Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Bagian 7
"Tidak baik," sahut Be Hong-ling ketus dengan menggigit bibir. Berbeda dengan kebiasaannya,
hari ini dia tidak mengenakan pakaian serba merah, tapi serba putih, demikian pula air mukanya
pucat, kelihatannya rada kurus. Memangnya beruntun dua malam dia tidak bisa tidur.
Yap Kay mengedip-ngedipkan mata, tanyanya, "Mana Sam-lopan?"
"Untuk apa kau tanya dia?" Be Hong-ling melotot.
"Ya, bertanya sambil lalu saja."
"Tidak perlu kau tanyakan."
"Baiklah aku tidak akan bertanya."
Be Hong-ling masih mendelik kepadanya, katanya, "Aku malah ingin tanya kau, tadi kau pergi
kemana?" Yap Kay tertawa, ujarnya, "Kalau aku tidak boleh bertanya kepadamu, kenapa kau sendiri
bertanya kepadaku?"
"Aku senang."
Berkata Yap Kay dengan tawar, "Aku pun ingin memberitahukan kepadamu, sayang sekali
urusan yang harus dikerjakan laki-laki, ada kalanya tidak boleh diutarakan di hadapan
perempuan."
"Jadi kau melakukan kerja yang malu dilihat orang."
"Untung aku tidak bisa dan bukan ahli membakar."
"Memangnya siapa yang melepas api?"
"Boleh kau terka sendiri?"
"Kau melihat bocah she Po itu?"
"Sudah tentu pernah kulihat."
"Kapan kau melihatnya."
"Sepertinya kemarin kalau tidak salah."
Be Hong-ling melotot gusar, dengan gemas dia membanting kaki, mukanya yang pucat berubah
merah padam. Entah apa yang dipikirkan, tiba-tiba Tan-toakoan menghampiri dan berkata, "Entah bisa tidak
meluruk ke sana mencari Sam-lopan?"
"Dia tidak akan bisa menemukan," jengek Be Hong-ling.
"Kenapa?" tanya Tan-toakoan.
"Karena aku sendiri pun tidak berhasil menemukan beliau."
Kenapa Sam-lopan mendadak menghilang" Kemana dia pergi"
Ada orang ingin bertanya, tapi pada saat itu terdengar derap langkah kuda yang berlari
mendatangi, pembicaraan mereka terputus sementara.
Seekor kuda berbulu hitam mengkilap laksana dilumuri minyak dengan badan tegap dan kaki
panjang tengah mencongklang pelan-pelan memasuki kota dari ujung jalan sebelah sana. Di
punggung kuda besar ini bercokol seorang laki-laki bertubuh kekar dan berotot kencang seperti
manusia besi, kepalanya gundul, bertelanjang dada, mengenakan celana panjang terbuat dari
sutra hitam yang tersulam kembang dengan benang emas, sepatunya lancip, sepasang tangannya
tidak memegang kendali, tapi memeluk batang tiang bendera sebesar mangkuk besar.
Di ujung tiang bendera yang empat tombak panjangnya itu, ternyata berdiri pula seseorang.
Seorang yang mengenakan pakaian merah kedodoran, menggendong kedua tangan, berdiri di
ujung tiang, meski kuda itu berlari dengan pesat, tapi dia tetap berdiri angker dan tenang tak
bergeming sedikit pun, kelihatannya seperti lebih tegak dari berdiri di tanah datar.
Hanya sekilas Yap Kay mengawasi dari kejauhan, tak tahan dia menghela napas, katanya
menggumam seorang diri, "Cepat benar kedatangannya."
0oo0 Kuda gagah itu sudah mencongklang masuk kota, setiap orang di jalan raya tak tahan untuk
tidak mendongak mengawasi orang yang berada di atas tiang bendera itu dengan pandangan
kaget, heran dan senang seperti melihat tontonan akrobatik.
Setiap penduduk kota sudah tahu siapa sebenarnya orang di atas tiang bendera ini.
Tiba-tiba kuda gagah itu meringkik panjang, lalu menghentikan langkah kakinya.
Orang serba merah di atas tiang tetap menggendong kedua tangannya di belakang, tanpa
bergerak dia mendongak sambil bertanya, "Sudah sampai?"
"Ya, sudah sampai," laki-laki gundul segera menjawab.
"Ada orang keluar menyambut kedatangan kami tidak?"
"Agaknya ada beberapa orang."
"Orang macam apa saja mereka itu?"
"Sepintas pandang masih mirip manusia umumnya."
Orang baju merah manggut-manggut, gumamnya, "Cuaca hari ini baik sekali, memang cocok
hawa seperti ini untuk membunuh orang."
Yap Kay tertawa, katanya, "Sayang sekali di atas sana hanya bisa membunuh beberapa ekor
burung kecil, orang mana bisa kau bunuh dari tempat ketinggian seperti ini."
Orang baju merah segera menunduk melotot kepadanya. Dilihat dari bawah, kelihatan jelas
bahwa orang adalah seorang pemuda yang berwajah ganteng, sepasang biji matanya bersinar
terang laksana mutiara. Dari tempatnya yang tinggi melotot kepada Yap Kay, bentaknya bengis,
"Barusan dengan siapa kau bicara?"
"Kau," sahut Yap Kay pendek.
"Kau tahu siapa aku ini?"
"Memangnya kau ini Lok Siau-ka, bocah yang membunuh orang tidak mengedipkan mata?"
"Agaknya tajam juga pandanganmu" jengek orang baju merah sinis.
"Ah, terlalu memuji."
"Siapa kau?"
"Aku she Yap."
"Mereka mengundangku kemari untuk membunuh orang, apa kau orangnya?"
"Agaknya bukan!"
"Sayang sekali," ujar orang baju merah.
Yap Kay ikut menghela napas, ujarnya, "Ya, memang sayang sekali."
"Kau pun merasa sayang?"
"Ya, sedikit saja."
"Setelah kubunuh orang itu, bagaimana kalau kubunuh kau juga?"
"Baik sekali"sahut Yap Kay spontan, kelihatannya dia amat senang bertanya jawab.
Orang baju merah menengadah pula, katanya dingin, "Siapa bilang dia kelihatannya mirip
manusia, memang matamu buta."
"Ya, memang mata hamba buta," sahut laki-laki gundul. "Apakah di sini ada orang she Tan?"
Tan-toakoan segera tampil ke depan, sahutnya dengan menjura, "Inilah Cayhe adanya."
"Kau mengundangku kemari untuk membunuh orang?"
Tan-toakoan mengunjuk tawa, katanya, "Kedatangan Lok-tayhiap terlalu pagi, orang itu belum
lagi tiba."
"Lekas suruh dia kemari, supaya lebih cepat aku membunuhnya, tiada tempo aku menunggu
terlalu lama di sini." Dari nada ucapannya, seolah-olah kalau bisa mampus terbunuh olehnya,
siapa pun akan merasakan suatu kebanggaan, maka sejak tadi seharusnya sudah menunggu
kedatangannya malah.
Tan-toakoan menyengir dan kelabakan, katanya mengunjuk tawa dibuat-buat, "Lok-tayhiap
sudah tiba di sini, kenapa tidak silakan duduk dulu minum secangkir dua cangkir."
"Di atas sini lebih silir dan nyaman ...." tukas orang baju merah kaku dingin.
Belum habis dia bicara, sekonyong-konyong "krak", tiang bendera sebesar mangkuk besar itu
tiba-tiba putus tepat di tengah-tengah menjadi dua potong.
Orang baju merah seketika menggentak kedua lengannya, kelihatannya laksana kelelawar
merah tengah pentang sayap, dengan berputar-putar melayang turun ke bawah.
Sudah tentu semua orang yang mengawasi dengan terkesima dan terbelalak, tiba-tiba Be
Hong-ling bertepuk tangan seraya berseru memuji, "Ginkang bagus...."
Baru dua patah diucapkan, tukasnya dingin, "Memangnya siapa pula kau ini?" Biji matanya
hitam dan bersinar.
Merah muka Be Hong-ling, sahutnya dengan menunduk, "Aku ... aku she Be."
"Blang", baru sekarang kutungan tiang bendera itu berdentam jatuh di atas atap rumah, jelas
sekali kalau rumah itu ambruk bakal menindih kepala beberapa orang yang menonton di emperan
rumah. Tak terkira laki-laki gundul itu tiba-tiba memburu maju, dengan kepalanya yang plontos itu dia
terjang tiang bendera itu, sehingga mencelat tinggi dan jatuh empat-lima tombak, terlempar ke
belakang wuwungan rumah.
Tak tahan Be Hong-ling tertawa pula, katanya, "Keras benar kepala orang ini!"
Orang baju merah berkata, "Lebih baik kalau kepalamu pun sekeras kepalanya."
"Kenapa?" tanya Be Hong-ling sambil mengedipkan mata. "Karena sisa tiang bendera yang lain
itu, sebentar bakal mengetuk batok kepalamu," ujar orang baju merah. Be Hong-ling tertegun.
Kata orang baju merah lebih lanjut dengan muka merengut, "Cara bagaimana tiang bendera ini
bisa tiba-tiba putus" Memangnya bukan kau yang cari gara-gara" Begitu melihat tampangmu, aku
lantas tahu kau pasti bukan manusia baik-baik."
Merah padam pula selebar muka Be Hong-ling, tapi kali ini merah lantaran hatinya terbakar,
tangannya masih mencekal cemeti, mendadak dia ayun tangan terus melecut ke muka orang baju
merah. Memangnya kapan Be-toasiocia pernah dihina dan dibikin marah oleh orang.
Tak nyana sekali ulur tangan, dengan mudah ujung cemetinya telah ditangkap oleh orang baju
merah, katanya tertawa dingin, "Eeh, tidak kecil ya nyalimu, berani turun tangan terhadapku."
Begitu tangannya terangkat dan menarik ke belakang, tanpa kuasa Be Hong-ling terseret jatuh ke
depan, baru saja tangannya hendak diulur menggampar muka orang, tahu-tahu tangannya yang
sudah terulur itu tertangkap kencang oleh jari-jari orang.
Leher Be Hong-ling ikut merah, desisnya mengertak gigi, "Kau ... lepaskan tidak cekalanmu?"
"Tidak!"
"Apa yang kau inginkan?"
"Berlutut dulu menyembah tiga kali kepadaku, lalu merangkak pula dua putaran, baru
kuampuni jiwamu!"
"Jangan kau harap," Be Hong-ling berpekik beringas.
"Kalau begitu jangan harap aku akan melepaskan tanganmu."
Be Hong-ling mengertak gigi, serunya sambil membanting kaki, "Orang she Yap, kau ... kau,
memangnya kau sudah mampus?"
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Memang di sini ada seorang mati, tapi terang bukan aku!"
"Siapa bilang bukan kau?"
Yap Kay tertawa sambil menengadah memandang ke wuwungan di seberang, katanya, "Tiang
bendera ini terang adalah kau yang membikin patah, kenapa kau biarkan saja orang lain terima
getahnya lantaran perbuatanmu."
Tak tahan semua orang memandang ke sana, tapi wuwungan itu kosong, tiada apa-apa, jangan
kata manusia, bayangan burung atau setan pun tidak terlihat.
Tapi tiba-tiba dari belakang wuwungan mencelat keluar dua buah benda kecil, jatuh di jalan
raya, itulah kulit kacang. Tak lama kemudian kembali sesuatu benda terlempar jatuh, itulah kulit
buah jeruk yang sudah dikeringkan menjadi manisan.
Melihat kedua benda ini, seketika berubah rona muka orang baju merah, katanya dengan
mengertak gigi, "Agaknya setan keparat itu sudah datang."
Laki-laki gundul manggut-manggut, mendadak dia menghardik, badannya mencelat setinggi
tujuh kaki sembari mengayunkan sisa tiang bendera yang kutung di tangannya, mengemplang ke
belakang wuwungan rumah. Terdengar angin menderu disusul suara gemuruh dari
berhamburannya debu dan pecahan genting, seolah-olah seluruh rumah ini hendak dipukulnya
ambruk. Siapa tahu tiba-tiba dari balik rumah sebelah sana melesat selarik sinar hijau, hanya berkelebat
sekali, tiang bendera itu tahu-tahu putus sejengkal pula.
Sudah tentu pukulan kepala gungul mengenai tempat kosong, sehingga badannya terjungkal
roboh dan terbanting keras di atas tanah. Tiang bendera yang putus itu tiba-tiba mencelat, lalu
melayang jatuh pula, dari bawah emperan rumah sana kembali sinar hijau berkelebat. Kutungan
tiang bendera yang masih tiga kaki panjangnya itu sekaligus menjadi kutungan tujuh-delapan
keping, semuanya berjatuhan ke atas tanah.
Pandangan mata semua orang mendelong.
Yap Kay menghela napas pula, katanya seperti menggumam, "Pedang yang cepat sekali,
memang tidak bernama kosong!"
Orang baju merah sebaliknya membanting kaki dengan gemas, katanya dongkol, "Kalau sudah
kemari, kenapa tidak kau turun saja."
Dari balik wuwungan sana ada seseorang menjawab, "Di atas sini lebih silir!"
Orang baju merah berjingkrak mencak-mencak, serunya keras, "Kenapa selalu bermusuhan dan
mencari gara-gara kepadaku?"
Orang itu balas bertanya, "Kenapa kau selalu suka bermusuhan dengan orang lain?"
"Aku bermusuhan dengan siapa?" tanya orang baju merah.
"Jelas kau tahu bahwa tiang bendera itu bukan nona Be itu yang memutuskan, kenapa kau
mempersulit dirinya?"
"Aku sedang senang!" sahut orang baju merah.
Yap Kay tertawa.
Biasanya Be Hong-ling binal dan tidak kenal aturan, siapa tahu hari ini dia kebentur orang yang
lebih binal, lebih tidak aturan lagi.
Berkata orang baju merah, "Memangnya aku tidak suka melihat tampangnya, apa sangkutpautnya
dengan kau" Kenapa kau bicara membela dia kalau aku digoda dan dibuat marah orang
lain, kenapa kau tidak bantu aku menghajarnya?"
"Siapa sih kau?" tanya orang itu.
"Aku ... aku ...." gelagapan orang baju merah.
"Lok Siau-ka gembong iblis yang membunuh manusia tanpa berkesip itu, kapan pernah dibuat
marah dan terima dihina orang!"
Tertunduk kepala orang baju merah, katanya, "Siapa bilang aku ini Lok Siau-ka?"
"Bukankah kau sendiri yang bilang?"
"Orang itu yang bilang, bukan aku."
"Kau bukan Lok Siau-ka, memangnya siapa sebenarnya Lok Siau-ka?" "Kau'"
"Kalau aku ini Lok Siau-ka, kenapa kau hendak menyaru jadi dia?"
Tiba-tiba orang baju merah berjingkrak pula, serunya, "Karena aku suka kepadamu, aku kemari
hendak mencarimu." Semua orang melenggong dan terkesima mendengar kata-katanya yang
terus terang dan blak-blakan ini, semua orang mengawasinya.
"Kenapa kalian mengawasi aku," seru orang baju merah. "Memangnya aku tidak boleh
menyukai dia?" Tiba-tiba dia raih kain merah yang mengikat kepalanya, lalu katanya keras, "Mata
kalian memang sudah buta, masakah tiada yang tahu bahwa aku ini perempuan!"
Memang dia perempuan tulen. Lalu orang macam apa sebenarnya Lok Siau-ka itu"
Kata orang baju merah mendongak, "Aku sudah melepaskan dia, kenapa kau tidak turun
tangan juga?"
Ternyata tak terdengar lagi jawaban atau suara orang itu di balik wuwungan.
"Kenapa tidak kau bicara" Memangnya mendadak kau bisu?"
Tetap tidak mendapat jawaban. Orang baju merah mengertak gigi, mendadak dia menjejakkan
kaki melompat naik ke sana. Mana ada orang di belakang wuwungan" Orangnya sudah
menghilang, di sana ditinggalkan setumpukan kulit kacang yang sudah kosong.
Berubah muka orang baju merah, teriaknya, "Siau Lok, orang she Lok, kau mampus dimana,
hayo lekas keluar!"
Tiada orang keluar. Tiada orang menjawab.
Orang baju merah membanting kaki dengan gemas, katanya, "Akan kulihat sampai kapan kau
bisa menyembunyikan diri" Umpama bersembunyi ke ujung langit, akan kutemukan kau juga."
Tampak bayangan merah berkelebat, tiba-tiba dia pun menghilang. Laki-laki gundul itu tiba-tiba
mencelat bangun, melompat ke punggung kuda terus dibedal pergi.
Tan-toakoan terlongong di tempat, katanya seperti menggumam, "Agaknya perempuan itu rada
sinting." Be Hong-ling juga menjublek, tiba-tiba dia menghela napas, katanya, "Aku sebaliknya kagum
kepadanya."
Tan-toakoan melenggong, tanyanya, "Kau mengaguminya?"
Be Hong-ling tertunduk, katanya perlahan, "Bila dia menyukai seseorang, berani bicara blakblakan
di hadapan orang banyak tanpa takut ditertawakan, paling tidak dia lebih berani dari aku."
0oo0 Tengah hari. Waktu hembusan angin berlalu, kulit-kulit kacang beterbangan jatuh dari atap
rumah, namun bayangan gelap dalam lubuk hati Be hong-ling tidak dihembusnya menghilang
Sorot matanya seperti memandang ke tempat jauh, tapi sengaja atau tidak sengaja, tak tahan
mengerling ke arah Yap Kay
Yap Kay sebaliknya sedang mengawasi kulit-kulit kacang yang beterbangan dihembus angin,
seolah-olah tiada sesuatu benda di dunia ini yang jauh lebih menarik perhatiannya kecuali kulitkulit
kacang itu. Entah karena apa tiba-tiba merah pula selebar muka Be Hong-ling, pelan-pelan dia membanting
kaki, mulutnya mencibir bersuit ringan, kuda hitamnya segera berlari datang dari kejauhan. Segera
dia mencemplak naik ke punggungnya, tiba-tiba cemetinya terayun balik, kulit-kulit kacang di atas
wuwungan yang tidak terhembus jatuh itu seketika mencelat dan berjatuhan ke muka Yap Kay,
katanya keras, "Kalau kau menyukainya, biar kuberikan semuanya kepadamu."
Waktu kulit-kulit kacang itu berjatuhan, kuda tunggangannya sudah mencongklang jauh.
Seperti tertawa tidak tertawa Tan-toakoan mengawasi Yap Kay, katanya, "Sebetulnya meski
sesuatu tidak diuraikan dengan kata-kata, tidak jauh berbeda dengan diucapkan. Yap-kongcu,
benar tidak menurut pendapatmu?"
Yap Kay berkata tawar, "Tidak dikatakan sudah tentu jauh lebih baik daripada dikatakan!"
"Kenapa?" tanya Tan-toakoan.
"Karena orang yang cerewet sering membosankan."
Tan-toakoan tertawa, sudah tentu tertawa palsu.
Yap Kay berlalu dari depannya, mendorong daun pintu yang sempit itu, gumamnya, "Tidak
bicara tidak menjadi soal, kalau tidak makan barulah takkan tertahan lagi, kenapa orang banyak
justru sering tidak paham akan hal ini?"
Terdengar seseorang menanggapi, "Tapi asal ada kacang, tidak makan pun tidak menjadi soal."
0oo0 Orang ini duduk di dalam rumah, membelakangi pintu, di atas meja di sampingnya ada
setumpuk kacang kulit. Dia membuka sebutir kacang, dilempar ke atas, lalu disambut dengan
mulutnya, tinggi lemparannya, mulut pun menyambut dengan tepat.
Yap Kay tertawa, katanya tersenyum, "Belum pernah kau meleset?"
Orang ini tidak berpaling, jawabnya, "Selamanya tidak akan meleset." "Kenapa?"
"Lemparan tanganku mantap, mulutku pun mengincar dengan tepat."
"Oleh karena itu orang mengundangmu kemari untuk membunuh orang, untuk membunuh
orang bukan saja memerlukan gerakan tangan yang mantap, mulut pun tidak boleh cerewet,
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malah harus tenang dan rapat."
Berkata orang itu dengan tawar, "Sayang sekali mereka tidak mengundangku kemari untuk
membunuh kau."
"Setelah kau bunuh orang itu, mau tidak kau membunuhku?"
"Bagus sekali!"
Yap Kay bergelak tertawa.
Tiba-tiba orang itupun tertawa lebar.
Tan-toakoan yang baru saja masuk justru menjublek di tempatnya.
0oo0 Dengan tertawa lebar Yap Kay beranjak menghampiri, duduk di hadapan orang, tiba-tiba dia
ulur tangannya menjemput sebutir kacang.
Tawa lebar orang itu tiba-tiba kuncup. Dia pun seorang pemuda. Seorang pemuda yang aneh,
memiliki sepasang mata yang aneh pula, sampai pun waktu dia tertawa, sepasang matanya itu
tetap dingin, seperti biji mata orang mati, tidak berperasaan, tidak beremosi. Mengawasi kacang di
tangan Yap Kay, katanya, "Letakkan."
"Aku tidak boleh makan kacangmu?" tanya Yap Kay.
"Tidak boleh. Kau bisa menyuruhku membunuh, tapi jangan sekali-kali kau makan kacangku."
"Kenapa?"
"Karena Lok Siau-ka bilang demikian!"
"Siapa itu Lok Siau-ka?"
"Aku inilah."
0oo0 Biji matanya kelabu berwarna mati, tapi menyorotkan sinar tajam setajam golok.
Mengawasi kacang di tangannya, Yap Kay menggumam,
"Kelihatannya hanya sebutir kacang belaka."
"Memangnya!"
"Tiada bedanya dengan kacang lainnya?"
"Tiada bedanya."
"Memangnya kenapa aku harus makan kacang yang ini?" dengan tersenyum pelan-pelan dia
kembalikan kacang itu.
Lok Siau-ka tertawa lagi, tapi sorot matanya tetap dingin, katanya, "Tentu kau inilah Yap Kay
adanya." "O?" Yap Kay bersuara dalam mulut.
"Kecuali Yap Kay, tak habis kupikir ada orang seperti kau ini."
"Apakah ini umpakan?"
"Ada sedikit."
"Sayang sekali betapapun tinggi umpakanmu, tidak sebanding dengan sebutir kacangmu ini."
Lama Lok Siau-ka mengawasinya lekat-lekat, lama juga baru dia berkata pelan-pelan,
"Selamanya kau tidak pernah membawa pisau?"
"Paling tidak belum pernah ada orang melihat aku membawa pisau?"
"Kenapa?"
"Coba kau terka?"
"Karena selamanya kau tidak pernah membunuh orang" Atau karena kau membunuh orang
tidak perlu pakai pisau?"
Yap Kay tertawa, namun sorot matanya sedikit pun tidak memancarkan keriangan hatinya.
Matanya sedang mengawasi pedang Lok Siau-ka.
0oo0 Sebatang pedang yang amat tipis, tipis tapi tajam luar biasa. Tidak pakai sarung pedang.
Pedang tipis ini tersoreng miring terselip di ikat pinggangnya.
"Kau tidak pakai sarung pedang?"
"Paling tidak jarang orang melihat aku pakai sarung pedang."
"Kenapa?"
"Coba kau terka?"
"Karena kau tidak suka sarung pedang" Atau karena pedang ini memang tidak punya sarung?"
"Pedang macam apa pun, bila dia berhasil digembleng, semula tidak
pernah memakai sarung."
"O?" Yap Kay bersuara heran. "Sarung pedang dibuat belakangan." "Kenapa pedang ini tidak
pakai sarung?"
"Yang membunuh orang adalah pedangnya, bukan sarungnya."
"Sudah tentu."
"Yang ditakuti orang juga pedang, bukan sarungnya."
"Masuk akal."
"Oleh karena itu sarung benda hanya berlebihan belaka."
"Selamanya kau tidak pernah melakukan perbuatan yang berlebihan?" "Aku hanya membunuh
orang yang berlebihan!"
"Orang yang berlebihan?"
"Sementara orang hidup di dunia ini, memangnya tidak berguna, berlebihan!"
"Uraianmu terdengar amat mengasyikkan, cukup menarik juga."
"Sekarang kau pun sudah sependapat?"
"Aku tahu ada dua yang selalu menyoreng pedang tanpa menggunakan sarung pedang juga,
tapi mereka tidak bisa membanyol dengan uraian kata-katanya yang menarik."
"Mungkin umpama kata mereka berkata, belum tentu kau bisa memahaminya."
"Atau mungkin juga mereka memang tidak mau berbicara."
"O?" ganti Lok Siau-ka yang bersuara heran.
"Aku tahu mereka bukan orang yang suka cerewet, cukup asal mereka sendiri saja yang tahu
akan pengertian itu, jarang mereka uraikan hal-hal itu kepada orang lain."
Lok Siau-ka menatapnya, katanya, "Betul kau tahu orang macam apa sebenarnya mereka itu?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Kalau begitu terlalu banyak apa yang kau ketahui."
"Tapi aku belum tahu akan dirimu."
"Untung kalau kau belum tahu."
"Untung?"
"Kalau tidak, orang yang akan mampus pertama kali di sini bukan Pho Ang-soat tapi kau!"
"Sekarang bagaimana?"
"Sekarang aku belum perlu membunuh kau."
"Kau tak usah membunuhku, juga belum tentu mampu membunuhnya."
Lok Siau-ka tertawa dingin
"Kau pernah melihat ilmu silatnya?"
"Belum!"
"Kalau kau belum pernah menyaksikan, bagaimana kau punya keyakinan?"
"Tapi aku tahu bahwa dia seorang timpang."
"Memangnya timpang ada beberapa macam."
"Tapi ilmu silat orang timpang umumnya hanya ada satu macam."
"Macam yang mana?"
"Dengan ketenangan mengatasi pergerakan, bergerak ke belakang mendahului lawan, itu
berarti bahwa begitu dia turun tangan harus lebih cepat dari lawannya."
Yap Kay manggut-manggut, ujarnya, "Oleh karena itu maka dia mampu bergerak menundukkan
lawan lebih dulu."
Tiba-tiba Lok Siau-ka mencomot segenggam kacang terus dilempar ke atas. Sekonyongkonyong
pedangnya bekerja. Dimana sinar pedang berkelebat, seolah-olah hanya sekali berkelebat
saja, tahu-tahu pedang sudah terselip di pinggangnya. Sementara kacang-kacang itu berjatuhan
ke telapak tangannya, kacang yang sudah terkupas kulitnya, lebih bersih dari orang mengulitinya
satu per satu. Sedang kulit kacangnya sudah hancur-luluh.
Tiba-tiba seseorang bersorak memuji di luar pintu, sampai pun Yap Kay sendiri ada niat hendak
bersorak memuji. Pedang yang cepat.
Lok Siau-ka menjemput sebutir kacang, diangsurkan ke mulut, katanya dingin, "Menurut
penilaianmu, apakah dia bisa lebih cepat dari aku?"
Sebentar Yap Kay berdiam diri, akhirnya berkata lirih dengan menghela napas, "Aku tidak tahu
... untung aku masih belum tahu."
"Harus disayangkan kacang-kacangku ini."
"Kacang itu tetap kau sendiri yang memakannya."
"Tapi kacang harus satu per satu dikuliti dan sebutir demi sebutir dimakan, baru benar-benar
enak dan nikmat."
"Kalau aku malah lebih suka makan kacang yang sudah dikuliti."
"Sayang sekali kau tak bakal mencicipinya." Dimana tangannya terayun, kacang di tangannya
melesat terbang sambung menyambung, ternyata semuanya melesak amblas ke dalam tonggak
penyanggah rumah.
"Lebih baik kacangmu kau buang daripada dimakan orang?"
"Cewekku pun demikian, lebih baik aku membunuhnya daripada dia dipeluk orang lain."
"Asal yang kau sukai, sekali-kali kau tidak akan meninggalkan untuk dimiliki orang."
"Begitulah!"
"Untung yang menjadi kesukaanmu hanya kacang dan perempuan belaka."
"Aku juga suka uang perak."
"O." "Karena tanpa uang perak, takkan bisa beli kacang, takkan bisa kau mempunyai cewek."
"Masuk akal, walau banyak benda di dunia ini jauh lebih berharga daripada uang, tapi ada
kalanya benda-benda itu hanya bisa dibeli dengan uang."
Lok Siau-ka tertawa. Tawa yang dingin dan aneh, katanya dingin, "Kau sudah mengoceh
setengah harian, hanya sepatah katamu ini baru mirip ucapan Yap Kay tulen."
0oo0 BAB 22. SEBELUM DAN SESUDAH MEMBUNUH
Tan-toakoan, Thio-losu, Ting-losu, sudah tentu sudah masuk semua, seolah-olah mereka
sedang menunggu petunjuk Lok Siau-ka. Tapi Lok Siau-ka sebaliknya seperti tidak pernah melihat
atau tahu akan kehadiran mereka. Sampai sekarang dia tetap tidak berpaling mengawasi mereka,
namun berkata dingin, "Di sini adakah orang yang mau membayar uang kepadaku?"
"Ada, sudah tentu ada!" Tan-toakoan segera menjawab dengan mengunjuk tawa.
"Apa yang kuinginkan kau bisa melaksanakan seluruhnya?"
"Siau-jin akan berusaha sekuat tenaga."
"Lebih baik kalau kau bekerja sekuat tenaga."
"Silakan memberi petunjuk."
"Aku minta lima kati kacang, kacang goreng, tidak terlalu panas, tapi jangan setengah matang."
Tan-toakoan segera mengiakan.
"Aku minta pula segentong air panas, gentong kayu yang tingginya enam kaki."
Kembali Tan-toakoan mengiakan.
"Siapkan pula dua perangkat pakaian dalam yang serba baru, kain belacu atau kain kaci pun
boleh." "Dua perangkat?" tanya Tan-toakoan.
"Ya, dua perangkat, seperangkat kuganti untuk membunuh orang, habis membunuh ganti pula
seperangkat yang lain."
"Ya," Tan-toakoan manggut-manggut.
"Kalau kacang-kacang itu ada sebutir saja yang busuk atau rusak, maka tanganmu akan
kutabas kutung, kalau ada dua butir, jiwamu akan tamat."
Dingin bulu kuduk Tan-toakoan, tersipu-sipu dia mengiakan lagi.
Tiba-tiba Yap Kay bertanya, "Kau harus mandi dulu baru akan membunuh orang?"
"Membunuh orang bukan membunuh babi, membunuh orang merupakan tugas suci bersih
yang menyenangkan."
"Orang yang harus kau bunuh memang harus menunggu kau mandi lebih dulu?"
"Dia boleh tidak usah menunggu, aku pun boleh mengutungi kakinya lebih dulu, setelah mandi
baru kucabut jiwanya."
"Tak nyana sebelum kau membunuh orang, masih memerlukan banyak kesulitan."
"Setelah aku membunuh orang masih ada juga kesulitannya."
"Kesulitan apa?"
"Kesulitan yang paling besar."
"Perempuan?"
"Itulah ucapanmu kedua yang pintar!"
"Kesulitan paling besar bagi laki-laki memangnya perempuan, kukira laki-laki yang paling bodoh
pun paham akan hal ini."
"Oleh karena itu maka kau harus menyediakan juga seorang perempuan, perempuan yang
paling baik."
Tan-toakoan ragu-ragu, katanya, "Tapi bagaimana kalau nona baju merah itu kembali datang."
Lok Siau-ka tiba-tiba tertawa, katanya, "Kau kuatir dia cemburu?"
"Bagaimana aku tidak akan takut, batok kepalaku ini kan gampang dikepruk sampai pecah."
"Kau kira dia betul-betul sedang mencari aku?"
"Memangnya bukan kau yang dicari?"
"Bahwasanya selamanya belum pernah aku melihat orang seperti dia itu."
Tan-toakoan melenggong, katanya, "Lalu tadi dia ...."
Lok Siau-ka menarik muka, katanya, "Masakah kau tidak tahu bila dia memang sengaja hendak
mencari gara-gara?" Tan-toakoan melongo.
"Tentu kalian sendiri yang membocorkan kabar ini, dia tahu aku hendak kemari, sengaja
memburu datang lebih dulu."
"Untuk apa dia kemari?"
"Kenapa tidak kau tanya kepada dia?"
Tiba-tiba terpancar rasa takut dalam sorot mata Tan-toakoan, namun kulit mukanya sebaliknya
sedang tersenyum palsu. Senyum palsu ini seolah-olah sudah diukir di kulit mukanya.
0oo0 Toko kain sutra milik Tan-toakoan tidak terhitung besar, tapi di kota kecil di pedalaman yang
jauh dari keramaian kota besar sudah termasuk toko yang paling mentereng.
Sudah tentu toko kainnya hari ini jarang dikunjungi pembeli, maka kedua pembantu tokonya
hari ini kelihatan duduk-duduk saja dengan malas, mereka mengharap hari lekas petang, supaya
lekas pulang, kalau di toko mereka sebagai pelayan, di rumah mereka sebaliknya menjadi juragan.
Tidak lama Tan-toakoan berada di tokonya, begitu pulang lantas pergi pula tergesa-gesa
menuju ke bilangan belakang. Setelah melewati sebuah pekarangan kecil, dia tiba di tempat
tinggalnya sendiri. Selamanya tidak akan pernah terpikir olehnya di pekarangan kecil ini ada
seseorang sedang menunggu kedatangannya.
0oo0 Dalam pekarangan kecil ini terdapat sebatang pohon cemara, Yap Kay sedang berdiri di bawah
pohon ini, katanya dengan tersenyum, "Tidak menduga aku berada di sini?"
Tan-toakoan melengak, segera dia tertawa dibuat-buat, katanya, "Kenapa Yap-kongcu tak
menemani Lok-tayhiap mengobrol" Bukankah kalian tadi bicara begitu asyik?"
"Kacang pun dia tidak mau berbagi kepadaku, perutku sudah kelaparan, seekor kuda pun bisa
ku telan bulat-bulat."
"Aku buru-buru pulang hendak membikin api menggodok air, di dapur masih ada sedikit sisa
makanan, kalau Yap-kongcu tidak merasa ...."
Yap kau lekas menukas, katanya, "Kabarnya Tan-toako pandai memasak sayur, agaknya hari ini
aku beruntung dapat menikmati hidangannya."
Tan-toakoan menghela napas, ujarnya, "Sayang sekali kedatangan Yap-kongcu hari ini tidak
kebetulan, beberapa hari ini dia lagi sakit."
"Lagi sakit?" Yap Kay mengerut kening.
"Sakitnya tidak ringan, sehari-hari rebah saja di ranjang tidak bisa bangun."
Yap Kay tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Aku tidak percaya."
Tan-toakoan kembali melengak, katanya, "Buat apa aku harus membohongi Yap-kongcu?"
"Kemarin dia masih segar-bugar, bagaimana bisa hari ini tiba-tiba jatuh sakit" Ingin aku
menengoknya, dia terserang penyakit apa?" dengan muka bersungut, dia sudah siap menerjang
ke dalam rumah.
Tan-toakoan menundukkan kepala, katanya pelan-pelan, "Kalau demikian biar Cayhe bawa
Yap-kongcu menengoknya." Betul juga dia bawa Yap Kay memasuki ruang tamu terus menuju ke
kamar tidur, pelan-pelan membuka pintu sambil menyingkap kerai.
Cahaya dalam kamar tidur amat guram, kalau tidak mau dikatakan gelap, daun jendela tertutup
rapat, kamar penuh ditaburi asap dupa yang berbau wangi.
Seorang perempuan rebah di atas ranjang menghadap ke arah tembok, rambutnya awutawutan,
tubuhnya ditutup selimut tebal, kelihatannya memang orang sakit.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Agaknya aku keliru menyalahkan
kau." "Tidak menjadi soal," ujar Tan-toakoan tertawa dibuat-buat.
"Cuaca begini panas, kenapa dia masih selimutan" Tak sakit bisa menjadi sakit."
"Mungkin dia terserang malaria, semalam badannya masih gemetar kedinginan meski sudah
kututupi dua lapisan selimut tebal."
Yap Kay tertawa pula, katanya tawar, "Orang mati masakah masih bisa gemetar?" Belum habis
dia bicara, tiba-tiba dia sudah menerjang masuk, terus menyingkap selimut. Warna merah
melambari seluruh badan orang yang kaku dan tertutup selimut. Darah memang berwarna merah!
Badan orang ternyata sudah kaku dingin.
0oo0 Pelan-pelan Yap Kay menutup pula jenazah orang dengan selimut itu, seolah-olah takut kalau
membikin kaget perempuan ini. Dia anggap orang selamanya tidak akan bangun lagi. Yap Kay
menghela napas, pelan-pelan dia berpaling muka.
Tan-toakoan masih berdiri di tempatnya, senyuman dingin dan sadis menghiasi mukanya,
seolah senyuman ini sudah terukir di kulit mukanya.
Kata Yap Kay setelah menghela napas, "Agaknya selamanya aku takkan beruntung menikmati
hidangan Tan-toaso lagi."
"Orang yang sudah mati memang tidak bisa masak lagi," ujar Tan-toakoan dingin.
"Dan kau?"
"Aku bukan orang mati."
"Tapi kau juga patut demikian!"
"O, masa?"
"Karena aku sudah melihatmu di dalam peti mati."
Kelopak mata Tan-toakoan seperti meronta-ronta, roman mukanya tetap tersenyum yang
memang sudah terukir di kulit mukanya.
Kata Yap Kay, "Untuk menyaru jadi Tan-toakoan memang bukan tugas yang sulit, karena orang
itu setiap saat selalu tersenyum palsu, memang mukanya seolah-olah mengenakan kedok."
"Oleh karena itu orang ini pantas mati," jengek Tan-toakoan.
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi betapapun mirip samaranmu, kau tak akan bisa mengelabui bininya, tiada kepandaian
tata rias yang begitu lihai dan misterius di dunia, ini."
"Oleh karena itu bininya itu patut juga dibikin mampus."
"Aku hanya heran, kenapa kalian tidak memasukkan sekalian mayat istrinya ke dalam peti
mati?" "Kalau ada orang tidur di sisi kan lebih baik, supaya pelayan-pelayan toko tidak curiga."
"Kau tidak mengira bila ada orang lain mencurigai kau?"
"Memang tidak kuduga."
"Oleh karena itu aku pun pantas dibikin mampus."
"Hakikatnya persoalan ini sebenarnya tiada sangkut-pautnya dengan kau."
"Aku mengerti, tujuan kalian hanya untuk menghadapi Pho Ang-soat."
Tan-toakoan manggut-manggut, ujarnya, "Dia memang patut mampus!"
"Kenapa?"
"Kau tidak mengerti?"
"Setiap musuh Ban-be-tong harus mampus?"
Terkancing mulut Tan-toakoan.
"Kalian orang-orang undangan Ban-be-tong?"
Semakin kencang mulut Tan-toakoan. Tapi sekarang jari-jarinya sudah terlepas, semula
tangannya kosong, kini melesatlah segulung sinar dingin bagai hujan deras dari tangannya.
Tepat pada waktu yang sama, dari luar jendela juga melesat masuk setitik sinar bintang
laksana perak, mendadak berpencar laksana kembang bertaburan di pucuk pohon.
Setitik sinar perak mendadak berubah menjadi bintik-bintik kembang yang bertaburan, dimana
sinar-sinar perak itu menyambar, sinarnya yang menyala membuat orang sukar membuka mata
untuk melihatnya.
Tapi pada saat itu pula sebilah pisau kecil tahu-tahu sudah menghujam ke tenggorokan Tantoakoan.
Sampai ajalnya tetap tidak melihat darimana datangnya pisau kecil yang menamatkan
jiwanya. 0oo0 Pisau itu tidak terlihat, namun senjata-senjata gelap itu terlihat dengan jelas. Kalau senjatasenjata
gelap itu kelihatan jelas, tapi bayangan Yap Kay tiba-tiba menghilang tak keruan paran.
Kejap lain, bintik-bintik sinar perak yang bertaburan di dalam kamar pun mulai mereda dan
kuncup seluruhnya. Bayangan Yap Kay tetap tidak kelihatan.
Angin menghembus di luar jendela, namun sudah tidak terdengar lagi dengus napas di dalam
kamar. Lama berselang, mendadak sebuah tangan pelan-pelan mendorong daun pintu, sebuah
tangan yang elok, jari-jarinya panjang, kukunya juga terpelihara dengan baik. Tapi lengan bajunya
justru amat kotor, kumal, dekil berminyak lagi.
Tangan ini terang bukan tangan Thio-losu, namun lengan baju itu adalah lengan baju Thio-losu,
seraut wajah tiba-tiba menongol masuk, itulah muka Thio-losu. Dia tetap tidak melihat bayangan
Yap Kay, namun dia melihat pisau di tenggorokan Tan-toakoan.
Mendadak jari-jarinya mengejang. Tahu-tahu tenggorokannya sendiri pun mendadak tertusuk
sebilah pisau kecil. Sampai ajal dia tetap tidak melihat pisau ini.
0oo0 Pisau yang sudah menancap di tenggorokan orang lain sudah tentu tidak berbahaya lagi sudah
tentu dia bisa melihatnya dengan jelas. Sayang sekali, dia hanya melihat pisau yang itu saja.
Apa benar hanya pisau yang tidak kelihatan baru benar-benar menakutkan"
Seenteng asap melayang Yap Kay meluncur dari atas langit-langit rumah, terlebih dulu dia
jemput masing-masing satu macam senjata rahasia, dua batang senjata rahasia tergenggam di
tangannya, baru pelan-pelan dia mencabut pisaunya sendiri. Dengan nanar dia awasi pisaunya
sendiri, sikap dan mimik wajahnya tiba-tiba jadi serius, begitu seriusnya seolah-olah dia amat
segan dan menghormatinya.
"Aku pasti tidak akan menyuuruh kau membunuh orang yang tidak pantas mampus, aku
berjanji, orang-orang yang kubunuh adalah manusia yang memang pantas menemui ajalnya."
0oo0 Song-lopan atau juragan Song sudah membuka mata.
Dalam kamar hanya ada dua orang, keduanya tidur di atas ranjang, salah seorang perempuan
tidur menghadap ke dalam tembok, cara tidurnya mirip dengan istri Tan-toakoan, cuma rambut
kepalanya sudah ubanan.
Memang usia mereka suami istri sudah cukup lanjut. Setelah dalam kamar itu terdengar suara
orang ketiga, kedua biji mata juragan Song baru terpentang lebar. Yang pertama-tama dilihatnya
adalah sebuah tangan. Di antara jari-jari tangan ini terdapat dua benda yang aneh, sebuah mirip
dengan duri rumput liar di tengah pegunungan, sebuah yang lain seperti kelopak kembang yang
terbuat dari air raksa. Waktu dia mengangkat kepalanya, baru dilihatnya Yap Kay.
Karena inipun guram, namun kedua biji mata Yap Kay justru terang laksana dua pelita, kedua
pelita tajam ini sedang menatap dirinya, katanya, "Kau tahu apakah ini?"
Juragan Song geleng-geleng kepala, sorot matanya memancarkan keheranan dan ketakutan,
lehernya pun serasa kaku.
"Inilah senjata rahasia."
"Senjata rahasia?"
"Senjata rahasia adalah senjata yang dapat membunuh orang secara menggelap."
Entah mengerti atau tidak penjelasan ini, yang terang juragan Song manggut-manggut.
"Kedua macam senjata rahasia ini masing-masing dinamakan Ngo tok-ji-ih-bong dan Hwe-jiginhoa, keduanya adalah senjata rahasia tunggal milik Hoa Hong (tawon kembang) dan Phoa
Ling." Juragan Song menjilati bibirnya yang kering, katanya tertawa dibuat-buat, "Nama besar
Tayhiap ini belum pernah kudengar."
"Mereka bukan Tayhiap."
"Bukan?"
"Mereka adalah maling rendah yang paling kotor, maling pemetik bunga (tukang perkosa)."
Sampai di sini Yap Kay menarik muka, katanya lebih lanjut, "Selamanya aku menghargai jiwa
orang lain, tapi orang-orang kotor dan rendah seperti mereka menjadi kekecualian bagiku."
"Aku tahu, tiada orang yang tidak membenci maling cabul."
"Tapi mereka adalah lima aliran terendah yang paling suka menggunakan senjata rahasia
jahat." "Lima orang maksudmu?"
"Kelima orang ini dijuluki Kangouw-ngo-tok (lima racun dari Kangouw), kecuali orang yang
kusebut tadi, masih ada tiga orang lagi yang lebih jahat dan berbisa."
"Apakah kelima orang ini sama-sama sudah datang?"
"Mungkin satu pun tiada yang ketinggalan."
"Kapan sih mereka datang?"
"Kemarin lusa, yaitu pada waktu ada orang membawa peti-peti mati itu kemari."
"Kenapa aku tidak melihat adanya lima orang asing yang datang ke kota kecil ini?"
"Yang datang pada hari itu bukan hanya kelima orang ini saja, cuma mereka semua
bersembunyi di dalam peti mati, maka tiada orang dalam kota ini yang melihat mereka."
"Si Bungkuk itu mengantar peti mati kemari, apakah tujuannya hendak mengangkut pula
orang-orang itu kemari?"
"Mungkin demikian."
"Apakah sekarang mereka masih bersembunyi dalam peti mati?" "Sekarang peti-peti mati itu
sudah berisi mayat-mayat tulen."
"Jadi mereka sudah mampus semuanya," juragan Song menghela napas lega.
"Sayang sekali bukan mereka yang mampus, semuanya orang lain." "Bagaimana mungkin bisa
orang lain?"
"Karena waktu mereka keluar, lalu mengganti orang lain masuk kesana "
"Siapa saja yang menggantikan mereka?"
"Sekarang aku baru tahu Hoa Hong adalah Tan-toakoan, Phoa Ling menggantikan Thio-losu."
"Mereka ... cara bagaimana mereka menukar diri?"
"Di dunia ini ada seorang, sebenarnya dia ahli di bidang tata rias."
"Siapa?"
"Sebun Jun."
Juragan Song mengerut kening, katanya, "Siapa pula gerangan Sebun Jun" Kenapa selamanya
tidak pernah kudengar?"
"Sekarang aku juga ingin tahu siapa sebenarnya dia itu, tapi cepat atau lambat, akhirnya aku
pasti berhasil menemukannya "
"Menurut katamu dia bikin Hoa Hong menyaru jadi Tan-toakoan, Phoa Ling menyaru jadi Thiolosu?"
Yap Kay manggut-manggut, katanya, "Sayang sekali betapapun tinggi teknik dan ahlinya
seseorang menggunakan tata riasnya, dia tidak akan bisa mengelabui sanak-kadangnya sendiri,
oleh karena itu orang pertama yang terpilih oleh mereka adalah Thio-losu."
"Kenapa?"
"Karena bukan saja Thio-losu tidak punya sanak-kadang, dia pun tidak punya teman, apalagi
jarang mandi, orang yang berani bergaul dan berdekatan dengannya memangnya tidak banyak
jumlahnya "
"Oleh karena itu umpama dia berubah apa pun, takkan ada orang yang memperhatikan."
"Sayang sekali, orang-orang seperti Thio-losu dan Ting-losu di dalam kota kecil ini hanya ada
beberapa orang saja."
"Kenapa mereka memilih juga Tan-toakoan?"
"Karena dia yang mau mendekatinya."
"Tapi dia kan punya istri."
"Maka istrinya itu harus mampus."
Juragan Song geleng-geleng kepala, "Itulah yang dinamakan menutup pintu duduk di dalam
rumah, bencana datang dari langit."
Dengan menghela napas, dia bergerak hendak duduk, tapi Yap Kay lantas menekan pundaknya,
katanya, "Aku sudah banyak menceritakan kejadian ini kepadamu, maka ada sebuah pertanyaan
ingin juga kutanyakan kepadamu."
"Silakan berkata."
"Bahwa Thio-losu ternyata adalah Phoa Ling dan Tan-toakoan alias Hoa Hong, lalu kau siapa?"
Juragan Song melenggong, katanya tergagap, "Aku she Song, dipanggil Song-toaya, namun
belakangan jarang ada orang memanggil namaku."
"Apakah karena semua orang tahu bahwa kau ini bangkotan licin dan licik, maka tiada orang
mencari perkara dan bergaul dengan kau."
Juragan Song tertawa dipaksakan, katanya, "Untung sekali mereka belum mengincar diriku
untuk menjadi duplikat mereka "
"O" Masa?"
"Kupikir, Yap-kongcu tentu tidak beranggapan aku inipun samaran palsu."
"Kenapa bukan?"
"Istri tuaku ini sudah hidup puluhan tahun bersamaku, memangnya dia tidak bisa membedakan
aku ini tulen atau palsu?"
"Kalau dia memang sudah menjadi mayat, sudah tentu takkan bisa membedakan dirimu."
"Memangnya kau kira aku sudi tidur seranjang dengan sesosok mayat?"
"Perbuatan apa saja yang tidak pernah kalian lakukan" Jangan kata hanya orang mati, umpama
mayat seekor anjing ...." belum dia bicara habis, nenek ubanan yang tidur di bagian dalam ranjang
tiba-tiba menghela napas panjang sambil menggeliat membalik badan. Kata-kata Yap Kay tidak
diteruskan lagi.
Orang mati sedikitnya tidak mungkin bisa menggeliat, terdengar pula nenek ubanan ini
mengigau seperti bicara apa-apa di alam mimpinya ... orang mati sudah tentu tidak bisa
mengigau. Tangan Yap Kay sudah ditarik mundur.
Terpancar sinar puas dan senang pada sorot mata juragan Song, katanya, "Perlahan Yapkongcu
membangunkan dia, boleh kau tanya langsung kepadanya."
Terpaksa Yap Kay menyeringai kikuk, katanya, "Tidak usahlah!"
Akhirnya juragan Song bangun berduduk, katanya tertawa, "Kalau begitu silakan Yap-kongcu
duduk di ruang tamu untuk menikmati secangkir teh."
"Ah, bikin repot saja, tidak usahlah!" seperti tidak enak tinggal lama-lama lagi di situ, dia sudah
siap hendak tinggal pergi, siapa tahu mendadak juragan Song mencengkeram lengan nenek
ubanan itu terus diangkatnya dan dilempar ke arah Yap Kay.
Sudah tentu perbuatannya ini amat di luar dugaan, baru saja Yap Kay kebingungan, apa perlu
dia mengulur tangan menyambut lemparan badan orang. Pada saat itu pula, dari dalam selimut
tadi mendadak menyembur keluar segulung asap tebal.
Asap tebal yang berwarna ungu muda itu seolah-olah kabut pagi yang ditimpa sinar surya di
waktu fajar baru menyingsing, begitu indah dan menakjubkan.
Baru saja Yap Kay menyanggah badan nenek ubanan itu, terus diangsur kembali ke atas
ranjang, namun dia sendiri sudah terselubung di dalam kabut ungu yang tebal itu.
Mengawasi orang, sorot mata Song-lopan menyorotkan rona sadis dan bengis, dia tunggu
orang roboh di bawah kakinya
0oo0 Ternyata Yap Kay tidak roboh seperti yang diharapkan. Setelah kabut tebal itu sirna, juragan
Song masih tetap melihat sinar mata Yap Kay tetap terang menyala.
Sungguh merupakan suatu keajaiban. Siapa pun asal mengendus sedikit Hoa-kut-ciang,
manusia besi pun akan menjadi lumpuh tak bertenaga lagi. Sekujur badan juragan Song menjadi
kaku mengejang karena dijalari rasa takut yang mencekam sanubarinya.
Yap Kay balas mengawasinya, katanya pelan-pelan dengan menghela napas, "Ternyata
memang kau."
"Kau sudah tahu siapa aku sebenarnya?"
"Kalau tidak tahu, sekarang aku sudah roboh terkapar."
"Jadi sebelum kemari kau sudah siap siaga?"
"Bahwa aku sudah bicara panjang lebar dengan kau, sudah tentu kau tidak akan membiarkan
aku berlalu demikian saja, jika tidak siap sedia, masakah aku berani meluruk kemari?"
Juragan Song mengertak gigi, katanya, "Tapi aku tak habis mengerti cara bagaimana kau
mampu melawan kekuatan Hoa-kut-ciang."
"Kau boleh memikirkannya sendiri."
Bersinar lagi biji mata Song-lopan.
"Asal kau mau membeberkan siapa yang merias dirimu, mungkin kau masih bisa berpikir
sepuluh atau dua puluh tahun."
"Kalau tidak kukatakan?"
"Kalau begitu selamanya kau takkan punya kesempatan untuk berpikir lagi."
Song-lopan menatapnya, katanya dingin, "Mungkin hakikatnya aku tidak perlu berpikir, mungkin
aku pun bisa memaksa kau mengatakan."
"Sedikit kesempatan pun kau sekarang tiada lagi"ancam Yap Kay.
"O." "Asal tanganmu bergerak, seketika aku bisa membikin kau mampus di atas ranjang," tutur
katanya lemah lembut, namun nadanya mengandung keyakinan yang menggiriskan orang yang
diancam, siapa pun tak berani untuk tidak mempercayai ancaman ini.
Kata Song-lopan dengan menghela napas, "Sebetulnya siapakah kau, aku tidak tahu, tapi aku
percaya kepadamu."
"Aku tanggung kau tidak akan kecewa," ujar Yap Kay tertawa.
"jika tidak kubeberkan, selamanya kau tidak akan tahu siapa ...." kata-katanya tidak sempat
habis diucapkan. Sekonyong-konyong sekujur badannya tiba-tiba gemetar dan mengejang, sorot
matanya berubah jadi kelabu lalu hitam, mirip benar dengan dua pelita yang tiba-tiba padam
karena kehabisan minyak.
Sebat sekali Yap Kay menerjang maju. Maka dilihatnya sebatang jarum menancap di atas
jidatnya. Sebarang jarum yang berwarna hijau keputihan.
Toh-popo turun tangan lagi! Ternyata dia memang belum mati
Dimanakah dia" Apakah dia menyamar jadi istri juragan Song ini" Tapi nenek ubanan ini terang
sudah lumpuh, napasnya pun berhenti, memangnya Hoa-kut-ciang tidak bisa dilawan oleh siapa
pun seperti keadaan Yap Kay sekarang.
Darimana Toan-yang-ciam ini ditimpukkan" Waktu Yap Kay angkat kepala, maka dilihatnya
sebuah pintu angin di langit-langit rumah, daun pintunya sudah tersingkap terbuka.
Dia tidak segera menerjang naik ke atas. Dia cukup tahu macam apa sebenarnya senjata
rahasia seperti Toan-yang-ciam itu.
Darimana tadi dia masuk ke kamar tidur ini, sekarang dari sana pula dia keluar. Karena dia tahu
jalan yang ditempuhnya ini paling aman.
0oo0 BAB 23. BUNYI KELINTINGAN
Di bilangan luar tembok terdapat pula sebuah pekarangan kecil.
Waktu Yap Kay mengundurkan diri dan keluar dari pintu, sinar surya masih tetap cermelang,
seekor kucing tengah mengawasi seekor kupu-kupu yang sedang menari-nari di atas rumput
kembang di pojok tembok sana. Ingin menangkapnya, tapi agaknya malas bergerak.
Sudah tentu tiada bayangan seorang pun di atas rumah.
Yap Kay tahu di atas rumah pasti takkan bisa menemukan bayangan orang, sudah tentu Tohpopo
tidak begitu goblok masih menunggunya di atas sana.
Tiba-tiba dia menghela napas, dia merasakan dirinya mirip dengan kucing jantan itu, dikiranya
asal dirinya mau turun tangan, dengan mudah akan bisa menangkap kupu-kupu itu.
Sebetulnya umpama kucing itu tidak malas, tetap dia tidak akan bisa menangkap kupu-kupu
itu. Kupu-kupu bukan tikus, kupu-kupu bisa terbang.
0oo0 Kupu-kupu terbang lebih tinggi, sekonyong-konyong sepasang tangan terulur masuk dari luar
tembok, "Plak", kupu-kupu itu tahu-tahu sudah terjepit di antara kedua telapak tangannya.
Kupu-kupu menghilang, tangan itupun lenyap. Tapi di atas tembok tahu-tahu duduk seseorang.
Di luar tembok ternyata adalah sebuah sawah ladang yang sudah lama telantar, entah yang
ditanam di sana gandum atau kapuk. Di tanah tandus seperti ini, tanaman apa pun yang kau
tanam di sini, pasti tidak akan menghasilkan panen yang memuaskan, tapi toh tanah di sini tetap
dicangkul dan ditanami apa saja yang bisa tumbuh. Itulah kehidupan.
Semua orang harus hidup, setiap orang harus berdaya-upaya untuk hidup.
Di tengah-tengah ladang telantar ini terdapat sebuah bangunan rumah kecil yang bobrok,
penghuninya adalah keluarga yang paling muskin di tanah tandus yang serba kekurangan ini.
Maka anak-anak kecil yang tumbuh dan dilahirkan dari rumah kecil reyot ini, semuanya memiliki
roman muka yang pucat hijau seperti warna sayur.
Akan tetapi anak betapapun tetap anak. dia tetap tumbuh menjadi dewasa dengan riang dan
lincah. Saat itu kebetulan ada tujuh delapan anak-anak tengah berjajar membundar berdiri
mengelilingi pohon dengan membelalakkan mata mengawasi seseorang yang duduk di bawah
pohon.
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yap Kay yang sedang duduk di atas tembok pun sedang mengawasi orang ini. Orang ini
memiliki raut muka bundar, biji mata yang besar, kulit badannya putih laksana salju, kalau tertawa
tampak lesung pipit pada kedua pipinya.
Perempuan ini belum terhitung amat cantik, tapi tak usah disangsikan bahwa dia ini seorang
gadis elok yang lincah dan Jenaka.
Waktu itu dia mengenakan gaun panjang warna putih yang terbuat dari kain halus dan lemas
semampai, di atas lehernya yang jenjang dan putih itu mengenakan kalung gelang warna kuning
yang terbuat dari emas, pada kalung gelang emas ini tergantung pula dua buah kelintingan emas.
Kedua tangannya masing-masing juga mengenakan gelang bundar emas, di atas gelang
tangannya itupun tergantung masing-masing dua kelintingan emas, bila angin menghembus,
kelintingan yang tergantung di badannya itu lantas bersuara nyaring dan merdu.
Tapi tadi dia tidak berpakaian seperti ini, tadi dia mengenakan seperangkat pakaian serba
merah yang kebesaran. Kalau tadi dia berdiri di atas tiang bendera, sekarang dia duduk di bawah
pohon. Di hadapannya menyanding sebuah meja kayu yang sudah hampir rusak, di atas meja
pendek ini tertata sebuah anak-anakan kecil terbuat dari tanah liat yang mengenakan pakaian
merah, sebuah medali perak yang diukiri kembang, sebuah mainan kalung dari batu akik, sebuah
rantai yang berwarna-warni, sepasang dompet yang bersulam daun dan kembang teratai, sebuah
sangkar burung dan sebuah tempayan ikan. Kupu-kupu yang baru saja dia tangkap juga berjajar
di antara barang-barang itu.
Siapa pun takkan tahu darimana gadis ini membawa barang-barang itu kemari. Anehnya, di
dalam sangkar burung itu terdapat sepasang burung kenari, demikian pula di tempayan itu
terdapat beberapa ekor ikan mas.
Anak-anak yang mengelilingi dan mengawasinya itu, seolah-olah sedang mengawasi bidadari
yang baru saja turun dari kahyangan.
Gadis itu bertepuk tangan, lalu katanya tertawa, "Baik, sekarang kalian boleh berbaris, satu per
satu maju ke depan memilih barang, tapi satu orang hanya boleh mengambil satu, yang tamak
dan nakal akan kuhajar pantatnya."
Anak-anak itu ternyata amat patuh dan mendengar aba-abanya. Anak pertama beranjak maju,
setengah harian matanya terbelalak mengawasi barang-barang di depannya, sekian lama dia
menjublek, karena semua barang-barang yang terpampang di depannya belum pernah dilihatnya,
boleh dikata dia sudah kabur dan bingung melihatnya, tapi akhirnya dia toh memilih medali perak
itu. Anak kedua memilih sepasang burung kenari.
Gadis cantik bermata besar itu berkata dengan tertawa, "Bagus, pilihan kalian baik sekali, kelak
pasti bisa belajar berdagang, yang lain bisa belajar sekolah dan jadi penyair yang kenamaan."
Kedua anak itu tertawa lebar, tertawa riang gembira.
Anak ketiga adalah perempuan, yang dia pilih adalah dompet bersulam itu.
Anak keempat berusia paling kecil, ingusnya masih meleleh keluar, sekian lama dia celingukan
pilih sana-sini, akhirnya dia memilih kupu-kupu mati itu.
Gadis itu mengerut alis, katanya, "Kau tahu apakah ini?"
Anak itu manggut-manggut, sahutnya, "Kupu-kupu yang telah mati."
"Tahukah kau barang yang lain lebih bagus dari kupu-kupu mati ini?"
Anak itu manggut-manggut.
"Kenapa tidak kau pilih lain barang, kenapa kau ambil kupu-kupu mati ini?"
Anak itu menyeka ingusnya dengan tangan, sahutnya ragu-ragu, "Karena bila aku memilih
barang yang lain, mereka pasti mencari akal untuk merebutnya, aku tidak unggulan berkelahi
dengan mereka, barang yang tidak baik ini pasti tidak akan direbutnya, aku bisa bermain beberapa
hari dengan aman dan tenteram."
Gadis mata besar mengawasinya, tiba-tiba tertawa, katanya, "Tak kukira kau bocah sekecil ini
sudah begini pintar."
Merah muka anak itu, dia menundukkan kepala.
Kata gadis itu sambil mengedip mata, "Aku kenal satu orang, cara berpikirnya boleh dikata
persis dengan kau."
Tak tahan tanya anak itu, "Dia pun bukan tandingan orang lain?"
"Dulu dia selalu kalah melawan orang, maka dia pun seperti kau, selalu rela diri sendiri yang
rugi dan menderita."
"Belakangan bagaimana?"
"Lantaran itu maka dia giat mempelajari ilmu dan kepandaian, sekarang tiada orang yang
berani melawannya lagi."
Anak itu tertawa senang, katanya, "Sekarang semua barang yang baik pasti sudah menjadi
miliknya."
"Benar, oleh karena itu bila kau ingin memiliki barang-barang baik, maka kau harus belajar
seperti dia, kejarlah ilmu dan tuntutlah kepandaian, kau paham?"
"Aku tahu, seseorang bila tidak ingin dihina dan dianiaya orang, maka dia sendiri harus punya
kepandaian."
"Benar sekali," puji si gadis, lalu dari tangannya dia menanggalkan sebuah kelintingan emas,
katanya, "Nih kuberikan kepadamu, jika ada orang merebut milikmu ini, laporkan kepadaku, biar
kuhajar pantatnya."
Ternyata anak itu geleng-geleng kepala, katanya, "Sekarang aku tidak mau."
"Kenapa?"
"Karena kau pasti akan pergi, kalau kuterima, cepat atau lambat toh bakal mereka rebut, kelak
bila aku sudah punya kepandaian, sudah tentu aku bakal memiliki banyak barang."
"Bagus," seru gadis itu bertepuk tangan, "Kau bocah ini kelak pasti jempolan."
"Apakah aku bisa menyerupai temanmu itu?" tanya si anak dengan berkedip-kedip mata.
"Betul sekali," sahut si gadis, tiba-tiba dia membungkukkan badan mencium pipi si anak kecil
mungil ini. Dengan muka merah bocah ini segera berlari pergi, tapi beberapa langkah kemudian dia
berhenti dan berpaling, tanyanya pula, "Orang yang mengejar ilmu dan menuntut kepandaian itu
siapa namanya?"
"Kenapa kau tanyakan namanya?"
"Karena aku akan belajar seperti dia, maka namanya harus kuukir dalam sanubariku."
Berkedip-kedip mata si gadis, sahutnya lembut, "Baik, kau ingat, dia she Yap dan bernama
Kay." 0oo0 Akhirnya bocah-bocah itu berlalu seluruhnya.
Gadis itu menggeliat dan memuntir pinggang, badannya menggelendot ke batang pohon di
belakangnya, sepasang matanya yang besar dan bening tengah mengerling ke arah Yap Kay.
Yap Kay sedang tersenyum simpul.
Kata si gadis dengan mengerling penuh arti, "Apa yang kau banggakan" Aku hanya menyuruh
setan kecil yang masih ingusan untuk belajar seperti dirimu saja."
"Sebetulnya dia lebih patut kalau belajar seperti kau."
"Apaku yang harus dia pelajari?"
"Asal melihat barang baik, ambil dulu urusan belakang, peduli akhirnya direbut orang atau
tidak?" Gadis itu menggigit bibir, melotot kepadanya, lama juga baru dia berkata pelan-pelan, "Tapi
kalau memang barang yang kusukai, umpama ada orang berani merebutnya, cepat atau lambat
aku pasti akan merebutnya kembali, merebutnya kembali meski harus mempertaruhkan jiwa dan
raga." Yap Kay tertawa getir, katanya menghela napas, "Tapi barang apa saja yang sudah diincar dan
disenangi oleh Ting-toasiocia, memangnya siapa yang berani merebutnya?"
Gadis itu tertawa cekikikan, katanya tersenyum lebar, "Mereka tidak datang merebutnya,
terhitung nasib mereka yang mujur." Saking gelinya dia tertawa terpingkal-pingkal, semua
kelintingan di badannya sampai tergoncang dan berbunyi nyaring.
Dia atau gadis mata besar ini bernama Ting Hun-pin. Maka kelintingan di badannya itupun
dinamakan kelintingan milik Ting Hun-pin.
0oo0 Kelintingan Ting Hun-pin ini bukanlah barang mainan seperti mainan umumnya, barang mainan
ini tidak boleh dibuat main-main dengan sembarangan.
Bukan saja barang mainan ini tidak lucu dan menggelikan, malah boleh dikata amat
menakutkan. Sebetulnya orang-orang persilatan di Kangouw boleh dikata jeri dan ketakutan menghadapi
kelintingan milik Ting Hun-pin ini.
Tapi Yap Kay terang tidak perlu menakutinya. Seolah-olah tiada sesuatu di dunia ini yang bisa
membuatnya takut.
Setelah tertawa Ting Hun-pin lantas mengawasinya dengan mendelik, serunya, "Hai, kau sudah
lupa belum?"
"Lupa apa?" tanya Yap Kay.
"Urusan yang kau minta agar aku mewakilkan kau menyelesaikan itu, jelek-jelek aku sudah
menyelesaikan tugasku dengan baik."
"O, soal tugas apa?"
"Kau suruh aku menyaru jadi Lok Siau-ka, untuk menyelidiki asal-usul orang-orang itu."
"Agaknya kau tidak berhasil mencari tahu siapa mereka sebenarnya."
"Hal ini tidak boleh kau salahkan aku."
"Tidak salahkan kau, memangnya harus menyalahkan siapa?"
"Salahmu sendiri, kau sendiri yang bilang dia tidak akan datang begitu cepat."
"Pernah aku bilang demikian?"
"Kau malah bilang, umpama dia sudah datang, kau pun takkan dirugikan."
"Memang kau agaknya tidak dirugikan."
"Tapi kapan aku pernah dibuat malu oleh orang demikian?"
"Siapa suruh kau tidak mau bekerja dengan baik. pintarmu hanya menyalahi orang lain melulu."
Tiba-tiba biji mata Ting Hun-pin mendelik bundar lebih besar dari kerlingannya, serunya keras,
"Orang lain" Siapa orang lain yang kau maksud" Memangnya apa hubunganmu dengan dia"
Sampai sekarang kau masih bicara membelanya?"
Yap Kay geleng-geleng dengan tertawa getir, "Paling tidak dia toh tidak berbuat salah
kepadamu."
"Meski dia tidak salah kepadaku, tapi melihat dia berdiri di sampingmu, aku merasa terlalu
menyolok pandangan." Orang lain pasti mengira dia sedang cemburu kepada Lok Siau-ka, siapa
tahu ternyata lantaran Yap Kay. Jadi kata-kata yang dilontarkan kepada Lok Siau-ka tadi,
hakikatnya dia tujukan kepada Yap Kay.
Dengan melotot dan bertolak pinggang, sikapnya lebih garang, katanya pula, "Sudah tiga bulan
lebih aku mengejarmu, dengan susah-payah baru kutemukan kau di sini, kau minta aku menyaru
jadi malaikat meniru setan, aku pun menurut saja, dalam hal apa kurang memuaskan hatimu,
hayo katakan!"
Apa pula yang masih bisa dikatakan oleh Yap Kay"
Dengan jengkel Ting Hun-pin membanting kaki, begitu kakinya bergerak suara kelintingan
segera berdenting, jadi kakinya pun ada kelintingan, tapi kata-katanya lebih cepat dan lebih
nyaring dari suara kelintingannya.
Umpama Yap Kay ada maksud hendak bicara, dia toh tiada kesempatan untuk bicara.
"Kutanya kau, terang kau hendak menghadapi Ban-be-tong. kenapa membantu putrinya juga"
Sebetulnya budak itu punya hubungan rahasia apa dengan kau?"
"Hubungan apa pun tiada," sahut Yap Kay.
"Baik, kau sendiri yang bilang, kalau kalian tiada hubungan apa-apa. biar sekarang juga kuluruk
dia dan membunuhnya." Setiap patah kata yang pernah diucapkan oleh Ting-toasiocia, selamanya
pasti dilaksanakan.
Tersipu-sipu Yap Kay melompat turun, katanya sembari mencegah dan mengalinginya, "Entah
berapa banyak gadis-gadis yang pernah kukenal memangnya kau hendak membunuh mereka
semua?" "Aku hanya bunuh yang satu ini?"
"Kenapa?"
"Aku senang."
"Baiklah, sebetulnya apa kehendakmu atas diriku?"
"Aku ingin kau apa" Memangnya apa yang kuinginkan lantas kau mau menurut?"
"Asal apa yang kau minta masuk akal dan tidak kelewat batas, apa pun keinginanmu pasti
kupenuhi."
"Apa benar?"
"Ehm!"
Berputar biji mata Ting Hun-pin, katanya, "Pertama, aku ingin selanjutnya kemanapun kau
pergi, jangan kau tinggalkan aku."
"Ehm, baik!"
Biji mata Ting Hun-pin yang besar menyipit, dengan memicingkan mata dia mengawasi Yap
Kay, sementara barisan giginya yang putih seperti biji mentimun itu menggigit bibir, katanya
sambil mengerling, "Masih ada, kau harus menggandeng tanganku, berjalan-jalan satu putaran di
dalam kota, supaya penduduk kota tahu aku adalah ... adalah temanmu, kau mau tidak?"
Yap Kay menghela napas, katanya dengan kecut, "Jangan kata hanya menggandeng tanganmu,
umpama aku harus menggandeng kakimu pun tiada halangannya."
Ting Hun-pin tertawa riang. Bila dia tertawa, kelintingan di badannya segera berbunyi nyaring,
senyaring suara cekikik tawanya.
Tatkala itu segulung angin sedang menghembus, terasa sepoi-sepoi, hawa segar dan nyaman.
Dalam keadaan seperti ini, suara kelintingan Ting Hun-pin kedengarannya sungguh amat
mengasyikan. 0oo0 Terik matahari.
Bumi seolah-olah dipanggang menjadi panas dan merekah, sepanas roti yang baru dikeluarkan
dari tungku panggangan.
Be Hong-ling sedang mengeprak kudanya sekencang-kencangnya, membedal di padang
rumput. Padang rumput nan luas, langit cerah tak berujung pangkal.
Butiran keringat berderet-deret mengalir turun laksana mutiara melalui ujung hidungnya,
bertetesan, seluruh badannya seolah-olah sedang dipanggang di atas tungku. Hakikatnya dia tidak
tahu sekarang dirinya hendak menuju kemana. Sampai sekarang baru dia benar-benar meresapi
betapa dirinya harus dikasihani mendadak timbul rasa iba dan simpatik terhadap keadaan dirinya
yang serba kasihan.
Walaupun dia punya rumah, tapi tiada seorang pun keluarga di rumahnya yang betul-betul mau
memahami dirinya. Sim Sam-nio tinggal pergi, sekarang ayahnya menghilang entah kemana.
Bagaimana dengan teman-teman" Tiada seorang pun yang menjadi temannya, para gembala
kuda itu terang bukan, Yap Kay ... lebih baik kalau Yap Kay mampus saja.
Mendadak dia menyadari bahwa dirinya seolah-olah sebatangkara di dunia ini, tiada seorang
pun yang menjadi saudaranya lagi. Perasaan yang mencekam sanubarinya ini boleh dikata hampir
membuatnya gila.
0oo0 BAB 24. TERIK MATAHARI MENYINARI PANJI SAKTI
"Koan-tang-ban-be-tong!"
Bendera besar yang bertuliskan kelima huruf menyolok ini berkibar-kibar dengan megahnya di
tengah angkasa.
Jika kau berdiri di padang rumput, melihatnya dari kejauhan, ada kalanya kau akan merasa
mirip sepasang kekasih yang harus berpisah, sedang melambaikan sapu tangan di kejauhan.
Kelima huruf besar yang menyolok dengan warna merah itu, mirip benar dengan cucuran darah
sang kekasih. Air mata dan darah.
Bukankah kelima huruf menyolok itu hasil dari sulaman air mata dan darah.
Saat itu berdiri seseorang di tengah padang rumput, diam-diam mengawasi bendera besar yang
berkibar-kibar ini. Perawakannya rada kurus tapi kekar dan kuat, namun seolah-olah membawa
gambaran sunyi dan sebatangkara.
Langit membiru, rumput tumbuh subur menjulang tinggi, dia berdiri di sana, mirip sebatang
pohon yang tumbuh dengan kekar dan kuat di padang rumput. Pohon pun kuat dan kekar,
sebatangkara pula. Entahlah apakah pohon itu juga merasa menderita dan dendam seperti
perasaan yang bergejolak dalam benaknya.
Be Hong-ling dari kejauhan sudah melihatnya, melihat golok hitam di tangannya. Bayangan
orang yang samar-samar, golok yang membawa firasat jelek.
Tapi begitu Be Hong-ling melihatnya, dalam lubuk hatinya yang paling dalam tiba-tiba timbul
rasa hangat yang tak bisa diutarakan, seolah-olah baru saja secangkir arak pahit yang keras dan
panas dia tuang ke dalam tenggorokannya. Semestinya tidak pantas dia punya perasaan seperti
ini. Seorang yang tidak sebatangkara, bila melihat seorang lain yang sebatangkara, perasaan
seperti itu kecuali dirinya sendiri, siapa pun tidak akan bisa menyelaminya.
Tanpa banyak pikir, dia keprak kudanya menuju ke arah orang.
0oo0 Seolah-olah Pho Ang-soat tidak merasakan kedatanganya, paling tidak berpaling melihat ke
arahnya. Be Hong-ling melompat turun dari punggung kuda, berdiri di belakang orang, dia pun
mengawasi bendera besar itu, di kala hembusan angin berlalu, kupingnya dengan jelas dapat
mendengar napas Be Hong-ling yang tersengal-sengal.
Angin sepoi-sepoi saja.
Terik panas matahari terasa membara sehingga hembusan angin terasa tertekan, sehingga
kekuatan angin amat lemah, tapi bendera masih kuasa dihembusnya sampai berkibar-kibar.
Tiba-tiba Be Hong-ling berkata, "Aku tahu apa yang tengah kau pikirkan."
Pho Ang-soat tak mendengar, dia menolak untuk mendengarkan.
Be Hong-ling berkata pula, "Dalam hatimu tentu sedang berpikir, akan datang suatu hari aku
pasti akan membacok roboh bendera ini."
Bibir Pho Ang-soat terkancing rapat, dia pun menolak untuk berbicara. Tapi dia tidak bisa
melarang Be Hong-ling berpidato, katanya dingin, "Tapi selamanya kau takkan mampu
merobohkannya. Untuk selamanya!"
Punggung tangan Pho Ang-soat yang menggenggam golok semakin kencang sampai otot-otot
hijau merongkol keluar.
"Oleh karena itu," kata Be Hong-ling lebih lanjut, "kuberi nasehat kepadamu, lebih baik kau
lekas menyingkir, semakin jauh kau pergi semakin baik."
Pho Ang-soat tiba-tiba membalik badan, menatapnya tajam. Sorot matanya seolah
memancarkan bara, seolah-olah hendak membakarnya menjadi hangus. Lalu berkatalah dia
dengan tandas dan tegas, "Kau tahu yang hendak kubacok roboh bukan bendera itu, tapi adalah
batok kepala Be Khong-cun!" Kata-katanya setajam golok.
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa disadari Be Hong-ling menyurut mundur dua langkah, tapi suaranya malah lebih keras,
"Kenapa kau harus membencinya begitu rupa?"
Tiba-tiba Pho Ang-soat tertawa, barisan giginya yang memutih tampil ke depan, tawa seringai
yang lebih mirip binatang buas yang sedang marah. Siapa pun melihat tawa seperti ini, pasti akan
merasakan betapa besar dan menakutkan dendam yang bersemayam di dalam relung hatinya.
Tanpa sadar Be Hong-ling menyurut lagi setengah langkah, katanya keras, "Tapi selamanya kau
pun takkan bisa merobohkan dia, dia jauh lebih kuat dari yang kau bayangkan, hakikatnya kau
takkan bisa menandinginya!"
Suaranya seperti orang berpekik. Maklumlah semakin takut hati seseorang, tanpa disadari
suaranya pasti akan lebih besar.
Suara Pho Ang-soat sebaliknya dingin dan tenang, "Kau tahu aku pasti dapat membunuhnya,
dia sudah tua, terlalu tua, begitu tuanya hingga dia tidak berani mengucurkan air mata, tidak
berani mengalirkan darah."
Dengan kencang Be Hong-ling mengertak gigi, tetapi badannya sebaliknya terasa lemas dan
lunglai, sampai pun tenaga untuk marah pun sudah berakhir, hanya takut yang melembari
sanubarinya. Tiba-tiba Be Hong-ling menundukkan kepala, katanya rawan, "Benar, beliau memang sudah
tua, tidak lain seorang tua bangka yang sudah tak punya kekuatan, oleh karena itu umpama kau
membunuhnya, bagi dirimu pun tidak akan membawa manfaat apa-apa."
Terunjuk senyuman sadis pada sorot mata Pho Ang-soat, katanya, "Apa kau memohon
kepadaku untuk tidak membunuhnya7"
"Aku ... aku sedang meminta kepadamu, selamanya belum pernah aku minta-minta kepada
siapa pun."
"Kau kira aku pasti menerima permintaanmu?"
"Asal kau sudi menerima, aku ...."
"Kau kenapa?"
Tiba-tiba merah muka Be Hong-ling, katanya tertunduk semakin dalam, "Boleh terserah
kepadamu apa yang kau hendaki akan diriku, kau akan pergi, aku ikut kau, kemana kau minta aku
pergi, selalu aku ikut kau."
Tanpa berganti napas Be Hong-ling mengutarakan maksudnya, setelah selesai bicara, baru dia
sadar, menyesal kenapa dia mengeluarkan kata-kata seperti itu. Diam-diam lahirnya bertanya,
apakah setulus hati dia mengutarakan janjinya itu.
Apakah karena dia sedang memancing dan menjajaki hati Pho Ang-soat, apakah Pho Ang-soat
masih begitu getol dan bergelora menginginkan dirinya untuk memuaskan nafsunya! Tapi cara
yang dia tempuh bukankah akal yang paling goblok, terlalu bahaya dan amat menakutkan.
Untung Pho Ang-soat tidak segera menampik, orang hanya mengawasinya dengan dingin. Tibatiba
terasa oleh Be Hong-ling, bukan saja sinar matanya sadis, malah mengandung juga rasa
rendah menghina dan jijik yang lebih menyakiti hati daripada kesadisannya itu. Seolah-olah orang
sedang berkata. "Kemarin malam kau menolakku begitu rupa, kenapa hari ini kau mencariku lagi?"
Serasa tenggelam hati Be Hong-ling, penghinaan tanpa suara dengan mimik dan sorot mata ini,
sungguh jauh lebih besar pukulannya daripada kau tolak secara mentah-mentah.
Mengawasinya, tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Hanya sepatah kata ingin kutanya kepadamu.
Apa benar lantaran ayahmu saja kau minta kepadaku" Ataukah untuk dirimu sendiri?" Tanpa
menunggu jawaban, segera dia putar badan melangkah pergi dengan gaya jalannya yang aneh
dan lucu. Gaya jalan yang lucu dan jelek serta tak enak dipandang ini, seolah-olah malah
menjadikan sindiran pula yang pedas dan menusuk perasaan.
Dengan kencang Be Hong-ling menggengam jari-jarinya dengan keras dia mengertak gigi, tapi
akhirnya dia roboh juga. Pasir terasa hangat,, terasa asin, getir dan panas. Demikian juga air
matanya. Kalau tadi dia sedang merasa kasihan akan nasibnya sendiri, simpati akan
penderitaannya, kini sebaliknya dia sedang membenci awak sendiri, begitu bencinya sampai
hampir gila, begitu besar kebencian kepada diri sendiri, ingin rasanya bumi ini merekah dan kiamat
segera menguburnya hidup-hidup.
Kalau tadi dia hanya ingin menghancurkan orang-orang yang mengingkari dan membuang
dirinya, sekarang justru dia ingin menghancurkan dirinya sendiri....
0oo0 Untuk menghancurkan orang lain mungkin agak sukar, sebaliknya hendak menghancurkan diri
sendiri, jauh lebih gampang. Peduli siapa pun paling sedikit pasti bisa menemukan lima puluh cara
untuk menghancurkan diri sendiri. Sudah tentu satu di antara kelima puluh cara itu adalah cara
yang paling bodoh.
0oo0 Gudang di bawah tanah itu lembab dan gelap. Gudang ini sebetulnya hanya untuk
menyembunyikan arak, kini layon Kongsun Toan berada di sini. Begitu juga Ban-be-tong-cu pun
berada di sini.
Dia berlutut di lantai batu yang lembab dingin, berlutut di depan layon Kongsun Toan,
kelihatannya menderita dan sedih. Mungkin yang dia sedihkan bukan kematian Kongsun Toan, tapi
adalah dirinya sendiri.
Masa lalu bagai asap mengepul tinggi dan menghilang. Kini laksana asap tebal yang bergulunggulung
kejadian masa lalu kembali terbayang di depan matanya. Di dalam relung hatinya.
Kegagahan di masa muda, perjuangan gigih di masa usia menanjak, serta pikiran iri dan jelus
yang menghantui sanubarinya setelah menginjak usia lanjut....
Darah yang tergenang di dalam cangkir arak emas di waktu angkat saudara, darah di atas
golok waktu membunuh orang, darah mengalir di dadanya, mengalir membasahi salju.
Sekarang noktah-noktah darah di atas golok sudah tercuci bersih, darah di dadanya sudah
dingin. Dengan apa hutang darah itu harus dilunasi"
Manusia kenapa setelah lanjut usia, baru akan menyadari betapa besar dan menakutkan serta
memalukan dosa-dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu! Sekarang apakah dia sedang
menyiksa diri"
0oo0 Hendak menyiksa orang lain mungkin sulit, tapi untuk menyiksa diri sendiri, sudah tentu jauh
lebih gampang. Setiap insan di dunia ini pasti dengan mudah akan dapat menemukan lima puluh cara untuk
menyiksa diri. Tapi siksa bukan penghancuran, ada kalanya penyiksaan melulu hanya untuk membuat dirinya
menjadi tenang dan sadar, lebih teguh dan kuat imannya.
0oo0 Sinar matahari kebetulan menyinari jalan raya. Tiada bayangan seorang pun yang lewat di jalan
raya, tapi di antara celah-celah pintu atau celah-celah jendela dan lubang dinding, entah berapa
pasang mata sedang mengintip keluar, mengintip satu orang.
Mengintip Lok Siau-ka.
Saat itu Lok Siau-ka sedang merendam diri dan mandi di dalam sebuah gentong air kayu
setinggi enam kaki, gentong kayu itu terletak tepat di tengah jalan raya. Airnya penuh, dia berdiri
di dalam gentong air, kebetulan hanya kepalanya saja yang menongol di permukaan air.
Seperangkat pakaian yang serba baru, terlempit dan tergosok rapi tengah ditaruh di atas rak di
sebelah gentong kayu. Demikian juga pedangnya berada di atas rak, di sebelahnya lagi sudah
tentu tersedia pula sebungkus kacang.
Tinggal mengulur tangan saja dengan mudah dia menjemput kacang, baju dan pedang, saat itu
dia sedang menjemput sebutir kacang, dikupas kulitnya, isinya terus dilempar ke atas, mulut pun
terbuka. Kacang itu tepat masuk ke dalam mulut. Kelihatannya dia amat gembira menikmati
kacangnya. Cahaya matahari amat terik, air dalam gentong itupun menguapkan asap panas, tapi sebutir
keringat pun tidak kelihatan di raut wajahnya. Agaknya dia merasa kurang puas, gentong diketokketoknya
dengan keras, serunya lantang, "Godok air, godok air panas lebih banyak."
Dua orang segera berlari keluar dari balik pintu sempit itu sambil menenteng dua teko besar
berisi air panas, kedua orang ini adalah Ting-losu dan seorang yang lain bermuka kuning,
memelihara kumis tikus, dia bukan lain adalah juragan beras, yaitu Oh-ciangkui. Selintas pandang
dia kelihatannya mirip benar dengan seekor tikus yang sedang mencuri beras.
Kata Lok Siau-ka mengerut kening, "Kenapa hanya kalian berdua, mana orang she Tan?"
Oh-ciangkui mengunjuk tawa, katanya, "Dia sebentar akan datang, mungkin sekarang dia
sedang mencari cewek, maklumlah perempuan di tempat ini yang benar-benar cantik sukar dicari."
Sampai di sini ucapannya, seketika matanya terbelalak, karena dilihatnya seorang perempuan
cantik muncul di sana.
0oo0 Perempuan ini muncul diiringi suara kelintingan yang nyaring merdu, suara tawanya yang
cekikikan itupun semerdu dan senyaring suara kelintingan.
Matahari menyinari badannya, seluruh badannya memancarkan cahaya emas kemilau, tapi kulit
badannya begitu mulus laksana batu jade.
Pakaian yang dikenakan adalah gaun sutra tipis yang lemas, waktu angin menghembus, napas
setiap laki-laki yang mengawasinya pasti akan berhenti. Jari-jari tangannya yang runcing dan
mulus, tengah menggandeng lengan seorang laki-laki.
Kalau biji mata Oh-ciangkui melotot terpesona, demikian juga mata-mata yang mengintip di
dalam rumah itupun terpesona dan kagum. Lapat?lapat mereka masih ingat, perempuan ini
adalah nona baju merah yang amat menyenangi Lok Siau-ka itu. Siapa pun takkan menduga kini
dia tengah menarik lengan Yap Kay, dalam waktu yang genting ini mendadak muncul bersama di
tempat ini. Kebanyakan orang tahu bahwa nanti perempuan gampang dan cepat berubah, betapapun
mereka tidak menduga perempuan ini berubah begini cepat.
Ting Hun-pin justru tidak mempedulikan apa yang tengah dipikir orang lain. Demikian pula
sorot matanya sedikit pun tidak peduli pandangan orang lain. Memangnya tiada orang lain dalam
pandangan matanya, dia hanya mengawasi Yap Kay, katanya tiba-tiba dengan tertawa, "Hari ini
terang adalah cuaca yang cocok untuk membunuh orang, kenapa justru ada orang hendak
menyembelih babi?"
"Menyembelih babi?"
"Kalau tidak menyembelih babi, untuk apa memerlukan air panas sebanyak itu?"
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Kabarnya orang melahirkan anak juga memerlukan air hangat."
Berkedip-kedip biji mata Ting Hun-pin, katanya, "Anehnya, kenapa begitu dilahirkan, bocah itu
sudah begini gede."
"Apakah kandungan raksasa?"
Dengan bersungguh-sungguh Ting Hun-pin manggut-manggut, katanya menahan geli, "Ya,
pasti kandungan raksasa."
Tak tertahan, terdengar seseorang tak kuat menahan geli dan tertawa di belakang pintu. Tapi
suara tawa tiba-tiba berubah jadi suara jeritan, sekeping kulit kacang tiba-tiba terbang masuk
melalui celah-celah pintu dan merontohkan dua buah giginya.
Roman muka Lok Siau-ka membesi hijau, seolah-olah duduk di dalam air es, matanya menatap
Ting Hun-pin, katanya menyeringai, "Ternyata kau nona Ting yang ingin mampus."
Mengerling genit biji mata Ting Hun-pin, katanya berseri tawa, "Betapa menusuk pendengaran
istilah 'ingin mampus' yang kau katakan ini, kenapa tidak kau panggil namaku yang terdengar
lebih enak dirasakan itu?"
"Seharusnya aku sudah ingat akan dirimu," ujar Loh Siau-ka, "Tidak banyak orang yang berani
menyaru sebagai diriku."
"Sebetulnya namamu sendiri pun tak enak didengar, aku tetap heran, kenapa ada orang
memanggilmu Bwe-hoa-lok (menjangan kembang)?"
"Mungkin karena mereka tahu bahwa tanduk menjangan amat tajam, siapa pun yang
membenturnya pasti binasa."
"Kalau begitu lebih mirip kalau kau dinamakan Toa-cui-gu (kerbau air) saja, bukankah tanduk
kerbau lebih lihai?"
Lok Siau-ka seketika menarik muka. Baru sekarang dia benar-benar menyadari adu mulut
dengan perempuan adalah cara yang kurang pintar, oleh karena itu segera dia merubah pokok
pembicaraan tanyanya, "Apakah Toakomu baik-baik?"
"Selamanya dia baik-baik, apalagi belakangan dia memenangkan sebilah pedang pusaka, dia
menang bertanding pedang dengan Hwi-king-kiam-khek dari Lam-hay-pay. Tentu kau tahu dia
paling suka menggunakan pedang bagus."
"Lalu bagaimana dengan Jikomu?" tanya Lok Siau-ka pula.
"Sudah tentu dia pun baik-baik, belakangan ini dia malah menghancur-leburkan Hoa-hong-tong
di Hopak, tiga ekor harimau yang ganas dan telengas itu terpenggal kepalanya, kau kan tahu dia
paling suka membunuh kaum perampok."
"Lalu Samkomu?"
"Dia yang lebih baik, dengan persaudaraan Lamkiong dia bertempur tiga hari lamanya, pertama
adu nyanyi, lalu main catur, baru adu pukulan, dan bertanding pedang, akhirnya tiga puluh guci
Li-ji-ciu simpanan keluarga besar Lamkiong selama bertahun-tahun dia miliki seluruhnya, di
samping itu dia hukum mereka untuk bernyanyi dan berjoget," dengan tersenyum lebar dia
meneruskan, "Kegemaran Ting-samsiauya adalah arak dan perempuan cantik, tentunya kau pun
sudah tahu."
"Apa yang paling disukai oleh para Cihumu?" tanya Lok Siauka pula. Cihu adalah suami kakak
perempuan. "Yang paling disukai oleh Cihuku sudah tentu Ciciku."
"Kau punya berapa Cici?"
"Tidak banyak, hanya enam."
"Tiga engkoh, enam kakak?"
"Memangnya kau belum kenal dengan Sam-kiam-khek dan Jit-sian-li dari keluarga Ting?"
Lok Siau-ka tiba-tiba tertawa, ujarnya, "Baik sekali."
"Apa maksudnya baik sekali?"
"Maksudku ialah, untung keluarga Ting banyak perempuannya, laki-lakinya sedikit."
"Memangnya kenapa?"
"Kau tahu selamanya aku tidak suka membunuh perempuan."
"O, lalu?"
"Untung tidak banyak. Hanya membunuh tiga orang."
Tiba-tiba Ting Hun-pin menghela napas, katanya, "Tidak baik sekali."
"Tidak baik sekali?"
"Mereka tidak di sini, sudah tentu tidak baik."
"Kalau mereka di sini?"
"Asal satu di antara mereka di sini, sekarang kau sudah menjadi mayat menjangan."
Lekat-lekat Lok Siau-ka mengawasinya, tiba-tiba dia alihkan sorot matanya ke tumpukan
kacang di sebelahnya.
Seolah-olah karena dia akhirnya berhasil memilih sesuatu yang lebih baik, maka dia merasa
puas dan bangga akan pilihannya, sampai pun biji matanya yang bersinar tajam, kini berganti
lembut dan kalem.
Lalu diambilnya sebutir kacang, dikupas dan dilempar. Kacang yang bulat segar memutih itu di
bawah sinar matahari kelihatan membawa cahaya redup yang melegakan hati dan menyolok
pandangan, melihat kacang itu melayang jatuh masuk ke dalam mulutnya, baru dia pejamkan
matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu mulailah dia mengunyah.
Sinar matahari yang panas, air mandi yang hangat, kacang yang segar dan kering. Terhadap
segala sesuatu yang diinginkan dia merasa puas.
0oo0 Sebaliknya Ting Hun-pin merasa kurang puas.
Semua ini seolah-olah sebuah pertunjukan sandiwara yang sebenarnya bisa dilanjutkan ke
babak-babak selanjutnya. Malahan dia sudah siap melanjutkan peranannya sendiri.
Tak terkira Lok Siau-ka ternyata seorang pemain yang lugu dan kaku, seolah-olah pemain yang
sedang beraksi di atas panggung tiba-tiba melupakan kata-kata yang harus diucapkan, secara
tegas dan langsung menolak memerankan adegan selanjutnya.
Sungguh suatu kejadian yang menyebalkan.
Ting Hun-pin menghela napas, katanya sambil berpaling ke arah Yap Kay, "Sekarang tentunya
kau sudah tahu orang macam apa dia sebetulnya?"
"Dia memang seorang yang pintar."
"Orang pintar?"
"Orang pintar akan lebih tahu makan kacang dengan mulut tentu jauh lebih menggembirakan
daripada adu mulut dengan perempuan."
Ting Hun-pin menjadi gemas, ingin rasanya menggigitnya sekali.
Jika Yap Kay mengatakan Lok Siau-ka adalah seorang tuli, seorang lemah, maka sandiwara ini
tetap bisa diteruskan. Siapa nyana Yap Kay ternyata pun seorang pemain yang bodoh,
bahwasanya dia tidak mau bekerja sama dengan dirinya.
Setelah mengunyah habis kacang di mulutnya, Lok Siau-ka menghela napas pula, gumamnya,
"Baru sekarang aku tahu, ternyata perempuan pun suka melihat laki-laki mandi, kalau tidak,
kenapa dia tidak mau berlalu?"
Ting Hun-pin membanting kaki, tangan Yap Kay ditariknya, katanya dengan muka merah,
"Hayo kita pergi." Yap Kay tertarik pergi.
Begitu mereka putar badan, maka terdengarlah kumandang gelak tawa Lok Siau-ka, tawa
besar, tawa gembira.
Ting Hun-pin mengertak gigi, dengan kuku jarinya dengan keras dia cengkeram tangan Yap
Kay. "Tanganmu sakit tidak?" tiba-tiba Yap Kay bertanya.
"Tidak sakit."
"Kenapa tanganku sakit sekali?"
"Karena kau ini keparat, apa yang perlu kau katakan selamanya tidak mau kau utarakan."
"Kata-kata yang tidak patut diucapkan, selamanya aku pun tidak pernah mengatakan."
"Kau tahu aku ingin kau mengatakan apa?"
"Ehm, ya, aku tahu!"
"Kau kira tidak pantas dikatakan?"
"Karena tiada gunanya lagi."
"Kenapa tidak berguna?"
"Karena Lok Siau-ka sudah tahu bahwa kita sengaja hendak memancing kemarahannya. Dia
pun sadar dalam situasi seperti ini dirinya sekali-kali tidak boleh marah."
"Darimana kau tahu bila dia sudah tahu?"
"Karena bila dia tidak tahu, tidak perlu dia tunggu sampai sekarang, sejak tadi dia sudah
menjadi mayat menjangan."
"Agaknya kau amat mengaguminya."
"Tapi yang paling kagum justru bukan dia."
"Siapa?"
"Aku sendiri."
Ting Hun-pin menahan geli, katanya, "Aku masih tak melihat dalam hal apa kau patut
dikagumi."
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paling tidak ada satu hal"
"Hal yang mana?"
"Di waktu orang lain mencengkeram tanganku dengan kuku jarinya, ternyata aku masih purapura
tidak tahu "
Akhirnya tak tertahan Ting Hun-pin terpingkal-pingkal, katanya sambil melepas tangan,
"Adakalanya kau memang mirip dengan golek kayu." Dengan menarik tangannya, tawanya mekar
dan riang sekali.
Tiba-tiba Ting Hun-pin merasa puas dan bangga akan segala sesuatu di sekelilingnya, sehingga
tidak disadari olehnya bahwa sepasang mata yang cemburu dan benci sedang mengawasi mereka.
0oo0 Sorot mata Be Hong-ling menampilkan kebencian dan cemburu yang tak terperikan, seperti
mata serigala yang kelaparan mengincar mangsanya dia mengawasi mereka masuk ke dalam toko
Tan-toakoan. Mereka memang berkeputusan untuk menunggu di sini, menunggu sampai Pho Ang-soat
muncul, menunggu duel yang amat mendebarkan dan menakutkan itu.
Kebetulan bagi Ting Hun-pin, sekalian dia bisa membeli bahan-bahan pakaian baru. Memang
jarang perempuan menyia-nyiakan kesempatan baik untuk membeli pakaian.
Be Hong-ling melihat mereka dengan bergandeng tangan masuk ke dalam toko, kedua tangan
yang bergandengan ini, sungguh-sungguh telah merenggut hatinya.
Kenapa tiada laki-laki di dunia ini yang mau menarik tangannya seperti itu" Dia membenci
dirinya sendiri, kenapa dirinya selalu tidak menarik perhatian orang lain.
Di belakang tembok terdapat sebuah tempat gelap, sinar matahari tidak menyorot sampai di
sini. Terasa olehnya, dirinya bak seorang anak hnram yang dibuang oleh ayah-bundanya di pinggir
jalan. 0oo0 Air panas diantar datang pula.
Lok Siau-ka mengawasi Oh-ciangkun si juragan beras menuang air panas itu ke dalam gentong
mandinya, katanya, "Kenapa orangnya belum datang juga?"
"Orang siapa?"
"Orang yang kalian ingin supaya kubunuh."
"Dia pasti akan datang."
"Dia saja seorang masih belum cukup."
"Masih perlu siapa lagi?"
"Perempuan."
"Aku memang hendak mencari Tan-toakoan."
"Mungkin selamanya dia tidak akan kemari lagi."
"Kenapa?"
Lok Siauka tidak menjawab pertanyaan ini, dengan mata terpicing merem-melek dia mengawasi
tangan orang. Tangan orang kelihatan kering menguning dan kurus, tapi amat tenang dan gerak-geriknya
mantap, teko besar yang penuh terisi air panas itu seolah barang kosong belaka terjinjing di
tangannya. Mendadak Lok Siau-ka tertawa, katanya, "Orang lain bilang kau ini adalah juragan beras di sini,
apa betul?"
"Sudah tentu ...." Oh-ciangkui mengunjuk tawa berseri.
"Tapi semakin kupandang kau ini sedikit pun tidak mirip." Tiba-tiba dia merendahkan suaranya,
"Sejak mula aku sudah berpendapat tidak pantas kalian mengundangku kemari."
"Kenapa?" tanya Oh-ciangkui
"Dulu bila kalian ingin membunuh orang, bukankah selalu turun tangan sendiri?"
Air panas dalam teko sudah habis, tapi tangan yang menjinjing teko itu masih terangkat
bergantung di tengah udara. Lama juga baru tangan ini diturunkan, tiba-tiba Oh-ciangkui juga
merendahkan suaranya dan berbisik, "Kami hanya mengundangmu untuk membunuh orang,
bukan untuk menyuruhmu menyelidiki asal-usul kami."
Pelan-pelan Lok Siau-ka manggut-manggut, katanya tersenyum, "Memang masuk akal."
"Tarip yang kau minta, kami sudah membayarnya lunas, kan tiada orang yang menanyai asalusulmu."
"Tapi mana perempuan yang kuinginkan?"
"Perempuan..."
Belum habis Oh-ciangkui menjawab, tiba-tiba didengarnya seseorang berkata lantang, "Itu
bergantung perempuan macam apa yang kau inginkan?" Itulah suara perempuan.
Lok Siau-ka segera berpaling, maka dilihatnya seorang perempuan pelan-pelan muncul dari
balik tembok yang gelap sana. Perempuan yang masih muda belia, gadis yang cantik rupawan,
tapi sorot matanya penuh mengandung rasa kebencian, kemarahan dan dendam yang memburu
0oo0 Be Hong-ling sudah beranjak sampai ke tengah jalan. Cahaya matahari menyinari mukanya,
roman mukanya menampilkan mimik yang aneh, biasanya bila seseorang pesakitan digusur ke
gelanggang hukuman untuk dipenggal kepalanya, mimik mukanya sering menampilkan perasaan
seperti yang ditunjuk oleh mimik Be Hong-ling sekarang.
Pandangan Lok Siau-ka dari kaki pelan-pelan meninggi mengawasi mukanya, akhirnya berhenti
pada sepasang bibirnya. Bibirnya tipis dan basah lembut, mirip benar dengan delima merekah
yang baru saja matang.
Lok Siau-ka tertawa, katanya tersenyum, "Kau yang bertanya kepadaku perempuan jenis apa
yang kuinginkan?"
Be Hong-ling manggut-manggut.
Lok Siau-ka tertawa pula, ujarnya, "Perempuan seperti kau inilah yang sedang kuharapkan,
tentunya kau pun sudah tahu."
"Kalau begitu perempuan yang kau inginkan sekarang sudah ada."
"Kau sendiri maksudmu?"
"Ya, aku inilah."
Lok Siau-ka tertawa lebar.
"Kau kira aku menipumu?" Be Hong-ling menegas.
"Sudah tentu kau tidak akan menipuku, cuma kurasa paling tidak kau harus unjuk tawa dulu
kepadaku."
Be Hong-ling segera tertawa. Siapa pun harus mengakui bahwa dia memang sudah tertawa.
Tapi Lok Siau-ka malah mengerut kening.
"Kau belum puas juga?" tanya Be Hong-ling.
"Soalnya aku tidak suka melihat perempuan yang tertawa mirip orang menangis."
Bibir Be Hong-ling sampai berdarah karena tergigit kencang, lama baru dia berkata lirih, "Walau
jelek tawaku, tapi tugas lain pasti dapat kulakukan dengan baik."
"Kau bisa kerja apa?"
"Kerja apa saja yang kau inginkan?"
Lok Siau-ka mengawasinya lekat-lekat, tiba-tiba dia raih handuk di dalam baskom terus
dilempar ke arahnya. Terpaksa Be Hong-ling menangkapnya.
"Tahukah kau untuk apa handuk itu?" tanya Lok Siau-ka.
Be Hong-ling geleng-geleng kepala.
"Untuk menggosok punggung," kata Lok Siau-ka.
Mengawasi handuk basah di tangannya, tangan Be Hong-ling tiba-tiba gemetar, tahu-tahu
handuk itu jatuh karena tangannya menjadi lemas. Tapi lekas sekali dia sudah meraihnya, lalu
dipegangnya dengan kencang. Seolah-olah dia sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk
memegangi handuk itu, punggung tangannya yang berkulit halus putih itu kelihatan otot-otot
hijaunya yang merongkol karena terlalu keras mengerahkan tenaga. Sebetulnya dia sudah tahu
barang yang sudah tergenggam di tangannya takkan bisa terlepas jatuh lagi. Memangnya dia tidak
akan rela membiarkan barang apa pun jatuh dari tangannya, cukup banyak dia kehilangan.
Sudah tentu Lok Siau-ka tetap mengawasinya, sorot matanya tersenyum tajam laksana ujung
jarum, seolah-olah hendak menghujam ke hulu hatinya. Dengan mengertak gigi, tiba-tiba dia
bertanya, "Ada sepatah kata ingin kutanyakan kepadamu."
"Terus terang aku tidak suka perempuan yang cerewet, tapi kali ini boleh kulanggar
kebiasaanku ini, boleh kau bertanya!"
"Perempuan yang kau inginkan sekarang sudah kau dapat, tapi orang yang ingin kau bunuh
sekarang masih segar-bugar."
"Jadi kau tidak ingin dia hidup?" tanya Lok Siau-ka.
Be Hong-ling manggut-manggut.
"Kau kemari, hanya karena aku hendak membunuhnya?"
Be Hong-ling manggut-manggut pula sebagai jawaban.
Lok Siau-ka tertawa pula, katanya tawar, "Kau tidak usah kuatir, kutanggung dia tidak akan
berumur panjang."
0oo0 Waktu berlalu tanpa terasa, hari menjelang lohor, terik matahari semakin membara.
Tiba-tiba Be Hong-ling merasakan dirinya seperti semut yang berada di dalam kuali, dirinya
sedang digodok dan dipanggang. Dengan menggenggam kencang handuk di tangannya, pelanpelan
dia maju menghampiri.
Lok Siau-ka tersenyum menyambut kedatangannya, giginya yang putih laksana mutiara berkilau
ditimpa sinar matahari, kelihatan mirip benar dengan binatang liar....
0oo0 BAB 25. PEDANG YANG MENGGETARKAN
Hujan belum lama turun, tidak semestinya cuaca begini panas.
Keringat berketes-ketes membasahi jidat, lalu mengalir membasahi leher, terus mengalir turun
membasahi pakaian yang memang sudah kuyup.
Kadal yang berwarna gelap tengah mencari makan di tengah-tengah tumpukan pasir, seolaholah
ingin mencari suatu tempat yang nyaman untuk berteduh.
Rumput yang baru saja basah oleh air hujan, kini kering-kerontang pula oleh terik matahari.
Sampai pun hembusan angin pun terasa membara
Hembusan angin yang datang dari padang rumput, terasa laksana deru napas setan iblis yang
tersiksa di neraka.
0oo0 Hanya di dalam rumah, hawa rada nyaman dan dingin.
Di atas meja panjang lebar tiga kaki, banyak bertumpuk-tumpuk berbagai warna corak kain
sutra, tidak kurang banyaknya pula mode pakaian yang sudah jadi.
Yap Kay duduk di sebuah kursi rotan di pinggiran sana, kedua kakinya terjulur panjang, dengan
bermalas-malasan dia mengawasi Ting Hun-pin memilih kain dan pakaian. Dua orang pelayan
toko, seorang yang berusia lebih tua berdiri di samping dengan meluruskan kedua tangannya.
Seorang lagi yang lebih muda mencari kesempatan mengeluyur keluar melihat keramaian.
Agaknya cukup lama mereka bekerja dalam bidang ini, mereka cukup mengerti di kala
perempuan sedang memilih pakaian, lebih baik laki-laki menyingkir dan jangan banyak komentar
dari pinggiran.
Akhirnya Ting Hun-pin memilih seperangkat pakaian warna hijau pupus, setelah diukur dan
kira-kira pas dengan potongan badannya, lalu diletakkan pula, katanya menghela napas, "Tak
nyana koleksi barang di sini ternyata banyak ragamnya."
"Orang lain merasa barang-barang di sini terlalu sedikit untuk dipilih, memangnya kau malah
merasa kebanyakan?" tanya Yap Kay.
Ting Hun-pin manggut-manggut, katanya, "Semakin banyak barang, semakin sulit aku
menentukan pilihanku, jika hanya beberapa potong saja, mungkin seluruhnya sudah kuborong."
"Kau bicara jujur dalam hal ini," ujar Yap Kay.
Pelayan tua itu berkata dengan tertawa, "Soalnya nyonya muda dari Ban-be-tong dan putrinya
sering berbelanja di sini, terpaksa toko kami harus menyediakan banyak koleksi dengan mode
yang mutakhir, sungguh harus dimaafkan."
Tak tahan Ting Hun-pin tertawa, katanya, "Kau tidak perlu minta maaf segala, kan bukan
salahmu." "Tapi pembeli selamanya selalu benar," sahut pelayan tua, "kalau nona merasa persediaan
barang toko kami terlalu banyak, itu adalah kesalahan toko kami."
"Agaknya kau memang pandai berdagang, terpaksa aku tidak bisa tidak harus membelinya,"
ujar Ting Hun-pin.
Pelayan muda yang berdiri di depan pintu, tiba-tiba melangkah masuk seraya menghela napas
panjang, "Tak terduga, sungguh tak terduga..."
Ting Hun-pin mengerut kening, tanyanya, "Kau tidak mengira bila aku bakal membeli?"
Pelayan muda itu tertegun, dengan tersipu-sipu dia bersoja dan menjawab dengan tawa dibuatbuat,
"Mana hamba berani punya dugaan demikian!"
"Memangnya apa maksudmu dengan tidak menduga?"
"Hamba hanya tak menduga Be-toasiocia ternyata sudi menggosok punggung orang yang
sedang mandi."
"Be-toasiocia?"
"Ya, putri tunggal dan kesayangan Ban-be-tong Sam-lopan."
"Apakah nona yang berpakaian merah itu?"
"Sam-lopan hanya mempunyai seorang putri kesayangan saja."
"Dia sedang menggosok punggung siapa?"
"Yaitu tuan yang sedang mandi di tengah jalan raya itu."
Berputar biji mata Ting Hun-pin, segera dia berpaling ke arah Yap Kay.
Mata Yap Kay merem-melek memicing, agaknya mengantuk. "Hai, kau sudah mendengar
belum?" tanya Ting Hun-pin.
"Ehm."
"Apa maksud ehm itu?"
Yap Kay menggeliat, katanya, "Kalau laki-laki menggosok punggung perempuan, tak usah kau
banyak komentar, aku sudah lari keluar melihatnya, perempuan menggosok punggung laki-laki
kan sudah jamak dan tidak perlu dibuat heran, apanya yang enak dilihat."
Ting Hun-pin menatapnya sekian lama, akhirnya dia tertawa cekikikan.
Pelayan muda itu tiba-tiba menghela napas pula, katanya, "Hamba sih mengerti apa maksud
nona Be yang sebenarnya."
"Oh, kau tahu apa?" tanya Ting Hun-pin.
"Bahwa nona Be sudi merendahkan derajat dan menderita malu, lantaran demi Sam-lopan."
"Oh, demi ayahnya."
"Karena si timpang itu adalah musuh besar Sam-lopan, nona Be kuatir usia Sam-lopan yang
sudah lanjut, mungkin bukan tandingan orang."
"Oleh karena itu dia terima merendahkan derajat serta menanggung malu, maksudnya supaya
Lok Siau-ka mewakilkan dia membunuh si timpang itu."
Pelayan muda manggut-manggut, katanya sambil menghela napas, "Dia memang putri yang
berbakti."
Ting Hun-pin tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Mungkin memang dia suka menggosok
punggung laki-laki."
Pelayan itu melengak ingin bicara lagi, tapi pelayan yang lebih tua lekas memberi kedipan,
segera ia batal bicara dan mundur.
Tatkala itu terdengarlah derap kaki kuda di luar sana. Derap kaki kuda yang riuh dan kacau.
Agaknya tidak sedikit penunggang kuda yang mendatangi.
Kata Ting Hun-pin sambil mengerling, "Coba kau keluar, lihat siapa saja yang datang."
Meski pelayan muda itu rada penasaran, tapi dia keluar juga dengan kepala menunduk. Tak
lama kemudian dia sudah masuk dan memberi laporan, "Yang datang adalah tukang-tukang kuda
dari Ban-be-tong."
"Berapa banyak yang datang?"
"Sekitar empat-lima puluh orang."
Ting Hun-pin menepekur sebentar, dengan tajam dia melirik ke arah Yap Kay, katanya,
"Apakah mereka datang hendak melihat keramaian?"
Yap Kay menggeliat lagi, sahutnya, "Itu tergantung mereka itu orang-orang goblok atau orangorang
pintar." "Jika mereka kemari hendak membantu, maksudmu mereka adalah orang-orang goblok?"
"Ya, seratus persen orang goblok!" ujar Yap Kay tertawa, lalu sambungnya, "keramaian
sebagus ini, hanya orang goblok pula yang menyia-nyiakan tontonan sebaik ini."
Ting Hun-pin tertawa, tanyanya, "Apakah kau ingin benar menunggu untuk menonton"
Sebetulnya golok Pho Ang-soat lebih cepat atau pedang Lok Siau-ka lebih cepat?"
"Umpama aku harus menunggu tiga hari, aku pun dengan senang akan menunggu."
"Oleh karena itu kau bukan orang bodoh."
"Sudah tentu bukan."
0oo0 Waktu itu sudah terdengar berbagai suara berpadu di jalan raya sana, ada suara orang batuk,
ada suara orang berbisik-bisik, ada yang tertawa, tapi kebanyakan adalah suara helaan napas
yang heran dan gegetun serta gemas.
Melihat putri juragan mereka, Be-toasiocia, sedang menjadi babu menggosok punggung lakilaki
yang tidak dikenalnya, sudah tentu banyak orang heran, kaget dan merasa penasaran.
Tapi jelas tiada orang yang berani mencampuri urusan ini. Orang goblok di dunia ini memang
tidak banyak. Sekonyong-konyong segala suara sirap, semuanya berhenti, seolah-olah angin pun menjadi
beku dan berhenti berhembus.
Kedua pelayan toko itu juga merasakan suatu tekanan suasana yang mendadak seperti
menyesakkan napas, mencekam sanubarinya.
Biji mata Ting Hun-pin mendadak memancarkan sinar terang, gumamnya, "Sudah datang,
akhirnya datang ...."
0oo0 Tiada orang bergerak, tiada suara apa pun.
Setiap orang yang hadir merasakan suatu tekanan yang tak terlawan begitu berat tindihan
tekanan ini sampai bernapas pun sesak. "Datang, sudah datang, akhirnya datang ...."
Mentari nan terik, angin yang panas. Angin menghembus dari padang rumput.
Lumpur becek dan genangan air di jalan raya sudah kering. Perlahan?lahan, dia melangkah
melewati jalan yang semula becek ini. Kaki kiri melangkah setapak, kaki kanan lalu diseret ke
muka dengan kaku Walau perlahan-lahan jalannya, tapi tidak pernah berhenti.
Setiap pasang mata tengah mengawasinya, sinar mentari pun sedang menerangi mukanya.
Kelihatan mukanya pucat-pias, memutih sampai seperti tembus cahaya dan mengkilap, mirip
benar dengan puncak gunung salju yang tidak pernah lumer.
Tapi sorot matanya seolah-olah sudah menyala. Matanya sedang melotot mengawasi Be Hongling.
0oo0 Tangan Be Hong-ling sudah berhenti, handuk basah di tangannya meneteskan air. Setetes, dua
tetes .... Alam semesta ini seolah-olah hanya ketinggalan suara tetesan air ini. Namun darah justru
sedang bertetesan dalam relung hatinya. Setetes, dua tetes .... Duka, sedih dan perih, malu dan
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemarahan akhirnya membakar dendamnya.
Pandangan Pho Ang-siat seperti sedang bertanya, "Kenapa kau belum pergi juga" Kenapa
masih tinggal di sini?"
"Aku tidak mau pergi karena aku ingin melihat dia mampus di hadapanku."
Hatinya sedang meronta-ronta, sedang menjerit, tapi roman mukanya tidak menampilkan
perubahan apa-apa. Rona muka Be Hong-ling seolah-olah sudah membeku dingin pula.
Kini pandangan Pho Ang-soat menatap ke muka Lok Siau-ka, sebaliknya Lok Siau-ka melirik pun
tidak, dia malah melambaikan tangan kepada Ting-losu dan Oh-ciangkui. Terpaksa mereka maju
menghampiri. "Kalian ingin aku membunuh orang ini?" tanya Lok Siau-ka.
Ting-losu ragu-ragu, setelah melirik ke arah Oh-ciangkui, akhirnya keduanya manggutmanggut.
"Apa benar kalian ingin aku membunuhnya?"
"Sudah tentu," sahut Ting-losu.
Lok Siau-ka tiba-tiba tertawa, ujarnya, "Baik, aku pasti membunuhnya untuk kalian." Diulurnya
sebelah tangannya, pelan-pelan dia jemput pedang di atas rak.
Jari-jari Pho Ang-soat yang memegang golok seketika kencang.
Lok Siau-ka tetap tidak mengawasinya, tetapi menatap pedang di tangannya, katanya kalem,
"Tugas yang pernah kujanjikan pasti akan ku laksanakan."
"Sudah tentu, kau memang selalu menepati janji."
"Kau tidak kuatir?"
"Tidak, aku percaya!"
Lok Siau-ka menghela napas, ujarnya "Kalau kalian sudah lega., bolehlah mampus saja."
Ting-losu mengerut kening, tanyanya, "Apa katamu?"
"Kataku, kalian boleh mampus saja."
Pedang di tangannya tiba-tiba terayun, bergerak amat lambat, pelan sekali, tapi tidak menabas
atau menusuk ke arah siapa pun.
Mengawasi pedang orang yang sudah bergerak, kulit daging Ting-losu tiba-tiba berkerut-kerut
seperti mengejang, disusul sekujur tubuhnya pun bergetar mengejang pula.
Semua orang heran mengawasi perubahan mukanya, tiada yang tahu apa sebenarnya yang
telah terjadi" Tapi tubuh Ting-losu tiba-tiba roboh terkapar. Begitu dia roboh, darah segera
muncrat bagai air mancur dari bawah perutnya. Baru sekarang semua orang melihat jelas, dari
dalam gentong air itu tahu-tahu keluar sebilah pedang, ujung pedang masih berlepotan darah
yang berketes-ketes.
Kiranya waktu Ting-losu memperhatikan pedang di tangan Lok Siau-ka yang bergerak perlahanlahan
itu, pedang di tangan kiri Lok Siau-ka tahu-tahu menusuk keluar dari dalam gentong air,
telak sekali menembus perutnya.
Dalam waktu yang hampir sama, Oh-ciangkui pun ikut roboh, bedanya darah muncrat dari
tenggorokannya. Kini pedang di tangan kanan Lok Siau-ka pun berlepotan darah, darah masih
menetes. Begitu Oh-ciangkui melihat pedang yang menusuk keluar dari dalam gentong, pedang di tangan
kanan Lok Siau-ka tiba-tiba berubah arah, bertambah cepat, laksana kilat menyambar, tahu-tahu
tenggorokannya sudah berlubang, jiwanya pun melayang.
0oo0 Tiada orang bergerak, tak ada suara apa pun, sampai pun napas orang pun seperti sudah
berhenti. Mengawasi darah yang menetes di ujung pedangnya, Lok Siau-ka menghela napas, katanya,
"Orang yang mempunyai tugas kerja seperti diriku, umpama sedang mandi pun harus selalu
waspada dan menyiapkan apa yang perlu di dalam gentong mandi ini, sekarang tentunya kalian
sudah mengerti semua."
"Tapi aku tidak mengerti," tiba-tiba Be Hong-ling berkata dengan suara serak
"Kau tidak mengerti kenapa aku membunuh mereka?" tanya Lok Siau-ka.
Memang tiada orang yang mengerti. Sudah tentu Be Hong-ling juga tidak mengerti, katanya,
"Orang yang harus kau bunuh bukan mereka saja bukan?"
Tiba-tiba Lok Siau-ka tertawa pula, kepalanya bergerak, sorot matanya akhirnya tertuju ke
arah Pho Ang-soat "Kau tahu tidak?" tanyanya.
Sudah tentu Pho Ang-soat pun tidak tahu, tidak ada orang yang mengerti.
"Sebetulnya tujuan mereka sebenarnya bukan mengundangku kemari untuk membunuh kau,"
demikian Lok Siau-ka menjawab pertanyaannya sendiri.
"Bukan untuk membunuhku?"
"Mereka hanya ingin main bokong dan menyerang secara gelap kepadamu di saat kau berduel
dengan aku."
Pho Ang-soat agaknya masih belum paham.
"Akal ini memang baik, karena peduli siapa pun yang bergebrak dengan aku, pasti dia tidak
akan punya kemampuan untuk bersiaga dari bokongan orang lain, apalagi serangan gelap yang
dilancarkan dari dalam gentong air ini."
"Dalam gentong air?" Pho Ang-soat menegas.
"Kau tidak mengerti?" Lok Siau-ka menegas.
Pho Ang-soat tetap tidak mengerti, orang lain pun tiada yang tahu.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara "Blang" yang keras sekali serasa bumi
bergetar. Kiranya suara itu berkumandang dari dalam gentong kayu yang besar itu, disusul
gentong itu mendadak bergetar retak dan pecah. Air muncrat kemana-mana, seiring dengan
muncratnya air, tiba-tiba sesosok bayangan orang menerjang keluar dari bawah gentong air.
Cepat sekali gerakan orang ini, tapi gerakan pedang Lok Siau-ka lebih cepat lagi, dimana
pedangnya berkelebat, suara jeritan menyayat hati berkumandang di tengah udara.
Sesudah air muncrat laksana cahaya perak yang ditimpa sinar matahari, kini disusul pula
dengan hujan darah yang berceceran kemana-mana, seseorang tersungkur roboh dan terkapar
tidak berkutik lagi, orang ini bukan lain adalah Kim-pwe-tho-liong Ting Kiu.
0oo0 Tiada suara, napas seperti berhenti semua.
Jeritan yang mengerikan seketika kelelap ditelan hembusan angin panas yang menghembus
datang dari padang rumput.
Entah berapa lama berselang, Ting Hun-pin baru bersuara dengan menghela napas, "Gerakan
pedang yang cepat sekali."
Yap Kay manggut-manggut dia pun mengakui kecepatan sambaran pedang yang luar biasa ini.
Siapa pun takkan bisa tidak mengakui, meski sebatang besi biasa bila sudah berada di tangan
Lencana Pembunuh Naga 14 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Pendekar Sakti 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama