Ceritasilat Novel Online

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 13

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 13


boleh mengurusnya lagi, pernah kau berjanji tidak?" tanya
Hui-ang-kin pula.
Dan karena itulah baru Leng Bwe-hong ingat percakapan
tempo hari waktu mengatur siasat menolong Lan-cu bersama
Han Ci-pang dan Hui-ang-kin bertiga. Sungguh tak pernah
diduganya orang bisa menganggap kata-kata bergurau itu
sebagai janji sungguhan.
"Hm, tak malu, apa kau seorang diri yang menolongnya
tempo hari?" mendadak Tiong-bing mengolok-olok.
"Berdasarkan apa kau hendak mengangkangi dia" la toh
bukan anakmu."
"Ia justru adalah anakku!" sahut Hui-ang-kin tiba-tiba
dengan bangga. Dalam pada itu Leng Bwe-hong telah memelototi Tiongbing
sekali dengan maksud agar pemuda ini jangan banyak
ikut campur bicara.
Di sebelah lain Hua-ciau tak tahan lagi. "Sekalipun ia adalah
anakmu, pasti juga aku ingin menjumpainya, ada yang ingin
kukatakan padanya" serunya segera membantah.
"Kau pernah apanya:?" bentak Hui-ang-kiii) "Kalau aJcu
bilang tak boleh kau menemuinya, tetap tak boleh!"
Melihat kebandelan Hui-ang-kin, Leng Bwe-hong pun tak
tahan juga, tiba-tiba ia melangkah maju, dengan suara berat
se-geTa ia bertanya, "Lan-cu sejak kecil adalah aku yang
membesarkannya, meski aku tak berani mengaku sebagai
ayahnya, tetapi hubungan kami sesungguhnya bagai ayah dan
anak, lalu kau perbolehkan aku menemuinya tidak?"
Hui-ang-kin tertegun agaknya, betapa bandel akhirnya tergoncang
juga perasaannya. "Baiklah," katanya kemudian pelahan,
"Kalian masing-masing mundur dulu sepuluh langkah,
aku nanti menyuruh Lan-cu keluar menemui kalian dan
biarkan dia sendiri yang menentukan apakah dia rela tinggal di
sini atau ingin ikut pergi bersama kalian."
Terpaksa Leng Bwe-hong dan ketiga kawannya menurut
mundur sepuluh langkah ke belakang.
Dan setelah Hui-ang-kin bertepuk tangan tiga kali, dengan
pe lahan seorang gadis jelita muncul di depan pintu.
"Lan-cu, Lan-cu! Akulah di sini!" seru Hua-ciau tak tahan.
Namun cepat Hui-ang-kin telah melorot pecutnya. "Tak
boleh kau maju!" bentaknya menuding pemuda itu.
Sementara itu muka Ie Lan-cu kelihatan pucat, sinar
matanya guram. "Leng-sioksiok!" terdengar ia menyapa Leng
Bwe-hong dan air matanya tak tertahan lagi berlinang.
"Mereka datang hendak memapakmu pergi, kau mau
tidak?" tanya Hui-ang-kin cepat sambil menarik si gadis.
"Aku ingin mendampingimu di sini!" sahut Lan-cu lirih.
"Cukuplah kalau begitu, masuklah kau dan pergi mengaso
saja, wajahmu tampaknya sangat letih!" kata Hui-ang-kin pula
sambil mendorong masuk orang.
Maka tanpa berkata lagi, seperti terkena guna-guna, Lan-cu
membalik tubuh dan masuk ke dalam.
"Lan-cu, Lan-cu! Jangan kau kembali!" teriak Hua-ciau
keras. "Ya, Lan-cu," Bwe-hong ikut menggembor juga, "Ayahbundamu
sudah mati semua, tapi cita-cita ayahmu masih
belum kaulaksanakan! Kau adalah puteri ayahmu! Hanya To
Tok yang kaubunuh belum bisa dianggap telah membalaskan
sakit hati ayahmu!"
Akan tetapi dengan keras Hui-ang-kin telah menggabrukkan
daun pintunya rapat-rapat sehingga Ie Lan-cu tertutup di
dalamnya, sebaliknya ia sendiri masih berdiri di atas tembok
pagar. "Nah, Leng Bwe-hong, sekarang bolehlah kalian pergi!"
serunya kemudian.
Tidak tahan lagi Kui Tiong-bing menguasai amarahnya,
ketika tangan kanan mengayun, cepat sekali tiga buah anting
emasnya telah disambitkan ke arah tiga urat nadi berbahaya
di tubuh Hui-ang-kin dengan maksud merobohkan orang dan
menerjang masuk dengan paksa.
Tak terduga hanya sedikit Hui-ang-kin memutar pecutnya,
tahu-tahu tiga buah anting emas itu sudah kena digulung
pergi semua. "Hm, mengingat kau adalah angkatan muda, aku
tak mengurusmu lagi, tetapi bila kau berani kurangajar lagi,
segera kuberikan rasa padamu!" katanya kemudian tertawa
dingin. Dalam pada itu lekas juga Boh Wan-lian telah menarik
Tiong-bing. Sedang Leng Bwe-hong lantas melangkah maju
hendak berdebat dengan Hui-ang-kin.
Dan ketika keadaan susah diredakan, tiba-tiba suatu suara
orang tua berjangkit di samping mereka. "Siapa berani
mentang-mentang di atas Thian-san sini?" demikian bentak
suara itu. Keruan saja Leng Bwe-hong terkejut. Waktu ia menegasi,
ternyata adalah seorang nenek berambut ubanan seluruhnya,
entah sejak kapan tahu-tahu sudah berada di antara mereka.
Tapi segera Bwe-hong tahu juga dengan siapa ia
berhadapan, lekas ia memberi hormat dan menutur, "Tecu
Leng Bwe-hong diperintah Suhu datang menghadap Peklothaypoh
(si nenek tua she Pek)."
Nyata nenek ini memang Pek-hoat Mo-li adanya. Maka ia
pun menjawab singkat saja, "Ya, baikkah gurumu?"
"Suhu beberapa hari berselang baru saja wafat, maka
sengaja datang memberitahu," sahut Bwe-hong pilu.
Seketika itu juga Pek-hoat Mo-li merasa berat perasaan.
"Ai, sejak kini tak dapat lagi aku mencari lawan untuk
mempelajari Kiam-hoat," katanya kemudian menghela napa?.
Bwe-hong tak berani ikut bersuara. Selang sejenak,
didengarnya Pek-hoat Mo-li bertanya lagi, "Apa betul kalian
sengaja datang menemuiku?"
"Ya" jawab Bwe-hong. "Malahan kami membawa juga kotak
terbungkus sulam peninggalan Toh-susiok untuk
dipersembahkan pada kau orang tua."
Mendengar nama Toh It-hang disinggung, seketika wajah
Pek-hoat Mo-li berubah hebat. "Berani kau mengaco-belo di
hadapanku," dampratnya mendadak. "Aku tinggal di puncak
selatan, toh kau bukannya tidak tahu, lalu untuk apa kau
datang ke Thian-to-hong ini" Bila Toh It-hang ada sesuatu
untukku juga tak nanti menyuruh kalian membawa kemari.
Hm, berani kau main gila denganku?"
Dan ketika Leng Bwe-hong hendak memberi penjelasan, di
lain pihak Hui-ang-kin telah menyela, "Suhu, mereka justru
datang hendak mengeroyokku dan ingin merebut muridku
yang baru kuterima."
Tiba-tiba Pek-hoat Mo-li tertawa dingin sekali, seketika juga
Leng Bwe-hong, Kui Tiong-bing, Thio Hua-ciau dan Boh Wanlian
berempat merasa pandangan mereka menjadi kabur,
sekilas terasa seperti ada bayangan orang menyambar lewat
di samping mereka cepat Bwe-hong mengkeretkan tubuh
sedikit mengegos, sayup-sayup masih didengarnya ada seman
orang yang berkata, "Bagus!" Sekejap kemudian keadaanpun
tenang kembali dan Pek-hoat Mo-li sudah kelihatan berdiri di
tengah-tengah. "Leng Bwe-hong," kata Pek-hoat Mo-li, di tangannya
ternyata sudah bertambah dengan tiga batang pedang.
"Senjata-senjata kawanmu ini sudah kurampas semua
mengingat kau adalah murid Hui-bing Siansu, aku tidak
menghukum kau lagi. Nah, sekarang kalian lekas enyah semua
dari sini!" Habis itu Hui-ang-kin digandengnya masuk ke dalam
serta berkata, "Tak usah menggubris mereka lagi." Dan pintu
kembali digabrukkan pula rapat-rapat.
Sungguh tidak kepalang rasa terkejut Leng Bwe-hong tadi,
hanya dalam sekejap itu saja ternyata Pek-hoat Mo-li sudah
berhasil menggerayangi mereka berempat, kecuali ia sendiri,
senjata Kui Tiong-bing bertiga sudah kena dilucuti semua,
sungguh ilmu kepandaian yang maha hebat itu jarang
diketemukan di dunia persilatan, pantas kalau wanita kosen ini
berani dua kali mengeluruk mengajak bertanding Hui-bing
Siansu, gurunya.
Leng Bwe-hong cukup kenal watak Pek-hoat Mo-li, maka ia
tak berani tinggal lebih lama lagi di situ, lekas ia membawa
ketiga kawannya turun dari puncak Thian-to-hong itu.
"Terbentur iblis wanita tua ini, mungkin Lan-cu susah
dijumpai lagi," demikian katanya menghela napas sambil
duduk di kaki puncak gunung itu.
Hua-ciau sendiri bersemangat lesu dan termenung seperti
orang gendeng. Kui Tiong-bing terlalu sakit karena kehilangan
pedang pusaka, ia pun tak mampu buka suara.
Setelah tepekur sejenak, kemudian Boh Wan-lian bertepuk
tangan dan berkata, "Jangan putus asa Leng-tayhiap, senjata
kita dan diri adik Lan-cu masih bisa kita peroleh kembali, asal
dalam hal ini Thio-toako berani ambil resiko sedikit."
"Aku mampu apa?" sahut Hua-ciau lemas. "Berkelahi
dengan orang tidak unggulan, pakai memohon, mereka pun
tak menggubris."
"Masakah aku menyuruhmu harus berkelahi dengan Pekhoat
Mo-li?" kata Wan-lian tertawa. "Cukup asal kau tetap
membawa kotak berbungkus sulam bersama kedua tangkai
bunga sakti itu, anggap saja seperti tak pernah terjadi apaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
apa, tiga langkah lalu menyembah sekali terus kau mendaki
lagi ke puncak tertinggi di selatan itu. Aku tanggung nanti
Pek-hoat Mo-li akan menyuruh Hui-ang-kin membebaskan Ie
Lan-cu untukmu."
"Kau betul-betul yakin?" tanya Hua-ciau masih ragu-ragu.
"Untuk apa kupermainkan kau?" sahut Wan-lian. "Pula
kecuali jalan ini, cara lainpun tiada lagi."
Setelah berpikir, segera Bwe-hong dapat juga memahami
maksud gadis itu, maka ia mengangguk dan berkata, "Ya,
memang kau lebih cerdas, tadi kita terlalu kasar semua."
Tentu saja rasanya yang paling bingung ialah Kui Tiongbing,
ia pandang Wan-lian terus tak mengerti.
Geli Wan-lian melihat pemuda itu, ia tertawa sambil
meirotul jidat orang, lalu ia berbisik ke telinga Tiong-bing,
"Tolol, umpamanya lila. alu ada kata-kata sedap ingin
kubicarakan padamu, dapatkah fcukatakan di hadapan orang
lain?" Nyata Bol Wan-lian memang sangat cerdas, perasaan Pekhoat
Mo-li dengan jitu telah diterkanya.
Memangnya Pek-hoat Mo-li dan Toh It-hang tadinya adalah
sepasang kekasih, belakangan karena sesuatu hal telah
cedera, dan di antara mereka ada suatu perjanjian rahasia,
maka ketika Pek-hoat Mo-li mendengar ada barang
peninggalan Toh It-hang yang hendak disampaikan padanya,
seketika wajahnya berubah hebat. Tapi bila teringat pada janji
rahasia mereka itu, ia pikir tidak nanti Toh It-hang sekaligus
mengirim beberapa orang datang padanya, maka ia
menyangka juga Leng Bwe-hong sengaja hendak main gila
padanya. Begitulah, maka rombongan Leng Bwe-hong berempat lalu
meninggalkan Thian-to-hong menuju ke puncak tertinggi di
selatan itu. Setiba di tengah gunung, lantas Wan-lian berkata
pada Thio Hua-ciau, "Nah, sekarang seorang diri kau naiklah
ke atas, biar kami menunggumu di sini, bila kau turun boleh
memberi tanda dengan panah bersuara saja."
"Mungkin Pek-hoat Mo-li sendiri belum kembali di sini," kata
Hua-ciau. "Tak usah kau urus dia sudah kembali atau belum, asal kau
naik saja mencarinya ke sana tentu ada manfaatnya," ujar
Wan-lian. Maka sendirian lantas Hua-ciau mendaki puncak gunung itu
dengan susah payah, bahkan setiap tiga langkah harus pula
menyembah sekali menurut saran Boh Wan-lian tadi, tentu
saja dirasakan menderita sekali. Keadaan di puncak selatan
Thian-san inipun berlainan dengan puncak utara, di atas
gunung banyak terdapat sungai es (glacier ice). Selama dua
hari Hua-ciau mendaki ke atas dan sudah dekat dengan sungai
es purbakala, dari jauh sungai es tertampak seperti ombak
samudera yang membuih putih mengalir tertuang di antara
lereng gunung, tapi sesudah dekat barulah kelihatan jelas
bahwa pangkal dari 'ombak' itu semuanya adalah tiang es
beku yang sungsang timbul dan rata-rata tingginya 5-6
tombak, ada yang berbentuk pagoda yang putih bening
tembus pandang, ada pula yang mirip telapak tangan raksasa
dan aneka macam ragam lain lagi.
Sebenarnya suhu di puncak gunung selatan ini dinginnya
luar biasa, beruntung Hua-ciau sudah diberi 'Pik-ling-tan' oleh
Leng Bwe-hong, pula selama beberapa hari menjelajah Thiansan,
hawa dingin pegunungan sudah rada biasa dirasakannya,
maka ia masih sanggup bertahan.
Dan setelah mendaki terus menyusur sungai es dan
melintasi sebuah undak-undakan es beku yang mirip bekas air
terjun, tiba-tiba di atas menjadi lapang sepanjang beberapa
ratus tombak luasnya, di ujung lapangan es itu dengan
megahnya berdiri tegak sebuah puncak es setinggi ratusan
tombak dan mencit di atas puncak-puncak yang lain, di
samping puncak es itu terdapat sebuah rumah yang terbuat
dari es kristal hingga menyorotkan sinar yang menakjubkan, di
dalam rumah itu lapat-lapat seperti ada bayangan orang.
Nyata tatkala itu Hua-ciau sudah berada di atas puncak
selatan yang dia tuju. Puncak es itu terbentuk karena
timbunan salju yang bertumpuk-tumpuk di atas gunung itu.
Hua-ciau menduga rumah es ini tentulah Pek-hoat Mo-li
yang mendirikannya. Maka ia lantas berlutut menjalankan
penghormatan, sementara itu didengarnya suara orang tua
yang parau berkata, "Ya, aku ampuni kau, masuklah ke sini!"
"Pek-hoat Mo-li betul-betul makhluk aneh, tempat
tinggalnya saja begini rupa," diam-diam Hua-ciau membatin.
Lalu ia pun masuk ke dalam rumah, ia lihat di dalam tersulut
lilin yang tak terhitung banyaknya, sinar lilin menyorot ke
dinding es hingga menimbulkan sinar membalik yang
menyilaukan mata. Dan seorang wanita tua yang duduk di
tengah ternyata memang Pek-. hoat Mo-li adanya.
Hua-ciau hendak menyembah, tiba-tiba terasa olehnya ada
suatu kekuatan yang maha besar telah mengangkat dirinya,
kiranya Pek-hoat Mo-li yang telah menahan dirinya agar tak
perlu menghormat lagi.
"Betulkah kedatanganmu ini atas suruhan Toh It-hang?"
tanya Pek-hoat Mo-li kemudian.
Hua-ciau tak menjawab, tapi ia mengeluarkan kotak sulam
yang dibawanya itu, nada Uli sutera kotak itu terikal dua


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuntum bunga raksasa meran-putih diselubungi pula kain
sutera di sekitarnya, namun baunya masih semerbak
mewangi. Melihat kedua bunga itu, sinar mata Pek-hoat Mo-I i tibatiba
berkilat. "Kedua bunga ini apakah kau yang memetiknya?"
tanyanya cepat.
"Ya Tecu sendiri yang memetiknya" sahut Hua-ciau penuh
hormat. "Dan atas pesan Toh-locianpwe sengaja
dipersembahkan pada kau orang tua."
Pek-hoat Mo-li mengambil kedua kuntum bunga itu, cuma
masih tetap membiarkannya dalam selubung kain dan tak
dikeluarkan. "Tak dinyana kata-kata bergurau di masa 70
tahun lampau ia masih terus mengingatnya begitu jelas,"
katanya menghela napas. "Hari ini tepat aku genap berumur
seabad, maka untuk apalagi aku menghendaki bunga sakti
ini?" Mata Hua-ciau terbelalak tak bisa bersuara mendengar
kata-kata orang, ia lihat dalam rumah itu terang benderang
oleh sinar lilin, diam-diam ia berpikir, "O, kiranya hari ini
adalah hari ulang tahunnya yang ke-100." Dan selagi ia
hendak mencari kata-kata terbaik untuk memberi selamat,
dilihatnya Pek-hoat Mo-li telah memejamkan mata duduk
hening dan wajahnya guram, maka ia tak berani menyela.
Kiranya Pek-hoat Mo-li menjadi termenung mengenang
kejadian di masa lalu yang bagai mimpi belaka. Kejadian
selama 80 tahun lampau rasanya terbayang semua olehnya
80 tahun yang lalu, tatkala itu Pek-hoat Mo-li baru seorang
gadis remaja 20-an tahun, tapi namanya sudah tersohor dan
menggetarkan kalangan Kangouw sebagai seorang begal
tunggal di daerah barat-laut. Sebaliknya Toh It-hang adalah
seorang pu-tera bangsawan, kakeknya adalah pensiunan
gebernur dan ayahnya seorang pembesar tinggi di kota-raja.
Sebenarnya di antara mereka berdua tiada sesuatu
persoalan, tapi karena Toh It-hang mahir baik ilmu silat
maupun ilmu surat (sastra), pula orangnya berbudi suka
menolong kaum lemah, maka di kalangan Kangouw namanya
pun cukup terkenal.
Mereka berdua sama-sama orang Siamsay pula. Pada akhir
ahala Beng, daerah propinsi itu kacau-balau, Ong Kah-in
(pemimpin laskar rakyat tani yang lebih tua dua angkatan dari
Li Cu-sing) angkat senjata memberontak di barat Siamsay.
Waktu itu Pek-hoat Mo-li bersama beberapa ratus barisan
'Srikandi'nya juga mengerek bendera menjagoi di timur
propinsi itu. Kebetulan waktu itu Toh It-hang suka bergaul dengan
kawan dari kalangan Lok-lim hingga tertangkap dan
dipenjarakan, Pek-hoat Mo-li justru memimpin bawahannya
lewat di kota dimana It-hang dibui dan lantas menolongnya
keluar, sekali bertemu ternyata hatinya lantas tertambat.
Tetapi betapapun Toh It-hang adalah keturunan
bangsawan, terhadap cinta Pek-hoat Mo-li ia pura-pura tidak
tahu, lebih-lebih tak nanti ia sudi masuk menjadi anggota
'begal'. Dan karena gusarnya itu, terus saja Pek-hoat Mo-li
tinggal pergi. Selang beberapa tahun kemudian, Ko Ging-siang, itu
pemimpin laskar rakyat tani yang terkenal, paman Li Cu-sing,
telah memimpin pasukannya bertempur sengit melawan
pasukan Bing hingga suasana Siamsay semakin menjadi
kacau. Oleh karena masih rindu pada Toh It-hang, Pek-hoat Mo-li
mendapat berita waktu itu bahwa It-hang akan meninggalkan
daerah Siamsay menuju ke kota-raja, maka di tengah jalan ia
lantas mencegat pemuda itu dan diculiknya ke atas gunung
serta secara terus terang mengutarakan rasa cintanya. Tatkala
itu It-hang sebenarnya juga mulai menaruh cinta padanya tapi
ia tidak rela kalau soal jodoh itu harus dilakukan dengan cara
menculik dan seakan dipaksa, maka diam-diam tengah malam
buta ia melarikan diri dari tempat Pek-hoat Mo-li itu.
Belasan tahun pula Toh It-hang memegang pimpinan Butongpay sebagai Ciangbun atau Ketua, usianya sudah dekat
40 tahun juga, tapi karena Lwekangnya yang dalam, orangnya
masih tetap gagah ganteng. Dan untuk ketiga kalinya Pekhoat
Mo-li pergi mencarinya lagi, kedua orang bisa
mengesampingkan segala cedera yang dulu dan bersedia
mengikat janji untuk selanjurnya.
Tak terduga rupanya sudah nasib, oleh karena perbedaan
paham tentang aliran dan perguruan, beberapa angkatan tua
dan Susiok It-hang diam-diam cekcok dan mengusir Pek-hoat
Mo-li, dasar watak Pek-hoat Mo-li keras bagai api, begitu
saling gebrak, seorang Susiok H-hang telal dilukainya, sejfhg
ia sendiri pun terbuka ringan dalam pengeroyokan itu dan
dapat meloloskan diri.
Setelah mengalami peristiwa bebat itu, pula melihat
persoalan tak dapat diperbaiki lagi, Miang menjadi hampa, ia
menyerahkan kedudukan Ketua pada seorang adik
seperguruannya, dan mendengar bahwa Pek-hoat Mo-li telah
lari ke Sinkiang, maka ia pun menyusul ke Sinkiang hendak
mencarinya. Walaupun mengalami pukulan hebat, namun wajah It-hang
masih tetap tak berubah, berlainan sekali dengan Pek-hoat
Mo-li, sejak malam saling gebrak.dengan jago Bu-tong-pay,
para Susiok It-hang, karena merasa putus asa, hanya
semalam saja rambutnya telah berubah ubanan seluruhnya,
mukanya pun mulai berkeriput. Pek-hoat Mo-li adalah seorang
wanita yang sangat sayang pada wajah sendiri yang cantik,
tapi semenjak rambutnya berubah putih, rasa dukanya bukan
buatan, segera ia pun pergi mengasingkan diri ke Thian-san di
daerah Sin-kiang. Namun untuk memutuskan tali asmara,
kalau benda boleh diibaratkan memotong air dengan golok,
begitu golok diangkat, air mengalir lebih santar malah, hendak
memotong tak mungkin bisa memutuskannya.
Maka demi mendengar Toh It-hang juga sudah menyusul
datang ke Sinkiang, diam-diam ia pun pergi mengintipnya.
Dan urusan kadang memang sangat kebetulan, saat itu justru
It-hang lagi berada bersama puteri seorang Susioknya yang
baru datang dari pedalaman, sikap mereka pun kelihatan
sangat mesra. Puteri Susioknya itu secantik bunga, It-hang
sendiri juga masih ganteng, sesaat Pek-hoat Mo-li merasa
dirinya sudah jelek hingga timbul rasa cemburu dan benci,
segera ia hendak mengusir kedua orang itu keluar daerah
Sinkiang. It-hang minta bantuan seorang sahabat untuk
menyelesaikan kesalah-pahaman itu, namun nasib yang
pecah-belah itu rupanya tak dapat dirapatkan kembali.
Dan begitulah salah paham mereka pun makin bertambah
hingga belakangan meski mereka berdua sama-sama tinggal
di Thian-san selama beberapa puluh tahun, selalu mereka
saling menghindari tak ingin bertemu. Waktu perpisahan
paling akhir pernah juga Toh It-hang berkata pada Pek-hoat
Mo-li, "Kau ubanan sebab diriku, maka pasti aku akan
berusaha sepenuh tenaga buat mencarikan obat mujarab agar
bisa mengembalikan wajahmu yang cantik."
It-hang tahu Pek-hoat Mo-li paling sayang kecantikan
sendiri, jauh pada waktu pertama kalinya mereka berjumpa,
Pek-hoat Mo-li sudah pernah bilang 'wajah cantik gampang
tua', tatkala itu It-hang lantas berkelakar bahwa bersedia
mencarikan obat mujizat yang bisa membikin rambutnya tak
pernah putih, siapa duga kata-kata itu ternyata terwujud, kini
Pek-hoat Mo-li belum tua rambutnya sudah ubanan semua,
maka pada perpisahan terakhir, kembali It-hang mengulangi
janjinya yang dulu. Dan siapa pun tak menduga bahwa janji
itu justru merupakan cita-cita It-hang satu-satunya yang
belum terlaksana selama berpuluh tahun ini.
Kini Pek-hoat Mo-li menghadapi kedua bunga sakti itu
sambil termenung, kisah cinta 80 tahun lampau sekilas bagai
le-tikan api berkelebat lagi di lubuk hatinya, sungguh sama
sekali tak terpikir olehnya bahwa cinta It-hang ternyata begitu
mendalam padanya, janji yang lebih mirip bergurau di masa
hidupnya dulu sesudah orangnya mati ternyata masih bisa
terlaksana. Dan setelah termenung sejenak, kemudian ia membuka
matanya sambil menghela napas dan berkata, "Kedua tangkai
bunga ini lebih baik kaubawa kembali saja!" Sembari berkata
ia membuka juga kotak berkain sulam itu dan mengeluarkan
secarik surat, ia lihat di atas surat itu tertulis sebuah syair.
Syair itu adalah buah kalam Toh It-hang yang dikirim
kepadanya ketika mereka bercedera. Waktu itu api amarahnya
justru lagi berkobar, maka isi syair itu tak bisa dirasakannya,
tapi kini bisa membacanya kembali, barulah ia merasa syair itu
penuh perasaan halus dan manisnya madu yang menunjukkan
betapa cinta It-hang padanya.
Kiranya syair itu berbunyi bahwa sesudah mereka terpisah
tiada memberi kabar, ia sudah menduga tentu banyak timbul
berita bohong. Namun ia menekankan asal keduanya samasama
cinta, asal masing-masing masih hidup di dunia ini,
maka meski orangnya jauh di mata, tapi tetap dekat di hati.
Lalu It-hang f menunjukkan cintanya yang tak pernah padam,
dikatakannya meski mengalami- kesukaran apapun, makin
banyak rintangan yang dihadapi, rasa cinta murni semakin
tertampak juga. Dan akhirnya ia bilang walaupun bagai angin
musim rontok yang telah mematahkan beribu tangkai bunga
cinta, tetapi bunga cintaku pasti akan tetap menguarkan
semerbak wangi yang abadi.
Apa yang dikatakan dalam syair itu tentu saja dahulu tak
terasa apa-apa oleh Pek-hoat Mo-li, kini beberapa puluh tahun
sudah berlalu, Toh It-hang sudah meninggal, ia pun genap
berusia seabad, dan syair It-hang itu justru menjadi saksi
berlalunya sang waktu yang membuktikan selama berpuluh
tahun ini hati It-hang memang tepat seperti bunyi bait terakhir
syairnya itu, se-dikitpun tidak berubah.
Pe lahan Pek-hoat Mo-li melipat kembali kertas syair itu dan
dimasukkan ke bajunya, sambil duduk termenung di tengah
rumah es itu, ia memandang jauh keluar, memandang lautan
mega yang bergumpal mengelilingi Thian-san. Lama dan lama
sekali tiada juga sepatah kata pun diucapkannya.
"Pek-locianpwe apakah masih ada pesan lain?" akhirnya
Hua-c iau yang membuka suara
Dan barulah Pek-hoat Mo-li seperti sadar dari impiannya, ia
menarik napas dalam-dalam, lalu berkata "Ya tentu
membuatmu letih juga nah, katakanlah adakah sesuatu
urusanmu yang perlu kulakukan untukmu" Asal aku bisa
melakukannya pasti kukerjakan untukmu."
"Lain tidak, aku hanya mohon bantuan Locianpwe
menyuruh Hui-ang-kin agar suka melepaskan adik Lan-cu,"
sahut Hua-ciau.
"Adik Lan-cu yang mana?", tanya Pek-hoat Mo-li. "Ah, ya,
tentunya anak dara itu, bukan?"
"Ya," Hua-ciau mengangguk. "Kami sudah mengikat janji
sehidup semati!"
Pek-hoat Mo-li menjadi terharu bila teringat pada kisah
cintanya sendiri. "Kesalahan yang pernah dilakukan kami yang
lebih tua, seharusnya jangan diulangi lagi oleh kalian yang
muda," katanya kemudian menghela napas. "Jika Hui-ang-kin
ingin menerima murid, di jagad ini tidak kurang gadis pandai,
tidak seharusnya ia merebut kau punya adik Lan-cu." Habis ini
ia pun tertawa sendiri, lalu dari atas kepalanya ia mengambil
sebuah tusuk kondai terbuat dari batu Giok dan diberikan
pada Hua-ciau. "Dalam beberapa hari ini aku tidak ingin turun gunung lagi,
maka boleh kaubawa tusuk kondai ini pergi menemui Hui-angkin
dan bilang saja aku yang menyuruhnya membebaskan
anak dara itu," kata Pek-hoat Mo-li pula
Tentu saja Hua-ciau sangat girang dan menghaturkan
terima kasih. Dan sehabis menyerahkan kembali tiga pedang yang
dirampasnya tempo hari dari Hua-ciau bertiga, kemudian Pekhoat
Mo-li berkata lagi, "Jauh-jauh kau datang ke sini, masih
belum kuberi sesuatu hadiah padamu. Biarlah kuturunkan
sejurus ilmu mengentengkan tubuh padamu." Habis mana
ketika tangannya menarik Hua-ciau, maka terasalah oleh
pemuda ini seakan terbang di atas awang-awang saja, tahutahu
telah kena dibawa keluar rumah oleh Pek-hoat Mo-li,
begitu cepat dan enteng sampai cara bagaimana orang
bergerak tak jelas dilihatnya.
Keruan saja Hua-ciau kegirangan, lekas ia mengucapkan
terima kasih pula.
Lalu Pek-hoat Mo-li memainkan sejurus Ginkang atau ilmu
mengentengkan tubuh ciptaannya sendiri, ia melambatkan
gerakannya agar bisa diikuti Hua-ciau dengan jelas, kemudian
ia mengajarkan pula rahasia cara berlatih, kesemuanya itu
diperhatikan Hua-ciau baik-baik dan ikut berlatih setengah
hari. "Nah, cukuplah sudah, kelak kau boleh melatihnya sendiri,"
kata Pek-hoat Mo-li kemudian.
Sejenak pula Pek-hoat Mo-li berkata lagi, "Kedua tangkai
bunga ini tiada gunanya buatku, lebih baik kaubawa pergi dan
persembahkan pada Hui-ang-kin saja"
Hua-ciau menjadi ingat bahwa rambut Hui-ang-kin juga.
ubanan semua, kedua bunga ini memang tepat digunakan dia.
Maka esok paginya, Hua-ciau lantas mohon diri pada Pekhoat
Mo-li. Setelah dua hari dan turun sampai di tengah
gunung, segera ia membunyikan panah bersuara seperti apa
yang sudah dijanjikan, selang tak lama, maka tertampaklah
Leng Bwe-hong bersama Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian
muncul dari belokan j alan pegunungan sana
"Nak, bagaimana hasilnya, aku tidak mendustaimu bukan?"
segera Wan-lian berteriak begitu melihat Hua-ciau.
Maka dengan girang Hua-ciau pun menceritakan
pengalamannya itu hingga semua orang ikut bergirang.
Sementara itu tangan Leng Bwe-hong memegang sebatang
tongkat hitam mulus sedang mengetok batu cadas, katanya
dengan tertawa, "Nah, sekarang kita pergi lagi mencari Huiangkin, coba dia berani menghalangi lagi atau tidak?"
Dan barulah Hua-ciau memperhatikan tongkat yang
dipegang Leng Bwe-hong. "Tongkatmu ini sungguh bagus dan
menarik sekali, apakah dari kayu?" tanyanya tertarik.
"Kau bilang menarik, nah, biar kuberikan padamu," kata
Bwe-hong. "Memang keras tongkat ini tak kalah dari besi baja.
Selama beberapa hari ini aku banyak mengumpulkan Thiansan

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sin-bong dan sekalian memotong sebatang kayu 'Hangliongbok' (kayu penakluk naga) yang khusus tumbuh di
Thian-san saja, lalu aku bikin menjadi tongkat seperti ini."
"Tapi aku hanya belajar Kiam-hoat, sebaliknya tak pernah
belajar Koay-hoat (ilmu permainan tongkat)," ujar Hui Ciau.
"Asal kau mainkan menurut Bu-kek-kiam-hoat saja sudah
cukup, boleh jadi ia akan lebih bagus daripada pedang di
tanganmu itu," kata Bwe-hong. "Biarlah untuk itu kuajarkan
kau pula beberapa jurus ilmu menotok dengan tongkat."
Dalam dua-tiga hari ini nasib Hua-ciau benar-benar lagi
mujur, ia sudah mendapatkan pelajaran Ginkang tunggal
ciptaan Pek-hoat Mo-li, kini mendapatkan 'Hang-liong-po-tiang'
(ilmu tongkat penakluk naga) pula, tentu saja ia sangat
gembira. Kemudian mereka berempat menuju kembali Thian-to-hong
buat menemui Hui-ang-kin. Setibanya di sana segera Leng
Bwe- hong maju mengetok pintu, tapi sampai lama sekali
masih tiada sahutan.
Tentu saja diam-diam Leng Bwe-hong mendongkol,
"Kenapa Hui-ang-kin begini tak kenal adat, tak urus dan tak
menggubris kami," demikian pikirnya.
"Aku membawa tusuk kondai giok dari gurunya, marilah
kita menerjang masuk saja menemuinya," ajak Hua-ciau tak
sabar. Kembali Bwe-hong berteriak beberapa kali lagi dan masih
tetap tiada jawaban, keruan ia pun bertambah dongkol.
"Baiklah, terpaksa menerobos masuk saja!" katanya memberi
tanda. Memangnya Tiong-bing lagi mengharap Leng Bwe-hong
berkata demikian, keruan tanpa menunggu perintah kedua
kalinya sekali kedua telapak tangannya mendorong ke depan
dengan kuat, seketika pintu batu itu terdorong dan
terpentang. "Kui-hiante jangan sembrono, meski kita masuk mendobrak
pintu, tapi kita harus mohon bertemu secara aturan," kata
Bwe-hong. Lalu ia pun memimpin kawan-kawannya masuk ke
dalam. Maka terlihatlah oleh mereka Hui-ang-kin lagi duduk semadi
dengan bersila di atas sebuah kasuran bundar tanpa bergerak
sedikitpun, mirip sebuah patung purbakala. Terhadap segala
kerusuhan yang sudah terjadi seakan dipandang tapi tak
terlihat, mendengar tapi tak mau tahu.
Pelahan Leng Bwe-hong mendekati tempat orang, lalu
dengan lirih ia menyapa, "Hui-ang-kin, kami diperintah
gurumu datang menjengukmu."
Tapi sejenak masih hening, lama dan lama sekali baru Huiangkin membuka matanya pelahan. "Kalian telah datang?"
katanya kemudian. "Tapi Lan-cu sudah pergi! Hidup bagai
mimpi, segalanya hampa belaka, apa lagi yang kalian
kehendaki?"
Nyata pahlawan wanita yang namanya pernah
menggetarkan seluruh padang rumput itu kini mirip seperti
seorang sakit payah saja, matanya guram, suaranya lemah tak
bertenaga, rambutnya yang putih bergerak-gerak dan
tubuhnya rada gemetar.
Bwe-hong menggigil melihat keadaan orang yang lain
daripada yang lain itu. Sebaliknya Thio Hua-ciau lantas
berteriak, "Sungguh Lan-cu sudah pergi?"
"Ya, kau telah menangkan dia," sahut Hui-ang-kin. "Ia tak
mau mendampingiku lagi di pegunungan sunyi ini, tapi ia ingin
pergi mencari kalian, maka diam-diam ia telah pergi, ya, diamdiam
telah pergi!" Lalu ia menunjuk pada dinding di sebelah
kanan dan berkata, "Lihatlah!"
Ternyata di atas. dinding itu terukir beberapa* baris tulisan,
dengan pedang. Waktu Hua-ciau membacanya tulisan itu
berbunyi : ' 'Budi dan benci belum berakhir, tekanan hati susah
dihilangkan, hendaklah ibu menjaga diri baik-baik, tidak-lah
lema untuk berjumpa pula. " "O, ia benar-benar sudah pergi!"
seru Hua-ciau setengah meratap sehabis membaca tulisan itu.
Sementara Hui-ang-kin telah memejamkan matanya lagi, ia
mengayun tangannya memberi tanda dan berkata, "Nah,
kalian bolehlah pergi saja siapa pun jangan mengurusku lagi P
Dengan penuh perhatian Leng Bwe-hong memandang Huiangkin, perasaannya ikut menderita sekali. Mendadak ia
berseru padanya "Hui-ang-kin, lihatlah, apakah ini?"
Karena itu tanpa terasa Hui-ang-kin membuka matanya,
dan cepat juga Leng Bwe-hong menyambar tongkat
buatannya dari tangan Thio Hua-ciau dan disodorkan ke
hadapan Hui-ang-kin. "Nah, Hui-ang-kin, rasanya kau
memerlukan tongkat. Nah, inilah untukmu!" demikian
teriaknya pula.
Tentu saja Hui-ang-kin tercengang. "Apa kau bilang?"
tanyanya bingung.
"Ya Hui-ang-kin, bukankah kau sudah tak berguna lagi?"
kata Bwe-hong bergelak tawa. "Tanpa tongkat, kau sudah tak
sanggup berjalan pula!"
Keruan luar biasa gusar Hui-ang-kin, seketika itu juga ia
meloncat bangun dari tempat duduk. "Leng Bwe-hong,"
dampratnya sengit sambil menuding, "Betapa tinggi
kepandaianmu, berani kau menghinaku" Hayo, coba katakan,
mari kita bertempur 300 jurus, kita lihat nanti siapa yang
sanggup berjalan dan siapa yang tidak?"
Karena kejadian itu, Hua-ciau dan kawan-kawan terkejut
dan bingung, sebaliknya sikap Leng Bwe-hong tenang biasa
saja. "Jangan kau gusar dulu, Hui-ang-kin," demikian kata Bwehong
kemudian. "Cobalah kau pikir dulu apakah aku salah
mengatakan padamu" Sebab apa semangatmu menjadi lesu"
Tiada lain justru karena kau sudah kehilangan tongkatmu!"
"Ngaco-belo, apa kau gila?" bentak Hui-ang-kin dengan
mata melotot. "Tidak, aku tak gila, tapi kaulah sendiri yang gila" sahut
Bwe-hong. "Kau hendak menggunakan le Lan-cu sebagai
tongkat sandaran mu. tanpa dia untuk berjalan saja kau tak
sanggup lagi! Sungguh aku menjadi merasa malu bagimu, kau
seorang pahlawan wanita dari padang rumput, ternyata harus
bersandar-kan pada seorang gadis sebagai tongkatmu! Apa
kau menjadi begitu lemah, begitu loyo, sampai keberanian
buat hidup terus sudah tiada lagi" Akan tetapi Ie Lan-cu bukan
sebatang kayu, ia berjiwa, ia bisa berpikir, ia berperasaan, ia
tak bisa menjadi tongkatmu, kau paham tidak" Hui-ang-kin,
cobalah kau pun harus berusaha berdiri sendiri, jalan tanpa
mengandalkan tongkat."
Karena kecaman tajam Leng Bwe-hong yang menusuk itu,
wajah Hui-ang-kin yang pucat lesu tiba-tiba berubah merah,
dari merah menjadi kehijauan, lalu kembali merah lagi.
Di samping sana diam-diam Boh Wan-lian menjadi amat
kagum. "Leng Bwe-hong sungguh hebat, kalau bukan katakatanya
yang tajam bagai jarum menusuk lubuk hatinya susah
juga hendak menyembuhkan penyakit batin Hui-ang-kin,"
demikian pikirnya.
Dan betul juga semangat pahlawan 20 tahun yang lalu tibatiba
telah kembali atas dirinya darah Hui-ang-kin bergolak
bagai mendidih seakan hendak memecah raganya.
Ya, memang sejak Hui-ang-kin kehilangan Njo Hun-cong, ia
benar-benar merasakan hidup hampa luar biasa, ia seperti
kehilangan sandaran hidup. Kalau ilmu silatnya makin dilatih
makin tinggi, sebaliknya tenaga dan semangatnya makin lama
makin lemah, semangat pahlawan yang tadinya menyala-nyala
dalam perjuangan yang tak kenal lelah itu tiba-tiba lenyap,
lalu ia pun mengurung diri di atas puncak Thian-to-hong itu
menahan godokan derita perasaan. Sampai saat ia tak bisa
menahan derita lagi, lalu ia merebut diri Ie Lan-cu, Ie Lan-cu
hendak digunakannya mengisi tempat Njo Hun-cong dalam
lubuk hatinya agar memberi keberanian hidup baginya. Segala
apa tak dipedulikannya, yang dia pikir asal Ie Lan-cu bisa
mendampinginya dan memperkuat morilnya
"Ya, memang benar aku telah memandang Larf-cu sebagai
tongkat sauiaaranku!'' tergoncang juga jiwa Hui-ang-kin, suara
hatinya lagi mencerca padanya.
"Ya Leng Bwe-hong, tepat peikataanmu!" tiba-tiba ia
berteriak. "Tapi Hui-ang-kin yang memerlukan sandaran
tongkat itu sudah mati, Hui-ang-kin yang berdiri di
hadapanmu sekarang ini adalah Hui-ang-kin yang tak
memerlukan tongkat. Marilah, aku ikut bersama kalian turun
gunung, aku akan mencari kembali Lan-cu bagi kalian! Aku
akan pergi ke tengah suku bangsaku, agar mereka tahu Huiangkin 20 tahun yang lampau itu kini telah hidup kembali!"
Girang sekali Leng Bwe-hong melihat usaha menghidupkan
jiwa pahlawan wanita itu berhasil, ia lemparkan kembali
tongkat tadi pada Thio Hua-ciau, lalu bertepuk tangan
bersorak gembira.
Sementara itu Hua-ciau telah mengeluarkan dua kuntum
bunga sakti itu dan dipersembahkan ke hadapan Hui-ang-kin.
"Kedua bunga ini adalah peninggalan Toh-locianpwe kepada
gurumu, tapi gurumu tak mau dan menyuruhku
menyerahkannya padamu."
Dan demi mencium bau wangi sedap bunga itu, semangat
Hui-ang-kin menjadi tambah segar. "Bunga apakah ini?"
tanyanya tertawa.
"Ini adalah bunga sakti, menurut cerita bisa membikin
rambut putih berubah hitam kembali, khasiatnya melebihi
segala macam obat-obatan lain," tutur Bwe-hong.
"Ah, tidak, aku tak memerlukannya" sahut Hui-ang-kin
dengan menggeleng kepala "Asal hatiku selalu muda, buat apa
harus merubah rambut putihku menjadi hitam kembali" Aku
justru ingin memelihara rambut ubanan ini untuk peringatan.
Rambut putih ini akan mengingatkanku bahwa aku pernah
loyo, pernah menjadi seorang wanita lemah yang memerlukan
sandaran tongkat."
Habis itu ia pun tertawa tertawa riang sekali. Semua
tekanan jiwa yang pernah dirasakannya kini telah lenyap
bersih, hatinya sudah lapang kembali, tenang dan bersih bagai
sungai es di Thian-san.
Mengenai diri Ie Lan-cu, pada hari itu sesudah Leng Bwehong
dan Thio Hua-ciau diusir pergi, pikirannya menjadi kacau
tak tenteram, semalam suntuk gulang-guling tak bisa pulas.
Cinta kasih Thio Hua-ciau terhadapnya memang membikin
goncang perasaannya, tetapi serentetan perkataan Leng Bwehong
yang menasehati dia melanjutkan cita-cita ayahnya yang
belum terlaksana itu, lebih-lebih merupakan satu kemplangan
di atas kepalanya
Ia memeras otak sampai hampir pagi, ia pikir bolak-balik, ia
mengerti Hui-ang-kin harus dikasihani, tetapi ia sendiri masih
muda belia dan harus mendampinginya melewatkan detikdetik
dan hari-hari yang sunyi hampa di pegunungan, paling
banyak hanya dua manusia yang harus dikasihani yang
berkumpul di suatu tempat.
"Aku masih muda belia apa aku mesti membiarkan jiwaku
seperti api lilin tersirap dengan sendirinya di pegunungan
sunyi ini?" demikian timbul pertentangan dalam jiwanya.
"Tidak, aku tidak sudi!" tiba-tiba timbul teriakan dalam
hatinya pikiran ruwet bagai benang kusut selama beberapa
bulan ini mendadak terbuka, dengan cepat ia mengambil
keputus-an, ia harus meninggalkan Hui-ang-kin dan pergi
mencari Leng Bwe-hong dan Thio Hua-ciau. Maka diam-diam
ia menggores beberapa baris huruf di tembok dengan pedang,
kemudian pergi turun gunung.
Lan-cu dibesarkan di Thian-san, dengan sendirinya ia hafal
jalanan di situ, ia mengambil jalan melalui Tat-pan-sia dan
menyusur tepi sungai Pek-yang terus menuju ke Sinkiang
selatan. Sesudah berjalan lebih 20 hari, tiba-tiba dirasakan hawa
udara makin lama makin panas, padang pasir yang luas telah
menghadang di depannya, ia mengerti kalau maju lagi ke
depan ialah Turfan, 'Benua berapi' yang terkenal di Sinkiang.
Hwe-yam-san dalam cerita Se-yu, tidak lain ialah tempat ini.
Ie Lan-cu coba mengambil jalan memutar, ia membelok ke
sebelah barat Turfan.
Pada suatu hari tengah dalam perjalanan, sekonyongkonyong
angin menderu membawa suhu panas, dalam
sekejap pasir kekuningan bergulung-gulung bagai kabut asap,
dan gurun pasir itu mendadak seperti tertutup sebuah tirai
beludru kuning raksasa yang menutupi langit dan bumi.
Lekas Ie Lan-cu menyembunyikan diri dan berlindung di
belakang suatu bukit pasir dan bernapas pelahan, tempotempo
ia harus menyisihkan timbunan pasir yang menimpa
dirinya karena terbawa angin puyuh itu.
Sesudah agak lama, angin puyuh yang membawa pasir itu
baru reda. Dan baru saja Lan-cu menongolkan kepala, tibatiba
dilihatnya di sebelah bukit pasir sana berdiri empat orang
laki-laki kekar tegap, seluruh tubuh mereka penuh debu pasir,
agaknya payah sekali karena serangan angin tadi.
"Tong-lok, kini kita telah kesasar! Apakah kau masih bisa
mengenali jalan lagi?" terdengar seorang di antaranya yang
berperawakan kurus kecil sedang bertanya kawannya.
Orang yang dipanggil "Tong-lok" itu memakai kerudung
kepala yang menutupi kedua belah telinganya dan separah
mukanya. Waktu ditanya, ia mengangkat kepalanya dan
memandang sekelilingnya.
"Wah, celaka!" teriaknya kemudian. "Angin puyuh gurun
pasir tadi telah merubah semua bentuk peta bumi, kini aku
sendiri juga tak bisa mengenali jalan lagi. Beruntung kantong
air kita tidak hilang, terpaksa kita harus berjalan menuju ke
tempat yang paling panas, kalau bisa sampai di Turfan, aku
akan mengenal pula jalannya."
"Cuaca setan seperti ini, sebentar dingin sebentar panas,
kalau panas terik bagai digarang, air kita yang tinggal sedikit
ini mungkin belum dua hari sudah terminum habis, bagaimana
bisa melintasi Hwe-yam-san?" terdengar seorang lainnya ikut
berkata. Mendengar percakapan mereka itu, Lan-cu menjadi teringat
akan dirinya sendiri, waktu ia meraba kantong airnya sendiri
yang terisi penuh dengan air es Thian-san, ternyata kantong
air dari kulit itu sudah kempes entah sejak kapan telah
berlubang terkena batu kerikil tajam hingga semua air sudah
bocor habis. Lan-cu menjadi gugup mengetahui bekal airnya telah
kering tanpa terasa, segera ia melompat keluar dari tempat


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persembunyiannya. "Hai, kakak-kakak yang lewat, kalian
hendak kemana" Aku kenal jalanan di sini!" demikian serunya
cepat. Sungguhpun seluruh tubuh Ie Lan-cu juga penuh debu
pasir, akan tetapi semua itu tak bisa menutupi wajahnya yang
cantik rnanis. Ketika keempat laki-laki itu dengan tiba-tiba
nampak seorang gadis cantik muncul di tengah gurun pasir,
mata mereka terbeliak terkesima.
"Siapa kau, mengapa seorang diri berjalan di gurun pasir
luas ini?" gertak laki-laki kurus kecil tadi.
Dalam hati Lan-cu rada mendongkol melihat orang begitu
kasar. "Peduli apa denganmu," sahurnya aseran. "Aku hanya
hendak menjadi petunjuk jalan bagimu dan sebaliknya kalian
membagi sedikit air padaku, kita sama-sama tidak saling
merugikan, jika kamu tak mau boleh katakan terus terang, aku
sendiri bisa pergi mencari air dan kamu boleh jalan menurut
arahmu." "Ya, betul itu, kurang apalagi kalau bisa berteman
denganmu, si nona manis ini?" teriak seorang di antaranya
yang gemuk gede. "Nona, apa kau sudah haus" Mari sini,
airku ini boleh kau minum!"
Lan-cu coba melirik mereka. "Hm, keempat orang ini tentu
bukan manusia baik-baik," pikirnya. Akan tetapi ia
berkepandaian tinggi, ia tidak takut pada mereka.
"Kita hanya bantu-membantu dalam keadaan sama-sama
menghadapi kesukaran, jangan kau ngaco-belo!" dampratnya
kemudian lantang.
Habis itu tanpa sungkan juga ia lantas menerima kantong
air yang diangsurkan si gemuk tadi terus diminum dua
cegukan, kemudian ia mengangkat tangannya memberi tanda.
"Sudahlah, hayo sekarang berangkat!" ajaknya segera.
Kiranya keempat orang ini adalah jago kerajaan. Yang kecil
kurus itu bukan lain ialah Thi-pa-boan-koan atau si jaksa
potlot baja, Seng Thian-ting. Dan yang memakai kerudung
kepala itu adalah Khu Tong-lok.
Karena kedua daun kuping Khu Tong-lok kena diiris Leng
Bwe-hong, ia takut ditertawai orang, maka selamanya
memakai kerudung yang menutupi kedua samping telinganya.
Sedang dua orang yang lain ialah pembantu Seng
Thiantirig, yang seorang bernama The Tay-kun dan yang lain
Ni Sam-hou. Kaisar Khong-hi pada masa itu adalah orang yang suka
kemenangan, sesudah berhasil menumpas gerakan Go Samkui
dan Li Lay-hing, segera ia berniat meluaskan pengaruhnya
ke perbatasan dan mempersatukan Mongolia serta Tibet ke
dalam kekuasaannya.
Ia mendapat laporan pula bahwa sekalipun Li Lay-hing
sudah tewas, tetapi saudaranya, Li Jiak-sim, ternyata lolos dan
hilang tak diketahui jejaknya, dan ada kemungkinan lari
masuk ke daerah Sinkiang. Oleh karena itu juga, napsunya
untuk mencaplok Sinkiang, Mongol dan Tibet menjadi
bertambah terburu-buru.
Seng Thian-ting berempat tidak lain ialah jago-jago yang
sengaja ia perintahkan masuk ke Sinkiang dengan tugas
menyelidiki keadaan di daerah ini sambil mencari jejak Li Jiaksim.
Ie Lan-cu tidak mengetahui asal-usul mereka sedikitpun,
maka tanpa sesuatu rasa curiga ia membikin perjalanan
dengan mereka. Sepanjang jalan Khu Tong-lok terus-menerus
mengamati diri Ie Lan-cu, sikapnya agak mengherankan dan
aneh. Nampak sikap kawannya yang aneh itu, si gemuk tadi, The
Tay-kun namanya, tiba-tiba tertawa menggodanya, "Eh, Khutoako,
bukankah biasanya kau tak suka akan paras elok"
Kenapa hari ini kau menjadi tertambat oleh si rase cilik ini!"
Lan-cu menjadi gusar mendengar dirinya dibuat sasaran
mereka, selagi ia hendak bertindak, sekonyong-konyong dari
depan tertampak debu mengepul tebal, menyusul dua orang
penunggang kuda mendatangi.
"He, ilmu menunggang kuda kedua orang ini mengapa
begini hebat?" ujar Seng Thian-ting heran.
Belum lenyap suara perkataannya, kedua penunggang kuda
tadi sudah sampai di depan mereka. Dengan sekali loncat,
tahu-tahu kedua penunggang itu sudah melompat turun dari
kuda mereka. Ternyata mereka adalah sepasang pemuda dan pemudi, si
pemuda berpakaian putih bersih dan berdandan sebagai
pelajar, sedang si pemudi mengenakan pakaian merah, hingga
perpaduan warna merah putih menyolok sekali tampaknya.
Dalam pada itu, demi melihatnya, Lan-cu menjadi girang
bercampur terkejut.
Si gadis baju merah itu ternyata bukan lain ialah Bu Gingyao,
murid Pek-hoat Mo-li. Gadis berbaju merah yang dilihat
Leng Bwe-hong, Kui Tiong-bing dan kawan-kawan di ThianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
san pada waktu sebelum mereka menghadap Hui-bing Siansu,
bukan lain juga dia.
Bu Ging-yao adalah puteri kesayangan Bu Goan-ing,
seorang tokoh ternama dari aliran' Cong-lam-pay. Waktu Leng
Bwe-hong, Lauw Yu-hong dan kawan-kawan membikin geger
di Ngo-tai-san, mereka bermarkas di rumah Goan-ing. Oleh
karena itu Bu Ging-yao mengenal Leng Bwe-hong dan Boh
Wan-lian, sebaliknya Leng Bwe-hong dan Boh Wan-lian tidak
pernah menyangka bahwa Ging-yao juga bisa berada di Thiansan,
hingga sesaat itu mereka tidak mengenali bahwa gadis
baju merah itu adalah Bu Ging-yao.
Hari itu, sesudah membikin huru-hara di Ngo-tai-san, para
pahlawan lalu berpencar, Bu Goan-ing sekeluarga tadinya
tinggal di Soasay, belakangan berhubung keadaan makin
genting bagi keselamatan mereka, lalu ia pun pindah ke
Sinkiang. Bu Goan-ing membawa Ging-yao naik ke Thian-san untuk
menjumpai Hui-bing Siansu, tak terduga baru sampai di
tengah gunung mereka bertemu dengan Pek-hoat Mo-li.
Begitu melihat Ging-yao, Pek-hoat Mo-li lantas sangat
menyukainya, segera ia minta Bu Goan-ing menyerahkan
puterinya untuk menjadi muridnya. Bu Goan-ing ragu-ragu
karena tak mengenal siapa gerangan yang dihadapinya itu.
Tetapi Pek-hoat Mo-li tersenyum saja, tiba-tiba ia meraup
sepotong batu terus diremas, waktu ia membuka tangannya,
batu itu sudah menjadi bubuk.
Habis itu dengan tertawa Pek-hoat Mo-li baru berkata,
"Cong-lam-pay dan Bu-tong-pay cukup rapat hubungannya,
apakah nama Pek-hoat Mo-li tak pernah kaudengar?"
Mendengar itu Bu Goan-ing baru. tahu siapakah gerangan
si nenek yang dihadapinya kala itu, bukan lain daripada Pekhoat
Mo-li yang pernah berselisih paham dengan Toh It-hang,
Ciang-bun atau ketua Bu-tong-pay dari angkatan yang lebih
tua. Ia pernah mendengar cerita dari gurunya bahwa karena
urusan Toh It-hang, Pek-hoat Mo-li pernah seorang diri
menempur jago-jago Bu-tong-pay dan beruntun mengalahkan
Bu-tong-pat-hiap atau delapan pendekar dari Bu-tong, bahkan
salah seorang Susiok atau paman guru Toh It-hang juga kena
dilukai olehnya, suatu tanda betapa tinggi ilmu silatnya sudah
tiada taranya di kolong langit. Hanya kalau dihitung, sedikitnya
ia sudah menginjak umur seabad, sungguh Bu Goan-ing tidak
menyangka bahwa ia masih hidup segar bugar di dunia ini.
Sehari-hari Ging-yao juga pernah mendengar cerita tentang
diri Pek-hoat Mo-li, kini mendengar bahwa wanita yang tiada
bandingannya itu hendak mengambil murid padanya, ia
menjadi kegirangan dan menghaturkan terima kasih, belum
ayahnya menjawab ia sendiri sudah menyatakan
kesediaannya. Namun Bu Goan-ing masih ragu-ragu tak tega
berpisah dengan puteri-nya.
"Aku hanya menghendaki ia belajar padaku tiga tahun saja"
kata Pek-hoat Mo-li akhirnya. "Caraku mengajar murid
berlainan dengan orang lain, aku mengajarkan tiga tahun
dapat memadai orang lain mengajarkan sepuluh tahun!
Sesudah tiga tahun, aku tentu akan mengantarnya kembali
padamu." Pek-hoat Mo-li menerima murid lagi pada usianya yang
sudah lanjut, sedang Bu Ging-yao memangnya berotak tajam
dan juga lincah, pintar mengambil hati gurunya. Oleh karena
itu, Pek-hoat Mo-li sangat memanjakan Ging-yao dan sayang
sekali padanya. Ia menurunkan Kiam-hoat atau ilmu
pedangnya yang tunggal dengan cermat, lebih jauh ia
menambah tenaga anak dara itu dengan berbagai obatobatan,
dan betul saja hanya dalam tiga tahun, ia sudah
menjadikan Ging-yao lain daripada yang lain, kecuali keuletan
latihannya yang agak kurang, soal Kiam-hoat ia sudah tidak di
bawah Hui-ang-kin, kakak seperguruannya
Dalam pada itu, Ging-yao juga sering datang ke Thian-tohong
dan bermain dengan Hui-ang-kin, oleh sebab itu juga ia
mengenal Ie Lan-cu.
Sedang si pemuda sastrawan bermuka putih bersih yang
datang bersama dia itu bukan lain adalah Li Jiak-sim.
Pada waktu Jiak-sim digrebeg pasukan Boanjing, dengan
mati-matian ia berhasil menerjang keluar dari kepungan. Ph(c)
Jing-cu, Lauw Yu-hong, Ciok Thian-sing-suami isteri, Han Hing
dan kawan-kawan berkat ilmu silat mereka yang tinggi,
kesemuanya dapat meloloskan diri. Hanya saudara angkat Han
Hing, Cu Thian-bok dan Njo Cing-po tak beruntung telah
tewas dalam penggrebegan itu.
Li Jiak-sim, Pho Jing-cu dan kawan-kawan belasan o-rang
dari Sucwan kemudian menuju ke barat dengan kuda mereka
dan memasuki daerah Sinkiang.
Pada hari yang sama tiba-tiba mereka bertemu angin
puyuh di gurun pasir itu, kuda tunggangan Li Jiak-sim adalah
seekor kuda kuning yang tak pernah menjelajah gurun pasir,
karena kaget oleh serangan angin puyuh yang membawa pasir
kerikil, kuda itu berlari kesetanan sambil meringkik ketakutan
dan meninggalkan rombongan.
Walaupun Jiak-sim berilmu silat tinggi, tetapi ia tak
berpengalaman cara bagaimana harus menghadapi serangan
angin di gurun pasir. Ketika ia gugup, mendadak dari arah lain
seorang penunggang kuda menerjang datang,
penunggangnya adalah seorang gadis berbaju merah, gadis
itu menyerempet lewat di sampingnya sambil menarik lengan
baju Li Jiak-sim dan berteriak, "Lekas balik tubuh dan
sembunyi di bawah perut kuda dan larikan menurut arah
angin!" Li Jiak-sim memang lagi merasakan tajamnya angin pasir
yang seakan-akan mengiris mukanya kedua matanya susah
dibuka, tenaganya pelahan pun hampir habis, karena teriakan
si gadis, segera ia membalik dan menggelantung di bawah
perut kuda terus dilarikannya cepat sejajar dengan gadis itu.
Sesudah agak lama angin ribut itu baru reda kembali,
kedua orang itu lalu balik kembali ke atas punggung kuda
segera Jiak-sim mengucapkan terima kasihnya. "Sukalah nona
mem-beritahu nama perguruan nona?" demikian tanyanya
kemudian. Gadis baju merah itu tertawa genit. "Perguruan apa sedikitpun
aku tak paham maksudmu?" jawabnya dengan lagak
tak mengerti. "Ilmu menunggang kuda nona bagus sekali, tentu paham
ilmu silat,'* ujar Jiak-sim. >
Gadis baju merah itu tertawa pula, katanya, "Kami yang
hidup di padang rumput, kalau tak bisa menunggang kuda apa
jadinya" Soal ilmu silat apa segala aku tak mengerti!"
Gadis baju merah itu berperawakan kecil lincah dan
menarik, tanpa terasa Li Jiak-sim jadi mabuk sendiri, ia
sungguh mengira bahwa gadis ini adalah puteri rakyat
penggembala di padang rumput, dan sama sekali tak
mengetahui bahwa pada diri gadis itu memiliki kepandaian
yang tinggi. "Kongcu bertanya tentang ilmu silat, tentunya Kongcu
sendiri mahir sekali ilmu silat bukan?" tanya si gadis malah.
"Ah, tidak, hanya pernah belajar beberapa jurus kasaran
saja," jawab Jiak-sim.
"Aku hendak ke Yarkhan, dekat Turfan, jika Kongcu paham
ilmu silat, itulah baik sekali, dapatkah mengantarku dalam
perjalanan" Aku sungguh takut sekali!" kata pula si gadis.
"Takut apa" Apakah di padang rumput ada begal?" tanya
Jiak-sim heran.
"Begal sih tidak ada," ujar si gadis. "Hanya paling belakang
ini ada banyak sekali jagoan Boamjiu yang suka berkeliaran di
padang rumput sini, mereka sangat jahat dan sewenangwenang,
jauh lebih ganas daripada begal!"
"Kujangajar, kalau bertemu denganku, pasti kupatahkan
kaki anjing mereka!" kata Jiak-sim gusar.
"Mereka sangat lihai, apakah Kongcu sanggup?" tanya si
gadis tiba-tiba.
"Jagoan semacam mereka, kalau cuma delapan atau
sepuluh orang saja aku masih sanggup melayani," sahut Jiaksim.
"Nona tak usah takut, aku bersama kawanku memang
hendak ke Sahjia di selatan sana dan harus melewati Yarkhan,
biar sekalian aku mengantar nona ke sana."
Nyata Li Jiak-sim tak tahu bahwa jago-jago Boanjing yang
diperintahkan ke Sinkiang ini semua terdiri dari jago-jago kelas
tinggi, ia mengira hanya terdiri dari jagoan biasa saja, oleh
karena itu sedikitpun ia tidak menaruh pikiran apa-apa.
Dan si gadis baju merah itu yang bukan lain adalah Bu
Ging-yao. Sepanjang jalan ia sudah menemukan jejak
rombongan Seng Thian-ting, diam-diam ia sudah menguntit,
tetapi ia tahu kepandaian mereka agak tinggi, maka ia tak
berani bertindak sendirian secara gegabah. Kini setelah
mendengar perkataan Li Jiak-sim tadi, ia jadi tersenyum.
Sesudah turun gunung, Ging-yao sudah pulang menemui
ayahnya, kali ini justru mendapat perintah dari ayahnya agar
pergi menyongsong kedatangan Li Jiak-sim, Pho Jing-cu dan
kawan-kawan. Walaupun ia tak mengenal Jiak-sim, tetapi
waktu berangkat ia sudah minta keterangan tentang roman
muka serta perawakannya Karena itu, begitu berjumpa ia
sudah menduga bahwa orang yang didampinginya ini pasti
adalah Li Jiak-sim. Pikirnya, di kalangan persilatan Li-kongcu
terpuji karena 'Bun-bu-cwan-cay' atau pandai ilmu silat
maupun surat, dan kini justru aku akan coba menggodanya.
Maka sepanjang jalan Ging-yao telah menggodanya dengan
berbagai pertanyaan yang kekanak-kanakan, malah ia
bertanya lagi, "Di sekitar Thian-san sini dulu pernah ada
seorang yang bernama Njo Hun-cong Tayhiap yang membantu


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami melawan penindasan pemerintah Boan, apakah Kongcu
tahu?" "Ya, Njo-tayhiap sudah lama meninggal, aku kenal Sute-nya
Leng Bwe-hong," sahut Jiak-sim.
"Ilmu silat Kongcu bagaimana kalau dibandingkan mereka
itu?" Ging-yao menggoda pula
"Leng Bwe-hong punya kiam-hoat yang tunggal tiada
taranya, mana aku bisa dibandingkan dia?" ujar Jiak-sim
tertawa. "Nona, soal ini terlalu dalam dan hebat sekali, aku
sendiripun tak bisa menerangkan."
Begitulah dengan sengaja Bu Ging-yao mengajukan
pertanyaan yang bersifat kekanakan untuk menggoda dan
memancing agar Li Jiak-sim bercerita tentang ilmu silat dan
betul juga Jiak-sim menganggapnya sebagai gadis yang masih
hijau dan mengobrol dengan riangnya.
Dan tanpa terasa mereka berdua telah berjalan jauh dan
kemudian bertemu dengan Khu Tong-lok dan kawan-kawan di
padang pasir secara kebetulan.
Karena tiba-tiba bertemu dengan Bu Ging-yao, Ie Lan-cu
menjadi girang bercampur heran, dan selagi ia hendak
menyapa, mendadak: Ging-yao telah mendahului membuka
suara, dengan tertawa nyaring gadis itu berkata, "A i, rupanya
ada bidadari telah tunui di gurun pasir! Siapakah namamu"
Sungguh kau sangat cantik sekali!" Sembari berkata ia pun
mendekati le Lan-cu dan menarik tangannya.
Lan-cu juga cukup cerdik, walaupun tak dimengerti apa
yang dikehendaki kawannya itu, tapi ia bisa menangkap
maksudnya ia tidak ingin dikenalnya di depan orang-orang
asing. Oleh karena itu ia pura-pura menarik tangan Ging-yao dan
dengan tertawa balas berkata, "Ai, nona membikin mataku
menjadi terbeliak lebar, baiknya di sini tidak lagi bikin
pertemuan 'domba nakal', bila tidak, tentu pemuda-pemuda
akan menunggang kuda mengejar padamu."
Yang dimaksud 'domba nakal' adalah semacam permainan
tradisionil di antara suku bangsa di Sinkiang, dimana pemuda
dan pemudi saling kejar-mengejar untuk mencari pasangan.
Dan oleh karena Bu Ging-yao dan Li Jiak-sim menunggang
kuda berendeng, mirip seperti kejar-mengejar dalam
permainan 'domba nakal' itu, maka dengan sengaja Ie Lan-cu
menggodanya. Jikalau Bu Ging-yao tidak merasa apa-apa karena
perkataan Ie Lan-cu tadi, adalah Li Jiak-sim yang mukanya
lantas berubah merah jengah. Sudah beberapa lama ia datang
di Sinkiang, ia sudah mengerti apakah artinya permainan
'domba nakal' itu.
"He, mengapa anak gadis di padang rumput sini begini tak
kenal aturan, sembarangan saja menggoda orang," pikirnya
dalam hati. Li Jiak-sim adalah seorang Enghiong atau ksatria yang suci
murni, selamanya ia tak memikirkan tentang soal laki-laki
perempuan, tapi aneh, terhadap Bu Ging-yao diam-diam bibit
asmaranya bersemi tanpa terasa. Karena itu dengan
sendirinya perasaannya lantas lebih perasa daripada biasanya
Mengenai diri Khu Tong-lok, dulu waktu berada di tepi
telaga Bu-sian-oh di Hunlam, ia pernah bertemu muka dengan
Li Jiak-sim, daun kupingnya yang sebelah kiri hilang diiris oleh
Leng Bwe-hong tatkala itu. Kini sesudah lewat tiga tahun,
wajah Li Jiak-sim tidak banyak berubah, tapi kedua daun
kuping Khu Tong-lok sudah teriris semuanya, mukanya juga
kena digores " dua kali oleh Leng Bwe-hong, oleh karena itu ia
selamanya memakai kerudung kepala yang membungkus
hingga ke leher, maka seketika Li Jiak-sim tak mengenalinya.
Dan demi mengenali Li Jiak-sim, Tong-lok menjadi girang
bercampur heran. Diam-diam ia berpikir, "Aha, susah-susah
dicari, tak dicari gampang ketemu! Ternyata betul ia buron ke
Sinkiang sini dan justru kepergok pula olehku, rupanya
memang Thian memberkahi supaya aku bisa berjasa besar."
Namun ia pun tahu bahwa ilmu silat Li Jiak-sim tidak
lemah, bertempur satu lawan satu ia masih tidak jeri, tetapi
kalau sudah bergebrak, tentu bertempur mati-matian
mengadu jiwa kalau hendak menangkapnya hidup-hidup
sebaliknya tidaklah gampang.
Maka segera ia memberitahu Seng Thian-ting dan kawankawan
dengan kata-kata rahasia bahwa pemuda beroman
putih ini bukan lain adalah Li Jiak-sim agar mereka bersiap
dan waspada, bila ada isyarat segera menangkapnya hiduphidup.
Mendengar mereka berbicara dalam istilah rahasia Bu Gingyao
hanya tertawa ngikik saja.
Sebaliknya Khu Tong-lok terus mengincar Li Jiak-sim saja.
Lan-cu menjadi heran. Pikirnya orang ini sungguh aneh,
mengapa memandang orang secara begitu tak sopan" Dan
karena itu, ia pun membuka mata lebar-lebar mengawasinya
Tiba-tiba sinar mata Khu Tong-lok tertumbuk dengan sinar
matanya mendadak Tong-lok ingat seseorang. Segera ia
berseru menegur, "He, kau pernah apa dengan Njo Huncong?"
"Peduli apa denganmu?" sahut Lan-cu tak mau kalah
kerasnya. Dan waktu itulah mendadak Li Jiak-sim melompat maju
sambil membentak, "Orang ini dapat lolos di bawah pedang
Leng Bwe-hong, kini masih berani berlagak di sini?"
Ternyata Jiak-sim yang berotak tajam dan mempunyai
ingatan baik, meski Khu Tong-lok berkerudung kepala dan
wajahnya telah berubah hingga susah dikenali, tetapi bila
mendengar suaranya, segera ia ingat diri orang itu. Sebab
pada waktu Khu Tong-lok menantang Leng Bwe-hong di tepi
Bu-sian-oh, kata-katanya diucapkan secara menyolok sekali,
tatkala itu Li Jiak-sim juga mendengar di samping mereka,
oleh karenanya terhadap suara orang berkesan cukup dalam.
Dan belum Tong-lok menjawab bentakan Li Jiak-sim tadi,
cepat sekali Seng Thian-ting sudah mendahului mencabut
sepasang potlot bajanya dan menghadang ke hadapan Li Jiaksim.
"Aba, selamat bertemu, Li-Kongcu!" katanya dengan gelak
tertawa. "Pasukan Kongcu yang beratus ribu telah kocar-kacir,
kini jauh-jauh buron ke padang pasir sunyi ini, untuk apakah
susah payah begini! Tidakkah lebih baik ikut kami kembali ke
kota-raja dan mengabdi padakerajaan yang sekarang,
Hongsiang tentu akan mengampuni dan memberi barang
sesuatu pangkat."
Wajah Li Jiak-sim berubah seketika, cepat juga ia melepas
kedua bandulan dari ikat pinggangnya, jika menuruti wataknya
yang keras, sebenarnya ia sudah tak sabar mendengar ucapan
Seng Thian-ting, tetapi ia kuatir Bu Ging-yao yang 'tidak
paham ilmu silat' yang berada di sampingnya itu kalau terjadi
pertempuran sengit nanti si gadis bisa ikut ferluka tanpa
berdosa. Karenanya lalu ia berkata dengan suara lantang, "Kalian
hanya menginginkan aku sendiri saja bukan?"
"Ya, memang tidak salah, Li-kongcu," sahut Seng Thianting
tertawa sinis. "Jika begitu, nah, tak usah banyak bacot lagi, majulah,"
tantang Jiak-sim segera dengan lagak jumawa. "Tapi kita
sudah berjanji, dua nona ini bukan komplotanku, kamu hanya
boleh menerjang padaku seorang dan tak boleh membikin
susah mereka, kalau aku kalah, segera kuserahkan diriku
untuk diringkus sesukamu!"
"Bagus, Li-kongcu memang orang yang suka berterus
terang, baik kita putuskan seperti itu," seru Seng Thian-ting
sambil mengunjuk jempolnya. "Dan aku sendiri saja yang akan
menerima pengajaran 'Liu-sing-tui' milik Li-kongcu, apabila
Kongcu akhirnya suka mengalah barang satu-dua gebrakan,
maka terpaksa harus mempersilakan Kongcu ikut kami ke
kota-raja dan tak boleh menyesal!" Lalu ia pun berpaling dan
meneriaki Khu Tong-lok, "Hei, apakah yang sedang kau
percakapkan dengan nona itu sampai begitu asyik" Ke sinilah
untuk menjadi saksi!"
Nyata ia melihat entah apa yang dikatakan Khu Tong-lok
tadi, mendadak terdengar Ie Lan-cu mendamprat dengan
gusar, "Kau berani mencaci ayahku!"
Menyusul mana pedang si gadis mendadak dilolos' dan
menusuk cepat, lekas Tong-lok melompat berkelit sambil
berseru, "Thian-ting-heng, kami di sini ada perselisihan
sendiri, ia adalah puteri musuhku!"
Dalam pada itu Lan-cu telah berteriak juga, "Hai, Toako
yang memakai 'Liu-sing-tui', aku berterima kasih atas
kebaikanmu, tapi biarlah kau bertempur menurut caramu dan
aku berkelahi sesukaku!"
Nampak gerak tusukan pedang le Lan-cu secepat kilat tadi,
Seng Thian-ting menjadi heran. Maka segera dari jauh ia pun
meneriaki Bu Ging-yao, "He, dan kau apakah juga akan ikut
berkelahi" Kalian ada tiga orang, maka boleh juga kami maju
tiga orang saja!"
Tak terduga Ging-yao hanya geleng-geleng kepala. "Ah,
tidak, aku tidak tahu cara bagaimana harus berkelahi,"
katanya lucu. "Kau lekas pergi saja, sampai bertemu pula!" seru pula Li
Jiak-sim. Tetapi Bu Ging-yao masih berganda tertawa saja, ia justru
tidak mau pergi seperti apa yang dikehendaki orang. "Aku
tidak bisa berkelahi, tetapi sebaliknya aku suka menonton
orang berkelahi. Ada golok, ada pedang dan ada Liu-sing-tui
pula, wah, tentunya ramai sekali!" ujarnya tertawa genit.
Habis berkata malahan ia terus duduk seenaknya di
samping untuk menonton sambil bertopang dagu. "Biar, siapa
yang berani menggangguku, nanti akan kucakar mukanya!"
demikian tambahnya malah.
"Gadis bodoh," omel Li Jiak-sim dalam hati. Akan tetapi
keadaan sudah genting dan ia harus bertempur mati-matian
mengadu jiwa, ia tak bisa mengurus si gadis lagi.
"Kongcu, silakan menyerang!" sementara terdengar Seng
Thian-ting sedang berseru sambil mengacungkan sepasang
'Boan koan-pit'nya.
Habis mana, tahu-tahu ia yang mendahului, potlot bajanya
yang kiri mengayun ke samping dan yang kanan lantas
menotok ke depan, sekaligus ia hendak menotok tempat yang
mematikan di tubuh Jiak-sim.
Tentu saja Li Jiak-sim terkejut, ia tak menduga bisa
bertemu jago kelas satu dari kerajaan di gurun pasir luas ini.
Di sebelah sana le Lan-cu dan Khu Tong-lok juga sudah
saling gebrak dan sama-sama terkejut juga. Khu Tong-lok
memainkan golok dan pedang berbareng, gaya serangannya
ruwet dan aneh, dalam sekejap saja ia sudah merangsek
lawannya belasan j urus.
"Hm, tak nyana kaki-anjing kerajaan ini bisa memiliki
sedikit kepandaian juga," demikian Lan-cu membatin.
Tapi pedang pusaka 'Toan-giok-kiam' di tangannya tidak
menjadi kendor, waktu sinar pedang berkelebat, mendadak ia
menyerang, menyusul itu terdengarlah suara "traang" yang
nyaring, ujung golok Khu Tong-lok telah tertabas kutung.
Maka tahulah Tong-lok telah terbentur Pokiam. segera ia
berlaku hati-hati, ia mundur beberapa tindak, tiba-tiba
dibarengi suara tertawa dingin goloknya berputar, ujung
pedang lantas menusuk dari samping, serangannya susulmenyusul
bertubi-tubi, Hong-lui-to-kiam ternyata sangat lihai
dan keji sekali.
Namun Lan-cu tidak gentar, ia memutar pedang dan
memainkan Thian-san-kiam-hoat yang hebat itu, sinar
pedangnya gemerlapan bagai kilat menyambar di antara
rangsekan golok dan pedang musuh, ia menjaga diri sambil
menyerang juga walaupun pedangnya pendek, tapi tiap
serangannya tidak pernah meninggalkan tempat musuh yang
berbahaya Sungguhpun usia le Lan-cu masih muda, tetapi ia sudah
memperoleh pelajaran intisari dari semua Thian-san-kiamhoat,
lebih-lebih ditambah pula ajaran kiam-hoat tunggal dari
Pek-hoat Mo-li, di antara iThian-san-cit-kiam' atau tujuh
pendekar dari Thian-san, hanya dia yang merangkap dan
memiliki kepandaian dari dua cabang silat. Cuma sayang
latihannya masih belum sempurna betul, bila tidak, sekalipun
dua orang Khu Tong-lok juga bukan tandingannya.
. Bu Ging-yao yang menonton di samping diam-diam pun
mengangguk kagum. Usia Lan-cu selisih tidak banyak dengan
dirinya kalau dihitung keturunan malah setingkat lebih rendah
dari dia, tetapi kemahiran ilmu pedangnya ternyata lain
daripada yang lain. Sudah dapat dilihatnya dengan dua
senjata yang berlainan dan tipu-tipu serangannya yang aneh,
ditambah pula pengalamannya yang sudah kawakan, Khu
Tong-lok untuk sementara masih bisa bertahan, tetapi sudah
jelas Lan-cu pasti akan menang.
Adalah di pihak Li Jiak-sim sana keadaan berlainan, ilmu
silat Seng Thian-ting tidak di bawah Coh Ciau-lam, sepasang
'boan-koan-pit'nya secara hebat sekali selalu menotok ke-36
urat nadi jalan darah musuh, kadang dengan cepat dirubah
pula sebagai pedang. Ia bisa menotok, menghantam,
memotong dan menikam dengan perubahan yang bergantian,
sungguhpun ilmu silat Li Jiak-sim tidak lemah juga namun
kalau dibandingkan terang kalah kuat
Beruntung ia dapat memainkan senjata 'Liu-sing-tui'
dengan baik sekali laksana hidup, bagus untuk menyerang dari
tempat jauh, baik pula untuk menahan dari dekat, pergidatang
diayunkan dengan cepat sekali laksana senjata rahasia
yang hidup hingga mau tak mau Seng Thian-ting agak jeri
juga. Begitulah masing-masing menggunakan senjata yang
jarang dipakai orang dan bertempur secara sengit dan hebat
sekali, tak seberapa lama mereka sudah bergebrak lebih
ratusan jurus, sampai akhirnya Seng Thian-ting menjadi tak
sabar lagi, sepasang potlot bajanya beterbangan menyambar,
Li Jiak-sim kena didesak hingga terpaksa menarik tali
senjatanya ia harus meru-bah menyerang dari jauh menjadi
bertahan dari dekat.
Nampak keadaan genting itu, Bu Ging-yao agak kuatir, ia
berniat maju membantu, tapi dari mulai masing-masing sudah
berjanji tak akan mengeroyok, apalagi Li Jiak-sim adalah
seorang tokoh ternama jika ia maju mengeroyok, mungkin
pemuda itu akan merasa tak senang.
Sementara itu kedua pembantu Seng Thian-ting yang lain
melihat Thian-ting sudah mulai unggul, mereka sangat
senang. Sebaliknya mereka tak tahu bahwa Khu Tong-lok
malah berada di bawah angin, mereka mengira pertempuran


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini tak diragukan lagi pasti akan dimenangkan pihak mereka.
Dan bila mereka melihat Ging-yao tampaknya mengunjuk
rasa kuatir, mereka lantas menggoda dan menertawakannya.
The Tay-kun dan Ni Sam-hou memang adalah sebangsa
manusia rendah, oleh karenanya mereka lantas ngoceh tidak
keruan. Kata yang seorang, "Hai, nona baju merah, apakah ia
kekasihmu" Kekasihmu ini tidak becus, lebih baik pilih satu lagi
yang lain!"
"Eh, jangan kau mengacau, kau ini sungguh tak mengerti
hati orang perempuan. Tahulah kau, hatinya sedang murung,
mengerti!" kata yang lain. Lalu ia pun berkata pada Ging-yao,
"Nona cilik, marilah biar aku menghiburmu"
Setelah itu, tanpa insyaf bahaya apa yang bakal menimpa
dirinya Ni Sam-hou lantas mendekati Ging-yao hendak main
gila. Tak terduga tiba-tiba Ging-yao tertawa dingin. "Aku sudah
bilang tadi, siapa berani menggangguku menonton orang
berkelahi, segera aku cakar mukanya!" demikian katanya.
"Dan bila kau berani maju lagi setindak, nanti boleh kau coba
tahu rasanya!"
"Ah, masa kau begitu galak," ujar Ni Sam-hou cengarcengir
sembari maju lagi selangkah. Siapa duga belum lenyap
suara perkataannya, mendadak ia merasakan angin tajam
telah menyambar mukanya Belum sempat ia bisa melihat
jelas, kedua biji matanya tahu-tahu sudah kena dicolok buta
Gerak tangan Bu Ging-yao begitu cepat, hanya sekali cakar
saja dua biji mata sasarannya sudah berada di tangannya,
menyusul itu ia mengangkat tangannya, ia timpukkan biji
mata Ni Sam-hou ke arah musuh lain sebagai 'thi-lian-ci' atau
biji teratai besi.
Ketika nampak kawannya sekonyong-konyong kena
dicelakai musuh, The Tay-kun berteriak terkejut hingga
mulutnya ternganga dan belum sempat dirapatkan kembali itu
tiba-tiba dua biji mata telah menyelonong masuk ke dalam
mulutnya segera ia merasakan bau anyir yang memuakkan.
Dalam pada itu, cepat sekali tahu-tahu Bu Ging-yao telah
sampai di depannya pula
Lekas The Tay-kun membaliki tangan menghantam, akan
tetapi tangan Bu Ging-yao yang mencakar sudah sampai di
mukanya pula, lekas ia menundukkan kepala dan mengegos,
beruntung ia dapat menyelamatkan biji matanya tak sampai
mengalami nasib sama seperti sang kawan, namun kulit
mukanya toh tetap kena digaruk hingga berdarah.
Pukulannya tadi luar biasa kuatnya karena dilontarkan
sepenuh tenaga, siapa tahu musuh tidak kena, sebaliknya ia
sendiri yang dicakar, dan dengan sendirinya tenaga tangannya
banyak berkurang, ketika Ging-yao mencakar dengan tangan
kiri, tangan kanan dengan tepat saling bentur dengan pukulan
lawan, maka terdengarlah suara "bluk," The Tay-kun
terlempar pergi 2-3 tombak jauhnya. Beruntung keuletannya
jauh lebih tinggi daripada Ni Sam-hou, dengan gerakan 'Le-hipakting' atau ikan lele meletik tubuh, cepat ia berbangkit
kembali, menyusul mana senjatanya yang aneh 'Ca-liong-pian'
ruyung naga terus dilolos, sambil menahan sakit bagai kerbau
gila ia terus menubruk me-nempur Ging-yao lagi.
Tapi betapa sigapnya gadis itu, ketika The Tay-kun bisa
bangun kembali, cepat luar biasa ia pun menyelinap ke
tengah-tengah antara Li Jiak-sim dan Seng Thian-ting, waktu
pedangnya menyambar, dengan gerak tipu 'Sing-liong-inhong'
atau menunggang naga memancing burung hong,
dengan tepat senjata potlot baja Seng Thian-ting kena
ditangkis pergi hingga dapat menghindarkan Li Jiak-sim dari
ancaman bahaya.
"Huh, aku sudah bilang kalian jangan ganggu aku
menonton orang berkelahi, tapi pembantumu itu sengaja tak
mau taat, meski aku tak paham berkelahi, terpaksa kini harus
berkelahi juga denganmu," demikian kata Ging-yao kemudian
tertawa ngi-kik. "Nah, Li-kongcu hendaklah kau mewakilkan
aku membereskan si gendut itu, biar setan madat ini
kautinggalkan untukku, tenagaku kecil, kebetulan biar aku
hajar dia!"
Kiranya bentuk tubuh The Tay-kun gede gemuk, sebaliknya
perawakan Seng Thian-ting kurus kecil, tapi ilmu silat Thianting
entah berapa kali lebih tinggi dari The Tay-kun. Ging-yao
sengaja menyuruh Li Jiak-sim pergi membereskan The Taykun,
tujuannya agar pemuda itu menjadi ada alasan
?> buatniengiiriJiirkan diri.
Sudah tentu Seng Thian-ting yang dikatai 'setan madat*
oleh Bu Ging-ya" menjadi amat mendongkol tiba-tiba ia
tertawa terbahak-bahak, kedua potlot bajanya mendadak
menjojoh ke perut si gadis sambil memaki, "Budak hina,
berapa tinggi kepan-daianmu" Nih, biar kau kenal betapa lihai
setan madat yang kau maksudkan!"
Melihat serangan musuh cepat lagi hebat, waktu
pedangnya menangkis terasa panas pedas tergetar juga, lekas
Ging-yao menutul kaki dan mendadak mencelat ke atas,
berbareng pedangnya berkelebat, segera ia menikam dari
atas. Seng Thian-ting berkelit dengan gerakan 'Hong-hong-tiamtau
atau burung hong mengangguk kepala ia menarik tubuh
dan mengkeret ke samping, menyusul sedikit berputar secepat
kilat kembali ia menyerang pula dengan tipu 'Ki-hwe-liau-thian'
atau mengangkat obor menerangi langit, kedua potlotnya
terus memotong ke depan. Namun tidak malu sebagai murid
Pek-hoat Mo-li, beruntun Ging-yao mengayun pedangnya ke
sana-sini menusuk, sinar pedangnya menyilaukan, serangan
Thian-ting tadi tidak mengenai sasaran, sebaliknya ia malah
terdesak mundur dan berkelit terus.
"Ai, ai, kiranya kau juga tidak pandai berkelahi!" tiba-tiba
Ging-yao tertawa nyaring mengejek.
Sungguh tidak kepalang dongkol Thian-ting hingga tak
sanggup bicara. Tapi musuh terlalu tangguh, tak berani ia
gegabah, terpaksa ia sabarkan diri, sembari menjaga rapat
dirinya, ia menanti kesempatan untuk melakukan serangan
balasan. Seng Thian-ting adalah jago nomor 1-2 di antara
bayangkara kerajaan, meski Ginkangnya tak menimpali Bu
Ging-yao, tapi kekuatan sesungguhnya masih setingkat lebih
tinggi dari si gadis itu, sepasang potlot bajanya juga
dimainkan begitu ganas dan kuat, untuk keras lawan keras
sesungguhnya Bu Ging-yao juga tak berani. Gadis ini hanya
mengandalkan ilmu pedang ajaran Pek-hoat Mo-li yang
tunggal itu dengan aneka macam perubahan yang susah
diraba musuh, tujuannya melulu untuk mematahkan tenaga
Seng Thian-ting saja
Begitulah pertarungan sengit kedua orang itu menjadi luar
biasa ramainya. Yang seorang setangkas singa, yang lain
segesit kucing, masing-masing mempunyai kepandaian
tunggal sendiri dan sama-sama susah dikalahkan.
Lama-lama mau tak mau Seng Thian-ting sangat terkejut,
sungguh tak tersangka olehnya gadis semuda ini bisa memiliki
kiam-hoat yang begitu lihai.
Di sebelah sana ketika Ie Lan-cu melihat Ging-yao sudah
turun tangan, ia menjadi bertambah semangat, memangnya ia
sudah di atas angin, ketika tipu serangannya bertambah
gencar, lebih susah dibendung pula. Di antara sinar
pedangnya yang berkilat dan hawa dingin menyambar itu,
mendadak Khu Tong-lok menjerit kaget, ternyata kerudung
kepalanya telah tersingkap pedang musuh.
Sementara itu sambil menempur Seng Thian-ting, mata
Ging-yao tak pernah meninggalkan perhatiannya pada Li Jiaksim
dan le Lan-cu berdua Ketika mendadak dilihatnya
kerudung kepala Khu Tong-lok terlepas jatuh, segera ia
bergelak tertawa sambil mengolok-olok, "Hahaha, lihatlah, ada
siluman jelek tak bertelinga!"
Malu bercampur gusar Khu Tong-lok, tapi apa daya ia
sendiri sedang merasa payah. Mendadak ia pura-pura
menyerang sekali, lalu segera ia putar tubuh hendak lari.
"Hm, hendak lari kemana?" jengek le Lan-cu. Gadis ini
sudah pernah mendengar dari Leng Bwe-hong tentang
keganasan Khu Tong-lok, maka tidak sungkan lagi baginya,
ketika ia memburu maju, sekali pedangnya berkelebat, tahutahu
ujung pedangnya sudah menyambar sampai di punggung
orang. Dalam kaburnya itu Khu Tong-lok masih coba menyam-puk
ke belakang dengan goloknya, tapi luput, sebaliknya kelima
jarinya dengan tepat malah tertabas kutung. Ketika pedang
Lan-cu membarengi didorong ke depan terus memotong ke
bawah, kembali kaki kanan Tong-lok terkurung lagi.
Kedua gerak serangan Lan-cu itu secepat kilat, gadis ini
sendiri tidak menduga bahwa ilmu pedang ajaran Pek-hoat
Mo-li itu bisa begitu ganas tak kenal ampun, maka sesudah
berhasil merobohkan musuh dan melihat Tong-lok kelejetan di
tanah, ia menjadi tak tega, lekas ia menambahi sekali tusuk
menghabisi nyawa orang.
"Ya, dahulu waktu aku masih bayi, kau sudah hendak
membunuhku, syukur ada Leng-sioksiok yang melindungi aku,
dan karena itu ia hampir kena kaubunuh. Kini kau pun
merasakan senjataku, hal ini tak dapat kau sesalkan aku,"
demikian kata Lan-cu. Habis itu, sekali depak, ia tendang
mayat musuh, itu ke samping, lalu dengan menjinjing
pedangnya terus maju ke kalangan pertempuran tadi.
Sementara itu bayangkara gendut itu, The Tay-kun, meski
terhitung jago pilihan juga dari kerajaan, tapi ia pun tak tahan
oleh rangsekan sepasang 'Liu-sing-tui' Li Jiak-sim, ketika
didengarnya suara jeritan ngeri Khu Tong-lok, ia menjadi
tambah gugup dan takut, mendadak dengan gerak tipu 'Gioktaijiau-yo' atau tali sabuk melilit pinggang, ruyungnya cepat
menyabet kaki Li Jiak-sim, dengan menyerang sebenarnya
tujuannya hendak angkat langkah seribu alias kabur.
Tapi Jiak-sim dapat meraba maksud musuh, ia tidak
berkelit, sebaliknya sebelah bandulannya ia ayun memapak
ruyung orang, dan tak terhindarkan lagi benturan kedua
senjata itu, tali baja Liu-sing-tui membelit kencang ruyung
musuh beberapa gu-bstan.
"Naik!" gertak Jiak-sim mendadak, berbareng itu sekuat
tenaga ia mengayun tali senjatanya itu hingga The Tay-kun
terlempar ke udara, waktu jatuh ke bawah, segera ia dipapak
Ie Lan-cu yang menambahi sekali tusuk, dan tamatlah
riwayatnya. Dalam pada itu Seng Thian-ting yang masih menempur Bu
Ging-yao dengan sengit, keadaan masih belum dapat
dipastikan siapa bakal unggul atau asor.
Waktu melihat kawannya sudah melayang jiwanya, pula Li
Jiak-sim dan le Lan-cu telah merubung maju, tiba-tiba Thianting
tertawa dingin sambil berteriak, "Hayolah, kalian boleh
maju saja sekalian! Biar matipun aku berharga sebagai
ksatria." "Fui!" damprat Ging-yao tertawa. "Menempur aku saja kau
tak unggulan, masih berani menepuk dada apa?" Menyusul
itu, bertubi-tubi ia melontarkan tiga kali serangan pula
membabat pinggang, menikam iga dan menusuk dada,
serangannya lihai luar biasa. Tapi Seng Thian-ting bisa
melayani lawan dengan penuh perhatian, sepasang potlot
bajanya diputar sedemikian rapatnya tanpa lubang sedikitpun.
Menyaksikan itu, mau tak mau Li Jiak-sim terpesona, ia
sudah belajar kenal dengan kepandaian Seng Thian-ting tadi,
maka ia harus kagum terhadap ilmu silat Bu Ging-yao,
sungguh sama sekali tak diduganya si nona kecil ini memiliki
kiam-hoat yang begini bagus.
Setelah pertempuran berlangsung lagi, melihat Li Jiak-sim
dan Ie Lan-cu tidak ikut mengembut, barulah Thian-ting rada
lega. Waktu kedua potlotnya menyambar dari samping,
dengan tipu 'Tay-peng-tian-ih' atau burung garuda pentang
sayap, mendadak ia menutul ke kanan dan kiri.
Namun Ging-yao sudah berjaga, ia tidak menyingkir
sebaliknya ia melangkah maju terus menusuk ke tengah
malah. Tak tahunya Seng Thian-ting memang sudah jago
kawakan, serangan tadi hanya pancingan belaka, ketika kedua
potlotnya sudah diulur ke depan, mendadak dari kanan dan
kiri terus memutar kembali ke tengah. Maka terdengarlah
suara "trang" yang nyaring dibarengi letikan lelatu api. Dan
ketika Ging-yao hendak menarik pedang ganti serangan, tahutahu
Seng Thian-ting sudah melompat keluar kalangan dan
mendadak menubruk ke arah Li Jiak-sim.
"Lari kemana?" bentak Ging-yao gusar terus memburu
maju. Pada saat itu juga le Lan-cu juga memotong dari
samping hingga Seng Thian-ting tergencet.
Tapi serangan Thian-ting itu ternyata mengincar titik
kelemahan pihak lawan, Li Jiak-sim sama sekali tak berjaga,
maka ketika diterjang Seng Thian-ting, ia menjadi kelabakan,
waktu senjata Liu-sing-tui ditimpukkan, tahu-tahu potlot
musuh sudah sampai di depan dadanya.
Dalam keadaan maha berbahaya itu, secepat kilat Li Jiaksim
masih keburu menggeliatkan tubuh ke kanan, namun
sekejap itu juga Seng Thian-ting sudah menyerobot sampai di
sebelan kanannya, ketika ia mendorong sekuatnya dengan
tepat sambil membentak, "Pergi!" Maka terpentallah Li Jiaksim
ke atas bagai melayang di awang-awang dan persis
menuju ke arah Bu Ging-yao.
Dengan tersipu-sipu Ging-yao melepaskan pedangnya, ke
tanah lalu kedua tangannya dipakai menyangga orang.
Ketika mendadak Jiak-sim merasa dirinya kena dirangkul
orang dan dadanya menyentuh tempat yang lunak empuk
malah sayup-sayup berbau wangi pula, ia menjadi jengah
tercampur gugup, lekas ia meronta melepaskan diri. Dan
kesempatan itu digunakan Seng Thian-ting untuk melarikan
diri. "Sayang, sayang, sungguh sayang!" demikian kata Lan-cu
gegetun. Sementara itu dengan muka merah jengah Li Jiak-sim
meminta maaf pada Bu Ging-yao. Katanya, "Maafkan nona,
ke-pandaianku tak becus hingga malah membikin susah
nona!" "Ah, Li-kongcu suka merendah saja," sahut Ging-yao
tertawa. Jiak-sim bertambah malu bila teringat percakapan yang
pernah dilakukannya dalam perjalanan itu. "Sungguh aku


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar buta melek, tak menduga bahwa nona memiliki
kepandaian begini tinggi!" demikian katanya lagi kikuk.
Namun Ging-yao tetap tersenyum saja. "Bikin perjalanan
bersama setengah harian, tapi namamu masih belum
kuketahui," ujarnya.
Menyaksikan gadis ini membinasakan bayangkara kerajaan,
Jiak-sim menduga tentu orang golongan sendiri, maka ia
pun tidak perlu berbohong lagi dan memberitahukan nama
aslinya. "Ah, kiranya Li-kongcu adanya, sering Leng-sioksiok
menyebutmu!" seru Lan-cu cepat.
"Ya, melihat permainan kiam-hoat nona tadi serupa dengan
kiam-boat Leng-tayhiap, entah pernah apa nona dengan dia?"
tanya Jiak-sim.
"Ia adalah Sute ayahku," sahut Lan-cu.
"O, kiranya puteri Njo-tayhiap," kata Jiak-sim girang
bercampur heran. "Ayahmu adalah orang yang paling
kukagumi selama hidup, waktu aku mendapat laporan kilat
dari Thio Jing-guan di Sucwan dan mengetahui nona tertawan
musuh dan dipenjarakan, aku pun sangat kuatir. Dan kini
selamatlah nona sudah terbebas dari bahaya, entah Lengtayhiap
apakah juga berada di sekitar sini"'
Karena pertanyaan terakhir ini, tiba-tiba wajah Lan-cu
menjadi guram. "Aku sendiri juga lagi mencari dia," sahutnya
kemudian. "Li-kongcu," kata Ging-yao tiba-tiba tertawa sambil
bertepuk tangan, "Memangnya sejak tadi aku sudah menduga
kau adanya. Ayanku menyuruh menyambut kau di sini,
nyatanya sekali bertemu sudah benar orangnya."
"Eh, kiranya ayahmu adalah 'Wi-tin-sam-pian' Bu Goan-ing,
Bu-cengcu?" seru Jiak-sim cepat.
"Ya, betul dugaanmu," kata Ging-yao.
Bu Goan-ing adalah sahabat kental Pho Jing-cu, maka
ketika Jing-cu bersama Jiak-sim akan masuk daerah Sinkiang,
lebih dulu sudah mengirim orang menghubunginya dan minta
Bu Goan-ing mengumpulkan para saudara anggota Thian-tehwe
di daerah barat-daya agar Li Jiak-sim punya tempat
pangkalan untuk membangun kembali pergerakannya.
Li Jiak-sim sendiri juga sudah mendengar nama Bu Goaning
yang berbudi, sudah lama ia ingin sekali bisa bertemu.
"Dan kenapa Pho-pepek belum tampak datang?" tanya
Ging-yao kemudian.
Ketika Jiak-sim memandang dari tempat yang agak tinggi,
tiba-tiba dilihatnya arah darimana ia datang tadi lapat-lapat
ada asap mengepul. Ia heran dan ragu, tiba-tiba dilihatnya
pula ada beberapa sinar api biru yang lemah menjulang ke
angkasa, dan hanya sekejap saja sudah lenyap.
"Celaka, tentunya mereka sedang dikepung musuh!" lekas
Jiak-sim berseru. "Api biru itu adalah api 'Coa-yam-ci (panah
berapi panjang) milik Lauw Yu-hong!"
Karena itu, cepat Bu Ging-yao memilih seekor kuda
tinggalan kawanan bayangkara tadi untuk Ie Lan-cu lalu
mereka bertiga lantas berangkat ke tempat asap mengepul
itu. Mengenai Pho Jing-cu dan Lauw Yu-hong, sesudah a-ngin
puyuh gurun pasir itu reda, namun Li Jiak-sim telah lenyap,
keruan mereka sangat kuatir.
"Beberapa tahun pernah aku tinggal di Sinkiang, maka aku
masih bisa mengenal jalan di sini," demikian kata Ciok
Thiansing yang ikut dalam rombongan mereka itu. "Di depan
sana adalah kota Yanci, marilah kita ke sana dulu untuk
menunggu Li-kongcw. Kalau masih belum kembali, biar kita
terus menuju ke tempat Bu Goan-ing dan suruh dia mengirim
orangnya bantu mencari, dengan begitu rasanya tidak nanti
terpencar."
Begitulah, maka rombongan mereka yang berjumlah beksan
orang itu lantas melanjutkan perjalanan dengan Ciok
Thian-sing sebagai penunjuk jalan.
Tak jauh mereka berjalan, tiba-tiba di belakang mereka
terlihat debu mengepul tinggi.
"Aneh, hari sudah petang, masih ada orang melintasi gurun
hendak berburu?" ujar Thian-sing heran.
Meruang rakyat penggembala di padang rumput seringkali
keluar berkelompok untuk berburu binatang atau mencari
iadang rumput untuk menggembala kuda, maka Thian-sing
menduga begitu.
Siapa tahu, ketika Pho Jing-cu menegas ke belakang dari
jauh, tiba-tiba ia berteriak kaget, "He, tampaknya seperti
pasukan Boan! Lekas kita lari, lekas!"
Tapi belum sempat mereka k"' ," jauh, beberapa perintis
jalan pasukan itu sudah m< mbdan yang menjadi pemimpin ternyata Coh fjiau-lam adanya.
Tentu saja Pho Jinp-cu sangat terkejut, cepat juga
pedangnya sudah diloios.
"Kau rebut pedangnya!" kata Ciau-lam tiba-tiba sambil
menuding Lauw Yu-hong.
Habis itu, seorang tua kurus kecil berbaju belacu yang
besar lebar, macamnya sanga". lucu dan aneh, tak kelihatan
orangnya bergerak, tapi tahu-tah" dsngan enteng dan cepat
sekali orang tua itu sudah sampai $ depan Lauw Yu-hong, lalu
kedua tangannya terus mencengkeram.
Sudah tentu Pho Jing-cu tidak tinggal diam, ia membentak
sambil menusuk, serangan jitu lagi cepat ini ternyata
mengenai tempat kosong, sebaliknya orang aneh itu sudah
memutar sampai di belakang Lauw Yu-hong.
Waktu untuk kedua kalinya pedang Pho Jing-cu
menyambar, namun kena ditangkis Coh Ciau-lam. Dan pada
saat itulah lantas terdengar teriakan Lauw Yu-hong bersama
manusia aneh itu berbareng.
"Besar sekali nyalimu, Sin Liong-cu!" dalam pada itu
terdengar Ciok Thian-sing membentak.
Di lain pihak ketika mendengar jeritan Yu-hong tadi,
mendadak Pho Jing-cu meninggalkan Coh Ciau-lam, lalu
lengan bajunya yang lebar itu terus menyabet ke muka orang
aneh itu, sedang pedangnya secepat kilat menusuk juga
menerobos dari bawah lengan bajunya. Ini adalah tipu
serangan 'Hui-in-siu-te-kiam' atau tusukan pedang di bawah
lengan baju secepat awan meluncur. Baik lengan baju maupun
pedang semuanya digunakan menyerang sekaligus.
Namun berkat ilmu silat dan gerak tubuhnya yang aneh,
manusia kosen itu bisa membungkuk dan menyelusup lewat di
bawah lengan baju Pho Jing-cu. Tapi pada saat itu juga Ciok
Thian-sing dan Ciok-toanio berbareng sudah menubruk
datang, kedua kaki Thian-sing melayang susul-menyusul,
menendang secara berantai, begitu pula Ciok-toanio dengan
ilmu pedangnya Ngo-kim-kiam-hoat terus memotong ke atas
kepala orang. Tak terduga manusia aneh itu masih dapat mengelakkan
diri sambil melompat mundur, namun segera ia pun
merasakan pergelangan tangannya sakit jarem, kiranya lengan
baju Pho Jing-cu yang panjang hidup cepat sekali sudah
menyabet lagi, ketika ia menghindari serangan suami-isteri
Ciok Thian-sing itu.
Dalam keadaan begitu, meski ilmu silat orang aneh itu
sangat tinggi, susah juga sekaligus hendak mengelakkan
serangan tiga jago terkemuka maka pergelangan tangannya
tergubet oleh ujung lengan baju Pho Jing-cu hingga Pokiam
atau pedang pusaka yang dapat direbutnya dari Lauw Yu-hong
tadi tahu-tahu terpental dari cekalannya.
Melihat ada kesempatan, Coh Ciau-lam tak menyia-nyia-kan
lagi, mendadak ia melompat ke atas terus menyambar pedang
pusaka itu. Nyata pedang 'Yu-liong-pokiam' yang tadinya
dirampas Leng Bwe-hong dan oleh Bwe-hong diserahkan pada
Lauw Yu-hong itu, kini telah 'balik kandang' jatuh kembali ke
tangan Coh Ciau-lam sendiri.
Segera Ciok-toanio memapak orang dengan sekali tusukan
ketika Ciau-lam masih terapung di udara, namun C iau- lam
bukanlah jagoan kalau ia gampang diarah. sambil
berjumpalitan di atas, dengan enteng saja orangnya sudah
turun ke samping dengan tertawa terbahak. Dan waktu ia
memberi tanda, rombongan penunggang kuda yang
dipimpinnya itu lantas membanjir maju mengembut
Manusia aneh itu memang betul adalah Sute Ciok Thiansing,
yaitu ahli-waris Toh It-hang, Sin Liong-cu adanya.
Sesudah Sin Liong-cu memperoleh ajaran asli '108 jurus
ilmu pukulan Tat-rmo', ia menjadi ingin sekali mempunyai
pedang pusaka. Tatkala itu kebetulan Coh Ciau-lam dititahkan
Kaisar ikut dalam pasukaa panglima besar Futunuk yang
menjajah ke Sinkiang.
Waktu masih berada di Thian-san, Ciau-lam adalah sahabat
karib Sin Liong-cu, maka sengaja Sin Liong-cu datang
mencarinya minta ikut dicarikan sebatang pedang bagus.
Tiba-tiba pikiran Ciau-lam tergerak oleh keinginan orang
itu. Katanya segera, "Pedangku 'Yu-iiong-kiam' itu sebenarnya
adalah pusaka guruku Hui-bing Siansu yang merupakan satu
dari dua pedang Thian-san, tentu kau sudah pernah
melihatnya. Tapi boleh kuberikan padamu, assl kau mampu
mengambilnya dengan kepandaianrnu sendiri."
"Coh Ciau-lam," teriak Sisi Liong-cu mendadak dengan
mata melotot, "Apa kau ingin mengujiku" Yu-liong-kiam
adalah barang kesayanganmu, toh aku tidak minta padamu,
hendak merebut aku pun melulu mencari milik orang lain,
apakah kaukira aku mengincar barangmu" Bagas, jika kau
berani menghinaku, marilah aku jadi benar-benar ingin
menjajalmu, mari kita coba kupunya kepandaian sanggup
untuk merebut pedangmu atau tidak?"
Akan tetapi Ciau-lam lekas menerangkan atas kesalah-pahaman
Sin Liong-cu sambil tertawa, "Sin-toako, agaknya kau
belum tahu persoalannya, maka jangan gusar dulu. Pedangku
itu sudah kena direbut orang, maka bila kau sanggup
merebutnya kembali, dengan sendirinya aku akan memberikan
padamu dengan suka hati."
"Ha" Pedangmu direbut orang?" seru Sin Liong-cu heran
"Siapa orangnya yang berani merebut pedangmu itu?"
,cLengBwe-hong!" sahut Ciau-lam singkat..
Wajah Sin Liong-cu menjadi guram demi mendengar nama
Leng Bwe-hong disebut, ia terdiam tak berkata. Ya, ilmu silat
Leng Bwe-hong sudah pernah dikenalnya, ia sendiri cukup
tahu tak mampu merebut pedang dari tangan Leng Bwe-hong.
"Tapi jangan kuatir, Sin-toako," kata Ciau-lam pula tertawa.
"Aku sudah menyelidiki dengan terang bahwa pedang itu oleh
Leng Bwe-hong telah dihadiahkan lagi kepada seorang wanita,
dan wanita itu bukan lain ialah pemimpin bandit di daerah
selatan dahulu yang bernama Lauw Yu-hong."
"Belum pernah aku mendengar nama itu," ujar Sin Liong-cu
geleng kepala. "Tinggi tidak ilmu silatnya?"
"Ya, tentu saja kau tak kenal nama itu, sudah ada 30-an
tahun kau tak pernah masuk pedalaman," kata Ciau-lam pula.
"Ilmu silat Lauw Yu-hong meski tak lemah, tapi ia masih
bukan tandingan kita."
"Jika begitu, kenapa tak kau sendiri yang merebutnya
kembali?" tanya Sin Liong-cu.
"Memang aku sedang mencarinya," sahut Ciau-lam. "Aku
sudah menyelidiki dengan jelas bahwa Lauw Yu-hong bersama
kawannya telah masuk Sinkiang dari Sucwan, dan sekarang
aku membawa orang-orangku lagi hendak mencegat mereka.
Dan di antara rombongan mereka itu ada terdapat beberapa
jago pilihan."
"Ha, meski ada 30-an tahun aku tak masuk pedalaman, tapi
aku tak percaya di jagad ini masih terdapat seorang Leng
Bwe-hong kedua!" ujar Sin Liong-cu tertawa. "Biar mereka ada
berapa banyak jago pilihan, rasanya kita berdua pasti tak akan
gentar bukan" Nah, baiklah, sekali kata kita tetapkan janji,
asal pedang pusaka sudah kurebut, segera aku pun pergi
mencari Leng Bwe-hong untuk menentukan siapa unggul dan
asor." Nyata sejak hari Sin Liong-cu menempur sama kuat di atas
Thian-san melawan Bwe-hong, ia mengerti ilmu pukulannya
tak mampu menangkan orang, maka ia berkeras ingin berlatih
baik-baik Tat-mo-kiam-hoat atau ilmu pedang ajaran Tat-mo,
untuk kemudian mengukur kepandaian lagi dengan Leng Bwehong.
Dan setelah menggunakan pedang pusaka sebagai umpan
hingga Sin Liong-cu dapat diambil hatinya untuk diperalat,
suatu hari Ciau-lam mendapat laporan bahwa rombongan Li
Jiak-sim lagi menuju ke Turfan, segera ia memilih seribu
serdadunya dan beberapa jago bayangkara. Sin Liong-cu lalu
diajaknya pula untuk mencegat musuh di tengah jalan. Dan
kebetulan telah bertemu angin puyuh hingga kedua belah
pihak saling tepergok, barulah Pho Jing-cu dan kawan-kawan
mengetahui, maka pertempuran sengit tidak dapat
dihindarkan lagi.
Gerak tubuh Sin Liong-cu memang cepat luar biasa, begini
turun tangan segera Pokiam yang dipegang Lauw Yu-hong
hendak direbutnya
Tapi Yu-hong adalah tokoh Bu-kek-pay, ilmu silatnya juga
tidak lemah, sebenarnya tak nanti dalam dua-tiga gebrakan
senjatanya sudah kena dilucuti orang, namun tadi ketika ia
menghantam tidak mengenai sasaran dan Ciok Thian-sing
keburu mengenali sang Sute dan berteriak kaget, karena
itulah Yu-hong sedikit tertegun hingga sekejap itu pula
pedangnya sudah berpindah ke tangan musuh.
Kembali tadi, ketika Coh Ciaw !am mengerahkan pasukan
pilihannya terus menerjang maju, segera Pho Jing-cu memberi
tanda juga pada kawannya terus berusaha kabur ke depan.
Dalam pada itu Sin Liong-cu ternyata berdiri terpaku saja di
tempatnya tak mengejar.
"He, bukankah di antara mereka masih ada pokiam, hayolah,
rebut lagi sebuah!" segera Ciau-lam meneriakinya.
Sementara itu watak Thian-siag yang keras berangasan,
sambil kabur di atas kudanya ia masih menoleh tenis
mendamprat sang Sute, "Sin Liong-cu, apakah kau hendak
mengkhianati perguruan dan menjual kawan" Apakah
larangan Bu-tong-pay kita sudah kaulupakan seluruhnya?"
Sesama saudara perguruan, Sin Liong-cu lebih dulu masuk
piatu, cuma usia Thian-sing saja yang lebih tua, pak berguru
dalam keadaan sudah mahir silat, maka Toh It-hang tiiak
menurut urutan siapa masuk perguruan dulu, melainkan
menurut u-mur, dan Sin Liong-cu diharuskan memanggil
Thian-sing sebagai Suheng. Namun hakikatnya Sin Liong-cu
sama sekali tak memandang sebelah mata pada Suhengnya


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, pula Thian-sing hanya beberapa tahun saja di perguruan
Toh It-hang, dan yang dipelajari hanya dua macam
kepandaian, yaitu 'Kiu-kiong-sin-heng-cLo' dan 'Wan-yangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lian-goan-tui', sebaliknya Sin Liong-cu lebih 30 tahun berguru
pada Toh It-hang dan memperoleh seluruh kepandaiannya
Apalagi paling akhir ini dapat dipelajari pula 108 jurus ilmu
pukulan Tat-mo, tidak saja ia menganggap dirinya sendiri
sebagai ahli-waris Toh It-hang, bahkan ia sudah berlaku
sebagai Ciangbunjin atau Ketua Bu-tong-pay, malahan
bermimpi hendak menjadi ahli pedang nomor satu di jagad ini,
sudah tentu tak nanti ia mau menuruti 'ajaran' Thian-sing tadi.
Masih baik bila Thian-sing tidak buka suara, tapi karena
kata-katanya tadi, segera Sin Liong-cu melayang maju malah,
ketika kedua matanya melotot, dengan tertawa aneh segera ia
berkata "Ha dari Suhu kau hanya dapat mempelajari dua
macam kepandaian lantas berani kau main gagah-gagahan"
Sejak kau keluar pintu perguruan, selama lebih 20-an tahun
tak pernah kau injak Thian-san lagi, siapakah yang
mendampingi hingga saat terakhir Suhu" Dan sudah tak tahu,
masih berani kau menonjolkan nama Suhu untuk menggertak
padaku?" Sembari berkata, kedua tangannya ternyata tidak pernah
lambat juga secara bertubi-tubi ia terus mencecar Thian-sing
dengan pukulan berbahaya.
Tentu saja Thian-sing menjadi gusar, mendadak ia
melompat turun dari kudanya terus menubruk ke arah orang,
tangan kanan ia ayun ke samping, tangan kiri tahu-tahu
menjotos ke dagu orang.
Bergelak tertawa Sin Liong-cu oleh pukulan itu, sedikit
tubuhnya menggeliat, tiba-tiba kedua jarinya malah menotok
ke iga Thian-sing dengan tujuan merobohkan sang Suheng
biar ditertawai orang.
Melihat suaminya terancam bahaya Ciok-toanio menjadi
gugup, tanpa pikir lagi ia pun melayang turun dari kudanya
dengan tipu 'Liong-bun-ko-long' atau bermain ombak di
gerbang naga pedangnya secepat kilat menusuk punggung Sin
Liong-cu. Ciok-toanio adalah puteri kesayangan pendekar besar Yap
Hun-sun, selama puluhan tahun ini terus meyakinkan ilmu peTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
masih jauh di atas Ciok Thian-sing, dengan sendirinya
serangannya tadi tidak dapat dipandang enteng.
Tapi demi mendengar sambaran angin dari belakang,
segera Sin Liong-cu tahu serangan hebat mendatangi, tibatiba
ia menekuk tubuh melompat ke depan. Saat itu juga
senjata rahasia Lauw Yu-hong yang tunggal 'Kim-hun-tau',
jaring berkait, cepat juga menimpuk ke atas kepalanya. Tapi
sekali pukul ke samping, dengan angin pukulannya Sin Liongcu
dapat membikin jaring kawat itu tergoncang pergi, dan
karena sedikit me-lengnya itulah, terdengarlah segera suara
"bret," tahu-tahu lengan bajunya sudah sobek tertembus
pedang Ciok-toanio.
Lekas Sin Liong-cu menggeser pergi sambil mengumpat
habis-habisan. Masih Ciok-toanio hendak rnerangsek maju,
namun orang-orang Coh Ciau-lam segera merubung datang
juga. "Lekas mundur!" teriak Pho Jing-cu, berbareng pedangnya
berputar, beberapa serdadu musuh kena dibinasakan, ia
memimpin kawan-kawannya menerjang ke tempat luang itu.
Kedua pihak sama-sama berkuda dan kuat, kejar-mengejar
di padang pasir luas itu segera terj Thian-sing suami-isteri, Han Ring dan kawan-kawan semuanya
adalah jago kelas satu, sembari meny^mpuk senjata rahasia
musuh, kadang mereka pun balas menimpukkan senjata
rahasia ke belakang. Udak-udakan di gurun luas ini terus
berlangsung lama. Tiba-tiba Thian-sing menunjuk ke depan
dan berkata pada Pho Jing-cu, "Di sana ada sebuah 'Honghwetay' (mercu api), mari kita bertahan ke dalam sana,
sesidth kita kumpulkan tenaga, malamnya kita menerjang
keluar lagi."
Sehabis serangan angin topan itu, mereka sesungguhnya
sudah sangat lelah, kini harus melawan seribu serdadu musuh,
sudah tentu tidak kuat, melulu lari dikejar saja pada akhirnya
pasti akan disusul juga.
"Baiklah, tiada jalan lain!" terpaksa Pho Jing-cu setuju.
Maka bersama kawan-kawan itu, beramai mereka lantas
menyerbu ke dalam mercu itu.
'Hong-hwe-tay' atau mercu api, bentuknya lancip mirip
piramid, asarnya dibangun untuk keperluan militer, bila ada
perlu, penjaga mercu menyalakan api untuk memberi tanda.
Dan mercu itu hanya dijaga 7-8 serdadu, tentu saja tidak
susah, mereka kena dilempar keluar oleh Pho Jing-cu, segera
mereka menutup rapat pintu kubu rampasan ini dan menjaga
di tingkat atas. Waktu Coh Ciau-lam memburu datang
bersama pasukannya, namun mercu itu tingginya 5-6 tombak,
kalau ilmu mengentengkan tubuh tidak bagus, tidak mudah
untuk melompat ke atas. Ciau-lam dan Sin Liong-cu sudah
tentu sanggup, tapi di atas sana ada Pho Jing-cu, Ciok Thiansing
dan Han Hing yang merupakan jagoan kelas satu, hanya
mereka berdua yang naik ke atas pasti tak sanggup melawan.
Karena itu, untuk sementara kedua pihak menjadi saling
bertahan. "
"Ha, asal kita mengepung tiga hari tiga malam, tidak mati
lelah, pasti mereka akan mati kelaparan juga," ujar Ciau-lam
tertawa. Lalu ia bagi pasukannya menjadi tiga kelompok dan
menjaga bergiliran, ia sendiri lantas memasang kemah dan
pergi mengaso. Tapi baru Ciau-lam masuk perkemahannya, segera Sin
Liong-cu sudah menyusul datang hendak minta pedang
padanya. "Bukankah kita sudah berjanji baik-baik, jika kau bisa
merebutnya sendiri, barulah menjadi milikmu, bukan?" kata
Ciau-lam tertawa.
"Bukan aku yang merebutnya, maksudmu" Lalu, apa kau
sendiri yang merebutnya?" sahut Sin Liong-cu penasaran.
"Betul kau yang merebutnya dari tangan Lauw Yu-hong,
tapi musuh berhasil pula merampas dari tanganmu," demikian
ujar Ciau-lam. "Kalau bukan aku menggunakan ilmu
mengentengkan tubuh dan mendahului menyambarnya,
bukankah akan jatuh ke tangan musuh pula" Ah, sudahlah,
Sin-toako, betapapun pedang ini adalah pemberian guruku,
kita adalah sobat lama, sejak kecil kita sudah teman bermain
di Thian-san, anggaplah aku menerima kebaikanmu, biarlah
kuterima kembali pedangku ini. Bila kau menginginkan
pedang, aku tanggung, sebab aku tahu masih ada banyak
pedang pusaka, kelak pasti aku membantumu merebutnya."
Karena tak berdaya, terpaksa Sin Liong-cu menyanggupi.
Kembali mengenai Li Jiak-sim, Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao
bertiga, setelah mereka melarikan kuda dengan cepat ke
tempat asap mengepul, kira-kira sejam kemudian, tibalah
mereka sampai di luar mercu api itu. Tapi demi nampak kubu
itu terkepung rapat oleh pasukan musuh, mau tak mau
mereka mengeluh.
"Bagaimana jika kita menerjang ke sana untuk menolong
keluar mereka?" Ging-yao mengusulkan.
Namun Jiak-sim berpikir. "Jika Pho Jing-cu dan kawankawan
mau menerjang keluar, hanya pasukan musuh ini saja
tak nanti bisa merintanginya," demikian katanya kemudian.
"Dan kini mereka bisa terkurung di dalam sana agaknya dalam
pasukan musuh terdapat jago berilmu tinggi."
Dan belum bisa mereka mengambil keputusan, pasukan
patroli musuh sudah memergoki mereka, berpuluh serdadu
musuh segera menerjang datang. Cepat Ging-yao
menghamburkan senjata rahasia 'Cat-hun-ting' atau paku
pencabut nyawa, dan 5-6 orang kena dirobohkan, pedang
Lan-cu juga berhasil membinasakan beberapa serdadu lain,
namun pasukan musuh itu makin lama makin membanjir
hingga akhirnya mereka bertiga terkepung di suatu bukit pasir.
Dengan begitu, bila serdadu musuh berani mendekat,
segera Jiak-sim mengayun bandulannya menghantam kepala
orang. Senjata rahasia paku Bu Ging-yao juga sangat lihai,
cuma sayang tak bisa mencapai jauh. Namun pasukan musuh
terus mengepung dari jarak belasan tombak dan menghujani
mereka dengan panah, lekas Jiak-sim dan Ging-yao memutar
senjata buat menyampuk panah-panah yang menghambur
datang, sedang Lan-cu menggunakan pedangnya menggali
sebuah parit dan mereka pun bisa berlindung di dalamnya
dengan demikian kadang mereka bisa menggunakan panah
rampasan untuk membalas musuh.
Melihat ketiga orang ini begini lihai, sembari terus
mengepung, segera serdadu musuh ada yang kembali
melapor. Sang surya di padang rumput sudah terbenam, dewi malam
melengkung sabit baru saja muncul di ujung langit.
"Celaka, dalam pasukan musuh benar-benar ada jago
berilmu tinggi!" teriak Ging-yao kaget mendadak.
Waktu Jiak-sim melongok ke depan, betul juga dilihatnya
ada seorang kakek yang berjalan sempoyongan dan
terhuyung-huyung bagai orang mabuk arak sedang berlari
mendatangi. Terkejut juga, Li Jiak-sim, ia tak mengerti gerak tubuh
musuh yang datang ini. Dan sekejap saja orang tua itu sudah
menerjang naik ke bukit dimana mereka bersembunyi.
Cepat Ging-yao menyambut dengan tiga buah pakunya
yang lihai, tapi sekali orang itu mengebas lengan bajunya
terdengarlah suara gemerincing beberapa kali, tiga paku itu
kena tersampuk jatuh saling bentur. Dalam pada itu Liu-singtui
Li Jiak-sim sudah ditumpukkan juga. Tapi sedikit orang tua
aneh itu mengegos, berbareng kedua jarinya mengulur terus
menjepit, disusul dengan suara tertawanya yang terbahakbahak,
tahu-tahu Jiak-sim merasa pegangan tangannya
menjadi enteng, ternyata tali senjatanya yang terbuat dari
baja itu sudah terjepit putus.
Orang tua itu memang bukan lain daripada Sin Liong-cu.
Dengan setengah Liu-sing-tui yang dijepitnya dari Li Jiak-sim
itu, tiba-tiba ia menggunakan senjata itu terus menyabet ke
depan. Lan-cu menjadi gusar, sekali ia membentak, pedang
pusakanya berbareng menangkis hingga tali Liu-sing-tui itu
lagi-lagi terputus dan pangkal bandulnya jatuh ke tanah.
Menyusul mana Lan-cu terus menubruk maju pula dengan
gerak tipu Tn-liong-sam-hian' atau naga sakti muncul di awan
tiga kali, sekali serang tiga macam gaya sinar pedangnya
gemerlapan secepat kilat menyambar ke muka musuh.
"Bagus!" seru Sin Liong-cu, tubuhnya berbareng mencelat
setinggi setombak lebih dan turun ke sudut samping.
Tentu saja Ging-yao tidak tinggal diam, segera ia menusuk,
siapa duga ketika ujung pedangnya hampir mengenai
sasarannya tahu-tahu orangnya sudah menghilang.
Namun Ging-yao tidak menjadi gugup, ia memutar cepat
hingga pedangnya menerbitkan sebuah lingkaran sinar.
Karena itu, Sin Liong-cu dipaksa mundur ke belakang, sedang
pedang Ie Lan-cu sementara itu telah menyerang pula dari
samping lain. "Haha, kembali menemukan Pokiam lagi!" tiba-tiba Sin
Liong-cu bergolak tertawa. Berbareng itu, orangnya lantas
menubruk maju malah, di bawah sinar pedang musuh yang
menyambar itu, mendadak ia menghantam kepala Lan-cu.
Terpaksa gadis itu melompat mundur sambil memutar
tubuh, dengan tipu 'Pek-ho-keng-ih' atau bangau putih
menyisik bulu, tiba-tiba ia juga balas memotong pergelangan
tangan musuh. Keras lawan keras, serang dibalas menyerang,
sesungguhnya sangat berbahaya.
Karena itulah Sin Liong-cu bersuara heran, tiba-tiba ia
menggeliatkan tubuh dan diam-diam menggeser langkah,
waktu mendadak ia melompat, tahu-tahu orangnya
menyelinap sampai ke belakang Ie Lan-cu, lalu kedua kepalan
berbareng memukul dengan tipu 'Lian-goan-chit-sing-tui' atau
pukulan martil bintang tujuh berantai, suatu tipu paling ganas
dari ilmu pukulan Tat-mo, punggung gadis itu hendak
dihantamnya keras-keras.
Syukur pada saat yang berbahaya itu, pedang Bu Ging-yao
bagai elang menubruk dari udara, tahu-tahu menyambar
datang. Terpaksa Sin Liong-cu berkelit cepat dan kembali kedua
tangannya terpentang terus memukul pula ke depan hingga
senjata Ging-yao tergoncang pergi oleh angin pukulannya.
Kesempatan itu digunakan Sin Liong-cu untuk menerobos
pergi sambil membentak, "Hai, darimana kau dapat mencuri
belajar ilmu pedang Pek-hoat Mo-li?"
Kiranya Sin Liong-cu sama sekali tak kenal Bu Ging-yao
yang hanya belajar tiga tahun saja pada Pek-hoat Mo-li, sebab
waktu itu ia sedang duduk semadi di Lok-to-hong menunggui
mekarnya bunga sakti. Waktu Sin Liong-cu masuk perguruan,
tatkala itu juga Toh It-hang lagi diuber-uber Pek-hoat Mo-li
hendak diusirnya keluar Sinkiang. Sin Liong-cu paling berbakti
pada gurunya, maka ia menjadi sangat benci juga pada Pekhoat
Mo-li. Dan ketika Toh It-hang wafat, barulah diketahuinya sang
guru sebenarnya adalah sahabat baik Pek-hoat Mo-li, namun
dalam hati ia tetap penasaran mengapa orang berani
mengusir gurunya. Sebenarnya bila Tat-mo-kiam-hoat sudah
dilatihnya masak-masak dan sudah memetik bunga sakti itu, ia
hendak pergi menjumpai Pek-hoat Mo-li seperti pesan
gurunya, sekaligus ia bermaksud menantang adu pedang
untuk melampiaskan rasa dongkol mendiang gurunya. Siapa
duga di Lok-to-hong ia telah dikalahkan Leng Bwe-hong
hingga hatinya menjadi dingin.
"Hm, peduli apa kau!" demikian Ging-yao menjawab
bentakan orang tadi. Berbareng itu beruntun tiga serangan
kilat ia lontarkan pula hingga Sin Liong-cu terpaksa berputar
cepat menuruti gaya serangan si gadis, namun tetap ujung
bajunya tak dapat disenggol pedang Bu Ging-yao. Sebaliknya
melihat tipu serangan Bu Ging-yao begitu hebat, diam-diam
Sin Liong-cu terkejut juga, ia pun tak berani sembarangan
Pendekar Cacad 1 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 9

Cari Blog Ini