Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 9
"Kalau ingin bicara dengan seorang yang buta, tuli dan bisu, sudah tentu harus menggunakan cara yang aneh, mungkin mereka sedang menulis sesuatu dengan gerak cepat di tengah tapak tangan masing-masing, untuk tukar pikiran masing-masing!"
"Betapapun memang otak malingmu itu lebih cerdik, agaknya apa saja sudah kau ketahui ya!"
"Aku hanya ingin tahu apa yang sedang mereka perbincangkan sekarang," ujar Coh Liu-hang tertawa getir.
Tampak akhirnya Ki Ping-yan berdiri dan jalan kembali. Sikapnya lebih prihatin, ia duduk di pinggir Coh Liu-hiang, lama juga dia menunggu, baru berkata tiba-tiba, "Orang yang hendak mencelakai kita adalah orang yang dulu mencelakai Ciok Tho sampai dia cacat begitu rupa."
Tersirap darah Oh Thi-hoa. Coh Liu-hiang malah berkata, "Hal ini semalam sudah pernah kupikirkan."
"Siapakah dia sebenarnya?" tanya Oh Thi-hoa.
Ki Ping-yan menghela nafas, ujarnya, "Ciok Thopun tak mau menyebut nama orang itu."
"Menurut apa yang kuketahui, bukan saja ilmu silat orang ini amat tinggi, malah dia pun punya ratusan anak buah yang setia dan berani mati demi kepentingannya."
"Ilmu silatnya tinggi, aku tidak takut. Anak buahnya banyak akupun tak takut. Tapi tipu muslihatnya yang sembunyi-sembunyi ini, sungguh membuat aku tak tahan lagi." Mendadak Oh Thi-hoa berjingkrak bangun, teriaknya, "Sekarang bukan saja cara apa pula yang hendak dia gunakan untuk menghadapi aku, aku tidak tahu, malah tidak tahu orang macam apa pula dia sebenarnya, jikalau jiwaku sampai melayang secara sia-sia, sungguh penasaran sekali!"
Ki Ping-yan menjengek dingin, "Jikalau kau kuat tahan diri dan bertindak melihat gelagat, mungkin jiwamu takkan mati."
Dengan lesu Oh Thi-hoa mendeprok duduk kepala di dekapnya, katanya, "Agaknya akupun bisa gila, jangan kalian pedulikan aku."
Hening sejenak, tiba-tiba Ki Ping-yan berkata dengan suara berat, "Kesulitan yang kita hadapi sekarang bukan air, adalah orang itu! Ada Ciok Tho dan aku berada di sini, air itu pasti akan bisa kita temukan, tapi orang itu..." Sampai di sini ia menghela nafas, sambungnya, "Kalau orang itu sudah mengincar kita, pasti takkan lepas tangan, situasi sekarang adalah kalau bukan kita yang bunuh dia, kitalah yang akan dibunuh."
Coh Liu-memberikan saran, "Apa kita sementara tak bisa menyingkir dulu, setelah menemukan Hek-tin-cu baru kita luruk dia."
"Tiada orang yang bisa menyingkir dari pandangan matanya, sebelum persoalan ini kita selesaikan berhadapan dengan dia, segala urusan lain jangan harap kau bisa selesaikan lebih dulu, kemungkinan Hek-tin cu lah yang mengutus orang ini menghadapi kau."
Coh Liu-hiang menarik nafas, sesaat ia termenung, katanya tertawa, "Kalau begitu mari kita adu jiwa sama dia, kukira tidak perlu kita gentar menghadapinya. Betapapun lihay musuh kita, kita sudah sering menghadapinya, benar tidak?"
Oh Thi-hoa angkat kepala sambil bertepuk tangan, serunya, "Nah, baru mirip kata-kata yang harus diucapkan oleh Maling Kampiun, selama dua hari ini boleh dikata baru pertama kali ini aku benar-benar mendengar ucapan seorang manusia tulen."
"Cuma, bagaimana harus..." berkerut alis Ki Ping-yan, Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa pun bungkam. Ketiganya duduk tak bergerak namun seperti tiga batang golok yang sudah keluar dari serangkanya, seluruh badan diliputi mara bahaya, sembarang waktu kuasa menghabisi jiwa seseorang. Dalam keadaan seperti ini, seseorang yang berotak cerdik, lebih baik jangan mengganggu usik mereka.
Ada orang datang.
Dua puluhan bayangan orang, serempak merubung maju dari berbagai penjuru, langkah mereka seenteng kucing, beranjak di atas pasir sedikitpun tak mengeluarkan suara.
Tapi gerak-gerik mereka tidak bisa mengelabui mata Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Ki Ping-yan. Lekas sekali tiga orang ini sudah saling tukar pandangan, tanpa bersuara mereka masing-masing sudah berketetapan, "Tenang mengatasi aksi, lihat situasi dan bergerak menurut gelagat dan perubahannya."
Meski tak bicara, ketiga orang ini dulu entah pernah mengalami perjuangan berapa banyaknya, berdampingan di medan laga, gerak gerik mereka seolah-olah mempunyai semacam tata tertib yang ketat satu sama lain dan tak mungkin bisa diselami orang lain. Maka mereka sama menundukkan kepala, seperti orang lelah dan ngantuk.
Lekas sekali kedua puluhan orang itu sudah mengepung mereka di tengah-tengah lingkaran, namun mereka tetap berdiam diri seolah-olah tidak tahu dan merasakan kedatangan mereka.
Sudah tentu kedua puluhan orang ini menjadi was-was dan heran sendiri.
Orang-orang ni semuanya mengenakan pakaian ketat warna hitam, kepalanya digubat handuk hitam pula, gerak-gerik mereka rata-rata cekatan dan tangkas, lincah lagi jelas semuanya merupakan musuh-musuh berbahaya. Dalam jarak tertentu mereka berhenti dan menunggu lama, akhirnya satu sama lain menggerakkan tanda memberi isyarat.
Maka berkatalah seseorang diantara mereka dengan suara kereng, "Jikalau kalian cukup cerdik, lebih baik duduk saja jangan bergerak. Tanganpun jangan terangkat. Aku tidak ingin menggertak kalian, tapi asal jari-jari kalian bergerak, jiwa kalian akan kita habisi," kata-katanya diucapkan begitu kalem, seperti tidak ingin menakuti orang lain. Tapi justru itulah cara yang lihay, kawanan Kangouw pasti maklum hanya dengan cara begitulah baru bisa benar-benar menggertak orang.
Sudah tentu Ki Ping-yan, Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa tidak bergerak, Ciok Tho lebih tak bisa bergerak lagi, cuma Siau-phoa yang benar-benar menjadi ketakutan sampai tak bisa bergerak.
Dalam kegelapan malam samar-samar kelihatan tangan masing-masing orang ini sama membawa sesuatu benda yang mengeluarkan sinar mengkilap hitam, sudah tentu benda-benda itu adalah bumbung-bumbung alat senjata rahasia yang mematikan itu.
Orang yang bicara melangkah lebar ke depan, katanya pula, "Baik sekali, kalian memang tahu diri, sekarang serahkan barang itu!"
Baru sekarang Coh Liu-hiang angkat kepala, katanya tersendat, "Barang-barang kita semua berada di punggung unta, silahkan tuan-tuan mengambilnya sendiri."
Orang itu tertawa dingin, "Jangan pura-pura pikun, tentunya kau sudah tahu barang apa yang kami inginkan?"
"Aku... sungguh aku tidak tahu."
"Masih berani pura-pura bodoh," damprat orang itu, tahu-tahu tapak tangannya melayang menampar ke muka Coh Liu-hiang. Mengikuti gerakan tangan orang, Coh Liu-hiang roboh ke belakang, tapi orang yang memukulnya itu malah melongo dan terkesima. Terang tapak tangannya seperti mengenai muka orang, tapi seperti memukul tempat kosong pula, jelas muka orang kena digamparnya, tapi tapak tangan sendiri seperti tidak pernah menyentuh sesuatu sehingga tenaganya amblas begitu saja.
Melihat sikap kaget orang, sungguh geli dan dongkol pula hati Oh Thi-hoa. "Kau kira bisa mengenai Coh Liu-hiang" Jika kau benar-benar memukulnya sampai rubuh, jiwamu tentu sudah melayang."
Laki-laki hitam ini agaknya juga tahu gelagat ganjil, cepat ia merubah sikap. Katanya rada sabar, "Tugas penting dari rombongan kita, asal barang itu kita dapatkan berarti kita sudah menunaikan tugas dengan baik. Kita segera berlalu, sekali-kali takkan mengganggu seujung rambut kalian." Tiba-tiba ia terloroh tawa, sambungnya, "Coba lihat, jikalau kami ingin membunuh kalian, bukankah sejak tadi kita sudah turun tangan."
Coh Liu-hiang tahu omongan orang bukan gertakan belaka, tentunya tugas mereka terpecah, mereka hanya bertugas menghadapi Peng-bun-chit-hou, sebelum mendapat perintah pasti takkan berani mencelakai orang lain. Jelas sudah bahwa diri mereka terang sementara takkan menghadapi bahaya, maka legalah hatinya.
Setelah menunggu sesaat lamanya, melihat tidak mendapat reaksi, laki-laki baju hitam itu berkata, "Asal kalian serahkan barang itu, bukan saja aku sudah berjanji takkan mengganggu usik kalian, tidak mengambil barang milik kalian lainnya, malah... bolehlah kita berikan sekantong air kepada kalian." Waktu mengutarakan kata-katanya ini, agaknya dia sudah berkeputusan dalam hati, ini bukan gertak atau ancaman, tapi menyerah secara tidak disadari pancingan belaka.
Terang barang yang mereka incar itu tentu teramat penting artinya. Jikalau mereka tidak bisa mendapatkan barang itu, terang mereka bakal mendapat hukuman yang setimpal bila pulang nanti.
Arti daripada air dalam situasi seperti ini sungguh amat besar sekali. Coh Liu-hiang, Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa jikalau mereka tahu dimana barang itu berada, mungkin mereka benar-benar mau menukar dengan air mereka. Cuma sayang mereka benar-benar tidak tahu apa-apa.
Oh Thi-hoa menghela nafas, tanyanya, "Sebenarnya barang apa yang kalian inginkan" Asal kau katakan pasti kuserahkan kepadamu sekarang. Barang mestika betapapun banyaknya yang kau inginkan untuk menukar sekantong air dengan senang hati akan kuberikan kepadamu."
Laki-laki baju hitam melotot, tanyanya menegas, "Kau benar-benar tidak tahu?"
"Siapa tahu barang setan apa itu, dialah kurcaci," sahut Oh Thi-hoa.
Diam-diam Coh Liu-hiang geli, batinnya, "Dalam keadaan seperti ini, bocah ini tak lupa memaki orang juga."
Laki-laki baju hitam belum menyadari bahwa orang anggap dirinya kurcaci, seketika ia menarik muka, katanya, "Masakah kalian belum menggeledah dan mendapatkan barang itu dari mayat-mayat itu?"
"Aduh. Tidak percaya lagi." Oh Thi-hoa berkeluh kesah. "Umpama kita ini benar-benar bedebah, sekali-kali kita takkan mencuri barang milik orang yang sudah ajal." Kembali kata-katanya memaki dengan kata-kata yang cukup sopan.
Baru sekarang laki-laki hitam seperti menyadari kata-kata orang berarti sedang memaki dirinya, "Bedebah," keruan ia naik pitam. Dampratnya, "Kau masih tidak mau mengaku, baik, hayo kawan-kawan geledah mereka!"
Seluruh badan Oh Thi-hoa sudah mengejang keras, hampir saja ia sudah mengumbar adat.
Lekas Coh Liu-hiang menangkisnya, katanya tawar, "Biar mereka menggeledah, toh mereka takkan mendapatkan apa-apa."
Tatkala itu dari kegelapan kembali menerobos maju beberapa bayangan berseragam hitam, dengan cekatan seluruh badan mereka sudah digeledah. Oh Thi-hoa menahan amarah yang hampir meledak, sungguh ia tidak habis mengerti, kenapa Coh Liu-hiang harus menahan sabar.
Ki Ping-yan justru tahu maksud temannya, pikirnya, "Coh Liu-hiang mulai kumat lagi penyakit lamanya, agaknya iapun mulai ketarik kalau belum melihatnya sendiri, dengan bukti-buktinya yang nyata, mana dia mau lepas tangan begini saja."
Peduli dimana, terhadap siapapun, jikalau tidak terpaksa Coh Liu-hiang pasti takkan mau sembarangan turun tangan. Memang dia bukan seorang yang suka berkelahi.
Setelah menggeledah orang-orangnya kembali laki-laki seragam hitam itu menggeledah unta, sudah tentu mereka tak berhasil menemukan barang yang mereka cari. Salah satu di antaranya tiba-tiba berpikir, kataya, "Bukan mustahil barang itu masih berada di atas badan Peng-keh-chit-hou!"
Maka kembali mereka gali mayat-mayat yang sudah terpendam di bawah pasir itu, dengan golok mereka telanjangi pakaian mayat-mayat itu. Oh Thi-hoa kertak gigi, lekas ia berpaling muka tak tega melihat kelakuan mereka.
Terdengar seseorang berkata pula, "Di atas badan merekapun tiada."
Laki-laki pemimpin itu mulai gelisah, katanya membanting kaki, "Tidak mungkin tiada. Cari lagi lebih teliti, kalau tidak ketemu, bagaimana tanggung jawab tugas kita terhadap beliau?"
Sorot mata laki-laki baju hitam itu kini sudah memancarkan rasa takut dan gelisah, setelah mencari ubek-ubekan tetap tidak berhasil, keruan mereka semakin ribut dan sibuk, gugup lagi.
Hampir boleh dikata mereka sudah lupa mengawasi Coh Liu-hiang beramai.
Berkilat biji mata Ki Ping-yan, tiba-tiba ia berkata kalem, "Barang apakah yang sebenarnya kalian cari" Kalau dikatakan, mungkin kami bisa bantu kalian mencarinya."
Karena sudah gugup dan gelisah, seperti sudah kehilangan kontrol dan kepercayaan kepada diri sendiri, tanpa banyak pikir laki-laki baju hitam itu menjawab, "Ki-loh-ci-sing."
"Apa itu Ki-loh-ci-sing?" tanya Oh Thi-hoa keheranan. Ki-loh-ci-sing maksudnya bintang di surga.
"Akupun kurang jelas," sahut laki-laki baju hitam. "Aku hanya tahu diantara barang-barang kawalan mahal dari Peng-keh-chit-hou, diantaranya ada benda mestika yang tak ternilai harganya bernama Ki-loh-ci-sing."
Oh Thi-hoa menghela nafas dengan kecewa, katanya, "Kukira sih barang mestika apa sampai diributkan, ternyata tidak lebih hanya sebutir benda mestika." Memang mestika betapapun tinggi nilainya, tak terhitung apa dalam pandangan mereka.
Berkata laki-laki baju hitam lebih lanjut, "Kita kemari lantaran perintah. Menurut rencana dengan gampang kita pasti berhasil memperoleh seperti mestika itu, tak nyana Ki-loh-ci-sing yang menjadi sasaran utama justru tak berada di dalam peti itu..." saking gelisah, tanpa sadar mulutnya mengoceh sendiri.
Tiba-tiba Ki Ping-yan berkata, "Jikalau aku tahu dimana Ki-loh-ci-sing itu berada, apa kalian sudi menukar dengan air?"
Sungguh kaget, gugup dan kegirangan pula laki-laki baju hitam, teriaknya, "Tentu!"
"Kalian betul-betul punya air?" tanya Ki Ping-yan menegas.
"Sudah tentu punya!"
"Dimana" Keluarkan dulu supaya kulihat."
Berubah air muka laki-laki baju hitam, katanya kasar, "Kau tidak percaya kepadaku?"
Ki Ping-yan berpikir sebentar, katanya, "Baik, sekali ini aku biar percaya kepadamu. Ki-loh-cising boleh kuserahkan dulu kepadamu, tapi air..."
Laki-laki baju hitam girang, tukasnya, "Asal Ki-loh-ci-sing kau serahkan, soal air tidak menjadi soal."
Dari samping Oh Thi-hoa sedang menonton dan mendengarkan dengan perasaan heran.
Sungguh ia tidak habis mengerti kenapa Ki Ping-yan mau percaya begitu saja akan omongan orang, lebih tak mengerti kenapa Ki Ping yang mau mengeluarkan Ki-loh-ci-sing, hakekatnya dimana Ki-loh-ci-sing belum diketahui.
Tampak Ki Ping-yan sudah berpaling kemari, roman mukanya menunjukkan keyakinan, demikian pula roman muka Coh Liu-hiang sembari tersenyum, sedikitpun tidak kelihatan gugup.
Tak tahan Oh Thi-hoa memapak maju, katanya berbisik, "Kau benar tahu dimana Ki-loh-ci-sing itu berada?"
Berkata Ki Ping-yan pelan-pelan, "Tadi waktu kau memayang Peng It-hou, katamu kau rasakan bagian pundaknya seperti menonjol bundar keras, benar tidak?"
Oh Thi-hoa keheranan, sahutnya, "Tapi..."
Belum sempat dia bicara lebih lanjut, Ki Ping-yan sudah menghampiri ke samping Peng It-hou.
Pakaian orang ini sudah ditelanjangi. Badan yang sudah telanjang bulat ini, dimana ada Ki-loh-cising segala. Tapi Ki Ping-yan segera jongkok, dengan ujung jarinya ia menggores sekali diikuti daging pundaknya Peng It-hou, tabir malam sangat gelap, di bawah penerangan bintang kelap-kelip, tahu-tahu terlihat dari pundak orang memancarkan cahaya kemilauan terang benderang.
Disusul sebutir jamrud sebesar telur burung dara yang memancarkan cahaya kemilau cemerlang menggelinding keluar dari kulit daging di pundak Peng It-hou, jatuh di tapak tangan Ki Ping-yan.
Ternyata Ki-loh-ci-sing yang dimaksud terjahit oleh Peng It-hou di kulit daging pundaknya.
Semua orang sama melongo dan tertegun melihat kejadian yang tak terduga ini.
Di atas cakrawala memang tak dapat tak terhitung banyaknya bintang-bintang, tapi pancaran Ki-loh-ci-sing di atas bumi ini, sungguh membuat sinar bintang-bintang di langit menjadi guram dan kelelap dibuatnya. Ki Ping-yan sendiripun tak terasa terkesima, katanya, "Kim-kong-ciok yang amat bagus, tak heran sedemikian banyak jiwa manusia yang siap berkorban demi kau."
Seperti serigala kelaparan laki-laki baju hitam itu segera menubruk maju, sekali raih ia rebut Kiloh-ci-sing di tangan Ki Ping-yan. Ki Ping-yan diam saja seperti orang linglung berdiri menjublek di tempatnya, dengan mendelong ia awasi benda mestika itu direbut orang lain dari tangannya.
Agaknya laki-laki baju hitam itupun tak mengira urusan dapat dicapainya demikian gampang dan tak terduga, sungguh senang bukan main sampai mulut serasa sulit dibuka.
Sungguh heran, jengkel pula hati Oh Thi-hoa, untung sebelum dia mengumbar adatnya terdengar Ki Ping-yan sudah bicara, "Ki-loh-ci-sing sudah kuberikan kepadamu, mana airnya"'
Laki-laki baju hitam terloroh kesenangan, serunya, "Tuan-tuan besar ini keluar menunaikan tugas, mana membawa air sebanyak itu" Kau ingin air, tidak bisa kau cari sendiri" Tuan-tuan besar hari ini tidak menggorok lehermu, sudah terhitung sungkan terhadap kalian, tahu!"
Sembari tertawa tangan dia ulapkan, segera ia pimpin anak buahnya tinggal pergi dengan masih terkial-kial. Sungguh hampir meledak perut Oh Thi-hoa. Dia sudah siap bergerak melabrak orang-orang itu, tapi keburu ditarik oleh Coh Liu-hiang. Ingin mengejar, sudah dirintangi pula oleh Ki Ping-yan. Sungguh dia tak habis paham, kenapa kedua teman baiknya ini kini menjadi sedemikian pengecut dan penakut" Mengawasi orang-orang itu pergi begitu saja, sedikitpun Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan tidak menunjukkan kemarahan sama sekali.
Sungguh Oh Thi-hoa tak tahan lagi, jengeknya dingin dengan keras, "Menggelikan, sungguh menggelikan! Maling kampiun yang bernama besar, ternyata menjadi pengecut dan bernyali kecil seperti tikus. Sungguh menggelikan Ki Ping-yan yang biasanya mengagulkan kepintarannya, hari ini dengan mentah-mentah sudi ditipu orang lain."
"Siapa yang ditipu orang?" tanya Ki Ping-yan.
"Kau begitu pintar, tahu bila Ki-loh-ci-sing tersembunyi di dalam badan Peng It-hou kenapa kau tidak tahu bahwa para keparat itu terang takkan memberi air kepadamu!"
Ki Ping-yan tertawa tawar, ujarnya, "Sejak pertama mereka datang, aku sudah melihat bahwasanya mereka tiada yang membawa kantong air."
"Kalau kau sudah tahu mereka tidak punya air, kenapa kau berikan Ki-loh-ci-sing kepada mereka" Kau sedang kentut apa?"
Tanpa hiraukan ocehan orang, Ki Ping-yan berkata kepada Coh Liu-hiang, "Orang yang kelana di gurun pasir, ada dua barang tidak boleh kekurangan, pertama adalah air, kedua adalah unta.
Tanpa kedua barang-barang ini, jiwa sukar terlindungi, benar tidak?"
Coh Liu-hiang selalu unjuk senyuman, sahutnya, "Tidak salah!"
"Tapi bukan saja orang-orang itu tiada yang membawa air, malah meluruk kemari berjalan kaki, itu pertanda bahwa tempat tinggal mereka sementara ini, tentu tidak jauh dari sini, benar tidak?"
"Benar!" sahut Coh Liu-hiang pendek.
"Setelah mereka memperoleh barang yang dicarinya, tentu tak sempat memperdulikan kami pula, yang terpikir hanya lekas-lekas pulang memperoleh jasa dan persen, ya toh?"
Kali ini tanpa menunggu Coh Liu-hiang buka suara, Oh Thi-hoa sudah menanggapi sambil tepuk tangan, "Benar, asal kita kuntit mereka, langsung kita bisa meluruk ke sarangnya. Daripada kita menunggu iblis durjana itu mencari perkara kepada kita, lebih baik kita labrak dia dulu... benar tidak?"
"Benar," sahut Coh Liu-hiang tersenyum. "Itu dinamakan menindak orang lebih dulu!"
Seketika Oh Thi-hoa berjingkrak bangun, teriaknya, "Kalau begitu, apa pula yang harus kita tunggu di sini?"
Berkata Ki Ping-yan pelan-pelan, "Di tengah gurun pasir dilarang menguntit buruanmu terlalu dekat, yang terang mereka toh takkan bisa melarikan diri," lalu ia menengadah mendengarkan deru angin, tersenyum lebar dan berkata, "Kalau kau sudah tak sabar lagi, sekarang boleh mulai berangkat."
Dari tempat mereka sekarang kira-kira memakan waktu setengah jam perjalanan ke arah tenggara, terdapat beberapa petak rumah yang dibangun dari kayu, disini dulu merupakan perkampungan kecil, salah satu pos di luar tapal batas untuk mengawasi gerak-gerik musuh dan pengamatan perubahan cuaca. Sekarang berubah menjadi sarang berkumpul kawanan perampok yang berkuasa di gurun pasir.
Rumah kayu itu sudah reyot dan keropos, beberapa jendela di antaranya terpentang lebar.
Sejak tadi pelita sudah dipasang di dalam rumah, tentunya di dalam rumah selalu dihuni dan ditunggu orang.
Coh Liu-hiang bertiga berhenti di belakang tiga pucuk pohon berjarak sepuluh tombak di luar jendela, dilihatnya rombongan orang banyak itu sambil tertawa-tawa berbondong-bondong masuk ke dalam rumah kayu. Tapi begitu berada di dalam rumah, suara tawa dan senda gurau mereka seketika silap dan berhenti.
Dari jendela yang terbuka itu, jelas kelihatan sikap mereka amat hormat dan jeri, semuanya tundukkan kepala dan berdiri tegak tak berani bergeming, jangan kata bicara, nafaspun ditahan-tahan.
Oh Thi-hoa berkata senang, "Dari keadaan mereka itu, jelas pemimpin mereka memang berada di dalam rumah ini."
Ki Ping yan mengiakan dengan manggut-manggut.
"Mari sekarang juga kita terjang ke dalam, ingin aku melihat macam apa sebenarnya iblis durjana itu?"
"Tunggu lagi sebentar," sela Ki Ping-yan.
"Apa lagi yang harus ditunggu?" desak Oh Thi-hoa.
"Keadaan kelihatan rada ganjil."
"Kau sendiri yang mengusulkan, kenapa sekarang kau merasa rada ganjil?"
"Setelah melihat rumah kayu itu baru aku melihat adanya keganjilan... coba kau pikir, dengan kekuasaan si iblis yang besar, memangnya dia sudi tinggal di tempat yang jorok dan keropos seperti itu?"
Baru saja Oh Thi-hoa melengak dan belum bersuara, dari dalam rumah kayu tiba-tiba berkumandang irama musik yang mengalun halus, serasa menyedot semangat dan mencabut sukma, sehingga pendengarnya menjadi lemas dan seperti hendak melayang jiwanya.
Begitu irama musik itu mengalun, para laki-laki baju hitam yang berdiri tegak itu kelihatan badannya melingkar dan bergetar, seolah-olah mereka ingin menari-nari menurut alunan lagu nan merdu menyedot sukma ini. Tapi sekonyong-konyong mereka serempak roboh saling tindih. Nada lagi yang menyedot sukma itu masih terus mengalun, cuma lama kelamaan suaranya datar dan rendah. Orang-orang yang roboh itu tiada satupun yang bangkit berdiri.
Mendengar irama musik ini, seketika Oh Thi-hoa rasakan mukanya panas dan jantung berdebar keras, namun kejut dan aneh pula ia melihat adegan-adegan yang seram itu, katanya sember, "Apa pula yang terjadi?"
Membeku dingin muka Ki Ping yan, mulutnya terbungkam kencang. Roman muka justru tiba-tiba berubah hebat, teriaknya tertahan, "Celaka!" belum hilang suaranya, badannya bagaikan burung walet sudah melesat ke arah rumah kayu itu.
Sudah tentu Oh Thi-hoa tidak mau membuang waktu, sigap sekali ia pun memburu maju dengan kencang. Coh Liu-hiang masih melongok-longok di jendela, Oh Thi-hoa langsung tendang daun pintu terus menerjang masuk seraya membentak keras, "Jangan harap kau...!"
Hanya tiga patah kata yang terucapkan, tiba-tiba mulutnya terpentang lebar tak kuasa meneruskan kata-katanya. Ternyata rumah kayu seluas ini tak kelihatan bayangan seorangpun.
Kalau mau dikatakan sesungguhnya, rumah kayu ini sudah tak dihuni oleh seorang manusia yang masih hidup segar bugar. Dua puluhan laki-laki yang masuk kemari tadi kini sudah menggeletak malang melintang saling tindih di atas tanah, tiada satupun yang ketinggalan hidup.
Badan mereka sama melingkar, seolah-olah ular yang saling belit membelit, namun roman muka mereka sama menunjukkan cahaya cemerlang yang aneh, bukan saja mereka mampus tanpa menunjukkan sesuatu derita, malah seperti suka rela dan senang hati menemui ajalnya.
Lama sekali Oh Thi-hoa terlongong, baru ia menarik nafas panjang, katanya, "Sungguh gila...
orang-orang inipun sudah gila."
Coh Liu-hiang membanting kaki, katanya, "Seharusnya sejak tadi sudah kupikirkan bahwa mereka akan sama bunuh diri."
Rumah kayu yang sudah bobrok ini, boleh dikata tiada isi apa-apa, tapi tengah-tengah rumah sana berdiri sebuah berhala pemujaan yang amat besar, ditengah-tengah berhala terdapat sebuah patung Buddha, sehingga menambah seram dan serba aneh keadaan rumah ini.
Hembusan angin lalu membuat Oh Thi-hoa bergidik seram dan sadar dari lamunannya.
Serunya tak mengerti, "Kenapa mereka suka bunuh diri?"
Kata Coh Liu-hiang menghela nafas, "Gembong iblis itu tentu sudah tahu bahwa jejak mereka sudah dikuntit oleh kita, kuatir kita mengudak tiba sampai di sini, terpaksa ia bunuh mereka semua."
"Kalau toh mereka didesak orang untuk bunuh diri, kenapa pula mereka menghadapi kematian ini dengan riang hati?"
Terpancar rasa jeri dalam sorot mata Coh Liu-hiang, mulut menggumam, "Dalam hal ini tentu ada latar belakangnya yang amat misterius, musik kematian yang menyedot sukma itu mungkin..."
belum habis kata-katanya, tiba-tiba terdengar Siau-phoa menjerit-jerit di luar rumah. "Ciok Tho menjadi gila... gila Ciok Tho kumat..." jeritnya mengandung rasa ketakutan yang tak terperikan.
Di tengah gurun pasir yang tak kenal kasihan di dalam rumah kayu yang menyendiri dan bobrok ini, sekonyong-konyong mendengar jerit dan tangis yang begini mengerikan, sungguh bikin bulu roma berdiri seram.
Oh Thi-hoa berjingkat kaget, tanpa berjanji bersama Coh Liu-hiang, Ki Ping yan melesat keluar hampir bersamaan. Tampak raut muka Siau-phoa berkerut-kerut seperti meringkel, keringat membasahi seluruh kepala, mulutnya masih menjerit keras-keras, "Ciok Tho gila."
Kontan Ki Ping-yan ayun tapak tangan menggamparnya, bentaknya bengis, "Kau sendiri jangan menggila, katakan apa yang terjadi."
Karena gamparan ini, Siau-phoa melongo sesaat lamanya, lambat laun baru kembali ketenangan hatinya, katanya dengan suara bergetar, "Setelah kalian masuk ke dalam rumah, tak tahan lagi akupun ingin kemari melihat-lihat. Tapi Ciok Tho seorang diri kutinggal di sana, hatiku jadi rada kurang tenteram. Lekas kutarik dia supaya ikut."
"Apa benar kau kuatir meninggalkan dia sendirian" Kukira kau mengajak dia untuk membesarkan nyalimu."
Tertunduk kepala Siau-phoa, katanya lebih lanjut dengan suara tersendat, "Siapa tahu... setiba di depan rumah ini Ciok Tho seolah-olah melihat setan, putar badan terus lari sipat kuping.
Sungguh betapa rasa takutnya waktu itu, meski aku tidak melihat apa-apa, tapi aku sendiripun teramat kaget dan tak tertahan lantas berkaok-kaok sekeras suaraku."
Orang yang punya mata tidak melihat apa-apa, memangnya orang yang buta matanya melihat sesuatu yang menakutkan" Tapi Coh Liu-hiang bertiga sudah tak sempat pikirkan hal ini lebih lanjut, belum selesai keterangan Siao-phoa, serempak mereka sudah berlari kencang mengundak ke arah mana tadi Ciok Tho melarikan diri.
Angin menderu kencang, pasir berterbangan. Tabir malam di gurun pasir sudah mulai memperlihatkan kekuatannya yang begitu menakutkan.
Akhirnya mereka melihat bayangan Ciok Tho, yang sedang lari lintang pukang, seorang yang tak bisa mendengar, terpaksa harus berlari jatuh bangun dengan setaker tenaganya di gurun pasir yang tak kenal kasihan. Di tengah malam gelap yang pekat ini, betapa takkan menyedihkan dan memilukan keadaan seperti ini.
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan berbareng melesat ke depan, keduanya berbareng mengempit badan orang, tapi Ciok Tho seperti binatang buas yang terluka meronta dengan kekuatan yang besar luar biasa, terus lari pula ke depan dengan lebih kencang.
Tenaganya yang begitu besar dan kuat seperti orang gila benar-benar, sampaipun Coh Liu-hiang tak kuasa menahannya.
Sementara itu Oh Thi-hoa pun sudah mengundak tiba dari belakang. Langsung ia menubruk maju seperti harimau menubruk mangsanya, ia sekap pinggang orang terus diajak berguling-guling di tanah berpasir. Lekas Ki Ping yan memburu maju pula dan mendekap sebelah pundaknya.
Semula Ciok Tho masih hendak meronta, serta merta Ki Ping yan dengan kencang menggenggam tangannya, baru lambat laun ia mulai tenang, tapi nafasnya masih ngos-ngosan.
"Lekas kau tanya dia," usul Oh Thi-hoa dengan memburu. "Sebetulnya apa yang dia ketemukan."
Di bawah sinar bintang, tampak raut muka Ciok Tho yang buruk dan kaku itu penuh dibasahi butiran keringat, diikuti ketegangan dan kekuatiran. Jangankan Siau-phoa jadi ketakutan melihat raut mukanya ini, sampai pun Oh Thi-hoa pun bergidik dan dingin hatinya.
Berselang cukup lama baru Ki Ping yan angkat kepala, katanya, "Sudah kutanya dia, tapi apapun dia tidak mau menjelaskan."
Pandangan mata Coh Liu-hiang menatap ke tempat gelap nan jauh sana, katanya pelan-pelan,
"Bukan mustahil dia memiliki indera ke enam yang amat peka, terasa olehnya bahwa iblis yang mencelakai dirinya itu berada di dalam rumah kayu itu."
"Tapi dalam rumah kayu hakikatnya tiada ketinggalan orang hidup... boleh dikata tiada sesuatu benda apapun dalam rumah itu, seumpama iblis itu menyembunyikan diri juga tak mungkin lagi."
Berkata Coh Liu-hiang sepatah demi sepatah, "Apa benar rumah itu tiada sesuatu apapun?"
"Kecuali meja kursi yang sudah reyot, tinggal patung pemujaan itu."
"Sudahkah kau jelas patung apa yang berada di tempat pemujaan itu?"
"Kalau tidak salah seperti sebuah patung Kwan Im posat yang terbuat dari batu..." sekonyong-konyong suaranya seperti membeku, badannya seolah-olah kena lecutan cambuk bergetar keras.
Lalu seperti kerasukan setan, tiba-tiba ia putar badan berlari sekencang-kencangnya kembali ke rumah kayu itu.
Keadaan dalam rumah kayu telah berubah. Angin menghembus kayu gorden yang menutupi ruang pemujaan itu. Tapi ruang pemujaan ini kosong melompong. Patung batu yang berdiri di sana tadi kini sudah lenyap tak keruan paran.
Keringat segede kacang bercucuran di atas kepala Oh Thi-hoa, lama sekali dia menjublek di tempatnya, baru didapatinya di atas meja ketambahan sebuah wajan besi. Wajan yang masih panas mengepulkan asap dan bebauan sedap, bau daging rebus yang enak rasanya. Di bawah wajan terselip selembar kertas yang ada tulisannya berbunyi,
Tuan-tuan datang dari tempat ribuan li jauhnya, seharusnya aku sendiri harus menyambut dengan sebuah meja perjamuan besar. Sayang anak buahku bodoh dan tak becus bekerja, bikin malu dan menusuk perasaan belaka. Maka akan aku siapkan sewajan daging rebus sekedar sebagai pernyataan maksud baikku. Untung menghilangkan rasa lelah dan kelaparan serta dahaga, harap tuan-tuan tidak menampik maksud baik kami!
Hormat, Orang dalam pemujaan
Orang dalam ruang pemujaan" Siapa pula orang di dalam pemujaan"
Oh Thi-hoa berpaling, maka dilihatnya Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan sama s edang menatap kertas yang berada di tangannya, agaknya mereka pun melongo dan tertegun.
Sesaat lamanya, baru Ki Ping-yan bersuara dengan tertawa getir, "Jejak kami bertiga, toh konangan juga oleh si dia!"
"Tapi siapakah orang dalam ruang pemujaan ini" Bayangannya saja toh tidak kita lihat."
Dengan nanar Coh Liu-hiang memandang ke arah ruang perjamuan yang sudah kosong itu, katanya sepatah demi sepatah, "Itulah Ciok-koan im."
Berjikat merinding bulu kuduk Oh Thi hoa, serunya, "Ciok koan im" Maksudmu adalah perempuan yang diakui umum sebagai orang yang paling cantik, paling galak dan tak mengenal kasihan, tapi ilmu silatnya amat tinggi dan sudah diakui kawanan Kangouw pada masa lalu itu?"
Coh Liu-hiang tertawa getir, "Kecuali dia, siapa pula yang mampu membuat alat rahasia yang begitu lihay dan baik" Siapa pula yang punya kepandaian ilmu rias yang begitu hebat" Siapa pula yang kuasa mengatur tipu daya yang begitu sempurna dan seksama?"
Ki Ping yan menyambung dengan suara kalem, "Kecuali dia, siapa pula yang bisa mengheningkan cipta atau semedi merubah diri seperti patung-patung tulen, sehingga dengan mudah mengelabui pandangan mata kita?"
Oh Thi-hoa melongo dan menjublek, meski ia belum pernah melihat Ciok-koan-im, tapi berbagai dongeng dan cerita yang sering tersiar di kalangan Kangouw mengenai manusia yang satu ini, boleh dikata dapat membuat setiap orang yang mendengar merasa bergidik seram dan dingin dari kepala sampai ke kaki.
Bau asap mengepul dari wajan semakin tebal, daging yang sudah matang dan dilapisi kuah berminyak kelihatan begitu sedap dan lezat, inilah hidangan yang sedang mereka harapkan selama ini.
Mendadak Oh Thi-hoa bergelak tawa, katanya, "Katanya yang tersiar di kalangan Kangouw memang tidak keliru, Ciok-koan-im memang siluman tukang mencelakai jiwa orang. Apapun tiada yang dia tinggal di sini, kecuali wajan dan daging rebus ini, supaya kita hanya melihatin saja, dengan mengalirkan air liur tanpa berani menyentuhnya."
Tiba-tiba seekor anjing menerobos masuk ke dalam rumah, langsung lompat naik ke atas meja, kepala dijulurkan lidah menjilat seperti sedang mencicipi, lalu mulut terpentang menggigit sekerat daging bertulang.
Maki Oh Thi-hoa dengan tertawa, "Anjing ini sudah gila lantaran kelaparan" Memangnya dia tidak takut keracunan?" segera ia menghampiri dan menjinjing anjing itu lalu diturunkan ke atas tanah, tapi dengan lahap dan tergesa-gesa anjing itu sudha melalap sekerat daging bertulang itu ke dalam perutnya. Oh Thi hoa, Coh Liu-hiang, Ki Ping yan, tiga orang enam biji mata dengan mendelong mengawasi reaksi perubahan anjing ini. Tapi setelah ditunggu-tunggu setengah jam, Ki Ping yan membalik mata anjing untuk diperiksa, lalu memeriksa lidahnya lagi, katanya perlahan,
"Masakan dalam wajan ini tak beracun."
Dengan keras Oh Thi-hoa menggebrak meja, teriaknya, "Siluman jahat itu sudah perhitungkan kita takkan berani makan daging rebus itu, malah antar seekor anjing untuk membuat jengkel. Dia kira kita sudi memakan daging rebus sisa dari anjingnya ini."
"Daging yang sudah dimakan anjing, masakah orang tidak boleh memakannya?" kata Ki Ping-yan tawar. Matanya mengawasi Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang tidak memberi komentar.
Oh Thi-hoa sudah jinjing wajan itu terus dilempar keluar jendela, mulut masih berkaok-kaok,
"Kita tidak boleh makan makanan sisa anjing, seumpama harus mati kelaparan, jangan kita bikin malu diri."
Ki Ping yan menghela nafas, jengeknya, "Jikalau aku bisa pulang dengan selamat, di dalam rumah akan kudirikan sebuah tugu peringatan untuk mengingat budi keluhuranmu ini, dimana akan ku ukir, 'Kelaparan sampai mati urusan kecil, bikin malu muka orang urusan besar!'"
Oh Thi-hoa bergelak tertawa, serunya, "Jikalau aku bisa pulang dengan jiwa masih hidup akan ku... akan ku..." ingin dia mencari kata-kata yang setimpal untuk balas mengolok Ki Ping yan, dalam waktu dekat mulutnya justru tak kuasa mengeluarkan kata-katanya.
"Watak manusia berangasan seperti anjingmu ini, mungkin takkan bisa pulang dengan hidup segar," jengek Ki Ping yan pula.
"Itupun belum..." belum lagi Oh Thi-hoa berkata lebih lanjut, tiba-tiba terdengar jeritan mengerikan di luar rumah, tiga orang serempak melesat keluar, tampak Siau-phoa yang tadi menjagai Ciok Tho kini sudah terguling-guling di atas tanah.
Wajan yang berisi daging itu berada di sisinya, ujung mulutnya masih berlepotan kuah berminyak, roman mukanya pun putih halus dan jenaka itu, kini sudah merah abu-abu dan berkerut-kerut mengejang, mulutnya mendesis dan megap-megap, ingin berteriak keras, namun yang terdengar hanya suara lirih, "Daging beracun..."
Ternyata di luar rumah ia mendengar percakapan di dalam yang mengatakan daging dalam wajan ini tak beracun, maka sisa kuah yang tidak tertumpah di dalam wajan ia hirup seluruhnya.
Lekas Coh Liu-hiang memburu ke samping badannya, baru saja ingin memeriksa keadaannya, badan Siau-phoa sudah kelejetan dan mengejang, sebentar saja jiwanya tahu-tahu sudah melayang gara-gara minum sisa kuah daging dalam wajan itu.
Di tengah gurun pasir yang luas ini, jiwa manusia ternyata sedemikian rendah dan tak berharga sama sekali.
Pelan-pelan Coh Liu-hiang katupkan kelopak matanya, katanya prihatin, "Racun yang hebat, keras benar kadar racunnya sampai tak sempat ditolong lagi."
"Orang lihay benar," ujar Ki Ping yan. "Dia sembunyikan kapsul beracun itu di mulut anjing, begitu anjing menjilat kuah kapsul beracun itu lantas jatuh ke dalam wajan karena masih panas cepat sekali kapsul itu lantas mencair dan kuah yang semula tidak beracun menjadi mengandung racun yang begitu jahat."
Tersirap darah Oh Thi-hoa, "Apakah anjing itupun sudah dilatihnya sedemikian rupa?"
Ki Ping -yang manggut-manggut sebagai jawaban.
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya : "Agaknya berkat watak anjing Oh Thi-hoa tadi sehingga aku dan kau tidak kena tertipu oleh Ciok-koan im."
Membayangkan tipu muslihat berantai yang berhubungan satu sama lain secara licik dan licin ini, boleh dikata jiwa mereka tadi sudah diambang kematian... tak terasa tapak tangan mereka berkeringat dingin.
Bersambung ke Jilid 16
JILID 16 Hari kedua, air tetap tak mereka dapatkan.
Mereka tak mau membiarkan sisa air didalam badan mereka terjemur kering oleh terik matahari, maka setelah sang surya terbenam, baru mereka bergerak lagi.
Giok Tho, laki-laki misterius dan harus dikasihani ini, kini sudah memperoleh kembali tenaga dan keberaniannya yang tak terhingga sebaliknya Oh Thi-hoa bertiga sudah semakin loyo dan lemas. Betapapun tinggi kepandaian seseorang didalam dunia ini, masa kuasa memerangi kekuatan kebesaran alam semesta.
Sang surya sudah terbenam, sering Ciok Tho Mendekam di atas pasir, menggunakan hidungnya mengendus dan membaui pasir, seperti srigala yang mengejar jejak mangsanya merangkak di atas pasir, Oh thi-hoa menjilat bibirnya yang sudah kering dan pecah, tanyanya tak sabar : "apa yang sedang dia lakukan?"
"Dia sedang mencari sumber air di bawah tanah."
"Apa dia bisa mengendus dengan hidungnya?"
"Kalau ada air, tentu ada suhunya, suhu panas tertentu itu dapat terendus oleh hidung yang berpengalaman."
Oh Thi-hoa masih ingin bicara, tapi orang sudah tak perdulikan dia lagi. Karena ditempat seperti ini dalam keadaan seperti ini pula bicara mengeluarkan tenaga dan membuang-buang energi, mengeringkan ludah lagi, disaat-saat seperti ini, kedua macam keperluan ini hampir senilai dan semahal jiwa mereka.
Setelah malam mendatang, tiba-tiba seperti kumat gilanya Ciok Tho menggali pasir dengan kedua tangannya. "ada Air!" seketika Oh Thi-hoa berjingkrak kegirangan.
Serempak mereka lompat turun dari punggung unta, menggunakan segala alat apa saja yang mereka ketemukan, beramai-ramai mereka menggali pasir sekuat tanag, tapi dengan susah payah mereka bekerja satu jam lamanya, akhirnya tetap kecewa, tiada air.
Oh Thi-hoa menyengir sedih : "Hidungnya itu mungkin sudah tak berguna lagi."
Ki Ping-yan membenamkan mukanya tak menanggapinya. Cuma Ciok Tho masih belum putus asa, dia tetap mengeruk dan menggali. Mendadak ia mencelat bangun mencomot segenggam pasir diangsurkan kepada Ki Ping-yang.
Ki Ping-yan jejalkan pasir itu ke dalam mulut, seketika mukanya berseri girang.
Pasir ini terasa hangat. Beramai-ramai mereka masukkan pasir ke dalam mulutnya, sekuatnya menghisap air yang terkandung didalam pasir. Air, memang terlalu minim, tapi bagi seseorang yang sudah dekat ajal karena dahaga sudah cukup untuk merenggut pulang jiwanya dari cengkeraman elmaut. mereka mengeduk lebih giat, lebih keras dan mati-matian, menghisap sekeras kerasnya.
Malam itu mereka lelap dalam impian didalam galian pasir yang bersuhu hangat ini, saking bernapsu menghisap air tadi, lidah Oh Thi-hoa terasa linu kemeng, tak tertahan ia mengumpat caci
: "Boleh dikata seluruh tenaga untuk menghisap sudah kukerahkan, namun belum bisa kulihat setetes air yang berhasil keperas dari pasir setan yang keparat ini, menghisap dengan cara begini terus apakah tidak bikin lidah putus dan leher kejang ?"
"Didalam gurun pasir, bila setiap hari kau dapatkan pasir hangat seperti ini, sudah terhitung kau beruntung, meski amat minim air dalam pasir ini, tanpa dia kau takkan bisa hidup"
Memang tidak salah ucapannya, hari ketiga jangan kata air, pasir hangat seperti itupun tak berhasil mereka temukan, tenaga untuk berjalan pun sudah tiada, untunglah hari ke empat, Ciok Tho berhasil menemukan lagi. Pasir di sini lebih banyak mengandung air.
Berkata Ki Ping-yan menerangkan : "Ciok Tho menyelusuri jalur-lajur urat air bawah tanah baru berhasil menemukan yang ini, dilihat keadaan tempat ini, tak jauh dari sini tentu kita bisa menemukan sumber iar yang lebih besar."
Dengan badan lebih segar, mereka kerahkan tenaga dan menghimpun semangat bergerak maju lebih lanjut. Sekonyong-koyong dikejauhan sana mereka melihat pemandangan serba hijau, seperti permadani terbentang luas kehijauan itulah oase, tanah subur yang banyak air dan tetumbuhan yang hidup subur di gurun pasir.
Dengan sekuat tenaganya Oh Thi-hoa kucek-kucek matanya, katanya : "Apakah mata ku sudah lamur ?"
"Semoga ini bukan pandangan didalam khayalan kita." Coh Liu-hiang tertawa getir.
Setelah dekat, terdengar diantara pepohonan yang menghijau subur ditengah-tengah oase sana, kumandang gelak tawa orang-orang yang riang gembira. Tapi bagi seseorang yang baru saja lolos dari cengkeraman mara bahaya ditengah gurun pasir yang tak kenal kasihan ini, gelak tawa riang gembira itu kedengaran amat menusuk dan seram menakutkan.
Oh Thi-hoa dilliputi ketegangan pula katanya: "apa disinikah sarang rahasia Ciok-koan im"
Kecuali siluman jatah itu, siapa pula yang masih bisa begitu riang gembira ditengah gurun pasir yang tengah sengsara ini ?"
Ditunggu-tunggu tak terdapat reaksi teman-temannya, lalu ia menyambung perkataan sendiri:
"apalagi dua hari ini, dia tidak mencari kesulitan kita, bukan mustahil dia sudah memperhitungkan kita akan bisa menemukan tempat ini?"
Sekian lama Coh Liu-hiang tidak berkutik, tiba-tiba ia bangkit berdiri katanya :
"Kalian tunggu aku di sini biar kuperiksa keadaan di sana."
Oh Thi-hoa ikut berdiri serunya : "Aku ikut."
"Aai, ginkangmu lebih tinggi dari maling kampiun ?" olok Ki Ping-yang.
Oh Thi-hoa meloso duduk pula, mulutnya terkancing.
Bukan saja oase ini amat indah, ternyata cukup luas pula, ditengah gurun pasir yang serba buruk ini, mendadak muncul tempat seindah ini boleh dikata seperti dalam dongeng saja.
Ditangah rimbunnya dedaunan, sering terdengar tawa cekikikan medru bagai kelintingan.
Apa benar ini alam khayal didalam dongengan itu" atau alam iblis" dan yang tersembunyi didalam rumpun dedaunan itu, apakah bukan siluman perempuan yang suka memincut dan akhirnya memakan orang-orang pelancongan yang kesasar jalan"
Setelah menarik napas dengan hati-hati Coh Liu-hiang meluncur kesana walau ginkangnya sekarang jauh berkurang dari keadaan biasa, tapi tak perlu disangsikan masih termasuk tingkat tinggi jarang ditemukan tandingannya.
Dengan ringan seperti burung ia hinggap di puncak pohon. Dari sela-sela dedaunan yang rimbun ini, seketika ia melihat suatu pemandangan yang bisa bikin hati kebat-kebit, membuat orang linglung dan sukar dipercaya.
Disana terdapat dua empang besar kecil yang berair bening menghijau. Di sini empang yang rada besar ditempat yang rada jauh sana terdapat tiga bangunan kemah yang indah dan mewah, di depan kemah berdiri tegak beberapa Busu yang bersenjata tombak mengkilap berpakaian serba berkilauan pula. Sementara empang kecil itu dipagari beberapa lembaran kain sari sehingga keadaan di sini tertutup dan teraling tak kelihatan seorang gadis jelita berambut panjang sedang mandi di dalam empang.
Berat dan hampir berhenti napas Coh Liu-hiang. Dalam keadaan seperti ini, malah tiada seleranya menikmati kecantikan seorang gadis, tapi gadis telanjang dengan lekak-lekuk badannya yang berisi montok basah dengan hiasan butiran-butiran air dipaparkan di depan mata, mau tidak mau matanya jadi melotot dan tergerak hatinya.
Begitu indah tubuh semampai yang halus putih itu, di bawah pancaran sinar sang surya yang mulai terbenam di ufuk barat, mirip benar sebentuk patung dewi yang sempurna tiada cacatnya, butiran air yang berkilauan kekuningan, berderet di atas jidatnya yang bidang terus mengalir turun ke tengah dua bukit menonjol yang putih menyusul suara tawanya semerdu kicauan burung senyaring kelintingan, tak ubahnya laksana ratusan kuntum kembang mekar bersama.
Masih ada tiga empat gadis lainnya pula yang bersanggul berdiri berjajar di pinggir empang, ada yang membawa handuk, ada yang membawa kain sari panjang, ada pula yang membawa alat-alat mandi, mereka sama cekikikan riang gembira, mereka bersenda gurau saling mendulang air dicipratkan ke muka teman temannya.
Coh Liu-hiang yang baru saja keluar dari siksaan derita kekeringan di tengah padang pasir, perut kelaparan, mulut kekeringan badan terlalu letih, lolos dari mara bahaya lagi, mendadak terhadap adegan atau tontonan yang begini mengasyikkan, sungguh sukar dia percaya atas pandangannya sendiri bahwa dirinya sudah berada di kahyangan di sorga. Dalam keadaan seperti ini Coh Liu-hiang lupa akan tugasnya, lupa apa yang harus dia lakukan, lupa bahwa teman-temannya masih menunggu kabar di gurun pasir sana.
Semula raut muka gadis mandi itu tertuju ke arah sana, kini kerlingan matanya tiba tertuju ke arah tempat persembunyian Coh Liu-hiang, insaf bahwa jejaknya sudah diketahui oleh orang.
Gadis lain bila ketahuan ada orang apalagi laki-laki dewasa sedang mengintip dirinya sedang mandi, tentu menjerit dan lekas-lekas berusaha mengenakan pakaian, tapi gadis ini mengerling, lambat-lambat dia malah berdiri dan tegak laksana sekuntum kembang teratai yang baru saja mekar dan menongol dari permukaan air.
Muka Coh Liu-hiang serasa panas malah, sekilas ia melihat kesempurnaan seluruh badan si gadis yang semampai dan montok itu, lekas sekali orang sudah sembunyi dalam libatan kain sarinya yang panjang. Lalu memutar badan ke arah Coh Liu-hiang, katanya kalem: "Orang yang mengintip itu memangnya kau belum puas?" suaranya memang merdu dan halus mengalun, seperti kicauan burung kenari, cuma logat bicaranya kedengaran rada kaku dan sember, seperti gadis gunung yang baru saja belajar bahasa kota.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas dengan tertawa getir, dia lompat turun dari pucuk pohon, selama hidupnya, boleh dikata belum pernah dia mengalami keadaan serunyam seperti hari ini. Sungguh ia tidak suka kalau dirinya disangka dan dimaki sebagai pemuda pemogoran yang mata keranjang, lebih baik tak ia harapkan di dalam keadaan seperti ini dia harus menemui dan berhadapan dengan gadis jelita bagai bidadari ini. Tapi dia tak mungkin lari terpaksa ia keluar dengan mengeraskan kepala.
Dari atas ke bawah gadis ini mengamat-amati dirinya, sorot matanya yang semula ditandai kobaran api dalam hatinya, lambat laun seperti berubah menjadi tenang, katanya melompat kepada Coh Liu-hiang "Tidak kecil ya, nyalimu, tidak kau melarikan diri."
Coh Liu-hiang unjuk tawa getir, sahutnya :" meskipun cayhe tidak sengaja, tapi aku harus menyatakan penyesalan yang luar biasa, jikalau mau lari, masakah tidak memalukan ?"
Berkilat kerlingan mata si gadis, katanya: "Jadi kau mengakui salah dan kemari mau terima hukuman?"
"Ya begitulah " Coh Liu-hiang mengiakan. Terunjuk senyuman geli pada sorot mata si gadis, katanya pelan-pelan :" Kau berani mengakui kesalahan, memang tidak malu kau jadi laki-laki sejati, tapi tahukan kau dosa apa yang telah kau perbuat ?"
Coh Liu-hiang menghela nafas, katanya "seharusnya nonapun harus menutup sebelah sini dengan kain panjang itu."
Melotot lagi mata si gadis, semprotnya "kau mengintip aku mandi, memang masih menyalahkan diriku?"
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cayhe kemari tanpa sengaja, mana aku tahu bahwa di tempat ini ada gadis jelita sedang mandi?"
"Kalau kau tahu?"
"Kalau aku tahu di sini ada seorang gadis secantik nona sedang mandi di sini, tahu pula bila sebelah sini tidak tertutup dengan kain panjang"
"Memangnya kau tidak akan datang kemari?" tukas si gadis.
Coh Liu-hiang tertawa sahutnya: "seumpama kedua kaki ini putus, meski merambat akupun akan kemari dengan merangkak."
Jawaban ini seketika membuat si gadis menjublek. Laki-laki keparat, mana ada laki-laki yang punya muka begini tebal, tidak tahan malu dan punya nyali besar" Sungguh mimpipun tak pernah terpikir olehnya ada laki-laki yang berani bicara begitu dihadapannya.
Hatinya memang dongkol, tapi ia tak kuasa mengumbar amarahnya, ingin tertawa, tapi ia tahan-tahan. Sebaliknya gadis-gadis disampingnya tertawa cekikikan geli sambil mendekap mulut.
Setelah tertawa baru mereka sadar tidak pantas mereka tertawa. Serempak mereka menarik muka, dan melotot marah, dampratnya: "Laki-laki yang bernyali besar, berani kau bicara begituan terhadap Tuan Putri?"
"Tuan putri" panggilan ini sungguh membuat Coh Liu-hiang menjura, katanya: "Sebetulnya Cayhe tak perlu berkata demikian, tapi sebagai laki-laki sejati apalagi selama hidup aku tidak pernah berbohong!"
"Tak nyana diantara bangsa Han kalian ada juga laki-laki yang berani bicara sejujurnya, aku pernah dengar, ditempat kalian itu orang yang punya nyali bicara terus terang malah sering dipandang rendah dan hina oleh orang lain."
Diam-diam Coh Liu-hiang menarik napas, sudah tentu diapun tahu bahwa banyak manusia dalam dunia ini yang sering bermuka-muka dan bermulut manis, yang suka bohong dan mengelabui orang dengan lidahnya yang lihai, memang jarang ada orang yang suka menghargai orang yang mau bicara jujur dan terus terang, mereka memang sering dipandang sebagai Siau-jin
'orang kecil'. Tapi Coh Liu-hiang hanya tertawa tawar, katanya: "Jadi ditempat tuan putri ini, paling suka menghargai orang yang suka bicara jujur dan terus terang?"
"Ya, begitulah!" sahut tuan putri.
"Kalau demikian seharusnya tuan putri memaafkan kesalahanku yang tak disengaja ini."
Lama tuan putri ini menatap Coh Liu-hiang, tiba-tiba terkulum senyum mekar di wajahnya yang cantik rupawan ini, katanya : "Mungkin bukan saja aku menjatuhi hukuman kepadamu, malah kupandang kau sebagai tamu agung, tapi ini harus kulihat dulu, kecuali keberanianmu tadi, apakah kau memiliki suatu kepandaian yang lainnya?" lalu dengan jari tangannya yang halus dan bening ia membetulkan letak rambutnya, katanya sambil berputar badan :" Tadi karena kau tidak melarikan diri, sekarang bolehlah kau mengikut padaku?"
Didalam perkemahan yang indah dan megah ini, tak henti-hentinya terdengar irama musik dan gelak tawa yang riang gembira. Para busu yang berjaga di luar kemah justru melotot seperti mata elang mengawasi Coh Liu-hiang.
Saat mana tuan putri yang cantik molek ini sudah langsung beranjak ke dalam kemah dan sedang melambaikan tangan padanya.
Dengan tersenyum Coh Liu-hiang menepuk pundak kedua busu yang garang ini, dengan langkah lenggang kangkung ia beranjak masuk. Sejak tadi dalam hati diam-diam ia sudah persiapkan diri, betapapun bahaya yang menunggu dirinya didalam kemah ini dia tidak akan kaget dibuatnya, didalam gurun pasir yang kejam dan serba seram ini terhadap apapun yang bakal dihadapinya, dia sudah mempersiapkan diri untuk menerima segala akibat yang paling buruk.
Tapi didalam kemah ini, sedikitpun ia tidak mendapatkan tanda-tanda sesuatu yang melambangkan keganasan dan mara bahaya, bahwasanya didalam kemah ini boleh dikata sebagai tempat yang paling aman dan tak mengenal mara bahaya di seluruh dunia.
Di luar kemah terbentang tanah rerumputan yang menghijau elok dan empuk, didalam kemah sebaliknya justru dilapisi permadani yang puluhan kali lebih empuk dan puluhan kali lebih elok dari sesuatu yang empuk dan elok. Di atas permadani berjajar beberapa meja pendek, di atas meja ini bertumpuk berbagai macam buah-buah, arak dan sayur mayur yang serba lezat dan nikmat, beberapa orang yang mengenakan pakaian serba mewah perlente sedang riang gembira mengelilingi meja-meja pendek itu, makan dan minum sepuas-puasnya.
Yang kelihatan paling riang adalah seorang laki-laki jubah merah yang mengenakan topi kebesaran berkilauan, bermuka lebar cambang bauk lagi, dia duduk di atas kursi pendek yang tepat berada ditengah-tengah, tangan kiri memegang cangkir emas, sementara tangan kanan sedang memeluk pinggang seorang gadis cantik, serunya dengan tertawa riang :" Silahkan kalian lihat, Pipop kongcu 'tuan putri pipop' setelah mandi, bukankah lebih cantik molek?" sorot matanya berputar dan beralih kearah Coh Liu-hiang, katanya pula dengan tertawa :" Tapi putriku yang baik, siapa pula tamu yang kau bawa kemari ini" Kuingat disekitar sini sejauh ratusan li, tiada seorang laki-laki yang lebih tampan seperti dia?"
Pipop kongcu unjuk tawa manis, selincah burung walet ia menghampiri ayahnya dan duduk disampingnya dengan membungkukkan badan, dia berbisik-bisik dipinggir telinga ayahnya.
Mendengar entah apa yang dikatakan putrinya, laki-laki jubah merah itu manggut-manggut, sorot matanya tetap berputar-putar mengawasi Coh Liu-hiang, memang roman mukanya mengulum senyum mekar, tapi sorot matanya mengandung wibawa besar yang menundukkan hati orang lain.
Dengan tersenyum Coh Liu-hiang balas menatap orang, hatinya ikut riang, terasa olehnya arak di sini cukup wangi, sayur mayurnya lezat, gadis-gadis disinipun sama elok dan mungil, orang jubah merah ini kelihatannya pasti bukan orang jahat.
Sekonyong-konyong empat batang tombak gantolan tanpa suara menusuk datang dari belakang punggungnya. empat batang tombak gantol, dua di atas dan dua di bawah, masing-masing panjangnya dua tombak, bagi busu yang bersenjata tombak gantolan umumnya berkepandaian rendah, tapi bertenaga raksasa, tusukan tombak gantolan ini laksana ular beracun menerjang keluar dari sarangnya.
Seorang yang tiga hari tak pernah berkenalan dengan sebutir nasi dan minum setetes air, ingin berkelit dari bokongan keji dan telengas seperti ini boleh dikata tak mungkin terjadi, tragedi mengenaskan dengan banjir darah agaknya bakal terjadi, tapi orang-orang yang duduk berjajar makan minum itu, satupun tak ada yang melirik ke arah sini. Seolah-olah perduli kejadian apapun, takkan bikin hati mereka tertarik.
Hanya biji mata tuan putri Pipop saja terbelalak lebar, dengan jelas ia melihat keempat ujung tombak gantolan itu hampir sudah mengenai punggung Coh Liu-hiang, sedikitpun Coh Liu-hiang tidak memberikan reaksi apa-apa, serta merta sorot matanya mengunjuk rasa ngeri, gugup dan menyesal, tubuh yang semampai itupun bergegas hendak bangkit dan terhuyung.
"Creng," terdengar benturan senjata keras yang nyaring berkumandang menusuk telinga. Coh Liu-hiang tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeming, juga tidak berpaling, tapi entah apa yang terjadi, ke empat ujung tombak gantolan itu, tahu-tahu sudah terkempit di bawah ketiaknya. Ke empat busu itu sampai terperosok ke depan dan saling bertumbuk, saking kuat getarannya, tangan mereka tak bisa terangkat lagi.
Lima orang yang duduk makan minum di pinggir meja itu baru sekarang bersama angkat kepala mengawasi Coh Liu-hiang, sorot mata mereka menunjukkan rasa keheranan. Sementara laki-laki jubah merah itu sudah bertepuk tangan dan memuji : "Kepandaian bagus. Memang hebat kepandaianmu! Putriku memang tidak salah pandang."
Berkata Coh Liu-hiang dengan tawar : "Tapi Cayhe justru salah lihat orang, sungguh Cayhe tidak menduga bahwa tuan seorang yang pandai membokong orang lain."
Laki-laki jubah merah itu terbahak-bahak, serunya : "Jangan kau salahkan aku, kejadian itu tiada sangkut pautnya dengan aku," lalu ditariknya tangan tuan putri Pipop, sambungnya dengan tertawa : "Putriku inilah yang ingin mencoba kau, katanya asal kau bisa terhindar dari sergapan ini, kau adalah tamu agungnya."
Pipop kongcu tersenyum manis, selanya : "Bagaimanapun juga, kau sudah berhasil meluputkan diri, itu terhitung kau sebagai tamu agungku, seorang tamu tidak pantas marah kepada tuan rumah bukan?"
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya tertawa : "Memang Cayhe tidak patut marah."
Seorang laki-laki yang duduk di sebelah kiri berwajah pucat, berbaju hijau dan berhidung melengkung seperti paruh burung, tiba-tiba berkata dengan menjengek dingin : "Saudara hebat benar kepandaianmu. entah tokoh sakti darimana kau?"
Coh Liu-hiang mengelus hidung, sahutnya tertawa : "Cayhe Lau Hiang, tidak lebih hanya seorang keroco tak bernama."
"O......." Laki-laki baju hijau bersuara lesu, badannya kembali rebah, melirikpun tidak kepada Coh Liu-hiang. Memang nama 'Lau Hiang' biasa dan tabu, dia merasa tak perlu dirinya ikat hubungan atau berkenalan dengan orang yang tak bernama.
Tapi sejak tadi Pipop kongcu selalu mengawasi Coh Liu-hiang, kembali ia unjuk tawa manis dan berkata : "Kalau kau sudah diterima sebagai tamu agung disini, kenapa tidak mau duduk?"
"Kalau Cayhe berdiri, nyaliku rada besar," ujar Coh Liu-hiang tertawa.
Pipop kongcu cekikikan, katanya : "Jikalau tadi kau merasa kaget, bagaimana kalau sekarang kuberi sekedar hiburan?" lalu dia bersimpuh, seorang gadis sudah mengangsurkan sebuah rebab kepadanya, terus diletakkan di atas kedua pahanya, dimana jari-jarinya bergerak halus gemulai.
Seketika mengalun irama harpa nan merdu mengasyikkan, seperti dewi kahyangan sedang menari, laksana mutiara berdering di atas piring pualam. Seluas alam semesta di sekeliling oase ini tak terdengar suara apapun kecuali petikan lagu-lagu yang kumandang dari senar-senar rebab.
Sejak dinasti Tong, tak sedikit jumlah tokoh ahli seni musik yang suka menggunakan rebab lurus berdiri, kalau dipetik senarnya harus dipeluk didepan dada, lain justru cara Pipop kongcu ini memainkan rebabnya, orang justru merebahkan rebabnya di atas kedua lututnya, semula Coh Liu-hiang tidak mengharap bisa mendengarkan petikan lagu-lagu dari rebab yang mengasyikkan ini.
Saking asyiknya hampir saja dia kehilangan semangat, lupa lapar, lupa dahaga dan penat, lupa segalanya. Setelah irama rebab berhenti, dia masih terlongong tanpa bergerak.
"Bagaimana?" tanya Pipop kongcu tertawa lebar.
Coh Liu-hiang tersentak sadar oleh pertanyaan ini, katanya menghela napas : "Tak nyana di tanah gersang nan jauh ini, aku masih sempat mendengar suguhan yang luar biasa."
"Kenapa harus dibuat heran?" ujar laki-laki jubah merah, "Seni rebab memang berasal dari sini, terus diajarkan ke tanah bangsa Han kalian."
"O....?" Coh Liu-hiang bersuara dalam mulut.
Tanya laki-laki jubah merah : "Pernahkah dengar nama Soh-ci-po!"
Coh Liu-hiang mendadak maju selangkah dan berdiri tegak, katanya dengan hati bergetar :
"Apakah tuan ini Kui-je-ci-ong?"
Bersinar tajam mata laki-laki jubah merah, serunya sambil mengelus cambang bauknya :"
Akhirnya kau tahu juga siapa aku, sungguh aku nyana hari ini seni rebab yang asli kebentur kepada seorang ahli, mari, mari, mari biar ku suguh tiga cangkir kepadamu."
Sekonyong-konyong terdengar seseorang berkaok-kaok di luar: "Ulat busuk! Dimana kau?"
disusul suara bentakan dan caci maki yang riuh rendah, disusul suara jeritan kesakitan dan suara sesuatu yang tercebur ke dalam air. Coh Liu-hiang tahu pasti ada orang yang dibuang masuk ke dalam air oleh Oh Thi-hoa.
Laki-laki baju hijau bermuka pucat penyakitan itu mendadak bangkit, katanya mengerut alis :
"Siapa bernyali besar berani bertingkah di sini, biar kulihat."
"Sungguh maaf, itulah temanku," lekas Coh Liu-hiang berkata.
Dari atas ke bawah dan sebaliknya laki-laki baju hijau ini mengamati dirinya sekian lamanya, akhirnya pelan-pelan orang itu duduk kembali di tempatnya.
Kui-ji-ong tertawa pula katanya : "Keledai bagus takkan tercampur dengan kuda jelek, temanmu itu tentunya seorang seniman pula, silahkan mereka masuk saja!"
Sebaliknya Pipop kongcu tertawa sambil mendekap mulut, katanya : "Kelak kau harus beritahu padaku, kenapa orang lain panggil kau ulat busuk?"
Walau Oh Thi-hoa sudah melempar dua busu yang berpakaian lengkap itu ke dalam air, serta menghajar tiga orang lain sampai mata biru hidung keluar kecap, tapi hatinya masih merasa penasaran. Dia merasa kali ini Coh Liu-hiang terlalu tidak setia kawan. Seorang diri dia makan minum di sini, orang lain sebaliknya harus berjuang mengadu nasib, kuatir bagi keselamatannya lagi. Setelah beberapa cangkir arak masuk ke dalam perutnya, terhitung terlampias rasa dongkolnya, terutama dihadapi gadis cantik rupawan yang meladeni dirinya minum arak ini, begitu elok dan mungil sehingga dia merasa terlalu kasar bila mengumbar marah di sini.
Sekarang Coh Liu-hiang sudah tahu, orang-orang macam apa saja yang duduk berkerumun makan minum di sini, kelima orang ini adalah tokoh-tokoh yang cukup tenar dan dijunjung tinggi tingkatnya di kalangan kang ouw.
Tiga orang yang duduk disebelah kiri, kiranya adalah dua bersaudara dari keluarga Go Yu Hong-kiam yang kenamaan, seorang lagi adalah begal tunggal yang menggoyahkan daerah dua sungai gede Suicu Lin-che adanya.
Laki-laki baju hijau yang pucat pasi itu, namanya lebih tenar dan tingkatannya lebih tinggi, dia bukan lain adalah Sat-jiu-bu-ceng tangan gagah tak kenal kasihan Toh Hoan yang terkenal kejam dan suka membuat pusing kepala kawan-kawan dari aliran putih dan hitam. Rekor orang ini dalam membunuh, konon jarang ada bandingannya, orang lain pandang dirinya laksana ular dan kalajengking, dia sendiri merasa bangga dan pongah. Tapi setelah mengenal orang ini, mau tidak mau berkerut alis Coh Liu-hiang.
Cuma seorang lagi yang duduk disamping Toh Hoan bernama Ong Tiong, mukanya seperti berpenyakitan, tak punya semangat selalu lesu dan ngantuk, juga kelihatannya raut mukanya takkan mengejutkan orang, namanya pun tak begitu terkenal. Tapi Coh Liu-hiang justru merasa pandangannya rada lain terhadap orang ini.
Setelah satu persatu perkenalkan beberapa orang ini, Kui-je-ong angkat cangkir dan katanya pula: "Siau-ong tiada hobi apa-apa, selama hidupku cuma suka menjamu tamu, kelima orang ini adalah tamu agungku yang ku undang dari tempat jauh. Tentunya kalian bertiga pernah mendengar ketenaran nama mereka."
Oh Thi-hoa tertawa besar, katanya :" Ketenaran nama-nama saudara-saudara ini, memang sudah lama kudengar, silahkan ku suguh secangkir kepada kalian." Bahwasanya sedikitpun ia tidak kagum dan belum pernah mendengar nama mereka, tak lain dia hanya cari kesempatan untuk minum lebih banyak.
Kui-je-ong mengawasi Ki Ping-yan, katanya : "Sekarang hanya nama besar saudara saja yang belum kuketahui."
"Ki!" jawaban Ki Ping-yan cekak aos, kepalapun tak terangkat.
"Namamu?" tanya Kui-je-ong pula.
Kali ini Ki Ping-yan sepatah katapun tak menjawab, cuma dengan jari tangannya ia menulis dua huruf ditengah udara, seperti orang main sulapan saja, siapapun tak ada yang melihat jelas apa yang dia tulis.
Sela Oh Thi-hoa : "Kepandaiannya yang utama memang tutup mulut tak bicara."
Berkilat mata Kui-je-ong, tanyanya :
"Lalu tuan?" segera dengan tertawa ia menambahkan : "Selama hidup Siau-ong paling senang berkenalan dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tadi temanmu ini sudah mendemontrasikan kepandaiannya, jikalau tuan punya minat supaya mata Siau-ong terbuka, sungguh Siau-ong teramat girang."
"Cayhe sudah kenyang minum arak Ongya, adalah pantas kalau kutunjukkan permainan untuk menghibur Ongya. Cuma sayang kecuali minum arak, Cayhe hanya punya tenaga kasaran belaka."
Semakin girang Kui-je-ong, serunya bertepuk : "Bagus, bagus kiranya tuan seorang yang punya tenaga raksasa," lalu tapak tangannya bertepuk beberapa kali, dari belakang kemah segera muncul keluar seorang laki-laki besar berkepala gundul, telanjang badan bagian atasnya dan bercelana pendek ketat yang dihiasi sulaman benang emas.
Selama hidup tak sedikit Oh Thi-hoa pernah melihat laki-laki yang bertubuh tinggi kekar, dia sendiripun berperawakan besar, tapi dibanding dengan laki-laki itu, dirinya seperti anak kecil.
Kecuali patung tembaga didalam kuil, atau raksasa dalam dongeng bergambar yang membendung banjir, sungguh tak pernah terpikir olehnya, dalam dunia ini ada laki-laki raksasa seperti ini gedenya.
Kui-je-ong tertawa, ia memperkenalkan: "Inilah laki-laki kasar dari negeri kami Gunial, bawaannya hanya tenaga kerbau yang kasaran, kuharap kau suka menaruh belas kasihan, memberi kelonggaran kepadanya."
Mengawasi sekujur badan laki-laki raksasa yang bernama Gunial dengan daging ototnya yang meringkel keras seperti dibuat dari besi baja ini, diam-diam dingin bulu kuduk Oh Thi-hoa, katanya keras: "Apa Ongya ingin supaya aku adu tenaga dengan dia?"
Kui je-ong manggut sambil tersenyum, lalu bicara beberapa patah dengan bahasa negri mereka kepada Gunial, laki-laki raksasa ini lantas unjuk seringai lebar kepada Oh Thia-hoa dengan langkah berat, lekas dia datang menghampiri.
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya kepada Coh Liu-hiang: "Tahu begini, lebih baik aku tidak minum arak saja." belum habis ia bicara tapak tangan laki-laki raksasa segede kipas itu, sudah terjulur kepadanya. Tak tahan geli Toh Hoan terpingkal-pingkal di pinggiran sana. Setiap kali melihat orang lain dihajar dan tersiksa, dia mata senang dan terbuka hatinya, lain-lain hadirinpun jadi ketarik. Cuma Ki Ping-yan sejak tadi sibuk gegares hidangan dihadapannya. Cara makannya cukup sopan, kalem dan lahap, tapi sejak duduk tadi sampai sekarang mulutnya belum berhenti bekerja.
Tampak seperti burung elang menggondol anak ayam saja, laki-laki raksasa ini menarik Oh Thi-hoa dari tempat duduknya, tangan kiri Oh Thi-hoa masih sibuk menuang arak ke dalam mulutnya, mulut menggumam: "Kalau kalian ingin aku konyol, biarlah aku menarik kembali modalku sekalian!"
Tatkala itu Ganial sudah menurunkan badannya, kedua tapak tangan orang segede kipas itu pegangi kedua pundaknya terus menekan ke bawah. Orang lain mengira seumpama tulang-tulang Oh Thi-hoa tidak tertekan sampai remuk, paling tidak badannya bakal digencet menjadi pendek, maka terdengarlah "Blang" disusul suara gaduh gedobrakan dan "Bluk", itulah suara seseorang yang terbanting roboh diatas tanah. Suara gaduh adalah pecah belah dan meja yang tertindih hancur berantakan. Tapi yang roboh bukan Oh Thi-hoa tapi sebaliknya laki-laki raksasa itu sendiri.
Ternyata waktu orang kerahkan tenaga menindih ke bawah, tahu-tahu ia menekan tempat kosong, badan Oh Thi-hoa selicin belut selincah kera, tahu-tahu membelesat ke belakang badan orang, sekali dorong seperti tangannya hanya menempel punggung orang saja, laki-laki raksasa seberat tiga ratusan kati ini kontan terjungkal roboh terjerembab, sampai cangkir di atas meja di depan Kui-je-ong mencelat jatuh.
Sudah tentu bukan Oh Thi-hoa yang berhasil mendorong roboh lawannya, adalah tenaga laki-laki raksasa ini sendiri yang merobohkan diri sendiri, tidak lebih Oh Thi-hoa hanya sedikit mendorong saja. Penggunaan tenaga secara tepat dan kebetulan, dinamakan Su-liang-poa-jian-ki,
'empat tahil punahkan tenaga ribuan kati', kalau dikatakan memang amat gampang, tapi dalam pelaksanaannya justru tidak boleh berlaku lambat-lambat atau ayal, penggunaan tenagapun harus pas-pasan dan telak lagi demikian juga waktunya harus tepat dan persis.
Maklum bila Oh Thi-hoa menyingkir terlalu cepat, kekuatan si raksasa tidak akan menindih ke bawah, Oh Thi-hoa pun takkan berhasil mendorongnya roboh dari belakang. Sebaliknya kalau Oh Thi-hoa sedikit terlambat menyingkir, selamanya jangan harap dia akan bisa kelayapan dengan jalan kaki, apakah dia masih bisa merangkak" Itu tergantung nasibnya sendiri.
Mendelong Kui je-ong, menarik putrinya dia bertanya berbisik: "Apakah itupun kepandaian asli?"
Pipop kongcu tertawa berseri sahutnya: "Tipu yang bisa bikin Ganial roboh, mana bisa bukan kepandaian asli?"
Kui-je-ong segera tepuk tangan sambil tertawa ngakak serunya: "Pahlawan. Sungguh perkasa.
Biar Siau-ong suguh secawan kepadamu."
"Secawan?" seru Oh Thi-hoa menyeringai.
"Masa tidak patut mendapat tiga cawan?" dengan langkah gontai ia datang menghampiri, sedikitpun tidak disadarinya bahwa laki-laki raksasa tadi sudah merangkak berdiri, orang sudah memburu tiba di belakangnya, baru saja Oh Thi-hoa menerima secawan arak dari tangan Kui je-ong sekali cengkaram Ganial sudah pegang ikat pinggangnya seluruh badannya ia jinjing gemandul ditengah udara.
Mata Kui-je-ong mendelik lempang, teriaknya, "Arak itu amat bagus anugrah Ongya, kau banting hancur badanku tidak menjadi soal jangan sekali-kali kau bikin arak ini tumpah lho!"
Dengan pongah kesenangan, laki-laki raksasa menjinjing badannya tinggi-tinggi sambil berjalan putar dua lingkaran, bukan saja dia tidak tergesa-gesa, Coh-Liu hiang, Ki Ping-yang kelihatan adem-ayem.
Bersinar biji mata San-jiu bu-ceng Tong Hoan katanya sambil menghela napas: "Banting!
Banting yang keras, sampai hancur lebur tak menjadi soal!"
Bukan saja hobi membunuh manusia sudah menjadi watak orang ini, melihat orang membunuh jiwa orang lainpun, dianggapnya sebagai tontonan yang menarik.
Setiba dihadapan Kui-je-ong, laki-laki raksasa tiba-tiba menggembor laksana singa mengaum badan Oh Thi-hoa diangkat lebih tinggi sedikit terus dibanting sekenanya kearah tanah didepannya, lekas Kui je-ong menutup kedua kuping seta pejamkan mata, jeritnya: "Ringan sedikit!
Jangan sampai menakutkan hatiku."
Dia kira seumpama Oh Thi-hoa kali ini tidak dibanting sampai hancur lebur, tulang-tulang badannya pastilah protol, seluruhnya mungkin pula batok kepalanyapun remuk. Maka terdengar pula sekali jeritan keras disusul suara gedebukan yang menggetarkan bumi.
Batok kepala Oh Thi-hoa bukan saja masih tumbuh segar bugar di atas lehernya, tulang-tulang tubuhpun tidak protol, orang berdiri tegak di tempatnya tetap utuh dan tersenyum senang, arak dalam cawan dipegangi sejak tadi setetespun tiada yang tercecer keluar.
Sebaliknya laki-laki raksasa itu kembali roboh dan rebah tengkurap, bergerakpun tak bisa lagi.
Seperti tak pernah terjadi apa-apa. Oh Thi-hoa melirikpun tidak kepada orang, katanya berseri tawa: "Secawan arak ini, sekarang barulah bisa kuhirup dengan nikmatnya" cawan diangkat arakpun ditenggak sekali jadi lalu katanya menghela napas: "Memang arak bagus, sayang terlalu sedikit."
Dengan mata mendelik Kui-je-ong berkata berbisik: "Apakah yang terjadi" Apakah kesatria ini bisa main sulapan?"
"Ini bukan sulapan, inipun kepandaian sejati." sahut Pipop-kongcu.
"Kepandaian apakah itu?"
"Tadi waktu Ganial kerahkan tenaga hendak membanting, kesatria ini lantas mengoprol di pergelangan tangannya, kekuatannya seketika sirna tak berbekas, dengan ringan kesatria ini lantas melompat turun, melejit ke belakangnya cuma sedikit sorong cara turun tangan kesatria ini memang teramat cepat dan mengejutkan oleh karena itu orang lain hakikatnya tidak menlihat jelas cara bagaimana Ganial kena dirobohkan oleh dia." tutur katanya lincah enteng, cepat dan menarik, bukan saja Coh Liu-hiang, Ki Ping-yan sedang sama memperhatikan dia, Oh Thi-hoa pun datang menghampiri katanya sambil menghormat: "Terima kasih akan pujian tuan putri, tajam benar pandangan mata tuan putri!"
Kui-je-ong menarik tangan Pipop-Kongcu, serunya tertawa besar: "Kalau kau sudah melihat kehebatannya, kenapa tidak kau hatur secangkir arak kepadanya."
Pipop-kongcu tersenyum dengan menggigit bibir, segera ia menuang secangkir arak terus diangsurkan ke depan Oh Thi-hoa, hampir saja mulut Oh Thi-hoa tak bisa terkatup saking kesenangan, serunya: "Tuan putri memberi arak jangan kata cuma secangkir, umpama segentong pun, sekaligus akan kuhabiskan."
Baru saja ia ulur tangan hendak menerima cangkir arak itu, sekonyong-konyong seseorang menjengek dingin: "Arak secangkir itu Cahye pun ingin meminumnya." ditengah suara ucapannya, seseorang melangkah maju pelan-pelan, ternyata Sat ju-bu-ceng Toh Hoan itu.
Oh Thi-hoa awasi orang, katanya tertawa: "Jikalau kau ingin minum arak, disana masih banyak."
Toh Hoan menyeringai sinis, katanya: "Arak yang ingin Cayhe minum adalah secangkir itu saja."
Oh Thi-hoa tertegun, katanya: "Apakah secangkir arak itu terlalu wangi?"
"Benar, arak yang dituang oleh jari-jari tuan putri sudah tentu amat wangi."
Sesaat lamanya Oh Thi-hoa mengamat-amati muka orang katanya geli: "Aku paham sudah, kau bukan ingin minum arak, tujuanmu ingin mencari gara-gara dengan orang lain."
Toh Hoan mengawasinya dengan menyeringai dian, orang tidak mengiakan juga tiak mungkir.
"Kalau kami berdua sama-sama ingin minum secangkir arak ini, bagaimana menurut kau?"
"Jikalau kau bisa membuatku tersengkelit jatuh, bukan saja aku tidak akan minum arak itu malah aku berlutut dan memanggilmu Cocong 'kakek moyang' tiga kali. Kalau sebaliknya, kau harus memanggil kakek tiga kali"
Oh Thi-hoa menarik napas, katanya seperti menggumam: "Kenapa orang lain minum arak dengan ongkang-ongkang aku ingin minum harus dirintangi dan mendapat kesukaran malah.
Baiklah! Boleh kami coba-coba cuma, orang segede dan setua kau ini kalau sampai memanggilku Cocong, aku jadi rikuh dan risi!"
Suasana dalam perkemahan itu sontak menjadi tegang, sudah tentu jauh lebih tegang dari keadaan pertandingan Oh Thi-hoa melawan Ganial tadi, karena semua hadirin tahu ditengah-tengah kedua alis Toh Hoan sudah diliputi hawa hitam, napsu membunuh sudah mengkhayati hatinya. Semua hadirin tahu, pertandingan kali ini bukan adu kekuatan main-main saja, tapi adu kekuatan dengan pertaruhan jiwa.
Dengan berbisik berkata Ki Ping-yan kepada Coh Liu-hiang: "Sudah lama kudengar Sat jiu-bu-ceng Toh Hoan ini terlalu kejam dan bertangan gapah, wataknyapun terlalu licik dan telengas, lebih baik kau sedikit memberi bantuan kepada Oh Thi-hoa."
"Tak apa-apa", sahut Coh Liu-hiang. "setan arak ini belakangan memang sedang tenggelam dalam gentong arak, tapi kepandaiannya tidak pernah dilalaikan."
Tampak Toh Hoan berdiri sambil menggendong kedua tangan, tegak berdiri di sana dengan acuh tak acuh, tapi seperti menantang, raut mukanya membesi hijau, matanya menyorotkan sinar hijau berkilauan menatap Oh Thi-hoa, jengeknya dingin: "Biar aku berdiri disini tanpa bergerak, masakan tuan tak berani kemari?"
Oh Thi-hoa cengar-cengir, ujarnya: "Kau ingin cara bagaimana aku menyengkelit kau" Kau ingin terjengkang ke depan" Atau terlentang ke belakang?"
"Umpama kau mampu bikin badanku terbungkuk sedikit saja, anggap saja kau yang menang."
"Masa kau tak membalas?"
"Ingin kulihat mampukah kau menjegalku roboh, bukan maksudku menjegal kau."
"Baik, begitu saja!" dengan kalem selangkah demi selangkah ia maju menghampiri. Yu-liong kiam bersaudara dari keluarga Go, Sutou Liu-che dan lain-lain sama mengunjuk belas kasihan dan sayang, mereka seperti berpendapat begitu Oh Thi-hoa maju menghampiri, jiwanya bakal tamat dikerjai oleh Toh Hoan, hanya Ong Tiong saja tetap bersikap acuh tak acuh dan tak bersemangat.
Membuka matapun rasanya malas.
Sembari menghampiri, mulut Oh Thi-hoa menggerutu: "Awak sendiri tak bergerak terserah lawan menjegalnya sampai roboh sesuka orang, begini menguntungkan, sungguh jarang kutemui dalam dunia ini, agaknya arak ini jelas bakal jadi milikku."
Setelah lengan baju dicincang, tangannya segera terulur meraba pundak Toh Hoan, gaya dan kelakuannya ini mirip benar dengan Ganial waktu menekan dirinya tadi, cuma badannya tidak segede Ganial, kedua tangan tidak mampu menindih ke bawah, terpaksa hanya mendorong ke belakang, dengan kedua tangan mendorong ke depan berarti dadanya terbuka lebar.
Tiba-tiba ujung mulut Toh Hoan menyeringai sadis, katanya: "Locu tak bergerak biar kau dorong, mana ada urusan begitu sepele dan menguntungkan dalam dunia ini, bukankah kau sedang ber..." waktu melontarkan kata-kata pertama, tangan kanannya tahu-tahu sudah terulur ke depan segesit ular sanca, langsung menjojoh kepada Oh Thi-hoa yang terbuka lebar, ditengah cahaya pelita yang terang benderang, semua orang melihat jelas jari-jari tangannya berkilauan hitam.
Ternyata kelima jarinya masing-masing mengenakan lima buah cincin hitam yang mengkilap, dilihat dari cahaya hitam mengkilap yang jelek itu, terang cincin-cincin baja itu telah dilumuri racun yang teramat jahat dan membunuh jiwa orang seketika.
Caranya turun tangan ternyata amat cepat dan keji, bukan saja dada Oh Thi-hoa terbuka lebar, malah seluruh badannya seolah-olah berada didalam pelukan orang, mandah dihajar orang tanpa bisa berbuat apa-apa.
Pengalaman tempur Yu liong-kiam, Sutou Liu-che sebagai tokoh-tokoh Bulim cukup luas kini mereka berpendapat Oh Thi-hoa sekali-kali takkan selamat lagi jiwanya.
Coh Liu-hiang sendiripun tak urung menjerit: "Awas tangannya."
Dalam sekejap itulah, tampak kedua tangan Oh Thi-hoa yang memegang kedua pundak Toh Hoan, secepat kilat tiba-tiba menepuk ke tengah, "plak" seperti menepuk lalat terbang tangan Tong Hoan mirip lalat itu, dengan telak pergelangan tangannya tergencet kencang oleh tapak tangan Oh Thi-hoa, sedikitpun tak mampu bergeming.
Mulut Toh Hoan sendiri sedang berkata "bukankah sedang ber" dan belum lagi sempat mengucapkan kata-kata "mimpi", maka terdengarlah suara 'krak' yang keras, pergelangan tangannya tahu-tahu sudah tergencet remuk dan putus.
Selincah capung badan Oh Thi-hoa tahu-tahu sudah melayang mundur, katanya tertawa:
"Kukira tangannya ini sudah terlalu letih kebanyakan membunuh orang, biarlah dia istirahat selamanya saja."
Toh Hoan kertak gigi, sedikitpun tak mengeluarkan keluhan, tapi mukanya pucat lesi, badannya terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh semaput.
Semua hadirin dalam perkemahan tiada seorangpun yang tak kaget dan melongo heran, baru sekarang mereka tahu bahwa ilmu silat Oh Thi-hoa ternyata teramat tinggi, tiada seorangpun yang melihat jelas barusan cara bagaimana orang bertindak, dua bersaudara dari keluarga Go memang melihat tangannya bergerak, tapi mereka tidak bisa membedakan ilmu apa dan dari aliran mana kepandaian orang, begitu telak dan hebat lagi.
Ong Tiong yang sejak tadi bermalas-malasan tapi kini tiba-tiba menggeliat terus bangun berdiri, serunya dengan mata terbuka lebar: "Jurus Tiap siang-hui yang bagus sekali, apakah tuan ini Hoa ou-tiap 'Kupu kembang' yang sepuluh tahun lalu terkenal bersama si Maling Kampiun Coh Liu-hiang dengan julukan "Siau-siang to-hiap" itu"
Sekilas Oh Thi-hoa melengak, sesaat ia tatap muka orang, katanya tertawa : "Kupu-kupu kembang itu sudah tenggelam dalam gentong arak selama sepuluh tahun, ternyata tuan masih tetap mengenalnya."
Kata-kata ini sekaligus sebagai jawaban pula, keruan Go keh-heng-te dan Sutou Liu-che sama terbelalak dan menciut hatinya. Sebaliknya Ong Tiong menghela napas, katanya tertawa kecut:
"Oh Thi hoa... Hoa-ou-tiap... sejak tadi seharusnya Cahye sudah mengenali kau."
"Tapi sampai detik ini aku sebaliknya belum kenal siapakah sebetulnya kau ini?"
Ong Tiong mandah tertawa-tawa, kelihatannya tertawa sedih dan pilu, katanya:
"Nama rendahku tak perlu kusebut-sebut, cuma..." kini matanya menatap kepada Coh Liu-hiang, katanya lebih lanjut: "Kalau tuan ini adalah si Maling Kampiun yang menggetarkan dunia itu, Cahye sungguh punya mata tak tahu gunung Thaysan di depan mata."
Hadirin kembali ribut dan bergetar sanubarinya lebih kaget dari tadi.
Coh Liu-hiang cuma tersenyum ewa saja, katanya: "Apakah yang berada disamping Kupu kembang, selalu pasti Coh Liu-hiang si Maling Kampiun itu?"
Bercahaya sorot mata Ong Tiong, katanya: "Meskipun pengetahuan Cayhe amat cetek, tetapi aku tahu belibis dan kupu sebagai sepasang sayap pembantu, bau kembang harum memenuhi dunia. Dulu disamping kiri Coh Liu-hiang ada Hwi-yan "Ki Ping-yan", sebelah kanan ada jay-tiap
'Oh Thi-hoa' malang melintang hina kelana..." mendadak ia tertawa lebar dan mengganti pembicaraannya: "Tapi ucapan tuan memang tidak salah, ketiga orang ini kini sudah berpisah menuju arahnya masing-masing, sudah tentu belum tentu tuan Coh Liu-hiang adanya, demikian pula tuan yang ini belum tentu Kian sian-sing Ki Ping-yan adanya."
"Tak kira tuan amat apal dan tahu benar tentang seluk beluk mereka bertiga, apakah tuan kenal satu diantara ketiga orang itu?" tanya Coh Liu-hiang.
Ong Tiong menghela napas, katanya tertawa getir: "Bajingan Kang-ouw seperti aku mana ada rejeki bisa bertemu dengan naga dan burung hong?"
Selama ini biji mata Kui-je-ong berputar dari satu kemuka orang yang lain, kupingnya pun dengan seksama mendengar percakapan mereka, kini mendadak ia bergelak tertawa, serunya:
"Perduli siapa sebetulnya tuan-tuan ini, kepandaian kalian sudah Siau-ong saksikan dan memang mengagumkan, hari ini Siau-ong bisa berkumpul sama tuan sekalian disini, mari Siau-ong keringkan dulu tiga cangkir sebagai selamat datang."
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya: "Tapi arak pemberian tuan putri, Cayhe harus menenggaknya dulu baru merasa lega."
Pipop-kongku tertawa lebar, belum lagi ia bicara, tiba-tiba terlihat seorang busu berseragam lengkap buru-buru berlari masuk langsung ke samping Kui-je-ong dan menunduk berbisik beberapa patah kata.
Bukan saja sikap Busu ini tergopoh-gopoh, malah tatakrama menghadapi junjunganpun sudah dilupakan sama sekali, setelah mendengar laporan Busu ini, tampak roman muka Kui-je-ong berubah.
Ki Ping-yan batuk-batuk kering, mendadak ia berdiri sambil berkata: "Cayhe beramai dalam perjalanan yang meletihkan beberapa hari daging dan arak sudah masuk perut, matapun sudah terbuka lagi, entah sudikah Ongya meminjamkan tempat istirahat, supaya kami bertiga sempat tidur melepaskan lelah?"
Kui-je-ong kembali kemimik semula, katanya tertawa: "Sudah tentu boleh, umpama kalian bertiga hendak segera berangkat, Siau ong akan berusaha menahan kalian tinggal beberapa lama di sini." bukan saja tawanya tawa paksaan, suaranyapun gemetar dan maksud kata-katanya mengandung arti yang mendalam.
Dalam perkemahan lainnya yang tak kalah megahnya, Oh Thi-hoa sendang memegangi sebuah cangkir arak, kaki tangannya terjulur rebah di atas kulit binatang yang empuk, katanya setelah menghela napas panjang: "Urusan dunia ini memang amat aneh, kemarin malam seperti anjing meringkel di dalam galian pasir yang dingin dan lembab, malam ini kami sudah menjadi malaikat."
Ki Ping-yan menanggapi dengan dingin: "Kau kira tempat ini amat nyaman?"
"Kau bisa menemukan tempat yang lebih nyaman dari ini, aku kagum kepadamu."
"Dalam pandanganku bukan saja tempat ini tidak nyaman, malah diliputi kesulitan."
Oh Thi-hoa bergegas bangun, katanya mendelik: "Ada kesulitan apa?"
"Katakan dulu, kenapa Kui-ji-ong tak berada di negeri sendiri, hidup senang foya-foya didalam istananya, malah membawa sedemikian banyak pengikutnya menyepi ditempat belukar yang hanya seluas beberapa li ini?"
Oh Thi-hoa melongo sahutnya: "Mungkin orang keluar bertamasya."
"Sebagai raja dari suatu negeri, tindak tanduknya malah boleh sembarangan?"
Oh Thi-hoa mengelus hidung, katanya: "Seumpama dalam hal ini ada sesuatu yang tidak beres, apa pula hubungannya dengan kita?"
"Kutanya kau lagi, walau Kui-je-ong sebuah negeri kecil yang terpencil tapi sebagai seorang raja yang berkuasa, kedudukannya tinggi dan agung, sebaliknya Kui-je-ong ini suka bergaul dengan kaum persilatan yang kasar, kenapa?"
"Benar memang suatu hal, yang aneh dengan berbagai cara dan usaha dia mengambil kawanan persilatan dari tempat-tempat yang jauh malah tidak perduli asal-usul dan tingkat kedudukan mereka perduli mereka dari golongan hitam atau aliran putih cukup asal berilmu tinggi, sebetulnya apa tujuannya" Apa pula yang dia inginkan dari orang-orang itu?"
"Hal ini gampang dimengerti" sela Coh Liu-hiang, "Kui-je-ong yang satu ini, terang dalam pelarian, kesulitannya bukan mustahil hanya kaum persilatan saja yang mampu mengatasi."
"Dia suka menerima kita tujuannya supaya kita suka bantu dia?" seru Oh Thi-hoa.
"Memangnya kenapa pula, kulihat dia orang baik-baik tidak gagah-gagahan main gila sebagai raja agung, dia menghadapi kesulitan kita lantas membantunya, tiada halangan bukan?"
"Agaknya kau memang seorang satria yang suka menolong kesulitan orang lain, sayang kita sendiri sekarang tidak sempat mengurus persoalan sendiri, mana ada tenaga bantu orang lain."
"Tapi memangnya kita gegares makanan orang secara gratis saja?"
"Kau jangan lupa, Ciok-koan im pun pernah menyuguh sewajan daging rebus kepada kita."
Menyinggung Ciok-koan im, selera minum Oh Thi-hoa seketika lenyap, badannya menjadi panas dingin, setelah melongo sekian lamanya tak tahan ia berkata pula: "Menurut pendapatmu bagaimana harus bertindak?"
"Kita istirahat satu jam saja terus berangkat, sebelum pergi sudah tentu harus isi air dan arak sepenuhnya, kukira para Busu dari Tiong toh itupun takkan bisa menghalangi kita.
"Bocah keparat!" maki Oh Thi-hoa, orang pandang kau sebagai tamu agung, kau malah hendak jadi maling kecil.
"Maling kecil yang hidup, kukira lebih baik dari tamu agung yang konyol."
Terpancing pula mulut Oh Thi-hoa, kembali ia melongo sekian lama baru menghela napas, katanya: "Kalau berdebat aku selalu kalah, memang kita kemari bukan ingin menjadi tamu agung mereka."
"Tapi kita tidak boleh pergi begini saja", sela Coh Liu-hiang tiba-tiba.
Seketika Oh Thi-hoa berjingkrak kegirangan sambil bersorak, Ki Ping-yan malah mengerut kening, "Kenapa?" tanyanya.
"Kita hendak cari Ciok Koan-im, terpaksa disinilah pangkalan kita sementara." biasanya Coh Liu-hoang tidak sembarangan bicara, maka kata-katanya ini seketika membuat rona muka Ki Ping-yan berubah. Oh Thi-hoa sebaliknya tertawa semakin riang. Teriaknya tertahan.
"Apakah Ciok Koan-im juga berada di sini?"
"Dia sendiri memang tiada, tapi anak buahnya, jelas tentu sudah menyelundup kemari."
"Dari mana kau bisa tahu ?"
"Tahukah kalian kemana sebetulnya Peng Koh Chit-hou hendak mengantar Ki Loh cising itu ?"
"apakah hendak diantar kemari ?"
"Tidak Salah !"
"Dari mana kau bisa tahu ?" tanya Ki Ping-yan.
Tadi waktu busu berseragam lari masuk memberi laporan memang suaranya lirih tapi aku dapat dengar dia mengatakan beberapa patah kata.
"Apa yang dia katakan " tanya Ki Ping-yan pula.
"Meski dia bicara dengan bahasa negeri Kui-je, tapi waktu menyebut nama seseorang menggunakan bahasa Han, yang dia katakan ternyata adalah Peng It-hou., Ciok Koan-im.., Ki Loh si-cing, setelah mendengar laporan berubah roman muka Kui je-ong..."
"Oleh karena itu" Coh Liu-hiang melanjutkan penuturannya, "Kupikir Ki Lo si-cing tentu ada sangkut paut yang amat erat dengan Kiu je-ong, musuh Kui je-ong bukan mustahil adalah Ciok Koan-im pula."
Oh Thi-hoa menepuk paha serunya :
"Bagus sekali! Jikalau diapun lawan Ciok Koan-im, kita bantu kesulitannya, berarti bantu kesulitan sendiri, sekali tepak dua lalat, bukankah amat menguntungkan.
"Apalagi dengan tinggal di sini, gerak-gerik kita jauh lebih leluasa, bukan saja bekerja sambil menunggu kesempatan dan menghimpun tenaga, menunggu kedatangan Ciok Koan-im saja dalam jangka waktu itu kita tak perlu susah-susah pikirkan makan dan minum.
Ki Ping-yang menepekur sekian lama, katanya pelan-pelan :
"Bila Ciok KOan-im benar-benar bermusuhan dengan Kui Je-ong sudah terang dia kirim anak buahnya menyelundup ketempat ini, tapi jelas tidak mungkin adalah dua saudara dari keluarga Go dan Sutou Liu Che dan lain-lain.
"Kenapa kau berkesimpulan demikian?" tanya Oh Thi-hoa.
"Karena orang luar selalu mendapat perhatian penuh, tapi m usuh dalam selimut sudah diketahui, apalagi Sutou Siu che dan lain-lain adalah orang-orang undangan Ku Je-ong dari tionggoan !"
"Diantara mereka hanya Ong Tiong yang rada mencurigakan. "Ki Ping-yan utarakan pendapatnya.
"Benar! Kulihat Ong Tiong bukan nama aslinya." timbrung Oh Thi-hoa.
"Bukan saja tindak tanduk orang ini rada tersembunyi ilmu silatnyapun disembunyikan, tiada yang tahu sempai dimana tingkat kepandaiannya begitu rapat dia menyembunyikan asal sendiri, tentu mempunyai tujuan yang tersembunyi pula.
Coh Liu-hiang tertawa pula, katanya :
"Menurut pendapatku, diantara mereka orang inikah yang berkepandaian paling tinggi ?"
Masakan rekaanku meleset " Tanya Ki Ping-yang.
"Kukira bukan dia"
"Siapa maksudmu ?"
"Pipop-kongcu"
Kembali Oh Thi-hoa tepuk pahanya, serunya : "Benar ! jikalau dia tidak pandai main silat tak mungkin mempunyai pandangan begitu tajam." Malah dia lebih tersembunyi dan tidak menunjukkan tanda-tanda dirinya dari pada Ong Tiang, lahirnya kelihatan sebagai gadis lemah, jikalau lwekangnya tidak mempunyai latihan yang sudah mendalam mana mungkin dia bisa kendalikan hawa murninya sampai tak terasa oleh orang luar?"
Menatap langit-langit perkemahan, tiba-tiba Oh thi-hoa tertawa, gumamnya :
"Tuan dari suatu kerajaan kecil di luar perbatasan, ternyata seorang tokoh silat yang tersembunyi sungguh suatu hal yang menarik, sungguh menarik!" sekali tenggak ia habiskan araknya.
Sekonyong-konyong terdengar seseorang batuk-batuk kering diluar kemah, dengan tertawa seseorang berkata :
"Apa kalian belum tidur " Cayhe sengaja datang bertandang."
Yang datang ternyata adalah Ceng Thian Kian Khek Bo Ceng-thian tertua dari Go si siang hiap yang terkenal di kalangan Kangouw dengan enam puluh empat jurus Ya Hong-kiam hoat.
Dengan tertawa tertawa lebar berulang kali orang memohon maaf akan kedatangannya yang mengganggu, Coh Liu-hiang bertiga tak habis heran dan tak tahu maksud kedatangan orang, maka berkatalah ahli pedang yang kenamaan ini dengan tertawa :
"Tentang kedatangan Cayhe, tentunya kalian bertiga takkan pernah menduganya."
"terus terang, kami memang sedang menebak-nebak." sahut Oh thi-hoa.
"Sebetulnya Cayhepun mendapat pesan orang lain untuk datang kemari!" Kata Go Ceng-thian tertawa.
"Mendapat pesan orang lain" siapa yang suruh kau kemari " untuk keperluan apa?" tanya Oh Thi-hoa.
Sengaja Go Ceng-thian tertawa penuh arti, katanya :
"Mendapat pesan Kui Je-ong, untuk melamar kepada kalian bertiga."
"Apa melamar ?" teriak Ki Ping-yan melongo, hampir ia tak percaya akan pendengaran kupingnya. Oh thi-hoa malah terpingkal-pingkal sambil memeluk perut, serunya :
"Ongya yang satu ini memang jenaka sekali, memangnya dia ingin supaya kami bertiga menjadi menantunya ?"
"Lamaran ini sudah tentu hanya ditujukan seorang diantara kalian bertiga, malah inipun bukan maksud Ongya sendiri, adalah setelah sekali beradu pandang, tuan puteri lantas jatuh hati, dan taksir kepadanya."
Mendengar kata-kata ini, Ki Ping-yan segera menyingkir duduk ke pinggir, dia tahu tuan putri itu terang takkan penujui dirinya, Oh Thi-hoa sebaliknya mulai tegang urat syarafnya.
Lahirnya Coh Liu-hiang tetap bersikap tenang dan adem-ayem, sorot matanya malah bercahaya, tapi hatinyapun berdebar tegang, dari samping Ki Ping-yan saksikan sikap lucu kedua temannya ini, dalam harinya ia tertawa geli.
Bersambung ke Jilid 17
Jilid 17 Akhirnya Oh Thi-hoa tak sabar lagi, tanyanya : "Entah tuan putri sebetulnya kepincut pada siapa?" waktu bicara terasa tenggorokannya menjadi kering, bukan lantaran dia ingin menjadi menantu raja, tapi dia merasa bila yang dipenujui tuan putri bukan dirinya, sungguh suatu hal yang memalukan.
Dilihatnya Go Ceng-thian tertawa-tawa mengawasi dirinya, katanya :" Yang dipenujui tuan putri adalah tuan."
"Bagus! Bagus!" Coh Liu-hiang bersorak, "Memang tajam benar mata tuan putri dapat mengenali seorang gagah, seorang ksatria sejati."
Kata-katanya kedengaran amat riang bahwasanya hatinya mendelu, mukanya berseri tawa, hatinya justru kecut dan getir. Tapi bukan karena dia merasa iri hati. Dia cuma merasa kecewa, merasa di luar dugaan juga, rada memalukan sungguh tak habis pikir bahwa tuan putri tidak penujui dirinya.
Tampak arak di cawan Oh Thi-hoa sudah terbalik tumpah dan membasahi seluruh badannya, tapi dia sendiri tidak sadar, sungguh hatinya senang bukan main, mulutnya justru mengomel pura-pura marah : "Brutal! Brutal! Mana bisa menyukai aku" Kau tidak salah omong?"
"Urusan sebesar ini, mana Cayhe berani salah omong?"
Sekaligus melirik mata Oh Thi-hoa kepada Coh Liu-hiang seperti unjuk pamor dan mengolok, mulutnya berkata keras : "Tentu kau salah! Pergi kau tanyakan lagi!"
"Tak perlu ditanya lagi, asal tuan setuju, Cayhe segera pulang memberi laporan."
Waktu Oh Thi-hoa angkat cawannya hendak minum araknya, baru sekarang ia dapati cangkirnya sudah kosong.
Tak tahan Ki Ping-yan tertawa, katanya : "Urusan besar begini mana bisa diputus sembarangan, tuan beri waktu padanya untuk pikir-pikir dahulu!"
Go Ceng-thian termenung sebentar, katanya : "Kalau begitu setengah jam lagi Cayhe balik kemari............kalian tidak tahu, bukan aku yang tergesa-gesa tapi tuan putri itu, ha ha....."
"Selamat! Selamat!" lekas Coh Liu-hiang berolok kepada Oh Thi-hoa dengan tertawa lucu.
"Sudah sekian tua umurmu kau hidup sebatang kara, tak nyana kau sedang tunggu rezeki untuk menjadi menantu raja."
"Jago mampus, kau dengar tidak." seru Oh Thi-hoa tertawa besar, "Kebetulan ada perempuan yang mau naksir padaku dan tidak kepincut padanya, dia lantas cemburu," saking geli badan lemas dan roboh ke pembaringan tak bicara lagi.
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kali ini Coh Liu-hiang pun terungguli oleh dirinya betapa hatinya takkan senang.
"Aku cemburu?" tanya Coh Liu-hiang mengelus hidung.
Ki Ping-yan ikut geli, katanya : "Aku tahu kau sih tidak cemburu, cuma hatinya rada kurang enak."
Coh Liu-hiang akhirnya ikut tertawa, tiga orang sama terkial-kial berpelukan, sungguh suatu kejadian yang lucu dan seperti khayal belaka, tapi kenyataannya mereka hadapi.
Kata Oh Thi-hoa masih terkial-kial : "Seorang laki-laki yang tidak terpandang oleh taukeh
"majikan" sebuah warung arak, tiba-tiba dipenujui oleh seorang tuan putri, bukankah seolah-olah kejatuhan rejeki nomplok dari atas langit?"
"Coba kau lihat begitu senang dan bangga dia, lebih baik sekarang kita panggil Go Ceng-thian kemari, supaya mereka tidak sama menunggu dengan hati gelisah."
Sepasang Pedang Iblis 20 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Durjana Dan Ksatria 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama