Ceritasilat Novel Online

Kisah Sang Budha Dan Muridnya 7

Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Bagian 7


meninggalkan bajaknya untuk memasuki pasamuan, maka ia
dikenal dengan nama Nangala Thera (nangala artinya bajak).
Kehidupan di vihara lebih baik maka Nangala Thera
menjadi lebih sehat, dan berat badannya bertambah. Setelah
beberapa saat ia merasa bosan dengan kehidupannya sebagai
bhikkhu dan sering memikirkan untuk kembali menjadi
perumahtangga. Jika pikiran itu muncul, ia akan pergi ke pohon dekat
vihara, di mana bajak dan pakaian tuanya ditaruh. Di sana ia menegur dirinya sendiri, "O, orang tak tahu malu! Apakah kamu masih menginginkan kembali menggunakan pakaian tua ini dan
bekerja keras, hidup rendah sebagai buruh kasar ?" Setelah
berpikir seperti itu, ketidakpuasan terhadap kehidupan
bhikkhunya menjadi sirna, dan ia kembali ke vihara. Ia pergi ke bhikkhunya menjadi sirna, dan ia kembali ke vihara. Ia pergi ke pohon itu setiap tiga atau empat hari untuk merenungkan kembali tentang masa lalunya yang tidak menyenangkan.
Jika para bhikkhu bertanya kepadanya tentang seringnya
ia berkunjung ke pohon itu, ia menjawab, "Saya pergi ke tempat guru saya."
Waktu berlalu, karena ketekunannya, akhirnya ia
mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia berhenti ke pohon lagi.
Para bhikkhu lain memperhatikan hal itu, bertanya kepadanya,
"Mengapa engkau sekarang tidak lagi berkunjung kepada
gurumu?" Kepada mereka ia menjawab, "Saya pergi kepada
guru saya karena saya memerlukannya, tetapi sekarang saya
tidak memerlukan pergi kepadanya." Para bhikkhu mengerti apa maksud jawabannya itu, mereka pergi menghadap Sang Buddha
dan memberitahu, "Bhante, Nangala Thera menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat. Itu barangkali tidak benar; ia membual, ia berkata bohong."
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu
jangan berkata seperti itu perihal Nangala, ia tidak berkata bohong. Anak-Ku Nangala, dengan introspeksi diri dan
memperbaiki diri sendiri telah berhasil mencapai tingkat kesucian arahat." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 379 dan
380 berikut : Engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu
sendiri. O bhikkhu, bila engkau dapat menjagadirimu sendiri dan
O bhikkhu, bila engkau dapat menjagadirimu sendiri dan
selalu sadar,maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.
Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri.Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.Oleh karena itu
kendalikan dirimu sendiri, seperti pedagang kuda menguasai
kuda yang baik.
XXV-22-Kisah Vakkali Thera
Vakkali adalah seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha berpindapatta di dalam kota. Ia
sangat terkesan dengan kemulian Sang Buddha. Pada saat itu ia menjadi sangat tertarik dan hormat kepada Sang Buddha. Ia
memohon ijin untuk diterima dalam Pasamuan Bhikkhu sehingga
ia dapat selalu dekat dengan Sang Buddha.
Sebagai seorang bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan
Sang Buddha, ia tidak memperhatikan tugas kewajibannya
sebagai bhikkhu lagi, dan tidak berlatih meditasi.
Karena itu Sang Buddha berkata kepadanya, "Vakkali,
tidak akan bermanfaat bagimu yang selalu dekat dengan-Ku,
memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi, sebab
hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat Dhamma tidak akan melihat Saya." Ketika mendengar
kata-kata itu Vakkali sangat tertekan.
Ia meninggalkan Sang Buddha, dan memanjat bukit
Gijjhakuta untuk melakukan bunuh diri dengan cara melompat
dari puncak bukit.
Sang Buddha mengetahui kesedihan dan keputus-asaan
Vakkali. Karena sedih dan putus asa itu Vakkali akan
melepaskan kesempatan memperoleh tingkat kesucian. Oleh
karena itu Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada
karena itu Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada
Vakkali, membuat seolah-olah Beliau berada di hadapannya.
Ketika Sang Buddha berada dekat dengannya, segera Vakkali
melupakan segala kesedihannya, ia menjadi sangat gembira, dan yakin. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 381 berikut :
Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan
terhadap ajaran Sang Buddha,
seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai
(nibbana)disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.
Vakkali mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah
Dhamma itu berakhir.
XXV-23-Kisah Samanera Sumana
Samanera Sumana adalah murid dari Anuruddha Thera.
Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan memiliki kemampuan batin luar
biasa. Suatu saat, ketika gurunya, Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang berada di lereng pegunungan Himalaya, ia
mengambil air dari danau Anotatta yang jauhnya lima ratus
yojana dari vihara. Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya. Suatu hari, Anuruddha Thera membawa
Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu
sedang berdiam di Vihara Pubbarama sebuah vihara
persembahan Visakha.
Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu
Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang
telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersendau gurau
menanyakan apa ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat
mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para
bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang
masih muda. Sudah direncanakan oleh Sang Buddha bahwa beliau
berharap beberapa samanera mengambil air satu guci dari danau Anotatta. Y.A.Ananda mencari di antara para bhikkhu dan
samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat
samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat
melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A.Ananda meminta
Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari
danau Anotatta.
Ia mengambil sebuah guci emas besar milik vihara dan
segera membawa air dari danau Anotatta untuk Sang Buddha.
Seperti hal sebelumnya, ia pergi ke danau Anotatta dan kembali ke vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar
biasanya. Pada saat pertemuan para bhikkhu sore hari, para bhikkhu
bercerita kepada Sang Buddha perihal perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu,
seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan tekun dan
bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa
meskipun usianya masih muda." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 382 berikut :
Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda, namun
bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha, maka ia akan
menerangi dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
XXVI-1-Kisah Brahmana Yang Memiliki
Keyakinan Kuat Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan ajaran-Nya. Setelah mendengar
khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia
mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima
dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya,
ia memperlakukan mereka seperti arahat dan dengan hormat
mempersilahkan mereka untuk memasuki rumahnya. Mendapat
perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum
mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya.
Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para
bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia.
Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang
para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana
tersebut memperlakukan mereka semua seperti arahat.
Sang Buddha kemudian bertanya kepada mereka, apakah
mereka merasa bangga dan senang ketika mereka diperlakukan
seperti itu. Para bhikkhu menjawab tidak.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, " O, para bhikkhu
jika engkau tidak merasa bangga dan senang ketika
diperlakukan seperti arahat, maka engkau tidak bersalah
melanggar peraturan disiplin para bhikkhu yang manapun.
Kenyataan brahmana tersebut memperlakukan demikian karena
ia sangat setia pada para arahat. Jadi, murid-Ku, engkau harus berjuang keras mengurangi nafsu keinginan dan mencapai tingkat kesucian arahat." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
383 berikut : O, brahmana, berusalah dengan tekun memotong arus
keinginan dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria. Setelah
mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi,
O brahmana, engkau akan merealisasi nibbana, "Yang
Tidak Terciptakan".
XXVI-2-Kisah Tigapuluh Bhikkhu
Pada satu kesempatan, tiga puluh bhikkhu datang memberi
penghormatan kepada Sang Buddha. Y.A.Sariputta, yang
mengetahui bahwa waktu itu adalah saat yang matang dan sesuai bagi para bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian
arahat, mendekati Sang Buddha dan bertanya, semata-mata
hanya untuk kepentingan para bhikkhu tersebut. Pertanyaannya berbunyi demikian : "Apakah yang dimaksud dengan dua
Dhamma ?" Terhadap pertanyaan demikian, Sang Buddha menjawab,
"Sariputta! "Meditasi Ketenangan dan Meditasi Pandangan
Terang" adalah dua Dhamma tersebut."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 384 berikut :
Bila seorang brahmana telah mencapai akhir daripada dua
jalan semadi (pelaksanaan Meditasi Ketenangan dan Pandangan
Terang), Maka semua belenggu akan terlepas dari dirinya.
Karena mengerti dan telah memiliki pengetahuan, ia bebas
dari semua ikatan.
Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XXVI-3-Kisah Mara
Pada satu kesempatan, Mara datang menemui Sang Buddha,
menampakkan diri berujud manusia dan bertanya kepada Beliau,
"Bhante! Anda sering mengucapkan kata "param". Apakah arti
dari kata tersebut ?"
Sang Buddha yang mengetahui bahwa Mara-lah yang
bertanya tersebut, lalu menegurnya, "O, Mara yang jahat! Kata
"param" dan "aparam" tidak berarti apapun bagimu "param"
berarti "pantai seberang" yang hanya dapat dicapai oleh para arahat yang telah terbebas dari kekotoran batin."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 385 berikut :
Seseorang yang tidak lagi memiliki pantai sini (enam
landasan indria dalam) atau pantai sana (enam objek indria
luar),ataupun kedua-duanya (pantai sini dan pantai sana), tidak lagi bersedih dan tanpa ikatan, maka ia Kusebut seorang
"brahmana".
XXVI-4-Kisah Mara
Suatu hari, seorang brahmana berpikir sendiri, "Buddha Gotama menyebut para pengikutnya dengan "brahmana". Saya adalah
seorang brahmana jika dilihat dari kasta saya. Tidakkah saya juga disebut seorang brahmana ?" Setelah berpikir, ia pergi
menemui Sang Buddha dan mengutarakan pendapat tersebut.
Kepadanya, Sang Buddha menjawab, "Aku tidak
menyebut seseorang sebagai brahmana karena kastanya. Aku
hanya menyebut seseorang sebagai brahmana jika ia telah
mencapai tingkat kesucian arahat. " Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 386 berikut :
Seseorang yang tekun bersamadi, bebas dari noda,
tenang, telah mengerjakan apa yang harus dikerjakan, bebas dari kekotoran batin dan telah mencapai tujuan akhir (nibbana),
maka ia Kusebut seorang brahmana.
Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah
khotbah Dhamma itu berakhir
XXVI-5-Kisah Ananda Thera
Saat itu adalah hari purnama sidhi di bulan ketujuh (Assayuja), ketika Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala datang menemui
Sang Buddha. Raja tampak gemerlapan dengan tanda-tanda
kebesarannya kerajaan yang megah. Pada waktu itu Kaludayi
Thera juga sedang barada pada ruangan yang sama dan duduk
pada ujung kerumunan. Beliau sedang dalam keadaan
pencerapan kesadaran yang dalam (jhana). Tubuhnya bersinar
terang, dan berwarna keemasan. Dari langit, Y.A. Ananda
memperhatikan bahwa matahari sedang tenggelam dan bulan
baru saja muncul, baik matahari maupun bulan memancarkan
cahayanya. Y.A. Ananda memandang gemerlapnya cahaya dari raja,
sang thera, dan cahaya matahari dan bulan. Akhirnya, Y.A.
Ananda melihat Sang Buddha, dan tiba-tiba merasa bahwa
cahaya yang bersinar dari Sang Buddha jauh melampaui cahaya
yang lainnya. Karena melihat Sang Buddha bersinar dalam
kedamaian dan kemegahan Beliau, Y.A.Ananda segera
menghampiri Sang Buddha, dan menyambut dengan sorak sorai,
" O, Bhante ! Cahaya dari tubuh-Mu yang mulia jauh melampaui cahaya dari raja, cahaya dari sang thera, cahaya dari matahari dan cahaya dari bulan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 387 berikut :
Matahari bersinar di waktu siang. Bulan bercahaya di
waktu malam. Ksatria gemerlapan dengan seragam perangnya.
Brahmana bersinar terang dalam semadi.Tetapi, Sang Buddha (ia yang telah mencapai Penerangan Sempurna) bersinar dengan
penuh kemulian sepanjang siang dan malam.
XXVI-6-Kisah Seorang Pertapa Brahmana
Suatu ketika hiduplah seorang pertapa di Savatti. Suatu peristiwa berkesan pada dirinya, ketika Sang Buddha menggunakan istilah panggilan bagi semua bhikkhu pengikutNya yang meninggalkan
keduniawian dengan kata : "pabbajita". Karena ia juga seorang pertapa, maka ia seharusnya disebut juga seorang pabbajita
(yang meninggalkan keduniawian). Jadi ia pergi menemui Sang
Buddha dan bertanya mengapa ia tidak disebut seorang
pabbajita. Jawaban Sang Buddha terhadap pertanyaannya adalah
demikian : "Hanya karena seseorang adalah pertapa, seseorang tidak dapat begitu saja disebut seorang pabbajita; seorang
pabbajita juga harus mempunyai persyaratan lain." Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 388 berikut :
Karena telah membuang kejahatan, maka ia Kusebut
seorang "brahmana" ;
karena tingkah lakunya tenang,maka ia Kusebut seorang
"pertapa"(samana);
dan karena ia telah melenyapkan noda-noda batin, maka
ia Kusebut seorang "pabbajita"
(orang yang telah meninggalkan kehidupan berumah
tangga). Pertapa tadi mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
Pertapa tadi mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir
XXVI-7-8. Kisah Sariputta Thera
Y.A. Sariputta sering dipuji oleh banyak orang karena kesabaran dan pengendalian dirinya. Murid-muridnya biasa
membicarakannya demikian: "Guru kita adalah orang yang
memiliki kesabaran yang tinggi dan pengendalian diri yang luar biasa. Jika beliau diperlakukan kasar atau bahkan dipukul oleh orang lain, beliau tidak menjadi marah tetapi tetap tenang dan sabar."
Karena pembicaraan mengenai Y.A. Sariputta ini sering
terjadi, seorang brahmana yang mempunyai padanganan salah
mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan
memancing kemarahan Y.A. Sariputta.
Pada saat Y.A. Sariputta sedang berpindapatta, munculah
brahmana tersebut menghampiri beliau dari belakang dan
memukul punggung beliau dengan keras menggunakan tangan.
Sang Thera tidak berbalik untuk melihat siapa yang telah
menyerangnya, tetapi meneruskan perjalanannya seolah-olah
tidak ada apapun yang terjadi. Melihat keluhuran dan ketabahan dari sang Thera yang mulia tersebut, brahmana itu menjadi sangat terkejut. Ia berlutut di kaki Y.A. Sariputta, mengakui bahwa ia telah bersalah memukul sang Thera, dan meminta maaf.
Brahmana itu kemudian melanjutkan, "Yang Ariya, hendaknya
engkau memaafkanku, dengan senang hati datanglah ke rumahku
untuk menerima dana makanan."
untuk menerima dana makanan."
Sore harinya para bhikkhu lain memberitahu Sang Buddha
bahwa Y.A. Sariputta telah pergi untuk menerima dana makanan ke rumah seorang brahmana yang telah memukulnya. Lebih
lanjut, mereka menduga bahwa brahmana tersebut makin berani
dan akan melakukan hal yang sama terhadap para bhikkhu yang
lain. Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha menjawab,
"Para bhikkhu, seorang brahmana sejati tidak akan memukul
brahmana sejati lainnya; hanya orang biasa maupun brahmana
biasa yang akan memukul seorang arahat dengan kemarahan dan


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itikad jahat. Itikad jahat ini akan dilenyapkan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian anagami."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 389 dan 390
berikut : Janganlah seseorang memukul brahmana, juga janganlah
brahmana yang dipukul itu menjadi marah kepadanya. Sungguh
memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana,tetapi
lebih memalukan lagi adalah brahmana yangmenjadi marah
kepada orang yang telah memukulnya.
Tak ada yang lebih baik bagi seorang "brahmana"selain
menarik pikirannya dari hal-hal yang menyenangkan. Lebih cepat ia dapat menyingkirkan itikad jahat,maka lebih cepat pula
penderitaannya akan berakhir.
XXVI-9-Kisah Mahapajapati Gotami Theri
Mahapajapati Gotami adalah ibu tiri dari Buddha Gotama. Pada saat kematian Ratu Maya, tujuh hari setelah kelahiran Pangeran Siddhattha, Mahapajapati Gotami menjadi permaisuri dari raja Suddhodana. Pada waktu itu, putra kandungnya sendiri, Nanda, baru berusia lima hari. Ia rela anak kandungnya sendiri diberi makan oleh pembantu, dan dirinya sendiri memberi makan
Pangeran Siddattha, calon Buddha. Maka, Mahapajapati
Gotami telah melakukan pengorbanan besar bagi Pangeran
Siddhattha. Ketika Pangeran Siddhattha berkunjung ke Kapilavatthu
setelah mencapai Ke-Buddha-an, Mahapajapati Gotami datang
menemui Sang Buddha dan mohon agar kaum wanita juga
dijinkan untuk memasuki pasamuan bhikkhuni. Tetapi Sang
Buddha menolak memberi ijin. Kemudian, Raja Suddhodana
meninggal dunia setelah mencapai tingkat kesucian arahat.
Ketika Sang Buddha sedang berjalan di hutan Mahavana dekat
Vesali, Mahapajapati, disertai oleh lima ratus wanita, berjalan dari Kapilavatthu menuju Vesali. Mereka telah mencukur rambut mereka dan telah menggunakan jubah yang sudah dicelup. Di
sana, untuk kedua kalinya, Mahapajapati memohon kepada
Sang Buddha untuk menerima kaum wanita ke dalam pasamuan
bhikkhuni. Y.A. Ananda juga mendukung kehendak para wanita
tersebut. tersebut. Akhirnya Sang Buddha memenuhi kehendak itu dengan
syarat bahwa Mahapajapati hendaknya mematuhi delapan syarat
khusus (garudhamma). Mahapajapati bersedia mematuhi
garudhamma tersebut seperti yang diharapkan Sang Buddha.
Kemudian beliau menerima kaum wanita ke dalam pasamuan
bhikkhuni. Mahapajapati adalah wanita yang pertama kali diterima
dalam pasamuan bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Mahapajapati oleh para bhikkhu sesuai
peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.
Setelah berlangsungnya waktu, terpikir oleh beberapa
bhikkhuni bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak sah diterima sebagai seorang bhikkhuni karena tidak mempunyai seorang
pembimbing. Oleh karena itu Mahapajapati bukanlah seorang
bhikkhuni yang sesungguhnya. Berdasarkan pemikiran yang
demikian, mereka berhenti melakukan upacara uposatha dan
upacara vassa (pavarana) bersama Mahapajapati Gotami.
Mereka pergi menemui Sang Buddha, dan mengajukan
permasalahan bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak dengan
sah diterima dalam pasamuan bhikkhuni karena ia tidak
mempunyai pembimbing.
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Mengapa
kalian berkata demikian" Saya sendiri memberikan delapan
kewajiban khusus (garudhamma) kepada Mahapajapati, dan ia
telah memahami serta melakukan garudhamma seperti yang
telah memahami serta melakukan garudhamma seperti yang
Kuharapkan. Saya sendiri pembimbingnya dan adalah salah jika kalian mengatakan bahwa ia tidak mempunyai seorang
pembimbing. Kalian hendaknya tidak meragukan apapun yang
dilakukan oleh seorang arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 391 berikut :
Seseorang yang tidak lagi berbuat jahat melalui badan,
ucapan, dan pikiran,
serta dapat mengendalikan diri dalam tiga saluran
perbuatan ini, maka ia Kusebut seorang "brahmana".
XXVI-10-Kisah Sariputta Thera
Yang Ariya Sariputta lahir dari orangtua brahmana dari desa
Upatissa; sehingga ia diberi nama Upatissa. Ibunya bernama
Sari. Teman dekatnya adalah Kolita, seorang brahmana muda,
anak dari Moggali. Kedua anak muda ini sedang mencari ajaran yang benar, yang akan mengantar mereka menuju kebebasan
dari lingkaran kelahiran kembali. Keduanya mempunyai
keinginan yang kuat untuk memasuki kelompok religius.
Pertama-tama, mereka pergi kepada Sanjaya, tetapi
mereka tidak puas dengan ajarannya. Kemudian mereka
mengembara ke seluruh Jambudipa mencari seorang guru yang
dapat menunjukkan mereka jalan menuju ke keadaan tanpa
kematian. Tetapi pencarian mereka tidak membuahkan hasil.
Setelah beberapa waktu, mereka berpisah dengan kesepakatan
bahwa siapa yang menemukan dhamma sejati terlebih dahulu
akan memberitahu yang lain.
Pada suatu saat Sang Buddha tiba di Rajagaha, dengan
rombonganpara bhikkhu, termasuk Assaji Thera, salah satu dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggi). Ketika Assaji Thera sedang berjalan menerima dana makanan, Upatissa melihat sang thera, ia sangat terkesan dengan wajah dan penampilan thera yang mulia.
Sehingga Upatissa dengan penuh hormat mendekati sang thera
dan bertanya siapakah gurunya, ajaran apakah yang
diajarkannya, dan juga mohon secara singkat mengajarkan
diajarkannya, dan juga mohon secara singkat mengajarkan
ajarannya kepada dirinya.
Assaji Thera menjawab Upatissa tentang kedatangan Sang
Buddha dan perjalananNya di Vihara Veluvana dekat Rajagaha.
Sang thera juga mengutip satu bait yang terdapat dalam "Empat Kebenaran Mulia". Syair itu demikian :
Ye dhamma hetupppa bhava
tesam hetum tathagato aha
tesanca yo nirodho
evam vadi maha samano
Yang berarti : Sang Tathagata telah menjelaskan sebab dan juga
terhentinya semua fenomena yang muncul dari suatu sebab. Ini adalah ajaran yang telah disampaikan oleh pertapa Agung.
Ketika saat pertengahan syair ini diucapkan, Upatissa
mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Seperti telah dijanjikan bersama, Upatissa pergi menemui
temannya Kolita untuk memberitahukan bahwa ia telah
menemukan Dhamma sejati. Kemudian dua sahabat tersebut,
disertai dengan dua ratus lima puluh pengikutnya, pergi menemui Sang Buddha yang waktu itu berada di Rajagaha. Ketika
mereka tiba di Vihara Veluvana, mereka mohon izin untuk
memasuki pasamuan bhikkhu, dan keduanya, Upatissa dan
Kolita, beserta dua ratus lima puluh pengikutnya, diterima
sebagai bhikkhu. Upatissa, anak dari Sari, dan Kolita, anak dari sebagai bhikkhu. Upatissa, anak dari Sari, dan Kolita, anak dari Moggali, kemudian dikenal sebagai Sariputta dan Moggalana.
Segera setelah penerimaan mereka dalam pasamuan
bhikkhu, Sang Buddha menjelaskan Dhamma secara terperinci
kepada mereka. Moggalana dan Sariputta mencapai tingkat
kesucian Arahat masing-masing pada akhir hari ke tujuh dan hari ke lima belas.
Y.A.Sariputta selalu mengingat bahwa ia telah dapat
bertemu dengan Sang Buddha, dan mencapai keadaan tanpa
kematian melalui Y.A.Assaji. Jadi, ia selalu menghormat dengan cara membungkukkan badan dimana gurunya berada dan selalu
tidur dengan kepala menghadap ke arah yang sama.
Bhikkhu-bhikkhu lain yang tinggal bersamanya di Vihara
Jetavana salah mengartikan tindakannya dan berkata kepada
Sang Buddha, "Bhante! Y.A.Sariputta masih menyembah ke
bermacam-macam arah Timur, Selatan, Barat, Utara, Atas, dan
Bawah, seperti yang dilakukannya sebagai seorang brahmana
muda. Nampaknya ia belum meninggalkan kepercayaan
lamanya." Sang Buddha memanggil Yang Ariya Sariputta dan,
Sariputta menjelaskan pada Sang Buddha bahwa ia hanya
menghormat dengan membungkukkan badan kepada gurunya,
Y.A.Assaji, dan ia tidak menyembah ke bermacam-macam arah.
Sang Buddha puas dengan penjelasan yang diberikan oleh Y.A.
Sariputta dan berkata kepada bhikkhu-bhikkhu yang lain, "Para bhikkhu! Sariputta tidak menyembah ke bermacam-macam arah.
bhikkhu! Sariputta tidak menyembah ke bermacam-macam arah.
Ia hanya menghormat dengan membungkukkan badan kepada
gurunya, karena melalui dialah ia dapat mencapai "Keadaan
Tanpa Kematian". Adalah hal yang benar dan tepat baginya
untuk menghormat kepada guru seperti itu."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 392 berikut :
Apabila melalui orang lain seseorang dapat mengenal
Dhamma sebagaimana yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha,
maka hendaklah ia menghormati orang tersebut, seperti seorang brahmana menghormati api sucinya.
XXVI-11-Kisah Jatila, Seorang Brahmana
Suatu ketika seorang pertapa brahmana berpikir sendiri bahwa Sang Buddha menyebut pengikutnya "brahmana" dan bahwa
dirinya adalah brahmana karena kelahirannya, seharusnya juga disebut seorang "brahmana". Karena berpikir demikian, ia pergi menemui Sang Buddha dan mengemukakan pandangannya.
Tetapi Sang Buddha menolak pandangannya dan berkata, "O
brahmana, Aku tidak menyebut seseorang brahmana karena ia
membiarkan rambutnya terjalin atau hanya karena kelahirannya.
Aku menyebut seseorang brahmana; hanya jika ia secara penuh
memahami "Empat Kebenaran Mulia" ." Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 393 berikut :
Bukan karena rambut di jalin, keturunan, ataupun
kelahiran, seseorang menjadi brahmana.
Tetapi orang yang memiliki kejujuran dan kebajikan yang
pantas menjadi seorang "brahmana" , orang yang suci.
XXVI-12-Kisah Seorang Brahmana Penipu
Suatu ketika, seorang brahmana penipu memanjat sebatang
pohon dekat batas kota Vesali dan membiarkan dirinya
tergantung terbalik seperti seekor kelelawar pada salah satu cabang/ranting pohon tersebut. Dari posisi yang sangat aneh ini, ia terus berkomat-kamit, "O, manusia! Bawakan aku seratus
kepala sapi, banyak keping perak dan sejumlah budak. Jika
kamu tidak membawakannya untukku, dan jika aku jatuh dari
pohon ini dan meninggal dunia, maka kotamu ini pasti akan
hancur." Orang-orang kota tersebut, karena takut bahwa
kotanya akan hancur jika brahmana tersebut jatuh dan meninggal dunia, membawakan semua yang dimintanya dan memohon
dengan sangat padanya untuk turun.
Para bhikkhu yang mendengar kejadian ini memberitahu
Sang Buddha, dan Sang Buddha menjawab bahwa seorang
penipu hanya dapat memperdayai orang-orang bodoh tetapi
bukan orang-orang yang bijaksana. Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 394 berikut :
Wahai orang bodoh, apa gunanya engkau menjalin
rambutmu serta mengenakan pakaian kulit menjangan"Engkau
hanya membersihkan bagian luarmu, tetapi hatimu masih penuh
dengan kotor XXVI-13-Kisah Kisagotami
Pada suatu kesempatan, Sakka, raja dewa, datang bersama
dengan para pengikutnya untuk menghormat Sang Buddha. Pada
saat yang bersamaan, Kisagotami Theri, dengan kemampuan
batin luar biasa (kesaktian) yang dimilikinya datang melalui angkasa untuk menghormat Sang Buddha. Tetapi ketika ia
melihat Sakka dan rombongannya sedang menghormat Sang
Buddha, ia menarik diri.
Sakka, yang melihat wanita tersebut, bertanya kepada
Sang Buddha siapakah wanita tersebut, dan Sang Buddha
menjawab, "O, Sakka! Ia adalah muridKu, Kisagotami. Suatu
ketika, ia datang kepadaKu dengan dukacita dan penderitaan
karena kehilangan anak laki-lakinya dan Aku membuatnya
melihat kenyataan alamiah tentang ketidak-kekalan, ketidakpuasan dan ketanpa-intian dari segala sesuatu yang berkondisi.
Sebagai hasilnya ia mencapai tingkat kesucian sotapatti. Setelah masuk dalam pasamuan bhikkhuni, ia menjadi seorang arahat. Ia adalah salah satu dari pengikut wanita utama-Ku, dan tidak ada bandingnya dalam hasil latihan pertapaan, yang mengenakan
jubah yang terbuat dari potongan-potongan kain tak terpakai."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 395 berikut :
Seseorang yang mengenakan jubah kain bekas
(pamsukula), kurus, otot-otot terlihat pada seluruh tubuhnya, bersemadi seorang diri dalam hutan "maka ia Ku-sebut seorang
"brahmana"
XXVI-14-Kisah Seorang Brahmana
Suatu ketika, seorang brahmana dari Savatthi berpikir bahwa
karena Sang Buddha menyebut para pengikutnya "brahmana", ia
seharusnya juga disebut seorang "brahmana" karena ia lahir dari orang tua brahmana. Ketika ia menceritakan hal ini kepada Sang Buddha, Sang Buddha memberi jawaban padanya, "O,
brahmana! Aku tidak menyebut seseorang sebagai seorang
brahmana hanya karena ia dilahirkan oleh orang tua brahmana.
Aku menyebutnya seorang brahmana hanya jika ia terbebas dari kekotoran batin dan telah memotong semua keterikatan pada
kehidupan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 396 berikut :
Aku tidak menyebutnya seorang "brahmana" hanya karena
ia berasal dari keluarga brahmana
atau karena ia lahir dari kandungan seorang ibu brahmana.
Apabila dirinya masih penuh dengan noda, maka ia
hanyalah seorang brahmana karena keturunan. Tetapi orang yang tanpa noda dan telah bebas dari semua ikatan, maka ia Kusebut seorang "brahmana".
XXVI-15-Kisah Uggasena, Anak dari
Seorang Hartawan
kisah ini merupakan kelanjutan Bab XXIV nomor (6)]
Setelah menikah dengan seorang penari dari suatu
rombongan sirkus, Uggasena dilatih oleh ayah mertuanya yang
merupakan seorang pemain akrobat, sehingga ia menjadi sangat ahli di bidang akrobatik. Suatu hari ketika ia sedang datang mendemonstrasikan keahliannya, Sang Buddha datang ke tempat
itu. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Uggasena
mencapai tingkat kesucian arahat, ketika ia sedang melakukan atraksi yang hebat sekali di puncak dari sebatang galah yang panjang.
Setelah itu, ia turun dai galah dan memohon dengan sangat
kepada Sang Buddha untuk menerimanya sebagai seorang
bhikkhu dan kemudian ia diterima dalam pasamuan bhikkhu.
Suatu hari, ketika para bhikkhu yang lain menanyakan
padanya apakah ia tidak mempunyai segala macam perasaan
takut ketika sedang turun dari tempat yang amat tinggi (sekitar sembilan puluh kaki), ia mengatakan tidak. Para bhikkhu
tersebut menanggapi dan mengartikan hal itu sebagai cara
Uggasena untuk menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Oleh karena itu, mereka pergi menemui Sang Buddha dan
Oleh karena itu, mereka pergi menemui Sang Buddha dan
berkata, "Bhante! Uggasena menyatakan diri sebagai seorang
arahat; dia pasti mengatakan suatu kebohongan." Kepada
mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, seseorang
yang telah memotong semua belenggu, seperti murid-Ku
Uggasena, tidak lagi memiliki ketakutan." Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 397 berikut :
Ia telah memotong semua belenggu, tidak lagi gemetar,
yang bebas dan telah mematahkan semua ikatan, maka ia
Kusebut seorang "brahmana".
XXVI-16-Kisah Dua Brahmana
Pada suatu ketika tinggalah di Savatthi dua orang brahmana,
yang masing-masing mempunyai seekor sapi jantan. Masingmasing menyatakan bahwa sapi jantan miliknyalah yang lebih
baik dan lebih kuat. Akhirnya, mereka setuju untuk membawa
hewan milik mereka ke dalam suatu uji coba.
Mereka pergi ke tepi sungai Aciravati dan mengisi sebuah
gerobak dengan pasir. Satu demi satu sapi-sapi tersebut menarik gerobak tersebut, tetapi sia-sia, karena gerobak tersebut
tidaklah bergerak dan hanya talinya yang putus.
Para bhikkhu yang melihat hal tersebut
memberitahukannya kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha
berkata kepada mereka, "Para bhikkhu! Adalah sangat mudah
untuk memutuskan tali pengikat yang dapat engkau lihat dengan matamu; siapapun dapat memutuskannya atau memotongnya.
Tetapi murid-Ku, seorang bhikkhu, seharusnya memotong ikatan itikad jahat, dan tali kulit dai nafsu keinginan yang ada di dalam dirimu dan yang mengikatmu."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 398 berikut :
Ia yang telah memotong sabuk kebencian, tali kulit nafsu
keinginan dan tali rami pandangan keliru serta semua kekotoran batin laten (anusaya); ia yang telah menyingkirkan kayu
penghalang (kebodohan) dan menyadari kebenaran, maka ia
penghalang (kebodohan) dan menyadari kebenaran, maka ia
Kusebut seorang "brahmana"
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XXVI-17-Kisah Brahmana Bersaudara
Yang Kasar

Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suatu ketika ada seorang brahmana, yang istrinya mempunyai
kebiasaan latah/mengatakan tanpa berpikir terlebih dahulu
beberapa kata-kata kapan saja ia bersin, atau ketika
sesuatu/seseorang menyentuhnya tanpa sadar. Suatu hari,
brahmana itu mengundang beberapa teman-temannya untuk
makan dan tiba-tiba istri brahmana mengucapkan beberapa kata tanpa dipikir terlebih dahulu. Karena ia adalah seorang
sotapanna, kata-kata "Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammasambuddhassa" secara otomatis keluar dari mulutnya.
Kata-kata pemuliaan bagi Sang Buddha ini sangat tidak disukai oleh suaminya, yang seorang brahmana. Sehingga, dalam
kemarahannya, ia pergi menemui Sang Buddha berharap untuk
mengajukan beberapa pertanyaan yang menantang Sang
Buddha. Pertanyaan pertamanya adalah, "Apakah yang harus kita
bunuh untuk dapat hidup dengan bahagia dan damai?" dan
pertanyaan keduanya adalah, "Membunuh Dhamma yang mana
Anda setujui?"
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Sang Buddha
menjawab, "O, brahmana untuk dapat hidup dengan bahagia dan
damai, seseorang harus dapat membunuh kebencian (dosa).
Membunuh kebencian seseorang adalah yang disenangi dan
dipuji oleh para Buddha dan para arahat."
Setelah mendengar kata-kata Sang Buddha, brahmana
tersebut menjadi sangat terkesan dan puas dengan jawaban
tersebut, sehingga ia mohon untuk dijinkan masuk dalam
pasamuan bhikkhu. Ia diterima masuk dalam pasamuan bhikkhu
dan kelak ia menjadi seorang arahat.
Brahmana ini mempunyai seorang saudara laki-laki yang
sangat terkenal karena kata-kata hinaannya dan dikenal sebagai Akkosaka Bharadvaja, Bharadvaja yang suka menghina/berkata
kasar. Ketika Akkosaka Bharadvaja mendengar bahwa saudara
laki-lakinya telah masuk dalam pasamuan bhikkhu, ia menjadi
sangat marah. Ia langsung pergi ke vihara dan berkata kasar
kepada Sang Buddha.
Sang Buddha pada gilirannya bertanya, " O,brahmana,
kita misalkan, engkau menawarkan beberapa makanan kepada
beberapa tamu dan mereka meninggalkan rumah tanpa
mengambil makanan tersebut. Karena tamu tersebut tidak
menerima makananmu itu, kemudian makanan itu menjadi milik
siapa ?" Brahmana tersebut menjawab, bahwa makanan itu
menjadi miliknya.
Setelah menerima jawaban tersebut Sang Buddha berkata,
"Dengan cara yang sama, O brahmana, karena Aku tidak
menerima hinaan/kata-kata kasarmu, maka hinaan tersebut akan kembali kepadamu."
kembali kepadamu."
Akkosaka Bharadvaja dengan segera menyadari
kebijaksanaan dari kata-kata tersebut dan ia menaruh rasa
hormat kepada Sang Buddha. Ia juga memasuki pasamuan
bhikkhu, kemudian ia menjadi seorang Arahat.
Setelah Akkosaka Bharadvaja memasuki kelompok, dua
saudara laki-laki ini juga datang menemui Sang Buddha dengan tujuan yang sama yaitu menghina/berkata kasar kepada Sang
Buddha. Mereka juga dibuat melihat cahaya Kebenaran oleh
Sang Buddha dan mereka juga, pada gilirannya memasuki
pasamuan. Akhirnya, mereka berdua juga menjadi arahat.
Suatu sore pada saat berkumpulnya para bhikkhu, para
bhikkhu berkata kepada Sang Buddha, "O betapa indahnya dan
betapa agungnya kebajikan Sang Buddha ! Empat brahmana
bersaudara datang kemari untuk menghina Sang Buddha;
daripada berdebat dengan mereka; Beliau membuat mereka
melihat cahaya, dan sebagai hasilnya, Sang Buddha telah menjadi pelindung bagi mereka."
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu!
karena Aku sabar dan menahan diri dan tidak melakukan
kesalahan kepada mereka yang melakukan kesalahan
kepadaKu, Aku menjadi pelindung bagi banyak orang. "
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 399 berikut :
Seseorang yang tidak marah, yang dapat menahan hinaan,
penganiayaan, dan hukuman
yang memiliki senjata kesabaran, maka ia Kusebut
yang memiliki senjata kesabaran, maka ia Kusebut
seorang "brahmana"
XXVI-18-Kisah Sariputta Thera
Ketika Sang Buddha sedang menetap di Vihara Veluvana, Y.A.
Sariputta disertai dengan lima ratus bhikkhu, memasuki desa
Nalaka dan berdiri di muka pintu rumah ibunya sendiri untuk
berpindapatta. Ibunya mengundang mereka masuk ke dalam
rumah. Ketika ia sedang memberikan makanan kepada anaknya,
ia berkata, "O, kau pemakai barang yang tersisa, kau yang telah meninggalkan delapan puluh mata uang crore, untuk menjadi
seorang bhikkhu, kau telah menghancurkan kami."
Kemudian ia memberikan makanan kepada para bhikkhu
yang lain, dan berkata kepada mereka dengan kasar, "Kalian
semua telah menggunakan anakku sebagai pembantu kalian,
sekarang makanlah makananmu."
Y.A. Sariputta tidak berkata apapun ataupun
menanggapinya tetapi beliau hanya dengan lembut hati
mengambil mangkuk tempat makanan dan pulang kembali ke
vihara. Setelah tiba di vihara, para bhikkhu memberitahu Sang
Buddha bagaimana Y.A. Sariputta dengan telah bersikap sabar, dan menahan diri terhadap kata-kata hinaan dari ibunya. Kepada mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa para arahat tidak
pernah marah, mereka tidak pernah kehilangan kesabarannya.
pernah marah, mereka tidak pernah kehilangan kesabarannya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 400 berikut :
Seseorang yang telah bebas dari kemarahan, taat, bajik,
bebas dari nafsu keinginan, terkendali
dan yang memiliki tubuh ini sebagai tubuh-akhir, maka ia
Kusebut seorang "brahmana"
XXVI-19-Kisah Uppalavanna Theri
Suatu waktu beberapa bhikkhu sedang membicarakan tentang
Arahat Uppalavanna Theri yang telah diganggu oleh Nanda
muda, yang kemudian ditelan bumi. Dalam kaitan ini, mereka
bertanya kepada Sang Buddha apakah arahat tidak menikmati
kesenangan hawa nafsu karena mereka mempunyai susunan
tubuh yang sama seperti layaknya orang lain.
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu!
Para arahat tidak menikmati kesenangan hawa nafsu; mereka
tidak menuruti kehendak dalam kesenangan hawa nafsu, karena
mereka tidak lagi melekat pada objek indria dan pada
kesenangan hawa nafsu, seperti air yang tidak melekat pada
daun teratai atau biji lada yang berada pada ujung jarum."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 401 berikut :
Seseorang yang tidak lagi melekat pada kesenangankesenangan indria, seperti air di atas daun teratai atau seperti biji lada diujung jarum, maka ia Kusebut seorang "brahmana"
XXVI-20-Kisah Seorang Brahmana
Tertentu Ada seorang budak muda milik seorang brahmana. Suatu hari,
setelah melarikan diri dari rumah tuannya, ia memasuki pasamuan bhikkhu, dan pada saatnya ia mencapai tingkat kesucian arahat.
Pada satu kesempatan, ketika ia sedang pergi untuk
berpindapatta dengan Sang Buddha, bekas tuannya dahulu,
seorang brahmana melihat dan menariknya dengan kuat dengan
menggunakan seutas tali. Ketika Sang Buddha menanyakan apa
permasalahannya, brahmana tersebut menjelaskan bahwa
bhikkhu muda tersebut pernah menjadi budaknya.
Kepadanya Sang Buddha berkata, "Bhikkhu ini telah
meletakkan beban (dari khandha-khandha/ kelompok-kelompok
kehidupan)." Brahmana itu mencerna hal tersebut dan
mengartikan bahwa budaknya telah menjadi seorang arahat.
Untuk lebih meyakinkan dirinya ia bertanya kepada Sang
Buddha apakah benar bahwa bhikkhu tersebut telah menjadi
seorang arahat, dan Sang Buddha menegaskan pernyataan-Nya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 402 berikut :
Dalam dunia ini, seseorang yang telah menyadari akhir
penderitaannya sendiri yang telah meletakkan beban dan tak
terikat, maka ia Kusebut seorang "brahmana".
Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XXVI-21-Kisah Khema Theri
Suatu malam, Sakka, raja dewa, datang dengan para
pengikutnya untuk memberikan penghormatan kepada Sang
Buddha. Ketika mereka sedang bersama Sang Buddha, Khema
Theri, dengan kemampuan batin luar biasanya juga datang
melalui angkasa untuk memberikan penghormatan kepada Sang
Buddha. Tetapi karena Sakka dan rombongannya berada di
sana bersama Sang Buddha, ia hanya menyembah dengan
membungkukkan badan kepada Sang Buddha, dan segera
meninggalkan beliau. Sakka bertanya kepada Sang Buddha
siapakah bhikkhuni tadi dan Sang Buddha menjawab, "Ia adalah salah satu muridKu yang paling terkenal; ia dikenal sebagai
Khema Theri. Ia tidak ada bandingnya di antara para bhikkhuni dalam hal kebijaksanaan, dan ia mengetahui bagaimana
membedakan jalan yang benar dari jalan yang salah."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 403 berikut :
Seseorang yang pengetahuannya dalam, pandai, dan
terlatih dalam membedakan jalan yang benar dan salah, yang
telah mencapai tujuan tertinggi, maka ia Kusebut seorang
"brahmana"
XXVI-22-Kisah Tissa Thera
Tissa Thera, setelah menerima sebuah objek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke suatu sisi gunung. Di sana, menemukan sebuah gua yang sesuai baginya dan ia memutuskan untuk menghabiskan waktu tiga bulan musim hujan (masa vassa) di dalam gua
tersebut. Oleh karena tinggal di dalam gua, ia pergi ke desa untuk berpindapatta setiap pagi.
Di desa itu, terdapat seorang wanita yang usianya lebih tua
yang secara teratur memberikan dana makanan kepada-nya. Di
dalam gua, juga hidup hantu penjaga gua. Karena sang thera
memiliki latihan moral (sila) yang baik, hantu gua tersebut tidak berani untuk tinggal di dalam gua yang sama dengan sang thera.
Selain itu, ia juga tidak mempunyai keberanian menyuruh sang thera untuk meninggalkan gua. Jadi ia memikirkan suatu rencana yang akan mampu membuatnya menemukan kesalahan sang
thera; yang kemudian menyebabkan sang thera tersebut
meninggalkan gua.
Hantu gua merasuki anak laki-laki dari wanita tua yang
bertempat tinggal di rumah dimana sang thera biasanya pergi
untuk menerima dana makanan. Ia menyebabkan anak tersebut
bertingkah laku aneh, menolehkan kepalanya ke arah belakang, dan memutar-mutarkan matanya yang terbuka lebar. Ibu anak itu menjadi kebingungan dan menangis. Hantu gua, yang merasuki
anak tadi, kemudian berkata, "Biarkan gurumu, sang thera
anak tadi, kemudian berkata, "Biarkan gurumu, sang thera
mencuci kakinya dengan air dan menuangkan air tersebut pada
kepala anakmu."
Pada hari berikutnya, ketika sang thera datang ke
rumahnya untuk menerima dana makanan, ia melakukan seperti
yang telah dianjurkan oleh hantu gua tadi dan anaknya menjadi tenang dan damai.
Hantu gua kembali ke gua dan menunggu di lubang masuk
kedatangan sang thera. Ketika sang thera tiba kembali dari
berpindapatta, hantu gua menampakkan dirinya dan berkata. "
Akulah hantu penjaga gua ini. O, kamu, tabib, tidak boleh
memasuki gua ini."
Sang thera mengetahui bahwa ia telah hidup dalam
kehidupan yang bersih sejak ia menjadi thera, jadi ia menjawab bahwa ia tidak ingat mempraktekkan ilmu ketabiban. Kemudian
hantu gua menuduhnya bahwa pada pagi hari ia telah
menyembuhkan seorang anak muda yang dirasuki oleh raksasa
pada rumah wanita tua tersebut. Tetapi sang thera tersebut
menyadari hal itu sesungguhnya bukan praktek ilmu ketabiban, dan ia menyadari bahwa bahkan hantu gua tidak dapat
menemukan kesalahan yang lain padanya. Hal ini memberinya
suatu kepuasan yang sangat mengembirakan (pitti) pada dirinya sendiri, meninggalkan kegiuran (pitti) dan konsentrasi keras menuju "Meditasi Pandangan Terang" (Vipassana).
Ia kemudian mencapai tingkat kesucian arahat disana,
ketika ia sedang berdiri pada lubang masuk gua.
ketika ia sedang berdiri pada lubang masuk gua.
Karena sang thera sekarang telah menjadi seorang arahat,
ia menasehati hantu gua untuk meninggalkan gua. Sang thera
terus menetap di sana sampai akhir vassa, dan kemudian ia
kembali menemui Sang Buddha. Ketika ia menceritakan kepada
para bhikkhu yang lain tentang pertemuannya dengan hantu gua, mereka bertanya apakah ia tidak marah terhadap hantu gua
ketika ia dilarang masuk ke dalam gua. Sang thera menjawab
tidak, tetapi para bhikkhu yang lain tidak mempercayainya. Lalu mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Tissa Thera
telah menegaskan dirinya sebagai seorang arahat; ia tidak
berbicara yang sebenarnya."
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu,
murid-Ku Tissa berbicara yang sebenarnya ketika ia berkata
bahwa ia tidak marah. Ia telah sungguh-sungguh menjadi seorang arahat. Ia tidak lagi melekat kepada siapapun; ia tidak
mempunyai kesempatan untuk marah kepada siapapun ataupun
kepada segala sesuatu yang berhubungan dengannya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 404 berikut :
Orang menjauhkan diri dari masyarakat umum maupun
para pertapa, yang mengembara tanpa tempat tinggal tertentu
dan sedikit kebutuhannya, maka ia Kusebut seorang "brahmana".
XXVI-23-Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu
Seorang bhikkhu seteleh menerima pelajaran objek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke hutan untuk melatih meditasi. Setelah ia mencapai tingkat kesucian arahat, ia kembali menemui Sang
Buddha untuk menyampaikan penghormatan yang besar dan
mendalam kepada Beliau.
Dalam perjalanannya ia melewati sebuah desa. Baru saja
ia melewati desa tersebut, seorang wanita yang baru saja
bertengkar dengan suaminya, keluar dari rumahnya dan
mengikuti sang bhikkhu. Sang suami yang berjalan mengikuti
istrinya, melihat istrinya berada di belakang sang bhikkhu,
berpikir bahwa bhikkhu ini akan akan membawa pergi istrinya.
Ia berteriak pada sang bhikkhu dan mengancam akan
memukulnya. Istrinya mohon dengan sangat pada sang suami
untuk tidak memukul bhikkhu tersebut, tetapi hal itu membuatnya makin marah. Akibatnya, bhikkhu itu dipukul berulang kali
sehingga mengalami luka parah oleh sang suami. Setelah
memukuli bhikkhu tersebut sepuas hatinya, ia pergi bersama
istrinya dan sang bhikkhu meneruskan perjalanannya.
Setibanya di Vihara Jetavana, para bhikkhu yang lain
melihat luka-luka memar di seluruh badan sang bhikkhu,
sehingga mereka merawat luka tersebut. Ketika mereka
bertanya apakah ia tidak marah kepada orang yang memukulnya
berulang kali, ia menjawab tidak. Oleh karena itu para bhikkhu berulang kali, ia menjawab tidak. Oleh karena itu para bhikkhu yang lain pergi menemui Sang Buddha dan memberitahukan
bahwa sang bhikkhu dengan cara seperti itu menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu!
Para arahat telah menyisihkan/ meninggalkan tongkat dan
pedang. Mereka tidak lagi menajdi marah bahkan jika mereka
dipukul." Demikian., Sang Buddha menegaskan bahwa bhikkhu
tadi telah, benar-benar, menjadi arahat.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 405 berikut :
Seseorang yang tidak lagi menganiaya makhluk-makhluk
lain, baik yang kuat maupun yang lemah, yang tidak membunuh
atau mengajurkan orang lain membunuh, maka ia Kusebut
seorang "brahmana".
XXVI-24-Kisah Empat Samanera
Suatu ketika, istri dari seorang brahmana menyuruh suaminya
pergi ke Vihara Jetavana untuk mengundang empat orang
bhikkhu guna menerima dana makanan di rumah mereka. Ia
memberitahu suaminya untuk khusus meminta para bhikkhu
senior yang juga benar-benar brahmana asli. Tetapi empat
samanera arahat berusia tujuh tahun, Samkicca, Pandita,
Sopaka, dan Revata yang diutus ikut bersamanya.
Ketika istrinya melihat para samanera muda tersebut, ia
menjadi tidak puas dan menyalahkan sang brahmana karena


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa samanera muda bahkan lebih muda daripada cucu
laki-lakinya. Ia marah kepada suaminya, dan ia menyuruh suaminya
kembali ke Vihara untuk mengajak bhikkhu yang lebih tua.
Dalam hal itu ia tidak memberikan tempat duduk lebih tinggi yang telah disiapkan bagi para bhikkhu. Mereka diberikan tempat
duduk yang lebih rendah dan ia tidak memberi dana makanan
kepada para samanera muda itu.
Ketika sang brahmana tiba di vihara, ia menemui Y.A.
Sariputta dan mengundangnya datang ke rumahnya. Ketika Y.A.
Sariputta tiba di rumah sang brahmana, ia melihat empat
samanera arahat yang masih muda dan bertanya kepada mereka
apakah mereka telah menerima dana makanan atau belum.
Karena mengetahui bahwa para samanera arahat belum diberi
dana makanan dan juga bahwa makanan telah disediakan hanya
untuk empat orang, Y.A. Sariputta pulang kembali ke vihara
tanpa menerima dana makanan dari rumah sang brahmana tadi.
Melihat hal itu, sang istri menyuruh sang suami kembali ke
vihara untuk mengajak bhikkhu senior yang lain. Kali ini, Y.A.
Maha Moggalana datang bersama sang brahmana, tetapi ia juga
pulang kembali ke vihara tanpa menerima dana makanan ketika
beliau mengetahui bahwa para samanera muda tidak diberi dana makanan, dan juga bahwa makanan telah disediakan hanya
untuk empat orang.
Pada saat itu, para samanera sedang merasa lapar. Sakka,
Raja Dewa, melihat hal ini, merubah dirinya menjadi seorang
brahmana tua dan datang ke rumah tersebut. Sang brahmana dan istrinya memberi hormat kepada brahmana tua itu dan
memberinya sebuah tempat duduk kehormatan, tetapi Sakka
hanya duduk di tanah/ lantai dan memberi hormat kepada empat samanera tersebut. Kemudian ia menyatakan dirinya bahwa ia
adalah Sakka. Melihat bahwa Sakka sendiri memberi hormat kepada
para samanera muda itu, sepasang brahmana tersebut
memberikan dana makanan kepada mereka berlima. Setelah
selesai makan, Sakka dan para samanera menunjukkan
kemampuan batin luar biasa mereka dengan terbang ke angkasa
menerobos atap rumah. Sakka kembali ke tempat kediamannya
di alam dewa, para samanera kembali ke vihara.
di alam dewa, para samanera kembali ke vihara.
Ketika para bhikkhu yang lain bertanya kepada para
samanera apakah mereka tidak marah ketika sepasang
brahmana tersebut menolak untuk memberikan dana makanan
kepada mereka, mereka menjawab, tidak. Para bhikkhu karena
tidak percaya kepada mereka, lalu memberi tahu kepada Sang
Buddha bahwa keempat samanera telah dengan cara seperti itu
menegaskan dirinya sebagai arahat.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu,
para arahat tidak lagi memiliki kebencian kepada mereka yang memusuhi mereka." Kemudian Sang Buddha membabarkan
syair 406 berikut :
Orang yang tidak membenci di antara mereka yang
membenci; damai di antara mereka yang kejam; dan tidak
melekat di antara yang melekat, maka ia Kusebut "brahmana"
XXVI-25-Kisah Mahapanthaka Thera
[Lihat juga syair 25 Bab II nomor (3)]
Mahapanthaka Thera telah menjadi seorang arahat ketika
adik laki-lakinya Culapanthaka masuk pasamuan bhikkhu.
Culapathaka sejak lahir adalah seorang yang dungu karena ia
pernah menertawakan seorang bhikkhu dungu pada salah satu
kehidupannya terdahulu. Culapanthaka tidak dapat bahkan
mengingat satu syair dalam waktu empat bulan. Mahapanthaka
menjadi kecewa dengan adiknya dan menyuruhnya untuk
meninggalkan vihara karena ia tidak ada gunanya berada dalam pasamuan bhikkhu.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada suatu kesempatan,
para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, mengapa
meskipun ia seorang arahat, mengusir adik laki-lakinya dari
vihara. mereka juga menambahkan, "Apakah para arahat masih
kehilangan kesabarannya" Apakah mereka masih mempunyai
kekotoran batin seperti keinginan jahat dalam diri mereka?"
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu!
Para arahat tidak mempunyai keinginan jahat seperti nafsu dan kebencian dalam diri mereka. Murid-Ku Mahapanthaka
melakukan hal seperti itu dengan pengertian demi keuntungan
saudaranya dan bukan karena keinginan jahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 407 berikut :
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 407 berikut :
Seseorang yang nafsunya, kebenciannya,
kesombongannya dan kemunafikannya telah gugur,
seperti biji lada yang jatuh dari ujung jarum, maka ia
Kusebut seorang "brahmana".
XXVI-26-Kisah Pilindavaccha Thera
Pilindavaccha Thera mempunyai cara yang kurang sopan dalam
menegur orang. Ia sering berkata, "Kemari, kamu orang sial", atau "Kesana, kamu orang sial", dan hal-hal lain seperti itu. Para bhikkhu yang lain melaporkan tentang hal itu kepada Sang
Buddha. Sang Buddha mengundangnya, dan berbicara kepadanya
tentang masalah itu. Kemudian dalam refleksi batin Sang
Buddha, Beliau mengetahui bahwa sepanjang lima ratus
kehidupannya yang lampau, sang thera selalu dilahirkan hanya dalam lingkungan keluarga brahmana, yang menghormati diri
mereka sendiri sebagai yang terbaik di antara orang lain.
Maka Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, "Para
bhikkhu! Vaccha Thera menegur orang lain sebagai "orang sial"
hanya karena kekuatan kebiasaan yang diperoleh dalam masa
lima ratus kelahirannya sebagai seorang brahmana, dan bukan
karena kebencian. Ia tidak mempunyai maksud untuk melukai
orang lain, karena seorang arahat tidak melakukan kejahatan
kepada yang lain."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 408 berikut :
Seseorang yang mengucapkan kata-kata halus, yang
mengandung Ajaran Kebenaran,
yang tidak menyinggung siapapun juga, maka ia Kusebut
yang tidak menyinggung siapapun juga, maka ia Kusebut
seorang "brahmana".
XXVI-27-Kisah Thera Tertentu
Suatu hari, seorang brahmana dari Savatthi meletakkan pakaian miliknya di luar rumah untuk mengangin-anginkannya. Seorang
thera menemukan pakaian itu ketika ia akan pulang ke vihara.
Setelah berpikir bahwa selembar pakaian tersebut dibuang oleh seseorang dan tentunya tidak ada yang memilikinya, sang thera mengambilnya. Sang brahmana yang melihat keluar lewat jendela rumahnya melihat sang thera mengambil pakaian tersebut,
menghampiri sang thera, memaki-maki dan menuduhnya, "Kau,
kepala gundul! Engkau mencuri pakaianku", katanya. Sang thera dengan cepat mengembalikan selembar pakaian tersebut kepada
sang brahmana. Setelah tiba kembali di vihara, sang thera menceritakan
kejadian di atas kepada para bhikkhu yang lain, dan mereka
menertawakannya dan dengan bergurau mereka bertanya
kepadanya apakah pakaian itu panjang atau pendek, kasar atau halus.
Atas pertanyaan ini sang thera menjawab, "Apakah
pakaian itu panjang atau pendek, kasar atau halus tidak menjadi masalah bagiku; Aku sama sekali tidak melekat pada hal itu."
Para bhikkhu yang lain kemudian memberi tahu Sang
Buddha bahwa sang thera itu dengan cara seperti itu untuk
menegaskan dirinya sendiri sebagai seorang arahat.
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu!
Sang thera mengatakan yang sebenarnya; seorang arahat tidak
mengambil apapun yang tidak diberikan kepadanya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 409 berikut :
Dalam dunia ini, seseorang yang tak mengambil apa yang
tidak diberikan,baik yang panjang atau pendek, kecil atau besar, baik ataupun buruk, maka ia Kusebut seorang "brahmana"
XXVI-28-Kisah Sariputta Thera
Suatu ketika, Sariputta Thera disertai dengan lima ratus bhikkhu pergi ke sebuah vihara dekat sebuah desa kecil untuk
melewatkan masa vassa. Pada akhir masa vassa, Sariputta Thera membutuhkan jubah untuk bhikkhu muda dan samanera. Lalu ia
berkata pada para bhikkhu, "Jika ada orang yang datang untuk memberikan jubah, ajak mereka datang padaku atau beritahu
aku." Kemudian ia meninggalkan Vihara Jetavana untuk
memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Para bhikkhu
yang lain salah mengerti perintah Sariputta Thera, dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante! Sariputta Thera masih melekat
pada barang-barang seperti jubah dan barang keperluan
bhikkhu." Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu!
Murid-Ku Sariputta tidak memiliki lagi nafsu keinginan dalam dirinya. Ia memberi tahu kalian untuk membawa jubah
kepadanya, agar kesempatan untuk melakukan perbuatan
bermanfaat tidak akan menurun/ berkurang bagi pengikut awam, dan kesempatan menerima apapun yang pantas mereka terima
tidak berkurang demi kebutuhan para bhikkhu muda dan para
samanera." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 410
berikut : Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan terhadap
dunia ini maupun dunia selanjutnya, yang telah bebas dari
dunia ini maupun dunia selanjutnya, yang telah bebas dari
keinginan, dan tidak lagi melekat, maka ia Kusebut "brahmana"
XXVI-29-Kisah Maha Moggallana Thera
Pada suatu kesempatan, para bhikkhu memberitahu Sang
Buddha tentang Maha Moggalana Thera hal yang sama yang
telah mereka katakan tentang Sariputta Thera; bahwa ia masih mempunyai kemelekatan terhadap barang-barang duniawi.
Kepada mereka Sang Buddha mengatakan bahwa Maha
Moggalana Thera telah memusnahkan semua nafsu keinginan.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 411 berikut :
Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan lagi,
yang telah bebas dari keragu-raguan
karena memiliki Pengetahuan Sempurna, yang telah
menyelami keadaan tanpa kematian (nibbana), maka ia Kusebut
seorang "brahmana".
XXVI-30-Kisah Samanera Revata
Suatu hari, para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha, "Revata mendapatkan banyak pemberian dari umat, ia menjadi terkenal
dan beruntung. Meskipun demikian ia tinggal sendirian di hutan, melalui kemampuan batin luar biasa ia sekarang telah
membangun lima ratus vihara untuk lima ratus bhikkhu."
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu,
murid-Ku Revata telah memusnahkan semua mafsu keinginan; ia
telah melampaui kebaikan maupun kejahatan." Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 412 berikut :
Seseorang yang telah mengatasi kebaikan, kejahatan, dan
kemelekatan, yang tidak lagi bersedih hati, tanpa noda, dan suci murni,
maka ia Kusebut "brahmana"
XXVI-31-Kisah Candabha Thera
Candabha Thera, dalam salah satu kehidupannya terdahulu,
membuat persembahan kayu cendana kepada sebuah stupa di
mana relik Buddha Kassapa diabadikan. Karena perbuatan baik
ini, ia dilahirkan kembali dalam keluarga brahmana di Savatthi. Ia dilahirkan dengan tanda yang istimewa, yaitu sebuah lingkaran cahaya yang memancar dari sekitar pusarnya. Karena lingkaran cahaya ini menyerupai bulan ia dikenal sebagai Candabha.
Beberapa brahmana, mengambil keuntungan dari keistimewaan
yang jarang terjadi ini, memasukkannya ke dalam kereta dan
membawanya keliling kota untuk pertunjukan dan hanya orang
yang membayar seratus atau seribu boleh menyentuhnya. Pada
suatu kesempatan, mereka berhenti pada suatu tempat antara
kota dan Vihara Jetavana.
Kepada para pengikut Sang Buddha yang berjalan ke
Vihara Jetavana, mereka berkata, "Apa gunanya engkau pergi
menemui Sang Buddha dan mendengarkan khotbah Beliau"
Tidak ada seorangpun yang sehebat Candabha. Seseorang yang
menyentuhnya akan menjadi kaya; mengapa engkau tidak datang
dan melihatnya?" Para pengikut itu kemudian berkata kepada
para brahmana, "Hanya guru kami yang hebat; ia tidak tersaingi dan tiada bandingnya."
Kemudian para brahmana membawa Candabha menuju
Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha. Tetapi
Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha. Tetapi
ketika Candabha sedang bersama Sang Buddha, cincin cahaya
itu hilang dengan sendirinya. Ketika Candabha dibawa jauh
hilang dari pandangan Sang Buddha, cincin cahaya itu kembali lagi secara otomatis; cahaya itu hilang lagi ketika ia dibawa kembali ke hadapan Sang Buddha.
Candabha kemudian meminta Sang Buddha untuk
memberinya mantra (kata-kata bermakna) yang akan membuat
cincin cahaya itu hilang dari pusarnya. Sang Buddha
memberitahu bahwa mantra tersebut hanya akan diberikan
kepada anggota pasamuan. Candabha memberitahu para
brahmana bahwa ia akan mendapatkan mantra dari Sang
Buddha dan setelah menguasai mantra tersebut ia akan menjadi manusia terbesar di seluruh Jambudipa. Sehingga para brahmana tersebut menunggu di luar vihara.
Dalam hal itu, Candabha menjadi seorang bhikkhu. Ia
diperintahkan untuk merenungkan tubuh, yaitu untuk
menggambarkan betapa menjijikkannya dan kotornya tubuh ini
terdiri dari tigapuluh dua unsur pokok tubuh. Dalam beberapa hari, Candabha mencapai tingkat kesucian arahat.
Ketika para brahmana yang menunggu di luar vihara
datang untuk menanyakan apakah ia telah mendapatkan mantra
tersebut, Candabha menjawab, "Engkau sebaiknya pulang
kembali sekarang; karena aku tidak lagi berada pada pihak yang akan pergi bersamamu." Para bhikkhu, yang mendengarnya,
pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Candabha dengan
cara seperti itu menegaskan bahwa ia telah menjadi arahat."
cara seperti itu menegaskan bahwa ia telah menjadi arahat."
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Candabha
mengatakan yang sebenarnya; ia telah memusnahkan semua
kekotoran batin." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
413 berikut : Seseorang yang tanpa noda, bersih, tenang, dan jernih
batinnya seperti bulan purnama,
maka ia Kusebut seorang "brahmana".
XXVI-32-Kisah Sivali Thera
Putri Suppavasa, dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh
tahun dan kemudian selama tujuh hari ia mengalami kesakitan
pada saat melahirkan anaknya. Ia terus merenungkan sifat-sifat khusus Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Ia menyuruh
suaminya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan
penghormatan dengan membungkukkan badan demi
kepentingannya dan untuk memberitahu Beliau tentang
keadaannya. Ketika diberitahu mengenai keadaan putri tersebut, Sang
Buddha berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan
penderitaan; semoga ia melahirkan anak yang sehat dan mulia
dengan selamat." Ketika kata-kata ini sedang diucapkan,
Suppavasa melahirkan anak di rumahnya. Pada hari itu juga,
segera setelah kelahiran anak tersebut, Sang Buddha beserta
beberapa bhikkhu diundangan untuk datang ke rumahnya. Dana
makanan diberikan di sana dan bayi yang baru saja lahir
memberikan air sudah disaring kepada Sang Buddha dan para
bhikkhu. Untuk merayakan kelahiran bayi tersebut, orang tuanya
mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumah mereka
untuk memberikan dana makanan selama tujuh hari.
Ketika anaknya tumbuh dewasa, ia diterima dalam
pasamuan dan sebagai bhikkhu ia dikenal dengan nama Sivali. Ia mencapai tingkat kesucian arahat segera setelah kepalanya
dicukur. Kemudian, ia menjadi terkenal sebagai seorang bhikkhu yang dengan mudah selalu menerima pemberian berjumlah besar.
Sebagai bhikkhu penerima dana, ia tidak terbandingkan.
Pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada
Sang Buddha, mengapa Sivali, dengan memiliki bekal menjadi
seorang arahat, dilahirkan di dalam rahim ibunya selama tujuh tahun.
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu!
Dalam salah satu kelahirannya yang terdahulu, Sivali adalah anak dari raja yang kehilangan kerajaannya karena direbut oleh raja lain. Dalam usahanya untuk memperoleh kembali kerajaan
mereka, ia (Sivali) telah mengepung kota kerajaan atas nasihat ibunya. Sebagai akibat, orang-orang di dalam kota itu kehabisan makanan dan air selama tujuh hari. Karena perbuatan jahat
itulah, maka Sivali terkurung dalam rahim ibunya selama tujuh tahun. Tetapi sekarang, Sivali telah sampai pada akhir dari
semua dukkha/penderitaan; ia telah merealisasi nibbana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 414 berikut :
Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan
(samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya; yang telah menyeberang dan mencapai "Pantai Seberang" (nibbana); yang
selalu bersemadi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan; yang tidak terikat pada sesuatu apa pun dan telah mencapai nibbana, maka ia Kusebut seorang "brahmana"
maka ia Kusebut seorang "brahmana"


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

XXVI-33-Kisah Sundarasamudda Thera
Sundarasamudda adalah anak dari seorang hartawan dari
Savatthi. Setelah memasuki pasamuan bhikkhu, ia pergi ke
Rajagaha, yang empat puluh lima yojana jauhnya dari Savatthi, untuk berlatih meditasi.
Suatu hari, ketika beberapa perayaan sedang berlangsung
di Savatthi, ayah Sundarasamudda merasa sangat kehilangan
putranya. Mereka juga merasa kasihan pada putranya yang
kehilangan semua kesenangan. Memikirkan hal itu mereka
menangis. Ketika mereka sedang menangis, seorang pelacur
datang pada mereka, dan menanyakan apa duduk persoalannya.
Setelah mendengar apa yang terjadi pada anak mereka,
pelacur itu berkata, "Jika aku dapat membuat anakmu
meninggalkan pasamuan dan kembali hidup sebagai orang biasa
bagaimana engkau akan menghargaiku?" Orang tua tersebut
menjawab bahwa mereka akan membuatnya kaya raya. Pelacur
tersebut kemudian meminta sejumlah besar uang dan pergi ke
Rajagaha dengan sejumlah pengikutnya.
Di Rajagaha, ia menyewa sebuah rumah bertingkat tujuh
pada rute jalan di mana Sundarasamudda berpindapatta. Ia
menyiapkan makanan yang baik dan menunggunya. Pada
beberapa hari pertama, ia memberikan dana makanan kepada
Sundarasamudda di pintu rumahnya. Kemudian, ia
mengundangnya untuk masuk ke dalam rumah. Ia memberi uang
kepada beberapa anak untuk datang dan bermain di luar rumah
pada saat kira-kira Sundarasamudda biasanya datang untuk
menerima dana makanan.
Hal ini membuat keadaan tidak nyaman bagi
Sundarasamudda menerima dana makanan karena halaman
kotor dan berisik, sehingga ia mengundang Sundarasamudda
untuk naik ke lantai atas dan menerima dana makanan di sana.
Sang thera mengikutinya naik, dan segera setelah memasuki
ruangan tersebut, sang pelacur menutup pintu. Kemudian ia mulai menggoda Sundarasamudda. Ia berkata kepada, "Yang Mulia!
Marilah menjadi suamiku yang awet muda dan kuat, dan aku
akan menjadi istrimu yang paling tercinta. Setelah kehidupan perkawinan kita yang panjang dan bahagia kita berdua dapat
meninggalkannya untuk masuk dalam pasamuan dan berjuang
sekuat tenaga untuk mencapai nibbana."
Ketika mendengar kata-kata itu, Sundarasamudda tibatiba menyadari kekeliruannya dan terkejut. Kemudian ia berkata pada dirinya sendiri, "Sungguh, karena kelalaian dan kurangnya perhatian aku telah membuat satu kekeliruan besar."
Pada saat itu, Sang Buddha memperhatikan dari kuti
harum Beliau, apa yang sedang terjadi pada Sundarasamudda di Rajagaha. Ia memanggil Y.A. Ananda, dan berkata, "Ananda!
Pada lantai atas sebuah rumah bertingkat di Rajagaha, sekarang sedang terjadi perlawanan antara Sundarasamudda dan seorang
pelacur, tapi pada akhirnya Sundarasamudda yang akan menjadi pelacur, tapi pada akhirnya Sundarasamudda yang akan menjadi pemenangnya." Setelah mengatakan hal ini pada Ananda, Sang
Buddha mengirimkan sinar kesucian kepada Sundarasamudda
dan membuatnya merasakan kehadiran Beliau. Lalu Beliau
berkata, "Murid-Ku! Putuskanlah dan buanglah rasa cinta
terhadap kekayaan dan kesenangan-kesenangan nafsu
keinginan." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 415
berikut : Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan
kemudian meninggalkan kehidupan
rumah-tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumahtangga, yang telah menghancurkan
nafsu indria akan ujud yang baru, maka ia Kusebut
seorang "brahmana".
Pada akhir khotbah ini Sundarasamudda mencapai tingkat
kesucian arahat, dan dengan kemampuan batin luar biasanya Ia menerobos atap rumah menuju angkasa, pergi menemui Sang
Buddha. XXVI-34-Kisah Jatila Thera
Segera setelah Buddha Kassapa mangkat (parinibbana), seorang arahat thera pergi berkeliling untuk mencari dana bagi
pembangunan stupa emas dimana nantinya relik Buddha
Kassapa akan diabadikan.
Sang thera datang ke rumah seorang pandai emas ketika
pandai emas dan istrinya sedang dalam pertengkaran yang sengit.
Si pandai emas tersebut berteriak kepada sang thera, "Kau
sebaiknya melemparkan stupamu itu ke dalam air dan segera
pergi." Istrinya kemudian berkata kepada sang pandai emas, "Jika
engkau marah kepadaku engkau seharusnya hanya boleh
memakiku saja, engkau bahkan boleh memukulku jika engkau
suka, tetapi mengapa engkau harus memaki Sang Buddha dan
sang thera" Tentu saja, engkau telah melakukan kesalahan yang menyedihkan!"
Mendengar kata-kata istrinya, sang pandai emas
menyadari betapa besarnya kesalahan yang telah diperbuatnya
dan ingin menebus kesalahan itu. Maka ia membuat bunga-bunga emas, meletakkannya ke dalam tiga pot emas dan
memberikannya untuk diletakkan pada kamar relik stupa
Buddha Kassapa.
Pada kelahirannya yang sekarang, ia dikandung di dalam
Pada kelahirannya yang sekarang, ia dikandung di dalam
rahim anak perempuan dari seorang hartawan yang telah
mempunyai hubungan cinta gelap. Ketika anak itu dilahirkan, ia meletakkannya ke dalam pot dan mengapungkannya ke dalam
aliran sungai. Seorang wanita muda yang sedang mandi di sungai melihat
anak di dalam pot tersebut dan membawanya bersamanya. Ia
mengadopsi anak itu dan memberi nama Jatila. Karena nasihat
dari salah seorang thera, wanita tersebut menyuruh Jatila pergi ke Taxila dimana ia akan mendapatkan pendidikan. Ketika Jatila
berada di Taxila, sang thera mengaturnya untuk tinggal di rumah seorang pedagang yang merupakan muridnya. Setelah beberapa
lama, Jatila menikah dengan anak perempuan dari pedagang
tersebut. Segera setelah menikah, segundukan emas diberikan di halaman belakang dari rumah yang baru saja dibangun untuk
pasangan ini. Lahirlah tiga anak dari pernikahan ini. Setelah itu, Jatila memasuki pasamuan bhikkhu dan mencapai tingkat
kesucian arahat.
Pada suatu kesempatan, saat Sang Buddha pergi untuk
berpindapatta bersama dengan lima ratus bhikkhu termasuk
Jatila, mereka datang ke rumah dari anak-anak Jatila. Anakanaknya memberi dana makanan kepada Sang Buddha dan para
pengikutnya selama lima belas hari.
Beberapa waktu setelah kejadian itu, para bhikkhu
bertanya kepada Jatila apakah masih melekat kepada
segundukan emas miliknya dan anak-anaknya, dan ia menjawab;
bahwa ia tidak lagi mempunyai kemelekatan pada mereka. Para
bahwa ia tidak lagi mempunyai kemelekatan pada mereka. Para
bhikkhu kemudian berkata kepada Sang Buddha, bahwa Jatila
dengan cara seperti itu menegaskan dirinya telah mencapai
tingkat kesucian arahat.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu!
Jatila telah membuang nafsu keinginan dan kesombongan; ia telah benar-benar mencapai tingkat kesucian arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 416 berikut :
Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan
kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh
kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan
dan kerinduan, maka ia Kusebut seorang "brahmana"
------------------------------------------------------------------------------Kisah Jotika Thera
[Kisah nomor (33) dan (34) bab ini mempunyai syair
sama] Jotika adalah seorang hartawan yang terkenal dari
Rajagaha. Ia tinggal di rumah besar yang megah bertingkat tujuh.
Terdapat tujuh buah tembok yang mengelilingi rumah besarnya, masing-masing mempunyai pintu masuk yang dijaga oleh setan
angkasa. Ketenaran kekayaannya menyebar jauh dan luas, dan
banyak orang datang untuk melihat rumah besarnya.
Pada suatu kesempatan, Raja Bimbisara datang
mengunjungi Jotika. Ia juga membawa anaknya, Ajatasattu,
mengunjungi Jotika. Ia juga membawa anaknya, Ajatasattu,
bersamanya. Ajatasattu, setelah melihat kemegahan rumah besar Jotika, berjanji bahwa ia tidak akan memperbolehkan Jotika
tinggal di rumah besar yang bagus sekali seperti ini kalau kelak ia menjadi Raja. Pada saat keberangkatan Raja dari rumahnya,
Jotika memberi kenang-kenangan kepada Raja berupa sebuah
batu delima besar yang tak ternilai harganya. Ini adalah
kebiasaan Jotika untuk memberi hadiah kepada semua
pengunjung yang datang untuk menemuinya.
Ketika Ajatasattu naik tahta, setelah membunuh ayahnya,
ia datang dengan tentaranya untuk mengambil rumah besar milik Jotika dengan paksa. Tetapi karena semua gerbang dikawal
ketat oleh para setan angkasa, Ajatasattu dan para pasukannya harus menarik diri.
Ajatasattu melarikan diri ke Vihara Veluvana dan
menemukan Jotika sedang mendengarkan khotbah yang
diberikan oleh Sang Buddha. Melihat Jotika yang berada pada
kaki Sang Buddha, Ajatasattu berseru, "Setelah membuat
pengawalmu bertarung melawanku, engkau sekarang berpurapura untuk mendengarkan khotbah!"
Jotika menyadari bahwa raja telah pergi untuk mengambil
alih tempatnya dengan paksa dan ia telah dipaksa untuk mundur.
Pada salah satu kelahirannya yang terdahulu, Jotika telah
membuat hasrat yang sungguh-sungguh bahwa harta miliknya
tidak boleh diambil darinya berlawanan dengan kehendaknya,
dan kehendak ini telah dipenuhi. Jadi Jotika berkata kepada
Raja Ajatasattu, "O, Raja! Harta milikku tidak dapat diambil Raja Ajatasattu, "O, Raja! Harta milikku tidak dapat diambil berlawanan dengan kehendakku."
Setelah berkata seperti ini, ia mengulurkan kesepuluh jari
tangannya dan meminta sang Raja untuk mengambil dua puluh
cincin yang sedang dipakainya pada jari-jari tangannya. Sang Raja berusaha keras untuk mengambilnya tetapi ia tidak berhasil.
Kemudian Jotika menyuruh sang Raja untuk membentangkan
selembar kain, dan ketika Jotika menaruh jari-jarinya pada kain tersebut, semua cincinnya dengan mudah terlepaskan
Setelah memberikan semua cincinnya kepada Raja
Ajatasattu, Jotika memohon kepada Sang Buddha supaya ia
dijinkan masuk dalam pasamuan bhikkhu. Segera setelah
memasuki pasamuan, Jotika mencapai tingkat kesucian arahat.
Suatu hari, ketika para bhikkhu yang lain bertanya
kepadanya apakah ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan yang tersisa pada dirinya, kepada rumah besarnya, kekayaannya, dan istrinya" Ia menjawab bahwa ia tidak lagi mempunyai nafsu
keinginan pada semuanya itu. Para bhikkhu kemudian pergi
menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante! Jotika Thera
menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat; ia berkata tidak benar."
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu!
Jotika berbicara yang sebenarnya; ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan di dalam dirinya. Ia sekarang adalah seorang arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 416 berikut :
Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan
Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan
kemudian meninggalkan kehidupan
rumah-tangga dan menempuh kehidupan tanpa-rumah,
yang telah menghancurkan
kemelekatan dan kerinduan, maka ia Kusebut seorang
"brahmana".
XXVI-35-Kisah Nataputtaka Thera
Suatu ketika, Nataputtaka, anak laki-laki dari seorang penari yang sedang pergi berkeliling menyanyi dan menari, memiliki
kesempatan untuk mendengarkan khotbah yang diberikan oleh
Sang Buddha. Setelah mendengarkan khotbah tersebut, ia
masuk dalam pasamuan dan mencapai tingkat kesucian arahat
tidak lama kemudian.
Suatu hari, ketika Sang Buddha dan para bhikkhu
termasuk Nataputtaka sedang berjalan untuk menerima dana
makanan, mereka menjumpai anak laki-laki dari penari lain yang sedang menari di jalanan. Melihat anak muda yang sedang
menari, para bhikkhu bertanya kepada Nataputtaka apakah ia
masih suka menari. Dan Nataputtaka menjawab, "Tidak, aku
tidak." Para bhikkhu kemudian pergi menemui Sang Buddha dan
menceritakan bahwa Nataputtaka dengan cara seperti itu ingin menegaskan bahwa dirinya telah mencapai tingkat kesucian
arahat. Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Nataputtaka telah
meninggalkan semua ikatan kemelekatan; ia telah menjadi
seorang arahat." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
417 berikut : Seseorang yang telah menyingkirkan ikatan-ikatan duniawi
dan juga telah mengatasi ikatan-ikatan surgawi, yang benarbenar telah bebas dari semua ikatan, maka ia Kusebut seorang
"brahmana".
XXVI-36-Kisah Nataputtaka Thera
Seperti pada kisah sebelumnya, anak laki-laki dari seorang
penari telah masuk dalam pasamuan dan telah mencapai tingkat kesucian arahat. Para bhikkhu lain pergi menemui Sang Buddha dan meberi tahu beliau bahwa Nataputtaka menegaskan dirinya
telah mencapai tingkat kesucian arahat. Kepada mereka Sang
Buddha berkata, "Para bhikkhu! Nataputtaka telah
meninggalkan perasaan kesenangan pada semua hal." Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 418 berikut :
Seseorang yang telah mengatasi rasa senangdan tidak
senang dengan tidak menghiraukannya lagi, yang telah
menghancurkan dasar-dasar bagi perwujudan, dan juga telah
mengatasi semua dunia (kelompok kehidupan), maka ia Kusebut
seorang "brahmana".
XXVI-37-38- Kisah Vangisa Thera
Suatu ketika, si Rajagaha, terdapat seorang brahmana bernama Vangisa, yang dengan cara sederhana mengetuk-ngetuk
tengkorak mayat seseorang yang telah meninggal dunia, dapat
memberitahukan apakah orang tersebut lahir di alam dewa, atau di alam manusia, atau dalam salah satu dari empat alam rendah (apaya). Para brahmana membawa Vangisa menuju banyak desa
dan orang-orang berkumpul karenanya dan membayarnya
sepuluh, dua puluh, atau seratus untuk mencari informasi
dimanakah saudaranya yang meninggal dunia dilahirkan kembali.
Pada suatu kesempatan, Vangisa dan kelompoknya
datang ke suatu tempat yang tidak jauh dari Vihara Jetavana.
Melihat beberapa orang datang menemui Sang Buddha, para
brahmana mengundang mereka untuk datang menemui Vangisa
yang dapat memberitahu mereka dimana saudara mereka yang
sudah meninggal dunia dilahirkan kembali.
Tetapi para pengikut Sang Buddha berkata kepada
mereka, "Guru kami adalah satu-satunya yang tanpa saingan, Ia adalah satu-satunya Yang Telah Mencapai Pencerahan."
Para brahmana mendengar perkataan seperti itu
menganggap sebagai suatu tantangan dan membawa Vangisa
menuju Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha.
Sang Buddha, karena mengetahui maksud mereka,
Sang Buddha, karena mengetahui maksud mereka,
memerintahkan para bhikkhu untuk membawa tengkorak dari
seseorang yang terlahir di niraya (alam neraka), dari seseorang yang terlahir di alam binatang, dari seseorang yang terlahir di alam manusia, dari seseorang yang terlahir di alam dewa dan
juga dari seorang arahat. Kelima tengkorak tersebut diletakkan berurutan.
Kepada Vangisa diperlihatkan tengkorak-tengkorak itu. Ia
dapat memberitahukan dimana pemilik dari empat tengkorak
yang pertama itu dilahirkan; tetapi ketika ia menuju pada
tengkorak dari seorang arahat, ia kehilangan jejak.
Kemudian Sang Buddha berkata, "Vangisa, tidakkah
engkau tahu" Aku tahu di mana pemilik tengkorak ini berada."
Vangisa kemudian meminta Sang Buddha untuk memberi mantra
gaib yang harus diketahuinya; tetapi Sang Buddha memberi tahu bahwa mantra tersebut hanya dapat diberikan kepada seorang
bhikkhu. Vangisa kemudian memberitahu para brahmana untuk
menunggu di luar vihara sementara ia mendapat pelajaran mantra tersebut. Kemudian, Vangisa menjadi seorang bhikkhu. Sebagai seorang bhikkhu, seperti dianjurkan Sang Buddha, ia
merenungkan tiga puluh dua unsur pokok dari tubuh. Vangisa
dengan tekun melatih meditasi seperti yang dianjurkan oleh Sang Buddha dan mencapai tingkat kesucian arahat pada waktu yang
singkat. Ketika para brahmana yang sedang menunggu di luar
vihara datang untuk bertanya kepada Vangisa apakah ia telah
mendapatkan mantra tersebut, Vangisa menjawab, "Kalian
mendapatkan mantra tersebut, Vangisa menjawab, "Kalian
semua lebih baik pergi sekarang; karena bagiku, aku seharusnya tidak lagi pergi bersama kalian."
Para bhikkhu lain yang mendengarnya berpikir ia sedang
mengatakan yang tidak sesungguhnya, sehingga mereka pergi
menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante! Vangisa dengan
cara seperti itu ingin menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat."
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu!
Vangisa benar-benar mengetahui kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk." Kemudian Sang Buddha membabarkan


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syair 419 dan 420 berikut :
Seseorang yang telah memiliki pengetahuan sempurna
tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk, yang telah
bebas dari ikatan, telah pergi dengan baik (Sugata) dan telah mencapai Penerangan Sempurna, maka ia Kusebut seorang
"brahmana".
Orang yang jejaknya tak dapat dilacak, baik oleh para
dewa, gandarwa, maupun manusia,
yang telah menghancurkan semua kekotoran batin dan
telah mencapai kesucian (arahat),
maka ia Kusebut seorang "brahmana"
XXVI-39-Kisah Dhammadinna Theri
Suatu ketika, ada seorang pengikut awam Sang Buddha
bernama Visakha di Rajagaha. Setelah mendengar khotbah Sang
Buddha berulang-ulang, Visakha mencapai tingkat kesucian
anagami dan ia berkata kepada istrinya, "Terimalah semua
hartaku, sejak hari ini aku tidak akan campur tangan apapun
dalam urusan keluarga."
Istrinya, Dhammadinna, menjawab, "Siapa yang akan
menelan air ludah yang telah engkau buang." Kemudian ia minta ijin darinya untuk masuk dalam pasamuan dan menjadi seorang
bhikkhuni. Setelah menjadi seorang bhikkhuni ia pergi ke sebuah vihara di suatu desa kecil bersama para bhikkhuni lain untuk melatih meditasi. Dalam waktu yang singkat, ia mencapai tingkat kesucian arahat dan kembali ke Rajagaha.
Visakha, setelah mendengar bahwa Dhammadinna telah
kembali, pergi menemuinya dan bertanya kepadanya beberapa
pertanyaan. Ketika Visakha bertanya kepadanya tentang tiga
magga yang pertama; ia memberi jawaban kepadanya. Tetapi
ketika Visakha memberikan pertanyaan kepadanya tentang
"Jalan" (magga) dan "Hasil" (phala) arahat, ia berkata, "O
pengikut awam! Masalah ini diluar batas kemampuan
pengertianmu; jika engkau ingin tahu, engkau boleh pergi, dan bertanya kepada Sang Buddha."
Ketika Visakha bertanya kepada Sang Buddha, Sang
Buddha berkata, "Dhammadinna telah menjawab pertanyaanmu.
Jika engkau bertanya kepada-Ku, Aku akan memberikan
jawaban yang sama." Setelah berkata demikian, Sang Buddha
menegaskan kenyataan bahwa Dhammadinna telah mencapai
tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha membabarkan
syair 421 berikut :
Orang yang tidak lagi terikat apa yang telah lampau, apa
yang sekarang maupun yang akan datang, yang tidak memegang
ataupun melekat pada apapun juga, maka ia Kusebut seorang
"brahmana".
XXVI-40-Kisah Angulimala
Pada satu kesempatan, Raja Pasenadi dan Ratu Malika
memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para
bhikkhu yang berjumlah lima ratus, dalam ujud suatu pemberian yang tidak dapat dilampaui oleh siapapun juga. Pada saat
upacara berlangsung, setiap bhikkhu didampingi oleh seekor
gajah yang memegang payung putih yang menutupi kepala
bhikkhu tersebut dari sinar matahari. Namun demikian, mereka hanya mendapatkan empat ratus sembilan puluh sembilan gajah
yang terlatih, sehingga mereka harus menggunakan seekor gajah yang tidak terlatih, dan gajah tersebut ditempatkan untuk
memegang payung dekat Angulimala Thera. Setiap orang takut
bahwa gajah yang belum terlatih itu mungkin menyebabkan
kerusuhan, tetapi ketika dibawa dekat Angulimala Thera, ia
menjadi jinak. Berkaitan dengan kejadian ini para bhikkhu kemudian
bertanya kepada Angulimala apakah ia tidak merasa takut atau tidak. Kepada pertanyaan ini Angulimala menjawab bahwa ia
tidak merasa takut. Para bhikkhu kemudian menemui Sang
Buddha dan berkata bahwa Angulimala Thera menegaskan
dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu!
Adalah cukup jelas bahwa Angulimala tidak takut, mereka yang seperti dirinya juga tidak takut." Kemudian Sang Buddha
seperti dirinya juga tidak takut." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 422 berikut :
Ia yang mulia, agung, pahlawan, pertapa agung (mahesi),
penakluk, orang tanpa nafsu, murni,
telah mencapai penerangan, maka ia Kusebut seorang
"brahmana"
XXVI-41-Kisah Devahita, Seorang
Brahmana Pada suatu kesempatan, Sang Buddha menderita penyakit ringan pada lambung perut dan ia menyuruh Upavana Thera untuk
mencari air panas dari Devahita, sang brahmana.
Sang brahmana sangat senang karena mempunyai
kesempatan yang sangat langka untuk memberikan sesuatu
kepada Sang Buddha. Maka sebagai tambahan dari sekedar air
panas, ia memberi sirup gula kepada sang thera untuk Sang
Buddha. Di vihara, Upavana Thera memberikan air hangat untuk
mandi kepada Sang Buddha. Setelah mandi ia memberi Sang
Buddha campuran sirup gula dan air hangat. Setelah minum
campuran tersebut Beliau segera merasa lega.
Sang brahmana kemudian datang dan bertanya kepada
Sang Buddha, "Bhante! Pemberian yang dilakukan kepada siapa
yang memberikan manfaat terbesar bagi seseorang?"
Kepadanya Sang Buddha berkata, "Brahmana! Suatu
pemberian yang dilakukan kepada seseorang yang telah
meninggalkan semua kejahatan adalah yang paling bermanfaat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 423 berikut :
Seseorang yang mengetahui semua kehidupannya yang
Seseorang yang mengetahui semua kehidupannya yang
lampau, yang dapat melihat keadaan surga dan neraka, yang
telah mencapai akhir kelahiran, telah mencapai kesempurnaan
pandangan terang, suci, murni, dan sempurna
kebijaksaanaannya, maka ia Kusebut seorang "brahmana".
Pada akhir khotbah Dhamma itu, brahmana menjadi teguh
keyakinannya terhadap "Sang Tiga Permata" (Buddha, Dhamma
dan Sangha), dan menjadi pengikut awam Sang Buddha yang
berbakti. Pendekar Kelana 8 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Memanah Burung Rajawali 10

Cari Blog Ini