Ceritasilat Novel Online

Bunga Ceplok Ungu 6

Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Bagian 6


hancur ber-keping-keeping. Kemudian ditaburkan di udara dan bertebaran dibawa angin lalu. Maka mulai saat itu, lenyaplah kitab ilmu pedang Syech Yusuf dari percaturan sejarah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suriamanggala berlima mengawaskan hancurnya kitab
warisan Syech Yusuf dengan hati terkesiap. Mereka tak
menyangka Harya Udaya akan bisa merelakan hancurnya kitab
itu, mengingat sikapnya yang membandel dalam
mempertahankan kitab tersebut. Ratna Permanasari kaget
sampai memekik tertahan.
Sebaliknya, Harya Udaya lantas tertawa terbahak-bahak
penuh kemenangan. Kedua tangannya dirangkapkan.
"Kitab ilmu pedang Syech Yusuf telah lenyap kini menjadi tebaran kertas. Maka mulai saat ini dan untuk selanjutnya,
hanya akulah seorang yang memahaminya. Kamu bilang pula,
bahwa kitab tadi sebenarnya sudah menjadi hak waris
Suryakusumah dalam kedudukannya sebagai ketua Himpunan.
Baiklah begini saja. Aku tidak akan membuat dunia menjadi
kecewa. Kirimkan saja dia kemari. Aku akan menurunkan ilmu
pedang warisan kepadanya. Dengan begitu, mulai saat itu ia
menjadi muridku. Dia tidak akan kuajari ilmu pedang saja, tapi juga ilmu sakti warisan Arya Wira Tanu Datar. Bukankah aku
sudah bermurah hati" Di dunia ini, mana ada seorang guru
sampai menawar-nawarkan ilmunya kepada calon muridnya?"
Mendongkol hati mereka berlima. Kalau hal itu sampai
terjadi, Himpunan Sangkuriang dengan sendirinya jatuh
ditangannya. Padahal dia justru seorang pengkhianat besar
yang menjadi musuh pendekar-pendekar yang
menghimpunkan diri dalam Himpunan Sangkuriang.
Tetapi mereka tak dapat berbicara, hanya pandang
matanya yang menyala-nyala menerjemahkan kemurkaan hati
mereka. Melihat raut muka mereka, Ratna Permanasari yang
berperasaan halus membuang pandang. Ia menatap ayahnya.
"Ayah!"
Sebelum sempat meneruskan ucapannya, ia melihat
ayahnya merogoh sakunya. Kemudian mengeluarkan botol
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanah penyimpan buah Dewa Ratna. Ia memuntahkan isinya.
Tiga butir buah Dewa Ratna menggelinding keluar pada
telapakan tangannya. Tadinya berjumlah lima butir. Ratna
Permanasari mengambil dua buah untuk menolong Ratu
Bagus Boang. Karena itu kini tinggal tiga butir.
Dengan kukunya, Harya Udaya membelah tiap butir
menjadi dua. Sekarang menjadi enam potong. Yang sepotong
dimasukkan ke dalam mulutnya dan dikunyahnya. Yang lima
potong diberikan kepada Ratna Permanasari. Katanya tawar,
"Kau berikan masing-masing sepotong. Pukulanku tadi agak terlalu hebat. Setelah makan buah Dewa Ratana ini, akan
pulih kembali dalam waktu tiga hari. Ilmu saktinyapun tidak akan musnah."
Setelah berkata demikian, Harya Udaya membalikkan
tubuhnya. Melihat ayahnya hendak pergi, buru-buru Ratna
Permanasari berseru: "Ayah! Kau hendak ke mana?"
"Aku ingin melihat-lihat apakah pemuda yang dikehendaki masih berada di sini. Kau tolonglah mereka dahulu!"
Sebenarnya Ratna Permanasari ingin mengabarkan tentang
diri Bagus Boang. Tapi mendengar perintah ayahnya agar dia
segera menolong Suriamanggala berlima, ia membatalkan
niatnya. "Ayah, tunggulah sampai aku menelankan buah ini,"
serunya mencoba.
Dada Suriamanggala berlima seakan-akan meledak
mendengar serentetan pembicaraan mereka. Harya Udaya
begitu bermutan hati hendak memberikan obat pemunah bagi
mereka" Celaka! Kalau sampai mereka menelan obat
pemunahnya, mereka tidak dapat bermusuhan lagi. Artinya
mereka bersekutu dengan seorang pengkhianat yang justru
menjadi musuh besar para pendekar bekas anak buah
Pangeran Purbaya. Karena itu, tidak dapat mereka menerima
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
budi. Lebih baik mati tanpa liang kubur daripada menerima
pemberiannya. Ratna Permanasari adalah seorang gadis yang polos. Ia
belum tahu pantangan kaum perjuangan yang saling
bermusuhan. Ia hanya berpikir, tanpa pertolongan buah Dewa
Ratna, mereka bakal hidup cacat selama-lamanya dan ilmu
saktinya musnah pula.
Ayah memberikan buah Dewa Ratna ini kepada mereka.
Artinya, Ayah tidak ingin menambah dosa lagi. Kalau mereka
tidak diobati, bukankah bakal mati menderita" Ah, Ayah mulai sadar, katanya dalam hati.
Memperoleh pikiran demikian, timbullah semangatnya.
Dengan rasa syukur ia segera membungkuki mereka. Celaka,
mereka tak dapat bergerak atau membuka mulutnya. Satusatunya yang dapat dilakukan, hanyalah mengatupkan
mulutnya erat-erat dengan keras dan tegang. Ratna
Permanasari tak mau mengerti, la mengira, ketegangan itu
terjadi akibat pukulan dalam. Tanpa segan-segan ia memencet mulut Suriamanggala terlebih dahulu. Kemudian memasukkan
obatnya. Kena liur mulut, buah Dewa Ratna lumer dengan
cepat. Kuatir kena disemburkan keluar, segera ia
mengatupkan mulutnya dengan paksa. Kemudian ia
menggoyang-goyangkan kepalanya. Maka tak dikehendaki
sendiri, Suriamanggala menelan buah Dewa Ratna yang
segera menghilang di dalam perut. Keempat rekannya
mengalami perlakuan yang sama pula. Dengan begitu, mereka
kena dipaksa menerima budi baik Harya Udaya.
"Bagus! Bagus!" seru Harya Udaya girang. Ia lantas tertawa riang, karena puas sekali.
Buah Dewa Ratna memang semacam buah ajaib. Semenjak
zaman Ciung Wanara-putera Raja Siliwangi. Buah itu menjadi
dongeng rakyat. Khasiatnya luar biasa. Maka begitu
Suriamanggala berlima menelan buah itu, napasnya lantas
menjadi lega. Mereka saling pandang. Matanya menjadi sayu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Roman muka mereka nampak kucel dan lesu. Mereka benarbenar berduka. Karena mulai saat itu, mereka tidak dapat
bermusuhan lagi dengan Harya Udaya.
Ratna Permanasari heran melihat wajah mereka. Apa sebab
tiada mengucapkan syukur. Karena hatinya polos, ia berpikir begini: "Mereka malu lantaran kena dirobohkan Ayah."
Kemudian berkata kepada ayahnya, "Ayah! Mari kita melihat-lihat pemuda itu!"
Harya Udaya tertawa. Sahutnya, "Ratna! Rupanya kau
sangat memikirkan mereka." Merah wajah Ratna Permanasari kena sindir ayahnya. Namun ia tidak menyangkal. Dengan
kepala menunduk, ia mengikuti ayahnya mengarah ke timur.
Harya Udaya dan Ratna baru saja menghilang di tikungan
atau kelima pendekar sakti itu telah pulih sebagian tenaganya.
Mereka lantas berdiri. Seperti saling berjanji, mereka segera mengikuti arah perginya Harya Udaya dan gadisnya.
Tak perlu menunggu waktu lama, mereka tiba di depan gua
kurungan Pancapana. Mereka masih sempat mendengar
seruan kaget Harya Udaya. Ahli pedang itu tercekat hatinya, melihat rusaknya pagar kurungan. Dengan sekali menjejakkan
kaki, la melesat ke depan gua. Gua nampak sunyi lengang.
Bayangan tubuh Pancapana tiada lagi.
Dengan tangan kiri, Harya Udaya menginjak tanah. Dan ia
tiba-tiba kaget. Ia merasa seperti menginjak segumpal tanah lembek dan kosong. Untung ia seorang ahli pedang yang
sudah mencapai tataran kesempurnaan. Dia bisa menguasai
tubuhnya untuk mengikuti kehendak hatinya. Begitu merasa
curiga, kaki kanannya mengayun tinggi ke depan. Dan
tubuhnya lantas terangkat dan melayang masuk ke dalam
gua. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa gua telah kosong
benar. Tetapi yang berkesan hebat, kembali kakinya
menginjak tempat lembek dan kosong seperti tadi. Tentu saja,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak dapat ia menaruhkan berat badannya di atas tanah lembek demikian. Cepat ia mengeluarkan serulingnya. Kemudian
dengan seruling itu ia menekan tanah dan dinding gua.
Dengan pentalan tenaga menolak, ia melesat keluar gua lagi.
Betapapun juga Suriamanggala berlima kagum
menyaksikan kegesitan Harya Udaya. Gerakannya indah,
manis dan ringan. Tapi begitu tubuh Harya Udaya mendarat di atas tanah, kakinya memperdengarkan suatu suara. Sebab
kedua kakinya melesak ke dalam lubang kubangan.
Harya Udaya kaget, kakinya terasa basah-basah lumer.
Kembali ia mencelat naik. Pada saat itu ia melihat tibanya
Suriamanggala berlima. Mereka tak kurang suatu apa. Maka ia mendarat di samping gadisnya. Mendadak berbareng dengan
mendaratnya, hidungnya mencium bau busuk. Ia
menundukkan kepala untuk memeriksa kaki. Bukan main
dongkolnya. Ternyata kakinya menggondol lumeran kotoran
manusia. Menyaksikan hal itu, dari kagum Suriamanggala berbalik
menjadi heran. Siapa yang dapat menjebak seorang ahli
pedang seperti Harya Udaya dengan begitu licin!
Lantaran mendongkol, Harya Udaya jadi penasaran. Sebat
ia menyambar sebatang pohon kecil. Kena sambarannya
pohon itu jebol dari tanah dan merupakan sebatang tongkat
beranting panjang. Dengan batang pohon itu, Harya Udaya
menyerang tanah empat penjuru dengan sekaligus, la ingin
tahu, apakah tanah sekitar gua memang begitu rupa. Ternyata yang lembek dan kosong hanya tiga tempat. Pastilah itu
perbuatan Pancapana. Siapa lagi kalau bukan dia.
Pancapana memang seorang pendekar yang nakal dan
jahil. Sengaja ia membuat tempat pembuangan kotoran tiga
tempat yang diatur sedemikian "rupa sebelum meninggalkan gua. Maksudnya sudah jelas, la hendak memberi pelajaran
pahit kepada majikan Gunung Patuha yang telah
mengurungnya hampir dua puluh tahun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan rasa gusar amat sangat, Harya Udaya masuk ke
dalam gua untuk memeriksa. Tiada sekelumit benda yang
tertinggal di dalamnya. Kecuali satu deret tulisan cakar ayam pada dinding gua.
Menyaksikan hal itu, Suriamanggala berlima bisa tertawa
geli. Ternyata di dunia ini, masih ada orang yang bisa
mempermainkan Harya Udaya seorang ahli pedang nomor
satu di kolong langit ini. Tapi tatkala melihat Harya Udaya menatap dinding gua, tanpa merasa mereka maju mendekati.
Samar-samar mereka melihat satu deret huruf cakar ayam
pada dinding. Mereka lalu membacanya:
harya udaya! kau telah menghajar patah kedua kakiku.
kau mengurung aku selama dua puluh
tahun dalam gua ini
sebenarnya untuk membuat puas
hatiku, aku harus mematahkan pula
kedua kakimu tapi kemudian aku berpikir: ah,
sudahlah hanya saja untuk peringatan selamat tinggal
aku mempersembahkan beberapa
tumpuk telorku yang baru saja kuangkat dari perutku,
kalau sudah merasakan,
silakan pula merasakan beberapa botol kencingku
barangkali masih hangat juga....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pada tempat nama penulisnya, tertutup selembar daun.
Siapa lagi kalau bukan
Pancapana. Tapi ia berlagak seperti puteri pingitan yang
malu-malu memperkenalkan namanya.
Harya Udaya jadi geregetan. Tanpa berpikir panjang, ia
terus menerkam daun itu dan direnggutkan. Justru daun itu
merupakan suatu jebakan.
Ternyata daun itu diikat dengan jalur benang. Begitu kena
tarik, terdengar suara benturan botol di atas kepala. Harya Udaya sadar akan jebakan itu, ia melompat mundur.
Kelima tokoh sakti itu buru-buru melompat serabutan.
Hanya berbareng dengan gerakannya, beberapa botol di atas
kepala mereka pecah berantakan dan terjadilah suatu hujan.
Gundul mereka semua, tak terkecuali Harya Udaya"kena
tersiram air kencing yang benar-benar masih hangat.
"Sungguh sedap! Sungguh sedap! Sedap sekali!" kata Suriamanggala dengan tertawa berkakakan.
Harya Udaya dongkol bukan main. Saking mendongkolnya
dan gusar, mulutnya sampai tak pandai bergerak. Begitu juga Suriamanggala, Hasanuddin, Jayapuspita dan Galuh Waringin.
Hanya saja mereka merasa terhibur menyaksikan Harya Udaya
kena tersiram air kencing. Dengan hati puas, mereka keluar
gua. Ratna Permanasari yang berperasaan halus, segera lari
pulang. Ia datang kembali dengan membawa enam perangkat
pakaian. Sudah barang tentu, semuanya adalah pakaian
ayahnya. Maksudnya yang seperangkat untuk ganti ayahnya.
Dan yang lima perangkat untuk mereka berlima. Tapi mana
mereka sudi mengenakan pakaian ayahnya. Mereka lebih baik
terus mengenakan pakaiannya yang basah dan kotor daripada
menerima jasa baik demikian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berganti pakaian, Harya Udaya kembali memasuki
gua dengan penasaran. Ia memeriksa tempat yang ditutupi
selembar daun tadi dengan seksama. Ternyata sekarang tidak
ada jebakan lagi. Suatu deretan huruf kecil-kecil samar-samar tertulis di situ, bunyinya:
peringatan! peringatan ! peringatan! jangan sekali kali
menarik daun ini di atas ada botol botol air busuk kalau nekat, jangan salahkan saya...
Sudah barang tentu pengumuman ini membuat, hati Harya
Udaya mendongkol kaget. Tapi setelahnya menjadi geli juga.
Sebab ia telah menjadi korban dari kelicinan si setan alas
itu. Kalau memang berniat memberi peringatan, mengapa
tidak ditulis di atas daun" Sebaliknya ditulis pada dinding yang justru ditutupi dengan daun. Tapi kalau dipikir pikir, salahnya sendiri. Mengapa ia terburu nafsu hanya menuruti penasaran
belaka. Teringatlah dia. Air kencing yang menyiram dirinya tadi
masih terasa hangat. Artinya orangnya belum pergi terlalu
jauh. Maka serunya nyaring, "Pancapana! Tunggu! Mari kita susul. Dialah yang tahu dimana Bagus Boang kini berada..."
Mendengar disebutnya nama Bagus Boang, Suriamanggala
berlima tertarik. Mereka segera lari menyusul. Sebaliknya
Ratna Permanasari jadi prihatin. Dia tahu siapa Pancapana.
Kalau sampai bertemu dengan ayahnya, pasti timbul suatu
pertarungan seru. Segera ia hendak mencegah dengan
mengabarkan dimanakah Bagus Boang sebenarnya berada.
Tadi pagi ia telah menyuruh bersembunyi jauh-jauh dengan
membawa kuda putihnya. Tetapi sudah terlambat. Ayahnya
sudah berlari jauh. Satu-satunya jalan yang dapat dilakukan hanyalah mencoba mengejarnya.
Setelah berlari-lari beberapa saatnya lamanya, mereka
melihat Pancapana berjalan dengan perlahan-lahan. Dengan
sekali menjejak tanah, Harya Udaya mencelat sambil
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggerakkan tangannya. Ia tiba di belakang punggung dan
tangannya sudah mengancam leher.
Pancapana tahu, dirinya kena serangan mendadak. Gesit ia
berkelit sambil membalikkan tubuhnya. Kemudian memandang
Harya Udaya dan berkata dengan mengulum senyum.
"Ah, kiranya tuan besar Harya Udaya yang harum semerbak memenuhi angkasa."
Sambaran Harya Udaya tadi adalah sambaran maut yang
dipetik dari jurus warisan ilmu sakti Arya Wira Tanu Datar
bagian atas. Hebatnya tak terkatakan. Baik Harya Sokadana
maupun Suriamanggala berlima tak sanggup mengelakkan
kecuali harus mengadu tenaga untuk menangkis. Tetapi
Pancapana dapat berkelit dengan cara sederhana sekali. Harya Udaya terkesiap.
Ia tidak berani gegabah. Dengan pandang menyala ia


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikan Pancapana. Ia heran tatkala melihat kedua
belah tangan Pancapana terikat erat-erat di depan dadanya.
Paras mukanya nampak terang. benderang pula seperti
seseorang yang memperoleh suatu kepuasan.
"Hai, Suriamanggala! Hasanuddin, Jayapuspita,
Suriadimeja, Galuh Waringin! Mengapa kalian datang
berbarengan dengan Harya Udaya seakan-akan mengiring
bakal mertua?" katanya.
Mereka semua kenal lagu-lagu Pancapana. Sebenarnya
ingin mereka menanyakan sebab musababnya dia berada di
Gunung Patuha dan sampai kena terkurung dua puluh tahun.
Tetapi mereka ternyata sudah keduluan. Dan mendengar
pertanyaan Pancapana, wajah mereka geram mendadak.
"Hai hai hai! Mengapa kalian seperti pesakitan?" seru Pancapana lagi.
"Mereka sudah menjadi sahabat-sahabatku," Harya Udaya menalangi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sahabatmu?" Pancapana heran.
"Mereka memerlukan pertolonganku. Setelah itu mereka
terpaksa menjadi sahabatku," Harya Udaya memberi
keterangan. Pancapana tertawa berkakakan. Katanya dengan suara
tinggi, "Kau siluman busuk! Siapa yang tak tahu kelicinanmu.
Pastilah mereka sudah kena jebakanmu. Hayo bilang yang
benar!" Pancapana sudah tahu kedudukan Suriamanggala berlima
dari mulut Bagus Boang. Mereka berlima adalah guru-guru
Bagus Boang. Itulah sebabnya, tak dapat ia kena dilagui Harya Udaya.
Sebaliknya Harya Udaya menjadi penasaran. Katanya, "Kau tak percaya" Tanyakanlah pada orang itu!" Ia menuding ke-bawah tanjakan. Tanpa curiga Pancapana menoleh dengan
memutar badan. Pada saat itu, secepat kilat Harya Udaya
menyambar pakaian bau yang berada di tangan gadisnya.
Kemudian melemparkan ke arah Pancapana.
Pancapana benar-benar hebat, la mendengar suara angin.
Lantas saja ia mengelak. Dan gulungan pakaian itu jatuh di
atas tanah. "Harya Udaya!" katanya tertawa sambil berlenggak
lenggok. "Dua puluh tahun aku kau kurung. Kedua kakiku pernah kau-patahkan. Kau siksa aku pula selama dua puluh
tahun dengan seruling silumanmu. Sekarang kau hanya
menginjak kotoranku dua kali saja dan dua kali pula kau kena guyur kencingku. Apakah kau tak sudi menyudahi persoalan
kita?" Harya Udaya tidak menjawab. Ia hanya mendengus.
Kemudian menyahut mengalihkan pembicaraan. "Kau merusak kawat kurungan guaku. Kenapa sekarang kau mengikat kedua
belah tanganmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pancapana tertawa dengan pandang berseri-seri.
Jawabannya singkat, "Ini soalku sendiri. Kenapa kau usil?"
Sebenarnya yang membuat kurungan kawat adalah
Pancapana sendiri. Menuruti hati, berkali-kali ia hendak
mencoba mengadu kepandaian dengan Harya Udaya. Tapi
merasa diri tak unggul, ia menghukum dirinya sendiri. Supaya dengan begitu, ia akan menyadarkan dirinya sendiri agar ber-prihatin.
Memang lucu jalan pikiran Pancapana. la menganggap
dirinya dua. Yang satu di luar dan yang lain di dalam. Yang di luar menjadi tua karena usia. Sedang yang di dalam tetap
segar seperti kanak-kanak. Itulah sebabnya pula, ia masih
menganggap dirinya sebaya dengan Bagus Boang. Sampai
pula ia pernah minta diangkat menjadi saudara. Kemudian
paman angkat, la pun akhirnya menemukan ilmu sakti
memecah diri menjadi dua. Kepandaiannya jadi lipat dua.
Sekarang ia bisa bertarung menghadapi Harya Udaya
seumpama dua Pancapana dengan berbareng. Harya Udaya
boleh hebat. Tetapi untuk melawan dua Pancapana tidak akan
mampu. Sebab semenjak dahulu, ilmu kepandaian Pancapana
hanya kalah seurat.
Demikian, setelah Bagus Boang meninggalkan gua,
timbullah niatnya hendak membebaskan diri. la pun
merencanakan pula suatu pembalasan dendam. Lantas saja ia
duduk bersila di depan guanya. Teringatlah dia kepada
pengalamannya dua puluh tahun yang lampau. Pengalaman
suka dan duka, budi dan permusuhan, cinta dan benci.
Terngiang-ngianglah suara seruling di dalam pendengarannya
yang selalu menghantui selama dua puluh tahun. Hatinya
panas bukan kepalang.
Tetapi diluar kesadarannya sendiri, masa pengurungan diri
selama dua puluh tahun merubah sifatnya. Sifatnya yang
berangasan dulu lenyap tak setahunya sendiri, adatnya yang
mau menang sendiri, kabur entah kemana. Itulah suatu nama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemujaan diluar kesadarannya sendiri. Kedewasaan jiwanya
mulai mengendap.
"Bagus Boang tak dapat melawan aku. Ilmunya masih kalah jauh dengan aku. Tetapi apa sebab dia bisa tahan mendengar
seruling iblis Harya Udaya?" pikirnya bolak balik. Inilah karena dia berhati bersih, jujur dan polos. Dia bebas dari pikiran sesat. Dia bebas dari rasa dendam dan benci. Sebaliknya aku yang berusia lebih tua, mengapa masih memikirkan balas
dendam segala" Sungguh lucu! Benar-benar cupat pikiranku!"
Pancapana bukan seorang yang patuh pada agama apa
pun. Namun ia mengerti asas agama dan tujuan orang
beragama. Itulah sebabnya ia gampang sadar. Pikirannya
mudah terbuka. Melihat cuaca terang benderang, hatinya ikut terang benderang pula. Pikirannya lantas menjadi jernih.
Masa hukuman dua puluh tahun mendadak hanya terasa
berkelebat saja di depannya. Hasil pembajaannya merubah
sikap dan pandangan hidupnya. Kalau saja ia tidak mendekam
selama itu, tak nanti ia memperoleh ilmu sakti tiada keduanya di dunia ini. la lantas bisa memaafkan perlakuan Harya Udaya terhadapnya. Tapi sadar berpembawaan berandalan, maka
Pancapana yang berada di dalam mengajukan usul jenaka
kepada Pancapana yang berada di luar.
"Kau pergi untuk selama-lamanya. Apakah memikir untuk
balik ke sini lagi" Hu! Kautinggali satu tugu peringatan. Bagi seorang pendekar, gaplokan, tusukan pedang, tinju, pukulan
atau tamparan sudahlah lumrah. Tapi kalau kau guyur air
perut dan telur busuk pasti akan teringat sampai mati."
Usul Pancapana yang dalam ini, terasa Jenaka. Pancapana
yang liar segera bekerja. Dengan gembira ia membuat liang.
Lalu bertelur di situ. Ia pun mengisi beberapa botol dengan air perut dan ditaruh di atap gua. Dengan sejalur benang ia
membuat jebakan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia kenal watak dan perangai Harya Udaya. Maka ia menulis
dan mengatur demikian rupa. Nyatanya ia berhasil. Setelah itu pergi dengan lenggang kangkung turun gunung. Ia tadi sudah
meninggalkan surat untuk Bagus Boang agar menyusulnya
dengan alasan berlatih.
Gembira ia, mengingat kebebasannya yang terjadi setelah
dua puluh tahun tersekap di dalam kurungan. Katanya
seorang diri, "Harya Udaya, ilmumu boleh menanjak tinggi.
Tapi kalau kau bertanding melawan Pancapana, tak sanggup
engkau berbuat banyak lagi. Kau tak dapat melawanku."
Teringat ilmu saktinya Dwitunggal tercipta setelah Bagus
Boang, ia sangat berterima kasih kepada pemuda itu. Sebab
pemuda itulah baginya yang memberikan ilham. Dan pemuda
itu, kini sudah menjadi kemenakannya.
Hatinya lantas gembira dan tegar. Saking gembiranya
tangannya mengebas membabat sebatang pohon dari jauh.
Mendadak terdengarlah suara gemeretak. Pohon itu roboh
seperti kena papas sebatang kampak raksasa yang tajam luar
biasa. Ia menjadi terkejut sendiri.
"Hai! Bagaimana aku maju begini pesat?" la tanya kepada dirinya sendiri. Ia tak tahu, bahwa menyekap diri selama dua puluh tahun mempunyai ceritanya sendiri. Itulah suatu masa
bertapa. Orang bisa menjadi sakti di luar pengertiannya
sendiri, selain berhasil menyakinkan suatu ilmu berdasarkan pikir.
la mencoba lagi untuk meyakinkan diri. Tangannya
mengibas membabat deretan pohon dari jauh. Hasilnya seperti tadi. Semua roboh terkutung.
"Hai! Bukankah ini pukulan jurus sakti warisan Arya Wira Tanu Datar! Kapan aku melatihnya?" serunya di dalam hati.
Pancapana setia pada ikrarnya. Tak berani ia mempelajari
kitab warisan Arya Wira Tanu Datar. Kemudian datanglah
Bagus Boang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena Bagus Boang tidak terikat kepada rumah
perguruannya, ia boleh mempelajari. Dan ia lantas melatihnya.
Dengan sendirinya ia ikut berlatih tanpa disadarinya sendiri, tatkala harus memberikan contoh-contoh dan penjelasan.
Tahu-tahu ia sudah menguasai di luar kesadarannya pula.
Itulah berkat modal ilmu saktinya yang sudah meresap sekian tahun dalam darah dagingnya. Keruan saja ia kaget sendiri
sampai berteriak-teriak.
"Celaka! Celaka! Inilah yang dikatakan orang, setan,
memasuki tubuh yang takkan dapat diusir lagi!"
Segera ia mengambil beberapa batang pohon yang rebah,
la membesat kulitnya dan memilih yang ulet. Lalu ia memikat kedua tangannya dengan bantuan mulutnya. Lalu ia berjanji
pada dirinya sendiri.
"Sadar atau tidak, aku sudah melanggar pesan Guru.
Karena itu, aku akan membelenggu kedua tanganku, sampai
aku melupakan jurus-jurus warisan Arya Wira Tanu Datar.
Meskipun Harya Udaya dapat menguber kepergianku, aku
takkan membalas bila diserangnya."
Sudah barang tentu Harya Udaya tak mengerti akan bunyi
sumpahnya. Ia hendak mengerti watak Pancapana yang
Jenaka dan senang bergurau. Katanya memperkenalkan
kelima tokoh sakti.
"Pancapana! Inilah saudara Suriamanggala, ini saudara
Galuh Waringin...dan ... ini...."
Belum lagi selesai ia memperkenalkan, Pancapana sudah
berjalan mengitari mereka. Memang sebenarnya tak perlu ia
memperkenalkan siapa mereka. Sebagai orang kawakan,
Pancapana kenal mereka berlima. Hanya herannya, apa sebab
orang edan itu lantas menyengir-nyengirkan hidungnya.
Segera ia sadar, bahwa kelima pendekar itupun kena kebagian air perutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai! Hai!" seru pancapana dengan tertawa puas. "Tuhan, sungguh maha Adil! Mereka cuma kecipratan sedikit saja.
Yang paling kebanjiran air ternyata Harya Udaya seorang.
Ha... ha... ha... Tapi kamu semua dahulu pernah bertarung
dengan aku sewaktu mencoba-coba kepandaian. Sedikit
banyak kamu berlima pernah memukul tubuhku. Kalau
sekarang, kamu berlima kebagian sepercik, rasanya itu suatu pelunasan yang adil."
Suriamangala tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.
Hasanuddin yang berangasan pun bisa menguasai diri. Ia
terhibur menyaksikan Harya Udaya dipermainkan pendekar
angin-anginan itu. Mendadak timbullah rasa dengkinya
mengingat ia kena dikalahkan. Lalu berkata membakar,
"Saudara Harya Udaya! Orang ini sangat lincah kini.
Tampaknya kepandaiannya berada diatasmu. Lebih baik
jangan kau ganggu dia."
Memang selain berangasan, Hasanuddin licin pula. Harya
Udaya kena dibakarnya. Pikir ahli pedang ini, kau masakan
tahu kemajuanku selama dua puluh tahun belakangan ini.
Nyatanya, kamu berlima dapat kurobohkan hanya dengan
tangan kosong belaka. Setelah berpikir demikian, ia berkata nyaring kepada Pancapana: "Pancapana! Semenjak dulu aku bilang kepadamu, saat kauserahkan kitab warisan Arya Wira
Tanu Datar bagian bawah kepadaku.... kau akan
kumerdekakan. Bukankah kau telah membaca dan
menghafalkan?"
Memang sebenarnya Pancapana telah membaca dan
menghafal kitab warisan itu. Itu terjadi setelah ia kaget bahwa kitab warisan bagian atas yang dibawanya dinyatakan palsu
oleh Naganingrum. Segera ia berlari-lari balik. Dengan
penasaran ia membongkar tempat penyimpanannya dan
membacanya. Lantas ia mencocokkan bunyi bagian atas.
Ternyata jadi urut. Maka tahulah dia, bahwa Naganingrum
telah menipunya. Ia menyimpannya baik-baik lagi. Kemudian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menemui Harya Udaya dan Naganingrum dengan membawa
yang bagian atas. Maksudnya hendak membuka kedoknya.
Tentu saja, ia membuat Harya Udaya marah. Lantas ia
dikurung selama dua puluh tahun.
Tatkala melatih Bagus Boang, ia meyakinkan dirinya sendiri
bahwa ia benar-benar tidak pernah membaca kitab warisan
bagian bawah. Ia bisa membohongi Bagus Boang, tetapi tidak
dapat membohongi diri sendiri. Setiap kali melihat yang bagian atas kepada Bagus Boang, secara wajar ia teringat kepada
yang bagian bawah. Sebab manusia di dunia manapun merasa
tak puas, apabila hanya membaca suatu persoalan separuhseparuh. Dengan begitu sesungguhnya dialah kini satusatunya orang di dunia yang mewarisi kitab sakti Arya Wira
Tanu Datar penuh-penuh.
"Aku sudah bosan menemani engkau," katanya. "Maka aku lantas pergi."
Harya Udaya mengulurkan tangannya seraya menggertak.
"Mana kitab itu" Serahkan!"
"Aku kan sudah meminjami semenjak dua puluh tahun
yang lampau?"
"Itu kan hanya sebagian?" damprat Harya Udaya dengan mata melotot.
Pancapana tertawa. Sahutnya, "Bagus Boang bukankah
calon menantumu" Dia begitu mencintai puterimu itu. Apa
yang menjadi miliknya, dengan sendirinya menjadi milikmu
juga. Aku telah mengajarinya dari kepala sampai ekornya.
Hanya saja dia tidak sadar. Pada saat ini...." Ia lantas berhenti. Hampir saja ia memberitahukan, bahwa ia telah
memberikan peta bumi tempat penyimpanan kitab warisan
bagian bawah kepada Bagus Boang. Syukur ia segera sadar
akan kelicikan Harya Udaya. Seumpama kelepasan, pastilah
Bagus Boang dalam bahaya besar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, mendengar Pancapana menyebutkan
perhubungan puterinya dengan Bagus Boang, Harya Udaya
terkejut sampai mukanya berubah. Meskipun sebagai orang
tua, ia sudah dapat menebak kata hati puterinya dalam
serentetan pembicaraan tadi.
"Kau bilang apa?" bentaknya. Dan ia lantas menoleh kepada Ratna Permanasari. Dengan sendirinya, wajah Ratna
Permanasari menjadi merah. Tapi dasar polos, ia lantas
berkata menegas kepada Pancapana.
"Paman! Benarkah Paman telah mewarisi seluruh isi kitab warisan Arya Wira Tanu Datar?"
Pancapana tertawa senang. Sahutnya, "Masakan palsu"
Aku bukan ibumu yang pandai mengarang cerita gubahan."
"Bagus!" Harya Udaya mendongkol. Sekarang hatinya gusar, karena Pancapana membongkar perangai isterinya di
depan gadisnya. Lantas membentak, "Kalau begitu, kau
serahkan semua yang tulen!"
Pancapana tertawa sambil mengelus-elus jenggotnya.
"Semua ada padaku. Kalau kau mempunyai keberanian,
cobalah ambil!"
Harya Udaya tertawa nyaring. Katanya, "Kau menantang
aku" Huh huh! Aku harus menggunakan ilmu yang mana
untuk mengambil kitab warisan itu dari tanganmu?"
"Nanti dulu, biar kupikir sebentar," sahut Pancapana sambil memiring-miringkan kepala. Sejenak kemudian menetapkan,
"Kau pakailah ilmu merenggut hati seorang perempuan. Haa...
ya begitu. Itu yang paling tepat."
Tentu saja ini merupakan sindiran hebat yang tepat
mengenai jantung Harya Udaya. Seperti diketahui, demi kitab warisan Arya Wira Tanu Datar dan kitab ilmu pedang Sych
Yusuf, ia mencekoki Ratu Naganingrum dengan semacam obat
yang hanya dapat dipunahkan sendiri. Dengan cara begitu, ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dapat menawan Ratu Naganingrum. Keruan saja mendengar
kata-kata Pancapana seluruh bulu tubuhnya terbangun karena
murka. Dengan mata menyala ia membentak, "Hari ini
janganlah kau mengira bisa lolos dari tanganku."
Berbareng dengan ucapannya, ia melompat menyambar.
Pancapana mengelak. Aneh cara mengelakkan serangan Harya
Udaya yang terkenal dahsyat dan mematikan. Tubuhnya


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhuyung-huyung ke kiri dan ke kanan. Dan semua serangan
Harya Udaya lewat tanpa dapat menyentuh kulitnya.
Harya Udaya tercengang. Ia heran, apa sebab Pancapana
tak mau membalas setelah dapat mengelakkan serangannya.
Ia pun kagum pada cara pengelakannya. Tiba-tiba ia sadar.
Harga dirinya muncul. Lalu berkata, "Aku Harya Udaya,
masakan pantas berlawan-lawanan dengan seseorang yang
mengikat kedua tangannya sendiri. Hayo, kau lepaskan
ikatanmu!" Ia lantas melompat mundur tiga langkah.
"Pancapana!" serunya lagi. "Kedua kakimu sudah pulih atau belum" Aku dahulu terpaksa berbuat tidak pantas
terhadapmu. Nah, bersiagalah! Ingin aku belajar kenal dengan warisan sakti Arya Wira Tanu Datar yang lengkap!"
Pancapana nampak tenang-tenang saja. Wajahnya
memancarkan pandang sabar.
"Harya Udaya. Aku mempunyai kesulitanku sendiri. Aku
tidak berdusta. Aku tidak dapat melepaskan ikatan tanganku."
"Biarlah aku yang menolong memutuskan tali pengikatnya,"
tukas Harya Udaya cepat. Segera ia mengulurkan tangannya.
Sekonyong-konyong Pancapana menjerit-jerit. "Aduh,
tolong! Tolong!"
Ia lantas melompat berjumpalitan sambil berkaok-kaok
terus. Kemudian menjatuhkan diri di atas tanah dengan
bergulingan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ratna Permanasari kaget. Ia mengira, ayahnya
menyakitinya. Lantas saja ia berteriak mencegah. "Ayah!
Jangan kausakiti dia...."
Ia maju hendak mencegah. Mendadak lengannya kena
sambar orang. Ia menoleh. Ternyata yang menyambar
lengannya adalah Suriamanggala. Setelah mendengar
serentetan pembicaraan Pancapana dan Harya Udaya
mengenai hubungan Ratu Bagus Boang dan Ratna
Permanasari, Suriamanggala berlima berkesan baik
terhadapnya. "Sssst! Biarkan saja, kau perhatikan gerak-gerik
Pancapana," bisik Suriamanggala.
Pancapana. Pendekar berandalan dan Jenaka itu, masih
saja bergulingan di atas tanah. Lincahnya bukan main. Harya Udaya maju terus. Dia memukul dan menendang. Tapi tak ada
satupun yang dapat menyentuh tubuh Pancapana.
Menyaksikan hal itu, Ratna Permanasari lantas tahu
maksud baik Suriamanggala. Ia segera memperhatikan
Pancapana bergulingan terus. Orang itu agaknya hendak
memperlihatkan kepandaiannya. Ia hafal bunyi kata-kata
warisan sakti Arya Wira Tanu Datar. Tetapi mengenai jurus
menggulingkan diri, tiada. Apakah jurus itu terdapat pada
bagian bawahnya" Tanpa disadari sendiri, ia berseru tertahan:
"Bagus!"Harya Udaya menjadi sangat penasaran. Inilah untuk
pertama kalinya selama hidup, bahwa semua serangannya
dapat dikelit dengan cara sedemikian rupa oleh seseorang
yang tidak mau mengadakan serangan balasan. Ia benarbenar merasa diri direndahkan! Hatinya jadi panas. Lantas
saja ia memperhebat serangannya. Hebat kesudahannya.
Tubuh Panacapana tiada kena sentuh. Tapi bajunya robek
terpotong-potong dan jatuh berhamburan sepotong demi
sepotong. Bahkan rambut dan kumisnya pun juga terpapas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
oleh serangan dahsyat Harya Udaya yang memang hebat tak
terkatakan. Betapapun juga, Pancapana bukan manusia goblog. Ia
sadar akan ancaman bahaya. Buru-buru ia mengerahkan
tenaganya dan tangan kirinya merenggut ikatannya sendiri.
Kemudian dia menangkis. Inilah gerakan naluriah setiap insan manakala merasa dalam bahaya. Meskipun demikian, masih
saja ia sadar akan bunyi sumpahnya. Tangan kanannya segera
disengkelitkan ke belakang punggungnya dan ia melayani
Harya Udaya dengan tangan kirinya.
Benar-benar besar keberanian Pancapana. Ia berani
melayani Harya Udaya dengan tangan sebelah, sedang yang
lain kadang-kadang menggaruk-garuk rambutnya yang terurai
panjang. Terdengar mulutnya meng-gerendeng. "Inilah
celakanya orang kena sekap selama dua puluh tahun.
Rambutku lantas menjadi sarang kutu-kutu..."
Heran dan khawatir Suriamanggala ber-lima, menyaksikan
perangai Pancapana. Orang itu benar-benar tak tahu diri.
Menghadapi Harya Udaya masih berani ia bergurau. Mereka
tak tahu, bahwa Pancapana memiliki ilmu memecah diri.
Nampaknya hanya sebelah tangan, tapi sebenarnya tak ubah
dua tangan. Harya Udaya sendiri terkejut menghadapi lagak lagu
Pancapana. Dalam saat bahaya, masih berani dia bergurau
sambil mencari kutu rambut. Sekalipun demikian, dengan
cepat ia dapat menangkis dan memunahkan serangannya.
Keruan saja, hatinya bertambah panas dan penasaran. Segera
ia melepaskan tiga pukulan beruntun. Inilah pukulan yang
dapat merobohkan Suriamanggala berlima. Bahayanya bisa
mengancam maut. Dan melihat menyambarnya pukulan itu,
wajah Ratna Permanasari sampai berubah hebat. Mendadak ia
mendengar Pancapana berkata, "Harya Udaya! Untuk
menangkis serangan ini, aku harus menggunakan kedua
tanganku dengan berbareng. Maaf!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berkata demikian, tangan kanannya menangkis dan
tangan kirinya menyambar ikat kepala Harya Udaya.
Dalam hal mengadu tenaga sakti, Pancapana masih kalah
seurat dengan Harya Udaya. Apalagi lantaran penasaran
Harya Udaya melepaskan pukulan penuh-penuh dengan kedua
tangannya. Begitu kebentrok Pancapana lantas terhuyung
mundur dan kemudian roboh. Tetapi ia berhasil mencomot
ikat kepala Harya Udaya.
Ah! Di dunia ini ternyata masih ada orang yang sanggup
menandingi Harya Udaya. Ini diluar dugaan siapa pun.
-ooo00dw00ooo- 10 SATU SATU HARYA UDAYA melompat maju. Dalam murkanya ia
mengulangi serangannya dengan kedua tangannya. Inilah
serangan maut. Tenaga himpunan sakti yang digunakan bisa
menggugurkan batu gunung sebesar rumah.
"Kau gunakan kedua tanganmu untuk menangkis!"
bentaknya dengan suara menggeledek. "Dengan sebelah
tanganmu tak mungkin kau bisa menahan."
"Tidak bisa!" seru Pancapana. "Satu tangan harus cukup."
"Kau coba saja!" Harya Udaya gusar.
Bres! Mereka beradu tenaga. Kesudahannya, Pancapana
jatuh terjongkok tiada bergerak. Kemudian tenggorokannya
memperdengarkan suara berkeruyuk. Dan ia melontarkan
darah segar, sehingga wajahnya menjadi pucat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kelima orang sakti itu heran menebak-nebak menyaksikan
hal itu. Pancapana bisa berlawanan sama tangguhnya. Dia
belum perlu kalah. Sayang, ia hanya menggunakan sebelah
tangan. Kenapa tidak dengan kedua tangannya untuk
menangkis serangan geledek Harya Udaya"
Setelah melontakkan darah, Pancapana berdiri dengan
perlahan-lahan. Katanya, "Aku mempelajari warisan Arya Wira Tanu Datar di luar kesadaranku. Bagaimanapun juga, artinya
aku melanggar pesan guruku. Jikalau aku menggunakan
kedua tanganku, kau Harya Udaya pasti takkan sanggup
melawan aku...."
Harya Udaya percaya akan pernyataannya. Karena itu ia
membungkam. Pancapana meskipun terkenal sebagai
pendekar edan-edanan, nyatanya mengerti tata susila hidup.
Ia tak mau melanggar pesan gurunya secara sadar. Sebaliknya dia yang mengagungkan diri sebagai seorang ahli pedang
nomor satu di kolong langit, telah menawan orang lantaran
sebuah kitab. Bahkan untuk suatu kitab ilmu pedang, ia
pernah menggunakan tipu daya terhadap Naganingrum. la
menjadi malu sendiri.
Keempat tokoh sakti itu terkejut bukan kepalang. Mereka
tahu, Harya Udaya seorang pendekar jempolan. Tapi tak
mengira, bahwa tenaganya sanggup merobohkan Hasanuddin
dalam satu gebrakan.
la merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan botol
berisi air Tirtasari. Katanya seraya mengangsurkan kepada
Panca-pana, "Pancapana, ini! Aku hanya dapat memberikan ini. Meskipun bukan buah Dewa Ratna, tapi air Tirtasari ini besar khasiatnya. Kau minumlah tiga teguk setiap hari. Dalam tiga hari saja, lukamu bakal sembuh."
Pancapana tiada sangsi, la menerima dan membuka
tutupnya. Kemudian meneguk satu tegukan. Setelah
menyimpan botol air Tirtasari, ia segera meluruskan jalan
pernapasan. Sebentar saja, keadaannya nyaris pulih kembali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Katanya sambil menatap wajah Harya Udaya, "Kemarin aku berpesan kepada Bagus Boang untuk menyusul aku ke rumah
batu di bawah sana. Aku bilang untuk berlatih. Tapi
sebenarnya aku melihat berkelebatnya orang yang aku benci.
Hm, syukur Bagus Boang tidak datang."
"Siapa?" Harya Udaya menegas.
"Dialah Watu Gunung."
"Watu Gunung?" Harya Udaya menekankan suaranya.
Semua orang kaget. Mereka kenal siapakah Watu Gunung.
Dialah pendekar kelas wahid yang beracun. Dahulu hari ia
pernah kena gempur Ki Ageng Darmaraja"guru Ki Tapa,
Pangeran Purbaya dan Pancapana. Kabarnya, ilmu saktinya
musnah. Tak terduga, setelah selang dua puluh tahun ia
muncul dengan tiba-tiba di Gunung Patuha. Kalau ilmu
saktinya tidak pulih, masakan berani bergurau dengan Harya
Udaya. "Harya Udaya!" kata Pancapana lagi. "Selama kau mengagulkan diri sebagai seorang ahli pedang nomor satu di
dunia ini. Nyatanya kau belum sadar, rumahmu kena
digerayangi Watu Gunung. Pada saat ini, entah apa yang
sedang dikerjakan di dalam rumahmu."
Mendadak teringatlah Harya Udaya tentang rusaknya gua
tempat berlatih. Seketika itu juga, berubahlah wajahnya.
Terus saja ia menyambar tangan Ratna Permanasari seraya
berkata mengajak. "Mari!"
Berbareng dengan ajakan, tahu-tahu bayangannya telah
berkelebat dengan menggandeng pergelangan tangan
puterinya. Gesit dan luar biasa cepatnya. Sebentar saja
bayangannya tiada nampak lagi.
Suriamanggala berlima hanya kaget sebentar. Kemudian
tersirap lagi. Ia mempunyai urusannya sendiri. Itu mengenai Ratu Bagus Boang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai, Suriamanggala! Bukankah kalian datang urusan Bagus Boang?" Pancapana mendahului. "Ia sudah mengangkat aku menjadi pamannya. Dengan begitu, lain kali kalian harus
bersembah padaku."
Mereka tahu, Pancapana seorang pendekar senang
bergurau. Karena itu, mereka tidak mengambil pusing segala
perkataannya yang bukan-bukan. Sahut Suriamanggala,
"Benar. Dimanakah dia kini?"
"Mengapa engkau bertanya kepadaku" Dengan puteri
silmuan Harya Udaya, dia bergaul rapat. Kalau kau tak bisa
memperoleh keterangan dari ayahnya, tanyakan kepada
gadisnya. Bagus Boang masakan meninggalkan gunung tanpa
menengok tambatan hatinya?"
Suriamanggala mau percaya keterangan Pancapana.
Tentang hubungan cinta kasih, tak mau ia menarik urat. la
menegas, "Benar-benarkah dia masih hidup?"
"Apakah dia sudah mati?" Pancapana membalas dengan pertanyaan pula.
Suriamanggala menahan napas untuk menguasai
kesabarannya. Memang untuk menghadapi pendekar edan ini,
seseorang harus bisa sabar. Katanya menekan, "Aku
mendengar kabar, dia kena dikurung Harya Udaya. Mengingat
perangai Harya Udaya, dia bisa menganiaya...."
"Benar. Memang dia kena kurung seperti aku. Tapi ia tiba di guaku dengan kemauan-nya sendiri."
"Dengan kemauannya sendiri bagaimana?"
"Kau tanyakan sendiri kepada setan atau iblis atau siluman, kenapa dia datang ke guaku!" Pancapana jadi uring-uringan karena didesak. "Masakan aku harus tahu?"
Suriamanggala menghela napas. Ia tersenyum geli. Lalu
berkata dengan suara rendah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah. Memang aku yang tak tahu adat"
"Mengapa tak tahu adat?" Pancapana tercengang.
"Mengapa aku minta penjelasan kepadamu seperti sedang
memeriksa pesakitan."
"Ah ya, betul begitu." Pancapana menggaruk-garuk
kepalanya. Kemudian memiringkan kepalanya sambil berkata
lagi. "Tapi kalau dipikir, sebenarnya akulah yang tak tahu adat."
"Mengapa tak tahu adat?" Suriamanggala meniru lagak lagunya.
"Karena aku menyuruh engkau mencari setan, iblis atau
siluman untuk minta keterangan perihal Bagus Boang.
Dimanakah kau bakal mencari setan!" kata Pancapana dengan sungguh-sungguh. Dan mendengar kata-katanya, sebenarnya
mereka semua geli. Namun demi menjaga adat si pendekar
edan itu, tak berani mereka tertawa.
"Baiklah. Karena kau tak bisa memberi keterangan, kami akan pergi saja..." Hasanuddin si berangasan menimbrung. Ia seorang licin. Segera ia dapat jalan untuk melagui Pancapana.
Benar saja, Pancapana lantas berjingkrakan. Katanya,
"Mengapa aku tak bisa memberi keterangan" Mengapa tak
bisa" Mengapa tak bisa" Apakah kau hendak menghina aku"
Bagus Boang benar-benar berada di dalam guaku selama tiga
bulan lamanya. Dia keluar dari gua lantaran pesanku agar
menyusul aku. Kukira, dia tidak menyusul aku. Sebaliknya
berbelok arah. Hai! Pasti dolan3) ke rumah harya Udaya untuk mengintip Ratna Permanasari. Memangnya, tampangku lebih
menarik daripada gadisnya Harya Udaya."
Sekarang mereka terpaksa tersenyum lebar juga. Setelah
saling pandang, Suriamanggala berkata memutuskan.
"Baiklah. Aku akan minta penjelasan puteri Harya Udaya.
Kalau aku bertemu Ratu Bag Boang, aku harus bilang
bagaimana?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pancapana memiring-miringkan kepalanya. Lalu menyahut,
"Aku sudah bebas!"
Berbareng dengan jawabannya, Pancapana lantas mencelat
jauh. Ia lari berjingkrakan turun gunung dengan sangat
lincahnya. Mau tak mau, kelima pendekar sakti itu kagum luar biasa. Mereka tadi menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
Pancapana kena pukulan, hebat sehingga melontakkan darah
segar. Namun begitu, masih ia bisa bergerak begitu lincah. Ini membuktikan, bahwa ilmu saktinya tidak berada di bawah
Harya Udaya. Mungkin malahan melebihi.
"Mari!" ajak Suriamanggala. Meskipun Pancapana terkenal sebagai pendekar edan-edanan, namun kata-katanya bisa
dipegang. Suriamanggala percaya, dia tidak berdusta. Maka
setelah berkata mengajak, dia mendahului berjalan cepat balik ke rumah Harya Udaya.
Melihat Suriamanggala kembali ke rumah Harya Udaya,
keempat rekannya segera mengikuti. Memang hati mereka tak
puas, sebelum memperoleh keterangan yang memastikan
tentang Ratu Bagus Boang.
Demikianlah, mereka berlima berjalan dengan cepat.
Meskipun tenaga saktinya belum pulih seluruhnya, tetapi
kecepatannya melebihi manusia lumrah. Dan begitu membelok
tikungan mendadak mereka mendengar suara Harya Udaya


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentak. "Ah! Benar-benar saudara Watu Gunung berada di sini."
Mereka melihat seorang laki-laki dengan kumis dan
berewok kusut ibarat rumput lading belantara. Mukanya
ditutupi topeng hitam sampai ke telinganya. Brewoknya
menjembros lewat di bawahnya. Ia hanya bertangan sebelah.
Yang lainnya tidak utuh. Buntung sebatas sikut dan ujung
sikutnya menonjol tajam. Rupanya lengannya bekas kena
tebas sampai ke sikutnya. Dan sikutnya itu dia ikat dengan
pita merah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedua kakinya pun tidak utuh pula. Yang satu buntung dan
disambung dengan bambu. Sedang yang lain mengandal
kepada jagang ketiak. Bila bergerak, kakinya yang buntung
tidak menginjak tanah. Tergantung kira-kira tiga jari di atas tanah.
Jagang ketiaknya yang diandalkan terbuat dari besi entah
baja. Setiap kali ditaruh di atas tanah, selalu mengeluarkan bunyi berdencing. Ternyata pada ujungnya terdapat gelang-gelangan beberapa buah yang saling berbenturan apabila
ujung tongkatnya digerakkan.
Luar biasa roman orang itu. Pakaian yang dikenakan luar
biasa pula. Dandanannya tidak seperti kebanyakan orang. Dia mengenakan baju dalam berwarna putih. Kemudian rompi
berwarna biru. Dan baju luarnya, jubah panjang dengan
sulaman benang emas. Anehnya diberi kain tambalan bahan
tua berjumlah tujuh, sedangkan serahannya, setengah ikat
kepala berwarna hitam. Dengan begitu, kesannya tak keruan
macam. Barangsiapa memandangnya sedikit lama saja, akan
menjadi muak. Dengan bulu roma menggeridik mereka mengawaskan
orang itu. Dialah pendekar Watu Gunung yang dahulu terkenal berparas sangat tampan. Ki Ageng Darmaraja dahulu,
kabarnya hanya menggempur dengan memukul sekali saja.
Kalau gempuran itu bisa merubah tata tubuhnya, benar-benar
hebat pukulan Sorga Dahana.
Harya Udaya kenal siapakah Watu Gunung. Diatas gunung
Cakra Bhuwana dahulu dia pernah mengadu kepandaian. Ia
pun pernah mendengar kabar tentang malapetaka yang
menimpa Watu Gunung. Masakan sehebat itu akibatnya"
Teringat Watu Gunung seorang pendekar licin dan berbisa, ia berwaspada. Jangan-jangan dia sedang mengatur suatu tipu
daya" "Tiada hujan tiada angin, saudara Watu Gunung datang
mengunjungi pondokku. Hantu manakah yang telah membawa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saudara terbang kemari?" kata Harya Udaya lagi. Tiba-tiba ia mendengar kedatangan Suriamanggala berlima, la menoleh.
Watu Gunung pun menoleh.
"Hm...." gumam Watu Gunung. Kemudian tertawa dua kali.
Sikapnya angkuh dan tidak memandang mata.
Harya Udaya tidak memedulikan sikap angkuhnya, la
menegur lagi. Kali ini menegas.
"Kau datang kemari untuk apa, Tuan?"
"Aku leluhur bangsa bangsat," sahut Watu Gunung.
"Sarangku di atas Gunung Mandalagiri. Kalau sekarang datang kemari, pastilah ada maksudku. Mengapa mesti kautanyakan"
Huh...huh.... Aku golongan bangsat dan kau golongan maling.
Kalau maling ketemu bangsat, harus menunjukkan hormatnya.
Nah, berilah aku hadiah hasil curianmu."
Mendengar ucapannya, Harya Udaya lantas saja menjadi
gusar. Bentaknya, "Kau minta hadiah apa?"
Watu Gunung tertawa panjang. Sahutnya dengan suara
mengguruh, "Bukankah kau sudah berhasil mencuri kitab
warisan Arya Wira Tanu Datar berbareng kitab ilmu pedang
Syech Yusuf" Kau tidak hanya berhasil mencuri dua kitab itu saja, tapi juga pedang mustika dunia Sangga Bhuwana. Benarbenar besar rejekimu. Sebaliknya, akulah manusia yang tidak kebagian rejeki. Belum-belum aku sudah kena pukul. Hm...
hm.... Karena kukira sudah cukup lama berada di tanganmu,
nah, serahkan semuanya itu kepadaku. Hari ini juga!"
Seperti diketahui, waktu Watu Gunung pernah mencoba
mencuri kitab warisan Arya Wira Tanu Datar di rumah
perguruan Ki Ageng Darmaraja guru Ki Tapa dan Pancapana.
Ia mengira, Ki Ageng Darmaraja waktu itu sudah meninggal.
Tak terduga sama sekali, begitu ia menyambar kitab sakti itu mendadak Ki Ageng Darmaraja yang nampak terientang
menjadi mayat, bisa mencelat bangun dan memukulnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan pukulan Sorga Dahana yang memusnahkan ilmu
saktinya. Benar-benar sial kala itu. Begitu lari turun gunung, ia
kepergok pendekar-pendekar yang datang berkabung. Mereka
mendengar lonceng tanda bahaya. Melihat berkelebat-nya
Watu Gunung mereka curiga. Kabarnya lantas menghajar
tubuh Watu Gunung sampai rusak.
Watu Gunung tak dapat melawannya, karena ilmu saktinya
telah musnah. Untuk menolong jiwanya, ia terjun ke dalam
jurang. Setelah beberapa hari rebah pingsan, dengan
merangkak ia pulang ke Mandalagiri. Tentu saja ia tak dapat mencapai maksudnya. Tubuhnya rusak sedemikian rupa
seumpama mayat hidup. Seumpama bisa pulang ke
Mandalagiri, belum tentu ia diterima orang. Sadar akan hal itu, ia lantas memasuki hutan dan menyekap diri selama dua
puluh tahun. Ia berusaha memulihkan ilmu saktinya. Lantaran ketekunannya, maksudnya berhasil. Hanya saja tak dapat lagi ia menggunakan keragaman pukulan Brajakumara. Itu ilmu
pukulan beracun. Barangsiapa kena cakarnya, apalagi
pukulannya, akan mati dalam waktu tiga hari.
Dalam pada itu, begitu mendengar kata-kata Watu Gunung,
Harya Udaya kaget. Tentang kitab dan pedang yang
dimilikinya sekarang, adalah suatu rahasia besar. Aneh.
Apa sebab Watu Gunung bisa tahu. Tapi karena dia
seorang pemberani dan sudah banyak makan asam garam,
maka kesan hatinya tiada nampak pada wajahnya. Ia hanya
kelihatan tercengang sejenak, kemudian wajar kembali seperti sediakala. Lalu tertawa terbahak.
"Saudara! Tubuhmu sekarang sudah menjadi cacat begini.
Apa perlu mengharapkan segala kitab dan pedang?" katanya.
"Kau harus bisa tahu diri. Seumpama kau memiliki pedang, bagaimana caramu menggunakan. Tanganmu yang nampak
utuh itupun, kurang sempurna. Sebab hanya dapat kaugunakan untuk sandaran berat tubuhmu. Pendek kata, kau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bisa menggunakan pedang kembali kalau kau kembali lahir
pada zaman mendatang menjelma menjadi manusia utuh."
Apa yang dikatakan Harya Udaya sebenarnya tidak salah.
Kecuali warisan Arya Wira Tanu Datar sangat sulit dipelajari, masih membutuhkan pula anggota tubuh yang lengkap dan
sempurna. Hanya saja, karena dikatakan secara berhadaphadapan dan bernada keras, kesannya sangat menghina.
Ratna Permanasari meskipun jemu melihat lagak lagu Watu
Gunung, namun perasaannya yang halus tidak menyetujui
cara ayahnya memperlakukan. Katanya dalam hati, dia
seorang cacat. Kenapa Ayah menghinanya dengan kata-kata
keras" Sebaliknya, Watu Gunung nampak tenang-tenang saja. Ini
sikap yang luar biasa. Dimana saja, biasanya seorang cacat
akan cepat tersinggung manakala dirinya dihina. Kenapa dia
tidak" Hanya pandang matanya saja mendadak berkilat-kilat
seakan-akan mencorong4).
"Memang benar," sahutnya. "Aku sendiri tak bisa menggunakan pedang seperti dahulu. Tapi muridku bukan
seperti aku. Sebenarnya muridku itu hendak datang kemari
untuk merampas kedua kitabmu dan pedangmu. Tetapi untuk
dapat mencapai maksudnya dia harus bersabar sepuluh tahun
lagi. Inilah yang membuat aku tak sabar. Maka kedatanganku
kemari ini, sebenarnya hanya mewakili muridku untuk
meminta dikembalikan kitab curian itu. Hitung-hitung, engkau menghadiahinya lewat tanganku."
Harya Udaya berpikir keras. Mendengar kata-katanya, jelas
sekali dia mengerti tentang sejarah kitab yang dimiliki
sekarang, la lantas maju satu langkah. Bertanya dengan suara keras. "Siapakah muridmu itu?"
"Suryakusumah," jawabnya.
Harya Udaya tercengang sampai melongo sejenak. Ratna
Permanasari juga tak kurang herannya. Ia berkesan baik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terhadap Suryakusumah. Keluhuran budinya tidak kalah
dengan Bagus Bpang. Hanya saja ia keras hati ibarat gunung
baja. Mustahil dia sudi menjadi murid orang ini, pikirnya.
Tetapi seorang gadis yang berperasaan halus tak mau ia
menegurnya. Sebaliknya ia diam.
Sebaliknya tidaklah demikian dengan Suriamanggala
berlima. Mereka semua kenal Suryakusumah. Dialah ahli waris Himpunan Sangkuriang. Dia murid Ganis Wardhana dan
sekarang mencoba mendalami ilmu pedang pendekar
Iskandar"ayah angkat Fatimah. Sebagai seorang ketua
Himpunan, mustahil dia berguru kepada Watu Gunung yang
justru menjadi musuh kaum pendekar yang sadar akan suatu
perjuangan bangsa dan negara. Mereka lantas merasa
direndahkan Watu Gunung. Keruan mereka gusar, meskipun
tenaganya belum pulih seperti sediakala.
"Ngacau! Ngawur!" bentak Hasanuddin si berangasan.
"Suryakusumah adalah calon ketua Himpunan Sangkuriang.
Dia ahli waris pendekar Ganis Wardhana. Siapa saja tahu hal itu. Apa sebab kau bilang dia adalah muridmu?"
Watu Gunung tertawa. Tertawa dingin yang menjemukan.
Kemudian menyahut, "Meskipun aku jelek, tapi kalau
dibandingkan dengan kalian berlima, masih lumayan aku.
Malahan jauh lebih baik! Dengan ke-mauannya sendiri,
Suryakusumah mengangkat aku menjadi gurunya. Dialah
sekarang muridku. Apakah kalau dia menjadi muridku, lantas
berarti aku telah merampas kedudukannya sebagai ketua
Himpunan" Hai! Mengapa kalian begini busuk?"
Mata Hasanuddin mendelik saking gusarnya. Hampir saja
dia jatuh pingsan. Baru saja mulutnya bergerak hendak
menyemprot, tiba-tiba Harya Udaya berkata nyaring: "Watu Gunung! Kau telah datang kemari. Akupun telah menerimamu.
Mengapa engkau tetap mengenakan topengmu" Itu suatu
hinaan!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berbareng dengan ucapannya, tangan Harya (Jdaya
menyambar. Dia seorang pendekar yang memiliki kegesitan
tanpa tanding. Lagipula hatinya mendongkol. Maka
gerakannya sangat cepat. Dengan tangan yang sudah terlatih
semenjak mudanya, gerakannya seumpama kecepatan kata
hatinya. Tujuannya hendak menyambar topeng. Karena
jaraknya hanya beberapa langkah, tiada bakal ia luput.
Nyatanya tidak begitu.
Meskipun seluruh anggota badannya cacat tak keruan,
namun Watu Gunung ternyata lebih gesit. Dengan tongkat
besinya, ia mengetuk tanah. Tubuhnya lantas melesat mundur
hampir lima langkah, la lolos dari sambaran tangan Harya
Udaya yang terkenal cepat luar biasa.
Menyaksikan kejadian itu, semua orang kaget berbareng
heran. Saking herannya, Ratna Permanasari sampai menjerit.
Maka kabar luaran yang mewartakan Watu Gunung seorang
pendekar kelas wahid pada zaman mudanya, benar-benar
tidak bohong. "Harya Udaya! Kau ingin melihat wajahku" Baik, baik!" Seru Watu Gunung dengan suara melengking. "Hanya saja aku
khawatir, kalian tak enak hati. Lihat!"
Harya Udaya menatap wajahnya. Begitu juga Ratna
Permanasari dan kelima pendekar. Semuanya ingin melihat
wajah asli Watu Gunung.
Watu Gunung lantas menanggalkan topengnya dengan
perlahan. Begitu topengnya terbuka, hati Harya Udaya
tergoncang. Surimanggala berlima tertegun, sedang hati
Ratna Permansari giris5) dan menggeridik.
Melihat topengnya tadi, semua orang sudah mengira bahwa
wajahnya pasti buruk. Tetapi apa yang mereka saksikan
benar-benar melebihi. Wajah itu tidak hanya buruk, tapi juga penuh bekas tanda luka. Luka itu malang melintang merajang
wajah sampai hidung dan pipinya tiada bentuknya lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah, bagimana" Apakah ada bedanya dengan wajahku
yang dahulu?" kata Watu Gunung dengan suara dingin.
"Tak banyak bedanya" sahut Harya Udaya yang tak kurang pula dinginnya.
"Tak banyak bedanya bagaimana?"
"Wajahmu dahulu memang elok. Kau terkenal sebagai
Kamajaya. Tapi hatimu busuk dan beracun. Kalau sekarang
kau berwajah demikian, bukankah sudah sesuai?"
Watu Gunung tertawa gelak, la nampak tak tersinggung.
"Syukurlah! Kau tak pernah mendengar kabarku lagi
semenjak dua puluh tahun yang lalu. Namun kau masih ingat
wajahku dulu. Karena itu serahkan saja kedua kitabmu."
"Hm. Jadi kau benar-benar menghendaki kitab itu?"
Watu Gunung menjawab dengan suara tawar. "Aku sudah
terlanjur menerima murid. Sudah seharusnya aku menghadiahi
sesuatu kepadanya. Oleh karena kitab itupun asal curianmu,
maka siapa saja boleh memintanya."
Harya Udaya menepuk tangannya. "Sayang, sungguh
sayang! Kau hanya lambat selangkah. Kitab itu baru saja
kurobek hancur. Mereka berlima saksinya. Sekarang begini
saja. Jika Suryakusumah benar-benar berniat mempelajari
ilmu pedang Syech Yusuf, suruhlah dia datang menghadap
padaku." Mendengar keterangan Harya Udaya, sikap Watu Gunung
tenang-tenang saja. Sama sekali tiada menunjukkan suatu
kesan. Setelah diam sejenak, kemudian berkatalah dia: "Ah, sayang! Suryakusumah justru tidak sudi menjadi muridmu.
Sebaliknya ia malah mengangkat aku menjadi gurunya.
Baiklah, begini saja. Karena kitab sudah tiada lagi, aku justru hendak minta serupa barang yang akan kuhadiahkan
kepadanya. Barang itu senilai dengan kitab yang sudah
hancur." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perkataannya itu ditutup dengan tekanan tongkatnya di
atas tanah. Tubuhnya lantas mencelat, la menubruk. Sasaran
yang di-tubruknya Ratna Permanasari untuk merampas
pedang Sangga Bhuwana yang tergantung di pinggangnya.
Ratna Permanasari kaget sampai tak sempat memekik.
Memang gerakan Watu Gunung begitu gesitnya, sehingga
Ratna Permanasari seperti terpaku karena kagum.
Tetapi Harya Udayapun tak kalah gesit. Begitu Watu
Gunung mencelat, dia pun mencelat pula. Pada saat Watu
Gunung mengulur tangannya, ia pun mengulurkan tangannya
pula dan mengibas.
"Watu Gunung! Kau begitu kurang ajar!" bentaknya.
Hebat serangan Harya Udaya. Untuk melindungi puterinya,
ia tak segan-segan lagi. Tetapi serangannya ternyata tiada
menemukan sasaran yang dikehendaki. Ia menyerang udara
kosong. Watu Gunung benar-benar sebat dan sukar diduga gerakgeriknya, la bisa mengelakkan diri. Tetapi karena serangan itu, gagallah ia merampas pedang Sangga Bhuwana.
"Kau memperoleh pedang mustika itu, bukankah dengan
jalan mencuri pula?" katanya nyaring. "Kau mencuri dan aku merampas dengan terang-terangan. Itulah suatu jual beli yang pantas. Mengapa kau bilang, aku kurang ajar?"
Gagal kena tubrukan Watu Gunung, hati Ratna Permanasari
yang melonjak terkejut jadi tenang kembali. Tapi baru saja ia tenang, ia menjadi tegang lantaran herannya mendengar kata-kata Watu Gunung. Mencuri" Ayahnya mencuri pedang
Sangga Bhuwana" Maka teringatlah dia kepada pertanyaan
Ratu Bagus Boang tatkala pertama kali bertemu. Pemuda itu
bertanya kepadanya, apakah pedang itu pusaka keturunan
keluarganya" Mungkinkah Bagus Boang tahu, pedang itu
sesungguhnya bukan pedang pusaka turun temurun"
Mungkinkah... benar-benar pedang asal curian"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semenjak kanak-kanak, pedang itu dikenalnya. Berkali-kali
ayahnya mengesankan bahwa pedang Sangga Bhuwana


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah pedang pusaka keluarganya, la tidak meragukan.
Seumpama berasal dari suatu curian, apa sebab pemiliknya
tidak datang untuk memintanya kembali" Mungkinkah
pemiliknya itu sudah dibinasakan ayahnya"
Kasihan gadis itu. la disiksa kesangsian-nya yang selalu
berubah-ubah. Tiba-tiba teringatlah dia akan kata-kata
ayahnya tadi pagi. "Apakah ini yang dimaksudkan Ayah,
bahwa dia pernah mempunyai suatu dosa yang tak
terampuni?"
Tetapi pada saat itu, pertimbangan lain mengendapkan
kesangsiannya. Pemilik pedang Sangga Bhuwana pasti bukan
orang sembarangan. Andaikata ayahnya berhasil mencurinya
atau membunuhnya, mustahil pendekar-pendekar lainnya
tinggal bertopang dagu saja. Pasti terjadi suatu gelombang
dahsyat. Ayah memang hebat, pikirnya. Tapi mustahil bisa
melawan sekalian pendekar di seluruh dunia ini.
Makin ia berpikir, makin ia menjadi bingung. Soalnya ia
ingin memperoleh suatu kepastian yang meyakinkan dengan
segera. Tak dikehendaki sendiri, ia lantas menatap wajah
ayahnya. Ingin ia melihat sesuatu pada wajah ayahnya. Atau
ayahnya bakal bertindak bagaimana terhadap Watu Gunung"
Dan begitu melihat wajah ayahnya ia menjadi heran lagi.
Harya Udaya pada waktu itu memperlihatkan roman dan
sikap yang lain daripada biasanya. Dia berdiri diam sepe'rti seorang yang kehilangan diri sendiri, kakinya hendak
melangkah tapi pada saat itu batal sendiri.
Raut mukanya nampak kejang dengan mata bersinar
menyala. Jelas sekali, ia dalam keraguan. Namun sinar
matanya adalah sinar mata pembunuhan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekonyong-konyong meledak. "Watu Gunung! Lekaslah kau
pergi dari sini! Terlambat sedetik, aku tak bisa menguasai
diriku lagi...."
Suaranya gemetaran dan sepuluh jarinya berkembang
dengan gerakan mencengkeram. Terdengarlah suara
gemeretak. Semua orang tahu, sebentar lagi bakal terjadi
suatu pembunuhan kilat.
Ratna Permanasari kaget juga takut, la takut ayahnya
melakukan suatu dosa baru lagi. Tetapi teringat akan
persoalan yang menyebabkan, berbagai pikiran berkelebat
dalam benaknya. Apakah karena Watu Gunung membuka
kartunya" Kalau tidak apa sebab ayahnya jadi begitu murka"
Atau pedang Sangga Bhuwana mempunyai asal usul yang
aneh" Luar biasa aneh sikap ayahnya kali ini. Dia tidak hanya mengesankan hawa pembunuhan saja, tapi juga bersikap
seperti binatang liar yang kena luka.
Sebaliknya Watu Gunung tidak gentar. Dia malahan tertawa
terbahak-bahak. Katanya menegas, "Harya Udaya! Kau
hendak membunuh aku" Hihoooo... Sekiranya aku takut bakal
kena kau bunuh, tak bakal aku datang kemari mencari
engkau. Benar-benarkah engkau menganggap dirimu seorang
jago nomor satu, setelah bisa membunuh Harya Sokadana dan
memiliki kitab ilmu pedang Syech Yusuf" Hihaa... Selagi Watu Gunung masih bercokol di atas bumi jangan kau bermimpi
yang bukan-bukan!"
"Kalau Ki Tapa yang berada di depanku, mungkin aku takut tiga bagian. Sekarang dia sudah tua, mungkin tulang-tulangnya sudah keropos. Belum tentu aku gentar," sahut Harya Udaya. "Apalagi kau! Kau merasa diri mahluk apa
sampai berani menentang mulut besar di hadapanku?"
Meluap hawa marah Harya Udaya sampai menyinggungnyinggung nama Ki Tapa yang disegani orang semenjak
puluhan tahun yang lalu. Tangannya terus bergerak dengan
suara gemetar. Inilah suatu himpunan tenaga sakti yang luar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
biasa dahsyatnya, la hendak segera menggunakan jurus ilmu
sakti warisan Arya Wira Tanu Datar yang dapat membinasakan
lawan dengan sekali cengkeraman.
Namun Watu Gunung sama sekali tiada gentar. Sahutnya
dengan suara tawar, "Jika kau tak menggunakan pedang,
akupun tak akan menggunakan tongkatku!"
Setelah berkata demikian, ia menancapkan tongkatnya di
atas tanah. Tangannya terus diputar untuk menyongsong
serangan Harya Udaya yang bisa tiba dengan mendadak.
Suriamanggala pernah merasakan kehebatan jari-jari Harya
Udaya. Watu Gunung justru berani menantang mengadu
tangan kosong. Mereka jadi heran. Kepandaian apakah yang
diandalkan" Mereka memang kenal nama Watu Gunung
semenjak dua puluh tahun yang lalu. la seorang pendekar
kelas wahid. Tapi kini badannya sudah cacat. Dan kabarnya
ilmu saktinya dahulu sudah musnah akibat pukulan Sorga
Dahana Ki Ageng Darmaraja. Pikir Suriamanggala, mustahil dia sudah bertemu malaikat atau hantu yang mengajari ilmu
siluman selama dua puluh tahun belakangan ini, sehingga
tidak gentar menghadapi cengkeraman maut Harya Udaya.
Melihat cara menangkis Watu Gunung, Harya Udaya
menarik cengkeramannya kembali dengan paras berubah.
Sekarang jari-jarinya ditarik dan membuka telapakan
tangannya untuk menyambut tangan Watu Gunung.
Tidak ampun lagi, tangan mereka bentrok. Nampaknya
mereka berdua telah mengerahkan seluruh himpunan tenaga
saktinya. Anehnya, bentrokan itu sama sekali tidak
menerbitkan suatu suara. Tangan Watu Gunung mendadak
terasa lembek tak ubah getah.
Suriamanggala kaget dan tercengang sampai nampak
menjadi bengong. Itulah kejadian yang tak terlintas sedikitpun dalam pikiran mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Watu Gunung ternyata memiliki suatu kepandaian yang
jarang terdapat di dunia. Pantas dia dahulu berani bertanding melawan Ki Tapa. Siapapun tak mengira, bahwa dia
mempunyai ilmu bisa mengubah suatu tenaga dahsyat dengan
lontaran lembek bagaikan lumpur. Begitu tangan Harya Udaya
tiba, musnahlah tenaga sakti warisan Arya Wira Tanu Datar
seperti kena sedot. Warisan Arya Wira Tanu Datar yang
dahsyat tak terkatakan, sekan-akan sebuah batu gunung jatuh ke dalam laut lumput. Kedahsyatannya lenyap tak keruan.
Bahkan lantas saja kena hisap suatu tenaga tak kelihatan.
"Gunakan kedua tanganmu!" Watu Gunung sesumbar.
"Hm," dengus Harya Udaya. Ia menarik tangannya dan menghantam lagi dengan sebelah tangan. Dan kembali ia
terkejut. Benar-benar kesaktian warisan Arya Wira Tanu Datar punah. Cepat-cepat ia mengubah gerakan tangannya menjadi
serangan terbuka. Tapi begitu melepaskan pukulannya yang
ketiga, dahinya berkeringat. Kemudian berseru, "Jadi benar, engkau yang merusak pintu guaku!"
Watu Gunung tertawa. "Kalau aku tak menghajar pintu
guamu, bagaimana caraku dapat membawa Suryakusumah
pergi" Akupun sempat menyaksikan engkau membunuh Harya
Sokadana dengan curang. Coba dia tidak kena racun
sebelumnya, huh... huh... mana bisa kau menang dari dia."
Kelima pendekar yang mendengar kata-kata Watu Gunung,
kaget sampai berjingkrak. Mereka tahu rencana Mundinglaya
dan rekan-rekan seperjuangan lainnya apa sebab Ratu Bagus
Boang dibiarkan mendaki Gunung Patuha. Itulah untuk
memancing Harya Sokadana keluar dari tempat
persembunyiannya. Sebab yang bisa melawan Harya Udaya di
dunia ini, hanya dia seorang. Tak disangka sama sekali, bahwa Harya Sokadana binasa ditangan Harya Udaya.
Benar-benar pahit dan memedihkan. Syukur mereka
terhibur mendengar kekalahan Harya Sokadana lantaran kena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
racun sebelumnya. Hanya saja belum jelas, siapakah yang
meracun Harya Sokadana sebelum bertempur.
Sebaliknya Ratna Permanasari berkesan lain terhadap katakata Watu Gunung. Terhadap pendekar cacat itu, ia berkesan
jemu. Ucapannya berkesan sombong. Tapi mengingat
hilangnya Suryakusumah dari gua kurungan, agaknya
keterangan Watu Gunung bisa dipercaya, la jadi heran bukan
main atas kesanggupan orang itu menggempur pintu gua
dengan tenaga seorang diri. Tak terasa ia bergumam setengah berbisik, "Apakah benar di dunia ini ada seseorang yang mempunyai kekuatan begitu dahsyat?"
"Benar!" Tiba-tiba Hasanuddin menyahut. Meneruskan dengan berbisik, "Agaknya ayahmu bakal menumbuk batu."
Betapa pun juga Hasanuddin berlima diam-diam bersyukur
menyaksikan Harya Udaya berada di bawah angin. Meskipun
bukan segolongan dengan Watu Gunung, mereka ingin
melihat Harya Udaya roboh di tangannya. Itu disebabkan
mereka penasaran kena dirobohkan Harya Udaya dan kini tak
dapat mencoba-coba mengadu tenaga lagi karena sudah
menelan buah Dewa Ratna.
Sebenarnya Harya Udaya dan Watu Gunung pernah
mengadu tenaga pada zaman mudanya. Tenaga sakti mereka
berimbang. Watu Gunung kini cacat tubuhnya. Betapapun
juga ia kalah seurat dibandingkan dengan tenaga sakti Harya Udaya yang bertubuh sempurna. Kalau Harya Udaya kini agak
keteter, lantaran baru saja bertarung melawan Suriamanggala berlima dan Pancapana. Dan semalam mengadu kepandaian
mati-matian melawan Harya Sokadana. Dia tak memperoleh
waktu sedikitpun untuk memulihkan tenaganya. Untung, tadi
ia menelan separuh buah Dewa Ratna. Seumpama tidak, tak
mungkin lagi ia bisa bertahan lama.
Beberapa saat lagi, keringat dahi Harya Udaya bertambah
deras, Ratna Permanasari cemas bukan main.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku sudah bilang, kaugunakan kedua tanganmu," kata Watu Gunung dengan suara menang.
Semenjak tadi, Harya Udaya sudah mengambil keputusan
untuk menggunakan sebelah tangannya saja mengingat
lawannya hanya bertangan sebelah. Selain bertangan sebelah, bukankah Watu Gunung hanya berkaki satu pula" Ia percaya
akan ketangguhannya sendiri. Tetapi sekarang" Sebelah
tangannya ternyata tidak cukup untuk-menggempur Watu
Gunung. Ia jadi bimbang. Menggunakan kedua belah
tangannya atau tidak" Kalau tidak, benar-benar ia tak
berdaya. Akhirnya ia berkeputusan untuk melupakan
kehormatan dirinya. Lalu tertawa terbahak-bahak seraya
berkata, "Baik. Inilah kau yang menghendaki sendiri."
"Kau gunakan kedua tanganmu, kalau aku sampai mati,
aku takkan menyesal." Watu Gunung sesumbar.
Tanpa ragu lagi, Harya Udaya lalu menggunakan kedua
belah tangannya. Ini serangan seumpama bisa menggugurkan
gunung. Tubuh Watu Gunung yang hanya berkaki satu, seketika itu
juga bergoyang-goyang tiada henti-hentinya. Ke depan, ke
belakang, ke kiri dan ke kanan mirip sebuah perahu kena
embusan gelombang pasang.
Ratna Permanasari cemas, sudah barang tentu
mengharapkan kemenangan di pihak ayahnya. Tetapi teringat
Watu Gunung cacat tubuh, hatinya menjadi iba. Perasaannya
yang halus segera hendak memohon ampun pada ayahnya.
Tiba-tiba ia melihat paras muka ayahnya berubah. Lenyaplah
keringatnya di dahi. Sebaliknya wajahnya lantas penuh uraturat yang menonjol seakan akan cacing. Urat-urat itu
berwarna biru kelam agak kehitam hitaman. Mengapa begitu"
Ratna Permnasari tahu, bahwa ayahnya sudah
mengerahkan seluruh tenaga sakti yang ada padanya. Kalau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
inipun sampai gagal, bahaya maut yang mengerikan bakal
tiba. Tubuh Watu Gunung kembali bergoyang-goyang. Sekarang
senyumnya lenyap dari wajahnya. Meskipun demikian kakinya
tetap tegak di atas bumi seolah-olah sebatang tongkat yang
tak tergoyahkan oleh suatu gempa bumi.
Hebat tenaga tangan Watu Gunung. Kedua tangan Harya
Udaya yang mempunyai daya dorong dahsyat, benar-benar
tak 'ubah membongkah batu tercebur ke dalam air telaga.
Hilang keangkuhannya. Malahan tenaga saktinya seakan-akan
musnah tak keruan lenyapnya. Sudah begitu, tangan Watu
Gunung mengeluarkan hawa dingin yang merembes ke dalam
tangannya. Dan terus menembus ke ulu hati. Harya Udaya
kaget. Teringatlah dia, Watu Gunung semenjak dulu terkenal
sebagai pendekar beracun. Apakah dia kini sedang menyerang
dengan racunnya" Benar-benar ia menggemboskan
tenaganya. Ia mencoba menutup jalan darahnya sambil
bertahan. Namun rasanya tak sanggup ia membebaskan diri.
Hawa dingin Watu Gunung dirasakan tak ubah jalur jarum
yang menembus dan ulu hatinya lewat pori-pori.
Ratna Permanasari heran melihat wajah ayahnya, la tahu
ayahnya dalam kesulitan. Tapi ia tak percaya, ayahnya kalah.
Karena itu makin iba melihat keadaan tubuh Watu Gunung
yang terus bergoyang-goyang tiada hentinya.
Sekonyong-konyong ia tersentak kaget tatkala mendengar
Watu Gunung tertawa melalui hidungnya. Itulah lagu tertawa
sorak kemenangan. Makin lama makin nyata. Akhirnya benarbenar tertawa. Dia nampak puas luar biasa. Katanya dengan
suara dingin, "Kalau kau sayang pada jiwamu, serahkan
pedang Sangga Bhuwana!"
Sekarang sadarlah Ratna Permanasari bahwa ayahnya
dalam bahaya, la lantas maju dengan meraba pedang Sangga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bhuwana. Katanya memohon, "Ayah! Kauserahkan saja
pedang ini!" Bagaimanapun juga, ia lebih menyayangi jiwa ayahnya daripada sebatang pedang sekalipun berharga.
Sebaliknya mata ayahnya nampak bersinar. Ia menatap
wajahnya. Itulah pandang mata menegur berbareng rasa
kasih sayang. Kena pandang mata demikian, ia mundur lagi.
Dengan tiba-tiba Harya Udaya membentak. Kedua
tangannya ditarik juga. Lalu dimajukan kembali. Di belakang telapak tangannya, otot-ototnya menonjol keluar. Inilah
dorongan dahsyat yang beratnya ribuan kati.
Sekarang lenyap pulalah tertawa dan senyum Watu
Gunung. Beberapa saat kemudian, ia mengalami seperti Harya
Udaya. Wajahnya jadi berkeringat. Hanya berbareng dengan
keluar keringatnya, wajah Harya Udaya menjadi matang biru.
Selagi dua jago bertempur mengadu kesaktian.
Suriamanggala berlima duduk bersemadi. Mereka menghadap
untuk dapat memulihkan tenaganya seperti sediakala.
Sebenarnya tidak boleh mereka memecah perhatiannya. Tapi
pertandingan antara dua jago itu sangat menarik perhatian.
Tak dikehendaki sendiri, mereka berlima berpaling mengikuti.
Begitu mengikuti, mereka nampak heran berbareng giris.
Tangan kanannya segera disengkelitkan ke belakang
punggungnya dan ia melayani Harya Udaya dengan tangan
kirinya. Memang baik Harya Udaya maupun Watu Gunung sampai
pada saat-saat yang menentukan. Mereka mati atau hidup.
Kalau tidak, kedua duanya terancam bahaya cacat seumur
hidupnya. Sebab kini, kedua-duanya menderita luka parah.
Tenaga sakti Harya Udaya berkumpul di ujung jarinya.
Hawa yang meruap keluar adalah hawa panas. Sebaliknya
yang datang dari Watu Gunung bersifat dingin. Dengan
demikian, hawa panas bertempur melawan hawa dingin.
Mereka sama-sama kuat. Akibatnya masing-masing kena hawa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang berbahaya. Hawa yang sudah bercampur-baur antara
panas dan dingin.
Suriamanggala berlima tahu, bahwa tenaga dalam Watu
Gunung kalah seurat dengan Harya Udaya. Kalau dia kini bisa bertahan, lantaran Harya (Jdaya sudah letih. Watu Gunung
sendiri sadar akan hal itu. Seka-rangpun, ia diancam kelima orang sakti itu. Meskipun bukan segolongan dengan Harya
Udaya, tapi dalam hal ini pastilah mereka akan menyerangnya disebabkan soal Surya-kusumah. Mau tak mau ia gelisah juga.


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu matahari terus merangkak. Sore hari kini
telah tiba. Dan sebentar lagi, matahari bakal tenggelam, di barat.
Suasana alam sudah menjadi remang-remang. Tetapi otot
wajah Harya tldaya yang tadi nampak samar-samar, malahan
menjadi kian tegas. Malahan kini dibarengi pula dengan
keringat besar sebesar kacang hijau. Bajunya basah. Sinar
matanya yang tadi nampak menyala, perlahan-lahan mulai
meredup dan layu. Jelaslah: ia sudah letih.
Pada saat itu, mendadak Watu Gunung memekik dengan
suara aneh. la mendorong tangannya dengan suatu tolakan
perlahan. Buru-buru Harya Udaya mengerahkan tenaganya
untuk bertahan. Nampaknya ia kewalahan. Lengannya lantas
nampak melengkung dan tegak tubuhnya sedikit meliuk.
Mendadak saja pada saat segenting itu, Suriamanggala
berlima melompat berdiri. Kemudian terdengar bentakan
Suriamanggala. "Ah, kiranya engkau yang membunuh saudara Ganis
Wardhana secara gelap!"
Bentakan itu tidak hanya membingungkan hati Ratna
Permanasari, tapi juga mengherankan Harya Udaya. Pikirnya
di dalam hati, apakah Ganis Wardhana mati tidak secara
wajar" Mereka telah menuduh aku berkhianat terhadap Syech
Yusuf. Tapi sekarang mereka berbalik menuduh Watu Gunung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membunuh Ganis Wardhana secara gelap. Hm, sebenarnya
bagaimana"
Dalam hal kematian Ganis Wardhana dan tertangkapnya
Syech Yusuf dengan tiba-tiba, Harya Udaya memang tidak
tahu menahu dengan jelas. Apalagi Ratna Permanasari.
Semua itu merupakan teka-teki sangat ruwet baginya.
Suriamanggala tidak hanya membentak. Ia melompat maju
dengan sikap menyerang. Gerakannya diikuti oleh keempat
rekannya yang segera mengurung. Sepuluh jari mereka
mengarah ke satu sasaran. Tenaga mereka sebenarnya belum
pulih benar. Tetapi ilmu sakti jalasutera tidak boleh dibuat gegabah.
Diserang mendadak, Watu Gunung lantas berteriak keras.
Kakinya yang tinggal sebelah mencelat ke udara membawa
tubuhnya berputaran. Luar biasa gerakannya. Selagi tubuhnya masih tergantung di udara, kaki itu bisa menyerang kalang
kabutnya. Nampak asal jadi saja, tapi sesungguhnya
mempunyai sasaran tertentu. Tangannya lantas mulai bekerja.
Ia menangkis pukulan Hasanuddin, sedang tangannya yang
buntung menyerang tulang rusuk Galuh Waringin.
Berbahaya lengan buntung itu. Karena ujungnya tajam tak
ubah sebilah senjata tusuk yang tajam luar biasa. Pita
pengikat yang berwarna merah kini terasa kesaktiannya.
Berkelebatan bagaikan ekor ular yang bisa menjadi kaku dan
lemas tiba-tiba. Bila menjadi kaku, berkelebatnya menerbitkan kesiur angin tajam. Bila lemas, menjadi alat pengelabu
penglihatan dan mendadak bisa menggubat sasaran yang
dikehendaki. . Ratna Permanasari kagum luar biasa. Sama
sekali tak masuk akal, bahwa Watu Gunung yang cacat bisa
melayani serangan dahsyat empat orang sekaligus. Harya
Udaya, Suriamanggala, Hasanuddin dan Galuh Waringin.
Harya Udaya yang sadar akan harga dirinya, lantas
melompat mundur. Sebaliknya tidaklah demikian dengan
Suriamanggala berlima. Melihat Watu Gunung mencelat ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
udara sambil membalas serangan, mereka berlima berbareng
menyerang dengan cengkeraman tangannya. Entah
bagaimana gerakan Watu Gunung, tahu-tahu Suriamanggala,
Hasanuddin dan Galuh Waringin terpental sejauh tujuh
langkah. Tatkala akan terbanting di tanah, tubuh mereka
dengan perlahan seperti ada yang menaruhkan dengan hatihati. Mereka menoleh. Ternyata yang menolong adalah Harya
Udaya. Pada saat itu, Watu Gunung nampak berkelebat menyerang
Suriadimeja dan Jaya-puspita. Sikut kiri Watu Gunung
mengancam dada Jayapuspita. Pendekar ini tidak mempunyai
kesempatan lagi untuk mengelak atau berkelit. Bahkan untuk
menarik kedua tangannya saja sudah tak ada waktu. Inilah
suatu bukti, betapa luar biasa cepat serangan Watu Gunung.
Pantas, ia disegani orang semenjak zaman mudanya.
Tetapi disinipun Harya Udaya mempunyai ketangkasan
yang dapat mengimbangi. Ia baru saja menolong tiga
pendekar yang tadi kena dipentalkan. Dan begitu melihat
Jayapuspita dalam bahaya, ia mencelat. Tangannya
mencengkeram dan menyambar sikut Watu Gunung.
Ini serangan maut, karena ahli pedang ini menggunakan
ilmu sakti warisan Arya Wira Tanu Datar tingkat teratas. Tepat serangannya sikut Watu Gunung kena dibenturnya dan pita
merahnya robek. Begitu pita merah terobek, rantaslah pula tali yang mengikat ujung bajunya. Mendadak nampaklah suatu
pemandangan yang mengerikan.
Lengan yang tinggal sebelah itu, ternyata bukan terdiri dari daging dan tulang. Tetapi selonjor besi dan ujungnya
berbentuk sumbat botol.
Melihat bentuk sumbat botol itu, Harya Udaya kaget sekali.
Secara naluri, ia merasakan adanya tanda bahaya. Tiba-tiba ia merasakan pula suatu kebingungan dan suatu kesan yang
aneh. Selagi dalam keadaan demikian, suatu hawa dingin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
telah menyerang ulu hatinya. Tak dapat lagi ia
mempertahankan diri. Lalu roboh terguling dengan terbanting.
"Ayah!" Ratna Permanasari menjerit.
Watu Gunungpun tak luput dari suatu akibat serangan ilmu
sakti maut warisan Arya Wira Tanu Datar tingkat teratas.
Tubuhnya yang kurus kering terpental bagaikan layang-layang putus, melayang melampaui tanjakan. Begitu jatuh ke tanah,
ia memperdengarkan suara tertahan dua kali. Lalu mencelat
lari tanpa menoleh lagi.
Harya Udaya dan Suriamanggala berlima tak dapat berbuat
apa-apa lagi terhadapnya. Watu Gunung tadi kena serangan
Harya Udaya. Tenaga saktinya seperti punah. Selagi melayang turun menyambar tongkatnya, mereka berlima lalu
menggempur dengan berbareng. Gempuran itulah yang
menyebabkan terpentalnya Watu Gunung sampai melampaui
tanjakan. Ratna Permanasari tertegun setelah menjerit saking
kagetnya. Ia baru tersadar tatkala mendengar suara
Suriamanggala. "Saudara Harya Udaya! Dengan terpentalnya Watu
Gunung, maka kami sudah membayar pulang budimu
memberi kami buah Dewa Ratna. Kita bertemu lagi di
kemudian hari. Hanya saja kami ingin minta penjelasan
puterimu dimanakah Ratu Bagus Boang kini berada."
Harya Udaya berpaling kepada gadisnya -dengan wajah
guram. Dan Ratna Permanasari lalu memberi keterangan.
"Dia sudah pergi dengan kudanya. Kema-na, aku tak tahu."
"Terima kasih," sahut Suriamanggala. Lalu ia pergi dengan cepat diikuti keempat rekannya.
Harya Udaya mengawaskan kepergian dengan wajah kian
guram. Ia tidak membuka mulutnya atau menaruh perhatian.
Pikirannya masih sibuk menyingkapkan suatu persoalan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih gelap baginya. Sekian lamanya belum berhasil ia
memecahkan suatu atau mendapat kesimpulan.
"Ayah, kau kenapa?" tanya Permanasari dengan nada kuatir
"Kakekmu Syech Yusuf mati oleh tangan orang itu," sahut Harya Udaya dengan suara pasti. Ia berhenti sebentar.
Kemudian meneruskan dengan suara hati-hati dan perlahan.
"Ingatlah kembali wajahnya. Semua luka-lukanya bekas
garitan pedang yang tercacah lembut. Pada zaman ini anakku, pedang yang bisa melebihi ilmu pedang ayahmu barangkali
tidak ada. Aku sendiri tidak sanggup membuat tusukan
cacahan sedemikian lembut dan mematikan. Siapa yang
melebihi ilmu pedang ayahmu, selain kakekmu Yusuf" Kukira
dia lantas lari. Kemudian bertemu dengan pamanmu Ganis
Wardhana. Pamanmu pun mengambil bagian." Ia berhenti lagi dengan dahi berkerinyut. Meneruskan, "Suriamanggala berlima tadi menuduh dia yang membunuh pamanmu, mungkin benar.
Setelah sembuh dan ilmu saktinya pulih, dia datang kepadamu mau membuat perhitungan. Waktu itu, pamanmu sedang sakit
berat. Kalau pamanmu bisa dibinasakan dengan mudah,
nampaknya mungkin sekali. Lihat saja, ayahmu yang boleh
dikatakan dalam keadaan segar bugar, kena dilukai."
Ratna Permanasari menggigil mendengar keterangan
ayahnya, la heran dan takut. Belum pernah ia melihat
kakeknya, Syech Yusuf. Menurut tutur kata ibunya, dia
seorang yang bertabiat keras akan tetapi sesungguhnya
seorang pemurah. Itulah tabiat seorang Makasar sejati. Maka, mengapa dia dibunuh Watu Gunung" Dendam apakah yang
terjadi antara kakeknya dan Watu Gunung"
Harya Udaya agaknya dapat menebak jalan pikiran
puterinya. Berkata, "Watu Gunung terkenal semenjak dahulu sebagai seorang pendekar berbisa. Ilmu kepandaiannya
sejajar dengan Ki Tapa dan kita semua. Waktu kami
berempat, Ki Tapa, Harya Sokadana, Ganis Wardhana dan aku
mengadu kepandaian di atas Gunung Cakra Bhuwana untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memperebutkan kitab warisan Arya Wira Tanu Datar, dia
datang pula. Tetapi dia datang menjelang tengah malam dan
pergi sebelum fajar menyingsing. Karena kami disibukkan oleh urusan kami masing-masing dan disebabkan cuaca sangat
gelap, barangkali tiada seorangpun memperhatikan wajahnya,
kecuali Pancapana."
"Kecuali Paman Pancapana" Bagaimana bisa begitu?" Ratna Permanasari heran.
"Setelah kitab warisan jatuh di tangan Ki Tapa, ia
membawanya pulang menghadap gurunya. Dialah Ki Ageng
Darmaraja," Harya Udaya memberi penjelasan." Sebagai seorang pendekar besar, Ki Ageng Darmaraja kenal tabiat
Watu Gunung. Siang-siang ia sudah berjaga-jaga, dan
berpura-pura mengabarkan diri sudah meninggal. Pada malam
Watu Gunung mencuri kitab warisan Arya Wira Tanu Datar,
dia sempat memukul wajahnya dengan ilmu sakti Sorga
Dahana. Sebelumnya, Watu Gunung bertempur sengit dengan
Pancapana. Itulah sebabnya dia tadi berkata bahwa rumah
kita kena digerayangi seseorang yang dibencinya. Dia kenal
wajahnya sekarang, sedangkan aku tidak. Artinya, wajah itu
telah dikenalnya sewaktu Watu Gunung mengeranyangi rumah
perguruannya. Kalau begitu, sewaktu Watu Gunung
menggeranyangi rumah perguruannya, wajahnya sudah rusak
seperti sekarang ini."
Ratna Permanasari sudah mengerti, tapi sebenarnya ia
belum mengerti. Itu disebabkan penjelasan ayahnya meloncatloncat. Wajahnya lantas nampak menjadi bingung. Kelihatan
demikian, Harya Udaya kemudian berkata menjelaskan.
"Tadinya aku seperti engkau juga. Ingatanku gelap seakanakan tertutup kabut. Tapi begitu mendengar Suriamanggala
berlima menuduh aku mengkhianati kakekmu dan kemudian
berbalik menuduh Watu Gunung membunuh pamanmu Ganis
Whardana, kabut gelap itu lantas sedikit tersingkap. Aku lebih yakin lagi, tatkala tanganku kena serangan sikutnya yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berbentuk sumbat botol. Itu terjadi tatkala aku menyerang
sikutnya yang nyaris mengenai dada Jayapuspita. Keraguraguanku sirna seketika, sebab benda itu pernah menghatam
kakekku. Itulah sebabnya aku tadi bisa memastikan, bahwa
dialah yang membunuh kakekmu.""Ah!" Ratna Permanasari memekik tertahan. "Kakek katanya seorang pendekar besar, masakan dia tak bisa
menangkis?"
"Benar. Dia sempat menangkis, dia malah menjadi
keracunan. Sebab Watu Gunung menyembunyikan racunnya
yang dahsyat dalam ujung batang besi berbentuk sumbat
botol itu."
Mendengar penjelasan Harya Udaya, wajah Ratna
Permanasari pucat pasi. Potongnya dengan suara tinggi. "Ayah kena juga. Apakah Ayah...."
Harya Udaya tersenyum pahit. Wajahnya bertambah
guram. Ia menghela napas. Katanya kemudian, "Setelah cacat tubuh, Watu Gunung rupanya mengganti sebelah lengannya
dengan batang besi yang berujung sumbat botol itu. Benar,
ayahmu kena racunnya, tapi dia pun tak bebas pula dari
pukulan mautku."
Ratna Permanasari lantas saja menggigil dengan tak
dikehendaki sendiri. Hebat pengakuan ayahnya itu. Artinya,
ayahnya bakal mati karena racun Watu Gunung.
"Ratna!" bisik Harya Udaya menghibur. "Kakekku memang jatuh terkulai karena racun. Tetapi kakekmu mati dengan baik-baik dalam tawanan pemerintah Belanda. Artinya, racun'Watu
Gunung bisa dipunahkan."
Sebenarnya ini hanyalah hiburan kosong belaka. Sebab
Harya Udaya belum tahu cara memunahkannya. Apalagi dia
tidak mempunyai buah Dewa Ratna lagi atau sepercik air
Tirtasari, sebab semuanya sudah diberikan kepada bekas
lawannya tadi. Namun, Ratna Permanasari agak terhibur juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia percaya, ayahnya pasti sudah mempunyai daya untuk
melawan racun. Memperoleh keyakinan demikian, wajahnya
kembali memerah seperti sediakala.
"Baiklah aku teruskan penjelasanku ini, agar di kemudian hari kelak semuanya menjadi jelas bagimu," kata Harya Udaya mengalihkan pembicaraan. "Watu Gunung memang seorang
pendekar yang berangan-angan hendak merajai dunia seperti
ayahmu ini. Ia mencoba merampas kitab ilmu pedang
kakekmu dan kitab warisan Arya Wira Tanu Datar sekaligus
yang disimpan kakekmu sebagai ketua Himpunan Sangkuriang. Tapi mana bisa ia melawan dengan berhadaphadapan. Maka siang-siang ia sudah bersembunyi di bawah
kolong tempat tidur yang berada di kamar sebelah. Selagi
kakekmu asyik berbicara dengan aku, ia menyerang secara
gelap. Seperti kataku tadi, dia menyerang dengan sebatang
besi yang berujung seperti sumbat botol. Pada ujung
berbentuk sumbat botol itulah, dia menyimpan racunnya.
Begitu kakekmu menangkis, ya, justru kakekmu menangkis, ia
lantas jatuh terkulai.
Aku kaget menyaksikan kejadian itu. Terus saja aku
melompat ke dalam kamar. Kamar kosong melompong. Pada
saat itu, aku begitu gugup sampai tidak menaruh perhatian
kepada kolong tempat tidur. Baru di kemudian hari, aku sadar akan kecerobohanku. Tetapi pada saat itu, siapapun tak bakal menyalahkan aku. Sebab tatakala itu, mendadak terdengarlah
hiruk pikuk di luar rumah. Aku mengira, penyerang gelapnya
kena kepergok anak murid kakekmu. Segera aku memburu
keluar. Tak kusangka, bahwa hiruk pikuk itu terjadi karena
munculnya satu peleton Kompeni Belanda.
Di depan pintu aku berpapasan dengan Hasanuddin. Aku
menyerukan datangnya musuh. Dia pun begitu juga. Tetapi
yang dimaksudkan ialah musuh Kompeni Belanda. Tatkala aku
tiba di luar, Hasanuddin melihat terkulainya kakekmu Yusuf. Ia mengira, akulah yang mengkhianati, la lantas mengejar. Aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sendiri tidak sempat lagi memberi penjelasan. Pada waktu itu Belanda mulai bergerak. Aku segera berjuang bahu membahu
dengan rekan-rekan seperjuangan lainnya.
Watu Gunung sendiri, aku kira masuk ke dalam kamar
pertemuan, tatkala kami sedang disibukkan datangnya peleton Kompeni Belanda. Tapi meskipun tenaga sakti kakekmu punah
kena racun, namun kakekmu adalah seorang pendekar besar.
Dengan pedang Sangga Bhuwana di tangan, masih bisa ia
melukai wajah Watu Gunung sedemikian rupa sehingga
membuat Watu Gunung kabur tak menoleh lagi.
Peristiwa kakekmu itu sungguh menggemparkan jagad.
Rekan-rekan seperjuangan kakekmu lantas datang memeriksa
dan menyelidiki sebab musababnya sampai kakekmu kena
ditawan Belanda. Agaknya Hasanuddin belum berani
menjatuhkan tuduhan yang menyakinkan terhadapku. Sebab
di dalam kamar diketemukan benda berbentuk sumbat botol
itu. Kabarnya pula kakekmu sempat memberi tanda-tanda
sandi yang hanya bisa dibaca oleh rekan-rekannya yang
kepandaiannya setaraf yakni Ki Ageng Darmaraja, guru Ki


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapa Pancapana.
Ki Ageng Darmaraja adalah seorang yang saleh. Apa yang
diketahui hanya disimpannya di dalam hatinya sendiri. Hanya saja, diam-diam ia memikirkan suatu jebakan. Untuk
menjebak orang yang menyerang kakekmu, Ki Ageng
Darmaraja mempunyai jalan keluar. Ia menghadap Sultan
Tirtayasa. Entah apa yang dibicarakan. Mendadak datanglah
suatu pengumuman, bahwa Sultan Tirtayasa bermaksud
hendak memilih calon pengganti kedudukan Syech Yusuf.
Sultan Tirtayasa mengandakan gelanggang adu ilmu
kepandaian. Siapa yang dapat memenangkan, dialah yang
menjadi pewaris kedua kitab sakti peninggalan Syech Yusuf
beserta pedang Sangga Bhuwana. Adapun adu kepandaian itu
berada di atas puncak Gunung Cakra Bhuwana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benar-benar hebat jebakan Ki Ageng Darmaraja. Mendaki
Gunung Cakra Bhuwana tidaklah mudah. Hanya mereka yang
berkepandaian tinggi yang mampu. Sesudah itu, Sultan
Tirtayasa menunjuk Ki Tapa sebagai calon.
Ki Tapa kala itu sudah mempunyai nama tenar. Siapapun
menyegani. Pendekar cepengan6) picisan masakan berani
mencoba-coba. Maka mereka yang datang mendaki Gunung
Cakra Bhuwana pastilah pendekar-pendekar pilihan. Ternyata
yang datang hanyalah empat orang selain Ki Tapa, ialah aku, Harya Sokadana, pamanmu Ganis Wardhana dan Watu
Gunung. Rupanya Ki Ageng Darmaraja yang mempunyai mata tak
ubah dewa melihat bekas luka yang terdapat pada wajah
Watu Gunung. Meskipun Watu Gunung datang menjelang
tengah malam. Meskipun Watu Gunung barangkali sudah
menggunakan topeng.
6)cepengan: picisan
Kami berempat, tidaklah sempat memperhatikan hal yang
berada di luar urusan. Grusan kami berempat ialah mengadu
kepandaian. Siapa yang masuk ke dalam gelanggang itulah
lawan yang harus dirobohkan. Sebaliknya tidaklah demikian
dengan Ki Ageng Darmaraja. Ia menyelenggarakan
gelanggang adu kepandaian, justru untuk mengamat-amati
orang. Sebab yang berani menyerang kakekmu, pastilah
seorang yang setidak-tidaknya sudah mempunyai kepandaian
yang diandalkan. Kalau hanya pendekar picisan, masakan
mempunyai keberanian bergurau dengan kakekmu.
Sudah barang tentu pula, Ki Ageng Darmaraja kenal
siapakah aku, siapa Harya Sokadana, siapa Paman Ganis
Wardhana, siapa Ki Tapa. Dia pasti mempunyai penilaiannya
sendiri. Tapi begitu melihat masuknya Watu Gunung, ha....
inilah yang membangunkan kecurigaannya. Siapa yang tak
kenal sepak terjang Watu Gunung. Dia adalah seorang
pendekar beracun yang tangannya ganas luar biasa. Kalau dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bisa menggunakan racun, masakan tidak dapat pula
menggunakan cara-cara menyerang dengan gelap.
Kebetulan sekali, Ki Tapa"ketua muridnya"memenangkan
pertandingan. Kedua kitab dan pedang Sangga Bhuwana
diserahkan kepadanya. Dia lantas berpura-pura mati. Dia
percaya, Watu Gunung pasti datang menyantroni. Dugaannya
ternyata tepat. Dan begitu Watu Gunung menghampiri kedua
kitab warisan, terus saja ia mencelat dan menghantamnya
dengan pukulan Sorga Dahana yang memusnahkan ilmu
saktinya. Kena hantaman pukulan Sorga Dahana, terloncatlah
topengnya. Maka terlihatlah wajahnya. Pada saat itu,
Pancapana yang memburunya nyaris kehabisan tenaga tak
dapat mengubernya. Sebaliknya tidaklah demikian dengan
pendekar-pendekar lainnya yang sedang datang hendak ikut
berkabung. Ki Ageng Darmaraja yang berpura-pura mati, sebenarnya
lantas mati setelah melepaskan pukulan Sorga Dhana.
Memang beberapa minggu sebelumnya, dia diberitakan sakit
keras. Karena itu kabar meninggalnya dapat diterima tanpa
curiga. Nyatanya setelah para pendekar dari segala penjuru
datang untuk berkabung, Ki Ageng Darmaraja benar-benar
meninggal. Demikianlah Watu Gunung yang kabur dari rumah
perguruan Ki Ageng Darmaraja kepergok beberapa pendekar
yang datang -dari jauh hendak ikut berkabung. Diantaranya
terdapat pamanmu Ganis Wardhana. Kalau tidak, masakan
Suriamanggala berlima bisa menuduh Watu Gunung
membunuh pamanmu itu. Rupanya pamanmu kaget tatkala
melihat wajah Watu Gunung terdapat beberapa cacahan
lembut. Itu cacahan seorang "ahli pedang. Pada zaman itu
sampai sekarang satu-satunya yang dapat berbuat begitu
hanyalah kakekmu Syech Yusuf. Pamanmu segera mengenal
seperti aku tadi. Terus saja ia mencegat dan melampiaskan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dendamnya. Maka bisa dimengerti, bahwa setelah Watu
Gunung memperoleh kesaktiannya kembali lantas membuat
perhitungan. Dia kena hajar pamanmu, selagi tenaga saktinya punah.
Kemudian dia membalas membunuh pamanmu, selagi
pamanmu sakit keras. Kalau dipikir memang merupakan
hutang piutang yang pantas. Mungkin pula pendekar-pendekar
yang lain mengambil bagian setelah mendengar tanda bahaya.
Tetapi barangkali yang mengutungi kaki dan tangan Watu
Gunung, pamanmu Ganis Wardhana."
Sampai di sini Harya Udaya berhenti berbicara. Napasnya
nampak memburu. Keringatnya mengucur deras pula. Ratna
Per-manasaripun seperti kehabisan tenaga. Tutur kata itu
bukan main hebat berkesan di dalam kalbunya. Ruwet,
mengerikan dan mengharukan. Tiba-tiba teringatlah dia
kepada pertanyaan Bagus Boang tentang pedang Sangga
Bhuwana yang dibawanya itu. Tanyanya perlahan, "Ah,
sekarang aku agak mengerti. Hanya mengenai pedang ini,
bagaimana" Ayah tadi berkata, bahwa yang memenangkan
pertandingan adalah Ki Tapa. Apa sebab kini menjadi milik
Ayah?" "Ratna," sahut ayahnya perlahan. "Rupanya kau mempunyai perasaan kini, bahwa soal pedang itu tidak kalah
ruwetnya dengan kitab warisan kakekmu dan Arya Wira Tanu
Datar, bukan begitu?"
Ratna Permanasari memanggut.
Harya Udaya menghela napas. Wajahnya bertambah
guram. Dalam cuaca remang remang lantas nampak menjadi
hitam lekam. Tangannya bergerak perlahan menuding pedang
Sangga Bhuwana yang berada di pinggang puterinya. Katanya
berduka, "Anakku! Masih ingatkah engkau kata-kataku tadi pagi" Aku berkata, bahwa aku pernah melakukan suatu dosa
besar yang tak dapat kulupukan. Dosa itu hanya aku sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang tahu. Justru demikian, merupakan siksaan yang luar
biasa berat."
"Aku masih ingat Ayah," sahut Ratna Permanasari pelarhan.
Kemudian menjatuhkan pandang.
"Dosa yang kumaksudkan ini terjadi karena pedang itu,
pedang Sangga Bhuwana!" Harya Udaya membuat suatu
pengakuan. "Ah! Sebenarnya tuduhan Watu Gunung masih
ringan. Aku hanya dituduh mencuri pedang itu. Tetapi
sebenarnya, kejadiannya lebih mengerikan daripada mencuri."
"Apakah Ayah merampasnya?" potong Ratna Permanasari.
"Tidak."
"Menggelapkan?"
"Tidak."
"Menyamun?"
"Tidak anakku." Harya Udaya menghela napas berat. "Aku telah membunuh pemiliknya dengan cara licik. Padahal dialah seorang manusia yang sangat baik terhadapku. Selamanya dia
melindungiku...." Mendengar pengakuan itu, Ratna Permanasari kaget
sampai menjerit. Membunuh, ayahnya membunuh" Kalau hal
itu terjadi dalam suatu pertarungan, adalah suatu
pembunuhan wajar. Tapi ayahnya mengakui, membunuh
pemilik Sangga Bhuwana dengan cara licik. Siapakah pemilik
pedang Sangga Bhuwana ini"
Ia melihat dahi ayahnya mengeluarkan keringat. Roman
mukanya penuh duka dan sesal tak terhingga. Melihat itu,
hatinya bergetar. Ia menjadi iba.
"Ayah! Katakan dengan terus terang Ayah! Supaya hatimu lega," bisik Ratna Permanasari. "Kalau tetap tersimpan dalam hati, Ayah pasti akan kena siksa terus menerus."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar anakku, benar!" Harya Udaya mengeluh. "Memang aku bermaksud hendak membuat pengakuan terhadapmu...."
Ratna Permanasari jadi terharu, la tercengang apa sebab
ayahnya justru membuat pengakuan terhadapnya. Tetapi ia
tak sempat berpikir banyak, la hanya tahu selin-tasan.
Ayahnya sangat mencintainya. Dia takut kehilangan cinta
kasihnya. Ibunya telah pergi. Kalau ia pergi pula dengan hati penasaran, siapa lagi manusia tempat penuangan rasa
kasihnya" "Ayah! Siapakah pemilik pedang Sangga Bhuwana ini"
Apakah sesudah disimpan kakek, lantas jatuh menjadi milik Ki Ageng Darmaraja?" Ratna Permanasari menegas dengan suara gemetar.
Harya Udaya menggelengkan kepalanya.
"Bukan, anakku. Bukan...." jawabnya dengan setengah berbisik. "Pemiliknya bukan seorang pria, tapi seorang wanita... seorang yang luhur budinya...."
Keringat Harya Udaya yang berbintik-bintik di dahi, kini
lumer menjadi air dan membasahi seluruh wajahnya. Ratna
Permanasari mengeluarkan sapu tangan dan menyeka kering.
Gadis itu heran, tatkala keringat itu diarasakan sangat dingin meresapi tangannya.
"Anakku," bisik Harya Udaya. "Wanita itu seringkali menyeka keringat dahiku, bila aku dalam keadaan begini. Cara memperlakukan aku, seperti caramu sekarang. Dia kasih
padaku. Setiap kali aku dirundung malang, dia datang
menghiburku. Dia datang membesarkan hatiku. Dia datang
meneguhkan imanku. Ah, aku telah berbuat dosa besar.
Mengapa aku membunuhnya hanya perkara , pedang ini
saja?" Hati Ratna Permanasari tergetar. Hampir-hampir ia jatuh
pingsan. Dengan suara parau ia menegas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapa" Siapa wanita itu?"
Harya Udaya meruntuhkan pandang. Ia menolak tangan
Ratna Permanasari dengan halus tatkala gadis itu mencoba
menyeka keringat dahinya lagi. Dengan wajah guram,
mendadak suaranya jadi parau pula. Katanya, "Itulah peristiwa panjang ceritanya. Aku khawatir tak dapat menghabiskan
dalam waktu sependek ini...."
"Baiklah Ayah. Engkau sudah berbicara terlalu banyak.
Terlalu banyak daripada biasanya." Ratna Permanasari berkata iba. "Kau beristirahatlah dahulu. Aku akan menjagamu."
"Tak usah!" Tiba-tiba suara Harya Udaya berubah menjadi gagah. "Kau ambilkan saja sisa minuman Tirtasari di laciku.
Barangkali masih ada sisanya. Itu minuman untuk kesehatan
ibumu. Ibumu tadi pergi dengan tak membawa apa-apa. Hm,
peristiwa terkutuk itu terjadi dua puluh tahun yang lalu. Kau belum dilahirkan, anakku. Aku sudah berketetapan hendak
berkata dengan jujur. Tak mau lagi aku menunggu sampai
tiga hari lagi."
"Sampai tiga hari lagi" Apa maksud ayahnya" Gadis itu tak tahu, bahwa racun Watu Gunung yang meresap sampai ke ulu
hati sesungguhnya mengancam jiwa ayahnya.
Ia mengira itu waktu untuk beristirahat memulihkan
tenaga. Buah Dewa Ratna belum cukup. Ayahnya
membutuhkan bantuan air Tirtasari. Barangkali luka yang
dideritanya cukup parah. Hanya saja tidak membahayakan
jiwanya. "Ayah tidak mau kujaga," katanya lembut. "Kalau aku pergi, bukankah Ayah tinggal seorang diri" Kalau terjadi sesuatu....
Apakah hatiku bisa tenang?"
Harya Udaya tersenyum. Matanya berkilat menyatakan rasa
terima kasih. Lalu menjawab, "Kau boleh pergi, asal saja cepat pulang. Masakan aku akan mengurungmu, tidak bakal Watu
Gunung datang kemari lagi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ratna Permanasari percaya pada keyakinan ayahnya. Ia
lantas pulang dengan berlari-lari. Disepanjang jalan perasaan dan pikirannya seperti ada yang menghantui. Ia tiba-tiba
merasa, bahwa halaman rumahnya ini penuh dengan kabut
rahasia. Masalah kjtab ilmu pedang Syech Yusuf. Masalah
warisan Arya Wira Tanu Datar. Masalah pedang Sangga
Bhuwana. Semuanya itu membuat hati dan pikirannya bekerja
keras. Tiba di rumah, hati Ratna Permanasari lantas menjadi
berduka. Penglihatan yang datang serba meresahkan. Pohon
kamboja yang gundul, petamanan yang porak-poranda,
mahkota daun yang gugur bertebaran. Dan di sebelah sana,
kuburan Harya Sokadana.
Mendadak teringatlah dia kepada Bagus Boang. Dimanakah
dia bersembunyi" Ia lari ke kandang. Kuda putih Lang-lang
Bhuwana sudah tiada. Nah, apakah dia sudah pergi benarbenar" "Bagus Boang! Bagus Boang!" Suaranya berkumandang mengarungi alam dan menumbuk dinding gunung jauh sana.
Lantas tersirap. Lantas hening. Dan keheningan itu
menyayatkan hatinya.
-ooo00dw00ooo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
11 LUKISAN SUNGAI CISEDANE
TERINGAT RATU BAGUS BOANG, teringatlah dia pula
kepada semua yang tiba di rumahnya berturut-turut.
Suryakusumah, lalu Suriamanggala berlima. Setelah itu Watu
Gunung. Peristiwa yang menyusul terlalu hebat baginya.
Masing-masing membawa teka-teki baru yang ruwet dan
sukar diraba. Apa artinya semua ini"
Sekarang ayahnya menderita luka parah. Teringat bahwa
ayahnya hendak berbicara dengan berduaan saja, memang
semuanya itu harus pergi menjauhi. Dengan begitu tiada yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bakal mengganggu. Tetapi justru teringat akan hal itu,
jantungnya berdegup. Ayahnya hendak membuka suatu
rahasia apa" Pasti hebat!
Tetapi bayangan Bagus Boang selalu saja berkelebat dalam
benaknya. Ia tahu sendiri, perkenalannya dengan Bagus
Boang baru saja terjadi. Namun apa sebab hatinya telah kena ditawan pemuda itu" Tanpa merasa ia berseru lagi.
"Bagus Boang! Kau berada dimana?"
Beberapa kali ia mengulangi. Tetap saja hening. Bahkan
pantulan suaranya membuat hatinya begidik. Jangan-jangan
pemuda itu telah mengintip semua yang terjadi tadi. Melihat semuanya itu, ia lantas menjadi muak. Dan pergi
meninggalkan gunung tanpa memberi kabar lagi.
Tiba-tiba saja ia merasakan, rumahnya ini bakal menjadi
kota iblis. Betapa tidak, ibunya telah pergi. Ayahnya
berkeputusan hendak beristirahat di dalam gua batu. Kalau
sudah sembuh, belum tentu sudi memasuki rumah. Dia akan
terkenang pada ibunya yang pergi dengan begitu saja. Dan
Bagus Boang" Pemuda itu"meskipun dengan dia baik hati"
tetapi dengan ayahnya mempunyai masalahnya sendiri.
Pastilah dia tidak akan mau berada dibawah atap lawannya.
Tinggallah ia seorang diri yang akan menempati dengan
semua teka-teki yang serba rahasia.
Dengan pikiran yang kalang kabut itu, ia mencari sisa air
Tirtasari di dalam laci. Kemudian mengambil cupu-cupu
merah yang besar. Itu cupu-cupu tempat ayahnya menyimpan


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arak buatannya sendiri. Teringatlah dia, arak itu pernah
diberikan kepada Bagus Boang sehingga pemuda itu tak
sadarkan diri. Sekarang ia membawanya untuk ayahnya ke
gua batu. Waktu itu matahari sudah tenggelam. Cuaca menjadi
guram. Bulan purnama yang kemarin malam memancar cerah
tidak segera mencongakkan diri. Gunung lantas terasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berselimut kabut tebal. Angin, seakan-akan menjadi sejuk
seolah angin kemarin, angin dahulu, yang sudah dikenalnya.
"Ayah!" serunya setelah tiba di depan gua.
Tidak ada jawaban.
Hati Ratna Permanasari tercekat. Berseru lagi, "Ayah!"
Tidak ada jawaban.
Dengan jantung berdegup, Ratna Permanasari memasuki
gua. Ia meraba-raba dan maju selangkah demi selangkah.
Akhirnya, tibalah ia di dalam kamar latihan ayahnya. Ia
berhenti mempertajam matanya. Beberapa saat kemudian,
bayangan ayahnya nampak di depannya. Dan melihat
bayangan ayahnya, hatinya lega luar biasa.
Dengan cupu-cupu di tangan, Ratna Permanasari
menghampiri. Sekian lamanya, ia berdiri, ayahnya tidak
berkutik. Maka tahulah ia, ayahnya sedang bersemadi
menyembuhkan lukanya, la lalu duduk di sisinya.
Kira-kira satu jam kemudian, tubuh Harya Udaya nampak
bergerak. Perlahan-lahan ia menoleh. Perlahan-lahan pula
tangannya meraba lengan Ratna Permanasari. Ratna
Permanasari cepat-cepat mengangsurkan cupu-cupu arak.
Harya Udaya menyambut dan segera meneguknya. Terdengar
tenggorokannya berkeluyuk. Setelah diam sekian lamanya,
Harya Udaya baru bersuara.
"Ratna!" suara agak gemetaran. "Kau dengarlah kini rasa penyesalan ayahmu."
Mendengar suara ayahnya, Ratna Permanasari mendadak
menggigil, la memang ingin mendapat penjelasan ayahnya
secepat mungkin tentang dosa yang pernah dibuatnya. Tapi
begitu ayahnya hendak mulai, ia merasa takut. Takut sekali.
Dosa apakah yang pernah dilakukannya" Benarkah ayahnya
pernah membunuh seorang wanita yang berbudi luhur" Siapa
dan mengapa" Hebat pergolakan batinnya. Ia mengeluh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mengapa dia semuda itu harus mendengarkan suatu
pengakuan dosa dan yang mengaku dosa adalah ayahnya
sendiri" Untunglah"di dalam gua gelap gulita. Ia tak dapat
melihat tangannya sendiri. Dengan begitu tak usah ia melihat wajah ayahnya apabila nanti mengaku dosa. Ayahnya pun
tidak bakal melihat wajahnya pula yang pasti berubah hebat
lantaran pergolakan batinnya. Memperoleh pertimbangan ini,
ia jadi berani, la lantas bisa menenangkan diri. la mencoba menguatkan hatinya untuk bersikap tenang.
Beberapa saat lamanya, di dalam gua itu sunyi senyap.
Yang terdengar hanyalah jalannya pernapasan. Napas Ratna
Permanasari terdengar sesak karena hatinya bergetaran.
Sedang napas Harya Udaya memburu karena sedang
mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. Memang, mengaku
dosa, bukanlah mudah. Apalagi mengaku dosa terhadapputeri
kandungnya sendiri.
Mendadak saja dalam kesenyapan itu, terdengarlah suara
lamat-lamat. Suara seorang wanita memanggil nama Bagus
Boang. Tak dikehendaki sendiri, Ratna Permanasari menegakkan
kepalanya. Kemudian menoleh ke arah mulut gua dengan
perlahan-lahan. Siapa yang memanggil-manggil Bagus Boang"
Hatinya tergetar dan menjadi sibuk. Tiba-tiba teringatlah dia akan tutur kata Suryakusumah. Apakah wanita itu yang
dimaksudkan"
"Ratna! Mengapa engkau membagi perhatian?" tegur
ayahnya perlahan. "Kau dengarkan dahulu rasa penyesalan ayahmu. Biar langit ambruk, jangan pedulikan."
-ooo0dw0ooo- DENGAN KEPALA kosong, Bagus Buang membawa kudanya
mendaki gunung. Dia. pun seperti Ratna Permanasari. Hati
dan pikirannya terpukul dalam waktu yang singkat sekali. Ia menyaksikan pelbagai kejadian yang berjalan sangat cepat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semuanya merupakan teka-teki besar yang diselimuti kabut
rahasia pelik. Semalam ia datang menjenguk rumah Harya Udaya,
lantaran terhanyut perasaannya ingin melihat wajah Ratna
Permanasari yang lembut. Ia berhasil/Bahkan tidak hanya
melihat, tapi bertemu dan membawa hatinya. Ratna
Permanasari bersedia menyerahkan cinta kasihnya kepadanya.
Keruan saja hatinya girang luar biasa. Seluruh isi dunia seolah-olah ingin disembahnya.
Sayang! Tiba-tiba datanglah Harya Udaya. Ratna
Permanasari lantas menyuruh dia bersembunyi jauh-jauh. Di
mana" Karena bersembunyi di luar kehendaknya sendiri, dia
jadi kehilangan tujuan. Kecuali harus bersembunyi jauh-jauh.
Di mana" la lantas memecut kudanya asal jadi saja.
Kedatangannya di Gunung Patuha tadinya bertujuan
hendak membunuh Harya Udaya. Itu tugas yang diterimanya
dari guru-gurunya dan paman-pamannya. Tak pernah terlintas
dalam benaknya, bahwa sebelum melakukan tugas itu, ia
jatuh tergelincir di dalam jurang. Kemudian dirawat gadis
musuh besarnya. Kemudian tumbuhlah cintanya di luar
kesadarannya sendiri. Dan sekarang ia tidak ragu-ragu lagi, Ratna Permanasari adalah kekasih hatinya. Ia sudah berani
menetapkan hari depan.
Tetapi dapatkah dia hidup bersama dengan mertuanya
berbareng dengan tugas yang harus dilaksanakan"
Mengelakkan tugas adalah mustahil. Di sana dipertaruhkan
laskar perjuangan, ibunya, guru-gurunya dan mahkota. Satusatunya yang dapat dilakukan hanyalah membawa minggat
gadis belahan hatinya itu. Kalau Harya Udaya marah, maka
ada alasannya untuk saling berhadap-hadapan sebagai lawan.
Hanya saja, Ratna Permanasari sangat kasih kepada
ayahnya. Begitupun sebaliknya dapatkah ia merenggutkan
jalinan kasih sayang antara ayah dan anak dengan begitu
saja" Seumpama hal itu terjadi, siapa yang berani menjamin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bahwa Ratna Permanasari di kemudian hari tidak akan
bersikap tawar kepadanya seperti Ratu Naga-ningrum kepada
Harya Udaya" Ibu Ratna Permanasari itu penuh mendendam
penasaran dan rasa sesal. Harya Udaya hanya bisa mendekati
jasmaninya, tetapi tidak hatinya. Ini suatu siksaan batin yang mengerikan. Hidup bersuami isteri demikian, apakah
senangnya"
Sifat Bagus Boang memang jauh berlainan daripada
Suryakusumah. Suryakusumah adalah seorang pemuda yang
panas membara. Kalau dia mencintai, dia akan bersedia
runtuh dan tak memedulikan apa juga. Dia seumpama
seorang buta yang bersedia menumbuk-numbuk segalanya.
Dia seumpama seorang tuli yang berani menantang ledakan
Pedang Golok Yang Menggetarkan 1 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 12

Cari Blog Ini