Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 12
Bagi para pelancong ditengah padang pasir, ke delapan huruf-huruf ini sungguh sepuluh kali lipat lebih menarik dari kata-kata manis lainnya yang sering dicantumkan di hotel-hotel atau restoran manapun untuk menarik para pengunjung.
Dibalik kain gordyn tebal ini adalah sebuah ruangan yang sedang, empat lima meja tersebar diberbagai pojokan dan ditengah dengan dua puluhan kursi.
Terlihat dimeja pojokan sana, tujuh delapan laki-laki besar sedang merubung meja dan main kartu, dimeja kasir sebelah kiri duduk seorang tua kecil bermuka tepos, berjenggot kambing, bentuk mukanya segi tiga, dua biji matanya seperti mata tikus merem melek seperti sedang ngantuk, mulutnya mengulum pipa cangklong, apinya sudah lama padam, suara gaduh dari orang-orang yang sedang berjudi serasa hampir merontokkan atap rumah, namun dia tetap duduk tenang seperti tak mendengar sama sekali.
Tiba-tiba terdengar derap kaki unta berlari mendatangi, tak lama kemudian seseorang menerjang masuk dengan teriakan serak: "Air......air......." Ciangkui atau kasir pemilik rumah makan ini masih tetap duduk ngantuk diam saja, laki-laki yang berjudi itupun tiada yang berpaling, dengan langkah sempoyongan orang ini memburu ke meja kasir dan serunya dengan sember:
"Ciang......Ciangkui apa kau menjual air, aku punya uang perak."
Mata si Ciangkui masih terpejam, tapi mulutnya sudah tertawa lebar, katanya: "Kalau punya perak memangnya kuatir kami tidak mau menjual air" Bagi pedagang seperti kita setiap pengunjung berarti keuntungan, masakah kami bisa menolak?"
Orang itu kegirangan, serunya: "Ya......baik......" mulutnya sudah kekeringan, saking girang mulutpun bicara tak terang, sebelah tangannya repot merogoh kantong mengeluarkan uang perak,
"Klotak" ia lempar uang peraknya di atas meja di depan kasir yang bernilai dua puluh tail.
Baru sekarang Ciangkui menggerakkan kelopak matanya, tapi matanya membuka sedikit saja lalu terpejam lagi.
Orang itu kaget, serunya: "Tidak......tidak cukup?"
Ciangkui menghela napas, pelan ia geleng kepala.
Sambil kertak gigi orang itu kembali keluarkan dua puluh tail perak.
Ciangkui menghela napas pula, tetap geleng-geleng.
Sudah melotot biji mata orang itu serasa hendak menyemburkan api, tapi sekilas matanya melirik ke arah gerombolan laki-laki yang sedang berjudi itu, sikapnya kembali lemas, terpaksa ia tekan perasaannya dan merogoh kantong pula. Sambil merogoh kantong tangan sebelah menyeka keringat, Ciangkui masih tetap menghela napas panjang pendek, keruan kejut bukan kepalang orang ini, serunya: "Se.......seratus enam puluh tail perak.....masih tidak cukup?"
Ciangkui menyengir tawa, ujarnya: "Kalau tuan hendak membeli air seratus enam puluh tail, sudah tentu boleh juga."
Girang orang itu, "baik, secukupnya ini saja."
Ciangkui batuk-batuk sekali, lalu berseru: "Lo-ban berikan kepada tuan ini air seharga seratus enam puluh tail perak."
Lo-ban yang dipanggil ini sedang jadi bandar, perak di depannya sudah bertumpuk, "Plak" ia banting kartunya di atas meja, ternyata jeblok (sepuluh).
Bagi bandar pegang kartu jeblok, dapatlah dibayangkan akibatnya, saking murka ia raih kedua lembar kartu itu terus dijejalkan ke dalam mulut dan dikunyah hancur, sambil kecap-kecap, mulutnya mengumpat caci: "Kau cucu kura-kura ini, kunyuk, kelinci modar, sundel, siapa suruh kau kemari, bikin tuan besarmu kalah main dan kehabisan uang, kalau sebentar tidak kugecek remuk perutmu, sungguh penasaran hatiku."
Entah memaki kartu atau memaki orang dan entah ditujukan kepada siapa, namun bagi orang yang merasa kena makian ini diam-diam saja, sesaat kemudian pelan-pelan toh terpaksa dia membawa sebuah ceret.
Ceret yang cukup besar dan terlalu berat, keruan orang itu kegirangan, serunya: "Terima kasih.......terima kasih," sekali raih dia rebut ceret itu dan terus menuang kemulut yang terbuka lebar, betul juga setetes air dingin menetes ke lidahnya dan airpun tiada lagi. Tidak kecil ceret ini, tapi isinya cuma setetes air. Keruan bergetar badan orang ini, katanya gemetar: "Ce....ceret ini tak berisi air."
Lo-ban mendelikkan matanya, katanya bengis: "Siapa bilang tak ada air, bukankah yang barusan kau tenggak itu air" Kita orang berdagang mencari uang halal, buat apa harus main nakal, memangnya kau sendiri yang sudah bosan hidup."
Sungguh kaget dan gusar pula orang ini, teriaknya serak: "Tapi airnya cuma setetes."
Sahut Lo-ban: "Uangmu cuma seratus enam puluh tail perak, memang cuma bisa membeli setetes air, berapa yang kau inginkan?"
Tak tahan lagi orang itu berjingkrak sambil berteriak-teriak: "Setetes air berharga seratus enam puluh tail perak, terhitung orang dagang macam apa kalian ini?"
"Sudah tentu berdagang secara halal, cuma hitung dagang cara kita selama tiga tahun ini jika kau merasa terlalu mahal siapa suruh kau kemari?" mendadak ia rebut ceret itu lalu tertawa menyeringai: "Bukan mustahil dalam ceret ini masih ada air, nanti kuberikan kepada kau," mulut bicara sementara jari-jari tangannya yang gede-gede itu menggencet dan meremas.
Ceret yang terbuat dari tembaga itu seketika teremas dan tergencet menjadi bundar seperti bolang-baling, orang itu hanya mengawasi dengan mulut melongo mana berani bercuit lagi.
Di sebelah sana, Ciangkui malah terkekeh-kekeh, katanya: "Tuan ini kalau merasa airnya terlalu sedikit boleh kau tambah uang beli lagi?"
Tergagap mulut orang itu: "Aku.....aku sudah tak punya uang lagi."
"Tak punya uang perak, barang lainpun boleh kau tukar dengan air," ujar si Ciangkui.
Orang itu kertak gigi, putar tubuh terus lari keluar, tak nyana belum lagi kakinya melangkah ke pintu, tahu-tahu badannya tergantung naik dijinjing seseorang, sebelah tangan orang itu merogoh ke dalam kantong bajunya. Tangan yang ditarik keluar ini menggenggam sebuah dompet domba yang berisi penuh dan sesak.
Terdengar suara Lo-ban tertawa nyaring: "Tak nyana keparat ini masih punya simpanan begini banyak."
Orang itu ketakutan, serunya gemetar: "Aku.........aku tak mau beli lagi."
Mendelik mata Lo-ban, dampratnya gusar: "Untuk apa kau kemari kalau tidak mau beli air"
Memangnya boleh sembarangan kau keluar masuk ditempat kita ini?"
Sesaat lamanya orang itu terlongong, lalu katanya dengan air mata bercucuran: "Kalau demikian, baiklah lekas kau keluarkan airnya!"
Lo-ban terbahak-bahak, serunya: "Kantongmu sekarang sudah kosong melompong, mana tuan besarmu sudi kasih air padamu. Mengelindinglah keluar dan minum air kencing sana,"
berbareng kedua tangan terayun ia lempar badan orang ke arah luar pintu, "Brak" badan seberat puluhan kati itu melayang keluar menerjang kain gordyn tebal itu dan terlempar keluar pintu.
Lo-ban bertepuk tangan, sambil tertawa besar, serunya: "Kesurga ada jalan kau tak mau kesana, akhirat tiada pintu kau malah kemari, memangnya matamu picak?"
Belum habis kata-katanya, kembali terdengar " brak" kain gordyn keterjang sesuatu, tahu-tahu orang yang dilempar keluar tadi melayang masuk pula dan "Blang" tepat jatuh di atas meja.
Keruan Lo-ban kaget dibuatnya, seketika ia tersurut mundur tiga langkah, serunya: "Hei! Tak nyana tuan ini seorang ahli yang menyembunyikan diri, pandai main silat agaknya."
Ciangkui menjengek dingin, jengeknya: "Jangan katakan orang lain picak, justru kau sendiri yang buta melek, orang yang pandai masih berada di luar!"
Waktu Lo-ban menegasi dilihatnya orang itu duduk mematung dengan mata mendelong di atas meja, saking ketakutannya mata terkesima dan mulut tak kuasa berteriak, baru sekarang Lo-ban sadar orang ini dilempar balik oleh seseorang di luar pintu. Cuma kalau orang di luar dapat menyanggah serta melemparkannya balik, jatuh duduk tanpa kurang suatu apa di atas meja, kehebatan ini sungguh amat mengejutkan. Sekian lama Lo-ban tertegun, kembali ia menyurut mundur dua langkah kemudian lalu menggembor sekerasnya: "Bocah keparat di luar lekas masuk........."
Belum sampai ia keluarkan kata-kata "antar kematian", tiba-tiba suaranya tersendat didalam tenggorokan, karena dari luar menerobos seseorang, cuma sekali mata orang itu melotot padanya, seketika ia rasakan bulu kuduknya mengkirik dan dingin sekujur badannya, mulutpun tak berani sesumbar lagi.
Kalau di luar masih amat panas dan terik, sebaliknya suasana didalam rumah seketika dingin mencekam perasaan. Di bawah cahaya remang-remang tampak raut wajah orang itu pucat lesi, sedikitpun tidak menunjukkan perasaan hatinya, seolah-olah peristiwa besar apapun takkan bisa meluluhkan hatinya.
Sepasang mata itu justru teramat tajam dan menakutkan, dingin dan kaku menggiriskan pula, sejak orang ini melangkah masuk hawa dalam rumah seakan-akan membeku secara mendadak, orang-orang yang sedang judi dan berkaok-kaok seketika sirap, biji mata Ciangkuipun terpentang lebar, semua hadirin sama merasa badannya dilingkupi hawa dingin, namun mereka sendiri tak habis mengerti, kenapa hati sendiri kebat-kebit, apasih yang ditakuti"
Tampak orang ini melangkah lebar masuk ke dalam rumah, bahwasanya seperti tidak melihat kehadiran orang lain didalam rumah ini, tangannya menggandeng dua utas tali, sekali tarik dari luar tersungkur masuk dua sosok tubuh manusia, seorang bungkuk dan seorang kurus burikan, begitu tersungkur jatuh sesaat tak mampu berdiri, dengan napas ngos-ngosan.
Lo-ban menghirup napas panjang, sapanya lebih dulu membuka kesunyian: "Sa.....sahabat kemari mau apa?" meski membesarkan hati, tapi entah kenapa suaranya serasa gemetar dan sumbang.
Laki-laki baju hitam itu menyahut: "Disini tempat apa?"
Lo-ban melengak, sahutnya: "Kita.....kita membuka penginapan."
Laki-laki baju hitam sudah duduk di sebuah kursi, "Brak" ia gebrak meja, katanya: "Kalau penginapan, kenapa tidak lekas siapkan minuman?"
Mengerling biji mata Lo-ban, tampak tujuh delapan laki-laki teman judinya sama mengawasi dirinya, dalam hati ia berpikir: "Aku takut apa" Kau bocah ini seorang diri, apa sih yang perlu ditakuti?" karena pikirannya ini, nyalinya tambah besar, jengeknya dingin: "Peraturan di sini selamanya mengutamakan bayar dimuka, mau minum kau harus keluarkan dulu uangmu."
Tak nyana laki-laki baju hitam menyeringai dingin: "Tidak punya uang."
Lo-ban melengak pula, ingin sebetulnya dia keluarkan kata-kata kasar, tiba-tiba dilihatnya sepasang mata laki-laki itu sedang melotot kepadanya, seketika seperti membeku darahnya, sepatah katapun tak kuasa dikatakan lagi.
Di sana Ciangkui tiba-tiba batuk pelan-pelan, katanya tertawa: "Kalau tuan tamu ini mau minum, kenapa tidak lekas kau suguhkan air teh."
Lo-ban yang galak itu ternyata menurut saja dengan tertunduk ia menuang air teh dan disuguhkan.
Laki-laki yang dilempar ke atas meja kembali melongo heran dan tak mengerti, secara diam-diam hatinyapun sedang bersorak kegirangan: "Kiranya kawanan perampok ini masih tahu takut kepada orang yang lebih galak."
Cepat sekali air teh disuguhkan, tanpa sungkan laki-laki baju hitam segera angkat cangkir terus ditenggak habis, tapi air teh yang masuk kedalam mulutnya tiba-tiba ia semprotkan ke muka Lo-ban, dampratnya gusar: "Air teh seperti ini mana bisa diminum, ganti secangkir air lagi."
Badan Lo-ban setinggi tujuh kaki dan kekar itu ternyata terjengkang jatuh karena semprotan air teh dimukanya, terasa selebar mukanya sakit pedas, tak tahan ia berjingkrak bangun dengan murka, dengan menghardik seperti geledek, segera ia menubruk maju.
Teman-temannya yang lain melihat dia berani turun tangan, beramai-ramai merekapun meluruk maju, sambil menggerakkan kaki tangan seraya bersorak sorai, ada yang mengambil kursi, ada yang menyingsing lengan.
Kedua tangan laki-laki hitam itu menekan meja, tiba-tiba ia menyedot napas, entah bagaimana terjadi tahu-tahu meja dan kursi yang didudukinya ikut terseret ke samping beberapa kaki.
Sebetulnya Lo-ban sudah mengincar dengan tepat, siapa duga tubrukannya mengenai tempat kosong, celaka malah nubruk seorang temannya yang kebetulan berdiri di sebelah sana, kebetulan pula laki-laki ini sedang angkat kursi mengepruk "Brak" untung badan Lo-ban sedang tersungkur sehingga badannya melenceng dan cepat menggelengkan kepalanya, kalau tidak tentu batok kepalanya terkepruk pecah. Namun demikian toh dirasakan punggung dan pundaknya sakit luar biasa, dengan murka ia berjingkrak bangun seraya mencaci: "Siau-ui, kau anak anjing ini, memang sudah gila?"
Dimaki secara kasar, merah padam muka Siau-ui, serunya: "Siapa suruh kau main tubruk, memangnya kau picak, kau sendiri anak anjing."
Memang dalam permainan judi tadi, orang she Ui ini selalu menang, maka Lo-ban merasa iri kepadanya, kini setengah badannya terasa kaku ngilu, lebih berkobar lagi amarahnya, dampratnya sambil mencak-mencak: "Biar tuan besarmu tahu siapa keturunan anjing yang tulen."
Ditengah suara caci maki kedua orang itu sudah bergumul dan berhantam keras lawan keras, kepalan dibalas pukulan, tendangan dibalas sepakan, suasana menjadi ramai dengan suara gedebukan, keduanya memukul dengan sekuatnya dan tak berusaha berkelit, maka dalam sekejap saja keduanya sudah babak belur dan keluar kecap dari hidungnya, laki-laki baju hitam itu malah menonton mereka berkelahi, matanya tak pernah berkedip.
Ciangkui itu kini menarik muka dan merengut tak bersuara. Tujuh laki-laki yang menonton disamping ada yang merupakan kenalan baik Lo-ban dan ada pula yang suka menjilat kepada laki-laki she Ui, mereka sama tepuk tangan dan berjingkrak memberi semangat dan dorongan kepada kedua orang yang sedang pukul memukul ini.
Tiba-tiba laki-laki baju hitam kembali menggebrak meja, dampratnya: "Siapa suruh kalian anjing gigit anjing?"
Baru sekarang Lo-ban dan Siau-ui sama sadar, keduanya tertegun dan menghentikan serangan, berdiri saling pandang sebentar, amarah Lo-ban agaknya belum terlampias, dampratnya dengan murka: "Biar tuanmu adu jiwa dengan kau."
Seperti orang kesetanan ia menubruk membabi buta, tahu-tahu badan laki-laki baju hitam mengkeret, kembali bersama meja dan kursi melesat ke samping beberapa kaki, Lo-ban kembali menubruk tempat kosong. Kali ini orang lain sudah kapok, tiada seorangpun yang berani membantu, tampak Lo-ban tubruk sana hantam sini, main tendang dan terkam, namun ujung baju orangpun tak mampu disentuhnya.
Mengelap meja dan memindahkan kursi agaknya sudah menjadi keahlian laki-laki baju hitam ini, kemana badannya bergerak, meja dan kursi segera meluncur ke arah yang dikehendakinya.
Ruangan ini sebetulnya tidak begitu besar, apalagi terdapat meja kursi lainnya pula, tapi justru dia bisa bergerak secara pas-pasan, bergerak leluasa diantara celah meja dan kursi-kursi, tanpa menyentuhnya sedikitpun.
Biji mata Lo-ban sudah membara, mukanyapun sudah membengkak, keringat sudah membasahi selebar mukanya, makinya sambil berjingkrak murka: "Kau keparat, kalau berani berdirilah dan lawan tuan besar berkelahi, kalau kepandaianmu hanya menyingkir saja, kau bukan manusia, kau binatang!"
Laki-laki baju hitam terkekeh dingin, jengeknya: "Memangnya tampangmu setimpal bergebrak dengan aku."
Lo-ban semakin murka, dampratnya: "Kalau pandaimu mengolok-olok saja, kau memang binatang."
Tiba-tiba melotot biji mata laki-laki baju hitam, sorot dingin terpancar dari biji matanya, ancamnya sepatah demi sepatah: "Kau ingin aku turun tangan?"
"Aku........aku......." tersendat mulut Lo-ban dengan muka pucat. Tadi dia begitu beringas, tapi karena dipelototi mata lelaki baju hitam, terasa kedua kaki menjadi lemas lunglai, lekas ia putar tubuh memburu kehadapan rombongan laki-laki lainnya, dampratnya mencak-mencak: "Kalian anak kura-kura, melihat keramaian apa" memangnya tangan kalian sudah kutung semua?"
Karena dampratan ini mereka jadi rikuh dan tak enak hati berpeluk tangan.
Tampak laki-laki baju hitam pelan-pelan menanggalkan sebilah pedang yang panjang dan tipis, sarungnya berkulit hitam legam, pedang panjang laksana ular beracun ini diletakkannya di atas meja. Pelan-pelan ia mengelusnya seraya menjengek dingin: "Pedang ini tak sembarangan keluar dari sarangnya, sekali keluar harus melihat darah, kalau keluar jiwa pasti melayang," mulutnya seperti menggumam, namun bagi pendengarnya serasa mendirikan bulu roma dan menciutkan nyali mereka, saling pandang tiada yang berani mendahului turun tangan.
Ciangkui itu tiba-tiba menghela napas, katanya: "Kalau tidak berani turun tangan, tidak lekas ngacir saja, buat apa berdiri di situ membuat malu saja." Semua laki-laki itu sama menundukkan kepala, keringat dingin berketes-ketes membasahi badan. Tertawa besar Ciangkui mengawasi laki-laki baju hitam, serunya memuji: "Sahabat, hebat kepandaianmu, memang sengaja kau hendak bikin gara-gara disini?"
Melirikpun tidak laki-laki baju hitam itu kepadanya, mulutnya mendehem saja.
Kembali Ciangkui tertawa besar, katanya: "Bagus, kawan berani kemari, tentunya kami tidak akan bikin saudara kecewa."
Di atas meja kasir ada kelintingan kecil, segera ia mengangkatnya serta digoyang-goyang.
Begitu suara kelintingan kumandang, tujuh delapan jendela persegi satu kaki di sekeliling dinding serempak terbuka, di luar jendela kelihatan bayangan orang, disusul setiap jendela menongol keluar ujung anak panah yang runcing mengkilap tertuju ke arah laki-laki baju hitam, terang anak panah sudah terpasang di atas busur dan terpentang tinggal melepas saja.
Laki-laki pelancong yang dilempar keluar masuk tadi, disaat orang sedang berkelahi, secara diam-diam ia meraih sebuah ceret berisi air teh terus diteguknya sepuas-puasnya, kini sedang menentramkan napasnya yang tersengal-sengal, mau tak mau ia merasa kuatir pula bagi keselamatan laki-laki baju hitam itu.
Sebaliknya laki-laki baju hitam tetap bercokol di atas kursinya dengan sikap tenang tak gentar sedikitpun, panah yang sudah terpasang di atas busurnya tertuju padanya, bahwasanya dianggap tidak melihatnya sama sekali, cuma mulutnya menyungging senyuman dingin. Terdengar dari luar seseorang bergelak tawa, katanya: "Sahabat, besar benar nyalimu, memangnya kau tidak takut mati?" suara tawanya laksana genta bertalu-talu, membuat orang yang mendengarnya serasa pecah kupingnya, sebuah pintu di belakang ruangan tiba-tiba terbuka, dari luar melangkah lebar seseorang.
Tampak orang ini berperawakan tinggi kekar, kira-kira sembilan kaki, selebar mukanya tumbuh cabang bauk, pintu itu tidak besar namun tidak kecil, orang itu harus membungkuk badan baru bisa melangkah masuk.
Baju bagian atas laki-laki ini terbuka lebar, tampak dadanya yang kekar dan tumbuh bulu-bulu lebat hitam, tangannya menjinjing sebilah golok emas bergelang sembilan berpunggung tebal, panjangnya lima kaki, paling tidak ada empat lima puluh kati. Orang seperti ini dengan senjata yang luar biasa pula, sungguh mengejutkan nyali setiap orang yang menghadapinya.
Laki-laki baju hitam cuma meliriknya dengan tawar, jengeknya: "Kau ini Pan-thian-hong?"
Laki-laki cambang bauk tergelak-gelak pula, serunya: "Bocah, bagus ternyata kau tahu disini ada Pan-thian-hong, jadi kau memang sengaja hendak cari gara-gara, baik tuan besarmu biar memberi hajaran kepadamu saja!"
Ditengah berkumandangnya gelak tawa, Kim-pwe-to yang beratnya lima puluh kati itu terayun tinggi terus membacok dengan dahsyat, tajam golok sampai mengeluarkan deru angin keras, sementara gelangnya berbunyi kerontangan, begitu keras dan hebat perbawanya sampai semua hadirin serasa pekak telinganya, terbang arwahnya.
Demikian pula laki-laki baju hitam agaknya tersedot semangatnya oleh perbawa golok yang hebat ini, dengan mata mendelong ia awasi golok besar itu membacok turun mengarah batok kepalanya tanpa bergerak sedikitpun. Serempak semua hadirin sama unjuk rasa senang, mereka kira sekali bacokan golok besar ini, pasti mampu membelah badan laki-laki baju hitam itu menjadi dua potongan. Maka terdengarlah " Prak" golok emas telak sekali mengenai sasarannya.
Meja kayu yang terbuat dari kayu tebal dan berat bobotnya itu ternyata terbelah menjadi dua potong, namun laki-laki baju hitam justru tetap duduk ditempatnya tanpa kurang suatu apapun dan masih segar bugar. Jelas semua orang melihat dia tidak bergeming dari tempat duduknya, tapi entah mengapa bacokan golok itu ternyata tidak mengenai dirinya. Semua hadirin seketika melongo keheranan dan saling pandang. Lo-ban mendadak terkekeh-kekeh serunya: "Masakah kalian tidak melihat" Ji-ko sengaja berbelas kasihan, cuma sengaja main gertak sambal belaka untuk menakuti bocah ini, lalu membabat kutung bagian batok kepalanya."
Semua laki-laki yang hadir sama bersorak senang, seru mereka: "Benar, bacokan Ji-ko selanjutnya tak usah menaruh belas kasihan lagi, ya bukan!"
Laki-laki cambang bauk menyeka keringat di atas jidatnya, sungguh dia sendiripun keheranan sendiri kenapa bacokan goloknya tahu-tahu mengenai tempat kosong, terpaksa ia unjuk tawa kering, katanya: "Adik-adik boleh lihat, bacokan Ji-ko kedua kalinya biar kucabut jiwanya."
Laki-laki baju hitam tiba-tiba menjengek dingin: "Ilmu golok seperti permainanmu, paling-paling hanya bisa untuk membelah kayu dan menebang pohon, jikalau ingin membunuh orang........hehehe! Masih jauh sekali!"
Merah padam muka laki-laki bercambang bauk, serunya dengan gusar: "Ilmu golok yang bagaimana baru bisa membunuh orang?"
Laki-laki baju hitam pelan-pelan mengelus sarung pedangnya, sahutnya kalem: "Ilmu golok yang bisa membunuh orang seperti ini," ditengah ucapannya semua orang seperti melihat pedang panjangnya itu terlolos keluar dari sarungnya, sekali berkelebat belum lagi kata-katanya terucap habis, pedang runcing panjang laksana ular berbisa itu seperti masih tetap berada didalam sarungnya tak bergerak.
Sementara laki-laki bercambang baukpun masih berdiri tegak di tempatnya, cuma kulit mukanya mulai kerut kemerut dan mengejang, sepasang matanya pelan-pelan melotot seperti biji mata ikan mas.
Melirikpun tidak sudi, berkata laki-laki baju hitam: "Sekarang kau sudah paham belum?"
Laki-laki cambang bauk menyahut sumbang: "Aku.........aku sudah paham..........." belum selesai kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara gemerantang golok berpunggung tebal di tangannya tiba-tiba jatuh kerontangan disusul tubuh kekar dan tinggi dari laki-laki cambang bauk ini, tumbang seperti pohon yang kehilangan tunjangan akar-akarnya. Tak terlihat sedikitpun luka-luka pada sekujur badannya, cuma tenggorokannya saja kelihatan setitik merah darah. Luka-luka yang mencabut nyawanya ternyata hanya setitik darah saja.
Semua hadirin sama membuka mulut dan tak kuasa bersuara, matapun terkesima mana mampu bicara lagi. Sesaat kemudian satu persatu mata mereka melirik ke arah ujung panah yang masih nongol dari balik jendela. Ujung panah sama masih tertuju ke arah batok kepala dan dada laki-laki baju hitam, tapi melirikpun dia ogah, tangannya masih mengelus pedang di pangkuannya.
Lo-ban menyurut mundur selangkah demi selangkah, tak tahan dia berteriak ketakutan dengan suara gemetar: "Ma......masih tidak lekas lepas panah?"
Entah sejak kapan Ciangkui sekarang sudah keluar dari balik meja kasirnya, tiba-tiba ia renggut tengkuk orang, sekaligus tangannya yang lain bekerja pulang pergi menampar mukanya puluhan kali. Serasa hampir semaput Lo-ban dibuatnya, serunya penasaran: "Lotoa,...........kenapa kau pukul aku?"
Si Ciangkui murka, dampratnya: "Kalau tidak menghajarmu siapa yang harus dipukul" Apa saja yang kau katakan barusan?"
"Aku.......aku cuma minta para saudara lepas panah!"
Ciangkui tertawa dingin, jengeknya: "Kau ingin supaya mereka lepas panah, tahukah kau bila panah dilepas siapa yang akan mampus?"
"Sudah tentu bocah keparat itu."
Belum habis kata-katanya si Ciangkui kembali layangkan tangannya menggampar beberapa kali pula ke pipinya, bentaknya murka: "Tampangmu juga berani memanggilnya bocah, tahukah kau siapa sahabat ini?"
"Dia................dia siapa?" Lo-ban terkesiap.
Ciangkui tidak hiraukan pertanyaannya, dengan langkah cepat dia menghampiri ke depan laki-laki baju hitam, dengan laku hormat dia menjura, seraya unjuk seri tawa, sapanya: "Para saudara tidak tahu bila Setitik merah dari Tionggoan sudah berkunjung ke tempat kami yang jorok ini, maaf kami tak menyambut selayaknya, harap tuan suka mengampuni dosa-dosa mereka."
Orang ini betul-betul serigala bangkotan yang licin dan licik, terlebih dahulu dia hajar Lo-ban habis-habisan, membuktikan bahwa saudara-saudaranya ini memang tidak tahu dan mengenal Setitik merah. Baru dia memohon maaf kepada Setitik merah. Ini pula yang dinamakan tingkah laku seorang kawakan Kangouw. Kaum persilatan yang suka kelana di Kangouw biasanya memang mengutamakan perbuatan tengik seperti itu, dia kira setelah mendengar dan melihat tindakannya, orang tentu menjadi sungkan dan sekedar basa-basi selayaknya.
Siapa nyana Setitik merah justru tidak perduli segala tingkah dan perilakunya yang tengik ini.
Meski seorang kawakan Kangouw yang cukup berpengalaman, cara apapun yang digunakan bila berhadapan dengannya boleh dikata sia-sia belaka. Menggerakkan kelopak matapun Setitik merah tidak sudi, suaranya tetap dingin kaku: "Teh ini tidak bisa diminum, ganti yang lain."
Si ciangkui tertegun sebentar, tetap unjuk seri tawa, sahutnya: "Ya,ya,ya air teh ini tak bisa diminum biar saudaraku ganti yang lain."
Setelah seseorang mengganti dengan air teh dalam ceret yang lain, dengan kedua tangan sendiri dia angsurkan ke depan orang, siapa tahu Setitik merah meraih cangkir terus dibanting ke atas lantai: "Teh ini kurang baik, ganti ceret yang lain."
Seketika berubah rona muka semua laki-laki yang hadir, sebaliknya si Ciangkui masih bersikap hormat, roman mukanya tetap berseri tawa, katanya: "Ya,ya,ya ganti dengan ceret yang lain."
Benar juga dia ganti dengan air teh dari ceret yang lain, kembali ia angsurkan dengan kedua tangannya, pikirnya: "Seumpama kau memang ingin membuat keributan kali ini, tentu kau takkan ada alasan main-main lagi."
Tak nyana mengendusnya saja tidak, Setitik merah kembali membanting hancur cangkir teh itu, bentaknya: "Teh ini tetap tak bisa kuminum."
Sungguh sabar luar biasa si Ciangkui ini, tak segan-segannya dia mengganti sendiri secangkir air teh yang lain pula, pikirnya: "Ingin aku melihat apakah kau tetap akan membantingnya?"
Memang keterlaluan, sekaligus secara beruntun Setitik merah sudah membanting hancur delapan cangkir, sikapnya tetap kaku dan dingin. Kini hadirin sudah menyadari bahwa dia memang sengaja hendak cari gara-gara menimbulkan keonaran, keringat dingin sebesar kacang sama menghiasi jidat setiap hadirin.
Meski muka si Ciangkui masih mengulum senyuman, tapi hatinya sudah tak sabar lagi, tanyanya: "Air teh yang bagaimana baru tuan mau meminumnya?"
"Air teh yang tidak bau, tentu boleh kuminum," sahutnya.
Ciangkui tertawa kering, katanya: "Masakah air teh ini bau?"
"Hm!"
"Setegukpun saudara tidak mencicipinya darimana bisa tahu bila teh ini bau?"
"Karena tangan orang di sini semuanya berbau."
Sekilas biji mata Ciangkui mengerling ke arah pedang panjang yang ditopang di atas pangkuan Setitik merah, katanya terloroh-loroh: "Apa betul tangan manusia-manusia ini berbau" Cayhe jadi ingin mengendusnya," pelan-pelan ia menghampiri terus menarik tangan Lo-ban, ujung kakinya tiba-tiba menyungkit golok emas terus diraihnya, sekali ayun ia membacok.
Lo-ban melolong sekeras-kerasnya, kontan jatuh semaput.
Dengan membawa kutungan tangan Lo-ban yang berlepotan darah, si Ciangkui betul-betul mendekatkan ke depan hidungnya untuk dicium satu persatu, roman mukanya berseri tawa, seperti orang menikmati sesuatu yang memikat hatinya: "Kedua tangan ini sebetulnya sih tak begitu bau, cuma mengandung bau anyir darah."
Agaknya dia merasa kata-kata yang dia ucapkan ini adalah banyolan yang menggelikan, belum selesai kata-katanya, badannya sudah bergoyang karena loroh tawanya yang keras. Tapi kecuali dirinya siapa pula yang bisa tertawa. Bahwasanya dia sendiri heran betapa dia sendiripun bisa tertawa.
Dengan mendelik matanya menatap kepada Setitik merah, batinnya: "Membunuh orang cukup menganggukkan kepala, seumpama kau memang ingin cari gara-gara, apa yang kulakukan kiranya sudah cukup keterlaluan?"
Jikalau orang lain, meski hati sedang dirundung kepedihan atau sedang marah besar, setelah melihat adegan seram tadi mestinya amarahnya sedikit banyak tentu sudah terlampiaskan, seorang bila bisa menahan diri sampai sedemikian jauh, apa pula yang dapat dilakukan orang lain.
Sampaipun si Burik dan si bungkuk dalam hati merasa kasihan dan menarik napas, mereka heran kenapa orang yang berjanji dengan Setitik merah untuk bertemu ditempat ini belum juga kunjung tiba"
Apa boleh buat, hati Setitik merah seperti dibuat dari besi baja, apapun yang dia katakan, apapun yang dia lakukan, dia bisa anggap tidak melihat dan tidak mendengar, sikapnya tetap kaku tak bergerak.
Lama kelamaan si Ciangkui tak bisa tertawa lagi, setelah dua kali tertawa kering, dia maju menghampiri dan menuang secangkir air teh dengan kedua tangannya, ia haturkan kepada Setitik merah, katanya: "Selama dua puluh tahun Cayhe tidak pernah menyuguh air teh kepada siapapun dengan kedua tanganku ini, maka kedua tanganku ini tentu tidak bau, jikalau saudara suka memberi muka kepada Cayhe, sungguh Cayhe teramat terima kasih."
Setitik merah melirikpun tidak ke arahnya, matanya malah mengawasi cangkir ditangan orang, katanya pelan-pelan: "Jadi kau inilah Pan-thian-hong!"
Ciangkui tertawa dibuat-buat, sahutnya: "Ah, julukan yan tak berarti, bikin kotor pendengaran saja."
"Tak heran kau bisa hidup sampai sekarang, orang seperti tampangmu ini kiranya Pan-thian-hong itu, sungguh tak kentara."
"Di hadapan seorang sahabat, sebetulnya Cayhe tak bisa dianggap Pan-thian-hong, hanya boleh dipandang seekor ulat....haha! Cuma seekor ulat belaka, buat apa saudara harus berurusan dengan seekor ulat."
"Benar, kau memang seekor ulat, tanganmu itu lebih busuk dari mereka."
Kulit muka Pan-thian-hong yang kuning itu seketika berubah pucat, suaranya mulai gemetar:
"Saudara, kau.....sebetulnya kau ingin."
Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan nyaring dari luar pintu, seorang berkata dengan suara merdu: "Kiranya tangan Pan-thian-hong juga berbau busuk, ingin aku menciumnya malah, tahu-tahu seorang gadis muda berusia belasan tahun bermata bening, bergigi putih rata, rambutnya dikepang menjadi dua, pakaiannya serba merah, dengan gemulai melangkah masuk.
Hujan pasir ditengah gurun sering terjadi, orang-orang yang memasuki rumah selalu berlepotan lumpur berpasir, tapi badan gadis jelita ini sedikitpun tidak kotor.
Hawa membunuh memuncak didalam rumah ini, darah berceceran, mayat menggeletak tak diurus. Tapi tawa gadis jelita ini begitu manis begitu riang seolah-olah dia baru saja keluar dari taman kembang yang subur semerbak memasuki kamar tidurnya sendiri, laki-laki kasar yang memenuhi ruangan ini seolah-olah adalah kacung atau pesuruh di rumahnya.
Pada saat seperti ini, ditempat seperti ini pula, tiba-tiba muncul seorang gadis jelita seberani ini, pandangan semua orang secara tak sadar sama mendelong mengawasinya, mulut terbuka lebar tak bersuara.
Tampak sambil berseri tawa, gadis jelita itu langsung menghampiri ke depan Pan-thian-hong, katanya sambil melerok: "Apa tanganmu benar-benar busuk?"
Pertanyaan ini sungguh jenaka dan bikin orang jengkel dan geli pula, sesaat lamanya Pan-thian-hong sendiri megap-megap tak mampu menjawab: "Nona..........Cayhe........."
"Kelihatannya kedua tanganmu ini putih bersih, mana bisa berbau busuk" Aku tidak percaya............" pelan-pelan ia raih kedua tangan Pan-thian-hong. Gadis jelita secantik ini, tawa nan merdu, masakah Pan-thian-hong tega menolak tangannya diperiksa"
Setitik merah tetap tak menunjukkan perubahan mukanya, cuma sekilas biji matanya melirik kepada si Burik dan Si Bungkuk, seperti bertanya: "Kalian lihat orang macam apa sebenarnya gadis ini?"
Si Bungkuk dan si Burik beradu pandang, dalam hati masing-masing sama teringat akan Ciok-kwan-im. Jikalau gadis ini bukan Ciok-kwan-im tentu dia punya hubungan erat dengan Ciok-kwan-im. Orang mendadak muncul ditempat ini, apakah tujuannya"
Sekonyong-konyong tampak selarik sinar perak berkelebat, disusul jeritan keras yang memekakkan telinga. Tampak Pan-thian-hong sempoyongan mundur tiga langkah, kontan badannya tumbang celentang seperti pohon roboh.
Tahu-tahu tangan gadis baju merah itu telah mencekal sebuah pisau yang berkilauan, ujung pisau masih berlepotan darah, cara bagaimana orang menggerakkan pisau peraknya tiada seorangpun yang melihat jelas.
Terdengar gadis baju merah cekikikan pula, katanya: "Tangan ini sebetulnya sih tidak bau, cuma sedikit berbau darah."
Laki-laki yang lain serempak menggembor seperti kesetanan, berbareng menubruk maju.
Jelalatan biji mata gadis baju merah, jari-jarinya mengkili-kili pipi sendiri sambil menggoda jenaka: "Kalian mau apa, begini banyak laki-laki hendak menganiaya anak perempuan, tidak tahu malu?" mulut bicara sementara pisau di tangannya bekerja dengan tangkas, dua laki-laki yang menubruk duluan seketika menjerit dan roboh tak bernyawa lagi, tenggorokannya berlubang dan darahpun bercucuran.
anak gadis semuda ini, bersikap aleman, halus dan jenaka, ditengah senda guraunya beruntun menamatkan jiwa dua laki-laki kasar, yang lain mana berani banyak tingkah pula.
Mengawasi darah yang muncrat kemana-mana itu, si gadis baju merah menghela napas, ujarnya menawan hati: "Tak heran Setitik merah dari Tionggoan menggetarkan dunia, baru sekarang aku tahu membunuh orang tak kelihatan darah, hanya setitik darah di ujung pedang!
"Gampang" kata-kata ini diucapkan, tapi untuk melakukannya sungguh tak mudah."
Biji matanya mengerling ke arah Setitik merah, katanya pula: "Coba lihat, hanya sedikit menggunakan tenaga, darah mereka sudah berceceran sedemikian banyak, sungguh memualkan, dibanding caramu jauh sekali bedanya."
Dengan dingin Setitik merah mengawasinya, katanya dingin: "Peduli siapa, membunuh orang tiada seninya dan enak dipandang mata."
Gadis baju merah cekikikan pula, ujarnya: "Cuma kau, orang lain membunuh orang ya membunuh orang, kau membunuh orang sebagai buah karya yang tiada bandingannya."
Siau-ui sedang menyurut mundur, diam-diam ia memberi isyarat ke jendela, maksudnya supaya mereka melepas anak panah, tak nyana kerlingan mata gadis baju merah tiba-tiba tertuju ke arahnya, teriaknya nyaring: "Aduh! Coba kalian lihat jahat tidak orang ini, dia ingin orang lain memanah mati diriku."
Seketika dingin tengkuk dan kaki tangan Siau-ui, kakinya tak bergerak lagi.
Gadis baju merah malah menghela napas, ujarnya lembut: "Sayang panah-panah itu takkan bisa memanah mati orang, tidak percaya coba kau lihat." langkahnya ringan menghampiri jendela, dengan kedua jarinya ia jepit pelan-pelan sebatang anak panah, panah itu dengan gampang terjepit diantara jari-jarinya, sekali potes patah menjadi dua.
Semua laki-laki kasar itu semakin ketakutan, bernapaspun tak berani keras-keras.
"Apa kalian heran?" ujar gadis baju merah.
"Sebenarnya tak perlu dibuat heran, orang hidup baru bisa main panah, orang mati mana bisa lepaskan panah?"
Bergetar suara Siau-ui: "Kau..........kau bunuh mereka?"
"Coba kau pikir, bila ada orang hidup mengacungkan panah kepadaku, apa aku bisa masuk kemari" Nyaliku kecil, tak punya kepandaian seperti Setitik merah ini."
Serasa lemas kaki Siau-ui, seketika ia melorot jatuh dengan lunglai.
Tak tahan Setitik merah bertanya: "Dari mana kau tahu namaku?"
"Kenapa aku tak tahu namamu, kau adalah orang yang paling kukagumi, apalagi kedatanganku sekarang tujuannya adalah menyambut kau."
Berkerut alis Setitik merah, "Menyambut aku?"
"Bukankah kau ada janji bertemu dengan orang di sini?"
"Ehm!"
"Kini mereka sedang sibuk urusan penting maka tak bisa kemari dan suruh aku membawa kau kepada mereka. Sekarang aku sudah datang, kaupun perlu segera berangkat."
"Berangkat........" Setitik merah ragu-ragu.
"Kau tak mau berangkat" Memangnya hendak bunuh habis orang-orang ini" Sungguh kebetulan malah, selamanya aku mengharap bisa melihat kau membunuh orang."
Tanpa banyak bicara Setitik merah tarik kedua utas tali yang membelit orang, terus ditariknya si Bungkuk dan si Burik, tiba-tiba berkerut alisnya, katanya: "Kau tangkap kedua orang sebagai gandengan anjing mainan, kenapa tidak kau pilih yang bagus dan cantik" Manusia seburuk ini, aku sebal melihatnya, memalukan saja, lebih baik aku kirim mereka pulang ke asalnya saja,"
dimana tangannya terayun, pisau perak di tangannya menyambar ke tenggorokan si Burik dan si Bungkuk, "Creng" sarung pedang hitam laksana ular sakti tahu-tahu menangkis pisau perak itu.
"Lho! Kau merasa sayang bikin mereka mampus?"
"Orang yang ingin kubunuh, tak perlu orang lain mewakili aku turun tangan."
"Kau kira aku suka berebut membunuh orang dengan kau?"
"Urusan membunuh orang, tiada orang yang bisa berebut dengan aku, tiada orang yang berani."
"Legakan hatimu, orang seperti ini kubunuh dia malah mengotori tanganku!"
Bersambung ke Jilid 21
Jilid: 21 Begitu gadis baju merah ini mengatakan hendak menjemput setitik merah si Bungkuk lantas tahu urusan rada ganjil. Katanya pemimpin pemberontak negeri Kui - je dengan Go kiok-kan itu hendak menunggu kedatangan setitik merah di penginapan padang pasir satu satunya ini, kenapa mendadak merubah rencana" Kenapa pula mereka suruh gadis jelita baju merah ini membawa setitik merah entah kemana."
Gerak-gerik gadis baju merah ini serba misterius, jelas mempunyai asal usul yang luar biasa, orang seperti dia, masakah sudi mendapat perintah dari pemberontak negeri Kui-je" Memangnya dalam hal ini mereka ada intrik dengan Ciok-koan-im"
Hati si Bungkuk dan si burik bertanya tanya tak tenang tapi tak masuk ke sarang harimau, mana bisa menangkap anak harimau urusan sudah terlanjur, sedemikian jauh, memangnya mereka masih punya pilihan lain"
Begitu mereka tiba di luar kembali mereka dibikin tercengang. Di luar pintu ternyata berlabuh sebuah kapal. Di atas padang pasir nan luas penuh misterius dan serba menakutkan ini perduli terjadi peristiwa besar yang mengejutkan mereka takkan terkejut dan heran, tapi sungguh mimpipun mereka tidak menyangka di sini mereka bakal melihat sebuah kapal.
Letak penginapan padang pasir ini boleh dikata ditengah atau di pusat gurun pasir, dari mana datangnya kapal"
Tapak kapal ini panjang dan siur, haluan dan buritan kapal sama dihias dan diperlengkapi dengan alat-alat luar biasa, ruang-ruang kapal yang luas dihiasi sebagai perabot yang mewah sampaipun kerai pintupun terdiri dari untaian mutiara.
Jadi gadis baju merah tadi keluar dari kapal ini langsung masuk ke dalam rumah, tak heran badannya kelihatan begitu bersih, namun cara bagaimana kapal ini bisa melaju sampai ke tempat ini" Sungguh luar biasa dan susah dibayangkan.
"Kenapa melongo?" seru gadis baju merah, "silahkan naik ke atas kapal!"
Berkilat biji mata Setitik merah, namun mulutnya bungkam.
"Ehm!" Setitik merah mendehem sebagai jawaban.
"Setelah kau ikut aku naik ke atas kapal segera kau akan tahu."
Kalau orang lain perhatikan bagian atas perahu, justru si Bongkok sedang perhatikan atas atau dasar kapal. Tampak kapal ini di bawahnya, di atas dua papan panjang yang sempit, papan bambu besar yang disisir licin dan kuat.
Setiba di atas kapal, kembali ia dapati kapal ini kebanyakan dibangun dari belahan-belahan bambu kuning, demikian dinding ruang kapal, dek dan dasarnya, maka bentuk kapal ini sempit panjang dan bobotnya tentu amat ringan.
Dari bawah memang tidak kelihatan, tapi setiba di atas dan didalam kapal, maka siapapun bisa lihat puluhan ekor burung-burung elang yang kokoh kekar dan bersayap lebar sama bertengger di atas dek kapal.
Dua anak laki-laki berpakaian serba merah pula, sedang memberi makan dengan daging-daging segar begitu mereka naik ke atas kapal, salah satu anak laki-laki itu terus menanggalkan sebuah cambuk panjang, "Tar" ia lecutkan cambuknya ke tengah udara.
Rombongan elang segera pentang sayap terbang ke angkasa, puluhan utas rantai kemilau yang lembut sebanyak jumlah elang-elang itu segera terbawa terbang, rantai lembut itu kini terikat di atas kapal, maka kapal segera bergerak dan melaju dengan tenang di atas pasir lembut seperti meluncur di atas salju, mulai lambat, lalu lambat laun cepat laksana terbang orang-orang yang di atas kapal seolah-olah naik awan ikut tertiup angin.
Bungkuk dan Burik beradu pandang sekali, hati mereka diam-diam memuji dan kagum akan cara pembuatan kapal ini yang begini rapi dan serba praktis.
Maklumlah elang punya tenaga besar dan kuat bertahan lama kala seekor kambing besarpun mampu mereka sambar dan di bawa terbang ke angkasa, kini puluhan ekor kerja sama menyeret sebuah kapal yang terbuat dari bambu meluncur di permukaan pasir yang datar licin sudah tentu bukan persoalan sulit.
Dan lagi elang punya kesabaran yang tak dimiliki binatang lain, ada kalanya untuk menunggu ajal seseorang baru memakan bangkainya dia kuat bertahan beberapa hari terbang berputar-putar diangkasa. Maka tenaga elang dipakai sebagai tenaga penggerak sebuah kapal ringan, tak perlu kuatir burung-burung elang ini tidak bakal mogok ditengah jalan, asal saja dalam waktu-waktu tertentu mereka diberi makan kenyang.
"Coba kau katakan, untuk menempuh perjalanan di gurun pasir, kendaraan apa yang bisa laju lebih cepat, lebih nyaman dari kapal ini?"
Kembali Setitik merah mendehem saja.
"Dan lagi bila kau tidak mau dilihat orang bila kau duduk didalam kapal ini, tanggung tak perlu takut, diketahui jejakmu oleh orang lain, selamanya takkan ada orang bisa menemukan jejak kapal ini, memang ada sementara orang pernah melihat kapal ini sedang melaju ditengah gurun pasir secepat angin puyuh, tentulah kabur atau melihat setan!"
Terdengar seorang menanggapi dari dalam ruangan sambil tertawa: "Oleh karena itu orang-orang yang mengembara di padang pasir sama menamakan kapal ini kapal setan!"
Suara ini kalem dan tenang, seorang menyingkap kerai berjalan keluar, tapi baru setengah badannya menongol keluar, lekas sekali mengkeret masuk, katanya terbawa: "Di luar angin amat besar kenapa Ang heng tidak masuk saja?"
Bentuk muka orang ini segi-tiga berwarna kuning seperti malam, namun panca inderanya seperti hendak saling tumbuh menjadi satu bagian, beberapa utas jenggot terpelihara di bawah janggutnya, tampaknya seperti keledai bermata tikus, muka yang sebegini jelek, siapapun takkan menyangka suara yang lembut dan berisi ternyata keluar dari mulut orang seperti ini.
Bungkuk dan Burik kembali beradu pandang batin mereka: "Mungkin orang ini adalah Go kiok kan yang terkenal itu. Setitik merah bilang tampangnya menyebalkan, sedikitpun tidak salah."
Orang-orang lainnya yang berada dalam kamar tampangnya jauh lebih bagus. Kedua orang ini sama berpakaian perlente, bermuka lebar, beralis tebal, biji mata mundur besar, sikapnya gagah dan berwibawa selintas pandang, orang akan tahu bahwa orang-orang seperti ini sudah biasa memegang tampuk pimpinan dan punya kekuatan besar.
Seorang lagi sebaliknya, belum buka suara sudah tertawa lebih dulu rona mukanya welas asih dan sopan santun, bentuk badannyapun biasa dan gagah serta royal, kelihatan seperti seorang pedagang yang maju dalam usahanya.
Kedua orang ini sama mengenakan pakaian ala bangsa Han, tapi rambutnya kuning keriting, biji matanya cekung dan berhidung tinggi terang mereka inilah pembesar negeri Kui-je yang berontak itu.
Bahwa mereka sudah berada di sini, kenapa tadi dikatakan: "Lantaran ada urusan penting tak datang?" Memangnya mereka hendak memancing Setitik merah naik ke atas kapal"
Begitu melihat Setitik merah kedua orang segera menjura, sapanya: "Cong-su orang gagah banyak capai!"
Laki-laki seperti pedagang besar itu selanjutnya menambahkan dengan tertawa: "Cayhe kuatir Congsu mengalami sesuatu di luar dugaan, tapi Bin ciangkun amat mengagumkan ilmu pedang Congsu tak perlu dikuatirkan, Haha! agaknya pandangan Bin Ciangkun memang lebih tajam."
Sambil mengelus jenggot kambingnya Go Kiok kan menyela bicara: "Ang siangkong sejak lama berdiam dalam istana, tidak tahu urusan kasar sudah tentu tak tahu mengandalkan kepandaian Ang-heng tidak sulit mengambil batok kepala orang ditengah pasukannya."
Bin Ciangkun tertawa besar menggebrak meja katanya: "Semoga Ang congsu jangan salah sasaran memenggal batok kepalaku." bahasa Han-nya cukup fasih maklumlah negeri Kui-je yang termasuk dalam bilangan Tiongkok bagi mereka yang menduduki pangkat tinggi, masakah boleh tidak fasih menggunakan bahasa Han"
Dingin tatapan Setitik merah katanya tiba-tiba "Kalian toh sudah datang, kenapa tidak masuk ke dalam penginapan itu bertemu dengan aku?"
Go-kiok-kan tertawa, ujarnya: Bicara didalam penginapan kurang leluasa, apalagi, Pan-thian hong masih punya hubungan erat dengan Bin-ciangkun."
Bin-ciangkun tertawa besar, sombongnya "Bicara terus terang, Pan thian hong dulu adalah seorang panglima bawahanku, setelah jadi perampok, dia masih bantu aku mengerjakan banyak urusan, kalau Congsu sedang mencari gara-gara kepadanya, aku masuk kesana bukankah keadaan bakal runyam?"
Setitik merah malah mendengus. "Bahwa perampok adalah sekongkol dengan ciangkun, apa pula yang bisa dikatakan."
Gadis baju merah itu cekikikan pula, timbrungnya "Tahukah kau, ransum yang diperoleh Binciangkun dalam pergerakannya kali ini kebanyakan atas bantuan Pan-thian-hong yang meminjam sana sini."
Si Bungkuk diam-diam membatin "Kiranya begitu, pergerakan besar kalian sekarang sudah berhasil, mungkin diapun akan minta bantuan dan balas jasanya, oleh karena itu kalian lantas membunuhnya untuk tutup mulutnya."
Setitik merah melotot kepada gadis baju merah, katanya rendah "Siapa pula kau perempuan ini, kenapa kalian suruh dia....."
Go-kiok-kan sedang menukar kata-katanya "Apakah isteriku ini berbuat salah kepada Ang heng?"
Tak terasa setitik merah melengak, tanyanya "Dia....dia isterimu?"
Gadis baju merah cekikikan pula, katanya "Kau berani" Waktu aku menikah sama dia memang banyak orang keheranan, semua bilang sekuntum bunga mekar tertancap di atas gundukan.... Di atas gundukan......" akhirnya ia tak tega mengatakan "Kotoran sapi. saking geli tawanya sampai terpingkal-pingkal dan memeluk perut.
Sebaliknya, sikap Go Kiok-kan tetap biasa, katanya tersenyum "Tentunya tugas Ang heng sudah mencapai sukses yang menggirangkan, entah dimana batok kepala raja lalim itu?"
"Batok kepalanya masih berada di atas lehernya." sahut Setitik merah.
Berobah roman muka Bin-ciangkun dan Ang siangkong, sekilas mereka beradu pandang lalu tanyanya "Kenapa Congsu belum berhasil membunuhnya?"
Hm..! setitik merah hanya menggerung saja.
Memangnya raja lalim itu sudah lari menyembunyikan diri" tanya Go Kiok-kan.
"Em!" kembali Setitik merah hanya mendehem saja.
Bin ciangkun dan Ang siangkong berdiri sambil menghela napas, sebaliknya Go Kiok-kan mandah tertawa tawar, katanya "Gagal pun tak menjadi soal, cepat atau lambat batok kepalanya itukan bakal dikutungi oleh Ang heng." lalu dia melirik kepada si Bungkuk, tanyanya "Entah siapa pula kedua orang ini?"
Si Bungkuk menjawab lebih dulu "Bahwasanya kami tiada sangkut paut dengan raja lalim itu, kami cuma undangan saja, entah kemana sekarang raja lalim itu menyembunyikan diri."
Go Kiok-kan tersenyum tawar, katanya "Ang heng menawan mereka, apakah kau hendak mengompes keterangan mereka?"
"Em!"
"Kenapa Congsu tidak tanya kepada mereka saat itu juga?"
"Aku hanya bisa membunuh orang, mengompes keterangan aku tidak bisa."
Go Kiok-kan berkata: "Cayhe sebaliknya bisa membunuh orang, mengompes keterangan sih cukup mampu." pelan-pelan dia menghampiri kedua orang buruk rupa ini, katanya sambil membungkuk badan "Siapa nama besar kalian berdua?"
"Kau tak perlu tanya." ujar si Burik, "Kami orang-orang keroco yang tak punya nama." ikatan tali dikedua tangannya memang amat kencang, sudah tentu banyak pura-pura untuk dilihatkan kepada orang lain mengandalkan kekuatan lwekang mereka sembarang waktu bisa kerahkan tenaga untuk memutus tali-tali pengikat itu. Tujuan mereka untuk menyelidiki keadaan musuh kini apa yang mereka inginkan sudah tak perlu dihiraukan lagi, si Burik sudah siap-siap hendak beraksi, cuma si Bungkuk sejauh itu tidak mulai, terpaksa dia menunggu dengan hati kurang sabar.
Go Kiok kan berkata pula tetap tersenyum "Kedua orang ini tiada hubungan apa-apa dengan raja lalim itu, tiada punya dendam dan sakit hati dengan kita menurut pendapat Cayhe, lebih baik melepas mereka pulang saja."
"Orang sudah kuserahkan kepadamu, terserah bagaimana putusanmu" sahut setitik merah.
"Kalau demikian biar Cayhe membuka belenggu mereka lebih dulu, sembari bicara Go Kiok-kan membungkuk badan hendak membuka ikatan tali, sudah tentu si Bungkuk dan si Burik tak enak bergerak siapa tahu tangan Go Kiok-kan mendadak bergerak secepat angin kanan kiri kerja sama, beruntun menutuk tujuh delapan Hiat-to dibadan mereka. Laki-laki buruk rupa yang kenamaan ini ternyata adalah seorang tokoh Bulim yang berkepandaian tinggi.
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang kau lakukan?" bentak Setitik merah.
Baru saja ia hendak memburu maju, terasa ujung tangkai pisau yang runcing dingin sudah mengancam tengkuknya, terdengar gadis baju merah berkata lembut, "Orang sudah kau serahkan kepadanya, biarkan apa yang dia suka lakukan, benar tidak?"
Setitik merah insaf asal dirinya sedikit bergerak, ujung pisau kecil tajam itu bakal bersarang di lehernya.
Si Bungkuk sebaliknya tetap tenang dan bersabar, katanya dingin "Hebat benar gerakan sahabat ini, cuma menggunakan kepandaian sebaik ini menghadapi dua orang keroco yang terbelenggu, bukankah urusan kecil kau bikin besar?"
Go Kiok-kan berkata dengan lantang "Masakah si Maling kampion yang kenamaan itu adalah keroco yang tak bernama?"
Mendengar kata-kata ini seketika serasa tenggelam Setitik merah.
Si Bungkuk sebaliknya tertawa lebar katanya "Maling kampion" Jikalau aku ini maling kampion memangnya aku mandah diikat orang demikian rupa?" seolah-olah dia merasa kenyataan ini amat menggelikan, saking geli air mata pun sampai meleleh keluar.
Dengan tenang-tenang Go Kiok kan mengawasinya setelah tertawa reda baru ia berkata tawa.
"Ikatan tali sebesar itu memangnya mampu membelenggu maling kampion" Kalau maling kampion berhasil menyelidiki keadaan kita, sekali meronta gampang saja kau bebaskan diri, benar tidak?"
Si Bungkuk akhirnya tak bisa tertawa, sungguh tak habis mengerti Go Kiok-kan ternyata adalah tokoh kosen selihai ini. Berkata Go Kiok-kan lebih lanjut "Masakah Maling kampion masih tidak mau mengaku" Memangnya perlu Cayhe mengambil air mencuci mukamu?"
Tak tahan berkata Coh Liu-hiang "Sahabat, tajam benar matamu, entah dari mana saudara cacat mengenali penyamaranku?"
"Kepandaian menyamar si Maling romantis tiada bandingannya dikolong langit, tapi betapapun pintar seorang merias diri, ada titik-titik tempat dimukanya yang tak mungkin bisa diubahnya."
"Oh titik tempat manakah itu" tanya Coh Liu hiang heran tak mengerti.
Tentunya maling romantis juga tahu roman muka orang, kulit dan suaranya bisa dirubah menurut sesuka hati, sampaipun tinggi rendah badan orangpun bisa dipalu, tapi cuma jarak antara kedua mata orang saja yang tak mungkin dirubah. Meski ilmu tata rias maling kampiun amat tinggi, takkan mungkin bisa mengubah jarak dan letak antara kedua matanya sendiri?"
Coh Liu hiang melirik kepada Ki Ping-yan katanya tertawa "Tak nyata hari ini aku kebentur dengan seorang ahli."
Kata Go Kiok-kan lebih lanjut "Apalagi asal mau sedikit perhatian, dengan mudah orang bisa membedakan jarak antara kedua mata siapa saja, pasti tiada yang sama dalam jagat ini, namun terpautnya juga hanya seper-seratus mili saja."
"Kalau demikian, jadi tuan sudah pernah menghitung jarak antara kedu amataku?"
"Maaf, maaf" ujar Go Kiok kan sambil menjura.
"Tapi kenapa aku seperti tak pernah melihat tuan?"
"Kaum keroco seperti aku ini, meski Maling romantis pernah melihatnya juga sudah lama dilupakan."
Wah, kalau demikian lebih baik seorang jangan terlalu besar nama dan menyolok perhatian orang lain. Dalam situasi seburuk ini dengan wajar dan tenang dia masih bisa tertawa lebat, sebaliknya Setitik merah dan Ki Ping yan serasa hampir gila karena gelisah.
Sekonyong-konyong badan Setitik merah menubruk maju ke depan, berbareng kaki kanan menyepak ke belakang.
Kepandaian permainan kakinya sungguh sudah dilatihnya sempurna betul, begitu menubruk maju, boleh dikata badannya sudah hampir merata dengan lantai, siapa nyana ujung pisau ini masih tetap mengancam tenggorokannya, sia-sia dia berusaha membebaskan diri.
Badan si gadis merah tahu-tahu sudah bergelantungan di atas belandar, katanya tertawa "Aku sudah menjadi ulat dalam perutmu, selamanya kau takkan bisa bebas dari intaianku."
Dengan tertawa Coh Liu hiang awasi Go Kiok-kan katanya" "Kau mengawini bini yang begitu pintar melihat orang, tentunya hidupmu cukup tersiksa juga."
Go Kiok-kan tertawa ewa, sahutnya "Lebih sayang lagi kehidupan tuan selanjutnya mungkin jauh lebih tersiksa."
Di sini tempat paling gelap di dasar perahu, begitu gelap sampai jari sendiripun tak kelihatan, dasar kapal yang bergesek dengan pasir terus kumandang di telinga mereka, serasa seperti jarum menusuk ke ulu hatinya.
Perduli siapapun rebah ditempat seperti itu sudah tentu takkan merasa nyaman dan segar terutama Ki Ping yan dan Coh Liu hiang yang biasanya mengutamakan kehidupan foya-foya berkemewahan ini, kini justru terkurung ditempat seperti ini.
Entah karena apa, Go Kiok-kan tidak ingin segera membunuh jiwa mereka, setitik merah pun tidak dibunuhnya, seolah-olah terasa sayang bila sekarang juga mereka dihabisi nyawanya.
Coh Liu hiang menarik napas panjang, mulutnya menggumam "Go Kiok kan! Go Kiok kan!
Bahwasanya tokoh macam apakah dia" Bagaimana mungkin sekali pandang lantas mengenali penyamaranku?"
Ki Ping yan menjengek dingin "Kau kira samaranmu cukup baik" Di dalam kamar rias di atas kepalamu mungkin kau bisa menyamar sehingga orang lain tak mengenalimu, tapi kali ini sampaipun aku sekali pandang bisa mengenalmu."
Sudah tentu kau bisa kenal aku, tapi jangan kau lupa, betapa akrab dan intimnya hubungan kita, memangnya siapa Go Kiok kan itu" Bagaimana mungkin mengenalku begitu apal?"
"Mungkin dia Mutiara hitam," ujar Ki Ping yan setelah berpikir sebentar.
"Pasti bukan dia."
"Sampai detik ini, kau masih begitu yakin kepadanya."
"Sudah tentu Mutiara hitam bisa saja menyamar, tapi ilmu silatnya tak mungkin ditiru, dari cara dan ilmu untuk Go Kiok-kan ini aku dapat tahu bahwa Go Kiok-kan ini berkepandaian lebih tinggi dari Mutiara hitam.
Ki Ping-yan terkancing mulutnya, dari atas terdengar gelak tawa yang kedengaran sayup-sayup sampai, bahwa kapal ini kebanyakan dibangun dari bambu, sudah tentu tak mungkin terbendung begitu saja.
Kalau Coh Liu hiang bertiga bakal mampus sudah tentu orang lain tak perlu kuatir dengan penjagaan ketat segala, entah beberapa lama berselang kapal tiba-tiba berhenti.
Terdengar suara Bin Ciangkun berkata "Di sini tempat perjanjian dengan Ciak-hujin itu?"
Omongan apapun Coh Liu hiang tak pernah perhatikan, suara gesekan papan kapal dengan pasir sungguh amat menyebalkan, ingin rasanya mereka menyumbat telinga mereka masing-masing. Tapi setiap mendengar kata-kata Bin-ciangkun, Coh Liu hiang, Ki Ping yan dan Setitik merah segera pasang kuping mendengarkan dengan cermat.
Maka terdengar Go Kiok-kan menyahut "Ya disinilah tempatnya, takkan salah!"
Ang siangkong bergelak tertawa, katanya "Apapun yang dilakukan Go siansing, sekali-kali takkan keliru, cuma.... entah Ciok hujin benar-benar punya maksud kerja sama dengan kita setulus hati?"
"Jikalau dia tiada maksud itu, kita hendak berjumpa dengan dia, mungkin sesukar memanjat ke langit."
"Ah! Apakah ilmu silatnya lebih tinggi dari Go siansing?" tanya Bin-ciangkun.
"Ilmu kepandaian Cayhe yang rendah ini seumpama kunang-kunang dibandingkan cahaya rembulan bila dibedakan dengan kepandaian Ciok-hujin, bahwasanya satu sama lain tidak boleh disejajarkan."
"Kalau demikian" ujar Bin ciangkun, "Dengan mendapat bantuan Ciok-hujin ini, kita bakal menang total dan selanjutnya boleh makan tidur tanpa kuatir apa-apa."
"Ya memang begitulah!" Go Kiok-kan mengumpak.
"Dalam hal ini bantuan besar Go siansing amat kami harapkan." timbrung Ang siangkong
"Kalau bukan bantuan Go siansing, masakah Ciok-hujin sudi kerja sama dengan manusia kasar seprti kami ini."
"Tepat, setelah segala usaha besar kita berhasil dengan gemilang, dari atas sang raja, ke bawah sampai aku dan Ang siangkong kita semua takkan melupakan budi bantuan Go siansing yang berharga."
"Cayhe rakyat jelata, dapat berkata demi kejayaan negara dan ketentraman negeri, sungguh amat bangga dan bersyukur." Go Kiok kan pura-pura merendahkan diri.
Gadis baju merah ikut menimbrung "Kau tak usah pura-pura sungkan jikalau usaha kali ini berhasil, bukankah kau hendak mohon jabatan kepada Bin ciangkun atau Ang siangkong supaya akupun bisa mengecap kehidupan mewah dan senang tentram."
"Jangan kuatir, bila usaha kita berhasil, kau bakal menjadi nyonya besar kelas satu." puji Ang-singkong.
Lalu terdengar gelak tawa kegirangan mereka disusul suara sentuhan cangkir.
Sampai kini, semakin mendelu dan tenggelam rasa sanubari Coh Liu hiang. Baru sekarang mereka mendapat tahu bahwa Go Kiok kan memang ada intrik dengan Ciok koan im malah dia pula yang menjadi kurir antara pemberontak kerajaan Kui-je dengan Ciok koan im. Dengan susah payah baru orang-orang ini berhasil merebut kedudukan raja Kui je, dengan intrik tersembunyi ini, secara tidak langsung mereka sudah angsurkan kedudukan dan segala kepentingan negeri Kui je kepada Ciok Koan im dan Go Kiok kan. Manusia seperti Go Kiok-kan sudah tentu tujuannya bukan melulu pangkat dan kemewahan, seumpama dia menjadi perdana menteri, diapun takkan bisa duduk dengan tenang.
Cuma dalam keadaan kalut begini, bagaimana pula kedudukan Mutiara hitam" Sejak kecil dia dibesarkan di padang pasir, memangnya dia terhitung anak buah Ciok koan im" Kini Ciok-koan im akan segera datang, nasib Coh Liu Hiang bertiga, mungkin segera akan diputuskan.
Mendadak Ki Ping yan berkata "Coh Liu hiang, biasanya kau amat yakin, kali ini kau pikir apa kau bisa keluar dengan tetap hidup?"
Coh Liu hiang tersenyum, katanya "Beberapa kali tajam golok orang sudah mengancam tenggorokanku, aku toh masih bisa hidup sampai sekarang."
Ki Ping yan tertawa getir katanya: "Coh Liu hiang, Coh Liu hiang! sampai kapan baru kau akan putus asa?"
"Bila orang belum memenggal kepalaku selamanya aku takkan pernah putus asa!"
Sekonyong-konyong terdengar pekik elang, disusul suara keresekan, ramai yang menggetarkan bumi semakin mendekat.
"Nah, itu datang!" Setitik merah bersuara dalam kegelapan.
Ciok koan im ternyata juga menumpang kapal setan itu seperti ini, ujar Ki Ping yan.
"Kukira kapal ini kemungkinan besar juga pemberian Ciok koan im." Coh Liu hiang utarakan dugaannya.
Tengah mereka bercakap-cakap, agaknya kapal itu sudah mendekat dan akhirnya berhenti suara langkah di atas dek bergerak, Go Kiok kan dan lain agaknya keluar menyambut.
Tahu Ciok koan im sebentar akan naik ke atas kapal ini, Coh Liu hiang bertiga seolah olah dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan mistik jantungnya berdetak keras, mulutpun tak berani bicara lagi.
Terdengar suara gadis baju merah itu berkumandang "Tecu Tiangsun Ang, menghadap Hujin."
Dugaan Coh Liu hiang memang tepat gadis itu ternyata adalah murid Ciok koan im, bahwa Ciok koan im mau mengawinkan muridnya kepada Go Kiok kan agaknya Go Kiok kan ini memang mempunyai asal usul yang luar biasa.
Tak lama kemudian langkah kaki beralih memasuki ruangan.
Suara Ang siangkong sekarang yang berkumandang "Wanseng sudah lama kagum dan memuja kewibawaan Hujin tak nyana hari ini dapat bertemu, sungguh.... sungguh menyenangkan." biasanya orang ini fasih berbahasa Han dan omongannya cakap lincah tapi untuk mengucapkan beberapa patah kata ini dia harus tarik nafas beberapa kali demikian pula Bin ciangkun, mulutnya tergagap tak mampu mengeluarkan suara marah.
Kedua orang ini sudah biasa menghadapi berbagai persoalan dan pergaulan luar diantara orang berpangkat tinggi namun berhadapan dengan Ciok kan im masih kelihatan begitu tegang dan gugup, dari sini dapatlah dibayangkan bahwa Ciok koan im memang teramat cantik agung melebihi bidadari sehingga orang tak berani memandangnya secara langsung.
Setelah kata sanjung puji dan basa basi umumnya, maka terdengarlah sebuah suara merdu mengasikkan selicin suara halus berkata pelan-pelan dengan tertawa "Takdir menentukan kalian berdua bakal menjabat kedudukan tinggi kelak masih bisa menanjak lebih tinggi, orang macam apa aku ini, kenapa kalian sungkan, membuat aku rikuh dan tidak tahu dimana harus menempatkan diri."
Suara ini agaknya tepat berada diatas kepala Coh Liu hiang. Terbayang oleh Coh Liu hiang perempuan secantik bidadari misterius laksana iblis jahat, kini sedang duduk di atas kepalanya sungguh betapa perasaan sanubarinya, ingin rasanya segera menerjang naik ke atas ingin dia melihat iblis diantara bidadari, bahwasanya tokoh macam apakah dia punya kekuatan mistik apa pula.
Terdengar Bin ciangkun buka suara "Apakah Hujin ada bawa Ki loh ci sing sekalian?"
Ciok koan im balas bertanya "Apakah Bin ciangkun sudah tahu rahasia dari Ki loh ci sing itu?"
"Be... Belum tahu!"
"Kalau Bin ciangkun tidak tahu rahasianya, permata itu paling-paling sebutir perhiasan mahal, meski aku hadiahkan kepada ciangkun apa pula manfaatnya bagi ciangkun?"
Agaknya Bin ciangkun tercengang melongo.
Lekas Ang sianseng unjuk tawa, selanya "Tapi wanseng beramai sama tahu, bila permata itu jatuh ke tangan raja lalim itu, nilainya tentu jauh berbeda, maka menurut hemat Wanseng Ki loh si cing sekali-sekali jangan sampai terjatuh ke tangan raja lalim."
Ciok koan im tersenyum katanya "Tapi aku sudah berkeputusan untuk bertukar dengan raja lalim itu."
Agaknya Ang siangkong dan Bin-ciangkun sama terkejut, teriaknya "Wah.... sekali kali jangan dilakukan!"
Dengan tertawa Go Kiok kan segera menimbrung "Kalian tak usah kaget, Hujin serahkan Ki loh ci sing kepada raja lalim itu, dengan tujuan tersendiri."
"Ada... tujuan lain apa?" tanya Bin ciangkun penasaran.
"Karena dikolong langit ini, hanya raja lalim itu saja yang tahu akan rahasianya sampai matipun dia tak mau membocorkan rahasia ini, untuk tahu akan rahasianya terpaksa harus tunggu bila raja lalim itu sudah mendapatkan kembali ...."
Ang siangkong paham selanya "Sekarang keadaannya sudah kepepet begitu mendapatkan barangnya kembali, tentu dia akan segera melihatnya, tatkala itu kita secara diam-diam menguntit dan mengawasinya, tentu akhirnya dapat pula kita ketahui rahasianya.
"Ang Siangkong memang seorang pintar", puji Go Kiok kan Bin ciangkun bergelak tertawa, serunya "Di sekeliling raja lalim itu kini sudah tiada jago kosen yang melindunginya, sembarang waktu kita tetap bisa merebut kembali Ki loh ci sing itu.... hahaha!
Akal bagus!" sampai di sini tiba-tiba ia merandek sesaat baru melanjutkan "Untung kita belum sampai membunuhnya, kalau tidak bukankah rahasia ini bakal ikut terkubur bersama dia, agaknya rejeki kita masih tetap mujur."
Tiangsun-Ang sebaliknya cekikikan pula, katanya "Kau kira kami betul-betul tidak mampu menggorok lehernya" Kalau Hujin betul-betul ingin mencabut jiwa raja lalim itu, seumpama dia punya sepuluh kepala, sejak lama sudah protol semuanya."
Kata-kata ini membuat Coh Liu hiang bertiga yang berada di dasar perahu sama tertegun Ang siangkong dan Bin ciangkun agaknya lebih terkejut sampai mulut seperti tersumbat.
Rada lama kemudian baru Ang siangkong bersuara tersendat "Kalau demikian, kenapa Sianseng mengudal yang mengundang para jago-jago pembunuh itu?"
Go Kiok kan menjawab dengan tersenyum "Ku undang jago-jago pembunuh itu hanya untuk menggertak dan membuat raja lalim itu ketakutan, seorang bila merasa jiwanya terancam bahaya, ada kalanya tanpa disadarinya membeberkan rahasia pribadinya yang biasanya tak mungkin diketahui orang lain karena bila rahasia itu ada sangkut pautnya dengan sanak familinya masakah dia mau membawanya ke liang kubur?"
Tiangseng Ang menambahkan "Siapa nyana mulut raja lalim ternyata serapat tutup botol, meski menghadapi mara bahaya segawat dan segenting apapun, tetap dia tak mau memberi tahu rahasia itu kepada siapapun, sampaipun terhadap putri atau orang-orangnya yang terdekat diapun tak mau membocorkan."
Sampai disini tak urung Coh Liu hiang tertawa getir, katanya "Tak heran beberapa kali Kui je ong hidup kembali dari berbagai ancaman mara bahaya orang memang tidak ingin mencabut nyawanya, kita jadi ikut tegang dan bekerja mati-matian, tak kira hanya terjebak dan tertipu mentah-mentah!
Sekonyong-konyong terdengar Ciok koan im tertawa katanya "Bisa bikin Maling kampiun yang kenamaan di seluruh jagat tertipu, sungguh bukan pekerjaan gampang" Orangnya berada di atas, tapi suaranya seperti diucapkan di sisi telinga Coh Liu hiang betapa kuat tenaga dalamnya, suaranya bisa dia bulatkan.
Hari Coh Liu hiang kaget, mulutnya malah tertawa ujarnya "Masa hujin tidak pandang cayhe terlalu tinggi, Cayhe sudah biasa tertipu!"
"Kenapa Maling Kampiun begini sungkan" Musuh-musuh tangguh yang pernah kuhadapi memang tidak sedikit diantaranya adalah tokoh-tokoh kosen tapi bicara soal kepintaran kecerdikan dan tingkat kepandaian silatnya, sungguh tiada seorangpun yang bisa dibandingkan Maling kampiun."
"Jikalau Cayhe betul-betul begitu hebat seperti apa yang Hujin katakan masakah sekarang bisa terima meringkuk di bawah kaki hujin?"
"Maling kampiun perlu tahu, keadaan seperti dirimu sekarang, malah ada orang yang suka mencoba tapi tak bisa mendapatkannya.
Ki Ping yan menjengek dingin "Iblis perempuan ini hendak memancingmu dengan obrolannya, mungkin dia sudah ketarik kepadamu apakah kami bisa lolos dan hidup, nah tergantung kepada permainan romanmu!"
Sudah tentu kata-katanya ini diucapkan dengan suara lirih yang paling lirih, Coh Liu hiang masih kuatir terdengar oleh Ciok koan im, lekas dia tukas dengan kata-katanya yang keras "Bisa meringkuk di bawah kaki perempuan cantik, meski senang dan memalukan, cuma sayang meski Cayhe ingin berhadapan muka dengan Hujin, kejadian justru berputar-putar, harapan selalu tak tercapai."
Agaknya Ciok koan im menangkap kata-kata orang yang menyindir, diam sesaat lamanya, baru dia bersuara pula "Kau ingin bertemu dengan aku?"
"Harapan tak tercapai nasib selalu mempermainkan orang!"
"Kau tak usah khawatir, pasti aku kan beri kesempatan kepadamu untuk bertemu dengan aku."
"Sekarang?"
"Kenapa kau tak punya kesabaran?"
"Bukan tidak sabar, soalnya Cayhe khawatir jiwaku takkan hidup selama itu."
"Kau akan hidup sampai pada waktunya."
Mendadak Go Kiok kan menimbrung dengan keras "Dia takkan hidup selama itu"
"Siapa bilang?" jengek Ciok koan im dingin.
Go Kiok kan menarik napas panjang, katanya "Masakah Hujin belum pernah dengar, membiarkan bisul menimbulkan penyakit, jikalau....."
Beringas suara Ciok koan im, bentaknya "Memangnya aku perlu kau peringatkan?"
Go Kiok kan tak berani bicara lagi.
Lekas Ang siangkong batuk-batuk kering dua kali, katanya unjuk tawa dibuat-buat "Jikalau tiada kepentingannya, lebih baik memang ketiga orang dilenyapkan saja."
Suara Ciok koan im kembali sabar dan menderu "Seorang ahli gambar bila selesai mengerjakan buah karyanya tanpa ada orang yang menikmatinya, dia akan merasa buah karyanya tak berharga, seolah-olah segala jerih payahnya selama itu sia-sia, benar tidak?"
Sudah tentu Ang siangkong tidak bisa menangkap makna ucapannya, ia diam saja tak berani menjawab.
Seorang biduan kenamaan yang sedang bernyanyi, bila tiada orang yang mendengarkan kebagusan suaranya, diapun akan merasa tiada artinya bernyanyi, benar tidak"
Ang siangkong hanya berdehem saja.
"Kita melakukan sesuatu pekerjaan harus seperti ahli gambar atau seorang biduan, perlu dinikmati atau dirasakan oleh orang akan hasil karya kita yang jelas bukan usaha sembarang usaha."
"Benar, kita harus bekerja secara teliti dan menghasilkan buah tangan yang benar-benar dapat dinilai secara umumnya." puji Ang siangkong mengumpak.
"Oleh karena itulah kita perlu pertahankan jiwa mereka, supaya mereka hidup melihat hasil gemilang usaha kita yang luar biasa lukisan antik baru bisa dinilai oleh seorang ahli, lagu bagus juga hanya bisa dinikmati atau dinilai orang semacam Coh Liu hiang si Maling kampiun saja, benar tidak?"
"Benar" sahut Ang siangkong tepuk tangan. "Pendapat Hujin memang hebat siapapun takkan bisa menandingi.
Go Kiok kan menyela pula "Tapi, tapi orang ini....."
"Tak perlu kau banyak bicara." sentak Ciok koan im.
terhadap siapapun tutur katanya lemah lembut dan sungkan cuma terhadap Go Kiok kan sedikitpun ia tidak memberi hati, bersikap kasar dan pemberang ternyata Go Kiok kan mandah dibina dan menurut saja, sambil tunduk ia mengiakan.
"Kalau demikian, tiga orang di bawah itu hendak ku bawa pulang serta, entah bagaimana pendapat kalian?"
"Cayhe sih terserah saja bagaimana keputusan Hujin, sahut Ang siangkong.
"Kalian tak usah khawatir aku pasti mengawasi mereka dengan hati-hati."
Setelah menahan sabar dan menekan gejolak hatinya, hampir saja Oh Thi hoa jatuh sakit, entah berapa banyak arak sudah dia habiskan anehnya ternyata semakin minum pikirannya semakin jernih dan sadar.
Hari ini bakal berselang pula, tak henti hentinya Oh Thi hoa berkeluh kesah gumamnya "Coh Liu hiang ulat busuk kenapa kau masih belum pulang memangnya kau kebentur setan.
Diluar tahunya bahwa Coh Liu hiang memang kebentur setan. Sekonyong-konyong kerai tersingkap tahu-tahu Piop kongcu menerjang masuk. Penasaran Oh Thi hoa selama ini memangnya tiada sasaran untuk melampiaskan, segera ia papak kedatangan orang dengan gerungan marah "Kutanya kau, kau ini tahu aturan tidak"
Dengan dingin Pipop kongcu mengawasinya jengeknya "Aturan apa?"
"Kau ini gadis rupawan yang bakal kawin, memangnya tidak tahu sopan santun pergaulan.
Mau masuk ke kamar orang kan harus ketuk pintu dan permisi?"
"O, oh.. kiranya kau dulupun pernah belajar membaca buku-buku kuno."
"Pujian belaka." sahut Oh Thi hoa menggendong kedua tangan."
Pipop kongcu menarik muka jengeknya sinis "Cuma kau sudah lupa keadaanmu sekarang."
"Keadaan kenapa?" tanya Oh Thi hoa melotot.
"Sekarang kau adalah tawanan kita, hakekatnya aku tidak perlu sungkan terhadap kau."
Lama-lama Oh Thi hoa melotot mengawasi orang, tiba-tiba ia tertawa lebar, katanya "Laki-laki sejati tak sudi perang tanding dengan kaum hawa, kau sendiri yang mengatakan hal itu, ya anggap habis saja, jikalau orang lain yang bilang, hehe! Akan ku bikin dia merangkak keluar dari sini!" ia jatuhkan badannya ke arah pembaringan, dengan selimut ia tutupi kepalanya, tak perduli pula kehadiran orang.
"Kau hendak pura-pura mampus?" damprat Pipop kongcu naik pitam. "Bangun!"
Oh Thi hoa terbahak-bahak dalam selimut, serunya "Aku ingin tidur ya tidur, mau bangun sesuka hatiku, siapapun jangan urus diriku."
Pipop kongcu membanting kaki maju selangkah dengan keras ia tarik selimut.
Oh Thi hoa berkaok-kaok "Aku bukan ular busuk lho, jangan kau salah mencari orang."
Merah muka Pipop kongcu, suaranya kedengaran lembek katanya "Permaisuri hendak bertemu dengan kau ayo bangun, lekas ikut aku!"
Oh Thi hoa melengak sigap sekali ia berjingkrak bangun, tanyanya. "Permaisuri memanggil aku" Untuk apa dia ingin bertemu dengan aku?"
"Biasanya dia tidak suka menemui orang, kini beliau hendak menemui kau, tentunya ada urusan penting."
Berputar biji mata Oh Thi hoa, katanya tertawa "Kalau dia ada keperluan dan ingin menemui aku, suruhlah dia kemari, mulut bicara kembali ia menjatuhkan diri ke atas pembaringan.
Pipop kongcu membanting kaki dengan kesal katanya "Kau... kau ini laki-laki malas seperti tak punya tulang?"
Oh Thi hoa angkat kedua kakinya, serunya "Jangan lupa dia yang ada perlu dengan aku suruh dia kemari menemui aku."
Pipop kongcu kertak gigi, mendadak menjengek dingin. "Aku tahu sudah memangnya kau merasa berdosa, tak berani berhadapan dengan beliau?"
Belum habis kata-katanya Oh Thi hoa sudah mencelat bangun, serunya geram "Aku punya dosa apa" Kenapa aku tak berani menemui dia?"
Pipop kongcu menahan geli katanya. "Kalau kau punya keberanian, hayo ikut aku."
Perkemahan tempat tinggal permaisuri Kui je ong sungguh jauh lebih mewah dan megah dari apa yang dibayangkan Oh Thi hoa. Dalam perkemahan tercium bau kayu cendana, bau obat begitu wangi dan harum sampai orang rasanya susah bernapas.
Didalam kelambu yang penuh dihiasi mutiara permaisuri Kui je ong setengah duduk tiduran kelihatannya amat lemah dan sakit-sakitan.
Meski terhalang kain kelambu, tapi kelihatan wajah dan sikap agungnya yang cantik rupawan tak berani orang memandangnya dengan tatapan kejam Oh Thi hoa sendiripun merasa dirinya terlalu kerdil dan serba runyam di hadapan orang.
Permaisuri tersenyum, katanya "Badan yang sakit-sakitan ini, tak bisa turun ke tanah, harap Kongcu tidak berkecil hati!"
Oh Thi hoa membasahi tenggorokan dengan ludahnya, lalu berkata "Tak... tak usah sungkan."
Permaisuri menghela nafas, ujarnya "Peristiwa kemarin malam, sungguh harus disesalkan."
Menyinggung peristiwa itu, seketika Oh Thi hoa naik pitam, jengeknya dingin "Apa permaisuri hendak mengompes keteranganku" Maaf Cayhe tidak sudi didakwa," sembari bicara ia putar badan hendak pergi.
Permaisuri malah tertawa, katanya "Tunggu sebentar, silahkan Kongcu duduk, jangan curiga."
"Bukan aku yang curiga kalianlah yang sembarang menuduh."
"Kami memang salah faham terhadap Kongcu, kesalahan kami memang kami sendiri yang melakukan, harap Kongcu memaafkan."
Oh Thi hoa melengak, tanyanya "Kalian sudah tahu bahwa bukan aku yang melakukan?"
"Pembunuhnya sudah tentu bukan Kongcu, kalau tidak masakah Kongcu masih tinggal di sini"
Jikalau Kongcu ingin pergi, siapa yang mampu menahan aku?"
"Disaat hatiku sebal dan penasaran karena fitnah yang semena-mena ini, tiba-tiba aku berhadapan dengan orang yang tahu duduknya persoalan, sungguh membuat hati amat riang dan gembira."
"Apa Kongcu sekarang masih marah?" tanya Permaisuri.
"Seharusnya Cayhe memang harus marah, tapi Permaisuri berkata demikian, aku jadi rikuh!"
"Kongcu ku undang kemari, memang ada persoalan penting yang hendak mohon bantuan."
"Apa yang permaisuri ingin lakukan, bila aku memang mampu ke air atau ke api aku takkan menolak."
"Kongcu berbudi luhur dan berjiwa ksatria sudilah terima hormatku."
Tiba-tiba Oh Thi hoa sadar, dalam perkemahan ini hanya tinggal dirinya dengan Permaisuri saja yang berhadapan, Pipop kongcu dan para dayang entah kapan sudah mengundurkan diri d luar tahunya.
Entah mengapa jantungnya tiba-tiba berdebar seperti dampratan ombak samudra, seolah-olah terasa olehnya, permaisuri didalam kelambu sedang unjuk senyuman genit kepadanya. Seketika dia memaki diri sendiri dalam batin "Kenapa hari ini aku jadi begini hidung belang, orang menghadapiku sebagai kesatria, jangan sembarang ngelamun ke persoalan yang tidak-tidak."
segera ia berkata lantang, "Permaisuri tak usah sungkan, ada petunjuk apa silahkan katakan saja."
"Entah Kongcu masih ingat, besok adalah waktu perjanjian kita dengan mereka, untuk menukar Ki loh ci sing, entah Kongcu Sudi?"
Meski Oh Thi hoa sekuatnya menekan perasaannya, tapi entah mengapa mendadak terbayang olehnya, adegan ranjang pada malam pertama waktu pernikahannya tempo hari.
Permaisuri di depan kelambu di depannya ini seakan akan mirip benar dengan ........ Oh Thi hoa tak berani memandang tak berani membayangkan lagi, katanya lantang "Jadi permaisuri ingin supaya aku menukar Ki loh ci sing itu?"
Permaisuri menghela nafas, katanya "Kami sekeluarga terpaksa harus hijrah kemari menteri memberontak sanak kadang berpisah sungguh terpaksa kami harus bikin kongcu terlibat oleh urusan tetek bengek ini, hatiku sungguh tak bisa tentram."
Berkata Oh Thi hoa dengan gagah "Jikalau Cayhe tak bisa menukar balik Ki loh ci sing itu, dengan senang hati aku suka kerahkan batok kepalaku ini."
"Kongcu begitu luhur dan bajik sungguh aku....aku.... suaranya seperti sesenggukan dan terputus di tenggorokan. Tiba-tiba dari balik kelambu ia ulurkan sebelah tangannya yang halus dan lembut seperti tak bertulang, di bawah penerangan api lilin, tampak jari-jarinya yang runcing halus rada gemetar, tak ubahnya seperti sekuntum kembang yang sedang meronta ditengah hujan badai, jikalau tiada orang yang melindunginya, sebentar lagi pasti tersapu hilang oleh hujan badai.
Seketika Oh Thi hoa rasakan darah mendidih, kepalanya terasa berat dan pandangannya menjadi remang-remang, waktu otaknya kembali menjadi jernih, tiba-tiba terasa entah bagaimana tahu-tahu dirinya sudah memegang kencang jari-jari orang.
Ternyata Permaisuri tidak tarik tangannya tidak menghindar, cuma suaranya gemetar
"Keberangkatan Kongcu harus hati-hati, aku percayakan segalanya kepada Kongcu."
Terasa jantungnya hampir melompat keluar dari rongga dadanya, Oh Thi hoa jadi bingung apakah dia harus segera melepaskan pegangan tangannya, mulutnya terkancing tak tahu apa pula yang harus dia katakan.
Terasa jari-jari permaisuri malah menggenggam kencang tangannya, katanya "Kecuali itu aku masih punya urusan pribadi yang ingin ku sampaikan kepada Kongcu."
Oh Thi hoa merasa kepalanya pening tujuh keliling, tanpa pikir ia berkata keras "Cayhe tadi sudah bilang, asal urusan menyangkut kepentingan permaisuri matipun Cayhe pasti akan melaksanakannya."
"Aku hanya memohon bantuan Kongcu untuk mencari tahu rahasia sebenarnya dari Ki loh ci sing itu."
"Beberapa tahun sudah aku sebagai permaisuri Ongya, hubungan kita memang boleh dikata amat intim dan erat lahir batin, tapi hanya persoalan inilah dia tidak mau beritahu kepadaku."
Oh Thi hoa berpikir sebentar, ujarnya "Kalau permaisuri sendiri tidak diberi tahu masakah Ongya sudi memberi tahu rahasia itu kepada Cayhe?"
"Sejak jaman dulu kala, secara tradisi kerajaan Kui je yang terdahulu pasti meninggalkan harta tersembunyi yang tak terhitung nilainya, biasanya tiada orang yang menyentuhnya bila mana kerajaan benar-benar mengalami krisis dan terancam keruntuhan baru harta terpendam itu boleh digunakan untuk membangkitkan kembali kerajaan soal dimana harta itu disembunyikan, kecuali rajanya sendiri yang mewarisi kedudukan tiada orang lain yang tahu."
"Jadi permaisuri berpendapat bahwa rahasia dari Ki loh ci sing ada sangkut pautnya dengan harta terpendam itu?"
"Tentunya begitu!"
"Kalau demikian, mungkin Ongya takkan memberi tahu rahasia itu kepadaku."
"Tapi dengan kekuatan Ongya seorang diri jelas takkan mungkin dapat mengeduk harta terpendam yang berjumlah besar itu benar tidak?"
"Ya, memang begitu!"
"Bukan saja memerlukan tenaga manusia untuk mengeluarkan, perlu tenaga orang pula untuk melindunginya, ya tidak?"
"Kembali Oh Thi hoa mengiakan.
"Tadi sudah kukatakan!" ujar permaisuri lebih lanjut, Sekarang Ongya tidak punya seorangpun pembantu yang boleh diandalkan, terutama tiada orang yang benar-benar mampu bantu dia untuk melindungi harta terpendam itu!
"Permaisuri beranggapan, bahwa Ongya mungkin bisa minta tolong kepadaku untuk melindungi harta itu?"
"Kukira demikian!"
Oh Thi hoa tertawa getir, katanya "Kalau Ongya benar-benar percaya kepadaku, dia tidak akan memfitnah aku sebagai pembunuh putrinya."
"Memang Ongya sedikit salah faham terhadap kongcu, tapi bila Kongcu berhasil membawa pulang Ki loh ci sing, pandangannya terhadapmu tentu berubah, apalagi kecuali Kongcu seorang, tiada orang yang boleh dipercaya."
"Adakah permaisuri tahu, bahwa Ongya jauh lebih percaya terhadap temanku itu daripada kepadaku."
"Bukankah sejak tadi Cayhe sudah berjanji?"
"Jikalau Ongya minta atau suruh Kongcu bersumpah merahasiakan hal itu?"
Berpikir sebentar Oh Thi hoa tertawa katanya "Tapi Cayhe sudah berjanji lebih dulu kepada permaisuri ya tidak?"
Sudah tentu hal ini tiada melanggar aturan dan menyeleweng dari kebiasaan jikalau orang lain, tentu tidak akan mau terima, tapi Oh Thi hoa selamanya memang tidak pernah memikirkan aturan atau kebiasaan segala persetan bahwa tindakannya itu menyeleweng" Asal dia berpendapat apa yang dia lakukan benar dan pantas dia selesaikan, maka harus dia laksanakan, demikian sekarang ini, dia berpendapat bahwa permaisuri dari negeri Kui je ini adalah perempuan tercantik yang paling baik hati di seluruh jagat ini, sebaliknya Ongya adalah keparat dan manusia dogol, jikalau demi seorang baik untuk menipu seorang dogol, bukankah hal ini patut dibanggakan dan sudah jamak, cukup masuk akal dan tidak melanggar aturan"
Soal untuk apa permaisuri Kui je ini begitu besar hasratnya ingin mengetahui rahasia itu"
Hakikatnya tidak pernah terpikir dalam benak Oh Thi hoa sudah tentu diapun segan mengajukan pertanyaan.
Tepat tengah hari, terik matahari seperti bara api yang memanggang kulit.
Tepat tengah hari, terik matahari seperti bara api yang memanggang kulit.
Oh Thi hoa membawa tiga ekor unta, langsung dibedal ke arah barat.
Kepalanya memang dibungkus udeng-udeng kain putih yang tebal dan tinggi, namun rasa kepalanya masih puyeng dan kering oleh terik matahari, tiga orang Busu negeri Kui je yang mengiringi perjalanannya, meski ilmu silatnya bukan tandingannya tapi mereka sudah kulino menjadi kafilah di padang pasir bukan mereka sudah tergembleng dan ditempa sekeras besi baja, sekilas pandang keadaan mereka malah jauh lebih segar dan adem-ayem.
Oh Thi hoa menghela nafas, mulutnya menggumam "Agaknya aku terlalu banyak tenggak air kira-kira, kalau tidak kenapa begitu kena terik matahari kepala lantas pening seperti gadis pingitan yang tak pernah dihembuskan angin kalau keadaan seperti ini, dilanjutkan apakah akan tahan?"
Sebetulnya lantaran semalam dia memandang terlalu letih dan banyak mengurus tenaga, bukan saja kebanyakan minum arak, malah semalam suntuk boleh dikata dia tak pernah istirahat terlalu banyak main ranjang maka seluruh kekuatan dan energi badannya terbuang sehingga kondisi badannya sekarang terlalu lemah.
Sebetulnya semalam pagi-pagi benar dia sudah mapan tidur tapi bila teringat olehnya malam pertama dalam hari pengantinnya itu, terbayang sepasang tangan dan badan yang halus merah laksana bidadari itu dia jadi gundah bolak-balik tak bisa pulas, semakin dipikir-pikirkannya semakin melayang dan memikirkan yang muluk-muluk, perempuan secantik dan begitu rupawan namun dia masih bisa pula mengeritik pribadinya sendiri sebagai hidung belang yang kemaruk paras cantik.
Tapi entah mengapa permaisuri raja yang cantik itu seolah-olah adalah kekasih mainnya diatas ranjang yang selalu dia rindukan dan impi-impikan, tidak mungkin otaknya tidak membayangkan bentuk badan yang menggiurkan dan genit serta mempesonakan itu.
Biasanya watak Oh Thi hoa tidak seiseng ini belakangan malah dia menghibur hari sendirian
"Kemungkinan aku sudah mulai ketularan Ulat busuk yang serba romantis itu!"
Tapi serta teringat kepada Coh Liu hiang si maling romantis, seakan tidak bisa tidur Coh Liu hiang sudah pergi dua hari, bukan saja tidak pulang, malah sedikit khabarnya pun tiada, apakah dia sudah dicelakai oleh pembunuh misterius bersama Ki Ping yan" Selayang pandang gurun pasir nan luas tak berpangkal ujung, tidak kelihatan ada kehidupan di sini, tiada manusia, binatang, burung ataupun mega dan anginpun seolah sudah tak ada di sini.
Ada kalanya paling muncul satu dua ekor kadal padang pasir yang berukuran lebih besar tapi bentuk dan coraknya begitu memualkan, merambat dicelah-celah batu, merambat ke dekat kaki unta, tapi kehadirannya malah menambah suasananya seram dan bawa kematian.
Kepalan kanan Oh Thi hoa menghantam telapak tangan kiri, gumamnya "Seumpama Ulat busuk dan jago mampus, mereka takkan ngelayap dan tamasya ditengah gurun pasir yang begini terik ini, mereka sama-sama tidak pulang. Jikalau mereka tidak pulang tentu mengalami sesuatu yang membahayakan.
Tiba-tiba seekor unta dikeprak maju menyusul dirinya, Busu di atas onta berseru "Di depan ada tempat teduh, apa perlu kita mampir kesana istirahat?"
"Berapa jauh kita sudah tempuh perjalanan ini?" tanya Oh Thi hoa setelah menepekur sebentar.
"Kira-kira sepuluh li" sahut busu itu.
"Baru sepuluh li lantas mau istirahat," ujar Oh Thi hoa mengerut kening "jarak lima puluh li bukankah harus kita tempuh sampai besok pagi?"
Busu itu unjuk tawa, ujarnya "Lima puluh li dalam perjalanan di gurun pasir, seumpama lima ratus li berjalan di tanah pegunungan, Apalagi unta-unta ini dibebani muatan emas yang berharga laksaan tail."
Oh Thi hoa tertawa. "Apapun yang terjadi sekarang masih terlalu pagi untuk istirahat kita harus tempuh lima puluh li ini sebelum hari menjadi petang angin aku melihat jelas orang yang ingin menukar barang dengan kita itu manusia macam apa tampangnya?" mulai bicara segera ia keprak untanya supaya berjalan lebih cepat.
Busu itu menghela napas, katanya seorang diri "Menempuh perjalanan jauh seperti caramu ini, setiba ditujuan, mungkin jiwamu dan jiwa unta itu bakal terjemur kering oleh teriknya matahari, jikalau orang tiba-tiba ingkar janji, coba bagaimana kau hendak menghadapinya?"
Seorang Busu yang lainnya segera menyusul datang, selanya "Bahwasanya tanggung jawab persoalan ini dia sendiri yang memikulnya, dia ingin gagah-gagahan unjuk kekuatan, biarkan saja, tiba pada waktunya bila pihak mereka turun tangan kita boleh menyingkir ke tempat yang jauh."
Busu ketiga berludah dulu baru mencemooh "Orang liar dari selatan ini mengentutpun tidak bisa, berani dia malang melintang ditengah gurun pasir memangnya dia sendiri yang minta digebuk.
Para Busu ini berulang kali kena dipermainkan dan mendapat rugi oleh godaan Coh Liu hiang dan Oh Thi hoa, kini secara diam-diam mereka mengumpat caci dan mengolok-olok cuma bahasa yang mereka gunakan sudah tentu bahasa daerah mereka sendiri, seumpama Oh Thi hoa mendengar percakapan mereka sedikitpun dia tidak tahu arti dari percakapan mereka.
Tapi apa yang mereka perbincangkan memang tidak salah perjalanan lima puluh li di padang pasir di bawah teriknya matahari memang cukup melelahkan dan menyiksa mereka untunglah setelah lohor, sinar matahari sudah mulai tidak seterik sebelumnya. Waktu matahari terbenam Oh Thi hoa memang hampir saja tak tahu lagi, meskipun dia sudah tenggak beberapa air segar tapi bibir dan mulutnya masih terasa kering dan merekah.
Tak lama kemudian tampak di depan batu-batu runcing laksana hutan mencuat tinggi ke tengah angkasa, didalam keremangan malam yang mendatang, kelihatannya laksana seekor binatang buas yang menyeramkan sedang menyeringai liar, di sana sedang mendekam menunggu mangsanya.
Hati Oh Thi hoa rada dingin, katanya berpaling ke belakang "Sekarang kita sudah menempuh berapa jauh?"
Salah seorang Busu menengadah melihat cuaca sahutnya "mungkin sudah lebih lima puluh li."
"Dalam surat itu sudah dijelaskan ke arah barat lima puluh li, tentu ada orang akan menyambut kalian untuk barter dengan barang-barang yang cocok dengan permintaan, kalau begitu biar kita tunggu saja di sini! Kita tunggu mereka datang, sekaligus untuk istirahat memupuk tenaga, boleh kalian lihat, nanti akan kuberi mereka hajaran setimpal"
Busu itu berkata kalem "Jikalau sebaliknya mereka yang sudah menunggu di sini berbalik kita yang akan digasak dan dihajar habis-habisan oleh mereka."
Oh Thi hoa melengak, katanya tertawa "Ucapanmu memang masuk akal, ya kita harus hati-hati.
"Busu itu semakin takabur katanya dingin "Tadi sianjin bilang ingin beristirahat sebentar ditengah jalan, maksudku untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan itu."
OH Thi hoa menggosok-gosok hidung, katanya "Watakku memang gugup, jangan kau salahkan aku!" memang dia seorang polos dan jujur jikalau tahu dirinya bersalah secara langsung dia suka mengakui kesalahannya betul ya betul, kalau salah harus mengaku salah, perbedaan antara baik dan buruk ini masih bisa membedakan dengan tegas.
Busu itu malah menjadi rikuh, katanya tertawa "Untung kami ada membawa sedikit arak, sedikit banyak bisa membangkitkan semangat dan menggairahkan tenaga!"
"Dimana" seru Oh Thi hoa kegirangan.
Si Busu segera angsurkan sebuah kantong kambing, katanya "Inilah arak anggur buat Toa hoan minum sampai mabukpun tidak akan mengganggu kesehatan."
"Aku tahu, sahabatku si Ular busuk itu, justru paling menyukai arak seperti ini" segera ia buka sumbatnya terus menuangkan ke mulut dua teguk, katanya setelah menarik napas panjang
"Waktu mau berangkat, aku sudah berjanji takkan minum lagi, tapi toh sudah kau bawa arak sebagus ini, hahaha....." kembali ia tuang arak anggur itu ke dalam mulut.
Ketiga Busu itu berdiri diam disamping sambil mengawasi tingkah lakunya, begitu pesona dan takjub mereka mengawasi seolah-olah selama hidup mereka belum pernah melihat cara orang minum arak seperti itu.
Sekaligus Oh Thi hoa pindah setengah kantong arak anggur itu ke dalam mulutnya baru dia merasa segar kembali dan puas, dengan lengan bajunya dia seka mulutnya katanya dengan tertawa meringis "Coba lihat arak ini hampir ku tenggak habis, silahkan kalianpun minum dua teguk."
Ketiga Busu negeri Kui je berbareng tertawa menyeringai, bukan saja mimik tawa mereka mirip satu sama lain, waktu buka mulut dan tutup mulutpun bersamaan tiada berdaya, seolah-olah mereka sedang berperan dalam lakon sandiwara di atas panggung.
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(Bersambung ke Jilid 22)
Salah seorang yang berdiri ditengah berpaling ke kanan kiri kepada temannya lalu berkata dengan tertawa "Arak sebanyak itu tidak cukup dibagi tiga, lebih baik silahkan Ongya habiskan sekalian!"
"Ah, mana boleh jadi, aku rikuh sendiri seru Oh Thi hoa lantang, Mulutnya berkata demikian, tapi kantong arak itu masih dipegangnya kencang-kencang, bukan saja tidak dia angsurkan, malah kelihatannya dia khawatir orang lain merebutnya.
Ketiga Busu saling pandang pula, kali ini mereka tertawa lebih lebar, tawa riang, Busu pertama tadi berkata pula "Kenapa Ongya sungkan-sungkan terhadap kami orang rendahan?"
"Kalau demikian, baiklah aku menuruti keinginan kalian saja." seru Oh Thi hoa tertawa lebar.
Sebetulnya dia tidak ingin minum arak Khawatir begitu terlalu banyak minum bisa bikin kapiran urusan, tapi setelah setengah kantong arak anggur masuk ke dalam perutnya cacing dalam perutnya segera bergolak dan ketagihan malah.
Orang yang suka minum arak kebanyakan memang punya penyakit seperti ini, kalau jumlah arak banyak, sedapat mungkin dia menunjuk orang lain untuk ikut minum sepuasnya ingin mencekok orang supaya mabuk. Sebaliknya kalau araknya cuma sedikit, khawatir orang lain minta bagian.
Ketiga Busu negeri Kui-je dengan berseri tawa mengawasinya menghabiskan sekantong penuh arak anggur itu, belakangan mereka malah berontak gembira, seolah-olah lebih menyenangkan daripada mereka sendiri yang minum.
Kisah Si Rase Terbang 10 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Kisah Pedang Bersatu Padu 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama