Ceritasilat Novel Online

Kisah Sang Budha Dan Muridnya 6

Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Bagian 6


besarnya." Kemudian Sang Buddha menjelaskan kisah salah satu dari kehidupan lampau Beliau, ketika Beliau menjadi seorang
brahmana bernama Sankha.
Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Sankha yang
hidup di kota Taxila. Ia mempunyai seorang putra bernama
Susima. Ketika Susima berumur enam belas tahun, ia dikirim
oleh ayahnya pada brahmana lain untuk belajar ilmu
perbintangan. Gurunya mengajarkan semua yang seharusnya
dipelajari, tetapi Susima tidak sepenuhnya puas. Karena itu, gurunya memerintahkan agar ia mendekati para Paccekabuddha
yang sedang berdiam di Isipatana. Susima pergi ke Isipatana, tetapi para Paccekabuddha mengatakan kepadanya bahwa ia
harus menjadi seorang bhikkhu, dan diberi pelajaran bagaimana bertingkah laku sebagai seorang bhikkhu. Susima berlatih
meditasi dengan rajin, ia segera memahami "Empat kesunyataan Mulia", mencapai Bodhinana, dan menjadi seorang
Paccekabuddha. Tetapi sebagai akibat perbuatan lampaunya,
Susima tidak berumur panjang, ia meninggal, mencapai
parinibbana segera setelah itu.
Sankha, ayah Susima, datang mencari anak laki-lakinya,
tetapi ia hanya menemukan stupa tempat relik anak laki-lakinya disimpan. Brahmana itu menjadi sangat terpukul karena
kehilangan anak laki-lakinya. Ia menghampiri stupa itu,
kehilangan anak laki-lakinya. Ia menghampiri stupa itu,
membersihkan halaman, membersihkan rumput liar, kemudian ia
menutup tanah tersebut dengan pasir dan memercikinya dengan
air. Kemudian, ia pergi ke dalam hutan dekat daerah itu untuk mencari bunga-bunga liar dan menancapkannya di tanah basah
tersebut. Dengan cara tersebut, ia mempersembahkan
pelayanannya dan memberi penghormatan kepada
Paccekabuddha yang dulu adalah putranya. Karena perbuatan
baik yang dilakukan pada kehidupan lampaunya itu, maka Sang
Buddha mendapat manfaat, bahwa ia dilimpahi dengan
persembahan mewah, ia dihormati demikian tinggi, dan ia
memperoleh bakti demikian besar pada kesempatan khusus itu.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 290 berikut :
Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil
orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar, maka
hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil
itu, guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.
XXI-2-Kisah Wanita yang Memakan Habis
Telur-telur dari Seekor Ayam
Suatu ketika hiduplah seorang wanita di suatu desa dekat
Savatthi. Ia mempunyai seekor ayam betina dalam rumahnya;
setiap kali ayam itu bertelur, ia memakannya. Ayam itu sangat terluka hatinya dan marah serta bertekad membalas dendam
kepada wanita tersebut, sehingga ayam itu membuat suatu
keinginan agar dilahirkan sebagai makhluk dengan posisi yang dapat membunuh keturunan wanita itu. Keinginan ayam itu
terpenuhi, karena ia terlahir kembali menjadi seekor kucing, dan si wanita terlahir kembali sebagai seekor ayam betina di rumah yang sama. Kucing itu memakan habis telur-telur si ayam. Dalam kehidupan mereka berikutnya, ayam betina menjadi seekor
harimau dan kucing menjadi seekor rusa. Harimau memakan
rusa beserta keturunannya. Dengan demikian, permusuhan
berlangsung terus selama lima ratus kali kehidupan kedua
makhluk tersebut.
Pada masa kehidupan Sang Buddha, salah satu dari
mereka terlahir kembali sebagai seorang wanita dan yang satu lagi sebagai raksasa wanita.
Dalam suatu kesempatan, wanita tersebut sedang kembali
dari rumah orang tuanya menuju rumahnya sendiri dekat
Savatthi. Suaminya dan anak laki-lakinya yang masih balita juga bersamanya. Ketika mereka sedang beristirahat dekat suatu
kolam di tepi jalan, suaminya pergi untuk mandi di kolam
tersebut. Pada saat itu si wanita melihat raksasa wanita dan mengenalinya sebagai musuh lamanya. Dengan membawa
anaknya, ia melarikan diri menjauhi raksasa wanita itu, menuju Vihara Jetavana tempat Sang Buddha sedang membabarkan
Dhamma. Ia meletakkan anaknya di kaki Sang Buddha.
Raksasa wanita yang mengejar wanita itu tiba di pintu
vihara, namun makhluk halus penjaga pintu gerbang vihara tidak mengijinkannya masuk. Ketika melihat hal itu Sang Buddha
menyuruh Y.A. Ananda untuk membawa masuk raksasa wanita
kehadapan Beliau. Ketika raksasa itu datang, Sang Buddha
menegur baik wanita maupun raksasa wanita, perihal rantai
permusuhan yang panjang di antara mereka.
Beliau mengatakan, "Jika kamu berdua tidak datang
kepada-Ku hari ini, permusuhanmu akan berlangsung tanpa
akhir. Permusuhan tidak dapat diredakan oleh permusuhan,
permusuhan hanya dapat diredakan oleh cinta kasih." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 291 berikut :
Barangsiapa menginginkan kebahagiaan bagi dirinya
sendiri dengan menimbulkan penderitaan orang lain, maka ia
tidak akan terbebas dari kebencian; ia akan terjerat dalam
kebencian. Pada saat khotbah Dhamma berakhir, raksasa wanita
menyatakan berlindung dalam Tiga Permata, yaitu Buddha,
Dhamma, dan Sangha; sedangkan wanita itu mencapai tingkat
Dhamma, dan Sangha; sedangkan wanita itu mencapai tingkat
kesucian sotapatti.
XXI-3-4. Kisah Bhikkhu-Bhikkhu Baddiya
Suatu saat bhikkhu-bhikkhu, yang berdiam di Baddiya sibuk
membuat sandal-sandal yang penuh hiasan berbagai macam
alang-alang dan rumput. Ketika Sang Buddha diberitahu tentang hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu, kamu seharusnya
memasuki Persamuan Bhikkhu (Sangha) untuk mencapai "Hasil
Kesucian Arahat" (Arahatta Phala). Namun, kamu sekarang
sedang berusaha keras hanya dalam membuat sandal dan
menghiasinya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 292 dan 293
berikut : Orang yang melakukan yang seharusnya tak dilakukan dan
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka
kekotoran batin akan terus bertambah dalam diri orang yang
sombong dan malas seperti itu.
Mereka yang selalu giat melatih perenungan terhadap
badan jasmani, tidak melakukan apa yang seharusnya tak dilakukan, dan
melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotorankekotoran batin akan lenyap dari diri mereka
yang memiliki kesadaran dan pandangan terang seperti itu.
Bhikkhu-bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XXI-5-6. Kisah Bhaddiya Thera, Si Orang
Pendek Suatu ketika beberapa bhikkhu datang berkunjung dan memberi
hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana. Ketika mereka
bersama Sang Buddha, Lakundaka Bhaddiya kebetulan lewat
tidak jauh dari mereka.
Sang Buddha meminta mereka untuk memperhatikan
Thera yang pendek itu dan berkata kepada mereka, "Para
bhikkhu, lihatlah kepada Thera itu. Ia telah membunuh kedua
ayah dan ibunya, dan setelah membunuh orang tuanya ia pergi
tanpa penderitaan lagi."
Para bhikkhu tidak dapat mengerti pernyataan yang telah
diucapkan oleh Sang Buddha. Karena itu mereka memohon
kepada Sang Buddha untuk menjelaskannya dan Beliau
berkenan menjelaskan artinya.
Pernyataan di atas dibuat oleh Sang Buddha berkaitan
dengan kehidupan arahat, yang telah melenyapkan nafsu
keinginan, kesombongan, pandangan salah, dan kemelekatan
pada indria dan objek indria. Sang Buddha telah membuat
pernyataan metaforis. Istilah "ibu" dan "ayah" digunakan untuk menunjukan nafsu keinginan dan kesombongan. Kepercayaan /
pandangan tentang keabadian (sassataditthi) dan kepercayaan /
pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya
pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya
dua raja, kemelekatan seperti para menterinya, dan indria serta objek indria seperti halnya sebuah kerajaan.
Setelah menjelaskan arti pernyataan itu kepada mereka,
Sang Buddha membabarkan syair 294 dan 295 berikut ini :
Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah
(kesombongan), serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan
dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah
menghancurkan negara (pintu-pintu indria) bersama dengan para menterinya (kemelekatan), maka seorang brahmana akan
berjalan pergi tanpa kesedihan.
Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah
(kesombongan), serta dua raja yang arif (dua pandangan ekstrim berkenaan
dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah
menghancurkan lima jalan yang penuh bahaya (lima rintangan
batin), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa
kesedihan. Para bhikkhu yang datang berkunjung mencapai tingkat
kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XXI-7-12. Kisah Anak Laki-laki Penebang
Kayu.txt Suatu ketika di Rajagaha, seorang penebang kayu pergi ke
dalam hutan dengan anak laki-lakinya untuk mencari kayu.
Waktu kembali ke rumah pada sore hari, mereka berhenti dekat suatu pemakaman untuk makan. Mereka juga melepaskan kuk
dari dua lembu jantannya sehingga lembu-lembu bisa merumput
di sekitar tempat itu. Tetapi ke dua lembu jantan pergi tanpa mereka sadari. Segera setelah mereka sadar bahwa dua ekor
lembunya telah hilang, penebang kayu pergi mencarinya,
meninggalkan anaknya dengan kereta berisi kayu bakar. Sang
ayah memasuki kota, mencari lembunya. Ketika ia kembali pada anaknya, ternyata ia sudah terlambat, gerbang kota sudah
ditutup. Karena itu anak laki-lakinya terpaksa tidur sendiri di bawah kereta.
Anak laki-laki penebang kayu itu, meskipun usianya muda,
selalu penuh perhatian dan mempunyai kebiasaan merenungkan
sifat-sifat mulia Sang Buddha.
Malam itu dua raksasa datang untuk menakut-nakuti dan
ingin membuatnya celaka. Ketika salah satu raksasa menarik
kaki anak laki-laki itu, ia berteriak, " Saya menghormat kepada Sang Buddha!" (Namo Buddhassa).
Mendengar kata-kata dari anak itu, raksasa-raksasa
Mendengar kata-kata dari anak itu, raksasa-raksasa
menjadi ketakutan dan juga merasa harus melindungi anak itu.
Sehingga salah satu dari kedua raksasa itu tetap berada di dekat anak itu, menjaganya dari semua bahaya. Raksasa lainnya pergi ke istana raja dan membawa nampan berisi makanan Raja
Bimbisara. Kedua raksasa memberi makan kepada anak itu
bagaikan anaknya sendiri. Di istana raja, raksasa meninggalkan pesan tertulis perihal nampan makanan istana, dan pesan ini
hanya terbaca oleh sang Raja.
Pada pagi hari, pengawai Raja menemukan bahwa
nampan makanan istana telah hilang, mereka sangat putus asa
dan ketakutan. Raja menemukan pesan yang ditinggalkan oleh
raksasa dan menunjukkan pegawainya tempat di mana ia harus
mencari. Pegawai raja menemukan nampan makanan istana di
antara kayu bakar di dalam kereta. Mereka juga menemukan
anak laki-laki yang masih tidur di bawah kereta. Ketika ditanya, anak itu menjawab bahwa ayahnya datang kepadanya untuk
memberi makan pada malam hari dan ia tidur pulas, tanpa takut setelah memakan makanannya. Anak itu hanya mengetahui
sampai di situ, tidak lebih.
Raja menghadapkan kedua orang tuanya bersama dengan
anak itu kepada Sang Buddha. Raja waktu itu telah mendengar
bahwa anak tersebut selalu penuh perhatian merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dan juga ia telah meneriakkan "Namo
Buddhassa", ketika raksasa menarik kakinya di malam hari.
Raja bertanya kepada Sang Buddha, "Apakah penuh
perhatian terhadap sifat-sifat mulia Sang Buddha adalah satu-perhatian terhadap sifat-sifat mulia Sang Buddha adalah satu-satunya Dhamma yang dapat memberi perlindungan kepada
seseorang terhadap kemalangan dan mara bahaya, ataukah
penuh perhatian terhadap sifat-sifat mulia Dhamma sama manfaat dan kuatnya?"
Sang Buddha menanggapi, "O Raja, siswaKu! Terdapat
enam hal, apabila penuh perhatian terhadapnya akan merupakan perlindungan yang baik mengatasi kemalangan dan mara-bahaya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 296 " 301
berikut : Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu
sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha
dengan penuh kesadaran.
Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu
sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Dhamma
dengan penuh kesadaran.
Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu
sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sangha
dengan penuh kesadaran.
Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu
sadar, sepanjang siang dan malam
sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan sifat-sifat badan jasmani
dengan penuh kesadaran.
Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu
sadar, sepanjang siang dan malam
mereka bergembira dalam keadaan bebas dari kekejaman.
Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu
sadar, sepanjang siang dan malam
mereka bergembira dalam ketentraman samadhi.
Pada saat khotbah Dhamma berakhir, anak itu beserta
kedua orang tuanya mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian mereka bergabung dalam Pasamuan Bhikkhu
(Sangha) dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.
XXI-13-Kisah Seorang Bhikkhu dari Negeri
Kaum Vajji Pada malam bulan purnama di bulan Kattika, penduduk Vesali
merayakan festival perbintangan (nakkhatta) secara besarbesaran. Seluruh kota bersinar, dan ada banyak hiburan, dengan nyanyian, tarian, dl. Ketika itu ada seorang bhikkhu yang sedang melihat ke arah kota, sambil berdiri sendiri di vihara. Bhikkhu itu merasa kesepian dan tidak puas dengan keadaannya. perlahan,
ia bergumam pada dirinya sendiri, "Tidak ada seorangpun yang keadaannya lebih buruk dariku". Saat itu juga makhluk halus
penjaga hutan menghampirinya dan berkata, "Makhluk-makhluk
di alam neraka (niraya) iri hati terhadap keadaan makhlukmakhluk di alam dewa; demikian pula orang-orang iri hati
dengan keadaan mereka yang hidup sendiri di dalam hutan."
Mendengar kata-kata ini, bhikkhu tersebut menyadari kebenaran kata-kata itu dan ia menyesal bahwa ia berpikir sedemikian
sempit terhadap keadaan seorang bhikkhu.
Pagi-pagi buta pada keesokan harinya, bhikkhu tersebut
pergi menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian itu.
Dalam jawaban Beliau, Sang Buddha menceritakan kepadanya
tentang betapa sulitnya kehidupan semua makhluk.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 302 berikut :
Sungguh sukar untuk menempuh kehidupan tanpa rumah
Sungguh sukar untuk menempuh kehidupan tanpa rumah
(Pabbajja); sungguh sukar untuk bergembira dalam menempuh
kehidupan tanpa rumah.
Kehidupan rumah tangga adalah sukar dan menyakitkan.
Tinggal bersama mereka yang tidak sesuai sungguh
menyakitkan. Hidup mengembara dalam proses tumimbal lahir
(Samsara) juga menyakitkan.
karena itu janganlah menjadi pengembara (dalam
samsara), atau menjadi pengejar penderitaan.
Bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah
khotbah Dhamma berakhir.
XXI-14-Kisah Citta, Si Perumah Tangga
Citta, setelah mendengarkan Dhamma yang diuraikan oleh Yang
Ariya Sariputta, mencapai tingkat kesucian anagami. Suatu hari, Citta mengisi penuh lima ratus keretanya dengan makanan dan
persembahan lainnya untuk diberikan kepada Sang Buddha serta murid-murid Beliau. Ia berangkat menuju Savatthi bersama
rombongan pengikutnya yang berjumlah tiga ribu orang. Mereka berjalan menempuh jarak satu yojana setiap hari, dan tiba di Savatthi pada akhir bulan. Kemudian Citta pergi bersama lima ratus pengiringnya menuju Vihara Jetavana. Ketika ia sedang
memberi penghormatan kepada Sang Buddha, bunga-bunga
berjatuhan dengan menakjubkan dari atas seperti hujan. Citta tinggal di vihara itu selama sebulan penuh, mempersembahkan
dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu, serta
memberi makanan kepada rombongan yang berjumlah tiga ribu


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang. Setiap kali, dewa-dewa mengisi kembali persediaan
makanan dan persembahan lainnya.
Pada malam hari sebelum perjalanan pulang, Citta
meletakkan semua yang telah dibawanya di ruangan-ruangan
vihara sebagai persembahan kepada Sang Buddha. Kemudian
dewa-dewa mengisi kembali kereta-kereta yang kosong itu
dengan berbagai macam barang tak ternilai harganya. Y.A
Ananda, melihat bagaimana kekayaan Citta disi kembali,
bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante apakah hanya bila Citta bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante apakah hanya bila Citta datang kepada Bhante saja ia akan diberkahi dengan semua
kekayaan ini " Apakah ia diberkahi dengan hal yang sama bila ia pergi ke lain tempat ?" Sang Buddha menjawab, "Ananda, siswa ini penuh diberkahi dengan keyakinan dan kemurahan hati; ia
juga bersusila, dan nama baiknya menyebar jauh dan luas. Orang seperti ini pasti akan dihormati dan dihujani dengan kekayaan kemanapun ia pergi." Kemudian Sang Buddha membabarkan
syair 303 berikut :
Bagi orang yang memiliki keyakinan dan sila yang
sempurna, akan memperoleh
nama harum dan kekayaan, pergi ke tempat manapun ia
akan dihormati.
Bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah
khotbah Dhamma berakhir.
XXI-15-Kisah Culasubhadda
Anathapindika dan Ugga, orang kaya dari Ugga, belajar di
bawah bimbingan guru yang sama ketika mereka berdua masih
muda. Ugga mempunyai seorang anak laki-laki dan
Anathapindika mempunyai seorang anak perempuan. Ketika
anak-anak mereka telah cukup dewasa, Ugga meminta
persetujuan Anathapindika untuk menikahkan kedua anak
mereka. Dengan demikian pernikahan diadakan, dan
Culasubhadda, anak perempuan Anathapindika, harus tinggal di rumah mertuanya.
Ugga dan keluarganya adalah pengikut petapa bukan
murid Sang Buddha. Suatu saat mereka mengundang petapa
tersebut ke rumahnya. Pada kesempatan itu, Ugga meminta
Culasubhadda, untuk memberi penghormatan kepada para
petapa telanjang bukan murid Sang Buddha tersebut, tetapi ia selalu menolak untuk memenuhinya. Sebaliknya, ia bercerita
kepada ibu mertuanya tentang Sang Buddha dan sifat-sifat mulia Beliau.
Ibu mertua Culasubhadda, sangat ingin bertemu dengan
Sang Buddha, setelah ia diberitahu tentang Sang Buddha oleh
menantu perempuannya. Ia bahkan menyetujui permintaan
Culasubhadda mengundang Sang Buddha untuk menerima dana
makanan di rumahnya.
Culasubhadda menyiapkan makanan dan mengumpulkan
persembahan lainnya untuk Sang Buddha beserta murid-murid
Beliau. Kemudian ia naik ke tempat yang paling tinggi di
rumahnya dan melihat ke arah Vihara Jetavana. Ia membuat
persembahan bunga serta dupa dan merenungkan sifat-sifat dan kebajikan mulia Sang Buddha. Ia kemudian mengucapkan
keinginannya, "Bhante! Semoga hal ini membuat Bhante
berkenan datang, bersama dengan murid-murid Bhante, ke
rumah kami esok hari. Saya, umat awam yang berbakti, dengan
penuh hormat mengundang Bhante. Semoga permohonanku
diketahui oleh Bhante melalui lambang dan sikap seperti ini."
Kemudian ia mengambil delapan genggam bunga melati
dan menebarkannya ke langit. Bunga-bunga itu mengambang di
udara menuju Vihara Jetavana dan terletak menggantung pada
langit-langit ruang pertemuan tempat Sang Buddha sedang
membabarkan Dhamma. Pada akhir khotbah Beliau,
Anathapindika, ayah Culasubhadda, mendekati Sang Buddha
untuk mengundang menerima dana makanan di rumahnya pada
esok hari. Sang Buddha menjawab bahwa ia telah menerima
undangan Culasubhadda untuk esok hari. Anathapindika bingung dengan jawaban Sang Buddha dan berkata, "Tetapi, Bhante!
Culasubhadda tidak tinggal di Savatthi sini, ia tinggal di Ugga yang berjarak seratus dua puluh yojana dari sini." Kepadanya Sang Buddha berkata, "Benar, perumah tangga, tetapi
kebaikannya jelas terlihat nyata seakan-akan hadir meskipun hal itu mungkin berada pada jarak jauh."
itu mungkin berada pada jarak jauh."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 304 berikut :
Meskipun dari jauh, orang baik akan terlihat bersinar
bagaikan puncak pegunungan Himalaya.
Tetapi, meskipun dekat, orang jahat tidak akan terlihat,
bagaikan anak panah
yang dilepaskan pada malam hari.
Hari berikutnya, Sang Buddha datang ke rumah Ugga,
ayah mertua Culasubhadda. Sang Buddha diringi dengan lima
ratus bhikkhu dalam perjalanan ini, mereka semua datang melalui udara dalam perahu penuh dekorasi yang diciptakan atas
perintah Sakka, Raja para dewa. Melihat Sang Buddha dalam
kemegahan dan keagungannya, ayah mertua Culasubhadda
sangat terkesan dan mereka memberi penghormatan kepada
Sang Buddha. Untuk tujuh hari berikutnya, Ugga dan
keluarganya memberi dana makanan dan membuat persembahan
kepada Sang Buddha beserta murid-murid Beliau.
XXI-16-Kisah Thera yang Berdiam
Seorang Diri Ekavihari Thera tidak banyak bergaul dengan bhikkhu-bhikkhu
lain. Ia biasa ia berdiam seorang diri. Ia akan tidur, berbaring, berdiri, atau berjalan seorang diri. Bhikkhu-bhikkhu lain
berprasangka buruk terhadap Ekavihari dan berkata kepada
Sang Buddha tentang dirinya. Tetapi Sang Buddha tidak
menyalahkannya. Sebaliknya Beliau berkata, "Ya, sesungguhnya anak-Ku telah berkelakuan baik, karena seorang bhikkhu
seharusnya berdiam dalam kesunyian dan kesendirian."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 305 berikut :
Ia yang duduk sendiri, tidur sendiri, berjalan sendiri tanpa rasa jemu serta selalu membina diri,
akan bergembira di dalam hutan.
XXII-1-Kisah Sundari, Pertapa Wanita
Pengembara Pada saat jumlah orang-orang yang menghormat Sang Buddha
meningkat, pertapa-pertapa bukan Buddhis mendapatkan jumlah
pengikut mereka semakin berkurang. Oleh karena itu mereka
menjadi sangat iri hati terhadap Sang Buddha. Mereka juga takut bahwa keadaan akan semakin buruk jika mereka tidak
melakukan sesuatu untuk merusak nama baik Sang Buddha.
Kemudian mereka mengundang Sundari, dan berkata
kepadanya, "Sundari, kamu adalah seorang wanita muda yang
cantik dan pintar. Kami menginginkan kamu membuat malu
Samana Gotama dengan mengatakan kepada banyak orang
bahwa kamu telah berhubungan kelamin dengannya. Dengan
melakukan hal ini, citra baikNya akan rusak, pengikutNya akan berkurang sehingga banyak orang yang akan datang kepada kita.
Buatlah penampilan yang terbaik dan pandai-pandailah."
Sundari mengerti apa yang diharapkan darinya. Kemudian
pada malam hari, dia pergi ke Vihara Jetavana. Ketika dia
ditanya kemana hendak pergi, dia menjawab, "Saya pergi
mengunjungi Samana Gotama, saya tinggal bersamanya di kamar
harum (Gandha Kuti) di Vihara Jetavana." Setelah mengatakan
hal ini, dia pergi ke tempat pertapa-pertapa bukan Buddhis.
Pagi-pagi sekali keesokan harinya dia kembali ke
rumahnya. Jika orang-orang menannyakan dia dari mana, dia
akan menjawab, "Saya baru dari kamar harum (Gandha Kuti),
setelah bermalam semalam dengan Samana Gotama." Wanita itu
terus mengatakan hal ini selama dua hari. Pada akhir hari ketiga, pertapa-pertapa menyuruh beberapa pemabuk untuk membunuh
Sundari dan meletakkan jenazahnya di tumpukan sampah dekat
Vihara Jetavana.
Hari berikutnya, para pertapa menyebarkan berita
mengenai hilangnya pertapa wanita pengembara (Paribbajika)
Sundari. Mereka pergi menghadap Raja untuk melaporkan
kecurigaan mereka. Raja mengijinkan mereka untuk menyelidiki di tempat yang mereka perkirakan. Ketika menemukan jenazah
di dekat Vihara Jetavana, mereka membawanya ke istana.
Kemudian mereka berkata kepada Raja, "O Raja,
pengikut-pengikut Gotama telah membunuh Paribbajika Sundari
dan membuang jenazahnya di tumpukan sampah dekat Vihara
Jetavana, untuk menutupi kesalahan guru mereka."
Kepada mereka, raja menjawab, "Dalam kasus ini kalian
boleh berkeliling kota dan mengumumkan bukti-bukti tersebut."
Mereka lalu mengelilingi kota membawa jenazah Sundari
dan berteriak, "Lihat! Apa yang telah dilakukan oleh pengikut-pengikut Gotama! Lihat bagaimana mereka mencoba menutupi
kesalahan Gotama!" Arak-arakan tersebut kemudian kembali ke
istana. Para bhikkhu yang tinggal di Vihara Jetavana mengatakan kepada Sang Buddha apa yang telah dilakukan pertapa-pertapa
untuk merusak nama baik dan merusak citra Sang Buddha.
untuk merusak nama baik dan merusak citra Sang Buddha.
Tetapi Sang Buddha hanya berkata, "Anak-anak-Ku, kalian
harus memberitahukan mereka mengenai hal ini", kemudian
Beliau membabarkan syair 306 berikut ini :
Orang yang selalu berbicara tidak benar dan juga orang
yang setelah berbuat kemudian berkata,
"Aku tidak melakukannya"akan masuk ke neraka. Dua
macam orang yang mempunyai kelakuan rendah ini, mempunyai
nasib yang sama dalam dunia selanjutnya.
Sementara itu, raja memerintahkan anak buahnya untuk
menyelidiki lebih lanjut pembunuhan Sundari. Dari penyelidikan itu mereka menemukan bahwa Sundari meninggal dunia di tangan pemabuk-pemabuk. Kemudian para pemabuk dibawa
menghadap raja. Ketika ditanya, para pemabuk mengakui
bahwa mereka disuruh oleh pertapa-pertapa untuk membunuh
Sundari dan meletakkan jenazahnya di depan Vihara Jetavana.
Raja memanggil pertapa-pertapa bukan Buddhis dan akhirnya
pertapa-pertapa itu mengakui rencana mereka dalam
pembunuhan Sundari.
Raja memerintahkan mereka untuk pergi berkeliling kota,
mengakui kesalahan mereka pada umum. Mereka berkeliling
kota dan berkata, "Kami adalah orang-orang yang membunuh
Sundari, kami telah bersalah menuduh pengikut Gotama hanya
untuk memalukan Gotama. Pengikut-pengikut Gotama tidak
salah, kamilah yang bersalah atas kejahatan ini."
Sebagai kesimpulan dari peristiwa ini, kekuatan,
Sebagai kesimpulan dari peristiwa ini, kekuatan,
keagungan, dan keberuntungan Sang Buddha sangatlah tinggi.
XXII-2-Kisah Mereka yang Menderita
Karena Perbuatan Jahat Mereka Sendiri
Suatu saat Yang Ariya Maha Moggalana sedang menuruni bukit
Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera. Ia melihat beberapa
makhluk setan. Ketika mereka tiba di vihara, Maha Moggalana
Thera berkata pada Lakkhana Thera di hadapan Sang Buddha,
bahwa ia telah melihat sesosok makhluk setan (peta) yang hanya berupa kerangka tulang. Kemudian ia menambahkan bahwa ia
juga telah melihat lima bhikkhu dengan tubuh terbakar dalam
kobaran nyala api.
Mendengar pernyataan tentang para bhikkhu yang
terbakar itu, Sang Buddha berkata, "Pada masa hidup Buddha
Kassapa, para bhikkhu tersebut telah melakukan banyak
perbuatan jahat. Karena perbuatan jahat itulah maka mereka
telah menderita di alam neraka (niraya) dan sekarang mereka
sedang mengalami sisa penderitaannya hidup sebagai makhluk
setan." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 307 berikut :
Bila seseorang menjadi bhikkhu dengan mengenakan jubah
kuning tetapi masih berkelakuan buruk dan tidak terkendali,
maka akibat perbuatan-perbuatan jahatnya sendiri, ia akan
masuk ke alam neraka
XXII-3-Kisah Para Bhikkhu yang Tinggal
di Tepi Sungai Vaggumuda
Waktu itu, sedang terjadi kelaparan di negeri kaum Vajji. Untuk memungkinkan mereka mendapat makanan yang cukup, para
bhikkhu menampilkan diri seolah-olah mereka telah mencapai
kesucian, meskipun sesungguhnya mereka belum mencapainya.
Karena masyarakat desa mempercayai dan menghormati
mereka, maka masyarakat mempersembahkan banyak makanan
kepada para bhikkhu dan hanya menyisakan sangat sedikit bagi mereka sendiri.
Pada akhir masa vassa, sebagaimana telah menjadi
kebiasaan, para bhikkhu dari semua bagian negeri datang untuk memberi hormat pada Sang Buddha. Para bhikkhu dari tepi
sungai Vaggumuda juga datang. Mereka kelihatan sehat dan
segar sedangkan para bhikkhu yang lain terlihat pucat dan lusuh.
Sang Buddha berkata pada semua bhikkhu menanyakan
bagaimana mereka mendapat makanan selama menjalani masa
vassa. Kepada para bhikkhu dari tepi sungai Vaggumuda, Sang
Buddha bertanya secara khusus apakah mereka mendapat
kesulitan memperoleh makanan sehubungan dengan kelaparan
yang melanda masyarakat. Mereka menjawab bahwa mereka
tidak mendapat kesulitan sama sekali dalam mendapatkan dana
makanan. Sang Buddha mengetahui bagaimana perilaku para
bhikkhu tersebut untuk mendapat dana makanan yang cukup.
Tetapi Beliau ingin memberi pelajaran kepada mereka dalam hal ini, sehingga Beliau bertanya, "Bagaimana kamu mengatur
sedemikian baik untuk mendapatkan dana makanan selama masa
vassa ?" Para bhikkhu bercerita bagaimana mereka berdiskusi di
antara mereka sendiri dan kemudian memutuskan bahwa mereka
seharusnya menyapa satu sama lain dalam cara sedemikian rupa sehingga para penduduk akan berpikir bahwa mereka benar-benar telah mencapai tingkat pengembangan batin jhana, dan
tingkat kesucian.
Kemudian Sang Buddha bertanya kepada mereka apakah
mereka telah benar-benar mencapai jhana, dan tingkat kesucian.
Ketika mereka menjawab belum, Sang Buddha menegur
mereka. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 308 berikut :
Lebih baik menelan bola besi panas seperti bara api
daripada selalu menerima makanan dari orang lain dan tetap
berkelakuan buruk serta tak terkendali.
XXII-4-5. Kisah Khemaka, Anak Laki-laki
Seorang Kaya Khemaka, selain kaya, juga sangat tampan dan banyak wanita
sangat tertarik kepadanya. Banyak wanita tidak dapat menolak keinginan nafsu seksualnya sehingga mereka menjadi korban
pelecehan seksual. Khemaka melakukan perzinaan tanpa
penyesalan. Anak buah Raja menangkapnya tiga kali karena
perbuatan asusila dan membawanya ke hadapan Raja. Tetapi
Raja Pasenadi Kosala tidak dapat berbuat apa-apa karena
Khemaka adalah keponakan Anathapindika. Maka
Anathapindika sendiri membawa keponakannya menghadap
kepada Sang Buddha.
Sang Buddha berbicara kepada Khemaka tentang
keburukan perbuatan asusila dan seriusnya akibat yang
ditimbulkan. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 309
dan 310 berikut :
Orang yang lengah dan berzina akan menerima empat
ganjaran, yaitu :
pertama, ia akan menerima akibat buruk; kedua, ia tidak
dapat tidur dengan tenang;
ketiga, namanya tercela; dan keempat, ia akan masuk ke
alam neraka. Ia akan menerima akibat buruk dan kelahiran rendah pada
Ia akan menerima akibat buruk dan kelahiran rendah pada
kehidupannya yang akan datang.
Sungguh singkat kenikmatan yang diperoleh lelaki dan
wanita yang ketakutan,
dan rajapun akan menjatuhkan hukuman berat. Karena itu,
janganlah seseorang berzina
dengan istri orang lain.
Khemaka mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XXII-6-8. Kisah Bhikkhu yang Keras
Kepala Suatu ketika ada seorang bhikkhu yang merasa sangat menyesal karena telah memotong rumput tanpa sengaja. Ia mengakui hal
tersebut di hadapan bhikkhu lain. Bhikkhu yang mendapat
pengakuan kesalahan tersebut mempunyai sifat sembrono dan


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras kepala, ia memandang remeh terhadap kesalahan kecil.
Maka, ia menjawab kepada bhikkhu pertama,
"Memotong rumput adalah pelanggaran yang sangat kecil. Jika
kamu menyatakan dan mengakui kesalahan kepada bhikkhu lain,
secara otomatis kamu bebas dari kesalahan. Tak ada yang perlu dirisaukan." Setelah mengatakan hal itu, ia sendiri mencabut segenggam rumput dengan kedua tangannya untuk menunjukkan
bahwa ia hanya menganggap ringan terhadap pelanggaran yang
tak berarti ini. Ketika Sang Buddha diberitahu tentang hal ini, Beliau menegur bhikkhu yang sembrono dan keras kepala itu.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 311, 312,
dan 313 berikut ini :
Bagaikan rumput kusa, bila dipegang secara salah akan
melukai tangan; begitu juga kehidupan seorang pertapa, apabila dijalankan secara salah akan menyeret orang ke neraka.
Bila suatu pekerjaan dikerjakan dengan seenaknya, suatu
tekad tidak dijalankan dengan selayaknya, kehidupan suci tidak tekad tidak dijalankan dengan selayaknya, kehidupan suci tidak dijalankan dengan sepenuh hati; maka semuanya ini tidak akan membuahkan hasil yang besar.
Hendaklah orang mengerjakan sesuatu dengan sepenuh
hati. Suatu kehidupan suci yang dijalankan dengan seenaknya
akan membangkitkan debu nafsu
yang lebih besar.
Pada akhir khotbah Dhamma, bhikkhu yang sembrono
dan keras kepala itu menyadari pentingnya pengendalian diri
dalam kehidupan seorang bhikkhu, dan mematuhi secara ketat
"Peraturan Pokok" (Patimokkha) bagi para bhikkhu. Beberapa
waktu kemudian, melalui praktek meditasi "Pandangan terang" , bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat.
XXII-9-Kisah Seorang Wanita Berwatak Iri
Hati Seorang wanita dengan perasaan iri hati yang kuat tinggal
bersama suaminya di Savatti. Ia mengetahui bahwa suaminya
berselingkuh dengan pelayan wanitanya. Pada suatu hari, ia
mengikat wanita pelayan tersebut dengan tali yang kuat,
memotong telinga dan hidungnya, dan mengurungnya di suatu
kamar. Setelah melakukan hal tersebut, ia meminta suaminya
untuk menemaninya pergi ke Vihara Jetavana. Tidak lama
setelah mereka pergi beberapa kerabat pelayan tersebut datang di rumah mereka, menemukan pelayan tersebut terikat dan
terkunci di suatu kamar. Mereka mendobrak kamar tersebut,
melepaskannya dan membawanya ke vihara. Mereka tiba di
vihara ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma.
Wanita pelayan tersebut menceritakan kepada Sang Buddha apa
yang telah dilakukan oleh majikan wanitanya, bagaimana ia telah dipukuli dan bagaimana hidung dan telinganya dipotong. Ia
berdiri di tengah kerumunan orang agar semua orang dapat
melihat bagaimana ia telah diperlakukan dengan buruk.
Kemudian Sang Buddha berkata, "Janganlah berbuat jahat
dengan berpikir bahwa orang-orang tidak akan mengetahuinya.
Suatu perbuatan buruk yang dilakukan secara rahasia, bila
ditemukan, akan membawa penderitaan dan kesedihan; tetapi
perbuatan baik dapat dilakukan secara rahasia, karena hal itu perbuatan baik dapat dilakukan secara rahasia, karena hal itu hanya akan membawa kebahagiaan dan bukan penderitaan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 314 berikut :
Sebaiknya seseorang tidak melakukan perbuatan jahat,
karena di kemudian hari
perbuatan itu akan menyiksa dirinya sendiri. Lebih baik
seseorang melakukan perbuatan baik, karena setelah
melakukannya ia tidak akan menyesal.
Pasangan suami istri itu mencapai tingkat kesucian
sotapatti, setelah khotbah Dhamma berakhir.
XXII-10-Kisah Banyak Bhikkhu
Dalam bulan pertama mereka berdiam di pinggir kota, para
bhikkhu diperlakukan dan dirawat dengan baik oleh penduduk
kota tersebut. Bulan berikutnya, kota itu dijarah oleh beberapa perampok, bahkan beberapa penduduk diculik sebagai sandera.
Karena itu penduduk kota harus memperbaiki kota mereka dan
memperkuat pertahanan, sehingga penduduk tidak lagi
memperhatikan kebutuhan para bhikkhu sebanyak mereka
inginkan, dan para bhikkhu harus menjaga diri mereka sendiri.
Pada akhir masa vassa, para bhikkhu tersebut datang
untuk memberi hormat pada Sang Buddha di Vihara Jetavana,
Savatti. Ketika mengetahui kesulitan yang mereka lewati selama masa vassa, Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para
bhikkhu, jangan terus berpikir tentang ini atau hal lainnya.
Memang sulit untuk mempunyai suatu kehidupan yang tanpa
masalah sama sekali. Seperti halnya penduduk kota tersebut
menjaga kota mereka, demikian pula seorang bhikkhu
seharusnya menjaga dan memelihara dan pikirannya tetap pada
tubuhnya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 315 berikut :
Bagaikan perbatasan negara yang dijaga kuat di bagian
dalam dan luar, begitu pula seharusnya engkau menjaga dirimu; janganlah membiarkan kesempatan baik (dalam era ajaran Sang
Buddha) ini berlalu.
Karena mereka yang melepaskan kesempatan ini akan
bersedih hati bila nanti berada di alam neraka.
Para bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat,
setelah khotbah Dhamma berakhir.
XXII-11-12. Kisah Para Petapa Nigantha
Suatu hari, beberapa petapa Nigantha pergi untuk
mengumpulkan dana makanan dengan mangkuk mereka yang
ditutupi dengan sepotong kain. Beberapa bhikkhu melihat
mereka dan komentar, "Para petapa Nigantha ini, yang menutupi tubuh bagian depan lebih terhormat dibandingkan dengan para
petapa Acelaka yang pergi tanpa mengenakan kain penutup
apapun." Mendengar komentar ini, para petapa tersebut
menjawab dengan tegas, "Ya, sesungguhnya kami benar-benar
menutupi bagian depan kami (dengan menutupi mangkuk kami);
tetapi kami menutupinya bukan karena malu pergi bertelanjang.
Kami hanya menutupi mangkuk kami untuk mencegah debu
pada makanan kami, karena biarpun debu sekalipun, tetap
mengandung kehidupan di dalamnya. "
Ketika para bhikkhu tersebut menceritakan apa yang
dikatakan para petapa Nigantha kepada Sang Buddha. Beliau
menjawab, "Para bhikkhu, para petapa tersebut yang pergi
dengan menutupi hanya bagian depan tubuh mereka tidak malu
dengan apa yang seharusnya memalukan, tetapi malu dengan apa yang seharusnya tidak memalukan; karena pandangan salah
mereka, maka mereka hanya akan menuju ke tujuan yang
buruk." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 316 dan 317
berikut ini : berikut ini : Mereka yang merasa malu terhadap apa yang sebenarnya
tidak memalukan,
dan sebaliknya tidak merasa malu terhadap apa yang
sebenarnya memalukan;
maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu
akan masuk ke alam sengsara.
Mereka yang merasa takut terhadap apa yang sebenarnya
tidak menakutkan,
dan sebaliknya tidak merasa takut terhadap apa yang
sebenarnya menakutkan;
maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu
akan masuk ke alam sengsara.
Pada akhir khotbah Dhamma ini, banyak petapa Nigantha
menjadi ketakutan dan bergabung dalam Pasamuan Bhikkhu
(Sangha). XXII-13-14. Kisah Murid-Murid Para
Petapa Bukan Pengikut Buddha
Murid-murid dari petapa-petapa Titthi tidak ingin anak-anak
mereka bermain dengan anak-anak pengikut Sang Buddha.
Mereka sering berkata kepada anak-anaknya, "Jangan pergi ke
Vihara Jetavana, jangan memberi hormat kepada para bhikkhu
dari suku Sakya!"
Suatu ketika, anak-anak laki Titthi tersebut sedang
bermain dengan seorang anak laki-laki Buddhis di dekat pintu masuk Vihara Jetavana, mereka merasa sangat haus. Karena
anak-anak dari murid-murid petapa Titthi telah diberitahu oleh orang tua mereka untuk tidak memasuki vihara Sang Buddha,
mereka meminta anak laki-laki Buddhis itu untuk pergi ke vihara dan membawakan air untuk mereka. Anak laki-laki Buddhis
tersebut pergi masuk ke vihara, memberi hormat kepada Sang
Buddha. Setelah minum, ia menceritakan kepada Sang Buddha
tentang teman-temannya yang dilarang oleh orang tua mereka
untuk memasuki vihara Buddha
Sang Buddha berkata kepada anak laki-laki tersebut agar
disampaikan kepada teman-temannya yang bukan Buddhis untuk
datang dan minum di vihara. Ketika anak-anak laki tersebut
datang, Sang Buddha memberi khotbah kepada mereka untuk
menyesuaikan wataknya yang beraneka ragam. Sebagai hasilnya, anak-anak tersebut menjadi yakin terhadap Tiga Permata
(Tiratana), yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Ketika anak-anak tersebut kembali ke rumah, mereka
menceritakan kunjungan mereka ke Vihara Jetavana dan tentang Sang Buddha yang telah mengajarkan Tiga Permata kepada
mereka. Karena kebodohannya, para orang tua anak-anak tersebut
berteriak, "Anak-anak laki kita telah tidak setia terhadap
kepercayaan kita, mereka telah dihancurkan," dan seterusnya.
Beberapa tetangga yang pandai menasehati para orang tua yang sedang meratap itu untuk berhenti menangis, dan sebaiknya
mengirimkan anak-anak mereka kepada Sang Buddha. Mereka
menyetujuinya, dan anak-anak tersebut beserta orang tuanya
pergi menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha mengetahui mengapa mereka datang. Beliau
berkata kepada mereka dalam syair 318 dan 319 berikut ini :
Mereka yang menganggap tercela terhadap apa yang
sebenarnya tidak tercela,
dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang
sebenarnya tercela;
maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu
akan masuk ke alam sengsara.
Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela,
dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tercela; maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk ke alam yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk ke alam bahagia.
Pada akhir khotbah Dhamma ini, semua orang yang hadir
menjadi yakin terhadap Tiga Permata (Tiratana), dan setelah
mendengarkan khotbah selanjutnya dari Sang Buddha, mereka
mencapai tingkat kesucian sotapatti.
XXIII-1-3. Kisah Menaklukkan Diri Sendiri
Suatu saat ayah Magandiya, karena sangat tertarik dengan
kepribadian dan penampilan Sang Buddha, telah
mempersembahkan anak perempuannya yang sangat cantik
untuk dijadikan istri Sang Buddha Gotama. Tetapi Sang Buddha menolak persembahan itu dan berkata bahwa Beliau tidak akan
mau menyentuh hal itu yang penuh dengan kotoran, sekalipun
dengan kakinya. Ketika mendengar kata-kata ini kedua ayah
dan ibu Magandiya melihat kebenaran dalam kata-kata tersebut dan mencapai tingkat kesucian anagami. Tetapi Magandiya
menganggap Sang Buddha sebagai musuh dan bertekad untuk
membalas dendam kepada Beliau.
Kemudian ia menjadi salah satu dari tiga istri Raja Udena.
Ketika Magandiya mendengar kabar bahwa Sang Buddha telah
datang ke Kosambi, ia menyewa beberapa penduduk dan
pelayan-pelayannya untuk mencaci maki Sang Buddha saat
Beliau memasuki kota untuk berpindapatta. Orang-orang
sewaan tersebut mengikuti Sang Buddha dan mencaci maki
dengan menggunakan kata-kata yang sedemikian kasar seperti
"pencuri, bodoh, unta, keledai, suatu ikatan ke neraka", dan sebagainya. Mendengar kata-kata yang kasar tersebut,
Y.A.Ananda memohon kepada Sang Buddha untuk
meninggalkan kota dan pergi ke tempat lain.
Tetapi Sang Buddha menolak dan berkata, "Di kota lain,
Tetapi Sang Buddha menolak dan berkata, "Di kota lain,
kita juga mungkin dicaci maki dan tidak mungkin untuk selalu berpindah tempat setiap kali seseorang dicaci maki. Lebih baik menyelesaikan masalah di tempat terjadinya masalah. Saya
seperti seekor gajah yang menahan panah-panah yang datang
dari semua penjuru. Saya juga akan menahan dengan sabar caci maki yang datang dari orang-orang yang tidak memiliki moral."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 320 " 322
berikut ini : Seperti seekor gajah di medan perang dapat menahan
serangan panah yang dilepaskan dari busur, begitu pula Aku
(Tathagata) tetap bersabar terhadap cacian; sesungguhnya,
sebagian besar orang mempunyai kelakuan rendah.
Mereka menuntun gajah yang telah terlatih ke hadapan
orang banyak. Raja mengendarai gajah yang terlatih ke medan perang.
Di antara umat manusia, maka yang terbaik adalah orang
yang dapat menaklukkan dirinya sendiri dan dapat bersabar
terhadap cacian.
Sungguh baik keledai-keledai yang terlatih, begitu juga
kuda-kuda Sindhu dan gajah-gajah perang milik para
bangsawan; tetapi yang jauh lebih baik dari semua itu adalah orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.
Pada akhir khotbah Dhamma tersebut, mereka yang telah
mencaci maki Sang Buddha menyadari kesalahannya yang
mencaci maki Sang Buddha menyadari kesalahannya yang
datang untuk menghormat Beliau, beberapa di antara mereka
mencapai tingkat kesucian sotapatti.
XXIII-4-Kisah Seorang Bhikkhu Yang
Dahulu Sebagai Pelatih Gajah
Pada suatu kesempatan, beberapa bhikkhu melihat seorang
pelatih gajah dan gajahnya di tepi sungai Aciravati. Saat itu, pelatih tersebut menemui kesulitan untuk mengendalikan
gajahnya. Salah satu dari para bhikkhu tersebut, yang
merupakan bekas pelatih gajah, berkata pada bhikkhu-bhikkhu
yang lain bagaimana cara menanganinya dengan mudah. Pelatih
gajah tersebut mendengarnya dan melakukan seperti yang
dikatakan oleh bhikkhu tersebut. Dengan cepat gajah tersebut ditaklukkan. Setelah tiba kembali di vihara, para bhikkhu
memberitahukan kejadian tersebut kepada Sang Buddha.
Sang Buddha mengundang bhikkhu bekas pelatih gajah
tersebut dan berkata, "O bhikkhu yang sia-sia, yang jauh dari
"Jalan" (Magga) dan "Hasil" (Phala)! Kau tidak mendapatkan
apapun dengan menaklukkan gajah. Tak ada seorangpun yang
dapat pergi ke suatu tempat yang belum pernah dikunjungi
sebelumnya (yaitu nibbana) dengan menaklukkan gajah; hanya ia yang telah menaklukkan dirinya sendiri yang dapat
merealisasinya." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
323 berikut : Tidak dengan mengendarai tunggangan seperti itu
seseorang dapat pergi ke tempat yang belum pernah didatangi
(nibbana). Namun orang yang telah dapat melatih, menaklukkan, dan
mengendalikan dirinya sendiri
dapat pergi ke tempat yang belum pernah didatangi itu
(nibbana). XXIII-5-Kisah Seorang Brahmana Tua
Suatu ketika, hiduplah di Savatthi seorang brahmana tua yang memiliki uang delapan laksa. Ia memiliki empat putra. Waktu
setiap putranya menikah, ia memberi satu laksa kepadanya. Jadi, ia telah memberikan empat laksa. Kemudian istri brahmana tua meninggal dunia. Putra-putranya datang kepadanya dan
merawatnya dengan baik. Kenyataannya, mereka sangat
mencintai dan menyayanginya. Dengan berlalunya waktu, entah
bagaimana, mereka membujuknya untuk memberikan empat
laksa yang tersisa. Sehingga akhirnya brahmana tua tidak
mempunyai uang sama sekali.
Beberapa waktu kemudian, brahmana tua pergi tinggal
bersama putra tertuanya. Setelah beberapa hari, menantu
perempuannya berkata kepadanya, "Apakah engkau memberi
tambahan uang beberapa ratus atau ribu pada putramu yang
tertua" Tidakkah engkau mengetahui jalan menuju rumah putraputramu yang lain?" Mendengar hal itu, brahmana tua menjadi
sangat marah dan ia meninggalkan rumah putra tertuanya dan
menuju rumah putra keduanya.
Kata-kata yang sama dibuat oleh istri putra keduanya dan
orang tua tersebut pergi menuju ke rumah putra ketiganya dan akhirnya ke rumah putra ke empat atau putera termuda. Hal
yang sama terjadi di rumah semua putranya. Sehingga, orang tua tersebut menjadi tak berdaya; kemudian, dengan membawa


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut menjadi tak berdaya; kemudian, dengan membawa
tongkat dan mangkuk, ia pergi kepada Sang Buddha memohon
perlindungan dan nasihat.
Di vihara, brahmana tua tersebut menceritakan pada Sang
Buddha bagaimana putra-putranya telah memperlakukannya dan
meminta pertolongan dari Beliau. Kemudian Sang Buddha
memberinya beberapa syair untuk dingat dan menyuruh untuk
mengucapkannya di tempat banyak orang berkumpul.
Inti dari syair tersebut adalah "Empat putraku yang bodoh
bagaikan raksasa. Mereka memanggilku: "Ayah! Ayah!" Tetapi,
kata-kata itu hanya keluar begitu saja dari mulutnya dan bukan dari hatinya. Mereka pembohong dan penuh tipu daya.
Mengikuti nasihat istrinya, mereka mengusirku dari rumah
mereka. Sehingga, sekarang saya harus mengemis. Putraputraku itu bahkan tidak melayaniku dengan lebih baik
dibandingkan tongkatku ini."
Ketika brahmana tua itu mengucapkan syair-syair itu,
banyak orang di keramaian tersebut mendengarnya, pergi
dengan gusar menuju putra-putranya dan bahkan beberapa di
antara orang-orang itu mengancam akan membunuh mereka.
Putra-putra brahmana tersebut menjadi ketakutan dan
berlutut di kaki ayah mereka untuk meminta maaf. Mereka juga berjanji bahwa mulai hari itu mereka akan merawat ayah mereka dengan layak dan akan menghormati, mencintai, dan
menghargainya. Kemudian mereka membawa ayah mereka ke
rumah mereka; mereka juga memperingatkan istri-istri mereka
rumah mereka; mereka juga memperingatkan istri-istri mereka
untuk merawat sang ayah dengan baik. Bila para istri tidak
merawatnya, maka mereka akan dipukul sampai mati. Setiap
putra memberi sepotong kain dan mengirim satu nampan
makanan setiap hari.
Brahmana tersebut menjadi makin sehat daripada
sebelumnya dan berat badannya segera kembali ke berat semula.
Ia menyadari bahwa ia mendapat siraman manfaat seperti itu atas jasa Sang Buddha. Maka ia pergi menghadap Sang Buddha.
Dengan rendah hati memohon Beliau untuk menerima dua
nampan makanan dari empat nampan yang biasa ia terima setiap hari dari putra-putranya. Kemudian ia menyuruh putra-putranya untuk mengirim dua nampan makanan kepada Sang Buddha.
Suatu hari, putra tertua brahmana itu mengundang Sang
Buddha ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Setelah
bersantap, Sang Buddha memberi khotbah tentang manfaat yang
diperoleh dengan merawat orang tua. Kemudian, Beliau
bercerita kepada mereka tentang kisah seekor gajah Dhanapala yang merawat orang tuanya. Dhanapala ketika ditangkap
merindukan orang tuanya yang ditinggal di hutan. Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 324 berikut :
Pada musim kawin, gajah ganas bernama Dhanapalaka
sukar dikendalikan;
walaupun dikat kuat ia tetap tidak mau makan karena
merindukan gajah-gajah lain di hutan.
Brahmana tua beserta empat putra dan istri-istrinya
mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XXIII-6-Kisah Raja Pasenadi dari Kosala
Suatu hari, Raja Pasenadi dari Kosala pergi ke vihara untuk
memberi hormat kepada Sang Buddha setelah raja bersantap
dengan banyak. Raja mempunyai kebiasaan makan seperempat
sangku (setengah gantang) nasi dan kari daging. Saat di hadapan Sang Buddha, raja merasa sangat mengantuk sehingga ia terus
menerus terangguk-angguk menahan kantuk dan hampir tidak
dapat mempertahankan dirinya untuk tetap terjaga. Kemudian ia berkata kepada Sang Buddha, "Bhante! Saya merasa sangat
tidak nyaman setelah saya makan." Padanya, Sang Buddha
menjawab, "O, Raja! Orang serakah banyak makan benarbenar menderita dengan cara seperti itu."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 325 berikut :
Jika seseorang menjadi malas, serakah, rakus akan
makanan dan suka merebahkan diri
seperti babi hutan yang berguling-guling ke sana kemari.
Orang yang bodoh ini akan terus menerus dilahirkan.
Setelah mendengarkan khotbah Dhamma itu, Raja
mengerti pesan tersebut, berangsur-angsur mengurangi jumlah
makanan yang dimakannya. Hasilnya, ia menjadi jauh lebih
bersemangat dan mudah berjaga, oleh karena itu ia juga
berbahagia. XXIII-7-Kisah Samanera Sanu
Suatu hari, Samanera Sanu didesak oleh para bhikkhu yang lebih tua untuk naik ke atas mimbar dan mengulang bagian-bagian dari Dhamma yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha. Ketika ia
telah menyelesaikan pengulangannya, ia dengan sungguh-sungguh menyebut, "Semoga jasa-jasa yang telah saya peroleh hari ini dengan mengulang syair-syair mulia ini, dinikmati oleh ibu dan ayah saya".
Saat itu, dewa-dewa dan raksasa yang pernah menjadi ibu
samanera muda ini dalam kehidupan lampaunya turut
mendengarkan pengulangannya. Ketika mereka mendengar
kata-kata itu, raksasa tersebut sangat gembira dan dengan cepat berteriak, "Putraku sayang, betapa bahagianya saya dapat ikut menikmati jasamu; kau telah melakukannya dengan baik putraku.
Sangat baik! Sangat baik! (Sadhu! Sadhu)." Karena jasa
Samanera Sanu, dewa dan raksasa yang pernah menjadi ibunya
menjadi sangat dihormati dan diberi tempat yang utama dalam
perkumpulan mereka oleh para dewa dan raksasa lainnya.
Saat samanera tersebut tumbuh menjadi lebih tua, ia ingin
kembali pada kehidupan sebagai umat biasa; ia pergi ke
rumahnya dan meminta pakaiannya dari ibunya. Ibunya tidak
ingin ia meninggalkan Sangha dan mencoba agar ia tidak
melakukan hal itu, tetapi ia tetap teguh dengan keputusannya.
Untuk mengulur waktu, ibunya menjanjikan untuk memberinya
Untuk mengulur waktu, ibunya menjanjikan untuk memberinya
pakaian setelah bersantap makanan. Saat ibunya sedang sibuk
memasak makanannya, raksasa yang pernah menjadi ibunya
dalam suatu kehidupan yang lampau berpikir, "Jika putraku,
Sanu meninggalkan Sangha, saya akan malu dan menjadi
tertawaan di antara raksasa dan dewa yang lain. Saya harus
mencoba dan menghentikannya agar tidak meninggalkan
Sangha." Kemudian samanera muda dirasuki oleh raksasa tersebut.
Anak laki-laki itu berguling-guling di lantai, berkomat-kamit tidak keruan dengan air liur berleleran dari mulutnya. Sang ibu merasa ada bahaya; tetangga berdatangan dan mencoba untuk mengusir
makhluk halus tersebut. Kemudian, raksasa itu berbicara,
"Samanera ini ingin meninggalkan Sangha dan kembali pada
kehidupan umat awam; jika ia berbuat demikian maka ia tidak
akan dapat lepas dari dukkha." Setelah mengucapkan kata-kata ini, raksasa tersebut meninggalkan tubuh anak laki-laki tersebut dan anak tersebut menjadi normal kembali.
Melihat ibunya menangis dan para tetangga berkumpul di
sekitarnya, ia bertanya apa yang telah terjadi. Ibunya
menceritakan pada mereka, semua yang telah terjadi pada
samanera muda anaknya dan juga menjelaskan pada mereka
bahwa untuk kembali pada kehidupan umat awam setelah
meninggalkan Sangha adalah sangat bodoh. Sesungguhnya,
meskipun hidup, ia seperti orang mati.
Samanera tersebut kemudian menyadari kesalahannya.
Dengan membawa tiga jubah dari ibunya, ia kembali ke vihara
Dengan membawa tiga jubah dari ibunya, ia kembali ke vihara
dan segera diterima sebagai seorang bhikkhu.
Ketika berkata tentang Samanera Sanu, Sang Buddha
yang berharap untuk mengajar tentang latihan batin berkata,
"Anakku, seseorang yang tidak mengendalikan pikirannya, yang mengembara ke mana-mana, tidak dapat menemukan
kebahagiaan. Karena itu, kendalikanlah pikiranmu seperti
seorang pelatih gajah mengendalikan seekor gajah."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 326 berikut :
Dahulu pikiran ini mengembara, pergi kepada objek-objek
yang disukai, dingini, dan ke mana yang dikehendaki. Sekarang aku akan mengendalikannya dengan penuh perhatian,
seperti penjinak gajah mengendalikan gajah dengan kaitan
besi. Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, bhikkhu Sanu
memahami "Empat kebenaran Mulia". kemudian ia mencapai
tingkat kesucian arahat
XXIII-8-Kisah Gajah Bernama Paveyyaka
Gajah Paveyyaka ketika berusia masih muda sangat kuat;
kemudian tiba saatnya ia menjadi tua dan lemah. Suatu hari,
seperti biasanya Paveyyaka tua pergi ke suatu kolam dan ia
terjebak dalam lumpur serta tidak dapat mencapai tepi. Ketika Raja Pasenadi dari Kosala diberitahu tentang hal itu, ia mengirim seorang pelatih gajah untuk menolong gajah itu keluar dari
lumpur. Pelatih gajah itu pergi ke tempat gajah itu berada. Di sana, ia memerintahkan pemusik untuk membuat irama perang.
Mendengar suasana militer, gajah itu merasa seakan-akan ia
berada di medan perang. Semangatnya bangkit, ia mengangkat
dirinya sendiri dengan seluruh tenaganya, dan segera keluar dari lumpur.
Ketika para bhikkhu menceritakan kepada Sang Buddha
tentang hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu! Sama halnya
dengan gajah itu menarik dirinya keluar dari lumpur, demikian pula, seharusnya kamu semua menarik dirimu sendiri keluar dari lumpur kekotoran batin."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 327 berikut :
Bergembiralah dalam kewaspadaan dan jagalah pikiranmu
dengan baik; bebaskanlah dari cara-cara yang salah, seperti
seekor gajah melepaskan dirinya yang terbenam dalam lumpur.
Para bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah
Para bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XXIII-9-11. Kisah Sejumlah Bhikkhu
Suatu saat para bhikkhu dari Kosambi terpecah menjadi dua
kelompok. Satu kelompok mengikuti ahli Vinaya, dan kelompok
lainnya mengikuti guru Dhamma. Mereka tidak mau
memperhatikan meskipun Sang Buddha mendesak mereka untuk
berdamai. Sehingga Sang Buddha meninggalkan mereka dan
menghabiskan masa vassa seorang diri berada di hutan, dimana gajah Palileyyaka melayani Beliau.
Akhir masa vassa Y.A. Ananda pergi ke dalam hutan
disertai dengan lima ratus bhikkhu. Dengan meninggalkan para bhikkhu pada suatu jarak tertentu, Y.A. Ananda sendiri
mendekati Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha menyuruh
Ananda untuk memanggil para bhikkhu yang lain. Mereka semua
datang, memberi hormat kepada Sang Buddha dan berkata,
"Bhante! Bhante pasti telah mengalami kesulitan menghabiskan masa vassa seorang diri di hutan ini."
Sang Buddha kemudian menjawab, "Para bhikkhu, jangan
berkata demikian, gajah Palileyyaka telah merawatku sepanjang waktu. Ia sesungguhnya satu teman yang sangat baik, satu teman yang sesungguhnya. Jika seseorang mempunyai teman baik
seperti ini, ia seharusnya dekat dengannya, tetapi jika seseorang tidak dapat menemukan seseorang sahabat yang baik, lebih baik tinggal sendirian." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
328, 329, dan 330 berikut ini :
328, 329, dan 330 berikut ini :
Apabila dalam pengembaraanmu engkau dapat
menemukan seorang sahabat yang berkelakuan baik, pandai,
dan bijaksana, maka hendaknya engkau berjalan bersamanya
dengan senang hati dan penuh kesadaran untuk mengatasi semua bahaya.
Apabila dalam pengembaraanmu engkau tak dapat
menemukan seorang sahabat yang berkelakukan baik, pandai,
dan bijaksana, maka hendaknya engkau berjalan seorang diri,
seperti seorang raja yang meninggalkan negara yang telah
dikalahkannya, atau seperti seekor gajah yang mengembara
sendiri di dalam hutan.
Lebih baik mengembara seorang diri dan tidak bergaul
dengan orang bodoh.
Pergilah seorang diri dan jangan berbuat jahat, hiduplah
dengan bebas (tidak banyak kebutuhan), seperti seekor gajah
yang mengembara sendiri di dalam hutan.
XXIII-12-14. Kisah Mara
Suatu saat, ketika Sang Buddha sedang berdiam di dekat
Himalaya. Beliau melihat bahwa banyak orang diperlakukan
secara tidak manusiawi oleh beberapa raja yang licik. Kemudian muncul pikiran dalam batin Beliau: "Apakah mungkin untuk
mencegah orang-orang itu dari perlakuan tidak manusiawi.
Mereka seharusnya tidak diperlakukan secara tidak manusiawi, dan membuat para raja tersebut memerintah dengan adil dan
bijaksana."
Mara mengetahui apa yang Sang Buddha pikirkan dan
berencana untuk membujuk Sang Buddha agar memerintah
sebagai seorang raja. Kepadanya, Sang Buddha menjawab,
"Mara yang licik! Ajaranmu dan ajaran-Ku sangat berbeda. Kau dan Aku tidak dapat saling berdiskusi. Inilah ajaran-Ku."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 331, 332, dan 333
berikut ini : Sungguh bahagia mempunyai kawan pada saat kita
membutuhkannya;
sungguh bahagia dapat merasa puas dengan apa yang
diperoleh; sungguh bahagia dapat berbuat kebaikan menjelang
kematian; dan sungguh bahagia dapat mengakhiri penderitaan
Berlaku baik terhadap ibu berlaku baik terhadap ayah juga
merupakan kebahagiaan.
merupakan kebahagiaan.
Berlaku baik terhadap pertapa merupakan suatu
kebahagiaan dalam dunia ini;
berlaku baik terhadap para Ariya juga merupakan
kebahagiaan. Moral (Sila) akan memberikan kebahagiaan sampai usia
tua; keyakinan yang telah ditanam kuat akan memberikan
kebahagiaan; kebijaksanaan yang telah diperoleh akan
memberikan kebahagiaan; tidak berbuat jahat akan memberikan
kebahagiaan. XXIV-1-4. Kisah Kapila dan Ikan
Pada masa Buddha Kasapa, ada seorang bhikkhu bernama
Kapila yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya, ia memperoleh kemasyuran dan
keberuntungan. Ia juga menjadi sangat sombong dan
memandang rendah bhikkhu-bhikkhu lain. Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya apa yang pantas dan apa yang tidak
pantas, ia selalu saja menjawab dengan pedas, "Berapa banyak yang kau tahu?" Hal itu menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak daripada bhikkhu-bhikkhu lain. Dengan demikian, lama
kelamaan semua bhikkhu yang baik menjauhinya dan hanya
bhikkhu-bhikkhu yang tidak baik berada di sekelilingnya.
Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu mengulang
"Peraturan Pokok" bagi para bhikkhu (=Patimokkha), Kapila
berkata, "Tidak ada apa yang dikatakan sebagai Sutta,
Abidhamma, atau Vinaya. Tidak ada bedanya apakah kamu
mempunyai kesempatan untuk mendengar Patimokkha atau
tidak," dan lain-lainnya. Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang berkumpul. Jadi, Kapila merupakan rintangan bagi pengembangan dan pertumbuhan Ajaran (Sasana).
Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita di alam
neraka (niraya) antara masa Buddha Kasapa dan Buddha
Gotama. Setelah itu ia dilahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut, seperti disebutkan di atas, Sungai Aciravati. Ikan tersebut, seperti disebutkan di atas, mempunyai tubuh berwarna keemasan yang sangat indah, tetapi
mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.
Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa nelayan
dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada Raja.
Kemudian Raja membawa ikan tersebut kepada Sang Buddha.
Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau yang tidak enak dan
sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada
Sang Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang
sedemikian tidak enak dan menusuk hidung.
Kepada Raja dan para pengiringnya, Sang Buddha
menjelaskan, "O Raja! Pada masa Buddha Kasapa, ada seorang
bhikkhu yang sangat terpelajar, yang mengajarkan Dhamma
pada lainnya. Karena perbuatan baik itu, ketika ia dilahirkan kembali pada kehidupan yang lain, meskipun sebagai seekor
ikan, ia memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat
serakah, sombong, dan memandang rendah orang lain; ia juga
mengabaikan Peraturan Ke-bhikkhu-an (Vinaya), dan mencaci
maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini, ia
dilahirkan di alam neraka (niraya), dan sekarang, ia menjadi seekor ikan yang indah dengan mulut yang berbau busuk."
Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan
bertanya apakah ia mengetahui ke mana ia akan dilahirkan
kembali pada kehidupan yang akan datang. Ikan tersebut
memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke alam neraka
(niraya) dan ia dipenuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagai mana diperkirakan, pada saat kematiannya, ikan tersebut
mana diperkirakan, pada saat kematiannya, ikan tersebut
dilahirkan kembali di alam neraka (niraya), untuk menerima
akibat perbuatan buruk lain.
Semua yang hadir mendengarkan kisah ikan tersebut
menjadi terkejut. Pada mereka, Sang Buddha memberikan
khotbah tentang manfaat mengkombinasikan antara belajar
dengan praktek.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 334, 335,


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

336, dan 337 berikut ini :
Bila seseorang hidup lengah, maka nafsu keinginan
tumbuh, seperti tanaman Maluwa yang menjalar. Ia melompat
dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, bagaikan kera yang senang mencari buah-buahan di dalam hutan.
Dalam dunia ini, siapapun yang dikuasai oleh nafsu
keinginan rendah dan beracun, penderitaannya akan bertambah
seperti rumput Birana yang tumbuh dengan cepat karena disirami dengan baik.
Tetapi barang siapa dapat mengatasi nafsu keinginan yang
beracun dan sukar dikalahkan itu,
maka kesedihan akan berlalu dari dalam dirinya, seperti air
yang jatuh dari daun teratai.
Kuberitahukan hal ini kepadamu:
Semoga engkau sekalian yang telah datang berkumpul di
sini memperoleh kesejahteraan!
Bongkarlah nafsu keinginanmu, seperti orang mencabut
Bongkarlah nafsu keinginanmu, seperti orang mencabut
akar rumput Birana yang harum.
Jangan biarkan Mara menghancurkan dirimu berulang kali,
seperti arus sungai menghancurkan rumput ilalang yang tumbuh di tepi.
XXIV-5-10. Kisah Seekor Induk Babi Muda
Suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berpindapatta di Rajagaha, ia melihat seekor induk babi muda yang kotor dan
Beliau tersenyum. Ketika ditanya oleh Ananda, Sang Buddha
menjawab, "Ananda, babi ini dulunya adalah seekor ayam betina dimasa Buddha Kakusandha. Karena ia tinggal di dekat ruang
makan di suatu vihara, ia biasa mendengar pengulangan teks suci dan khotbah Dhamma. Ketika ia mati, ia dilahirkan kembali
sebagai seorang putri.
Suatu ketika, saat pergi ke kakus, sang Putri melihat
belatung dan ia menjadi sadar akan sifat yang menjijikkan dari tubuh. Ketika ia meninggal dunia, ia dilahirkan kembali di alam Brahma sebagai brahma puthujjana; tetapi kemudian karena
beberapa perbuatan buruknya, ia dilahirkan kembali sebagai
babi betina. Ananda ! Lihat, karena perbuatan baik dan
perbuatan buruk tidak ada akhir dari lingkaran kehidupan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 338 " 343 berikut
ini : Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat
tumbuh dan bersemi lagi apabila akar-akarnya masih kuat dan
tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.
Apabila tiga puluh enam nafsu keinginan di dalam diri
seseorang mengalir deras menuju objek-objek yang
menyenangkan, maka gelombang pikiran yang penuh nafsu akan
menyeret orang yang memiliki pandangan salah seperti itu.
Di mana-mana mengalir arus (=nafsu-nafsu keinginan); di
mana-mana tanaman menjalar tumbuh merambat. Apabila
engkau melihat tanaman menjalar (=nafsu keinginan) tumbuh
tinggi, maka harus kau potong akar-akarnya dengan pisau
(=kebijaksanaan).
Dalam diri makhluk-makhluk timbul rasa senang mengejar
objek-objek indria, dan mereka menjadi terikat pada keinginan-keinginan indria. Karena cenderung pada hal-hal yang
menyenangkan dan terus mengejar kenikmatan-kenikmatan
indria, maka mereka menjadi korban kelahiran dan kelapukan.
Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan,
berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak.
Karena terikat erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan, maka mereka mengalami penderitaan untuk waktu yang
lama. Makhluk-makhluk yang terikat oleh nafsu-nafsu keinginan,
berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak.
Karena itu seorang bhikkhu yang menginginkan kebebasan diri, hendaknya ia membuang segala nafsu-nafsu keinginannya.
XXIV-11-Kisah Seorang Mantan Bhikkhu
Sebagai seorang murid Y.A.Mahakassapa, bhikkhu ini telah
mencapai empat tingkat pencerapan mental (jhana). Suatu hari ketika ia pergi untuk menerima dana makanan di rumah
pamannya, ia melihat seorang wanita dan merasa keinginan yang sangat kuat untuk memilikinya. Kemudian ia meninggalkan
Pasamuan Bhikkhu (Sangha).
Sebagai seorang umat awam, ia mengalami kegagalan
karena ia tidak bekerja keras. Pamannya mengusir mantan
bhikkhu itu dari rumahnya. Kemudian ia berkawan dengan
beberapa pencuri. Dalam salah satu aksinya, mereka semua
ditangkap oleh yang berwajib dan dibawa ke makam untuk di
hukum mati. Y.A. Mahakassapa, melihat mantan muridnya ketika
sedang dibawa keluar, dan berkata padanya, "Muridku, jagalah pikiranmu teguh pada satu objek meditasi." Seperti
diperintahkan, ia berkonsentrasi dan membiarkan dirinya masuk ke dalam keadaan pencerapan mental yang dalam. Di makam,
saat petugas hukuman mati sedang membuat persiapan untuk
membunuhnya, mantan bhikkhu tersebut sangat tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan atau kegelisahan. Petugas
tersebut serta para penonton terpesona dan sangat tertarik
dengan keberanian dan ketenangan orang itu. Kemudian mereka
melaporkan tentang orang itu kepada Raja dan kepada Sang
melaporkan tentang orang itu kepada Raja dan kepada Sang
Buddha. Raja memberi perintah untuk melepaskan orang itu. Sang
Buddha ketika mendengar tentang kejadian tersebut
mengirimkan sinar Beliau dan muncul di hadapan pencuri itu
sehingga ia seperti berhadapan langsung dengan Sang Buddha.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 344 berikut :
Setelah bebas dari hutan keinginan (=kehidupan rumah
tangga), ia menemukan hutan kesucian
(=kehidupan pertapa).
Tapi, walaupun telah bebas dari keinginan (akan
kehidupan rumah tangga) ia kembali ke rumah lagi. Lihatlah
orang seperti itu! Setelah bebas! Ia kembali pada ikatan itu lagi.
Pada akhir khotbah Dhamma tersebut, pencuri yang teguh
menjaga pikirannya pada timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi menyadari sifat ketidak-kekalan, ketidakpuasan, dan tanpa inti dari segala sesuatu yang berkondisi. Ia mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian ia pergi
menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana, dan ia sekali lagi diterima masuk ke dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha) oleh Sang
Buddha, dan ia dengan cepat mencapai tingkat kesucian arahat.
XXIV-12-13. Kisah Hukuman Penjara
Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang ke Savatthi untuk
berpindapatta. Ketika mereka sedang mengumpulkan dana
makanan, mereka melihat beberapa tawanan sedang diangkut
dengan kaki dan tangan terikat rantai. Ketika tiba kembali di vihara, setelah mengingat apa yang telah dilihat dipagi hari, mereka bertanya kepada Sang Buddha apakan ada ikatan lain
yang lebih kuat dari pada itu.
Kepada mereka Sang Buddha menjawab. "Para bhikkhu!
Ikatan ini tidak ada artinya dibandingkan dengan nafsu keinginan akan makanan dan pakaian, akan kekayaan, serta akan
keluarga. Nafsu keinginan ribuan, ratusan ribu lebih kuat
daripada rantai itu, borgol, dan kurungan. Itulah sebabnya
mengapa orang bijaksana memotong nafsu dan meninggalkan
keduniawian, serta memasuki pasamuan para bhikkhu.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 345 dan 346
berikut ini : Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu yang
terbuat dari besi, kayu, ataupun rami
tidaklah begitu kuat. Tetapi ikatan terhadap anak-anak,
istri, dan harta benda,
sesungguhnya merupakan belenggu yang jauh lebih kuat.
Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu seperti itu
Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu seperti itu
amat kuat, dapat melemparkan orang ke bawah, halus dan sukar untuk dilepaskan. walaupun demikian, para bijaksana akan
dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan
kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
XXIV-14-Kisah Khema Theri
Ratu Khema merupakan istri utama dari Raja Bimbisara. Ia
sangat cantik dan juga sangat sombong. Raja menginginkannya
untuk pergi ke Vihara Veluvana dan memberi hormat kepada
Sang Buddha. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang
Buddha selalu berbicara meremehkan kecantikan, dan
karenanya ia mencoba untuk menghindari berjumpa dengan Sang
Buddha. Raja mengerti sikapnya terhadap Sang Buddha, ia juga tahu betapa sombongnya ratu pada kecantikannya. Kemudian
raja memerintahkan grup musiknya untuk menyanyikan lagu
pujian tentang Vihara Veluvana, tentang tempatnya yang
menyenangkan dan suasananya yang damai, dan sebagainya.
Mendengar hal itu, Ratu Khema menjadi tertarik dan
memutuskan untuk pergi ke Vihara Veluvana.
Ketika Ratu Khema tiba di vihara, Sang Buddha sedang
membabarkan Dhamma kepada para pendengar. Dengan
kemampuan batin luar biasa Beliau, Sang Buddha membuat
penampakan seorang gadis muda yang sangat cantik muncul,
duduk tidak jauh dari Beliau, dan sedang mengipasi Sang
Buddha. Ketika Ratu Khema datang di ruang pertemuan, hanya
ia sendiri yang melihat gadis cantik tersebut. Membandingkan kecantikannya yang luar biasa dari gadis tersebut dengan
kecantikannya, Khema menyadari bahwa kecantikannya jauh
lebih rendah dibandingkan dengan gadis tersebut. Ketika Ratu lebih rendah dibandingkan dengan gadis tersebut. Ketika Ratu memperhatikan dengan seksama gadis tersebut, tiba-tiba
kecantikan gadis itu mulai memudar sedikit demi sedikit.
Akhirnya Ratu melihat seorang wanita tua jompo, yang kemudian berubah menjadi mayat, tubuhnya yang berbau busuk diserang
belatung. Segera pada saat itu, ratu Khema menyadari ketidakkekalan dan ketidak-berhargaan kecantikannya.
Sang Buddha mengetahui keadaan pikiran Ratu Khema,
kemudian Beliau berkata, "O Khema! Lihatlah baik-baik pada
tubuh lapuk ini yang terbalut di sekitar kerangka tulang, dan merupakan sasaran penyakit dan kelapukan. Lihatlah baik-baik tubuh ini yang dihargai sedemikian tinggi oleh orang bodoh.
Lihatlah pada ketidak-berhargaan kecantikan gadis muda ini."
Setelah mendengar hal itu, Ratu Khema mencapai tingkat
kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 347 berikut :
Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh
ke dalam arus (kehidupan),
seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang
dibuatnya sendiri.
Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu,
mereka meniggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta
melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Ratu Khema
mencapai tingkat kesucian arahat dan diterima dalam pasamuan bhikkhuni serta menjadi "murid utama wanita" Sang Buddha.
bhikkhuni serta menjadi "murid utama wanita" Sang Buddha.
XXIV-15-Kisah Uggasena
Suatu saat rombongan pemain drama keliling yang terdiri atas lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang ke
Rajagaha. Mereka mengadakan pertunjukan di dalam lingkungan
istana raja Bimbisara selama tujuh hari. Di sana seorang penari muda yang merupakan putri seorang pemain akrobat bernyanyi
dan menari di atas sebuah galah bambu yang panjang.
Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan,
jatuh cinta dengan penari itu. Orang tuanya tidak dapat
mencegah keinginan putranya untuk menikah dengan gadis
tersebut. Ia menikahi penari muda itu dan mengikuti rombongan tersebut. Karena Uggasena bukan seorang penari juga bukan
pemain akrobat maka ia benar-benar tidak berguna bagi
rombongan tersebut. Sehingga saat rombongan itu pindah dari
satu tempat ke tempat lain, ia hanya membantu mengangkut
kotak-kotak, mengemudikan kereta, dan lain-lainnya.
Pada suatu saat seorang anak laki-laki lahir dari pasangan
Uggasena dan istrinya, sang penari. Kepada anak laki-lakinya, penari tersebut sering menyanyikan sebuah lagu seperti ini : "O
Kamu, putera seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan! O Kamu,
putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan
apapun!" Uggasena mendengar lagu itu. Ia mengetahui bahwa
istrinya menunjukkan hal itu kepadanya dan hal ini membuat ia istrinya menunjukkan hal itu kepadanya dan hal ini membuat ia sangat terluka dan tertekan. Maka ia pergi menemui ayah
mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar diajari
bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi
pemain akrobat yang trampil.
Suatu ketika, Uggasena kembali ke Rajagaha, dan
diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan
ketrampilannya di muka umum selama tujuh hari. Pada hari
ketujuh, sebatang galah yang panjang digunakan dan Uggasena
berdiri di atasnya. Dengan tanda-tanda yang diberikan dari
bawah, ia berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu. Saat itu Sang Buddha melihat Uggasena dalam batin Beliau dan
mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk
mencapai tingkat kesucian arahat.
Kemudian Sang Buddha memasuki kota Rajagaha,
berusaha agar orang-orang (penonton) mengalihkan perhatiannya kepada Beliau, dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena atas prestasi akrobatiknya. Ketika Uggasena melihat bahwa ia
sedang diabaikan dan tidak diacuhkan, ia hanya duduk di atas galah, merasa sangat tidak puas dan tertekan.
Sang Buddha menyapa Uggasena, "Uggasena, orang
bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada
kelompok-kelompok kehidupan (khandha), dan berjuang untuk
mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir." Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 348 berikut
Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang maupun
Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang maupun
sekarang (=kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan)
dan capailah "Pantai Seberang" (=nibbana).
Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu, maka
engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Uggasena yang
masih berada di atas galah, mencapai tingkat kesucian arahat. Ia turun dan segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang
Buddha XXIV-16-17. Kisah Culadhanuggaha,
Pemanah yang Trampil
Suatu ketika seorang bhikkhu muda menerima dana makanan
pada salah satu tempat berteduh yang khusus dibuat untuk para bhikkhu di dalam kota. Setelah makan ia merasa ingin minum. Ia pergi ke suatu rumah dan meminta air minum, seorang gadis
keluar untuk memberinya air minum. Begitu melihat bhikkhu
muda tersebut, gadis itu jatuh cinta kepadanya. Ia mengundang bhikkhu muda itu untuk datang ke rumahnya bila merasa haus
dengan harapan agar dapat membujuk bhikkhu muda tersebut.
Setelah beberapa waktu, ia mengundang bhikkhu muda
tersebut ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Pada hari
itu, ia berkata kepada bhikkhu muda itu bahwa ia mempunyai
segala sesuatu yang ia inginkan dalam rumah, tetapi tidak ada lelaki yang merawatnya, dan sebagainya. Mendengar kata-kata
ini, bhikkhu muda menangkap isyarat tersebut dan ia merasa
makin terikat pada gadis yang menarik itu. Ia menjadi sangat tidak puas dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu dan
menjadi kurus. Para bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada
Sang Buddha. Sang Buddha mengundang bhikkhu muda tersebut, dan
berkata padanya, "Anak-Ku, dengarkan Aku. Gadis muda ini
akan menyebabkan keruntuhanmu seperti yang telah dia lakukan padamu dalam kehidupanmu yang lampau.
Dalam salah satu kehidupanmu yang lampau, kamu adalah
seorang pemanah yang sangat trampil dan ia adalah istrimu. Pada suatu kesempatan, ketika kamu berdua sedang dalam
perjalanan, kamu bertemu dengan sekelompok orang jalanan.
Istrimu jatuh cinta dengan pemimpin kelompok itu. Ketika kamu dan pemimpin kelompok itu sedang terlibat dalam satu
perkelahian, kamu berteriak pada istrimu agar memberikan
pedangmu. Tetapi istrimu memberikan pedang itu pada
pemimpin kelompok yang segera membunuhmu. Jadi, ia adalah
penyebab kematianmu. Sekarang juga, ia akan menjadi
penyebab kehancuranmu jika kamu mengikutinya dan
meninggalkan pasamuan bhikkhu demi kepentingannya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 349 dan 350
berikut : Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu, dan
hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja, maka nafsu keinginannya akan terus bertambah. Sesungguhnya orang seperti itu hanya akan memperkuat ikatan belenggunya sendiri .
Orang yang bergembira dalam menenangkan pikirannya,
tekun merenungkan hal-hal yang menjijikkan (sebagai objek
perenungan dalam samadhi) dan selalu sadar, maka ia akan
mengakhiri nafsu-nafsu keinginannya dan menghancurkan
belenggu Mara. Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
khotbah Dhamma itu berakhir.
XXIV-18-19.Kisah Mara
Pada suatu waktu, sejumlah besar bhikkhu tiba di Vihara
Jetavana. Untuk memberi tempat menginap bagi para bhikkhu
tamu, Samanera Rahula harus pergi dan tidur dekat pintu, tepat di luar kamar Sang Buddha. Mara ingin mengganggu Sang
Buddha melalui putranya, ia mengubah badan menjadi gajah, dan membelit kepala samanera itu dengan belalainya serta membuat suara keras dengan harapan untuk menakut-nakutinya. Tetapi
Rahula tidak bergerak. Sang Buddha dari kamar-Nya


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui apa yang sedang terjadi dan berkata, "O, Mara licik!
Bahkan seratus sepertimu tidak akan mampu menakut-nakuti
anakKu. AnakKu tidak takut, ia bebas dari nafsu, ia waspada, dan ia bijaksana." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
351 dan 352 berikut ini :
Orang yang telah mencapai tujuan akhir, tidak lagi
mempunyai rasa takut,
noda batin serta nafsu keinginan, sesungguhnyalah ia telah
mematahkan ruji-ruji kehidupan.
Bagi orang suci seperti itu, tubuhnya merupakan tubuh
yang terakhir. Orang yang telah bebas dari nafsu keinginan dan
kemelekatan, pandai dalam menganalisa serta
memahami "Ajaran" beserta pasangan-pasangannya, maka
memahami "Ajaran" beserta pasangan-pasangannya, maka
ia patut disebut seorang "Pemilik Tubuh Terakhir" (=arahat), orang yang memiliki "Kebijaksanaan Agung", seorang manusia
agung. Mendengar kata-kata di atas, Mara menyadari bahwa
Sang Buddha mengetahui tipu muslihatnya dan segera
menghilang. XXIV-20-Kisah Upaka
Sang Buddha membabarkan syair 353 Kitab Suci
Dhammapada, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan
oleh Upaka, petapa bukan Buddhis, ketika Sang Buddha sedang
berjalan menuju Taman Rusa (Migadaya) tempat Kelompok
Lima Bhikkhu (Panca Vaggi) sedang berdiam. Sang Buddha
menuju ke sana untuk membabarkan Dhammacakkappavattana
Sutta pada Panca Vaggi itu, mitra lamanya, yaitu Kondana,
Bhaddiya, Vappa, Assaji, dan Mahanama.
Ketika Upaka melihat Sang Buddha Gotama, ia sangat
terkesan dengan pancaran sinar wajah Sang Buddha dan berkata kepada Beliau, "Kawan, Anda terlihat tenang dan murni;
bolehkah saya tahu siapa guru Anda?" Kepadanya, Sang
Buddha menjawab bahwa Beliau tidak mempunyai guru.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 353 berikut :
Aku telah mengalahkan semuanya.
Aku telah mengetahui semuanya.
Aku telah bebas dari semuanya.
Aku telah meninggalkan semuanya.
Setelah menghancurkan nafsu keinginan, Aku benar-benar
bebas. Setelah menyadari segala sesuatu melalui usaha sendiri,
Setelah menyadari segala sesuatu melalui usaha sendiri,
maka siapakah yang patut Ku-sebut Guru"
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Upaka tidak
memperlihatkan penerimaan ataupun penolakan, tetapi hanya
mengangguk beberapa kali dan pergi.
XXIV-21-Kisah Pertanyaan Yang Diajukan
Sakka Dalam suatu pertemuan para dewa si surga Tavatimsa, empat
pertanyaan diajukan, tetapi para dewa gagal memperoleh
jawaban yang benar. Akhirnya, Sakka membawa para dewa
tersebut menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Setelah
menjelaskan kesulitan mereka, Sakka mengajukan empat
pertanyaan berikut :
a. Di antara semua pemberian, manakah yang terbaik "
b. Di antara semua rasa, manakah yang terbaik "
c. Di antara semua kegembiraan, manakah yang terbaik "
d. Mengapa penghancuran nafsu dikatakan yang paling
unggul " Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Sang Buddha
menjawab, "O Sakka, Dhamma adalah termulia dari semua
pemberian, terbaik dari semua rasa, dan terbaik dari semua
kegembiraan. Penghancuran nafsu untuk mencapai tingkat
kesucian arahat, oleh karena itu terunggul dari segala
penaklukan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 354 berikut :
Pemberian "Kebenaran" (Dhamma) mengalahkan semua
pemberian lainnya; rasa "Kebenaran" (Dhamma) mengalahkan
pemberian lainnya; rasa "Kebenaran" (Dhamma) mengalahkan
semua rasa lainnya; kegembiraan dalam "Kebenaran" (Dhamma)
mengalahkan semua kegembiraan lainnya. Orang yang
telah menghancurkan nafsu keinginan
akan mengalahkan semua penderitaan.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Sakka berkata
kepada Sang Buddha, "Bhante, jika pemberian Dhamma
mengungguli semua pemberian, mengapa kami tidak diundang
untuk berbagi jasa ketika pemberian Dhamma dilakukan"
Bhante, saya mohon, mulai sekarang, kami diberi pembagian
jasa atas perbuatan baik yang telah dilakukan." Kemudian Sang Buddha meminta semua bhikkhu untuk berkumpul dan
menasehati mereka untuk membagi jasa kepada semua makhluk
atas semua perbuatan baik mereka.
Sejak saat itu, menjadi suatu kebiasaan untuk mengundang
semua makhluk dari tiga puluh satu alam kehidupan (=bhumi)
untuk datang, dan berbagi jasa kapanpun suatu perbuatan baik dilakukan.
XXIV-22-Kisah Orang Kaya Yang Tidak
Memiliki Anak Suatu ketika, Raja Pasenadi dari Kosala datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia menjelaskan kepada Sang
Buddha bahwa ia terlambat datang karena pada pagi hari itu
seorang kaya telah meninggal dunia di Savatthi tanpa
meninggalkan ahli waris. Hal ini menjadikannya harus mengambil alih semua kekayaan orang itu. Raja berkata perihal orang itu, yang meskipun sangat kaya namun sangat kikir. Saat orang itu masih hidup, ia tidak pernah memberikan apapun sebagai ujud
kemurahan hati. Ia menolak untuk membelanjakan uangnya
bahkan untuk dirinya sendiri, dan karenanya, makan sangat
hemat serta mengenakan pakaian dari kain yang kasar dan
murah. Mendengar hal ini Sang Buddha menceritakan kepada
raja serta para pengiringnya tentang orang itu pada saat
kehidupannya yang lampau. Dalam kehidupannya itu ia juga
seorang kaya. Suatu hari ketika seorang Paccekabuddha datang dan
berdiri untuk berpindapatta di depan rumahnya. Ia berkata pada istrinya untuk mempersembahkan sesuatu kepada
Paccekabuddha. Istrinya berpikir sangat jarang suaminya
memberi ijin untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Maka
istrinya mengisi penuh mangkok Beliau dengan makanan. Orang
kaya tersebut sekali lagi bertemu dengan Paccekabuddha
kaya tersebut sekali lagi bertemu dengan Paccekabuddha
tersebut dalam perjalanan pulang ke rumah dan ia melihat pada mangkok makanannya. Mengetahui bahwa istrinya telah
mempersembahkan makanan yang baik dalam jumlah banyak, ia
berpikir, "Oh, bhikkhu ini hanya akan tidur nyenyak setelah
makan enak. Akan lebih baik bila pelayan-pelayanku yang diberi makanan sebaik itu. Paling tidak, mereka akan memberiku
pelayanan yang lebih baik." Dengan kata lain, ia menyesal bahwa ia telah menyuruh istrinya untuk mempersembahkan dana
makanan pada Paccekabuddha.
Orang ini mempunyai seorang kakak yang juga kaya.
Kakaknya hanya mempunyai satu orang anak lelaki. Karena iri
hati atas kekayaan kakaknya, ia telah membunuh keponakannya
yang masih muda dan karenanya ia mewarisi secara tidak sah
kekayaan kakaknya setelah meninggal dunia.
Karena orang tersebut telah mempersembahkan dana
makanan pada Paccekabuddha, ia menjadi orang kaya dalam
kehidupannya sekarang. Karena ia menyesal telah mendanakan
makanan pada Paccekabuddha maka ia tidak punya keinginan
untuk membelanjakan apapun bahkan untuk dirinya sendiri.
Karena ia telah membunuh keponakannya sendiri untuk
mendapatkan kekayaan kakaknya, ia telah menderita dalam
alam neraka (niraya) selama tujuh kali kehidupan. Perbuatan
buruknya telah berakhir sehingga ia terlahir kembali ke alam manusia. Tetapi di sini ia juga tidak melakukan perbuatan baik.
Raja kemudian berkata, "Bhante, meskipun ia telah hidup
di sini dalam masa kehidupan seorang Buddha, ia tidak pernah di sini dalam masa kehidupan seorang Buddha, ia tidak pernah mempersembahkan apapun kepada Sang Buddha maupun
murid-muridNya. Sesungguhnya, ia telah kehilangan kesempatan yang sangat baik, ia sangat bodoh."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 355 berikut :
Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh, tetapi
tidak menghancurkan mereka yang mencari "Pantai Seberang"
(=nibbana). Karena nafsu keinginan mendapatkan kekayaan,
orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri, dan juga
akan menghancurkan orang lain.
XXIV-23-26. Kisah Deva Ankura
Sang Buddha mengunjungi alam dewa Tavatimsa untuk
membabarkan Abhidhamma kepada Dewa Santusita, yang
sebelumnya adalah ibu kandung Beliau. Selama masa itu,
terdapat dewa yang bernama Indaka di alam dewa Tavatimsa.
Indaka, dalam kehidupannya yang lampau adalah seorang pria,
yang telah mempersembahkan sedikit dana makanan pada
Anuruddha Thera. Karena perbuatan baik ini dilakukan kepada
seorang Thera dalam masa keberadaan ajaran Buddha, maka ia
mendapat pahala berlipat ganda. Kemudian, setelah kematian,
dia dilahirkan kembali dalam alam Tavatimsa dan menikmati
kemewahan alam dewa. Pada saat itu, terdapat dewa lain yang
bernama Ankura di alam dewa Tavatimsa yang telah banyak
memberikan dana; jauh lebih banyak dari pada apa yang telah
Indaka berikan. Tetapi dana itu dilakukan di luar masa
keberadaan ajaran Buddha. Sehingga meskipun dananya besar
dan banyak, ia menikmati pahala kehidupan dewa dalam ukuran
yang lebih kecil dari pada Indaka yang telah mempersembahkan sangat sedikit dana.
Ketika Sang Buddha berada di Tavatimsa, Ankura
bertanya kepada Beliau alasan ketidak-sesuaian perolehan
pahala itu. Kepadanya Sang Buddha menjawab, "O Dewa!
Ketika memberikan dana kamu seharusnya memilih kepada
siapa kamu memberi, karena perbuatan dana seperti halnya
siapa kamu memberi, karena perbuatan dana seperti halnya
menanam bibit. Bibit yang ditanam di tanah yang subur akan
tumbuh menjadi pohon atau tanaman yang kuat dan hebat, serta akan menghasilkan banyak buah; tetapi kamu telah menebarkan
bibitmu di tanah yang tandus, sehingga kamu memperoleh sangat sedikit."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 356 sampai
dengan 359 berikut ini :
Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang;
nafsu indria merupakan bencana bagi manusia. Karena itu dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari
nafsu indria akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang;
kebencian merupakan bencana bagi manusia. karena itu, dana
yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari
kebencian akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang;
ketidak-tahuan merupakan bencana bagi manusia. Karena itu,
dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas
dari ketidak-tahuan akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; iri
hati merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang
dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari iri hati
akan menghasilkan pahala yang besar.
XXV-1-2. Kisah Lima Bhikkhu
Suatu ketika terdapatlah lima bhikkhu yang berdiam di Savatti.
Masing-masing bhikkhu itu mempraktekkan pengendalian
terhadap salah satu dari lima indrianya dan mereka masingmasing menganggap bahwa apa yang ia praktekkan adalah yang
paling sulit. Sehingga terjadilah pertentangan pendapat mengenai hal itu; dan mereka tidak dapat mencapai suatu kesamaan
pendapat. Akhirnya mereka pergi menghadapSang Buddha
untuk menanyakan perihal itu.
Sang Buddha berkata kepada mereka, "Masing-masing
indria sama sulitnya untuk dikendalikan; tetapi semua bhikkhu harus mengendalikan kelima indria itu dan bukan hanya salah
satu indria saja. Hanya mereka yang telah mengendalikan seluruh indria akan tebebas dari proses tumimbal lahir."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 360 dan 361
berikut ini : Sungguh baik mengendalikan mata;
sungguh baik mengendalikan telinga;
sungguh baik mengendalikan hidung;
sungguh baik mengendalikan lidah.
Sungguh baik mengendalikan perbuatan;
sungguh baik mengendalikan ucapan;
sungguh baik mengendalikan ucapan;
sungguh baik mengendalikan pikiran;
Seorang bhikkhu yang dapat mengendalikan semuanya
akan terbebas dari semua penderitaan.
XXV-3-Kisah Seorang Bhikkhu Yang
Membunuh Angsa Suatu ketika, terdapatlah seorang bhikkhu muda yang sangat
mahir melempar batu. Ia mampu membidik objeknya dengan
tepat tanpa gagal. Suatu hari ketika ia duduk bersama dengan bhikkhu lain setelah selesai membersihkan diri di tepi sungai Aciravati, ia melihat dua ekor angsa yang sedang terbang. Ia bercerita pada temannya bahwa ia akan berusaha untuk memiliki salah satu dari dua angsa itu dengan melemparkan sebutir batu padanya. Ketika angsa tersebut mendengar kata-katanya, ia
menyembunyikan lehernya. Bhikkhu itu melemparkan sebuah
batu kecil kepada angsa itu. Batu kecil mengenai mata angsa, menembus masuk melewati salah satu mata angsa, dan keluar
melalui mata satunya lagi. Angsa menangis kesakitan, dan sangat menderita, akhirnya angsa jatuh meninggal dunia di depan kaki bhikkhu muda itu.
Bikkhu lain yang menyaksikan kejadian itu membawa
bhikkhu muda tersebut menghadap Sang Buddha. Sang Buddha
menegur bhikkhu muda itu dan berkata: "Anakku, mengapa
engkau membunuh angsa itu " Mengapa justru kamu, sebagai
anggota Sangha, yang seharusnya mengembangkan cinta kasih
kepada semua makhluk hidup dan berjuang sungguh-sungguh
untuk membebaskan diri dari kelahiran kembali " Meskipun
selama periode di luar keberadaan Dhamma, seorang bijaksana
selama periode di luar keberadaan Dhamma, seorang bijaksana
mempraktekkan moralitas dan taat pada peraturan. Seorang
bhikkhu harus mengendalikan tangannya, kakinya, dan lidahnya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 362 berikut :
Seseorang yang mengendalikan tangan dan kakinya,
ucapannya dan pikirannya, yang bergembira dalam semadi dan
memiliki batin yang tenang, yang puas berdiam seorang diri,
maka orang lain menamakan dia seorang "bhikkhu".
XXV-4-Kisah Bhikkhu Kokalika
Bhikkhu Kokalika telah berkata kasar dan kejam kepada dua
murid utama Sang Buddha, Sariputta dan Maha Mogalana. Oleh
karena perbuatan buruknya itu Kokalika terkena musibah dan
meninggal dunia, lahir kembali di alam Neraka Paduma.
Mengetahui kejadian itu, para bhikkhu mengatakan bahwa
Kokalika telah mengalami penderitaan di alam neraka karena ia tidak bia mengendalikan lidahnya.
Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha berkata :
"Para bhikkhu, seorang bhikkhu hendaknya berusaha
mengendalikan lidahnya; tingkah-lakunya harus baik; pikirannya harus tenang, bisa dikendalikan, dan tidak mengejar objek-objek yang menyenangkan." Kemudian Sang Buddha membabarkan
syair 363 berikut :
Seorang bhikkhu yang mengendalikan lidahnya, yang
berbicara dengan bijaksana dan tidak sombong, yang dapat
menerangkan Dhamma beserta artinya, maka akan kedengaran
indah ucapannya.
XXV-5-Kisah Dhammarama Thera
Ketika beredar berita di kalangan para murid bahwa Sang
Buddha akan mangkat (parinibbana) dalam waktu empat bulan
lagi; banyak di antara para bhikkhu puthujjana, yang belum
mencapai tingkat kesucian, mengalami tekanan batin, merasa
kehilangan. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
Pada umumnya mereka berusaha berada dekat dengan Sang
Buddha, tidak ingin bepergian jauh dari Beliau.
Ketika itu ada seorang bhikkhu yang bernama
Dhammarama yang tinggal menyendiri dan tidak pergi mendekat
kepada Sang Buddha. Perhatian beliau diarahkan pada
perjuangannya untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha meninggal dunia. Ia melaksanakan meditasi


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pandangan Terang" (Vipassana Bhavana) dengan tekun.
Kawan-kawan bhikkhu yang lain tidak mengerti apa harapan
beliau dan apa yang sedang dilakukannya, mereka memiliki
pengertian keliru perihal kelakukan Bhikkhu Dhammarama itu.
Kawan-kawan bhikkhu tersebut bersama Bhikkhu
Dhammarama menemui Sang Buddha, dan mereka berkata
kepada Sang Bhagava : "Bhante, bhikkhu ini kelihatan tidak mau peduli, tidak menghormat, dan tidak berbakti kepada Bhante. Ia terlihat menyendiri pada saat para bhikkhu lain sedang berada di dekat Bhante."
Setelah kawan-kawan bhikkhu itu menceritakan semua
pandangannya, Bhikkhu Dhammarama dengan penuh hormat
menjelaskan kepada Sang Buddha apa yang sesungguhnya
merupakan harapannya, dan juga apa yang telah
dilaksanakannya dengan mempraktekkan Vipassana Bhavana.
Sang Buddha sangat puas dan menghargai apa yang telah
diungkapkan dan dilakukan oleh Bhikkhu Dhammarama,
kemudian berkata : "Anakku Dhammarama, engkau telah
berperilaku sangat baik. Seorang bhikkhu yang mencintai dan
menghormat kepada-Ku hendaknya berkelakuan seperti engkau.
Mereka yang mempersembahkan bunga, pelita, dan dupa
kepada-Ku tidaklah benar-benar memberi hormat kepada-Ku.
hanya mereka yang melaksanakan Dhamma, ajaran-Ku, adalah
benar-benar seseorang yang memberikan hormat kepada-Ku."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 364 berikut :
Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma dan
gembira dalam Dhamma,
yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan
Dhamma, maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan
Benar Yang Mulia.
Dhammarama Thera mencapai tingkat kesucian arahat,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XXV-6-7. Kisah Bhikkhu yang Berteman
Dengan Bhikkhu Pengikut Devadatta
Suatu ketika seorang bhikkhu murid Sang Buddha berteman
akrab dengan pengikut Devadatta. Ia sering berkunjung dan
tinggal selama beberapa hari di vihara tempat Devadatta
berdiam. Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada Sang
Buddha, bahwa terdapat seorang bhikkhu murid Sang Buddha
yang bergaul akrab dengan pengikut-pengikut Devadatta,
sehingga ia sering berkunjung, bahkan menginap beberapa hari, makan, tidur, dan menikmati berbagai fasilitas yang terdapat pada vihara milik Devadatta.
Sang Buddha mengundang bhikkhu itu, dan meminta
keterangan darinya. Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau
telah mendengar berita tentang kelakuan bhikkhu tersebut
apakah berita itu benar. Bhikkhu itu mengakui bahwa ia telah berdiam beberapa hari di vihara milik Devadatta, tetapi ia
berkata kepada Sang Buddha bahwa ia tidak mengikuti ajaran
Devadatta. Kemudian Sang Buddha menegur dan menunjukkan
bahwa apa yang bhikkhu itu lakukan sesungguhnya membuat ia
menjadi seperti pengikut Devadatta.
Kepada Bhikkhu itu Sang Buddha mengatakan : "AnakKepada Bhikkhu itu Sang Buddha mengatakan : "AnakKu, meskipun engkau tidak mengikuti ajaran Devadatta, tetapi engakau memperlakukan dirimu seperti salah satu pengikut
Devadatta. Seorang bhikkhu hendaknya puas dengan apa yang
telah diperolehnya, dan jangan iri hati terhadap apa yang
diperoleh orang lain. Seorang bhikkhu yang penuh dengan
kecemburuan pada perolehan bhikkhu lain tidak akan mencapai
pemusatan batin dan pandangan terang, atau jalan menuju
"Kebebasan Mutlak" (nibbana). Hanya bhikkhu yang puas
dengan apa yang telah ia peroleh akan mendapatkan pemusatan
pikiran, pandangan terang, dan jalan menuju "Kebebasan
Mutlak". Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 365 dan 366
berikut : Hendaklah ia tidak mencela apa yang telah ia peroleh, juga
hendaklah ia tidak merasa iri terhadapapa yang telah diperoleh orang lain.
Seorang bhikkhu yang merasa iri terhadapapa yang
diperoleh orang lain, tidak akan dapat mencapai perkembangan dalam semadi.
Walaupun hanya memperoleh sedikit, tetapi apabila
seseorang bhikkhu tidak mencela
apa yang telah diperolehnya, maka para dewapun akan
memuji orang seperti itu,
yang memiliki kehidupan bersih serta tidak malas.
XXV-8-Kisah Dermawan Hasil Pertama
Pekerjaannya Ketika Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau
membabarkan syair 367 Kitab Suci Dhammapada, berkenaan
kisah seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berdana
lima macam hasil pertama yang diperoleh dari pekerjaannya
sebagai seorang petani. Hasil pertama pertanian yang diberikan sebagai dana diambil pada saat panen, saat menguliti beras, saat menyimpan beras, saat memasak beras, dan saat menaruh nasi
pada tempat nasinya.
Suatu hari Sang Buddha melihat brahmana dan isterinya itu
dengan kemampun batin luar biasa Beliau dan Beliau mengetahui bahwa saatnya sudah masak bagi brahmana dan isterinya
mencapai tingkat kesucian anagami. Oleh karena itu Sang
Buddha berkunjung ke tempat tinggal mereka dan berdiam diri di dekat pintu rumah brahmana untuk berpindapatta.
Pada saat itu brahmana sedang makan sambil melihat ke
bagian dalam rumahnya, sehingga ia tidak melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumahnya. Isteri brahmana yang sedang berdiri di dekat brahmana itu melihat Sang Buddha tiba, tetapi ia khawatir apabila suaminya melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumah untuk berpinda-patta, suaminya itu akan
memberikan seluruh nasi yang ada pada tempat nasinya kepada
Sang Buddha, sehingga ia harus menanak nasi lagi.
Dengan pikiran seperti itu wanita itu kemudian berdiri
menghalangi penglihatan suaminya, sehingga suaminya tidak bisa melihat Sang Buddha.Kemudian wanita itu pelahan-lahan
berjalan menghampiri Sang Buddha, ia menghormat dan berkata
kepada Sang Buddha, "Bhante, kita tidak bisa berdana makanan pada hari ini."
Tetapi Sang Buddha memutuskan untuk tidak beranjak
dari tempat Beliau berdiri. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat hal itu, isteri brahmana tidak dapat menahan diri, ia ketawa.
Oleh karena itu brahmana membalikkan dirinya dan
melihat Sang Buddha. Mengetahui apa yang dilakukan oleh
isterinya itu, brahmana menangis keras-keras sambil berkata : "
O, isteriku yang buruk, engkau telah meruntuhkan aku."
Segera brahmana mengambil tempat nasinya. Ia
menghampiri Sang Buddha dan memohon maaf sambil berkata,
"Bhante, silahkan menerima pemberian nasi ini meskipun saya
sudah mengambilnya sebagian." Kepada brahmana itu, Sang
Buddha membalas, "O brahmana, nasi apapun sesuai buat Ku,
apakah nasi itu belum diambil, atau sudah sebagian diambil,
bahkan apabila masih tersisa satu sendok."
Brahmana sangat gembira mendengar kata-kata Sang
Buddha. Pada saat yang sama ia merasa berbahagia karena
pemberian nasinya telah diterima oleh Sang Buddha.
Brahmana itu kemudian bertanya kepada Sang Buddha,
bagaimana seseorang bisa dikenal, dan disebut sebagai bhikkhu.
Sang Buddha mengetahui bahwa baik brahmana maupun
isterinya telah siap mendengarkan ajaran Beliau perihal batin dan badan-jasmani.
Oleh karena itu Beliau menjawab, "O brahmana,
seseorang yang tidak lagi terikat kepada batin dan badanjasmani disebut bhikkhu." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 367 berikut :
Apabila seseorang tidak lagi melekat pada konsepsi "aku"
atau "milikku",
baik yang berkenaan dengan batin maupun jasmani, dan
tidak bersedih terhadap apa yang tidak dimilikinya, maka orang seperti itu layak disebut bhikkhu.
Brahmana dan isterinya mencapai tingkat kesucian
anagami, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XXV-9-17. Kisah Bhikkhu-bhikkhu yang
Berjumlah Banyak
Terdapatlah seorang perempuan yang sangat kaya bertempat
tinggal di kota Kuraraghara, kira-kira berjarak 120 yojana dari kota Savatthi. Ia mempunyai seorang putera yang telah menjadi bhikkhu, namanya Sona. Pada suatu kesempatan, bhikkhu Sona
berjalan melewati kota kelahirannya.
Pada waktu bhikkhu Sona pulang menuju Vihara Jetavana,
ia bertemu dengan ibunya, dan ibunya mengundang bhikkhu
Sona untuk menerima sejumlah besar persembahan. Mengetahui
bhikkhu Sona dapat menguraikan Dhamma dengan baik, ibunya
juga memohon bhikkhu Sona untuk membabarkan Dhamma
kepadanya dan orang-orang lain di kota kelahirannya itu.
Bhikkhu Sona menerima permohonan tersebut. Ibunya
membangun sebuah bangsal Dhamma yang dapat menampung
banyak orang untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Ibu itu
juga mengundang banyak teman, tetangga, dan anggota
keluarganya untuk hadir dalam pembabaran Dhamma tersebut.
Ibu kaya itu meninggalkan rumahnya yang hanya dijaga oleh
seorang perempuan pembantu rumah tangga.
Ketika pembabaran Dhamma sedang berlangsung,
datanglah kawanan pencuri yang berjumlah sangat banyak ke
rumah ibu kaya itu. Pemimpin dari kawanan pencuri itu sengaja rumah ibu kaya itu. Pemimpin dari kawanan pencuri itu sengaja pergi ke bangsal Dhamma, tempat pembabaran Dhamma sedang
berlangsung, dan pemimpin itu berada dekat serta
memperhatikan gerak-gerik si ibu kaya. Dengan melakukan hal
itu sang pemimpin bermaksud agar dapat memberi kabar kepada
anak buahnya untuk segera melarikan diri apabila ibu kaya itu pulang ke rumahnya.
Ketika pembantu rumah tangga si ibu kaya mengetahui
banyak pencuri datang memasuki rumah majikannya, ia segera
melaporkan hal itu kepada si ibu kaya, tetapi si ibu hanya
menjawab: "Biarkan pencuri-pencuri itu mengambil seluruh
uangku, saya tidak peduli, tetapi engku jangan kemari lagi,
jangan mengganggu saya saat saya sedang mendengar Dhamma.
Engkau sebaiknya kembali saja."
Pembantu rumah tangga itu kembali ke rumah majikannya.
Kemudian pembantu rumah tangga itu melihat para pencuri
sedang mengambil barang-barang berharga terbuat dari perak
milik majikannya. Pembantu rumah tangga itu kembali pergi
menemui si ibu kaya di bangsal Dhamma, memberitahukan apa
yang sedang dilakukan oleh para pencuri. Tetapi, pembantu
rumah tangga itu mendapatkan jawaban yang sama seperti
semula. Ia pulang kembali ke rumah majikannya.
Selanjutnya pembantu rumah tangga melihat para pencuri
sedang mengambil barang-barang emas dan permata milik
majikannya. Ia pergi kembali melaporkan hal itu kepada
majikannya. Saat itu si ibu mengatakan : "O sayang, biarkanlah pencuri-pencuri itu mengambil apa yang mereka sukai; mengapa pencuri-pencuri itu mengambil apa yang mereka sukai; mengapa engkau datang kemari lagi dan mengganggu saya saat sedang
mendengarkan Dhamma " Mengapa engkau tidak pulang dan
tinggal di rumah saja seperti apa yang sudah saya katakan
padamu " Janganlah engkau mengganggu kembali mendekati
saya dan mengatakan perihal barang-barang atau pencuripencuri itu lagi."
Pemimpin para pencuri yang berada dekat dengan si ibu
itu mendengarkan semua perkataan yang sudah diucapkan oleh
si ibu, dan ia benar-benar mengagungi keyakinan ibu itu terhadap Dhamma. Kata-katanya juga menjadikan dirinya berpikir, "Jika kami mengambil barang-barang orang yang bijaksana seperti ibu ini, kami benar-benar akan terkutuk, kehidupan kami akan
mengalami kehancuran, dan bisa jadi badan kami akan hancur
berkeping-keping."
Pemimpin itu memperoleh penerangan batin, segera ia
pergi ke rumah si ibu dan menyuruh anak buahnya untuk
mengembalikan seluruh barang milik si ibu yang telah mereka
ambil. Kemudian ia mengajak pengikut-pengikutnya ke tempat si ibu berada. Ibu itu sedang mendengarkan Dhamma dengan
sepenuh hati di bangsal Dhamma.
Sona Thera mengakhiri pembabaran Dhamma-nya ketika
hari menjelang pagi hari. Ia turun dari tempat pembabaran
Dhamma (Dhamma-asana), dan menuju ke tempat duduk yang
telah disediakan.
Pemimpin para pencuri mendekati si ibu kaya, perempuan
bijaksana, memberi hormat kepadanya dan memperkenalkan
dirinya. Ia juga mengatakan kepada si ibu bahwa ia bersama
kawan-kawannya telah memasuki rumah si ibu dan mengambil
barang-barang berharga tetapi ia telah mengembalikan seluruh barang itu sesudah ia mendengar kata-kata si ibu kepada
pembantu rumah tangganya yang melaporkan kejadian pencurian
itu. Sang pemimpin beserta para pengikutnya memohon si ibu
untuk memaafkan segala perbuatan buruk yang telah mereka
lakukan. Selanjutnya mereka memohon kepada Sona Thera untuk
diterima sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha). Setelah
mereka ditahbiskan menjadi bhikkhu, sembilan ratus bhikhhu
baru itu menjadi bimbingan meditasi dari Sona Thera, dan
mereka pergi ke hutan untuk melatih diri bermeditasi di tengah-tengah kesunyian.
Dari jarak 120 yojana, Sang Buddha mengetahui kisah
para bhikkhu itu, dan memberikan sinar kebijaksanaan kepada
mereka sehingga seolah-olah Beliau berada di tengah-tengah
mereka. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 368 sampai
dengan 376 berikut :
Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih, dan
memiliki keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha, maka ia akan sampai pada keadaan damai (nibbana), yang merupakan
berhentinya hal-hal yang berkondisi (sankhara).
O bhikkhu, kosongkanlah perahu (tubuh) ini. Apabila telah
O bhikkhu, kosongkanlah perahu (tubuh) ini. Apabila telah
dikosongkan maka perahu ini akan melaju dengan pesat. Setelah memutuskan nafsu keinginan dan kebencian,
maka engkau akan mencapai nibbana.
Putuskanlah lima kelompok belenggu pertama (dari
sepuluh belenggu), dan singkirkanlah lima kelompok kedua dari sepuluh belenggu). Serta kembangkan lagi lima kekuatan
(keyakinan, perhatian, semangat, konsentrasi, dan
kebijaksanaan) secara sempurna.
Apabila seorang bhikkhu telah bebas dari lima belenggu,
maka ia disebut seorang "Penyeberang Arus" (sotapanna).
Bersemadilah, O bhikkhu! Jangan lengah! Jangan biarkan
pikiranmu diseret
oleh kesenangan-kesenangan indria! Jangan karena lengah
maka engkau harus
menelan bola besi yang membara!Dan jangan karena
terbakar maka engkau meratap,
"O, hal ini sungguh menyakitkan!"
Tak ada samadi dalam diri orang yang tidak memiliki
kebijaksanaan. Dan tidak ada kebijaksanaan dalam diri orang
yang tidak bersamadi. Orang yang memiliki samadi dan
kebijaksanaan sesungguhnya sudah berada di ambang pintu
Nibbana. Apabila seorang bhikkhu pergi ke tempat sepi, telah
menenangkan pikirannya,
menenangkan pikirannya,
dan telah dapat melihat Dhamma dengan jelas, akan
merasakan kegembiraan yang
belum pernah dirasakan oleh orang-orang biasa.
Bila seseorang dapat melihat dengan jelas akan timbul dan
lenyapnya kelompok kebidupan (khandha), maka ia akan
merasakan kegembiraan dan ketentraman batin.
Sesungguhnya, bagi mereka yang telah mengerti tak akan
ada lagi kematian.
Pertama-tama inilah yang harus dikerjakan oleh seorang
bhikkhu yang bijaksana, yaitu :
Mengendalikan indria-indria, merasa puas dengan apa
yang ada, menjalankan peraturan-peraturan (patimokkha), serta bargaul dengan teman kehidupan suci (sabrahmacari)
yang rajin dan bersemangat.
Hendaklah ia bersikap ramah dan sopan tingkah lakunya.
Karena merasa gembira
dalam menjalankan hal-hal tersebut, maka ia akan bebas
dari penderitaan.
Setiap akhir satu syair di atas dibabarkan, seratus dari


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembilan ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat.
XXV-18-Kisah Lima Ratus Bhikkhu
Lima ratus bhikkhu dari Savatthi, setelah memperoleh petunjuk objek meditasi dari Sang Buddha, pergi menuju hutan untuk
berlatih meditasi. Di hutan, mereka melihat bunga-bunga melati yang mekar di pagi hari dan jatuh dari pohonnya ke tanah pada sore hari. Kemudian para bhikkhu membuat keputusan untuk
berlatih keras membebaskan diri dari kekotoran batin seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya. Sang Buddha
dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui mereka
dari kamar harum. Kemudian Beliau mengirimkan sinar dan
membuat mereka merasakan kehadiran-Nya. Kepada mereka
Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Seperti halnya bungabunga akan terlepas dari pohonnya, demikian juga hendaknya
seorang bhikkhu berupaya keras melepaskan dirinya dari proses tumimbal lahir."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 377 berikut :
Seperti tanaman Vassika (pohon melati yang merambat)
menggugurkan bunga-bunganya sendiri yang layu kering, begitu pula hendaknya engkau, O bhikkhu, membuang nafsu dan
dendam. Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XXV-19-Kisah Santakaya Thera
Terdapat seorang Thera bernama Santakaya, yang dalam
kehidupan lampaunya hidup sebagai singa. Seperti biasa
dikatakan : bahwa singa-singa pada umumnya pergi seharian
mencari makan, kemudian akan beristirahat selama satu minggu berikutnya tanpa bergerak di dalam gua. Santakaya Thera yang hidup sebagai singa dalam kehidupannya yang lampau
mempunyai kebiasaan juga seperti singa. Ia gergerak sangat
sedikit, geraknya sangat pelan dan pasti, dan ia biasanya tenang serta terpusat. Bhikkhu-bhikkhu lain merasa sangat aneh melihat kelakuannya, mereka memberitahukan hal itu kepada Sang
Buddha. Setelah mendengar keterangan dari para bhikkhu, Sang
Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, seorang
bhikkhu yang tenang dan terpusat; ia akan berperilaku seperti Santakaya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 378 berikut :
Seorang bhikkhu yang memiliki perbuatan, ucapan, serta
pikiran yang tenang dan terpusat,
yang telah dapat menyingkirkan hal-hal duniawi, maka ia
adalah orang yang benar-benar damai.
Santakaya Thera mencapai tingkat kesucian arahat, setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
khotbah Dhamma itu berakhir.
XXV-20-21. Kisah Nangalakula Thera
Nangala adalah seorang buruh tani yang bekerja pada seorang
petani. Suatu hari seorang bhikkhu melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Sang bhikkhu
bertanya kepadanya apakah ia berminat menjadi seorang
bhikkhu. Ketika ia menyetujui sang bhikkhu membawanya ke
vihara, dan mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Setelah diterima dalam Pasamuan Bhikkhu seperti yang telah dinasehatkan oleh
gurunya, ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pada sebuah pohon tidak jauh dari vihara. Karena orang miskin itu
Pendekar Gelandangan 5 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Kekaisaran Rajawali Emas 4

Cari Blog Ini