Ceritasilat Novel Online

Perjodohan Busur Kumala 18

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 18


membangkitkan amarah Rimba Persilatan," kala Seng Lam.
"Kita sebaliknya. Setelah kita mempelajari sempurna kitab
Couwsu, kita jangan membunuh seorang jua, cukup asal kita
membikin semua partai takluk di mulut sampai di hatinya.
Hendak aku membilangi kau, selama beberapa tahun berdiam
di gunung berapi, siang dan malam yang aku selalu pikirkan
ialah, kalau nanti aku pulang ke daratan, ke rumahku,
bagaimana aku harus bekerja membangun pula kejayaan
keluargaku, supaya Rimba Persilatan suka mengakui dan
tunduk terhadapnya. Untuk itu aku sudah mempunyai
rencanaku."
Sie Ie heran. Ia tidak menyangka ambekan Seng Lam
begini besar. Ia menjadi tercengang karenanya.
"Rencana apakah itu?" ia tanya. "Aku ingin mendengarnya."
Sepasang alis Seng Lam terbangun. Ia agak bernapsu
sekali. "Aku ingin dalam ilmu pedang mengalahkan Tong
Siauw Lan dan dalam tenaga dalam mengatasi Tong Sian
Siangjin serta Kim Kong Taysu," sahut Seng Lam. "Aku
percaya, setelah itu, siapakah lagi yang berani main gila
terhadap kita?"
Sie Ie tertawa.
"Kalau begitu, kau memandang terlalu enteng kepada
Rimba Persilatan!" katanya. "Dulu hari aku pernah menjagoi
hingga aku dikenal sebagai hantu, tetapi berbareng dengan itu
akupun menginsyafi, pokok tujuan Rimba Persilatan ialah
menunduki orang dengan kebijaksanaan. Mana dapat kita
mengandali ilmu silat saja?"
"Apa yang aku jelaskan barusan baru perumpamaan satu
bagian rencanaku," Seng Lam bilang. "Di dalam tempo
sesingkat ini, tak dapat aku menjelaskan semuanya.
Ringkasnya, asal kau suka turut aku, aku mempunyai dayaku
untuk tanpa membinasakan satu jiwa juga membuat kaum
persilatan di kolong langit ini rela menyerah pada kita!"
"Apapun dayamu itu, itulah pasti sama dengan contohnya
Beng Sin Thong," pikir Sie le. "Karena kau mempunyai cita-cita
seperti itu, pastilah Rimba Persilatan tak bakal mengalami
harinya yang tenang dan tenteram..."
Le Seng Lam berkata pula: "Semenjak Kiauw Couwsu
menyingkir keluar laut, selama tiga ratus tahun, keluargaku
mesti menyembunyikan diri, tak berani kami muncul dalam
dunia Kangouw. Itulah sebabnya kenapa kami sangat ingin
memperoleh kitab ilmu silat warisan Couwsu itu, supaya
dengan begitu kami dapat bangun pula! Sekarang keluargaku
mempunyai cuma aku seorang sebagai anggautanya, maka
itu, mana dapat aku mensia-siakan pengharapannya itu?"
Sie le bangsa tak jerikan apa juga, akan tetapi mendengar
katakata nona ini, ia bergidik. Kata ia dalam hatinya:
"Semenjak kecil dia mendapatkan didikan keluarganya, tak
heran apabila dia bersemangat begini rupa." Ia kenal sifatnya
Seng Lam, apa yang dipikir, mesti dikerjakan, tak perduli
dengan jalan apa juga. Maka itu ia mengerti, di dalam tempo
yang pendek, pikiran nona itu tak dapat dirubah. Maka ia kata:
'Urusan begini besar, baik belakangan saja kita bicarakan pula,
nanti kita mendamaikannya lagi. Kau baru sembuh, tak dapat
kau berpikir banyak, baiklah kau beristirahat."
Lega hati Seng Lam. Ia percaya selanjutnya Sie le bakal
dengar kata terhadapnya. Sebenarnya ia masih kurang puas,
akan tetapi orang tidak menentang padanya, dapat ia
menghibur diri. Ia percaya, asal Sie le tidak meninggalkan ia,
ia akan berhasil membuatnya tunduk terus. Ia pun merasa
sangat letih dan lesu, dari itu ia perlu beristirahat. Dengan
penuh pengharapan, ia lantas membungkam, bahkan tak lama
kemudian, ia dapat tidur tenang.
Sie le berdiam di sisi si nona, pikirannya berkerja.
Ketika itu sinar rembulan molos dari sela-sela gua,
menyorotkan muka nona itu.
Seng Lam tidur nyenyak sekali, dalam tidurnya itu terlihat
ia bersenyum manis. Itulah bukti bahwa ia merasa puas.
Nampak ia cantik menggiurkan.
Selama tiga tahun, sering sudah Sie Ie menyaksikan Seng
Lam tidur pulas, akan tetapi belum pernah ia melihat orang
tidur seperti malam ini. Heran nona itu. Dia begitu cantik
manis dan menarik hati, toh didalam situ ada berbayang
sesuatu yang membikin hati Sie Ie jeri. Perasaan jeri itu
didapatkan Sie Ie beberapa kali apabila ia menatap si nona,
toh malam ini rasanya paling hebat. Orang cantik tapi toh
menakuti... Lantas Tokciu Hongkay berpaling. Tak mau ia mengawasi
lebih lama pula.
"Sejak itu hari aku kenal dia, terus-terusan dia melibat
aku," Sie Ie masih berpikir. "Dia mirip bayanganku, hingga aku
tak dapat menjauhkan diri dari ia-nya. Adakah dia mempunyai
maksud lain dalam ia menyintai aku?"
Satu kali gua menjadi gelap. Rupanya sang mega sudah
mengalingi si Puteri Malam. Berbareng dengan itu, Sie Ie
mendapat serupa perasaan. Seumpama ia ditarik Seng Lam
hingga ia terjatuh ke dalam jurang yang dalam dan gelap.
Berbareng dengan itu, ia jadi ingat Cie Hoa. Hingga ia
membayangkan dan membanding-bandingkan kedua nona,
dua-duanya cantik sekali, tetapi mereka beda...
Cie Hoa mirip dengan Sang II itara Surya di waktu pagi,
sinarnya hangat dan menyamankan. Nona itu membangkitkan
pengharapan. Dia putih bersih, dia halus, lemah lembut. Dan
Seng Lam" Dia ini keras, licik...
Bagaimana dengan Cie Hoa sekarang" Nona itu mendapat
pukulan hebat sekali. Dimana adanya dia" Tentu dia lagi
menangis sedih, menangis diam-diam...
"Apakah aku mesti terus-terusan menemani Seng Lam
berdiam di dalam jurang yang dalam dan gelap?" Sie Ie tanya
dirinya sendiri.
Mengingat itu, mendadak ia mendapat kekerasan hati.
Maka ia bertindak, melewati tubuh si nona. Hendak ia berlalu
secara diam-diam. Justeru itu, rembulan muncul pula. Tepat
nona itu membalik tubuh. Pada mukanya tak ada lagi
senyumannya yang manis itu. Mungkin impiannya yang manis
lenyap, diganti oleh impian yang tak menyenangi, maka kedua
bibirnya dirapatkan. Dia sekarang seperti lagi berpikir keras.
Sie Ie berhenti bertindak, la berpikir pula.
"Apakah kata-kataku tak aku pegang?" ia tanya dirinya.
"Dia lagi mendendam sakit hati hebat. Dia juga sebatang kara.
Dapatkah aku membiarkan dia dicelakai Beng Sin Thong
dengan aku tidak berbuat suatu apa" Apakah aku keliru
menganggap dia busuk" Mungkin dia rada sesat tetapi itulah
tidak aneh. Sedari masih kecil dia telah mendapat didikan
keluarganya. Untuk merubahnya dibutuhkan banyak hari dan
bulan. Jikalau aku membiarkan dia, bukankah dia bakal
terjerumus semakin dalam?"
Lantas Sie le mengurungkan niatnya mengangkat kaki.
Bahkan ia lantas merebahkan diri di sisi Seng Lam. la rebah
tetapi tidak tidur pulas, terus sampai fajar datang.
Seng Lam mendusin dengan merasa sudah sembuh benar,
parasnya tak lagi pucat hanya bersemu dadu. Mungkin
tenaganya sudah pulih tujuh atau delapan bagian. Ketika ia
membuka matanya, ia melihat Sie le rebah di sampingnya, ia
lantas tertawa nyaring.
"Bangun! Bangun!" ia memanggil-manggil. Ia mentertawai
orang sangat suka tidur...
Tentu sekali nona ini tidak ketahui bahwa pria di
dampingnya itu tak tidur sekejab juga, bahna satu malam
suntuk, si pria berpikir keras, hingga pernah datang
ingatannya untuk mengangkat kaki seorang diri...
Lantas keduanya pergi keluar, ke medan pertempuran.
Disana mereka menyaksikan pemandangan yang
mengenaskan. Mayat-mayat tampak tak ada yang urus.
"Ketika yang baik telah lewat," berkata Seng Lam. "Kita
terpaksa mesti mencari ketika yang baik yang kedua. Coba
bilang sekarang, kita harus cari Beng Sin Thong atau Seebun
Bok Ya?" "Dua-dua mereka itu tak dapat kau tergesa-gesa. Aku
mempunyai satu urusan penting, yang harus dilakukan
terlebih dulu..."
"Aku tahu!" kata Seng Lam, tertawa. "Kau hendak
menolongi adik Lie-mu itu! Aku tidak mengerti, kau telah tiba
di wihara Hianlie Koan, kenapa kau membiarkan dia diculik
musuh?" Sie le heran. "Eh, mengapa kau ketahui itu?" ia tanya.
"Aku melihat Pek Liang Kie menggulung tubuh seorang
dengan jubahnya," jawab Seng Lam. "Aku tidak tahu siapa itu
yang dia tangkap, tetapi jubahnya tak cukup lebar, jubah itu
tak dapat menutupi rambutnya orang itu-rambut yang bagus.
Maka itu aku lantas menduga pada adik Lie-mu itu."
"Bagaimana kau dapat merasa demikian pasti?"
"Bukankah mudah untuk menerka?" si nona tertawa. "Di
dalam Hian Lie Koan cuma ada tiga orang wanita. Phang Lim
tak nanti dapat diculik. Oleh karena dia bukannya Kok Cie
Hoa, habis siapa selainnya Lie Kim Bwee?"
Sie le berdiam, untuk berpikir. Ia menduga rupanya di saat
ia membawa Cie Hoa ke gua. Seng Lam sudah sampai di
dekat-dekat Hianlie Koan, maka itu ada kemungkinan, dia pun
telah dapat mendengar pembicaraannya dengan Nona Kok.
Itu berarti bahwa gerak-geriknya telah tak lolos dari matanya
nona she Le ini.
"Sekarang datang giliranmu menjawab aku," berkata Seng
Lam. "Kenapa kau membiarkan dia diculik musuh" Kalau
begitu, kenapa sekarang kau hendak pergi menolonginya?"
Sie Ie tidak menjawab hanya dia menanya: "Kecuali Pek
Liang Kie, siapa lagi yang kau lihat kemarin!"
"Aku melihat seorang dengan baju kuning. Seperti Pek
Liang Kie, dia pun membawa satu orang. Aku tahu korbannya
itu seorang pria hanya tak tahu siapa dia."
"Kalau begitu dialah Ciong Tian muridnya Tong Siauw Lan."
Si nona tercengang sejenak, lalu dia tertawa.
"Baik, tak usah kau menjelaskan lagi," katanya. "Aku tahu
maksudmu!"
Sie Ie telah mencuri dengar pembicaraan di antara Lie Kim
Bwee dan Ciong Tian, ia beranggap bahwa kesan pemudi itu
terhadap si pemuda tak buruk, hanya masih belum tiba saat
masaknya pergaulan mereka itu. Mengenai maksudnya Pek
Liang Kie, ia menduga orang menculik Kim Bwee dan Ciong
Tian untuk mereka itu dijadikan manusia jaminan, untuk
mereka dipakai memeras Tong Siauw Lan. Karena dugaannya
ini, ia tidak berkuatir muda-mudi nanti dibikin celaka, la sudah
memikir jalan untuk menolongi mereka itu sambil sekalian
membuat keduanya terangkap jodoh...
Inilah jalannya itu: Lie Kim Bwee dan Ciong Tian dibiarkan
diculik. Waktu menolongi mereka, Ciong Tian akan disadarkan
terlebih dulu. Ciong Tian mesti dibikin mendapat pulang
tenaganya, lalu ia membantu dia mengalahkan musuhnya,
supaya Ciong Tian terlihat seperti menang atas kemampuan
sendiri. Dengan begitu, Kim Bwee akan merasa bahwa dia
telah ditolongi pemuda itu, hingga kesannya menjadi terlebih
baik lagi. Seng Lam sangat cerdas dan cerdik, segera ia dapat
menebak jalan pikirannya Sie le. Ia girang. Ia mau percaya,
Sie Ie berbuat demikian untuk kebaikannya. Ia kata dalam
hatinya: "Biarlah Lie Kim Bwee itu mendapatkan tempatnya,
setelah dia menikah dengan Ciong Tian, aku menjadi
kurangan seorang sainganku. Disana tinggal Kok Cie Hoa, dia
lebih mudah diurusnya..."
Pek Liang Kie menjadi hu-tongnia, komandan muda, dari
pasukan Gielimkun pasukan raja, maka itu Sie Ie menduga dia
membawa orang tawanannya pulang ke kota raja. Maka itu
bersama Seng Lam ia lantas menuju ke Utara.
Selama di perjalanan itu, Seng Lam selalu bicara dari hal
ilmu silat. Ia memohon pelbagai petunjuk. Tak pernah ia
omong perihal dirinya, atau hari kemudiannya. Ia percaya
bahwa Sie Ie tak bakal lolos dari genggamannya lagi, bahwa
selanjutnya orang akan dengar hanya kata-katanya saja.
Sie Ie sebaliknya memikir, kalau nanti ia sudah berhasil
membantu Seng Lam menuntut balas, ia hendak membujuki si
nona menghapus niatnya menjadi jago utama Rimba
Persilatan. Karena orang berdiam saja, ia juga membungkam.
Ia tahu menimbulkan urusan itu sekarang berarti mengundang
perbantahan mulut.
Jalannya mereka berdua lebih cepat daripada orang
kebanyakan, sudah begitu, mereka pun beristirahat
seperlunya saja, maka di waktu malam pun mereka berjalan
terus. Demikian di hari ketiga tibalah mereka di sebuah dusun
kecil yang dipanggil Liongbu. Disini mereka melihat Pek Liang
Kie bersama si orang berbaju kuning. Mereka itu berdua naik
sebuah kereta di atas mana pun ada seorang kusir. Lantas
mereka itu dikuntit sampai mereka berhenti di sebuah
pondokan. Sie Ie mengajak Seng Lam singgah di pondokan yang
berdekatan. Malam itu juga jam tiga, setelah mengenakan
pakaian peranti jalan malam, mereka menyatroni pondokan
komandan muda Gielimkun itu. Kebetulan mereka tiba di saat
Liang Kie dan si baju kuning sedang pasang omong.
Sie Ie mengawasi seluruh kamar. Liang Kie dan kawannya
rebah di atas pembaringan. Kamar itu kosong dari lain orang.
Itu Ciong Tian dan Lie Kim Bwee tidak ada disitu. Disitu pun
tak nampak bungkusan jubah seperti diterangkan Seng Lam.
Mulanya Sie le tercengang saking heran. Tapi ialah seorang
yang berpengalaman, yang luas pengetahuannya. Segera ia
menduga kepada tipu muslihatnya Pek Liang Kie. Pastilah Kim
Bwee dan Ciong Tian dibiarkan tetap di dalam kereta, untuk
tak mencurigakan orang andaikata keduanya digotong masuk
ke dalam rumah penginapan. Teranglah orang diserahkan di
bawah penjagaan si kusir kereta. Itu pula berarti kusir itu
bukan sembarang kusir, mestinya dia anggauta Gielimkun
yang menyamar. Tentu Kim Bwee dan Ciong Tian ditotok jalan
darahnya, hingga mereka tak dapat melarikan diri.
"Baik aku mendengari dulu pembicaraan mereka," Sie Ie
pikir lebih jauh.
"Han Toako, aneh," terdengar suaranya Liang Kie. "Hari ini
sudah hari ke empat, kenapa mereka tetap tak nampak,
seperti hantu-hantu yang menghilang" Kau berpengalaman


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luas, toako, coba kau terka, mungkinkah terjadi sesuatu di
luar sangkaan?"
Orang yang dipanggil Han Toako itu tidak lantas menjawab.
"Turut pantas, Tie Too An dan Ku Chong Cu dapat melayani
Phang Lim," katanya selang sesaat. "Juga Seebun Bok Ya
bertiga belas orang pasti dapat melawan pelbagai guru besar
itu. Benarkah terjadi sesuatu atas diri mereka itu" Mereka
sendiri yang memesan, setelah kita berhasil, kita mesti lantas
mengangkat kaki. Seharusnya kita sudah dapat berkumpul
dengan mereka itu. Ya, inilah aneh! Tapi lagi tiga empat hari
kita akan sudah sampai di kota raja, biar disana saja kita nanti
bertemu, itu waktu tentu kita ketahui apa yang telah terjadi..."
"Sebenarnya aku berkuatir..." kata Liang Kie.
"Apakah kau kuatirkan mereka terbinasakan Beng Sin
Thong?" si Han Toako menanya tegas.
Liang Kie tertawa.
"Biarnya Beng Sin Thong sangat liehay, tidak nanti dia
sanggup membinasakan mereka semua!" dia kata. "Di
samping itu, Seebun Bok Ya sudah bersiap-siap sedari masih
siang-siang, ialah dengan ditanamnya pohon-pohon asura di
sekitar tempat pertarungan. Kalau Beng Sin Thong lolos, dia
sungguh besar rejekinya..."
"Habis apa yang kau kuatirkan?" si Han Toako tanya pula,
suaranya aneh. "Aku kuatir mereka sengaja tak hendak menemui kita,"
kata Liang Kie ragu-ragu. "Siapa tahu jikalau Seebun Bok Ya
mengharapi kita gagal" Sebenarnya aku kuatir mereka
merampas jasa kita ini... Coba pikir, mana mungkin Seebun
Bok Ya berhati baik" Dia berambekan sangat besar! Dia mau
menyingkirkan semua orang Rimba Persilatan, supaya jasa itu
dapat ditukar dengan pangkat kedudukan yang besar. Selain
ingin menjadi jago Rimba Persilatan yang sah, yang
dianugerahkan Sri Baginda, dia pasti mengingini kekuasaan
Gielimkun di dalam istana! Apakah pergaulan kita dengannya"
Ada kemungkin kemudian kita nanti disingkirkan dia..."
Si Han Toako berpikir sebentar, baru dia menyahuti:
"Pikiranmu benar. Pantas dia menolak pikirannya Cin Tay dan
Kheng Sun. Pantas dia juga ingin menyingkirkan Beng Sin
Thong. Inilah tentu tak lain daripada dia merasa jelus untuk
kekosenan Sin Thong itu. Kalau Beng Sin Thong berhasil, dia
tentu kuatir Beng Sin Thong dipercaya Sri Baginda."
"Aku percaya begitulah pikirannya Seebun Bok Ya," kata
pula Liang Kie. "Tapi pun Cin Tay dan Kheng Sun, sia-sia saja
pengharapannya agar Sin Thong suka bekerja sama untuk Sri
Baginda Raja. Sin Thong menjadi orang paling jumawa di
kolong langit ini, meski dia mau menjadi jago, tidak nanti dia
memikir meminjam pengaruh Sri Baginda. Aku rasa dia tidak
memikir sedikit juga anugerah Pemerintah Agung. Jikalau dia
gampang dibujuk, pasti siang-siang aku sudah
mengusulkannya kepada Sri Baginda."
"Biarlah urusan mereka itu," kata si Han Toako kemudian.
"Mengenai tugas kita, harus kita merasa puas. Kita sudah
berhasil. Apa Seebun Bok Ya akan bilang mengenai jasa kita
ini" Aku tak percaya dia dapat merebutnya kecuali dia berani
turun tangan secara menggelap..."
"Aku rasa dia tak akan bernyali sedemikian besar," kata
Liang Kie. "Sekarang ini aku pikirkan urusan kita. Masih ada
tempo beberapa hari, untuk tiba di kota raja. Kita belum bisa
berlega hati benar-benar. Kita harus ingat pergaulan Thiansan
Pay luas sekali. Maka aku pikir, baiklah kita berhati-hati..."
"Jangan kuatir!" kata si Han Toako, tertawa. "Kereta kita
toh dipernahkan di dalam pekarangan. Untuk itu, aku sudah
melakukan persiapan. Kalau ada terjadi sesuatu, tak mungkin
kita tak mendengarnya."
Mendengar pembicaraan orang itu, Sie Ie terkejut.
Sungguh di luar dugaan, sepak terjang Seebun Bok Ya itu
mempunyai latar belakang demikian macam. Bahkan orang itu
raja sendiri. "Kalau begitu, Kian Liong jauh terlebih liehay daripada Yong
Ceng ayahnya!" pikirnya. "Yong Ceng cuma membakar ludas
Siauwlim Sie, tapi dia ini hendak membasmi semua orang
Rimba Persilatan!..."
Sie le tidak jeri untuk pengaruh raja, ia hanya berkuatir
untuk keselamatannya kaum Bulim, terhitung Kok Cie Hoa. Cie
Hoa murid tunggal Lu Su Nio, sedang Lu Su Nio ialah musuh
besar Kerajaan Boan. Dapatlah Seebun Bok Ya membiarkan
kemerdekaan nona itu"
Seng Lam berdiam sekian lama, lantas ia menyentuh
tangan Sie le seraya berbisik: "Aku mengundang banyak
musuh untukmu, meski demikian, dengan kau membantui
aku, kau berbareng membantu Kok Cie Hoa. Maka itu kau toh
tidak menyesali aku, bukan?"
Kata-kata itu diucapkan dengan ilmu "Thiantun Toan-im",
maka perkataan Seng Lam ini dalam lingkungan lima tombak
tak akan terdengar lain orang. Mengenai ilmu bicara itu, ia
belum mencapai tarap-nya Sin Thong atau Sie Ie tapi toh
sudah lumayan, sekarang ia berbisik, maka itu, meski mereka
liehay, Pek Liang Kie dan si Han Toako tak dapat mendengar sama
sekali. Muka Sie le menjadi merah. Ia tidak sangka Seng Lam
dapat mem-bade apa yang ia pikir. Cumalah, si nona baru
menerka sebagian saja.
Di dalam kamar, kedua orang yang berbicara itu, makin
lama suaranya menjadi makin perlahan. Rupanya, bicara
tentang Seebun Bok Ya, mereka itu jeri. Hingga selanjutnya
mereka saling berbisik.
Tengah Sie Ie mendengari terus, tiba-tiba ia mendengar
suara berkelisik sangat perlahan, yang datangnya dari arah
luar. Ia lantas menduga kepada datangnya dua orang yang
liehay. "Apakah itu, Phang Lim?" ia menduga, la tidak menduga
kepada Kie Siauw Hong atau lainnya sebab mereka itu tidak
mempunyai kepandaian ringan tubuh seperti dua orang ini.
Setelah itu lantas terdengar tindakan kaki yang lebih berat.
"Celaka!" Sie le kata dalam hati. Tindakan kaki berat itu
membikin ia menduga orang berlalu dengan membawa barang
yang berat juga. Bukankah Ciong Tian dan Kim Bwee yang
dibawa pergi itu" Kalau yang membawanya Phang Lim, tidak
apa, jikalau lain orang, sungguh hebat, Maka segera ia
berkata kepada Seng Lam, bicara dengan "Thiantun Toan-im"
sambil memetakan tangan juga: "Kau berdiam terus disini
mendengari pembicaraan mereka ini terlebih jauh, aku mau
pergi keluar untuk melihat siapa mereka itu di luar."
"Aku mengerti," Seng Lam menjawab. "Pergi kau
menolongi mereka."
Sie Ie lantas pergi keluar, ke dalam pekarangan. Disana
ada dua buah kereta. Ia mengenali keretanya Pek Liang Kie,
maka itu ia langsung menuju ke kereta si komandan muda
Gieliemkun. Ketika ia menyingkap tenda kereta, ia terkejut.
Di dalam kereta itu terlihat si kusir rebah tak berkutik,
mukanya matang biru, mulutnya terbuka, seperti orang yang
gagal berteriak akibat satu serangan gelap. Tubuh itu kaku
tetapi tidak ada tanda lukanya. Nadi orang pun masih
mengetuk hanya jalannya keras.
"Aneh orang ini," pikir Tokciu Hongkay. "Dia terluka terkena
apakah" Tubuhnya kaku tetapi nadinya masih bergerak-gerak.
Kelihatannya dia tak kalah Iiehaynya daripada Pek Liang Kie.
Tak mungkin dia kena tertotok jalan darahnya. Siapakah yang
demikian liehay dapat membikin dia tak berdaya begini?"
Sie le ahli silat dan paling gemar menyelidiki, akan tetapi
sekarang ini ia tidak mempunyai temponya. Ia lantas lompat
naik ke atas kereta dimana ada sebuah peti besi tinggi lima
kaki, di empat penjurunya kedapatan liang-liang kecil. Ketika
ia membuka tutup peti, kosong di dalamnya, cuma hidungnya
mencium bau bunga asura. Tidak ada Ciong Tian dan Lie Kim
Bwee di dalam kereta itu.
"Terang mereka dimasuki ke dalam peti ini," ia pikir. "Cara
apa orang pakai guna membuka tutupnya" Liang-liang itu
pasti akibatnya totokan jeriji tangan yang liehay sekali."
Dalam herannya, Sie le memasang telinga. Ia masih
mendengar tindakan kaki tadi.
"Tak perduli mereka siapa, aku mesti susul!" ia mengambil
kepu-tusan. Lantas ia lari keluar dari pekarangan hotel, guna
menyusul dua orang itu. Ia tak usah lari jauh akan lantas
menyandak. Ketika ia sudah melihat tegas, hampir ia tertawa.
Ia mengenali Tong Keng Thian serta Pengcoan Thianlie.
Dengan begitu, hatinya menjadi lega. Sekarang pun ia
mengerti kenapa si kusir kereta menjadi kaku, terang dia
terserang Pengpok Sintan, yang masuk ke dalam mulutnya di
saat dia mau berteriak. Liang-liang kecil itu juga tentu
disebabkan serangan peluru es istimewa.
Keng Thian berjalan dengan memanggul Ciong Tian dan
Pengcoan Thianlie membawa Kim Bwee, mereka itu berlarilari.
Sie Ie melihat orang memperoleh kemajuan apabila
kepandaian mereka dipadu dengan tiga tahun yang lalu.
Hampir Sie Ie kembali, baiknya sebelum ia memutar tubuh,
ia ingat suatu apa. Ia mesti amproki Kim Bwee dan Ciong
Tian. Bagaimana" Setelah bersangsi sebentar, ia lantas
bekerja. Lebih dulu ia hendak main-main dengan Keng Thian
suami isteri itu. Maka ia mengambil segumpal tanah, ia remas
itu hingga remuk, lalu ia tiup ke arah mereka, hingga debu itu
berterbangan ke kepalanya Keng Thian dan Pengcoan
Thianlie. Tong Keng Thian selalu waspada. Ia bersiaga kalau-kalau
musuh mengejar. Maka itu walaupun debu sangat enteng, ia
curiga tempo mendadak ia mendengar suara angin sangat
halus. Segera ia menyampok ke belakang! Habis debu itu
melayang balik, kecuali sepotong tanah yang kecil sekali, yang
mengenai tangan. Keng Thian terkejut, la tidak terluka tapi
tanah itu mendatangkan rasa nyeri sedikit. Lekas-lekas ia
meletaki Ciong Tian sambil melihat tajam sekitarnya. Ia tidak
melihat siapa juga. Sie le sudah bersembunyi di belakang
sebuah pohon "Apakah Beng Sin Thong menyusul?" ia tanya, heran.
Pengcoan Thianlie juga meletaki Lie Kim Bwee, sambil
menghunus pedangnya, ia mendampingi suaminya, untuk
sama-sama memasang mata.
Sie Ie terus sembunyi seraya ia mengawasi mereka itu. Ia
pikirkan daya untuk bekerja. Sulitnya ialah ia tidak mau kasih
dirinya dilihat mereka itu. Tidak demikian, ia bisa lantas turun
tangan. Keng Thian tidak melihat siapa juga, terpaksa ia berkata:
"Tuan, dua orang sutee dan sumoay kami, kau telah
menawannya, tidak dapat kami membiarkan saja. Melihat
kepandaian kau, tuan, kau bukannya bangsa tikus atau anjing,
maka kalau kau mempunyai sangkutan sesuatu dengan
Thiansan Pay, disini kami suami isteri bersedia menyambutmu.
Aku minta janganlah kau main-main dengan kami si orangorang
muda, terutama janganlah dengan cara sembunyisembunyi
ini..." Jago muda dari Thiansan ini menduga kepada orang yang
menculik Kim Bwee dan Ciong Tian, maka itu ia bicara
demikian rupa. Kim Sie le mendengar itu, hampir ia perdengarkan
tertawanya. Syukur ia keburu menutup mulutnya, la anggap
Keng Thian lucu.
Di lain pihak, ada orang lain yang tertawa geli, disusul oleh
orangnya sendiri, ialah Le Seng Lam, yang muncul dengan
tangannya mengidapkan sebuah pedang yang berkilauan,
ialah pedang Yuliong Kiam.
"Maaf! maaf!" berkata nona ini, Jenaka. "Tong
Siauwciangbun, mengapa terhadapku kau mengaku sebagai si
orang muda?"
Keng Thian terperanjat saking heran. Karena ia mengenali
orang, segera ia menimpuk dengan Thiansan sinbong.
Seng Lam melintangi pedangnya, membikin peluru itu
terpotong menjadi dua. Ia tertawa dan kata: "Sungguh
pedang mustika! Telah lama aku mendengar tiga mustika dari
Thiansan, bahwa sinbong lebih kuat daripada besi, dan
pedang dapat memutuskan emas, sekarang terbukti,
pedanglah yang terlebih menang seurat!"
Selagi orang bicara itu, Pengcoan Thianlie menyerang
dengan tiga bocah pengpok sintan, peluru inti esnya, atas
mana Nona Le menunjuki kegesitan tubuhnya, ialah dia
berkelit sambil berlompatan, bukan dia mundur, dia justeru
maju, hingga dia menjadi berada di depan Keng Thian!
Cuma kira setombak terpisahnya mereka.
Pengcoan Thianlie lompat maju, ia menyerang dengan
jurusnya "Lumernya sungai es". Pedangnya berkelebat sambil
mengeluarkan hawa yang dingin.
Keng Thian memegang pedang biasa, dengan itu ia turut
maju juga. Seng Lam tidak kasih dirinya dilukai, ia melawan. Hanya
untuk sementara, ia tidak melayani dengan penyerangan
membalas Ia lebih banyak main berkelit.
Keng Thian merangsak hebat. Ia kuatir orang membawa
lari Kim Bwee dan Ciong Tian, ia tidak mau membiarkan nona
ini mendekati muda-mudi yang masih tak berdaya itu.
Inilah ketika baik lagi bagi Sie le, dari itu tak mau ia
mensia-siakannya. la keluar dari tempatnya sembunyi, ia
menggunai ilmunya yang luar biasa. Dengan sangat gesit ia
lompat ke arah Kim Bwee dan Ciong Tian, dengan masingmasing
sebelah tangannya, ia sambar tubuh mereka. Begitu ia
datang, begitu ia pergi. Hanya sekelebatan, ia sudah kembali
ke tempat sembunyinya. Disitu ia lantas mengasih dengar
suara Thiantun Toan-im: "Kau jangan main gila terhadap
mereka! Pancinglah supaya mereka menyingkir! Sebentar kita
bertemu pula di itu bukit sepuluh lie terpisah dari sini!"
Seng Lam mendengar itu, ia menjawab: "Aku mengerti!
Jangan kuatir!"
Suaranya Sie le cuma didengar Seng Lam, tetapi
berkelemiknya mulut Nona Le dapat dilihat Keng Thian, yang
matanya sangat tajam. Ia menjadi curiga, maka ia lantas
menggunai ketika untuk berpaling.
Untuk kagetnya, ia melihat lenyapnya Kim Bwee dan Ciong
Tian. la kaget hingga ia berseru: "Celaka! Kita kena diakali!
Perempuan siluman ini ada konconya!"
Seng Lam tidak gusar, sebaliknya, dia tertawa.
"Siauwciangbun, kali ini kau roboh!" katanya, menggoda.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lantas ia menyerang dengan sebat sekali.
Kembali jago muda dari Thiansan itu kaget. Di luar
dugaannya, ujung bajunya kena dirobek pedang nona itu,
tidak perduli ia sudah bergerak cepat untuk menyingkirkan
tubuhnya. Maka ia menjadi sangat gusar.
"Baiklah!" ia berseru. "Aku nanti minta orang dari kau!" Ia
lantas menyerang deagan sengit sekali.
Pengcoan Thianlie juga heran tetapi ia berlaku tenang,
dengan sama kerasnya, ia menyerang nona itu.
Seng Lam gagah sekali. Ia tetap melayani dengan sabar
tapi gesit. "Kamu ingin berkelahi, aku sebaliknya tak dapat menemani
kamu!" ia kata. Ia pun tertawa. Mendadak tubuhnya mencelat
jumpalitan ke belakang, niatnya untuk lari.
Tong Keng Thian benar liehay, selagi orang mencelat itu, ia
menyambar dengan pedangnya, tepat ia menikam pundak
orang, akan tetapi si nona tidak terluka, lantaran dia ditolong
tameng tubuh-nya. Nona itu lari terus, hingga sebentar saja
dia sudah kabur jauh ke tanjakan bukit! Keng Thian dan
isterinya mengejar terus. Mereka mau menolongi orang
sekalian merampas pulang senjatanya, pedang Yu-liong Kiam.
Ketika itu Kim Sie Ie sudah sampai di dalam rimba di atas
bukit. Ia cari tempat yang merupakan tegalan kecil. Ia
merebahkan Kim Bwee dan Ciong Tian di atas rumput. Ia
mengawasi orang yang rebah diam, cuma napasnya berjalan
perlahan. Hawa mulut mereka mengeluarkan bau soatlian,
maka teranglah, Keng Thian telah memberikan mereka
Pekleng Tan, pil teratai salju. Dengan begitu, mereka itu
sudah terbebas dari gangguan bunga asura. Bahwa mereka
masih belum sadar, itulah akibat totokan jalan darah.
"Totokan apakah ini?" pikirnya. "Kenapa Keng Thian tak
dapat menyadarkannya?"
Sambil berpikir itu, Sie Ie memeriksa teliti. Tak lama, ia
lantas ingat sesuatu. Tanpa ayal lagi, merobek baju di betulan
punggung mereka. Maka disitu ia melihat tapak merah sebesar
uang emas. "Ah, kiranya orang yang dipanggil Han Toako itu anggauta
Keluarga Han dari Sengtouw!" katanya.
Memang keluarga Han yang disebutkan itu memiliki ilmu
totok yang beda daripada ilmu totok pelbagai partai atau
kaum persilatan lainnya. Itulah totokan yang dinamakan
"anhiat", atau "menekan atau meraba" jalan darah. Dan itu
dilakukannya dengan Angsee Ciu, atau Tangan Pasir Merah.
Siapa kena diraba mereka, ia cuma dapat ditolong oleh
keluarga itu, oleh si penotok sendiri. Siapa tak ketolongan
cepat, setelah terlambat, dia bakal musnah ilmu
kepandaiannya. "Binatang itu jahat," kata Sie le dalam hatinya. "Syukur aku
yang menemuinya."
Kitab warisannya Kiauw Pak Beng mencatat pelbagai
macam ilmu totok, disitu kedapatan juga ilmu totok Keluarga
Han ini. Kebetulan untuk Sie le, ia mendapatkan kitab Bagian
Atas itu, maka ia ketahui ilmu "meraba" ini. Disitu juga ada
caranya untuk membebaskannya.
Keng Thian tidak dapat membebaskan totokan istimewa itu,
tanpa Sie Ie, dia mesti membawanya ke Siauwlim Sie, untuk
minta pertolongannya Tong Sian Siangjin. Pendeta berilmu itu
dapat menolong dengan bantuan tenaga dalamnya. Hanya itu
membutuhkan waktu serta juga pengorbanan besar. Habis
menolongi kedua korban itu,
Tong Sian bakal kehilangan tenaga latihannya yang tiga
tahun... Sie Ie masih memeriksa Kim Bwee, sampai ia mendapat
kenyataan nona itu tidak mendapatkan lain-lain luka. Hal itu
membuat hatinya lega. Ia terharu kalau ia ingat kebaikan hati
nona ini, yang pernah sekian lama tinggal bersama dan
bergaul erat dengannya. Lain orang tak menyukai ia,
sebaliknya Kim Bwee. Ia pun terharu untuk cintanya si nona
terhadapnya, cinta yang ia menyesal tak dapat membalasnya.
Sambil membungkuk Sie Ie mengawasi nona yang seperti
tidur nyenyak itu. Dia tenang luar biasa. Katanya di dalam
hati: "Sekalipun di dalam mimpinya dia tidak akan ketahui
bahwa aku sekarang lagi mendampinginya..."
Tokciu Hongkay menghela napas kalau ia ingat ia bakal
mendustai nona ini, sebab ia tetap ingin merahasiakan dirinya.
Tengah ia kelelap pikiran itu, mendadak telinganya
mendengar tindakan kaki. Ia mendusin.
"Aku mesti lekas menolongi mereka, nanti orang keburu
tiba," pikirnya.
Lantas Sie Ie menotok mereka. Seperti rencananya, lebih
dulu ia menolongi Ciong Tian.
Anak muda itu pun tenang sekali. Dialah pemuda putih
bersih. "Mereka ini pasangan yang cocok satu dengan lain," ia
berpikir pula. "Baiklah aku amproki jodoh mereka. Kim Bwee
tentu bakal hidup berbahagia. Itulah bakal membikin aku
berbahagia juga..."
Ada perbedaan tenaga yang digunai Sie Ie di waktu ia
menolongi kedua muda-mudi itu, itulah totokan lebih enteng
dan lebih berat, supaya mereka sadar saling susul.
Habis menotok Kim Bwee, Sie le merapikan rambut orang
yang kusut. Tanpa merasa, ia mengetel-kan air mata di
pipinya si nona. Lekas-lekas ia menyingkir ke belakang pohon.
Tatkala itu tindakan kaki terdengar makin dekat. Benar
saja, yang datang itu Pek Liang Kie bersama si Han Toako.
Justeru itu Ciong Tian mendusin. Dia terperanjat. Dengan
lantas dia melihat ke sekitarnya.
"Adik Kim, lekas bangun!" kata dia, berseru. "Kita berada
dimana ini"..."
Seruan itu tidak mendapat jawaban. Kim Bwee masih
belum sadar. Itu justeru terdengar Pek Liang Kie.
"Ha, kiranya kau sembunyi di sini, bocah!" hutongnia itu
berseru. Ciong Tian terkejut, dia lantas berlompat bangun. Sekarang
dia telah mendapat kenyataan Kim Bwee rebah di sisinya
dengan masih belum mendusin. Tentu sekali, dia pun
berkuatir. "Biar bagaimana, aku mesti adu jiwa!" pikirnya. "Tidak
dapat mereka dibiarkan mencelakai adik Kim," Maka dia
menghunus pedangnya dan lari maju, untuk me-mapaki.
"Bocah ini tak dapat dicela," pikir Sie Ie. "Tak kecewa aku
menyerahkan Kim Bwee kepadanya!" Ia lantas memasang
mata. Ciong Tian murid Thiansan akan tetapi dia masih muda dan
latihannya belum sempurna, dia bukanlah lawan Pek Liang Kie
dan si Han Toako berdua, tetapi dia bernyali besar, dia mau
melindungi Kim Bwee, dia menjadi tidak kenal takut.
Pek Liang Kie berlari-lari. Selagi ia mendekati Ciong Tian,
mendadak ia menjerit, lantas ia muntah, hingga keluarlah
semua barang makanan yang tadi malam dia belesaki ke
dalam perutnya.
Si Han Toako terkejut.
"Kau... kau kenapa?" tanya dia, yang lari di sisinya. Dia tak
dapat melanjuti bicara. Dia lantas muntah seperti kawannya
itu. Mendadak dia merasa perutnya sakit.
Kim Sie Ie sudah menyiapkan jarum rahasianya yang
beracun, Tokliong ciam. Ia mau membantui Ciong Tian di saat
pemuda itu tidak sanggup melawan kedua musuhnya. Maka ia
heran mendapatkan kedua pihak belum bertempur, Liang Kie
dan kawannya itu muntah-muntah tidak keruan-keruan.
Mulanya ia heran, atau lantas ia mendusin.
"Entah Seng Lam sudah main gila apa terhadap mereka..."
pikirnya. "Inilah lebih baik lagi, aku jadi tak usah menggunai
jarumku." Tatkala itu Ciong Tian sudah sampai kepada musuh, lantas
ia menyerang Pek Liang Kie.
Hutongnia itu lagi membung-kuk-bungkuk, tidak dapat ia
lantas mengangkat dada untuk berdiri tegak, maka atas
datangnya tikaman, terpaksa ia memutar diri sambil
membungkuk terus. Itulah tipu silat "Menancap pohon yangliu
sambil membungkuk". Ia dapat membebaskan diri sambil ia
menarik cambuknya, cambuk Coaliong pian yang panjangnya
setombak lebih, untuk membuat perlawanan. Hanyalah
sayang, meski ia gagah, sekarang ia tidak dapat bersilat
sempurna, Disebabkan muntah-muntah itu, tenaganya telah
berkurang. Karena kurang sebat, ujung cambuknya segera
terbabat kutung!
Si orang she Han terlebih celaka lagi. Dia sudah lantas
menyerang dengan Angsee Ciu, tangannya yang berbahaya
itu. Dalam keadaan biasa, dapat dia menyampok pedang
lawan sampai terpental, mungkin lawannya roboh sekalian
dengan pingsan. Ketika itu, mestinya pedang lawan sudah
terlibat cambuknya Liang Kie. Di luar dugaannya, cambuk
lawannya itu kutung. Pula untuk kagetnya, dia merasa
tenaganya hilang. Tatkala tangannya melayang, jerijinya
dipapaki pedang dan terbabat putus karenanya. Saking kaget
dan sakit, dia sampai menjerit.
Kemalangannya Liang Kie dan sahabatnya itu akibat
liehaynya Seng Lam, yang pun doyan guyon. Diam-diam Nona
Le sudah menarahkan racun tanpa bau dan tanpa rasa di
dalam tehkoan mereka itu. Mereka asyik bicara, tehkoan itu
ada di atas meja di dekat jendela, leluasa sekali Seng Lam
menyemburkan obatnya ke dalamnya. Habis bicara, mereka
itu haus, maka keduanya bangun, untuk minum teh. Mereka
minum tanpa curiga apa-apa.
Tak lama habis minum, Liang Kie mendengar suara yang
mencurigai dari luar, ia mengajak kawannya keluar, untuk
melihat. Segera mereka mendapat kawan mereka, si kusir
tetiron, sudah kaku tubuhnya, sedang kedua muda-mudi yang
diculiknya lenyap. Mereka kaget, heran dan mendongkol. Tak
sempat mereka memeriksa lebih jauh kawan itu, lantas
mereka mencari, sampai kebetulan mereka mendengar
suaranya Ciong Tian. Mereka lega hati melihat si anak muda
bersendirian saja. Mereka tidak mau perdulikan lagi halnya
kenapa Ciong Tian dapat sadar. Celakanya untuk mereka, di
saat mereka mau turun tangan itu, obatnya Seng Lam
bekerja. Mereka merasa perut mereka sakit dan mules, lantas
mereka muntah-muntah! Syukur untuk mereka, tenaga dalam
mereka mahir, lekas-lekas mereka mengerahkan tenaga dalam
itu, hingga dapat mereka mencegah tumpah-tumpah. Meski
demikian, mereka menjadi repot, lantaran Ciong Tian
berkelahi secara nekad, datang-datang si anak muda
menggunai "Twiehong Patsie", ilmu pedang "Mengejar Angin"
dari Thiansan Pay, yang terdiri dari delapan jurus.
"Rupanya kita kena makan racun!" kata Pek Liang Kie, yang
sadar akan kesehatannya yang tak wajar itu.
Ketika itu Lie Kim Bwee men-dusin, ia lantas bangun lari
menghampirkan. "Engko Tian, apa artinya ini?" ia tanya heran. Sejak
membuka mata, ia sudah menjadi bingung hingga ia melihat
kelilingnya dengan mata membelalak. "Oh, kau lagi menempur
kawanan jahat ini" Jangan takut! Jangan takut! Akan aku
bantu kau!"
Tentu sekali Ciong Tian tidak takut, apapula itu waktu ia
sedang menang di atas angin. Yang bingung, yang takut, ialah
Pek Liang Kie beserta kawannya, yang berbaju kuning itu.
Belum sampai Kim Bwee menyerbu dalam gelanggang
pertempuran, Liang Kie sudah menjadi korban pula. Mulanya
cambuknya terbabat lagi hingga tinggal separuh, menyusul itu
pundaknya berkenalan dengan pedang si anak muda. Sudah
begitu, lagi-lagi dia muntah, bahkan sekarang muntah darah.
Tidak ayal lagi, dia memutar tubuh, untuk lari kabur.
Si Han Toako melihat dirinya terancam ia mendahului
menyingkir, ialah dengan menjatuhkan diri ke tanah, untuk
bergulingan, hingga dia menggelinding turun ke bawah bukit!
Lie Kim Bwee takut kena muntahan, ia menjauhkan diri.
Ciong Tian lantas menghampirkan.
"Kau sudah mendusin?" tanyanya sambil bersenyum.
"Bagaimana perasaanmu" Kedua manusia jahat itu sudah
terluka, sudah, biarkan mereka kabur, tak usah kita kejar!"
Kim Bwee membuka mata lebar, kembali ia melihat ke
sekitarnya, la masih bingung.
"Sungguh seperti mimpi," katanya, "Kenapa kita berada
disini" Bagaimana kau dapat meloloskan diri" Aku tidak kurang
suatu apa, bagaimana dengan kau?"
"Aku juga tidak tahu bagaimana duduknya hal," sahut si
pemuda. "Ketika aku tersadar, aku melihat kita berada disini.
Cuma aku merasai sarinya Pekleng Tan dalam mulutku.
Mungkinkah suheng datang kemari?"
"Aku pun menduga demikian," kata si pemudi. "Hanya
kalau Tong Suheng datang kemari, dia sekarang kenapa tak
nampak?" Sie Ie tertawa dalam hati mendengar pembicaraan mudamudi
itu. Pikirnya: "Mereka menerka hanya sebagian. Kalau
sebentar Keng Thian datang, mereka tentu tidak akan
menyangka aku."
"Ketika tadi aku baru mendusin," kata Ciong Tian pula, "aku
mendengar suaranya senjata rahasia yang datang dari arah
barat daya, mungkin itu Tong Suheng melepaskan Thiansan
sinbong. Maka itu, sebentar baiklah kita melihat ke sana..."
Ia hening sejenak, lalu menambahkan: "Ketika aku
mendusin, kecuali kau, tidak ada lain orang disini. Tak lama
datanglah Pek Liang Kie berdua. Aku kira, habis Tong Suheng
membebaskan totokan kita, dia lantas ketemu lain musuh
yang tangguh. Tentulah Liang Kie berdua datang belakangan
sebab mereka tak dapat susul suheng."
Penjelasan itu masuk di akal, Sie Ie mengangguk-angguk.
"Dia masih hijau tetapi dia dapat berpikir baik," pikirnya.
"Dia hanya tidak dapat memikir aku."
Lie Kim Bwee tertawa.
"Kenapa kau tidak lantas menyadarkan aku?" dia tanya.
"Kenapa kau berlagak berani sendirian saja melayani dua jahat
itu" Lihat kau telah mesti mengeluarkan banyak tenaga!"
Memang napasnya si pemuda memburu.
Si nona menyangka ia mendusin sendiri karena berisiknya
pertempuran. Pertanyaannya itu mirip teguran, akan tetapi
itulah pengutaraan rasa berkasihan.
Senang Ciong Tian mendengar kata-kata si pemudi.
"Aku tidak letih," katanya, tertawa. "Benar-benar tidak!


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya, aku menguatirkan kau, sumoay. Lihat, rambutmu
kusut sekali, mari aku beresi..."
Dengan membesarkan hati, si pemuda menghampirkan si
nona. Mukanya Kim Bwee merah, ia tunduk. Ia tidak
mencegah pemuda itu merapikan rambutnya.
Sie le menonton, lega hatinya. Toh, tanpa merasa, ia
merasa pedih juga. Maka lantas ia kata dalam hati: "Apa yang
aku mesti lakukan disini, sudah aku lakukan! Buat apa aku
terus mengintai mereka?" Maka ia lantas mengeraskan hati,
dengan cepat ia mengangkat kaki, berlalu dari dalam rimba
itu. Ciong Tian bersama Kim Bwee tidak mendengar apa-apa.
Ia terus menuju ke tempat dimana ia sudah berjanji dengan
Seng Lam untuk bertemu. Ketika ia tiba, ia heran. Disana tak
ada Nona Le. Ia menjadi berkuatir, maka lantas ia mendekam
di tanah, untuk memasang telinga, itulah ilmu "Hoktee
tengseng", atau "Mendekam di tanah mendengar suara".
Lapat-lapat ia mendengar suara pertempuran di arah barat
daya. la heran sekali.
"Seng Lam dapat lari lebih keras daripada Tong Keng Thian
suami isteri, kenapa ia tak dapat meloloskan diri dari mereka
itu?" ia berpikir. Ia tidak tahu bahwa Nona Le sudah mendapat
rintangan. Habis memancing Tong Keng Thian suami isteri, kalau ia
mau, Seng Lam dapat lantas meninggalkan mereka itu, apa
mau hatinya panas karena Pengcoan Thianlie terus menghajar
ia dengan Pengpok sintan, hingga biar bagaimana, larinya
terhalang sedikit. Di lain pihak, ia sungkan menggunai peluru
asapnya untuk membikin si Bidadari dari Sungai Es tak dapat
melibatnya. Saking mendongkol, timbul niatnya merampas
juga Pengpok Hankong Kiam, pedang mustika Kui Peng Go.
Demikian, tengah berlari-lari keras, mendadak ia
menghentikan tindakannya dan ia memutar tubuhnya, untuk
meluncurkan tangannya, guna merampas pedang si nyonya!
Pengcoan Thianlie terkejut. Di waktu berlari keras, memang
sukar orang menahan kakinya, untuk berhenti lari seketika
juga. Dalam hal ini, suami isteri itu kalah dari si nona she Le.
Seng Lam dapat lantas berhenti, untuk menggeser tubuh ke
samping, selagi lawan tiba, tangannya itu menyambar. Itulah
"Hut-in ciu", atau Tangan Mengebut Awan, tipu yang liehay di
antara macam-macam tipu silat tangan kosong melawan
senjata. Lantas ujung pedang tersentuh jeriji tangan!
Dua-dua pihak kaget. Pengcoan Thianlie sebab pedangnya
terlanggar. Dan Le Seng Lam karena merasai hawa yang
sangat dingin. Sebenarnya Siulo Imsat Kang dari Seng Lam
sudah pada tingkat ke delapan, seharusnya ia tidak usah takut
hawa dingin, meskipun Pengpok Han-kong Kiam dingin luar
biasa, tapi ia lagi menggunai Hut-in Ciu, tangannya tak dingin
lagi, maka itu, tangannya itu menyentuh pedang dingin, ia
menggigil, tenaganya menjadi berkurang sendirinya.
Pengcoan Thianlie tidak berdiam saja. Begitu pedangnya
tersentuh, begitu ia menarik pulang, terus ia pakai menikam.
Seng Lam terkejut. Sudah begitu, Tong Keng Thian pun
tiba dan dia lantas menyerang membantui isterinya itu.
Untuk meloloskan diri, Seng Lam bertindak dengan
tindakan Thianlo Pou. Ia lolos dari pedang Pengcoan Thianlie,
akan tetapi jalan mundurnya terintang Keng Thian. Maka
kembali ia diserang nyonya itu, yang dua kali beruntun
menikam dengan jurus-jurus "Selaksa lie es terbang" dan
"Daun rontok di seribu gunung".
Terdesak demikian rupa, Nona Le menjadi gusar.
"Bagus!" ia kata dalam hatinya. "Aku memandang engko
Sie Ie, aku cuma main-main dengan kamu, siapa tahu, kamu
bersungguh-sungguh! Baiklah!"
Segera juga terdengar bentrokan kedua senjata. Itulah
sebab nona ini sudah mengeluarkan pedangnya Kiauw Pak
Beng dengan apa ia menangkis Pengpok Hankong Kiam.
Memangnya Cay-in Kiam lebih tajam daripada pedang dingin
dari si nyonya.
Kedua pihak terperanjat. Si nyonya sebab tidak menyangka
pedang lawan liehay, si nona karena mendadak telapak
tangannya terasa sangat dingin akibat tersalurnya hawa dingin
Hankong Kiam. Hanya mereka syukur, pedang mereka
masing-masing tidak bercacad lantaran bentrokan itu.
Seng Lam bertempur dengan sepasang pedang: Yuliong
Kiam di tangan kiri, Cay-in Kiam di tangan kanan. Pengcoan
Thianlie merasa berat menandinginya. Tong Keng Thian,
karena pedangnya pedang biasa, terpaksa sering mundur.
Girang si nona melihat lawannya keteter. Lantas ia ingin
meninggalkan mereka itu. Akan tetapi, belum lagi ia
berlompat, untuk menerobos, mendadak Keng Thian
merangsak pula, pedangnya menikam. Berbareng dengan itu,
si nyonya pun maju.
Aneh gerakan suami isteri itu, mereka lantas mengurung.
Sebenarnya Keng Thian bersilat dengan ilmu silat "Sumeru
Besar", suatu jurus simpanan dari ilmu pedang Thiansan Pay.
Itulah ilmu pedang untuk menyerang berbareng menjaga diri,
lebih-lebih dalam pembelaan diri, tak perduli orang lagi
menghadapi lawan yang berlipat lebih liehay.
Jikalau mereka bertempur satu lawan satu, dalam sepuluh
jurus Seng Lam dapat lolos dari kurungan ilmu pedang
"Sumeru Besar" itu, atau dalam tiga puluh jurus ia
memecahkannya, sekarang Pengcoan Thianlie membantu
suaminya, ia repot juga. Suami isteri itu memang dapat
bersilat bersatu padu.
Seng Lam menjadi menyesal, terutama karena ia menduga
tentulah Sie Ie lagi menantikannya. Ia malu andaikata Sie le
menyusul dan membantui ia meloloskan diri. Maka ingin ia
lekas menyingkir. Ia lantas mendapat akal.
Keng Thian girang melihat orang bergerak ayal. Ia
menduga si nona mau menggunai tipu. Ia tidak kuatir, malah
ia anggap ini ada baiknya. Terus ia menyerang.
Pengcoan Thianlie menyerang juga mengikuti suaminya itu.
"Biarnya kau liehay, siluman, tak nanti kau lolos lagi!" kata
Keng Thian dalam hati.
Tepat sekali, Seng Lam kena tertikam, hanya tikaman itu
mengasih dengar suara nyaring. Itulah karena yang menjadi
sasaran kemala yang menjadi pelindung tubuhnya itu.
Keng Thian terkejut. Justeru itu, pedangnya terbabat
kutung oleh Cay-in Kiam. Sedang tikamannya Pengcoan
Thianlie ditangkis dengan Yuliong Kiam. Dengan begitu si
nona lantas sudah terlepas dari kurungan. Dia tertawa manis
dan kata: "Tong Siauwciangbun, jangan sesalkan aku yang
aku tak sempat melayani kamu lebih lama pula..."
Belum berhenti suaranya nona ini, atau telinganya
mendengar bentakan yang nadanya dingin: "Jangan
bergerak!" Menyusul itu, terdengar seruannya Keng Thian.
"Ayah!"
Seng Lam terkejut. Ia lantas menoleh. Maka ia melihat dua
orang, pria dan wanita, dan yang wanita mirip Phang Lim.
Yang pria itu, yang kumisnya panjang, nampak agung dan
keren, usianya sudah lima atau enam puluh tahun. Yang
mengherankan, suara itu memekakkan telinga. Ia menduga
kepada Tong Siauw Lan sebab Keng Thian memanggil ayah.
Tong Siauw Lan menghargai derajatnya sendiri, tidak mau
ia turut dalam pertempuran di gunung Binsan itu untuk
mengerubuti Beng Sin Thong, meski demikian, hatinya merasa
kurang enak, dari itu tanpa menanti undangan Tong Sian
Siangjin, ia mengajak isterinya, Phang Eng pergi menyusul ke
gunung itu. Ia sudah memikir, andaikata pihak Binsan Pay
terkalahkan, baru ingin ia mencoba Beng Sin Thong. Tentu
saja, ia mau bertanding satu lawan satu. Hanya kebetulan
sakali malam itu mereka mendengar suara Thiansan sinbong,
dan tempo mereka pergi melihat, mereka menyaksikan Keng
Thian dan Pengcoan Thianlie kena dipermainkan si nona, di
tangan siapa tercekal Yuliong Kiam, hingga ia menjadi heran
dan tak puas. Seng Lam jeri, bukannya ia berdiam, ia justeru lari. Ia
percaya, dengan ilmu larinya yang keras, ia akan dapat
menyingkirkan diri.
Siauw Lan mengerutkan kening.
"Adik Eng, tolong kau bekuk dia!" ia kata pada isterinya.
"Kau tanya kenapa dia merampas pedang pusaka kita dan ada
permusuhan apa di antara dia dan Thiansan Pay."
Sekalipun lagi mendongkol, jago tua ini tidak mau melayani
seorang wanita, maka itu ia minta bantuan isterinya.
"Jangan gusar, engko," kata Phang Eng tertawa. Ia sabar
dan halus budi pekertinya. "Dia dapat merampas pedang dari
tangan Keng Thian, itu tandanya dia liehay sekali. Kalau
sebentar aku bekuk dia, kau baik-baik, jangan kau bikin dia
kaget..." Seng Lam lagi berlari ketika ia mendengar kibarannya
ujung baju disusul dengan satu bayangan melewati ia, atau di
lain saat ia sudah kena dirintangi.
"Kalau barusan dia menghajar aku dari belakang, tidakkah
aku celaka?" ia berpikir. "Tapi aku mempunyai dua pedang,
apa aku takuti" Baiklah aku coba, dia..."
Seng Lam ini menyangka Phang Eng sebagai Phang Lim.
"Nona kecil, jangan kau lari!" berkata Phang Eng, tertawa.
"Mari pulangi pedang Yuliong Kiam padaku, lalu kau turut aku,
untuk kita memasang omong. Asal bicaramu beralasan, tidak
nanti kami ganggu padamu."
"Baik, ini aku kembalikan pedangmu!" kata Seng Lam. Ia
mengangsurkan pedang sambil menikam dengan tiba-tiba. Ia
menggunai jurus "Pekhong koanjit" atau
"Bianglala putih menutupi matahari". Berbareng dengan itu,
dengan Cay-in Kiam ia menyerang ke kaki dengan jurus
"Angin merontokkan bunga". Dengan Yuliong Kiam, ia
mengincar dada si nyonya.
Seng Lam menyerang seperti membokong, ia percaya ia
akan berhasil, tidak dengan dua-dua pedangnya, tentu satu di
antaranya. Kesudahannya di luar dugaannya. Ia terkejut
ketika ia melihat sinar putih berkelebatan di depan matanya,
menyusul mana ia merasa kedua pedangnya tergubat sesuatu
dan lengannya seperti tertarik keras, sedang telapakan
tangannya terasa nyeri. Ia lantas menarik sekuatnya,
tubuhnyapun berlompat mundur dengan jungkir balik. Ia
berlompat dengan tipu silat "Yauw-cu hoansin", atau "Burung
elang membalik badan", la lompat mundur kira-kira tiga
tombak. Ketika itu pun terdengar suara robeknya cita, yang
robekannya melayang turun.
Phang Eng mengerutkan alis. Kata dia: "Kenapa orang
begini muda sudah licin sekali" Jikalau bukannya aku,
bukankah orang bakal bercelaka"..."
Tong Keng Thian lantas berkata nyaring: "Ibu, dia sangat
licik, jangan sungkan terhadapnya!"
Phang Eng lantas mematahkan sebatang cabang yangliu,
dengan itu ia maju.
Sekarang Seng Lam ketahui nyonya itu ialah Phang Eng, ia
jeri tetapi ia percaya kedua pedangnya. Ia pikir: "Mereka
sudah terkenal, tidak nanti Tong Siauw Lan membantui
isterinya. Mustahil dengan dua batang pedang tidak dapat aku
memapas kutung cabang yangliu-nya itu" Ia tidak tahu, dalam
usia mendekati enam puluh tahun, Phang Eng telah mendapat
kemajuan pesat hingga dia jauh melebihkan Phang Lim,
adiknya. Melihat orang menyerang, Seng Lam menangkis dengan
pedang di tangan kanannya, dengan pedang di tangan kiri, ia
menjaga diri. Ia ingin menabas kutung senjata si nyonya tua.
Tapi ia cuma dapat memapas dua lembar daun, sedang
belakang tangannya kebentur ujung cabang.
Phang Eng heran. Maksudnya adalah menggempur
telapakan tangan si nona, guna dia melepaskan cekatannya,
siapa tahu, nona itu benar-benar liehay.
Seng Lam bergerak gesit dengan tindakan Thianlo Pou,
dengan begitu ia dapat meluputkan diri. Thianlo Pou ada ilmu
berkelit dari Cengshia Pay, di tangannya Kiauw Pak Beng, itu
telah diolah terlebih jauh hingga menjadi terlebih sempurna.
Itulah sebabnya Nyonya Tong Siauw Lan gagal.
"Pantas pedang anak Keng kena dirampas dia," Phang Eng
kata dalam hati. "Aku pun tidak lantas dapat mengenali ilmu
silatnya ini dari partai mana, maka mungkin aku harus
melayani dia sampai tiga puluh jurus..."
Bertempur lebih jauh, Seng Lam terkejut. Mendadak ia
merasa pedang Yuliong Kiam hampir terlepas. Lantas ia
menolongnya dengan tikaman Cay-in Kiam.
Cabang Yangliu-nya Phang Eng bekerja terus, lincah seperti
lidah ular yang berulang-ulang mencari mangsanya, hingga
lekas juga mata si nona kena dibikin silau, sampai ia tak tahu
pasti dari mana datangnya serangan. Baru sekarang ia
berkuatir sangat. Terpaksa ia mengandalkan terus pada
kelincahannya. Phang Eng menyerang berdasarkan tipu-tipu huruf
"Nempel". Ia tetap mencoba untuk merampas Yuliong Kiam,
pedang "Naga Memain". Syukur Seng Lam memegang dua
bocah pedang, saban-saban ia dapat menggunai yang satunya
untuk membelai yang lain, atau sebaliknya.
Baru lewat sepuluh jurus, Seng Lam sudah mandi keringat,
tak dapat ia melakukan penyerangan membalas. Terusterusan
ia repot berkelit atau membela diri. Ia terkurung ujung
yangliu. Ketika Sie le sampai, ia menjadi bingung. Ia menyaksikan
Seng Lam terdesak Phang Eng. Disana ia melihat Tong Siauw
Lan lagi menonton. Lekas-lekas ia menyembunyikan diri.
Syukur Siauw Lan lagi menonton, hingga dia tak melihat
Tokciu Hongkay.
"Bagaimana dapat aku menolongi dia?" tanya Sie Ie pada
dirinya sendiri. "Dengan diam-diam, tak ada jalan untuk aku
bekerja. Jikalau aku maju berterang, tentulah mereka
mengenali aku..."
Tengah bingung itu, Sie Ie mendengar suara berkeresek
terpisah beberapa tombak dari ianya. Ia lantas menoleh dan
mengawasi. Dengan matanya yang tajam, ia melihat dua
orang lagi bersembunyi di antara rumpun rumput tebal. Ia
mengawasi terus, sampai ia mendapat kenyataan merekalah
Ku Chong Cu dan Tie Too An.
Dua orang itu terluka di Hianlie Koan, mereka menyingkir
ke sebuah gua di dekat situ, untuk memakai obat. Luka
mereka tidak berbahaya tetapi mereka toh mensia-siakan
waktu. Tetap mereka tak bertemu dengan rombongan Seebun
Bok Ya. Lantas mereka mencari Pek Liang Kie serta si Han


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Toako. Kebetulan mereka menemuinya selagi dua kawan itu
mau mencari Ciong Tian dan Lie Kim Bwee. Lantas mereka
berempat mencari dengan berpencaran. Berdua mereka
mendengar suara pertempuran, lalu mereka pergi
menghampirkan. Tadinya mereka menyangka kepada Ciong
Tian dan Kim Bwee. Mereka kaget ketika mereka mengenali
Tong Siauw Lan suami isteri. Dulu pun mereka hampir hilang
jiwa di tangan Siauw Lan. Maka itu, mereka menyembunyikan
diri. Sie Ie lagi keras memikirkan akal ketika ia mendengar
suara nyaring dari Tong Siauw Lan: "Siapa lagi bersembunyi
disitu?" Suara itu bengis. Ia terperanjat. Ia mengira ialah yang
terpergok. Tapi ia melihat Tong Keng Thian dan Pengcoan
Thianlie lari ke arah Ku Chong Cu dan Tie Too An. Rupanya,
suami isteri ini pun mengetahui ada orang bersembunyi disitu.
Berbareng dengan itu, Phang Eng juga berseru: "Masih kau
tidak mau melepaskan pedang" Kau mau tunggu kapan lagi?"
Le Seng Lam kaget. Pedangnya telah tertempel cabang
yangliu, hingga telapakan tangannya terasa nyeri terus sampai
ke uluhatinya, sebelum tangan kanannya dapat menolong
Yuliong Kiam sudah tertarik Phang Eng.
Di saat itu, Sie Ie mendapat akal. Belum lagi Keng Thian
dan isterinya sampai pada Chong Cu dan Too An, ia
mendahului berlompat lari kepada dua orang itu. Kedua pihak
terpisah hanya beberapa tombak, ia telah lantas sampai.
Sebelum Chong Cu dan Too An tahu apa-apa, mereka
sudah tercekuk Tokciu Hongkay. Too An memakai kedok,
kedok itu dirampas Sie le, untuk terus dipakai.
Tong Keng Thian cuma melihat satu bayangan berkelebat
sangat cepat, ia heran hingga ia tercengang. Ketika itu sinar
rembulan lagi guram. Ia tidak mengenali Sie Ie, yang ia
menyangka pun tidak.
Sementara itu Phang Eng sudah bekerja terus. Habis
membikin Yuliong Kiam terpental belasan tombak, ia pun
merampas sarungnya.
Seng Lam tidak dapat membelainya lagi, ia bingung sekali.
Justeru itu, ujung yangliu mampir di punggungnya di betulan
jalan darah cietong. la mendengar suara angin dari tikaman
itu. Ia menggunai ilmu sesatnya yang liehay, membikin
darahnya berjalan bertentangan. Toh ia merasa nyeri,
matanya berkunang, kepalanya pusing, dan tubuhnya
terhuyung-huyung.
"Biarnya kau mau, tak dapat kau lari!" kata Phang Eng.
"Lekas kau turut aku, supaya kau tidak tersiksa!"
Ujung cabang yangliu si nyonya sudah mengancam jalan
darah ciauwhun di belakang kuping si nona, asal ia mengenai,
pasti Seng Lam roboh pingsan, tapi ia berkasihan, ia
menyayangi ilmu silat orang, ia melainkan menggertak.
Tengah Seng Lam terancam itu, mendadak terdengar suara
angin menyambar dan terlihat sesosok tubuh melayang ke
arah Phang Eng. Itulah hasil perbuatannya Sie Ie, yang
melemparkan Chong Cu dan Too An kepada si nyonya.
Sebenarnya, Nyonya Siauw Lan liehay mata dan telinganya,
ketika, Sie le mendatangi, ia sudah mendapat dengar, lantas
ia melirik, hanya ia tidak menyangka, orang bakal
menimpuknya dengan dua tubuh manusia. Ia mengagumi
kecepatan Sie le hingga ia heran dan menduga dalam hatinya:
"Dialah orang liehay sekali! Mungkinkah dia Beng Sin Thong?"
Tapi tak sempat ia berpikir, ia mesti berkelit dari serangan
itu... Sie le berlaku cerdik. Ketika ia melemparkan Chong Cu dan
Too An, ia menotok bebas mereka itu, maka itu di saat mati
dan hidup, setelah merasa kaki tangannya merdeka, Too A n
lantas menyerang kepada si nyonya.
Phang Eng lagi mengancam Seng Lam, karena serangan
Too An itu, cabang yangliu-nya menggeser arah. Ia tidak
menjadi gugup. Dengan sebat ia meneruskan menotok nadi
penyerang itu. Tubuh Too An berat, cabang yangliu patah,
tapi Too An sendiri roboh terbanting di tanah.
Justeru itu Ku Chong Cu menyerang dengan kebutannya,
dia berhasil melibat sisa cabang yangliu si nyonya.
Phang Eng tidak diam saja. Ia meneruskan menusuk
dengan cabangnya itu. Tepat ia mengenai pundak orang,
maka saking nyerinya, terlepaslah senjatanya penyerang itu,
yang tubuhnya turut roboh terbanting, hingga tak dapat dia
berkutik lagi. Sie Ie menggunai ketikanya yang baik sekali. Selagi Phang
Eng repot itu, ia mengajak Seng Lam lari menyingkir.
Tong Siauw Lan menyaksikan semua kejadian itu, ia heran.
Ia pun menyangka Sin Thong, hanya orang bukannya seorang
yang usianya sudah lanjut. Ia kata dalam hatinya: "Dari mana
datangnya si jelek ini yang begini liehay" Tidak kusangka,
selainnya Beng Sin Thong, ada lagi orang sama Iiehaynya..."
Maka ia lantas berkata nyaring: "Tong Siauw Lan dari
Thiansan ingin menemui tuan untuk kita melakukan
pertandingan persahabatan! Kau telah sampai disini, tuan,
mari kita membuat pertemuan!"
Sie le dengar itu, ia tidak mengambil mumat, bahkan dia
menarik tangan Seng Lam, untuk diajak lari terlebih keras
pula! Siauw Lan menjadi tidak senang, hingga alisnya bangkit
berdiri. "Tuan tidak mau berhenti, jangan kau katakan aku tak tahu
aturan!" katanya nyaring, lantas tangannya melayang.
Menyusul itu, tiga biji Thiansan sinbong terbang dengan
suaranya mengaung nyaring.
Jago Thiansan ini menyangka orang tidak menghormatinya,
tak tahunya Sie le mempunyai alasannya sendiri tak suka
bertemu dengannya. Sie Ie kaget dan jeri. Ia tahu liehaynya
senjata Siauw Lan itu. Tapi ia perlu menolong diri, terpaksa ia
membelanya. Ketika sinbong tiba, ia menghalau dengan
sentilannya, dengan ilmu "Cietan Sinthong", yang ia peroleh
dari kitabnya Kiauw Pak Beng. Dua kali ia menyentil tepat,
tetapi sinbong yang ketiga lari ke punggungnya Seng Lam!
Nona itu tidak berdaya, sedang kawannya tak sempat
menolongi lagi. Ia kena terhajar, tubuhnya terjerunuk lima
tombak dimana ia roboh.
Sie Ie kaget, ia berlompat dengan lompatan "Burung walet
menyambar air". Ia tiba lantas di samping si nona, ia
mengulur tangannya menyambar tangan kiri nona itu untuk
diangkat, buat ditarik, guna diajak lari pula. Maka di lain saat,
mereka sudah jauhnya setengah lie.
Hebat serangan sinbong tetapi kokoh tamengnya Seng
Lam, walaupun ia terjatuh ngusruk, dia tidak terluka. Adalah
sinbong, yang patah menjadi dua potong dan jatuh di sisinya.
Seng Lam kaget dan takut, tapi Siauw Lan heran dan
kagum. Ia heran untuk kegesitan Sie Ie dan ketangguhan
Seng Lam, ia kagum untuk liehaynya sentilan Sie Ie itu,
Sie Ie menggunai kepandaiannya Kiauw Pak Beng,
kepandaiannya sendiri ia simpan terus. Sebab ia membikin
Siauw Lan tidak dapat menebak padanya.
Phang Eng telah membikin Ku Chong Cu dan Tie Too An
tak berdaya lagi. Ia sebenarnya mau menyusul Seng Lam,
tetapi suaminya menghampirinya. Siauw Lan kata padanya:
"Kiranya mereka ini berdua! Baiklah kita mengusut dari
mereka ini perihal si jelek itu. Dia liehay sekali, pasti kita tak
dapat menyandaknya."
Jago Thiansan ini berkata begitu sebab ia mengira Too An
dan Chong Cu kenal Sie Ie.
Belum lagi Phang Eng menjawab suaminya, telinga mereka
sudah mendengar suara tindakan kaki mendatangi. Keng
Thian, yang telah menjemput pedang Yuliong Kiam, mau maju
memapaki. "Tunggu," Siauw Lan mencegah. "Mendengar tindakannya,
mereka mungkin orang pihak kita..." Ia lantas mengasih
dengar suaranya perantaraan ilmu "Toan-im Jip-bit", yang
mirip dengan "Thiantun Toan-im", hanya suaranya nyaring
tapi halus. Atas itu datanglah jawaban dari Ciong Tian dan Lie Kim
Bwee: "Suhu!" dan "Ie-thio!" disusul dengan munculnya
sepasang muda-mudi itu.
Phang Eng menurut kepada suaminya, ia tidak mau
mengejar Sie le dan Seng Lam. Ketika itu, murid dan
keponakannya pun telah tiba.
Itulah ada baiknya untuk Sie Ie berdua Seng Lam. Setelah
lari beberapa lie dan mendapat kenyataan mereka tidak
dikejar, mereka mempertahankan tindakan mereka.
Mendadak Sie le tertawa geli.
"Aku mendapat malu, Yuliong Kiam juga lenyap, apakah
kau mentertawakan aku?" tanya Seng Lam mendongkol.
"Kau lihat dulu dirimu!" kata Sie Ie bersenyum.
Ketika itu sudah terang tanah kebetulan di dekat mereka
ada sebuah kali kecil, Seng Lam lantas pergi ke tepi kali itu
untuk berkaca. Ketika ia melihat bayangannya, ia menjerit
kaget, terus ia meraba rambutnya.
"Baiklah!" dia kata sengit. "Nanti datang satu hari yang aku
pun akan membabat kutung rambutnya Siauw Lan!"
Rambut nona ini telah tersambar pedangnya sendiri ketika
tadi ia menghajar Thiansan Sinbong, rambut itu menjadi
pendek, hingga ia seperti menjadi lelaki bukan, perempuan
pun bukan, hingga hatinya menjadi sangat panas. Tadi dalam
keadaan berbahaya dan berlari-lari, Sie Ie tidak melihatnya, ia
sendiripun tidak engah.
"Kau yang membabat sendiri, buat apa kau gusari Tong
Siauw Lan!" kata Sie le, tertawa pula. "Menurut aku malah
baik sekali Yuliong Kiam terambil pulang oleh Tong Keng
Thian. Tidak demikian, apakah kau sangka orang tuanya mau
sudah saja" Jikalau mereka itu mengejar, apakah kau kira
dapat kau lari menyingkir?"
"Jadinya kau takut kepada Tong Siauw Lan dan isterinya?"
tanya Seng Lam, masih sengit. "Hm! Kau tentu masih ingat Lie
Kim Bwee! Kalau nanti Tong Siauw Lan membunuh aku, pasti
kau tidak sudi menolong!"
Sie le tertawa.
"Benarkah kau memandang aku begini rupa?" ia menanya.
Seng Lam berdiam. Memang, habis mengucap itu, ia sudah
menyesal sendirinya. Buktinya baru saja Sie le menolongi
jiwanya. Tanpa Sie le, mana ia bisa lolos dari Phang Eng"
Sie le mengawasi, terus ia kata sungguh-sungguh: "Jikalau
kau main gila pula, benar-benar aku akan tak memperdulikan
lagi! Bilang terus terang, aku tidak suka bentrok dengan
Thiansan Pay. Laginya, tidak sanggup aku melawan Tong
Siauw Lan!"
Ia lantas menunjuk jeriji tengah dan manis dari tangan
kanannya, kedua jeriji itu hitam legam. Jeriji itu terluka sebab
dipakai menyentil sinbong.
"Baiklah," berkata si nona, terpaksa. "Urusan Thiansan Pay
kita tunda dulu sampai selesainya urusan Beng Sin Thong.
Pula, kalau nanti aku mencari balas, tak usahlah kau
membantui aku. Kau puas, bukan"--Eh, bagaimana jerijimu
itu, sakit, atau tidak?"
Sembari berkata begitu, ia mengeluarkan bekalan obat
bubuknya, untuk terus memboreh-kan sambil ia meniupi,
untuk meringani rasa nyerinya. Ia bersikap lemah lembut,
hingga Sie Ie tidak mau menegur pula.
Kemudian Seng Lam merapikan rambutnya, untuk
dibungkus dengan sapu tangan, habis itu sambil tertawa ia
tanya kawannya: "Dengan rambut digubat ini, tidakkah aku
mirip dengan si nona tukang jual silat?"
"Kau mirip dengan si pendeta wanita tukang jual lagak di
kota kecil!" sahut orang yang ditanya.
Tangannya Seng Lam melayang.
"Kau ngaco belo, siluman jelek!" katanya.
Sie Ie meloloskan topengnya.
"Syukur ada ini," katanya, "jikalau tidak, Tong Siauw Lan
dapat mengenali aku. Baiklah, aku menyingkirkannya, supaya
kau tak usah mengatakan pula aku si jelek..."
Lantas keduanya melanjuti perjalanan mereka. Sampai
magrib, mereka tiba di sebuah kota.
"Kota apakah ini?" Seng Lam tanya.
"Kota kecamatan Hinteng," jawab Sie Ie. "Dari sini sampai
ke Pakkhia tinggal seperjalanan tiga hari."
Tengah berbicara itu, mereka mendengar derap kuda
mendatangi dari arah belakang, keduanya lantas berpaling.
Dua penunggang kuda lagi mendalangi, dua-duanya sudah
berusia tinggi. Pandai mereka memegang kendali, kuda
mereka lari pesat, tubuh mereka duduk tegak. Berulang kali
cambuk mereka berbunyi nyaring.
Tatkala mereka itu lewat di sampingnya, mendadak Sie Ie
merandak. "Sie Ie, apakah kau kenal mereka?" tanya Seng Lam,
heran. Ia lihat kawannya melengak.
"Jangan bicara, dengar apa kata mereka," sahut Sie le.
Orang sudah lewat tetapi Tok-ciu Hongkay dan Seng Lam
masih dapat mendengar suara mereka itu:
"Bagus malam ini kita tiba di Hinteng dimana kita bisa
bermalam," kata yang satu.
"Apakah kau lupa In Jieko tinggal di luar kota?" kata yang
lain. "Baik kita jalan lebih jauh sedikit, untuk sampai di
rumahnya, untuk menjenguknya."
"Benar, benar!" kata yang pertama itu, tertawa. "Mungkin...
mungkin... Tentu ln Jieko sama seperti kita, ia sudah
menerima..."
Lantas suara mereka tak terdengar lagi.
"Apakah mereka mau bilang?" tanya Seng Lam. "Apa bukan
tua bangka itu mau berhemat, supaya mereka tak usah
mengodol saku menyewa kamar rumah penginapan" Karena
itu dia mau mampir pada kenalannya..."
Sie le tertawa.
"Kau memandang enteng orang itu!" ia menyahut. "Kau
tahu siapa mereka?"
"Jikalau aku tahu, tak usah aku tanya kau!" sahut Seng
Lam bergurau. "Nanti aku bilangi kau," kata Sie Ie. "Jangan kau
memandang hina pada pakaian mereka dari kain kasar itu!
Sebenarnya, dipadu dengan kau, mereka jauh terlebih kaya
raya! Yang satunya ialah Liu Chungcu dari dusun Samliu
Chung, hartanya jutaan. Jarang yang ketahui bahwa dialah
seorang jago Rimba Persilatan."
"Mungkin dia Liu Sam Cun?" si nona menyela. "Kalau


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar, dia tidak ternama seberapa!"
"Pada tiga tahun yang sudah lewat, kau pasti bukan lawan
dia!" "Bagaimana kau ketahui itu?"
"Ketika dulu dari pulau Coato aku mendarat di Tionggoan,"
Sie le memberi keterangan, "aku gemar sekali bergurau
dengan orang-orang Rimba Persilatan atau mereka yang
namanya kesohor, jikalau aku dapat mengalahkan mereka,
aku tertawa, senang hatiku. Maka itu, saking sering merantau,
aku menjadi mendapat tahu banyak orang Bulim sekalipun
yang lain orang tidak kenal..."
"Jangan kau ngepul!" Seng Lam memotong. "Cara kau
bergurau dulu hari itu sudah sangat terkenal di kolong langit
ini! Dulu kau biasa menyamar menjadi pengemis edan, bahkan
juga menyaru jadi si penderita kusta yang menjemukan,
karena kau suka mengganggu orang, kau dijuluki Tokciu
Hongkay si pengemis edan dan jahat, bukankah?"
Kim Sie le bersenyum. Ia melanjuti: "Aku telah pergi cari
Liu Sam Cun. Dia tidak berani melawan aku bertempur.
Malamnya aku menyateroni, untuk mencari uangnya. Dialah
bangsa penyinta uang seperti dia menyinta jiwanya, maka itu,
terpaksa dia menempur aku. Sampai di jurus ke tujuh, baru
aku mendapatkan ketikaku, aku hajar telinganya satu kali
sampai dia keluar ilarnya! Karena dia sanggup melawan aku
sampai tujuh jurus, batal aku mencuri sepuluh laksa, aku
melainkan menggaruk beberapa potong emasnya..."
Seng Lam tertawa.
"Jikalau begitu, ada harganya juga gaplokanmu itu!" ia
kata. "Siapa itu tua bangka yang lainnya" Orang macam
apakah dia?"
"Dia bernama Pui Eng Siang. Kau lihat romannya yang
bengis itu, orang memanggil dia Pui Bu Siang. Bu Siang ialah
malaikat Bu Siang yang bengis."
Si nona tertawa pula.
"Apakah malaikat Bu Siang itu membetot nyawamu?" dia
tanya. "Bukan dia yang membetot nyawaku, hanya aku yang
hampir menarik rohnya! Dialah ciangbunjin, ketua, dari partai
persilatan Hekhouw Kun. Pada suatu hari aku datangi dia,
untuk menantang. Dia lebih liehay daripada Liu Sam Cun,
sampai di jurus kedua puluh tiga, baru aku dapat
mengalahkannya."
"Pantas tadi dia mengawasi kau."
"Mungkin dia rada mengenali aku. Pasti dia tidak dapat
menyangka akulah si pengemis edan dan berpenyakit kusta
dulu hari itu."
"Menurut kau, mereka juga jago Bulim. Cumalah mereka
tidak sangat kesohor. Kalau sekarang kau menghajarnya,
tentu kau tak memerlukan lebih daripada tiga jurus, lantas
mereka akan sudah berkaok-kaok meminta ampun..."
"Memang aku ingin menghajar pula mereka itu!" kata Sie
le, tertawa. "Kau katakan aku sesat, aku lihat kesesatanmu pun belum
lenyap!" kata si nona, turut tertawa. "Kau tidak bermusuh
dengan mereka, buat apa kau mau menghajarnya pula"
Apakah kau masih ketagihan" Kau harus ingat, kita
mempunyai urusan kita sendiri."
"Aku main-main saja! Sebenarnya aku mengharap sesuatu
keterangan dari mereka itu. Merekalah orang-orang yang tidak
suka menonjolkan diri, lebih-lebih Liu Sam Cun, yang berharta
besar. Kenapa sekarang mereka membuat perjalanan ini?"
"Kau makin aneh! Kau tahu mereka tidak suka bergaul,
habis kabar apa kau ingin dapatkan dari mereka itu?"
"Itu justeru yang menyebabkannya. Kau lihat, bukankah
mereka melarikan keras kuda mereka" Itu berarti mereka
mempunyai urusan penting. Tentu mereka ingin lekas tiba di
kota raja! Ini toh jalanan ke kota Pakkhia" Bukankah Seebun
Bok Ya mengumpul orang-orang sesat dan lurus" Siapa tahu
jikalau mereka ini ada hubungannya dengan orang she
Seebun itu" Atau mungkin kita mendengar hal urusan
lainnya..."
Seng Lam mengangguk.
"Kata-katamu beralasan juga," katanya. "Hanya aku lihat,
rombongan orang berbaju kuning dari Seebun Bok Ya itu
liehay semuanya, sedang mereka ini pastilah tak cukup
tangguh untuk dijadikan kawan. Tapi marilah, mari kita lihat!"
"Mereka itu menyebut-nyebut In Jeko," kata pula Sie Ie,
"dia tentulah In Tiong Hian yang tinggal di luar kota timur
kota Hinteng. Dia ketua dari partai Yuliong Too. Aku tahu
tempat tinggalnya. Dulu hari, karena kesusu, aku tidak sempat
mampir padanya. Dia pun kaya raya, hanya dia beda dari Liu
Sam Cun, dia terkenal dermawan. Sebagaimana kebanyakan
hartawan, yang tak suka banyak urusan, dia cuma terkenal di
desa sekitarnya."
"Sudahlah, aku tahu maksudmu!" kata Seng Lam, tertawa.
"Sebentar malam kita pergi ke rumahnya untuk mengintai,
andaikata kita mesti bertempur, terhadap In Tiong Hian aku
akan mengenal kasihan..."
Demikian mereka berbicara sambil jalan terus. Di dalam
kota, mereka singgah dengan mencari hotel. Habis bersantap
malam, mereka duduk bersamedhi, untuk beristirahat sambil
melatih diri. Pada kira-kira jam dua, Seng Lam berbangkit
dengan ia merasa bersemangat. Sambil tertawa ia kata:
"Ajaranmu ilmu tenaga dalam Thiansan Pay bagus sekali! Ilmu
ini bertentangan dengan ilmu ajarannya Kiauw Couwsu akan
tetapi faedahnya sama. Sudah satu malam aku tidak tidur,
sekarang setelah berlatih beberapa jam, aku merasa segar
sekali." "Sekarang sudah waktunya kita pergi," kata Sie Ie. Ia pun
berbangkit. Seng Lam pergi ke jendela, untuk membukanya, setelah
mana, keduanya lompat keluar.
"Ah, hampir aku lupa!" kata Sie Ie. Ia merogoh sakunya
dan melemparkan sepotong perak ke dalam kamar.
Keduanya lompat naik ke atas genting.
"Aku kira kau tetap sesat, tak tahunya makin lama kau
makin lurus!" Seng Lam menggoda. "Kau masih ingat
membayar uang hotel!"
Sie le cuma bersenyum. Lantas ia jalan di sebelah depan.
Perjalanan cuma beberapa lie, dengan lekas mereka tiba di
rumahnya In Tiong Hian. Rumah itu besar dan banyak
kamarnya, tak mudah segera mencari kamarnya tuan rumah.
Di saat Sie Ie mau cari kamar dimana ada sinar api, mendadak
ia dengar rangketan disusul tangisan minta-minta ampun.
"Heran," Tokciu Hongkay pikir. "In Tiong Hian kesohor
dermawan, mustahil dia sama seperti kebanyakan hartawan
busuk?" la segera mengajak Seng Lam menghampiri kamar dari
mana suara itu datang, ialah sebuah kamar kecil. Ketika
mereka mengintai ke dalam, terlihat seorang wanita gemuk
yang romannya bengis lagi merangket seorang nona yang
mukanya mandi air mata.
"Kau tidak tahu diri!" kata perempuan itu. "Looya kasihan
kau, ibumu mati, kau tidak kuat beli peti mati, looya berikan
sepuluh tahil perak pada ayahmu. Coba looya tidak demawan,
mana dia sudi memberikan uangnya" Dia melepas budi besar,
kenapa malam ini, dia ingin kau melayaninya, kau menampik
dan main menangis saja?"
Nona itu berlutut.
"Pohpoh, tolong kau mintakan belas kasihannya looya," dia
memohon. "Aku minta sukalah aku dimerdekakan. Sedari
masih kecil aku sudah ditunangkan..."
Cambuknya si nyonya tua diayun. "Benar-benar kau tidak
tahu diri!" katanya sengit. "Looya telah beli kau, kaulah
orannya looya! Siapa perduli kau sudah ditunangkan atau
belum?" Hati Sie Ie panas.
"Kiranya In Tiong Hian pun manusia palsu!" pikirnya.
"Dengan sepuluh tahil perak dia mau beli kehormatannya
seorang nona!..."
Tiba-tiba terdengar si wanita galak menjerit. "Aduh!" lalu
tubuhnya roboh dengan lidahnya melelet keluar. Sebab Seng
Lam, yang sangat gusar, sudah mengasih hadiah sebatang
pakunya. Nona itu pun lantas menolak pintu masuk ke dalam, diikut
Sie le. Si nona kaget dan ketakutan, tubuhnya bergemetaran. Tak
dapat dia bicara.
"Jangan takut!" Seng Lam kata. "Di mana kau tinggal"
Sebentar aku nanti antarkan kau pulang."
Nona itu mengawasi, lantas dia mengangguk-angguk.
Setelah hilang kagetnya, dia memberitahukan alamatnya.
"Malam ini aku pun mau menjadi si pendekar pembela
keadilan!" kata Seng Lam tertawa.
"St! Ada orang!"Sie le berbisik.
Benar saja, dari luar lantas datang panggilan: "Gui Pohpoh!
Gui Pohpoh!"
Seng Lam menekan hidungnya, dia menyahuti: "Ada apa"
Mau apa kau?"
Suara di luar itu terdengar pula: "Malam ini looya
kedatangan tetamu, looya tak ingin dilayani maka itu kau
boleh menghemat tenagamu, tak usah kau memukuli dia
lagi..." Seng Lam menanti sampai orang bertindak masuk, dengan
mendadak ia menyambar.
"Oh, kau baik hati!" katanya.
Orang itu, seorang pegawai laki-laki, kaget dan kesakitan.
"Lie tay-ong, ampun!" ia meratap, la ketakutan, sampai
membasa-kan "lie tay-ong",-raja wanita.
"Mudah untuk mengampuni kau!" kata Seng Lam, tertawa.
"Bilang, dimana majikanmu?"
Tubuh hamba itu gemetaran.
"Di lauwteng Timhiang Kok..." sahutnya.
"Kau ngoceh!" Seng Lam membentak. "Siapa tahu
Timhiang Kok dimana adanya?"
Hamba itu ketakutan.
"Di... di... sebelah barat... disana ada sebuah pengempang,
di tepinya dibangun sebuah taman, lauwteng itu didirikan di
dalam taman itu. Di..."
Seng Lam tidak sabaran, ia menotok orang roboh hingga
berhentilah dia berkata-kata, hanya dia ditotok enteng, dalam
satu jam, dia akan bisa sadar sendirinya.
"Kau berdiam disini, jangan berisik," ia pesan si nona.
"Sebentar kami akan antarkan kau pulang." Habis itu, ia ajak
Sie Ie berlalu.
Si anak muda tertawa.
"Aku datang kemari guna mendengar-dengar berita, siapa
tahu aku jadi turut kau menjadi pendekar!" ia kata. "Seng
Lam, apakah kau membawa obat pulas Ngo-kouw Toanhun
Hio?" Si nona tertawa.
"Ada!" sahutnya. "Ada banyak orang disini, kita tidak takut,
tapi lebih baik kita jangan ganggu mereka, supaya mereka
tidak lagi kalang kaburan dengan membikin banyak berisik!
Nanti aku menggunai obatku membikin semua orang itu tidur
pulas, kau boleh bekuk tiga tua bangka itu, guna mengompes
mereka!" Lantas keduanya berpisah, untuk bekerja masing-masing.
Dengan mudah Sie Ie dapat mencari Tim Miang Kok. Ia
mendekam di atas payon, memasang mata sambil
mendengari, la liehay maka ia tidak mengasih dengar suara
hingga orang-orang di dalam situ, meski mereka pun jago
semua; tak mendengar apa-apa.
Empat orang berkumpul dalam ruang, yang tiga duduk
dekat jendela. Meja mereka diatur madep empang, dari mana
tersiar harumnya bunga teratai. Rembulan bersinar terang.
Mereka menghadapi cangkir teh.
"Sungguh senang orang she ln ini..." pikir Sie Ie. "Rumah
besar dan indah, dan makan pakainya berlebihan..."
Orang yang ke empat rupanya baru sampai, karena dia
kata: "Baiknya camat mengirim opas membantui kita, maka
semua penagihan telah diterima beres. Pendeta dari Tongsian
Tong di dalam kota minta suhu suka menderma sedikit."
Teranglah orang ini murid merangkap koankee, pengurus
rumah. "Itulah pantas," kata In Tiong Hian, yang menghirup
tehnya. "Kau sediakan lima ratus tahil perak, besok kau
membawanya. Bilang supaya dia pakai namaku, di waktu uang
dibagikan kepada orang-orang melarat itu, kau yang
mengawasi, supaya tidak ada yang main gila!"
Liu Sam Cun tertawa.
"In Jieko sungguh mulia!" dia kata. "Sekali keluar, kau
keluarkan lima ratus tahil perak!"
Pui Eng Siang bersenyum, dia pun kata: "In Jieko pandai
bekerja. Camat membantui melakukan penagihan dan orang
melarat tak menggerutu terhadapnya! Dengan ini berarti,
dengan selembar bulu kau membuatnya orang banyak
bersyukur! Maka, Liu Toako, baiklah kau belajar dari In Jieko!"
In Tiong Hian tidak gusar. Ia tahu orang bergurau.
"Kau memuji aku!" katanya. "Aku nanti jadi besar kepala..."
"Sebenarnya, jieko, aku mengagumi kau," Eng Siang bilang.
"Aku dengar ada orang-orang gagah yang mulia hati yang
mengaku kau sebagai rekan mereka! Haha!"
Tuan rumah mengurut kumisnya.
"Sama-sama tahu saja! Bilang terus terang, jikalau aku
tidak bergaul dengan mereka itu, mana bisa Sukhong Tayjin
mengundang aku.15)"
"Oh, kiranya In Jiko sudah menerima undangan!" kata Sam
Cun. "Kenapa jieko masih belum berangkat!"
"Aku justeru mau minta pikiran saudara berdua," sahut ln
Tiong Hian. "Bagaimana, baik aku pergi atau jangan?"
"Mana bisa kita tidak pergi?" kata Sam Cun.
"Kita harus menimbang," Tiong Hian bilang. "Kita bangsa
berumah tangga. Kalau kita pergi, kita tentu tak disukai
bangsa orang gagah mulia itu. Inilah berbahaya. Sebaliknya,
apabila kita tidak pergi, kita bisa dibenci Sukhong Tayjin. Ini
pun dapat mengundang bencana. Maka itu, aku sangsi..."
Pui Eng Siang tertawa.
"Jiko, kau terlalu berhati-hati!" katanya. "Aku kuatir, karena


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlalu berhati-hati itu, kali ini kau akan menjadi menyesal
setelah kasip..."
"Tolong saudara Pui menunjuki aku jalan," Tiong Hian
minta. "Jieko tahu," kata Eng Siang, "kali ini Sri Baginda Raja
sudah "ertekad bulat menumpas orang-orang gagah yang
menentang Pemerintah Agung, untuk mereka 'dibikin habis.
Sukhong Tayjin mengundang kita datang ke kota raja,
maksudnya tak lain tak bukan supaya kita bekerja untuk
dia..." In Tiong Hian menyeringai. "Sebenarnya, saudarasaudara,"
katanya, menyela, "sudah lama aku tidak melatih
diri lagi..."
"Jangan merendah, In Jieko!" Eng Siang tertawa. "Siapakah
tidak tahu ilmu golok Yuliong Too dari jieko yang istimewa
dalam Rimba Persilatan" Lain daripada itu, di Istana ada
sangat banyak orang kosen, belum tentu kita diminta
mengadu jiwa kita. Mungkin seperti jieko kata tadi, lantaran
kita kenal banyak orang kaum lurus, Su-khonp Tayjin
menghendaki kita pergi ke sana guna mencegah rahasia
bocor. Jikalau kita tidak pergi, pasti Sukhong Tayjin menjadi
curiga." "Saudara berdua biasa mudah mendapat berita," kata
Tiong Hian, "bagaimana saudara pikir sepak terjang Seebun
Bok Ya" Dia hendak membasmi pelbagai partai, apakah dia
bakal berhasil?"
"Sepak terjang Seebun Bok Ya sangat dirahasiakan," kata
Eng Siang, "tapi saudara mengetahuinya, itu saja sudah bukti
bahwa saudara pun pandai memperoleh kabar. Mungkin ada
satu hal lain, yang saudara belum dengar. Pada setengah
bulan yang baru lewat, Seebun Bok Ya sudah bekerja. Di
gunung Binsan telah terjadi pertarungan di antara pelbagai
partai lurus dengan pihak Beng Sin Thong, mendadak Seebun
Bok Ya dan rombongannya menyerbu mereka itu. Dia berhasil.
Banyak korban mati, terluka dan tertawan di pihak pelbagai
partai dan Beng Sin Thong itu. Justeru karena aku mendengar
berita itu, maka aku ajak Liu Toako lantas melakukan ini
perjalanan ke kota raja."
"Aku duga," kata Liu Sam Cun, "Sukhong Tayjin
mengundang kita tentulah disebabkan dia kuatir semua jasa
nanti dikangkangi Seebun Bok Ya sendiri. Seebun Bok Ya
kesohor telengas, memang lebih baik jikalau kita berlindung
kepada Sukhong Tayjin."
"Maka itu, In Jieko," kata Eng Siang, menambahkan,
"jikalau jieko tetap mau mengukuhi diri sebagai orang lurus,
sebelum kau bercelaka di tangan kaum lurus itu, mungkin kau
nanti roboh di tangannya Seebun Bok Ya."
Mendengar sampai disitu, bagi Sie Ie, hal sudah jelas tujuh
atau delapan bagian.
Justeru itu, mendadak In Tiong Hian berseru tertahan,
"Aiih" terus ia berbangkit.
Si koankee heran.
"Ada apa, suhu?" tanyanya.
"Sekarang sudah tiba waktunya mereka membawa keluar
kembang gula dan yan-oh, kenapa mereka belum juga
muncul?" kata Tiong Hian. "Nanti aku lihat..."
Koankee itu tidak mengerti sikapnya sang guru.
"Inilah urusan kecil, buat apa suhu yang pergi sendiri,"
katanya. "Nanti aku yang melihat mereka dan menyuruh
mereka lekasan menyajikannya."
"Mereka itu memang suka malas-malasan, nanti aku yang
ajar adat!" kata pula Tiong Hian.
Herannya si koankee bukan main. Sikap si guru tak
selayaknya. Bukankah mereka lagi menemui tetamu" Masa
tetamu ditinggal untuk mengajar adat pada segala bujang dan
budak" Selagi koankee ini melongo, dari luar terdengar suara
tertawa yang merdu disusuli kata-kata ini: "Ini yan-oh!"
Berbareng dengan itu, dua batang paku rahasianya Tiong
Hian menyambar!
Itulah Seng Lam yang muncul dan ia disambut serangannya
tuan rumah. Di antara mereka bertiga, Tiong Hian paling
liehay. la heran dan bercuriga karena tak munculnya budak
pelayan, kebetulan ia mendengar tindakan kaki yang enteng,
kecurigaannya menjadi kepastian. Ia mau keluar untuk
melihat, alasannya menilik budak pelayan alasan belaka.
Menyusul menyambarnya pakunya Tiong Hian, seorang
terdengar menjerit, lantas tubuh orang itu roboh.
Dialah Liu Sam Cun, chung-cu dari Samliu Chung.
Kim Sie Ie telah menggeraki tangannya. Ketika In Tiong
Hian menyerang, ia menimpuk paku rahasia. Ia menggunai
dua batang jarum Bweehoa Ciam. Ia menggunai ilmu
meminjam tenaga, maka juga jarumnya yang enteng dapat
melawan paku yang berat, hingga paku itu terhajar mental,
menyerang ke arah Liu Sam Cun dan Pui Eng Siang. Eng Siang
lebih liehay, dia berkelit, paku cuma membuat kulitnya lecet.
Sam Cun terhajar betisnya, maka dia menjerit dan roboh.
Seng Lam muncul sambil tertawa pula.
"Bagaimana, apakah rasanya yan-oh ini kurang lezad?" ia
tanya. Kata-kata itu dibarengi melayangnya tangan seperti
kilat, maka juga telinganya tuan rumah kena tergaplok keras.
Dengan tangan yang lain, si nona juga menyambar ke pundak
orang guna menyengkeram tulang pipee. Tapi ia gagal.
Tiong Hian dapat berkelit. Dia menjadi gusar sekali, maka
dia lantas menghunus goloknya dengan apa dia terus
menyerang. Sie Ie lantas muncul. Ia tertawa nyaring.
"Sababat karib, apakah kau masih ingat aku?" ia tanya.
Pui Eng Siang kenal suara orang, kagetnya bukan main,
semangatnya lantas terbang pergi.
"Kau... kau... Tokciu Hongkay!..." katanya, matanya
membelalak. Kim Sie Ie tertawa pula.
"Benar! Akulah Tokciu Hongkay dahulu hari!" sahutnya.
"Jikalau kamu menyayangi jiwa kamu, lekas berhenti dan
berdiri diam."
Pui Eng Siang mati kutunya, benar-benar dia berdiri tak
berkutik. Si koankee melihat bahaya, dia lari. Tapi dia segera
dicekuk Sie Ie dan ditarik balik.
Habis itu Sie le menjatuhkan diri, duduk di atas kursi. '
"Tunggu aku mau lihat ilmu golok Yuliong Too dari In Chung'cu!" ia kata, tertawa. Ia terus menghitung: "Satu! Dua! Tiga!
Empat!..."
Ketika ia menghitung tujuh belas kali, disitu terdengar
suara berisik dari jatuhnya golok ke lantai batu. Itulah
goloknya Tiong Hian, yang tangannya kena ditotok Seng Lam.
Sebenarnya tuan rumah ini gagah dan ia masih dapat
bertahan lama, tetapi ia kaget mendengar nama Tokciu
Hongkay, saking bingung, mudah saja ia dirobohkan
Nona Le. Seng Lam tertawa dan kata: "Dia dapat melawan
aku sampai tujuh belas jurus, Pantas kalau dia diberi ampun,
tetapi aku paling benci tukang berpura-pura sedang dialah si
demawan tetiron, maka dia tak dapat ampun lagi!"
Ketika itu Liu Sam Cun merayap bangun, ia kata pada Kim
Sie Ie: "Kim Tayhiap, kau... kau ampuni aku. Dulu hari kau
pernah berjanji bahwa kau tidak akan bunuh aku..."
Sie Ie mengangguk
"Tidak salah," sahutnya, "memang dulu hari itu aku pernah
janji begitu padamu. Dulu hari itu aku cuma mau menguji
kepandaian kau, aku bukan berniat mengambil jiwamu."
"Kim Tayhiap," Pui Eng Siang pun berkata, "kau juga
pernah menjanjikan aku..."
Sie le tertawa pula.
"Sungguh ingatan kamu kuat hingga kamu semua masih
ingat janjiku dahulu hari itu!" katanya. "Cuma ada satu hal
yang kamu telah tak ingat pula! Dahulu hari itu, kejahatan
kamu masih belum ketahuan, maka juga aku, dengan
memandang kita sesama orang Rimba Persilatan, suka aku
memberi keringanan kepada kamu. Bukankah aku telah bilang
aku datang untuk main-main saja" Karena itu, tak dapat aku
membunuh kamu."
"Benar begitu," kata Eng Siang. "Karena tayhiap
mengatakan begitu, maka aku berani melayani tayhiap mainmain..."
Sie Ie berhenti tertawa, romannya lantas jadi sungguhsungguh.
"Sekarang ini lain!" katanya bengis. "Sekarang kamu
hendak membantu orang-orang jahat, untuk membikin ludas
kaum Rimba Persilatan! Maka kamu tidak dapat diberi ampun!
Aku si orang she Kim, aku hendak mewakilkan Yang Maha
Kuasa menjalankan keadilan!"
"Memang tadinya aku tidak berniat pergi," Tiong Hian turut
bicara. Dia pun putus asa. "Tapi mereka ini membujuki aku!
Bukankah tayhiap telah mendengar sendiri apa kata mereka!
Maka itu, aku minta tayhiap memberi ampun padaku. Aku
bersedia mengorbankan harta bendaku..."
Tuan rumah ini ingat perkataannya Seng Lam tentang si
dermawan tetiron, maka ia menambahkan kata-katanya ini.
Sam Cun dan Eng Siang menjadi ketakutan, mereka
menyangkal, berbareng dengan itu, mereka minta dikasih
ampun seraya mereka berjanji akan merubah kelakuan,
mereka, untuk selanjutnya menjadi orang baik-baik. Mereka
kata akan lantas mundur dari dunia Rimba Persilatan dan akan
tak campur urusan apa juga lagi...
"Sudah, kamu jangan bikin banyak berisik!" kata Sie Ie
tertawa. "Jikalau benar kamu ingin diberi ampun, kamu mesti
dengar perkataanku!"
"Baik! Baik!" kata mereka itu bertiga.
"Siapakah itu yang kamu sebut Sukhong Tayjin?" tanya Sie
Ie. "Dialah Sukhong Hoa, tongnia dari Gieliemkun," sahut
Tiong Hian. "Bagus!" kata Sie Ie. "Disini tersedia pit bak dan kertas,
hayo kamu masing-masing menulis, menulis..."
"Menulis syair ahala Tong!" Seng Lam mendahului.
Sie le melengak.
"Kau serahkan ini padaku!" kata Seng Lam, alisnya bangun.
"Aku tanggung beres!"
Sie le mengawasi nona itu. Ia tahu si nona mengerti ia,
hanya ia belum jelas apa artinya syair ahala Tong yang
diminta itu. "Syair yang mana yang mesti ditulis?" tanya Tiong Hian.
Dia pun bingung.
"Tulis jangan yang terlalu pendek dan juga jangan yang
terlalu panjang," sahut Seng Lam setelah berpikir sejenak.
"Baik kau tulis syairnya Touw Hu tentang "Menonton tari
pedang muridnya Kongsun Tay Nio."
Sam Cun dan Eng Siang saling mengawasi melongo,
agaknya mereka jengah.
"Aku... aku... belum pernah piembacanya..." kata mereka.
Tiong Hian sebaliknya gembira. "Setuju! Aku nanti menulis
itu!" kata dia. "Cuma, kalau tulisanku jelek, aku minta nona
maklum," Kalau Sam Cun dan Eng Siang Hak mengerti surat, orang
she In ini paham syair ahala Tong, bahkan syairnya Touw Hu
baru dua hari yang lalu ia tulis untuk salah satu muridnya.
"Baiklah," kata Seng Lam. "Kamu berdua tidak bisa, kamu
boleh menyontoh dari dia ini. Aku
tidak perduli tulisannya bagus atau jelek, asal menulisnya
sungguh-sungguh!"
In Tiong Hian lantas membeber kertas, dia mencolot pitnya,
terus dia menulis syairnya Touw Hu itu:
Kongsun Tay Nio cantik parasnya.
Hebat tari pedangnya, penonton sangat banyaknya, semua
sangat mengaguminya.
Aksinya: Mirip Houw Ek memanah matahari,
seperti para dewa melayang pergi.
Sunyi bagaikan guntur berdiam, tenang bagaikan laut
semayam. Selagi orang menulis, Sie Ie mengikuti dengan
membacanya bersenandung, habis mana ia memuji: "Bagus!
Bagus! Sunyi bagaikan guntur berdiam! Tenang bagaikan laut
semayam! Ilmu silat pedang demikian liehay, sungguh luar
biasa! Membaca syair ini orang menjadi ingat masa yang
lampau itu! Seng Lam, kau memilih syair ini sungguh bagus
pikiranmu! Jikalau nanti kau sudah rampung dengan pelajaran
pedangmu, bolehlah kau berlomba dengan muridnya Kongsun
Tay Nio itu!"
Liu Sam Cun dan Pui Eng Siang sudah menulis mencontoh
tulisannya In Tiong Hian itu, mereka menulis dengan mandi
keringat. Mereka menulis sehuruf demi sehuruf, tak mereka
ketinggalan. Maka ketika In Tiong Hian selesai, mereka selesai
juga. Girang dan puas hati Tiong Hian apabila ia telah
menyaksikan tulisan kedua kawannya itu. Ia telah melihat
tulisan yang tidak keruan, seperti cakar bebek, seperti
tulisannya anak-anak. Cepat-cepat ia serahkan tulisannya itu
kepada si nona, dengan sikap sangat menghormat ia kata:
"Nona, kaulah seorang ahli, tolong kau lihat!"
Seng Lam mengulur tangannya, ia bukan menyambut syair
itu, mendadak ia menotok ke kerongkongan orang. Ketika ia
mengulur tangannya itu, ia tertawa, ia kata nyaring: "Bagus!
Bagus!..." Hanya berbareng dengan habisnya pujiannya, jeriji
tangannya bekerja!
In Tiong Hian tidak menduga sama sekali. Ia roboh lantas
dengan mengeluarkan suara tertahan. Tenggorokannya
berlubang dan mengeluarkan darah hidup. Seketika juga
jiwanya terbang melayang.
Liu Sam Cun dan Pui Eng Siang kaget hingga mereka
melengak. "Ampun!..." mereka memohon saking takutnya. Tapi selagi
suaranya belum berhenti, mereka pun roboh bergantian,
sebab jalan darah kematian mereka masing-masing sudah
lantas ditotok Seng Lam, yang bekerja dengan kesebatan
istimewa. Sie le juga tidak menyangka kawannya bakal berbuat
demikian, sampai ia tidak sempat mencegah. Ia menjadi gusar
hingga ia kata nyaring: "Seng Lam, kenapa kau begini kejam"
Kau tahu aku telah menjamin jiwa mereka!"
Si nona tidak gusar, ia bahkan tertawa.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kaulah yang menjamin, aku tidak!" sahutnya.
Muridnya In Tiong Hian takut sekali, ia mau lari, tapi
kakinya tak dapat digeraki. Seng Lam pun berkata: "Aku telah
membinasakan tiga orang, dia ini tak dapat dibiarkan hidup!"
Maka dengan senjata rahasianya, ia merampas jiwa si
koankee. Sie Ie sengit hingga ia sambar lengan si nona.
"Jikalau kau terus membunuh orang, nanti aku musnahkan
ilmu silatmu!" dia membentak.
Nona itu tertawa.
"Seorang enghiong. Seorang hiapkek besar!" katanya. "Kau
cekal tanganku sampai nyeri, kau mau lepaskan tanganmu
atau tidak" Jikalau tidak, lain kali aku akan tidak
memperdulikan pula padamu! Kau tahu, empat orang ini tak
dapat tidak dibinasakan! Apakah kau menyangka aku benarbenar
gemar membunuh orang?"
Mau atau tidak, Kim Sie le melepaskan cekalannya.
"Mereka ini busuk tetapi tak seharusnya mereka
dibinasakan," kata ia. "Bilangi aku, apa alasannya maka kau
merampas jiwa mereka?"
Seng Lam mengawasi, dia berkata tawar: "Kecewa kau
sudah merantau untuk banyak tahun! Bahkan orang telah
menyebutnya kau si hantu besar! Hm! Kenapa kau tak
mengerti maksudku" Kau duduk, nanti aku berikan
penjelasanku kepada kau!"
Mau atau tidak, kembali Kim Sie le mesti menyabarkan diri.
Dengan malas-malasan ia menjatuhkan diri di atas kursi.
Seng Lam tertawa geli.
"Sayang tak ada kaca rasa disini!" katanya. "Kalau tidak,
dapat kau mengacakan rupamu pedangnya kau bergusar! Kau
mirip orang yang mau makan orang!"
"Lekas omong!" Sie Ie bentak. "Jikalau kau tidak
memberikan alasanmu yang tepat, memang aku dapat makan
orang!" Toh waktu menyebut "makan orang" itu, ia bersenyum
sendirinya. Di dalam hatinya, ia kata: "Sebenarnya kaulah
yang hendak makan aku..." Seng Lam berlaku tenang.
"Bukankah kau memikir menyuruh mereka ini bertiga
menulis Surat untukmu untuk Sukhong Hoa?" dia tanya.
"Benar, bukan?" Sie Ie mengangguk.
"Tidak salah!" sahutnya mengaku. "Aku memikir menyuruh
mereka menulis surat perantaraan memujikan kita kepada
Sukhong Hoa. Kita dapat menyaru menjadi murid mereka.
Dengan membawa surat mereka, kita dapat menghadap
komandan Gieliemkun itu."
"Bagus kau mendapat semacam pikiran," Seng Lam bilang
bersenyum. "Tapi, dapatkah kau percaya mereka nanti bisa
menutup mulut mereka seperti botol rapatnya?"
"Aku dapat menotok otot gagunya supaya sesudah lewat
tujuh hari barulah mereka bisa bicara pula," Sahut Sie Ie.
"Mereka dapat menulis surat pujian untukmu, apakah
dengan begitu mereka pun tak dapat menulis surat lainnya
untuk disampaikansecara diam-diam kepada Sukhong Hoa"
Mulut mereka gagu, tangan mereka dapat bergerak dengan
leluasa!" "Hati mereka sudah seperti remuk saking takut, aku
percaya tidak nanti mereka berani membocorkan rahasia."
"Dapatkah itu dipastikan" Mereka ini manusia licik yang
ulung, inilah kau harus ingat. Bukankah ada pepatah: Yang
cupat pikiran bukannya budiman-Yang tak kejam bukannya
laki-laki sejati" Paling benar mereka dibinasakan, sebab itulah
jalan yang paling selamat!"
Sie Ie dapat mengerti jalan pikirannya Seng Lam ini. Ia pun
telah memikir demikian rupa, tetapi ia tidak mau
mengerjakannya. Semenjak ia berkenalan dengan Pengcoan
Thianlie, Lie Kim Bwee dan Kok Cie Hoa, pikirannya sudah
berubah. Di dalam hal ini, ia lebih suka menempuh jalan
berbahaya daripada meminta jiwa tiga orang itu. Atas
penjelasan Seng Lam ini, meski tetap ia menganggap nona itu
tak lenyap kesesatan-nya, ia terpaksa berdiam. Jalan pikiran
itu dapat dimengerti dan itu memang paling menjamin
keselamatan. Seng Lam kembali tertawa.
"Orang semua mengatakan kaulah ahli tetapi di mataku,
kau masih kurang pengalamanmu!" kata dia. "Kau memikir
menyuruh mereka menulis surat pujian. Itulah pikiran yang
tak sempurna sekali! Syukur aku berada disini dan aku dapat
memikir, maka aku menitahkan mereka menulis syairnya
Touw Hu itu!"
Sie Ie seorang cerdas, dengan lantas ia mengerti
maksudnya nona ini.
"Apakah kau kuatir mereka ini nanti main gila, dan tak
menulis dengan tulisannya yang asli?" ia tanya. "Atau kau
kuatir di dalam suratnya itu mereka menuliskan juga kata-kata
rahasia?" Seng Lam bersenyum.
"Memang! Kalau begitu, kau masih cerdas, dapat kau
menangkap maksudku! Sekarang aku mau meniru tulisan
mereka, buat menulis surat untuk Sukhong Hoa. Sekarang ini
kita dapat menulis apa yang kita kehendaki. Di antara mereka
ini bertiga, In Tiong Hian yang paling gagah dan rumahnya
pun terpisah paling dekat dengan kota raja, inilah harus kita
jaga. Siapa tahu jikalau dia banyak kenalannya, yang
mengetahui baik keadaan di dalam rumah tangganya ini"
Maka itu aku pikir baik kita menyamar menjadi muridmuridnya
Pui Eng Siang dan Liu Sam Cun."
Tanpa menanti jawaban Sie le, nona ini lantas mengambil
pit guna menulis suratnya, masing-masing atas namanya Eng
Siang dan Sam Cun. Ia meniru dengan sempurna sekali,
hingga melihat itu, Kim Sie le girang. Tapi juga risih hati
Tokciu Hongkay, maka ia kata dalam hatinya: "Dia sangat
cerdas, jikalau dia terus tersesat, dia dapat menjadi jahat
melebihkan Beng Sin Thong..."
Habis menulis dan menutup rapat kedua surat, Seng Lam
menyerahkan yang sepucuk kepada kawannya.
"Aku paling benci Liu Sam Cun, kau saja yang menyamar
jadi muridnya!" ia kata.
Sie le tertawa.
"Pui Eng Siang tidak menerima murid wanita, jikalau kau
menyamar jadi muridnya, rahasia kita bakal terbuka," katanya.
"Mengenai itu aku sudah pikir daya menghindarkannya,"
kata Seng Lam, yang bersenyum. "Kau lihat rambutku ini"
Bukankah ini ketika yang baik untuk aku menyamarkan diri?"
Sie le mengerti, ia cuma bersenyum.
Semua orangnya keluarga In masih tetap tak sadarkan diri,
merdeka Seng Lam masuk ke dalam, untuk mencari pakaian
yang cocok dengan tubuhnya, kemudian rambutnya yang
kepalang tanggung itu ia gunting pula menjadi terlebih pendek
dan rata bagian depannya, setelah mana ia tutup itu dengan
sebuah kopiah. "Kau lihat, sempurna atau tidak?" ketika ia keluar pula, ia
menanya Sie Ie.
"Cumalah kau terlalu tampan!" kata kawan itu tertawa.
"Eng Siang si jelek tak pantasnya mempunyai murid yang
ganteng. Nanti aku olah pula parasmu!"
Sie Ie ahli menyamar, ia pun mempunyai pel peranti
merubah warna kulit muka orang, maka itu, setelah menyepuh
muka orang, ia menambahkan juga dua bocah tahi lalat yang
besar, hingga di lain saat, si nona yang cantik menjadi seperti
seorang yang romannya kasar.
Seng Lam tertawa ketika ia memandang kaca.
"Bagus!" katanya. "Biarlah jelek sedikit! Aku percaya
sekalipun Seebun Bok Ya tak bakal mengenali aku!"
Sie Ie juga turut menyamar, bahkan ia menambah kumis
kecil, hingga pantaslah kalau dia menjadi calon ciangbunjin.
"Sungguh aku tidak menyangka kita bakal jadi muridmuridnya
dua makhluk ini!" kata Seng Lam akhirnya, tertawa.
"Aku telah mengambil jiwa mereka, dengan kita menjadi
murid mereka, mungkin mereka puas..."
Lantas Sie Ie mengantar pulang si nona korbannya In Tiong
Hian itu, ia memberikan uang sepuluh tahil perak, menyuruh
dia serta ayahnya pindah ke lain tempat, setelah itu, justeru
sudah terang tanah, mereka terus berangkat ke kota raja.
"Hatiku lega sekarang," kata Seng Lam. "Inilah yang
pertama kali aku melakukan perbuatan baik!"
"Maka itu tepat dibilang, setiap orang ada hatinya yang
mulia," kata Sie Ie. "Siapa pun, asal dia tak tersesat, dia dapat
menjadi orang baik-baik."
"Kau, aku lihat, makin lama kau jadi makin buruk!" kata si
nona, tertawa. "Turut penglihatanku, kau surup menjadi guru
sekolah! Kati bade, kenapa aku melakukan perbuatan baik ini"
Mungkin kau tak dapat menerkanya..."
"Bagaimana sebenarnya?"
Seng Lam tertawa geli.
"Itulah untuk membikin hatimu senang!"
Sie Ie berdiam. Sungguh, inilah tidak ia sangka. Ia berpikir:
"Dia dapat berbuat baik, itu bagus. Dia pun tidak
menyembunyikannya. Mungkin masih ada obat untuk
menolongnya. Hanya aku, mungkin buat selama-lamanya aku
tak bakal lolos dari libatannya..."
Tiga hari kemudian tibalah mereka berdua di Pakkhia, kota
raja. Tak sulit untuk mereka mencari Sukhong Hoa, yang
sebagai komandan Gieliemkun, namanya sangat terkenal.
Mereka lantas menyerahkan surat palsu mereka, untuk dapat
menghadap kepada komandan pasukan pengiring raja itu.
Sukhong Hoa berada di lapangan berlatih ketika ia
menerima surat. Tak puas ia menerima surat-surat dari Liu
Sam Cun dan Pui Eng Siang itu. Katanya, tawar: "Guru kamu
sudah memperoleh kedudukan bagus, mereka mau hidup
berbahagia di dalam rumah, pantaslah aku pun sampai tidak
dapat mengundangnya! Hm! Mereka yang hidup berbahagia
dan tenang, kamulah yang disuruh menderita! Sekarang pergi
kamu beristirahat dulu! Andaikata kamu suka bekerja disini,
besok kamu boleh pergi pada Ong Huciang, untuk melihat
disana ada lowongan apa untuk kamu isi."
Komandan ini menunjuk pada salah satu orang
sebawahannya dan berkata: "Baik-baik kau merawati mereka
ini, nanti besok kau menyuruh mereka menghadap Ong
Huciang." Teranglah Sukhong Hoa tidak menghargai dua orang ini.
Sie le dan Seng Lam tidak puas. Dengan bekerja di bawah
perintah Ong Huciang pangkat mereka pastilah rendah.
Mereka mempunyai maksud mereka sendiri.
Atas kata-kata Sukhong Hoa itu, keduanya tidak lantas
memutar tubuh untuk mengundurkan diri.
Seng Lam tertawa dan kata: "Kami datang bukan untuk
meminta sesuatu pekerjaan."
Komandan Gieliemkun itu menjadi semakin tak puas.
"Benar juga!" katanya, tawar. "Guru kamu semuanya
berharta besar, kamu menjadi juga murid-murid yang
berharta, pasti kamu tak menghiraukan pangkat! Baiklah tidak
apa kamu tidak mau bekerja disini, jikalau kamu mau pergi
pula, aku tidak cegah!"
"Bukan begitu maksud kami," kata Seng Lam. "Tayjin keliru
menganggap guruku!"
"Bagaimana?" tanya Sukhong Hoa, heran. "Apakah ada
sebab lainnya kenapa dia tak sudi datang ke kota raja ini?"
"Ketika guruku menyuruh aku datang kemari," jawab Seng
Lam, "dia berkata begini padaku: 'Sukhong Tayjin menghargai
aku, seharusnya aku pergi ke kota raja, untuk bekerja
untuknya, maka sayang sekarang ini usiaku sudah lanjut,
sedang untuk menghadapi segala orang Kangouw tidak
keruan, Sukhong Tayjin juga tak membutuhkan aku.
Sebaliknya, untuk menghadapi orang-orang liehay, aku kuatir
tenagaku tak dapat mengikuti semangatku. Maka itu aku lihat
baiklah kau saja yang pergi. Kau sudah mewariskan semua
kepandaianku, kau juga sedang mudanya, dengan kau yang
pergi, kau jauh lebih menang daripada aku!' Nyatalah dengan
kata-katanya itu, guruku sudah Keliru beranggapan.
Sebenarnya kata-kata seorang guru kepada muridnya seperti
ini, tak dapat aku beritahukan lain orang, akan tetapi karena
tayjin keliru memandang guruku itu, terpaksa aku
mengadakannya kepada tayjin. Benar-benar, guruku bukannya
menyayangi jiwanya maka dia telah mengirimku sebagai
wakilnya."
"Oh, gurumu mengatakan demikian?" kata Sukhong Hoa.
"Nah, "apakah kata gurumu?" Kata-kata yang belakangan ini
ditujukan kepada Kim Sie Ie.
"Guruku," sahut Sie Ie, "dia mengatakan begini padaku:
'Kau .sekarang pergi untuk bekerja kepada Sukhong Tayjin, itu
artinya 'kau bekerja juga untuk Sri Baginda Raja, maka itu kau
mesti bersungguh-sungguh dan bersetia, jangan kau pikirkan
soal pangkat tinggi atau rendah. Kau harus ketahui sekarang
ini Sri Baginda Raja telah bulat tekadnya untuk membasmi
semua orang lurus dan tidak lurus, asal mereka itu tidak
menakluk kepada Pemerintah Agung. Dengan kepergian kau
ini, kau pasti ,bakal menemui lawan-lawan yang tangguh,
walaupun demikian, jangan kau berkecil hati. Aku tahu sampai
dimana sudah kepandaian kau. Kau jangan takut tetapi juga
tidak boleh kau temaha akan kemenangan!' Ketika itu aku
tanya guruku bagaimana andaikata aku menghadapi orang
atau orang-orang yang harus dimalui. Guruku menekuk-nekuk
jari tangannya menghitung-hitung, dia kata: 'Jikalau kau
bertemu dengan Tong Siauw Lan ketua Thiansan Pay, Tong
Sian Siangjin ketua Siauwlim Pay, Kim Kong Taysu ketua
Ngobie Pay, serta Beng Sin Thong si hantu besar, semua
orang-orang yang paling kenamaan, jangan kau temahai jasa.
Jikalau kau menghadapi yang lain-lainnya, aku percaya
tidaklah kau bakal membikin malu pada gurumu!'"
Sie Ie cerdik sekali, maka juga katanya Seng Lam. Dia tidak
membikin "gurunya" memuji dia tetapi kata-kata "guru" itu
bernada angkuh dan jumawa, berarti, kecuali Tong Siauw Lan
berempat itu, yang lainnya sudah tidak ada artinya.
Sukhong Hoa terkejut, hingga ia berpikir: "Belum pernah
aku melihat sendiri ilmu silatnya Liu Sam Cun dan Pui Eng
Siang, toh aku mengetahuinya juga. Kenapa sekarang mereka
begini berani menganggap diri mereka liehay sekali" Kenapa
mereka itu percaya murid-murid mereka ini dapat
mengalahkan pelbagai partai" Apa bukannya dua anak muda
ini lagi membuka mulut lebar-lebar untuk mereka dapat


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperdayakan aku?"
Sama sekali taklah dipikir komandan ini bahwa orang muda
di depannya ini justerulah Tokciu Hongkay Kim Sie Ie yang
sangat ditakuti kaum Rimba Persilatan karena kegagahan dan
ketelengasannya. Malah kata-katanya Sie le ini sebenarnya
masih merendah.
Seng Lam tidak menanti suara komandan itu, ia kata:
"Tayjin, kami sudah berbicara, harap ijin-kanlah kami
mengundurkan diri!"
"Tunggu dulu! Tunggu dulu!" mendadak mencegah
komandan itu. "Ada titah apakah, tayjin?" tanya Sie le, hormat tapi tegas.
"Maaf! Maaf!" berkata Sukhong Hoa. "Kiranya jiewie-lah
orang-orang muda gagah perkasa! Barusan aku berlaku
kurang hormat, aku minta jiewie suka maafkan."
Kisah Sepasang Rajawali 24 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Pedang Golok Yang Menggetarkan 3

Cari Blog Ini