Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 11
Kemudian mereka berkumpul pula, untuk lanjuti usaha mereka. Tapi rahasia bocor dan Ma
Soe Eng liehay sekali, selagi berapat, mereka disergap hingga mereka kena ditawan.
Mereka hendak dikirim ke Pakkhia dimana mereka bakal jalankan hukuman mati. Maka
beruntung sekali, di sini mereka bertemu dengan Sin Tjie dan dapat ditolongi.
Setelah itu Sin Tjie tuturkan hal perkenalannya dengan Giam Ong.
"Ini bagus, Wan Kongtjoe," berkata Tiong Sioe. "Disini ada kawanan penyamun dan
sejumlah tentara taklukan, maka baik kau tunda dulu perjalananmu ke Pakkhia, untuk
pernahkan mereka ini.
Sin Tjie nyatakan setuju, malah ia sarankan untuk cari tempat untuk satu pertemuan besar.
"Tay San bagaimana?" Tiong Sioe usulkan.
"Tay San ada yang utama di antara lima gunung, kita pilih Tay San, tepat!" Sin Tjie
nyatakan akur. Pemuda ini lantas perintah kumpulkan isinya peti yang ia titahkan "obral", sedang dari
uang angkatan Negara, ia pisahkan sejumlah dua-puluh laksa tail perak, yang ia bagi rata
di antara rombongan Tjeng Tiok Pay dan kawanan berandal dari Shoatang itu. Untuk Tie
Hong Lioe, ia pisahkan lagi lima-ribu tail. Dan untuk tentara negeri yang menakluk itu, ia
kasikan dua-puluh laksa tail. Maka selat itu bergemuruh dengan tampik-surak pelbagai
rombongan yang merasa sangat girang dengan tindakannya si anak muda.
Habis itu Sin Tjie titahkan sejumlah orang dari kaum San Tjong, Tjeng Tiok Pay dan
berandal Shoatang, untuk mereka pergi ke berbagai tempat, guna menyampaikan
undangan supaya nanti orang berkumpul di atas gunung Tay San untuk berapat, tanggalbulannya
ialah pehgwee Tiong Tjioe.
Untuk pernahkan Tjouw Tiong Sioe beramai bersama tentara negeri taklukan itu, Sin Tjie
minta orang she Tjouw itu pergi cari suatu gunung, untuk dirikan pesanggrahan, buat
mereka tempatkan diri sampai datang saatnya untuk bergerak menyambut Giam Ong.
Tentang lenyapnya uang Negara itu, yang berjumlah lebih dari dua juta tail perak, dan
menakluknya tentara pengiringnya, telah menggemparkan wilayah Shoatang dan kota raja,
dan kapan kemudian Tjongtok Ma Soe Eng datang bersama satu pasukan perang besar,
untuk mencari dan membasmi, di selat itu mereka tidak dapatkan satu penyamun juga,
hingga mereka mesti pulang kembali dengan tangan kosong.
Sementara itu, sang hari lewat dengan cepat, selagi mendekati harian tanggal lima-belas
bulan delapan, ke gunung Tay San telah datang orang-orang, dengan bersendirian dan
berombongan, hingga mereka telah memenuhi pelbagai kelenteng di atas gunung yang
suci itu, sebab jumlah mereka adalah beberapa ratus orang.
Pada malaman tanggal lima-belas, cuaca terang, rembulan indah-permai, dan pada
paginya tanggal yang dipilih itu, hawa pagi sangat nyaman. Semua orang berkumpul di
lembah Sek Keng Kok dimana ada sebuah tegalan yang luas beberapa bauw, yang terdiri
dari batu yang bersih dan mengkilap, katanya itu dahulu adalah tempat peranti berkotbah
dari suatu pendeta yang berilmu tinggi, sedang di atas gunungnya ada ukiran sebagian
kitab Kim Kong Keng dengan huruf-hurufnya sebesar gantang dan bagus.
Pada waktu itu di antara hadirin, kecuali Wan Sin Tjie bersama Oen Tjeng Tjeng, si empeh
gagu A Pa dan Ang Seng Hay, pun terdapat rombongan dari Tjouw Tiong Sioe seperti Tjoe
An Kok, Nie Hoo dan Lo Tay Kan. Dari pihaknya Kim Liong Pay di Kangsouw datang
Tjiauw Kong Lee bersama gadisnya, Tjiauw Wan Djie, Lo Lip Djie dan lainnya. Dari Tjeng
Tiok Pay datang Thia Tjeng Tiok beramai. Dari kawanan berandal Shoatang hadir See
Thian Kong bersama Tam Boen Lie dan rombongannya. Dari Liong Yoe Pang di Tjiatkang,
Eng Tjay telah ajak semua kawan-kawannya. Dari pihak Siauw Lim Sie dari Hokkian, Sip
Lek Taysoe, perlukan datang sendiri. The Kie In dari Tjit-tjap-djie- Too, tujuh-puluh dua
pulau-pula pun datang bersama kawan-kawannya. Dari antara pesakitan, yang Sin Tjie
tolong merdekakan, ada Tjeetjoe Liap Thian Kong dari lembah Hoei Houw Kok dari Hoay lam dan Pangtjoe Nio Gin Liong dari Po Yang Pang dari Kangsee utara. Begitupun
sejumlah orang kang-ouw lainnya. Dari pihak tentara negeri yang menakluk hadir
Tjongpeng Soei Tjee Boe serta perwira-perwira sebawahannya. Maka itu, jumlah mereka
sangat besar, ramailah selat gunung Tay San itu.
Di waktu fajar, orang telah berkumpul untuk menghadap ke timur, untuk saksikan
munculnya Tay Yang Seng-koen atau Batara Surya, di waktu mana, cuaca indah luar biasa,
langit di arah timur itu merupakan aneka-warna yang permai, hingga orang menyambutnya
dengan tampik-surak ramai.
Selagi orang ramai duduk, Im-yang-sie See Thian Kong, yang lukanya telah sembuh,
berbangkit untuk beri hormat kepada semua hadirin, guna angkat bicara. Ia memberi tahu
bahwa penyambutannya tidak sempurna, maka itu, ia mohon diberi maaf. Lalu sekali lagi,
ia menjura kepada semua tetamu.
Dengan hampir berbareng, semua hadirin mengucapkan terima kasih.
"Aku adalah seorang kasar, aku tak tahu apa-apa, maka sekarang aku persilahkan
tjianpwee dari Tjeng Tiok Pay yang bicara lebih jauh," kemudian kata pula orang she See
ini. Thia Tjeng Tiok merendahkan diri, dia menampik, hingga keduanya saling tolak. Demikian
mereka ramah-tamah, beda daripada waktu mereka adu jiwa secara mati-matian untuk
perebuti hartanya Sin Tjie. Hal ini membuat girang dan kagum semua hadirin lainnya,
karena, dari musuh, mereka kini jadi sahabat kekal.
Akhir-akhirnya Thia Tjeng Tiok, dengan sebatang bamboo di tangannya, berbangkit sambil
tertawa. "Kita kaum rimba persilatan, sebenarnya dahulu pun pernah satu kali berkumpul di atas
gunung Tay San ini," berkata dia, memulai. "Cuma itu waktu, jumlah kita tak ada sebanyak
kali ini. Dan itu waktu, aku tidak malu akan mengatakannya, apakah maksud rapat kita itu"
Tak lain tak lebih, melulu untuk membagi daerah bekerja, guna memecah uang
rampasan...."
Mendengar itu, semua orang tertawa.
"Sekarang ini telah hadir banyak enghiong, maka tak dapat kita berlaku lagi tak tahu malu
seperti dulu itu!" melanjuti ketua Tjeng Tiok Pay itu. "Sekarang ini dunia sedang kacau,
sekarang adalah saatnya untuk orang-orang yang bersemangat mendirikan usaha yang
berarti, untuk angkat nama! Kaisar sedang gelap pikiran, kusut segala aturannya! Di dalam
pemerintahan hanya terdapat segala pembesar rakus dan busuk! Dan di luar tapal batas,
kacung-kacung Boan di Kwan-gwa sering-sering menyerbu perbatasan kita, hingga
karenanya, rakyat bercelaka, mereka mengeluh sampai suaranya terdengar di langit. Kita
sendiri, siapakah di antara kita yang tidak pernah terdesak sampai kita berada di pojokan
seperti sekarang ini" Maka sekarang haruslah kita berempuk, untuk membangun suatu
usaha besar!"
Kembali orang bersurak-riuh, semua menyatakan setuju.
"Yang hadir hari ini semuanya sahabat-sahabat karib," menambahkan Thia Tjeng Tiok,
"maka dari kita bersumpah dengan darah kita, untuk dimana ada kesusahan saling
membantu, guna bekerja sama-sama. Dan andaikata, ada yang rakus, yang silau dengan
harta dan kemuliaan hingga dia jual sahabatnya, atau dia takut mati saking kouw-ka-tie,
mari kita ramai-ramai habiskan dia!"
"Bagus! Akur!" demikian kembali sambutan orang banyak.
"Di dalam satu pertemuan besar sebagai ini, tak dapat tidak ada beng-tjoe, ketuanya, maka
itu, mari kita angkat satu pemimpin, satu saudara enghiong yang disegani semua orang,"
berkata pula See Thian Kong. "Terdapat beng-tjoe itu, kita semua mesti mendengar kata!
Bagiku, tak perduli saudara mana yang diangkat, aku nanti selalu ikuti dia!"
Sampai di situ, Sip Lek Taysoe berbangkit.
"Memangnya, kawanan naga tidak ada kepalanya, tak nanti mereka bisa bangunkan usaha
besar," kata pendeta ini. "Loo-lap setuju untuk kita pilih satu beng-tjoe, asal beng-tjoe itu
mesti pintar dan gagah berbareng, welas-asih dan budiman, supaya ia bisa menakluki
semua orang."
"Itu benar!" The Kie In menyambut. "Menurut aku, Tay-soe setimpal untuk jadi pemimpin
kita." Sip Lek Taysoe tertawa.
"Jangan main-main, tootjoe! Loolap adalah sebagai lilin diantara angina, loolap sedang
tungkuli sisa umurku....Mana loolap sanggup terima tugas penting itu?"
Orang ramai lantas kasak-kusuk, berbisik satu dengan lain, untuk damaikan siapa harus
dipilih dan diangkat menjadi beng-tjoe mereka. Pemilihan ini perlu, untuk persatukan
golongan mereka, yang terpencar di pelbagai tempat, agar mereka semua ada yang pimpin
dan bersatu. Hal ini perlu, untuk cegah bentrokan di dalam kalangan sendiri, guna bikin
jeri pembesar negeri.
Thia Tjeng Tiok tunggu orang saling berdamai sekian lama, lalu ia tepuk tangannya
beberapa kali, setelah semua orang sirap, dia tanya apa mereka itu sudah dapat pikir
orang yang cocok, yang bakal dipilih.
Seorang, yang tubuhnya besar dan tingginya tujuh kaki, berbangkit. Suaranya pun nyaring
ketika ia buka mulutnya. Ia kata: "Loo-ya-tjoe Beng Pek Hoei adalah orang yang dihormati
oleh kaum Rimba Persilatan, benar dia hari ini tidak turut hadir, akan tetapi kedudukan
beng-tjoe ini harus diberikan kepadanya. Maka itu aku anggap baik kita jangan pilih lain
orang lagi."
Usul ini segera dapat kesetujuannya beberapa orang.
"Siapakah itu Beng Pek Hoei?" tanya Sin Tjie pada Seng Hay, yang duduk di sebelahnya.
Orang yang ditanya agaknya heran.
"Apakah Wan Siangkong tidak kenal orang she Beng itu" Dia balik tanya.
"Ada sedikit sekali sahabatku dalam rimba persilatan," sahut si anak muda.
"Beng Loo-ya-tjoe itu ada orang juluki Kay Beng Siang, jadi dia dibandingi dengan Beng
Siang Koen," terangkan Seng Hay. "Dia adalah seorang yang mulia hatinya, giat
menderma, gemar bergaul. Dalam kalangan ilmu silat, dia telah ciptakan ilmu silat 'Sin
Koen'. Banyak orang gagah yang menjadi muridnya. Untuk di utara, tidak ada yang tidak
kenal nama Kay Beng Siang. Orang yang bicara barusan adalah Teng-kah-sin Teng Yoe, si
Malaikat Teng Kah, yang jadi murid kepalanya."
"Begitu," kata Sin Tjie kemudian. "Kalau begitu, baik juga dia dipilih jadi beng-tjoe...."
Itu waktu, Tjit tjap djie too Tootjoe The Kie In berkata pula: "Namanya Loo-ya-tjoe Beng
Pek Hoei terkenal hingga di tempat jauh, sampai aku yang tinggal jauh dari daratan, telah
pernah mendengarnya, aku turut kagumi dia. Dia bijaksana, kepandaiannya pun
sempurna, memang pantas dia dipilih. Tapi aku memikir satu hal, boleh atau tidak apabila
aku utarakan itu?"
"Tidak ada halangannya, The Tootjoe," bilang Teng Yoe.
"Beng Loo-ya-tjoe telah tinggal di Po-teng untuk banyak tahun," menyatakan tootjoe ini,
"harta-benda dan kedudukannya, besar bukan main. Kita sebaliknya, apakah yang kita
kerjalan" Kita berkumpul, untuk melakukan usaha pemberontakan! Apabila Beng Loo-yatjoe
menjadi pemimpin kita, kemudian dia kena terembet-rembet, apakah bisa senang hati
kita?" Kata-kata ini beralasan, maka itu semua orang berdiam.
"Aku hendak pujikan satu orang lain," berkata Tjiauw Kong Lee, ketua dari Kim Liong Pay
dari Kim-leng. "Dia ini satu enghiong, dia tidak saja pandai ilmu silat, sifatnya pun welasasih
dan budiman. Melainkan dia masih berusia sangat muda dan banyak sahabat-sahabat
Rimba Persilatan yang belum mengenalnya. Walaupun demikian, aku suka pujikan dia.
Dan asal dia suka menerima keangkatan, dia pasti bakal pegang pimpinan dengan adil, dia
pasti bakal angkat nama kita hingga pihak pembesar negeri niscaya tak nanti pandang
ringan kepada kita."
Sebelum orang banyak tegaskan Kong Lee, siapa pilihannya itu, See Thian Kong sudah
turut berkata pula. Dia punyakan suara kecil akan tetapi dia coba keluarkan dengan keras,
hingga terdengarnya menyolok di kuping.
"Di dalam hatiku, aku juga memikir satu orang, satu enghiong yang usianya masih sangat
muda," katanya. "Aku percaya dia tidak bakal beda jauh dengan enghiong yang dipujikan
Tjiauw Pangtjoe."
"Aku tidak berani menyebutkan usiaku yang tinggi," berkata pula Tjiauw Kong Lee, seperti
ia menyambung See Thian Kong, "akan tetapi usiaku sekarang ini sudah lebih dari limapuluh
tahun, dan tak berani aku membilang, pengetahuan dan pengalamanku telah luas,
akan tetapi pernah aku menemui tak sedikit orang-orang gagah, walaupun itu semua,
sahabat muda yang aku sebutkan itu telah membuat aku takluk setakluk-takluknya,
seumurku, belum pernah aku menemui orang yang melebihkan dia."
Sampai di situ, Thia Tjeng Tiok turut bicara. Tapi ia bicara dengan tawar.
"Aku kenal tabeatnya Tjeetjoe See Thian Kong," demikian katanya, "dan kipas Im-yang-sienya
yang bisa dipakai menotok jalan darah, walaupun bukan tak ada keduanya, sudah
sempurna sekali, maka seorang yang membuat dia kagum, pastilah bukan orang
sembarang. Maka itu aku dari Tjeng Tiok Pay, aku setuju dengannya."
Mendengar ini, mukanya Tjiauw Kong Lee menjadi merah.
"Habis bagaimana caranya beng-tjoe hendak dipilih?" tegaskan ketua Kim Liong Pang ini.
"Orang-orang Kim Liong Pang memang tak punya guna, akan tetapi jumlah kami terlebih
banyak daripada jumlah orang-orang Tjeng Tiok Pay...."
Suasana lantas saja menjadi hangat.
Menampak demikian, Sip Lek Taysoe lantas mendahului.
"Sabar, Tjiauw Pangtjoe," berkata dia. "Siapa itu sahabat yang pangtjoe hendak pujikan"
Menurut aku, dalam sembilan bagian, dugaanku tidak bakal meleset. Aku pun minta
supaya See Tjeetjoe menyebutkannya orang yang dia hendak pujikan itu, supaya semua
hadirin bisa berikan pertimbangannya yang sama tengah. Ada kemungkinan yang orang
banyak tak menyetujui mereka itu...."
See Thian Kong lantas saja tunjuk Wan Sin Tjie.
"Orang yang aku maksudkan adalah Wan Siangkong!" sahutnya. "Jangan saudarasaudara
lihat saja usianya yang masih sangat muda, sebenarnya kepandaiannya terlebih
tinggi daripada orang yang kebanyakan. Baik aku jelaskan, dengan Wan Siangkong ini aku
Baru saja berkenalan, dengannya aku bukan pernah saudara seperguruan, bukan juga
sahabat karib, bahwa aku pujikan dia, itulah disebabkan melulu karena aku kagumi
kepandaiannya."
Baru saja See Tjeetjoe tutup mulutnya atau rombongan berandal dari Shoatang serta
orang-orang Tjeng Tiok Pay bertampik-surak semua hingga suara mereka jadi
bergemuruh. Hal ini di luar dugaan Sin Tjie, maka lekas-lekas ia berbangkit, ia lantas ulap-ulapkan
kedua tangannya.
"Jangan! Jangan!" katanya gugup.
Orang-orangnya Tjiauw Kong Lee tunggu sampai tampik-surak sudah reda, lalu mereka
semua tertawa berkakakan, bergelak-gelak, kepala mereka ditegaki, kembali terdengar
suara bergemuruh riuh.
See Thian Kong menjadi tidak senang.
"Tjiauw Pangtjoe, tolong kamu jelaskan, adakah kamu tertawai aku?" tanya dia.
Kong Lee rangkap kedua tangannya, akan beri hormat kepada tjeetjoe ini.
"Mana berani aku tertawai kau, See Tjeetjoe?" katanya. "Ketahuikah Tjeetjoe, siapa orang
yang aku hendak pujikan?"
Thian Kong menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu," jawabnya.
Kong Lee bersenyum
"Lain daripada Wan Siangkong ini, siapa lagi?" katanya.
Tanpa merasa, orang semua tertawa besar. Sebab sekian lama orang adu urat syaraf, tidak
tahunya, jago yang mereka pujikan adalah satu orang!
Sin Tjie menjadi sangat sibuk, kembali ia bangkit berdiri.
"Aku masih terlalu muda, pengetahuanku pun sangat cetek," katanya. "Sebenarnya
dengan dapat turut hadir di sini saja aku sudah bukan main bersyukurnya. Di sini aku
mengharap semua loocianpwee nanti sudi pimpin aku, supaya aku bisa membantu sedikit,
maka itu mana aku sanggup terima pujian kamu! Tak sanggup aku terima tugas berat ini,
maka aku harap loocianpwee beramai pilih lain orang saja."
Tapi Tjouw Tiong Sioe turut bicara.
"Wan Kongtjoe adalah putera Wan Tayswee," katanya, "oleh karena kami kaum San Tjong
tidak memilih kasih, dengan kongtjoe yang terpilih, inilah paling tepat!"
"Siapa dimaksudkan dengan Wan Tayswee itu?" tanya The Kie In.
"Ialah Tayswee Wan Tjong Hoan, panglima gagah yang di Liauwtong telah lawan angkatan
perang Boan, yang belakangan tanpa sebab tanpa dosa telah dibikin celaka hingga dia
menemui kebinasaannya," Tiong Sioe terangkan.
Semua orang tahu Wan Tjong Hoan gagah dan setia, bagaimana sebagai pahlawan dia
bela negaranya, tapi dia terbinasa teraniaya, hingga orang rata-rata penasaran, maka
sekarang, setelah dengar keterangannya Tjouw Tiong Sioe, tidak saja The Kie In,
pemimpin dari tujuh-puluh-dua pulau, juga yang lain-lain jadi tergerak hatinya, berbareng
berduka mereka atas nasibnya Wan Tayswee itu, mereka girang menemui puteranya. Maka
seperti satu suara, semua orang menyatakan setuju atas pilihan itu.
Sin Tjie masih mencoba menampik, ia tidak berhasil.
Malah Soei Tjongpeng, perwira taklukan itu, dan Nio Gin Liong dan Liap Thian Hong serta
lainnya yang ditolongi dari kerangkeng perantaian, turut berikan suara menunjang, hingga
tak dapat tidak, pemilihan lantas ditetapkan.
Ketua dari Liong Yoe Pang, Eng Tjay, sebenarnya mempunyai sangkutan dengan Sin Tjie,
disebabkan kejadian di perahu waktu dia bentrok dengan Oen Tjeng Tjeng, akan tetapi dia
ingat pertolongannya pemuda ini, yang berikan dia papan yang membuat dia tak sampai
tercebur ke sungai, maka dia pun berikan tunjangannya. Sambil berbangkit, dia berkata:
"Wan Siangkong mempunyai boegee yang liehay, pasti banyak saudara hadirin disini
mengetahuinya. Aku sendiri, pernah rubuh di tangannya...."
Mendengar ini, sejumlah orang menjadi tercengang.
"Walaupun aku telah dirubuhkan, aku toh ditolongi," Eng Tjay menyambungi, "karena itu
sekarang aku setuju dia dipilih menjadi bengtjoe, aku tunjang pemilihannya ini."
Orang bersorak untuk sikap laki-laki dari ketua Liong Yoe Pang itu.
Teng-kah-sin Teng Yoe dekati Sin Tjie, untuk diawasi, hingga ia tampak tegas romannya
Sin Tjie yang cakap, sikap halus, tak ada tanda-tandanya dari seorang dengan dengan
boegee yang liehay, karenanya, ia menjadi heran. Ia tidak puas karena namanya orang ini
melewati nama gurunya.
"Kionghie, Wan Siangkong," kata dia, memberi hormat, tapi berbareng ia ulur tangannya,
untuk jabat pemuda ini.
"Dengan sebenarnya, tak sanggup aku terima tugas berat ini," berkata Sin Tjie.
Belum lagi anak muda ini tutup mulutnya, atau ia rasai cekalan yang keras sekali.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi, dengand iam-diam, Teng Yoe sudah kerahkan tenaga "Pa Ong Kong Teng" atau
"Tjouw Pa Ong angkat perapian kaki tiga," semacam ilmu tenaga besar warisan dari
gurunya. Dengan jalan ini, ia niat angkat tubuhnya Sin Tjie, untuk lalu dilepaskan, supaya
pemuda ini rubuh setengah binasa, agar bengtjoe ini mendapat malu.
Sin Tjie segera insyaf bahwa orang lagi mencoba dia, dia diam saja, tapi dengan diamdiam,
dia kerahkan tenaga "Tjian kin tjoei", atau "rubuhnya seribu kati", hingga dia bisa
tancap kaki dengan tubuhnya dibikin berat, karena mana, sampai tiga kali Teng Yoe
kumpul tenaganya, untuk angkat ia masih tidak berhasil, tubuhnya seperti nancap di
tanah. Dia pun lantas berkata: "Mana aku sanggup terima tugas begini berat" Gurumu
terkenal di kolong langit, saudara Teng, gurumu itu jauh terlebih cocok daripada aku untuk
dipilih!" Masih Teng Yoe kerahkan tenaganya, tetap ia tidak memperoleh hasil, malah pada lengan
kanannya itu terdengar suara urat-uratnya, maka akhirnya terpaksa ia lepaskan
cekalannya, karena ia tahu, ia telah gunai tenaga melebihi batas.
Masih Sin Tjie berpura-pura seperti tak ada kejadian suatu apa, begitu orang lepaskan
cekalannya, ia lantas tarik pulang tangannya.
Teng Yoe sembrono tetapi ia jujur dan polos, Ia tahu orang telah berbuat baik
terhadapnya, karena apabila si anak muda melakukan pembalasan, lengannya bisa patah
atau tangannya remuk. Karena ini, ia jadi berterima kasih.
"Baik, kau pantas menjadi bengtjoe!" dia lantas serukan. Lalu ia memberi hormat sambil
menjura. Sin Tjie lekas-lekas membalas hormat, hatinya girang karena orang berhati polos. Ia jadi
sangat suka pada orang sembrono ini.
Ketika itu orang lantas siapkan lilin dan hio, untuk menjalankan kehormatan kepada langit
dan bumi, yang menyaksikan pemilihan dan keangkatan bengtjoe itu.
"Kita telah adakan perserikatan, kita sudah mempunyai bengtjoe, karenanya tak boleh kita
tidak punyakan undang-undang," berkata Thia Tjeng Tiok. "Maka sekarang aku mohon
bengtjoe maklumkan undang-undang itu, untuk kita rundingkan dan tetapkan."
Sebenarnya Sin Tjie masih hendak menolak, tapi Tiong Sioe bisiki dia, katanya: "Kongtjoe,
jangan kau tampik lagi. Apabila kedudukan bengtjoe ini terjatuh kepada satu manusia licik,
besar sekali bencananya di belakang hari. Umpama kau bisa pegang kendali, besar
faedahnya untuk melampiaskan sakit hatinya Tayswee!"
Tertarik hatinya Sin Tjie mendengar nasehat ini. Lantas ia berbangkit, akan menjura
kepada orang banyak.
"Karena saudara-saudara demikian menyinta aku, baiklah, terpaksa aku turut titah kalian,"
katanya. "Karena pengetahuanku cetek, aku mohon supaya semua cianpwee dan kanda
sudi bantui aku, aku senantiasa bersedia untuk terima pelbagai pengajaran."
Tampik surak riuh-rendah menyambut pengutaraan itu.
"Untuk undang-undang, aku minta Tjouw Siokhoe saja yang mengarangnya," kemudian
Sin Tjie minta Tiong Sioe.
Tjouw Tiong Sioe tidak menolak, ia malah lantas kembali ke kuil, untuk tugasnya itu. Ia
tahu semua orang sederhana, ia pun mengatur rencana secara ringkas. Maka belum terlalu
lama, ia sudah siap dengan undang-undangnya, yang ia terus serahkan pada Sin Tjie,
untuk diumumkan kepada orang banyak itu, habis mana mereka mengadakan sumpah,
minum arak tercampur darah, untuk janji bekerja sama-sama tidak ada yang boleh
undurkan diri atau melanggar sumpah.
Secara demikian selesailah pertemuan besar di Tay San itu.
Belum berselang setengah tahun sejak Sin Tjie muncul karena ilmu silatnya yang liehay,
sebabnya ramah tamah dan kepintaran, ia telah membuat kemajuan ini, hingga ia sekarang
menjadi bengtjoe dari Titlee, Shoatang, Kangouw, Tjiatkang, Hokkian, Kangsee dan
Anhoei, dari orang-orang gagah dari tujuh propinsi itu.
Tiga hari lamanya orang berkumpul di Tay San, berunding dan berpesta, lalu dengan
bergantian mereka turun gunung, akan pulang ke masing-masing wilayahnya. Selama itu,
kecuali sebagai pemimpin, Sin Tjie juga telah ikat persahabatan kekal dengan orang-orang
tang tadinya ia tak kenal. Di waktu orang berpisahan, ia bekali mereka uang, yang ia ambil
dari harta karunnya itu, tak saying ia memberikan masing-masing sejumlah besar. Secara
begini, ia pun menambah menarik simpati orang banyak itu.
Setelah semua sudah bubar, Sin Tjie bersama Tjeng Tjeng, A Pa dan Seng Hay melanjuti
mengangkut harta mereka menuju ke Pakkhia. Adalah Thia Tjeng Tiok dan See Thian
Kong, yang tidak lantas pisahkan diri, karena mereka ini ingin mengantar sampai di kota
raja, katanya untuk sekalian pesiar. Sin Tjie terima baik kehendak dua sahabat ini,
terutama karena ia tahu, dua sahabat itu mempunyai ilmu silat yang sempurna.
Sementara itu Ang Seng Hay terbukti berlaku jujur dan setia, dia rajin dan waspada dalam
mengantar harta itu, hingga Sin Tjie percaya dia tak nanti berontak atau berkhianat
terhadapnya, maka ia lantas sembuhkan luka dalam tubuhnya. Pertolongan ini justru
membikin orang she Ang itu menjadi bersyukur sekali, hatinya lega sebab ia tak usah
dukai lagi lukanya ity.
Melakoni perjalanan di tanah dataran Shoatang, rombongan ini merasa aman sekali.
Shoatang adalah daerah pengaruhnya See Thian Kong, orang-orangnya pemimpin ini telah
atur segala apa untuk memudahkan mereka. Dan kapan mereka memasuki daerah Hoopak,
di sana pun mereka mendapat pelayanan tak kurang sempurnanya dari orang-orangnya
Thia Tjeng Tiok.
Oen Tjeng Tjeng puas sekali melihat amannya perjalanan itu, mendapati segala apa
leluasa bagi mereka, maka akhirnya ia kagumi si anak muda, orang yang ia puja itu.
Karena ini, kalau tadinya ia gemar "ngadat", dengan sendirinya ia bisa bawa diri, hingga ia
pun menjadi jinak....
Pada suatu hari sampailah rombongan ini di Hoo-kan, disana ketua setempat dari Tjeng
Tiok Pay menyambut dengan mengadakan satu perjamuan, di antara hadirin ada orangorang
Rimba persilatan yang kenamaan dari kota itu, kecuali menemani, mereka ini
memberi selamat kepada bengtjoe mereka. Selagi bersantap dan minum, orang pun
pasang omong mengenai kaum kang-ouw.
"Thia Pangtjoe," berkata satu orang selagi perjamuan berjalan, "lagi sebelas hari adalah
hari ulang tahun ke-enam-puluh dari Loo-ya-tjoe Beng Pek Hoei, pasti kau tak dapat pergi
untuk menghadiri pestanya itu, bukan?"
"Aku mesti turut bengtjoe ke kota raja, pasti aku tak dapat pergi," sahut Thia Tjeng Tiok,
"walaupun demikian, sumbangan tak dapat aku lupakan, aku telah perintah orang untuk
menyampaikannya."
"Aku juga sudah kirimkan barang antaranku," See Thian Kong turut bicara. "Beng Loo-yatjoe
ada satu sahabat baik, melihat kita tidak datang, tentu ia ketahui kita punyakan urusan
penting, pasti ia tidak bakal jadi tidak senang. "
Sin Tjie dengar pembicaraan itu, hatinya tergerak.
"Kay Beng Siang tersohor di lima propinsi Utara, selagi sekarang dia hendak rayakan hari
ulang tahunnya, kenapa aku tidak mau ikat persahabatan dengannya?" dia berpikir. Maka
ia turut bicara. Ia kata: "Aku pun telah dengar namanya Beng Loo-ya-tjoe, kebetulan
sekarang dia hendak rayakan shedjitnya yang ke enam-puluh, aku ingin pergi memberi
selamat padanya. Bagaimana pikiran saudara-saudara?"
Mendengar ini, semua orang akur, sampai mereka tepuk-tepuk tangan.
"Bengtjoe niat berikan dia muka terang, pasti dia bakal jadi sangat girang!" berkata orang
banyak itu. Sin Tjie lantas pastikan untuk kunjungi Beng Pek Hoei. Sembari bicara, ia menanyakan
terlebih jauh tentang jago tua dari Utara itu. Ia dapat kenyataan, Kay Beng Siang itu
seorang budiman dan gemar bergaul.
"Dengan jalan mutar sedikit ke Poo-teng, aku anggap kita tidak sampai mensia-siakan
banyak tempo untuk sampai di Pakkhia," kata Sin Tjie kemudian. "Kita cuma akan
terlambat beberapa hari saja."
Banyak hadirin menyatakan, memang mereka tak terlalu mensia-siakan tempo.
Karena ini urusan baru, ketika besoknya perjalanan dilanjuti, tujuan diubah ke Barat.
Kapan mereka telah sampai di Kho-yang, dari mana untuk sampai ke Poo-teng tinggal
perjalanan satu hari lagi, Seng Hay lantas ambil tempat di hotel Hoat Lay.
Sesudah taruh rapi peti-peti besi dan buntalan mereka, mereka pergi duduk berkumpul di
ruang besar, untuk bersantap.
Ketika itu di satu meja sebelah timur berduduk satu tauwtoo atau imam yang tubuhnya
besar dan gemuk, kepalanya, atau rambutnya, dilibat dengan sebuah gelang kepala yang
terbuat dari tembaga. Dia beroman keren. Di atas meja di depannya sudah menggeletak
tujuh atau delapan poci arak yang kosong. Ketika satu jongos menambahi air kata-kata, ia
mencegluknya dari satu mangkok besar. Dia pun dahar daging dengan main cabak dengan
kedua tangannya. Dan dia dahar dengan cepat, hingga piringnya jadi kosong, mangkoknya
jadi kering. "Tambah lagi arak dan daging! Lekasan!" demikian ia perdengarkan suaranya yang
nyaring, sampai berulang-ulang.
Jongos sedang melayani rombongan Sin Tjie, ia jadi tak sempat.
"Kurang ajar!" menjerit tauwtoo itu, sambil keprak meja dengan keras, sampai poci arak
dan mangkoknya berlompatan. Karena meja bergerak keras, cawan arak dari lain tetamu,
yang duduk di ujung dari meja itu, telah terbalik, hingga araknya tumpah dan mengalir di
atas meja. "Aya!" berseru si tetamu sambil berjingkrak.
Dia ini adalah seorang dengan tubuh kecil dan kurus, kumisnya dua baris, apa yang
dinamakan kumis tikus saking jarangnya akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam
dan berpengaruh.
"Soehoe," katanya, "kau ingin minum arak, orang lain juga!"
Tauwtoo itu sedang gusar, teguran itu menambah kegusarannya. Ia gebrak meja.
"Aku panggil jongos, apa sangkutannya denganmu?" dia balik menegur.
"Belum pernah aku menemui orang suci sekasar kau!" kata orang kurus itu.
"Dan hari ini aku bikin kau menemuinya!" sahut si imam.
Tjeng Tjeng pun tidak puas.
"Nanti aku ajar adat padanya!" katanya pada Sin Tjie.
"Ah, kau nonton saja," jawab si anak muda. "Jangan pandang ringan orang kecil dan kate
itu, dia tak dapat dibuat permainan."
Tjeng Tjeng dengar kata, tapi keras keinginannya untuk saksikan pertempuran.
Tapi si orang kurus seperti jeri terhadap si imam.
"Baik, baik, aku mengaku salah. Tak apa, bukan?" katanya.
Melihat orang ngaku salah, justru waktu itu jongos datang dengan arak, si imam tidak
menarik panjang, ia minum pula sendirian saja.
Si kurus berlalu, tapi tak lama ia sudah kembali.
Sin Tjie dan kawan-kawannya, yang tidak jadi saksikan "keramaian", minum pula
sendirinya. Tiba-tiba saja ada angina menyambar, membawa bau keras yang menyampok hidung,
hingga Tjeng Tjeng lekas sembat keluar saputangannya, untuk tekapi hidungnya.
Sin Tjie menoleh, atau segera ia tampak di mejanya si imam, di depannya, ada satu pispot,
hingga Sin Tjie tertawa dengan tak tertahan. Dia menoleh pada Tjeng Tjeng, akan
bersenyum, lalu melirik ke arah si imam.
Tjeng Tjeng pun lihat pispot itu, tapi si imam seperti tak melihatnya, maka nona ini tertawa
sendirinya. Juga lain-lain tetamu tidak lihat pot tempat kotoran itu.
"Bau! Bau!" kata beberapa orang kemudian.
"Wangi! Wangi!" sebaliknya si kurus kering, dengan suaranya yang nyaring.
"Itu pasti perbuatannya si kurus ini," Tjeng Tjeng bilang sambil bersenyum. "Dia sungguh
sangat sebat! Kenapa aku tak lihat perbuatannya itu?"
Baru sekarang hidung si imam mencium bau busuk, tapi tanpa melihat lagi, ia ulur
tangannya, akan jumput poci arak, akan tetapi kapan ia melihatnya, ia terperanjat. Ia bukan
angkat poci arak hanya pispot dimana bertumpuk najis. Dengan tiba-tiba saja ia menjadi
gusar, tangannya menyampok ke samping.
"Aduh!" menjerit si jongos, yang tubuhnya terpelanting rubuh, jauhnya setumbak lebih.
"Arak yang bagus, arak yang bagus! Wangi! Wangi!" kembali si kurus perdengarkan
suaranya yang nyaring.
Sekarang si imam duga siapa yang main gila terhadapnya, dengan satu kali ayun saja,
pispot itu menyambar kea rah si kurus. Tapi dia ini agaknya telah siap, dia berkelit dengan
lincah, dengan nyelusup ke kolong meja, ketika ia muncul pula, tahu-tahu ia sudah berada
di belakang si imam.
Pispot mengenai meja dan hancur, kotorannya muncrat berhamburan, baunya berkesiur
keras ke empat penjuru, hingga lain-lainnya tetamu lantas saja lekas-lekas menyingkir!
(Bersambung bab ke 16)
Murkanya si imam bukan kepalang, terutama kapan ia ketahui si kurus berada di
belakangnya, sambil putar tubuh, ia menyambar dengan sebelah tangannya. Si kurus
awas dan licin, dia berkelit sambil nyelusup pula ke kolong meja.
Dalam murkanya, imam itu dupak meja hingga terbalik.
Sedetik saja, ruang makan itu jadi kacau. Semua tetamu lainnya pada berdiri di kedua
pinggiran. Lincah luar biasa ada si kurus, ketika si imam serang pula padanya, dia berkelit, lalu dia
loncat sana dan lompat sini, hingga tidak ada kepalan atau dupakan yang mengenai
tubuhnya. Meja-meja lainnya, berikut kursinya, turut terbalik-balik, karena disempar dan dibentur,
poci arak, cawan dan sumpit, jatuh berhamburan. Si kurus membalas menyerang, tetapi
dengan poci arak dan lainnya, yang ia jumput dari lantai. Si imam menjerit-jerit, ia berkelit,
ia menanggapi, untuk balas menimpuk. Dengan begitu terlihatlah kepandaian mereka
berdua. Karena meja dan kursi pun disempar pergi datang, ruang itu lantas menjadi ruang kosong,
hingga si kurus tak dapat jalan untuk main berkelit atau berlari lagi, maka ia terpaksa
mesti layani si imam yang serang ia tak hentinya. Ia melayani sambil perlihatkan
kesebatannya, kegesitan tubuhnya.
Si imam bertenaga besar. Segera kelihatan dia bersilat dengan ilmu silat "Tay Ang Koen"
berasal dari Tjhong-tjioe, atau Tjhong Tjioe Pay. Sesuatu serangannya menerbitkan
sambaran angin yang keras.
Si kurus sendiri bersilat tetap sebagai bermulanya, tubuhnya gesit, gerakannya sebat. Dia
lebih banyak berkelit, dengan buang diri atau berlompat, atau kadang-kadang ia
terhuyung-huyung, nampaknya lucu, hingga Tjeng Tjeng, yang menyaksikan dengan
penuh perhatian, tak tahan untuk tidak tertawa geli.
"Inilah tak enak dilihat!" katanya. "Macam apa ilmu silat ini?"
Sin Tjie juga tidak kenal ilmu silat itu, yang ia belum pernah lihat, ia melainkan saksikan
kelincahan dan gerak-gerakan yang aneh. Rupanya itu ada ilmu kepandaian suatu
golongan tersendiri.
"Inilah Ap Heng Koen," kata Thia Tjeng Tiok, yang luas pengetahuannya. "Dalam kalangan
kaum kang-ouw, tidak banyak orang yang mengerti ilmu silat ini."
Tjeng Tjeng tertawa pula. Nama ilmu silat itu, yang berarti "Koentauw Bebek", sungguh
luar biasa. Tapi sekarang ia bisa lihat tegas, gerakan kaki dan tangan benar-benar seperti
gerak-geriknya bebek gemuk....
Si imam, yang tak bisa rubuhkan si kurus, lalu menjadi sibuk sendirinya. Sia -sia saja
pelbagai toyoran dan tendangannya. Maka akhir-akhirnya, tubuhnya jadi terhuyunghuyung,
sempoyongan, bagaikan orang bertubuh limbung dan tak kuat berdiri. Tapi ini
adalah ilmu silat "Lou Tie Tjim Tjoei Pa San-boen" atau "Lou Tie Tjim sedang mabuk arak
pukul pintu kuil". Tubunya terumbang-ambing tidak keruan, kaki tangannya sambar sanasini,
ada kalanya dia rubuh terbanting sendirinya, lalu bergulingan, tapi serangannya ada
hebat, terutama sehabis jatuh, apabila musuh hampirkan dia, dia bisa berlompat bangun
dengan cepat sekali. Kali ini, Baru dia jalankan separuh dari ilmu silatnya itu, atau si
kurus-kecil sudah repot sendirinya.
Oleh karena itu, ia sering jatuh dan bergulingan, tubuh si iman telah berlepotan nasi dan
kuah sayuran, malah juga kotoran dari pispot, tapi ia tak perdulikan itu, untuk bisa
kalahkan musuhnya, ia masih suka bergulingan.
Rupa-rupanya imam ini lihat ketikanya yang baik sudah datang, dengan sekonyongkonyong
dia lompat mendesak, selagi kakinya sebelah maju, tangan kirinya menggertak,
tangan kanannya menyerang dada, dengan tipu-pukulannya "Pay san to hay", atau
"menggempur gunung untuk menguruk lautan".
Ini adalah satu serangan liehay. Si kurus juga insyaf itu, maka dia lekas-lekas empos
semangatnya, kedua tangannya ditaruh di depan dada, selagi serangan datang, ia berseru
keras: "Bagus!"
Tidak tempo lagi, kedua tangan serta satu kepalan bentrok satu dengan lain. Kepalannya
si imam besar dan antap, kedua tangannya si kurus kecil dan kurus, tapi kedua tangan itu
tepat menyambuti, sesudah mana, keduanya saling dorong.
Si imam menyerang dengan kepalan kanan, karena itu, kepalan kirinya merdeka, akan
tetapi karena dia kumpul tenaga di tangan kanan, tangan kiri itu tak dapat dipakai
membantu. Dia bertenaga besar, dia kerahkan semua tenaganya, tapi tak dapat ia tolak
tubuh musuh, yang pertahankan diri dengan kokoh-teguh, hingga keduanya jadi
berkutetan, tak ada yang dapat maju, tak ada yang bisa mundur. Sebab siapa berani
mundur, celakalah dia.
Keduanya, si imam dan si kurus, menjadi menyesal sendirinya. Mereka tidak bermusuhan
satu dengan lain, tidak keruan, mereka bertarung secara hebat itu, mereka seperti adu
jiwa. Tidak lama kemudian, mereka masing-masing menjadi mandi keringat, air keringat
sebesar kacang kedele mengetel dari jidat mereka...
"Thia Lauw-hia," kata See Thian Kong, setelah mereka menyaksikan sampai sebegitu jauh,
"coba kau pakai tongkatnya si pengemis untuk pisahkan mereka, kalau tidak, lagi sedikit
lama, mereka dua-dua bakal celaka..."
"Aku sendirian tidak sanggup, mari kita berdua," mengajak Tjeng Tiok.
"Baik, marilah," jawab Thian Kong. "Jikalau kita tolak mereka mungkin mereka sama-sama
terluka di dalam, cumalah tak sampai membahayakan jiwa..."
Belum sampai dua orang itu maju, Sin Tjie sudah campur bicara.
"Mari aku yang mencoba!" katanya sambil berbangkit. Lalu, dengan tindakan pelahan, ia
hampirkan dua jago itu, yang sudah mandi keringat. Ia berdiri di tengah, di samping
mereka, lantas pentang kedua tangannya, akan buka kedua orang itu terpisah masingmasing
tangannya, hanya karena mereka dipisahkan secara tiba-tiba, tubuh mereka maju
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngusruk, tangan mereka maju ke depan tepat mengenai dada Sin Tjie.
"Celaka!" berseru Tjeng Tiok dan Thian Kong, sambil mereka lompat, dengan niat tolongi
si anak muda. Tapi kapan mereka sudah datang dekat, mereka dapati si anak muda tidak
terluka, romannya tenang seperti biasa. Mereka tahu, Sin Tjie sudah bersiap mengerahkan
tenaga di dalam tubuhnya, untuk sambuti serangan yang tidak disengaja itu, hingga ia jadi
tak kurang suatu apa.
Tidak demikian adalah si kurus dan si tauwtoo. Mereka telah kehabisan tenaga, setelah
mereka dapat dipisahkan, saking lemasnya, dua-dua rubuh, mendeprok di lantai di tengahtengah
ruang itu. Dengan seorang menolongi satu, Tjeng Tiok dan Thian Kong pimpin bangun kedua jago
itu, sedang jongos lantas diperintah untuk segera bebenah.
Sin Tjie rogoh sakunya, akan serahkan dua-puluh tail perak pada kuasa hotel.
"Ini ada untuk ganti semua kerusakan," katanya. "Semua tetamu itu belum dahar cukup,
silakan sajikan makanan untuk mereka, pembayarannya dimasuki atas namaku."
Tuan rumah menjadi girang, ia terima uang seraya mengucap terima kasih, kemudian ia
perintah sekalian jongos bersihkan segala apa dan bebenah, untuk lekas sajikan barang
hidangan baru untuk semua tetamunya.
Belum terlalu lama, dua-dua si imam dan si kurus telah dapat pulang tenaga mereka, maka
keduanya hampirkan Sin Tjie, untuk menghaturkan terima kasih, sebab si anak muda telah
tolongi mereka.
Sin Tjie tertawa.
"Tak usah, djiewie," katanya. "Aku mohon tanya she dan nama djiewie. Dengan
kepandaian yang liehay, djiewie mesti ada orang-orang ternama."
"Aku adalah Gie Seng tetapi orang umumnya panggil aku Thie Lo Han," sahut si tauwtoo.
"Aku ada Ouw Koei Lam," jawab si kurus. "Aku mohon tanya she dan nama kau tuan,
begitupun nama djiewie." Ia maksudkan Thian Kong dan Tjeng Tiok.
Belum keburu Sin Tjie perkenalkan diri, atau See Thian Kong dului ia.
"Kiranya tuan ada Seng-tjhioe Sin-touw Ouw Toako!" katanya. Ia tahu julukan orang itu
dan menyebutkannya. Seng-tjhioe Sin-touw berarti "Malaikat Copet".
Nampaknya Ouw Koei Lam puas orang kenal dia, tapi ia lekas-lekas merendahkan diri.
Lantas ia ulangi tanya nama See Thian Kong.
Thia Tjeng Tiok jemput kipasnya orang she See itu dan sambil dibuka ia tunjuki kepada
Koei Lam, hingga dia ini lihat lukisan tengkorak yang menyeramkan.
"Oh, kiranya Im-yang-sie See Tjeetjoe!" kata Koei Lam. "Memang sudah lama aku dengar
nama tjeetjoe. Girang aku dengan pertemuan ini."
Sementara itu dengan matanya yang membelalak Koei Lam telah lihat juga tjeng-tiok atau
tongkat bambu orang yang disenderkan di samping meja, sebagai orang yang luas
pengalamannya, ia tahu artinya senjata itu, malah ia kenal baik ruas atau bukunya tongkat
itu, yang ada tiga-belas, tanda kedudukan paling tinggi. Maka lekas-lekas ia menjura
kepada Tjeng Tiok.
"Maafkan aku untuk mataku yang kurang terang," katanya. "Tuan toh Thia Loo-pangtjoe?"
Thia Tjeng Tiok tertawa.
"Benar-benar liehay matanya Seng-tjhioe Sin-touw!" katanya. "Djiewie tidak kenal satu
sama lain apabila djiewie tidak bentrok, maka sekarang, mari kita minum bersama-sama!"
Semua orang lantas duduk.
Gie Seng dan Koei Lam lantas saling memberi selamat dengan arak, satu sama lain
mereka akui kesemberonoan mereka.
Gie Seng kemudian tertawa ketika ia kata: "Sungguh aneh, entah dari mana dia curinya
pispot itu!"
Mendengar ini, semua orang tertawa.
Koei Lam berlaku sopan-santun, tidak saja ia tahu ia berhadapan sama dua jago dari
Hoopak dan Shoatang, di situ pun Sin Tjie yang agaknya dipandang tinggi kedua jago itu,
hingga ia menduga, pemuda ini bukan orang sembarangan. Ia pun telah saksikan
keliehayannya selagi si anak muda pisahkan mereka.
"Untuk maksud apa djiewie sampai di sini?" Tjeng Tiok tanya kemudian. "Kau sendiri,
Ouw Lauwtee, apakah kau lihat dan penujui salah satu hartawan di sini hingga kau berniat
perlihatkan ilmu kepandaianmu?"
"Di dalam wilayah Thia lootjianpwee mana berani aku main gila?" sahut Koei Lam sambil
tertawa. "Aku hendak pergi memberi selamat kepada Loo-ya-tjoe Beng Pek Hoei."
"Hei, mengapa kau tak menyebutkannya maksudmu itu siang-siang?" menegur Gie Seng
sambil tepuk meja. "Aku juga berniat pergi memberi selamat! Coba aku ketahui
maksudmu, mana kita bentrok..."
"Tapi inilah bagus!" tertawa Tjeng Tiok. "Kita sama-sama hendak memberi selamat pada
Beng Loo-yatjoe, mari besok kita berangkat bersama-sama. Rupanya djiewie kenal baik
Beng Looyatjoe itu?"
"Beng Toako itu adalah sahabatku sejak dua-puluh tahun yang lampau!" jawab Thie Lo
Han. "Selama yang belakangan ini aku lebih banyak berdiam di Kwietang Hokkian, jarang
aku pergi ke utara. Sudah kira-kira delapan atau sembilan tahun kami tak pernah bertemu
satu dengan lain."
"Kalau demikian Lo Han Toako, tolong kau perkenalkan aku dengannya," kata Ouw Koei
Lam. Tauwtoo itu menjadi heran.
"Apa?" katanya. "Apakah kau tak kenal Beng Toako" Habis kenapa kau hendak pergi
kasih selamat padanya?"
"Aku adalah seorang yang sejak lama kagumi Beng Toako, sayang belum ada jodonya aku
bertemu dengannya," Koei Lam akui. "Belum lama ini aku telah dapatkan serupa barang
berharha, aku pikir, untuk berkenalan sama orang kang-ouw kenamaan ini, aku boleh
berikan bendaku itu."
"Begitu!" kata si tauwtoo. "Mengenai Beng Toako, jangan kata orang yang membekal
barang antaran, sekalipun yang tidak, dia bakal sambut dengan manis-budi. Beng Toako
sangat ramah-tamah. Kalau tidak, mengapa orang bandingi dia dengan Beng Siang
Koen?" Mendengar orang menyebut dapat benda berharga, hatinya Thia Tjeng Tiok tertarik.
"Ouw Lauwtee, benda apa itu yang kau dapatkan?" tanyanya. Apa boleh kau bantu
membukan pandanganku dengan kau perlihatkan benda itu?"
"Seng-tjhioe Sin-touw telah curi banyak barangm yang tidak berharga mana dia pandang
mata?" kata See Thian Kong sambil tertawa. "Pasti itu adalah barang yang harganya sama
besarnya dengan sebuah kota...."
Nampaknya Ouw Koei Lam girang sekali.
"Barang itu sekarang berada padaku," ia beritahukan. Ia lantas merogo ke dalam sakunya,
akan keluarkan sebuah lopa-lopa terbuat dari emas yang indah dan tertabur batu pualam
dan mutiara. "Di sini ada banyak mata, mari kita pergi ke dalam kamar," kata dia kemudian.
Semua orang ingin lihat isinya lopa-lopa indah itu, semua lantas bertindak ke dalam
kamar. Begitu lekas ia telah rapatkan pintu, Ouw Koei Lam buka lopa-lopanya di dalam mana
terdapat dua ekor kodok pek-tjiam-sie yang sudah menjadi bangkai, tubuhnya putih
bagaikan salju seluruhnya, biji matanya merah bagaikan darah hidup. Memang,
nampaknya dua ekor kodok itu menarik hati untuk dipandang, akan tetapi semua orang
tidak lihat faedahnya.
Tjeng Tiok dan Thian Kong sendiri, yang berpengalaman luas, masih tak mengerti juga.
Ouw Koei Lam awasi Gie Seng, ia tertawa.
"Tadi berdua kita adu tenaga," katanya, "umpama kata kita terbinasa karenanya, itu dia
yang dinamakan takdir, tidak ada pertolongan lagi, akan tetapi andaikata kita cuma terluka
parah, aku mempunyai daya-upaya untuk tolong mengobatinya hingga kita terbebas dari
ancaman malapetaka." Dia lantas tunjuk sepasang kodok putih itu: "Inilah kodok Tjoetjeng
peng-tjiam yang hidupnya di Soat San, Gunung Salju di See-hek, perbatasan barat.
Tidak perduli luka bagaimana hebat, di luar, atau terkena racun, asal orang tidak mati
seketika, dia dapat ditolong setelah dia makan kodok ini, kodok es. Kemujarabannya obat
ini tidak ada tandingannya."
"Dari mana kau dapatkannya ini?" Tjeng Tiok tanya.
"Dari satu imam tua," sahut Koei Lam. "Pada bulan yang lalu aku berada di Hoolam, selagi
singgah di hotel aku bertemu sama imam itu yang sedang sakit berat sampai hampir mati.
Aku kasihan terhadapnya, aku berikan ia uang sepuluh tail, untuk ia panggil tabib dan
berobat, aku sendiri layani dia selama sakitnya itu. Dasar umurnya sudah sampai, obat
dan rawatanku tidak menolong, akhirnya tak dapat ia hidup lebih lama pula. Imam itu ingat
budi, di saat hendak menghembuskan napasnya yang terakhir, dia kasikan kodoknya ini
kepadaku, untuk membalas kebaikanku."
"Mengapa lopa-lopanya demikia indah?" Thie Lo Han tanya.
"Pada mulanya, si imam tempatkan ini dalam sebuah lopa-lopa kaleng," menerangkan
Koei Lam. "Sekarang aku hendak haturkan kodok es ini kepada Beng Looyatjoe, maka aku
tukar tempatnya, supaya setimpal dilihatnya."
See Thian Kong tertawa.
"Maka lantas kau, dengan tangan kosong, kunjungi suatu hartawan, untuk dapatkan lopalopa
emas dan indah ini?" katanya.
"See Tjeetjoe pandai menerka," tertawa Koei Lam. "Lopa-lopa emas ini kepunyaan nona
besar dari satu hartawan she Lauw di kota Kay-hong..."
Semua orang tertawa.
Koei Lam tak malu ditertawai, ia pun tertawa juga.
"Tadi," katanya, melanjuti, "jikalau tidak tuan ini menolongi, kita berdua mesti rubuh
dengan luka-luka parah, andaikata aku terluput dari kematian, pasti aku akan makan satu
kodok es ini dan berikan dia yang lainnya. Kita berdua tidak bermusuhan, mustahil aku
mesti bikin dia celaka?"
"Dengan begitu aku jadi bakal terima budimu!" tertawa Thie Lo Han.
Maka lagi-lagi semua orang tertawa.
"Dan sekarang, kedua kodok ini tetap bukanlah kepunyaanku," kata pula Koei Lam. Lalu
dengan kedua tangannya, dia angsurkan kodok itu kepada Sin Tjie. "Tak berani aku
menyebut membalas budi tetapi ini melainkan ada tanda hati dari aku."
Sin Tjie heran hingga ia melengak.
"Mana dapat!" katanya kemudian. "Kodok ini kau toh kau hendak berikan kepada Beng
Loo-yatjoe..."
"Jikalau siangkong tidak berkorban untuk tolongi kami, pasti aku sudah mati," kata Koei
Lam, "maka itu, nyata sepasang kodok es ini bukan jodonya Beng Loo-yatjoe. Untuk
hadiah, bukannya aku tekebur, sembarang waktu aku bisa dapatkan gantinya, maka tak
usah siangkong buat pikiran."
Masih Sin Tjie menampik, karena mana, Koei Lam agaknya kurang puas.
"Siangkong tidak mau perkenalkan she dan nama, sekarang siangkong juga tidak sudi
terima barangku, apa mungkin siangkong sangka kodok es ini aku dapatinya dari
mencuri?" katanya. "Apa mungkin siangkong anggap ini barang kotor?"
"Maaf, saudara Ouw," kata Sin Tjie dengan cepat. "Tak sempat tadi aku perkenalkan diriku.
Aku ada Wan Sin Tjie."
"Aha!" berseru Thie Lo Han dan Koei Lam juga. "Jadinya siangkong ada Wan Toaya yang
menjadi bengtjoe dari tujuh propinsi! Pantas toaya liehay sekali."
Keduanya lantas unjuk sikap sangat menghormati.
"Ouw Toako memaksa hendak memberikannya, jelek untuk aku menampik, baik aku
terima," kata Sin Tjie kemudian. "Banyak-banyak terima kasih!"
Ia sambuti kodok es itu, untuk disimpan dalam sakunya.
Bukan main girangnya Koei Lam, wajahnya berseri-seri.
Sin Tjie pergi ke kamarnya akan kembali bersama sepohon batu bunga-karang merahdadu
yang terang bercahaya, indah dan tak ada cacatnya, tak ada sebutir jua pasir
tercampur di dalamnya, kapan ia letaki itu di atas meja, ruangan jadi tambah terang luar
biasa. Jadi itu adalah mustika bunga-karang.
Koei Lam tercengang, walaupun ia pernah lihat banyak barang permata.
"Belum pernah aku lihat mustika ini," katanya. "Mungkin dalam istana kaisar Baru
kedapatan ini macam mustika. Apakah ini pusaka turunan, Wan Toaya" Dengan ini mataku
telah terbuka."
Sin Tjie tertawa.
"Ini melainkan suatu benda permainan," bilangnya. "Meskipun barang ini indah,
kefaedahannya masih kalah dengan kodok es itu, yang bisa menolongi jiwa orang. Secara
kebetulan saja aku peroleh ini. Aku harap saudara Ouw suka menerimanya, untuk ganti
barang antaranmu."
"Tapi ini terlalu berharga," Koei Lam kata.
"Tidak apa, saudara Ouw. Kau terimalah."
Karena terdesak, Koei Lam terima juga. Ia mengucap terima kasih.
Tjeng Tiok semua kagum untuk sifat Sin Tjie ini.
Sampai di situ, mereka beristirahat, untuk besoknya pagi, mereka melanjuti perjalanan,
maka sorenya, sampailah mereka di Po-teng. Mereka singgah dulu di hotel, lalu
besokannya pagi-pagi, mereka sudah bikin kunjungan kepada Beng Pek Hoei, jago Utara
itu. Kapan tuan rumah lihat tiga nama - Wan Sin Tjie, Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong - ia
sendiri yang keluar menyambut, akan tetapi kapan ia telah saksikan Sin Tjie hanya
seorang muda, ia menjadi sedikit melengak. Inilah ia tak sangka, dengan sendirinya ia
menjadi tak puas.
"Kenapa orang-orang gagah dari tujuh propinsi jadi begini angot," pikirnya, "Kenapa
mereka pilih bocah semacam ini menjadi bengtjoe?"
Sebagai seorang yang gemar bergaul, biar bagaimana, Beng Pek Hoei layani juga tetamutetamunya
itu; ia dibantu oleh kedua anaknya, Beng Tjeng dan Beng Sioe. Ia
menghaturkan terima kasih, ia utarakan penghargaannya kepada semua tetamu itu, lantas
ia undang mereka masuk, untuk duduk.
Sin Tjie lihat tuan rumah bertubuh kekar, rambut dan kumis-jenggotnya telah putih semua,
tindakannya masih tetap, suatu tanda bahwa dia mengerti baik ilmu silat, sementara kedua
puteranya sedang mudanya dan romannya gagah.
Kapan kemudian kedua pihak telah bicara lama juga, segera ternyata Beng Pek Hoei
kurang setuju dengan rapat besar di Tay San, selagi Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong
omongkan itu, dia seperti tak memperhatikan, dia tidak campur bicara atau
menanyakannya. Selang tidak lama, datang lain tetamu, dengan memohon maaf, Pek Hoei tinggalkan
rombongan Sin Tjie, untuk sambut tetamu Baru itu.
"Dia dijuluki Kay Beng Siang,mengapa dia layani tetamunya begini adem?" pikir Tjeng
Tjeng. "Mestinya dia kesohor namanya saja...."
Habis minum teh, Beng Sioe temani rombongan Sin Tjie ini pergi ke ruang belakang, untuk
saksikan pelbagai barang antaran atau tanda mata dari sekalian tetamu. Di sana mengitari
sebuah meja berada Pek Hoei bersama sejumlah tetamu lainnya. Rata-rata tetamu itu
memberikan pujiannya.
Melihat pada Sin Tjie beramai, Pek Hoei lekas-lekas menghampirkan.
"Saudara Wan, tak sanggup aku terima budi kebaikanmu ini!" katanya. "Sumbangan
saudara berharga sangat besar..."
"Untuk hari ulang tahun lootjianpwee, barang itu tidak berharga," sahut Sin Tjie.
Thian Kong beramai dekati meja, hingga mereka bisa lihat banyaknya barang tanda mata,
yang indah-indah, sedang tanda mata dari Sin Tjie ada dua-puluh empat butir mutiara serta
kuda-kudaan kumala, dan sumbangan Tjeng Tjeng ada semangka-semangkaan dari batu
hoeitjoei. Mencolok adalah tanda mata dari Ouw Koei Lam, itu batu bunga-karang.
Beng Pek Hoei tidak puas Sin Tjie yang muda diangkat sebagai bengtjoe, tapi sekarang
menyaksikan sikap sopan santun dan manis budi pemuda itu, dia dipanggil dengan
sebutan lootjianpwee serta barang sumbangannya demikian indah dan mahal, berubahlah
perasaannya, dia mulai menjadi suka. Dia pun heran untuk kelakuan hormat dan halus dari
anak muda ini. Kapan kemudian telah selesai orang memberi selamat kepada tuan rumah, pada
malamnya tuan rumah undang semua tetamu untuk dijamu. Itulah suatu pesta besar
sekali. Telah hadir lebih daripada tiga-ribu tetamu, sebab Pek Hoei adalah orang paling
kenamaan di Po-teng, dia kaya raya dan sangat gemar bergaul. Di dalam pesta, tuan
rumah ini berlaku sangat ramah-tamah, ia saban-saban menghaturkan terima kasih.
Di thia telah diatur kira-kira delapan-puluh meja, untuk semua tetamu yang ternama, dan
untuk tetamu lainnya, mereka berpesta di ruang belakang.
Sin Tjie bertiga Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong diundang duduk di meja pertama,
Beng Pek Hoei sendiri yang menemani. Di sini ada duduk juga - malah di kursi pertama Wan-yho-tan Thio Djiak Kok, seorang umur tujuh-puluh-delapan tahun, yang tersohor
gagah. Pek Hoei perkenalkan dia ini pada Sin Tjie bertiga.
Thio Djiak Kok juga heran mengapa rapat di Tay San pilih satu bengtjoe seorang muda dan
tak beroman luar biasa sebagai pemuda ini, dari heran, ia merasa lucu, tetapi ia tidak
bilang suatu apa.
Duduk bersama di meja pertama itu ada satu orang she Phang bekas tjongpeng, yang
masih dipanngil Phang Tjongpeng, begitupun Tang Kay San, piauwsoe kepala dari Eng
Seng Piauw Kiok, serta beberapa orang kenamaan lain.
Habis beri selamat pula dengan secawan arak pada tuan rumah, sekalian tetamu ini lantas
dahar dan minum dengan gembira, dengan main bade-badean tangan juga.
Selagi pesta berjalan, satu tjhungteng datang masuk dengan tangannya membawa satu
barang hadiah, dia dekati Beng Tjeng, untuk bicara di kupingnya majikan muda ini dengan
pelahan, atas mana dia ini berbangkit, akan hampirkan ayahnya.
"Ayah, sungguh terang muka ayah," katanya. "Sin-koen Boe-tek Kwie Sin Sie suami-isteri
serta murid-muridnya telah datang untuk memberi selamat!"
Tapi Pek Hoei heran, hingga ia melengak.
"Sebenarnya aku tak punya hubungan dengan mereka," katanya.
Kapan dos barang antaran dibuka, di situ kedapatan selembar kertas merah yang memuat
huruf-huruf besar menyebutkan nama Kwie Sin Sie suami isteri serta murid-muridnya,
yang memberi selamat, serta di bawahan itu, dengan huruf kecil, ada tambahan mohon
suka diterima sumbangan uang emas sepuluh tail, uang emas mana, dalam rupa sepotong
goanpo kecil, terletak di dalam dos itu.
"Lekas menyambur!" kata tuan rumah, yang lantas bilang pada Thio Djiak Kok beramai,
"Maaf." Bersama dua anaknya, segera ia pergi keluar. Tapi lekas juga ia telah kembali,
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan air muka riang-gembira, bersama dia ada Kwie Sin Sie suami-isteri bersama Bwee
Kiam Hoo, Lauw Pwee Seng dan Soen Tiong Koen.
Sin Tjie sudah lantas berbangkit untuk berdiri di pinggiran, terus ia menjura seraya
berkata: "Djie soeko, djie-soeso, baik?"
Kwie Sin Sie manggut.
"Oh, kau pun ada di sini...." sahut soeko yang kedua itu.
"Ehm," terdengar Kwie Djie-nio, yang tak perdulikan soetee itu.
"Silakan duduk di atas, soeko," kata Sin Tjie pula. "Aku nanti duduk bersama Kiam Hoo
beramai." Mendengar bahwa mereka adalah soeheng dan soetee, Beng Pek Hoei tertawa.
"Bagus, bagus!" katanya. "Ada soeko yang begini terkenal yang menjadi tulang
punggung, jangan kata Baru menjadi bengtjoe dari tujuh propinsi, walaupun dari empatbelas
propinsi masih tepat!"
Dengan kata-katanya itu, Pek Hoei beranggapan Sin Tjie menjadi bengtjoe karena andalan
soehengnya itu.
Sin Tjie dengar itu, ia melainkan bersenyum, ia tak bilang suatu apa.
"Kau omong tentang bengtjoe, apa itu?" tanya Sin Sie dengan heran.
"Ah, aku bicara seenaknya saja, harap Kwie Djieko tak buat pikiran," sahut tuan rumah,
yang terus silakan tetamunya ini duduk bersama Thio Djiak Kok beramai, karena mana,
Sin Tjie pindah akan duduk bersama Kiam Hoo.
Di dalam pesta ini, wanita dan pria duduk bersama, tidak ada pemisahan.
Kwie Sin Sie dan nyonya bersama tuan rumah lantas saling memberi selamat, yang satu
untuk selamat panjang umur, yang lain untuk kedatangannya tetamu, kepada siapa pun
dihaturkan terima kasih buat antaran barang tanda matanya.
Habis minum tiga edaran, Tang Kay San berbangkit, untuk mohon undurkan diri, katanya
tak kuat ia minum banyak, ingin ia beristirahat.
Beng Pek Hoei tidak mencegah, malah ia suruh satu tjhungteng untuk antar tetamu ini ke
balai istirahat.
Tiba-tiba Kwie Sin Sie kata dengan tawar: "Kami telah pergi kemana-mana untuk cari Tang
Piauwsoe, kami tidak berhasil, maka kami sangka, piauwtauw mesti ada di sini, buktinya
sekarang benar dugaan kami itu!"
Tang Kay San berubah wajahnya, dia likat agaknya.
"Aku dengan Kwie djie-ya tidak punya dendaman atau permusuhan, dahulu tidak,
sekarang pun tidak," katanya. "Maka kenapa Kwie Djie-ya bergitu mendesak mencari
aku?" Orang banyak heran, hingga mereka menunda cawan arak mereka. Semua orang
mengawasi kedua tetamu ini.
Beng Pek Hoei tertawa.
"Di antara djiewie ada sangkutan apa?" tanyanya. "Aku minta djiewie suka memandang
aku, biarlah aku dapat mendamaikannya."
"Sudah lama aku kagumi nama Kwie Djie-ya," berkata Tang Kay San. "Dengan dia aku
belum pernah berkenalan, maka aku pun tidak mengerti kenapa Kwie Djie-ya cari aku
kemana-mana...."
Mendengar ini, Pek Hoei lantas saja mengerti. Di dalam hatinya, ia kata: "Bagus benar!
Kamu berdua jadi bukan dengan setulus-tulusnya hati datang untuk memberi selamat
kepada aku! Yang satu adalah untuk menyingkirkan diri, yang lain untuk menyusul! Si
orang she Tang ini menghargai aku, dia telah memasuki rumahku, biar bagaimana, tak
dapat aku ijinkan dia mendapat susah." Karena memikir begini, ia terus kata kepada
tetamunya yang baru: "Kwie Djie-ya, apabila kau ada punya urusan, baik kita bicarakan itu
selewatnya hari ini. Kita semua ada sahabat-sahabat baik, urusan apa juga dapat
didamaikan."
Kwie Sin Sie tak pandai bicara, maka isterinya yang wakilkan dia.
"Ini adalah anak tunggal dari Djie-ya," berkata nyonya ini sambil ia tunjuk puteranya, yang
senantiasa berada dalam empoannya. "Anak ini telah mendapat sakit berat, dia tinggal
matinya saja, karena itu kami hendak mohon Tang Piauwtauw berbuat kebaikan kepada
kami dengan berikan beberapa butir obat pulungnya kepada kami, untuk tolongi jiwanya
anak kami ini. Tentu saja itu ada satu budi yang besar sekali."
"Itu adalah hal yang selayaknya," kata Beng Pek Hoei, yang terus berpaling kepada
piauwsoe she Tang itu, akan kata: "Tuan Tang, menolongi satu jiwa manusia ada lebih
berjasa daripada mendirikan sebuah menara tujuh tingkat, maka itu, tolong kau berikan
obat kepada anak ini. Inilah permintaan dari Kwie Djie-ya, satu enghiong yang kenamaan."
"Coba hok-leng dan ho-sioe-ouw itu ada kepunyaanku sendiri, tidak usah Kwie Djie-ya
capaikan hati akan cari aku, pasti siang-siang aku sudah menghaturkannya dengan kedua
tanganku," sahut Tang Kay San. "Akan tetapi obat itu ada kepunyaan Ma Taydjin, tjongtok
dari Hongyang - itu ada upeti untuk kotaraja, maka itu, bagaimana dapat aku
menyerahkannya" Barang telah diserahkan dalam pertanggungan-jawab dari Eng Seng
Piauw Kiok, apabila aku membuat gagal, di belakang hari, cara bagaimana kami dapat
hidup di dalam kalangan kang-ouw ini?"
Tang Piauwsoe telah memberikan alasan kuat, orang menjadi serba salah.
Phang Tjongpeng dengar halnya barang upeti, lantas saja dia campur bicara.
"Barang upeti berarti barangnya Sri Baginda, siapa bernyali besar berani ganggu itu?"
katanya dengan nyaring.
"Hm!" Kwie Djie-nio menyambuti. "Walaupun itu ada barangnya Giok Hong Tay Tee, mesti
aku mengambilnya!"
Phang Tjongpeng jadi gusar, hingga dia keluarkan lagak pembesarnya.
"Bagus!" serunya. "Orang perempuan, kau hendak berontak?"
Kwie Djie-nio jadi tambah murka. Dengan sumpitnya dia jemput sepotong bakso, selagi si
tjongpeng belum sempat tutup rapat mulutnya, dia menimpuk, tepat masuk ke dalam
mulut, sedangkan si tjongpeng lagi kaget, lain-lain potongan bakso beruntun menyambar
mulutnya jadi penuh, hingga dia jadi kelabakan.
Jago tua Thio Djiak Kok menjadi tidak senang.
"Ini hari ada hari ulang tahun Beng Toaya, mengapa kau mengacau?" pikirnya.
Lantas dia jumput para-para sumpit mirip goanpo, ia menepuk dengan keras, hingga parapara
itu nancap di atas meja.
"Kau pertontonkan tenaga lweekang, siapa jeri padamu?" kata Sin Sie dalam hatinya.
Lantas dia letaki tangannya di atas menja, diam-diam ia kerahkan tenaganya, di mata
orang kebanyakan, dia tidak berbuat suatu apa, akan tetapi tahu-tahu para-para sumpit itu
meletik sendirinya, seperti tercabut dengan ilmu dewa.
Mukanya Thio Djiak Kok menjadi merah, dia jengah sendirinya. Lagi dia keprak meja,
lantas dia menoleh kepada tuan rumah, akan kata: "Beng Lauwtee, saudaramu telah
mendapat malu di rumahmu ini...." Lantas dia bertindak keluar, tindakannya lebar.
"Jangan kesusu, Thio Looyatjoe," kata dua pelayan, sambil menyusul. "Silakan looyatjoe
minum teh di ruang belakang...."
Djiak Kok tidak perdulikan cegahan itu, malah dengan buka kedua tangannya, ia bikin
kedua pelayan sempoyongan dan jatuh terpental. Ia jalan terus.
Beng Pek Hoei menjadi tidak senang. Ia anggap pestanya yang berjalan dengan gembira
itu telah dikacau oleh Kwie Sin Sie suami-isteri. Tapi, belum sampai dia bicara, Phang
Tjongpeng sudah berteriak kelabakan. Dia ini bisa keluarkan semua bakso dari mulutnya,
kecuali sepotong yang pertama, yang nyerobot terus lewat tenggorokannya, masuk ke
dalam perutnya!
"Berontak! Berontak!" Demikian suaranya yang nyaring. "Apakah masih ada undangKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
undang raja" Mari!"
Dia memanggil orangnya. Lantas dua pengikutnya muncul. Mereka ini menantikan di luar,
mereka tidak tahu apa-apa, mereka masuk sambil berlari-lari.
"Lekas gotong Tay-Kwan-too-ku!" kata Phang Tjongpeng itu, yang bersenjatakan Taykwantoo itu - golok Kwan Kong.
Ketika ia peroleh pangkat, Phang Tjongpeng dapati itu karena andalkan pengaruh
isterinya, boegeenya masih rendah, akan tetapi dia aksi, dia perintah tukang besi bikin
golok Kwan Kong yang besar tapi di dalamnya, besinya dikosongkan. Kalau dia tunggang
kuda, dia cekal goloknya itu, sengaja dia perlihatkan sebagai dia lagi pegang senjata berat,
hingga orang kagumi dia karena tenaganya yang besar. Goloknya itu pun mesti selalu
digotong dua pengiringnya. Sekarang dia gusar dengan mendadak, kumat penyakit
tekeburnya, sampai dia lupa dirinya lagi berada di tempat apa, dia beraksi. Tentu saja dua
pengiringnya jadi melengak. Mereka datang ke pesta, mereka tak bawa-bawa gegaman
berat itu. Karena itu, satu pengiring loloskan saja golok di pinggangnya, dan angsurkan itu
kepada majikannya.
Beng Pek Hoei kenal bekas tjongpeng ini, menampak aksinya dia geli berbareng mendelu.
"Jangan!" tuan rumah ini segera menyela.
Tapi Phang tjongpeng biasa anggap jiwa manusia bagaikan rumput saja, goloknya telah
menyambar ke arah Kwie Djie-nio!
Nyonya Kwie Sin Sie empo anaknya, dengan tangan kanan, maka itu, atas serangan, dia
ulur tangannya yang kiri; dengan dua jari telunjuk dan tengahnya, ia sambuti, menjapit
golok yang dipakai membacok dia.
"Toalooya, kau hendak apa?" dia menegur.
Tjongpeng pensiunan itu tarik goloknya, ia tidak berhasil. Bagaikan dijepit dengan sepit
besi, demikian golok itu diam di antara jepitan kedua jarinya si nyonya, tak sanggup ia
untuk membuat bergeming saja, hingga ia jadi penasaran. Lantas ia cekal gagang golok
dengan kedua tangannya, ia menarik dengan sekuat tenaganya!
Dengan tiba-tiba saja Kwie Djie-nio lepaskan jepitannya, maka tidak ampun lagi, bekas
tjongpeng itu rubuh terjengkang ke belakang tanpa dia bisa pertahankan tubuhnya, dia
rubuh terbanting, belakang golok jatuh menimpa jidatnya, hingga bengkak-benjutlah jidat
itu sebesar telur ayam!
Kedua pengiring lekas menghampirkan majikannya, untuk dibangunkan.
Malu bekas tjongpeng ini, tanpa bilang suatu apa lagi, bersama dua pengiringnya itu dia
ngeloyor pergi, meninggalkan ruang pesta, selagi lewati pintu, dia damprat dua pengiring
itu, yang dikatakan sudah tak gotong golok besarnya....
Dalam waktu kalut itu, Tang Kay San memikir untuk menyingkir, tapi Kwie Sin Sie bisa
terka maksudnya.
"Tang Piauwsoe, tinggalkan obatmu!" kata jago ini. "Aku tidak akan bikin susah
padamu...."
Kay San jadi sangat terdesak, maka ia berdiri diam di tengah ruangan.
"Aku tahu aku Tang Kay San bukan tandingan kau, Sin-koen Boe-tek," kata dia. "Jiwaku
ada di sini, jikalau kau hendak ambil, nah, ambillah!"
"Siapa inginkan jiwamu?" kata Kwie Djie-nio. "Kau keluarkan obatmu!"
Beng Tjeng, putera sulung dari Beng Pek Hoei, menjadi habis sabar. Ia maju ke depan
Tang Piauwsoe. "Orang she Kwie," berkata dia, "hari ini ada hari ulang tahun ayahku, jikalau ada urusan di
antara kamu, silakan urus itu di luar!"
"Baik!" sahut Kwie Sin Sie. "Tang Piauwtauw, mari kita pergi keluar!"
Tapi piauwsoe itu tak sudi ikuti orang.
Kwie Sin Sie menjadi habis sabar, ia ulur sebelah tangannya, untuk menjambak.
Tang Kay San mundur setindak untuk tidak mengenai tangan itu.
Sin Sie telah ulur tangannya, tak pernah itu ditarik pualng dengan tangan kosong. Tang
Kay San ada piauwsoe kepala dari satu piauw-kiok kesohor. Boegeenya pun bukan
boegee sembarangan, akan tetapi tangan Sin Sie cepat luar biasa, tak perduli dia
undurkan diri, bajunya kena juga terjambak hingga robek!
Kembali Beng Tjeng menghalangi diri.
"Tang Piauwsoe ada tetamu, yang sengaja datang untuk memberi selamat kepada ayahku,
kami tidak dapat ijinkan dia diperhina orang di tempat kami," katanya.
"Habis apa kau kehendaki?" tanya Kwie Djie-nio. "Kau dengan sendiri bukankah suamiku
telah perintah dia pergi keluar?"
"Kamu mempunyai urusan penting dengan Tang Piauwsoe, apakah tak dapat kamu pergi
cari dia di Eng Seng Piauwkiok?" tanya Beng Tjeng. "Kenapa kamu justeru datang
mengacau di sini?"
Dalam sengitnya, anak muda ini jadi tak sungkan-sungkan lagi bicaranya.
"Kami mengacau, habis bagaimana?" berseru Kwie Djie-nio.
Mukanya Beng Pek Hoei jadi guram-suram. Dia lantas berbangkit.
"Baiklah!" katanya. "Jikalau Kwie Djie-ya memandang aku, aku si orang tua suka terima
pengajaran daripadamu."
Saking habis sabar, jago tua ini terpaksa menantang.
"Ayah, hari ini ada hari ulang tahunmu, biarkan anakmu saja," Beng Tjeng bilang.
Tuan rumah yang muda ini lantas panggil orang-orangnya untuk mereka singkirkan kursimeja,
untuk memberi satu ruangan terbuka, hingga karenanya, pesta jadi terganggu.
"Jikalau benar kau hendak mengacau, mari maju!" kemudian Beng Tjeng menantang.
"Jikalau benar kau hendak turun tangan terhadap suamiku, baik kau belajar silat lagi dua
puluh tahun!" peringati Kwie Djie-nio dengan tekebur. "Sekalipun begitu, aku sangsikan
kau bakal berhasil!..."
Beng Tjeng telah dapat warisan banyak dari ilmu silat ayahnya, dia pun sedang muda dan
gagahnya, sampai sebegitu jauh, belum pernah ia menemui tandingan, maka meskipun ia
pernah dengar nama kesohor dari Kwie Sin Sie suami-isteri, dalam kejadian seperti ini, tak
dapat ia menahan sabar lebih jauh.
"Kwie Loo-djie, kau mahluk apa maka kau berani mengacau di sini?" ia berseru. "Jikalau
Beng Siauwya kalah daripadamu, nanti aku antap apa kau suka perbuat terhadap Tang
Piauwtauw, selanjutnya kami keluarga Beng tak akan campur tahu pula. Umpama kata aku
yang menang, bagaimana denganmu?"
Kwie Sin Sie tak suka omong banyak, maka dengan pelahan, dia jawab: "Asal kau
sanggup sambut tiga jurus dari aku, aku nanti menjura terhadapmu!"
Orang banyak tidak dapat dengar suara itu, mereka saling tanya satu pada lain.
Beng Tjeng tertawa besar.
"Tuan-tuan dengar, dia jumawa atau tidak?" kata dia kepada sekalian tetamunya.
"Dia bilang, asal aku sanggup sambut tiga jurus serangannya, dia bakal menjura
kepadaku! Benarkah begitu, Kwie Loo-djie?"
"Tidak salah!" sahut Kwie Sin Sie. "Kau sambutlah!"
Dengan sekonyong-konyong saja kepalan kanan jago ini menyambar, dengan gerakannya
"Tay San ap teng" atau "Gunung Tay San menindih batok kepala".
"Lihat, soekomu telah menelad contohmu!" kata Tjeng Tjeng pada Sin Tjie.
"Kau maksudkan apa?" Sin Tjie tegasi.
"Ketika kau layani murid soekomu itu, bukankah kau pun menyebutkan seranganmu
berapa jurus?" si nona balik tanya.
"Orang she Beng ini tidak tahu selatan, dia mana tahu liehaynya soeko," kata Sin Tjie,
yang tidak jawab si nona.
Beng Tjeng lihat serangan datang, ia hendak lawan keras dengan keras, ia menangkis
dengan tangan kanan, tangan kirinya dibarengi dipakai menyerang. Maka kedua lengannya
bergerak dengan berbareng.
"Dia jumawa, dia rupanya punya kepandaian yang berarti," pikir Sin Sie, yang lihat sikap
pemuda itu dan merasakan juga bentroknya kedua tangan. Tapi ia tidak mau memberi hati.
Justeru ia diserang dengan tangan kiri, tangan kirinya mendahului, menyambar lengan
atas orang, diteruskan disampok.
Beng Tjeng telah wariskan ilmu "Koay wah Sam-sip-tjiang" dari ayahnya, ilmu silat itu
sangat utamakan beh-sie, atau kuda-kuda maka kedudukannya jadi kuat sekali, dia tak
kena disempar lawannya.
"Celaka!" kata Sin Tjie dengan pelahan. "Pukulan pertama ini tak membuat dia
bergeming..."
Kwie Sin Sie sudah lantas ulangi serangannya.
Beng Tjeng dapat ketika, karena ia tahu lawannya tangguh, ia menyambut dengan dua-dua
tangannya, tapi tanpa ia menduga suatu apa, tahu-tahu ia rasakan dorongan keras sekali,
otaknya menjadi butek, pusing sekejab saja dia rubuh terjengkang, dengan tak sadar akan
dirinya. Semua orang menjadi kaget.
Beng Pek Hoei dan Beng Sioe lompat, akan kasi bangun itu anak atau saudara.
Beng Tjeng cepat sadar, walaupun dengan pelahan-lahan, akan tetapi begitu ia buka
mulutnya, ia semburkan darah yang telah berwarna hitam, sebab ternyata ia telah terluka
di dalam. Kwie Sin Sie tak dapat sampok orang hingga terpelanting, ia mau percaya, pemuda ini
benar-benar liehay, maka kapan ia menyerang pula, ia gunai tenaga penuh. Kali ini Beng
Tjeng tak dapat pertahankan diri, ia rubuh dengan segera. Melihat demikian, Sin Sie jadi
menyesal, ia kuatir orang nanti mati karena lukanya itu.
Teng-kah-sin Teng Yoe dan Beng Sioe menjadi meluap hawa amarahnya, tanpa berdamai
lagi, keduanya loncat maju, untuk menyerang. Beng Pek Hoei sendiri lantas uruti
puteranya, sambil menolongi, ia lihat tarikan napas pelahan sekali dari puteranya itu,
tanpa merasa, air matanya berlinang dan turun mengucur. Tiba-tiba saja dia berbangkit
untuk menyerang tetamunya yang dianggap pengacau pesta itu.
Itu waktu Kwie Sin Sie lihat Tang Kay San hendak menyingkir, maka tempo Teng Yoe dan
Beng Tjeng serang dia, dia berkelit dengan nyelundup di bawah, berbareng dengan mana,
ia berhasil dekati si piauwsoe, iga siapa terus ia totok. Piauwsoe itu tak berdaya, hingga
dia lantas jadi berdiri diam, hanya lucunya, justeru dengan sikap sebelah kaki di depan,
sebelah kaki di belakang seperti orang lagi berlari...
Beng Pek Hoei sendiri sudah bertempur dengan Kwie Djie-nio sebab nyonya ini telah
majukan diri, akan lindungi suaminya dari bokongan. Jago tua itu seperti kalap, di sebelah
itu, Kwie Djie-nio sedang empo anaknya, maka ini nyonya lekas juga kena terdesak,
beberapa kali dia terancam bahaya.
Soen Tiong Koen bersama Bwee Kiam Hoo dan Lauw Pwee Seng juga turun tangan, telah
bentrok dengan beberapa murid-muridnya Beng Pek Hoei, hingga medan pesta menjadi
ramai dengan pelbagai rombongan pertempuran.
Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong menjadi sibuk sendirinya.
"Wan Siangkong, mari kita lekas memisahkan!" mereka mengajak. "Aku kuatir perkara
bisa menjadi terlebih hebat!"
"Soeko dan soeso mendendam terhadapku, apabila aku turun tangan, perkara justeru
bakal menjadi lebih hebat lagi," kata Sin Tjie. "Coba kita lihat dulu sebentar..."
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika itu Kwie Sin Sie telah bantui isterinya, maka Kwie Djie-nio jadi bisa bernapas lega,
sedang sebaliknya, Beng Pek Hoei segera kena terdesak, sebab orang she Kwie ini terlalu
liehay untuknya. Malah lagi sesaat, jago tua itu telah kena ditotok hingga dia tidak berdaya
lagi. Habis itu, bagaikan kupu-kupu di antara bunga-bunga, Kwie Sin Sie nyerbu di antara
murid-murid atau orang-orangnya Pek Hoei, setiap ia lonjorkan tangannya, tentu ada
orang-orang yang berhenti berkelahi dengan sikapnya masing-masing sendiri, ada yang
lagi menjotos, ada yang lagi menendang, ada yang lagi berkelit atau berpaling, semua
tubuh mereka tak bergeming, melainkan mata mereka yang bercilakan.
Di antara hadirin ada banyak orang-orang gagah akan tetapi menyaksikan liehaynya Kwie
Sin Sie, tidak ada satu diantaranya yang berani majukan diri, untuk memisahkan, hingga
karenanya, pertempuran berhenti sendirinya sesudah Sin Sie rubuhkan semua lawannya.
"Geledah si orang she Tang!" Kwie Djie-nio titahkan Kiam Hoo.
Murid itu buka bungkusan yang tergendol di bebokong Tang Kay San, akan tetapi di situ
tidak kedapatan pel hok-leng dan ho-sioe-ouw yang dicari.
Kwie Sin Sie lantas totok piauwsoe itu, untuk hidupkan jalan darahnya.
"Mana itu obat pulung?" dia tanya.
"Hm, kau ingin dapatkan obat itu?" Kay San bilang. "Kenapa kau ikuti aku sampai di sini"
Kecewa kau menjadi orang kangouw yang ulung, sampai kau tidak menginsafi akal
tonggeret meloloskan sarung-raganya!..."
Gusar Kwie Djie-nio mendengar jengekan itu.
"Apa?" tegaskan nyonya yang keras perangainya ini.
"Obat itu sudah dikirim langsung ke kota raja dan mungkin sudah sampai sekian lama!"
jawab Kay San. "Apakah benar?" tegaskan nyonya Kwie. Dia kaget berbareng mendongkol sekali.
"Aku sangat hargakan Beng loo-ya-tjoe sebagai sahabat baik, karenanya sengaja aku
datang kemari untuk memberi selamat padanya," Tang Piauwsoe terangkan. "Mustahil,
karena tahu kamu inginkan obat itu, lantas aku bawa kemari hingga karenanya aku bisa
rembet-rembet looyatjoe?"
Mendengar keterangan itu, Ouw Koei Lam si Malaikat Copet, dekati Sin Tjie untuk berbisik.
"Wan Siangkong, piauwsoe ini bermuka tebal, dia mendusta." Katanya.
Sin Tjie heran.
"Kenapa begitu?" Sin Tjie tegaskan.
"Sebab aku tahu di mana dia sembunyikan obat itu," jawab Koei Lam. Dan ia terus
menunjuk ke arah sioe-toh, ialah kue yang merupakan buah toh, tanda dari panjang umur,
yang terbuat dari tepung beras. Sioe-toh itu terletak di bawah tiok huruf "Sioe" yang besar.
"Mengapa kau bisa ketahui itu?" tanya ia pula.
"Akal biasa di kalangan kaum kangouw ini tak bisa lolos dari mataku!" jawab Koei Lam
sambil tertawa.
Tjeng Tjeng berada di samping mereka, ia dengar pembicaraan itu lantas saja ia tertawa.
"Ouw Toaya toh ada satu ahli!" ia turut bicara.
"Orang she Tang ini sangat licin," kata Koei Lam, sambil tertawa. "Dia rupanya telah duga
Kwie Djie-ya bakal susul padanya, dia umpetkan obat itu, supaya kalau sebentar Kwie Djieya
pergi, dia bisa ambil pula."
Sin Tjie manggut, lantas ia muncul ke tengah ruangan, akan hampirkan Beng Pek Hoei.
Dengan hanyak sekali tepak dan totok pada kedua jalan darah "soan-kie" dan "sin-teng",
ia telah bikin sadar tuan rumah itu.
"Apa?" berseru Kwie Djie-nio, yang lihat perbuatannya soetee itu. "Apakah kembali kau
usilan?" Dalam panasnya hati, ia serahkan anaknya kepada Soen Tiong Koen, kemudian ia ulur
tangannya terhadap Sin Tjie. Ia tahu soetee ini liehay, untuk tidak membahayakan anaknya
itu, untuk bikin ia leluasa bergerak, ia singkirkan anaknya lebih dahulu.
Sin Tjie berkelit ke kiri.
"Soeso, dengar dahulu aku!" kata dia.
Ketika itu Beng Pek Hoei sudah gerak-geraki kedua tangannya, kedua kaki dan tubuhnya
juga, dengan begitu dengan lekas ia dapat pulang kesegarannya. Rupanya ia penasaran,
maka dengan berbareng ia serang Kwie Djie-nio dengan tangannya kiri dan kanan,
masing-masing dengan tipu-silat "Seng siok hoet sie" dan "Hoei tim tjeng tan," atau "Di
musim panas mengebut kipas" dan "Mengebut debu untuk pasang omong." Inilah dua
tipu-silat dari ilmu silat "Koay-wah Sam-sip-tjiang" yang menjadi keahliannya.
Jago tua dari Utara ini sebanding dengan Kwie Djie-nio, maka itu, seperti bermula, mereka
berkutat dalam keadaan berimbang, sampai belasan jurus, tidak ada yang menang atau
kalah, hingga Kwie Sin Sie jadi hilang sabar.
"Kau mundur!" kata ia kepada isterinya.
Nyonya itu menurut, ia lantas mundur, sedang suaminya pegat Beng Pek Hoei, untuk
diserang, maka seperti tadi Baru beberapa jurus, tuan rumah itu sudah kena tertotok pula
hingga kembali ia berdiri diam saja.
Selama orang bertempur, terpaksa Sin Tjie berdiam diri, ia serba salah.
Begitu lekas pertempuran berhenti, Kwie Djie-nio lantas perdengarkan suaranya yang
keras dan keren. Dia sangat gelisah karena penyakit anaknya itu, yang hari demi hari jadi
bertambah lemah, hingga ia kuatir, apabila terlambat lagi sekian hari, anak itu bakal tidak
ketolongan lagi. Memangnya dia beradat aseran.
"Orang she Tang, apabila kau tidak keluarkan obatmu itu, aku nanti patahkan kedua
lenganmu!" demikian suaranya, yang sangat mengancam.
Dengan tangan kiri ia jambret sebelah tangannya si piauwsoe, tangan kanannya diangkat
naik. Asal tangan itu dikasi turun, pasti bercacatlah piauwsoe kepala dari Eng Seng Piauw
Kiok. Tang Kay San kertak giginya atas dan bawah, yang ia bikin rapat.
"Obat tidak ada di sini, sia-sia saja kau patahkan lenganku!" kata dia dengan nekat.
Di antara hadirin, ada dua orang yang tak bisa lihati saja kejadian hebat itu, mereka maju
untuk memisahkan, akan tetapi mereka dipegat Kiam Hoo dan Pwee Seng, hingga dia
orang jadi bentrok.
Sin Tjie lihat onar jadi hebat sekali, maka ia anggap, perlu ia mesti turun tangan juga,
kalau tidak, tidak ada orang yang dapat mencegah huru-hara di medan pesta ini. Dengan
sekonyong-konyong saja dia mencelat kepada Soen Tiong Koen, dengan ulur kedua jari
tangannya, dalam gerakan "Siang liong tjhio tjoe" atau "Sepasang naga perebuti mutiara",
ia ancam kedua matanya murid perempuan dari soekonya itu.
Nona Soen menjadi kaget, ia angkat tangan kanannya, untuk menangkis. Tapi ia tidak bisa
kenai jeriji tangannya soesiok atau paman-cilik itu karena Sin Tjie pun menggunai tipudaya.
Selagi si nona sibuk, tahu-tahu tangan kanannya telah menolak dengan pelahan
pundak si nona, sampai dia ini mesti mundur tiga tindak. Justru itu, sebat luar biasa,
puteranya Kwie Djie-nio telah pindah ke dalam pelukannya pemuda ini, yang ancam Tiong
Koen melulu untuk rampas bocah itu.
"Soehoe! Soenio!" Soen Tiong Koen menjerit-jerit, bahna kaget dan takutnya. "Lekas!
Lekas!...."
Selagi Sin Sie dan isterinya berpaling, Sin Tjie sudah lompat naik atas sebuah meja.
"Adik Tjeng, pedang!" berseru si anak muda.
Cepat sekali, Tjeng Tjeng lemparkan pedang kepada kawannya itu.
Sin Tjie sambuti pedang dan terus saja berseru: "Kalian berhenti bertempur! Mari dengar
aku dahulu."
Merah kedua matanya Kwie Djie-nio, sinarnya berapi.
"Anak gila, kau berani ganggu anakku?" dia mendamprat. "Nanti aku adu jiwaku dengan
jiwamu!" Nyonya ini menjejak lantai, dengan niat lompat maju.
"Sabar," Sin Sie membujuk seraya ia tarik tangan isterinya itu. "Ingat, anak kita ada di
tangan dia...."
Djie-nio dapat dibujuk, dia diam, tapi terus dia awasi pemuda itu.
"Djie-soeko, tolong kau merdekakan dulu jalan darahnya Beng Looyatjoe!" Sin Tjie lantas
minta kepada kandanya seperguruan.
"Hm...." bersuara Sin Sie, yang luluskan permintaan itu, maka di lain saat, Beng Looyatjoe
sudah dapat pulang kemerdekaannya.
"Semua tjianpwee, sekalian sahabat, sukalah kalian dengar aku sebentar," berkata Sin Tjie
seraya pandang semua hadirin. "Anaknya soeko dan soeso ini mendapat sakit berat,
untuk tolong anaknya itu, mereka hendak pinjam obat pel yang menjadi barang upeti dari
Tjongtok Ma Soe Eng yang kemaruk dan merkis, obat mana diserahkan ke dalam
tanggung-jawabnya ini Tang Piauwsoe, Piauwsoe ini telah kesudian menjual jiwanya
kepada tjongtok busuk itu, maka itu soeko dan soeso jadi cari dan saterukan dia!
Sementara itu Beng Looyatjoe adalah sahabat yang baik, tidak seharusnya, di saat pesta
hari ulang tahunnya ini, kita ganggu padanya."
Semua hadirin heran mendengar suaranya anak muda ini. Bukankah soeheng dan soetee
ini berada dalam kedudukan bermusuh" Kenapa sekarang sang soetee bicara untuk
kebaikannya sang soeheng"
Kwie Sin Sie sendiri dan isterinya turut merasa aneh juga.
Maka itu, semua orang mengawasi, menantikan.
Sin Tjie tidak perdulikan sikap orang banyak itu, dia berpaling kepada tuan rumah.
"Beng Looyatjoe, tolong kau buka kue sioe-toh itu," katanya kemudian kepada jago dari
utara itu. "Ada apa-apa yang luar biasa di dalam kue panjang umur itu."
Mendengar ini, mukanya Tang Kay San menjadi pucat.
Beng Pek Hoei tidak mengerti, tetapi walaupun dia bingung, dia iringi kehendaknya si anak
muda. Dia hampirkan sioe-toh, untuk buka belah kue itu, hingga di dalamnya, ia tampak
beberapa biji lah-wan putih. Masih ia tidak mengerti, karenanya, ia jadi berdiri tercengang.
Sin Tjie lihat lah-wan itu, lalu ia berkata pula: "Coba Tang Piauwsoe ini mempunyai
kepandaian berarti, tidak apa ia jual jiwanya kepada pemerintah, akan tetapi nyata dia
berhati rendah dan busuk, dia telah mencoba untuk adu-dombakan kita, supaya kita kaum
kang-ouw bentrok satu dengan lain! Beng Looyatjoe, adakah sioe-toh itu dan lainnya
antaran Tang Piauwsoe ini?"
Beng Pek Hoei manggut.
"Sengaja piauwsoe she Tang ini umpetkan lah-wan itu di dalam sioe-toh," Sin Tjie beber
orang punya rahasia. "Dia ketahui dengan baik, sioe-toh tidak bakal dimakan, maka obat
itu dia sembunyikan di dalamnya. Dia sudah pikir, kalau nanti pesta telah ditutup, dengan
diam-diam dia bisa ambil pulang obat itu. Dalam hal ini, dia tidak perdulikan Kwie Soeko
nanti bentrok dengan Beng Looyatjoe! Dengan dia berhasil dengan tipunya yang keji ini,
tidakkah ia bakal berjasa terhadap pemerintah?"
Sin Tjie lantas turun dari meja, untuk hampirkan sioe-toh.
Tjeng Tjeng segera maju, untuk bantui kawannya itu. Maka sedetik saja, lah-wan itu telah
dikasi keluar. Baru sekarang Kwie Sin Sie dan Beng Pek Hoei sadar bahwa mereka telah kena orang
pedayakan. Sin Tjie belah sebiji lah-wan, lantas bau obat yang harum menyerang hidungnya. Di dalam
lilin bundar itu ada sebutir obat pulung sebesar lengkeng, warnanya merah dadu.
"Coba tolong ambilkan air dingin," Sin Tjie minta pada Tjeng Tjeng.
Nona ini menurut, malah obat pulung itu segera ia aduk rata dengan air itu, sesudah mana,
itu obat lantas dicekoki kedalam mulutnya si bocah, yang keadaannya sudah jadi lemah
sekali, napasnya jalan dengan pelahan, dia tidak menangis. Dengan pelahan-lahan anak
itu telan air obat.
Kwie Djie-nio mengawasi saja, air matanya berlinang-linang, saking terharu dan
bersyukur. Berbareng ia pun malu sendirinya. Didalam hatinya, dia kata: "Coba tidak ada
soetee cilik ini, yang membuka rahasia, onar hari ini mestinya hebat tak terkira. Sudah
anakku tidak bakal ketolongan, aku pun telah berdosa terhadap kaum kang-ouw, sehingga
juga kehormatan suamiku jadi ternoda..."
Setelah anak itu habis makan obat, dengan kedua tangannya, Sin Tjie mengangsurkannya
kepada Kwie Djie-nio, siapa menyambuti sambil kata dengan pelahan: "Wan Soetee, tak
habisnya syukur kami suami-isteri...."
Sin Sie, yang tak pandai bicara, cuma kata: "Soetee, kau baik, kau baik...."
Tjeng Tjeng jumput semua obat, untuk serahkan itu pada si nyonya aseran.
Kwie Djie-nio sedang sangat girang dan bersyukur, dia sambuti obat itu tanpa bilang suatu
apa. Kwie Sin Sie sendiri segera totok sadar semua kurbannya.
Beng Pek Hoei diam saja, di dalam hatinya, dia kata: "Anakmu telah ketolongan, adalah
anakku telah dapatkan kebinasaannya.... Aku tak dapat membalas sakit hati... Biarlah, lain
kali saja aku mohon bantuan orang pandai akan mencari balas...."
Sin Tjie lihat orang gotong Beng Tjeng, hendak dibawa ke dalam. Dia lihat orang terluka
parah, hampir mati.
"Tunggu dulu!" ia segera memanggil.
"Kandaku tinggal matinya, apakah kau mau?" bentak Beng Sioe. Pikirannya sedang gelap,
dia menyangka jelek terhadap tetamunya yang muda itu.
"Sabar," Sin Tjie bilang. Ia tidak gusar. "Soekoku hargai Beng Looyatjoe, untuk bersahabat
dia masih belum dapat ketikanya, bagaimana dia bisa bikin celaka Beng Toako" Memang
benar dia telah serang Beng Toako sedikit hebat akan tetapi itu tak akan membahayakan
jiwa, kalian baik jangan berkuatir."
"Siapakah yang kamu hendak dustakan?" pikir mereka. Mereka juga sudah tidak
mempunyai harapan untuk Beng Tjeng.
Sin Tjie bisa duga orang kurang percaya dia, maka dia berkata pula: "Tidak ada niat dari
soekoku akan bikin celaka Beng Toako, maka asal Beng Toako dikasi obat dan dapat
beristirahat, dia bakal tak kurang suatu apa."
Tidak tunggu apa nanti orang bilang, Sin Tjie rogoh sakunya akan kasi keluar sebuah lopalopa,
ialah tempat dimana kodok esnya disimpan. Dia jumput satu di antaranya, terus ia
pencet hancur, untuk diaduk rata dengan arak, kemudian ia sendiri yang cekoki Beng
Tjeng. Ruangan yang luas itu, dimana tadi keadaan ada sangat kacau, terbenam dalam
kesunyian. Semua mata mengawasi tindak-tanduknya Sin Tjie, semua pandang Beng
Tjeng, untuk ketahui bagaimana kesudahannya.
Belum berselang lama, mukanya Beng Tjeng telah mulai berubah, dari pucat-pias menjadi
bersemu dadu, sesudah mana, menyusul suara rintihan, teraduh-aduh yang pelahan.
Menampak itu, bukan kepalang girangnya Beng Pek Hoei, hingga dia lantas menjura
kepada bengtjoe dari tujuh propinsi itu.
"Wan Siangkong, Wan Bengtjoe, kau benar-benar ada penolong puteraku!" katanya selagi
ia menjura dalam.
Sin Tjie repot membalas hormat.
"Tidak apa," kata dia, yang merendahkan diri. Kemudian ia suruh Beng Sioe gotong
kakaknya ke dalam, untuk dirawat dengan baik.
Segera juga, Beng Pek Hoei kerahkan orang-orangnya, untuk atur pula kursi-meja, guna
sajikan barang hidangan baru, untuk mulai pula pesta yang yang terhalang itu, hingga di
lain saat, suasana riang-gembira telah pulih.
"Beng Looyatjoe, kami sangat sembrono, harap kau memaafkannya," Kwie Djie-nio kata
pada tuan rumah kepada siapa ia menjura. Iapun tarik tangan suaminya dan ketiga
muridnya, untuk mereka juga beri hormat pada jago tua itu.
Beng Pek Hoei bisa tertawa sekarang, ia tertawa besar.
"Anakku menghadapi kematian, siapa tak gelisah?" katanya. "Tidak, aku tidak persalahkan
kamu suami-isteri."
Djie-nio mengucapkan terima kasih, kemudian ia dan rombongannya turut duduk
berpesta. Beng Pek Hoei masih berhati kurang tenang, satu kali ia ambil ketika akan masuk ke dalam
akan tengok puteranya. Sesampainya di dalam, hatinya jadi bertambah lega. Beng Tjeng
sedang tidur nyenyak, napasnya berjalan dengan rapi, wajahnya nampak tenang dan
wajar. Itulah tanda-tanda dari kesembuhan.
Sekeluarnya kembali, tuan rumah segera layani dengan ramah-tamah pada semua
tetamunya. Ia telah minta dua cawan yang besar, ia isi penuh dua-duanya, kemudian ia
bawa itu ke depan Sin Tjie.
"Wan Bengtjoe," katanya, "ketika dalam rapat di Tay San orang pilih kau, bilang terusterang,
aku kurang puas, akan tetapi sekarang, melihat sepak-terjangmu ini, aku bukan
melainkan sangat berterima kasih, aku pun kagum dan takluk padamu. Mari, bengtjoe,
tolong kau keringi cawan ini, tanda hormat dari aku!"
Dia angkat cawan yang satunya, ia lantas cegluk itu hingga habis.
Sin Tjie tak pandai minum arak, akan tetapi melihat kesungguhan hati orang, ia pun minum
kering cawannya, atas mana, semua hadirin bertepuk tangan dan berseru: "Bagus!"
"Wan Bengtjoe," kata pula Beng Pek Hoei kemudian, "sejak hari ini dan selanjutnya,
apabila ada urusan sesuatu, aku bersedia untuk mengabdi kepada kau! Kau membutuhkan
uang" Buat delapan atau sepuluh laksa tail perak, rasanya aku sanggup menyediakannya!
Kau perlu orang" Kecuali kami ayah dan anak, yang tak nanti menampik untuk serbu api,
sanggup aku mengumpulkan tiga atau empat ratus orang untuk membantu padamu! Aku
rasa masih aku mempunyai muka terang akan mengumpulkan jumlah itu...."
Sin Tjie bersenyum. Ia merasa sangat puas dengan kesudahannya urusan, terutama
karena itu, ganjelan soeko dan soesonya itu terhadapnya, jadi dapat dibikin hilang.
Tapi malam itu, di waktunya orang bubaran setelah puas berpesta, Tang Piauwsoe lenyap
dari antara mereka, entah kemana sembunyinya dia.
Di lain harinya, selagi tetamu-tetamu bergantian pamitan pulang, Beng Pek Hoei tahan
rombongannya Sin Tjie. Beberapa kali si anak muda niat pergi, ia saban-saban mesti
urungkan itu sampai di hari ketujuh, Baru tuan rumah tak dapat menahan terlebih lama
lagi. Pek Hoei segera siapkan meja perjamuan, untuk memberi selamat jalan. Itu waktu, Sin
Sie serta isteri dan murid-muridnya pun masih belum berangkat, mereka dijamu bersama.
"Beng Lauwko," berkata Thia Tjeng Tiok, "si orang she Tang dari Eng Seng Piauw Kiok
bukannya satu mahluk baik, dia kehilangan upeti berharga itu, tak nanti dia mau sudah
saja, andaikata dia tak berhasil mencari Kwie Djie-ko, mesti dia bakal cari lauwko, dari itu,
baik kau waspada."
"Terima kasih, saudara Thia," mengucap Pek Hoei. "Umpama kata benar-benar mahluk itu
berani main gila terhadapku, aku tidak akan berlaku sungkan lagi terhadapnya!"
"Beng Lauwko, adalah kami yang menyebabkan onar ini," kata Kwie Djie-nio, "maka itu,
apabila kau benar menghadapi kesulitan, kami minta segeralah kau memberi kabar kepada
kami!" "Baik, Djie-nio!" jawab tuan rumah. "Sebenarnya aku sendiri tak takut!"
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita harus jaga kalau-kalau dia bersekongkol sama pembesar negeri," See Thian Kong
turut memberi ingat.
Beng Pek Hoei tertawa besar.
"Apabila itu sampai terjadi," katanya, "Thia Lauwtee, aku nanti mencontoh teladanmu, aku
akan duduki bukit untuk menjadi raja!"
Semua orang tertawa mendengar pengutaraan itu.
Sampai di situ, orang pada naik kuda, untuk berpisahan.
Djie-nio empo anaknya, dan bersama suaminya dan tiga orang muridnya, ia menuju
pulang ke selatan, sedang rombongan Sin Tjie berikut Thie Lo Han dan Ouw Koei Lam,
melanjuti perjalanan mereka mengangkut harta besar menuju ke utara.
Pada suatu hari sampailah Sin Tjie beramai di Kho-pay-tiam, karena hari sudah magrib dan
barang bawaan mereka banyak dan berat, mereka singgah di hotel "Yan Tiauw Kie" di
sebelah barat dusun itu. Habis bersantap, mereka lantas masuk tidur, untuk beristirahat.
Tapi belum lagi mereka pulas, mereka telah terganggu suara berisik di luar hotel,
antaranya riuh suara orang bicara. Cuma A Pa si empeh gagu, yang tak dengar suatu apa.
Suara bicara berisik terdengar semakin nyata apabila ternyata diaorang itu telah
memasuki hotel, suara mereka pun tak dimengerti, karena bahasa mereka ada luar biasa.
Sin Tjie keluar dari kamarnya, maka itu ia bisa lihat beberapa puluh serdadu asing, yang
duduk atau berdiri, masing-masing menyekal senapan. Merekalah yang menerbitkan suara
berisik itu. Ia heran sebab belum pernah ia tampak orang-orang dengan mata kelabu dan
hidung mancung-mancung itu, hingga ia mengawasi.
Segera terdengar suara seorang bicara dengan keras dengan kuasa hotel, dia minta
segera disediakan beberapa kamar.
"Maaf, taydjin, kamar di sini cuma ada beberapa buah dan semua sudah penuh," kata
kuasa hotel, yang memohon dengan sangat.
Orang yang dipanggil taydjin itu rupanya gusar, sebab segera dia tampar si kuasa hotel,
hingga banyak mata diarahkan kepada mereka.
"Kau.... kau...." kata kuasa hotel itu, yang menjadi gusar.
"Jikalau kau tidak sediakan kamar, aku nanti bakar hotelmu ini!" seru si taydjin itu.
Kuasa hotel itu menjadi ketakutan, terpaksa ia pergi pada Seng Hay, sambil menjura
berulang-ulang ia mohon tetamu-tetamunya ini suka mengalah.
"Bagus betul!" seru See Thian Kong. "Orang toh ada yang datang terlebih dulu dan
belakangan! Dia itu mahluk apa?"
Kuasa itu ketakutan, mukanya pucat.
"Aku minta, tuan, supaya kau tidak berpandangan sebagai dia itu yang makan nasi asing,"
kata dia, yang maksudkan si taydjin. "Hebat kesudahannya kalau kita berbuat salah
terhadapnya..."
"Dia gegares nasi asing apa?" tanya Thian Kong. "Apakah makan nasi asing lantas mesti
bertingkah?"
Masih kuasa hotel itu ketakutan.
"Mereka ini, tuan, adalah tentara asing yang datang ke kota raja untuk angkut meriam
besar," menerangkan dia, dengan suara sangat pelahan. "Dan dia itu, yang bisa omong
bahasa asing, dijadikan juru-bahasanya."
Baru sekarang Sin Tjie beramai ketahui. Jadinya si taydjin itu adalah kacung asing yang
banyak lagaknya.
"Nanti aku ajar adat pada bocah itu!" kata See Thian Kong, yang hatinya panas.
"Sabar," Sin Tjie mencegah. Dan ia ajak semua kawannya masuk ke dalam kamar. "Ketika
dulu marhum ayahku belai Liauw-tong, di waktu ia peroleh kemenangan besar dalam
peperangan di Leng-wan, ia peroleh bantuan besar dari meriam-meriam buatan asing
semacam ini. Begitulah Nuerhacha, leluhur kaisar Boan, telah terbinasa karena tembakan
meriam. Sekarang ini bangsa Boan sedang garangnya, dan ini tentara asing lagi angkut
meriamnya untuk membantu padanya, baiklah kita mengalah."
"Habis kita mesti antapkan binatang itu banyak tingkah?" tanya Thian Kong.
"Kenapa kita mesti bersatu pandangan dengan manusia rendah itu?" Sin Tjie baliki.
Melihat bengtjoe ini bersikap demikian, orang lantas mengalah, maka kesudahannya
mereka serahkan dua kamar.
Si jurubahasa itu, yang kemudian ketahuan bernama Tjian Tong Soe, masih mendumal
saja, akan tetapi setelah ia dapat dua buah kamar, tidak lagi ia persulit lebih jauh kepada
kuasa hotel. Dia pergi untuk sementara, kapan ia kembali lagi, ia ada bersama dua opsir
asing. Satu opsir berumur empat-puluh lebih, yang lainnya Baru dua-puluh lebih. Dua-dua
mereka ini beroman cakap dan gagah. Yang tuaan itu pergi sebentar, baliknya ia ajak satu
wanita asing yang cantik, yang umurnya kurang lebih dua-puluh tahun, rambutnya hitam,
kulitnya putih, barang perhiasannya adalah mutiara-mutiara yang bergemerlapan di antara
cahaya api, pakaiannya reboh.
Belum pernah Sin Tjie melihat orang asing, makanya ia awasi nona itu.
Menampak sikapnya si anak muda, Tjeng Tjeng tidak puas.
"Engko, apakah orang itu manis dipandangnya?" dia tanya.
"Beginilah memang dandanannya orang asing," Sin Tjie jawab.
"Hm!" bersuara Tjeng Tjeng, yang terus bungkam.
Besoknya pagi, orang dahar dan duduk berkumpul di ruang besar, kedua opsir asing itu
duduk bersama si nona asing. Tjian Tong Soe melayani dengan telaten sekali, nyata sekali
sikapnya menjilat-jilat, sebab kapan dia butuhkan apa-apa, terhadap kuasa hotel dan
jongos, segera dia main sentak, tangannya pun enteng.
Sangat tak puas Thia Tjeng Tiok menyaksikan orang punya lagak tengik itu.
"Saudara See, coba lihat siauwtee main sulap!" kata dia, ketika ia putar tubuhnya. Lalu
tanpa memutar lagi, dia ayun sebelah tangannya ke belakang, hingga sepasang sumpitnya
menyambar ke arah mulutnya Tjian Tong Soe, mengenai dua baris giginya atas dan
bawah. Juru bahasa itu berteriak kesakitan, dia gelagapan menutup mulutnya, masih dia berkaokkaok,
teraduh-aduh! Inilah kepandaian mainkan senjata rahasia dari Thia Tjeng Tiok, kalau lain orang gunai
piauw atau panah-tangan, dialah potongan-potongan bambu pendek dan halus bagaikan
lidi, tapi kali ini, dia pakai sumpit saja. Dengan lidi itu dia bisa timpuk jalan darah. Dia
masih taati pesan Sin Tjie, maka ia tidak arah kedua mata orang itu.
Tak tahu Tong Soe dari mana datangnya serangan , kedua opsir itu pun heran. Si nona
manis, yang pun merasa aneh, sebaliknya tertawa, mungkin dia anggap kejadian itu
lucu.... Kedua opsir itu melirik kepada rombongan Sin Tjie, rupanya dia mau menyangka, Tong
Soe telah jadi korban mereka ini. Opsir yang lebih tua letaki dua buah pistol di atas meja,
lalu ia lemparkan dua buah cangkir ke tinggi, habis itu dengan sebat dia menembak
dengan kedua tangannya, hingga cangkir-cangkir itu kena tertembak dan hancur.
Heran dan kagum Sin Tjie beramai untuk kepandaiannya orang itu, dan hebatnya senjata
api itu. Opsir yang lebih tua itu nampaknya puas dan bangga, ia lantas isikan pula pistolnya.
"Peter, kau hendak coba-coba?" kata dia kepada kawannya.
"Kepandaianku menembak mana bisa menangi tukang tembak nomor satu dari negara
kami Portugal!" kata opsir yang muda itu.
Si manis tertawa.
"Ah, kalau begitu Raymond ada tukang tembak nomor satu?" katanya.
"Jikalau bukan nomor satu untuk dunia, sedikitnya untuk Eropa," kata si Peter ini.
"Nomor satu untuk Eropa apa bukan sama artinya dengan dunia?" tegaskan Raymond.
"Inilah tak berani aku bilang," sahut Peter. "Orang-orang timur ada bangsa aneh, di antara
mereka ada yang punya kepandaian jauh lebih berbahaya daripada kita. Tidakkah
demikian, Catherine?"
"Aku rasa kau benar," sahut si cantik sambil bersenyum.
Tak puas Raymond melihat Catherine nampaknya lebih manis kepada Peter.
"Orang-orang Timur aneh?" katanya. Dan tiba-tiba saja ia menembak pula, satu kali,
segera disusul dengan yang kedua.
Ketika pistol itu memperlihatkan sinar api, tahu-tahu Tjeng Tjeng terkejut bukan main. Di
luar tahunya, kopiahnya kena ketembak hingga terjatuh ke atas meja hingga karenanya,
kelihatanlah rambutnya yang hitam dan gompiok, rambutnya seorang perempuan.
Sin Tjie dan yang lainnya turut kaget dan heran.
Raymond serta beberapa serdadu asing lainnya tertawa berkakakan, rupanya mereka
anggap pemandangan itu lucu.
Tjeng Tjeng murka, di alompat bangun pedangnya segera dihunus.
"Jangan!" Sin Tjie mencegah.
Pemuda ini insyaf bahayanya kalau mereka layani orang-orang asing itu. Ia pun mengerti,
pemerintah Beng bakal pakai tenaga asing itu untuk memerangi bangsa Boan. Maka ia
anggap, lebih baik bersabar.
"Sudah, adik Tjeng," kata ia seraya ambil pedang orang.
Tjeng Tjeng mendelik mengawasi tiga orang asing itu, ia dengar kata terhadap Sin Tjie.
"Kiranya dia satu nona, pantas dia eilok," kata Catheirne sambil tertawa.
"Bagus, ya," kata Raymond, "kiranya kau perhatikan keeilokan orang...."
"Dia menyekal pedang, agaknya dia hendak menantang kita," kata Peter.
"Kalau dia benar menantang, siapa yang sambuti, Peter?" tanya Raymond. "Di anatra kita
berdua, siapa lebih tangguh?"
"Aku harap tak ada yang tahu untuk selamanya," Peter jawab.
"Eh, kenapa begitu?"
"Ah, sudah jangan ribut!" Catherine menyela. Ia bersenyum. "Orang Timur aneh, aku
kuatir, dua-dua kamu tak nanti bisa lawan nona itu..."
"Tong Soe, mari!" sekonyong-konyong Raymond panggil juru-bahasanya.
Orang she Tjian itu menghampirkan dengan cepat.
"Ada apa, kolonel?" tanyanya.
"Coba tanya nona itu, apa dia mau adu pedang denganku. Lekas!"
"Baik, baik, kolonel!"
Raymond rogoh sakunya, akan kasih keluar belasan uang logam asing, yang ia lemparkan
ke atas meja. Sambil tertawa, dia kata: "Jikalau dia benar hendak adu kepandaian, suruh
dia kemari, asal dia menang, dia boleh ambil ini semua uang emas, tapi kalau dia kalah,
aku mesti cium dia satu kali! Nah, lekas kasi tahu, lekas!"
Dengan tindakan berlenggang, Tong Soe hampirkan Tjeng Tjeng, untuk sampaikan
permintaan Raymond, si nona mau duel atau tidak, tapi di saat ia ulangi kata-kata "cium
satu kali", mendadak tangan si nona melayang, mampir di pipi juru-bahasa ini hingga dia
berkaok dan berjengit, pipi kanannya bertapak tangan berwarna merah. Celakanya, empat
buah giginya copot, darahnya mengucur pula, hingga dia mesti tekapi mulutnya.
Raymond tertawa berkakakan.
"Nona itu benar kuat!" katanya. Ia lantas cabut pedangnya, ia bertindak ke tengah
ruangan, pedangnya itu disabatkan ke atas hingga menerbitkan suara angin.
"Mari, mari, mari!" katanya.
Tjeng Tjeng tidak mengerti omongan orang, akan tetapi melihat dari sikapnya, dia tahu dia
ditantang, maka ia pun hunus pula pedangnya, ia bertindak menghampiri.
"Ini orang kurang ajar, boleh juga dia diajar adat, asal jangan dilukai," pikir Sin Tjie, yang
lantas panggil kawannya: "Adik Tjeng, mari!"
"Tidak!" sahut Tjeng Tjeng yang cuma berpaling. Ia menyangka sahabat itu hendak cegah
padanya. "Mari, aku hendak ajari kau bagaimana mengalahkan dia," kata Sin Tjie.
Tjeng Tjeng menghampiri, ia girang. Ia memang belum tahu ilmu silat pedang bangsa
asing. "Kita belum tahu ilmu pedang orang asing, tapi melihat caranya barusan dia hunus
pedangnya dan kibaskan itu, terang dia gesit sekali," bilang Sin Tjie. "Kau mesti waspada
untuk tikamannya, jangan kuatirkan tabasan!"
"Kalau begitu aku boleh berdaya akan gempur pedangnya itu?" tanya si nona.
"Benar!" sahut Sin Tjie. "Tapi ingat, jangan lukai dia."
Raymond lihat orang bicara saja, dia tidak sabaran.
"Mari, mari lekas!" dia menantang pula.
Tjeng Tjeng sambut tantangan itu, kali ini dia tidak bertindak dengan pelahan sebagai tadi,
hanya dengan mendadak dia berlompat, hingga tahu-tahu ia sudah berada dekat si orang
asing. Terus saja ia membabat ke arah pundak.
Raymond kaget, inilah ia tidak sangka. Ia pun tidak nyana, si nona demikian gesit. Tapi ia
masih sempat berkelit seraya jatuhkan diri dan pedangnya dipakai menangkis, hingga
kedua senjata beradu keras dan nyaring, lelatu apinya muncrat. Ketika ia bangun pula, ia
keluarkan keringat dingin.
"Bagus!" Catherine bertepuk tangan.
Segera setelah orang bangkit pula, Tjeng Tjeng menyerang lagi, maka sekarang mereka
mulai bertempur. Keduanya bergerak sama gesitnya, bergantian mereka saling tikam dan
tangkis. Sin Tjie memasang mata, ia mesti akui kesebatan orang asing itu.
Kapan Tjeng Tjeng merasa ia tak bisa lantas rebut kemenangan, ia ubah caranya
berkelahi. Sekarang ia lebih banyak menggertak, habis mengancam, lekas-lekas ia tarik
pulang pedangnya. Ia bersilat dengan ilmu pedang Tjio Liang Pay "Loei Tjin Kiam-hoat"
atau "Gempuran Geledek", yang punyakan tiga-puluh enam gertakan.
Repot juga Ryamond melayani cara berkelahi itu, matanya lantas saja mulai kabur, sebab
ia cuma lihat pelbagai ujung pedang hendak menikam padanya, tapi saban kali ia
menangkis, ia tangkis angin. Dia tahu, ilmu pedangnya pun mengenal gertakan, tapi cuma
beberapa kali, tidak banyak seperti ilmu si nona ini. Tadinya ia niat tegur si nona, atau
mendadak nona itu sampok pedangnya, begitu keras, sampai ia rasakan tangannya
menggetar dan sesemutan, tak dapat dicegah lagi, pedang itu terlepas dan terpental.
Menyusul itu, Tjeng Tjeng menyusuli dengan tudingannya ke arah dada lawan!
Di pihak lain, See Thian Kong berlompat akan sambar pedangnya opsir asing itu, lalu
dengan dibantu tangan kiri, ia tekuk itu pedang hingga jadi patah dua! Dan kedua batang
itu ia lempar ke tanah!
Tjeng Tjeng tertawa, dia tarik pulang pedangnya, untuk dia kembali ke kursinya.
Raymond malu bukan kepalang, mukanya merah-padam. Tidak ia sangka, sebagai ahli
pedang di Eropa, sekarang di Tiongkok dia dipecundangi satu nona.
Catherine tertawa riang, dia jumput uang di atas meja, ia bawa itu kepada Tjeng Tjeng,
untuk diserahkan.
Nona kita menampik, ia memang tak harapi uang taruhan itu, tapi nona asing itu
mendesak, mulutnya mengatakan apa-apa yang tak dimengerti nona Hee. Akhirnya Tjeng
Tjeng menyambut, ia kepal uang itu dengan kedua tangannya, lantas ia menggenggam
dengan keras sekali, kemudian uang itu ia sodorkan pula pada si nona asing.
Catherine heran, ia menyanggapi, setelah mana, dia tercengang. Semua uang itu nempel
menjadi satu, ia coba pisahkan, tetapi tidak berhasil, maka dengan mata dipentang lebar,
Petualang Asmara 26 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Pendekar Gelandangan 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama