Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Bagian 5
yang telah dapat mengatasi rintangan-rintangan, akan
bebas dari kesedihan dan ratap tangis.
Ia yang menghormati orang-orang suci yang telah
menemukan kedamaian
dan telah bebas dari ketakutan;
maka jasa perbuatannya tak dapat diukur dengan ukuran
apapun. Sang brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Stupa Buddha Kassapa masih dengan jelas tertampak
lebih dari tujuh hari, dan masyarakat tetap berdatangan ke stupa tersebut untuk memberikan penghormatan dan bersujud. Pada
akhir hari ke tujuh, seperti yang telah dikatakan oleh Sang
Buddha, stupa tersebut menghilang, dan di tempat di mana stupa tersebut tertampak dengan kekuatan batin, muncul keajaiban
berupa stupa batu yang besar.
XV-1-3. Kisah Kesabaran Kerabat Sang
Buddha Kapilavatthu, kota suku Sakya; dan Koliya, kota suku Koliya, terletak di sisi-sisi sungai Rohini. Petani kedua kota bekerja di ladang yang diairi oleh sungai tersebut. Suatu tahun mereka
memperoleh hujan yang tidak cukup, sehingga padi serta hasil panen lainnya mulai layu. Petani di kedua sisi sungai ingin
mengalirkan air dari sungai Rohini ke ladang mereka masingmasing. Penduduk Koliya mengatakan bahwa air sungai itu tidak cukup untuk mengairi dua sisi, dan jika mereka dapat
melipatgandakan aliran air ke ladang mereka, barulah itu akan cukup untuk mengairi padi sampai menguning.
Pada sisi lain, penduduk Kapivatthu menolak hal itu,
apabila mereka tidak mendapatkan air, dapat dipastikan hasil panen mereka akan gagal, dan mereka akan terpaksa membeli
beras orang lain. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak siap
membawa uang dan barang-barang berharga ke seberang sungai
untuk ditukar dengan makanan.
Kedua pihak menginginkan air untuk kebutuhan mereka
masing-masing, sehingga tumbuh keinginan jahat. Mereka saling memaki dan menantang. Pertengkaran antar petani itu sampai
didengar oleh para menteri negara masing-masing, dan mereka
melaporkan kejadian tersebut kepada pemimpin mereka masingmasing, sehingga orang-orang di kedua sisi sungai siap
bertempur. Sang Buddha melihat sekeliling dunia dengan kemampuan
batin luar biasa Beliau, mengetahui kerabat-kerabat Beliau pada kedua sisi sungai akan bertempur, Beliau memutuskan untuk
mencegahnya. Seorang diri Sang Buddha ke tempat mereka
dengan melalui udara, dan segera berada di tengah sungai.
Kerabat-kerabat Beliau melihat Sang Buddha, dengan penuh
kesucian dan kedamaian duduk di atas mereka, melayang di
udara. Mereka meletakkan senjatanya ke samping dan
menghormat kepada Sang Buddha.
Kemudian Sang Buddha berkata pada mereka, "Demi
keperluan sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai. Kenapa kalian melakukan tindakan yang bodoh ini" Jika Saya tidak menghentikan kalian hari ini, darah kalian akan
mengalir seperti air di sungai sekarang. kalian hidup dengan saling membenci; kalian akan menderita karena kekotoran batin, tetapi Saya sudah bebas darinya; kalian berusaha memiliki
kesenangan hawa nafsu, tetapi Saya sudah tidak berusaha untuk itu."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 197, 198,
dan 199 berikut ini :
Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara
orang-orang yang membenci;
di antara orang-orang yang membenci, kita hidup tanpa
di antara orang-orang yang membenci, kita hidup tanpa
benci. Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa penyakit di antara
orang-orang yang berpenyakit;
di antara orang-orang yang berpenyakit, kita hidup tanpa
penyakit. Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa keserakahan di
antara orang-orang yang serakah;
di antara orang-orang yang serakah, kita hidup tanpa
keserakahan. Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.
XV-4-Kisah Mara
Pada suatu kesempatan, Sang Buddha dengan kemampuan batin
luar biasa Beliau, melihat lima ratus gadis dari desa Pancasala yang akan mencapai tingkat kesucian sotapatti. Oleh karena itu, Sang Buddha pergi dan tinggal di dekat desa tersebut. Kelima ratus gadis pergi mandi ke sungai; setelah selesai mandi mereka pergi ke desa dengan berpakaian lengkap, karena hari itu adalah hari festival.
Pada waktu bersamaan, Sang Buddha memasuki desa
Pancasala untuk berpindapatta, tetapi tidak seorangpun
penduduk desa memberi dana kepada Sang Buddha karena
mereka telah dipengaruhi oleh Mara.
Pada saat perjalanan pulang Sang Buddha bertemu dengan
Mara, yang dengan cepat bertanya pada Sang Buddha apakah
Sang Buddha sudah menerima dana makanan cukup.
Sang Buddha melihat kedatangan Mara bersamaan dengan
kegagalan Beliau untuk mendapatkan dana makanan pada hari
itu dan berkata, "Kamu Mara jahat, adalah kamu yang menyuruh penduduk desa untuk menolak saya. Karena kau telah
mempengaruhi mereka untuk tidak memberi dana makanan pada
saya. Apakah saya bersalah?"
Mara tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi dia berpikir
akan memperolok Sang Buddha dengan membujuknya kembali
akan memperolok Sang Buddha dengan membujuknya kembali
ke desa, sehingga penduduk desa akan menghina Sang Buddha
dengan memperolok-olokNya. Maka Mara menyarankan, "O
Buddha, mengapa Engkau tidak kembali ke desa lagi" Kali ini
Engkau pasti akan mendapatkan makanan."
Sejenak kemudian, kelima ratus gadis desa tiba di tempat
itu dan menghormat Sang Buddha. Di tengah kehadiran mereka,
Mara mengejek Sang Buddha, "O Buddha, Engkau tidak
menerima dana makanan pagi ini, Engkau pasti merasa sakit
karena kelaparan!"
Kepada Mara, Sang Buddha menjawab, "O Mara jahat,
meskipun kami tidak mendapatkan makanan, seperti Brahma
Abhassara yang hidup dengan kepuasan yang sangat
menyenangkan (piti) dan kebahagiaan (sukha) pemusatan pikiran (jhana), kami hidup dengan kepuasan yang menyenangkan dan
kebahagiaan Dhamma." Kemudian Sang Buddha membabarkan
syair 200 berikut :
Sungguh bahagia hidup kita ini apabila sudah tidak terikat
lagi oleh rasa ingin memiliki.
Kita akan hidup dengan bahagia bagaikan dewa-dewa di
alam yang cemerlang.
Lima ratus gadis mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XV-5-Kisah Kekalahan Raja Kosala
Dalam pertempuran melawan Ajatasattu, Raja Kosala kalah tiga kali. Ajatasattu adalah anak dari Raja Bimbisara dan Ratu
Vedehi, saudara perempuan dari Raja Kosala. Raja Kosala malu dan sangat sedih atas kekalahannya. Kemudian dia mengeluh,
"Sungguh memalukan! Saya bahkan tidak dapat menaklukkan
anak yang masih berbau susu ibunya. Lebih baik saya meninggal dunia." Merasa sedih dan sangat malu raja menolak makan, dan terus berbaring.
Berita tentang kesedihan sang raja menyebar seperti api
yang liar dan ketika Sang Buddha mendengar perihal itu, Beliau berkata, "Para bhikkhu! Pada diri seseorang yang menang,
permusuhan dan kebencian meningkat, seseorang yang
dikalahkan akan menderita kesakitan dan kesukaran." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 201 berikut :
Kemenangan menimbulkan kebencian, dan yang kalah
hidup dalam penderitaan.
Setelah dapat melepaskan diri dari kemenangan dan
kekalahan, orang yang penuh damai akan hidup bahagia
XV-6-Kisah Pengantin Muda Wanita
Pada hari pernikahan seorang wanita muda, orang tua pengantin wanita mengundang Sang Buddha dan delapan puluh bhikkhu
untuk menerima dana makanan. Melihat gadis di rumahnya
membantu mempersembahkan dana makanan, pengantin pria
sangat gembira dan dia dapat sungguh-sungguh memperhatikan
kebutuhan Sang Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya. Sang
Buddha mengetahui dengan pasti perasaan pengantin laki-laki itu.
Pada saat itu, pengantin laki-laki dan pengantin wanita sudah siap untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, Sang Buddha
membuat pengantin wanita tidak tampak oleh pengantin laki-laki.
Saat laki-laki muda itu tidak lagi melihat pengantin wanita, dia dapat mencurahkan perhatiannya kepada Sang Buddha,
sehingga hormatnya kepada Sang Buddha bertambah kuat.
Kemudian Sang Buddha berkata pada laki-laki muda itu,
"O anak muda, tidak ada api yang menyamai nafsu, tidak ada
kejahatan yang menyamai marah dan benci, tidak ada
penderitaan yang menyamai kemelekatan lima kelompok
kehidupan (khandha), tidak ada kebahagiaan yang menyamai
"Kedamaian Abadi" (nibbana)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 202 berikut:
Tiada api yang menyamai nafsu;
Tiada api yang menyamai nafsu;
tiada kejahatan yang menyamai kebencian;
tiada penderitaan yang menyamai kelompok kehidupan
(khandha); dan tiada kebahagiaan yang lebih tinggi daripada
"Kedamaian Abadi" (nibbana).
Pengantin laki-laki maupun wanita mencapai tingkat
kesucian sotapatti setelah mendengar khotbah Dhamma itu
berakhir. XV-7-Kisah Seorang Murid Awam
Suatu hari Sang Buddha mengetahui dari penglihatan-Nya bahwa terdapat seorang laki-laki miskin yang akan mampu mencapai
tingkat kesucian sotapatti di desa Alavi. Maka sang Buddha
pergi ke desa tersebut yang berjarak 30 yojana dari Savatthi.
Pada dini hari laki-laki tersebut kehilangan kerbau, maka
dia pergi mencari kerbaunya. Sementara itu, dana makanan
sedang diberikan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu di
sebuah rumah di desa Alavi. Setelah bersantap, orang-orang
bersiap untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha; tetapi Sang
Buddha menunggu laki-laki itu.
Setelah menemukan kerbaunya, laki-laki itu datang dengan
berlari-lari ke rumah tempat Sang Buddha berada. Laki-laki
tersebut letih dan lapar, maka Sang Buddha meminta pada
pendana yang berada di situ untuk memberi makan kepada lakilaki tersebut. Setelah laki-laki tersebut selesai makan, Sang Buddha memberikan khotbah, menjelaskan Dhamma tahap demi
tahap, dan akhirnya sampai pada penjelasan tentang "Empat
Kebenaran Mulia". Murid awam tersebut mencapai tingkat
kesucian sotapatti pada saat khotbah berakhir.
Setelah itu Sang Buddha dan para bhikkhu pulang kembali
ke Vihara Jetavana. Dalam perjalanan pulang, para bhikkhu
berkata, sangat mengagetkan Sang Buddha meminta makanan
pada pendana makanan untuk memberikan makanan kepada
laki-laki muda sebelum Beliau mulai khotbah.
Mendengar perkataan tersebut, Sang Buddha
menjelaskan, "Para bhikkhu, apa yang kamu katakan adalah
benar, tetapi kamu tidak mengerti mengapa Saya datang ke
tempat itu, yang berjarak 30 yojana; karena Saya mengetahui
bahwa ia dalam kondisi siap menerima Dhamma. Jika ia merasa
sangat lapar, rasa sakit kelaparan itu akan menghalangi ia
menerima Dhamma secara utuh. Laki-laki itu telah bepergian
mencari kerbaunya sepanjang pagi, oleh karena itu ia sangat letih dan juga sangat lapar. Para bhikkhu, dari semuanya, tidak ada penderitaan yang sangat sulit ditanggung seperti kelaparan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 203 berikut :
Kelaparan merupakan penyakit yang paling berat.
Segala sesuatu yang berkondisi merupakan penderitaan
yang paling besar.
Setelah mengetahui hal ini sebagaimana adanya, orang
bijaksana memahami bahwa
nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi.
XV-8-Kisah Raja Pasenadi dari Kosala
Suatu hari raja Pasenadi dari Kosala pergi ke Vihara Jetavana setelah menyelesaikan makan pagi. Dikatakan raja telah
memakan seperempat keranjang (kira-kira setengah gantang)
nasi dengan kari daging pada hari itu. Maka pada saat
mendengarkan khotbah Sang Buddha, dia tertidur dan
mengantuk sepanjang waktu. Melihat dia mengantuk, Sang
Buddha menasehati dia untuk memakan sedikit nasi setiap
harinya, dan mengurangi sedikit demi sedikit nasi setiap hari sehingga mencapai jumlah minimum dari seperenambelas jumlah
nasi yang biasa dimakan.
Raja melaksanakan nasehat yang dikatakan Sang Buddha.
Dengan memakan sedikit nasi, dia menjadi kurus, dan merasa
sangat ringan. Raja menikmati kesehatan yang lebih baik.
Ketika dia mengabarkan hal itu kepada Sang Buddha,
Beliau berkata kepadanya, "O Raja! kesehatan adalah anugerah yang besar, kepuasan adalah kekayaan yang besar, kepercayaan adalah kerabat terbaik, nibbana adalah kebahagiaan tertinggi."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 204 berikut :
Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar.
Kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga.
Kepercayaan adalah saudara yang paling baik.
Nibbana adalah kebahagiaan yang tertinggi.
XV-9-Kisah Tissa Thera
Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa dalam waktu empat
bulan lagi Beliau akan merealisasi "Kebebasan Akhir"
(parinibbana), banyak bhikkhu puthujjana gelisah. Mereka
kehilangan dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Maka,
mereka selalu berada dekat dengan Sang Buddha. Tetapi, Tissa Thera memutuskan bahwa dia akan mencapai tingkat kesucian
arahat pada saat Sang Buddha masih hidup.
Dia tidak pergi ke dekat Sang Buddha, tetapi dia pergi ke
suatu tempat menyendiri untuk berlatih meditasi. Bhikkhubhikkhu lain tidak mengerti hal itu, sehingga mereka membawa Tissa Thera menghadap Sang Buddha, dan mereka berkata,
"Bhante, bhikkhu ini tidak kelihatan menghargai dan
menghormati Bhante, dia hanya peduli pada dirinya sendiri, tidak kepada kehadiran Bhante."
Tissa Thera kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa
dia berusaha keras untuk mencapai tingkat kesucian arahat
sebelum Sang Buddha mangkat (parinibbana), dan itulah
alasannya mengapa dia tidak datang mendekati Sang Buddha.
Setelah mendengar penjelasan itu, Sang Buddha berkata
pada para bhikkhu, "Para bhikkhu, siapapun yang mencintai dan menghormati saya, seharusnya berbuat seperti Tissa Thera.
Kalian menghormati Saya jangan hanya dengan
mempersembahkan bunga, wewangian, dan dupa. Tetapi
hendaknya kalian menghormati Saya dengan mempraktekkan
Lokuttara-Dhamma, yaitu meditasi pandangan terang
(vipassana-bhavana)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 205 berikut :
Setelah mencicipi rasa penyepian dan ketentraman, maka
ia akan bebas dari duka-cita dan tidak ternoda, serta mereguk kebahagiaan dalam Dhamma.
XV-10-12. Kisah Sakka
Kira-kira sepuluh bulan sebelum Sang Buddha merealisasi
kebebasan akhir (parinibbana), Beliau melaksanakan masa vassa di Veluva, sebuah desa dekat Vesali. Ketika bertempat tinggal di sana, Beliau mengalami sakit desentri. Ketika Dewa Sakka
mengetahui Sang Buddha sakit, dia datang ke desa Veluva untuk merawat Sang Buddha selama sakit.
Sang Buddha berkata kepadanya, agar jangan
mengkhawatirkan perihal kesehatan Beliau, karena terdapat
banyak bhikkhu di dekat Beliau. Tetapi Sakka tidak
mendengarkan-Nya dan tetap merawat Sang Buddha hingga
sembuh. Para bhikkhu terkesan dan kagum mengetahui Sakka
sendiri yang merawat Sang Buddha. Ketika Sang Buddha
mendengar kata-kata para bhikkhu, Beliau berkata, "Para
bhikkhu! Tidaklah mengagetkan perihal cinta kasih dan bakti
Sakka kepada Saya. Pernah, ketika Sakka yang dulu bertambah
tua dan akan meninggal dunia, dia datang menjumpai Saya.
Kemudian Saya menjelaskan Dhamma kepadanya. Saat
mendengarkan Dhamma dia mencapai tingkat kesucian sotapatti; kemudian dia meninggal dunia dan lahir kembali sebagai Sakka yang sekarang. Semua yang terjadi kepadanya adalah sederhana karena dia mendengarkan Dhamma yang telah Saya jelaskan.
Sesungguhnya para bhikkhu, adalah baik bertemu dengan orang
Sesungguhnya para bhikkhu, adalah baik bertemu dengan orang
suci (ariya); adalah berbahagia dapat tinggal bersama mereka; tinggal bersama orang bodoh sesungguhnya adalah menderita."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 206, 207,
dan 208 berikut ini :
Bertemu dengan para ariya adalah baik, tinggal bersama
mereka merupakan suatu kebahagiaan, orang akan selalu
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbahagia bila tak menjumpai orang bodoh.
Seseorang yang sering bergaul dengan orang bodoh pasti
akan meratap lama sekali.
Karena bergaul dengan orang bodoh adalah penderitaan
seperti tinggal bersama musuh.
Tetapi, siapa yang tinggal bersama orang bijaksana akan
berbahagia, sama seperti sanak keluarga yang kumpul bersama.
Karena itu, ikutilah orang yang pandai, bijaksana,
terpelajar, tekun, patuh dan mulia;
hendaklah engkau selalu dekat dengan orang yang bajik
dan pandai seperti itu,
bagaikan bulan mengikuti peredaran bintang.
XVI-1-3. Kisah Tiga Pertapa
Suatu ketika terjadi di Savatthi, satu-satunya putra dari sebuah keluarga, pertama kali menjadi seorang bhikkhu, kemudian sang ayah mengikuti menjadi bhikkhu, dan akhirnya sang ibu menjadi seorang bhikkhuni. Mereka sangat dekat satu sama lainnya
sehingga mereka jarang tinggal terpisah. Keluarga itu tinggal di vihara seperti tinggal di rumah sendiri, berbicara dan makan bersama, membuat bhikkhu-bhikkhu lain merasa terganggu.
Bhikkhu lain melaporkan kelakuan mereka kepada Sang
Buddha, dan Sang Buddha memanggil mereka.
Sang Buddha berkata, "Sekali kamu telah bergabung
dalam pasamuan Sangha, kamu seharusnya tidak lagi tinggal
bersama seperti sebuah keluarga. Jangan melihat mereka yang
kaucinta dan melihat mereka yang tidak kaucinta, kedua hal itu merupakan penderitaan, maka kamu seharusnya tidak tergantung kepada seseorang atau sesuatu yang kamu cintai."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210,
dan 211 berikut :
Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya
dihindari, dan tidak memperjuangkan apa yang seharusnya
diperjuangkan; melepaskan apa yang baik dan melekat pada apa yang
melepaskan apa yang baik dan melekat pada apa yang
tidak menyenangkan,
akan merasa iri terhadap mereka yang tekun dalam latihan.
Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak
dicintai. Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai dan bertemu
dengan mereka yang tidak dicintai,
keduanya merupakan penderitaan.
Oleh sebab itu, janganlah mencintai apapun, karena
berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan.
Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas dari
mencintai dan tidak mencintai.
XVI-4-Kisah Seorang Perumah Tangga
Kaya Suatu saat, seorang perumah tangga merasa sangat sedih atas
kematian putranya. Dia sering ke makam dan menangis di sana.
Suatu pagi, Sang Buddha melihat perumah tangga kaya tersebut dalam penglihatan Beliau. Oleh karena itu, Sang Buddha
bersama seorang bhikkhu pergi menuju ke rumah perumah
tangga kaya tersebut.
Di sana, Sang Buddha bertanya kepada lelaki tersebut
mengapa dia merasa sangat tidak bahagia. Lelaki tersebut
menjelaskan kepada Sang Buddha tentang kematian putranya,
dan tentang kesedihan serta duka cita penderitaannya.
Kepadanya, Sang Buddha berkata, "Murid-Ku, kematian tidak
hanya terjadi di satu tempat. Semua mahluk yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian pada suatu hari, sesungguhnya
kehidupan berakhir dengan kematian. Kamu harus menyadari
kenyataan bahwa kehidupan berakhir dengan kematian.
Janganlah kau anggap hanya putra tersayangmu saja yang
mengalami kematian. Jangan terlalu sedih ataupun terlalu
goncang. Duka cita dan ketakutan timbul dari kesayangan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 212 berikut :
Dari yang disayangi timbul kesedihan, dari yang disayangi
timbul ketakutan;
timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari yang disayangi, tiada lagi
kesedihan maupun ketakutan.
Perumah tangga kaya mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XVI-5-Kisah Visakha
Suatu hari, seorang cucu Visakha yang bernama Sudatta
meninggal dunia, dan Visakha merasa sangat kehilangan dan
bersedih atas kematian cucu tersebut. Maka dia pergi
menghadap Sang Buddha.
Ketika Sang Buddha melihatnya, Beliau berkata,
"Visakha, tidakkah kamu menyadari bahwa banyak orang
meninggal dunia di Savatthi setiap hari" Jika kamu
memperhatikan mereka semua seperti kamu memperhatikan
cucumu, kamu pasti akan menangis dan berkabung tidak hentihentinya. Jangan biarkan kematian seorang anak mempengaruhi
kamu berlebih-lebihan. Kesedihan dan ketakutan timbul dari
kecintaan." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 213
berikut : Dari cinta timbul kesedihan, dari cinta timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari rasa cinta, tiada lagi
kesedihan maupun ketakutan.
XVI-6-Kisah Pangeran-Pangeran Licchavi
Pada suatu hari festival, Sang Buddha memasuki kota Vesali
ditemani oleh serombongan bhikkhu. Di perjalanan, mereka
bertemu beberapa Pangeran Licchavi yang mengenakan pakaian
bagus. Sang Buddha melihat mereka penuh dengan tanda-tanda
kebesaran, berkata kepada para bhikkhu, "Para bhikkhu, siapa saja yang tidak pernah ke alam Dewa Tavatimsa seharusnya
melihat pangeran-pangeran Licchavi ini."
Pangeran-pangeran itu menuju ke taman yang indah. Di
sana mereka bertengkar perihal seorang pelacur dan
pertengkaran itu menjadi perkelahian. Sebagai hasilnya beberapa dari mereka berdarah dan dibawa pulang. Ketika Sang Buddha
bersama para bhikkhu berjalan pulang setelah bersantap di kota, mereka melihat pangeran yang luka-luka dibawa pulang ke
rumahnya. Berkaitan dengan kejadian tersebut para bhikkhu berkata,
"Demi seorang wanita, pangeran-pangeran Licchavi ini
bertengkar." Kepada mereka, Sang Buddha menjelaskan, "Para
bhikkhu, penderitaan dan ketakutan timbul dari kesenangan
duniawi dan kemelekatan terhadapnya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 214 berikut :
Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan
timbul ketakutan;
timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi
kesedihan maupun ketakutan
XVI-7-Kisah Anitthigandha Kumara
Anitthigandha tinggal di Savatthi. Dia akan menikah dengan
seorang wanita muda cantik dari kota Sagala, dari negara
Maddas. Pengantin wanita datang dari kotanya ke Savatthi, dia jatuh sakit dan meninggal dunia dalam perjalanan. Ketika
pengantin pria mendengar kabar tentang kematian pengantin
wanitanya, dia menjadi putus asa.
Dalam keadaan ini, Sang Buddha mengetahui bahwa
waktunya sudah matang bagi pemuda itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sang Buddha menuju ke rumah pemuda
tersebut. Orang tua pemuda itu memberi dana makanan kepada
Sang Buddha. Setelah bersantap, Sang Buddha meminta orang
tua pemuda itu untuk membawa anaknya menghadap Sang
Buddha. Ketika pemuda itu tiba, Sang Buddha bertanya mengapa
dia sedih dan putus asa. Pemuda itu menjelaskan seluruh
kejadian tragis kematian pengantin wanitanya. Kemudian Sang
Buddha berkata kepadanya, "O Anittthigandha! Dari nafsu
timbul kesedihan; tergantung dari nafsu terhadap barang-barang dan kesenangan duniawi, kesedihan serta ketakutan muncul."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 215 berikut :
Dari nafsu timbul kesedihan, dari nafsu timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari nafsu, tiada lagi
bagi orang yang telah bebas dari nafsu, tiada lagi
kesedihan maupun ketakutan.
Anitthigandha mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XVI-8-Kisah Seorang Brahmana
Ada seorang brahmana tinggal di Savatthi, dan dia bukan
seorang Buddhis. Tetapi Sang Buddha mengetahui bahwa
brahmana akan mencapai tingkat kesucian sotapatti dalam waktu dekat. Maka Sang Buddha pergi ke tempat brahmana
membajak ladangnya dan mengajak berbicara dengannya.
Brahmana menjadi sahabat dan berterima kasih kepada Sang
Buddha yang telah berkenalan dengannya dan memperhatikan
pekerjaannya di ladang.
Suatu hari dia berkata kepada Sang Buddha, "Samana
Gotama, bila nanti saya menuai padi dari ladang ini, pertama sekali saya akan memberikan sebagian hasil panen ini kepadaMu sebelum saya mengambilnya. Saya tidak akan memakan beras
saya sebelum saya memberikan kepadaMu." Sang Buddha
mengetahui bahwa brahmana itu tidak mempunyai kesempatan
untuk memanen padi dari ladangnya tahun ini, tetapi Beliau
berdiam diri. Kemudian pada malam sebelum si brahmana memanen
padinya, turun hujan lebat menyapu semua tanaman padinya.
Sang brahmana sangat sedih karena dia tidak mungkin
memberikan sebagian hasil panen kepada temannya, Samana
Gotama. Sang Buddha pergi ke rumah brahmana dan sang
brahmana memberitahukan tentang bencana besar yang
menimpanya. Sang Buddha menjawab, "Brahmana, kamu tidak
mengetahui sebab penderitaan, tetapi saya mengetahui. Jika
kesedihan dan ketakutan muncul, hal-hal itu disebabkan oleh
keinginan." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 216
berikut : Dari keinginan timbul kesedihan, dari keinginan timbul
ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari keinginan, tiada lagi
kesedihan maupun ketakutan.
Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XVI-9-Kisah Lima Ratus Anak Laki-Laki
Pada suatu hari festival, Sang Buddha memasuki kota Rajagaha untuk berpindapatta dengan ditemani oleh sejumlah bhikkhu. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan lima ratus anak laki-laki yang sedang berjalan menuju ke suatu taman yang indah.
Anak-anak itu membawa beberapa keranjang kue pancake
tetapi mereka tidak memberikan satupun kepada Sang Buddha
dan para bhikkhu. Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu,
"Para bhikkhu, kamu akan memakan pancake itu hari ini;
pemiliknya akan datang mendekati kita. Kita akan
mendapatkannya hanya setelah ada yang mengambil beberapa
pancake." Setelah mengatakan hal itu, Sang Buddha dan para
bhikkhu berteduh di bawah pohon.
Pada waktu itu Kassapa Thera datang ke sana sendirian.
Anak-anak itu melihatnya dan kemudian menghormati Kassapa
Thera, serta mendanakan pancake mereka kepada Sang Thera.
Kassapa Thera kemudian berkata kepada anak-anak itu,
"Guruku Yang Mulia beristirahat di sana, di bawah pohon
ditemani oleh beberapa bhikkhu. Pergi dan danakan pancake
kalian kepada-Nya dan beberapa bhikkhu."
Anak-anak itu melakukan apa yang dikatakan Kassapa
Thera. Sang Buddha menerima dana pancake itu. Kemudian,
para bhikkhu berkata bahwa anak-anak itu sangat menyukai
Kassapa Thera. Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu,
semua bhikkhu yang seperti anakKu Kassapa disukai oleh para
dewa dan manusia. Beberapa bhikkhu hanya selalu menerima
cukup pemberian empat kebutuhan bhikkhu." Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 217 berikut :
Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai
pandangan terang,
teguh dalam Dhamma, selalu berbicara benar dan
memenuhi segala kewajibannya,
maka semua orang akan mencintainya.
Lima ratus anak laki-laki mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XVI-10-Kisah Seorang Thera Anagami
Suatu saat murid-murid dari seorang thera bertanya kepadanya, apakah dia telah mencapai tingkat "Jalan Kesucian" (magga);
tetapi sang thera tidak berkata apa-apa meskipun dia telah
mencapai "Jalan Kesucian Anagami" (anagami magga), magga
ketiga. Dia berdiam diri karena dia memutuskan untuk tidak
membicarakan tentang pencapaiannya hingga dia mencapai
tingkat kesucian arahat. Tetapi sang thera meninggal dunia
sebelum mencapai tingkat kesucian arahat, dan juga tidak
berkata sesuatupun tentang pencapaian anagami magganya.
Murid-muridnya berpikir guru mereka meninggal dunia
tanpa mencapai tingkat magga dan mereka merasa menyesalinya.
Mereka pergi menghadap Sang Buddha dan bertanya di mana
guru mereka dilahirkan kembali. Sang Buddha menjawab, "Para
bhikkhu! Gurumu telah mencapai anagami magga sebelum
meninggal dunia, sekarang dia lahir kembali di alam brahma
(Suddhavassa Brahmaloka). Dia tidak menyatakan pencapaian
anagami magganya karena merasa malu bahwa dia hanya
mencapai itu, dan dia berusaha keras mencapai tingkat kesucian arahat. Gurumu sekarang telah bebas dari kemelekatan
kesenangan duniawi ( kamaloka) dan pasti akan meningkat pada keadaan yang lebih tinggi." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 218 berikut :
Barang siapa bermaksud ingin mencapai "Yang Tak
Barang siapa bermaksud ingin mencapai "Yang Tak
Dinyatakan" (nibbana),
yang batinnya tidak lagi terikat oleh kesenangan indria,
orang seperti itu disebut "yang telah pergi ke hilir arus
kehidupan".
Para bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XVI-11-12. Kisah Nandiya
Nandiya adalah seorang kaya berasal dari Baranasi. Setelah
mendengarkan khotbah Sang Buddha tentang manfaat
membangun vihara-vihara untuk para bhikkhu, Nandiya
membangun Vihara Mahavihara di Isipatana. Bangunan tersebut
tinggi dan penuh perabotan. Segera setelah vihara tersebut
dipersembahkan kepada Sang Buddha, sebuah rumah besar
muncul untuk Nandiya di alam surga Tavatimsa. Suatu hari
ketika Maha Moggalana Thera mengunjungi alam surga
Tavatimsa, dia melihat sebuah rumah besar diperuntukkan bagi pendana Vihara Mahavihara di Isipatana. Setelah kembali dari alam surga Tavatimsa, Maha Moggalana Thera bertanya kepada
Sang Buddha, "Bhante ! Untuk mereka yang melakukan
perbuatan baik, apakah mereka akan mempunyai rumah besar
dan kekayaan lain tersedia di alam surga, meskipun mereka
masih hidup di dunia ini ?"
Kepadanya Sang Buddha berkata, "Anak-Ku, mengapa
kamu bertanya hal itu " Apakah kamu tidak melihat rumah besar dan kekayaan menunggu untuk Nandiya di alam surga Tavatimsa
" Para dewa menunggu kedatangan dari orang yang berbuat baik dan dermawan, seperti sebuah keluarga menunggu kembalinya
seseorang yang telah lama bepergian. Ketika orang baik
meninggal dunia, mereka disambut dengan gembira untuk tinggal di alam surga."
di alam surga."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 219 dan 220
berikut : Setelah lama seseorang pergi jauh dan kemudian pulang ke
rumah dengan selamat,
maka keluarga, kerabat dan sahabat akan menyambutnya
dengan senang hati.
Begitu juga, perbuatan-perbuatan baik yang telah
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilakukan akan menyambut pelakunya yang telah pergi dari dunia ini ke dunia selanjutnya, seperti keluarga yang menyambut
pulangnya orang tercinta.
XVII-1-Kisah Putri Rohini
Pada suatu saat Anuruddha Thera mengunjungi Kapilavatthu.
Saat Anuruddha berdiam di vihara, semua anggota keluarganya, kecuali Rohini datang mengunjunginya. Saat mengetahui bahwa
ketidakhadiran Rohini disebabkan ia menderita kusta,
Anuruddha Thera menyuruh salah satu anggota keluarganya
untuk memanggilnya. Dengan menutupi kepalanya karena malu,
Rohini pun datang. Anuruddha Thera menyarankan agar ia
melakukan perbuatan baik. Beliau mengajurkan agar Rohini
menjual beberapa pakaian dan perhiasannya, dan uang hasil
penjualan tersebut dapat dipergunakan untuk membangun
sebuah kuti bagi para bhikkhu. Rohini setuju dengan apa yang dinasehatkan kepadanya. Anuruddha Thera juga meminta
anggota keluarganya yang lain untuk membantu pembangunan
tersebut. Selanjutnya Anuruddha Thera meminta Rohini untuk
menyapu lantai dan mengisi tempat air setiap hari meskipun
pembangunan kuti sedang berlangsung. Rohini melakukan
semuanya yang dianjurkan dan kesehatannya pun semakin
membaik. Saat bangunan kuti itu selesai dibangun, Sang Buddha dan
para bhikkhu diundang untuk menerima dana makanan. Setelah
bersantap, Sang Buddha bertanya siapa yang berdana kuti dan
makanan tersebut. Namun saat itu Rohini tidak hadir, maka Sang Buddha meminta agar Rohini dipanggil dan ia pun datang.
Buddha meminta agar Rohini dipanggil dan ia pun datang.
Sang Buddha bertanya apakah Rohini tahu mengapa ia
menderita penyakit yang mengerikan itu. Rohini menjawab
bahwa ia tidak mengetahuinya. Kemudian Sang Buddha
menjelaskan bahwa Rohini menderita penyakit kusta karena
perbuatan jahat yang pernah dilakukannya pada kehidupan yang lampau, perbuatan yang diliputi rasa dengki dan marah.
Sang Buddha bercerita, bahwa dulu Rohini adalah
permaisuri Raja Banarasi. Raja Banarasi memiliki seorang penari yang ia kagumi dan hal ini membuat permaisuri cemburu.
Karenanya, permaisuri bermaksud menghukum penari itu. Suatu
hari permaisuri menyuruh para pelayannya untuk menaburkan
serbuk gatal yang terbuat dari kotoran sapi pada tempat tidur dan selimut milik penari itu. Kemudian mereka memanggil penari tersebut dan dengan tiba-tiba mereka menebarkan bubuk gatal
itu ke tubuhnya. Rasa gatal menyerang seketika dan penari itu menjadi sangat menderita. Saat rasa gatal itu semakin tak
tertahankan, ia berlari ke kamar dan menjatuhkan diri jatuh di ranjang. Iapun semakin menderita.
Akibat dari perbuatan jahat itu, Rohini menderita kusta
pada kehidupannya sekarang. Sang Buddha kemudian
menasehati semua orang yang hadir agar menghindari perbuatan bodoh karena marah, dan menghindari perbuatan mencelakakan
orang lain. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 221 berikut :
Hendaklah orang menghentikan kemarahan dan
Hendaklah orang menghentikan kemarahan dan
kesombongan, hendaklah ia mengatasi semua belenggu.
Orang yang tidak lagi terikat pada batin dan jasmani,
yang telah bebas dari nafsu-nafsu, tak akan menderita lagi.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, banyak orang
yang hadir mencapai tingkat kesucian sotapatti. Demikian pula dengan Putri Rohini, ia juga mencapai tingkat kesucian sotapatti, dan seketika itu pula penyakit kulit yang mengerikan itu lenyap dan kulitnya berubah menjadi bersih, halus dan menarik
XVII-2-Kisah Seorang Bhikkhu
Suatu ketika, seorang bhikkhu dari Alavi hendak membangun
sebuah vihara untuk dirinya sendiri, dan ia pun mulai menebang sebatang pohon. Dewa yang mendiami pohon tersebut (Rukkha
Deva), mencoba untuk mencegahnya dengan alasan bahwa ia
dan bayinya tak tahu kemana lagi harus tinggal. Gagal
menghentikan perbuatan sang bhikkhu, kemudian dewa itu
meletakkan anaknya pada sebuah dahan, berharap bahwa hal itu akan membuat sang bhikkhu berhenti menebang. Namun,
bhikkhu tersebut terlanjur mengayunkan kapaknya dan ia tidak dapat menghentikannya seketika, dan tanpa sengaja memotong
lengan anak tersebut. Melihat bayinya terluka, sang ibu menjadi marah dan bermaksud membunuh bhikkhu tersebut. Ketika ia
mulai mengangkat kedua tangannya untuk menyerang, tiba-tiba ia berhenti dan berpikir, "Bila aku membunuh seorang bhikkhu,
berarti aku membunuh seseorang yang menjalankan peraturan
moral (sila). Hal ini akan membuat aku menderita di alam neraka (niraya). Dewa pohon lainnya akan meniru apa yang kuperbuat, dan semakin banyak bhikkhu akan terbunuh. Tetapi bhikkhu ini pasti memiliki guru. Aku harus menemui gurunya."
Kemudian ia pergi menghadap Sang Buddha. Sambil
menangis ia menceritakan semua yang telah menimpanya.
Kepadanya, Sang Buddha berkata, "O Rukkha Deva, kau telah
berhasil baik mengendalikan dirimu sendiri." Kemudian Sang
berhasil baik mengendalikan dirimu sendiri." Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 222 berikut :
Barangsiapa yang dapat menahan kemarahannya yang
telah memuncak seperti menahan kereta yang sedang melaju, ia patut
disebut sais sejati.
Sedangkan sais lainnya hanya sebagai pemegang kendali
belaka. Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Rukkha Deva
mencapai tingkat kesucian sotapatti dan ia pun diperbolehkan mendiami sebatang pohon di dekat kamar harum (Gandha Kuti)
Sang Buddha. Semenjak kejadian itu, Sang Buddha melarang
para bhikkhu menebangi tumbuh-tumbuhan seperti rumput,
tanaman, semak belukar, dan pepohonan
XVII-3-Kisah Uttara Seorang Umat Awam
Uttara adalah putri dari Punna, seorang buruh tani yang bekerja pada pria kaya bernama Sumana di Rajagaha. Suatu hari, Punna dan istrinya berdana makanan kepada Sariputta Thera di saat
beliau baru saja mencapai keadaan pencerapan mental yang
dalam (nirodha sampatti). Sebagai akibat dari perbuatan baik itu, mereka mendadak menjadi kaya. Punna menemukan emas di
tanah yang ia bajak, dan secara resmi raja menyatakan Punna
sebagai seorang bankir yang besar.
Pada suatu kesempatan, Punna sekeluarga berdana
makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu selama tujuh
hari, dan pada hari ketujuh, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, mereka sekeluarga mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Uttara, putri Punna menikah dengan anak
Sumana. Keluarga Sumana bukan keluarga Buddhis, sehingga
Uttara tidak merasa bahagia di rumah suaminya. Iapun bercerita kepada ayahnya, Punna, "Ayah, mengapa ayah mengurung saya
di kandang ini " Di sini saya tidak melihat para bhikkhu dan saya tidak memiliki kesempatan berdana kepada para bhikkhu."
Punna menjadi menyesal dan ia segera memberi uang
sebesar 15.000 kepada Uttara. Setelah mendapat ijin dari
suaminya, Uttara menggunakan uangnya untuk menyewa seorang
wanita untuk menggantikan dirinya memenuhi kebutuhan
suaminya. Akhirnya ditetapkan bahwa Sirima, seorang pelacur
yang sangat cantik dan terkenal, menggantikannya sebagai
seorang istri selama 15 hari.
Selama waktu itu, Uttara memberikan dana makanan
kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Pada hari ke lima belas, saat ia sibuk menyiapkan makanan di dapur, suaminya melihat
dari balik jendela kamar dan tersenyum seraya bergumam pada
dirinya sendiri, "Betapa bodohnya ia. Dia tak tahu cara
bersenang-senang. Dia selalu menyibukkan diri dengan upacara pemberian dana."
Sirima melihat suami Uttara tersenyum pada Uttara, ia
menjadi sangat cemburu pada Uttara, ia lupa bahwa dirinya
hanya sebagai istri pengganti yang dibayar. Menjadi tak
terkendali, segera Sirima pergi ke dapur dan mengambil
sesendok besar mentega panas dengan maksud
mengguyurkannya di kepala Uttara. Uttara melihatnya datang,
namun ia tidak memiliki maksud buruk pada Sirima. Ia
menyadari, berkat Sirimalah ia dapat mendengarkan Dhamma,
berdana makanan, dan berbuat kebaikan lainnya, sehingga ia
merasa berterima kasih pada Sirima.
Tiba-tiba ia menyadari bahwa Sirima datang mendekat
dan hendak menuangkan mentega panas ke arahnya, iapun
berseru, "Bila aku memiliki maksud buruk terhadap Sirima,
biarlah mentega panas ini melukaiku, tapi bila aku tidak memiliki maksud buruk padanya, mentega panas ini tak akan melukaiku."
Karena Uttara tidak memiliki maksud buruk terhadap
Karena Uttara tidak memiliki maksud buruk terhadap
Sirima, mentega panas yang dituang di kepalanya hanya terasa bagai air dingin. Sirima berpikir pasti mentega itu telah menjadi dingin saat dituangkan, maka ia bermaksud mengambil mentega
panas yang lain. Saat hendak menuangkan mentega panas
tersebut, pelayan-pelayan Uttara menyerang dan memukulnya
keras-keras. Uttara menghentikan para pelayannya dan
menyuruh mereka mengobati luka Sirima dengan balsam.
Akhirnya Sirima teringat akan kedudukannya yang
sebenarnya, dan ia menyesal bahwa ia telah melakukan
kesalahan terhadap Uttara, dan meminta Uttara mengampuninya.
Uttarapun menjawab, "Aku memiliki seorang ayah. Aku harus
bertanya kepadanya apakah aku harus menerima permintaan
maafmu." Sirima berkata bahwa ia siap pergi memohon
pengampunan pada Punna, ayah Uttara.
Uttara menjelaskan padanya, "Sirima, saat aku
mengatakan "ayahku", maksud saya bukan ayahku yang
sebenarnya, yang membawaku pada rantai kelahiran kembali ini.
Yang kumaksud "ayahku" adalah Sang Buddha, yang telah
menolongku memotong rantai kelahiran kembali, yang telah
mengajariku Dhamma, kebenaran sejati."
Sirima pun memohon untuk bertemu dengan Sang Buddha.
Sehingga pada hari berikutnya direncanakan Sirima akan
menyerahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para
bhikkhu. Setelah bersantap, Sang Buddha diberitahu perihal Sirima
dan Uttara. Kemudian Sirima mengakui bahwa ia telah berbuat
kesalahan terhadap Uttara dan memohon Sang Buddha apakah
ia dapat dimaafkan, karena jika tidak, Uttara tidak akan
memaafkannya. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada
Uttara bagaimana perasaannya saat Sirima menyiramkan
mentega panas ke arahnya.
Uttara pun menjawab, "Bhante, karena saya telah
berhutang budi pada Sirima, saya tetap tidak naik darah, tidak memiliki maksud buruk padanya. Saya selalu memancarkan cinta saya kepadanya."
Lalu Sang Buddha berkata "Bagus, bagus, Uttara! Dengan
tidak memiliki maksud jahat, kau telah mengatasi mereka yang berbuat kesalahan padamu. Dengan tidak melukai, kau dapat
mengatasi mereka yang melukaimu. Dengan bermurah hati kau
dapat mengatasi orang kikir, dengan berbicara benar kau dapat mengatasi mereka yang berbohong."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 223 berikut :
Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih dan kalahkan
kejahatan dengan kebajikan.
Kalahkan kekikiran dengan kemurahan hati, dan kalahkan
kebohongan dengan kejujuran.
Sirima dan lima ratus wanita mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XVII-4-Kisah Pertanyaan Maha
Moggallana Thera
Ketika itu, Maha Moggalana Thera mengunjungi alam surga dan
menjumpai banyak dewa yang tinggal di tempat mewah. Beliau
bertanya kepada mereka, perbuatan baik apa yang
menyebabkan mereka terlahir di alam surga, dan mereka pun
memberikan jawaban yang berbeda-beda. Dewa yang satu
mengatakan ia terlahir di alam surga bukan karena ia banyak
berdana atau sering mendengarkan Dhamma, tetapi hanya
karena ia selalu berbicara benar. Dewa kedua adalah dewa
wanita yang terlahir di alam surga karena ia tidak pernah marah pada tuannya dan tidak memiliki maksud buruk padanya
meskipun tuannya sering memukul dan menyiksanya. Dengan
meredam kemarahan dan menghindari kebencian, ia terlahir di
alam surga. Selanjutnya, ada yang terlahir di alam surga karena sedikit berdana seperti mendanakan gula tebu, buah, atau
beberapa sayuran kepada seorang bhikkhu atau pada orang lain.
Setelah kembali dari alam surga, Maha Moggalana Thera
bertanya kepada Sang Buddha, apakah mungkin meraih banyak
keuntungan hanya dengan bicara benar, atau mengendalikan
perbuatan atau dengan memberikan sedikit barang seperti buah dan sayuran.
Sang Buddha menjawab, "Anak-Ku, mengapa kau
bertanya hal itu" Apakah kamu tidak melihat dan mendengar
sendiri apa yang dewa-dewa itu katakan" Seharusnya engkau
tidak meragukannya. Sedikit perbuatan baik pasti akan
membawa seseorang terlahir di alam surga."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 224 berikut :
Hendaknya orang berbicara benar, hendaknya orang tidak
marah, hendaknya orang memberi walaupun sedikit kepada
mereka yang membutuhkan.
Dengan tiga cara ini, orang dapat pergi ke hadapan para
dewa. XVII-6-Kisah Punna Seorang Budak
Wanita Suatu malam, Punna, seorang budak wanita, sedang menumbuk
padi untuk tuannya. Karena lelah, ia beristirahat sejenak. Saat beristirahat, ia melihat Dabba Thera memimpin beberapa
bhikkhu berjalan menuju vihara, setelah mereka mendengarkan
Dhamma. Gadis itu melihat mereka masih terjaga, ia pun
merenung, "Aku masih terjaga hingga larut malam karena aku
seorang yang miskin dan harus bekerja keras. Tapi mengapa
orang-orang baik ini masih terjaga pada malam selarut ini"
Mungkinkah ada bhikkhu yang sakit, ataukah mereka diganggu
seekor ular?"
Esok pagi harinya, Punna mengmbil sedikit beras hancur,
merendamnya dalam air dan mengolahnya menjadi roti.
Kemudian dengan maksud memakannya di tepi sungai, ia
membawa roti kasar dan sederhana itu bersamanya.
Pada saat itu, ia melihat Sang Buddha datang dan sedang
berpindapatta. Ia bermaksud mendanakan roti itu pada Sang
Buddha, tapi ia tak yakin apakah Sang Buddha berkenan
memakan roti murah yang kasar itu. Sang Buddha mengetahui
apa yang dipikirkan gadis tersebut. Beliau menerima rotinya dan menyuruh Ananda Thera untuk menggelar tikar kecil di tanah.
Sang Buddha duduk di atas tikar dan memakan roti yang
diberikan oleh budak wanita itu.
Setelah bersantap, Sang Buddha memanggil Punna dan
menjawab pertanyaan semalam yang membuatnya bingung.
"Punna, kau tidak dapat pergi tidur karena kau miskin dan harus bekerja keras. Begitu pula dengan anak-anak-Ku, para bhikkhu, mereka tidak tidur karena mereka harus selalu waspada dan
sadar." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 226 berikut
: Mereka yang senantiasa sadar, tekun melatih diri siang dan
malam, selalu mengarahkan batin ke nibbana, maka semua
kekotoran batin dalam dirinya akan musnah.
Punna mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
mendengar khotbah Dhamma itu berakhir.
XVII-7-10. Kisah Atula Seorang Umat
Awam Suatu saat, Atula bersama dengan 500 orang temannya,
mengunjungi Revata Thera, dengan harapan dapat
mendengarkan Dhamma. Revata Thera yang pendiam seperti
seekor singa, tidak mengatakan apapun pada mereka. Atula dan teman-temannya sangat tidak puas dan kemudian pergi
menghadap Sariputta Thera. Saat Sariputta Thera mengetahui
mengapa mereka datang ke hadapannya, beliau menjelaskan
Abhidhamma secara mendalam. Apa yang dijelaskan Sariputta
Thera juga bukanlah yang mereka harapkan, dan mereka
mengeluh bahwa uraian Sariputta Thera panjang dan terlalu
mendalam. Kemudian Atula dan rombongannya mendekati Ananda
Thera. Ananda Thera menjelaskan pada mereka sedikit tentang
inti dari ajaran Dhamma. Kali ini, mereka menilai bahwa
penjelasan Ananda Thera terlalu singkat dan kurang lengkap.
Akhirnya mereka menghadap Sang Buddha dan berkata
kepada Beliau, "Bhante, kami datang untuk mendengarkan
ajaran-Mu. Kami telah menemui beberapa guru sebelum kami
datang kemari, tapi kami tidak puas terhadap mereka. Revata
Thera tidak berkenan mengajar kami dan ia hanya berdiam diri.
Penjelasan Sariputta Thera terlalu mendalam dan Dhamma yang
beliau ajarkan terlalu sukar buat kami. Begitu pula Ananda
Thera, beliau menjelaskan terlalu singkat dan kurang lengkap.
Kami tidak menyukai apa yang mereka ajarkan."
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Murid-muridKu, mencela orang lain bukanlah hal yang baru. Tak satu pun
orang di dunia ini yang tak pernah dicela; orang-orang akan
mencela meskipun seorang raja atau bahkan seorang Buddha.
Dicela atau dipuji oleh orang bodoh, tidaklah berarti. Seseorang akan benar-benar tercela hanya bila ia dicela oleh orang
bijaksana, dan benar-benar terpuji hanya bila dipuji oleh orang bijaksana."
Kemudian Sang buddha membabarkan syair 227, 228,
229 dan 230 berikut ini :
O Atula, hal ini telah ada sejak dahulu dan bukan saja ada
sekarang, di mana mereka mencela orang yang duduk diam, mereka
mencela orang yang banyak bicara,
mereka juga mencela orang yang sedikit bicara.
Tak ada seorangpun di dunia ini yang tak dicela.
Tidak pada zaman dahulu, waktu yang akan datang
ataupun waktu sekarang,
dapat ditemukan seseorang yang selalu dicela maupun
yang selalu dipuji.
Setelah memperhatikan secara seksama, orang bijaksana
memuji ia yang menempuh kehidupan tanpa cela, pandai serta
memiliki kebijaksanaan dan sila.
Siapakah yang layak merendahkan orang tanpa cela
seperti sepotong emas murni"
Para dewa akan selalu memujinya, begitu pula para
brahmana. Atula dan teman-temannya mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XVII-11-14. Kisah Enam Bhikkhu
Enam bhikkhu dengan mengenakan sandal kayu, serta masingmasing memegang tongkat pada kedua tangannya, berjalan
mondar-mandir pada sebuah batu yang besar, sehingga
menimbulkan suara keras. Sang Buddha mendengar suara ribut
itu dan bertanya kepada Ananda Thera, apa yang terjadi.
Ananda Thera menjelaskan perihal perilaku enam bhikkhu
tersebut. Kemudian Sang Buddha melarang para bhikkhu untuk
menggunakan sandal kayu. Selanjutnya Beliau menganjurkan
para bhikkhu agar mengendalikan diri mereka; baik dalam
ucapan maupun perbuatannya. Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 231, 232, 233, dan 234 berikut ini :
Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan jasmani,
hendaklah ia selalu mengendalikan jasmaninya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui
jasmani, hendaklah ia giat melakukan perbuatan-perbuatan baik melalui jasmani.
Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan ucapan,
hendaklah ia mengendalikan ucapannya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui
ucapan, hendaklah ia giat melakukan perbuatan-perbuatan baik
melalui ucapan.
melalui ucapan.
Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan pikiran,
hendaklah ia mengendalikan pikirannya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui
pikiran, hendaklah ia giat melakukan perbuatan-perbuatan baik
melalui pikiran.
Para bijaksana terkendali perbuatan, ucapan, dan
pikirannya. Sesungguhnya mereka itu benar-benar telah dapat
menguasai diri.
XVIII-1-4. Kisah Putra Seorang Penjagal
Suatu ketika di Savatthi, ada seorang pria yang menjadi penjagal ternak selama dua puluh lima tahun. Selama itu ia menyembelih ternak dan menjual dagingnya, dan setiap hari ia makan nasi
dengan kari daging. Suatu hari ia memberikan sedikit daging
kepada istrinya agar dimasak untuk keluarga mereka, kemudian ia pergi mandi ke tepi sungai.
Saat penjagal itu pergi, seorang teman membujuk istrinya
untuk menjual sekerat daging tadi kepadanya. Akibatnya tidak ada kari daging untuk si penjagal pada hari itu. Karena ia tidak pernah makan tanpa kari daging, maka si penjagal bergegas
pergi ke belakang rumah, dimana terdapat seekor sapi jantan. Ia memotong lidah sapi jantan tersebut dan memanggangnya di atas api. Ketika makan si penjagal menggigit lidah sapi jantan
tersebut, tetapi bersamaan dengan itu lidahnya sendiri tergigit putus dan jatuh ke atas piring nasi. Jadi sapi jantan dan si penjagal mengalami penderitaan yang sama, sama-sama
terpotong lidahnya.
Si penjagal mengalami kesakitan dan penderitaan yang
teramat sangat, dan ia merangkak ke sana ke mari, dengan
banyak darah bercucuran dari mulutnya. Kemudian penjagal
tersebut meninggal dan terlahir kembali di alam neraka Avici (Niraya Avici).
Istri si penjagal merasa sangat gelisah dan ia menginginkan
putranya pindah ke tempat tinggal yang lain, agar kemalangan tidak menimpa dirinya pula. Maka ia mengirimkan putranya ke
Taxila. Di Taxila, putra si penjagal mempelajari seni dari seorang pandai emas. Kemudian, ia menikahi putri gurunya dan
mempunyai beberapa orang anak. Ketika anak-anak mereka
sudah dewasa, ia kembali ke Savatthi. Anak-anaknya menganut
ajaran Sang Buddha dan telah meningkat keyakinannya. Mereka
mengkhawatirkan ayah mereka, yang telah menjadi tua tanpa
pernah memikirkan Dhamma maupun kehidupannya yang akan
datang. Maka pada suatu hari, mereka mengundang Sang Buddha
dan para bhikkhu ke rumah mereka untuk menerima dana
makanan. Setelah bersantap, mereka berkata kepada Sang
Buddha, "Bhante, kami melakukan persembahan kepada-Mu
hari ini atas nama ayah kami. Berikanlah khotbah secara khusus padanya."
Sang Buddha berkata, "Murid-Ku! Engkau telah menjadi
tua, tapi engkau belum membuat persiapan kebajikan untuk
perjalananmu pada kelahiran berikutnya, sekarang engkau
sebaiknya mencari penolong bagi dirimu sendiri."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 235,236,237
dan 238 berikut ini :
Sekarang ini engkau bagaikan daun mengering layu.
Para utusan raja kematian (Yama) telah menantimu.
Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan,
namun tidak kaumiliki bekal untuk perjalanan nanti.
Buatlah pulau bagi dirimu sendiri Berusahalah sekarang
juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda dan bebas dari nafsu
keinginan, maka engkau akan mencapai alam kedamaian para
Ariya. Sekarang kehidupanmu telah mendekati akhir, dan engkau
telah mulai berjalan ke hadapan raja kematian (Yama).
Tidak ada tempat bagimu berhenti di perjalanan,
sedangkan engkau belum memiliki bekal untuk perjalananmu.
Buatlah pulau bagi dirimu sendiri. Berusahalah sekarang
juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda dan bebas dari nafsu
keinginan, maka kelahiran dan kematian tidak akan datang lagi padamu.
Ayah pemberi dana makanan (yaitu putra si penjagal)
mencapai tingkat kesucian anagami setelah khotbah Dhamma
tersebut berakhir.
XVIII-5-Kisah Seorang Brahmana
Suatu saat, seorang brahmana menyaksikan sekelompok
bhikkhu sedang membenahi jubah, ketika mereka
mempersiapkan diri memasuki kota untuk menerima dana
makanan. Sementara menyaksikan, ia melihat bahwa jubah
beberapa bhikkhu tersebut menyentuh tanah dan menjadi basah
oleh embun yang terdapat di rerumputan. Maka ia
membersihkan bidang tanah itu.
Hari berikutnya, ia melihat bahwa jubah para bhikkhu
menyentuh tanah lumpur, jubah tersebut menjadi kotor. Maka ia menutupi tanah tersebut dengan pasir. Kemudian pula, ia
memperhatikan bahwa para bhikkhu akan berkeringat saat
matahari bersinar dan menjadi basah saat hujan turun. Akhirnya, ia membangun sebuah rumah peristirahatan untuk para bhikkhu
di tempat mereka biasa berkumpul sebelum memasuki kota
untuk menerima dana makanan.
Ketika bangunan tersebut telah selesai, ia mengundang
Sang Buddha dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan.
Brahmana tersebut menjelaskan kepada Sang Buddha
bagaimana ia telah melaksanakan perbuatan baik tersebut
selangkah demi selangkah.
Kepadanya Sang Buddha berkata, "O Brahmana! Para
bijaksana melaksanakan perbuatan baik mereka sedikit demi
sedikit, dan secara bertahap serta terus menerus mereka
menanggalkan noda-noda kekotoran batin," Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 239 berikut :
Dengan latihan bertahap, sedikit demi sedikit, dari waktu
ke waktu hendaklah orang bijaksana membersihkan noda-noda yang
ada dalam dirinya,
bagaikan seorang pandai perak membersihkan perak yang
berkarat. Brahmana itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma tersebut berakhir.
XVIII-6-Kisah Tissa Thera
Suatu saat seorang Thera bernama Tissa tinggal di Savatti. Pada suatu hari, ia menerima seperangkat jubah yang bagus dan
merasa sangat senang. Ia bermaksud mengenakan jubah tersebut keesokan harinya. Tetapi pada malam hari ia meninggal dunia.
Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu, ia
terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal di dalam lipatan jubah. Karena tidak ada orang yang mewarisi benda miliknya,
diputuskan bahwa seperangkat jubah tersebut akan dibagi
bersama oleh bhikkhu-bhikkhu yang lain.
Ketika para bhikkhu sedang bersiap untuk membagi jubah
di antara mereka, si kutu sangat marah dan berteriak, "Mereka sedang merusak jubahku!" Teriakan ini didengar oleh Sang
Buddha dengan kemampuan pendengaran luar biasa Beliau.
Maka Beliau mengirim seseorang untuk menghentikan para
bhikkhu, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk
menyelesaaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari. Pada hari ke delapan, seperangkat jubah milik Tissa Thera itu dibagi oleh para bhikkhu.
Kemudian Sang Buddha ditanya oleh para bhikkhu,
mengapa Beliau menyuruh mereka menunggu selama tujuh hari
sebelum melakukan pembagian jubah Tissa Thera. Kepada
mereka, Sang Buddha berkata, "Murid-murid-Ku, pikiran Tissa
melekat pada seperangkat jubah itu pada saat dia meninggal
dunia, dan karenanya ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal dalam lipatan jubah tersebut. Ketika engkau semua bersiap untuk membagi jubah itu, Tissa, si kutu akan merasa
sangat membencimu dan ia akan terlahir di alam neraka (niraya).
Tetapi sekarang Tissa telah bertumimbal lahir di alam dewa
Tusita, dan sebab itu, Aku memperbolehkan engkau mengambil
jubah tersebut.
"Sebenarnya, para bhikkhu, kemelekatan sangatlah
berbahaya, seperti karat merusak besi di mana ia terbentuk,
begitu pula kemelekatan menghancurkan seseorang dan
mengirimnya ke alam neraka (Niraya). Seorang bhikkhu
sebaiknya tidak terlalu menuruti kehendak atau melekat dalam pemakaian empat kebutuhan pokok." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 240 berikut :
Bagaikan karat yang timbul dari besi, bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri,
begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk akan
menjerumuskan pelakunya
ke alam kehidupan yang menyedihkan.
XVIII-7-Kisah Laludayi
Di Savatti, banyak orang memberikan pujian setelah mendengar khotbah-khotbah dari dua Murid Utama, Sariputta Thera dan
Maha Moggalana Thera.
Suatu ketika, Laludayi, setelah mendengar pujian mereka.
Ia berkata kepada orang-orang tersebut bahwa mereka akan
mengatakan hal yang sama tentang dirinya setelah mendengar
khotbah-khotbahnya. Mendengar hal itu, Laludayi diminta untuk menyampaikan suatu khotbah. Ia naik ke panggung khotbah
tetapi ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Maka ia
meminta para pendengar untuk mempersilahkan bhikkhu yang
lain terlebih dahulu dan ia akan mengambil giliran berikutnya.
Dengan cara yang sama, ia menunda sampai tiga kali.
Para pendengar kehilangan kesabaran dan berteriak,
"Engkau orang bodoh! Ketika kami memuji kedua Murid Utama
engkau membual bahwa engkau bisa berkhotbah seperti mereka.
Mengapa engkau tidak berkhotbah sekarang?"
Laludayi melarikan diri dan kerumunan orang tersebut
mengejarnya. Karena sangat takut dan tidak memperhatikan
kemana ia melangkah, Laludayi terjatuh ke dalam sebuah lobang kotoran.
Ketika Sang Buddha mendengar kejadian tersebut, Beliau
berkata, "Laludayi sangat sedikit mempelajari Dhamma; dia
berkata, "Laludayi sangat sedikit mempelajari Dhamma; dia
tidak mengulang-ulang pengetahuan Dhamma secara teratur; dia tidak mengingat apapun. Apapun yang telah sedikit ia pelajari menjadi berkarat karena tidak diulang."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 241 berikut :
Tidak membaca ulang adalah noda bagi mantra, tidak
berusaha adalah noda bagi kehidupan berumah tangga.
Kemalasan adalah noda bagi kecantikan, dan kelengahan
adalah noda bagi seorang penjaga.
XVIII-8-9. Kisah Seorang Pria Yang
Istrinya Melakukan Penyelewengan
Suatu ketika, ada seorang istri yang menyeleweng. Suaminya
begitu malu atas kelakuan istrinya sehingga ia tidak berani
menemui orang lain; ia juga menghindari Sang Buddha. Setelah beberapa waktu, ia pergi menjumpai Sang Buddha dan Beliau
bertanya mengapa laki-laki itu tidak kelihatan selama ini dan iapun menjelaskan semuanya.
Setelah mendengarkan alasan ketidakhadiran laki-laki itu,
Sang Buddha berkata, "Murid-Ku, wanita itu seperti sebuah
sungai, atau jalan, atau toko minuman, atau rumah peristirahatan, atau pot air, yang berdiri di pinggir jalan, mereka berhubungan (bergaul) dengan semua jenis orang. Tentunya hubungan intim
yang salah merupakan penyebab kehancuran seorang wanita."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 242 dan 243
berikut ini : Kelakuan buruk adalah noda bagi seorang wanita,
kekikiran adalah noda bagi seorang dermawan.
Sesungguhnya, segala bentuk kejahatan merupakan noda,
baik dalam dunia ini maupun dalam dunia selanjutnya.
Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan.
Kebodohan merupakan noda paling buruk.
Kebodohan merupakan noda paling buruk.
O, para bhikkhu, singkirkanlah noda ini dan hiduplah tanpa
noda. Banyak orang pada saat itu mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.
XVIII-10-11. Kisah Culasari
Suatu hari, Culasari berjalan pulang dari mengunjungi seorang pasien. Dalam perjalanan, ia berjumpa Sariputta Thera dan
bercerita, bagaimana ia merawat seorang pasien serta
mendapatkan makanan enak untuk pelayanannya. Ia juga
meminta Sariputta Thera untuk menerima darinya sebagian dari makanan tersebut. Sariputta Thera tidak mengatakan apapun
kepadanya melainkan terus melanjutkan perjalanannya. Sariputta Thera menolak menerima makanan dari bhikkhu itu karena
bhikkhu tersebut telah melanggar peraturan yang melarang para bhikkhu membuka praktek pengobatan.
Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal ini kepada Sang
Buddha dan Beliau berkata kepada mereka, "Para bhikkhu!
Seorang bhikkhu yang tidak tahu malu itu buruk dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ia sombong seperti seekor gagak, ia menghidupi diri dengan cara yang melanggar peraturan dan hidup dalam kenikmatan. Di sisi lain, kehidupan bagi seorang bhikkhu yang memiliki malu tidaklah mudah." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 244 dan 245 berikut ini :
Hidup ini mudah bagi orang yang tidak tahu malu, yang
suka menonjolkan diri seperti seekor burung gagak, suka
menfitnah, tidak tahu sopan santun, pongah, dan menjalankan
hidup kotor. Hidup ini sukar bagi orang yang tahu malu, yang senantiasa
mengejar kesucian,
yang bebas dari kemelekatan, rendah hati, menjalankan
hidup bersih dan penuh perhatian.
Banyak orang pada saat itu mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.
XVIII-12-14. Kisah Lima Murid Awam
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suatu ketika, lima murid awam melaksanakan hari puasa
(Uposatha) di Vihara Jetavana. Sebagian besar dari mereka
hanya menjalankan satu atau dua peraturan moral (sila) saja dari
"Lima Peraturan Moral" (pancasila). Masing-masing dari mereka yang menjalankan salah satu sila tertentu tersebut menyatakan bahwa sila yang dijalankannya merupakan sila yang paling sulit dan kemudian terjadi perdebatan. Akhirnya, mereka menghadap
Sang Buddha dengan membawa masalah ini.
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Engkau tidak
boleh menganggap suatu sila itu mudah atau tidak penting. Setiap sila harus dijalankan dengan tetap. Jangan menganggap ringan sila yang manapun; tidak ada sila yang mudah dijalankan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 246, 247
dan 248 berikut ini :
Barang siapa membunuh makhluk hidup, suka berbicara
tidak benar, mengambil apa yang tidak diberikan, merusak kesetiaan
istri orang lain,
Atau menyerah pada minuman yang memabukkan;
maka di dunia ini orang seperti itu bagaikan menggali
kubur bagi dirinya sendiri.
Orang baik, ketahuilah bahwa sesungguhnyatidak mudah
mengendalikan hal-hal yang jahat.
Jangan biarkan keserakahan dan kejahatan menyeretmu
ke dalam penderitaan yang tak berkesudahan.
Lima murid awam mencapai tingkat kesucian sotapatti,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir
XVIII- 15-16. Kisah Tissa
Tissa, seorang bhikkhu muda, mempunyai kebiasaan yang sangat buruk yaitu melecehkan kemurahan hati dan perbuatan baik
orang lain. Ia bahkan mencela dana yang diberikan oleh
Anathapindika dan Visakha. Di samping itu, ia membual bahwa
teman-temannya sangatlah kaya bagaikan sumur, tempat setiap
orang bisa mendapatkan air.
Mendengar ia membual demikian, para bhikkhu yang lain
tidak percaya; maka mereka memutuskan untuk menemukan
kebenarannya. Beberapa bhikkhu muda pergi ke desa asal Tissa dan mencari keterangan tentang hal ini. Mereka menemukan
kenyataan bahwa semua teman-teman Tissa miskin, dan selama
ini Tissa hanya membual saja.
Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata,
"Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tidak senang orang lain
menerima pemberian dan persembahan, ia tidak akan pernah
mencapai "Jalan dan Hasil Kesucian" (magga dan phala)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 249 dan 250
berikut ini : Orang-orang memberi sesuai dengan keyakinan dan
menurut kesenangan hati mereka.
Karena itu barang siapa yang merasa iri atas makanan dan
minuman orang lain,
minuman orang lain,
ia tidak akan memperoleh kedamaian batin, baik siang
ataupun malam. Orang yang telah memotong perasaan iri hati ini
seluruhnya, mencabut akar-akarnya serta menghancurkannya,
akan memperoleh kedamaian batin, baik siang ataupun malam.
XVIII-17-Kisah Lima Murid Awam
Pada suatu ketika, lima murid awam hadir pada saat Sang
Buddha sedang berkhotbah Dhamma di Vihara Jetavana.
Seorang dari mereka duduk tertidur, orang kedua menggambar
garis-garis di tanah dengan jarinya, orang ketiga mencoba
mengguncang sebatang pohon, dan orang keempat memandangi
langit. Orang kelima merupakan satu-satunya murid yang
mendengarkan Sang Buddha dengan hormat dan penuh
perhatian. Ananda Thera, yang berada di dekat Sang Buddha sambil
mengipasi Beliau melihat tingkah laku lima murid awam yang
berbeda tersebut. Ia berkata kepada Sang Buddha, "Bhante!
Sementara Bhante menguraikan Dhamma seperti tetesan air
hujan jatuh dari langit, hanya satu dari lima orang itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian." Kemudian Ananda
Thera menyampaikan tingkah laku yang berbeda dari empat
orang itu terhadap Sang Buddha dan bertanya mengapa mereka
bertingkah laku demikian.
Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda Thera,
"Ananda, orang-orang ini tidak dapat menyingkirkan kebiasaan lama mereka. Dalam kehidupan mereka yang lampau, orang
pertama adalah seekor ular. Seekor ular biasa melingkarkan
dirinya dan tertidur, demikian pula, orang ini tertidur ketika mendengarkan Dhamma.
mendengarkan Dhamma.
Orang yang mengais tanah dengan jari tangannya adalah
seekor cacing tanah, yang mengguncang pohon adalah seekor
kera, yang menatap langit adalah seorang ahli ilmu bintang, dan orang yang mendengarkan Dhamma dengan penuh perhatian
adalah seorang peramal terpelajar.
"Dalam kaitan ini, Ananda, engkau harus ingat bahwa
seseorang haruslah penuh perhatian untuk dapat memahami
Dhamma dan bahwa banyak sekali orang yang tidak dapat
menjalankan hal ini."
Kemudian Ananda Thera bertanya kepada Sang Buddha,
"Bhante! hal-hal apa yang menghalangi orang untuk dapat
mengerti Dhamma?"
Sang Buddha menjawab, "Ananda, nafsu (raga),
kebencian (dosa), dan ketidaktahuan (moha) adalah tiga hal yang menghalangi orang mengerti Dhamma. Nafsu membakar
seseorang; tidak ada api sepanas nafsu. Dunia mungkin saja
terbakar ketika tujuh matahari muncul di angkasa, tetapi itu jarang sekali terjadi. Namun nafsu selalu membakar tanpa henti."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 251 berikut :
Tiada api yang menyamai nafsu, tiada cengkeraman yang
dapat menyamai kebencian,
tiada jaring yang dapat menyamai ketidaktahuan, dan tiada
arus yang sederas nafsu keinginan.
Murid yang mendengarkan dengan penuh perhatian
Murid yang mendengarkan dengan penuh perhatian
mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XVIII-18-Kisah Mendaka Si Orang Kaya
Suatu ketika, dalam perjalanan Beliau ke wilayah Anga dan
Uttara, Sang Buddha mengetahui dari penglihatan luar biasa
Beliau bahwa telah tiba saatnya bagi Mendaka, istrinya,
putranya, menantunya, cucu perempuannya, dan pelayannya
untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mengingat
kesempatan enam orang tersebut untuk mencapai tingkat
kesucian sotapatti, Sang Buddha pergi ke kota Baddiya.
Mendaka adalah seorang pria yang teramat kaya raya.
Menurut kabar, ia telah menemukan sejumlah besar patung
kambing dari emas dalam ukuran yang sebenarnya di halaman
belakang rumahnya. Karena alasan tersebut, ia dikenal sebagai Mendaka (kambing) si orang kaya.
Menurut kabar pula, pada masa Buddha Vipassi, ia telah
berdana berupa sebuah vihara untuk Buddha Vipassi dan sebuah gedung pertemuan lengkap dengan podium untuk berkhotbah.
Selama pembangunan gedung tersebut, ia memberikan
persembahan dana makanan kepada Buddha Vipassi dan para
bhikkhu selama empat bulan.
Kemudian, pada masa lain dalam kehidupannya yang
lampau, ketika ia menjadi seorang kaya di Baranasi, terjadi
bencana kelaparan di seluruh daerah tersebut. Suatu hari,
mereka memasak makanan yang hanya cukup untuk anggota
keluarga saja. Saat itu, lewatlah seorang Pacceka Buddha yang sedang
berpindapatta. Ia mempersembahkan seluruh makanan tersebut.
Tetapi karena kesetiaan dan kemurahan hatinya yang luhur,
tempat nasinya kemudian ditemukan terisi lagi secara ajaib,
demikian pula lumbungnya.
Mendaka dan keluarganya, mendengar bahwa Sang
Buddha datang ke Baddiya, pergi untuk memberi hormat kepada
Beliau. Setelah mendengarkan khotbah yang diberikan Sang
Buddha, istrinya Candapaduma, anaknya Danancaya,
menantunya Sumanadevi, cucu perempuannya Visakha, dan
pelayannya Punna mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Mendaka menceritakan kepada Sang Buddha
bahwa dalam perjalanannya tadi beberapa pertapa telah
mengatakan hal-hal yang buruk tentang Sang Buddha dan
mencegahnya untuk datang mengunjungi Beliau.
Sang Buddha kemudian berkata, "Murid-Ku, sudah biasa
bahwa orang tidak melihat kesalahannya sendiri, dan membesar-besarkan kesalahan dan keburukan orang lain."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 252 berikut :
Amat mudah melihat kesalahan-kesalahan orang lain,
tetapi sangat sulit untuk melihat
kesalahan-kesalahan sendiri.
Seseorang dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan orang
lain seperti menampi dedak,
lain seperti menampi dedak,
tetapi ia menyembunyikan kesalahan-kesalahannya sendiri
seperti penjudi licik
menyembunyikan dadu yang berangka buruk.
XVIII-19-Kisah Ujjhanasanni Thera
Ujjhanasanni Thera selalu mencari kesalahan dan membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain. Bhikkhu-bhikkhu lain
melaporkan hal ini kepada Sang Buddha.
Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, jika seseorang
menemukan kesalahan orang lain kemudian memberitahukan halhal yang benar, maka itu bukanlah perbuatan jahat, dan tidak dapat disalahkan. Tetapi, jika seseorang selalu mencari
kesalahan orang lain dan membicarakan hal-hal buruk tentang
orang lain hanya karena dengki dan iri hati, ia tidak akan
mencapai konsentrasi dan pencerapan mental (jhana). Ia tidak akan bisa memahami Dhamma dan kekotoran batinnya (asava)
akan bertambah." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
253 berikut : Barang siapa yang selalu memperhatikan dan mencari-cari
kesalahan orang lain,
maka kekotoran batin dalam dirinya akan bertambahdan ia
semakin jauh dari penghancuran
kekotoran-kekotoran batin.
XVIII-20-21. Kisah Subhadda si Pertapa
Pengembara Subhadda si pertapa pengembara sedang menetap di Kusinara
ketika ia mendengar bahwa Buddha Gotama akan mangkat,
mencapai parinibbana pada waktu jaga terakhir malam itu.
Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah lama
membingungkannya. Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut
kepada guru-guru agama yang lain, misalnya Purana Kassapa,
Makkhali Gosala, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccayana,
Sancaya Belatthaputta, dan Nigantha Nataputta, tetapi jawaban mereka tidak memuaskan baginya. Ia belum bertanya kepada
Buddha Gotama, dan ia merasa bahwa hanya Sang Buddha-lah
yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Maka, ia bergegas pergi ke hutan pohon Sala, tetapi Y.A.
Ananda tidak mengizinkannya bertemu dengan Sang Buddha,
karena saat itu kondisi kesehatan Sang Buddha sangat lemah.
Sang Buddha mendengar percakapan mereka dan Beliau
berkenan untuk menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga
pertanyaan, yaitu : (1) Apakah ada jalan di langit ", (2) Apakah ada bhikkhu-bhikkhu suci (samana) di luar ajaran Sang Buddha
", dan (3) Apakah ada suatu hal berkondisi (sankhara) yang
abadi " Jawaban Sang Buddha terhadap semua pertanyaan
tersebut adalah "tidak ada". Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 254 dan 255 berikut ini :
membabarkan syair 254 dan 255 berikut ini :
Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar
Dhamma. Umat manusia bergembira di dalam belenggu, tetapi Para
Tathagata telah bebas dari semua itu.
Tidak ada jejak di angkasa,tidak ada orang suci di luar
Dhamma. Tidak ada hal-hal berkondisi yang abadi. Tidak ada lagi
keragu-raguan bagi Para Buddha.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Subhadda
mencapai tingkat kesucian anagami, dan atas permohonannya,
Sang Buddha menerima Subhadda sebagai anggota Pasamuan
Bhikkhu (Sangha).
Subhadda adalah orang terakhir yang menjadi bhikkhu
pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama. Akhirnya,
Subhadda mencapai tingkat kesucian arahat.
XIX-1-2. Kisah Para Hakim
Suatu hari, beberapa bhikkhu sedang berjalan pulang dari
menerima dana makanan. Ketika hujan turun, mereka berteduh
di suatu gedung pengadilan. Saat berada di sana, mereka melihat bahwa beberapa orang hakim, setelah menerima uang suap,
membebaskan suatu perkara.
Mereka melaporkan masalah ini kepada Sang Buddha dan
Beliau berkata, "Para bhikkhu ! Dalam memutuskan suatu
perkara, jika seseorang terpengaruh oleh rasa kasihan atau
pertimbangan keuangan, dia tidak dapat disebut sebagai "si adil"
atau "hakim yang patuh pada hukum". Jika seseorang menimbang bukti-bukti dengan teliti dan memutuskan suatu kasus secara
tidak memihak maka ia disebut "si adil" atau "hakim yang patuh pada hukum"."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 256 dan 257
: Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesagesa tidak dapat dikatakan sebagai orang adil
Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana
yang benar dan mana yang salah.
Orang yang mengadili orang lain dengan tidak tergesagesa, bersikap adil dan tidak berat sebelah, yang senantiasa menjaga kebenaran, pantas disebut orang adil.
menjaga kebenaran, pantas disebut orang adil.
XIX-3-Kisah Kelompok Enam Bhikkhu
Suatu ketika, terdapat kelompok enam bhikkhu yang selalu
membuat keributan di tempat makan, baik di vihara maupun di
desa. Suatu hari, ketika beberapa samanera sedang makan dana makanan yang mereka dapatkan, kelompok enam bhikkhu itu
datang dan membual kepada para samanera, "Lihat ! Hanya
kamilah orang yang bijaksana." Kemudian mereka melemparlemparkan benda-benda ke sekeliling, meninggalkan tempat
makan dalam keadaan kacau.
Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata, "
Para bhikkhu! Aku tidak menyebut orang yang banyak bicara,
mencaci dan menggertak orang lain sebagai seorang bijaksana.
Hanya mereka yang bebas dari kebencian dan tidak merugikan
orang lainlah yang merupakan orang bijaksana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 258 berikut :
Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana hanya karena
ia banyak bicara.
tetapi orang yang damai, tanpa rasa benci dan rasa takut
dapat disebut orang bijaksana.
XIX-4-Kisah Arahat Ekudana
Bhikkhu dalam cerita ini hidup di sebuah hutan kecil di dekat Savatthi. Ia dikenal dengan nama Ekudana, sebab ia hanya hafal satu bait saja dari Kitab Udana. Tetapi Thera tersebut mengerti sepenuhnya makna Dhamma yang terkandung dalam bait
tersebut. Pada setiap hari uposatha, dia mendesak orang lain untuk mendengarkan Dhamma, dan dia sendiri akan
mengucapkan satu-satunya syair yang dihafalnya itu. Setiap kali ia selesai mengucapkan bait itu, para dewa dalam hutan itu
memujinya dan menyambutnya dengan tepuk tangan yang
meriah. Pada suatu hari uposatha, dua thera yang terpelajar, yang
benar-benar menguasai semua pelajaran Dhamma, diringi oleh
lima ratus bhikkhu datang ke tempat itu. Ekudana meminta
kedua thera tersebut untuk memberikan khotbah Dhamma.
Mereka bertanya apakan banyak yang ingin mendengarkan
Dhamma di tempat yang terpencil itu. Ekudana membenarkan
dan juga menceritakan kepada mereka bahwa bahkan para
dewa dalam hutan itu biasanya datang, dan mereka selalu memuji dan bertepuk tangan pada akhir khotbah.
Maka, kedua thera terpelajar itu mulai memberikan
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
khotbah Dhamma, tetapi ketika khotbah mereka berakhir, tidak ada tepuk tangan dari para dewa dalam hutan itu. Kedua thera tersebut menjadi bingung dan bahkan meragukan kata-kata
tersebut menjadi bingung dan bahkan meragukan kata-kata
Ekudana. Tetapi Ekudana bersikeras bahwa para dewa biasanya
datang dan selalu bertepuk tangan pada akhir setiap khotbah.
Kedua thera itu kemudian mendesak Ekudana untuk
berkhotbah. Ekudana memegang kipas dihadapannya dan
mengucapkan bait yang biasa diucapkannya. Selelah selesai
mengucapkan bait itu, para dewa bertepuk tangan seperti biasa.
Para bhikku yang mengiringi kedua thera terpelajar itu menuduh bahwa para dewa yang berdiam dalam hutan itu sangat berat
sebelah. Mereka melaporkan masalah itu kepada Sang Buddha
pada kunjungannya di Vihara Jetavana. Kepada mereka, Sang
Buddha berkata "Para bhikkhu! Aku tidak mengatakan bahwa
seorang bhikkhu yang telah belajar banyak dan berbicara
banyak tentang Dhamma adalah seseorang yang mengetahui
Dhamma (Dhammadhara).
Seseorang yang belajar sangat sedikit dan hanya
mengetahui satu bait dari Dhamma, tetapi memahami sepenuhnya
"Empat Kesunyataan Mulia" dan selalu sadar, adalah orang yang sesungguhnya mengetahui Dhamma.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 259 berikut :
Seseorang bukan "pendukung Dhamma" hanya karena ia
banyak bicara. Namun seseorang yang walaupun hanya belajar sedikit
tetapi batinnya melihat Dhamma dan tidak melalaikannya, maka sesungguhnya ia adalah seorang "pendukung Dhamma"
sesungguhnya ia adalah seorang "pendukung Dhamma"
XIX-5-6. Kisah Bhaddiya Thera
Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang untuk memberikan
penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui
bahwa telah tiba saatnya bagi ketiga puluh bhikkhu tersebut
untuk mencapai tingkat kesucian arahat.
Maka Beliau bertanya kepada mereka, apakah mereka
telah melihat seorang thera saat mereka memasuki ruangan.
Mereka menjawab bahwa mereka tidak melihat seorang thera
tetapi mereka hanya melihat seorang samanera muda ketika
mereka masuk. Sang Buddha berkata pada mereka, "Para bhikkhu !
Orang tersebut bukanlah samanera, ia adalah seorang bhikkhu
senior walaupun bentuk tubuhnya kecil dan sangat sederhana.
Aku mengatakan bahwa seseorang tidak dapat disebut "thera"
hanya karena ia berusia tua dan tampak seperti seorang thera; hanya ia yang memahami "Empat Kesunyataan Mulia" dan tidak
menyakiti orang lain yang dapat disebut seorang "thera"."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 260 dan 261
berikut ini : Seseorang tidak disebut "Thera (lebih tua)" hanya karena
rambutnya telah memutih.
Biarpun usianya sudah lanjut, dapat saja ia disebut "orang
tua yang tidak berguna".
tua yang tidak berguna".
Orang yang memiliki kebenaran dan kebajikan, tidak
kejam, terkendali dan terlatih,
pandai dan bebas dari noda-noda, sesungguhnya ia patut
disebut Thera. Tiga puluh bhikkhu mencapai tingat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir
XIX-7-8. Kisah Beberapa Bhikkhu
Pada suatu vihara, para bhikkhu muda dan samanera mempunyai
kebiasaan mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lebih tua yang
merupakan guru mereka. Mereka mencuci dan mencelup jubah,
atau melakukan pelayanan kecil lain bagi guru mereka.
Beberapa bhikkhu lain yang melihat hal ini merasa iri hati
kepada para bhikkhu senior, dan mereka memikirkan suatu
rencana yang akan menguntungkan mereka secara material.
Rencana mereka adalah mengusulkan kepada Sang Buddha
bahwa para bhikkhu muda dan samanera harus diminta datang
kepada mereka untuk diberi perintah dan petunjuk lebih lanjut walaupun mereka telah diajar oleh guru mereka masing-masing.
Sang Buddha, yang mengetahui sepenuhnya tujuan
mereka, menolak usul itu. Kepada mereka, Sang Buddha
berkata, "Para bhikkhu! Aku tidak mengatakan bahwa engkau
baik hati hanya karena engkau mampu berbicara dengan fasih.
Hanya dia yang telah menyingkirkan sifat iri hati dan semua
kejahatan dengan mencapai "Jalan Kesucian Arahat" (arahatta
magga) yang dapat disebut orang yang baik hati"
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 262 dan 263
berikut ini : Bukan hanya karena pandai bicara dan bukan pula karena
memiliki penampilan yang baik
memiliki penampilan yang baik
seseorang dapat menyebut dirinya orang yang baik hati,
apabila ia masih bersifat iri, kikir dan suka menipu.
Orang yang telah memotong, mencabut dan memutuskan
akar sifat iri hati,
kekikiran serta dusta;
maka orang bijaksana yang telah menyingkirkan segala
keburukan itulah
sesungguhnya dapat disebut orang yang baik hati.
XIX-9-10. Kisah Bhikkhu Hatthaka
Bhikkhu Hatthaka mempunyai kebiasaan menantang para
pertapa bukan pengikut Sang Buddha agar menjumpainya di
suatu tempat tertentu untuk berdebat mengenai masalah-masalah keagamaan. Kemudian ia akan pergi seorang diri ke tempat yang telah dijanjikan. Jika tak seorangpun muncul ia akan membual,
"Lihat, pertapa-pertapa pengembara itu tidak berani
menjumpaiku, mereka telah kukalahkan!", dan hal-hal semacam
lainnya. Sang Buddha memanggil Hatthaka, dan berkata,
"Bhikkhu! mengapa engkau bertingkah laku demikian" Orang
yang mengatakan hal-hal semacam itu tidak dapat menjadi
seorang samana meskipun kepalanya gundul. Hanya orang yang
telah menyingkirkan semua kejahatan dari dirinya yang dapat
disebut seorang samana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 264 dn 265
berikut ini : Seseorang yang tidak memiliki disiplin dan suka berdusta
tidak dapat disebut seorang pertapa (samana) walaupun ia
berkepala gundul.
Mana mungkin orang yang penuh dengan keinginan serta
keserakahan dapat menjadi seorang samana"
Barang siapa dapat mengalahkan semua kejahatan, baik
Barang siapa dapat mengalahkan semua kejahatan, baik
yang kecil maupun yang besar, ia patut disebut seorang samana karena ia telah mengatasi semua kejahatan.
XIX-11-12. Kisah Seorang Brahmana
Suatu ketika, ada seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan
berkeliling menerima dana makanan. Suatu hari, ia berpikir,
"Samana Gotama telah menyatakan bahwa orang yang hidup
dengan cara menerima dana makanan adalah seorang bhikkhu.
Dengan demikian, saya juga dapat disebut sebagai seorang
bhikkhu." Dengan berpikir seperti itu, ia menghadap Sang
Buddha, dan berkata bahwa ia (brahmana itu) dapat juga disebut seorang bhikkhu, karena ia juga pergi menerima dana makanan.
Kepadanya, Sang Buddha berkata, "Brahmana, Aku tidak
berkata bahwa engkau seorang bhikkhu hanya karena engkau
pergi mengumpulkan dana makanan. Orang yang menganut
kepercayaan yang salah dan bertindak sesuai dengan hal itu tidak dapat disebut sebagai seorang bhikkhu. Hanya orang yang
melaksanakan perenungan tentang ketidakkekalan,
ketidakpuasan, dan keadaan tanpa inti dari gabungan unsurunsur itulah yang dapat disebut seorang bhikkhu."
Kemudian sang Buddha membabarkan syair 266 dan 267
berikut ini : Seseorang tidak dapat disebut bhikkhu hanya karena ia
mengumpulkan dana makanan dari orang lain.
Selama ia masih bertingkah laku seperti seorang perumah
tangga dan tidak mentaati peraturan,
tangga dan tidak mentaati peraturan,
maka ia belum pantas disebut bhikkhu.
Dalam hal ini, seseorang yang telah mengatasi kebaikan
dan kejahatan, yang menjalankan kehidupan suci dan melaksanakan
perenungan tentang kelompok-kelompok khandha, maka
sesungguhnya ia dapat disebut seorang bhikkhu.
XIX-13-14. Kisah Para Pertapa Bukan
Pengikut Sang Buddha
Terhadap orang yang mempersembahkan makanan atau bendabenda lain kepada para pertapa, mereka akan mengucapkan
kata-kata pemberkahan. Mereka akan berkata, "Semoga
engkau bebas dari bahaya, semoga engkau menjadi makmur dan
kaya, semoga engkau panjang umur," dan sebagainya. pada
waktu itu, para bhikkhu murid Sang Buddha tidak mengucapkan
apapun setelah menerima sesuatu persembahan dari murid awam
mereka. Hal ini karena selama masa dua puluh tahun pertama
setelah Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, para
bhikkhu tetap berdiam diri sedangkan para pertapa bukan
pengikut Sang Buddha mengucapkan hal-hal yang
menyenangkan bagi murid-murid mereka, orang-orang mulai
membandingkan kedua kelompok tersebut.
Ketika Sang Buddha mendengarkan itu, Beliau
mengizinkan para bhikkhu mengucapkan kata-kata
pemberkahan kepada murid-murid mereka setelah menerima
persembahan. Akibatnya, semakin banyak orang yang
mengundang para pengikut Sang Buddha untuk menerima dana
makanan. Kemudian para pertapa dari ajaran lain berkata dengan
Kemudian para pertapa dari ajaran lain berkata dengan
menghina, "Kami taat pada praktek pertapaan dan berdiam diri, tetapi pengikut Samana Gotama berbicara banyak sekali di
tempat makan." Mendengar kata-kata yang merendahkan itu
Sang Buddha berkata, " Para bhikkhu! Ada orang yang tetap
berdiam karena mereka bodoh dan takut, dan ada yang tetap
berdiam karena mereka tidak mau membagi pengetahuan
mereka yang mendalam kepada orang lain. Jadi, orang tidak
menjadi seorang pertapa hanya dengan tetap berdiam. Hanya
orang yang telah mengatasi kejahatan yang dapat disebut
seorang pertapa."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 268 dan 269
berikut ini : Tidak hanya karena berdiam diri seorang menjadi orang
suci (muni), apabila ia dungu dan bodoh. bagaikan memegang
sepasang neraca, orang bijaksana melaksanakan sesuatu yang
baik dan menghindari yang jahat.
Karena seseorang dapat memilih apa yang baik dan
menghindari apa yang buruk,
maka ia disebut sebagai orang suci. Demikianlah, ia yang
telah mengerti kedua kelompok (batin maupun jasmani), patut
disebut orang suci.
XIX-15-Kisah Seorang Nelayan Bernama
Ariya Suatu ketika, ada seorang nelayan yang tinggal di dekat gerbang Utara kota Savatti. Suatu hari, melalui kemampuan batin luar biasa, Sang Buddha melihat bahwa telah tiba saatnya bagi
nelayan itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Maka dalam perjalan pulang dari berpindapatta, Sang
Buddha bersama dengan para bhikkhu berhenti di dekat tempat
Ariya sedang menangkap ikan. Ketika nelayan itu melihat Sang Buddha, ia melemparkan alat penangkap ikannya kemudian
datang dan berdiri di dekat Sang Buddha. Sang Buddha mulai
menanyakan nama-nama para bhikkhu di hadapan si nelayan,
dan akhirnya, Beliau menanyakan nama nelayan itu.
Ketika si nelayan menjawab bahwa namanya adalah
Ariya, Sang Buddha berkata, bahwa para orang mulia (Ariya)
tidak melukai makhluk hidup apapun, tetapi karena si nelayan membunuh ikan-ikan maka ia tidak layak menyandang nama
Ariya. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 270 berikut :
Seseorang tidak dapat disebut Ariya (orang mulia) apabila
masih menyiksa makhluk hidup.
Ia yang tidak lagi menyiksa makhluk-makhluk hiduplah
yang dapat dikatakan mulia.
yang dapat dikatakan mulia.
Nelayan Ariya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XIX-16-17. Kisah Beberapa Bhikkhu
Suatu ketika, ada beberapa bhikkhu yang memiliki kebajikan;
beberapa di antara mereka dengan ketat menjalankan latihanlatihan keras (dhutanga), beberapa orang mempunyai
pengetahuan yang luas tentang Dhamma, beberapa orang telah
mencapai pencerapan mental (jhana). Beberapa orang telah
mencapai tingkat kesucian anagami, dan lain-lain. Mereka semua berpikir bahwa karena mereka telah mencapai banyak hal, akan cukup mudah bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian
arahat. Dengan pikiran seperti ini mereka pergi menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha bertanya kepada mereka, "Para bhikkhu,
sudahkan engkau mencapai tingkat kesucian arahat ?" Mereka
menjawab bahwa mereka berada dalam keadaan sedemikian
sehingga tidak akan sulit bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat sewaktu-waktu.
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu!
Hanya karena engkau telah memiliki moralitas (sila), hanya
karena engkau telah mencapai tingkat kesucian anagami, engkau tidak boleh puas dan berpikir bahwa hanya tinggal sedikit lagi yang harus dikerjakan; kecuali jika engkau telah menghapuskan semua kekotoran batin (asava). Engkau tidak boleh berpikir
bahwa engkau telah mencapai kebahagiaan sempurna tingkat
kesucian arahat !
kesucian arahat !
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 271 dan 272
berikut ini : Bukan hanya karena sila dan tekad, bukan pula karena
banyak belajar ataupun karena telah mencapai perkembangan
dalam samadhi, atau juga karena berdiam diri di tempat yang
sepi; Lalu berpikir: "Aku telah menikmati kebahagiaan dari
pelepasan yang tidak dapat dicapai oleh orang duniawi." O para bhikkhu, janganlah engkau merasa puas sebelum mencapai
penghancuran semua kekotoran batin.
Semua bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XX-1-4. Kisah Lima Ratus Bhikkhu
Lima ratus bhikkhu, setelah mengikuti Sang Buddha ke sebuah
desa, pulang ke Vihara Jetavana. Sore harinya mereka berbicara tentang perjalanannya, khususnya bidang keadaan tanah apakah datar atau berbukit, lembek atau berbatu, dan lainnya.
Sang Buddha menghampiri mereka, seraya berkata, "Para
bhikkhu, jalan yang kalian bicarakan adalah keadaan di luar diri kalian. Seorang bhikkhu seharusnya hanya terpusat pada "jalan utama" (jalan Ariya) dan berusaha keras berbuat sesuai dengan
"Jalan Ariya" yang membimbing kita merealisasi kedamaian abadi (nibbana)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 273 sampai
dengan 276 berikut ini :
Di antara semua jalan, maka "Jalan Mulia Berfaktor
Delapan" adalah yang terbaik;
di antara semua kebenaran, maka "Empat Kebenaran
Mulia" adalah yang terbaik.
Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu
adalah yang terbaik;
dan di antara semua makhluk hidup, maka orang yang
"melihat" adalah yang terbaik.
Inilah satu-satunya "Jalan". Tidak ada jalan lain yang dapat Inilah satu-satunya "Jalan". Tidak ada jalan lain yang dapat membawa pada kemurnian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang
dapat mengalahkan Mara (penggoda).
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan mengikuti "Jalan" ini, engkau dapat mengakhiri
penderitaan. Dan jalan ini pula yang Kutunjukkan setelah Aku
mengetahui bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin).
Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata
hanya menunjukkan "Jalan".
Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki "Jalan" ini
akan terbebas dari belenggu Mara.
Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XX-5-Kisah Yang Berhubungan Dengan
Anicca Setelah menerima pelajaran meditasi dari Sang Buddha, lima
ratus bhikkhu pergi ke sebuah hutan untuk berlatih meditasi.
Tetapi mereka mengalami sedikit kemajuan, sehingga mereka
kembali kepada Sang Buddha dan menanyakan pelajaran
meditasi lainnya yang akan membuat mereka mencapai hasil yang lebih baik. Dalam benak hati-Nya, Sang Buddha mengetahui
bahwa pada masa Buddha Kassapa, bhikkhu-bhikkhu itu
bermeditasi dengan objek ketidakkekalan.
Kemudian Beliau berkata, "Para bhikkhu, semua keadaan
yang berkondisi adalah subjek dari perubahan dan akan musnah, oleh karena itu tidaklah kekal."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 277 berikut :
Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang
membawa pada kesucian.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XX-6-Kisah Yang Berhubungan Dengan
Dukkha Kisahnya sama dengan kisah Anicca. Sang Buddha mengetahui
bahwa terdapat kelompok 500 bhikkhu yang lain bermeditasi
dengan objek dukkha, sehingga Beliau berkata, "Para bhikkhu, segala perpaduan hidup adalah menderita dan tidak memuaskan, maka segala kelompok kehidupan (khandha) adalah dukkha."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 278 berikut :
Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XX-7-Kisah Yang Berhubungan Dengan
Ketanpa-intian (Anatta)
Kisahnya sama dengan kisah Anicca dan kisah Dukkha. Sang
Buddha mengetahui bahwa terdapat 500 bhikkhu lain lagi
bermeditasi dengan obyek Anatta, sehingga Beliau berkata,
"Para bhikkhu, segalanya perpaduan hidup adalah tanpa
inti/substansi. Hal tersebut bukan subyek keakuan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 279 berikut :
Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XX-8-Kisah Tissa Thera, Bhikkhu Yang
Malas Suatu ketika, lima ratus orang pemuda ditahbiskan menjadi
bhikkhu, siswa Sang Buddha di Savathi. Setelah menerima
pelajaran meditasi dari Sang Buddha, para bhikkhu tersebut,
kecuali satu bhikkhu, pergi ke hutan untuk berlatih meditasi.
Mereka berlatih dengan tekun dan sungguh-sungguh sehingga
dalam waktu singkat mereka semua mencapai tingkat kesucian
arahat. Ketika mereka pulang ke vihara untuk memberi hormat
kepada Sang Buddha, Beliau sangat gembira dan puas dengan
pencapaian mereka. Bhikkhu Tissa, yang tertinggal, tidak
berusaha keras sehingga ia tidak mencapai apa-apa.
Ketika Tissa tahu bahwa hubungan antara Sang Buddha
dan para bhikkhu sangat baik dan dekat, ia merasa agak
dilupakan dan menyesal karena ia telah menyia-nyiakan
waktunya selama ini. Sehingga ia memutuskan untuk berlatih
meditasi sepanjang malam. Ketika ia sedang berjalan dalam
meditasinya di suatu malam, ia tersandung dan mengalami patah tulang di pahanya. Bhikkhu yang lain mendengar teriakannya,
segera datang menolongnya.
Saat mendengar peristiwa itu Sang Buddha berkata, "Para
bhikkhu, ia yang tidak berusaha keras pada saat harus berusaha, tetapi menyia-nyiakan waktunya, ia tidak akan mencapai jhana dan pandangan terang Sang Jalan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 280 berikut :
Walaupun seseorang masih muda dan kuat, namun bila ia
malas dan tidak mau berjuang semasa harus berjuang, serta
berpikiran lamban; maka orang yang malas dan lamban seperti
itu tidak akan menemukan Jalan yang mengantarnya pada
kebijaksanaan. XX-9-Kisah Babi Peta
Suatu ketika, saat Maha Moggalana Thera berjalan menuruni
bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera, beliau melihat
sesuatu yang menyedihkan, yaitu mahluk peta kelaparan, dengan kepala bewujud babi dan berbadan manusia. Melihat mahluk
peta tersebut, Maha Moggalana Thera tersenyum namun tak
berkata sedikitpun. Pada saat tiba di vihara, Maha Moggalana Thera menghadap Sang Buddha, membicarakan tentang mahluk
peta berwujud babi yang mulutnya penuh dengan belatung.
Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau juga pernah
melihat mahluk tersebut saat Beliau baru saja mencapai KeBuddha-an, namun Beliau tak mengatakan hal itu, karena orang-orang mungkin tidak akan percaya dan akan menyalahkan
Beliau. Kemudian Sang Buddha menceritakan kisah tentang
mahluk peta babi tersebut.
Pada masa Buddha Kassapa, mahluk peta babi itu adalah
seorang bhikkhu yang sering membabarkan Dhamma. Suatu
ketika, ia mengunjungi sebuah vihara yang ditempati oleh dua bhikkhu. Setelah tinggal beberapa waktu bersama kedua
bhikkhu tersebut, ia menyadari bahwa ia telah berbuat cukup
baik karena orang-orang menyukai penjelasannya. Ia merasa
akan lebih baik lagi bila ia dapat membuat kedua bhikkhu itu pergi dan vihara itu menjadi miliknya sendiri. Maka ia mencoba untuk mengadu domba mereka. Kedua bhikkhu tersebut
untuk mengadu domba mereka. Kedua bhikkhu tersebut
bertengkar dan meninggalkan vihara menuju dua arah yang
berlawanan. Akibat dari perbuatan buruk itu, bhikkhu tadi
terlahir di alam neraka Avici dan ia harus menjalani sisa hidupnya dengan menderita sebagai mahluk peta yang berwujud babi
dengan mulut dipenuhi belatung.
Sang Buddha pun melanjutkan, "Seorang bhikkhu haruslah
tenang dan terkendali baik dalam pikiran, ucapan maupun
perbuatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 281 berikut :
Hendaklah ia menjaga ucapan dan mengendalikan pikiran
dengan baik serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani.
Hendaklah ia memurnikan tiga saluran perbuatan ini,
memenangkan "Jalan" yang telah dibabarkan oleh Para Suci.
XX-10-Kisah Potthila Thera
Potthila Thera adalah bhikkhu senior yang memahami semua
teori Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha dengan
baik. Ia sering mengajarkan Dhamma kepada lima ratus bhikkhu dengan bersungguh-sungguh. Pemahamannya itu menjadikan ia
sangat sombong. Sang Buddha mengetahui kekurangan itu, dan
menginginkan Potthila memperbaiki sikapnya serta
mengarahkannya ke jalan yang benar.
Maka kapan pun Potthila datang untuk memberi hormat,
Sang Buddha memanggilnya dengan "Potthila yang tak berguna".
Saat Potthila mendengar panggilan itu, ia merenungkan kata-kata Sang Buddha dan menyadari bahwa Sang Buddha menyebutnya
demikian karena ia tidak pernah berusaha dengan serius dalam berlatih meditasi dan belum mencapai kesucian ataupun
pencapaian jhana.
Lalu, tanpa mengatakan kepada siapapun, Potthila Thera
pergi ke suatu tempat yang letaknya 20 yojana dari Vihara
Jetavana. Di tempat itu terdapat 30 bhikkhu. Pertama, ia
mendatangi bhikkhu yang paling senior dan memohonnya untuk
menjadi penasehat, namun bhikkhu tersebut menyuruhnya pergi
ke bhikkhu senior yang lain, yang terus menyuruhnya pergi ke bhikkhu yang lainnya lagi. Potthila berpindah dari satu bhikkhu ke bhikkhu yang lain sehingga akhirnya ia menghadap seorang
samanera arahat berusia 7 tahun. Samanera muda itu
samanera arahat berusia 7 tahun. Samanera muda itu
menerimanya sebagai murid dengan catatan bahwa Potthila harus mengikuti semua petunjuknya dengan penuh rasa hormat. Setelah diberi berbagai petunjuk oleh samanera itu, Potthila membuat pikirannya benar-benar teguh pada kondisi alamiah badan
jasmani, ia menjadi sangat rajin dan bersungguh-sungguh dalam meditasi.
Sang Buddha melihat Potthila melalui kemampuan
penglihatan luar biasa serta kekuatan batin Beliau. Potthila merasakan kehadiran Beliau serta mendorongnya untuk tetap
tabah dan rajin.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 282 berikut :
Sesungguhnya dari meditasi akan timbul kebijaksanaan;
tanpa meditasi kebijaksanaan akan pudar.
Setelah mengetahui kedua jalan bagi perkembangan dan
kemerosotan batin,
hendaklah orang melatih diri sehingga kebijaksanaannya
berkembang. Potthila Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XX-11-12.Kisah Lima Bhikkhu Tua
Suatu ketika di Savatthi, terdapat 5 sahabat yang menjadi
bhikkhu di saat usianya tidak muda lagi. Telah menjadi kebiasaan bagi 5 bhikkhu tersbut untuk bersama-sama menerima dana
makanan tiap hari. Mantan istri salah satu dari mereka,
merupakan seorang wanita istimewa, bernama Madhurapacika,
sangatlah pandai memasak dan ia selalu melayani mereka dengan baik. Karena itu kelima bhikkhu tersebut sering mengujungi
rumahnya. Akan tetapi pada suatu hari, Madhurapacika jatuh
sakit dan tiba-tiba meninggal dunia. Bhikkhu-bhikkhu tua itu menjadi sangat kehilangan dan bersama-sama mereka menangis,
memuja kebaikannya, dan meratapi kepergiannya.
Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan
berkata, "Para bhikkhu! Kamu semua merasa sakit dan
menderita karena kamu belum terbebas dari keserakahan,
kebencian dan kebodohan (lobha, dosa, moha), seperti layaknya sebuah hutan. Tebanglah hutan itu dan kamu akan terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 283 dan 284
berikut ini : O, Para bhikkhu, tebanglah hutan nafsu itu, karena dari
nafsu timbul ketakutan.
Setelah menebang hutan dan belukar nafsu, jadilah orang
Setelah menebang hutan dan belukar nafsu, jadilah orang
yang tidak lagi memiliki nafsu.
Selama nafsu keinginan laki-laki terhadap wanita belum
dihancurkan, betapapun kecilnya, maka selama itu pula seseorang masih
terikat pada kehidupan,
bagaikan seekor anak sapi yang masih menyusu pada
induknya. Kelima bhikkhu tua mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XX-13-Kisah Seorang Thera yang Pernah
Terlahir sebagai Pandai Emas
Ada seorang pemuda tampan, anak seorang pandai emas,
ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Sariputta Thera. Sariputta
Thera memberikan sebuah perwujudan mayat yang menjijikkan
sebagai obyek meditasi bagi bhikkhu baru itu. Sambil membawa obyek meditasi itu, ia pergi ke sebuah hutan dan berlatih meditasi di sana; namun dia hanya mencapai sedikit kemajuan. Akhirnya ia kembali untuk kedua kalinya kepada Sariputta Thera untuk
memohon petunjuk lebih lanjut. Meskipun demikian, ia masih
saja belum mencapai kemajuan. Kemudian Sariputta Thera
membawa bhikkhu muda itu menghadap Sang Buddha dan
menceritakan semuanya tentang bhikkhu muda itu.
Sang Buddha mengetahui bahwa bhikkhu muda itu adalah
anak seorang pandai emas, dan juga ia pernah terlahir di
keluarga pandai emas selama 500 kali kehidupannya yang
lampau. Kamudian Sang Buddha mengganti obyek meditasinya
dari mayat yang menjijikkan menjadi obyek kesenangan. Dengan kekuatan batin Beliau, Sang Buddha menciptakan sekuntum
bunga teratai yang sangat indah sebesar roda kereta dan
meminta bhikkhu muda itu untuk menancapkannya pada
gundukan tanah di luar vihara.
Bhikkhu muda tersebut memusatkan diri pada bunga
teratai yang besar, indah dan harum, akhirnya ia pun dapat
menyingkirkan segala rintangan. Ia dipenuhi dengan kepuasan
yang menggembirakan (piti), dan selangkah demi selangkah ia
mengalami perkembangan hingga mencapai pencerapan batin
(jhana) keempat.
Sang Buddha melihatnya dari kuti harum Beliau dan
dengan kekuatan batin Beliau membuat bunga itu layu seketika.
Melihat bunga itu layu dan berubah warna, bhikkhu tersebut
memahami ketidakkekalan alamiah bunga tersebut juga segala
sesuatu termasuk semua mahluk. Hal tersebut menyebabkan
timbulnya kesadaran terhadap ketidakkekalan, ketidakpuasan,
dan tanpa inti dari semua hal yang berkondisi. Sesaat kemudian, Sang Buddha memancarkan sinar dan menampakkan diri di
hadapan bhikkhu tersebut dan memberinya petunjuk agar segera memusnahkan nafsu keinginan (tanha). Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 285 berikut :
Patahkanlah rasa cinta terhadap diri sendiri, seperti
memetik bunga teratai putih di musim gugur.
Kembangkanlah jalan kedamaian Nibbana yang telah
diajarkan oleh Sang Sugata
(Beliau yang telah berlalu dengan baik, Buddha).
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XX-14-Kisah Mahadhana, Seorang
Saudagar Suatu ketika, seorang saudagar dari Banasari akan menghadiri festifal di Savatthi dengan membawa 500 kereta yang penuh
dengan kain dan barang dagangan lainnya. Ketika tiba di tepi sebuah sungai dekat Savatthi, air sungai tersebut sedang meluap.
Ia menunda perjalanannya selama tujuh hari karena hujan yang lebat dan air sungai yang tidak kunjung surut. Karenanya, ia menjadi terlambat mengikuti festival, sehingga tidak berguna lagi baginya untuk menyeberangi sungai itu.
Karena datang dari jauh, dia tidak ingin kembali ke rumah
dengan barang dagangan yang masih utuh. Akhirnya ia
memutuskan untuk menghabiskan musim hujan, musim dingin,
dan musim panas di tempat itu, dan mengajak semua pelayannya untuk turut serta.
Saat Sang Buddha pergi berpindapatta, Beliau mengetahui
keputusan itu dan tersenyum. Ananda bertanya, mengapa Sang
Buddha tersenyum dan Sang Buddha pun menjawab, "Ananda,
tahukah kau pedagang itu" Dia mengira bahwa dia dapat tinggal di sini dan menjual semua barangnya sepanjang tahun. Dia tidak menyadari bahwa ia dapat meninggal dunia di sini dalam waktu tujuh hari. Apa yang harus dilakukan hendaknya dilakukan hari ini. Siapa dapat mengetahui seseorang akan meninggal dunia
esok" Kita tidak dapat berkompromi waktu dengan Raja
Kematian. Orang yang selalu waspada tiap pagi dan malam,
yang tidak terganggu oleh kekotoran batin, penuh semangat,
yang hidup hanya untuk satu malam, adalah pengguna waktu
yang baik."
Kemudian Sang Buddha menyuruh Ananda untuk
mendatangi saudagar Mahadhana. Ananda menjelaskan kepada
Mahadhana bahwa waktu terus berlalu dan bahwa ia harus
meninggalkan kelalaian dan menjadi waspada. Memikirkan
tentang kematian yang akan menyambutnya, Mahadhana menjadi
sadar dan merasa takut. Sehingga, selama tujuh hari ia
mengunjungi Sang Buddha dan para bhikkhu untuk berdana
makanan. Pada hari ke tujuh Sang Buddha berkhotbah tentang
penghargaan dana (anumodana).
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 286 berikut :
Di sini aku akan berdiam pada musim hujan, di sini aku
akan berdiam selama musim gugur dan musim panas.
Demikianlah pikiran orang bodoh yang tidak menyadari
bahaya (kematian).
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, saudagar
Mahadhana mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ia mengikuti
Sang Buddha selama beberapa waktu sebelum akhirnya
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali. Saat perjalanan pulang, ia terserang sakit kepala dan akhirnya meninggal dunia. Mahadhana terlahir kembali di alam akhirnya meninggal dunia. Mahadhana terlahir kembali di alam dewa Tusita.
XX-15-Kisah Kisagotami
Kisagotami menghadap Sang Buddha karena ia dilanda
kesedihan mendalam akibat kematian anak tunggalnya.
Kepadanya, Sang Buddha mengatakan, "Kisagotami, kamu
berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan anak. Kematian
menimpa semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpenuhi,
kematian telah menjemputnya." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 287 berikut:
Orang yang pikirannya melekat pada anak-anak dan
ternak peliharaannya,
maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya,
seperti banjir besar yang menghanyutkan sebuah desa yang
tertidur. Kisagotami mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XX-16-17. Kisah Patacara
Patacara kehilangan suami dan dua putranya, sekaligus orang tua dan ketiga kakak laki-lakinya dalam waktu bersamaan. Ia
menjadi hampir gila. Ketika ia mendekati Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, "Patacara, anak-anak tidak dapat
merawatmu, bahkan meskipun mereka masih hidup, mereka
tidak hadir untukmu. Orang bijaksana menjalankan moral (sila) dan menghancurkan rintangan pada jalan menuju nibbana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 288 dan 289
berikut ini : Anak-anak tidak dapat melindungi, begitu juga ayah
maupun sanak saudara.
Bagi orang yang sedang menghadapi kematian, maka tidak
ada sanak saudara
yang dapat melindungi dirinya lagi.
Setelah mengetahui kenyataan ini, Maka orang berbudi
dan bijaksana tak akan menunda waktu dalam menempuh jalan menuju
Nibbana. Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah
Khotbah Dhamma itu berakhir
XXI-1-Kisah Perbuatan Lampau Sang
Buddha Suatu ketika, musibah kelaparan melanda kota Vesali, diawali dengan musim kering yang lama dan keras. Akibat kekeringan itu hampir semua panen gagal dan banyak orang meninggal dunia
karena kelaparan. Hal ini dikuti oleh penyebaran wabah
penyakit. Karena masyarakat tidak lagi mampu menangani
pembuangan mayat-mayat, maka bau busuk di udara menarik
perhatian para raksasa. Penduduk Vesali menghadapi musibah
kehancuran yang ditimbulkan oleh kelaparan, penyakit, dan juga kehadiran para raksasa. Dalam kesedihan dan penderitaannya,
mereka mencoba mencari perlindungan. Mereka berpikir untuk
mencari bantuan dari berbagai sumber, namun akhirnya mereka
memutuskan untuk mengundang Sang Buddha.
Serombongan utusan dipimpin oleh Mahali, seorang
pangeran suku Licchavi, dan putra brahmana kepala dikirim ke Raja Bimbisara untuk memohon Sang Buddha berkenan
melakukan kunjungan ke Vesali, dan menolong mereka yang
sedang dalam musibah. Sang Buddha mengetahui bahwa
kunjungan ini akan membawa manfaat bagi banyak orang, maka
Beliau menyetujui untuk pergi ke Vesali.
Mendengar Sang Buddha bersama para bhikkhu akan
mengadakan muhibah ke negara tetangga, Raja Bimbisara
memperbaiki jalan dari Rajagaha sampai ke tepi sungai Gangga.
Ia juga membuat persiapan-persiapan lain dan mendirikan
tempat-tempat beristirahat khusus pada jarak-jarak tertentu
dalam setiap yojana.
Ketika segala sesuatunya telah siap, Sang Buddha
berangkat menuju ke Vesali bersama lima ratus bikkhu. Raja
Bimbisara juga menyertai Sang Buddha. Pada hari ke lima
mereka sampai di tepi sungai Gangga dan Raja Bimbisara
mengirim kabar pada pangeran-pangeran Licchavi.
Di tepi sungai seberang, pangeran-pangeran Licchavi telah
memperbaiki jalan dari tepi sungai itu menuju ke kota Vesali dan telah membangun tempat-tempat beristirahat seperti yang
dilakukan oleh Raja Bimbisara di sisi sungai wilayahnya. Sang Buddha pergi menuju Vesali dengan diringi pangeran-pangeran
Licchavi namun Raja Bimbisara tetap tinggal di tepi sungai
wilayahnya. Segera setelah Sang Buddha mencapai tepi seberang
sungai, hujan lebat turun dengan deras, sehingga membersihkan kota Vesali. Sang Buddha dipersilahkan beristirahat dalam
rumah peristirahatan yang khusus dipersiapkan khusus untuk
Beliau di pusat kota.
Sakka, Raja para dewa, dengan para pengikutnya datang
menghormat kepada Sang Buddha. Melihat kedatangan para
dewa, para raksasa melarikan diri.
Pada sore hari yang sama, Sang Buddha membabarkan
Khotbah Permata (Ratana Sutta) dan meminta Y.A. Ananda
Khotbah Permata (Ratana Sutta) dan meminta Y.A. Ananda
untuk berjalan mengelilingi dinding kota yang berlapis tiga dengan para pangeran Licchavi sambil mengulang sutta tersebut.
Y.A. Ananda melakukan apa yang diminta. Ketika syairsyair perlindungan (Paritta) diucapkan, banyak dari mereka yang sakit menjadi sembuh dan mengikuti Y.A. Ananda berjalan
menuju tempat Sang Buddha berada.
Sang Buddha membabarkan sutta yang sama dan
mengulanginya selama tujuh hari. Pada akhir hari ketujuh segala sesuatunya di kota Vesali menjadi normal kembali. Para
Pangeran Licchavi dan penduduk Vesali merasa terbebas dari
musibah dan sangat bersukacita. Mereka juga sangat
berterimakasih kepada Sang Buddha dan melakukan
persembahan kepada-Nya dalam jumlah yang besar dan mewah.
Mereka juga mengiringi Sang Buddha dalam perjalanan pulang
sampai di tepi sungai Gangga di akhir hari ketiga.
Saat tiba di tepi sungai, Raja Bimbisara menunggu Sang
Buddha, demikian pula para dewa, brahma, dan raja para naga
bersama rombongannya masing " masing. Mereka semua
menghormat dan melakukan persembahan kepada Sang
Buddha. Para dewa dan brahma datang menghormat dengan
payung, bunga, dl. dan melagukan syair pujian kepada Sang
Buddha. Para naga datang dengan perahu yang terbuat dari
emas, perak, dan rubi mengundang Sang Buddha ke tempat
kediaman para naga. Mereka juga menaburi permukaan air
dengan lima ratus jenis teratai. Inilah satu diantara tiga
kesempatan dalam hidup Sang Buddha, ketika para manusia,
dewa, dan brahma datang bersama-sama untuk melakukan
penghormatan kepada Beliau.
Kesempatan pertama, ketika Sang Buddha menunjukkan
kekuatan dan keagungan Beliau dengan keajaiban ganda;
memancarkan cahaya api dan mengeluarkan air dari tubuh
Beliau. Kedua, ketika Sang Buddha kembali dari alam dewa
Tavatimsa setelah Beliau membabarkan Abidhamma di sana.
Sang Buddha ingin menghargai para naga, kemudian
Beliau melakukan kunjungan ke tempat kediaman para naga
diringi oleh para bhikkhu. Sang Buddha dan rombongan pergi
dengan lima ratus perahu yang dibawa para naga. Setelah
berkunjung ke tempat kediaman para naga, Sang Buddha
kembali ke Rajagaha diringi raja Bimbisara. Mereka tiba di
Rajagaha pada hari ke lima.
Dua hari setelah kedatangan mereka di Rajagaha, ketika
para bhikkhu sedang membicarakan tentang kehebatan dan
keagungan yang mengagumkan selamai perjalanan dari dan ke
Vesali, Sang Buddha menghampiri mereka.
Setelah mengetahui pokok pembicaraan mereka, Sang
Buddha berkata, "Para bhikkhu, bahwa Saya telah dihormati
sedemikian tinggi oleh brahma, dewa, dan manusia dan bahwa
mereka melakukan persembahan kepada-Ku dengan jumlah
yang sedemikian besar dan mewah pada kesempatan ini
bukanlah disebabkan oleh kekuatan yang sekarang Saya miliki.
bukanlah disebabkan oleh kekuatan yang sekarang Saya miliki.
Itu hanyalah karena Saya telah melakukan beberapa perbuatan
baik yang kecil dalam salah satu kehidupan yang lampau,
sehingga Saya sekarang menikmati manfaat sedemikian
Kisah Pedang Bersatu Padu 2 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Latah 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama