Panji Wulung Karya Opa Bagian 2
yang mencuri dengar rahasia golongan pengemis harus di
hukum mati !"
"Tetapi boanpwee tidak mencuri dengar, adalah
cianpwee sendiri yang menceritakan. Bagaimana bisa
menimpahkan dosa kepada orang lain "..?"
Taysu gila itu diam. Setelah berpikir sejenak lalu berkata
; "Kita jangan urusi urusan itu lagi, bagaimanapun juga
kau sudah mengetahui rahasia golongan kita. Jikalau tidak
dihukum mati ini berbahaya. Tetapi kalau kau tidak ingin
mati, masih ada suatu jalan."
"Jalan apa ?"
"Masuk menjadi anggota kita !"
"Boanpwee adalah seorang laki-laki jantan, sebagai
murid golongan Kiu-hwa yang terkenal sebagai golongan
kebenaran ".., bagaimana dapat meninggalkan dan
menghianati perguruannya, berbalik menjadi anggauta
golongan pengemis ?"
"Siapa tidak tahu aku paderi miskin seorang gila " Hari
ini aku akan melakukan perbuatan gila-gilaan "..! Kau
.....bocah ....., harus menjadi penghianat perguruanmu .....,
itu sudah pasti ! Sekarang ini kau hanya mempunyai satu
jalan, kecuali kau menerima tanda kebesaranku .....,
Harimau Putih ini, yang kau gunakan untuk mencari tanda
kebesaran untuk ketua golongan pengemis dan kemudian
melakukan pembersihan golongan pengemis itu. Selain itu
....., sudah tidak ada jalan lain lagi kecuali jalan kematian !"
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata;
"Locianpwee terlalu memaksa, sehingga menyulitkan
kedudukan orang ! Akan tetapi sebagai satu laki-laki, tidak
akan ditundukkan oleh kekerasan, tidak akan berubah
pendiriannya oleh pengaruh harta kekayaan. Kalau
memang harus hidup akan tetap hidup, kalau harus mati
biarlah mati, asal tidak membuat malu sebagai manusia.
Kematian apalah artinya !"
"Bocah ! Kau terlalu keras kepala. Baiklah !! Aku akan
segera mengirim kau ke akhirat."
Touw Liong tiba-tiba ingat sesuatu, ia berkata dengan
suara keras: "Boanpwee masih ingin memberi keterangan !"
"Katakan lekas !"
"Urusan dalam golongan pengemis, mengapa cianpwee
tak mau mengurus sendiri, sebaliknya memaksa boanpwee
yang membereskan ?"
"Dahulu di gunung Kiu-hoa-san aku pernah
mengucapkan janji, tak akan mencampuri urusan dunia lagi
! Bagaimana aku dapat melanggar janjiku sendiri?"
"Perbuatan cianpwee memaksa boanpwee untuk
mencarikan tanda kebesaran ketua golongan cianpwee,
bukankah berarti melanggar peraturan golongan cianpwee
sendiri ?"
Paderi gila itu mendadak membentak dengan suara
keras: "Bocah ! Apa kau sudah gila " Mengapa kau berani
mengatakan yang bukan-bukan terhadap diriku " Apa kau
mau mencari mampus ?"
Setelah itu mendadak tangannya diangkat, lengan
jubahnya yang rombeng berkibaran menyambar Touw
Liong. Touw Liong sebagai seorang muda keluaran dari
perguruan ternama, sudah tentu tidak mandah dibuat bulanbulanan
oleh jubah paderi gila itu. Dengan satu gerakkan
lincah ia mengelakkan kebutan itu. Sedang mulutnya
berkata: "Boanpwee seharusnya akan mengalah sampai tiga kali
menghadapi locianpwee ....."
"Tetapi aku paderi gila tak sudi menerima budimu ini.
Awas !" Dengan badan masih tak bergerak, paderi itu
menggunakan lima jari tangannya, mengeluarkan
hembusan angin yang disentil oleh jari tangannya.
Touw Liong yang belum sempat tancap kaki, sudah tak
keburu mengelakkan serangan itu, maka akhirnya terpukul
jatuh oleh paderi tua.
Sementara itu, paderi gila itu maju menyerbu bagaikan
kilat cepatnya, kemudian tangannya menyerang sambil
berseru: "Bocah, kau tak dapat diampuni !"
Serangan itu benar-benar mengenakan dengan telak ke
atas kepala Touw Liong, hingga Touw Liong jatuh pingsan
seketika itu juga.
Dengan tangan masih diletakkan diatas kepala Touw
Liong, paderi gila itu kemudian duduk bersila di
hadapannya sambil memejamkan mata dan menyalurkan
kekuatan tenaga dalamnya.
Sang waktu telah berlalu, wajah paderi tua itu perlahanlahan
berubah, dari merah menjadi kuning dan dari kuning
kemudian menjadi pucat pasi .....
Peluh mulai membasahi jidatnya, napasnya mulai
memburu, tangannya diletakkan di atas kepala Tou Liong
seperti sudah kehilangan kekuatannya, perlahan-lahan jatuh
kebahu Touw Liong. Sebentar kemudian ia membuka
matanya yang sayu lalu menarik napas dengan wajah penuh
belas kasih menatap wajah Touw Liong yang merah dan
berkata padanya dengan tidak bertenaga:
"Bocah, aku pilih kau untuk melakukan tugas bagiku,
ilmuku kekuatan tenaga dalam " Membuka pintu langit "
sudah kusalurkan ke dalam tubuhmu, harap kau melatihnya
sendiri baik-baik. Kau harus mengerti bahwa aku memilih
kau untuk memikul tugas ini, sesungguhnya sudah kupikir
masak-masak, seyogyanya, aku yang masih ada sedikit
ganjelan hati dengan suhumu, tidak seharusnya memilih
kau. Tetapi justru lantaran ini, pula karena kau merupakan
seorang luar biasa pada dewasa ini, sedang suhumu itu
mungkin anggap dirinya sebagai orang luar biasa pada masa
ini, maka aku sengaja memberikan tugas berat ini
kepadamu, supaya ia membuka mata menyaksikan
muridnya tersayang, meninggalkan perguruannya dan
kemudian menjadi ketua golongan pengemis generasi
kedua." Ia menghela napas, kemudian berkata pula:
"Dengan sebetulnya, mengenai persoalan yang tidak
enak terhadap suhumu, itu adalah soal lain. Sebab utama
yang mendorong aku bertindak demikian ialah karena aku
pandang sifat kepribadianmu yang kuanggap dapat
diberikan tugas berat ! Aiii .....! Usiaku sudah lanjut, tak
lama lagi aku harus pulang menghadap kepada Tuhan.
Akan tetapi, urusan didalam golongan pengemis aku harus
bereskan lebih dahulu. Harta kekayaan peninggalan ayahku
dulu, dan dendam sakit hati ayah juga perlu aku menuntut
balas. Aku sudah menjadi anak yang tak berbakti, sudah
hidup hampir seratus tahun tidak berhasil menunaikan
tugasku, terpaksa aku angkat kau sebagai murid tak resmi
untuk melakukan beberapa tugas yang tak dapat
kuselesaikan ini !"
Berkata sampai disitu, paderi gila itu dari dalam sakunya
mengeluarkan sepucuk sampul surat dan tanda kebesaran
harimau putih, lalu dimasukkan ke dalam tangan Touw
Liong. Perlahan-lahan ia bangkit, setelah memandang keadaan
cuaca sejenak, lalu menundukkan kepala dan berkata lagi
kepada Touw Liong:
"Selamat tinggal Touw Liong ! Semua pengharapan
suhumu terletak diatas pundakmu !"
Dengan perasaan agak berat paderi gila itu menatap
wajah Touw Liong sekian lama, barulah berlalu.
Ia berjalan demikian pesat, sebentar kemudian
bayangannya sudah ditelan oleh kegelapan.
Ketika sinar matahari pagi menyinari bumi, Touw Liong
telah siuman dan duduk untuk mengatur pernapasannya.
Apa yang dilakukan oleh paderi gila terhadap dirinya, ia
tidak tahu sama sekali. Hakekatnya saat itu ia sudah berada
dalam keadaan yang seolah-olah sudah melupakan dirinya
sendiri. Dalam keadaan demikian, dari sebuah rimba, beberapa
tombak jauhnya dari tempat itu, muncul beberapa bayangan
hitam. Dengan cepat sudah tiba dihadapan Touw Liong.
Seorang berpakaian jubah warna hitam, mukanya
tertutup oleh kain hitam, hingga hanya tampak sinar
matanya saja yang terdapat dari dua lobang bagian mata.
Sinar tajam dan menyeramkan itu ditujukan kepada Touw
Liong. Ketika pandangan mata itu tertuju kepada batu giok
berbentuk harimau putih, sekujur badannya gemetar.
Dengan nada suara terkejut berkata kepada diri sendiri ;
"Benda ini sudah tigapuluh tahun tidak nampak ! Tak
disangka terjatuh di tangan bocah ini !"
Orang itu membungkukkan badannya mengambil tanda
kebesaran dari tangan Touw Liong. Kemudian buru-buru
dimasukkan kedalam sakunya sendiri, setelah itu
mengeluarkan suara tertawa dingin, tangan kanannya
diangkat tinggi-tinggi, dengan sinar matanya yang bengis
berkata ; "Bocah, kau harus kuhabiskan nyawamu !"
Ketika tangannya bergerak baru setengah jalan
mendadak ditariknya kembali, lalu berkata pula dengan
dirinya sambil menggelengkan kepala ; "Mengapa aku
harus berlaku tergesa-gesa, bagaimanapun juga nyawa
bocah ini toh tinggal nanti malam saja. Tunggu setelah ia
memberitahukan tempat tersimpannya batu Khun-ngo-giok,
asal dihadapan sancu muda aku berikan keterangan dengan
ditambahi bumbu seperlunya, sancu muda tidak akan
melepaskan begitu saja ....."
Dari perkataan orang itu jelas ia sudah bermaksud
hendak menimbulkan onar buat Touw Liong. Orang itu
semakin lama berpikir semakin membenarkan
anggapannya, maka juga semakin bangga akan
kecerdikkannya.
Ia mendongakkan kepala memandang cuaca pagi,
kemudian berkata dengan suara perlahan ; "Sudah pagi
....." "Sudah pagi mau berbuat apa ?" demikian suatu
pertanyaan dengan suara dingin terdengar di belakang
dirinya. Orang berkerudung itu buru-buru berpaling, seketika itu
bukan kepalang terkejutnya !
Setombak lebih di belakang dirinya, berdiri seorang tua
bermuka sawo matang, berjenggot putih, mengenakan
jubah warna ungu.
"Kukira siapa .....! Kiranya Lichungtju !" Demikian
orang berkerudung itu berkata sambil tertawa dingin.
Orang yang berada di belakang dirinya itu memang
benar adalah Lie Hui Hong, chungtju dari perkampungan
Hut-liong-chung.
"Kau tak perlu memakai kerudung untuk menutupi
mukamu, sekalipun kau sudah dibakar menjadi abu, aku
masih dapat mengenali dirimu." Berkata Lie Hui Hong
dengan nada suara dingin.
"Tahukah kau, siapa aku ini ?"
"Lie Hu San."
Orang berkerudung itu membuka kerudungnya dan balas
bertanya dengan nada suara gusar ; "Antara kita berdua
bagaikan air sungai dengan air sumur, yang satu sama lain
tidak saling mengganggu. Kau, Lie Hu San menuntut hidup
dengan caramu sendiri, aku juga hidup dengan caraku
sendiri. Urusan bocah she Touw ini yang sembunyikan batu
Khun-ngo-giok milik saudaraku, masih merupakan soal
kecil. Tetapi perbuatannya yang membunuh saudaraku itu
adalah suatu perkara berat, maka dendam sakit hati ini
tidak boleh tidak kuharus menuntut balas !"
Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar
menghampiri Touw Liong, tangannya bergerak hendak
melakukan serangan.
Lie Hu San menggelengkan kepalanya menahan tangan
Lie Hui Hong seraya berkata ; "Aku hendak bicara sebentar
!" Lie Hui Hong menarik kembali tangannya dan bertanya
dengan suara marah ; "Lie Hu San ! Berani kau berbuat
demikian terhadap aku ?"
Dengan tertawa mengejek, Lie Hu San berkata sambil
menggelengkan kepala ; "Bukan .....! Bukan ! chungtju
jangan salah paham ! Didalam kupel Tja-lie-tjiang-ting,
maksudmu dan maksudku ada bersama, keadaan sekarang
berlainan. Maksud kedatangan chungtju adalah hendak
membalas sakit hati adikmu, sedang maksudku adalah
terhadap batu giok itu."
"Perhitungan pangcu salah, saudaraku telah korbankan
jiwa lantaran batu giok itu. Bagaimana aku bisa
melepaskan begitu saja ?"
"Benar "..! Benar "..! Ucapan chungtju memang benar.
Tetapi aku sekarang hendak tanya kepadamu, jikalau kau
dengan seranganmu tadi membuat jiwa bocah ini melayang,
namun masih belum mendapatkan hasil apa-apa, bukankah
sia-sia saja usaha kita " Sementara itu dimana adanya batu
giok, chungtju sendiri juga masih belum tahu."
Lie Hui Hong tercengang. Dengan tenang Lie Hu San
berkata pula ; "Aku juga tidak menyalahkan thungtju,
bocah ini sesungguhnya juga agak keterlaluan sedikit.
Kematian djie-chungtju sesungguhnya amat
menggenaskan."
"Menurut pikiranmu, bagaimana kita harus berbuat ?"
"Menurut pendapatku, kita jangan bunuh dulu padanya.
Kita berikan sedikit hajaran padanya. Kita boleh bunuh
setelah dia menerangkan simpanan batu giok itu.
Kemudian, kita masing-masing mengadu kepandaian
sendiri-sendiri, siapa yang kuat berarti akan memiliki
barang itu, dan siapa yang memiliki kepandaian akan
mendapatkan batu giok itu, dialah yang harus menguasai
dunia rimba persilatan dikemudian hari."
"Perhitunganmu memang cukup cerdik, kau hendak
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerahkan semua kekuatan golongan pengemis untuk
bertanding ?"
"Sama .....! sama .....! Perkampungan Hui-liong-chung di
daerah utara juga merupakan suatu kekuatan cukup besar,
apalagi di belakang chung-tju masih ada susiokmu yang
menunjang."
Dua orang itu berpaling, Touw Liong ternyata sudah tak
tampak mata hidungnya lagi !
Bukan kepalang terkejutnya dua orang itu. Lama mereka
saling berpandangan, akhirnya Lie Hui Hong berkata
sambil menarik napas ; "Aku, Lie Hui Hong yang setiap
hari kerjaku menangkap burung, tidak kusangka hari ini
telah dipatok mataku oleh burung !"
Lie Hui San tiba-tiba keluarkan suara tertawa dingin,
kemudian berkata ; "chungtju jangan bingung ! Aku tahu
kemana perginya bocah itu."
"Kemana dia pergi ?"
"chungtju, ikutlah aku !" Sehabis berkata, Lie Hu San
lari menuju ke selatan.
Lie Hui Hong dalam keadaan demikian, sekalipun
pikirannya risau, terpaksa
mengikuti jejak Lie Hu San.
*** Malam itu rembulan terang, di tanah lapang depan
sebuah klenteng yang berada di tengah rimba, tampak
berdiri berbaris dua laki-laki dan tiga wanita. Dipandang
dari jauh, lima orang itu agaknya sangat gembira, mereka
berbincang-bincang dan bersenda gurau, akan tetapi jikalau
diteliti agaknya tidak demikian. Ternyata dua laki-laki itu
sedang bertengkar, hanya pertengkaran mereka agak sopan
hingga suaranyapun tak keras !
Jauh dari lapangan itu, diatas jalan batu, tampak dua
orang tua. Yang satu bermuka sawo matang berpakaian
jubah ungu, yang lain berpakaian jubah warna hijau,
sepasang matanya memancarkan sinar tajam.
Orang tua yang tersebut belakangan mendadak berhenti,
berkata kepada orang tua berwajah sawo matang sambil
menunjuk ke lapangan.
"chungtju ! Kau lihat atau tidak, orang yang berdiri
membelakangi kita itu bukankah bocah she Touw yang kita
cari itu ?" Orang tua berjubah ini segera menghentikan
langkahnya, setelah menarik napas panjang, baru berkata ;
"Ya .....! Benar ! Pandangan matamu sungguh tajam. Bocah
itu juga gesit sekali, dalam waktu sangat singkat sudah tiba
di sini !"
Dua orang itu tak usah dikata, adalah Lie Hui Hong dan
Lie Hu San. Lie Hui Hong menunjuk tiga wanita dan satu laki-laki di
hadapan Touw Liong seraya bertanya ; "Laki-laki dan
perempuan yang bicara dengan bocah itu ....., Siapakah "
Ada hubungan apa dengan bocah she Touw ?"
"Mereka ....." Hmm .....! Marilah aku ajar kenal chungtju
dengan beberapa orang kuat."
Ia tak menunggu jawaban Lie Hui Hong, lebih dulu
berjalan menuju ke lapangan itu.
Lie Hui Hong tak berdaya, dengan otak penuh tanda
tanya ia mengikuti jejak Lie Hui San.
Ketika Lie Hui Hong dan Lie Hui San masuk dalam
lapangan, dua laki-laki dan tiga wanita itu semua berpaling
ke arah mereka. Touw Liong menyongsong kedatangan Lie
Hui Hong, sebelum orang she Lie itu membuka mulut, ia
sudah berkata lebih dahulu.
"chungtju tak perlu turut mencampuri urusan ini,
kesalahan paham antara aku dengan chungtju, nanti aku
akan berkunjung kekediamanmu untuk memberi
penjelasan."
Lie Hui Hong nampak marah, sementara itu Lie Hui San
yang mendapat kesempatan baik segera berkata ; "Dalam
urusan ini chungtju jangan tergesa-gesa, kau toch tak akan
takut bocah ini akan lari bukan " Siaute akan jamin pada
chungtju bahwa maksudmu hendak membinasakan bocah
ini, malam ini pasti terkabul. Mari .....! Kuperkenalkan
lebih dulu kepada beberapa orang kuat !"
Ia memberi hormat pada gadis berbaju ungu yang
berhadapan dengan Touw Liong, lalu memperkenalkan Lie
Hui Hong kepada gadis itu. "Ini adalah saudara Lie Hui
Hong, chungtju dari perkampungan Hui-liong-chung."
Kemudian ia berkata kepada Lie Hui Hong sambil
menunjuk gadis itu ; "Dan ..... Nona ini adalah nona Pek
Giok Hwa, sancu muda dari gunung Pek-lo-san."
Setelah kedua pihak saling memberi hormat, Lie Hui San
kembali memperkenalkan tamunya kepada laki-laki tinggi
besar ; "Saudara ini adalah Kokcu dari Siao-thian-kok
digunung Tjit-phoa-san, saudara Soa Lie."
Lie Hui San mengerutkan alisnya, sementara dalam
hatinya berpikir ; "Semua hanya merupakan beberapa
orang yang tidak dikenal namanya, apa itu gunung Tjitphoasan " Sedikitpun belum pernah dengar ada orang
kuat." Meski dalam hati berpikir demikian, akan tetapi ia
adalah seorang kang-ouw kawakan, menampak sikap Lie
Hui San demikian menghormat terhadap gadis itu. Ia segera
dapat menduga bahwa gadis itu bukan orang sembarangan,
maka ia juga tak berani berlaku ayal. Ia berkata ; "Sudah
lama kudengar nama nona yang besar !"
Lalu, Lie Hui San memperkenalkan Lie Hui Hong
kepada kedua wanita cantik yang hampir setengah umur.
Lie Hui San berkata kepada kedua wanita sambil menunjuk
Lie Hui Hong ; "Saudara ini adalah chungtju dari Huiliongchung yang tadi sudah memperkenalkan kepada nona
Pek." Kemudian berkata kepada Lie Hui Hong ; "Dua nona ini
pasti sudah tak asing lagi bagi chungtju, nona-nona ini
adalah sepasang burung Hong dari gunung Biu-san ".."
Dua wanita cantik itu memberi salam pada Lie Hui
Hong. Bukan kepalang terkejutnya Lie Hui Hong ketika
mendengar disebutnya nama dua wanita cantik itu, ia buruburu
memberi hormat seraya berkata ; "Sudah lama
kudengar nama nona berdua, selama itu aku merasa
menyesal tidak mendapat kesempatan berkenalan, maka
pertemuan kita hari ini, aku anggap sebagai suatu
kehormatan yang besar bagi diriku."
Sementara itu, Touw Liong yang mendengarkan
pembicaraan itu, dalam hatinya berpikir ; "Sepasang burung
Hong dari gunung Bu-san "..! Apakah mereka itu bukan
orang yang sering disebut oleh suhu sebagai muridnya Anak
sakti dari gunung Bu-san !"
Setelah diperkenalkan dengan dua wanita cantik dari
gunung Bu-san, pandangan Lie Hui Hong terhadap gadis
cantik berpakaian ungu itu mulai berubah, pikirnya ;
"Orang-orang kuat seperti sepasang burung Hong ini, juga
menyediakan diri sebagai pembantunya, kalau begitu anak
perempuan ini tampaknya bukan dari golongan
sembarangan, mungkin keturunan dari orang ternama."
Gadis berbaju ungu itu dengan wajah murung memberi
hormat kepada Lie Hui Hong seraya berkata ; "Nasib yang
dialami oleh Lie chungtju, siaolie turut merasa berduka,
harap Lie chungtju jangan terlalu bersedih."
Lie Hui Hong tak menjawab, dengan mata marah
menatap wajah Touw Liong.
Touw Liong memberi hormat padanya, tetapi tidak
digubris. Pek Giok Hwa melanjutkan kata-katanya ; "chungtju,
urusan ini sangat ruwet, tadi setelah kudengar keterangan
dari Touw tayhiap, aku agak curiga. Dengan kedudukannya
yang namanya demikian kesohor sebagai pendekar
kenamaan, rasanya tak mungkin berbuat demikian, untuk
merusak nama baiknya sendiri." Kata-kata gadis itu
ternyata hendak membela Touw Liong.
Lie Hui Hong sudah tentu merasa kurang senang, maka
segera membantah ; "Nona jangan dengar keterangan
sepihak dari bocah itu saja, bukti sudah nyata tak dapat
disangkal lagi. Dalam urusan ini, kecuali dengan istilah
melakukan pembunuhan dengan maksud merebut
kekayaannya, rasanya sudah tak ada kata-kata untuk
menjelaskan, maka kata-kata itu merupakan kata-kata yang
berlebihan."
Lie Hu San diam-diam merasa cemas, sementara salah
satu dari dua wanita cantik itu, memandang Lie Hui Hong
sambil tersenyum, kemudian berkata ; "chungtju jangan
marah, urusan ini jika benar seperti apa yang chungtju
katakan, perbuatan Touw tayhiap itu, malam ini sudah
tentu takkan terlepas dari hukumannya. Bagaimanapun
juga akan membiarkan chungtju menuntut balas kematian
adik chungtju dengan sepuasnya. Akan tetapi, segala urusan
dalam dunia ini semuanya tak boleh terlepas dari aturan,
pribasa bilang : - Orang yang bersangkutan selamanya tidak
mengetahui keadaan sendiri, tetapi bagi orang yang
menyaksikan selalu mengerti.- Jikalau benar Touw tayhiap
melakukan perbuatan seperti apa yang chungtju tuduhkan,
ia sudah merampas batu Khun-ngo-giok, dan kemudian
membunuh adikmu, rasanya tidak perlu ia menempuh
bahaya lagi, dengan melakukan perjalanan sejauh itu untuk
mengantarkan batok kepala adikmu keperkampungan Huiliongchung.
Mengapa ia tak mencari tempat yang aman,
untuk membuat pedang Khun-ngokiam?"
Lie Hu San merasa khawatir usahanya menghasut
takkan berhasil, maka dengan cepat lantas menjawab ;
"Orang-orang jaman sekarang, pikirannya tidak seperti
orang-orang di jaman dulu ! Jaman ini berlaku kata-kata
yang menanggapi. Generasi muda sangat menakutkan.
Siapa dapat menduga permainan apa yang dilakukan oleh
orang she Touw ini " Maka tayhiap sebaiknya jangan
mencoba hendak menutupi dosanya dengan kata-kata yang
manis." Perkataan generasi muda sangat menakutkan yang
diucapkan oleh Lie Hu San bagi Touw Liong sudah sangat
menusuk, tetapi Pek Giok Hwa yang turut mendengarkan
juga merasa tidak senang. Mukanya menunjukkan sedikit
perubahan, segera ia mengeluarkan suara menggumam.
Lie Hui San agaknya telah melihat perubahan itu, ia
buru-buru menundukkan kepalanya.
Pek Giok Hwa lalu berkata kepada Lie Hui Hong ;
"Nama besar chungtju sudah terkenal di daerah Tionggoan,
maka dalam segala hal supaya bertindak dengan jiwa besar.
Dalam urusan ini, sukalah kiranya chungtju memandang
muka siaolie, sudahlah sampai di sini saja !"
Lie Hui Hong masih penasaran, tapi ketika menyaksikan
perubahan muka Pek Giok Hwa, dalam hati merasa
terkejut. Ia baru tahu bahwa ucapannya tadi telah
menyinggung perasaan gadis itu. Kini gadis itu nampaknya
sudah bertekad hendak membela Touw Liong, dan katakatanya
juga demikian tegas, maka hal ini membuat dirinya
menjadi serba salah.
Sebagai seorang yang mempunyai kedudukan baik,
sudah tentu Lie Hui Hong tak mau mundur begitu saja.
Ketika mendengar perkataan gadis itu segera balas
menanya. "Malsud nona memang baik, lebih dulu kuucapkan
terima kasih, tetapi "..! bagaimana dengan kematian
adikku " Tentang kepala adikku itu, bagaimanapun juga
orang she Touw itu harus mempertanggung jawabkan !"
Lie Hu San buru-buru memberi isyarat dengan
pandangan mata kepadanya, untuk mencegah supaya Lie
Hui Hong jangan meneruskan kata-katanya. Sayang
peringatan itu agak terlambat, Pek Giok Hwa sudah berkata
dengan wajah pucat.
"Jikalau Li-chungtju tak mau dengar usulku tadi, siaolie
masih ada suatu cara yang mungkin akan memuaskan bagi
kedua pihak."
"Coba nona terangkan !" Berkata Lie Hui Hong sambil
memberi hormat.
"Cara yang kuusulkan ini merupakan dua rupa jalan
yang bersifat extrem, sedikitpun takkan memberi keluangan
untuk berdamai lagi .....!" Berkata Pek Giok Hwa tegas.
Ia berdiam sejenak, matanya yang jeli memandang muka
orang-orang disekitarnya, kemudian berkata kepada salah
satu dari dua wanita cantik dari gunung Bu-san ; "Na Lo !
Kau beritahukan kepada mereka !"
Na Lo membungkukkan badan memberi hormat,
kemudian berkata ; "Sutit menerima baik perintah susiok."
Perkataan "susiok" yang keluar dari wanita cantik itu
benar-benar sangat mengejutkan Lie Hui Hong dan Touw
Liong. Harus diketahui bahwa Anak sakti dari gunung
Busan, tingkat dan kedudukannya hampir setaraf dengan
tiga Dewa dari golongan pengemis. Wanita cantik itu
adalah anak murid tokoh kuat dari gunung Busan itu.
Sesungguhnya sangat mengherankan bahwa seorang gadis
yang usianya belum duapuluh tahun sudah menyebut nama
dua wanita cantik yang usianya lebih tua itu begitu saja.
Tinggi tingkatnya gadis itu sesungguhnya di luar dugaan
Lie Hui Hong dan Touw Liong.
Sementara itu Na Lo setelah mendapat perintah dari
susioknya berjalan menghampiri Lie Hui Hong dan berdiri
di hadapannya sekitar tiga langkah kemudian berkata
sambil tersenyum manis ; "Maksud susiok kami ialah,
pertama, kesalahan terhadap adik chungtju, Touw tayhiap
tidak dapat mengelakkan tanggung jawabnya. Berikanlah
waktu tiga tahun padanya. Dalam waktu tiga tahun ini,
Touw tayhiap harus menyerahkan pembunuh yang
sebenarnya kepada Lie chungtju, untuk membersihkan
dosanya sendiri!"
Touw Liong masih belum menyatakan pikirannya, Lie
Hui Hong sudah majukan pertanyaan ; "Bagaimana
andaikata dalam waktu tiga tahun ia tak dapat menemukan
pembunuh yang sebenarnya ?"
"Touw tayhiap toh bukan seorang sembarangan, sudah
tentu ia akan memberikan keadilan kepadamu !" Jawab Na
Lo sambil tersenyum.
"Aku orang she Touw, apabila dalam waktu tiga tahun
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak dapat menyerahkan pembunuh yang sebenarnya,
tidak bisa lain, aku akan datang sendiri ke perkampungan
Huiliong-chung untuk menyerahkan batok kepalaku dibuat
sembahyang di hadapan arwah sahabatmu !" Berkata Touw
Liong sambil tertawa terbahak-bahak. Ucapan yang sangat
gagah itu, sudah tentu mendapat pujian bagi siapa yang
mendengarnya. Tetapi lie Hui Hong masih belum puas, ia hanya
mengangguk-anggukkan kepala, kemudian bertanya lagi
kepada Na Lo ; "Bagaimana dengan cara kedua yang nona
bilang ?" Na Lo merasa tidak senang, dengan nada suara dingin
dia berkata ; "Cara yang kedua ini sebaliknya juga belum
tentu chungtju dapat menerima baik !"
Dengan wajah merah padam Lie Hui Hong berkata
dengan suara keras ; "Mana bisa ! Aku ..... Lie Hui Hong
meskipun tidak memiliki kepandaian apa-apa , tetapi
perkampungan Hui-liong-chung di dalam rimba persilatan
juga tidak merupakan suatu tempat yang tidak dikenal.
Katakan saja, sekalipun harus terjun kedalam api atau
kedalam air, jikalau aku orang she Lie akan mengerutkan
alis bukanlah seorang laki-laki !"
"chungtju memang orang gagah, kata-katamu cukup
berarti. Baiklah kau dengar baik-baik !" Berkata Na Lo
sambil tertawa. Ia memandang kepada Lie Hui Hong dan
Touw Liong. Kemudian baru berkata lagi ; "Tuan-tuan
berdua sekarang harus melakukan pertandingan di tempat
ini, masing-masing harus berusaha mengalahkan lawannya
dengan kepandaian ilmu silat yang ada. Siapa yang kuat
dialah yang benar, dan orang yang kalah harus mengaku
kesalahannya serta menanggung segala risikonya !"
Berkata sampai disitu ia tertawa nyaring, kemudian
berkata pula ; "Aku percaya Lie chungtju tidak berani
terima usul ini, sebab Touw tayhiap memang berada
dipihak yang benar, dan kedua, namanya yang kesohor
hampir seluruh jagat sudah menjadi bukti betapa tinggi
kepandaiannya, rasanya bukan soal mudah kalau chungtju
ingin mengalahkan Touw tayhiap!"
Begitu mendengar kata-kata Na Lo itu, bukan main
marahnya Lie Hui Hong. Seketika ia menggeram hingga
jenggotnya pada bergerak. Dengan cepat menghunus golok
masnya dan berkata sambil menunding Touw Liong ; "Baik
.....! kita mulai !"
"Sabar dulu .....!" Berkata Na Lo mencegah kemarahan
Lie Hui Hong, kemudian berkata perlahan ; "Kata-kataku
tadi belum habis, harap chungtju jangan bertindak dulu."
Lie Hui Hong terpaksa menunda serangannya.
Sementara itu Na Lo berkata pula ; "Kita orang-orang dari
gunung Tjit-phoa-san ada mempunyai suatu kebiasaan.
Sesuatu pertikaian yang kita bereskan, jika kesudahannya
harus dilakukan dengan suatu pertandingan ilmu silat.
Setelah pertandingan itu berakhir, bagi orang yang kalah,
menurut peraturan pihak kita, yang selalu membela pihak
yang lemah, maka kita harus memberikan perlindungannya.
Dan bagi pihak yang menang, jikalau tidak dapat
mengalahkan pihaknya orang yang berlaku sebagai
pelindung, jangan harap dapat bertindak terhadap lawannya
yang sudah kalah."
Lie Hui Hong merasa lega, ia bertanya ; "Seandainya
aku yang menang, apakah harus bertanding lagi dengan
nona, barulah dapat membunuh bocah itu ?"
Ucapan chungtju hanya setengah yang benar, jikalau hari
ini chungtju dapat mengalahkan Touw tayhiap, bukan saja
masih harus mengalahkan aku, tetapi juga "..!"
Ia berpaling mengawasi Pek Giok Hwa dan berkata lagi ;
"Masih harus dapat mengalahkan susiokku !"
Tanpa merasa Touw Liong alihkan pandangan matanya
kepada Pek Giok Hwa yang cantik bagaikan bidadari, tetapi
sesaat itu sikapnya sangat dingin. Sementara dalam hati
berpikir : "Batas waktu bagi Panji Wulung masih dua hari,
hidup-matiku masih belum kuketahui, malam ini untuk
mengalahkan Lie Hui Hong saja sudah bukan perkara
mudah, jikalau dikalahkan oleh Lie Hui Hong dan aku
harus dilindungi oleh kaum wanita, ini sesungguhnya
sangat memalukan sekali. Daripada hidup mendapat malu
....., lebih baik mati saja ! Mati di tangan Lie Hui Hong atau
mati ditangan wanita itu ..........!"
Selagi pikirannya masih bekerja, Lie Hui Hong sudah
mengajukan pertanyaan pula ; "Jikalau aku kalah
ditangannya orang yang mendamaikan, bagaimana
akibatnya ?"
"Mudah sekali .....! Masuk menjadi anggauta golongan
gunung Tjit-phoa-san!"
Lie hui Hong berpikir sejenak, lalu bertanya pula ;
"Bagaimana kalau aku tak suka menjadi anggauta gunung
Tjit-phoa-san ?"
"chungtju seorang pintar, tidak susah untuk menduga
bagaimana akibatnya!"
Berkata Na Lo sambil tertawa.
"Baiklah ! Hari ini bagaimanapun juga jika kalau tidak
hidup, ialah mati. Sekarang saja harap nona mencarikan
seorang wasit bagi kita."
Sehabis berkata, Lie Hui Hong hunus goloknya, lalu
pasang kuda-kuda.
Sedangkan Touw Liong juga hendak menghunus
pedangnya, tetapi mendadak berpikir lain. Pedangnya tidak
jadi dihunus, ia berkata dengan hambar ; "Dengan sepasang
tangan kosong aku hendak menyambut ilmu golok Lie
chungtju yang telah menggetarkan daerah utara !"
Pek Giok Hwa agaknya dapat menebak apa yang dipikir
dalam hati Touw Liong.
Dengan suara perlahan dia berkata kepada wanita cantik
disampingnya ; "Ciauw kun, kau dapat lihat maksud Touw
Liong atau tidak " Orang yang berjiwa ksatria, ia tidak suka
apabila ia kalah dalam pertandingan dengan Lie Hui Hong
lalu minta perlindungan kepada kita kaum wanita. Namun
ia juga tak suka setelah menangkan lawannya lalu
bertanding dengan pihak kita lagi. Rupanya ia sudah tahu
malam ini ia sudah yakin tak dapat mengalahkan pihak
kita, itulah maka sengaja dengan tangan kosong melawan
ilmu golok emas Lie Hui Hong yang telah kesohor .....!
Orang itu sudah bertekad hendak bertempur sampai mati !"
Ciauw Kun menganggukkan kepala membenarkan
pikiran gadis itu. Pek Giok Hwa memberikan pesan kepada
Ciauw Kun ; "Kau waspada sedikit, jika perlu lekas kau
turun tangan menolong jiwanya. Orang ini dikemudian hari
besar sekali gunanya."
Lie Hui Hong yang saat itu sudah mulai bergerak, telah
menunjukkan keahliannya mainkan golok emasnya yang
berkilauan, terus menyerang bertubi-tubi kepada Touw
Liong. Touw Liong sambil tertawa nyaring menguji ilmu golok
lawannya, kemudian tangan kanannya didorong maju,
tangan kiri membuat satu lingkaran, dengan menggunakan
gerak tipu dari ilmu pedangnya Kiu-hoa Sin-kiam yang
diubah menjadi serangan tangan menyambut serangan
golok Lie Hui Hong. Dari kedua tangannya itu
menghembuskan angin dingin sangat hebat.
Dengan tiba-tiba golok ditangan Lie Hui Hong terpental
dan terlepas dari pegangannya.
Golok itu terbang kedalam rimba sejauh lima tombak
dari tempat mereka bertarung, ujungnya nancap disebuah
pohon sedalam setengah dim, sedang gagang goloknya
masih bergerak-gerak.
Sedang Lie Hui Hong sendiri, setelah goloknya terlepas
dari tangannya, orangnya juga terpental mundur terhuyunghuyung
sehingga setombak lebih, namun masih belum
berhasil mempertahankan dirinya, hingga akhirnya jatuh
terlentang. Kejadian itu mengejutkan semua orang, paling terkejut
adalah Touw Liong sendiri. Ia sungguh tidak mengerti
bahwa serangan itu demikian hebat, hanya dengan satu
gebrakan sudah berhasil melumpuhkan lawannya dengan
demikian hebat ?"".! Hanya dengan satu gebrakan
sudah berhasil melumpuhkan lawannya dengan demikian
menyedihkan !!..
Lie Hui San buru-buru menghampiri dan menolong
bangun Lie Hui Hong. Dengan mata merah membara Lie
Hui Hong memandang Touw Liong sejenak, kemudian
berkata kepada Pek Giok Hwa ; "Kebaikan nona, dilain
waktu aku orang she Lie pasti akan membalasnya, dalam
urusan hari ini, aku hanya dapat menyesalkan
kepandaianku sendiri yang kurang tinggi ! Sekarang aku
hendak minta diri."
Tanpa menunggu reaksi gadis itu, dengan langkah lebar
Lie Hui Hong berjalan menuju ke dalam rimba, hendak
mengambil goloknya dan kemudian meninggalkan tempat
itu. Lie Hui San buru-buru mencegah, ucapnya ; "Jangan
.....!" Baru keluar dari mulutnya, mendadak tampak
berkelebatnya sesosok bayangan manusia. Dan di hadapan
Lie Hui Hong pada saat itu sudah berdiri Soa Li yang
tubuhnya tinggi besar bagaikan menara.
"Kok-cu mau apa ?" Tanya Lie Hui Hong yang masih
marah. "Sebelumnya toh sudah dijelaskan, chungtju setelah
undurkan diri dari pertempuran tadi, harus menerima
perlindungan dari orang-orang golongan kita. Sebagai
seorang laki-laki seharusnya tidak boleh mengingkari janji.
Kukira chungtju tentunya bukan seorang rendah yang suka
mengingkari janji begitu saja." Berkata Soa Li sambil
memberi hormat.
Lie Hui Hong menarik napas panjang, lalu membatalkan
maksudnya. Kemudian berkata ; "Baiklah .....! Hari ini
apabila kalian dapat membalaskan bocah she Touw itu, aku
tidak bisa berkata apa-apa lagi. Akan bersedia menyerahkan
jiwa ragaku kepada Tjit-hoasan!"
Dengan menundukkan kepala dan sikap murung, Lie
Hui Hong terpaksa balik kembali ke lapangan.
Sementara itu Na Lo telah memberi hormat kepada Pek
Giok Hwa, kemudian menghampiri Touw Liong yang saat
itu masih berdiri bingung. Ia berkata dengan suara lembut ;
"Touw tayhiap ....., mari kita mulai !"
Touw Liong tersenyum getir, berkata sambil
menggelengkan kepala ; "Kepandaian nona Na bagaikan
malaikat dari langit ".., Touw Liong hanya seorang
manusia biasa ".., Bagaimana berani melawan malaikat ?"
"Touw tayhiap jangan berlaku merendah, hari ini aku
sudah mengerti, tidak sampai sepuluh jurus pasti akan kalah
di tanganmu !" Berkata Na Lo sambil tertawa manis,
kemudian menghunus pedang panjangnya hendak melawan
Touw Liong. Ia sedikitpun tidak berani berlaku gegabah.
Jilid 3 Lie Hui San diam-diam mendekati Lie Hui Hong,
dengan suara perlahan ia bertanya:
"Hanya dalam waktu dua jam saja, bagaimana
kepandaian dan kekuatan tenaga bocah ini sudah mendapat
kemajuan demikian pesat " Benar-benar suatu kejadian ajaib
!" Lie Hui Hong tidak menjawab, dengan sinar matanya
yang masih mengandung kemarahan, menatap pedang Na
Lo. Dalam hatinya pada waktu itu benar-benar mengharap
kepada wanita cantik itu agar berhasil membinasakan
musuhnya. Sementara itu Touw Liong telah berkata sambil
menyoja: "Hari ini jikalau Na Lihiap memang akan memberi
pelajaran kepadaku, aku orang she Touw tidak bisa berbuat
apa-apa, terpaksa bersedia melayani Na Lihiap beberapa
jurus. Hanya mengharap agar Lihiap suka berlaku sedikit
murah hati."
Setelah itu ia juga menghunus pedangnya, setelah
mempersilahkan lawannya, ia berdiri sambil pasang kudakuda
menantikan gerakkan lawannya.
Na Lo melayang kesamping, dengan suatu gerakan yang
manis pedangnya menyerang Touw Liong, sementara
mulutnya mengeluarkan kata-kata:
"Touw tayhiap, sambutlah seranganku ini !"
Serangan Na Lo yang dimulai dengan gerakan sangat
manis, disusul dengan gerakan gencar dan rapat, semua
serangan ditujukan kepada jalan darah sekujur tubuh Touw
Liong, sedangkan tangan yang lain dengan disengaja atau
tidak membuat suatu gerakkan tanda rahasia!
Touw Liong yang menghadapi serangan gencar dari Na
Lo, tidak memperhatikan sedikitpun juga, sebaliknya ia
merasa tertarik oleh gerakan tangan yang dilakukan sebagai
tanda rahasia oleh wanita cantik itu.
Touw Liong belum keburu melancarkan serangannya
sudah memutar tangan dan mundur tiga tombak, kemudian
sambil mengundurkan diri dan menarik kembali pedangnya
ia berkata: "Kepandaian nona Na terlalu tinggi bagiku. Aku orang
she Touw merasa sangat kagum."
Dengan kata-katanya itu dimaksudkan ia hendak
menyerah kalah, hal ini sangat membingungkan Lie Hui
Hong dan Lie Hui San. Mereka sungguh tidak menyangka
bahwa Touw Liong demikian tidak tahu malu, tidak berani
menyambut serangan wanita itu, dan belum-belum sudah
menyerah kalah, agaknya ingin buru-buru minta
perlindungannya.
"Touw tayhiap jangan berlaku merendah, kuucapkan
terimaksih atas kebaikanmu, untuk selanjutnya kita satu
sama lain akan merupakan orang-orang sendiri. Mari lekas
menemui susiokku." Berkata Na Lo sambil tertawa.
Kemudian ia mempersilahkan Touw Liong menemui
Pek Giok Hwa. Touw Liong menengadah, matanya memandang awanawan
yang bergerak di angkasa. Ia berpikir sejenak,
kemudian berkata sambil memberi hormat:
"Maksud baik nona Na kuucapkan banyak-banyak
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terima kasih. Aku orang she Touw, meskipun menyerah
kalah di tanganmu, tetapi aku tiada maksud untuk
menerima syarat menjadi anggotamu. Sebaiknya aku minta
nona supaya suka memberi keterangan tentang tanda-tanda
yang nona tadi berikan dengan gerakan tangan."
Belum lagi Na Lo membuka mulut mencegah, Touw
Liong melanjutkan kata-katanya. Lie Hui San yang berdiri
di samping, melihat ada kesempatan baik, lalu mencela
sambil tertawa dingin:
"Bocah she Touw, maksudmu apakah kau tidak suka
menjadi golongan Cit-phoa-san?"
Touw Liong menganggukkan kepala dan menjawab
dengan gagah: "Aku adalah seorang golongan dari perguruan ternama,
bagaimana boleh berbuat yang menodakan nama baik
perguruan sendiri?"
"Boleh saja kau berpikir demikian, tetapi suasana hari ini
tidak mengijinkan kau berpikir menurut sesukamu. Kalau
kau demikian tidak tahu diri, asal sancu muda mau, jiwamu
akan melayang," berkata Lie Hui San dingin.
"Seorang laki-laki tidak akan takut mati. Yang penting
ialah, kematian itu memang seharusnya atau tidak" Apakah
hari ini aku harus mati atau tidak, ini adalah soal lain."
Bab 7 Dengan gerak langkah kaki yang lemah gemulai, Pek
Giok Hwa maju beberapa langkah sambil mengibaskan
lengan bajunya, sehingga Lie Hui San buru-buru mundur
dan berdiri di samping sambil meluruskan dua tangannya.
Pek Giok Hwa mengerling kepada Touw Liong,
kemudian berkata dengan suara lirih:
"Semangat seorang laki-laki gagah, memang tidak
mudah dipatahkan. Sikap dan jiwa ksatria Touw tayhiap,
siaolie sangat kagum. Pada dewasa ini siaolie sesungguhnya
sedang dalam kesulitan, apalagi tayhiap sudi ulur tangan
memberi bantuan, budi tayhiap ini tak akan kulupakan
untuk selama-lamanya."
Touw Liong mengalihkan pandangan mata kearah Na
Lo, seolah-olah hendak menjajaki pikiran jago betina dari
gunung Bu-san itu. Tetapi Na Lo hanya menganggukkan
kepalanya, tidak membuka suara, hingga betapapun
pintarnya Touw Liong, juga tidak mengerti maksud dari
kata-kata gadis cantik itu.
"Nona ada keperluan apa?" Demikian akhirnya ia
bertanya. Pek Giok Hwa mengawasi orang-orang di sekitarnya
sejenak, kemudian berkata: "Mari , Touw tayhiap ikut aku
sebentar!"
Baru habis ucapannya, gadis itu sudah bergerak dan
sebentar sudah keluar dari dalam rimba.
Di luar rimba, terdapat sebuah sungai melintang, di situ
terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan dari satu
tepi ke tepi yang lain. Pek Giok Hwa yang keluar dari
dalam rimba, tiba di atas jembatan, kemudian disusul oleh
Touw Liong. Pek Giok Hwa menyambut kedatangannya
dengan sikap manis dan lemah lembut.
Touw Liong memberi hormat dan berkata kepadanya,
"Nona ada keperluan apa " Harap berkata terus terang."
Pek Giok Hwa menghela napas pelahan, dan berkata
sambil menundukkan kepalanya: "Tadi, selagi melakukan
pertempuran, Na Lo telah menggerakkan tangan sebagai
tanda, dan Touw tayhiap lantas menghentikan serangan,
sehingga mengingatkan aku kepada beberapa soal penting!"
"Soal apa?" tanya Touw Liong.
Pek Giok Hwa menatap tajam wajah Touw Liong,
kemudian dari dalam sakunya mengeluarkan sebuah panji
kecil berwarna hitam.
"Panji Wulung !" Demikian Touw Liong berseru
pelahan. Sesaat itu, ia lantas mengerti tanda-tanda yang diberikan
Na Lo tadi. Ternyata adalah mengenai Panji Wulung itu.
Tanpa disadari Touw Liong mundur dua langkah,
kemudian bertanya sambil menunjuk panji di tangan Pek
Giok Hwa. "Apakah nona ada hubungan dengan Panji Wulung?"
"Sedikitpun tidak ada sangkut pautnya ," jawab Pek
Giok Hwa sambil gelengkan kepalanya.
"Darimana nona dapatkan panji itu?"
"Panji wulung telah mencari aku, ini berarti jiwaku
hanya tinggal tiga hari saja!"
"Ooouw "..!" Berulang-ulang Touw Liong menarik
napas, mendadak teringat pada dirinya sendiri yang juga
menerima panji serupa itu, dan baginya batas waktu itu
sudah dilewati satu hari ! Bagaimana perubahan dalam
waktu dua hari yang akan datang" Hidupkah" Matikah"
Masih belum dapat diduga. Dan kini gadis di hadapan
matanya itu juga menerima nasib yang serupa dengannya,
menerima panji yang hendak mencabut nyawanya. Dari
sikap dan pembicaraannya, gadis itu sedikit banyak
menunjukkan perasaan khawatir, hingga timbullah
perasaan simpati terhadapnya.
"Sungguh tidak kusangka! Mengapa nona menerima
panji yang berarti mencabut nyawa itu?"
Pek Giok Hwa menengadah memandang keadaan di
tempat yang jauh, lalu berkata dengan suara gagah:
"Touw tayhiap! Ketahuilah olehmu bahwa ayahku
sedang mencari kesempatan hendak melakukan suatu
gerakan yang akan menggemparkan daerah Tiong-goan.
Dengan adanya panji wulung ini, cita-cita ayah mungkin
akan terwujud semua!"
Kata-kata itu dimaksudkan, asal ayahnya melakukan
pertandingan dengan panji wulung, hal itu sudah pasti akan
menggemparkan dan membuat namanya menjadi terkenal.
Touw Liong yang mendengarkan dengan tenang, dalam
hati berpikir: "Orang yang pertama menerima panji wulung
adalah aku, dan kedua adalah kau. Kau tidak tahu aku
masih mempunyai waktu berapa hari lagi" Dan dikemudian
hari, apakah aku masih dapat menyaksikan penghidupanmu
selanjutnya atau tidak?"
Pek Giok Hwa tiba-tiba mengepal tangannya, hampir
tampak berdiri, berkata dengan sikap gagah:
"Tiga hari! Masih ada waktu tiga hari! Ayah pasti keburu
sampai ke kota Lam-yang, untuk menghadapi padanya."
Ia berdiam sejenak, kemudian berpaling dan berkata lagi:
"Touw tayhiap keluaran dari golongan Kiu-hoa-san,
ilmu pedang Kiu-hoa Sim-kiam yang terdiri dari tujuhpuluh
dua jurus gerakan, sudah beberapa puluh tahun lamanya
namanya sangat kesohor di dalam rimba persilatan. Kini
Pek Giok Hwa ingin majukan sedikit permintaan ".."
Touw Liong yang menyaksikan gadis itu diam, tidak
melanjutkan perkataannya, lalu berkata; "Nona hendak
berkata apa, katakanlah terus terang."
Pek Giok Hwa tertawa hambar, ia membereskan
rambutnya yang kusut. Perlahan berpaling, lalu keatas
memandang awan diangkasa dan berkata dengan suara
perlahan ; "Sebelumnya aku pernah dengar bahwa kau,
Touw tayhiap dengan Lie Hui Hong merupakan orangorang
terkuat yang sama-sama menjagoi di daerah selatan
dan utara. Tetapi tadi aku melihat kau hanya dalam
segebrakan saja sudah berhasil mengalahkan Lie Hui Hong.
Kejadian itu membuatku segera merubah pandanganku
terhadap dirimu. Dalam hal kekuatan tenaga, sepasang
burung Hong dari gunung Busan paling-paling berimbang
dengan kau, bahkan mungkin kau masih lebih tinggi
setingkat dari mereka. Maka Touw tayhiap sekarang ini
sudah merupakan tokoh terkuat di daerah Tionggoan, maka
siaoli pikir ".." Kata-katanya mendadak berhenti,
kepalanya berpaling memandang Touw Liong sejenak,
kemudian melanjutkan perkataannya ; "Dalam batas waktu
tiga hari, apabila ayah berhasil mengalahkan Panji Wulung,
kau akan merupakan orang yang menjadi saksi. Apabila
tidak beruntung ?""., ayah kalah ditangannya !"
Ucapan Pek Giok Hwa mendadak terputus lagi. Dari
sinar matanya menunjukkan sikap memohon !
"Aaahh !" Demikian Touw Liong menarik napas
panjang, sedang hatinya berpikir ; "Sayang, aku sendiri
bagaikan patung menyeberang sungai yang tidak dapat
menjamin keutuhan diriku sendiri !" Meskipun dalam
hatinya berpikir demikian, tetapi ketika matanya beradu
dengan sinar mata Pek Giok Hwa, hati itu lantas menjadi
lemah. Katanya sambil anggukkan kepala ; "Apabila aku
masih bisa hidup tiga hari lagi, dan dapat melakukan
sesuatu yang menggembirakan nona, aku merasa sangat
beruntung. Sayang "..! aku sayangkan tidak bisa hidup tiga
hari lagi !"
Pek Giok Hwa kerutkan alisnya dan berkata dengan
sedih; Touw tayhiap, kau ibarat matahari diwaktu tengah
hari, yang sedang panasnya, tidak seharusnya kau berpikir
demikian."
Touw Liong teringat dirinya sendiri yang juga
mempunyai sehelai panji hitam itu, maka matanya terus
menatap panji ditangan Pek Giok Hwa. Beberapa kali ia
pikir hendak beritahukan Pek Giok Hwa dengan terus
terang, tetapi kemudian pikir lagi, bahwa saat itu belum
perlu diberitahukan kepada siapapun juga. Maka akhirnya
maksud itu ditahan saja.
Suatu pikiran yang tidak ingin minta bantuan seorang
wanita timbul dalam otaknya. Maka ia hanya menjawab
dengan hambar; "Orang-orang yang berkecimpungan
dikalangan Kangouw, memang selalu menghadapi bahaya.
Perkara hidup dan mati, siapapun tidak dapat menduga
sebelumnya. Selama beberapa hari ini telah terjadi tidak
sedikit perkara yang aneh-aneh luar biasa. Setiap jam, setiap
menit aku merasa mondar-mandir di tepi garis antara hidup
dengan mati, maka aku tidak dapat memastikan aku masih
dapat hidup dalam tempo tiga hari itu atau tidak."
"Oou "..!" Berkata Pek Giok Hwa sambil tersenyum.
"Touw tayhiap jangan berpikir demikian. Nanti pada waktu
tengah malam, tiga hari kemudian, tolong Touw tayhiap
datang ke panggung memetik kecapi di kota Lam-yang."
Touw Liong terima baik permintaan itu sambil
anggukkan kepala. Pek Giok Hwa ucapkan terima kasih,
tak lama kemudian ia minta diri dan berlalu meninggalkan
Touw Liong. Dengan perasaan mendelu Touw Liong mengawasi
berlalunya Pek Giok Hwa, kemudian berkata pada diri
sendiri sambil tarik napas ; "Panji Wulung .....! Panji
Wulung ! Sekarang sudah ada dua orang yang menerima !
Aku masih ada waktu dua hari. Jikalau aku masih hidup,
dua hari kemudian di panggung memetik kecapi itu tidak
akan bahaya apa-apa lagi. Tetapi soalnya, dalam dua hari
ini, aku masih bisa hidup atau tidak!"
Kembali ia teringat panji wulung di dalam sakunya,
lalu masukkan tangannya ke dalam sakunya, bukan
kepalang terkejutnya, sebab panji kecil dalam sakunya telah
lenyap tanpa bekas. Sebagai gantinya, dari dalam sakunya
telah menemukan sepucuk sampul.
Sungguh aneh ! Panji yang tersimpan baik-baik di dalam
saku, mengapa mendadak terbang ! Bukankah ini suatu
kejadian ajaib "
Untuk sesaat, pikirannya telah melayang : Mungkinkah
panji itu telah diambil kembali oleh panji wulung "
Keringat dingin membasahi sekujur badan Touw Liong.
Samar-samar ia teringat waktu ia berada di dalam
perkampungan yang misterius, belakang kepalanya ditotok
orang, kemudian hilang ingatannya.
Semakin berpikir, pikirannya semakin sedih hingga
badannya mengigil. Ia menarik napas panjang, dan berkata
kepada diri sendiri : "Nampaknya batas tiga hari itu, aku
tidak akan dapat menepati janjinya lagi!"
Ia memeriksa sampulnya, tapi hanya merupakan sebuah
sampul surat, yang lebih besar sedikit daripada sampul
biasa, terbuat dari kulit ..ampi yang putih, di muka sampul
terlukis sebuah buli-buli arak, di samping buli-buli terdapat
sebaris tulisan yang mirip cakar ayam, tulisan itu berbunyi,
"Tiga hari kemudian batu boleh dibuka".
Touw Liong tahu sampul itu siapa yang meninggalkan,
maka di masukkannya lagi ke dalam sakunya, dan
menggumam sendiri, "Tiga hari! Hm! Tiga hari mana aku
masih ada kesempatan untuk membuka sampul ini" Tiga
hari kemudian aku barangkali sudah menjadi bangkai!"
Ia sebetulnya malas untuk memikirkan segala urusan
yang akan terjadi pada tiga hari kemudian, dua hari yang
berada di depan matanya, ada beberapa hal yang
dianggapnya lebih penting dari segala-galanya, waktu dua
hari yang akan datang masih memerlukan untuk
menyelesaikan beberapa persoalan besar. Pertama ialah
mencari adik seperguruannya, ialah Kim Yan, kedua
mencari batu Khun-ngo-giok dan terakhir ialah mencari
pembunuh Lie Hui Pek yang sebenarnya.
Namun tiga soal ini tidak karuan pangkal pokoknya,
tiga-tiganya semua penting, entah manna yang harus
diselesaikan lebih dahulu"
Ia pejamkan mata untuk berpikir, tiba-tiba ia teringat
adik seperguruannya, lalu teringat pada diri Lie Hu San.
Kemudian berpikir, "Hendak mencari sumoy, asal tanya
kepada Lie Hu San rasanya sudah cukup."
Setelah mengabil keputusan, dengan mengikuti tempat
bekas yang dilalui oleh Pek Giok Hwa, ia lari pergi ke
kelenteng tua di dalam rimba.
Tiba di kelenteng tua di dalam rimba itu, tempat itu
ternyata sudah sunyi senyap. Pek Giok Hwa dan Sepasang
Burung Hong dari Gunung Bu-san, ternyata sudah tidak
tampak lagi bayangannya. Dengan sendirinya Lie Hu San
dan Lie Hui Hong juga tidak ada.
Touw Liong lalu tujukan pikirannya pada tempat yang
disebut oleh Pek Giok Hwa, panggung tempat mementil
kecapi. Ia anggap orang-orang itu sudah pergi menuju ke
tempat tersebut.
Touw Liong tujukan langkahnya menuju ke tempat
tersebut tanpa mengaso.
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tempat yang dinamakan panggung mementil kecapi itu
hanya merupakan suatu gubuk kecil, di puncak bukit. Di
situ terdapat beberapa pohon cemara, di jaman dahulu,
seorang negarawan dan ahli perang Cu-kat Liang, sebelum
ketemu dengan Lao Pi, kaisar Negara Siok di jaman Sam
Kok, setiap malam terang bulan, sering datang ke tempat itu
untuk mementil kecapi dengan mengajak kedua
pelayannya. Kemudian setelah Cu-kat Liang turun gunung
membantu Lao Pi dalam urusan negeri, sehingga tempat itu
sudah tidak terdengar suara kecapinya lagi.
Sudah ratusan tahun tempat itu menjadi tempat
peninggalan jaman kuno yang bersejarah di dalam kota
Lam-jang, tempatnya masih tetap seperti sediakala, sayang
Cu-kat Liang tidak datang ke tempat itu lagi, sudah tidak
ada orang lagi yang mementil kecapi di tempat itu.
Ketika Touw Liong tiba di bawah gubuk tersebut ia telah
menangkap suara kecapi yang menarik perhatiannya, maka
ketika berada pada jarak kira-kira dua puluh tombak
jauhnya, di tempat itu, ia sudah menghentikan langkahnya,
lalu tujukan pandangan matanya ke puncak bukit.
Di waktu malam yang sunyi, angin meniup berdesir,
bayangan pohon cemara tampak bergoyang-goyang
menawan hati. Memamng benar di panggung atau mirip
dengan sebuah kupel tampak sesosok bayangan orang
menghadapi sebuah alat tabuhan musik yang sedang
dipentilnya, mengeluarkan suaranya yang merdu.
Akan tetapi bagaimanakan macamnya orang itu" Berapa
usianya" Oleh karena terpisah agak jauh, ia tidak dapat
melihat dengan tegas. Hanya ada satu hal yang dapat
dimengerti oleh Touw Liong, kekuatan tenaga dalam orang
itu sangat tinggi sekali, tiap kali jarinya mementil, hati
Touw Liong terasa bergetar.
Suatu perasaan tertarik ingin tahu telah mendorong
padanya berjalan maju, setiap kali melangkah lebih dekat
lantas merasakan suara yang lebih kuat, suatu kekuatan
yang tak terlukis, seolah-olah kekuatan yang menghimpit
badannya, sehingga ia seolah-olah tak dapat bernapas.
Sebagai seorang muda yang keras kepala, Touw Liong
setapak demi setapak maju mendekati panggung tempat
mementil kecapi itu, tanpa gentar.
Suara kecapi itu sangat merdu, iramanya rapat seolaholah
air terjun dari atas gunung, irama itu mengalun ke
udara yang tinggi.
Dengan menahan napas Touw Liong berjalan semakin
mendekat, samara-samar ia dapat lihat bahwa orang yang
mementil di bawah pohon cemara itu rambutnya panjang
terurai sampai ke dua pundaknya, dari pakaiannya yang
berwarna putih, tegas orang itu adalah seorang wanita.
Dilihat dari samping, yang mementuil kecapi itu
parasnya sangat cantik, sedang potongan kukunya sangat
indah, usianya juga belum tua. Sesaat itu Touw Liong
mendadak teringat dirinya seseorang, pikirannya mulai
tegang. Baru hendak membuka mulut untuk memanggil,
irama kecapi yang merdu tiba-tiba menyusup ke dalam
hatinya, irama itu sangat menggetarkan, seolah-olah ada
benda tajam yang mengilik. Buru-buru ia duduk bersila,
memejamkan matanya untuk mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya, guna memberi perlawanan.
Orang yang mementil kecapi itu seolah-olah tidak
menghiraukan kedatangan Touw Liong, yang hendak
menghampiri dirinya, perhatiannya seolah-olah tetap
ditujukan kepada alat musik itu, dengan tenang
melanjutkan tangannya yang mementil kecapi hinga hampir
satu jam, kemudian baru bangkit, matanya memandang
Touw Liong sejenak, lalu berkata :
"Manusia tidak tahu diri, perlu apa kau masih mengejar
aku" Asal aku mau mengorbankan kecapiku dengan
memutuskan senar kecapiku ini, kau sekalipun tidak akan
mati, setidak-tidaknya juga akan bercacad seumur hidup."
Sehabis berkata demikian, wanita itu menarik napas
panjang, kemudian berlalu.
Sungguh aneh, setiap irama yang keluar dari kecapi itu,
terus menyusup ke bagian jalan darah seluruh
tubuhnya,seolah-olah diketok oleh palu keras, terus
mengetok dalam hatinya. Dalam keadaan demikian, mau
tidak mau Touw Liong terpaksa mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya untuk melindungi dirinya lebih dulu.
Satu jam sudah berlalu, seluruh jalan darah Touw Liong
yang pernah digetarkan oleh irama kecapi tadi,
membuatnya hampir kehilangan tenaga dan pikiran,
sehingga ia duduk nglimprak tanpa bergerak.
Kapan orang yang mementil kecapi itu berlalu" Tidak
diketahui olehnya.
Ketika ia siuman kembali, matahri pagi sudah unjuk diri
di sela-sela pohon, ia seolah-olah baru sadar dari mimpi,
sekarang badannya dirasa segar, seolah-olah tidak peranah
mengalami penderitaan hebat.
Ia lompat bangun, matanya memandang ke tempat yang
berada kira-kira sepuluh tombak di hadapan matanya, tetapi
tempat itu ternyata sudah kosong, hanya pohon-pohon yang
masih tetap. Ia menarik napas dalam, menggumam sendiri,
"Pek Giok Hwa" Apakah dia memiliki kekuatan tenaga
dalam demikian tinggi" Ini benar-benar suatu hal yang tak
habis kupikirkan!"
Ia tidak dapat memikirkan lagi, lalu berkata sedih sambil
menghela napas panjang, "Hampir satu hari sudah lewat
lagi! Masih tinggal satu hari lagi, hari itu akan menetapkan
nasibku selanjutnya, entah masih bisa hidup atau tidak?"
Ia membersihkan debu-debu di atas badannya, kemudian
memutar tubuhnya dan lalu hendak tujukan langkahnya ke
kota Lam-jang, pikirannya mendadak timbul perasaan berat
meninggalkan tempat itu, ia sangat tertarik pada tempat
yang bekas dipakai mementil kecapi tadi malam, sehingga
timbul pikiran hendak memeriksa dengan teliti.
Kemudian ia menujukan langkahnya ke atas kupel.
Jaraknya terpisah hanya sepuluh tombak, sebentar saja
sudah tercapai. Begitu Touw Liong tiba di tempat itu,
pandangan matanya tertuju kepada meja batu, beberapa
saat ia berdiri terpaku.
Di atas meja terdapat selembar saputangan berwarna
ungu, hati Touw Liong ingin melihat saputangan itu, bau
harum segera menusuk hidungnya, tatkala saputangan itu
dibukanya dan diperiksanya, ternyata hanya saputangan
kira-kira lima kaki persegi, benda itu lalu digenggamnya,
matanya ditujukan ke puncak gunung sebelah timur,
pikirannya melayang, ia mengira bahwa barang itu telah
tertinggal oleh Pek Giok Hwa karena terlalu tergesa-gesa.
Ia masukkan saputangan itu ke dalam sakunya lantas
berlalu dari tempat itu.
Sepanjang jalan, otak Touw Liong menjadi butek, ia
masih memikirkan batas waktu tiga hari yang telah
ditetapkan oleh panji wulung, hari itu rasanya lebih cepat
akan tiba, tetapi urusannya yang dihadapi ternyata begitu
banyak, dan setiap urusan dianggapnya semuanya penting.
Entah mana yang harus diselesaikan lebih dulu.
Pikiran Touw Liong meskipun sangat kalut, tetapi
langkahnya semakin cepat, tanpa dirasa sudah berjalan
sepuluh pal lebih, saat itu sudah tiba dihadapan sebuah kuil
tua, dan di atas pintu kuil itu masih terdapat papan merk
yang sudah lapuk, samar-samar tampak tulisannya : Tiauw
Yang Kwan, sebagai tanda nama kuil tersebut.
Di jalan umum menuju kuil itu tampak berdiri seorang
imam yang usianya kira-kira lima puluh tahun, tatkala
berhadapan dengan Touw Liong iama itu bertanya dengan
suara dingin : "Apakah sicu seorang she Touw?"
Touw Liong melengek, buru-buru mengganggukkan
kepala dan menjawab :
"Benar, aku adalah seorang she Touw, totiang ada
urusan apa?"
Imam itu tertawa dingin, kemudian berkata :
"Sicu, mari ikut pinto masuk ke dalam, pinto hendak
ajak sicu melihat dua sahabat."
Sehabis berkata imam itu memutar tubuh berjalan
menuju ke kuil.
Dengan otak penuh tanda tanya, Touw Liong mengikuti
imam itu masuk ke dalam kuil.
Kuil itu hanya ada mempunyai dua ruangan, yang
pertama dinding temboknya sebagian besar sudah rusak,
ruang kedua tiang-tiangnya sudah pada patah, nampaknya
sudah hampir rubuh.
Touw Liong mengikuti imam itu memasuki ruangan
kedua, di sebelah kanan ruangan itu terdapat sebuah kamar,
begitu kakinya melangkah masuk ke ruangan itu, sudah
disambut oleh dua paderi kecil yang berusia kira-kira dua
belas tahun, paderi kecil itu menyambut kedatangannya
dengan wajah murung dan air mata berlinang-linang.
Paderi kecil itu memberi hormat kepada imam dengan
membahasakannya susiok, kemudian lantas menangis
tersedu sedan. Imam tadi memerintahkan dua imam kecil itu minggir,
kemudian berkata padanya,
"Mengapa menangis" Ada dendam sakit hati bukankah
harus berusaha untuk membalas, sekarang tokoh utama
dalam peristiwa itu sudah datang, mengapa kalian takut
tidak dapat menuntut balas?"
Touw Liong yang mendengarkan pembicaraan mereka
hatinya tergerak, ia sudah mulai sedikit mengerti titik
persoalannya, dari perkataan imam tadi ia telah mengetahui
bahwa di dalam kuil itu sudah terjadi pembunuhan jiwa,
bahkan yang dituduh sebagai pembunuhnya justru dirinya
sendiri. Ia lalu berpikir hendak minta penjelasan kepada imam
itu, ketika ia angkat muka, tertampak olehnya di atas balaibalai
kayu di dalam kamar, rebah membujur dua sosok
bangkai manusia.
Sementara itu imam tadi juga sudah melangkah masuk
ke dalam kamar, dengan menekan perasaan sedihnya,
imam itu menunjuk kedua sosok bangkai manusia itu
dengan sinar mata gusar memandang Touw Liong yang
baru melangkah masuk ke kamar, kemudian berkata
padanya dengan mada suara dingin.
"Touw tayhiap, silahkan periksa sendiri dengan teliti,
mereka berdua mati karena serangan tangan terampuh dari
golongan Kiu-hoa-pay atau bukan?"
Alis Touw Liong nampak bergerak-gerak, matanya
mengikuti petunjuk imam tadi, dua bangkai manusia yang
membujur di atas balai-balai itu, yang sebelah kiri adalah
seorang imam bermuka bulat berambut panjang, dia dalah
salah seorang tokoh kuat di dalam rimba persilatan, salah
satu dari tiga jago golongan Kiong-lay-pay, It Yang Tojin,
yang membujur sebelah kanan adalah seorang laki-laki
pertengahan umur bermuka merah mengerikan, setelah
melihat Touw liong segera mengenali orang itu adalah
murid kepala Kian-goan Tojin dari Gunung Thay-san. Di
dalam kalangan kang-ouw, laki-laki itu dikenal dengan
nama julukannya Cu-bo-kiam, tapi nama yang sebenarnya
adalah The Hiong.
Nama It-Yang Tojin sudah cukup terkenal dan Cu-bokiam
itu juga merupakan salah satu tokoh terkemuka dari
golongan Thay-san, Touw Liong ingat orang itu biasanya
kalau bertempur menggunakan dua rupa senjata, tangan
kanan memegang sebilah pedang panjang, sedang tangan
kiri pedang pendek kira-kira satu kaki, dua pedang itu
dinamakan Cu-bo-kiam, hebatnya kedua pedang yang
berukuran panjang dan pendek itu, dalam rimba persilatan
orang yang mampu menyebut dan melayani pedangnya
dalam sepuluh jurus, tidak banyak jumlahnya. Ilmu silat
The Hiong termasuk dari golongan keras, di dalam rimba
persilatan namanya cukup terkenal, adal orang menyebut
namanya Tu-bo-kiam, tiada seorang pun yang mengerutkan
alisnya. Touw Liong menghampiri dua orang yang sudah
menjadi bangkai itu, dengan teliti memeriksa seba-sebab
yang menyebabkan kematiannya. Badan dua orang itu,
sedikitpun tidak terdapat tanda luka. Selagi ia merasa
heran, imam tadi sudah maju selangkah dan memiringkan
kepalanya membuka baju It-Jang Tojin di depan dada ItJang Tojin, kini telah tertampak nyata tanda telapak jari
tangan yang sudah menjadi biru.
Begitu melihat tanda bekas telapakan jari itu, bukan
kepalang terkejutnya Touw Liong, sehingga tanpa disadari
sudah mundur selangkah.
Imam tadi kembali membuka baju Cu-bo-kiam, di atas
dada jago dari Gunung Thay-san itu juga terdapat tanda
yang serupa. "Touw tayhiap, kau sudah periksa dengan jelas atau
belum" Rasanya toh tidak salah, bukan" Betulkah mereka
terluka dan mati dibawah serangan tangan ilmu tunggal
golongan Kiu-hoa-san yang dinamakan Thian-seng-jiauw?"
Bab 8 Touw Liong melengak, ia cuma bisa anggukkan kepala
dan menjawab: "Benar! Itu adalah bekas serangan Thian-seng-jiauw
golongan kita."
"Touw tayhiap turun tangan demikian berat sehingga
menewaskan jiwa dua orang, seharusnya tahu apa
akibatnya?"
"Perkara serangan dengan ilmu Thian-seng-jiauw yang
sudah melukai orang ini, aku orang she Touw tidak
menyangkal, akan tetapi, aku dapat memberitahukan ini
secara terus terang, orang ini bukan aku yang
membunuhnya."
"Aha " " Demikian imam itu memperdengarkan suara
tertawa dingin kemudian berkata,
"Sute ku ini, tadi malam masih minta diri dariku dengan
baik, tetapi hari ini pagi-pagi sekali sudah terkapar menjadi
bangkai bersama Cu-bo-kiam di depan pintu kuil ini,
sedangkan tokoh rimba persilatan yang termasuk golongan
kuat yang tadi malam berada di kota Lam-Yang, hanya kau
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Touw tayhiap seorang saja, bagaimana kau mengatakan
tidak melakukan perbuatan itu?"
Didesak demikian rupa, dalam hati Touw Liong terus
berpikir : Orang dari golongan Kiu-hoa-san yang tadi
malam berada di kota Lam-yang kecuali aku masih ada
adik seperguruanku Kim Yan, tetapi Kim Yan sejak
kemarin telah kehilangan jejaknya, apalagi kekuatan tenaga
Kim Yan masih selisih jauh kalau dibanding dengan
mereka, selain daripada itu, antara mereka juga tidak ada
permusuhan apa-apa sudah tentu tidaklah mungkin ia
melakukan perbuatan keji atas diri mereka. Aku sendiri dan
Kim Yan meskipun mengerti pukulan itu tetapi ilmu
pukulan itu adalah ilmu pukulan tertinggi dan terampuh
dari golongan Kiu-hoa-pay, jikalau tidak mempunyai dasar
latihan sudah tigapuluh atau limapuluh tahun, tidak
mungkin dapat menggunakan sampai sedemikian hebat.
Usia sumoy masih demikian muda, dengan sendirinya tidak
mempunyai kekuatan tenaga demikian sempurna, bahkan
aku sendiri juga tak memiliki kekuatan demikian, maka
orang yang membinasakan It-yang-Tojin dan Cu-bo-kiam
ini sudah terang perbuatan orang lain.
Namun siapa"
Kecuali suhunya ialah Kiu-hoa Lojin sendiri yang
memiliki kekuatan tenaga dalam yang setinggi itu, di antara
golongan Kiu hoa pay sudah tidak dapat dicari orang
keduanya. Tetapi, tidaklah mungkin mereka mati di bawah tangan
Kiu-hoa Lojin, sebabnya sederhana sekali, Kiu-hoa Lojin
adalah seorang tokoh terkemuka yang terkenal
kebijaksanaannya, sejak dilakukan pertandingan
persahabatan dengan Tiga Dewa dari golongan pengemis
pada tiga puluh tahun berselang, dia belum menginjakkan
kaki di dunia Kang-ouw lagi.
Selama tiga puluh tahun, ia tidak pernah turun dari
kediamannya di Gunung kiu-Hoa-san, apakah tiga puluh
tahun kemudian ia masih timbul pikiran ingin menjagoi
rimba persilatan lagi"
Andaikata orang tua itu timbul pikirannya hendak
menerjunkan diri di kalangan kang-ouw lagi, tetapi seorang
berkepandaian tinggi yang sudah tak ada taranya seperti ia
itu, di masa dahulu saja ia belum pernah turun tangan ganas
membinasakan lawannya secara demikian keji, apakah di
masa tua sifat itu bisa berubah"
Tetapi kenyataan yang dihadapinya merupakan suatu
bukti yang kuat, dua orang itu memang benar mati dibawah
serangan ilmu Thian-seng-jiauw dari golongan Kiu-hoa-san,
kecuali Kiu-hoa Tojin sendiri, tiada seorang yang memiliki
kekuatan demikian tinggi, apa mau Touw Liong sendiri
tidak percaya kalau suhunya turun gunung dan melakukan
perbuatan yang sekeji itu.
Setelah Touw Liong habis berpikir, seperti keadaan
diliputi oleh kabut misteri, ia hanya dapat berkata kepada
imam itu untuk membersihkan dirinya:
"Bolehkah kiranya totiang memberikan waktu
kelonggaran beberapa hari, supaya aku dapat melakukan
penyelidikan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya,
kemudian aku akan hubungi sendiri ke Gunung Kiong-laysan
untuk memberi penjelasan?"
Imam itu mengeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Tidak bisa! Hari ini sekalipun engkau hendak
menyangkal sampa mulutmu berbusa, aku juga tidak
percaya." Touw Liong tidak berdaya, selagi hendak cerita terus
terang bahwa ia sendiri tidak memiliki kekuatan tenaga
demikian tinggi, mendadak merasa ada desiran angin
menyambar belakang kepalanya, karena ia tidak keburu
berpaling, terpaksa menggunakan kepalan tangannya untuk
menyambar ke belakang, di luar dugaannya, setelah
terdengar suara keras, sebuah papan yang melayang hendak
menyambar kepalanya, telah dihancurkan oleh serangan
tangannya tadi. Imam tua itu setelah menyaksikan keadaan
demikian lantas berkata sambil mengeleng-gelengkan
kepala: "Kau tadi mengatakan tidak mempunyai kekuatan
tenaga yang demikian hebat, bukankah itu suatu
kebohongan besar" Sebagai satu laki-laki seharusnya berani
berbuat juga berani bertanggung jawab, percuma saja kau di
kalangan rimba persilatan mendapat sedikit nama, tetapi
perbuatanmu ternyata seperti kepala harimau, berekor ular,
kau sudah tak berani mengakui perbuatanmu sendiri, aku
sendiri sesungguhnya merasa malu untukmu, kau kata tidak
mempunyai kekuatan tinggi, sekarang cobalah kau lihat apa
itu yang kau lakukan?"
Touw Liong agak bingung mendengar perkataan imam
itu, ia terpaksa menurut, lalu unjukkan matanya ke lantai,
dan apa yang dilihatnya" Benar-benar sangat mengejutkan
dirinya. Sekitar tempat ia berpijak terdapat hancuran kayu
yang bekas tersampok dengan tangannya, dan keajaiban itu
lebih-lebih dengan terdapatnya lobang-lobang kecil di atas
lantai, jika bukan dilakukan oleh seorang berkepandaian
tinggi dan memiliki kekuatan tenaga dalam sudah
sempurna, bagaimana dapat melakukan perbuatan
semacam itu"
Dengan adanya bukti itu, sekalipun ia hendak
menyangkal juga tidak bisa lagi. Kini mengertilah ia,
bahwa golongan Kiu-hoa-san yang memiliki kekuatan
tenaga menggunakan ilmu serangan Thian-seng-jiauw di
samping suhunya, masih ada dirinya sendiri. Tetapi apa
yang terjadi atas diri dan orang itu, sesungguhnya bukan dia
yang melakukan.
Di dalam keadaan demikian, ia terpaksa meminta sambil
mengerling kepada imam itu:
"Totiang, ketahuilah olehmu, aku si orang she Touw,
selama aku turun gunung, memang aku sudah banyak
melakukan perbuatan yang banyak menimbulkan takut
pada kawanan orang jahat tetapi aku bukanlah bangsa
pengecut, aku berani berbuat juga berani bertanggung
jawab. Dalam peristiwa mengenai suhengmu itu ternyata
masih tidak mendapat kepercayaan darimu, urusan sudah
jadi begini rupa kalau, kalau totiang menganggap itu
adalah perbuatanku, karena kenyataan dan bukti-bukti itu,
aku juga agak sulit untuk membantah. Sekarang baiklah!
Biarlah aku yang menanggung resiko, tapi aku minta
totiang memberikan waktu dua hari, besok lusa tengah
malam aku tunggu totiang di panggung tempat mementil
kecapi untuk memberikan keadilan kepadamu."
Muka imam itu tampak berkerenyit, menunjukkan sikap
apa boleh buat, kemudian berkata dengan nada suara
dingin: "Baiklah! Besok lusa jam tiga malam, jikalau kau tidak
datang, setidak-tidaknya arwahmu harus sampai di tempat
itu, andaikata orangnya juga tidak datang, kau jangan
sesalkan kalau kita bertindak keterlaluan, golongan Thaysan
dan Kiong-lay dalam waktu satu bulan nanti akan
menuntut balas dendam ke Gunung Kiu-hoa-san."
Touw Liong menerima baik tantangan itu dan kemudian
keluar dari kuil tersebut.
Tanpa sadar ia menarik nafas panjang, kejadian dan
peristiwa aneh-aneh telah terjadi, dan semua itu telah
menimpa di atas dirinya.
Begitu melangkah dari kuil, pikirannya sangat kusut, ia
juga tidak tahu kemana harus pergi, soal mana yang harus
diurus lebih dahulu" Setelah berpikir, segera ia ambil
keputusan hendak pergi lebih dulu ke perkampungan
misteri untuk mencari Lie Hu San, tidak sudah baginya
untuk mencari jejak Kim Yan.
Tiba di tempat itu, ia segera mengetuk pintu dan
kedatangannya disambut oleh salah seorang penjaga
perkampungan tersebut.
Touw Liong menyebutkan namanya, dan menjelaskan
maksud kedatangannya. Tetapi penjaga pintu itu berkata:
"Pek sancu tadi malam sudah pergi hingga sekarang
belum kembali."
"Pangcu golongan pengemis bagian utara datang kemari
atau tidak?"
Penjaga pintu itu kembali menggelengkan kepala.
Dalam keadaan demikian, Touw Liong terpaksa balik
pulang lagi dengan tangan hampa, sepanjang jalan ia
berpikir: Siapakah sebetulnya yang membinasakan Cu-bokiam
dan It-Yang Tojin" Apakah benar itu perbuatan suhu"
Tetapi kemudian ia bantah sendiri pikiran itu, sebab ia
tahu gurunya tidak mungkin melakukan perbuatan keji itu.
Tanpa dirasa ia sudah memasuki kota, dengan menuruti
langkah kakinya, ia masuk ke rumah makan dan langsung
menuju ke kupel Cu-kat-ting.
Ia minum dan makan seorang diri, entah berapa banyak
arak yang sudah masuk ke dalam perutnya" Sementara itu
beberapa orang yang duduk dekat meja dekat dirinya, ramai
membicarakan urusan rimba persilatan.
Touw Liong melirik, beberapa orang yang agaknya
merupakan orang-orang rimba persilatan, satu di antaranya
lelaki setengah umur, lain lagi seorang tua berambut putih,
di samping itu masih ada laki-laki bertubuh kekar dan
berwajah merah dan penuh keringat. Terdengar suara
orang tua berjenggot putih itu berkata :
"Manusia di jaman sekarang sudah tidak karuan
macamnya, orang-orang yang merupakan sahabat karib,
karena urusan harta, tidak segan saling bunuh, sahabat
karib demikian masih bebas sekali melakukan pembunuhan
dan mengambil jiwanya, setelah saudara tuanya mencari
dirinya untuk membuat perhitungan, ia bahkan turun
tangan menghabiskan dan memusnahkan kepandaian orang
sahabat karibnya itu."
Lelaki bertubuh kekar itu terkejut, bertanya dengan nada
suara terheran-heran:
"Apakah Touw Liong dapat menggunakan ilmu
serangan yang ampuh itu?"
Orang tua itu tertawa panjang dan menjawab dengan
tenang: "Siaute, dalam dunia Kangouw banyak hal-hal yang
aneh, Lie Hui Hong tadi pagi telah dibawa orang dengan
kereta lewat kota ini, barang kali di bawa ke kampungnya
Hui-Liong-chung! Kejadian itu telah kusaksikan dengan
mata kepalaku sendiri, bagaimana aku bisa bohong" Lie
Hui Hong sudah dimusnahkan ilmu kepandaiannya, dan
orang yang memusnahkan kepandaiannya itu justru
menggunakan gerak tipu terampuh Thian-sing-jiauw
golongan Kiu-hwa-san, coba kau pikir, kalau bukan orang
she Touw itu yang melakukan, siapa lagi yang sanggup
berbuat demikian?"
Setelah Touw Liong mendengar pembicaraan mereka
itu, tahulah ia bahwa dalam waktu belum satu malam,
Thian-sing-jiauw sudah mencelakakan diri tiga orang, apa
mau semua orang telah menuduh Touw Liong yang
melakukan perbuatan itu.
Setelah Touw Liong mendengarkan pembicaraan orang
itu, ia bangkit dari tempat duduknya, perbuatan itu sangat
mengejutkan orang-orang yang sedang ramai berbicara,
sehingga mereka menghentikan pembicaraannya dan
memandang Touw Liong dengan mata kesimak.
Touw Liong hendak maju untuk memberi keterangan,
tetapi kenyataan bahwa orang-orang itu hanya orang-orang
kangouw biasa, maka ia menahan kemarahannya, dengan
muka berseri-seri dan dengan suara lunak bertanya kepada
orang tua tadi.
"Bapak, sudah berapa lama Lie Hui Hong lewat di kota
ini?" "Lewat pintu kota timur menuju ke kota Tio Yang Lie,
kejadian itu kira-kira setengah jam berselang!" jawab orang
tua tadi sambil menunjuk ke timur.
Touw Liong hanya mengucapkan terima kasih,
kemudian berjalan menuju keluar. Orang tua tadi
mendadak gemetar dan bertanya kepada Touw Liong,
"Siauwko, kau ini ?"
"Touw Liong." Demikian Touw Liong menjawab
sambil menoleh dan kemudian melanjutkan perjalanannya.
Jawaban itu mengejutkan orang-orang yang ada di situ,
hingga mereka saling berpandangan sebentar, satu sama
lain bertanya dengan suara perlahan:
"Oo, jadi dia itulah Touw Liong!"
Di atas jalan raya yang menuju ke kota Lam-Yang ini,
Touw Liong berjalan tergesa-gesa menyusul Lie Hui Hong.
Pagi hari, Touw Liong sudah memasuki kota tersebut.
Tio-yang-lie merupakan sebuah kota yang cukup besar,
di situ terdapat banyak toko, jalanan ramai, orang yang
berjalan hendak berdagang di pagi hari itu ramai sekali.
Touw Liong begitu menginjak kota Tio-yang-lie matanya
ditujukan pada setiap kereta yang berjalan melalui kota itu,
menurut perhitungannya, kereta yang ditumpangi oleh Lie
Hui Hong saat itu mestinya sudah tiba di kota ini. Kota
yang sangat ramai itu, manusianya berjubel-jubel sehingga
jalan harus berhimpit-himpitan.
Touw Liong yang berjalan berhimpit-himpitan dengan
orang banyak, tiba-tiba bertuburukan dengan seorang nenek
yang berambut putih yang membawa sebuah tongkat.
Di luar dugaannya, sebelum bertubrukan, ujung tongkat
itu sudah lebih dahulu menotok jalan darah Hay-to-hiat, di
belakang kepalanya.
Touw Liong sungguh tidak menduga bahwa nenek yang
berbadan loyo itu telah menyerang dirinya secara tiba-tiba,
ketika ia merasakan dirinya diserang sudah tidak keburu
untuk menyingkir, dalam keadaan tergesa-gesa, buru-buru
ia mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, untuk
melindungi sekujur tubuhnya, namun demikian ia masih
terlambat setindak, bagian jalan darah Hay-te-hiat
dirasakan bersemutan, oleh karenanya ia lantas jatuh
terduduk. Nenek itu kemudian mendekat, dan meninggalkan
dirinya. Touw Liong masih belum sempat melihat wajah dan usia
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nenek itu, tahu-tahu sudah terserang olehnya.
Itu masih belum terhitung apa-apa, ketika nenek itu
menyenggol dirinya secepat kilat, mengulurkan tangannya
dan menyesapkan sebuah benda ke dalam saku Touw
Liong, setelah itu ia berkata dengan suara dingin:
"Anak busuk! Tiga hari! Ingat! Lusa jam tiga malam,
aku akan ambil jiwamu di atas panggung mementil kecapi!"
Perkataan nenek itu tak dapat didengar oleh orang
banyak, mereka hanya melihat anak muda itu jatuh ke
tanah, dan tidak bisa bangun lagi, sudah tentu mereka
diherankan oleh perbuatan Touw Liong itu, hingga semua
memandangnya dengan perasaan terheran-heran.
Rasa malu telah merasuk dalam otak Touw Liong,
melihat mata orang banyak, ia mengerahkan seluruh
kekuatan tenaganya untuk melompat bangun apa mau
sekujur badannya dirasakan lemas, ia tidak dapat bergerak,
maka akhirnya ia terhuyung ke kiri, matanya mengawasi
nenek tadi yang menghilang di antara orang banyak.
Semua orang yang menyaksikan rebut trheran-heran, ada
yang berkata, ia kemasukan angin jahat, ada yang kata,
mungkin ia telah "
Touw Liong segera mendapat akal, ia tersenyum kepada
orang yang mengelilinginya, kemudian berkata sendiri:
"Mungkin benar, Tuan."
Di antara orang-orang itu, segera tampak dua laki-laki
yang menghampiri Touw Liong, yang membantu
membimbing tangannya, kemudian segera mengajaknya ke
sebuah rumah penginapan yang terletak di seberang jalan.
Hingga tengah hari, keadaan Touw Liong masih tetap,
badannya dirasakan lemas, ia terlentang di dalam kamar
sebuah penginapan, ketika tangannya merogoh ke dalam
saku ia mendapatkan sebuah panji kecil berwarna hitam,
kemudian berkata pada diri sendiri, "Aneh! Mengapa panji
ini yang sudah hilang bisa kembali ke dalam sakuku?"
Touw Liong memeriksa dengan teliti panji di tangannya,
wajahnya berubah seketika, sebentar merah sebentar pucat,
bukan kepalang terkejutnya.
Panji wulung yang semula ada di dalam sakunya, adalah
sebuah panji yang berukuran tidak lebih dari lima dim,
berukiran lukisan awan gelap di angkasa, di tengah-tengah
awan tampak sinarnya sinar pedang yang disinari oleh sinar
matahari. Gagangnya terbikin dari bahan batu giok warna
ungu sepanjang tujuh dim, sedangkan panji yang sekarang
berada di dalam tangannya, bukan saja tidak ada
gagangnya, tetapi panjinya sendiri juga terdapat banyak
perbedaan. Sama-sama panji wulungnya, sama-sama tersulam
lukisan akan gelap di angkasa, tetapi pantulan sinar pedang
yang disinari oleh sinar matahari yang terdapat di tengahtengah
awan, sudah diganti dengan lukisan burung hong
terbang. Gambar lukisan di dalam dua buah panji itu jauh
berlainan, tetapi ada tiga titik yang bersamaan. Kesatu,
kedua-duanya semuanya tersulam lukisan awan gelap di
angkasa, kedua-duanya merupakan panji wulung. Kedua,
warna dari dua buah panji itu sudah luntur, jadi merupakan
barang-barang kuno yang sudah tua usianya, ketiga, sulamsulaman
yang terdapat di atas panji itu, semua dari buah
tangan seseorang.
Pada seratus tahun berselang, panji wulung ini pernah
muncul, seluruhnya berjumlah dua belas buah, apakah dua
belas buah itu semuanya ada terdapat perbedaan" Tiada
seorangpun yang pernah melihat, juga tiada seorangpun
yang dapat memberi jawaban, juga tak perlu rasanya untuk
dipelajari, yang penting ialah panji yang sekarang berada di
tangan Touw Liong ini berlainan dengan panji yang terlebih
dahulu di tangannya, jadi jelaslah sudah bahwa panji yang
berada di tangannya ini bukanlah panji yang dulu
didapatkannya di atas meja kamar penginapannya. Tetapi
sejak kapankah panji itu ditukarkan oleh orang" Apakah itu
dilakukan oleh orang yang tadi malam dijumpai di
perkampungan misteri" Dan kapan panji itu dimasukkan ke
dalam sakunya. Tetapi kalau panji itu nenek tua tadi yang memasukkan
ke dalam sakunya, apakah nenek tadi muridnya panji
wulung" Tidak perduli panji itu ditukar bolak-balik lenyap dan
ketemu kembali, mungkin itu ada perbuatan panji wulung
yang sengaja membuat kabur pikiran korbannya, ataukah
ada sepasang manusia yang berlaku sebagai panji wulung"
Kalau benar panji wulung itu ada dua orang, maka tak lama
kemudian ia akan dapat menyaksikan kejadian ramai.
Apabila panji wulung itu sengaja berbuat demikian untuk
mempermainkan korbannya, maka ia juga tidak mengerti
apa maksud sebenarnya panji wulung itu terhadap dirinya!
Soal ini dipikirnya bolak-balik oleh Touw Liong, ia telah
mendapat kenyataan bahwa Cu-bo-kiam dan It Yap Tojin
serta Lie Hui Hong bertiga, semua terluka di bawah
serangan ilmu Thian-seng-jiauw, di dalam hal ini jelas
mengandung maksud tertentu, dan sedikit banyak ada
hubungannya dengan panji wulung. Alasannya sederhana
sekali, pertama tidak mungkin gurunya turun dari Gunung
Kiu-hwa-san; kedua, adik seperguruannya seorang yang
sifatnya halus, juga tak mungkin berbuat demikian keji,
apalagi ia juga belum memiliki kekuatan tenaga setingkat
itu. Bagi dirinya sendiri, sudah tentu tidak melakukan
perbuatan itu. Maka ia segera menarik kesimpulan bahwa
orang yang menggunakan Thian-sing-jiauw untuk melukai
orang, sembilan puluh persen adalah perbuatannya panji
wulung. Sementara dengan cara bagaimana panji wulung
mengetahui golongan Kiu-hwa memiliki kepandaian ilmu
simpanan itu" Hampir sehari penuh pikiran Touw Liong
ditujukan kepada persoalan itu, akhirnya ia menarik
kesimpulan, apabila hendak mengetahui keadaan
sebenarnya, satu-satunya jalan ialah menangkap orang yang
main gila itu. Yang paling mengherankan padanya ialah nenek yang
berkepandaian itu, bukan saja sepak terjangnya sangat
misteri, turun tangannya juga sangat ganas. Ada satu hal
yang membuat orang tidak habis mengerti, nenek itu turun
tangan menotok jalan darah Touw Liong, apakah maksud
yang sebetulnya" Dengan kekuatan tenaga seperti ia, nenek
itu sebetulnya sangat mudah untuk mengambil jiwa Touw
Liong, atau setidak-tidaknya memusnahkan kepandaian
ilmu silatnya, tetapi mengapa ia berbuat demikian"
Sebaliknya hanya menotok jalan darah hay-tay-hiat untuk
mengembalikan dirinya, supaya dalam waktu satu jam atau
setengah Touw Liong berada dalam keadaan kehilangan
tenaga. Setelah dipikirnya dalam-dalam, Touw Liong dapat
menebak sikap dan maksud nenek itu. Sadarlah ia, bahwa
nenek tua itu bermaksud, supaya ia kehilangan tenaga
dalam waktu setengah jam, untuk mencegah ia mengejar
Lie Hui Hong, dan supaya ia tidak mengetahui siapa yang
menggunakan ilmu serangan Thian-sing-jiauw yang
melakukan keganasan beruntun ini.
Setelah berpikir demikian, maka ia lalu menarik nafas
dan berkata kepada diri sendiri: "Perbuatan nenek itu telah
mencegah aku, dengan demikian kereta Lie Hui Hong
tentunya sudah berada sejauh lima puluh pal dari sini,
keadaanku sekarang sudah tidak bisa berbuat apa-apa,
nampaknya hari ini benar-benar sudah tidak dapat mengejar
padanya!" Tangan Touw Liong meremas-remas panji wulung ia
semakin berpikir semakin mendongkol, dengan mendadak
ia bangun dan memasukkan panjinya ke dalam sakunya, ia
coba mengerahkan tenaganya, dan mengatur
pernafasannya. Jalan darah lainnya semuanya baik, hanya jalan darah
Hai-tay-hiat seperti kemasukan sebuah benda halus?"
Jikalau darah itu mengalir ke bagian tersebut, seolah-olah
terhalang, sehingga setengah badannya merasa kesemutan.
Ia mengerutkan alisnya, dan menggumam sendiri,
kemudian ia duduk bersila, mengerahkan semua
kekuatannya, ia berusaha menjoblos sendiri jalan darah haitayhiat yang terganggu itu.
Setengah hari telah berlalu, Touw Liong lompat turun
dari pembaringan, dia memesut keringat yang membasahi
dahinya, setelah menarik nafas panjang, lalu keluar dari
kamarnya, dengan memandang matahari yang sudah
doyong ke barat, ia berkata kepada diri sendiri sambil
mengertek gigi: "Aku justru tidak percaya segala ilmu gaib,
aku hendak mengejar terus untuk mendapat keterangan
yang sejelas-jelasnya."
Meskipun ia tahu bahwa perjalanannya itu banyak
rintangan dan banyak bahaya, tetapi ia sudah tidak
menghiraukan jiwanya sendiri, ia tidak memikirkan segala
bahaya, ia bertekad hendak menyelidiki peristiwa itu.
Di atas jalan kearah kota Lam-yang, tampak seekor kuda
dilarikan dengan sangat kencang.
Penunggangnya adalah seorang imam tua berusia kirakira
lima puluh tahun, di belakang punggung imam itu
menyoren sebilah pedang panjang.
Sepasang mata imam tua itu memancarkan sinar
matanya yang tajam berkilauan, agaknya membiarkan
dirinya dibawa kabur oleh sang kuda, sementara itu ia terus
menundukkan kepala seperti berpikir keras, tangannya
dikepal-kepal, tangan kanannya tampak menghitung-hitung.
"Tanggal satu jam satu, tanggal tiga " tiga perempat "
" Demikian ia berkata sendiri.
Pada saat itu, dari hadapan, tampak seorang pemuda
berlari menuju ke arahnya.
Pemuda itu tidak lain daripada Touw liong, jago muda
dari Kiu-hwa-san.
Dua orang yang berpapasan itu agaknya sedang
memikirkan urusannya sendiri-sendiri, hingga masingmasing
tidak menghiraukan satu sama lain, meneruskan
jalannya sendiri-sendiri.
Touw Liong yang berjalan kira-kira tiga tombak, tiba-tiba
teringat sesuatu, ia lalu berpaling mengawasi imam kurus
kering yang berada di atas kuda, kemudian memanggilnya:
"Hai! Totiang! Silahkan berhenti sebentar!"
Imam kurus itu seolah-olah baru tersadar dari mimpinya,
ia menarik tali kudanya, memutar seraya berkata:
"Ada urusan apa?"
Selagi bertanya, matanya berputaran, memandang Touw
Liong dari atas ke bawah sampai ke bagian kaki.
Touw Liong maju menghampiri dan berkata sambil
memberi hormat:
"Numpang tanya, apakah totiang baru datang dari
kota?" Imam itu menganggukkan kepala dan balas bertanya:
"Apa kau dari kota Lam yang?"
Touw Liong juga menganggukkan kepala dan menjawab:
"Dua jam berselang, apakah totiang tidak berjumpa
dengan sebuah kereta yang ditarik dengan keledai?"
Imam itu menunjukkan muka heran, sambil melongo ia
balas menanya: "Saudara kecil, apakah yang kau maksudkan adalah
kereta yang ditumpangi oleh chungcu dari kampung Huiliongchung?" "Betul, apakah totiang kenal dengan Li-chungcu?"
"Li-chungcu seorang gagah, sayang kali ini sudah habis
riwayatnya." Berkata imam itu sambil menghela nafas dan
menggelengkan kepalanya.
Touw Liong perlahan-lahan menundukkan kepala dan
imam itu menambahkan beberapa keterangan:
"Ia terluka di bawah serangan tangan Thian-sing-jiauw
dari golongan Kiu-hwa sisa hidupnya boleh dikata sudah
tidak ada artinya lagi!" Kata imam itu dengan tiba-tiba, ia
dapat lihat sikap Touw Liong yang agak aneh maka segera
bertanya: "Kau hendak menyusul Lie-chungcu?"
Touw Liong angkat muka dan membenarkan pertanyaan
itu. "Ada perlu apa kau menyusul dia?" tanya imam itu
merasa tertarik oleh perasaan herannya.
"Untuk menanyakan ia terluka di tangan siapa?" jawab
Touw Liong sambil menghela nafas.
Imam itu mendongakkan kepala dan tertawa terbahakbahak.
"Saudara kecil, kau benar-benar seorang yang simpatik,
dengan mencapekkan hati kau menyusul Lie-chungcu, kau
tidak menanyakan hal lainnya hanya hendak menanya ia
terluka di tangan siapa. Soal ini sangat mudah sekali, aku
boleh menjawab kepadamu."
Touw Liong tercengang, akhirnya ia bertanya juga:
"Silahkan, siapa yang melukai Lie-chungcu?"
"Bukankah ini sangat mudah, orang yang melukai Liechungcu
adalah orang dari golongan Kiu-hwa-pay!"
"Bukan orang dari golongan Kiu-hwa, tetapi masih ada
orang lain lagi yang melukai Lie Hui Hong."
"Orang lain lagi ?""
Touw Liong tidak memberikan keterangan, ia hanya
menguatkan keterangannya.
"Benar! Ia terluka di tangan orang lain, bukan terluka di
tangan orang golongan Kiu-hwa."
Sehabis berkata, ia lalu memberi hormat, memutar
tubuhnya dan berlalu.
Imam kurus itu memandang bayangan belakang Touw
Liong, mulutnya komat-kamit mengucapkan bunyi kata:
"Masih ada orang lain lagi." Dengan mendadak ia teringat
sesuatu, maka lalu mendatangi dan memanggil Touw
Liong. "Saudara kecil! Coba kau ceritakan siapa orangnya yang
melukai Lie Hui Hong?"
Touw Liong membuka dua tangannya, menjawab sambil
menggelengkan kepalanya dan ketawa getir.
"Aku sendiri juga tak dapat menyebutkan sebelum hal ini
menjadi terang, siapakah penjahat yang sebenarnya, masih
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum dapat aku katakana."
Kemudian ia berkata pula:
"Aku justru hendak menyelidiki soal ini, maka aku perlu
menyusul Lie Hui Hong."
Imam kurus itu mendelikkan matanya, kemudian
bertanya: "Saudara kecil ini siapa?"
"Aku Touw liong."
Imam kurus itu terperanjat, berulang-ulang
mengucapkan kata-kata:
"Touw tayhiap! Touw tayhiap!"
Touw Liong membungkukkan badan memberi hormat
seraya berkata:
"Aku seorang bodoh yang hanya mendapat nama kosong
belaka, bolehkah aku numpang tanya bagaimana sebutan
totiang?" "Pinto Ngo Yang."
Wajah Touw Liong berubah dengan segera, ia buru-buru
bertanya: "Kalau begitu totiang adalah salah satu dari tiga jago
golongan King-lay-pay disebut Ngo Yang Totiang."
"Benar, pinto adalah seorang dari tiga pemain pedang
Kiong-lay-pay."
"Ai!" Demikian Touw Liong menarik nafas kemudian
berkata: "Kedatangan totiang terlambat setindak! Sute totiang
tadi pagi telah kedapatan mati di kuil The-Thian-kwan
bersama Cu-bo-kiam dari Gunung Thay-san."
"Ada kejadian serupa itu?" tanya Ngo Yang sambil
kertek gigi, kemudian balas bertanya:
"Tahukah Touw tayhiap suteku itu binasa di tangan
siapa?" Touw Liong mengeleng-gelengkan kepala, dan
menjawab sambil menghela nafas:
"Justru lantaran soal ini maka aku tadi menghentikan
perjalanan totiang."
Ngo Yang totiang menggumam sendiri, matanya tampak
berputaran, agaknya merasa curiga maka lalu bertanya
dengan suara keras:
"Betulkah It Yang mati di bawah serangan ilmu Thiansiangjiauw golonganmu?"
Touw Liong menggangukkan kepala membenarkan
pertanyaan itu.
"Huh?" Ngo Yang totiang mengeluarkan suara dingin
dan kemudian berkata sambil menuding pecutnya ke arah
Touw Liong: "Harap Touw tayhiap memberikan keadilan kepadaku."
"Ketahuilah oleh totiang, ilmu Thian-sing-jiauw dari
golonganku, memang benar suatu ilmu yang sangat ampuh,
tetapi jikalau bukan seorang yang memiliki kekuatan tenaga
dalam sudah sangat sempurna, tidak mungkin dapat
menggunakan ilmu serangan itu untuk melukai apa lagi
untuk membinasakan orang. Di dalam golonganku, kecuali
suhu, aku sendiri dan sumoyku masih belum memiliki
kekuatan tenaga dalam setinggi itu. Totiang barangkali
masih belum lupa, pada tiga puluh tahun berselang suhu
telah mengadakan perjanjian dengan Tiga Dewa dari
golongan pengemis, yang tidak akan mencampuri urusan
dunia rimba persilatan lagi, selama itu juga belum pernah
turun gunung barang selangkah, maka itu, aku tadi katakan
bahwa orang yang membinasakan sutemu dan yang
melukai Lie Hui Hong jelas bukanlah suhu, dan jelas pula
adalah perbuatan orang lain."
"Perbuatan orang lain?" berkata Ngo Yang sambil
tertawa terbahak-bahak, "Perbuatan Touw tayhiap yang
hendak menutupi dosa sendiri, apakah tidak akan menjadi
buah tertawaan orang banyak" Kematian suteku di bawah
serangan ilmu Thian-sing-jiauw sudah merupakan suatu
kenyataan, dan ilmu itu adalah ilmu dari golonganmu yang
tidak diturunkan kepada siapa pun juga kecuali muridmuridnya.
Sekarang aku tidak peduli siapa yang
membinasakan suteku itu, aku hanya hendak tanya
bentulkah ilmu Thian-sing-jiauw itu adalah ilmu simpanan
dari golongan Kiu-hwa" Karena Touw tayhiap adalah anak
muridnya, seharusnya mendapat warisan ilmu itu, apalagi
peristiwa itu terjadi pada kemarin malam, dan kau juga
berada di kota Lam Yang, maka dalam hal ini Touw
tayhiap tidak akan terlepas tanggung jawabnya!"
"Keteranganku agaknya percuma saja, totiang toh tidak
akan dapat mengerti. Aku orang she Touw tidak takut akan
mempertanggungjawabkan soal ini, untuk nama baik
perguruanku, terpaksa aku bertanggung jawab sepenuhnya
atas kematian sutemu."
"Bagus?"
Ngo Yang totiang lantas turun dari kudanya, berjalan
menghampiri dan berkata:
"Hutang darah harus dibayar dengan darah. Touw
tayhiap kalau benar suka mempertanggungjawabkan
suteku, nah silahkan kau menyerahkan batok kepalamu, di
depanku untuk kupersembahkan kepada arwah suteku,
supaya ia dapat pulang ke rakhmattulah dengan mata
meram." Touw Liong dengan cepat mundur selangkah, tangannya
diulur untuk menahan maju Ngo Yang, dengan satu
gerakan tangannya ia berkata:
"Tunggu dulu! Batok kepalaku, kalau totiang ingin
ambil untuk kau persembahkan di hadapan arwah adik
seperguruanmu, aku memang tidak akan menyalahkan
totiang, hanya pada waktu ini aku merasa sangat keberatan.
Pertama, untuk membersihkan nama baik perguruanku, aku
tidak melepaskan kewajiban untuk menyelidiki
pembunuhnya yang sebenarnya, kedua, ai"! Aku masih
harus menepati janji untuk pertempuran yang menetapkan
mati hidupku."
Ngo Hiang tercengang dan balas bertanya,
"Menurut pikiranmu?"
"Soal yang kita hadapi sekarang ini, bukan Cuma
merupakan persoalan kematian sutemu seorang diri saja,
murid kepala Kiam-goan totiang dari gunung Thay-san,
The Hiong yang juga sudah mati dan Lie Hui Hong yang
dimusnahkan kepandaiannya serta nama baik golongan
kita, semuanya memerlukan diadakan perhitungan. Maka
aku hendak minta totiang sabar sedikit, sebaiknya totiang
berikan waktu beberapa hari supaya aku dapat menyelidiki
lebih jelas. Saat itu, aku akan datang sendiri ke gunung
Kionglai, sudah pasti aku akan memberikan keadilan dan
kepuasan kepadamu."
Ngo Hiang miringkan kepalanya untuk berpikir,
kemudian berkata sambil menggelengkan kepala.
"Tidak bisa, harus menunggu demikian lama,
sesungguhnya berat bagiku seandai hari lusa kau Touw
tayhiap mati dalam pertempuran. Bukankah kematian
suteku itu tidak dapat kubalas dengan tanganku sendiri?"
"Bagaimana menurut pikiran totiang?" Demikian Touw
Liong balas menanya.
"Kita tiga jago dari golongan Kionglai, meskipun hanya
tiga orang tetapi tiga orang itu merupakan satu badan,
kematian It-yang merupakan satu urusan besar bagi kita,
yang tidak dapat kita abaikan begitu saja, bagaimanapun
juga kita harus mencari orang yang melakukan kejahatan
itu!" "Totiang hendak mencari siap untuk mengadili orang
yang membunuh sutemu?"
"Siapa yang hutang, siapa harus membayar. Suteku mati
di bawah serangan ilmu Thian-sing-jiauw. Sudah tentu
harus mencari orangnya yang memiliki ilmu Thian-singjiauw
untuk menggantikan jiwanya."
Imam kurus itu berputaran sekian lama, tidak lain
hendak meminta Touw Liong mengganti jiwa.
Touw Liong mengkerutkan alisnya, berkata dengan
gagah sambil tertawa:
"Manusia sejak tahun kapan siap yang tidak mati" Aku
Touw Liong bukan seorang yang takut mati, aku tadi sudah
memberikan penjelasan demikian banyak, akan tetapi
totiang toh masih tetap tidak mau mengerti, apa boleh buat
terpaksa kita selesaikan secara laki-laki. Baiklah! Kepala di
atas badanku, kalau totiang menghendaki, silahkan ambil
sendiri!" "Hai?" Imam kurus itu perdengarkan suara tertawa
dingin, kemudian menggerakkan pedangnya menyerang
Touw Liong. Touw Liong geser kakinya, mengelakkan serangan ganas
dari imam tadi.
Dari pengalamannya tadi malam yang dengan satu kali
gerakan tangannya telah mementalkan golok emas di
tangan Lie Hui Hong, Touw Liong mengetahui bahwa
kekuatan tenaga dalamnya sendiri telah mendapat
kemajuan pesat secara mendadak, kini ketika menggeser
kakinya dan dengan seenaknya mengelakkan serangan
imam tadi, dengan mudah berhasil mengelakkan serangan
yang ganas itu. Oleh karenanya semangatnya bertambah
besar ia memikirkan masih banyak urusan yang harus
dilakukan bagaimana harus melayani imam kurus ini.
Maka ia segera ulur tangannya dan menyampok pedang
panjang imam itu.
Suatu keajaiban telah terjadi, pedang panjang di tangan
Ngo-yang telah tersampok jatuh, hal mana Touw Liong
sendiri juga hampir tidak percaya.
Bab 9 Touw Liong sedikitpun tidak menyangka bahwa Ngoyang
yang mendapat julukan sebagai salah satu tiga jago
dari golongan Kiong-Lay, ternyata hanya begitu saja
kepandaiannya, begitu ia turun tangan sudah berhasil
menyampok pedangnya, ini benar-benar merupakan suatu
kejadian yang tidak habis dimengerti.
"Bocah, bagus sekali perbuatanmu!" Demikian Ngoyang
berkata dengan mata mendelik.
"Aku tadi kesalahan tangan, harap supaya totiang
maafkan," berkata Touw Liong sambil mengejek.
Setelah minta maaf, ia meninggalkan totiang itu dalam
keadaan kesima.
Setelah tertegun sekian lamanya, ngo-yang memungut
pedangnya dan lompat kembali ke atas kudanya, ia hanya
dapat mengawasi bayangan Touw Liong yang dengan
perlahan-lahan menghilang dari depan matanya. Ia
sungguh tidak mengerti dengan kepandaiannya sendiri yang
sudah lama terkenal di rimba persilatan, masih tidak
berdaya menghadapi anak muda yang usianya belum lebih
dari dua puluh tahun, itu masih tidak apa begitu anak muda
itu bergerak, tanpa diketahui dengan cara bagaimana ia
melakukan serangan pembalasan, pedangnya sendiri sudah
jatuh di tanah. Kalau begitu bagaimana untuk selanjutnya"
Ia semakin memikir semakin mendongkol, juga semakin
penasaran, oleh karenanya maka segera kaburkan kudanya
untuk mengejar.
Kuda itu meskipun kurus, tetapi larinya sangat pesat,
dalam waktu sekejab mata, sudah kabur setengah pal lebih.
Setelah berpisah agak dekat, Ngo-yang dengan suara
keras berkata: "Hai, bocah she Touw! Kau hendak kabur kemana"
Apa kau tidak lihat siapa yang menunggu kau di atas
jembatan itu?"
Touw Liong mengawasi di atas jembatan seketika itu
merasa terkejut. Diam-diam ia mengenes sendiri.
Apa sebetulnya telah terjadi" Kiranya kira-kira sepuluh
tombak di hadapannya terbentang sebuah sungai besar, di
atas sungai itu melintang sebuah jembatan, di atas jembatan
berdiri seorang imam yang usianya sudah lanjut, imam
berambut putih itu tangan kirinya diletakkan di atas pundak
seorang imam bermuka sawo matang yang tangannya
membawa sebilah pedang.
Di belakang dua imam itu berdiri dua belas imam
pertengahan umur yang masing-masing menyangking
pedang di tangannya, di bawah sinar matahari pedang itu
memancarkan sinarnya yang berkilauan.
Melihat sikap imam rambut putih ini, Touw Liong diamdiam
terperanjat, dengan tiba-tiba ia teringat kepada salah
seorang tokoh terkuat yang terkenal aneh sifatnya di dalam
rimba persilatan. Tanpa sadar ia menggumam sendiri:
"Ketua golongan Kiong-lay, It-ci Cun-gwan Ciang Ko hi."
Teringat nama Chiang Ko Hi, matanya tanpa dirasa
beralih kepada imam di sisinya yang bermuka sawo
matang, ia lalu menggumam lagi sendiri: "Kepala dari tiga
jago, Tiong-yang Siangjin."
Sementara itu dalam otaknya lalu berpikir. Masih ada
satu hari setengah aku harus menghadapi pertempuran mati
hidup dengan panji wulung tidak kusangka sebelum
berhadapan dengan panji wulung, sudah timbul berbagai
persoalan yang menyulitkan diriku. Kini golongan Kionglay
sudah mengerahkan seluruh kekuatannya, mungkin kali
ini sulit bagiku untuk melalui rintangan ini.
Selagi ia menghela nafas, imam kurus yang ada di
belakangnya berseru kepada imam berambut putih yang
berada di atas jembatan.
"Suhu! Bocah ini menggunakan ilmu pukulan Thiansingjiauw membunuh mati sam sute, kita tak dapat
melepaskan padanya begitu saja."
Imam tua yang berdiri di atas jembatan, rambut dan
jenggotnya tampak berkiter-kiter, oleh tiupan angin, sejenak
ia seperti terkejut, kemudian menyahut dengn suara
nyaring: "Urusan ini aku sudah tahu, hari ini jangan harap bisa
lolos dari tanganku."
Imam berambut putih itu berdiri tegak di atas jembatan
tanpa bergerak, ia memberi isyarat kepada imam berwajah
sawo matang yang berdiri di sisinya, imam itu
membungkukkan badan dan memberi hormat, berkata
dengan sangat hormatnya:
"Tecu menerima baik perintah suhu!"
Pedang panjangnya lalu diangkat tinggi, dua belas imam
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertengahan umur yang berada di belakang dirinya segera
berlompatan turun dari atas jembatan.
Secepat kilat tiga belas imam itu sudah berada di depan
mata Touw Liong, imam berwajah sawo matang tadi
dengan pedangnya menuding Touw Liong dan berkata
kepada dua belas imam di belakangnya:
"Tangkap dia!"
"Tunggu dulu!" Demikian imam kurus yang menyusul
Touw liong segera melompat di atas kudanya dan
mencegah mereka bergerak, katanya pula:
"Suheng sabar dulu! Mereka tidak dapat menghadapi
bocah ini harus "." Kata-katanya mendadak dihentikan.
Tiga jago dari golongan Kiong-lay sudah lama mereka
biasa bekerja sama, hingga satu sama lain saling mengerti,
maka imam berwajah sawo matang itu setelah mendengar
perkataan imam kurus tadi lantas diam, matanya menatap
Touw Liong sejenak, pedangnya diangkat tinggi dan
membuat lingkaran di tengah udara.
Dua belas imam lainnya segera mengambil tindakan, dua
orang ini masih tetap berdiri di tempatnya, dan yang
sepuluh lagi maju menyerbu dengan pedang terhunus.
Imam kurus hanya dengan pedang di tangan memberi
isyarat dengan mata kepada imam muka sawo matang,
kemudian berdua mereka maju berbareng menyerang Touw
Liong. "Ouw!" Demikian Touw Liong berseru, ia kini mengerti
apa sebabnya Ngo-yang tadi tidak melanjutkan katakatanya,
ternyata hendak turut bertempur bersama
suhengnya itu. Oleh karena merasa malu terhadap diri
sendiri, maka tidak mau menjelaskan maksudnya dengan
terus terang. Dua belas imam tadi telah mengurung Touw liong
dengan rapat, pedang mereka menyerang bertubi-tubi, hal
mana membuat Touw Liong sangat gusar, sejak ia turun
gunung belum pernah dikepung oleh demikian banyak
tokoh-tokoh kuat dari rimba persilatan, maka ia menarik
nafas panjang, dalam mengahadapi serangan pedang dari
demikian banyak lawan ia telah menghibur dirinya sendiri:
"Bagaimanapun juga kalau toh mesti mati, hari ini mati,
besok juga mati, mati di tangan orang-orang dari golongan
Kiong Lay, juga merupakan suatu kehormatan bagiku."
"Minggir!" Demikian imam muka sawo matang itu
memberikan perintahnya dan dua belas imam yang
mengepung Touw Liong nampak menarik diri dan masingmasing
berdiri di tempatnya sendiri.
Imam muka sawo matang tadi berdiri di tengah-tengah,
dengan mata marah memandang Touw Liong, ternyata
ucapan Touw Liong tadi sangat menyinggung perasaannya,
maka ia perintahkan orang-orangnya menarik kembali
serangannya. Ia maju selangkah dengan muka merah
padam, berkata dengan suara dingin,
"Kita tiga jago golongan Kiong-lay seumur hidup belum
pernah melakukan perbuatan curang, belum pernah
menjadi buah tutur kawan-kawan rimba persiltan. Kali ini
untuk menghadapi kau tidak terkecualian. Barisan pedang
yang terdiri dari dua belas orang ini hanya untuk
menghadapi lawan yang benar-benar kuat luar biasa, tetapi
kau rasanya masih belum dapat mendapat kehormatan
setinggi itu, maka tidak perlu menggunakan banyak tenaga,
sebaiknya biarlah pinto sendiri yang minta pelajaran darimu
lebih dulu!"
Ngo-yang diam-diam mengeluh, dia berkata sambil
ketukkan kakinya di tanah.
"Celaka! Nama baik suhu akan hancur lebur pada hari
ini. Kita tiga jago dari Kiong-lay hari ini benar-benar akan
mengalami nasib buruk."
JILID 4 Imam berwajah sawo matang melirik Ngo-yang sejenak,
kemudian kebutkan lengan jubahnya dan menyerbu Touw
Liong. Touw Liong minggir ke samping, mengelakkan tikaman
ujung pedang imam itu, kemudian bertanya sambil
mendongak: "Totiang, apakah totiang bukan Tiong-yang totiang yang
orang-orang sebut sebagai salah satu dari tiga jago Kionglaypay?" Imam itu yang serangannya mengenai tempat kosong,
wajahnya menunjukkan perasaan heran, ia berpaling dan
menatap wajah Touw Liong, kemudian menjawab sambil
mengganggukkan kepala:
"Benar!" Bocah she Touw, kau ternyata memiliki
kepandaian cukup lumayan! Pinto sebenarnya adalah
Pendekar Satu Jurus 12 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Sepasang Pedang Iblis 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama