Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 15
enak terhadap suku bangsaku, tatkala itu aku tak tahu salah,
tapi kini sudah insyaf. Biarlah aku bersedia ikut Leng-tayhiap
ke sana, pertama untuk membalas budi Leng-tayhiap, kedua
boleh juga buat menebus dosaku dulu itu."
Melihat Sin Liong-cu bersedia ikut pergi, semua orang
menjadi girang. Mereka pikir kedua tokoh ini memiliki ilmu
silat yang tiada bandingannya tentunya tidak sampai terjadi
hal-hal yang tak terduga Karena itu, keputusan itulah yang
dijalankan. Malamnya, Leng Bwe-hong berjalan-jalan bersama Lauw
Yu-hong di padang rumput sunyi itu.
"Baru berkumpul, besok segera kau akan pergi lagi,"
demikian kata Yu-hong pelahan.
"Ya tapi pasti aku akan kembali," sahut Bwe-hong tertawa
paksa "Namun kau masih tetap tak mau bicara terus terang," ujar
Yu-hong. "Segala apa yang telah lalu sudah kukubur semua, kenapa
kau berkeras ingin tahu yang sudah lampau mengenai diriku?"
sahut Bwe-hong.
"Tetapi, tetapi kawanku masa kanak-kanak itu dalam lubuk
hatiku masih belum pernah mati," kata Yu-hong. "Bwe-hong,
sungguhkah kau begini kejam, tak mau kauceritakan padaku
apa yang terjadi sesungguhnya di waktu dahulu itu?"
Suara srigala lapar di padang rumput yang menyalak seram
dan tiupan Ohka (semacam alat tiup suku bangsa daerah
utara) sayup-sayup terdengar. Pelahan Bwe-hong melepaskan
tangan Yu-hong yang memegangnya.
"Biarlah aku ulangi sekali lagi, pada sebelum ajalku, pasti
aku akan ceritakan kejadian sesungguhnya padamu," demikian
katanya kemudian lirih.
Berita tentang penyerbuan pasukan Boanjing ke Sinkiang
itu dengan cepat telah tersebar ke seluruh padang rumput,
rakyat padang rumput, terutama kaum mudanya bila bertemu
lantas berbicara tentang berita itu. Api amarah telah menyala
di dalam hati mereka, siapa berani menyuapkan api ini, siapa
juga pasti akan terbakar mati oleh api itu.
Di padang rumput G arsiri itu, orang tak berani
mempersoalkan berita itu secara terbuka tapi bila sang surya
sudah terbenam dan senja tiba setelah rombongan domba
masuk kandang, lantas rakyat gembala mudanya berjalanjalan
di padang rumput itu sambil asyik berunding dalam
kelompok kecil di tempat sepi. Dan di antara orang-orang itu
terdapat pula puteri Bing Lok, Bing Manlis, dan kepala suku
bangsa Kazak yang masih muda Fuad.
Ayah Fuad adalah sahabat baik Njo Hun-cong. Ketika Fuad
masih kecil, pernah ia diculik Coh Ciau-lam sebagai barang
jaminan, belakangan berkat Hui-ang-kin dan Njo Hun-cong
yang telah menolongnya kembali dari sarang macan. Oleh
sebab itu, di antara suku bangsa di padang rumput Garsin itu,
Fuad merupakan satu-satunya orang yang paling kuat setuju
supaya melawan musuh. Tapi pengaruh Bing Lok terlalu besar,
pula dibantu oleh jago-jago yang dildrim oleh pemerintah
Boan. Sebab itulah terpaksa Fuad menyekap api yang
membakar hendak menuntut balas itu dalam hati dan tak
sampai kentara di hadapan Bing Lok.
Senja hari itu, Fuad dan Manlis sedang berjalan-jalan
menyusuri tepi sebuah sungai kecil di padang rumput itu,
paras Manlis yang elok bersemu merah karena sorotan
matahari senja kedua matanya berkilat bagai kedipan bintang
di langit, pada sinar matanya tertampak rasa suka dan duka.
"Ayahmu semalam telah mengirim Kiai untuk
membicarakan perjodohanmu padaku, dan malam nanti ia
akan mengadakan musyawarah dengan para kepala suku,"
demikian Fuad berkata.
"Aku sudah tahu," sahut Manlis lirih. "Kedua urusan itu
dilakukan berbareng, tentu tiada maksud baik."
"Aku bukan orang tolol, tentu aku pun tahu maksud
tujuannya" ujar Fuad. "la tahu bahwa aku cinta padamu,
dahulu diam-diam ia merintangi hubungan kita tapi kini malah
mengirim orang buat menjodohkan kita, bukankah tujuannya
ingin malam nanti aku menyokong pendiriannya?"
"Sebab itulah sedikitpun aku tak senang," kata Manlis
munun. "Makin tua ayahku menjadi makin tersesat, bahkan
hendak menjadi orang berdosa 'memancing srigala masuk
rumah', kukira kelak pasti ia akan menebus dosanya ini tanpa
terkirakan, aku menjadi sedih entah cara bagaimana harus
menolongnya."
"Sungguh kau adikku yang baik, Manlis," kata Fuad sambil
menggenggam kencang sang kekasih. "Percayalah padaku,
malam nanti tidak mungkin harapan ayahmu bisa terlaksana ia
dijagoi orang yang dikirim pemerintah Boan, tapi di pihak kita
sini juga telah datang dua orang kosen."
"He, orang kosen?" tanya Manlis heran. "Kenapa sedikitpun
aku tak tahu. Orang kosen macam apakah" Tapi aku justru
kuatir para kepala suku malam nanti akan tunduk di bawah
pengaruh ayahku hingga makin menambah dosanya."
"Orang kosen macam apa malam nanti kau sendiri akan
mengetahuinya," ujar Fuad.
"Begitu dirahasiakan" Sampai aku tak kau berhatur?" sahut
Manlis mengomel.
"Ya biar kau pun ikut terkejut nanti," kata Fuad tertawa
"Bila demikian, tentunya kau sudah yakin pasti akan
menang bukan?" tanya Manlis.
"Ya semuanya berkat kedua orang kosen itu yang telah
mengaturnya untukku," kata Fuad.
"Lalu bagaimana cara mengatur ayahku?" tanya Manlis
kuatir. Segera Fuad menyodorkan sebungkus obat bubuk dan
berbisik di telinga Manlis.
"Ya sudah, terpaksa harus begini," kata Manlis akhirnya.
Senja berlalu, bulan sabit menongol di atas padang rumput.
Para kepala suku bangsa Kiai-kiai dan orang-orang yang
berpengaruh lain telah berkumpul mengelilingi suatu lapangan
hijau yang dilingkari kemah. Bing Lok membawa beberapa
pengawal didampingi pula dua orang tua dan empat jagoan
pemerintah Boan. Padang rumput luas itu sunyi senyap,
dengan mata melirik penuh lagak Bing Lok memandang
seluruh hadirin dan tampaknya amat senang.
"Pasukan besar pemerintah kerajaan sudah melintasi
perbatasan, dimana tempat yang didatangi tiada pernah ada
yang bisa. merintangi, dan tak lama lagi juga akan sampai ke
sini, lalu para saudara bagaimana akan mengambil
keputusan?" demikian ia mulai buka suara.
Tapi semua kepala suku tak menjawab, pandangan mereka
terpusat semua ke diri Fuad, kepala suka Kazak yang muda
itu. Siapa duga Fuad hanya tersenyum sambil menopang dagu
saja, juga tak buka suara. Tadinya para kepala suku itu
menyangka Fuad pasti akan menolak ajakan menyerah itu,
tapi demi nampak sikap Fuad sekarang ini, mereka menjadi
kecewa. Seketika mereka pun berbisik-bisik, ada pula yang
mengetahui Bing Lok telah menawarkan perjodohan puterinya
kepada Fuad, mereka menjadi bertambah curiga
Karena itu, kepala suku Dasan yang juga masih muda tak
tahan lagi, ia yang pertama berdiri. "Sesudah 30 tahun lebih
pasukan Boan masuk pedalaman, terhadap Sinkiang beberapa
kali pernah menggunakan kekerasan juga," demikian
teriaknya. "Tapi berkat persatuan di antara suku-suku bangsa
kita dan melawannya dengan sepenuh tenaga pasukan musuh
paling banyak hanya mampu menduduki beberapa kota besar
saja seperti Ui dan lain-lain, kita masih tetap bisa
menggembala bebas di padang rumput. Kini tanpa bertempur
lalu hendak menyerah dan terima membudak, sungguh kakekmoyang
kita akan mengutuknya juga!"
"Hm, berapa usiamu sekarang, berani kau berkata tentang
bertempur segala?" jengek Bing Lok sengit. "Lebih 20 tahun
yang lalu, pahlawan wanita padang rumput Hui-ang-kin
pernah menghimpun seluruh suku bangsa di Sinkiang selatan
dan masih tak sanggup melawan pasukan Boan, akhirnya
hancur kekuatannya dan ia sendiripun lari ke gunung sunyi tak
berani muncul lagi. Kini pasukan Boan yang masuk ke sini
berpuluh kali lebih kuat dari dulu, sebaliknya orang kita masih
tiada satu pun yang dapat menimpali Hui-ang-kin masa itu.
Lalu jawablah, dengan daerah terpencil ini ditambah tenaga
lemah, cara bagaimana harus melawan lentera kerajaan?"
Gusar sekali kepala suku Dasan itu dengan darah seakan
mendidih. "Kami lebih suka menjadi giok yang retak daripada
menjadi bata yang utuh!" teriaknya segera
Bing Lok tertawa dingin melihat sikap orang. Dalam pada
itu dua jago kerajaan Boan di sampingnya sudah maju ke
muka "Pahlawan ini sungguh sangat mengagumkan, marilah kita
berkenalan,'" kata mereka segera
Dengan kepalan tergenggam kuat, segera kepala suku
Dasan itu sudah siap hendak menerima tantangan orang. Tapi
Fuad telah berdiri terus menghadang ke depan kepala suku
Dasan sambil tersenyum.
"Terkumpulnya kita di sini adalah untuk berunding dan
bukan hendak berkelahi," demikian kata Fuad. "Maka marilah
minum dulu untuk mendengarkan pendapat ketua serikat
kita." Dengan gemas kepala suku Dasan itu melotot sekali pada
Fuad, sebaliknya Bing Lok menjadi senang, segera ia
memanggil kembali kedua jago pemerintah Boan itu dan
berkata, "Aku pun tiada pendapat apa-apa. Cuma sejak
tentara Boan masuk pedalaman, seluruh negeri Tiongkok telah
tunduk di bawah perintahnya, masakah daerah kita yang
terpencil ini mampu melawannya" Maka baiknya kita
mengangkat sumpah berserikat untuk keselamatan negeri dan
rakyat kita buat menyambut kedatangan tentara kerajaan saja
Lagipula, kerajaan sesungguhnya juga sangat menghargai
kita, lihatlah mereka telah mengirim dua utusan yang
namanya tersohor di seluruh jagad ke tempat kita ini, lalu apa
yang akan kalian katakan lagi!"
Habis berkata, ia memberi hormat meminta dua utusan
yang berada di sampingnya itu berdiri. Kedua utusan itu
ternyata adalah kakek-kakek semua berambut alis memutih
perak. ''Nah, inilah bapak pendiri Tiang-pek-san-pay, Hong-luikiam,
Ce Cin-kun yang namanya terkenal di seluruh jagad,"
demikian Bing Lok mulai memperkenalkan mereka dengan
sangat menghormat. "Dan yang ini adalah Thian-hiong Siangjin,
Sute Thian-bong Siansu dari Tibet, juga seorang tokoh
terkemuka dari dunia penilaian, tentunya para hadirin juga
sudah mengenal nama mereka"
Thian-hiong Siangjin yang diperkenalkan itu ternyata
sangat sombong, wataknya pun paling keras, setelah ia
mengerling rata semua kepala suku di situ, lalu ia berjalan ke
tengah lapangan hijau itu, pada lapangan itu ada sebuah batu
besar yang dipakai menambat seekor banteng liar (yak) Tibet
yang disediakan Bing Lok untuk diambil darahnya bercampur
arak guna bersumpal) dengan mereka.
Mendadak Thian-hiong menggertak keras, sebelah kakinya
tahu-tahu menyerampang, seketika batu tadi mencelat ke
angkasa dan pecah belah menjadi beberapa potong.
Keruan banteng tadi terlepas dari tali tambatannya dan
mengamuk, cepat sekali binatang ini menerjang ke tempat
berkumpulnya orang banyak. Karena tak berjaga-jaga, para
kepala suku itu pada berteriak kaget Namun Ce Cin-kun hanya
tersenyum tenang saja, tiba-tiba ia mengulur kedua jarinya
terus menahan ke atas leher banteng yang sedang
menyeruduk ke arahnya. Saking sakitnya banteng itu
menguak keras dan keempat kakinya pun bertekuk lutut
Ketika Ce Cin-kun menambahi pula dengan sekali menjojoh
dengan jarinya ke perut banteng itu, segera juga perut
binatang itu berlubang dan darah segera muncrat keluar.
Lekas Bing Lok membawa kuali buat menadah darah segar
banteng itu hingga penuh terisi tiga kuali.
Harus diketahui bahwa kulit banteng (yak) dari Tibet tebal
luar biasa dan kuat tak tembus panah biasa tapi kini dengan
pe-lahan Ce Cin-kun bisa menusuknya hingga tembus dengan
jarinya, maka dapat dibayangkan betapa hebat tenaganya
yang berpuluh kali lebih lihai dari senjata biasa.
Tentu saja tenaga raksasa begitu belum pernah disaksikan
para kepala suku itu hingga mereka ternganga dan mata
membelalak terkesima
Rasanya yang paling senang adalah Bing Lok seorang, ia
mencampurkan darah banteng tadi dengan arak dan
menuangnya ke hadapan kepala-kepala suku itu masingmasing
secawan. "Nah, silakan mengeringkan secawan ini
untuk tugas kita yang maha besar!" demikian ajaknya
Tapi meski para kepala suku itu terkejut dan menjadi jeri
tadi, namun mereka masih tetap duduk tak bergerak tak mau
menerima ajakan Bing Lok.
Keruan Bing Lok gusar. Dan selagi ia hendak umbar
amarahnya, tiba-tiba Manlis maju ke depan dari samping dan
dengan tersenyum simpul berkata pada Bing Lok, "Ayah,
sungguh kau sudah pikun, seharusnya tuan rumah yang mesti
minum dulu! Nah, minumlah kau dulu, nanti anak yang
mempersilakan para paman minum juga.1'
Habis itu, Manlis mengambil secawan arak penuh dan
dibikin hangat dulu di atas api unggun yang berkobar itu dan
kemudian diberikan kepada sang ayah.
Tanpa ragu-ragu Bing Lok menerimanya terus sekali ceguk
ia keringkan isi cawan dan membanting cawannya ke tanah
sambil bergelak tertawa "Hayo, Lis, berikan arak pada para
paman!" demikian serunya pula.
Gusar luar biasa kepala suku Dasan menyaksikan kejadian
itu hingga matanya merah berapi, ia melotot kepada Fuad dan
menyindirnya, "Hm, begitulah nona yang kaucintai!"
Namun masih tetap Fuad tersenyum tak menjawab.
"Kau minum dulu, Fuad!" tiba-tiba Bing Lok menunjuk
padanya. Tapi cepat Fuad berdiri. "Nanti dulu, Bing-losiutiang (kepala
suku tua)" demikian katanya "Di sini ada dua tetamu yang
ingin belajar kenal dengan kepandaian hebat dari ksatria
Boan-ciu tadi itu!"
Thian-hiong bergelak tertawa mendengar ada orang berani
menantang mereka. "Hahaha, bagus, kamu bangsa orang liar
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini kalau belum merasakan gebukan tentunya belum mau
takluk!" demikian teriaknya.
Sebaliknya Bing Lok menjadi kurang senang oleh. kata-kata
Fuad tadi. "Kau benar-benar tak mau minum, Fuad?" tegurnya
segera "Hanya minum arak apa artinya" Ada lebih baik melihat
keramaian ini dulu!" sahut Fuad tertawa
Sementara itu Thian-hiong sudah menanggalkan kasa
merah yang dipakainya terus melompat ke tengah kalangan.
"Hayo, majulah, dimana koncomu itu?" tantangnya segera.
Masih Fuad tersenyum tak menjawab, hanya tangannya
sekali menggapai, lalu dari sampingnya mendadak berdiri dua
orang, tak terlihat bagaimana bergeraknya, tapi tahu-tahu
orangnya sudah sampai di tengah kalangan.
Ketika seorang di antaranya melepaskan kerudung yang
menutupi mukanya tadi, segera tertampak mukanya penuh
codet belas goresan senjata tajam yang sangat menyolok
pandangan. Sedang seorang lainnya adalah kakek kurus kecil
lak menarik. Tadi kedua orang itu bercampur orang banyak di
situ secara diam-diam, maka Bing Lok mengira mereka adalah
pengikut Fuad yang biasa saja tak menarik perhatiannya Tapi
kini setelah wajah asli mereka diunjukkan, seketika itu juga ia
terkejut terus berteriak, "He, kau, Leng Bwe-hong!"
Sebagian besar di antara kepala suku yang hadir itu juga
mengenali Leng Bwe-hong, tentu saja mereka bersorak
gembira. Sebaliknya muka Ce Cin-kun pucat lesi. Hanya Thianhiong
Siangjin yang belum pernah kenal kepandaian Bwehong,
meski mula-mula terperanjat juga, tapi masih tetap ia
melirik berlagak.
"Eh, jadi kau inikah yang bernama Leng Bwe-hong?"
tanyanya kemudian sambil bersiap. "Kau ingin bertempur satu
lawan satu denganku atau dua-duanya hendak maju
sekaligus"
"Kenapa harus buang tenaga begitu banyak?" sahut Bwehong
dingin. "Kami berdua justru ingin berkenalan dengan
kepandaian kalian berenam sekaligus. Kami ingin tahu betapa
besar kemampuan kalian hingga berani malang melintang
tidak semena-mena di padang rumput ini" Nah, katakan saja
jika kalian berenam mau maju berbareng, kami berdua juga
yang menerimanya Tapi jika satu saja yang akan maju, boleh
kalian pilih satu di antara kami sesukamu. Hai! Ce Cin-kun,
hayolah kau pun maju sekalian, kau suka pilih yang mana?"
"Untuk apa kau ikut campur urusan di sini?" sahut Ce Cinkun
terpaksa "Orang lain mungkin takut padamu, tapi aku tak
nanti gentar." Katanya tak takut, padahal hatinya amat
ketakutan. "Bagus, jika tak takut, nah, lekas maju!" jengek Bwe-hong.
Tapi Ce Cin-kun masih ragu, ia justru lagi memikirkan dayaupaya
untuk meloloskan diri.
Ada dua jago bayangkara kelas satu yang baru masuk
kerajaan dari daerah Kanglam, mereka belum kenal nama
Leng Bwe-hong yang besar, diam-diam mereka mendongkol
oleh sikap Ce Cin-kun yang katanya tiada tandingannya di
kolong langit ini, tapi di hadapan musuh kenapa menjadi
begitu jeri"
Tatkala itu Ce Cin-kun sudah diangkat menjadi komandan
bayangkara kerajaan, Thian-hiong Siangjin baru saja diundang
dari Tibet Maka kedua bayangkara itu berpikir jika tidak
menjatuhkan Leng Bwe-hong di sini, bukan saja wibawa
bayangkara kerajaan akan lenyap, mungkin Thian-hiong
Siangjin juga akan memandang hina mereka
Kedua bayangkara itu ternyata serupa pikiran, maka tanpa
berjanji mereka menubruk keluar semua ke depan. "Hayolah,
biar kami berdua keluar pada babak ini dulu!" teriak mereka.
"Kalian ingin pilih lawan yang mana?" tanya Bwe-hong
adem. "Pilih kau!" bentak kedua bayangkara itu berbareng terus
menerjang ke arah Leng Bwe-hong.
Tapi disertai suara tertawa yang panjang, tiba-tiba Bwehong
melesat sambil kedua tangan dipentang dengan tipu
'Thi-so-hing-ciu' atau gembok besi merantai perahu, musuh
pertama belum sempat melihat jelas, tiba-tiba pergelangan
tangannya sudah tertangkap. Gerakan Bwe-hong cepat luar
biasa, dengan enteng sekonyong-konyong ia memutar hingga
bayangkara yang tertangkap itu terbanting mampus. Dan
ketika musuh kedua baru saja melontarkan serangan,
mendadak ia menjerit kaget dan mengelakkan tubuh kawan
sendiri yang terbanting itu, saat itulah tahu-tahu Leng Bwehong
sudah menubruk datang pula hingga dada bayangkara
itu merasa tersambar angin keras bagai dikampak, nyata ia
telah terkena pukulan tenaga raksasa Leng Bwe-hong hingga
tulang dadanya patah, ia menjerit ngeri lalu roboh tak
berkutik, darah mancur membasahi padang rumput
Begitulah dengan Thian-san-cio-hoat atau ilmu pukulan dari
Thian-san yang cepat luar biasa, dalam sekali dua gebrakan
saja Leng Bwe-hong telah membinasakan dua jago
bayangkara, keruan semua orang yang menyaksikan itu
ternganga tak terka-takan.
Saking jerinya Thian-hiong Siangjin ikut melangkah mundur
beberapa tindak, namun segera Leng Bwe-hong membentak
lagi, "Bagaimana" Kau ingin pilih lawan yang mana?"
Setelah bisa menenangkan perasaan sedikit, Thian-hiong
pikir ilmu silat Leng Bwe-hong tampaknya sudah sampai
puncaknya yang susah dilawan. Tapi ia tak percaya di jagad
ini masih ada seorang Leng Bwe-hong kedua yang sama
lihainya. Ia sendiri sudah masak meyakinkan Thian-liong-c iohoat
yang hebat, di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan ia
terhitung juga tokoh terkemuka, maka kini ada lebih baik
menghindarkan Leng Bwe-hong dan menantang si orang tua
kurus kecil itu saja.
"Sudah pikir baik-baik belum?" sementara Leng Bwe-hong
mendesak pula. "Kau tadi sudah bertempur satu babak, Leng Bwe-hong,"
sahut Thian-hiong akhirnya. "Maka kini bila aku melawanmu
pula, kalau menang rasanya aku pun kurang berharga, sebab
itu biarlah aku bertanding dengan kawanmu itu dulu nanti bila
kau sudah cukup mengaso boleh aku melayanimu lagi."
Bwe-hong bergelak tertawa oleh alasan orang itu. "Hahaha
bergebrak dengan kalian sama saja bermain dengan anak
kecil, kenapa harus lelah?" demikian katanya kemudian.
"Cuma kalau kau ingin berkenalan dengan kepandaian
kawanku, baiklah, terpaksa biar dia yang memberi hajaran
padamu. Tapi awas, tangannya lebih keji daripada"x, boleh
coba kau tahu rasanya nanti."
Dan selagi Thian-hiong hendak buka suara pula, tiba-tiba
didengar di belakangnya ada orang berkata dengan suara
seram menusuk, "Hwesio busuk, balon apa yang kau tiup"
Cara bagaimanakah kau ingin bergebrak?"
Keruan Thian-hiong terperanjat, ketika ia menoleh, siapa
lagi dia kalau bukan si orang tua yang dipandang enteng itu.
Maka dengan tertawa kemudian Leng Bwe-hong lantas
mengundurkan diri, sebaliknya Sin Liong-cu lantas membentak
juga, "Nah, awas serangan datang!"
Tahu-tahu pandangan Thian-hiong rada kabur, ternyata angin
kepalan musuh sudah menyambar ke mukanya. Namun
Thian hiong masih sempat menarik tubuh, lalu dengan tipu
'Sin-liong-tiau-bwe' atau naga sakti membalik buntut, telapak
tangan kirinya diangkat cepat terus menyampuk pergelangan
tangan musuh. Gerak tipu ini adalah serangan lihai dari Thianliongcio-hoat. Tak terduga Sin Liong-cu ternyata selicin ikan, tubuhnya
yang pendek kecil itu tahu-tahu menerobos lewat di bawah
tangan lawan, habis itu, kembali ia menghantam cepat. Maka
terdengarlah suara "plok" sekali, ternyata muka Thian-hiong
sudah kena ditempeleng sekali.
Seketika itu juga Thian-hiong menjerit kesakitan, darah
segar segera menyembur dari mulutnya berikut dua gigi
depannya yang telah rompa!.
Baiknya Thian-hiong telah berlatih puluhan tahun lamanya,
dengan sendirinya cukup ulet pula setelah kalah sejurus,
segera ia pun sadar, Seetika ia berputar cepat, kedua
tangannya naik-turun terus mengikuti gerak tubuhnya dan
menjaga rapat tak tembus angin. Ia mengunjuk 'Thian-liongciohoat' atau ilmu pukulan naga langit yang seluruhnya
meliputi 18 jurus dan tiap jurus membawa sembilan
perubahan hingga seluruhnya adalah 162 gerakan, tiap
gerakan selalu menyerang dan menjaga sambung
menyambung bagai bentuk naga, maka bila dimainkan cepat
juga lihai luar biasa.
Karena itulah, kedua orang itu berputar-putar cepat bagai
kitiran hingga pandangan orang yang menyaksikan menjadi
kacau. Dan sesudah tak lama ketika Thian-hiong hendak
melontarkan serangan lain lagi, waktu itu Sin Liong-cu sudah
bisa memahami gerak tipu orang, sebaliknya Thian-hiong
belum kenal dari aliran manakah ilmu pukulan Sin Liong-cu itu.
Maka baru saja Thian-hiong menyerang cepat beberapa
kali, tahu-tahu semua serangannya mengenai tempat kosong,
sebaliknya ia sendiri tiba-tiba merasa ketiaknya kena digagapi
orang hingga terasa geli dan linu, bila ia membalik tubuh,
kembali tengkuknya telah dicomot orang sekali, cepat ia
membalikkan tangan menggabiok, namun ujung baju musuh
saja tidak bisa di-senggolnya
Begitulah dengan gerak tubuhnya yang aneh sekali itu Sin
Liong-cu mempermainkan Thian-hiong habis-habisan dan
susah melepaskan diri. Semua orang hanya melihat Sin Liongcu
tiba-tiba menubruk maju atau tahu-tahu melompat mundur
sambil mengkilik-kilik ketiak orang atau menjawil pundaknya,
maka mereka menjadi tertawa terbahak-bahak. Sebaliknya
Thuan-bi"mj" menjerit-jerit lucu bagai monyet kena terasi.
Dengan ilmu silatnya yang tinggi dan luar biasa itulah. Sin
Liong-cu mempermainkan Thian-hiong bagai orang tua
menggoda anak kecil. Ce Cin-kun yang ikut menyaksikan
dengan penuh perhatian itu menjadi girang bercampur
terkejut. Girangnya Cin-kun karena tanpa sengaja telah bisa
menyaksikan permainan silat yang tiada bandingannya di
dunia persilatan itu hingga rasa curiganya selama ini pelahan
menjadi lenyap. Sebab sesudah tempo dulu merasakan
tempelengan Han Ci-pang, bahkan jenggotnya kena dibubut
orang pula, hal mana selalu dianggapnya suatu hinaan paling
besar selama hidupnya. Tapi gerak tipu serangan Han Ci-pang
itu hanya serabutan tak teratur, betapapun ia menduga dan
merabanya masih tetap susah dimengerti. Kini setelah melihat
tipu aneh Sin Liong-cu, ia menjadi teringat pada gerak
serangan Ci-pang dahulu itu, maka ia pun menjadi terang
semuanya dan tahu mereka berdua adalah dari satu golongan.
Dan terkejutnya ialah meski dapat dimengerti ilmu silat
orang yang aneh itu, tapi bila ia coba menyelami betapa
dalam dan luasnya, sungguh iiulah ilmu silat yang tak pernah
dilihatnya dalam dunia persilatan. Jika ia mengeluarkan
sepenuh tenaga mungkin masih bisa menahan serangan aneh
orang, tapi untuk bisa menang, ia benar-benar tak
berani'yakin. Ia pikir seorang Leng Bwe-hong saja sudah
begitu lihai dan susah dilawan, apalagi kini bertambah seorang
makhluk aneh ini, tentu saja tak nanti bisa menahannya.
Maka sejenak kemudian, ketika semua orang mencurahkan
seluruh perhatian ke tengah kalangan pertempuran,
mendadak Ce Cin-kun mengenjot tubuh melompat pergi terus
lari keluar. Dua kawan bayangkaranya seketika terkejut dan bingung,
belum mereka paham maksud pemimpin mereka itu,
mendadak terdengar Leng Bwe-hong membentak, "Lari
kemana!" Dan karena itu barulah kedua bayangkara itu insyaf kalau
Ce Cin-kun yang menjadi jeri telah melarikan diri lebih dulu
meninggalkan mereka. Segera juga mereka berniat angkat
kaki menyusul sang kawan, namun sudah terlambat
Ketika Bwe-hong mengayun kedua tangannya, tiga sinar
hitam keemasan mendadak telah menyambar. Sin-bong yang
mengarah Ce Cin-kun itu karena jaraknya sudah terlalu jauh,
maka kekuatannya menjadi lemah ketika dekat sasarannya
kena disampuk jatuh oleh balikan pedang Ce Cin-kun.
Sebaliknya kedua bayangkara tadi tak berdaya menghindarkan
diri hingga keduanya tertembus oleh senjata rahasia tunggal
Leng Bwe-hong dan terbinasa seketika.
Di sebelah sana di kalangan pertempuran mendadak
terdengar juga siulan aneh Sin Liong-cu yang panjang, tahutahu
kasa (jubah kaum Hwesio) Thian-hiong Siangjin telah
kena dijambret dan orangnya terus diangkat pula, karena
buru-buru hendak mengejar Ce Cin-kun, maka sekenanya Sin
Liong-cu melemparkan tubuh Thian-hiong tanpa peduli rnatihidupnya
lagi, lalu ia angkat langkah hendak mengudak
musuh. "Sin-toako, musuh yang kalah tak perlu dikejar!" tiba-tiba
Bwe-hong meneriakinya.
Karena itu segera juga Sin Liong-cu urung mengejar dan
heran mengapa Leng Bwe-hong mencegah.
Dan pada saat itulah tiba-tiba terlihat Bing Lok berteriakteriak
bagai orang gila kesurupan berlari keluar. Segera juga
para kepala suku telah merubung maju dan meringkusnya
"Ayahku dalam beberapa hari sedang sakit panas hingga
pikiran sehatnya tak genah," demikian Bing Manlis berkata
sambil menangis. "Sebenarnya aku minta malam ini jangan
mengadakan rapat segala, tapi ia justru tak mau menurut"
Para kepala suku bangsa itu sebenarnya sudah amat benci
dan gusarnya terhadap Bing Lok, tadinya mereka pikir
sesudah meringkusnya lalu hendak diadakan perundingan
untuk menjatuhkan putusan, tapi demi meraba jidatnya
ternyata betul panas seperti dibakar, mau tak mau mereka
mengurungkan maksudnya, sebab menurut peraturan suku
bangsa di padang rumput itu, orang yang sedang sakit, tak
peduli betapa besar dosanya tak boleh lantas diperiksa terus
dijatuhi hukuman.
Karena itu lantas terdengar kepala suku Sajia buka suara,
"Baiklah, tahan dia untuk sementara!"
"Jelek-jelek ayahku juga kepala suku, biarlah aku yang
mengawasinya," ujar Bing Manlis.
"Hm, kau yang mengawasinya" Bukankah kau setali-tigauang
seperti ayahmu?" kepala suku Dasari tiba-tiba
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjengek. Dan sebelum keadaan menjadi runyam, cepat
Fuad tampil ke muka "Baiknya kalian jangan memfitnah orang
baik-baik, hendaklah tahu, kedatangannya ke sini justru
karena permintaanku."
Karena melihat Leng Bwe-hong memang benar-benar Fuad
yang mendatangkan, maka para kepala suku itupun mau
percaya sepenuhnya tanpa curiga lagi. Dan ketika mereka
hendak buka suara pula tiba-tiba di padang rumput itu terang
benderang oleh api obor, para pejuang suku Tagar membanjir
datang sambil berteriak, "Bing Lok sakit parah, maka kami
mengangkat nona Bing Manlis menjadi pemimpin kami untuk
bersama-sama melawan pasukan Boan dengan suku-suku
bangsa lain!" Habis itu, terdengar mereka pun bersorak
gegap-gempita. Maka dengan tersenyum Bing Manlis menerima baik
pengangkatan mereka itu, sudah tentu para kepala suka lain
ikut bergirang.
"Suku bangsaku serupa juga dengan kalian adalah laki-laki
berdarah panas," kata Bing Manlis kemudian. "Keputusan
ayahku sebenarnya sudah lama aku anti, sekarang suku
bangsaku bersedia berserikat untuk melawan musuh, tiada
lain adalah aku sendiri yang telah mengaturnya."
"O, kiranya begitu, maka hendaklah nona memaafkanku,"
kata kepala suku Dasan segera.
Waktu itu juga, mendadak terdengar Bing Lok menjerit
keras, dari mulutnya tersembur keluar darah segar dan
orangnya pun terus jatuh terguling,
Kiranya tadi waktu Bing Manlis memberikan arak darah
untuk sang ayah, diam-diam ia telah mencampuri sedikit obat
bubuk putih ke dalam arak. Obat bubuk itu adalah racikan
semacam rumput aneh di padang rumput yang khasiatnya
sangat panas, siapa saja bila meminumnya seluruh badan
segera panas bagai dibakar roirip orang sakit panas. Resep
pembuatan obat itu dipelajari Fuad dari angkatan tua suku
bangsanya dan sengaja diberikan kepada Manlis untuk
berdaya menolong ayahnya
Sebaliknya Bing Lok yang memang orangnya licin banyak
muslihat, ketika mendengar puterinya menegaskan dirinya
sedang sakit, segera ia pun menjalankan menurut kemauan
orang dan pura-pura sakit panas sungguhan, padahal
pikirannya masih jernih. Sampai akhirnya ketika dilihatnya
suku bangsanya mengangkat puterinya menjadi pemimpin
buat melawan pasukan Boan, pengikutnya telah meninggalkan
dia seluruhnya, dari gusar ia menjadi gemas juga hingga
muntah darah. Pura-pura sakit menjadi sungguhan kini.
Dan setelah Manlis menyatakan ikut serta dalam sumpah
setia berserikat dengan semua suku bangsa ku, kemudian ia
membawa ayahnya mengaso ke perkemahan sendiri.
Begitulah para suku bangsa di padang rumput Garsin itu
telah mengangkat Fuad sebagai ketua serikat mereka. Maka
Leng Bwe-hong sangat senang, dengan tertawa ia
mengangkat cawan arak memberi selamat dan berkata
"Biarlah sekarang kuberitahukan suatu kabar baik pula tadi
Bing Lok bilang Hui-ang-kin lari ke pegunungan sunyi tak
berani muncul, apa yang dikatakan itu tidak benar. Kini Huiangkin sudah datang kembali dan telah menjabat Bengcu
(ketua serikat) pula dari suku-suku bangsa di Sinkiang selatan
sana, dan kami ini justru dialah yang mengirimkan ke sini."
Karena berita itu, lagi-lagi semua orang bersorak gembira.
Dengan kencang Fuad menggenggam tangan Leng Bwehong,
saking terharunya ia pun mengalirkan air mata terima
kasih. "Leng-tayhiap," katanya, "Lebih 20 tahun lalu
Suhengmu Njo Hun-cong dan pendekar wanita kita Hui-angkin
pernah menolong jiwaku, kini kembali kau datang lagi
menolong suku bangsaku. Dan jika sekarang Hui-ang-kin telah
datang kembali, itulah bagus sekali, para suku bangsa kami di
padang rumput Garsin ini bersedia menerima perintahnya dari
jauh!" Habis itu, segera ia pun mengajak Leng Bwe-hong
mengeringkan secawan arak darah sebagai sumpah setia
masuk perserikatan.
Mengenai Manlis yang membawa ayahnya kembali ke
perkemahan, gadis ini telah memunahkan obat bubuk yang
diminumkan kepada ayahnya itu dengan air.
"Anakku," kata Bing Lok kemudian dengan air mata ber1 inang sesudah sadar kembali. "Kini kau sudah dewasa
dan hatimu pun menjadi besar, burung muda sudah tumbuh
sayap, tentu saja pilih terbang menanjak ke dahan yang
tinggi." "Ayah," sahut Manlis cepat "Kenapa kau berkata demikian,
asal kau sudah menyesal dan bersedia memperbaiki diri serta
minta maaf pada para paman, anakmu ini tanggung mereka
tak akan membikin susah kau."
Tapi Bing Lok tertawa getir, katanya tiba-tiba, "Kalian
sudah ada Leng-tayhiap, perlu apalagi orang semacam
ayahmu ini?"
"Leng-tayhiap masih akan kembali ke selatan, mana bisa ia
menetap bersama kita di sini," sahut Manlis. "Mungkin juga
besok atau lusa ia sudah akan berangkat kembali. Lagipula,
tambah seorang pasti tambah juga suatu kekuatan, apalagi
ayah sendiri juga pahlawan gagah berani melawan Boan di
masa 20-an tahun lalu."
"Tapi orang lain mungkin tidak sepandangan denganmu,"
ujar Bing Lok. Dan ketika Manlis hendak menghibur pula, namun Bing Lok
sudah memejamkan mata bilang letih hendak tidur dan
menyuruh puterinya itu jangoj mengganggunya lagi.
Tak terduga esok paginya, tahu-tahu Bing Lok ternyata
melarikan diri tanpa pamit. Tentu saja Manlis kuatir dan
mendongkol juga, dan karena hubungan anak dan ayah yang
cinta-mencintai itu, Manlis menjadi tak bis"; berpikir panjang
dan tak berani melaporkan tentang minggatnya Bing Lok,
bahkan terhadap kekasihnya, Fuad, juga tak berani memberi
tahu. Lusa hari ketiga ketika Leng Bwe-hong dan Sin Liong-cu
mohon diri padanya, Manlis menjadi serba susah, tiada lain
kecuali ia berpesan dengan sangat agar Leng Bwe-hong
menyampaikan salamnya kepada Hui-ang-kin.
Sang waktu lewat tanpa terasa, tatkala itu sudah musim
rontok, udara di padang rumput terang bersih, meski cuaca
sangat dingin, tapi membikin perasaan orang menjadi lapang.
Setelah melakukan tugasnya itu, Leng Bwe-hong menjadi
sangat senang, sepanjang jalan ia mengajarkan Sin Liong-cu
menyanyi lagu rakyat padang rumput
Dari padang rumput Garsin kembali ke sekitar Turfan harus
melintasi pegunungan Mustak yang merupakan cabang
pegunungan Thian. Gunung Mustak ini meski tak setinggi
Thian-san yang mencakar langit tapi keadaannya sangat
berbahaya juga. Lereng gunung semuanya terbentuk dari
gunung es dan bukit salju, sungai es yang mengalir turun dari
lereng gunung itu tak terhitung banyaknya bagai naga putih
yang beraneka macam gayanya, yang tercakup di lembah
pegunungan bersalju itu hingga makin menambah keindahan
alam yang megah.
Menghadapi pemandangan indah sungai es itu, dengan
menghela napas Leng Bwe-hong telah berkata pada Sin Liongcu,
"Meski di atas Thian-san ada juga sungai es, tapi masih
tidak semegah yang ada di sini!"
"Ya, makanya dalam dongeng suku Kazak kami, ada
diceritakan bahwa ada seorang gadis cantik karena ditinggal
pergi kekasihnya tak kembali pula, lalu gadis itu memanjat ke
atas Mustak dan memandangnya dari sana menantikan
pulangnya sang kekasih dan akhirnya rambutnya berubah
menjadi tiang es."
"Dalam dongeng bangsa Han kami juga ada serupa itu,"
kata Bwe-hong. "Hal mana menandakan bahwa soal cinta
asmara tiada perbedaan di antara suku bangsa."
Dan oleh karena percakapan mereka ini, perasaan Bwehong
menjadi tersinggung. "Sin-toako," tanyanya tiba-tiba
sesudah merenung rada lama, "Apakah kau pun pernah
mencintai seorang gadis?"
Tercengang Sin Liong-cu oleh pertanyaan tiba-tiba itu,
sesaat ia tak bisa menjawab. "20 tahun lalu pernah aku
datang ke gunung ini," demikian katanya. "Tatkala itu guruku
sedang tak tahan oleh recokan Pek-hoat Mo-li dan sedapat
mungkin ingin menyingkirkan diri, dan ada sekali telah
bersembunyi ke atas gunung ini hingga susah payah baru
dapat kumencarinya. Melihat keadaan guruku waktu itu,
rasaku menjadi dingin, maka selamanya aku tak berani main
cinta segala."
"Jika begitu, nyata kau sangat cerdik," ujar Bwe-hong
menghela napas.
Karena itu segala kejadian dulu seakan terbayang olehnya,
teringat oleh Bwe-hong malam di tepi sungai Ci-tong-kang
dengan suara ratapan dan panggilan yang mengharukan itu,
dan belaian tangan halus di goa batu di kala ia terluka, serta
suka-duka setelah berjumpa kembali, percakapan
mengharukan di dalam penjara tahanan Go Sam-kui dan sinar
mata yang sayu memilukan itu...... Ya, kesemuanya itu
membikin Leng Bwe-hong sekonyong-konyong merasa
menggigil. Dalam hati ia pun berteriak, "O, Yu-hong,
dimanakah kini kau berada?"
Di lain pihak Sin Liong-cu sedang terheran-heran dengan
mata membelalak memandang Bwe-hong, sungguh ia tidak
habis mengerti, dengan ilmu silat Bwe-hong yang tinggi itu,
kenapa bisa menggigil tak tahan akan hawa dingin"
"Kenapa" Apa kau kedinginan?" demikian tanyanya
simpatik. Tapi Bwe-hong masih termenung tak sadar. "He, apa kau
kesurupan?" seru Sin Liong-cu sambil menepuk orang.
Dan karena itulah Bwe-hong kaget. "Aku aku kenapa
bisa kesurupan?" sahutnya bingung.
Selagi Sin Liong-cu hendak bertanya pula mendadak
tempat dimana mereka berpijak tergoncang keras, lekas Sin
Liong-cu menarik Bwe-hong melompat ke tempat yang lebih
tinggi sambil berteriak, "Celaka, salju longsor!"
Maka sekejap saja di lembah gunung itu terdengar suara
gemuruh menggetarkan hati, batu-batu es besar berhamburan
dari atas dengan suara yang mengejutkan.
Kiranya saking banyaknya salju tertimbun di puncak
gunung, maka sudah biasa kalau di Thian-san dan gunung
Mustak terjadi salju longsor. Dalam keadaan begitu,
betapapun perkasanya bila tertumbuk, pasti akan teruruk
masuk jurang dan terpendam hidup-hidup. Baiknya Leng Bwehong
dan Sin Liong-cu sudah banyak berpengalaman, pula
ilmu mengentengkan tubuh mereka sangat bagus, di bawah
hamburan batu-batu es itu mereka masih bisa meloncat untuk
berkelit dan menghindarkan diri hingga tak terluka sedikitpun.
Sesudah agak lama kemudian salju longsor itu baru mulai
reda Dan baru saja Leng Bwe-hong merasa lega, tiba-tiba
terdengar ada suara jerit tangis dan sesambatan terus
menerus yang mengerikan.
Cepat Sin Liong-cu menarik sang kawan melompat keluar
dari lereng gunung yang teruruk batu salju itu, dan suara
sesambatan itu ternyata makin lama makin keras, bahkan
sahut-menyahut di sana-sini, terang sekali tidak sedikit orang
yang tertimpa bencana salju longsor tadi.
"He, aneh, kenapa ada begini banyak orang lalu di sini
hingga tertimpa bahaya itu?" ujar Sin Liong-cu heran.
"Mari lekas kita pergi melihatnya, mungkin masih bisa kita
tolong," kata Bwe-hong cepat.
Dan sesudah mereka berlari keluar gugusan gunung itu dan
memandang ke bawah, maka tertampaklah di lembah sana
tidak terhitung banyaknya serdadu Boan yang patah kaki atau
putus tangan sedang menjerit-jerit.
Luar biasa terkejut Leng Bwe-hong melihat keadaan itu.
Dalam pada itu tiba-tiba didengarnya di puncak di depan sana
ada suara bentakan dan teriakan orang.
"He, lihat itu, ada orang sedang bertempur di sana!" seru
Sin Liong-cu. Waktu Bwe-hong memandang ke arah sana, "segera suara
permintaan tolong terdengar terbawa angin. "Leng Bwe-hong,
apakah kau yang datang" Lekas kemari membantuku!"
demikian seru suara itu.
Mengenali suara itu, sungguh kejut Bwe-hong melebihi tadi.
Bila ia menegasi, nyata Lauw Yu-hong berdiri di suatu batu
cadas yang berbahaya sedang dirangsek Coh Ciau-lam dengan
gesit bagai kera.
Tanpa pikir lagi Bwe-hong menggertak sekali, berbareng
senjata rahasianya yang tunggal Thian-san-sin-bong lantas
menyambar dulu. Lekas Ciau-lam mengegos dan pedangnya
me-nyampuk, dengan susah payah akhirnya dapat ia
hindarkan senjata rahasia itu.
Dan saat itulah secepat terbang Leng Bwe-hong dan Sin
Liong-cu telah memburu ke puncak sana
"Hayolah, biar kumengadu jiwa denganmu!" bentak Ciaulam
nekad melihat lawan kedatangan bala bantuan. Habis itu
dari tempat yang lebih tinggi di atas batu cadas itu ia
menahan maju Leng Bwe-hong sekuatnya. Sedang dua jago
bayangkara begundalnya lantas mewakilkan mengembut Lauw
Yu-hong dari jurusan lain. Rupanya Yu-hong menjadi
kerepotan hingga berulang berteriak pula, tapi Coh Ciau-lam
sudah mengambil tempat kedudukan lebih menguntungkan
hingga sekejap susab bagi Leng Bwe-hong hendak menerjang
lewat. "Kau tahan dulu sekuatnya, segera aku akan datang!"
demikian teriaknya terpaksa memberi semangat pada Lauw
Yu-hong. Dan setelah bisa menenangkan diri sedikit, waktu Bwehong
memandang sekelilingnya, ia lihat Sin Liong-cu sudah
menerjang maju juga dan sedang menempur musuh dengan
sengitnya di lereng sebelah sana. Yang dihadapinya bukan lain
daripada cikal-bakal Tiang-pek-san-pay, Hong-lui-kiam The
cin-kun. Dan di lereng sebelah atas pertempuran juga sudah terjadi
dan terbagi dalam dua kelompok, yang sekelompok sedang
mengembuti seorang kakek dan seorang gadis berbaju merah.
Kedua orang tua dan muda itu bisa menerjang ke sana kemari
dengan hebat sambil si kakek memanggil "Sin-sute!" dan si
gadis berseru, "Leng-tayhiap!"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar suara orang, hati Bwe-hong rada lega. Pikirnya
diam-diam, "Eh, kiranya mereka adalah Ciok Thian-sing dan
Bu Ging-yao. Ilmu kepandaian mereka sangat tinggi, agaknya
tak nanti dikalahkan musuh."
Karena itu, segera ia memperkencang pedangnya dan
mendesak Coh Ciau-lam mundur selangkah, bila ia
memandang pula, tak tertahan ia terkejut sekali, ternyata 7-8
orang yang mengembut Ciok Thian-sing dan Bu Ging-yao itu
adalah Larnma dari Tibet yang di antaranya dapat dikenali ada
Thian-bong Siansu dan Thian-hiong Siangjin yang pernah
bergebrak dengannya. Tampaknya semua jago Thian-liongpay,
kecuali ketuanya Thian-liong Siansu, agaknya telah
dikerahkan serentak.
Waktu ia menegasi pula, dari sebelah lain ia lihat ada lagi
7-8 jago bayangkara yang terbagi dalam dua rombongan
mengepung Sin Liong-cu dan rombongan lain menubruk ke
jurusannya sini.
?"Celaka!" diam-diam Bwe-hong mengeluh juga
menghadapi musuh yang terlalu banyak. Cepat ia mengayun
pedangnya menusuk beberapa kali hingga Coh Ciau-lam
dipaksa mundur pula, maka ia bisa menyerobot ke atas batu
cadas itu, lalu secepat kilat ia memutar balik sambil
pedangnya menyampuk menyambut beberapa senjata jago
bayangkara yang sementara itu sudah datang menyerang.
Kiranya keberadaan Lauw Yu-hong di sini disebabkan ia
datang untuk mencari Leng Bwe-hong.
Sejak Bwe-hong berangkat, ia selalu tak tenteram dan
merasa kuatir. Sampai hari ketiga sesudah Bwe-hong
berangkat, Hui-ang-kin sudah bisa mengadakan kontak
dengan semua kepala suku bangsa di Sinkiang selatan itu.
Di lain pihak pasukan Boan yang terus bergerak itu, setiap
tempat yang didatangi tentu didirikan kubu pertahanan di situ,
karena itu bergeraknya pasukan sangat lambat dan tatkala itu
masih ratusan li dari tempat kedudukan Hui-ang-kin.
Siasat pasukan Boan sudah sangat jelas, andaikan
kekuatan yang lebih baik hendak bertempur tanpa resiko,
maju pelahan-lahan dan akhirnya menelan seluruh Sinkiang.
Menghadapi siasat musuh itu, sesungguhnya Hui-ang-kin
tak berdaya, karena itu ia menjadi kuatir.
"Kekuatan kita lemah, untuk keras lawan keras terang
bukan cara yang baik," demikian kata Pho Jing-cu. "Tapi kalau
mereka menggunakan siasat memakai kubu pertahanan,
belum tentu juga mereka bisa mengalahkan kita, betapa luas
padang rumput ini bagai samudra raya yang tak tampak ujung
pangkalnya, kita bagai ikan saja berenang kian kemari di
antara kubu pertahanan mereka, di padang rumput inipun
banyak terdapat orang kita hingga kabar cepat dan mata
tajam, bila mereka mengejar, kalau kekuatan besar kita
hindari, bila kekuatan musuh kecil, segera kita makan
mereka." "Jika begitu, ini adalah peperangan berjangka panjang yang
tiada batas waktunya!" ujar Hui-ang-kin menghela napas.
"Kita lemah dan musuh kuat, terpaksa harus menggunakan
cara begitu," kata Jing-cu. "Jika kita menabah padang rumput
ini menjadi sebuah kolam lumpur hingga musuh makin
kejeblos makin dalam, pasti tak tahan juga mereka tinggal
terus di sini."
Setelah mereka menetapkan siasat, mereka menjadi tidak
perlu kuatir lagi, sebab peperangan seketika belum akan
meletus. Dalam pada itu Lauw Yu-hong sangat merindukan Leng
Bwe-hong, diam-diam ia berunding dengan Bu Ging-yao ingin
mengajak gadis ini pergi bersama menyongsong kembalinya
Bwe-hong ke padang rumput Garsin.
Dasar Ging-yao memang suka bergerak, hubungannya
dengan Yu-hong sangat akrab pula maka ia menerima ajakan
itu dengan baik dan bersedia menjadi petunjuk jalan.
Setelah mereka membicarakan dengan Hui-ang-kin, karena
memang tiada pekerjaan apa-apa pula Hui-ang-kin sendiri
juga menguatirkan Leng Bwe-hong, maka segera ia setuju
dengan kepergian mereka.
Tentang diri Ciok Thian-sing, sejak ia menewaskan Kui
fhian-lan karena salah paham, selama ini ia menjadi menyesal
tak terhingga dan batinnya selalu tertekan, seringkah" ia
mencari kesempatan buat mencari pahala untuk menebus
dosa. Maka ketika didengarnya Yu-hong dan Ging-yao akan
berangkat ke padang rumput, segera ia menyatakan ikut
serta. Kalau Yu-hong pergi hendak mencari Leng Bwe-hong,
adalah ia ingin pergi mencari Sin Liong-cu.
Kini Thian-sing hanya mempunyai seorang Sute atau adikguru,
yakni Sin Liong-cu, meski watak sang Sute ini terlalu
aneh dan kurang tegas pendiriannya tapi seluruh harapannya
sudah dicurahkan atas diri Sin Liong-cu seorang. Apalagi ia
sendiri sudah pernah mengalami salah membunuh Suheng
sendiri, maka ia pun sangat menguatirkan Sin Liong-cu, ia
pikir harus menggunakan dirinya sebagai cermin untuk
menyadarkan Liong-cu, jangan melulu memikirkan belajar silat
saja tapi soal kejahatan atau kebajikan manusia tak mau tahu
lagi. Sedang mengenai Coh Ciau-lam, kedatangannya ini adalah
bersama dengan pasukan ekspedisi Boan ke Sinkiang ini.
Panglima yang membikin pasukan besar itu adalah
Pangeran Kad yang mahir sekali siasat peperangan meski ilmu
silatnya sendiri tidak tinggi, di samping menggunakan siasat
mendirikan kubu pertahanan dan maju setindak demi
setindak, ia memerintahkan Coh Ciau-lam membawa beberapa
ratus prajurit pilihan dengan gerak cepat terus maju ke depan
di malam hari melalui pinggiran padang rumput, menghindari
pangkalan Hui-ang-kin, tapi terus masuk ke padang rumput
Garsin. Menurut perhitungan panglima Boan itu, pasukan gerak
cepat dengan Coh Ciau-lam tentu bisa menaklukkan Bing Lok
bersama suku-suku bangsa di padang rumput dan sekalian
membantunya memecah belah suku bangsa lain di Sinkiang
selatan. Dengan siasat serangan dari luar-dalam ini, tentu
kekuatan perlawanan para suku bangsa itu pasti akan
dihancurkan dengan mudah.
Dan ketika Coh Ciau-lam sampai di lereng gunung Mustak,
tiba-tiba mereka berpapasan dengan Ce Cin-kun yang sedang
mendatangi bersama belasan Lamma. Setelah bertanya,
barulah diketahui bahwa Leng Bwe-hong dan Sin Liong-cu
juga datang ke tempat ini dan para suku bangsa di padang
rumput Garsin ini sudah mengangkat kepala suku Kazak
sebagai pemimpin dan Bing Lok telah didaulat.
"Baiknya Thian-hiong Siangjin sudah membawa orangnya
datang ke sini, setelah kami kecundang dan lewat lereng
gunung sana lantas bergabung dengan mereka," demikian
kata Ce Cin-kun. "Cuma aku merasa orang kita masih sedikit
maka tidak ingin lantas balas menggempur mereka."
"Hahaha, kalau begitu sekali ini tumbuh sayap juga Leng
Bwe-hong susah lolos lagi!" teriak Ciau-lam tiba-tiba bergelak
tertawa. "Aku sudah memperhitungkan baik-baik, sesudah
selesai tugasnya, tentu ia akan kembali ke selatan, maka
boleh kita pasang perangkap di pegunungan Mustak- ini agar
dia masuk jala."
Dan sangat kebetulan juga, baru saja rombongan Ciau-lam
masuk gugusan pegunungan Mustak itu, tahu-tahu Ciok
Thian-sing, Lauw Yu-hong dan Bu Ging-yao bertiga sedang
mendatangi hingga suatu pertarungan sengit segera terjadi.
Karena tak unggulan melawan musuh yang lebih banyak
pada waktu Thian-sing bertiga hampir tertawan, mendadak
gugur gunung dan salju longsor. Kecuali belasan Lamma yang
berilmu silat lebih tinggi serta jago-jago bayangkara yang
dibawaCoh rjiau-lam serta Ce Cin-kun itu, beberapa ratus
prajurit selebihnya telah teruruk semua oleh salju longsor itu
ke dalam jurang.
Karena tertimpa bencana alam itulah, maka pertempuran
mereka itu untuk sementara terhenti, masing-masing harus
mencari selamat sendiri-sendiri, dan Lauw Yu-hong telah
mendaki sebuah tebing yang terjal, sedang Ciok Thian-sing
dan Bu Ging-yao masih terus menghajar belasan Larnma dari
Thian-liong-pay itu sambil melompat menghindarkan batu es
yang berhamburan.
Baiknya ilmu silat Thian-sing dan Ging-yao memang tinggi
luar biasa, maka ketika salju longsor sudah reda, mereka
sudah berhasil membinasakan lima Larnma dan dua jago
bayangkara. Dan pada saat itu juga Leng Bwe-hong dan Sin
Liong-cu pun muncul.
Begitulah, maka pertarungan itu semakin dahsyat, kedua
belah pihak terbagi dalam empat tempat dan bertempur matimatian.
Lauw Yu-hong dengan sebelah tangan memegang
pedang dan tangan lain bersiap dengan senjata rahasia Kimhuntau menempur tiga jago bayangkara sekuatnya. Leng
Bwe-hong seorang diri menghadapi Coh Ciau-lam bersama
empat begundalnya, dengan ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat
yang tunggal, Bwe-hong bertahan mati-matian.
Sedang Ciok Thian-sing dan Bu Ging-yao masih terus
menghajar para Larnma dengan kepandaian mereka yang
tinggi, di sebelah lain Sin Liong-cu mengunjukkan Tat-mokiamhoat yang tiada bandingannya di dunia persilatan
menempur Ce Cin-kun dengan sengit.
Ketika tadi Sin Liong-cu melolos pedang dan
mengumpulkan semangat, dengan tipu serangannya yang
aneh memutar pedangnya cepat hingga bintik-bintik sinar
perak berhamburan, dibarengi sekali suitan aneh, tahu-tahu
buah kepala seorang jago bayangkara sudah terbang ke
angkasa tercium oleh pedangnya.
Ce Cin-kun menjadi murka, sekali gertak kedua pedangnya
terus menggunting, tapi ketika pedang membentur pedang,
segera terdengar suara nyaring dan letikan api, senjata kedua
belah pihak sama-sama tergoncang pergi. Sin Liong-cu merasa
tangannya pegal, lekas pedang ditahan ke bawah melepaskan
gaya serangan lawan, sebaliknya Ce Cin-kun juga merasa
tangannya panas pedas dan pedang yang kiri sudah terkurung
sebagian. Nyata keduanya betul-betul telah menemukan tandingan
sembabat. Dan baru saja Ce Cin-kun menghindarkan serangan
tadi, kembali Sin Liong-cu telah melontarkan tiga kali tusukan
beruntun ke mukanya.
Namun kuat sekali kuda-kuda Ce Cin-kun, kedua
pedangnya masih terus berputar, yang satu menjaga diri dan
yang lain buat menyerang, dalam sekejap ia telah menangkis
serangan Sin Liong-cu secara berantai itu, dan pada suatu
kesempatan ia pun balas menusuk sekali.
"Bagus!" teriak Liong-cu mendadak. "Tiga tusukan bertukar
sekali serangan. Sungguh tebal mukamu sebagai seorang
cikal-bakal suatu aliran, masih berani kau bertempur terus?"
Kalau menurut peraturan dunia persilatan, pertandingan
tokoh silat soalnya hanya sekali-dua kali gebrak saja, siapa
kalah sejurus segera mengaku kalah. Kini Sin Liong-cu
melontarkan tiga serangan sekaligus dan Ce Cin-kun baru
membalas sekali, terang yang belakangan ini sudah kalah.
Tapi pertarungan ini bukanlah pertandingan biasa,
melainkan pertempuran mati-matian, mana bisa lagi
menghiraukan soal peraturan Kangouw segala" Maka sama
sekali Ce Cin-kun tak bersuara, masih terus kedua pedangnya
diputar semakin cepat hingga membawa suara menderu dan
gemuruh. Meski Sin Liong-cu rnerangsek dan menubruk hebat
pula, tapi setapak pun ia tak mau mengalah sekarang, ia
pantek dirinya kuat-kuat di tempatnya dan menyambut setiap
serangan orang, nyata keuletannya memang tidak bisa
dikalahkan begitu saja.
Sebenarnya Ce Cin-kun tak mampu menahan serangan
aneh Sin Liong-cu itu. Tapi waktu di padang rumput Garsin
dimana Sin Liong-cu mempermainkan Thian-hiong Siangjin, ia
telah menyaksikan semua gerak tipu orang, maka diam-diam
ia telah mempelajarinya baik-baik, dan berkat keuletan
latihannya selama lebih 50 tahun, maka dari berbahaya dapat
diubah menjadi selamat Pula dibantu lagi oleh tiga jago
bayangkara kawannya dari samping, barulah mereka bisa
bertarung sama kuatnya.
Ketika pertempuran berlangsung dengan sengit, mendadak
para Lamma yang mengembut Ciok Thian-sing dan Bu Gingyao
membentak-bentak ramai, sekonyong-konyong Thianbong
pun melompat keluar kalangan dan memberi pesan
beberapa patah kata kepada kawannya lalu ia memutar
tongkat padrinya yang terbuat dari baja terus ikut serta ke
dalam kelompok Ce Cin-kun sana dengan sengit.
"Manusia siluman dari mana hayo, lekas kembalikan
pedang pusaka kami!" demikian bentak Thian-bong pula tibatiba,
berbareng itu kaki Sin Liong-cu terus diserampangnya
dengan tongkat.
Dengan tipu serangan 'Lo-su-boan-kin' atau pohon tua
melingkar akar, Thian-bong menyangka serampangan
tongkatnya itu pasti mengenai sasaran, tak terduga mendadak
ia merasa mengenai tempat kosong, sebaliknya Sin Liong-cu
telah meludah hingga riak kental dengan tepat mampir di
muka Thian-bong, bahkan di tepi telinganya seperti
mendengar pula suara cemooh orang yang mendamprat, "Fui,
tak malu, membokong!"
Dan ketika Thian-bong menarik kembali tongkatnya dan
mengusap air ludah yang mengenai mukanya namun
bayangan musuh sudah tak kelihatan lagi.
"Jaga kuat tengah, menggeser ke kiri, jangan gugup!" tibatiba
didengarnya suara Ce Cin-kun yang serak menggema
Ketika Thian-bong memeriksa bajunya yang dibuat
mengusap riak tadi, nyata terdapat noda darah juga ludah Sin
Liong-cu yang kental itu ternyata bagai peluru besi saja
mengenai mukanya Keruan saja ia amat terperanjat.
Padahal Thian-bong belum tahu pula bahwa bila Ce Cin-kun
tidak datang tepat waktunya, jiwanya sejak tadi sudah
melayang di bawah pedang Sin Liong-cu.
Setelah menyaksikan serangan Thian-bong Siansu tadi,
segera Liong-cu tahu orang hanya gagah tapi kurang masak,
segera ia mengeluarkan ilmu silat yang tiada bandingannya
'108 jurus ilmu pukulan Tat-mo', dengan tipu 'Kim-siam-hilong'
atau katak emas bermain ombak, di bawah keroyokan
senjata musuh ia terus menyelinap maju malah, dan berkat
gerak tubuhnya yang aneh itu,'tahu-tahu ia sudah berada di
belakang Thian-bong, sebaliknya sedikitpun Thian-bong masih
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak merasa. "Melihat kawannya dalam keadaan berbahaya cepat Ce Cinkun
memburu maju terus menusuk dari belakang. Karena itu
Sin Liong-cu tak sempat melontarkan serangan mematikan
atas diri Thian-bong;, terpaksa ia membaliki senjatanya ke
belakang menangkis pembokongan Ce Cin-kun yang lihai itu.
Bila kemudian Thian-bong sempat mengangkat senjata dan
hendak menyerang pula, namun Sin Liong-cu sudah memutar
pergi ke samping Ce Cin-kun.
Setelah menurut ajaran Ce Cin-kun tadi, yakni berdiri tetap
di tempatnya menurut aturan Pat-kwa, kemudian barulah bisa
dilihatnya gerak tubuh Sin Liong-cu yang sempoyongan bagai
orang mabuk sedang menggeser pergi.
Kepandaian Thian-bong hanya sedikit di bawah Ce Cin-kun,
Coh Ciau-lam dan Seng Thian-ting beberapa orang saja maka
terhitung juga jago pilihan. Kini mengikuti petunjuk Ce Cin-kun
tadi ia terus menjaga rapat kedudukannya tengkarnya diayun
kencang hingga angin menyambar keras, gaya tekanannya
ternyata cukup hebat juga Karena itu pedang pusaka Sin
Liong-cu tak berani juga sembarangan membenturnya.
Sedang kedua senjata Ce Cin-kun 'Hong-lui-siang-kiam'
atau sepasang pedang angin dan guruh, bertahan dari depan
dengan kuat, ditambah tiga jago bayangkara kerajaan yang
ikut mengembut dari kedua sayap, betapa tinggi kepandaian
Sin Liong-cu, susah juga melawan lima musuh kelas satu.
Pertarungan ini benar-benar sem luar biasa. Setelah lebih
300 jurus, lambat laun Sin Liong-cu sudah mandi keringat
napasnya pun mulai memburu, ia hanya mengandaikan gerak
tubuhnya yang aneh itu untuk menyelinap kian kemari di
bawah sambaran senjata musuh dan bila ada kesempatan
kadang baru melontarkan serangan balasan.
Sebaliknya di pihak sana keadaan Ciok Thian-sing dan Bu
Ging-yao lebih baik, cuma masih belum juga bisa
mengalahkan musuh.
Mereka berdua harus melawan enam Lamma dan dua jago
bayangkara, dan di antara dua jago bayangkara ini ada
seorang yang berkepandaian hanya di bawah Coh Ciau-lam,
ialah Seng Thian-ting. Dengan sepasang Boan-koan-pit yang
panjangnya masing-masing hanya belasan inci khusus untuk
menotok 3<> jalan darah di tubuh orang, maka tidaklah
enteng Thian-sing dan Ging-yao melawan Seng Thian-ting.
Baiknya selama belasan tahun ini Thian-sing telah
meyakinkan dua ilmu kepandaian tunggal, yakni tendangan
berantai disebut 'Wan-yang-lian-goan-tui' yang selalu
menyerang bagian bawah, dan kepandaian lain 'Kiu-kiong-sinhingkun', pukulan sakti bergaya bebas yang senantiasa bisa
merampas senjata musuh. Dan karena para Larnma itu belum
pernah melihat cara bersilatnya itu, maka mereka tak berani
terlalu mendekat.
Sedang ilmu pedang Bu Ging-yao memang adalah ajaran
asli Pek-hoat Mo-li, kalau soal keganasannya maupun kekejiannya
jauh lebih hebat dari Thian-san-kiam-hoat, hanya Seng
Thian-ting saja yang berani menghadapi gadis ini dari depan,
sedang para Larnma itu segera menggeser pergi bila sudah
bergebrak. Keenam Larnma itu adalah saudara seperguruan
Thian-bong Siansu, dengan sendirinya keuletan mereka tidak
lemah, ditambah lagi mereka bisa bekerja-sama dengan rapat,
maju maupun mundur bisa selalu bersatu, yang sana
menyerang, yang lain berjaga, nyata mereka telah memasang
barisan 'Thian-liong-kiam-tin' yang hebat untuk mengurung
Thian-sing dan Ging-yao berdua, sekalipun kedua orang ini
memiliki kepandaian tunggal sendiri-sendiri, namun toh
terkurung juga di tengah. Cuma jeri terhadap kiam-hoat Bu
Ging-yao dan tenaga pukulan Thian-sing, maka para Larnma
itupun tak berani gegabah rnerangsek maju, hingga kedua
belah pihak menjadi saling bertahan susah dipisahkan.
Oi pihak sana pertarungan Leng Bwe-hong ternyata paling
seru dan mati-matian. Coh Ciau-lam dibantu oleh empat jago
bayangkara pilihan di antara 10 jago kerajaan terkemuka,
dibanding jago bayangkara yang membantu Ce Cin-kun masih
lebih kuat lagi. Lebih-lebih Coh Ciau-lam kini sudah
mendapatkan kembali pedang pusaka ' Yu-liong-kiam', dengan
senjata wasiat ini bertambah hebat daya tekanannya.
Dan karena Leng Bwe-hong kuatir juga atas kawankawannya
yang lain, beberapa kali ia melontarkan serangan
berbahaya dengan maksud lekas merobohkan musuh, tapi
karena itu juga hampir saja ia termakan oleh Coh Ciau-lam
malah. Setelah ratusan jurus lewat, masih belum juga Bwehong
mampu menerjang keluar.
Melihat lawannya kewalahan, tiba-tiba Coh Ciau-lam
berkelak tertawa mengejek menyuruh Leng Bwe-hong
meletakkan senjata dan menyerah padanya.
"Haha, Leng Bwe-hong," demikian teriaknya. "Tidak apaapa
jika kau terjungkal di bawah tangan Suheng sendiri, maka
lekas kau menyerah supaya tidak mengalami nasib tubuh
berpisah!"
Akan tetapi Bwe-hong tak menjawab, sebaliknya
sekonyong-konyong ia menggeram sekali, berbareng
pedangnya terus menyabet ke bawah dan berputar cepat,
maka terdengarlah suara gemerincing nyaring, beberapa
senjata jago kerajaan telah tergoncang pergi semua,
menyusul mana orangnya berikut senjatanya berubah menjadi
suatu sinar perak terus menerjang ke arah Coh Ciau-lam.
Betapapun tabahnya Coh Ciau-lam masih belum berani ia
mengadu jiwa dengan Leng Bwe-hong, maka lekas ia mendoyong
ke belakang sambil mundur beberapa tindak.
Namun lihai luar biasa ilmu pedang Bwe-hong, ia terus
mencecar Ciau-lam seorang saja, terhadap senjata empat jago
kerajaan lain hanya menggunakan kepandaiannya
mendengarkan angin membedakan arah datangnya senjata
untuk berkelit, maka dalam sekejap saja ia sudah melontarkan
belasan serangan ganas kepada Coh Ciau-lam hingga terpaksa
mundur terus. Lalu ia melompat ke atas sebuah batu cadas,
dari atas ia menahan keroyokan musuh di bawah.
Betapapun juga repot menghadapi lawan yang lebih
banyak, maka Bwe-hong menduduki tempat yang lebih
menguntungkan dulu, dari sini pelahan ia menggeser ke atas
dengan tujuan melepaskan Lauw Yu-hong dari bahaya
Kedudukan Yu-hong di sana memang paling berbahaya
seorang diri ia berada di atas sebuah tebing terjal, mundur tak
bisa, di bawah ada musuh, tiga jago bayangkara yang
mengerubutiiya ini semuanya bukan lawan lemah.
Beruntung Bu-kek-kiam-hoat yang dimainkannya penuh
dengan gaya lemas untuk mematahkan serangan lawan yang
keras, ditambah lagi senjata rahasianya yang tunggal, jaring
kawat penuh kaitan itu, dari atas menghadap ke bawah
dengan mati-matian bertahan, maka seketika musuh belum
mampu menerjang ke atas.
Namun begitu, setindak demi setindak musuh bisa maju ke
atas, setelah ratusan jurus lewat, tiga jago kerajaan susulmenyusul
sudah memanjat ke atas puncak tebing itu hingga
Yu-hong terkurung di tengah.
Dan karena kedudukan yang menguntungkan tadi sudah
hilang, Yu-hong semakin payah melawan keroyokan musuh.
Lingkaran pedang yang dia putar semakin ciut, ia hanya
bertahan sekuat tenaga dan tak sanggup balas menyerang
sama sekali. Sementara itu beberapa kali Leng Bwe-hong merangsek
maju, pelahan ia menggeser ke atas, aldurnya bisa mendekati
diri Lauw Yu-hong.
"Leng Bwe-hong, akhirnya kita bertemu juga!" teriak Yuhong
keras-keras. "Ya segera aku datang!" sahut Bwe-hong.
"Hm, kiranya ada jantung hatimu di sini!" jengek Ciau-lam
tiba-tiba. "Bagus, biar kukirim kau menjadi setan yang
romantis!"
Habis itu tipu serangannya semakin gencar, berkat bantuan
empat jago bayangkara dari samping, maka Ciau-lam tidak
usah menjaga diri, sebaliknya semua tipu Thian-san-kiam-hoat
yang paling lihai telah dilontarkannya semua. Mau tak mau
Leng Bwe-hong menjadi payah, jidatnya mulai berkeringat,
beberapa kali ia menerjang keluar tetapi tidak berhasil.
Akhirnya Bwe-hong menjadi nekad, tanpa menghiraukan
jiwanya lagi ia pun menyambut orang dengan tipu-tipu
mematikan, pedangnya berputar bagai naga menari di
angkasa dan bagai elang melayang di udara, tapi bila
merangsek bagai harimau kalap. Beberapa kali Coh Ciau-lam
menyerang selalu dielakkan orang dan dipatahkan, sebaliknya
terus dibalas dengan tusukan yang tepat waktunya dan lihai
luar biasa. Diam-diam Ciau-lam menarik napas dingin, sungguh tak
diduganya kemajuan ilmu pedang Leng Bwe-hong bisa begitu
pesat hingga puncaknya dibanding pertarungan tempo dulu
nyata sudah jauh lebih hebat.
Tapi segera ia pun diam-diam geli, betapapun hebat Leng
Bwe-hong toh manusia biasa, kini pihaknya lima orang
bergabung meski tak bisa segera menang, tapi untuk kalahpun
tidak mungkin. Dan Leng Bwe-hong sekarang main rangsek
dan menyeruduk ke sana tidak antara lama tenaganya pasti
akan habis. Setelah mengambil keputusan itu, segera ia memberi
isyarat pada kawan-kawannya tiba-tiba permainan pedangnya
berubah, ia mengeluarkan 'Si-mi-kiam-hoat' dari Thian-san
yang bagus untuk menyerang dan rapat untuk berjaga,
bersama empat jago bayangkara itu mereka bertahan dalam
satu garis dan be-kerja-sama hingga berwujud sebuah tembok
baja dan dinding tembaga mereka terus menahan dan
mengulur waktu menghadapi Leng Bwe-hong yang kalap itu.
Memang tepat juga siasat yang diambil Coh Ciau-lam itu.
Tapi ia tidak tahu bahwa sesudah Leng Bwe-hong mewarisi
kitab pelajaran ilmu pedang dan pukulan, tidak sedikit intisari
ilmu silat yang dipahami pula. Kalau dahulu ilmu pedang yang
dipahami Leng Bwe-hong serupa dengan Coh Ciau-lam, tapi
kini demi nampak Ciau-lam memainkan 'Si-mi-kiam-hoat',
segera Bwe-hong tahu belum masak betul latihan orang.
Hal itu sekali-kali bukan Hui-bing Siansu pilih kasih di
antara murid-muridnya dan ada bagian terakhir yang tak
diajarkan pada Coh Ciau-lam, tetapi soalnya karena ilmu
pedang yang paling mujizat justru hanya dapat diselami
dengan batin dan tak dapat dipelajari dari lisan. Ciau-lam
hanya mendapat pelajaran lisan sang guru, tapi Bwe-hong
menyelami dari kitab aslinya dengan giat berlatih hingga
semuanya dapat dipahaminya pada tempat yang paling dalam.
Kalau Ciau-lam menggunakan ilmu pedang lain mungkin
seketika susah bagi Bwe-hong hendak mematahkannya, tapi
kini 'Si-mi-kiam-hoat' yang dimainkan Ciau-lam, tiba-tiba Bwehong
menjengek sekali, pedangnya berkelebat cepat bagai
naga menyelusup ke dalam laut, hanya beberapa jurus saja
ilmu pedang Coh Ciau-lam itu sudah dipecahkannya. Dan
selagi Ciau-lam hendak berganti tipu serangan lain, pundaknya
sudah tertusuk, ia menggeram keras terus melompat keluar
kalangan. Secepat kilat segera Leng Bwe-hong membaliki pedangnya
menikam ke samping, kontan seorang jago bayangkara di
belakangnya tadi tertusuk tembus.
Coh Ciau-lam masih bisa menyerang lagi, namun garis
kepungan mereka sudah bobol, Leng Bwe-hong
mengunjukkan ketangkasannya, ilmu pedangnya lihai luar
biasa hingga Coh Ciau-lam dan kawan-kawan tak sanggup
menahan lagi, mereka terdesak mundur pula hingga jarak
Leng Bwe-hong dan Lauw Yu-hong makin lama makin dekat
juga. Tiba-tiba Ciau-lam mengkerut kening, dengan gerakan
'Tong-hong-ci-liu' atau angin timur mematahkan dahan pohon,
sedikit ia membungkuk ke depan dan pedangnya terus
menyabet ke bawah. Karena itu terpaksa Leng Bwe-hong
meloncat ke atas sambil pedangnya membacok hingga
seorang jagoan kerajaan dilukai pula. Sedang Coh Ciau-lam
mendadakpun menegak kembali, tapi tangannya yang lain
sudah meraup segenggam batu kerikil.
"Minggir!" teriak Ciau-lam mendadak pada kawankawannya
sambil tangannya mengayun keras, batu kerikil itu
ternyata dihamburkannya ke arah Lauw Yu-hong.
Lekas Yu-hong menyambut hamburan baru itu dengan
senjata rahasianya jaring berkait itu hingga batu-batu itu
tergoncang pergi, tapi betapa besar tenaga timpukan batu
Coh Ciau-lam itu hingga kait-kait pada jaring kawat Lauw Yuhong
itu terbentur jebol juga beberapa lubang dan tak dapat
dipakai menggaet senjata musuh lagi.
Karena itu segera daya tahan Lauw Yu-hong banyak
berkurang hingga memberi kesempatan jago kerajaan yang
mengeroyoknya dari sayap kanan untuk membabatnya dan
ikat kepalanya terserempet jatuh. Yu-hong menjerit kaget,
hampir saja jiwanya melayang.
Tentu saja Bwe-hong ikut terkejut. Serangan tadi meski
tidak mengenai Lauw Yu-hong, tapi telah kena 'menusuk'
lubuk hati Leng Bwe-hong hingga tubuhnya tergoncang
seketika. Dan karena sedikit melengnya itu tahu-tahu Coh Ciau-lam
menusuk dari belakang, sedikit lambat Bwe-hong mengegos
dan tubuhnya sudah lecet terluka.
Bwe-hong menjadi murka, ia menggeram terus membaliki
pedangnya, kontan pula seorang jago kerajaan lain tertebas
menjadi dua. Dan pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara
suitan aneh Sin Liong-cu berulang-ulang, suaranya tajam dan
mengerikan. Kiranya Sin Liong-cu seorang diri menempur Ce
Cin-kun, Thian-bong Siansu dan tiga jagoan bayangkara lain,
ia pun sendirian melawan lima jago kelas satu dengan matimatian,
apalagi keuletan Ce Cin-kun dan Sin Liong-cu boleh
dikata setengah kati delapan tail alias sama beratnya, maka
pertarungan mereka pun menjadi setanding.
Berkat gerak tubuh dari ilmu silat Tat-mo yang aneh itu Sin
Liong-cu bisa menempur musuh sampai beberapa ratus jurus,
namun keringat sudah membasahi badannya, gerak-geriknya
pun mulai kaku lambat, sebaliknya serangan musuh tak
pernah kendor, sepasang pedang Ce Cin-kun selalu mendesak
hingga akhirnya beruntun Sin Liong-cu terluka tiga tempat
Saking murkanya, Sin Liong-cu berteriak keras. Karena itu
Thian-bong Siansu menyangka ada kesempatan baik, cepat
sekali tongkatnya terus mengemplang dengan tipu 'Siok-luikik
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ting' atau petir menyambar ke atas kepala, langsung
kepala Sin Liong-cu hendak dikepruknya.
Tak terduga meski keadaan Sin Liong-cu sudah sangat
payah, namun gaya serangannya tidak menjadi berkurang,
tangan kirinya tiba-tiba mendorong ke samping dan pedang di
tangan kanan dengan tipu Pek-ho-tiok-hi' atau bangau putih
menotol ikan, ujung senjatanya terus menusuk ke dada Thianbong.
Masih sempat Thian-bong mengangkat tongkatnya
menegak, sekali berputar dengan tipu 'Oh-liong-boan-jiu* atau
naga hitam melilit pohon, mendadak ia menyerampang
pinggang Sin Liong-cu.
Namun sungguh cepat luar biasa, dengan suara suitan
aneh bercampur jeritan keras, bagai bunyi petir yang tak
dapat dibungkam cepatnya, Sin Liong-cu telah menyelinap
maju dan sekali mencengkeram, dada Thian-bong segera
berlubang oleh kelima jarinya dan tongkatnya pun mencelat
ke udara. Dan ketika Ce Cin-kun membacok pula dari samping
dengan sepasang pedangnya dengan gaya sempoyongan Sin
Liong-cu berhasil menerobos pergi di bawah senjata orang.
Begitulah maka Thian-sing menjadi sangat kuatir oleh
karena suara Sin Liong-cu yang aneh tadi, bila Sin Liong-cu
bergulat mati-matian melawan Thian-bong, saat itu juga ia
pun lagi mengadu jiwa dengan para Lamma. Mendadak ia
menerjang keluar, sekali gablok ia mematahkan pergelangan
tangan Lamma di sayap kiri, ketika Lamma kedua menusuk
dari samping hingga pundaknya tertembus, namun hal ini tak
dihiraukannya tanpa ayal ilmu pukulan secara berantai itu
dengan gaya menangkap Lamma di sayap kiri tadi telah kena
dipegangnya terus diangkat dan diayunkan, pada saat lain ia
membaliki kakinya mendepak ke belakang, Lamma yang
menusuk pundaknya telah kena ditendang mampus.
Sebenarnya saat itu Sin Liong-cu sudah lemas dan tenaga
habis. Tapi ketika dilihatnya sang Suheng datang menolong, ia
menjadi terharu hingga semangatnya terbangkit pula Sekali
tipu serangannya yang aneh bisa mendesak Ce Cin-kun
mundur beberapa tindak, habis itu pedangnya membalik
dengan gerakan 'Hwe-liong-kui-tong' atau naga balik ke dalam
goa sekali putar terus membabat, tanpa ampun lagi terdengar
suara jeritan ngeri, seorang jago pengawal yang sedang
datang menyerang telah tertabas putus lima jarinya orangnya
pun segera terguling dan tergelincir masuk ke jurang.
Begitu pula Thian-sing tidak mau ketinggalan, datangdatang
ia terus menubruk maju sambil kedua telapak
tangannya memukul mengarah batok kepala seorang musuh.
Lekas dengan gaya 'Ya-be-hun-cong' atau kuda liar berlari
terpencar, jago pengawal itu baru bermaksud mengegos,
namun baru setengah berputar sudah keburu ditendang oleh
Ciok Thian-sing hingga terjerumus ke bawah jurang menyusul
kawannya tadi. " Gusar dan kalap pula Ce Cin-kun oleh kejadian itu,
dengan pedang kanan ia melawan ilmu pukulan aneh Sin
Liong-cu, sedang pedang kiri cepat menusuk iga Ciok Thiansing
dengan gaya yang sangat keji.
Lekas Thian-sing menggeser tubuh melangkah pergi hingga
pedang orang lewat dekat perutnya kontan ia balas menggablok
sekuatnya siapa tahu Ce Cin-kun juga sedang menarik
tubuh dan menyikut ke belakang, keruan keduanya samasama
terkena hingga menggeram berbareng terus melompat
pergi semua. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sin Liong-cu
untuk menambahi sekali tusukan hingga pundak Ce Cin-kun
terluka pula. "Sute, aku sudah tak berguna lagi, selanjurnya harus kau
kembangkan perguruan kita baik-baik!" tiba-tiba terdengar
suara teriakan Thian-sing yang menyeramkan.
Waktu Sin Liong-cu menoleh kaget, ia lihat wajah Thiansing
pucat lesi, rubuhnya gemetar hampir roboh. Dalam
sekejap ini hati Sin Liong-cu menjadi pedih luar biasa, teringat
olehnya sejak dirinya menjadi ahli-waris Suhu selama ini tak
pandang sebelah mata pada sang Suheng itu, bahkan
mengaku Suheng padanya juga sungkan, tapi kini justru
Suheng itulah tanpa menghiraukan jiwa sendiri datang
menolongnya. Karena itulah ia tak jadi meneruskan serangan lebih lanjut
pada Ce Cin-kun, melainkan membalik ke sana buat menolong
sang Suheng. Tak terduga masih ada seorang jago
bayangkara yang ketinggalan, dengan senjatanya 'Kun-goanpay'
atau perisai baja menubruk dari samping secara nekad.
Keruan gusar luar biasa Sin Liong-cu, dengan menggereng
keras, kontan pedangnya membacok sekuatnya hingga perisai
jago pengawal itu mencelat ke angkasa, tanpa berhenti lagi
Sin Liong-cu mengulur tangan terus menjambret musuh itu
dan dibanting mampus.
Ketika ia memutar tubuh hendak memburu maju pula,
namun apa daya, keinginan ada tenaga sudah habis, tiba-tiba
terasa kedua tangannya pegal linu, tindakannya menjadi
enteng dan mata berkunang-kunang. Kiranya tadi Sin Liong-cu
telah menggempur musuh saking gusar hingga terlalu banyak
mengeluarkan tenaga, kini ia benar-benar merasa payah.
"Sungguh tidak nyana hari ini jiwaku akan tamat di sini!"
akhirnya Sin Liong-cu menghela napas panjang.
Dan karena kuatir Ce Cin-kun mengambil kesempatan itu
untuk balas menghantam padanya hingga dirinya akan terhina
habis-habisan, dan selagi ia bermaksud membunuh diri, tibatiba
dilihatnya Ce Cin-kun sedang berdiri di sana tanpa
bergerak se-dikitpun, tampaknya napasnya tersengal dan
orangnya sedang mengatur napas.
Tergerak pikiran Sin Liong-cu melihat keadaan orang, lekas
ia menahan dirinya sekuatnya dan mengatur pernapasannya
juga, ia menjalankan ilmu semadi ajaran rahasia golongan Butongpay yang hebat untuk mengembalikan tenaganya.
Tatkala itu Sin Liong-cu berdiri berhadapan dengan Ce Cinkun,
jarak mereka tidak lebih hanya beberapa langkah saja,
tapi keduanya bagai ayam aduan yang sudah keok, keadaan
mereka lemas, hanya mata mereka saling melotot, wajah
mereka sangat menyeramkan.
Kiranya tadi dada Ciok Thian-sing kena disikut Ce Cin-kun,
sebaliknya iga Cin-kun juga kena digablok sekali oleh Thiansing
hingga keduanya sama-sama terluka parah.
Tapi keuletan Ce Cin-kun setingkat masih lebih tinggi
daripada Ciok Thian-sing, setelah kena digebuk dan tulang
iganya patah dua, namun masih mengertak gigi bertahan
sekuatnya, sebaliknya karena disodok sikut Ce Cin-kun itu,
latihan Lwe-kang Thian-sing menjadi buyar tak tahan. Waktu
ia berpesan pada Sin Liong-cu agar mengembangkan
perguruan mereka kelak, saat itu rasanya seluruh tulang
tubuhnya seakan retak, carangnya sudah menggeletak di
tanah tak bisa berkutik lagi. Sebaliknya keadaan Ce Cin-kun
meski lebih mendingan, namun setelah terluka parah, ia kena
ditambahi sekali tusukan oleh Sin Liong-cu hingga tenaga
dalamnya pun pecah, seperti Sin Liong-cu, tenaganya juga
sudah habis dan tak sanggup buat bertempur lagi.
Begitulah, setelah kedua orang itu saling bertahan sejenak,
lambat-laun tenaga Sin Liong-cu mulai pulih, sedang Ce Cinkun
pelahan bisa mengangkat pedangnya, wajahnya beringas
hingga rambutnya yang ubanan itu seakan menegak semua.
"Bagus, kau telah melukai Suhengku, sekalipun aku mati
tak nanti kau bisa lolos di bawah pedangku!" demikian teriak
Sin Liong-cu murka. Habis itu pedangnya pun melintang,
pelahan ia menggeser maju.
Dan pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara
teriakan nyaring, menyusul itu suara Leng Bwe-hong yang lagi
membentak, sedang di tempat lebih dekat tiba-tiba terdengar
juga suara jeritan Bu Ging-yao, tapi mirip suara burung yang
tiba-tiba terbang turun ke lembah.
Kiranya tadi setelah Sin Liong-cu berulang kali menderita
luka hingga berteriak, tatkala itu juga Leng Bwe-hong lagi
mati-matian menempur Coh Ciau-lam, ia menjadi kuatir kalau
Sin Liong-cu mengalami nasib jelek hingga kehilangan
pembantu utama, karena itu ia menoleh hendak melihatnya,
dan tanpa terasa gerak pedangnya menjadi sedikit lambat
Pertandingan jago silat kelas tinggi tidak boleh sekali
terpencar perhatiannya, maka kesempatan itu telah digunakan
Coh Ciau-lam melontarkan serangan hingga pedangnya
menyambar lewat di atas kepala Leng Bwe-hong, ketika Bwehong
sedikit berjongkok dan menangkis, namun punggungnya
lantas kena dihantam sekali oleh gembolan perunggu seorang
jago pengawal. Tak tahan lagi ia terhuyung ke depan beberapa tindak, tapi
masih sempat pula pedangnya terus menusuk mengarah 'Hunbunhiaf di tenggorokan Coh Ciau-lam.
Lekas Ciau-lam menggunakan gerakan 'Kuai-bong-hoan-sin'
atau ular sawah membalik tubuh, orangnya berputar cepat
dan pedangnya dengan tipu Kim-tiau-tian-ih' atau garuda
emas pentang sayap, senjata Leng Bwe-hong disampuknya ke
bawah sepenuh tenaga sambil membentak, "Lepas tangan!"
Namun Bwe-hong keburu menahan pedangnya ke bawah
terus ditarik ke samping, dengan tipu 'Ji-kong-cam-coa' atau
Ji-kong memotong ular, ia balas membabat kedua kaki Coh
Ciau-lam. "Hm, pengkhianat lihat serangan!" demikian
sahutnya mengejek.
Serangan Ciau-lam tadi meskipun cepat luar biasa, namun
pedang Leng Bwe-hong masih belum terbentur olehnya
Sebaliknya Bwe-hong bisa menarik senjata terus menyerang
cepat. Ciau-lam sudah kehabisan akal hingga melulu ilmu
pedangnya tak nanti bisa menang, lekas ia mengenjot tubuh
terus meloncat ke atas.
Tak terduga Leng Bwe-hong juga seperti elang pentang
sayap, tahu-tahu menerjang ke samping dan karena itu
jaraknya dengan Lauw Yu-hong kini tiada sepuluh langkah
lagi. Namun Coh Ciau-lam sempat mendahului menghadang lagi
di depannya ia mengambil kedudukan di atas sebuah batu
cadas yang tinggi, ia merintangi jalan lewat Leng Bwe-hong
dengan pedangnya diputar kencang hingga sinar berkilauan,
kedua jago bayangkara lain mengayun senjata mereka
mengerubut dari belakang.
Kini Leng Bwe-hong sudah bisa melihat jelas wajah Yuhong
yang girang bercampur kuatir itu, tapi justru jarak
beberapa langkah inilah masih belum berhasil dilaluinya.
Di sebelah sana Lauw Yu-hong seorang diri menempur tiga
jago bayangkara, keadaannya juga sudah otot lemas tenaga
habis, senjata rahasianya 'Kim-huo-tau' telah kena dirusak
pula oleh sambitan batu Coh Ciau-lam tadi hingga terpaksa
hanya bisa digunakan untuk menyabet dan tak dapat dipakai
membelit senjata musuh lagi.
Kini nampak Leng Bwe-hong sudah berada di depan mata
dan segera bisa mendekatinya semangat Yu-hong terbangkit
kembali, pedangnya diputar kencang tak tertembus air, ia
mendesak ketiga musuhnya dalam jarak beberapa kaki dari
dirinya. "Leng Bwe-hong, lekas ke sini!" teriaknya berulangulang.
Tanpa pikir lagi Bwe-hong mengayun pedang terus
menerjang ke depan, cepat Coh Ciau-lam mengegos terus
balas menyerang, dan selagi Bwe-hong bermaksud menerobos
lewat dengan segala resiko, tahu-tahu dari belakang suara
angin menyambar, gembolan perunggu seorang jago
pengawal menghantam punggungnya.
Gusar luar biasa Leng Bwe-hong, mendadak tangannya
meraup ke belakang hingga ujung senjata orang kena
ditangkapnya. "Pergi!" bentaknya keras. Berbareng pengawal
itu ditariknya terus dilemparkan ke jurang.
Tapi kesempatan itu dipergunakan juga oleh Coh Ciau-lam
untuk menjemput sepotong batu terus diremas menjadi kerikil,
ia memberi tanda agar tiga jago pengawal yang mengeroyok
Lauw Yu-hong itu menyingkir dahulu, lalu dengan gaya 'Boanthianhoa-uh' atau hujan gerimis memenuhi langit, batu-batu
kerikil itu dipakainya sebagai senjata rahasia terus
dihamburkan ke arah Yu-hong.
Karena jaraknya dekat, tenaga Coh Ciau-lam besar pula
maka pedang Lauw Yu-hong tak kuat menahannya hingga
tubuhnya tertimpuk beberapa batu itu, ia menjerit dan
terpeleset pula tak ampun lagi orangnya terjerumus ke bawah
jurang yang curam itu.
Namun begitu, selagi Yu-hong terapung di udara terbuka
itu ia masih sempat berteriak tajam, "Leng Bwe-hong
katakanlah! Apakah kini masih tak mau kau berkata terus
terang!" Saat itu kebetulan Leng Bwe-hong baru berpaling sehabis
membanting mampus jago pengawal tadi hingga adegan
mengerikan dapat disaksikannya suara teriakan Yu-hong
masih berkumandang di angkasa luar dan menggoncang
sukma Kaget dan gugup luar biasa Bwe-hong oleh kejadian itu,
tanpa menghiraukan mati-hidupnya sendiri, dengan tipu 'Cunkutmo-in' atau burung elang menjulang ke langit, mendadak
ia mencelat ke atas setinggi beberapa tombak terus
menyambar lewat di atas kepala Coh Ciau-lam, pedangnya
dipakai menikam pula dari atas hingga kepala Coh Ciau-lam
terancam, terpaksa Ciau-lam berkelit dan karena kerepotan
berkelit itu hingga tak sempat melukai Leng Bwe-hong.
Dan setelah melayang lewat di atas musuhnya, Leng Bwe
hong terus memburu maju sambil berteriak, "Ya akulah anak
itu, anak yang dibesarkan di Hangciu itu!"
Namun tak terdengar lagi oleh Lauw Yu-hong, ketika ia
memburu sampai di tepi jurang, lapat-lapat masih terlihat
olehnya kain baju Yu-hong terapung di udara.
Dan ketika Bwe-hong bermaksud ikut terjun ke bawah,
senjata musuh dari belakang dan kanan-kiri sudah menyerang
datang sekaligus. Nyata ketiga jago bayangkara yang
mengeroyok Lauw Yu-hong tadi sudah bergabung dengan
kawan-kawannya dan Coh Ciau-lam dengan tujuan hendak
mendesak pendekar besar yang tiada bandingannya ini
terjeblos juga ke dalam jurang.
Sebagai seorang ahli silat kalau menghadapi detik-detik
paling berbahaya, otomatis lantas berkelit dan melontarkan
serangan balasan. Begitu juga dengan Leng Bwe-hong, cepat
ia mengeluarkan ilmu pedangnya yang lihai, dengan gerak tipu
'Tay-boh-liu-soa' atau pasir berhamburan di gurun luas,
pedangnya berputar cepat dan sinar perak berkilauan hingga
mirip angin topan dan hamburan pasir, para jago pengawal itu
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdesak hingga mata silau, seorang di antaranya segera
tertusuk luka dan Coh Ciau-lam pun terpaksa melompat
mundur. Dan saat itulah Leng Bwe-hong sudah bisa melompat
pergi keluar dari tengah kepungan.
Jago yang mengeroyok bersama Coh Ciau-lam itu
menggunakan senjata sepasang 'khik', yakni senjata
berberituk setengah golok dan setengah tombak. Saat itu ia
sedang menubruk maju, sepasang senjatanya terus menikam
ke muka Leng Bwe-hong,
Ketika mendadak Bwe-hong merasa angin tajam
menyambar, tiba-tiba ia menahan gaya menyelonongnya ke
depan, bagai kitiran cepatnya ia menggeser ke samping,
menyusul dengan gerakan 'Boat-hun-kian-jit' atau menyingkap
awan melihat matahari, tangan kirinya terus mengayun ke
belakang hingga terdengarlah suara "bleng," telapak
tangannya tepat menggablok di atas punggung senjata lawan
yang terbuat dari tembaga itu, dan karena gablokan keras ini,
lengan jago pengawal itu menjadi kaku pegal, orangnya pun
terhuyung-huyung pergi, dan tak bisa menahan diri, tanpa
ampun lagi ia pun terjerumus ke bawah jurang bagai layangan
terputus benangnya.
Pabila kemudian Leng Bwe-hong menghantam dan
menikam sambil memutar tubuh, kembali ia menghadapi Coh
Ciau-lam dan tiga begundalnya yang lain.
Pedih luar biasa hati Leng Bwe-hong, sebenarnya ia berniat
terjun juga ke bawah jurang untuk mencari mayat Lauw Yuhong,
tapi bila terpikir olehnya yang mati biarlah sudah, ada
lebih baik membalaskan sakit hatinya saja. Maka kemudian ia
pun mengurungkan maksudnya dan rnerangsek musuh secara
kalap. Sementara itu Coh Ciau-lam telah mengayun tangannya
menimpukkan peluru batunya lagi dengan kuat. Namun saking
gusarnya Leng Bwe-hong menjadi nekad, tiba-tiba ia
menengadah dan bersiul panjang, tahu-tahu pedangnya
seakan berwujud suatu sinar perak, orangnya berikut
senjatanya terus menerjang maju, dimana angin pedangnya
datang, di situlah batu kerikil itu tergoncang pergi, tiada
satupun batu itu dapat mengenai tubuhnya.
Terkejut luar biasa Coh Ciau-lam oleh ketangkasan Leng
Bwe-hong, lekas ia menyuruh ketiga jago bayangkara tadi
membantu dirinya berjaga lebih rapat agar orang tiada jalan
buat menerjang ke bawah.
Tadi ketika Lauw Yu-hong terjerumus ke dalam jurang, saat
itu Bu Ging-yao sedang mencecar para Larnma yang menjadi
lawannya itu hingga kalang kabut. Barisan pedang 'Thianliongkiam-tin' yang dipasang para Larnma itu sudah bobol,
pula dua Larnma sudah dipukul mampus oleh Ciok Thian-sing.
Keruan Ging-yao makin gencar mendesak musuh, ia
mengeluarkan tipu-tipu mematikan ajaran asli Pek-hoat Mo-li
yang ganas itu hingga pedangnya membawa sinar tajam
gulung-gemulung naik-turun, enam Larnma yang masih
ketinggalan itu belum sempat memperbaiki kedudukan
mereka, tahu-tahu sudah kerupukan dicecar oleh Bu Ging-yao.
Thian-hiong Siangjin adalah Sute atau adik-guru Thianbong
Siansu, tingkatannya paling tinggi di antara keenam
Larnma itu, kini di hadapan para murid keponakannya itu
sudah tentu ia malu dicecar kalang kabut oleh seorang anak
dara. Maka dengan ilmu kepandaian 'Tay-lik-kong-jiu' atau
ilmu pukulan tenaga raksasa, ia memotong dulu ke samping
dengan pedang menurut gerakan 'Pek-ho-se-uY atau bangau
putih menyisik bulu, menyusul telapak tangan kanan di bawah
perlindungan pedangnya tadi terus mencengkeram ke depan
dengan gaya 'Kim-pa-tam-jiau' atau macan tutul mengulur
cakar, dada Bu Ging-yao hendak dicengkeramnya.
Tak terduga cengkeramannya itu ternyata mengenal
tempat kosong, tahu-tahu Bu Ging-yao sudah menghilang,
tapi di sebelah lain lantas terdengar suara "blak-bluk" dua kali,
seorang Larnma telah tertangkap Bu Ging-yao terus diayun ke
depan hingga menumbuk badan seorang Lamma lain dan
keduanya pun terjatuh celentang menggelongsor di depan
kaki Thian-hiong Siangjin sambil menjerit kesakitan.
Saat itu kebetulan Thian-hiong lagi melangkah maju,
hingga tak bisa direm lagi tepat menginjak di atas kepala
seorang Lamma itu. Karena terjadinya di luar dugaan hingga
Thian-hiong terkaget.
Dan pada waktu sedikit merandeknya itulah, cepat luar
biasa Ging-yao telah mengayun pedangnya sekonyongkonyong
Thian-hiong merasa lehernya nyeri, daun kuping
sebelah kiri sudah berpisah dengan tuannya saking sakitnya
Thian-hiong menjerit lucu dan lekas melompat ke belakang.
Tapi melompat mundurnya itu kebetulan membentur salah
seorang Lamma lain pula hingga keduanya sama-sama
tergelincir masuk jurang.
Tinggal Seng Thian-ting yang sudah pernah merasakan
betapa lihainya Bu Ging-yao ketika bentrok di gurun pasir
dulu, maka kini yang dia harapkan asal bisa menyelamatkan
diri paling perlu, kedua potlot bajanya menyerang sambil
menjaga diri rapat-rapat.
Kebetulan juga bagi Bu Ging-yao sikap Seng Thian-ting ini,
ia pun tidak menggubris orang dulu, maka sekejap saja tiga
Lamma terakhir telah dapat dibinasakannya semua. Habis itu,
selagi ia berpikir melayani lawan yang paling kuat, Seng
Thian-ting, mendadak dilihatnya Lauw Yu-hong yang
bertempur di puncak depan itu terjatuh ke dalam jurang.
Keruan terkejut sekali Bu Ging-yao, meski belum lama
berkenalan dengan Lauw Yu-hong, tapi hubungan mereka
sangat rapat, maka tanpa pikir lagi ia menggunakan Ginkang
atau ilmu mengentengkan tubuh ajaran Pek-hoat Mo-li yang
tunggal untuk terjun juga ke bawah, ketika orangnya
melompat turun, masih sempat ia membaliki tangan
menimpukkan senjata rahasianya yang lihai, beberapa buah
jarum perak yang lembut, hingga pergelangan tangan Seng
Thian-ting terluka.
Seng Thian-ting sudah cukup asam-garam, ia kenal betapa
lihainya jarum semacam ini. Maka lekas ia menutup jalan
darahnya dan duduk tenang di tanah, ia mengangkat
pedangnya yang tajam itu membelil daging tangan sendiri
untuk mengeluarkan jarum yang menancap masuk ke dalam
itu, begitu asyik dan kuatir ia mengurus dirinya hingga
pertarungan sengit mati-matian antara Ce Cin-kun melawan
Sin Liong-cu di sampingnya tak dihiraukan lagi. .
Ketika Sin Liong-cu mendengar teriakan Leng Bwe-hong
tadi, kemudian dilihatnya Bu Ging-yao melayang turun ke
bawah jurang, ia menjadi terkejut sekali. Dan karena sedikit
me-leng itu, sepasang pedang 'angin dan guruh' Ce Cin-kun
telah menusuk tiba.
Saking gusarnya Sin Liong-cu mengertak gigi. "Marilah,
kalau bukan kau yang mampus, biarlah aku yang mati!"
bentaknya sengit.
Habis itu, berulang kali ia menghindarkan serangan lawan
menyusul dengan gaya 'Khiu-cui-hing-ciu' atau perahu
berjalan menentang arus air, ia melompat ke samping buat
balas merangsek mati-matian melawan Ce Cin-kun.
Kedua orang itu sebenarnya sudah otot lemas dan tenaga
habis, dengan susah payah sesudah mereka mengumpulkan
tenaga tadi sedikit, tapi kini harus bertempur lebih seru lagi
hingga kedua pihak mengalami saat-saat berbahaya, saking
hebatnya pertarungan mereka ini hingga keduanya seakan
sudah kalap. Sin Liong-cu merasa kepalanya seakan pecah, ia insyaf tak
sanggup bertempur terus, tapi untuk berhenti juga tak
mungkin. Mendadak ia mengertak gigi, pikirnya "Sekalipun aku
harus mati tak nanti kubiarkan dia hidup sendiri!" Segera ia
menarik napas kuat-kuat dan mengumpulkan semangat,
mendadak ia me-ngenjot tubuh sekuatnya mencelat lebih dua
tombak ke atas, dari atas udara sambil berpeluk aneh,
pedangnya berputar terus membacok ke bawah, dari gaya
'Pek-ho-jiong-thian' atau bangau putih menjulang ke langit,
segera ia menyerang dengan tipu 'Ngo-eng-bok-tho' atau
elang lapar menyambar kelinci.
Sungguh Ce Cin-kun tak pernah menduga setelah
bertempur sekian lamanya dan sudah payah, masih sanggup
Sin Liong-cu mengeluarkan serangan berbahaya itu. Maka
pedang kanannya segera ia ayun dengan gerak tipu 'Giok-taywiyao' atau sabuk kemala melilit pinggang, dengan maksud
memotong ke atas, siapa duga mendadak pandangannya
menjadi gelap, tahu-tahu bayangan orang sudah menyambar
datang, mendadak pundaknya kena didepak orang dengan
keras hingga sakitnya meresap tulang. Bahkan belum sempat
ia menjerit "aduh", tiba-tiba bahu kanan terasa pegal juga,
ternyata 'Pek-hay-hiat' sudah kena di-totok jari musuh pula
Kiranya Sin Liong-cu cukup cerdik, ia tahu ilmu kepandaian
Ce Cin-kun sangat hebat dan sudah kenal semua ilmu
serangannya, maka ketika menubruk ke bawah tadi ia purapura
membacok dengan pedangnya, tapi mendadak kakinya
yang mendepak pundak orang, dan pada saat orang
terhuyung-huyung, cepat sekali ia mengangkat jarinya terus
menjojoh ke 'Pek-hay-hiat' di bahu orang dan dengan tepat
kena sasarannya, tanpa ampun lagi Ce Cin-kun terguling.
Senang luar biasa Sin Liong-cu oleh hasil itu, ia tertawa
terbahak-bahak dan berteriak, "Suheng, Suheng, aku telah
membalaskan sakit hatimu!'' Habis itu, pedangnya yang sudah
terangkat itu terus membacok ke bawah.
Siapa duga, Ce Cin-kun bukanlah sembarangan orang,
sejak umur 10 tahun ia sudah berlatih pedang, sampai kini
sudah lebih 70 tahun ia meyakinkan ilmu kepandaiannya itu,
keuletan selama 70 tahun itu tidaklah biasa, meski dalam
keadaan payah dan kini terluka parah pula, namun pergulatan
sebelum ajalnya masih luar biasa lihainya Mendadak dengan
gaya 'Ho-hou-hoan-sin' atau macan mendekam membalik
tubuh, tiba-tiba kakinya menendang ke selangkangan Sin
Liong-cu. Ketika Sin Liong-cu hendak mengenjot tubuh meloncat
pula, namun sudah telat, dengan tepat ia kena didupak kaki
kiri Ce Cin-kun terus ditambahi pula menyerampang dengan
kaki kanan, beruntun ia kena dua serangan. Tapi sempat pula
Sin Liong-cu menimpukkan pedangnya, ia mengeluarkan tipu
terakhir dari ilmu pedang Tat-mo yang disebut 'Pek-hongkoanjit' atau pelangi menembus sinar matahari, dengan tepat
pedangnya menancap menembus dada Ce Cin-kun, lalu ia
jatuh terguling dan darah segar menyembur keluar dari
mulutnya hingga salju putih berubah menjadi merah.
Di sebelah sana pertarungan Leng Bwe-hong kontra Coh
Ciau-lam juga sudah sampai detik yang menentukan. Ketiga
jago pengawal yang tadinya mengeroyok Lauw Yu-hong
terpaksa harus mundur terus tak tahan oleh kiam-hoat Bwehong
yang maha lihai.
"Kepung dia, cecar dia! Jangan kendor!" bentak Ciau-lam
memberi aba-aba pada ketiga begundalnya yang mulai jeri itu.
Nyata karena melihat keadaan Leng Bwe-hong yang sudah
payah, jidatnya berkeringat sebesar butiran kedelai, maka
Ciau-lam tahu orang sudah sampai saat terakhir yang tak
tertahankan lagi.
Dan karena terus didesak oleh Coh Ciau-lam, ketiga jago
pengawal tadi tak berani melarikan diri lebih dulu, terpaksa
mereka membalik dan ikut mengeroyok mati-matian.
Leng Bwe-hong ingat bahwa terjerumusnya Lauv Yu-hong
ke dalam jurang justru 'karya' ketiga pengawal itu,
memangnya ia kuatir kalau orang lolos, kini melihat mereka
malah balik me-nempurnya, tentu saja menjadi kebetulan
baginya, saking murkanya hingga kedua matanya seakan
berapi, ia mengumpulkan semangat dan mengunjuk
ketangkasannya, sekali pedangnya me-nyampuk hingga
senjata Coh Ciau-lam ditolak ke samping, mendadak ia
mendoyong maju terus menghantam dengan gerakan 'Tanciokay-pi' atau tangan tunggal membelah pilar, salah seorang
pengawal itu terus dihantamnya dan seketika tulang lehernya
patah dan orangnya terguling.
Dari samping lekas Coh Ciau-lam menubruk lagi susulmenyusul
menyerang dua kali. Tapi Leng Bwe-hong sempat
berkelit, dan ia berputar pula, dengan gerakan 'Liong-hing-huipoh'
atau naga berjalan terbang, tahu-tahu ia sudah berada
pula di belakang seorang jago pengawal lain, ketika telapak
tangan kirinya menabok dengan tenaga raksasa, lekas jago
pengawal itu menggunakan gerakan 'Yao-cu-coan-thian' atau
burung elang terbang ke langit, cepat orangnya mumbul ke
atas. Namun sudah tak keburu lagi, terdengarlah suara "plak"
yang keras, sebelah pahanya sudah kena digablok hingga
orangnya terpelanting dan terjeblos sekalian ke jurang yang
tak terkirakan dalamnya.
Melihat kawannya satu persatu 'diringkasi' Leng Bwe-hong,
tertinggal jago pengawal terakhir menjadi ketakutan luar biasa
hingga semangatnya seakan terbang ke awang-awang, segera
ia menarik diri hendak angkat langkah seribu, tapi sudah telat,
mendadak Bwe-hong memutar pedangnya terus memburu
maju dengan tipu 'Liu-sing-kan-gwe' atau bintang meluncur
mencapai rembulan, suatu tipu yang maha hebat dari Thiansankiam-hoat, hanya terlihat sinar tajam berkelebat bagai
anak panah terlepas dari busurnya tentu saja jago pengawal
itu tak mampu menahannya seketika juga kena ditusuk
tembus oleh Leng Bwe-hong.
Secara sengit Leng Bwe-hong berturut-turut membinasakan
tujuh jago kerajaan kelas satu, napasnya sudah tersengalsengal,
seluruh badannya panas luar biasa, sebaliknya hawa
dingin pegunungan salju sangat menusuk tulang, tanpa terasa
Leng Bwe-hong menggigil, kepalanya pun terasa berat.
Dalam pada itu serangan Coh Ciau-lam telah datang pula
secara bertubi-tubi hingga terpaksa Leng Bwe-hong mundur
terus dan akhirnya terdesak sampai tepi jurang.
Menduga keadaan orang boleh diibaratkan pelita kehabisan
minyak, Coh Ciau-lam menjadi senang luar biasa ia tertawa
sinis dan mengejek, "Haha, Leng Bwe-hong, tiba juga ajalmu
hari ini!" Menyusul ujung pedangnya mengarah ke depan terus
menusuk ke tenggorokan Leng Bwe-hong.
Tak ia duga karena ejekannya itu telah membikin pikiran
Leng Bwe-hong menjadi sadar. "Pengkhianat," bentaknya
mendadak, "Kau ingin mendapatkan diriku" Ha jangan kau
harapi" Habis itu pedangnya membalik mendadak terus memotong
pergelangan tangan musuh dan sekalian menusuk ke
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pinggang pula. Sekali gerakan dua serangan. Maka tusukan
Coh Ciau-lam itu dipatahkan dengan mudah saja sebaliknya
malah balas menyerang.
Keruan Ciau-lam sangat terkejut, ia berbalik terdesak
mundur beberapa tindak, berkat pedang pusakanya yang
cukup disegani ia putar dengan rapat untuk melindungi
tubuhnya segera ia mengubah ilmu pedangnya untuk menjaga
diri sebisanya Sebenarnya tenaga Leng Bwe-hong sudah hampir ludes
tenaga aslinya tapi karena kata-kata Coh Ciau-lam yang
menyinggung tadi hingga mengingatkannya akan kematian
Lauw Yu-hong, entah darimana datangnya tenaga seketika
semangatnya terbangkit, ia balas menyerang dan mencecar
terus semakin kencang, setiap serangannya selalu mengincar
tempat Coh Ciau-lam yang mematikan.
Tatkala itu di atas gunung Mustak hanya terdengar suara
angin menderu dan pecahnya es yang gemuruh. Belasan jago
kerajaan yang dibawa Coh Ciau-lam dan delapan Lamma jago
Thiah-liong-pay yang dibawa Thian-bong Siansu itu sudah
hampir terbinasa semua. Hanya tertinggal Seng Thian ting
yang masih asyik duduk di tepi jurang sedang mengatur
pemapasannya untuk mencegah racun jarum yang melukainya
tadi. Coh Ciau-lam dan Leng Bwe-hong sama-sama tak tahu
bagaimana keadaan pertempuran di antara orang-orang
sendiri. Ketika itu seakan semuanya menjadi sunyi, seluruh
gunung seperi mati beku, diam-diam mereka kuatir.
Leng Bwe-hong sudah tak memikirkan mati-hidup sendiri,
hanya keselamatan kawan-kawannya yang ia kualirkan, maka
setiap tipu serangannya tak pernah kendor dan semakin lihai.
Coh Ciau-lam berteriak memanggil beberapa kali, tapi tiada
jawaban, tak tertahan lagi keringat dingin membasahi
tubuhnya. Lekas pedangnya menolak ke depan, lalu orangnya
mendadak melompat mundur. Tak ia duga baru tubuhnya
bergerak, angin tajam senjata musuh sudah menyambar di
atas kepalanya. Waktu ia menangkis, segera dilihatnya Leng
Bwe-hong sudah mendahului di depannya dan mencegat jalan
larinya. Dalam keadaan begitu, tak bisa tidak bulu roma Coh Ciaulam
mengkirik. "Leng Bwe-hong," demikian teriaknya kuatir.
"Betapapun juga kita adalah saudara seperguruan,
pertempuran hari ini masing-masing pihak banyak yang gugur,
hanya kita berdua saja yang beruntung masih hidup kenapa
kau masih ingin mengadu jiwa mati-matian, tidakkah lebih
baik kita pergi ke arah sendiri-sendiri agar keduanya terluput
dari bencana!"
Akan tetapi Leng Bwe-hong tak menggubris ocehan orang,
pedangnya semakin kencang menyerang dan selalu mengincar
tempat mematikan.
Cepat Ciau-lam memutar tubuh, pedangnya menangkis
terus membabat, ia mencoba balas menyerang
Tak terduga Leng Bwe-hong lantas menggertak keras,
orangnya terus menubruk maju dan ujung pedangnya tahutahu
sudah menggores sekali di pergelangan tangan Coh Ciaulam.
Saking sakitnya Coh Ciau-lam menggeram, keringatnya
sebesar butiran kedelai menetes. "Leng Bwe-hong, benarkah
kau tak memikirkan sesama saudara perguruan lagi"!"
teriaknya kemudian.
"Hm, pengkhianat, lihat serangan!" jawab Bwe-hong
dengan sekali tusuk.
Terpaksa Ciau-lam menangkis sekuatnya dengan tipu 'Singliongin-hong' atau naik naga memancing burung Hong. Tapi
serangan Leng Bwe-hong masih terus-menerus tak terputus
hingga Coh Ciau-lam terdesak mundur beberapa tindak lagi,
saat-saat berbahaya selalu mengancam dirinya otot hijau
menonjol di jidatnya.
Dan begitulah, bila Leng Bwe-hong mendesak maju se-'
langkah, maka Coh Ciau-lam lantas terdesak mundur setindak,
pelahan-lahan akhirnya terdesak sampai tepi jurang.
Kalau melihat kedudukan pada saat itu, sebenarnya mudah
saja bagi Leng Bwe-hong untuk membinasakan Coh Ciau-lam,
tapi karena Bwe-hong hendak membalaskan sakit hati Lauw
Yu-hong, ia pun ingin mendesak Coh Ciau-lam terjerumus ke
jurang. Maka ia tidak lantas membunuh orang, melainkan
bagai kucing memainkan tikus, ia mendesak dari sini dan
mengejar ke sana.
Keruan saja gugup luar biasa Coh Ciau-lam, beberapa kali
ia mengeluarkan gerak tipu berbahaya berusaha meloloskan
diri. Leng Bwe-hong tertawa dingin melihat lawannya
kerupukan, mendadak ia mengkeret ke bawah dan secepat
kilat ia menusuk tenggorokan musuh.
Tusukan itu begitu jitu lagi ganas, meski Ciau-lam tahu bila
mundur lagi beberapa tindak pasti orangnya akan terjatuh ke
jurang, tapi bila tak mundur, pasti lehernya akan ditembusi
pedang orang. Terpaksa ia pilih mundur setindak sambil
pedang menangkis.
Tapi cepat sekali Leng Bwe-hong menarik serangannya itu,
lalu dengan mata melotot, pedangnya mengayun dan kembali
menusuk pula dengan cepat, sekali ini menikam ke dada orang.
Dan karena terpaksa lagi-lagi Ciau-lam mundur setindak
dan senjatanya menangkis lagi.
Namun sekali ini Bwe-hong tidak menarik kembali
serangannya, tapi ujung pedangnya menekan kuat ke bawah
menyusul sedikit berubah tempat tangannya, mendadak ia
menikam dari samping, dengan tenaga menekan terus
membalik itu, serangan ketiga ini terus menyabet secara keji
ke bahu musuh. Insyaf akan bahaya itu, Ciau-lam tak berani menyambut
serangan itu, ia mendekam ke bawah terus menggeser dan
melompat mundur lagi beberapa tindak. Tapi mendadak kaki
kirinya terasa menginjak tempat kosong, setengah tubuhnya
sudah terapung di luar tebing curam itu.
Keruan saja luar biasa kagetnya hingga semangat seakan
terbang, lekas ia berusaha mengantapkan tubuh dengan
sebelah kakinya yang masih menancap di tanah itu. Namun
saat itulah ujung pedang Leng Bwe-hong sudah diarahkan
padanya lagi, sinar pedang yang gemerdep itu tampaknya
sudah tinggal menusuk ke dalam rongga dada Coh Ciau-lam.
Dalam keadaan begitu, Ciau-lam sudah memejamkan mata
menantikan ajalnya tiba-tiba terdengar Leng Bwe-hong
menjerit, "Aduh!" Tahu-tahu pedangnya yang hampir menempel
dada Coh Ciau-lam itu terjatuh ke tanah.
Waktu Ciau-lam mementang mata dan melibat seluruh
badan Leng Bwe-hong dalam keadaan gemetar, otot daging
pada mukanya terlihat berkerut-kerut, sikapnya tampak sangat
menderita. Namun masih belum berani Ciau-lam sembarangan
bergerak, kemudian dilihatnya Leng Bwe-hong gemetar lebih
hebat lagi hingga menekuk lutut mendeprok ke bawah seakan
roboh, barulah Coh Ciau-lam luar biasa girangnya, cepat ia
melompat maju terus menghantam, dan nyatanya sama sekali
Leng Bwe-hong tak melawan hingga kena terpukul roboh
olehnya. Kiranya Leng Bwe-hong sejak muda sudah tinggal di Thiansan,
di tempat yang tinggi dan dingin itu menyebabkan ia
mendapatkan suatu penyakit aneh yang seringkah' bila kumat
lantas seluruh tubuhnya terasa kaku kejang. Belakangan
meski ilmu silatnya semakin tinggi, dan penyakit kejang itupun
jarang kumat, tapi kadang-kadang masih bisa juga datang
mendadak. Seperti dulu waktu terkurung di penjara air Go
Sam-kui pernah kumat sekali.
Dan kini setelah seharian bertempur mati-matian di tepi
sungai es yang dingin, terlalu banyak keluar keringat dan
kemasukan hawa dingin itu, akibatnya pada saat terakhir yang
menentukan itu penyakit kejangnya tiba-tiba kumat hingga
ilmu silatnya yang tiada bandingannya tak berguna sama
sekali. Kesempatan itu tak disia-siakan Coh Ciau-lam, dengan
cepat ia menubruk maju dan dengan totokan berat ia menotok
jalan darah 'Hun-hian-hiat' Leng Bwe-hong. Habis ini saking
gembiranya ia tertawa berbahak-bahak seperti orang gila.
Kemudian ia pun meringkus Leng Bwe-hong erat-erat dengan
akar rotan yang terdapat di situ. Rotan pegunungan sangat
ulet dan kuat, sekalipun Leng Bwe-hong nanti sudah sadar,
untuk melepaskan diri ia harus meronta keras, tapi bila ia
meronta-ronta tentu segera diketahui Coh Ciau-lam yang
lantas bisa memberi pukulan yang lebih berat pula, oleh
karena itu Coh Ciau-lam tidak menjadi kuatir.
Dan karena pergulatan mati-matian tadi, sebenarnya Coh
Ciau-lam juga sudah pinggang pegal dan tulang lemas,
pandangan matanya pun sudah kabur. Setelah mengaso
sejenak, tiba-tiba terdengar suara Seng Thian-ting merintih.
Dengan mengempit Leng Bwe-hong, cepat Coh Ciau-lam
memburu ke sana, dan ia memeriksa, ternyata Seng Thianting
bermuka putih pucat, nyata keadaannya juga sangat
payah. "He, mengapakah kau?" tanya Ciau-lam kaget oleh keadaan
kawannya itu. Ketika Seng Thian-ting melihat bahwa Coh Ciau-lam
berhasil menangkap Leng Bwe-hong, ia menjadi girang dan
karena itu juga semangatnya lantas terbangkit.
"Aku terkena jarum berbisa bangsat wanita tadi, beruntung
Lwekangku cukup dalam, dengan mengatur napas dan
menggerakkan darah, kini sudah tidak berbahaya lagi," Thianting
menerangkan. "Dan bagaimana denganmu" Eh, Leng
Bwe-hong telah kautangkap?"
Atas pertanyaan orang, Coh Ciau-lam menjadi bangga.
"Memangnya aku adalah Suhengnya, dengan ilmu pedangnya
mana sanggup ia menandingiku?" katanya tertawa.
Akan tetapi jawaban itu tentu tak bisa dipercaya Seng
Thian-ting, namun begitu tidak urung ia mengucapkan selamat
juga atas hasil sang kawan itu.
"Walaupun kita kehilangan beberapa ratus orang dan
belasan jagoan, tetapi dapat menangkap pentolannya rasanya
masih tidak rugi," demikian Coh Ciau-lam membual pula
dengan tertawa.
Dan waktu mereka memandang sekelilingnya, tertampak
air es telah menjadi merah karena banjir darah, mayat-mayat
bergelimpangan, dan masih terdengar pula suara sesambatan
terputus-putus yang mengerikan.
Selagi Ciau-lam hendak memerintahkan Seng Thian-ting
coba memeriksa lagi lebih jelas kerugian di pihaknya dan
pihak musuh, dan jika menemukan musuh yang masih belum
mampus, boleh sekalian menambahi pula satu tusukan. Tiba
dari lembah gunung sana lapat-lapat terdengar suara derapan
kuda yang berkumandang datang.
"Bertempur selama sehari suntuk rasanya hampir mampus
saking letihnya, kini bila yang datang ini adalah musuh,
bagaimana kita bisa menahannya?" kata Thian-ting meloncat
bangkit kuatir. "Lebih baik kita lekas angkat kaki saja?"
Meskipun Coh Ciau-lam berani membuka mulut besar,
tetapi sebenarnya ia pun tak sanggup bertempur lagi saking
letihnya. Waktu ia melongok lagi, ia lihat di tepi sungai es
sana menggeletak Sin Liong-cu, Ciok Thian-sing dan Ce Cin
kun bertiga dengan bermandi darah, ia berlari-lari
mendekatinya dan menendang mereka masing-masing dua
kali, tetapi ketiga orang itu sedikitpun tidak mengelak, terang
sudah tak bernyawa lagi.
Ciau-lam coba menggeledah seluruh tubuh Sin Liong-cu,
namun akhirnya tangannya tetap ditarik keluar dengan
hampa. Tiba-tiba ia menotok dan membikin sadar Leng Bwehong,
lalu secepat kilat ia melolos pedangnya dan tahu-tahu
jari jempol kanan Leng Bwe-hong sudah ditabasnya. Habis itu
ia pun berteriak keras, "Nah, biar kau tidak bisa memainkan
pedang pula selama hidupmu!"
Nampak kelakuan Ciau-lam yang luar biasa itu, Seng Thianting
tercengang. Tapi sebaliknya Coh Ciau-lam masih tertawa
gila dengan kepala menengadah.
"Sin Liong-cu dan Ce Cin-kun sudah binasa semua,"
katanya kemudian kepada Seng Thian-ting. "Leng Bwe-hong
telah menjadi cacad pula. Sejak kini, di jagad ini tiada orang
yang kiam-hoatnya dapat menandingi aku lagi!"
Jika Coh Ciau-lam berkata dengan bangga dan merasa
gembira, adalah sebaliknya Seng Thian-ting yang merasa
ngeri. Pikirnya, Leng Bwe-hong dan Sin Liong-cu masih boleh
juga, tetapi Ce Cin-kun adalah orang sendiri, ternyata ia juga
gembira atas kematiannya dan bersyukur akan
kemalangannya. Sementara itu Leng Bwe-hong yang jari jempolnya
dikuningi, sungguhpun sakitnya meresap tulang, namun ia
tidak merintih, bahkan sebaliknya fa pun bergelak tertawa.
"Ha, hanya dengan ilmu pedangmu lantas kauherani malang
melintang di kolong langit ini?" ejeknya kemudian menjengek.
"Hm, mungkin kau sedang mimpi saja!"
"Mimpi?" Ciau-lam melotot. "Coba katakan, siapa yang
masih bisa menandingi aku?"
"Kitab pelajaran pedang dan ilmu pukulan Suhu, siangsiang
aku sudah menyimpannya baik-baik," kata Bwe-hong.
"Dan siapa saja yang menerima warisan kitab itu duriku, siapa
pun pasti akan bisa mengalahkanmu!"
Karena kata-kata Leng Bwe-hong ini, pikiran Coh Ciau-lani
Anak Harimau 16 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Peristiwa Bulu Merak 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama