Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 2
aku disini?" tanyanya dalam hati.
Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa keras dari seorang anak muda: "Bangsat tua, sebenarnya
aku hendak berlalu, tapi karena kau ada di sini, aku sengaja berhenti! Bangsat tua, pentanglah
lebar-lebar matamu yang tinggal satu itu, masih kenalkah padaku?"
Darah Yak-bwe tersirap jantungnya melonjakk girang. Suara itu, ya, suara itu, adalah suara
Toan Khik-sia. Segera anaknya Tian Seng-su didorongnya roboh lalu diinjaknya dipakai sebagai
ancik-ancik untuk melongok keluar jendela.
Ia lihat dua sosok bayangan laksana dua ekor burung yang terbang dari dua jurusan, tiba-tiba
saling berbentur, bum ..... yang dari sebelah kanan berperawakan tinggi besar dan terhuyunghuyung
beberapa langkah ke belakang. Sebaliknya yang dari sebelah kiri bertubuh kurus dan
terpental ke udara dan berjumpalitan kemudian turun ke bumi dengan gaya yang indah sekali.
"Bagus, bangsat kecil she Toan, aku justeru sedang mencarimu!" seru bayangan hitam yang
tinggi besar, itulah Yo Bok-lo adanya.
Ternyata benggolan itu memang matanya buta satu. Tujuh tahun berselang ia pernah bertempur
dengan Toan Kui-ciang dan puteranya (Toan Khik-sia). Dalam pertempuran itu Toan Khik-sia telah
mencukil sebuah biji mata Yo Bok-lo. Bertemu dengan musuh lama, sudah tentu mata Yo Bok-lo
menjadi merah membara.
"Hai, bangsat tua, jika kau ingin buta kedua matamu, majulah!" Toan Khik-sia menantangnya.
"Jangan kurang ajar, serahkan jiwamu!" Yo Bok-lo menggerung sambil menerjang dengan
kedua tinjunya. Tapi ia bukannya menyerang secara kalap, karena dalam benturan tadi, ia dapatkan
tenaga si anak muda sudah jauh lebih maju dari dulu.
"Ho, mungkin kau tak mampu berbuat begitu, coba lihat saja siapa yang akan menyerahkan
jiwanya!" sahut Khik-sia dengan dingin. Ia melangkah maju dalam posisi tiong-kiong dan tusukkan
pedangnya ke jalan darah hian-ki-hiat di dada si iblis.
Dalam ilmu pelajaran silat ada sebuah dalil: "golok berjalan ke putih, pedang berjalan ke
hitam." Artinya golok itu harus digunakan untuk membacok dari sebelah muka dan pedang untuk
menyerang dari samping. Tapi, Toan Khik-sia sangat mengandalkan akan ilmunya gin-kang.
Apalagi dalam tubrukan tadi, ia merasa tak kalah. Nyalinya pun semakin besar. Sekali serang, ia
merapat maju, seolah-olah lawannya tak dipandang sebelah mata.
Julukan Yo Bok-lo ialah Chit-poh-tui-hun, sebuah julukan yang tak kosong karena dalam ilmu
pukulan dan gerakan kaki memang ia memiliki keistimewaan. Pun dalam hal tenaga, sebenarnya ia
lebih tinggi setingkat dari Toan Khik-sia. Mengapa dalam tubrukan tadi Toan Khik-sia sampai tak
menderita apa-apa, itulah karena ia mengandalkan ilmu gin-kang yang lihay.
Dalam serangan saat itu, Yo Bok-lo gunakan siasat menyerang sambil menjaga diri. Bagaimana
reaksi lawan, tetap akan dapat diikutinya. Sebuah siasat yang mudah berubah tapi sukar diduga
perubahannya. Serangan merapat maju dari Toan Khik-sia, justeru itulah yang diharapkan. Ia mundur
selangkah dan menarik tangannya untuk melindungi dada. Seketika Toan Khik-sia merasa ujung
pedangnya itu tertumbuk dengan sebuah tenaga keras yang tak kelihatan. Ujung pedang hanya
terpisah satu-dua senti saja dari ulu hati Yo Bok-lo, tapi macet tertahan kekuatan aneh itu. Karena
macet, permainan pedang Toan Khik-sia tak dapat berkembang lagi.
Inilah saat yang dinanti-nanti Yo Bok-lo. Sekonyong-konyong ia menggerung keras, kedua
tangannya didorongkan kemuka sekuat-kuatnya. Perbawanya seperti gunung roboh menimpa
lautan! Saat itu sejumlah besar kawanan Bu-su dan bujang-bujang Ciat-tok-su sudah datang dengan
membawa obor. Mereka beramai-ramai hendak melakukan penggeledahan. Dari jendela tadilah
Yak-bwe, meskipun tak jelas sekali, dapat melihat jalannya pertempuran antara Toan Khik-sia dan
Yo Bok-lo. Sewaktu Khik-sia seenaknya maju merapat, diam-diam Yak-bwe sudah mengeluh. Dan
pada saat pedang si anak muda macet, Yak-bwe kaget sekali. Lebih-lebih ketika Yo Bok-lo
memukul dengan kedua tinjunya, hampir saja Yak-bwe menjerit.
Untung ia tak melakukan hal itu karena dalam saat-saat yang berbahaya itu, Toan Khik-sia telah
mengunjukkan suatu gerakan gin-kang yang luar biasa indahnya. Anak muda itu mencelat ke udara
dan loloslah ia dari lubang jarum.
"Plak." Luput menghantam Toan Khik-sia, pukulan Yo Bok-lo itu telah mendapat sasaran baru,
sebuah batu besar segera hancur lebur. Kepingan batu itu muncrat kemana-mana. Ada beberapa
anggota pasukan Gwe-thok-lam terluka karena kecipratan. Kawanan Bu-su itu menjadi jeri dan
sama menyingkir jauh-jauh.
Di udara Toan Khik-sia gunakan gerakan Kok-cu-hoan-sin (burung merpati membalik tubuh).
Ia berjumpalitan dan sambil melayang turun ia sudah tujukan ujung pedang ke arah beberapa jalan
darah di belakang batok kepala si iblis. Yo Bok-lo pun bukan jago empuk. Sebat sekali ia berputar
tubuh dan tutukkan tiga jarinya ke pergelangan tangan si anak muda. Bret, lengan baju si iblis itu
terpapas kutung tapi pedang Toan Khik-sia pun menjadi mencong arahnya. Yo Bok-lo kehilangan
secarik lengan baju, Toan Khik-sia gagal mendapat sasaran.
Untuk menghindari tutukan lawan, Toan Khik-saia terpaksa melayang ke samping. Setiba
kakinya di tanah ia rasakan pergelangan tangannya agak sedikit sakit. Diam-diam ia berjengit
dalam hati: "Pukulan iblis itu benar-benar lihay, tak boleh kupandang rendah!"
Jilid 2 Waktu bergebrak lagi, Khik-ya keluarkan ilmu pedang Wan-kong-kiam-hoat ajaran suhunya. Ia
bergerak dengan lincah dan gesit. Menyerang maju seperti seekor kera menerobos semak pohon,
mundur laksana ular menyurut ke dalam lubang, melayang ke udara bagaikan garuda membubung
ke langit dan loncat menerjang seolah-olah harimau menerkam. Maju menyerang mundur bertahan,
berputar-putar seperti angin, setiap gerakannya serba cepat seperti kilat. Empat penjuru seolah-olah
penuh dengan bayangannya.
Yo Bok-lo menang dalam tenaga, tapi kalah dalam ilmu ginkang. Ia dapat memukul serangan
pedang menjadi mencong tapi tak mampu mengenakan tubuh si anak muda. Kekuatan mereka
tampak berimbang. Karena Yo Bok-lo dengan pukulan sakti itu tak dapat mengapa-apakan lawan,
maka dalam penilaian, Toan Khik-sialah yang berada di atas angin. Ialah yang memegang inisiatif
penyerangan. Ini hanya penilaian saja karena kenyataannya anak muda itupun tak dapat
membobolkan pertahanan diri dari si iblis yang kukuh bagaikan benteng baja itu.
Menyaksikan pertempuran itu, terbukalah hati Yak-bwe, pikirnya: "Usianya sebaya dengan aku,
tapi sudah sedemikian lihaynya, ah, sungguh membuat orang kagum sekali!"
Dan melayanglah pikirannya pada malam pertemuan dengan anak muda itu: "Ah, kiranya
sewaktu bertempur dengan aku, ia masih mengalah. Paling-paling ia hanya mengeluarkan separuh
kepandaiannya saja. Ah, sayang aku kelewat ceroboh dan hanya tahu memaki-makinya saja!"
Berpikir sampai di sini, ia merasa girang dan menyesal. Girang karena calon suaminya ternyata
seorang jago muda, menyesal sebab ia telah salah memperlakukannya. Karena terpengaruh oleh
getaran perasaannya, tanpa terasa ia keraskan injakannya. Putera Tian Seng-su itu tertutuk jalan
darahnya, jadi walaupun kesakitan sekali ia tak dapat menjerit, paling-paling mulutnya hanya ngosngosan
seperti kerbau hendak disembelih.
Tiba-tiba di sebelah luar terdengar kawanan Bu-su berteriak-teriak: "Go thong-leng datang, Go
thong-leng datang!"
Segera kawanan Bu-su itu menyiah ke samping dan muncullah seorang lelaki tegar ke muka.
Kepalanya bundar besar macam kepala harimau kumbang; tubuhnya besar dan langkahnya pun
lebar. Kiranya orang itu ialah thong-leng (pemimpin) dari pasukan Gwe-thok-lam yang bernama
Go Beng-yang. Datangnya sang pemimpin itu telah disambut dengan penuh harapan oleh kawanan
Bu-su. Malam itu mereka sakit hati karena dihajar Toan Khik-sia dan dipandang rendah oleh Yo
Bok-lo. Maka begitu sang pemimpin datang, seorang Bu-su segera sengaja berseru: "Go thongleng,
bangsat kecil itu lihay benar, Yo-losiansing mungkin tak mampu mengatasinya!"
Go Beng-yang mendengus, serunya: "Seorang maling kecil yang bisanya cuma menggunakan
obat bi-hiang, sampai dimana lihaynya. Menyingkirlah kalian, lihat caraku meringkusnya!"
Dengan lagak macan lapar, ia tampil ke depan dan berseru nyaring" "Yo-losiansing, jangan
kuatirlah, aku datang membantumu!"
Memang apa yang dikatakan Thong-leng Gwe-tho-lam itu benar. Toan Khik-sia memang
menggunakan dupa bi-hiang untuk membikin pulas kawanan penjaga di gedung Ciat-tok-su situ. Ia
mempunyai dupa pembius itu karena diberi oleh suhengnya, Gong-gong-ji.
Gong-gong-ji adalah maling nomor satu di dunia persilatan. Dupa bi-hiang yang dibuatnya
sendiri, juga merajai seluruh dupa bius yang terdapat di dunia persilatan. Dibanding dengan dupa
bius yang banyak digunakan oleh kaum persilatan yakni dupa Ke-bing-ngo-ko hoan-hun-hiang,
dupa bi-hiang dari Gong-gong-ji itu jauh lebih hebat beberapa kali.
Kedudukan Yo Bok-lo beserta ke-7 orang muridnya itu adalah sebagai jago undangan dari Tian
Seng-su, jadi mereka tak bertugas melakukan penjagaan malam. Itulah sebabnya maka mereka tak
terkena dupa bius itu. Yang memergoki Toan Khik-sia dan Yak-bwe lebih dulu adalah murid-murid
dari Yo Bok-lo, setelah itu baru anggota pasukan Gwe-thok-lam dan kawanan bujang. Jadi seluruh
anggota Gwe-thok-lam yang bertugas jaga malam itu kecuali Go Beng-yang, semuanya telah
tertidur pulas.
"Kau maki aku sebagai bangsat kecil yang melakukan perbuatan rendah" Hm, jika aku mau
berbuat begitu masakan kau masih bernyawa" Apa kau tahu mengapa kugunakan bi-hiang" Hm,
kusayangkan karena kalian makan gaji dari Tian Seng-su, lantas kalian akan jual jiwa padanya. Jika
kalian tidak dibikin tidur, karena sungkan pada majikan, kalian tentu menempur aku. Pedangku ini
tak bermata, salah-salah tentu melukai kalian. Tapi sayang seorang tolol sebagai kau ini, tak dapat
mengerti kebaikan orang, bahkan masih membanggakan diri sebagai Hohan. Sebenarnya kau boleh
berpura-pura tidur saja, mengapa cari sakit ingin menemani si iblis tua ke akhirat" Hm, sungguh
goblok benar!"
Toan Khik-sia baru berumur 16-17 tahun, jadi sifat kekanak-kanakannya masih belum hilang.
Hatinya ingin mengatakan apa, kontan sang mulut lantas menumpahkan. Sudah tentu Go Beng-yan
yang berjingkrak-jingkrak seperti orang yang pantatnya tertusuk jarum.
"Ha, ha, bocah yang bermulut besar, berani benar kau menghina orang-orang. Apa yang kau
andalkan untuk melawan aku" Baiklah, akupun tak mau buru-buru mencabut jiwamu, tetapi akan
kuberikan 300 kali gebukan dulu!"
Habis berkata ia lantas maju dan menyerang dengan ilmu silat Hun-kin-jo-kut-chiu. Sebagai
ahli silat ternama, bukan ia tak tahu bahwa permainan pedang Toan Khik-sia itu luar biasa
indahnya, tapi dikarenakan ia terlalu yakin akan ilmunya Hun-kin-jo-hut-chiu yang tiada
tandingannya di dunia dan ilmu Iwekang Khun-goan-it-bu-kang yang sudah dilatih sempurna, maka
iapun tak gentar. Memang selama ini, ia belum pernah kalah dalam setiap pertandingan.
Di samping itu, iapun mempunyai alasan lain mengapa hendak mengunjuk kegagahan di
hadapan Yo Bok-lo itu. Ia merasa iri hati akan nama Yo Bok-lo yang lebih tenar dari ia sendiri dan
merasa tak puas karena Tian Seng-su lebih menghargai orang she Yo itu. Diam-diam ia kuatir
kedudukannya akan direbut oleh Yo Bok-lo.
Justru Yo Bok-lo pun mengandung pikiran yang sama dengan Go Beng-yang. Ia mendongkol
sekali mendengar ucapan besar dari orang she Go tadi. "Hm, orang macam apa kau ini Go Bengyang,
berani memandang rendah padaku" Baik, biar kumenyingkir ke samping untuk melihat
bagaimana ia hendak unjuk aksi."
Memang beginilah mentalitetnya kaum budak. Coba mereka berdua bersatu padu untuk
mengerubut Toan Khik-sia, sekalipun tak dapat menangkap hidup-hidup anak muda itu, sekurangKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kurangna dapat juga memenangkan pertandingan itu.
Oleh karena akan melihat kepandaian Go Beng-yang, maka Yo Bok-lo pun tak mau menyerang
sungguh-sungguh. Ini berarti memberi kemurahan pada Toan Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia juga
panas mendengar kecongkakan orang.
"Bagus!" serunya demi Beng-yang mulai menyerang. Ia tabaskan pedang dan tinju kirinya
menyusul menghantam.
Ternyata Beng-yang juga tak bernama kosong. Miringkan tubuh ke samping, ia segera
mencengkeram bahu si anak muda. Sebenarnya tulang pi-peh di bahu orang itu adalah bagian yang
paling sukar untuk dilatih. Sekali bagian bahu dicengkeram, tentu orang menjadi lumpuh tak
berdaya lagi. Tapi kepandaian yang dimiliki Toan Khik-sia itu berasal dari partai Ciang-leng-cu.
Ilmu silat dari Ciang-leng-cu itu berbeda sama sekali dengan aliran silat di Tiong-goan. Lwekang
dari Ciang-leng-cu itu dapat dilatih sampai ke bagian bahu, sehingga bahu berubah menjadi keras
seperti baja. Itulah sebabnya mengapa waktu jari Beng-yang menyentuk bahu Toan Khik-sia, ia
seperti membentur dinding baja. Jari terpental dan sakitnya bukan buatan.
Baik Beng-yang maupun Khik-sia sama-sama bergerak dengan cepatnya. Bersamaan waktnya
ketika jari Beng-yang membentur bahu Toan Khik-sia, pun tinju kiri Khik-sia sudah membentur
tangan lawan juga. Bluk, masih Beng-yang coba menyelamatkan diri dengan sebuah gerak jungkir
balik, tapi bagaikan bayangan yang selalu mengikuti orang, pedang Khik-sia sudah merangsangnya.
"Kena!" berbareng mulut pemuda itu berseru. Ujung pedangnya pun sudah memakan paha lawan.
Masih untung anak muda itu merasa kasihan, jadi ia hanya mengguratnya saja. Coba ia mau
berlaku kejam, Beng-yang pasti sudah kehilangan sebelah pahanya. Sekalipun begitu, diam-diam
Khik-sia juga terperanjat. Ia dapatkan orang she Go itu juga lihay sekali. Jika bertempur satu sama
satu, walaupun berkat gin-kangnya kemungkinan besar ia dapat menang, tapi kemenangan itupun
tak dapat mudah diperolehnya.
Mengapa dalam sekali gebrak saja Toan Khik-sia sudah dapat melukai lawan adalah karena:
kesatu, Go Beng-yang memandang rendah lawan, kedua, Yo Bok-lo sengaja berpangku tangan;
ketiga, termakan tipu si anak muda yang sengaja membiarkan bahunya dicengkeram; keempat,
karena pemusatan tenaga Beng-yang dipencar dalam Hun-kin-jo-kut-chiu dan Khun-goan-it-bukang.
Karena pemencaran tenaga itu, maka sekali pukul dapatlah Toan Khikya menghantam dan
menusuknya. Musuh yang sebenarnya dari Toan Khik-sia ialah Yo Bok-lo. Maka demi Beng-yang roboh, ia
segera alihkan serangannya pada orang she Yo itu. Baru Yo Bok-lo girang melihat si temberang
Beng-yang mendapat hajaran, tahu-tahu pedang si anak muda sudah merangsangnya.
"Entah bagaimana luka Go Beng-yang itu, biar bagaimana juga ia adalah orangku sendiri.
Karena menuruti kemendongkolan hati, bangsat cilik ini mendapat kemurahan besar," diam-diam
Bok-lo menyesal telah membiarkan kepala Gwe-thok-lam itu roboh.
Go Beng-yang adalah pemimpin dari pasukan istimewa Gwe-thok-lam. Di hadapan Yo Bok-lo
sekali gebrak ia dibikin jungkir balik oleh Toan Khik-sia, walaupun ia tahu bahwa anak muda itu
cukup bermurah hati, namun ia tetap marah sekali. Menggerung seperti harimau terluka, ia jungkir
balik dengan gerak le-hi-ta-ting (ikan lele berjumpalitan), lalu menyerang si anak muda lagi.
Kali ini ia tak berani gegabah merapat si anak muda. Ia menyerang dengan ruyung Ca-liongpiannya.
Itulah senjata yang paling diandalkan. Ruyung itu lebih dari satu tombak panjangnya,
ujungnya penuh dipasangi duri-duri kecil macam rambut, gunanya untuk menggaruk kulit orang.
Itulah maka diberi nama Ca-liong-pian atau pian berewok naga.
Karena gemas, ia serentak menyerang dengan 3 jurus hwe-hong-soh-liu atau angin puyuh
menyapu pohon liu. Ruyung itu menderu hebat seperti angin puyuh. Tapi Khik-sia tetap andalkan
gin-kangnya yang lihay untuk melayani. Laksana kupu-kupu ia menari-nari di antara taburan hujan
ruyung. Tampaklah seperti kena, padahal masih terpisah satu dim.
Tapi ini kali Yo Bok-lo tak mau tinggal diam lagi. Pada waktu Toan Khik-sia menghindari
ruyung, cepat laksana kilat ia menerkam kedua siku lengan Toan Khik-sia dengan gerakan jong-ingtianki (garuda pentang sayap). Untung Khik-sia waspada. Tak kalah cepatnya ia berputar dan
mainkan tinju serta pukulannya dalam gerak hiat-koa-tan-pian. Tinju kirinya dibuat menghantam
tangan Yo Bok-lo sedang pedangnya dipakai menangkis pian Go Beng-yang.
Tapi bagaimanapun juga, Yo Bok-lo dan Go Beng-yang itu adalah jago-jago kelas satu. Mereka
masing-masing memiliki kepandaian istimewa. Dengan mengandalkan keunggulan gin-kang,
memang Khik-sia dapat melayani, tapi hanya untuk dua-tiga puluh jurus saja. Selewatnya itu,
tenaganyapun mulai berkurang, gerakannya mulai kendur, daya tahannya mulai berkurang.
Sekaligus Yo Bok-lo telah mendapat kemenangan moral yaitu dapat mengembalikan serangan
pada Toan Khik-sia dan dapat menghancurkan kecongkakan Go Beng-yang. Itulah sebabnya
walaupun masih ada ganjalan dengan orang she Go, tapi saat itu ia "ngepiah" betul-betul untuk
menyerang Toan khik-sia. Beberapa kali Toan Khik-sia hendak mematahkan bagian penyerangan
musuh yang lemah, yaitu Go Beng-yang, tapi selalu dihadang oleh Yo Bok-lo.
"Bagus, Go-heng, teruskan siasatmu itu, kita tak usah terlalu peras tenaga. Kita boleh
bergantian maju merapat, bangsat kecil itu tentu tak dapat lolos!" seru Yo Bok-lo.
Pada saat itu barulah Go Beng-yang melek bahwa kepandaian Yo Bok-lo itu memang lebih
unggul setingkat dari dirinya. Ia pun tak mau membawa maunya sendiri, tak ingin pula untuk
merebut jasa. Serta-merta ia turuti perintah Yo Bok-lo, ia mainkan piannya menyerang dari jarak 2
tombak. Benar ia lebih lemah dari Yo Bok-lo, tapi ilmu permainan Ca-liong-pian-hoatnya yang
terdiri dari 81 jurus itu juga bukan main hebatnya. Cepatnya seperti angin, kerasnya seperti baja
dan gencarnya bagai hujan lebat. Tubuh Toan Khik-sia seolah-olah diselubungi oleh bayangan pian.
Yo Bok-lo pun juga lantas keluarkan ilmu pukulannya Chit-poh-tui-hun-ciang-hoat (pukulan
maut dari 7 langkah). Bagaikan bayangan, pukulannya selalu membayangi si anak muda dan yang
diarah selalu bagian-bagian yang berbahaya.
Melihat jalannya pertempuran itu, Yak-bwe menjadi gelisah. Tiba-tiba terdengar orang berseru:
"Bagus, Sip-ciangkun datang! Biarpun bangsat kecil itu mempunyai 3 kepala dan 6 tangan
masakah ia bisa lolos!"
Segera seseorang yang mengenakan pakaian pembesar militer, lengkap dengan pedang di
pinggang, tampak muncul ke muka. Melihat Ciang-kun itu, Yak-bwe berubah girang. Kiranya
jenderal itu bukan lain ialah Sip Hong. Sip Hong adalah adik misan dari Sik Ko. Ia menjabat Tinsiusu dari kota Pok-ong yang terletak di tengah perbatasan Gui-pok dengan Lo-ciu. Untuk
mengambil hati Tian Seng-su, Sik Ko rela menyerahkan kota Pok-ong itu ke dalam kekuasaan Tian
Seng-su. Di samping itu dapatlah Sik Ko menggunakan adik misannya itu untuk memata-matai
gerak-gerik Tian Seng-su. Dengan begitu dapatlah Sik Ko memasang sebuah pion dalam
pemerintahan Tian Seng-su.
Kali ini karena urusan perkawinan keluarga Tian dan Sik, Tian Seng-su telah memanggil Sip
Hong. Mengingat Sip Hong masih ada ikatan famili dengan pihak mempelai perempuan, maka
Tian Seng-su hendak minta ia mengantar puteranya ke Lo-ciu menjemput mempelai perempuan.
Sebelum menjadi Ciat-tok-su, dulu Sik Ko itu bertetangga dengan Sip Hong. Anak perempuan
Sip Hong yang bernama Sip In-nio, akrab sekali dengan Yak-bwe seolah-olah seperti saudara
sekandung. Sejak kecil sama-sama memain dan sama-sama belajar ilmu silat.
"Ilmu pedang Sip piau-siok itu lihay sekali, jika ia turun tangan, ah, jiwanya (Toan Khik-sia)
pasti terancam!" pikir Yak-bwe. Kemudian ia menimbang pula: "Apakah enci In-nio ikut juga" Sip
piau-siok seorang baik, enci In-nio lebih baik lagi terhadap aku. Jika kutemui dan minta mereka
dengan memandang mukaku supaya melepaskan dia, rasanya mereka tentu meluluskan .... tapi
bagaimana aku hendak membuka mulut" Di hadapan sekian banyak orang, bagaimana aku akan
mengakuinya sebagai bakal suami?"
Selagi Yak-bwe masih terbenam dalam keraguan, Sip Hong sudah tiba di "gelanggang"
pertempuran. Melihat Toan Khik-sia yang baru berumur 16-17 tahun dapat melayani Yo Bok-lo dan
Go Beng-yang, heranlah Sip Hong dibuatnya. Ia hentikan langkah dan bertanya: "Hai, siapa kau
dan siapa ayahmu" Mengapa menyelundup ke gedung Tian-tayjin sini?"
Dari bibi He, Khik-sia sudah mendapat keterangan tentang pribadi Sip Hong. Dahulu Sip Hong
itu bersahabat baik dengan ayahnya. Segera ia menjawab: "Ayahku bernama Toan Kui-ciang dan
aku Toan Khik-sia. Karena Tian Seng-su suka memeras rakyat dan menggunakan uang negara
untuk mas kawin, maka lantas kurampasnya. Dan malam ini sengaja kudatang untuk "mengirim
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
golok meninggalkan surat". Konon kabarnya sebagai pembesar kau berkelakuan baik, masakan kau
hendak membantu padanya?"
Sip Hong terbeliak kaget, pikirnya: "Ai, kiranya putera dari Toan Kui-ciang. Toan tayhiap
adalah seorang yang membaktikan hidupnya untuk rakyat dan negara, bagaimana aku tega untuk
mencelakai puteranya" Tapi jika aku diam berpeluk tangan, apakah tidak akan dituduh
membelakangi Tian Seng-su" Ya, bagaimanakah dayaku untuk diam-diam membantu anak muda
ini?" Dalam batin Ciangkun itu timbul pertentangan sendiri antara budi dan kewajiban. Karena itu
untuk beberapa saat ia tampak kebingungan.
Saat itu Yak-bwe sudah berniat hendak loncat keluar, tapi lagi-lagi ada orang berteriak: "Masih
ada seorang penjahat lainnya yang berada di dalam taman! Tayswe memberi perintah jangan
sampai mereka dapat lolos!"
Yang dimaksud dengan Tayswe itu, bukan lain ialah Tian Seng-su. Ternyata ia sudah ditolong
oleh orang sebawahannya. Setelah tersadar, pertama-tama yang dilihatnya ialah surat yang ditaruh
Yak-bwe di atas bantalnya. Kemudian didapatnya peti emaspun lenyap sudah tentu ia terkejut
sekali. Karena surat itu memakai stempel Sik Ko, jadi ia menduga kalau Sik Ko telah mengirim
Ko-chiu (jago lihay) untuk menyampaikan. Sedikitpun ia tak mengira bahwa yang membawa surat
itu ialah Yak-bwe.
Sesaat kemudian orang sebawahannya telah melihat surat Toan Khik-sia yang dipaku dengan
belati pada meja. Surat berikut belati itu segera dibacakan pada Tian Seng-su. Lagi-lagi Ciat-to-su
itu tersirap kaget. Ia tahu kalau putera Toan Kui-ciang itu bernama Toan Khik-sia karena Yo Bok-lo
pernah menceritakannya.
"Tulisan dalam kedua surat ini berbeda gayanya, entah apakah dibuatnya oleh seorang saja"
menurut keterangan Yo Bok-lo, Toan Khik-sia itu memiliki kepandaian silat tinggi. Jika ia
merampas barang-barang kirimanku itu dalam kedudukan sebagai kepala penyamun kemudian
datang kemari hendak memberi ancaman padaku, itu masih dapat dimengerti. Tapi apabila ia
menjadi kaki-tangan Sik Ko, ini tak boleh dibuat main-main."
Mengapa Tian Seng-su mempunyai dugaan begitu, bukan tidak ada sebabnya. Ia sendiri
merancang rencana begitu, jadi ia kuatir orang lain pun begitu terhadap dirinya. Dan kalau
dugaannya itu benar, terang kalau Sik Ko itu sudah mulai mengumpulkan tenaga-tenaga kosen dan
bersiap-siap hendak menyerangnya (Tian Seng-su).
Pada lain saat datanglah Bu-su melaporkan bahwa penjahat sudah kepergok di taman dan tengah
dihantam Yo Bok-lo dan Go Beng-yang. Menurut gelagatnya, penjahat itu tentu dapat tertangkap.
Mendengar itu Tian Seng-su agak lega. Tadi karena ia menduga Sik Ko tentu mengirim bukan
melainkan seorang Ko-chiu saja, maka ia segera perintahkan orang-orangnya mencari lagi kalaukalau
penjahat itu masih ada kawannya yang lain.
Tian Seng-su telah menetapkan keputusan: jika kawanan penjahat dari Sik Ko itu dapat
dikalahkan oleh orang-orangnya, ia segera menuntut pertanggungan jawab dari Sik Ko. Namun
kalau orang-orang yang dikirim Sik Ko itu ternyata lebih kuat dari jago-jagonya, terpaksa ia akan
minta damai dengan Sik Ko.
Kembali pada Yak-bwe yang masih bimbang mengambil putusan baik keluar atau tidak,
sekonyong-konyong didengarnya derap kaki yang riuh ke dalam halaman. Sesaat kemudian di luar
pintu kamar tempat sembunyi Yak-bwe itu terdengar orang berseru: "Toa kongcu, kita kemasukan
pembunuh gelap, kau jangan keluar, kami akan menjaga di luar kamarmu!"
Karena Toa-kongcu mereka tak berkutik di bawah injakan kaki Yak-bwem jadi tak dapat
menyahut. Ini menimbulkan keheranan kawanan serdadu itu. "Di luar begitu gaduhnya, tapi aneh,
mengapa Toa-kongcu masih enak-enak tidur?" demikian mereka itu ramai memperbincangkan.
Tiba-tiba pintu diketuk dan Yak-bwe pun segera bertindak. Diangkatnya putera Tian Seng-su itu
dan serentak dibukanyalah pintu kamar: "Siapa yang berani menghampiri maju, Kongcumu ini
tentu kubunuh!" teriaknya sambil acungkan ujung pedang ke punggung putera Tian Seng-su.
Diantara serdadu pengawal itu, ada seorang yang sudah bertahun-tahun ikut pada Tian Seng-su.
Sewaktu masih sama menjadi orang sebawahan An Lok-san, Tian Seng-su dan Sik ko itu sering
kunjung-mengunjungi. Itulah sebabnya maka serdadu tua itu segera mengenali Yak-bwe.
"kau ... apakah kau ini bukan toa-siocia keluarga Sik?" serunya dengan nada gemetar kaget.
"Benar, lekas bilang pada Tian Seng-su supaya perintahkan Go Beng-yang dan Yo Bok-lo
mundur, jika tidak puteranya tentu akan kubunuh!" kata Yak-bwe.
"Hai, nona Sik, mengapa kau berbuat begitu" Bukankah bulan muka ini kau bakal menjadi
menantu keluarga Tian sini?" seru serdadu tua itu.
Dengan gusar Yak-bwe membentaknya: "Jika kau masih tetap mengoceh tak karuan, jiwamu
segera akan kucabut juga!"
Semangat orang itu serasa terbang. Ia lari terbirit-birit untuk melapor kepada Tian Seng-su.
"Toh aku sudah terlanjur kepergok, takut apa!" selekas menetapkan keputusan begitu, Yak-bwe
lantas berseru: "Ayo, menyingkir!" Habis itu ia lantas menggusur putera Tian Seng-su keluar.
Di gelanggang sana setelah tertegun beberapa saat, tiba-tiba Sip Hong lantas mencabut
pedangnya dan berseru: "Bocah she Toan, jangan coba-coba mengadu domba! Aku Sip Hong hanya
taat pada orang atasanku. Jika kau unjuk kegarangan di lain tempat, aku tidak peduli. Tapi karena
kau berani mengaduk di gedung Tian tayjin sini, aku tak dapat tinggal diam!"
"Hm, beginilah mentaliteitnya manusianya. Jika sudah menjadi pembesar, orang baik-baik pun
menjadi jahat!" demikian Khik-sia berkesan di dalam hati.
Melihat Sip Hong menghampiri dengan menghunus pedang, Toan Khik-sia tak dapat
mengendalikan marahnya lagi: "hm, mendiang ayahku sudah keliru menilai orang!" katanya dengan
dingin. Dengan gerak poan-liong-sian-poh ia menghindari pukulan Yo Bok-lo, lalu menusuk Sip
Hong. Melihat kesempatan itu, Go Geng-yang ayunkan piannya menyerang dari sebelah kiri.
Dengan begitu terkepunglah Toan Khik-sia dari tiga jurusan. Di sebelah muka ada Sip Hong,
sebelah kanan ada Yo Bok-lo dan dari sebelah kiri diserang Go Beng-yang. Betapapun lihaynya,
tetap sukar bagi Toan Khik-sia untuk melayani ketiga lawannya yang lihay itu.
Meskipun serangan Toan Khik-sia tadi cukup keras, sebenarnya Sip Hong masih dapat
menangkis. Tapi entah bagaimana, orang she Sip itu sudah lantas menjerit kaget dan buru-buru
menyurut mundur. Dan seperti disengaja, gerakannya mundur itu tepat seperti menyongsong pian
yang dilayangkan Go Beng-yang. Sudah tentu pemimpin pasukan Gwe-thok-lam itu terperanjat
sekali. Kuatir akan melukai Sip Hong, Go Beng-yang buru-buru menarik pulang piannya. Dan
memang dalam ilmu permainan pian, orang she Go itu sudah dapat menguasai gerakan pian
menurut sesuka hatinya.
Dalam pertempuran antara jago-jago yang disebut Ko-chiu, segala gerak-terjang selalu
dilakukan dengan serba cepat. Menang atau kalah hanya tergntung dalam sekejapan mata saja.
Sedikit ragu-ragu atau berayal, itu berarti kehilangan kesempatan untuk menang. Demikianlah yang
terjadi pada saat itu. Go Beng-yang menarik kembali piannya itu sebenarnya hanya berlangsung
dalam sekejap mata saja, namun kejadian itu sudah cukup besar artinya bagi Toan Khik-sia untuk
merebut kemenangan. Berbareng orang menarik piannya, Khik-sia pun sudah enjot tubuhnya
melompati kepala Sip Hong. Sebelum Go Beng-yang sempat memainkan piannya lagi, tahu-tahu
matanya sudah disilaukan oleh taburan sinar gemerlap. Dan sebelum ia tahu apa yang harus
dilakukan, ujung pedang Toan Khik-sia sudah membuat tujuh liang luka pada tubuhnya.
Keruan Yo Bok-lo terbeliak kaget dan buru-buru melancarkan tiga kali pukulan berturut-turut ke
arah Toan Khik-sia. Pertolongan itu berhasil menahan serangan si anak muda dan tertolonglah jiwa
Go Beng-yang. Pemimpin pasukan Gwe-thok-lam itu buang dirinya bergelundungan di tanah
sampai beberapa tombak jauhnya. Anak buahnya segera cepat-cepat mengangkatnya. Walaupun
bukan pada bagian yang mematikan, namun tujuh liang luka itu cukup membuat Go Beng-yang
merintih-rintih kesakitan. Sampai Yo Bok-lo yang mendengarnya, turut tersirap kaget.
Sip Hong telah melakukan peranannya dengan bagus sekali. Sampai seorang benggolan
kawakan macam Yo Bok-lo yang kenyang dengan segala macam tipu muslihat, tak dapat
mengetahui perbuatan Sip Hong. Paling-paling orang she Yo itu hanya dapat memaki-maki dalam
hati pada Sip Hong yang dianggap bernyali kecil sehingga bukan saja telah menghilangkan suatu
kesempatan bagus, pun sebaliknya malah membikin celaka kawan sendiri.
Tapi Toan Khik-sia yang cerdas, cukup mengerti akan kebaikan Sip Hong tadi. Diam-diam ia
menyesal mengapa tadi sudah memakinya.
"Karena terikat oleh kewajiban, jadi ia harus pura-pura bersikap memusuhi aku. Karena kurang
pikir, maka aku telah memakinya, ah, sungguh tolol!" pikir Khik-sia.
Setelah tahu maksud Sip Hong, Toan Khik-sia segera bertindak. Ia segera keluarkan ilmu
pedang simpanannya. Ia serang Yo Bok-lo dan Sip Hong dengan gencar sekali. Tampaknya
memang tiada perbedaan, tapi ternyata yang dilancarkan ke arah Sip Hong itu hanya serangan
kosong, sedang yang ditaburkan kepada Yo Bok-lo itu serangan sungguh-sungguh. Karena
serangan itu dilakukan serba cepat, kecuali pihak yang diserang itu sendiri yang dapat merasakan,
orang-orang yang melihatnya tak tahu sama sekali. Dan karena Yo Bok-lo pontang-panting
membela diri, jadi ia tak sempat lagi untuk meninjau sandiwara yang dimainkan anak muda itu.
Karena beberapa kali hampir kena, mau tak mau bergetarlah hati Yo Bok-lo. Pikirnya: "Ai,
sungguh tak nyana kalau bocah ini sedemikian lihaynya. Rasanya malam ini aku sukar mendapat
kemenangan!"
Tapi dalam pada itu, diam-diam ia merasa heran juga. Tadi sewaktu bertempur satu lawan satu,
anak muda itu tak dapat merangsek. Kini setelah Sip Hong turut membantu, musuh malah dapat
mendesaknya. Tapi ia tak dapat mengetahui "rahasia" permainan Toan Khik-sia, paling-paling ia
hanya dapat menarik kesimpulan bahwa tadi si anak muda belum mengeluarkan seluruh
kepandaiannya dan masih bersikap simpan tenaga. Karena mempunyai kesimpulan begitu, rasa
takut Yo Bok-lo makin besar.
Selagi Khik-sia gembira dengan permainannya itu, tiba-tiba dari ruangan sebelah muka,
berbondong-bondong keluar beberapa orang. Jumlah mereka ternyata banyak juga. Menyusul
dengan itu, kawanan Bu-su yang sedang menyaksikan pertempuran itu sama menyiah minggir.
Mereka sama berbisik-bisik seraya menuding-nuding. Suasana menjadi berisik sekali. Samarsamar
Toan Khik-sia mendengar salah seorang dari Bu-su itu berseru: "Hai, bukankah itu puteri dari
Sik Ciat-to-su?"
"Ia belum menikah, mengapa berada bersama Kongcu?"
"Amboi, bilakah ia datang dari Lo-ciu. Mengapa kita tak mengetahui?"
Demikian kasak-kusuk kawanan Bu-su itu. Sebenarnya Yak-bwe menggusur putera Tian Sengsu
itu dengan mengancam pedang di punggung orang. Tapi karena didahului kawanan penjaga dan
obor-obor yang dibawa kawanan Bu-su itu tak cukup terang, jadi sepintas pandang Yak-bwe itu
dikira jalan bergandengan tandan dengan Kongcu mereka. Mereka tak melihat ujung pedang yang
diancamkan oleh Yak-bwe.
Sebenarnya mata Toan Khik-sia lebih tajam dari orang biasa. Tapi karena ia tengah sibuk
melayani Yo Bok-lo, jadi ia tak sempat memperhatikan dengan seksama. Bagaimana mimik wajah
putera Tian Seng-su yang digusur seperti orang tawanan itu, iapun tak dapat melihat jelas.
Reaksi pertama yang terbit dalam hati Toan Khik-sia ialah gusar dan sedih. "Padang belantara
tumbuh rumput busuk, di dalam tanah emas tentu bercampur pasir". Demikian ia teringat akan
sebuah pepatah dan diam-diam mengakui kebenarannya. Ia pikir tunangannya itu dibesarkan dalam
keluarga Ciat-to-su, sudah tentu tetap menjadi orang mereka. Apakah aku masih dapat
mengharapnya"
"Sebelum dijemput oleh bakal suaminya ia sudah datang sendiri, tentulah karena kuatir janganjangan
perkawinan itu akan rewel setelah bingkisan perkawinannya kurampas. Ya, tentulah begitu.
Tanpa malu-malu lagi, ia lantas datang kemari untuk memberitahukan peristiwa itu. Kalau tidak,
masakan setelah mempunyai pasukan Gwe-thok-lam, Tian Seng-su masih perlu mengundang
seorang Ko-chiu macam Yo Bok-lo lagi?" demikian pikir Khik-sia.
Sebenarnya Toan Khik-sia itu seorang pemuda cerdas, tapi dikarenakan ia sudah mempunyai
purbasangka terhadap Yak-bwe, jadi pandangannya selalu menjurus kesalah paham. Dan jeleknya
ia tak mau meninjau lagi anggapannya itu. Karena terpengaruh oleh kejadian itu, hati Khik-sia pun
tergetar. Pantangan dalam pertempuran ialah bercabang hati. Kepandaian Toan Khik-sia itu berimbang
dengan Yo Bok-lo, malah dalam hal tenaga dalam orang she Yo itu lebih unggul setingkat dari
dirinya. Sedikit keayalan dari pemuda itu sudah lantas dipergunakan sebaik-baiknya oleh Yo Boklo
untuk merubah posisi pertempuran. Dari diserang kini jagoan itu berganti melakukan tekanan.
Sedikit Toan Khik-sia kurang cepat bergerak, bahunya kena dicengkeram lawan. Untung ia dapat
cepat-cepat menghindar. Sekalipun begitu, tak urung bahunya kena dicengkeram robek juga.
Melihat si anak muda hampir celaka, tanpa disadari menjeritlah Yak-bwe. Tapi bersamaan
waktunya juga, murid-murid Yo Bok-lo itupun sama bersorak memuji suhunya. Dengan begitu
suara Yak-bwe pun terbenam. Betul nada seorang gadis itu berbeda dengan nada kaum lelaki, tapi
karena teriakan Yak-bwe itu bernada kaget, jadi sepintas lalu hampir menyerupai dengan orang
bersorak. Kembali hal itu menambah salah paham Toan Khik-sia. Mendengar dalam sorakan itu terdapat
suara Yak-bwe, makin besarlah kedukaan dan kemarahan pemuda itu.
Karena ia begitu senang, maka ia bersorak kegirangan Yo Bok-lo dapat memukul aku!" ia
menggeram. Kasihan Yak-bwe! Begitu mesra ia tumpahkan perhatiannya kepada Toan Khik-sia, tapi oleh si
anak muda malah diterima salah ....
Tiba-tiba pada saat itu di udara tampak meluncur sejalur sinar api dan menyusul pada lain saat
terdengarlah ledakan. Benda bersinar itu meletus di udara. Kawanan Bu-su segera menjerit kaget:
"Celaka, kawanan perampok datang dengan jumlah besar!"
Memang apa yang dikatakan mereka itu benar. Yang datang itu memang To Peh-ing dan kawankawan.
Sebelum berpisah, Toh Peh-ing tahu kalau Toan Khik-sia hendak menuju ke gedung Tian
Seng-su untuk "mengirim golok meninggalkan surat". Kuatir kalau anak muda itu terancam bahaya,
diam-diam Peh-ing membawa belasan anak buahnya masuk ke dalam Gui-pok. Ia bersembunyi di
rumah seorang penduduk yang tinggal di dekat gedung Ciat-to-hu. Siang malam ia memperhatikan
gerak-gerik gedung Ciat-to-hu itu.
Pada malam itu, benar juga ia telah mendengar suara ramai-ramai yang bertempur di gedung
Ciat-to-hu itu. Ia yakin Toan Khik-sia tentu sudah datang mengaduk. Ia terus akan bertindak
membantu, tapi jumlah anak buahnya hanya belasan saja, padahal pasukan Gwe-thok-lam itu terdiri
dari 3000-an orang. Untuk melawan mereka, terang sebagai telur hendak beradu dengan tanduk.
Tapi Peh-ing pantang mundur. Ia sudah siap dengan sebuah siasat yang bagus. Siang-siang ia
sudah menyiapkan banyak sekali anak panah berapi. Demikian ia segera memimpin anak buahnya
menerjang ke gedung Ciat-to-hu. Sembari loncat turun mereka lepaskan anak panah berapi. Siasat
itu berhasil. Kawanan Bu-su itu melihat ada beberapa bayangan berloncatan turun dari tembok,
mereka lantas menduga kalau kedatangan perampok dalam jumlah banyak sekali.
Laksana kembang api, panah api itu bertaburan kemana-mana. Sini padam sana berkobar lagi,
sana reda sini timbul pula. Dua buah istal kuda yang terbuat dari papan kayu, tertimpa api dan
terbakar. Di dalam taman yang menjadi gelanggang pertempuran itu, segera menjadi panik
suasananya. "Urusanku sudah selesai, perlu apa aku terus bertempur" Ai, lebih baik aku lekas-lekas
tinggalkan tempat ini supaya tidak bertemu dengan dia, nanti hatiku panas lagi!" demikian pikir
khik-sia. Setelah mengambil keputusan, Khik-sia lalu bertindak. Karena Sip Hong hanya "main-main"
saja, mudahlah baginya untuk meninggalkan Yo Bok-lo. Laksana burung elang, ia melayang
melampaui kepala kawanan Bu-su itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Oleh karena di manamana
terdapat orang, maka Bu-su regu pemanah tak berani membidikkan panah. Mereka kuatir
akan melukai kawannya sendiri.
Dalam beberapa kejap saja Toan Khik-sia sudah loncat melampaui tembok. Saat itu barulah
kawanan Bu-su berteriak-teriak melepaskan anak panah. Sekalipun tahu kalau bakal tak mengenai,
namun mereka hamburkan juga anak panahnya untuk menghidupkan kembali semangat
pasukannya. Melihat si anak muda sudah berhasil meloloskan diri, Yak-bwe girang sekali. Tiba-tiba ia
teringat: "Astaga, ia sudah pergi, akupun harus lekas-lekas menyingkir dari sini!"
Sebenarnya mudah sekali baginya untuk lolos. Dengan mempunyai sandera berupa puteranya
Tian Seng-su, ia dapat menggertak kawanan Bu-su itu untuk memberi jalan padanya. Tapi karena
kurang pengalaman, jadi ia sudah tak dapat memikirkan siasat itu. Tanpa berpikir panjang lagi,
puteranya Tian Seng-su segera dibanting ke tanah, lalu ia menerjang keluar. Untung karena tahu
kalau Yak-bwe itu puteri Sik Ciat-to-su yang bakal menjadi calon menantu majikan mereka (Tian
Seng-su), maka kawanan Bu-su itupun tak berani merintanginya.
"Tak perduli siapa dia itu, tangkaplah!" demikianlah perintah dari Tian Seng-su sementara itu.
Kala itu setelah mendapat laporan dari si serdadu tua bahwa puteranya telah diringkus oleh
puterinya Sik Ko, kemudian nona itu minta supaya ia lepaskan Toan Khik-sia dan kalau tidak
puteranya bakal dibunuh, Tian Seng-su segera bergegas-gegas menuju keluar. Dilihatnya suasana
dalam taman situ kacau balau, ada yang sibuk memadamkan api, ada yang berteriak-teriak
menangkap penjahat dan ada pula yang pontang-panting lari kian kemari. Salah seorang dari Bu-su
itu menghadap Tian Seng-su dan memberi laporan bahwa si penjahat sudah lolos. Sedang puteri
Sik Ciat-to-su entah bagaimana telah melukai kongcu dan kini tengah berusaha meloloskan diri.
Mendengar itu Tian Seng-su serentak memberi perintah tadi.
"Bagus, karena kau tak mau memandang persahabatan, akupun takkan berlaku sungkan lagi
terhadap anak buahmu," demikian pikir Yak-bwe. Sebenarnya tiada maksudnya sama sekali hendak
melukai orang, tapi karena gusarnya ia mainkan edangnya dengan gencar. Barangsiapa yang berani
mendekati, tentu diberinya sekali tusukan. Ia mewarisi ilmu pedang dari Biau Hui Sin-ni,
gerakannya cepat dan tepat. Setiap tusukannya tentu mengarah jalan darah yang berbahaya. Sudah
tentu anggota pasukan Gwe-thok-lam itu bukan tandingannya. Dalam beberapa kejap saja, sudah
ada beberapa belas orang yang roboh dan mengerang-erang kesakitan.
"Nona Sik, jika kau tak kembali, maaf kalau aku terpaksa berlaku kurang hormat," teriak Yo
Bok-lo. Sekali melesat ia mengejar Yak-bwe dan terus ulurkan tangan untuk mencengkeram.
Tiba-tiba pada saat tangannya hendak menyentuh tubuh si nona, entah dari mana datangnya,
tahu-tahu dua batang jarum Bwe-hoa-ciam menyambar dari samping. Sebenarnya kalau tak lengah,
tak nanti Yo Bok-lo sampai kena dibokong. Pertama, karena Toan Khik-sia sudah lolos dan kedua,
ia pikir hanya berhadapan dengan Yak-bwe, jika nona itu hnedak menaburkan senjata rahasia ia
tentu dapat mengetahuinya. Oleh karena itu ia tak mau menjaga kemungkinan lainnya lagi.
Sungguh di luar dugaan kalau ada seorang musuh gelap yang menyembunyikan diri di dalam orang
banyak. Dalam kekacauan, orang itu diam-diam telah menimpukkan jarum Bwe-hoa-ciam yang tak
mengeluarkan suara. Sekali lututnya kesemutan, jagoan itu hampir saja terkulai roboh!
Berbareng dengan Yo Bok-lo terkena jarum, Yak-bwe balikkan pedang menghantam sekuatkuatnya.
Nona itu insyaf kalau bukan tandingan si orang she Yo, jadi ia gunakan serangan yang
paling dahsyat, suatu serangan yang disertai tekad: mati atau terluka bersama.
Sambaran pedangnya itu justru berbareng pada waktu Yo Bok-lo terhuyung mau roboh. Cret,
ujung pedang memakan pahanya dan menghiasnya dengan sebuah luka sepanjang belasan senti.
Dari mengerang terkena jarum, Yo Bok-lo menggerung keras karena sakitnya. Masih ia mencoba
untuk membalas si nona dengan sekali sapukan kaki kiri, tetapi luput. Sudah tentu dengan sebelah
kaki ia sukar menahan tubuhnya lagi. Bluk, robohlah jago kawakan itu.
Tapi Yak-bwe tak berani menabasnya lagi. Dengan mata kepala ia saksikan walaupun sudah
terkena jarum Bwe-hoa-ciam, jago she Yo itu masih dapat balas menyerang. Ini menandakan
tangguhnya orang itu. Takut kalau dikejar orang she Yo itu lagi, Yak-bwe segera melarikan diri.
Begitu roboh, Yo Bok-lo segera bergelundungan di tanah. Kuatir kalau Yak-bw menyerangnya
lagi, ia berusaha untuk menggelundung sejauh mungkin. Memang tindakannya itu benar, tapi
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itupun berarti suatu keuntungan bagi Yak-bwe untuk lolos.
Melihat orang undangannya juga terluka, walaupun marah tapi tak urung Tian Seng-su jeri juga.
Pikirnya: "Ai, sudah, sudah, aku terpaksa harus mengubur rencanaku untuk menelan Lo-ciu dan
menerima perdamaian dengan Sik Ko. Perkawinan itupun terpaksa batal."
Kawanan Gwe-thok-lam yang dengan "gagah berani" mengejar penjahat tadi pun balik kembali
ke dalam taman. Mereka melapor: "Di tembok kota sebelah depan itu, terdapat segerombolan
penjahat. Dari atas tembok kota itu mereka melepaskan panah-panah api tadi. Sewaktu kami
mengejar keluar, mereka sudah menggabungkan diri dengan si bangsat kecil she Toan itu. Tampak
kami datang, mereka lalu loncat turun ke sebelah sana. Karena kuatir mereka mengadakan bay-hok
(barisan pendam), kami tak berani mengejar terus. Mohon Tayswe memberi petunjuk, apakah perlu
mengirim pasukan berkuda untuk mengejarnya?"
Sebenarnya kawanan Gwe-thok-lam itu hanya menghias diri saja. Mereka jeri sekali kepada
Toan Khik-sia. Yang dimaksud dengan mengejar itu hanyalah keluar dari pintu taman, melihat-lihat
sebentar lalu masuk kembali.
"Kamu sekalian ini hanya bangsa kantong nasi semua. Masakah sekian banyak orang tak
mampu menangkap dua orang penjahat kecil saja. Lekas enyah!" Tian Seng-su marah-marah.
Habis menumpahkan kemarahannya, Tian Seng-su teringat pada puteranya. Ia segera bertanya:
"Bagaimana toa-kongcu?"
Karena ditutuk jalan darahnya oleh Yak-bwe, putera Ciat-to-su itu tak dapat berkutik dan bicara.
Kawanan bu-su itu hanya mengerti beberapa jurus ilmu silat saja, sudah tentu mereka tak dapat
menolong. Malah karena tak mengerti kalau toa-kongcunya tertutuk jalan darahnya, mereka
menjadi sibuk tak keruan sendiri.
Akhirnya adalah Tian Seng-su sendiri yang mengetahui hal itu. Ia dahulu berasal dari kalangan
Lok-lim, jadi tahulah kalau puteranya itu kena ditutuk orang. Namun ilmu tutukan Yak-bwe itu
adalah ilmu tutukan istimewa dari Biau Hui Sin-ni. Walaupun tahu tapi Tian Seng-su juga tak
berdaya menolongnya.
"Coba kau lihat bagaimana dengan keadaan Yo-siansing. Jika lukanya tak berat, undang ia
kemari untuk menolong toa-kongcu," ia segera perintahkan orangnya mengundang Yo Bok-lo dan
mengangkut puteranya ke dalam kamar.
Yo Bok-lo memiliki lwekang tinggi. Begitu kena jarum Bwe-hoa-ciam ia segera menutup
seluruh jalan darahnya, agar jarum itu jangan sampai menembus ke jantung. Kemudian ia berusaha
mengeluarkan jarum itu, lalu dilumuri obat. Karena lukanya itu tak berat, setelah diberi obat, iapun
sudah dapat berjalan pula. Waktu mendapat panggilan dari Tian Seng-su ia segera bergegas-gegas
mendatangi. Waktu berhadapan dengan Tian Seng-su, ia merasa malu. Tapi mengingat luka Go Beng-yang
itu lebih berat lagi, ia merasa tak kelewat malu. Dan berkat kepandaiannya yang tinggi, walaupun
tak mengerti ilmu tutukan yang dipergunakan Yak-bwem, namun ia dapat juga membukanya.
Selagi Tian Seng-su kegirangan karena puteranya tertolong, tiba-tiba terdengar orang berteriak:
"Hei, di bawah kolong ranjang seperti ada orangnya!"
Tian Seng-su mendengar juga ada suara berkeresekan: "Siapa itu, lekas seret keluar!"
perintahnya. Si serdadu tua membungkuk ke bawah. Matanya segera tertumbuk pada sepasang betis putih.
"Astaga! Seorang penjahat perempuan!" serunya seraya menyeretnya keluar. Tapi wkatu melihat
wajah orang itu, seperti terkena stroom, ia segera lepaskan tangannya dan menjublek seperti patung.
Kiranya yang diseret keluar itu bukan lain ialah gundik kesayangan dari Tian Seng-su. Gundik
yang main pat-pat-gulipat dengan puteranya sendiri. Pada saat itu di kamar situ penuh dengan
kawanan Bu-su, sudah tentu mereka saling berpandangan satu sama lain. Hanya saja mereka tak
berani buka suara.
Rahasianya terbongkar, pucatlah wajah putera yang manis itu. Serunya dengan meratap: "Yah,
ampunilah jiwaku!"
Melihat kejadian yang memalukan itu, Tian Seng-su rasakan kepalanya seperti berputar-putar.
Saking tak tahannya, ia menampar puteranya: "Binatang, binatang! Kau, kau ..... bagus sekali
perbuatanmu ini!"
Saking gusarnya dadanya serasa sesak dan pingsanlah Ciat-to-su itu!
Sekarang marilah kita tinggalkan Tian Seng-su yang tak ingat orang itu untuk mengikuti
perjalanan Yak-bwe. Setelah berhasil melompati pagar tembok gedung Ciat-to-hu, Yak-bwe
dapatkan di luar sana hanya ada sebuah jalan besar. Pikirnya: "Mungkin "dia" belum jauh!"
Memikir sampai di situ, ia jengah sendiri dan girang juga. Namun sesudah berjalan sampai 10an li, ia tetap tak dapat melihat bayangan Toan Khik-sia. Sesaat ia menjadi putus asa. "Apakah tadi
ia tak melihat diriku" Apakah ia tak tahu kalau diam-diam aku membantunya" Tapi mengapa ia tak
mau menunggu aku?"
Selagi ia berbicara dalam hatinya sendiri, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki
orang memburu. Ia buru-buru berpaling ke belakang, ah, itulah seorang pemuda, tapi bukan Toan
Khik-sia pemuda pujaannya itu.
Tapi Yak-bwe merasa seperti sudah pernah mengenal pemuda itu. Ia tertegun. Sembari meraba
tangkai pedangnya ia menegur: "Siapa kau ini" Mengapa mengejar aku?"
Pemuda itu tertawa mengikiki, serunya: "Adik Hong-sian, masakan kau lupa padaku?"
Mendengar suara orang itu, girang Yak-bwe bukan kepalang, teriaknya: "Cici In-nio, kiranya
kaulah. Mengapa kau menyaru menjadi seorang pemuda?" Kiranya "pemuda" itu adalah Sip Innio,
puterinya Sip Hong.
Sejak kecil ia dengan Sip In-nio selalu berkumpul bersama. Bahkan keduanya bersama-sama
belajar silat pada Biau Hui Sin-ni, hubungan mereka sudah seperti saudara putusan perut saja.
Adalah karena ayah mereka sama-sama mendapat jabatan sebagai panglima perbatasan, terpaksalah
mereka berpisah. Bahwa di tempat dan saat seperti itu dapat berjumpa kembali, girang mereka tak
terperikan lagi.
"Ha, jangan menghujani diriku dengan pertanyaan dulu. Biar aku yang harus memeriksa kau
dulu!" demikian In-nio tertawa.
"Aku melakukan "kejahatan" apa maka cici hendak memeriksa diriku?" sahut Yak-bwe.
Kata In-nio pula: "Bukankah kau sudah dijodohkan dengan putera Tian Seng-su" Mengapa
sebelum dijemput kau sudah pergi ke rumahnya?"
"Ai, enci In, jangan menghina padaku. Tadi kau tentunya berada di dalam taman, masakan kau
tak melihat bagaimana aku telah memperlakukan si katak buduk itu?" sahut Yak-bwe dengan
tertawa. "Ha, kukira sebelum keluar pintu dengan resmi, kau sudah mengunjunginya," In-nio menggoda
pula. Mendengar cemooh itu Yak-bwe terus maju akan menampar mulut orang, tapi In-nio cepat
mencegahnya: "Ai, jangan ribut, jangan ribut. Ya, anggaplah aku salah omong, biar kuhaturkan
maaf padamu. Ia seorang katak buduk dan kau seekor angsa cantik. Bukankah katak buduk itu
gemar makan daging angsa" Oi, makanya kau suka padanya?"
"Jangan membikin keseleo kata-kata orang, ya" Bukan aku hendak menaikkan harga diriku,
tapi putera Tian Seng-su itu memang benar bukan manusia," kata Yak-bwe yang lalu menceritakan
tentang pengalamannya di gedung Ciat-to-hu di mana karena menghindari kejaran Yo Bok-lo ia
sudah keliru masuk ke dalam kamar orang yang lagi berbuat mesum.
Waktu mendengar cerita tentang perbuatan putera Tian Seng-su itu, wajah In-nio merah kemalumaluan.
Tapi ia pun tak kuat lagi menahan gelinya.
"Ya, ya, aku mengertilah. Kau tak suka pada si katak buduk karena kau sudah jatuh hati pada
pemuda she Toan, bukan?"
In-nio biasa berkelakar, tapi kali ini kelakar itu telah membuat Yak-bwe merah padam dan
tundukkan kepala.
"Ci In, apakah kau melihat jejaknya" Apa yang kulakukan malam ini, adalah untuk
kepentingannya," kata Yak-bwe.
In-nio terkesiap, ujarnya dengan nada bersungguh: "Ai, kiranya kau benar-benar suka padanya!"
Kata Yak-bwe: "Cici, meskipun kita ini tidak seibu tapi rasanya kita sudah seperti saudara
sekandung. Segala urusanku, takkan kurahasiakan. Dia, ya, dia itu sebenarnya calon suamiku!"
In-nio terbelalak kaget, serunya: "Bilakah kau bertunangan dengan dia" Jika sudah ditunangkan
padanya, mengapa ayah-bundamu hendak menikahkan kau pada keluarga Tian?"
Atas pertanyaan In-nio yang bertubi-tubi itu, tenang-tenang Yak-bwe menerangkan: "Yang
menjodohkan aku sejak lahir dengan dia adalah orang tuaku yang asli. Ayah ibuku yang sekarang
ini bukan ayah bundaku kandung. Namaku sebenarnya Su Yak-bwe. Nama Sik Hong-sian itu sejak
saat ini tak kupakai lagi!"
Demikianlah Yak-bwe menuturkan riwayat hidupnya dari awal sampai akhir. Berbagai perasaan
timbul dalam hati In-nio di kala mendengar kisah itu, rasa sedih, girang, simpatik dan gairah.
"Oh, makanya ayahku sering memuji Toan Kui-ciang tayhiap sebagai seorang pendekar yang
gagah perwira serta berbudi luhur. Ayah mengatakan bahw Toan-tayhiap itu mempunyai beberapa
putra, tapi entah kemana beradanya. Beberapa kali ayah bermaksud hendak menyuruh orang
mencari jejak dari putera-putera Toan tayhiap itu. Dan setiap kali membicarakan tentang hal itu,
ayah seperti memberi kisikan padaku supaya menanyakan asal-usul dirimu. Kali ini setelah
mendengar kau bakal dinikahkan dengan keluarga Tian, untuk beberapa hari ayah tampak uringuringan
belaka. Kiranya disitu terselip sesuatu hal."
"Ai, jadi ayahmu juga memuji-muji Toan-tayhiap," seru Yak-bwe.
"Kalau memang baik, habis mau dikatakan bagaimana" Toan-tayhiap adalah orang yang paling
dikagumi oleh ayahku," In-nio menandaskan.
Mendengar itu diam-diam Yak-bwe mengutuk Sik Ko: "Kalau begitu, terang ayah angkatku itu
bukan orang baik-baik. Ah, bertahun-tahun ia mengelabuhi aku."
"Kami ayah dan anak merasa beruntung sekali malam ini dapat membantu kalian berdua lolos
dari bahaya," kata In-nio.
Kini barulah Yak-bwe tahu persoalannya, katanya: "Oh, jadi ayahmu tadi memang sengaja
mengalah padanya. Tentunya kaulah juga yang secara diam-diam membantu hingga aku dapat
melukai Yo Bok-lo."
"Benar, dalam kekacauan tadi diam-diam aku telah menimpuknya dengan Bwe-hoa-ciam," Innio
mengiyakan. Setelah itu ia menuturkan pengalamannya.
In-nio dapatkan ayahnya tak senang waktu mendengar pernikahan Yak-bwe. "Mengapa ayah
tak senang" Apakah putera Tian Seng-su itu tak sembabat dijodohkan pada adik Sian" Ah, biar
kuikut ayah ke gedung Ciat-to-hu, hendak kulihat bagaimana macamnya putera Tian Seng-su itu
dulu. Jika memang buruk, aku akan memberitahukan pada adik Sian supaya minggat saja,"
demikian ia ambil keputusan ketika ayahnya diminta Tian Seng-su untuk turut menjemput
mempelai perempuan. Sudah tentu ia tak mau kasih tahu pada ayahnya tentang rencananya itu,
melainakan mengatakan hendak melihat-lihat bagaimana gedung Ciat-to-hu tempat kediaman Tian
Seng-su itu. Ayahnya, Sip Hong, juga setuju karena sebetulnya ia jeri juga datang seorang diri ke
tempat Ciat-to-su itu. Ia kenal siapa Tian Seng-su itu. Maka ia segera suruh puterinya mengenakan
pakaian lelaki menjadi seorang pengikutnya.
"Sudah dua hari aku tinggal di gedung Ciat-to-hu, tapi tetap belum pernah melihat bagaimana
tampang muka putera Tian Seng-su itu. Tak terduga kau sendiri juga sudah datang, jadi aku tak
perlu capek-capek lagi," kata In-nio dengan tertawa.
Yak-bwe menghaturkan terima kasih, namun tampaknya ia masih bermuram durja.
"Eh, mengapa lagi kau ini?" tegur In-nio.
Yak-bwe tak menyahut dan hanya mengutik ikat pinggangnya.
"Ha, biar kutebaknya. Kau tentu sedang memikirkan si Toan kecil itu. Ya, ia memang
keterlaluan mengapa tak menunggumu," In-nio menggodanya. Ia merenung sejenak, tiba-tiba
berkata pula: "Adik Sian, eh tidak, seharusnya kupanggil kau adik Bwe. Ya, adik Bwe, apakah kau
kepingin menjumpainya, aku mempunyai akal."
Tanpa malu-malu lagi Yak-bwe segera minta petunjuk.
"Baik, sekarang ikutlah padaku," kata In-nio.
Yak-bwe keheran-heranan, serunya: "Apa kau tahu tempatnya?"
"Akan kubawa kau ke suatu tempat untuk menjumpai seseorang!"
"Siapa?"
"Tak usah kau tanya, pokoknya aku tak nanti menipumu," sahut In-nio.
Dalam berkata-kata itu wajahnya berseri-seri, bibirnya mengulum senyum dan pipinya pun
kemerah-merahan. Sikapnya sungguh aneh.
Yak-bwe penasaran: "Segala apa kuberitahu padamu, sebaliknya kau main gelap-gelapan tak
mau mengatakan terus terang."
"Tak usah terburu-buru, nanti tentu kuberitahu. Ayo, ikutlah!" sahut In-nio.
Terpaksa Yak-bwe mengikutinya lari. Ternyata In-nio menuju ke sebuah gunung. Lagi-lagi
Yak-bwe menegurnya: "Ai, tengah malam begini mengapa kau bawa aku ke atas gunung" Apakah
orang itu berada di sini" Apakah kau sudah berjanji padanya?"
In-nio hanya tertawa saja: "Bagaimana penyamaranku sebagai ini, mirip tidak?"
Mendapat jawaban yang bukan ditanyakan itu, Yak-bwe makin heran.
Tanpa banyak pikir lagi ia segera menyahut: "Mirip sekali. Tadi hampir saja aku tak dapat
mengenalmu."
"Mungkin memang kau tak mengetahui, bahwa sejak kita berpisah, dalam beberapa tahun ini
aku sering menyaru jadi lelaki untuk pesiar kemana-mana. Ayah tak begitu mengurusi diriku. Kau
bilang peniruanku itu persis sekali tapi pada suatu kali aku telah diketahui orang. Ai, sungguh
berbahaya, mereka adalah orang-orang jahat dari Kim-hong-pang," kata In-nio.
"Eh, rupanya kau ini sedang menyembunyikan udang di balik batu. Pertanyaan yang kuajukan,
sepatahpun tak kau jawab, sebaliknya kau merangkai cerita lain. Memang aku senang sekali
mendengar ceritamu itu, tapi rasanya lebih baik pada lain hari saja. Hhu, kau jahat benar karena
sengaja membikin tegang urat syarafku."
Tertawalah In-nio menjawab: "Pohon mempunyai akar dan urusan juga ada ikhwalnya.
Bagaimana jadinya kalau aku tak menceritakan dari permulaan" Baik, karena rupanya kau begitu
bernafsu, kita menjumpai orang itu dulu baru nanti kuceritakan lagi."
Lalu ia mendongak ke atas puncak gunung.
"Ai, rembulan sudah berada di tengah langit, ia tentunya sudah datang," katanya kemudian.
"dia, dia, sekali lagi dia! Siapakah sebenarnya dia itu?" seru Yak-bwe.
Sekonyong-konyong In-nio bersuit panjang. Sesaat kemudian dari arah puncak gunung
terdengar suitan balasan. Kalau suitan In-nio bernada kecil bening, adalah suitan orang dari puncak
gunung itu bernada nyaring kuat, mirip dengan ringkikan naga atau aum harimau.
"Hai, lwekang orang itu hebat sekali, tak kalah dengan Toan Khik-sia. Orang yang hendak kau
pertemukan padaku apakah itu orangnya?" tanya Yak-bwe.
"Benar, memang itulah orangnya," sahut In-nio. Habis itu, ia mendekam dan tempelkan
telinganya pada tanah.
"Cici, mengapa kau berbuat begitu?" tanya Yak-bwe.
"Musuh-musuhnya sudah banyak yang datang, jadi ia tak dapat menyambut kita," sahut In-nio.
Apa-apaan artinya ini?" Yak-bwe makin keberatan.
"Malam ini ia telah mengundang beberapa musuh untuk bertemu di gunung Pak-bong-san sini.
Sekarang mumpung mereka masih belum bertempur, kita lekas-lekas kesana untuk melihat ramairamai,"
kata In-nio. Sip In-nio ternyata sering berkelanan di dunia persilatan, jadi pengalamannyapun lebih banyak
dari Yak-bwe yang selalu dikungkung dalam gedung ciat-toa-hu. Nona itu sudah dapat mempelajari
ilmu "menempel tanah mendengarkan suara". Didengarnya di atas puncak gunung sana ada 7-8
orang tengah bertengkar.
Kini Yak-bwe agak mengerti, ujarnya: "Ha, orang itu tentu sahabat baikmu dan kau hendak
mengajak aku membantu padanya, bukan?"
In-nio tertawa: "Tidak, selamanya ia tak mau dibantu orang. Sekalipun lawan berjumlah seratus
atau seribu orang, ia tetap menghadapinya seorang diri!"
Malam itu cuaca terang. Setelah berlari beberapa saat, jauh-jauh kedua nona itu sudah dapat
melihat keadaan di atas puncak gunung itu. Dilihatnya ada seorang pemuda yang berperawakan
tinggi tengah berdiri menghadap rembulan. Di sekelilingnya dikerumuni oleh sekelompok orang.
Waktu menghitung, Yak-bwe dapatkan orang-orang itu berjumlah delapan.
In-nio loncat ke atas sebuah batu karang yang besar bundar, ujarnya: "Tempat ini sesuai sekali,
dari sini kita dapat melihat jelas pertempuran mereka."
"Apakah yang membalas suitanmu tadi pemuda itu?" tanya Yak-bwe.
"Benar! Sudah kalu lihat bukan orang-orang yang mengepungnya itu?" In-nio menyahut dan
bertanya. Dari nada ucapannya ia seperti membanggakan pemuda itu.
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikiran Yak-bwe. Diam-diam ia tertawa: "Kali ini dugaanku
tentu tak salah. Ci In-nio tentu suka pada pemuda itu. Ha, jadi ia juga sudah punya pilihan."
Tapi serta dilihatnya In-nio tengah mencurahkan perhatian pada pertempuran itu, terpaksa Yakbwe
tak jadi menggodanya.
Tiba-tiba di gelanggang pertempuran sana terdengar seorang berseru: "Hai, orang she Bo,
berapa banyak orangkah yang kau undang membantumu" Tunggu setelah mereka datang semua,
baru kita mulai bertempur, agar kau tak menuduh aku sebagai orang yang menindas si lemah
dengan main keroyok."
Kata-kata itu menyatakan kalau suitan In-nio tadi, telah didengar mereka.
"Yang bicara itu ialah Hu-pangcu dari Kim-liong-pang. Dialah yang mengetahui penyamaranku
kala itu. Karena mereka berjumlah banyak, jadi aku tak mampu melawannya, syukur ada pemuda
she Bo itu yang menolongku," demikian In-nio memberi keterangan pada Yak-bwe.
Dalam pada itu terdengar pemuda she Bo itu sedang menyahut dengan dingin: "Sebaliknya
akulah yang hendak menanyakan padamu, apakah orang-orangmu sudah lengkap semua?"
"Apa maksudmu?" Hu-pangcu dari Kim-liong-pang itu balas bertanya.
"Aku tak mengundang barang seorang pembantupun, melainkan ada seorang sahabatku yang
mungkin kepingin melihat pertempuran ini. Kalian tak usah kuatir."
Mendengar keterangan si pemuda, kawanan Kim-liong-pang itu serempak tertawa mengejek:
"Apa yang kami kuatirkan" Kuatir kau dapat melarikan dirikah" Ha, jangan ngimpi kau!
Sekalipun kau tumbuh sayap juga tak nanti kau dapat lolos!"
Tapi pemuda itu tak mengacuh dan hanya menegas lagi: "Sekali lagi aku akan bertanya, apakah
orang-orangmu itu sudah lengkap?"
"Kalau sudah lalu bagaimana?" tanya si Hu-pangcu balas bertanya.
"Kalau sudah, barulah aku enak turun tangan agar tidak repot-repot harus mengejar satu persatu.
Ha, jika memang belum lengkap, aku bersedia menunggu beberapa saat lagi," kata si pemuda.
Mendengar kata-kata itu, kawanan Kim-liong-pang itu sama berjingkrak-jingkrak marah.
Berserulah salah seorang yang bertubuh tinggi besar: "Kau ini benar-benar seorang bocah yang
congkak. Baik, biar kuajar adat padamu dan akupun tak mau dibantu siapapun juga."
Tapi sebelum si tinggi besar itu tampil kemuka, dua orang yang baik perawakannya maupun
pakaiannya serupa coraknya, sudah melangkah maju, seru mereka dengan lantanga: "Nyo-toako,
sukalah kiranya kau tunggu dulu. Kami kaum Thay-ou-pang mempunyai dendam permusuhan
sedalam lautan dengan bocah itu."
Habis berkata mereka berdua lalu mencabut senjatanya yang berupa sebatang poan-koan-pit dan
berseru: "Sekalian saudara yang hadir di sini rasanya maklum akan peraturan dari persaudaraan Cin.
Baik lawan kami itu seorang atau seratus orang, kami berdua saudara ini tentu selalu maju
berbareng. Ini perlu kami kemukakan terlebih dulu, agar kau jangan menuduh kami main
keroyokan terlebih dulu, agar kau jangan menuduh kami main keroyokan. Hai, dengarlah bocah
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
she Bo! Asal kau dapat bertahan menghadapi 50 jurus permainan pit kami, maka kami berdua
bersedia untuk menyembah padamu!"
Pemuda she Bo itu hanya miringkan kepala, melihat dengan melirik hina. Ia tak tampak
mencabut pedang pun tak menyambut tantangan kedua saudara itu.
Hu-pangcu dari Kim-liong-pang mencegahnya: "Harap saudara berdua jangan berebut dulu.
Bagaimana bocah itu dapat bertahan sampai 50 jurus" Paling banyak 30 jurus saja ia tentu sudah
mampus. Kalau ia belum-belum sudah mati, habis apa dayaku untuk melampiaskan
kemendongkolan hatiku" Ah, lebih baik saudara berdua mengalah dulu, biar aku yang maju."
Tiba-tiba ada seorang yang berpakaian seperti opsir tentara melangkah kemuka dan berseru
dengan nyaring: "Hai, kalian tak boleh berebutan! Bocah itu telah merampas pesakitan penting, aku
hendak meringkusnya dan membawanya ke kota raja. Ayo, kalian mundur semua, biar aku seorang
diri yang menangkapnya!"
Yak-bwe berbisik pada In-nio: "Aku kenal opsir itu. Ialah Hou-ya-to-wi Ut-ti Lam, menjabat
sebagai thong-leng (pemimpin) dari pasukan Kim-wi-kun di istana. Liong-ki-to-wi Ut-ti Pak adalah
kakaknya. Mereka berdua memiliki kepandaian silat tinggi, namanya tersohor di dalam dan luar
negeri. Perangai kedua saudara itu hampir sama."
In-nio menertawakan: "Pemimpin pasukan istana bersekutu dengan pemimpin partai persilatan,
sama-sama maukan diri seorang pemuda, ai, sungguh mengherankan. Tapi dari ucapan opsir itu,
rupanya ia tak ada janji sama sekali dengan kawanan orang Kim-liong-pang. Mereka hanya
kebetulan berjumpa di sini saja."
"Ah, sayang!" tiba-tiba Yak-bwe menyelutuk.
"Sayang apa?" tanya In-nio dengan heran.
"Ut-ti Lam adalah seorang lelaki gagah. Dipandang dari kedudukannya, walaupun hanya
kebetulan berjumpa dengan orang-orang Kim-liong-pang, namun tetap merosotkan harga dirinya,"
kata Yak-bwe. Dan bagaimana reaksi orang-orang yang dihardik Ut-ti Lam itu ternyata mereka terkesiap kaget.
Tapi si tinggi besar itu juga berwatak berangasan. Iapun tak peduli bahwa opsir yang mengenakan
seragam hitam itu ialah Ut-ti Lam. Serentak ia pun balas mendamprat: "Orang macam pantat kuali
seperti kau ini juga berani berlagak pembesar" Berada di sini, kau harus menurut peraturan dunia
persilatan, jangan sok aksi seperti dalam kantormu, tahu. Jika sampai membangkitkan amarahku,
awas, nanti tentu kuberi makan bogem mentahku!" dengan gusarnya. Wut, ia lantas menyabat
dengan piannya.
Hu-pangcu dari Kim-liong-pang rupanya kenal akan Ut-ti Lam. Sudah tentu ia menjadi terkejut
dan tergopoh-gopoh memburu maju dan mendorong si tinggi besar ke samping. Kemudian ia
haturkan maaf: "Ut-ti ciangkun, harap jangan marah. Malam ini kita sama-sama menemukan
seorang musuh, segala apa dapat kita bicarakan. Saudara Nyo ini tidak pandai bicara, harap
Ciangkun bersabar sedikit!"
Untung Hu-pangcu itu cepat-cepat mendorong si tinggi besar sehingga terluput dari pian Ut-ti
Lam, maka pian itu telah menghantam sebuah batu besar hingga hancur berantakan. Melihat itu,
bagaimanapun berangasannya, si tinggi besar tak berani bercuit lagi.
"Harap kalian jangan ribut-ribut, sudilah dengarkan kata-kataku," tiba-tiba anak muda tadi
berkata. Dari sikapnya pemuda itu seperti tak mengandung permusuhan kepada mereka dan bahkan
hendak melerai.
Ut-ti Lam juga merasa heran, sahutnya: "Baik, cobalah kau akan berkata apa?"
"Ut-ti ciangkun, kunasihatkan lebih baik biarkan mereka bertempur dulu dengan aku. Kau nanti
jatuh pada giliran yang terakhir saja," kata anak muda itu.
"Apa-apaan itu, kau bocah ini malah akan mengeloni mereka," demikian Ut-ti Lam berteriak
dengan marah-marah.
Tertawalah pemuda itu: "Biarlah kuterangkan alasannya, Ut-ti ciangkun, dengarkan dulu!"
Ia menunjuk pada kedua saudara yang bergelar Cin-keh-siang-pit, lalu katanya: "Kalian tadi
mengatakan mempunyai dendam sedalam laut padaku, tapi aku sendiri bingung, permusuhan
apakah yang kita ikat itu?"
Kedua saudara Cin itu mendengus, sahutnya: "Ha, kau budak kecil ini pandai berpura-pura.
Baiklah, biar kuterangkan. Keterangan ini bukan untukmu, melainkan supaya dapat diketahui oleh
saudara-saudara yang hadir di sini. Selesai mendengari keteranganku, kalian tentu tahu apa
sebabnya kami berkeras hendak melabrak bocah ini lebih dulu."
Si Cin yang tua merandek sejenak, lalu melanjutkan berkata: "Bulan yang lalu kami bercekcok
rebutan bandar (pangkalan perahu) dengan orang Hay-yang-pang. Bocah itu sebenarnya orang luar,
tapi suka usil. Ia membantu pihak Hay-yang-pang hingga mengalahkan orang-orangku dan
menghancurkan 17 buah perahu kami yang berada di perairan telaga Thay-ou. Tidakkah hal ini
berarti dendam sedalam lautan?"
Lalu adiknya menambahkan: "Kala itu kami berdua saudara tak ada di situ, hingga pihak kami
menderita kerugian. Sebenarnya kami harus menuntut balas pada pihak Hay-yang-pang, tapi
setelah kami selidiki, 8-9 bagian dari orang-orang kami itu dilukai oleh bocah ini. Maka kami
kesampingkan urusan terhadap Hay-yang-pang dan membikin perhitungan pada bocah ini lebih
dulu." Anak muda itu tiba-tiba menyahut: "Memang sebagian besar hal itu benar, hanya saja masih
kelewatan sedikit mengenai sebab-sebabnya kalian bercekcok dengan pihak Hay-yang-pang.
Biarlah aku yang memberi tambahan keterangan. Hay-yang-pang adalah sebuah organisasi nelayan
di sepanjang pantai Thay-ou. Kalian dari Thay-ou-pang itu lantas mau memungut pajak pada
mereka. Para nelayan itu sudah berat membayar pajak pada pembesar negeri setempat, apakah
mereka dapat memikul lagi beban yang makin memberatkan itu" Untuk membela kepentingannya
maka Hay-yang-pang terpaksa melawan kalian. Salahkah jika aku berdiri di pihak Hay-yang-pang"
Atau apakah seharusnya aku membantu pada pihakmu untuk menindas kaum nelayan itu?"
Berkata pula anak muda itu: "Walaupun jadi perampok atau bajak, pun seyogyanya jangan
menanggalkan sifat-sifat keperwiraan. Di tempat di mana kaum nelayan sudah menderita, kalian
masih hendak merebut nasi mereka, apakah kalian tidak malu! Itulah sebabnya maka aku memberi
sedikit hajaran pada orang-orang Thay-ou-pang itu, pertama untuk meringankan kemengkalan hati
kaum nelayan dan kedua supaya mereka ingat betul-betul bahwa aku sudah bermurah hati tidak
membunuh barang seorangpun dari kawan mereka. Mengapa kalian masih menuduh aku berbuat
salah?" Malu dan geram bercampur aduk dalam perasaan kedua saudara Cin itu. Belum mereka
menyatakan apa-apa, Ut-ti Lam sudah berseru memuji: "Benar, ucapanmu itu cukup ceng-li dan
perbuatanmu itu tepat sekali!"
Sebenarnya kedua saudara Cin sudah mau menumpahkan kemarahannya, tapi demi Ut-ti Lam
mengatakan begitu, mereka agak kurang enak untuk turun tangan.
Kemudian si pemuda itu menuding pada si tinggi besar, katanya: "Dan kau" Apakah kita juga
mempunyai permusuhan sedalam lautan?"
"Meskipun dendam itu tak menyamai membunuh ayah atau merampas isteri, tapi rasanya juga
tak jauh dari itu. Barang-barang antaran piau yang hendak kami rampas, ibarat kue bak-pau sudah
berada di mulut, tapi mengapa kau mengadu biru dan membantu mereka dan menggagalkan usaha
kami?" demikian seru si tinggi besar.
Si pemuda menyahut: "Mungkin saudara tak mengetahui bahwa barang-barang itu adalah uang
perak untuk Li Yang-ceng yang menjabat sebagai Ti-ho congkoan (pembesar urusan irigasi).
Kantor pengangkutan Tiang-an-piau-kiok telah diserahi untuk mengantarkannya. Barang antaran
itu tak boleh dirampas."
"Mengapa?" tanya si tinggi besar.
"Karena uang itu diperuntukkan membelanjai pekerja-pekerja. Tentang pembesar she Li itu,
aku pun sudah menyelidikinya, dapat dikata seorang pembesar yang baik," tutur si anak muda.
"Persetan ia pembesar baik atau jahat dan bagaimana ia akan menggunakan uang itu! Pendek
kata, yang kuketahui hanyalah uang perak yang bergemerlapan saja, bagi kami yang menuntut
penghidupan sebagai orang Hek-to, jika tak merampas uang masakan disuruh makan angin saja?"
sahut si tinggi besar dengan gusar.
Tertawalah anak muda itu: "Ucapan saudara itu tidak tepat. Jika kau mengganyang uang kaum
pembesar korup, aku tentu tak berani unjuk diri. Tapi dengan merampas uang tadi, bukan saja
rakyat pekerja akan kelaparan pun proyek bendungan sungai Hong-ho akan terbengkalai, akibatnya
ribuan jiwa rakyat akan menderita mala petaka, rumah tangga tercerai berai. Karena tak dapat
merampas uang itu paling-paling kau hanya makan angin, tapi apakah kau tahu bahwa ribuan rakyat
itu kini benar-benar sudah makan angin" Kutahu kalau saudara itu juga dari keturunan keluarga
miskin, mengapa saudara hanya mementingkan diri sendiri saja?"
Si tinggi besar itu ternyata seorang jujur juga. Ia garuk-garuk kepalanya, katanya: "Eh,
ucapanmu itu rada ceng-li juga. Tapi hal itu rasanya tak sesuai dengan peraturan yang sudah
mendarah daging di kalangan Lok-lim. Coba beri aku tempo untuk memikirkannya."
"Baiklah, kau boleh merenungkan dulu," kata si pemuda.
Mendengar anak muda itu telah menyelamatkan uang antaran untuk Ti-ho-congkoan, Ut-ti Lam
menjadi terkesiap.
Tidak demikian dengan Hu-pangcu Kim-liong-pang yang lantas membentaknya: "Kedatangan
kita di sini ini untuk bertempur atau akan mendengarkan ceramah tentang ceng-li" Perlu apa ributribut
begitu" Mari, ayo, marilah, kami bertiga Hiangcu dari Kim-liong-pang akan minta pelajaran
ilmu pedang lagi padamu!"
Ia menjabat sebagai Hu-pangcu (wakil pemimpin) merangkap Seng-tong-hiangcu (ketua bagian
hukum) dari Kim-liong-pang. Ia membawa serta dua orang Hiangcu lagi kesitu. Dari bicaranya, ia
seperti hendak mengajak kawannya maju mengeroyok.
Tiba-tiba Ut-ti Lam berseru: "Kalau dengar pembicaraan bocah itu, rasanya berarti sekali, apa
halangannya untuk mendengarkan terus!"
Anak muda itu sekonyong-konyong tertawa memanjang lalu menuding pada Hu-pangcu Kimliongpang: "Makinkau takut kubuka borokmu, makin aku bernafsu mengatakannya!
Dengarkanlah, sewaktu di jalan Lo-pok kau hendak merampas seorang gadis tapi karena kau
dikalahkan, kau lantas panggil kambrat-kambratmu untuk merampasnya di samping secara diamdiam
kau gunakan dupa bi-hiang. Perbuatanmu itu bahkan lebih memalukan daripada perbuatanperbuatan
rendah kaum Lok-lim. Jika hanya kuiris sebelah daun telingamu, itu sudah kelewat
murah karena kuharap kau dapat merubah kesalahanmu. Tetapi mengapa kau masih tak tahu diri
dan berani mencari balas padaku?"
Mendengar itu bukan main gusar Ut-ti Lam kepada orang Kim-liong-pang itu, serunya: "Ha,
bagus, bangsat terkutuk, rasakanlah lebih dulu pianku ini!"
Si anak muda buru-buru kebutkan lengan bajunya untuk menyingkirkan pian Ciangkun yang
hendak diserangkan pada Hu-pangcu dari Kim-liong-pang itu.
"Ut-ti ciangkun, harap jangan mencampuri urusanku. Kalau mereka hendak menantang
berkelahi, aku sanggup melayani sendiri. Dan lagi Ciangkun toh masih terhitung lawan dengan
aku." Sahut Ut-ti Lam: "Benar, aku memang hendak bertempur padamu nanti!"
"Baik, sekarang rasanya kau tentu sudah mengetahui mengapa kutaruhkan dirimu pada urutan
yang terakhir," kata si anak muda.
Ut-ti Lam juga seorang yang lurus. Apa yang dipikirnya tentu lantas diucapkan. Tanpa banyak
berpikir lagi, ia lantas menyahut: "Ha, aku sudah tahu sekarang, tentu kau takut kalau kutangkapmu
lebih dulu hingga kau tak sempat untuk menghajar mereka. Tidak apalah, aku, aku ....."
Sebenarnya ia ingin mengatakan: "Orang-orang itu kutu busuk semua, aku akan mewakilkanmu
menghajar mereka." Tapi tiba-tiba pikirannya berubah: "Tidak, tidak, jika aku mengatakan begitu,
tentu kawanan kutu busuk dan perampok itu akan lari sipat kuping nanti."
Maka tertawalah si anak muda, serunya: "Tak usah kau katakan juga aku sudah mengerti
maksudmu itu. Tapi Ut-ti ciangkun, apakah kau sudah memperhitungkan kalau dapat
memenangkan aku?"
Ut-ti Lam tertegun. Ia melihat jelas bagaimana dengan kebutan lengan baju tadi, si anak muda
telah dapat mengisar serangan piannya ke samping. Tanpa bimbang lagi ia segera menyahut: "Hal
itu baru dapat diketahui kalau sudah bertempur."
"Tepat! Kau belum yakin dapat mengalahkan aku, akupun tak pasti dapat menundukkan kau.
Andaikan salah satu akan menang juga nanti sudah kehabisan tenaga. Itu waktu mungkin kita
sudah loyo untuk menghadapi pertempuran lagi!" kata si anak muda.
Dipikir-pikir omongan itu memang benar. "Ya, ya, benar juga dia. Jika aku dan dia sama-sama
terluka, kawanan penjahat itu yang mendapat keuntungan nanti," diam-diam opsir itu membatin.
Kata pula si anak muda: "Ut-ti ciangkun, jika kau ingin menangkan aku, ada sebuah cara, ialah
kau boleh ikut maju bersama mereka untuk mengeroyok aku. Ini mungkin ada harapan."
"Hah, kau menilai diriku ini orang macam apa" Aku, Ut-ti Lam, masakah sudi menggabung
dengan kaum perampok dan kawanan telur busuk itu!" teriak Ut-ti Lam dengan murka.
Karena mendongkol, ia sudah menghamburkan kata-kata "kawanan telur busuk" dan
"perampok". Sudah tentu orang-orang yang dimaki itu melotot gusar.
"Ut-ti ciangkun, begitu selesai memberesi budak itu, kami nanti pasti akan minta pengajaran
padamu," seru kedua saudara Cin.
Tanpa menghiraukan kedua jagoan itu, si anak muda berkata pula kepada Ut-ti Lam: "Bagus,
Ut-ti ciangkun, karena kau sudah tahu manusia macam apa mereka itu dan karenanya kau tak sudi
mendekati mereka, maka sekarang silakan minggir dulu sajalah."
Ciangkun yang ketolol-tololan tapi jujur itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba ia berseru: "Ai,
masih sedikit enggan aku!"
"Harap ciangkun jangan mengkuatirkan diriku. Orang itu, sekalipun ditambah lagi jumlahnya,
masih belum kupandang sebelah mata. Setelah menghajar mereka, aku masih ada tenaga cukup
untuk menemani kau berkelahi. Tapi kalau bertempur dulu padamu kemudian baru menghajar
mereka, meskipun masih dapat menang tapi agak makan tenaga pula," kata si anak muda.
Dijunjung begitu, kemarahan Ut-ti Lam berganti menjadi kegirangan. Serunya: "Benar,
omonganmu itu memang beralasan. Baik, biar aku jatuh pada giliran terakhir!"
Mendengar dirinya dijadikan bulan-bulanan percakapan itu, marahlah orang-orang itu. Memang
kecuali Hu-pangcu dari Kim-liong-pang yang sudah pernah merasakan tangan si anak muda, lainlainnya
belum kenal siapa anak muda itu. Sekalipun mereka itu kebanyakan adalah tokoh-tokoh
persilatan yang ada nama, tapi karena ditantang supaya maju semua oleh si anak muda, mereka
sebaliknya malah bersangsi.
Tiba-tiba kedua Hiang-cu dari Kim-liong-pang itu membuka suara: "Ada orang bersembunyi di
sana, mungkin komplotan budak kecil itu. Biar kugeropyoknya dulu mereka itu."
Kiranya mereka sudah mengetahui kalau In-nio dan Yak-bwe berada di atas batu tempat
persembunyiannya. Kedua Hiang-cu itu licin benar. Dengan alasan mau menggeropyok, mereka
hendak menyingkir dulu dari si anak muda yang telah diketahui kelihayannya. Biar kedua saudara
Cin dan kawan-kawan bertempur dulu dengan si anak muda, baru nanti mereka hendak melihat
perkembangannya.
Tapi mereka licin, si anak muda lebih cerdik lagi. Baru saja kaki mereka melangkah beberapa
tindak atau tahu-tahu kaki mereka terasa lemas dan "bluk-bluk", jatuhlah keduanya terkulai di
tanah. "He, jangan lari kemana-mana, kembalilah! Apakah kalian tak mendengar permintaanku tadi
supaya kalian maju berbareng semua?" seru si pemuda.
Ternyata anak muda itu sudah gunakan Kek-gong-tiam-hiat atau menutuk jalan darah dari
kejauhan untuk merubuhkan kedua Hiang-cu Kim-liong-pang itu. Tapi sungguh lacur, kedua
saudara Cin itu sudah tak kenal akan ilmu tutukan yang sakti itu. Mereka kira si anak muda itu
sudah mulai turun tangan, maka tanpa berpikir panjang lagi kedua saudara Cin itu sudah maju
menyerang dengan Poan-koan-pit mereka. Yang satu dari sebelah kanan, yang lain dari kiri.
Tiba-tiba si tinggi besar menggerung: "Keparat! Tuanmu belum bergerak, kau sudah
mendahului turun tangan, ya?"
Si tinggi besar yang berangasan inipun tak mengerti ilmu apa yang digunakan si anak muda
untuk menjatuhkan kedua Hiang-cu tadi. Ia mengira anak muda itu sudah gunakan senjata rahasia,
maka habis mendamprat ia lantas maju menjotos.
Dengan kedua buah jarinya, si anak muda pentalkan senjata pit dari kedua saudara Cin,
kemudian balikkan telapak tangannya untuk tangkis tinju si tinggi besar, serunya dengan tertawa:
"Mengapa kau begitu terburu-buru" Tunggu sampai kawan-kawanmu sudah datang semua,
bukankah masih belum terlambat" Sekali ini aku memang mengalah, supaya kau jangan menuduh
aku tak pegang janji. Ingat, jika sebelum kawan-kawanmu lengkap kau sudah bergebrak, kau tentu
akan menderita kerugian besar!"
Di sana kedua Hiang-cu Kim-liong-pang tadi tampak sedang merangkak bangun. Dengan mata
gusar, mereka terpaksa kembali dan mempersatukan diri dengan sekalian orang. Dalam pada itu si
anak muda sedang ulur tangannya untuk mendorong si tinggi besar, serunya: "Bagus, kalau kawankawanmu
sudah lengkap, baru boleh maju lagi, ya!"
Melihat kepandaian anak muda itu begitu sakti, tanpa malu-malu lagi, kawanan penjahat itu
segera menyerbu berbareng. Mendadak anak muda itu berputar tubuh, tahu-tahu tangannya sudah
mencekal pedang dan dalam sabetan pertama ia sudah dapat membabat putus Lian-cu-chui (bandul
besi berantai) dari salah seorang penyerangnya. Sabetan kedua, sebuah golok musuh terpental ke
udara. Kemudian begitu sang tubuh bergerak, ia sudah tiba di sisi si tinggi besar.
"Celaka!" mulut si tinggi besar berteriak, tapi ia tak berdaya untuk menyingkir dari pedang si
anak muda yang sudah melayang datang. Mau tak mau menjadi nekat juga. "Aku akan mengadu
jiwa dengan kau!" teriaknya sambil mengangkat sepasang pedangnya ke atas, mirip dengan
sepasang tanduk kerbau. Ia hendak menerjang maju, tapi ternyata si anak muda itu hanya tepuk
pundaknya: "Kau sudah memikir jelas, belum" Tadi kau sudah berjanji padaku untuk memikir
masak-masak-masak!"
Ketika si tinggi besar membuka matanya, ternyata si anak muda itu telah melesat lewat di
sisinya dan sudah menempur Hu-pangcu dari Kim-liong-pang. Si tinggi besar tampak melongo,
lalu berteriak: "He, kau ini rada-rada cengli juga, aku tunduk padamu dan tak mau berkelahi lagi
dengan kau!"
Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan lari pergi menuruni gunung. Melihat itu tertawalah si
anak muda: "Baik, Nyo-toako, aku suka bersahabat padamu. Kita nanti berjumpa pula di Kim-kenia!"
Waktu Hu-pangcu Kim-liong-pang menyerang dengan tongkatnya, si anak muda berhenti
tertawa dan berseru: "Terhadap dirimu seorang penjahat pengrusak wanita ini, aku tak dapat
memberi ampun. Jiwamu kutinggalkan tapi kepandaian silatmu kuambil!"
Cret, berbareng dengan selesai kata-katanya, ujung pedangnya pun sudah menyusup ke tulang
pi-peh-kut, di pundak orang. Suatu hal yang membikin kejut keawanan perampok, lebih-lebih
kedua Hiangcu dari Kim-liong-pang tadi, mereka serasa terbang semangatnya.
Hu-pangcu itu bukan tokoh silat sembarangan. Adanya dia dapat menjabat sebagai wakil ketua,
karena kepandaiannya itu termasuk yang nomor tiga dalam hirarki (urutan) Kim-liong-pang. Ia
hanya di sebelah bawah dari Jui-tianglo dan Su-pangcu. Permainan ilmu tongkat dari Hu-pangcu
itu juga termasyhur. Tapi anehnya belum lagi ia sempat memainkan jurus yang ketiga, tulang
pundaknya sudah kena terpanggang pedang si anak muda.
"Kiranya ia benar-benar masih berlaku murah dengan hanya memotong sebelah telinga Hupangcu
tempo hari. Kalau Hu-pangcu saja sudah keok, apa daya kita?" demikian barulah timbul
rasa gentar dalam hati kedua Hiangcu itu.
Serta merta mereka lempar senjatanya dan terus hendak menurutkan peraturan kaum persilatan
untuk meminta ampun. Tiba-tiba anak muda itu tertawa: "Mengingat walaupun kalian berdosa tapi
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau bertobat, maka akan kuberi hukuman ringan saja!"
"Sret, sret," pedang si anak muda tampak berkelebat, dan tahu-tahu telinga kedua Hiang-cu itu
masing-masing sudah hilang satu. Yang seorang telinga kiri dan yang seorang telinga kanan.
"Nah, biarlah kalian juga merasakan sedikit kesakitan agar dikemudian harinya dapat mengingat
baik-baik. Nah, enyahlah!" seru si anak muda.
Karena tidak sampai dibikin lenyap kepandaiannya seperti Hu-pangcu mereka, girang kedua
Hiangcu itu bukan kepalang. Tanpa banyak bicara lagi mereka segera memanggul Hu-pangcunya
dan dibawa lari ke bawah gunung.
Kini yang masih segar bugar ialah kedua saudara Cin itu. Memang kepandaian mereka lebih
unggul setingkat dari Hu-pangcu Kim-liong-pang. Biasanya merekapun congkak. Walaupun
menyaksikan kejadian itu dengan rasa terkejut, namun mereka tak mau mencontoh perbuatan kedua
Hiangcu untuk meminta belas kasihan orang. Mereka bulatkan tekad untuk mengadu jiwa, apabila
perlu mereka siap untuk sama-sama binasa dengan si anak muda. Dengan ketekadan itu mereka
menyerang rapat-rapat kepada anak muda itu. Setiap serangan mereka selalu mengarah bagianbagian
yang mematikan.
Karena sejak kecil kedua saudara itu sama-sama belajar silat, jadi mereka dapat mengadakan
kerja sama permainan yang rapat. Sepasang senjata poan-koan-pit mereka dapat bergerak dengan
indah laksana burung hong dan naga menari. Kanan-kiri, muka-belakang anak muda itu selalu
dibayangi dengan pagutan poan-koan-pit. Sedikit saja si anak muda berayal atau salah jalan, pasti
tubuhnya kena tertutuk.
Di atas batu besar sana, Yak-bwe menyaksikan pertempuran dengan tegangnya. Iabertanya
dengan bisik-bisik kepada sahabatnya: "Mengapa kawanmu itu hanya bertahan dan tak mau
menyerang" Padahal ia mampu untuk menyerang lawan."
In-nio tertawa: "Memang setiap gerak-geriknya sukar diraba orang. Entahlah, aku sendiri tak
mengerti apa maksudnya karena hanya ia sendiri yang mengetahui alasannya."
Tiba-tiba kedengaran anak muda itu berseru lantang: "Kalian menindas rakyat nelayan, suatu
dosa yang sebenarnya tidak kecil. Tapi kulihat kepandaian kalian agaknya masih kalah setingkat
dengan Hu-pangcu Kim-liong-pang tadi, jadi kalau dipanggang tulang pi-peh-kutmu, rasanya masih
kelewat berat. Hm, biar kupikirkan dulu, hukuman apakah yang sekiranya cocok untuk kalian ini?"
Ia omong sendiri seperti berunding seorang diri. Serangan maut dari kedua saudara Cin itu
seolah-olah tak dihiraukan sama sekali.
Kedua saudara Cin itu marah sekali, tapi apa daya. Seumur hidup mereka belum pernah ketemu
dengan musuh setangguh anak muda itu. Mereka tak berani tumpahkan kemarahan, karena kuatir
sedikit saja perhatian terpencar, tentu tubuh mereka akan tertutuk oleh lawan.
"Hai, ada, sudah ada. Ya, kuingat tadi kalian mengatakan kalau aku dapat melayani serangan
kalian sampai 30 jurus, kalian lantas mau menjura kepadaku. Kiranya sekarang sudah ada 30-an
jurus, bukan?" tiba-tiba anak muda itu berseru pula.
"Tiga puluh jurus sudah lebih sejak tadi-tadi!" tiba-tiba Ut-ti Lam turut berseru.
"Hai, jadi sudah lebih 30 jurus" Wah, kalian mau pegang janji tidak" Mau memberi hormat
padaku tidak?" kata si anak muda.
Sudah tentu kedua saudara Cin itu tak mau menurut. Mereka malah memperhebat serangannya.
"Menjadi bangsa penjahat itu selain harus mengingat tentang "keluhuran" pun harus memegang
"kepercayaan". Apakah kalian tidak tahu?" si anak muda tertawa dingin.
"Aha, jadi bangsa penjahat itu juga harus memiliki kesopanan" Tapi terhadap mereka, rasanya
sia-sia saja kau katakan begitu. Kulihat, kecuali dihajar mereka sampai bertekuk lutut, mereka tentu
tak mau menganggukkan kepala kepadamu," ujar Ut-ti Lam.
"Benar, karena kalian berdua ini penjahat-penjahat rendah yang tak pegang janji, aku terpaksa
gunakan kekerasan," kata si anak muda.
Tiba-tiba ia jungkirkan Ceng-hong-kiamnya, begitu membentur senjata lawan, tahu-tahu si Lo
Toa (kakak) dari saudara Cin menjerit, terus bertekuk lutut. Si Lo Ji (nomor dua) dari saudara Cin
terkejut, tapi belum lagi ia keburu menyingkir, lututnya sudah kena ditendang si anak muda. Tanpa
dikehendakinya, iapun bertekuk lutut ke tanah. Karena jatuh ke tanah, tubuhnya bergoncang dan
kepala mereka pun turut melentuk hampir mencium tanah. Dan karena mereka buru-buru
mengangkat lagi kepalanya, sepintas lalu menjadi benar-benar seperti orang yang memberi hormat
dengan menganggukkan kepala.
Tertawalah si anak muda gelak-gelak: "Karena kalian sudah mengangguk, nah, kubebaskan
kalian dari hukuman. Tapi ingat, jika lain kali masih berani menindas rakyat lemah, apabila jatuh
ke dalam tanganku lagi, maka bukan saja kusuruh kalian mengangguk lagi, pun tulang Pi-peh-kut
kalian akan kuremukkan. Nah, ingat baik-baik dan enyahlah sekarang!"
Cepat kedua saudara Cin itu merangkak bangun. Wajah mereka merah padam. Diam-diam
mereka menyesal tidak punya sayap agar dapat lekas-lekas terbang pergi. Karena sang kepala
ngacir, kawanan keroconya pun segera kabur semua. Dalam sekejap saja merka sudah tak kelihatan
lagi. Kini yang tinggal di gelanggang situ, hanya Ut-ti Lam dan si anak muda.
"Bagus, bagus! Orang she Bo, nyata kau juga seorang jantan!" Ut-ti Lam acungkan jempolnya
memuji. "Maaf, sebenarnya aku tak layak menerima pujian begitu dari Ciangkun," sahut si anak muda
dengan tertawa.
Tiba-tiba Ut-ti Lam deliki kedua matanya dan berseru: "Tapi sayang, sungguh sayang!"
"Sayang apa?" tanya si anak muda.
"Sayang karena seorang pemuda jantan seperti kau ini, aku terpaksa harus menangkap kau
untuk kubawa ke kota raja!" kata Ut-ti Lam.
"Sayang, sayang, sungguh sayang!" tiba-tiba anak muda itu juga menirukan ucapan Ut-ti Lam.
"Sayang apa?" kini Ciangkun itu yang berbalik tanya.
"Dengan menempatkan kau pada giliran terakhir, sebenarnya aku bermaksud kita tak usah
bertempur lagi. Tapi karena kau ternyata tetap berkeras akan menangkap diriku, tiada lain jalan
bagiku kecuali harus bertempur lagi. Hati dengan kemauan saling bertentangan, apakah itu tidak
sayang?" Ut-ti Lam kerutkan keningnya. Katanya: "Dalam masalah permusuhan antara kau dengan
kawanan penjahat tadi, rupanya kaulah yang berada di pihak yang benar dan merekalah yang salah
...." "Setiap tindakan yang kulakukan tentu berdasar alasan-alasan yang benar!" si anak muda
memutus omongan orang.
"Baik, kalau begitu ingin juga aku mendengarkan apa alasanmu merampas 300 ekor kuda
kepunyaan baginda. Kuda-kuda itu adalah barang upeti dari negeri Gong-ki-kok. Baginda akan
menghadiahkan kuda-kuda itu kepada pasukan Gi-lim-kun. Apakah kau tahu akan hal itu?" kata
Ut-ti Lam. "Cukup tahu, karena sebelumnya aku juga sudah menyelidiki dengan jelas," sahut si anak muda.
Maka marahlah Ut-ti Lam, bentaknya: "Kalau sudah tahu mengapa masih merampas" Coba
terangkan apa alasanmu!"
"Bukankah Thong-leng dari pasukan Gi-lim-kun sekarang itu adalah Liong-ki-to-wi Cing
Siang?" tanya si pemuda.
"Benar, memang Cin Siang toako. Apa perlunya kau tanyakan itu" Kiranya kau kenal juga
padanya" Kalau begitu lebih-lebih tak semestinya kau merampas kuda itu!"
"Konon kabarnya Cin-ciangkun itu ahli dalam hal menilai kuda. Kuda tunggangannya sendiri
juga seekor kuda Cian-li-ma."
"Hai, kuminta kau terangkan alasanmu merampas barang antaran, masakan mau ajak aku
mengobrol yang bukan-bukan?" teriak Ut-ti Lam dengan tak seranti.
Si anak muda tertawa geli: "Harap Ciangkun suka bersabar sebentar. Sekarang sudah
menginjak acara pokoknya. Nah, karena Cin ciangkun itu ahli memilih kuda, pasukan Gi-lim-kun
itu tentulah terdiri dari perwira gagah dengan kuda yang tegar-tegar, bukan?"
"Sudah tentu! Anggota pasukan Gi-lim-kun itu terdiri dari perwira pilihan semua. Orangnya
orang pilihan, kudanya kuda pilihan. Gi-lim-kun memang bukan sembarang pasukan!" sahut Ut-ti
Lam. "Jumlah anggota Gi-lim-kun hanya 3000 orang, sedang persediaan kudanya berjumlah 4000
ekor, benarkah ini?" tanya si anak muda pula.
"Eh, mengapa kau tahu begitu jelas?" seru Ut-ti Lam.
Si anak muda ganda tertawa dan melanjutkan kata-katanya: "Jika begitu, artinya tepat
dugaanku. Baiklah, sekarang akan kuberikan alasanku. Tadi kaukatakan bahwa baginda hendak
menghadiahkan kuda itu kepada pasukan Gi-lim-kun, tetapi kenyataannya pasukan Gi-lim-kun itu
tak kekurangan kuda! Bahkan mereka itu masih ada kelebihannya! Dengan kuambil 300 ekor kuda
itu, rasanya mereka takkan menderita apa-apa!"
Marahlah Ut-ti Lam, serunya: "Alasanmu itu terlalu dibuat-buat! Banyak atau sedikit jumlah
kuda yang dimiliki oleh pasukan Gi-lim-kun itu bukan soal. Pokok, kuda itu adalah barang upeti
yang dipersembahkan kepada baginda, kau seharusnya tak boleh mengganggu!"
Si anak muda tertawa gelak-gelak: "karena kau bekeja pada raja, jadi sudah selayaknya kau
mengatakan begitu. Tapi kedudukanku berlainan dengan kau, jadi caranya berpikirpun tidak sama.
Yang kutanyakan padamu hanyalah layak tidaknya kelebihan itu kuambil" Tentang siapa
pemiliknya, rajakah atau rakyatkah, itu bukan soal."
"Ya, baik, kita boleh kesampingkan tentang pemiliknya itu. Tapi bukankah kau telah merampas
barang orang, mengapa kau masih hendak membela kebenaran?"
"Kuda dari pasukan Gi-lim-kun sudah berlebih-lebihan. Hadiah 300 ekor kuda itu, tidak banyak
berguna bagi mereka. Malah kemungkinan mereka akan menelantarkan kuda-kuda bagus itu. Tapi
bagi pihakku, kuda itu besar sekali artinya. Kami hanya punay anak buah gagah, tapi kekurangan
kuda-kuda tegar!"
"Ah, jelas aku sekarang. Kiranya kau ini juga benggolan perampok, bukan?" seru Ut-ti Lam.
"Sekarang aku masih belum resmi mendirikan markas, jadi tak boleh dianggap sebagai
pemimpin begal. Tapi aku sudah siap menceburkan diri menjadi penyamun. Terus terang saja
kuberitahukan padamu, tak lama kemudian bakal ada Lok-lim-tay-hwe (musyawarah besar kaum
penyamun). Sekalian orang gagah dari segala aliran siap akan mengangkat Thiat-mo-lek sebagai
Bengcu. Tiga ratus ekor kuda itu kurampas hendak kusumbangkan pada Thiat-mo-lek selaku
bingkisan perkenalan. Ut-ti ciangkun, kau tak dapat meminta kembali barang itu!"
Selapang-lapangnya hati Ut-ti Lam, namun ia tetap seorang pembesar kerajaan. Mendengar
kata-kata si anak muda itu, sudah tentu panaslah hatinya. Serunya: "Hai, kiranya kalian ini adalah
penjahat-penjahat yang hendak memusuhi kerajaan. Sudah tentu aku tak dapat melepaskan kau!"
Masih si anak muda tertawa: "Ciangkun, ucapanmu itu lagi-lagi hanya benar separuh bagian
saja." "Ai, mengapa hanya separuh bagian saja?" Ut-ti Lam keheranan.
"Kami benar menjadi penyamun, tapi belum tentu memusuhi kerajaan. Yang nyata sekarang ini,
kami tidak bersikap begitu. Dengan kurampas kuda itu, bahkan ada segi-segi kebaikannya kepada
kerajaan, sekali-kali tidak ada keburukannya!"
Ut-ti Lam makin heran: "Ai, ai, ucapanmu benar-benar hebat sekali."
Maka berkatalah si anak muda: "Tolong tanya, di dalam daerah Gui-pok sini, siapakah yang
mempunyai pengaruh paling besar?"
"Mengapa bertanya pula" Sudah tentu Ciat-to-su Tiang Seng-su!" jawab Ut-ti Lam.
"Dan di daerah Lo-ciu?"
"Ciat-to-su Sik Ko!" sahut Ut-ti Lam.
"Jika begitu, Tiang Seng-su di Gui-pok, Sik-ko di Lo-ciu, mereka itulah raja-raja daerah
tersebut!" kata si anak muda.
"Bolehlah dikata begitu, mereka berdua ialah raja daerahnya," Ut-ti Lam mengiyakan.
Tertawalah si anak muda: "Menurut pendapatku, di dalam daerah kekuasaannya, hak mereka itu
lebih besar dari raja. Rakyat hanya takut pada Ciat-to-su tapi tidak kepada raja!"
Ut-ti Lam terdiam tak menyahut.
Sia anak muda tertawa dan berkata lagi: "Pasukan Gi-lim-kun dalam keraton hanya berjumlah
3000 orang, sedang Tian Seng-su pun membentuk apa yang dinamakan pasukan Gwe-thok-lam
yang terdiri dari 3000 orang juga. Pasukan itu merupakan pasukan tandingan bagi Gi-lim-kun. Ini
sebenarnya menyalahi undang-undang, tapi mengapa pihak kerajaan tinggal diam saja?"
"Tentang ini .... ini, ai, mengapa kau mengurus" Kau toh bukan perdana menteri," karena
kehabisan jawaban, Ut-ti Lam balas bertanya.
"Kata-katamu itu salah lagi, kalau raja saja tak mau mengurus apalagi seorang perdana menteri"
Kerajaan mempunyai undang-undang, tentara memiliki peraturan. Tetapi siapakah diantara Ciat-tosu
itu yang memerintah dengan menurut undang-undang" Siapakah mereka itu yang tidak korup,
tidak menindas rakyat" Pajak yang dipungut oleh Tiang Seng-su, lipat tiga kali dari apa yang
ditetapkan oleh pihak kerajaan. Paling akhir ini untuk mengawinkan anak lelakinya, Tian Seng-su
telah menggunakan uang negara membeli bingkisan kawin. Apakah kau tahu akan hal itu" Baik,
aku tak seharusnya mengurusi, tapi apakah raja sudah mengurusnya?"
Ut-ti Lam menghela nafas, ujarnya: "Hatikupun berontak-rontak seperti perasaanmu, tapi apa
daya. Mereka mempunyai tentara, karena itu, karena itu ....."
"Karena itu maka pihak kerajaan tak dapat bertindak. Yang dapat ditindak hanya kawanan begal
kuda macam aku ini, bukan?"
"Ha, jangan berputar terlalu jauh, kita kembali pada persoalan semula saja. Kau tadi hendak
menjelaskan alasanmu merampas antaran kuda, mengapa lantas membelok memaki-maki pada
Coat-to-su?" akhirnya Ut-ti Lam memberi peringatan.
Kata si anak muda: "Rupanya kau masih tak mengerti. Apa yang kukatakan tadi, adalah
merupakan alasanku. Coba renungkan, dalam suasana dimana para Ciat-to-su berebutan minta
daerah otonom agar mereka dapat merajai daerahnya, terus terang saja, perintah-perintah dari
rajamu itu tak laku lagi di luaran. Kami adalah kawanan penyamun yang menjalankan amanat
penderitaan rakyat, apakah hal itu merugikan pada rajamu" Jika ada yang merasa dirugikan karena
tindakan kami itu, paling-paling hanya para Ciat-to-su setempat dan anak buah mereka saja.
Bukankah hal itu malah menguntungkan bagi kerajaan" Pasukan Gi-lim-kunnya tidak berani
menempur mereka, tetapi kami berani. Tiga ratus ekor kudamu yang kurampas itu, sekarang sudah
kugunakan untuk menempur 'pasukan' Gui-pok dan Lo-ciu. Secara tak langsung, kami membantu
rajamu untuk mematahkan kekuatan Tian Seng-su dan Sik Ko. Jika rajamu mengetahui, seharusnya
berterima kasih kepada kami, bukan?"
Ut-ti Lam terlongong-longong sejenak. Katanya: "Meskipun keteranganmu itu agak berbelitbelit
dan mendekati kebenaran, maka akupun takkan menyampaikan pada baginda. Aku hanya
menerima perintah dari Cin-toako untuk menangkapmu!"
"Bagus, asal kau sudah mengakui kalau aku benar, itu sudah cukup. Tentang kita harus
bertempur, itu lain perkara lagi," kata si anak muda.
Tiba-tiba Ut-ti Lam berseru: "Hai, aku mempunyai sebuah cara. Kita tak usah berkelahi, entah
apa kau suka mendengarkannya?"
"Dengan segala senang hati aku bersedia mendengar perintah Ciang-kun," sahut si anak muda
dengan cekatnya.
"Lebih baik kau bawa anak buahmu menakluk pada kerajaan, itu lebih tepat. Aku sedia
memberi bantuan agar Cin-toako dapat memasukkan kalian semua ke dalam pasukan Gi-lim-kun.
Dengan begitu 300 ekor kuda itu anggap saja sebagai dihadiahkan padamu, takkan diusut lagi.
Kelak apabila kerajaan hendak bertindak pada kawanan panglima daerah itu, kalianpun harus
maju," kata Ut-ti Lam.
Anak muda itu menengadah ke atas dan tertawa nyaring: "Apakah kau pandang aku ini pantas
menjadi pembesar negeri" Dahulu Thiat-mo-lek pun pernah juga menjabat sebagai San-ki-to-wi.
Tapi akhirnya karena tak kuat menahan hinaan para menteri dorna, ia lantas melarikan diri. Aku ini
seorang yang biasa menikmati kebebasan, mungkin lebih tak kuat menahan hati daripada Thiat-molek.
Ciang-kun, aku hendak menghaturkan banyak terima kasih atas maksud baikmu itu!"
Ut-ti Lam tertegun beberapa jenak. Ia pun tahu juga akan riwayat Thiat-mo-lek. Jadi ia tak
berani membujuk anak muda itu lagi. Pada lain saat ia menghela nafas, ujarnya: "Sebenarnya aku
ingin sekali mengikat persahabatan dengan kau, tapi karena aku diperintahkan untuk
menangkapmu, apa boleh buat, marilah kita mulai. Silahkan mencabut pedangmu!"
Sebaliknya si anak muda malah menyarungkan pedangnya. Lalu tertawa: "Terhadap musuh
atau orang yang kubenci, aku baru menggunakan pedang. Karena kau berniat mengikat
persahabatan dengan aku, mana aku tega melawanmu dengan pedang" Aku hendak bertangan
kosong saja untuk menemani kau main-main barang dua tiga jurus!"
"Hai, ini bukan main-main!" seru Ut-ti Lam kebingungan.
"Ya, iya, aku tahu. Kau boleh menyerang sesukanya untuk melukai aku. Kalau sampai
ketangkap, akupun takkan menyesali kau," tenang-tenang si anak muda menyahut.
Ut-ti Lam menjadi agak dongkol, pikirnya: "Tahu bahwa aku hendak menyerangmu dengan
pian, kau masih mau melawan dengan tangan kosong. Bukankah itu berarti kau hendak
memandang rendah padaku?"
"Baik, baik, kusaksikan sampai dimana kepandaianmu dalam ilmu tangan kosong 'Gong-thinjippeh-jim' itu," katanya kemudian.
Wutt, ia lantas menyabat. Tapi dikarenakan ia 'sayang' pada anak muda itu jadi serangannyapun
tak dengan tenaga penuh.
Anak muda itu menggerakkan tubuh, punggung telapak tangannya menangkis pada batang pian,
kemudian kedua jarinya menarik, katanya: "Telah lama kudengar ilmu pian Ciangkun itu ternasyhur
sekali, mengapa tak dikeluarkan?"
Tarikan jari itu telah membuat tubuh Ut-ti Lam terseret dua langkah. Sudah tentu bukan
kepalang kejut Ciangkun itu, pikirnya: "Bocah ini benar-benar berisi. Jika aku menyerang setengah
hati, mungkin akan merugikan kemasyhuran ilmu pian dari keluarga Ut-ti."
Segera Ut-ti Lam menyentakkan piannya dan anak muda itu pun tak kuat menyanggahnya lagi.
Dengan To-jay-chit-seng-poh, ia menghindari sabetan pian. Diam-diam ia mengagumi: "Ilmu pian
warisan dari Ut-ti Kiong, benar-benar tak bernama kosong!"
Ut-ti Lam adalah keturunan dari Ut-ti Kiong, itu pahlawan yang termasyhur dari kerajaan Tongtiau.
Dahulu sewaktu membantu baginda Li Si Bin untuk menaklukan daerah selatan dan utara,
entah berapa banyak pahlawan-pahlawan musuh yang jatuh di bawah pian Ut-ti Kiong itu. Ilmu
pian dari Ut-ti Lam itu berasal dari warisan pusaka keluarganya. Ilmu permainan pian Cui-mopianhoat itu terdiri dari 64 jurus, semuanya bergaya dahsyat dan sebat.
Di tempat sembunyinya In-nio mengikuti dengan penuh perhatian akan pertempuran itu.
Walaupun ia percaya akan kepandaian dari pemuda tambatan hatinya itu tentu dapat mengatasi
lawan, tapi tak urung hatinya turut kebat-kebit juga.
Ut-ti Lam juga terperanjat. Berulang-ulang mulut anak muda itu memuji "ilmu pian hebat",
namun sampai sebegitu jauh piannya itu belum berhasil menyentuh ujung baju si anak muda.
Dari kakeknya (Ut-ti Kiong), Ut-ti Lam telah mewarisi dua macam ilmu kepandaian, Ilmu Cuimopian-hoat dan ilmu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim. Dahulu kakeknya itu, ketika di
Thing-ma-kau dengan ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim telah berhasil merebut senjata Thiat-sok milik
Tan Hiong Sin, itu pahlawan Hwa-kang-cat. Dengan begitu ia telah menyelamatkan jiwa baginda
Li Si Bin sehingga namanya tersohor harum di seluruh negeri.
Karena Ut-ti Lam agak lamban (tidak cerdas), maka ia balum dapat menyakinkan dengan
sempurna ilmu warisan keluarganya itu. Ia kalah dengan kakaknya, Ut-ti Pak. Tapi itu bukan
berarti ia tak lihay, karena bagaimanapun ia juga tergolong jago yang kosen.
Bermula ia menertawakan si anak muda yang dianggap congkak sekali karena berani melawan
ilmu pian dengan tangan kosong. Tapi setelah 10 jurus berlangsung, barulah Ut-ti Lam terbuka
matanya bahwa ternyata 'di atas langit itu masih ada langit lagi' atau orang yang pandai masih ada
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang lebih pandai lagi. Bukan saja dengan tangkas dan gesit si anak muda menghindar dari
serangan pian, pun masih dalam kesempatan-kesempatan ternteutu ia dapat balas menyerang. Ilmu
tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim dari si anak muda itu, ada beberapa bagian yang ia (Ut-ti
Lam) belumpernah mempelajarinya. Diam-diam ia menilai kepandaian anak muda itu tak di
sebelah bawah dari engkohnya, Ut-ti Pak.
Tiba-tiba terlintas dalam ingatanya: "Tiap-tiap kali engkoh gunakan Gong-chiu-jip-peh-jim
untuk berlatih dengan aku, kira-kira pada jurus yang ke-50 ia tentu dapat merampas pianku. Tapi ia
pernah memberi petunjuk padaku, begini: dalam keadaan terdesak bolehlah memikat lawan supaya
mendesak maju dari tengah. Kemudian kita harus gunakan jurus Pat-hong-hong-i-hwe-tiong-ciu
untuk menghajar musuh. Bagaimana saktinya ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim musuh, asal ia bukan
keturunan keluarga Ut-ti, pasti tak dapat menangkis serangan itu!"
Tapi pada lain kilas, ia berpikir lagi: "Tapi jika kugunakan jurus yang ganas itu, anak muda itu
pasti celaka, kalau tidak mati tentu terluka berat. Ah, sayang, bagaimanapun ia adalah seorang
pemuda jantan!"
Karena rasa suka kepada si anak muda, untuk sekian saat sampai ia tak dapat mengambil
keputusan. Tapi anak muda itu makin lama makin mendesak dan sekejap pula permainan sudah
Kitab Pusaka 18 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Duri Bunga Ju 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama