Ceritasilat Novel Online

Pedang Golok Yang Menggetarkan 2

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 2


Tootiang gunung hijau tak berubah, di belakang hari pasti kita
ketemu pula. Maaf, aku hendak pamitan dari kau"
Begitu berkata, orang she ouw ini mengangkat kakinya, berlalu
sambil berlari lari.
semua orang melengak. Ketika mereka menoleh kepada si
pendeta Siauw Lim Sie, pendeta itu sudah tidak ada, tak ada yang
tahu kapan menghilangnya dia...
Kim Tong Toojin menggunakan pedangnya membebaskan diri
dari tali yang melibat pinggangnya. Setelah itu dlapun mengangkat
kakinya, pergi dengan menyesal dan kecewa...
Semua orang lainnya mengawasi kearah Seng Su Kio, lalu
merekapun bubar pergi. Tidak ada di antaranya yang berani
menghampiri pula jembatan yang menakutkan itu.
Tjoh Siauw Pek berjalan terus di atas jembatan, tetap dengan
pelan pelan- Ia seperti melupakan segala apa, kecuali bahwa ia
mesti melintasi jembatan itu. Ia tidak menghiraukan kabut gelap.
bahkan angin dingin sekali dan bajunya terus menerus tertiup
berdebaran- Jembatan itu terasa makin jauh menurun, bagitupun sang hawa,
dinginnya bertambah tambah, bagaikan menembus kulit masuk ke
dalam daging. Suasanya menyeramkan tetapi si bocah tanggung tak
menghiraukannya. Dia seperti tak tahu menahu. Dia bahkan lupa
mengerahkan tenaga dalamnya guna melawan hawa dingin itu.
Di dalam keadaan seperti itu, mungkin Siauw Pek tidak
menyingkir andaikata gunung di depannya longsor gempur
Jurang itu bukannya jurang kosong. Disitu mengalir sebuah
sungai, yang airnya deras, sebagaimana suara gemuruhnya dapat
terdengar sampai di atas jembatanAngin yang keras itu mirip dengan angin puyuh, sebab
berputarnya seperti terintang oleh jurang yang dalam, hanya tiba di
atas jembatan- tiupannya berkurang kerasnya.
Akhir akhirnya, tiba juga Siauw Pek ditepi yang lain dari jembatan
itu. Ia selamat tak kurang suatu apa. Dengan tibanya diseberang,
iapun sadar. Sebab sekarang ia tidak lagi terbenam dalam kabut
hitam. Ia melihat dunia terang benderang seperti semula tadi, disaat
ia mulai menginjak jembatan untuk menyeberang.
Dihadapannya sekarang tampak daerah yang lapang, sebuah
lembah yang luas beratus ratus hektar, dikitari bukit bukit hijau. Ia
melihat banyak bunga, banyak pohon bambu, yang tumbuh disana
sini. Yang heran ialah disitupun ada beberapa petak sawah yang
ditanami padi serta sebuah ladang sayuran-..
Tapi siauw Pek tidak menghiraukan semua itu, ia berjalan terus
tanpa perhatian seperti sejak semula. Ya, ia bagaikan seorang yang
tak sadarkan diri. Demikian, jalan punya jalan, sampai ia
menghadapi sebuah pohon ouwtoo sejenis kenari dibawah mana
ada duduk bercokol seorang laki laki tua dengan rambut dan
janggut sudah putih seluruhnya, tengah menghadapi empat macam
barang santapan yang disajikan diatas meja. orang tua itu makan
dan minum seenaknya saja, tenang dan wajar gerak geriknya.
Dengan tindakan perlahan, siauw Pek lewat dibawah pohon itu.
Ia lewat terus, seperti tidak melihat si orang tua. Bahkan sama
sekali ia tidak menoleh kekiri atau kekanan...
Si orang tua, sebaliknya, telah melihat anak muda ini. Agaknya ia
heran- Lantas, sengaja dia batuk batuk dengan suara keras. "Hai,
bocah" tegurnya.
Siauw Pek berjalan terus, seolah olah tak mendengar teguran itu.
orang tua itu mengerutkan sepasang alisnya. Dia heran sekali
tiba tiba dia mengajukan sebelah tangannya, menyentil kearah
bocah itu. Angin sentilan itu menjurus kepada Siauw Pek, mengenai
jalan darah Kiok-coanpada tekukan dalam dari dengkul kanannya.
Selagi menyentil itu, si orang tua tak mengira bahwa sentilannya
bakal mengenai sasarannya, atau walaupun kena, mungkin tidak
berbahaya, tidak akan melukai, akan tetapi diluar dugaannya, tiba
tiba si anak tanggung tertekuk kakinya, terus dia roboh mendeprok
"Ah..." si orang tua berseru dengan suara tertahanSiauw Pek roboh dengan terkejut, karena jatuhnya itu
membuatnya sadar. Baru sekarang ia menoleh, karena mana ia
dapat melihat si orang tua yang sudah bangkit berdiri, bertindak
menghampirinya. Ia lantas berpikir cepat.
"Aku telah berhasil melintasi Seng Su Kio, aku tidak
mengecewakan ayah bundaku." pikirnya. "Jikalau aku mati ditangan
orang tua ini, itulah akan mempercepat jalanku ke dunia baka,
untuk menemui arwah ayah dan ibu dan kakakku..." Berpikir begitu,
anak sebatang kara ini lantas memejamkan matanya.
Sebenarnya siauw Pek belum sadar seluruhnya. Karena itu ia
belum sempat memikir sebabnya kenapa ayahnya mendesak ia
menyeberangi jembatan maut itu. Ia merasa ada orang menotok
kakinya lantas ia menduga adanya ancaman bahaya. Tengah ia
meram itu kembali ia merasakan totokan pada kaki kanannya itu,
dan totokan itu membuat kakinya pulih seperti biasa. Saking heran,
ia membuka kedua matanya. Maka ia melihat si orang tua, dengan
senyuman manis sedang berdiri mengawasinya. Tak tampak tanda
bahwa orang tua itu berniat jahat.
Dengan perlahan bocah ini bergerak. untuk berduduk numprah di
tanah. Ia memandang ke depan ke belakang, ke sekitarnya.
Kemudian ia menarik napas dalam dalam.
"Loo-pee," sapanya, " kenapa kau tidak segera membunuh aku ?"
Putera bungsu Kam Pek ini memanggil "loopee," paman tua kepada
orang tua itu. Si orang tua menatap. Dia tertawa manis:
"Eh, anak. kau aneh" ucapnya. " Kenapa kau omong tidak karuan
ujung pangkalnya?" Siauw Pek membaca menatap.
"Itulah sebab..." sahutnya, "sebab selama delapan tahun terus
menerus, semua orang yang aku temui, semuanya mencoba
membunuh kami serumah tangga"
Tiba tiba, hilang lenyap senyuman si orang tua. "oh, begitu?" dia
tanya, dengan sikap sungguh sungguh.
"Benar, loopee," sahut si bocah. "Sedikitpun tidak salah. Inilah
sebabnya aku, kenapa kau tidak segera membunuhku bahkan kau
terus menotok memerdekakanku..."
"Kau keliru menyangka, anak." menjelaskan si orang tua. "Aku
menotok padamu sebab barusan aku panggil kamu, kau tidak
mendengarnya. Setelah kau tidak dapat berjalan terus, maka aku
menotok pula membebaskan padamu. Kita tidak bermusuhan,
kenapa aku mesti membunuhmu" Lagipula aku si orang tua setelah
dua kali aku keliru melukai dua orang, sejak itu tak pernah aku
membinasakan siapa pun juga." Siauw Pek bangkit perlahan lahan"Tempat ini apa namanya, loopee?" ia bertanya. "Apakah aku
telah melintasi habis jembatan Seng Su Kio?"
"Tempat ini tidak ada namanya," jawab si orang tua. "Aku sendiri
yang memberikan nama, ialah Bu Yu Kok. Haha Tak perd uli siapasiapa
yang tiba disini, dia akan tak berduka dan tak banyak pikir
lagi, dia akan melupakan segala kesukaran. Jikalau kau tidak
melintasi jembatan Seng Su Kio, mana dapat kau sampai di
lembahku ini?". Memang, Bu Yu Kok berarti "Lembah Tak Berduka".
Tiba tiba Siauw Pek ingat kebinasaan hebat dan menyedihkan
dari ayah bundanya. Ia menghela napas.
"Tapi aku," katanya, "aku tidak dapat melupakan sakit hati ayah,
ibu dan kakak kakakku" katanya.
"Bagaimana, eh?" tanya orang tua itu, menatap. "Apakah seluruh
keluargamu telah dibinasakan orang?"
"Tidak salah.. Keluargaku terdiri dari lima jiwa, sekarang ini
hanya tinggal aku seorang"
Tanpa merasa, orang tua itu menghela napas.
"oh, anak yang harus dikasihani," katanya perlahan- "Coba
ceritakan padaku anak. kenapakah mereka itu membinasakan ayah
bunda dan kakak-kakakmu itu"
"Itu adalah suatu peristiwa dikalangan Rimba Persilatan, dan
ayah bundaku cuma kena terembet-embet, atau lebih tepat orang
sengaja melibatkannya, hingga mereka tercebur kedalam pusaran
air dan musnah karenanya"
"Siapakah yang membunuh ayah bundamu" Dimana mereka
membunuhnya?"
"Merekalah orang-orang dari sembilan partai besar serta
sembilan partai lainnya lagi. Merekalah jago jago silat yang tak
sedikit jumlahnya, mereka menghendaki mendapatkan kami semua,
setelah membinasakannya, baru mereka puas. Ayah dan ibuku mati
ditepi sana Seng Su Kio aku ingin menuntut balas untuk ayah dan
bundaku itu..."
"Soal menuntut balas, baik kita bicarakan belakangan-" kata si
orang tua kemudian-"sekarang ini perlu kau beristirahat dulu. Kau
belum sadar sepenuhnya, anak. Nanti setelah kau sadar betul, baru
kita omong-omong mengenai kejadian-kejadian yang telah lalu itu."
Siauw Pek mengangguk. "Terima kasih, loope," katanya.
orang tua itu mencekal lengan kanan sibocah, pada nadinya.
"Mari, anak" katanya. "Mari ikut aku ke gubukku"
Tidak dapat Siauw Pek menampik, nadinya itu telah terpencet.
Maka ia ikut orang tua itu.
Hanya sebentar, mereka sudah tiba didalam gubuk. Gubuk itu tak
jauh dari pohon ouwtoo.
"Kau rebah, anak," kata si orang tua, yang mengangkat tubuh
bocah itu, untuk direbahkan diatas bale-bale. Iapun menotok jalan
darah tidur si bocah, seraya menambahkan : "Sekarang kau tidurlah
dahulu..." Habis berkata ia bertindak keluar.
Siauw Pek ingat segala apa, akan tetapi ia telah ditotok, tidak
dapat membuka mulutnya, bahkan kedua kulit matanya sendiri
sudah lantas tertutup rapat. Maka tak lama kemudian, ia telah tidur
pulas. Beberapa lama ia tidur, Siauw Pek tidak tahu, hanya ketika ia
mendusin dan membuka matanya, cuacanya sudah gelap. Ia
melihat si orang tua sedang duduk menghadapi meja sambil minum
arak. orang tua itu tampak sangat tenang.
-ooo0dw0ooo- JILID 3 Gubuk itu diterangkan oleh sebuah obor minyak cemara yang
ditancap di suatu pojok. Di luar gubuk. gelap di mana mana. Sang
malam telah tiba.
Dengan perlahan anak ini bangkit, turun dari bale bale. Ia
menghampiri tuan rumahnya.
orang tua itu meneguk araknya.
"Kau mau minum arak, nak?" tanyanya.
"Aku tidak menghendaki arak. loopee. Aku hanya haus sekali."
"Untuk air, di belakang rumahku ini ada tiga buah sumur,"
berkata si orang tua, "cuma air sumur-sumur itu berbeda satu dari
lain..." Berkata begitu, mendadak air mukanya si tua berubah. Ia terus
menatap bocah di hadapannya itu.
"Nak, aku harap kau dapat memilih jalan keselamatan?" ujarnya
kemudian-Siauw pek heran. Dia tak mengerti.
"Loopee, apakah itu jalan keselamatan?" ia tanya. "Aku kurang
mengerti..."
"Ah, tak dapat kau dipersalahkan, nak Yang bersalah adalah aku,
yang bicara tidak jelas Mari aku terangkan padamu: Di belakang
gubukku ini ada tiga buah sumur kecil. sumur yang di tengah airnya
biasa, tidak ada bahayanya, itulah jalan keselamatan" Siauw Pek
menjadi heran sekali.
"Apakah airnya kedua sumur yang lain itu beda dari air biasa?" ia
tanya pula. Wajah orang itu tampak masgul.
"Tidak salah," sahutnya. "Air kedua sumur itu bukan air biasa.
Sumur yang satu beracun siapa yang minum airnya, selama
sehirupan air teh, dia akan keracunan, tubuhnya akan
mengeluarkan darah dan mati"
"Apakah sumur yang ketiga itu beracun jugakah?" Si orang tua
berdiam sekian lama, agaknya dia sedang berpikir.
"Tidak." sahutnya kemudian- "Itu bukan air biasa, dan juga
bukan racun- Itulah yang dinamakan cio Jie yang amat sukar
didapatkan- Siapa yang meminumnya, tubuhnya akan memperoleh
kebaikan besar sekali. Ah nak, baiklah kau minum yang di tengah
itu, dengan begitu kau dapat menemani aku tinggal di dalam
lembah ini untuk dengan tenang melewati hari hari kita yang
mendatang..." Siauw Pek menggoyang kepala.
"Tidak," sahutnya tetap. "Aku hendak keluar dari tempat ini.
"Ayah bundaku menyuruh aku melintasi Seng Su Kio, aku telah
melakukannya aku tidaklah menyia nyiakan harapan mereka.
sekarang tidak dapat aku melupakan dendam kesumat dari ayah
bundaku ini. Bahkan kedua kakakku juga telah turut
dibinasakannya. Maka sekarang ini, baik kaum Pek Ho Bun, ataupun
keluarga coh, akulah ahli waris tunggalnya. Selama aku hidup, aku
akan mencari sebab musabab dari kebinasaan ayah bunda dan
kakakku itu, aku hendak membalas sakit hati mereka"
orang tua itu mengusut usut janggutnya.
"Lembah Bu Yu Kok ini telah putus hubungannya dengan dunia
luar." katanya kemudian,
sabar. "Disini sudah tidak ada soal sakit hati dan permusuhan,
soal budi dan penasaran Nak. andaikata ayah bundamu tidak
terbinasakan musuh musuhnya, mereka toh tak akan hidup selama
lamanya. Ha ha ha Hidupnya manusia seratus tahun, itulah impian
belaka. Buat apa kau hendak menuntut balas?"
Siauw Pek menatap orang tua itu, sinar matanya itu mengandung
kemurkaan hebat, akan tetapi ia tetap bungkam.
Si orang tua meneguk kering isi cawannya, lalu mengisi lagi.
"Mau apakah kau menatapku begitu rupa?" tanyanya, tertawa.
"Ha ha Matamu itu mengeluarkan sinar berkilauan bengis Ruparupanya
kau merasa tidak puas terhadapku, bukan?"
"Aku memikirkan beberapa kata kata," jawab Siauw Pek, "hanya
jikalau aku keluarkan, aku khawatir kau tersinggung, loopee..."
Kembali si orang tua tertawa.
"Sudah beberapa puluh tahun, kau tahu aku si orang tua ingin
sekali menerima cacian" ujarnya. "Aku senantiasa mengharap cacian
itu tapi belum terkabul keinginanku. Tidak apa, teruskan bicara"
"Sekarang ini berapa usia loopee?"
Itulah pertanyaan di luar sangka si orang tua. Ia meneguk
araknya, kemudian tertawa. "Nak. kau tanya usiaku?" ia
menegaskan. "Benar. Mungkin usia loopee sekitar enam atau tujuh puluh
tahun-.." Si orang tua terbahak bahak.
"Tak dapat kau menerka tepat, anak Nah, sekarang berikan
dahulu berapa usiamu?"
"sekarang usiaku lima belas tahun."
"Bagus Bagus" si orang tua tertawa lagi. "Jikalau nanti kau hidup
lagi tujuh puluh tahun barulah menyamaiku"
"Tujuh puluh lima tahun" Tujuh puluh lima tahun tambah lima
belas oh, jadi usia loopee sudah sembilan puluh tahun?"
"Benar"
Lagi lagi si tua ini tertawa gembira.
"Jikalau aku tidak keluar dari lembah ini," ia menambahkan,
"kalau aku hidup lagi sembilan puluh, itupun tak aneh"
"Kaulah Siu Pie Lam San, loopee" memuji siauw Pek "sungguh,


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau sehat kuat seumpama batu gunung"
Memang pantas pujian bocah ini, "Siu Pie Lam san- Usia tinggi
sebagai Gunung Selatan. Hanya sedetik, paras si orang tua berubah.
setelah itu dia tertawa terbahak bahak. "Bagus betul, ya Benarkah
kau caci aku si orang tua sebagai batu gunung yang bandel?"
"Bukan begitu maksudku, loopee. Aku memuji usia panjang dan
kesehatanmu"
"Kau manis sekali, Nak Aku lihat, kau ini nantinya pasti pandai
mencaci orang, banyak banyak warna warni cacianmu itu Aku ingin
mendengarnya" Sementara itu Siauw Pek sangat dahaga, mulutnya
terasa kering. Dua kali batuk batuk.
"Baik aku minum dahulu," katanya. "Aku perlu membasahkan
kerongkonganku. Sebentar kita baru bicara lagi..."
Berkata begitu, anak ini lantas bertindak keluar.
"Tunggu" seru si orang tua.
Matanya Siauw Pek itu bagaikan berkunang kunang. Ia melihat
satu bayangan orang muncul di depan matanya. Ternyata si orang
tua sudah menghadang di depannya. Dia masih menggenggam
cawan araknya. Tapi orang tua ini tertawa manis.
"Eh, anak kecil." sapanya. "Bagaimana jikalau kau kesalahan
minum air beracun hingga kau menerima ajalmu" Dan, ada siapakah
lagi yang bakal mengumpat caci padaku, si orang tua" AKu lihat,
paling benar kau minum arak dulu barang secawan, untuk
membasahi ronggamu itu. Arak dapat membangunkan semangatmu
membuat kau bernyali besar, supaya kau dapat memaki maki aku
sampai puas"
Ramah orang tua ini, sedikit juga tak ada tandanya bahwa ia
bergusar. Siauw Pek menyambut cawan arak itu, dan diteguk isinya.
Arak itu keras sifatnya. Begitu si bocah meminumnya, mukanya
menjadi merah, dan dadanya terasa panas.
"Nah, bagaimana, anak?" tanya si orang tua. "Bagaimanakah
rasanya arak buatanku sendiri ini?"
"Arak ini baik sekali," sahut orang yang ditanya. "Untuk loopee,
inilah minuman yang tepat. Hanya saja, arak dapat menggagaikan
cocok kalau loopee mempunyai kawan minuman ini, karena disini
loopee tinggal sendirian- tanpa kawan kecuali pepohonan." orang
tua itu mengangguk-angguk.
"Bagus, bagus katamu" katanya. "Senang aku mendengarnya,
aku ketagihan"
"Rupanya, loopee, dalam usia sembilan puluh sekarang, masih
ingin hidup sembilan puluh tahun lagi, menjadi seratus delapan
puluh tahun Umur itu adalah umur manusia yang tertinggi"
orang tua itu mengangguk. ia tertawa. "Jikalau aku
memahamkan pula ilmu memelihara diri," katanya. "tak sulit bagiku
untuk hidup sampai dua ratus tahun"
Arak telah mempengaruhi Siauw Pek. dia menjadi semakin
berani. "Bagaimana sesudah dua ratus tahun nanti" Bukankah si gunung
hijau tetap masih ada dan si air mengalir tetap mengalir turun"
Bagaimana dengan tubuh loopee" Itu waktu tulang belulang loopee
akan jadi musnah seperti bunga dan rumput, meresap masuk
kedalam tanah di lembah Bu Yu Kok ini..."
orang tua itu menghela napas panjang. Nampaknya ia masgul.
"Kau benar," katanya. "Taruh kata aku hidup dua ratus tahun,
aku tetap bakal menutup mata juga, sama dengan rumput dan
pepohonan di dalam lembah ini. cuma kalau bunga rontok maka
dimusim semi lain tahun, dia akan tumbuh dan mekar pula, tertiup
angin sejuk. dan rumput-rumput dengan datangnya musim semi,
lantas muncul lagi daun-daun mudanya Bagaimana kalau aku mati?"
"Tetapi, loopee Jangan kata kau dapat hidup sampai dua ratus
tahun, taruh kata kau makan usia lima ratus tahun, jika lalu itu
dibandingkan dengan usiamu sembilan puluh tahun, ada apakah
bedanya?" Hati si tua goncang. Hebat kata-kata anak muda ini. Bagaikan
sudah sinting. dia melepaskan cawan arak ditangannya. Maka
jatuhlah cawan itu hingga hancur berpecahan ditanah
Siauw Pek terkejut, baru ia insaf bahwa ia telah bicara
sembarangan sekali. Ia seorang muda, bagaimana ia dapat
berbicara demikian rupa terhadap seorang orang tua" Ia menjadi
jengah, ia malu sendirinya.
"Kau gusar, loopee ?" tanyanya. "Maafkan aku yang muda, yang
belum mengerti apa-apa..."
orang tua itu menggelengkan kepala.
"Bocah, kau tidak bersalah," ujarnya. Ia menghela napas "Benar
apa yang kau katakan. Aku tinggal di lembah Bu Yu Kok ini,
jembatan Seng Su Kio telah memutuskan hubunganku dengan dunia
luar. Segala pri-kebenaran dan kesalahan, budi dan pehasan, juga
cinta kasih dan kebencian, telah meninggalkan aku jauh sekali. Ah
Sebetulnya, segala apa didalam dunia, semua itu sama bagiku.
Kalau toh ada bedanya, aku tidak mendengar, aku tidak melihatnya.
hingga hatiku menjadi kosong. Apakah artinya hidupku ini?"
Berkata begitu, si orang tua bangun berdiri. berjalan dengan
perlahan-lahan- la jalan berputar.
Siauw Pek mengawasi orang tua itu, ia merasa wajahnya
mendadak menjadi jauh terlebih tua. Tindakannya menjadi sangat
ayal, bagaikan tak sanggup membawa tubuhnya...
"Ah, kasihan dia..." katanya dalam hati Tiba-tiba ia menjadi
berkesan baik sekali. Tak ayal lagi, ia lari menghampiri si orang tua,
Ia memegang lengan kirinya. Orang tua itu berpaling. Dengan
perlahan dan sabar, dia tersenyum.
"Anak. sekarang ini barulah aku benar benar merasa bahwa aku
telah menjadi tua," katanya. "Ah, ini dia yang dibilang, gelombang
Sungai Tiang Kang yang belakang menolak gelombang yang
didepan, atau orang yang muda jauh menang daripada orang tua
.Jikalau aku nanti menutup mata, aku tidak akan menyesal sebab
sekarang aku telah menemui orang gagah yang lebih muda
setingkat daripada aku..."
"Loopee, kau terlalu memuji. Aku adalah seorang anak yang tidak
beruntung, sebab rumah tanggaku ludas, aku telah menjadi piatu,
sekarang aku terlunta-lunta tanpa juntrungan dan harapan, hatiku
penuh dengan penasaran dan kebakian. Mana bisa aku bilang
seorang gagah?"
"Anak. kau benar, tetapi aku benar juga. Kau memiliki perasaan
seorang gagah, kaupun berperangai halus bagaikan seorang wanita.
Dunia yang remang-remang ini, Rimba Persilatan yang guram,
justru membutuhkan seorang semacam kau. Dengan sebatang
pedang, kau harus membabat habis segala kejahatan dikalangan
manusia, kau harus menyulut sebuah lentera penerangan untuk
kaum Rimba persilatan" Siauw Pek bingung.
"Tetapi, loopee," katanya. "aku hanyalah seorang yang ilmu
silatnya sangat bersahaja..." Orang tua itu tertawa.
"Itu tak apa. Jikalau pelajaran surat belum sempuna, itu dapat
ditambah dengan membaca lebih banyak, jikalau ilmu silat tak
cukup liehai untuk membasmi kejahatan, itu juga dapat diperbaiki
dengan memohon bantuan petunjuknya guru yang pandai. Didalam
segala hal orang dapat belajar dengan tekun"
"Dimanakah ada guru yang pandai, loopee" Buatku, tidak ada
pintu untuk mencarinya." orang tua itu mencari kursi bambu, di situ
ia menjatuhkan diri terduduk. "Anak. tahukah kau, siapa aku si tua
ini?" tanyanya sambil mengawasi. Siauw Pek menggelengkan
kepala. "Maaf, loopee. aku masih sangat muda sekali, aku belum kenal
loopee..."
Tiba-tiba alisnya si orang tua terbangun, tiba-tiba juga lenyap
kemasgulan pada wajahnya. Dia tertawa riang.
"Bukankah ayahmu menjadi ketua dari Pek Ho Bun?"
"Benar..."
"Samar-samar aku ingat, ketua Pek Ho Bun bukannya orang she
Tjoh..." "Loopee benar, Ayahku menerima warisan Pek Ho Bun dari ayah
mertuanya, dari kakek luarku."
"Benarlah kalau begitu"
Sejenak si orang tua diam, lalu ia menatap si bocah.
" Katakanlah padaku, kenapa kau pertaruhkan jiwa mu
menyeberangi Seng su Kio?"
"Sebenarnya kurang jelas bagiku. Ayah belum pernah
menjelaskan sama sekali. Ayah cuma menyuruh aku pergi
menyeberang, lain tidak. Tapi menurut pendapatku, seluruh
keluargaku dikepung kepung musuh, dunia yang begini luas menjadi
sempit, sampai tak ada tempat dimana kami dapat menaruh kaki.
karenanya jikalau aku tidak menempuh bahaya jalan dengan
melintasi Seng Su Kio, pasti musuh akan tetap mengejar terusterusan-"
orang itu tertawa pula.
"Selain dari itu?" tanyanya pula.
"selain dari itu, aku tidak tahu apa-apa lagi."
Orang tua itu mengangkat tangannya, ia mengusap kepala si
bocah. Lagi-lagi dia tertawa.
"Sebenarnya," katanya selang sesaat. "selain kau harus
menyingkir dari musuh-musuhmu, supaya kau mengadu untung"
Siauw Pek heran hingga dia melengak.
"Untuk aku mengadu untung?" dia menegas.
"Tidak salah" orang tua itu memastikan- "Supaya kau adu
untungmu, anak." si anak tetap menatap.
"Anak yang baik, sejak ribuan tahun yang lalu, jembatan maut ini
memang sudah ada." berkata pula si orang tua kemudian, "cuma
dulu dulu itu, namanya tidak dikenal, tidak ada yang menyebutnya
Tak sudi aku si orang tua merampas jasa. Jembatan ini menjadi
tersohor disebabkan oleh karena aku bersama seorang sahabat
kekalku telah menyeberanginya. Hingga sekarang Seng Su Kio
menjadi sangat termashur" Siauw Pek benar-benar tidak mengerti.
"Aku kurang paham, loopee," katanya. Orang tua itu menghela
nafas perlahan-Siauw Pek mengawasi terus, ingin memperoleh
penjelasan- "Pada mulanya, entah siapa yang telah menemukan jembatan
maut ini," berkata orang tua itu. "Katanya ditemukannya pada
ratusan tahun yang lalu. Semulanya jembatan ini dinamakan Su Kio"
"Jembatan Kematian-. Maksudnya ialah: siapa yang melintasi
jembatan, pasti dia tak usah memikir hidup lagi..."
"Oh begitu" kata Siauw Pek, kagum berbareng heran.
"Jembatan itu memang luar biasa sekali," si orang tua berkata
pula. "Pertama-tama dia melintang di atas sebuah jurang, yang
selokannya dalam sekali dan airnya deras hingga merupakan pusar
air. Sudah begitu disitupun ada terdapat angin keras, angin yang
berubah menjadi angin puyuh yang tenaganya sangat kuat.
Yang lebih mengherankan ialah kabutnya, atau uapnya, yang
hitam, yang menyelubungi hampir seluruh jembatan- Itulah
sebabnya kenapa sukar untuk orang melintasi jembatan ini
walaupun dia seorang ahli silat yang lihay. Sudah ada banyak orang
kosen yang mengorbankan jiwanya di sini, sebab mereka diserbu
angin puyuh dan tergelincir kedalam jurang. Begitulah, jembatan itu
dipanggil Su Kio, jembatan kematian-"
"Tetapi, loopee, kenapa dan selanjutnya dia disebut Seng Su Kio
-jembatan Hidup Mati?"
Ditanya begitu, si orang tua memperlihatkan wajah gembira,
alisnya sampai terbangun. "Itu ada hubungannya dengan aku si
tua." "Ada hubungannya dengan loopee?"
"Betul"
Orang tua itu tertawa.
Siauw Pek menatap pula. Dia ingin mendapat keterangan"Itu adalah peristiwa beberapa puluh tahun yang lampau,"
berkata si orang tua bercerita. "Sesudah jembatan ini makan banyak
korban orang orang gagah, entah siapa biang keladinya, lantas
muncul ceritera burung bahwa di jembatan ini ada tersimpan batubatu
permata mulia yang tak terhitung jumlahnya, bahwa di sini
terdapat juga warisan seorang jago silat almarhum yang kesohor
sekali. Ketika itu orang menerka, cerita burung itu bukanlah ceritera
belaka atau lelucon, bahwa sebenarnya di dalamnya ada terkandung
suatu rencana busuk."
"Rencana busuk?"
"Ya Pikir saja Jembatan Kematian ini tak pernah diseberangi
orang, andaikata benar di situ ada harta besar, siapakah yang tahu"
Tidak ada orang, bukan?"
"Loopee benar."
Orang tua itu memainkan janggutnya yang panjang. Dia tertawa
pula. "Yang lucu ialah ceritera burung itu telah menggemparkan dunia
Sungai Telaga, karena orang lantas buat sebutan, terutama dalam
kalangan Rimba Persilatan- Itu pula yang menyebabkan rubuhnya
banyak korban yang menjadi roh roh penasaran- Lucunya, kau tahu,
aku si tuapun tertarik hatiku, hingga aku memikir buat mencoba
pergi melintasi jembatan itu..."
"Jadinya loopee hendak mencari harta karun itu?"
"Bukan begitu. Aku hanya tertarik dengan warisan sijago silat.
Sayang kalau warisan itu terus terpendam di sini. Karena rasa
sayangku itu, aku memikir buat mencoba-coba."
Kali ini si orang tua menarik nafas dalam-dalam, matanya
mendelung ke suatu arah. Dia seperti sedang memikir jauh, ke
waktu bertahun tahun yang lampau. Sekian lama, baru ia berbicara
dengan perlahan"Kabar bahwa aku hendak mencoba menyeberangi jembatan
sudah lantas tersiar diantara dunia Sungai Telaga, karenanya lantas
datang banyak jago-jago Rimba Persilatan yang hendak
menyaksikan- Itu hari adalah di waktu tengah hari. Banyak jago silat
yang menonton- Semua mata ditunjukkan kepadaku, sinarnya heran
dan kagum. Sampai saat ini tak tahu aku, mereka itu sebenarnya
kagum atau terharu..."
"Mestinya mereka kagum berbareng terharu. Bukankah loopee
hendak menjadi pembuka jalan" Percobaan loopee itu mengenai
keselamatannya kaum Rimba Persilatan dibelakang hari."
orang tua itu tertawa pula. Agaknya dia gembira sekali.
"Kau tahu, apa yang telah terjadi," tanyanya "Di saat aku hendak
mulai menginjakkan kaki di atas jembatan, sekonyong konyong
antara para penonton muncul satu orang, yang terus menyatakan
bahwa dia suka menemaniku, menyeberang..."
Siauw Pek heran. Dia lantas menanya: "Apakah orang itu berhasil
melintasi Seng Su Kio?"
"Ya, dia berhasil menyeberang Bersama sama aku, dia tak kurang
suatu apa, maka bersama sama aku juga, dia seterusnya berdiam di
dalam lembah Bu Yu Kok ini"
"Oh, jadinya di sini loopee bukan tinggal seorang diri saja" seru
Siauw Pek. "Dengan adanya jago itu sebagai teman, loopee, kau tak
usah kesepian-.."
"Akan tetapi, anak kita berdua sangat jarang berkunjung satu
sama lain," si orang tua memberitahukan- "Ketika itu hari kami
melintasi jembatan, kami beruntung sekali, karena menemui saat
kebetulan- ialah di saat itu, entah apa sebabnya, angin puyuh yang
berbahaya itu justru meniup kendor, tak hebat seperti biasanya.
Dengan mengandalkan tenaga dalamku, yang terlatih selama
beberapa puluh tahun, berhasillah aku menyeberang meskipun


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan demikian, sesampainya di seberang, aku lelah sekali,
kehabisan tenaga. selanjutnya, tak berani aku mencoba
menyeberangi Su Kio lagi"
Siauw Pek berpikir : "Aku menyangka dia tinggal disini untuk
menyembunyikan diri dari keramaian dunia, tak disangka,
sebenarnya dia tidak berani menginjak pula jembatan kematian
itu..." Si orang tua tidak tahu apa yang dipikirkan si anak muda, dia
melanjutkan ceritanya: "Begitu berhasil menyeberang, bukan main
lega hatiku, hingga aku tak dapat mengendalikan diri, aku
mendongak. terus aku berseru dengan nyaring. Mungkin penonton
yang banyak itu dapat mendengar suaraku, mungkin itulah
sebabnya maka kemudian Su Kio dipanggil Seng Su Kio, yaitu
ditambahkan itu hurup seng hidup... Tentu saja itulah terkaanku,
entah benar entah tidak."
"Loopee benar. Sekarang Su Kio disebut Seng Su Kio jembatan
hidup mati." Si tua mengawasi bocah didepannya itu.
"Anak. selewatnya Seng su Kio, inilah wilayahnya yang terbuka.
Ketika aku datang kemari, aku membekal rupa rupa bibit, maka
kemudian disini aku bercocok tanam, menanam padi dan sayur
sayuran- Aku girang bisa sampai disini, tempat yang sunyi dimana
tidak ada perselisihan dan permusuhan, tak ada pembunuhan
segala. Tentu sekali, disinipun tidak ada budi dan dendam
asmara..."
Tiba-tiba si orang tua berhenti berbicara, dia memejamkan kedua
belah matanya. Nampaknya dia letih sekali, hingga tidak dapat
melanjutkan ceritera nyaitu dengan segera.
Siauw Pek tidak tahu mengapa si orang tua berbuat begitu, dia
bertanya. "Loopee, selama beberapa puluh tahun ini, apakah loopee
tidak pernah mendapat pikiran akan keluar dari tempat ini?"
orang tua itu menarik napas panjang, dia membuka kedua
matanya. Dia menatap si anak tanggung. Hanya sebentar dia
memejamkan matanya pula. Tapi dia kemudian menjawab: "Pernah
aku pikir. Tapi itu cuma pikiran saja. Mungkin Bu Yu Kok terlalu
tenang dan menyenangi hatiku, aku bagaikan kehilangan
semangatku dulu dulu."
"Loopee," Siauw Pek masih bertanya, "sebenarnya loopee hanya
ragu ragu atau karena tidak mau menerjang bahaya?" orang tua itu
menghela napas pula.
"Aku ragu ragu, aku tidak mempunyai harapan," jawabnya. "Aku
tahu bahwa tenaga dalamku tak seimbang dengan angin puyuh itu
yang merupakan tenaga alam..."
"Loopee dapat menyeberang kemari, kenapa tidak dapat loopee
menyeberang balik?"
"Tadi telah kukatakan, ketika aku melintasi jembatan, angin
puyuh kebetulan lemah. coba angin kuat seperti biasa, mungkin aku
sudah tergelincir kedalam jurang, tak mungkin aku bisa ngobrol
seperti sekarang ini..."
"Jadinya loopee telah berkeputusan akan mati disini dan buat
selama lamanya tak mau keluar lagi?"
Melit si anak muda bertanya.
"Nampaknya lebih baik begitu. Tak perlu aku mencoba cari
kehidupan selagi kesempatan mati adalah seratus per seratus..."
Tiba tiba si orang tua berhenti. Ia seperti sedang berpikir.
"Anak coba kau terangkan," katanya. "Kau sendiri bagaimana
caranya maka kau dapat menyeberang kemari."
"Aku berjalan seperti biasa saja," sahut si anak muda seenaknya.
"Apakah kau tidak menghadapi sesuatu rintangan- Umpamanya
angin-.." "Ada, akan tetapi aku tidak menghiraukan itu. Selagi berjalan,
aku terbenam dalam kesedihan dan panas hati, karena aku ingat
kematian ayah bundaku." orang tua itu mengangguk.
"Mungkin angin itu lemah sekali, cuma ujung bajumu yang
tertiup perlahan-.." Habis berkata begitu, si orang tua berdiam. Ada
sesuatu yang dipikirkannya. Siauw Pek mengambil cawan, kemudian
ia berjalan keluar.
"Mau pergi kemana kau, anak?" bertanya si orang tua sambil
mengawasi. "Aku hendak mengambil air minum."
"Ambillah air sumur yang tengah. Air itu tidak ada faedahnya
yang istimewa tetapi juga tidak ada bahayanya."
"Aku ingin mengambil air dari dua sumur kiri dan kanan," kata
Siauw Pek. "Aku ingin minum masing masing satu cawan-"
"Kenapakah" Ah, anak tabiatmu keras"
"Bukankah loopee bilang salah satu sumur itu ada ciojienya yang
umurnya ribuan tahun, yang kalau diminum ada faedahnya, dapat
membuat panjang umur dan menguatkan tubuh?"
"Benar Tapi kau jangan lupa, air sumur yang lainnya adalah
racun dan siapa minum itu, dia pasti akan lekas mati"
"Hendak aku coba, buat mengadu untungku"
orang tua itu membelalakkan matanya. "Buat apakah?" tanyanya
heran-Tiba-tiba Siauw Pek mengucurkan air mata.
"Ayah bunda kedua kakakku, semuanya telah terbunuh secara
menyedihkan," sahutnya, "aku menjadi anak dan saudara, akan
tetapi aku tidak mampu menuntut balas, dengan tetap mendendam
saja, buat apa aku hidup di dunia. Aku malu.. Maka kalau aku
minum air beracun itu, aku bakal mati, dengan begini dapat aku
menyusul ayah bunda dan saudara saudariku itu di dunia baka."
Mendengar itu si orang tua tertawa.
"Jika kau minum air sumur yang satunya, yaitu cio jie, hingga
tubuhmu menjadi sehat, bukankah itu berarti kau hidup terlebih
lama?" "Toh sumurnya ada tiga, bukan?"
"Benar"
"Sumur yang di tengah, air biasa saja, aku tak membutuhkan itu.
Dari sumur yang dua lagi, satu adalah ciojie, satu lagi racun-Jikalau
aku kena ambil ciojie, apakah aku tidak bisa ambil pula yang
lainnya?" orang tua itu melengak.
"Oh, anak, rupanya kau berkeputusan untuk mati, benarkah?"
"Hidup terus berarti menambah kesengsaraan hati, karena itu,
bukankah lebih baik aku mati saja?" kata si anak muda.
"Jangan terburu mati, anak" Berkata orang tua itu. "Hari soal
sangat mudah. Hanya sebelum kau mati, ingin aku menasehati kau,
lebih baik kau jangan mati coba pikir kalah memangnya kau berniat
mati, buat apa kau menyeberangi Seng Su Kio, jembatan maut itu?"
"Aku tidak mau membuat ayah bundaku putus harapan serta
kakakku berduka..."
"Anak. kau agaknya tidak tahu persoalan-Jawablah, apakah
ayahmu juga berpendirian serupa denganmu berpikiran pendek?"
"Siapa bilang ayahku berpikiran pendek?" bertanya si bocah.
"Ayah memperkuat Pek Ho Bun hingga Pek Ho Bun dapat berdiri
tegak seperti sembilan partai besar lainnya. Jikalau ayahku
bukannya cerdas dan gagah, bagaimana mungkin dia memajukan
partai kami" Bahkan ayahku lebih menang daripada kakek luarku"
"Aku tetap menganggap dia berpikir pendek" Berkata si orang
tua. "Di dalam dunia dimana mana terdapat bukit bukit yang hijau,
karena itu, kenapa untuk mengubur tulang belulang kita, mesti
mesti memilih Seng Su Kio sebagai tempat kuburannya "Jikalau
pikiran ayahmu tidak pendek. buat apa dia mengajak kau merantau
dan menderita sengsara menyeberangi seng Su Kio buat hanya
mencari mati dijembatan itu?"
"Tetapi loopee seandainya kami sekeluarga dapat menyeberang
bersama, hingga kami dapat tetap berkumpul bersama, sudah tentu
aku tidak akan mencari mati"
"Jikalau begitu, semakin nyata betapa pendek pikiran ayahmu
itu" Siauw Pek heran, dia menatap melongo. "Apakah yang tak tepat,
loopee?" ia bertanya.
"Mungkinkah ayahmu tidak ketahui berbahayanya Seng Su Kio"
Sekalipun kamu tidak sedang dikejar kejar musuh, didalam keadaan
seperti biasa, bagaimana mungkin kau menyeberangi jembatan itu
dengan selamat tak kurang suatu apa" Jikalau ayahmu tidak pendek
pikirannya, tidak nanti dia menyuruh kau melintasi Seng Su Kio"
Kembali Siauw Pek melengak. "Kau benar juga, loopee," akhirnya
ia mengakui. "Maka itu, anak." berkata si orang tua, "mesti ada sebabnya
kenapa ayahmu menghendaki kau, menyeberangi Seng Su Kio..."
Siauw Pek jadi berpikir.
"Mungkin ayahku, seperti kau, loopee, telah kena terpedayakan
orang orang Sungai Telaga..."
"Mengapa begitu?"
"Sebab aku ingat kata-kata ayah. Ayah berpesan sungguhsungguh
kepadaku bahwa tanggung jawab menuntut balas terletak
pada bahuku, karena dalam keluarga kami, akulah yang berbakat
paling baik. Semua keluarga ku pun sangat menyayangi aku, aku
telah dibela mati matian- Selama kami dikepung kepung musuh,
ayah bunda dan saudara saudariku semua telah terlukakan, kecuali
aku..." Si orang tua mengawasi bocah itu, dari atas kebawah dan
sebaliknya. "Benar" katanya memuji. "Benar bakatmu baik sekali bakat
istimewa" Siauw Pek menghela napas.
"Ayah juga mengatakan bahwa rejekiku besar sekali..."
"Benar Aku pun melihat kau berejeki besar "
Siauw Pek berdiam. Selang sesaat baru ia berkata pula:
"Rupanya pandangan ayahku sama dengan pandangan loopee,
karena ayah dan loopee telah ditipu orang. Pernah dikatakan bahwa
di seberang Su Kio, yaitu disini, ada warisan dari orang jago Rimba
Persilatan- Karena itu, ayah ingin aku menyeberanginya..^"
orang tua berjanggut ubanan itu tertawa terbahak-bahak. "Tak
benar kata-katamu itu, anak" katanya.
"Yang terpedayakan adalah aku si orang tua Ayahmu sama sekali
tidak tertipu juga kau, kau tidak terpedayakan" Siauw Pek bingung.
"Ayahpun heran," katanya pula "Ayah mengharap sangat
kepadaku, supaya kelak aku dapat menuntut balas, akan tetapi,
disamping itu, ayah tidak mau mengajari aku ilmu silat. Aku cuma
dididik didalam hal latihan tenaga dalam..."
"Bagus Bagus" si orang tua memuji "dengan begitu ayahmu jadi
menyebabkan aku bakal menjadi pusing belaka" Berkata begitu, dia
tertawa. Siauw Pek menatap orang tua itu. Ia heran sekali.
"Loopee," katanya, "tapi disini, dimana adanya peninggalan
orang Rimba Persilatan yang tidak dikenal itu?" Si orang tua
membalas mengawasi.
"Andaikata warisan itu ada," katanya. " untukmu, warisan itu
tidak ada faedahnya."
"Belum tentu, loopee. Hanya, hendak kukatakan, buat apa aku
hidup jikalau selama hidupku, tak mampu aku membalas sakit hati"
Daripada hidup tidak berdaya, lebih baik aku mati saja, supaya aku
bisa selalu mendampingi ayah bundaku, untuk menjalankan
kebaktian-.."
"Siapa bilang kau tidak mampu membalas sakit hati ayah
bundamu, anak?"
siauw Pek terkejut. Kali ini ia mendengar suara si orang tua keras
bagaikan guntur, setiap kata terasa tajam. Mau tidak mau, ia
tergetar mengawasi orang tua itu.
Kali ini, sikap si orang tua juga berbeda dari biasa. Sekarang dia
nampak keren sekali, sepasang matanya mencorong tajam bagaikan
pedang. "Orang-orang yang mengejar ngejar kamu itu, mereka orang
orang macam apakah?" tanyanya keras.
"Selain orang orang dari sembilan partai besar, juga dari
sembilan partai lainnya. Itulah kawanan sembilan pay, empat bun,
tiga hwee dan dua pang."
"Tahukah kau, siapa aku si orang tua ini?"
"Tidak." sahut Siauw Pek menggeleng.
"Akulah si orang she Kie bernama Tong. Pernahkah kau dengar
ayahmu menyebut nyebut namaku?"
"Tidak" sahut pula si bocah, kembali menggeleng. Kie Tong
mengerutkan alisnya.
"Kian-kun It Kiam adalah gelarku," katanya. "Tentu kau pernah
mendengarnya, bukan?" Lagi lagi Siauw Pek menggoyang kepala.
"Aku yang muda kurang pengetahuan," katanya. Memang ia
tidak tahu gelar itu, Kian kun It Kiam, ialah si "Pedang Tunggal
Dunia" Pedang satu satunya di kolong langit... Jikalau tadi dia
mengerutkan alisnya, sekarang slorang tua tertawa nyaring.
"Ya, tidak heran tidak heran-" katanya. "Memang sudah beberapa
puluh tahun lewat sejak aku mengundurkan diri dari dunia Sungai
Telaga. Ketika itu mungkin ayahmu belum munculkan diri, hingga
iapun menjadi tidak tahu karenanya"
"Sebenarnya ayah luas pengetahuan umumnya. Segala peristiwa
lima puluh tahun yang lalu, tak ada yang tidak tahu."
"Mungkinkah dia tidak tahu hanya tentang aku si orang tua
sendiri" "Umpamakan ayah tahu, barangkali ia belum sempat
menceritakan kepadaku."
"Kalau begitu, mengapa kau ketahui selain sembilan partai
persilatan itu juga masih ada sembilan yang lainnya?"
"Tentang sembilan yang belakangan ini, aku mendengarnya
secara kebetulan-" Kie Tong mengangguk.
"Mungkin ayahmu tak ingin kau ketahui jelas segala hal-ikhwal
kaum Rimba Persilatan atau sunia Sungai Telaga .Jikalau kau tidak
bertemu denganku, pastilah kau bakal menjadi petani yang
hidupnya tenang tenteram."
Siauw Pek kurang mengerti. "Tentang itu aku tak tahu," katanya.
"Ketika dahulu aku si tua masih merantau dalam dunia Sungai
Telaga, aku pernah mendengar nama baik dari Pek Ho Bun,"
berkata pula slorang tua. "Kenapa kemudian dia telah dimusuhi oleh
dunia persilatan hingga mendapatkan nasibnya sebagai sekarang
ini?" "Ayah gagah luar biasa," kata siauw Pek "jikalau dia tidak
dikepung oleh jago-jago kenamaan yang berkompeten, tidak nanti
Pek Ho Bun musnah dalam satu malam" Mata Kie Tong bersinar.
"Apa" Mereka berkomplotan" Jadinya mereka mengeroyok?"
"Ya, aku menyebutnya berkomplotan, sebab mereka bekerja
sama. Duduk persoalannya, aku tidak ingat tepat lagi. Tatkala itu
aku masih sangat kecil. Apa yang kutahu, ialah mereka datang di
waktu tengah malam, tiba tiba api obor menyala nyala. dibarengi
dengan suara riuhnya penyerbuan itu. Aku dibawa lari ibu dengan
menggunakan sehelai kain untuk melibat tubuhku di punggungnya."
"Habis, dari mana kau tahu bahwa kawanan penyerbu itu adalah
sembilan partai besar dan sembilan partai lainnya?"
"Inilah karena kemudian ayah bunda serta saudara saudariku
menceritakan kepadaku, dan katanya di antara sekalian penyerang
itu terdapat jago jago kelas satu. Pek Ho Bun mempunyai ada tiga
puluh enam murid, mereka itu bersama sama seluruh Tjoh Kee Po
yang terdiri dari beberapa ratus jiwa, telah terbinasakan semua,
kecuali kami berlima..."
Tak dapat anak ini menahan kesedihan hati, air matanya keluar
bercucuran-

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan tetapi," sambungnya, "sesudah menyingkirkan diri selama
delapan tahun dan bertempur terus menerus beberapa ratus kali,
pada akhirnya toh, keluargaku terbinasa juga. Dari beberapa ratus
jiwa orang Pek Ho Bun, sekarang tinggal aku seorang, seorang
bocah." Wajah Kie Tong suram. Dia menarik napas panjang.
"Ya... sudahlah yang mati biarlah mati," ujarnya kemudian"Selanjutnya adalah tugasmu untuk menuntut balas pada semua
musuh musuhmu itu"
Siauw Pek menghela napas. "Hanya saja, loopee, niatku ada, tapi
tenagaku." Kie Tong menggoyangkan tangannya, mencegahnya
bicara terus. "Kesembilan partai itu biasa mengagungkan diri sebagai partai
yang mengutamakan akan kejujuran dan keadilan, apa mungkin tak
ada satu jua di antaranya yang hendak membelai pihakmu?"
"Mereka semua telah melibatkan diri tidak ada satupun juga yang
dapat diharap."
"Kesembilan partai besar itu dan kesembilan partai lainnya semua
terdiri dari jago jagonya Rimba Persilatan yang berkenamaan,
jikalau bukannya ayahmu melakukannya sesuatu yang hebat sekali,
mungkinkah mereka itu sampai membasmi Pek Ho Bun hingga
keakar akarnya."
Siauw Pek menghela napas pula.
"Di dalam hal itu, sebenarnya akupun merasa heran," katanya.
"Pernah aku menanyakan ayahku..."
"Apa kata ayahmu itu?" Kie Tong memutus cerita itu.
"Ayah mengatakan kepadaku, bahwa pihak kesembilan partai
besar itu serta kawan kawannya tidak mau memberi kesempatan
kepada ayah menanyakan sesuatu. Ketika itu aku masih kecil sekali,
aku belum mengerti apa apa, walaupun aku mengalami banyak
pertempuran mati hidup, aku mengingatnya samar samar, aku tidak
menyadari bahwa aku menjadi besar dalam perlarian-"
Muka Kie Tong memperlihatkan cahaya kemurkaan- Katanya
sengit. "Kesembilan partai besar itu dan kawan kawannya sudah
melakukan pembokongan, juga tak mau memberikan orang untuk
meminta keterangan, kalau demikian adanya, nyatalah mereka yang
bersalah" " Kakak perempuankupun mengatakan demikian," berkata Siauw
Pek menambahkan. "Mulanya aku menyangsikan kakakku, dan
setelah terjadi peristiwa yang paling belakang ini, maka aku baru
percaya" "Bagaimana pendapatmu itu?"
"Sebab aku telah lihat sendiri, bagaimana musuh menyerang dan
membinasakan keluargaku Mereka menyerang serentak dan
mengeroyok. sampai ayah tak sempat bicara lagi" Kie Tong terdiam,
tangannya mengelus janggutnya.
"Hm" ia memperdengarkan suara di hidung. "Sekarang, aku
hendak bertanya padamu, nak. Andaikata kau sanggup membalas
sakit hati ayah bundamu serta kakak kakakmu itu, untuk kau
membangun pula Pek IHo Bun, kaummu itu, bagaimana?"
"Aku rasa itulah tidak mungkin" menjawab si bocah. "Walaupun
seorang berani luar biasa, tak dapat dia menantang dunia. Maka itu,
aku telah memikir, sebab tak sanggup aku menuntut balas, baiklah
aku mati saja"
"Hus, kau mengigau" tegur si orang tua.
"Kau seorang anak kecil, mengapa memandang dirimu begini
ringan, kau terlalu lemah, kau tahu?"
Suara si orang tua ini, tak biasanya, menggetar.
"Anak. mari dengar aku" dia tambahkan- "Dengar kataku.
Umpama datang satu hari yang kau sanggup membangun pula Pek
IHo Bun, untuk membalas sakit hati keluargamu, bagaimana
tindakanmu nanti?" Siauw Pek menatap orang tua itu.
"Jikalau benar ada hari semacam itu," jawabnya, "paling dulu aku
akan membuat penyelidikan yang seksama, guna mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya. Partai persilatan banyak jumlahnya, tapi
mengapa orang justeru memusuhi Pek Ho Bun sendiri " Didalam
dunia ini terdapat manusia tak terhitung banyaknya, tapi mengapa
orang justeru memusuhi keluargaku ya, mengapa cuma ayahku
yang dicari?" Kie Tong mengangguk.
"Kau benar" ujarnya. "Kalau demikian, tepat tindakanmu. Nah,
andaikata kau berhasil membuat penyelidikan dan ternyata
kesalahan ada pada ayahmu, bagaimana?"
"Jikalau itu sampai terjadi, aku akan membunuh diri" sahut Siauw
Pek sungguh sungguh
"Dengan begitu aku akan mohon maaf kepada ayah bundaku
almarhum karena akulah anak tak berbakti, yang tak sanggup
membalaskan sakit hati ayah. Dengan begitu juga, kaum Pek Ho
Bun kami tak bakal hidup pula..."
"Sebaliknya, jikalau ternyata ayahmu tidak salah?"
"Sakit hati ayah besar luar biasa, akan kucari orang, atau orang
orang, yang benar benar bersalah, yang biang keladinya. Hutang
darah mesti dibayar dengan darah. Akan aku sembahyangi roh
ayah, untuk berjanji di depannya bahwa aku akan membangun pula
partai kita"
"Kau benar, anak Memang, si biang keladi yang mesti dicari,
yang tidak bersalah tak dapat diganggu. Dengan kata-katamu ini,
anak nyata sudah bahwa untukmu ada pengharapan untuk
membalas dendam" Siauw Pek bingung.
"Aku tak mengerti akan kata-katamu, loopee?" katanya.
"Hal sebenarnya sangat sederhana" kata si orang tua^ "kau cari
seorang ahli silat yang benar benar lihay, kau berguru kepadanya,
untuk mempelajari ilmu istimewa. Bukankah dengan begitu kau
akan dapat penuhi pengharapanmu?"
"Tapi. loopee, sangat sukar mencari guru yang gagah begitu..."
katanya, "Apa lagi sekarang setelah aku berada di dunia tertutup ini.
Aku berhasil menyeberangi Seng Su Kio tanpa tergelincir mampus
kedalam jurang, itu berarti aku hidup dari dalam kematian, apakah
hal itu dapat terulang buat kedua kalinya" Loopee, baiklah loopee
membiarkan aku cari kematianku..."
"Siapa bilang sukar mencari guru yang pandai?" bertanya orang
tua itu. "Apa yang sulit jalan andaikata si guru tak sudi menerimamu
sebagai muridnya. Guru yang demikian itu benar berada jauh seperti
di ujung langit, akan tetapi sebaliknya, dia berada dekat, didepan
matamu" Siauw Pek heran- Dia mementang kedua belah matanya,
mengawasi tajam orang tua di hadapannya ini.
"Apakah orang tua itu loopee adanya?" tanyanya kemudian-Kie
Tong tertawa lebar.
"Bagaimana, eh?" tanyanya, gembira. "Apakah kau merasa tak
tepat untukku menerima kau sebagai muridku?"
"Aku percaya kepandaian loopee tidak lemah," jawab Siauw Pei.
"Hanya untuk menentang orang orang gagah dari seluruh dunia,
aku... aku kuatir..."
"Kau kuatirkan apa ?" tegaskan Kie Tong. "Jikalau kau orang
tidak percaya, boleh kau coba"
Siauw Pek menlengak. ia menatap pula orang tua itu.
"Bailah, loopee, sedia aku menjadi muridmu," katanya akhirnya.
Kemudian ia menjatuhkan diri, berlutut di depan orang tua itu buat
memberi hormat sambil pay kui, berlutut berulang ulang.
Tapi Kie Tong menggoyangkan tangannya berulang ulang.
"Tahan dulu, tahan dulu..." cegahnya. "Aku belum memberikan
kata-kataku kepadamu."
Siauw Pek terheran pula, kali ini ia terus menangis. "Oh loopee,
tolonglah aku,^ pintanya.
"Sabar, anak. Kita harus berdamai perlahan lahan- Mari bangun,
baiklah kau temani dahulu aku minum arak..."
"Aku tak bisa minum, loopee, aku kuatir aku akan menyia
nyiakan kau..."
"Sekali mabuk. hilanglah seribu kesusahan hati" berkata slorang
tua. "Kau tidak bisa minum tetapi apakah kau tidak dapat mabuk?"
"Kalau begitu baiklah, loopee. Aku bersedia mengiringi loopee,
sebelum aku mabuk, tak akan kuberhenti..."
"Bagus, bagus" seru si orang tua. "Tapi ingat sebelum aku
menerimamu sebagai muridku, kita adalah sahabat-sahabat, kau
tidak usah berlaku sebagai orang murid, supaya selama kita minum,
kau tidak terikat.Jikalau kau terikat kita tidak akan gembira"
Berkata begitu, orang tua ini mengulur tanagnnya, mencekal si
bocah untuk dibangunkan"Duduklah" katanya. Terus dia menuangi dua cawan arak.
Katanya pula : "Mari kita habiskan cawan yang pertama ini "
Siauw Pek menurut tanpa ragu-ragu lagi Ia lihat orang tua itu
sangat polos. Selagi mengangkat cawan, bau arak sudah menyerang
hebat kepada hidungnya. Untuk meneguk itu, ia menutup rapat
rapat kedua hidungnya. Dasar ia tidak biasa minum, secepat arak
sampai didalam perutnya, ia merasakan perut itu panas sekali. si
orang tua mengisi cawan yang kedua. "Bagaimana, anak rasanya
arak ini?"
"Sedap" sahut Siauw Pek. Segera ia teguk pula cawan kedua itu.
Hanya kali ini mukanya menjadi merah, isi perutnya bagaikan
jungkir balik, sedangkan matanya terus kabur, Kle Tong di
hadapannya tak tegas lagi dilihatnya.
Kie Tong tertawa terbahak bahak.
"Bagaimana, anak" Dapatkah kau minum pula?" ia terus
menuangi cawan yang ketiga.
"Bisa... Bisa..." sahut Siauw Pek suaranya tak tegas lagi. Baru ia
mengucap begitu, kepalanya teklok. sebab ia sudah mabuk betulbetul.
Si orang tua tertawa. Tiba-tiba ia melemparkan cawannya, terus
ia bangkit berdiri, bertindak mundar-mandir diruang itu. Ia ternyata
sedang berpikir keras. Pertama ia ingat tentang dirinya sendiri, lalu
perihal bocah dihadapannya ini. Ia ingat mengapa ia menyeberangi
Seng Su Kio, hingga ia jadi tinggal menyendiri didalam lembah Bu
Yu Kok. sekarang ia melihat Siauw Pek, ia merasa kasihan dan
kagum. Bocah ini berkeberanian besar dan jujur serta tahu diri. Ia
bagaikan berjodoh dengan bocah ini.
Masih Kie Tong mundar mandir, saban saban ia menoleh kepada
siauw Pek. Agaknya ia bergulat dengan pikirannya sendiri. Beberapa
saat kemudian, ia menepuk tangan keras keras.
"Ada" serunya. "Sekarang hendak aku lihat untung bagus dia"
Mendadak ia lari keluar, kearah sumur, untuk mengambil cio-jie,
benda berkhasiat yang telah ribuan tahun tumbuh didalam
sumurnya itu. Begitu ia kembali, ia Cekoki barang itu ke mulutnya si
anak muda. Benar benar sio jie berkhasiat. Hanya sebentar Siauw Pek
tersadar, mabuknya lenyap. Dia mengucak ucak kedua biji matanya.
"Loopee, apa kita minum terus?" tanyanya. Ia ingat araknya.
Kie Tong tertawa riang. ia mengulur sebelah tangannya, untuk
mengusap usap rambutnya bocah itu.
"Ya, minum, minum terus" sahutnya. "Tapi lebih dahulu kau
harus dengar kata kataku" Ia hening sejenak. segera ia
meneruskan- "Anak. tahukah kau kenapa aku situa tak suka
menerima kau sebagai muridku?"
Mukanya Siauw Pek pucat dengan tiba-tiba. Ia kaget sekali.
"Mungkin disebabkan aku sangat dogol," jawabnya. "Tentulah
karena aku tidak berbakat maka loopee tidak tertarik kepadaku..."
Berulang ulang orang tua itu menggeleng kepala.
"Tak tepat terkaanmu itu," katanya. "Bakat sebagai kau,
walaupun bukan yang paling bagus, tapi sudah sulit untuk memilih
yang lain-" Siauw Pek mengerutkan alisnya.
"Habis?" tanyanya. "Mungkinkah itu disebabkan aku tidak kuat
minum?" Kie Tong tertawa terbahak bahak. "Makin jauh kau menerkanya,
anak" Tiba tiba orang tua ini berhenti tertawan, ia tidak tersenyum
pula. Sebaliknya ia memperlihatkan roman sungguh sungguh^
"Anak. tahukah kau maksudnya seseorang belajar ilmu silat ?"
tanyanya. Anak muda itu melengak.
"Maksudnya itu berbeda-beda," ia menyahut. "Tentang aku..." Ia
menghela nafas. "Aku hanya untuk menuntut balas ayah bundaku
serta saudara-saudariku, ya, untuk semua anggota keluarga Pek Ho
Bun Terang, itulah pembalasan untuk urusan pribadi, bukan untuk
umum." Kie Tong menggoyang kepala, dia tertawa.
"Memang urusannya ialah urusan pribadi. Tapi ini termasuk soal
si anak yang berbakti, dan soal anak berbakti termasuk juga dalam
lingkungan kesetiaan dan kegagalan-Karena itu, mana mungkin aku
tidak menerima kau sebagai murid ?" Siauw Pek heran"Aku bingung," katanya terus terang.
"Memang sukar buatmu untuk mengerti segera," kata orang tua
itu, tertawa. Ia mengelus pula janggutnya. "Baiklah aku jelaskan
dahulu kepada kau. Dahulu namaku terkenal karena ilmu pedangku
yang disebut "ong Too Kiu Kiam". Telah banyak aku menggempur
jago jago dari Hek Too dan Pek Too Kalangan Hitam dan Kalangan
Putih. Sampai sebegitu jauh, belum pernah aku menemui lawan
yang setimpal, belum pernah aku kalah."
siauw Pek mengerti. "Ong Too Kiu Kiam", "Sembilan jurus
Pedang Keadilan-, sama dengan "Kuan Kun It Kiam" "Pedang
Tunggal Dunia". Katanya dalam hati: "Kuan Bun It Kiam tersohor
dan dikagumi, jikalau dia sampai kena terkalahkan, itulah kecewa
sekali." Kie Tong membiarkannya terdiam, ia hanya menambahkan :
"Walaupun aku tidak pernah dikalahkan, seumurku, belum pernah
dengan pedangku aku melukai jiwa orang. inilah sebabnya kenapa
aku peroleh julukan ong Too Kiu Kiam itu."
Hati siauw Pek tertarik. Segera ia memberikan janjinya: "Jikalau
loopee sudi memberi pelajaran kepadaku, setelah pelajaranku
sempurna nanti, kecuali membinasakan si biang keladi, tak akan aku
membuat cemar namanya ong Too Kiu Kiam " Kie Tong menenggak
araknya. "Kata-katamu ini tidak salah." katanya. "Sekarang aku ingin
menanyaimu, andaikata kau belajar dari aku, lalu kau tidak berhasil
mencari dan membinasakan musuh besarmu si biang keladi itu,
tidakkah sia-sia belaka kau belajar silat sepuluh tahun ?"
Siauw Pek mengangkat kepalanya. Ia sungguh tidak mengerti,
kata-kata orang tua ini tak tentu ujung pangkalnya.
"Muridmu tolol sekali loopee..." katanya. Tapi si orang tua
memutus : "Kau murid siapakah ?" tegurnya, romannya gusar. Tapi hanya
sedetik, terus dia tertawa. Diapun menambahkan : "Anak. walaupun
aku tidak terima kau sebagai murid, dapat aku memberi petunjuk
padamu, suatu jalan terang. Inilah soal sukar, yang bergantung
hanya kepada untung bagusmu sendiri "
"Biar bagaimana, loopee, aku sangat bersyukur kepada loopee,"
kata Siauw Pek. Ia bingung tetapi tidak lupa untuk tetap berlaku
hormat. Kie Tong menenggak pula cawannya.
"Tak usah kau bersyukur kepadaku," katanya. "Bukankah kau
masih ingat bahwa aku pernah memberitahukan kau bahwa didalam
lembah ini masih ada seseorang yang lain" Apakah kau tahu nama
orang itu ?" Siauw Pek menggoyang kepala.
"Loopee belum pernah menyebutnya, bagaimana aku tahu ?"
katanya tersenyum.
"Dialah seorang she Kiang dan namanya Go" orang tua itu


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberitahukan. "Dialah yang dijuluki "Huan Oh It Too" si Golok
Tunggal Dunia"
seorang diri, Siauw Pek menggumam : "Kian Kun It Kiam Huan
oh It Too... Kalau mendengar julukan itu, loopee, dia agaknya sama
terkenalnya sebagai loopee sendiri."
"Begitulah sedianya. Dahulu orang menyebut kami berdua Lam
Pek Djie Seng, Dua Nabi Selatan dan Utara. Kami merasa malu
sendiri, kami tidak berani terima julukan itu. Nabi " Itulah hebat "
Siauw Pek menjadi tertarik hati. Akhirnya ia masgul sendirinya.
"Ayahku menggunakan golok." katanya kemudian, "tetapi jago
tua itu mendapat nama ahli golok di dunia, pastilah ilmu goloknya
tak ada lawan."
"Memang benar ahli. Aku dipuji sebagai ahli pedang, itulah dusta
belaka, tetapi dia, dialah ahli golok asli " Benar benar Siauw Pek
kebingungan- "Aku tak mengerti," katanya. Kie Tong tertawa.
"Jikalau kau mengerti, tak ada gunanya aku ngomel lagi,"
katanya. Terus ia berpikir :"sekarang masih siang, minumlah lagi,
kalau nanti kau mabuk, akan kubangunkan "
Siauw Pek menurut, diteguknya araknya. Kie Tong puas melihat
tingkah bocah itu. Dia tertawa.
"Sia-sia belaka aku disebut sebagai jago pedang," katanya,
"sedang ilmu pedangku cuma sembilan jurus saja, si siluman she
Kiang itu disebut jago golok tunggal, itu memang benar. Ilmu
goloknya hanya satu jurus "
Didalam hatinya, Siauw Pek tertawa. Kembali orang tua ini
bagaikan mengigau, bicaranya tidak karuan- Pikirnya pula : "Dia
menyebut sebatang pedang, sebatang golok, apakah artinya itu ?"
Berpikir begitu, bocah ini tertawa.
"Ilmu golok jago tua itu cuma sejurus, tentunya jurus itu dapat
dirubah-rubah?" katanya.
"Dapat dirubah rubah ?" menegaskan Kie Tong heran- "Kau
maksudkan berapakah lawannya?"
"Umpamanya musuh hanya seorang. Bagaimana kalau musuh itu
hebat luar biasa?"
"Buat kawanku itu, semua sama saja, dia cukup dengan
satujurusnya itu. Inilah sebab : Kalau goloknya tidak dihunus, tidak
digunakan, tidak menjadi soal, tapi satu kali dia menghunus dan
menggunakannya, maka tentulah lawannya terluka. siapa terluka,
dia mesti terbinasa. Itulah sebabnya dia disebut juga "Pa Too It
Too", Golok Kekerasan- atau Toan Beng Tjie Too, "Golok
memutuskan nyawa". Pasti itulah sebuah nama buruk. Akan tetapi
walaupun Siang Go tak dapat diajak bicara, dia sebenarnya bukan
seorang yang buruk."
siauw Pek heran hingga dia menggumam pula. Gau Too Siu
Kiam... Pa Too It Too... ong Too Tjee Kiam... Toan Beng Too..."
Tiba tiba ia ingat sesuatu, lantas ia bertanya :
"Andaikata ong Too Tjie Kiam bertemu dengan Toan Beng Tjie
Too, bagaimanakah kesudahannya ?"
Kie Tong melengak. Ia heran atas pertanyaan yang tidak
disangka-sangka itu. Sebentar kemudian iapun tertawa lebar.
"Aku tidak berani mencoba pedangku terhadap golok itu," ia
mengakui terus terang, "dan Siang Go juga tidak berani memakai
goloknya buat menguji pedangku. Dia tidak berani mempermainkan
nama besarnya itu, kami berdua tidak bermusuhan satu sama lain,
diantara kami siapapun tidak berani mencari kesulitan sendiri.
Begitulah maka kami, yang satu pergi ke Selatan, yang lain ke
Utara. Satu sama lain, kami saling menjauhkan diri." Siauw Pek
mengerti sekarang.
"Pantas mereka berdua tidak saling mengunjungi," pikirnya. Kie
Tong meneguk araknya.
"Anak." katanya, "sekarang tentulah kau mengerti maksudku,
bukan ?" "Bukankah loopee maksudkan supaya aku pergi cari Siang
Loopee untuk minta diajarkan ilmu golok ?"
Kie Tong mengangguk.
"Sekalipun dunia memusuhkan kau," katanya, " asal kau
mempelajari kepandaianku asal kau sedikit cerdas saja, kau pasti
akan dapat melindungi jiwamu. Sebaliknya, jikalau kau memikir
menuntut balas sakit hatimu, supaya bisa kau membunuh sipenjahat
biang keladi, tak dapat tidak. kau mesti dapatkan ilmu golok si
orang she Siang itu " Siauw Pek diam, otaknya bekerja.
" Keras niatku membalas sakit hati, ingin aku belajar silat golok
pada Siang Loopee itu." katanya, "akan tetapi aku telah bertemu
lebih dahulu dengan loopee, maka aku..." Dengan cepat Kie Tong
menggoyang-goyangkan tangannya.
"Tidak. tidak " katanya. "Apakah kau sangka orang she siang itu
dapat diajak bicara seperti aku" Jangankan kau telah pelajari ilmu
pedangku, sekalipun belum, belum pasti dia suka menerima kau."
Dia berhenti sejenak "Lagipula..."
Siauw Pek tidak mengerti, kenapa orang beragu ragu " "Apa,
loopee?" ia bertanya.
Kie Tong mengawasi, dia berkata dengan sungguh-sungguh :
"Kau baru mengalami kesusahanmu ini, niatmu menuntut balas
sangat keras, hatimu sedang marah, andaikata aku mengajari kau
silat pedang, belum tentu kau dapat memahaminya sampai
sempurna. Tegasnya, kau tidak bakal mendapati kemurniannya."
Siauw Pek cerdas, dia percaya kata-kata si jago tua ini. Katanya
didalam hati : "Loopee ini baik sekali terhadapku, dia pasti benarbenar
mau mengabari aku ilmu pedang. Justru aku ingin lekas-lekas
membalas sakit hati, baiklah aku belajar dulu pada Siang Loopee,
sesudah itu, baru aku minta pelajaran dari dia ini..." Karena ini,
selain girang, Siauw Pek pun bersyukur pada si jago tua.
"Baiklah, loopee," katanya. "Menurut petunjukmu, aku akan
minta belajar dari Siang Loopee. Dimanakah tempat tinggalnya dan
bagaimana caranya supaya aku dapat memintanya mengajari aku ?"
Kie Tong tertawa.
"Siluman tua she Siang itu tinggal didalam lembah," ia memberi
tahu. "Tempat itu tidak mengenal sinar matahari, sebaliknya, segala
binatang berbisa berada disekitarnya, sungguh berbahaya.
Sebenarnya aku kuatir kau tidak dapat tiba disana..."
-ooo00dw00ooo- JILID 4 Siauw pek mengangkat kepalanya.
"Jangan kuatir, loopee. pasti dapat aku tiba di sana" katanya
sungguh sungguh. "Aku mengikuti ayah bundaku sejak umur tujuh
tahun, selama delapan tahun aku hidup dalam perantauan yang
penuh bahaya, maka baru segala binatang berbisa, berubah "
Menyebut penderitaannya delapan tahun itu, Siauw Pek merasa
hatinya nyeri. Wajahnya tampak berubah.
Kie Tong melihat perubahan air muka anak itu, dapat menerka
sebab musababnya. diam diam ia terharu. Ia tepuk bahu anak itu
dan berkata : "Anak aku bisa memahamimu. Janganlah kau terlalu
berduka, jangan sembarangan menuruti suara hatimu. Ingatlah apa
yang kau ucapkan tadi."
siauw Pek tercengang, tapi segera dia sadar, maka lekas lekas
dia berkata : "Aku ingat baik baik, lopee. Nanti, jiwaku aku
menuntut balas. aku tidak akan bunuh seorang jua kecuali musuh
besarku " Kie Tong berlega hati mendengar janji itu, ia tertawa nyaring dan
lama. "Anak yang baik, mari kau makan, setelah itu, pergilah mencari
orang she Siang itu," katanya.
Siauw Pek menurut, ia lalu bersantap.
Setelah selesai makan, Kie Tong mengajaknya keluar dari
gubuknya. " Lihatlah, dua bukit yang berdiri berendeng itu" katanya sambil
menunjuk kearah utara. Di situ ada sebuah lembah yang sempit,
disitu ada banyak ular berbisa atau serangga lain lainnya siapa kena
dipagut atau diantuk. dia pasti akan mati seketika. Ancaman lainnya
ialah dari hawa yang beracun. Nah jalanlah disana, tetapi hati-hati "
Siauw Pek mengangguk. ia sangat berterima kasih, dengan
menekuk kedua kakinya, ia berlutut kepada orang tua itu.
"Terima kasih loopee," katanya, setelah itu iapun bangkit dan lari
kearah sepasang bukit itu.
Lembah Bu Yu Kok luas sekali, ketika si anak muda sampai
dimuka lembah diutara itu, matahari telah menyinari seluruhnya. Ia
memandang langsung kelembah yang ditunjukkan orang tua itu,
benarlah suatu lembah yang sempit sekali, didalamnya gelap
dengan pepohonan lebat, sudah banyak pohon rotannya,
rumputnyapun rumbuh subur dan tak teratur. Hingga disitu tak
terlihat suatu jalan"Benar sekali kata Kie loopee, lembah ini sangat menakutkan,"
kata sianak muda didalam hati. Tapi ia tidak takut atau jeri,
kesengsaraan selama delapan tahun membuatnya jadi
berkeberanian besar, bahkan dengan semangat penuh dia lalu
bertindak kearah lembah itu.
Kie Tong tadi mengatakan, dilembah sempit itu ada ular berbisa.
Inilah yang segera dibuktikan oleh Siauw Pek. Ia menghunus kim
kiam buat membuka jalan- Ular itu kaget dan kabur.
Dengan berhati-hati, bocah ini berjalan terus .Jalanan sukar atau
tidak. ia tak memperdulikannya. Dengan perlahan ia mulai masuk
kedalam. Tanpa merasa hatinya gentar. makin dalam, lembah makin
menakutkan- Sebab di sebelah dalam itu lembah menjadi gelap
sekali. Disitu tak nampak sinar matahari. Bahkan ada gangguan
lainnya, yaitu dari banyak macam serangga yang beterbangan
hingga tak henti-hentinya, binatang itu musti disampok pergi pulang
untuk mengusir atau menghalaunya.
Dipermulaan jalan kering, selewatnya beberapa puluh tombak.
tanah mulai basah dan berlumpur. Disitu juga terdapat ugatugatnya
pelbagai macam binatang beracun, ada diantaranya yang
tidak dikenalnya.
Dengan tangan kanan memegang pedangnya dan tangan kiri
mengebut- ngebut, putera Tjoh Kam Pek ini berjalan terus. Ia
memasang mata tajam-tajam. Ia berlaku teliti, tak mau ia
terjerumus kedalam lumpur yang dalam itu. Ada kalang ia berlompat
dari satu pohon kepohon yang lainBerjalan lebih jauh, Siauw Pek telah bermandikan peluh. Satu kali
ia kaget sekali. Tahu tahu kakinya telah melebas kedengkulnya.
Sukur didepannya terdapat secabang pohon merakar. Ia mengulur
sebelah tangannya memegang cabang pohon itu, dan ia kaget
karena tangannya terasa nyeri, untuk kedua kakinya sudah
terangkat naik. Maka ia menikam kearah pohon itu, buat
menancapkan pedangnya, guna mempertahankan diri.
"Ser" ia mendengar satu suara, yang berulang hingga dua kali.
Ketika ia menoleh, dilihatnya dua bayangan berkelebat. Ia kaget,
peluh dinginnya keluar. Sebab itulah dua ekor ular, yang jatuh dari
atas pohon, jatuh dibelakangnya sejauh satu kaki.
Setelah mengawasi, Siauw Pek melihat kedua ular itu tidak
berkutik pula. Maka diapun bergerak untuk menolong dirinya
melepaskan diri dari dalam lumpur. Ia mencekam batang pohon
didepannya. Tapi mendadak ia merasai pinggangnya tercekal keras.
Sebab tahu-tahu pinggangnya telah terkempit, terus orang
membawanya melesat kesebelah kanan
Tak kepalang terkejutnya anak muda ini. Setelah sadar, ia
melihat kepada orang yang mengempitnya. Samar-samar ia melihat
Kie Tong. "Loopee..." katanya tertahan-Si orang tua menaruh
kakinya. "Lihat itu hawa putih dibawah pohon katu itu," katanya sambil
menunjuk. " Itulah hawa yang paling jahat. Seharusnya orang
menyingkir dari situ, kau sebaliknya hendak menghampirinya. "
Siauw Pek malu kepada diri sendiri, mukanya menjadi merah.
"Hawa putih apa, loopee?" tanyanya. "Aku tidak melihatnya."
"oh, aku lupa " seru slorang tua. "Tempat terlalu gelap. matamu
tidak dapat melihatnya."
"Loopee, bagaimana kau dapat datang kemari?" tanya siauw Pek
heran. Ia tidak tahu bahwa orang telah menguntitnya. Kie Tong
tertawa. "Mana hatiku lega membiarkan kau berjalan seorang diri ?"
katanya. "Bagaimana dengan jeriji tanganmu ?"
siauw Pek terperanjat, baru ia teringat jeriji tangannya yang nyeri
tadi, iapun merasa matanya panas, air matanya meleleh dengan
mendadak. Ia mengangkat tangan kirinya, mengacungkan jerijinya.
Ternyata empat kukunya sudah terbalik dan rasanya nyeri bukan
main- "Sedikitpun tak nyeri," ia menjawab, tertawa. Kie Tong menghela
napas. "Tahan nyerinya," ia berkata. Lalu ia menggerakkan kakinya,
untuk menyingkir dari tempat itu. sedang tubuh si anak muda tetap
dikempitnya. Lembah sempit dan berbahaya tetapi bagi jago tua ini semua itu
tidak ada artinya, dia dapat melaluinya dengan bebas. Beberapa
saat kemudian, dia menghentikan larinya, lalu melepaskan tubuh si
anak muda "Disebelah depan itu, bahaya sudah tidak ada lagi," ia bisiki si
bocah itu. "Jikalau sebentar kau dengan siluman she siang itu, tidak
ada halangan jikalau kau bicara jelek dari hal diriku. Andaikata kau
ditanya, bagaimana caranya kau datang ketempatnya itu, katakan
bahwa kau datang sendiri, sekali-kali jangan menyebut-nyebut aku
yang menunjukkan atau menolongmu "
Habis memesan begitu, tanpa menanti jawaban, Kie Tong segera
berlari pergi. siauw Pek heran beserta kagum. Iapun lalu merasa kesepian, tapi
hanya sejenak. ia telah bisa menenangkan dirinya. Lekas lekas ia
menyusut bersih air matanya. Dengan bersemangat ia bertindak ke
depan. Ia masih menghunus pedangnya.
Benar kata si orang tua, berjalan lebih jauh Siauw Pek tidak
menemui sesuatu rintangan lagi. Ia berjalan ditanah datar dimana
tidak ada embal atau lumpur lagi. Pepohonan juga mulai menjarang,
hingga mudah untuk mencari jalan.
Kedua tebing bukit tinggi sekali, hingga sinar matahari teraling
karenanya, pantas, walaupun siang hari, lembah gelap bagaikan
malam. Sekarang Siauw Pek menyimpan pedangnya, terutama untuk
mengunjukkan hormatnya.
Berjalan lagi beberapa lama, Siauw Pek kemudian melihat sebuah
gua ditembokan bukit sebelah kiri, hanya gua itu berada tinggi kira2
sepuluh tombak. Ia menduga itulah guanya Siang Go tempat
tujuannya, maka tanpa bersangsi, ia berlompat naik. Dengan
beberapa kali loncatan tiba sudah ia di mulut gua.
Dari mukanya, gua itu tampak gelap sekali, hingga tak ketahuan
berapa dalamnya. Tentu, karenanya susah dipastikan bahwa Hoan
Uh It Too pun berada didalamnya.
siauw Pek ingat kata-kata Kie Tong : "Dia bertabiat aneh, tak
mudah bicara dengannya. karena itu, baiklah aku berlaku hormat,
seandainya ia tidak menyukai aku, ia pasti tak akan gusar..."
Habis berpikir begitu, Siauw Pek menghadap pintu gua untuk
memberi hormat ia berkata
"Lootjianpwee, Tjoh Siauw Pek yang muda murid Pek Ho Bun
datang berkunjung memohon menghadap kepada Lootjianpwee" Ia


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus menekuk lutut.
Habis berkata, anak muda ini berdiam. Ia menanti jawaban.
Sekian lama ia menunggu, tidak juga ia mendapat sambutan- Disaat
ia hendak membuka mulut buat kedua kalinya, tiba-tiba ia
mendengar satu suara yang perlahan : "Eh Kie Tong, kau main
hantu hantuan apa" Kau telah datang, kenapa kau tidak terus
masuk kemari" mungkinkah kau menghendaki Siang Go keluar
menyambutmu?"
Suara itu tegas. siauw Pek melengak sejenak lalu ia berkata
nyaring : "Lootjianpwee Kie Lootjianpwee tidak ada disini"
Suara dari dalam itu terdengar pula: "Jikalau tua bangka itu
sudah pergi, nah, kau masuklah"
"Terima kasih, lootjianpwee," kata Siauw Pek yang terus bangkit,
bertindak masuk kedalam gua. Sesudah jalan beberapa tombak. ia
menjadi heran sekali. Gua gelap hingga ia tak dapat melihat lima jari
tangannya. Katanya didalam hati: "Benar aneh lootjianpwee ini
Lembah Bu Yu Kok demikian luas, apa disana tak dapat dua orang
tinggal bersama" Kenapa dia mencil sendirian didalam gua ini?"
"Belok kekanan" tiba-tiba terdengar suara dari dalam.
Siauw Pek segera menghentikan tindakannya. Ia tahu, suara itu
ialah petunjuk untuknya. Ia segera meraba kedepan, hingga ia
memegang tembok yang dingin seperti es, yang licin sekali. Lekaslekas
ia membelok ke kanan"Berhenti" demikian suara tadi terdengar pula setelah sianak
muda jalan lagi beberapa tombak.
Sekarang Siauw Pek mendengar tegas dari arah mana datangnya
suara itu. Ia menghentikan tindakannya. Ia segera berkata: "
Lootjianpwee, aku yang muda, Tjoh Siauw Pek, memujikan
kesehatan lootjianpwee"
" Kenapa, eh?" tanya suara dari dalam itu. Dia agaknya tak
mengerti. Siauw Pek tercengang. Pertanyaan itu luar biasa. Bagaimana
harus menjawabnya"
Nada suara itu tidak keras, tidak luar biasa, akan tetapi menurut
rasa orang yang menerimanya, itulah pertanda penolakanSebelum sianak muda tahu bagaimana harus menjawab, suara
didalam itu terdengar pula: " Kenapa kau bisa menyeberangi Seng
Su Kio Bagaimanakah caranya?"
"Aku yang rendah tak tahu caranya," sahut Siauw Pek. "Aku jalan
sejalannya saja..."
"oh, apakah sang gunung telah berganti rupa?" kata orang itu,
nadanya heran- "Mana mungkin kejadian serupa ini?" Dia berhenti
sebentar lantas ia menanya pula, "Apakah kau jalan seorang diri
memasuki lembah sempit ini?"
Siauw Pek melongo sejenak. Untuk sejenak itu, pikirnya bergulat
sendirinya. Akhirnya, tak berani ia mendusta.
"Sebenarnya aku yang muda diantarkan oleh Kie lootjianpwee,"
sahutnya. "Aku yang muda" ialah "boanpwee." suatu sebutan
merendah. "oh begitu?" kata suara itu. "Kenapa dia begitu baik hati
terhadapmu" Ada urusan apa dia mengantarkan kau datang
kemari?" "Biar bagaimana, baiklah aku bicara terus terang," pikir Siauw
Pek. Maka ia memberi hormat selagi ia menjawab: "Boanpwee
adalah seorang yang sangat tidak beruntung, serumah tanggaku
telah mati terbinasakan, hingga tinggal boanpwee sebatang kara.
Kemarin boanpwee lancang memasuki wilayah Seng Su Kio ini
secara kebetulan boanpwee bertemu dengan Kie lootjianpwee.
orang tua itu baik sekali, dia telah menunjukkan aku datang kemari
untuk boanpwee mengunjuk hormat kepada lootjianpwee." orang
didalam itu tertawa dingin.
"Sungguh baik tua bangka she Kie itu" demikian katanya.
"Sekarang majulah tiga tindak, supaya aku dapat memandang
wajahmu" Siauw Pek menyahut "ya", terus kakinya diangkat. Baru ia
melangkahkan tindakannya yang ketiga, mendadak ia merasa kaki
itu ada yang melibat. Ia kaget sekali. Ia ingat akan lilitan ular.
Hampir ia menghunus pedangnya, tapi lekas membatalkannya. Ia
ingat: "Dengan menghunus pedang, aku berlaku tidak hormat
terhadap tuan rumahku ini."
Justru itu ia mendengar pula suara yang dingin: "Apakah tua
bangka she Kie itu menyuruh kau datang kemari untuk kau belajar
ilmu golok dariku?"
"Dengan sebenarnya boanpwee berniat begitu," sahut Siauw Pek.
"Boangpwee mohon belas kasihan lootjianpwee..."
"Kau memiliki tulang-tulang yang baik," berkata Siang Go. "Tak
heran tua bangka she Kie itu tertarik hatinya olehmu" Dia berhenti
sedetik. Ketika dia berkata pula, suaranya berubah menjadi sabar
dan ramah, katanya: "Aku telah cacat jangan kata buat
menyeberangi Seng Su Kio buat meninggalkan gua ini saja aku tidak
sanggup,.." Mendengar itu, sendirinya muncul kesan baik dari Siauw
Pek yang hatinya mulus. "Bagaimana jikalau boanpwee
menggendong lootjianpwee?" katanya. Mendadak slorang tua
tertawa tawar- "Seumurku, tak pernah aku menerima budi orang" demikian
suaranya yang kaku. "Kau berusia muda, keberanianmu nyatanya
besar sekali cara bagaimana kau berani bicara begini rupa terhadap
aku slorang tua?" Siauw Pek heran, hatinya bercekan
"Aku toh bermaksud baik" Kau tak sudi menerima, ya, sudah
saja..." pikirnya.
Kembali terdengar suaranya Siang Go. "Oh, bocah yang baik
Apakah kau mencaci aku di dalam hatimu?"
Siauw Pek kaget sekali. Tak disangkanya orang dapat menerka
hatinya. "Dengan sebenarnya boanpwee bermaksud baik, lootjianpwee,"
katanya. "Jikalau lootjianpwee tidak suka menerima tawaranku ini,
ya, apa boleh buat..." Mendadak Siang Go tertawa terbahak.
"oh, anak yang berhati keras" katanya.Jikalau kau dapat mencaci
aku pula didalam hatimu itulah terlebih baik lagi" Siauw Pek heranOrang ini benar-benar aneh.
"Lootjianpwee, maafkan ketololan boanpwee" katanya. "Benar
benar aku tidak mengerti apa yang lootjianpwee katakan."
Selagi ia berkata begitu, hati anak muda ini lega. Tanpa terasa,
libatan pada kakinya terlepas sendiri.
" Ketika si tua bangka she Kie menyuruh kau datang kemari,
apakah dia tidak mengatakan bahwa aku mempunyai hanya sebuah
golok, satu jurus?" Siang Go tanya kemudian
"Meskipun cuma satu, lootjianpwee, tetapi perubahannya banyak
sekali." sahut si bocah. "Didalam dunia ini tidak ada lawannya lagi."
orang tua itu tertawa dingin.
"Usia mu masih begini muda tetapi kau berani mengangkat tinggi
tinggi topiku" katanya. "Hm Kau harus ketahui, aku beda daripada si
tua bangka she Kie itu Aku tak kena diangkat angkat..."
Di mulut Siang Go mengatakan demikian, hatinya sebenarnya
puas sekali, ia batuk batuk dua kali, lalu ia berkata pula: " Di dalam
dunia, ilmu silat ada banyak rupanya, ada juga yang lihay luar biasa,
akan tetapi, tidak ada yang hanya dengan satu jurus dapat
membuat orang tunduk Tua bangka she Kie itu lihay, aku tak dapat
menyamai dia. Lihat saja, dia dapat menciptakan ilmu pedang
sembilan jurus. sedangkan aku, aku cuma satu jurus golok."
"Tapi Kie lootjianpwee telah memberitahukan aku, lootjianpwee,"
kata Siauw Pek " walaupun ilmu golok lootjianpwee hanya satu
jurus, ilmu itu sudah menjagoi dikolong langit ini, tak ada orang
yang dapat melawannya, maka dia tidak perlu ada jurusnya yang
kedua." "ong Kiam Pa Too. Masing masing ada keistimewaannya sendiri "
kata Siang Go. Dia menyebut "ong Kiam" "Raja Pedang" dan "Pa
Too" Jago Golok". "Meskipun di antara kami ada yang memikir buat
saling menguji, tetapi toh tidak ada yang berani melaksanakan
pikirannya itu, tak ada yang berani menempuh bahaya. Karena itu
kami sama sama berdiri tegak di dalam dunia Sungai Telaga, sama
sama memperoleh nama dalam kalangan Rimba Persilatan- Kami
tidak tahu, kami musuh satu dengan lain atau saling bersahabat.
Terlihatnya saja kami saling bermusuhan, buktinya kamilah sahabat
sahabat selama beberapa puluh tahun. Aku tidak mau dia
melakukan sesuatu yang dapat mengangkat namanya lebih jauh, dia
juga demikian terhadapku. Kami berdua bersama sama berdiri
tegak. tetapi juga, kami berdua saling menjauhkan diri. Di ujung
pedangnya si tua bangka she Kie tidak ada kematian, di ujung
golokku tidak ada kehidupan"
"Sesungguhnya, lootjianpwee, Kie lootjianpwee sangat
menghormati lootjianpwee," kata Siauw Pek.
"Tak sudi aku kena didustai orang she Kie itu" kata Siang Go,
dingin. "Mengenai ilmu pedang, tak suka aku membiarkannya
mendapat nama terus menerus didalam dunia ini, sedangkan
mengenai ilmu golokku, aku ingin membawanya ke liang kubur."
Kembali Siauw Pek menginsafi benarnya kata kata Kie Tong
bahwa Siang Go aneh sekali. Karena ini ia tidak berani sembarangan
bicara. Selagi jago tua itu berkata demikian, ia berdiam saja.
"Adalah Siang Go, yang menambahkan kata katanya sendiri itu.
Jikalau ada orang yang kedua yang dapat menyeberangi Seng Su
Kio, yang memasuki lembah Bu Yu Kok ini, tak perduli dia pria atau
wanita, tua atau muda, pasti aku terima dia sebagai murid, untuk
aku mewariskan ilmu golokku kepadanya, supaya Pa Too dan ong
Kiam tetap bersama sama terkenalnya, maka sayang sekali,
sekarang ini cuma kau seorang yang dapat sampai di sini..."
Siauw Pek mendengarkan, ia terus membungkam. Ia masih tidak
tahu bagaimana harus menjawab si orang tua yang aneh itu. Dia
mudah gembira dan murka
Siang Go menghela nafas panjang. Lagi lagi dia mengoceh
seorang diri. "Rupa rupanya satu jurus ilmu golokku itu harus
diwariskan kepadamu..."
Dasar ia cerdas sekali Siauw Pek tersadar dengan tiba tiba.
Segera ia menjatuhkan diri, menekuk lutut didepan orang tua itu,
guna memberi hormat. "Terima kasih, lootjianpwee" katanya sambil
terus mendekam.
Mendadak terdengar pula suara dingin dari orang tua itu. "Ilmu
golokku ini cuma satu jurus akan tetapi di dalamnya tercakup
pikiran, kegesitan tubuh dan tangan dan suasana sewaktu waktu.
Ilmu golokku ini beda sekali dengan ilmu pedang si tua bangka she
Kie Dan kau, walaupun tulang tulangmu bagus, serta berbakat
sempurna untuk belajar silat, tetapi di dalam pikiran dan tabiat, kau
bukanlah calon muridku " Siauw Pek kaget sekali. Kembali si tua
bersikap aneh. "Sungguh lihay orang tua itu," pikirnya. "Gua begini gelap gulita,
aku hanya bisa melihat tak lebih dari tiga kaki. tetapi aneh, dia
justru dapat melihat tulang dan wajahku Sungguh hebat tenaga
dalamnya " Di dalam hati ia berpikir demikian, di mulut dia lekas
berkata : " Lootjianpwee, tolonglah mengasihani boanpwee. Hatiku
ini menanggung sakit hati yang sangat dalam..."
"Apa?" memotong Siang Go, suaranya bernada gembira. "Hatimu
penuh dengan dendam kesumat dan penawaran yang sangat
hebat?" Siauw Pek melongo. Kembali ia heran"Walaupun demikian," ia lekas berkata, "tak nanti aku sembarang
menggunakan ilmu golok lootjianpwee..."
"cukup, tak usah kau bicara lebih jauh," jago tua itu memotong.
"Kau bertulang baik, bakatmu bagus, kaulah orang yang cocok buat
menjadi murid si tua bangka she Kie, maka seharusnya dialah yang
menerima kau sebagai muridnya. Kalau bagiku, kau kekurangan
syaratnya, kau kelebihan budi pekerti halus, maka jikalau kau
belajar ilmu golokku, sukar bagimu mencapai kesempurnaan "
Siauw Pek heran.
"oh, kalau begitu, buat mempelajari ilmu goloknya, orang mesti
berhati kejam..." pikirnya.
Siang GO meneruskan kata katanya. "Ilmu pedang memerlukan
ketenangan untuk mengekang kegesitan, dia meminjam tenaga
lawan guna menolak serangan lawan- Dia garang tetapi dia tidak
bengis halus tetapi dia tidak lemah, sekalipun kalau dia kena
dikurung dengan tenang dia dapat melayani musuh musuhnya. Tak
demikian dengan golokku Golokku telengas tak ada bandingannya,
sekali golokku digerakkan untuk menyerang, pasti lawan terluka
binasa. Ilmuku memerlukan gerakan sejenak, bergeraknya bagaikan
gelombang dahsyat yang tak dapat dirintangi, maka itu, jikalau
orang berbudi pekerti luhur yang hatinya lunak halus sukar baginya
mendapati kesempurnaan ilmuku, sulit biarpun dia berbakat baik
sekali." "Tapi aku sangat membenci musuh-musuhku loocianpwee," kata
Siauw Pek, "mungkin aku tak akan menyia-nyiakan pengharapan
locianpwe." Perlahan-lahan, Siang Go menarik napas.
"Aku telah salah omong menyatakan suka menerima kau sebagai
muridku," katanya, "aku tak akan menyesal, tidak nanti aku tarik
pulang kata-kataku itu. Hanya kau, kau kelak akan berhasil
mewariskan ilmuku dengan sempurna atau tidak- itu terserah
kepada untung bagusmu "
Kembali Siauw Pek berlutut dan menunduk. "Terima kasih,
looelanpwe," katanya.
"Ilmu golokku mengutamakan tenaga mata," kata Siang Go
kemudian, "maka mulai sekarang kau perlu melatih diri dalam ilmu
tenaga dalam, gua menguatkan semangatmu, menambah kekuatan
matamu." "Terima kasih loocianpwee," kata Siauw Pek yang girang luar
biasa. Sementara itu, ia merasai nyeri kembali pada empat jari
tangannya, yang luka kukunya. Tadi perhatiannya ditujukan pada
soalnya, rasa nyeri itu tidak terasa, tidak demikian sekarang. Bahkan
ia merasa sangat sakit. Tetapi ia berhati keras, dengan menguatkan
hati ia menahannya tanpa merintih.
"sekarang kau boleh mulai," berkata si guru yang terus
membacakan ilmu tenaga dalam itu, untuk diikuti simurid dan
menghafalkannya.
Siauw Pek mengikuti dengan seksama, setelah dia ingat
semuanya, gurunya terus membungkam. Dan tinggallah ia sendiri,
yang menghafal tiada berhentinya. Ia memusatkan perhatiannya,
hingga ia melupakan tangannya yang sakit itu.
Tak sulit bagi anak muda ini menghafal dengan lancar, berbareng
dengan itu, ia duduk tenang sambil meluruskan jalan napasnya.
Entah berapa lama telah lewat, selagi murid ini masih menghafal,
mendadak ia mendengar suara dingin gurunya : "Sambutlah ini, dan
makanlah Ini pelajaran pertama yang paling penting, paling
sedikitnya satu bulan, kau tak boleh meninggalkan gua ini"
Habis suara itu, siauw Pek mendengar suara angin yang dibawa
oleh sesuatu benda yang bergumpal hitam: Ia heran, tapi ia
mengangkat tangannya, untuk menyambuti. Hanya sayang, karena
gelap gulita, ia tidak bisa melihat benda itu, dan dadanya telah kena
terserang. Kembali ia kaget. Katanya dalam hati " Lagi-lagi aku mendapati
tabiat aneh dari orang tua ini."
Siang Go melemparkan barangnya dengan tepat, meski dada
sianak muda terserang, dia tidak sampai terluka. Siauw Pek
menjumput benda itu, dia merasa sesuatu yang lunak. Tanpa
bersangsi lagi, dimasukkannya benda kemulutnya dan terus


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditelannya^ Dia memang sudah lapar sekali.
Yang waktu berlalu terus, Siauw Pek masih juga berlatih terus.
Dia tak lagi ingat waktu. Hanya kemudian dia merasa matanya mulai
terang, sebab selanjutnya dia bisa melihat sejauh tiga kaki lebih,
sinar matahari tetap tak nampak.
Siang Go jarang sekali bicara dengan muridnya itu, dia hanya
memperdengarkan suaranya pada waktu memberi makan untuk
simurid, selanjutnya gua sunyi dan senyap.
Beberapa kali Siauw Pek mencoba melihat gurunya yang aneh
itu, tak pernah ia berhasil. Matanya masih kalah dengan gelap
gulita. Ia cuma bisa mendengar suara dan menerka gurunya berada
disebelah mana.
Pada suatu hari, sehabis berlatih, Siauw Pek merasa lapar sekali.
Tetapi tak berani ia memanggil gurunya untuk meminta makan.
Dengan sabar, ia menanti sampai gurunya menyapa. Tapi guru itu
tak juga bersuara. lama-lama, ia tak dapat menahan hati lagi. "
Loocianpwee" panggilnya. "Aku lapar sekali, apakah ada sesuatu
untuk aku makan ?"
Tidak ada jawaban, meskipun murid ini telah memperdengarkan
suaranya beberapa kali. Gua tetap sunyi, Siang Go seperti juga telah
pergi dari gua itu. Lewat pula beberapa saat. Rasa lapar
mengganggunya makin hebat.
"Loocianpwee" Siauw Pek memanggil pula, suaranya makin
keras. Tetap tidak ada jawaban, kecuali sambutan kumandang.
Bukan main berdukanya murid ini. Ia menjadi habis sabar. Maka
ia bangkit, berniat berjalan mengikuti tembokan gua. Ia menuju ke
sebelah dalam. Tapi baru dua tindak. kembali kakinya terasa terlibat
dan tertarik. demikian keras, hingga tubuhnya limbung, dan roboh
tak tertahankan lagi. Hebat juga robohnya itu, sampai beberapa
lama, baru ia berhasil merayap bangun, segera setelah itu, ia
menjadi heran pula. Ketika ia meraba kakinya guna memegang
benda yang melibat itu, kakinya sudah merdeka pula, benda itu
lenyap entah kemana.
"Semoga dia bukan ular berbisa..." katanya didalam hati.
Dari berdiri, kemudian ia duduk, tiba-tiba terdengar suara angin
menyambar dari belakangnya, dan sebelum tahu apa-apa, bahunya
sudah kena terhajar sesuatu yang membuatnya merasa nyeri. Ia
menjadi heran dan mendongkol. Maka ia keluarkan kimkiam,
pedangnya untuk bersiap siaga. Habis "serangan- gelap itu, gua
sunyi kembali. Selama diam berjaga-jaga itu, hati Siauw Pek menjadi tenang
pula. Kembali ia memikir buat bertindak maju, ia jalan berpegangan
di dinding gua. Baru tangannya menyentuh dinding, tiba-tiba
tangannya yang kanan terasa beku, dan pedang ditangannya itu
terlepas. Ada sesuatu yang menyerang tangan itu, rasanya lunak tetapi
cepat sekali gerakannya. Ia pun mendengar suara angin bertiup,
tetapi matanya tetap tidak melihat sesuatu. Ia menjadi heranTengah ia heran itu, tiba tiba kakinya dua-duanya terangkat bagitu
rupa hingga ia roboh dengan sendirinya
Gusar dan penasaran, Siauw Pek menyampok dengan sebelah
tangannya. Ia mengenakan sasarannya, tetapi itulah batu dinding
yang membuat tangannya itu nyeri sekali.Justru itu menyusullah
satu serangan kepada bahunya, yang membuat ia nyeri dan
kesakitan Masih ia penasaran, ia menyambar dengan tangan
kanannya. Tapi sia-sia saja.
Benda lunak yang menyerang itu bergerak-gerak mengikuti suara
angin bersiuran- Dan dia menyerang bahu, sebentar ia menyambar
kaki Saban kakinya disambar, tentu Siauw Pek roboh terkulai. Maka
gusarlah dia, hingga terus terusan dia menyampok pulang pergi
dengan kedua tangannya.
Sementara itu, lapar menyerang keras sekali. Siauw Pek menjadi
kehabisan tenaga, kepalanya pusing.
Baru setelah itu, lenyap benda lunak itu.
Selagi ia merasa heran, Siauw Pek mendengar suara dingin yang
ia kenal baik. "Nak, hatimu panas sekali, ya?"
"Ya, panas sekali" sahutnya. masih mendongkol. Ia menyahut
cepat, walaupun ia kenali suara gurunya. Baru setelah itu, ia sadar
akan kekeliruannya. Maka itu ia terus menutup rapat mulutnya.
"Ingat" berkata sang guru. " Golokku cuma satu jurusnya, tapi
sekalipun satu, gerakannya dapat menuruti sang hati, sebab hati
dan tubuh telah menjadi satu. Kalau kita sedang menyerang,
semakin kita bergusar itu semakin baik, bahkan paling baik jikalau
kau tengah membenci sangat kepada musuhmu Golokku ini, kalau
dia membunuh lawan, baru terlihat keangkerannya" Siauw Pek
melongo. "Jikalau begitu, apakah sekarang hatiku telah lunak?"
"Jikalau demikian adanya, kau takkan berhasil mempelajari ilmu
golok itu," kata siguru menghela napas. Siauw Pek penasaran.
"Toh cuma jurus" pikirnya. "Tak lebih tak kurang. JIkalau di
dalam waktu satu hari aku tidak berhasil mempelajarinya sampai
sempurna, apakah aku tidak bisa menanti sampai satu tahun" Aku
tidak percaya "
Kembali terdengar suara sang guru. Katanya "Andaikata kau
selesai mempelajarinya, tetapi kalau di waktu menggunakannya kau
tidak mengumpulkan hawa marah dan kebencianmu yang hebat
terhadap musuh, bukan saja sukar buat kau menunjukkan
pengaruhmu, menggunakan pedang saja kau bakal gagal"
Murid itu heran dia bersangsi. "Benarkah itu, loocianpwee?" ia
bertanya. Ditanya begitu, Siang Go gusar.
"Mungkinkah aku memperdayakanmu?" katanya mendongkol.
"oh, bocah tak tahu urusan"
Siauw Pek sadar, tidak berani ia melawan maka ia memberi
hormat. "Maaf, loocianpwee, aku tidak tahu urusan," ia akui.
"Aah" mengeluh orang tua itu. "Aku telah bersedia mengajari kau
ilmu golok. tapi sekarang tak dapat itu dilakukan- Hatimu begini
lemah, kau sabar sekali, mana bisa kau mempelajarinya" "
"Habis, sampai kapan aku harus menunggu, loocianpwee?"
"Kau lihat saja untung bagusmu nanti" sahut sang guru.
"Mungkin besok, mungkin delapan atau sepuluh hari lagi, atau
mungkin juga tiga atau lima bulan kemudian"
Siauw Pek berduka hingga ia lupa laparnya dengan meraba-raba,
ia kembali ketempatnya untuk duduk bercokol pula. Hening sesaat.
"Sambutlah ini barang makananmu" begitu terdengar suara angin
menyambar. Karena sudah satu bulan lebih di tempat gelap itu, Siauw Pek
telah berpengalaman, sekarang ia sudah terbiasa dengan suara
angin itu dan lemparan barang makanannya, maka ketika ia
mengulur tangnnya, dengan mudah ia menyambutinya. Ia sudah
lapar sekali, lahap ia memakannya makanan itu.
Dua bulan sudah Siauw Pek mengurung diri di dalam gua.
Selama itu tahulah ia bahwa gurunya selama ini memancing
kemarahannya tetapi ia tetap dengan kesabarannya, tak pernah ia
gusar sampai lupa segala galanya.
Ada suatu haru, kembali Siauw Pek kelaparan- Telah lebih
sepuluh jam ia tidak dapat makanan- Mau tak mau, ia bertahan Ia
ingat pesan KieTong, yang pernah memberitahukannya bahwa
Siang Go itu manusia sangat aneh, katanya di dalam hati: "Biar
bagaimana kau uji aku, aku akan menurut saja." Meski begitu, lewat
lagi satu jam, bukan kepalang laparnya.
Tiba tiba terdengar Siang Go menghela napas. "Kau telah lapar,
nak?" ia bertanya.
"Ya, sudah lama, loocianpwee," sahut si murid, sabar.
"oh, kau lapar sudah lama ?" kata guru itu. "Kenapa kau diam
saja?" "Boanpwee tidak berani mengganggu ketenangan loocianpwee,"
sahut simurid sabar.
Kembali Siang Go menarik napas.
"Sifatmu lemah begini, kau bukanlah muridku," katanya. "Aku
kuatir sulit bagiku untuk mewariskan ilmu golokku kepadamu."
Siauw Pek kaget sekali. Lekas lekas ia memberi hormat.
"Loocianpwee, harap sukalah mengingat kesukaran dan
ketulusan hatiku," ia memohon. "Biar aku tolol, akan aku coba
sekuat tenagaku, supaya aku tidak menyia-nyiakan pengharapan
loocianpwee. Maukah loocianpwee memberi sedikit kelonggaran
kepadaku?"
siang Go tidak menjawab. ia hanya bertanya : "Anak. di dalam
gua ini tak nampak sinar matahari atau bintang, tak ada siang dan
malam. tahukah kau sudah berapa lama berdiam disini?"
"Jikalau tidak salah, mungkin lebih kurang sudah dua bulan,"
sahut Siauw Pek.
"Benar, lebih kurang dua bulan" kata guru itu, "Selama dua bulan
ini, kau tahu, senantiasa aku mencari saat yang baik untuk
mengajari kau ilmu golok. tapi selalu gagal."
"Mungkin itu disebabkan ketololanku, loocianpwee. Walaupun
demikian, aku mohon belas kasihanmu..." demikian kata murid yang
tawakal itu. "Hari ini dan besok adalah saat saat kesempatan paling baik
bagimu," berkata sang guru, "tapi juga merupakan kesempatanmu
yang terakhir, maka itu kalau di dalam waktu dua hari itu kau tetap
tidak dapat belajar, jangan kau menyesal, mungkin itu ilmu golokku
akan terputus, dan hingga di dalam kalangan rimba persilatan cuma
ada satu ong Kiam, tidak ada Pa Too "
Siauw Pek terkejut. Ia bagaikan terhajar parah.
"Tinggal dua hari, lootjianpwee?" katanya, "waktu dua hari itu
sangatlah singkat, sekejap saja bakal berlalu, maka itu, andaikata
lootjianpwee berniat mewariskan ilmu itu kepadaku, aku kuatir
karena ketololanku, aku tidak akan mendapatkannya..." Siang Go
tertawa dingin.
"Terserah kepada untung bagusmu " katanya. "Hm Ilmu golok ini
aku yang ciptakan, aku juga yang mengubur membenamnya, kalau
itu sampai terjadi, aku tak akan terlalu menyesal."
Mendengar kata-kata itu, siauw Pek menjadi putus asa. Ia ingat
sakit hati keluarganya. Sakit hati itu bakal tak terbalaskan. Tanpa
terasa, airmatanya meleleh keluar, dan napasnya menjadi sesak
secara tiba-tiba. Karena ini, ia lupa kepada laparnya. Hening sekian
lama. Tiba-tiba, terdengar suara dingin tetapi nyaring dari siang Go :
"Anak kecil, dengar sekarang saat baik telah tiba, mari aku ajarkan
kau ilmu golokku Kau hafaikanlah rahasianya "
Siauw Pek melengat karena herannya.
"Sekarang. lootjianpwee ?" ia menegaskan- Tapi belum suaranya
berhenti, Siang Go sudah mulai memberikan pelajarannya. Guru itu
berkata dengan suara yang berirama. " Kemurkaan asalnya dari
hati, kebencian muncul dari nyali. Golok keluar, maka kagetlah
segala hantu, dan darah berhamburan membuat sembilan wilayah
merah..." Hati Siauw Pek bercekat. "Hebat" pikirnya.
siang Go melanjutkan pelajarannya: "Golok mustika keluar dari
sarungnya, sekali menikam maka putuslah sang nyawa. Inilah
pelajaran ilmu golok istimewa, yang teragung didalam dunia Rimba
Persilatan." Kembali Siauw Pek bercekat.
"Sungguh sombong," pikirnya pula. Segera ia dengar tertawanya
Siang Go, yang terus berkata nyaring, "Anak kecil, jalan kekiri tujuh
tindak. Kini, aku hendak mengajarkan kau Hoan Uh It Too"
Dalam herannya, siauw Pek tersadar. Segera ia bertindak kekiri.
Hanya sedikit, sinar golok telah berkelebat dihadapannya. Terdengar
pula suara dingin dari siang Go . "Anak, sambutlah golok "
siauw Pek berlaku sebat, dengan mengangsurkan tangan
kanannya, ia menyambut golok itu. Di saat itu, ia tidak berani
menoleh ke arah sang guru, walaupun ia tahu gurunya berada di
sampingnya. Kembali terdengar tawanya Siang Go, tawa yang membuat hati
orang gentar. Suara itu berkumandang dalam gua, di empat
penjuru, memekakkan telinga.
Menyusul tertawanya, kembali terdengar suaranya yang berirama
seperti tadi : "Didalam dunia ada banyak jago, tetapi cuma ada
satuJago Golok Anak. telah siapkah kau?"
"Aku telah siap. lootjianpwee " sahut si murid.
Siang Go berkata pula : " Golok ini hanya satu jurus, akan tetapi
jurus ini diciptakan setelah memperhatikan keistimewaan
keistimewaan dari perbagai macam ilmu golok di dalam dunia Rimba
Persilatan. Disaat kita menghunus menggunakannya, jikalau tidak
disertai dengan semangat jago untuk menelan dunia, pengaruh
golok ini tak berarti seberapa, golok sulit dipakainya Anak. cekam
golok dengan kedua tanganmu, bawa ke depan dadamu "
Siauw Pek menyahut, golok itu dibawa kedepan dadanya.
siang Go menyuruh pula : "Pentang lebar kedua matamu,
memandang tajam kepada musuh yang tangguh "
XX^ Siauw Pek membuka kedua matanya, melihat langsung ke
depannya. Gua yang sunyi itu kembali kepada kesunyiannya. Tetapi hanya
selama semakanan nasi, lalu terdengar pula suara Siang Go . "Anak.
kau dapat melihat apa?"
"Mataku tidak berguna, boanpwee tidak melihat apapun juga,"
sahut si murid yang merasa gua tetap gelap gulita.
"Hm "suara dinginnya Siang Go. "Aku dapat melihat, kenapa kau
tidak ?" " Lootjianpwee melihat apa ?" tanya murid itu.
Suara dingin guru itu mendengung. "Aku melihat ayahmu dengan
seluruh tubuhnya bermandikan darah tengah menangkis serangan
musuh musuhnya yang ganas "
Mendadak siauw Pek merasai darahnya bergolak. Sebab dia
diingatkan kepada ayahnya.
Tiba tiba ia merasa matanya berkelebat, dengan samar samar ia
seperti melihat ayah yang bermandikan darah berdiri di depannya.
Segera ia menyahut : "Ia lootjianpwee, boanpwee pun dapat
melihatnya ?" Siang Go tertawa nyaring.
"Sekarang lihat lagi biar teliti bUkankah di sana itu musuh
besarmu, yang telah membinasakan ayahmu, sedang mendatangi ?"
Benak kepalanya siauw Pek bagaikan terbangun. Ia ingat pada
Hui Siu ouw Bwee, Kim Tjong Toodjin serta si pendeta dari Siauw
Lim Sie yang tubuhnya jangkungnya dan besar yang semua tangan
mendatangi dengan romannya yang bengis. "Ya, boanpwee melihat
" kata pula murid ini, hatinya tetap panas.
Tiba tiba Siang Go berseru^ "Kau telah melihat Habis kau mau
apa ?" Dengan sendirinya Siauw Pek menjawab bengis. "Boanpwee mau
membalaskan sakit hati ayah bundaku itu "
"Jikalau kau mau membalas dendam," kata siang Go, tetap keras,
" kenapa kau tidak mau segera turun tangan" Kau mau tunggu
kapan lagi?"
Tanpa ia sadar, Siauw Pek berteriak nyaring. "Lihat golok "
Segera ia menyerang
Tiba tiba terdengar satu suara benturan keras, lelatu apipun
bermuncratan- Satu tenaga yang keras sekali telah terpental balik.
Itulah sebab dengan hebat golok mengenai batu gunung sampai
mengeluarkan lelatu golok itu terlepas dari cekaman dan terpental.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siauw Pek telah menggunakan semua tenaganya, tenaga
membalik lalu menggempurnya, hingga ia limbung kesisinya,
tubuhnya membentur dinding gua. Tidak ampun lagi, ia roboh tak
sadarkan diri. Waktu ia mendusin, ia merasa ada sebuah tangan
tengah memijit mijitnya, mengurut tubuhnya. Ia lalu mengeluarkan
nafas lega. Ingin ia bangkit, tapi satu tekanan yang kuat
mencegahnya. Dadanya tertindih hingga ia tak dapat berkutik.
"Anak, tepat sekali serangan kau " begitu ia dengar suara
ketelinganya. "Itulah bagaikan pertanda bahwa kaulah jago satu
satunya dikolong langit ini Tapi sekarang kedua lenganmu lagi
terluka, tak boleh kau sembarangan bergerak. Tutup matamu,
tidurlah sebentar Dengan tenaga dalamku, akan aku bantu kau
memulihkan tenagamu."
Siauw Pek berdiam. Ia merasa tangan guru terus meraba raba
seluruh tubuhnya. Ada kalanya tangan itu berdiam disatu tempat,
seperti memasukkan hawa panas kedalam tubuh itu, membuat
dadanya menjadi lapang. Tak lama tanpa merasa, ia pulas
sendirinya. Tatkala ia tersadar, di sisinya telah tersedia makanannya serta itu
golok ampuh yang bersinar. Ia sudah lapar sekali, paling dulu ia
memakan makanan itu. Baru selesai makan, terdengar oleh Siauw
Pek. "Anak. angkat golok itu"
Murid ini ingat pengajaran gurunya, segera ia sambar golok terus
melompat bangun, untuk berdiri tegak dengan membawa golok
kedepan dadanya.
Lewat lagi sesaat, terdengar pula suara dingin sang guru. "Anak.
apakah yang kau rasakan ?"
"Tiada perasaan apa juga yang luar biasa, lootjianpwee."
" Golok di tanganmu berasa berat tidak ?"
"Tidak.."
"Nah, mengertikah kau Di dalam ilmu silat yang diutamakan yaitu
mengangkat yang berat tapi dirasakan ringan- sebaliknya dengan
pelajaranku, mestinya diangkat ringan tetapi dirasakannya berat.
Sekarang peganglah yang benar"
Baru suara itu berhenti Siauw Pek sudah terkejut. Tiba tiba ia
merasa golok di tangannya menjadi berat, bagaikan ada yang
menekan, hingga ia mesti mengeluarkan tenaga untuk menahannya.
Anehnya, tekanan itu makin lama makin berat, ia sampai seperti tak
kuat menahannya Hingga ia mesti mengerahkan seluruh tenaganya.
Hanya sebentar Siauw Pek merasa bahwa semua tenaganya
sudah dipindahkan ketangannya, guna mempertahankan golok itu,
akan tetapi golok itu tetap berat dan seperti menariknya terus ke
bawah, hingga ia merasa otot ototnya kesemutan dan tulangnya
sakit, sulit untuknya bertahan lebih jauh.
Kalau tadi terdengar suara bengis, atau sungguh sungguh, dari
Siang Go, sekarang terdengar dia itu tertawa riang.
"Nak, letihkah kamu?" tanyanya.
Dengan napas sengal sengal, dengan suara terputus putus,
Siauw Pek menjawab gurunya itu : "Boanpwee tidak dapat
mengangkat tanganku..."
"Nah, ingatlah " berkata guru itu, "Setelah kau menghunus golok,
kau mesti memusatkan perhatianmu, tenagamu, harus dikumpulkan
di tanganmu itu, agar kau bagai mengangkat sebuah gunung, dan
disaat kau menyerang, baru kau bisa gunakan semua tenagamu,
kuat dan hebat bagaikan gunung longsor menimpa laut, membuat
lawan tidak punya tenaga lagi untuk melawan"
"Boanpwee akan ingat itu baik baik " Siauw Pek berjanji.
"Dan, sekarang kau letakkan golokmu, duduklah bersila. Aku
hendak ajari kau cara menggunakan ilmu golok."
Siauw Pek manyahuti, tapi serentak dengan itu, kosonglah
hatinya, mendadak matanya gelap. lalu jatuh numprah di tanah
Hal itu disebabkan ia telah mengerahkan habis seluruh
tenaganya, hingga ia jadi sangat letih, hingga pingsan- Samar
samar ia merasa hawa panas masuk dari punggungnya terus kehati
dan seluruh tubuhnya. Lenyaplah rasa letihnya, sebagai gantinya, ia
merasa lapang. Dan akhirnya ia tidur pulas, tak ingat apa pun juga.
Barulah kemudian entah lewat berapa lama ia tersadar sebab ia
merasa tubuhnya dingin.
Belum lagi anak ini sempat berpikir, ia sudah mendengar kembali
suara gurunya. "Anak. kau dengar Berlakulah sungguh sungguh,
sebab aku mempunyai waktu tak ada satu jam lagi"
Semangat Siauw Pek terbangun-"Aku siap. lootjianpwee"
katanya. "Di dalam ilmu silat di kolong langit ini," berkata Siang Go.
"kecuali ilmu pedang ong Too Kiu Kiam dari Kie Tong aku belum
pernah coba, yang lainnya telah aku kenal semua. Mereka itu semua
mempunyai cacat masing masing, maka selama beberapa puluh
tahun, belum ada yang sanggup memecahkan ilmu golokku ini..."
Berkata begitu, mendadak si jago tua tertawa riang sekali.
"Semua orang menganggap ilmu golokku ini jago tanpa lawan,
sebab asal golokku dipakai menyerang, kalau tak ada yang mati,
sedikitnya mesti ada terluka parah. Mungkin si tua bangka she Kie
juga berpendapat demikian. Yang benar ialah, meski jurus ku cuma
satu, pemecahannya berjumlah sembilan- Itulah sebabnya meski
orang yang kuat luar biasa, tak dapat dia membebaskan dirinya dari
serangan golokku, tak sanggup dia melakukan serangan balasanMenurut kau, bagaimana seharusnya orang berbuat?"
"orang mesti memusatkan pikiran dan menutup rapat dirinya,"
sahut sang murid. Siang Go tertawa.
"Itulah sama dengan duduk diam menantikan kematian "
katanya. "Perlawanan begitu justru mudah menyerangnya, tidak
usah memikirkan pembokongan- Di dalam keadaan seperti itu, aku
telah menang waktu."
"Akan aku ingat pesan ini, lootjianpwee," Siauw Pek berjanji.
Tiba tiba Siang Go mencekam tangan kanan muridnya, sambil
berkata. "Selekas golok dihunus, kita segera mengambil sikap
menyerang kita harus mendahului guna menggempur semangat
lawan, untuk merebut pengaruhnya"
Siauw Pek membiarkan tangannya itu dipegang, dan dengan
bantuan gurunya, ia menghunuskan goloknya. Begitu golok tercabut
dari sarungnya, tangannya digerakkan bagaikan terputar dan golok
lantas menyambar kekanan.
"Kau ingat," guru itu berkata. "Tadi aku telah ajari kau
bagaimana harus mencabut golok. sekarang, aku ajari kau cara
menggunakannya untuk menyerang lawan-"
Siauw Pek mencoba. Tadi, dibantu gurunya mudah saja ia
mencabut goloknya, tetapi ketika mencoba sendiri, ia merasakan
kesulitan dan tidak leluasa. Karena itu, ia mencoba dan mencoba
lagi, sampaipuluhan kali, barulah ia paham benar, selama itu berkali
kali ia minta petunjuk gurunya.
Sementara itu, suaranya Siang Go semakin lama semakin lemah.
Tadi, dia berkata bahwa waktunya tinggal kira kira satu jam lagi,
juga cekaman guru itu makin lama makin kendor, tak bertenaga
sebagaimana semula. siauw Pek menjadi heran sekali.
Akhir akhirnya, guru itu berkata, pelahan
"Anak, pergilah" Aku melarang kau untuk menoleh melihatku"
"Lootjianpwee mau apa?" tanya murid itu.
" Golokku ini telah mendampingi aku seumur hidupku," sahut
guru itu, "sekarang aku hendak berpisah darinya, sebab hendak aku
hadiahkan kepada kau. Aku harap kau bisa melatih dirimu hingga
sempurna, agar kepandaianku diwariskan pada yang tepat, supaya
tak mengecewakan golokku ini. Nah, lekaslah kau pergi " Siauw pek
heran, suara si guru makin lemah lagi, bagaikan orang yang mau
putus jiwa. Dari heran menjadi kuatir. Ingin ia berpaling tetapi tak berani
melanggar pesan gurunya itu. Dan sebaliknya ia berat untuk
meninggalkan, lebih lebih bertindak pergi.
"Lootjianpwee," akhirnya ia berkata juga. "Aku telah menerima
budi, dengan pelajaran ilmu golok ini, dan kelak di belakang hari
aku akan dapat membalaskan dendam ayah bundaku dan saudara
saudariku. Budi lootjianpwee begini besar besar, bagaimana aku
tidak membalasnya" Lootjianpwee, mungkinkah aku tak dapat
melihat wajah Lotjianpwee barang sejenak?"
"Lekas pergi" ada jawaban si guru, bengis.
Murid itu melengak. terpaksalah ia bangkit dan keluar, walaupun
dengan tindakan berat. Ketika ia telah berada di luar gua, barulah ia
menampak pula sinar sang Surya. Ia berbalik kemuka gua, untuk
memberi hormat sambil membungkuk tiga kali, sembari
mengucurkan air mata, ia berkata.
" Lootjianpwee, budimu telah mengajari aku ilmu silat golok ini,
seumur hidupku tak akan aku lupakan"
Masih Siauw Pek berdiri diam, sampai tiba tiba ia mendengar
suara perlahan bagaikan berbisik. "Apakah siluman she Siang telah
mewariskan ilmu goloknya kepadamu?"
Dengan segera si anak muda menoleh, maka ia melihat Kie Tong
berdiri dihadapannya. Jenggot orang tua itu memain di antara
hembusan angin- Dia mengenakan jubah panjang pedangnya
menggemblok di punggungnya.
jarak antara mereka sekira kira tiga kaki. Lekas lekas ia memberi
hormat. "Tidak saja Siang Loopee telah mengajari aku ilmu goloknya,
bahkan goloknyapUn dihadiahkan kepadaku sedang golok itu belum
pernah terpisah darinya semasa hidupnya. Hanya heran orang tua
itu, ia tidak sudi memberikan kesempatan untuk aku melihat
wajahnya, bahkan dia telah mengusir aku pergi " Kie Tong
mengangguk "Demikianlah biasa kelakuan atau perbuatan aneh Siang Go,"
katanya "Segala sepak terjangnya sukar untuk diduga-duga. Dia
telah mengusir kau keluar dari guanya. Dia tak sudi berdiri
berhadapan denganmu, percuma kau memohonnya terlebih jauh.
sekarang mari kita lekas pergi "
juga aneh orang tua ini, bukannya dia mengajak Siauw Pek pergi
lari, ia hanya menyambar tubuhnya, untuk dikempit, buat dibawa
lari, tepat seperti baru-baru ini dia menolongnya dari tempat
berlumpur dan berembal
Tempat-tempat yang dilalui berlumpur, banyak binatang
berbisanya, ada juga hawa yang jahat, tetapi semua itu tidak dapat
merintangi sijago tua, hanya sesaat kemudian, lewat sudah mereka
dari daerah penuh dengan ancaman maut itu. Baru sekarang, tubuh
si anak muda dilepaskan"Anak. untungmu besar sekali " katanya.
Siauw Pek tersenyum, tersenyum duka. ia girang beserta
menyesal dan berduka. Hal ini disebabkan ia ingat budi Siang Go,
manusia aneh itu. Ia ingin membalas budi, jalannya tidak ada, ingin
ia melihat wajahnya saatnya tidak ada juga. ia berada ditempat
terbuka, dimana ada sinar matahari, tetapi ia merasakan bagaikan
masih berada di dalam gua yang gelap gulita. Dilain pihak iapun
bersyukur sekali kepada orang tua she Kie itu, yang ternyata
berlaku sangat baik kepadanya.
"Anak. kau pikir apakah ?" bertanya Kie Tong yang melihat anak
muda itu masih terus berdiri diam, matanya mengawasi
kesekitarnya seperti juga dia kehilangan sesuatu.
"Aku bingung memikirkan siang Loocianpwee," sahut si anak
Kisah Pedang Bersatu Padu 8 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Rahasia 180 Patung Mas 18

Cari Blog Ini