Ceritasilat Novel Online

Misteri Lukisan Tengkorak 3

Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 3


segera menghela napas panjang, gumamnya, "Kalian tak
bakal bisa lolos..."
Tampaknya ia tetap menyesal karena gagal menahan Ting
Tong-ih di situ, dia tak tahu masih adakah kesempatan
baginya untuk bersua lagi dengan gadis itu dalam keadaan
hidup. Dengan perasaan heran Gi Eng-si segera bertanya, "Se ...
sebenarnya siapakah orang itu?"
Lu Bun-chang memeriksa sekejap luka memanjang di
lengannya, mimpi pun dia tak menyangka kalau orang itu
mampu memainkan ilmu golok yang dahsyat hanya dengan
sehelai bulu, bahkan nyaris mengutungi lengannya.
"Ilmu golok Po-ting-to-hoat (ilmu golok bisul) kemampuan
ilmu golok orang ini telah berhasil mencapai taraf melukai
orang dengan sambitan bunga, tingkat kesempurnaan yang
mengerikan ... aaai, padahal hanya ada tiga orang yang
kemungkinan besar memiliki kemampuan semacam ini,
khususnya yang berdiam di wilayah beberapa ratus li seputar
sini, orang ini..."
"Hah" Jadi orang itu adalah dia?" berkilat sepasang mata Gi
Eng-si. Dengan wajah serius Lu Bun-chang manggut-manggut.
"Ya, kelihatannya memang dia."
"Tapi dia...." gumam Gi Eng-si.
Sebetulnya sejak semula pertanyaan yang dia ajukan
adalah ingin bertanya siapa yang mampu merontokkan kapak
raksasanya hanya dengan mengandalkan gumpilan lilin, kalau
dibilang manusia berkerudung itu sanggup melukai Lu Bunchang
dengan sehelai bulu sudah merupakan satu kejadian
yang luar biasa, maka kepandaian yang dimiliki si penyambit
gumpilan lilin itu jelas jauh lebih dahsyat, mengerikan dan tak
masuk akal. Malah hingga sekarang secara lamat-lamat Gi Eng-si masih
merasakan pergelangan tangannya sakit.
Si kakek melarikan kereta kuda itu dengan kencang, dia
langsung kabur menuju keluar kota.
Tong Keng dan Ting Tong-ih pun harus bekerja keras
melempar keluar semua obor menyala yang ada di dalam
kereta, kemudian memadamkan kebakaran yang terjadi di
kereta mereka. Dengan susah payah akhirnya mereka berdua berhasil
memadamkan kobaran api, ketika berpaling lagi ke arah lelaki
berkerudung itu, tampak sorot matanya yang semula bersinar
tajam, kini sudah berubah redup tak bercahaya, tangannya
masih menekan di atas dada, sementara cairan darah masih
mengucur keluar tiada hentinya.
"Hohan, bagaimana ... bagaimana keadaanmu?" teriak
Tong Keng. Dengan susah payah orang itu menarik napas, dia balik
bertanya, "Kita ... kita akan kemana?"
Waktu itu si kakek sedang memusatkan perhatian
mengendalikan laju kereta kuda itu sehingga tidak mendengar
dengan jelas pertanyaan yang diajukan manusia berkerudung
itu, terpaksa Tong Keng harus mengulang kembali pertanyaan
yang sama. Kakek itu sama sekali tidak berpaling, dia seakan tak mau
pikirannya pecah sehingga menyebabkan larinya kuda menjadi
kendor, sahutnya singkat, "Kita keluar kota!"
"Jangan ke situ!" segera manusia berkerudung itu berseru,
"Raja opas baru saja masuk kota, bila bertemu dengannya ...
kita semua bisa mampus!"
"Lantas kita harus pergi kemana?" tanya si kakek tanpa
memperlambat lari kudanya.
"Cepat belok ke sebelah barat kota, di situ terdapat tanah
pedesaan yang sangat luas, kita bisa berusaha mencari
tempat persembunyian di situ!"
Tiba-tiba kereta kuda itu berbelok arah, diiringi ringkikan
panjang, keempat ekor kuda itu berputar arah secara tibatiba,
sedemikian tajamnya belokan itu nyaris membuat kereta
kuda itu menempel di atas permukaan tanah, kini kereta
bergerak menuju ke barat kota.
"Loko," seru Tong Keng kemudian, "kepandaianmu
mengemudikan kereta betul-betul hebat!"
"Kau masih muda, tentu saja tak kenal dengan kebesaran
namanya di masa lalu," kata lelaki berkerudung itu cepat,
"dialah Hui-ki (si penunggang kuda kilat) Wan Hui!"
"Wan Hui?" ulang Tong Keng dengan kening berkerut.
Ketika mendengar namanya disebut orang, tampaknya
semangat kakek itu semakin berkobar, teriaknya sambil
berpaling ke dalam kereta, "Betul, aku bernama Wan Hui!"
"Aku bernama Tong Keng!" balas lelaki itu sambil melongok
keluar kereta. Sementara itu kereta kuda masih berlarian di tengah
kegelapan dengan kecepatan tinggi, terkadang mereka melalui
tebing yang curam dan pohon tumbang yang berserakan,
meski medannya semakin sulit namun laju kereta sama sekali
tidak melambat.
Pada saat itulah Ting Tong-ih yang berjaga di belakang
kereta berseru, "Hati-hati, beberapa puluh ekor kuda pengejar
sudah tiba di belakang kita."
"Jangan kuatir, kita memiliki Wan Hui yang jagoan," sahut
Tong Keng. "Itupun tidak cukup," kata lelaki berkerudung itu sambil
menggeleng, "kuda-kuda itu harus berlarian sambil menarik
kereta, jelas larinya tidak akan secepat lari kuda tunggal."
"Lantas apa yang harus kita lakukan?" tanya Tong Keng
cemas. Sambil menggigit bibir kata Ting Tong-ih, "Aku yakin di
depan sana pasti ada sejumlah jagoan yang siap menghadang
kita, kereta ini menjadi target yang mencolok."
"Tampaknya kita mesti meninggalkan kereta," usul lelaki
berkerudung itu, "mungkin dengan meninggalkan kereta,
gerak-gerik kita menjadi lebih leluasa."
"Tapi lukamu...." tanya Tong Keng.
Lelaki berkerudung itu tertawa paksa. "Hanya luka sekecil
ini kenapa mesti dikuatirkan" Kau tak usah menggubris lukaku
ini!" "Baiklah kalau begitu," ucap Ting Tong-ih tegas, "akan
kusuruh Wan Hui menyembunyikan kereta kudanya"
Kereta kuda pun segera berhenti berlari.
Padahal waktu itu kereta masih meluncur dengan
kecepatan luar biasa, laju kereta yang mendadak terhenti
kontan membuat semua orang yang berada di dalam kereta
terlempar keluar.
Cepat Ting Tong-ih menjejakkan kaki sambil memegang
kencang pinggiran kereta, dengan memanfaatkan kekuatan itu
dia melompat naik ke atap kereta.
Sementara lelaki berkerudung itu segera menghimpun
tenaga dalamnya, bagaikan besi sembrani dia seolah
menempel ketat di atas lantai kereta, ternyata tubuhnya sama
sekali tidak bergeming.
Hanya Tong Keng seorang yang terlempar keluar.
Begitu tubuhnya mencelat keluar, Tong Keng segera
bergulingan di atas tanah sambil berusaha melompat bangun,
ia lihat keempat ekor kuda itu sudah meringkik panjang sambil
mengangkat kedua kakinya ke tengah udara, ternyata Wan
Hui masih menempel di atas punggung kuda dan tidak ikut
terlempar. Bagaimana mungkin kereta kuda itu bisa berhenti secara
mendadak" Dengan cepat Tong Keng saksikan roda kereta itu sudah
lenyap, ruang kereta pun sudah hampir menancap di dalam
tanah, tak heran kalau kereta itu berhenti seketika.
Tapi siapa yang sanggup mematahkan roda kereta yang
sedang bergerak cepat"
Sekarang Tong Keng baru melihat, di bawah cahaya
rembulan ada dua orang berdiri di sisi kiri dan kanan mereka,
kedua orang itu masing-masing memegang sebuah roda
kereta. Tampaknya mereka berdualah yang secara paksa mencabut
lepas roda kereta yang sedang berlari kencang itu.
Berdiri di bawah cahaya rembulan yang redup, kedua orang
itu bagaikan mayat hidup yang baru bangkit dari liang kubur.
Tentu saja Tong Keng kenal dengan kedua orang itu.
Mereka berdua adalah jago-jago tangguh yang tak ingin
dijumpainya selama hidup, tapi justru di saat dia sedang
menyelamatkan diri, kedua orang itu menghadang jalan
perginya. Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi.
ooOOOoo Bab III. AUMAN HARIMAU DI TENGAH MALAM.
10. Siang Hitam Malam Putih.
"Bila aku menjadi kalian, aku tak bakal melarikan diri lagi,"
ujar Yan Yu-sim kalem, "sebab di depan sana sudah tak ada
jalan lagi, sementara pasukan pengejar sudah tiba dari
belakang, kalian tak bakal bisa lolos."
"Buat apa bersusah payah melarikan diri?" sambung Yan
Yu-gi pula, "kenapa tidak menyerahkan diri saja, bukankah
jauh lebih cerdik daripada membuang tenaga percuma?"
Orang berkerudung yang berada di dalam ruang kereta
mulai terbatuk-batuk.
Terdengar Yan Yu-sim kembali berkata, "Sekalipun kalian
berhasil lolos dari sergapan kami berdua, di depan sana sudah
ada Lo-hau-siau-gwe (auman harimau di tengah malam) Ni
Jian-ciu yang sedang menanti kedatangan kalian, bayangkan
sendiri, mampukah kalian menghadapi kesaktian Ni Jian-ciu?"
Jelas perkataan itu sengaja ditujukan kepada Ting Tong-ih
yang masih berada di dalam kereta.
"Di samping itu, si Raja opas Li Hian-ih juga telah menanti
di pintu kota," Yan Yu-gi menambahkan, "salah satu di antara
empat opas kenamaan pun sudah tiba di kota, kasus
pembunuhan ini sudah berkembang menjadi besar, apalagi
yang kalian bunuh adalah putra kesayangan Li-thayjin, mana
mungkin kalian mampu melarikan diri?"
Kelihatannya perkataan ini khusus ditujukan kepada lelaki
berkerudung yang berada dalam kereta.
Perlahan-lahan orang berkerudung itu berjalan keluar dari
ruang kereta, setiap mengayunkan langkahnya dia selalu
melakukan dengan sangat hati-hati, seakan-akan kuatir ada
tujuh delapan belas ekor kalajengking yang siap menyengat
kakinya dari balik semak.
Setelah berdiri tegap dan mengusap dadanya sebentar, ia
baru menarik napas panjang sambil berkata, "Dua bersaudara
Yan, kita adalah orang persilatan, apalagi peristiwa ini jelas
merupakan permusuhan pribadi, aku mohon kalian sudi
bermurah hati dengan melepaskan kami, budi kebaikan kalian
pasti akan kubalas di kemudian hari."
"Kau anggap kami mampu memutuskan persoalan ini?"
seru Yan Bu-gi, "Ko-piautauw, aku rasa kau tak perlu
menyembunyikan identitasmu lagi, lepaskan kain kerudungmu
dan ikut kami balik ke markas!"
Begitu selesai mendengar perkataan itu, Tong Keng segera
berseru tertahan.
Selama ini dia selalu merasa orang yang berulang kali
membantunya memiliki perawakan tubuh serta gerak
serangan yang sangat dikenalnya, ternyata orang itu tak lain
adalah congpiauwtau dari perusahaan ekspedisi Sin-wi-piaukiok,
Ko Hong-liang, yang sudah lama lenyap dari peredaran.
Dalam pada itu manusia berkerudung itu sudah melepaskan
kain kerudung wajahnya, di bawah cahaya rembulan
muncullah selembar wajah tua yang kelihatan masih tampan
dan gagah, sekulum senyuman getir menghias bibirnya.
"Ternyata aku tak mampu mengelabui kalian!" keluhnya.
"Bukan saja tak mampu mengelabui kami, siapa pun tak
berhasil kau kelabui," kata Yan Yu-sim, "Li-thayjin dan opas
sakti Li sudah memperhitungkan secara tepat kalau kau pasti
akan muncul di saat kami menyerbu rumah pelacuran Kiokhongwan serta membasmi perguruan Bu-su-bun, ternyata
perhitungan mereka tidak meleset, kau telah menampakkan
diri." Ko Hong-liang tidak bicara lagi, mendadak dari dadanya dia
mencabut keluar sebatang sisir yang terbuat dari baja.
Semburan darah segar segera bercucuran membasahi
seluruh tubuhnya.
"Sakit sekali?" tanya Ting Tong-ih dengan kening berkerut.
Sikapnya yang penuh perhatian persis seperti sikap seorang
ibu terhadap anaknya, seperti juga seorang bocah perempuan
yang menyayangi anjing kecilnya.
Terkesima dan termangu Tong Keng menyaksikan wajah
nona itu. "Sakit sekali!" sahut Ko Hong-liang sambil mendengus
berat. Tapi setelah tertawa kembali ujarnya, "Sekalipun sakit
sekali, sebagai seorang enghiong yang hidup dalam dunia
persilatan, tidak sepantasnya aku menyinggung soal
kesakitan."
Kembali sekulum senyuman menghiasi wajah Ting Tong-ih,
wajahnya nampak lebih cerah, secerah bulan purnama,
kewanitaannya pun kelihatan semakin menonjol dan
menyebarkan daya pikat yang besar.
"Kalau sakit katakan saja sakit, siapa bilang tak boleh
diucapkan?" katanya tertawa, "memangnya kalau sudah
menjadi enghiong tak bakal merasa sakit?"
Kedua oang itu saling berbincang dengan amat santainya,
seakan sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap
kehadiran Yan bersaudara.
Mencorong sinar buas dan marah dari balik mata Yan Yusim.
Sebelum dia melakukan sesuatu, terdengar Ko Hong-liang
kembali berkata, "Sakit biarlah sakit, toh tak terlalu masalah.
Bagaimana kalau yang besar aku serahkan kepadamu sedang
yang kecil biar aku bereskan sendiri?"
Ting Tong-ih manggut-manggut, dengan gerakan yang
indah dia mencabut tusuk konde emas dari rambutnya,
dengan bibirnya dia gigit tusuk konde itu sementara
tangannya membenahi rambutnya yang kusut dengan
menggulungnya menjadi sebuah konde kecil, lalu
menancapkan kembali tusuk konde itu di rambutnya.
Entah mengapa, gerakan tubuhnya yang sangat alami itu
membuat Yan Yu-sim maupun Yan Yu-gi tak ingin


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengganggunya, oleh sebab itu mereka pun tidak langsung
melancarkan serangan.
"Selesai sudah," kata Ting Tong-ih, kemudian katanya pula
kepada Tong Keng dan Wan Hui, "kalian berdua boleh pergi
lebih dulu."
Begitu selesai bicara, pedangnya sudah ditusukkan ke
tenggorokan Yan Yu-sim dengan kecepatan luar biasa.
Golok besar di tangan Ko Hong-liang pun langsung
membabat tubuh Yan Yu-gi diiringi deru angin tajam.
Niat dan tujuan dari Ting Tong-ih serta Ko Hong-liang jelas
sekali, mereka berniat menghambat gerak maju dua
bersaudara Yan tapi tidak berniat melakukan pertarungan,
namun hasil pertarungan ini masih sukar diramalkan, mereka
berharap Tong Keng dan Wan Hui bisa kabur terlebih dulu.
Wan Hui sangat memahami maksud kedua orang rekannya
itu, sambil mengertak gigi dia segera melejit ke udara dan
bergerak meninggalkan tempat itu, tapi Tong Keng enggan
beranjak. Karena Tong Keng tidak pergi, terpaksa Wan Hui balik
kembali ke tempat asal.
"Tak ada gunanya kau tetap tinggal di sini" bujuknya
kemudian, "bila ingin membalas dendam sakit hati, sekarang
kau mesti menyelamatkan diri terlebih dulu!"
"Aku tahu," tukas Tong Keng ngotot, dia menggelengkan
kepalanya berulang kali, "sayang aku tetap tak mau pergi!"
Wan Hui menghela napas panjang, akhirnya dia
menjejakkan kakinya melompat naik ke atas punggung seekor
kuda dan berlalu dari situ.
Padahal Tong Keng sendiri pun sadar, dengan kepandaian
silat yang begitu cetek mustahil dia dapat membantu Ting
Tong-ih maupun Ko Hong-liang, tetap tinggal di situ tak lebih
hanya mengantar kematian dengan percuma, tapi orang
macam dia memang termasuk jenis manusia aneh, dia tak
sudi melarikan diri dengan membiarkan orang lain berjuang
mati-matian demi membela keselamatan jiwanya.
Oleh sebab itu ia tetap tinggal di sana, dia sudah siap
menghadapi kematian.
Ko Hong-liang adalah majikannya, kali ini dengan
mempertaruhkan nyawa mendatangi sarang pelacuran Kiokhongwan demi menyelamatkan jiwanya, tentu saja dia tak
mau kabur seorang diri. Sementara terhadap Ting Tong-ih, dia
memiliki perasaan yang lebih aneh lagi, baginya bisa mati
bersama gadis itu justru merupakan semacam kegembiraan,
semacam kehormatan.
Dia sendiri pun tak habis mengerti kenapa bisa timbul
pikiran semacam ini di dalam benaknya.
Ketika Wan Hui berlalu dari sana, situasi di tengah arena
kembali terjadi perubahan besar.
Serangan pedang Ting Tong-ih yang dilancarkan secara tak
terduga tiba-tiba berubah arah di tengah jalan, kini dia balik
menusuk bahu Yan Yu-sim.
Dia melakukan hal itu karena masih belum yakin Yan Yusim
sebenarnya teman atau musuh.
Dengan tenang Yan Yu-sim menatapnya tanpa berkedip,
ketika serangan itu hampir mencapai bahunya, mendadak ia
menyentilkan jari tengahnya ke atas, "Triiing!", mata pedang
seketika tersentil hingga miring ke samping. Sambil
merangsek maju ke depan bisiknya, "Cepat kabur dari sini,
setelah sampai dalam hutan di belakang desa Pay-hu-cun,
tunggu di situ."
"Kalau ingin membebaskan, bebaskan kami semua" kata
Ting Tong-ih sambil mencibir.
Berkilat sepasang mata Yan Yu-sim, katanya lagi agak
gusar, "Hanya kau seorang yang boleh pergi! Dengar baikbaik,
aku hanya membebaskan kau seorang!"
"Kenapa?"
Dengan sepasang matanya yang dingin menyeramkan Yan
Yu-sim memandang sekejap seluruh tubuh gadis itu,
kemudian baru katanya, "Dengan cepat kau akan segera tahu
mengapa aku bersikap begitu baik kepadamu."
Sementara mereka berdua berbincang sambil bertarung, di
pihak lain pertarungan antara Ko Hong-liang melawan Yan Yugi
juga sudah diketahui siapa pemenangnya.
Di saat Ko Hong-liang melancarkan serangan golok yang
pertama tadi, Yan Yu-gi dengan kecepatan luar biasa
melancarkan pula serangkaian pukulan kilat.
Serangkaian pukulan berantai memaksa Ko Hong-liang mau
tak mau harus menarik kembali goloknya untuk melindungi
diri. Belum selesai pukulan berantai yang pertama dilontarkan,
pukulan berantai kedua sudah dipersiapkan, dengan susah
payah Ko Liang-hong menerima empat-lima puluh jurus
serangan itu, tapi pukulan berantai ketiga sudah dilancarkan
lagi bagai hujan deras.
Gaya pukulan Yan Yu-gi sama sekali berbeda dengan gaya
pukulan pada umumnya, jari tangannya tidak ditekuk,
pergelangan tangannya tidak melengkung, lengannya tak
bengkok, pinggulnya tak bergerak, semua pukulan dilancarkan
dengan kaku dan lurus, itulah ilmu pukulan mayat hidup dari
keluarga Yan yang sudah lama punah dari dunia persilatan.
Menanti rangkaian pukulan keempat mulai dilancarkan, Ko
Hong-liang segera sadar, bila ia tidak melakukan perlawanan,
maka selamanya dia tak akan memperoleh kesempatan untuk
melancarkan serangan balasan.
Ko Hong-liang segera menarik napas panjang.
Ketika menghimpun tenaga dalam, paras mukanya berubah
menjadi merah padam, semburan darah kembali memancar
keluar dari luka di dadanya.
Kemudian dia pun melolos goloknya.
Sebaliknya Yan Yu-gi tak berani ayal, dia pun menghimpun
tenaganya untuk bersiap, tulang-belulang seluruh badannya
gemerutuk menimbulkan suara keras, suaranya seperti sebuah
boneka kayu yang tiba-tiba dipatahkan orang dan tersebar
kemana-mana. Tak lama kemudian seluruh tangannya telah berubah
menjadi lembek bagai kapas, seperti seekor ular yang sedang
melingkar, tangan itu membelit tubuh golok lawan.
Padahal mata golok itu luar biasa tajamnya, tapi ternyata
tak mempan melukai lengan Yan Yu-gi yang sedang melilitnya
dengan kuat itu.
Segera Ko Hong-liang melepaskan goloknya, kemudian
mencabut rumput dari tanah dan menggunakan rumput yang
dicabut itu untuk melancarkan bacokan maut.
Yan Yu-gi terkesiap, cepat dia menangkis dengan
menggunakan sepasang tangannya yang sedang melilit golok
itu, ternyata serangan "golok rumput' itu sama sekali tidak
melalui sepasang tangannya dan tahu-tahu sudah mengancam
dadanya. Tergopoh-gopoh Yan Yu-gi menyedot napas panjang,
seluruh tubuhnya ditekuk ke belakang untuk menghindari
ancaman maut itu.
Kendatipun ia berhasil melepaskan diri dari serangan yang
mematikan, tak urung sebuah luka memanjang mengucurkan
darah segar muncul di dadanya.
Berhasil dengan serangan mautnya, Ko Hong-liang segera
merebut kembali goloknya dan sekali lagi melancarkan
bacokan. Dengan penuh rasa cemas Yan Yu-gi melompat mundur ke
belakang. Yan Yu-sim yang menyaksikan saudaranya tercecar, segera
meninggalkan Ting Tong-ih dan segera menyongsong
datangnya serangan Ko Hong-liang.
Tiba-tiba terdengar seseorang berkata, "Luar biasa,
ternyata ilmu golok Po-ting-to-hoat memang bukan nama
kosong." Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali terdengar
orang itu berkata lebih jauh, "Dulu Po-ting Ciat-gou melebur
ilmu goloknya menjadi satu sehingga semua gerak serangan
dapat disesuaikan dengan irama hatinya, dan sekarang meski
kau pun bisa mengangkat yang enteng seolah benda berat,
walaupun gerakan serangan sudah menyatu dengan perasaan,
tapi sayang...."
Bicara sampai di sini ia melanjutkan lagi, hanya terdengar
suara derap kaki kuda yang bergerak mendekat, di tengah
suara derap kuda itu lamat-lamat terdengar suara lolongan
serigala yang memilukan hati.
Berubah hebat paras muka Ko Hong-liang.
Ketika pertama kali menyerbu ke dalam sarang pelacuran
Kiok-hong-wan untuk menolong orang, sorot matanya masih
bersinar tajam dan penuh dengan tenaga dahsyat.
Kemudian setelah bertarung melawan Lu Bun-chang dan
menderita luka, sorot matanya yang tajam tiba-tiba lenyap tak
berbekas. Ketika berhasil memukul mundur Yan Yu-gi barusan, sorot
mata tajamnya kembali pulih, tapi begitu selesai mendengar
ucapan yang terakhir, wajahnya seketika berubah menjadi
tegang bahkan terlintas perasaan takut dan ngeri yang luar
biasa. Begitu juga dengan Ting Tong-ih. Hanya saja bukan rasa
ngeri dan takut yang menghiasi wajahnya, kini dia tampil
dengan wajah pasrah, siapa pun dapat melihat kalau dia
sudah tidak menaruh harapan apapun terhadap keselamatan
jiwanya. Sebetulnya siapakah yang telah datang"
Terdengar suara lolongan serigala yang memilukan hati itu
bergema semakin mendekat diikuti suara derap kaki kuda
yang makin mendekat....
Di atas seekor kuda, duduk seseorang.
Begitu melihat kemunculan kuda itu, tak kuasa lagi Tong
Keng berteriak keras, "He, kemana perginya Wan Hui?"
Ternyata kuda yang ditunggangi orang itu adalah kuda
yang ditumpangi Wan Hui untuk kabur tadi.
Kini kuda itu sudah balik kembali, cuma si penunggang
sudah bukan Wan Hui.
Sesudah berteriak keras Tong Keng baru dapat melihat
jelas raut muka si penunggang kuda itu.
Orang ini berambut hitam yang dibiarkan terurai di bahu,
berparas dingin tanpa perasaan, tapi sekilas pandang orang
akan sangka dia sedang kelelahan. Seluruh kerutan wajahnya
seolah berkumpul menjadi satu tanpa meninggalkan kesan
seolah dia adalah seseorang yang sudah tua, kerutan di
wajahnya seperti kerutan bawaan dari panca inderanya.
Akhirnya suara derap kaki kuda telah berhenti, di pinggang
orang itu tergantung tiga buah buli-buli, sekarang dia
membuka satu di antaranya dan mulai meneguk arak yang
ada di buli-buli itu.
Orang ini sangat dikenal wajahnya!
Tong Keng berusaha memutar otak mengingat siapa
gerangan orang ini, tapi tidak teringat siapakah dia dan kapan
pernah bersua dengannya, tapi dia yakin orang ini pasti sudah
pernah dijumpainya.
Siapakah orang itu"
Begitu bersua dengan orang itu Ko Hong-liang pun segera
menampilkan perasaan gusar tak terkira, langsung tegurnya,
"Ternyata kau?"
"Betul, memang aku!" jawab orang itu.
"Perkataanmu tadi belum selesai kau ucapkan."
"Aku hanya bilang sayang."
"Apanya yang sayang?"
"Walaupun ilmu golokmu sudah mencapai puncaknya,
sayang belum terlatih sempurna, kau memang bisa
menggunakan daun dan bunga untuk melukai orang, tapi
sayangnya kau masih tetap membutuhkan golok!"
Ko Hong-liang melengak, setelah menghela napas panjang
sahutnya, "Betul, tanpa golok memang lebih unggul dari
bergolok, untuk mencapai taraf itu aku masih membutuhkan
waktu yang panjang, sayang usaha piaukiok kami
membutuhkan perhatian dan waktu yang banyak sehingga tak
ada kesempatan bagiku untuk melatih ilmu golok itu hingga
sempurna."
"Oleh sebab itu gara-gara urusan kecil kau telah kehilangan
yang besar, bukan saja usaha menjadi berantakan, nyawa pun
kemungkinan besar ikut melayang."
Ko Hong-liang tertawa getir. "Perusahan Sin-wi-piau-kiok
memang sudah hancur, tapi aku masih hidup hingga
sekarang," katanya.
"Piaukiok sudah bubar, kau pun sudah saatnya untuk
mampus." Ko Hong-liang tak kuasa menahan hawa amarahnya lagi,
dengan sorot mata berkilat serunya, "jadi sekarang kau
bekerja untuk pemerintah?"
"Aku hanya bekerja untuk Li-thayjin!" jawab orang
berambut panjang itu singkat.
"Jadi kau hendak membunuhku?"
Orang berambut panjang itu menggelengkan kepalanya
berulang kali, memandang lawannya seolah sedang
memandang orang goblok yang sudah tiada harapan untuk
ditolong lagi, katanya, "Ditinjau dari peristiwa ini, kau bersama
seluruh anggota Piaukiok sudah sepantasnya bunuh diri, kalau
seseorang sudah dipastikan harus mati ternyata belum mati
juga, bukankah hal ini sama artinya telah membuang waktu
bagi diri sendiri maupun orang lain?"
Ko Hong-liang tertawa pedih, sambil mengayunkan
goloknya dia berseru, "Kalau ingin membunuhku, silakan!"
Baru saja dia mengayunkan goloknya, Yan Yu-sim telah
menggelengkan kepala berulang kali, pancaran sinar matanya
seolah sedang memandang seseorang yang hampir mati.
"Ah, teringat aku sekarang!" tiba-tiba Tong Keng berteriak
keras, "aku sudah tahu siapakah kau!"
Teriakan itu kontan saja membuat Ko Hong-liang maupun
orang berambut panjang itu berdiri kebingungan.
Sambil menuding orang itu, kembali Tong Keng berteriak,
"Aku pernah berjumpa denganmu, sewaktu berada dalam
penjara, kau bersama tiga orang yang lain dan Li-kongcu
hendak menguliti badanku ... tapi waktu itu ... rambutmu..."
"Berwarna putih," sambung orang berambut panjang itu
hambar. "Betul," Tong Keng menegaskan, "waktu itu rambutmu
berwarna putih keperak-perakan."
Orang berambut panjang itu membalikkan badan menatap


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tong Keng, lalu tanyanya, "Kapan terjadinya?"
"Pagi hari," sahut Tong Keng setelah berpikir sejenak.
"Pagi hari berarti saat terang tanah," ujar orang itu
tertawa. Tong Keng melongo, dia tak mengerti apa maksud jawaban
itu. Ko Hong-liang yang berada di sisinya segera
menambahkan, "Saudara Tong, pernahkah kau dengar
tentang seorang jago dalam dunia persilatan yang warna
rambutnya dapat berubah sesuai dengan terbit tenggelamnya
matahari?"
"Pernah," sahut Tong Keng cepat, "konon jago persilatan
itu akan berambut hitam di malam hari dan berambut putih di
siang hari, tapi aku dengar Cianpwe ini sudah lama mati."
Ko Hong-liang menghela napas panjang. "Jago persilatan
itu bukan saja tidak mati, bahkan dengan bertambahnya usia,
kepandaian silat yang dimilikipun bertambah maju, tapi
sayang tabiat serta sepak terjangnya ikut berubah sangat
aneh, orang yang berambut putih di pagi hari dan berambut
hitam di waktu malam itu kini berada di sini...."
"Jadi dia adalah..." dengan perasaan kaget Tong Keng
menengok ke arah orang berambut panjang itu.
"Dua puluh tahun berselang dia disebut orang Pek-hoathuangjin (manusia latah berambut putih), tapi sejak sepuluh
tahun lalu tiba-tiba jejaknya hilang, sampai tujuh tahun yang
lalu, tahu-tahu di dunia persilatan muncul seorang jago
berambut hitam dan putih yang memiliki ilmu silat sangat
tangguh, orang itu tak lain adalah 'Auman harimau di malam
hari' Ni Jian-ciu."
"Jadi dia orangnya?" tanya Tong Keng termangu.
"Sekarang ini sedang malam atau pagi hari?" tanya Ni Jianciu.
"Tentu saja tengah malam," jawab Tong Keng setelah
memandang rembulan sekejap.
"Kalau begitu seharusnya rambutku sedang hitam saat ini."
"Jadi kau ... kau benar-benar adalah si Manusia latah
berambut putih di masa lalu?"
"Ada apa?"
"Manusia latah berambut putih adalah seorang manusia
yang sangat latah, sangat angkuh, bukan saja beraninya
menganiaya yang kecil dan lemah, bahkan suka
mengandalkan kekuasaan untuk menindas orang, aku dengar
dahulu kau pernah bekerja ikut Coh Siang-giok si Raja
pemusnah ... sekarang... kenapa sekarang..."
Akhirnya mimik muka Ni Jian-ciu menampilkan sedikit
perubahan, tiba-tiba hardiknya nyaring, "Tutup mulutmu!"
Bagi orang lain, bentakan itu kedengarannya tidak
terlampau keras, namun bagi pendengaran Tong Keng, dia
merasakan hatinya bergetar keras, dadanya seolah dihantam
martil yang amat berat, selain sakitnya bukan kepalang
bahkan keempat anggota badannya jadi kesemutan.
Berada dalam keadaan seperti ini, siapa pun tak nanti bisa
buka suara lagi.
Tapi Tong Keng terhitung seorang lelaki keras kepala yang
berjiwa nekad, dia enggan menyerah begitu saja kepada
orang lain, sambil menahan rasa sakit yang luar biasa kembali
ujarnya, "Dulu aku sangat mengagumi Manusia latah
berambut putih, bahkan menghormatinya lahir batin,
kusangka dia adalah seorang lelaki sejati yang tak takut langit
tak takut bumi, menghadapi musuh setangguh apapun tak
pernah takut, siapa tahu..."
Sekujur tubuh Ni Jian-ciu mulai bergetar keras, ada
semacam kekuatan yang bergelora dalam tubuhnya.
Tiba-tiba saja rambut hitamnya bergelombang seperti senar
rebab yang sedang digesek, menggulung dan berombak
dengan sangat indahnya, bukan cuma itu, sorot matanya pun
memancarkan sinar dingin yang menggidikkan hati, sinar liar
dari seekor binatang buas, sedingin bongkahan salju abadi.
Tong Keng sama sekali tak menggubris, katanya lebih jauh,
"Siapa tahu setelah berjumpa hari ini, aku betul-betul merasa
sangat kecewa, ternyata dia telah berubah menjadi seekor
ulat yang patut dikasihani, seekor anjing buduk yang bisanya
mengebas ekor di belakang majikannya, ternyata nyalinya
kecil, beraninya mengandalkan kekuatan pembesar anjing
untuk menindas kaum lemah...!"
"Tong Keng!" Ko Hong-liang yang menyaksikan gelagat
tidak beres segera menghardik.
Tong Keng tidak ambil peduli, sambil membusungkan dada
dan memperkeras nada suaranya kembali dia berteriak,
"Huuuh, apa itu Manusia latah berambut putih, mendingan
mampus sedari dulu, sekarang berubah menjadi harimau
mengaum di tengah malam, harimau apaan itu" Harimau
ompong! Percuma memiliki kepandaian silat tangguh! Biarpun
kau mampu membunuh aku dengan sekali pukulan, aku tak
akan menganggapmu sebagai sesosok makhluk!"
Sementara dia masih berkoar-koar, seluruh badan Ni Jianciu
telah bergetar keras, mulutnya memekik keras, badannya
bergoyang bagai sebatang pohon yang akan tumbang,
kemudian selangkah demi selangkah dia menghampiri Tong
Keng, dalam beberapa kali langkah ia sudah berdiri di depan
pemuda itu, namun Tong Keng sama sekali tak ambil peduli,
mengedipkan mata pun tidak, dia masih mengejek dengan
nada sinis. Tampaknya pekikan nyaring Ni Jian-ciu sangat menyayat
tubuhnya, lambat-laun terlihat darah segar mulai bercucuran
membasahi ujung bibirnya.
Rambut hitam Ni Jian-ciu sudah berdiri tegak bagai seekor
landak, sepatah demi sepatah serunya, "Kuhajar kau sampai
mampus!" "Bagus, silakan hajar aku," ejek Tong Keng sambil
memuntahkan darah segar, "sekalipun kau hajar sampai
mampus, paling dua puluh tahun kemudian akan lahir lagi
sebagai seorang Hohan, aku tetap akan menghajar hidung
manusia she Ni sampai ringsek."
"Tong Keng!" Ting Tong-ih tak kuasa menahan diri, dia
menjerit keras.
Ko Hong-liang tidak diam, dia pun segera menggeser
badannya ke depan, maksudnya akan menghadang di antara
Ni Jian-ciu dan Tong Keng serta berusaha menyelamatkan
jiwanya. Sayang Ni Jian-ciu sudah turun tangan.
ooOOOoo 11. Jangan Tanya Siapa Aku.
Di tengah suara pekikan amat nyaring, Ni Jian-ciu telah
melancarkan serangannya.
Angin mulai menderu-deru. Rerumputan beterbangan,
pohon pun bertumbangan.
Seketika itu juga Tong Keng merasa sepasang telinganya
seolah dijirat oleh beribu helai jaring laba-laba yang mulai
membetotnya, rasa sakit merasuk tulang sumsum, ditambah
suara pekikan yang begitu keras membuat bola matanya
penuh darah, isi perutnya bagai diobok-obok, sakitnya bukan
kepalang. Kini Tong Keng sudah kehilangan kekuatan untuk
melakukan perlawanan.
Dalam waktu singkat angin pukulan yang begitu dingin
membeku, tanpa suara, tanpa perasaan, tanpa belas kasihan
sudah makin menghimpit dadanya.
Orang yang melancarkan serangan seolah tak punya
nyawa, orang yang menjadi sasaran pukulannya seakan tak
ada harapan lagi untuk tetap bernyawa.
Cahaya pedang di tangan Ting Tong-ih menembusi lapisan
angin mantelnya langsung menggorok leher Ni Jian-ciu.
Tiba-tiba Ni Jian-ciu miringkan kepalanya menghadap ke
arah gadis itu, sambil bergerak, kembali dia berpekik nyaring,
jauh lebih keras ketimbang pekikan tadi.
Gigi yang putih, lidah yang tajam, bibir yang merah, rambut
yang hitam seolah bergabung dalam pekikan yang menusuk
pendengaran, segulung aliran hawa serangan bagai pusingan
ombak di samudra langsung menghajar mukanya.
Ting Tong-ih merasa sekeliling tubuhnya seakan tergulung
di dalam aliran angin pukulan itu, mantelnya tergulung hingga
berputar makin kencang, rubuhnya bagaikan sebatang pohon
yang tercabut berikut akarnya terlempar ke tengah udara,
menanti ia berhasil memaksakan diri berdiri tegak, pedangnya
sudah terlepas dari genggaman dan menancap di pohon
siong. Pada saat bersamaan Ko Hong-liang mengayunkan
goloknya membacok tubuh Ni Jian-ciu.
Begitu goloknya diayunkan ke depan, suara pekikan Ni
Jian-ciu pun terputus di tengah jalan.
Suara pekikan yang menakutkan!
Dalam keadaan begini, Ni Jian-ciu hanya melakukan satu
tindakan, mendadak dia mengambil buli-buli yang tergantung
di pinggang kirinya, membuka penutupnya dan ... "Sreeet!",
sekilas cahaya putih berkelebat.
Menyusul kemudian Ko Hong-liang merasakan tangannya
menjadi enteng, ternyata goloknya sudah hancur, hancur
menjadi beribu keping dan berserakan di tanah.
Sementara Ko Hong-liang masih terperangah, tubuh Ting
Tong-ih sudah terpental oleh suara pekikan bergelombang itu,
Ni Jian-ciu dengan tanpa belas kasihan langsung
menghujamkan pukulannya ke atas dada Tong Keng.
Ternyata serangan gabungan tiga orang jagoan itu tak
mampu menghadang sebuah pukulan yang dilancarkan Ni
Jian-ciu. Di saat kritis itulah sekonyong-konyong Tong Keng
merasakan persendian tulang lutut kirinya kesemutan,
kejadian itu berlangsung mendadak dan sama sekali di luar
dugaan, tak ampun Tong Keng merasakan kakinya lemas dan
dia pun jatuh berlutut.
Tapi justru lantaran dia berlutut, serangan yang dilancarkan
Ni Jian-ciu menghantam tempat kosong, menyambar lewat
hanya tiga inci di atas kepalanya.
Pukulan maut itu sama sekali tidak disertai angin serangan,
juga tak ada hawa tekanan yang dahsyat, yang ada hanya
kematian. Dengan melesetnya pukulan itu, Tong Keng pun tak perlu
kehilangan nyawa.
Tong Keng sendiri pun tidak habis mengerti bagaimana
mungkin dia bisa lolos dari serangan maut itu.
Terkejut bercampur girang Ting Tong-ih dan Ko Hong-liang
setelah menyaksikan kejadian ini, mereka pun merasa sedikit
terperangah, karena mereka tak tahu apa sebabnya serangan
maut itu bisa meleset menghantam tubuh Tong Keng.
Kelihatannya Ni Jian-ciu sendiri pun dibuat tertegun, waktu
itu telapak tangannya masih berada di atas kepala Tong Keng,
asal dia mau menekan ke bawah, niscaya hantaman itu akan
bersarang telak di ubun-ubun lawannya. Tong Keng pun
mustahil bisa lolos dari kematian.
Namun Ni Jian-ciu tidak melakukan hal itu, sambil
mendengus dingin serunya, "Nasibmu memang sedang
mujur!" Perlahan-lahan dia menarik kembali telapak
tangannya. Dengan cepat Tong Keng melompat bangun, teriaknya,
"Aku tidak bermaksud berlutut di hadapanmu, aku hanya..."
"Peduli apapun yang telah terjadi, kenyataan kau berhasil
lolos dari seranganku," tukas Ni Jian-ciu dingin.
Tong Keng mencoba berpikir, namun tetap tak habis
mengerti, dia tak tahu mengapa serangan itu bisa dihindari
secara jitu, segera serunya, "Kalau gagal dengan serangan
pertama, kau bisa mencoba serangan kedua."
Ni Jian-ciu tertawa dingin, tanpa menggubris pemuda itu
lagi dia beranjak mendekati Ko Hong-liang.
Ko Hong-liang menghela napas panjang, katanya
kemudian, "Tidak kusangka setelah berpisah selama sepuluh
tahun, kau telah berhasil melatih ilmu Sam-po-hu-lu (tiga
mestika buli-buli)!"
"Ilmu golokmu kelewat bagus, mau tak mau terpaksa aku
harus menggunakan salah satu di antaranya," sahut Ni Jianciu.
"Tapi sekarang, golok pun tidak kumiliki," kata Ko Hongliang
sambil tertawa getir.
Sambil menunjuk ke tanah, tukas Ni Jian-ciu, "Kau toh
masih memiliki rumput!"
Ko Hong-liang termenung beberapa saat, kemudian baru
katanya lagi, "Sejak awal peristiwa, sebetulnya kami hanya
korban fitnah, apakah kau berkeras hendak membunuhku?"
"Semenjak terjadinya peristiwa ini, kalian sudah dipastikan
harus mati," tukas Ni Jian-ciu tanpa perasaan, "asal kau bunuh
diri, aku tak akan turun tangan."
"Baik, aku akan bunuh diri. Tapi bebaskan mereka berdua."
"Aku tak pernah membunuh orang yang bisa lolos dari
pukulan mautku, sedang mengenai Ting Tong-ih, Lu-thayjin
telah berpesan agar menawannya hidup-hidup."
"Baik!" seru Ko Hong-liang kemudian.
Sekali lagi rambut hitam Ni Jian-ciu bergelombang bagai
riak ombak, dengan menggunakan nada yang paling rendah,
lambat dan memilukan hati dia bertanya, "Sudah bisa
dimulai?" "Bisa!"
Tiba-tiba Ko Hong-liang membentak nyaring, dia melepas
angkinnya kemudian digetarkan ke udara, angkin (ikat
pinggang kain) itu ibarat sebilah golok panjang segera
meluncur ke depan.
Sebilah golok panjang yang bisa mengenas, bisa pula
lembek. Golok panjang itu langsung diayunkan ke batok kepala Ni
Jian-ciu, memenggalnya disertai desingan angin tajam.
Ni Jian-ciu sama sekali tidak menghindar, dia seolah tak
sempat menghindarkan diri.
Dengan cepat Ko Hong-liang melancarkan bacokan kedua,
kali inipun Ni Jian-ciu tidak melancarkan serangan balasan, dia
seakan masih tak mampu membendung datangnya ancaman.
Ko Hong-liang menarik napas panjang, kini dia melancarkan
bacokan ketiga.
Ni Jian-ciu masih berdiri mematung, di bawah cahaya
rembulan, di sisi pepohonan siong, rambut hitamnya berkibar
bagai gelombang ombak, tubuhnya kaku bagai sebuah patung
Beng-ong. Setelah ketiga serangan bacokannya mengenai tempat
kosong, Ko Hong-liang menarik kembali serangannya,


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuang angkinnya ke tanah dan dengan napas tersengal
ujarnya, "Bunuhlah aku"
"Kau masih ingin mencoba lagi?"
"Tak ada gunanya," Ko Hong-liang tertawa getir, "barusan
kau telah menggunakan tanganmu membabat sebanyak tiga
kali di atas mata golokku, meski dalam pandangan kami kau
seakan sama sekali tak bergerak."
"Kecepatan yang sesungguhnya justru menimbulkan kesan
seakan gerakan itu amat lamban."
"Ya, seperti peredaran kehidupan kita, seperti saat
matahari terbit, matahari terbenam," sambung Ko Hong-liang
sambil tertawa getir.
"Seperti juga gerakan cahaya, gerakan suara, berlalunya
sang waktu, semua berjalan wajar, padahal mereka berlalu
dengan cepatnya," Ni Jian-ciu menambahkan.
"Itulah sebabnya aku tak akan bertarung lagi."
"Oleh karena kau pernah menjadi sahabatku, aku tak tega
membunuhmu Berkilat sepasang mata Ko Hong-liang, tapi sebelum ia
berucap sesuatu, Ni Jian-ciu telah berkata lebih jauh, "Akan
tetapi kau harus mati ... lebih baik habisi sendiri nyawamu."
"Hahaha!" Ko Hong-liang tertawa tergelak, "seorang
sahabat yang luar biasa, seorang sahabat yang memaksa
sahabatnya bunuh diri!"
Tiba-tiba paras muka Ni Jian-ciu berubah hebat, berubah
sangat emosi, membuat orang berkesan rambutnya sedang
bergelora bagai ombak samudra, kerutan wajahnya seperti
riak air yang terhembus angin.
"Sahabat" Tanpa sahabat mana mungkin ada aku hari ini?"
teriakan Ni Jian-ciu bagai jeritan setan, "kau sangka aku tidak
menyukai sahabat" Dulu manusia latah berambut putih tidak
memiliki apa-apa, yang ada Cuma sahabat, yang paling bisa
dibanggakan hanya seorang sahabat!"
Angin malam berhembus kencang, jarum pohon cemara
berguguran ke atas tanah.
Jeritan Ni Jian-ciu tak ubahnya seperti lolongan serigala di
tengah malam buta, jeritan itu mirip pula seperti jeritan setan
dedemit yang sedang berkeliaran mencari sukma
gentayangan. "Kau belum pernah dikhianati oleh sahabat karibmu,
darimana bisa tahu apa arti kesetia-kawanan seorang
sahabat?" teriaknya, "kau belum pernah dicelakai oleh
sahabatmu yang paling akrab, darimana kau bisa memahami
ketidak berperasaannya seorang sahabat?"
"Aku ... aku belum pernah mengkhianatimu" ucap Ko Hongliang
tergagap. Sekali lagi Ni Jian-ciu tertawa seram, suara tawanya seperti
jeritan kuntilanak di tengah tanah pekuburan, sekali lagi daun
pohon siong berguguran ke tanah, rumput dan semak
bergoyang kencang bagai terhembus angin puyuh.
"Tentu saja kau tak pernah melakukannya karena kau
hanya seorang sahabat biasa, jika kau yang menghujamkan
tusukan di belakang punggungku, mungkin aku tak sedendam
ini, paling aku hanya menyalahkan mataku yang tak bisa
memilih sahabat, sahabat yang mematikan justru sahabat
yang berada dalam lingkaran dalammu, orang yang selalu kau
bela, orang yang kau lindungi dengan mempertaruhkan
nyawa, orang yang begitu kau percaya sehingga seluruh harta
kekayaan, kekuasaan dan ilmu silatnya kau berikan
kepadanya"
Sambil memicingkan matanya dan mengertak gigi,
tanyanya, "Kau pernah dicelakai manusia macam begini?"
"Jadi kau dikhianati orang yang pernah kau selamatkan?"
"Hmm, pernahkah kau dikhianati seorang sahabat yang kau
bina sejak tak punya apa-apa, seorang sahabat yang telah kau
anggap saudara sendiri" Pernahkah kau dijebak, dijerumuskan
ke dalam keadaan yang amat mengenaskan tapi masih tetap
menganggap dia adalah sahabatmu yang paling karib"
Pernahkah kau merasakan penghinaan, cemoohan dan
tekanan batin yang luar biasa besarnya" Seluruh masa
depanmu, semua cita-citamu, orang dekatmu, pasangan
hidupmu, nama, harta dan nyawa sudah kau percayakan
kepadanya, bahkan kau pun masih mempercayainya seratus
persen, tak pernah mencurigainya, tak pernah berpikir jelek
kepadanya, hingga sampai setitik harapan untuk hidupmu pun
diserahkan ke tangannya, pernahkah kau mencicipi keadaan
seperti ini?"
Ni Jian-ciu tertawa terbahak-bahak, tertawa bagai orang
kalap, teriaknya lagi, "Dimana keadilan" Dimana keadilan?"
Tong Keng tak kuasa menahan diri, dia melompat bangun
sambil berteriak keras, "Siapakah dia" Siapakah dia?"
"Dia?" Ni Jian-ciu mencibir, "mereka!"
"Siapakah mereka sebenarnya?" seru Tong Keng cemas.
"Buat apa kau mengetahuinya?" tanya Ni Jian-ciu sambil
mengerling sekejap.
Dengan mata mendelik sahut Tong Keng, "Tentu saja
membalas dendam sakit hatimu!"
Sekali lagi kerutan di wajah Ni Jian-ciu seolah bergolak, dia
mendengus dingin.
"Manusia yang tidak setia kawan, seorang pengkhianat
sudah sepantasnya dibunuh oleh setiap orang," kembali Tong
Keng berteriak lantang.
Ni Jian-ciu tertawa dingin. "Jika kau punya pandangan
semacam itu, pergilah ke jalan raya, setiap saat dapat kau
temukan sepuluh orang yang berwatak begitu dan delapan di
antaranya pantas dibunuh," katanya.
Tiba-tiba Ko Hong-liang menimbrung, "Padahal teman itu
terkadang berkumpul terkadang bubar, semakin dalam
perasaanmu terperosok dengannya, semakin kuat pantulan
rasa sedih dan gembira yang dirasakan, ketika gembira, kau
akan menganggapnya melebihi saudara sendiri, di kala kau
sedih, dianggapnya dia tak berperasaan dan pantas dibunuh,
tapi sesungguhnya, buat apa kau berpikiran begitu?"
"Buat apa?" Ni Jian-ciu menarik wajahnya dengan mata
mendelik, "tentu saja kau berkata begitu karena selama ini
kau tak pernah merasakan kejadian seperti yang kualami."
Kemudian dengan nada dingin lanjutnya, "Kau beruntung
karena belum pernah ada yang mengkhianatimu dengan cara
keji, tak nanti kau bisa merasakan penderitaan dan siksaan
batin seperti yang kualami."
"Lantas dengan melakukan pembantaian secara besarbesaran,
dengan membunuh mereka yang tidak bersalah,
maka semua kesedihan dan siksaan yang kau alami di masa
lalu bisa terbayar lunas?" jengek Ko Hong-liang ketus.
"Bicara sih gampang, sekarang kau bisa berhati mulia
karena belum pernah mengalami nasib setragis aku," Ni Jianciu
menatapnya tajam, "hmmm, coba kalau kau yang
mengalami tragedi semacam itu, ingin kulihat apakah kau pun
masih bisa bersikap seperti saat ini?"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan sorot mata
yang lebih tajam dari sembilu tambahnya, "Mungkin pada saat
itu kau pun akan melakukan serangkaian pembunuhan dengan
cara yang sama kejinya."
Dengan termangu Tong Keng mengawasinya, mendadak
teriaknya keras, "Tidak berharga, sama sekali tidak
berharga..."
"Apanya yang tidak berharga?" tanya Ni Jian-ciu dengan
kening berkerut.
"Hanya disebabkan sebagian kecil manusia yang tak
berperasaan, tidak setia kawan, berhati keji dan telengas,
lantas kalian mesti melewati kehidupan dengan pembalasan
dendam, apakah berharga bagimu untuk melakukan
semuanya ini?"
Ni Jian-ciu tertawa terkekeh, didengar dari suaranya, tidak
jelas ia sedang tertawa atau sedang menangis. "Hahaha,
apanya yang tidak berharga" Justru hidup di dunia
pembalasan dendam aku merasa bertambah gembira, lebih
bersemangat, lebih puas dan tegar!"
"Benarkah kehidupanmu sekarang jauh lebih gembira dari
dulu?" Tong Keng balik bertanya.
Untuk sesaat Ni Jian-ciu tak mampu menjawab pertanyaan
itu. Kembali Tong Keng berkata, "Dengan melakukan
pembalasan dendam, apakah semua kegembiraan dan semua
yang pernah hilang dari sisimu akan kembali kepadamu" Akan
hidup kembali?"
Ni Jian-ciu menatapnya lekat-lekat, kerutan di wajahnya
sekali lagi bergetar keras.
"Paling tidak, aku akan hidup terus demi pembalasan
dendam ini!" katanya.
"Apakah dengan melakukan pembunuhan, kau bisa
memperoleh kembali semua kegembiraanmu?" akhirnya Tong
Keng bertanya sesudah termangu beberapa saat.
"Bila aku tidak membunuh kalian, akulah yang akan
dibunuh orang, sekarang aku telah belajar akan satu hal,
daripada aku yang mati, lebih baik kau saja yang mampus!"
Ko Hong-liang menghela napas panjang, katanya, "Kami
semua bukan tandinganmu, kalau ingin membunuh,
bunuhlah!"
"Kau tak mau bunuh diri?" tiba-tiba Ni Jian-ciu
membalikkan badan.
"Aku tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan
dunia persilatan, tentu saja aku tak mau bunuh diri."
Terlihat rambut hitam, kerutan wajah serta ujung baju yang
dikenakan Ni Jian-ciu bergelombang keras bagai riak air
samudra, sorot matanya memancarkan sinar tajam yang
menggidikkan hati.
"Baiklah," dia berseru, "kau yang memaksa aku
membunuhmu, jangan salahkan hatiku keji."
Tiba-tiba Ni Jian-ciu melambung ke udara, sambil
melompat dia mengambil buli-bulinya yang berada di sebelah
kiri dan membuka penutupnya.
"Blummm!", sekilas cahaya putih meluncur keluar bagai
sambaran petir, langsung menghajar sebatang pohon siong
yang tumbuh beberapa depa di hadapannya, mengikuti
gerakan itu ia membentak nyaring, "Kena!"
"Blaaaam!", beribu daun pohon siong berguguran bagaikan
hujan gerimis, batang pohon itu patah menjadi dua bagian,
ranting dan cabangnya hancur berserakan, Ni Jian-ciu segera
meluncur ke belakang batang pohon itu.
Cahaya putih yang memancar keluar dari buli-bulinya
memang luar biasa dahsyatnya!
Begitu tiba di belakang pohon, dia menghimpun tenaga
dalamnya dan siap melepaskan pukulan dahsyat.
Ternyata di belakang pohon itu terdapat seseorang.
Bukan cuma ada manusia, juga ada cahaya, cahaya yang
sangat tajam. Kalau cahaya putih yang menyembur keluar dari bulibulinya
tadi seterang cahaya mtahari, maka cahaya yang ada
di belakang pohon sepuluh kali lipat lebih terang daripada
cahayanya tadi.
Di tengah kilauan cahaya yang menusuk mata, dia lihat
seseorang berdiri tenang di sana.
Siapa pun yang menyaksikan kejadian itu, dia pasti akan
terperangah dibuatnya, serangan yang telah dipersiapkan pun
pasti akan dilontarkan.
Tapi yang dialami Ni Jian-ciu saat ini bukan hanya
terperangah dan keheranan, dia pun merasa sangat terkesiap,
sedemikian terkesiapnya hingga serangan maut yang telah
dipersiapkan tak mampu dilontarkan.
Ternyata bayangan manusia yang dijumpainya saat itu
adalah bayangan diri sendiri.
Bagaimana mungkin dirinya bisa berada di belakang
pohon" Dari balik pohon yang tumbang dan hancur, bagaimana
mungkin bisa muncul seorang Ni Jian-ciu yang lain"
Hanya sesaat Ni Jian-ciu merasa tertegun, dengan cepat ia
segera sadar apa yang telah terjadi.
Pada saat itulah sekilas cahaya pedang menyambar tiba,
biarpun Ni Jian-ciu sangat lihai dan berilmu tinggi, namun
ketika ia merasa dan menyadari akan datangnya ancaman itu,
serangan itu sudah berada tiga inci di belakang kepalanya.
Tangan Ni Jian-ciu segera meraba buli-buli yang berada di
pinggang sebelah tengah.
Tapi secara tiba-tiba cahaya pedang itu berhenti bergerak,
mata pedang tidak melanjutkan tusukannya ke depan.
Ni Jian-ciu pun urung membuka penutup buli-buli yang
tergantung di pinggangnya.
Untuk sesaat, baik tusukan pedang maupun orang itu
sama-sama berhenti melakukan gerakan.
Batang pohon diiringi suara gemuruh yang keras segera
tumbang ke tanah.
Seluruh badan Ni Jian-ciu telah berubah menjadi kaku dan
kejang, dia bahkan dapat merasakan kulit tubuhnya yang
berada paling dekat dengan ujung pedang lawan mulai
merinding, bulu kuduknya mulai berdiri.
Tapi orang yang berada di belakang tubuhnya masih berdiri
tenang, tak disangkal orang itu jauh lebih tajam, lebih hebat
dan menakutkan ketimbang mata pedang itu sendiri. Tapi
siapakah dia"
Hawa pembunuhan milik siapa yang begitu menghimpit
dadanya" Ni Jian-ciu sadar, andaikata orang yang berada di bawah
todongan ujung pedang pada malam ini bukan dirinya, orang
itu pasti sudah roboh semenjak tadi.
Bukan tertusuk oleh ujung pedang itu, melainkan runtuh
karena himpitan hawa pembunuhan yang menggidikkan hati.
Pada hakikatnya hawa pembunuhan itu merupakan yang
paling mengerikan, paling menakutkan yang pernah
dijumpainya selama ini.
Ni Jian-ciu mulai tertawa getir.
Ia dapat merasa dirinya sedang tertawa getir, sebab di
hadapannya telah muncul sebuah cermin.
Sebuah cermin yang terang dan bening, sebuah cermin
yang ukurannya setara dengan tinggi badannya.
Musuh yang bersembunyi di belakang pohon siong berhasil
dia temukan jejaknya, maka tanpa mengeluarkan sedikit suara
pun dia melancarkan serangan, tapi kenyataan musuh dapat
meletakkan sebuah cermin di situ sebelum bersembunyi di
tempat lain, membuat serangannya mengenai tempat kosong,


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat ia dapat menyaksikan senyuman getir diri sendiri,
dalam tercengang dan kagetnya, tiba-tiba ia melancarkan
serangan lagi. Dia tahu, situasi yang dihadapinya sekarang belum
terhitung sebuah kekalahan, tapi dia sudah kehilangan
kesempatan untuk menguasai lawan.
Ketika menghadapi seorang musuh yang menakutkan, apa
jadinya bila dia kehilangan kesempatan untuk menguasai
lawan" Berpikir sampai di situ, tak tahan lagi dia memegang bulibulinya
dengan kencang.
"Lebih baik kau jangan bergerak," terdengar orang yang
berada di belakangnya berkata.
"Kau belum berhasil mengungguli aku," sahut Ni Jian-ciu
dingin. "Tapi ingat, aku pun belum melancarkan serangan."
"Setiap saat aku bisa melancarkan serangan balasan."
"Aku tak ingin membunuhmu, selama kau tidak membuka
buli-buli itu, aku pun tak akan melanjutkan tusukanku."
Sikap Ni Jian-ciu sama sekali tidak berubah, dia pun tidak
berbicara lagi.
Dari pantulan cermin, dia dapat menyaksikan tubuh bagian
bawah orang yang berada di belakang tubuhnya itu.
Walaupun tubuh orang itu terbalut pakaian ringkas yang
ketat, namun dia dapat melihat bahwa tiada seinci pun
tubuhnya yang tidak berotot, orang itupun berdiri dengan
santainya. Tubuh bagian atas sama sekali tak terlihat karena terhalang
oleh batang pohon yang tumbang, mungkin orang itu memang
sengaja berdiri di sana, agar orang lain tak dapat melihat
jelas. Kulit wajah Ni Jian-ciu mulai mengejang keras, baru saja
dia akan membuka suara, orang yang berada di belakang
punggungnya telah berkata lebih dulu, "Jangan bertanya siapa
aku!" "Memangnya sepanjang hidup kau akan berdiri di belakang
tubuhku terus?"
"Aku bisa saja menarik kembali pedangku."
"Kalau begitu silakan."
"Tapi aku punya syarat," kata orang itu lagi.
Ni Jian-ciu menarik napas panjang, sewaktu menarik napas,
rambut hitamnya kembali bergelombang bagai ombak
samudra. Kemudian sambil menggenggam buli-bulinya, sepatah demi
sepatah dia berkata, "Selama hidup aku tak pernah
membicarakan soal syarat di bawah tekanan dan ancaman
orang!" ooOOOoo 12. Pedang Kehidupan.
Dia tidak menyangka orang yang berada di belakang
tubuhnya segera akan melakukan satu hal.
Tanpa banyak bicara orang itu menarik kembali pedangnya.
Ni Jian-ciu tidak langsung membalikkan tubuhnya.
Lama sekali dia termenung, kemudian baru ujarnya,
"Sekarang katakan syaratmu!"
"Syaratku ada tiga," kata orang itu.
Ni Jian-ciu merasa belakang punggungnya bagaikan ada
beribu anak panah yang sudah terpasang dibusur, tapi seperti
juga sebuah benteng lapis baja, maka tanyanya, "Apa
syaratmu?"
"Pertama, jangan berpaling!"
Ni Jian-ciu mengangguk tanda setuju.
"Kedua, jangan bunuh mereka!"
Kali ini Ni Jian-ciu termenung tanpa menjawab.
Orang yang berada di belakang punggungnya juga
termenung. Tong Keng, Ting Tong-ih, Ko Hong-liang, Yan Yu-sim serta
Yan Yu-gi hanya menyaksikan Ni Jian-ciu berdiri di bawah
remang-remang rembulan, di depan batang pohon yang roboh
tanpa bergerak sedikitpun, sementara di samping pohon yang
roboh berdiri pula sesosok bayangan manusia.
"Malam ini aku bisa saja tidak membunuh," kata Ni Jian-ciu
kemudian, "tapi bukan berarti aku tak akan membunuh
mereka, kemana pun mereka pergi, cepat atau lambat
akhirnya akan mati juga di tanganku."
"Aku tahu."
"Kecuali orang yang bernama Tong Keng," imbuh Ni Jian?
ciu, "karena aku tak berhasil membunuhnya dengan
pukulanku tadi, maka tak ada serangan kedua baginya."
"Aku mengerti."
"Aku pun tahu, dia bisa lolos dari seranganku tadi lantaran
kau telah menyambit lututnya dengan buah pohon cemara,"
kata Ni Jian-ciu lebih jauh, "tapi aku tak pernah akan menarik
kembali setiap perkataan yang telah kuucapkan."
"Aku tahu dengan jelas."
"Lantas apa syaratmu yang ketiga?"
"Yang ketiga bukan syarat melainkan sebuah permintaan,"
terdengar orang yang berdiri di belakangnya itu berbicara
dengan sungguh-sungguh dan tulus, "jangan dikarenakan ada
sebagian kecil manusia berhati busuk, licik dan kejam, maka
kau kehilangan rasa percayamu terhadap semua sahabatmu."
"Sudah selesai perkataanmu itu?" tiba-tiba Ni Jian-ciu
bertanya. "Sudah selesai."
"Aku mau membicarakan soal syarat karena kau adalah
musuhku, bukan sahabatku," kata Ni Jian-ciu kemudian,
"bagiku, lebih baik aku percaya kepada musuhku ketimbang
harus mempercayai sahabatku."
Lalu dengan nada tegas dia menambahkan, "Oleh sebab itu
syaratmu yang ketiga tidak dapat kupenuhi."
"Aku memahami," ujar orang yang berdiri di belakangnya
dengan suara berat.
Mendadak Ni Jian-ciu melemaskan otot badannya sembari
menggeliat, katanya, "Oleh karena pada malam ini aku tak
akan membunuh, tentunya aku boleh pergi bukan?"
"Silakan!"
Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Ni Jian-ciu
kembali berhenti, katanya sambil tertawa, "Kau melarangku
berpaling, apakah lantaran tak ingin kukenali?"
Sambil menyungging sekulum senyuman aneh dia
menambahkan, "Tapi sayangnya, meskipun tidak berpaling
aku bisa mengenali pedangmu, gayamu dan hawa
pembunuhanmu."
Manusia yang berada di balik remang-remangnya cuaca itu
sama sekali tak bergerak, sedemikian tenangnya orang itu
membuat siapa pun ragu, sebenarnya dia itu manusia ataukah
hanya sebuah patung batu.
"Aku tidak berharap benar-benar adalah dirimu, tapi
seandainya benar, jangan lupa, si Raja opas pun sudah
datang!" Selesai mengucapkan perkataan itu, Ni Jian-ciu segera
melompat naik ke punggung kudanya dan berlalu dari situ.
Di tempat itu semuanya terdapat empat ekor kuda, dua
bersaudara Yan masing-masing menunggang seekor kuda dan
bergerak meninggalkan tempat itu, kini tersisa seekor kuda
yang masih berada di sisi pohon serta sebuah kereta kuda
yang telah hancur.
Di bawah cahaya rembulan, di sisi pohon yang tumbang,
suasana amat hening dan sepi, orang itu masih berada di
bawah bayangan kegelapan.
Meskipun raut muka orang itu susah dikenali karena berada
di balik remang-remangnya cuaca, namun potongan badannya
kelihatan jelas tertera di depan mata.
Ko Hong-liang menghembuskan napas panjang, dengan
wajah hijau kepucat-pucatan ia berdiri sempoyongan, segera
Ting Tong-ih memayangnya.
Terdengar orang yang berada di balik kegelapan itu
berkata, "Sewaktu bertempur melawan Lu Bun-chang tadi, kau
sudah menderita luka luar, tidak ringan lukamu waktu itu,
kemudian ketika bertarung melawan Yan Yu-gi, kau banyak
kehilangan tenaga dalammu, sementara tiga bacokan yang
dilancarkan Ni Jian-ciu telah menguras segenap kekuatan yang
kau miliki, untung dia tidak menyerang secara maksimal, kalau
tidak, mungkin luka yang kau derita akan jauh lebih parah."
"Tidak mengapa, asal beristirahat sejenak tenaga dalamku
akan pulih kembali kata Ko Hong-liang sambil tertawa,
kemudian sambil menuding Tong Keng, lanjutnya, "justru luka
yang dideritanya jauh lebih parah ketimbang aku
"Kokcu, kau tak usah menguatirkan keselamatanku," cepat
Tong Keng menanggapi, "badanku kekar bagai seekor kerbau,
apalah artinya beberapa kali gebukan yang mampir di
tubuhku?" "Aah, mana ada orang melukiskan diri sendiri seperti seekor
kerbau," seru Ting Tong-ih sambil tersenyum.
"Betul, dia bukan mirip kerbau, tapi lebih mirip seekor
macan kumbang" sambung Ko Hong-liang sambil tertawa
pula. "Sayang macan kumbangnya goblok!" Tong Keng
menambahkan. Gelak tertawa pun segera berderai memecahkan
keheningan. Bukan hanya Ting Tong-ih berdua yang tertawa, bahkan
orang yang berdiri di balik kegelapan pun ikut tertawa.
Kelihatannya orang itu tidak sedingin dan tidak berperasaan
seperti hawa pembunuhan yang terpancar dari tubuhnya, dia
pun tidak semisterius identitasnya.
Tiba-tiba Tong Keng berseru keras, "Mana Wan Hui?"
Ternyata dia masih memikirkan keselamatan Wan Hui yang
telah kabur terlebih dulu meninggalkan dirinya.
"Dia telah mati dibunuh Ni Jian-ciu!" sahut orang di balik
bayangan gelap sambil menghela napas.
"Kalau toh kau mengetahui Ni Jian-ciu akan membunuh
Wan Hui, mengapa tidak tampil untuk mencegahnya?"
"Saudara Tong," Ko Hong-liang segera menukas, "kalau
dugaanku tak keliru, waktu itu Tayhiap ini sedang sibuk
menjatuhkan para pengejar yang datang sambil menggotong
cermin untuk mengunci gerak-gerik Ni Jian-ciu, jadi tak
mungkin baginya untuk turun tangan di dua tempat yang
berbeda." Tong Keng melengak, beberapa saat kemudian baru ia
berseru, "Ooh, maaf, kusangka kau memang tak ingin
menyelamatkan jiwanya."
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya,
"Padahal aku sangat berterima kasih kepadamu karena kau
telah menyelamatkan nyawaku, tapi aku pun tak berani
bertanya siapa namamu."
Sejak kejadian di rumah pelacuran Kiok-hong-wan, dimana
secara terbuka dia menanyai nama Ko Hong-liang, pemuda ini
jadi lebih waspada dan hati-hati dalam bertindak.
Mendadak terdengar Ting Tong-ih berseru, "Kau bisa saja
mengelabui orang lain, tapi jangan harap bisa mengelabui
diriku." Kemudian dengan nada yang sangat yakin katanya lebih
jauh, "Aku tahu siapakah kau!"
Dengan perasaan terkejut Tong Keng menengok ke arah
Ting Tong-ih. "Kau adalah Kho Kit!" seru gadis itu lagi, "benar, kau pasti
Kho Kit!" Kemudian sambil tersenyum kembali gadis itu berkata, "Aku
adalah anak wanita, seringkali Kwan-toako bilang, aku jadi
orang amat cermat, suara pembicaraan orang yang pernah
kudengar satu kali saja, sampai delapan sepuluh tahun pun
masih bisa aku kenali secara tepat."
Ketika menyinggung soal Kwan Hui-tok, senyumannya
kelihatan lebih manis dan mesra, sinar kebahagiaan melintas
di wajahnya, dia seolah-olah sedang bermimpi.
"Bahkan suara bersin atau orang menguap yang pernah
kudengar, pasti bisa kupilah secara jelas."
Orang di balik kegelapan itu termenung beberapa saat,
kemudian baru katanya, "Bagiku, asal bisa melihat darah yang
menempel di ujung pedang, maka segera bisa kubedakan
yang terluka di tubuh musuh adalah kaki atau tangannya,
hatinya atau paru-parunya, bahkan parah tidaknya luka itu,
mampukah mencabut nyawanya atau tidak, dari setetes darah
yang terlihat, aku bisa memastikannya secara benar."
Suaranya masih dingin dan kaku, namun nadanya
terdengar jauh lebih hangat.
"Tampaknya kemampuanmu masih setingkat di atasku!"
Sambil berkata, perlahan-lahan dia berjalan keluar dari
balik kegelapan.
Ketika orang itu berjalan keluar dari tempat
persembunyiannya, kebetulan rembulan purnama baru saja
menongol dari balik awan gelap, seluruh permukaan bumi pun
menjadi terang benderang.
Terdengar suara ringkikan kuda bergema memecah
keheningan, angin berhembus menggoyang dedaunan di
dahan pohon siong.
Pada pandangan pertama, Ko Hong-liang mengira dia
sedang menyaksikan munculnya seekor hewan kekar yang
muncul dari tanah pekuburan, tapi pada pandangan kedua, dia
merasa suasana jauh lebih hangat dan bersahabat.
Semacam kehangatan yang dipenuhi tenaga kehidupan,
kehangatan, ketegaran dan kesabaran.
Dengan penuh kegembiraan Tong Keng segera berteriak
keras, "Kho Kit, aku selalu merindukan dirimu, ternyata kau
belum mati... Kho Kit, kau membuatku amat kuatir!"
Sikap maupun penampilan Kho Kit saat ini jauh berbeda
dengan Kho Kit sewaktu berada dalam tandu bersamanya tadi,
tapi dia masih tetap sebagai Kho Kit.
"Aku tahu," jawab Kho Kit sambil tertawa, dengan sorot
mata yang tajam dia mengawasi Tong Keng, sikapnya amat
bersahabat dan penuh kehangatan, "padahal kita baru
berjumpa satu kali, tak nyana kau begitu menaruh perhatian
kepadaku."
"Kita pernah berjuang bersama, pernah menderita
bersama, apakah tidak pantas menjadi seorang sahabat?"
sahut Tong Keng cepat.
"Kalau dia tidak menganggapmu sebagai sahabat, mana
mungkin menolongmu sampai dua kali?" sela Ko Hong-liang.
"Dua kali?" agaknya Tong Keng tidak habis mengerti.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pertama kali sewaktu berada di pintu gerbang Kiok-hong?
wan, dia dengan gumpilan lilin telah menghadang pengejaran
sastrawan berkapak raksasa Gi Eng-si."
Tong Keng masih tak habis mengerti kapan Kho Kit pernah
menolongnya, terdengar Kho Kit telah berkata, "Ko-kokcu,
sungguh tajam penglihatanmu..."
Sambil berkata, tubuhnya kelihatan sedikit gemetar.
Ting Tong-ih yang tajam penglihatannya segera
menyaksikan noda darah yang membasahi ujung bibir Kho Kit,
segera serunya, "Kau ... kau terluka?"
Dengan tenang Kho Kit membesut darah yang menodai
ujung bibirnya. "Tidak masalah, luka yang tak berarti,"
sahutnya. "Bagaimana mungkin kau bisa terluka?" tanya Ting Tong-ih
lagi penuh perhatian, seakan seorang kakak yang
menguatirkan adiknya yang tiba-tiba terjatuh hingga berdarah.
Sekali lagi sekulum senyuman menghiasi wajah Kho Kit.
"Tusukan pedang yang dilancarkan ke tubuh Ni Jian-ciu tadi
telah menggunakan segenap kekuatan yang kumiliki, siapa
tahu baru sampai di tengah jalan sudah dipantulkan balik oleh
tenaga dalamnya, tenaga pantulan itu tampaknya sempat
melukai diriku ... tapi tidak menjadi masalah, kau tak perlu
kuatir." Betul-betul sebuah ilmu pedang yang sangat menakutkan!
Begitu serangan dilancarkan, jangankan musuh tak
sanggup menghadapinya, bahkan diri sendiri pun tak mampu
mengendalikan, begitu terhenti di tengah jalan, serangan itu
malah berbalik melukai diri sendiri.
Jelas serangan pedang ini bukan merupakan jurus
serangan, tapi merupakan nyawa dari pedang.
Orang yang menggunakan pedang itu telah membuat
pedang memiliki nyawa sendiri, berdiri mandiri dan tidak
berada di bawah kendali manusia.
Daya pengaruh yang dihasilkan ilmu pedang semacam ini
merupakan himpunan kekuatan maha dahsyat dari perpaduan
pedang itu sendiri dengan tubuh manusia, sehingga begitu
dilancarkan, soal mati hidup sudah tak diperhitungkan lagi.
Kho Kit segera menjelaskan, "Sepuluh tahun lalu, ketika Ni
Jian-ciu berhasil menguasai ilmu 'Auman harimau di tengah
malam', kemampuannya sudah luar biasa, padahal sekarang
dia telah menguasai ilmu 'Tiga mestika buli-buli',
kehebatannya tak boleh dipandang enteng, akan tetapi aku
tak ingin membunuhnya."
"Bukankah kau telah berhasil memukul mundur dirinya?"
tanya Ting Tong-ih.
"Kemenanganku diraih karena aku menyerang di saat dia
tak siap, selain itu aku pun telah memanfaatkan selembar
cermin untuk menarik perhatiannya ... lagi pula dari ketiga
buah buli-bulinya, baru satu yang ia gunakan."
Sambil mendongakkan kepala memandang rembulan di
angkasa, katanya lebih jauh, "Orang ini berwatak emosional,
gampang marah dan berangasan, langkah serta sepak
terjangnya suka menonjolkan diri, bahkan mendekati jumawa,
jika serangannya gagal mengenai sasaran, dia selalu enggan
untuk mengulangi kembali serangannya, apalagi jika dia
sampai dipaksa berada di bawah angin, jangan harap dia mau
mengakuinya. Tapi ... di kemudian hari aku pasti akan
mencarinya lagi untuk mengajaknya berduel."
"Apakah kau ... kau yakin bisa mengunggulinya?" tanya
Tong Keng cemas.
"Kalau dia pun tak bisa mengungguli, jangan harap orang
lain bisa menangkan orang ini," kata Ko Hong-liang tiba-tiba,
"si Auman harimau di tengah malam memang hebat, tapi
kalau dibilang empat opas dari kolong langit pun tak sanggup
mengunggulinya, siapa yang mau percaya perkataan ini?"
Tong Keng berdiri dengan mata terbelalak dan mulut
melongo, diawasinya wajah Ko Hong-liang tanpa berkedip.
Terdengar Ko Hong-liang dengan suara dingin berkata,
"Pedang siapa yang memiliki hawa pembunuhan sebesar itu"
Ilmu pedang siapa yang begitu hebat bahkan menguasai
kepandaian sehebat itu dalam usia yang sangat muda" Siapa
pula yang mampu memukul mundur Ni Jian-ciu dalam satu
gebrakan" Siapa pula yang bisa melukai diri sendiri karena
menghentikan serangan di tengah jalan?"
Setelah berhenti sejenak, sepatah demi sepatah dia
melanjutkan, "Leng-hiat si darah dingin, bila kau hendak
membekuk kami untuk kasus berdarah ini, silakan saja
lakukan, tak usah bermain kucing mempermainkan tikus lagi,
sudah ditangkap sengaja dilepas lalu ditangkap lagi."
Tong Keng membelalakkan matanya lebar-lebar sambil
mengawasi Kho Kit.
Mata pedang boleh dingin, dinginkah hati manusia"
Dinginkah darah manusia"
Kho Kit tertawa.
"Aku adalah Leng-hiat!" katanya memperkenalkan diri,
senyuman itu seolah sudah melumerkan semua kebekuan
salju yang semula menyelimuti wajahnya, mendatangkan
kehangatan yang sukar ditampik oleh siapa pun.
"Sebenarnya aku datang untuk membekuk kalian," Lenghiat
melanjutkan, "tapi kelihatannya aku tak bakal menangkap
kalian semua."
"Kenapa?" Ko Hong-liang segera bertanya.
"Sebab kalian tidak bersalah, kalian hanya difitnah" jawab
Leng-hiat, "selamanya aku tak pernah menangkap orang tak
bersalah, apalagi orang yang difitnah."
Tiba-tiba Ko Hong-liang merasa matanya basah, basah oleh
lelehan air mata.
Orang yang tak pernah difitnah, tak pernah dijadikan
kambing hitam, tak bakalan bisa merasakan betapa tersiksa
dan menderitanya orang yang difitnah dan dijadikan kambing
hitam. Apalagi ketika tidak dipercaya orang lagi, harus
berlarian di jalanan seperti seekor tikus yang digropyok
beramai-ramai orang sekampung.
Tapi kini ternyata ada orang yang mengatakan bahwa
mereka tidak bersalah, mereka hanya dijadikan kambing
hitam, difitnah orang, bahkan orang yang mengatakan hal itu
adalah seorang jagoan sangat tangguh yang sebenarnya
sedang memburu dan hendak membekuk mereka.
Tong Keng segera berpaling ke arah Ting Tong-ih sambil
berseru, "Enci Ting, hal ini..."
Sambil menggigit bibir Ting Tong-ih melirik Leng-hiat
sekejap, kemudian sahutnya, "Aku sendiri pun tidak jelas, dia
belum lama bergabung dengan perkumpulan Bu-su-bun,
bahkan seringkali tidak berada di tempat, Toako yang menarik
dia masuk partai, lagipula banyak kejadian yang tidak diikuti
dirinya, malah dia sempat lenyap selama beberapa hari ...
sampai saat kami hendak membongkar penjara untuk
menolong Toako baru ia menampilkan kebolehannya"
Mimik mukanya saat ini tak bisa dibedakan apakah sedang
gembira atau gusar, terusnya, "Aku sama sekali tidak tahu
kalau Kho Kit adalah Leng-hiat, seorang saudara kecil yang
belum lama bergabung dalam perkumpulan Bu-su-bun
ternyata adalah anggota empat opas yang paling muda dan
paling ganas, Leng-hiat si darah dingin."
"Maaf," segera Leng-hiat berseru, "oleh karena aku sedang
melacak dan melakukan penyelidikan atas kasus ini, maka
untuk sementara waktu identitasku terpaksa harus
dirahasiakan."
"Tapi malam ini kau telah menolongku, bahkan sudah
membongkar identitasmu, apakah kau masih berniat
merahasiakan asal-usulmu lagi?" tanya Ting Tong-ih lembut.
Leng-hiat mengangguk.
"Tapi kau masih tetap membohongi kami akan satu hal,"
kata Ting Tong-ih cepat.
Dengan pandangan tercengang Leng-hiat berpaling
mengawasi gadis itu.
Sambil tersenyum Ting Tong-ih berkata lebih jauh, "Kau
bilang asal melihat darah, maka kau bisa menentukan darah
itu berasal dari mana, tapi menurut pendapatku, kemampuan
Leng-hiat dalam mengingat wajah dan suara orang bahkan
jauh di atas kemampuan yang kumiliki."
Setelah tertawa terkekeh-kekeh, terusnya lagi, tapi kali ini
dengan wajah yang amat dingin, "Opas Leng, terima kasih
banyak atas pujianmu, tapi aku tak ingin mendengar
perkataan bohong, dalam keadaan senang atau susah aku tak
ingin mendengarkan perkataan yang tidak sejujurnya."
Leng-hiat selain terkenal karena keganasan pedangnya,
kebesaran nyalinya dan kenekadannya yang nomor wahid, dia
pun termashur sebagai orang yang tak mudah melupakan
wajah orang yang pernah dijumpainya dan tak pernah
melupakan suara orang yang pernah didengarnya.
Tampaknya si darah dingin tidak menyangka kalau Ting
Tong-ih akan mengajukan perkataan itu di saat seperti ini,
sesudah tertegun beberapa saat sahutnya, "Aku sama sekali
tidak berbohong."
"Kalau begitu ada beberapa pertanyaan ingin kuajukan
kepadamu," ujar Ting Tong-ih sambil menatap tajam
lawannya. Ada orang bilang, hati Leng-hiat diasah dengan pedang,
oleh sebab itu dia tak takut sakit, susah, terluka atau mati.
Tapi setelah mendengar perkataan Ting Tong-ih yang
dingin bagaikan es itu, hati Leng-hiat seolah mati secara
mendadak. Ditatapnya gadis itu sekejap, sekarang baru ia merasakan
betapa indahnya lekukan tubuh gadis itu, betapa cantiknya
wajah gadis itu, terutama sepasang lesung pipinya yang
begitu indah. Segera dia mengendalikan gejolak perasaannya sambil
berseru, "Tanyalah!"
Ting Tong-ih tidak langsung bicara, dari sakunya dia
mengeluarkan sebatang hio, menyulutnya lalu bersembahyang
ke atas langit, bibirnya yang mungil kelihatan komat-kamit
entah apa yang sedang didoakan.
Kemudian setelah menancapkan hio itu ke atas tanah, baru
berpaling. ooOOOoo 13. Raja Opas. "Mengapa kau bergabung dengan perkumpulan Bu-su-bun"
Mengapa kau menolong kami" Sebetulnya kau ingin
mencelakai kami atau menolong kami" Atas dasar apa kau
mengatakan bahwa kami tak bersalah, difitnah orang,
dijadikan kambing hitam" Kalau memang tahu kami tak
bersalah, mengapa kau biarkan Kwan-toako mati
mengenaskan" Mengapa kau biarkan perkumpulan Bu-su-bun
dimusnahkan orang" Sebenarnya apa tujuanmu" Mau apa kau
datang kemari" Apa lagi yang akan kau lakukan?"
Serangkaian pertanyaan diajukan Ting Tong-ih bagai
berondongan senapan mesin.
Semua orang segera berpaling, sama-sama menengok ke
wajah Leng-hiat dan menanti jawabannya.
"Kita harus segera berangkat meninggalkan tempat ini,"
jawab Leng-hiat, "lebih baik kita bicara sambil berjalan, kalau
tidak, bila sampai pasukan pengejar tiba dan terkepung sekali
lagi, mungkin tidak mudah untuk lolos dari kepungan."
Ting Tong-ih mengerling sekejap dengan sepasang
matanya yang jeli.
"Tapi ada satu hal mesti kau jawab terlebih dulu sebelum
aku bersedia meninggalkan tempat ini," katanya.
Tentu saja perkataan Ting Tong-ih ini sangat masuk akal,
sebab mau pergi atau tidak hanya masalah keselamatan dia
bersama Ko Hong-liang dan Tong Keng, bagi Leng-hiat sendiri,
pergi atau tidak sama sekali tak menjadi masalah.
Sekarang Ting Tong-ih berkeras memaksanya untuk
menjawab dulu satu pertanyaan sebelum pergi, andaikata
orang lain yang mengucapkan perkataan itu, orang pasti
akan menuduhnya mencari menang sendiri, berbeda ketika
Ting Tong-ih yang mengatakan, gayanya seperti seorang
kakak yang sedang menggoda adiknya.
"Apakah kau takut terhadap seseorang?" ia bertanya.
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Leng-hiat,
tapi dia tidak menjawab.
"Sebenarnya siapa yang kau takuti?" kembali gadis itu
mendesak. Leng-hiat menarik kembali sorot matanya sambil berkerut
kening, sampai lama kemudian baru ia menjawab, "Li Hianih!"
Walaupun tiga patah kata itu diucapkan dengan enteng,
namun bagaikan tiga bongkah es yang membeku, serentak
menghantam wajah Ting Tong-ih, Ko Hong-liang serta Tong
Keng. "Maksudmu si Opas sakti Li Hian-ih ...!" pekik Ko Hongliang
kaget. "Dia bukan opas sakti," Leng-hiat menggeleng, "opas sakti
adalah Liu Ce-in, sementara dia adalah raja di antara kawanan
opas yang ada, kami menyebutnya sebagai si Raja opas"
Liu Ce-in adalah si opas sakti, tiga tahun lalu dalam kasus
'Tangan pembunuh', dia telah mati terbunuh karena telah
melanggar hukum dan akhirnya tewas di ujung pedang Lenghiat.
(baca Pertemuan dikotaraja jilid-1, telah terbit).
Sebenarnya di dalam urutan empat opas, Leng-hiat selalu
dianggap orang menempati urutan paling buncit karena tak
pernah berkarya cemerlang, tapi setelah peristiwa itu,
posisinya dalam urutan empat opas menjadi lebih cemerlang
dan dikenal orang.
Terdengar Ting Tong-ih segera berkata, "Dulu si opas sakti
Liu Ce-in pun tewas di tanganmu, apalagi sekarang hanya
seorang Raja opas"
"Kepandaian silat yang dimiliki Raja opas luar biasa
hebatnya," tukas Leng-hiat segera, "jangan kau bandingkan
dengan kepandaian yang dimiliki Liu Ce-in, sekalipun dia tak
pernah bersua denganku, tapi tujuh tahun berselang, berkat
surat permohonannya kepada kaisar yang diusulkan dia
bersama paman, kami berempat baru bisa diangkat menjadi
opas yang memiliki wewenang bunuh dulu baru laporan
menyusul" Kemudian sambil mempertinggi nada suaranya, dia
melanjutkan, "Dulu aku bunuh Liu Ce-in karena dia pura-pura
berbuat baik, padahal telah menyalah gunakan wewenang dan
kekuasaan, beda dengan Raja opas, dia adalah seorang opas
hebat yang selalu setia pada jabatannya."
Kemudian dengan sorot mata berkilat terusnya, "Dahulu


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cukat-sianseng selalu memberi wejangan kepada kami agar
banyak belajar dari dua orang opas Cianpwe itu, yang satu
adalah opas sakti Liu Tok-hong, sedang yang lain adalah si
Raja opas Li Hian-ih"
"Aku tahu," sela Ting Tong-ih sambil tertawa, "kau takut
kepada Li Hian-ih pertama karena dia adalah idolamu, kedua
karena dia adalah Cianpwemu dan ketiga karena
perbuatannya tak pernah tercela, ditambah kungfu yang
dimilikinya sangat tangguh"
"Ya, tangguhnya bukan kepalang!" Leng-hiat
membenarkan. "Kalau begitu pergilah dari sini."
"Kenapa aku harus pergi?" tanya Leng-hiat keheranan.
"Sebab aku tak ingin kau menghadapi kesulitan gara-gara
urusan kami."
"Aku percaya semua masalah yang sulit pasti ada cara
untuk mengatasinya."
"Tapi dia adalah Cianpwemu...." seru si nona.
"Dan kalian pun sahabatku!" tukas Leng-hiat.
Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan wajah serius
tambahnya, "Sejak dulu hingga sekarang, sudah banyak
peristiwa mengenaskan yang terjadi gara-gara salah tuduh
atau dijadikan kambing hitam orang, terlepas siapa pun yang
dihadapi, aku tak ingin kejadian semacam ini berlanjut."
Ringkikan kuda kembali bergema membelah keheningan
malam. Angin malam pun masih berhembus kencang menggoyang
pepohonan. Ting Tong-ih tidak menanggapi perkataan Leng-hiat lagi,
dia berpaling dan tanyanya pada Ko Hong-liang serta Tong
Keng, "Kalian berencana pergi kemana?"
"Piaukiok!" sahut Ko Hong-liang berdua serentak.
"Tapi ..." Ting Tong-ih berkerut kening, "saat ini seluruh
opas dan petugas keamanan sedang menunggu kedatangan
kalian di sana"
Ko Hong-liang menghela napas panjang. "Tapi
bagaimanapun juga kami harus balik ke sana," sahutnya
dengan kepala tertunduk.
"Benar, kami harus kembali ke sana," sambung Tong Keng
sambil menganggukkan kepalanya.
Leng-hiat sama sekali tidak bertanya, dia hanya menjawab,
"Baik!"
Balik ke perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok tak ubahnya
seperti tahu di atas gunung ada harimau, justru berjalan ke
arah sang harimau'.
Sin-wi-piau-kiok adalah perusahaan yang sudah disegel
atas perintah penguasa karesidenan Cing-thian-sian,
sementara Congpiautau perusahaan ini, Ko Hong-liang, sudah
ditetapkan sebagai buronan, apalagi kepala piausu si Nyali
macan kumbang Tong Keng, dia sudah dituduh sebagai
pembunuh yang harus diringkus hidup-hidup.
Ketika pasukan keamanan menggropyok markas besar
mereka, Ting Tong-ih dan Tong Keng sekalian berhasil
melarikan diri, pihak keamanan pasti curiga mereka akan balik
ke markas besarnya di perusahaan Sin-wi-piau-kiok, berarti
perjalanan mereka menuju ke sana lebih banyak bahayanya
daripada selamat.
Tapi sekarang Ko Hong-liang dan Tong Keng berkeras akan
mengunjungi tempat itu, jelas keselamatan mereka menjadi
taruhan. Ko Hong-liang sendiri pun tahu, Leng-hiat dan Ting Tong-ih
yang ikut bersamanya boleh dibilang pergi untuk mengantar
kematian, oleh sebab itu sepanjang jalan mau tak mau dia
harus menjelaskan, "Aku harus bisa pulang ke sana, biar
hanya satu kali."
"Semenjak barang kawalan kami dirampok, berulang kami
berusaha pulang ke rumah, tapi pihak pemerintah tanpa
kompromi telah menyegel perusahaan piaukiok, mengirim
pasukan keamanan untuk menjaga dan menempel lukisan
wajahku di setiap sudut kota dengan perintah penangkapan,
beberapa kali aku berniat menyerahkan diri kepada pihak
berwenang, tapi dari cerita beberapa saudara yang berhasil
lolos dari peristiwa itu, katanya sekali ditangkap maka tanpa
diperiksa lagi langsung disiksa hidup-hidup atau dijatuhi
hukuman mati, maka aku pun selalu bersembunyi di seputar
penjara sambil menunggu, tak bisa pulang juga tak berani
sembarangan bergerak."
"Kemudian aku dengar terjadi kebakaran hebat dalam
penjara, lalu terdengar ada kehebohan di situ, maka aku pun
secara diam-diam menyusup keluar untuk melihat keadaan,
saat itulah kusaksikan nona Ting dan saudara Tong sedang
menyerbu keluar kepungan, begitu bertemu nona Ting, aku
lantas teringat akan kejadian Kwan Hui-tok, Kwan-toako yang
belakangan terjerumus juga dalam penjara, aku segera tahu
kalau sobat-sobat dari perkumpulan Bu-su-bun sudah
melakukan pergerakan."
"Dalam organisasi Bu-su-bun, aku mempunyai seorang
sahabat yaitu Wan Hui, ketika aku berniat mendatangi Kiokhongwan untuk mencari berita Wan Hui tentang kabar
saudara Tong, kebetulan berjumpa sekawanan pasukan
pemerintah sedang membasmi para sahabat dari Bu-su-bun,
aku pun sadar bahwa di Kiok-hong-wan telah terjadi sesuatu,
maka aku segera menyusul ke sana"
Kejadian selanjutnya, Ko Hong-liang berhasil merobohkan
seorang prajurit, mengenakan pakaian seragamnya lalu
dengan mengenakan kerudung wajah ia menyelamatkan jiwa
Tong Keng. "Sejak peristiwa itu aku tak pernah balik ke piaukiok, kali ini
seandainya berhasil mengunjungi tempat itupun mungkin
sepuluh tahun kemudian baru ada kesempatan pulang lagi ke
situ, aku tak tahu hingga kapan sakit hati ini baru terbalas dan
fitnahan ini baru bisa dicuci bersih, aku bisa membayangkan
betapa sedihnya anak istriku, itulah sebabnya aku harus
bertemu mereka, paling tidak harus kusampaikan beberapa
pesan sebelum pergi meninggalkan mereka."
Empat manusia dengan empat ekor kuda pun melakukan
perjalanan cepat.
Menjelang fajar, mereka beristirahat sejenak di sebuah
tempat pemberhentian.
Angin fajar yang dingin berhembus kencang mengibarkan
ujung baju. Dengan termangu Tong Keng duduk beristirahat di sisi
sebatang pohon, dengan tinjunya dia menghantam batang
pohon itu berulang kali.
Leng-hiat berdiri di sisi kudanya, sambil menggendong
tangan mengawasi kabut pagi yang bergerak tak menentu.
Ting Tong-ih sendiri pun berdiri termangu sambil
mengawasi tusuk konde emasnya, sesaat kemudian baru ia
berjalan menghampiri Ko Hong-liang yang masih melamun,
katanya, "Padahal kepergian kita kali ini mungkin hanya
sebuah perpisahan sementara, bagaimanapun opas Leng
sudah berada bersama kita, dia pasti bisa menyelesaikan
persoalan yang menimpa kita sampai tuntas."
"Opas Leng sudah terlalu banyak membantu kita," sahut Ko
Hong-liang sambil tertawa getir.
Tong Keng berpaling, dia hanya menyaksikan bayangan
punggung Leng-hiat yang kekar bagai sebuah patung
tembaga. Saat itu Leng-hiat masih berdiri sambil menggendong
tangan, namun kepalannya sudah digenggam dengan
kencang. Menyaksikan hal itu, tanpa terasa Tong Keng menegur,
"Apa ... apa yang sedang kau pikirkan?"
Leng-hiat tidak langsung menjawab pertanyaan itu, setelah
memandang sekejap awan yang menyelimuti permukaan
tanah, ujarnya, "Hari hampir terang tanah."
"Setelah terang tanah, kita bisa segera melanjutkan
perjalanan," sambung Tong Keng sambil tertawa.
"Keliru," Leng-hiat menggeleng, "setelah terang tanah, Ni
Jian-ciu akan mulai membunuh manusia."
Sekarang Tong Keng baru teringat ucapan Ni Jian-ciu
menjelang pergi meninggalkan mereka, "Malam ini aku
berjanji tak akan membunuh, tapi kemana pun mereka pergi,
cepat atau lambat akhirnya pasti akan mati di tanganku."
Kepandaian silat yang dimiliki si Auman harimau di tengah
malam Ni Jian-ciu memang luar biasa hebatnya, sedemikian
hebat hingga Ko-kokcu sendiri pun tak mampu
menandinginya. Seandainya Kwan Hui-tok masih hidup, dapatkah dia
menghadapi kehebatan kungfunya" Sayang Kwan-toako sudah
menemui ajalnya, padahal dalam keadaan cacad pun dia
masih mampu bertarung seimbang melawan kerubutan dua
bersaudara Yan serta Gi Eng-si, hanya belum sempat ia
bertarung melawan Ni Jian-ciu.
Bagaimana pula dengan kemampuan Leng-hiat"
Sanggupkah opas kenamaan ini mengungguli kemampuan
Ni Jian-ciu"
Nama besar si Raja opas Li Hian-ih kelihatannya masih jauh
di atas kepopuleran Leng-hiat, sampai dimanakah kehebatan
ilmu silat yang dia miliki" Bagaimana pula dengan kemampuan
Li Ok-lay, Li-thayjin, otak yang menciptakan semua pertikaian
ini" Dalam situasi yang kritis dan membahayakan keselamatan
jiwanya, ternyata Tong Keng masih berminat memikirkan
persoalan semacam itu, padahal dia disebut orang persilatan
sebagai Nyali macan kumbang, bukan lantaran nyalinya saja
yang besar, tapi lebih disebabkan semangatnya yang
berprinsip 'biar langit ambruk pun aku akan menahannya',
setiap saat dia selalu memiliki semangat untuk menyelesaikan
setiap kesulitan yang sedang dihadapi dan memiliki
kepercayaan tinggi untuk menghadapi setiap tantangan.
Biasanya orang yang tak takut jatuhlah yang akan menjadi
manusia paling lama bertahan.
Dengan wajah tersenyum Leng-hiat mengawasinya, tampak
lelaki ini berwajah penuh cambang, beralis tebal dengan mata
yang besar, meski dia pernah masuk bui, terluka parah,
dijadikan kambing hitam, menjadi buronan, bahkan kini
sedang dikejar-kejar orang untuk dibunuh, mati hidupnya
pada saat inipun masih menjadi tanda tanya, tapi dia masih
bisa bicara gembira, berwajah penuh semangat, semuanya ini
membuat salah satu dari empat opas kenamaan ini sangat
mengagumi dan menyayanginya.
Maka dengan suara lembut ujarnya, "Mari kita bicarakan
tentang dirimu, apakah kau sudah berkeluarga" Sekalipun
masih bujangan, paling tidak kau mesti pulang ke rumah
bukan?" "Tentu saja aku harus pulang," jawab Tong Keng tetap
bersemangat, "Sin-wi-piau-kiok adalah rumahku, ayahku dulu
adalah pembantu utama ayah Kokcu sekarang, setelah ayah
wafat, aku pun dipelihara dan dibesarkan Ko-lotoaya, ilmu silat
juga kuperoleh atas petunjuk dan didikannya. Aku dibesarkan
dalam perusahaan, semua wanita yang ada di sana adalah
saudara perempuanku, semua lelaki yang ada di situ adalah
saudara lakiku, kami semua hidup bersama bagaikan sebuah
keluarga besar. Sepeninggal LoKokcu, Kokcu yang sekarang
pun sangat baik kepadaku, memperlakukan aku bagai saudara
sendiri, oleh sebab itu aku tetap harus pulang ke sana.
Setelah menarik napas panjang, katanya lebih lanjut, "Aku
ingin pulang untuk menengok Sin-wi-piau-kiok, aku ingin
berlutut dan berdoa di depan arwah LoKokcu, aku pun akan
menyampaikan salam kepada si ketapel cilik dan Siau Sim,
mungkin akan meninggalkannya untuk jangka waktu yang tak
pasti" Ketapel cilik adalah seorang rekan kerja Tong Keng yang
paling cocok selama di perusahaan ekspedisi, belum pernah
Tong Keng menganggapnya sebagai rekan kerja, tapi lebih
menganggapnya sebagai saudara sendiri.
Sementara Siau Sim bernama lengkap Ko Siau-sim, dia
adalah putri kesayangan Ko Hong-liang, selama ini Ko Hongliang
memandangnya bagai sebuah mestika.
Sejak kecil dia dibesarkan bersama Ko Siau-sim, boleh
dibilang gadis itu sangat menyenangkan, Kokcu sendiri pun
ada niat untuk menjodohkan putri kesayangannya ini
kepadanya, sebaliknya Tong Keng sendiri amat suka dengan
gadis itu, bahkan cenderung menyayanginya, tapi bukan
sebagai seorang kekasih, melainkan hanya sebatas saudara
sendiri, hanya sayang, orang lain tak bisa membedakan
perasaan sayangnya itu sebagai cinta kekasih atau cinta
sesama saudara.
Dalam hal ini sudah berulang kali Tong Keng menghela
napas panjang. Leng-hiat mengawasi wajah pemuda itu dengan termangu.
Sebuah wajah yang tampan tapi kini sudah dirusak oleh
sebuah cap di atas wajahnya, tanda seorang narapidana.
Sebagai seorang pemuda yang ramah dan sangat setia
kawan, bagaimana mungkin dia melakukan dosa dan
kesalahan sebesar itu"
Kini siapa salah siapa benar masih belum jelas, mengapa
keputusan salah sudah dijatuhkan kepadanya" Kenapa di atas
keningnya sudah diberi cap sebagai pertanda seorang
narapidana"
Dirinya sebagai opas apakah harus berpeluk tangan
menghadapi kejadian seperti ini" Pantaskah dia
mencampurinya" Bolehkah dia mencampurinya" Sanggupkah
dia mencampurinya"
Atasan Li Ok-lay mempunyai pangkat dan posisi yang jauh
lebih tinggi dari Cukat-sianseng, bukan saja memiliki
kekuasaan atas prajurit, bahkan memiliki banyak sekali jago
tangguh yang siap dan bersedia bekerja baginya. Dengan
kekuasaan dan kekuatannya, dulu ia pernah menuduh Jianliokong berkhianat, bahkan sempat mengirim tiga belas orang
jago tangguh untuk membasmi seluruh keluarganya, sekarang
bila dirinya demi beberapa orang rakyat kecil sampai
memusuhinya, mungkinkah kejadian ini bisa berakibat
bencana bagi Cukat-sianseng beserta ketiga orang
saudaranya"
Tiba-tiba terdengar Ting Tong-ih berbisik lirih, "Hari sudah
terang tanah!"
Fajar memang sudah mulai menyingsing, secercah sinar
terang memancar keluar di ufuk timur.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Leng-hiat seakan terpaku di atas pelana kudanya, segera ia
berseru, "Mari kita segera berangkat!"
Diiringi suara ringkikan panjang, bergeraklah keempat ekor
kuda itu melanjutkan perjalanan.
Mereka harus melalui To-lan-kiau, menembus bukit Bwesan
kemudian mengitari sumber air panas Lo-un-jwan, satu
setengah hari kemudian barulah tiba di kota Cing-thian-tin.
Biarpun Cing-thian-tin disebut sebuah kota, sesungguhnya
tidak banyak penduduk kota itu, tapi berhubung tempat itu
merupakan daerah strategis yang sejak dulu sudah menjadi
daerah yang diperebutkan, tak heran perdagangan di situ
amat maju, tanah pun amat subur sehingga hasil buminya
berlimpah. Kini Leng-hiat sekalian sudah berada dalam perjalanan
menuju ke bukit Bwe-san, tapi berhubung di bukit itu terdapat
markas prajurit, lagi pula merupakan urat nadi yang banyak
dilalui orang, Leng-hiat lebih memilih mengitari bukit Cui-pinsan.
Sekalipun harus berjalan setengah hari lebih lambat,
namun jalanan itu sepi dan jarang dilalui orang sehingga lebih
mudah bagi mereka untuk menghindari pengejaran pasukan.
Dalam dua hari perjalanan mendatang, mungkinkah mereka
dapat menghindari segala rintangan dan penghadangan"
Dapatkah mereka melalui perjalanan ini secara aman
tenteram" Lalu bagaimana situasi setelah tiba di Cing-thian"
Kini mereka berempat sudah tiba di To-lan-kiau.
To-lan-kiau merupakan sebuah jembatan yang membelah
sungai To-lan-si, merupakan jalan utama yang
menghubungkan pusat kota Lam-tin.
Ketika tiba di seputar jembatan, waktu sudah menunjukkan
tengah hari, banyak sekali manusia yang berlalu-lalang
menyeberangi jembatan itu.
Di kedua sisi jembatan berjajar pedagang kaki lima yang
menjajakan aneka macam barang, suasana amat ramai.
Empat ekor kuda tunggangan Leng-hiat sekalian sudah
mulai menaiki jembatan.
Tong Keng dan Ting Tong-ih dengan wajah penuh senyum
mengamati keramaian di seputar jembatan, sementara Ko
Hong-liang menghela napas dalam hati, pikirnya, "Aaaai,
andaikata aku tak bisa kemari lagi, entah sampai tahun kapan
aku baru dapat menikmati lagi suasana riuh seperti ini?"
Berpikir sampai di sini tak kuasa lagi semangatnya makin
tenggelam, sejak menjabat Congpiautau perusahaan ekspedisi
Sin-wi-piau-kiok, belum pernah dia putus asa, dia tak pernah
membayangkan kalau suatu ketika posisinya akan hancur
berantakan seperti saat ini.
Bukan saja nama besar rusak, usaha bangkrut, ditambah
lagi anak buah bubar, keluarga tercerai-berai, baginya
kejadian semacam ini tak pernah dibayangkan walau sekejap
pun, tak disangka semua musibah ini justru harus dia alami,
bukan saja tiada harapan lagi untuk bangkit kembali, bahkan
nasibnya nyaris semakin terperosok ke lembah kehancuran.
Baru setelah berjumpa Leng-hiat, harapan mulai tumbuh
kembali, paling tidak masih ada seorang petugas negara yang
tahu kalau dia tak bersalah, dia hanya difitnah, hanya
dijadikan kambing hitam.
Baru berpikir sampai di situ, mendadak terdengar
seseorang membentak nyaring, "Berhenti!"
Sebetulnya ia tidak menggubris suara bentakan itu, tapi
secara tiba-tiba kudanya berhenti seketika bahkan
memperdengarkan suara ringkikan panjang.
Ketika ia menengok ke belakang, tampak olehnya Leng-hiat
yang berada di belakangnya sedang mencengkeram ekor
kudanya, cengkeraman itu membuat kudanya sama sekali tak
mampu bergerak.
Dengan sorot mata yang lebih tajam dari sebilah pedang,
Leng-hiat sedang mengawasi sebuah kurungan burung yang
diletakkan di atas jembatan.
Di belakang kurungan burung itu berdiri seseorang.
Kurungan burung itu menutupi wajah orang itu, namun tak
dapat menutupi sepasang matanya yang dingin dan tajam
bagai mata golok.
Serentak mereka berempat menghentikan larinya kuda, tapi
hanya Leng-hiat seorang yang melompat turun dari punggung
kudanya. Gayanya sewaktu turun dari kuda sangat aneh, seperti
seseorang yang sedang menuruni anak tangga, sama sekali
tak kelihatan kaku.
Di tengah keramaian orang yang berlalu-lalang di atas
jembatan, Leng-hiat mendekati kurungan burung itu.
Burung yang berada dalam sangkar itu segera beterbangan
karena ketakutan.
"Rupanya kau telah datang!" tegur Leng-hiat dengan nada
dingin. "Sudah kukatakan, aku pasti akan kemari," jawab orang itu.
"Mau apa kau?"
"Sama seperti yang lalu."
Mencorong sinar tajam dari balik mata Leng-hiat, sorot
mata yang tajam membuat burung yang berada dalam
sangkar semakin ketakutan.
"Kalau ingin membunuh mereka, bunuhlah aku lebih dulu,"
kata Leng-hiat ketus.
Sorot mata orang di belakang sangkar burung itu menyorot
tajam, di balik pandangan yang dingin terbesit kebencian yang
mendalam. Pada saat itulah terdengar suara derap lari kuda yang ramai
berkumandang semakin dekat, disusul suasana kalut karena
kaburnya orang-orang yang berada di sekeliling situ.
ooOOOoo 14. Mandi Bersama.
Orang yang berada di atas kuda itu bergerak dengan tubuh
menempel di punggung kuda.
Punggung kuda nampak berkilauan tajam ketika tertimpa
cahaya matahari.
Kini kuda itu sudah menerjang ke ujung jembatan.
Ketika hampir mendekat, orang baru dapat melihat dengan
jelas bahwa orang yang berada dipunggung kuda itu sedang
memainkan sebuah kapak raksasa, ketika kapak itu tertimpa
cahaya matahari, segera terhiaslah sekuntum bunga perak
yang berpusing, desingan angin yang menderu serasa
melumat gendang telinga pendengarnya.
Derap kuda yang ramai dengan cepat mendengung di atas
jembatan. Kapak raksasa itu secepat kilat dibacokkan ke tubuh Lenghiat.
Si Darah dingin tetap berdiri di tengah jembatan,
punggungnya menghadap si pendatang, ia sama sekali tak
berkutik. Tiba-tiba sangkar burung ikut melayang di udara, menyusul
kemudian terlintas sekilas cahaya terang.
Saat itulah Leng-hiat melolos pedangnya, selapis cahaya
putih memancar keluar dari balik tangannya.
Sangkar burung itu segera rontok ke tanah.
Kuda yang berlari kencang sudah melampaui tengah
jembatan, bahkan sudah melompati pagar tepi jembatan itu.
"Blaaam!", akhirnya kuda itu mendarat sepuluh langkah
dari jembatan, jatuh terjerembab ke tanah.
Dengan cepat darah segar berhamburan membasahi
seluruh lantai berpasir.
Jeritan kaget pun bergema di sekeliling tempat itu, banyak
orang berlarian menjauh sambil menutupi wajahnya.
Sangkar burung yang terbanting di atas jembatan ikut
hancur berantakan, burung pun beterbangan di angkasa
sementara sang pemiliknya masih berdiri kaku di tempat.
Kini sangkar burung sudah lenyap, orang yang berada di
belakang sangkar sebetulnya mengenakan topi lebar dari
bambu, tapi sekarang topi bambu itupun terbelah dua, maka
tampaklah rambutnya yang beruban.
Dengan suara yang dingin bagai es, orang berambut putih
itu berkata, "Tak kusangka kepandaianmu maju sangat pesat,
lagi-lagi aku salah menilai dirimu."
Selesai berkata dia membalikkan badan dan beranjak pergi
dari situ. Di bawah cahaya matahari terlihat beberapa butir darah
membasahi rambutnya yang putih.
Tong Keng, Ko Hong-liang dan Ting Tong-ih mengikuti
jalannya pertarungan ini setegang anak panah yang sudah
dipentangkan di atas busur, lama kemudian baru terdengar
Tong Keng berseru, "Dia telah salah menilai soal apa?"
Dengan termangu Leng-hiat mengawasi bayangan
punggung Ni Jian-ciu yang makin menjauh, kemudian baru
sahutnya, "Dia telah salah menilai, tiga tahun berselang
pedangku hanya bisa menyerang tanpa mampu bertahan, aku
hanya bisa membunuh tanpa kenal ampun, tak disangka tiga
tahun kemudian pedangku mampu membendung serangan
buli-bulinya, bahkan segera dapat melancarkan serangan
balasan yang berhasil mengenai tubuh sang penyergap."
Setelah berhenti sejenak, sambil mengawasi tubuh Gi Engsi
yang terkapar di tengah genangan darah, lanjutnya, "Oleh
karena itu Ni Jian-ciu membunuh Gi Eng-si?"
"Berarti kaulah pemenangnya!" teriak Tong Keng
kegirangan. "Tidak, sampai sekarang baru ia menggunakan sebuah bulibulinya,
masih ada dua yang belum digunakan, padahal kedua
buli-buli yang tersisa itulah senjata pamungkasnya."
Setelah menyaksikan pertarungan yang barusan
berlangsung, Ko Hong-liang segera merasa bahwa
pertarungan yang dilakukannya dulu bagaikan permainan
anak-anak saja, dengan wajah sedih tanyanya, "Lalu kenapa
dia tidak menggunakan senjata pamungkasnya untuk
menghadapimu?"
"Ia sedang menanti kesempatan lain yang jauh lebih
bagus," ucap Leng-hiat sambil mengawasi bayangan
punggung Ni Jian-ciu yang semakin menjauh, "ketika
serangannya gagal mencapai sasaran, tenaga dalamnya jadi
melemah dan isi perutnya turut terluka, itulah sebabnya dia
harus menanti kesempatan lain yang jauh lebih
menguntungkan."
"Kalau dia tidak turun tangan, kenapa kau pun hanya
berdiam diri?" tanya Ting Tong-ih cepat.
Leng-hiat tertawa getir. "Sebab aku sendiri pun tidak
memiliki keyakinan untuk menang, lagi pula aku memang
tidak berniat untuk membunuhnya."
Kemudian setelah berhenti sejenak untuk menarik napas,
lanjutnya, "Aku hanya berharap dia tidak membunuh kalian."
Sementara itu dari arah jalan raya terdengar suara
bentakan nyaring.
Mendengar itu segera Leng-hiat berseru, "Cepat kita
tinggalkan tempat ini ketimbang terseret dalam kesulitan."
Keempat orang itu segera melompat naik ke punggung
kuda masing-masing dan mencemplak kudanya untuk berlalu
dari situ. Kini di atas jembatan hanya tersisa sebuah sangkar burung
yang telah hancur serta sebuah topi bambu yang telah
terbelah dua. Tak lama kemudian petugas opas dan petugas keamanan
sudah berkerumun di seputar jembatan itu.
Selang beberapa saat kemudian kerumunan opas itu baru
menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan lewat.
Tiga buah tandu dipimpin seekor kuda perlahan-lahan
berjalan mendekati jembatan itu.
Orang yang berada di atas kuda tak lain adalah Lu Bunchang.
Ia melompat turun dari kudanya dan membukakan tirai
yang menutupi tandu, tiga orang manusia, seorang lelaki tua,
seorang lelaki setengah umur dan seorang pemuda perlahanlahan
berjalan keluar dari balik tandu.
Sikap Lu Bun-chang sangat menaruh hormat, sisir
kegemarannya masih berada dalam genggamannya, siap
menyisir kumisnya yang lebat.
Lelaki tua itu berjalan ke atas jembatan, memungut
sangkar burung yang rusak itu kemudian mengamatinya
beberapa saat. Lelaki setengah umur itupun memungut topi bambu yang
terbelah dua dan menelitinya dengan seksama.
Kemudian kakek itu mendongakkan kepalanya, saling
bertukar pandang dengan lelaki setengah umur itu.
"Apakah dia?" tanya kakek itu kemudian.
"Ya, benar, memang dia!" jawab lelaki setengah umur itu.
Sementara kedua orang itu sibuk meneliti, pemuda berbaju
putih itu hanya berdiri santai di tepi sungai sambil
menggendong tangan, dia seakan tidak menggubris urusan di
atas jembatan, pikirannya seolah lebih terpusat untuk
menikmati lambaian ranting pohon liu yang tertiup angin dan
burung walet yang terbang rendah di atas kepalanya.
Tampaknya para opas kota kecil itu tak ada yang tahu
siapa gerangan ketiga orang itu, mereka hanya berbisik-bisik
membicarakan persoalan itu.
"Siapakah ketiga orang itu?"
"Darimana aku tahu?"
"Tampaknya asal-usul mereka luar biasa!"
"Darimana kau bisa berkata begitu?"
"Kalau orang macam Lu-thayjin saja mau membukakan tirai
tandu mereka bahkan menjadi petunjuk jalan, masakah
pangkat ketiga orang itu jauh lebih rendah dari posisinya?"
"Benar juga perkataanmu."
"Tapi terlepas siapa pun mereka itu, sepak-terjang orangorang
itu sungguh menyebalkan."
"Sttt, jangan sembarangan bicara, konon ketiga buah tandu
itu digotong keluar dari gedung kediaman Li-thayjin, kalau kita
sampai melakukan kesalahan terhadap mereka bertiga, bisa
jadi nyawa kita bakal segera lenyap dari muka bumi."
"Hmmm, tapi aku tetap menganggap mereka menyebalkan,
coba lihat gaya pemuda itu, betul-betul memuakkan"
Orang yang mengucapkan perkataan itu adalah seorang
anggota keamanan setempat, biasanya dia selalu dihormati
orang, tapi sekarang, bukan saja ada orang lain yang
menginjak-injak daerah kekuasaannya, bahkan tidak pandang
sebelah mata kepadanya, tak heran dia pun menggerutu
panjang lebar. Sekalipun dia bicara secara berbisik-bisik, siapa tahu
perkataan itu tampaknya terdengar oleh pemuda itu,
mendadak si anak muda berpaling dan melemparkan sekulum


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senyuman ke arahnya.
Petugas keamanan itu tertegun dan tak berani bicara lebih
jauh. Hari itu juga, ketika petugas keamanan itu sedang mandi di
rumah, mendadak terdengar ia menjerit kesakitan dan tahuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tahu orang menjumpai dia sudah tewas di dalam bak
mandinya dengan lidah sudah tercabut keluar.
Setelah menyeberangi Put-lo-si dan berjalan menelusuri
sungai, waktu pun sudah mendekati senja, awan gelap mulai
muncul di ujung langit, kuda pun sudah lelah, manusia juga
mulai penat. Di tepi sungai banyak berdiri warung penjual teh yang
dibangun ala kadarnya, tiba-tiba Ting Tong-ih bertanya,
"Kalian berminat mandi air panas?"
Semua orang melengak.
"Mandi air panas?" tanya Tong Keng kemudian.
"Betul, di seputar sini pasti ada sumber air panas, aku bisa
mengendus baunya," jawab Ting Tong-ih sambil tertawa, tapi
sesaat kemudian dengan wajah termangu lanjutnya, "dulu aku
sering berkelana bersama Kwan-toako, tempat mana pun
pernah kami kunjungi, tempat macam apapun pernah
kusambangi"
"Bagus sih bagus" kata Leng-hiat tiba-tiba, "hanya saja...."
Seandainya mereka semua adalah kaum lelaki, urusan
menjadi lebih gampang diselesaikan karena mandi bersama
antar lelaki bukan sesuatu yang aneh, tapi di antara mereka
ada yang perempuan, jelas hal ini membuat masalah menjadi
tidak segampang itu.
Ting Tong-ih segera tertawa, tukasnya, "Kita sebagai orang
dewasa yang sudah lama berkecimpungan dalam dunia
persilatan, kenapa cara pandang kalian masih macam anakanak?"
Seraya berkata ia segera menuding ke arah depan, betul
saja di sisi sungai terdapat beberapa buah kubangan kecil,
dari kubangan itulah terlihat uap panas mengepul.
"Itulah sumber air panasnya," kembali Ting Tong-ih
berseru, "kalau ingin mandi, ayolah mandi, kita langsung saja
mencebur ke situ."
Sambil berkata ia membuka buntalan kecilnya,
mengeluarkan sebatang hio, lalu menancapkan di atas tanah.
Sementara semua orang masih termangu, terdengar Ting
Tong-ih dengan suara lirih sedang berdoa, "Toako, aku tahu
kau tak bakal melupakan aku, aku pun tak pernah akan
melupakan dirimu walau sampai mati. Semasa hidupmu dulu
kau banyak bermain perempuan di luaran, aku sendiri pun tak
pernah menjaga kehormatanku, kini kau sudah mati
Hati Budha Tangan Berbisa 16 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Anak Harimau 3

Cari Blog Ini