Panji Wulung Karya Opa Bagian 3
Tiong-yang, sekarang serahkanlah jiwamu!"
Ia menggerakkan pula pedang di tangannya, untuk kedua
kalinya menyerang Touw Liong.
Kaki Touw Liong menjejak melesat setinggi empat
tombak, kemudian mengeluarkan suara pekikan panjang, di
tengah udara ia memutar kemudian lompat melesat ke atas
jembatan. Tindakannya itu di luar dugaan dua jago Kiong-lay tadi,
mereka berseru kaget, bersama dua belas imam yang lain,
balik ke atas jembatan.
Namun gerakan Touw Liong cepat bagaikan kilat,
dengan sikap sangat menghormat ia berada di hadapan
imam berambut putih, imam berambut putih itu masih
berdiri tegak dengan mulut bungkam memandang Touw
Liong. Touw Liong memberi hormat dan berkata:
"Murid dari Kiu-hoa-pay Touw Liong, disini menghadap
ketua Kiong-lay Chiang locianpwe!?"
Imam tua itu mengebutkan lengan jubahnya, sehingga
menimbulkan angin keras dan mengeluarkan suara
menderu-deru, baju Touw Liong nampak berkibaran,
namun badannya sedikitpun tidak bergerak.
Kebutan imam rambut putih itu yang tidak berhasil
menggerakkan Touw liong membuatnya terheran-heran,
hingga wajahnya berubah seketika. Dengan suara marah,
dia memberikan perintah kepada dua muridnya yang sudah
menghampiri padanya:
"Tiong-yang dengar, lekas tangkap bocah ini!"
Dua jago Kiong-lay itu belum pernah menyaksikan
suhunya demikian marah, jelas dan mengertilah mereka
bahwa urusan ini sangat serius, mereka mengerti baik sifat
suhunya, maka kedua-duanya segera menerima baik
perintah itu dan menyerbu Touw Liong dengan pedang
terhunus. Dengan alis berdiri Touw Liong mengeluarkan bentakan
keras: "Tunggu dulu!"
Dua jago itu terpaksa menghentikan serangannya, dan
Touw Liong maju selangkah berkata kepada imam
berambut putih itu sambil membongkokkan badannya:
"Harap Chiang jangan marah, aku hendak memberi
sedikit keterangan."
Chiang Ko Hi masih tetap marah dengan nafas memburu
ia berkata: "Jangan banyak bidara, kata-katamu itu kau simpan saja
dan tunggu sampai ketemu dengan suhumu, kau boleh bicra
di hadapannya!"
Touw Liong terkejut, ia tahu tindakan apa yang akan
diambil oleh imam itu, ia lalu berpaling memandang ke
belakang sejenak, sementara itu dua jago dari Kiong-lay
sudah membentuk barisannya bersama dua belas imam
pertengahan umur tadi.
Touw Liong mendongakkan kepala memandang
matahari yang sudah mendoyong ke barat, dalam hatinya
timbul perasaan sedih, dia merasa terharu terhadap dirinya
sendiri, saat itu ia telah menghadapi dua belas orang kuat
dari Kiong-lay seolah-olah seekor kambing yang
menantikan ajalnya.
Namun ia tidak mau menyerah begitu saja, kembali ia
mengeluarkan suara pekikan panjang, pedangnya dihunus
dan maju menyerbu barisan tadi.
Wajah Chiang Ko hi tidak menunjukkan perasaan apaapa,
ia hanya memandang belakang Touw Liong dan
berkata sambil menghela nafas:
"Alangkah indahnya matahari sore sayang sudah dekat
waktunya harus terbenam!"
Kata-kata itu tidak diketahui benar maksudnya, ia benarbenar
merasa sayang karena matahari yang hampir
terbenam ke barat, ataukah menyesalkan Touw Liong yang
segera akan binasa di dalam barisan pedang"
Ia gapekan kepalanya kepada Touw Liong agaknya ingin
berkata apa-apa, hanya kata-kata itu tidak dikeluarkan dari
mulutnya, sedangkan Touw Liong juga sudah lompat
melesat ke dalam barisan pedang.
Chiang Ko Hi menarik nafas lagi, memandang
berkelebatnya sinar pedang, lalu berkata pada dirinya
sendiri: "Barisan ini telah kuciptakan dengan menggunakan
waktu hampir tiga puluh tahun, juga merupakan modal
bagiku, tidak kusangka orang pertama yang mencoba
barisan ini adalah seorang tingkatan muda yang tidak
dikenal dari golongan Kiu-hoa-pay " sungguh sayang!
Membinasakan dia, tidak ada artinya, bahkan merusakkan
nama baik dari golongan kita Kiong-lay-pay sendiri.
Bahkan kalau binasakan dia " setan tua dari Kiu-hoa-san
itu sesungguhnya tidak boleh dibuat main-main!"
"Tahan!" demikian Chiang Ko Hi memerintahkan anak
buahnya menghentikan serangannya.
Sesaat kemudian dua belas anak buah golongan Kionglay
yang mengepung Touw Liong lalu pada lompat minggir
sejauh satu tombak; masing-masing berdiri dengan
meluruskan tangannya; sedang ditengah-tengah medan
pertempuran Touw Liong berdiri tegak, wajahnya
menunjukkan sikap terheran-heran.
Chiang Ko Hi perlahan-lahan turun dari atas jembatan,
dia mengulurkan dua jari tangannya kepada Tiong-yang
tojin untuk memberi isyarat, Tiong-yang tojin untuk
mengahampiri suhunya, sambil berlutut dia menyerahkan
pedang kepada imam tua itu.
Chiang Ko Hi menyambuti padang dari tangan
muridnya, digerak-gerakkannya sebentar, gerakan itu
menghembuskan angin menderu-deru, dengan sikap serius
ia berjalan ke hadapan Touw Liong dengan nada suara
dingin ia bertanya:
"Bagaimana rasanya barisan dari dua belas pedang itu?"
Mata Touw Liong bergerak-gerak, memandang suasana
di sekitarnya, ia sebetulnya tidak suka kebentrok dengan
pemimpin golongan Kiong-lay-pay itu, dengan sikap
merendah ia menjawab:
"Ini adalah barisan pedang terhebat yang pernah
kujumpai dalam seumur hidupku."
Sebetulnya sejak ia turun gunung barangkali baru
pertama kali ini menghadapi barisan pedang.
Chiang Ko Hi unjukkan senyum kecut dan menganggukanggukkan
kepala. Lama sekali, ia baru bertanya lagi:
"Apakah It-yang bukan kau yang membunuh?"
Touw Liong mengeleng-gelengkan kepala menjawab:
"Ketahuilah totiang, aku sebetulnya tidak memiliki
kekuatan tenaga demikian hebat untuk menggunakan ilmu
dari golongan itu.
Dengan nada suara dingin Chiang Ko Hi membantah
keterangan Touw Liong, ia berkata:
"Tidak! Kau memiliki kekuatan tenaga dalam sehebat
itu, ketahuilah olehmu, dengan kekuatan tenaga dalammu
sekarang ini, untuk menggunakan ilmu Thian-sing-jiauw
sudah lebih daripada cukup."
Touw Liong terkejut mendengar keterangan itu,
sementara Chiang Ko Hi melanjutkan perkataannya:
"Tadi ketika aku bertemu muka denganmu, aku telah
mengebutkan lengan jubahku, aku sudah menggunakan
lima puluh persen kekuatan tenaga dalamku, tetapi
kebutanku itu ternyata tidak membuat kau bergerak, apalgai
menjatuhkan kau. Suatu bukti betapa tinggi kekuatan
tenaga dalammu, dan kedua, waktu kau tadi menyerbu
dalam barisan dua belas pedang itu, meskipun baru
bertempur dua jurus, tetapi kau sedikitpun tidak mendaapat
luka apa-apa. Ditinjau dari dua hal ini, kau sebetulnya
memiliki cukup kekuatan tenaga menggunakan ilmu Thiansingjiauw untuk melukai orang."
"Betulkah aku memiliki kekuatan tenaga dalam
sedemikian hebat?" tanya Touw Liong sambil mundur dua
langkah, kemudian menggeleng-geleng dan kepala seolaholah
menyangkal kata-katanya sendiri.
Apakah ia harus menyangkal" Tetapi kenyataannya
memang ada, ia sendiri memang sudah mendapat kemajuan
pesat. Tidak mengakui, karena orang itu bukannya ia
sendiri yang membunuh.
Apa yang paling mengherankan padanya, ialah kekuatan
tenaga itu dari mana datangnya" Ia sendiri juga tak
mengerti. Akhirnya ia menggeleng-gelengkan kepala, dan
menyangkal dengan kata-katanya:
"Memang benar aku belum pernah menggunakan ilmu
Thian-sing-jiau, juga belum pernah melakukan
pembunuhan terhadap orang-orang dari golongan baik."
Chiang Ko Hi salah mengerti, ia berkata dengan nada
suara dingin, "Kalau kudengar dari kata-katamu, kau agaknya tidak
pandang golongan Kiong-lay-pay sebagai golongan baik!"
Touw Liong buru-buru membantah:
"Kiong-lay-pay adalah pusat dari sepuluh partai pedang
besar dalam rimba persilatan, bagaimana tidak terhitung
golongan baik?"
Hawa amarah Chiang Ko Hi agak reda, tetapi perasaan
mendongkol dalam hatinya masih belum lenyap, sambil
lambaikan pedangnya ia berkata dengan nada suara dalam.
"Kita tidak perlu banyak bicara, engkau suka ikut dengan
baik kepadaku pergi ke gunung Kiu-hoa-san untuk mencari
suhumu, ataukah perlu aku menggunakan sedikit tenaga?"
Touw Liong berpikir sejenak, kemudian berkata sambil
menggelengkan kepala:
"Kedua-duanya aku tidak dapat terima."
"Kupinta dengan baik kepadamu ternyata kau masih
membandel, sekarang aku sudh tidak perlu berlaku sungkan
lagi. Baiklah! Sekarang kuberikan suatu soal sulit untuk
kau lakukan. Di dalam rimba persilatanadalah ilmu pedang
golongan Kiu-hoa yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus itu
yang paling kesohor, dan kedua ?"
Imam tua itu sengaja mengulur panjang nadanya,
sedangkan matanya melirik Touw Liong. Touw Liong lalu
mengerti, berkata sambil tertawa.
"Tentang ilmu pedang, dalam rimba persilatan biasanya
golongan Kiong-lay dan golongan Kiu-hoa merupakan ilmu
pedang tertinggi, kedua-duanya itu kedudukannya
berimbang."
"Hari ini kuberikan kau suatu kelonggaran, kesempatan
untuk lari," sebentar dia berdiam, matanya menatap Touw
Liong, lalu berkata pula:
"Ini adalah satu-satunya kesempatan bagimu."
Touw Liong membuka lebar matanya, memberi hormat
setengah aturan, katanya, "Aku terima baik usulmu."
"Kta tinggalkan pedang, bertanding dengan tangan
kosong. Jikalau kau sanggup melayani aku sepuluh jurus,
hari ini kubebaskan kau daripada kematian. Perkara Ityang,
aku bisa datang sendiri ke gunung Kiu-hoa untuk
mencari suhumu."
Wajah Touw Liong menunjukkan perasaan terkejutnya,
sebab sepasang tangan kosong imam itu ini, dengan dua
belas jurus ilmu pedang golongan Kiu-hoa-pay, sama-sama
merupakan ilmu yang sangat kesohor dalam rimba
persilatan. Hari ini sekalipun Kiu-hoa Lojin datang sendiri,
jikalau tidak menggunakan ilmu Thian-sing-jiauw, tidak
berani dengan mudah menerima baik tantangan imam tua
itu. Jikalau Touw Liong bertempur dengan menggunakan
pedang, mungkin masih sanggup melayani tiga atau lima
jurus, sekarang Chiang Ko Hi usulkan bertanding dengan
tangan kosong, ini berarti suatu keputusan mati baginya.
Touw Liong merasa berat menerima usul itu, namun
Chiang Ko Hi sudah berkata lagi,
"Aku tidak keberatan kau menggunakan ilmu Thian-sinjiauw.
Kalau kau menggunakan ilmu Thian-sing-jiauw
melawan aku, dengan kekuatan tenaga yangkau miliki
sekarang ini, sepuluh jurus sesungguhnya sangat mudah
sekali." Mendengar ucapan itu, mengertilah sudah Touw Liong,
bahwa maksud Chiang Ko Hi ialah memaksa Touw Liong
menggunakan ilmu Thian-sing-jiauw, dengan demikian
hingga imam itu dapat membuktikan kesalahannya.
Touw Liong menghela nafas, ia menggelengkan kepala
sambil tersenyum getir, sementara dalam hatinya berpikir,
hingga sekarang aku baru percaya apa artinya bahwa jahe
itu semakin tua semakin pedas.
Chiang Ko Hi benar-benar lihai, melihat Touw Liong
diam saja, dia mendesak dengan kata-katanya lagi:
"Jikalau kau tidak memiliki kekuatan tenaga sehebat itu,
juga tidak apa, asal kau berlutut di hadapanku untuk minta
ampun, kemudian ikut aku ke gunung Kiu-hoa, dan
mengaku dosamu di depan suhumu sendiri."
Ucapan itu tidak bedanya dengan menuduh Touw Liong
sebagai penjahat. Sudah tentu Touw Liong menjadi marah,
maka semua perasaannya dan semua kegusarannya lantas
meluap katanya dengan gagah:
"Kalau begitu biarlah, dengan tidak mengukur tenagaku
sendiri, aku bersedia menyambut seranganmu sampai
sepuluh jurus."
Ia berpikir esok malam jikalau menghadapi Panji
Wulung kalau ia tidak beruntung mengalahkannya juga
mesti mati, dan hari ini demi nama baik suhunya, kalau
kalah di tangan ketua Kiong-lay-pay juga mati,
bagaimanapun juga, kalau kematian itu toh ada harganya,
lebih pagi satu hari atau lambat satu hari apa artinya"
Daripada hidup lebih lama satu hari harus menerima
hinaan, toh lebih baik mati sehari lebih pagi secara laki-laki.
Oleh karena berpikir demikian, maka akhirnya ia terima
baik tantangan imam tua itu.
Sementara itu dalam hatinya sudah diperhitungkan:
"Aku tidak pikir untuk memperpanjang hidupku, aku juga
tidak akan menggunakan ilmu Thian-sin-jiauw, supaya kau
tidak dapat alasan untuk menuduh aku.
"Baik! Baik!" Demikian Chiang Ko Hi berkata, bibirnya
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunjukkan senyum kejam. Pedangnya dikembalikan
kepada Tiong-yang.
Touw Liong juga simpan kembali pedangnya, alisnya
dikerutkan, memikirkan cara bagaimana untuk menghadapi
lawannya. Tadi Chiang Ko Hi kata, ia sanggup menyambuti
kebutan jubahnya yang menggunakan kekuatan tenaga lima
bagian, tanpa bergerak. Ia diam-diam menetapkan siasat
bagaimana untuk menghadapi lawan kuat itu.
Sementara itu Chiang Ko Hi sudah berkata lagi:
"Sambutlah, bocah! Kalau kamu sudah menyambut
serangan sepuluh jurus kau boleh bebas dan boleh lari
sesukamu kemana kau hendak pergi."
Touw Liong sesungguhnya sangat mendongkol, hingga
wajahnya menunjukkan perasaan gusarnya.
Chiang Ko Hi memerintahkan semua anak-anak murid
supaya mundur, hingga di situ terdapat lapangan cukup luas
untuk bertempur.
Ia lalu berdiri di tengah-tengah lapangan dan mulai
pasang kuda-kuda, kemudian memberitahukan bahwa ia
hendak melakukan serangan yang pertama.
Serangan pertama dilakukan dengan tangan kiri,
kemudian tangan kanannya menyusul sampai tiga kali.
Serangan ini menimbulkan hembusan angin hebat, Touw
Liong yang diam-diam sudah siap, mengerahkan sepenuh
bagain kekuatan tenaganya, menyambuti serangan itu.
Tatkala dua serangan itu saling beradu, badannya
tergoyang-goyang, kekuatan tenaga dua orang ternyata
sangat berimbang, masing-masing hanya mundur setengah
langkah. Jurus pertama berakhir dengan sama kuat.
Chiang Ko Hi sangat marah, dia mengerahkan sepuluh
bagian kekuatan tenaganya kedalam dua lengannya,
kemudian membentak dengan suara keras:
"Bocah, sambutlah seranganku yang kedua!"
Ucapan itu diikuti serangan yang hebat. Touw Liong
tidak berani berlaku ayal, ia menyambuti serangan
lawannya dengan kedua tangan.
Kesudahan dari itu, ia terpental mundur setengah
langkah. Chiang Ko Hi hanya bergoyang-goyang sebentar,
akhirnya ia dapat pertahankan kedudukannya, sedikitpun
tidak mundur. Kini ia dapat buka mulut besar, katanya dengan suara
bangga: "Sudah dua jurus, bocah, kau hati-hati menyambuti
seranganku yang ketiga!"
Serangan yang ketiga itu sudah tentu lebih hebat
daripada yang kedua. Serangan itu dirasakan oleh Touw
Liong bagaikan gunung es yang menindih, sehingga ia
hampir tidak bisa bernafas, tetapi ia masih berusaha untuk
menyambuti serangan itu.
Selanjutnya serangan keempat, kelima dan terus sampai
kedelapan bertubi-tubi datangnya. Touw Liong sudah
mandi keringat.
Touw Liong yang sudah menyambuti hingga delapan
jurus, ia tahu bahwa serangan terakhir Chiang Ko Hi pasti
merupakan serangan yang mematikan, bahkan
mengeluarkan seluruh kekuatan tenaganya, bagaimanapun
juga rasanya ia tidak dapat menyambuti serangannya yang
terakhir itu. Jikalau ia keraskan hati untuk menyambuti,
kesudahannya pasti mengenaskan. Tetapi ia sudah
bertekad hendak bertempur hingga tenaga yang
penghabisan, hanya persoalan yang dihadapinya itu ia tidak
dapat melepaskan begitu saja.
Sang waktu terus berlalu, tidak memberi kesempatan
baginya untuk berpikir lagi. Hembusan angin bagaikan
ombak yang datang menggulung dirinya, hingga ia buruburu
menyiapkan diri untuk menyambuti serangan itu.
Dalam keadaan tergesa-gesa timbullah akalnya, kedua
kakinya menjejak tanah, badannya melesat tinggi lima
tombak, mengelakkan serangan Chiang Ko Hi yang sangat
hebat itu. Chiang Ko Hi benar-benar tidak menduga Touw Liong
akan berbuat demikian, ia membentak dengan suara marah:
"Bocah, apakah kau masih pikir hendak menyingkir"
Jurus kesepuluh ini akan menamatkan riwayatmu."
Tanpa menunggu Touw Liong turun lagi, serangan
Chiang Ko Hi ditujukan ke tengah udara hendak memapaki
Touw Liong yang hendak turun ke tanah.
Serangan itu ternyata mengenakan denga telak kepada
Touw Liong, bagaikan layang-layang yang putus talinya,
Touw Liong telah terpental keatas dan terbang keluar dari
medan pertempuran, lalu jatuh di atas jembatan.
Jatuhnya itu dengan gaya yang sangat indah sekali, ia
dapat berdiri dengan tegak di atas jembatan, sikapnya biasa,
bedanya hanya nafasnya sedikit memburu.
"Hai! Sudahlah!" Chiang Ko Hi mengeluh sendiri
bagaikan ayam jago yang kalah bertempur, dengan kedua
tangannya ia memerintahkan kepada Tiong-yang Tojin:
"Jalan! Mari kita pulang ke Kiong-lay-san!"
"Suhu, bagaimana dengan dendam sakit hati It-yang
sute?" bertanya Tiong-yang sambil membungkukkan diri.
"Sudahlah! Urusan ini kita tangguhkan saja sampai
sepuluh tahun kemudian!"
Tiong-yang mengerti maksud suhunya, itu berarti bahwa
suhunya untuk menghadapi Touw Liong satu bocah yang
masih sangat muda dan masih belum banyak pengalaman,
toh masih belum sanggup apalagi untuk mencari suhunya di
gunung Kiu-hoa-san" Dengan demikian sakit hati It-yang
tidak terbalas, bahkan mungkin pihaknya sendiri yang akan
mendapat malu. Maka urusan untuk membalas itu,
sekarang sudah tak ada harapan lagi, semua harapannya
harus ditujukan kepada usaha latihannya untuk sepuluh
tahun lagi, sehingga ilmu barisan dua belas imam itu
terlatih benar-benar.
Touw Liong diam-diam lega hatinya. Sedang Tiongyang
Tojin maju beberapa langkah dan berkata kepada
suhunya: "Suhu! Bocah ini tidak boleh kita diamkan, kalau kita
diamkan berarti meninggalkan suatu bencana di kemudian
hari, meskipun kita melatih sepuluh tahun lagi, tetapi
sepuluh tahun kemudian, mungkin ia sudah mendapat
kemajuan lebih pesat lagi, maka itu " hari ini jikalau kita
tidak mengambil tindakan tegas, barang kali di kemudian
hari akan membawa bencana yang tak akan habishabisnya."
Chiang Ko Hi tertarik oleh perkataan muridnya, ia
mengangguk-anggukkan kepala, matanya melirik kearah
Touw Liong yang berdiri di atas jebmatan dengan
menunjukkan sikapa keberatan berkata:
"Ucapan yang sudah kukeluarkan bagaimana harus tidak
ditepati" Bocah itu sudah menyambuti sepuluh jurus
seranganku bahkan sedikitpun tidak terluka."
"Suhu, mari berjalan dulu biarlah tecu yang
membereskan urusan ini," kata Tiong-yang dengan suara
perlahan. Chiang Ko Hi berpikir sejenak, akhirnya berkata sambil
menghela nafas:
"Akal ini memang baik, dapat menyingkirkan bocah itu,
juga tidak mengingkari janji terhadapnya. Tetapi aku masih
khawatir, apakah kau memiliki kekuatan tenaga untuk
membereskan bocah itu?"
"Suhu jangan khawatir, serangan terakhir suhu telah
melukai tubuh dalam bocah itu. Dengan tecu seorang,
rasanya tidak susah untuk membinasakannya."
"Nampaknya memang benar bocah itu terluka parah,
baik juga! Berlakulah dengan bersih, aku tunggu kau di
kota Lam-yang."
Tiong-yang mengantarkan suhunya berlalu dari tempat
itu, Touw Liong masih berdiri bagaikan patung di atas
jembatan. Matahari memancarkan sinarnya keemas-emasan, angin
barat meniup kencang. Chiang Ko Hi sudah berlalu
bersama tiga belas muridnya, keadaan di situ sepi sunyi.
Hanya Touw Ling seorang diri yang masih tegak berdiri
di atas jembatan, tidak menunjukkan sikap apa-apa.
Di bawah jembatan, di tengah-tengah jalan raya, Tiongyang
tojin wajahnya menunjukkan sikap yang tidak
menentu, sejenak dua tangannya dikepal-kepal, dia
mencoba berjalan ke atas jembatan.
Terpisah waktu sesaat itu, ia sedikit banyak agaknya
timbul perasaan menyesal, ia menghunus pedang
panjangnya, dengan berindap-indap berjalan menuju ke atas
jembatan. Terpisah kira-kira satu tombak dengan Touw Liong ia
berhenti: "Bocah, aku sekarang hendak turun tangan! Kau jangan
salahkan aku!" demikian ia memberi peringatan kepada
Touw Liong. Touw Liong sedikitpun tidak menunjukkan perubahan
sikap apa-apa, ia hanya menggerakkan biji matanya yang
sudah tidak bercahaya. Touw Liong memang benar terluka
tidak ringan. Tiong-yang tojin berusaha menindas emosinya yang
berkobar-kobar, ia mengeluarkan suara batuk-batuk,
kemudian berkata dengan nada suara mengejek:
"Bocah! Sekarang ini jikalau kau suka rebah, aku akan
mengampuni jiwamu!"
Touw Liong masih tidak bergerak, sepasang matanya
dipejamkan, tidak sepatah kata keluar dari mulutnya.
Bibir Tiong-yang menunjukkan senyum egoisnya,
lambat-lambat ia maju menghampiri, ujung pedangnya
ditujukan ke belakang punggung Touw Liong, kemudian
berkata dengan bangga:
"Mati di bawah pedangku, juga merupakan kehormatan
besar bagimu!"
Bahaya setapak demi setapak mendekati Touw Liong,
namun Touw Liong masih tetap memejamkan mata,
seolah-olah tidak merasa.
Selagi Tiong-yang hendak menggerakkan pedangnya
untuk menekan belakang punggung Touw Liong, tiba-tiba
dari bawah meluncur hawa dingin menyerang dirinya.
Ia sudah mengerti apa artinya itu, tidak keburu ia
mengelak, secepat kilat jalan darahnya Ling-tay-hiat sudah
tertotok. Pedang di tangannya terlepas dan jatuh ke tanah, kedua
matanya mendelik, dan ia sendiri sekarang rebah terlentang
di atas jembatan.
Siapa orangnya yang menotok dirinya" Ia belum melihat
dengan jelas, dan ia mendelikkan matanya, sebentar
badannya menggeliat, dan kemudian tamatlah riwayatnya.
Touw Liong yang memejamkan matanya sedang
mengatur pernafasannya untuk memulihkan kekuatan
tenaganya masih tetap dalam keadaan demikian. Ia tahu
bahwa saat itu terjadi perubahan besar di hadapan matanya,
tetapi ia sedang memulihkan kekuatan tenaganya, maka
tidak berani membuka matanya.
Sang waktu berlalu terus, tak lama kemudian matahari
sudah terbenam ke barat, di atas jalan raya tiba-tiba
terdengar suara derap kaki kuda, seekor kuda kurus menuju
ke jembatan. Penunggangnya bukanlah si imam kurus Ngo-yang,
melainkan Chiang Ko Hi yang sikapnya dingin.
Dengan sangat mendongkol dan hati cemas Chiang Ko
Hi menuju ke atas jembatan, kemudian lompat turun dari
kudanya, ia tidak ambil perduli dengan Touw Liong,
sebaliknya memandang muridnya lebih dulu, ia memeriksa
sekujur badannya, tiba-tiba tampak olehnya di bagian jalan
darah Ling-tay-hiat terdapat sebuah tanda luka, ia lalu
dongakkan kepala, dengan mata gusar memandang Touw
Liong yang masih berdiri tegak tanpa bergerak. Kemudian
ia berkata: "Kembali kau bocah, sudah menggunakan ilmu Tiansengjiauw yang sangat ganas itu."
Perlahan-lahan ia letakkan Tiong-yang di atas jembatan,
memungut pedang panjangnya, sedang ujung pedang
ditujukan kepada Touw Liong dengan wajah gusar berkata:
"Bocah, hari ini akan mengeluarkan hatimu untuk
melihat hatimu itu merah ataukah hitam?"
Sehabis berkata, ujung pedangnya ditusukkan ke depan
dada Touw Liong.
Mendadak berkelebat sesosok bayangan orang. Touw
Liong sudah menghilang dari depan Chiang Ko Hi, hingga
serangan imam ini mengenakan tempat kosong.
Kejadian ini, membuatnya sangat marah benar-benar,
pedangnya digerak-gerakkan kesana-kemari sehingga
menimbulkan hembusan angin hebat, sementara mulutnya
membentak: "Bocah, kau sungguh jahat! Hari ini bagaimanapun juga
aku akan mencincang tubuhmu, baru merasa puas."
"Ciangbunjin harap sabar!" demikian suara yang keluar
dari mulut Touw Liong, yang berdiri di tengah-tengah
jembatan sambil menyoja kepadanya.
"Apa yang perlu dikatakan lagi" Apakah dia juga bukan
mati dibawah ilmumu Thian-seng-jiauw?" berkata Chiang
Ko Hi dengan nada gusar.
Bab 10 Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Ciangbunjin adalah seorang beribadat, sesuatu
perbuatan darimu seharusnya dipikir dulu masak-masak.
Pertama, kau tidak seharusnya mengingkari janjimu sendiri,
tidak seharusnya setelah kau menyerang sepuluh jurus lalu
tidak menepati janjimu, diam-diam kau menyuruh Tiongyang
membunuh aku. Kedua, tidak seharusnya kau tidak
memeriksa lebih dahulu, lantas marah terhadap orang yang
tidak bersalah. Kau kurang bisa berpikir dengan baik, aku
terluka oleh seranganmu yang terakhir, aku sedang
berusaha memulihkan kekuatan tenagaku sendiri, dari
mana aku masih ada sisa kekuatan untuk membunuh
orang?" Ucapan Touw Liong itu memang benar, hingga Chiang
Ko Hi diam-diam membenarkan juga. Ia kini berada dalam
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaan serba salah, ucapan Touw Liong itu merupakan
suatu tamparan hebat baginya, ia tidak tahu bagaimana
harus berbuat"
Touw Liong melihat hati ketua Kong-lay-pay itu
tergerak, lalu berkata sambil menunjuk kepada jembatan:
"Luka Tiong-yang totiang di bagian jalan darah Ling-tayhiat,
waktu ia menghembuskan nafasnya juga tidak
mengeluarkan suara sedikitpun juga, suatu bukti bahwa
kematiannya itu disebabkan karena ia diserang orang secara
mendadak, terhadap orang yang membokong dirinya itu,
Tiong-yang totiang juga belum melihat dengan jelas, sedang
orang yang membokong itu jikalau turun tangan dari
belakang, aku seharusnya melihat, jikalau dari hadapanku
tidak mungkin dapat melakukan serangan demikian hebat.
Maka serangan orang itu pasti dilakukan dari samping
belakang, mungkin berdirinya Tiong-yang totiang waktu itu
agak miring sedikit."
"Jadi kau maksudkan, orang yang menyerang dari
belakang itu sembunyi di bawah jembatan dari situ
melancarkan serangan tangan berat?"
Touw Liong menganggukkan kepala mengiyakan.
Chiang Ko Hi menancapkan pedangnya di atas
jembatan, lalu berjalan menuju ke kepala jembatan.
Di bawah jembatan, air mengalir tenang, beberapa
tangkai daun kering mengambang dan mengalir di atasnya.
Jembatan itu adalah sebuah jembatan model kuno yang
panjangnya kira-kira tujuh delapan tombak, di bawahnya
terdapat tiga lobang, jembatan yang terbuat dari batu itu
sudah penuh lumut, menunjukkan bahwa usia jembatan itu
sudah tua sekali.
Di permukaan batu, terdapat beberapa baris tulisan yang
ditulis dengan jari tangan, tulisan itu berbunyi:
"Orang yang membunuh Tiong-yang bukanlah Touw
Liong! Orang yang akan membunuh Chiang Ko Hi adalah
aku!" Di bawah tulisan itu terdapat lukisan sebuah panji
segitiga selebar kira-kira lima dim. Touw Liong yang
menyaksikan itu hatinya bergetaran sedang Chiang Ko Hi
memandang lukisan panji kecil itu dengan mengerutkan
alisnya. Rupanya ia tidak begitu mengerti, dengan wajah
seperti masih ragu-ragu ia bertanya kepada diri sendiri:
"Dewasa ini, siapakah orang yang menggunakan tanda
panji semacam ini?"
Touw Liong menghela nafas dan menjawab:
"Panji Wulung."
"Panji Wulung"!" tanya Chian Ko Hi kaget hingga
hampir lompat. Touw Liong menganggukkan kepala.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Chiang Ko Hi tidak
percaya. Touw Liong mengeluarkan panji wulung dari dalam
sakunya dan diberikan kepada Chiang Ko Hi, katanya:
"Silahkan Chiang-bunjin periksa sendiri!"
Dengan tangan gemetar Chiang Ko Hi menyambuti
panji kecil warna hitam dari tangan Touw Liong, kemudian
berkata: "Ya Tuhan! Ini memang benar! Panji Wulung " Kau
telah menerimanya?"
Touw Liong menjawab sambil menunjuk kepada tulisan
di batu jembatan:
"Harap ciangbunjin berlaku hati-hati! Panji Wulung
selamanya berbuat seperti apa yang dikatakan, awas
terhadapnya yang akan bertindak tidak menguntungkan
bagi ciangbunjin. Ai " sementara aku sendiri, sudah satu
hari satu malam aku menerima panji ini."
Chiang Ko Hi menghela nafas, dengan nada suara
simpatik ia berkata:
"Sayang usiamu masih begini muda, hidupmu tinggal
satu setengah hari saja! Ai! Aku pernah merasa sayang
terhdapmu, baiklah matahari di waktu sore, meskipun
indah sinarnya, sayang tidak lama akan terbenam! He!
Aku juga tidak tahu masih bisa hidup berapa lama lagi"
Sedang dendam kesumatku " dalam hidup ini " Ah!
Dendam sakit hati atas kematian muridku, entah kapan aku
bisa menuntutnya!"
Dua orang itu menjadi sama-sama senasib. Touw Liong
terhadap Chiang Ko Hi mendadak timbul rasa simpati, ia
berkata dengan suara perlahan:
"Di sini terlalu banyak persoalan, menurut pikiranku,
Chiang-bunjin seharusnya meninggalkan jauh-jauh dari
tempat yang banyak pertikaian ini."
Chiang Ko Hi menganggukkan kepalanya, berkata
dengan suara sedih:
"Aku akan menjauhkan diri dari segala pertikaian,
barangkali sudah tidak mungkin lagi! Aku sendiri juga
tidak tahu, masih bisa hidup berapa lama lagi."
Ia berjalan lagi ke atas jembatan dengan langkah kaki
limbung, lalu turunkan tangannya mengangkat jenazah
munridnya, kemudian meletakkan di atas punggung kuda.
Dengan melawan angin kencang, kudanya dikaburkan
menuju ke barat.
Dalam waktu hanya sekejab saja, usia Chiang Ko Hi
seolah-olah sudah berubah menjadi lebih tua, semangatnya
yang semula menyala-nyala kini telah lenyap bagaikan asap
ditiup angin. Touw Liong memandang bayangan Chiang Ko Hi yang
perlahan-lahan lenyap dari hadapan matanya, barulah
memasukkan kembali panji wulungnya dalam sakunya,
kemudian berkata kepada dirinya sendiri: "Panji Wulung
benar-benar pembawa celaka! Selama seratus tahun,
bayangannya masih selalu hidup dan menimbulkan
kenangan menakutkan di dalam hati manusia."
Ia berdiri terpencil di atas jembatan memandang sinar
matahari yang sudah mendoyong ke barat, ia tidak tahu
malam itu ia harus ke selatan atau ke utara, karena
terlambat hampir setengah hari, untuk menyusul Lie Hui
Hong sudah tidak mudah lagi.
Ia memandang kearah yang jauh dengan matanya yang
sayu, dari mulutnya tercetus kata-kata perlahan yang
bertanya kepada dirinya sendiri: "Entah bagaimana
macamnya orang yang mengaku Panji Wulung itu"
Mengapa ia dapat mencuri ilmu Thian-seng-jiauw dari
perguruanku untuk membunuh" Lalu sekarang ia kembali
turun tangan untuk membinasakan Tiong-yang yang berarti
juga menolong jiwaku?"
"Apakah benar ia takut sebelum waktu tiga hari tiba aku
sudah mati, sehingga ia tidak dapat mengambil batok
kepalaku?"
"Siapakah Panji Wulung itu?"
Ia tahu Panji Wulung seolah-olah bayangan yang selalu
membayangi dirinya sendiri.
Ia mulai langkahkan kakinya, berjalan terus menuju ke
jalan raya yang kedua sisisinya terdapat banyak lading yang
sudah mulai kering. Keadaan di sekitarnya sepi sunyi, di
atas jalan raya itu tidak terdapat seorangpun juga.
Satu hari telah berlalu dengan cepat, malam telah tiba,
sinar bulan menyinari jagat raya yang sepi sunyi. Pada
waktu itu, suara binatang malam terdengar di sana sini,
Touw Liong berjalan seorang diri, memikirkan nasibnya
yang mungkin hanya tinggal hidup satu hari atau satu
malam saja. Ia berjalan seperti seorang yang sudah
kehilangan tenaga, maka untuk berhenti mengaso di bawah
pohon yang rindang. Ia memejamkan matanya untuk
memulihkan tenaganya. Selagi hendak membuka matanya
untuk melanjutkan perjalanannya, samara-samar di
hadapannya seperti tampak bayangan seseorang.
Dengan perasaan kaget ia mendadak membuka mata;
saat itu justru bayangan seseorang lewat di hadapannya.
Bayangan orang itu seperti tidak asing baginya, ialah
seorang paderi tua yang kepalanya gundul dan memakai
jubah warna kelabu.
Paderi itu seperti pernah dilihatnya, tapi untuk sesaat ia
tidak ingat dimana ia pernah ketemu.
Selagi Touw Liong memikir-mikirkan, bayangan paderi
itu bergerak bagaikan angin, dalam waktu sekejab mata saja
sudah berjalan sejauh lima tombak.
Dalam hati Touw Liong diliputi tanda tanya, diam-diam
bertanya kepada diri sendiri: "Siapa paderi itu?"
Tertarik oleh perasaan ingin tahu, Touw Liong lalu
angkat kaki dan pergi mengejar.
Gerakan kaki paderi itu luar biasa cepatnya, seolah-olah
kakinya tidak menginjak tanah, ilmu lari pesat yang sudah
mencapai taraf tingakt tertinggi itu merupakan orang yang
jarang ditemukan oleh Touw Liong. Dalam ingatannya
orang yang memiliki ilmu lari pesat macam itu kecuali
gurunya sendiri yang dapat dibandingkan dengan
kepandaian orang itu, benar-benar sudah untuk mencari
yang keduanya. Dalam otaknya tiba-tiba timbul suatu pertanyaan aneh
apakah dia itu orang yang menamakan dirinya Panji
Wulung" Karena timbulnya pikiran demikian, maka ia lalu
mengerahkan kekuatan tenaganya dengan menggunakan
seluruh kepandaiannya, terus mengejarnya.
Ia mengejar sampai sejarak tiga pal, suatu kejadian lain
membuatnya lebih terkejut, ia mendapat kenyataan bahwa
kaki yang mengejar paderi tadi, dalam waktu cepat itu
ternyata sudah berhasil mengejanrya. Ternyata ilmu lari
pesatnya itu sedikitpun tidak kalah dengan paderi tua itu.
Hal itu sangat mengejutkan dirinya, ia benar-benar tidak
tahu dengan cara bagaimana kekuatan tenaga dan
kepandaiannya sendiri dalam waktu satu hari telah
mendapat kemajuan demikian mendadak"
Orang yang berada di depannya itu ialah orang dari
golongan agama. Ia berani memastikan bahwa orang itu
bukanlah si Dewa Arak. Akan tetapi siapa"
"Hai!" Mendadak Touw Liong teringat diri seseorang.
Bukan kepalang terkejutnya dia pada saat itu, buru-buru ia
menghentikan kakinya dan berpikir sambil menepaknepakkan
kepalanya sendiri: Bagaimana aku berlaku
demikian gila" Jikalau aku benar-benar dapat mengejarnya,
bukankah berarti mencari kesulitan sendiri"
Urusan di dalam dunia ini kadang-kadang memang
demikian aneh. Touw Liong merasa jeri terhadap orang
itu, ia baru berhasil menahan langkah kakinya sendiri,
tetapi paderi yang berada di hadapannya juga
menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya, alisnya
yang panjang nampak berdiri, matanya memancarkan sinar
tajam, setelah menatap Touw Liong sejenak ia bertanya
dengan heran: "Kau siapa?"
Benar saja, dugaan Touw Liong tidak salah. Paderi itu
Touw Liong pernah melihat, ia adalah paman guru Lie Hui
Hong, yang pernah dilihatnya di dalam kuil Lang-in Siansie,
yang kala itu sedang duduk bersemedi di atas ranjang
kayunya. Demi ditegut oleh paderi tua itu, hati Touw Liong
berdebaran, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Paderi tua itu perlahan-lahan menghampiri dan kembali
mengajukan pertanyaannya:
"Kau murid siapa, mengapa terus mengikuti aku?"
"Aku yang rendah ini adalah Touw Liong," demikian
Touw Liong terpaksa menjawab dengan gelagapan.
"Touw Liong"!" Paderi itu terkejut, tiba-tiba membentak
sambil mendelikkan batanya: "Bocah! Aku justru sedang
mencarimu!"
Meskipun Touw Liong sudah tahu sebab apa mencari
dirinya, tetapi ia pura-pura bertanya:
"Ada keperluan apa siansu mencari aku?"
"Perlu apa mencari kau" Tidak apa-apa, hanya ingin
mengambil nyawamu."
"Aku dengan losiansu belum pernah bertemu muka, kita
satu sama lain juga tidak ada permusuhan apa-apa,
mengapa aku harus menyerahkan jiwkau kepada losiansu?"
demikian Touw Liong balas menanya.
"Aku tidak perlu menerangkan dosamu. Jikalau kau
merasa penasaran, dengarlah baik-baik! Aku perkenalkan
diriku lebih dulu, aku adalah Hong-hui Tianglo dari gereja
Lang-in San-sie, juga menjadi paman gurunya Lie Hui
Hong." Touw Liong pura-pura berlaku tenang dengan sikap
seperti biasa ia mendengarkannya, kemudian menyatakan
kagumnya kepada paderi itu.
"Tidak perlu kau memuji aku! Suhumu dalam rimba
persilatan mempunyai kedudukan tinggi, kau denganku
terhitung orang-orang yang sama tingkatnya, ucapan
cianpwe tidak berani aku menerimanya." Paderi tua itu
menolak pemberian hormat Touw Liong.
Touw Liong tidak membantah, masih tetap dengan
sikapnya yang menghormat kepada orang tingkatan tua, ia
berkata: "Cianpwe hendak memerintah apa, sekalipun harus
terjun ke dalam api maupun ke dalam air, bonapwe tidak
akan menolak."
"Jangan banyak bicara! Aku sekarang hendak menanya
padamu, kau harus mati atau tidak?"
"Terserah kepada lo-siansu!"
"Pertama, kau sudah mengangkangi batu Khun-ngogiok,
itu masih belum cukup, bahkan membunuh orang
yang menjadi pemiliknya. Kau telah membinasakan Lie
Hui Pek, apa maksudmu?"
"Dalam soal ini, ternyata mengandung fitnahan hebat,
untuk sementara ini boanpwe tidak dapat memberi
penjelasan kepada cianpwe, urusan ini terpaksa kuminta
untuk ditunda dulu sehingga menjadi jelas, kalau urusan ini
sudah terang, sudah tentu tidak susah untuk mengetahui
siapa yang benar dan siapa yang salah."
"Kedua, orang yang menggunakan ilmu serangan Thiansengjiauw melukai Lie Hui Hong di kota Lam-yang ?"
"Itu dilakukan oleh orang lain, orang yang melukai Lie
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hui Hong dengan ilmu Thian-seng-jiaw bukan orang dari
golongan Kiu-hoa."
"Ilmu ampuh dari golongan Kiu-hoa, adalah warisan
dari Sam Hong Cosu. Pada dewasa ini kecuali orang dari
golongan Kiu-hoa tidak ada lain orang yang mampu
menggunakan. Terang Lie Hui Hong terluka di bawah
serangan tangan Thian-seng-jiauw, mengapa kau timpakan
dosanya kepada orang lain" Kau kata itu dilakukan oleh
orang lain, siapakah orangnya?" tanya paderi tua itu marah.
"Jikalau lo-cinapwe tidak percaya, boanpwe dapat
menunjukkan bukti untuk menunjukkan bahw boanpwe
tidak bersalah."
"Baiklah! Kau bawa aku dulu untuk melihat buktimu,
kemudian kita perlahan-lahan memperhitungkan rekening
ini." "Mari cianpwe ikut, nanti pasti akan tahu sendiri."
Tanpa menunggu reaksi paderi itu, Touw Liong sudah
berjalan dulu, balik menuju ke jembatan. Paderi tua tiu
tidak berdaya terpaksa mengikutinya.
-----00000----Jembatan tua itu sepi sunyi, air sungai yang mengalir di
bawahnya tetap tenang, di atas jembatan tampak seorang
tua dan seorang muda, mereka adalah Hong Hui Siansu
dan Touw Liong.
Dua orang itu memandang batu jembatan. Touw Liong
menunjukkan rasa terkejut dan terheran-heran, sedang
Hong Hui nampak bingung. Kemudian terdengar kata-kata
Touw Liong seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri:
"Jelas di atas batu ini belum lama berselang terdapat tulisan
dengan jari tangan, bagaimana dalam waktu sekejab saja
sudah terhapus" Oleh kekuatan tenaga dalam pula!"
"Omong kosong, kulihat kau masih mempunyai akal apa
lagi, sebaiknya kau mengaku saja dengan terus terang,"
berkata Hui Hong dingin.
Touw Liong masih tidak mau menyerah begitu saja, ia
tidak mau melepaskan tiap detik untuk membersihkan
dirinya sendiri, katanya:
"Boanpwe sedikitpun tidak membohong, tulisan di
bawah jembatan ini ada orang yang melihatnya, boleh
dijadikan saksi."
"Siapa" Orang lain lagi yang menyaksikan?"
"Ketua golongan Kiong-lay-pay, Chiang Ko Hi."
"Kau maksudkan, kau hendak suruh aku pergi mencari
Chiang Ko Hi untuk menanyakan soal itu?"
"Boanpwe hanya ingin mencari pokok pangkalnya
persoalan ini, tidak akan membiarkan sutitmu dalam
penasaran terus-menerus."
"Di atas batu jembatan itu tertulis apa saja" Coba kau
bacakan untukku!"
"Orang yang membunuh Tiong-yang bukanlah Touw
Liong, orang yang akan membunuh Chiang Ko Hi itulah
aku." Demikian ia menyebut tulisan yang pernah
dilihatnya. "Kau bocah ini sungguh licik, akal semacam itu dapat
dipakai untuk mengelabui mata Chiang Ko Hi, tetapi aku
tidak! Jelas bahwa tulisan ini lebih dulu sudah kau tulis di
atasnya, yang sengaja hendak mengakali Chiang Ko Hi."
Touw Ling menggeleng-gelengkan kepala dan balas
menanya: "Sekarang tidak usah bicarakan soal itu, tahukah locianpwe,
tulisan itu siapa yang menulis?"
"Siapa?"
Touw Liong perlahan-lahan mengeluarkan Panji Wulung
dari dalam sakunya lalu dibebernya dan berkata pula:
"Pemilik panji inilah yang menulisnya!"
"Panji Wulung?"?"Hong Hui agak terkejut.
"Di atas batu itu juga terlukis panji semacam ini."
Hong Hui mengerutkan alisnya, dengan menunjuk panji
wulung di tangan Touw Liong, bertanya dengan nada suara
terkejut: "Kau telah menerima panji ini?"
Touw Liong menganggukkan kepala.
"Sudah berapa hari lamanya?" tanya Hong Hui setengah
percaya setengah tidak.
"Dua hari! Seharusnya pada besok malam jam tiga
sudah habis batas waktu yang ditetapkan oleh panji wulung
ini." Kemudian ia balas menanya:
"Jikalau lo-siansu ada mempunyai kegembiraan, sudilah
kiranya besok malam losiansu datang turut menyaksikan!"
"Baiklah!" Paderi tua itu terima baik undangan Touw
Liong, lalu berkata dengan nada suara dalam:
"Ada jodoh untuk menyaksikan panji wulung, juga tidak
percuma hidupku ini. Di tempat mana besok malam aku
harus datang?"
Touw Liong nampak berpikir sejenak, kemudian berkata
dengan alis berdiri:
"Di atas panggung mementil kecapi, di kota Lam-yang."
"Panggung mementil kecapi?" balas tanya paderi tua itu,
"Kuperingatkan padamu bocah, jangan kau main gila lagi
terhadapku, jikalau tidak, kau bisa lolos dariku pada hari ini
tetapi tidak akan lolos pada lima belas hari kemudian, aku
bisa pergi mencarimu di gunung Kiu-hoa, untuk membuat
perhitungan dengan gurumu sendiri."
"Apakah cianpwe kira boanpwe orang semacam itu"
Cianpwe tak usah khawatir."
Kemudian ia menambah keterangan lagi: "Sebaiknya
cianpwe mengejar saudara Hui Hong lebih dulu untuk
menanyakan keterangan lebih jauh, sebetulnya terluka di
tangan siapa."
"Sudah tentu! Kedatanganku ini justru hendak minta
keterangan kepada Hui Hong."
-----00000----Di atas jembatan itu Touw Liong mengantarkan
berlalunya seorang tokoh kuat dalam rimba persilatan,
setelah paderi tua itu berlalu, ia mendongakkan kepala
memandang rembulan di atas langit, kemudian berkata
kepada diri sendiri sambil menghela nafas: "Hong Hui
Taysu pergi mengejar Lie Hui Hong, kesempatan ini
baiklah kugunakan untuk kembali ke kota Lam-yang!"
Kota Lam-yang masih tetap dengan keadaannya yang
serupa, yang berbeda ialah di waktu siang hari keadaan
demikian ramai, dan sekarang di waktu malam nampak sepi
sunyi. Touw Liong dengan melalui jalanan yang sepi balik
menuju ke kota itu.
Touw Liong berjalan seenaknya, jalannya sangat
perlahan sekali, dalam waktu satu jam baru mencapai kirakira
sejarak sepuluh pal.
Dalam perjalanan yang lambat itu, ia telah menemukan
hal-hal aneh yang terjadi di kota itu, sepuluh pal di luar
kota, di sebuah rimba di kanan jalan raya, tampak berdiri
sebuah kuil. Kuil itu memperdengarkan suara genta yang
nyaring, nampaknya para paderi sedang melakukan
sembahyang pagi, dari jauh suara paderi yang memuji
pujian nama Budha terdengar nyata.
Di jalanan raya yang menuju kuil itu terpancang dua
buah lentera yang terang-benderang, di samping itu juga
dibangun sebuah pintu gerbang dari kertas, di atasnya
tertulis dengan kata-kata "PERSEMBAHYANGAN
BESAR". Di bawah pintu gerbang itu tampak dua paderi
setengah umur yang masing-masing membawa senjatanya
yang berupa sianthung. Sikap mereka seolah-olah sedang
menghadapi musuh besar, mata mereka sebentar-sebentar
ditujukan ke jalanan.
Ketika Touw Liong berjalan di bawah pintu gerbang itu,
lantas lompat keluar seorang paderi, yang melintangkan
senjatanya, mencegah majunya Touw Liong, dan paderi itu
bertanya: "Dalam kuil ini sedang melakukan upacara
persembahyangan, apakah sicu sudi datang ke kuil untuk
mendengarkan dan melihat upacara itu?"
Touw Liong terkejut. Cuaca waktu itu sudah
menunjukkan lewat jam satu malam, maka dalam hatinya
lalu berpikir: untuk melihat upacara sembahyang dan
mendengarkan puji-pujian Budha bagaimana dengan cara
memaksa seperti ini" Apalagi dilakukan tengah malam buta
seperti ini"
"Maaf, aku sedang perlu melakukan perjalanan, terpaksa
tidak dapat mebagi waktu untuk menyaksikan upacara,"
Touw Liong menggelengkan kepala.
Paderi itu menggelengkan kepala dan menarik nafas,
setelah memuji nama Budha lalu berkata:
"Budha adalah penuh welas asih, selalu bersedia
menyelamatkan manusia yang berdosa, rupanya sicu sudah
ditakdirkan tidak akan terlepas dari bencana, silahkan!"
Setelah berkata demikian, paderi itu membiarkan Touw
Liong melanjutkan perjalanannya. Touw Liong tidak
mengerti maksud ucapan bencana yang keluar dari mulut
paderi itu. Ia berjalan sambil mengeleng-gelengkan kepala.
Sementara dalam hatinya berpikir: Mungkin paderi itu
memaksa menarik orang yang berjalan untuk
mendengarkan upacara, sehingga sengaja mengeluarkan
kata-kata yang menakutkan orang.
Ia tidak hiraukan lagi kata-kata paderi itu, dengan
langkah lebar melanjutkan perjalanannya. Baru kira-kira
sepuluh tombak ia berjalan, di belakang dirinya terdengar
orang berseru: "Sicu!"
Touw Liong menoleh, paderi tadi menghampiri, ia
berhenti kira-kira setombak di belakang diri Touw Liong,
kemudian berkata sambil merangkapkan dua tangannya:
"Sicu tunggu dulu! Kami ingin berkata sepatah dua."
Touw Liong mengerutkan alisnya, dalam hati merasa
tidak senang, tetapi ia masih menahan hawa amarahnya,
dan bertanya dengan suara lunak:
"Taysu ada keperluan apa" Silahkan."
"Siangcu, kami suheng dan sute berdua telah mendpat
tugas untuk mengurus upacara sembahyang ini dan
menjaga di perjalanan, barang siapa yang berjalan
selewatnya jam satu malam, harus dirintangi ?"
Touw Liong sangat tidak senang, maka segera menanya:
"Jikalau orang tidak mau" Apakah taysu perlu
memaksanya?"
"Kami akan berbuat sedapat mungkin, apabila sicu tidak
sudi, itu barangkali sudah ditakdirkan tidak akan terlolos
dari bencana!"
Touw Liong mendengar kata-kata itu seakan-akan ada
sebabnya, maka ia bertanya lagi:
"Harap taysu memberikan penjelasannya, apakah di
depan ada bahaya?"
"Sicu adalah orang yang mengerti, tindakan siaoceng ini
sesungguhnya bukanlah bermaksud jahat."
"Apakah taysu keberatan memberi keterangan?"
"Budha memang welas asih, tetapi kalau sicu tetap
membandel, terserah kepada sicu sendiri."
Touw Liong kembali mengerutkan alisnya, dan
mengucapkan terima kasih kepada paderi itu, lalu
melanjutkan perjalanannya ke selatan.
Paderi itu memandang bayangan Touw Liong, kemudian
berkata dengan suara pedih:
"Mungkin itu sudah ditakdirkan!"
Bab 11 Touw Liong menyusuri jalan raya yang menuju ke
selatan, ia sudah berjalan lagi sepuluh pal, kali ini ia
berjalan sangat cepat, hingga dalam waktu sekejab sudah
mencapai sepuluh pal jauhnya.
Di hadapan matanya terbentang sebuah rimba buah co,
ia berjalan melalui rimba itu.
Sebelum memasuki rimba, dari dalam sudah terdengar
suara seruan orang, lalu tampak muncul empat wanita,
gagah cantik dan bertubuh langsing. Mereka semuanya
tampak cantik-cantik, setiap orang menunjukkan senyum
yang menawan hati, mereka muncul dan menahan Touw
Liong melanjutkan perjalanannya.
Touw Liong tercengang, ia menyoja kepada empat
wanita itu seraya bertanya:
"Enci-enci ada keperluan apa?"
Salah seorang dari mereka lantas berkata sambil tertawa:
"Kami telah mendapat perintah dari majikan, di sini
untuk menantikan orang-orang yang berjalan, siapa kiranya
yang suka bekerja di perkampungan majikan, gajinya cukup
baik dan jikalau sudah bekerja setahun penuh akan
dikembalikan ke tempat asalnya, selain daripada itu kami
juga akan mengirimkan orang untuk memberitahukan
kepada keluarga orang yang bekerja kepada kami serta
memberikan sedikit uang untuk ongkos."
Touw Liong memperhatikan dan mendengarkan dengan
seksama, kemudian angkat muka dan bertanya:
"Di mana" Dan bekerja apa?"
"Di mana" Kau tidak perlu tanya, tentang kerjanya,
sebetulnya ringan saja, hanya bantu membangun istana bagi
majikan kami."
"Jikalau tidak mau?" tanya Touw Liong.
"Apa kau kira ada orang yang tidak tahu diri itu?"
berkata wanita itu sambil tertawa manis.
"Tiap orang ada mempunyai urusannya sendiri-sendiri,
setiap orang mempunyai maksud dan tujuan sendiri-sendiri,
jikalau keberatan tidak mau menerima bagaimana?"
"Mudah sekali, tidak diundang secara baik, kita akan
undang secara paksa."
"Jikalau menemukan batunya, tidak bisa dipaksa dengan
keras, bagaimana?" demikian Touw Liong balas menanya.
Wanita itu tertawa terkekeh-kekeh kemudian berkata:
"Kami tidak percaya akan ketemu batu, kami tidak
percaya ada orang yang lebih kuat dari kami berempat.
Tetapi andaikata benar-benar telah bertemu dengan seorang
demikian, meskipun kami tidak bisa apa-apa, di situ masih
ada majiakan kami."
"Siapakah majikanmu itu?"
"Coba kau tebak sendiri!"
Bukankah ini suatu jawaban yang aneh" Sekalipun
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan seorang bagaimana pintarnya, juga tidak dapat
menebak, siapa majikan empat wanita itu.
"Aku kira majikanmu itu, bukanlah panji wulung!"
Berbeda tidak seberapa dengan panji wulung," jawabnya
wanita itu dengan sikap menggoda.
Touw Liong kemudian berkata sambil menggelengkan
kepala: "Sudahlah! Kalau kalian tidak mau menerangkan,
akupun tidak mau menebak sembarangan. Aku ingin pergi,
tapi tidak tahu kemana harus pergi. Jikalau kau mau
menerangkan lebih duku, aku suka ikut kalian untuk
melihat sendiri."
"Mengapa perlu banyak bertanya" Kalau sudah tiba di
tempat itu,kau toh akan tahu sendiri."
"Kapan berangkat?"
"Dalam waktu beberapa hari ini," jawab wanita itu,
kemudian menambah penjelasan, "Sebab kami memerlukan
tenaga seratus orang, dan sekarang hanya kurang beberapa
saja!" "Tempat tinggal kalian terpisah berapa jauh dari sini?"
"Tiga pal."
"Aku boleh ikut kalian untuk melihatnya?"
"Orang yang tampangnya seperti kau ini, jikalau
majikanku senang, pasti akan memberi jabatan kau sebagai
kepala atau mandor."
"Mandor?" berkata Touw Liong sambil tertawa
terbahak-bahak kemudian berkata: "Itu terlalu bagus!
Kalau begitu enci tolong ajak aku menemui majikanmu!"
"Serahkan itu!" berkata wanita itu sambil menunjuk
pedang di punggung Touw Liong.
Touw Liong mengerti, ia menyerahkan pedangnya
kepada wanita itu.
Wanita itu lalu berpaling kepada wanita yang berbaju
ungu di belakangnya, kemudian berkata dengan suara
perlahan, "Bawalah ia!"
Wanita berbaju ungu itu menganggukkan kepala, dan
kemudian berkata kepada Touw Liong,
"Mari ikut aku!"
Ia memutar tubuh dan berjalan lebih dahulu, menuju ke
dalam rimba, dengan diikuti oleh Touw Liong.
Di belakang rimba, terdapat jalanan kecil, di ujung jalan
terdapat sebuah perkampungan, di malam yang sunyi,
suasana sunyi senyap, dalam perkampungan samar-samar
terdengar suara alunan dari alat musik kecapi.
Tak lama kemudian dua orang itu telah masuk ke dalam
perkampungan. Perkampungan itu tidak besar, suara
kecapi yang halus terdengar semakin nyata.
Wanita berbaju ungu mengajak Touw Liong menuju ke
ruangan lapis kedua. Ketika Touw Liong mendongakkan
kepala mengawasi keadaan itu, dalam hati berdebar. Di
dalam ruangan, di atas panggung, tampak sebuah meja kirakira
delapan kaki lebarnya, di atasnya berjajar tujuh buah
kecapi kuno, di depan meja ada sebuah perapian dupa yang
terbuat dari batu giok putih, asap dupa tetap mengepul
tinggi. Seorang wanita berpakaian putih duduk bersila di
belakang alat kecapi itu, sepuluh jari tangannya yang
runcing sedang mementil senar kecapi.
Suara kecapi yang merdu tadi ternyata keluar dari ujung
jari wanita itu. Wanita berpakaian putih itu usianya belum
lanjut, wajahnya putih dan cantik molek bagaikan bidadari.
Ia sedang asyik mementil kecapinya, agaknya sedikitpun
tidak menghiraukan datangnya dua orang itu. Seluruh
perhatiannya ditujukan kepada kecapinya.
Dua pelayan perempuan yang berdiri di belakang wanita
baju putih itu, memberi isyarat kepada wanita berbaju ungu
dan Touw Liong yang sedang memasuki ruangan itu.
Wanita berbaju ungu itu membungkukkan badannya
kepada gadis baju putih untuk memberi hormat.
Touw Liong mengarahkan pandangan matanya
memperhatikan keadaan tempat itu. Dua kamar yang
berada di kedua sisi ruangan itu. Di dalam ruangan itu
tampak berduduk sejumlah orang kira-kira delapan
sembilan puluh banyaknya, mereka agaknya sedang
memperhatikan pada musik.
Setiap orang sedang pasang telinga dan memandang
dengan penuh perhatian. Sikap demikian itu jelas, bahwa
orang-orang itu semua tenggelam dalam pengaruh irama
kecapi, sehingga tiada satupun yang berani bergerak.
Mereka agaknya juga tidak tahu bahwa disitu sudah
tambah dua orang.
Pandangan mata Touw Liong perlahan-lahan ditujukan
ke dalam, ia telah merasa bahwa orang-orang itu terdiri dari
berbagai tingkatan, di antara mereka kecuali orang-orang
biasa juga terdapat lima paderi, pengemis, ketika matanya
ditujukan ke tempat yang lebih jauh, ia terkejut, sehingga
tanpa dirasa mengeluarkan seruan: "Aa ?"
Di luar dugaannya bahwa suara seruan tadi ternyata
sudah mempengaruhi irama kecapi. Orang-orang yang
bagaikan patung duduk di sekitarnya mendengarkan irama
itu, juga terkejut, dan semua mata ditujukan kepadanya.
Apa sebabnya Touw Liong berseru" Kiranya diantara
orang-orang yang duduk itu juga terdapat anak murid
golongan pengemis yang pernah bertempur dengan Kim
Yan di dekat kapel Ngo-liong-kam, oleh karenanya ia
menjadi terkejut.
Perasaan terkejutnya itu bukan cuma itu saja, sebab di
samping anak murid golongan pengemis itu juga terdapat
tiga belas anak buah golongan Kiong-lay-pay yang belum
lama berselang berpisah dengannya, termasuk Ngo-liang
Tojin yang kurus kering.
Hal itu sesungguhnya di luar dugaannya!
Wanita berpakaian putih yang duduk di belakang meja
yang sedang mementil kecapi, juga dikejutkan oleh seruan
Touw Liong tadi, wanita itu mengangkat muka dan
memandang Touw Liong sejenak, wajahnya yang cantik
terlintas perasaan marah, lima jarinya mementil kecapi
sehingga menimbulkan suara irama yang tinggi.
Hati Touw Liong agak tergoncang, tetapi begitu melihat
gelagat tidak beres, buru-buru mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya; berusaha menenangkan pikirannya.
Wanita itu mementilkan irama tinggi yang serupa,
bahkan suara itu semakin lama semakin meninggi dan
semakin kuat. Dari suara yang ketiga kalinya, Touw Liong sudah tidak
merasakan apa-apa, ia terus menunggu sampai wanita itu
mementil habis sekali, baru menarik nafas panjang.
Ia menoleh, segera tampak olehnya wajah gadis yang
cantik itu kini sudah terdapat air peluh, sedang dua pelayan
yang sedang berdiri di belakang dirinya sudah jatuh pingsan
di tanah, wanita berbaju ungu yang berada di sisinya juga
tampak duduk bersila di tanah, orang-orang yang demikian
banyak jumlahnya, keadaannya lebih menggenaskan,
sebagian besar mereka sudah pingsan.
Touw Liong menghela nafas, dalam hatinya berpikir: Ai!
Aku sebetulnya pikir hendak menolong mereka dari
bencana, tak kuduga keadaannya menjadi sebaliknya, kini
malah mencelakakan diri mereka.
Wanita berbaju putih yang mementil kecapi tadi,
perlahan-lahan bangkit sambil membawa kecapinya, lalu
menarik nafas, dan memandang Touw Liong dengan mata
sayu, kemudian berkata sambil menunjuk keluar:
"Kau lekas keluar dari sini, jikalau tidak, jangan sesalkan
aku bertangan kejam, sekalipun kekuatan tenaga dalammu
sudah sangat sempurna, aku juga masih sanggup untuk
memutuskan urat-uratmu!"
Mendengar perkataan itu wajah Touw Liong berubah,
sementara hatinya, belum tentu aku mati" ia menyapu
kepada orang-orang yang berada di hadapan matanya,
terutama ketika pandangan matanya terjatuh di wajah tiga
belas orang-orang dari Ciong-lay-pay, lalu menarik nafas
dan berpikir: orang-orang ini tidak berdosa, jikalau benar ia
harus mementil sehingga putus senar-enar kecapinya, belum
tentu urat-uratku akan terputus, apakah mereka benar-benar
tak kuat menahan getarannya"
Wanita berbaju putih wajah dan sikapnya dingin
memandang Touw Liong. Dari tangannya perlahan-lahan
diletakkan di atas senar kecapinya menantikan jawaban
Touw Liong. Touw Liong yang sementara itu menimbang suasana di
hadapan matanya, ia menimbang-nimbang pula untungruginya,
kemudian ia menganggukkan kepala dan berkata:
"Baiklah! Aku akan pergi!"
Wanita berbaju putih itu perlahan-lahan menurunkan
tangannya, dan sepasang matanya terus menatap wajah
Touw Liong. Touw Liong menatap tangan dan menyoja kemudian
berkata: "Sudikah kiranya nona memberitahukan nama nona
yang mulia?"
"Tidak perlu," menjawab wanita itu sambil
menggelengkan kepala.
Dalam otak Touw Liong tiba-tiba teringat kepada gadis
yang kemarin malam mementil kecapi di atas panggung
kecapi, gadis itu juga mengenakan pakaian serba putih.
Sejenak dia trtegun, kemudian bertanya pula.
"Apakah nona tadi malam berada di panggung mementil
kecapi ?" Wanita berbaju putih itu mengerutkan alisnya dan
memotong sambil menggelengkan kepala.
"Aku tidak pernah pergi ke panggung pementil kecapi."
Touw Liong terbenam dalam alam pikirannya sendiri,
lalu bertanya kepada diri sendiri dengan suara perlahan:
"Kalau begitu siapa" Tidak mungkin Pek Giok Hwa dapat
mementil kecapi."
Wanita berbaju putih itu menyambungnya dengan suara
dingin: "Siapa yang tahu?"
Touw Liong masih berkata sendiri dengan suara yang
amat perlahan, "Kalau bukan dia" juga bukan majikan
tempat ini, kalau begitu siapa orang itu?"
Ia ingat bahwa kepandaian mementil kecapi orang yang
tadi malam agaknya masih di atas wanita baju putih ini.
Dia yang dimaksudkan oleh Touw Liong adalah Pek
Giok Hwa. Wanita berbaju putih itu juga menunjukkan sikap
ketidaksabaran, katanya dengan nada suara dingin,
"Peduli apa dia siapa" Apa kau tidak bisa pergi ke
panggung untuk melihatnya sendiri?"
Ucapan itu mengetok hati Touw Liong, ia segera
memberi hormat, setelah minta diri, lalu berjalan keluar
menuju ke kota Lam-yang.
Tak berapa lama ia keluar dari perkampungan itu, di
tengah udara tampak tiga buah sinar biru, di tengah udara
sinar biru itu mengeluarkan ledakan tiga kali, dan
memancarkan tiga buah kembang api.
Kembang api yang terpencar di tengah-tengah udara
dapat dilihat dari bawah tanah sejarak sepuluh pal lebih.
Touw Liong memandang sinar kembang api itu, dalam
hati tidak mengerti, ia menduga kembang api itu adalah
pertandaan dari perkampungan tadi, tetapi untuk sesaat itu
ia tidak mengerti apa maksudnya.
Ada dua hal yang mengecewakan Touw Liong, satu
ialah diketemukannya anak buah golongan pengemis yang
pernah bertempur dengan Kim Yan di dalam perkampugan
itu, tetapi apa mau dikata, gadis itu telah mengusir mereka
pulang, sehingga ia menyia-nyiakan kesempatan yang baik
itu; yang kedua, ialah ia tidak menyelamatkan orang-orang
itu dari bencana sehingga membiarkan mereka dipengaruhi
oleh irama kecapi perempuan tadi, untuk dijadikan
budaknya. -----00000----Di atas panggung mementil kecapi, sinar rembulan
terang-benderang, keadaan masih tetap seperti sediakala.
Halaman 59 " 64 ROBEK !!!!
JILID 5 Sinar rembulan saat itu menyinari wajahnya, wajah itu
memang cantik, di mata Touw Liong seolah-olah bidadari
baru turun dari kahyangan.
Sepuluh jari tangan wanita itu bergerak-gerak mementil
tali-tali kecapinya. Irama kecapi merdu sekali, hingga tanpa
sadar Touw Liong menyanyi perlahan:
"Kapan malam bulan terang" "Ku bertanya sambil meminum
arak; tidak "ku tahu di atas langit apakah ada istana, "ku juga
tidak tahu malam ini tahun apa"
Ingin kupulang naik angin, namun khawatir di atas angkasa
terlalu dingin.
Menari-nari sendiri, seolah-olah tidak berada dalam dunia "
Manusia punya suka dan duka, rembulan punya mata gelap
ada masa terang, itu sudah diatur oleh Tuhan sejak dahulu kala.
Semoga orang akan hidup abadi?"
Ketika ia bersajak sendiri sampai disitu, wanita itu sudah
menangis terisak-isak, kemudian jarinya bergerak cepat dan
tinggi, senar kecapi telah putus.
Irama kecapi yang merdu, telah terputus di tengahtengah
jalan. Sungguh sayang!
Wanita itu setelah memutuskan senar kecapinya, air
matanya turun berlinang-linang membasahi pipinya,
dengan mata sayu, memandang Touw Liong kemudian
menarik nafas dan berkata:
"Iramanya masih tetap sama, namun orangnya sudah
berlainan, sayang kau bukanlah dia?"
"Dia!...Siapa dia?" tanya Touw Liong kepada dirinya
sendiri. Selagi Touw Liong dalam keadaan terkejut, wanita itu
sudah menundukkan kepala; jari tangannya gemetar, ia
agaknya tidak tega melepaskan alat kecapi di tangannya,
lama sekali ia baru berhenti menangis, perlahan-lahan
bangkit dari tempat duduknya.
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua pelayan yang berada di belakang dirinya segera
menghampiri dan berkata kepadanya:
"Nona?"
Wanita itu berpaling dan mengawasi kepada dua
pelayannya sejenak, kemudian berkata kepada mereka:
"Jangan campur mulut!"
Dari sikap dua pelayan itu, Touw Liong mengetahui
bahwa saat itu pasti akan terjadi apa-apa, tetapi apa yang
akan terjadi, ia belum dapat meramalkan.
Dalam keadaan demikian ia terpaksa siap siaga
mengerahkan tenaganya. Ia tahu bahwa wanita di hadapan
matanya itu memiliki kepandaian sangat tinggi, bukanlah
orang dari golongan sembarangan, jikalau dengan tiba-tiba
wanita itu melakukan serangan, ia sendiri mungkin tidak
keburu melayani.
Wanita itu lantas bangkit dari tempat duduknya, jarijarinya
yang putih halus masih mengelus-elus kecapinya,
tangannya menekan bawah kecapinya tanpa bergerak,
wajahnya menunjukkan sikap serius, dan sinar matanya
jelas nampak sikapnya yang marah.
Mata Touw Liong memandang sejenak kepada kecapi
yang berada di tangan gadis itu, selagi dalam hatinya
bertanya-tanya, kemudian dengan tiba-tiba ia berseru kaget,
"Nona?" Namun seruannya itu masih agak terlambat,
dua tangan wanita itu sudah bergerak, dan dari bawah
kecapi tadi tampak mengepul asap hijau, kemudian disusul
dengan berkelebatnya api dan kecapi itu pecahlah sudah.
Sebuah kecapi kuno yang sangat indah telah terbakar
oleh kekuatan tenaga yang dikeluarkan oleh tangan wanita
tadi. Dengan memandang api yang membakar kecapi tadi,
dari mata wanita tadi memancarkan sinar kebencian, Touw
Liong menghela nafas perlahan, dan berpikir sambil
menggeleng-gelengkan kepala: Wanita yang cantik
bagaikan bidadari ini nampaknya pernah mengalami suatu
kejadian yang menyedihkan.
Dan wanita itu perdengarkan suara tarikan nafas
panjang, kemudian angkat muka dan memandang Touw
Liong sambil mengucurkan air mata. Dengan suara lembut
dan mengandung perasaan menyesal, ia berkata:
"Touw tayhiap! Dua hari ini aku telah salah melihat
orang, aku anggap kau sebagai seorang"," kata-katanya
berhenti dengan mendadak, wajahnya menunjukkan sikap
sedih. Apa yang Touw Liong dapat katakan" Ia hanya
mengeluarkan suara perlahan: "Nona?"
Ia semakin percaya bahwa wanita muda itu pernah
mengalami penderitaan batin yang hebat.
Wanita itu melanjutkan kata-katanya.
"Orang kalau tidak bersedi tidak akan mengeluarkan air
mata. Jikalau aku tidak merusak kecapiku ini, barangkali
aku tidak mempunyai keberanian untuk hidup terus!"
Touw Liong diam saja sedang wanita tadi menunjuk
tangga batu yang berada di hadapannya, memberi isyarat
kepada Touw Liong supaya duduk di situ. Pada waktu itu
kecapi yang terbakar sudah dibawa pergi oleh dua pelayan
tadi. Wanita itu juga turun dari tempat duduknya, dan
duduk di tangga lain yang berhadapan dengan Touw Liong.
Gadis itu menunjukkan sebuah senyum, tetapi masih
tidak dapat menutupi perasaan dukanya.
Sementara itu Touw Liong tidak tahu bagaimana harus
menghiburi wanita yang baru dikenal dan tidak diketahui
namanya itu, ia merasa tidak tenang, namun terhadap
wanita yang sangat misterius itu, timbullah perasan
simpatinya yang sangat besar, tetapi karena wanita itu tidak
mau menerangkan asal-usul dirinya, maka ia sendiri juga
tidak berani menanya.
Wanita itu lebih dulu memberi hormat kepada Touw
Liong kemudian berkata:
"Tadi malam aku hampir saja melakukan suatu
kesalahan besar, untung kesalahan itu tidak sampai terjadi."
Touw Liong memaksakan diri untuk tertawa, ia
mendengarkan dengan tenang, menanti apa yang akan
dikatakannya selanjutnya. Wanita itu perlahan-lahan
menundukkan kepala, dengan sikap kemalu-maluan dan
suara agak serak melanjutkan perkataannya:
"Tadi malam, tatkala pertama kali aku melihatmu, aku
telah berpikir hendak membunuhmu. Waktu itu, aku
pernah mengerahkan ilmuku membunuh dengan irama
kecapi, atau setidak-tidaknya membuatmu menjadi seorang
cacad atau terputus urat-urat nadimu."
"Ya"!" Demikian Touw Liong berseru dengan mata
terbelalak. Wanita itu perlahan-lahan angkat muka, di wajahnya
menunjukkan sikap penyesalan, dengan tenang ia berkata
lagi: "Di luar dugaanku, kau Touw tayhiap ternyata memiliki
tenaga dalam demikian tinggi, semakin keras aku berusaha
untuk menotok jalan darahmu, semakin sempurna kekuatan
tenaga dalammu, dengan lain perkataan, semakin aku
menggunakan tenaga, semakin besar faedahnya bagimu.
Pada akhirnya" aku sebetulnya terlalu benci padamu,
sehingga tidak dapat menahan kemarahan, aku pernah
berpikir hendak mengadu untung denganmu, dengan
seluruh kekuatan tenaga dalamku kepada satu senar, untuk
memutuskan urat nadimu?"
"Nona?" Touw Liong memotong perkataan wanita itu,
lalu ia bertanya:
"Aku denganmu tidak ada permusuhan apa-apa,
mengapa nona hendak membunuh aku?"
Wanita itu menunjukkan senyum mesra. Dengan
menahan perasaan sedihnya ia berkata:
"Aku dengan Touw tayhiap memang benar tidak ada
permusuhan apa-apa, aku bukannya ingin membunuhmu,
melainkan?" Wanita itu tidak dapat melanjutkan katakatanya,
air matanya mengalir deras, hingga lama ia dalam
keadaan demikian, kemudian ia menekan perasaannya
sendiri untuk melanjutkan keterangannya:
"Sebab kau terlalu mirip dengan seseorang. Orang itu
justru yang kubenci. tiada satu saat aku tidak memikirkan
untuk membunuhnya."
Touw Liong baru sadar. Ia merasa beruntung bahwa
wanita itu tidak melanjutkan usahanya. Jikalau tidak,
mungkin saat itu ia sudah tidak bisa hidup lagi.
Berpikir sampai di situ, ia lalu bertanya kepadanya:
"Orang itu dengan nona ada hubugan apa" Mengapa
nona demikian benci padanya?"
Setelah mengajukan pertanyaannya, dia baru menyesal,
tidak seharusnya ia bertanya demikian.
Di luar dugaannya, sikap wanita itu masih tetap tenang.
"Orang itu pernah menghadiahkan kecapi yang kubakar
tadi, bahkan sering sekali kita berduaan mementil kecapi di
malam terang bulan."
Touw Liong mengerutkan alisnya, dengan nada tanya ia
berkata, "Oo.... jadi orang itu adalah kawan dalam satu hobi dan
kawan karib ...."
Kembali di luar dugaan Touw Liong, wanita itu
tersenyum, seolah-olah terbenam kembali dalam kenangan
manis yang pernah dialaminya di masa lampau. Dengan
wajah berseri-seri ia berkata,
"Ia bukan saja kawanku sesama hobi, juga merupakan
sahabat paling karib," kata-katanya yang terakhir diucapkan
dengan nada dingin, tetapi setelah itu wajahnya nampak
bersedih. Kesedihan itu tampak nyata di wajahnya.
Touw Liong tak dapat menebak apa yang terkandung
dalam hati wanita cantik itu, karena sebentar nampak sedih
sebentar nampak girang hingga sulit untuk ditebak.
"Orang itu kalau benar adalah sahabat karibmu,
mengapa nona demikian benci padanya?" demikian ia
bertanya. "Orang itu memang benar adalah sahabat karibku,
bahkan pernah mencuri hatiku, tetapi juga membawa kabur
sebuah benda pusaka keluargaku, dan paling akhir .... Akh!
Terlalu menggenaskan! Ayah telah mati oleh karena
perbuatannya itu."
Dengan sedih ia lalu menangis.
Touw Liong merasa simpati terhadap wanita yang tidak
beruntung itu. Ia bertanya sambil menghela nafas perlahan,
"Barang pusaka apa yang telah dibawa pergi, mengapa
ayahmu demikian sakit hati" Dengan kepandaian seperti
nona, apakah nona khawatir tidak dapat meminta
kembali?" Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala memesut air
matanya, dengan suara sedih hanya dapat mengeluarkan
kata-kata, "Luka di hati susah timbul, kebencian susah dihapus."
Touw Liong meskipun mengerti perasaan wanita itu,
tetapi ia tidak tahu bahwa persoalannya ternyata tidaklah
sesederhana itu. Selagi hendak menanya lagi, wanita itu
meneruskan perkataannya,
"Semua itu adalah salahku sendiri. Pertama aku tidak
seharusnya diam-diam mencintai orang itu; kedua, aku
tidak seharusnya diam-diam membawanya pulang; ketiga,
lebih-lebih tidak seharusnya oleh karena cinta padanya, lalu
memberitahukannya tentang barang pusaka dalam rumah
tanggaku"."
Touw Liong yang mendengarkan keterangan itu menjadi
terperanjat. Ia bertanya pula,
"Benda pusaka apa sebetulnya ...?"
"Batu Khun-ngo-giok," jawab wanita itu sambil
tersenyum masam.
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong. Kemudian ia
bertanya pula, "Siapakah orang itu?"
Wanita itu kembali unjukkan senyum masam, lalu
berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Ia sangat pandai memainkan kecapi. Ia menyebut
dirinya sebagai Sie-siang Sian-jin. Nama sebetulnya belum
pernah aku dengar ia menyebutkan. Ai ....! Aku sangat
menyesal, aku sangat menyesali diriku sendiri yang masih
terlalu muda, hingga perasaanku mudah tergoncang.
Sekarang kalau kupikir kembali, aku sangat menyesal atas
kebodohanku sendiri, sampai pun nama orang itu sendiri
juga tidak tahu. Apa yang lebih gila ialah aku telah
menyerahkan jiwa dan hatiku kepadanya."
"Kalau begitu nona telah tertipu olehnya. Orang itu
mengandung maksud jahat, ia mendekati nona, maksudnya
ialah untuk mendapatkan batu Khun-ngo-giok."
Wanita itu diam saja.
Lama sekali Touw Liong baru bertanya,
"Nona tadi masih belum memberi keterangan mengapa
tidak mencari orang itu, untuk minta kembali barang
pusaka keluargamu?"
"Memang benar aku seharusnya mencari dia, bukan saja
hendak minta kembali barang yang dibawa, tetapi juga
hendak membawa batok kepalanya untuk
disembahyangkan di hadapan arwah ayah, akan tetapi ...."
berkata gadis itu sambil menggeleng-gelengkan kepala,
tetapi akhirnya ia tidak dapat menahan sedihnya hingga
tidak dapat meneruskan perkataannya.
Touw Liong menatap wajah wanita itu, sedang wanita
itu meneruskan kata-katanya sambil menggigit bibir,
"Aku tahu bahwa musuh yang paling besar adalah
musuh daripada ayah, tetapi aku tidak boleh menjilat
kembali ludahku sendiri, untuk mengingkari janjjku!"
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala,
sambungnya dengan suara perlahan,
"Oleh karenanya maka nona memaafkan padanya dan
tidak menuntutnya."
"Aku pernah mencinta padanya demikian rupa, juga
pernah bersumpah sehidup semati sekalipun dunia kiamat
hatiku ini tidak akan lumer. Coba katakanlah bagaimana
aku harus berbuat?"
Dengan kedua tangannya wanita itu mendekap
wajahnya, menangis dengan sedih.
Touw Liong meskipun usianya sudah hampir dua puluh
tahun, tetapi terhadapat soal asmara, sedikitpun belum
mempunyai pengalaman, maka ditanya demikian,
sekalipun ia sangat cerdik, juga tidak berdaya, sehingga saat
itu tidak dapat menjawab, hanya mondar-mandir sambil
mengepal tangannya.
Dengan tiba-tiba ia balas menanya,
"Kedatangan nona kali ini ke kota Lam-yang apakah
hanya untuk keperluan hendak mencari tenaga, ataukah
ada maksud lain?"
Wanita itu lama berdiam, kemudian baru menjawab,
"Mencari tenaga hanya merupakan suatu alibi saja,
sebab ayah sudah tiada. Di masa hidup memang ayah
hendak membangun sebuah istana yang megah, tetapi
urusan ini kini boleh dilanjutkan, tetapi juga boleh tidak.
Dalam hatiku sebenarnya masih tetap ingin ....! Dengan
terus terang, sebetulnya aku tidak takut Touw tayhiap akan
tertawakan aku. Saat ini pikiranku sebetulnya sangat
bertentangan sendiri. Di satu pihak aku ingin mendapatkan
benda pusaka itu untuk menuntut balas terhadap kematian
ayah, tetapi di lain pihak aku juga ingin melihat orang yang
pernah kucintai itu."
Dari pembicaraan wanita itu, Touw Liong samar-samar
dapat meraba-raba bahwa wanita itu bukanlah dari
golongan sembarangan. Sejak itu ia masih berusaha
mencari-cari, tetapi ia masih tidak menemukan suatu
gambaran entah dari golongan mana wanita itu.
"Sudikah kiranya nona memberitahukan nama nona
yang mulia, dan kediaman nona ....?" akhirnya ia
memberanikan diri untuk bertanya juga.
Wanita itu menunjukkan sikap seperti berpikir, lama
baru menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala,
"Namaku tidak ada artinya, kusebutkan hanya akan
menodai Touw tayhiap saja, untuk sementara harap tayhiap
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangan tanya dulu, di kemudian hari pasti akan mengetahui
sendiri." Touw Liong tahu bahwa wanita itu dalam penderitaan
batin, maka tidak berani menanyakan lebih dahulu.
Dengan tiba-tiba ia teringat soal yang lain, maka kemudian
bertanya, "Tadi malam nona salah anggap, anggap aku sebagai
sahabat karibmu, kemudian dengan cara bagaimana nona
tahu kalau aku bukan sahabat karibmu itu" Dan lagi orangorang
yang tadi di dalam kampung ini, di mana sekarang
mereka?" "Tadi malam, hingga setengah jam di muka, aku yang
memang benar anggap tayhiap sebagai orang yang kusebut
tadi, baru setelah kembali ke kampung ini, aku dengar
bahwa orang itu adalah kau Touw tayhiap, aku lalu
menanyakan rupa dan dandananmu, baru mengerti bahwa
wajahmu mirip sekali dengan lelaki yang pernah mencintai
diriku dan kemudian meninggalkan aku."
Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian berkata pula,
"Dengan laki-laki itu aku kenal betul, setiap hari hampir
kami tidak berpisah. Kami merantau dan pesiar kemanamana,
ketika aku pesiar ke daerah telaga Ngo-auw, justru
kau melakukan pertempuran hebat membasmi penjahat di
gunung Tian-hok-san, dengan demikian aku telah menduga
pasti bahwa kau bukanlah lelaki yang meninggalkan aku
itu. Maka ketika adikku tadi mengatakan tentang dirimu,
aku jadi mengerti bahwa tadi malam aku hampir kesalahan
membunuh seorang baik!"
Kini Touw Liong mengertilah bahwa satu jam di muka
wanita berbaju putih yang memainkan kecapi di ruangan
tadi adalah adik dari wanita ini. Ketika ia mengingat
kepada gadis itu, Touw Liong teringat pula kepada soal
lain, ia ingin mencari keterangan tentang adik
seperguruannya dari golongan pengemis yang juga berada
di antara orang-orang itu, tetapi sekarang sudah tidak
kelihatan bayangannya. Ia berpikir sejenak kemudian
bertanya, "Bolehkah kiranya kalau aku minta nona bawa aku
bertemu dengan orang-orang itu tadi, maksudku hanya
ingin mencari salah seorang di antara mereka untuk
membereskan persoalan kami."
"Aku sudah kehilangan kepercayaanku sendiri, kepada
lelaki yang meninggalkan aku itu juga sudah merasa takut,
aku pikir tidak ingin menemukan dia lagi. Tentang niatku
untuk membangun istana kini juga dibatalkan. Tentang
orang-orang yang kami pekerjakan tadi, aku sudah suruh
adikku mengirim kembali ke kota Lam-yang, kemudian
membebaskan mereka."
Touw Liong segera ingat harus kembali ke kota Lamyang,
maka ia lantas minta diri hendak berlalu dari tempat
tersebut. Wanita itu bangkit dari tempat duduknya, mencegah
Touw Liong dan berkata dengan suara perlahan,
"Touw tayhiap bolehkah sabar dulu!"
"Nona masih ada keperluan apa?"
"Tidak apa-apa, hanya ingin "."
Lama ia berdiam, beberapa kali bibirnya tergerak, tetapi
tiada sepatah kata keluar dari mulutnya.
Akhirnya Touw Liong berkata sambil mengerutkan
alisnya, "Nona ingin berkata apa" Katakanlah terus terang."
Wanita itu kembali menarik nafas dan berkata dengan
suara sedih, "Aku ada sedikit permintaan yang barangkali kurang
patut. Aku hanya ingin minta belas kasihanmu supaya sudi
menolong aku seorang yang bernasib malang ini. Aku
harap supaya Touw tayhiap jangan salah paham bahwa
permintaanku ini akan merepotkan dirimu."
"Aii .... apakah nona sudah merubah pendirianmu,
hendak ...."
Wanita itu menganggukkan kepala dan berkata terus
terang, "Aku benar-benar sudah merubah pendirianku. Pertama
aku hendak minta kembali benda pusaka keluargaku itu.
Kedua, aku hendak mencari lelaki yang meninggalkan aku,
untuk kuminta keterangan sebenarnya."
Touw Liong mendongakkan kepala memandang bintangbintang
di langit. Ia menarik napas dalam-dalam, tiada
menjawab. Wanita itu berkata sendiri dengan suara duka.
"Aku tahu bahwa permintaanku ini agak keterlaluan!
Mungkin akan mengganggu kebebasan tayhiap!"
"Tidak!!" Demikian Touw Liong buru-buru memberikan
keterangan sambil menggoyangkan kepalanya.
"Enci jangan salah paham, aku ......"
Mendadak ia sadar bahwa tidak seharusnya ia berlaku
demikian. Dengan menggunakan sebutan enci terhadap
seorang gadis yang masih asing baginya, agaknya kurang
pantas. Tetapi sebutan enci yang dikeluarkan tanpa disengaja
tadi, agaknya telah mengharukan hati wanita tadi, sehingga
air matanya mulai bercucuran, kemudian ia berkata dengan
suara lemah lembut,
"Adik, kau terima permintaanku?""
Hati Touw Liong sangat cemas, sehingga mukanya
merah membara, tidak sepatah kata keluar dari mulutnya.
Lama sekali ia baru menganggukkan kepala sambil
menarik napas panjang.
Sebetulnya, saat itu pikirannya terlalu risau. Persoalan
yang menimpa dirinya telah membuat ia hampir tak dapat
menguasai diri sendiri, terutama soal ancaman dari Panji
Wulung yang dihadapinya tinggal waktu satu hari ini saja,
di samping itu masih ada soal batu Khun-ngo-giok yang
oleh suhunya ditugaskan untuk mencarinya.
Kini soalnya sudah jelas, bahwa pemilik yang tulen dari
batu itu kini berada di hadapan matanya, sedangkan
suhunya sendiri telah memerintahkan dan memberi tugas
dirinya untuk mencari dan mengantarkan benda itu ke
gunung Kiu-hwa, apa mau pemiliknya justru minta ia
bersama-sama untuk mencari batu itu; apabila ia berhasil
menemukan kembali batu itu,bagaimana ia harus berbuat"
Merampaskah" Atau menyaksikan sambil berpeluk tangan"
Soal ini serba sulit baginya. Jikalau ia turun tangan dan
merampas, dengan sendirinya merupakan suatu perbuatan
yang tidak patut terhadap wanita ini, tetapi jikalau ia tidak
turun tangan di kemudian hari bagaimana harus
mempertanggungjawabkan tugasnya kepada suhunya"
Dengan perasaan sangat girang, wanita itu menghampiri
Touw Liong, dengan menatap wajah Touw Liong demikian
rupa. "Encimu ini adalah seorang yang bernama Lo Yu Im ....
dari gunung Kun-lun-san bagian barat."
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong ketika
mendengar nama wanita itu.
"Kalau begitu Kakek Seruling Perak, Lo-locianpwe itu
adalah enci punya ...."
"Ayahku," demikian Lo Yu Im memotong.
"Hai. Kiranya enci adalah keturunan dari seorang yang
berkepandaian sangat tinggi. Ayahmu adalah seorang yang
bijaksana, sayang sekarang sudah tiada."
Kakek Seruling Perak itu berdiam di gunung Kun-lunsan
bagian barat, belum pernah menginjak daerah
Tionggoan, maka orang-orang rimba persilatan daerah
Tionggoan yang pernah melihat si Kakek Seruling Perak itu
jumlahnya sedikit sekali.
Empat tahun berselang, Kiu-hwa Lojin pernah
berkunjung ke gunung Kun-lun-san untuk mencari obat. Di
situ ia berjumpa dengan Kakek Seruling Perak, bahkan
pernah mengadakan pertandingan sehingga seratus jurus
lebih. Oleh karena satu sama lain tidak menanam
permusuhan, pertandingan itu hanya merupakan
pertandingan persahabatan, maka akhirnya satu sama lain
saling menghormat dan saling mengagumi. Sayang sejak
mereka berpisah, mereka tidak pernah berjumpa lagi.
Ketika masih di gunung Kiu-hwa-san, suhunya pernah
memberitahukan kepada Touw Liong tentang diri Kakek
Seruling Perak itu.
"Dalam usianya yang sudah lanjut, ayah telah meninggal
karena hilangnya batu Khun-ngo-giok. Coba kau katakan
bagaimana aku ada muka untuk kembali ke gunung Kunlunsan?" berkata Lo Yu Im sambil menghapus air
matanya. Touw Liong sebetulnya merasa sangat simpati terhadap
Lo Yu Im, maka ia menghiburnya.
"Enci seharusnya mencari kembali batu itu."
"Di dalam dunia yang luas seperti ini , di mana aku akan
mencari?" "Siaote masih ada sedikit keperluan yang perlu
dibereskan lebih dulu, maka kini siaote hendak pergi ke
kota Lam-yang. Tiga hari kemudian, apabila siaote masih
hidup, sioate bersedia mengawani enci berkelana ke dunia
Kang-ouw, untuk mencari batumu yang hilang itu. Dan
tentang sahabat karibmu dulu itu perlu juga harus
mencarinya untuk menanyakan penjelasannya, mungkin ia
mempunyai kesulitan sendiri, yang tidak boleh tidak harus
berbuat demikian."
"Mengapa adik mengeluarkan kata-kata yang
mengandung firasat tidak baik itu" Apakah dalam waktu
tiga hari itu kau mendapat ancaman bahaya?"
Bibir Touw Liong bergerak-gerak, tetapi tidak sebuah
perkataan keluar dari mulutnya. Akhirnya, ia hanya
menjawab sambil menggelengkan kepala,
"Urusan dalam dunia banyak hal-hal yang tak dapat
diduga, aku berpikir begitu saja."
Jawabannya itu agaknya kurang memuaskan. Lo Yu Im
yang berpikiran cerdas, segera dapat menduga bahwa
ucapan yang keluar dari mulutnya itu tadi bukan keluar dari
hati yang sebenarnya, namun ia tidak berani menanya lebih
lanjut. Dengan kesampingkan urusannya ia menanya
persoalan lain,
"Apakah adik mengharap dapat menemukan
sumoymu?" Touw Liong menganggukkan kepala. Lo Yu Im
menghampiri selangkah lagi berbisik-bisik di telinganya.
Touw Liong segera menunjukkan sikap girang. Dengan
muka berseri-seri ia berkata,
"Jalan! Mari enci lekas bawa aku ke sana!"
Sehabis berkata ia berjalan lebih dahulu menuju ke luar.
Bab 13 Sinar rembulan masih terang benderang menyinari bumi,
malam semakin larut ....
Di atas jalan raya yang menuju ke kota Lam-yang, di
dalam larut malam itu tampak dua bayangan manusia lari
bagaikan terbang, dalam waktu sekejab saja sudah melalui
jalanan beberapa pal.
Dandan dua orang itu berlainan. Orang yang
mengenakan pakaian sastrawan adalah Touw Liong, yang
mengenakan gaun putih adalh wanita dari perkampungan
misteri Lo Yu Im.
Usia mereka meskipun masih sangat muda, tetapi samasama
memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh yang
sangat sempurna.
Lo Yu Im berjalan di muka. Gaunnya berkibar-kibar
tertiup angin, geraknya ringan sekali. Ia lari seolah-olah
tidak menginjak tanah.
Selagi berjalan, tidak jauh di hadapan mereka tampak
sebuah kelenteng tua yang tertutup oleh pohon-pohon dari
dalam rimba. Lo Yu Im lantas merandek, lalu bertanya kepada Touw
Liong sambil menunjuk ke arah kelenteng itu,
"Di dalam kelenteng itu ...."
Pada waktu angin malam meniup-niup kencang, pohonpohon
memperdengarkan suara keresekan, namun suasana
sepi-sunyi. Dari dalam kelenteng tua itu samar-samar
tampak sinar pelita. Di dalam malam sesunyi itu, sinar itu
kalau dipandang dari jauh nampak sangat nyata.
"Terima kasih atas petunjuk enci. Jikalau aku berhasil
menemukan orang yang berada di dalam kelenteng itu,
tidak tahu bagaimana aku harus menyatakan terima
kasihku terhadapmu."
Dua orang itu mendekati kelenteng tersebut, lalu
sembunyikan diri dan memandang dari arah jauh. Di
depan kelenteng ternyata terpancang dua buah pelita. Dari
sinar lampu itu tampak singat batu yang berada di hadapan
pintu kelenteng. Tumbuhan rumput yang berada di depan
kelenteng nampak setinggi sampai batas lutut.
Pemandangan itu menambah suramnya kelenteng tua yang
sudah hampir rusak keadaannya.
Di dalam kelenteng keadaan sunyi-sepi tidak terdengar
suara apa-apa. Di atas pintu kelenteng tersebut, huruf-huruf
itu berbunyi "KWI KOK SI".
Touw Liong lalu berpaling dan bertanya kepada Lo Yu
Im, "Apakah enci tidak merasakan bahwa dalam hal ini agak
mencurigakan" Ditinjau dari keadaannya yang sudah
rusak, kelenteng itu agaknya tidak ada orang yang
mengurus, tetapi mengapa ada pelitanya" Nama kelenteng
itu saja sudah cukup menyeramkan, apalagi pintunya
ditutup begitu saja yang nampaknya setengah terbuka,
sesungguhnya sangat mencurigakan, entah apa sebabnya?"
"Tidak bisa salah. Aku tadi telah melihat dengan mata
kepala sendiri, ada dua orang masuk ke dalam. Yang
perempuan umurnya kira-kira tujuh belas atau delapan
belas tahun, mengenakan pakaian berwarna kuning. Dia
bukankah adik seperguruanmu yang kau sebutkan tadi"
Sedangkan waktu itu hari hampir gelap, tetapi perempuan
itu pernah berpaling dan memandangku sejenak. Wajahnya
yang cantik manis, sekalipun menjadi abu, aku masih dapat
ingat dan dapat mengenali, dia justru sumoymu yang kau
pernah gambarkan kepadaku tadi."
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan seorang yang lain itu siapa?" tanya Touw Liong.
"Aku hanya melihat bayangannya saja. Dari samping
tampak merupakan seorang tua yang badannya lemah
berambut putih. Tangannya membawa tongkat.
Rambutnya yang putih mencapai dada, badannya kurus
kering." "Bagaimana sumoyku bisa berjalan dengan seorang tua
...?" "Kau jangan perdulikan itu semua. Mari kita masuk
melihat sendiri. Bukankah segera akan mengerti?"
Touw Liong menganggukkan kepala membenarkan
pikiran Lo Yu Im. Keduanya lalu berjalan masuk ke dalam
kelenteng. Begitu kaki mereka menginjak tangga batu, di situ
terdapat tulisan-tulisan yang digurat dengan jari tangan.
Tulisan-tulisan itu berbunyi "SILAHKAN MASUK".
Keduanya yang menyaksikan itu bukan kepalang
terkejutnya. Mereka saling berpandangan. Touw Liong balikkan
tangannya memegang gagang pedang yang berada di atas
punggungnya, kemudian maju lebih dulu dan berkata
kepada Lo Yu Im,
"Enci, mari ikut aku!"
Dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam, Touw
Liong mendorong pintu hingga pintu itu terbuka. Ia lalu
menyapu keadaan di dalam kelenteng, tampak gelap-gulita
dan sepi-sunyi.
Ia terus melangkah masuk ke ruangan kedua. Matanya
tertuju ke dalam pendopo. Tanpa disadari keduanya segera
menjerit kaget, juga lantas merandek.
Pendopo yang luasnya kira-kira delapan tombak,
keadaannya seram, di bawah sinar rembulan, lima manusia
aneh berbadan kurus kering, dengan wajah yang pucat pasi
dan pakaiannya putih begitupun topinya, hingga keadaan
mereka mirip lima buah tengkorak, dengan tidak bergerak
duduk bersila di dalam ruangan itu. Jikalau bukan mata
mereka memancarkan sinar, suatu tanda bahwa mereka itu
orang hidup, sepintas lalu mereka anggap bahwa lima orang
itu adalah tengkorak-tengkorak manusia.
Lima manusia aneh yang masing-masing memegang
tongkat tanpa bergerak meskipun mata mereka ditujukan
kepada dua orang itu tetapi seolah-olah tidak menghiraukan
kedatangan mereka.
Touw Liong yang berdiri tertegun, tangannya mendadak
ditarik oleh Lo Yu Im yang saat itu menjerit dan kemudian
menubruk dirinya. Sikapnya itu seolah-olah dikejutkan
oleh kejadian yang mendadak, sehingga tanpa disadarinya
sudah menubruk.
Reaksi Touw Liong cepat sekali. Dengan sikap
melintang di hadapan Lo Yu Im, matanya jelilitan mencaricari.
Apa yang dilihatnya, bulu romanya dirasakan berdiri.
Sekalipun ia seorang pemuda pemberani, tetapi tidak urung
juga bergidik. Di salah satu sudut dalam ruangan itu, entah sejak
kapan, muncul seorang tinggi besar berpakaian putih dan
bertopi tinggi berwarna putih bagaikan hantu yang muncul
dengan mendadak. Di belakang hantu itu ada berbaris lima
buah peti mati.
Hantu itu badannya bongkok, tangan kirinya membawa
tongkat, di atas telapakan tangan kanan terletak sebuah
kepala manusia yang darahnya masih mengetel. Kepala
manusia itu rambut dan jenggotnya sudah putih seluruhnya.
Pemandangan itu sangat menyeramkan. Touw Liong
segera memahami mengapa Lo Yu Im tadi berteriak kaget.
Kepala manusia itu, justru kepala orang tua yang tadi
dilihatnya oleh Lo Yu Im yang bersama-sama Kim Yan
berjalan masuk ke dalam kelenteng itu.
Oleh karena orang tua itu kini telah terbinasa dengan
sendirinya Kim Yan juga berada dalam bahaya. Dari situ
Touw Liong dapat menarik kesimpulan, bahwa adik
seperguruannya itu kini mungkin sedang menghadapi
bahaya besar. Ia sangat mengkhawatirkan keselamatan adiknya, maka
dengan cepat maju dan membentak dengan suara keras,
"Berhenti!"
Suara bentakan itu bagaikan geledek. Di luar dugaan
Touw Liong, hantu itu lantas berhenti. Sinar matanya yang
tajam memandang dirinya. Kepala di dalam tangannya
digerak-gerakkan sebentar sehingga hampir menggelinding
ke tanah. Touw Liong bertanya pula sambil menunjuk kepala di
tangan hantu itu,
"Kepala siapa?"
"Kurang ajar! Ini kepala siapa, tidak perlu kau tahu.
Kukatakan juga tidak akan tahu."
"Siapa punya?"
Touw Liong saat itu benar-benar mengkhawatirkan
keselamatan Kim Yan. Oleh karena orang yang kepalanya
kini berada di tangan hantu itu semasa hidupnya pernah
bersama-sama Kim Yan memasuki kelenteng Kwi-kok-si,
sudah tentu ia hendak menanyakan penjelasan.
Hantu itu memperdengarkan suara tertawa panjang.
Kepala di tangannya digoleng-golengkan sebentar dengan
suara bangga dant tajam ia berkata,
"Kepala ini, kalau kusebutkan barang kali kau belum
tentu tahu, oleh karena orang ini sungguh besar
pengaruhnya. Bocah! Apakah kau pernah dengar namanya
Tiga Dewa dari golongan pengemis atau belum ?"
Touw Liong terperanjat, pikirannya segera melayang
kepada Kim Tho Si-sing. Tanpa menunggu habis perkataan
hantu itu, ia membentak dengan suara keras,
"Tiga dewa yang mana yang kau maksudkan?"
"Jangan keburu nafsu! Dia bukan Tiga Dewa."
Touw Liong menarik napas lega. Dia memesut keringat,
tetapi dia masih belum mau melepaskan begitu saja.
Tanyanya pula dengan suara bengis,
"Kepala ini ada hubungannya dengan Tiga Dewa ....?"
"Sudah tentu ada ....."
Touw Liong sudah hampir naik pitam, tetapi hantu itu
masih bersikap tenang melanjutkan perkataannya,
"Orang ini di masa hidupnya bersahabat sangat akrab
dengan Kim Tho selama tiga puluh tahun dan orang itu
hampir berada bersama-sama tidak pernah berpisah."
Jantung Touw Liong berdebar keras. Saat itu ia teringat
tugasnya sendiri yang diberikan oleh Si Dewa Arak untuk
mencari Kim Tho, menyelidiki lanbang Naga Mas, supaya
membersihkan keadaan dalam golongan pengemis. Orang
yang kepalanya kini berada di tangan hantu itu kalau benar
di masa hidupnya pernah bersama-sama dengan Kim Tho,
rasanya tidak susah kalau dirinya untuk mencari tahu di
mana jejak Kim Tho sekarang.
Selama Touw Liong bicara dengan hantu itu, lima orang
berpakaian putih yang bentuknya bagaikan tengkorak,
entah sejak kapan, sudah berjalan menghampiri. Dengan
tongkat di tangan masing-masing mereka telah mengurung
Touw Liong dan hantu itu.
Pada saat itu Touw Liong sedang berpikir. Orang itu
meskipun semasa hidup pernah bersama-sama dengan Kim
Tho selama tiga puluh tahun, tetapi sekarang sudah mati,
bagaimana dapat diminta keterangan" Oleh karenanya,
maka pikiran yang tadi terlintas di otakny sesaat itu lantas
gugur lagi. "Orang itu hidupnya masih pernah apa dengan Kim
locianpwe?" demikian ia mengalihkan pertanyaannya ke
lain soal. Di luar dugaannya, jawaban hantu itu demikian,
"Selama tiga puluh tahun Kim Tho mengasingkan diri,
bukanlah karena hendak memperdalam kepandaiannya,
sebetulnya ialah dipaksa oleh orang ini. Selama tiga puluh
tahun, hidup Kim Tho penuh penderitaan lahir dan batin
dan akhirnya binasa! Karena mengingat persahabatanku
dahulu dengan Kim Tho maka malam ini kucari manusia
ini dan kubunuh, sekalian ....."
Touw Liong teringat pula lambang Naga Mas golongan
pengemis. Dalam keadaan cemas, maka ia lalu bertanya,
"Bagaimana lambang Naga Mas milik Kim pangcu?"
"kedatanganku itu juga ingin menyelidiki lambang mas
itu. Di luar dugaanku Kim Tho berlaku sangat cerdik. Ia
menderita sudah tiga puluh tahun, bukan saja tidak
mewariskan kepandaiannya kepada orang ini, juga lambang
masnya itu kemana disembunyikannya, tiada seorang pun
yang mengetahui."
Touw Liong teringat pula kepada adik seperguruannya.
Ia bertanya sambil menunjuk kepada kepala orang tua itu,
"Di mana adanya seorang gadis yang berjalan bersamasama
orang tua yang sudah mati itu?"
"Gadis ....?" demikian hantu itu balas menanya sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Kali ini Touw Liong menjadi cemas. Ia memberi
keterangan, "Seorang gadis berusia kira-kira tujuh belas atau delapan
belas tahun memakai pakaian warna kuning ...."
Namun hantu itu tetap menyangkal, katanya,
"Aku sama sekali tidak pernah melihat gadis yang kau
lukiskan itu ...."
Sementara itu Lo Yu Im yang sejak tadi diam saja, ketika
mendengar jawaban hantu itu yang menyangkal terusterusan
lantas naik pitam. Dengan sikap dingin ia berkata,
"Di waktu mahgrib tadi aku pernah menyaksikan dengan
mata kepalaku sendiri, gadis itu berjalan bersama-sama
dengan orang yang sekarang kepalanya dalam tanganmu
itu. Bagaimana kau kata tidak melihat?"
"Aku sudah kata tidak melihat, cukup," berkata hantu
itu dengan suara tinggi.
Touw Liong mulai marah lagi. Ia berkata sambil
menudingkan jari tangannya,
"Kau siapa" Bolehkah menyebutkan namamu?"
"Aku adalah malaikat dari akhirat, Cui Hui."
Kemudian ia menunjuk lima orang aneh berpakaian
putih, "Mereka berlima adalah lima utusanku. Pakaian mereka
dan bentuk mereka serta usianya hampir tidak dapat
dibedakan, bagi orang lain sudah tentu tidak tahu, hanya
aku seorang yang dapat membedakan nama dan julukan
mereka." Touw Liong mengawasi lima orang bagaikan bangkai
hidup itu. Memang bentuk mereka mirip satu sama lain,
sehingga sulit dibedakannya.
Hantu itu berkata pula sambil menunjuk lima utusannya
satu persatu, "Ini adalah utusan mengejar nyawa ...."
"Ini adalah utusan menangkap nyawa ...."
"Ini adalah utusan membetot nyawa ...."
"Ini adalah utusan mencengkeram nyawa ...."
"Ini adalah utusan menggiring nyawa ...."
Alis Touw Liong berdiri. Kepalanya mendongak
memandang bintang di langit, lalu menarik napas panjang
sambil berpikir : Dalam rimba persilatan pada dewasa ini,
belum pernah ada tokoh kuat yang bentuk dan sikapnya
aneh seperti orang-orang ini. Andai kata mereka baru
muncul ... juga belum tentu memiliki kepandaian tinggi.
Akhirnyaia menggeleng-gelengkan kepala, membantah
keterangan hantu itu.
"Di dalam rimba persilatan aku belum pernah dengar
nama orang yang memiliki julukan seperti kau ini. Entah
dari golongan mana kalian?"
"Di dalam rimba persilatan setiap orang boleh
membentuk atau mendirikan partai baru. Apakah kau kira
aku tidak dapat?"
"Mendirikan golongan atau partai memang boleh, tetapi
toh harus mengadakan pengumuman kepada orang-orang
rimba persilatan, bahkan harus memiliki kepandaian yang
benar-benar, lagi pula segala sepak terjang dan
perbuatannya harus sesuai dengan tujuannya. Seorang
yang memiliki pribadi seperti kau ini, apa kau kira dapat
mendirikan golongan untuk kau mencari nama di rimba
persilatan?"
Oleh karena kesannya terhadap hantu itu buruk sekali,
maka ia sengaja menggunakan kata-kata tajam untuk
menjeleki dirinya.
"Aku justru hendak mengumumkan kepada rimba
persilatan untuk mendirikan golongan kita."
"Kau hendak mendirikan golongan apa?"
"Kiu-kiu-pay."
"Apa artinya istilah Kiu Kiu ini?"
"Kiu Kiu adalah suatu nama yang paling seram, maka
aku menggunakan Kiu Kiu."
"Enak saja kau bicara. Sayang perbuatanmu sangat
kejam, ini tidak sesuai dengan perbuatan orang dari
golongan baik-baik, maka aku tidak setuju."
"Bocah, kau terlalu sombong!" demikian Cui Hui marah.
Dengan suara keras ia membentak, sedang tongkat di
tangannya lalu diangkat. Lima utusannya yang berada di
sekitarnya lalu perdengarkan suara masing-masing yang
bagaikan suara hantu. Tongkat di tangan mereka diputar,
hingga sesaat itu timbul hawa dingin yang meresap tulang.
Touw Liong dengan suara perlahan berkata kepada Lo
Yu Im, "Enci harap berlaku hati-hati!"
Setelah itu tangannya bergerak mengeluarkan hembusan
angin ribut memukul mundur lima tongkat dari lima utusan
tadi. Lima tongkat itu sudah terpencar, tetapi kemudian rapat
lagi. Dengan gerakan yang sangat cepat dan
menghembuskan angin dingin menyambar dan menggulung
dua orang muda tadi.
Lo Yu Im merasakan dingin di seluruh badannya, maka
lalu memesan kepada Touw Liong dengan suara perlahan,
"Adik Liong, berlakulah hati-hati! Ilmu mereka adalah
ilmu barisan Ngo-im-cun-hin-ping, yang sudah menghilang
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari rimba persilatan sejak seratus tahun!"
Touw Liong terkejut. Sesaat itu dalam otaknya terlintas
suatu gambaran. Itu adalah ketika ia baru turun dari
gunung. Pada waktu itu suhunya pernah pesan wanti-wanti
padanya, ia harus berlaku hati-hati kalau di kemudian hari
menghadapi ilmu ganas yang sudah menghilang dari rimba
persilatan itu. Jikalau bertemu dengan orang yang
menggunakan ilmu itu, harus dihadapinya dengan tenang
dan hati-hati sekali. Apabila tidak demikian, akibatnya
sangat menggenaskan, sebab barisan Ngo-im-cun-hin-ping
itu, hanya dengan menggunakan lima buah senjata, di
luarnya senjata itu hanya semacam tongkat, tetapi
sebetulnya adalah semacam benda seperti seruling yang
mempunyai sembilan lubang. Apabila diputar, dari
sembilan lubang itu mengeluarkan sembilan suara untuk
mencekam hati lawannya. Sekalipun orang yang memiliki
ketenangan cukup tinggi, tetapi bila hatinya tergoncang,
segera terkurung dalam barisan itu, sehingga semangat dan
kekuatan tenaga menjadi buyar, setelah tenaganya habis,
orangnya pasti binasa. Sekalipun dalam rimba persilatan
ada semacam ilmu yang dinamakan dari lima suara, juga
belum tentu dapat menundukkannya.
Keganasan lainnya ialah tongkat itu, besar sekali
gunanya di dalam barisan itu. Apabila tongkat itu mengejar
lawannya yang tidak mengerti apa-apa saat itu juga pasti
melayang jiwanya. Sebab dalam setiap lubang dari senjata
itu, telah disembunyikan obat beracun yang ganas sekali.
Racun itu kecuali racun mabuk yang tidak ada obat
pemunahnya, juga ada racun yang mencabut nyawa
lawannya seketika itu juga. Jikalau orang yang terkurung
dalam barisan itu adalah orang yang memiliki kepandaian
tinggi sekali, dan senjata sembilan suara itu tidak berdaya
terhadapnya, maka lima orang itu lantas mengeluarkan
racun dari dalam senjatanya, lima jenis racun yang berbedabeda
telah tercampur menjadi satu, dan digunakan dengan
berbareng, dengan demikian hingga membuat tidak berdaya
bagi lawannya. Lo Yu Im yang lebih dulu menyadari adanya ancaman
bahaya, maka segera memperingatkan kepada Touw Liong.
Dalam terkejutnya Touw Liong buru-buru mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melindungi dirinya. Di samping itu
juga menggerakkan tangannya untuk menghadapi lawannya
yang ganas itu.
Sementara itu si malaikat akhirat mendongakkan kepala
tertawa terbahak-bahak, dan kemudian berkata,
"Memang betul! Barisanku ini adalah barisan yang
sudah seratus tahun menghilang dari rimba persilatan.
Meskipun kalian dapat mengenali, tetapi sayang namamu
sudah tercatat dalam buku kematian! A .... kalian berdua
hanya merupakan orang-orang yang tidak ternama,
bagaimana kalau dibandingkan dengan orang yang
sekarang kepalanya di dalam tanganku ini" Dia hanya
dapat melawan sepuluh jurus saja dalam barisanku ini,
lantas bersedia menyerahkan kepalanya."
Kemudian ia bertanya sambil menunjuk kepala di
tangannya, "Tahukah kalian siapa orang ini" Ia .... huh! Ia adalah
orang .... yang namanya menggetarkan seluruh rimba
persilatan ...."
Hantu itu selagi hendak menyebutkan nama orang yang
kepalanya berada di dalam tangannya, tak disangka ketika
matanya mengawasi keadaan dalam barisan, dengan
mendadak maksudnya dibatalkan, kemudian berteriak,
"Celaka!"
Tongkat di tangannya diangkat tinggi-tinggi di tengah
udara ia membuat satu lingkaran, dengan sikapnya yang
aneh matanya menatap dua pemuda yang terkurung dalam
barisan. Ternyata ia telah melihat gelagat tidak baik. Ia sendiri
terus bicara, sedang dua orang yang terkurung dalam
barisan ternyata memiliki ilmu tenaga dalam yang luar
biasa tingginya. Mereka ternyata sudah berhasil menutup
dan melindungi diri masing-masing.
Sesaat kemudian, lima senjata itu memperdengarkan
sembilan suara. Suara itu bagaikan suara hantu di waktu
malam, kedengarannya sangat menyeramkan.
Tetapi dua orang yang terkurung dalam barisan, seolaholah
bagaikan sedang bersemedi, empat tangan bergerakgerak
mengikuti suara tadi, namun hati mereka sedikitpun
tidak tergoncang dan tidak terganggu oleh suara seram itu.
Cui Hui yang melihat sembilan suara itu tidak berhasil
menjatuhkan lawannya, untuk kedua kalinya ia
Kisah Pedang Di Sungai Es 17 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Bukit Pemakan Manusia 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama