Ceritasilat Novel Online

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 12

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 12


Boh Wan-lian dan Tri i o Hua-ciau keluar dari keroyokan
musuh. Meski Ciau-lam kena dibikin bingung oleh beberapa tipu
serangan aneh Han Ci-pang, namun memang ia seorang
cerdik, ketika ia berpikir kesanggupan Han Ci-pang hanya
dalam dua tahun masakah bisa mendapatkan ilmu silat yang
begitu hebat, untuk melatihnya dalam setahun dua tahun
rasanya belum juga mencapai tingkat yang sempurna, kenapa
harus takut padanya" Maka segera seluruh jalan darah dalam
tubuhnya ia tutup rapat, ia bersedia menerima gebukan orang
dengan serangan aneh itu, sambil melindungi diri dengan 'Simikiam-hoat' yang lihai dari Thian-san, segera ia menerjang
maju dengan nekad.
'Si-mi-kiam-hoat' dari Thian-san-kiam-hoat ini berlawanan
dengan 'Tui-hong-kiam-hoat' yang mengutamakan
menyerang, tapi sangat rapat buat menjaga diri dan dapat
dimainkan dengan bebas dan bagus di tempat terbuka atau di
ruangan sempit. Kini Coh Ciau-lam mengeluarkan ilmu
pedangnya ini ditambah jalan darah sudah ditutupnya semua
untuk melawan Han Ci-pang, dapat dipastikan tidak nanti ia
kalah, maka begitu ia menerjang, terang Ci-pang tak berdaya,
terpaksa ia mengandalkan gerak tubuhnya yang aneh itu
untuk berkelit dan bertahan sebisanya.
Di pihak sana sesudah Leng Bwe-hong menggempur
mundur Ce Cin-kun, ia tidak lantas mengudak lagi, tapi
mendadak membalik tubuh terus menerjang ke kalangan
pertarungan yang ramai itu, ia menolong keluar dari kepungan
musuh Thong-bing Hwesio, Siang Ing dan Thia Thong.
Keruan saja Ciau-lam menjadi gugup kuatir musuh kabur,
lekas ia maju mencegat lagi.
Tapi beruntun segera Bwe-hong menyambutnya dengan
tiga kali tusukan bertenaga besar luar biasa. Dalam hal tenaga
dalam Ciau-lam sedikit kalah, meski ilmu pedang yang dia
mainkan begitu hebat toh masih tergoncang oleh angin
senjata Bwe-hong, terpaksa ia berkaok-kaok lagi minta Ce Cinkun
lekas maju membantunya pula.
Namun cepat Kui Tiong-bing sudah mendahului mencegat,
ia galung pedang wasiat 'Theng-kau-pekiam' di tangannya
terus mendadak disabetkannya. Tatkala Ce Cin-kun melihat
seorang pemuda bertangan' kosong memapak dirinya, semula
ia tak memandang sebelah mata; siapa tahu mendadak sinar
perak menyambar ke arahnya, lekas ia angkat senjata hendak
menangkis, tapi ujung pedangnya segera tertabas putus.
Sungguh tidak kepalang terkejutnya Ce Cin-kun, lekas ia
tekan senjata lawan ke bawah dengan pedang kirinya yang
sementara itu sudah saling menempel. Seketika Tiong-bing
merasa pedangnya tertindih benda ribuan kati beratnya
hingga tak sanggup menariknya kembali. Lekas ia
menggunakan Tay-lik-eng-jiau-kang' atau ilmu cakar
bertenaga raksasa, ia mencengkeram pergelangan tangan
lawan. Terpaksa Ce Cin-kun menangkis dengan pedang kanan,
dan sedikit perubahan ini telah mengurangi daya tekanan
pedang kirinya hingga cepat sekali Kui Tiong-bing dapat
menarik kembali senjatanya, lalu kedua orang sama-sama
melompat beberapa langkah ke samping.
Berulang-ulang menghadapi lawan tangguh, diam-diam Ce
Cin-kun membatin, "Aku giat melatih diri selama 50-an tahun
di Tiang-pek-san dan tadinya menyangka bisa menjagoi ja-gad
tanpa ada tandingan, siapa duga begitu sampai kota-raja
sudah beberapa kali kecundang, kini malahan seorang 'bocah
ingusan' saja mampu menahas putus ujung pedangku, lalu di
daerah Tionggoan sini sebenarnya ada berapa banyak orang
ko-sen?" Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya Kui Tiong-bing juga
sangat terkejut, kalau bukan pedangnya yang bisa lemas dan
keras sesuka hatinya, mungkin ia sudah terjungkal oleh
tenaga tekanan orang tadi. Sungguh belum pernah ia alami
tenaga dalam orang setinggi ini sejak ia muncul di kalangan
Kangouw. Begitulah sedikit merandeknya Ce Cin-kun, sementara Leng
Bwe-hong sudah bisa menggabungkan diri dengan Kui Tiongbing
dan bersama-sama para pahlawan lain terus saja
menerjang keluar.
Lekas Coh Ciau-lam berteriak dan membentak memberi
perintah agar pasukan pengawal di depan sana mengurung
rapat semua jalan dan memasang barisan kepungan, bahkan
di atas rumah-rumah penduduk segera ia siapkan pula barisan
pemanah, sedang jago-jago bayangkara kerajaan yang terpilih
juga sudah membanjir datang dari kedua sayap dan belakang.
Kiranya sekarang Coh Ciau-lam sudah bisa mengukur
kekuatan lawan dan sudah yakin akan kemenangan di
pihaknya, maka ia lantas mengatur dan memberi perintah
dengan tenangnya. Teriaknya pula, "Thian-ting, lekas kau
pergi mencegat pemuda baju kuning itu. Ce-locianpwe, mari
kita bersama-sama menempur Leng Bwe-hong pula, mengenai
si dogol itu tak perlu takut padanya, ia hanya macan
gadungan saja. Tiau Si-hok, kau saja yang mencegat dia. Dan
saudara-saudara yang lain, marilah beramai-ramai kita maju!"
Begitulah Ciau-lam memperhitungkan betul-betul bahwa
pihak lawan yang paling lihai ialah Leng Bwe-hong, Kui Tiongbing
dan Han Ci-pang bertiga. Dan kini melihat cara
mengaturnya itu, terang kemenangan akan diperolehnya.
Ginkang Tiau Si-hok cukup bagus, sungguhpun keuletannya
agak rendah, tapi dibanding Han Ci-pang masih lebih kuat
sedikit. Ciau-lam memerintahkan dia pergi menghadang Han
Ci-pang, boleh dikata pilihan yang tepat.
Begitulah maka mendengar cara Coh Ciau-lam mengatur
siasatnya itu, Leng Bwe-hong terperanjat. Ciau-lam betul-betul
lihai, ilmu silatnya sudah tinggi, masih pintar mengatur siasat
pula, begitu bergebrak, segera ia tahu kekuatan lawan.
Sayang Hui-ang-kin sudah pergi dulu, bila tidak, tentu bisa
menjebol barisan penyerangnya itu, demikian pikirnya.
Namun Leng Bwe-hong tidak kalah tangkasnya, sebelum
musuh mulai mengepung, ia sudah memberi tanda pada
kawan-kawannya dan segera mereka bergerombol di suatu
tempat. Habis itu ia sendiri memutar pedangnya ke sana
kemari dengan gerak tubuh yang sangat cepat, ia menusuk ke
sini dan membabat ke sana, tangan lain berbareng pun
menghantam, ia selalu membantu kawannya yang terancam
bahaya, sedapat mungkin ia menghindari keroyokan Coh Ciaulam
dan Ce Cin-kun berdua.
Sebaliknya apabila kedua orang itu hendak turun tangan
mencelakai orang di pihaknya, mendadak Bwe-hong lantas
muncul menolong.
Sebenarnya Han Ci-pang sudah repot oleh serangan Tiau
Si-hok, tapi mendadak Bwe-hong menyelusup, tahu-tahu
sekali pukul Bwe-hong telah mematahkan sebelah lengan Sihok,
maka dengan segera Ci-pang bisa melepaskan diri dan
bergabung dengan Leng Bwe-hong pula, dengan ilmu
pukulannya yang aneh itu, kian-kemari ia membantu
kawannya. Karena itu, siasat Ciau-lam tadi menjadi gagal, keadaan
pihaknya berbalik menjadi kacau dan kewalahan.
Kalau membandingkan kekuatan yang sebenarnya, pihak
Coh Ciau-lam ada tiga tokoh kelas tinggi, ditambah sisa jago
kerayaan lainnya yang hampir 20 orang, terang jauh lebih
kuat daripada pihak Leng Bwe-hong. Lebih-lebih setelah
mendengar keributan itu, penjaga-penjaga lain yang
berdekatan sudah memburu datang juga, suasana sudah tentu
bertambah tegang dan berbahaya bagi pihak Leng Bwe-hong.
Dalam pertarungan sengit itu, Thio Hua-ciau luka terbacok,
darah mengucur deras, namun secara gagah ia masih
memutar pedangnya menghantam musuh.
Cepat Bwe-hong melesat ke sampingnya, sekali gablok ia
pukul remuk batok kepala seorang jagoan di depan Thio Huaciau,
habis itu ia menyeret Hua-ciau ke garis dalam.
"Lan-cu. O, Lan-cu, ingin aku bertemu kau," terdengar
Hua-ciau menggumam sendiri, nyata pikiran pemuda ini sudah
kacau. Melihat pemuda ini dalam keadaan tak sehat, hati Leng
Bwe-hong rada gugup dan kuatir. Dengan pedang di tangan
kanan ia menangkis serangan musuh dan tangan kiri cepat
merobek kain bajunya buat membalut luka orang.
"Sesudah kita lolos, aku nanti akan membawamu pergi
mencarinya, kini kau di belakang Kui-hiante, lawanlah musuh,
mengertikah kau?" bisik Bwe-hong padanya.
Hua-ciau mengangguk tanda tahu. Habis itu Leng Bwehong
memutar pedangnya pula menghantam mundur dua
musuh yang sedang mengembut Boh Wan-lian.
Melihat kekuatan musuh makin lama bertambah kuat, diam
-diam Bwe-hong merasa heran. "Mengapa mereka masih
belum tampak datang?" demikian ia bertanya dalam hati.
Dan ketika ia kuatir, tiba-tiba terlihat di sebelah depan sana
serdadu Boon bagaikan arus air terbelah ke samping karena
diterjang oleh serombongan orang. Rombongan itu semua
menco-rang-coreng muka mereka dengan warna yang aneh
dan lucu. "Thio Jing-guan ini cerdik juga, dengan mencoreng muk"
memang lebih sukar dikenali daripada memakai topeng," kata
Bwe-hong dalam hati geli.
Tetapi segera ia berpikir juga, "Kepandaian Thio Jing-guan
hanya biasa saja, kawan-kawan yang ia bawa sekalipun bisa
menahan pasukan pengawal, namun bagaimana bisa
mengalahkan jago kerajaan ini."
Selagi ia ragu, tiba-tiba dilihatnya seorang tua gagah agak
kurus telah mendahului menerjang, pedangnya menusuk dan
tangannya menghantam cepat, serdadu pasukan pengawal
yang mencoba merintangi beruntun kena dibikin roboh.
"He, mengapa orang tua ini juga datang!" kata Bwe-hong
girang pada Wan-lian.
Sementara itu Ce Cin-kun telah menyerobot maju hendak
menghalangi orang tua itu. Segera tertampak sinar perak
berkelebat, tahu-tahu ujung pedang orang menusuk ke
tenggorokannya. "Bagus!" sem Ce Cin-kun. Mendadak
sepasang pedangnya menangkis ke atas, sekali menyerang
sambil menjaga.
Orang tua itu bersuara heran karena gerak serangan Ce
Cin-kun. Cepat ia memutar pergi dan sinar pedangnya segera
berkelebat lagi kembali menusuk.
Ce Cin-kun coba menangkis pula dan dengan keras
membentur pedang lawan, tak ia duga, pedang orang tua itu
cepat luar biasa, dalam sekejap saja sudah menyerang lima
kali lagi secara bertubi-tubi. Ce Cin-kun terpaksa menarik
pedang menjaga diri.
Nampak itu, Coh Ciau-lam sangat terkejut, ia memutar
pedangnya dengan cepat terus melayang maju ke depan
orang tua itu. Dalam pada itu, orang tua itu menyerang dua kali dengan
cepat, lalu tubuhnya meloncat tinggi, pedangnya secepat kilat
segera menusuk memapaki datangnya Coh Ciau-lam.
Kedua pedang segera saling beradu, api meletik, kedua
orang sama-sama tergetar melompat mundur ke belakang.
'Waktu melompat turun orang tua itu memutar pedangnya
bagai kiliran hingga pasukan pengawal yang coba mendekat
segera banyak yang terluka oleh sinar pedangnya dengan kaki
putus atau tangan kutung.
^ Pada waktu Coh Ciau-lam hendak menancapkan kaki ke
bawah, segera ia disambut sekali babatan oleh Kui Tiong-bing
Theng-kau-pokiam yang gemerdep menyambar cukup
membuat orang keder.
Tubuh Coh Ciau-lam sedang terapung di udara, ia tak bisa
berkelit, terpaksa ia mengumpulkan tenaga dalamnya dan
pedangnya menutul ke bawah, walaupun ujung pedangnya
lantas tertabas kutung, namun kesempatan itu dapat
digunakannya untuk turun kembali ke samping dan
berkeringat dingin nyaris kena tusukan orang.
Berulang Ce Cin-kun menemukan lawan kosen, ia terkejut
oleh ilmu pedang orang tua yang begitu cepat dan hebat yang
tampaknya tidak di bawah Leng Bwe-hong.
Dalam pada itu, Coh Ciau-lam telah dapat menduga siapa
adanya orang tua itu. Ciok-lotaucu. apakah kau sudah tak
memikirkan harta bendamu lagi yang ada di sini dan tak
menghiraukan para murid dan pengikutmu lagi?" bentaknya
segera. Orang tua gagah kurus ini memang adalah 'Liap-hun-kiam'
Ciok Cin-hui. Sebelum Leng Bwe-hong terkenal di kalangan
Kangouw, bersama 'Yu-liong-kiam' Coh Ciau-lam dan 'Bu-kekkiam'
Pho Jing-cu, mereka bertiga disebut sebagai tiga ahli
pedang di masa itu, ilmu pedangnya yang tinggi dan lihai
merupakan suatu aliran tersendiri di kota-raja.
Dan karena kedatangannya ini, keadaan segera banyak
berubah pula. Pada waktu Ce Cin-kun dan Coh Ciau-lam menempur
Ciok Cin-hui dengan sengit, dengan cepat Bwe-hong
telah menerjang keluar kepungan, para jagoan kerajaan tak
mampu mencegat hingga kepungan mereka lantas bobol.
Di sebelah lain dengan mati-matian Seng Thian-ting
mengayun 'Boan-koan-pit' menyerang dari samping, segera ia
disambut Thong-bing Hwesio dengan sekali bacokan, maka
terdengarlah suara nyaring, mata golok terlempit, dan potlot
baja Seng Thian-ting juga tergaret dalam.
Keruan Seng Thian-ting kaget. Dalam pada itu Kui Tiongbing
menyusul melayang maju pula, Theng-kau-pokiamnya
menyambar cepat. Seng Thian-ting tak berani beradu keras
lawan keras lagi, lekas ia mengegos ke samping.
Apabila pedang Tiong-bing menyabet pula, kembali dua
jagoan kena dilukai lagi. Sementara itu Leng Bwe-hong yang
berada di depan sudah bisa menggabungkan diri dengan Ciok
Cin-hui. Coh Ciau-lam dan Ce Cin-kun masih berusaha mencegat
lagi, akan tetapi mana bisa dibendung pula"
Dengan gagah Leng Bwe-hong mendesak mundur Coh
Ciau-lam dan Ciok Cin-hui menahan Ce Cin-kun, sepasang
pedang Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian berputar cepat di
kedua sayap samping, tak lama kemudian mereka sudah
keluar dari kepungan dan bergabung dengan rombongan Thio
Jing-guan terus menerjang ke sana dan sini lebih jauh, hingga
mayat pasukan pengawal bergelimpangan.
"Terjang ke jurusan pintu timur!" seru Ciok Cin-hui. Segera


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia sendiri mendahului di depan membuka jalan, Leng Bwehong
dan Kui Tiong-bing menjaga di belakangnya.
Malahan Bwe-hong terus mengambil tiga buah Thian-sansinbong dan menimpukkan ke belakang sambil membentak.
Ketika mendadak Ce Cin-kun melihat dari depan sinar hitam
keemasan menyambar, cepat ia menyampuk dengan
pedangnya, tapi segera ia merasakan tangannya pedas
kesemutan dan lelatu api meletik, batang pedangnya ternyata
sudah berlubang.
Sebaliknya Coh Ciau-lam lebih cerdik, ia menggunakan
Ginkangnya yang tinggi untuk meloncat ke atas guna
menghindarkan dua 'sin-bong' yang lain.
Akan tetapi karena berkelitnya itu, dua jagoan di
belakangnya yang menjadi korban, dada mereka tertembus
dan tewas secara mengerikan.
Mengerti bahwa pihaknya tak mungkin lagi bisa menang,
terpaksa Coh Ciau-lam dan Ce Cin-kun mengumpulkan
pasukan dan mengejar dari belakang, cuma tak berani
mengejar seorang diri dan rnenempurpara pahlawan pnla '
Karena kejar-mengejar di jalan besar itu, penduduk dibikin
ketakutan dan pada menyingkir serta menutup pintu rapatrapat.
Tak lama kemudian mereka sudah menerjang sampai di
gerbang timur, tertampak pintu gerbang sudah terbuka lebar
dan 20-30 orang laki-laki bertubuh kekar sedang bertempur
melawan seregu tentara Boan.
Segera rombongan Ciok Cin-hui beramai-ramai menerjang
maju, dalam sekejap saja tentara Boan yang tak seberapa
banyak itu dibasmi semua, dengan cepat rombongan mereka
menerobos keluar dari benteng kota.
"Mari kita tutup pintu gerbang benteng!" kata Cin-hui pada
Leng Bwe-hong. Segera kedua orang itu menutup pintu gerbang dari luar
dan dirantai erat-erat, ketika pasukan pengawal kota
mengejar datang, terpaksa tak berdaya karena tertutup di
sebelah dalam. Dan karena keadaan itu, Leng Bwe-hong menjadi heran.
"Ini adalah perbuatan kaki-tangan Hui-ang-kin," Ciok Cinhui
menerangkan. "Hui-ang-kin?" tanya Bwe-hong cepat. "Locianpwe sudah
bertemu dengannya?"
"Waktu kawan-kawan kita yang bersembunyi di sekitar
penjara menerjang keluar," demikian Cin-hui menerangkan,
"Mereka membikin tunggang-langgang pasukan penjaga,
mereka lihat Hui-ang-kin menggendong seorang dengan dua
senjatanya yang berlainan terhunus di tangan melayang di
atas rumah-rumah penduduk. Waktu aku memburu dan
bertanya padanya, dengan tersenyum ia mengatakan bila aku.
berhasil menolong kalian keluar dari kepungan, segera supaya
kita menerjang ke jurusan gerbang timur, orang-orangnya
sudah mengatur segala sesuatunya di sana, asal kita bisa
menutup pintu gerbang, tentu dapat menahan kejaran musuh.
Setelah bilang begitu, lantas ia melayang pergi cepat laksana
terbang." Mendengar itu, diam-diam Bwe-hong menduga tentu Huiangkin sudah mengatur sebelumnya dan orang-orangnya itu
mungkin adalah bangsa Kazak yang dibawanya.
"Aku telah menjalankan menurut rencana yang ditetapkan
kemarin, diam-diam aku mengumpulkan semua pengikut dan
bekas bawahan Thian-te-hwe dan Loh-ong di kota-raja untuk
ber-siap-sedia," tutur juga Thio Jing-guan. "Sebenarnya kami
telah minta agar Ciok-locianpwe jangan ikut campur dan
mengunjukkan diri, tapi karena ia berbudi luhur, apapun
akibatnya ia tetap hendak membantu kita."
Ciok Cin-hui tertawa lebar sambil mengelus jenggotnya
yang memutih perak. "Apakah kaukira kalau aku tak
mengunjukkan diri lantas bisa aman?" katanya. "Dua hari yang
lalu, dari orangku dalam pasukan pengawal aku telah diberi
tahu, bahwa mereka sudah mulai mencurigaiku, hanya karena
belum mendapatkan bukti apa betul aku menyembunyikan
buronan, mereka kuatir 'menyingkap rumput mengejutkan
ular', maka untuk sementara belum berani merecokiku. Maka
lebih baik aku turun tangan mendahului, biar mereka
mengenal kelihaianku."
"Dan bagaimana rencana Ciok-locianpwe selanjurnya?"
tanya Bwe-hong. "Tidakkah lebih baik ikut kami terus ke Sucwan?"
"Murid dan pengikutku sangat banyak, aku tak bisa pergi
begitu jauh," ujar Cin-hui.
"Meninggalkan mereka di kota-raja apa tiada halangan?"
tanya Bwe-hong pula.
"Pejabat pemerintahan agak takut kalau aku memakai
kekerasan, kini setelah aku pergi, kiranya mereka pun tak
berani berbuat sewenang-wenang, apalagi di dalam pasukan
penjaga kota-raja dan pasukan pengawal kerajaan, juga
banyak pula yang menjadi anak dan cucu muridku, bagaimana
mereka sanggup menangkap orang begitu banyak?" tutur Cinhui
"Aku berniat jalan-jalan ke daerah Kanglam untuk mencari
sobat lama Beng Bu-wi, kemudian kami bersama-sama akan
pergi mencari Hek Hui-hong, siluman manusia itu."
"Jika begitu, beberapa ratus kawan dari Thian-te-hwe dan
bekas bawahan Loh-ong juga tak bisa ikut kami, maka
sekalian mengharap Ciok-locianpwe suka mengamati mereka,"
kata Thio Jing-guan.
"Kebetulan sekali, kalau kelak aku terpaksa hingga tak ada
jalan lagi, biar kubawa saudara ini bercokol di atas gunung,
dari Piautau berubah menjadi Checu. Halal" demikian C jok Cinhui
tertawa gembira.
Setelah itu, ia berkata pula terhadap Boh Wan-lian. "Nona
Boh, jangan lupa sampaikan salamku pada Pho-pepek!"
Lekas Bwe-hong dan Wan-lian menghaturkan terima kasih
pula atas segala bantuannya.
Tiba-tiba Ciok Cin-hui mengeluarkan segebung kertas dan
diserahkan pada Leng Bwe-hong sambil berkata. "Di dalam ini
surat-uang (cek) sebesar satu juta dua ratus ribu tail perak
yang dikeluarkan lima bank besar di lima propinsi utara, dan
berlaku di mana-mana. Kini aku hendak buron, muridku dalam
semalam juga sudah menjual semua harta-bendaku. Kata
mereka, lebih baik dibawa pergi kau orang tua daripada
dirampas oleh pemerintah. Kini aku pun hendak berkata, lebih
baik kau-bawa pergi untuk modal pergerakan Li-ciangkun,
daripada dibawa olehku si tua-bangka ini."
Nampak orang tua ini mengutarakan isi hatinya dengan
terus terang, Leng Bwe-hong pun tidak menampik dan
menerima pemberian itu.
Habis itu Ciok Cin-hui lantas berangkat bersama beberapa
ratus orang itu. Terhadap budi luhur si orang tua yang tinggi
itu, para pahlawan merasa kagum.
"Dan kini kita pun tak bisa kembali ke Sucwan lagi," kata
Thio Jing-guan pelahan pada Leng Bwe-hong sesudah Ciok
Cin-hui berlalu.
"Apa kaubilang?" tanya Bwe-hong kaget.
"Ya, kita tak bisa kembali lagi ke Sucwan," Thio Jing-guan
mengulangi kata-katanya. "Kheng Cin-tiong dan Siang Ci-sin
sudah berkhianat, panglima kepercayaan Go Sam-kui di
Kamsiok, Ong Hu-sin, juga sudah mengkhianatinya, kini
pasukan Go Sam-kui terpencil di Ouwlam, walaupun Go Samkui
hendak menjadikan Hingciu sebagai ibukota dan berniat
naik takhta menjadi Kaisar, namun kini ia lebih mirip api lilin
yang tertiup angin, tinggal tamatnya saja! Hancurnya Go Samkui
tak berharga untuk disayangkan, tetapi karena
pengkhianatan yang lain, kita telah ikut menjadi korban, lebihlebih
setelah Ong Hu-sin berkhianat, pasukan besar
pemerintah di barat laut segera dialihkan ke Sucwan semua,
Li-ciangkung telah mengirim kabar agar kita jangan kembali ke
Sucwan lagi, katanya ia bermaksud memencarkan kawankawan
kita menjadi kelompok kecil, agar bila perlu mengambil
jalan dari Kamsiok, kemudian diam-diam memasuki Sinkiang."
Mendengar kabar itu, Leng Bwe-hong terdiam sejenak,
mukanya tampak muram. "Kalau begitu, boleh juga kita lantas
menuju ke Sinkiang," katanya kemudian.
"Kini kita memegang pas jalan dari Lamma besar, dengan
cara perjalanan kita, tak nanti musuh bisa menyandak kita
maka lebih baik kita ke Tibet dulu," ujar Ci-pang. Karena
ajakan itu, Congtat Wancin dan Lamma lain pun beramai
menyokong undangan itu.
"Baik," kata Bwe-hong, "Dimana-mana kita bisa menetap,
Sinkiang atau Tibet serupa saja."
Dalam pada itu, ketika Boh Wan-lian memandang ke arah
kota-raja, ia menjadi teringat pada Nilan Yong-yo, ia merasa
pengalamannya di kota-raja itu bagai impian belaka.
Tatkala itu pikiran Thio Hua-ciau sudah jernih kembali,
"Siapakah Hui-ang-kin itu?" tanyanya pada Leng Bwe-hong.
"Mengapa Lan-cu dibawanya pergi?"
"Ringkasnya, itu hanya soal asmara, kau tak usah bertanya
lagi, biarlah aku membawamu pergi mencari dia," jawab Bwehong
tertawa getir. Lima bulan kemudian, di bawah kaki gunung Thian-san
(pegunungan Tien terletak di daerah Sinkiang) terlihat empat
pemuda-pemudi yang kelihatan sudah lama berkelana dengan
terpesona sedang memandang kemegahan Thian-san.
Mereka bukan lain daripada Leng Bwe-hong, Thio Hua-ciau,
Boh Wan-lian dan Kui Tiong-bing.
Setelah mereka ikut Han Ci-pang ke Tibet dan lebih
setengah bulan tinggal di sana, sementara si Lamma jubah
merah yang menjadi utusan istimewa Buddha Hidup Dalai
Lamma pun sudah kembali dari Pakkhia. Ia menceritakan
keadaan di kotaraja sesudah keonaran yang ditimbulkan oleh
Leng Bwe-hong dan kawan-kawannya, seluruh pejabat negeri
dibikin gempar dan timbul kekuatiran,Kaisar sangat gusar sekali karena rombongan Leng Bwehong
bisa menyamar dan memakai kereta kebesaran Buddha
Hidup untuk menolong Ie Lan-cu, beruntung Kaisar sendiri su-dah pernah menyaksikan kelihaian para pendekar itu, maka ia
pun percaya bahwa pas jalan telah tercuri.
Tetapi Kaisar Khong-hi telah mengatakan juga padanya,
bahwa mungkin kawanan 'penjahat' itu bisa menyelundup ke
Tibet, maka ia hendak mengirim pasukan untuk
menangkapnya. Terpaksa Larnma jubah merah menjawab
bahwa ia akan minta perkenan Buddha Hidup untuk
menentukannya. Tatkala itu walaupun Tibet termasuk wilayah Tiongkok,
tetapi keadaannya seperti berdiri sendiri, urusan pemerintahan
berada di tangan Dalai dan Pancen Larnma, Kaisar Boanjing
belum mendapat persetujuan mereka, maka tak berani
semba-rangan bergerak mengirim tentara, karena terlalu jauh
jaraknya, maka untuk sementara urusan itu lantas menjadi
beku. Selain itu, Larnma jubah merah membawa pula dua kabar.
Pertama ialah Go Sam-kui yang makin dekat hari tamatnya
telah mengangkat diri sendiri menjadi Kaisar di Hingciu.
Karena itu, pasukan pemerintah Boan dikerahkan seluruhnya
untuk menggempur. Pada waktu ia meninggalkan kota-raja,
kabarnya pasukan besar sudah memasuki Ouwlam, agaknya
dengan cepat saja sudah bisa ditumpas.
Kegagalan gerakan Go Sam-kui sejak mula sudah dalam
dugaan para pembesar bangsa Boan dan Han. Karenanya,
kemenangan yang dicapai pasukan Boanjing tidak begitu
menarik perhatian mereka.
Akan tetapi berkenaan kekalahan Go Sam-kui itu, Boanjing
mendapat keuntungan di luar perhitungan mereka di Su-cwan,
dengan memperalat pasukan taklukan Go Sam-kui, mereka
berhasil pula memecah-belah pertahanan Li Lay-hing di
perbatasan Hunlam dan Sucwan, kabarnya sesudah Li Layhing
terkurung musuh dan lak sudi takluk, ia lantas tewas
bunuh diri. Sedang adiknya Li Jiak-sim tak diketahui jejaknya.
Kabar lain yang dibawanya ialah, katanya Khong-hi sedang
mengumpulkan orang-orang gagah di seluruh negeri dan
melatih tentaranya dengan giat, agaknya ada maksud akan
menjajah ke Sinkiangdan Tibet
Mendengar kabar yang dibawa Larnma jubah merah ini,
Leng Bwe-hong merasa tak enak pikiran, ia menyayangkan Li
Lay-hing yang sudah menghimpun tenaga sekian lamanya, kini
dalam sekejap saja sudah kena ditumpas musuh. Di samping
itu ia pun terkenang dan kuatir akan diri Lauw Yu-hong.
Ya, betapapun juga ia tidak mau membuka rahasia dirinya
yang sebenarnya, tetapi dalam lubuk hatinya selalu masih
terukir bayangan Lauw Yu-hong, yang tidak dapat ia lupakan
sampai akhir zaman.
Di lain pihak rasa rindu Thio Hua-ciau terhadap Ie Lan-cu
juga tidak kalah dengan Leng Bwe-hong. Dan oleh karena ia
lebih muda, maka api asmara itu tampak berkobar lebih
hangat, dibanding perasaan Leng Bwe-hong yang tersembunyi
itu, jauh lebih nyata dan membuat orang lain ikut pilu.
Dengan mata kepala sendiri Bwe-hong melihat Hua-ciau
sehari demi sehari menjadi makin kurus karena merana,
teringat oleh janjinya yang pernah ia berikan, ditambah
hubungannya dengan Ie Lan-cu yang tak beda ayah dan anak,
kesemuanya ini mendorong hasratnya untuk lantas pergi
mencarinya. Oleh karena itu, ia lalu mohon diri dari Ang-ih Larnma atau
Larnma jubah merah, dan membawa Thio Hua-ciau ke
Sinkiang. Ang-ih Larnma mengetahui Leng Bwe-hong adalah orang
yang paling dipuja oleh rakyat penggembala, sesudah Njo
Hun-cong wafat, lebih-lebih dengan bangsa Kazak ada
hubungan yang sangat erat, karenanya ia sekalian minta agar
mewakilkannya mengikat tali persahabatan dengan suku
bangsa itu agar bersiap melawan pasukan Boan apabila pada
suatu ketika mereka diserang.
Selama ini Tiong-bing menganggap Bwe-hong bagai
saudara tuanya, boleh dikata selain Boh Wan-lian, adalah
orang yang paling ia kagumi, oleh karena itu Leng Bwe-hong
hendak ke Sinkiang, dengan sangat ia pun minta ikut pergi.
Mengingat perjalanan bu' dapat juga menggembleng dan
menambah pengalaman mereka, maka Bwe-hong lantas
membawa mereka, empat orang lantas melintasi gurun Gobi
yang luas dan menembus padang rumput, setelah bersusahpayah
selama lebih sebulan dalam perjalanan, akhirnya
mereka sampai juga di kaki gunung Thian.
Berdiri di kaki gunung Thian yang megah itu, hanya tampak


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

awan tebal terapung di angkasa, puncak-puncak yang tertutup
oleh salju menjulang tegak ke atas bersinar kelap-kelip bagai
intan permata. Waktu itu sang surya baru muncul, puncak
yang tertutup salju tersorot sinar matahari hingga
menerbitkan corak beraneka warna yang indah, seumpama
pelukis yang paling pandai pun tak mampu melukiskan
pemandangan 'matahari terbit di Thian-san' ini.
"Aku selalu mengira puncak tinggi di Kiam-kok adalah
tempat yang paling curam dan berbahaya di bumi ini, kini
nampak Thian-san, tingginya melampaui awan dan puncak
gunung menjulang di sana-sini, inilah benar-benar tempat
yang paling hebat," kata Tiong-bing berulang-ulang saking
terpesona. "Guruku tinggal di puncak utara Thian-san yang paling
atas, sedang guru Hui-ang-kin tinggal di puncak selatan," tutur
Bwe-hong, "Jarak antara kedua puncak itu kurang lebih tujuh
atau delapan ratus li, aku pikir hendak menghadap guruku
dahulu." Sudah lama Tiong-bing mengagumi nama Hui-bing Siansu,
kini bisa berjumpa, sudah tentu mereka merasa senang sekali.
"Dengan cara perjalanan kita ini, untuk mencapai di atas
Thian-san, sedikitnya akan makan waktu tiga hari," kata Bwehong
tersenyum. "Nona Boh, kau perlu tambah memakai satu
mantel lagi."
Hua-ciau menjadi heran atas pesan Bwe-hong ini. "Waktu
kau membawa Lan-cu naik ke Thian-san, ia baru berumur
dua-tiga tahun, dan kenapa ia bisa tahan dingin?" tanyanya
kemudian. "Di sekitar Thian-san sini ada semacam air hitam yang
dapat dinyalakan api," tutur Bwe-hong tertawa. "Waktu aku
datang ke sini, tatkala itu justru musim panas, dengan mantel
aku membungkus tubuh Lan-cu, tiap malam aku menyalakan
api air hitam itu untuk menghangatkan badannya. Kemudian
kami dflce-temukan guruku, Hui-bing Siansu dan membawa
kami ke atas."
Perlu dijelaskan bahwa air hitam yang dimaksudkan itu
ialah minyak tanah mentah yang belum diolah, karena masa
itu orang belum mengenal minyak, maka mereka
menyebutnya air hitam.
Habis itu, Leng Bwe-hong menceritakan pula sedikit
pengalamannya waktu naik ke Thian-san bersama Ie Lan-cu
dan bagaimana ia mempelajari pedang, semua orang menjadi
sangat tertarik.
Hari pertama setelah mereka mendaki Thian-san masih
belum terasa sesuatu yang luar biasa, tetapi hari kedua
mereka sudah berjalan di antara puncak-puncak dan tebingtebing
yang terjal dan berbahaya, dari atas puncak sering
menggerujuk turun air salju yang telah mencair, makin tinggi
hawa dingin makin menusuk, batu es beku yang mengalir di
sungai juga makin lama makin banyak, Wan-lian sudah
menggigil kedinginan.
Namun Leng Bwe-hong sudah siap sebelumnya, ia memberi
sebutir Pik-ling-tan' buatan Hui-bing Siansu dari 'Thian-sanswatlian' atau teratai salju di Thian-san, setelah itu ia
mengajari gadis ini cara mengatur pernapasan, dengan begitu
baru Wan-lian tak menggigil lagi.
Kondisi Kui Tiong-bing dan Thio Hua-ciau jauh lebih kuat,
maka mereka masih bisa bertahan.
Setelah berjalan setengah hari, tiba-tiba tertampaklah
sebuah puncak gunung tertutup salju menegak di depan
mereka. Puncak ini mirip seperti seekor Onta besar membujur
menghadap ke timur, seluruh tubuhnya seperti berselimutkan
bulu putih. "Bagus sekali!" seru Wan-lian memuji. Belum pernah
dilihatnya gunung bersalju begitu indah.
"Sayang kita buru-buru melanjutkan perjalanan dan harus
mengitari puncak gunung itu begitu saja," kata Bwe-hong. "Di
atas puncak itu pemandangannya jauh lebih indah, di sana
ada suatu telaga, mungkin pula terdapat 'swat-lian'. Menurut
cerita, gunung ini berasal dari pecahan puncak induk Mustak."
"Apa Mustakim, apakah nama gunung"'' tanya Wan-lian
"Boleh dikata nama gunung, tapi asalnya bukan nama
gunung," tutur Bwe-horig. "Mustek adalah bahasa CigoT.
'Mus" berarti es dan "tak' berarti gunung jadi "Mustek" artinya
gunung es. Sebenarnya gunung es di Sinkiang boleh juga
disebut Mustak semua, tetapi karena gunung es yang di depan
kita ini, induk puncaknya sangat tinggi, hanya sedikit lebih
rendah daripada puncak utara tempat guruku, maka 'Mustak'
lalu menjadi sebutan khusus baginya. Lihatlah, puncak Onta
yang menonjol ke samping ini bukankah sangat tinggi?"
Dan baru habis Bwe-hong berkata, mendadak gumpalan
batu es menggelundung dari atas menerbitkan suara
gemuruh, lekas Leng Bwe-hong dan kawan-kawan berkelit
untuk menghindarkan urukan batu es itu. Sejenak kemudian,
keadaan baru aman kembali.
Leng Bwe-hong mengkerut kening karena kejadian tiba-tiba
itu. "Leng-tayhiap, apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Wanlian.
Tapi Bwe-hong tak menjawab, ia hanya menggeleng kepala
saja. Waktu Wan-lian menengadah ke atas puncak, dilihatnya di
sana tumbuh segerombol bunga merah dan segerombol bunga
putih yang menonjol di atas tumpukan salju, warnanya yang
kontras itu sangat cantik dan menarik sekali.
"Ah, bagus amat, ingin sekali aku bisa naik ke atas untuk
memetiknya dua tangkai!" kata Wan-lian.
Waktu itu justru ada angin meniup hingga bau wangi bunga
teruar semerbak, Wan-lian menjadi lebih terpesona oleh
bunga itu. "Apakah kau suka pada bunga merah-putih itu?" tanya
Tiong-bing tiba "Aku nanti petikkan!"
"Lan-cu paling senang bunga, sayang ia tidak di sini, kalau
ada, pasti aku pun mengawani kau naik ke atas!" Hua-ciau
ikut berkata. "Kamu berdua ini sungguh seperti anak kecil, perjalanan
kita sudah tergesa-gesa, tapi kalian masih berkata hendak
memelik bunga segala," kata Wan-lian mengomel.
"Kata laki-laki selamanya harus dibuktikan," ujar Bwe-hong
tertawa.. "Kalau kalian hendak memetik bunga, pergilah naik
ke sana, aku dan nona Wan-lian menunggu kalian di sini."
"Leng-tayhiap, kau tidak bergurau?" tanya Tiong-bing
karena tertarik oleh bunga tadi.
"Kapan pernah aku guyon denganmu?" sahut Bwe-hong.
Keruan Tiong-bing menjadi girang, segera Hua-ciau
ditariknya terus berlari memanjat ke atas puncak gunung itu.
"Leng-tayhiap, mengapa kau pun berubah seperti kanakkanak?"
tanya Wan-lian heran.
Akan tetapi Bwe-hong hanya tersenyum, ia tidak
menjawab, kedua matanya ditujukan ke atas puncak gunung,
dari sorot matanya tertampak mengandung maksud yang
dalam. Tak lama kemudian, mendadak di atas puncak Onta sana
berkumandang suara siulan aneh beberapa kali yang
menggema di angkasa dan menggetarkan orang, menyusul
terdengar suara bentakan Kui Tiong-bing, kemudian gumpalan
batu es kembali menggelundung turun pula.
"Di atas sana terdapat orang?" kata Wan-lian terkejut.
"Ya, lekas naik melihat ke sana!" ajak Bwe-hong cepat
Habis ini segera ia menarik Boh Wan-lian dan melesat naik
ke puncak Onta yang menonjol di samping tak seberapa jauh
dari mereka itu, maka tak lama kemudian mereka sudah tiba
di atas. Tadi waktu Tiong-bing dan Hua-ciau naik ke atas hendak
memetik bunga, dalam hati kedua pemuda ini berlainan
pikiran. Tiong-bing seperti anak kecil, dari jauh begitu nampak
bunga merah-putih itu ia sudah berjingkrak tertawa, ia pikir
kalau bunga ini kupetik lalu kuberikan pada Wan-lian, entah
betapa ia akan merasa senang.
Sebaliknya Hua-ciau berbeda dengan Tiong-bing, ia
bungkam saja, di tepi telinganya menggema kata-kata Ie Lancu
yang pernah diucapkan padanya, "Sesudah aku meninggal
maukah kau memetik setangkai bunga Lan dan ditancapkan di
depan ku-buranku?"
Kini Lan-cu sudah lolos dari e i maut. tapi mendadak telah
datang searang Hui-ang-kim yang telah merebutnya pergi, kali
ini kalau tak bisa mendapatkannya kembali, pasti ia sendirilah
yang bakal mati metana.
Setelah kecua orang sampai di atas, tiba-tiba pandangan
mereka terbeliak, di atas gunung itu ternyata ada sebuah
mata anyang memancurkan air yang jernih dan batu-batu es
yang berkelap-kelip bercampurkan rontokan daun bunga.
"Sungguh indah sekali!" kata Tiong-bing tertawa sambil
bertepuk tangan. "Apakah surga dalam dongeng itu memang
sungguh ada?"
Dua gerombol 'bunga dewa' itu mekar di tepi mata air itu,
segera Thio Hua-ciau maju hendak memetiknya, tapi tiba-tiba
dilihatnya di antara semak bunga itu tumbuh setangkai bunga
merah yang lain sebesar mangkuk, ia menggunakan
pedangnya mencukil duri-duri yang tumbuh di antara semak
bunga itu dengan maksud hendak memetik bunga merah
raksasa itu namun mendadak ia menjadi kaget.
Tiong-bing, lekas kemari!" teriaknya tiba-tiba.
Dan waktu Tiong-bing menyusul datang, tak tahan lagi ia
pun terkejut hingga terpekik.
Ternyata di belakang semak bunga itu, di suatu tebing batu
terdapat satu goa yang sempit, dalam goa itu ada seorang
aneh yang sedang duduk bersila, air mukanya kurus kering tak
ada warna darah, sama seperti kerangka tengkorak saja.
Hua-ciau coba menenangkan diri, lalu ia memberi hormat
menghadap ke dalam goa, sambil berkata, "Wanpwe secara
sembrono telah terobosan ke sini hingga mengejutkan
Locianpwe, harap suka memaafkan!"
Manusia aneh mirip tengkorak itu masih tetap duduk bersila
dengan mata meram tanpa berkata-kata.
Tiong-bing menjadi jeri, tapi agak mendongkol juga melihat
sikap orang. "Mari kita pergi saja!" ajaknya kemudian pada
Hua-ciau. Sekonyong-konyong manusia aneh itu membuka kedua
matanya hingga sinar tajam menyorot pada mereka, Hua-ciau
urung melangkah pergi.
"Bila kamu dua orang bocah ini sudah mengaku salah,
boteh kubiarkan kalian pergi, tetapi kalian harus meninggalkan
sedikit 'barang'," terdengar manusia aneh itu berkata.
"Apa maksudmu?" tanya Tiong-bing gusar.
"Tinggalkan pedangmu," kata manusia aneh itu. Habis itu,
tiba-tiba ia bersiul aneh, tanpa kelihatan cara bagaimana ia
bergerak tahu-tahu orangnya sudah melayang maju, dan
sekali tangannya mencengkeram, kelima jarinya yang
bagaikan cakar elang segera hendak meremas kepala Tiongbing.
Terkejut sekali Kui Tiong-bing, lekas ia berkelit ke samping
sembari pedangnya menangkis ke atas.
Namun gerak orang itu memang aneh sekali, di goa
sesempit itu ia masih sanggup bergerak sesukanya. Ketika
pedang Tiong-bing baru diangkat, pemuda ini sudah merasa
pergelangan tangannya sakit pedas hingga hampir senjatanya
terlepas dari pegangan.
Saking terkejutnya Tiong-bing menggeram keras dan
berbareng telapak tangan lain pun memukul. Tapi manusia
aneh itu sebat luar biasa, sedikit melesat tiba-tiba orangnya
menyelinap lewat di samping Kui Tiong-bing, menyusul segera
terdengar suara teriakan Thio Hua-ciau, kemudian tubuh
pemuda ini tahu-tahu terjerumus ke dalam semak bunga.
Ternyata tadi waktu Tiong-bing akan dicengkeram manusia
aneh itu, kuatir sang kawan dicelakai orang, cepat Hua-ciau
maju membantu terus menusuk dari samping dengan tipu
'Sin-liong-jip-hay' atau naga sakti masuk lautan. Dan karena
rintangan ini, manusia aneh yang sebenarnya hampir dapat
merebut pedang pusaka Kui Tiong-bing menjadi gagal dan
terpaksa mengelakkan diri terus melesat ke belakang Hua-ciau
hingga pemuda ini didorong masuk ke dalam semak,
kemudian manusia aneh itu kembali hendak merampas
pedang pusaka lagi.
Tetapi sementara itu Tiong-bing, sudah melompat keluar
melewati semak bunga tadi. Sudah tentu manusia aneh ini tak
mau berhenti begitu saja, segera ia memburu juga.
Namun sekali ini Tiong-bing sudah berpengalaman, ia
memutar pedangnya dengan Ngo-kim-kiam-hoat yang lihai, ia
menjaga dirinya rapat-rapat hingga meski orang itu
menerobos ke sana kemari tetap tak mampu menembus garis
sinar pedang Tiong-bing. Sebaliknya Tiong-bing merasakan juga angin
pukulan lawan yang menyambar kuat dan makin Lama makin
aneh, beberapa kali ia harus menghadapi bahaya, sungguh
ilmu pukulan orang yang aneh itu tak diketahuinya dari aliran
mana*" Dalam pada itu, Thio Hua-ciau yang didorong jatuh ke
dalam semak bunga tadi, tiba-tiba ia mencium wangi yang
segar menawan kalbu hingga semangatnya seketikapun
menjadi nyaman, waktu ia memandang, ternyata bunga
merah raksasa tadi kebetulan berada di ujung hidungnya,
pantas ia mencium bau wangi yang begitu sedap. Lekas saja
ia memetik bunga itu terus dimasukkan ke dalam bajunya
Waktu ia melompat keluar dari semak bunga itu, ia Lihat sinar
pedang gemilapan diseling angin pukulan yang menyambar
santar, nyata Kui Tiong-bing sedang menempur manusia aneh
itu dengan serunya
Sampai suatu saat, mendadak orang aneh itu main tendang
dengan kedua kakinya bergantian dan cepat sekali beruntun.
Karena itu Tiong-bing terdesak harus mundur terus.
"Hai, darimana kaupelajari ' Wan-yang-lian-hoan-tui * ini?"
bentak Tiong-bing segera dengan heran.
Tapi orang itu tidak lantas menjawab, sebaliknya ia hendak
mencengkeram lagi, terpaksa Tiong-bing mengegos pergi.
"Kau bocah ini pernah apa dengan Ciok Thian-sing, ha?"
tanya orang itu tiba-tiba sambil tertawa ngikik aneh.
"Apakah Cianpwe bukan sesama perguruan dengan
ayahku?" sahut Tiong-bing cepat sambil pedang tetap siap
terhunus. "Eh, kiranya kau anak Thian-sing," kata orang itu berhenti
merangsek. "Ya, tidak keliru dugaanmu, memang ayahmu


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah Suheugku."
Karena itu lekas Tiong-bing memberi hormat. "Kalau
begitu, kau tentunya Susiok?" ujarnya kemudian. "Dan mohon
tanya nama Susiok yang mulia"
Siapa tahu mendadak orang itu malah memukul cepat
"Haha, jika kau mengaku Susiok padaku, maka pedangmu itu
lekas serahkan dulu biar Susiokrnu memakainya," katanya
dengan tertawa.
Tentu saja mendongkol sekali Tiong-bing melihat orang
yang tak kenal aturan ini. Lekas ia melompat mundur
menghindarkan serangan orang dan menjawab, "Meski
tingkatanmu lebih tua, tapi kalau mau main rebut itulah
jangan kauharap!" Habis itu, segera ia pun memutar
pedangnya lagi melayani setiap serangan orang dengan
sengit. Seperti diketahui, ayah Tiong-bing, Ciok Thian-sing, 20
tahun yang lalu pernah pergi ke Thian-san hendak berguru
pada Hui-bing Siansu, namun Hui-bing tak mau menerimanya
meski Thian-sing sampai tiga kali naik Thian-san mencarinya.
Akhirnya melihat kesujudan Thian-sing, Hui-bing telah
memeranta-rakan seorang sahabatnya, yakni Toh it-hang
sebagai guru Thian-sing. It-hang adalah tokoh terkemuka dari
Bu-tong-pay, maka Thian-sing dapat mempelajari dua macam
ilmu silat lihai darinya, yaitu 'Kiu-ldong-sin-hing-kun' dan
'Wan-yang-lian-hoan-tui', ilmu pukulan sakti dan tendangan
secara berantai.
Meski Tiong-bing sendiri tak bisa ilmu silat ayahnya itu, tapi
cara memainkan ilmu silat itu cukup dikenalnya, Maka ketika
dilihatnya lagi ilmu pukulan 'Kiu-kiong-sm-hing-kun' berlainan
dengan ilmu pukulan manusia aneh ini, ia menjadi ragu juga
apa betul orang ini adalah Susioknya"
Di samping lain, demi nampak orang aneh ini begini kasar
tak kenal aturan, diam-diam Hua-ciau ikut gusar, ia lihat
Tiong-bing sedang terdesak, maka tanpa pikir lagi ia pun
menubruk maju, pedangnya menusuk cepat bersama Tiongbing
mereka mengeroyok manusia aneh itu.
Tak terduga orang aneh itu bisa berputar cepat sekali,
kedua tangannya tiba-tiba diulur hendak mencekal senjata
Hua-ciau yang menyerang itu. Lekas Hua-ciau memuntir
pedangnya terus ditarik kembali dengan cepat untuk menjaga
diri. Manusia aneh itu heran juga melihat Hua-ciau bisa
mengelakkan tangkapannya. Karena itu tak berani lagi ia
gegabah, ia berputar pergi lagi menghindarkan serangan
Tiong-bing yang sementara itu telah datang lagi.
Hua-ciau adalah anak murid Bu-kek-pay, dengan sendirinya
ilmu pedang Bu-kek-kiam-hoat juga tidak lemah, cuma tadi
karena tak menduga akan diserang orang, maka ia kena
didorong jatuh oleh orang aneh itu. Kini setelah berlaku
waspada, walaupun pedangnya belum bisa mengenai
sasarannya, namun besar bantuannya, bagi Kui Tiong-bing,
dengan demikian manusia aneh itupun tak berdaya
menghadapi keroyokan kedua pemuda ini.
Namun ilmu pukulan manusia aneh ini luar biasa hebatnya,
ia masih terus melontarkan pukulan bertubi-tubi yang
berbahaya hingga lama-lama Tiong-bing dan Hua-ciau mulai
kewalahan dan tak sanggup balas menyerang lagi, bila terus
berlarut-larut akhirnya pasti mereka kecundang.
Ketika mereka sudah merasa payah, tiba-tiba manusia aneh
itu bersiul panjang berulang-ulang, pukulannya pun semakin
lihai dan gencar. "Keponakanku yang baik, Susiokmu tak tega
mencelakaimu, maka lebih baik kauserahkan pedangmu saja!"
demikian ia berseru.
Tetapi mana Tiong-bing mau menurut, ia justru tambah
gusar oleh kata-kata orang yang tak kenal aturan itu, tiba-tiba
ia melontarkan serangan dengan tipu 'Eng-kik-tiang-kong' atau
elang terbang menyerang di udara. Siapa tahu tusukan ini
justru terjebak oleh keinginan manusia aneh itu. Karena
Tiong-bing tak sabar dan menyerang maka kesempatan ini
digunakan orang aneh itu untuk menubruk maju malah,
disertai menggertak segera orang itu hendak mencengkeram
lambung Tiong-bing.
Serangan lihai ini kalau kena tempatnya, maka pasti tulang
iga Tiong-bing akan patah. Baiknya Tiong-bing cukup sigap
dan gesit, cepat ia melompat mundur menghindarkan tangan
orang. Tak nyana orang aneh itupun amat cepat dan gesitnya,
sekali serangannya tak kena, menyusul orangnya lantas
melayang maju memburu, dan selagi Tiong-bing mengayun
pedang hendak memapaki musuh, tiba-tiba ia merasa
pundaknya dipegang orang dari belakang, cepat juga ia
menyikut ke belakang, namun luput, sebaliknya tahu-tahu
tubuhnya ditarik orang ke samping.
Sementara itu manusia aneh tadi ternyata tak jadi
melontarkan serangannya melainkan berhenti terheran-heran.
"Eh, jadi kau masih banyak pembantu?" demikian teriaknya.
Dan sesaat kemudian barulah Tiong-bing bisa melihat jelas
bahwa orang yang menariknya dari belakang ternyata adalah
Leng Bwe-hong adanya Waktu ia menoleh, dilihatnya Boh
Wan-lian juga sudah berdiri di sebelahnya.
"Apakah yang sudah terjadi?" tanya Bwe-hong segera.
"Orang ini mengaku sebagai Susiokku, tapi pedangku ini
juga hendak direbutnya," tutur Tiong-bing.
"Halia, aneh," tertawa Bwe-hong. "Orang tua tidak
memberi hadiah perkenalan, sebaliknya malah minta barang
dari yang muda?" kata Bwe-hong tertawa sambil menuding
manusia aneh itu.
"Siapa kau" Berani kau membela dia?" sahut orang itu
menjengek. Habis ini, tanpa berkata lagi kembali ia
menyerang dan mencengkeram pula dengan lihainya
Namun semua serangan dapat dihindarkan Bwe-hong
dengan gampang. "Ha, di atas Thian-san ini mana boleh
terdapat manusia liar seperti kau ini?" serunya. Berbareng ia
pun balas menghantam.
Tapi orang aneh itu sedikit menunduk dan tiba-tiba
menyelinap lewat di bawah telapak tangan Bwe-hong,
malahan tiga jarinya diulur terus hendak memegang urat nadi
pergelangan tangannya
Melihat serangan aneh lawan ini, Bwe-hong tidak menjadi
gugup, cepat ia menekan ke bawah untuk kemudian terus
mengangkat ke atas lagi, mengelakkan sambil memukul pula
Sekonyong-konyong tubuh orang aneh itu menggeser,
kedua orang sama-sama terpisah cepat lalu saling menubruk
maju lagi, tapi hanya sekejap itu saja Leng Bwe-hong sudah
menarik tangan ganti serangan, dengan gerak tipu 'Pay-sanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
un-cio" atau mengayun tangan menggeser gunung, tubuh
lawan dihantamnya kuat-kuat.
"Hebat!" seru orang aneh itu, ia mengenal betapa hebat
pukulan itu, maka ia tak berani memaksakan diri
menangkisnya. Tiba-tiba ia mementang tangan, dengan gerakan 'Hong-gociongsiau' atau burung kuning terbang ke langit, mendadak
orang aneh itu mencelat ke atas setombak lebih tingginya
terus turun kembali ke sudut barat.
Nampak gerakan tubuh secepat dan begitu bagus, diamdiam
Leng Bwe-hong merasa heran sekali.
Meski baru dua-tiga gebrakan kedua orang itu bertempur,
namun kedua belah pihak sudah sama tahu menemukan
lawan berilmu tinggi. Tiong-bing s*mLeng Bwe-hong yang bisa berlaku tenang dan mematahkan
setiap serangan lawan.
Bwe-hong sendiri nun heran oleh ilmu pukulan dan gerak
tubuh orang yang beLum pernah dilihatnya ini, dari aliran
manakah manusia aneh ini" Terutama kalau diingat bahwa di
atas Thian-san ini di puncak utara ada gurunya, Hui-bing
Siansu, sedang di puncak selatan ada Pek-hoat Mo-li, kedua
orang tua ini ilmu silatnya tiada bandingan lagi di jagad ini,
jika manusia aneh ini tiada sesuatu hubungan dengan mereka,
mana berani ia berdiam di atas puncak Onta di lereng Thiansan
ini" Dan kalau dia mengaku Susiok Tiong-bing, maka
tentunya ia anak murid Cwan-tiong Tayhiap Yap Hun-sun.
Tetapi pendekar she Yap ini selamanya tiada hubungan
dengan guruku. Lalu apa dia anak murid Pek-hoat Mo-li.
Karena pikiran itu, maka Bwe-hong malah berani sembarangan
melontarkan serangan. "Kau pernah apa dengan Pekhoat
Mo-li?" bentaknya bertanya.
. "Pek-hoat Mo-li apa segala" Lihat pukulan ini!" balas
bentak orang itu gusar.
Habis itu, tiba-tiba gerak tubuhnya sempoyongan dan kakitangan
bergerak serabutan seperti orang mabuk terus
menghantam serampangan. Tampaknya seperti serampangan
tak teratur, padahal setiap gerak tipunya membawa
perubahan lain yang aneh dan sangat ruwet.
Lekas Bwe-hong mengumpulkan semangat dan menyambut
serangan orang, maka sekejap saja mereka sudah saling
labrak belasan jurus lagi.
Tiba-tiba tergerak pikiran Bwe-hong, ia menjadi jelas
duduknya perkara. "Haha, kau tak punya malu, kau mencuri
kitab Han Ci-pang dan kini berani unjuk diri di sini! Hayo, biar
aku tangkap kau si pencuri kitab ini!" demikian bentaknya
mendadak. Kiranya Bwe-hong menjadi teringat pada ceritanya Han Cipang
tenpo hari tentang bilangnya kitab pusaka yang
didapatnya di goa Hunkang itu.
Kiranya sesudah Ci-pang sampai di Tibet, pada suatu hari ia
bersama beberapa Larnma pesiar ke Shigece dan bermalam di
kuil Capulun yang tersohor di Tibet itu. Pada tengah malam
waktu Ci-pang berlatih ilmu pukulan yang dipelajarinya dari
goa Hunkang itu, setelah selesai dimainkan, tiba-tiba
didengarnya ada orang tertawa di samping.
"Ilmu pukulanmu ini sangat bagus, cuma, sayang belum
lengkap dipelajari," demikian didengarnya pula orang itu
berkata. Dengan terkejut Ci-pang menoleh, dilihatnya seorang tua
kurus kecil entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya.
Seperti diketahui waktu mempelajari ilmu pukulan menurut
ukiran di goa Hunkang itu, karena banyak ukiran yang sudah
rusak dan rontok, di antara 108 macam hanya dipelajarinya 36
macam, malah yang 6 gaya semadi untuk memupuk dasar tak
dipahaminya, maka selama ini ia selalu merasa sayang dan
ingin bisa mempelajarinya lebih lengkap. Kini mendadak
mendengar kata-kata orang tua ini, keruan saja ia kegirangan,
tanpa pikir dan tanya lagi asal usul orang, segera ia berkata,
"Jika begitu, tentunya Cianpwe sangat paham tentang ilmu
pukulan ini, kalau tidak menolak, Tecu (anak) bersedia
menjadi murid."
"Buat apa kauminta pelajaran dariku?" sahut orang tua itu
tertawa. "Bukankah dalam bajumu masih ada sejilid kitab
aneh" Dan sisa pelajaran ilmu pukulan dan ilmu pedang yang
belum kaupelajari kesemuanya tertulis sangat jelas di situ,
apakah kau buta huruf?"
Ci-pang semakin heran oleh kata-kata orang. "Darimana
kau tahu aku mempunyai kitab ini?" tanyanya pula.
"Tidak saja aku tahu kau mempunyai kitab itu, bahkan aku
tahu kitab itu adalah peninggalan Bu-cu Siansu dari dinasti
Tong, betul tidak?" kata orang tua itu.
Ci-pang masih ingat beberapa catatan dengan huruf-huruf
Han di lembaran terakhir kitab itu, maka ia mengangguk
membenarkan. "Terus terang saja kukatakan padamu," demikian orang tua
itu menyambung, "Akulah ahli-waris ke-42 aliran Bu-cu Siansu
itu." Lekas Ci-pang menyembah orang. "Teeu belum lengkap
mempelajari kepandaian, maka mohon dengan sangat
Cianpwe suka memberi petunjuk!" pintanya pula
"Aku tiada tempo begitu banyak, tapi aku boleh
mengajarkan kau berlatih menurut cara-cara yang tertulis di
dalam kitab itu," sahut orang tua itu.
"Namun huruf-huruf dalam kitab itu aneh luar biasa, Tecu
sama sekali tak paham, cara bagaimana melatihnya?" ujar Cipang.
"Coba kau keluarkan kitabmu, biar kuajarkan kau saja!"
kata si orang tua
Ci-pang adalah seorang jujur tulus, mana diduganya orang
hendak menipunya, maka kitab itupun dikeluarkannya. Siapa
tahu setelah orang tua itu membalik beberapa halaman kitab
itu, tiba-tiba kedua matanya berkilat. "Ha, betul memang,
betul ini!" demikian serunya girang. Habis ini tiba-tiba ia
tertawa dingin sekali, ketika tangannya mengulur, tahu-tahu
iga Ci-pang telah ditotok di tempat 'Moa-hian-hiat' yang
membikin kaku tak berkutik, lalu orang tua itupun bersiul
panjang dan kabur pergi menggondol kitab itu.
Belakangan Ci-pang ditolong Lamma yang melepaskan
totokannya, waktu ia bertanya tentang diri orang tua tadi,
namun tiada yang kenal, hanya diketahui bahwa orang tua itu
adalah seorang pengunjung biasa yang datang kemarinnya
Dan orang tua itu bukan lain adalah manusia aneh yang
kini saling labrak dengan Leng Bwe-hong ini, ia bilang dirinya
adalah ahli-waris ke-42 dari Bu-cu Siansu sebenarnya tidaklah
salah. Kiranya ia bernama Sin Liong-cu dan adalah anak murid
Toh It-hang, itu tokoh Bu-tong-pay kawan baik Hui-bing
Siansu. Sin Liong-cu lebih dulu berguru pada Toh It-hang daripada
ayah Tiong-bing, Ciok Thian-sing. Tapi Thian-sing saat
berguru sudah mempunyai dasar ilmu silat, pula usianya lebih
tua, maka It-hang mengharuskan Sin Liong-cu menyebut Suheng
atau kakak seperguruan pada Thian-sing.
Bu-tong-pay adalah pecahan dari Siau-lim-pay. Cikal-bakal
Siau-lim-pay adalah padri berilmu Tamo (atau Tat Mo)
Siansu asal India di zaman dinasti Lam-pak-tiau. Kitab yang
ditemukan Ci-pang tanpa sengaja itu bukan lain adalah kitab
asli 'Tat-mo-kun-keng' atau kitab ilmu pukulan ajaran Tat-mo
Siansu yang terkenal di dunia persilatan yang seluruhnya
meliputi 108 jurus. Kitab ini pada akhir ahala (dinasti) Goan
tiba-tiba menghilang hingga anak murid Bu-tong dan Siau-lim
kelabakan mencarinya kemana-mana tak bisa menemukannya,
maka turun temurun kedua aliran persilatan itu lantas
meninggalkan pesan agar anak murid angkatan berikutnya


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ikut mencarinya. Berbareng itu meski kitab pelajaran 108 jurus
ilmu pukulan hilang, namun tokoh-tokoh Siau-lim dan Bu-tong
dari cabang utara dan selatan karena dapat pelajaran dari
angkatan tua, maka lapat-lapat beberapa jurus di antaranya
masih bisa diingat.
Diurut mulai dari Tat-mo Siansu, Toh It-hang terhitung ahliwaris
turunan ke-41. Waktu Thian-sing berguru padanya
karena buru-buru hendak menuntut balas, maka hanya dua
macam kepandaian yang dipelajari, yakni 'Kiu-kiong-sin-hingkun'
dan 'Wan-yang-lian-goan-tui', lalu ia pulang ke Sucwan.
Karena itu meski Sin Liong-cu adalah murid kedua, tapi ia
malah ahli-waris langsung dari Toh It-hang, maka ia pun tahu
akan asal-usul kitab pusaka itu.
Tahun itu baru saja Sin Liong-cu datang di Tibet dari
Sinkiang, ia menyamar sebagai pengunjung yang hendak
sembahyang ke kelenteng Capulun. Memang ia mendengar
bahwa Lamma besar dari kuil itu mahir Thian-liong-cio-hoat
dari Tibet, yang gerak permainannya sangat aneh, maka ia
bermaksud mengintipnya ingin tahu apa ada hubungan
dengan Tat-mo-cio-hoat perguruan sendiri atau tidak. Tak
terduga di tengah malam ia memergoki Ci-pang lagi berlatih
ilmu pukulan dan dua-tiga jurus di antaranya dapat dikenali
persis Tat-mo-cio-hoat yang ditinggalkan gurunya, Toh ithang.
Ia masih ingat cerita gurunya sebelum wafat bahwa 108
jurus ilmu pukulan Tat-mo yang masih diketahui oleh Bu-tongpay
cabang utara hanya lima jurus saja meski beberapa jurus
ini satu sama lain tak bisa digunakan secara sambungmenyambung,
tapi ia diharuskan juga giat melatihnya
Sebab itulah, begitu dilihatnya ilmu pukulan yang sedang
dilatih Han Ci-pang, segera ia menerka itu adalah' ajaran asli
Tat-mo-cio-hoat yang hilang selama ini, maka dengan tipu
akalnya secepat kilat kitab itu dapat diapiisinya dari Ci-pang.
Kembali tadi, karena sekaligus kena dibongkar rahasia asalusul
Tat-mo-cio-hoat oleh Leng Bwe-hong, seketika Sin Siongcu
tercengang juga. Tapi segera ia pun marah dan berkata,
"Kau bocah ini tahu apa" Kitab itu memang milik kami yang
hilang, mana boleh dimiliki oleh orang luar?"
Habis berkata, susul-menyusul beberapa serangan aneh
lantas dilontarkannya, ia menggablok, menghantam,
memotong dan menotok, tempo-tempo kepalan, kadang pakai
telapak, tiba-tiba membelah, tahu-tahu berubah menjojoh,
cara memukul dan menotok yang gayanya berlainan
bercampur-aduk tak keruan, tampaknya tak keruan, tapi justru
susah dilawan. Baiknya Lwekang Bwe-hong sudah sangat mendalam, ia
tutup seluruh Hiat-to atau jalan darah seluruh tubuhnya dan
menggunakan 'Si-mi-cio-hoat' yang ulet dari Thian-san untuk
menjaga diri diselingi balas menyerang, maka kembali 20-30
jurus dapat ditahannya, cuma sedikitpun masih belum
menguntungkannya.
Karena itu diam-diam Bwe-hong heran, ilmu pukulan dan
ilmu pedang Thian-san adalah ciptaan gurunya yang
menghimpun berbagai sari aliran silat yang lain, sekalipun ilmu
pukulan orang ini sangat aneh, tapi sedikitnya dapat juga
dilihat dimana letak perubahannya yang susah dipatahkan itu.
Setelah berpikir lagi, tiba-tiba ia menabah cara bersilatnya,
permainan cio-hoatnya menjadi lambat, ia hanya
mengutamakan menjaga diri dan tidak balas menyerang.
Sin Liong-cu menjadi girang malah, ia sempoyongan seperti
orang mabuk dan bagai keranjingan terus menyerang serabutan.
Namun meski ilmu pukulan Bwe-hong lambat, tapi
setiap gerak tipunya selalu penuh tenaga, dimana telapak
tangannya menyambar segera seperti senjata tajam mengiris.
Beberapa kali Sin Liong-cu terbentur olehnya, dan selalu
kedua pihak sama tergoncang pergi oleh tenaga pukulan
masing-masing, walau tidak sampai terluka, namun keduanya
sama-sama terkejut dan heran juga.
Sin Liong-cu memiliki latihan lebih 30 tahun, keuletannya
ternyata seimbang dengan Leng Bwe-hong. Tapi pertarungan
di antara dua jago yang berkepandaian sembabat, tenaga
yang dikeluarkan pihak penyerang lebih besar dari pihak
penjaga Kini Leng Bwe-hong hanya menjaga diri tanpa
menyerang, dalam hal tenaga tanpa terasa sudah
menguntungkannya.
Karena lama masih belum bisa mengalahkan lawan,
akhirnya Sin Liong-cu menjadi nekad, 108 jurus Tat-mo-ciohoat
segera dimainkan seluruhnya tipu serangannya susulTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
menyusul tak terputus bagai gelombang ombak yang gulunggemulung.
Namun sama sekali Leng Bwe-hong tidak menjadi gugup, ia
tetap melayani orang dengan tenang. Setelah saling labrak
lebih 50 jurus, akhirnya Bwe-hong kena tertotok juga dua kali
oleh Sin Liong-cu, untung sebelumnya semua urat nadi
tubuhnya yang penting sudah ditutup rapat hingga tak sampai
terluka. Tetapi bagi Kui Tiong-bing yang menyaksikan di samping
menjadi sangat kuatir, cepat sekali Theng-kau-pokiam sudah
bergerak dan orangnya lantas hendak merangsek maju kalau
tidak keburu dibentak Leng Bwe-hong.
"Tiong-bing, tak perlu kau maju, ia bukan tandinganku!"
demikian teriak Bwe-hong. Berbareng itu permainan
pukulannya semakin lambat lagi, namun penjagaannya justru
bertambah rapat.
Berulang-ulang Sin Liong-cu tertawa dingin mendengar Bwe
hong bilang ia bukan tandingannya. Di antara cio-hoatnya
yang aneh itu segera ia selingi dengan gaya serangan senjata
tajam sebangsa pedang dan golok, namun 108 jurus Tat-mociohoat sudah hampir selesai dimainkan toh masih belum bisa
merobohkan Leng Bwe-hong. Cuma dilihatnya gerak-gerik
lawannya ini makin menjadi lambat dan berat, diam-diam Sin
Liong-cu bergirang, pikirnya, "Sekali aku tak bisa
merobohkanmu, bila aku ulangi sekali lagi, masakah kau
sanggup bertahan?"
Dan karena itulah ilmu pukulannya semakin keranjingan
dan tanpa terasa 108 jurus sudah selesai dimainkan. Selagi ia
hendak mengulanginya lagi dari mula, tak terduga Leng Bwehong
tak mau memberi hati lagi padanya.
"Nih, sekarang lihatlah punyaku!" demikian seru Bwehong.
Berbareng itu secepat kilat kedua telapak tangannya bergerak
ke sana kemari segesit kera dan setangkas singa, ia balas
rnerangsek secara bengis, dirnana tangan atau kakinya
sampai senantiasa membawa sambaran angin keras.
Karena serangan balasan inilah Sin Liong-cu yang hendak
mengulangi ilmu pukulannya itu terpaksa urung dan main
mundur terus, ia terkejut bercampur heran. Tapi segera ia pun
mengeluarkan gerak tubuhnya yang aneh pada waktu Leng
Bwe-hong melontarkan serangan balasan, ia rnerangsek
kembali tempat luangnya.
Teorinya ini adalah apa yang disebut dalam ilmu silat
'Musuh tak bergerak, kita diam, musuh bergerak, kita
mendahului menyerang', yang diutamakan teori ini ialah
rahasia mengatasi musuh lebih dulu, sebab begitu musuh
bergerak, tentu ia menyerang ke suatu tempat kita dan
seluruh perhatiannya tentu dicurahkan ke situ. Dalam keadaan
demikian bila gerak tangan kita bisa lebih cepat dari lawan,
sambil menghindarkan tempat yang hendak diserang, segera
kita dapat memasuki tempat luang musuh yang lemah yang
susah dijaga. Dan intisari seluruh 108 jurus Tat-mo-cio-hoat itu justru
mengajarkan orang cara bagaimana menggunakan gerak
serangan yang aneh dan ruwet untuk menggempur
kelemahan musuh yang menjadi bingung tak tahu cara
bagaimana harus menangkis.
Makanya seperti Han Ci-pang yang tidak tinggi
kepandaiannya juga mampu mencabut secomot jenggot Ce
Cin-kun yang sial itu.
Sebab itu juga ketika Sin Liong-cu melihat Leng Bwe-hong
berebut menyerang lebih dulu, meski terkejut, namun segera
ia pun bisa menenangkan diri dan berpikir, "Kebetulan, karena
kau menyerang, dengan sendirinya tempatmu yang luang tak
terjaga lantas kelihatan, mana bisa lagi kau menahan ilmu
pukulanku yang aneh?"
Sama sekali di luar dugaannya, tidak saja Leng Bwe-hong
bisa menahan setiap tipu serangannya yang aneh, bahkan
setiap kali Sin Liong-cu melontarkan pukulannya, selalu
merasa dirinya terkekang dan tidak sebebas seperti tadinya.
Sebaliknya ketika gerak tubuh Leng Bwe-hong dipercepat
maju dan mundur, tiba-tiba menyerang dan mendadak
menjaga sesuka hatinya, kalau berdiam bagai gunung
antengnya, kalau bergerak seperti arus air kerasnya. Sin
Liong-cu hendak mencari tempat luangnya yang lemah, siapa
tahu belum sampai telapak tangannya, tahu-tahu orang sudah
memapaknya malah, seperti sudah apal akal tipu serangannya
yang aneh itu hingga dapat mengetahui sebelumnya kemana
orang hendak memukul.
Sebab apakah mendadak Leng Bwe-hong dari lemah bisa
berubah menjadi kuat dan mengubah kedudukannya yang tercecar
tadi" Kiranya tadi ia terus menjaga diri dengan rapat,
tujuannya justru buat mempelajari seluruh tipu serangan Sin
Liong-cu yang aneh itu, dan sesudah diselami dengan teliti,
segera dapat diketahuinya dasar ilmu pukulan Sin Liong-cu itu
adalah aliran Bu-tong-pay, lalu dapat dipahami pula tipu aneh
itu meski sangat lihai, tapi kelihatan masih belum terlatih
masak, pada tempat tertentu perubahannya masih sangat
kaku. Maka Bwe-hong menduga sesudah kitab Ci-pang dapat
dicurinya, selama lebih setahun ini ilmu pukulannya baru saja
dipelajarinya, tapi gerak-geriknya masih belum masak betul
hingga setiap kali hendak melontarkan serangan selalu
mengunjuk tanda tertentu kemana orang hendak menuju.
Memang Leng Bwe-hong adalah ahlinya, maka setelah dapat
meraba permainan silat orang segera ia bisa mengatasi musuh
dan malah mendahuluinya.
Padahal masih ada sesuatu kelemahan Sin Liong-cu yang
tak diketahui Leng Bwe-hong.
Kiranya 108 jurus Tat-mo-cio-hoat itu cara melatih
dasarnya ialah enam gambar bersemadi yang pernah dilihat
Han Ci-pang di goa batu Hunkang itu. Enam gambar ukiran
paling depan yang sedang bersemadi tatkala itu tak dipelajari
Han Ci-pang, sebaliknya kini Sin Liong-cu tak berdaya
mempelajari. Sebab dalam kitab pelajaran hanya diterangkan
teorinya dan tiada contoh gambarnya. Justru ilmu memupuk
dasar itu adalah semacam kepandaian yang paling halus dan
memerlukan ketelitian, susah untuk bisa dipahami begitu saja.
Sebab inilah meski 108 jurus Tat-mo-cio-hoat berhasil
dilatihnya, tapi masih kurang sedikit kesabarannya, kalau
menemukan tokoh silat yang sangat tinggi seperti Leag Bwehong,
segera kelemahan itu lantas ko-nangan.
Dan setelak kedua orang itu saling gebrak ratusan jurus
lagi dengan serunya, bagi yang menonton di samping mata
seakan-akan kabur, kedua orang itu tampaknya rapat lalu
berpisah pula dengan cepat, di waktu cepat keduanya bagai
dua sosok bayangan putih, bila lambat kelihatan serupa saja
dua saudara seperguruan yang sedang berlatih, sampai Kui
Tiong-bing yang ilmu kepandaiannya sudah begitu tinggi tak
tahu juga bahwa sesungguhnya Leng Bwe-hong sudah sedikit
unggul. Mendadak terdengar Bwe-hong menggertak keras sekali,
lalu tubuh Sin Liong-cu melayang pergi cepat sembari berseru,
'Halia, sekali pukulan bertukar dua kali totokan, masingmasing
tak rugi! Gunung selalu menghijau dan sungai
senantiasa mengalir, kelak kita masih akan bertemu, sekarang
maafkan saja!" Dan segera tubuhnya mencelat naik lagi bagai
burung melayang lewat di atas gerombolan semak bunga
putih itu, tiba-tiba Leng Bwe-hong membentak pula dan
senjata rahasianya 'Thian-san-sin-bong' secepat kilat telah
menyambar. Di atas udara itu Sin Liong-cu sempat berjumpalitan sekali,
lalu tubuhnya bagai batu meteor meluncur terus jatuh ke
bawah gunung. Cepat juga Bwe-hong menyusul melayang maju terus
memetik setangkai bunga putih raksasa sebesar mangkok itu
dan diserahkan pada Thio Hua-ciau. "Bunga ini kausimpan
saja baik-baik, mungkin akan banyak gunanya bagimu kelak,"
demikian katanya.
Waktu Hua-ciau mengeluarkan bunga merah besar yang
dipetiknya tadi dan dijajarkan dengan bunga putih ini,
sepasang bunga merah-putih, yang merah membara dan yang
putih melebihi salju, bau wangi meresap menghilangkan rasa
kesal. "Ha, kedua bunga ini menarik sekali, cuma entah, apa ada
gunanya lagi, mohon Leng-tayhiap suka memberi petunjuk,"
kata Hua-ciau kemudian tertawa.
"Kini masih susah dijelaskan," sahut Bwe-hong. "Nanti saja
sehabis bertemu Suhuku boleh kau tanya lagi, kini aku pun
belum yakin apakah betul kedua bunga ini?"
Mendengar kata-kata Leng Bwe-hong yang mengandung
maksud tersembunyi itu, Hua-ciau menjadi ragu, tapi orang
belum mau menjelaskan, ia pun tak enak buat bertanya lagi.
Hanya dalam hati ia berpikir, "Biarlah apa ada gunanya atau
tidak, asal aku menunjukan pada Lan-cu, pasti dia akan
sangat girang."
Sementara itu seorang diri Kui Tiong-bing masih
memandang terkesima ke bawah gunung, tapi Sin Liong-cu
sudah tak kelihatan bayangannya.
"Leng-tayhiap, jangan-jangan dia memang benar adalah
Susiokku?" kata pemuda itu tiba-tiba.
"Siapa bilang bukan?" sahut Bwe-hong.
"Lalu, sebenarnya dia orang baik atau orang jahat?" tanya
Tiong-bing lagi.
"Darimana aku bisa tahu?" kata Bwe-hong tertawa.
"Jika begitu, kenapa pada waktu ia hendak kabur, kau
masih menimpuknya dengan Sin-bong?" tanya Tiong-bing.
"Karena aku kuatir ia akan memetik bunga putih ini," Bwehong
menjelaskan. Dan setelah berhenti sejenak, kemudian Bwe-hong berkata
pula, "Tak perlu kau kuatirkan dia, ilmu silatnya sangat tinggi,
tidak nanti ia mati tergelincir. Senjataku Sin-bong juga tidak
mengenainya, hanya membikin takut dia saja! Pertandingan
sekali ini beruntung karena ilmu pukulan curiannya itu belum
masak dilatihnya, bila tidak, pasti aku pun susah


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawannya."
"Dan apa artinya ia bilang 'sekali pukulan bertukar dua kali
totokan' tadi?" Wan-lian ikut bertanya.
"Ya, sebab aku kena tertotok dua tempat olehnya,
sebaliknya ia pun merasakan sekali gebukanku, masakah
kalian tak melihatnya?" ujar Bwe-hong tertawa. "Sekali ini
boleh dikata seri, tapi kalau lain kali berkelahi lagi, pasti aku
tak akan memberi murah lagi padanya!"
Begitulah sembari bercakap-cakap rombongan mereka pun
melanjutkan perjalanan melintasi puncak Onta itu.
Sampai hari ketiga, puncak utara sudah berdiri megah di
hadapan mereka. Terlihat puncak tinggi itu berdiri bagai
tonggak lempengnya menjulang masuk ke lautan awan.
Gumpalan awan yang terpotong-potong itu terapung
mengelilingi puncak gunung bagai rombongan domba yang
sedang makan rumput di padang rumput.
Di waktu senja hari, rombongan mereka akhirnya sudah
mendaki sampai puncak teratas.
Di atas gunung yang tinggi mencit itu pemandangan
ternyata lapang penuh tumbuhan aneh sebangsa bunga dan
rumput. "Sungguh tak nyana bahwa di atas Thian-san ini masih
terdapat tetumbuhan rumput dan bunga," kata Wan-lian
heran. "Ya tetumbuhan ini sudah biasa menahan hawa dingin
salju, di kala bulan kelima dan keenam, dari dalam salju malah
tumbuh pula bunga teratai," tutur Bwe-hong. "Dan tahu tidak
kalian sebab apakah di puncak Thian-san setinggi ini bunga
dan rumput malah mudah tumbuhnya?"
Sembari berkata ia pun menuding ke bawah. Ternyata di
bagian lebih bawah sedikit di puncak gunung utara itu
terdapat sebuah danau kecil yang berpemandangan indah di
sekitarnya. "Itulah yang disebut Thian-ti (danau Tien) yang
tersohor," demikian sambungnya lagi. "Menurut cerita Suhu,
asal danau itu adalah gugusan gunung berapi. Gunung berapi
itu sudah mati, lalu kawahnya berubah menjadi sebuah danau
kecil, maka tanahnya menjadi hangat, tumbuhan itu terdapat
di tepi kawah, pula ada air danau, dengan sendirinya lantas
mudah tumbuh."
Sembari bicara mereka pun berjalan terus, tiba-tiba Bwehong
menunjuk pula ke depan, "Rumah batu itulah tempat
kediaman guruku."
Mendengar sudah sampai tempat tujuan, segera Tiong-bing
dan Hua-ciau berdiri tegak sopan.
"Nanti dulu, biar aku masuk memberitahukan tentang
kedatangan kalian pada Suhu," kata Bwe-hong pula. Lalu ia
pun maju mengetok pintu rumah batu itu.
Waktu kemudian pintu dibuka, seorang padri kelihatan
keluar. Dan demi melihat Bwe-hong, padri itu kegirangan. "He,
Bwe-hong, kiranya kau telah kembali!" demikian serunya.
"Ya baikkah kau Ngo-seng Suheng, dan apa Suhu juga
baik-baik saja?" sahut Bwe-hong segera.
Ngo-seng adalah padri pelayan Hui-bing Siansu dan bukan
murid angkatan, cuma lebih dulu naik gunung daripada Leng
Bwe-hong, maka Bwe-hong memanggilnya Suheng.
Siapa tahu Ngo-seng hanya geleng-geleng kepala saja tak
menjawab. Tentu saja Bwe-hong heran dan ragu. "Apakah
Suhu pergi mengembara?" tanyanya pula cepat.
"Tidak, tapi Suhu lagi bersemadi," sahut Ngo-seng
akhirnya. Harus diketahui bahwa usia Hui-bing Siansu waktu itu
sudah 112 tahun. Setelah umurnya melebihi seabad, seringkah
padri berilmu ini melakukan semadi yang memakan waktu
lama, dan bila sedang bersemadi, maka segala apa yang
terjadi di sekitarnya tidak diambil peduli lagi, dan dengan
sendirinya pula tak bisa menemui siapa pun.
Dan karena keterangan Ngo-seng inilah, baru Bwe-hong
merasa lega. "Sudah berapa lama Suhu bersemadi'?" tanyanya
kemudian. "Sudah ada dua hari," kata Ngo-seng.
"Jika begitu, biarlah aku menyembahnya dari jauh di
ruangan dalam, sedang beberapa sobat ini harap kau
mewakilkan aku melayaninya," kata Bwe-hong pula.
Lalu ia pun masuk ke belakang. Tapi belum ia memasuki
kamar dimana gurunya bersemadi, sekonyong-konyong
pandangannya tertarik pada apa yang berada di situ, ternyata
pintu kamar sang guru terpentang lebar, Suhunya tampak
duduk bersila di atas suatu kasuran dengan kepala menunduk
dan mata meram, wajahnya yang welas-asih sedikitpun masih
belum berubah. Di depan sang guru ini ada seorang gadis
berbaju merah yang sedang berlutut sambil kemak-kemik
seperti sedang melaporkan sesuatu dengan suara pelahan.
Sungguh Bwe-hong heran oleh apa yang dilihatnya ini.
Dalam pada itu, tiba-tiba si gadis itu telah menoleh ke
belakang, sekilas Bwe-hong merasa wajah orang sudah
pernah dikenalnya, hanya seketika lupa entah dimana pernah
bertemu" Sementara itu dilihatnya pula pada tangan si gadis seperti
menggenggam sesuatu. Tiba-tiba Bwe-hong teringat pada
pencurian kitab pusaka yang dilakukan Sin Liong-cu atas diri
Han Ci-pang. Ia menjadi curiga, jangan-jangan pada waktu
Suhu gedang bersemadi dan orang sengaja datang hendak
mencuri 'Kui-keng-ldam-koat' (kitab pelajaran ilmu pukulan
dan rahasia JIJIU pedang) pusaka mereka, demikian pikirnya.
Sebab itu, dengan mata tak berkedip ia terus mengawasi
gjujk dara itu untuk mengetahui apa yang akan dilakukannya.
Sebaliknya ketika nampak Bwe-hong datang, si gadis itu
tersenyum manis tanpa berkata. Lalu ia pun bangkit dan
berjalan Tentu saja Leng Bwe-hong makin curiga, tapi ia kuatir
jnengejutkan sang guru, maka ia mundur keluar beberapa
tindak dengari maksud mencegat jalan si gadis tadi.
Dalam pada itu si gadis sudah dekat di hadapannya "Lengtayhiap,
harap kau memberi jalan," demikian katanya pada
Bwe-hong- Kembali Leng Bwe-hong tercengang, ia semakin
ragu jarimana orang kenal namanya"
Dan pada saat itu juga, tiba-tiba tubuh si gadis itu melesat,
sama sekali tak kelihatan cara bagaimana ia bergerak, tahutahu
tubuhnya sudah melayang keluar pagar tembok seenteng
daun. Ilmu mengentengkan tubuh yang diunjukkan ini
sungguh tidak di bawah dirinya. Keruan saja Leng Bwe-hong
terkejut pula. Dalam pada itu didengarnya Hui-bing Siansu telah
memanggil, "Marilah masuk, muridku!"
Ternyata tidak hanya Leng Bwe-hong yang tak kenal siapa
gerangan si gadis berbaju merah ini, bahkan Ngo-seng juga
tidak tahu sejak kapan diam-diam orang masuk ke kemar guru
mereka. Tatkala itu Ngo-seng sudah keluar rumah batu itu buat
bertemu dengan Kui Tiong-bing dan kawan-kawan sambil
menanti kembalinya Bwe-hong setelah menyembah sang
guru. Waktu itu hari sudah petang, sang surya sudah
terbenam, di puncak Thian-san tertinggi ini menjadi dingin
luar biasa hingga Boh Wan-lian rada tak tahan.
"Kenapa masih belum keluar?" kata Tiong-bing setelah
lama Bwe-hong masih belum muncul. Tapi tiba-tiba ia pun
bersuara heran dan bertanya pada Ngo-seng, "Apakah Huibing
Siansu ada menerima murid perempuan?"
"Apa kau bilang?" Ngo-seng menegasi. Dan pada saat itu
juga sesosok bayangan wanita berbaju merah tahu-tahu
melayang lewat di sampingnya. Keruan saja ia berteriak,
"Celaka!"
Mendengar orang berteriak, Tiong-bing menjadi heran juga.
"Kenapa" Apakah ia orang jahat?" tanyanya cepat
Watak Ngo-seng juga rada mirip Kui Tiong-bing yang dogol
tapi jujur, sama sekali tak terpikir olehnya ada orang begitu
besar nyalinya berani masuk rumah di waktu Hui-bing Siansu
lagi bersemadi, dan sama sekali ia tidak mengetahuinya, maka
dapat dipastikan ia akan didamprat habis-habisan karena
kurang awas penjagaannya. Sebab itu, atas pertanyaan Tiongbing
tadi, tanpa berpikir ia lantas mengangguk.
Begitu pula tanpa pikir segera Tiong-bing mengayun
tangannya, seketika tiga buah senjata rahasia Kim-goan
menyambar ke depan mengarah jalan darah di rubuh si gadis
baju merah itu.
Gadis itu sedang turun ke bawah secepat terbang, ketika
mendadak di dengarnya dari belakang ada angin menyambar
datang, tangannya meraup ke belakang terus melompat juga
ke samping, habis itu tanpa berhenti orangnya masih terus
meluncur ke bawah. Nyata dengan gerakannya itu tiga anting
emas Kui Tiong-bing itu sudah dihindarkan dua buah dan
ditangkap sebuah.
"Ai, kenapa begini royal, emas murni semahal ini diberikan
orang begini saja! Baiklah, enci Boh, harap-wakilkan aku
menghaturkan terima kasih!" demikian gadis itu berseru dan
tawa nyaringnya terbawa angin pegunungan yang semilir.
Tentu saja Wan-lian ikut heran, ia pun tak ingat siapa gadis
itu. Dan ketika ia hendak bertanya, gadis baju merah itupun
sudah sampai di lambung gunung hanya tinggal setitik merah
belaka dan sejenak kemudian titik merah itupun lenyap.
"Sungguh aneh, darimana ia mengenalku?" demikian Wanlian
tak habis mengarti.
"Sungguh aneh, darimana ia mengenalku?" demikian pula
yang sedang dipikir Leng Bwe-hong.
Waktu itu ia sudah masuk ke kamar gurunya dan secara
ringkas telah melaporkan segala pengalamannya selama turun
gunung. "Ehm, bagus, kau tidak mengecewakan ajaranku!" kata
Hui-bing sambil mengelus jenggotnya yang memutih perak
dan mengangguk puas.
"Selanjutnya masih mengharap petunjuk Suhu,'"'kata Bwehong
pula. "Kau sudah melihat si gadis baju merah tadi?" tanya Huibing
tiba-tiba. Bwe-hong menyahut sekali membenarkan.
"Ia adalah murid penutup Pek-hoat Mo-Ii," ujar Hui-bing.
'Termasuk dia, seangkatan denganmu seluruhnya ada tujuh
orang, kecuali Ciok Thian-sing sendiri tidak belajar ilmu
pedang, selebihnya enam orang ditambah lagi Ie Lan-cu,
kalian bertujuh dapat juga disebut 'Thian-san Cit-kiam'. Cuma
sayang Suhengmu meninggal terlalu cepat, sampai tulangnya
tidak diangkut kembali ke sini!"
'Thian-san Cit-kiani1 atau tujuh pendekar dari Thian-san.
Istilah ini baru pertama kali ini didengar Leng Bwe-hong dari
sang guru. Dan selagi ia menekuk-nekuk jari menghitung, didengarnya
Hui-bing telah berkata pula "Aku dan Pek-hoat Mo-li masingmasing
mendiami puncak utara dan selatan, sedang Toh Ithang
sebaliknya terus berkelana di sekitar Thian-san saja tiada
tempat yang tetap. 'Thian-san Cit-kiam' yang kami bertiga
turunkan ini, kecuali kau yang bisa melihatnya semua, yang
lain tiada rejeki lagi sebaik kau ini."
Waktu Bwe-hong menghitung, ia mempunyai dua orang
Suheng, yakni Njo Hun-cong dan Coh Ciau-lam, ditambah lagi
le Lan-cu yang diajarkannya ilmu silat mewakili sang guru,
seluruhnya sesama perguruan mereka ada empat orang.
Sedang Pek-hoat Mo-li menurunkan dua murid, ialah Hui-angkin
dan si gadis baju merah tadi. Toh It-hang juga mempunyai
dua anak murid, yaitu Ciok Thian-sing dan si orang aneh yang
dikete-mukannya di puncak Onta itu. Gabungan delapan orang
ini, kecuali Thian-sing, memang betul tinggal tujuh orang.
Tapi segera ia pun menjadi heran. Tentang pertemuannya
dengan Ciok Thian-sing, dalam penuturannya tadi sudah
disinggung sekedarnya. Tapi mengenai murid kedua Toh Ithang
ini, darimana Suhu bisa tahu bahwa dirinya sudah
pernah melihatnya"
Dan sebelum ia bertanya Hui-bing sudah tertawa dan
berkata lebih dulu, "Mencium bau wangi di tubuhmu, aku duga
kau sudah mendatangi Lok-to-hong (puncak Onta). Tabiat Sin
Liong-cu juga sangat aneh, tentunya kalian sudah saling
gebrak, bukan?"
Baru sekarang Leng Bwe-hong tahu manusia aneh itu bernama
Sin Liong-cu, maka ia menyahut sekali dan bilang,
"Ya semula murid tak tahu ia adalah murid Toh-susiok. Meski
keTiraikasih Website http://kangzusi.com/
mudian dapat juga menduganya; tapi keadaan sudah telanjur
" "Kau mampu melayani tipu pukulannya yang aneh?" tanya
Hui-bing memotong.
"Ya, beruntung bisa menandinginya sama kuat," sahut
Bwe-hong. Hui-bing berpikir sejenak, lalu katanya pula, "Di antara Citkiam
itu, ada yang lurus ada yang serong. Suhengmu tertua
paling kusukai, cuma sayang mati terlalu cepat. Sedang
Suhengmu kedua berubah pikiran setengah jalan, kelak hanya
bisa mengharapkan kau bikin bersih perguruan kita. Sin Liongcu
berada antara yang lurus dan serong, aku sendiri sudah
lama menutup pintu dan menanggalkan pedang, Pek-hoat Moli
juga tak sudi mengurusnya maka tiada lain lagi juga
mengharapkan . kau yang akan menundukkan dia kelak."
Diam-diam Bwe-hong heran oleh cerita gurunya itu,
pikirnya "Pek-hoat Mo-li biasanya sangat benci kejahatan,
orangnya juga suka unggul, sampai Suhu juga dua kali
ditantangnya bertanding, kini kenapa bisa membiarkan Sin
Liong-cu berkeliaran sesukanya di Thian-san?" Tetapi ia pun
tahu di. antara gurunya dan Pek-hoat Mo-li rada tak cocok,
maka ia tak berani bertanya lebih jauh.
"Kau bisa meneruskan cita-cita perjuangan Suhengmu,
sungguh dapat dikata tidak memalukan perguruanmu,"
demikian Hui-bing berkata lagi terharu. "Perkembangan Thiansankiam-hoat kita selanjutnya rasanya harus terserah kau
untuk mengusahakan seluruhnya!"
Dengan tegak dan tangan lurus Bwe-hong berdiam
mendengarkan petuah sang guru.
Dalam pada itu Hui-bing Siansu telah menyambung pula,
"Meski Pek-hoat Mo-li ada cedera denganku, tapi aku sangat
menghargai ilmu silatnya. Kali ini ia sengaja mengirim
muridnya terkecil menemuiku ke sini, rasanya percederaan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selama ini sudah dapat dihapuskan."
"O, kiranya gadis baju merah itu suruhannya, tapi entah
darimana ia bisa mengenal nama murid?" ujar Bwe-hong.
"Itupun aku sendiri tak tahu," kata Hui-bing. Dan setelah
menghela napas sekali, kembali ia menyambung lagi dengan
istilah Buddha, "Soal cinta dan khalwat (mengasingkan diri)
memang sungguh susah dipecahkan. Aku sendiri juga tak
menduga bahwa usia Pek-hoat Mo-li sudah dekat seabad, tapi
masih bisa terkenang pada percintaannya di masa muda. Ia
menyuruh muridnya ke sini justru menanyakan surat
peninggalan Toh-su-siokmu."
"Inilah aneh," pikir Bwe-hong. "Apakah memang Pek-hoat
Mo-li dan Toh-susiok tadinya adalah sepasang kekasih?"
"Tabiat Toh-susiokmu juga sangat aneh," demikian Huibing
berkata lagi, "Ada beberapa puluh tahun ia tinggal di
Thian-san ini, tapi selamanya tak pernah bercerita tentang
kejadian di masa mudanya. Hanya pada waktu sebelum
meninggal, ia menyerahkan sebuah kotak bersulam padaku
dan berpesan, 'Jika ada orang yang bisa memetik dua tangkai
bunga sakti di atas puncak Onta dan datang menemuimu,
maka kotak sulam ini boleh diserahkan padanya untuk pergi
menemui Pek-hoat Mo-li'."
Pikiran Bwe-hong tergerak oleh penuturan terakhir
gurunya, ini. "Apakah kedua bunga itu adalah merah-putih
dan sebesar mangkok" Konon tiap 60 tahun baru mekar sekali
dan khasiatnya bisa mengubah rambut ubanan kembali hitam,
dari tua menjadi muda lagi?" tanyanya segera.
"Memang ada. cerita seperti itu, cuma belum pasti bisa
begitu mustajab atau tidak, mungkin saja semacam bahan
obat mestika yang lebih mahal dari 'Ho-siu-oh' (semacam
bahan obat Tionghoa)," sahut Hui-bing. "Bunga itu memang
60 tahun baru mekar sekali, maka siapa yang begitu sabar
menunggunya" Pula bukannya semacam obat dewa, sekalipun
ada orang aneh yang suka pada hal itu, tentunya tak sudi
membuang tempo begitu panjang untuk menantikan benda
yang hasilnya belum pasti itu."
"Tapi Tecu (murid) ada seorang sobat yang kebetulan ada
jodoh telah dapat memetiknya," tutur Bwe-hong. Lantas ia
menceritakan pemetikan bunga sakti di puncak Onta oleh Thio
Hua-ciau itu, dan memohon juga bagi pemuda itu untuk
bertemu gurunya.
Untuk beberapa saat Hui-bing Siansu berpikir, habis itu
baru ia menjawab, "Baiklah. Sebenarnya aku sudah menutup
pintu selama 60 tahun dan tak ingin menemui orang luar lagi.
Cuma sekali ini mungkin adalah pertemuan kita yang terakhir,
tiada jeleknya juga melihat angkatan muda kalian. Nah,
bolehlah kau suruh mereka masuk!"
Waktu Hui-bing keluar ruangan sembahyang, sementara itu
Bwe-hong sudah membawa masuk Kui Tiong-bing dan kawankawan.
Dapat belajar kenal dengan guru besar ahli pedang
dari suatu zaman, tentu saja Tiong-bing dan teman-teman
sangat girang dan merendah diri. Sebaliknya Hui-bing juga
sangat senang terhadap kaum muda yang berbakat, ia
menyuruh mereka jangan sungkan dan agar masing-masing
memainkan sejurus ilmu pedang. Terpaksa Tiong-bing
mengunjukkan Ngo-kim-kiam-hoat dan Thio Hua-ciau serta
Boh Wan-lian memainkan Bu-kek-kiam-hoat mereka.
"Di antara angkatan muda, ilmu pedang kalian sudah boleh
dikata susah dicari bandingan lagi," ujar Hui-bing kemudian
tertawa. "Ngo-kim-kiam-hoat mengutamakan keras dan kuat,
sebaliknya Bu-kek-kiam-hoat menang dalam hal kehalusan
dan lemas, masing-masing ada segi keunggulannya sendiri.
Dan kalau keras dan lemas bisa saling gabung, dalam
perubahan ditambah lagi yang lebih bagus, tentunya akan
menjadi makin baik." Habis itu ia pun memberi petunjuk
beberapa rahasia yang penting, keruan Tiong-bing dan kawankawan
sangat berterima kasih.
Tiba-tiba Hui-bing mengambil pedang pusaka Tiong-bing
dan menyentilnya beberapa kali. "Tak mengira bahwa hari ini
aku masih bisa melihat pedang ini!" demikian katanya,
terharu. Lalu ia menyambung lagi terhadap Leng Bwe-hong, "Di
waktu muda aku pernah menjadi staf pimpinan HLrn-kengliat
(Hini Ting-kiong), ketika ia mengumpulkan sari baja dari Hekliongkang buat menggembleng pedang ini, saat mana aku
pun berada di situ." Habis itu, kembali ia mengajarkan
beberapa jurus ilmu pedang lagi pada Kui Tiong-bing.
"Pedang ini hampir saja kena direbut Susioknya itu," kata
Bwe-hong tiba-tiba.
"Apa betul?" tanya Hui-bing.
"Ya begitu melihat segera ia hendak merebut pedangku
ini," sahut Tiong-bing. "Kemudian meski ia sudah tahu aku
adalah Sutitnya (keponakan perguruan), toh ia masih ingin
merebut juga entah apakah maksud tujuannya yang
sesungguhnya"'"
"Sin Liong-cu ini memang terlalu dimanjakan Toh-susiokmu.
cuma semangat dan kemauannya belajar giat harus
dipuji juga," kata Hui-bing menghela napas. "Meski ilmu
pukulan Tat-mo 108 jurus itu belum pernah kulihat, tapi
menurut cerita kuno, di dalamnya terdapat ilmu pukulan dan
ilmu memainkan senjata lain yang hebat, lebih-lebih mengenai
ilmu pedangnya yang katanya cuma ada 33 gerak tipu, tapi
bisa dimainkan bolak-balik sambung-menyambung dengan
aneka macam perubahan yang aneh. Agaknya Sin Liong-cu
sudah berhasil melatih Tat-mo-kiam-hoat itu, tapi belum
mempunyai pedang pusakanya maka pedang sang Sutit saja
hendak direbutnya."
Petangnya setelah Tiong-bing dan kawan-kawan sudah
bersantap malam dan mengobrol sejenak dengan Hui-bing,
sementara itu sang dewi malam sudah bergeser sampai di
tengah cakrawala. Tiba-tiba Hui-bing menarik tangan Leng
Bwe-hong dan membawa semua orang keluar.
Pemandangan bulan purnama di atas Thian-san termasuk
salah satu keindahan alam yang aneh, untuk ini penyair
tersohor Li Pek dari ahala Tong pernah melukiskan seakanakan
rembulan muncul dari Thian-san dan terselip di antara
lautan mega Kini dari jauh mereka memandangi puncak di
sekeliling Thian-san itu tertutup oleh kabut dan awan, kena
tersorot sinar rembulan yang terang hingga seperti disiram
selapis es, rembulan itu bundar lagi besar seperti
menggantung tepat di atas kepala saja seakan mengulur
tangan sudah dapat menggapainya.
Ketika semua orang terpesona dan tenggelam oleh
keindahan alam yang tiada, taranya itu, tiba-tiba Leng Bwehong
merasa tangan sang guru yang menggandengnya itu
rada gemetar. Keruan saja ia terkejut.
Dalam pada itu didengarnya Hui-bing bersabda dalam
istilah Buddha, "Orang hidup seabad, cepat bagai letikan api,
memang hampa belaka apa yang perlu dipikir" Kemana pergi
di situlah tempatnya berlaku yang benar, dengan sendirinya
baik. Jika batinmu terdapat aku, tak perlu jauh-jauh ke sini."
Bwe-hong rada bingung, maka lekas ia menyahut, "Murid
terlalu bodoh, tak bisa memahami arti sabda Buddha diharap
Suhu suka menjelaskan."
Tapi Hui-bing hanya berkata lagi, "Sekali bicara sudah,
tiada artinya lagi."
Di samping itu tiba-tiba hati Wan-lian tergetar, bila ia
menyelami sabda Buddha yang diucapkan Hui-bing itu,
agaknya orang sedang mengucapkan kata-kata perpisahan
terakhir untuk menyadarkan pikiran bodoh. Maka gadis ini
lekas. merangkap telapak tangan dan menyambung, "Buddha
berkata, aku tidak masuk neraka, siapa yang masuk neraka"
Gangguan iblis hidup manusia belum lenyap, mana tega
mencari kesenangan sendiri?"
"Siancay, siancay (sabda Buddha, kira-kira sama dengan
amin)!" Hui-bing menyebut lagi. "Nona Boh pandai memahami
sabda Buddha, Lo-lak (aku yang tua, sebutan diri sendiri bagi
padri) harus berterima kasih. Cuma Buddha telah menjelma
dalam beribu tubuh lain untuk menolong sesamanya,
sebaliknya Lo-lak pergi-datang begitu saja walaupun tiada
jasa, tapi beruntung masih ada beberapa murid."
Lekas Wan-lian berlutut menyembah tanpa menjawab lagi.
Kui Tiong-bing sedikitpun tak paham apa yang sedang mereka
percakapkan, matanya terbelalak lebar memandangi Wan-lian.
Sedang Leng Bwe-hong dan Thio Hua-ciau lantas ikut berlutut,
sebaliknya Tiong-bing masih bingung rak tahu apa yang harus
dilakukan. Kiranya sesudah Wan-lian menyelami sabda Hui-bing tadi,
ia menduga tidak lama. lagi agaknya orang akan wafat
dengan, tenang. Oleh sebab itu ia bilang "Gangguan iblis
belum lenyap dari kehidupan manusia", maka mengharap Huibing
bisa hidup beberapa tahun lagi untuk membasmi
kejahatan dan mengembangkan kebajikan bagi hidup
manusia. Sebaliknya Hui-bing telah menjawabnya dengan "Buddha
telah menjelma dalam beribu tubuh untuk menolong
sesamanya", artinya sekalipun Buddha yang begitu pandai dan
sempurna toh akhirnya wafat juga, dan hanya menggunakan
kebenaran kitab Buddha menyebar luas ke seluruh dunia yang
sama dengan beribu tubuh penjelmaannya untuk menolong
sesamanya. Aku sendiri sudah lewat umur seabad, manusia
tiada yang tak mati, murid yang kutinggalkan asal bisa
meneruskan seperti apa yang kuinginkan, itupun sama dengan
tidak sedikit tubuh penjelmaanku.
Sebab itulah, kemudian Bwe-hong dapat juga memahami
sabda Hui-bing itu, ia menjadi gugup dan kuatir.
Tapi Hui-bing telah membangunkan mereka yang berlutut,
lalu dikatakannya lagi pada Leng Bwe-hong, "Di puncak Thiansan
ini terlalu dingin menderita, kelak kau suka atau tidak
tinggal di sini boleh sesukamu, cuma kitab di kamar
perpustakaan itu ada catatanku, lalu ada pula sejilid Kun-keng
(ilmu pukulan) dan sejilid Kiam-koat (kitab rahasia pedang),
kesemuanya itu harus kausimpan baik-baik. Kini malam sudah
larut, kalian masuk mengaso saja."
Dan semalaman itu semua orang tiada yang bisa tidur
enak. Bwe-hong berpikir keadaan sang guru masih seperti
biasa, meski orang tua itu sudah meninggalkan pesan terakhir,
mungkin hanya kebiasaan orang tua saja, belum pasti dalam
waktu singkat lantas bisa wafat.
Tak terduga, pagi esok harinya Ngo-seng berlari-lari
melaporkan padanya, "Celaka, Bwe-hong, Suhu sudah
meninggal!"
Lekas Bwe-hong menuju ke kamar sang guru, maka
dilihatnya Hui-bing duduk tenang di atas kasurannya dengan
kepala menunduk dan mata meram tiada ubahnya seperti
biasanya kalau sedang bersemadi. Nampak itu, tak tahan lagi
Bwe-hong menangis sedih.
"Di samping kasuran terdapat dua jilid kitab dan sebuah
kotak sulam, mungkin sengaja Suhu keluarkan untukmu, lekas
kau menyembah menerimanya," kata Ngo-seng dari samping.
Waktu Bwe-hong mengambil kedua kitab itu, ia lihat yang
sejilid tertulis 'Thian-san-kiam-koat' (rahasia ilmu pedang
Thian-san) dan yang lain tertulis 'Hui-bing Kun-keng' (ilmu
pukulan Hui-bing), ia tahu dalam kitab-kitab inilah terhimpun
jerih-payah sang guru selama seratus tahun ini, maka cepat
saja ia menyembah menghaturkan terima kasih pula.
Ketika kotak itu diambilnya dan diperiksa, ternyata di
atasnya tertulis:
"Bunga sakti merah-putih, bersama kotak ini pergi ke
puncak selatan." Di samping itu ada catatan pula sebaris huruf
kecil: "Siapa yang melaksanakan pesanku ini adalah muridku
sesudah aku meninggal, maka boleh bertanya pada Sin Liongcu
dan mintakan Kun-keng-kiam-hoat milikku padanya dan Sin
Liong-cu harus mewakilkan sang guru memberi pelajaran. "
Toh It-hang Setelah membaca itu, tahulah Bwe-hong itulah barang
peninggalan Toh It-hang yang meminta orang yang
mendapatkan kedua bunga sakti merah-putih itu sambil
membawa kotak itu pergi menemui Pek-hoat Mo-li di puncak
selatan. Pikirnya, "Kotak ini aku tak bisa membawanya,
melainkan harus dilakukan Thio Hua-ciau."
Dan selagi ia hendak menyuruh Ngo-seng pergi
mengundang pemuda itu, ketika ia menoleh dilihatnya HuaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ciau dan Tiong-bing sudah berada di luar kamar dan sedang
berlutut menyembah.
Lekas Bwe-hong membalas hormat menurut adat. "Losiansu
berusia lebih seabad, kini wafat dengan tenang memenuhi
panggilan Buddha, hendaklah Leng-tayhiap jangan terlalu
bersedih," demikian Wan-lian coba menghibur.
Lalu Bwe-hong pun berhenti menangis dan bersama Ngoseng
membereskan jenazah guru mereka, siang hari itu juga
di puncak teratas Thian-san mereka membangun kuburan Huibing
Siansu. Setelah urusan selesai, Bwe-hong menyerahkan kotak
terbungkus sulam itu pada Hua-ciau dan berkata padanya,
"Dan ini adalah urusanmu sekarang, kotak ini dan kedua
bunga sakti itu kauserakkan pada Pek-hoat Mo-li, lalu bisa
meminta kembali Lan-cu dari Hua-ang-kin. Setelah semua itu
beres, tatkala itu bila kau suka belajar ilmu silat Bu-tong-pay,
maka boleh kau pergi mencari Sin Liong-cu sesuai pesan Toh
It-hang itu. Ada pesan gurunya itu, tak nanti Sin Liong-cu
berani menolakmu."
"Harapanku asal bisa bertemu kembali dengan Lan-cu
sudah cukup, sedikitpun aku tidak pingin segala kepandaian
Sin Liong-cu itu," sahut Hua-ciau.
"Ah, ya, tidak jelek juga belajar sedikit tipu aneh itu," goda
Wan-lian tertawa.
Tiba-tiba Bwe-hong tergerak juga pikirannya Kitab itu
adalah pusaka Bu-tong-pay dan Siau-lim-pay, bukannya tiada
alasan bila Sin Liong-cu mendapatkannya kembali, cuma tidak
patut kalau ia mesti mengakali Han Ci-pang dengan tipu
muslihat, kelak kalau bertemu lagi biar kubalaskan bagi Hantoako,
demikian ia membatin.
Dan setelah tiga hari Bwe-hong menjaga makam gurunya
menurut kewajiban sebagai murid, ia pun melatihnya sekali
lagi ilmu pukulan dan rahasia ilmu pedang yang ditinggalkan
Hui-bing itu. Esok hari keempat ia pun minta diri pada Ngoseng
untuk berangkat.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tabiat Pek-hoat Mo-li sangat aneh, hendaklah kalian hatihati,"
pesan Ngo-seng.
Lalu ia pun menceritakan bahwa Hui-ang-kin tidak tinggal
bersama dengan gurunya, melainkan tinggal di puncak Thiantohong di samping bawah puncak selatan tertinggi itu.
Sebelum menemui Pek-hoat Mo-li bisa menemui Hui-ang-kin
lebih dulu dan bisa juga langsung naik ke puncak selatan
tertinggi itu tanpa melalui Thian-to-hong tempat kediaman
Hui-ang-kin. Bwe-hong menghaturkan terima kasih atas petunjuk Ngoseng
itu, lalu rombongan mereka berempat berangkat ke arah
selatan. Jarak antara puncak Thian-san utara dan selatan ada
ribuan li, sepanjang jalan dikelilingi rimba lebat dan sungai es
malang melintang, perubahan hawa pun sangat berlainan, di
suatu tempat bisa sangat panas, tapi pada tempat lain lantas
berubah menjadi dingin luar biasa.
Dan setelah 7-8 hari mereka tempuh, tibalah mereka di
suatu lereng gunung yang penuh tertimbun salju, sungai es
terdapat di sana-sini menyusur di antara lembah pegunungan
salju sambil berkelip bagai bintang menyorotkan sinarnya
keempat penjuru.
"Nah, itulah Thian-to-hong yang kita tuju, Hui-ang-kin dan
Ie Lan-cu tinggal di situ," kata Bwe-hong sambil menunjuk
pada suatu puncak gunung sebelah timur.
"Marilah kita mendaki Thian-to-hong dulu?" ajak Hua-ciau.
Bwe-hong sedang berpikir dan belum menjawab, Kui Tiongbing
sudah lantas menyahut, "Betul itu, mari kita mencari enci
Lan-cu dulu, kemudian baru mengantarkan bunga pada Pekhoat
Mo-li, bukankah sama saja?"
Dan karena kasihan pada hati rindu Hua-ciau yang sudah
merana sekian lamanya, maka dengan ikhlas Bwe-hong
menerimanya. Puncak Thian-to-hong itu lebih rendah daripada puncak
selatan tertinggi Thian-san, walaupun begitu rimba lebat yang
tumbuh di situ sudah merupakan tempat yang tak pernah
diinjak manusia. Dan setelah berusaha 3-4 hari, aldiirnya
barulah mereka berempat bisa mendaki sampai di atas, di atas
sana kadang terlihat elang buas terbang rendah dan kambing
salju berlari bagai berlomba lari, tapi semua hewan ini tidak
menjadi takut melihat manusia.
"Halia, mungkin melihat kita, mereka pun merasa sangat
heran dan tertarik," ujar Wan-lian tertawa.
Ketika mereka sampai puncak, tahu-tahu mereka dihadang
oleh tembok es yang tingginya berpuluh tombak bagai
bangunan raksasa di Tibet yang terang dan mengkilap.
Dan ketika mereka terpesona oleh pemandangan aneh itu,
mendadak terdengar suara tindakan orang yang
berkumandang dari tempat dekat "Tak tak tak "
T Waktu Tiong-bing dan kawan-kawan memeriksa sekitarnya,
tiada sesuatu tanda yang didapatkan, ketika mereka
melangkah maju lagi, kembali suara tindakan itu berbunyi
pula. "Sudahlah, kalian tak perlu mencari lagi, mana ada
orangnya?" ujar Bwe-hong tertawa.
Belum lenyap suara perkataannya suara "lak tak
tak.tadi bergema lagi, bahkan kedengarannya seperti
timbul di samping mereka saja dan sangat keras bunyinya
Tentu saja mereka sangat heran, lebih-lebih Kui Tiong-bing
yang mementang mata lebar-lebar penuh curiga.
"Menurut kalian, suara itu datangnya darimana?" tanya
Bwe-hong. "Ya aneh, kenapa suara itu justru seperti timbul dari bawah
batu dimana kha injak ini?" ujar Wan-lian heran.
Ketika Tiong-bing mencoba menempelkan telinga ke sela
batu, ia mendengar suara air menggerujuk di bawah berdetikdetik
dan berdentum bagai musik saja, di antara suara itu
kadang tersalang-selingpula suara "tak-tak-tak" tadi.
"Waktu mula-mula aku datang ke sini, aku pun dibikin
curiga oleh suara ini, belakangan b; , aku tahu bahwa di
pegunungan Thian-san ini ada banyak gunung es raksasa.
Akibat gempa bumi, gunung yang lebih tinggi telah runtuh
menumpahi gunung es di depannya. Dan karena gunung es
itu lambat-laun melumer, batu-batu cadas di bawahnya setiap
hari pun berlubang makin besar, dan dari lubang itulah r.
engalir sungai es hingga menimbulkan suara yang mirip
tindakan orang berjalan."
"O, kiranya begitu, sungguh aku hampir mati terkejut tadi,"
ujar Wan-lian tertawa. "Terutama kami yang datang dari
daerah Kanglam, salju saja jarang melihat, mana bisa
menduga lagi bahwa di bawah gunung sebesar ini masih
terpendam pula gunung es purbakala."
"Ya, makanya kau harus hati-hati, di bawah kita berpijak
sekarang justru adalah gunung es raksasa, asal batu cadas di
bawah sedikit menggeliat, maka jangan harap lagi kita bisa
pulang hidup-hidup," kata Bwe-hong tertawa.
Namun begitu, hanya Thio Hua-ciau saja seorang yang
masih terus mendengarkan dengan terkesima. "Tidak, aku tak
percaya kenapa bukan suara orang?" katanya tiba-tiba. Habis
itu sekali ia menutul kaki, bagai anak panah terlepas dari
busurnya cepat sekali ia lari ke depan, dan setelah membelok
di suatu tebing, pemuda ini lantas mendaki suatu puncak
seorang diri terus menghilang ke dalam rimba.
"Ia menjadi gendeng saking rindunya biarkan dia pergi
melihatnya sendiri," kata Bwe-hong geli. Sungguhpun
demikian, tidak urung ia pun memimpin yang lain dan
mengintil Hua-ciau dari belakang.
Dan sekali ini ternyata jitu juga sangkaan Hua-ciau. Di atas
sana memang benar terdapat suara tindakan orang. Waktu ia
mendaki sampai di atas, tiba-tiba dalam rimba itu
berkumandang suara nyanyian orang yang nyaring merdu dan
dikenalnya sebagai lagu rakyat yang sedang populer di sekitar
Pakkhia, waktu Ie Lan-cu tinggal di rumah Ciok Cin-hui juga
pernah mempelajarinya dan Hua-ciau sendiri pun pernah
mendengar gadis itu menyanyikannya.
Kini demi mendengar suara nyanyian itu, bagai menemukan
mestika saja segera Hua-ciau berteriak, "Lan-cu, Lan-cu!"
Cepat sekali dilihatnya dalam rimba berkelebat bayangan
orang, lekas Hua-ciau memburu maju, masih dapat dilihatnya
seorang gadis sedang berlari menghindarinya sambil
menyelinap ke sana dan mengumpet ke sini.
"Lan-cu, Lan-cu! Janganlah kau begitu tega!" teriak Huaciau
pula dengan perasaan cemas.
Tak terduga, dari belakang sebatang pohon di samping
sana tiba-tiba muncul seorang terus mendampratnya "Anak
muda, tempat apakah ini, tak boleh kau gembar-gembor
sesukamu!"
Orang itu berwajah cantik molek, sebaliknya rambutnya
sudah ubanan semua. Mengenali orang, kembali Hua-ciau
berseru lagi, "Hui-ang-kin, kau melarangku menemuinya maka
lebih baik kau bunuh aku saja!"
Habis berkata sekuat tenaga Hua-ciau melompat maju pula
hendak menyusul Ie Lan-cu, namun mendadak seluruh
tubuhnya terasa lemas kesemutan terus roboh tak berkutik.
Dalam pada itu tubuh Hui-ang-kin telah melesat juga dan
sekejap saja lantas menghilang. Sedang suara nyanyian si
gadis tadi masih menggema di angkasa hutan belantara
purbakala itu. Tak lama kemudian Leng Bwe-hong dan kawan-kawan
menyusul tiba, tentu saja ia kaget dan lekas memunahkan
Hiat-to atau jalan darah Hua-ciau yangtertotok tadi.
"Aku telah melihat dia, tapi Hui-ang-kin melarangku
mendekati dan bicara padanya," kata Hua-ciau pula dengan
lemas. Setelah Bwe-hong bertanya jelas apa yang sudah terjadi,
dengan menghela napas ia pun berkata, "Ya, dimana ada
kesungguhan, emas pun terbelah karenanya. Kau bisa
mendengar apa yang kami tak bisa dengar, pasti juga kau bisa
lakukan apa yang kami tak bisa lakukan. Kami tak bisa
menggerakkan pikiran Hui-ang-kin, kau pasti bisa."
Dan setelah mereka menyusur rimba itu, akhirnya terlihat
ada sebuah rumah batu, segera Leng Bwe-hong maju
mengetok pintu sambil berteriak, "Wanpwe Leng Bwe-hong
mohon bertemu!" Akan tetapi sampai lama sekali pintu masih
belum dibuka. Kiranya hari itu sesudah mati-matian Hui-ang-kin
rnerangsek mundur Coh Ciau-lam dan berhasil menggondol
pergi Ie Lan-cu, ia membawa gadis ini kembali ke Thian-tohong
dan merawat lukanya penuh teliti.
Selama dipenjarakan beberapa bulan, baik rohani maupun
jasmaniah Lan-cu sudah tersiksa tak terkatakan, tapi Hui-angkin
merawatnya bagai kasih sayang seorang ibu, maka tak
lama kemudian lukanya dapat disembuhkan semuanya.
Suatu malam Hui-ang-kin memberitahukan Lan-cu bahwa
ibunya, Onghui, sudah meninggal. Mendengar berita buruk itu,
seketika Lan-cu terkesima pucat tak bisa bersuara, luka
batinnya yang baru sembuh kembali kambuh pula. Tapi Huiangkin merangkulnya erat-erat dengan air mata berlinang.
"O, Lan-cu, dahulu aku sangat membenci ibumu, tapi kali
ini waktu dekat ajalnya, barulah aku insyaf dahulu aku telah
salah membenci padanya," demikian kata Hui-ang-kin
menangis sedih. "Sesungguhnya ibumu adalah seorang wanita
berhati baik, dendam kami selama ini pada sebelum ajalnya
telah terhapus dalam sekejap mata dan kami telah menjadi
kakak-beradik, dan dengan sendirinya puterinya adalah
puteriku juga."
Terharu sekali Ie Lan-cu oleh penuturan itu, ia pun jatuh ke
dalam pelukan Hui-ang-kin dan memanggilnya pelahan, "O,
ibu, bila kau tak menolak, biarlah aku lantas menjadi
anakmu!" Mendengar panggilan "ibu" itu, seketika Hui-ang-kin
merasakan seakan ada semacam hawa hangat mengalir
masuk ke lubuk hatinya, Lan-cu dipeluknya lebih kencang.
"Lan-cu," bisiknya di telinga si gadis. "Aku dan mendiang
ayahmu dahulu adalah sahabat sangat karib, apakah kau
mengetahui?"
"Ehm, bila begitu, melihatmu aku pun seperti melihat ayahbundaku!" sahut Lan-cu lirih.
Terharu bercampur pedih pula hati Hui-ang-kin, tiba-tiba
kenangan masa mudanya bagai ular berbisa menggigit lubuk
hatinya. 20 tahun yang lampau ia adalah Bengcu atau ketua serikat
suku bangsa di daerah Sinkiang selatan dan memimpin suku
bangsanya melawan penjajahan pasukan Boanjing. Rakyat
gembala bahkan menggubah sebuah lagu yang menyanyikan
dirinya, antara lain beberapa kalimat berbunyi, "Pahlawan kita
Ha-maya (nama Hui-ang-kin asii), namanya tersohor di
padang rumput."
Akan tetapi pahlawan wanita yang terpuja di padang
rumput ini berulang-ulang harus menderita siksaan batin, ia
sangat cocok dengan Njo Hun-cong, sebenarnya mereka bisa
menjadi kekasih yang sangat sesuai. Siapa duga pada suatu
pertempuran besar dimana mereka terpencar, ketika saling
bertemu lagi, tatkala itu Njo Hun-cong sudah mengikat janji
dengan Nilan Ming-hui dan susah dipisahkan lagi.
Kekasih pertama Hui-ang-kin sendiri adalah seorang
seniman, tapi karena kekasih itu bersekongkol dengan musuh,
Hui-ang-kin dengan tangannya sendiri telah membunuhnya,
setelah bertemu Njo Hun-cong, ia pun mencintainya dengan
sepenuh jiwa raganya, siapa tahu Hun-cong justru sudah
mencintai puteri panglima musuh. Tapi Hun-cong sama sekali
lain daripada si seniman kekasih pertamanya itu, ia tak bisa
membunuhnya, juga tak tahan tak mencintainya. Belakangan
ia mendengar Nilan Ming-hui menikah dengan To Tok, segera
ia pun pergi mencari Njo Hun-cong lagi, tapi berita kematian
pemuda itu lantas diterimanya juga, dan karena semua
siksaan itulah, dalam semalam saja telah membikin rambutnya
menjadi ubanan. f
Dan setelah suku bangsa di Sinkiang selatan gagal
melawan pasukan Boanjing, lalu Hui-ang-kin tirakat di atas
Thian-to-hong selama 20 tahun, dalam masa yang sunyi dan
hampa ini, kenangan terhadap Njo Hun-cong pun semakin
mendalam, asal sesuatu benda bekas milik Hun-cong, pasti
akan menimbulkan perasaannya yang mendalam. Kini apalagi
sudah mendapatkan puteri Njo Hun-cong, tentu saja ia tidak
mau kehilangan dia lagi.
Maka ia menceritakan pada Ie Lan-cu tentang hikayat
ayahnya, menceritakan kisah perjuangan mereka berdua di
masa mudanya yang berjajar melawan musuh, ia pun
menceritakan betapa rasa pedih hatinya dan betapa sunyi
jiwanya "O, anakku, makanya aku tak mau kehilanganmu lagi,
maukah kau berjanji akan mendampingiku untuk selamanya
siapa pun yang memanggilmu takkan kau meninggalkan
daku?" demikian katanya terharu pada akhirnya.
Ie Lan-cu habis terbebas dari malapetaka, hatinya waktu
itu hampa belaka, meski bayangan Thio Hua-ciau pernah juga
terlintas dalam pikirannya, tapi menghadapi air mata Hui-angkin
yang berkilauan, bayangan itu cepat juga lantas lenyap, ia
tak tahan lagi, erat sekali ia memeluk Hui-ang-kin. "Ya ibu,
aku berjanji selamanya takkan meninggalkanmu!" ratapnya
terharu. Di lain pihak sudah tentu Hua-ciau tidak tahu Hui-ang-kin
telah dapat mengatasi jiwa Ie Lan-cu dengan perasaan, ia
sedang mengikuti Leng Bwe-hong menggedor pintu di luar.
Dan karena sudah lama pintu masih belum dibuka, saking tak
sabarnya ia pun menjadi gusar.
"Apakah maksud Hui-ang-kin sebenarnya kenapa begini tak
tahu aturan" Kalau pintu tak dibuka, segera juga aku
mendobraknya masuk!" omelnya sengit.
Tapi baru saja selesai ia berkata mendadak pintu telah
dibuka, tahu-tahu Hui-ang-kin sudah muncul. "Apa kau
bilang?" tanyanya dingin.
"Kami sengaja datang mengunjungi Cianpwe," sahut Bwehong
cepat, "Hm, mana berani aku dikunjungi orang, rasanya orang
yang hendak kalian kunjungi bukanlah aku!" kata Hui-ang-kin
ntenjengek.

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, jika kau sudah tahu, kenapa melarang enci Lan-cu
keluar"1' sela Tiong-bing aseran.
Karena itu, lekas Wan-lian menarik pemuda itu.
"Siapa dia" Kenapa tak kenal aturan?" tanya Hui-ang-kin
pada Leng Bwe-hong dengan angkuh.
Dan selagi Kui Tiong-bing hendak menjawab, Wan-lian
keburu mencegahnya.
"Hubungan enci Lan-cu dengan kami laksana saudara
kandung, dari jauh kami datang kemari, tiada lain hanya
mohon Cianpwe memperkenankan kami menemuinya" ujar
Wan-lian kemudian dengan lemah lembut.
Tapi Hui-ang-kin tidak menggubris kata-kata Wan-lian itu,
sebaliknya ia berpaling ke arah Leng Bwe-hong dan berkata
padanya, "Kau masih ingat tidak apa yang pernah
kaujanjikan?"
Bwe-hong menjadi bingung oleh pertanyaan orang. "Aku
pernah janji apa?" tanyanya kemudian.
"Bukankah kita sudah berjanji baik-baik ketika di kota-raja,
bahwa bila aku berhasil menolong keluar Lan-cu, kau tak
Lambang Naga Panji Naga Sakti 7 Pedang Pusaka Buntung Karya T. Nilkas Bukit Pemakan Manusia 17

Cari Blog Ini