Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Bagian 5
Aku ingin hidup merdeka. Ingin terbang seperti bangau liar
mengarungi angkasa. Ingin bebas seperti angin melintasi
lautan. Pendek kata, aku ingin menikmati hidupku dalam
tahun-tahun mendatang yang pendek. Aku tak mau diganggu
oleh persoalan tetek bengek. Karena aku bukan milik siapa
pun. Itulah sebabnya, cara bagaimanakah si bocah cilik Bagus Boang berani menggunakan pengaruh ayah dan kakeknya
untuk memanggil aku menghadap?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harya Sokadana terperanjat. Itulah ucapan hati yang tak
terduga sama sekali. Memang benar, semuanya sudah
berubah. Sultan Agung Tirtayasa wafat dalam tahanan.
Pangeran Purbaya meninggal dalam medan perang. Meskipun
demikian, ia masih menganggap diri sebagai pahlawan putera
mahkota yang sah itu. Sekarang ia mendengar pernyataan
Harya Udaya yang meletus tanpa tedeng aling-aling lagi. Mau tak mau hatinya tergetar.
Bagus Boang yang berada di dalam kolong tempat tidur,
menggigil dengan sendirinya, katanya dalam hati. "Hm, kau berlagak tak tahu menahu lagi urusan dunia. Nyatanya kau
menerima ajakan Arya Wirareja."
Tepat pada saat itu, terdengar Sokadana menegas. "Kalau begitu, seumpama Sultan Abdulkahar memanggilmu, engkau
menolak juga, bukan?"
Dengan membusungkan dada, Harya Udaya menjawab:
"Aku menjadi majikan atas diriku sendiri. Aku pergi dan datang atas kemauanku sendiri. Siapa berani menguasai
diriku" Kalau aku suka, aku akan pergi menghadap. Kalau
tidak, akupun akan mendekam di sini. Apa perlu kau usil tak keruan" Apa hakmu mencampuriku?"
"Benar! Kau memang majikan atas dirimu sendiri. Tetapi bagaimana dengan rekanrekan perjuangan kita" Kau masih
memandangnya sebagai sahabat atau tidak?" Harya Sokadana menguji.
Harya Udaya membelalak. Matanya berkilat-kilat tajam. Dia
membalas bertanya pula, "Kau tadi sudah berbicara dengan Naganingrum. Apakah katanya?"
"Katanya kau telah bertemu dengan Arya Wirareja."
"Benar. Peduli apa kau?" sahut Harya Udaya dengan mengangkat muka. "Kalau aku senang, siapa saja kuterima dengan tangan terbuka. Tetapi malam ini, tak senang aku
melihatmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harya Sokadana tertawa menyeringai. Wajahnya berubah
pias karena gusar, menyesal berbareng pedih. Namun masih
ia bisa menguasai diri. Setelah menghela napas, ia
menemukan keterangannya kembali. Berkata mengalah,
"Delapan belas tahun lebih kita baru bertemu kembali. Tetapi saudara jemu melihat tampangku. Baiklah aku memohon diri."
"Eh, tunggu dulu!" Harya Udaya mencegah, tetapi suaranya tetap dingin. "Apakah kau tak menghendaki gambar itu?"
Harya Sokadana melengak. Waktu itu ia telah mengangkat
dadanya. Sekonyongkonyong suatu pikiran menusuk
benaknya. Berkatalah dia dengan suara pasti, "Dahulu, putera mahkota Pangeran Purbaya menyerahkan gambar itu
kepadaku. Tetapi karena Saudara sekarang sudah merasa diri
tidak terikat lagi dan menyatakan pula tidak lagi berada di atas dirimu, baiklah gambar itu kauserahkan kepadaku. Aku akan
membawanya kepada Ratu Bagus Boang, putera-nya yang
sah. Biarlah dia sendiri yang menentukan hari depan kita.
Saudara, kau baik sekali!"
Harya Udaya tertawa tak jelas. Ia mengerling kesamping.
Berkata memerintah kepada isterinya, "Naganingrum, kau turunkan gambar itu dan serahkan padaku."
Naganingrum curiga begitu melihat suara Harya Udaya
yang terlalu tenang dan matanya mendadak bersinar tajam, .
katanya: "Udaya! Apakah kau berbicara dengan setulus
hatimu?" "Hm!" dengus Harya Udaya. "Bukankah engkau hendak menyerahkan gambar itu kepadanya" Tetapi gambar ini
dahulu kuper-oleh dari tangannya sendiri. Jadi dengan
tanganku sendirilah aku wajib mengembalikan lukisan Sungai
Cisedane." Kembali ia mendengus. Dan dengan wajah
menyeramkan ia menatap Harya Sokadana. Katanya dengan
suara keras, "Kau ambillah! Ganis Wardana meninggal dunia.
Ki Tapa sudah mengundurkan diri dari pergaulan. Kau
sekarang jago nomor satu di kolong dunia ini. Kalau tidak,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masakan berani berkeluyuran di rumah orang di tengah
malam buta. Karena itu, kaupun pasti berani mengambil
gambar ini dari tanganku. Silakan!"
Harya Sokadana terbelalak matanya, namun masih ia bisa
mengendalikan diri. Jawabnya dengan sabar, "Saudara Harya Udaya, apakah maksudmu dengan ucapan itu" Bukankah kita
bersahabat semenjak belasan tahun yang lalu" Jika kau
menghendaki gambar itu aku takkan memaksa mengambilnya
ftembali."
Harya Udaya tertawa terbahak-bahak. Katanya nyaring,
"Bagus! Kau masih sudi menyebut istilah sahabat. Terima kasih, kau tak mengambil gambar ini, juga tak sudi
mengangkat kaki. Hm! sadarilah, bahwa rumah ini adalah
rumahku! Kau tak mau segera pergi dari rumahku. Apakah
kau menganggap aku seenteng kapuk?"
Sekarang Harya Sokadana telah hilang kesabarannya.
Harya Udaya dirasakan keterlaluan. Setiap katanya mencaricari perkara. Dia pun seorang laki-laki pula tak beda dengan dia. Maka ia lantas membentak, "Harya Udaya! Berbicaralah yang jelas. Sebenarnya apakah maksudmu" Aku segera pergi
dari sini. Hm! Kau menghina aku, tidaklah mengapa. Tapi
mengapa kau merusak?" Ia hendak berkata, "tapi mengapa kau merusak Ratu Naganingrum?" Tetapi kata-kata itu tak diucapkan, la dapat menguasai diri.
Harya Udaya sebaliknya tak tahu diri. Dengan wajah merah
padam ia menuding Harya Sokadana. Membalas membentak.
"Hari ini kau berbicara terlalu berlebihan terhadapku. Baik!
Karena kau tak sudi meninggalkan rumahku, aku terpaksa
ingin mencoba-coba sampai dimana ilmu kepandaianmu."
Dengan melemparkan gambar di atas meja, ia meloncat
menyambar pedangnya: pedang mustika Sangga Buwana.
"Udaya!" teriak Naganingrum. "Kamu berdua adalah sahabat lama. Kamu berdua sama-sama tangguh. Kalau dua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ekor harimau bertarung mengadu kekuatan, salah satunya
harus mati. Apa perlu kau mengadu nyawa tanpa sebab
musabab yang berdasar?"
Harya Udaya mendongak ke atas dan tertawa terbahakbahak sampai atap rumah tergoncang.
"Ah, kau Naganingrum! Terima kasih kau memikirkan aku.
Hm, tak pernah aku mengira bahwa kau masih memikirkan
kesehatanku. Legakan hatimu, aku masih kuat melawan Harya
Sokadana. Kau tak perlu khawatir tak keruan. Hayo Harya
Sokadana, kau keluarkan tongkat baja senjata andalanmu!"
Paras muka Nganingrum pucat luar biasa. Delapan belas
tahun yang lalu setelah melahirkan Ratna Permanasari,
suaminya memperlakukan dengan dingin. Padahal dia bekas
isteri seorang putera mahkota. Sedangkan dia salah seorang
bawahannya. Kini, dia bahkan bersikap tak memedulikan
sekali. Dadanya mendadak terasa sakit. Ia berdua berbareng
mendongkol. Seluruh sendi tulangnya lantas saja terasa
menjadi lemas. Hatinya beku dan mulutnya tak kuasa
membuka lagi. Pada saat itu, ia mendengar Harya Sokadana tertawa
nyaring. Berkatalah pendekar itu, "Harya Udaya! Aku tahu kau telah berhasil menggabungkan ilmu pedang peninggalan
Syech Yusuf dan sebagian kitab warisan Arya Wira Tanu
Datar. Itulah sebabnya kau mendesak aku hendak mencoba
padaku. Baiklah, aku akan melayanimu."
Harya Sokadana terkenal sebagai seorang ksatria tunggal
pada zamannya. Jika tetap mengalah saja, namanya akan
merosot. Dan secara tak langsung akan mencemarkan nama
baik rekan-rekan seperjuangan. Apalagi Harya Udaya sudah
mendorongnya ke pojok. Untuk mengelakkan, tak dapat lagi.
Waktu itu rembulan sudah condong ke barat. Suatu tanda
bahwa sudah pukul dua atau tiga pagi hari. Dengan
membungkam mulut, mereka berdua keluar halaman. Cepat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekali, terdengarlah suara Harya Udaya menarik pedangnya.
Suatu sinar berkilauan mengejap tak ubah kilat bersabung.
"Harya Sokadana! Aku bersenjata pedang begitu hendak
memasuki gelanggang. Sebenarnya bukanlah maksudku untuk
menang sendiri. Hal itu disebabkan lantaran aku merasa diri kalah jauh apabila melawanmu dengan tangan kosong. Kedua
tanganmu sampai terkenal dengan sebutan sepasang telapak
tangan besi. Maka terpaksalah aku menggunakan pedang.
Pedang ini sangat tajam. Jangankan manusia yang terdiri dari darah dan daging. Sekalipun besi dapat terajang seperti
sayuran. Karena itu, berhati-hatilah!"
"Terima kasih atas peringatanmu," sahut Harya Sokadana.
"Seorang tetamu tidak akan mendahului tuan rumah. Karena itu, silakan kau dahulu yang mulai!"
Harya Udaya tidak bersegan-segan lagi. Segera ia
meletakkan tangan kirinya di atas pedang. Lalu ia berseru
panjang. Dan pedang Sangga Buwana berkeredep seperti
cahaya bergetaran, la mengirimkan tiga tikaman sekaligus.
Cepat rapih dan berbahaya. Ia tak dapat meniru ilmu pedang
Bojong-lopang yang dapat menikam tujuh tusukan dalam satu
gerakan. Sekalipun demikian, tikamannya tak kalah hebatnya
lantaran jurusnya sukar diduga.
Dalam hati Harya Sokadana terperanjat. Pikirnya, "benarbenar hebat gabungan kedua ilmu pedang itu." Buru-buru ia menutup diri dengan tongkat bajanya. Maka terdengarlah
suara bentrokan nyaring. Trang! Dan letikan api meletik di
udara bulan cerah.
Melawan pedang Sangga Buwana, tak berani Harya
Sokadana bertangan kosong. Apalagi pedang tajam itu berada
di tangan Harya Udaya. Maka ia menangkis tikaman pedang
dengan tongkat bajanya, la bermaksud untuk menempel. Di
luar dugaan, tenaga sakti Harya Udaya benar-benar hebat.
Tiba-tiba saja telapak tangannya terasa sakit, sehingga
tongkat bajanya hampir-hampir saja terlepas dari genggaman.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kenyataan itu kian menyadarkannya akan ilmu kepandaian
lawan yang tak bisa dipandang enteng.
Harya Udaya sendiri kaget, tatkala pedangnya kena
ditempel tongkat baja Harya Sokadana. Buru-buru ia menarik
pedangnya untuk membebaskan diri. Kemudian dengan gesit
ia mengarah pinggang. Kali ini ia tidak menusuk atau
menikam, tetapi membabat dengan mengerahkan tenaga.
Harya Sokadana menangkis dengan cepat. Bahkan kali ini
tak mau ia mengalah lagi. Ia menangkis berbareng
menyerang. Kemudian mengirimkan serangan balasan tiga kali
berturut turut pula.
Hebat berkeredepnya pedang Sangga Buwana dan
berkilatnya tongkat baja senjata mustika Harya Sokadana.
Bagus Boang yang menyaksikan pertempuran itu dari balik
pintu sampai tersilau matanya.
Naganingrum sendiri seperti kehilangan diri. Dengan sikap
acuh tak acuh, ia tersandar kepada jendela. Hatinya sangat
berduka. Yang satu adalah suaminya. Yang lain, sahabat karibnya
semenjak masa remajanya. Sekarang mereka sedang
mengadu jiwa. Apabila ia maju memisah akibatnya makin
rumyam. Karena kedua-duanya merasa diberi hati. Hati Harya
Udaya yang cemburuan pasti bakal bertambah panas. Dan
Harya Sokadana yang kini mengerti bagaimana Harya Udaya
memperlakukan bekas kekasihnya, akan jadi penasaran. Tapi
sebaliknya bila ia berdiam saja, hatinya sendiri yang tersiksa hebat, Makin ia berdiam, makin sakit hatinya. Karena
tergempur perasaan itu, otaknya lantas terasa menjadi
kosong. Tak tahu lagi ia harus bertindak bagaimana.
Naganingrum satu-satunya pendekar wanita yang sungguh
cerdas pada zaman itu. Namun kali ini, benar-benar ia tak
berdaya. Akhirnya ia menyandarkan diri pada pintu jendela
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan pikiran kosong tak ubah sepotong balok. Untuk
melupakan semuanya itu, ia merapatkan matanya.
Tetapi tepat pada saat itu, terdengarlah suatu bentrokan
nyaring. Mau tak mau, Naganingrum terpaksa .menjenakkan
mata. Ternyata Harya Udaya dengan pedangnya yang tajam
berhasil memaksa Harya Sokadana menangkis dengan
berhadap-hadapan. Tongkat baja Harya Sokadana bukan
sembarang tongkat baja. Bahannya terbuat dari baja murni
bercampur besi dan monel. Meskipun demikian, kena sabetan
pedang Sangga Buwana rompal tiga tempat.
Menyaksikan kejadian itu, tidak hanya Naganingrum yang
terkejut. Bagus Boang yang berada dibalik pintu demikian
juga, sampai napasnya terasa hilang. Menyaksikan
pertempuran mereka, tiba-tiba terbersitlah rasa sayang.
Apabila salah seorangnya sampai terluka berat apalagi sampai tewas, dunia akan turut kehilangan. Bukankah mereka sama-sama tersohornya sebagai pengawal almarhum ayahnya yang
tak terkalahkan" Termasyurnya Harya Sokadana berada di
atas Harya Udaya. Sebab waktu itu, Harya Udaya belum
berhasil mewarisi ilmu pedang warisan Syech Yusuf dan
sebagian kitab sakti Arya Wira Tanu Datar. Tetapi nama Harya Udaya kini telah menanjak tinggi hampir melebihi Harya
Sokadana berkat ilmu pedangnya yang disegani kawan dan
lawan. Tetapi Bagus Boang tak dapat berbuat sesuatu. Bahkan
melihat pertarungan mereka secara wajarpun tak dapat, la
hanya dapat menangkap anginnya atau suara bentroknya
saja. Beda dengan Naganingrum tadinya"Naganingrum tak mau
menyaksikan pertarungan itu. Tapi lambat laun tanpa merasa, kedua matanya mengikuti gerakan pedang suaminya.
Maklumlah, dia seorang pendekar wanita dan ahli pedang
pula. la pun ikut memberi porsi pada kemajuan suaminya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah"Sejurus demi sejurus, ia memperhatikan.
Akhirnya tiga puluh jurus telah terlampaui.
Dan pada saat itu Harya Sokadana telah kena terkurung
sinar pedang rapat-rapat. Ancaman bahaya mulai mengawang
di atas kepala Harya Sokadana.
Mengingat kepandaian Harya Sokadana, diam-diam
Naganingrum heran. Memang benar"ilmu pedang suaminya
kini maju sangat pesat. Rasanya di dunia ini tiada duanya.
Tetapi ilmu kepandaian Harya Sokadana semenjak dahulu
sudah mencapai tahapan kesempurnaan. Apa sebab dia kena
terkurung hanya dalam tiga puluh jurus saja"
Naganingrum adalah satu-satunya wanita berotak
cemerlang pada zaman itu. Menyaksikan ketidak wajaran itu.
Tiba-tiba teringatlah dia pada pertempuran tadi pagi di bawah gunung. Ia tahu Harya Sokadana dikerubut tiga orang:
Bojonglopang, Kracak dan Da-dang Taraju. la kenal baik
dengan tiga pendekar sakti itu, kepandaian dan
keistimewaannya masing-masing. Apakah Harya Sokadana
tidak terkena senjata Dadang Taraju yang berbisa pernah
mengenai tubuhnya. Segera setelah mendapat pemikiran
demikian, dengan hati cemas ia memperhatikan gerak gerik
Harya Sokadana.
Lagi-lagi terdengar suara bentrokan. Setiap terjadi
bentrokan, tongkat baja Harya Sokadana rompal sebagian.
Dan melihat hal itu, Harya Udaya berkata nyaring: "Sokadana!
Kau tidak bersungguh-sungguh tatkala mulai. Tetapi sekarang, tahukah kau bahwa pedangku bukan pedang semba-rangan.
Apa kau kira, Harya Udaya sudi menyerah padamu" Kau hatihatilah!" Setelah berkata demikian, Harya Udaya memutar
pedangnya lalu menikam. Dan menyaksikan hal itu, lagi-lagi
hati Naganingrum mengeluh. Betapa tidak" Merekalah dua
sahabat dan kawan sejabatan. Bersama-sama mereka
menghamba kepada Pangeran Purbaya. Bersama-sama pula
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka berjuang dan berperang mengadu nyawa dengan
musuh. Bersama-sama mereka pernah menderita. Pergaulan
mereka tak ubah saudara sekandung. Sekarang mereka
Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertempur begitu hebat. Hati siapakah yang takkan hancur"
Racun Dadang Taraju sebenarnya bekerja semenjak tadi
dalam diri Harya Sokadana. Tetapi sebagai seorang laki-laki sejati, tak mau ia memperlihatkan. Seluruh tubuhnya terasa
nyeri dan sakit. Tak dapat ia bergerak dengan leluasa. Tetapi hatinya lebih sakit lagi. Walaupun Harya Udaya berbuat kele-wat batas terhadapnya, namun tak sampai hati ia melawannya
dengan sungguh-sungguh. Justru kemuliaan hatinya inilah
yang melemahkan semangat tempurnya. Meng-hadapai Harya
Udaya yang berkelahi bagaikan harimau terluka, ia benarbenar menderita kerugian.
Ilmu pedang Harya Udaya sendiri, tidak boleh dianggap
ringan. Ilmunya jauh berbeda daripada dahulu. Maka sadarlah dia, bahwa ia tak bisa bermain mengalah lagi. Ia harus
merobohkan atau dirobohkan. Dengan kesadarannya ini,
timbullah ketekad-annya. Dan dengan tekadnya itu,
berkobarlah semangat tempurnya. Mendadak saja, tangan
kirinya menyambar. Dan tongkat bajanya menyerang sampai
enam kali berturut-turut. Dengan cepat dan lancar, ketiga
puluh enam jurusnya telah dimainkan. Maka tak
mengherankan bahwa pertempuran kian lama kian
menghebat. Bagus Boang hanya mendengar dan tidak menyaksikan
dengan matanya. Tentu saja, ia tak tahu apa yang" dikandung maksud Harya Udaya. Juga ia tak mengetahui gejolak hati
Harya Sokadana.
Sebaliknya, Naganingrum yang mengenal, mereka bedua,
menghela napas sedih. Ia mengerti, Harya Sokadana sudah
mencoba untuk mengalah. Hal itu membuktikan bahwa
pendekar itu benar-benar tidak melupakan arti
persahabatannya dahulu. Sebaliknya, Harya Udaya ingin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merobohkan sahabatnya itu untuk mengangkat pamornya.
Malahan ia berkeinginan membunuhnya karena sahabatnya itu
merupakan satu-satunya manusia yang dianggap semacam
duri dalam hidupnya. Dia terlalu banyak mengerti tentang
dirinya. Dia terlalu banyak mengetahui rahasia hatinya. Dan Naganingrum! Itulah sebabnya, ia berkelahi seperti harimau
kelaparan. Mula-mula Harya Udaya ingin membuktikan di depan
isterinya bahwa ia berkelahi dengan alasan sebagai laki-laki sejati. Tetapi lambat laun, nafsu hendak membunuh tidak
dapat disembunyikannya lebih lama lagi.
Tongkat baja Harya Sokadana, makin lama makin menjadi
pendek kena babatan pedang Sangga Buwana. Memperoleh
kenyataan itu, hati Harya Udaya makin menjadi besar. Ia
yakin, tidaklah sukar lagi menjatuhkan Harya Sokadana yang
sebenarnya disegani. Sebaliknya, Harya Sokadana seorang
jago tua. Tahulah dia, bahwa sahabatnya itu bernafsu hendak membunuhnya. Ia mengakui keunggulan pedang lawannya,
tetapi tak sudi ia*kalah dengan murah. Maka betapa Harya
Udaya mencecar dengan ti-kaman-tikaman berbahaya, tetap
ia dapat menjaga diri dengan rapat.
Namun tenaganya makin lama makin lemah. Racun Dadang
Taraju bekerja kian hebat. Bobollah pertahanannya menahan
racun. Dan racun itu lantas menembus pembuluh-pembuluh
darahnya. Tapi keadaan ini hanya dia sendiri yang tahu. Oleh gangguan itu, ia kena desak. Daerah geraknya jadi sempit.
Masih ia bisa bertahan sampai fajar menyingsing. Selama itu seratus jurus telah lewat dengan sama tangguhnya.
"Jago tunggal Harya Sokadana, benar-benar hebat!"
akhirnya Harya Udaya berseru nyaring. "Tetapi janganlah mengharap menjadi jago lagi. Hari ini kau bakal jatuh
ditanganku."
Setelah berseru demikian, pedang Harya Udaya bergerak
agak lambat. Nampak seperti asal-asalan, tetapi sebenarnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tekanannya bertambah berat. Dan diserang demikian, Harya
Sokadana yang sudah kehilangan tenaga oleh racun Dadang
Taraju, hanya bisa bertahan belaka.
Hebat pertempuran mereka. Kena cahaya fajar hari
gelanggang menjadi terang kini. Ternyata mahkota daun
kamboja, bunga sedap malam dan tetanaman lainnya rontok
berguguran menimbuni tanah. Dahan-dahannya patah
terpapas pedang Sangga Buwana, sehingga kini menjadi
gundul. Melihat keadaan itu, Naganingrum menarik napas. Katanya
dalam hati: "Pohon-pohon ini adalah penghias taman untuk anaknya. Dia sendiri yang menanamnya dan sangat
menyayangi. Sekarang dia sendiri yang membabat gundul.
Kalau demikian, dia bakal sampai hati meniadakan segala
yang dicintai."
Naganingrum gelisah luar biasa memikirkan hal itu. Tetapi
sekian lamanya, masih saja ia tak berdaya untuk mengatasi
mereka. Pada waktu itu, Harya Udaya sudah mendesak kian dekat,
la tinggal memapas atau menusuk atau menikamkan
pedangnya. Mendadak, ia kaget tatkala Harya Sokadana masih
bisa menyerang dengan aneh luar biasa, la mundur sambil
mengelak cepat. Karena itu pohon kamboja dibelakangnya
terhajar patah berantakan. "Ah! ini pukulan Ki Tapa! Dia bergaul rapat dengan Ki Tapa. Apakah dia memperoleh satu
dua jurusnya?"
Justru berpikir demikan, datanglah pukulan Harya
Sokadana yang kedua. Buru-buru ia menangkiskan
pedangnya. Diluar dugaan, pedangnya mental kesamping. Ini
hebat. Serangan yang pertama dan yang kedua jauh
berlainan. Yang kedua lebih berat. Sekarang Harya Sokadana
melepaskan serangan yang ketiga. Kali ini sama sekali tiada anginnya atau suaranya. Inilah pukulan rahasia simpanan jago
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tua itu. Pukulan maut itu baru dilakukan, setelah dirinya kena terdorong ke pojok benar-benar. Jadi karena terpaksa.
Harya Udaya terperanjat bukan main. Kepongahannya tadi
lenyap begitu saja. Dalam kagetnya, ia memasang kudakudanya dan memberatkan badannya. Meskipun demikian,
tatkala serangan ketiga datang, tubuhnya kena terputar.
Kakinya limbung. Diluar kehendaknya sendiri, ia roboh
terguling. Naganingrum kaget sampai memekik. Kalau serngan ketiga
ini diusul dengan serangan keempat, pada sat itu habislah jiwa suaminya. Namun Harya Sokadana tidak berbuat demikian. Ia
nampak asal-asalan. Sebaliknya Harya Udaya meletik bangun
pada detik itu juga. la berputar beberapa kali, pedang
menyontek ke atas. Aneh gerakannya. Itulah salah satu jurus warisan sakti Arya Wira Tanu datar. Tiba-tiba pedangnya
menukik dan menyerang sampai tujuh kali. Dan punahlah
tenaga tekanan sakti Harya Sokadana.
Sekarang gerakan Harya Udaya sangat aneh. Tubuhnya
selalu berputar atau terhuyung-huyung. Ia tak ubah seorang
pemabok yang sinting. Pedangnya menikam bersera-butan
seakan-akan tanpa sasaran bidikan. Tetapi Naganingrum yang
hafal bait-bait warisan sakti Arya Wira Tanu Datar kagum luar biasa. Inilah untuk pertama kalinya, ia melihat suaminya
menggunakan gerakan aneh tersebut. Sebagai seorang ahli
pedang, ia benar-benar merasa tertarik dan heran.
Tak terlalu lama, Harya Sokadana terdesak mundur.
Meskipun demikian, langkah kaki dan gerakan tangannya tidak kacau, la dapat bertahan sampai dua puluh jurus lagi.
Kejadian itu, benar-benar mengherankan hati Harya Udaya.
Jago yang bernafsu merobohkan sahabatnya ini, diam-diam
mengakui keunggulan tenaga sakti lawan. Tapi ia tak perlu
takut. Dalam bait warisan sakti Arya Wira Tanu Datar terdapat beberapa deret kalimat yang mengajarkan rahasia
menyalurkan tenaga sakti yang tiada habis-habisnya. Maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segera ia hendak menguji. Demikianlah, maka dua jago itu kini memasuki babak mengadu kemahiran tenaga sakti masing-masing.
Beberapa jurus lagi, pedang Sangga Buwana berhasil
menikam pundak. Tetapi telapak tangan kiri Harya Sokadana
mengenai sasarannya pula sehingga terdengarlah suara
benturan nyaring.
Naganingrum terperanjat, la tahu, suaminya terhajar lebih
hebat. Tapi tatkala ia memperhatikan jalannya pertarungan,
keadaannya sudah berubah. Pedang suaminya bergerak makin
lambat sedang gerakan tangan Harya Sokadana nampak asalasalan. Kenapa tenaga gerak Harya Sokadana tiba-tiba nampak
menjadi berkurang" Tak dikehendaki sendiri, sekonyongkonyong terbayanglah isteri sahabatnya itu di depan matanya.
Tadi ia mendengar tutur kata Harya Sokadana, bahwa
isterinya adalah seorang perempuan dusun yang tak pandai
ilmu silat maupun ilmu surat. Dia kini bersama putera satusatunya. Naganingrum tahu, bahwa perkawinan itu terjadi karena
untuk melupakan dirinya. Dengan demikian, cinta kasih Harya Sokadana sebenarnya ada padanya. Hal ini berarti pula,
bahwa isterinya tidak memperoleh cinta kasihnya yang benar.
Sebagai seorang isteri yang diperlakukan demikian oleh
suaminya, ia dapat merasakan penderitaan itu. Dan sekarang
kalau Harya Sokadana gugur binasa dj ujung pedang
suaminya, pastilah penderitaan isterinya bertambah berat.
Siapa yang bakal mendidik puteranya di kemudian hari"
Oleh pikiran itu, kini timbullah tekad Naganingrum untuk
melerai pertarungan itu. Alasannya sudah berdasar kuat. Itu demi isteri dan anak sahabatnya. Tapi begitu hendak
bertindak, ternyata ia terlambat satu detik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tepat pada saat itu, Harya Udaya membabat tongkat baja
Harya Sokadana dengan pedang Sangga Buwana. Kena
babatan itu, tongkat baja Harya Sokadana terbabat kutung.
"Udaya!" teriak Naganingrum Tetapi pedang Sangga
Buwana sudah terlanjur berkelebat. Begitu penghalangnya
terkutung, ujungnya terus menikam. Dan Harya Sokadana
roboh seketika itu juga. Namun benar-benar hebat jago tua
itu. Masih ia bangun dengan cepat. Tetapi tubuhnya sudah
berlumuran darah. Delapan belas tusukan melubangi dadanya.
Kemudian tersenyum menyeringai menahan sakit. Katanya
dengan ikhlas, "Saudara Harya Udaya. Semenjak kini, kaulah jago nomor satu di kolong langit ini. Ilmu kepandaianmu pasti tak ada yang sanggup merendengi. Saudara, aku memberi
selamat kepadamu!"
Setelah berkata demikan, jago tua itu roboh terkulai. Harya Udaya mengawasinya. Wajahnya nampak puas luar biasa. Ini
kejadian yang sudah lama diidam-idamkannya yakni ingin
menjatuhkan jago nomor satu yang dahulu diseganinya.
Mendadak ia kaget. Pada pundak Harya Sokadana yang kena
robek, nampak suatu kehitaman. Parasnya berubah seketika.
"Hai! Kenapa kau?" ia berseru tertahan, sekali melompat ia membuka baju sahabatnya itu. Dada yang kena dilubangi
pedangnya menghitam semua.
"Ah! Kau terkena kuku beracun Dadang Taraju?" jeritnya.
Sekarang baru diketahuinya, apa sebab tenaga Harya
Sokadana makin lama makin lemah. Itulah akibat racun
Dadang Taraju. Tatkala bertempur untuk yang pertama
kalinya, dia masih bisa menahan menjalarnya racun. Tetapi
begitu harus menggunakan tenaga sepenuhnya, bobollah
bendungannya. Apalagi dia kena papasan pedang pula. Tentu
saja tenaganya lantas habis. Dengan kenyataan itu, ia kini
menjadi bimbang. Rasanya kurang sah ia merebut gelar jago
nomor satu di kolong langit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dua kali Harya Udaya memanggil nama sahabatnya itu
dengan hati pilu. Tetapi Harya Sokadana sudah tak pandai
membuka suaranya lagi. Maka perlahan-lahan ia berdiri
tertegun dengan pandang berkunang-kunang. Segalanya
lantas terasa sunyi.
-ooo00dw00ooo- 8 SUATU PERGOLAKAN HATI
SISA SINAR BINTANG-BINTANG DI LANGIT, telah sirna
kini. Embun pegunungan mulai turun. Cahaya mulai tersembul
menyemarakkan mahkota daun, rerumputan dan semuanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang serba beku. Juga di pertamanan itu, segalanya sudah
menjadi terang. Tapi kesunyian dan kesenyapan dahulu,
sekonyong-konyong terasa menyayatkan hati. Terdengar
kemudian suara isak naik turun.
Perlahan-lahan Harya Udaya melayangkan matanya.
Isterinya yang tadi berdiri di dekat jendela berjalan memutari taman dengan air mata penuh. Pada tangannya nampak
gulungan gambar Sungai Cisedane yang bersejarah. Sama
sekali ia tak sudi melihatnya.
Ini pukulan hebat bagi Harya Udaya yang tadi justru
hendak mempertontonkan kemajuan ilmu kepandaiannya
terhadap isterinya dengan merobohkan jago nomor satu di
kolong langit. Hatinya tergetar. Berulang-ulang ia hendak
memanggil Naganingrum. Kata-kata itu sudah berada di
kerongkongannya, namun tidak terucapkan. Mulutnya ternyata
hanya mengirimkan suatu desahan belaka.
Tujuan Naganingrum hendak menghampiri mayat Harya
Sokadana. Namun tak mau langsung. Sebaliknya perlu
berputar dan menghampiri dari sisi lain. Dengan demikian
puteri itu kini bersikap bermusuhan dengan suaminya.
"Harya Sokadana sahabatku!" kata Naganingrum dengan suara pilu. "Kau mati di sini, sedangkan di kampungmu anak isteri-mu menunggu kedatanganmu kembali. Tetapi legakan
hatimu! Gambar ini akan kuantarkan sendiri ke rumahmu. Dan
aku akan merawat anakmu tak beda dengan Ratna."
Setelah berkata demikian, tanpa melihat suaminya, ia
berjalan keluar halaman rumah.
Hati Harya Udaya seperti tertusuk ribuan jarum mendengar
kata-kata isterinya itu yang dialamatkan kepada Harya
Sokadana. Ia pun kaget menyaksikan sikap isterinya. Ia
kehilangan keseimbangan akalnya untuk sedetik dua detik.
Kemudian mengangkat kepalanya mencari bayangan isterinya.
Tetapi isterinya sudah menghilang dibalik pepohonan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lama sekali ia tertegun dengan mulut terbungkam. Kedua
matanya terpancang kepada tubuh Harya Sokadana
sahabatnya semenjak puluhan tahun yang lalu. Tiba-tiba ia
mendengar bunyi suaranya sendiri. Suara yang penuh duka,
putus asa dan kaget, la lantas merasakan suatu rasa takut.
Lebih takut daripada kepergian isterinya. Tatkala ia hendak menggerakkan kakinya, tiba-tiba anaknya sudah berada di
sampingnya. Kapan dia muncul ia tak tahu. Itu suatu tanda
bahwa ia kehilangan dirinya pada beberapa saat yang lalu.
Aneh sikap puterinya ini. Setelah menatap dirinya, ia
berjalan perlahan ke pohon kamboja. Kemudian
menyandarkan diri dengan pandang ketakutan. Ia seperti tak
mengenal ayahnya lagi. Ayahnya yang kemarin dibanggakan
dan dikenalnya.
"Ratna!" akhirnya Harya Udaya memanggilnya perlahan.
Pandang mata Ratna menatap padanya. Mendadak anak itu
menggigil. Sinar matanya penuh takut dan ngeri sampai
mundur tiga langkah. Bukan main pedih hati Harya Udaya. Ia
harus menguatkan diri untuk dapat berbicara. Baru mulutnya
hendak dibukanya, terdengar Ratna berkata tajam.
"Semuanya telah kudengar dan kulihat. Semuanya telah
kuketahui pula. Jangan dekati aku!"
Harya Udaya bergidik mendengar perkataan anaknya. Tak
dikehendaki sendiri, tubuhnya gemetaran. Akhirnya ia
menghela napas panjang sekali. Kemudian berputar dan
berjalan meninggalkan halaman rumah dengan berdiam diri.
Tatkala sampai di pintu pagar, ia bersenandung.
"Hidup dan mati apakah bedanya. Di depan tiada manusia, di belakang tiada insan. Siapakah yang mengerti diriku"
Biarlah aku terbang setinggi awan. Biarlah aku terbang
melintasi bumi dan lautan, sampai nanti ajalku tiba."
Terluka hati Ratna menyaksikan perangai ayahnya. Ia
kecewa bukan main. Dan mendengar senandung ayahnya, air
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya mengucur deras. Tak terasa ia memanggil, "Ayah!
Ayah!" Tetapi ayahnya sudah tak kelihatan. Ia pergi dengan
membawa senandungnya. Ia pergi dengan membawa hatinya.
Dan gadis itu lantas bersandar pada batang pohon kamboja
dengan tangis bersedu sedan. Tiba-tiba suatu tangan halus
dan hangat meraba rambutnya perlahan sekali. Terdengar
kemudian suara halus membujuk, "Ratna! Tak perlu kau
menangis!"
Ratna Permanasari menoleh. Begitu melihat siapa yang
meraba rambutnya, ia menangis kian keras. Katanya di antara sedu sedannya: "Bagus Boang! Kaupun melihat semuanya?"
Bagus Boang mengangguk hati-hati. Tak tahu ia,
bagaimana caranya membujuk gadis itu agar tidak menangis
lagi. la hanya dapat menunggu dengan sabar.
Selang beberapa saat kemudian, Ratna Permanasari
berkata lagi di antara isaknya. Katanya mengeluh, "Ah, Ayah!
Ayah yang menyebalkan! Ayah yang harus dikasihani. Bagus
Boang, semenjak kanak-kanak, aku memandangnya sebagai
ayahku yang serba besar. Dialah ksatria satu-satunya di jagat ini. Dialah lelaki satu-satunya yang tiada tandingnya."
"Benar! Nyatanya, ayahmu kini adalah jago tiada
tandingnya lagi," Bagus Boang menimpali.
Pemuda itu seperti diingatkan. Cepat ia lari menghampiri
mayat Harya Sokadana.
Inilah ksatria yang pernah mendukungnya dan melindungi
jiwanya. Sekarang mati di atas gunung dengan seorang diri
tanpa ada yang memperhatikan.
Memperoleh pikiran demikian, dengan terharu ia
membungkuk dan meraba tubuhnya. Semuanya sudah dingin.
Semuanya sudah berhenti. Tiba-tiba ia berseru diluar
kehendaknya sendiri, "Paman! Aku pernah kau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bopong(gendung/dukung), pernah kau lindungi. Sekarang
biarlah aku menghisap semua racun yang mengeram di dalam
dirimu. Semoga arwahmu senang."
Begitu berkata, dia lantas membungkuk dan menggigit.
Tentu saja Ratna Permanasari kaget bukan kepalang. Cepat ia melesat menghampiri sambil mencegah. "Bagus Boang!
Jangan!" Bagus Boang tidak mendengarkan, la tahu, racun yang
mengeram dalam tubuh Harya Sokadana sangat berbahaya.
Tapi ia percaya kepada pengalamannya menyedot bisa ular
yang mengeram dalam tubuh paman angkatnya Pancapana.
Racun betapa jahatnyapun, takkan mempan pada dirinya lagi.
"Bagus Boang! Jangan!" Ratna Permanasari mencegah.
Wajah gadis itu mendadak menjadi pucat. Serta merta ia
menerkam pundak Bagus Boang dan mencoba menariknya.
Tapi Bagus Boang seperti kalap. Gigitannya bahkan bertambah kuat. Dan terpaksalah Ratna Permanasari menggoncang-goncangkan pundaknya, seraya berseru keras. "Meskipun kau bisa menyedot habis racun itu, jiwanya toh tidaklah tertolong.
Dia sudah meninggal."
Ratna Permanasari tidak tahu apa yang terkandung dalam
hati Bagus Boang. Pemuda itu tahu, bahwa penyedotan racun
dari tubuh Harya Sokadana bukan dimaksudkan untuk
memburu jiwanya. Tetapi hanyalah untuk menyenangkan
arwah pendekar itu semata-mata sebagai suatu balas budi.
Demikianlah, setelah memuntahkan darah hitam beberapa
kali, barulah ia melihat wajah Ratna Permanasari. Entah apa sebabnya, mendadak ia menjadi terharu begitu habis
bersentuhan dengan darah Harya Sokadana. Ia seakan-akan
jadi mengerti penderitaan Harya Sokadana. Ia seolah-olah jadi sadar, betapa sakit hati Harya Sokadana tadi. Sebagai seorang pendekar besar angan-angannya. Ia memilih mati daripada
memperlihatkari kelemahan. Oleh pikiran itu, mendadak ia
berkata: Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ratna! Kuucapkan selamat atas kepandaian ayahmu.
Dialah kini manusia tiada tandingnya lagi."
Sakit hati Ratna Permanasari mendengar bunyi ucapan
Bagus Boang. Ucapan itu adalah kata-kata ulangan. Tapi kali ini terasa jauh bedanya. Maka dengan air mata bercucuran ia menyahut, "Memang benar. Mulai hari ini ayahlah yang
mempunyai ilmu kepandaian paling tinggi di seluruh dunia.
Akan tetapi patung pemujaan terhadap dirinya telah lenyap
dari dalam hatiku. Perbendaharaan hatiku terhadapnya telah
hancur lebur. Dia telah membohongi Ibu. Dia mengawini Ibu
semata-mata untuk kitab ilmu pedang kakek Syech Yusuf. Dia
mengangkangi ilmu warisan sakti Arya Wira Tanu Datar dari
perasan otak Ibu. Dia berangan-angan hendak menjadi raja
besar. Dia memenjarakan Suryakusumah dan membantu
Paman Arya Wirareja untuk menciduk bekas rekan-rekan
perjuangannya. Semuanya itu telah aku ketahui sekarang!"
Mendengar Ratna Permanasari menyebut nama
Suryakusumah, Bagus Boang kaget sampai berdiri tegak.
Katanya, "Kau bilang ayahmu mengurung Suryakusumah" Ah, dimanakah Suryakusumah kini?"
"Tadi malam aku telah bertemu dengan dia," sahut Ratna Permanasari. "Banyaklah hal yang telah kuketahui tentang dirimu. Dia pun menceritakan tentang hubunganmu. Aku
percaya, dia tidak berdusta. Yach, ayahkulah yang memang
berhati buruk!"
Tergetar hati Bagus Boang mendengar perkataan Ratna
Permanasari. Dengan mengatakan bahwa ayahnya adalah
manusia berhati buruk, teranglah sudah bahwa hatinya sudah
kecewa. Itulah sikap yang menyatakan suatu perpisahan
seberang menyeberang. Alangkah mengerikan kejadian
demikian! Bagus Boang adalah seorang pemuda yang berperasaan
halus. Terus saja ia memeluk leher gadis itu. Dan dengan hati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pilu ia menatap wajah gadis itu yang penuh dengan air mata.
Ia bisa merasakan kepedihan dan kehancuran hatinya.
"Ratna! Mungkin sekali... mungkin sekali... itulah kesalahan ayahmu seorang. Kau tidak turut serta. Belum tentu seorang
anak buta, buta pulalah dia. Belum tentu anak seorang bisu, mesti menjadi bisu pula..."
Ratna Permanasari menatap wajahnya. Berkata
menyimpang, "Bukankah engkau hendak membunuhnya
pula?" Bagus Boang menarik napas, menyahut sulit: "Ini urusan yang sangat ruwet. Tak dapat aku menjelaskan kepadamu."
Setelah berkata demikian, Bagus Boang menatap udara.
Cahaya matahari kini tiba benar-benar. Ia lantas melepaskan pelukannya. Kemudian mundur beberapa langkah dan hendak
memutar tubuhnya.
"Ibu sudah pergi," kata Ratna Permanasari. Ayahku pergi juga. Apakah kau hendak pergi?"
"Ah!" Bagus Boang terperanjat."Benar, benarlah! Aku harus pergi...."
"Baik, kau pergilah!" kata Ratna Permanasari keras.
Pemuda itu tercengang. Menegas lagi, "Benar-benarkah
engkau menghendaki aku pergi?"
"Aku tidak menghendaki engkau pergi. Tapi aku juga tidak menghendaki seseorang jemu terhadapku."
Bagus Boang heran. Menegas lagi, "Apa maksudmu?"
"Aku tahu, di hatimu sudah ada seseorang lain. Dialah
seorang gadis keturunan Persia yang sangat kau cintai...."
Sahut Ratna Permanasari.
Mendengar kata-kata Ratna Permanasari, Bagus Boang
tertawa. Katanya setengah geli, "Ah! Rupanya engkau dikibuli
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suryakusumah. Itu kisah cinta rekaannya. Di dunia ini, siapa yang melebihi dirimu?" Ini adalah suatu pengakuan. Ia merasa kelepasan bicara. Tak mengherankan, wajahnya terasa
menjadi panas. "Benar. Itulah tutur kata Suryakusumah. Kalau tidak benar, untuk apa dia berdusta?"
Sekali lagi Bagus Boang tertawa. Sahutnya, "Kau dengarlah penjelasanku. Justru gadis itulah gadis pujaannya yang terukir di dalam hatinya."
Ratna Permanasari tercengang. Ia menatap Bagus Boang
dengan pandang berbimbang-bimbang. Setelah berdiam
sejenak, mendadak paras wajahnya bersemu dadu. Akhirnya
berkata perlahan sekali, "Benarkah itu?"
"Suryakusumah mencintai gadis itu melebihi dirinya
sendiri." Bagus Boang mencoba memberi keterangan. "Tetapi dia mengira, bahwa perjodohan gadis itu dengan aku adalah
perjodohan yang paling serasi, yang paling manis dan paling elok! Sebenarnya, sama sekali aku tidak berpikir demikian.
Berulang kali aku menjelaskan padanya. Bahwa hatiku tiada
padanya. Tetapi dia tak mau percaya. Apakah kaupun tak
percaya keteranganku ini?"
Mendengar pernyataan Bagus Boang, sinar mata Ratna
Permanasari mendadak jadi terang jernih. Katanya, "Pantaslah Suryakusumah memaki-makimu. Ternyata dia kuatir bahwa
aku bakal merusak perjodohan itu."
Senang hati Bagus Boang, bahwa gadis itu gampang
dibuatnya mengerti. Lantas saja mengajak, "Baiklah, sekarang semuanya sudah menjadi jelas. Mari kita menolong
Suryakusumah untuk membebaskannya dari kurungan."
"Tidak!"
"Tidak bagaimana?" Bagus Boang heran
"la tidak bakal mau mengangkat kaki."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa begitu?" Bagus Boang tambah tak mengerti.
"Semalam dia meyakinkan padaku, meskipun Ayah sendiri
memohon dia agar berlalu, tidak akan dia mengangkat kaki."
"Eh. Kenapa dibebaskan justru tidak mau pergi" Inilah
aneh!" "Itulah manusia yang berwatak. Aku justru senang
terhadap manusia yang berwatak. Kalau kau bisa mempunyai
watak sekokoh dia, alangkah bersyukur hatiku."
Bagus Boang kian bertambah heran. Tetapi dia seorang
pemuda yang cerdas. Segera ia dapat mengerti latar belakang pernyataan itu. Pikirnya di dalam hati, "Ah tahulah aku, bukankah engkau bermaksud agar aku mencintaimu dengan
hati sekokoh tegaknya gunung?" Memperoleh pikiran ini, hatinya menjadi terharu. Langsung saja ia berkata, "Engkau menghendaki agar aku berwatak seperti dia" Dapat, dapat aku bertabiat seperti dia yang mencintai gadis itu melebihi dirinya sendiri. Akupun mencintaimu melebihi diriku sendiri. Kalau
tidak, tak bakal aku berada di sini semenjak semalam. Ini
semua terdorong oleh rasa hati ingin melihatmu."
Ratna Permanasari bersyukur berbareng malu. Dengan
memekik girang ia lari menghampiri Bagus Boang dan
memeluknya. Hatinya merasa berbahagia sekali.
"Ratna! Ratna! Nah, kau antarkan aku membebaskan
Suryakusumah!" bisik Bagus Boang.
Ratna Permanasari segera memperbaiki letak pakaiannya.
Kemudian menggenggam pergelangan tangan Bagus Boang
dan dibawanya berjalan melintasi halaman belakang. Jalan
yang dilalui banyak lika likunya. Sempit dan licin. Tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah gundukan tanah mirip
sebuah bukit kecil yang terpisah dari lambung gunung. Itu
sebuah gua alam dengan pintu tertutup dari besi. Melihat gua itu, teringatlah Bagus Boang kepada gua kurungan paman
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
angkatnya Pancapana.. Rupanya Harya Udaya senang
membuat gua-gua untuk maksud tertentu.
"Gua ini sebenarnya bukan gua untuk mengurung orang,"
Ratna Permanasari memberi keterangan. "Ini gua tempat
berlatih ilmu pedang. Setiap malam aku berlatih di dalam gua itu. Kau lihatlah sendiri apa yang nampak di dalam!"
Tanpa berwaswas, Ratna Permanasari menghampiri pintu
gua yang terbuat dari kayu besi. Katanya, "Kau bukalah gerendelnya! Putar ke kanan tujuh kali!"
Bagus Boang lantas maju dan meraba gerendel itu. Hendak
ia memutar gerendel itu, tiba-tiba ia merasakan suatu
keanehan. Segera ia mendorong daun pintu dengan perlahan.
Mendadak saja daun pintu roboh terjeblak. Dan begitu
terdorong ke dalam daun pintu yang terbuat dari kayu besi itu rontok berkeping-keping. Ratna Permanasari memekik
tertahan karena terperanjat sekaligus heran. Teriaknya, "Hai!
Kenapa jadi begini?"
Kayu besi bukan sembarang kayu. Namanya saja sudah
kayu besi. Artinya keuletan dan kekuatannya seperti besi.
Untuk memecahkan papan yang terbuat dari kayu besi,
seseorang harus menggunakan kampak atau golok dengan
tenaga penuh. Itu saja meminta waktu pula. Apalagi kalau
papan itu setebal balok.
Sekarang daun pintu gua, terbuat dari kayu besi berbalokbalok. Siapa pun tak percaya. Betapa begitu kena dorong
sedikit bisa somplak dan rontok berkeping-keping. Padahal
semalam Ratna masih menyaksikan bahwa daun pintu itu,
tiada tanda-tandanya keropos dari dalam. Dengan begitu
jelaslah, daun pintu itu berguguran karena sengaja kena rusak tangan jahil. Siapakah yang dapat bekerja begini cepat"
Seperti bermimpi, Ratna menatap wajah Bagus Boang
minta pertimbangan. Pemuda itu pun heran bukan kepalang.
Hatinya tak tenang pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mari!" akhirnya ia mengajak memeriksa gua. la
mendahului memasuki gua. Begitu kepingan daun pintu itu
kena sentuh kaki dan tangannya langsung saja rontok hancur
seperti teremas.
"Ini akibat serangan tenaga sakti yang luar biasa
hebatnya," gumam Bagus Boang. "Orang itu sengaja
mempertontonkan kesanggupannya terhadap tuan rumah.
Hebatnya, daun pintu itu dirusak dari bagian dalam, sehingga dari luar nampak wajar. Ah, siapakah yang mempunyai tenaga
sakti yang tak ubah malaikat?"
"Ya benar, ini akibat gempuran tenaga sakti yang luar biasa dahsyat" Ratna Permanasari membenarkan. "Siapakah dia?"
Bagus Boang membungkam. Pikirannya bekerja. Apakah
Harya Sokadana sebelum datang mengunjungi rumah Harya
Udaya" Tetapi dalam pembicaraannya semalam dengan
Naganingrum, dia datang semata-mata untuk dirinya. Dia pun
tak tahu, bahwa Harya Udaya mengurung Suryakusumah.
Seumpama tahupun, dia belum kenal siapa itu Suryakusumah.
Jelaslah, bahwa rusaknya pintu gua ini bukan oleh tangan
Harya Sokadana. Lalu siapa"
"Bagus Boang, kau memikirkan apa?" Ratna Permanasari menegur Bagus Boang yang berdiri tertegun.
Ditegur demikian, Bagus Boang tersadar dari lamunannya.
Dia meminta penjelasan, "Semalam, jam berapa engkau
datang kemari?"
"Setelah larut malam. Jadi kira-kira jam tiga," sahut Ratna Permanasari.
"Ah! Itulah waktu Paman Harya Sokadana dan ayahmu
mengadu ilmu kepandaian," kata Bagus Boang seperti kepada dirinya sendiri.
"Hai! Mengapa kau menyebut-nyebut ayahku?" Ratna
Permanasari heran. Mustahil ayahnya merusak kamar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
latihannya sendiri. Jika maksudnya hendak membebaskan
Suryakusumah, pastilah dia membuka pintu dengan wajar.
Apa perlu dengan merusak pintu segala" Masakan dia perlu
jeri terhadap Suryakusumah?"
"Memang benar. Justru itu anehnya"!"
Ratna Permanasari kini berganti berpikir keras. Pintu rusak bukan oleh tangan Harya Sokadana. Kalau begitu, pasti masih ada seorang lain yang dapat menandingi kesaktian ayahnya.
Siapakah orang itu" Menilik sepak terjangnya, ia sengaja
berbuat demikian sebagai suatu tantangan.
"Marilah kita lihat didalamnya," ajak Bagus Boang dengan suara cemas. "Entah apa yang terjadi pada diri
Suryakusumah... Suryakusumah! Suryakusumah! Kau
bagaimana?"
Tiada jawaban. Malahan tiada pula terdengar sesuatu.
Bagus Boang lantas saja menjadi gelisah. Hatinya cemas
bukan main. Apakah Suryakusumah terluka parah" Oleh
dugaan itu, tanpa merasa ia lari mendahului.
Tiba di dalamnya, ia berdiri tercengang. Gua itu ternyata
kosong melompong. Karena pintu runtuh, cahaya matahari
kini menerangi ruang dalam. Semuanya nampak jadi terang.
Suryakusumah benar-benar tidak ada di dalam gua.
Ratna Permanasari makin heran, la kaget juga. Katanya
perlahan, "Semalam dia berkata padaku: 'Siapa saja tak berhak membebaskannya.' Dia akan menerjang keluar sendiri
untuk membebaskan dirinya sendiri. Dia tak sudi menerima
belas kasih dari siapa pun juga. Ia rela terkubur di sini.
Apakah dia sanggup menerjang daun pintu dengan tenaga
sendiri. Kalau tidak.... lantas bagaimana?"
Bagus Boang menebak-nebak sambil melayangkan matanya
pada dinding gua. Pada dinding gua terdapat banyak lukisanlukisan seseorang sedang bersilat pedang. Ia memperhatikan.
Meskipun kini sudah mengantongi bagian kitab sakti Arya Wira
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanu Datar, namun tidak gampang ia mengerti dengan
Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera. "Ratna!" akhirnya ia berkata menegas. "Sebenarnya bagaimana caramu bisa bertemu berhadap-hadapan dengan
Suryakusumah dan apakah yang dikatakannya?"
Ratna Permanasari tidak segera menjawab. Setelah
berdiam sejenak, baru memberi penjelasan: "Aku dilahirkan dan dibesarkan di sini juga. Aku diasuh oleh tangan Ibu dan Ayah sendiri, kecuali mereka berdua, manusia yang kukenal
hanyalah para bujangku. Jarang sekali aku dibawa turun
gunung, sehingga aku tak memperoleh suatu pergaulan.
Sekarang kau muncul dengan tiba-tiba. Aneh perasaanku!
Begitu melihatmu, perasaanku begitu dekat. Aku seolah-olah
bagian hidupmu atau engkaulah kurasa bagian hidupku."
Setelah berkata demikian, kedua pipi Ratna Permanasari
bersemu dadu. "Benar, benar!" Bagus Boang membenarkan. "Aku pun begitu. Tatkala aku melihatmu untuk yang pertama kali
dahulu, entah apa sebabnya tiba-tiba aku merasakan dirimu
bukan orang asing lagi. Mengapa demikian?"
Kedua mata Ratna Permanasari bersinar jernih.
Mengalihkan pembicaraan, "Kemarin, tatkala aku memberi makan kuda putihmu, teringatlah aku kepadamu. Aku yakin,
kau tak kurang suatu apa. Tapi di mana tempatmu berada, tak berani aku menghampirimu. Suara hatiku hanya kukirimkan
lewat bujang-bujang pengantar makan. Karena pe-patt aku
lari mendaki, lalu asal menyanyi saja. Bersenandung asal
senandung saja."
"Ah ya, aku pun mendengar suaramu. Justru mendengar
suaramu, aku lantas datang kemari," tangkas Bagus Boang.
"Di antara suaraku, teringatlah aku pada tujuanmu kemari.
Engkau hendak membunuh ayahku. Hatiku lantas menjadi
tegang bercampur cemas. Bukan aku cemas Ayah bekal kena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kau bunuh. Tetapi sebaliknya. Sebab untuk dapat menandingi
ilmu kepandaian ayahku saja engkau membutuhkan waktu
penekunan sepuluh tahun lagi. Apalagi kalau sampai
berangan-angan hendak membunuhnya. Engkau akan
membutuhkan waktu sepuluh tahun lagi. Sebaliknya ayahku.
Dia seorang yang beradat panas, tinggi hati, cepat
tersinggung, cemburuan, cepat curiga dan tak pedulian.
Seumpama pada suatu kali engkau bertemu dengan ayahku,
tanpa aku berada di dekatnya, kau bisa dibunuhnya tanpa
berkedip. Kemudian aku cemas hati untuk diriku sendiri, kalau tadinya aku memuja Ayah sebagai seorang ksatria sejati, aku takut jangan-jangan ayahku bertabiat buruk.
Itulah kesan setelah aku mendengarkan pembicaraan
antara Suryakusumah dan ayahku dahulu. Benarkah Ayah
memaksa Ibu untuk menyerahkan dan kemudian
mengangkangi kitab ilmu pedang kakekku Syech Yusuf yang
sebenarnya harus diwarisi oleh Paman Ganis Wardhana dan
seterusnya akan menjadi hak waris anak murid atau Ketua
Himpunan Sangkuriang" Mengapa Ayah justru mengurung
Suryakusumah yang seharusnya dia minta maaf" Maaf Bagus
Boang, maaf! Ayah memperlakukan engkau kurang baik. Kau
diusir, disakiti dan disesah seperti burung pemangsa rumpun padi. Padahal engkaulah putra junjungannya dahulu. Aku
merasa malu, malu sekali. Aku merasakan dosa Ayah ini.
Karena itu aku bertekad hendak membuatmu senang dengan
apa saja yang kumiliki sebagai penebus dosa keluargaku
terhadap keluargamu. Aku pun bersedia untuk bersikap baik
terhadap siapa saja yang bersikap baik terhadapmu. Oleh
bunyi tekadku inilah, aku lantas teringat kepada
Suryakusumah..."
"Ah, begitukah alasanmu?" Hati Bagus Boang terharu.
"Bukankah Suryakusumah datang kemari semata-mata
untuk dirimu?" Ratna Permanasari meneruskan. "Dia bahkan bersedia menukar keselamatanmu dengan jiwanya sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak hanya itu saja. Dia rela mengorbankan kedudukannya.
Rela menyerahkan kitab ilmu pedang Syech Yusuf yang
dipandang Ayah sebagai jiwanya sendiri, asalkan saja engkau dibebaskan. Bukan main! Untuk kitab ilmu pedang itu, Ayah
tidak memperhatikan Ibu lagi. Artinya, kitab ilmu pedang itu jauh lebih berharga daripada ibuku yang merupakan bagian
hidup Ayah. Tapi pemuda itu, rela menyerahkan kitab tersebut demi kebebasanmu semata. Bukankah luar biasa" Sebaliknya,
akupun tahu bahwa engkau juga memikirkan kebebasan
Suryakusumah. Itulah sebabnya aku datang menemuinya,
menjenguknya dan hendak menolong membebaskannya"
"Suryakusumah adalah sahabatku satu-satunya yang
mengenal aku, " Bagus Boang mengakui. "Hanya saja perbuatannya yang mulia, belum juga dapat menebus hatiku
seperti yang kau lakukan terhadapku. Entah apa sebabnya."
Senang hati Ratna Permanasari mendengar pengakuan
Bagus Boang. Hatinya puas serta penuh syukur pula. Setelah
menghela napas, ia melanjutkan.
"Sebenarnya Ayah sayang padaku. Karena itu, mimpipun
aku pernah"bahwa mulai hari ini aku berada di seberang"
menyeberang dengari berhadap-hadapan. Demikianlah,
setelah mendengarkan pembicaraan Paman Harya Harya
Sokadana dan Ibu dengan selintasan, aku lantas teringat
kepada Suryakusumah. Kubuka gua ini dengan maksud
menolong membebaskannya. Sebenarnya aku takut padanya.
Sebab baik sikap maupun kata-katanya sangat galak dan
bengis. Tapi aku sudah mengambil sikap. Demi untukmu...
aku bersedia kena gaplokannya tanpa membalas."
"Ah, kau baik sekali...." Bagus Boang terharu. Makin lama makin berkesan padanya, bahwa hati gadis itu polos serta
tulus. Kebijaksanaan seperti ini, hanya ada pada hati ibunya.
Tetapi nyatanya, Ratna Permanasari memiliki sifat itu. Tak
mengherankan, hatinya tambah terkait.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tatkala untuk pertama kali bertemu, dia bersikap garang dan curiga kepadaku." Ratna Permanasari meneruskan
ceritanya. "Syukur, ia tak menyerang padaku."
"Tentu saja tidak," potong Bagus Boang. "Watak sahabatku itu memang aneh. Adatnya berangasan, tetapi dia tinggi hati.
Karena itu tak bakal ia memukul seorang gadis. Malahan ia
bersedia kena gaplokan seorang gadis bilamana perlu."
"Setelah dia mendengar alasanku datang padanya,
tubuhnya mendadak gemetaran dan kemudian menggigil. Dia
berkata bahwa sama sekali tak mengira aku sudi bersikap baik terhadapnya. Ia lantas tertawa senang. Tetapi setelah itu
menangis dengan tiba-tiba. Mungkin sekali karena rasa
terharu. Diluar dugaan, begitu berhenti menangis sekonyongkonyong mendamprat dan memaki-maki aku. Inilah aneh!
Aneh sekali tatkala dia menuduh aku akan merusak engkau
yang sudah mempunyai seorang kekasih."
Bagus Boang tersenyum. Katanya tenang,
"Kesalahpahaman itu sudah kujelaskan tadi. Apalagi katanya?"
"Mendengar engkau sudah mempunyai seorang kekasih,
hatiku pedih bercampur malu dan kecewa. Akupun harus
menyabarkan diri menerima caci makinya." Ratna Permanasari menghela napas. "Aku tetap baik terhadapnya. Aku berjanji padanya, hendak mencuri kitab ilmu pedang itu apabila dia
tetap menghendaki. Aku yakinkan padanya, bahwa dia dapat
membebaskan diri atas tanggunganku. Akupun memberi
penjelasan padanya, bahwa engkaupun sudah lolos dari
bahaya maut dan sebenarnya engkau tak pernah kena kurung
Ayah. Itulah sebabnya, tiada guna dia berada di dalam gua lagi.
Kuanjurkan agar dia kabur, sebelum Ayah menyadari. Aku
menjamin, bahwa kitab ilmu pedang itu akan dapat dibawanya
serta. Eh, tak kusangka, bahwa dia justru mendampratku
sekali lagi dan mencaci maki kalang kabut. Benar-benar aneh dan keras adatnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagus Boang tertawa menghibur. Katanya, "Watak
sahabatku itu memang aneh."
Ratna Permanasari meneruskan seperti minta
pertimbangan. "Dia bilang, kitab ilmu pedang itu adalah milik golongan Himpunan Sangkuriang. Perlu apa dia mencurinya" Dia
memang menghendaki kitab ilmu pedang tersebut tapi dengan
jalan yang benar. Dia ingin merebutnya kembali dengan
mengadu kepandaian. Kalau tidak mampu biarlah terkurung
selama hidup di dalam gua ini. Dia tak sudi kabur atau
mengharap-harap belas kasihan orang lain, kecuali dirinya
sendiri. Mendadak dia tertawa panjang sekali, kemudian
berkata: "Ayahmu bermaksud baik sekali. Aku dikurung di gua ini. Sebenarnya ini adalah kamar latihan rahasia ilmu sakti.
Itulah kebijaksanaan ayahmu untuk menolong mukaku.
Dengan kata lain, aku diberi kesempatan untuk mempelajari
ilmu pedang dari lukisan di tembok. Hm, aku datang kemari
untuk kitab ilmu pedang hak warisan Himpunan Sangkuriang.
Dan bukan datang kemari untuk mencuri rahasia ilmu pedang
ayahmu." "Benar-benar aku tak mengerti maksud sahabatmu itu.
Jalan pikirannya begitu aneh."
Bagus Boang merenung sejenak. Otaknya yang cerdas
segera mengetahui maksud sahabatnya itu. Katanya
menerangkan, "Kau lihatlah bentuk-bentuk lukisan di tembok.
Bukankah itu lukisan bagian kitab warisan Arya Wira Tanu
Datar seperti yang tertulis pula pada baju dalam yang
kaukirimkan kepadaku?"
"Ah ya... Mungkin itu benar," sahut Ratna Permanasari dengan suara perlahan. Aku baru belajar sepertiga bagian
lukisan di tembok itu. Setiap kali hafal, lantas kusulam pada baju dalam Ayah. Itulah baju dalam yang kukirimkan
kepadamu. Maksudku, engkaupun harus mengetahui. Lihatlah!
Sekarang tahulah aku, bahwa semua ilmu kepandaian Ayah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang bercampur baur dengan rahasia ilmu pedang kakek
Syech Yususf dilukis di sini. Bila seseorang dapat memahami lukisan itu, dia jauh lebih menang daripada hanya hafal pada bunyi bait-baitnya. Ah, sekarang tahulah aku apa sebab Ayah membiarkan aku mengirimkan baju dalamnya. Ayah yakin,
seumpama engkau hafalpun tiada banyak gunanya. Sebab
contoh geraknya tiada. Akupun tahu sekarang, apa sebab
sahabatmu Suryakusumah memilih terkurung di dalam gua ini
lebih lama lagi. Sebab itulah kesempatan baik baginya untuk dapat memahami ilmu pedang yang sudah jadi."
Bagus Boang tertawa perlahan. Katanya membantah,
"Kalau benar demikian, apa sebab dia menghilang dari gua ini" Apakah kau percaya bahwa dalam waktu yang sesingkat
ini dia sudah memahami ilmu rahasia ilmu pedang yang
terlukis pada tembok gua itu?"
"Ya, benar!" Ratna Permanasari tersadar.
Dia pun berkata, "Aku datang kemari untuk kitab ilmu
pedang hak warisan Himpunan Sangkuriang. Dan bukan
datang kemari untuk mencuri rahasia ilmu pedang ayahmu.
Ah, benar-benar sukar ditebak maksudnya."
"Jujur saja, akupun tak mengerti maksudnya." Bagus Boang mengernyitkan dahi.
"Apakah ucapannya hanya berpura-pura saja?"
"Berpura-pura?" Bagus Boang mengulang. Ia
menggelengkan kepalanya, seraya berkata meyakinkan, "Aku kenal watak sahabatku. Sekali berkata demikian, dia tak bakal mengkhianati kata-katanya sendiri."
Tapi justru ia meyakinkan demikian, pikirannya jadi ruwet.
Dia mencoba menduga maksud yang terkandung dalam hati
Suryakusumah. Sekian lamanya ia berpikir keras masih saj tak mampu menebak. Akhirnya ia menghela napas dengan hati
masgul. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudahlah... dia sudah pergi... mari kita pulang!" Ratna Permanasari.
Dengan kepala kosong, Bagus Boang memutar tubuhnya
dan menerima ajakan Ratna Permanasari. Sampai di halaman
rumah, mereka menjadi prihatin. Petamanan yang dahulu
nampak indah dan semarak, kini nampak porak poranda dan
berantakan. Keindahannya lenyap. Sekarang semuanya berbalik menjadi
serba menyedihkan dan memilukan. Apalagi rumah besar itu
kini tidak berpenghuni. Kesenyapannya merasuk hati. Maka
terasalah dalam hati mereka, alangkah mudah merusak suatu
bangunan. "Kau pinjami aku pacul untuk Paman Harya Sokadana,"
kata Bagus Boang dengan suara setengah berbisik.
Ratna Permanasari masuk ke dalam rumah mencarikan alat
penggali yang dimintanya. Ia datang kembali dengan
membawa pacul. Katanya, "Kau terpaksa harus bekerja
sendiri. Sekalian bujang ternyata sudah kabur semua. Kalau
Ayah sedang kesetanan itu bahaya bagi mereka."
Bagus Boang mengerti, hati gadis itu penuh sesal terhadap
perangai ayahnya yang dahulu dipujanya. Segera ia menggali
sebuah lubang besar di bawah sebuah bukit yang letaknya di
timur laut. Kemudian mendukung tubuh Harya Sokadana yang
kini telah terbebas dari racun jahat.
la menguburnya seorang diri. Tanpa upacara, tanpa doa,
tanpa kembang. Setelah menimbuni, dengan hati terharu ia
mencari daun-daun hijau dan kembang pegunungan, la
menaburi dengan hati berduka. Beginilah akhir hidup seorang yang gagah perkasa yang dahulu pernah menyumbangkan
tenaga untuk cita-cita bangsa dan negara.
Selagi bermenung-menung, Ratna Permanasari datang
dengan berlarian. Wajahnya nampak pucat dan bernapas
sesak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa?" tegurnya.
"Kau bersembunyilah dahulu jauh-jauh! Bawalah kudamu.
Aku memperoleh kabar dari seorang bujang, bahwa Ayah akan
segera datang. Entah apa sebabnya, dia balik kembali," sahut Ratna Permanasari dengan berduka.
Pemuda itu terperanjat. Hendak ia membuka mulut tetapi
Ratna Permanasari sudah balik ke rumah dengan berlarilarian. Menyaksikan hal itu, berpikirlah dia: "Ratna jauh mengenal ayahnya daripada aku. Aku bukannya takut
kepadanya. Tapi kalau sampai berlawan-lawanan lagi, rasanya akan menambah kedukaannya. Biarlah aku bersembunyi
dahulu untuk melegakan hatinya."
Cepat ia berlarian ke kandang dan mengeluarkan kuda
putihnya. Kemudian dibawanya mendaki ke atas gunung.
Sudah barang tentu ia tak mempunyai arah tujuan. Dalam
hati, alangkah sakit.
-ooo00dw00ooo- Waktu Ratna Permanasari berhadapan dengan ayahnya,
matahari di luar masih bersinar lembut. Itulah cahaya
matahari di atas gunung. Padahal siang hari penuh telah
terlampaui. Wajah Harya Udaya nampak bermuram duka. la seperti
sepuluh tahun lebih tua daripada kemarin. Setelah menatap
paras muka Ratna Permanasari sekian lamanya, akhirnya ia
menghela napas. Kemudian berkata seperti kepada dirinya
sendiri, "Di dalam hidupku ini, hanyalah engkau yang
menempati hatiku. Untukmu, aku bersedia berkorban apa
saja." "Aku tahu, Ayah," sahut Ratna Permanasari pendek.
"Ibumu telah pergi. Selama belasan tahun ini, ibumu
memang berduka, sedih dan pedih. Tetapi akupun masakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak pernah menderita kesedihan demikian pula" Tadi aku
sudah meninggalkan gunung. Mendadak teringatlah aku
kepadamu. Aku belum berbicara kepadamu. Setelah aku
berbicara, aku tak peduli lagi. Apakah kau masih mengakui
aku sebagai ayahmu atau tidak."
Ratna Permanasari yang semenjak tadi menundukkan
muka, mengangkat kepalanya. Dengan menguasai diri, ia
berkata: "Ayah, kau berbicaralah! Aku tetap bersedia mendengarkan dengan baik."
Harya Udaya menarik napas lagi. Amat berat nampaknya.
Kemudian barulah dia berkata, "Selama beberapa bulan ini, engkau telah melihat dan mendengar sesuatu yang
membangunkan pikiranmu. Ibumu, Bagus Boang dan
Suryakusumah. Mereka bertiga pastilah sudah membicarakan
sesuatu tentang diriku. Benar atau salah, aku tak
memedulikan. Tetapi engkau lantas menjadi berduka dan
menyesali ayahmu."
"Bagus Boang tak pernah membicarakan engkau Ayah,"
potong Ratna Permanasari.
Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu apa yang mereka bicarakan tentang diriku,"
Harya Udaya tak memedulikan sanggahannya. "Benarkah
demikian" Hm, tadi sudah kukatakan aku tak peduli. Memang
aku telah mengakali ibumu agar menghafalkan bagian kitab
warisan Arya Wira Tanu Datar. Memang aku telah membawabawa pedang Sangga Buwana milik ibumu turun temurun.
Sekian tahun lamanya aku memperlakukan ibumu dengan hati
dingin. Itu benar. Dan mereka menyesali aku. Dan mereka
mencela aku. Dan aku tidak akan gusar."
Kemudian tangan Ratna Permanasari gemetaran. Ia
menundukkan pandang. Ingin ia menutupi mukanya dengan
kedua belah tangannya. Berkata menegas, "Kenapa Ayah
memperlakukan Ibu begitu" Aku mendengar, Ibu telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengorbankan apa saja demi mengabdi kepada Ayah. Untuk
Ayah, Ibu mempersembahkan kitab ilmu pedang Kakek Syech
Yusuf. Untuk Ayah, Ibu meninggalkan kedudukannya. Untuk
Ayah, Ibu menyerahkan pedang Sangga Bhuwana. Untuk
Ayah, Ibu mencuri bunyi kitab warisan Arya Wira Tanu Datar.
Apakah pengorbanan Ibu belum cukup?"
"Benar. Memang aku kurang pantas memperlakukan ibumu
begitu rupa," Harya Udaya mengakui. "Demi memperoleh kitab warisan itulah aku mendekati ibumu dan akhirnya
meracuni dengan obat-obat tertentu. Sedangkan obat
pemunahnya ada padaku. Ratna, biarlah aku mengakui di
hadapanmu. Seumpama engkau tidak dilahirkan di dunia, aku
akan membiarkan ibumu hidup tanpa obat pemunah.
Bukankah kitab yang kukehendaki sudah berada di dalam
tanganku?"
Mendengar pengakuan ayahnya, Ratna Permanasari
memekik. Hatinya tergetar sampai mundur dua langkah. Tak
pernah ia bermimpi bahwa ayahnya memang jahat seperti
pembicaraan orang yang pernah didengarnya. Tak pernah ia
menyangka, bahwa ayahnya berani mengakui di hadapannya.
Ia jadi bingung memikirkan ayahnya yang sebenarnya masih
disayangi. "Ratna! Kau heran mengapa aku mendadak mengaku dosa
di hadapanmu," kata Harya Udaya dengan suara sabar
berbareng berduka. "Itu karena aku tak memikirkan hari depanku lagi. Anakku, engkau seorang insan yang suci bersih, halus budi seperti ibumu. Sebaliknya engkau tak dapat
memarkan suatu kesalahan sedikit saja. Kalau kelak engkau
sudah mempunyai pengalaman hidup, sebenarnya sepak
terjang ayahmu ini tidaklah seberapa jahat. Sebab betapapun juga, semuanya ini kulakukan demi mengangkat nama anak
keturunanku."
"Ketamakan begini ini?" suara Ratna Permanasari sengit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harya Udaya menghela napas. Sahutnya, "Berapa banyak
pasangan suami isteri yang bubar di tengah jalan meskipun
sudah beranak banyak. Berapa banyak sepasang suami isteri
saling membunuh meskipun sudah beranak banyak. Tetapi
lihatlah anakku! Aku tidak meninggalkan ibumu. Akupun tidak membunuhnya. Ah, anakku. Kelak sajalah, bilamana engkau
sudah banyak melihat dunia, kau bakal bisa memaafkan
aku...." "Tidak! Ayah memperlakukan Ibu kurang pantas. Demi
mencapai idaman hati, Ayah sampai hati menari di atas
penderitaan Ibu. Itu bukan suatu kesalahan sedikit Ayah."
Ratna Permanasari memotong dengan suara sengit.
Harya Udaya tertawa menyeringai. Hatinya pedih karena
tak berhasil membuat anaknya mengerti. Masih ia mencoba,
"Selama hidupku, entah sudah berapa kali aku melakukan kesalahan.Ya, dimanakah manusia yang pernah hidup tidak
pernah bersalah" Tetapi mereka semua menimpakan tiap-tiap
kesalahan di atas pundakku, seolah-olah mereka insan yang
bebas dari tiap butir kesalahan. Tetapi seumpama hal itu
benar dan dibenarkan juga bukan merupakan apa-apa bagiku.
Sebab yang menjadi saksi dan yang mengetahui apa yang ada
di dalam hatiku hanyalah hidupku sendiri. Sebaliknya aku akan tersiksa, manakala aku melakukan suatu kesalahan di luar
pengetahuan manusia. Ya anakku, bila engkau pernah
melakukan suatu kesalahan yang hanya kauketahui sendiri, itu sebenarnya suatu siksa luar biasa, sebab tiada seorang -pun bakal menegurmu. Sebaliknya engkau akan disiksa oleh
perasaanmu sendiri, itulah suatu neraka yang sebenarnya.
Inilah hukuman hidup yng paling kejam dan mengerikan.
Itulah sebabnya aku sengaja balik pulang untuk membuat
pengakuan di hadapanmu. Agar engkau menegurku. Agar
engkau menyesaliku. Dengan begitu anakku, aku akan
terbebas dari siksa hidupku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Inilah suatu alasan yang sama sekali tak terduga. Suatu
pernyataan yang mengejutkan, suatu pengakuan yang
menggetarkan hati. Pengakuan dari seorang jago yang paling
perkasa. "Ah, itu alasannya Ayah balik pulang ber-keputusan hendak meninggalkan rumah?" Ratna Permanasari terbelalak.
Kemudian menyesali, "Kalau begitu, semua yang Ayah lakukan adalah untuk kepentingan diri Ayah sendiri."
"Benar, anakku. Manusia hidup dan mati dengan dirinya
sendiri. Manusia berbahagia atau menderita dengan dirinya
sendiri. Tiap insan bukankah berhak berjuang untuk
menempatkan dirinya sendiri dalam percaturan hidup?" sahut Harya Udaya dengan suara tegas, namun wajahnya nampak
berduka. Memang menyedihkan dan mengejutkan keadaan Harya
Udaya pada saat itu. Dia seorang jago. Seorang pendekar
nomor satu di kolong langit. Tapi pada saat itu, ia bersedia merendahkan diri, tak ubah seorang pesakitan yang mengakui
kesalahannya di depan hakim.
Wajahnya berubah-ubah. Kadang pucat, kadang merah
padam, kadang kuyu, kadang matang biru. Itulah tanda dari
suatu pergolakan hati.
Ratna Permanasari tidak terbebas dari pengaruh sikap
ayahnya. Hatinya tergoncang. Perasaannya menyakiti.
Akhirnya merasa ketakutan dan iba terhadap ayahnya. Keduaduanya mengalami pergolakan hati yang dahsyat.
"Ayah, kau berbicaralah. Kesalahan apa saja yang pernah kaulakukan, Ratna Permanasari tetap anakmu juga," kata Ratna Permanasari dengan suara bergetar.
Harya Udaya mengerutkan alisnya.
-ooo00dw00ooo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
9 DI DUNIA MASIH ADA ORANG
RATNA PERMANASARI mengharap ayahnya berbicara yang
lebih banyak lagi. Entah apa sebabnya, ia seakan-akan mulai mengerti. Tiba-tiba ayahnya mengangkat mukanya.
"Nanti dahulu, Ratna. Kita diganggu. Siapa ini yang datang begini berbondongan!"
Ratna Permanasari ikut memasang telinganya.
Pendengarannya tentu tidaklah setajam ayahnya. Tetapi
beberapa saat kemudian, samar-samar ia mendengar langkah
beberapa orang.
"Ratna! Kau diamlah di sini. Jangan kau keluar. Biarlah kutemui sendiri," kata Harya Udaya. la nampak gelisah. Lebih gelisah tatkala rumahnya dikunjungi Harya Sokadana.
Ratna Permanasari melepaskan pandang lewat jendela, la
melihat lima orang datang berbaris memasuki pekarangan
rumah. Satu diantaranya mengenakan pakaian jubah. Yang
satu berperawakan gendut. Yang satu lagi tinggi jangkung.
Dan yang dua lainnya, bertubuh tegap. Mereka berdua ini
kesannya seperti seorang petani dusun. Lengan mereka besar
dan kaku. Ototnya menonjol keluar.
Melihat mereka Harya Udaya tertawa terbahak-bahak,
sambutnya: "Ah! Bukankah ini rekan-rekan lama" Suriadimeja, Hasanuddin, Jayapuspita, Galuh Waringin dan kau, Suria
Manggala. Sungguh suatu kehormatan besar bagiku. Ini
namanya rumahku sedang kejatuhan bulan!"
Ratna Permanasari terkejut. Ia pernah mendengar namanama mereka lewat mulut ibunya. Mereka lima orang sakti
pembantu Pangeran Purbaya pada zaman dahulu yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
namanya tenar dan disegani orang. Ilmu kepandaian mereka
per orang sudah tinggi. Jarang orang bisa menandingi.
Hebatnya lagi, dalam keadaan terpaksa mereka lantas
bergabung. Ini yang dinamakan ilmu sakti Jalasutra. Betapa
tangguh seorang musuh, namun menghadapi ilmu Jalasutra
pasti lumpuh tak bertenaga. Karena itu, jarang sekali orang berani main coba-coba terhadap mereka. Sekarang mereka
berlima datang dengan berbareng mengunjungi rumah Harya
Udaya. Itu diluar suatu kebiasaan.
"Sekiranya tiada urusan yang mendesak, kami tak
berkunjung kemari," sahut Suriamanggala. "Hari ini kami datang untuk menjemput seseorang."
Singkat cara berbicara Suriamanggala dan langsung
menuju pada pokok persoalan. Ini mengesankan, bahwa ia
sangat percaya pada kemampuannya sendiri.
Harya Udaya tahu, siapakah yang dimaksudkan. Itulah
Bagus Boang. Untung mereka tiba pada hari ini. Coba mereka
datang sehari dua hari setelah mengusir Bagus Boang, ia akan menganggap mereka sengaja datang untuk memusuhinya.
Sekarang, ia sudah memperoleh pengalaman pahit dan tahu
pula siapakah sebenarnya Bagus Boang. Maka ia bisa
mengendalikan diri.
"Kamu akan menjemput seseorang. Ah, mudah saja.
Silakan masuk dahulu minum teh pegunungan," katanya.
Kata-kata Harya Udaya ini diluar dugaan mereka berlima.
Tadinya mereka mengira, akan segera terjadi suatu
pertarungan begitu menyebutkan alasan kedatangannya. Tak
tahunya, ia menerima permintaannya dengan baik.
"Dimanakah sebenarnya Ratu Bagus Boang?" Tanya yang berjubah. Dialah Galuh Waringin. "Kau apakan ahli waris Kerajaan Banten itu?"
Hasanuddin sebaliknya seorang yang beradat panas. Tanpa
menunggu jawaban Harya Udaya terlebih dahulu, ia lantas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menimpali: "Kau tadi bilang mudah saja. Hah, kau antarkan dia kemari. Siapa punya waktu untuk minum teh segala?"
Mendengar ucapan Hasanuddin, wajah Harya Udaya yang
tadinya kelihatan terang mendadak berubah menjadi buram.
Akan tetapi masih bisa ia mengendalikan diri. Dengan
mendongak ke atas, ia tertawa besar.
"Sebenarnya kalian salah kalau hanya menyebut seorang.
Mestinya dua orang. Dialah Suryakusumah ahli waris
Himpunan Sangkuriang. Dia pun kukurung di sini. Bila kalian tak ada waktu lagi untuk minum teh, mari, mari kuantarkan
menjemput ahli waris Kerajaan Banten dan ahli waris
Himpunan Sangkuriang itu."
"Ayah!" tiba-tiba terdengar Ratna berseru dari balik jendela.
Ia tahu, ayahnya bakal menumpuk udara kosong begitu
melihat gua kurungan Suryakusumah. Sebab Suryakusumah
tak ada lagi dan pintu guanya telah runtuh berantakan pula.
Itulah sebabnya, ia hendak melompat keluar untuk
memberitahukan keadaan. Mendadak ayahnya mencegah.
"Ratna! Kau diamlah saja di sini. Ayahmu hendak
menyelesaikan urusan ini seorang diri. Bagus Boang bukankah berada di gua si sinting Pancapana itu" Mereka berlima sudah mendahului berjalan. Sedang Harya Udaya segera mengikuti.
Malahan beberapa saat kemudian, mereka berenam berlari-lari kencang seakan-akan sedang mengadu ilmu berlari.
Ratna Permanasari melompat keluar jendela dan lari
menyusul. Begitu habis melewati tikungan, ia melihat mereka berdiri di depan gua dengan tegang. Ayahnya nampaknya
gusar dan keget sekali. Setelah memasuki gua, ayahnya keluar lagi dengan muka merah padam. Dengan suara gemetar ia
menuding mereka berlima lalu membentak.
"Tak kukira, kalian pandai main sandiwara. Kamu sudah
bekerja sama merusak pintu gua ini. Lalu datang menemui
untuk minta orang. Apa maksud kalian?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hasanuddin yang beradat panas tadi, cepat saja gusar
begitu mendengar tuduhan Harya Udaya. Membentak pula,
"Kau seorang yang termasyur. Mengapa main gila di hadapan kami?"
"Disinilah engkau menahan ahli waris Kerajaan Banten,"
seru Suriamanggala dengan suara keras."Benarkah kau telah menganiayanya" Hayo, bilang terus terang!"
Harya Udaya tertawa dingin. Dia seorang pendekar yang
besar kepala. Tadinya ia hendak menerangkan bahwa gua ini
adalah tempat kurungan Suryakusumah. Mamanya saja
kurungan. Tapi sebenarnya ia sengaja mewariskan ilmu
kepandaiannya sebagai penebus dosa merampas kitab ilmu
pedang Syech Yusuf. Tapi begitu ia dituduh menganiaya dan
mengurung Bagus Boang, timbullah rasa harga diri dan
angkuhnya. Lantas menjawab pendek, "Kalau benar
bagaimana?"
Hasanuddin seorang pendekar beradat berangasan. Terus
saja ia melesat menghantam dengan pukulan berat. Arah
bidikannya adalah tulang dada. Ini serangan berbahaya dan
ganas. Barangsiapa kena hantaman itu, pasti akan roboh dan
menderita cacat seumur hidupnya.
Harya Udaya jadi mendongkol. Tak dapat lagi ia menguasai
dirinya lagi. Tanpa segan-segan lagi, ia menangkis dan
mendorong berbarengan. Dan kena tangkisan itu, Hasanuddin
mundur terhuyung beberapa langkah.
"Jikalau kedatangan kalian di sini sebenarnya hendak
menguji diriku, marilah kita mencari tempat yang agak luas.
Siapa yang mampus, biarlah cukup terang. Di depan gua ini
kalian bakal merusak kamar latih-anku."
Galuh Waringin yang berpakaian jubah, ternyata seorang
yang sabar. Seperti seorang Kiai menasehati santrinya, ia
berkata: "Kamu berdua mundurlah beberapa langkah. Mari kita bicara yang baik-baik. Nyatanya, kami ini bukan golongan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
manusia yang tak tahu aturan. Benar atau salah, mari kita
buktikan dahulu."
Galuh Waringin menggunakan istilah kami dan kita.
Sebenarnya ia menyerang Harya Udaya berbareng melindungi
kawan sendiri. Sudah barang tentu, Harya Udaya yang yakin
merekalah yang merusak guanya, tambah dongkol. Tapi
karena memegang derajat ia berlaku sabar. Ia kenal benar
kepandaian mereka berlima. Selamanya belum pernah
dikalahkan orang. Karena itu, ia menyangsikan kemampuan
diri sendiri. Maklumlah, ilmu warisan Arya Wira Tanu Datar
yang digabungkan dengan kitab ilmu pedang Syech Yusuf
belum pernah dicoba menghadapi lawan-lawan tangguh
lainnya. Namun oleh rasa mendongkol ia mengambil
keputusan tidak usah takut lagi. Keputusan itu membuat
hatinya menjadi mantap.
Suriamanggala segera memeriksa gua yang terusak
pintunya. Setelah memeriksa beberapa saat lamanya, ia lantas berkata dengan suara tenang meyakinkan.
"Kau menuduh kami berlima merusak pintu gua ini.
Saudara Harya Udaya adalah seorang pendekar kenamaan. Di
dalam pemerintahan dahulu menduduki tempat tinggi. Pastilah tidak bakal menuduh orang dengan sembarangan. Memang
kami berlima sedikit mempunyai tenaga. Lihatlah sendiri
dengan seksama. Bukankah perusakan pintu ini dilakukan oleh tangan satu orang" Kenapa kau menuduh kami berlima?"
Harya Udaya tercekat. Ia lantas memeriksanya. Benar,
kalau kena hajar tenaga gabungan lima orang pastilah tidak
demikian rusaknya. Tadi, ia menduga perbuatan Harya
Sokadana. Tetapi pendekar itu sudah mati di tangannya. Siapa lagi yang memiliki tenaga sakti sebesar Harya Sokadana kalau tidak mereka berlima" Betapapun juga, ia sudah telanjur
kelepasan bicara. Maka ia harus berani menarik tuduhannya.
Katanya dengan rendah hati, "Ya benar, aku salah melihat.
Kalau begitu pastilah perbuatan Surayakusumah."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh, bisa saja kau mencari kambing hitam!" gerendeng Suriadimeja. "Pintu gua ini terang kau sendiri yang
menggempurnya. Setelah menuduh kami berlima, mengapa
kau mendadak mencari korban baru" Sebenarnya apa
maksudmu?"
"Kalau orang hendak menggebuk anjing. Sudahlah!" Galuh Waringin mencegah rekan-rekannya. "Sekarang, berilah kami penjelasan apa sebab engkau menyebut-nyebut nama
Suryakusumah. Apakah dia pun memiliki tenaga sakti sebesar
tenaga saktimu?"
Dengan berdiam diri, Harya Udaya memasuki ruang gua.
Sambil menunjuk dinding gua, dia berkata nyaring: "Lihatlah dengan seksama! Itu lukisan rahasia ilmu kepandaianku. Dia
Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kukurung di sini, mustahil kalian tak mengerti maksudku.
Karena itu untuk memiliki tenaga sakti supaya bisa
menggempur pintu gua dari dalam tidaklah mustahil lagi."
"Eh, enak saja kau bicara," potong Hasanuddin sengit. "Itu kata-katamu sendiri. Siapa yang mengetahui maksudmu yang
sebenarnya!"
"Benar," sambung Suriamanggala. "Dia mengurung orang atau tidak, bukanlah urusan kita. Hai, Harya Udaya, kau
bicaralah terus terang. Dimanakah kini Bagus Boang" Apakah
kau kurung juga?"
"Benar dan tidak," sahut Harya Udaya dengan dingin.
"Benar dan tidak bagaimana?" bentak si berangasan Hasanuddin.
"Dia sendiri tidak ada di dalam gua ini. Dan tiada niatku hendak membunuhnya. Kalau berniat membunuhnya, apa
perlu banyak cincong. Kulontarkan saja dia ke dalam jurang, apakah bukan bakal menjadi mangsanya binatang buas?"
Alasan ini masuk akal. Memang untuk membunuh Bagus
Boang atau Suryakusumah gampangnya seperti membalik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
telapak tangan sendiri. Tak perlu bersusah susah
menggempur daun pintu gua segala. Tetapi kecuali Harya
Udaya, siapa lagi yang dapat menggempur pintu gua seorang
diri" Tiba-tiba terdengarlah suara merdu menengahi
pembicaraan. "Benar. Ayahku tiada niat hendak membunuh
Suryakusumah atau Bagus Boang." Dialah Ratna Permanasari yang memunculkan diri setelah mendengar pembicaraan
sekian lamanya.
"Ah! Kaukah puteri Harya Udaya?" Galuh Waringin
menegas. "Benar."
"Apakah kau hendak menjadi saksi di pihak ayahmu?"
"Benar."
Mendadak si berangasan Hasanuddin berteriak nyaring.
"Kacang panjang masakan meninggalkan pagar rambatnya. Air bubungan jatuhnya bukanlah ke pelimbahan."
Ini suatu ejekan tajam. Maksudnya, watak ayahnya pastilah
diwarisi anaknya. Dan mendengar ejekan itu, habislah sudah
kesabaran Harya Udaya. Jelaslah mereka tak mau percaya lagi kepada siapa saja yang berada di pihaknya. Kalau begitu, apa perlu berbicara lagi.
Hatinya dongkol bercampur gusar. Tak apalah, kalau
mereka tidak-percaya kepadanya. Tetapi terhadap puterinya
yang bersih putih, itu keterlaluan. Tiba-tiba saja, ia melesat keluar gua sambil menghajar sebuah batu besar. Dan kena
hajarannya batu itu rontok berguguran.
Kelima pendekar itu terperanjat menyaksikan tenaga Harya
Udaya. Segera mereka mengambil sikap bersiaga menghadapi
suatu kemungkinan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh, perlu apa kau gusar tak keruan?" ejek Suriamanggala.
"Kau memaksakan penjelasanmu kepada kami agar kami
menerima. Setelah tak berhasil, kau menjadi malu dan gusar.
Bukankah begitu?"
"Hm," Harya Udaya menggeram. "Untuk berbicara dengan pantas, aku harus melihat pihak yang akan kuajak berbicara
terlebih dahulu. Sayang, kalian benar-benar manusia yang
tidak bisa diajak berbicara lagi." Ia berhenti di sini dan tertawa dingin. Meneruskan, "Kalian bilang, aku memaksakan suatu keterangan dusta" Baik. Baiklah. Harya Udaya berkata satu,
pastilah satu. Dua, pastilah dua. Kalian tak percaya, apa
peduliku" Suryakusumah seorang anak kemarin sore, tapi di
depanku berlagak seperti orang dewasa. Pantaskah dia
berbuat begitu" Bagus Boang seorang pangeran bekas junjunganku, masakan aku akan menganiayanya" Dia terluka
parah di sini. Anakku merawatnya dengan baik-baik, apakah
itu suatu maksud yang kotor" Baiklah kalian tidak akan
mendengar penjelasanku. Sekarang kalian mau apa" Aku,
Harya Udaya masakan bisa kalian gertak" Jangan bermimpi!"
LIMA TOKOH SAKTI BEKAS PANGLIMA PANGERAN
PURBAYA saling pandang. Mereka saling pandang. Mereka jadi
bimbang. Benarkah semua yang diucapkan Harya Udaya"
Galuh Waringin yang mengenakan jubah bisa menghargai
diri sendiri. Meskipun kata-kata Harya Udaya keras, tetapi
pasti mempunyai alasan. Maka ia berkata dengan sabar.
"Suryakusumah memang calon ahli waris Himpunan
Sangkuriang. Malam-malam ia datang kemari, pasti pula ada
alasannya. Menurut saudara, dia bersikap kurang ajar
terhadapmu. Apakah bukan lantaran dirimu" Kau mencuri
kitab ilmu pedang Syech Yusuf yang merupakan benda
warisan Himpunan Sangkuriang. Lantas dia datang untuk
minta kembali. Mengapa saudara berkata, dia berlagak kurang pantas"!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paras muka Harya Udaya berubah. Sahutnya, "Di depanku
dia berani berdusta. Dia bilang dia diutus gunanya. Malahan dia bilang pula, gurunya menanyakan kesehatanku. Bukankah
ini keterlaluan" Siapa yang tak tahu bahwa Ganis Wardhana
sudah meninggal beberapa bulan yang lalu" Terhadap orang
yang dapat berbicara demikian, pantaskah aku
mempercayainya" Inilah yang kukatakan, dia berlagak kurang
pantas. Sekalipun demikian, melihat bakatnya yang bagus, aku tidak membunuhnya. Tetapi kukurung di dalam kamar
latihanku. Kalian mesti mengerti apa maksudku."
Memang Suryakusumah berkata, bahwa dia datang
mendaki Gunung Patuha lantaran diutus gurunya. Dia
mengesankan kepada Harya Udaya pula, bahwa perkara kitab
ilmu pedang Syech Yusuf tiada seorangpun yang diajaknya
berbicara. Tetapi ia menulis sepucuk surat wasiat di dalam
kamarnya dan dititipkan kepada Suriamanggala. Pesannya,
surat itu baru boleh dibuka setelah satu tahun berselang.
Sebenarnya ini alasan Harya Udaya yang dipaksakan. Tentu
saja mereka berlima tidak dapat mengemukakan buktinya.
Suriamanggala lalu melirik kepada Galuh Waringin yang tak
dapat menjawab alasan Harya Udaya. Sekonyong-konyong si
berangasan Hasanuddin berkata dengan nyaring, "Tentu saja kami tidak dapat memperlihatkan buktinya, karena Syech
Yusuf tidak sempat menulis. Kau tahu sendiri, di jagad ini
kesaktian Syech Yusuf tiada tandingnya. Kami berlima adalah muridnya. Kaupun pernah pula menerima petunjuk-petunjuknya.
Pada suatu malam, tatkala kau datang di rumah
perguruannya, apa sebab Syech Yusuf tiba-tiba larut tenaga
saktinya. Kemudian... kemudian satu peleton Kompeni Belanda datang dengan mendadak dan berhasil menawannya.
Mengapa bisa terjadi secara kebetulan"
Kau menuduh Suryakusumah melakukan tipu muslihat
dengan diam-diam mengundang kami untuk datang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengeroyokmu. Eh, jangan-jangan tuduhan ini berdasarkan
pengalamanmu sendiri. Di seluruh dunia ini siapa yang tak
kenal pengkhianatanmu" Bukankah Syech Yusuf kena
tangkap, lantaran tipu muslihatmu juga?"
Mendengar kata-kata Hasanuddin, hati Ratna Permanasari
tergetar sampai parasnya berubah. Benarkah tuduhan ini"
Benarkah ayahnya melarutkan tenaga sakti Syech Yusuf
dengan semacam obat pelarut" Benarkah ayahnya dengan
diam-diam mengundang satu peleton Kompeni Belanda selagi
ia mengadakan kunjungan" Ayahnya tadi berkata, bahwa ia
pernah berbuat sesuatu tanpa diketahui seorangpun. Kata
gadis itu di dalam hatinya, apakah ini yang dimaksudkan Ayah, bahwa seumur hidupnya ia akan digugat rasa penyesalan
karena pernah melakukan suatu kesalahan besar" Jikalau
Ayah benar-benar yang membuat Kakek Syech Yusuf
tertangkap Belanda, mustahil Ibu sudi mendampinginya
sampai hari ini. Ah, Ayah! Benarkah engkau seorang
pengkhianat besar?"
Harya Udaya menegakkan kepalanya. Paras mukanya
menjadi guram. Matanya lantas memancarkan sinar ancaman.
Mendadak saja ia mendongak dan tertawa panjang.
Lima tokoh sakti itu, memang murid Syech Yusuf. Tatkala
Harya Udaya berkunjung ke rumah perguruan, merekapun
berada pula di situ. Untuk menghormati kedatangan Harya
Udaya, Syech Yusuf mengadakan satu pesta. Pada larut
malam, para murid mengundurkan diri. Yang berada di dekat
Syech Yusuf tinggal Hasanuddin dan Harya Udaya. Selagi
Syech Yusuf memberi petunjuk-petunjuk ilmu sakti kepada
Harya Udaya, Hasanuddin menyingkirkan diri di belakang
pintu. Tiba-tiba terjadi suatu kekacauan, outu peleton Belanda menyerbu dengan mendadak. Buru-buru Hasanuddin masuk
ke kamar tamu hendak melapor kepada Syech Yusuf. Tepat di
ambang pintu ia berpapasan dengan Harya Udaya yang lari
keluar sambil menghunus pedangnya. Pada saat itu, ia melihat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Syech Yusuf roboh terkulai. Itulah sebabnya, tuduhan
Hasanuddin beralasan kuat.
Dalam pada itu, mendengar ayahnya tertawa panjang, hati
Ratna Permanasari memukul hebat. Dengan pandang penuh
kecemasan, ia mengawaskan wajah ayahnya.
"Baik, baik, baik..." seru Harya Udaya dengan suara menggeledek. "Tuduhanmu memang beralasan. Memang,
Harya Udaya seringkali melakukan banyak kesalahan. Bukan
hanya sekali saja. Tetapi apa yang kautuduhkan itu, hanyalah suatu tuduhan belaka! Hai, kamu berlima! Hari ini kamu
berlima datang hendak menegur aku. Untuk menyenangkan
hati kalian, aku tidak membantah atau membenarkan.
Sebenarnya kalian mau apa?"
Goncang hati Ratna Permanasari. Tak terasa ia mundur
beberapa langkah. Katakata ayahnya seolah-olah
menunjukkan dirinya, bahwa tuduhan Hasanuddin adalah
suatu fitnah. Tapi mengapa ayahnya tak mau membantah
dengan tegas"
Melihat sikap ayahnya yang gagah, hatinya terhibur. Sikap
demikian menunjukkan sikap seseorang yang tidak bersalah.
Sekalipun demikian, ia ragu-ragu. Benarkah ayahnya yang
mengkhianati Syech Yusuf" Atau tidak"
Hasanuddin tertawa dingin. Sahutnya, "Di dunia, manakah ada maling yang berbicara dengan terus terang" Apalagi
Harya Udaya yang selain hebat ilmu pedangnya, hebat pula
permainan lidahnya. Hm, kau menuduh aku membuat fitnah"
Akulah saksinya, tatkala kau lari ke pintu dan sempat pula aku menyaksikan robohnya guruku. Mataku melihat sendiri.
Apakah ini fitnah" Kalau bukan engkau yang berbuat, siapa
lagi" Apakah iblis" Di dalam kamar tamu bukankah hanya ada
engkau seorang?"
Harya Udaya menegakkan tengkuknya. Paras mukanya
diangkatnya. Sikapnya lantas menjadi angkuh. Katanya, "Aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkhianat atau tidak, hanyalah aku sendiri yang tahu. Sudah kukatakan, aku tidak sudi membantah atau membenarkan.
Mengapa engkau masih mengumbar mulut. Aku jadi bosan!
Karena itu... maaf, terpaksalah aku menahan kamu berlima di sini!"
"Kau bilang apa?" mereka berlima berteriak.
"Aku menahan kamu berlima di sini. Kamu tuli?" bentak Harya Udaya.
Mendengar kata ulangan Harya Udaya, keruan mereka
berlima menjadi gusar tak kepalang.
"Harya Udaya! Harya Udaya!" teriak Suriamanggala. "Kau benar-benar takabur! Betapa tingginya kepandaianmu sampai
berani mencoba menahan kami berlima" Hendak kulihat, hari
ini siapakah yang bakal masuk liang kubur di atas Gunung
Patuha ini."
Lima tokoh sakti Syech Yusuf termasyur semenjak belasan
tahun yang lalu sebagai tegaknya Gunung Gede. Selama
hidupnya belum pernah mereka terkalahkan. Orang-orang
menyegani ilmu gabungannya yang bernama Jalasutera.
Jangan lagi mereka maju berbareng, untuk melawan per
orangnya saja jarang bisa ditandingi. Tak mengherankan,
Suriamanggala berkata demikian besar terhadap Harya Udaya.
Hasanuddin yang memang berangasan, kini memperoleh
jalannya. Dia bagaikan api kena siram minyak tanah. Terus
saja ia membentak, "Kau memang bosan hidup! Kau bilang hendak menahan kami berlima" Apakah kami kau anggap
kumpulan binatang tak mempunyai kaki dan tangan yang bisa
digerakkan bebas" Eh, eh!... Kami berlima memang secara
kebetulan belum pernah melihat ilmu pedangmu yang
kabarnya sudah berhasil mewarisi ilmu pedang Arya Wira
Tanu Datar. Kami meskipun murid Syech Yusuf belum
berkesempatan melihat ilmu pedang guru kami itu. Biarlah
hari ini, mata kami terbuka. Seumpama kami berlima roboh di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanganmu, rasanya ada harganya. Artinya kami roboh oleh
ilmu pedang guru kami sendiri. Hayo, majulah!"
Meskipun berangasan, sebenarnya Hasanuddin licin juga.
Sambil memaki-maki, kata-katanya berarti pula menuduh
Harya Udaya mencuri ilmu pedang gurunya. Dengan begitu,
seumpama Harya Udaya berhasil merobohkan,
kemenangannya tidaklah cemerlang. Sebab sudahlah wajar,
kalau murid Syech Yusuf kena dirobohkan oleh ilmu pedang
gurunya sendiri.
Tetapi Harya Udaya lebih licin lagi. la segera dapat
menebak maksud Hasanuddin.
Dasar berhati sombong, ia lantas membalas.
"Hm, kamu berlima agaknya tetap ngotot seolah-olah ilmu pedang Syech Yusuf adalah ilmu pedang warisanmu. Baiklah,
hari ini aku akan melayani kamu berlima dengan tangan
kosong. Dengan begitu siapa pun tak dapat menuduh bahwa
aku telah merobohkan kamu dengan menggunakan ilmu
pedang Syech Yusuf."
"Apa" Kau bilang bisa merobohkan kami?" teriak
Hasanuddin kalap.
Habislah sudah kesabaran si berangasan itu. Tanpa
membuka mulut lagi, tangannya terus menyambar.
Keempat kawannya segera bersiaga. Mereka mendengar
Harya Udaya tertawa nyaring sampai menulikan telinga.
Kemudian melihat berkelebatnya tangan. Terjadilah suatu
bentrokan keras. Dan pada saat itu, Hasanuddin roboh
terpelanting. Keempat tokoh sakti itu terkejut bukan kepalang. Mereka
tahu, Harya Udaya seorang pendekar jempolan. Tapi tak
mengira, bahwa tenaganya sanggup merobohkan Hasanuddin
dalam satu gebrakan. Selagi demikian, tangan kiri Harya
Udaya nampak bergerak pula. Sasaran yang dibidiknya adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tulang rusuk Hasanuddin. Kalau hajaran itu mengenai
sasarannya, tulang rusuk Hasanuddin akan rontok
berguguran. Akibatnya kalau tidak mati seketika itu juga,
bakal cacat seumur hidupnya.
Sadar akan hal itu, mereka berempat lantas melompat
melindungi seraya melepaskan serangan berantai. Harya
Udaya kaget. Buru-buru ia menarik tangannya sambil berseru
mendongkol. "Bagus! Hari ini aku ingin menguji ketangguhan ilmu sakti murid Syech Yusuf."
Tadi, ia memang dengki mendengar kata-kata Hasanuddin
yang terlalu tajam. Hatinya mendongkol. Saking
mendongkolnya, dalam gebrakan pertama ia sudah
menggunakan tangan ganas. Kini, ia berhadap-hadapan
dengan empat tenaga gabungan. Ia tak boleh mengumbar
adatnya sendiri. Maka cepat-cepat ia mengubah gerakannya.
Ia tidak menangkis, tetapi dua jarinya menusuk pergelangan
tangan Suriamanggala. Kalau tusukannya ini berhasil, maka
Suriamanggala bakal celaka. Pembuluh darahnya pasti akan
macet dan rusak.
Untung, Suriamanggala dapat mengelak cepat. Kebetulan
pula Galuh Waringin menyapu serangan Harya Udaya.
Meskipun demikian, telapak tangannya masih saja kena
serempet. Tiba-tiba saja, tubuhnya terasa menjadi kaku
kejang sehingga ia terhuyung tiga langkah.
Harya Udaya tidak berhenti sampai di situ saja. Ia sadar,
Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa untuk melawan tenaga gabungan lima tokoh sakti
tersebut, dia harus memenangkan tempo. Gerakannya tidak
boleh berhenti. Harus sambung menyambung berantai serang
tak henti. Maka sikunya lantas bekerja menyodok pinggang
Suriadimeja. Kena sodokan ini, tubuh Suria-dimeja meliuk
kesakitan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Merasa berhasil, Harya Udaya meneruskan serangannya
dengan pukulan geledek. Sasaran yang dibidiknya adalah
punggung Jayapuspita. Hanya saja kali ini sebelum tinjunya
berhasil mendarat pada punggung Jayapuspita, suatu angin
keras meledek di depannya. Ia terpaksa membatalkan
serangannya dan buru-buru melindungi dadanya sambil
memutar tubuhnya. Memutar tubuh bukan berarti mengelak.
Sebaliknya ia memutar tubuh untuk mencari titik tolak
menghimpun tenaga. Begitu berhasil menghimpun tenaga,
kedua tangannya lantas melepaskan suatu gempuran geledek
untuk memapak dorongan angin yang tadi mendorongnya
hebat. Ternyata yang memiliki tenaga dahsyat adalah Galuh
Waringin. Maka bentroklah empat tangan yang saling
melontarkan tenaga dahsyat. Dialah yang menolong
Jayapuspita. Maka bentroklah kedua tangannya dengan kedua
tangan Harya Udaya.
"Roboh!" seru Harya Udaya.
Dengan dahsyatnya kedua tangannya menyapu tekanan
tenaga lawan setelah bentrok sebentar tadi. Karena disapu
tenaga dahsyat, punahlah tenaga sakti Galuh Waringin.
Pendekar berjubah pendeta ini, kena dimundurkan. Syukur ia
tidak roboh. Hanya terhuyung-huyung mundur beberapa
langkah. Pada saat itu Harya Udaya tertawa ber-kakakan. Pikirnya di
dalam hati, "Hai, tidak kusangka bahwa mereka berlima ini sebenarnya hanya kantong kosong nasi belaka. Kukira mereka
setangguh kabar beritanya. Ih, benar-benar tidak cocok!
Ternyata mereka tidak sanggup menerima pukulanku hanya
dalam satu gebrakan saja."
Memikir demikian, ia hendak mengumbar mulutnya. Belum
lagi bibirnya bergerak, ia melihat Suriamanggala, Suriadimeja, Hasanuddin dan Galuh Waringin melompat dengan
berbarengan dan menduduki empat penjuru. Bersama
Jayapuspita, mereka lantas bergerak mengepung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Harya Udaya sudah tidak memandang mata
terhadap gerakan mereka. Ia memandang enteng sekali.
Setelah tertawa demikian, ia berkata merendahkan: "Hm, kalian ini mau membadut apalagi" Ah, kawanan kambing
berani mendaki Gunung Patuha untuk mengembut harimau.
Apa sih sebenarnya yang kalian andalkan?"
Baru saja ia menutup mulut, mendadak saja ia merasakan
dirinya terkurung. Dan satu kesiur angin dahsyat datang
bergulungan secara bergelombang. Keruan ia kaget setengah
mati. Mimpipun tidak, bahwa setelah mereka kena pukulannya
mendadak bisa mengeluarkan tenaga sakti sedahsyat itu.
Tetapi dasar keberaniannya besar, ia tak sudi kena gertak.
Cepat ia membela diri dengan ilmu sakti angin puyuh. Kedua
tangannya berputaran membuat lingkaran dan ia berhasil
mendorong lawannya. Tiba-tiba suatu bentrokan terjadi,
Suriamanggala dan keempat rekannya mundur selangkah,
sedang Harya Udaya terhuyung. Sekarang sadarlah Harya
Udaya. Meskipun bisa menangkis tapi tenaganya ternyata
masih kalah setingkat melawan tenaga gabungan lima orang.
Diam-diam ia terkejut. Kalau melawan satu demi satu,
mereka tidak berarti banyak. Tetapi begitu bergabung,
ternyata mereka merupakan lawan yang sangat tangguh.
Itulah kehebatannya ilmu sakti Jalasutra. Tenaga
gabungannya menjadi himpunan tenaga sakti dua kali lipat.
Mereka berlima, tetapi tenaga himpunannya menjadi sepuluh.
Mereka berlima hanya mundur satu langkah. Kemudian
menempati kedudukannya kembali. Setelah itu maju dengan
berbareng. Harya Udaya sebaliknya, sudah merasakan pengalaman
pahit. Tak berani lagi ia memandang enteng. Segera ia
menancapkan kuda kudanya. Kedua tangannya di-rangkapkan
dan tidak lagi berpisahan seperti tadi. Untuk menangkis atau menyerang, kedua tangannya bergerak perlahan serta hatiTiraikasih Website http://kangzusi.com/
hati. Sebab sekali terpencar, tenaga himpunannya akan
berkurang. Karena tangannya selalu rangkap, ia lebih berhasil daripada tadi. Sekarang ia bisa menangkis dan menggempur tanpa
terhuyung lagi. Kelima lawannya tidak dapat lagi maju meski setengah langkahpun.
Suriamanggala yang memimpin ilmu sakti Jalasutra
menyala matanya. Paras mukanya menjadi muram. Itu suatu
tanda, bahwa hatinya sangat panas berbareng gusar. Ia lantas maju selangkah dengan perlahan-lahan sekali.
Harya Udaya tercekat hatinya, melihat majunya
Suriamanggala. Melawan tenaga gabungan empat orang saja,
ia merasakan berat. Sekarang orang kelima bisa maju
mendekati. Buru-buru ia mengerahkan seluruh tenaga
saktinya pada kedua tangannya yang dirangkapkan. "
"Harya Udaya!" kata Suriamanggala. "Hari ini aku akan menyerahkan tulangku yang sudah keropos kepadamu. Hati-hatilah!"
Setelah berkata demikian, tangannya bergerak dari atas ke
bawah. Ia mengancam batok kepala. Keempat lawannya juga
menyerang membarengi.
Harya Udaya mencoba mempertahankan diri dengan sekuat
tenaga. Ia tidak kalah. Tapi nyatanya, kelima lawannya dapat maju satu langkah. Teringatlah ia akan kata-kata Syech Yusuf.
Itulah yang dinamakan Panca-tunggal. Artinya tenaga
gabungan lima orang menjadi satu pengucapan.
Sebelah tangan mereka berlima menekan dan mendorong
lawan. Lima tangan lainnya mendesak dan mempersiapkan
pukulan geledek yang menentukan. Teringat akan hal ini, tak dapat lagi Harya Udaya membiarkan dirinya menjadi tokoh
yang hanya mempertahankan diri. Dia harus berusaha
menyerang pula. Kalau gagal, setidak-tidaknya bisa
mengadakan serangan balasan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memperoleh keputusan ini, kedua matanya lantas
memancarkan cahaya berkilat kilat. Tiba-tiba ia berseru untuk mengumpulkan tekadnya. Tangan kirinya memisahkan diri dan
menetak Jayapuspita. Dialah lawan yang terlemah.
Jayapuspita terkejut. Memang ia merasa kalah seurat
dengan Harya Udaya. Tak mengherankan ia kena gertak.
Tanpa merasa ia mundur beberapa langkah.
Melihat mundurnya Jayapuspita, Harya Udaya girang bukan
kepalang. Dengan penuh syukur ia hendak menggunakan
kesempatan itu untuk menerjang keluar. Mendadak pada detik
itu, ia merasakan menyambarnya suatu tenaga dahsyat
mengancam batok kepalanya. Itulah serangan gabungan Surimanggala dan Hasanuddin yang menyerang dengan tangan
rangkap. Karena kaget, Harya Udaya berkelit dan menangkis.
Dengan begitu batallah maksudnya hendak menerjang keluar.
Sebaliknya, ia jadi tambah terkurung rapat.
"Kepala dan ekor berantai! Empat penjuru menyerang
berbareng. Jangan terburu napsu untuk maju!" terdengar Galuh Waringin memperingatkan. Dan mendengar peringatan
itu, Suriamanggala dan ketiga rekannya memanggut bersama.
Benar saja, mereka tidak meyerang lagi. Sebaliknya
memperkokoh pertahanan diri dengan membayang-bayangi
gerakan lawan. Harya Udaya jadi keripuhan. Kemana saja ia
bergerak, selalu dibayangi oleh suatu arus tenaga. Beberapa kali ia mencoba menerobos, selalu gagal dan malahan menjadi runyam. Tak lama kemudian, keningnya nampak berkeringat.
Gap putih meruap dari ubun-ubunnya.
Menyaksikan hal itu, Ratna Permanasari khawatir. Tahulah
dia, bahwa ayahnya jatuh di bawah angin. Tenaga yang
dikerahkan melebihi batas kemampuannya. Inilah berarti
suatu ancaman besar,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selagi demikian, terdengarlah seruan Galuh Waringin. Lima
tokoh sakti itu lantas bergerak maju. Mereka mulai mendesak setindak demi setindak. Suriamanggala malahan mulai
menyerang dua kali berturut-turut.
Harya Udaya nampak sangat terdesak. Tubuhnya
mengesankan kelunglaian. Ia seperti tak sanggup membalas
menyerang. Malahan bergerak dengan lelauasa tidak
memungkinkan lagi. Itulah sebabnya pula, kelima lawannya
dapat mendesaknya makin lama makin keras.
Suriamanggala sudah merasa.
"Harya Udaya! Meskipun engkau sudah mencuri ilmu
pedang guruku. Meskipun kau seorang ahli pedang kenamaan
semenjak belasan tahun yang lalu, meskipun kabarnya engkau
telah mewarisi ilmu sakti Arya Wira Tanu Datar, nyatanya kau bakal kena roboh di tangan kumpulan manusia yang bertulang
keropos seperti kami berlima ini. Sekarang bagaimana"
Menyerah atau tidak" Hm,hm... kau akan menyatakan takluk,
bukan" Kau seorang ganas, kejam dan bengis, sebaliknya
kami bukan segerombolan manusia jahat dan busuk. Asalkan
saja kau mau bersembah tiga kali kepada kami dan
menyerahkan kitab ilmu pedang gruruku, yang sebenarnya
kini sudah menjadi warisan Suryakusumah, kami akan
mengampuni jiwamu, bagaimana?"
Mendengar kata-kata Suriamanggala, kedua mata Harya
Udaya menyala lagi. Namun kali ini ia tidak memperlihatkan
kemurkaannya. Sebaliknya malah tertawa lebar. Sahutnya,
"Eh, belum-belum kau sudah menabuh lonceng kemenangan.
Huh! Kau berbicara pula tentang jahat dan busuk. Justru itu, terbangunlah ingatanku. Ha, aku yang kau tuduh sebagai
manusia jahat dan busuk, biarlah hari ini memperlihatkan
kebusukannya.".
Suriamanggala terkejut mendengar jawabannya. Ia tak
mengira bahwa Harya Udaya masih memiliki semangat tempur
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak ter-padamkan. Maka buru-buru ia memberi isyarat kepada
keempat rekannya agar menyerang lebih hebat lagi.
"Jangan beri kesempatan bernapas!" perintahnya.
Beberapa jurus kemudian dengan suara keras pundak Harya
Udaya kena hajar Suriadimeja.
"Ayah!" teriak Ratna Permanasari. "Engkau tidak membunuh Kakek Yusuf, bukan" Mengapa kau diam saja"
Mengapa kau tak mau menyangkal?"
Sebenarnya Ratna Permanasari tidak tahu sesuatu tentang
kematian Syech Yusuf. Ia belum lahir. Hanya sebagai anak, ia merasa tuduhan terhadap ayahnya tidak benar. Ia tak
menghendaki ayahnya benar-benar seorang pembunuh.
Melihat ayahnya kini terdesak, ia mencoba menolong dengan
meyakinkan kelima tokoh sakti itu bahwa ayahnya bukan
pembunuh Syech Yusuf.
Harya Udaya mendengar seruan gadisnya. Ia tersenyum,
meskipun sudah merasakan beberapa gebukan. Pada saat itu,
mendadak terdengar suara"duk"dua kali. Suriamanggala
menyerang dengan sangat jitu. Pendekar ini lebih tangguh
daripada keempat rekannya. Kalau tidak, masakan ia
dipercayai menyimpan surat wasiat Suryakusumah.
Pukulannya terkenal berat semenjak belasan tahun yang lalu.
Ia terkenal dengan sebutan pendekar bertangan geledek.
Begitu pukulannya mendarat pada punggung Harya Udaya,
robeklah baju pendekar pedang itu. Telapak tangan
Suriamanggala meninggalkan bekas pukulan dahsyat.
"Ayah! Ini pedangmu!" teriak Ratna Permanasari. Ia tak dapat menonton ayahnya kena gebuk terus menerus. Segera
ia menghunus pedang Sangga Buwana dan hendak diserahkan
kepada ayahnya. Tapi sayang, ayahnya tidak mau menerima.
Dia sudah terlanjur hendak melayani kelima tokoh sakti itu
dengan tangan kosong. Sebagai seorang pendekar besar tak
sudi ia mengkhianati kata-katanya. Seumpama menangpun,
tidaklah cemerlang dan bakal dibicarakan orang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun melihat paras Ratna Permanasari yang terlihat
cemas, perlu ia memberi penjelasan. Katanya, "Ratna!
Semenjak kapan ucapan ayahmu tidak berlaku" Simpan
pedang itu! Ayah bilang akan melawan dengan tangan
kosong. Maka Ayah akan membuktikan. Kau tunggu saja!"
Selagi berbicara, kelima lawannya lantas mendesak.
Memang ia berbicara selagi mengadu kekuatan, dan itu
merupakan kelengahan. Secara wajar terjadilah suatu
pembagian perhatian. Tenaganya lantas berpencar. Maka tak
mengherankan ia benar-benar berada dalam bahaya.
Sedikit demi sedikit ia kena dihimpit. Saat terakhir tinggal menentukan saja. Tapi justru dalam keadaan demikian tiba-tiba ia bersiul keras sekali. Dan sinar matanya menyala. Pada saat itu pandang mata Ratna Permanasari tepat berada
padanya. Ratna Permanasari kaget melihat sinar mata ayahnya.
Itulah sinar mata ayahnya tatkala mengambil keputusan
membinasakan Harya Sokadana. Keruan saja, ia ketakutan.
Tak terasa ia mencegah, "Ayah, jangan!"
Belum berhenti kumandang suara Ratna Permansari,
sekonyong-konyong Harya Udaya merendahkan badannya.
Kedua tangannya turun sampai ke lututnya. Itulah suatu
elakan yang bagus sekali. Gempuran tenaga kelima lawannya
lewat di atas ubun-ubunnya. Dan pada saat itu, Harya Udaya
memutar badan tak ubah gangsingan. Itulah jurus angin
puyuh menjebol akar pohon. Kedua tangannya bergerak.
Sepuluh jarinya mencengkeram. Lalu terjadilah suatu hal yang mengherankan. Kelima tokoh sakti yang sudah kehilangan
keseimbangan lantaran gempurannya kena dielakkan, tiba-tiba roboh terguling dengan berbarengan. Wajah mereka berkerut-kerut mengerikan.
Harya Udaya lantas berdiri tegak dengan pandang tegas.
Kedua tangannya berhenti bergerak. Dengan suara tawar ia
berkata, "Aku pendekar tolol akhirnya dapat juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggerogoti tulang-tulangmu yang tua. Dengan begini,
kamu berlima benar-benar bisa kutahan di sini."
Suriamanggala berlima tidak dapat membuka mulutnya. Ia
mendengar kata-kata
Harya Udaya, tapi tatkala hendak menjawab, yang keluar
hanya suara berkeluyuk. Tenggorokan mereka seperti
tersumbat. Rupanya pukulan jari-jari Harya Udaya
menghentikan jalan darah mereka.
"Ayah!" jerit Ratna Permanasari ketakutan.
"Ratna, jangan takut! Hari ini justru ayahmu bermurah hati.
Coba aku tak mendengar cegahanmu, mereka semua sudah
menjadi mayat."
Delapan belas tahun lamanya, Harya Udaya menekuni ilmu
warisan Arya Wira Tanu Datar bagian atas. Kecuali berhasil
menyempurnakan gabungan ilmu pedangnya, ia pun mahir
dalam ilmu bertangan kosong. Barangsiapa kena sambar
cengkeraman jari-jarinya, akan cacat seumur hidupnya.Tak
terkecuali lima tokoh sakti yang sudah memiliki dasar tenaga sakti belasan tahun lamanya. ,
Sebenarnya ilmu cengkeramannya lebih berbahaya
akibatnya daripada ilmu pedangnya. Dengan ilmu pedang,
tusukannya merupakan tikaman maut. Sekali kena tikamannya, orang akan mati seketika. Tetapi sebaliknya, apabila berlawan-lawanan dengan tangan kosong, siapa yang kena
tersambar cengkeramannya akan tersiksa seumur hidupnya.
Ia akan mati perlahan-lahan. Dan selain dia, di dunia ini tiada obat pemunahnya.
Suriamanggala dan keempat kawannya salah hitung.
Mereka mengira, dengan tenaga gabungannya - akan dapat
mendesak. Memang benar. Diluar dugaan pada saat-saat yang
menentukan, Harya Udaya mendadak mempunyai ilmu
simpanan. Inilah yang tidak pernah mereka sangka. Maka
robohlah mereka dengan sangat kecewa.
Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun mereka adalah tokoh-tokoh sakti. Setelah terkapar
di atas tanah beberapa waktu lamanya, mereka bisa bergerak
dan duduk bersila. Mereka mencoba mengerahkan semangat
untuk menghimpun tenaga saktinya kembali. Alangkah kaget.
Semangatnya terasa kosong melompong. Mereka merasa
terbelenggu. Bahkan jalan napasnya menjadi sesak. Suatu
kengerian terjadi. Ribuan jarum seperti menusuki pembuluhpembuluh darahnya. Keruan saja hati mereka mencelos.
Sekarang mereka baru menyesal. Coba tadi menantang
Harya Udaya dengan ilmu pedang, mereka hanya akan mati.
Tidak seperti sekarang ini. Mati tidak, hidup pun tidak.
Selagi mereka berusaha membebaskan diri, Harya Udaya
bersikap diam. Ia mengawasi wajah mereka. Matanya
menyapu dengan sinar berkilatan. Beberapa waktu kemudian,
ia tertawa dingin melalui dada. Dan mendengar lagu tertawa
itu, hati mereka berlima tersiksa hebat. Inilah untuk pertama kalinya selama hidupnya, mereka kena dirobohkan. Alangkah
pahit! Dengan sabar Harya Udaya merogoh ke dalam sakunya, la
mengeluarkan sebuah kitab ilmu pedang yang menjadi sumber
keruwetan. Setelah merenungi sebentar, berkatalah dia
dengan suara angkuh: "Inilah gara-gara, yang katanya kini menjadi hak milik kaum Himpunan Sangkuriang. Huh huh huh!
Sebenarnya aku merasa tak enak hati, sampai kamu berlima
mengunjungi rumahku. Karena pihakmu sangat memuliakan
buku ini, bicaralah aku kembalikan kepadamu. Tetapi
dengarkan! Sudahlah menjadi hal yang lumrah, bahwa
seseorang boleh menurunkan ilmunya kepada sanak atau
kawan yang dikehendaki. Tegasnya, aku sudah mewarisi ilmu
pedangnya yang berada dalam kitab ini. Maka aku boleh
menurunkan kepada siapa saja yang berkenan di hatiku.
Sebaliknya, kamu berlima sederajat, dengan aku. Maka tak
pantas aku hendak menurunkan ilmu pedangku kepadamu
berlima." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ini adalah suatu ejekan yang tajam. Maksudnya, setelah
mereka berlima menerima kitab ilmu pedang Syech Yusuf
yang berada di tangannya, mereka tidak boleh melihat atau
mempelajari, la berharap agar diserahkan kepada seseorang
yang derajatnya berada di bawah mereka. Dialah
Suryakusumah. Sudah barang tentu tak perlu Harya Udaya berkata
demikian. Mereka tiada niat hendak mengangkangi kitab
warisan itu. Kedatangan mereka hanyalah mewakili
Suryakusumah. Malahan tugas yang dibawanya sebenarnya
hendak menanyakan tentang diri Ratu Bagus Boang. Hanya
saja tanpa merasa, mereka berbelok arah. Itulah sebabnya,
mereka dongkol bukan main mendengar ucapan Harya Udaya.
Namun mereka tak bisa mengumbar mulut, karena
tenggorokan merak terkunci.
Terdengar lagi Harya Udaya berkata, "Kamu berlima sudah sepantasnya mengucap syukur pada hidupmu. Coba, tadi aku
tidak mendengarkan teriakan anakku, pastilah jiwa kalian
sudah terbang menjadi iblis.
Maka jelaslah, jelek-jelek, anakku mempunyai andil pada
kalian berlima. Hm, semuanya ini terjadi gara-gara kitab ini.
Kamu berlima adalah tokoh-tokoh sakti pujaan manusia di
bumi Priangan. Untuk kitab ini, kalian sampai menjual nyawa.
Ah, benar-benar tak sepadan. Baiklah, karena kitab inilah
pendekar-pendekar seperti kalian berlima bisa mata gelap.
Karena itu lebih baik aku lenyapkan saja kitab ini dari
percaturan dunia, agar tidak menimbulkan keruwetan lagi di
masa mendatang."
Benar-benar Harya Udaya membuktikan ucapannya.
Dengan kedua tangannya ia merobek-robek dan meremas
Perguruan Sejati 10 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Pendekar Laknat 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama