Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 3

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 3


berlangsung sampai jurus yang ke-30-an lebih. Diam-diam Ut-ti Lam menjadi sibuk, pikirnya:
"Celaka, akan segera meningkat jurus yang ke-50. Kepandaian anak itu nyata lebih tinggi dari
engkohku. Jika tak gunakan jurus itu, pianku pasti kena direbutnya nanti. Wah, runyam ini!"
Melihat sampai jurus ke-40 serangan pian lawan tetap tak terdapat lubang kelemahannya, anak
muda itu makin kagum. Sekonyong-konyong dilihatnya Ut-ti Lam terhuyung-huyung dan di bagian
tengah terbukalah suatu lubang. Terlintaslah pikiran si anak muda. Kalau terhadap orang lain,
mungkin ia tak berani. Tapi ia cukup tahu Ut-ti Lam itu seorang gagah yang ketolol-tololan, ia
mengambil keputusan hendak merebut pian tanpa melukai orangnya.
Baru ia berpikir begitu, tiba-tiba Ut-ti lam berteriak: "Awas!" -- Pian disapukan dengan cepat
sehingga seketika itu berubah menjadi ribuan sinar yang mengurung tubuh si anak muda. Sebatang
Cui-mo-kong-pian yang beratnya tak kurang dari 64 kati, pada saat itu telah berubah menjadi
sebatang pian lemas yang bergeliatan laksana seekor ular. Di dalam kelemahan mengandung
kekerasan, di dalam kekerasan mengandung kelemasan. Sungguh sebuah permainan yang sukar
diduga perubahannya.
Itulah jurus Pat-hong-hong-i-hwe-tiong-ciu yang sakti!
Jurus itu diciptakan Ut-ti Kiong semasa ia sudah berusia tua. Permainan itu khusus diciptakan
untuk menghancurkan ilmu bertangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim. Tidak termasuk dalam 64
jurus ilmu pian Cui-mo-pian-hoat. Mengenai hal itu ada sebuah kisahnya sebagai berikut.
Setelah dengan tangan kosong Ut-ti Kiong dapat merampas senjata Thiat-sok dari panglima Wakongcat yang bernama Tan Hiong-sin, kemudian berhasil juga menangkap hidup-hidup panglima
itu maka termasyhurlah nama Ut-ti Kiong. Pada suatu hari ketika diadakan perjamuan besar di
istana, Cin Siok-po bertanya padanya: "Meskipun ilmu pianmu itu deras seperti air hujan, tapi
masakan orang dengan tangan kosong tak dapat merampasnya?"
"Sudah tentu tak mungkin!" sahut Ut-ti Kiong.
"Dan ilmumu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim, konon juga tiada yang menandingi di
seluruh dunia. Apakah ilmu bertangan kosong itu benar-benar sakti dan dapat kaugunakan
merampas senjata apa saja dari musuh?" tanya Cin Siok-po pula.
"Kau adalah Toako-ku, sudah tentu aku tak berani membohongimu. Ilmu itu memang tiada
orang yang dapat menandingi. Tapi aku sendiri sayang belum menyakinkan sampai sempurna. Jika
bertemu dengan musuh yang sakti, belum tentu aku dapat merebut senjatanya. Misalnya sepasang
Siang-kan toako itu, jika digunakan terhadap diriku, akupun tak berani menghadapi dengan tangan
kosong saja," kata Ut-ti Kiong dengan terus terang.
"Ya, tapi bagaimana setelah kaudapat menyakinkan dengan sempurna?" tanya Cin Siok-po.
"Ilmu itu sudah berabad usianya dan tiada habis sumber keindahannya. Jika memang sungguhsungguh
sudah dapat mempelajari sampai sempurna, betapa lihaynya lawan, tetap akan terebut juga
senjatanya." sahut Ut-ti Kiong dengan pasti.
Maka tertawalah Cin Siok-po: "Bagus, sekarang kalau umpamanya ada seorang yang paham
akan ilmu permainan Cui-mo-kang-pian dan seorang lagi mahir akan ilmu Gong-jiu-jip-peh-jim itu,
lalu siapakah yang akan menang apabila saling bertempur?"
Ut-ti Kiong garuk-garuk kepala dan menyahut: "Aku sendiripun tak tahu!"
Sejak itu Ut-ti Kiong mengasah otak untuk menjawab pertanyaan Cin Siok-po yang sebenarnya
hanya untuk mengolok-oloknya saja. Akhirnya ia berhasil menciptakan jurus Pat-hong-hong-i-hwetiongciu itu. Dan karena ia sendiri ahli dalam ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim, jadi ia dapat mengisi
ciptaan baru itu dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat digunakan oleh Gong-chiu-jip-pehjim
itu. Oleh karena bila jurus itu dikeluarkan musuh tentu terluka atau binasa, maka tadi Ut-ti Lam
agak bersangsi. Dan setelah terpaksa mengeluarkan, si anak muda menjadi terperanjat juga.
"Ilmu permainan pian yang hebat!" ia berseru memuji.
Iapun mengeluarkan juga ilmu Gin-kangnya. Wut, ia enjot tubuhnya melambung ke udara, tapi
sudah kasip. Pian telah menggubat paha kanannya dan oleh pemiliknya terus ditarik ke bawah.
"Ayo, jatuh, jatuhlah!" teriak Ut-ti Lam.
"Ai, mungkin tidak!" sahut si anak muda dengan tertawa. Sekonyong-kkonyong ia gunakan
kaki kiri untuk mendepak lengan Ut-ti Lam. Suatu hal yang tak terduga sama sekali oleh Ut-ti Lam.
Kaki sudah tergubat pian, mengapa masih dapat mendepak pula"
Karena tak bersiaga, ujung kaki si anak muda tepat mengenai sasarannya. Seketika Ut-ti Lam
rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pian dari tangannya.
Dengan paha masih tergubat pian, anak muda itu berjumpalitan di udara dan dengan indahnya
melayang turun ke tanah. Dengan berseri-seri tawa ia melepaskan ikatannya lalu menyerahkan pian
itu kepada Ut-ti Lam.
Merah padam wajah Ciangkun itu ketika menerima piannya. Sampai beberapa saat ia
terlongong-longong.
"Orang she Bo, kali ini aku menyerah padamu!" tiba-tiba ia berseru.
"Terima kasih atas kemurahan hati Ciangkun. Jika tidak, pahaku pasti sudah pincang.
Pertandingan ini kita anggap seri saja," kata si anak muda.
Tapi dengan sportif sekali Ut-ti Lam mengakui kekalahannya: "Tidak, kaulah yang menang.
Tadi aku tak menggunakan tenaga penuh untuk menarik pian, tapi kau pun dapat mendepak
lenganku. Jika kau mendepak sungguh-sungguh, aku tentu terluka berat. Ya, aku cukup tahu akan
hal itu, maka aku sungguh tunduk padamu dan mengaku kalah!"
"Siapa kalah atau menang, tak usah kiranya kita perbincangkan. Yang penting dan
menggirangkan ialah jika kita tak bertempur kita tentu tak saling kenal," sahut si anak muda.
Seru Ut-ti Lam: "Benar, mengikat persahabatan dengan seseorang seperti kau, aku merasa
girang sekali. Walaupun karena itu harus kehilangan pangkat sampai tiga tingkat, tapi biarlah, tak
apa!" Si anak muda tertawa: "Oh, jadi ketika menitahkan kau keluar kota Cin-ut telah mengatakan
begitu padamu" Tapi rasanya tak perlu kau kuatir ....."
"Mengapa kuatir" Saudara Bo, rupanya kau menilai diriku kelewat rendah. Jadi pembesar
negeri atau tidak, bukan halangan bagiku. Hanya saja karena keluargaku itu keturunan menteri
yang banyak menerima budi kerajaan, jadi aku pun terpaksa tak dapat ikut kau menjadi penyamun,"
kata Ut-ti Lam.
"Ai, bukan begitu yang kumaksudkan. Aku tahu kau ini bukan orang yang kemaruk harta dan
gila pangkat. Tapi pada hematku, tak nanti Cin to-ut benar-benar akan mengajukan laporan pada
pihak kerajaan untuk menurunkan pangkatmu," menerangkan si anak muda.
"Mengapa tidak" Ketahuilah bahwa Cin-toako itu seorang yang berhati besi. Jika kali ini aku
pulang dengan hampa tangan, mana bisa ia tak menghukumku?"
"Oh, mungkin kau tak mengetahui bahwa engkohmu dan Cin toako-mu itu mempunyai seorang
sahabat karib yang bernama Thiat-mo-lek. Nanti jika pulang, bilang terus terang saja pada Cin to-ut
bahwa kuda yang kurampas itu hendak kupersembahkan pada Thiat-mo-lek. Coba saja masakan dia
berani mengirim laporan kepada kerajaan," kata si anak muda.
"Maksudmu dia lebih memberatkan persahabatannya dengan Thiat-mo-lek?" tanya Ut-ti Lam.
"Bukan hanya itu saja. Jika ia berani mengirim laporan, pihak kerajaan tentu akan menitahkan
ia untuk menumpas Thiat-mo-lek. Pihak kerajaan sudah tahu kalau ia bersahabat dengan Thiat-molek.
Kalau ia melapor apakah ia tak takut rahasianya diketahui" Jika sampai terjadi hal itu, berarti
ia akan terjepit dalam dua kesulitan, maju salah mundur keliru. Maka asal kau bilang terus terang,
dia pasti takkan menghukummu, bahkan akan berusaha untuk melindungi kesalahanmu itu. Dalam
kalangan pembesar, kenal akan istilah 'mengulur'. Sekarang kawanan berandal tumbuh dimanamana
laksana cendawan di musim hujan. Asal ia mengatakan tak dapat menyelidiki golongan
penjahat mana yang merampas kuda itu, masakan pihak kerajaan bisa berbuat apa-apa. Dan dengan
berlalunya sang waktu, lama kelamaan peristiwa itu tentu sudah terlupakan."
Ut-ti Lam seperti orang yang disadarkan dari mimpinya. Serta merta ia menyatakan terima
kasih: "Terima kasih atas advismu itu, sekarang aku hendak kembali. Kelak bila datang ke Tiangan,
silahkan mampir ke rumahku, nanti kita minum arak sampai puas!"
Tapi tiba-tiba perwira itu teringat sesuatu, serunya: "Tapi bagaimana kau dapat datang ke Tiangan"
Ah, ya, hampir saja kulupa bahwa kau ini seorang penyamun."
Si anak muda tertawa: "Urusan di dunia ini sukar diduga lebih dulu. Siapa tahu pada suatu hari
aku akan pesiar ke Tiang-an. Asal ciangkun tak kuatir menerima tetamu seorang penyamun, aku
tentu akan berkunjung ke rumah Ciangkun!"
Ut-ti Lam tak menyahut melainkan terus berlalu. In-nio segera ajak Yak-bwe turun dari atas
batu. Si anak muda buru-buru menyongsong mereka.
"Terima kasih kau datang kemari. Kukira ayahmu melarangmu karena tadi sampai sekian lama
kutunggu kau tak datang," kata si anak muda dengan tertawa. Demi melihat Yak-bwe, ia lantas
tanyakan diri nona itu.
"Ayahku tak pernah melarang aku. Adanya aku sampai datang terlambat itu karena di gedung
Tian Seng-su telah terbit peristiwa besar," sahut In-nio.
"Peristiwa apa?" tanya si anak muda.
"Nanti kuceritakan, sekarang lebih dulu akan kuperkenalkan kalian satu sama lain," jawab Innio.
Kemudian ia perkenalkan Yak-bwe pada si anak muda. Setelah itu baru ia kenalkan si anak
muda dengan Yak-bwe.
"Engkoh ini orang she Bo, namanya Se-kiat. Dia adalah anak murid angkatan keempat dari
Kiu-si-khek. Pamannya yang bernama Bo Jong Long, sembilan tahun yang lalu pernah datang ke
tionggoan, pernah punya sedikit hubungan dengan Toan Khik-sia. Kini pamannya adalah To-cu
(pemimpin pulau) dari pulau Hu-siang-to."
Kedua anak muda itu tersipu-sipu saling memberi salam perkenalan. Kata Se-kiat: "Apakah
nona Su kenal pada Toan Khik-sia?"
Tertawalah In-nio: "Tidak hanya terbatas dalam kenalan saja, bahkan dia ...."
Merah padam selebar muka Yak-bwe. Diam-diam ia mencubit In-nio. Nona ini segera berganti
nada: "Bukan hanya kenal saja, mereka berdua itu sahabat karib. Terus terang saja ...."
Mendengar In-nio berkata begitu, Yak-bwe menjadi sibuk lagi. Untuk mencegahnya sudah tak
keburu. Tapi untung In-nio lain tujuannya: "Terus terang saja, kedatanganku kemari ini bukan
karena hendak membantu semangatmu pada pertempuran tadi, melainkan karena hendak minta
bantuanmu untuk urusan adik Yak-bwe ini."
"Silahkan berkata, asal aku dapat mengerjakan, tentu aku merasa senang sekali membantu," Sekiat
menyahut dengan serempak.
"Urusan ini tidak memerlukan sedikit tenagamupun," kata In-nio, "Dia hanya akan menanyakan
keterangan tentang seseorang padamu."
"Siapa" Apakah Toan Khik-sia?" tanya Se-kiat.
Mendengar itu tertawalah In-nio: "Tepat sekali! Memang Toan Khik-sia."
Se-kiat agak heran, pikirnya: "Kalau sudah kenal pada Toan Khik-sia, mengapa masih bertanya
padaku pula?"
Rupanya In-nio sudah dapat membaca isi hati si anak muda, ujarnya: "Kau pintar tapi keblinger.
Adik yak-bwe kan seorang anak perempuan, meskipun kenal pada Toan Khik-sia, tapi juga tetap tak
leluasa untuk bertanya pada sembarang orang."
"Ha, jadi kalian ini tak tahu akan alamat Toan siauhiap itu lalu minta tolong aku supaya bantu
mencarikan! Tapi dengan sejujurnya saja, walaupun sudah lama kenal akan namanya, namun aku
juga belum pernah bertemu muka dengan Toan siauhiap itu," kata Se-kiat.
Yak-bwe agak kecewa oleh keterangan itu.
"Tapi urusan itu mudah saja dikerjakan. Kira-kira sepuluh hari lagi, para orang gagah dari
dunia lok-lim bakal mengadakan pertemuan besar di puncak Kim-ke-nia. Di situ mereka hendak
mengangkat Thiat-mo-lek sebagai Beng-cu. Dengan Thiat-mo-lek, sudah sejak dua turunan Toan
siauhiap mengikat persahabatan. Konon kabarnya masih ada sedikit hubungan famili. Sudah tentu
pada waktu itu dia akan hadir. Nah, asal kalian ke sana kan bakal berjumpa dengan Toan-siauhiap,"
kata Se-kiat pula.
"Tapi kami tak leluasa untuk datang ke pertemuan besar itu," ujar In-nio.
"Ah, mudah saja. Asal kalian suka menyaru jadi pria dan pura-pura menjadi pengikutku,
mengapa tak dapat masuk ke sana?" kata Se-kiat.
"Tapi, jika sampai ketahuan orang, bagaimana?" tanya In-nio.
"Banyaklah larangan-larangan yang digaris oleh kaum Hek-to, antaranya ialah terhadap bangsa
hamba negeri yang coba menyelundup masuk ke dalam kalangan mereka. Tapi bukankah kau ini
sahabatku dan nona Su itu kawan Toan Khik-sia" Taruh kata sampai ketahuan, Thiat-mo-lek pun
pasti takkan menghalau kalian pergi. Malah siapa tahu dia bakal kegirangan sekali karena sudah
kedatangan dua orang nona yang kosen. Rasanya tiada halangan untuk kalian datang kesana,"
menerangkan Se-kiat.
In-nio menanyakan bagaimana pendapat Yak-bwe atas usul Se-kiat itu.
Yak-bwe yang sudah sejak tadi tak buka suara, kini terpaksa bicara: "Siasat itu memang bagus,
tapi terpaksa memerlukan bantuan Bo-toako."
"Ah, jangan sungkan-sungkan. Apa yang perlu, bilanglah padaku," sahut Se-kiat.
"Kuterima usul Bo-toako tadi, tapi harap pegang teguh rahasia," akhirnya Yak-bwe mau
menerimanya. "Apakah Toan Khik-sia juga tak perlu diberitahukan rahasia itu," In-nio kembali menggodanya.
"Paling baik jangan memberitahukan padanya. Nanti saja bila aku ada kesempatan berjumpa
padanya, aku, aku, ....."
"Ya, urusan kalian berdua itu memang sebaiknya kau sendiri yang menjelaskan padanya," kata
In-nio. Se-kiat tampak melongo, rupanya kini ia sudah paham sedikit akan hubungan Yak-bwe dengan
Toan Khik-sia. "Harap nona jangan kuatir. Aku ini orang yang paling tak suka sembarang omong. Nah,
baiklah, aku yang bertugas untuk memasukkan kalian ke sana. Urusan-urusan lainnya, terserah
pada nona berdua," kata Se-kiat. Lalu sambungnya pula: "Pamanku amat mengagumi Toan
siauhiap. Setelah menginjak di bumi Tiong-goan sini, sebenarnya ingin sekali kumencarinya. Tapi
karena tak tahu alamatnya, maka kutunda sampai sekarang. Kelak dalam gelanggang pertemuan
besar itu, kuharap nona Su suka memperkenalkan aku dengan Toan-siauhiap!"
"Sayang malam ini kau tak pergi ke gedung Tiang Seng-su. Jika ke sana tentu dapat memberi
bantuan pada Toan-siauhiap," kata In-nio.
"Oh, jadi peristiwa yang kaukatakan terjadi dalam gedung Tian Seng-su itu adalah perbuatan
Toan-siauhiap?" tanya Se-kiat.
"Ya, ia hendak memberi ancaman dan terpaksa berhantam dengan Yo Bok-lo," sahut In-nio.
Kemudian ia menuturkan jalannya peristiwa itu.
Se-kiat amat terpikat, serunya: "Memang telah kudengar bahwa antaran mas-kawin Tian Sengsu
ke Lo-ciu itu dibegal orang. Kiranya Toan-siauhiaplah yang melakukannya. Ha, sungguh
hebat!" In-nio tertawa: "Eh, rupanya kau belum mengetahui bahwa nona yang akan dipinang Tian Sengsu
untuk puteranya itu adalah adikku ini!"
Lalu In-nio menceritakan lagi tentang riwayat Yak-bwe dan lagi-lagi Se-kiat amat kagum.
"Sungguh jarang terdapat seorang nona yang berpambek luhur seperti nona Su ini. Ia tak
kemaruk harta dan tak silau dengan kedudukan tinggi!" pemuda itu memuji.
Yak-bwe mengucapkan kata-kata merendah. Ia menerangkan harus kembali ke Lo-ciu dulu
untuk menyerahkan kotak emas kepada ayah angkatnya (Sik Ko). Setelah itu baru ia dapat
mengikut kedua anak muda itu ke gunung Kim-ke-san.
"Kalau begitu nanti sehari sebelum pertemuan itu berlangsung, kutunggu kalian di dusun Hu-liki
di kaki gunung Kim-ke-nia sana. Dalam beberapa hari ini akupun masih akan mengerjakan
sedikit urusan," kata Se-kiat.
Demikian setelah saling berjanji, mereka lalu berpisah. In-nio mengawani Yak-bwe berjalan
beberapa li. Dalam perjalanan itu, In-nio menuturkan tentang perkenalannya dengan pemuda Sekiat.
Kini barulah Yak-bwe mengetahui bahwa kepergian sang sahabat ke Gui-pok itu selain
menemani ayahnya (Sip Hong) pun memang hendak menemui Se-kiat. Pemuda itu telah
memberitahukan kepada In-nio akan tantangan pertempurannya dengan beberapa orang tadi di
gunung Pak-bong-san. Akhirnya dengan tak malu-malu lagi, In-nio mengatakan bahwa ia dengan
Se-kiat itu sudah saling jatuh hati.
Mendengar itu teringat Yak-bwe akan sesuatu, ujarnya: "Tadi Bo-toako bermaksud hendak
mengajak kita ke Kim-ke-nia, tapi bagaimana nanti kalau sampai kepergok?"
"Ai, kau ini bagaimana" Tadi kan Bo-toako sudah mengatakan kalau sampai ketahuan, dia akan
menerangkan pada Thiat-mo-lek bahwa aku ini seorang sahabatnya dan kau adalah kawan dari Toan
Khik-sia. Jangan kuatir, tentu tak ada urusannya!" sahut In-nio.
Yak-bwe tertawa kecut: "Ya, bo-toako tentu suka mengaku kau sebagai sahabatnya, tapi mana
Toan Khik-sia suka mengakui aku sebagai kawannya?"
"Sudah tentu ia tak suka mengaku kau sebagai kawan, karena kau adalah calon isterinya yang
sudah dipancangkan sejak dalam kandungan! Ah, adik Bwe, sudahlah jangan berbanyak hati lagi.
Pemuda idam-idamanmu itu adalah ibarat itik panggang, tak nanti ia dapat terban kemana-mana
lagi!" In-nio menggodanya.
"Huh, apa kau tahu dia telah salah paham padaku?" bantah Yak-bwe dalam hati. Namun ia
seorang nona yang keras kepala, jadi ia tak mau menceritakan peristiwa salah paham yang terjadi
antara ia dengan anak muda itu.
Setelah berjalan sementara li, In-nio terpaksa ambil selamat berpisah. Lebih dulu ia minta Yakbwe,
setelah menyelesaikan urusannya, supaya terus datang ke rumahnya (In-nio) untuk bersamasama
menuju ke dusun Hu-li-ki. Demikianlah Yak-bwe segera meneruskan perjalanan pulang
seorang diri. Setibanya di gedung ayah angkatnya, Yak-bwe segera menyerahkan kotak-mas itu kepada sang
ayah. Girang Sik Ko bukan kepalang. Tentang kepergian puteri angkatnya itu lagi, tak begitu
dihiraukan. Hanya Sik hujin yang masih berat hati untuk berpisah dengan puterinya itu. Dikala
hendak berpisah, nyonya yang baik itu bercucuran air matanya. Setelah susah payah membujuk dan
berjanji kelak akan datang menjenguk lagi, barulah Yak-bwe dapat meredakan kesedihan ibu
angkatnya itu. Setelah periksa isinya, Sik Ko lalu menutup kotak-mas itu rapat-rapat, kemudian suruh juru
tulisnya menulis sepucuk surat kepada Tian Seng-su. Surat itu dibubuhi stempel namanya (Sik Ko)
dan berbunyi ringkas saja: "Kemarin ada tetamu datang dari Gui, mendapatkan sebuah kotak-mas di
dekat bantal Goan-swe. Kami tak berani menyimpannya lama-lama dan dengan ini kami haturkan
kembali." Sik Ko suruh seorang kurir (pesuruh) untuk mengantarkan surat dan kotak-mas itu kepada Tian
Seng-su. Menerima kiriman itu, pecahlah nyali Tian Seng-su. Sejak itu ia tak berani merencanakan
untuk mencaplok daerah Lo-ciu. Bahkan, ia malah mempererat hubungannya dengan Sik Ko.
Setelah tinggalkan gedung Ciat-to-su dan Lo-ciu, Yak-bwe terus menuju ke tempat kediaman
In-nio. Kala itu ayah In-nio (Sip Hong) pun sudah pulang dari Gui-pok. In-nio telah menceritakan
kepada sang ayah apa yang telah terjadi. Sip Hong girang sekali dengan kejadian itu. Biasanya
orang yang paling dipujanya ialah Toan Kui-ciang. Bahwa Yak-bwe telah tinggalkan ayah
angkatnya karena hendak mencari tunangannya yang ternyata adalah putera dari Toan Kui-ciang,
sudah tetnu hal ini membuat Sip Hong amat gembira sekali.
Ia ijinkan puterinya pergi ke Kim-ke-nia bersama Yak-bwe. Malah disamping itu ia
menyampaikan juga sebuah berita kepada Yak-bwe, bahwa Yo Bok-lo sudah sembuh dari lukanya
dan dengan beberapa anak buahnya sedang siap-siap mencari jejak Toan Khik-sia. Hal itu ia minta
Yak-bwe sampaikan pada Khik-sia nanti. Kedua, Tian Seng-su sudah membatalkan urusan


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernikahan puteranya dengan keluarga Sik Ko dan lap-jay (bingkisan kawin) yang dirampas orang
itu tak diusutnya lebih jauh.
Yak-bwe girang mendengar berita itu. Kemudian kedua gadis itu mulai berkemas. Karena tak
berpengalaman, jadi In-nio yang mengajarkan Yak-bwe bagaimana caranya berdandan dan
membawa sikap sebagai seorang pria. Sebentar saja Yak-bwe sudah dapat memahami. Waktu
menghadap Sip Hong, ia menjadi terkejut dan tertawa gelak-gelak demi melihat kedua gadis itu
berubah menjadi pemuda-pemuda yang bagus.
Malam itu Yak-bwe tidur di rumah In-nio. Keesokan harinya mereka berangkat. Karena telah
diperhitungkan, maka tepat pada waktunya, ialah sehari sebelum pertemuan di gunung Kim-ke-nia
itu dilangsungkan, tibalah kedua pemudi itu di dusun Hu-li-ki.
Di situ Se-kiat sudah menunggunya. Ia membawa banyak pengikut. Begitulah mereka segera
mendaki ke atas gunung. Ce-cu atau pemimpin markas, Shin Thian-hiong, menyambut rombongan
Se-kiat itu dengan istimewa. Dia sendiri yang perlukan menyongsong keluar dan memperlakukan
mereka dengan hormat serta ramah sekali.
Dari rombongan pengikut Se-kiat itu, In-nio memperoleh keterangan kalau mereka itu
kebanyakan adalah tokoh-tokoh dari kalangan Hek-to. Malah ada beberapa orang yang mempunyai
kedudukan sebagai Ce-cu. Diam-diam In-nio merasa girang.
"Baru setahun menginjak bumi Tionggoan, ia sudah berhasil menundukkan sekian banyak
orang-orang gagah, sungguh hebat sekali!" demikian diam-diam ia memuji Se-kiat.
"Maafkan kalau mataku sudah lamur, tapi rasanya kedua saudara ini belum pernah kukenal,"
kata Thian-hiong waktu menyambut rombongan Se-kiat. Yang dimaksudkan itu ialah In-nio dan
Yak-bwe. Dengan tangkasnya Se-kiat memberi keterangan: "kedua saudara ini adalah sahabat-sahabatku
yang baru. Malah saudara Su ini juga menjadi kenalan Toan-siauhiap. Memang keduanya belum
pernah mengembara keluar dan baru pertama kali ini ikut serta menghadiri rapat orang gagah dari
dunia Lok-lim."
"Ai, sungguh beruntung sekali. Kita kaum Lok-lim adalah sekeluarga. Meskipun saudara
berdua ini baru pertama kali datang, tapi kita anggap sebagai sahabat lama. Harap jangan sungkan,"
demikian Thian-hiong mengunjukkan keramah-tamahannya sebagai tuan rumah.
Namun sekalipun mulutnya mengucap begitu, hati Ce-cu itu berpendapat lain. Pikirnya:
"Dalam dunia Lok-lim, jarang sekali terdapat tokoh-tokoh semacam mereka. Dari sikap dan
wajahnya mereka berdua itu lebih pantas menjadi pelajar daripada kaum persilatan!"
Hanya saja karena Se-kiat yang membawanya, jadi Thian-hiong pun tak menaruh curiga apaapa.
Sebaliknya bagi Yak-bwe, ia bermula mengira Thian-hiong tentu akan mengatakan apa-apa
tentang Khik-sia, tapi ternyata tidak. Karena tetamu-tetamu yang datang kelewat banyak jadi tuan
rumah itu sibuk menyambut mereka dan tak membicarakan lagi perihal Khik-sia. Diam-diam Yakbwe
merasa kecewa. Beberapa saat kemudian penuh sesaklah ruangan situ dengan orang-orang gagah dari segala
aliran. Diantaranya tak sedikit yang sudah termasyhur namanya. Suasana pada saat itu tampak
meriah sekali, sekalian orang sama bercakap-cakap dengan gembira. Hanya In-nio dan Yak-bwe
sendiri yang merasa rikuh dalam penyamarannya itu. Mereka berdua duduk berdiam diri di sudut.
Sampai sekian saat Yak-bwe memperhatikan setiap tetamu yang datang, namun belum juga
kelihatan Toan Khik-sia muncul.
Tiba-tiba ada seorang tetamu membicarakan diri Toan Khik-sia: "Kabarnya Toan Khik-sia telah
membuat geger di gedung Ciat-to-su Gui-pok. Benar-benar dia itu seorang jago muda yang jempol.
Tapi heran, mengapa ia belum kelihatan datang?"
Mendengar itu buru-buru Yak-bwe alihkan perhatiannya untuk memasang telinga.
Saat itu ada seorang tetamu lain yang berkata: "Kabarnya ia seorang diri hendak menempur
Hong-ho-ngo-pah, entah apakah ia keburu datang kemari atau tidak?"
"Jangan kuatir saudara!" kata seorang tetamu pula, "Toan siauhiap telah bilang padaku, kalau
tidak hari ini tentu besok pagi ia akan datang."
Yang bicara paling akhir itu ternyata adalah tokoh persilatan yang termasyhur, Kim-kiam-cenglong
To Peh-ing. "Hong-ho-ngo-pah juga lihay. Apakah dengan maju seorang diri itu Toan-siauhiap tidak terlalu
memandang rendah mereka?" kata seorang lain.
To Peh-ing tertawa: "Kepandaian dari Hiantit-ku itu jarang sekali dicari keduanya. Turut
pendapatku, ia lebih tangguh dari orang-orang yang lebih tua. Jangan lagi hanya lima benggolan
Hong-ho (Hong-ho-ngo-pah), sekalipun ada sepuluh benggolan, rasanya ia masih dapat
menanggulangi. Kalau ia bilang akan datang kemari, tentu datang!"
Ada beberapa tetamu yang tak kenal siapa Toan Khik-sia itu sama menanyakan pada To Pehing.
Waktu mendengar bahwa Khik-sia itu putera dari almarhum pendekar termasyhur Toan Kuiciang,
semua orang sama menyanjung puji. Kemudian waktu To Peh-ing menceritakan tentang
peristiwa perampasan antaran mas-kawin dari Tian Seng-su, semua orang gagah yang berada di situ
tak habis-habis memuji dan mengagumi. Ingin benar mereka melihat wajah jago muda itu.
Yak-bwe girang sekali melihat bakal suaminya disanjung puji sedemikian hebatnya. Tapi dalam
pada itu, ia pun memperhatikan juga bahwa ada sementara orang gagah yang tak puas dan iri hati
pada Toan Khik-sia.
Tiba-tiba terdengar orang berseru keras: "Thiat ce-cu datang!"
Seorang lelaki yang bertubuh kekar gagah, bermata besar dan alis tebal, tampak melangkah
masuk. Begitu melangkah pintu, ia segera berseru nyaring: "Yang manakah Bo-tayhiap" Harap
maafkan aku Thiat-mo-lek telah datang terlambat."
In-nio dan Yak-bwe terkejut melihat Thiat-mo-lek itu. Kiranya dahulu Thiat-mo-lek itu pernah
berkunjung ke rumah Sip Hong untuk mengobati lukanya. Pada waktu itu ia memakai nama Ong
Siau-hek dan atas perantaraan Sip Hong telah mengaku sebagai orang sedesa dengan Sik Ko. Sik
Ko percaya saja pada Sip Hong, tanpa menyelidiki lebih lanjut, ia terima Thiat-mo-lek menjadi wisu
(pengawal). Pada masa itu Yak-bwe baru berumur 10 tahun. Boleh dikata setiap hari ia bersama In-nio
mendapat pelajaran silat dari Thiat-mo-lek. Bahwa hari ini dapat berjumpa kembali dengan Thiatmolek, sudah tentu mereka menjadi girang.
"Ah, kiranya Thiat-mo-lek itu Ong Siau-hek dahulu. Jika siang-siang tahu akan dianya, tak
perlu orang perantara lagi juga kita dapat datang kemari," pikir mereka.
Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat itu sudah lama saling mengagumi kemasyhuran nama masingmasing,
tapi baru pertama kali itu mereka bertemu muka. Maka berbangkitlah Bo Se-kiat dengan
serentak: "Siaute adalah Bo Se-kiat itu. Untuk pujian 'tayhiap' tadi, siaute sungguh tak berani
menerimanya!"
Thiat-mo-lek tertawa: "Apakah menjadi penyamun itu tak dapat berbareng menjadi Tayhiap
juga" Bo-heng, dalam kalangan Lok-lim namamu sudah amat menonjol. Setiap sepak terjangmu,
telah membangkitkan rasa kagum pada sekalian orang. Meskipun Bo-heng dianggap sebagai
penyamun, tapi rasanya pantas disanjung sebagai pendekar yang menjalankan budi kebaikan. Tak
terhingga rasa kagumku kepada Bo-heng!"
Peristiwa Se-kiat merampas iring-iringan kuda, telah menggemparkan dunia Lok-lim. Kini
barulah semua orang mengetahui bahwa Se-kiat telah mempersembahkan kuda rampasan itu kepada
Thiat-mo-lek selaku perkenalan. Sudah tentu semua hadirin sama memberi selamat kepada kedua
pendekar itu. Jilid 3 Berkata Se-kiat: "Berbicara tentang iring-iringan kuda itu, karena hal itulah maka aku
berkenalan dengan seorang sahabat lagi. Kurasa Thiat-heng tentu kenal juga padanya."
Se-kiat lalu menuturkan tentang pertempurannya dengan Ut-ti Lam yang berakhir dengan
persahabatan itu. Mendengar itu Thiat-mo-lek bertanya.
Se-kiat melambaikan tangan memanggil In-nio dan Yak-bwe, kemudian memperkenalkan
kepada Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek terkesiap, rasanya ia pernah kenal dengan kedua "pemuda" itu.
Tapi untuk sesaat ia tak dapat membayangkan kemungkinan puteri-puteri dari Sik Ko dan Sip Hong
akan menyaru jadi lelaki dan datang ke markas gunung situ.
Sebaliknya In-nio dan Yak-bwe secara sembarangan saja telah memberitahukan nama samaran
mereka. "Eh, rasanya kita pernah bertemu, bukan?" kata Thiat-mo-lek.
In-nio tertawa: "Ai, Thiat ce-cu mungkin sedikit khilaf. Kami berdua baru pertama kali ini
keluar. Jika tak ada perjamuan besar ini, kami tentu tak mempunyai rejeki untuk bertemu dengan
Thiat ce-cu!"
"Ai, saudara terlalu sungkan. Kalian adalah sahabat Toan-hiante, berarti sahabatku juga.
Jangan sebut-sebut tentang siapa Cianpwe dan siapa wanpwe segala," kata Thiat-mo-lek. "Akupun
sudah bertahun-tahun tak berjumpa dengan Khik-sia. Eh, bagaimana kalian dapat berkenalan
dengan dia?"
Wajah Yak-bwe bersemu merah. Suatu hal yang membuat Thiat-mo-lek heran, pikirnya: "Huh,
mengapa pemuda ini begitu pemalu seperti anak perempuan" Belum membuka mulut sudah
kemerah-merahan wajahnya!"
Melihat gelagat yang kaku itu, buru-buru In-nio yang lebih tua dan lebih banyak
pengalamannya, merangkai suatu cerita kosong untuk mewakilkan Yak-bwe: "Perkenalan kami
dengan Toan siauhiap itu baru kira-kira sepuluhan hari lamanya. Itu waktu kami berpapasan dengan
kawanan Bu-su dari Tian Seng-su. Karena mereka coba menggertak, maka kamipun segera
melawannya. Mereka berjumlah banyak dan kami hanya berdua, sudah tentu kami kewalahan.
Untung Toan-siauhiap kebetulan lewat disitu dan membantu kami untuk melabrak kawanan Bu-su
itu. Dari keterangan yang kami peroleh, kawanan Bu-su itu memang diperintahkan Tian Seng-su
untuk mengusut gerombolan yang merampas antaran mas-kawinnya. Setiap bertemu dengan orang
asing, mereka tentu segera menahannya. Walaupun baru saja berkenalan tapi kami merasa cocok
dengan Toan"siauhiap. Dia mengatakan juga bahwa barang antaran mas-kawin Tian Seng-su itu dia
dan kawanan orang gagah dari Kim-ke-nia yang merampasnya. Kemudian ia memberitahukan
kami bahwa dia akan menuju ke gedung Tian Seng-su untuk meninggalkan ancaman. Sayang,
karena kami masih ada lain urusan, jadi tak dapat membantu padanya."
Tentang peristiwa Toan Khik-sia menyatroni gedung Tian Seng-su, memang Thiat-mo-lek
sudah mendengarnya. Karena itu maka ia percaya akan keterangan In-nio tadi.
"Pada malam Toan-siauhiap menyerbu gedung Tian Seng-su, aku pun berada di Gui-pok.
Sayang karena malam itu aku harus memenuhi tantangan Ut-ti Lam, jadi belakangan saja baru
mendengarnya. Kabarnya malam itu Toan-siauhiap dapat melukai Yo Bok-lo," kata Se-kiat.
Setelah mengacaukan gedung Tian Seng-su, Toan Khik-sia terus pergi ke lain tempat. Karena
selama itu belum datang lagi ke Kim-ke-nia, jadi Thiat-mo-lek belum jelas akan jalannya
pertempuran malam itu.
"Ha, kiranya iblis tua itu masih belum mati. Dia adalah pembunuh ayahku, aku memang
hendak mencarinya," kata Thiat-mo-lek kemudian dengan geram.
Karena ia sibuk berbicara dengan Se-kiat tentang diri Yo Bok-lo, jadi lupalah sudah ia akan diri
In-nio dan Yak-bwe.
Demikianlah malam itu, di markas gunung Kim-ke-nia telah diselenggarakan suatu pesta
perjamuan besar yang dihadiri oleh segenap orang gagah dari pelbagai aliran. Setelah perjamuan
selesai, sekalian orang gagah itu dipersilahkan beristirahat. Oleh karena rombongan pengikut Sekiat
itu berjumlah banyak, maka tuan rumah Shin Thian-hiong khusus menyediakan 10 buah kamar
untuk mereka. Se-kiat pun memperlakukan istimewa kepada kedua nona itu. Untuk mereka berdua
saja, diberinya sebuah kamar. Lain-lainnya setiap rombongan 4-5 orang diberi satu kamar. Karena
pelayanan yang istimewa itu, rombongan pengikut Se-kiat itu sama menduga kalau In-nio dan Yakbwe
itu tentu bukan tokoh sembarangan.
Malam itu Yak-bwe gulak-gulik di atas ranjang, tapi tak dapat tidur. Kira-kira pukul tiga pagi,
Se-kiat mengetuk pintu kamar kedua nona dan menyuruh mereka bangun. Setelah cuci muka dan
berdandan, kedua nona itupun keluar dari kamarnya.
"Masakan hari belum terang tanah Eng-hiong-hwe sudah akan dimulai?" tanya In-nio.
"Shin ce-cu akan mengundang sekalian tetamu untuk menikmati keindahan matahari terbit,
setelah itu Tay-hwe akan segera dibuka," menerangkan Se-kiat.
Diam-diam Yak-bwe geli dalam hatinya: "Tampaknya Shin ce-cu itu seorang yang kasar, tapi
ternyata juga suka akan seni-keindahan. Dia mempersilahkan para tetamunya menikmati matahari
terbit, itu menandakan seleranya akan seni."
Yang dijadikan medan pertemuan itu, adalah sebuah padang dataran yang luas. Ketika In-nio
dan Yak-bwe tiba, di medan pertemuan itu sudah penuh sesak dengan orang. Kala itu rembulan
sudah condong ke barat dan fajar remang-remang mulai memancar. Beberapa jenak kemudian,
gumpalan awan putih mulai buyar, cakrawala mulai terang. Langit di ufuk timur mulai
memancarkan cahaya kemrah-merahan. Dan ayampun terdengar berkokok sahut-sahutan.
Sekejap mata pula, sang roda dunia yang merah membara mulai unjukkan wajahnya. Kabut
awan yang berarak-arak buyar itu, karena ditingkah oleh sinar sang surya, memantulkan cahaya
warna-warni bagai untaian pelangi. Sungguh indah permai pemandangan matahari terbit di pagi
hari itu. Kini barulah tahu Yak-bwe apa maksud Shin Thian-hiong mengundang sekalian tetamunya
untuk menikmati matahari terbit itu. Kiranya pemimpin perjamuan itu hendak menghidangkan
suatu pemandangan yang sesuai dengan nama gunung itu: Kim-ke-nia atau puncak ayam emas.
Saat itu Thian-hiong menghadap ke arah barat, lalu menjura. Setelah itu berserulah ia dengan
suara nyaring: "Terima kasih kepada sekalian Toako yang sudi memerlukan datang ke markas kami.
Aku adalah seorang kasar dan tak pandai pula berbicara. Apa yang kupikirkan terus saja
kuucapkan. Benar tidaknya, harap saudara-saudara sekalian suka memberi petunjuk."
Pecahlah mulut para hadirin dengan gelak tertawa.
"Aha, Shin-toako, bilakah kau belajar main rikuh-rikuhan itu" Kita adalah kaum yang berbicara
dengan bahasa golok. Jika ingin mengatakan sesuatu, silahkan berbicara dengan terus terang, tak
usah jual mahal seperti kaum wanita!"
Maka berkatalah Thian-hiong: "Sejak saudara Ong Pek-thong menutup mata, dalam sepuluhan
tahun ini perserikatan Lok-lim tak punya pemimpin lagi. Terus terang saja, semasa saudara Ong itu
menjabat pimpinan Lok-lim, akulah orang pertama yang menentang padanya. Dia mengandalkan
kekuatan untuk menindas yang lemah, suka menghina sesama kaum dan tidak tepat menjalankan
kebijaksanaannya. Yang paling tidak pantas, dia minta sekalian orang gagah dari Lok-lim agar
mengangkatnya setinggi langit. Rupanya diangkat menjadi pemimpin saja ia masih kurang merasa
puas. Ia masih bercita-cita menjadi raja muda, bersekongkol dengan An Lok-san untuk mendapat
kekayaan dan pangkat. Tentang hal itu, rasanya para saudara tentu sudah maklum, maka tak perlu
kubicara panjang lebar lagi. Hanya saja, tentang kesalahan saudara Ong menjadi pimpinan itu suatu
hal, sedang tentang perlu tidaknya kita mengangkat pemimpin lagi, itu lain hal lagi."
"Turut pendapatku, lebih baik kita mempunyai seorang pemimpin. Dalam masa sepuluhan
tahun ini, karena tiada pemimpin, jika tentara negeri menyerang, kita lantas kehilangan koordinasi
untuk bantu-membantu. Kita banyak menderita karena hal itu. Malah yang lebih buruk lagi, karena
kita terdiri dari kaum yang menggunakan bahasa golok, jadi seringkali tak terhindar dari bentrokan
saling berebut daerah kekuasaan dan hasil rampasan. Bukti-bukti menyatakan hal itu sudah sering
terjadi. Bukan saja hal itu meretakkan hubungan, pun memperlemah persatuan, hingga
memudahkan tentara negeri menghancurkan kita. Kalau membicarakan hal itu, hati kita merasa
sedih sekali. Sebab utama dari keadaan itu adalah karena kita tak mempunyai pimpinan."
"Dengan alasan yang kukemukakan tadi, maka kuundang saudara-saudara sekalian hadir dalam
pertemuan ini guna menyarankan seorang calon yang akan kita angkat menjadi pemimpin Lok-lim.
Entah bagaimana pendapat saudara-saudara sekalian?"
"Bagus, Shin-toako, pidato pembukaanmu hebat benar. Hanya sayang sekali calon itu sukar
didapatkan. Jika salah pilih, bukankah akan terulang lagi lelako Ong Pek-thong kedua?" seru
sementara hadirin.
Mereka adalah golongan orang-orang yang liar atau bebas, maka dari itu mereka tak menyukai
adanya pemimpin dan berusaha untuk 'mengguyur air dingin' atas pernyataan tuan rumah tadi.
Tapi ada pula serombongan orang yang menyetujui: "Memang kesukaran tentu ada, tapi itu
bukan alasan untuk mundur. Pimpinan harus ada, untuk itu kita harus berhati-hati memilihnya."
"Shin-toako yang mengambil inisiatif menyelenggarakan pertemuan ini, jadi kebanyakan ia
tentu sudah mempunyai pilihan calon yang tepat. Nah, suruh saja dia mengemukakannya!" seru
sementara orang pula.
Terang golongan ini menunjang Thiat-mo-lek dan Shin Thian-hiong, maka mereka pun berdaya
untuk menindas golongan yang menentang tadi.
Memang dalam rapat kawanan penyamun itu, tiada apa yang dinamakan tata tertib persidangan,
misalnya pemungutan suara dan sebagainya. Karena tak ada suara yang menentang lagi, maka usul
memilih calon pemimpin itu dianggap sudah diterima baik oleh sebagian besar hadirin. Kini semua
mata ditujukan pada pimpinan rapat (Shing Thian-hiong). Suasana yang berisik tadipun mulai
sirap. Maka berkata pula Thian-hiong: "Benar, memang kita harus memilih orang yang tepat. Pada
hematku, syaratnya ialah: pertama, harus lapang dada mengabdi kepentingan orang banyak; kedua,
harus yang mempunyai kewibawaan; ketiga, mempunyai ilmu silat yang sakti dan keempat, harus
ditinjau dari keturunan keluarganya. Yang kumaksud dengan keluarga di sini bukan golongan
keturunan keluarga pembesar-pembesar korup, akan tetapi keturunan dari keluarga penyamun."
"Dalam anggapanku, hanya ada seorang yang mencukupi keempat syarat itu. Dia adalah Thiatmolek. Nah, saudara-saudara, aku majukan Thiat-mo-lek sebagai calon pemimpin Lok-lim!"
Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing segera menanggapi: "Saudara-saudara, bukan maksudku
hendak mengeloni Thiat-mo-lek hiantitku itu, tapi aku hendak berbicara apa adanya saja. Meskipun
dia tergolong seorang dari angkatan muda, tapi ketenaran namanya sudah berkumandang di seluruh
negeri. Pribadinya jujur dan bertanggung jawab. Tentang ilmu silatnya, ia telah mendapat pelajaran
dari tokoh-tokoh yang termasyhur, misalnya Mo Kia Lojin dan mendiang Toan Kui-ciang. Tentang
asal keturunannya, rasanya tak perlu diragukan lagi. Siapakah yang tak kenal akan nama Thiat-gunlun,
ayah Thiat-mo-lek itu" Sewaktu Thiat-gun-lun masih berkecimpung dalam dunia persilatan,
meskipun benar belum pernah menjadi pemimpin Lok-lim, tapi kemasyhuran namanya tidak
dibawah kedua jago she Ong dan she Tou. Keempat syarat yang disebut-sebut Shin-toako tadi,
Hiantitku Thiat-mo-lek itu memiliki semuanya. Apalagi pada masa ini ia sedang gagah-gagahnya,
jadi pantaslah untuk menjabat pemimpin Lok-lim kita!"
Thiat-mo-lek mempunyai pergaulan luas sekali. Sebagian besar dari thau-bak Kim-ke-nia sama
menunjangnya. Maka begitu Shing Thiang-hiong dan To Peh-ing selesai menyatakan pendapatnya,
dari empat penjuru segera terdengar tempik sorak yang gegap-gempita. Tapi dalam pada itu, juga
masih tak sedikit orang yang diam-diam sama kasak-kusuk.
Mendadak ada seorang lelaki yang bermuka ungu berbangkit dan berseru keras: "Masih ada satu
hal yang saudara To lupa mengatakan, pada hal semua orang sudah sama mengetahuinya. Ialah
Thiat-mo-lek itu putera angkat dari Tou-leng pemimpin Lok-lim yang sudah almarhum. Jadi boleh
dikata, Thiat-mo-lek itu berasal dari keturunan keluarga Lok-lim. Tetapi kiranya para saudara yang
hadir di sini tentu sudah maklum bahwa antara orang she Ong dengan orang she Tou itu adalah
musuh bebuyutan. Meskipun Ong Pek-thong sudah lama meninggal dunia, tapi sampai sekarang
anak buahnya masih banyak. Walaupun semasa hidupnya Ong Pek-thong pernah berbuat
kesalahan, tapi pada masa itu ia menjadi pemimpin Lok-lim, sudah tentu orang yang taat padanya
juga banyak. Orang-orang itu sebenarnya tak ikut-ikutan bersalah. Apalagi kejadian itu sudah
lampau, kalau diungkit-ungkit lagi tiada membawa manfaat apa-apa ...."
Belum ia menyelesaikan kata-katanya, Thian-hiong sudah serentak berbangkit dan menyeletuk:
"Memang tak ada orang yang hendak mengungkit hal itu! Tujuan dari pertemuan hari ini ialah


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak membuang kesalahan lama dan membangun lagi semangat persatuan baru. Apa perlunya
kau menyinggung-nyinggung soal lama itu?"
Berkata si muka ungu tadi: "Jangan Shin ce-cu keburu marah-marah dulu, bolehkah aku
menyelesaikan kata-kataku tadi" Memang kurasa perlu untuk mengungkit hal tadi. Pada hematku,
memang kuanggap Thiat-mo-lek itu pantas menjadi pemimpin kita. Tapi harap saudara-saudara
suka merenungkan sebentar. Andaikata Thiat-mo-lek dapat menjalankan kewajibannya dengan
bijaksana, hal itu baru belakangan dapat diketahui. Tapi yang nyata pada saat ini para pengikut Ong
Pek-thong tentu sudah mempunyai ganjalan di dalam hati!"
Ucapan itu telah menimbulkan reaksi hebat dari golongan yang pro Thiat-mo-lek.
Sudah tentu Thiat-mo-lek merasa tak enak sendiri. Sebenarnya ia pun sudah menduga tentang
hal itu, tapi ia tak menyangka sama sekali bahwa akan ada orang yang akan mengatakan di depan
umum. Hal itu menandakan bahwa pengaruh Ong Pek-thong itu masih kuat. Diam-diam Thiat-molek
timbul niatan untuk mengundurkan diri dari pencalonan itu.
Tapi baru ia hendak berbangkit untuk menyatakan penolakannya, tiba-tiba ada seorang lelaki
menghampirinya dan menyuruhnya duduk kembali. Orang itu bukan lain ternyata adalah menantu
dari Ong Pek-thong yang bernama Can Goan-siu. Isterinya atau anak perempuan dari Ong Pekthong
yang bernama Ong Yan-ih dan sekarang pun menyertai suaminya datang ke tempat itu.
Selagi Goan-siu mendudukkan Thiat-mo-lek, Yan-ih sudah berbangkit dari tempat duduknya
dan berseru: "Aku adalah anak perempuan dari Ong Pek-thong. Pada saat ayah menutup mata, aku
selalu berada di sampingnya. Ayah menyatakan sendiri padaku bahwa ia merasa menyesal atas
perjalanan hidupnya selama ini. Beliau meninggalkan pesan supaya kami seturunan menghapuskan
permusuhan dengan keluarga Tou. Sekarang atas nama dari Ong Pek-thong dengan ini aku
menyatakan menunjang sepenuhnya usul Shin ce-cu tadi. Aku setuju akan pengangkatan Thiat-molek
menjadi pemimpin Lok-lim."
"Oh, kiranya bibi Ong juga turut datang kemari. Dengan pernyataannya itu tentu tiada orang
yang menentang Thiat-mo-lek lagi," pikir Yak-bwe.
Yak-bwe memang masih bersih pikirannya. Tetapi persoalan saat itu tak sederhana seperti apa
yang dipikirnya. Benar dengan pernyataan Yan-ih tadi golongan oposisi dapat ditindas, namun hal
itu bukan berarti sudah aman lancar dan tak ada oposisi lagi.
Kembali si muka ungu tadi berbangkit lagi, ujarnya: "Pesang yang ditinggalkan Ong Pek-thong
pada detik-detik terakhir itu, hanya nona Ong saja yang mendengarnya. Aku tak berani mengatakan
tak percaya, tapi setiap orang mempunyai cara berpikir sendiri-sendiri. Aku pun tak berani
memberi jaminan bahwa pengikut-pengikut Ong Pek-thong dapat menerima keterangan nona Ong
tadi dengan hati terbuka dan bebas dari ganjalan. Dalam pemilihan ketika ini, tak dapat hanya
didasarkan persahabatan, lebih tak boleh hanya memandang akan ketenaran nama. Tetapi harus
ditilik dari segala segi. Shin dan To kedua toako tadi mengusulkan Thiat-mo-lek, bukannya aku
menentang, tapi alangkah baiknya jika diajukan lagi beberapa calon, agar sekalian hadirin dapat
memilihnya. Dengan cara demikian rasanya mungkin pilihan itu akan memperoleh hasil yang
memuaskan!"
Sampai dimana perhubungan Yan-ih dengan Thiat-mo-lek, semua orang sudah mengetahui.
Ucapan si muka ungu itu terang hendak menyindir Yan-ih yang dituduh terpengaruh oleh
hubungannya dengan Thiat-mo-lek. Sudah tentu Yan-ih gusar sekali, namun ia masih kuatkan
hatinya untuk menahan diri.
Berkata Thian-hiong: "Pada pertemuan ini, para saudara dipersilahkan menyatakan pendapat
dengan bebas. Harap mengajukan calon sendiri-sendiri yang memiliki sifar-sifat pintar dan
bijaksana, agar kita sekalian betul-betul taat. Memang dalam pemilihan ini, jangan hanya
tergantung pada pencalonan seorang saja. Han-toako, siapakah yang hendak kau usulkan, silahkan
mengajukannya!"
Segera ada seseorang berseru nyaring: "Benar! Punya omongan harus diucapkan, ingin kentut
lekas dihembuskan, tak usah eco-eco seperti ular kembang!"
Si muka ungu itu seorang yang tenang dan dingin. Apapun perasaan dalam hatinya, selalu tak
kentara di wajahnya. Terhadap ucapan kasar dan cemoohan tadi, sama sekali ia tak
menghiraukannya.
"Baiklah, sekarang aku hendak mengajukan seorang calon yaitu Thiat-koay Li. Nama Li-toako
itu sudah bergema jauh di daerah utara dan selatan sungai, rasanya sekalian saudara tentu sudah
mengetahui, bukan?" demikian kemudian si muka ungu itu berkata.
Dengan berbisik Yak-bwe menanyakan tentang tokoh Thiat-koay Li (Li si Tongkat Besi) yang
disebut itu kepada In-nio, tapi In-nio gelengkan kepala tanda tidak tahu. Adalah seorang tetamu
yang duduk di sebelah dan mendengar pertanyaan Yak-bwe itulah menjadi heran, katanya: "Kalian
tak kenal akan Thiat-koay Li" Dia adalah Li Thian-go, Congthaubak dari tujuh Ce (sarang bandit)
di daerah Hopak. Sudah dua puluh tahun lamanya ia menjagoi dunia Lok-lim dengan ilmu
permainan tongkatnya Loan-bi-hong-koay-hwat dari 72 jurus. Saudara berdua ini tentunya baru
pertama kali ini keluar, bukan?"
Yak-bwe tertawa dan menghaturkan terima kasih pada orang itu. Sementara itu si muka ungu
berhenti sebentar untuk menunggu reaksi dari para hadirin. Sesaat kemudian ia melanjutkan
berkata: "Dalam empat syarat yang disebutkan Shin-toako tadi, Li-toako itu telah memenuhi tiga.
Sudah beberapa tahun Li-toako menjadi Congthaubak dari tujuh San-ce, selama itu dalam soal
pembagian hasil ia tak pernah merugikan salah satu pihak. Terhadap orang sekaum, ia selalu
memperlakukan dengan kebaikan dan keadilan. Boleh dikata ia dapat mengabdi pada kepentingan
umum dan jauh dari mementingkan diri sendiri. Dalam soal kewibawaan dan kebijaksanaan, ia
telah memiliki. Tentang ilmu silatnya, dengan ilmu permainan tongkat Loan-bi-hong-koay-hwat ia
telah menjagoi daerah selatan dan utara sungai. Dalam hal ini rasanya tak perlu banyak memberi
komentar lagi."
"Hanya sebuah syarat yang sayangnya ia tak menemui yaitu tentang keturunan keluarganya.
Kakek dan ayahnya tak pernah menuntut penghidupan sebagai 'pedagang tanpa modal'
(penyamun), jadi dia bukan dari keturunan keluarga Lok-lim. Kedudukannya dalam kalangan Loklim
diperolehnya dari tongkat besinya itu, sekali-kali bukan warisan dari leluhurnya. Hanya saja
menurut alam pikiranku yang dangkal ini, memilih seorang pemimpin Lok-lim tidaklah sama
seperti raja hendak memilih menantu, harus meneliti keturunan keluarga apa segala. Dari keturunan
Lok-lim atau bukan, rasanya bukan soal yang penting. Jika bicaraku ini keliru, harap Shin ce-cu
memberi maaf."
Dengan menunjukkan perbedaan antara pemilihan ketua Lok-lim dengan pemilihan seorang
menantu raja, si muka ungu bermaksud hendak meniadakan syarat yang diajukan Shin Thian-hiong
dalam hal keturunan. Di samping itu, ia singgung-singgung juga diri Thiat-mo-lek karena
membonceng pada soal keturunan keluarga.
Sekalian hadirin tak dapat menyelami maksud yang tersembunyi dalam ucapan si muka ungu
itu. Yang diketahui mereka, karena kata-kta si muka ungu itu diucapkan dengan menarik sekali,
maka mereka sama tertawa.
Sebaliknya merah padamlah wajah Thian-hiong. Baru ia hendak berbangkit akan mengangkat
bicara, To Peh-ing sudah membisiki telinganya: "Shin-toako, harap kendalikan diri, jangan merusak
suasana pertemuan ini!"
Kiranya Thiat-koay Li Thian-go itu termasuk golongan orangnya Ong Pek-thong, malah
menjadi saudara angkat Ong Pek-thong. Hanya saja sewaktu Ong Pek-thong bersekongkol dengan
An Lok-san, Thiat-koay Li tak mau ikut serta. Ini bukan karena ia gentar, melainkan ia akan
menunggu saat-saat yang tepat untuk bergerak. Memang ia lebih cerdik dari Ong Pek-thong. Kala
itu ia sudah nebgetahui bahwa tindakan Ong Pek-thong yang salah itu tentu bakal membangkitkan
rasa tidak puas di kalangan orang gagah. Kedudukan Ong Pek-thong sebagai pemimpin Lok-lim
pasti tak dapat dipertahankan lagi. Maka ia mengambil sikap pasif saja dan memperkuat
kedudukannya sebagai Congthaubak dari ketujuh San-ce. Baik kepada tentara negeri maupun
kepada kerajaan Wi-yan (merk kerajaan yang akan didirikan oleh An Lok-san), ia tak mau
membantu. Tapi sekalipun begitu, pada masa An Lok-san lagi jaya-jayanya, diam-diam Thiat-koay
Li mengadakan kontak dengan Ong Pek-thong secara sembunyi-sembunyi.
Kedatangannya ke pertemuan di gunung Kim-ke-nia sekarang dengan membawa harapan penuh
bahwa ia niscaya akan memperoleh kedudukan sebagai pemimpin Lok-lim. Pada hakikatnya orang
yang mencalonkan dirinya itu, adalah konco-konconya sendiri.
ShinThian-hiong sudah mempunyai keterangan-keterangan lengkap tentang diri orang she Li
itu. Sebenarnya Thian-hiong pun akan membeberkan rahasia hubungan gelap antara Thiat-koay Li
dengan Ong Pek-thong, tapi To Peh-ing yang sudah kenal baik karakternya, buru-buru
mencegahnya. Thian-hiong seperti orang disadarkan, pikirnya: "Ya, benarlah. Aku tadi pun sudah menyatakan,
bahwa urusan lama sebaiknya jangan dibawa-bawa lagi. Aku tak boleh memusuhinya hanya
dikarenakan ia dahulu mempunyai hubungan rapat dengan Ong Pek-thong. Apalagi pada masa itu
ia tak terang-terangan ikut pada Ong Pek-thong, jadi sukar untuk membuktikan jejaknya itu. Jika
aku berkeras menentangnya, hadirin tentu menuduh aku menimbang berat sebelah. Hal ini
sebaliknya tak menguntungkan diri Thiat-mo-lek."
Tapi sekalipun Thian-hiong tak membeberkan, namun lain orang pun tahu akan gerak-gerik Li
Thian-go itu. Seketika sekalian yang hadir sama hiruk membicarakan. Yang berdiri dari tempat
duduknya dan berteriak-teriak adalah dari golongan Thiat-koay Li. Tapi kalau dibanding dengan
penyokong Thiat-mo-lek, mereka itu masih belum seberapa.
Setelah suara teriakan mereda, kembali ada seorang berbangkit dan berseru: "Aku pun hendak
mengajukan seorang calon. Yang hendak kucalonkan itu ialah Thiat-pi-kim-to Tang lo-ya-cu yang
dalam Lok-lim namanya juga tak asing lagi bagi kita."
Seorang tua bermuka merah yang tangkas segera berbangkit dan berkata: "Ai, harap Nyo-lote
jangan membuat buah tertawaan orang. Aku seorang tua yang sudah lama cuci tangan, mengapa
mencalonkan diriku?"
Orang yang dipanggil she Nyo itu menyahut: "Jahe makin tua makin pedas. Justru karena kau
sudah tua dan sudah cuci tangan, maka tak mempunyai hubungan apa-apa dengan kedua keluarga
Tou dan Ong. Dalam menjalankan kewajiban tentu lebih adil bijaksana. Saudara-saudara sekalian,
maafkan aku hendak bicara terus terang. Kulihat, pada masa ini sahabat-sahabat dari kalangan Hekto
tak mempunyai kebulatan hati, jadi sukarlah rasanya untuk memilih calon yang benar-benar
ditunjang dengan suara bulat. Maka daripada begitu, lebih baik kita meminta seorang tokoh yang
sudah tua usinya untuk menjadi pemimpin kita."
Thiat-pi-kim-to Tang kiam memang cukup ternama, maka kata-kata orang she Nyo tadi
mendapat sambutan tepuk tangan dan sorak-sorai yang gegap gempita. Mereka menyatakan
mendukung. Tapi usia Tang Kiam itu sudah tua, maka ada beberapa orang yang sangsi apakah jago
tua itu masih dapat memikul kewajiban. Mereka kuatir jangan-jangan orang tua itu nanti cuma
menjadi semacam boneka saja. Maka karena itu jumlah penyokong-penyokongnya masih tetap
kalah banyak dibandingkan dengan penyokong Thiat-mo-lek.
Tang Kiam tetap menolak lagi, tapi karena terus-menerus didesak orang, akhirnya ia mau
menerima juga dengan pertimbangan supaya dapat mendamaikan pertentangan di antara kedua
golongan yang pro dan kontra itu.
"Baiklah, terserah saja pada sekalian hadirin. Tapi aku sendiri menganggap Thiat-mo-lek lah
yang paling tepat!" katanya.
Dalam suasana berisik dari orang-orang yang sama memperbincangkan itu, tiba-tiba seorang
lelaki bertubuh kekar dan tinggi hampir dua meter tampak berbangkit. Dengan suara nyaring
seperti lonceng bertalu. Ia berseru: "Aku pun hendak mengajukan seorang calon!"
Waktu sekalian hadirin memandang ke arahnya, ternyata ia itu pemimpin kaum Lok-lim di
pantai selatan sungai Tiangkang yang bernama Kay Thian-ho. Sekalian orang sama terperanjat.
Pikir mereka: "Kay Thian-ho itu seorang congkak, tak pernah tunduk pada orang. Ketika dahulu
orang she Ong dan she Tou menjabat pemimpin Lok-lim, Kay Thian-ho itupun tak menjual muka.
Kini ia hendak mengajukan seorang calon, entah siapakah tokoh itu?"
Rupanya Kay Thian-ho tahu apa yang dipikirkan sekalian orang itu. Ia tertawa nyaring: "Harap
saudara sekalian jangan meragukan. Walaupun ia baru setahun muncul di dunia persilatan, tapi ia
sudah melakukan perbuatan-perbuatan yang menggemparkan!"
Berbagai reaksi timbul di kalangan hadirin. Ada yang menduga-duga siapa tokoh itu, ada pula
yang tak mau main menduga tapi segera berseru menanyakan pada Thian-ho: "Kay-toako, bilanglah
lekas siapa calonmu itu!"
Sahut Kay Thian-ho: "Pemuda gagah itu bernama Bo Se-kiat. Kiranya para saudara yang hadir
di sini tentu sudah maklum bahwa aku orang she Kay ini tak mudah sembarangan memuji orang.
Tapi hari ini aku benar-benar hendak berkata dengan sungguh-sungguh. Bo-hengte itu benar-benar
tergolong tokoh sakti dalam jaman ini! Dia adalah murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek dan
keponakan dari Tocu (pemimpin pulau) Hu-siang-to, Bo Jong-siang. Walaupun mereka tinggal di
luar lautan yang amat jauh, tapi juga dapat digolongkan sebagai keturunan keluarga Lok-lim."
Kiu-si-khek adalah seorang Koay-kiat (pendekar aneh) dari dunia Lok-lim pada masa
permulaan kerajaan Tong. Karena baginda Sui-yang-te seorang raja yang Bu-to (lalim), maka
sekalian orang gagah di seluruh negeri sama berontak. Kabarnya Kiu-si-khek itu juga bermaksud
menceburkan diri sebagai raja. Tapi kemudian seorang sahabatnya yang bernama Li Ceng datang
mengunjunginya dan memuji-muji kecakapan Li Si-bin. Sahabat Kiu-si-khek itu lebih lanjut
mengatakan bahwa kegagahan, kecerdasan dan kewibawaan pemuda Li Si-bin itu benar-benar luar
biasa. Dengan saingan seperti itu, impian Kiu-si-khek untuk mendapatkan tahta kerajaan tentu akan
gagal. Mendengar itu Kiu-si-khek lalu ajak Li Ceng masuk ke daerah Thay-goan (Li Si-bin adalah
putera Li Yan; Liu-siu dari Thay-goan). Di Thay-goan, Kiu-si-khek juga mempunyai seorang
sahabat yang bernama Lau Bun-cing. Lau Bun-ding kenal juga pada Li Si-bin. Kiu-si-khek lalu
minta pada Bun-cing supaya mengundang Li Si-bin berkunjung ke rumahnya. Ia (Kiu-si-khek)
ingin bertemu muka dengan pemuda calon kaisar itu.
Sambil menunggu kedatangan Li Si-bin, Kiu-si-khek main catur dengan Ui-san-khek, seorang
tosu dari biara Thay-hi-kwan. Ui-san-khek itu juga seorang berilmu yang terpendam. Kebetulan
pada waktu itu ia mertamu ke rumah Bun-cing.
Waktu Li Si-bin datang, kedua orang itu terbeliak kaget. Li Si-bin ternyata seorang pemuda
yang berparas agung, gagah dan berwibawa. Ketika Li Si-bin duduk melihat permainan catur itu,
Ui-san-khek yang melihat tanda-tanda luar biasa pada pemuda itu, permainannya segera menjadi
kacau. Serentak berdirilah ia, ujarnya: "Aku menyerah kalah, aneh, posisiku tak dapat tertolong
lagi!" Tapi Kiu-si-khek juga menjadi lesu dan berbangkit menuju ke ruang belakang. Katanya kepada
Li Ceng: "Dia seorang cing-beng-thian-cu, sukar dilawan!"
Cin-beng-thian-cu artinya orang yang sudah ditakdirkan menjadi raja. Kemudian ia
menyerahkan seluruh harta simpanannya kepada Li Ceng agar yang tersebut belakangan itu
membantu sekuat-kuatnya pada perjuangan Li Si-bin. Ia sendiri akan menurut nasihat Ui-san-khek
untuk menyingkir jauh ke seberang lautan, menjadi raja pulau Hu-siang-to.
Kalangan Lok-lim juga kenal akan kisah Kiu-si-khek menyerahkan tahta kerajaan pada Li Sibin
itu. Meskipun peristiwa itu terjadi pada ratusan tahun yang lalu, namun kaum Lok-lim tetap
masih menghormati pribadi Kiu-si-khek. Untuk sekedar mengemukakan ukuran nilainya,
kedudukan Kiu-si-khek di dunia Lok-lim serupa dengan derajat Khong Cu dalam dunia sastrawan.
Maka demi mendengar bahwa Bo Se-kiat itu anak murid turunan keempat dari Kiu-si-khek,
sekalian hadirin sama membuka mata lebar-lebar.
Berkata pula Kay Thian-ho: "Dewasa ini para ciat-to-su berebutan daerah kekuasaan, keadaan
rakyat amat menderita. Para orang gagah serempak bangun kembali, keamanan terganggu di sanaKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
sini timbul kekacauan. Dahulu dengan rela hati Kiu-si-khek menyerahkan gunung dan sungai
(negara) pada Li Si-bin, siapa duga anak cucu orang she Li itu ternyata tak becus untuk menjaga
warisan kerajaan leluhurnya!"
Mendengar pidato orang she Kay itu, sekalian orang gagah menjadi tergugah semangatnya.
Dengan penuh perhatian mereka mendengarkan. Sesaat hening lelaplah suasana dalam medan
pertemuan itu. Kay Thian-ho tertawa lalu melanjutkan pidatonya: "Didalam suasana negara kalut ini, kita kaum
Lok-lim juga harus memiliki pambek (cita-cita) dan pandangan yang luas. Sekali-kali jangan hanya
berebutan daerah kekuasaan atau pembagian hasil rampasan saja. Yang akan menjabat sebagai
pimpinan Lok-lim juga tak terbatas hanya cakap menghadapi serangan tentara negeri dan mampu
mengatasi pertentangan di dalam kalangan kita saja. Lebih dari itu, kita masih harus melindungi
rakyat jelata, membasmi kawanan raja kecil yang berupa panglima-panglima daerah itu. Makin
besar kekacauan negara berlangsung, makin keraslah seharusnya kita gelorakan perjuangan kita.
Ha, ha, peribahasa mengatakan: 'Yang berhasil akan menjadi raja, yang kalah lantas menjadi
perampok'. Nanti apabila suasana sudah kembali aman, kita pun jangan terus-terusan menjadi
penyamun!"
"Bo-hengte adalah ahli waris dari Kiu-si-khek. Orangnya gagah dan pintar, mempunyai
kewibawaan untuk mengemban amanat leluhurnya. Tahun ini saja dari apa yang dia lakukan,
misalnya merampas antaran kuda, menyerbu Teng-ciu, menundukkan kawanan orang gagah dari 12
cui-ce (markas bajak) di telaga Thay-oh membantu meringankan penderitaan rakyat di daerah
sungai Hong-ho yang dilanda banjir dan lain-lain, semua itu sudah cukup menggemparkan dan
membuat orang kagum sekali. Maka menurut hematku, jika kita ingin melaksanakan suatu
pekerjaan besar, haruslah kita memilih Bo-hengte itu menjadi pemimpin kita!"
Bergeloralah darah sekalian hadirin. Ada seorang lelaki berdiri dan berseru: "Kami rombongan
dari Im-ma-jwan ini pernah dijungkir-balikkan oleh Bo Se-kiat. Sementara aku sendiri orang she
Nyo ini, juga pernah merasakan pil pahit (hajaran) dari dia. Tapi meskipun dikalahkan, aku tunduk
setulus hati padanya. Karena dalam urusan tempo hari itu, pihak kamilah yang bersalah. Ia dapat
mengemukakan alasan-alasan yang tepat hingga mau tak mau aku harus tunduk."
Orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan kata-katanya pula: "Kini atas nama segenap warga
Im-ma-jwan, aku menyatakan dukungan sepenuhnya pada pencalonan Bo Se-kiat. Apakah nanti ia
hanya menjadi pemimpin atau akan menjadi kaisar, kami akan taat padanya!"
Yak-bwe dan In-nio kenal orang itu sebagai si tinggi besar she Nyo yang bertempur dengan Sekiat
di gunung Pak-bong-san tempo hari, tapi baru setengah jalan si tinggi besar itu lantas mengakui
kesalahannya. Setelah kedua orang she Nyo dan Kay itu berbicara, hati sekalian orang meluap-luap penuh
semangat. Tapi ada sementara orang juga yang gelisah, pikir mereka: "Apakah ini bukan
pemberontakan?"
Memang kaum penyamun itu terdiri dari dua golongan. Ada yang menjadi penyamun karena
melihat ketidak-adilan dan kekacauan negara, jadi mereka terdiri dari orang-orang yang mempunyai
pambek besar. Pun ada yang menjadi penyamun karena dorongan penghidupan. Untuk golongan
yang terakhir ini, kebanyakan selalu menurut saja, tak berani memberontak.
Maka berbangkitlah Se-kiat dari tempat duduknya. "Kay-toako telah menjunjung begitu tinggi
padaku, aku sungguh tak berani menerimanya. Apa yang diucapkan Nyo-toako tentang mau jadi
raja apa segala itu lebih merupakan lelucon saja. Memang sekarang ini negara sedang mengalami
kekacauan dan inilah saatnya bagi putra-putra ibu pertiwi untuk tampil membuat jasa. Kewajiban
sebagai Bengcu (pemimpin) itu terlampau berat, aku tak dapat memikulnya. Tapi aku berjanji akan
taat dan memberi bantuan sepenuh tenaga kepada Toako lain yang akan menjabat kedudukan
pemimpin itu!"
Ucapan itu dinyatakan dengan nada yang gagah, tapi mengandung penolakan.
"Kaulah orangnya pemimpin itu! Ya, jangan menolak lagi!" seru Kay Thian-ho dan beberapa
orang.

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Didesak begitu keras, apa boleh buat Se-kiat tak mau membantah lagi. Ia terpaksa menerima
pencalonan itu. Jantung In-nio berdenyut keras, ia girang-girang kaget. Ya, mengapa tidak" Sekiat
adalah jantung hatinya. Bahwa sang jantung hati menerima sekian besar dukungan, ia merasa
girang. Tapi bila mengingat nanti bakal berebut melawan Thiat-mo-lek, In-nio merasa tak enak
hatinya. "Siapa lagi yang akan mengajukan calon?" tanya Thian-hiong kemudian. Ia mengulangi
beberapa kali tawaran itu, tapi tak ada yang menyahut.
"Baiklah. Sekarang ada empat calon Beng-cu yang diajukan. Thiat-mo-lek siau-cecu dari Yansan,
Li Thian-go Congthaubak dari Ho-pak-chit-ce, Thiat-pi-kim-to Tang Kiam locianpwe dan Bo
Se-kiat siau-tocu dari Hu-siang-to. Sekarang kita adakan pemilihan lagi yang manakah di antara
keempat calon itu yang akan kita pilih menjadi Bengcu!" kata Thian-hiong akhirnya.
Tapi dengan cara bagaimanakah pemilihan itu dilakukan, ia sendiri bingung. Menurut cara yang
sederhana, pilihan itu dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara. Siapa yang mendapat suara
terbanyak, itulah yang menang. Tapi dengan cara begitu, akan makin tajamlah garis pertentangan
antara golongan-golongan yang pro dan kontra. Benar suara terbanyak akan dapat menindas suara
sedikit, tapi sifat-sifat kaum Lok-lim itu suka membandel. Jika mereka cuma tunduk dilahirnya
saja, kelak kemudian hari tentu akan terbit perkara yang tidak-tidak.
Di samping itu Thian-hiong sendiri mempunyai keinginan ialah mengharap Thiat-mo-lek yang
menang. Tapi jika menilik gelagatnya, penyokong-penyokong Se-kiat itu tak kalah jumlahnya
dengan pendukung-pendukung Thiat-mo-lek.
Akhirnya tampillah seorang tua, Hiong Ki-goan locecu dari gunung Hok-gu-san. Serunya:
"Sekarang kita menghadapi empat calon yang sama-sama mempunyai dukungan kuat. Berbicara
tentang soal kemasyhuran nama dan keluhuran pribadi, kesemuanya itu sukar untuk dinilai. Jika
menilai buruk-baiknya atau kuat-lemahnya ilmu kepandaian mereka, pun dapat menyinggung
perasaan. Turut pendapatku si orang tua ini, lebih baik diputuskan menurut cara lama saja."
Pemimpin dari Hok-gu-san itu sudah berusia 70-an tahun. Ia sudah pernah turut dalam
pemilihan Beng-cu sampai tiga kali, jadi sudah paham akan peraturan lama mengenai hal itu.
"Kalau begitu harap locianpwe memberi petunjuk pada kmi!" seru Thian-hiong.
Hiong Ki-goan berdehem sekali, lalu berseru: "Sederhana saja, caranya ialah mengadu
kepandaian. Sekarang ada 4 orang calon, maka harus bertanding 3 kali. Pertandingan-pertandingan
itu diatur secara berturut-turut. Dalam setiap babak keluar tiga orang. Yang kalah akan kehilangan
hak dipilih menjadi Beng-cu. Yang menang terus bertanding lagi dalam babak kedua. Pemenang
dari babak kedua ini baru boleh memanggil pengganti atau boleh juga tak memerlukan
penggantinya. Tetapi calon Bengcu yang berkepentingan itu sedikitnya harus keluar bertanding satu
kali. Demikianlah peraturan itu, jelaskah?"
Thian-hiong berpendapat hal itu merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan
saat itu. Meski bertanding itu dapat merusak hubungan, tapi kaum Lok-lim itu memang hanya
menjunjung ilmu kepandaian saja. Bagi pemenang yang memiliki kepandaian sakti, orang-orang
yang bermula menentang pencalonannya itu, tentu akan tunduk juga.
Sekalian hadirin tak ada yang menentang usul Hiong Ki-goan itu. Karena itu Thian-hiong
segera mengadakan pengundian. Hasilnya, dalam babak pertama Bo Se-kiat melawan Li Thian-go.
Siapa yang menang akan maju dalam babak kedua melawan Tang Kiam. Thiat-mo-lek mendapat
giliran yang terakhir.
Segera Li Thian-go suruh wakilnya, Hucecu Tho Hou, untuk maju dalam babak pertama itu. To
Hou mempunyai kepandaian istimewa dalam ilmu golok kilat. Perangainya kasar, dunia persilatan
menjulukinya dengan sebutan Si Jagal.
Dari golongan yang pro Bo Se-kiat, sebenarnya Kay Thian-ho yang akan maju tapi melihat
pihak lawan hanya mengeluarkan seorang wakil cecu saja, maka iapun tak mau turun ke
gelanggang. Tiba-tiba ada seorang tetamu menerobos keluar dan berseru dengan lantang: "Lama nian
kukagumi permainan golok kilat dari To-toako yang tiada tandingannya itu. Hari ini ingin sekali
aku mendapat pelajaran barang beberapa jurus sajalah."
Sekalian orang mengenal orang itu sebagai Li Beng, Cecu dari gunung Tong-pik-san. Seorang
tokoh yang termasyhur dengan permainan golok Pat-kwa-to. Bersama dengan To Hou, ia
menikmati kemasyhuran nama sebagai jago golok dari daerah selatan dan utara.
Sekalian hadirin tersirap kaget melihat jago Pat-kwa-to itu sengaja hendak menempur jago
Gway-to (golok kilat).
Tapi To Hou tertawa gelak-gelak, ujarnya: "Aha, Li-cecu terlalu sungkan. Siapakah yang tak
tahu bahwa golok Pat-kwa-to Li-toako itu merajai dunia persilatan" Aku merasa beruntung bahwa
hari ini dapat berjumpa dengan Li-toako. Maka sudilah nanti Li-toako jangan pelit memberi
pelajaran padaku!"
Suara yang bernada ramah itu sesungguhnya berisi suatu peringatan keras. Bahwasanya nanti
jago she To itu akan mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih jempol dalam ilmu
golok. Karenanya ia minta pada Li Beng supaya jangan sungkan-sungkan lagi.
Sebagai jago kawakan, sudah tentu Li Beng mengerti kemana jatuhnya perkataan jago golok
kilat itu. Selekas mencabut golol, iapun lalu mempersilahkan: "To-toako adalah seorang tetamu
dari jauh, harap mulai lebih dulu!"
Permainan To Hou itu disebut "golok kilat" karena ia menitikberatkan selalu turun tangan lebih
dulu dengan cepat. Maka setelah mengucapkan sepatah kata minta maaf, iapun segera membuka
serangan. Tring, tring, tring, dalam sekejap saja To Hou sudah berturut-turut melancarkan tujuh kali
serangan. Sekalian orang yang melihat perkelahian itu menjadi berkunang-kunang matanya. Diamdiam
mereka sama memuji dan mengakui kemasyhuran ilmu golok kilat To Hou.
Sebaliknya permainan golok Pat-kwa-to dari Li Beng itu menitikberatkan pada kerapatan.
Dengan menggunakan posisi kuda-kuda kaki Ngo-heng-pat-kwa, goloknya berkelebatan naik turun
laksana hujan mencurah rapatnya. Empat-lima puluh kali serangan golok To Hou semua kena
ditangkisnya. Demikianlah kedua jago gglok itu terlibat dalam suatu pertempuran yang dahsyat dan
menarik sekali hingga berulang-ulang terdengarlah teriak-pujian dari sekalian hadirin.
Li Beng mencurahkan seluruh perhatiannya ke arah ujung goloknya, seolah-olah ujung
goloknya itu dibanduli dengan benda yang beratnya seribu kati. Makin lama permainannya makin
lambat, namun anehnya serangan kilat yang dilancarkan To Hou dengan bertubi-tubi itu tak mampu
menembus lingkaran pertahanan golok Li Beng.
Melihat itu Li Thian-go mulai merasakan gelagat tidak baik. "Celaka!" diam-diam ia mengeluh
dalam hati. Baru ia mengeluh begitu, disana sudah terdengar Li Beng membentak keras: "Kena!"
Li Beng gunakan jurus Hoan-chiu-liau-hun, yaitu balikkan tangan untuk memapas, ketika To
Hou melintangkan goloknya hendak menangkis, tapi siku lengannya sudah kena termakan golok
lawan. Jago golok kilat itu menggerung keras, golok dipindah ke tangan kirinya dan dengan
kecepatan luar biasa, ia menghantam lawan.
Setelah dapat melukai lawan, Li Beng menjadi kegirangan. Sedikitpun ia tak menyangka sama
sekali bahwa lawan begitu bandel dan galak, baru saja lengannya terluka sudah balas menyerang
dengan hebatnya. Dan memang tak kecewa To Hou mendapat gelaran Golok Kilat itu.
Bagaimanapun Li Beng hendak berusaha menghindar, namun sudah terlambat. Bahunya pun kena
termakan tabasan golok lawan, darah segera bercucuran keluar.
To Hou dengan beringas masih akan menyerbunya lagi. Tapi syukur demi melihat lengan kanan
Li Beng hampir putus, serentak berserulah Thian-hiong dan Thian-go: "Berhenti, berhenti!"
To Hou deliki mata: "Menang-kalah belum ketahuan, mengapa disuruh berhenti?"
Tapi setelah berkata begitu, ia rasakan lengan sendiri sakit sekali. Tadi karena getaran
amarahnya, ia tak merasa apa-apa. Tapi setelah berlangsung beberapa menit kemudian, nyeri pada
lengan kanannya itu menyerang dengan hebat. Bagaimanapun gagahnya, ia tetap seorang manusia
yang terdiri dari darah dan daging juga. Rasa sakit itu sampai menusuk ke ulu hati.
"Pertandingan ini adalah antara sesama kawan sendiri, sudah cukup bila ada yang kalah atau
menang. Tapi babak ini anggap seri, perlu apa harus sampai ada yang mati?" kata Thian-hiong.
Li Thian-go mengangguk setuju: "Ucapan Shin-toako itu bijak sekali. Babak ini anggap saja
serilah." Menurut penilaian, kedua jago tadi sama-sama terluka. Tapi luka Li Beng hanya dibagian
pundak, tidak begitu berat. Sebaliknya To Hou terkutung lengan kanannya, suatu halangan besar
baginya karena ia tak mahir bermain dengan tangan kiri. Jika pertandingan itu dilanjutkan,
kemungkinan besar ia tentu akan kalah.
Bermula Li Thian-go kuatir kalau pihak Se-kiat (Li Beng) tak setuju pertandingan itu
dihentikan, sebab sudah jelas ia pasti akan menderita kekalahan dalam babak permulaan itu. Maka
setelah Thian-hiong memberi pertimbangan seri, iapun lekas-lekas menyatakan persetujuannya.
Karena menahan kesakitan, saat itu To Hou sudah mandi keringat dingin. Bila tak malu akan
ditertawai oleh sekalian orang gagah dari berbagai penjuru, ia tentu sudah menjerit-jerit.
Gelarannya ialah Si Jagal dan memang perangainya berangasan dan kasar.
Tapi pada saat itu, terpaksa ia tak berani unjuk kegarangan lagi. Setelah dikeluarkannya
keputusan seri, maka dari kedua belah pihak segera ada beberapa orang yang maju menghampiri
kedua jago itu untuk mengobati dan menggotongnya keluar.
Baru kedua jago yang terluka dibawa pergi, majulah di gelanggan situ si muka ungu tadi. Ia
mencekal sebatang Tok-kah-tang-jin (orang-orangan tembaga berkaki satu).
"Saudara-saudara sekaum Lok-lim! Siapakah diantara kita yang tak pernah terguling di bawah
ujung golok" Kita selalu menjunjung kebajikan dan keadilan. Kalau dalam pertempuran kita hanya
terluka saja, itulah masih mujur dan kita tetap bersahabat. Aku disini hendak membantu pihak Li
toako, sahabat manakah yang suka memberi pelajaran padaku" Biar nanti tubuhku berhias dengan
beberapa liang darah juga aku akan tetap berterima kasih."
Ternyata si muka ungu itu bernama Han Wi, seorang benggolan begal besar yang bekerja
seorang diri. Karena ia seorang kuat peribadinya, marah girang tak kentara, maka orang persilatan
menjulukinya dengan nama Leng-bin-hou atau Macan Bermuka Dingin.
Senjata Tok-kah-tang-jin yang digunakan itu, beratnya ada 48 kati. Sebenarnya termasuk
senjata berat juga. Tapi istimewanya sepasang lengan dari orang-orangan tembaga itu dapat
digunakan untuk menutuk jalan darah orang. Senjata itu mempunyai tiga macam ciri yang khas,
yakni: Berat, kasar, dan tangkas. Dan pemiliknya orang she Han itu, tentunya lebih lihay dari To
Hou. Ucapannya tadi amat menusuk perasaan orang. Dari pihak Se-kiat sebenarnya sudah ada
beberapa orang yang sedianya akan maju, tapi sama mengkeret nyalinya karena gertakan orang she
Han itu. Adalah Kay Thian-ho yang tak dapat mengendalikan diri lagi. Tapi baru ia hendak tampil ke
muka, tiba-tiba ada seorang lelaki tinggi besar dan berwajah gemilang seperti batu kemala,
berbangkit dari duduknya dan berseru nyaring: "Biarlah aku yang mohon pelajaran ilmu tutuk dari
Han-toako!"
Orang-orang dari pihak Se-kiat terbeliak kaget melihat orang itu. Orang itu masih muda tapi
bukan termasuk golongan mereka. Dia ialah Tian Goan-sin, suami Ong Yan-ih (puterinya Ong Pekthong).
"He, mengapa kau tak mau bersabar untuk membantu Thiat-mo-lek nanti?" bisik Yan-ih kepada
sang suami. Goan-siu mengepal tangan isterinya dan menyahut dengan pelahan: "Demi untuk
kepentinganmu!"
Yan-ih dapat memaklumi maksud suaminya. Kiranya ucapan orang she Han tadi samar-samar
mengandung hinaan pada Yan-ih. Itulah sebabnya Goan-sin hendak membalaskan kemengkalan
isterinya. Ia anggap pihak orang-orangnya Thiat-mo-lek sudah cukup jago-jagonya yang tangguh,
kurang dia seorang rasanya tak terpengaruh. Dan lagi kalau ia memenangkan pertandingan ini,
benar secara langsung Bo Se-kiat lah yang mendapat keuntungan, tapi secara tak langsung, karena
pihak Li Thian-go kalah, jadi pihak Thiat-mo-lek pun mendapat keringanan juga.
Han Wi kenal pemuda itu sebagai putera dari Li-mo-thau Tian Toa-nio. Diam-diam ia tergetar
hatinya: "Tian-toako, bilakah kau mengikat persahabatan dengan kaum Hu-siang-to?" segera
serunya dengan tertawa.
Goan-siu menjawab: "Hari ini adalah hari pemilihan Bengcu dan bukan untuk membicarakan
hubungan persahabatan. Aku suka membantu siapa, itu urusanku sendiri, tak perlu kau hiraukan.
Bagaimana, apa kau hendak memilih seorang lawan lain?"
Amarah Han Wi menjadi meluap, pikirnya: "Aku hanya takut pada ibumu, bukan kepadamu!"
Namun ia masih menguasai kerut wajahnya dan berkata dengan tenang: "Ah, Tian-toako
bergurau ini. Seorang yang membuka kedai nasi masakan takut didatangi pembeli-pembeli yang
lapar. Hanya saja kita berdua ini cuma membantu pada sahabat saja, jadi urusan ini menjadi
tanggung jawab kita berdua. Jelaskah kiranya Tian-toako akan kata-kataku ini?"
Goan-siu tertawa dingin: "Jangan kuatir! Keluarkanlah seluruh kepandaianmu untuk
membunuh aku, tak nanti ada orang yang minta ganti jiwa padamu!"
"Ah, bukan begitu," sahut Han Wi, "Aku hanya hendak mengatakan bahwa dalam pertempuran
itu nanti tentu sukar terhindar dari salah satu yang menderita. Maka lebih dulu kutegaskan di muka.
Harap Tian-toako memberi maaf atas kekurang-ajaranku!"
Wut, begitu angkat Tok-kah-tong-jin ia lantas menghantam kepala Goan-siu. Goan-siu gunakan
jurus pek-hong-koan-jit (bianglala melintas matahari), ia berkelit sambil menusuk ke dada lawan.
Tapi Han Wi juga tidak lemah. Trang, ia cepat menangkisnya. Kemudian tong-jin disapukan,
lengan orang-orangan itu menutuk jalan darah di pinggang Goan-siu.
Goan-siu miringkan tubuhnya sembari kirim tiga kali tusukan. Semuanya mengarah jalan darah
yang berbahaya. Han Wi menjadi kelabakan melihat permainan pedang lawan yang begitu cepatdahsyat
itu. Posisinya menjadi terdesak, dari menyerang kini ia berganti menjaga diri. Tok-kahtangjin diputar dengan keras sekali.
Tring, tring, tring, dalam sekejap saja tubuh orang-orangan tembaga itu penuh dengan lubang
tusukan pedang. Bagian-bagian yang tertusuk itu banyak yang gempil tapi karena berat senjata itu
ada 48 kati dan tebalnya beberapa dim, jadi pedangpun tak dapat menembusnya. Apalagi pedang
yang digunakan Goan-siu itu hanya pedang Ceng-kong-kiam biasa. Ujung pedang itupun menjadi
tumpul juga. Ilmu pedang dari Goan-siu itu dititik-beratkan pada kecepatan dan kekerasan. Sebenarnya
bukan maksudnya hendak adu senjata. Sedapat mungkin ia hendak menusk tubuh lawan tanpa
terbentur dengan senjatanya (Han Wi). Tapi permainan Han Wi itu tangkas sekali. Kemana Goansiu
menusuk, disitu tentu sudah disongsong dengan Tok-kah-tang-jin.
"Orang ini menggunakan Tang-jin sebagai perisai, aku tak mampu melukainya, ah, bagaimana
aku dapat membalaskan kemengkalan Yan-moay?" akhirnya Goan-siu merasa putus asa.
Sebaliknya diam-diam Han Wi bergirang hati, pikirnya: "Ilmu pedangmu meskipun hebat, tapi
kau ini hanya seorang berani tapi tanpa punya siasat. Bagus, akan kubiarkan kau unjuk kegarangan
menusuk sepuas-puasmu. Nanti setelah pedangmu putus, awaslah jiwamu!"
Tengah Han Wi membayangkan kemenangan itu, tiba-tiba Goan-siu menggerung keras. Begitu
menyarungkan pedang, mendadak pemuda itu lantas menghantam dengan tinjunya. Pukulan itu
tepat mengenai punggung Tok-kak-tang-jin. Blak, terdengar suara keras dari logam yang dipalu.
Saking dahsyatnya pukulan itu, tok-kah-tang-jin terpental balik ke arah pemiliknya. Begitu keras
pukulan itu hingga Han Wi tak dapat menguasai senjatanya lagi. Tok-kah-tang-jin berbalik
menghantam keningnya sendiri. Darah memuncrat, robohlah jago she Han itu ....
Sepintas pandang tindakan Goan-siu itu amat berbahaya sekali. Tapi sebenarnya ia bertindak
dengan memakai perhitungan yang tepat. Jelas dilihatnya bahwa dalam hal tenaga, Han Wi kalah
dengan dia. Itulah sebabnya ia lantas memutuskan untuk menghantam. Tapi sekalipun ia berhasil
merobohkan Han Wi, tinjunya juga melepuh begap.
Masih Goan-siu belum reda kemarahannya. Sebelum Han Wi sempat loncat bangun, Goan-siu
sudah injak punggungnya.
"Tian-toako, janganlah!" Thiat-mo-lek buru-buru mencegahnya.
Goan-siu tertawa dingin: "Mengingat ada orang memintakan kasihan bagimu, kali ini biar
kuampuni kau!"
Tapi waktu ia angkat kakinya, Han Wi sudah pingsan. Kiranya walaupun Goan-siu tak jadi
mencabut jiwa pecundangnya, tapi ia sudah menginjak remuk perkakas dalam orang she Han itu.
Nanti apabila Han Wi sembuh, pun ia bakal menjadi seorang cacad yang tak berguna lagi.
Melihat itu gusar Li Thian-go bukan kepalang. Tanpa tunggu ada orang dalam rombongannya
yang maju, ia sudah lantas loncat kemuka: "Orang she Tian, aku pun hendak minta pelajaran dari
kau!" Se-kiat tertawa: "Ai, rupanya Li-cecu telah melupakan peraturan. Karena Tian-toako itu
mewakili rombonganku, maka menurut peraturan pertandingan, ia hanya boleh bertanding satu kali
saja!" Kemarahan Li Thian-go sekarang beralih pada jago itu, tantangnya segera: "Baik, kalau begitu
biarlah sekarang aku meminta pelajaran padamu saja. Pihak Hu-siang-to kalian tentu berilmu
sangat sakti!"
Se-kiat menyahut: "Aku tinggal di lautan yang terasing, maka dalam pengetahuan amat dangkal
sekali. Juga dalam ilmu kepandaian perguruanku, aku hanya memperoleh sedikit kulitnya saja.
Mana aku berani menerima pujian Li-cecu itu" Kedatanganku kemari hanya untuk menambah
pengetahuan tentang kepandaian yang mengagumkan dari sekalian sahabat-sahabat gagah. Telah
lama kudengar ilmu permainan tongkat Li-cecu yang disebut Loan-bi-hong-kuay-hwat itu
merupakan ilmu sakti yang tiada taranya di dunia persilatan. Sungguh beruntung sekali hari ini aku
dapat berjumpa dengan Li-cecu, maka hendaknya sukalah Li-cecu memberi pelajaran barang
beberapa jurus saja dari permainan tongkat yang sakti itu."
Habis berkata ia lemparkan pedangnya lalu menghampiri sebatang pohon besar. Dengan tangan
kosong ia tabas sebuah dahan, lalu dipotong-potongnya sehingga merupakan sebuah tongkat dari
satu setengah meter panjangnya. Sekalian orang yang menyaksikan tenaga pukulan anak muda itu
sedemikian hebatnya, sama tercengang-cengang.
Lalu Se-kiat kembali ke tengah gelanggang dan tegak berdiri menghadapi Thian-go, serunya:
"Silahkan Li-cecu memulai!"
Kini baru mengertilah Li Thian-go bahwa si anak muda itu hendak melawannya dengan tongkat
kayu saja. Seketika meluaplah amarahnya, anfsu pembunuhan menyala-nyala di wajahnya.
Sebagian dari penyamun-penyamun yang hadir dalam pertemuan itu belum pernah kenal siapa
Se-kiat itu, mereka bersangsi dalam hati: "Meskipun anak muda itu anak murid angkatan keempat
dari Kiu-si-khek, tapi usianya masih begitu muda. Taruh kata begitu lahir ia sudah belajar silat,
masakan ia dapat mengatasi Thiat-koay Li. Apalagi ia begtu congkak hanya memakai dahan pohon
untuk melawan tongkat besi. Bukankah ia seperti ular cari gebuk?"
Selagi sekalian hadirin mengkuatirkan diri Se-kiat, disana Thian-go kedengaran membuka suara
dengan dingin: "Karena Bo-heng hendak menguji permainan tongkatku, terpaksa akupun akan
mengunjuk permainan yang jelek itu!"
Thian-go benci kepada si anak muda yang begitu memandang rendah padanya. Maka begitu
membuka serangan, ia sudah gunakan jurus yang keras sekali. Sekejap saja tongkat besi itu sudah
berubah menjadi lingkaran sinar yang menderu-deru seperti badai.
Se-kiat tak mau menghindar, sebaliknya ia angkat tongkat kayunya untuk menangkis. Sekalian
orang hampir menjerit kaget. Mereka yakin tongkat anak muda pasti hancur dan orangnya tentu
kena terhantam. Tapi aneh bin ajaib, bukan tongkat kayu si anak muda yang patah, sebaliknya
tongkat besi Thian-go yang terpental. Thiat-koay Li penasaran dan ulangi hantamannya sampai tiga
kali, tapi setiap kali tongkat besinya itu selalu terpental waktu berbenturan dengan tongkat kayu si
anak muda. Serangan Thiat-koay Li yang dilancarkan dengan ngotot itu hanya ditangkis seenaknya
saja oleh si anak muda. Setiap serangan selalu dapat dipatahkan dan kalau tongkat besi terpental


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah tongkat kayu itu tetap utuh tak kurang suatu apa.
Hal itu telah menimbulkan kegemparan hebat di kalangan hadirin. Mereka tak habis-habisnya
menyatakan keheranannya.
"Jangan-jangan anak itu mempunyai ilmu sihir. Tongkat besi dari Thiat-koay Li dapat
menghancurkan batu dan meremukkan kepala orang. Mengapa tongkat kayu anak muda itu tak
kena apa-apa?" kata sementara hadirin.
Benarkah Se-kiat menggunakan ilmu sihir" Tidak! Ia hanya mahir dalam ilmu lwekang.
Semuda itu usinya namun ia sudah dapat menyakinkan lwekang dengan sempurna. Tadi ia telah
gunakan apa yang disebut tenaga menyedot. Memang tampaknya ia adu kekerasan tapi sebenarnya
ia telah dapat memperhitungkan datangnya serangan lawan dengan tepat. Begitu meerima pukulan,
ia terus saja 'menyedot' tenaga lawan. Paling sedikit 7-8 bagian dari tenaga Thiat-koay Li telah
kena disedot, sehingga tak heranlah kalau tongkat kayu si anak muda tak menderita apa-apa.
"Kau mengatakan hendak adu ilmu tongkat, tapi mengapa tak balas menyerang?" seru Thiatkoay
Li. Se-kiat tertawa: "Aku adalah tetamu dari jauh, sudah sepantasnya mengalah sampai tiga jurus."
Habis itu ia lantas putar tongkat kayunya untuk menyerang. Dan jurus yang digunakannya juga
ilmu permainan tongkat Loan-bi-hong-koay-hwat bagian it-lat-ciang-cap-hwe (tenaga satu
menindih sepuluh).
Sudah tentu kepandaian Thiat-koay Li lebih tinggi dari kawanan tetamu yang berteriak-teriak
keheranan tadi. Tahu kalau lwekang si anak muda lebih tinggi, sengaja ia menyuruh lawan balas
menyerang. Dan bahwa si anak muda mau menyerang, apalagi gunakan jurus Loan-bi-hong-koayhwat,
diam-diam ia heran tapi girang juga.
Jurus it-lat-ciang-cap-hwe itu, adalah jurus untuk adu kekuatan. Thiat-koay Li bertenaga besar,
jadi ia girang dengan serangan itu, maka ia pun segera gunakan jurus serupa it-lat-ciang-cap-hwe
untuk menyambutnya.
Trang, terdengar benturan keras. Anehnya, tongkat kayu Se-kiat tetap tak patah, sebaliknya
tongkat besi Thiat-koay Li tak dapat dikuasainya lagi, turut berputar-putar dibawa tongkat si anak
muda. Kiranya tenaga Se-kiat yang keras itu mengandung kelemasan, jauh lebih tinggi dari
kepandaian Thiat-koay Li. Setelah berbentur, Se-kiat lalu ganti menggunakan lwekang 'memutar'.
Ia melancarkan tenaga, kemudian meminjam tenaga lawan untuk mengendalikan lagi, cara ini
adalah termasuk lwekang sakti yang disebut 'pinjam tenaga mengembalikan tenaga'. Sudah tentu
Thiat-koay Li tak berdaya lagi.
Masih untung Se-kiat tak mau membikin celaka lawan. Setelah memutar beberapa kali, ia
lantas tarik pulang tongkatnya. Ujarnya dengan tertawa: "Loan-bi-hong-koay-hwat dari Li-cecu
benar-benar luar biasa, aku hendak mohon pelajaran lainnya lagi."
Sebenarnya Thiat-koay Lo harus mengakui kekalahannya. Tapi kalau ia berbuat begitu, berarti
habislah harapannya untuk maju ke babak kedua. Apa boleh buat ia tebalkan muka dan pantang
menyerah. Tanpa berkata apa-apa, ia lantas menyerang lagi dengan permainan Loan-bi-hong-koayhwat.
Se-kiat memang bermaksud hendak menggodanya. Lawan gunakan jurus apa, ia pun gunakan
jurus itu. Ilmu permainan Thiat-koay Li disebut 'loan-bi-hong' atau angin puyuh, sudah tentu
gerakannya amat cepat sekali. Tapi ternyata Se-kiat dapat memainkan lebih cepat lagi dari dia.
Jangan lagi dapat melukai atau menghantam tongkat kayu lawan, sedang ujung baju si anak muda
itu saja Thiat-koay Li sudah tak mampun menyentuhnya.
Selagi mata sekalian penonton puder karena gerak-gerik kedua jago itu secepat bayangan, tibatiba
Thiat-koay Li loncat keluar dari gelanggang. Bluk, tongkat besinya dibuang ke tanah, lalu
memberi hormat dengan kedua tangannya: "Terima kasih atas kemurahan hati Bo-heng, aku orang
she Li menyerah dengan sepenuh hormat!"
Se-kiat buru-buru membalas hormat. Diambilnya tongkat besi, lalu diserahkan kepada si
pemilik Thiat-koay Li.
Memang kecuali Thiat-mo-lek, To Peh-ing, Tang Kiam, Kay Thian-ho dan beberapa tamu yang
lihay, lain-lain orang tak mengerti mengapa Thiat-koay Li lompat keluar dan menyerah kalah itu.
Kiranya setelah Thiat-koay Li habis memainkan jurus permainan tongkatnya sampai jurus yang
terakhir, dengan kecepatan luar biasa Se-kiat segera menusuk robek dada bajunya. Coba anak muda
itu mau berlaku kejam, dada Thiat-koay Li pasti amblong. Sampai disitu barulah Thiat-koay Li
insyaf bahwa kepandaian lawan memang jauh beberapa kali lebih lihay dari dirinya. Mau tak mau
senang tak senang terpaksa ia harus menyerah kalah juga.
Menurut peraturan pertandingan, babak kedua nanti akan dimajukan oleh pihak jago tua Thiatpikim-to Tang Kiam lawan pemenang dari babak kes atu yakni pihak Se-kiat. Pendukungpendukung
dari Tang Kiam kebanyakan adalah golongan Locianpwe (jago tua) yang sudah ternama
di dunia persilatan.
Untuk pertandingan pertama dari babak kedua itu, dari pihak Tang Kiam mengajukan Wi-tin-hoKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
sok Ban Liu-tong, sedang di pihak Se-kiat menampilkan Kay Thian-ho.
Ban Liu-tong bergelar 'Wi-tin-ho-sok' atau perbawa menggetarkan utara sungai. Sudah tentu ia
memiliki kepandaian yang istimewa. Tiga puluh tahun yang lalu, dengan sebatang tombak ia
malang melintang di dunia persilatan tanpa tandingan. Di dalam dunia Lok-lim ia termasuk tokoh
kelas berat. Tetapi sayang ia sudah berusia tua, lebih tua dua tahun dari Tang Kiam. Sebaliknya lawannya:
Kay Thian-ho, dalam usia sedang gagah-gagahnya. Dalam kekuatan tenaga, Thian-ho jauh lebih
menang dari lawan. Maka waktu pertandingan mencapai jurus yang ketiga puluh, dengan jurus Latbihoa-san (dengan tenaga penuh menghantam gunung Hoa-san) ia hantam Liu-tong. Jago tua itu
tak kuat menangkis, hampir saja ia terhuyung jatuh.
Thian-ho tetap menghormati sang lawan itu sebagai seorang cianpwe. Buru-buru ia buang
goloknya terus merangkul lawannya supaya jangan jatuh. Tapi Liu-tong juga seorang jago tua yang
sportif. Ia mengatakan tadi memang Thian-ho sengaja jatuhkan senjatanya sendiri, bukannya kalah.
Dengan serta merta jago tua itu menyatakan dirinyalah yang kalah. Sekalian orang gagah yang
menyaksikan kesudahan pertempuran itu sama memuji keperwiraan kedua jago itu.
Untuk pertandingan kedua dalam babak kedua itu, dari pihak Tang Kiam sebetulnya akan keluar
Say-coan-cu Siong Kam, seorang jago tua dari Beng-ciu. Tapi tiba-tiba Tang Kiam berbangkit
mencegahnya: "Siong-lote, akulah yang mengajakmu datang kemari. Masih ingatkah kau akan
pembicaraan kita itu?"
Sahut Siong Kam: "Itu waktu sebenarnya kau tak berhasrat datang kemari, kemudian kukatakan
bahwa kita berdua itu sudah tua, sedikitpun tak mempunyai keinginan untuk kedudukan pemimpin
Lok-lim itu. Tapi tak ada jeleknya kita hadir kemari untuk meninjau apakah di dunia Lok-lim
dewasa ini terdapat tunas-tunas muda yang lihay."
Tang Kiam tertawa: "Benar! Oleh sebab itu maka kuminta sukalah kau duduk lagi untuk
menonton saja!"
"Tang-toako, sebenarnya memang harus begitu, tapi aku tak menyangka sama sekali bahwa
ternyata masih terdapat banyak sekali sahabat-sahabat yang mengajukan dirimu. Jika sekarang kau
hendak undurkan diri, bukankah akan membikin kecewa hari mereka?" bantah Siong Kam.
Tang Kiam menggeleng kepala, ujarnya: "Setelah menyaksikan tadi bahwa tunas-tunas muda
kita itu mampu mengganti dan bahkan lebih jempol dari kita angkatan tua, aku merasa girang
sekali. Masakah aku masih mempunyai nafsu untuk turut berebut lagi" Tapi seperti kau katakan
tadi, kitapun tak boleh mengecewakan harapan sahabat-sahabat kita itu maka baiknya begini
sajalah. Untuk pertandingan ini, akan kuminta Bo-siauhiap mengunjuk kepandaian lagi. Coba saja
aku si tua ini masih dapat melayani sampai berapa jurus" Dengan begitu, biarlah babak terakhir
yang tentunya lebih menarik ini dapat segera dimulai dan lekas selesai pula."
Ucapannya itu mengandung dua macam arti. Pertama, sebagai seorang angkatan tua ia akan
menguji seorang angkatan muda. Ya, hanya menguji saja bukan hendak merebut menang atau
kalah. Kedua, ia hendak mengunjuk kerendahan hati (mengalah). Jika Siong Kam yang maju,
apabila sampai menang, tentu pertandingan ketiga harus dimainkan lagi. Ini berarti akan memakan
waktu. Maka ia ambil putusan untuk maju sendiri dengan membawa keyakinan, pasti kalah.
Dengan begitu, biarlah babak ketiga, yakni pertandingan antara Bo Se-kiat lawan Thiat-mo-lek,
segera dapat dimulaikan. Dari sini dapat diketahui, sampai dimana kebijaksanaan jago tua itu.
Seperti telah diterangkan di muka, menurut tata tertib pertandingan, pemenang pertandingan
tadi boleh minta diganti orangnya, pun boleh melanjutkan bertempur terus sendiri.
Maka bertanyalah Thian-hiong kepada Se-kiat: "Tang-locianpwe bermaksud hendak berkenalan
dengan jago-jago muda saja, maka ia minta kau saja yang terus melanjutkan pertandingan.
Bagaimana kehendakmu?"
Se-kiat buru-buru memberi hormat kepada Tang Kiam: "Atas perhatian Locianpwe, aku
menghaturkan terima kasih. Dengan segala senang hati kuturut perintah Locianpwe!"
Tang Kiam tertawa gelak-gelak: "Bagus, bagus! Kau hendak pakai senjata apa?"
Kiranya Se-kiat tak membawa senjata apa-apa dan hanya bertangan kosong saja, itulah
sebabnya maka Tang Kiam menanyainya.
Se-kiat menjura, ujarnya: "Di hadapan locianpwe masakan aku berani kurang ajar memakai
senjata!" Tang Kiam tertegun, lalu tertawa lagi: "Baik, kalau begitu biarlah aku bertambah pengalaman
lagi untuk menyaksikan permainan tangan kosong Siauhiap ini!"
Di kalangan orang persilatan, memang masih menjunjung perbedaan antara kaum tua dengan
kaum muda. Jika berhadapan dengan lawan yang sama derajatnya, apabila salah seorang ada yang
tak memakai senjata, itu berarti menghina lawan. Tapi terhadap angkatan yang lebih tua, hal itu
malah berarti kebalikannya. Tidak menggunakan senjata, itu menandakan menghormat,
mengunjukkan bahwa dirinya (kaum muda) tak berani memusuhi seorang Locianpwe. Biarpun
dirinya terluka, tapi tetap tak mau melukai Locianpwe itu.
Mendengar percakapan itu, sekalian hadirin sama memuji Se-kiat. Tapi mereka diam-diam
menguatirkan anak muda itu: "Thiat-pi-kim-to dari Tang Kiam itu jauh lebih hebat dari tongkat besi
Thiat-koay Li. Jika Se-kiat memakai pedang, dengan mengandalkan tenaganya yang masih muda
itu, ia tentu menang. Tapi kalau hanya dengan tangan kosong saja, karena tenaganya itu tak banyak
berguna, maka sukar ditentukan kalah menangnya. Tapi anak muda itu memang perwira sekali,
rupanya ia lebih suka kehilangan kesempatan mendapat kedudukan Beng-cu daripada dikatakan tak
menghormat seorang Cianpwe!"
Tang Kiam penyelentik sekali punggung goloknya, lalu menyuruh siap lawan: "Baiklah, kalau
begitu harap Siauhiap terima seranganku ini!"
Golok kim-to segera ditabaskan miring. Se-kiat rangkapkan kedua tangan selaku memberi
hormat sembari tundukkan kepalanya ke bawah untuk menghindari tabasan golok. Sebagai seorang
angkatan muda, untuk serangan pertama itu ia tak mau membalas. Malah ia sengaja berikan suatu
kesempatan bagus kepada Tang Kiam.
"Ai, janganlah Bo-siauhiap berlaku sungkan!" Tang Kiam tertawa. Begitu tubuhnya membalik,
ia melancarkan serangan yang lihay. Golok di tangan kanan ditabaskan dari samping dan tinju
kirinya pun menyusuli dengan sebuah hantaman. Seketika itu kanan, kiri dan bagian tengah dari si
anak muda terkurung rapat.
Sama sekali Se-kiat tak menyangka bahwa jago tua yang usianya sudah mendekati 70-an tahun
itu, masih begitu hebat dalam permainan golok dan pukulan. Tanpa terasa mulut Se-kiat
memujinya: "Bagus!"
Sekalian hadirin menghormat Tang Kiam sebagai seorang cianpwe. Serempak mereka berseru
memuji permainan jago tua itu. Diam-diam mereka membatin: "Dalam taburan sinar golok dan
pukulan semacam itu, mungkin lalatpun tak mampu terbang menerobos keluar. Ha, bagaimanakah
anak muda she Bo itu akan menghindarkan dirinya?"
Sesaat itu terdengar suara berdering dan Se-kiatpun sudah kisarkan kakinya ke samping Tang
Kiam. Hanya pakaiannya yang tampak berkibar-kibar tertiup sambaran golok lawan, tapi orangnya
masih tetap tak kurang suatu apa!
Kiranya Se-kiat telah gunakan It-cin-sing-kang (jari sakti) untuk mementalkan golok sedikit lalu
menyelundup keluar dari bawah sambaran mata golok itu. Melihat permainan silat si anak muda
yang belum pernah disaksikan selama itu, sekalian penonton terhening diam menahan nafas. Begitu
Se-kiat sudah lolos dengan selamat, pecahlah tepuk sorak mereka menggemparkan tanah datar situ.
Sorak pujian kali ini, jauh lebih gempar dari pujian kepada si jago tua Tang Kiam tadi.
Tang Kiam sendiripun turut memuji: "Sungguh hebat! Setengah abad lamanya golokku ini
malang melintang dan baru sekarang ketemu tandingannya!"
Dengan gagahnya jago tua itu putar lagi kim-tonya, diimbangi dengan tinjunya yang
menhantam seperti angin. Perbawa serangan jago tua itu, dapat dilukiskan seperti gelombang
sungai Tiang-kang yang mendampar dengan dahsyatnya.
Diam-diam Se-kiat memuji juga: "Orang tua ini benar-benar tak bernama kosong. Jika pada
tiga puluh tahun yang lalu di kala ia masih muda, tentu aku tak dapat menghadapinya dengan
tangan kosong!"
Ia pun tak berani berayal dan lalu keluarkan ilmu gin-kangnya. Dengan mengandalkan
kelincahan ia hadapi serangan lawan. Dengan tinju menyambut tinju, dengan pukulan menghantam
golok. Begitulah makin lama, ke-2 jago tua dan muda itu bertempur makin seru. Sekalian hadirin yang
menyaksikan pertempuran itu sama menahan napas dan memandang dengan mata tak berkesip.
Se-kiat menyelinap ke kanan, menerobos ke kiri. Gerakannya mirip dengan seekor kupu-kupu
menyusup kelompok bunga. Empat pelosok delapan penjuru, yang tampak hanyalah bayangan si
anak muda itu. Walaupun yang bertempur di gelanggang itu hanya dua orang saja, tapi tampaknya
seperti ribuan tentara yang tengah bergumul dengan rapat.
Gerakan Se-kiat makin cepat hingga beberapa penonton, sama berkunang-kunang matanya.
Saking tak tahan, mereka buru-buru pejamkan mata tak berani melihatnya lagi.
Tiba-tiba sinar golok berputar melingkar seperti bianglala dan tahu-tahu kedua jago yang
bertempur itu loncat mundur bersama. Dan secepat itu Se-kiat lantas rangkapkan kedua tangan
memberi hormat: "Locianpwe, maafkanlah!"
Tang Kiam sarungkan goloknya ke dalam kerangka dan tertawa gelak-gelak. Sekalian hadirin
kesima heran tak tahu apa yang telah terjadi. Sana-sini sama bertanya: "Sebetulnya siapakah yang
menang itu?"
Tang Kiam tampak acungkan jempolnya dan berseru: "Golok kim-to ini telah kupakai selama
50 tahun, baru pertama kali ini terasa puntul. Tapipun selama hidupku, belum pernah aku begini
gembira seperti hari ini. Bahwa di dunia Lok-lim telah muncul seorang bintang cemerlang seperti
Bo-lote, sungguh pantas dibuat girang dan diberi ucapan selamat!"
Mendengar itu barulah sekalian hadirin tahu bahwa Se-kiatlah yang menang. Kiranya dengan
kecepatan yang luar biasa, Se-kiat telah berhasil merebut golok lawan kemudian dengan tak kurang
sebatnya ia mengembalikannya lagi. Merebut dan mengembalikan golok itu, telah berlangsung
dalam tempo yang cepat sekali, lebih cepat dari kejapan mata orang. Itu sebabnya maka tadi para
hadirin melihat bayangan seperti pelangi melingkar lalu tahu-tahu kedua jago itu petal mundur.
Kecuali beberapa tokoh lihai, kebanyakan dari para penonton di situ tak dapat melihat kejadian
yang sebenarnya.
Karena pihak Tang Kiam sudah dua kali mengalami kekalahan, jadi babak kedua itu diakhiri
sampai di situ dengan pihak Se-kiat sebagai pemenangnya. Untuk babak ketiga atau yang terakhir,
akan muncullah golongan Se-kiat melawan jago-jago dari golongan Thiat-mo-lek. Pertandingan ini
pasti akan berjalan lebih seru dan menarik. Kalau dalam babak kesatu dan kedua pihak Se-kiat
bakal memperoleh kemenangan, itu sudah dapat diduga lebih dulu. Tapi untuk pertandingan babak
yang terakhir ini, semua orang tak berani mengira-kirakan lagi.
Thian-hiong selaku juru bicara telah mengumumkan dimulaikannya babak ketiga dengan
keterangan bahwa pemenangnya nanti adalah yang berhak menjadi Bengcu. Seketika suasana
dalam gelanggang situ menjadi hening. Orang-orang dari kedua rombongan yang akan bertempur
itupun sama berkelompok berunding untuk memilih jagonya masing-masing.
Tampak Thiat-mo-lek mengerutkan alisnya seperti memikirkan sesuatu. To Peh-ing yang
berada di samping segera membisik: "Tidak boleh!"
"Apa yang tidak boleh?" tanya Tian Goan-siu.
"Tidak boleh menyerah padanya!" sahut Peh-ing.
"Mengapa tidak boleh" Bo Se-kiat memiliki kepandaian silat yang hebat dan kecerdasan otak
yang jempol. Bukankah amat baik sekali jika menyerahkan kedudukan Bengcu padanya?" kata
Thiat-mo-lek. Kata Peh-ing: "Dia datang dari luar lautan, baru setahun menginjak bumi Tionggoan sudah
lantas mengikat persahbatan dengan banyak orang gagah. Kuanggap dia memang bermaksud
hendak merebut kedudukan Bengcu ini."
"Itu kebetulan sekali! Memang aku sebenarnya tak ingin menjadi Beng-cu," kata Thiat-mo-lek.
"Adalah justeru karena sifat-sifat kecerdasannya itu amat menonjol sekali, jadi sukar orang
hendak menduganya. Siapa tahu ia bakal memimpin saudara-saudara kita ke arah mana" Kuharap
kecurigaanku ini berlebih-lebihan, tapi bagaimanapun aku tak dapat menghilangkan kekuatiran
hatiku, ya aku kuatir setelah ia menjadi Beng-cu belum tentu dunia Lok-lim akan berbahagia!" kata
Peh-ing. Dalam kalangan Lok-lim, To Peh-ing itu dijuluki sebagai Siau-cu-kat atau Cukat Liang-kecil.
Cukat Liang atau Khong Bing adalah seorang Kunsu (penasihat militer) yang cemerlang dalam
jaman Sam Kok. Dalam meneliti ucapan Peh-ing itu, Thiat-mo-lek seperti merasa ada sesuatu
maksud yang dalam. Maka ia merasa kaget dan lantas tak berani buka suara lagi.
Shin Thian-hiong seorang lelaki berwatak blak-blakan. Takut kalau Thiat-mo-lek akan
undurkan diri, maka cepat ia acungkan sepasang kapak terus lari ke dalam gelanggang.
"Aku seorang pendukung Thiat-mo-lek. Sekarang dengan memberanikan diri, aku akan tampil
yang pertama. Siapa diantara saudara-saudara yang akan memberi pelajaran padaku?"
Sebagai tuan rumah, tampilnya Thian-hiong itu telah menarik perhatian semua orang. Anggotaanggota
kelompok penyokong Thiat-mo-lek, bangkit semangatnya. Riuh rendah mereka bertepuk
tangan dan berseru membantu moril jagonya.
Dari pihak Se-kiat, tampak Kay Thian-ho yang maju.
"Ha, ha, Shin-cecu, kita adalah sahabat kental. Selama ini entah sudah berapa banyak kali kita
bertanding minum arak. Bertanding kepandaian, baru pertama kali ini. Kita sama-sama membantu
sahabat. Tentunya sebagai seorang kakak, kau takkan menyesali adikmu ini, bukan?" kata Thian-ho
tertawa. Thian-hiong tertawa juga: "Baiklah kita anggap pertandingan ini semacam pertandingan arak
saja. Siapa kalah siapa menang, harus menerimanya dengan gelak tertawa. Jika kau yang menang,
akan kupersilakan kau minum tiga puluh cawan besar!"
Kedua tokoh itu, sama tinggi besarnya, sama jujurnya dan sama pula kedudukan namanya
dalam dunia Lok-lim. Inilah yang dibilang 'berdiri sama tinggi, duduk sama rendah'.
Para hadirin tidak ada yang pro mana-mana. Mereka bertepuk memuji Thian-hiong, pun
bersorak menyanjung Thian-ho.
In-nio kerutkan alisnya: "Eh, mereka benar-benar akan berkelahi?"
"Sudah tentu berkelahi sungguh-sungguh, masakan hanya bergurau saja" Eh, apakah kau
menguatirkan mereka" Takut orang she Kay yang terluka atau kuatir orang she Shin yang bonyok?"
tanya Yak-bwe tertawa.
"Mereka adalah sahabat karib, maka tak perlulah aku menguatirkan. Aku .... ak ..." suara In-nio
terputus-putus waktu akan menentukan pilihannya.
Yak-bwe mengerti, ujarnya: "O, kau kuatirkan Shin-toako dan Thiat-mo-lek. Yang satu
kekasihmu, yang satu kenalan kita yang baik. Kemarin mereka masih bercakap-cakap mesra
sebagai sahabat lama, tak nyana hari ini mereka saling berebut kedudukan Beng-cu. Siapakah yang


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau harapkan akan menang?"
In-nio tundukkan kepala berdiam. Beberapa saat kemudian baru menyahut: "Entahlah, aku tak
tahu, aku tak tahu. Hm, aku sungguh tak mengerti mengapa ia tak mau mengalah untuk Thiat-molek?"
In-nio mengindahkan Thiat-mo-lek, ia anggap Thiat-mo-lek lebih tepat yang menjadi Bengcu.
Tapi dalam pada itu, iapun berharap supaya Se-kiat dapat menundukkan para orang gagah dan dapat
mengangkat nama. Itulah sebabnya ia kebat-kebit melihat pertandingan antara banteng dan harimau
itu dan hatinya gelisah sendiri.
Tiba-tiba Shin Thian-hiong kedengaran berteriak keras hingga In-nio sampai tersentak kaget.
Ternyata kedua jago itu sudah bertempur seru dan berteriak-teriak. Tapi pertempuran mereka itu
lebih banyak seperti orang adu tenaga. Thian-ho menghantam goloknya dan Thian-hiong
menangkis dengan kapaknya. Adu senjata itu telah menimbulkan lengking dering yang
memekakkan telinga.
"Kay-lote, hebat sungguh tenagamu!" seru Thian-hiong.
Bara Naga 4 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Pendekar Kidal 17

Cari Blog Ini