Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 16
tergerak juga, ia teringat pada apa yang Sin Liong-cu pernah
ceritakan padanya bahwa di atas Lok-to-hong atau puncak
Onta dia pernah bergebrak dengan Leng Bwe-hong. "Hm,
kiranya begitu ia kembali Sinkiang, ia lantas naik ke Thian-san
dan mengambil kitab peninggalan Suhu," demikian pikirnya.
Karena itu, segera ia mengulur tangan hendak
menggeledah Leng Bwe-hong.
"Fui!" tiba-tiba Leng Bwe-hong meludahinya, air lendir
kental yang disembur mendadak dengan kuat itu, dibarengi
suara jeritan, mata kiri Coh Ciau-lam kena diludahi, biji
matanya pecah dan darah bercucuran. Nyata meski dalam
keadaan sakit dan terluka parah, namun Lwekang Leng Bwehong
ternyata masih sangat hebat.
Karena murkanya, Coh Ciau-lam menotok pula 'Hun-htanhiat'
Leng Bwe-hong, yakni urat nadi yang membikin tak
sadar. "Mengapa tidak kaubunuh saja," usul Seng Thian-ting.
Tetapi Ciau-lam geleng kepala sambil membalut lukanya.
Sementara itu, dari lembah di bawah sana terdengar suara
meringkiknya kuda, suatu tanda orang yang datang sudah
makin dekat. "Mari lekas pergi," ajak Ciau-lam sambil mengempit Leng
Bwe-hong, dan bersama Seng Thian-ting mereka kabur
melalui jurusan lain dengan ilmu mengentengkan tubuh yang
tinggi. Sin Liong-cu dan Ciok Thian-sing berdua sebenarnya belum
mati, hanya karena luka mereka yang parah, maka mereka
pingsan. Dan justru karena ditendang masing-masing dua kali oleh
Ciau-lam tadi, pelahan mereka siuman, mereka saling
pandang dan tak tahan lagi melihat keadaan yang
mengenaskan itu maka menangislah mereka, dengan
merambat pelahan Sin Liong-cu berusaha mendekati
Suhengnya itu dan kemudian merangkulnya.
"Suheng, kini aku telah insyaf akan kesalahanku!" katanya
dengan suara terputus-putus.
"Baiklah kalau kau sudah insyaf!" sahut Thian-sing terharu.
Kakak-beradik seperguruan yang selama ini bagai terpisah
oleh selapis pagar dan saling tidak memahami pikiran masingmasing,
kini telah saling rangkul sebelum ajal mereka dengan
perasaan pedih bercampur girang.
"Betapapun juga terang aku tak bisa hidup lagi," kata
Thian-sing akhirnya. "Jika kau beruntung bisa terhindar dari
kematian, harap mewakilkan aku melaksanakan dua
harapanku. Pertama, harap tanamlah tulangku di atas gunung
Kiam-kok dan dijajarkan setempat dengan Suhengku Kui
Thian-lan. Kedua hendaklah kau suka memberi petunjuk pada
Tiong-bing."
Sin Liong-cu sendiri sebenarnya tahu juga bahwa dirinya
pun tak mungkin terhindar dari kematian, tetapi agar tidak
mengecewakan sang Suheng sebelum ajalnya, ia memaksakan
diri mengangguk tanda berjanji menerima pesan itu.
Setelah itu Ciok Thian-sing menutup mata dan meninggal
dengan tersenyum.
Sin Liong-cu yang Lwekangnya sudah sangat dalam sekali,
seketika itu masih belum bisa mati begitu saja, waktu ia
mendengarkan pula dengan cermat, terdengar suara derapan
kuda yang riuh-ramai, akan tetapi tak lama kemudian keadaan
menjadi sunyi pula.
"Seandainya itu adalah kafilah yang berlalu di padang
rumput, tentunya juga lewat lembah gunung di bawah saja
dan tak mungkin naik ke sini," kata Sin Liong-cu dalam hati
sambil menghela napas, ia menjadi putus asa. "Apalagi sudah
begini parah lukaku, seumpama ada obat dewa juga susah
tertolong, hendak menunggu apa lagi?"
Karena tak tahan oleh sakit lukanya yang meresap tulang
itu dan selagi ia berniat bunuh diri untuk menghabiskan
nyawanya, mendadak matanya terbeliak. Kiranya Sin Liong-cu
jadi tertarik oleh mayat Ce Cin-kun yang menggeletak di
sampingnya itu dimana pedangnya masih menancap di atas
dada orang, setengah dari pedang itu masih tinggal di luar
dan bersinar mengkilap.
Selama ini Sin Liong-cu menyukai pedang itu melebihi
jiwanya selama hidupnya ia mencari pokiam bahkan tak segan
merebut milik orang, tak terduga baru saja terkabul
harapannya memperoleh pokiam atau pedang pusaka, belum
genap sebulan, ia sudah harus mengalami mala-petaka ini.
Dan kini melihat pedangnya itu, tak terasa ia meronta
sebisanya dan menggeser pelahan di atas tanah salju itu
untuk mendekati mayat Ce Cin-kun, ia mencekal gagang
pedang dan pelahan-lahan mencabutnya kemudian ia
mengamat-amatinya dengan perasaan berat.
"O, Leng Bwe-hong! Aku telah menyia-nyiakan pokiam
pemberianmu ini!" serunya kemudian menghela napas
panjang. Lalu ia menempelkan ujung pedang ke dadanya sendiri, ia
berniat bunuh diri. Tetapi belum sampai ia berbuat lebih jauh,
tiba-tiba dari bawah terdengar ada suara orang yang sedang
memanggil, "Leng-tayluap, Leng-tayhiap!"
Cekalan Sin Liong-cu menjadi kendor, pokiamnya terjatuh.
Dan pada saat itulah dari balik tebing sana muncul seorang.
"He, Han Ci-pang, kiranya kau!" seru Sin Liong-cu-girang
bercampur terkejut.
Kiranya Han Ci-pang baru datang dari Tibet.
Sesudah pasukan Boan memasuki Sinkiang, sebenarnya
Mongol dan Tibet sudah berjaga keras, belakangan melihat
kemajuan pasukan Boan di Sinkiang lambat sekali, sudah lebih
dua bulan masih belum juga sampai di Ili, oleh karena itu,
penjagaan mereka lambat-laun menjadi kendor sendiri.
Tak tahunya, pada waktu pasukan Boan menjajah ke
Sinkiang, berbareng dengan itu telah terbagi pula sepasukan
tentara yang dipimpin oleh Pangeran In Te, secara tiba-tiba
menyerbu ke Tibet dan menawan Buddha Hidup Dalai Lamma
kemudian mengangkat Dalai Lamma yang baru.
Hubungan persahabatan Han Ci-pang dengan Lamma di
Tibet sangat baik dan rapat sekali, maka pada waktu pasukan
Boan mendekati Lhasa, dengan menghadapi bahaya ia
meloloskan diri untuk meminta bala bantuan ke Sinkiang.
Hari ini, waktu magrib ia lewat di lereng gunung Mustak, ia
lihat di lembah gunung penuh mayat tentara Boan yang
bergelimpangan, ada pula yang belum mati seketika dan
masih me-rintih-rintih ngeri, tak terasa ia pun mengkirik.
Waktu ia mendaki sampai di tengah gunung, sekonyongkonyong
didengarnya Sin Liong-cu sedang berseru memanggil
Leng Bwe-hong, maka ia pun memburu datang. Mereka
menjadi ragu apa pertemuan mereka ini bukan mimpi buruk.
Waktu Ci-pang melihat Sin Liong-cu bermandi darah dan
napasnya sudah kempas-kempis, ia menjadi terperanjat sekali.
"He, kau" Kenapakah kau?" tanyanya cepat.
Tak ayal lagi segera ia mengeluarkan obat luka yang
selamanya ia bekal, terus mengobati Sin Liong-cu dengan
lebih dulu membersihkan darahnya.
"Kau tak usah mengurusku lagi, lekas ambil pedang itu!"
kata Sin Liong-cu meringis menahan sakit.
Tentu saja Ci-pang tak mau menuruti omongannya ia tetap
hendak; mengobati luka orang.
"Dekat ajalku masih kau tidak menurut perkataanku?"
damprat Sin Liong-cu mendadak dengan mata melotot aneh.
"Lekas, lekas ambil pedang itu, mumpung masih tinggal sedikit
napasku, kalau terlambat tidak keburu lagi!"
Terpaksa Ci-pang menjemput pedang yang ditunjuk dan
lantas diangsurkan. Akan tetapi Sin Liong-cu tidak menerima
pedang itu, ia hanya berpesan, "Kau angkat pedang dengan
kedua tanganmu dan letakkan merata di atas kepalamu,
kemudian berlutut. Lekas berlutut!"
"Untuk apa?" tanya Ci-pang tak tahan saking herannya.
"Aku ingin kau bersumpah memasuki pintu perguruan Butong,
hari ini aku mewakilkan mendiang guruku menerima
murid baru!" Sin Liong4ju menerangkan.
Melihat kedua mata Sin Liong-cu mendelik dan menatap
tajam dirinya Ci-pang tahu bila tidak menurut, matipun Sin
Liong-cu tentu tak akan tenteram. Terpaksa ia menurut dan
berlutut. Seketika semangat Sin Liong-cu terbangkit untuk
mendengarkan Han Ci-pang mengucapkan sumpah memasuki
perguruannya. "Sute," katanya kemudian menghela napas lega. "Watakmu
jujur dan pikiranmu sederhana, soal pantangan keras dari
perguruan kita boleh tak usah aku uraikan lagi, kelak tentu
ada orang yang akan menerangkan padamu. Kini serahkanlah
pedang itu padaku."
Ia mengambil pedang itu, kemudian ia mengeluarkan pula
sehelai kain sutera dari dalam sarung pedang, di atas kain itu
tertulis penuh huruf, bahkan terlukis pula beberapa gambar.
"Inilah turunan kitab '108 gaya ilmu pukulan Tat-mo' yang
kutulis sendiri," tutur Sin Liong-cu pula. "Di dalam ada pula
pendapatanku sendiri yang kuperoleh dari pengalamanku
selama ini, semua sudah kutulis di atasnya Kitab aslinya
kupen-dam di dalam goa di Lok-to-hong, turunan kitab ini
sudah ku-terjemahkan ke dalam huruf Han. 'Tat-mo-pi-kip' ini
memang kau yang menemukan, tetapi karena dulu kau bukan
dari perguruan kita maka waktu itu aku telah mengambilnya."
Mendengar penuturan itu, barulah kini Ci-pang paham
mengapa Sin Liong-cu mengharuskan dirinya masuk
perguruan Bu-tong-pay, maka lekas ia berlutut pula
menghaturkan terima
kasih.' Sin Liong-cu mengumpulkan pula tenaganya untuk
bertahan sebisanya, ia menyuruh Ci-pang membaca terang
apa yang tertulis dalam kitab tadi dengan meminjam sorotan
sinar salju yang berkilauan, lalu ia mengajarkan sambil
menggerakkan tangannya untuk menerangkan rahasia ilmu
silat yang sudah lama lenyap dari dunia persilatan ini kepada
Han Ci-pang. Sehabis mengajarkan semuanya, napasnya Sin Liong-cu
sudah makin tipis. Namun ia masih bertahan sekuatnya.
"Sudahkah kau paham?" tanya Sin Liong-cu akhirnya.
Sebenarnya Ci-pang masih belum paham seluruhnya, tetapi
melihat penderitaan Sin Liong-cu begitu hebat, ia tidak tega
membiarkan Sin Liong-cu bercerita terus.
"Terima kasih Suheng, aku sudah paham semuanya"
katanya kemudian memanggut setelah agak ragu-ragu.
Akan tetapi agaknya,Sin Liong-cu dapat menduga perasaan
Ci-pang, maka ia menggoyang kepala. "Jika kau masih belum
paham, aku mengijinkan kau membawa kitab ini pergi
meminta petunjuk Leng Bwe-hong," katanya lemah. "Hanya
mati-hidup Leng Bwe-hong hari ini aku pun belum
mengetahuinya"
"Apa" Leng-tayhiap bersamamu telah kecundang musuh
semua?" tanya Ci-pang terperanjat. Baru kini ia mendapat
tahu bahwa Leng Bwe-hong pun berada di tempat ini.
Sin Liong-cu hanya bisa menahan napasnya yang
penghabisan sekuatnya, maka ia tidak menjawab pertanyaan
orang, sebaliknya ia meneruskan berkata, "Masih ada pula Kui
Tiong-bing dan Thio Hua-ciau dua orang itu, mereka juga
harus masuk ke perguruan kita, maka hitunglah mereka
sebagai muridmu!"
Seperti diketahui, Tiong-bing dalam pesan terakhir Ciok
Thian-sing pada Sin Liong-cu telah diminta agar diberi
petunjuk, sedang Hua-ciau karena mendapatkan 'bunga sakti'
dan menurut pesan Toh It-hang mengharuskan Sin Liong-cu
mengajarnya, tapi karena dirinya kini sudah tiada harapan
lagi, maka ia meninggalkan pesan yang sama pula kepada Han
Ci-pang. Dan selagi Ci-pang hendak bertanya untuk minta
keterangan lagi, ia lihat Sin Liong-cu sedang menuding pokiarn
tadi sambil berkata, "Ini buatmu!"
Sesudah itu matanya membalik terus meninggal unluk
selamanya. Setelah mengambil pokiam yang ditinggalkan Sin Liong-cu,
Ci-pang menyucinya hingga bersih, dan ketika ia hendak
menggali lubang untuk memendam jenazah Sin Liong-cu, tibatiba
terlihat banyak obor api seperti barisan di lembah gunung
dan pelahan-lahan sedang bergerak ke atas gunung.
Pikir Ci-pang, kedatanganku ini ialah untuk meminta balabantuan,
dan bila pasukan ini adalah musuh yang telah
sampai di atas gunung sini, tentu aku tak akan bisa lolos,
agaknya aku tak dapat menyelesaikan tugas negara dan
kepentingan pribadi berbareng, terpaksa harus membiarkan
Sin Liong-cu terpendam oleh salju.
Teringat itu, tak tahan air matanya meleleh, sungguh ia
menyayangkan seorang Kuai-hiap atau pendekar kosen harus
beraidiir dalam adegan yang menyedihkan ini. Kemudian ia
pergi melalui jurusan lain menuju ke selatan.
Tak terduga, rombongan orang itu ternyata bukan kafilah
lalu di padang rumput, juga bukan tentara Boan, tetapi adalah
orang-orang yang dipimpin oleh Fuad, kepala suku Kazak yang
masih muda. Sesudah Bing Lok minggat dari bangsanya, semula Manlis
tidak menceritakan kejadian itu pada Fuad, tetapi semalam itu
ia tak dapat tidur nyenyak, dalam hati kecilnya rasanya seperti
dipagut ular berbisa hingga tak tenteram.
"Tidak, aku tidak harus mendustainya, mengapa aku harus
mendustai orang yang kucintai" Jika aku memberitahu
padanya dan ia bisa mendapatkan kembali ayahku, bukankah
hal itupun sangat menggembirakan?" begitulah pikir Manlis
sadar dari kekeliruannya.
Besok paginya, segera ia memberitahukan hal minggatnya
sang ayah kepada Fuad, segera juga Fuad membawa orangorangnya
mencari ke seluruh pelosok, waktu mereka
memasuki pegunungan Mustak, tiba-tiba tertampak mayat
serdadu Boan bergelimpangan di sana-sini tak terhitung
banyaknya, mereka menjadi terkejut. Selagi mereka hendak
memeriksa lebih jelas, tiba-tiba terdengar suara bentakan
anak gadis yang nyaring, "Hai, siapa kau" Apakah kalian
kafilah yang lewat di sini?"
Menyusul itu, dari lembah sana terlihat seorang gadis
berbaju merah dengan mendukung seorang, pelahan tetapi
gesit, sedang naik ke atas. Keadaan tiba-tiba itu membikin
Fuad dan Manlis tercengang.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nona, kami adalah pejuang bangsa Kazak, dan siapakah
kau?" sahut Manlis dan memapaknya. "Serdadu Boan telah
mati begini banyak, siapakah yang telah membunuhnya?"
Mendengar Manlis menyebut pejuang bangsa Kazak, anak
gadis itu berjingkrak kegirangan.
Mendengar Manlis menyebut pejuang bangsa Kazak, anak
gadis itu berjingkrak kegirangan.
"He, pejuang bangsa Kazak?" katanya kemudian. "Kalau
begitu tentu kalian kenal Leng Bwe-hong, bukan?"
"Leng-tayhiap" Sudah tentu kenal," sahut Fuad. "la adalah
tuan penolong bangsaku! Maafkan, dapatkah Lihiap
memberitahu, apakah Lihiap mengenal juga Leng-tayhiap?"
"Ya, kami adalah sahabat baik Leng-tayhiap," gadis itu
menerangkan. "Aku bernama Bu Ging-yao, dan yang
kudukung ini bernama Lauw Yu-hong " Bu Ging-yao bertabiat nakal,
ia melihat sikap Fuad dan Bing Manlis begitu rapat, maka
dengan tertawa ia meneruskan pula perkataannya, "Ia dan
Leng Bwe-hong sama seperti hubungan kalian berdua yang
baik." Wajah Manlis menjadi kemerahan karena godaan orang
tetapi Fuad hanya menganggap sepi saja, kemudian ia
bertanya keadaan luka Lauw Yu-hong.
Luka Yu-hong memang tidak enteng, ia tergelincir masuk
ke jurang oleh desakan Coh Ciau-lam dengan jago pengawal
kerajaan, sebenarnya susah untuk menyelamatkan jiwanya,
beruntung di tangannya membawa senjata rahasia yang
tunggal, 'Kim-hun-tau', yang terpentang di angkasa dan
terombang-ambing, karena itu telah mengurangi
kecepatannya terjerumus ke bawah, justru 'Kim-hun-tau' itu
baru saja kena dirusak oleh timpukan batu kerikil Coh Ciaulam,
hingga kaitan kawat yang ada pada jala Kim-hun-tau itu
semrawut, waktu sampai di tengah-tengah, tiba-tiba kailan itu
dapat menyangkut pada sebuah pohon Siong yang tua,
seketika juga menghentikan daya menggelincir ke bawah,
namun sementara itu ia sudah dalam keadaan tak sadar. Dan
Bu Ging-yao yang ikut terjun ke bawah, mengunjuk ilmu
mengentengkan tubuh ajaran Pek-hoat Mo-li yang lihai, lebih
dulu ia mengincar baik-baik suatu tempat, setelah tubuhnya
menurun hingga sedalam belasan tombak, ia rnenutul ujung
kakinya ke tempat itu untuk kemudian berganti gaya
melompat turun pula dengan cara yang sama, dengan
demikian kelihatannya menjadi seperti terbang dari atas
udara. Pada waktu Lauw Yu-hong masih terapung turun, dengan
jelas Bu Ging-yao masih bisa melihatnya, maka ia menyusul
cepat dan akhirnya berhasillah ia menolong jiwa Lauw Yuhong.
Begitulah, lalu Bu Ging-yao menceritakan pertempuran
sengit yang terjadi itu kepada Fuad.
Kepala suku Kazak yang masih muda ini ternyata sangat
simpati, di samping memerintahkan orang-orangnya mendaki
ke atas gunung untuk mencari Leng Bwe-hong, ia mengajak
pula Bu Ging-yao tinggal di perkemahannya, agar bisa
mengobati luka Lauw Yu-hong.
Dengan sendirinya hal itu diterima baik oleh Bu Ging-yao.
Kembali bercerita mengenai Hui-ang-kin dan Pho Jing-cu
dan kawan-kawan. Sejak Leng Bwe-hong dan Sin Liong-cu
berangkat, dalam hati mereka terus tak tenteram, tetapi
situasi medan peperangan makin hari makin menjadi genting,
tiba-tiba pasukan Boan maju serentak, pasukan induk musuh
itu bagai gelombang badai dan topan menyapu lewat padang
rumput. Hui-ang-kin memegang teguh siasat yang telah
ditentukan, ia memencarkan pasukannya menjadi kelompok
kecil tersebar ke seluruh padang rumput yang luas tak
berbatas itu. Waktu pasukan induk Boan lewat, Pho Jing-cu dan Hui-angkin
memandangnya dari atas sebuah puncak gunung tinggi,
mereka menyaksikan bendera pasukan musuh berkibar
dengan megahnya, puluhan ribu kuda berlari. cepat, semangat
prajurit tampak berapi-api.
"Di dalam pasukan Boan itu tentu terdapat jenderal yang
pintar, kali ini pasti lain daripada di bawah pimpinan To Tok
dulu," ujar Pho Jing-cu mengkerut kening setelah menyaksikan
keadaan pasukan musuh.
"Kita. pun 1ak kalah dari mereka," ujar Hui-ang-kin tertawa
sambil mengayun pecutnya yang panjang. "Mari kita potong
dulu ekor ular yang panjang ini!"
Ia menanti setelah pasukan musuh sudah lewat tujuh atau
delapan bagian, mendadak ia menghimpun kekuatan
pasukannya terus memotong putus barisan musuh, dengan
cara begitu, ia memperoleh kemenangan yang gilanggemilang.
Akan tetapi pasukan Boan itu juga gagah sekali, walaupun
sudah kalah masih tidak kalut, begitu berhadapan dengan
pasukan Hui-ang-kin, segera mereka bertahan dan
menghantam dengan mati-matian, beberapa hari kemudian
Hui-ang-kin sudah berhasil membasmi sebagian besar serdadu
musuh, tetapi bala-bantuan musuh telah datang, terpaksa
mereka mengundurkan diri lagi.
Setelah pasukan induk musuh lewat, kabar berita yang lainpun
menyusui datang bahwa pasukan Boan mendadak telah
dibagi dua jurusan, satu jurusan masuk Mongol dan yang lain
masuk ke Tibet. Yang masuk Tibet ini bahkan dipimpin sendiri
oleh Pangeran In Te.
"Kita telah menang besar, tapi kali ini mereka memperoleh
kemenangan yang lebih besar," kata Jing-cu pada Hui-ang kin
dengan menghela napas. "Dengan jelas sebenarnya mereka
tahu bahwa di sinilah pusat berkumpulnya suku bangsa di
Lamkiang, tetapi waktu lewat sengaja mereka tidak
menggubris, sengaja mereka membiarkan ekor pasukan yang
panjang dipotong dan hanya bertahan mati-matian, sebaliknya
kepala pasukannya secepat kilat maju terus ke depan."
Hui-ang-kin berpikir, maka ia pun insyaf juga telah kena
dipedayai musuh, karena itu ia agak menyesal.
"Sekalipun mereka pandai bersiasat, tetapi kalau melihat
keseluruhannya, mereka tak akan bisa menolong nasib
kebangkrutan mereka," ujar Pho Jing-cu kemudian dengan
tertawa. Hui-ang-kin dapat memahami apa yang dimaksudkan, ia
mengangguk membenarkan. "Ya, pasukan tanpa dukungan
rakyat, cepat atau lambat pasti akan ambruk dengan
sendirinya, aku paham perkataanmu," katanya.
Ketika mereka berdua bercakap-cakap, tiba-tiba Boh WanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Han dan Kui Tiong-bing terlihat mendatangi dengan kuda
mereka. "Pho-pepek, Pho-pepek," demikian seru gadis itu dari jauh.
"Coba kau terka, siapakah jenderal yang memimpin pasukan
Boan kali ini?"
"Dari mana aku bisa tahu?" kata Jing-cu heran. "Ah, jika
demikian, kau setan cilik ini tentu sudah dapat kabar apaapa!"
Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian berdua telah
diperintahkan Hui-ang-kin untuk menyelidiki kedudukan
pasukan musuh, oleh karena itu dengan cepat Hui-ang-kin
pun bertanya. "Apa yang telah kalian temukan di tempat
bekas perkemahan musuh?"
Boh Wan-lian tidak lantas menjawab, ia menarik diri Huiangkin dan lantas diajak pergi. "Pho-pepek, harap kau juga
ikut, coba lihat nanti apakah tebakanku betul atau tidak?"
katanya pula pada Pho Jing-cu.
Lalu mereka berempat segera melarikan kuda dan mendaki
gunung untuk memeriksa tempat yang pernah didirikan
perkemahan oleh pasukan Boan, setelah memeriksa sejenak,
mereka mendapat kesan bahwa pasukan musuh teratur baik
dan berdisiplin keras.
"Melihat caranya ini, pimpinan pasukan musuh ini boleh
dikata berbakat jenderal sungguh-sungguh," Jing-cu memuji.
"Mungkin pemimpin pasukan ini tidak hanya terbatas
jenderal saja!" ujar Boh Wan-lian.
Lalu ia menuding ke tembok batu yang ada di depannya.
Dan waktu Pho Jing-cu dan kawan-kawan mendekati dan
memeriksanya terlihat di atasnya terukir beberapa baris huruf
besar, agaknya seperti diukir setelah huruf-huruf ditulis dulu di
atasnya. Huruf-huruf itu ditulis dengan gaya yang kuat dan indah
sekali. Pho Jing-cu sendiri adalah seorang sastrawan, oleh
karena itu, mau tak mau ia harus memuji tulisan itu.
Boh Wan-lian coba membaca tulisan itu yang ternyata
adalah sebuah syair.
"Pho-pepek, menurut pandanganmu, bukankah syair itu
bergaya Nilan Yong-yo?" tanya Wan-lian sehabis membaca
syair itu. "Ya, syair yang mengandung perasaan duka dan berbudi
luhur ini, di zaman ini hanya Nilan Yong-yo saja yang mampu
menulisnya" kata Jing-cu setuju dengan pendapat Boh Wanlian.
"Apalagi perasaan yang timbul waktu berada di perbatasan
ini, ikut di dalam pasukan yang bertempur, di dalamnya
samar-samar mengandung pula perasaan benci pada
peperangan, kalau bukan Nilan Yong-yo, siapa lagi yang
berani menulis syair ini?" demikian Wan-lian menambahkan.
"Memang kau sangat cerdik," kata Jing-cu memuji sambil
bertepuk tangan. "Pimpinan pasukan musuh ini memang
bukan jenderal, tetapi ialah Kaisar sendiri!"
"Kalian bicara tentang syair dan omong soal sajak, aku
sedikitpun tak paham akan hal itu, bagaimana kalian dapat
menarik kesimpulan dari syair ini, bahwa yang memimpin
tentara ialah Kaisar?" tanya Hui-ang-kin merasa heran.
"Nilan Yong-yo ialah putera Perdana Menteri, juga teman
pribadi Kaisar pula kalau bukan Khong-hi sendiri yang
memimpin pasukannya, bagaimana ia bisa sampai di tempat
terpencil ini mengikuti pasukan tentara!" Jing-cu menegaskan.
"Biar Hongte sendiri yang datang, kita juga tidak takut,"
Hui-ang-kin menjengek.
"Takut" Sudah tentu kita tidak takut," ujar Jing-cu. "Tetapi
Khong-hi memimpin pasukan tentara sendiri, suatu tanda
betapa perhatiannya terhadap daerah tapal batas ini kalau kita
harus bertempur melawan dari depan, hal itu tentu tidak
menguntungkan."
Tiong-bing serupa juga. dengan Hui-ang-kin, ia pun tidak
paham tentang syair atau sajak, kini nampak Boh Wan-lian
merenung menghadap tembok batu, tiba-tiba ia teringat dulu
Nilan Yong-yo pernah menggandeng tangan si gadis, oleh
karena itu dalam hatinya agak kurang senang.
Tengah mereka berbicara, sekonyong-konyong dari
kejauhan mendatangi dua penunggang kuda yang sedang
kejar- mengejar dengan kencang, dan bila kedua kuda itu
sudah berdekatan, yang di depan lantas berbal ik menempur
mati-matian. Lewat sejenak pula, dapatlah terlihat lebih jelas,
bahwa penunggang kuda di belakang yang mengejar itu ialah
searang gadis berhaji) merah, sinar pedangnya gemerlapan
tidak pernah meninggalkan panggung penunggang kuda yang
di depan itu, kedua orang sama-sama membentak dan
berteriak, agaknya seperti saling damprat. Tidak lama
kemudian, tiba-tiba keduanya turun dari kuda, dan segera
bertempur sengit lagi di atas padang rumput luas itu. Ilmu
pedang gadis itu tampak lihai sekali, cepat dan gesit sekali ia
rnerangsek habis-habisan lawannya.
Penunggang kuda yang dikejar itu ialah seorang laki-laki
setengah umur, ilmu pedangnya sangat aneh, gerak
langkahnya pun sempoyongan tak tetap seperti orang mabuk
keranjingan, gerakannya ternyata menyerupai gerak Sin
Liong-cu yang aneh itu.
Setelah dapat mengenali siapa adanya mereka itu, dengan
berteriak Hui-ang-kin mengeprak kudanya menerjang turun
gunung sambil memanggil. "Sumoay, berhenti! Orang sendiri
semua." "Han-toako, berhenti! Kita berada di sini semua!" Pho Jingcu
ikut berseru juga menyusul Hui-ang-kin.
Kedua orang yang saling gebrak itu memang bukan lain
daripada Bu Ging-yao dan Han Ci-pang.
Pada waktu Bu Ging-yao bertemu dengan rombongan Fuad,
kemudian mereka bersama-sama mencari ke seluruh gunung,
tetapi mereka hanya mendapatkan mayat yang
bergelimpangan termasuk pula jenazah Ciok Thian-sing dan
Sin Liong-cu, tak tertahan mereka sangat berduka, lalu
mereka mengubur jenazah kedua kawan itu, bersama Fuad
mereka kembali ke pangkalannya di padang rumput Garsin.
Dalam pada itu, lambat laun Lauw Yu-hong sudah sadar
kembali, dengan air mata berlinang, ucapannya yang pertama
ialah menanyakan keselamatan Leng Bwe-hong. Dan ketika
Ging-yao memberitahu bahwa mereka tidak menemukan
mayat Leng Bwe-hong, barulah ia merasa agak lega, tetapi
kemudian bila mendengar bahwa Ciok Thian-sing dan Sin
Liong-cu telah menjadi korban, ia merasa sedih pula.
Ging-yao menghibur sebisanya, melihat lukanya walaupun
tampak parah dari luar, tetapi masih tidak membahayakan
jiwanya, maka lantas ia memohon bantuan Fuad dan Manlis
untuk merawatnya baik-baik, sedang ia sendiri lantas
berpamitan untuk berangkat kembali. Pertama ia hendak
melaporkan kabar itu pada Hui-ang-kin, kedua ialah minta Pho
Jing-cu datang lagi bersama dia untuk menolong mengobati
Lauw Yu-hong. Ketika itu, Han Ci-pang yang melalui jalan lain sudah lebih
dulu berada di depan, tetapi karena ilmu menunggang
kudanya tidak sepandai Bu Ging-yao, lagi pula perjalanan di
situ tidak sehafal Bu Ging-yao, di tengah jalan ia harus juga
menyingkirkan tentara Boan dan harus menyusur jalanan kecil
yang sepi, hingga banyak tempo yang ia buang percuma. Oleh
karena itu, pada waktu hampir dekat tempat pangkalan Huiangkin, ia keburu disusul oleh Bu Ging-yao.
Manakala Ging-yao nampak di tangan Han Ci-pang
mencekal pokiam yang ia kenali adalah senjata yang Leng
Bwe-hong berikan kepada Sin Liong-cu, ia jadi sangat curiga
dan sangsi, ia menyangka Han Ci-pang adalah jagoan
kerajaan yang berhasil lolos dan membunuh Sin Liong-cu.
Segera ia maju menegur dengan membentak, justru juga Han
Ci-pang tidak pandai bicara, dalam tanya-jawab itu agaknya
kurang memuaskan Bu Ging-yao, ditambah pula memang
watak Bu Ging-yao yang be-rangasan, karena satu-dua
perkataan yang tak cocok, maka tak dapat lagi dihindarkan,
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertempuran segera terjadi.
Ci-pang baru saja memperoleh pelajaran ilmu pukulan yang
aneh, tapi karena belum masak betul latihannya, maka ia tak
dapat menandingi kiam-hoat Ging-yao yang lihai. Karena itu,
sambil berhantam ia pun melarikan kudanya dengan cepat,
akhirnya beruntung bisa berpapasan dengan Hui-ang-kin. Bila
tidak, hampir saja ia dilukai Bu Ging-yao.
Kemudian Ging-yao dan Ci-pang menceritakan kejadian dan
pengalaman masing-masing. Mendapat kabar jelek itu tak bisa
tidak Hui-ang-kin dan Pho Jing-cu mengucurkan air mata
kesedihan, lebih-lebih Kui Tiong-bing menangis menggerung
atas kemalangan ayahnya.
Tak lama kemudian Ciok-toanio pun telah diberi kabar
buruk itu, teringat olehnya pengalaman selama hidupnya ini
yang penuh suka-duka, suami-isteri yang cinta-mencintai
berpisah selama dua puluh tahun, dengan pahit getir akhirnya
bisa bersua kembali serta lenyaplah semua kesalah-pahaman,
tapi kini harus berpisah pula untuk selamanya, maka dukanya
itu dapatlah dibayangkan. Ia hendak menangis, tapi air
matanya sealah sudah kering, ia hanya memandang tempat
jauh. Lama dan lama sekali, baru ia menghela napas sambil
mengelus pedangnya.
"Kematiannya ini masih berharga juga! Jika Suhengnya
dapat mengetahui di alam baka tentu ia dapat memaafkan
segala dosanya!" katanya kemudian pelahan.
Habis itu, Han Ci-pang menceritakan pula tentang pesan
terakhir Ciok Thian-sing kepada Sin Liong-cu itu.
"Ilmu silatku jauh di bawah Kui-hiante, tapi karena Sin
Liong-cu sudah berpesan wanti-wanti padaku, maka biarlah
aku mewakilkan dia menerimamu sebagai murid untuk saling
mempelajari ilmu mujizat dari Tat-mo," demikian Ci-pang
menegaskan. "Sedang mengenai abu tulang Ciok-locianpwe,
kelak Kui-hiante boleh membawanya ke Kiam-kok untuk
dikubur setempat dengan Kui-locianpwe sesuai pesannya"
Kemudian setelah Pho Jing-cu mengatur seperlunya, lalu
bersama dengan Han Ci-pang, Ie Lan-cu, Kui Tiong-bing, Boh
Wan-lian dan Ciok-toanio, rombongan enam orang itu segera
berangkat. Tinggal Li Jiak-sim, Bu Ging-yao, Njo It-wi, Hua CiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
san, Thio Hua-ciau dan yang lain untuk membantu Hui-angkin.
Dengan cepat tanpa berhenti dalam perjalanan, rombongan
Pho Jing-cu tiba di padang rumput Garsin. Sementara itu Lauw
Yu-hong yang sudah beristirahat beberapa hari, lukanya sudah
agak baikan, Pho Jing-cu telah mengobatinya pula sudah tentu
beberapa hari kemudian luka Yu-hong sudah sembuh
seluruhnya, namun sebaliknya luka dalam hatinya malahan
bertambah berat. Soalnya karena kabar berita Leng Bwe-hong
sedikitpun masih belum diketahui.
Oleh sebab hal yang sama juga Ie Lan-cu pun tersiksa
sekali, perasaannya masgul, tetapi ia lihat Lauw Yu-hong
begitu berduka, ia malah menahan penderitaan batin sendiri
untuk menghibur orang.
"Leng-sioksiok memiliki ilmu silat yang tiada taranya aku
yakin tidak akan mengalami bahaya dan paling banyak hanya
menguatirkan saja," demikian katanya menghibur.
"Ya, tapi kuatirnya, jumlah musuh yang terlalu besar itu
betul-betul telah dapat mencelakainya," ujar Yu-hong sedih.
"Dan bila memang ia belum meninggal, mengapa hingga kini
masih belum kembali?"
Tapi dengan berbagai akal lain, Ie Lan-cu terus
menghiburnya, akan tetapi Lauw Yu-hong masih tetap
bersedih. Adalah pada waktu itu Boh Wan-lian sendiri sedang
termenung berpikir, sinar matanya berkilat suatu tanda ada
sesuatu yang telah ia dapatkan.
"He, kenapa kita tidak mencari Nilan-kongcu dan bertanya
tentang kabar Leng-tayhiap?" katanya tiba-tiba. "Bila Lengtayhiap
memang tertawan oleh pasukan Boan, tentu ia
mengetahuinya."
"Dalam pasukan musuh sebesar itu, bagaimana kau bisa
bertemu dengannya?" ujar Hui-ang-kin. "Lagipula ia adalah
abdi kesayangan Kaisar, mana mau ia memberitahukan
padamu?" "Tentu mau, biar aku menyamar sebagai gadis gembala
dan Pho-pepek sukalah mengiringi aku," sahut Wan-lian.
"Ya, Nilan-kongcu tidak dapat dipersamakan orang lain
kalau bisa menemuinya mungkin bisa memperoleh sedikit
kabar," Jing-cu menyetujui usul si gadis.
Hanya Kui Tiong-bing yang merasa tak senang, tapi
kemudian bila ia teringat bahwa tindakan itu adalah untuk
kepentingan Leng Bwe-hong, mau tak mau ia harus tinggal
diam saja. Ilmu pertabiban Pho Jing-cu memang sangat tinggi, ia
sendiri menciptakan semacam obat merias muka yang disebut
'Ih-yong-tan' atau obat merubah muka yakni sebenarnya
hanya semacam keahlian bersolek saja tetapi di zaman dulu
hal ini sudah cukup mengagumkan.
Setelah Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian menyemir muka
mereka dengan 'Ih-yong-tan', air muka mereka menjadi susah
dikenali kecuali orang yang sudah kenal betul, namun gaya
asli mereka masih tetap tampak.
Dengan penuh rasa terima kasih Yu-hong menggenggam
tangan Wan-lian, saking terharunya sampai ia tak sanggup
mengucapkan sepatah kata pun. Sebaliknya Han Ci-pang yang
menyaksikan semua itu, dalam hati ia pun merasa
tersinggung. Mengenai Nilan Yong-yo yang ikut pasukan tentara
menjajah ke tempat jauh ini, memangnya juga bukan atas
kcmauan n y a sendiri.
Dalam beberapa tahun paling akhir ini, ia memusatkan
perhatiannya untuk mempelajari Di-king dan kitab-kitab sastra
sesudah dinasti Tong, ia juga sedang mempersiapkan sebuah
kitab besar yang ia beri nama 'Thong-ci-tong-king-kay' dengan
tujuan sebagai modal mengembangkan namanya supaya lebih
tenar, tak tahunya kemudian Kaisar Khong-hi membawanya ke
daerah perbatasan yang terpencil ini untuk menghantam
golongan minoritas atau suku bangsa kecil.
Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan, dimana
pasukan tentara kerajaan lewat, di situlah lantas tertimpa
bencana, peternakan yang tak terhitung banyaknya dirampas
tidak semena-mena dan menambah mala-petaka yang tak
habis-habisnya bagi rakyat penggembala di padang rumput.
Dalam hati ia sendiri tidak tega menyaksikan penderitaan
rakyat itu, tetapi ia adalah bangsawan kerajaan, ia tak bisa
berkhianat secara terus terang, oleh karena itu juga, jiwanya
sangat tertekan dan selalu masgul.
Pada hari itu, bersama pasukan besar ia sampai di suatu
tempat tak jauh lagi dengan perbatasan Tibet, di atas kudanya
ia berdiri di suatu dataran tinggi, memandang jauh dan
tertampak bunga salju beterbangan memenuhi angkasa, bumi
seperti penuh tumpukan batu permata karena timbunan salju
yang menimbulkan rasa sunyi. Ia terkenang pada mendiang
isterinya yang tercinta dan seakan tiada manusia lagi yang
dapat memahami dirinya. Oleh karena itu ia hendak
menghabiskan waktunya dalam soal sastra, tak tahunya masih
dipaksa mengikuti pasukan tentara yang menjajah ke tempat
jauh ini. Berulang-ulang Yong-yo menghela napas panjang, lalu ia
kembali ke dalam kemah dan memegang alat tulisnya pula
untuk melampiaskan perasaan masgulnya di atas kertas.
Habis menyelesaikan syairnya, ia menambahi kalimat
syairnya dan kemudian membubuhi pula catatan di bawahnya
"Saysiang-yong-swat-hoa' yang berarti menyanyikan kembang
salju di daerah perbatasan.
'Ya, aku mirip kembang salju saja di daerah perbatasan ini,
suka akan kesunyian dan jemu pada keramaian," demikian
pikirnya. "Tetapi walaupun aku punya bibit lain, justru
tumbuhnya bagai bunga di keluarga jaya, sungguh nasib telah
mempermainkan manusia."
Selesai ia bersyair, ia ingin mencari orang buat sama-sama
menikmati keindahan syairnya itu, namun bila ia memandang
sekelilingnya, ia jadi merasa sunyi lagi.
"Sesudah isteriku yang tercinta dan bibi meninggal, rasanya
mencari orang buat pasang omong saja sulit," ia menghela
napas pula. Tiba-tiba ia jadi teringat pada Boh Wan-lian, entah gadis
aneh pengelana yang paham seni suara dan mahir bersyair ini
kini berada dimana" Teringat akan itu, tak terasa ia
mengangkat pimya pula, ia menyairkan lagi untuk mengenang
pertemuannya dengan Boh Wan-lian dulu yang menarik dan
mengesankan itu.
Selesai ia menulis, ia melemparkan pirnya dan menghela
napas pula. Bila terkenang pada waktu sama-sama menikmati
bunga teratai dengan Boh Wan-lian tahun yang lalu, ia jadi
termenung lagi.
Dan pada saat itulah, tiba-tiba terdengar di luar perkemahan
ada suara ribut-ribut.
Nilan Yong-yo coba melongok keluar, ia lihat beberapa
prajurit sedang ribut-ribut mengerumuni seorang tua dan
seorang gadis, rombongan domba sedang berlari bersebaran
di kejauhan perkemahan. Orang tua dan gadis itu berdandan
bangsa Kazak, yang tua berjenggot pendek kaku, sikapnya
gagah dan keren, tetapi kalau dilihat lebih teliti, di antara
kekerenannya tersembunyi pula sifat halus. Sedang gadis itu
bermuka potongan daun sirih, alisnya panjang lentik bagai
dilukis dan matanya jeli, lebih mirip gadis di daerah selatan.
Sementara itu para prajurit itu sedang menggoda si gadis.
Nilan Yong-yo maju menghentikan tingkah laku serdaduserdadu
yang tengik itu, ia bertanya sebabnya terjadi ributribut.
"Rombongan domba kami terpencar oleh karena diterjang
S06 807 kuda serdadu Tuan, belum lagi kami minta ganti kerugian
mereka, sebaliknya mereka malah menyeret kami ke sini,"
demikian tutur si gadis penuh penasaran.
Nilan Yong-yo mengkerut kening, ia dapat menduga tentu
karena paras si gadis yang cantik, maka serdadu itu sengaja
hendak menggodanya. Soal perampasan peternakan oleh
tentara Boan dan menindas rakyat jelata sudah soal biasa saja
apalagi hanya menerjang rombongan domba.
Terhadap disiplin tentara Boan yang jelek itu, Nilan Yong-yo
sendiripun merasa pedih dan jengkel, semula ia berpikir
hendak mendamprat serdadu yang mengganggu itu, tetapi
kemudian dilihatnya si gadis berani bicara tanpa canggung, ia
jadi curiga pula.
Kaum wanita di padang rumput, biasanya bila berhadapan
dengan tentara Boan bagai domba bertemu srigala, untuk
menghindarkan diri saja kuatir terlambat, tidak nanti berani
bicara seperti gadis ini, demikian pikirnya.
"Kau orang dari mana?" tanyanya kemudian pada gadis itu.
"Tempat pendudukan pasukan tentara ini,, mana boleh kau
menggembala domba sesukanya?"
"Aneh, padang rumput demikian luas, kami tak boleh
menggembala domba lalu apa suruh kami makan angin?"
jawab gadis tadi berani.
Tercengang juga Nilan Yong-yo atas jawaban orang, tetapi
segera ia mengunjuk rasa kurang senang.
"Gadisku ini tidak pintar bicara, harap Ciangkun (jenderal)
suka memaafkan," cepat penggembala tua tadi menyela.
"Domba tak kami inginkan lagi, yang kami harap ialah sudilah
melepaskan kami!"
'Tidak, tidak boleh, harus didenda dulu!" kata Yong-yo
sengaja. Nampak Nilan-kongcu tidak mendamprat mereka, bahkan
malah melindungi mereka sudah tentu para serdadu tadi
menjadi girang, tetapi mereka juga merasa sayang kalau
Nilan-kongcu betul-betul menghukum si gadis, maka beramai
mereka pun berteriak, "Ya, ya hukum dia meniup suling saja
permainan sulingnya bagus sekali dan enak didengar!"
"Apa betul?" kata Nilan Yong-yo tersenyum waktu melihat
di tangan si gadis betul-betul memegang sebuah suling
pendek. "Tadi kami menyaksikan di samping menggembala ia
sembari menyuling juga!" seru serdadu itu beramai.
Tiba-tiba Nilan yong-yo bermuka keren dan berlagak
seperti sungguh-sungguh. "Baiklah," katanya kemudian. "Kau
dihukum entengan, ialah kau harus menyulingkan satu lagu."
Mulut gadis menjengkit berlagak seperti tak sudi.
"Nak, baiknya kau lantas meniup saja!" si orang tua coba
membujuk. Seakan terpaksa, si gadis mengangkat sulingnya sambil
mengunjuk rasa dongkol. "Baiklah, biar aku meniupnya"
katanya kemudian.
Segera jarinya bekerja ia menyuling dengan nada yang
penuh mengandung perasaan, sedang si orang tua
menyanyikan suatu lagu mengiringinya. Mendengar lagu yang
dinyanyikannya itu, tiba-tiba Nilan Yong-yo terkejut.
Yang dinyanyikannya itu ternyata bukan lain daripada syair
yang pernah ia tulis di atas dinding batu beberapa hari
berselang, bagaimana dapat dibaca oleh gadis ini" Seumpama
telah dilihatnya syair itu, namun bagaimana begitu cepat
sudah sampai di sini" Apakah orang sengaja datang hendak
mencari padanya" Begitulah penuh tanda tanya hati Nilan
Yong-yo. Karena itu sengaja ia menjajalnya lagi.
"Lagu tadi kurang merdu, sekarang hukum lagi kau
menyanyikan sendiri suatu lagu lainnya," perintahnya
kemudian pada si gadis.
Segera juga para serdadu bersorak menyatakan akur.
Terpaksa secara ogah-ogahan, si gadis tarik suaranya.
Dan belum habis lagu itu dinyanyikannya, Nilan Yong-yo
telah dibikin lebih heran lagi.
Syair lagu yang dinyanyikannya itu ternyata adalah ayair
ciptaannya mengenangkan isterinya, yakni syair yang pernah
ia suruh nyanyikan seorang penyanyi sewaktu untuk pertama
kalinya ia bertemu dengan Boh Wan-lian di taman istana
Perdana Menteri, tatkala itu Boh Wan-lian menyamar sebagai
jejaka, dan sehabis mendengarkan nyanyian dimana kemudian
mereka saling mempersoalkan sajak dan sama-sama
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menikmati bunga teratai yang indah di empang.
Hati Nilan Ybng-yo jadi tergoncang, ia coba mengamatamati
pula si gadis ini, kalau melihat potongannya memang
mirip Boh Wan-lian, tetapi paras mukanya ternyata berlainan,
ketika ia merasa heran dan sangsi, tiba-tiba sepasang matabola
si gadis itu mengerling ke jurusannya.
Mendadak Nilan Yong-yo ingat pada sepasang mata Boh
Wan-lian yang bersinar jernih, hatinya tergerak. Waktu ia
menegasi lagi, ia merasa potongan tubuh si gadis ini memang
begitu dikenalnya samar-samar memang persis lenggaklenggok
Boh Wan-lian. Tetapi wajah mukanya tetap berlainan,
ia merasa aneh sekali, lantas ia membentak membubarkan
serdadu yang berkerumun dan kemudian membawa 'ayah dan
gadis' itu masuk ke dalam perkemahannya.
Sedikitpun Boh Wan-lian tidak menunjuk rasa takut, ia
mengikuti Niian Yong-yo masuk ke dalam tenda di tengah
markas tentara Boan.
Nilan Yong-yo seorang diri menempati sebuah tenda besar,
walaupun di tengah perjalanan pasukan, namun pajangan
dalam kemah masih tampak teratur dan rajin sekali. Lalu ia
menyuruh pelayannya menyingkir semua dan kemudian
menyilakan Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian duduk.
"Di gurun luas dan tempat terpencil ini, susah mencari
kawan sepaham, hari ini bisa bertemu kalian, sungguh hal
yang menggembirakan sekali," demikian dengan tersenyum
Nilan Yong-yo berkata. "Tetapi syairku yang jelek dan cetek,
tiada harganya dilagukan dan dinyanyikan, maka harap nona
suka menyanyikan pula satu lagu lainnya saja."
"Mengapa Kongcu lebih dulu congkak dan menghormat di
belakang?" kata Wan-lian dengan senyum manis.
Akan tetapi tak urung ia penuhi juga permintaan orang, ia
mengangsurkan sulingnya pada Pho Jing-cu agar
mengiringinya dan kemudian ia menggerakkan bibirnya yang
mungil menyanyi pula.
Yang dinyanyikan kali ini adalah sebuah lagu yang disebut
'Kim-lio-kiok', lagu gubahan salah seorang sahabat Nilan
Yongyo yang bernama Koh Liang-fun, di dalam lagu ini
mengandung sebuah cerita yang menarik.
Pada permulaan Kaisar Khong-hi bertakhta, salah seorang
sahabat Nilan Yong-yo yang lain, Go Han-cah terkena perkara
dan dibuang ke Ling-koh-tah, suatu tempat terpencil di
perbatasan timur-laut. Koh Liang-fun adalah sahabatnya juga
maka khusus ia menulis dua syair 'Kim-lio-kiok' dan
mengirimkannya pada Nilan Yong-yo dengan harapan
meminta pertolongannya.
Dan karena kedua syair yang penuh rasa suka-duka itu,
maka Nilan Yong-yo sangat tertarik, lalu ia memintakan
pengampunan pada ayahnya dan berhasil menolong Go Hancah
kembali. Lagu yang dinyanyikan Boh Wan-lian tadi adalah satu di
antara dua syair itu. Maka dengan sendirinya mengandung arti
yang dalam sekali.
Nilan Yong-yo memang cerdik, tentu saja segera ia dapat
menangkap maksud nyanyian itu, "Apakah nona ada
hubungan sanak- famili dengan yang ditangkap tanpa
berdosa?" tanyanya.
"Sukakah Kongcu menolong?" Wan-lian berbalik bertanya.
"Lihat dulu siapa orangnya?" ujar Yong-yo. "Jika orang nya
seperti Go Han-cah yang terkenal itu, dengan sendirinya aku
suka menolongnya."
"Go Han-cah hanya kaum terpelajar yang tinggi hati, tetapi
kawanku itu ialah seorang pendekar kosen di zaman ini,"
sahut Wan-lian.
"Siapa dia?" tanya Nilan Yong-yo tertarik.
"Leng Bwe-hong yang pernah membikin Kaisar sekarang ini
tak enak makan dan tak enak tidur!" dengan tertawa Boh
Wan-lian menerangkan.
Keruan saja Nilan Yong-yo terperanjat, ia coba
menenangkan diri, ia mengawasi Boh Wan-lian dan Pho Jingcu
lagi dengan mata tak berkedip.
"Apa Kongcu tak kenal lagi pada sahabat lama?" sapa Wanlian
pula dengan tertawa.
Girang luar biasa bercampur terkejut, sungguh Yong-yo tak
menyangka akan bertemu dengan Boh Wan-lian di sini, tanpa
terasa ia menggenggam kencang kedua tangan anak
dara itu. "Ah, nona Wan-lian kiranya?" tanyanya cepat dengan suara
terputus-putus tak percaya atas penglihatannya sendiri.
"Tetapi mengapa wajahmu telah berubah" Dan dia ini siapa?"
"Ia adalah tabib tersohor di zaman ini, Ph" Jing-cu," Wanlian
memperkenalkannya.
Segera Nilan Yong-yo melepaskan tangan Boh Wan-lian
untuk kemudian menggenggam kencang tangan Pho Jing-cu,
berulang ia mengutarakan rasa kagumnya pada orang tua ini.
Pho Jing-cu selain tinggi ilmu silat dan ilmu tabibnya, ia pun
tersohor dengan seni lukis dan seni sastranya, kalau dihitung
masih tergolong tingkatan lebih tua daripada Nilan Yong-yo.
"Sudah lama aku mengagumi Pho-losiansing, di dalam
kerajaan aku pun pernah melihat gambar Cianpwe, tetapi
maafkan aku bertanya, mengapa parasnya berlainan dengan
gambar yang pernah kulihat itu?" tanya Nilan Yong-yo setelah
agak lama mengamat-amati orang.
"Bagaimana di dalam kerajaan bisa terdapat gambar Phopepek?"
sela Wan-lian heran.
"Malah juga terdapat gambarmu!" kata Yong-yo tertawa.
"Sesudah malam itu kalian membikin onar di Jing-liang-si,
dengan segera Hongsiang telah memerintahkan pelukis
melukiskan wajah kalian sebagai bahan untuk menangkap
kalian, apakah kau masih belum mengetahui?"
"Ya, oleh karena sudah menduga akan hal itu, maka
dengan sedikit kepandaianku, aku telah merubah wajah asli
kami," kata Pho Jing-cu tertawa.
Nilan Yong-yo bertambah kagum pula mengetahui orang
masih mempunyai kepintaran menyamar.
"Ilmu pertabiban Losiansing sungguh hebat sekali," ia memuji.
"Kalau begitu, paras nona Boh tentu juga buatan
Losiansing."
"Ya," Wan-lian membenarkan. "Kalau ingin kembali ke
wajah yang sebenarnya, cukup asal ada sepanci air dingin
saja." "Lebih baik tak usah saja," ujar Yong-yo sambil
menggoyang tangannya.
Wan-lian bertanya pula tentang diri Leng Bwe-hong,
ternyata Nilan Yong-yo sendiri belum mendapat kabar
beritanya. "Aku sendiripun tidak tahu," kata Yong-yo. "Biarlah nanti
kalau aku bertemu dengan Hongsiang, aku akan menyelidiki
untukmu."Tetapi aku pun hendak menasehatimu, harap
jangan membikin ribut lebih jauh di Sinkiang lagi. Sama
seperti kalian, aku pun jemu peperangan, aku sangat
menyesalkan perampasan yang telah dilakukan tentara
kerajaan, tapi rupanya sudah takdir, kecil tak bisa melawan
yang besar, apa gunanya lagi berkorban dengan sia-sia?"
"Aku tidak setuju dengan pendapat Kongcu," bantah Wanlian.
"Kongcu orang pandai dan banyak membaca tentu
mengetahui peribahasa yang mengatakan bahwa 'lebih baik
menjadi Giok yang retak daripada menjadi genteng yang
utuh', tanpa sesuatu alasan pasukan kerajaan telah menjajah,
kenapa rakyat penggembala di padang rumput tidak boleh
bangkit melawannya?"
Nilan Yong-yo terdiam atas debatan orang, lama dan lama
sekali baru ia buka suara pula, "Sudahlah, hari ini kita hanya
berbicara tentang persahabatan saja dan jangan
mempersoalkan urusan negara, maukah?"
Dalam hati kecilnya ia menderita sekali oleh perasaan yang
bertentangan itu. Kalau ia menaruh rasa simpati kepada pihak
Boh Wan-lian, maka di samping itu ia pun tidak boleh
mengkhianati keluarga kerajaan. Oleh karena itu, lebih baik ia
menghindari dan tidak membicarakan soal politik.
Tengah mereka bicara, tiba-tiba terdengar di kejauhan di
luar perkemahan itu ada suara bentakan yang meminta jalan.
"Celaka, Hongsiang telah datang!" kata Nilan Yong-yo
dengan kuatir. "Lalu, apakah kami harus menyingkir untuk sementara atau
tidak?" tanya Jing-cu cepat.
"Tak usah, Hongsiang takkan mengenali kalian," kata Yongyo
akhirnya setelah memandang mereka lagi.
Kemudian layar tenda disingkap, maka masuklah Khong-hi
pelahan dengan membawa beberapa pengawal.
Oleh karena terpaksa, Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian harus
ikut menjura juga seperti Nilan Yong-yo.
S12 81.1 Ketika mereka melirik, ternyata seorang di antara pengawal
itu ialah Thio Sing-pin, wakil pemimpin pasukan pengawal
'Kim-wi-kun', yaitu orang yang dulu pernah mengepung Bukehceng di Ngo-tai-san.
Khong-hi sendiripun merasa heran waktu mengetahui di
dalam tenda itu terdapat pula dua orang asing.
"Karena terlalu iseng, maka aku telah mengundang seorang
nona gembala buat menyanyikan lagu-lagu daerah mereka,"
lekas Nilan Yong-yo melapor untuk menghindarkan kecurigaan
Khong-hi. Ketika Khong-hi menampak Boh Wan-lian berparas cantik
manis, maka ia pun mempunyai dugaan sendiri, ia hanya
tersenyum saja dan kemudian menuding Pho Jing-cu pula.
"Dan siapa yang ini?" tanyanya tiba-tiba.
"Ayah nona ini," jawab Yong-yo. "Ia biasa menjalankan
pertabiban di padang rumput, banyak mengetahui penyakit
aneh di daerah perbatasan ini."
"Kau memang selalu suka bergaul dengan orang-orang
aneh dari kaum pengembara semacam ini," ujar Khong-hi.
"Tetapi baiklah, jika kau suka, maka aku boleh mengizinkanmu
menahan mereka tinggal di dalam pasukanmu."
Nilan Yong-yo menyatakan terima kasihnya atas perkenan
itu. "Kalau orang ini paham ilmu pertabiban, aku ingin
menyuruhnya coba mengobati Sam-pwelik dan yang lain,"
terdengar Khong-hi berkata pula. "Mereka berdua telah
terkena penyakit bisul beku hebat sekali. Hai, apakah kau bisa
mengobati penyakit itu?"
"Itu hanya penyakit kecil yang biasa terjadi di padang
rumput," sahut Jing-cu. "Cukup asal diobati semacam rumput
yang tumbuh di sini, tak usah tiga hari pasti akan sembuh."
"Bagus, kalau begitu kau boleh lantas pergi mengobatinya!"
kata Khong-hi. Lantas ia memerintahkan pula seorang
pengawal mengiringi Pho Jing-cu pergi.
"Coba lihat, bukankah aku sangat baik hati padamu?" bisik
Khong-hi di pinggir telinga Nilan Yong-yo.
Nyata dikiranya Nilan Yong-yo telah menyukai nona
gembala ini, maka dengan sengaja ia menjauhkan ayahnya
agar Yong-yo bisa berada sendirian dengan nona gembala itu.
Yong-yo mengerti maksud perkataan Sri Baginda itu, keruan
mukanya merah jengah, tapi sedikitpun ia tak bisa berbuat
apa-apa. "Aku memimpin pasukan sendiri menyapu bersih negeri
lawan dan mengeluruk sampai di tanah perbatasan ini,
membuka daerah baru dan merintis perluasan negeri,
kejayaan negara ter-mashur hingga jauh," demikian Khong-hi
mengoceh dengan bergelak tertawa. "Kau banyak membaca
kitab kuno, coba katakanlah, kepala negara yang pintar
selama beberapa dinasti berturut-turut ini, dapatkah aku
termasuk seorang di antaranya?"
"Baginda punya kekuatan begini besar, dibanding dengan
Cin-si-ong, Han-bu-te, Tong-thay-cong dan Song-thay-co
tentu tidak kalah," ujar Yong-yo. "Jika di antara kebesaran itu
dapat ditambah pula dengan pemerintahan yang baik dan
bermanfaat bagi rakyat, pasti akan lebih meninggalkan nama
harum dalam sejarah."
"Ah, bagaimanapun memang pandangan Susing (kaum
sekolahan) saja" kata Khong-hi bergelak tertawa pula. "Kita
masuk ke pedalaman belum ada tiga puiuh tahun, sudah
seharusnya keras dulu dan halus belakangan, jika tidak
mengunjukkan kewibawaan tentara kita, bagaimana bisa
menduduki empat penjuru negeri asing?"
Setelah temberang sebentar, dari mula sampai akhir
ternyata Khong-hi tidak menyinggung soal Leng Bwe-hong.
Di luar tenda angin malam sudah mulai menderu, di
kejauhan suara Ohka (semacam alat tiup suku bangsa di
daerah utara) memperdengarkan lagu-lagu yang memilukan,
cuaca ternyata sudah magrib. Dan sesudah Khong-hi minta
beberapa syair gubahan baru dari Nilan Yong-yo, tak lama
kemudian ia pun berlalu.
"Sukalah Hongsiang meninggalkan Thio Sing-pin di sini,
hamba ingin minta pelajaran beberapa jurus ilmu silat dari
dia," pinta Nilan Yong-yo sebelum Khong-hi melangkah pergi.
Nilan Yong-yo memiliki kepandaian 'Bun-bu-cwan-cay',
kepandaian baik silat maupun surat, kecuali bersekolah, soal
menunggang kuda, memanah dan sebagainya ia pun bisa
"Hari ini kau menjadi begitu iseng?" kata Khong-hi tertawa
Dan sudah tentu ia memenuhi permintaan orang. Setelah
mana dengan iringan pengawal lainnya segera ia berlalu dari
tenda Nilan Yong-yo.
Sebenarnya Yong-yo tidak bermaksud belajar silat
sebagaimana dikatakannya tadi, yang benar ialah hendak
mencari kabar Leng Bwe-hong. ia mengetahui di antara Thio
Sing-pin dan Coh Ciau-lam ada sedikit selisih paham, maka
dengan sengaja ia minta Thio Sing-pin ditinggalkan.
"Sudah lebih 20 tahun kau berada dalam kerajaan bukan?"
tanya Yong-yo pada Thio Sing-pin sesudah Khong-hi pergi.
"Ya, sudah 27-28 tahun," sahut Thio Sing-pin. "Belum ada
tiga tahun Kaisar yang dulu naik takhta, hamba sudah ada di
sana." "Hingga kini kau masih tetap menjabat Huthongling (wakil
komandan) dari Kim-wi-kun?" tanya Nilan Yong-yo pula.
"Ya, hamba menjabat Huthongling juga hampir sepuluh
tahun," jawab Thio Sing-pin.
"Coh Ciau-lam malahan cepat sekali naik pangkatnya," ujar
Yong-yo seperti tidak sengaja.
"Itu sudah seharusnya" kata Sing-pin. "la mempunyai ilmu
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
silat tinggi, berulang-ulang menberikan pahala pula, kami
orang-orang lama tak bisa dibandingkan dia lagi."
Walaupun berkata demikian, tapi dari sikapnya tampak ada
rasa penasaran.
"Betulkah begitu?" kata Nilan Yong-yo tersenyum.
"Mengapa ia tidak kelihatan paling belakangan ini?"
"Sesudah ia menjabat Thongling, banyak sekali saudara
kita yang gugur," kata Thio Sing-pin pula, ternyata
menyimpang dari pertanyaan orang. "Tetapi kalau yang
seorang berhasil dan yang lain harus berkorban, itupun tidak
menjadi soal."
"Coh Ciau-lam terlalu suka berebut jasa aku tidak suka
padanya," ujar Yong-yo. "Sebenarnya, sebagai pemimpin
orangnya harus sedikit berbudi. Dalam hal ini, nyata kau lebih
unggul daripada dia."
Thio Sing-pin merasa senang dipuji, segera ia berlutut dan
berkata. "Untuk selanjurnya masih mengharap bantuan dari
Kongcu." Nilan Yong-yo segera membangunkannya.
"Belum lama berselang, dengan Seng Thian-ting ia
bertugas pergi dengan belasan orang pengawal kelas satu,"
tutur Thio Sing-pin kemudian. "Tetapi kecuali mereka berdua,
yang lain ternyata terbinasa semua dan hanya dapat
menangkap seorang musuh saja"
"Ha! Kalau begitu musuh tentu sangat lihai sekali," seru
Nilan Yong-yo. "Dan siapakah yang tertangkap itu?"
"Leng Bwe-hong, orang yang pernah membikin ribut di
penjara istana dulu itu," sahut Thio Sing-pin menerangkan.
Habis berkata, ia memandang sekejap pada Boh Wan lian.
Tetapi Wan-lian sengaja menundukkan kepala dan pura-pura
bermain dengan menggulung-gulung sapu tangannya
"Nona gembala ini takkan tahu urusanmu yang tetek
bengek, tiada halangannya kau bercerita terus," kata Yong-yo
dengan tersenyum.
"Meski sudah rugi begitu banyak orang, namun Hongsiang
masih memuji padanya," demikian Thio Sing-pin melanjutkan.
"Mengapa aku tidak mendengar Hongsiang bercerita
tentang hal ini, apakah Leng Bwe-hong itu sudah dibunuh?"
tanya Yong-yo. "Beberapa hari ini Hongsiang sedang repot menggerakkan
tentaranya untuk menyerbu ke Mongol dan Tibet, baru hari ini
ada sedikit tempo luang, mungkin melihat Kongcu ada tamu,
maka tidak ia ceritakan," ujar Thio Sing-pin. "Sedang Leng
Bwe-hong sudah dibunuh atau belum, hamba sendiripun tidak
mengetahui. Kabarnya Hongsiang telah menyerahkan pada
Coh Ciau-lam untuk diputuskannya sendiri, dan kabarnya pula
Coh Ciau-lam masih sayang untuk membunuhnya"
"Aneh, apakah mereka memang sahabat baik?" tanya Nilan
Yong-yo heran. "Lebih dari itu. Malahan mereka masih terhitung Suhengte
(kakak beradik seperguruan)," Thio Sing-pin menjelaskan.
"Kabarnya oleh sebab itu juga, maka Coh Ciau-lam hendak
memaksa agar Leng Bwe-hong menyerahkan kitab pelajaran
ilmu silat peninggalan guru mereka"
"Mengapa Coh Ciau-lam tidak menggiringnya ke sini?"
tanya N ilan Yongtyo pula.
"Hongsiang memerintahkannya pergi membantu Sampwelik,"
Thio Sing-pin menerangkan.
Tanya-jawab sampai di sini, kemudian Nilan Yong-yo
bertanya lagi beberapa soal ilmu silat, lalu menyuruh Thio
Sing-pin pergi.
Sesudah Thio Sing-pin berlalu, hari sudah gelap. Tiba-tiba
Hongsiang menyuruh orang mengantarkan 'Liong-yan-hiang'
keluaran Tibet dan pakaian Kiongli (dayang wanita kerajaan).
Nampak barang-barang itu, Nilan Yong-yo menjadi jengah
dan serba salah, dengan muka merah ia menghadapi Boh
Wan-lian. Dengan mengirim barang itu, terang kaisar Khong-hi
menganggap Boh Wan-lian sebagai selir baru dari Nilan Yongyo.
'Liong-yan-hiang' konon adalah semacam dupa wangi yang
terbuat dari sesuatu bagian tubuh binatang yang khasiatnya
membikin kuat tubuh.
Jika Nilan Yong-yo merasa jengah, adalah Boh Wan-lian
bersikap biasa saja, ia pura-pura tidak tahu maksud barang
itu, sesudah pesuruh pergi, ia berkata dengan tersenyum
manis, "Sahabat lama bertemu kembali, sambil membakar
dupa mengobrol di malam hari, termasuk juga suatu
kesenangan hidup manusia."
Melihat Boh Wan-lian berkata tanpa ragu dan berterus
terang. Nilan Yong-yo menyesalkan diri sendiri berpikir yang
tidak-tidak dan menyeleweng.
"Bila nona tidak tidur, maka baiklah aku pun takkan tidur,"
kata Yong-yo akhirnya dengan tersenyum.
Dengan api lilin yang menyala terang sambil membakar
dupa wangi dan menghadapi air teh, mereka bercakap di
malam hari. "Nona benar-benar memandang berat sekali tentang
persahabatan hingga rela menghadapi bahaya besar untuk
Leng Bwe-hong," kata Nilan Yong-yo.
"Dan semua itu masih mengharapkan bantuan Kongcu,"
sahut Wan-lian.
"Coh Ciau-lam diperintahkan membantu Sam-pwelik In
Te, kalau begitu kini ia tentu berada di Tibet," ujar Yong
yo. "Di bawahan In Te terdapat banyak sekali jagoan mungkin
tidak gampang untuk menolongnya."
'Pwelik* berarti Pangeran dalam bahasa Boan, Sam- pwe-lik
artinya Pangeran ketiga
"Asal sudah berusaha sekuat tenaga, berhasil atau tidak,
itulah terserah takdir," ujar Wan-lian.
"Sayang aku tidak bisa membantu kalian," kata Yong-yo
kemudian. "Kau telah membantu dan berhasil mendapat kabarnya,
kami sudah sangat berterima kasih," sahut si gadis.
Habis itu, lalu pembicaraan mereka beralih ke soal syair
dan sastra. Asyik dan cocok sekali pandangan mereka dalam
hal itu. Di luar kemah angin malam menderu, sebaliknya di
dalam kemah suasana hangat seperti di musim semi.
Setelah mendengarkan Boh Wan-lian menceritakan nasib
keluarganya dan pengalaman hidupnya, Nilan Yong-yo merasa
terharu dan ikut menyesal, tidak terkecuali pula merasa
kagum. "Tatkala itu, ayahmu meninggal dan ibu berpisah meski
masih hidup, ketinggalan kau yang piatu mengembara ke
seluruh pelosok, sungguh sulit juga keadaanmu," katanya
kemudian menghela napas.
"Ya, tapi kalau sudah biasa lantas tidak terasa," ujar Wanlian.
"Sebenarnya aku pun tidak merasa kesunyian, aku punya
Pho-pepek dan banyak pula kawan baik lain yang selalu
berada bersamaku."
"Sebab itu juga, aku bilang kau lebih beruntung daripadaku,"
kata Nilan Yong-yo.
Lalu ia pun terkenang pada mendiang isterinya yang
tercinta itu, ia memandang gadis jelita yang berada di
depannya, tak urung hatinya tergoncang juga. Tiba-tiba ia jadi
teringat pada 'kawan baik' yang disebut Boh Wan-lian tadi,
tentunya termasuk juga 'anak tolol' itu. Tak tertahan lantas ia
bertanya, "Itu itu,ah, aku lupa namanya, apa tidak datang ke
sini bersamamu?"
"Ia bernama Kui Tiong-bing," dengan tersenyum manis Boh
Wan-lian menerangkan. "Ia terlalu bodoh, aku kuatir, maka
tidak menyuruh dia ikut."
Namun terasa sekali pada lagu suara si gadis itu penuh
mengandung rasa kasih sayang yang tak terbatas, seketika
Nilan Yong-yo merasa dirinya seperti disiram air dingin.
"?Kalau Kui-heng tahu perhatianmu kepadanya, entah
betapa ia akan berterima kasih padamu," katanya kemudian
dengan tertawa paksa.
"Kalau dua hati sudah menjadi satu, sudah tiada soal
terima kasih lagi," sahut Wan-lian.
"Betul, sungguh bodoh aku ini," kata Nilan Yong-yo pula
dengan tertawa sambil mengetok jidat sendiri. "Perkataanku
itu sama seperti tulisan jelek di dalam syair yang tak dapat
mengutarakan perasaan sejati."
"Bertambah seorang yang dapat memahami isi hati masingmasing
lantas banyak berkurang rasa kesunyian, maka
baiknya kau lekas menyambung jodohmu lagi," tiba-tiba Boh
Wan-lian menasihati.
"Sudah terlalu banyak mengalami pahit getir, mungkin
susah bagi hati tergerak pula," ujar Nilan Yong-yo.
"Meskipun aku belum menikah, tetapi menurut pendapatku
di antara suami-isteri, yang diharap apabila bisa cocok, itu
sudah merupakan perjodohan bahagia" kata Wan-lian pula
dengan tertawa. "Maka jangan terlalu mengharapkan harus
segalanya cocok. Misalnya aku dan Kui Tiong-bing, kami
sama-sama putera-puteri dari kalangan Kangouw, aku suka
pada ketulusan dan kejujurannya walaupun ia tidak paham
tentang syair atau sajak, aku pun tidak menyesal. Dengan
kedudukan dirimu, kau bisa leluasa mencari gadis yang
berwatak halus dan berbudi, mengapa harus terlalu pilih-pilih."
"Terima kasih atas perhatian nona" kata Nilan Yong-yo
mengangguk-angguk dengan kikuk.
Hari makin jauh malam dan pembicaraan mereka pun
makin asyik. Nilan Yong-yo merasakan bau dupa yang harum
meresap memabukkan, membikin pikirannya melayang jauh.
"Tahun yang lalu kita bersama-sama menikmati keindahan
bunga teratai di kota-raja," katanya tiba-tiba. "Habis itu
senantiasa aku merasa bau harum itu tidak bisa dinikmati lagi
selama hidup ini. Siapa kira masih ada pula pertemuan malam
ini." Boh Wan-lian cukup ceTdik, ia mengerti kemana arah
perkataan orang hendak menuju, biji matanya berputar lantas
ia menyimpangkan pokok pembicaraan orang.
"Kongcu adalah pujangga di zaman ini, aku beruntung bisa
bicara lama dengan Kongcu, kalau tidak minta pelajaran sajak,
apakah tidak sia-sia pertemuan malam ini?" katanya
kemudian. Nilan Yong-yo sangat gembira mendengar orang berbicara
mengenai sajak.
"Nona sendiri cerdik pintar, gubahan sajakmu tentu bagus
sekali," katanya sambil bertepuk tangan. "Uraikanlah biar aku
yang menulis," kata Yong-yo pula sambi! mengambil pit dan
menyediakan kertas.
Tanpa ragu Boh Wan-lian pun mulailah bersajak, ia
mengutarakan semua isi hatinya dalam sajaknya itu.
Sembari menulis, dalam hati Nilan Yong-yo pim berdebar.
"Sajak ini ternyata sengaja kautujukan padaku?" tanyanya
dengan tersenyum getir sehabis sajak itu selesai ditulisnya.
Boh Wan-lian mani anggut tanda tidak bersalah.
"Terima kasih atas kebaikanmu!" kata Yong-yo dengan
suara rendah, lalu ia menggulung kertas yang berisikan syair
itu. Dengan syairnya itu, ternyata Boh Wan-lian telah
mengutarakan seluruh rasa persahabatannya, tetapi di
samping itupun mengandung arti yang dalam dan luas sekali.
Pertama-tama ia mengutarakan perasaannya yang membenci
peperangan, tetapi karena persoalan mengenai tanah air, tak
dapat tidak harus memanggul kewajiban sebagai putera-puteri
ibu pertiwi untuk melawan musuh, dalam bagian tengah ia
menyesalkan persahabatan mereka terpaksa hasus diikat di
antara dua orang yang berkedudukan lain dan berada dalam
pihak yang berlawanan, untuk bisa merapatkan persahabatan
tanpa terhalang, terkecuali kalau pasukan Boan ditarik kembali
ke tanah asalnya. Tetapi kini hal itu sudah tentu tidak mungkin
lagi. Betapapun memang peperanganlah yang menjadi
rintangan, sungguh merupakan penyesalan terbesar bagi
kehidupan manusia Akan tetapi soal penyesalan ini, ada
berapa gelintir manusia yang bisa merasakan"
Dan di bagian akhir, seakan ia telah langsung menjawab
perkataan Nilan Yong-yo tadi.
Tadi Nilan Yong-yo mengutarakan kenangannya pada
waktu mereka menikmati pemandangan di kota-raja. Kini
Wan-lian menjawabnya bahwa impian itu susah disambung
lagi, lihatlah apa yang terjadi di depan mata sekarang ini,
tentara Boan menjelajah sampai di padang rumput darah yang
membeku di atas rumput dan pasir saja belum lenyap. Dengan
adanya pertempuran ini, impian muluk itu bagaimana bisa
dilanjutkan pula" Persahabatan kita ini hendaklah kau anggap
sudah 'berlalu terbawa angin'. Sedang mengenai diriku, aku
masih tidak begitu lemah sebagaimana kaubayangkan.
Malahan mengenai dirimu, sebaliknya kuharap kau menjaga
diri baik-baik, kau hidup di keluarga kerajaan yang biasa hidup
terpencil, mungkin tak tahan oleh angin dingin di sini. Aku
mengharap kau dapat memegang teguh bahtera hidupmu,
seperti perahu yang laju di samudra raya, walaupun tiada
orang membantumu, namun kau dapat memegang kencang
kemudinya. Arti syair itu penuh rasa persahabatan yang tulus bersih,
jauh di atas hubungan persahabatan yang biasa. Tak tertahan
kedua mata Nilan Yong-yo basah berkaca, tetapi dalam
hatinya menjadi terang, ia merasa telah menodai perasaan
Boh Wan-lian yang agung.
"Subuh sudah hampir tiba, aku antar kau berangkat saja!"
kata Yong-yo akhirnya pelahan, ia menggenggam kencang
kedua tangan Wan-lian di antara sinar lilin yang kebat-kebit
tertiup angin. "Sudah dekat pagi, kau juga harus mengaso," begitulah
dikatakan Han Ci-pang terhadap Kui Tiong-bing pada saat itu
juga. Kalau Boh Wan-lian bercakap sepanjang malam dengan
Nilan Yong-yo, maka di lain pihak Kui Tiong-bing juga tidak
tidur semalam suntuk.
Dalam beberapa hari ini, karena pesan terakhir Sin Liongcu,
Han Ci-pang dan Kui Tiong-bing saling belajar menurut
turunan kitab '108 jurus ilmu pukulan ajaran Tat-mo' yang
diterima dari Sin Liong-cu itu.
Kui Tiong-bing sudah punya dasar yang kuat terhadap ilmu
silat itu ia pun cepat memahami jauh melebihi orang biasa.
Maka tiada berapa hari ia sudah melampaui Han Ci-pang
malah. Malam itu, ia melatih tiap gerak tipu dari ilmu silat Tat-mo
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang hebat itu, ia pelajari berulang-ulang, pelahan ia sudah
dapat mempersatukan ilmu silat itu sesuai kehendak hatinya,
Han Ci-pang menasihati agar pemuda itu pergi tidur, tetapi
Tiong-bing tidak menurut, sebentar-sebentar ia duduk
termenung, di lain saat ia melompat bangun lagi sambil kaki
bergerak-gerak dan tangan menari-nari, seperti orang
gendeng yang kesetanan.
Meskipun Ci-pang tidak begitu tinggi ilmu silatnya, tetap ia
pun tahu bahwa latihan Tiong-bing telah sampai tingkat yang
penting dan sedang memperdalam untuk memperoleh rahasia
intisari ilmu silat Tat-mo itu. Maka ia tak berani
mengganggunya lagi, dengan tercengang ia menyaksikan di
samping. Pelahan Han Ci-pang tak tahan juga oleh hawa dingin yang
menusuk di padang rumput itu, tiba-tiba suara ayam jago
berkokok terdengar pula di kejauhan, fajar telah menyingsing.
Waktu Ci-pang memandang Kui Tiong-bing lagi, terlihat
pemuda ini sedang berduduk lagi dengan sikap seperti Hwesio
tua yang lagi bersemadi, sedikitpun tidak bergerak.
Han Ci-pang hendak memanggilnya, sekonyong-konyong
terdengar Kui Tiong-bing berteriak keras, "Ya, ya, sudah dapat
sudah dapat!"
Setelah itu mendadak orangnya melompat bangun dan
melolos pedang Theng-kau-pokiam, dengan menurut ajaran
Tat-mo-kiam-hoat, segera pemuda itu bergerak cepat
beterbangan hingga hanya tertampak sinar perak berkilauan
membungkus tubuhnya.
Meskipun Han Ci-pang paham juga ilmu silat Tat-mo itu,
tetapi pandangannya kabur juga karena sinar pedang yang
gemerlapan itu. Di kala Kui Tiong-bing memutar pedangnya
hingga begitu cepat, kemudian mendadak merandek, lalu
lambat lagi, kelihatan menusuk ke barat dan ke timur, seperti
tidak bertenaga dan tidak sungguh-sungguh, tetapi buat kaum
ahli, justru gerakan itu sudah sampai pada puncak ilmu
kepandaian yang bisa mempersatukan pedang dengan
kehendak hatinya, ia bisa bergerak semaunya menurut
keinginannya Han Ci-pang menjadi kagum sekali nampak kemajuan
pemuda itu. "Soal ilmu silat, memang harus ada jodoh,"
demikian ia menghela napas tak tahan.
Dan belum lenyap suara perkataannya, mendadak
terdengar ada orang menyambung dan memuji, "Kiam-hoat
bagus!" Karena suara orang itu, cepat Tiong-bing memutar tubuh
dan mendadak menarik pedang dan menghentikan
permainannya. "Lan-cu, pagi sekali kau!" sapanya segera.
Lan-cu mengangguk dengan tersenyum. Tiba-tiba ia pun
mencabut pedangnya "Kui-toako, marilah kita coba berlatih,"
ajaknya tiba-tiba.
Tentu saja Kui Tiong-bing tercengang dan ragu, teringat
olehnya dulu pernah saling gebrak dengan Ie Lan-cu pada
waktu mereka bertemu untuk pertama kalinya di taman
Perdana Menteri Nilan, kala mana ia agak unggul, kini setelah
ia mendapatkan pula sari pelajaran Tat-mo-kiam-hoat, ilmu
silatnya entah bertambah berapa kali lipat daripada dahulu.
Tetapi justru karena ia baru saja dapat menyelami intisari ilmu
silat yang hebat itu, ia kuatir dirinya masih belum dapat
menguasai seluruhnya, lagipu-la Tat-mo-kiam-hoat sangat
ganas, jika seketika keliru tangan hingga melukai Lan-cu, hal
ini tentu sangat tidak mengenakkan. Oleh karena itu ia ragu
dan tak lantas menjawab ajakan orang.
Di pihak lain Ie Lan-cu seperti telah mengetahui apa yang
kawannya pikirkan, ia menggerakkan pedangnya dan lantas
berkata pula. "Tiada halangannya kau bergebrak dulu dengan
Ngo-kim-kiam-hoat, nanti jika kau merasa aku sudah lebih
maju daripada dahulu, barulah kau keluarkan rahasia ilmu silat
dari dunia persilatan yang baru kaupelajari itu!"
Karena tak mungkin menolak lagi, terpaksa Tiong-bing
menuruti ajakan orang. Selagi ia mengucapkan, "Silakan
menyerang!" tiba-tiba. Ie Lan-cu sudah mendahului dengan
sebuah serangan menuju ke dadanya.
Lekas Tiong-bing menangkis ke samping dengan
pedangnya, dalam pada itu beruntun Lan-cu sudah
menyusulkan pula tiga kali tusukan, Tiong-bing menarik
pedangnya untuk menjaga diri sambil dalam hati merasa
heran akan kecepatan dan kehebatan rangsekan kawannya
itu. Setelah saling gebrak hampir lima puluh jurus, Kui
Tiongbing ternyata harus menahan dengan berat sekali, ia
merasa seperti lebih berat daripada berhadapan dengan Coh
Ciau-lam. Segera ia pura-pura memberi sebuah serangan, setelah itu
cara bersilatnya ia ubah, ia memainkan Tat-mo-kiam-hoat
yang baru saja berhasil dipahaminya dalam sekejap saja
serangannya yang aneh membanjir dengan perubahan yang
tiada batasnya tak terputus-putus.
"Bagus!" seru Ie Lan-cu. Pedang pendeknya berkelebat
pula dengan hati-hati ia melayani kawannya yang sangat lihai
ini, ia menerobos kian-kemari di antara sinar pedang lawan.
Makin lama pertempuran kedua orang makin cepat. Pada
saat sudah cepat, pedang Kui Tiong-bing dapat digerakkan
sesuka hatinya, tiap gerakannya terasa angin menyambar dan
sinar pedang berkelebat.
Namun le Lan-cu pun tidak kalah tangkasnya ia dapat
berputar menurut gaya serangan lawan, bagaimanapun lihai
dan aneh gerak serangan Tiong-bing, selalu ia dapat
menghindarkan diri tepat pada waktu dan tempatnya.
Dengan cepat dan tak terasa, permainan Tat-mo-kiam-hoat
Kui Tiong-bing sudah hampir selesai dimainkan, tetapi
keadaan masih sama kuatnya.
Sementara itu tiba-tiba Ie Lan-cu membentak nyaring,
pedangnya mengayun cepat, ia ganti merangsek dengan
kencang, tubuhnya dengan gesit berlompatan dan pedangnya
mendesak terus tak pernah kendor.
Tiong-bing terkejut sekali, tak pernah ia menyangka Ie Lancu
bisa maju begitu cepat ilmu pedangnya hatinya tergerak
segera ia keluarkan seluruh intisari pelajaran Tat-mo yang
dipahaminya semalam, ia tidak mengurutkan cara Tat-mokiamhoat yang ia mainkan tadi, tapi ia pisahkan sekehendak
hatinya ditambah pula gerak serangan yang paling lihai dari
Ngo-kim-kiam-hoat, ia telah menciptakan satu cabang Kiamhoat
tersendiri yang tiada bandingannya, menyerang sambil
bertahan, ia dapat membendung rangsekan Ie Lan-cu yang
bertubi-tubi. Karena itu, keadaan tetap setengah kati delapan
tail alias sama kuat.
Satu pedang panjang dan yang lain pedang pendek,
bagaikan dua naga yang beterbangan bertarung di udara
dengan hebatnya. Han Ci-pang yang menyaksikan di samping
hanya nampak beribu titik perak yang berhamburan dari
kedua pedang yang menari-nari itu dan sama pula beribu
daun bunga rontok menyebar dari udara menghambur ke
tubuhnya, tak bisa lagi ia membedakan siapa Kui Tiong-bing
atau Ie Lan-cu. Karena serunya pertempuran itu, timbunan
salju di atas rumput saja tergetar hingga terbang bertebaran,
hingga Han Ci-pang sendiri ternganga terpesona oleh
pertarungan yang hebat itu.
Saking kagumnya ia berteriak. "Bagus!" Tetapi sesaat
kemudian segera terdengar suara "trang, trang" dua kali,
tanda beradunya senjata dibarengi dengan letikan api, tibatiba
dua sinar putih dengan cepat menyambar dari depannya,
waktu Han Ci-pang mengkeretkan tubuh dan menegasi lagi,
tapi keadaan sudah kembali sepi seperti bermula. Kui Tiongbing
dan Ie Lan-cu masing-masing dengan pedang masih
terhunus sudah berdiri di depannya.
"Maafkan kami, saking asyiknya kami bergebrak, sampai
mengejutkan Han-sioksiok," kata kedua muda-mudi itu
dengan tertawa.
Cara bagaimanakah ilmu pedang Ie Lan-cu bisa mendadak
bertambah begitu hebat dan aneh" Hal ini memang bukan
tiada sebabnya.
Kiranya pada waktu Kui Tiong-bing asyik mempelajari Tatmokiam-hoat, gadis itupun sedang melatih dan mempelajari
intisari Thian-san-kiam-hoat dengan giat.
Pada waktu Leng Bwe-hong hendak berpisah dengannya
tempo hari, ia menyerahkan kitab pelajaran dari Hui-bing
Siansu untuk disimpan baik-baik oleh Ie Lan-cu.
Karena merasa dirinya masih belum mencapai taraf masak
betul, maka sebenarnya Lan-cu berpikir bila Leng Bwe-hong
sudah kembali dan ada tempo luang, ia akan minta pelajaran
intisari Thian-san-kiam-hoat itu, tak terduga Leng Bwe hong
telah mengalami nasib malang tertawan musuh di tepi sungai
es. Diam-diam Ie Lan-cu berjanji pada diri sendiri akan
menolong Leng Bwe-hong, maka dengan segala keuletan serta
kecerdasannya, dengan susah payah ia meyakinkan ilmu
pedangnya, dalam belasan hari paling belakang ini, Thio Huaciau
saja tidak ditetnuinya. Dan karena kemauannya yang
sungguh-sungguh itu, setelah lewat beberapa malam tanpa
tidur nyenyak, ternyata intisari Thian-san-kiam-hoat sudah
dapat dipahaminya walaupun dengan meraba-raba sendiri,
nyata ia telah menjadi lebih pintar tanpa guru, ditambah pula
Kiam-hoat tunggal ajaran Pek-hoat Mo-li, ia kombinasikan
menjadi satu, kemudian ia pun terang segalanya, semua
persoalan sulit dari ilmu silat yang dulu tak dipahaminya, kini
telah dapat dipecahkannya.
Dalam kitab pelajaran ilmu pedang dan ilmu pukulan
peninggalan Hui-bing Siansu itu, Leng Bwe-hong telah
menambahkan lagi sekumpulan buah pendapatnya yang
khusus mempersoalkan cara melayani Tat-mo-kiam-hoat. Oleh
karena itu, dalam pertandingan Ie Lan-cu dengan Kui Tiongbing
ini, bukan saja sedikitpun ia tidak merasa kewalahan
malahan dalam soal Kiam-hoat ia berada di atas angin. Hanya
kalau soal kekuatan, keuletan, Lan-cu memang masih agak
kalah setingkat daripada Tiong-bing. Oleh sebab itu,
pertandingan tadi diakhiri dengan sama kuat dan setanding
saja. Sehabis pertandingan itu, rasanya Kui Tiong-bing agak
masgul, ia merasa dirinya yang susah payah mempelajari ilmu
dan sudah dapat memahami seluruh Tat-mo-kiam-hoat tak
tahunya masih tetap begini saja, tak sanggup melebihi orang
lain. Tak ia duga, habis itu Ie Lan-cu lantas memuji padanya.
Katanya, "Kui-toako, kini kau sudah boleh menjadi bapak dari
suatu cabang silat."
"Lan-cu, mengapa kau malah mengolok-olokku," ujar Kui
Tiong-bing dengan kecewa.
"Tidak, bukan maksudku mengolok-olokmu, tapi aku
bersungguh-sungguh," kata Lan-cu. "Walaupun usiaku masih
muda dan pengalamanku masih cetek, tetapi sejak kecil aku
sudah mengikuti Leng-sioksiok, maka terhadap Kiam-hoat dari
berbagai cabang aku cukup kenal. Kini tampaknya, yang bisa
menandingi Thian-san-kiam-hoat kelak hanya Kiam-hoat yang
kauciptakan tadi. Terus terang saja, dalam beberapa hari ini,
terhadap ilrnu pedang cabang sendiri, aku juga telah
mempelajarinya secara mendalam dan aku yakin diriku sendiri
sudah jauh lebih maju, tak terduga begitu bertanding
denganmu, tetap masih belum bisa memperoleh, keunggulan."
Setelah mendapat penjelasan itu, baru Kui Tiong-bing dari
masgul menjadi girang. "Kalau enci Wan-lian dapat
menyaksikan pertandingan kita tadi, tentu ia akan senang
sekali," katanya kelepasan mulut saking girangnya.
"Ya, tentu, kalau ia tahu kemajuan yang telah kaucapai,
tentu ia akan memujimu," segera Lan-cu menggoda dengan
tertawa. Wajah Kui Tiong-bing menjadi merah kemalu-maluan.
Sementara itu, dari jauh terdengar suara Thio Hua-ciau
sedang memanggil, "Lan-cu, Lan-cu!"
"Kini bolehlah aku menemuinya" kata Lan-cu tersenyum.
Dan kemudian ia membalik tubuh mendekati kekasihnya itu.
"Han-sioksiok, harap kau jangan menertawai aku,"
demikian kemudian dengan tertawa ketolol-tololan Tiong-bing
berkata pada Han Ci-pang. "Aku senantiasa merasa tidak
sembabat menimpali enci Wan-lian, oleh karena itu dalam soal
Kiam-hoat aku selalu berlatih lebih giat."
Mengetahui dua-sejoli muda-mudi itu begitu cinta-mencintai,
tak tertahan Ci-pang sendiri merasa getir.
Han Ci-pang sudah belasan tahun mencintai Lauw Yu-hong,
belakangan setelah mengetahui bahwa hati Lauw Yu-hong
sudah terisi orang lain, kehancuran hatinya itu pelahan baru
tenang dan sembuh kembali setelah lewat agak lama.
Ia menjunjung dan menghormati Leng Bwe-hong, malahan
diam-diam dalam hatinya ia berdoa bagi Leng Bwe-hong dan
Lauw Yu-hong berdua. Ini bukan berarti ia tidak mencintai
Lauw Yu-hong lagi, malahan rasa cintanya jauh lebih
mendalam daripada dulu, hanya cintanya kini sudah bukan
cinta yang bersifat 'monopoli', melainkan cinta yang
mengharapkan kebahagiaan bagi orang yang dicintainya itu.
Maka setelah ia meninggalkan Kui Tiong-bing, dengan
perasaan seperti kehilangan ia pergi mengetok pintu kamar
Lauw Yu-hong. "Bagaimana" Apakah sudah ada kabar Leng Bwe- hong?"
tanya Yu-hong dengan suara terputus-putus setelah membuka
pintu. Dalam beberapa hari ini, Lauw Yu-hong memang
mengurung diri dalam kamar, semua orang tahu betapa sedih
penderitaan batinnya tapi tiada seorangpun yang dapat
menghiburnya. Kini demi nampak wajannya yang putih pucat itu dengan
terharu tanpa berkata Han Ci-pang mengulurkan tangannya.
"Kalau menghitung hari perjalanan Pho Jing-cu dan yang
lain selekasnya sudah bisa kembali " kata Yu-hong pula dengan
suara rendah. "Lauw-toaci, aku tidak pandai bicara,'' ujar Ci-pang. "Tetapi
begitu aku memperoleh kabar Leng-tayhiap, aku bersumpah,
pasti aku akan membawanya kembali ke sampingmu."
Lauw Yu-hong mengulurkan tangannya dan membiarkan
dipegang orang. "Ci-pang, kau selamanya adalah sahabat
dalam penderitaan," katanya kemudian.
Dan pada saat yang sama itulah, Leng Bwe-hong juga
sedang mengenang Lauw Yu-hong, ia dapat berkenalan juga
dengan kawan-kawan bara dalam penderitaan.
Waktu itu ia dikurung di dalam istana Potala di Lhasa,
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ibukota Tibet. Istana Potala sebenarnya adalah tempat kedudukan
tertinggi Dalai Lamma, tetapi kini sudah berubah menjadi
markas besar tentara penjajahan In Te.
Pangeran In Te menjalankan politik licin menurut perintah
Khong-hi dengan baik, kecuali mengangkat Dalai yang baru,
semua Lamma yang lain Tetap tinggal di tempat semula.
Tetapi dalam pada itu, jago-jago kerajaan Boan juga sudah
penuh mengisi istana itu.
Jalan-jalan dalam istana Potala memang dibikin melingkarlingkar
dan ruwet, setelah In Te datang, ia memerintahkan
menambahi pula banyak pintu dan merubah di sana-sini
hingga menambah keruwetan keadaan dalam istana itu.
Di antara pintu-pintu dan jalan keluar dalam istana semua
terjaga oleh jago-jago terpilih dari pasukan Boan. Dan Leng
Bwe-hong dikurung dalam sebuah kamar rahasia di tengah
istana yang hebat itu.
Di situlah Leng Bwe-hong mengalami pembahan jiwa yang
hebat, sebuah kejadian aneh yang susah dipercaya orang
telah terjadi. Walaupun jari jempolnya telah terkurung dan mukanya
penuh codet bekas luka pula, tetapi justru manusia yang
berwajah jelek demikian inilah, seluruh badannya penuh daya
tarik. Pengawal yang menjaganya semua telah tertarik oleh
daya penariknya yang aneh itu.
Cerita kepahlawanan Leng Bwe-hong memang seperti
dongeng, sudah lama telah berkesan dalam pikiran para jago
pengawal itu. Kini Leng Bwe-hong ternyata tinggal bersama di
antara mereka tiap hari, sudah tentu hal ini sangat
menggemparkan mereka.
Semula mereka mendekati Leng Bwe-hong dengan
perasaan heran saja, tetapi lama-lama tanpa terasa mereka
telah 'terpelet' oleh jiwa kepahlawanan dan gerak-gerik
kejantanannya. Lebih-lebih pengawal yang muda rasa hormat
mereka pada Leng Bwe-hong sungguh timbul dari lubuk hati
mereka yang murni.
Di antara pengawal-pengawal muda itu, terdapat dua orang
yang paling dekat dengan Leng Bwe-hong, seorang bernama
Ciu Jing, dan yang lain bernama Be Hong.
Ciu Jing adalah jago pengawal atau bayangkara keturunan.
Kakeknya sudah mengabdi sebagai pengawal pada permulaan
Kaisar Sun-ti masuk pedalaman, yakni di bawah Liap-cing-ong
atau 'mangkubumi' Torkun, belakangan atas perintah
atasannya ini ia melakukan sebuah tugas rahasia dan sehabis
tugas itu terlaksana Liap-cing-ong telah membunuhnya
dengan racun untuk melenyapkan saksi.
Sedang Be Hong adalah bangsa Hwe yang tadinya
bergelandangan di Kangouw tiada tempat tinggal yang tetap,
belakangan ia ditemukan oleh Sian Hun-ting, ketua
gerombolan Tiat-sian-pang di daerah Sinkiang, dan lalu
dipindahkan ke bawahan Coh Ciau-lam.
Leng Bwe-hong telah berhasil memperoleh keterangan
tentang kematian kakek Ciu Jing dari pengawal lainnya juga ia
dapat menyelidiki asal-usul Be Hong. Maka tak lama
kemudian, ia sudah dapat bersahabat karib sekali dengan
mereka. Pada suatu malam Ciu Jing dinas jaga, Leng Bwe hong
bercerita padanya kisah tentang tindak-tanduk golongan
Kangouw-Hohan atau orang-orang gagah dari pengembaraan,
Ciu Jing tertarik sekali oleh cerita yang masih segar baginya
itu. Seperti sengaja atau tidak sengaja kemudian Leng Bwehong
telah menyinggung kakek Ciu Jing, tiba-tiba ia berkata,
"Dalam dunia persilatan, yang diutamakan ialah kejujuran dan
kesetiaan, berani berkorban untuk kawan tetapi pasti tidak
saling bunuh di antara orang sendiri. Sebaliknya banting
tulang untuk si tua bangka Hongte (Kaisar) walaupun
berpangkat besar dan hidup jaya tapi harus juga kebat-kebit
tiap hari, sudah takut dianiaya Hongte, takut pula diselomoti
kawan sendiri. Laki-laki yang berdarah jantan tentu takkan
terus melakukannya. Seperti halnya Engkongmu yang begitu
gagah, akhirnya tidak terluput juga dari mati penasaran."
Mengenai Engkong atau kakeknya itu, samar-samar
memang Ciu Jing juga sudah pernah mendengar, kini
didengarnya pula langsung dari mulut Leng Bwe-hong, keruan
ia berjingkrak.
"Darimana kau tahu" Dapatkah ceritamu ini dipercaya?"
tanyanya cepat.
Lalu Leng Bwe-hong bercerita pula terus terang. Maka tak
ragu-ragu lagi Ciu Jing.
"Ya, peristiwa mengenai Engkongku ini aku pun pernah
mendengar desas-desusnya, cuma sejak kecil aku sudah calon
jago pengawal, selamanya setia kepada Hongsiang, adalah
kewajiban yang sudah ditakdirkan bagi kaum 'hamba', tapi
setelah kedatanganmu di sini, aku menjadi banyak bertambah
pengalaman, ternyata di kalangan Kangouw terdapat
hubungan antara manusia dan manusia secara begitu adil dan
akrab," demikian kata Ciu Jing pula. Habis ini dengan
semangat menyala-nyala segera ia hendak membantu Leng
Bwe-hong melarikan diri. Tapi Bwe-hong bisa mencegahnya
agar bersabar dahulu menantikan saat baik.
Pada suatu malam pula, yang dinas jaga adalah Be Hong.
Kepadanya Leng Bwe-hong bercerita tentang penderitaan
bangsa Hwe atau Hwe-hwe, suku bangsa Muslim di Tiongkok
dan menceritakan juga kelakuan Sian Hun-ting dan Hek Huihong
yang tak bisa diampuni orang Kangouw.
Karena itu wajah Be Hong menjadi merah, ia malu dirinya
telah tersesat, cepat ia menjadi sadar dan sejak itu ia pun
menjadi orang kepercayaan Leng Bwe-hong dalam tawanan.
Sementara itu sesudah Coh Ciau-lam mengurung Leng
Bwe-hong di dalam kamar rahasia di dalam istana Petala ini,
se-ringkali ia datang memaksa Bwe-hong agar menyerahkan
Kun-keng dan Kiam-hoat (rahasia ilmu pukulan dan ilmu
pedang). Kemudian ketika diketahuinya benar-benar kitab
yang dikehendakinya itu memang tiada pada Leng Bwe-hong,
Ciau-lam lantas main paksa agar Bwe-hong mengulangi
menulis kitab itu.
Akan tetapi lidah Bwe-hong terlalu lihai, setiap kali Coh
Ciau-lam datang selalu didampratnya habis-habisan. Pula Leng
Bwe-hong tidak mendamprat secara ngawur, tapi ia mengupas
kebusukan orang satu per satu, dari mulai Ciau-lam
mendurhakai perguruan dan mempedayai Suheng, diam-diam
membunuh kawan sendiri dan lain-lain perbuatan kotor,
semuanya dicuci bersih tanpa ketinggalan sedikitpun. Tentu
saja kesemuanya itu membikin hati jago pengawal yang
menjaga tergoncang.
Tentu saja Coh Ciau-lam luar biasa gusar dan dongkol pula,
ia ingin memaksa orang menuliskan kitab pelajaran ilmu silat,
tapi takut dicaci maki pula. Sampai akhirnya sudah terang sulit
harapannya terkabul, pelahan timbul napsu membunuhnya.
Syukur pada saat Coh Ciau-lam timbul napsu
membunuhnya itu, ada sepasukan kecil orang melintasi
padang rumput dan masuk ke Tibet dan bisa menyelundup ke
dalam kota Lhasa untuk menantikan waktu yang baik buat
menolong Leng Bwe-hong.
Kiranya pada hari ketujuh sehabis Kui Tiong-bing
bertanding pedang melawan Ie Lan-cu, Boh Wan-lian dan Pho
Jing-cu yang pergi mencari Nilan Yong-yo itu telah kembali
dengan membawa berita keadaan Leng Bwe-hong, tentu saja
semua orang tergirang mendengar pendekar besar itu masih
hidup baik-baik.
Cuma bila mendengar Leng Bwe-hong dikurung di dalam
istana Potala dan sekitarnya dijaga rapat oleh pasukan In Te
yang tak terhitung banyaknya, lalu semua orang pun berkuatir
pula. Mereka kuatir akan lebih sulit daripada mengobrak-abrik
penjara kerajaan dahulu itu.
"Tapi betapapun sulitnya, kita akan pergi menolongnya
juga," kata Ie Lan-cu kemudian.
"Ya, sudah tentu," sahut Fuad, kepala suku bangsa Kazak
yang masih muda. "Leng-tayhiap adalah tuan penolong
bangsaku, untuk dia, ke lautan api ataupun masuk air
mendidih tidak nanti kami menolak. Cuma sedikitnya harus
kita perhitungkan juga suatu rencana yang rapi. Kalau hanya
beberapa orang yang pergi mungkin tiada berguna bagi usaha
kita." "Jika begitu, baiklah minta kau suka memilih tiga ratus
orang yang berani berjibaku tapi perkasa, biar ikut pergi
bersama kami," kata Pho Jing-cu tiba-tiba sambil tertawa.
"Terlalu banyak orang lebih mudah diketahui musuh, cara
bagaimana kita bisa menerobos kepungan pasukan Boan yang
berada di perbatasan Tibet itu?" ujar Lauw Yu-hong.
"Jika dalam sepuluh hari kita bisa sampai di perbatasan
Tibet, mungkin masih ada jalan buat lewat," kata Jing-cu.
"Tapi kalau telat aku pun tak berani tanggung."
Tentu saja semua orang heran, segera mereka bertanya
apa sebabnya"
"Sebab aku sudah menduga bakal terjadi sesuatu, maka
aku sudah mengerjakan sesuatu lebih dulu," sahut Jing-cu
tertawa. Kiranya tempo hari waktu Pho Jing-cu berada dalam
pasukan Boan dan disuruh Khong-hi pergi mengobati sakit
bisul beku seorang Pangeran, dan penderita sakit itu ternyata
segera-pun sembuh. Keruan Khong-hi sangat senang, ia minta
Jing-cu memberi resep. Permintaan itu telah dipenuhi Pho
Jing-cu dengan baik, bahkan ia mengumpulkan pula banyak
rumput obat dan diracik menjadi beberapa ratus bungkus obat
bubuk untuk persediaan prajurit yang sakitnya serupa.
Resep pengobatan sakit bisul beku yang diberi Jing-cu itu
memang tulen, cuma dalam racikan obat bubuk itu telah
ditambahi olehnya semacam rumput obat lain yang sangat
lihai, bila obat bubuk itu dipoleskan di tempat luka tiada
sesuatu tanda mencurigakan, malahan mula-mula akan terasa
nyaman sekali, tapi beberapa hari kemudian sakit bisul beku
itu akan kumat lagi, kalikan lebih, hebat daripada tadinya.
Maka Pho Jing-cu sudah memperhitungkan baik-baik, ia
menaksir dalam sepuluh hari harus sudah sampai di
perbatasan Tibet, dan pada saat itulah sakit bisul beku para
prajurit yang memakai obatnya itu akan kumat sehebathebatnya
Kembali tentang Nilan Yong-yo, sehabis Wan-lian pergi, ia
termangu-mangu pula seorang diri mengenang si gadis itu.
Suatu hari, tiba-tiba didengarnya di luar perkemahan di
kejauhan terdengar suara genderang perang yang riuh. Tak
lama kemudian kelihatan Kaisar Khong-hi masuk ke kemahnya
dengan wajah marah. "Yong-yo, kedua orang ayah dan anak
yang datang tempo hari adalah mata-mata musuh," demikian
Khong-hi segera menegur.
Yong-yo pura-pura meloncat kaget. "Darimana kau tahu?"
tanyanya cepat.
"Barusan komandan perintis jalan melaporkan padaku
bahwa ada sepasukan begal kuda hendak menerobos garis
kepungan melintasi padang rumput," kata Khong-hi. "Segera
beberapa ribu prajurit telah dikerahkan untuk menangkapnya,
tak terduga 9 dari 10 prajurit telah sakit bisul beku semua,
bahkan hebat sekali kumatnya meski jumlah ribuan prajurit,
tapi setelah bertempur sengit ternyata tak mampu menahan
lawan yang berjumlah sedikit hingga perlu minta bala
bantuan." "Ai," teriak Yong-yo pura-pura kuatir, "Bila begitu, nyata
hamba yang berdosa hingga kena dikelabui mata-mata
musuh, maka mohon Sri Baginda memberi hukuman."
"Yang tidak tahu tidak berdosa aku pun tidak menyalahkanmu,"
kata Khong-hi. "Cuma setelah pengalaman ini,
hendaklah selanjurnya jangan suka bergaul dengan orang
yang tak terang asal-usulnya."
Yong-yo mengiakan berulang-ulang.
"Tapi baiknya perawatan batalion gerak cepat kujaga baikbaik,
hakikatnya tidak menggunakan obat bubuk pemberian orang
tua itu, maka kini sudah dapat dikirim ke sana," tiba-tiba
Khong-hi berkata pula senang. "Agaknya gerombolan begal
kuda itu tidak nanti bisa lolos dari tangan batalion gerak cepat
yang sudah kulatih itu. Dan aku justru ingin melihat, apakah
gerombolan begal kuda ini mempunyai hati harimau dan nyali
macan tutul, masakah begini berani menerjang pasukan kita
ini?" Mendengar cerita itu, dalam hati Yong-yo sangat terkejut,
ia kenal 'batalion gerak cepat' yang disebut itu adalah pasukan
terlatih paling bagus di antara pasukan komando kota-raja dan
langsung di bawah pimpinan Kaisar, memang tak bisa
dipandang enteng
Karena itu, setelah berpikir, segera Yong-yo mendapatkan
akal, lantas katanya, "Sampai batalion gerak cepat dikerahkan,
tentu saja tidak susah menawan semua musuh itu, dan bila
Hongsiang ada hasrat hendak pergi melihat, marilah hamba
mengiringi pergi menonton pertempuran itu?"
Dan karena tertarik juga segera Khong-hi menyatakan baik,
mereka memilih dua kuda bagus dan di bawah iringan
sepasukan pengawal, segera mereka menuju ke perbatasan.
Batalion gerak cepat itu memang benar-benar cepat, dari
markas besar mereka menuju ke garis depan, dalam jarak belasan
li itu ditempuhnya hanya dalam waktu kurang setengah
jam. Tatkala itu Pho Jing-cu dan kawan-kawan sedang
menerjang mati-matian buat membobol kepungan musuh, tapi
ketika batalion gerak cepat itu membanjir tiba dan menyebar
luas hingga seakan-akan di padang rumput itu sudah
terpasang sebuah jaring dan pelahan mengkeretkan jarak
kepungan itu ke tengah hingga Pho Jing-cu dan kawan-kawan
bersama tiga ratus prajuritnya terkepung rapat.
Waktu Khong-hi dan Nilan Yong-yo tiba sampai di tempat
itu, mereka mendengar suara pertempuran itu gegap gempita
dan sinar senjata berkilauan, nyata pertempuran itu sem luar
biasa. Sambil berdiri di atas suatu tempat tinggi, Khong-hi
menunjuk ke sini ke sana menyaksikan pertarungan itu
bersama Nilan Yong-yo. Tapi sejenak kemudian tiba-tiba
wajahnya berubah. "He, ini bukan begal kuda sembarangan!"
katanya cepat. Tatkala itu tiga ribu prajurit batalion gerak cepat di bawah
pimpinan beberapa perwira yang tinggi ilmu silatnya meski
bisa mengepung rapat musuh di tengah, tapi gerombolan
'begal kuda' itu kemana menerjang, di situ segera seperti arus
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air yang bersimpang jalan terpecah belah. Hanya sekejap saja
Khong-hi sudah menyaksikan beberapa perwiranya tewas di
bawah senjata musuh.
Tak lama kemudian, kembali Khong-hi bersuara heran,
sambil menuding ia berkata pada Nilan Yong-yo, "Lihatlah orang
tua itu!" Ketika Yong-yo mamandang menurut arah yang ditunjuk,
maka dilihatnya Pho Jing-cu dengan kudanya di garis paling
depan, pedangnya diputar kencang, hanya sekejap saja
beberapa musuhnya sudah digulingkan.
"Bukankah orang tua ini adalah si tabib tempo hari itu?"
kata Khong-hi pula.
Waktu Yong-yo menegasi lagi, dilihatnya Boh Wan-lian juga
berada dalam pertempuran itu. Tiba-tiba ia mengkerut kening
dan berkata pada Khong-hi, "Eh, kiranya gadis itu pun begal
kuda juga."
Dalam pada itu Khong-hi sudah dapat melihat Boh Wan-lian
juga. Dan ketika ia hendak menyahut, mendadak dilihatnya
Nilan Yong-yo mengeprak kuda membedal ke depan sambil
berteriak, "Kurangajar! Kalau aku tidak menangkap begal ini
hidup-hidup, aku bersumpah takkan jadi manusia!"
"Eh, eh, jangan, jangan, lekas kembali!" teriak Khong-hi
cepat dan kuatir.
Akan tetapi dengan cepat kuda Nilan Yong-yo sudah berlari
jauh dan menerjang masuk ke medan pertempuran sengit itu.
Ketika para perwira dan prajurit batalion gerak cepat itu
melihat Nilan-kongcu menerjang datang, mereka menjadi
bingung dan heran.
Tatkala itu Thio Hua-ciau berdampingan dengan Ie Lan-cu
lagi melabrak musuh hingga pikirannya butek, maka waktu
mendadak Nilan Yong-yo menerjang datang, tanpa berkata
lagi Hua-c iau membacok orang.
Sekuat tenaga Yong-yo menangkis, tapi hampir saja ia
terjatuh dari kudanya. Lekas Lan-cu menyikut Hua-ciau hingga
pemuda ini tergontok ke samping, dan kemudian barulah Huaciau
melihat jelas siapa adanya Nilan Yong-yo, keruan ia
beseru terkejut.
Di lain pihak cepat Boh Wan-lian mengeprak kuda
mendatangi juga, segera Yong-yo menyambut orang dengan
sekali bacokan, ketika si gadis berkelit enteng, dengan suara
rendah segera Yong-yo membisikinya, "Lekas tangkap aku!"
Berbareng itu goloknya terus membabat lagi.
Tentu saja Tiong-bing tidak tinggal diam, dengan
menggeram segera ia memburu datang. Sementara itu Wanlian
sudah mengulur tangan memegang pergelangan tangan
Nilan Yong-yo terus diseret ke bawah dan dikempit.
"Tolol, lekas mundur!" kata Wan-lian sambil melotot pada
Tiong-bing ketika dilihatnya pemuda ini memburu datang
secara gegabah.
Waktu itu Tiong-bing sudah dapat mengenali Nilan Yongyo,
maka segera ia mendamprat, "Ha, tadinya kami sangka
kau orang baik-baik, tak tahunya kau juga suka berkorban
jiwa untuk tua bangka Kaisarmu itu!"
Mendongkol bercampur geli juga Boh Wan-lian oleh pikiran
Tiong-bing yang ketololan itu, lekas ia membentak dengan
suara tertahan, "Lekas kau pergi memanggil Pho-pepek ke
sini!" Sementara itu para prajurit musuh demi nampak Nilankongcu
hanya sekali gebrak saja sudah tertawan, keruan saja
luar biasa terkejut mereka, beramai-ramai segera mereka
membanjir maju hendak menolong, namun pedang Ie Lan-cu
sudah diputar kencang dan beberapa orang segera terguling.
Waktu Pho Jing-cu kemudian memburu datang, dari tangan
Boh Wan-lian segera ia mengambil alih Nilan Yong-yo yang
sengaja ditawan itu, dengan pedang melintang di leher o-rang
sambil mengancam dengan suara bengis terhadap para
prajurit Boan itu, "Lekas berhenti, bila tidak, segera orang ini
aku binasakan dulu!"
Para prajurit itu cukup tahu bahwa Nilan-kongcu adalah
orang kesayangan atau 'anak-emas' Kaisar Khong-hi, sudah
tentu mereka tak berani sembarangan bergerak lagi.
"Ada apa-apa katakanlah, jangan turun tangan dulu!" teriak
komandan batalion gerak cepat ini yang ternyata Thio Sing-pin
adanya, itu wakil komandan pasukan pengawal dengan
jabatan rangkap.
"Haba, kiranya Thio-thongling adanya, baik-baikkah selarna
ini?" Jing-cu menyapa dengan tertawa.
Trio Sing-pin tercengang mendengar orang menyapa,
padahal tak dikenalnya siapa orang tua ini.
"Apakah peristiwa Bu-keh-ceng di kaki gunung Ngo-tai-san
sudah dilupakan Thio-thongling?" segera Jing-cu
mengingatkan orang. "Dan aku adalah Kanglam Pho Jing-cu."
Semula Sing-pin rada ragu melihat wajah Pho Jing-cu yang
sudah jauh berlainan, tapi demi mengingat orang pandai ilmu
tabib, segera ia pun mau percaya. "Dan kini adakah sesuatu
petunjuk Pho-losiansing?" sahutnya segera sambil menjura.
Dahulu Thio Sing-pin juga orang yang berkecimpung di
kalangan Kangouw, tindak-tanduknya cukup tenang dan bisa
berpikir daripada Coh Ciau-lam. Maka dulu waktu di Bu-kehceng,
ia masih menemui Bu-Goan-ing secara peraturan. Kini
melihat Nilan Yong-yo sudah ditawan orang, ia pikir pasti
musuh ada sesuatu yang hendak dipaksakan, maka tanpa
panjang lebar segera ia bertanya dan menunggu pihak lawan
'membuka kartu'.
Tentu saja Pho Jing-cu mengerti akan maksud orang,
segera ia mengunjuk jempolnya memuji, "Thio-tayjin sungguh
jagoan Kangouw, maka kami pun tidak banyak permintaan,
hanya ingin Nilan-kongcu mengantar kami sepanjang 300 li
saja." "Hal ini aku tak bisa memutusnya," sahut Sing-pin. "Maka
kalian sukalah menunggu sejenak, biar kulaporkan saja
kepada Hongsiang?"
Habis itu ia pun meninggalkan medan peperangan itu dan
melaporkan pada Khong-hi tentang syarat Pho Jing-cu itu.
Khong-hi mengerut kening mendengar laporan itu. "Suruh
dia melepaskan Yong-yo dan kita biarkan mereka lewat,"
demikian katanya kemudian.
Dengan cepat segera Thio Sing-pin meneruskan jawaban
itu kepada Pho Jing-cu. Tapi Jing-cu ternyata tidak gampang
diselomoti. "Hm, jika Thio-tayjin sendiri bisa memutuskan
persoalannya, tentu tanpa ragu akan kami serahkan orangnya
dan lewat begitu saja" satori Jing-cu menjengek. "Tapi sekali
ini adalah Hongsiang yang memutuskan. Terus terang saja
kami tidak dapat mempercayai Hongsiang. Coba jawab, jika
sekarang Nilan-kongcu kami bebaskan, tapi nanti Hongsiang
menitahkan kau memimpin pasukan mengejar kami, lalu kau
akan turut perintah itu atau berani membangkang
perintahnya?"
Karena itu Thio Sing-pin tak berani menjawab, segera ia
menyampaikan lagi kepada Khong-hi.
Sungguh tidak kepalang mendongkolnya Khong-hi, tapi apa
daya, Nilan Yong-yo sudah berada di bawah cengkeraman
orang. Terpaksa ia berkata pula, "Baiklah, bila tiada apa-apa
atas diri Yong-yo, hitung-hitung mereka yang untung. Tapi
kalau Yong-yo sudah dibawa pergi dan akhirnya tak
dilepaskan kembali, lalu bagaimana?"
Lekas Thio Sing-pin menjura dan melapor, "Orang tua itu
bernama Pho Jing-cu."
"O, Pho Jing-cu?" sela Khong-hi tiba-tiba. "Ya, kenal aku
akan nama itu. Tapi wajahnya tidak mirip!"
"Ia pandai menyamar dan berganti rupa," sahut Sing-pin,
lalu ia merandek.*
"Apa yang hendak kaukatakan, kenapa pakai sembunyisembunyi
segala?" damprat Khong-hi kurang senang.
"Orang ini rada tersohor di kalangan Kangouw," kata Singpin
kemudian. "Bila ia bilang satu pasti tidak dua, tidak nanti
ia memungkiri janji."
Seketika wajah Khong-hi berubah oleh penuturan itu, ia
menjengek sekali dan berpikir; "Hm, mereka tidak bisa
percaya padaku, sebaliknya kau malah mau percaya pada
mereka." Waktu itu Thio Sing-pin masih menjura di atas tanah, maka
wajah Khong-hi tak dilihatnya, kembali ia melapor lagi, "Bila
perlu biar hamba ikut pergi bersama Kongcu untuk kemudian
mengawalnya kembali."
Karena tiada jalan lain, terpaksa Khong-hi menerima syarat
itu, cuma di samping itu ia menambahi pula empat jago
bayangkara lain ikut pergi bersama Thio Sing-pin, dan hal
mana dapat diterima juga oleh Pho Jing-cu.
Dan setelah kejadian ini, Khong-hi menjadi kurang senang
pada Thio Sing-pin, maka di kemudian hari setelah kembali ke
ibu-kota dengan alasan yang dicari-cari Thio Sing-pin
dibunuhnya. Begitulah, maka semua prajurit batalion gerak cepat yang
mengepung itu. lantas ditarik kembali, Thio Sing-pin bersama
empat jago pengawal ikut pergi dengan Nilan Yong-yo sebagai
jaminan. Cuma mereka mengintil jauh di belakang, sebaliknya
Nilan Yong-yo telah berganti kuda dan menunggang sendiri
jalan berendeng bersama Pho Jing-cu dan kawan-kawan.
"Haba, dulu kami pernah menjadi tukang kebunmu, tapi
kini kau menjadi tawanan kami, haha, sama-sama, seri!" kata
Tiong-bing tiba-tiba dengan tertawa ketololan.
Tapi cepat Pho Jing-cu menarik pemuda itu dan
membisikinya, "Apa kau kira Nilan-kongcu benar-benar dapat
kita tawan" Tadi ia sengaja ikut dengan kita karena ingin
menolong kita, tahu!"
Dalam pada itu Boh Wan-lian juga telah mengetok jidat
pemuda ini sambil mengomel, "Kau ini, bilakah baru kau akan
pintar?" Sesaat Tiong-bing masih bingung, tapi'kemudian ia pun
mengertilah, segera tangan Nilan Yong-yo dipegangnya
kencang. "Ya, ya, kau benar-benar seorang baik!" katanya
tertawa. Melihat watak orang yang polos dan kekanakan, diam-diam
Nilan Yong-yo ikut bergirang untuk Wan-lian.
Setelah berjalan dua hari, 300 li yang dijanjikan itu sudah
cukup ditempuh, dengan perasaan berat lantas Nilan Yong-yo
berkata, "Jauh-jauh mengantar tuan, akhirnya harus berpisah
juga. Harap saja persahabatan kita selalu terkenang di dalam
hati, dan hendaklah jaga diri baik-baik."
Segera Pho Jing-cu menyuruh semua orang turun dari kuda
dan duduk di atas tanah, arak dikeluarkan dengan dendeng
sebagai lauk untuk perpisahan dengan Nilan Yong-yo.
Pada saat itu tiba-tiba timbul keinginan Kui Tiong-bing
hendak memamerkan ilmu pedangnya yang baru dipahaminya
itu di hadapan sang kekasih, karena sejak kembali, Boh Wanlian
masih belum ada kesempatan melihatnya, maka pedang
pusaka 'Theng-kau-pokiam' segera ia lolos, dengan tertawa ia
berkata pada Nilan Yong-yo, "Biarlah aku memainkan sejurus
ilmu pedang untuk menghibur Kongcu minum arak!"
Habis itu, pedangnya diputar sekali lingkaran sebagai
pembukaan, lalu ia pun memainkan 'Tat-mo-kiam-hoat' yang
sudah lama menghilang di dunia persilatan itu.
Di antara rombongan mereka, kecuali Han Ci-pang dan le
Lan-cu, belum ada yang melihat ilmu pedang yang hebat ini,
maka mereka menjadi amat kagum.
Sedang asyik ilmu pedang itu dimainkan, tiba-tiba dari
depan sana ada tiga orang penunggang kuda secepat kilat
telah mendatangi. Setelah dekat, mendadak mereka menahan
kuda menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Kui Tiongbing
itu. Jing-cu rada heran melihat sikap ketiga orang itu. Ketiga
orang ini yang seorang adalah wanita cantik setengah umur,
sedang kedua orang lainnya adalah laki-laki, seorang berusia
lebih setengah abad dengan jenggot pendek kaku, sedang
yang lain adalah seorang Tosu atau Imam tua berjenggot
putih melambai.
Dari wajah ketiga orang yang aneh dan sinar mata mereka
yang berkilat, Pho Jing-cu menduga pasti orang memiliki ilmu
silat yang tinggi. Dan selagi hendak menyapa mereka, setelah
melihat sejenak, tiba-tiba ketiga orang itu saling memberi
tanda, Imam tua itu bersama laki-laki yang lain terus
menerjang Kui Tiong-bing berbareng, sebaliknya wanita
setengah umur itu gerak tubuhnya lebih gesit pula, mendadak
sekali lompat, tahu-tahu pedangnya terus menikam ke arah
Nilan Yong-yo. Karena tak menyangka, tanpa pikir lagi Pho Jing-cu
mengayun lengan bajunya terus melibat pergelangan tangan
orang dengan ilmu kepandaiannya yang tunggal 'Liu-in-hui-siu'
atau awan meluncur lengan baju beterbangan, berbareng
telapak tangan kanan terus menghantam pula dari bawah
lengan baju itu.
Namun wanita cantik setengah umur itu tiba-tiba
berjumpalitan di udara terus membalik turun ke belakang Pho
Jing-cu dan menyusul pedangnya menusuk pula tanpa
berhenti. Dalam pada itu pedang Pho Jing-cu sudah dilolos juga,
ketika tangannya membalik ke belakang, segera senjata
musuh kena ditempelnya terus ditarik ke samping. Namun
sekalian wanita itu menyurung pergi gaya menempel itu, lalu
pedangnya mengarah ke bawah sekalian buat membabat.
Diam-diam Pho Jing-cu heran luar biasa, tapi ia tidak lantas
bertanya, melainkan mengangkat pedang menempur orang
lagi. Setelah sejurus lagi, tiba-tiba wanita cantik itu bersuara
heran dan berkata, "Ha, kau adalah jago Bu-kek-pay, kenapa
terima menjadi orang rendah!"
Berulang-ulang Jing-cu mematahkan tiga kali serangan
orang, lalu sambil tersenyum ia menjawab, "Dan kau adalah
jago Bu-tong-pay, kenapa berbicara secara begini kasar?"
Wanita itu menjadi gusar. "Kau memakai sandang bangsa
Han, tapi melindungi musuh malah, sungguh tak kenal malu!"
demikian dampratnya dan secepat kilat beberapa tusukan
dilontarkannya lagi.
Di sebelah sana pertarungan seru antara Kui Tiong-bing
dan kedua orang tadipun sudah terjadi.
Imam tua itu ternyata ulet luar biasa, dimana ujung pedang
Tiong-bing sampai, di situ segera terasa suatu kekuatan maha
besar menghantam balik ke arahnya. Sedang ilmu pedang
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
laki-laki brewok itupun hebat dan bagus sekali. Baiknya Tiongbing
sudah melatih Tat-mo-kiam-hoat yang aneh dan lihai itu,
ditambah pedangnya adalah pedang wasiat, maka masih
dapat ia melawan keroyokan kedua orang dan sama kuatnya.
Kedudukan kedua orang itu sangat tinggi, tapi kini
menempur seorang pemuda hanya sama kuatnya saja,
mereka menjadi terkejut dan mendongkol. Tiba-tiba kedua
pedang mereka merangsek dari kanan-kiri dan mendesak
makin kencang. Akhirnya karena dikerubut dua orang, Tiong-bing merasa
keuletan mereka agaknya tidak di bawah Ce Cin-kun, maka
setelah bertahan sejurus lagi, jidatnya mulai tampak
berkeringat. Melihat setiap musuh berilmu silat sangat tinggi, dengan
satu lawan satu Pho Jing-cu bisa lebih unggul, tapi Kui Tiongbing
satu harus lawan dua, tampak sekali sudah bakal kalah,
maka tanpa pikir lagi Lan-cu melolos pedangnya terus
menubruk maju dan menikam ke arah Imam tua itu.
Ketika Imam itu mengangkat pedangnya menangkis,
namun luput, Lan-cu sudah menarik kembali senjatanya dan
menyusul serangannya dilontarkan pula bagai ombak yang
gulung-gemulung tak berhenti. Maka sekejap saja beberapa
puluh jurus sudah berlangsung hingga Imam tua itu terdesak
mundur terus. Dan selagi Lan-cu hendak merangsek lebih kencang,
mendadak Imam itu menangkis sekuatnya dan menggunakan
tenaga dalamnya membikin Ie Lan-cu tergoncang mundur, lalu
dengan suara keras ia berteriak, "He, kau anak dara ini pernah
apanya Pek-hoat Mo-li?"
Karena itu, sekali lengan bajunya menyabet, segera Pho
Jing-cu mendesak wanita cantik itu meloncat mundur juga
habis itu baru ia menyambung pertanyaan Imam tadi, "Kalian
bertiga jagoan dari Bu-tong-pay ini pernah ada hubungan apa
dengan Toh-tayhiap?"
Melihat ketangkasan Pho Jing-cu, Imam berjenggot putih
itu tak berani ayal, segera ia memberi hormat dengan
merangkap kedua tangan dan menjawab, "Toh-tayhiap adalah
Istana Pulau Es 3 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama