Ceritasilat Novel Online

Misteri Lukisan Tengkorak 2

Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 2


menghadang jalan mundur mereka.
"Enci Ting, geser ke barat-daya!" seorang lelaki kurus
berbaju hitam berseru keras.
Ting Tong-ih segera menarik tangan Tong Keng, kemudian
bergerak menuju ke barat-daya.
Baru saja bergerak ke situ, mendadak dari atas tembok
pekarangan bermunculan tujuh delapan orang pengawal yang
rupanya sejak tadi sudah mendekam di balik wuwungan
rumah, mereka segera menyebarkan diri dan melakukan
pengepungan. Baru saja Tong Keng siap menggempur lawan, tampak
sekilas cahaya pedang berwarna unggu sudah menyambar
lewat, dimana cahaya itu bergerak, musuh satu demi satu
roboh bergelimpangan.
Tiba-tiba ting Tong-ih menghentikan gerak tubuhnya.
Ternyata di bawah cahaya rembulan, persis di atas tembok
pekarangan telah berdiri seseorang.
Sekilas pandang orang itu kelihatan samar-samar, sehingga
mirip sekali dengan sesosok mayat hidup.
Tong Keng tertegun, tapi dengan cepat dia dapat
mengenali orang itu sebagai Yan Yu-sim.
"Po-hong Losat (iblis wanita bermantel ungu), lebih baik
buang pedangmu, kau masih bukan tandingan kami," jengek
Yan Yu-sim dengan nada dingin.
Ting Tong-ih tidak menjawab. Tahu-tahu pedangnya
kembali bergerak melancarkan serangan.
Bagai segumpal awan berwarna ungu, serangan itu
langsung menggulung ke tubuh Yan Yu-sim, sementara ujung
pedangnya langsung menusuk ke kening lawan.
Yan Yu-sim mendengus dingin, dia sama sekali tak
berkedip, bergeming pun tidak, ditunggunya sampai ujung
pedang lawan mendekati alis matanya, tahu-tahu dia
miringkan kepalanya dan tusukan itupun mengenai sasaran
kosong. Gagal dengan serangan pertama, sekali lagi Ting Tong-ih
melancarkan tusukan kedua.
Sekali lagi Yan Yu-sim berdiri menanti, sampai ujung
pedang hampir menyentuh badannya, ia baru mundur
selangkah dan lolos dari tusukan yang tertuju ke dadanya itu.
Di bawah perlindungan gulungan mantel, ujung pedang
nona itu selalu muncul secara tiba-tiba dan biasanya akan
membuat lawan kelabakan, tapi hal ini tidak berlaku untuk Yan
Yu-sim, setiap kali situasi sudah kritis dan ujung senjata sudah
hampir menyentuh badannya, secara mudah dia dapat
meloloskan diri.
Ting Tong-ih menggetarkan mantelnya semakin kuat,
bagaikan bunga mawar yang sedang merekah, lapis demi lapis
bayangan hitam seolah menyelimuti seluruh angkasa.
Berkilat sepasang mata Yan Yu-sim, dengan sorot mata
berwarna biru yang aneh dia awasi gulungan mantel lawan
tanpa berkedip, dia pun sama sekali tidak bergeser dari posisi
semula. Di bawah gulungan mantel ungu, sama sekali tak nampak
cahaya pedang. Tak selang berapa saat kemudian seluruh tubuh Yan Yusim
sudah tergulung di balik mantel ungu itu.
Pada saat itulah tiba-tiba Ting Tong-ih melancarkan
tusukan, ujung pedangnya menembus gulungan mantel dan
langsung menusuk ke badan Yan Yu-sim.
"Plaaak!", tiba-tiba Yan Yu-sim turun tangan, dengan jari
tengahnya dia menyentil tubuh pedang itu.
Ting Tong-ih terkesiap, lekas tangan kanannya
memperkuat genggaman senjatanya, sementara tangan
kirinya menggulung, mantel ungu itu langsung menggulung ke
arah tengkuk lawan.
Saat itulah terdengar suara bentakan bergema berulang
kali dari bawah atap rumah, kemudian terlihat Gi Eng-si
dengan memainkan kapak raksasanya melejit ke udara.
Tong Keng dengan tombak panjangnya menyerang ke sana
kemari dengan garangnya, tapi sayang, petugas pengadilan
dan pasukan prajurit yang mengepungnya makin lama makin
bertambah banyak, di bawah cecaran musuh yang begitu
banyak, Tong Keng mulai kewalayahan, permainan tombaknya
juga semakin parah, keadaannya sekarang ibarat tombak yang
mempermainkan manusia dan bukan manusia yang
mempermainkan tombak.
Menyaksikan hal ini Ting Tong-ih semakin gelisah.
Tiba-tiba terdengar Yan Yu-sim yang terkurung di balik
gulungan mantelnya berbisik, "Nona, cepat serbu ke arah
dalam gedung, tempat itu adalah rumah tinggal kaum wanita
dan anak-anak, tidak banyak pasukan yang berjaga di situ,
setelah tiba di sisi gedung bertingkat yang paling tinggi,
segera berbeloklah ke arah barat-daya, dari situ kau bisa
meloloskan diri dari kepungan."
Mendengar bisikan itu Ting Tong-ih seketika tertegun,
untuk sesaat dia tak berani mempercayai perkataan lawannya
itu. Bila ditinjau dari kemampuan Yan Yu-sim berbisik
kepadanya, dapat disimpulkan juga bahwa gulungan mantel
tebal itu sama sekali tak berdaya mengendalikan gerakgeriknya,
tapi yang membuat gadis itu ragu adalah bisikan
Yan Yu-sim barusan.
Kalau dianalisa dari perkataan Yan Yu-sim itu, jelas ia
sedang memberi petunjuk sebuah jalan kehidupan padanya.
Tapi dapat dipercayakah perkataan Yan Yu-sim" Belum
sempat Ting Tong-ih mengucapkan sesuatu, pergelangan
tangannya terasa bergetar keras, gulungan mantelnya tak
mampu lagi mengendalikan Yan Yu-sim dan mulai terpental
balik keluar. Saat itulah tiba-tiba Yan Yu-sim menjerit kesakitan,
kemudian tubuhnya roboh terjungkal dari atas dinding
pekarangan. Ting Tong-ih melirik sekejap ke bawah, tampak olehnya
beratus petugas pengadilan dan pasukan prajurit sedang
meluruk maju ke muka, dia tak berani ayal lagi, tanpa pikir
panjang ditariknya tangan Tong Keng lalu secara beruntun
melancarkan beberapa kali tusukan untuk merobohkan tiga
empat orang. Baru saja dia akan menolong pemuda kekar itu, terlihat
olehnya anak muda itu sudah dikurung Gi Eng-si dengan
rapat, sadar kalau bala bantuannya tak bakal mendatangkan
hasil, dengan cepat tubuhnya melesat menuju ke arah gedung
bagian belakang.
Betul juga, tindakan Ting Tong-ih yang berbalik arah
menerobos masuk ke gedung bagian belakang seketika
membuat para musuhnya tercengang bercampur kaget.
Terdengar Yan Yu-sim yang berada di bawah mulai
berteriak keras, "Cepat, cepat pergi melindungi keluarga
Thayjin!" Penjagaan di gedung bagian belakang memang sangat
longgar dan kendor, kini suasana menjadi kalut dan kacau tak
karuan. Dengan cepat Ting Tong-ih dan Tong Keng sudah
menyelinap ke kebun bagian belakang, betul juga, mereka
segera menjumpai sebuah bangunan loteng yang amat tinggi,
dari situ mereka berbelok menuju ke arah barat-daya dan
berlari menelusuri tembok pembatas bangunan.
Sepanjang perjalanan mereka hanya menjumpai dua kali
penghadangan, tapi dengan permainan mantel yang
dipadukan dengan serangan pedang, Ting Tong-ih kembali
berhasil merobohkan tiga orang musuh.
Tiba-tiba terdengar suara pekikan nyaring berkumandang
dari bawah dinding pekarangan, terlihat sebuah kereta kuda
sudah diparkir di bawah dinding itu.
Di samping kereta berdiri dua orang lelaki kekar yang saat
itu sedang mendongakkan kepala memandang ke atas
tembok. Seorang kakek duduk di belakang kursi sais, tangannya
menggenggam sebuah cambuk, sementara wajahnya penuh
dicekam perasaan gelisah bercampur cemas.
Begitu melihat kemunculan Ting Tong-ih, ketiga orang itu
segera berseru kegirangan, "Mana Toako?"
Ting Tong-ih menggelengkan kepalanya berulang kali.
Perasaan kecewa seketika melintas di wajah ketiga orang
itu, salah seorang di antaranya langsung melolos goloknya dan
ikut menyerbu ke dalam.
Tapi seorang rekannya, lelaki beralis tebal dan bermata
tajam segera menarik tangannya seraya menghardik, "Telur
kerbau! Mau apa kau?"
Lelaki yang disebut telur kerbau itu meronta keras,
teriaknya, "Jangan halangi aku, aku mau membalas dendam
sakit hati engkoh Kwan!"
Tiba-tiba Ting Tong-ih mendengar suara desingan angin
tajam bergema dari arah belakang, ketika berpaling, ia
saksikan pemuda kekar itu sedang berlari dengan napas
tersengal-sengal, sementara di belakangnya mengikut satu
rombongan pengejar yang dipimpin Gi Eng-si, kelihatan sekali
kapak peraknya yang berkilauan ketika tertimpa cahaya.
Ting Tong-ih langsung melompat turun ke bawah, tanpa
mengucapkan sepatah kata pun dia langsung menampar si
telur kerbau. Baru saja si telur kerbau berdiri melengak, kembali Ting
Tong-ih menghardik, "Kau ingin membalas dendam" Kalau
maju lebih ke depan, berarti kau ingin mampus!"
Sementara itu kakek yang bertindak sebagai sais kereta
telah berseru keras, "Nona Ting, cepat naik ke atas kereta!"
Tanpa banyak bicara lagi Ting Tong-ih menggapai ke arah
Tong Keng dan pemuda itu, kemudian mereka bertiga
bersama-sama menerobos masuk ke dalam kereta.
Kepada dua orang lelaki yang berada di luar, kembali nona
itu menghardik, "Kenapa kalian tidak segera masuk!"
"Kalau terlalu banyak penumpang, kereta ini tak bisa berlari
cepat, biar kami memancing kawanan pengejar itu!" sahut
lelaki beralis tebal bermata besar itu.
Mendengar perkataan itu, Ting Tong-ih segera memandang
mereka sekejap, memandang dengan penuh perasaan.
Walaupun hanya memandang sekejap, namun reaksi si
telur kerbau dan lelaki bermata besar itu sangat mendalam,
gadis itu manggut-manggut.
Tak lama kemudian kakek itu sudah membentak keras dan
keempat ekor kuda penarik kereta pun mulai berlarian
kencang meninggalkan tempat itu.
Pemuda bersenjata peluru perak itu sudah melompat naik
ke atas kereta, tampak lengan dan jidatnya basah oleh
keringat serta darah, namun sambil berpegangan pada sisi
kereta, matanya mengawasi luar kereta tanpa berkedip.
Tong Keng ikut menengok ke belakang, ternyata kawanan
petugas pengadilan sudah berlompatan turun dari atas
dinding, sementara dari empat arah bermunculan pasukan
prajurit, tak lama kemudian kedua orang lelaki kekar itu sudah
terkepung rapat.
Kereta kuda itu dilarikan berlawanan arah dengan dua
orang lelaki terkepung itu, tak selang berapa saat kemudian
bayangan tubuh mereka sudah berubah menjadi setitik
bayangan hitam, namun dari kejauhan masih tampak dengan
jelas bagaimana mereka sudah terlibat dalam pertarungan
sengit melawan para pengepung itu.
Kereta kuda berlari kencang, di antara deru angin yang
keras Tong Keng menarik napas panjang, meskipun sekarang
ia sudah menjadi manusia bebas, akan tetapi perasaan
hatinya justru bertambah murung dan berat.
Ting Tong-ih duduk membelakangi mereka berdua,
sepanjang perjalanan dia hanya membungkam diri.
Sementara si kakek yang berada di depan berulang kali
membentak nyaring, bentakan itu entah ditujukan agar lari
kuda bertambah cepat atau ingin menggunakan cara itu untuk
melampiaskan semua kekesalan hatinya.
Beberapa saat kemudian mendadak dari arah belakang
tampak debu dan pasir beterbangan, rupanya ada tujuh
delapan ekor kuda sedang berlarian kencang mendekati kereta
kuda itu. Suara cambuk si kakek terdengar semakin keras,
pemandangan dari sisi jendela pun kian lama kian bertambah
cepat, tak lama kemudian mereka sudah menerobos masuk ke
dalam kota. Suasana di dalam kota menjadi kacau, para pejalan kaki
lekas menyingkir ke samping menghindarkan diri, tapi si kakek
tetap bersikap tenang, biarpun dalam kepanikan dan
kecemasan, laju kereta kuda itu sama sekali tak berkurang.
Bukan saja lajunya kereta itu tak sampai menyentuh orang
lain, namun juga roda kereta pun tak pernah menyentuh para
pedagang kaki lima yang berada di tepi jalan.
Berbeda sekali dengan para pengejar yang ada di belakang,
kekacauan yang ditimbulkan karena larinya kuda mereka
menimbulkan kepanikan luar biasa di kota itu, setiap kali
melalui tikungan jalan atau jalanan yang agak sempit, kalau
bukan mereka sendiri yang terjungkal dari atas pelana, tentu
ada pejalan kaki yang diterjang hingga jatuh terjerembab,
keadaannya sangat mengenaskan.
Tiba-tiba terdengar salah satu penunggang kuda itu
berteriak keras, "Jangan biarkan pembunuh itu kabur dari
pengejaran!"
Sambil berteriak ia mempercepat lari kudanya untuk
melakukan pengejaran.
Mendadak dari tepi jalan bermunculan delapan sembilan
orang opas, sambil meloloskan golok mereka membentak
keras, "Hentikan kereta! Hentikan kereta!"
Kakek itu segera menengok sekejap ke arah Ting Tong-ih.
Bagaikan baru sadar dari lamunan Ting Tong-ih segera
menganggukkan kepalanya berulang kali.
Kakek itu tampak mendesis perlahan, tali les kudanya
dikencangkan dan kereta itupun memperlambat larinya.
Seorang opas yang menghadang jalan kereta itu segera
menghardik, "Semuanya menggelinding turun dari dalam
kereta" Belum selesai suara bentakan itu, kakek itu sudah berpekik
nyaring, cambuknya digetarkan di udara membentuk empat
bunga cambuk, lalu dilecutkan ke punggung keempat kuda itu.
Mendapat lecutan secara tiba-tiba, keempat ekor kuda itu


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meringkik panjang dan kemudian berlarian dengan cepatnya.
Mimpi pun opas itu tak menyangka kalau kereta berjalan
cepat secara tiba-tiba, tak sempat menghindarkan diri,
tubuhnya langsung tertumbuk hingga ia jatuh telentang,
sementara ketiga orang rekan lainnya lekas menyingkir ke
samping menghindarkan diri.
Sisanya yang tiga orang segera mencabut golok dan
langsung dibacokkan ke tubuh kuda-kuda itu.
Melihat hal ini Ting Tong-ih membentak nyaring, tangannya
segera diayunkan ke muka, terlihat cahaya perak selembut
rambut segera melesat ke depan dan merobohkan dua orang
opas di antaranya, sedang orang ketiga baru saja
mengayunkan golok, cambuk si kakek sudah menggulung tiba
dan menjerat goloknya.
Kereta kuda kembali meneruskan terjangannya ke depan.
Tak lama kemudian ada tiga ekor kuda pengejar yang
berhasil mendekati kereta itu, penunggangnya adalah tiga
orang lelaki yang tampak kekar dan cekatan.
Salah seorang di antaranya telah melolos busur dan
berulang kali melepaskan anak panah, tapi karena dibidikkan
dari punggung kuda yang sedang berlari kencang, bidikannya
kurang akurat sehingga dengan mudah berhasil dirontokkan
oleh Tong Keng dan pemuda itu.
Sekonyong-konyong seekor kuda yang berada di paling
belakang melampaui tiga ekor kuda di depannya, orang yang
berada di atas kuda itupun sedang mementang busurnya,
ternyata dia adalah Yan Yu-gi.
"Sreeet!", anak panah sudah dilepaskan dari busur,
kebetulan pada saat itu kakek kusir kereta itu sedang
mengendalikan kuda-kudanya untuk membelok di sebuah
tikungan. Walaupun bidikan panah itu sangat kuat, ternyata
anak panah itu menyambar lewat di antara Tong Keng dan
pemuda itu dan mengenai sasaran kosong.
Meskipun tidak mengenai Tong Keng berdua, namun anak
panah itu masih meluncur ke depan dengan kuatnya, kali ini
yang menjadi sasaran adalah punggung kakek itu.
Baik Tong Keng maupun pemuda itu tahu kepandaian silat
yang dimiliki Yan Yu-gi sangat tangguh, melihat panah itu
mengenai sasaran kosong, siapa pun enggan menangkapnya
dengan keras lawan keras. Mereka tak menyangka kalau anak
panah itu justru mengancam punggung kakek itu, dalam
terperanjatnya, mereka berdua serentak menerkam ke dalam
kereta. Kedua orang itu sama-sama melakukan reaksi yang sangat
cepat, Tong Keng yang berperawakan tinggi besar bergerak
lebih cepat, dia langsung menyambar ujung panah itu,
sementara sang pemuda yang lebih lincah menerobos melalui
bawah ketiak Tong Keng dan menyambar ekor anak panah itu.
Begitu tangan mereka menyentuh anak panah itu, segera
terasa hawa panas yang sangat menyengat badan, namun
saat ini mereka berdua hanya berpikir bagaimana secepatnya
menyelamatkan nyawa kakek itu, bukannya menarik kembali
tangannya, mereka malah mencengkeram lebih kuat.
"Plaaak, plaaak!", di bawah tenaga pantulan keras yang
memancar dari tubuh anak panah itu, sang pemuda yang
kurang pengalaman seketika merasakan tulang jari
kelingkingnya retak dan patah, sementara Tong Keng
merasakan telapak tangannya seperti disengat panasnya api
hingga muncul sebuah bekas luka berdarah.
Walaupun kesakitan hingga wajahnya menghijau, pemuda
itu menyempatkan diri melotot sekejap ke arah Tong Keng
sambil memuji, "Hohan sejati!"
"Kau pun hebat!" sahut Tong Keng sambil mendengus
tertahan. "Siapa namamu?" kembali sang pemuda bertanya sambil
menahan sakit. "Tong Keng!"
"Nyali macan kumbang?" kembali pemuda itu bertanya.
"Betul, dan kau?"
"Kho Kit!"
"Apa" Si manusia nekad A-kit?" seru Tong Keng
terperanjat. Tiba-tiba Ting Tong-ih menukas, "Sekarang bukan saatnya
untuk berbicang!"
Ucapan itu diutarakan dengan suara rendah dan berat, dia
masih duduk membelakangi mereka berdua.
"Baik!" Kho Kit segera menyahut, kemudian bersama Tong
Keng melakukan penjagaan lagi di belakang kereta.
Kini mereka baru tahu kalau kuda tunggangan yang
digunakan Yan Yu-gi untuk membidikkan anak panahnya telah
mati di tepi jalan, sementara Yan Yu-gi sendiri sudah
melompat ke atas kuda yang lain, sambil melompat dia
menghantam opas yang ada di atas kuda itu hingga mencelat.
Tapi dengan kejadian itu maka kudanya jadi tertinggal di
belakang, dengan kepandaian dan pengalaman si kakek dalam
mengendalikan kereta kuda, dalam waktu singkat ia sudah
meninggalkan rombongan pengejar itu jauh di belakang.
Sambil melarikan keretanya menerobos di antara jalan raya
dan lorong sempit, terdengar kakek itu bertanya, "Kita akan
keluar kota atau kembali ke markas?"
Ting Tong-ih berpikir sejenak, lalu sahutnya, "Lebih baik
kembali ke markas."
Kakek itu bersuit nyaring, kembali kereta kuda itu berputar
dan berbelok di antara tujuh delapan buah lorong sempit, tibatiba
ia memberi tanda kepada Ting Tong-ih sambil serunya,
"Naik!"
Tubuhnya segera menyelinap masuk ke dalam sebuah
bangunan rumah besar.
Sementara Tong Keng masih tertegun, Kho Kit sudah
menangkap tangannya dan diajak melompat masuk ke balik
pekarangan rumah besar itu.
Ternyata kuda-kuda itu sangat pandai, biarpun para
penumpangnya sudah meninggalkan kereta, namun binatang
itu masih berlarian kencang menuju ke arah pintu kota yang
terletak tak jauh dari situ.
Sementara itu pintu gerbang kota sudah dipenuhi pasukan
prajurit, sedemikian rapat dan ketatnya pengepungan yang
dipersiapkan di sekitar sana, bisa diibaratkan biar punya sayap
pun sulit untuk terbang melintasi tempat itu.
oooOOooo 6. Kejadian Masa Lalu.
Tong Keng dan Kho Kit yang melayang masuk ke dalam
halaman gedung, segera mereka sudah berada di kebun
belakang bangunan itu, di sana selain terdapat aneka bunga
dan gunung-gunungan, juga terlihat gardu yang indah.
Saat itu Ting Tong-ih dan si kakek sudah berlarian ke muka
dan menyusup masuk ke balik gerombolan pepohonan di
belakang gunung-gunungan.
Sementara Tong Keng dan Kho Kit masih termangu,
terdengar seseorang berseru, "He, cepat kemari, cepat
kemari!" Terlihat seseorang berdandan pelayan sedang menggapai
ke arah mereka sambil memberi tanda agar menyelinap ke
balik pepohonan yang rimbun.
Tanpa membuang waktu lagi. Tong Keng dan Kho Kit
segera menyusul di belakangnya, tak lama kemudian mereka
sudah tiba di depan sebuah pintu berbentuk setengah
rembulan, di luar pintu sudah siap empat orang lelaki kekar
yang menggotong dua buah tandu besar dan lebar.
Terdengar Ting Tong-ih berseru dari balik tandu pertama,
"Cepat, naik ke dalam!"
Kho Kit menyahut, bersama Tong Keng mereka segera
menyusup ke dalam tandu yang satunya lagi, mereka berdua
duduk saling berhimpitan, sedemikian rapatnya sehingga
masing-masing dapat mendengar dengus napas rekannya.
Begitu mereka berdua masuk ke dalam, tandu-tandu itupun
segera digotong orang dan mulai bergerak meninggalkan
tempat itu. Dari dalam tandu mereka dapat mendengar suara gaduh
yang berasal dari luar sana, ada suara langkah manusia, suara
derap kaki kuda, ada suara bentakan, ada suara orang
berteriak sambil menyembunyikan diri, bahkan terdengar juga
suara jeritan dan tangisan anak kecil.
Tiba-tiba laju tandu itu terhenti.
Dari luar sana segera terdengar suara seseorang
menghardik keras, "He, siapa yang berada di dalam tandu"
Ayo lekas buka, kami akan memeriksa!"
Seseorang segera menyahut dengan suara mendongkol,
"Eh, memangnya kau tak bisa mengenali tandu ini berasal dari
Kiok-hong-wan (Halaman seruni merah)" Tentu saja yang
berada dalam tandu adalah para nona. Hehehe..."
Orang yang menghardik tadi segera berganti nada
suaranya, dengan suara agak cabul bisiknya, "He, siapa saja
yang ada di dalam?"
"Kami sedang membawa nona Bo-tan," sahut penggotong
tandu itu cepat.
Tampaknya si penghadang terperanjat, lekas serunya, "Eh,
kami tak tahu kalau tandu nona Bo-tan, maaf, maaf, silakan
lewat, silakan lewat!"
Sambil berkata mereka segera menyingkir ke samping dan
membiarkan kedua tandu itu lewat.
Tong Keng seperti orang bodoh, dia hanya termangu
mengikuti semua pembicaraan itu tanpa mengerti apa
sebenarnya yang telah terjadi. Lamat-lamat dia hanya
mendengar dua orang penjaga yang ada di belakang sedang
berbisik-bisik, "Ternyata nona Bo-tan, konon dia ... dia sangat
akrab hubungannya dengan Lu-thayjin kita"
"Ssttt, jangan keras-keras kalau bicara, kau tahu
bagaimana Lu-thayjin menghajar orang yang tak disukainya!"
Ketika Tong Keng mengintip dari balik tirai bambu, dia lihat
prajurit yang bicara pertama tadi sedang menjulurkan lidahnya
dan tak berani sembarangan bicara lagi.
Tandu pun melanjutkan perjalanannya dan semakin jauh
meninggalkan kawanan prajurit di belakang, akhirnya tibalah
mereka di depan sebuah gedung bangunan yang sangat
megah dan indah, pintu depan bangunan penuh dengan
hiasan lentera, irama musik bergema lamat-lamat, suasana di
tempat itu terasa lain daripada yang lain.
Walaupun Tong Keng selama ini selalu tinggal di dalam
kota Song-si-tin, namun dia pun pernah menyaksikan sarang
pelacur yang paling tersohor di karesidenan Cing-thian-sian
ini, Kiok-hong-wan.
Mimpi pun dia tak menyangka baru saja kaki depannya
melangkah keluar dari pintu penjara, kaki belakangnya sudah
melangkah masuk ke sarang pelacuran.
Kedua tandu itu langsung digotong masuk ke dalam
halaman gedung Kiok-hong-wan, ternyata sang germo
maupun para pelayan rumah pelacur tak ada yang
menghalangi. Kedua buah tandu itu langsung digotong naik ke atas
loteng hingga mencapai beranda bangunan lantai tiga,
meskipun harus melalui jalanan yang naik, ternyata para
penggotong tandu itu sama sekali tak terengah napasnya,
wajah pun tak ada yang berubah menjadi merah, jelas mereka
merupakan kawanan jago yang memiliki tenaga dalam cukup
sempurna. Sekilas Tong Keng dapat menebak apa yang sebenarnya
telah terjadi, tampaknya kawanan manusia- ini berasal dari
sebuah organisasi atau perkumpulan, biasanya mereka
mempunyai pekerjaan yang berbeda, ada yang menjadi
pedagang kaki lima, ada yang menjadi kuli, ada pula yang
menjadi wanita panggilan.
Kali ini mereka bergabung menjadi satu karena berniat
menyelamatkan Kwan-toako dari sekapan penjara, siapa tahu
gara-gara berbelas kasihan, Kwan-toako harus mengalami
nasib tragis di tangan manusia laknat.
Berpikir sampai di sini, tak kuasa lagi Tong Keng merasakan
hawa amarahnya kembali meluap.
Kawanan pejabat anjing itu betul-betul biadab! Kawanan
opas pun hanya penegak hukum yang pandai menindas kaum
lemah! Mereka tidak pantas dan tak berhak menjalankan
hukum negara! Setibanya di beranda, kedua tandu itupun mulai berpisah,
tandu yang berisi Ting Tong-ih berbelok ke sisi timur, dimana
terdapat ruangan yang indah, megah dan berbau harum,
sementara tandu yang berisi Tong Keng serta Kho Kit berbelok
ke arah barat, dimana terdapat beberapa buah bilik kecil yang
sederhana tapi sangat bersih.
Tandu itu langsung digotong masuk ke dalam kamar.
Setibanya di dalam kamar, Kho Kit menganggukkan kepala
pada Tong Keng, kemudian ia melompat keluar dari dalam
tandu. Terlihat kedua orang lelaki penggotong tandu itu dengan
wajah gelisah dan suara agak sesenggukan berbisik,
"Benarkah ... Kwan-toako... dia..."
Dengan sedih Kho Kit menggelengkan kepalanya berulang
kali, "Toako, dia ... dia sudah dibokong oleh bajingan laknat"
Seorang lelaki di antaranya dengan wajah sedih sambil
menahan sesenggukan mendadak mencabut keluar goloknya,
kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun berjalan
keluar kamar. Rekannya, seorang lelaki bercambang segera menarik
tangannya sembari menghardik, "Mau apa kau?"
Sambil mengertak gigi menahan rasa benci, sahut lelaki
yang pertama, "Malam nanti, pejabat anjing she Li itu bakal
kemari mencari kesenangan, dia telah mencelakai Toako, aku
akan menghadiahkan sebuah bacokan kepadanya!"
"Lo-liok, kau bukannya tidak tahu sampai dimana
keampuhan ilmu silat yang dimiliki Li Ok-lay, Toako sendiri
masih bukan tandingannya, jika kau melakukan perbuatan
secara gegabah, bukan saja tak ada keuntungan yang bisa
diraih, perbuatanmu justru bisa mencelakai banyak orang,"
hardik lelaki bercambang itu dengan wajah serius.
Orang yang disebut Lo-liok kontan tertawa dingin. "Lo-pat,
jika merasa tak punya nyali, kau tak usah ikut!" jengeknya.
"Liok-ko, kau tak boleh sembarangan bertindak," lekas Kho
Kit mencegah, "selama tak ada Toako, kita semua harus
mentaati perintah enci Ting, apakah kau ingin melanggar
peraturan perkumpulan" Malam nanti, yang akan datang
kemari mencari kesenangan adalah anjing pejabat she Lu, Li


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ok-lay sendiri belum tentu datang, bagaimana caramu turun
tangan?" Selesai mendengar perkataan itu, Lo-liok segera
menundukkan kepala dengan mulut membungkam.
Kembali terdengar Kho Kit berkata, "Saudara ini adalah si
nyali macan kumbang Tong Keng, dia adalah saudara senasib
Toako semasa berada dalam penjara."
Tong Keng segera memberi hormat kepada kedua orang
lelaki itu seraya berkata, "Terima kasih banyak atas budi
pertolongan saudara berdua."
Begitu tahu Tong Keng adalah kawan senasib Kwan Hui-tok
selama berada dalam penjara, sikap kedua orang itu segera
berubah menjadi lebih hormat.
Sambil menjura ujar Lo-pat, "Aku she Ji, kau boleh
memanggil aku Ji Lo-pat!"
Sementara Lo-liok juga berkata, "Saudara Tong, harap kau
jangan menertawakan aku karena barusan kelewat emosi. Aku
dari marga Ban, kau pun boleh memanggil aku sebagai Ban
Lo-liok!" "Engkoh berdua berjiwa ksatria dan amat setia kawan,
sudah sewajarnya bila merasa sedih dan murka karena
kematian Kwan-toako, aku orang she Tong hanya merasa
semakin kagum atas kesetia kawanan kalian berdua, mana
berani menertawakan," jawab Tong Keng cepat.
Sementara itu muncul dua orang dayang sambil membawa
baskom berisi air, di ruang dalam mereka pun telah
menyiapkan air panas, di dalam air dicampuri sedikit minyak
wangi dan mempersilakan Tong Keng sekalian membersihkan
badan. Kelihatannya Ji Lo-pat dan Ban Lo-liok tidak terbiasa
dilayani orang, lekas mereka berseru, "Lebih baik kami mandi
sendiri di belakang sana."
Sambil berkata mereka segera meninggalkan ruangan itu
dan meninggalkan Tong Keng berdua.
Waktu itu kedua orang dayang tadi sudah menghampiri
Tong Keng dan membantunya melepaskan pakaian, lelaki ini
menjadi kikuk, kelihatannya dia pun tidak biasa mandi dilayani
orang, tapi untuk sesaat dia pun tak tahu apa yang harus
diperbuat sehingga gerak-geriknya menjadi salah tingkah.
Menyaksikan hal itu, sambil tertawa Kho Kit segera berseru,
"Lebih baik kalian keluar dulu!"
Kedua orang dayang itupun segera minta diri dan keluar
ruangan. Sepeninggal kedua orang dayang itu, Kho Kit baru memberi
tanda kepada Tong Keng agar membersihkan badan.
Dengan cepat Tong Keng membersihkan badan dengan
merendam diri dalam bak air, dia seakan ingin membersihkan
seluruh kotoran yang menempel di tubuhnya selama berada
dalam penjara. "Sebenarnya pelanggaran apa yang telah kau perbuatan
hingga dijebloskan ke dalam penjara?" tanya Kho Kit
kemudian, "beruntung kau bisa lolos dalam waktu singkat!"
Tong Keng tidak menjawab, dia hanya menghela napas
panjang. Melihat itu lekas Kho Kit bertanya, "Kenapa" Apakah aku
salah bicara?"
"Tidak, saudara Kho tidak salah bicara," kembali Tong Keng
menghela napas, "seandainya tak ada kalian yang telah
menyelamatkan diriku, aku benar-benar tak tahu sampai
kapan baru bisa menghirup udara bebas."
"Nah itulah dia, semestinya saudara Tong menanggapi
kebebasan ini dengan gembira, mengapa kau malah menghela
napas sedih?"
"Aku memang berhasil lolos, tapi rekan-rekan senasib yang
ditangkap bersamaku dan dijebloskan ke penjara tanpa
bersalah, ada yang sudah tewas secara mengenaskan, ada
pula yang masih mendekam di sana"
Kho Kit termenung berpikir sejenak, kemudian sambil
menepuk bahu Tong Keng, hiburnya, "Siapa tahu suatu hari
nanti, ketika kita memiliki kekuatan yang cukup, kita dapat
menegakkan kembali keadilan dan kebenaran dengan
membebaskan kawan-kawanmu itu."
Tong Keng hanya tertawa getir, begitu banyak manusia
yang disekap dalam penjara, dia sendiri pun tidak tahu mana
yang benar-benar bersalah dan mana yang tidak bersalah,
kendatipun mereka berhasil mendobrak penjara, apa yang
bisa diperbuat dan bagaimana harus memilah"
Akhirnya sambil menepuk pula bahu Kho Kit, dia berkata,
"Tempat kalian ini adalah..."
"Sarang pelacuran" jawab Kho Kit sambil tertawa.
"Jadi kalian..."
"Pelayan kebersihan dalam rumah pelacuran ini!" jawab
Kho Kit cepat. Ketika melihat Tong Keng agak tertegun, sambil tertawa dia
melanjutkan, "Sebenarnya tempat ini adalah markas sebuah
perkumpulan, ada yang menyamar menjadi tukang tandu, ada
yang menjadi tukang sapu, ada pula yang membaur dalam
rumah pelacuran. Kami semua memang sengaja membaur
dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan agar bisa
menyumbangkan sedikit tenaga untuk rakyat kecil yang
tertindas, apalagi hidup di zaman edan seperti saat ini ...
organisasi kami bernama Bu-su-bun (perguruan tanpa guru),
sebab mereka semua tidak memiliki guru, yang dimiliki hanya
seorang Toako yakni Kwan Hui-tok, Kwan-toako"
"Jadi hubunganmu dengan mereka...." tanya Tong Keng.
Kho Kit segera tertawa lebar. "Aku sendiri belum lama
bergabung dengan Bu-su-bun, itupun berkat bimbingan Kwantoako."
"Ooh, Kwan-toako pasti sangat baik terhadap kalian
semua?" "Bukan cuma sangat baik. Dari cerita saudara-saudara yang
lain, konon seandainya tak ada Toako dan enci Ting, mungkin
sejak lama mereka sudah mati disiksa kawanan pejabat korup
itu, apalagi bisa belajar sedikit kepandaian."
"Lalu enci Ting itu...." tak tahan Tong Keng bertanya.
"Maksudmu Ting Tong-ih, enci Ting" Jangan kuatir, meski
enci Ting adalah seorang wanita, namun dia lebih teguh dan
ulet ketimbang lelaki, tak mungkin ada apa-apa dengan
dirinya." Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Aku akan
keluar sebentar untuk bebenah, lebih baik kau jangan
sembarangan pergi, tempat ini penuh dengan aneka macam
manusia, jadi hindari kesulitan yang tak perlu."
Tong Keng manggut-manggut dan Kho Kit pun pergi
meninggalkan tempat itu.
Selesai membersihkan badan dan berganti pakaian, Tong
Keng berdiri di tepi pagar loteng sambil menengok ke bawah,
terasa angin berhembus semilir, matahari senja telah condong
ke barat, pemandangan di sekitar situ terasa sangat indah dan
nyawan. Dari kejauhan dia pun dapat menyaksikan pintu gerbang
kota yang dijaga sangat ketat, sedemikian kuatnya penjagaan
di situ seakan mereka sedang bersiap menghadapi sebuah
pertempuran besar.
Tong Keng sangat masgul, sementara pikirannya masih
dicekam kekesalan, tiba-tiba dari arah pintu kamar terdengar
suara desingan lirih, lekas ia berpaling, sekilas dia merasa
seakan ada sebuah benda melintas.
Tong Keng mengira matanya sudah lamur hingga salah
melihat, tapi dia pun merasa seakan benar-benar ada
seseorang yang melintas dari tempat itu.
Tong Keng tertegun. Dari bawah loteng suara musik dan
gelak tawa orang masih terdengar lamat-lamat.
Tiba-tiba satu ingatan melintas, ternyata selama ini
kawanan jago gagah itu berdiam di dalam gedung yang penuh
dengan aneka ragam manusia, tapi mereka masih bisa
mempertahankan kebersihan hatinya, jelas hal ini bukan
sesuatu yang mudah dilakukan.
Tapi dia sangat yakin kalau barusan telah menyaksikan ada
seseorang melintas di depan kamarnya.
"Aneh benar," demikian ia berpikir, "sudah jelas ada orang
lewat di depan kamarku, kenapa tak nampak ada manusia di
situ?" Pikir punya pikir, akhirnya tak tahan dia menengok keluar
kamar. Benar saja, di situ tak ada seorang manusia pun.
Ketika menengok keluar, dia pun menyaksikan ruangan
megah yang berada di bangunan sayap timur.
Sewaktu Tong Keng balik lagi ke kamar, cahaya matahari
senja persis memancar ke dalam kamarnya dan menyinari
selembar lukisan kuno yang menempel di atas dinding
ruangannya. Tiba-tiba ia teringat kepada Ting Tong-ih, Ting Tong-ih
dengan mantel ungunya seolah berdiri lesu di hadapannya.
Lekas Tong Keng mengucek matanya berulang kali, ternyata
dia sedang melamun.
Diam-diam Tong Keng merasa heran, setiap kali
membayangkan Ting Tong-ih, dia seolah tak tahan untuk
mengendalikan diri dan ingin sekali membayangkan wajahnya
terus-menerus. Kecantikan Ting Tong-ih ibarat sekuntum bunga botan biru
yang mekar di malam hari, dia pun bagaikan asap dupa wangi
yang melayang tak menentu di udara. Sebenarnya hubungan
apa yang terjalin antara gadis itu dengan Kwan-toako" Kini
Kwan-toako sudah tewas, dia pasti amat bersedih, apa yang
sedang ia lakukan sekarang" Dimanakah dia saat ini"
Ketika membayangkan sampai di sini, tak kuasa lagi Tong
Keng mengayunkan langkahnya mendekati ruangan kamar di
sebelah timur beranda.
Tong Keng sudah melewati tiga empat buah bilik, dari balik
ruangan ia mendengar suara irama musik, suara orang
tertawa, rayuan gombal dan desisan menggoda, kesemuanya
itu membuat jantungnya berdebar keras. Ia tak tahu ruangan
mana yang di tempati Ting Tong-ih.
Sementara hatinya masih ragu, tiba-tiba terdengar sebuah
pintu kamar dibuka orang.
Tong Keng merasa kurang baik bila disaat seperti ini
kehadirannya diketahui orang, dengan perasaan gugup ia
segera menempelkan punggungnya di dekat sebuah pintu.
Entah karena gugup atau karena menggunakan tenaga
kelewat besar, tiba-tiba pintu yang menempel punggungnya
terbuka dan tak ampun tubuhnya pun jatuh telentang ke
dalam ruangan. Begitu roboh terjungkal ke dalam kamar, Tong Keng sendiri
pun merasa sangat kaget, la lihat kamar itu sangat inilah
dengan perabot yang mewah dan bau harum semerbak yang
menyegarkan hati, jelas kamar tidur seorang nona.
Sebenarnya dia ingin segera meninggalkan ruangan ilu, tapi
baru saja akan melangkah keluar, mendadak terdengar suara
dayang sedang membuka pintu di kamar seberang, terpaksa
dia mengurungkan niatnya dan mundur kembali ke dalam.
Selang beberapa saat, dayang itu sudah berlalu, kembali
Tong Keng bersiap meninggalkan ruangan, tiba-tiba ia
mendengar suara isak tangis seseorang yang amat lirih
berkumandang dari dalam kamar.
Suara isak tangis itu seakan sangat dikenal olehnya tapi
juga terasa asing, digoda oleh rasa ingin tahu yang besar
akhirnya dia melangkah masuk ke ruang dalam.
Bentuk ruangan itu aneh sekali, semakin berjalan ke dalam
ternyata ruangannya semakin lebar, di belakang sebuah- sekat
berwarna hitam berlapis pula sebuah tirai kain.
Tong Keng merasa kurang baik mengintip urusan pribadi
orang lain, sebenarnya dia ingin berdehem untuk memberi
tanda, tapi sebelum sempat dilakukan terdengar suara isak
tangis itu semakin memilukan hati, disela isak tangisnya yang
menusuk perasaan terdengar perempuan itu berseru, "KwanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
toako, kau telah mati, bagaimana mungkin aku bisa hidup
sendirian" Kau sudah mati dan kini bisa pergi kemana pun
secara bebas, sedang aku" Bukankah kau pernah berjanji,
siapa pun di antara kita berdua tak boleh mati duluan ...?"
Hati Tong Keng bergetar keras, itulah suara Ting Tong-ih.
Terdengar Ting Tong-ih kembali berseru sambil menangis,
"... kau tinggalkan permainan yang tersisa kepadaku, ini tidak
adil namanya, aku tak mau mengurusinya lagi, kalau kau
hidup, aku akan membantumu mengurusinya, kini kau telah
mati, buat apa aku mesti bersusah payah" Kau seringkali
berharap semua saudara bisa hidup lebih layak, lebih
manusiawi, tapi kau ... kenapa kau harus mati" Kini kau sudah
pergi, aku... aku pun ingin pergi bersamamu, Toako ...
tunggulah aku ... tunggulah kedatanganku"
Ucapan itu begitu tegas dan bersungguh-sungguh, seakan
gadis itu segera akan mengambil jalan pendek.
Tak terlukiskan rasa kaget Tong Keng setelah mendengar
perkataan itu, tanpa berpikir panjang lagi segera ia menerjang
masuk ke dalam ruangan.
Begitu masuk ke dalam kamar, ia saksikan Ting Tong-ih
dengan memegang sebilah gunting tajam sedang
mengarahkan ke tenggorokan sendiri.
"Nona Ting, jangan kau lakukan" teriak Tong Keng keras.
Karena terlalu keras dia menerjang masuk, tirai kain yang
tergantung di situ segera melilit kepala berikut tubuhnya,
padahal waktu itu dia sedang menerjang masuk dengan cepat,
maka tak ampun lagi kain tirai itu tertarik hingga robek
sebagian. Tubuh dan tangan Tong Keng yang masih terbalut kain tirai
menerjang ke hadapan Ting Tong-ih, untuk sesaat dia tak
mampu merampas gunting yang berada di tangan gadis itu.
Tampak Ting Tong-ih mengenakan pakaian dalam
berwarna putih, rambutnya yang panjang terurai di bahu,
walaupun sorot matanya memancarkan hawa amarah namun
sikapnya tetap tenang dan hambar.
Menyaksikan kecantikan wajah si nona, sesaat Tong Keng
agak tertegun, tapi kemudian serunya cepat, "Kau tak boleh
mati, kau tak boleh mati, nona Ting"
Sambil berseru dia meronta sepenuh tenaga, dengan
tenaga kasarnya yang besar bagai kerbau, rontaan itu seketika
membuat kain tirai tercabik-cabik, tapi cabikan kain tirai justru
menutupi kepala dan menyumbat mulutnya, membuat lelaki
itu untuk sesaat tak mampu bicara.
Dengan susah payah akhirnya dia berhasil juga melepaskan


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri dari jeratan kain tirai, baru akan berbicara, Ting Tong-ih
sudah tak tahan lagi dan tertawa cekikikan.
Begitu dia tertawa, semua kepedihan yang menempel di
wajahnya pun ikut sirna.
Menyaksikan wajahnya yang cantik, bibirnya yang merah
dan mungil, kulit badannya yang putih bersih serta sepasang
matanya yang jeli, sesaat Tong Keng berdiri termangu, dia
menjadi lupa bahwa kain tirai masih membelenggu badannya.
"Mau apa kau datang kemari?" dengan wajah dingin Ting
Tong-ih segera menegur.
"Bukankah kau ingin bunuh diri... ?" Tong Keng balik
bertanya dengan wajah tertegun.
Ting Tong-ih kembali tak kuasa menahan rasa gelinya,
sambil menggigit bibir serunya, "Ayo, cepat keluar!"
Dalam keadaan mengenaskan Tong Keng keluar dari lilitan
kain tirai, serunya, "Maaf, tadi aku sangka kau..."
Sambil berkata dia langsung berjalan keluar dari kamar itu.
"Tunggu sebentar," sekonyong-konyong Ting Tong-ih
memanggilnya, "katakan, sejak kapan kau berkenalan dengan
Kwan-toako" Dia... apakah kehidupannya di dalam sana cukup
baik?" Tong Keng kembali berpaling, dia tak tahu apakah
sepasang mata Ting Tong-ih sedang berkaca-kaca oleh air
mata atau tidak, tapi segera sahutnya, "Sejak kedatangan
Kwan-toako di dalam penjara, bagi kami yang berada di dalam
serasa kedatangan seorang bintang penolong, tahukah kau,
dulu kepala sipir penjara maupun anak buahnya suka berbuat
semaunya, apa yang ingin mereka lakukan segera dilakukan
terhadap kami, suatu kali kepala sipir menggunakan alat
siksaan yang paling kejam untuk mencabuti kuku jari Su-loya,
tapi Toako segera mendobrak pintu penjara dan menyerbu ke
arena penyiksaan, tahukah kau apa yang dia lakukan ... ?"
"Apa yang ia lakukan?" tanya Ting Tong-ih dengan mata
berbinar. Sambil menepuk paha sendiri dan tertawa tergelak Tong
Keng melanjutkan ceritanya, "Dalam dua tiga kali tendangan
Toako telah menghajar bajingan itu hingga darah bercucuran,
kemudian dengan menggunakan alat siksa pencabut kuku itu
dia mencabuti gigi para sipir hingga ompong semua! Selesai
melakukan tindakan itu, coba terka apa yang dikatakan
Toako" Toako bilang mereka senang menyiksa orang lain,
selalu menyiksa orang sebagai bahan hiburan, kali ini biar
mereka rasakan sendiri bagaimana nikmatnya disiksa orang!
Toako mengucapkan perkataan itu dengan tenaga dalamnya,
maka semua saudara yang berada dalam penjara dapat
mendengarnya, maka tempik-sorak pun gegap gempita!"
"Bagus!" tanpa terasa Ting Tong-ih ikut bersorak.
Melihat Ting Tong-ih amat gembira, maka Tong Keng pun
segera mengisahkan kembali semua kejadian lama yang
pernah dilakukan Kwan Hui-tok semasa berada di dalam
penjara. Setiap kali menceritakan sepak terjang Kwan Hui-tok, dia
selalu menyebutnya sebagai Toako, seolah dia benar-benar
telah menjadi salah satu saudara senasib seperjuangannya,
begitu bersemangat ia berkisah hingga lupa diri.
Ting Tong-ih hanya mendengarkan dengan seksama,
terkadang ia tertawa, terkadang melelehkan air mata.
Begitu asyik mereka, seakan dunia menjadi milik mereka
berdua, kisah kepahlawanan sang jagoan memang selalu
cemerlang, secemerlang sinar rembulan di angkasa.
7. Antara Lelaki dan Wanita.
Dunia di luar kamar lambat-laun menjadi ramai, terdengar
suara berisik orang berbicara, ramainya orang main judi serta
suara gesekan rebab yang memilukan hati, bahkan ada orang
yang mulai melantunkan lagu rakyat. Bila dibandingkan
dengan suasana dalam kamar yang hening, seakan-akan
seluruh keramaian itu termasuk dunia di luar kamar,
sementara hanya gesekan rebab yang termasuk dunia dalam
kamar itu. Tong Keng bercerita terus-menerus sementara Ting Tongih
hanya mendengarkan, suasana di dalam kamar pun menjadi
gelap gulita, siapa pun tak ada yang bangkit berdiri untuk
menyulut lentera.
Akhirnya setelah menghela napas panjang Ting Tong-ih
berkata, "Aku benar-benar tidak habis mengerti, sudah jelas
dia mampu melarikan diri, tapi kenyataan kenapa ia gagal
kabur dari situ?"
Dengan termangu-mangu Tong Keng mengawasi nona
yang berada di balik kegelapan, di situ hanya ada tiga benda
yang bersinar, satu adalah cermin yang berada di hadapan
gadis itu, kedua adalah pakaian biru yang digantung di
belakang bangku dan ketiga adalah sorot matanya yang
bening. Selama hidup belum pernah Tong Keng menyaksikan gadis
selembut dan seindah ini, dia pun belum pernah memperoleh
kesempatan untuk berada di satu ruangan dengan gadis
cantik, Tong Keng pun tidak menyangka kalau nona itu
memiliki tubuh yang begitu indah, pinggang yang begitu
ramping. "Aku mengerti," ujarnya kemudian.
Ting Tong-ih segera berpaling, memandangnya dengan
perasaan ingin tahu.
Setelah menarik napas panjang Tong Keng berkata, "Kwantoako
pernah bercerita kepada kami, katanya dalam sebuah
pertarungan dia telah salah melukai penonton yang ada di tepi
arena, karena merasa bersalah maka ia menyerahkan diri,
sebab menurut perkiraannya, dengan kesalahan yang
dilakukan paling pengadilan akan menjatuhkan hukuman tak
sampai satu tahun"
"Tentang hal ini aku sudah tahu," Ting Tong-ih
mengangguk, "bicara kepandaian silat yang dimiliki Toako, bila
dia ingin pergi, tak seorang pun mampu menghalanginya."
"Enci Ting, tahukah kau kalau di kantor pengadilan telah
kedatangan beberapa orang jago tangguh?"
"Walaupun kepandaian silat yang dimiliki dua bersaudara
Yan terhitung cukup tangguh, mereka masih bukan tandingan
Toako, sekalipun ditambah dengan sastrawan berkapak
raksasa pun paling kekuatan mereka seimbang, rasanya belum
terlampau menyulitkan dirinya."
"Menurut cerita Toako, mereka kedatangan seorang jago
tangguh dari marga Ni"
"Apa" Ni Jian-ciu?" walau berada di balik kegelapan, Tong
Keng dapat melihat tubuh Ting Tong-ih bergetar keras
lantaran kaget.
"Aku kurang jelas siapa nama orang she Ni itu, tapi
menurut Toako, orang itu susah dihadapi. Bila dia sampai
kabur dari penjara, maka orang she Ni itu pasti akan melacak
jejaknya kemana-mana, dan kejadian itu pasti akan
menyusahkan banyak saudaranya, bahkan Kwan-toako
menambahkan, dia memang masuk penjara untuk menebus
dosa, jadi sama sekali tak berniat melarikan diri, lagi pula
selama berada dalam penjara, dia pun bisa banyak membantu
mereka yang bernasib buruk!"
"Ai, Toako memang terlalu baik..." bisik gadis itu sedih.
"... Kemudian ketika Koan-loya tahu bila Kwan-toako ada di
penjara, dia pun mengutus orang untuk mengundangnya
keluar, tapi dia tak pernah mau, Li-thayjin pun mengutus
orang untuk menghadiahkan baju indah dan hidangan lezat
kepadanya, tapi semuanya ditolak mentah-mentah,
tampaknya Li-thayjin sempat gusar karena penolakan itu.
Setelah itu beberapa kali dia mengutus orang untuk
mengundang Toako, tapi setiap kali juga ditolak. Waktu itu
semua orang heran dan bertanya kepadanya, kenapa ia
enggan menghadap" Dengari santai Kwan-toako bilang,
mereka menghendaki aku menjadi kaki tangannya, betul-betul
mata anjing kelewat memandang rendah orang lain. Mungkin
lama kelamaan Li-thayjin bosan sendiri hingga pada akhirnya
jarang mengundang Toako, sementara Kwan-toako pun selalu
membela saudara-saudara dalam penjara yang tertindas,
siapa tahu..."
Tiba-tiba Ting Tong-ih menggenggam tangannya kencangkencang,
Tong Keng berdebar keras, ia merasa tangan gadis
itu lembut bagai kapas, tapi kini terasa dingin dan berkeringat.
"Siapa tahu...." Tong Keng gelagapan.
"Ooh, Kwan-toako" teriak Ting Tong-ih lirih, kemudian
serunya, "lanjutkan ceritamu!"
Setelah menelan air ludah, Tong Keng melanjutkan, "Siapa
tahu ... kemudian tampaknya Kwan-toako telah melakukan
kesalahan terhadap Siauya dari Li-thayjin, sepertinya ...
sepertinya dia enggan membantu Li Wan-tiong mengerjakan
sesuatu ... maka secara diam-diam Li Wan-tiong
memerintahkan kepala sipir Liong untuk mencampuri obat
pemabuk ke dalam makanannya, ketika Kwan-toako tak
sadarkan diri, mereka pun mengebirinya serta mencabuti otot
kedua belah kakinya"
"Ooh, Toako, rupanya kami datang terlambat, rupanya
kami datang terlambat!" keluh Ting Tong-ih sedih.
"Dan kejadian seterusnya ... kau sudah menyaksikan
sendiri bukan?"
Ting Tong-ih tertawa pedih. "Kami sengaja mengutus orang
untuk melakukan kekacauan di gedung Li Ok-lay, tujuannya
tak lain adalah untuk memancing kedatangan Ni Jian-ciu ke
situ hingga kami punya peluang menolong Toako dengan
sepenuh tenaga, siapa tahu..."
Bicara sampai di sini nona itu sesenggukan dan tidak
melanjutkan kembali perkataannya.
Waktu itu suasana di dalam kamar telah berubah menjadi
gelap gulita hingga susah melihat jari tangan sendiri. Tong
Keng hanya merasakan kehadiran Ting Tong-ih dari dengus
napasnya yang lembut serta bau harumnya yang semerbak.
Duduk saling berhadapan dalam kegelapan memang
seringkah mendatangkan suasana yang menggelitik hati, tibatiba
Tong Keng berpikir, "Kwan-toako belum lama tertimpa
musibah, padahal dia serta enci Ting adalah tuan penolongku,
masa baru saja ditinggal mati orang yang dicintainya,
sekarang aku malah kesemsem pada gadis pujaannya, tergilaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gila pada senyuman serta gerak-geriknya, seakan kecantikan
enci Ting jauh lebih penting ketimbang mati hidup Toako."
Berpikir sampai di situ, ingin sekali dia menampar diri
sendiri, "Tong Keng, wahai Tong Keng, sebetulnya kau ini
manusia atau bukan?"
Tapi ingatan lain kembali melintas, "Aku merindukan dan
memikirkan enci Ting dengan tulus hati dan bersungguhsungguh,
pikiran semacam inipun timbul tanpa bisa kucegah,
memangnya berpikir pun merupakan dosa" Aku toh tak punya
pikiran sesat, apa salahnya mengagumi dirinya" Kenapa aku
harus mengendalikan perasaanku sendiri?"
Pikiran semacam ini ibarat baru saja menceburkan diri ke
dalam bak air dingin, kemudian berendam dalam air hangat,
sebentar dingin sebentar panas, kontan saja membuat pipinya
memerah. Masih untung mereka berada dalam kegelapan sehingga
tidak kuatir Ting Tong-ih menyaksikan perubahan pipinya.
Tapi apa yang sedang dilakukan Ting Tong-ih di balik
kegelapan" Apakah dia sedang melelehkan air mata" Atau
terjerumus dalam lamunannya" Tong Keng ingin tahu apa
yang sebenarnya terjadi.
Padahal Ting Tong-ih tidak sedang memikirkan apa-apa.
Sehabis mendengar kisah yang menimpa Kwan Hui-tok, dia
seolah-olah sudah menganggap dirinya mati, menjadi
seseorang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan
peristiwa itu, seperti sedang melihat orang lain sedang
mendandani tubuhnya, memasang hio, bersembahyang, Jibok,
memaku peti matinya ... dia sama sekali tak bergeming.
Beberapa kali dia ingin bangkit berdiri untuk menyulut
lentera, namun niat itu tak pernah dilakukan. Dalam suasana
seperti ini, dia seakan tak ingin melihat adanya sinar, tak ingin
melakukan tindakan atau gerakan apapun.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang berteriak
keras dari luar kamar, "Haya, Bo-tan, Lu-thayjin telah datang,
kau sedang apa di dalam sana" Cepat pasang lentera dan
menyambut kedatangannya."
Sementara Tong Keng bingung dan tak tahu apa yang
hendak dilakukan, terdengar Ting Tong-ih telah berkata
dengan suara hambar, "Lagi-lagi kedatangan seorang
pembesar anjing!"
Dia segera mengambil pematik api dan memasang lentera,
cahaya yang terang segera menyinari wajahnya yang cantik,
seakan cahaya dari balik lorong yang menyinari sebuah
patung bidadari.
"Aku ... apakah aku harus...." Tong Keng tergagap.
"Setelah pembesar anjing itu datang, sekeliling pintu pasti
sudah dijaga ketat, sementara bersembunyilah dulu di dalam
almari baju, kita bicara lagi sehabis kuusir dia dari sini."
Sebenarnya Tong Keng ingin berkata, "Kau tak usah
mengusir tamumu gara-gara aku". Mendadak dia merasa
dirinya seperti belum berhak mengucapkan perkataan
semacam itu, maka hanya bibirnya yang bergerak dan segera
ia menelan kembali ucapannya.
Ting Tong-ih tidak memandang lagi ke arahnya, dia
berpaling ke arah lain sambil mengenakan pakaian berwarna
biru di tubuhnya yang putih ramping dan sangat indah itu.
Mungkin lantaran dia adalah orang persilatan yang sudah
terbiasa bergaul dalam dunia Kangouw, maka tak ada
pantangan apapun baginya untuk melakukan segalanya.
Kebetulan waktu itu Tong Keng sedang berpaling
memandang ke arahnya, saat itu Ting Tong-ih sedang
mengenakan lengan baju kanannya sehingga dengan jelas
kelihatan payudara kirinya yang menongol keluar, di bawah
cahaya lentera, gumpalan daging itu kelihatan sangat
kencang, bulat dan indah.
Untuk sesaat Tong Keng tertegun, segera ia berjalan
menuju ke arah kiri, tapi baru beberapa langkah dia berbalik
lagi ke arah kanan, gerak-geriknya macam orang
kebingungan. "He, mau apa kau?" Ting Tong-ih segera menegur.
"Mencari lemari baru!"
"Itu di sana, bukankah lemari yang besar itu adalah lemari
baju?" sahut Ting Tong-ih sambil menuding ke arah samping.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seakan baru tersadar dari impian, segera Tong Keng berlari
menuju ke lemari itu.
Kini Ting Tong-ih baru tersenyum, wajahnya yang memang
cantik kelihatan semakin menawan hati.
Dalam pada itu germo yang ada di luar kamar kembali telah
berteriak, "Bo-tan, Bo-tan ... cepat buka pintu, jangan bikin
Lu-toaya naik pitam"
Tiba-tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk.
Germo memang merupakan jenis manusia yang paling
tanggap, begitu mendengar suara batuk, dia pun segera
berseru lagi, "Kalau sampai membuat Lu-toaya marah, kau
bisa kehilangan rezeki"
Dengan amat santai Ting Tong-ih mengenakan baju
birunya, kemudian ia memasang sebatang hio, memejamkan
mata dan bersembahyang dulu, kemudian ia tancapkan hio itu
ke tempat abu, seketika ruangan pun menjadi harum
semerbak. Kemudian ia menuju ke depan cermin, menyisir
rambutnya, melukis alis matanya dan berbedak.
"Kalau dia mau pergi, silakan saja pergi," katanya hambar.
"Kau...." tampaknya germo itu menjadi panik.
Sekali lagi terdengar suara orang berdehem, lalu terdengar
seseorang berkata dengan santun, "Tidak mengapa, tidak
mengapa, nona Bo-tan tak perlu tergesa-gesa, aku tidak
marah, aku tidak marah"
"Lu... Lu-toaya, ternyata kau memang penyabar,"
terdengar germo itu berkata lagi sambil tertawa, "orang sabar
biasanya disukai nona muda"
"Aku tidak perlu marah, juga tak perlu tergesa-gesa,
hahaha, kenapa aku mesti tergesa-gesa" terdengar orang itu
menyahut sambil tertawa tergelak.
Tong Keng mencoba mengintip dari celah lemari, waktu itu
Ting Tong-ih sedang menyisir rambutnya. Entah kenapa
begitu menyaksikan gadis cantik yang sedang duduk di bawah
lentera itu, bukan saja semua amarahnya langsung hilang,
bahkan semua penderitaan dan siksaan yang telah dialaminya
selama berada dalam penjara seolah sudah memperoleh
imbalan yang setimpal.
Tak lama kemudian terlihat seseorang berjalan masuk ke
dalam ruangan didampingi si germo yang penuh senyuman.
Ting Tong-ih segera menyambut kedatangan orang itu
sambil memberi hormat, "Lu-thayjin!"
Orang itu berwajah tampan dengan jenggot kuning yang
panjang, sahutnya sambil tertawa, "Hahaha, selama berada di
sini, tak ada urusan kepangkatan, jadi kau tak perlu
menyebutku Thayjin apa segala."
"Tapi kedudukan Lu-thayjin berbeda, Siauli tak berani
bertindak tak sopan, apalagi antara lelaki dan wanita ada
bedanya. Tadi Thayjin bilang mau menunggu sebentar di luar
pintu, kenapa tanpa pemberitahuan kau langsung masuk
kemari" Apa maksudmu?"
Lu-thayjin kelihatan agak melengak, tapi belum sempat
mengucapkan sesuatu, si germo segera menukas, "Haya, BoTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tan, Bo-tan ... kau ini memang nona yang tak tahu diri, kau
salah makan obat rupanya, kenapa hari ini bersikap kurang
sopan terhadap Toaloya?"
Segera Lu-thayjin mengulapkan tangannya mencegah si
germo menegur Ting Tong-ih, sambil tertawa paksa katanya,
"Maaf nona, rupanya memang aku yang bersikap kurang
sopan, baik, baik, kalau begitu biar aku menunggu lagi di luar
pintu." Baru akan mengundurkan diri, dengan nada dingin Ting
Tong-ih telah menukas, "Tidak perlu!"
Lu-thayjin pun mengedipkan matanya ke arah si germo,
tampaknya germo itu memang tahu diri, segera ia
mengundurkan diri dari dalam kamar sambil menutup kembali
pintu kamar, ketika berada di luar sana, serunya lagi, "Silakan
kalian berdua berbincang-bincang, akan kuperintahkan orang
untuk menyiapkan arak dan hidangan."
"Hmmm, kau memang selalu mengandalkan manusia
macam begini untuk mencari untung!" dengus nona itu dingin.
Sepeninggal sang germo, Lu-thayjin baru memegang bahu
Ting Tong-ih dan menegur sambil tertawa, "Nona cantik, siapa
sih yang telah membuat kau marah malam ini?"
Ting Tong-ih segera merendahkan bahunya menghindar,
dengan begitu pegangan Lu-thayjin pun mengenai tempat
kosong. Perlu diketahui, jabatan Lu-thayjin dalam pemerintahan
sangat tinggi, dia memegang kekuasaan yang besar,
sedemikian besarnya kekuasaan yang dia miliki, bahkan
keluarga Kaisar pun menaruh hormat kepadanya.
Tapi sekarang dia harus terbentur batunya oleh ulah gadis
itu, kontan saja hatinya menjadi jengkel, baru akan
mengumbar amarahnya, mendadak ia saksikan betapa
murung dan sedihnya wajah Ting Tong-ih, setelah tertegun
sesaat akhirnya dia mengurungkan niatnya untuk mengumbar
hawa amarah. Setelah tertawa dingin berulang kali, katanya, "Aku
tahu...." Ting Tong-ih sama sekali tidak menggubris, dia malah
duduk membelakangi pembesar itu dengan membiarkan
rambutnya yang panjang terurai menutupi bahunya.
Tampaknya Lu-thayjin mulai sewot, mendadak ujarnya,
"Bo-tan, jangan kau sangka semua perbuatanmu tidak
kuketahui, terus terang selama ini aku hanya tak ingin
mengungkapnya secara terbuka."
Ting Tong-ih menggebrak meja dengan keras, sambil
bangkit berdiri dan membalikkan badan teriaknya, "Kalau
memang kau mengetahui sesuatu, ayo katakan! Memangnya
kau anggap aku takut kepadamu."
"Bo-tan," Lu-thayjin kembali memperlunak nada suaranya,
"kita sudah berhubungan baik sejak lima tahun lalu, buat apa
sih mesti ribut seperti ini?"
Ting Tong-ih membuang muka ke arah lain, sama sekali
tidak menggubrisnya.
"Bo-tan!" kembali Lu-thayjin berbisik dengan nada penuh
rasa sayang, "hampir setiap jengkal tubuhmu pernah kulihat,
hampir setiap inci badanmu pernah kuraba, kenapa kau
bersikap begitu kasar kepadaku" Buat apa mesti ribut
denganku?"
"Lu-thayjin, jaga ucapanmu! Betul, ketika masih berada di
sarang pelacuran kehidupanku sangat mengenaskan, aku
memang pernah kau nodai setelah kau cekoki obat pemabuk,
yang sudah lewat biarlah lewat, jika kau mengungkitnya lagi
sekarang, jangan salahkan kalau segera kuusir kau dari sini."
"Tahukah kau, selama ini wajahmu siang malam terbayang
dan kurindukan" Memang aneh, padahal selama ini kau selalu
bersikap dingin kepadaku, bukannya aku tak pernah
menjumpai gadis secantik dirimu, tapi aku tetap merindukan
kau... dulu, seingatku kau tak pernah bersikap begitu kaku
dan dingin seperti sekarang, mengapa malam ini kau
menampikku" Selalu bersikap ketus kepadaku?"
"Malam ini aku tak senang bertemu denganmu," jawab Ting
Tong-ih ketus. "Kenapa?" Lu-thayjin mulai naik darah.
"Kalau tidak senang ya tidak senang, tak perlu bertanya
kenapa." "Hmmm, aku tahu mengapa kau tidak senang hati" dengus
Lu-thayjin jengkel, lalu sepatah demi sepatah terusnya, "kau
jengkel karena suami simpananmu yang sudah dikebiri hari ini
mampus dijagai orang!"
"Kau..." dingin kaku wajah Ting Tong-ih.
"Kenapa denganku" Kau sangka aku tidak tahu" Hmmm,
padahal kau pun tahu kalau kau adalah perempuan murahan,
kaulah si perampok wanita Lan-lo-sat (iblis wanita berbaju
biru) Ting Tong-ih, jangan sangka setelah aku memanggilmu
Bo-tan lantas tidak tahu kalau kaulah si iblis wanita itu!"
Ting Tong-ih balas tertawa dingin. "Bagus, Lu Bun-chang,
rupanya kau memang hebat! Mau apa kau sekarang, Luthayjin?"
jengeknya gusar.
Lantaran malu Lu Bun-chang naik darah, serunya, "Aku
selalu merahasiakan identitasmu karena aku ingin memberi
kesempatan kepadamu, kesempatan agar kita berdua bisa
berhubungan lagi seperti dulu, kau sangka ada orang yang
bisa menjamin keselamatanmu" Hmmm, kau kira Li Ok-lay itu
manusia macam apa" Orang goblok" Keliru besar! Dia justru
sangat teliti dan hebat, pandai melihat situasi, pandai
menyelidiki asal-usul orang. Tanpa perlindunganku, kau
sangka dirimu masih bisa hidup hingga sekarang" Masa kau
masih belum dapat memaklumi pengorbananku selama ini?"
Mula-mula Ting Tong-ih sedikit emosi, tapi dengan cepat ia
dapat mengendalikan perasaannya.
"Darimana kau mengetahui semua ini?" tanyanya
kemudian. "Selama Ni Jian-ciu berada di sini, persoalan apa yang bisa
mengelabuinya?"
"Ni ... Jian ... Ciu" pekik Ting Tong-ih sepatah demi
sepatah, kemudian setelah tertawa pedih lanjurnya, "bila Ni
Jian? ciu tahu rahasia ini, tak ada alasan bagi Li Ok-lay untuk
tidak mengetahuinya."
Memanfaatkan kesempatan itu Lu Bun-chang maju ke
depan, sambil menggenggam sepasang tangan gadis itu,
katanya, "Kalau bukan lantaran aku, begitu Kwan Hui-tok
mati, dia pasti sudah mengirim pasukan mengepung Kiokhongwan serta mengobrak-abrik kantor cabang
perkumpulanmu ini!"
"Lalu mau apa kau datang kemari?" tanya Ting Tong-ih
sambil tertawa ewa.
"Tentu saja datang untuk melindungi keselamatanmu," seru
Lu Bun-chang jengkel.
"Terima kasih banyak atas perhatianmu, Lu-thayjin" kata
Ting Tong-ih sambil menarik kembali tangannya, "sekarang
kau sudah melindungi aku, jadi silakan pulang."
"Apa maksudmu?" tanya Lu Bun-chang gelisah.
"Aku tidak bermaksud apa-apa."
"Kenapa kau begitu goblok" Apa untungnya berkorban
demi Kwan Hui-tok yang sudah mampus?" Ting Tong-ih
tertawa dingin.
"Heran, bila kau memang orang baik, sudah seharusnya
kau selamatkan jiwa Kwan-toako, bila kau menginginkan
diriku, tidak seharusnya kau suruh orang membunuh Kwantoako..."
"Tapi Kwan ... Kwan Hui-tok kelewat takabur, tindak-tanduk
dan sepak terjangnya dalam penjara sudah keterlaluan, mana
mungkin aku dapat melindungi jiwanya?"
"Tentu saja kau tak dapat melindunginya karena kau
memang tak bermaksud melakukan hal itu, hmmm, sekarang
dia sudah mati, aku pun sudah siap menyusulnya!"
"Buat apa kau berbuat bodoh?" Lu Bun-chang berusaha
mengendalikan hawa amarahnya, "kau adalah kau, dan dia
adalah dia, lagi pula lelaki yang kau miliki toh bukan cuma dia
seorang, buat apa kau mesti mengorbankan diri" Sudah sekian
lama kau hidup dalam keadaan begini, kenapa hanya garagara
emosi sesaat...."
"Bukan karena emosi sesaat, mengerti kau?" tukas gadis
itu. Lu bun-chang sudah tak mampu mengendalikan diri lagi,
segera teriaknya, "Kau sangka apa yang tidak kupahami"
Semua yang kau katakan sangat kupahami."
Tiba-tiba Ting Tong-ih mempertinggi nada suaranya,
dengan wajah memerah teriaknya, "Betul, dia memang bukan
hanya memiliki seorang wanita seperti aku dan aku pun bukan
hanya memiliki seorang lelaki seperti dia, tapi setelah dia mati,
aku pun tak ingin hidup, bila aku mati, dia pun tak akan hidup
dengan hati senang"
Bagaikan seekor kucing betina yang sedang marah,
teriaknya lagi, "Kau sudah mengerti belum" Kalau tidak
mengerti, cepat enyah dari sini!"
Dada Lu Bun-chang naik turun menahan emosi, untuk
sesaat dia tak tahu apa yang mesti dikatakan, tangannya
gemetar, tubuhnya ikut gemetar, hawa amarahnya telah
memuncak. Pada saat itulah terdengar pintu kamar diketuk orang,
kemudian terdengar si germo berseru dari luar, "Lu-thayjin,
arak dan hidangan telah datang!"
Lu bun-chang sama sekali tidak menggubris, mendadak
katanya kepada gadis itu, "Tahukah kau, siapa yang telah
dikirim kemari gara-gara kasus ini?"
"Hmmm, aku hanya bisa menengok dari tempat ini, yang
kulihat hanya sekelompok gagak yang terbang bergerombol,
kelihatannya seperti sedang menyambut kedatangan tuan
perdana menteri!"
"Betul, yang datang memang seorang tokoh penting," seru
Lu Bun-chang sambil menatapnya tajam, "dia adalah Raja
opas Li Hian-ih."
Berkilat sepasang mata Ting Tong-ih setelah mendengar
nama itu, seakan seekor kucing yang tiba-tiba bertemu musuh
tangguh. Setelah berhenti sejenak, kembali Lu Bun-chang
melanjutkan, "Raja opas memang sengaja diutus kemari untuk
menangkap kalian pembunuh keji beserta begundalnya!"
Kemudian sambil mengelus jenggotnya ia menambahkan,
"Setelah kedatangan Raja opas, tak lama kemudian empat
opas yang paling kenamaan pun akan segera tiba di sini.
Hmmm, tunggu saja kedatangan mereka, biar ada sepuluh
orang Kwan Hui-tok juga jangan harap bisa meloloskan diri,
terlebih gadis macam kau!"
ooOOOoo 8. Mendobrak Kepungan.
Sewaktu si germo dan dua orang dayang itu membuka
pintu, mereka pun segera tertegun setelah menyaksikan Lu
Bun-chang sedang berdiri saling berhadapan dengan Ting
Tong-ih dengan wajah penuh amarah.
Terdengar Lu Bun-chang berteriak penuh amarah, "Ting
Tong-ih, kalau kau tetap tak tahu diri, jangan salahkan aku tak
berperasaan!"
Tiba-tiba terdengar suara benturan keras, menyusul
kemudian setiap jendela dan pintu yang ada di sekeliling
tempat itu dibuka orang, dari baliknya bermunculan penjaga
bersenjata lengkap, tampaknya seluruh jalan keluar dari
tempat itu sudah dikepung.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berubah hebat paras muka Ting Tong-ih, cepat dia
mengebaskan ujung bajunya dan memadamkan cahaya
lentera. Begitu cahaya lampu padam, "Criiing...!", diiringi desingan
angin tajam, sekilas cahaya pedang berkelebat melancarkan
tusukan, tapi baru menusuk sampai tengah jalan, cahaya
pedang itu mendadak lenyap.
Biarpun sinar pedang sudah tak nampak, namun serangan
maut masih tetap meluncur ke depan.
"Sreet!", kembali sekilas cahaya berkelebat, ternyata orang
yang memegang korek api adalah Lu Bun-chang.
Dengan tangan kiri ia memegang korek api, jari telunjuk
dan ibu jari tangan kanannya menjepit ujung pedang Ting
Tong-ih. "Lan-lo-sat," terdengar Lu Bun-chang menjengek, "lebih
baik segera menyerahkan diri"
Ting Tong-ih tidak menjawab, sekonyong-konyong dia
menendang kain tirai yang tergeletak di tanah.
Kain itu langsung melambung ke udara dan mengurung
kepala Lu Bun-chang, tak berselang lama mereka berdua
sudah terselubung di balik tirai itu.
Tong Keng hanya bisa memandang dari luar, dia saksikan
tirai kain itu bergelombang naik turun bagai gulungan ombak
samudra, jelas kedua orang itu sedang terlibat dalam
pertarungan yang amat sengit.
Tong Keng semakin gelisah, apalagi setelah dari seluruh
penjuru rumah pelacuran Kiok-hong-wan bergema suara
pertempuran yang amat seru.
"Sreet, sreet, sreet", di tengah desingan angin tajam, tirai
kain itu sudah bertambah dengan sebuah lubang, kemudian
robekan itu bertambah lebar dan terlihatlah ujung pedang
berwarna biru yang sedang mengurung setitik cahaya putih,
hanya sejenak, tahu-tahu cahaya itu lenyap dari pandangan.
Menyaksikan hal ini Tong Keng menghembuskan napas
lega, paling tidak, berkelebatnya cahaya pedang itu
membuktikan ujung pedang Ting Tong-ih sudah tidak berada
dalam jepitan jari tangan lawan.
Tapi ada satu hal yang membuatnya tidak habis mengerti,
berada di bawah kerudungan kain tirai yang begitu sempit
hingga bergerak pun susah, dengan cara apa dia bisa
meloloskan diri dari serangan pedang Ting Tong-ih"
Baru saja ia merasa lega, mendadak "Weesss!", bagaikan
sebuah piring terbang yang muncul dari balik kain tirai, tahutahu
sekilas cahaya biru berkelebat sambil menerobos keluar
dari kurungan, di belakang bayangan itu menempel ketat
sekilas cahaya pedang yang menggidikkan.
Ternyata pedang itu masih berada dalam genggaman Lu
Bun-chang. Pedang yang berada di tangan Lu Bun-chang bagaikan
seekor ular berbisa, mengejar dan menempel terus punggung
gadis itu. Sungguh cepat gerak tubuh Ting Tong-ih, ketika
berkelebat, mantelnya mengembang menjadi selapis dinding
baja yang amat kuat, namun ujung pedang itu menempel
terus di belakang mantel bajanya sambil beberapa kali
melancarkan tusukan ke dalam.
Dengan kecepatan tinggi Ting Tong-ih menerobos ke
depan, waktu itu ada tiga empat orang prajurit yang berjaga
di depan pintu, sementara si germo beserta dayangnya sudah
roboh terbacok senjata.
Ting Tong-ih yakin dengan kemampuan yang dimilikinya
hanya dalam tiga jurus ia mampu merobohkan orang-orang
itu, tapi sayang ancaman pedang yang muncul dari belakang
punggung selalu menempel tubuhnya, hal ini membuatnya tak
punya waktu untuk melancarkan serangan.
Dengan satu kali jumpalitan tubuhnya berbelok ke arah
lain, kini dia menghampiri jendela, namun di situ pun dijaga
beberapa orang prajurit, dengan satu gerakan cepat gadis itu
berusaha menerobos keluar.
Diiringi desingan angin tajam, serangan pedang yang
datang dari belakang langsung menusuk ke depan.
Saat itu tubuh Ting Tong-ih sudah terpojok hingga di depan
lemari baju, mendadak ia menghentikan larinya sembari
membalikkan badan, dengan wajah dingin bagaikan salju
ditatapnya ujung pedang lawan tanpa berkedip.
Waktu itu serangan pedang Lu Bun-chang nyaris
menembus tubuh Ting Tong-ih, belum sampai ujung
pedangnya menempel tubuh lawan, segera ia membatalkan
ancamannya. Saat itulah mendadak Ting Tong-ih mengayunkan sepasang
tangannya, dua kilas cahaya putih langsung menyambar ke
wajah Lu Bun-chang.
Segera Lu Bun-chang menarik pergelangan tangannya ke
bawah, "Traaak!", dia pentalkan serangan 'pedang tangan'
yang pertama, tapi bacokan 'pedang tangan' kedua sudah
menyergap ke wajahnya.
Segera lelaki itu memiringkan kepalanya ke samping, di
antara kilatan cahaya pedang beberapa utas rambutnya
terpapas dan buyar ke lantai.
Di dunia persilatan Lu Bun-chang berjuluk Han-ya-bunhiang
(di tengah malam menikmati salju), bukan saja dia
adalah seorang terpelajar, akalnya banyak, otaknya pun
cerdas, di antara sekian banyak orang yang mengikuti ujian
negara, hanya dia seorang yang mampu lulus ujian bun
(sastra) maupun bu (ilmu silat) sekaligus, sehingga tersohor
sebagai seorang bun-bu-siang-coan.
Akibat keberhasilan dan kemampuannya ini, banyak orang
merasa tak puas dan iri hingga suatu ketika muncul delapan
jagoan hebat yang ingin menjajal kemampuannya, waktu itu
dia disergap di tengah malam buta yang bersalju.
Waktu itu Lu Bun-chang bersama tiga orang pembesar
kerajaan sedang mengelilingi anglo kecil sembari
membicarakan syair, kebetulan syair yang sedang dibahas
adalah syair "Di malam bersalju menikmati bunga bwe
diterangi rembulan'.
Ketika Lu Bun-chang baru saja bersenandungkan, "Di
tengah malam menikmati salju mendadak ia berhenti sambil
tersenyum karena saat itulah ia mendengar ada beberapa
orang Ya-heng-jin (orang berjalan malam) hinggap di atas
atap rumah. Waktu itu sambil tertawa Lu Bun-chang berkata, "Tunggu
sejenak, aku segera akan kembali."
Begitu melompat naik ke atap rumah dia langsung
menyerang ketujuh orang lawannya, dalam pertarungan itu
dia berhasil membunuh tiga orang, melukai dua orang dan
memukul mundur dua yang lain.
Sekembalinya bertempur, dia pun melanjutkan
senandungnya, "Di malam bersalju menikmati bunga bwe
diterangi rembulan. Di tengah malam menikmati salju,
membunuh sambil tersenyum."
Dari situlah maka Lu Bun-chang dijuluki orang sebagai 'Di
tengah malam menikmati salju', dimaksudkan dia adalah
seorang jagoan yang bisa membunuh orang sambil tertawa.
Begitulah, baru saja ia berhasil menghindarkan diri dari dua
buah serangan 'pedang tangan' yang dilancarkan Ting Tongih,
belum sempat menarik napas untuk mengucapkan
beberapa patah kata, tendangan gadis itu kembali menyambar
tiba. Sampai di tengah jalan tiba-tiba tendangan itu terhenti, dua
bilah cahaya pedang tahu-tahu sudah melesat keluar dari
ujung sepatunya.
Lu Bun-chang berteriak keras, "Triiing!", dia memukul jatuh
sebilah pedang terbang yang menyambar tiba namun gagal
menghindari serangan kedua, tak ampun lagi pisau terbang itu
menghujam tulang rusuk kanannya.
Rasa sakit yang luar biasa membuat hawa amarahnya
memuncak, sebuah serangan maut segera dilancarkan, dia
tusuk dada gadis itu.
Ting Tong-ih sendiri meski berhasil melukai Lu Bun-chang
dengan pisau terbang yang disembunyikan di balik sepatunya,
namun dia sendiri juga sulit menghindarkan diri dari tusukan
maut Lu Bun-chang.
Di saat yang kritis, sekonyong-konyong terdengar suara
raungan keras bergema dari balik lemari, di tengah kegelapan
mendadak menerobos keluar seseorang yang langsung
menyambar sebuah jubah dan digulungkan ke atas pedang itu
sambil membetotnya kuat-kuat.
Bila kejadian ini berlangsung di hari biasa, mustahil bagi
Tong Keng untuk menggulung pedang Lu Bun-chang dengan
sebuah jubah, dia pun tak mungkin mampu membetot tubuh
lawan hingga terhuyung.
Saat ini keadaannya berbeda, pertama, karena Lu Bunchang
tidak menyangka kalau di dalam lemari masih ada
orang lain, kedua, dia pun sudah terluka, maka begitu dibetot,
tak ampun tubuhnya langsung terjerembab ke dalam lemari
baju. Dalam keadaan seperti ini, Lu Bun-chang hanya merasakan
dadanya sakit bukan kepalang, waktu itu dia hanya sempat
melindungi kepala serta dada sendiri, sementara tubuh bagian
lainnya entah sudah terhajar berapa kali bogem mentah dan
tendangan keras.
Tong Keng sendiri pun tidak menyangka kalau ia berhasil
menarik tubuh Lu Bun-chang hingga terjerembab ke dalam
lemari, bahkan berhasil menguburnya di tengah tumpukan
pakaian dan menghajarnya habis-habisan, belum sempat dia
melakukan serangan lebih jauh, sekawanan prajurit telah
menerobos masuk ke dalam kamar.
Kawanan prajurit itupun amat terperanjat ketika secara
tiba-tiba melihat Tong Keng menerjang keluar dari dalam
lemari baju, beberapa orang di antaranya segera mengenali
pemuda itu, teriaknya keras, "Tangkap pembunuh! Tangkap
pembunuh!"
Tong Keng melengak, batinnya, "Sialan! Aku toh tidak
membunuh pembesar she Lu ini, kenapa disebut pembunuh?"
Tak selang berapa saat, kawanan prajurit itu sudah
mengayunkan goloknya sambil menerjang maju ke muka.
Dengan garang dan buasnya mereka mengayunkan golok
sambil menerjang ke arah Tong Keng, tak seorang pun di
antara mereka yang menggubris keselamatan Lu Bun-chang,
orang-orang itu hanya tahu bila berhasil menangkap Tong
Keng atau membunuhnya, maka hadiah besar telah menanti
mereka. Ting Tong-ih tidak tinggal diam, dia rampas sebilah pedang
dan kemudian menusuk ke depan merobohkan prajurit yang
berada paling depan, sambil menarik ujung baju Tong Keng,
bisiknya, "Ayo, cepat kabur!"
"Tunggu sebentar!" kata Tong Keng yang tiba-tiba menjadi
kalap, bukannya mundur dia malah maju ke depan, kepalan
dan tendangannya silih berganti dilontarkan, dalam waktu
singkat serbuan keempat lima orang pengepungnya berhasil
dipukul mundur.
Bukan hanya itu, dia berhasil mencengkeram tengkuk salah
seorang prajurit dan menariknya ke belakang.
Dengan ketakutan setengah mati prajurit itu membuang
goloknya sambil meronta, dengan wajah pucat-pias teriaknya
berulang kali, "Tak ada urusan denganku, jangan bunuh aku,
jangan bunuh aku"
"Apa maksud kalian menyebutku sebagai pembunuh?"
hardik Tong Keng keras.
"Apa?" prajurit itu balik tertegun.
Sementara itu kembali ada dua orang prajurit yang berhasil
mendekat, seorang di antaranya segera dirobohkan Ting
Tong-ih sedang yang lain kena bacokan di lengannya oleh
sabetan senjata Tong Keng.
Sekali lagi Tong Keng menendang orang itu dengan keras,
teriaknya, "Cepat jawab, kenapa kalian menuduhku sebagai
pembunuh?"
Setahunya, dia masuk penjara dengan tuduhan 'pagar
makan tanaman, mencuri barang kawalan sendiri, merampok
harta milik pemerintah', tapi sekarang ditambah tuduhan baru
sebagai pembunuh, hal ini membuatnya uring-uringan.
Saking takutnya prajurit itu sampai gemetar keras hingga
gigi pun saling beradu, sahutnya tergagap, "Aku ... aku ...
bukan urusanku ... atasan bilang kau ... kau kabur dari
penjara ... membunuh Li-siauya"
Tong Keng meraung keras, sepasang tangannya diayunkan
dan dia lempar tubuh orang itu jauh ke belakang, teriaknya
semakin kalap, "Bagus, bagus sekali, memang aku yang
membunuhnya! Memang aku yang merampok uang negara!
Terserah kalian, senang menuduhku sebagai apa, tuduhkan
saja kepadaku, mau menyiksaku dengan cara apapun aku siap
menghadapinya."
Tong Keng memang memiliki perawakan tinggi kekar,
ucapan yang diutarakan dengan sikap menantang ini
membuat keadaannya mirip harimau yang siap menerkam
mangsa, untuk sesaat para prajurit yang melakukan
pengepungan terkesiap hingga untuk sesaat tak seorang pun
berani maju menyerang.
Salah seorang di antara kawanan pengepung itu segera
berseru dengan suara berat, "Tong Keng, kalau kau sudah
mengakui dosamu, kenapa tidak segera menyerahkan diri"
Kalau sampai ditangkap sendiri oleh si opas sakti Li-thayjin,
baru tahu rasa nanti!"
Sejujurnya dalam hati kecil Tong Keng pun merasa
ketakutan, apalagi sebagai mantan penghuni penjara yang
sudah kenyang merasakan segala siksaan dan penderitaan,
tentu saja dia tak ingin ditangkap dan dijebloskan kembali ke
dalam neraka hidup itu.
Tak heran kalau hatinya menjadi kebat-kebit tak keruan
setelah mendengar si opas sakti Li Hian-ih turut terjun dalam
pelacakan buronan kali ini, ia sadar kesempatan untuk hidup
bertambah sempit.
Sadar posisinya bertambah bahaya, Tong Keng menjadi
nekad, sembari meraung keras dia siap menerjang ke muka
untuk mengadu nyawa.
Tapi sebelum ia bertindak, mendadak terdengar jeritan
ngeri yang memilukan hati berkumandang dari luar kamar.
Jeritan ngeri itu sangat menyayat hati, bukan saja
mendatangkan perasaan pilu bagi yang mendengar, bahkan
mendirikan bulu roma.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu jeritan ngeri berlalu, suara pertarungan sengit dan
bentroknya senjata tajam berkumandang makin ramai,
terdengar seseorang membentak nyaring, "He, bangsat, kalau
tidak segera menyerahkan diri, nasib tragis beginilah yang
akan kalian terima!"
Lalu terdengar ada seseorang menyahut, "Tak usah banyak
bacot, mau tangkap mau bunuh silakan dicoba!"
Dari suara jeritan ngeri itu Tong Keng segera mengenali
siapakah dia, ternyata suara itu berasal dari Ban Lo-liok.
Bila ditinjau dari jeritan ngerinya yang memilukan hati, bisa
disimpulkan bahwa Ban Lo-liok telah ketimpa musibah dan
jiwanya tak tertolong lagi.
Suara jeritan ngeri itu bukannya membuat nyali Tong Keng
bertambah surut, ia justru terangsang untuk menyerang lebih
nekad, semangat bertarungnya semakin berkobar, dia sadar
segala fitnah dan tuduhan yang ditimpakan kepadanya secara
tertubi-tubi membuat posisinya amat kritis dan berbahaya,
setiap saat jiwanya terancam bahaya maut, tapi
bagaimanapun ia bertekad mempertahankan nyawanya, paling
tidak semua dendam dan sakit hatinya harus dibalas terlebih
dulu. Sementara itu untuk kedua kalinya kembali Ting Tong-ih
berseru kepadanya, "Ayo, kabur!"
Di tengah kilatan cahaya pedang, ia sudah membuka
sebuah jalan berdarah....
Tong Keng segera mengikut di belakangnya menerjang
keluar pintu kamar.
Sebenarnya mereka berdua berniat kabur melalui jendela,
tapi seluruh atap rumah, luar jendela, bawah loteng maupun
di luar pagar pekarangan sudah bersiap begitu banyak jagoan
yang siap mengepung mereka, baru saja kedua orang itu tiba
di depan pagar loteng, dari balik kegelapan terlihat beberapa
tempat mulai terbakar.
Di tengah kobaran api yang semakin membara, tampak
bayangan manusia bergerak kian kemari, tak lama kemudian
di seluruh pelosok sudah terjadi kebakaran hebat.
Ting Tong-ih sadar, sebagian besar saudara yang selama
ini dibina Kwan Hui-tok telah menemui ajalnya terbakar oleh
kobaran api dahsyat itu.
Cepat dia menyelinap ke tepi pagar, di balik keheningan
yang mencekam seluruh jagad, lamat-lamat ia mendengar
suara ujung baju yang tersampuk angin bergema dari empat
penjuru, suara ujung baju yang mengandung hawa
pembunuhan. Sadar akan mara bahaya yang mengancam di depan mata,
gadis itu urung melompat turun, dia menarik baju Tong Keng
dan diajak berbalik ke dalam kamar dan mencoba menyerbu
lewat situ. Tampaknya para opas dan prajurit yang berjaga di dalam
kamar tidak mengira kalau Ting Tong-ih serta Tong Keng akan
berbalik arah, mereka menjadi kelabakan dibuatnya.
Mereka berdua segera menerjang keluar dari kamar,
sepanjang jalan terlihat mayat bergelimpangan dimana-mana,
pelayan, dayang, pelacur, ada yang terluka, ada yang merintih
di tengah genangan darah, ada pula yang tewas
mengenaskan. Ji-losam serta dua orang lelaki penggotong tandu masih
terlibat pertarungan sengit melawan sekawanan opas dan
prajurit, sementara dua orang penandu yang lain, satu sudah
mati terkapar sementara yang satu lagi sudah tertawan,
namun luka yang dideritanya teramat parah.
Tong Keng segera mengayunkan sepasang kepalannya
berulang kali dan merebut sebilah golok besar, saat itulah dia
lihat ada seorang prajurit sedang menendang seorang wanita
yang sudah luka terkapar di tanah sambil merintih.
Tak tahan dengan perlakuan orang itu, Tong Keng
langsung menyergapnya sambil melancarkan bacokan,
agaknya prajurit itu tidak menyangka kalau di antara lawannya
yang sudah terkepung rapat, ada seorang di antaranya
sempat membalikkan badan sambil menghadiahkan bacokan
ke tubuhnya. Dalam gugup dan gelagapannya, opas itu segera
membalikkan goloknya sambil balas membacok dada kanan
Tong Keng. Tong Keng mendengus, bukan menarik kembali
serangannya, dia malah membacok dengan sepenuh tenaga,
cepat opas itu menangkis dengan tangan kosong, tak ampun
kelima jari tangannya segera terpapas kutung.
Gugup dan takut membuat opas itu seolah lupa dengan
rasa sakit yang mencekam tangannya, segera teriaknya,
"Ampuni aku, ampuni aku"
Sebenarnya Tong Keng akan menambahi dengan sebuah
bacokan lagi, tapi akhirnya dia mengubah bacokan menjadi
sebuah tendangan keras, umpatnya, "Perbuatan kalian
memang laknat, melihat orang lantas membunuh, tingkah
lakumu lebih jahat dari seorang perampok!"
Waktu itu Ting Tong-ih sudah menyerbu turun ke bawah
loteng, baju birunya dilapisi cahaya golok menerkam ke sana
kemari. Sementara Tong Keng yang tertinggal di atas loteng
seketika dikepung tujuh delapan orang opas dan prajurit,
gadis itu sempat mendongak ke atas, tampaknya ia sedang
mempertimbangkan apakah perlu menolong Tong Keng atau
tidak, tapi sebelum memutuskan, pintu kamar sudah diterjang
orang hingga hancur berantakan, menyusul kemudian terlihat
seseorang menerjang masuk ke dalam.
Sungguh cepat gerakan orang itu, begitu keluar kamar dia
langsung menerkam ke bawah loteng, tangan kanannya
mencengkeram bahu kiri Ting Tong-ih dengan kuat.
Gadis itu membalikkan pedangnya melepaskan tusukan,
cepat orang itu menarik kembali tangannya dan berganti
menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram bahu kanan
nona itu. Ting Tong-ih segera mundur sejauh tiga langkah, tapi
orang itu menempel terus, begitu lawannya mundur dia
langsung merangsek maju.
Gadis itu tahu, bertahan terus bukan pemecahan yang
menguntungkan. Dalam gugup dan gelisahnya ia membalikkan
pedangnya kemudian menusuk tenggorokan lawan.
Orang itu tertawa dingin, tangannya menyapu ke atas dan
mencengkeram tubuh lawan.
Sekarang Ting Tong-ih dapat melihat jelas wajah lawannya,
ternyata dia adalah Lu Bun-chang. Sadarlah si nona bahwa
tiada harapan lagi baginya untuk bisa lolos dari cengkeraman
iblis itu malam ini.
Waktu itu Tong Keng yang sedang bertarung sengit di atas
loteng kena dihajar sebuah tendangan yang dilepaskan
seorang opas, punggungnya langsung menumbuk pagar
loteng hingga patah, tubuhnya pun langsung terjungkal ke
bawah. Ketika tubuh Tong Keng terlempar jatuh ke bawah loteng,
telinganya sempat menangkap suara deru angin tajam yang
mendengung di sisinya, tampaknya potongan kayu pagar dan
sejumlah senjata ikut rontok pula ke bawah. Tiga empat orang
opas dan prajurit ternyata turut melompat turun ke bawah
melakukan pengejaran.
Tak terlukiskan rasa kaget Tong Keng, jeritnya di dalam
hati, "Habis sudah riwayatku kali ini, sungguh menyesal aku
mesti mati dengan cara begini"
Sekonyong-konyong punggungnya yang terjatuh ke bawah
menyentuh sesuatu benda.
Dia mengira sudah mencapai permukaan tanah, diam-diam
ia bersiap menghadapi getaran keras karena benturan serta
rasa sakit yang luar biasa.
Di luar dugaan, tubuhnya seakan-akan terjatuh di tengah
gumpalan awan yang tebal, sama sekali tidak terasa sakit.
Reaksi yang dilakukan Tong Keng cukup cepat, ia langsung
melejit bangun, tampak tiga orang opas yang tergeletak di
sampingnya kalau bukan tertusuk pergelangan tangannya,
lutut kakinya pasti menderita luka parah.
Padahal mereka adalah tiga orang musuh yang sedang
mengejarnya, tapi dalam waktu singkat mereka sudah terluka
parah dan kehilangan kemampuan untuk melanjutkan
pertarungan. Dengan perasaan terperanjat Tong Keng berpaling, ia lihat
ada seseorang berdandan opas dengan mengenakan kopiah
kebesaran tapi menutup wajahnya dengan secarik kain, berdiri
di situ sambil memegang sebilah golok yang amat besar dan
berat. Sekalipun senjata itu amat berat, namun berada di
tangannya seolah sebuah benda yang sangat ringan.
Sekilas pandang, Tong Keng dapat menyaksikan dengan
jelas bahwa luka yang diderita ketiga opas itu sebenarnya
terhitung sangat ringan, walau enteng namun justru membuat
mereka sama sekali kehilangan kekuatan untuk bertempur,
bila seseorang tidak memiliki kepandaian tinggi, mustahil dia
mampu berbuat demikian.
Dia bertambah kaget setelah melihat luka enteng itu
ternyata dihasilkan dari serangan sebilah golok raksasa yang
begitu besar dan berat, hal ini semakin membuktikan bahwa
kungfu yang dimiliki orang ini memang luar biasa.
Sementara dia masih melamun, orang itu kembali
membentak dengan suara berat, "Cepat terjang keluar dari
sini!" Tampak dia memainkan golok raksasa itu hingga berubah
menjadi cahaya golok yang berkilauan, walaupun tubuhnya
menerjang ke tengah kepungan, namun orang itu sama sekali
tidak menggunakan goloknya untuk melukai lawan, dia hanya
menotok atau menyodok bahu serta lutut lawan hingga saling
bertabrakan dan roboh terjungkal.
Sekali pandang Tong Keng merasa seakan pernah kenal
orang ini, rasa ingin tahunya membuat dia segera berteriak
keras, "He, Hohan, kau adalah...?"
Orang itu berperawakan tinggi besar, senjata goloknya pun
amat berat, tapi setiap kali berhasil menerobos masuk ke
dalam lingkaran kepungan lawan, goloknya selalu hanya
digunakan untuk merobohkan musuh tanpa melukainya, orang
ini selain berilmu tinggi dan bernyali besar, hatinya pun sangat
mulia. "Goblok!" terdengar orang itu membentak Tong Keng.
Begitu dibentak, Tong Keng baru sadar ia telah berada di
hadapan begitu banyak opas dan prajurit yang sedang
mengepung, dia malah menanyakan identitasnya secara
terbuka, jelas perbuatan semacam ini merupakan perbuatan
bodoh. Dalam waktu singkat orang itu berhasil membuka sebuah
jalan berdarah dan memberi peluang kepada Tong Keng untuk
kabur dari situ.
Ketika tiba di depan pintu gerbang, Tong Keng segera
menyaksikan ada seseorang sedang memainkan sebuah
ruyung panjang, ruyung itu bagaikan bayangan naga sakti
memaksa para pengepung tak sanggup mendekat.
Tong Keng kegirangan, sebab dia segera mengenali orang
itu sebagai kakek si kusir kereta, biarpun cambuknya masih
menyambar ke sana kemari, namun napasnya sudah
tersengal-sengal, jelas dia sudah mulai kehabisan tenaga.
"Aku segera membantumu!" teriak Tong Keng kemudian.
Kakek itu tidak menjawab, hanya gumamnya, "Patung
tanah liat menyeberangi sungai, untuk menyelamatkan diri
pun sudah susah, masih ingin membantu orang lain!"
Tong Keng tidak ambil peduli, sambil memutar goloknya ia
menerjang ke depan dan menghajar tubuh seorang petugas
hingga tubuhnya mencelat ke belakang.,
"He, kalau tidak segera kabur, mau tunggu sampai kapan
lagi?" kembali kakek itu membentak.
Begitu melihat kakek itu. Tong Keng pun segera teringat
akan keselamatan Kho Kit dan Ji Lo-pat sekalian, segera
tanyanya, "Dimana Kho Kit?"
"Sudah mati ... semuanya sudah mati sahut kakek itu
dengan mata bercucuran, "aku tidak tahu ... aku tidak tahu"
"Sudah, jangan banyak bertanya lagi, segera lari!"
mendadak orang berkerudung itu membentak lagi.
Tong Keng bersama kakek itu segera kabur keluar dari
pintu gerbang, sembari berlari berulang kali Tong Keng
berpaling ke belakang.
Di antara kerumunan orang banyak, lamat-lamat ia
saksikan setitik cahaya biru masih bergumul di tengah
kepungan berpuluh bayangan hitam dan merah, tampaknya
Ting Tong-ih masih terlibat pertarungan sengit melawan
seorang berbaju putih.
Tong Keng tak tega menyaksikan kejadian ini, dia merasa
tidak seharusnya sebagai seorang lelaki meninggalkan seorang
gadis bertarung seorang diri, maka tanpa ambil peduli
keselamatan sendiri ia pun berteriak, "Aku tak mau pergi!"
Waktu itu petugas keamanan dan prajurit yang mengepung
pintu gerbang makin lama semakin banyak, bahkan dari
empat penjuru masih mengalir datang tiada habisnya.
Gelisah bercampur gusar kembali orang itu menghardik,
"Mau apa kau?"
Sembari menyerbu ke dalam gedung, sahut Tong Keng,
"Kalian pergilah lebih dulu, aku harus pergi bersama enci
Ting!" ooOOOoo 9. Ilmu Colok Bisul.
Kelihatannya orang itu dibuat bingung oleh ulah Tong
Keng, setelah berhasil menumbuk seorang musuh dengan
kepalanya hingga mencelat, tanyanya kepada si kakek yang
berada di sisinya, "Mau apa dia?"
Kakek itu menggeleng, tampaknya dia pun tak habis
mengerti. Sementara itu Tong Keng sudah menyerbu balik dengan
nekad. Melihat terjangan lawan bagaikan seekor harimau sinting,
kawanan prajurit dan opas itu malah tak berani menghalangi,
mereka membiarkan Tong Keng menerjang hingga ke samping
Ting Tong-ih. "Enci Ting..." dengan napas tersengal, bermandikan
keringat dan darah Tong Keng berseru.
"Cepat menggelinding dari sini!" umpat Ting Tong-ih
nyaring. "Tidak, aku tak mau pergi!" jawab Tong Keng ngotot.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau...." saking jengkelnya paras muka Ting Tong-ih
berubah menjadi pucat-pias.
Terdengar orang itu menjengek sambil tertawa dingin,
"Karena kau tidak mau menggelinding, dia pun tak mau pergi,
bagus, bagus sekali, malah kebetulan, jadi aku bisa
menangkap kalian berdua!"
Sekarang Tong Keng dapat melihat jelas wajah orang itu,
ternyata dia adalah Lu Bun-chang, hanya saja wajahnya yang
semula putih bersih dan rajin, kini telah berubah beringas,
buas dan menyeramkan.
Tong Keng langsung mengayunkan goloknya membacok
kepala lawan, sambil menyerang teriaknya, "Enci Ting, cepat
menggelinding pergi!"
Sebetulnya dia ingin mengatakan "pergi", namun lantaran
ucapan Ting Tong-ih sebelumnya, maka tanpa disadari yang
digunakan adalah perkataan "menggelinding".
Mendengar teriakan Tong Keng ini, mula-mula Ting Tong-ih
agak tertegun, tapi akhirnya dia hanya mengerling sekejap ke
arahnya tanpa berkata-kata, sementara Tong Keng sendiri
sama sekali tidak menyadarinya.
Sekonyong-konyong tubuh Lu Bun-chang melambung ke
udara. Ayunan golok Tong Keng dilancarkan dari atas ke bawah,
sementara tubuh Lu Bun-chang justru melambung dari bawah
ke atas, dengan demikian ia justru memapaki datangnya
bacokan itu. Tapi Tong Keng tak ingin membunuh musuhnya, ketika
merasa serangannya kelewat bertenaga, segera dia menarik
kembali tenaganya sambil berusaha menghentikan bacokan
itu. Siapa sangka belum sempat ia berbuat sesuatu, tahu-tahu
tangannya menjadi kaku, menyusul kemudian golok dalam
genggamannya berhasil dirampas Lu Bun-chang.
"Anjing laki perempuan," jengek Lu Bun-chang sambil
tertawa dingin, "kalian masih punya simpanan apa lagi" Ayo,
gunakan semua"
"Siapa yang kau maksud anjing laki perempuan?" tegur
Ting Tong-ih. "Tentu saja kau dan dia," jawab Lu Bun-chang
mendongkol, "kalau seorang lelaki berada satu kamar dengan
seorang wanita, kalau bukan anjing laki perempuan, apa
namanya?" "Kalau begitu aku dan kaulah yang paling pantas disebut
anjing laki perempuan!" Ting Tong-ih segera menimpali.
Mendengar gadis itu mengucapkan kata-kata yang begini
kasar di hadapan orang banyak, Lu Bun-chang semakin
mendongkol dibuatnya, kembali teriaknya penuh amarah.
"Kau ... kau siluman perempuan, berani amat..."
"Aku tahu selama ini kau selalu bersikap baik kepadaku,"
tukas Ting Tong-ih cepat, "memangnya orang lain yang baik
kepadaku lantas boleh kau sebut anjing laki perempuan"
Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Anjing laki perempuan! Anjing laki perempuan!" teriak Lu
Bun-chang semakin gusar.
Ting Tong-ih tidak tinggal diam, tusukan demi tusukan dia
lancarkan secara bertubi-tubi.
Lu Bun-chang mendengus dingin, dengan tangan kosong
kembali ia mencengkeram pedang gadis itu.
"Kau dan dia adalah anjing laki perempuan!" teriak Lu Bunchang
lagi, "kau dan Kwan Hui-tok juga anjing laki
perempuan"
Tiba-tiba Ting Tong-ih menjerit, dia miringkan kepalanya
sambil menyongsongkan tengkuknya ke depan, tampaknya dia
hendak mengadu lehernya dengan mata pedang.
Lu Bun-chang melengak, dia tak menyangka gadis itu akan
menjadi nekad, untuk mencegah jelas sudah tak sempat lagi.
Tong Keng pun tidak menyangka watak gadis itu begitu
keras kepala dan nekad, dia pun tak sempat memberi
pertolongan. Di saat yang kritis itulah mendadak terdengar seseorang
membentak nyaring, "Lepas tangan!"
Sambil menghardik, sebuah bacokan golok diayunkan ke
bawah. Menyaksikan betapa dahsyatnya bacokan golok itu. Lu Bunchang
tak berani menangkis dengan tangan kosong, segera
dia melepas pedangnya sambil melompat mundur.
Karena dia lepas tangan, pedang pun rontok ke bawah,
tindakan Ting Tong-ih yang menyongsong mata pedang
dengan tengkuknya itupun mengenai tempat kosong.
"Nona," seru lelaki berkerudung itu sambil menepuk bahu
Ting Tong-ih, "kalau belum sampai titik penghabisan, jangan
sembarangan mengorbankan nyawa, kalau tidak, kau bakal
menyesal!"
"Kalau sudah mati, masakah masih bisa menyesal?" dengan
tak acuh gadis itu tertawa.
Ternyata orang yang memaksa mundur Lu Bun-chang
adalah lelaki berkerudung itu.
"Siapa kau?" dengan wajah serius Lu Bun-chang menegur,
"sungguh berat ayunan golokmu, kenapa sembunyi kepala
macam kura-kura" Kenapa kau tak berani bertemu orang?"
Orang itu tidak menjawab, dia hanya melintangkan
goloknya di depan dada sambil berdiri tegak.
Sementara itu kawanan opas dan prajurit yang melakukan
pengepungan sudah siap bergerak maju, apalagi berada di
depan atasannya, semua orang ingin unjuk kebolehan sambil
berusaha membuat pahala.
"Mundur semua!" segera Lu Bun-chang menghalangi.
Selama ini kawanan opas dan prajurit itu belum pernah
menyaksikan Lu Bun-chang tampil dengan wajah begitu serius
dan bersungguh-sungguh, tanpa disuruh untuk kedua kalinya
serentak mereka mundur, ada yang segera pindah ke posisi
lain, ada pula yang cuma mengepung dari kejauhan.
Mereka sadar kepandaian silat yang dimiliki ketiga orang itu
sangat tangguh, namun mereka juga tahu kalau mereka
bertiga merupakan buronan penting, demi mempertahankan
mahkota kebesaran masing-masing, tentu saja mereka tak
bisa membiarkan buronan itu kabur begitu saja.
Kembali orang itu berseru kepada Tong Keng, "Akan
kutahan dia, sementara kalian segera keluar dari sini."
"Aku ikut bersamamu ... " kata Tong Keng.
Belum selesai dia berkata, kembali orang itu menghardik,
"Tak nyana seorang lelaki macam kau begitu rewel dan
bawel!" Ting Tong-ih juga sadar kalau situasi bertambah gawat,
segera dia menimpali, "Lebih baik kita segera pergi, kehadiran
kita hanya akan mengganggu cara kerja Cianpwe."
"Tapi bagaimana dengan Kho Kit?" tanya Tong Keng
sangsi, "apakah saudara Kho telah berhasil lolos?"
Kontan Ting Tong-ih melotot ke arahnya.
Jika keselamatan seseorang sudah di ujung tanduk, sudah
sewajarnya bila menyelamatkan diri terlebih dulu, tapi lelaki
kasar di hadapannya ini berbeda, bukan saja ia tak pernah
memikirkan keselamatan sendiri, malah sebaliknya justru
menguatirkan keselamatan rekan lain.
Dalam pada itu Lu Bun-chang telah mengeluarkan sisirnya
lagi dan mulai menyisir kumis serta jenggotnya, dia
melakukannya dengan gerakan yang sangat tenang dan
mantap. Dengan pandangan tajam orang itu mengawasi sepasang
tangannya, mengawasi tanpa berkedip.
"Tak seorang pun di antara kalian yang bisa lolos dari sini,"
kata Lu Bun-chang perlahan.
"Kau tak usah memaksa aku turun tangan," kata orang itu.
Lu Bun-chang tertawa sinis. "Bila ingin turun tangan,
lakukan segera, kalau tidak, kau tak usah turun tangan lagi."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, dari dalam
gedung Kiok-hong-wan telah muncul seorang sastrawan
berkapak raksasa, di antara kilatan cahaya yang menyilaukan
mata, dalam waktu sekejap dia telah membabat tubuh lelaki
yang dijuluki 'telur kerbau' itu hingga kepalanya berpisah
dengan badan. Orang itu mulai mengangkat goloknya tinggi-tinggi, sebuah
serangan maut tampaknya segera akan dilancarkan.
"Ilmu golok Ngo-kui-kay-san-to (Lima setan membelah
bukit)?" berkilat sepasang mata Lu Bun-chang.
Ibu jari tangan orang itu yang sedang menggenggam
gagang golok tiba-tiba direntangkan, seakan dia hanya
menggunakan delapan jari tangan untuk menggenggam golok.
"Hah" Ilmu golok Pat-hong-hong-yu-liu-jin-to (delapan
penjuru hujan angin menahan manusia)?" sekali lagi Lu Bun?chang berseru dengan perasaan terkesiap.
Orang itu mendengus dingin, sepasang tangannya yang
memegang golok mendadak direntangkan hingga terbuka,
ketika golok itu berputar di tengah angkasa, tertampak selapis
bayangan cahaya yang menyilaukan mata.
Bagaikan berhadapan dengan musuh tangguh, sekali lagi
Lu Bun-chang berteriak kaget, "Ilmu golok Liong-coan-hongtohoat (angin berpusing)?"
Orang itu membentak nyaring, sebuah bacokan dilontarkan
ke bawah. Begitu nyaring suara bentakan dan desingan angin golok
itu hingga membuat suara bentakan dan bentrokan senjata
yang sedang berlangsung di seluruh sudut rumah pelacuran
Kiok-hong-wan menjadi sirna.
Lu Bun-chang tak berani gegabah, segera dia menepuk
sepasang tangannya berulang kali dan kemudian menjepit
bacokan golok itu dengan kuat.
Bacokan itu disertai tenaga yang luar biasa besarnya, meski
paras muka Lu Bun-chang seketika berubah menjadi pucatpias,
namun ia berhasil juga menjepit golok itu.
Tiba-tiba orang itu melepaskan goloknya, kemudian
tangannya menyambar ke atas dan mencabut sebatang bulu
yang berada di topinya. Kemudian bulu itu membabat ke
muka dan ternyata tajamnya tidak kalah dengan bacokan
golok. Darah segar segera menyembur keluar dari tangan kanan
Lu Bun-chang. Dengan penuh amarah Lu Bun-chang mundur ke belakang,
sambil meraung keras dia membuang golok yang berada
dalam jepitannya ke tanah.
Baru saja golok itu meluncur ke bawah, kembali orang itu
membungkukkan badan untuk menyambar kembali goloknya
yang tergeletak di tanah.
Siapa tahu pada saat itulah Lu Bun-chang melemparkan
sisir yang berada dalam genggamannya ke depan, tak sempat
menghindarkan diri, sisir itu langsung bersarang telak di atas
dadanya. Orang itu mendengus tertahan, serunya keras, "Cepat
kabur!" Ting Tong-ih segera mengebaskan mantelnya melancarkan
sebuah gulungan kilat, di antara kilatan cahaya pedang,
empat-lima orang prajurit roboh terkapar, melalui jalur itulah
Tong Keng sambil memayang orang itu kabur keluar.
Tiba-tiba sekilas cahaya kapak menyambar lewat dari pintu
gerbang. Cahaya kapak itu membawa tenaga ancaman yang lebih
dahsyat dari sambaran petir, siapa yang berani menerjang,
tubuhnya pasti akan hancur terbelah.
Ting Tong-ih mendengus dingin, sambil memperketat
pakaiannya dan mengernyitkan alis, dia bersiap menerjang
keluar dari pertahanan musuh.
"Sreeet!", mendadak terdengar suara desingan angin tajam
meluncur ke bawah dari atas loteng.
Segera sastrawan kapak raksasa Gi Eng-si menangkis
dengan kapaknya, seketika ia merasa pergelangan tangannya
seolah dihajar dengan martil berat, genggamannya menjadi
kendor, tahu-tahu kapak raksasanya sudah mencelat dari
tangan dan membacok tiang penyangga rumah.
Menyusul kemudian "Traaak!", kembali sebuah benda
menancap tiang penyangga kayu, ternyata hanya gumpilan
lilin. Sementara Gi Eng-si masih tertegun, Ting Tong-ih sudah
memanfaatkan peluang itu untuk menyerobot keluar dari pintu
gerbang, cahaya pedang berkelebat dan lapisan mantel
berputar melindungi badan.
Tong Keng sambil memayang orang itu tak tinggal diam, ia
ikut menerobos keluar pintu gerbang.
Kawanan opas dan prajurit yang berjaga di luar menjadi
panik bercampur ngeri, rupanya kemampuan si manusia
berkerudung yang berhasil melukai Lu Bun-chang dengan
menggunakan sehelai bulu telah menggetarkan perasaan
mereka, untuk sesaat mereka hanya memegangi obor sambil
menyaksikan rombongan Ting Tong-ih menerjang keluar
kepungan. Mendadak terdengar suara ringkikan kuda disusul
munculnya sebuah kereta yang dilarikan dengan kencang,
orang yang duduk di kursi kusir ternyata tak lain adalah si
kakek yang enggan kabur sendirian itu.
Dengan cepat kakek itu melarikan keretanya membuyarkan
pasukan pengepung, dimana cambuknya menyambar, delapan
opas sudah digulungnya hingga mencelat.
Segera Tong Keng membantu orang itu naik ke dalam
kereta, sementara Ting Tong-ih dengan mengandalkan
gulungan mantelnya telah merobohkan beberapa opas yang
berhasil mendekat. Kemudian dengan sekali lompatan, dia pun
menerobos masuk ke dalam kereta.
Diiringi bentakan nyaring, kakek itu melarikan kembali
keretanya dengan cepat.
Teriakan dan bentakan nyaring seketika berkumandang dari
empat penjuru, dengan golok terhunus kawanan opas dan
prajurit itu melakukan pengejaran, bahkan beberapa di
antaranya mulai melemparkan obor mereka ke atas kereta.
Sayang mereka berkaki dua sementara kereta itu
mempunyai enam belas kaki, tak selang lama kemudian
kawanan opas itu sudah ketinggalan jauh.
Saat itu kereta sudah dipenuhi kobaran api, di tengah
kegelapan terlihat segumpal api meluncur dengan cepatnya
meninggalkan tempat itu dan makin lama meluncur semakin
menjauh .... Gi Eng-si sambil memapah Lu Bun-chang berjalan keluar


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu gerbang, mereka hanya bisa menyaksikan kobaran api
yang makin lama semakin menjauh itu dengan pandangan
melongo. Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang sangat
ramai bergema memecah keheningan, ternyata ada belasan
orang pasukan kuda yang sudah dipersiapkan sejak awal
dengan membagi diri menjadi dua kelompok mulai melakukan
pengejaran. Kobaran api yang muncul dalam kegelapan malam justru
menjadi target yang mudah diikuti, seakan-akan nasib telah
menetapkan bahwa kebakaran merupakan simbol dari
kemusnahan. Dan pasukan berkuda itu justru akan
menghapus simbol itu hingga lenyap untuk selamanya.
Mengawasi kobaran api yang semakin menjauh dan
pasukan berkuda yang melakukan pengejaran. Lu Bun-chang
Pendekar Pengejar Nyawa 4 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti 2

Cari Blog Ini