Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Bagian 2
Di saat itu, didalam kesunyian, ia dapat mendengar suatu suara
perlahan, Karena sedari kecil, ia telah mempelajari mendengar
suara anginnya senjata rahasia, maka iapun tak nanti tak
mendengarnya. Ia memasang kupingnya, ia mendapatkan suara datang
semakin dekat, Itulah suara tindakan kaki orang, dan orangnya
bukan bersendiri pula, Tindakan kaki dari orang yang jalan
didepan, nyata bedanya dengan beberapa diantaranya yang
jalan belakangan, Teranglah orang sedang ber-lari2 atau saling
ber-kejaran, Dan kerena larinya cepat, segera juga mereka itu
tiba bagian depannya.
Hian Ki terkejut, melihat lihay-nya ilmu meringankan tubuh
dari orang itu, cepat2 ia menyelinap, untuk menyembunyikan
diri. Orang yang didepan itu, berpakaian serba hitam, sampai
disitu ia bersiul panjang, lalu ia menghentikan larinya, Sebagai
gantinya itu, segera terdengar suaranya yang keras dan dingin;
Aku siorang she Cio masih mengingat, akan persahabatan
kita dari banyak tahun, maka itu, saudara2, mangapa kamu mengejar2
aku tak mau terus" Mustahilkah kamu benar2 mau
menguber aku hingga dirumah keluarga In" Benar2kah kamu
menghendaki aku merusak persahabatan kita?"
Atas itu terdengar satu suara nyaring, bagaikan gembreng
bobrok. "Cio Thian Tok, jangan kau terlalu mengandalkan ilmu
silatmu yang lihay!" demikian suara menggelegar itu,
"Sekalipun kimpay dari junjungan kita yang muda, kau tidak
menghiraukannya! Apakah kau hendak kerjakan dengan pergi
kerumah keluarga In ?"
Semua kata2 itu masuk jelas kedalam telingannya Hian Ki,
pemuda ini menjadi tercengang dibuatnya, Ia tidak menyangka
sama sekali, bahwa orang dengan pakaian hitam itu, adalah
seorang jago Rimba Persilatan, dari banyak tahun ia berada di
urutan bawah dari Pheng Hweeshio, tetapi berada diatas In Bu
Yang, dialah Cio Thian Tok yang kenamaan, Setelah Thio Su
Seng runtuh dan menemui kematiannya, Pheng Hweeshio pun
turut mengorbankan dirinya, Cio Thian Tok ini lantas tidak
ketahuan rimbanya, Ada yang mengatakan dia kabur kegurun
pasir Utara, dengan membawa kabur puteranya Thio Su Seng,
yang berada dibawah perlindungannya, tetapi kebenarannya itu
tak ada yang dapat membuktikannya, Maka sungguh aneh,
sekarang, diwaktu malam begini, dia muncul digunung Holansan,
dan dia hendak mencari In Bu Yang.
Hian Ki heran dan bingung, hingga ia berpikir keras, Cio
Thian Tok itu jujur, gagah dan setia, Disaat runtuhnya Thio Su
Seng, yang jiwanya lenyap dan pemerintahannya jatuh
karenanya, dengan melupakan bahaya yang mengancam
dirinya, dia merampas puteranya Thio Su Seng sijunjungan,
untuk dibawa menyingkir, Rekan2 dalam pasukan tenteranya
Thio mSu Sengitu, juga yang menjadi paman2nya Hian Ki ini,
dan mereka setiap kali membicarakan Cio Thian Tok, semua
rata2 memuji tinggi, semua sangat mengaguminya, Maka itu
aneh, kenapa kini orang2 yang mengejar mengatakan dia
temberang, mengagulkan kepandaian sendiri, sampai dia tak
menghiraukan kimpay dari siauwcu, junjungannya yang muda
itu" Mungkinkah junjungan yang muda itu, bukan
dimaksudkan putera mahkota yang buron dari kerajaan Tay
Ciu" (Tay Ciu itu, Kerajaan Ciu yang agung, ada nama
kerajaannya Thio Su Seng).
Segera setelah suara nyaring seperti genbreng pecah itu,
terlihatlah orang2 yang me-ngejar2 Cio Thian Tok, Mereka
berjumlah tiga orang, Dari tempatnya mengintai, Hian Ki dapat
melihat cukup jelas mereka itu, Luar biasa mereka, Yang satu
adalah seorang toosu (imam penganut agama Too Kauw),
Yang kedua berdandan sebagai seorang dusun yang lanjut
usianya, tangannya panjang, kulit mukanya ke-kuning2an,
wajahnya tawar, Dan yang ketiga adalah seorang kosen yang
dandanannya sebagai seorang Mongolia, Si suara genbreng
pecah itu ialah si imam, pengikut Loo Cu atau Lao Tze.
Hian Ki rasanya seperti kenal imam itu.
"Cit Siu Tooheng," terdengar Thian Tok berkata, "Jikalau
kau menanyakan aku, kenapa aku hendak pergi kerumah
keluarga In, maka terlebih dulu, ingin juga aku menanya kau,
kenapa kamu mengejar aku sampai disini?"
Tergetar hatinya Hian Ki, Benar, itulah Cit Siu si imam
yang ia kenal, Dimasa hidupnya Thio Su Seng, Cit Siu menjadi
tamu yang terhormat dari Raja kerajaan Ciu itu, Dialah ahli
silat yang diundang untuk mendidik Thio Hok Cee, putera
mahkota, dalam ilmu pedang, Ketika itu Thio Su Seng paling
menghargai tiga orang, ialah seorang padri, seorang imam dan
seorang pengemis, Si paderi yaitu Pheng Hweeshio yang
bernama Eng Giok, Si pengemis ialah Pit Leng Hi, pangcu atau
ketua partai Pengemis di Utara, Dan si imam ialah Cit Siu
Toojin ini. Ketika itu Pheng Hweeshio diakui umum sebagai jago silat
nomor satu, Tentang yang lainnya, seperti Cio Thian Tok, In
Bu Yang, Pit Leng Hi dan Cit Siu, mereka kesohor untuk
masing2 kepandaiannya yang istimewa sendiri2, sulit untuk
menggariskan mereka kepada sesuatu kelas, Karena Cio Thian
Tok dan In Bu Yang bersama Pheng Hweeshio, bekerja sama
dipemerintahan Thio Su Seng, dan karena kedudukan mereka,
dahulu itu orang menyebut mereka dengan Liong Houw Hong
Samkiat, ialah tiga jago Naga(Liong) Harimau(Houw)
Hong(pheonix), Hian Ki pernah melihat Cit Siu , diwaktu
usianya baru enam tahun, tidak heran sekarang ia tidak dapat
segera mengingatnya.
Diantara terangnya rembulan, Cit Siu mengangkat tinggi
sebuah kimpay, pertanda terbuat dari Emas.
?"Aku menerima titahnya Siauwcu, menyusul kau kemari
untuk diajak pulang!" berkata dia, "Kita mesti dapat
menghargai kehormatan umum dan perasaan pribadi, maka itu
kau dilarang berkhianat kepada junjungan yang lama, untuk
mendapatkan hadiah dan pangkat tinggi!"
Thian Tok tertawa dingin.
"Jikalau aku berkhianat kepada junjunganku, untuk
memperoleh pangkat tinggi dan hadiah besar, tidak usahlah aku
menanti sampai pada sekarang ini! Tempo itu hari yang
junjungan kita roboh di Tiangkang, akulah yang melindungi
putera mahkota, menyingkir menyebrangi sungai dengan
menaiki hanya seekor kuda tunggangan, aku bawa dia buron
jauh keluar perbatasan negara, ke negeri asing, Disepanjang
jalan itu, dengan beruntun aku telah menghajar mampus
delapan belas jago silat, bawahannya Cu Goan Ciang, Maka
jikalau aku ingin mencari kebahagiaan dipemerintahan Cu
Goan Ciang itu, pastilah itu kedudukan mulia Congci-hui dari
Kimi-wi tidak nanti terjatuh kedalam tangannya Lo Kim Hong.
"Kita semua telah menerima budinya junjungan yang tua,
kalau kita mengorbankan diri untuk membelanya, itu sudah
selayaknya," berkata Cit Siu, "Untuk melindungi keturunan
junjungan kita, kau sudah membawa putera mahkota
menyingkir jauh2, perbuatanmu itu kita semua mengagumi dan
menghargainya, Akan tetapi seorang laki2 sejati, dia mesti
berbuat ada kepala harus ada buntutnya, Dulu kau melindungi
almarhum putera mahkota, kenapa kemudian kau men-sia2kan
keturunannya" Siauwcu itu bijaksana, sudah selayaknya kau
membantu padanya, dengan segenap tenaga dan
kepandaianmu, untuk kita bekerja sama, guna membantu ia
membangun kembali negara orang tuanya, kenapa sekarang
kau buron seorang diri" Kenapa kau menyingkir kemari untuk
mencari In Bu Yang" Sebenarnya, aku numpang bertanya, kau
ada mengandung maksud apa?"
Mendengar pembicaraan itu, tahulah Hian Ki yang mana
putera mahkota yang dibantu paman2nya telah meninggal
dunia dinegara asing, maka sekarang yang dipanggil siauwcu
ini, junjungan yang muda, mesti adalah cucunya Thio Su Seng.
"Kedua keluarga Cu dan Thio memperebutkan negara,
pergulatan mereka sekarang tiba kepada turunan yang ketiga,"
pikir sianak muda, "Entah sampai kapan pergulatan ini akan
berakhir" In Bu Yang hendak mengkhianati, ia mau menjual
sahabat2nya guna mendapat pangkat, dialah seorang yang tidak
berbudi, buruk bathinnya, hanya kata-katanya bahwa perebutan
negara, dalam satu keluarga ayau satu she, tidak ada perlunya,
sedikitnya mengandung kebenaran juga."
Peristiwa didepannya ini membuat Hian Ki bertambah
bingung, Pantaskah ia terlibat didalam pergulatan itu" Ia tak
tahu! Lalu terdengar jawaban Thian Tok.
"Oleh karena Siauwcu muda dan bijaksana, maka itu aku
tidak rela kamu merusak dia!" ujarnya, "Tahun dulu itu putera
mahkota telah memberi nama Cong Ciu kepada siauwcu, itu
artinya ia ingin supaya siauwcu terus berjuang dengan tidak
melupakan negara yang musnah, tetapi bukan maksud putera
mahkota, menyuruh dia memuja negara Watzu dan menjunjung
raja asing itu, sebagai majikan!"
Hian Ki kembali melengak, Apa itu negara Watzu" Apa itu
raja asing" Sebenarnya, bagaimana duduknya urusan ini "
Watzu itu sebuah atau sekelompok bangsa Mongolia,
dijaman itu dia belum membangun negara, maka itu namanya
tidak dikenal oleh sejumlah rakyat Tiongkok asli.
"Hm!" Cit Siu bersuara, Tapi belum ia sempat melanjuti,
untuk berkata, Cio Thian Tok telah mendahului dirinya.
"Dengan saudara Bu Yang aku sudah berpisah 20 tahun
lamanya, sekarang ini aku belum tahu sikap jejaknya, tetapi
walaupun demikian, hendak aku berbuat sebisanya, untuk
membujuk dia, agar dia tidak usah terjerumus kedalam lumpur
seperti kamu ini!" kata Thian Tok.
"Cio Thian Tok, kau sudah memberontak, kau sudah
berkhianat!" membentak siorang tua pedusunan, yang baru
campur bicara. "Kesalahanmu minggat saja sudah bukannya kesalahan
kecil, sekarang kau masih mengandung maksud untuk merusak
usaha yang besar!"
Si jago Mongolia juga tidak tinggal diam.
"Buat apa ngoceh saja dengannya," katanya bengis,
memotong Thian Tok, "Sri Baginda telah memerintahkan,
jikalau manusia ini tidak mau mendengar perintah, dia mesti
segera dibinasakan!"
Ia bukan cuma membentak, iapun segera mengayunkan
cambuk ditangannya dengan menyabet pinggangnya Thian
Tok, menyabet untuk melibat dan dilemparkan!
Hebat sabetan itu, anginnya menderu, daun-daun pada
rontok, pasirpun beterbangan, dan 'Plak!' sebuah pohon
disamping Hian Ki kena disambar, hingga patah dua
cabangnya yang besar, Tenta saja sianak muda terkejut
karenanya, terutama untuk tenaga orang yang besar itu.
Thian Tok tidak menjadi jeri karenanya, Bahkan dengan
tenang ia berkata;
"Dengan mengingat persahabatan kita untuk banyak tahun,
dengan menghargai juga keharusan diantara tuan rumah dan
tamunya, aku akan mengalah untuk tiga cambukmu!"
Benar2 penyerang itu mengulangi serangannya, sebanyak
tiga kali beruntun, hingga Thian Tok seperti terkurung cambuk
yang lihay itu, hanya sekejab kemudian, berbareng dengan
siulannya yang panjang, tubuh orang she cio itu mencelat
tinggi dengan gerakannya 'Burung walet menerjang mega',
setelah melompat tinggi itu, diwaktu tubuhnya turun, ia
membarengi membalas menyerang.
Siorang Mongol tengah terulur cambuknya, belum sempat ia
menarik pulang cambuknya, pundaknya telah kena terhajar.
Cio Thian Hok terkenal dengan Tangan Besinya dan
Poankoan pitnya yang dahsyat, hingga kedua kepandaiannya
itu, menyebabkan dia mendapat gelar Bulim Siangcoat, maka
itu, serangannya kali ini bukanlah enteng, Akan tetapi tangguh
juga siorang Mongol, tubuhnya tidak bergeming, kalau toh ia
bergerak, ialah untuk memutar tubuh dengan gerakannya 'Ular
naga berjumpalitan',cambuknya itu berbareng disabetkan
pulang, menyapu pada Cio Thian Hok.
Hebat orang she Cio ini, Ia tidak menangkis atau berkelit, Ia
seperti membiarkan tubuhnya dilibat, hanya setelah ia
menyambar cambuk itu, untuk dipegang erat2, setelah itu,
belum lagi siorang Mongol sempat melemparka padanya, ia
sudah menarik duluan, kaget dan keras, Sambil menarik, ia
berseru, Kuda-kuda orang Mongol itu tergempur, diluar
kehendaknya, tubuhnya tertarik, terangkat tinggi, mengikuti
cambuknya itu yang terus diputar lawannya, Dia kaget, tetapi
dia tidak sudi melepaskan pegangannya pada gagang cambuk,
kalau dilepaskan, itu artinya dia bakal terlempar dan
terpelanting, dengan memeganginya terus, dia seperti melayang
berputaran diudara, sebab kakinya telah terangkat, terpisah dari
tanah. Thian Tok tidak berhenti, dengan gerakannya memutar
cambuk itu, musuhnya jadi melayang terus berputaran,
Sekarang barulah siorang Mongol kaget dan takut, ia lantas
berteriakteriak,
Ia merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur.
Melihat kejadian itu, Cit Siu Toojin berseru:
"Thian Tok, kita sama2 bernaung kepada satu orang, tidak
dapat kau berlaku begini kurang pantas, kepada seorang baturu
dari watzu!"('baturu' itu ialah seorang kosen dlm tugas
ketenteraan) "Baiklah !" menjawab Thian Tok, "kamu tidak dapat
membujuk aku, aku pun tidak dapat menasihati kamu, karena
itu mari kita jalan masing2! Kamu mesti lekas angkat kaki dari
sini, nanti aku beri ampun jiwa dia ini!"
Si orang tua pedusunan itu beda pendapatnya dengan si
imam. "Cio Thian Tok," ia berseru, "kau terlalu mengandalkan
kepandaianmu! kau sudah menentang titahnya junjungan kita,
kau merusak usaha besar mambangun negara, kau juga tak
ambil pusing Cit Siu Tooheng, maka itu, tidak dapat aku
melepaskan kau!"
Kata2 ini disusul dengan satu lompatan jauh, sambil kedua
tangannya diulur, Hian Ki dapat melihat gerakan orang itu, ia
terkejut, Heran ia melihat dua tangan orang yang panjang,
dengan sepuluh jarinya yang berkuku tajam, bagaikan kuku
burung, bahkan kuku itu berwarna hitam, Sasaran dari serangan
itupun batok kepalanya Thian Tok.
Orang she Cio itu dapat melihat serangan itu.
"Hm, Pouw Kian!" serunya dingin, "Kita adalah kawan2
Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti kaki dan tangan untuk banyak tahun, kenapa kau begini
kejam menurunkan tanganmu yang beracun" Baiklah!, jangan
kau sesalkan aku tidak mengenal aturan!"
Sembari berkata begitu, tanpa menoleh lagi, Thian Tok
menyerang kebelakang, siorang tua pedusunan yang dipanggil
Pouw Kian itu, gesit gerakannya, atas itu penyambutan, ia
berlompat mundur, tetapi bukannya untuk pergi menyingkir,
hanya untuk terus menyerang pula buat kedua kalinya, Lagi2 ia
mengulur kedua tangannya, dengan sepuluh jarinya yang
berkuku tajam itu.
Ketika itu, dengan mengeluarkan suara'Buk!' keras sekali,
tubuh siorang Mongol terjatuh keras ketanah, sebab untuk
melayani Pouw Kian, terpaksa Thian Tok melepaskan cambuk
yang tadi ia pegang dan putar terus2an, Tapi orang Mongol itu
lihay, ketika ia roboh terbanting, ia tidak roboh rebah, hanya
begitu ke tanah, ia lompat mencelat pula dengan gerakannya
'Ikan gabus meletik', Ia terus melompat menjemput
cambuknya, untuk kembali dipakai menyerang musuhnya!
Thian Tok membuka kedua tangannya, tangan yang kiri
dipakai untuk menghindarkan cambuk, tangan yang kanan
digunakan untuk memecah serangan Pouw Kian, Lebih dulu ia
mengambil sikap, dengan jurus 'Memeluk harimau pulang
kegunung' lalu disusul dengan ' Garuda emas mementang
sayap' maka gagallah serangannya siorang dusun.
Keduanya lantas bertempur lebih jauh, Thian Tok berani
dan hebat, dengan satu melawan dua, ia masih lebih banyak
menyerang, dari pada membela diri, namun biarpun begitu, ia
ber-hati2 untuk sepuluh jari tangan atau kukunya Pouw Kian,
Karena itu, siorang Mongol yang bergelar baturu itu dapat
leluasa memainkan cambuknya, saban2 ia menyabet
kepinggang dan kaki.
Baru sekarang Hian Ki ingat kepada Pouw Kian itu,
Bukannya ia kenal, hanya ia pernah mendengar nama orang itu,
Menurut paman2nya, Pouw Kian ini adalah seorang dari suku
bangsa Ie di Seeling, dan ilmu silatnya itu didapat digunung
Seeling-san, dari seorang berilmu yang hidup mengasingkan
diri, ilmu silat itu dinamakan Ngokim Cianghoat, artinya ilmu
silat Lima Binatang bersayap, karena mana, sepuluh buah
kukunya itu tajam dan beracun, siapa kena dicengkeram, dalam
tempo 12 jam, akan terbinasalah korban itu, Thio Su Seng tahu
orang lihay, ia ambil sebagai kawan seperjuangan, tetapi
karena ilmu silatnya itu bukan dari kalangan lurus, nama Pouw
Kian kalah kesohor seperti Pheng Hweeshio, Cio Thian Tok
dan lainnya. Pouw Kian sangat menagndalkan ilmu kepandaiannya itu,
sewaktu bekerja sama dibawah pimpinannya Thio Su Seng, ia
sudah berkesan tak puas terhadap Thian Tok semua, tak sudi ia
mengalah, maka itu sekarang, setelah pecah persahabatan,
dalam bentrokan, ia hendak perlihatkan kelihayannya itu,
Hebat semua serangannya.
Thian Tok sedikit jeri kepada kuku orang, tetapi ia tidak
takut, bahkan kalau orang Ie itu tidak lincah gerakannya,
beberapa kali tentulah dia sudah merasakan tangannya.
Hanya, tidak perduli dia lincah atau gesit, dia toh seperti
terkurung tangan Thian Tok, Maka mau tidak mau, orang Ie ini
menyedot juga hawa dungin, sakin gentar hatinya, Diam2
akhirnya dia mengaku dalam hatinya:
"Nama Cio Thian Tok ini cuma ada dibawah Pheng
Hweeshio, dengan sebenarnya ia lihay sekali, namanya tak
kosong belaka!"
Selagi bertempur terus, mendadak terdengar Thian Tok
berseru nyaring, Kesudahannya itu sebuah pohon cemara
didekatnya, kena dihajar roboh, hingga daunnya rontok
mengganggu penglihatan orang, Adalah disaat itu, sebelah
kakinya melayang, menyebabkan tubuh siorang Mongol jatuh
berjumpalitan! Pouw Kian terkejut, ia menyingkir untuk menjauhkan diri,
tetapi Thian Tok lompat memburu kepadanya, tidak ampun
lagi sebelah pundaknya kena dihajar, hingga disebelah
merasakan sakit dan panas, tubuhnya pun terhuyung sepuluh
tindak. Disaat itu, Thian Tok hendak membuka mulut, tetapi ia
batal, Tahu2 satu sinar terang berkelebat menyambar
kepadanya, Ia melihat itulah Cit Siu, yang telah menghunuskan
pedang dan melompat menyerang kepadanya.
"Oh, saudara Cit Siu, kau juga maju?" ia menegur.
"Inilah terpaksa!" menyahut si imam, "Kami telah menerima
tugas, aku sudah membawa kimpay dari siauwcu, terpaksa aku
mesti mengadu jiwa denganmu!"
Perkataan ini dibarengi tikaman kejalan darah ditujuh
tempat, sebab Cit siu lantas menyerang ber-tubi2.
Thian Tok berkelit ber-ulang2, Satu kali, sambil mendadak
tangannya diangkat dan sebuah jarinya menyentil, maka
mentallah pedangnya si imam, dari itu ia jadi mendapat waktu
untuk melompat kearah Pouw Kian, hingga musuh dapat
terdesak mundur.
Melihat cara berkelahinya jago tua itu, Hian Ki kagum dan
takjub, tanpa terasa sendirinya ia mengeluarkan keringat.
"Bagus!" Cit Siu memuji, Pedangnya terpental, tetapi tidak
terlepas dari cekalannya, "Lihat pedang!" serunya pula,
membarengi berputarnya pedangnya untuk membabat.
Cit Siu ini ber-sama2 Pheng Hweeshio dan Pit Leng Hie,
dulu hari telah mendapat nama sama tersohornya, kalau
barusan pedangnya kena disentil Thian Tok, itu disebabkan
mereka berdua baru saja bertempur, setelah itu, ia hati2, setiap
kali ia menyerang, pedangnya bergerak dalam tujuh perubahan,
Inilah tepat dengan namanya, yang memakai huruf 'Cit' yang
berarti 'tujuh', Dalam ilmu pedang, ia tidak dapat menandingi
Bouw Tok It dari Butong Pay, akan tetapi disebelah Tok It itu,
ialah ahli pedang nomor satu.
Segera juga Thian Tok mesti memeras keringat, dalam
melayani satu Cit Siu, sebab sampai sebegitu jauh, ia tetap
dengan tangan kosong, maka dengan adanya Pouw Kian
disampingnya si imam, dan mereka itupun masih dibantu
siorang Mongol, yang maju pula setelah terbanting, dan kini
iapun mulai terdesak.
Menggigil rasanya Hian Ki menyaksikan pertempuran itu, ia
tidak tahu ia mesti turun tangan atau tidak, ia sangsi untuk
membantu pihak yang mana, yang ia tahu mereka semua
adalah sahabat2 ayahnya almarhum, tetapi siapa benar, siapa
salah, gelap untuknya, bahkan untuk membuka suara, ia tidak
berani. Tidak lama kemudian, mendadak Thian Tok berseru
panjang, tubuhnya mencelat tinggi, entah kapan ia sudah turun
pula menginjak tanah, sebelah tangannya sudah mencekal
sebatang poankoan-pit panjang dua kaki, yaitu senjata
semacam pit,(alat tulis).
"Cit Siu Tooheng, kau yang mendesak saudaramu
mempertaruhkan jiwa!" ia berteriak, suaranya nyaring dan
tajam, mengandung hawa amarah hebat dan penasaran sangat.
Setelah itu, maka bergeraklah senjatanya siorang she Cio
ini, ke-sana ke-mari, mengikuti tubuhnya yang gesit dan lincah.
Cit Siu segera menutup diri dengan pedangnya, atas mana
poankoan pit menyambar kealisnya Pouw Kian, hingga dia
menjerit tajam, terhuyung beberapa tindak, Siorang Mongol
merangsak, tetapi ia juga disambut serangan hingga lengannya
tertikam, hingga lengan itu berlepotan darah.
Hian Ki kaget dan heran menyaksikan kegagahan orang,
yang dalam segebrak saja, telah dapat melukai musuh2nya, Ia
kagum bukan main.
Cit Siu melayani dengan perhatian penuh, ia menyaksikan
lihaynya poankoan pit itu, Ia pun mengeluarkan kepandaiannya
ilmu pedang, membalas menyerang kepelbagai tempat
mematikan, saban2 berlompat kesana kemari, atau kedang2 ia
berlompat mengapungi diri, untuk menikan dan membacok dari
atas, Ia menyerang sambil menutup dirinya.
Cio Thian Tok dikenal sebagai "Tiatciang Sinpit" (Tangan
besi dan poankoan pit keramat), tepat sebutan itu, Lain orang,
biasanya menggunakan poankoan pit sepasang, ia hanya
sebatang, tangan kirinya dipakai membantu dimana tenaganya
Yang dan lemah tenaganya Im, ia menggabung ke-dua2nya, Im
dan Yang itu, maka dimana perlu, dapat ia berlaku keras atau
lembek, Juga hebat caranya ia menotok jalan darah,
sebagaimana poankoan pit memang di-peruntukkan totokan itu.
Cit Siu dibantu dua jago, ia tetap tidak dapat berbuat
banyak, Hian Ki terus menonton dengan saban mendengar
mendengungnya senjata2 beradu, Ia memang telah meyakinkan
ilmu mendengarkan suara senjata, maka tahulah ia, sudah tujuh
kali mereka berempat bentrok senjatanya, Tidak perduli
lihaynya pedang Cit Siu, pemuda ini mengetahui Thian Tok
masih lebih unggul.
Cit Siu Toojin sudah menggunakan tipu pedangnya
'Lianhoan Tuihun Toatbeng',ilmu pedang (Mengejar arwah
merampas jiwa), yang beruntun tiga kali tujuh, tidak kurang
setiap serangannya itu, kena dihalau oleh Thian Tok, diam2 ia
mengagumi dan memuji lawannya ini.
"Cit Siu Tooheng, apakah tetap kau tidak hendak
melepaskan aku pergi?" bertanya Thian Tok selagi bertarung.
Si imam mengertak giginya.
"Kau sambutlah lagi dua jurus!" serunya, keras dan sengit,
nadanya seram, Itulah tanda kemurkaan dan penasaran yang
hebat, Ia benar2 menyerang kekiri dan kekanan, dikiri dengan
jurus 'Diliongbun gelombang menggempur', dikanan dengan
jurus 'Digurun besar, pasir berterbangan', Namanya dua kali
penyerangan, sebenarnya itu menjadi berjumlah empat belas
kali, sebab seperti telah diketahui, setiap serangannya berulang
tujuh kali, Dengan itu, berarti semua tikamannya itu mencari
empat belas jalan darah dari Thian Tok.
"Tooheng, kau sangat mendesak aku, maka tidak ada jalan
lain, terpaksa aku mesti menemani kau!" berkata Thian Tok,
keras dan berbada putus asa, Maka bergeraklah pula senjatanya
dibarengi tangan kirinya yang kosong.
"Tingtong! Tingtong!" demikian beruntun terdengar suara
nyaring, Cit Siu terperanjat, ia melompat mundur, dengan itu ia
mengambil kesempatan untuk memeriksa pedangnya, Betapa
kagetnya ia, mendapatkan pedangnya itu telah gompal disatu
tempat, Itupun menyatakan hebatnya serangan dari Thian Tok,
Hendak ia membuka mulutnya, ketika Pouw Kian mendahului
dia dengan tertawanya yang menyeramkan, disusul sama
sambaran sebelah tangannya, Karena menggunakan Thian Tok
menghajar pedang Cit Siu, ia mencengkram dengan lima jari
dari tangan kirinya, Maka robeklah baju dipundak Thian Tok!
"Cio Thian Tok, pada hari ini dari lain tahun, itulah hari
sembahyang kematianmu satu tahun!" Pouw Kian berseru
mengejek, Kemudian ia menambahkan:
"Cit Siu Tooheng, mari maju bersama, mari kita mampusi
dia!" Sebaliknya, dari pada maju menyerang, Cit Siu menarik
pulang pedangnya, Kata dia dengan suara tak lancar;
"Kita adalah orang2 nomor satu dari dunia Rimba
Persilatan, kalau dengan cara begini, kita mengalahkan dia, itu
bukanlah kemenangan yang cemerlang! Saudara Pouw Kian,
mari!" Kata2 ini, ajakan untuk berlalu pergi, disusul dengan
teriakan panjang dan keras dari Cio Thian Tok, seruan umpama
kata "Menembus mega, menghancurkan batu" Itulah tanda dari
lweekang, yang telah mencapai puncaknya, teriakan itu tidak
memperlihatkan sedikitpun juga bahwa dia telah kena dilukai.
Pouw Kian tengah melompat maju, untuk mengulangi
seranganya, tatkala telinganya mendengung teriakan itu, ia
kaget bukan kepalang, hingga mukanya menjadi pucat, Justeru
itu Thian Tok tertawa lebar dan mengatakannya!
"Jari tanganmu yang berbisa tak dapat melukai aku!"
berbareng dengan itu, sebelah tangannya melayang!
Tanpa ia berdaya, Pouw Kian terpelanting hingga satu
tombak lebih, Siorang Mongol tidak kenal bahaya, jusrtu waktu
itu ia maju, seraya mengayunkan cambuknya.
Kembalai Thian Tok berseru;
"Mengingat kepada bekas rekan, aku akan mengampuni kau,
Pouw Kian, tetapi jahanam ini tidak! yang ia maksud adalah
siorang asing ini, dan kata2nya itu dibarengi dengan
bergeraknya pula tangan kirinya, maka disaat itu juga, cambuk
kena disambar dan ditarik, selagi tubuh orang itu terbetot,
poankoan pit ditangan kanan ditancapkan kedada lawannya itu!
Menyaksikan itu,Cit siu berseru ber-ulang2, seruannya nada
putus asa; "Habis sudah, habislah! Kau telah membunuh orang ini, hal
itu pasti tidak dapat diubah lagi, maka kita yang bersaudara
satu sama lain, putuslah sudah hubungan kita!"
Habis mengucapkan demikian, imam ini menghampiri Pouw
Kian, untuk diangkat tubuhnya buat dipanggul, dan dibawa
pergi, dengan lari seperti terbang turun gunung.
Thian Tok menghela napas panjang.
"Sudah terpaksa, tidak bisa lain," katanya seorang diri,
menyesal. Setelah pertempuran hidup mati yang dahsyat itu, gunung
menjadi sunyi senyap kembali, tetapi Hian Ki hatinya masih
berdebar keras, Sebab baginya, peristiwa itu sangat hebat,
sangat mengesankan.
Diantara cahaya rembulan yang indah itu, Thian Tok
mendongak memandang keatas gunung, lalu terdengar
suaranya yang perlahan;
"Siapakah yang menyangka dalam hidupku ini, kembali aku
dapat tiba dirumah keluarga In. . .Ya, aku pergi terus atau aku
kembali saja". . ."
Hian Ki heran bukan main.
"Tadi dia nekat, dia melarang orang mencegahnya,"
pikirnya, "Sekarang musuh2nya yang tangguh sudah roboh,
dan mengangkat kaki, kenapa dia justeru menjadi ragu2?"
IV. Suatu pertemuan
Masih Hian Ki mengintai dari pohon itu, Ia mendapatkan
Thian Tok lesu sekali, bagaikan hilang semangatnya, tak ada
tanda sedikitpun bahwa ia merasa girang dengan
kemenangannya itu.
Dibawah sinarnya si Puteri Malam, ia berdiri menjublak
saja, tak ada suaranya sama sekali, Hingga ia mirip dengan
sebuah patung saja.
Kembali Hian Ki menggigil sendirinya, Sekarang ini Thian
Tok tampaknya lebih menakutkan, dari pada waktu ia berkelahi
mati2an barusan.
Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesaat kemudian, kembali Cio Thian Tok menghela napas
yang panjang, lalu terdengar suaranya yang perlahan;
"Untuk 20 tahun aku terumbang-ambing diantara telaga dan
lautan, rontok kuyup bagaikan bunga bwee dimusim semi
dinegara Utara!. . ." Lalu tangannya merogo kedalam sakunya,
mengeluarkan berupa benda, apabila ia angkat itu, maka
terlihatlah sebuah dompet bersulam, Kembali ia berkata dengan
perlahan; "Dompet ini disulam dengan huruf2 wanyoh, daun yang
hijau yang teduh menghadapi orang yang lama. . . ."
Tak tahu Hian Ki artinya kata2 itu, tetapi ia merasakan
nadanya yang sedih, Itulah curahan dari penyesalan hati,
Mungkinkah jago ini yang demikian kesohor, ada mempunyai
kesulitan yang tak dapat dia utarakan"
Sesaat kemudian, Cio Thian Tok menyimpan kembali
dompetnya itu, Lalu sekali lagi ia mengoceh seorang diri;
"Peristiwa2 didalam dunia ini ber-ubah2, bagaikan mega
dan asap melintas didepan mata, maka apakah perlunya aku
me-mikir2kan pula semua itu yang telah lewat. . .?"
Segera juga tubuh jago itu bergerak, atau dilain saat ia
seperti sudah menghilang, entah ia terus pergi kerumah siorang
she In itu, atau ia kembali ketempat dari mana ia datang. . .
Baru sekarang Hian Ki berani keluar dari tempatnya
bersembunyi, Ia mendapatkan Si Puteri Malam sudah melintasi
garis tengah dari sang langit, Di situ, disekitarnya, tak ada satu
bayangan juga diri manusia, kecuali mayatnya siorang asing
Mongol yang tergeletak ditanah pegunungan itu, Sunyi dan
senyap, suasana itu menciutkan hati, Disaat sesunyi itu, ia
teringat pula kepada So So si nona manis.
"Tentulah dia sudah tidur sekarang," pikirnya, "Tahukah dia
bahwa dikaki gunung, telah terjadi pertempuran hidup mati
ini?" Bimbang pemuda ini, Ia ingin sekali menemui So So secara
diam2, ia ingin pula mencari tahu tentang Siangkoan Thian Ya,
Disamping itu, ia juga ingin mendapat kepastian apa benar
Thian Tok telah pergi kerumah keluarga In itu, Untuk apakah
Thian Tok menvari In Bu Yang" Ada hubungan apakah
diantara mereka itu berdua"
Tidak ada tempo setengah jam, kembali Hian Ki sudah
berada didepan rumahnya In Bu Yang, Ia berlaku dengan
sangat hati2 sekali, Ia memasang kuping tetapi tidak dapat
mendengar sesuatu, Kiranya Bu Yang masih belun kembali, Ia
ragu2 sebentar, lantas ia mengambil keputusan, Maka ia
menjejakkan dengan kedua kakinya, membuat dirinya terapung
tinggi lompat melintasi tembok, Itulah gerakan ringan tubuh
'Seekor burung bangau mencelat kelangit'.
Dipekarangan dalam, daun2 pohon bwe bagaikan menghalang2i
cahaya rembulan, tetapi harumnya bunga2 menyesaki
hidung, membuat hatinya lega, Maka malam itu sama dengan
malam kemarinnya, Hanya saja sekarang, pemuda ini tidak
melihat sipemudi kemarin itu. .
Hian Ki berduka dan bimbang hati, Ia telah datang dengn
harapan besar, tetapi sekarang tak tahu ia mesti berbuat apa, Ia
berpikir, "Mustahilkah dimalam buta rata seperti ini aku
lancang memasuki rumah orang, kekamar si nona itu" Ah, So
So, So So, semoga dewa-dewi memberi mimpi kepadamu,
memberitahukan kau bahwa aku telah datang kemari. . .
Inilah lamunan, Kapan Hian Ki menginsafinya, ia tertawa
sendirinya, andaikata benar ada dewa-dewi, tidak nanti
mengetahui rahasia hatinya itu. . .
Dalam saat yang sunyi itu, tiba2 Hian Ki mendengar helaan
napas yang halus, yang dihantar silirnya sang angin, Itulah
helaan dari rasa penasaran dan kedukaan, Tanpa terasa, ia
menggigil, Itulah bukan suaranya So So, bukan juga suaranya
Thian Tok. Cepat luar biasa, pemuda ini menyembunyikan dirinya
didalam kamar tulis, Ia masih sempat melihat berkelebatnya
satu bayangan tubuh dikaca jendela, Itulah seorang yang
datang dari Timur, yang meloncati tembok, Tembok itu
menyambung dengan ruangan dalam, Jadinya orang itu keluar
dari dalam rumah, bukan datang dari luar, Ia menjadi
melengak, matanya mengawasi, Atau kembali ia berdiri
menjublak. Dibawahnya sebuah pohon bwee yang tua terlihat, seorang
berdiri dengan rambutnya yang panjang terurai dipundaknya,
Dialah seorang wanita setengah umur, yang parasnya pucat
pasi, Dengan memiringkan tubuh sedikit, ia memandangi si
Puteri Malam, Ia mirip seorang wanita yang kehilangan cinta
sang suami. Setelah mengintai sekian lama, Hian Ki merasakan wajah
orang mirip wajah So So, Maka mulailah ia menduga, kecuali
nyonya In, ibunya si nona manis itu, dialah pasti bukan orang
lain lagi. Kembali pemuda ini terbenam dalam ke-ragu2an, hingga ia
me-nerka2, Nyonya In Bu Yang ini berada didalam rumahnya
sendiri, mengapa dia keluar secara diam2, bahkan dengan cara
meloncati tembok" Bukankah dengan begitu, dia tak mirip2nya
sebagai nyonya dari rumah itu" Bukankah dia lebih mirip
dengan seorang kangouw tukang ngelayap malam untuk
menyelidiki sesuatu" Dan lebih aneh lagi, dari pembicaraan Bu
Yang dengan anak gadisnya, dialah seorang nyonya
berpenyakitan yang tengah rebah dipembaringan didalam
kamarnya sendiri, yang tak pernah melangkah setindak juga
dari ambang pintu! Sekarang ditengah malam sunyi ini dia
keluar seorang diri! Adakah dia hendak menghirup harumnya
bunga sambil memandangi si Puteri Malam" Lebih aneh lagi,
gerakan tubuhnya demikian gesit, tak mirip2nya denan orang
yang lagi menderita sakit. . .
Belum lama, sejumlah lembaran bunga bwee terbang jatuh,
disusul dengan lompat turunnya satu bayangan manusia, ringan
jatuhnya, tak ada suaranya sedikit juga.
Hian Ki heran, Tak tahu ia, kapan datangnya, orang itu. .
.adalah Cio Thian Tok!
"Thian Tok, benar2 kau!" berkata nyonya In perlahan, Ia tak
kaget karena munculnya bayangan itu yang secara tiba2.
"Ya, Poo Cu!" menjawab Thian Tok.
"Kau menantikan aku disini?" Perlahan suara lelaki itu,
tetapi dari nadanya nyata hatinya memukul keras.
"Ya," menyahut nyonya itu, "Barusan aku mendengar suara
pertarungan dikaki gunung, Orang yang dapat mengalahkan
ilmu pedang Cit Siu Toojin, yang sekali bergerak dapat
menjalankan tujuh jurus, menurut setahuku dijaman ini, kecuali
Bu Yang dan kau, tidak ada orang yang ketiganya."
Hian Ki terkejut, Sungguh lihay telinganya Nyonya In Bu
Yang ini, Dia tidak menyaksikan pertempuran dengan matanya
sendiri, dia cuma mendengar, tapi, dia mengetahui pertarungan
itu demikian jelas, dia tahu bahwa pihak musuh adalah Cit Siu
imam yang lihay itu, Dia hanya membedakan suara bentroknya
senjata saja! Nyata sekali, ilmu mendengarnya nyonya ini
hebat sekali kepandaiannya.
Thian Tok tertawa, tetapi nadanya sedih.
"Terima kasih untuk pujianmu," katanya, "Oh, kiranya
saudara Bu Yang tidak ada dirumah."
"Apakah kau tidak berpapasan dengan dia?" si nyonya
bertanya. "Tidak, Aku justeru handak mencari dia, Aku menduga,
jikalau dia ada dirumah, pasti dia telah ketahui kedatanganku
ini." "Tadi tengah malam dia turun gunung," berkata si nyonya,
"Untuk urusan apa, aku tidak tahu, Aku tadinya menduga ia
ketahui kau datang dan pergi untuk memalakmu."
Thian Tok berdiam sebentar, lalu ia tertawa menyeringai.
"Oleh karena saudara Bu Yang tidak ada dirumah, tidak
leluasa aku untuk berdiam lama2 disini," katanya kemudian,
"Baik, besok saja aku datang kembali,"
Ia mengucapkannya demikian, tetapi kedua kakinya tak
bergerak, Nyonya In menghela napas panjang;
"Kau sudah datang, perlu apa kau lantas pergi pula?"
katanya, "Kita sudah sama2 tua, apakah diantara kita mesti ada
pula kerikuhan, hingga kita mesti saling menyingkir" Kalau
sekarang kau pergi, aku khawatir, untuk selanjutnya bakal tidak
ada kesempatannya lagi, untuk kita bertemu berduaan saja. . ."
Perlahan sekali suaranya si nyonya, kepalanya pun
ditundukkan, seperti tak berani ia memandang sinar matanya
Thian Tok, Hingga ia mirip lagi bicara dengan dirinya sendiri,
bukan kepada pria dihadapannya itu.
Hati Thian Tok berguncang keras, Ia maju satu tindak;
"Poo Cu, kau. . ." katanya, suaranya perlahan, tetapi tajam.
"Perlahan sedikit," memperingati si nyonya. "Jangan kau
membikin kaget So So,"
Paras Thian Tok merah, ia mundur pula, Lalu terus
menyender dipohon bwee.
"So So?" ia menanya.
"So So adalah anakku perempuan, sekarang ia sudah berusia
delan belas tahun."
Thian Tok menghela napas.
"Sudah delapan belas tahun. . ." katanya, "Ya sang waktu
lewat cepat sekali, Anak2 kita telah menjadi besar. . ."
"Ah! kapankah kau menikah" Mengapa isterimu tidak
datang bersama?" Nyonya In agaknya heran.
"Ketika aku mendapat dengar khabar girang dari kau dengan
saudara Bu Yang," menjelaskan Thian Tok, "waktu itu aku lagi
rebah sakit di MOngolia, Selama aku sakit, dialah yang
merawati aku, Mulanya aku tidak berpikir untuk menikahi dia,
lalu kemudian aku berbalik pikir, Aku ter-lunta2 dinegara
orang, sudah seharusnya aku mendapatkan keturunan, untuk
penyambung keluarga Cio, Demikian ditahun kedua, bagaikan
tanpa terasa, dengan cara sederhana, menikahlah kami, Isteriku
itu tidak mengerti ilmu silat, maka itu sebelum aku angkat kaki
dari watzu, siang2, aku telah kirim isteri dan anakku itu pulang
kekampung halamanku di Shoasay, Poo Cu, kau pasti tidak
menyesalkan aku, bukan?"
Nyonya itu menggeleng kepala.
"Mana dapat aku menyesalkanmu?" sahutnya, "Tentulah
puteramu itu sudah dewasa?"
Tanpa ia kehendaki, Tan Hian Ki dapat mendengar
pembicaraan orang itu, Itulah pembicaraan biasa, yang terdapat
umum se-hari2, tetapi yang ini ada terpendam cerita asmara
yang tersembuyi, Maka makin heranlah ia.
"Nyonya In ini gagah perkasa, kalau dahulu itu bukan
karena kehendaknya sendiri, siapa dapat memaksa ia menikah
dengan In Bu Yang?" pikirnya, "Ia sudah menikah, kenapa
sekarang ia agaknya masih menyintai Cio Thian Tok?"
Maka mulailah ia menduga, diantara kedua orang ini, dua
jago satu jantan dan betina, mesti ada tersembunyi sesuatu apa,
yang tak dapat mereka beberkan dimuka umum, Dan In Bu
Yang itu, mengetahui akan rahasia hati isterinya ini"
mengingat begitu, Hian Ki membayang ancaman bencana
untuk nyonya ini dan kekasihnya itu, ia menjadi berkhawatir
sendiri, sampai ia lupa bahwa ia sendiri pun turut terancam
bahaya. . . "Anakku itu sekarang sudah berusia enam belas tahun,"
menerangkan Thian Tok, "Aku beri nama Eng padanya, Ia
bertabiat keras hingga sering ia menimbulkan onar buatku,
Sahabat2nya menyebut dia Hongthianlui (si Guntur).
"So So-ku sebaliknya alim," kata Nyonya In tertawa,
"Kadang2 saja ia sangat lucu, tetapi ia bersifat seperti ayahnya,
apa yang ia pikir, ia akan lakukan, walaupun salah, ia tidak
menyesal,"
"Ah, kau lebih beruntung dari pada aku, suamimu gagah,
anak gadismu lembut, dan ini rumah, kamu telah mengaturnya
seperti goa dewa-dewi, dimana gunung ini indah, lengkaplah
dua2nya, Dengan kehidupan manusia yang begini, apalagi
yang dikehendaki" Aku telah datang kesini, dan
menyaksikannya, legalah hatiku."
Ia mengangkat kepalanya, ia masih tampak si nyonya
tersenyum, hanya pada kedua matanya, airnya mengembang,
ber-linang2. Heran orang she Cio ini.
"Adakah saudara Bu Yang perlakukan kau buruk?" ia
bertanya. "Baik, terlalu baik!" menjawab si nyonya, "Setiap hari dia
menyuruh aku makan obat!"
Thian Tok semakin heran.
"Menyuruh kau makan obat" Kau sakit apakah?"
"Setelah menikah dengannya, untuk beberapa tahun aku
sehat2 saja, hanya belasan tahun kemudian, sering jantungku
sakit, sebentar baik, sebentar kumat, Disini tidak ada orang
dengan siapa aku dapat berbicara untuk mencurahkan isi hati,
Demikian apa yang terjadi, musim semi datang, musim semi
pergi, aku tidak niat untuk memperdulikannya, Didalam tahun
ini juga baru kali ini aku keluar kemari,"
Thian Tok tercengang saking heran.
"Kenapa begitu?" tanyanya.
Hal itu barulah kemudian aku dapat mengetahuinya,
Sebenarnya Bu Yang menikahi aku bukan karena cintanya. . ."
"Apakah bukannya kau terlalu banyak berpikir?"
"Bukan, hanya dia, selama belasan tahun, dia terus-menerus
ingat saja isterinya yang dulu, Nama kecil isterinya itu
dipanggil Bwee, maka juga semua pohon bwee disini ada untuk
mengingati isterinya itu,"
"Isterinya Bu Yang itu telah menutup mata di Tiangkang,
sampai sekarang ini sudah berselang 20 tahun, Kalau begitu,
aku harus memuji dan menghormati dia."
"Kenapa ?"
Thian Tok memaksakan diri untuk tertawa.
"Kalau dia memikirkan orang lain, aku tidak sesalkan kau,
tetapi dia memikirkan almarhum isterinya, bukankah itu
menandakan cintanya yang satu, mati atau hidup ia tak
melupakannya" Dengan mengingat yang dulu, dapat ia
mencurahkan cinta pada orang yang sekarang berada
disampingnya, Seorang duda, apabila ia lekas2 melupakan
isterinya yang lama, terhadap isterinya yang baru, belum tentu
ia dapat menyintanya sungguh2 dan kekal."
Terang Thian Tok berbicara untuk menghibur, tetapi itu pun
beralasan, Hanya, diluar dugaannya, air mata si nyonya In
bercucuran semakin deras.
"Aku tidak pandai bicara, kalau aku salah ucap, maafkan
aku," Thian Tok berkata.
Nyonya In tidak menjawab, hanya ia balik bertanya.
Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tahukah kau kenapa dia nikahi aku" demikian tanyanya.
"Kau berilmu silat tinggi, kau cantik, hatimu pun baik,"
menyahut Thian Tok,"Kaulah wanita gagah dan cantik tak ada
bandingannya, Semasa hidupnya isteri Bu Yang itu, asal
membicarakan kau, dia memuji dan sangat mengagumimu."
Nyonya In sebaliknya tertawa tawar.
"Siapa bilang dia menikah karena menyintai aku?"
katanya.", "Sebenarnya dia menikah denganku untuk kitab ilmu
pedang kepunyaan ayahku."
Inilah heran, maka Thian Tok terkejut.
"Ah!" serunya tertahan, tak berani ia lantas mengucap kata.
"Ayahku berhasil mendapatkan kitab tua ilmu pedang
Butong Pay yang telah lama lenyap dari guru besar Tat Mo,"
Nyonya In menerangkan, "Belum lagi ayah memahaminya
secara sempurna, dia telah mencurinya dan dibawa kabur
menyingkir, Aku tidak gusar atau menyesali yang dia
senantiasa masih mengingat isterinya yang lama itu, hanya aku
mendongkol dia menyebabkab kami ayah dan anak berpisah
untuk se-lama2nya, kami tak dapat bertemu pula, Dia sangat
mementingkan diri sendiri, supaya dirinya menjadi jago pedang
nomor satu dikolong langit ini, dia men-sia2kan isterinya,
hingga aku jadi menderita!"
Sebenanya keterangan nyonya In masih belum lengkap, ada
satu bagian yang ia sembunyikan, Memang benar In Bu Yang
suaminya itu, ingin memiliki kitab ilmu pedang ayahnya itu,
tetapi bukanlah dia yang mencurinya, hanya nyonya In sendiri
yang mengambilnya secara diam2, Ketika itu belum lama
mereka menikah, Nyonya In sangat menyintai suaminya tanpa
ia mengetahui sifat si suami, maka itu apa juga yang suaminya
minta ia lakukan, ia melakukannya, Demikian sudah terjadi,
Sebelumnya, ia tak memikir apa yang bakal terjadi kemudian.
Pada dua puluh tahun berselang, Bouw Poo Cu sebagai
gadis remaja lagi menanti lamaran, Dan Cio Thian Tok dan In
Bu Yang itu adalah orang2 muda dari tingkatan lebih muda
dari pada Bouw Tok It, ayahnya si nona.
Berdua mereka sering datang berkunjung, Tok It sama
menghargai mereka berdua, Hanya ketika itu Bu Yang sudah
menikah, Thian Tok belum karena itu Poo Cu lebih banyak
bergaul dengan sipemuda she Cio, Kemudian isterinya Bu
Yang terbinasa dimedan perang disungai Tiangkang, ketika ia
pulang, ia menunjuki ketekunannya, Ia pernah menikah,
tahulah ia bagaimana harus melayani seorang wanita, Pula ia
masih muda, wajahnya tampan, ilmu silatnya sempurna,
sikapnya halus, maka bukan saja Tok It senang padanya, Poo
Cu sendiri kemudian jatuh hati terhadapnya, maka akhirnya si
nona meninggalkan Thian Tok, menikah sama siduda.
Sesudah Poo Cu membantu suaminya mencuri kitab pedang
ayahnya itu, ia turut buron kegunung Holan-san ini, Di-tahun2
pertama, mereka hidup rukun dan manis, Mereka seperti tengah
berbulan madu, baru kemudian, Poo Cu ingat juga
keluarganya, Lalu dengan lewatnya sang waktu, ia merasakan
cinta suaminya terhadapnya mulai berkurang, bahkan itu
seperti disengaja di-buat2nya, Dilain pihak, suami itu nyata
sekali selalu mengingat almarhum isterinya, Tentu saja Poo Cu
menjadi bersusah hati, hingga kesehatannya jadin terganggu,
Semenjak itu, ia jadi ingat Thian Tok yang ia lepaskan itu,
Baru sekarang ia menginsafinya, cintanya Thian Tok cinta
sejati, melebihi cintanya Bu Yang, Tapi sekarang, sang ketika
telah hilang lenyap.
Tentu sekali Thian Tok tidak mengetahui perubahan cinta
nyonya In ini, ia menyangka orang tetap menyintai dia, bahwa
kalau juga Poo Cu menikah dengan Bu Yang, itu disebabkan
kaburnya ia keluar negeri untuk melindungi putera mahkota,
junjungannya yang muda, Ia menyesal waktu ia mendapat
khabar Poo Cu sudah menikah dengan In Bu Yang.
Sambil menangis segugukan, Nyonya In melanjutkan
keterangannya; "Atas lenyapnya kitab ilmu pedang itu, ayahku tidak
membuat banyak berisik, Ia tidak mau diketahui oleh orang
luar atas kejadian yang terjadi didalam keluarganya, ia tidak
pernah menunjukkan kemurkaannya, Oleh karena itu, putuslah
hubungan diantara ayah dan puterinya, Belakangan ayah
mendapat tahu, bahwa kami tinggal menyendiri disini, tapi ia
tidak pernah mengirim orang untuk menanyakan tentang aku,
Akulah anaknya satu2nya, tetapi aku, bukannya aku ingat budi
orang tua, yang merawat dan memelihara aku semenjak bayi,
aku justeru membantu suamiku mencuri kitabnya, kitab yang
sangat dirahasiakan, Ayah berduka karenanya, tidak sampai
dua tahun, ia meninggal dunia yang fana ini, Sungguh
menyedihkan, kami ayah dan anak tak pernah bertemu pula,
Sekarang ini kakak sepupuku, yang menggantikan ayah
menjadi ketua Butong Pay, juga telah menutup mata, Inilah
untuk pertama kali aku melihat ada orang luar datang kesini. .
." Hian Ki menduga yang dimaksudkan si nyonya ialah
Siangkoan Thian Ya utusannya Bouw It Siok, Karena itu, ia
ingat pula Thian Ya itu, Bagaimana dengan sahabat itu" Ia
meng-harap2 si nyonya menyebutkannya pula pemuda itu,
tetapi harapannya sia-sia.
Nyonya Bu Yang menghela napas, baru ia berkata pula;
"Setelah berselang delapan belas tahun, berhasil sudah Bu
Yang mempelajari ilmu pedangnya, tetapi meski demikian,
kitab pedang itu dia masih tidak mau mengembalikannya, dia
cuma mengutamakan diri sendiri untuk menjadi ahli pedang
nomor satu, tidak pernah dia memikirkan aku lagi, Maka aku
khawatir sekali, seumur hidupku, tidak nanti aku mendapat
maaf dari keluargaku, Ya, akulah yang bersalah, Delapan belas
tahun aku menderita, tidak ada seorang juga, kepada siapa
dapat aku melampiaskan penyesalanku ini, Setiap hari Bu
Yang memaksa aku minum obat, Tapi, mana penyakitku dapat
sembuh hanya denan obat saja" Sebenarnya pun, dengan
memaksa aku minum obat itu, hanya untuk ia perlihatkan
kepada puterinya, Setiap waktu, setiap saat, dia tetap
memikirkan isterinya yang pertama, dia sangka aku tidak
mengetahuinya!"
Mendengar keluhannya si nyona, yang mencurahkan
penasaran dan penyesalannya, hati Thian Tok seperti ter-iris2.
"Poo Cu! Poo Cu!" katanya tiba2 sambil menubruk, Poo Cu
menolak tangan orang.
"Thian Tok, kau pergilah, lekas," katanya, "Kalau Bu Yang
pulang dan dia melihat sikap kita ini, mungkin dia bakal
membunuhmu!"
Thian Tok memperdengarkan suara tidak nyata, ia mundur
pula, Tapi tetap ia tidak mau berlalu.
"Benar kau tidak takut terhadapnya, tetapi dia. . .dia. . ."
Perkataan nyonya ini berhenti tiba2, Sebenarnya ia hendak
mengatakan, "Siapa juga yang terbinasa diantara kalian bedua,
semuanya itu juga akan membuat aku berduka," kata2 itu tidak
dapat diucapkan.
"Setelah bertemu dengan kau, sebenarnya sudah puas
hatiku," berkata Thian Tok. "Sebenarnya aku dapat segera
berlalu, tapi tak boleh kulakukan, aku ingin bertemu dengan Bu
Yang," "Ah! Kau benar2 mencari Bu Yang?" si nyonya menegasi.
"Ya, untuk mencari kau, juga mencari Bu Yang," jawab
Thian Tok seraya menarik keluar dompet sulamnya, Ia
menghela napas ketika ia menambahkan: "Baiklah kita jangan
lagi menimbulkan segala kejadian yang sudah2, tetapi dompet
ini hendak aku mengembalikannya padamu, Penghidupan
manusia benar seperti kata2nya pepatah, dalam kehidupan
manusia, delapan atau sembilan keinginan kita, biasa tak
tercapai, Saudara Bu Yang gagah dan pintar, dialah seorang
jago, baiklah kau maklum saja."
Poo Cu menerima kembali dompetitu, lalu ia berdiam, air
matanya turun tak hentinya, Didalam hatinya ia berkata, "Kalau
Bu Yang ada sebaik kau ini, pastilah aku tidak akan menderita.
. ." Thian Tok menghibur orang untuk melupakan semua
kejadian yang lampau, akan tetapi ia sendiri tidak dapat
melupakannya, Setelah terdiam sejenak, ia berkata pula dengan
perlahan; "Sudah delapan belas tahun aku tidak bertemu dengan
saudara Bu Yang, entah bagaimana pikirannya sekarang, Biar
bagaimana, ingin aku bertemu dengannya."
"Ya, aku pun belum menanyakan kau bagaimana
keadaanmu semenjak delapan belas tahun yang lalu," berkata
nyonya In. "Sekalipun kau tidak menanyakan, aku sendiri ingin
menceritakannya," menjawab Thian Tok, "Ketika tahun itu Sri
Baginda kalah perang di Tiangkang, dan ia tertawan hingga
menerima kematiannya, dengan melindungi putera mahkota,
aku menyingkir ke Mongolia, Syukur sekali, disana kami
diterima dengan baik oleh satu kepala suku bangsa, Itulah suku
Tartar dan pemimpinnya itu ialah Arudai, Dialah satu
pemimpin yang ber-cita2 besar, kami diterima dan kamipun
membantu padanya, Belum ada sepuluh tahun, dia dapat
menaklukkan suku2 lain disekitarnya, maka setelah itu dia
dapat mendirikan negaranya yaitu negara Watzu, Pada tiga
tahun yang baru lalu Arudai wafat, ia digantikan oleh
puteranya yaitu Toto Puhwa, Karena Toto Puhwa masih
berusia muda, ia dididik oleh pamannya yaitu Tohuan yang
mengangkat dirinya menjadi Thaysu, Guru Agung, Dua2 Toto
Puhwa dan Tohuan itu ber-cita2 besar dan pintar, mereka
bukan sembarang orang, dalam beberapa tahun saja mereka
telah berhasil mengatur angkatan perangnya, yang sekarang
semakin maju, Kelihatannya untuk mempersatukan seluruh
Mongolia tinggal menunggu waktunya saja." Diam sebentar.
"Walaupun Mongolia terpisah jauh dari sini," berkata Thian
Tok pula, "Aku khawatir, setelah Tohuan berhasil
mempersatukannya, ada kemungkinannya ia ada sangkutannya
dengan bangsa Han kita, Baiklah, maka akan aku
memberitahukan kau kenapa malam ini aku datang kemari."
Nyonya In mengangguk, ia memasang telinganya.
"Setelah tiba di Mongolia, almarhum putera mahkota telah
mendapat seorang putera," Thian Tok menjelaskan lebih jauh,
"Putera itu diberi nama Cong Ciu, sekarang ia sudah berumur
tujuh belas tahun, Ia bersamaan usia dengan Khan besar Toto
Puhwa itu, Oleh karena putera mahkota menutup mata
diperantauan, aku terus melindungi puteranya itu, Ia pintar dan
besar pula cita2nya, lebih bersemangat dari pada almarhum
ayahnya,Kami.., sebab aku tidak sendirian, membantu dan
mendidik dia dalam ilmu surat dam ilmu silat, dengan otaknya
yang tajam, sekali diajari saja, ia lantas mengerti, Diam2 aku
bergirang sekali bahwa yang Sri Baginda almarhum
mempunyai keturunan yang berkakat itu, Junjungan muda ini
sangat menyintai negeranya, walaupun usianya masih begitu
muda, ia ingin sekali lekas2 membangun kembali pula
kerajaannya,"
Thian Tok melanjuti sesaat kemudian, "Karena usianya itu
masih muda, aku khawatir sekali ia nanti salah jalan, Pergaulan
Cong Ciu dengan Toto Puhwa pun erat sekali, maka juga
Kahan Watzu itu telah memberikan janjinya, satu kali seluruh
Mongolia sudah dioersatukan, dia akan membantu junjungan
muda ini membangn kembali negaranya, Dimulut Toto Puhwa
mengatakan begitu, tetapi hatinya aku dapat menerkanya, Dia
sedang memperkuat diri, dengan sadar dia menuruti pimpinan
pamannya, Aku percaya, setelah Mongolia bersatu, dia bakal
berpaling ke Tinggoan, Itulah hebat dan berbahaya, Aku tahu
betul, semenjak dahulu hingga sekarang ini, tidak pernah ada
orang yang meminjam tenaga asing membangun negaranya
dengan berhasil, dan kalau toh berhasil juga, ia sendiri menjadi
semacam boneka, Aku menyesal pada rekan2ku tidak ada yang
berpandangan jauh, mereka itu sebaliknya memuji tindakan
junjungan muda itu, mereka memimpikan meminjam tenaga
bangsa Watzu untuk bertempur pula melawan Cu Goan
Ciang!" Hian Ki dari tempat sembunyinya terkejut sendirinya.
"Jikalau benar Thio Cong Ciu meminjam tenaga asing
menyerang balik ke Tionggoan ini, bukankah ia seperti
membuka pintu untuk harimau galak?" pikirnya, "Aku
khawatir bukan saja ia gagal membangun negara, sebaliknya
negara yang indah ini bakal diserahkan ketangan lain orang. . .
.Semua pamanku, selama ini dua puluh tahun, memikirkan saja
junjungannya yang lama, ingin mereka membangun kembali
pula kerajaan Ciu itu, kalau mereka mendengar berita penting
ini, entah bagaimana pendapat mereka."
Thian Tok menghela napas ketika ia melanjutkan ceritanya;
"Niatnya junjungan muda itu sudah tidak dapat diganggu
gugat, ia sudah mengeluarkan kimpay dari junjungan
almarhum, diserahkan pada Cit Siu Toojin dengan bersama
Pouw Kian dan ditugaskan kembali ke Tionggoan untuk
mengumpulkan orang2nya junjungan almarhum, untuk
bersama mereka pergi ke Watzu guna menyusun tenaga, untuk
bekerja sama, Yang per-tama2 mau dipanggil itu adalah
saudara Bu Yang, Karena itu kedatanganku inipun dengan niat
membujuk saudara Bu Yang lekas memberi khabar kepada
semua rekan2 agar mereka itu lekas2 mengatus daya
perlawanan, Aku hanya tidak ketahui selama tahun2
belakangan ini, bagaimana keadaannya saudara Bu Yang serta
bagaimana pendiriannya."
"Sudah belasan tahun Bu Yang hidup menyendiri disini,
telah putus pergaulannya dengan bekas rekan2nya itu." barkata
nyonya In, "hanya melihat kemajuan ilmu pedangnya yang
sudah rampung, ia sepertinya tergoda untuk kembali turun
gunung, supaya dunia persilatan mengakui ia sebagai ahli
pedang nomor satu, Bulim Te-it Kiamkek, Tapi niat ini ia
tunda, disebabkan aku masih mempunyai kakak sepupu yang ia
segani, Sekarang ini, ayah dan kakakku itu telah meninggal
dunia, aku percaya, hal turun gunungnya tinggal menanti
waktunya saja."
"Macan tutul mati meninggalkan kulit, manusia mati
meninggalkan nama," berkata Thian Tok, "Saudara Bu Yang
yang sudah berhasil menyempurnakan ilmu pedangnya,
sekarang dia hendak muncul pula supaya orang ingat dan kenal
padanya, itupun baik."
"Dia besar ambisinya," berkata nyonya In, "Aku khawatir
dia tidak dapat menerima kimpay dari siauwcu untuk pergi ke
Watzu dan juga tidak bakal mendengar nasihatmu, supaya dia
menyampaikan kabar terlebih jauh kepada bekas kawan2nya."
"Kenapa begitu?" tanya Thian Tok tak mengerti.
Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Congcihui dari Kimi-wi dari Cu Goan Ciang, yaitu Lo Kim
Hong jago nomor satu dari kotaraja, beberapa hari yang lalu
telah datang kesini membuat pembicaraa dengannya."
"Begitu ?" Thian Tok benar2 heran.
"Samar2 saja aku mendengar pembicaraan mereka itu, Dia
hendak menerima undangan dari Cu Goan Ciang untuk
membujuk bekas orang2nya Sri Baginda almarhum untuk
mengabdi pada Cu Goan Ciang itu,"
"Mereka itu setia semuanya, mungkin ia mesti bekerja keras
untuk membujuknya, Thian Tok menyatakan.
"Jikalau benar mereka tidak sudi menakluk maka Lo Kim
Hong bakal mengambil tindakan keras, dengan membekuk
mereka satu demi satu."
Thian Tok melengak, dan akhirnya kelepasan berkata;
"Apakah itu bukan namanya menjual sahabat2 untuk
memperoleh pangkat besar?"
"Bu Yang pun tidak mau mengatakan terus terang padaku,
Pernah aku menanya dia, dia tidak mengucapkan sepatah
katapun, Apa yang aku ketahui, didalam beberapa hari ini dia
seperti mempunya banyak persoalan hati, hingga aku tidak
dapat membeda sikapnya."
"Mudah2an saudara Bu Yang tidak terpancing," berkata
Thian Tok, "Aku harap kau bisa membujuk dan menasehati
dia." In Hujin tertawa sedih;
"Aku dan dia adalah suami isteri, tetapi sebenarnya kami tak
ubahnya seperti orang2 ditengah jalan,," ia mengaku, "Selama
ini beberapa tahun kami hidup menurut cara sendiri2, kami
seperti bersandiwara saja. . ."
Thian Tok menyesal sekali, ia berduka dan berbareng
merasa kasihan terhadap si nyonya.
"Poo Cu," katanya perlahan, "kau. . . ."
Tiba2 si nyonya mengangkat kepalanya;
"Mungkin Bu Yang tidak pulang malam ini," katanya,
"Sekarang sudah jam empat, sedang So So biasa bangun jam
lima untuk meyakinkan ilmu pedang dan kemudian paginya
mempelajari ilmu suratnya, maka kau, sebaiknya kau pergi
saja, Besok kau datang lagi."
Dengan perasaan berat, Thian Tok membalik tubuh untuk
berlalu, Baru dua tindak, ia sudah menoleh, seperti ada apa2
yang ia lupakan.
"Poo Cu," katanya,"Pernahkah kau melihat satu pigura
dengan lukisan suasana rembulan musim rontok disungai
Tiangkang ?"
"Untuk apa kau menanyakan gambar itu?" si nyonya balik
bertanya, "Gambar itu digantung dikamar tulus itu,"
"Begitu" Bagus! Nanti aku lihat,"
Nyonya In heran, ia bertindak mengikuti kekamar tulis,
Hian Ki cepat juga sembunyikan diri dibelakang lemari.
"Siapakah berada didalam kamar tulis ini ?" terdengar suara
dalam dari Thian Tok.
Hian Ki heran sekali, Tapi ia berani, selagi ia hendak
memperlihatkan dirinya, tiba2;
"Mana ada orang didalam kamar ini," terdengar nyonya In,
"Umpama kata Bu Yang Yang pulang, tidak nanti ia
bersembunyi disini untuk mencuri dengar pembicaraan kita,"
"Barusan aku seperti mendengar sesuatu suara."
"Itu mungkin tikus yang sedang menggeratak."
Hian Ki menyingkir dari jendela ke-lemari cuma beberapa
tindak, ia pun bertindak sangat cepat dan ringan, maka heran
Thian Tok masih dapat mendengar tindakannya itu, Maka itu ia
sangat mengagumi orang she Cio ini.
Hanya setelah mendengar suara si nyonya, Thian Tok tidak
berkata lagi, Segera juga api dinyalakan dan lilin disulut, Hal
itu membuat sianak muda lega hatinya.
"Hanya benar pada dua hari yang lalu, kamar ini pernah
ditempati orang!" kemudian terdengar suara nyonya In sambil
tertawa. "Siapakah dia?" Thian Tok tanya,
"Dialah seorang anak muda yang ditolong oleh So So,
Khabarnya ayah dia itu adalah bekas rekanmu, Tanpa tahu apa
sebabnya, dia dilukai orang, So So menolong dia dengan
memberi dia obat yang ayahnya paling sayang, Bocah itu
bernyali sangat besar, dia datang kemari dengan maksud
membunuh Bu Yang, Ketika Bu Yang pulang, dia lantas diusir
pergi, Sayang aku tidak sempat melihat anak itu, tetapi So So
nampaknya terkesan baik sekali terhadapnya, ia membuatnya
pikiran, Didepan aku So So puji dia, katanya dia halus budi
pekertinya, bagus ilmu silatnya, bahkan Bu Yang katanya turut
memuji juga ilmu pedangnya, So So polos sekali, sampai
terhadap seorang asingia berpendapat demikian macam, tak
sedikitpun menaruh curiga, Kau lihat itu pedangnya yang
digantung ditembok, Coba si bocah curi itu, tentulah ia tak
dapat diampuni ayahnya. . . ."
Senang hatinya Hian Ki mendengar bahwa So So demikian
memperhatikan dirinya, Selagi Nyonya In ber-kata2, Cio Thian
Tok mengawasi gambar, agaknya ia sangat tertarik hatinya,
hingga ia berdiri menjublak.
"Bagaimana, adakah apa2 yang aneh dalam gambar itu?"
sinyonya bertanya, heran.
"Cocok, inilah gambar itu!" mendadak kata Thian Tok
berseru, lalu ia menghela napas, Ketika ia berkata, suaranya
perlahan; "Inilah gambar yang Sri Baginda almarhum menitahkan
melukisnya dimalam sebelum ia mengorbankan diri untuk
negaranya, Didalam lukisan itu tersimpan rahasia, yang cuma
diketahui oleh Bu Yang dan aku, Menurut kau, apakah Bu
Yang tidak memberitahukan hal itu padamu,"
"Banyak sekali yang Bu Yang sampaikan kepadaku, bukan
cuma hanya gambar ini," si nyonya mengaku.
"Ketika pada 20 tahun itu kami berperang disungai
Tiangkang, malam sebelumnya Sri Baginda almarhum telah
merasa pengharapannya sudah musnah, maka itu semua
hartanya yang terdiri dari berbagai barang permata telah dia
sembunyikan disuatu tempat rahasia di Souwciu, Tapi bukan
cuma harta itu, berikut itu ada peta bumi yang dibuat oleh
Pheng Hweeshio, Itulah peta militer, siapa mendapatkan itu,
dia boleh merajai, didalam lukisan inilah terdapat tempat
penyimpanan harta dan peta penting itu."
Nyonya In memperlihatkan rasa heran, Ia tidak menyangka
seorang raja yang bakal runtuh dapat merencanakan seperti itu,
jauh pandanganya.
"Sebenarnya ketika itu Sri Baginda menghendaki aku
membawa pergi gambar ini," Thian Tok menjelaskan, "Tetapi
saudara Bu Yang bilang, tugas melindungi putera mahkota
tugas sangat berat, maka tugas untuk melindungi gambar ini,
baiknya diserahkan saja padanya, Dengan begitu ia berkata ia
hendak membantu meringankan tugasku itu, Sekarang Siauwcu
memanggil saudara Bu Yang, itulah tentu disebabkan, selain
tenaganya dibutuhkan juga mesti ada hubungannya dengan
gambar ini."
"Menurut penglihatanku, kebanyakan Bu Yang tidak bakal
pergi ke Watzu," berkata Nyonya In, "Maka gambar ini,
gambar ini. . ."
Thian Tok melengak, begitu mendengar si nyonya,
walaupun nyonya itu tidak meneruskan kata2nya, Ia sadar,
dengan Bu Yang menerima undangannya Cu Goan Ciang, peta
ini akan menjadi barang yang sangat berharga.
Nyonya In menghela napas;
"Aku lihat Bu Yang bukan saja dia tidak bakal pergi ke
Watzu, dia juga tidak nanti sudi mendengar perkataanmu,"
katanya kemudian, "Maka itu gambar ini baiknya kau bawa
pergi." Belum habis suaranya si nyonya, mendadak terdengar satu
suara tertawa dingin, Ketika keduanya berpaling, diambang
pintu terlihat In Bu Yang lagi berdiri mengawasi mereka,
dengan senyuman tawar.
V. BERTEMPURNYA NAGA DENGAN HARIMAU
Kamar diterangi dengan api lilin yang ber-goyang2, tetapi
tampak nyata wajah mengejek dari Bu Yang itu, yang terus
bertindak masuk dengan ayal-ayalan.
Nyonya In mengawasi suaminya, hatinya guncang, akan
tetapi pada wajahnya, ia tidak memperlihatkan sesuatu, bahkan
ia terus menggulung gambar itu.
"Saudara Bu Yang, kau sudah pulang!" Thian Tok
menyambut. "Kau tentu tidak menyangka aku pulang dengan begini
cepat?" jawab orang yang ditanya, dingin.
"Aku datang mencari kau untuk satu urusan penting," kata
Thian Tok tanpa memperdulikan ejekan, "Sudah lama aku
menantikan kau saudara Bu Yang, kau, kau dengar aku. . . ."
Bu Yang maju satu tindak, dengan tajam ia menatap
isterinya. "Poo Cu, aku mengucapkan terima kasih yang kau telah
mewakilkan aku menyambut tamuku yang mulia," katanya,
"Sekarang kau letakkanlah gambar itu dan pergilah masuk
kedalam untuk makan obatmu."
Nyonya In tidak mengatakan apa2, ia meletakkan gambar
dari tangannya, tetapikedua kakinya tidak bergerak, Bu Yang
mengawasi pula isterinya itu.
"Baiklah," katanya pula, "Karena kau menyesali aku yang
telah membohongi kau, tidak apa kau tidak mau pergi masuk,
kau boleh berdiam disini untuk mendengarkan,"
"Saudara Bu Yang, kau dengar aku!" kata pula Thian Tok.
"Tidak usah kau mengatakannya lagi," berkata Bu Yang,
"Aku telah mengetahui maksud kedatanganmu ini."
"Saudara Bu Yang, jangan kau bercuriga, aku siorang she
Cio satu laki2 sejati, tidak nanti aku melakukan apa2 yan tak
bagus terhadap sahabatnya,"
Bu Yang memperlihatkan wajah sungguh2.
"Kau hendak pergi emana?" ia menanya.
"Kau. . .kau hendak mengatakan. . . ."
"Aku berterima kasih untuk kebaikanmu, Bukankah kau
datang untuk ini ?" tangannya merogo kedalam sakunya, ketika
ia menariknya keluar, maka berkelebatlah sebuah sinar kuning
emas, dan Itulah Kimpay.
"Kau telah bertemu dengan Cit Siu Tooheng dan Pouw
Kian?" Thian Tok bertanya.
"Bahkan aku telah usir mereka berlalu dari gunung ini!"
sahut Bu Yang, "Dan kimpay ini sengaja aku tahan, supaya
dengan begitu mereka tidak usah pergi membujuk lagi yang
lain2 sahabat kita." Thian Tok senang mendengar itu.
"Saudara Bu Yang, nyatalah kau telah ketahui semua! Tepat
perbuatan kau ini! Aku puji padamu."
Bu Yang tertawa dingin, kedua tangannya dirapat pada
kimpay itu, atas mana kimpay tersebut lantas saja menjadi
sepotong emas murni, ketika ia melempar, emas itu nancap
ditanah, Sungguh suatu kepandaian istimewa!
Ditempatnya sembunyi, Hian Ki tergoncang hatinya.
"Coba kemarin itu bukannya So So yang mencegah, tentulah
tubuhku sudah hancur luluh..." katanya dalam hati.
Bu Yang tidak menyahuti Thian Tok, hanya dengan dingin
ia berkata; "Jaman dahulu orang2 gagah bagaikan me-ngepung2
menjangan, aku berada bersama Sri Baginda almarhum, aku
mengalami perang ratusan kali, atas semua itu, bertanya diri
sendiri, tidak malu aku untuk kerajaan kita itu, Sekarang lain,
sekarang ini dunia sudah berubah, seperti benda bertukar
tempat dan bintang berpindah, sekarang ini aku siorang she In
membenci peperangan, maka ingin aku hidup merdeka seperti
burung bangau liar terbang diudara terbuka, untuk melewati
hari2 yang tenteram dan aman, Sri Baginda sudah wafat,
kerajaan Ciu suadah musnah, maka aku dengan keluarga Thio
itu sudah tidak lagi mempunyai hubungan seperti raja dengan
menterinya, Thio Cong Ciu sibocah cilik, cara bagaimana dia
berani menggunakan kimpay untuk memanggil aku ?"
Thian Tok terperanjat, Itulah kata2 yang tidak ia sangka2,
Memang ia tidak setuju dengan sepak terjangnya siauwcu,
sijunjungan muda, yang mau meminjam tenaga negara Watzu,
akan tetapi menghadapi anak cucunya Thio Su Seng, siraja
almarhum, ia masih menganggap dirinya sebagai menteri,
sebagai hamba, maka heranlah ia akan Bu Yang, yang
putusannya demikian tegas, Ia merasakan hatinya tergetar.
"Jikalau begitu," katanya, menanya, "Ciu Goan Cianmg
memanggil kau, kau juga tidak akan pergi, bukankah?"
Bu Yang menjawab dengan temberang sekali;
"Aku menjadi tuan atas diriku sendiri, aku pergi dan aku
datang dengan merdeka,. . aku pergi, putusannya ada padaku,
aku tidak pergi, putusannya ada pada aku juga! Perlu apa kau
mencampurinya tahu?"
"Kalau begitu bagaimana dengan semua sahabat2 lama kita"
Kau masih memandang mereka atau tidak?" Thian Tok
menanya pula. In Buyang mementang kedua matanya, mata itu bersinar
tajam. "Apakah yang dibicarakan Poo Cu pada kau?" dia balik
menanya. "Katanya kau telah bertemu dengan Lo Kim Hong!"
"Memang!" kata pula Bu Yang dengan kejumawaannya,
"Siapa aku senang melihatnya, aku menemuinya! Dan malam
ini tidak senang aku melihat kau!"
Thian Tok menyeringai, "Karena saudara jemu terhadapku,
baiklah, aku minta diri!" katanya.
"Eh, tunggu dulu!" Bu Yang mencegah, suaranya tetap
dingin, "Kau tidak menghendaki lagi gambar ini?"
Thian Tok telah mengangkat dadanya, dan segera ia
berbalik pikir, Maka menyahutlah ia dengan suaranya yang
pasti; "Dulu hari itu Sri Baginda almarhum telah menyerahkan
gambar ini padaku, karena sekarang saudara sudah merdekakan
diri, kau mau berbuat apa yang kau suka, hingga telah putus
hubunganmu dengan kerajaan Ciu, baik juga gambar ini
diserahkan padaku, untuk selanjutnya nanti kuserahkan kepada
junjungan yang muda itu, Inilah memang baik sekali!"
Bu Yang melirik kesamping.
"Poo Cu, mari gambar itu kau serahkan padaku," katanya
perlahan, Suaranya tenang akan tetapi sinar matanya berapi,
dengan sendirinya Nyonya In menggigil.
"Bu Yang," katanya, "kau. . . ."
"Bukankah kau hendak menyerahkan gambar itu padanya?"
Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya suami itu dingin, Ia menunjuk kepada Thian Tok, "Tapi
gambar ini waktu dulu akulah yang mengambilnya dengan
tanganku sendiri, maka sekarang sudah seharusnya aku
mengembalikannya dengan tanganku sendiri juga," Ia
menggeraki tangannya, menyambar gambar itu dari tangan
isterinya, "Hm!" kembali suaranya yang dingin dan
menyeramkan, Terus ia memandang Thian Tok dan berkata
dengan keras; "Kau ambillah! Pheng Hweeshio telah mati, maka kau, Cio
Thian Tok, kaulah sekarang orang kosen yang nomor satu!
Dengan berani tengah malam buta kau datang kemari, mustahil
kau tidak punya nyali untuk mengambil ini?"
Thian Tok mementang lebar kedua matanya, tetapi ia masih
dapat mengendalikan diri.
"Saudara Bu Yang," katanya sabar, "Apakah maksudmu
dengan kata2mu ini" Bukankah kita adalah sahabat2 dari
pulhan tahun" Jikalau kau menghendaki gambar itu, akupun
tidak ingin memaksa mengambilnya."
Bu Yang tertawa terbahak.
"Bagus, kau masih me-nyebut2 tentang persahabatan! Aku
In Bu Yang, aku menerimanya dengan baik, Kau tidak mau
mengambil gambar ini, tapi kau juga tidak mau pergi dari sini!
Hm! harus kau ketahui, rumah ini adalah rumahku! Kau tidak
mau berlalu dari sini, apakah kau anggap aku dapat
dipermainkan?"
Sekarang Thian Tok tak dapat mengendalikan diri lagi.
"Bu Yang, kau bicaralah yang jelas!" bentaknya, "Aku
segera akan beralu! Hm! Kau menghina aku, masih tidak apa,
kau, kau. . ." Ia mau mengatakan "Kau merusak Poo Cu,
bukankah?" tapi kata2 ini tidak sempat dikeluarkan, Bu Yang
tidak menanti orang bicara habis, dengan wajahnya bermuran
durja, dia menuding. . .
"Hari ini kitqa bicara ber-lebih2an!" katanya nyaring,
"Karena kau tidak mau lantas mengangkat kaki, baiklah,
sekarang aku siorang she In mau minta pengajaran kau punya
Tangan Besi dan Pit Sakti!"
Dengan melemparkan gambar ditangannya, Bu Yang lantas
menurunkan pedang Kungo-kiam dari tembok.
"Buyang!" berseru nyonya In, "Kalau dua harimau
berkelahi, salah satu pasti celaka, maka dengan tidak ada sebab
musababnya, perlu apa kalian hendak mengadu jiwa?"
Sang suami mendongak, ia tertawa terbahak.
"Oh, Poo Cu, kiranya kau masih memperhatikan aku?"
katanya, "Seorang lelaki tak mendapat kepercayaan dari
isterinya, dia juga dicurigai sahabatnya, karena itu, apakah
artinya dia masih tinggal hidup didalam dunia ini" Maka ingin
aku terbinasa ditangannya, tetapi aku khawatir, dia tidak dapat
mengalahkan aku! Thian Tok, kau cabut poakoan pit-mu, mari
kita pergi keluar!"
Wajah Nyonya In menjadi sangat pucat, Ia mencelat hatinya
mengingat suami itu yang telah belasan tahun memperlakukan
ia dengan tawar sekali, bahkan sekarang ini ia tidak
diperdulikannya, Ia berdiri menjublak, dadanya dirasakan
sesak, Itulah kedukaan dan kedongkolan yang bercampur
menjadi satu, Ia merasakan hatinya diam, seluruh tubuhnya
lemas, Maka tak dapat membuka mulutnya.
Segera terdengar tertawa lebar dari Thian Yok;
"Aku tahu kau telah berhasil meyakinkan kitab silat Tat Mo
Kiamsut," katanya tawar, "karena itu kau sangat mendesak
untuk dicoba padaku, baiklah, aku siorang she Cio terpaksa
suka menemani kau!"
Cio Thian Tok seorang ksatria dijaman itu, apabila ia tetap
mengalah, akan merusak reputasinya, apalagi In Bu Yang telah
membuatnya tak dapat mengelak lagi!
Sang rembulan sudah turun kearah barat, jam sudah
menunjukkan lima pagi, Kedua orang itu, dengan sama2
bungkam, berjalan keluar, Cepat sekali terdengar suara 'Sret!'
dan In Bu Yang telah menghunus pedangnya, yang sinarnya
berkelebat seperti halilintar.
"Thian Tok, bukan keinginanku yang sebenarya untuk
mencari menang sendiri," kata Bu Yang dengan perlahan,
"karena dalam hal ilmu silat tangan kosong kau lebih unggul
dari pada aku, aku terpaksa mesti menggunakan senjata tajam,
Pedang ini adalah sebilah pedang mustika, yang dapat menabas
kutung emas atau kumala, maka kau ber-hati2lah!"
"Terima kasih untuk petunjukmu ini," berkata Thian Tok,
"Tetamu tidak mendahulukan tuan rumah, maka kau mulailah!"
In Bu Yang meletakkan tangan kirinya diatas pedangnya,
lalu ia berseru panjang, menyusul mana pedang Kungo-kiam
bergerak keatas, dalam jurus 'Bintang sapu mengejar
rembulan', hingga tiga kali sinarnya berkelebatan, Ia telah
menikam saling susul, dikiri kejalan darah pekhay-hiat,
dikanan kejalan darah lengkiu-hiat, dan ditengah kejalan darah
soanki-hiat, Ia tidak dapat menjalankan satu serangan seperti
Cit Siu Toojin yang dapat menuju ketujuh arah, tetapi ini tiga,
tidak kalah hebatnya karena sukar diduga arahnya yang tepat,
Didalam hatinya, Thian Tok terperanjat!
"Benar2 Tat Mo Kiamsut yang lihay," pikirnya, Ia lantas
menutup dirinya, Maka 'Traang!'
terdengarlah satu suara nyaring, dari bentroknya dua senjata,
Ia tidak memakai tangan kosong tapi dengan poankoan pit,
senjatanya yang menyerupai alat tulis itu, Ia menangkis dengan
maksud menempel pedang lawannya, Hebat serangan si lawan,
walaupun serangan itu tidak tepat sasarannya, toh ia merasakan
telapak tangannya sakit, Hampir saja pit-nya itu terlepas dari
cekalannya, Hal ini menambah keinsafannya akan lihay-nya
lawan ini. Dengan gerakan yang sangat cepat, Bu Yang menarik
pedangnya, untuk membebaskan diri dari tempelan senjata
lawan, lalu dengan sama gesitnya juga, ia membabat kearah
pinggang, Itulah jurus 'Ikat pinggang kumala melibat
pinggang'. Thian Tok menangkis dengan cepat, bahkan kali ini ia
menangkis seraya terus membalas menyerang, Dan ia
menyerang tiga kali saling susul.
Hebat desirannya kedua senjata, ber-kilau2 pedang mustika
itu, hingga membuat suramnya cahaya bintang dan rembulan.
Nyonya In menonton pertempuran itu sambil menyenderkan
tubuh dijendela, Ia sangat berduka, Yang satu adalah suaminya,
yang lain adalah sahabat karib semenjak masih kanak2,
Sekarang mereka itu mengadu jiwa, pada waktu itu ia terlibat,
jikalau ia maju tidak memihak, ia akan seperti menyiram
minyak kepada api yang tengah berkobar, ia malah akan
tambah merusak, Tapi jikalau ia berdiam saja, ia merasa akan
sangat menderita, Makin ia berdiam, makin ia rasakan hatinya
sakit, Hingga seperti kosonglah otaknya, tak tahu bagaimana
harus berbuat, Ia diam menyender, tubuhnya bagaikan
sepotong tonggak, hatinya bagaikan abu, dan akhirnya, ia
merapatkan kedua matanya, membiarkan mereka itu bagaikan
naga menggempur harimau.
Kembali terdengar bentrokan hebat, mau tidak mau Nyonya
In membuka kembali juga matanya, Nyata Bu Yang, dengan
jurus 'Naga sakti masuk kelaut', sudah memaksa Thian Tok
menangkis pula serangannya yang sangat dahsyat, Poankoanpit
terbuat dari besi pilihan dan pemiliknya pun lihay, tetapi
bentrokan itu membuat juga cacat ditiga tempat.
Tidak mengherankan Nyonya In menjadi terkejut sekali,
juga Hian Ki dari tempat persembunyiannya, dia hampir
napasnya putus, Dalam kengerian itu, ia pun merasa sangat
menyayangkan, menyayangkan kedua jago itu, andaikata salah
satu mesti roboh, Bukankah mereka sama2 tersohornya" Cio
Thian Tok sudah sekian lama, dan In Bu Yang baru saja"
Hanya sayangnya lagi bagi pemuda ini, ia cuma bisa
mendengar, ia tidak bisa melihat, sebab tidak berani ia keluar
dari tempat persembunyiannya itu, Ia hanya 'melihat' dari suara
bentrokan senjata saja. . . .
Nyonya In sebenarnya tidak ingin menyaksikan lagi, tapi
tanpa sadar, ia mengikuti terus setiap gerakan pedang dari
suaminya, sejurus demi sejurus, hingga tak terasa tiga puluh
jurus telah berlalu, hingga sekarang tampak tubuh Thian Tok
seperti terkurung sinar pedang mustika itu.
Dalam khawatirnya itu, Poo Cu pun merasa heran dan
kagum, Cuma ia yang mengenal baik kepandaiannya kedua
orang itu, Ia kagum untuk lihaynya sang suami, dan ia heran
kenapa Thian Tok dapat terkurung hanya dalam tiga puluh
jurus itu. Lagi2 terdengar suara 'Traaang!' ber-ulang2, Lagi2
poankoan-pit Thian Tok kena dipapas bercacat.
"Cio Thian Tok" katanya, "ketika kau mulai, kau tidak bersungguh2,
tetapi sekarang tahulah kau begaimana ilmu
pedangku ini! Apakah kau kira aku In Bu Yang sudi mengalah
padamu" Mari maju lagi, kau berlakulah hati2!"
Bu Yang menantang sambil terus menyerang, pertama
pedangnya diputar bundar, lalu ia menikam.
Dua orang ini adalah sahabat dan kawan-seperjuangan, bersama2
mereka mengabdi pada satu junjungan, ber-sama2
mereka menghadapi musuh, pernah mereka ber-sama2
menderita, persahabatan mereka bagaikan saudara kandung, Ini
juga sebabnya mengapa, walaupun ia sangat jemu terhadap In
Bu Yang, Thian Tok tidak lantas berkelahi dengan sungguh2,
Tapi kelemahan hatinya itu mendatangkan kerugian untuk
dirinya, Nyata ilmu pedang Bu Yang lihay luar biasa dan ia
kena didesak, Insaflah ia sekarang, tidak dapat ia main2 lagi,
tak dapat ia mundur pula, se-konyong2 ia menyambar dengan
tangan kiri yang kosong, terus itu disusul dengan pit-nya,
bahkan terus-menerus sebanyak enam kali, ujung senjatanya itu
mencari 36 jalan darah lawan, Maka pertempuran menjadi
hebat luar biasa.
Hian Ki cuma mendengar, ia tidak dapat melihat, tentu saja
sama sekali ia tak tahu, apa yang terkandung dalam hati Bu
Yang. Nyonya In, yang mengenal kedua pihak, menghela napas
panjang, Ia mengerti pada Thian Tok yang sudah mencoba
untuk mengalah, Itulah menandakan bahwa siorang she Cio
tidak melupakan persahabatan mereka, Dipihak lain, Bu Yang
berkeinginan membinasakan sahabatnya ini, Dengan cara
berkelahinya itu, Bu Yang juga hendak mempertunjukkan
kepandaiannya pada isterinya itu, Hanya karena kelicikannya ia
memperlambat serangannya sementara, untuk memperlihatkan
kebaikkan hatinya. . . .
Yang hebat bagi Thian Tok, bukan saja pit-nya bercacat,
bahkan ujungnya pun kena dibabat kutung, Maka poankoan-pit
tidak lagi menjadi Sin Pit (poankoan-pit Sakti). . .
Tapi Bu Yang gagal untuk membodohi isterinya, Nyonya In
dapat melihat isi perutnya. . .
Setelah merasa lebih unggul, Bu Yang menjadi besar hati, Ia
percaya tidaklah sukar untuk mengalahkan Thian Tok, Tapi
Thian Tok adalah jago tua, ia beda daripada dua puluh tahun
yang lalu, maka itu bagaimana pun ia didesak, ia tetap dapat
bertahan. Sang Rembulan telah turun semakin rendah, gelanggang
pertempuran itu menjadi semakin guram, untuk kemudian
diganti sinar sang fajar, Selama itu, seratus jurus telah berlalu,
tetap mereka sama tangguhnya.
"Sacaplakciu Thiankong Cianghoat benar2 lihay!" In Bu
Yang memuji sambil berseru panjang, suaranya nyaring, "Tapi
untuk berharap!"
Sacaplakciu Thiankong Cianghoat itu ialah ilmu silat
Thiankong Ciang yang terdiri dari 36 jurus, yang merupakan
ilmu silat istimewa dari Cio Thian Tok, Dengan suaranya itu,
Bu Yang memuji berbareng mengejek, Setelah itu, ia mencoba
untuk mendesak pula, Kali ini ia mengubah gerakannya,
Tampaknya pedangnya menjadi ayal, tetapi sebenarnya setiap
serangannya bertambah berat, Dengan begitu agaknya Thian
Tok cuma dapat bertahan saja.
Pertarunganberlanjut terus, makin lama bertambah dahsyat,
Hebat! beberapa pohon didekat mereka cabang2nya telah
terbabat pedang, daunnya rontok berserakan, hingga pohon itu
menjadi gundul.
Nyonya In menyedot napas dingin.
"Itulah pohon bwee yang paling disayangi Bu Yang,
sekarang ia membabatnya dengan pedangnya, pikirnya,
"Rusaknya pohon itu menandakan pada hatinya sudah timbul
napsu membunuh."
Tentu saja nyonya In menjadi semakin gelisah, sebab untuk
mencegah, ia tak berdaya, Lagi dua puluh jurus telah berlalu,
Thian Tok masih belum menggunakan tiga jurus simpanannya.
Bu Yang terkejut ketika satu kali ia diserang, karena ia
berkelit, serangan itu meminta mangsa patahnya sebuah cabang
besar disampingnya, Ia lantas teringat; "Dia bersahabat erat
dengan Pheng Hweesio, khabarnya paderi itu telah mengajari
dia ilmu Hiankong- Yauwkoat, inilah rupanya ilmu itu, Nyata
dia tak lebih lemah dari Pheng Hweesio. . ."
Selagi Bu Yang berpikir, justeru serangannya Thian Tok
datang pula, Ia menangkis dengan pedangnya, tetapi pedang itu
kena tersapu mental.
Itulah serangan yang kedua dari Thian Tok, yang segera
disusul dengan yang ketiga, Serangan yang pertama dahsyat,
yang kedua lebih dahsyat pula, tetapi yang ketiga ini aneh,
hingga Bu Yang tercenggang, Beda daripada yang dua tadi,
kali ini tidak ada suara anginnya, Dalam kagetnya, Bu Yang
memberatkan tubuhnya dengan pasangan Ciankin twie, Toh
ketika serangan datang, tubuhnya terputar, kakinya limbung,
tanpa terasa lagi, ia roboh terguling.
Nyonya In kaget, hingga ia menjerit, akan tetapi belum lagi
suaranya berhenti, tubuh Bu Yang telah bergerak, memutar
beberapa kali, dan dilain saat dia melompat bangun seraya
pedangnya menyontek keatas, bahkan anehnya ia terus bisa
menyerang hingga tujuh kali, maka punahlah ancaman dari
Thian Tok. Sekarang terlihat cara berkelahi yang aneh dari Bu Yang,
Tubuhnya berputar dan terhuyung, seperti orang lagi mabok
yang sinting, pedangnya menikam ke berbagai arah, seperti
tidak beraturan, tetapi dimata isterinya, itu mendatangkan
keheranan dan kekaguman, Baru pertama kali ini isterinya itu
melihat suaminya jadi demikian lihay.
Segera juga Thian Tok terdesak mundur, tetapi baik
tindakan kakinya, maupun gerakan tangannya, tidak jadi kalut,
Maka itu, ia dapat bertahan hingga lebih dua puluh jurus lagi.
Bu Yang menginsafi lawannya mahir tenaga dalamnya, ia
Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayani dibagian ini, Ia mau membuat lawannya itu
kehabisan tenaga, Kelihatannya ia berhasil, desakannya telah
mengurangi tekanan dari Thian Tok.
Beberapa jurus kemudian, mendadak pundak Thian Tok
kena tikaman, dilain pihak, kepalan Thian Tok pun mengenai
sasarannya, hingga terdengar satu suara yang nyaring.
Nyonya In terkejut, Ia tahu, suaminya terhajar terlebih
parah, Tapi, ketika kedua orang itu betempur lebih jauh, lalu
terlihat perbedaannya, Gerakan pedang menjadi terlebih
kendor, sedang gerakan tangan Thian Tok menjadi terlebih
ayal lagi. Hati Nyonya In menjadi ciut, Sekarang ia menjadi ingat
akan isterinya Thian Tok, Ia ketahui nyonya Thian Tok tak
pernah mendapat cinta suaminya, Maka kalau Thian Tok
terbinasa, janda itu akan hidup sunyi dan menderita bersama
anaknya yang piatu. . . Siapa yang akan mendidik anak itu,
karena ibinya tidak mengerti ilmu silat"
Sampai disini, Nyonya In lantas berpikir untuk datang
melerai, Tapi ia terlambat. .
Bu Yang menyerang dengan hebat, Thian Tok menangkis,
Tepat kedua senjata beradu, cepat poankoan-pit terbabat bagian
tengahnya dan putus kutung!
"Bu Yang!" teriak si isteri.
Tapi pedang Bu Yang sudah berkelebat, tubuh Thian Tok
lantas roboh, ketika ia dapat berdiri, tubuhnya itu berlumuran
darah, Sebab pedangnya orang she In itu telah melukai delapan
belas lubang, Ia ter-huyung2.
"Saudara Bu Yang," ia berkata seraya menyeringai, "mulai
saat ini, kaulah yang ilmu silatnya nomor satu dikolong langit
ini, tidak akan ada yang dapat menandingi lagi, Saudara, aku
beri selamat padamu!"
Habis berkata, kembali jago itu roboh, Bu Yang mengawasi,
tetapi mendadak ia menjadi sangat kaget, Sebab pada pundak
Thian Tok yang bajunya robek itu, ia melihat kulit yang hitam.
"Ah, ah, kau terkena kuku beracun dari Pouw Kian!. . ."
jeritnya, Baru sekarang ia ketahui, Thian Tok menjadi lemah
karena bekerjanya racun dari tangan Pouw Kian itu, racun
tersebut dapat ditahan oleh Thian Tok untuk sementara waktu,
tetapi karena dia harus bertarung mati2an, racun itu tak dapat
ditahan lebih lama lagi, maka ditambah dengan luka2 pedang,
habislah tenaganya.
Dua kali lagi Bu Yang memanggil nama sahabatnya itu,
Thian Tok tetap tidak menjawab, maka itu, ia menjadi berdiri
menjublak dengan pedang ditangan, Ia merasa segala apa
menjadi sunyi. . . . .
VI. AYAH, IBU, ANAK - KEKASIH
Sisa sinar dari bintang2 terlah sirna, sebaliknya sang embun
mendemakkan baju, selain itu, pekarangan rumah sunyi
senyap, sebab keadaan disekitarnya seperti membeku, Adalah
dalam kesunyian seperti itu, mendadak terdengar tangisan
sedu-sedan, bagaikan jarum yang lancip tajam menusuk udara
yang kosong itu.
In Bu Yang segera juga berpaling, maka terlihat olehnya
bahwa isterinya, dengan membawa gulungan gambar, setindak
demi setindak, berjalan keluar dari pintu model rembulan disisi
pohon bwee, Isterinya itu tak berpaling sedikitpun juga kepada
suaminya itu. Dengan sendirinya, hati Bu Yang bergetar, bagaikan
semangatnya meninggalkan raga kasarnya, ber-ulang2 ia
menyebut "Poo Cu" akan tetapi suaranya tak terdengar,
panggilan itu tak pernah keluar dari mulutnya.
Nyonya In berjalan lewat disisinya mayat Cio Thian Tok.
"Thian Tok, kau legakan hatimu," katanya, perlahan tetapi
tegas, "Gambar ini pasti aku akan antar kerumah kau, Akupun
akan memperlakukan anakmu seperti aku merawati So So."
Agaknya si nyonya kuatir akan membuat kaget jago tua itu.
In Bu Yang meresakan hatinya seperti di-tusuk2 jarum, ia
kehilangan akal budinya, disaat ia mengangkat kepalanya,
bayangan punggung isterinya itu sudah menghilang dari
pandangan matanya.
Lama, lama sekali, barulah Bu Yang dapat mengeluarkan
suaranya, Itulah suara dari kedukaan yang sangat, dari hati
yang dalam, putus asa, Ia lantas merasakan takut, lebih takut
daripada kepergian isterinya barusan, Ia baru menggeraki
kakinya, lantas disitu muncullah puterinya yang muda belia,
Tak tahu ia kapan anak itu datang, tahu2 si nona sudah tengah
menyender disebuah pohon bwee, sinar matanya juga
mengandung sinar kekhawatiran, sinar ketakutan, Kelihatannya
anak dara ini seperti tak lagi mengenali ayahnya itu.
"So So!" akhirnya Bu Yang memanggil, Ia telah berhasil
menguasai dirinya, dan dapat membuka mulutnya itu.
Sinar matanya sianak melintas kepada wajahnya sang ayah
itu, kembali ia tampaknya seperti dapat melihat sesuatu yang
membuatnya sangat takut, bahkan ia mundur tiga tindak!
"Semua2nya aku telah mendengarnya!" katanya tajam,
bagaikan teriakan, "Semua2nya aku telah mengetahuinya!
Jangan mendekat padaku!"
Tubah In Bu Yang bergidik, bergemetar, Tiba2 ia menarik
napas panjang, Ia lantas saja memperdengarkan nyanyian yang
seperti orang menangis;
"Mengingat langit dan bumi yang demikian samar,
siapakah yang mengenal aku"
Mengingat akan hari ajal siksatria,
menangpun apanya yang harus dibuat girang"
Dan kalau kalah,
apanya yang harus dibuat berduka"
Beginilah kehidupan yang gampang menghilang,
Burung hong terbang, burung loan melayang,
maka itu siapakah yang nanti mengikuti aku?"
Dengan diimbangi tindakan kaki, suara itu makin lama
makin jauh terdengarnya, Terluka hatinya So So, air matanya
bercucuran deras.
"Ayah! Ayah!" ia memanggil tanpa merasa, Tapi ayahnya
itu sudah tak lagi mendengarnya, Nona itu menyender pula
pada pohon bwee, ia menangis ter-sedu2, sampai kemudian ada
tangan yang halus dan hangat, dengan perlahan sekali
membelai rambut kepalanya, Lalu disusul dengan satu suara
yang sabar dan lembut;
"So So, So So, jangan menangis. . . ."
Si nona mengangkat kepalanya, Tiba-tiba;
"Hian Ki!" panggilnya, Dan air matanya turun semakin
deras. Hian Ki tak dapat mengatakan berkata apa2, ia
mengeluarkan sapu tangan suteranya, denan per-lahan2 ia
menghapus air mata si nona.
Tak lama kemudian, sambil menangis segugukan, So So
berkata; "Oh ayah! Ayah yang menyebalkan, ayah yang harus
dikasihani! Hian Ki, kau tak tahu, semenjak masih kecil aku
telah memandangnya ayah sebagai satu2nya ksatria dikolong
langit ini, yang tak ada keduanya!. . . ."
"Memang juga sekarang ini tidak ada orang yang dapat
menandingi ayahmu," Hian Ki membenarkan.
"Benar, mulai hari ini, ayahlah yang ilmu silatnya nomor
satu paling lihay!" membenarkan juga sinona, "akan tetapi
patung yang aku punya didalam hatiku sudah hancur lebur, dia
bukan lagi seorang ksatria yang aku junjung! Dia sudah
mencuri kitab pedang kakekku, dia telah memaksa ibuku
mengangkat kaki, dia membunuh sahabat2nya, dia telah
mengurung Siangkoan Thian Ya, bahkan dia tak segan
membantu komandan Kimi-wi itu untuk membekuk
rekan2nya! Semua itu aku ketahui sekarang!"
"Dia mengurung Siangkoan Thian Ya?" tanya Hian Ki
heran, "Ah, dimanakah Siangkoan Thian Ya sekarang?"
"Tadi malam aku telah bertemu dengan Siangkoan Thian
Ya," menyahut Sinona, "Banyak hal yang dia telah
menceritakan kepadaku, Didalam dua hari ini, aku telah pula
mendengar sesuatu hal, Aku percaya Siangkoan Thian Ya tidak
membohongi aku, Ya, ayahku memanglah siorang busuk!"
Hian Ki merangkul nona itu, ia menatap matanya, dimana
air mata mengembang, siar matanya sayup-sayup, menandakan
hatinya terluka.
Memang, didalam dunia ini ada urusan pribadi, Apakah
yang dapat melebihi putus asanya seorang anak terhadap ayah
atau ibunya"
"Kau legakan hatimu," Hian Ki menghibur, Tanpa merasa ia
mencium pipi orang.
"Mungkin semua ini bukanlah kesalahan ayahmu seorang,"
katanya pula, So So mengawasi;
"Bukankah kau hendak membunuh dia?" ia menanya.
Sipemuda menghela napas;
"Inilah urusan yang sangat ruwet, benar salahnya, sekarang
ini sulit untuk dijelaskan," ia menyahut, Ia mendongak, melihat
sinar matahari sudah tiba didalam pekarangan, Ia melepaskan
kedua tangan sinona, yang ia pegangi, lalu ia berbangkit untuk
berdiri. "Ibuku sudah pergi, ayahku sudah pergi, apakah kau juga
hendak pergi?" menanya So So, mengawasi.
"Ah," Hian Ki seperti mengeluh, "jikalau kau
memerintahkan aku pergi, akan aku pergi.."
Sinona menangis pula;
"Baiklah, kau pergilah. . . ."katanya.
Pemuda itu melengak;
"So So, benar2kah kau menghendaki aku pergi?" ia
menegasi. "Aku tidak menghendaki kau pergi, tetapi aku juga tidak
sudi orang jemu terhadapku," jawab sinona.
Hian Ki heran; "Apakah maksudmu?" ia menanya pula.
"Aku tahu dihatimu sudah ada seorang lain, ialah nona yang
kau paling menyintainya..."
Mendengar itu, Hian Ki tertawa;
"Didalam dunia ini dimana ada lain nona yang lebih manis
dari pada kau?" katanya, "Rupa2nya kau mendengar hal ini
dari Thian Ya."
"Apa dan perlunya Thian Ya mendustai aku?"
Hian Ki tertawa pula;
"Nona itu justeru adalah nona yang paling manis dimatanya
Thian Ya sendiri! Dan nona yang diukir didalam hatiku adalah
kau!" So So mengawasi, sinar matanya penuh dengan kesangsian;
"Benarkah itu?" menegasinya dengan perkahan.
"Siangkoan Thian Ya menyintai nona itu, melebihi ia
menyintai dirinya sendiri," Hian Ki berkata pula, "Tetapi dia
menyangka bahwa cinta nona itu dengan cintaku adalah
perjodohan yang paling manis dan cocok, Sebenarnya, sama
sekali aku tidak berpikir demikian, Berulang kali telah aku
menjelaskan kepadanya, tetap ia tak mau mempercayainya, So
So, apakah kau juga tidak percaya padaku?"
Mata sinona bersinar terang;
"Pantas Siangkoan Thian Ya juga telah mencaci aku,"
katanya, "kiranya dia khawatir aku nanti akan merusak
perjodohan kamu,"
"Baiklah, segala apa sudah terang sekarang!" kata Hian Ki,
"Mari kita pergi kepada Thian Ya, untuk membebaskan
dirinya." "Tidak, dia tidak mau dirinya dibebaskan!"
"Apa" Dia tidak mau pergi?"
"Benar! Tadi malam dia bilang padaku, sekalipun ayahku
yang melepaskan dia pergi, dia masih tak mau pergi!"
Hian Ki menjadi heran sekali;
"Kenapa dibebaskan tetapi dia masih tidak mau pergi,
Tabiatnya benar2 aneh!"
"Aku justeru menyukai tabiat orang semacam dia!" kata So
So, yang terus menunduk, "Ah, Hian Ki, dapatkah kau juga
bertabiat seperti dia itu?"
Hian Ki bertambah heran;
"Kau menghendaki tabiatku seperti tabiat dia?" katanya,
Tiba2 datang sinar terang didalam hatinya, maka lekas ia
menambahkan perkataannya, menambahkan dengan halus;
"Bisa, aku juga bisa bertabiat seperti dia terhadap nona itu, aku
menyintai kau melebihi aku menyintai diriku sendiri! Jikalau
tidak, tidak nanti tadi malam aku mencuri datang kemari!"
So So girang bercampur jengah, hingga ia menjerit "Ah!"
tanpa terasa, menyusul mana ia dipeluk pula oleh sipemuda.
"So So, aku minta kau antar aku kepada SiangKoan Thian
Ya," ia minta.
Sinona merapikan pakaiannya, terus ia pegang tangan sianak
muda, untuk ditarik, dituntun melintasi pintu belakang, Mereka
jalan disebuah jalan kecil yang banyak tikungannya, hingga
tidak lama kemudian tibalah mereka dimuka sebuah goa, yang
kedua pintunya besar dan tebal, tertutup rapat.
"Goa ini dibuat dan diperlengkapi ayahku untuk berlatih
silat," So So menerangkan, "Aku sendiri baru tadi malam untuk
pertama kalinya memasukinya secara diam2, Siangkoan Thian
Ya dikurung didalam goa ini."
Nona ini bertindak hingga tepat didepan goa.
"Coba kau putar gelang pintu itu," ia berkata pada Hian Ki
yang mendampinginya, "Kau putar kekiri tiga kali, lalu
kekanan tiga kali juga, nanti pintu terbuka sendirinya."
Hian Ki lantas bekerja menuruti petunjuk nona itu, Hanya
ketika tangannya menyentuh daun pintu, ia merasakan sesuatu
yang aneh, ia lantas mendorong dengan perlahan, lalu
terjadilah hal aneh, Kedua daun pintu itu roboh menjublak,
roboh hancur menjadi banyak potongan kecil2, mirip dengan
dempur. So So heran, hingga ia mengeluarkan jeritan tertahan;
"Eh!, mengapa begini?" katanya.
Daun pintu itu terbuat dari semacam pohon kayu yang
terdapat digunung Holan-san itu, kayu yang kuat, dibuatnya
pun tebal, dalam keadaan biasa, untuk mendobraknya dengan
golok atau kampak pun akan meminta tenaga dan tempo yang
lama, siapa tahu sekarang didorong perlahan saja sudah rubuh,
Ketika tadi malam So So datang kesitu, pintunya masih kokoh
dan kuat, Bagaikan tak percaya akan diri sendiri, sinona
menatap sipemuda, Ia mendapatkan orang heran berbareng tak
tenang hatinya.
"Mari," kata sinona, Ia mengajak sianak muda menyentuh
daun pintu yang hancur itu, mereka hanya menggunakan
sedikit tenaga, potongan2 kecil itu lantas menjadi abu.
Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inilah akibat satu serangan tenaga dalam," kata Hian Ki
kemudian, "Rupanya orang itu sengaja hendak
mempertontonkan kepandaiannya yang mahir itu, lihaynya
ialah dia merusak bagian dalam, bagian luarnya pintu tampak
wajar saja."
"Benar, inilah akibat serangan tenaga dalam," si nona
membenarkan, "Hanya sekarang ini siapakah yang tenaga
dalamnya begini sempurna?"
Hian Ki tidak menjawab, ia hanya berpikir, Kalau Cio Thian
Tok masih hidup, ia mau menduga jago she Cio itu, tetapi
menurut pembicaraan Thian Tok dan Nyonya In kemarin, dia
cuma memikirkan usahanya untuk junjungannya yang muda,
dia tidak mengenal Siangkoan Thian Ya, Maka pengrusakan
pintu itu pasti bukan perbuatannya Thian Tok Itu, Habis ,
siapakah" "Hian Ki, kau memikirkan apa?" menanya si nona melihat
orang menjublak.
"So So," Hian Ki tidak menjawab, hanya balik bertanya,
"Tadi malam jam berapa kau datang kesini?"
"Kira-kira dekat jam empat," menyahut si nona.
"Ah, itu waktu dia dengan Thian Tok sedang bertempur. . ."
katanya seorang diri.
"Eh, kau memikir bagaimana?" tanya So So, "Mengapa kau
me-nyebut2 ayahku" Mungkinkah ayah yang merusak kamar
berlatihnya sendiri" jikalau ayah mau melepaskan orang,
tidakkah dapat ia membuka saja pintunya?"
"Memang benar, Inilah yang menjadi anehnya!"
Si nona pun berpikir keras, Pintu bukan dirusak Thian Tok,
Kalau begitu, masih ada seorang lain yang dapat menandingi
kelihayan ayahnya, Siapakah dia itu" Apakah dia berbuat
demikian untuk menantang kepada ayahnya.
"Mari kita masuk akan kita lihat kedalam," Hian Ki
mengajak, "Entah bagaimana dengan Thian Ya. . . .Thian Ya!
Thian Ya! Hian Ki me-manggil2.
"Saudara Siangkoan, bagaimana dengan kau?" Tidak ada
jawaban dari dalam goa, dan tak terdengar suara apapun juga.
Hian Ki gelisah, cemas hatinya, Ia menduga Thian Ya
tengah terluka parah, Maka ia berlari masuk, Tiba didalam, ia
berdiri melengak, goa itu kosong, Dengan pintu besarnya
runtuh, cahaya matahari dapat masuk kedalam dan segala apa
tampak jelas, Siangkoan Thian Ya tidak ada disitu.
So So menjadi terlebih heran dari pada sianak muda, Ia
bahkan kaget. "Dia yang mengatakannya sendiri, kalau bukan dia yang
menerjangnya, tidak nanti dia sudi berlalu dari goa ini?"
katanya seorang diri, "Siapa pun yang memintanya, dia bakal
menolak, Dia rela mengubur diri digunung belukar tetapi dia
tidak sudi menerima belas kasihan siapa juga! Tapi sekarang?"
Hian Ki berpikir, tetapi matanya memandang kesekitar goa,
Ditembok itu terdapat banyak lukisan mengenai ilmu silat
pedang, tegas terlukis berbagai bentuk gerak, Ia
memperhatikannya, tetapi tidak mudah untuk ia segera dapat
mengerti. "So So," kemudian ia bertanya pula pada si nona;
"Bagaimana caranya kau bertemu Siangkoan Thian Ya dan
apakah katanya?"
Si nona tidak lantas menjawab, Ia hanya berkata;
"Aku hidup digunung ini semenjak dari kecil, kecuali
dengan ayah dan ibuku, sangat jarang aku bertemu dengan
orang lain, Ada kalanya aku turun gunung untuk berburu, tapi
belum pernah aku melintas lebih jauh daripada lima li dari
sekitar sini, Hanya tak tahulah aku, sejak hari itu aku melihat
kau untuk pertama kali, lantas aku mendapat perasaan, bahwa
kau mirip orang yang terdekat denganku. . . ."
"Inilah aneh, Kenapa perasaan kita serupa" Ketika hari itu
aku tersadar, begitu melihat kau, aku lantas merasa kaulah
adikku dengan siapa aku belum pernah bertemu."
Kedua belah pipi si nona menjadi bersemu merah dadu.
"Ketika tadi malam aku memberi makan kuda putihmu, aku
lantas teringat kau, " katanya perlahan, "maka itu aku lantas
lari keatas gunung dimana aku menabuh khim, Apakah kau
mendengar itu?"
"Aku justeru kena ditarik oleh suara khim dan nyanyianmu
Hikmah Pedang Hijau 10 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Pukulan Si Kuda Binal 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama