang bersemedi di belakang goa, hingga tak
tahu kedatangan nona, oleh karenanya tak bisa keluar
menyambut sendiri. Dalam hal ini harap nona suka
memaafkan, entah ada urusan apa nona telah bertengkar
dengan murid-murid pinto?"
Pek Giok Hwa meskipun saat itu sedang murka, tetapi ia
juga merasa tidak pantas jikalau marah-marah terhadap
orang yang berlaku demikian sopan. Maka saat itu ia
tercengang dan tak bisa menjawab apa-apa.
Touw Liong menghela nafas dan berkata kepada diri
sendiri, "Celaka! Nona Pek telah tertipu oleh akal licik
imam itu."
Diam-diam ia memungut sepotong genteng lalu
dihancurkan menjadi beberapa potong, genteng itu
diletakkan dalam telapak tangannya.
Pek Giok Hwa masih terhitung seorang cerdas, setelah
merasa tercengang sejenak lantas pula dengarkan suara
tertawa dingin, dan berkata sambil menunjuk imam
berjubah ungu itu,
"Totiang, aku ingin bertanya padamu, ayah mendengar
kabar bahwa kecapi kuno berada di gunung Ceng-sia.
Apakah itu benar?"
Imam itu tidak menduga bahwa Pek Giok Hwa begitu
bertemu muka, perkataan pertama-tama yang keluar dari
mulutnya ialah menanyakan soal kecapi kuno itu, hingga
sesaat itu ia tak tahu bagaimana harus menjawab" Ia
sesungguhnya tidak mengerti maksud kedatangan Pek Giok
Hwa, maka sesaat itu ia menjadi gelagapan tidak bisa
menjawab. "Kalau begitu, apa yang tersiar di kalangan Kang-ouw
itu ternyata benar!" berkata pula Pek Giok Hwa sambil
tertawa dingin.
"Nona ingin bertemu dengan pinto, sebetulnya ada
keperluan apa?" bertanya imam itu yang masih pura-pura
berlagak pilon.
"Aku datang atas perintah ayah hendak minta pinjam
serupa barang kepada Totiang," berkata Pek Giok Hwa
sambil tertawa dingin.
"Barang apa?" bertanya imam berjubah ungu pura-pura
terkejut. Kemudian dengan nada suara berat ia berkata pula,
"Asal aku Thian-siem ada barang itu, nona katakan saja,
pinto pasti akan menyerahkan dengan kedua tangan!"
Dengan tegas Pek Giok Hwa berkata,
"Baik!" Setelah itu ia menjura memberi hormat seraya
berkata, "Di sini kuucapkan terima kasih terlebih dahulu kepada
totiang!" Mata Thian-siem Tojin berputaran mengawasi Pek Giok
Hwa, sedangkan Pek Giok Hwa waktu itu tampak
menghela nafas, wajahnya sangat murung. Dengan suara
sedih sekali ia berkata pula,
"Ayah sangat membutuhkan sekali kecapi kuno itu."
"Kecapi kuno?" Mengulang Thian-siem Tojin terkejut,
hingga mundur tiga langkah.
Pek Giok Hwa yang menyaksikan sikap tidak beres dari
Thian-siem, ia maju selangkah dan bertanya pula,
"Apakah kau merasa keberatan untuk meminjamkan?"
Thian-siem Tojin menggeleng-gelengkan kepala, katanya
dengan suara gugup,
"Aku tidak ada kecapi kuno itu!"
"Aku sudah tahu, bahwa kau ini adalah seorang manusia
yang berhati binatang," berkata Pek Giok Hwa yang sudah


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marah. Sementara itu Touw Liong diam-diam telah berkata
sendiri sambil menghela nafas, "Kau salah. Bukanlah dia
yang berhati binatang, sesungguhnya karena kecapi kuno
itu terlalu berharga, siapapun yang mendapatkan barang
pusaka itu sudah tentu tidak mau meminjamkan kepada
orang lain."
Thian-siem yang melihat Pek Giok Hwa marah, lalu
berkata, "Nona sesungguhnya agak keterlaluan! Dengan
perbuatanmu yang tidak berbicara soal aturan ini benarbenar
sangat mengecewakan hatiku. Barang yang tidak
kupunyai, dengan cara bagaimana kau suruh aku
memberikan kepadamu?"
Pek Giok Hwa sudah marah benar-benar, dengan alis
berdiri pedangnya dihunus, kemudian berkata lagi,
"Hari ini bagaimanapun juga kau harus menyerahkan
barang itu, jikalau tidak ada, kau juga harus pergi
mencarinya!"
Thian-siem mendongakkan kepala dan tertawa terbahakbahak,
setelah itu ia bertanya,
"Mengapa" Dengan alasan apa kau paksa aku
melakukan suatu perbuatan yang tak mungkin
kulaksanakan?"
Thian-siem memang sudah menyembunyikan kecapi
kuno itu, ucapannya itu sesungguhnya melanggar hati
nuraninya sendiri. Sebagai manusia, sedikit banyak ia
masih dipengaruhi oleh ketamakan, maka ucapannya itu
dapat dimengerti. Tetapi Pek Giok Hwa yang merupakan
seorang dari golongan ternama, juga bisa berlaku demikian
kasar, sesungguhnya mengherankan Touw Liong.
Pada saat itu, delapan imam berjubah kuning yang
berdiri di belakang Thian-siem, melompat maju sambil
menghunus pedang masing-masing. Tetapi Thian-siem
Totiang segera melarangnya, hingga delapan imam itu
lantas balik kembali.
Pek Giok Hwa yang masih marah matanya menyapu
delapan imam itu sejenak, kemudian membentak sambil
menunjuk Thian-siem,
"Apakah kau sudah lupa, pada dua puluh tahun
berselang kau telah diusir keluar dari perguruanmu,
dimusnahkan seluruh kepandaianmu, kau datang ke Cithwasan, berlutut di bawah kaki ayah minta pertolongan,
karena ayah merasa kasihan, barulah dengan bertentangan
peraturan rimba persilatan, memulihkan kepandaianmu,
bahkan ia telah menerima kau berdiam di sana lima tahun
lamanya. Di sana kau mendapat pelajaran ilmu silat yang
tak sedikit, berdasarkan ini saja kau seharusnya mengerti
dan membalas budi kebaikan ayah itu."
Mendengar ucapan Pek Giok Hwa, wajah Thian-siem
tampak merah padam, katanya sambil menggertek gigi,
"Masih baik kau jangan mengungkap-ungkap kejadian
yang sudah lalu. Jika kuingat kejadian masa lampau itu,
kegemasan dan kebencianku itu menjadi timbul lagi."
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula dengan suara
gemas, "Aku masih ingat dan merasa gemas terhadap ayahmu,
aku minta ia memulihkan kepandaian ilmu silatku, tiga hari
tiga malam aku berlutut di hadapannya, mataku sampai
menjadi merah, tetapi ia sedikitpun tidak tergerak hatinya."
Touw Liong ketika mendengar ucapan itu sadarlah ia,
hubungan Thian-siem Tojin dengan ketua Cit-phoa-san,
pantas Pek Giok Hwa bertindak demikian kasar
terhadapnya. Lain pikiran terlintas dalam otaknya, ia lalu berkata
kepada diri sendiri, "Untuk apa Pek Thian Hiong
membutuhkan kecapi kuno Cit-san-bo-kiem itu?"
Pertanyaan itu masih belum mendapat jawabannya,
sudah terdengar suara Thian-sim yang berkata sambil
tertawa dingin,
"Kemudian aku pura-pura bersumpah di hadapannya,
barulah ayahmu tergerak hatinya mau memulihkan
kepandaianku, juga memberi pelajaran beberapa macam
ilmu silat. Kalau aku bisa mendapat kedudukan seperti
sekarang ini, itu semata-mata karena aku menjumpai
kejadian gaib, itu atas usahaku sendiri."
Pek Giok Hoa yang mendengar ucapan tidak karuan itu
wajahnya berubah pucat, katanya dengan suara marah,
"Ayahku masih pandang kau sebagai manusia, ternyata
kau hanya seorang manusia yang berhati binatang. Lima
belas tahun berselang ketika kau menghilang dari gunung
Cit-phoa-san, ayah masih memerlukan dan memerintahkan
semua anak muridnya untuk mencari selama tiga hari tiga
malam lamanya. Hari kau kembali ke gunung Ceng-sia,
kau lantas melupakan semua sumpahmu di hadapan ayah."
"Kalau kau telah membicarakan urusanku pada lima
belas tahun berselang, aku masih tidak berapa marah, tetapi
kau ungkat lagi urusan itu, aaa ... sudah lima belas tahun
lamanya! Lima belas tahun berselang, ayahmu karena
hendak membuat semacam obat ajaib, hanya kurang
beberapa macam obat-obatan, sungguh menjemukan, waktu
itu siapapun ia tidak memerintahkan hanya suruh aku pergi
ke belakang gunung untuk mencari daun obat yang
diperlukan. Waktu itu, aku memasuki daerah pedalaman
gunung itu hingga beberapa ratus pal jauhnya, sampai
masuk ke daerah perbatasan Tibet, masih belum berhasil
menemukan daun obat yang diperlukan itu. Pada suatu
hari, selagi aku mendaki puncak bukit, dengan tiba-tiba
mendengar desiran angin, kemudian aku telah terpukul
jatuh oleh tangan orang sehingga pingsan."
Berkata sampai di situ, ia menghela nafas, kemudian
melanjutkan kata-katanya,
"Waktu aku sadar kembali, hidungku telah mencium bau
amis yang memuakkan, aku merasakan aneh. Ketika aku
membuka mata, semangatku terbang seketika, karena aku
telah dipanggul oleh satu makhluk tinggi besar yang mirip
dengan manusia tetapi bukan manusia, sekujur badannya
tumbuh bulu panjang warna putih, makhluk aneh yang
tinggi besar itu telah membawaku masuk ke dalam sebuah
gua kuno ...."
Touw Liong yang mendengar ucapan itu ia lantas
menduga bahwa makhluk aneh yang diucapkan oleh Thiansim
tadi, tentunya manusia salju.
Bab 41 Seolah-olah masih merasa jeri, Thian-sim melanjutkan
ceritanya, "Waktu itu aku sebetulnya ingin turun tangan menotok
jalan darah makhluk aneh itu, aku mencoba meraba-raba
kulit dan dagingnya, makhluk aneh itu ternyata memiliki
kulit tebal dan keras bagaikan baja, dan totokanku itu tidak
berhasil membinasakannya, maka kedua kakiku yang
dikempit olehnya, apabila ia marah, bukankah bisa
mengoyak badanku menjadi dua potong" Maka akhirnya
aku terpaksa bersabar, tak berani turun tangan secara
gegabah. Selagi memikirkan cara bagaimana untuk
melepaskan diri, makhluk aneh itu dengan tiba-tiba
menghentikan langkahnya setelah itu ia melemparkan
diriku ke tanah, maka selanjutnya aku kembali menjadi
pingsan. Ketika aku sadar lagi, aku merasa untuk kedua
kalinya aku hidup kembali! Ketika aku membuka mata,
aku ternyata berada di dalam sebuah gua yang
penerangannya hanya samar-samar, di dalam gua itu
terdapat banyak tulang-tulang dan tengkorak. Aku juga
tidak tahu, tulang-tulang dan tengkorak itu apakah tulangtulang
manusia ataukah tulang-tulang binatang" Pendek
kata, tulang-tulang itu sudah tak dapat dibedakan, tulangtulang
manusia ataukah tulang-tulang binatang. Tetapi aku
di dalam tumpukan tulang-tulang itu menemukan sesuatu,
di samping sebuah tulang, aku telah menemukan sebilah
pedang, di samping itu masih ada sejilid kitab. Pedang itu
adalah pedang yang sangat bagus. Dengan pedang di
tangan, aku mulai bersemangat lagi. Kitab itu kuambil dan
kusimpan dalam saku, dengan membawa pedang panjang
itu aku berjalan keluar dari dalam gua. Tak disangkat,
makhluk aneh itu ternyata sudah mendengar gerakan
kakiku. Ia berdiri di mulut gua untuk merintangi
perjalananku. Setelah itu ia membuka mulutnya yang lebar,
dari mulut itu mengeluarkan suara yang aneh. Sebentar
kemudian terdengar suara aneh tadi, di mulut gua itu
dengan tiba-tiba muncul enam makhluk aneh yang lain."
Berkata sampai di situ, jidat Thian-sim sudah mulai
berkeringat, ia mengeringkan keringat di jidatnya, lalu
mulai ceritanya lagi,
"Dengan mengandalkan pedang itu, aku berjuang satu
hari satu malam lamanya melawan kawanan makhluk aneh
itu, barulah aku berhasil melarikan diri dari gua itu."
Ini memang merupakan suatu kisah yang sangat
menarik, maka Pek Giok Hoa yang mendengarkannya lalu
berkata, "Jadi kau sudah berhasil membunuh tujuh makhluk aneh
itu, dan menggunakan waktumu lima belas tahun untuk
mempelajari isi dalam kitab itu?"
Thian-sim mengangguk-anggukkan kepala.
"Apakah isi dalam kitab itu adalah pelajaran ilmu silat
tertinggi?" bertanya pula Pek Giok Hoa.
Kembali Thian-sim menganggukkan kepala.
"Setelah kau berhasil mempelajari ilmu tertinggi itu, apa
kau lantas balik ke Ceng-sia, karena waktu itu suhumu
sudah meninggal dunia, maka kau menggunakan pedang
kuno yang kau dapatkan dari dalam gua itu untuk
membunuh suheng dan sutemu, paksa murid-murid
golongan Ceng-sia supaya mengangkat kau menjadi ketua?"
Thian-sim menganggukkan kepala dengan sikap bangga,
katanya dengan tidak membantah pertanyaan Pek Giok
Hoa, "Kedudukan ciangbunjin itu seharusnya memang
menjadi kepunyaanku! Aku sebetulnya memang murid dari
ketua golongan Ceng-sia, siapa yang suruh mereka tidak
tahu diri dan memaksa aku bertindak keras terhadap
mereka?" Touw Liong yang mendengarkan dari tempat
persembunyiannya, darahnya merasa mendidih. Diamdiam
mengutuk imam itu yang berhati sangat kejam
terhadap saudara seperguruannya sendiri.
"Hatimu demikian kejam, tampaknya sumpahmu itu
akan manjur dan berbakti kepada dirimu sendiri," berkata
Pek Giok Hoa sambil tertawa dingin.
"Kita jangan perbincangkan soal sumpahku itu manjur
atau tidak. Dahulu, ayahmu telah menyiksa aku demikian
rupa, sewaktu aku minta ia memulihkan kekuatan dan
kepandaianku, aku pernah bersumpah kepada diri sendiri :
SATU HARI KELAK APABILA AKU BISA
MENDAPATKAN KEPANDAIAN TINGGI DAN
KEDUDUKAN BAIK, HM! AKU HENDAK
MENUNTUT BALAS, DENGAN CARA BAGAIMANA
AYAHMU MENYIKSA AKU, AKU AKAN BALAS
SEPERTI APA YANG PERNAH IA LAKUKAN
TERHADAP DIRIKU."
Pek Giok Hoa yang mendengar ucapan terus terang dari
Thian-siem, wajahnya berubah seketika dalam hati bergidik
sendiri. Sedangkan Touw Liong yang berada di atas
genteng menggertak giginya.
"Sekarang aku baru tahu bagaimana sifatmu. Kiranya
kau adalah seorang yang bukan saja tidak berbudi, bahkan
terlalu jahat sekali. Entah berapa banyak kejahatan yang
sudah kau lakukan" Sekarang coba kau ceritakan dalam
hidupmu ini kau pernah melakukan kejahatan apa saja?"
bertanya Pek Giok Hoa.
Thian-siem menggelengkan kepala dan berkata,
"Orang lain biasanya kalau bersumpah hendak
melakukan sepuluh perbuatan baik, tetapi aku sebaliknya,
aku telah bersumpah hendak melakukan sepuluh
kejahatan."
"Kau sudah melakukan berapa banyak kejahatan?"
bertanya pula Pek Giok Hoa.
Thian-siem mendongakkan kepala mengawasi langit
yang gelap, seolah-olah mengenangkan kembali apa yang
sudah dilakukan pada masa yang lalu. Tampak ia berpikir
dulu sejenak, kemudian baru menjawab,
"Pertama, pada dua puluh tahun berselang, di atas loteng
Gak-ang, aku ikut mengepung Hong-tiem Sam Kiat ...."
Touw Liong yang mendengar keterangan itu, seperti
disambar geledek, dengan tiba-tiba ia mengdongakkan
kepala dan mengeluarkan siulan yang memilukan hati.
Setelah itu kakinya menjejak permukaan genteng, di tengah
udara berputaran sejenak, kemudian melayang turun ke
dalam pendopo. Karena kejadian itu terjadinya dengan mendadak, maka
baik Thian-siem maupun Pek Giok Hoa semua dikejutkan
olehnya, masing-masing lompat mundur tiga tombak lebih.
Dengan sikap sangat gagah Touw Liong berdiri di
tengah-tengah pelataran dalam pendopo itu, memandang
Thian-siem dengan mata mendelik, kemudian barulah
menghampiri Pek Giok Hoa dengan langkah lebar. Setelah
Pek Giok Hoa melihat tegas diri Touw Liong, katanya
dengan suara girang,
"Touw tayhiap!"
"Nona Pek ....," demikian Touw Liong menyahut.
Setelah itu ia mengulurkan tangannya kepada Pek Giok
Hoa, katanya dengan suara perlahan,
"Nona Pek, tolong pinjam pedangmu sebentar."
Pek Giok Hoa tidak berkata apa-apa, pedangnya
diserahkan kepada Touw Liong.
Touw Liong menyambut pedang itu, Thian-siem lalu
menuding Touw Liong dengan pedangnya, tertawa
terbahak-bahak dan berkata,
"Bocah! Jadi kau ini adalah Touw Liong?"
"Benar! Tuan mudamu ini adalah keturunan dari Touw
Giok Kun, salah satu dari Hong-tiem Sam Kiat," menjawab
Touw Liong dengan suara gusar.


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"It-tiem pernah berkata padaku bahwa kau sekarang
sudah memiliki kepandaian yang cukup berarti, cepat atau
lambat akan datang ke Ceng-sia. Kalau begitu, bagus.
Sejak aku mempelajari ilmuku yang tiada taranya ini, belum
pernah melakukan pertandingan dengan orang. Hari ini
malaikat telah mengirim kau ke gunung Ceng-sia, ini
merupakan suatu bukti bahwa keinginanku hendak
mencoba kepandaianku itu telah tercapai. Mari! Kita
berdua boleh bertempur sepuas-puasnya, aku ingin lihat
apakah benar ucapan It-tiem itu?" berkata Thian-siem
sambil tertawa dingin.
"Kapan It-tiem datang kemari?" bertanya Touw Liong.
"Tujuh hari berselang."
"Ada keperluan apa ia mencari kau?"
"Ada dua urusan. Pertama, ialah memperingatkan aku,
katanya kau bocah sedang mencari aku hendak menuntut
balas dendam orang tuamu. Kedua, ialah mengantarkan
padaku sebuah kecapi kuno."
"Apa ia masih minta pertolongan kepadamu kembali ke
Bu-tong untuk merebut kembali kedudukan ketua."
"Bocah, kau benar-benar sangat pintar. Dugaanmu ini
benar." "Di mana ia sekarang berada?"
"Ia sedang melakukan perjalanan untuk menghubungi
sepuluh partai besar, dengan terus terang, kau bocah boleh
merasa bangga, karena kau sudah berhasil menakut-nakuti
dia." "Sekarang kemana ia pergi?"
"Ke gunung Ngo-bi."
"Dahulu sepuluh orang yang turut dalam peristiwa Gakyanglaow siapa-siapa saja?"
Thian-siem menggeleng-gelengkan kepala, katanya
dengan suara gagah,
"Aku hanya dapat memberitahukan padamu dua patah
kata, yang lainnya aku tidak dapat menceritakan
kepadamu."
"Katakanlah!"
"Orang yang membunuh Touw Giok Kun adalah Ittiem.
Dan yang membunuh Kang In Hui adalah aku
sendiri!" "Jikalau kau tidak mau mengatakan seluruhnya, jangan
salahkan kalau aku si orang she Touw terlalu kejam!"
"Sudah lama aku menantikan kedatanganmu untuk
mencoba kepandaianmu," berkata Thian-siem sambil
tertawa dingin.
"Benarkah Kang tayhiap kau yang membunuh?"
"Apakah aku perlu harus membohongi kau?"
"Biarlah kau hidup beberapa hari lagi, hari ini aku tidak
akan membunuh kau!"
Thian-siem merasa heran, ia bertanya,
"Bocah, mengapa kau tidak berani bertanding
denganku?"
Touw Liong mengeleng-gelengkan kepala dan berkata,
"Karena kau adalah orang yang membunuh empek
Kang, ada orang lain yang akan mencari kau untuk
membuat perhitungan sendiri."
Thian-siem tercengang, tanyannya,
"Siapa?"
"Kalau sudah tiba waktunya kau nanti akan tahu
sendiri." "Tidak bisa, Ceng-sia bukanlah rumah penginapan yang
kau boleh datang dan pergi menurut seenak perutmu. Hari
ini kalau kau tak meninggalkan apa-apa, bolehkah kau pergi
begitu saja?"
"Habis, kau mau apa?"
"Mari kita bertempur sampai seribu jurus!"
Touw Liong menggelengkan kepala dan berkata,
"Aku tidak mempunyai waktu luang."
Thian-siem melambaikan tangannya, delapan imam
berjubah kuning secepat kilat sudah mengurung Touw
Liong di dalam pelataran itu, Pek Giok Hoa perlahan-lahan
menggeser kakinya, merapat dengan Touw Liong, sedang
mulutnya bergerak-gerak beberapa kali.
Touw Liong juga menggerakkan mulutnya kepadanya.
Meskipun Thian-siem tidak dapat mendengar apa-apa
yang dibicarakan oleh mereka, tetapi ia tahu bahwa mereka
sedang merundingkan sesuatu. Sambil mengerutkan alisnya
ia memandang dua orang itu secara bergiliran, ia berkata
kepada diri sendiri, "Dua orang ini memang tidak kenal,
mengapa begitu bertemu muka kelakuannya seperti kawan
lama" Kedatangan mereka rupa-rupanya memang
ditujukan kepada diriku."
Dengan sebetulnya, Touw Liong dan Pek Giok Hoa saat
itu sedang bercakap-cakap dengan menggunakan ilmu
menyampaikan suara ke dalam telinga, Pek Giok Hoa
berkata kepada Touw Liong, "Thian-siem ada mempunyai
sebuah kecapi kuno, ayah membutuhkan alat itu dan
hendak digunakan sebentar, apakah Touw tayhiap sudi
membantu?"
Sebagai jawaban Touw Liong berkata, "Kira-kira
seperempat jam berselang aku masih melihat dengan mata
kepala sendiri kecapi kuno itu yang kemudian dibawa oleh
imam berjubah kuning ke pendopo belakang. Kecapi kuno
ini kalau kuambil dan kuberikan kepada nona, rasanya
kurang tepat. Sebab, kecapi ini adalah barang pusaka milik
partai Bu-tong, sedangkan aku dengan Hian-hian Totiang
dari Bu-tong ada mempunyai hubungan persahabatan yang
baik, jika kuberikan kecapi ini kepadamu, dikemudian hari
apabila bertemu muka lagi dengan Hian-hian Totiang,
rasanya tidak enak."
Pek Giok Hoa mengerutkan alisnya, menghela nafas
perlahan. Touw Liong berkata pula,
"Begini saja, sebentar kalau aku sudah bertempur dengan
Thian-siem, dan menjatuhkan beberapa anak buahnya,
nona boleh turun tangan menangkap seorang di antaranya,
paksa imam itu supaya mengantar nona ke belakang gua.
Dengan kecerdikan nona, tidak susah rasanya untuk dapat
menemukan kecapi kuno itu."
Pek Giok Hoa menganggukkan kepala. Touw Liong
tiba-tiba mendapat pikiran lain, katanya sambil menggertak
gigi. "Thian-siem bukanlah orang dari golongan baik. Imam
yang bisa bekerja sama dengannya, delapan imam berbaju
kuning itu juga belum tentu orang-orang dari golongan
baik! Mengapa kita tidak bertindak begini saja?"
Ia lalu mengembalikan pedangnya kepada Pek Giok
Hoa, memberi isyarat dengan mata kepadanya, dan Pek
Giok Hoa yang rupanya sudah mengerti, balas dengan
senyuman. Dengan tiba-tiba Touw Liong mengeluarkan suara siulan
nyaring, setelah itu orangnya bergerak melesat, tangan kiri
mengerahkan ilmunya Thay-it Sin-kang, melancarkan
serangan dengan ilmunya Thay-it Sin-jiauw, sedang tangan
kanan mengerahkan ilmunya Tay-lo Kim-kong Sian-kang,
melancarkan serangan Kim-kong-ci. Dengan demikian jari
tangan dan tangan bergerak berbareng hingga menimbulkan
hembusan angin hebat.
Hembusan angin yang keluar dari lima jari tangan
kanan, telah berhasil menotok rubuh lima orang imam
berbaju kuning, sedangkan serangan tangan kiri digunakan
untuk menyerang Thian-siem. Bersamaan dengan
gerakannya itu, mulutnya baru mengeluarkan suara
bentakan, "Awas!"
Dalam keadaan yang tidak berjaga-jaga, lima imam
berbaju kuning terkena serangan hebat oleh Touw Liong,
sedangkan Thian-siem Tojin sendiri juga menerima
gebukan. Serangan yang menggunakan jari tangan itu tidak
tampak bayangannya juga tidak tampak wujudnya,
hembusan angin yang keluar dari jari tangannya bisa
mencapai sejarak 3 tombak hingga bagi orang yang diserang
sulit untuk mengelak atau menyingkir. Maka begitu Touw
Liong melancarkan serangannya, Thian-siem Tojin sudah
menjadi korban.
Tetapi Thian-siem bagaimanapun juga merupakan salah
seorang tokoh terkemuka, sudah tentu berbeda dengan
orang Kang-ouw biasa. Begitu hembusan angin yang keluar
dari jari Touw Liong baru saja menyentuh tubuhnya, ia
sudah menjatuhkan diri ke belakang dan lompat ke
belakang sejauh 3 tombak.
Thian-siem berdiri di undak-undakan pendopo,
wajahnya berubah seketika. Pada saat itu meskipun ia
terlepas dari serangan jari Touw Liong, tetapi lima jalan
darah depan dadanya merasa sedikit kesemutan.
Ia lalu mengurut-urut dadanya sendiri dan mencoba
mengatur pernafasannya. Ia baru tahu bahwa dirinya
belum terluka, barulah merasa lega. Sementara itu dalam
hatinya sudah merasa bergidik.
Serangan Touw Liong itu benar-benar sudah
meruntuhkan semangatnya. Dengan mata mendelik ia
mengawasi lima imam berbaju kuning yang rebah
terlentang di tanah, mereka satu persatu dalam keadaan tak
berdaya, mulut mereka mengeluarkan rintihan, meskipun
belum mati, tetapi sudah jelas tertotok hebat oleh Touw
Liong. Tampaknya luka dari serangan jari tangan itu
jikalau tidak beristirahat 3 atau 4 bulan lamanya, susah
pulih kembali tenaganya. Sedangkan 3 imam lain yang
belum terluka berdiri jauh-jauh bagaikan patung.
Sebagai ketua dari suatu golongan, Thian-siem itu
biasanya menganggap dirinya sendiri sebagai tokoh terkuat
nomor satu, siapa sangka sejurus saja belum habis, sudah
terpukul demikian mengenaskan, bagaimana ia dapat
menahan amarahnya" Apabila hal itu tersiar di kalangan
Kang-ouw, bagaimana Thian-siem masih bisa tempatkan
diri dalam rimba persilatan"
Oleh karena berpikir demikian, maka sesaat itu hawa
amarahnya lantas meluap, dengan menggerakkan pedang
panjangnya ia lompat masuk ke dalam pekarangan
pendopo, kembali memandang Touw Liong dari atas
sampai bawah, kemudian berkata,
"Kau hanya bisa melakukan serangan secara pengecut.
Ha ha! Apakah kau masih terhitung seorang gagah?"
Touw Liong tertawa dan balas bertanya,
"Menyerang secara pengecut" Apakah yang kau
namakan secara pengecut" Anak buahmu yang terdiri dari
delapan imam berbaju kuning itu, dengan mengandalkan
jumlah orang yang banyak telah mengurung diriku, oleh
karena untuk membela diri, terpaksa aku bertindak lebih
dahulu untuk memberi ajaran sedikit kepada mereka,
apakah ini juga terhitung sebagai perbuatan pengecut?"
Thian-siem bungkam, lama ia baru berkata sambi
menunjuk 5 imam berbaju kuning yang menggeletak di
tanah, "Sekarang tak perlu banyak bicara lagi, hutang darah
mereka itu, pinto tidak terlepas kewajiban untuk menuntut
balas bagi mereka. Hutang darahmu terhadap mereka aku
hendak menagih kembali semua. Aku selamanya tidak
suka bertempur dengan lawan bertangan kosong, mereka
berlima ada memiliki 5 buah pedang, kau boleh memilih
salah satu di antaranya."
JILID 16 Ini berarti bahwa ia mau bertempur dengan Touw Liong
dengan menggunakan pedang. Kata-katanya itu
kedengarannya memang seperti seorang ksatria, tetapi
sebenarnya dalam hatinya masih merasa takut untuk
menghadapi Touw Liong yang memiliki kepandaian yang
demikian hebat. Pikirnya : jikalau Touw Liong tak
menggunakan 2 macam ilmunya yang luar biasa tadi,
dengan pedang biasa saja untuk menghadapi pedang pusaka
di tanganku belum tentu ia bisa memenangkan diriku!
Lagipula tiap tokoh kuat rimba persilatan yang mahir
dengan ilmu tangan dan ilmu jari tangan, kebanyakan
kurang becus menggunakan pedang. Tidak mungkin ia
yang masih demikian muda memiliki berbagai macam ilmu
silat yang seluruhnya mahir!
Ia melihat Touw Liong sekarang bertangan kosong,
maka ia menduga pasti bahwa Touw Liong tidak mahir
dalam ilmu pedang.
Bagi dirinya sendiri, selama itu ia terus menganggap
bahwa ilmu pedang yang dipelajarinya itu adalah ilmu
pedang nomor satu yang tiada duanya dalam dunia, maka
di dalam keadaan sehabis ketakutan setengah mati, masih
menantang Touw Liong dengan pedang.
Touw Liong tidak berkata apa-apa, ia menganggukkan
kepala, dengan menuruti kehendaknya ia berjalan
menghampiri 5 imam yang menggeletak di tanah, dari
badan mereka mengambil sebilah pedang, begitu pedang di
tangan, lalu digerakkan, hingga menimbulkan suara
mengaung dan percikan api bagaikan bintang bertebaran.
Sebagai ahli pedang. Thian Siem sudah tentu lantas
mengetahui bahwa Touw Liong juga mahir dalam ilmu
pedang, oleh karenanya, kembali hatinya merasa jeri.
Tetapi karena sudah terlanjur menantang, terpaksa ia hanya
bisa menghela nafas panjang, tanpa mengucapkan sepatah
katapun juga, ia lantas menggerakkan pedangnya untuk
melakukan serangan.
Dalam hati Touw Liong terkejut. Pikirnya, imam ini
ternyata bukan orang sembarangan, kiranya ilmu pedang
Hok-mo Kiam-hwat yang dahulu pernah menggemparkan
dunia Kang-ouw dan sudah beberapa ratus tahun
menghilang di rimba persilatan. Kalau begitu, tengkorak
yang diketemukan oleh Thian Siem di dalam goa kuno itu
pasti adalah tengkoraknya Thian-lam tayhiap.
Kembali ia mengawasi pedang di tangan Thian Siem
yang memancarkan sinarnya yang berkilauan, sementara
dalam hatinya berpikir : Pedang ini tak usah dikata juga
pasti adalah pedang Hok-mo-kiam yang lama dikabarkan
telah menghilang dari rimba persilatan.
Thian-siem melihat Touw Liong mengawasi pedang di


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya, dengan sikap termangu-mangu, dianggapnya
merasa takut, maka ia lalu bertanya sambil tertawa dingin,
"Bocah! Apakah kau mengenali pedangku" Apakah kau
juga mengenali ilmu pedangku?" Touw Liong mengerutkan
alisnya, pura-pura menggelengkan kepala dan kemudian
berkata, "Aku tidak tahu ilmu pedang itu apa namanya,
tetapi aku dapat mengenali, bahwa ilmu pedang itu mirip
dengan ilmu pedang Tay-lo Kim-kong-kiam yang dahulu
pernah dimainkan oleh Hui-thian Giok-tiang Liu taihiap,
sedang pedang ini juga sama hebatnya dengan pedang Ginkwat
Ceng-kiam milik Liu Taihiap!"
Thian-siem totiang menganggukkan kepala dengan sikap
dingin, ia memuji Touw Liong seraya berkata,
"Bocah, pengetahuanmu ternyata cukup luas!"
"Pedangnya meskipun bagus, tetapi pedang pusaka dan
pedang sakti sejak dahulu harus dimiliki oleh orang yang
bijaksana ...." berkata Touw Liong sambil tertawa dingin.
Bab 42 UCAPAN TOUW LIONG ITU yang dimaksudkan
ialah : Thian-siem sebenarnya tidak pantas untuk
menggunakan pedang pusaka seperti itu.
Thian-siem tahu bahwa Touw Liong mengejek dirinya,
tetapi ia tidak marah.
Mengenai ilmu pedangnya, ilmu pedang Hok-mo Kiamhwat,
selisih tak banyak dengan ilmu pedang Tay-lo Kimkongkiam. Tentang pedangnya sendiri, pedang Hok-mokiam
adalah sebilah pedang pusaka, kalau dibanding
dengan pedang panjang di tangan Touw Liong sudah tentu
jauh lebih berharga. Oleh karena Touw Liong mengetahui
perbedaan yang sangat jauh itu, maka ia harus berusaha
jangan sampai mengadu pedang di tangan kanannya,
tangan kiri digunakan ilmunya Liang-gie Sim-hwat, bahkan
diam-diam sudah mengerahkan pula ilmunya Thay-it Sinjiauw
di jari tangannya. Thian-siem yang sudah
mengetahui telah berhadapan dengan seorang lawan
tangguh, diam-diam menghela nafas. Katanya,
"Bocah, marilah kita mulai!"
Touw Liong menerima baik. Pedang di tangan
kanannya mulai menggunakan ilmunya Kim-kong-kiam,
sejurus demi sejurus dilancarkan untuk menyerang
lawannya. Thian-siem tidak berani berlaku gegabah, juga
menggunakan ilmu pedangnya Hok-mo-kiam untuk
menghadapi ilmu pedang Kim-kong-kiam. Dalam waktu
yang sangat singkat, pertempuran sengit terjadi di dalam
goa Thian-su-tong. Waktu itu sudah jam 3 malam, selagi
semua orang sedang tidur nyenyak, semua tentu tidak
menyangka bahwa di dalam goa di gunung Ceng-sia-san
telah terjadi pertempuran mati-matian.
Pek Giok Hwa yang menonton di samping tampak
berdiri tertegun. Ia telah lupa pesan Touw Liong tadi
karena dalam seumur hidupnya ia belum pernah
menyaksikan pertandingan pedang yang demikian hebat.
Selama itu, ilmu Thay-it Sin-jiauw di tangan kiri Touw
Liong masih belum digunakan maka selama itu, hanya
tampak berkelebatnya dua bilah pedang yang berputaran,
tidak tampak bayangan orangnya, sampaipun Pek Giok
Hwa, yang merupakan salah seorang jago golongan wanita,
juga menyingkir jauh-jauh karena hebatnya hembusan
angin yang keluar dari dua bilah pedang itu. Sementara itu,
lima imam yang berada dalam keadaan terluka parah sudah
disingkirkan keluar oleh tiga imam berbaju kuning. Pada
saat itu, di dalam ruangan itu hanya tinggal Pek Giok Hwa
seorang yang masih berdiri menyaksikan pertempuran itu.
Dengan tiba-tiba Touw Liong menggunakan ilmu
menyampaikan suara ke dalam telinga untuk
memperingatkan Pek Giok Hwa tentang pesannya tadi,
"Nona Pek, apakah hingga saat ini kau masih belum
bertindak mengambil kecapi kuno itu" Kau masih tunggu
kapan lagi?"
Pek Giok Hwa baru sadar. Ketika ia melihat keadaan di
sekitarnya, para imam berbaju kuning tadi ternyata sudah
tak ada semua. Ia diam-diam menyesali dirinya sendiri,
waktu itu ia tampak di bagian belakang goa Thian-su-tong
itu pintunya tengah terbuka, di dalamnya masih tampak
samar-samar sinar pelita.
Ia mengerutkan alisnya, dengan tiba-tiba mendapat suatu
akal, lalu berjalan masuk ke goa itu dengan pedang di
tangan. Berjalan belum beberapa langkah, telinganya mendengar
suara Touw Liong, "Nona Pek, hati-hati, goa Thian-su-tong
ini tak dapat dibedakan dengan goa biasa, awas dengan
pesawat rahasia!"
Pek Giok Hwa tertarik oleh peringatan itu, ia lantas
berhenti, dan berpaling ke arah Touw Liong yang sedang
bertempur sengit. Ia tersenyum kepadanya, kemudian
melanjutkan langkahnya menuju ke goa kuno itu.
Goa Thian-su-tong itu adalah tempat terpenting bagi
partai Ceng-sia-pay, sudah tentu tak dapat dimasuki secara
sembarangan. Pek Giok Hwa juga mengerti peraturan itu,
maka ketika ia tiba di mulut goa lantas berhenti, dengan
sikap sangat hati-hati, matanya memandang atas bawah kiri
kanan goa itu, tetapi tidak ada suatu tempat yang patut
dicurigai. Ia adalah gadis keluaran golongan Cit-phoa-san,
selamanya itu pandang dirinya sendiri terlalu tinggi,
sifatnya agak tinggi hati. Setelah melihatnya sejenak, ia
mengangguk-anggukkan kepala, tangannya menyambar
sebuah buntalan tempat duduk piranti bersemedi,
dilemparkan ke pintu goa, ternyata tidak terdapat reaksi
apa-apa, pintunya masih tetap setengah tertutup dipandang
dari luar, dalam goa itu ada sebuah meja sembahyangan, di
atasnya terdapat sebuah kecapi kuno yang sedang dicarinya.
Kecapi kuno itu mempunyai daya penarik terlalu besar
buat Pek Giok Hwa, karena maksud kedatangannya ke
tempat itu ialah untuk mendapatkan kecapi itu maka begitu
melihat barang pusaka itu terletak di hadapannya, tidak
cukup dari 5 tombak, sudah melupakan bahaya yang
berkali-kali diperingatkan oleh Touw Liong. Dengan
pedang terhunus, orangnya bergerak secepat kilat melesat
masuk ke dalam goa.
Baru saja ia menerobos masuk ke dalam goa, tiba-tiba
terdengar suara keresekan, pintu goa yang setengah tertutup
tadi dengan mendadak tertutup rapat, kemudian dari dalam
goa terdengar suara jeritan melengking.
Suara jeritan itu bagaikan pedang tajam menikam di ulu
hati Touw Liong, hingga sesaat itu sekujur badannya
menggetar, gerakan pedangnya juga terpengaruh. Thiansiem
sebaliknya merasa girang, ia memperdengarkan suara
tertawa dingin kemudian pedangnya bergerak, dan berhasil
menyontek pedang Touw Liong sehingga terlepas dari
tangannya. Kembali ia perdengarkan suara tertawanya, setelah itu
ujung pedangnya digerakkan demikian cepat mencecar
dada Touw Liong.
Untuk Touw Liong yang menghadapi bahaya besar itu
masih bisa berlaku tenang, dicecar demikian, ia lompat
mundur 10 langkah, secepat kilat tangan kirinya bergerak
melakukan serangan pembalasan dengan ilmu Thay-it Sinjiauw,
untuk menyerang Thian-siem yang mengejar dirinya.
Sementara itu tangan kanannya juga melancarkan serangan
dengan ilmunya Kim-kong-jiauw, dengan lima jari tangan,
ia melakukan serangan. Hembusan angin yang meluncur
keluar menyerbu kepada diri Thian-siem. Thian-siem yang
tak keburu mengelakkan diri terkena serangan dengan tepat.
Serangan dan hembusan angin yang keluar dari jari tangan
Touw Liong sesungguhnya tidak ringan, hingga Thian-siem
jatuh terguling, sedang pedang pusaka di tangannya juga
terlepas dan menancap di sebuah tiang kayu. Sedangkan
Thian-siem sendiri lantas menyemburkan darah dari
mulutnya. Thian-siem mengawasi Touw Liong dengan mata
melotot, ia memandang pedangnya yang menancap di atas
tiang, gagangnya masih bergoyang-goyang, ia lalu berkata
sambil mengertak gigi,
"Bocah she Touw! Permusuhan ini tak akan berakhir,
sampai ketemu di lain waktu!"
Ia masih berusaha hendak mencabut pedangnya, tetapi
baru melompat hanya 5 kali saja, kembali sudah
menyemburkan darah dari mulutnya, maka buru-buru
menekap dadanya dan dari sakunya mengeluarkan
beberapa pil, ditelan ke dalam mulut, setelah itu ia
memandangnya sekali lagi kepada Touw Liong, lantas
berjalan keluar.
Touw Liong mengawasi Thian-siem keluar dari
pendopo, ia masih tetap dengan sikapnya sebagai seorang
ksatria, tidak mau mengambil tindakan terhadap seorang
musuh yang sudah terluka parah.
Dengan termangu-mangu ia mengawasi berlalunya
Thian-siem, sesaat kemudian ia baru teringat bahwa di
dalam goa Thian-su-tong tadi terdengar suara jeritan dari
Pek Giok Hwa, ia dapat menduga bahwa Pek Giok Hwa
saat itu masih dalam keadaan bahaya maka buru-buru
lompat keluar untuk mengejar Thian-siem. Tetapi Thiansiem
dan seorang imam berbaju kuning sudah tidak tampak
lagi bayangannya, sedangkan lima imam lain yang rebah di
tanah tampaknya sudah tak bisa hidup lagi. Ketika ia
memandang keadaan sekitarnya lagi, di sana-sini tampak
gelap gulita, keadaan di situ sepi-sunyi, tak tampak
bayangan seorang pun juga.
Touw Liong merasa sangat menyesal, ia balik lagi ke goa
bagian belakang, ketika ia menengok ke atas, pedang Hokmokiam yang tadi menancap di situ ternyata sudah tidak
ada. Touw Liong diam-diam bergidik, ia lantas lompat
melesat ke atas genteng, di situ ia memandang keadaan
sekitarnya, di dalam suasana gelap, ditempat sejauh kirakira
30 tombak, tampak sesosok bayangan orang sedang
turun gunung dengan menggunakan ilmunya meringankan
tubuh yang luar biasa hebatnya.
"Siapa dia?" demikian Touw Liong bertanya-tanya
kepada diri sendiri.
Memang benar, kalau dilihat dari ilmunya meringankan
tubuh bayangan itu, sudah merupakan salah seorang tokoh
kuat dari rimba persilatan.
Siapakah orang itu?" Touw Liong tidak pergi mengejar,
karena ia mengerti, apabila ia mengejar, rasanya juga tidak
mudah mencandak orang itu, lagipula apabila ia berlalu
dari tempat itu, Pek Giok Hwa yang berada di dalam goa
tentu tidak ada orang yang mengawasi, apabila terjadi
kesalahan lagi atas dirinya, bukankah akan merupakan
penyesalan seumur hidup"
Dengan perasaan masgul Touw Liong lompat turun dari
atas genteng, matanya memandang pintu goa Thian-sutong
yang tertutup rapat sambil menghela napas, ia tidak
berdaya sama sekali, tak tahu bagaimana harus bertindak"
Ia kini pasang telinga, tetapi Pek Giok Hwa yang berada
di dalam goa tadi setealah perdengarkan suara jeritannya,
tidak terdengar suara apa-apa lagi, hingga Touw Liong
semakin cemas. Ia ingat bahwa di sekitar daerah itu banyak sekali
jumlahnya bangunan kuil, kaum imam juga terdapat
ratusan jumlahnya, tentu ada yang tahu rahasianya
membuka pintu goa itu, tetapi letak goa itu di bagian
belakang gunung Ceng-sia, sedangkan kuil-kuil itu
dibangun di bagian depan, yang terdekat juga masih
terpisah kira-kira tiga sampai lima pal jauhnya, sudah tentu
ia tidak bisa mencari orang dari tempat yang demikian
jauhnya. Sebagai seorang yang sangat cerdik, dalam keadaan
cemas, ia masih dapat memikirkan bagaimana harus
bertindak. Dengan tiba-tiba ia menemukan suatu akal.
Saat itu, tampak genta kuil yang tergantung di sudut kanan,
maka ia lalu membunyikan genta itu, hingga sesaat
kemudian suara genta itu berbunyi nyaring.
Begitu suara genta itu berhenti, pertama-tama muncul
seorang imam tua berbaju abu-abu yang sikapnya sangat
agung. Imam itu usianya sudah lanjut, dengan sikap
tergesa-gesa lari masuk ke bagian depan kuil, ketika
matanya menampak lima imam berbaju kuning yang rebah
menggeletak di tanah, wajahnya menunjukkan sikap
keheranan, buru lari masuk ke belakang.
Touw Liong melihat imam tua itu sikapnya agung dan
ramah, buru-buru maju menghampiri memberi hormat, ia
perkenalkan dirinya sendiri, dan menceritakan apa yang
telah terjadi di tempat itu.
Imam tua itu setelah mendengarkan cerita Touw Liong,
buru-buru memberi hormat seraya berkata,
"Sicu benar-benar sudah mengusir pergi murid durhaka
itu, kalau begitu Touw-sicu adalah tuan penolong golongan
Ceng-sia! Murid durhaka itu tidak pandang mata kepada
orang tingkatan tua, bukan saja sudah membunuh habis
semua suheng dan sutenya, tetapi juga sudah menghukum
pinto selama 3 tahun ...."
Touw Liong mengucapkan kata-kata merendahkan diri,
kemudian berkata pula sambil menunjuk ke pintu goa,
"Nona Pek terluka di dalam goa, tolong locianpwee
membuka pintunya ...."
Imam tua itu tertawa, kemudian badannya bergerak
menuju ke bagian kiri pendopo, di atas dinding tembok ada
terdapat sebuah lamput berbentuk segi delapan, lampu itu
digerakkan sebentar, lalu terdengar suara berbunyinya
pesawat dan pintu goa itu lantas terbuka. Touw Liong
segera tampak Pek Giok Hwa yang rebah di tanah tidak
diketahui sudah mati ataukah masih hidup. Touw Liong
semakin cemas, selagi hendak berjalan masuk telah dicegah
oleh imam tua itu seraya berkata,
"Harap Touw-tayhiap jangan terburu nafsu!"
Setelah itu ia menggerakkan pula bagian kanan lampu
segi delapan, kembali terdengar beberapa kali suara gerakan
pesawat, imam tua tadi lalu memberikan tanda dengan
tangan, barulah Touw Liong melompat masuk ke dalam


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

goa. Ia memeriksa Pek Giok Hwa, gadis itu wajahnya
tampak pucat, lengan kirinya tertancap tiga batang anak
panah pendek. Imam tua yang berada di belakang Touw Liong lantas
berkata, "Nona Pek sudah terkena panah Mo-i-ciam, anak panah
ini sudah diberi racun oleh Thian-siem."
Touw Liong terkejut setelah mendengar bahwa anak
panah itu ada racunnya. Ia buru-buru memeriksa
pernafasan Pek Giok Hwa, gadis itu ternyata sangat lemah.
Maka buru-buru mengeluarkan pil Kiu-hwan-tan buatan
Bu-tong dari dalam sakunya, dan dimasukkan ke dalam
mulut Pek Giok Hwa, di dalam goa itu terdapat tempat
tidur dari batu, Touw Liong lalu pondong tubuh Pek Giok
Hwa dan diletakkan di atas tempat tidur.
Pil Kiu-hwan-tan yang memiliki khasiat sangat mukzizat,
dan imam tua itu sebagai seorang imam tua yang sudah
mengenali barang itu, maka lalu mengangguk-anggukkan
kepala dan berkata,
"Dengan adanya pil ini, luka nona Pek tidak menjadi
soal lagi."
Imam tua itu lantas bertindak, ia mencabut anak panah
di lengan Pek Giok Hwa, sedang Touw Liong membantu
menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya dengan ilmunya
Tay-lo Kim-kong Sian-kang. Ketika kekuatan tenaganya
disalurkan ke dalam tubuh gadis itu, luka-luka bekas anak
panah di lengannya tampak mengalir darah hitam.
Sementara itu muka Pek Giok Hwa perlahan-lahan juga
berubah menjadi merah.
Sisa racun dalam tubuhnya, begitu terkena pengaruh
obat, semua lantas tersapu bersih di mulut goa, di dalam
pendopo saat itu terkumpul banyak orang, mereka semua
adalah para imam di bagian depan yang datang karena
mendengar suara genta tadi.
Kira-kira seperempat jam kemudian, Pek Giok Hwa
perlahan-lahan sadarkan diri, ketika membuka mata, ia lihat
Touw Liong dan seorang imam tua berada di sampingnya,
mukanya lantas merah dan buru-buru bangun duduk.
Di dalam goa Thian-su-tong mereka berdiam lagi
setengah malaman, begitu terang tanah pertama Touw
Liong minta diri kepada imam tua, lalu turun gunung.
Para imam di gunung Ceng-sia-san semua mengucapkan
terima kasih kepada Touw Liong karena ia telah berhasil
mengusir seorang murid pengkhianat dari golongan Cengsiapay. Sementara itu imam tua tersebut telah memberikan
kecapi kuno itu kepada Pek Giok Hwa.
Turun dari gunung Ceng-sia, Pek Giok Hwa bertanya
kepada Touw Liong,
"Touw-taihiap sekarang hendak kemana?"
"Lantaran aku sedang melakukan perjalanan mengejar
jejak musuh-musuhku, supaya dapat menyelesaikan
penuntutan balasku terhadap kematian ayah bundaku, tak
perduli kemana saja asal menemukan jejak It-tiem aku akan
kejar," menjawab Touw Liong sambil menghela nafas.
Pek Giok Hwa menghela nafas, dengan tiba-tiba Touw
Liong teringat kepada kecapi kuno yang dibawa oleh gadis
itu, ia lalu bertanya dengan perasaan heran,
"Ayahmu suruh kau meminjam kecapi kuno ini
sebetulnya untuk keperluan apa?"
"Sejak ayah pulang dari Pak-bong, setiap hari selalu
menarik nafas, akhirnya ayah sering-sering suka marah
sendiri, ia sudah mengeluarkan perkataan bahwa dalam sisa
hidupnya ini apabila tidak dapat memimpin rimba
persilatan, itu berarti hidupnya sebagai seorang bangkai
hidup, percuma saja ia hidup di dalam dunia. Coba kau
pikir, betapa penderitaan batin ayahku itu," menjawab Pek
Giok Hwa sambil menghela nafas dan mengucurkan air
mata. "Dengan sebetulnya ayahmu yang sudah lanjut usianya,
semestinya sudah dapat menyadari bahwa hidup manusia
dalam dunia itu toh tidak sampai ratusan tahun, perlu apa
ia menganggap urusan itu demikian serius?" berkata Touw
Liong. "Bukan ayah tak bisa memikirkan soal penghidupan,
sebetulnya disebabkan oleh perbuatan tidak patut di atas
danau Thian-lie pada waktu itu, seolah-olah
mempermainkan dirinya, hingga membuat ayah sulit untuk
menyelesaikan soal tersebut. Dalam pertempuran di Pakbong,
juga pulang dengan membawa kekalahan, sekarang
meskipun lukanya sudah sembuh, tetapi perasaan
penasaran ayah itu sukar dipadamkan," berkata Pek Giok
Hwa. Pendekar Kidal 7 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Kisah Si Rase Terbang 16

Cari Blog Ini