Ceritasilat Novel Online

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 17

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 17


Suheng kami, mohon tanya siapakah nama tuan yang
terhormat?"
Segera Pho Jing-cu memperkenalkan namanya. Ketiga
orang itu terkejut semua, mereka menjadi heran pula
mengapa tabib sakti Pho Jing-cu, seorang jagoan terkemuka
dari suatu aliran silat tersendiri, bisa minum arak bersama
dengan pembesar bangsawan Boanciu"
"Dan dia adalah anak murid tak langsung Hui-bing Siansu,"
kata Jing-cu pula sambil menuding Ie Lan-cu. "Ia pun
terhitung anak angkat pahlawan wanita Hui-ang-kin, maka ia
memperoleh juga ajaran ilmu pedang tunggal Pek-hoat Mo-li."
"O, pantas ihnu pedangnya begitu lihai," puji Imam tua itu.
"Sayang aku tiada kesempatan berkenalan dengan Hui-bing
Siansu, tapi kini bisa menyaksikan ilmu pedang ciptaannya,
boleh dikata banyak menambah pengalamanku juga."
Kiranya ketiga orang ini datang dari Ohpak. Imam tua itu
bergelar Hian-cin, ialah anak murid Wi-yap Tojin, paman guru
Toh It-hang, dan kini menjabat Ciangbun (ketua) Bu-tong-pay,
sedang wanita cantik setengah umur itu bernama Ho Lok-hua,
ialah anak perempuan paman guru Toh It-hang yang lain pada
waktu belum menjadi Imam, yaitu Pek-ciok Tojin. Dan laki-laki
brewok itu adalah suaminya. Tapi karena. Ho Lok-hua pintar
bersolek, maka meski sudah setengah umur, tapi gayanya
masih cantik menarik.
Beberapa puluh tahun yang lalu Toh It-hang adalah ketua
Bu-tong-pay, umurnya selisih tidak banyak dengan para
paman gurunya, tapi jauh lebih tua daripada adik seperguruan
yang lain. Dan sejak It-hang meninggalkan kedudukan sebagai
ketua Bu-tong-pay dan tirakat ke Thian-san, anak murid Butong
masih mengharapkan ia kembali. Lebih 20 tahun lalu
ketika Njo Hun-cong masih di Sinkiang, pernah seorang diri Ho
Lok-hua mencari Toh It-hang ke Thian-san dan sebab itu
makin menambah salah paham antara Toh It-hang dengan
Pek-hoat Mo-li.
Dan sesudah It-hang lama wafat, baru kabar itu didengar
anak murid Bu-tong-pay. Belakangan dapat didengar pula
kabar yang tersiar oleh Lamma dari Tibet bahwa ilmu rahasia
Tat-mo yang menghilang selama ini telah muncul kembali di
jagad ini. Ilmu silat Tat-mo itu adalah ilmu kepandaian pusaka
Bu-tong-pay mereka yang menghilang sekian lamanya, siapa
saja asal anak murid Bu-tong semua mendapat pesan untuk
ikut menemukannya kembali.
Sebab itulah ketua Bu-tong-pay sekarang, Hian-cin,
membawa sendiri Sute dan Sumoaynya ini jauh-jauh datang
ke Tibet untuk menyelidiki kebenaran berita itu, dan bila
sudah terang jejaknya, kemudian mereka bermaksud naik ke
Thian-san untuk memindahkan tulang Toh It-hang kembali ke
Bu-tong-san. Tak terduga tidak lama mereka masuk Tibet, kebetulan
sekali pasukan Boan secara besar-besaran menyerbu datang
juga hingga istana Potala diduduki In Te sebagai markas
besar. Dan karena tidak tahu kalau tapal batas sudah
terkurung rapat, maka dengan lesu mereka hendak pulang ke
selatan lagi, dan secara kebetulan di tengah jalan mereka
melihat Kui Tiong-bing lagi bermain pedang.
Terhadap Tat-mo-kiam-hoat meski mereka tak paham, tapi
dari perguruan mereka yang turun temurun ada lima-enam
gerak tipu dari ilmu pedang itu dapat mereka kenali, pula
dilihatnya Nilan Yong-yo bersama beberapa jago pengawal
berada di situ juga, maka tanpa bertanya lagi segera mereka
turun tangan melabrak orang. Di lain pihak Hian-cin memang
sengaja juga hendak menjajal betapa hebat Tat-mo-kiam-hoat
itu. Kini setelah Hian-cin mendengar nama Pho Jing-cu yang
dikenalnya sebagai seorang tokoh terkemuka yang tidak nanti
omong kosong, meski mengenai kedudukan Nilan Yong-yo tak
diterangkannya, tapi dengan melindunginya begitu sungguhsungguh,
diam-diam Hian-cin berpikir pasti ada alasannya
maka ia pun tak enak buat mengusut lebih jauh.
Mengetahui ketiga orang itu hendak pergi ke Thian-san,
dengan tersenyum Nilan Yong-yo berkata, "Di tapal batas sana
penuh dijaga tentara, meski Kiam-hoat Totiang (tuan Imam)
tinggi, mungkin susah juga hingga menembusinya!"
"Sekalipun darah kami bertiga harus membasahi gurun
pasir, tapi paling sedikit masih bisa membunuh juga berpuluh
atau beratus anjing asing," sahut Hian-cin gusar dengan mata
melotot. Tentu saja Thio Sing-pin dan kawan-kawan berubah hebat
wajah mereka, tapi Nilan Yong-yo malah menganggap sepi
caci-maki orang, tetap dengan tertawa ia berkata lagi, "Dan
kedua pihak sama-sama rugi, buat apa dilakukan" Jika Totiang
tidak menolak, biarlah kembali kami membawa serta kalian
melewati garis penjagaan. Kalian mengaku sebagai Imam
pengembara, mungkin takkan terjadi apa-apa."
Sementara itu diam-diam Pho Jing-cu membisiki Hian-cin
juga, "Ini adalah sahabat baik kita, kukira ada lebih baik kau
terima maksud baiknya saja."
Mendengar Jing-cu mengaku sahabat pada seorang asing
yang menjadi musuh bangsa Hian-cin terkejut dan heran luar
biasa. Tapi bila dilihatnya sikap Yong-yo yang ganteng
bersemangat, sifatnya lain dari yang lain, tanpa terasa
perasaan antipati Hian-cin menjadi banyak berkurang. Lalu ia
pun tidak banyak bicara lagi.
Dan ketika Pho Jing-cu hendak memberi salam perpisahan,
tiba-tiba Hian-cin menunjuk Tiong-bing dan berkata, "Engko
cilik ini biarkan sementara tinggal saja."
"Apa kau bilang" Berdasar apa kau menahan aku?" sahut
Tiong-bing menjadi gusar.
Tapi cepat Boh Wan-lian telah membisiki pemuda itu,
"Jangan sembrono, ketahuilah mereka adalah paman
gurumu!" Karena itu Tiong-bing tertegun dan serba salah. Dan
barulah ia teringat setelah dirinya mempelajari ilmu silat Tatmo
itu, otomatis dia sudah menjadi anak murid Bu-tong. Maka
terpaksa ia lantas maju dansoja sambil memanggil, "Susiok!"
"Eli, apa kau murid penutup Toh It-hang?" tanya Hian-cm
heran. "Bukan," sahut Tiong-bing menggeleng kepala. Tapi segera
ia pun merasa tidak tepat jawabannya itu, maka kembali ia
mengangguk dan berkata pula, "Tapi boleh juga dikata betul!"
"Mengapa bisa begitu?" kata Hian-cin mengkerut kening. Dari
samping segera Ci-pang menyela, "Ia adalah murid Tohtayhiap
yang aku wakilkan menerimanya menurut pesan Sin
Liong-cu sebelum ajalnya."
"Dan kau ini siapa, apa kau pun anak murid golongan
kami?" tanya Hian-ijin sambil memelototi Ci-pang. Namun Cipang
menggeleng kepala. Dan melihat percakapan mereka
yang simpang-siur tak jelas itu, lekas Wan-lian maju ke tengah
buat menerangkan dan sesudah susah payah akhirnya duduk
perkaranya baru bisa dijelaskan seluruhnya.
Tentu saja Hian-cin menjadi kurang senang. Golongan Butong
mereka selamanya suka membeda-bedakan derajat, tak
terduga hari ini baru saja bertemu dua Susiok sudah
mengeroyok seorang murid keponakan dan ternyata masih tak
bisa menang, bahkan sikap Tiong-bing sama sekali tidak
menghormati mereka sebagai orang tua, seakan tidak rela
mengaku mereka sebagai Susiok.
Tapi karena sungkan mengumbar dongkolnya itu di
hadapan Pho Jing-cu dan kawan-kawan, kemudian Hian-cin
bertanya lagi, "Dan kini apa kau ada urusan penting lainnya?"
"Tentu saja, kalau tidak untuk apalagi jauh-jauh datang ke
Tibet ini dengan menghadapi segala bahaya?" sahut Tiongbing
tertawa. Keruan wajah Hian-cin makin bersungut oleh sahutan orang
yang kasar itu, katanya pula, "Bila begitu aku memberi
tempo sebulan padamu, sehabis urusanmu selesai, segera kau
harus datang ke puncak Onta di Thian-san untuk
memindahkan tulang jenazah gurumu ke tanah air!"
Seketika Tiong-bing bingung tak bisa menjawab oleh
pelintah itu. Namun dengan menarik muka, Hian-cin buka suara lagi,
"Meski aku tak cakap, namun sedikitnya Ciangbun dari Butongpay, kau adalah anak murid golongan kita, kau harus
tahu segala aturannya."
Lekas Pho Jing-cu menyela juga menjelaskan, "Ia masih
terlalu hijau plonco, wataknya lurus dan usianya masih muda,
Totiang adalah angkatan lebih tua, hendaklah jangan
menyesalkan dia. Baiklah, nanti bila sudah tiba waktunya pasti
kusuruh dia ke Thian-san menuruti pesan Totiang tadi."
Karena itu, baru Tiong-bing menjawab dengan ketololan,
"Ya, Susiok tak perlu sungkan, kini tidak sempat, biarlah kelak
kau suka memberi petunjuk lebih banyak."
Mendongkol sekali Hian-cin, ia menjengek sekali dan tak
menjawab, habis itu ia lantas memberi salam perpisahan
kepada Pho Jing-cu.
Dalam pada itu Nilan Yong-yo harus berpisah juga dengan
Boh Wan-lian, rasanya sangat berat sekali, cuma di hadapan
orang banyak tak berani ia mengunjuk perasaannya itu dan
ditahan sedapat mungkin, ia menjadi duka dan getir tak
terhingga. Waktu ia memutar kuda kembali ke jalan semula,
sepanjang jalan wajahnya muram terus, sudah tentu Thio
Sing-pin dan kawan-kawan tak berani bertanya, tapi Ho LokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hua meski wanita, namun wataknya bebas dan suka bergurau,
maka segera ia menggoda Nilan Yong-yo. "He, orang muda,
apa yang menyebabkan kau murung?" demikian tegurnya.
Tapi Yong-yo tidak menjawab, sebaliknya air matanya terus
berlinang, lalu dari atas kudanya ia malah bersyair yang penuh
mengandung perasaan terpendam.
Di antara semua orang itu Ho Lok-hua agak mengenal syair
dan paham sajak, ketika mendengar lagu syair Yong-yo itu,
seketika ia terkejut. "Eh, apakah kau inilah penyair bangsa
Boan yang bernama Nilan Yong-yo itu?" tanyanya segera.
"Hm, kiranya kau juga kenal nama Kongcu kami?" sela Thio
Sing-pin menjengek dari samping.
Hian-cin menjadi gusar melihat sikap orang. "Di antara
bangsamu yang berdosa itu hanya dia ini saja yang masih
dapat dikatakan arang baik. Tapi kau masuk hitungan apa?"
demikian dampratnya. Berbareng ia terus menyikut hingga
Thio Sing-pin disodok jatuh dari kuda.
Keruan jago pengawal lainnya menjadi gusar, segera
mereka hendak melabrak, baiknya Nilan Yong-yo dan Ho Lokhua
sama-sama mencegah.
Setelah rombongan Nilan Yong-yo itu sampai di tempat
kedudukan pasukan Boan semula prajurit penjaga garis depan
segera melaporkan ke belakang. Kemudian Yong-yo berkata
juga pada Hian-cin, "Kini dapatlah kalian pergi saja."
Dan tidak lama sesudah Hian-cin bertiga pergi ke
jurusannya sendiri, dari markas besar pasukan Boan sudah
dikirim barisan gerak cepat untuk menyongsong kembalinya
Nilan Yong-yo. Tapi empat jago pengawal yang mengiring
Nilan Yong-yo rupanya masih penasaran, mereka saling
memberi tanda lalu mengajak lagi 5-6 kawan lain terus
menyemplak kuda dengan cepat menuju ke selatan.
Sing-pin tahu jago pengawal itu tentu marah terhadap
Imam tua yang kasar itu dan kepergiannya ini tentu akan
menghajar adat mereka maka ia pun tinggal diam, bahkan
mengalingi di hadapan Nilan Yong-yo bila bertanya.
Sementara itu Hian-cin dan kawan-kawan sudah melarikan
kuda mereka sejauh belasan li, dan sudah keluar garis
pengepungan tentara Boan itu. Ketika tiba-tiba mereka
mendengar dari belakang ada suara derapan kuda yang riuh
diseling suara kele-ningan. Mereka menoleh dan tertampak
ada belasan penunggang kuda bagai terbang sedang
menyusul datang.
Hian-cin tertawa dingin melihat musuh memburu, pedang
mereka pun segera dilolos.
"Imam jahat berhenti dulu!" bentak jago pengawal yang
menjadi pemimpin itu.
Namun tiba-tiba Hian-cin menjawab orang dengan sekali
tusukan membalik ke belakang. Dan karena jitu serta cepat,
tanpa menduga jago pengawal itu terluka lengannya.
Segera pula para jagoan pengawal itu merubung maju dan
mengepung Hian-cin bertiga di tengah. Meski jago pengawal
inipun terhitung jago kelas tinggi dari kerajaan, namun mana
bisa mereka melawan Hian-cin dan kawan-kawan, hanya
sejenak saja sudah ada tiga kawan mereka tertusuk jatuh dari
kuda dan selebihnya lekas mengeprak kudanya lari tungganglanggang. Cepat Ho Lok-hua mengejar dan berhasil pula
menggulingkan dua orang musuh, sekarang tinggal lima orang
yang masih melarikan kudanya secepat terbang.
Melihat musuh sudah ngacir, senang luar biasa Hian-cin, ia
bergelak tertawa sambil mengelus jenggotnya. "Biarkan
mereka lari!" demikian katanya.
Siapa tahu, belum lenyap suaranya mendadak kelima jago
pengawal itu terjungkal dari kuda mereka. Keruan saja Hiancin
terkejut. Sementara itu dilihatnya dari balik semak-semak
batu sana telah muncul seorang gadis berbaju merah dan
seorang pelajar berwajah putih.
Tiba-tiba gadis itu tertawa terkikik-kikik. "Ha, Toya (tuan
Imam) ini bagus amat ilmu pedangnya cuma sayang masih
kurang keji."
Tentu saja Hian-cin kurang senang dicela. "Jika begitu,
tentunya nona adalah seorang ahli bukan?" demikian sahurnya
dingin. Tetapi gadis itu tertawa tidak menjawab, hanya ditunjuknya
beberapa jago pengawal yang sudah menggeletak itu dan
kemudian baru berkata, "Aku telah membantu kalian
membasmi semua musuh ini, dan belum lagi kalian
mengucapkan terima kasih padaku, sebaliknya lantas hendak
menguji soal ilmu pedangku?"
Sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan, tentu saja
Hian-cin tak bisa menelan mentah-mentah rasa mendongkol
itu, ketika pedangnya diangkat, dengan suara lantang segera
ia menjawab, "Ya memang Kiam-hoat kami tak berguna
hingga musuh berhasil lolos, sungguh sangat memalukan.
Tapi berkat petunjuk nona tadi, aku imam tua ini menjadi tak


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu diri dan ingin mencoba berkenalan beberapa jurus
dengan nona."
Mendengar orang menantang, si pemuda pelajar cakap itu
telah memandang gadis baju merah itu dengan sikap ragu.
"Tak perlu kau urus, tonton saja keramaian ini," kata gadis
itu tiba-tiba tertawa. Habis itu pedangnya menuding ke depan
terus menjawab. Hian-cin, "Baiklah, cuma maafkan Siaupwe
yang kurang sopan."
"Seranglah!" sahut Hian-cin sambil bersiap. Dalam hati
Hian-cin menaksir meski gadis itu tadi sekaligus bisa
merobohkan kelima jago pengawal dengan senjata rahasia
dan ia merasa terkejut juga, tapi mengandalkan keuletan
latihannya selama puluhan tahun, apalagi seorang ketua suatu
aliran silat yang terkemuka, sesungguhnya ia tidak pandang
berat atas diri si gadis itu. Maka kini tujuannya ialah hendak
menjajal orang sekalian memberi hajaran pada 'angkatan
muda' ini. Nyata ia tidak tahu bahwa gadis itu sebaliknya juga
bertujuan hendak menjajalnya. Kiranya sepasang muda mudi
ini bukan lain daripada Li Jiak-sim dan Bu Ging-yao.
Ketika Pho Jing-cu dan kawan-kawan berangkat dari
padang rumput Garsin, waktu Hui-ang-kin menerima kabar itu,
ia menjadi kuatir sekali. Dasar Ging-yao suka bergerak, segera
ia minta perkenan kakak-gurunya itu buat pergi ke Sinkiang
juga bersama Li Jiak-sim.
Li Jiak-sim sudah banyak berpengalaman di kalangan
Kangouw, pula orangnya berbakat ilmu militer, ditambah lagi
didampingi Bu Ging-yao yang sangat hafal seluk-beluk daerah
perbatasan itu, maka sepanjang jalan mereka berdua tidak
pernah terjadi apa-apa. Malahan kadang Li Jiak-sim sekalian
menyelidiki keadaan setempat yang dilalui dan memperhatikan
cara tentara Boan mengatur diri dan diam-diam ia melukiskan
peta biru bagi keperluan militer kelak.
Begitulah kedua muda-mudi itu melanjutkan perjalanan
panjang dan cukup makan waktu itu, namun cinta asmara
mereka pun kian hari kian bertambah.
Hari itu ketika hampir mereka melintasi perbatasan, dari
jauh Jiak-sim melihat asap mengepul tebal, suara kuda perang
meringkik ramai, tiba-tiba ia terkejut. "Ah, di perbatasan ini
pasti ditutup rapat oleh pasukan besar, lalu bagaimana
baiknya?" demikian katanya.
"Padang rumput begini luas, belum tentu setiap tempat ada
pasukan penjaganya," ujar Ging-yao.
Setala! Jiak-sim berpikir sejenak, lalu mereka memandang
dari atas suatu tanah tinggi, tapi tiba-tiba dilihat mereka ada
belasan jagoan tentara Boan sedang mengejar Imam tua.
Siapakah gerangan Imam tua itu" Beraninya ia menerobos
lewat tapal batas ini?" demikian Jiak-sim merasa heran.
Bila mereka menegas pula, nyata di samping itu masih ada
seorang wanita cantik setengah umur dan seorang laki-laki
bre-wok bersama Imam tua tadi sedang melawan belasan
musuh itu. Tentu saja mereka"bertamban heran.
"Aku tahu asal-usul ketiga orang ini." kata Ging-yao
kemudian sesudah memandang sejenak.
"Ya, ketiga orang ini semuanya tokoh kelas tinggi dari Bulim
(dunia persilatan)," sahut Jiak-sim.
"Bahkan angkatan tua juga dari Bu-tong-pay," sambung
Ging-yao tertawa. "Coba biar aku membantu mereka sedikit,
habis itu nanti aku menggoda mereka juga."
"Ah, kau selalu nakal," ujar Jiak-sim.
Namun Ging-yao hanya tertawa tak menjawab lagi.
Padahal sekali ini bukannya Ging-yao sengaja berlaku
nakal. Sesudah tiga tahun gadis ini berguru pada Pek-hoat
Mo-li, sedikit banyak sudah diketahuinya pula tentang sukaduka
masa muda sang guru dengan Toh It-hang dan orang
Bu-tong-pay lainnya. Karena itu Ging-yao ikut penasaran bagi
gurunya, ia pikir Suhu dan Toh-tayhiap sebenarnya adalah
pasangan yang sangat sesuai, tapi paman-paman gurunya
justru tampil ke muka merintangi dan macam-macam lagi
hingga percintaan itu gagal dan gurunya selama beberapa
tahun ini harus hidup sunyi di pegunungan dengan batin
tersiksa. Oleh sebab itu, kalau orang lain merasa tabiat Pekhoat
Mo-li terlalu aneh dan menyendiri, adalah sebaliknya
hanya Bu Ging-yao serta kakak-seperguruannya, Hui-ang-kin,
yang paham perasaan sang guru.
Begitulah, maka sesudah Ging-yao dan Jiak-sim
menyaksikan sejenak lagi pertarungan itu, kemudian Jiak-sim
berkata pula, "Ilmu pedang Bu-tong-pay nyata memang lihai."
"Cukup gesit dan tangkas, tapi soal kekejian masih jauh
dari cukup," ujar Ging-yao tertawa.
Betul saja, sampai akhirnya ada lima jago pengawal itu
berhasil lolos. Dan dengan tertawa Ging-yao telah
menghamburkan jarum saktinya merobohkan kelima buronan
itu. Kembali tadi, oleh karena pancingan Bu Ging-yao hingga
Hian-cin naik darah dan menyilakan si gadis membuka
serangan. Segera Ging-yao menerima baik tanpa sungkan.
Tiba-tiba bahu kirinya bergerak, Hian-cin menyangka si gadis
hendak menyerang dulu ke dada kanannya maka cepat ia
sedikit mengegos sambil mengayun pedangnya hendak
menangkis dulu.
Tak ia duga gerak tubuh Ging-yao tadi hanya pura-pura
saja bahu kirinya bergerak, tapi serangan tidak lantas
dilontarkan sebaliknya pedang Hian-cin yang sudah telanjur
ditangkiskan itu mendadak disampuknya dengan membentak,
"Pergi!" Berbareng itu dengan gerak tipu 'Pek-ho-liang-ih' atau
bangau putih pentang sayap, cepat ia memotong ke bawah
sekalian hendak mengarah urat nadi pergelangan tangan
lawan. Ilmu pedang ciptaan Pek-hoat Mo-li nyata keji luar biasa,
lebih-lebih tipu serangan Ging-yao ini sangat membahayakan,
hanya dalam sekejap saja sama sekali Hian-cin tak menduga
anak dara ini bisa melontarkan serangan begitu ganas,
baiknya ia sudah cukup makan asam-garam, tepat pada
waktunya ia sempat menarik tangannya ke pinggir, tubuh
membungkuk terus menggeser ke samping, dengan demikian
barulah ia mampu menghindarkan senjata si gadis yang lihai
itu. Namun sekali tak kena sinar pedang si gadis yang
gemerlapan dengan cepat sudah menusuk pula.
Tapi Hian-cin tidak menjadi bingung, ia pasang kuda-kuda
dengan kuat dan pedangnya diputar rapat menjaga seluruh
tubuhnya dimana ujung pedang si gadis sampai, di situlah
lantas terasa suatu kekuatan besar yang membentur kembali.
Maka tahulah Ging-yao, orang terlalu ulet dan sudah
melindungi diri dengan ilmu pedang yang maha tinggi, ia pikir
harus melontarkan serangan terlebih cepat dan jangan
memberi kesempatan berganti napas pada musuh. Maka
beruntun kembali ia menusuk pula beberapa kali ke depan dan
ke belakang, tiba-tiba dari kiri, tahu-tahu dari kanan pula
kesemuanya tipu serangan yang membahayakan.
Dalam keadaan demikian, asal sedikit Hian-cin meleng
maka tanpa ampun lagi darahnya pasti akan menyirami pasir
kering. Melihat pertarungan seru ini, suami-isteri Ho Lok-hua ikut
berdebar, sebaliknya Bu Ging-yao diam-diam mengeluh juga.
Kiranya meski Kiam-hoat si gadis sangat keji, tapi soal
keuletan harus diakui Hian-cin terlebih kuat. Kalau sampai
lama tak bisa merobohkan orang, akhirnya ia kuatir bisa kalah
malah terhadap Imam tua ini.
Begitulah, maka yang satu terus merangsek dan yang lain
tetap bertahan dan detik-detik berbahaya selalu
menggetarkan orang.
Melihat setiap serangan Bu Ging-yao semakin cepat dan
bertambah kencang daripada serangan lainnya meski tahu
juga tidak sampai Hian-cin bisa kalah, namun tidak urung Ho
Lok-hua berdua yang menonton di samping diam-diam kuatir.
Sementara itu Hian-cin sendiri sudah dapat melihat asalusul
ilmu pedang Bu Ging-yao, ia menjadi sangat gusar.
Pikirnya, "Hm, kiranya kau adalah anak murid Pek-hoat Mo-li,
pantas kau sengaja hendak menguji aku!" Karena itu, demi
nama besar golongan Bu-tong-pay mereka, ia menjadi gemas
tidak bisa sekali hantam mengalahkan si gadis.
Tetapi ilmu pedang tunggal ciptaan Pek-hoat Mo-li itu
benar-benar keji luar biasa, betapapun Hian-cin tak berani
berlaku sembrono. Maka sesudah beberapa puluh jurus lagi,
masih tetap ia tak bisa lebih unggul.
Hian-cin menaksir meski kepandaiannya lebih ulet daripada
si gadis, kalau berlangsung lama tentu akan di atas angin,
namun pihak lawan menang dalam hal usia lebih muda
semangat menyala-nyala dan tenaga kuat, untuk menentukan
unggul atau asor entah harus menunggu sampai kapan"
Padahal pasukan Boan hanya berada belasan li jauhnya bila
konangan dan mengejar datang, bukankah itu berarti kedua
pihak bakal celaka" Maka dalam hati diam-diam ia pun
mengeluh. Di sebelah sana suami-isteri Ho Lok-hua berpikir begitu
juga. Tapi Hian-cin adalah Suheng mereka merangkap ketua,
kalau sedang berada di bawah angin lalu kedua pihak dicegah
buat berhenti bertempur, tentu buat pamor sang Suheng akan
kuTiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tang baik, pula nama baik Bu-tong-pay mereka akan
tercemar. Ketika mereka ragu, sementara pertarungan kedua orang
itu semakin sengit, tiba-tiba Ging-yao meloncat ke samping,
menyusul dengan tipu serangan 'Ngo-eng-bok-tho' atau elang
mencengkeram kelinci, dari samping pedangnya cepat
menikam ke perut musuh.
Tapi latihan puluhan tahun Hian-cin tidak percuma,
mendadak ia pun menggunakan tipu berbahaya, ketika
senjatanya dia angkat dan orangnya menggeser ke samping,
tampaknya seperti menghindari serangan, tak terduga
mendadak malah terus maju balas menyerang, cepat
pedangnya menyabet ke bawah sambil membentak, "Awas
kaki!" Tak terduga ilmu pedang si gadis sangat cepat lagi keji,
belum sempat serangan Hian-cin itu dilontarkan, tahu-tahu
sinar tajam pedang Ging-yao sudah menyambar tiba ke
lengannya, kalau Hian-cin membentak, "Awas kaki!"
sebaliknya ia memperingatkan, "Awas tangan!"
Dan pada saat itulah segera terdengar suara gemerincing
yang nyaring, pedang kedua orang tahu-tahu mencelat
terbang ke angkasa.
Kiranya serangan Hian-cin tadi telah menggunakan seluruh
tenaganya, tapi tipu tusukan Ging-yao yang cepat bisa tiba
lebih dulu, dalam keadaan begitu kalau Hian-cin tidak menarik
tangan, pasti pergelangan tangannya akan tertabas.
Siapa duga saking gusarnya Hian-cin menjadi nekad,
mendadak pedangnya ia goncangkan keras menimpuk ke atas
dengan kecepatan bagai anak panah. Ketika Ging-yao coba
menangkis, nyata tenaga yang terlalu besar itu tak dapat
ditahannya hingga senjatanya ikut tergetar terbang, dibarengi
letikan api kedua pedang itu mencelat ke angkasa untuk
kemudian jatuh semua ke tanah rumput.
Serang-menyerang terjadi secepat kilat, tapi Ho Lok-hua
dan Li Jiak-sim berbarengpun melompat ke tengah, Lok-hua
menarik Hian-cin sambil berteriak, "Berhenti, Suheng!" Begitu
pula Jiak-sim menahan Ging-yao sambil mencegah, "Tahan
dulu, Ging-moay!"
Karena itu, dengan napas yang masih tersengal Hian-cin
memelototi Ging-yao tanpa buka suara.
"Sudahlah, kalian berdua sama kuatnya, tak perlu
bertanding lagi," demikian kata Lok-hua dan Jiak-sim bersama.
Segera Hian-cin menjemput pedangnya kembali, dan selagi
Jiak-sim hendak menyuruh Bu Ging-yao meminta maaf,
namun Hian-cin sudah mencemplak ke atas kudanya sambil
berkata, "Sungguh hebat, aku betul-betul kagum. Baiklah
sebulan kemudian kita bertemu lagi di puncak Onta
pegunungan Thian-san saja?"
Habis itu, tanpa menunggu jawaban si gadis, ketika kedua
kakinya mengempit kencang, segera kudanya berlari pergi.
Setelah menyatakan maaf, segera suami-isteri Ho Lok-hua
berdua pun mengeprak kuda menyusul sang Suheng.
"Ha, si hidung kerbau (kata olok-olok bagi Imam) sungguh
sombong," kata Ging-yao tertawa sesudah mengambil kembali
juga pedangnya. Lalu ia pun menceritakan sebab-sebabnya ia
menjajal orang tadi.
"Ya, meski orang Bu-tong-pay telah membikin menyesal
gurumu, tapi kau pun keterlaluan!" ujar Jiak-sim tertawa juga.
Dan bila kemudian pandangannya tertarik pada mayat jago
pengawal yang menggeletak di tanah itu, tiba-tiba ia
mendapatkan akal. "Ah, sekarang kita ada jalan buat
menembusi garis penjagaan musuh," demikian katanya
bertepuk tangan.
Segera ia mencopot pakaian lengkap dua jago bayangkara
yang sudah tak bernyawa itu dan menyuruh Ging-yao
menyamar juga, lalu mereka pun berlari menuju ke tapal
batas. Betul juga dengan menyamar sebagai dua jago
bayangkara, kedua muda-mudi ini dengan selamat dapat
mengelabui prajurit penjaga garis depan dan tanpa berhenti
akhirnya mereka sampai di Lhasa, ibukota Tibet.
Di situ segera mereka berunding cara bagaimana harus
mencari Pho Jing-cu dan kawan-kawan.
Kata Ging-yao, "Ayahku mempunyai hubungan sangat rapat
dengan saudara-saudara Thian-te-hwe di daerah barat-laut ini,
istilah dan kode-kode rahasia yang biasa mereka gunakan aku
pun tahu. Empat tahun yang lalu aku bersama ayah pernah
datang ke Sinkiang bersama pemimpin Thian-te-we seperti
Njo It-wi, Hoa Ci-san dan sebagainya, ada sebagian anggota
Thian-te-hwe mereka yang disebar masuk ke Tibet, aku
menduga mereka pasti berada di kota Lhasa ini, dan tentu ada
cabang mereka di sini. Kota Lhasa tidak begitu besar, asal kita
sering keluar masuk kedai arak dan rumah makan, besar
kemungkinan akan bertemu dengan mereka. Seumpamanya
tak bisa bertemu, asal kita meninggalkan kode rahasia,
rasanya mereka pasti akan datang mencari kita."
Dan pada suatu hari, mereka berdua mendatangi sebuah


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

restoran yang paling besar di Lhasa untuk makan-minum.
Tatkala itu waktu tengah lohor, tamu penuh sesak, baiknya
mereka bisa mendapatkan sebuah meja di tempat bagus,
mereka minta sepoci arak 'Tiok-yap-jing' yang terkenal dan
asyik minum sambil pasang omong.
"Mari kita coba berlomba minum, maukah?" ajak Ging-yao
tiba-tiba timbul hasratnya.
Soal minum arak Li Jiak-sim boleh dikata 'jago minum',
sudah tentu ia tidak mau kalah. Tapi dengan tertawa ia
menjawab, "Ah, kita ada tugas, jika kau mabuk lalu
bagaimana?"
Namun Ging-yao tidak mau mengalah, dengan mulut menjengkit
ia menjawab pelahan, "Darimana kau tahu aku bakal
mabuk?" Mendengar itu, Jiak-sim menduga pasti si gadis akan
memamerkan Lwekangnya, maka dengan pelahan ia
membisikinya lagi, "Di sini terlalu banyak orang, jangan kau
sembrono main pamer."
"Jangan kau kuatir, aku tanggung tidak sampai diketahui
orang lain," sahut Ging-yao.
Tentang ilmu pedang Ging-yao yang hebat Jiak-sim sudah
menyaksikannya, karena itu sesungguhnya ia pun ingin tahu
betapa tinggi Lwekang si gadis. Dan karena melihat Ging-yao
terus mendesak, lalu ia pun berkata, "Baiklah, tapi kita harus
pakai taruhan."
"Taruhan apa?" tanya si gadis.
"Begini, siapa yang kalah, maka dia harus berjanji untuk
menurut sepatah kata pihak yang menang," kata Jiak-sim.
"Baik, akur!" sahut Ging-yao cepat.
Habis fy, secawan demi secawan mereka pun mulai minum
sepuasnyaK Tidak lama kemudian, isi poci arak tadi berturut-turut
sudah ditambah 4-5 kali, pelahan Li Jiak-sim tak tahan lagi
akan pengaruh alkohol itu. Ketika ia memandang Bu Ging-yao,
ternyata kepala anak dara itu mengepulkan hawa panas,
keringatnya berbutir-butir bagai hujan, maka tahulah ia gadis
itu sedang menggunakan Lwekang yang tinggi untuk
mendesak keluar arak yang sudah diminumnya itu.
Daerah perbatasan suhu dingin sekali, maka rakyat
penggembala di barat laut itu suka minum arak buat obat
penahan dingin, maka kekuatan minum mereka jauh lebih
kuat daripada peminum arak daerah pedalaman umumnya.
Dan waktu itu di restoran itu juga tidak sedikit orang yang
sedang minum besar, maka Jiak-sim pun tidak banyak
menaruh perhatian. Tapi Ging-yao adalah wanita yang
menyamar sebagai lelaki, ia kuatir gadis ini terlalu banyak
minum hingga kelihatan sifat kewanitaannya, hal ini akan
membikin orang curiga.
Dan karena ia sendiri sudah delapan bagian terpengaruh air
kata-kata itu, maka dengan suara rendah ia coba membisiki si
gadis, "Sudahlah, aku mengaku kalah saja."
Keruan saja senang luar biasa Ging-yao, matanya
mengerling bening dan dengan tertawa baru ia berkata,
"Baiklah, boleh kau selesaikan rekening minum kita dan
pulang. Dan nanti kau harus turut sepatah kata omonganku."
Tapi ketika Li Jiak-sim hendak memanggil pelayan buat
membayar, tiba-tiba dilihatnya di meja sebelah ada seorang
dengan sinar mata tajam tak berkedip lagi mengawasi mereka.
"Celaka!" kata Jiak-sim diam-diam. Lekas ia membereskan
rekening minum itu dan keluar dari restoran.
Waktu kemudian ia coba menoleh, dilihatnya orang tadi
juga sedang mengintil di belakang mereka. Karena itu, diamdiam
Jiak-sim memberitahukan hal itu kepada Ging-yao.
"Bagus, biar nanti dia tahu rasa," ujar Ging-yao tak gentar.
"Jangan," cegah Jiak-sim. "Orang ini kalau bukan kawan
tentu adalah lawan. Jangan kau sembarangan turun tangan!"
Lalu mereka berdua memasuki sebuah gang kecil yang
sepi, tiba-tiba. dari depan sebuah gerobak sapi mendalangi.
Karena jalanan sempit, maka mereka harus mengegos tubuh
buat lewat. Tapi baru saja mereka melewati gerobak sapi itu,
orang tadi tahu-tahu sudah berada di belakang mereka dan
pura-pura menghindari tumbukan dengan gerobak itu,
sekonyong-konyong tubuhnya sengaja menubruk ke depan
terus menindih ke punggung Li Jiak-sim.
Tahu akan hal itu, diam-diam Jiak-sim mengumpulkan
tenaga dalamnya dengan mementang kedua tangannya ke
belakang dengan maksud memaksa orang itu melompat
mundur. Tak terduga orang itu terus menggunakan lututnya
menyodok ke depan hingga tekukan lutut Li Jiak-sim linu
pegal, rasanya menjadi lemas dan hampir jatuh mendeprok.
Keruan saja pemuda itu sangat terkejut. Baiknya dengan
cepat Bu Ging-yao membaliki tangan terus menotok hingga
tanpa ampun lagi orang itu terguling. Tapi cepat sekali dengan
gerakan 'Le-hi-pak-ting' atau ikan lele meletik tubuh, orang itu
segera bisa berbangkit lagi.
Segera Ging-yao hendak membentak bertanya, namun orang
itu tiba-tiba menegur, "Apakah kalian kenal Leng Bwehong?"
"Siapa kau?" balas Jiak-sim bertanya.
Tampaknya orang itu menjadi gugup dan tak sabar.
"Jangan kau urus siapa aku," demikian sahurnya. Lalu ia
mendesak lagi, "Aku hanya ingin bertanya apakah kau kawan
Leng Bwe-hong?"
"Ada apa bila benar?" kata Ging-yao.
"Keadaan Leng Bwe-hong sangat berbahaya" tutur orang
itu kemudian. "Dan bila kedatangan kalian ini ialah untuk
menolongnya, maka hendaklah diusahakan selekasnya."
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Jiak-sim curiga.
"Tentu saja tahu," sahut orang itu tertawa. "Akulah orang
yang menjaganya. Kelak bila ia menjalani hukuman, mungkin
pula akulah yang menjadi algojonya. Cuma sungguh tak nanti
aku bisa membunuhnya."
Mendengar itu, wajah Jiak-sim berubah hebat. "Betulkah
kata-katamu ini?" desaknya pula.
"Untuk apa aku mendustaimu?" sahut orang itu.
"Kalau begitu, lekas kau kembali menemui Leng-tayhiap
dan bilang padanya pertemuan kita ini, dan malam nanti kita
bertemu lagi di Se-sian-san," kata Jiak-sim kemudian.
Kiranya orang itu adalah Bu-su atau jago silat bangsa Hwe
yang baru diterima In Te, namanya Be Hong. Bersama Ciu
Jing ditugaskan menjaga Leng Bwe-hong itu, mereka berdua
malah sudah menjadi orang kepercayaan Bwe-hong sekarang,
maka tak pernah mereka lupa untuk berusaha menolong Leng
Bwe-hong dari tawanan musuh. Cuma sayang, karena
orangnya sedikit dan tenaga lemah, maka sebegitu jauh
mereka masih tak berdaya.
Seringkah di malam hari Leng Bwe-hong suka pasang omong
dengan mereka dan menceritakan pengalamannya
maka siapa yang menjadi kawan Bwe-hong, kedua orang
itupun rada paham.
Be Hong sudah banyak berpengalaman mengembara di
Kangouw, ketika hari ini di restoran itu dilihatnya Bu Ging-yao
dan Li Jiak-sim berdua sedang minum besar, diam-diam ia
menjadi heran dan curiga.
Kiranya wajah Li Jiak-sim dan Bu Ging-yao putih halus dan
sikapnya lemah-lembut, terang kelihatan datang dari daerah
pedalaman, tetapi kekuatan minum araknya ternyata tidak di
bawah mereka yang hidup di daerah dingin, inilah yang telah
menimbulkan perhatian Be Hong.
Setelah ia menegasi lagi, roman pemuda yang berdandan
sebagai cendekiawan ini mirip sekali dengan orang yang
pernah dilukiskan dalam cerita Leng Bwe-hong, dan sesudah
ditanya, ternyata tidak salah lagi.
"Mengapa kau tidak berjanji bertemu di tempat penginapan
saja?" tanya Ging-yao pada Li Jiak-sim sesudah Be Hong
pergi. "Perkataan orang ini boleh dipercaya, tapi juga tak boleh
percaya seluruhnya," kata Jiak-sim.
Sambil jalan sambil bicara, sampai akhirnya tiba-tiba Bu
Ging-yao memegang kencang tangan Jiak-sim sambil berkata
dengan tersenyum. "Li-kongcu, tadi kau telah kalah taruhan
miniiTri arak., kini kau harus menurut sesuatu padaku."
"Baiklah aku menurut, katakanlah," ujar Jiak-sim.
"Kau suka tidak terhadap padang rumput di Sinkiang?"
tanya Ging-yao tiba-tiba dengan tertawa dan menundukkan
kepala. 'Tidak datang di Sinkiang, belum bisa mengetahui luasnya
negeri kita," sahut Jiak-sim. "Padang rumput yang luas tak
berbatas, tak jemu-jemunya dalam pandangan mata,
membikin semangat orang bangkit dan perasaan menjadi
lapang, sungguh aku suka sekali."
"Kalau begitu aku ingin kau selama hidup ini tinggal di
padang rumput dan senantiasa mendampingi aku, maukah?"
kata Ging-yao pelahan sambil tangannya meremas tangan Li
Jiak-sim. Hati Jiak-sim tergoncang mendengar permintaan orang,
tapi segera ia pun menjadi girang. "Memang inilah yang
kuharapkan," akhirnya ia berkata dengan suara rendah juga.
Pemuda yang hidup dalam keluarga militer dan sudah lama
memimpin pasukan tentara ini, sedikit sekali ia memikirkan
soal hubungan antara laki-perempuan. Maka sejak berkenalan
dengan Bu Ging-yao, walaupun dua hati sudah saling
mencintai, namun selalu tak berani mengunjuk rasa cintanya
itu. Selama setengah bulan mereka dalam perjalanan, Ging-yao
sebenarnya sudah lama menanti Li Jiak-sim mengutarakan
cintanya, tak tahunya dalam soal ini, Jiak-sim jauh lebih
pemalu daripada kaum wanita, oleh karena itu, di bawah
pengaruh air kata-kata hari ini Bu Ging-yao telah
mengutarakan perasaan hatinya yang selama ini tersekap.
Dengan saling bersandaran, kedua muda-mudi berjalan di
jalan besar yang panjang dan sunyi, Li Jiak-sim merasa bau
harum yang semerbak meresap seakan memabukkan orang,
banyak sekali kata-kata dalam hatinya sampai ia tidak tahu
cara bagaimana harus memulainya.
"Sudah sampai, apa kau masih hendak jalan terus?"
akhirnya Ging-yao yang menegur dengan tertawa, sesudah
mereka jalan pula tak lama dengan bergandengan tangan.
Dan ketika Li Jiak-sim mendongak, maka terlihatlah rumari
penginapan mereka ternyata sudah di depan mata, tak terasa
ia tersenyum. Setelah mereka masuk ke rumah penginapan dan
membuka pintu kamar, sekonyong-konyong terdengar suara
pertanyaan o-rang tertahan dari dalam kamar, "Baru kini
kalian kembali?"
Waktu Jiak-sim memandang, maka tertampak di tempat
tidurnya berduduk seorang tua, ternyata bukan lain daripada
o-rang yang mereka harapkan siang dan malam, Pho Jing-cu
adanya. "Pho-pepek, ayahku mengirim salam selamat padamu,
kenapa diam-diam kau pun datang ke sini!" segera Ging-yao
memanggilnya. "Orang kita telah dapat melihat tanda rahasiamu, dan aku
lantas datang ke sini diam-diam!" Jing-cu menerangkan.
"Pho-pepek telah membawa berapa orang kemari?" tanya
Jiak-sim tiba-tiba.
"Tidak sedikit memang orang yang kita bawa, tetapi
penjagaan di istana Potala kuat sekali, sedang Leng Bwe-hong
belum diketahui pula disekap dimana?" sahut Jing-cu
menghela napas. "Kalau kita menggempurnya dengan berani,
mungkin belum sampai masuk ke dalam, Leng Bwe-hong
sudah kena dibunuh lebih dulu."
"Kalau ada bantuan dari dalam, pasti berhasil," kata Jiaksim.
Sinar mata Pho Jing-cu tiba-tiba menyorot terang, agaknya
ia tersadar. "Ya, apa di dalam pasukan Boan itu, kau
mempunyai kenalan?" tanyanya cepat.
"Kenalan sih tidak ada, tapi sebaliknya sudah ada orang
yang menghubungi kita," sahut Jiak-sim. Lalu ia pun
menceritakan pengalamannya tentang diri Be Hong. Pho Jingcu
terdiam sejenak, ia sedang berpikir. "Kalau begitu tiada
halangannya coba menemuinya," katanya kemudian. "Tetapi
harus berjaga juga jangan sampai terjebak, malam ini biar aku
bersama beberapa saudara yang lain menunggu di Se-sian-san
untuk membantumu bila perlu."
Sesudah berjanji baik-baik tanda rahasia dan waktu yang
ditetapkan, Pho Jing-cu lantas berlalu sendirian.
Kiranya sesudah Pho Jing-cu bersama beberapa ratus
orangnya berhasil menyelundup masuk ke Lhasa, segera
mereka membagi diri dalam beberapa kelompok kecil, Pho
Jing-cu tinggal di rumah seorang penggembala bangsa Kazak.
Waktu Jing-cu sampai di rumah tinggalnya itu dan baru
saja melangkah masuk, ia sudah dipapaki oleh Lauw Yu-hong
dengan muka muram.
"Ci-pang telah pergi tanpa pamit," tutur Yu-hong dengan
suara sedih. "Kemana" Adakah ia meninggalkan surat?" tanya Jing-cu
dengan heran. "Tiada sama sekali," kata Yu-hong pula.
Jing-cu mengkerut kening oleh berita itu, ia berpikir
sejenak, habis itu ia berkata pula, "Ci-pang bukan manusia
yang tamak hidup dan takut mati, kepergiannya ini kukira
tentu ada sebabnya."
Kiranya selama Leng Bwe-hong tertawan, selalu Yu-hong
muram dan tak suka berkata. Beberapa hari ini Han Ci-pang
senantiasa menghiburnya dengan penuh simpatik, ia benarbenar
seorang sahabat baik dalam penderitaan. Sebaliknya
bila teringat akan sikapnya yang dingin selama sepuluh tahun
ini terhadap Ci-pang, diam-diam Yu-hong merasa menyesal, ia
kuatir kalau Han Ci-pang seperti kejadian di Hunkang dulu itu,
telah pergi tanpa pamit.
Nampak Yu-hong bermuka muram tak bergembira, lekas
Pho Jing-cu memberitahu padanya tentang Li Jiak-sim yang
telah dapat menghubungi orang dalam pasukan Boan. Hal
inilah yang membikin Lauw Yu-hong menjadi girang.
Malamnya menurut waktu yang telah ditetapkan, Li Jiaksim
dan Bu Ging-yao sudah menunggu di Se-sian-san. Namun
sesudah menunggu agak lama masih belum tampak batang
hidung Be Hong, sudah tentu mereka sangat curiga.
Sementara itu sudah dekat tengah malam, sedang angin dan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salju turun dengan lebat.
"Lebih baik pulanglah," usul Ging-yao. Tetapi Jiak-sim tidak
menyahut. Tiba-tiba ia bersuara heran dan bila Ging-yao
berpaling, maka terlihat olehnya dari atas gunung itu tiba-tiba
sesosok bayangan hitam berlari cepat menuju mereka.
"Toako, orang ini bukan Be Hong," kata Ging-yao, ia biasa
melatih ilmu menggunakan senjata rahasia Bwe-hoa-ciam,
semacam jarum yang lembut, maka penglihatannya sangat
tajam sekali. Tak lama lagi, orang itu makin lama makin dekat, waktu Li
Jiak-sim menegasi, ternyata orang yang mendatangi ini adalah
seorang pemuda berusia antara dua puluhan tahun, padahal
Be Hong sudah berusia setengah umur atau lebih dari empat
puluh tahun. "Ia hanya seorang diri, coba kau amat-amati dari samping,
biar kutanya dia," pesan Jiak-sim pada Bu Ging-yao.
Sedang mereka bicara, maka orang itupun sudah sampai di
depan mereka dan segera mengucapkan tanda rahasia yang
sudah ditetapkan dengan Be Hong, setelah mana tiba-tiba ia
membuka tangannya lalu berkata, "Ini adalah surat Lengtayhiap
kepada kalian."
Jiak-sim kuatir kalau terjebak, untuk menjaga segala
kemungkinan, maka diam-diam ia menggunakan gerakan
'Kim-na-jiu' atau ilmu cara memegang dan menangkap,
dengan tiga jarinya ia memencet kencang urat nadi tangan
orang, setelah itu baru ia melihat ke tangan orang.
Ia lihat di atas telapak tangan itu tertulis, "Yang datang
adalah sahabat baikku, boleh rundingkan cara-cara untuk
merampas penjara." Tidak salah lagi tulisan itu memang
tulisan Leng Bwe-hong sendiri.
"Aku selamanya belum pernah berjumpa dengan Enghionghokiat (pahlawan dan orang gagah perkasa) dari
kalangan Kangouw, kini aku telah mengenal Leng-tayhiap, dan
dapat berkenalan pula dengan kalian, sungguh hal yang
menggembirakan sekali dalam hidupku ini," dengan tertawa
orang itu mengutarakan perasaannya setelah tangannya
dilepaskan oleh Li Jiak-sim. "Eh, gerakan 'Kim-na-jiu' tadi
bagus sekali, dari cabang manakah gerak tipu itu" Ah, sudah
banyak sekali aku bercerita tapi masih belum memberitahu
padamu, aku bernama Ciu Jing, dengan Be Hong, kami
bersahabat baik sekali."
Melihat sifat erang yang lincah dan menarik, sungguh L i J
iak-sirn. heran mengapa pemuda yang sedikitpun belum
berpengalaman di Kangouw, bisa menjadi bayangkara
kepercayaan di kerajaan*" Nyata ia tidak tahu bahwa Ciu Jing
adalah pengawal yang telah turun temurun.
"Hari ini justru Be-toako berdinas jaga, karena itu aku yang
mewakilinya kemari," terdengar Ciu Jing berkata pula.
Sembari omong sambil ia mengeluarkan selembar peta terr
bikin dari kulit. "Nampak itu, sungguh tidak kepalang girang Li
Jiak-sim. Di atas peta itu ternyata dilukiskan semua jalan dan pintu
di dalam istana Potala yang sangat ruwet itu, tempat dimana
Leng Bwe-hong disekap, malahan diberi tanda bundaran
merah pula. "Inilah yang kami gambar secara diam-diam, beribu jalan
dan pintu di dalam istana yang simpang-siur itu ada sebagian
kami sendiri pun tidak jelas, oleh karena itu peta ini kami
gambar hanya menurut ingatan kami saja,' kata Ciu Jing pula.
"Kalau kalian sudah hafal dan ingat betul, malam lusa, harap
mengirim jagoan ke sana, kami nanti membantu dari dalam."
Dan sehabis Ciu Jing pergi, dengan tertawa berbahak lalu
Pho Jing-cu unjukkan diri dari tempat gelap.
"Leng Bwe-hong sungguh hebat sekali!" katanya sambil
mengacungkan jempolnya. "Sampai musuh yang menjaganya
kena dihasut menjadi sahabatnya."
Pada malam itu juga lantas mereka menentukan siasat
untuk menggempur istana Potala. Besoknya Li Jiak-sim dan Bu
Ging-yao telah pindah dan sekalian tinggal bersama dengan
Pho Jing-cu. Kembali pada Leng Bwe-hong yang dikurung dalam istana
yang agung itu, ia sudah hampir sebulan terkurung, tetapi di
dalam penjara ia pun tidak membuang tempo percuma, ia
pergunakan tiap kesempatan untuk berbicara dengan
pengawal yang menjaganya, ia menceritakan kepada mereka
kejadian dalam Kangouw yang menarik, kadang ia malah
memberi petunjuk ilmu silat kepada mereka.
Di samping itu, pada malam-malam yang terasa panjang
itu, ia selalu menyelami dan memperdalam rahasia ilmu silat
yang lebih tinggi, bukan saja Thian-san-kiam-hoat sudah ia
yakinkan hingga masak betul, bahkan ia menciptakan banyak
gerak serangan baru dan aneh berdasarkan pengalamannya
selama ini. Ia merasa dirinya kini sudah jauh lebih matang
daripada dahulu.
"Meskipun aku sudah tak memiliki jari jempol kanan, tetapi
asal aku tidak mati dalam penjara, aku masih dapat
mengajarkan orang memainkan pedang," begitu pikirnya.
Ia tahan uji oleh segala penderitaan, ia merasa bangga
kepada jiwanya sendiri yang kukuh teguh itu.
Dan akhirnya tibalah pada malam yang telah dijanjikan
dengan Pho Jing-cu. Dalam malam yang gelap gulita,
sekonyong-konyong terdengar suara ledakan yang gemuruh.
Tak lama kemudian tertampak Ciu Jing berlari mendatangi,
ketika ia memberi tanda dengan kedipan mata, menyusul
segera terdengar Leng Bwe-hong menggertak terus meronta
sekuatnya, semua borgol di badannya retak dan hancur
semuanya, bahkan dengan telapak tangannya segera ia
membikin hancur pula meja batu yang berada di dalam kamar
penjara. Beberapa pengawal yang menjaganya menjadi
ternganga kaget oleh kejadian yang mendadak itu. Sementara
itu Ciu Jing pura-pura menjerit ketakutan dikejar oleh Leng
Bwe-hong. Maka tidak antara lama, kedua orang itu sudah
melewati banyak pintu dan jalanan.
Bercerita pula mengenai Pho Jing-cu dan kawan-kawan,
mereka telah menyerbu masuk ke dalam istana Potala dengan
menurut apa yang dilukiskan dalam peta, meskipun tentara
Boan berjumlah banyak, namun musuh yang datang semua
terdiri dari ahli silat kelas tinggi, lagi pula di malam gelap dan
diserbu mendadak, maka tanpa banyak rintangan penjagaan
dibobol Pho Jing-cu dan kawan-kawan hingga masuk tiga lapis
pintu luar. Ketika Lauw Yu-hong sedang berteriak memanggil Leng
Bwe-hong, mendadak tiga pintu lapisan sebelah dalam
terbuka, dengan pedang tergantung di pinggang, Coh Ciaulam
berdiri di tengah sambil tertawa terbahak.
"Hahaha, kalian jauh-jauh sudi datang ke sini, marilah
silakan masuk minum dulu!" demikian teriak Coh Ciau-lam
mengejek. Tak sabar lagi Ie Lan-cu, cepat ia mengenjot tubuh, bagai
burung terbang ia melesat maju dan pedangnya segera
menusuk, namun Ciau-lam sempat menangkis. Habis itu
dengan cepat ia mundur pula masuk ke dalam pintu yang lain,
berbareng Thio Hua-c iau dan Kui Tiong-bing pun memburu
maju. "Hati-hati!" terdengar Pho Jing-cu memperingatkan mereka
tetapi tidak urung ia sendiripun ikut masuk ke dalam bersama
orang banyak. "Pho-lothauji, hayo kita bertanding sekali lagi," tantang
Ciau-lam dari dalam.
Akan tetapi Bu Ging-yao telah mewakilkan menjawab
dengan segenggaman jarum peraknya disertai suara gelak
tertawanya cepat Coh Ciau-lam mengenjot kaki dan tubuhnya
lantas mencelat ke belakang, kembali ia masuk ke pintu yang
lain lagi. "Jangan buru-buru, kita boleh menyerbu masuk menurut
peta, keparat ini pasti tak akan lolos, sementara ini jangan kita
terjebak oleh tipu muslihatnya!" ujar Li Jiak-sim tenang
Dan.belum habis ia berkata, mendadak pintu-pintu di
sekitarnya berputar-putar cepat, setelah mana semua orang
tak bisa membedakan pula jurusan mana yang harus
ditempuh, mereka merasa pintu itu berderet-deret dan
bersusun, tiap tempat seperti dijaga dengan kuat
Li Jiak-sim mengeluh, tetapi segera ia memutar senjata
'Liu-sing-tui' dengan cepat ia menghantam hancur sebuah
daun pintu, menyusul itu dari dalam segera menerjang keluar
belasan jago pengawal secara beramai, tapi sehabis
menempur beberapa jurus, kemudian dengan cepat mereka
berpencar menghilang pula masuk ke dalam lapisan dinding
dari pintu kecil dan melalui jalan lorong yang dibikin mirip
seperti jala laba-laba. Hanya sekejap saja mereka sudah
menghilang tak tampak bayangannya yang terdengar hanya
suara tertawa Coh Ciau-lam yang terkekeh-kekeh.
Kembali lagi pada Leng Bwe-hong, setelah ia pura-pura
mengejar Ciu Jing sampai ruangan besar di tengah, tiba-tiba
keadaan sepi senyap tak tampak barang seorang pun, ia
merasa curiga tiba-tiba pintu-pintu di empat penjuru terbuka
lebar semuanya dan beratus jago pengawal berbareng
menerjang keluar di bawah pimpinan Coh Ciau-lam.
"Coh Ciau-lam, beranikah kau bertempur untuk
menentukan mati-hidup denganku!'?" teriak Bwe-hong
menantang dengan sikapnya yang angkuh dan gagah berani.
Dan karena bentakan itu, para pengawal itu jadi tertegun
tak berani maju, tak terduga sedikit salah bertindak ia menjadi
tertegun, seketika Ciu Jing pun berhenti berlari dan oleh
karena itu tipu dayanya jadi ketahuan.
"Tangkap Ciu Jing dulu!" teriak Ciau-lam mendadak dengan
bengis sambil menerobos maju di antara orang banyak.
Mendengar perintah itu, dua Thongling dari pasukan 'Kimwikun' segera mengembut maju juga, akan tetapi Leng Bwehong
telah mendahului memapakinya, ketika kedua tangannya
mengulur mendadak, segera seorang yang di depan telah
kena terpegang.
"Pergi!" terdengar gertakan Leng Bwe-hong, menyusul ia
lemparkan sekuatnya hingga orang yang datang belakangan
itupun kena ditumbuk terguling sekalian, waktu tangannya
bergerak lagi, maka ia menarik Ciu Jing dan segera dibawanya
lari menuju pintu di samping kiri, dalam pintu itu sebenarnya
ada beberapa penjaga tetapi mereka hanya berteriak tems
menyingkir pergi.
Sambil mendukung Ciu Jing, Leng Bwe-hong melompat naik
ke atas suatu pagar tembok, dan baru saja ia menancapkan
kakinya di atas, tiba-tiba ia sudah merasakan di belakangnya
ada angin tajam menyambar, dengan cepat senjata musuh
sudah menyerang.
Lekas Leng Bwe-hong memutar tubuh menggeser pergi, ia
mendorong Ciu Jing keluar pagar tembok sambil berkata,
"Lekas selamatkan jiwamu sendiri!"
Dalam pada itu, Yu-liong-kiam, pedang pusaka Coh Ciaulam
sudah menyambar pula ke bawah iganya. Leng Bwe-hong
menarik dirinya ke belakang, tapi segera ia merasa sudah
sampai di tepi pagar tembok itu, untuk mundur lagi sudah tak
mungkin, dalam gugupnya ia memiringkan tubuh dan berkelit
ke samping, namun perubahan serangan Coh Ciau-larn pun
cepat telah menusuk pula dari sebelah kanan.
Tiba-tiba Bwe-hong membaliki tangannya lantas
menghantam, "creng" terdengar suara nyaring, ternyata
pokiam Coh Ciau-lam telah kena dipukul terpental dari
cekalannya. Pukulan Leng Bwe-hong tidak lain adalah pukulan
aneh yang ia ciptakan sendiri dan dikombinasikan dengan
Thian-san-cio-hoat dan Tat-mo-cio-hoat. Coh Ciau-lam tak
pernah menyangka lawan bisa menghantam dengan tipu
pukulan itu, maka ia telah kecundang.
Namun Coh Ciau-lam sudah biasa menghadapi musuh
tangguh, begitu Leng Bwe-hong memukul, ia lantas tahu tak
berdaya menghindari pukulan itu dan tak sempat menarik
pedangnya, maka ia membarengi mengangkat sebelah
kakinya mendu-pak. Sebaliknya begitu Leng Bwe-hong tangan
kirinya memukul, tangan kanannya menyusul menahan ke
depan, karena itu keduanya berbareng menyerang dan samasama
terkena, di antara suara gablokan dua kali, Leng Bwehong
kena terdupak dan Coh Ciau-lam menerima satu
pukulan, mereka terjatuh ke bawah tembok.
Namun sebelum berbangkit kembali, kaki Leng Bwe-hong
bekerja lebih dulu, sambil duduk di atas tanah ia
menyerampang pula, segera dua pengawal di dekatnya kena
disapu pergi hingga jauh. Sementara itu Coh Ciau-lam
menjemput kembali Yu-liong-kiamnya dan datang menyerang
lagi. "Tanpa pedang aku pun sanggup menghajarmu
pengkhianat ini!" kata Bwe-hong dengan gusar.
Segera dengan tangan kiri mengepal dan tangan kanan
telapak terbuka, ia rnerangsek maju, sekalipun senjata Yuliongkiam Coh Ciau-lam berulang-ulang menusuk dan
membabat, namun sama sekali ia tak mampu mengenai
sasarannya, sedang para pengawal lain mengelilingi empat
penjuru tidak berani maju membantu.
Kiranya Coh Ciau-lam yang menyangka dirinya memakai
pokiam tentu tidak akan dikalahkan Leng Bwe-hong, oleh
karena itu, sebelumnya ia sudah berpesan kepada kawankawannya
agar jangan membantunya Memangnya banyak
pengawal juga tak ingin bermusuhan dengan Leng Bwe-hong,
maka sudah tentu mereka 1 ebih suka menonton saja di
pinggiran. Maka dalam sekejap saja, kedua orang telah saling gebrak
hampir tiga puluh jurus, namun Coh Ciau-lam sedikitpun
masih belum bisa memperoleh keuntungan, sebaliknya Leng
Bwe-hong telah mengunjuk kegagahannya, ia bertarung
dengan siasat menyerang cepat, dengan tangan kosong ia
memaksa hendak merebut pokiam Coh Ciau-lam.
Karena itu Ciau-lam terpaksa melawan mati-matian,
beruntun ia menusuk pula beberapa kali, tenaganya besar dan
serangannya berat. Tak ia duga gerak tubuh Leng Bwe-hong
ternyata sangat cepat, begitu berkelit segera ia balas
menyerang, tiba-tiba ia sedikit berjongkok lantas melangkah
maju, dua jarinya secepat kilat menjojoh ke muka Coh Ciaulam.
Mengerti akan bahaya yang mengancam dirinya lekas
Ciau-lam meloncat ke samping beberapa tindak dan beruntung
baru bisa menghindarkan serangan itu.
Nampak' pemimpin mereka terdesak, beberapa orang


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepercayaannya tak menghiraukan lagi pesan Coh Ciau-lam,
berduyun-duyun mereka segera maju. Sementara itu dengan
gelak tertawa Coh Ciau-lam mundur sampai di pintu pojok.
"Leng Bwe-hong, umpama kubiarkan kau lari, kau pun
takkan bisa lolos keluar dari sini!" demikian teriaknya. Setelah
mana sekali ia memberi tanda, para pengawal yang ada di situ
semuanya lantas menghilang pula masuk ke dalam pintu yang
berlapis-lapis, beberapa pengawal yang mengembut Leng
Bwe-bong pun mundur juga walaupun belum kalah.
Sunyi senyap Leng Bwe-hong memandang sekelilingnya, ia
coba melayang naik ke atas atap sebuah rumah untuk
memandang, namun tetap tidak nampak bayangan seorang
pun. la menerobos ke sini dan menyelusup ke sana, tapi meski
sudah ribut sendirian setengah hari, masih tetap juga ia tak
mendapatkan jalan keluar dari istana yang membingungkan
itu. Dan pada waktu yang sama juga, Pho Jing-cu dan kawankawan
pun terkurung di lapisan pintu ketiga di sebelah luar
istana itu, mereka maju setindak demi setindak sambil
menerobos ke sini dan menerjang ke sana, namun tetap
belum mendapatkan jalan keluarnya sebaliknya dari segala
jurusan dalam istana yang luar biasa itu penjaga-penjaga yang
telah disiapkan lebih dulu bergerak serentak, tiap tempat yang
pentung di situ pasti ada tentara Boan menghadang dengan
memasang kaitan dan anak panah.
"Bangsa tikus berani kurang ajar!" Pho Jing-cu menggertak
gusar, setelah mana dengan pedangnya ia membacok sebuah
pilar batu yang segera tergumpil, dan dengan sekali memutar,
secepat kilat ia menubruk maju menuju tempat yang paling
banyak terdapat penjaga.
Kui Tiong-bing dan Ie Lan-cu pun tidak tinggal diam,
dengan dua pokiam, mereka membuka jalan di kanan dan kiri,
siapa yang berani merintangi tentu mati.
Tetapi sekali berteriak ramai, tentara Boan yang tadinya
menggerombol itu tahu-tahu berlari berpencar. Para pahlawan
menerjang ke beberapa tempat, mereka memilih di mana
terdapat banyak orang, di situlah mereka lantas menerjang.
Dan setelah berputar kian kemari hampir setengah harian,
tiba-tiba Pho Jing-cu berseru, "Berhenti!"
Kemudian ia menuding pada sebuah tiang batu di
sampingnya ternyata pada tiang itu tertampak tanda bekas
bacokan pedangnya tadi, sesudah mereka berputar setengah
hari, akhirnya ternyata kembali lagi pada tempat semula.
"Sudahlah, paling baik kalau kita berdiam saja, agar tidak
membuang tenaga percuma" ujar Jing-cu.
Lantas mereka berjajar menjadi sebuah lingkaran, dengan
saling mendempet menghadap ke depan, mereka melayani
anak panah yang menghujani mereka.
"Tidak nyana setelah berjuang selama hidup ini, kini harus
terbinasa di sini dengan penasaran," demikian Li Jiak-sim
menghela napas, ia putus asa setelah bertahan beberapa lama
lagi masih tak berdaya.
"Lauw-toaci, tidakkah kau membawa 'Coa-yam-ci'?" tibatiba
Bu Ging-yao bertanya pada Lauw Yu-hong. "Di tempat ini
angin besar dan benda kering, nyalakan api dan bakar saja!"
"Kita tidak tahu jalan keluarnya kalau menyalakan api nanti,
jangan-jangan kita sendiri yang mati terbakar di lautan api,"
kata Li Jiak-sim.
Pho Jing-cu adalah satu-satunya orang yang paling tua
dengan pengalaman yang luas pula namun ia pun hanya
garuk-garuk kepala saja tanpa berdaya. Selagi mereka
bingung dan kuatir, tiba-tiba dari pintu pojok sebelah barat
terdengar ada suara orang membentak, menyusul itu terlihat
seorang jago pengawal yang masih berusia muda secepat
terbang sedang berlari keluar.
"Ciu Jing apakah kau sudah gila mengapa berlari tak
keruan?" terdengar para penjaga lain pada berteriak ramai.
Dalam pada itu, disertai suara tertawanya yang panjang,
Pho Jing-cu tiba-tiba melayang maju, orang berikut pedangnya
yang diputar cepat hingga merupakan selarik sinar perak terus
menyergap dari atas.
Kemudian tangan kirinya menjambret, bagai elang
menyambar kelinci, sekaligus ia menarik naik tubuh Ciu Jing,
berbareng itu pedang di tangan kanannya diayun pula hingga
para pengawal yang mengejar datang kena disapu pergi simpangsiur. Dalam sekejap itu, Kui Tiong-bing dan Ie Lan-cu pun sudah
menyusul di belakang Pho Jing-cu, kedua pedang mereka
bekerja cepat, segera seperti memotong semangka dan
merajang sayur saja belasan musuh kena dirobohkan. Karena
itu, sambil berteriak ramai, kembali tentara musuh berpencar
bubar pula ke empat penjuru.
Tadi waktu rahasia Ciu Jing terbongkar oleh Coh Ciau-lam,
berkat pertolongan Leng Bwe-hong, ia berhasil
menyelamatkan jiwanya dengan melintasi pagar tembok,
tentara dan pengawal lainnya belum mengetahui bahwa dia
telah berkhianat, ternyata memberi kesempatan padanya
untuk mengeluyur sampai di luar dan bergabung dengan Pho
Jing-cu dan kawan-kawan.
Maka sesudah berhasil menolong Ciu Jing, girang sekali
rasa hati Pho Jing-cu, dengan cepat ia lantas tanya "Kenalkah
kaujalan di sini?"
"Boleh coba," sahut Ciu Jing.
Habis itu, dengan apa yang ia tahu, ia membawa para
pahlawan menerjang menuju ke pintu keluar. Akan tetapi
pada saat ilu juga, di antara anak panah yang laksana hujan
itu, tifca-tiba Coh Ciau-lam telah menampakkan diri pula
"Ciu Jing, kau banyak menerima budi dari negara, berani
kau berkhianat?" bentak Ciau-lam. Menyusul itu ia menyambar
sebuah busur dan lantas memanah Ciu J ing.
Tetapi Pho Jing-cu tidak membiarkan kejadian itu
berlangsung, ia menarik Ciu Jing ke kiri, setelah itu pedangnya
lantas menyampuk, anak panah itu tersampuk menceng terus
menancap masuk ke sebuah tiang di jurusan lain.
Bukan main takut Ciu Jing, sementara itu beruntun saling
susul Coh Ciau-lam telah melepaskan pula dua panah. Kali ini
Kui Tiong-bing yang mengunjukkan kemahirannya, ia
mengayun tangannya, dua 'Kim-goan' atau anting emas
segera menyambar dari tangannya dengan membawa suara
angin mendesir dan dengan cepat membentur jatuh kedua
panah yang dilepaskan Coh Ciau-lam itu, bahkan 'Kim-goan'
itu masih berputar di angkasa sejenak, kemudian baru jatuh
ke barisan tentara Boan.
Coh Ciau-lam heran dan terperanjat sekali, ia tidak
menyangka kepandaian 'bocah cilik' ini bisa maju begitu pesat,
ia memberi tanda dengan tangannya, lalu mendadak pintu
besar dari sebuah jalanan lorong terpentang lebar, segera ia
menghilang pula masuk ke dalam. Sedang jago pengawal
lainnya tampak berjalan kian-kemari di antara lorong yang
berbentuk jala laba-laba itu, kadang mereka masih
melepaskan pula anak panah.
Ciu Jing coba membawa para pahlawan berputar lagi
beberapa kali, tetapi akhirnya ia pun mengeluh. "Pintu-pintu
sudah banyak berubah dan jalanan simpang-siur, aku sendiri
tak mengenal lagi," katanya terhadap Pho Jing-cu.
Terpaksa Jing-cu berhenti sambil terpekur. "Bagaimana
baiknya kini!" mau tak mau ia pun mengeluh tanpa berdaya.
Istana Potala itu sebenarnya adalah bangunan pujaan
kaum Larnma, tapi sesudah In Te tiba, istana itu telah
diubahnya menurut bentuk Pat-kwa, ia menambahi pintu dan
merombak jalanan di dalamnya, yang Ciu Jing kenal hanya
sebagian saja dan tidak mengenai semua rahasia di dalamnya.
Karena itu, mereka tetap terkurung oleh Coh Ciau-lam.
Setelah Pho Jing-cu menenangkan diri, tiba-tiba
didengarnya di antara lapisan pintu itu berkumandang suara
terompet dan genderang yang ramai saling sahut, mungkin
pasukan musuh sedang disiapkan untuk mengepung mereka
lebih rapat. Selagi ia berkuatir, tiba-tiba dari pintu di pojok
kanan, dari dalam pasukan musuh mendadak muncul seorang
bertopeng, kelihatan Coh Ciau-lam yang berada di dalam pintu
besar jalanan lorong itu lagi membentak.
"Tangkap dia, bunuh saja tanpa perkara!" demikian bentak
Ciau-lam. Menyusul itu empat jago pengawal segera memburu maju
dengan cepat, Pho Jing-cu yang jaraknya agak jauh tak
sempat maju buat membantu, karena itu ia hanya bisa
menyaksikan saja dengan terkesima.
Keempat jago pengawal yang memburu itu, semuanya
adalah jagoan terpilih di antara 'Kim-wi-kun' itu, Coh Ciau-lam
menaksir mereka tentu akan berhasil menangkap orang
bertopeng itu. Waktu sudah dekat, seorang pengawal yang menggunakan
'Hui-jiau', semacam senjata berbentuk cakram bertali, segera
hendak mencengkeram ke atas kepala orang, tetapi secepat
kilat orang bertopeng tadi mendadak mendekam ke bawah
untuk kemudian dengan sekali menggerakkan kakinya ia
menyerampang dengan kuat, tak ampun lagi pengawal
pemakai cakram kena disapu pergi, menyusul itu pengawai
lain yang mengikut di belakangnya dengan senjata 'Kau-lianchio',
semacam tombak berkali, tiba-tiba pun menjerit
terguling pula.
Pengawal ketiga memiliki ilmu silat paling kuat, ia
menubruk maju sambil membentak, tetapi manusia bertopeng
itu mendadak memapak maju, tiba-tiba ia menyeruduk ke
depan malah, saking gugupnya karena tak menduga musuh
bisa berbalik me-mapakinya, baru saja pengawal itu hendak
menggunakan kedua ruyungnya, mendadak telapak tangan
orang bertopeng sudah menghantam dari samping, tetapi
belum sampai terkena, tiba-tiba pula diganti dengan menotok
dengan dua jarinya, maka terdengarlah pengawal itu bersuara
tertahan, kedua nryungnya terjatuh dan tubuhnya segera kena
diangkat oleh orang bertopeng itu terus diayun ke belakang,
keruan saja pengawal keempat yang baru saja tiba pun kena
tersapu pergi jauh.
"Lepas panah!" terdengar Coh Ciau-lam memberi perintah.
Tetapi manusia bertopeng itupun tidak kurang akal, ia
mengayunkan tubuh pengawal yang ia tangkap tadi sambil
terus berlari ke depan, karena kuatir akan mengenai kawan
sendiri, di antara pasukan Boan itu hanya beberapa orang saja
yang melepaskan panah. Sementara itu secepat angin orang
bertopeng tadi sudah bergabung dengan rombongan Pho Jingcu.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja orang bertopeng itu
sudah merobohkan empat jago pengawal, bukan saja Pho
Jing-cu merasa heran, bahkan Coh Ciau-lam juga terperanjat.
Orang itu berdandan sebagai pengawal 'Kim-wi-kun', akan
tetapi Coh. Ciau-lam tak bisa ingat siapa di antara
bawahannya yang memiliki kepandaian begitu tinggi, tak
tertahan lagi ia sangat kuatir, ia tidak tahu di antara orangorangnya
itu sebenarnya ada berapa banyak yang telah
menjadi mata-mata musuh"
Dan sesudah bergabung dengan rombongan Pho Jing-cu,
orang bertopeng itu lantas membanting tubuh pengawal yang
ditangkapnya itu ke tanah, sementara itu Pho Jing-cu sudah
mendekatinya. "Siaute adalah Han Ci-pang," tiba-tiba orang itu berkata
dengan suara pelahan.
Sungguh tak terduga oleh Pho Jing-cu bahwa orang ini
ialah Han Ci-pang, ia terkejut bercampur girang.
"Aku paham jalanan lama dalam istana ini, tapi jalanan
baru yang ditambah paling belakang ini aku tidak kenal,"
demikian Ci-pang berkata pula.
Tapi sudah tiada tempo lagi bagi Pho Jing-cu bertanya
sampai hal sekecil-kecilnya maka ia lantas memanggil Ciu Jing
untuk merundingkan cara bagaimana mencari jalan keluar.
Kiranya Han Ci-pang yang telah bersumpah pada Lauw Yuhong
pasti akan menolong Leng Bwe-hong keluar dari bahaya
diam-diam ia telah menghilang. Sesudah beberapa hari ia
Yu-long pasti akan menolong Leng Bwe-hong keluar dari
bahaya, diam-diam ia telah menghilang. Sesudah beberapa
hari ia mencari, akhirnya ia menemukan beberapa Lamma
yang habis diusir oleh In Te, Lamma-Lamma ini dengan yang
masih tinggal di dalam istana Potala masih berhubungan
dengan baik, malahan Lamma besar yang baru saja diangkat
oleh In Te bukan lain ialah Congtat Wancin yang pernah
mengawal 'Sik-li-ci' dulu.
Sebagaimana diketahui, secara tak sengaja dulu Han Cipang
telah merebutkan kembali 'benda suci' itu untuk Lamma
Tibet dan ia telah diarak ke Lhasa dan dianggap sebagai tuan
penolong mereka oleh karena itu, kalau ada sesuatu
permintaan tiada yang pernah ditolak.
Maka Han Ci-pang telah berdaya menemui Congtat Wancin
dan berkat bantuannya lebih dulu ia menyamar sebagai
Lamma dan bersembunyi di dalam istana Potala sampai pada
waktu Pho Jing-cu dan kawan-kawan terkurung di dalamnya,
ia berhasil mencuri pula seperangkap pakaian 'Kim-wi-kun',
terus menyelusup masuk sampai di lapisan pintu ketiga dan
berkat tipu silatnya yang aneh, sekaligus ia merobohkan
empat jago pengawal.
Kini setelah saling tukar pikiran dan menuturkan apa yang
diketahui masing-masing dengan Ciu Jing, Boh Wan-lian pun
mendengarkan di samping dengan cermat, berkat kecerdikan
gadis ini, tak lama kemudian setelah ia mencorat-coret pula di
atas peta yang Ciu Jing pernah lukis, akhirnya Wan-lian dapat
menyelami seluruh jalan keluar dalam istana itu.
"Kekuatan pasukan musuh sementara terpusat di sini, kita
lebih baik menerjang keluar saja dahulu," usul Ci-pang
akhirnya. "Ya tiada jalan lain, terpaksa harus begitu," kata Jing-cu
dengan menghela napas.
Kemudian segera Boh Wan-lian bersama Kui Tiong-bing
membuka jalan, mereka menerjang keluar dari pintu yang
satu ke pintu yang lain.
Sebaliknya Coh Ciau-lam yang belum mengetahui bahwa
mereka sudah dapat menyelami rahasia di dalam istana itu, ia
perintahkan bawahannya jangan menempur mati-matian,
rnelainkan mengurung saja mereka agar letih dan tak berdaya
dengan sendirinya.
Tak tersangka, Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian yang
membuka jalan di depan dapat menerjang dengan leluasa dan
cepat sekali, dalam sekejap saja mereka sudah menembusi


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa lapis pintu, sesampainya di tiga pintu lapisan luar,
baru pasukan Boan insyaf, namun sudah terlambat dan tak
bisa mengepung lagi. Dan begitulah belasan pahlawan itu
laksana banteng ketaton terus menerjang keluar dari istana
Potala yang membingungkan itu.
Kembali mengenai diri Leng Bwe-hong, sesudah ia berputar
setengah hari sendirian, ternyata tak dapat ia menemukan
jalan keluar, sedang bantuan dari luar pun tak tampak datang,
ia sudah letih dan kelaparan, sementara itu Coh Ciau-lam
bersama serombongan jago pengawal mendadak
menampakkan diri lagi.
"Sekalipun Leng Bwe-hong berkepandaian setinggi langit,
akhirnya takkan lolos juga dari genggamanku," kata Coh Ciaulam
tertawa puas sambil memandang sombong ke barisannya
sendiri dan meneruskan perkataannya, "Kini rupanya ia sudah
sangat letih dan payah, siapa berani mewakilkan aku
menangkapnya?"
Tetapi para pengawal begundalnya itu, ada yang takut
akan kewibawaan Leng Bwe-hong dan ada pula yang menaruh
hormat dan segan padanya sebagai hasil hasutannya selama
dalam penjara, kini ternyata tiada yang ingin bergebrak
dengannya dan mereka pun hanya saling pandang saja.
Melihat sikap bawahannya itu, sudah tentu Coh Ciau-lam
mendongkol dan selagi ia hendak mengumbar amarahnya,
mendadak dari dalam barisan telah melompat maju empat
orang, yang tiga ialah orang kepercayaan Coh Ciau-lam,
sedang yang seorang lagi ialah Be Hong.
Dalam pada itu Leng Bwe-hong sudah maju menyerang
sekali, ia bersiul panjang, telapak tangannya secepat kilat
memotong ke pergelangan tangan seorang pengawal, namun
pengawal itu ternyata tidak lemah juga, dengan gesit ia
berkelit dan lantas balas menghantam. Siapa tahu ilmu
pukulan Leng Bwe-hong ternyata lihai sekali, sekali memotong
tidak kena, menyusul ia telah memukul pula, maka tak ampun
lagi pengawal itu segera terpukul roboh, sementara itu dua
pengawal yang lain berbareng maju pula dengan pedang
mereka dan secepat kilat menusuk kedua bahu Leng Bwehong.
Sekonyong-konyong Bwe-hong berjongkok ke bawah terus
mendepak, seorang pengawal segera kena didepak terguling,
berbareng itu juga Leng Bwe-hong mendadak menegak sambil
menggertak, saking kagetnya pengawal yang lain lagi tanpa
terasa melompat mundur.
Pada saat lain, Be Hong menyerbu juga, kedua kepalannya
memukul berbareng, sekilas Leng Bwe-hong melihat mata
orang mengedip, segera ia tahu apa maksudnya, maka
mendadak ia malah melompat maju, "plak" segera terdengar,
ternyata Be Hong sudah terpukul dulu pundaknya, sebaliknya
dada Leng Bwe-hong sendiri pun sengaja diberikan, hingga
dengan keras ia terkena satu pukulan juga dan terhuyunghuyung
hendak roboh. Sementara itu dua pengawal yang
terguling tadi, masih rebah di bawah, mereka mengambil
kesempatan itu untuk menyandung kaki musuh, keruan saja
Leng Bwe-hong terpaksa jatuh mencium tanah. Maka berantai
Be Hong berempat lantas menubruk berbareng, empat orang
delapan tangan mereka memegang Bwe-hong kencangkencang,
namun dengan sekali mengangkat tangan, tahu-tahu
keempat orang itu ternyata tak kuat menahan dan Leng Bwehong
berbangku kembali.
Dan selagi mereka merasa terkejut, mendadak Leng Bwehong
menghela napas panjang, habis itu dengan meluruskan
tangan ia berkata, "Baiklah, ambil tali dan ringkuslah aku."
Tidak kepalang girangnya ketiga pengawal tadi, mereka
mengerti sekali Leng Bwe-hong sudah omong begitu, mereka
boleh mempercayainya maka mereka lantas minta tali rantai
dari kawan mereka untuk mengikat kencang diri Leng Bwehong.
"Ehm, orang Hwe ini ternyata boleh juga," kata Coh-Ciaulam
diam-diam setelah nampak keempat orangnya benjalbenjol
dan babak-belur, lebih-lebih Be Hong terluka lebih
parah hingga muntah darah. Setelah itu, lantas ia menotok
'Hun-hian-hiat', yakni tempat yang membikin Leng Bwe-hong
tak sadarkan diri, lalu ia memerintah orangnya memanggil
Seng Thian-ting untuk menjaga Leng Bwe-hong sendiri, malah
ia membisiki di telinga Seng Thian-ting dan memberi pesan
seperlunya Kiranya Be Hong yang menjadi sahabat Ciu Jing sesudah
kawannya ini diketahui telah berkhianat, untuk
keselamatannya sendiri agar tidak dicurigai orang, cepat Be
Hong telah maju dan berhantaman dengan Leng Bwe hong,
yang tersebut belakangan inipun tahu akan maksud orang,
lagi pula ia sendiripun takkan bisa lolos lagi, maka dengan
sukarela ia pura-pura tertangkap. Tapi Coh Ciau-lam pun jago
kawakan, maka supaya tidak menimbulkan curiga Bwe-hong
menggunakan pukulan yang tampak berat dari luar, tetapi
sebenarnya enteng di dalam, Be Hong dipukulnya hingga
muntah darah. Setelah Seng Thian-ting menggusur Leng Bwe-hong masuk
ke kamar tahanan rahasia di tengah istana ia mengeluarkan
sebungkus obat bubuk dan secara paksa ia mencekoki Leng
Bwe-hong. Jika kemudian Leng Bwe-hong sadar kembali tahutahu
seluruh badannya terasa lemas tak bertenaga.
Obat bubuk yang Seng Thian-ting cekokkan pada Leng
Bwe-hong itu ternyata adalah obat mujizat kerajaan yang
khusus dipakai untuk mempermainkan orang yang memiliki
ilmu silat tinggi, setelah minum obat itu lantas seperti minum
arak yang keras, rasanya pening dan lemas tak bertenaga
ditambah pula kini Seng Thian-ting menjaga pula di
sampingnya seumpama kepandaian Leng Bwe-hong setinggi
langit pun takkan bisa kabur lagi.
Bercerita pula mengenai Pho Jing-cu dan kawan-kawan,
sesudah kembali ke tempat kediaman mereka, lantas mereka
berunding dan berdaya upaya agar bisa menolong diri Leng
Bwe-hong. "Kini jalanan dalam istana itu kita sudah hafal, baiklah
sekalian kita lantas kerjakan secara besar-besaran," ujar Pho
Jing-cu. "Orang-orang kita yang berada dalam kota Lhasa sini
kalau kita kumpulkan sedikitaya ada dua-tiga ribu orang."
"Ya memang kita bisa menggerakkan orang-orang kita
secara serentak, kuatirnya bila kita sudah berhasil menyerbu
ke dalam, sementara itu Leng-tayhiap sendiri sudah lebih dulu
dicelakai," demikian pendapat Li Jiak-sim.
Karena perundingan mereka yang tidak menghasilkan
sesuatu rumusan itu, maka yang paling merasa masgul ialah
Lauw Yu-hong, seorang diri ia kembali ke kamarnya.
Besok paginya Yu-hong ternyata masih murung oleh rasa
sedih yang tertumpuk, karena itu ia merebah saja di
pembaringan. Selagi pikirannya terbenam dalam lautan
kedukaan, tiba-tiba didengarnya di luar jendela ada orang
mengetok beberapa kali, menyusul itu terdengar pula suara Bu
Ging-yao tertahan, "Lauw-toaci, di bawah loteng ada seorang
hendak menemuimu," demikian gadis itu.
Waktu Yu-hong turun ke bawah, maka terlihatlah olehnya
telah menunggu seorang laki-laki berperawakan tegap dan
memakai serban atau ubel-ubel kain putih di kepalanya.
"Orang gagah ini bernama Be Hong, ia adalah pengawal
yang menjaga Leng Bwe-hong," demikian Pho Jing-cu ikut
berada di samping memperkenalkannya.
Seperti diketahui, Be Hong adalah bangsa Hwe yang
kebanyakan Muslimin, oleh karena itu memakai serban seperti
Haji. Be Hong memandang Lauw Yu-hong dengan penuh
perhatian, setelah itu baru ia bertanya "Apa kaukah Lauwtoaci,
ketua dari Thian-te-hwe" Aku membawa sepucuk surat
untukmu." "Su surat?" tanya Yu-hong terputus-putus dan agak
gemetar, ia memegang meja untuk menahan dirinya yang
terasa lemas. "Ya surat dari Leng-tayhiap yang ditulisnya dengan darah
jarinya tanpa menghiraukan bahaya" kata Be Hong dengan
suara terharu. "Dan sesudah berada di sini, aku pun tak bisa
kembali ke sana lagi."
Sambil memegang sampul surat yang diterimanya tadi, Yuhong
terpekur sejenak, setelah itu ia menghirup hawa segar di
pinggir jendela, lalu dengan pelahan baru ia membuka surat
itu. Terlihat olehnya huruf dalam surat itu tertulis dengan
men-cang-menceng, maka dapat dibayangkan betapa
gemetarnya jari tangannya sewaktu menulis, malahan pada
beberapa tempat, tulisan di atasnya samar-samar tak begitu
jelas. Surat itu ternyata tertulis :
"Enci Kheng,
Malam nanti adalah saat terakhir hidupku sebelum ajal
sudah seharusnya aku memberitahukan apa yang
sesungguhnya padamu mengenai diriku.
Dua puluh tahun yang lalu, dengan Enci pernah kita
menikmati pemandangan air pasang di Ci-tong-kang, secara
main-main Enci pernah berkata, 'Jika kau dapat dipercaya
seperti air pasang yang datangnya tertentu, maka meskipun
dalam peperangan atau dalam keadaan dunia kiamat
misalnya, pasti aku akan menantikan kedatanganmu kembali'.
Sayang, perkataan main-main itu kini betul-betul menjadi
kenyataan. Enci tidak perlu berduka karena kesalah-pa-haman
dulu itu, cinta sejati Enci sudah cukup seperti gelombang air di
Ci-tong-kang yang berlebihan untuk membersihkan sepuluh
kali kesalahanmu seperti itu sekalipun Pula, Enci tak usah
bersedih akan kematianku, seorang Leng Bwe-hong mati,
sepuluh Leng Bwe-hong segera akan tumbuh lagi. Manusia
bercita-cita dan pahlawan setia adalah seperti rumput yang
tumbuh tiada habisnya walaupun dibakar dan diinjak-injak
yang harus disesalkan hanya janji untuk menikmati keindahan
bersama di Thian-san, agaknya hanya bisa terlaksana pada
jelmaan hidup yang akan datang. Tulisan akhir, Bok "
Sehabis membaca surat itu, tiba-tiba penglihatannya
menjadi lapat-lapat seperti berlapiskan kabut, nyata sekali lagi
ia harus kehilangan dia. Ia cemas, pedih dan berat laksana
puncak es di Thian-san dengan tepat menindih hatinya. Dan
surat itupun terjatuh tanpa terasa.
Kiranya 'Kheng' yang disebut itu ialah nama kecil Lauw Yuhong
dan 'Bok' atau lengkapnya 'Bok-long', nama kecil Leng
Bwe-hong, nama yang sebenarnya ialah Nio Bok-long, kakek
moyangnya adalah kaum imigran dari daerah barat-laut.
Dengan perasaan putus asa Yu-hong bersandar di depan
jendela sambil termenung, mukanya pucat lesu.
Para pahlawan yang lainpun tak berdaya, mereka mengerti
dalam saat demikian ini, segala kata-kata menghibur hanya
akan sia-sia belaka. Hanya Bu Ging-yao sendiri dengan
sebelah,tangan memegang pundak Yu-hong dan tangan yang
lain membelai rambutnya yang kusut.
"Malam nanti apakah mungkin Leng Bwe-hong akan
tertimpa bencana?" tanya Jing-cu pada Be Hong diam-diam,
setelah menariknya menyingkir ke ruangan lain.
"Sejak terjadi penyerbuan istana, Coh Ciau-lam menjadi
takut bukan kepalang," demikian tutur Be Hong dengan
perasaan tak tenteram. "Ya, jauh lebih takut daripada waktu ia
terdesak di tepi sungai es oleh Leng Bwe-hong. Dalam
pertempuran kemarin itu, ia mengetahui bahwa banyak di
antara jago pengawal tidak ingin bermusuhan lagi dengan
Leng Bwe-hong, sudah tentu tiada sesuatu yang lebih
menakutkan daripada pengkhianatan dari dalam. Aku
mendengar perundingannya dengan Seng Thian-ting, bahwa
tengah malam nanti mereka diam-diam akan membereskan
jiwa Leng-tayhiap, agar tidak membikin goncang pikiran orang
lain di dalam penjara."
Setelah mendengar penuturan ini, Pho Jing-cu menunduk,
jidatnya berkerut kencang, terang ia sedang memeras otak
berpikir. Dalam keadaan sunyi senyap karena tiada yang sanggup
buka suara itu, mendadak Han Ci-pang menerobos masuk,
kiranya ia sudah mendapat tahu juga tentang kabar buruk
itu, maka buru-buru ia datang hendak mencari Lauw Yu-hong, tapi
begitu ia masuk, segera ia terperanjat oleh suasana berduka
dalam ruangan itu, tak tahan lagi ia menarik Lauw Yu-hong dan
dengan suara terputus-putus ia bertanya, "Lauw-toaci, kenapakah
kau" Ai, kau telah mencucurkan air mata" Aku masih ingat kau
dahulu tidak pernah menangisi Leng-tayhiap, aku aku "
"Memang betul-betul dia! Dialah yang dua puluh tahun lalu
bersamaku menikmati pemandangan air pasang di Ci-tongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kang, si anak tanggung itu!" demikian sekonyong-konyong Yuhong
mendongak dengan matanya yang tampak sayu guram
dan berkata dengan cepat
Ia melepaskan tangan Ci-pang, kemudian ia menjemput
surat yang penuh noda darah dan air mata itu, cepat
dimasukkan ke dalam sakunya, lalu La berkata pula dengan
lemas tak bertenaga, "Ci-pang, bolehlah kau pergi, kini aku
tak ingin mengatakan apa-apa lagi."
Han Ci-pang tak berani bicara pula, dengan cemas ia hanya
menggigit bibir sendiri, tapi tak tertahan ia ingin
mengutarakan sekali lagi perasaan hatinya yang suci murni,
perasaan suci yang selama ini menekan jiwanya sejak bertemu
kembali dengan Lauw Yu-hong.
Tetapi Yu-hong sedikitpun ternyata tidak memperhatikan
lagi pada perkataannya.
Tiba-tiba Ci-pang ingat pula apa yang pernah ia katakan
pada beberapa tahun yang lalu tentang 'kenalan baru' yang
memisahkan 'sahabat lama', tak terasa ia menjadi jengah dan
parasnya berubah merah. Sungguh ia tak tahu bahwa Leng
Bwe-hong justru adalah sahabat baik Lauw Yu-hong sejak
masih kanak-kanak.
Karena itu diam-diam Han Ci-pang mengeluyur pergi. Pho
Jing-cu sedang termenung berpikir, yang lain pun sedang
mengerumuni Lauw Yu-hong, maka tiada seorang pun yang
memperhatikannya.
Dengan cepat Han Ci-pang mendatangi sebuah kuil Lamma


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berdekatan, begitu bertemu dengan Lamma besar di
dalam kuil itu, lantas ia minta diberikan obat luka, ketika
ditanya apakah untuk mengobati kawannya yang terluka
namun Ci-pang hanya mendesak lekas diberi obat yang ia
minta tanpa menjawab.
Obat luka bikinan Lamma di Tibet khasiatnya sangat
manjur sekali, setelah mendapatkan itu segera Han Ci-pang
kembali ke kamar tempat ia menginap dan lantas mengunci
dirinya di dalam, tiba-tiba ia melolos pedang pusaka dari
Thian-liong-pay pemberian Sin Liong-cu itu, sesudah
bercermin pada kaca yang tergantung di tembok dan
memperhatikan dirinya sejenak, mendadak ia mengangkat
pedangnya terus menggores dua luka di mukanya, darah
segar mengucur deras, saking sakitnya sampai ia menjerit.
Terhadap kelakuan Ci-pang itu, Lamma besar memang
SS2 sudah curiga, kini tiba-tiba didengarnya ada suara rintihan
di dalam kamar, tanpa menunggu lagi segera ia mendobrak
pintu kamar. "Ci-pang, mengapakah kau?" demikian teriaknya segera.
Sementara itu di antara suara gedubrakan itu, pedang Cipang
pun terjatuh, lekas Lamma besar itu maju
mendukungnya "Apa kau sudah gila?" teriak pula Lamma itu.
Akan tetapi Ci-pang lantas mengeluarkan obat luka yang ia
dapatkan tadi agar diobati Lamma besar.
"Harap kau lantas membawaku menemui Buddha Hidup,"
pinta Ci-pang dengan tertawa getir sesudah lewat sejenak.
Sudah tentu atas permintaan orang itu, Lamma besar
menjadi bingung.
"Harap kau mengingat jasaku atas 'Sik-li-ci', lakukanlah
permintaanku dan jangan kau bertanya" kata Ci-pang pula
dengan suara rendah.
Melihat pikirannya masih jernih dan tidak seperti orang
sinting, kemudian Lamma besar itu menurut meski dengan
ragu-ragu. "Bagaimana aku bisa menolak permintaan tuan
penolong kami," ujarnya kemudian.
Lalu ia memberi sebuah mantel hitam pada Ci-pang dan
lantas mengajaknya pergi melalui pintu belakang.
Kembali pada Leng Bwe-hong rupanya ia sendiri merasa
juga sudah dekat ajalnya sekalipun ia adalah seorang
pahlawan yang tiada pernah merasa gentar, namun ia pun
tidak terluput dari pikiran menyesal pada saat terakhir itu.
"Terlalu kejamkah aku ini, tidak seharusnya aku berbuat
demikian kejam terhadap Kheng-ci," demikian teringat olehnya
masa mudanya yang menggembirakan, malam terang bulan di
tepi Ci-tong-kang di waktu air pasang dan sinar mata Lauw
Yu-hong yang penuh penyesalan pada waktu di daerah
Hunlam, dan entah mengapa ia menjadi teringat juga pada
wajah Han Ci-pang yang jujur polos itu.
Tiba-tiba timbul pikiran dalam hatinya, "Ya mengapa aku
tidak merangkap jodoh mereka pada saat sebelum aku mati?"
La berpikir apakah masih ada kesempatan untuk menulis
pula sepucuk surat darah yang dikirim melalui penjaga keper881 cayaarmya sebelum ia menghadapi elmaut*" Tetapi di
sekelilingnya hanya kegelapan belaka, melulu sebuah lilin kecil
yang kelap-kelip di pojokan.
"Sudah waktu, apa ini?" tanyanya cepat pada Seng Thian
ting. "Masih ada sejam lagi akan menginjak tengah 0131301,"
dengan tertawa Thian-ting menjawab. "Leng Bwe-hong
sebelum kematianmu apakah kau masih ada pesan terakhir
yang hendak kautinggalkan?"
"Ada, kau boleh memberitahukan pada Coh Ciau-lam,
bahwa manusia seperti dia yang terima menjadi anjing dan
alap-alap bangsa asing, kalau tidak mau lekas insyaf, akhirnya
maupun tiada tempat mengubur baginya," demikian Bwe-hong
menjawab menyindir, ia tahu bahwa Seng Thian-ting termasuk
juga salah seorang yang mati-matian membela kepentingan
pemerintah Boan, maka sengaja ia menyindirnya pula.
"Coba, begitu gemasnya kau terhadap Suhengmu, padahal
Suhengmu itu sebaliknya selalu memikirkan dirimu. Pada
sebelum kau menjalani hukuman mati, masih ia mengizinkan
Buddha Hidup datang bersembahyang untukmu dan
membakar mayatmu menurut adat bangsa Tibet di sini,"
dengan tertawa Seng Thian-ting berkata. "Dengarkan itu,
suara tindakan orang di luar itu agaknya merekalah yang
sudah datang. He, malah jauh lebih gasik daripada tempo
yang telah ditetapkan."
Kiranya Congtat Wancin, Budha Hidup angkatan In Te pada
waktu senja sengaja pergi menemui In Te dan menyatakan
bahwa Potala adalah istana agung dan suci dari agama
Larnma, jika menghukum mati orang di dalam, seharusnya
meminta persetujuannya dahulu dan harus memperkenankan
ia pergi bersembahyang untuk orang hukuman itu.
In Te mengetahui bahwa malam ini Coh Ciau-lam diamdiam
hendak membereskan jiwa Leng-Bwe-hong dalam istana
yang hebat itu, maka ia agak heran juga oleh kecepatan kabar
yang Congtat Wancin terima, kemudian ia pikir dalam hal-hal
kecil ini tiada halangannya menghargai adat istiadat mereka,
maka ia lantas menyetujuinya Apalagi di dalam istana itu tiada
tempat penting yang tak rapat dijaga oleh pengawal
berkepan- adalah Seng Thian-ting sendiri yang terpandai di kalangan
pengawal kerajaan, maka ia tidak kuatir akan terjadi sesuatu
yang tak diinginkan.
Begitulah, maka waktu mendengar Seng Thian-ting berkata
bahwa bakal ada Larnma yang datang bersembahyang
untuknya, Leng Bwe-hong agak heran juga, ia membatin,
"Sebagai laki-laki sejati mengapa harus takut mati?" Tetapi
kemudian ia berpikir pula pada waktu merebut 'Sik-lik-ci' dulu,
dirinya banyak membantu dan ada ikatan persahabatan
dengan para Larnma besar itu, kini mereka hendak
bersembahyang untuknya justru ada kesempatan untuk titip
surat darah pada mereka.
Sedang ia termenung, tiba-tiba dua bayangan orang telah
mendatangi, yang di depan bukan lain adalah Congtat Wancin.
Dengan senjata 'Boan-koan-pit' atau potlot jaksa yang siap
sedia, Seng Thian-ting sedikit membungkuk memberi hormat,
tetapi dalam sekejap itu juga Larnma yang berada di samping
Congtat Wancin mendadak melompat maju, sekali jarinya
men-jojoh, Seng Thian-ting telah kena ditotok hingga tak bisa
berkutik. Jika kemudian Larnma itu menyingkap kerudung kepalanya,
menyusul lantas terdengar suara seman orang kaget. "Hantoako,
mengapa kau berubah begini?" Nyata Leng Bwe-hong
sangat terkejut
Sementara itu meski menggelongsor di atas tanah, mata
Seng Thian-ting masih mendelik gusar, tetapi toh tak bisa
berkutik. Sebenarnya Seng Thian-ting yang kepandaiannya
jauh lebih tinggi daripada Han Ci-pang tak mungkin terjungkal
begitu gampang, namun tadi ia sama sekali tidak menduga
akan dibokong, lagipula Han Ci-pang telah banyak menambah
pelajaran ilmu silat Tat-mo, dengan gerak serangan aneh, Ce
Cin-kun saja pada waktu bertemu untuk pertama kalinya juga
kena diselomoti, apalagi Seng Thian-ting.
Maka setelah Seng Thian-ting diringkus di atas kursinya,
segera Ci-pang melolos pedang pula mematahkan semua
rantai dan borgol yang mengikat Leng Bwe-hong, kemudian
baru ia berkata dengan suara pelahan, "Leng-tayhiap,
keluarlah kau ikut tersama Buddha Hidup!"
Dengan kecerdasan Leng Bwe-hong, tentu, saja segera ia
mengerti apa maksud perkataan orang. "Terima kasih Hantoako," sahurnya kemudian dengan menggoyang kepala.
"Sayang kau hanya membuang tenaga percuma saja, tidak
mungkin aku pergi keluar dari sini."
Tapi Ci-pang lantas, menyopot mantel dan kerudungnya
serta diserahkan pada Leng Bwe-hong. "Aku yang tinggal di
sini," demikian katanya pula. "Keluarlah kau dengan memakai
kerudung, mereka takkan mengenalimu."
"Tidak, Han-toako," sahut Bwe-hong tetap. "Itu tidak boleh
jadi, bagaimana aku bisa membiarkan kau mati untukku."
"Kau banyak lebih berguna daripadaku, kau harus tetap
hidup dan biarlah aku yang mati," ujar Ci-pang ikhlas.
"He, apa kau ingin aku menjadi manusia yang tak berbudi?"
kata Leng Bwe-hong gusar. "Aku sendiri hidup, sebaliknya
menyuruh kawan sendiri yang harus mati?"
Namun Han Ci-pang tidak menjawab lagi, mendadak
jarinya menotok Leng Bwe-hong di tempat 'Ah-hiat' atau
tempat yang membikin orang menjadi gagu. Lerig Bwe-hong
baru saja hilang dari pengaruh obat bubuk yang dicekokkan
Seng Thian-ting itu, tenaganya masih lemas, ilmu silatnya
yang begitu tinggi ternyata tak mampu dipergunakannya
terpaksa ia hanya melihat dirinya diperbuat sesukanya oleh
Han Ci-pang tanpa berdaya.
Dengan cepat Ci-pang lantas mengenakan kerudung dan
mantel pada Leng Bwe-hong, dan dipasrahkan pada Congtat
Wancin. "Buddha Hidup, selanjurnya semuanya terserah padamu,"
pesannya sambil memberi hormat pada Congtat Wancin.
"Han-gisu (tuan yang budiman), kaulah yang benar-benar
harus disebut Buddha Hidup," kata Congtat Wancin
mencucurkan air mata terharu sambil membungkuk mencium
tungkak kaki Han Ci-pang. Habis itu ia memutar tubuh dan
dengan setengah menarik setengah menyeret ia membawa
Leng Bwe-hong keluar dari istana Potala yang luar biasa itu.
Lalu Ci-pang duduk di atas dipan berhadapan dengan Seng
Thian-ting, meskipun kadang ada jago penjaga yang dinas
lewat di kamar tahanan itu dan tempo-tempo melongok ke
dalam juga, namun perawakan Han Ci-pang yang memang
tidak banyak berbeda dengan Leng Bwe-hong, ditambah
mukanya ada bekas luka pula, sedang penerangan di dalam
kamar pun guram, maka para penjaga itu sedikitpun tidak
menaruh curiga.
Dalam keadaan putus asa sambil menantikan saat
terakhirnya itu, tiba-tiba Han Ci-pang mendengar di luar pintu
ada penjaga yang berdinas sedang berkata, "Coh-mongling,
waktunya belum tiba kenapa siang-siang kau sudah datang."
"Aku ingin kapan ia mati, setiap waktu ia harus mati, kau
berhak mengurus?" terdengar Ciau-lam mendamprat. Sembari
berkata, terdengar pintu kamar tahanan didorong.
Agaknya Coh Ciau-lam masih ingin berusaha untuk
penghabisan kalinya mendesak Leng Bwe-hong agar mengaku
dimana kitab pelajaran peninggalan gurunya disimpan.
Sementara itu, Han Ci-pang dengan tangan mengepal kencang
sedang menantikan saat yang baik, saking bersemangatnya
sampai tulang lengannya berkeretakan.
"Seng Thian-ting, kau boleh keluar," kata Coh Ciau-lam
sesudah masuk dalam kamar tahanan itu.
Akan tetapi yang diperintah ternyata diam saja dan
membisu. Coh Ciau-lam melangkah maju dan selagi ia hendak
bertanya pula, mendadak Han Ci-pang melesat maju,
kepalannya segera memukul ke depan. Dalam terkejutnya Coh
Ciau-lam masih coba menarik tubuh ke belakang, namun tidak
urung dadanya sudah terkena pukulan yang tidak ringan itu.
Di bawah sinar lilin yang remang-remang segera Coh Ciaulam
dapat melihat bahwa musuh ini ternyata bukan Leng Bwehong
lagi, keruan terkejutnya tidak kepalang. "Siapa kau"
Kemana Leng Bwe-hong pergi?" bentaknya segera
Tapi belum habis bentakannya tiba-tiba dari belakang angin
tajam menyambar pula, gerak tubuh Han Ci-pang yang
se-bat dan aneh itu, sekali menyerang lalu menukar lain
serangan pula hanya dilakukannya dalam sekejap saja
Jika kemudian Coh Ciau-lam coba berkelit lagi, namun
pinggangnya kembali terkena pula totokan Han Ci-pang.
Dengan menggeram menahan sakit, senjata Yu-liong-kiam
dengan cepat sudah ia cabut, lalu dengan mendengarkan
angin membedakan senjata, ia mengayun pedangnya dan
menyusul itu lelatu api bercipratan, Han Ci-pang berbalik kena
tergetar mundur sampai di pinggir dinding baru dapat
menahan diri. Sementara itu Coh Ciau-lam sudah berpaling, kini ia dapat
melihat jelas siapa adanya lawannya ini. "Halia! Han Ci-pang,
kau berani mengantarkan nyawamu!" Ciau-lam tertawa iblis
dan segera menubruk maju pula. Sekali Yu-liong-pokiam
bergerak, dengan cepat menuju tenggorokan Han Ci-pang.
Berkat tipu serangan Tat-mo yang aneh, Han Ci-pang
berhasil memukul dan menotok Coh Ciau-lam tadi, tapi sayang
kepandaiannya masih selisih jauh dibanding lawannya itu, pula
Coh Ciau-lam sudah bongkotan, pada waktu masuk ke kamar
tahanan dan nampak gelagat mencurigakan, ia telah menutup
rapat semua jalan darahnya, kepalan dan jari Ci-pang seperti
mengenai kulit tebal saja, tangannya malahan terasa sakit
sendiri. Kini melihat Coh Ciau-lam dengan gemas menusuk, tibatiba
Ci-pang tergerak pikirannya untuk mengulur waktu, cepat
ia menerobos ke samping berbareng pedangnya mencukit dan
serangannya ia ubah lagi, jika kemudian Coh Ciau-lam
menarik pedang buat rnerangsek, namun Ci-pang telah
menerobos ke jurusan lain pula.
Tetapi Coh Ciau-lam tidak gampang diselomoti, ia cukup
cerdik, ia mengetahui Han Ci-pang sengaja mengandalkan
gerak tubuhnya yang aneh untuk menggoda padanya.
Pikirnya, "Han Ci-pang hanya seperti penyakit kulit saja yang
tak usah digubris, yang penting adalah Leng Bwe-hong yang
agaknya belum lama kabur, kalau sampai terlibat pertarungan
dengan Han ci-pang, mungkin musuh yang terbesar menjadi
lolos?" Oleh karena pikiran itu, lantas ia pura-pura membacok
untuk kemudian segera berlari ke pintu sambil berteriak,
"Leng Bwe-hong telah kabur, lekas uber!"
Di pihak lain, tanpa berkata Han Ci-pang menyusul dari
belakang dengan cepat terus menusuk, ketika tiba-tiba Ciaulam
merasa hawa dingin seakan mengiris badannya, tahu-tahu
ujung pedang musuh sudah sampai di bawah iga, ia jadi
teringat bahwa Han Ci-pang pun memakai pokiam atau pedang pusaka,
terpaksa ia menarik pedang buat menangkis. Karena benturan
kedua pedang itu, kembali api meletik pula, tetapi pedang


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masing-masing tiada yang terusak.
Coh Ciau-lam menjadi murka, ia pikir kalau tidak
membunuh Han Ci-pang dahulu, susah untuk bisa keluar
dengan leluasa. Maka Yu-liong-kiam segera berputar cepat, ia
mengeluarkan tipu serangan mematikan yang paling hebat
dari Thian-san-kiam-hoat, bagai angin badai secara kencang ia
rnerangsek. "Han Ci-pang, sungguhkah kau tidak menginginkan jiwamu
lagi"!" bentaknya sengit.
"Memangnya aku tidak mau jiwaku lagi, tetapi kau juga
jangan mengharap bisa menyandak Leng Bwe-hong," sahut
Ci-pang membandel.
Sudah tentu Coh Ciau-lam tidak mau membuang tempo
lagi, pedangnya berputar dan menyerang bertubi-tubi, tapi
berkat gerak tubuh Han Ci-pang yang aneh, seketika Coh
Ciau-lam tak mampu melukainya.
Saking gemasnya mendadak Coh Ciau-lam berteriak kalap,
ia mengumpulkan tenaga dalamnya dan mengayun
pedangnya, angin pedang yang santar menyirap padam
semua api lilin yang ada dalam kamar tahanan, hanya sinar
pedangnya yang gemerlapan menyambar di dalam ruangan,
malahan tertampak lebih terang daripada api lilin tadi, Ci-pang
merasa seperti seluruh penjuru melulu bayangan Coh Ciau-lam
belaka, ia insyaf dirinya tak mungkin lolos lagi, maka berbalik
ia malah tertawa terbahak-bahak, tertawa puas. Tiba-tiba ia
mengangkat pedangnya terus menerjang ke depan,
kesempatan itu dipergunakan Coh Ciau-lam dengan baik,
cepat ia menusuk, maka tak ampun lagi pedangnya
menembusi tubuh Han Ci-pang.
Dengan bermandi darah dan pokiamnya terjatuh, Han Cipang
masih tertawa sepuas-puasnya sambil berteriak, "Lauwtoaci,
selesailah sudah kewajibanku kepadamu."
Sementara itu Coh Ciau-lam mencabut kembali pedangnya
dan mendupak pergi tubuh Han Ci-pang terus melompat
keluar dari kamar tahanan itu. Tetapi tiba-tiba terdengar suara
letusan yang gemuruh, menyusul mana sinar api berkobar
menjulang langit, para pengawal berlari keluar lapisan pintu
bagian depan. Ketika sampai di pintu bagian tengah, di bawah sinar api,
Coli Ciau-lam melihat Pho Jing-cu dan kawan-kawan secara
berbondong-bondong sedang menyerbu masuk, karena tak
tahan serbuan mereka yang hebat, para pengawal terpaksa
harus mundur ke belakang.
"Jangan ribut, kepung saja mereka!" perintah Ciau-lam
untuk menambah semangat bawahannya.
Dan sesudah mundur sampai di pintu pojok, segera ia
memerintahkan lagi melepaskan panah. Tak ia duga, musuh
sepert sangat hafal sekali pada jalanan di dalam istana,
mereka menerobos ke kiri dan menerjang ke kanan, dalam
sekejap saja mereka sudah mengejar tiba pula.
"Pasukan besar kita segera datang, mereka tiada yang bisa
lolos, dengan mati-matian kita harus menahan mereka!" teriak
Ciau-lam lagi sambil menjaga sendiri jalan mundur
begundalnya. Akan tetapi segera terdengar Pho Jing-cu tertawa panjang,
ia memberi tanda anak buahnya yang sudah siap sedia di luar
pintu beramai menyerbu masuk, panah berapi beterbangan
serabutan dan api membakar di sana sini, waktu Coh Ciau-lam
memandang sekelilingnya maka tertampak di dalam istana itu
dimana-mana hanya musuh belaka, sungguh ia tidak mengerti
darimanakah Pho Jing-cu bisa mengumpulkan pengikut yang
begitu banyak. Kali ini memang dengan niat mati-matian Pho Jing-cu
menghimpun seluruh anggota Thian-te-hwe dan pejuangpejuang bangsa Kazak yang berada di Lhasa, jumlah
seluruhnya lebih dari tiga ribu orang, dengan gagah berani
menghadapi bahaya, mereka menyerbu masuk ke istana
Potala maksud tujuan mereka bukan melulu untuk menolong
Leng Bwe-hong saja, tapi juga sekalian memberi satu pukulan
hebat pada In Te.
Di malam yang gelap gelita itu In Te tak tahu keadaan
musuh, maka tak berani ia menghadapi serbuan hebat itu, di
bawah iringan pengawalnya ia melarikan diri keluar istana
Potala pasukannya diberi perintah mengepung rapat empat
pintu gerbang istana, sebaliknya membiarkan Coh Ciau-lam
bersama pasukan Kim-wi-kun yang dipimpinnya itu bertempur
mati-matian di dalam istana.
Karena itu, In Te lari keluar istana sama sekali tak diketahui
Coh Ciau-lam. Pasukan Kim-wi-kun yang menjaga istana Potala itu hanya
berjumlah dua ribu orang, tentu saja mereka tak sanggup
melawan tiga ribu orang yang dibawa Pho Jing-cu itu, setelah
saling tempur setengah jam, mayat prajurit Kim-wi-kun sudah
bergelimpangan, seluruh istana Potala diliputi asap tebal yang
bergulung-gulung, suara robohnya dinding diselingi jatuhnya
tiang patah gemuruh bercampur-aduk.
"Coh Ciau-lam, lekas kauserahkan Leng Bwe-hong, bila
tidak, biar kau mati tiada terkubur!" bentak Pho Jing-cu keras.
Mendengar itu, diam-diam Ciau-lam mengertilah kalau
lolosnya Leng Bwe-hong masih belum diketahui Pho Jing-cu
dan kawan-kawan, maka segera ia menjawab, "Kalian harus
mundur keluar dahulu dan kita boleh berunding secara baikbaik.
Bila tidak, biar aku binasakan Leng Bwe-hong dahulu."
"Kematianmu sudah di depan mata, masih berani kau main
gila!" teriak Li Jiak-sim gusar. Berbareng itu tangannya
mengayun dan sebuah panah berapi belerang lantas meledak
terbakar di samping Coh Ciau-lam.
"Hahaha, agaknya kalian memang tidak memikirkan Leng
Bwe-hong lagi?" sahut Ciau-lam terbahak-bahak. Lalu ia
berpaling pada begundalnya dan berteriak, "Ong Tong dan
Thio Cay, kalian berdua boleh masuk pergi mengambil kepala
Leng Bwe-hong kemari!"
Karena gertakan itu, wajah Lauw Yu-hong berubah hebat,
lekas ia berkata pada Pho Jing-cu, "Susiok, baiknya kita tukar j
iwanya dengan j iwa Bwe-hong."
Tapi Jing-cu kenal Coh Ciau-lam yang banyak akal licik, ia
kuatir bila mundur keluar dulu malahan akan terjebak oleh
muslihat musuh, maka sesaat ia menjadi ragu.
Sementara itu Coh Ciau-lam telah berteriak lagi, "Nah, bila
mau lekas kalian mundur keluar pintu lapisan ketiga dan
segera kulepaskan Leng Bwe-hong, lalu kedua pihak
mengadakan gencatan senjata. Bila tidak, boleh kalian
saksikan kepala Leng Bwe-hong yang sudah terpisah.
Sekarang biar aku menghitung tiga kali, habis itu jika kalian
masih belum menjawab, maka jangan sesalkan aku berlaku
keji" Lalu ia mulai menghitung,"satu..... dua!"
Tentu saja yang paling kuatur dan cemas adalah Lauw Yuhong.
Ketika Coh Ciau-lam berhenti sejenak dan angka "tiga"
belum disebut, tiba-tiba ada beberapa Larnma menerjang
keluar dari sebuah kamar yang sudah runtuh terbakar, Larnma
yang memimpin memakai jubah padri merah terus berteriak,
"Jangan tertipu, Leng Bwe-hong sudah lama lari keluar istana
ini!" Tentu saja Ciau-lam amat gusar karena rahasianya
dibongkar, sekali ia memberi tanda, segera begundalnya
menghujani panah pada beberapa Larnma itu.
Larnma baju merah itu ternyata agak lihai, ia memutar
tongkatnya kencang dan menerjang maju di bawah hujan
panah itu. Lekas Pho Jing-cu dan kawan-kawan menyerbu
maju juga buat menolongnya.
Di lain pihak, saking gemasnya Coh Ciau-lam menyambar
sebuah gendewa dari seorang bawahannya dan beruntun ia
membidikkan tiga anak panah. Larnma jubah merah itu dapat
menghantam jatuh panah pertama dan menghindarkan panah
yang lain, tapi panah ketiga tak keburu ditangkapnya hingga
tepat menembus tenggorokannya. Namun begitu ia masih
kuat berlari sampai di depan Pho Jing-cu untuk kemudian
lantas roboh terkulai.
Waktu Jing-cu mengamati, kiranya Larnma ini adalah Angih
Larnma yang tempo dulu pernah ikut Coh Ciau-lam ke Ngotaisan itu. Tatkala mana baru saja Ciau-lam mengkhianati Go
Sam-kui, tapi muslihatnya diketahui Ang-ih Larnma hingga dari
malu Coh Ciau-lam menjadi nekad dan di lembah gunung Angih
Larnma akan dibunuhnya Untung Leng Bwe-hong keburu
datang dan berhasil menyelamatkan jiwanya. Tak terduga
pada akhirnya tewas juga di bawah panah Coh Ciau-lam.
Dan setelah Larnma jubah merah itu roboh di depan Pho
Jing-cu, dengan suara serak dan tak lancar ia masih coba
menutur, "Leng-tayhiap sudah selamat sampai di luar, jangan
kalian lepaskan bangsat durhaka ini!" Ia berkata sambil
menuding Coh Ciau-lam dan kemudian menghembuskan
napasnya yang terakhir.
Ketika mendadak Pho Jing-cu memberi tanda sekali, segera
Kui Tiong-bing dan Ie Lan-cu menubruk maju mati-matian
hingga para jago pengawal pada berlari menyingkir. Begitu
pula Coh Ciau-lam, ia pura-pura menyerang sekali, lalu
melompat mundur hendak lari.
Namun sekuat tenaga Tiong-bing melompat maju dan
pedang pusakanya terus menusuk ke punggung orang. Lekas
Ciau-lam mengayun senjatanya menangkis ke belakang sambil
memutar. Tak terduga Tiong-bing menyampuk keras ke
samping hingga pedang lawan terpisah pergi, menyusul mana
beruntun ia melontarkan lagi tiga kali tusukan lihai.
Diam-diam Ciau-lam sangat terkejut, sungguh tak
disangkanya bocah dogol ini bisa maju begitu pesat ilmu
pedangnya Baiknya ia sudah kawakan, ketika pedangnya
berputar keras dan mematahkan semua serangan Tiong-bing,
lalu dengan enteng ia meloncat ke atas menembus asap, ia
naik ke atas atap sebuah rumah yang sedang berkobar oleh
api terus melarikan diri sebisanya.
Siapa tahu di antara api yang menjilat-jilat itu tiba-tiba
sesosok bayangan berkelebat, menyusul sinar tajam memecah
asap terus menusuk ke arahnya, lekas Ciau-lam menangkis
dan melompat ke atap rumah yang lain. Namun belum sempat
ia berdiri tegak, kembali dari belakang angin tajam
menyambar lagi, pedang orang lagi-lagi sudah dekat
punggungnya, ketika Ciau-lam membaliki pedangnya ke
belakang dan orangnya pun meloncat turun ke bawah tanah,
tahu-tahu bayangan orang itupun menyusul turun juga, bila
Ciau-lam menegasi, kiranya Ie Lan-cu adanya.
Melihat Lan-cu yang mengejarnya, hati Ciau-lam menjadi
agak lega. Pikirnya, "Anak dara ini bukan tandinganku, cuma
keadaan tidak menguntungkan bila terlibat bertempur lebih
lama dengannya" Karena itu, ketika ia menekan alat rahasia
sebuah dinding, mendadak dinding itu retak dan tertampak
ada sebuah pintu rahasia, cepat sekali Coh Ciau-lam
menyelinap masuk, dan selagi ia hendak menekan alatnya
untuk menutup pintu itu kembali, sekonyong-konyong angin
tajam sudah menyambar, ia tak berani berpaling, maka lekas
melompat ke samping dan kemudian baru pedangnya
menyampuk ke belakang.
"Lan-cu, kau beruntung bisa lolos dahulu, apa kini kau
mencari mati"!'" demikian bentak Ciau-lam kemudian.
Namun wajah Lan-cu dingin saja, ia mengunjuk senyuman
mengejek dan tanpa berkata pedang 'Toan-giok-kiam' secepat
kilat menyerang bertubi-tubi dan merangsek maju terus.
Tiba-tiba Coh Ciau-lam mengenjot tubuh dan melayang
pergi pula lebih dalam dan sekalian tangannya menekan
dinding, karena itu pintu rahasia tadi lantas merapat kembali,
habis mana ia melompat pergi beberapa tombak lagi. "Ha,
Lan-cu, hari ini jangan kau sesalkan paman gurumu ini terlalu
keji!" demikian ejeknya dengan tertawa sinis.
Ketika mendadak Lan-cu merasa keadaan menjadi gelap,
sementara itu senjata Coh Ciau-lam sudah lantas membacok,
lekas ia berkelit sambil pedangnya menyampuk mematahkan
serangan orang, lalu ia pun melompat ke samping beberapa
tindak dan dengan penuh perhatian menantikan serangan
musuh lagi. Kiranya tempat yang dimasuki Coh Ciau-lam ini adalah jalan
rahasia bawah tanah dari istana Potala ujung lain menembus
keluar istana, jalan lorong ini jarang diketahui orang, bagi Coh
Ciau-lam tujuannya ialah untuk menyelamatkan diri, tak
terduga dengan kecepatan luar biasa Ie Lan-cu menyusulnya
masuk. Seketika tergerak pikiran Ciau-lam, segera ia mengubah
maksudnya pula ia pikir dengan menangkap gadis ini dulu
sebagai jaminan barulah kemudian bisa lari keluar istana
dengan selamat. Sebab Lan-cu adalah pembunuh To Tok, bila
dapat menawannya meski Leng Bwe-hong lolos mungkin
Hongsiang tak akan mendampratnya.
Dan karena perubahan pikiran, Coh Ciau-lam menjadi
angkara murka, maka di jalan lorong itu ia malah merangsek
kembali pada Ie Lan-cu.
Waktu itu pintu rahasia tadi sudah menutup, di dalam
lorong itu gelap-gulita, hanya bayangan orang yang terasa
bergerak-gerak, mau tak mau hati Lan-cu rada tergetar juga.
Belum pernah Lan-cu bertanding dengan orang di tempat
gelap, meski ia pernah belajar juga ilmu 'Thing-hong-pian-gi'
atau mendengarkan angin membedakan senjata musuh, tapi
betapapun masih kalah pengalaman dibanding Coh Ciau-lam.
Maka sesudah menangkis beberapa kali ia sudah merasa
sangat payah. Tiba-tiba Ciau-lam tertawa terkekeh, tubuhnya mendadak
melesat dan sinar pedangnya terus menyambar ke bahu kiri si
gadis. Lekas Lan-cu mengegos, lalu dengan gerak tipu 'Liong-bunkolong' atau bermain ombak di gerbang naga secepat kilat ia
menangkis terus balas menyerang.
Terkejut Ciau-lam oleh kesehatan orang, maka cepat ia
menggunakan tipu 'Kim-tiau-tian-ih' atau garuda emas
pentang sayap, ia membaliki senjatanya terus membabat ke
lengan kanan le Lan-cu.
Karena serang-menyerang yang hebat ini hingga sinar
pedang kedua pihak gemerlapan, pada saat lain Ie Lan-cu
memutar kencang lagi pedangnya dan hanya sekejap saja
sudah melontarkan tiga tusukan.
Namun Ciau-lam sempat menarik diri dan mengempiskan
perut, berbareng ia melompat mundur mengikuti angin
senjata orang, dalam hati diam-diam ia terheran-heran oleh
serangan si gadis yang hebat itu.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapapun latihan Lan-cu masih belum cukup masak,
setelah tiga kali serangan tak mengenai musuh, ia tak berani
merangsek maju sembarangan, segera pedangnya bergerak
hendak merubah tipu serangan lagi, namun mendadak Coh
Ciau-lam memutar kembali dan balas menyerang dengan tipu
'Giok-tay-wi-yo' atau sabuk kemala mengikat pinggang,
dengan cepat ia membabat pinggang si gadis.
Terpaksa Lan-cu harus menangkis hingga lelatu api
bercipratan. Karena tangkisan ini, sekilas dapat dilihatnya
wajah Ciau-lam mengunjuk rasa jeri, sebaliknya Lan-cu
sendiripun tergetar mundur beberapa tindak dengan tangan
Pendekar Kembar 13 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Suling Emas Dan Naga Siluman 12

Cari Blog Ini