Ceritasilat Novel Online

Bagus Sajiwo 1

Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagus Sajiwo Karya : Asmara man S Kho Ping Hoo
DJVU oleh : OrangStress Dimhader
Convert by : Dewi KZ & Lavender
Editor : Dewi KZ & Lavender
Ebook oleh : Dewi KZ
TIRAIKASIH WEBSITE
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 01 PAGI hari itu di puncak sebelah utara pegunungan Ijen.
Matahari telah naik agak tinggi. Sinarnya yang sejak fajar
menyingsing tadi kemerahan dan lembut, kini mulai
mendatangkan kehangatan, mengusir s isa-sisa halimun yang
bermalas-ma lasan men inggalkan bumi yang subur, yang
didekapnya sepanjang malam.
Embun-embun mulai ge merlapan
menerima cahaya matahari, bergantungan di ujung daun-daun bagaikan
mut iara. Tamasya alam di pegunungan itu mulai ta mpak.
Indah me mpesona, keindahan yang sukar diuraikan dengan
kata-kata maupun dengan lukisan. Betapapun pandainya
seorang sasterawan menceritakan, atau betapapun pandainya
seorang seniman melukis kan, yang dapat mereka tangkap
hanya sebagian kecil saja dari segala keindahan yang maha
besar itu. Keindahan yang wajar, tertib, tepat dan setiap perubahan
yang diadakan manusia hanya akan me ngganggu keindahan
itu. Keindahan yang diciptakan oleh Sastrawan Agung, oleh
seniman Agung, yaitu Gusti Allah yang Maha Pencipta, Maha
Agung dan Maha Kuasa.
Bahkan awan-awan yang berarak di langit biru, me mbuat
bentuk-bentuk yang demikian me mpesona, selalu mengadakan perubahan bentuk yang tak dapat diikuti dengan
jelas. Ujung-ujung pohon bergerak tertiup angin, melambaila mbai dengan le mah ge mula i, burung-burung dan kupu-kupu
beterbangan, binatang-binatang ke-cil berlarian di antara
semak-semak. Se mua bergerak, hidup adalah gerak, dan
semua gerakan itu merupakan perpaduan yang a mat
mengagumkan, gerakan yang wajar dan indah, seolah
merupakan tarian, tarian alam. Suara-suara yang terdengar
demikian wajar pula, keindahan kewajaran yang hanya dapat
dirasakan ha-ti yang hening. Tarian dan nyanyian alam itu
seolah merupa kan puja puji bagi kebesaran Gusti Allah yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maha Mulia! Sinar matahari pagi mulai menyentuh tanah,
menerobos di antara celah-celah daun pohon.
Mulai semerba k bau yang muncul dari per mukaan bumi,
me mbubung ke angkasa. Bau kembang-kembang, daun-daun
rumput dan bau tanah dengan sega la daun-daun kering
me mbusuk yang menutupinya. Akan tetapi tidak ada bau
busuk, segala maca m ganda yang semerbak itu, kalau tercium
tanpa penilaian, terasa segar dan menyenangkan, bahkan
menenang kan hati. Bebauan itu menjadi bagian dari
keindahan bumi dan segala yang berada di atasnya.
Bagus dan jelek muncul dari penilaian. Penilaian
mendatangkan perband ingan, me misah- misah kan sehingga
terdapatlah apa yang bagus dan apa yang jelek menurut
selera si penilai. Akan tetapi keindahan berada di atas bagus
atau jelek. Keindahan bukan bagus bukan pula jelek. Seperti
juga kebahagiaan, demikian pula keindahan tidak dapat dinilai
dan dibandingkan. Kebahagiaan bukan kesenangan, bukan
pula kesusahan. Kebahagian, seperti juga keindahan, tidak
dapat dinila i. Berbeda dengan kesenangan, kalau tidak
senang, ya susah dan demikian sebaliknya. Juga keindahan,
bukan kebagusan, karena kebagusan hanya penilaian, kalau
tidak bagus ya jelek.
Penilaian mendatangkan pertentangan dan perpecahan.
Menerima apa adanya sebagai apa adanya menghilangkan
penilaian. Manusia hidup wajib berikhtiar, berusaha sekuat
tenaga untuk kesejahteraan hidupnya, akan tetapi di atas
semua itu, terdapat Kekuasaan yang menentukan dan yang
menciptakan apa adanya. Manusia, betapapun pandainya,
betapapun kuatnya, tak dapat melawan atau menghindar dari
ketentuan Kekuasaan ini, Ke kuasaan Gusti Allah yang me mberi
keputusan terakhir atas segala perkara yang ada di dunia ini!
"Terpujilah keagungan Gusti Allah yang Maha Pengasih!"
terdengar suara orang me muji dengan suara perlahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dia seorang manusia laki-la ki yang sudah tua sekali.
Usianya tentu lebih dari delapan puluh tahun walaupun
wajahnya masih ta mpak segar kemerahan dan matanya yang
bersinar lembut itu masih dapat melihat segala sesuatu
dengan jelas, telinganya yang lebar masih dapat mendengar
suara yang lembut dan hidungnya yang mancung masih dapat
mencium bebauan yang le mah sekalipun.
Kakek tua renta ini sejak pagi sebelumnya matahari terbit
tadi telah duduk bersila di atas sebuah batu sebesar gajah
yang berada di puncak itu, menghadap ke timur sehingga dia
dapat melihat dan mengikuti terbitnya matahari di ufuk t imur.
Segala keindahan yang terbentang di atas langit sa mpai di
bawah gunung di depannya me mbuat dia merasa bahwa dia
sudah tidak ada lagi, melainkan menjad i bagian yang tidak
terpisahkan dari semua keindahan itu. Dia me muji ke-agungan
Tuhan dengan sendirinya, terbawa oleh segala puji yang dia
rasakan sedang diserukan oleh setiap benda dan mahluk
me lalui gerak dan suara mereka.
Tak la ma kemudian dia sadar akan dirinya kemba li. Sadar
bahwa dia adalah seorang manusia, yang seperti para mahluk
lainnya di dunia ini, me mbawa tugas dalam hidupnya. Manusia
adalah mahluk uta ma di dunia ini yang bertugas me mbantu
pekerjaan Gusti Allah yang telah mencipta segala sesuatu
yang tampak maupun yang tidak tampak. Manus ia dilah irkan
di dunia, bertugas menjaga, mengatur agar dunia ini menjadi
tempat yang indah me mbahagiakan, mengusahakan agar
semua manusia dapat hidup sejahtera dan bersama-sama
me mbagi kenikmatan hidup ini, sesuai dengan berkah
berlimpahan yang diberikan Gusti Allah mejadi segala yang
ada di per mukaan bumi ini. Matahari, hawa udara, air, tanah,
tumbuh-tumbuhan, semua itu berada di dunia untuk keperluan
manusia. Tidak ada satu saja di antara mereka, manusia tidak
akan dapat hidup.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi apakah yang dialaminya, dilihatnya selama dia
hidup di dunia selama hampir satu abad ini" Bahkan jauh
sebelum dia lahir, menurut dongeng dan cerita yang dia
dengar dari para nenek moyangnya, manusia di Nusa Jawa ini
selalu saling ber musuhan, saling serang, saling benci dan
saling bunuh! Perang terjadi dimana- mana. Dengan alasan
bermaca m-maca m. Saling me mperebutkan kebenaran, tanpa
menyadari bahwa kebenaran yang diperebutkan itu bukan
kebenaran lagi na manya. Pada hakekatnya yang diperebutkan
adalah kedudukan, harta dan se mua itu berarti hanya untuk
me menuhi dorongan nafsu daya rendah, nafsu yang
mengaku-aku, menjad i aku yang harus paling berkuasa dan
senang. Kedudukan diperebutkan karena kedudukan menghas ilkan kekuasaan, dan harta menghasilkan kesenangan, semua untuk si-aku yang berkembang menjadi
keluargaku, golonganKu, agama-Ku, bangsa-Ku dan selanjutnya, yang bersumber kepada si-a ku.
Kakek itu me meja mkan kedua matanya. Dia melihat dalam
benaknya semua peristiwa yang terjadi di Mataram. Perang
me lawan daerah-daerah, antar saudara sendiri kemudian
perang melawan bangsa Belanda yang henda k menjajah tanah
air. Perang, perang dan perang, menewaskan puluhan,
ratusan ribu manusia.
Darah manusia me mbanjir, mayat ber-tumpukan, dan
semua itu diterima oleh bumi yang me mbisu. Tiba-tiba kakek
itu ge metar, dia merasa datangnya sesuatu yang akan
me ma ksanya kemba li ke alam asalnya. Dia me mbuka mata
kembali, ter-senyum me mandang matahari pagi, la lu berkata
lirih. "Gusti, segala kehendak paduka terjadilah! Hamba akan
seperti matahari, tenggelam atau timbul dengan rela dan
pasrah, sesuai dengan kehendak Paduka."
Kakek itu dikenal orang sebagai Ki Ageng Mahendra yang
sudah puluhan tahun bertapa di pegunungan Ijen karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedih melihat perang yang terjadi di daerah Jawa Timur,
antara para kadipaten melawan Mataram yang dipimpin oleh
Sultan Agung. Ki Ageng Mahendra adalah seorang sasterawan, akan tetapi
juga seorang yang me miliki banyak ilmu kanuragan, sakti
mandraguna, bahkan pernah berguru kepada Sunan Gunung
Jati atau Fatahil ah. Tadinya dia juga hidup sebagai seorang
ksatria yang selalu me mbela dan menegakkan keadilan. Akan
tetapi setelah melihat betapa yang dibela dan dimusuhi itu
adalah bangsanya sendiri pula, bahkan sering berhadapan
dengan saudara-saudara atau sahabat-sahabat sendiri yang
berbeda faham, dia merasa sedih dan trenyuh seperti yang
dialami Sang Arjuna dala m perang Bharatayuda. Maka dia lalu
mengundurkan dan mengasingkan diri di pegunungan Ijen,
mua k me lihat kekeja man manusia me mbunuhi bangsa sendiri.
Pada saat itu, Ki Ageng Mahendra yang penglihatannya
masih tajam itu menangkap bayangan orang mendaki lereng
menuju puncak dan dia tersenyum.
Bayangan itu adalah seorang pe muda re ma-ja berusia
sekitar tujuh belas tahun yang memanggul seekor kijang dan
berlari naik dengan cepat sekali. Jalan pendakian itu
sebetulnya amat sukar, terhadang jurang-jurang yang curam
dan batu-batu yang licin. Namun pe muda itu, dengan
trengginas dan trampil seperti seekor kera, melompati jurang
dan batu-batu itu dengan a mat mudahnya bagaikan lari di
atas jalan yang rata saja.
Ki Ageng Mahendra me mandang dengan senyum, sinar
matanya berseri dan dia mengelus jenggotnya yang putih
panjang sambil mengangguk-angguk. Melihat pemuda itu
me manggul tubuh seekor kijang dan berlari me ndaki puncak
dengan tangkasnya, Ki Ageng Mahendra me la mun dan
terbayanglah peristiwa kurang lebih sepuluh tahun yang lalu.'
Kurang leb ih sepuluh tahun yang lalu dia s udah bertapa di
puncak pegunungan Ijen itu. Pada suatu pagi dia berjalanTiraikasih Website http://kangzusi.com/
jalan menuruni puncak-puncak, pergi ke sebuah hutan di
lereng bawah untuk mencar i daun-daun obat.
Ki Ageng Mahendra selain me mberi wejangan kepada para
penduduk dusun sekitar pegunungan Ijen, juga suka
meno long orang-orang sakit dengan me mberi ja mu yang
terdiri dari daun-daun, bunga, buah atau akar. Rempa-rempa
ini dije mur sa mpai kering dan dibagi-bagikan kepada mereka
yang sedang mender ita sakit.
Ketika dia sedang berjalan mencari re mpa-re mpa bahan
obat, tiba-tiba dia melihat seorang laki-la ki me manggul tubuh
seorang anak Jaki-laki ber lari dari depan, persis seperti
pemuda re maja yang me manggul tubuh kijang dan berlari
mendaki puncak saat dia melamun.
Melihat keadaan yang tidak wajar itu, Ki Ageng Mahendra
cepat menghadang orang itu. Orang yang memanggul tubuh
bocah laki-la ki itu berusia sekitar enam puluh tahun. Kulitnya
hitam tubuhnya sedang dan pakaiannya mewah. Matanya sipit
seperti terpejam, hidungnya pesek dan bibirnya tebal. Melihat
orang ini, Ki Ageng Mahendra segera mengenalnya dan alisnya
berkerut. Orang itu adalah Wiku Menak Koncar, seorang datuk
Bla mbangan yang terkenal sa kti mandraguna dan menjadi
penasihat Kadipaten Bla mbangan. Melihat cara datuk itu
me mondong anak la ki-laki berusia ena m tahun itu, Ki Ageng
Mahendra merasa curiga bahwa agaknya datuk itu sedang
me lakukan ha l yang tidak baik dan anak itu menjad i korban,
semaca m tawanan.
"Berhenti dulu, ki sanak! " kata Ki Ageng Mahendra.
Wiku Menak Koncar adalah seorang datuk yang tinggi hati.
Karena dia merasa bahwa kepandaiannya paling tinggi, maka
dia me mandang rendah orang tua berpakaian putih sederhana
yang me mbawa sebuah keranjang terisi re mpa-re mpa itu. Dia
me ma mer kan kepandaiannya, melompat seperti terbang lewat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di atas kepala Ki Ageng Mahendra, seolah tidak
me mperdulikan kakek tua renta itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia sedang me layang
itu dia merasa lengannya yang me mondong anak laki-Iaki itu
tiba-tiba seperti lumpuh dan tahu-tahu bocah itu sudah
terenggut lepas dari pondongannya!
Cepat dia turun ke atas tanah lalu me mbalik. Dia me lihat
anak laki-laki itu telah berada di atas tanah, telentang dan
kakek tua renta itu me mijat tengkuknya dan anak itu seketika
siuman dari pingsannya. Setelah me mandang dengan teliti,


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiku Menak Koncar mulai mengingat-ingat dan dia segera
berkata dengan suaranya yang tinggi seperti suara
perempuan. "Babo-babo, keparat. Berani benar engkau mengganggu
aku! Bukankah engkau yang berna ma Ki Ageng Mahendra"
Diantara kita tidak pernah ada permusuhan, kenapa engkau
menggangguku" Cepat ke mbalikan ana k itu kepadaku!"
Ki Ageng Mahendra menarik anak itu bangkit duduk, dan
dia me mandang kepada W iku Menak Koncar. "Hemm, ternyata
engkau masih me ngenal orang, Wiku Menak Koncar. Memang
diantara kita tidak ada per musuhan. Aku tidak mengganggumu, melainkan hanya ingin tahu mengapa anak
ini berada denganmu. Kukemba likan atau tidak anak ini
kepadamu tergantung dari keterangan yang kudapatkan
darinya. He, anak yang baik, siapa nama mu?" tanya Ki Ageng
Mahendra kepada anak itu.
Anak berusia kurang lebih enam tahun yang berwajah
tampan dan bertubuh sehat itu menjawab berani, "Na maku
Bagus Sajiwo, eyang (kakek)."
"Bagus Sajiwo, sekarang jawab terus terang, apakah
engkau ingin ikut dengan Wiku Menak Koncar itu?" Ki Ageng
Mahendra menudingkan telunjuknya ke arah sang wiku yang
masih berdiri dengan sikap penasaran dan marah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, tidak! Tidak! Aku tida k sudi ikut dengan dia! Dia jahat
sekali, dia menculikku dari rumah orang tuaku. Dia tentu akan
mence lakakan a ku, me mbunuhku!" jawab anak kecil itu dan
dia kelihatan marah sekali, bangkit berdiri dan menudingnuding kepada Wiku Menak Koncar.
"Bocah tolol!" Wiku Menak Koncar menjer it dengan
suaranya yang meninggi. "Kalau aku mau me mbunuhmu,
tentu sudah lama kulakukan. Untuk apa aku bersusah payah
me mbawa engkau sampa i kesini?"
"Wiku Menak Koncar, engkau me mang belum me mbunuhnya sampa i saat ini. Akan tetapi kenapa engkau
menculik dan melarikannya?"
"Bukan urusan mu, Ki Ageng Mahendra! Engkau tidak perlu
menca mpuri urusan orang la in!" Wiku Menak Koncar berseru
marah. "Me mang tadinya bukan urusanku, akan tetapi setelah
me lihat anak ini me mbutuhkan pertolongan dan melihat
engkau hendak me mperkosa kebebasannya, menjadi urusanku
karena aku harus menolongnya dan harus mencegah engkau
bertindak jahat."
"Ki Ageng Mahendra! Dia ini adalah anak sua mi isteri yang
menjad i musuh bebuyutanku karena mere ka telah me mbunuh
saudara-saudara seperguruanku! Untuk me mbalas dendam itu
aku menculik anak mere ka untuk kuge mbleng dengan aj i-aji
kesaktian agar kelak anak ini me wakili a ku me mbalas dendam
dan me mbunuh orang tuanya sendiri!"
"Duh Gusti, semoga dia mpuni kesesatan Wiku ini!" Ki
Ageng Mahendra berseru. "Wiku Menak Koncar, engkau
berurusan dengan orang tuanya, mengapa mengganggu
anaknya" Bereskan saja urusanmu dengan orang tuanya, dan
jangan ganggu anak yang tidak tahu apa-apa ini."
"Eyang!" teriak anak yang bernama. Bagus Sajiwo itu.
"Mana berani dia me lawan ayah ibuku" Kalau dia berani, tentu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dia sudah mati, tidak kuat menand ingi ayah ibuku yang sakti
mandraguna."
"Ki Ageng Mahendra, tidak perlu engkau menca mpuri
urusan pribadiku. Serahkan anak itu atau terpaksa aku tidak
menghormat i orang tua dan akan me nggunakan kekerasan!"
Ki Ageng Mahendra me mandang dan tersenyum. "Aku tidak
akan menghalangi ana k ini kalau dengan suka rela mau ikut
denganmu. Akan tetapi kalau dia tidak mau dan engkau
hendak me maksanya, terpaksa aku akan melindunginya dan
mengha langimu me lakukan kejahatan."
"Keparat tua bangka bosan hidup!" bentak Wiku Menak
Koncar. Dia sudah menge mbangkan kedua tangan ke kanan kiri,
jari-jarinya tergetar sehingga buku-buku jarinya mengeluarkan
suara berkerotokan. Kemudian dia me mbawa kedua tangan ke
depan dada lalu mendorong ke depan. Angin yang kuat
menya mbar dahsyat ke arah ka kek tua renta itu.
"Aji Bayu Bajra....!" Berbareng dengan bentakan itu, angin
menya mbar hebat, membawa hawa panas sekali ke arah
tubuh Ki Ageng Mahendra.
Akan tetapi apa yang terjadi" Kakek tua renta itu hanya
berdiri tegak kedua tangan bersilang depan dada dan ketika
angin menya mbar, hanya pakaian dan ra mbut serta
jenggotnya yang putih semua yang berkibar terbawa angin.
Tubuhnya sama sekali tidak berge ming, seolah sebuah batu
karang tertiup angin.
Sampa i tiga kali W iku Menak Koncar menyerang dengan Aji
Bayu Bajra, namun tanpa hasil sama sekali. Pada hal biasanya,
biar ada sepuluh orang di depannya, kalau dia menyerang
dengan aji itu, sepuluh orang itu akan berpelantingan, tidak
kuat menahan sapuan angin yang dahsyat itu, bahkan terluka
di sebelah dalam tubuh mere ka oleh daya pukulannya. Akan
tetapi, kakek tua renta ini, yang tampaknya tidak melawan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sama sekali, sedikitpun t idak terpengaruh oleh aji pukulannya
yang dahsyat. Kalau saja Wiku Menak Koncar bukan seorang yang tinggi
hati dan suka mengagulkan kepandaiannya sendiri, serangan
pertama bertubi-tubi yang sama sekali tidak me mbawa has il
itu tentu telah cukup me mbuka matanya bahwa dia
berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmu
kepandaiannya. Akan tetapi, dia seorang yang biasa
me mandang rendah orang lain, maka kegagalannya itu tidak
me mbuat dia jera, melainkan me mbuat dia merasa penasaran
dan menjadi se ma kin marah dan nekat.
"Tua bangka keparat, sambutlah seranganku ini. Aji
Nandaka Kroda (Banteng Mengamuk).... hyaaaattt....!" Kedua
tangannya kini me luncur seperti sepasang tanduk, menghanta m ke arah dada kakek tua
renta yang kurus
itu. Akan tetapi kakek kurus itu sama sekali tidak
menang kis atau menge lak, dan pukulan kedua tangan itu tepat sekali mengenai dadanya. "Wuuttt....
desss....!!" Sungguh
aneh sekali. Yang dipukul sa ma sekali tidak roboh, bahkan tubuh tinggi
kurus itu hanya bergoyang-goyang seperti batang pohon
tertiup angin, akan tetapi Wiku Menak Koncar sendiri lalu
terpelanting kebelakang, seperti terdorong oleh kekuatan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak tampak dan dia terjengkang lalu terbanting ke atas
tanah. Dasar orang yang tak tahu diri. Peristiwa inipun mas ih
belum me mbuat dia merasa jera. Kini dia me lompat bangun
kembali dan sudah mencabut senjata ruyung yang tadinya
tergantung di pinggangnya.
Senjata itu tampak me nyeramkan se kali, mengkilap hita m
saking kerasnya. Dengan senjata ini di tangan kanan, Wiku
Menak Koncar lalu menerjang ma ju dan menghanta mkan
senjata ruyungnya ke arah kepala Ki Ageng Mahendra. Melihat
kenekatan ini, tahulah Ki Ageng Mahendra bahwa Wiku Menak
Koncar adalah seorang yang nekat dan selain me ngagungkan
kekuatan sendiri. Orang seperti ini kalau tidak diber i hajaran
keras tidak akan mau menyadari bahwa di dunia ini tidak ada
yang tak tertandingi. Yang paling kuat, paling tinggi, paling
berkuasa, paling hebat dan tak dapat dibandingkan dengan
apapun juga hanyalah Gusti Allah.
Biarlah Wiku ini menyadari bahwa kalau ada yang tinggi,
tentu ada yang lebih tinggi. Kalau ada yang pandai, tentu ada
yang lebih pandai. Kesadaran ini akan dapat menghapus
kesombongan yang kosong.
Ketika ruyung itu menyambar dengan dahsyatnya ke arah
kepalanya, Ki Ageng Mahendra miringkan tubuhnya dan ketika
ruyung itu meluncur lewat, dia menggunakan tangan kirinya
menang kap ruyung itu dari samping, lalu menarik dan
mendorong. W iku Menak Koncar yang sudah terdorong oleh
kekuatan pukulan ruyungnya, kini dita mbah dorongan yang
amat kuat dari Ki Ageng Mahendra, tak dapat menghindarkan
lagi tubuhnya terdorong ke depan, terbanting dan tergulingguling bersa ma ruyungnya sehingga tak dapat dihindarkan lagi
beberapa kali tubuhnya terkena hantaman ruyungnya sendiri!
Kini barulah Wiku Menak Koncar menyadari bahwa dia
sama sekali tidak ma mpu mengimbangi kesaktian kakek tua
renta itu dan kalau dia tetap nekat melawan, akhirnya tentu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dia yang akan roboh dan mungkin tewas. Tanpa malu-malu
lagi dia menga mbil keputusan untuk me larikan diri. Akan
tetapi dasar wataknya yang dipenuhi nafsu daya rendah,
me lihat usahanya untuk me mbuat Bagus Sajiwo kelak
me musuhi orang tuanya sendiri gagal, timbul kebenciannya
dan timbul keinginannya untuk me mbunuh anak itu sebelum
dia melarikan diri.
Ketika akhirnya Wiku Menak Koncar dapat melompat
bangun, tiba-tiba datuk Bla mbangan itu men girim pukulan
jarak jauh ke arah Bagus Sajiwo. Angin yang kuat dan panas
menerpa ke arah Bagus Sajiwo. Akan tetapi sebelum daya
serangan itu mengenai tubuh Bagus Sajiwo, tiba-tiba ada
angin bertiup dar i sa mping dan bagaikan sehelai daun ker ing,
tubuh anak itu terhembus dan seperti diterbangkan ke
samping sehingga terhindar dari daya serangan Wiku Menak
Koncar. Datuk Bla mbangan ini terkejut bu kan main dan ma klumlah
dia bahwa kalau dia nekat melanjutkan serangan, akhirnya dia
sendiri yang akan celaka. Maka dia lalu melarikan diri
men inggalkan te mpat itu.
Bagus Sajiwo yang berus ia enam tahun itu adalah putera
sepasang pendekar sakti, maka sejak kecil dia sudah pandai
me mbawa diri. Dia mengerti bahwa nyawanya diselamatkan
kakek tua renta itu, maka setelah penculiknya melarikan diri,
dia la lu men ghampiri Ki Ageng Mahendra dan segera
menjatuhkan diri ber lutut dan menye mbah dengan hormat.
"Eyang telah menolong saya, budi kebaikan eyang tidak
akan saya lupakan dan ke lak saya akan me mbalasnya."
Ucapan yang dikeluarkan dengan lagak gagah ini me mbuat
Ki Ageng Mahendra tertawa. Dia me megang pundak anak
yang bernama Bagus Sajiwo itu la lu berkata, "Anak yang baik,
engkau bangkit dan duduklah disini." Kake k itu mengajak
Bagus Sajiwo duduk di atas sebuah batu. "Nah, sekarang
ceritakan siapa dirimu dan siapa pula orang tua- mu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Na ma saya Bagus Sajiwo, eyang. Ayah ibu saya tinggal di
lereng Gunung Kawi. Mereka adalah orang-orang terkenal,
eyang, keduanya adalah pendekar-pendekar yang sakti
mandraguna. Ayah saya bernama Ki Tejomanik dan ibu saya
bernama Nyi Retno Susilo. Mereka berdua sejak muda telah
menjad i pendekar-pendekar yang setia me mbantu Mataram,
sehingga mendapat penghargaan dari Gusti Sultan Agung.
Demikianlah me nurut cerita ayah ibu kepada saya." Anak itu
ketika menceritakan tentang orang tuanya, jelas tampak
bangga sekali. Kembali Ki Ageng Mahendra tersenyum. Anak itu tampak
lucu sekali dan tiba-tiba saja kakek tua renta itu menyadari
bahwa selama ini dia kehilangan sesuatu yang tak pernah
dapat ketahui. Baru sekarang dia menyadari bahwa selama ini
dia kehilangan kehangatan hubungan antar manusia. Karena
itu, begitu bertemu dan bicara dengan bocah itu, Ki Ageng
Mahendra merasakan suatu kehangatan yang amat me mbahag iakan menyelubungi perasaan hatinya. Dia tahu
bahwa anak itu tidak berbohong. Buktinya, Wiku Menak
Koncar me mba las dendamnya kepada orang tua anak ini
dengan menculik ana k mereka, berarti Wiku Menak Koncar
tidak berani langsung menyerang mereka.


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He mm, agaknya itulah yang membuat orang tuamu
dimusuhi banyak orang. Karena mereka setia membantu
Mataram, maka tentu mereka dimusuhi orang-orang yang
menentang Mataram, termasuk Wiku Menak Koncar tadi. Aku
sudah la ma tidak pernah ber kecimpung di dunia ra mai
sehingga aku tidak mengenal na ma ayah ibumu itu. Akan
tetapi mungkin aku mengenal mereka yang lebih tua. Tahukah
engkau siapa guru-guru ayah ibumu, angger" Mungkin aku
masih mengenal na ma mere ka."
Bagus Sajiwo mengingat-ingat, lalu berkata, "Ayah ibu saya
pernah mencer itakan tentang guru-guru mereka, eyang. Guru
ayah saya ada dua, yang pertama adalah mendiang eyang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bhagawan Sidik Paningal, dan yang ke dua adalah eyang guru
ayah sendiri, yaitu mendiang eyang Resi Limut Manik. Adapun
guru dari ibu saya bernama mendiang Nyi Dewi Rukmo. Petak
yang dulu ketika muda berna ma Ken Lasmi."
Mendengar disebutnya nama-na ma itu, Ki Ageng Mahendra
me meja mkan kedua matanya. Terbayanglah dalam ingatannya
semua pengalaman nya ketika masih muda. Sa mpai la ma dia
tidak mengeluarkan kata-kata hanya memeja mkan kedua
matanya yang tadi bersinar le mbut penuh pengertian itu, dan
mulutnya me mbayangkan senyum. Melihat kakek itu sa mpai
la ma tidak berkata-kata, Bagus Sajiwo bertanya.
"Eyang, apakah eyang mengenal na ma-na ma itu?"
Kakek itu me mbuka kedua matanya, memandang kepada
gagus Sajiwo dan tertawa gembira. "Mengenal mereka" Tentu
saja aku mengenal mereka dengan a mat ba iknya, Bagus!
Mendiang Resi Limut Manik itu adalah kakak seperguruanku
sendiri. Jadi, mendiang Bhagawan Sidik Paninga l itu adalah
keponakan muridku sendiri."
"Wah....!" Anak itu berseru kaget dan gembira. "Kalau
begitu, saya masih buyut murid eyang sendiri?"
"Begitulah, angger. Agaknya memang sudah me njadi
kehendak Gusti Allah yang me mpertemukan kita berdua
disini." "Eyang, apakah eyang juga mengenal eyang guru Nyi Dewi
Rukmo Petak?" tanya Bagus Sajiwo.
Kakek itu mengangguk dan menghela napas panjang.
Dia m-dia m dia merasa heran bagaimana murid Bhagawan
Sidik Paningal dapat berjodoh dengan murid seorang wanita
sesat seperti Nyi Dewi Rukmo Petak" Akan tetapi dia merasa
yakin bahwa jodoh ditentukan oleh Gusti Allah, dan belum
tentu murid seorang sesat men jadi jahat pula, seperti juga
murid seorang budiman be lum tentu selalu baik seperti
gurunya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku pernah mendengar na manya. Nah, angger Bagus
Sajiwo, engkau adalah cucu buyutku sendiri, ayahmu adalah
aliran seperguruan
denganku, yaitu aliran
perguruan Jatikusumo walaupun aku tidak pernah terlibat urusan
perguruan. Sekarang katakan, apa yang kau kehendaki"
Apakah engkau ingin aku mengantarmu pulang ke lereng
Gunung Kawi, kembali kepada orang tuamu?"
Setelah berkata demikian, kakek itu me mandang kepada
anak itu dengan a lis ber kerut. Perasaannya yang amat peka
itu merasakan sesuatu yang me mbuat dia mengerutkan
alisnya. Kepekaan ini terkadang amat menyiksa batinnya. Dia
merasakan betapa awan ge lap me mbayangi kehidupan anak
ini dan orang tuanya. Akan tetapi dia tahu bahwa apapun
yang terjadi, terjadilah sesuai dengan kehendak Tuhan dan dia
sebagai seorang manusia tidak berdaya mengubahnya.
Manusia waj ib berusaha, namun Tuhan jua yang menentukan
hasilnya. "Eyang, saya menyadari sepenuhnya bahwa eyang telah
menyelamatkan nyawa saya. Kalau tidak ada eyang, entah
bagaimana jadinya dengan diri saya. Mungkin sudah mati atau
bahkan lebih menger ikan dari pada itu. Maka, sekarang saya
me masrahkan diri saya kepada eyang. Terserah bagaimana
eyang saja. Eyang yang menentukan apa yang selanjutnya
harus saya lakukan dan saya akan menaatinya. "
Perasaan lega dan bahagia me menuhi hati kakek itu. Dia
menye mbah dan me muja, "Gusti Allah Maha Kasih, segala
kehendak Paduka terjadilah." Kemudian dia me mandang anak
itu dan berkata, suaranya terdengar penuh kesungguhan.
"Bagus Sajiwo, kalau engkau s udah pasrah kepadaku dan
benar-benar hendak menurut dan me menuhi segala katakataku, dengarkan baik-ba ik. Mungkin syaratnya akan terasa
terlalu berat untukmu dan kalau engkau tidak dapat
me menuhi syarat itu, engkau masih kuberi kebebasan untuk
mengubah keputusanmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah syaratnya, eyang" Orang tua saya selalu
mengajarkan bahwa seorang lakl-la ki harus teguh pendiriannya dan berani menghadapi segala kesukaran untuk
me menuhi janji dan kewaj ibannya."
"Baik, dengarlah. Mulai hari ini, engkau harus ikut
denganku, mungkin hidupmu akan terasing dan tidak
menyenangkan badan dan batinmu. Engkau harus dengan
tekun me mpe lajari se mua ilmu yang kuajarkan kepadamu dan
yang terpenting sekali, apapun yang terjadi, sebelum engkau
berusia dua puluh tahun, engkau tidak boleh mene mui ayah
ibumu. Nah, sanggupkah engkau" Kalau tidak sanggup,
katakan saja, aku tidak me maksamu dan terserah kepadamu
untuk me mutuskan." kata kake k itu dan dengan hati tertarik
dan penuh perhatian sepasang matanya
menga mati kekuasaan Tuhan yang bekerja melalui hati akal pikiran anak
itu yang akan membawa keputusan bagi kehidupan anak itu di
masa mendatang.
Bagus Sajiwo yang baru berusia enam tahun itu sudah
me miliki dasar kekuatan batin dari orang tuanya. Dia tabah
dan me miliki watak gagah. Akan tetapi menghadapi syarat
yang diajukan kakek itu, anak itu menjadi bimbang juga.
Sampa i berusia dua puluh tahun baru boleh mene mui ayah
ibunya" Itu berarti bahwa sedikitnya selama empat belas
tahun dia harus hidup bersama kakek ini, bertapa
mengasingkan diri!
Melihat anak itu bimbang, Ki Ageng Mahendra melanjutkan,
"Bagus Sajiwo, ada ta mbahan untuk syarat itu, ialah bahwa
engkau sama sekali tidak boleh bertanya mengapa aku
mengadakan syarat sampa i engkau berusia dua puluh tahun
itu. Bertanyapun tidak akan dapat kujawab. Hanya tinggal dua
pilihan bagimu. Menerima syarat itu dan ikut denganku atau
kau tolak dan engkau akan kuantarkan pulang ke rumah orang
tuamu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sungguh merasa sema kin berat syarat itu bagi Bagus
Sajiwo. Syarat pertama saja sudah berat, ditambah lagi dia t idak
boleh bertanya mengapa sebabnya dia tidak boleh bertemu
orang tuanya sebelum berusia dua puluh tahun! Berbagai
penderitaan batin akan dia ala mi sebagai akibat syarat itu.
Pertama, dia tentu akan merasa rindu kepada orang
tuanya, terutama kepada ibunya yang me manja kannya.
Ke dua, ayah ibunya tentu akan menjad i bingung, akan
mencarinya dan kalau sampai e mpat belas tahun la manya
tidak dapat mene mukannya, mungkin mereka akan menganggap dia sudah mati! Akan tetapi, sebaliknya kalau dia
menerima syarat itu, ada dua hal yang baik dan
menyenangkan. Pertama, dia dapat me mbalas budi kebaikan kake k yang
telah menyelamatkan nyawanya itu. Ke dua, dia a kan dapat
me mpe lajari ilmu-ilmu yang hebat dari kakek yang masih
merupakan pa man buyut gurunya sendiri, yang tentu me miliki
tingkat kepandaian yang a mat hebat, jauh lebih hebat dari
tingkat kedua orang tuanya!
Dia harus me milih dan menga mbil keputusan tegas. Dia
tidak tahu betapa kakek itu me mandangnya dengan hati
berdebar-debar karena apa yang akan diputuskan anak itu
merupakan penentu nasib yang akan me nimpa diri Bagus
Sajiwo dan kedua orang tuanya.
Kakek ini tertatik sekali. Betapa nasib seorang manusia
terkadang ditentukan oleh sekali saja keputusan yang
dia mbilnya atau oleh satu kali perbuatan, bahkan satu kali
ucapannya saja! Karena itulah, para orang budiman selalu
berhati-hati kalau menga mbil keputusan, kalau melakukan
perbuatan, atau kalau mengeluarkan ucapan. Selalu mohon
petunjuk dan bimbingan Tuhan Yang Maha Kasih dan selalu
berusaha agar tidak menyimpang dari kehendaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eyang, keputusan saya sudah tetap. Saya menerima
syarat itu dan akan ikut eyang, me layani eyang dan
me mpe lajari ilmu dari eyang. Saya akan mentaati semua
petunjuk dan perintah eyang!" Suara anak itu begitu mantap
dan ketika Ki Ageng Mahendra beradu pandang mata dengan
Bagus Sajiwo, kake k itu merasa senang sekali. Dia
mene mukan tekad yang bulat, kemauan yang keras dari
seorang calon ksatria dala m sinar mata anak itu.
"Terpujilah na ma Gusti Allah!" kata kakek itu. "Bagus
Sajiwo, aku akan selalu berdoa kepada Gusti Allah Kang
Murbeng Dumadi, se moga Gusti Allah sendiri yang akan
me mbimbingmu di sepanjang jalan hidupmu. Hanya dalam
bimbinganNya sajalah engkau akan dapat menjadi manusia
utama yang selalu bertindak baik dan benar sesuai dengan
kehendakNya. "
Kakek itu lalu me nggandeng tangan Bagus Sajiwo, diajak
mendaki puncak bukit itu. Mulai saat itu, Bagus Sajiwo
menjad i murid Ki Ageng Mahendra.
Pagi itu, kurang lebih sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng
Mahendra yang sudah duduk di atas batu besar melihat
muridnya, Bagus Sajiwo yang kini telah menjad i seorang
pemuda re maja berusia enam belas tahun berjalan cepat
sambil me manggul seekor kijang.
Pemandangan itu tadi men imbulkan kenangan sepuluh
tahun yang lalu dan kini kake k itu tersenyum. Senyumnya
penuh rahasia. Yang me lihatnya pada saat itu dapat melihat
betapa senyum itu me ngandung perasaan senang, terharu,
juga sedih! Sudah puluhan tahun Ki Ageng Mahendra tak pernah
dipengaruhi perasaan hatinya karena selama ini dia sudah
berserah diri dengan ikhlas dan tawakal kepada Gusti Allah.
Dia menerima segala apa saja yang terjadi kepadanya sebagai
suatu kewajaran, sesuatu yang menjadi kenyataan dan tak
dapat diubah oleh siapapun dengan kekuatan apapun karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kenyataan yang ada itupun sesuai dengan kehendak Tuhan
yang terkadang berlawanan dengan usaha dan kehendak
manusia. Karena itu, selama ini dia tidak pernah dipengaruhi
perasaan hatinya. Hati akal pikirannya telah terkandung dalam
kepasrahannya. Perasaan susah senang, kecewa puas, marah
dan sebagainya seolah telah tertidur dise limuti kepasrahan,
tidak pernah bangkit.
Akan tetapi saat ini dia me mbiarkan perasaannya bangun,
me mbiarkan segala perasaan itu menari-nari dalam hati dan
pikirannya. Dia merasa benar bahwa saat terakhir hidupnya
telah hampir tiba. Karena itu, dia membiarkan segala gejolak
perasaannya bermunculan, yang mendatangkan rasa gembira,
senang, bangga, terharu dan juga kehilangan dan kesedihan.
Dia merasakan benar gejolak nafsu perasaan yang selama ini
tertidur, dan dia merasa gembira, senang dan bangga melihat
Bagus Sajiwo, murid yang dikasihinya itu kini telah menjadi
seorang pemuda remaja yang hebat. Semua aji pa mungkas
telah dia ajarkan kepada Bagus Sajiwo sehingga pe muda itu
telah menguasai berbagai aji kesaktian. Di sa mping itu,
pemuda itupun banyak me mpelajari tentang kehidupan
sehingga me miliki pandangan luas. Juga
dia telah menana mkan iman yang amat kuat dalam hati pe muda itu.
Iman terhadap Gusti Allah, penuh keyakinan, penuh
penyerahan dan kepasrahan
sehingga apapun yang dilakukannya, disandarkannya kepada kekuasaan Tuhan.
Mala m tadi Ki Ageng Mahendra menerima firasat itu. Hari
ini merupa kan hari terakhir dalam hidupnya di dunia ini. Dia
tidak merasa penasaran. Seperti biasa selama puluhan tahun,
dia menerima apa saja yang terjadi padanya sebagai
kehendak Tuhan, dan karenanya diterima dengan rela, ikhlas
dan dengan kebahagiaan karena dia yakin benar Bahwa Gusti
Allah mengetahui apa yang terbaik baginya! Usianya sudah
sangat tua, tubuh yang dipakainya selama ha mpir seratus
tahun itu sudah le mah dan lapuk. Dan d ia akan meninggalkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dunia ini tanpa penderitaan sakit. Sungguh merupakan
anugerah yang teramat besar.
"Eyang, saya datang!" terdengar suara yang lantang dan
penuh semangat, penuh gairah hidup. Bagus Sajiwo
menurunkan kijang muda dari pundaknya.
Kijang muda yang sehat dan ge muk, masih hangat karena
belum la ma dibunuhnya. Pemuda yang dulu berusia enam
tahun ketika diselamatkan Ki Ageng Mahendra dari tangan
Wiku Menak Koncar yang menculiknya, kini telah menjadi
seorang pemuda berusia ena m belas tahun. Tubuhnya tinggi
tegap dan tampak betapa bahu dan kedua lengan yang


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telanjang itu terisi tenaga hebat, dapat tampak pada gerakan
otot-otot yang membayang di bawah kulit. Bukan otot
me lingkar-lingkar me mbayangkan kekuatan tenaga otot yang
kasar, melainkan tenaga dala m.
Seorang ahli akan dapat melihat bahwa tubuh pemuda itu
"berisi". Pemuda yang belum dewasa benar itu sudah
mendatangkan kesan jantan, seperti Sang Gatotkaca. Kulitnya
kecoklatan mengkilap sehat karena sering mandi sinar
matahari. Rambutnya hitam panjang dan agak keriting.
Dahinya lebar dan sepasang daun telinganya berbentuk indah
dan besar. Sepasang alisnya hitam dan tebal, melindungi
sepasang mata yang lebar, bersinar lembut akan tetapi
terkadang dapat mencorong dan tajam seolah dapat
mene mbus dan menjenguk isi hati orang. Hidungnya mancung
dan besar. Tarikan bibirnya me mbayangkan kegagahan dan
gairah hidup penuh se mangat. Belahan kecil pada tengah
dagunya me mbuat wajah itu ta mpak makin jantan.
Ki Ageng Mahendra tersenyum ra mah. "Bagus Sajiwo,
engkau me mperoleh seekor kijang yang muda dan ge muk.
Kebetulan sekali kulup, karena hari ini engkau harus
menghidangkan makanan untuk banyak orang. Masaklah
daging kijang ini dan masaklah nasi yang secukupnya untuk
lima puluh orang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda itu me mandang wajah gurunya dengan sinar
menyelidik, walaupun wajahnya tidak me mbayangkan keheranan hatinya. "Baik, eyang, akan saya laksanakan."
Setelah berkata demikian, dia me manggul kijang itu dan
men inggalkan gurunya, menuju ke pondok kayu sederhana
yang berada di puncak bukit.
Ki Ageng Mahendra mengikuti bayangan muridnya dengan
sinar mata berseri dan mulut tersenyum. Dia terkenang lagi
akan pengalamannya bersama muridnya itu. Dia sendiri sudah
puluhan tahun tidak pernah makan daging binatang dan hanya
makan sayur dan buah-buahan. Akan tetapi dia menganjurkan
agar muridnya itu makan ma kanan yang biasa dimakan orang
pada umumnya. Tidak usah berpantang makan daging, kecuali
daging yang tidak me mpunyai khasiat, bahkan yang dapat
mendatangkan penyakit pada tubuh. Ketika itu, Bagus Sajiwo
me mbantah keras. .
"Akan tetapi, eyang. Bukankah saya harus selalu mengikuti
apa yang eyang lakukan" Bukankah eyang menjadi tauladan
saya" Eyang tidak dahar daging, hanya dahar nasi, sayur dan
buah-buahan, mengapa saya tidak" Mengapa saya harus
makan daging?"
Sambil tersenyum Ki Ageng Mahendra ber kata, "Angger,
siapa bilang aku tidak makan daging?"
"Saya melihat sendiri! Eyang tidak pernah ma kan makanan
berjiwa!" "Engkau keliru, Bagus. Setiap kali aku makan sepiring nasi
dengan sayur, setiap kali aku ma kan sebutir buah, setiap kali
aku minu m secangkir air, entah berapa puluh, ratus atau ribu
binatang bernyawa yang terbunuh dan me masu ki perutku."
Bagus Sajiwo yang mas ih kecil itu tak dapat menahan
perasaan herannya dan dengan matanya yang lebar bundar
dia me mandang kake k itu. "Eh" Apa maksud eyang" Saya
tidak me lihat. ..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Heh-heh, tentu saja tidak kau lihat, Bagus. Ketahuilah
bahwa di dunia ini terdapat binatang-binatang kecil sekali,
teramat kecil sehingga tidak tampa k oleh pandang mata biasa.
Dala m secangkir air, dalam sebutir buah, dalam daun-daun
dan sayur-sayuran, terdapat binatang-binatang kecil itu,
binatang-binatang yang bernyawa seperti halnya binatang
kijang, sapi, ayam dan lain-lain yang dimakan orang. Maka,
kalau ada orang yang hanya makan nas i, sayur, buah dan
minum air putih saja mengatakan bahwa dia tidak pernah
makan makanan bernyawa, dia tidak tahu atau pura-pura
tidak tahu. Sebetulnya, diapun seorang manusia pe makan
mah luk berjiwa yang tak terhitung banyaknya. Memang
daging binatang-binatang kecil itu tidak tampak, tidak terasa,
seperti daging ayam, sapi, kambing dan sebagainya. Akan
tetapi apakah bedanya nyawa seekor binatang kecil dengan
seekor binatang besar" Apakah nyawa seekor domba itu
berbeda dari nyawa seekor gajah?"
Bagus Sajiwo yang masih kecil itu s udah dapat mengerti,
akan tetapi sebagai seorang anak yang cerdik dia be lum puas
kalau belu m men dapatkan keterangan yang jelas.
"Kalau begitu, mengapa eyang tidak pernah makan daging
ayam, kijang dan lain-lain" Mengapa hanya makan sayur dan
buah" Bukankah sa ma saja, eyang tidak dapat menghindarkan
diri dari ma kanan berjiwa?"
"Bagus, kau tanyakan itu, angger. Bagiku, sebabnya hanya
satu, yaitu perasaanku. Aku merasa tidak tega makan daging
binatang itu. Berbeda dengan binatang-binatang kecil yang
tidak ta mpak, tidak mendatangkan perasaan tidak tega itu."
"Kenapa kalau saya diharuskan makan daging, eyang?"
"Karena engkau mas ih muda dan tubuhmu me mbutuhkan
makanan daging itu. Untuk menguatkan tubuhmu, untuk
me mba kar semangat hidupmu. Aku yang sudah tua renta ini
tidak me mbutuhkan itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah kenangan itu yang kini me mbuat Ki Ageng
Mahendra tersenyum. Anak itu selalu patuh padanya, akan
tetapi juga selalu ingin tahu dan banyak bertanya, suatu
watak yang amat baik bagi kanak-kanak dan orang muda.
Seorang muda harus kritis, harus tahu benar apa yang dia
lakukan dan mengapa pula dia lakukan. Bukan se kedar ikutikutan dan ngawur.
Seorang pemuda haruslah me miliki prinsip, me miliki
pegangan sehingga dia me miliki kepribadian yang kuat. Bukan
sekedar mengekor seperti seekor domba yang tidak
me mpunyai pendirian send iri. Dan untuk me mbentuk
kepribadian yang kuat dia harus banyak belajar, diantaranya
dengan banyak bertanya dan kritis, tidak hanya menerima
begitu saja tanpa menyelidiki lalu ikut-ikutan!
Bagus Sajiwo sibuk di dalam dapur pondok itu. Karena
sejak dia hidup dis itu, dia yang selalu me masak dan
me lakukan se mua pekerjaan rumah, melayani gurunya, maka
dia dapat masak dengan trampil.
Ki Ageng Mahendra yang biasa hidup menyendiri mengenal
semua bumbu masa k dan dia mengajari anak itu me mbuat
bermaca m masakan. Selain itu, dia juga sering me mbawa
anak itu berkunjung ke dusun-dusun di sekitar pegunungan
Ijen untuk mengulurkan tangan me nolong mereka yang sakit.
Hasil tana man di kebun belakang pondok, dapat menpikupi
kebutuhan hidup mereka. Sebagian d itukarkan barang-barang
yang mereka butuhkan dar i para penduduk dusun. Para
penduduk juga mengenal baik Ki Ageng Mahendra sebagai
seorang pertapa yang baik dan mengenal Bagus Sajiwo
sebagai seorang pemuda yang ramah. Dengan kehidupan
seperti itu, biarpun Bagus Sajiwo menjadi murid seorang
pertapa yang tinggal di puncak yang sunyi, na mun dia tidak
asing dengan pergaulan dan mengenal se mua orang yang
menjad i penduduk pedusunan disekitar pegunungan itu yang
tidak banyak jumlahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah lewat tengah hari, Bagus Sajiwo selesai dengan
kesibukannya di dapur. Dia menaati pesan gurunya. Semua
daging kijang ge muk itu dimasa knya, dan diapun menanak
nasi yang cukup untuk sekitar lima puluh orang. Akan tetapi
setelah selesai masak, dia tidak me lihat gurunya pulang. Pada
hal biasanya, setelah matahari mula i na ik tinggi, gurunya
tentu pulang dari kebiasaannya menyambut matahari terbit
itu. Segera dia menyusul ke te mpat gurunya tadi duduk di atas
sebuah batu besar. Dia melihat gurunya masih duduk bersila
di atas batu menghadap ke timur seperti tadi, duduk dia m
sama sekali tidak bergerak.
"Eyang....!" Bagus Sajiwo me manggil.
Akan tetapi Ki Ageng Mahendra tidak menjawab sama
sekali. Bagus Sajiwo merasa heran dan melompat ke depan
gurunya. Dia me lihat gurunya duduk bersila dengan sepasang
mata terpejam, seperti orang tidur atau sedang bersamadhi.
Akan tetapi dengan pandang matanya yang tajam dia melihat
betapa pernapasan gurunya itu le mah seka li.
"Eyang....!" Dia mengha mpiri dan menyentuh lutut kakek
itu. Alangkah kagetnya ketika tubuh yang disentuhnya itu
terkulai lemas dan tentu akan roboh kalau saja dia tidak cepat
merangkulnya. Tubuh
kakek itu terasa dingin dan
pernapasannya lemah, tinggal satu-satu.
Bagus Sajiwo terkejut. Biarpun usianya baru enam belas
tahun, namun dia telah me mpe lajari banyak ilmu dari
gurunya, termasuk ilmu tentang kesehatan dan pengobatan.
Begitu dia me mondong tubuh kake k itu dan dibawa turun dari
atas batu, dia merebahkan tubuh itu ke atas rumput dan
me mer iksa denyut jantungnya yang le mah. Tah ulah dia bahwa
gurunya dalam keadaan le mah se kali. Maka dengan cepat dia
mene mpe lkan tangan kirinya ke atas dada Ki Ageng Mahendra
lalu mengerahkan tenaga saktinya, memberi getaran hangat
ke dalam tubuh gurunya seperti yang diajarkan gurunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pernapasan Ki Ageng Mahendra mula i mengendur dan
menguat, lalu dia me mbuka kedua matanya dan tersenyum
ketika me lihat Bagus Sajiwo yang duduk bers ila di de katnya.
"Cukup, Bagus. Engkau telah memulih kan kekuatanku."
kata kakek itu yang segera bangkit duduk, dibantu oleh Bagus
Sajiwo. Mereka duduk berhadapan di atas tanah berumput.
"Mari saya pondong eyang kembali ke pondok," kata Bagus
Sajiwo. Kakek itu menggeleng kepala, mas ih tersenyum. "Tidak
usah, tidak ada waktu lagi, Bagus...."
"Tida k ada waktu lag i" Apa ma ksud eyang?"
"Waktunya tinggal sedikit, Bagus." Kakek itu tersenyum dan
menjulurkan tangan kanannya, mengelus kepala Bagus
Sajiwo. "Dengar ba ik-ba ik, tidak la ma lagi t iba saat akhir
hidupku di dunia ini...."
"Eyang....!" Bagus Sajiwo menjerit dan merangkul kakek
itu. "Hshhh...., kenapa ribut" Apanya yang aneh kalau ada
seorang manusia men gakhiri hidupnya di dunia" Apa pula
anehnya kalau ada yang lah ir?"
"Eyang, jangan tinggalkan saya dulu, eyang. Saya masih
me mbutuhkan bimbingan eyang...."
"He mm, kapan engkau a kan matang kalau se lalu
dibimbing" Kanak-kanak a kan cepat dapat berjalan kalau
dilepaskan dari bimbingan. Kalau dibimbing terus, dia takut
dilepaskan dan hati dan kakinya tidak akan cepat menjadi
kuat." "Tapi..... tangguhkanlah, eyang. Eyang adalah seorang
yang sakti mandraguna, tentu dengan ilmu kepandaian eyang,
eyang akan ma mpu me mperpanjang usia eyang..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Heh-heh...., buanglah khayalan yang bukan-bukan itu dan
buka mata mu baik-baik. Siapakah yang ma mpu menentukan
mati hidupnya sendiri" Aku ini seorang manusia biasa, angger,
tidak ada bedanya dengan engkau atau dengan s iapa pun
juga. Hidup dan matikU juga berada sepenuhnya di tangan
Gusti Allah. Segala usaha, segala ikhtiarku, seperti ikhtiar
semua manusia, amatlah terbatas dan tidak mungkin dapat
mengubah kehendak Gusti Allah. Sebentar lagi a ku harus
pergi, Bagus, karena itu, aku hendak me mpergunakan waktu
yang tidak lama lagi ini untuk men inggalkan pesan-pesanku
kepadamu. Akan tetapi lebih dulu engkau harus menenangkan
hati dan perasaanmu, harus dapat menerima kenyataan yang
ada, tanpa keraguan, kekecewaan ataupun penyesalan. Nah,
sudah siapkah engkau?"
Bagus Sajiwo mengerahkan tenaga batinnya, menghentikan
gejolak hati dan pikirannya dan dia menjad i tenang dan bebas
dari segala maca m perasaan. Dia menyadari kebenaran
ucapan gurunya, maka dia la lu menye mbah dan berkata
dengan suara tenang. "Saya sudah siap mendengarkan semua
pesan yang hendak eyang katakan kepada saya."
"Nah, begitu baru benar, angger. Pertama-tama hendak
kuingatkan engkau akan janjimu dahulu ketika engkau akan
menjad i muridku yaitu bahwa sebelum engkau berusia dua
puluh tahun, engkau tidak boleh mene mui orang tua mu."
"Saya masih ingat dan akan me menuhi janji saya itu,
eyang." "Yang ke dua, ketahuilah bahwa belum tiba waktunya
Nusantara dapat terbebas dari kekuasaan dan pengaruh
Kumpeni Belanda. Oleh karena itu, segala usaha yang
dilakukan Sang Prabu Sultan Agung selalu menga la mi
kegagalan. Saatnya akan tiba dimana seluruh bangsa, seluruh
rakyat Nusantara dapat bersatu padu, atas bimbingan Tuhan
Yang Maha Kuasa, bangkit serentak melawan Belanda, barulah
seluruh bangsa dan negara akan dapat terbebas dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kekuasaan orang kulit putih. Karena itu, tidak a kan ada
gunanya kalau engkau terjun ke da la m perjuangan melawan
Kumpeni. Lebih ber manfaat lagi kalau engkau berjuang
sebagai seorang ksatria, menegakkan kebenaran dan keadilan
dalam kehidupan ini, me mbela mereka yang le mah tertindas
dan menentang kejahatan, siapapun yang melakukan
kejahatan itu."
Bagus Sajiwo dapat menangkap suara kakek itu yang
semakin menurun dan me le mah. Dia mendengarkan sa mbil
menatap tajam wajah gurunya. Wajah itu yang biasanya segar
kemerahan, kini ta mpak ma kin la ma se makin pucat dan
kembali pernapasan gurunya itu juga semakin me le mah.
"Saya mengerti dan a kan menaati se mua pesan eyang."
katanya dengan suara mantap.
"Nah, baik sekali kalau begitu. Aku ingin me mperingatkan
engkau, angger. Sebagai seorang manusia, engkau tidak
bebas dari kele mahan. Berhati-hatilah terhadap wanita. Ahh,


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tiba saatnya, Bagus.... pesanku.... sempurnakan
jenazahku dalam kobaran api bersama pondokku.... selamat
tinggal, angger.... aku.... aku pergi....!"
Kakek itu masih tetap duduk bersila dan matanya terpejam,
duduknya mas ih tegak, hanya kepalanya yang agak condong
ke kiri. Saat itu Bagus Sajiwo seolah dapat menasakan betapa
roh Ki Ageng Mahendra meninggalkan jasadnya, melayang
kembali ke ala m asalnya.
Bagus Sajiwo menye mbah. "Selamat jalan, eyang....
selamat jalan...." Hatinya terasa diremas, akan tetapi dia
segera menenangkan hatinya, menerima kenyataan yang ajaib
dan suci berpisahnya nyawa dari kurungannya sebagai
kenyataan dari kekuasaan Gusti Allah Yang Maha Suci.
Dia la lu mengha mpiri jenazah Ki Ageng Mahendra,
merangkulnya lalu me mondongnya. Terasa ringan sekali
jenazah itu, seperti anak kecil. Dia me langkah perlahan dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hati-hati sekali, seolah khawatir kalau akan me mbuat
goncangan terlalu kasar sehingga mengejut kan jasad yang
seakan tidur itu. Dia melangkah satu-satu ke arah pondok dan
tanpa disadarinya, beberapa butir air mata menetes turun ke
atas pipinya. Pada saat dia merebahkah jenazah Ki Ageng Mahendra di
atas pembaringannya di dalam pondok itu, terdengar suara
beberapa orang di luar pondok. Bagus Sajiwo cepat keluar dan
ternyata di luar pintu depan berd iri tiga orang dusun yang
dikenalnya. Dengan sikap tenang Bagus Sajiwo mengha mpiri tiga orang
laki-laki setengah tua yang sikapnya seperti orang yang
kebingungan dan sedang susah itu.
"Paman, andika bertiga ada keperluan apakah?" dia
bertanya dengan wajah sama sekali tidak me mper lihatkan
perasaan apa-apa dan tadi bekas air mata di pipinya telah
dihapus dengan tangan.
"Maafkan kami, anakmas Bagus. Di dusun kami sedang
berjangkit penyakit dema m panas. Sudah ada dua orang yang
men inggal dunia dan kini ada tiga orang lag i yang sakit. Kami
hendak mohon bantuan Ki Ageng untuk me nolong ka mi."
"Sayang sekali, paman. Eyang guru baru saja dipanggil
pulang oleh Gust i Allah." kata Bagus Sajiwo dengan tenang.
Tiga orang itu terbelalak. Wajah mereka berubah pucat dan
mereka sa ling pandang, lalu s i pe mbicara tadi me mandang
lagi kepada Bagus Sajiwo. "Maksud.... maksud andika.... Ki
Ageng telah.... telah... meninggal dunia?"
Bagus Sajiwo me ngangguk. "Benar, paman. Baru saja hal
itu terjadi."
"Aduh, maafkan kami. Kalau begitu, biar kami pulang,
hendak kami kabarkan kematian ini kepada yang lain." Tiga
orang itu tergopoh-gopoh hendak men inggalkan te mpat itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nanti dulu, paman!" kata Bagus Sajiwo. "Aku masih
menyimpan banyak ra muan ja mu untuk men gobati de ma m
panas. Tunggu, kua mbilkan sebentar!"
Bagus Sajiwo me masu ki pondok dan tak lama kemudian dia
sudah keluar lag i me mbawa sekeranjang terisi puluhan buah
bungkusan yang merupakan ra muan obat dema m, antara lain
kayu manis, tapak liman berikut akarnya, pegagan, daun
kacapiring, babakan pule, jahe, pupus waru, pupus papaya,
sambung legi, dan meniran. Dia menyerahkan keranjang dan
isinya itu. "Ramuan ja mu ini agar direbus dan yang sakit diberi minu m
tiga kali sehar i, secangkir penuh. Yang belum terserang dapat
minum secangkir sehari."
"Ah, terima kasih, anakmas Bagus, terima kasih." Tiga
orang itu menerima keranjang, me mbungkuk-bungkuk
mengatakan terima kasih la lu cepat men inggalkan te mpat itu.
Tak la ma kemudian, berbondong-bondong penduduk dari
dusun-dusun yang berdekatan datang melayat. Mereka
mendapat kabar dari tiga orang tadi.
Dia m-dia m Bagus Sajiwo merasa kagum kepada mendiang
Ki Ageng Mahendra. Jelas bahwa mendiang kakek itu telah
me miliki perasaan yang amat peka sehingga seolah dapat
merasakan apa yang akan terjadi men impa dirinya. Agaknya
kakek itu sudah mengetahui lebih dahulu bahwa hari itu dia
akan wafat, maka dia menyuruh Bagus Sajiwo me mbuat
masakan yang de mikian banyak. Kini pe muda itu, dibantu
beberapa wanita dusun yang datang melayat, menghidangkan
makan kepada para pelayat dan sungguh luar biasa sekali,
nasi dan lauk dari daging kijang itu cukup dan pas untuk para
tamu se mua! Bagus Sajiwo lalu berkata kepada para pelayat bahwa
untuk me menuhi pesan
terakhir gurunya, dia
akan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menye mpurnakan
jenazah kakek itu dengan me mperabu kannya berikut pondok itu.
"Tapi, anak mas!" Seorang tua menegurnya. "Kalau
pondoknya ikut diba kar, lalu andika akan t inggal dimana" "
Bagus Sajiwo tersenyum. Dia me mang sudah digembleng
lahir batinnya oleh mendiang Ki Ageng Mahendra. Dia
me mang t idak berduka atas kematian gurunya. Mengapa
mesti berduka" Apa yang didukakan" Gurunya yang sudah
men inggal dunia t idak per lu disusahkan, juga tidak
me mbutuhkan rasa iba dari yang hidup. Bahkan, setidaknya,
tubuh gurunya sudah terbebas sama sekali dari rasa nyeri dan
segala maca m kesengsaraan badan. Ki Ageng Mahendra
sudah kembali ke asalnya. Tubuhnya kembali ke asalnya,
bersatu dengan tanah. Roh-nya kembali ke asalnya, bagaikan
setetes air yang kembali ke sa mudera. Apa yang harus
disusahkan" Kalau dia berduka, jelaslah bahwa yang
disusahkan adalah dirinya sendiri, merasa iba diri karena
kehilangan guru, kehilangan te man, kehilangan pengganti
orang tua! "Paman, pondok ini me mang harus diba kar sesuai dengan
pesan mendiang eyang karena akupun segera akan
men inggalkan tempat ini." kata Bagus Sajiwo kepada kakek
yang bertanya tadi.
Demikianlah, dibantu oleh para penduduk dusun, Bagus
Sajiwo mengumpulkan sedikit pakaian yang dimilikinya,
me mbungkusnya dalam buntalan kain hitam, lalu me mbawa
keluar buntalan itu dari pondok. Setelah itu, dia
mengumpulkan kayu ranting dan daun kering, menyusunnya
di bawah dan sekitar pembar ingan di mana jenazah gurunya
direbahkan. Juga ranting dan daun kering ditu mpuk di
sekeliling pondok. Setelah me mber i penghormatan terakhir
kepada jenazah gurunya, diikuti oleh se mua penduduk dusun
yang merasa kehilangan seorang kakek yang selalu siap
meno long mere ka, Bagus Sajiwo la lu me mbakar pondok itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Api berkobar tinggi. Para penduduk dusun segera mundur
menjauh karena tidak kuat terhadap panas kobaran api itu.
Sebentar saja rumah dan segala isinya habis termakan api,
runtuh menjadi puing-puing abu.
Sejak tadi, Bagus Sajiwo duduk bersila menghadapi pondok
yang terbakar itu, ditinggalkan para penduduk yang menjauh
saking panasnya.. Namun pe muda itu tetap duduk bersila di
tempat tadi, tidak begitu jauh dari pondok yang terbakar. Api
seperti nafsu atau nafsu seperti api. Kalau diber i makanan
bahkan se makin lapar, apapun dilahapnya, semakin banyak
makanan se makin lahap. Akan tetapi kalau sudah tidak ada
lagi yang dimakan, diapun mengec il dan pada m. Pondok itu
sudah terbakar semua. Api se makin mengec il dan akhirnya
pun pada m, meninggalkan bara dan asap, juga banyak abu.
Bagus Sajiwo bangkit dari duduknya, bermaksud untuk
mende kati puing-puing dan mencar i la lu mengumpulkan abu
jenazah gurunya yang akan dikuburnya dite mpat dimana
gurunya suka duduk bersa madhi.
Akan tetapi baru saja dia maju tiga langkah, tiba-tiba angin
keras bertiup, me mbuat pohon-pohon di se kitar puncak itu
bergoyang-goyang seperti penari-penari kesetanan. Angin itu
bertiup semakin besar dan menggila, bahkan lalu menjadi
angin lesus (angin punting beliung), angin yang berpusing
amat cepat dan kuatnya!
Bagus Sajiwo terkejut, merasa seolah-olah akan terseret
oleh angin yang berpusing. Akan tetapi dia segera
mengerahkan tenaga saktinya dengan Aji Giri Selo (Batu
Gunung) sehingga tubuhnya menjadi seberat batu besar dan
ke-dua kakinya seolah berakar ke dalam tanah seperti
sebatang pohon raksasa. Tubuhnya bergoyang-goyang,
pakaiannya berkibar, bahkan rambutnya yang panjang
terlepas dari sanggulnya dan terurai berkibar. Namun kedua
kakinya tetap kokoh berdiri. Se mentara itu, para penduduk
dusun yang berdiri agak jauh, juga terlanda angin besar itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biarpun angin be liung itu tidak me nyerang mereka, na mun
mereka ketakutan dan terdengar jer itan wanita. Mereka lalu
merebahkan diri mene lungkup di atas tanah sehingga
terbebas dari seretan angin.
Angin lesus itu me mbawa daun-daun kering, me mbubungkannya ke atas, makin la ma se ma kin besar
putarannya, me mbubung ke atas menjadi se makin kecil
merupakan kerucut atau seekor naga yang kepalanya di
bawah ekornya di atas Angin beliung itu kini bergerak
mende kati puing dan abu pondo k yang habis terbakar itu dan
terjadilah peristiwa yang membuat Bagus Sajiwo terbelalak
dan takjub. Angin berputar itu menyambar segala sisa
kebakaran itu, me mbawanya me mbubung ke atas, kemudian
angin beliung itu bergerak se makin jauh dan akhirnya men ipis
lalu lenyap. Terjadilah peristiwa yang me mbuat
Bagus Sajiwo termenung. Ketika angin beliung tadi menerbangkan se mua
sisa pondok, suaranya mendesis dan mengaung, dan dia
seolah mendengar suara Ki Ageng Mahendra seperti kalau
kakek itu mengucapkan puji-puji kepada keagungan Tuhan!
Setelah angin berhenti mengamuk, para penduduk dusun
baru berani bangkit berd iri dan se mua orang berseru
keheranan melihat bekas tempat pondok itu berdiri kini telah
menjad i bersih. Semua sisa kebakaran telah disapu bersih dari
situ, tidak tertinggal segenggampun abu! .
"Hujan abu....!" terdengar teriakan mereka. Bagus Sajiwo
berdongak. Abu yang lembut sekali me layang turun dari atas. Agaknya
abu dari puing po ndok dan se mua is inya itu tadi diterbangkan
ke atas oleh angin puting be liung dan kini me layang turun
menghujani seluruh per mukaan puncak bukit! Itulah agaknya
yang diinginkan Ki Ageng Mahendra. Jenazahnya menjadi abu
dan menjadi pupuk bagi tanah di se luruh per mukaan puncak,
menyuburkan tanah sehingga apapun yang ditanam para
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penduduk dusun akan dapat tu mbuh dengan subur dengan
hasil yang ber limpah. Sa mpa i dengan mat inya pun, gurunya
selalu mas ih ingin mendar ma-baktikan de mi kesejahteraan
manusia" Se mua ke-ajaiban ini terjadi, tentu bukan karena
kesaktian Ki Ageng Mahendra yang selalu mengatakan bahwa
dia orang biasa, melainkan karena kehendak Tuhan dan ini
me mbuktikan bahwa Ki Ageng Mahendra adalah seorang
manusia yang dikasihi Gusti Allah!
"Terpujilah keagungan Gusti Allah yang Maha Kasih..."
Bagus Sajiwo berguma m sa mbil merangkapkan kedua tangan
menjad i sembah, men iru kata-kata mendiang gurunya di
waktu me muji na ma Tuhan.
Setelah semua orang yang melayat meninggalkan puncak
itu, Bagus Sajiwo juga menuruni puncak sa mbil menggendong
buntalan pakaiannya yang hanya beberapa potong jumlahnya
dan itupun merupakan pakaian yang terbuat dari kain kasar,
dijahit a mat sederhana.
Ketika me langkah perlahan-lahan menuruni puncak bukit
itu, Bagus Sajiwo merasakan sesuatu yang hampa di lubuk
hatinya. Tentu saja dia belum mencapai tingkat mendiang
gurunya yang sudah dapat terbebas dari rasa perasaan hati
akal pikirannya. Dan gurunya juga tidak mengharus kan dia
demikian. Pengaruh hati akal pikiran mas ih bekerja dalam
dirinya, hanya saja, ada kekuasaan yang me mbuat dia
senantiasa sadar dan tidak akan terseret oleh perasaannya.
-oodwoo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 02 DIA selalu berlatih untuk menyerah kepada kekuasaan sakti
ini, kekuasaan Tuhan sebagai pe mbimbing, di atas kekuasaan
hati akal pikirannya sendiri. Inilah yang oleh me ndiang
gurunya dinama kan sejatining rasa (perasaan sejati), yaitu
pasrah menyerah kepada Gusti Allah yang ada juga disebut
Sang Dewa Ruci (Roh Suci) dapat tinggal dan me nyatu dalam
diri manusia sehingga selalu akan me mber i bimbingan dalam
perjalanan hidupnya.
Inilah yang dima ksudkan gurunya dengan ucapan
"manunggaling Kawula Gusti" (bersatunya hamba dan Gusti)
yaitu apabila Roh Allah bersatu dengan Roh kita. Sungguh
suatu keajaiban yang tidak mudah, bahkan tidak dapat
dipelajari dengan hati akal pikiran, tidak dapat diraih dengan
kemauan dan kehendak nafsu. Keadaan yang ajaib ini tak
mungkin dapat terjadi atas kehenda k manusia, melainkan baru


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan dapat terjadi atas kehendak Tuhan semata. Manusia
hanya dapat menyerah pasrah dengan segenap jiwa raganya,
setiap saat bersyukur me muji keagungan Tuhan atas
berkahNya yang berlimpahan sepanjang hidup kita, mohon
pengampunan atas semua dosa kita dengan bukti pertaubatan
dan mohon bimbinganNya karena hanya dengan bimbingan
Roh Allah saja kita tidak akan tersesat dari jalan hidup yang
benar dan yang sesuai dengan kehendakNya.
Rasa nelangsa dan hampa, rasa kesepian itu hanya
sebentar menekan hati Bagus Sajiwo. Dia segera dapat
mengatasinya. Dia tidak tahu kemana harus perg i.
Pulang ke Gunung Kawi" Dia tidak berani melanggar
janjinya kepada mendiang gurunya. Tidak, sebelum berusia
dua puluh tahun, kurang lebih e mpat tahun lagi, dia tidak
akan mene mui ayah bundanya. Lalu ke mana"
Dia send iri tidak tahu. Akan tetapi dia teringat akan pesan
gurunya agar dia selalu menegakkan keadilan dan kebenaran,
me mbe la yang lemah tertindas dan menentang mereka yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
me lakukan kejahatan terhadap sesama manusia. Jadi, kemana
saja dia boleh pergi dan seperti biasa, dalam keadaan tanpa
pilihan ini, tida k ada jalan la in kecuali menyerah.
Biarlah Gusti Allah yang akan menuntun kedua kakiku
me langkah, pikirnya. Demikianlah, Bagus Sajiwo hanya
me langkah saja, menghindari jalan yang licin dan sukar,
menuruni bukit dan tanpa dia sengaja, kedua kakinya
menuruni bukit itu ke sebelah barat.
Kegagalan serangan Mataram terhadap Kumpeni Belanda
selama dua kali berturut-turut (tahun 1628 - 1629) me mbuat
Kumpeni Belanda mengubah politiknya.
Kini mereka leb ih berhati-hati dan s ikap mere ka tidak
sekeras dulu. Mereka berusaha mendekati Sultan Agung
me lalui kadipaten-kadipaten, terutama kadipaten yang berada
di sepanjang pesisir Laut Utara. Mereka secara royal mengirim
hadiah-hadiah dan tidak terlalu me maksakan kehendak
mereka. Untuk se mentara mereka merasa puas dengan hasil
keuntungan dari perdagangan. Juga mereka tidak terlalu
percaya lagi kepada para penduduk pribumi yang tadinya
menjad i antek mereka, karena banyak diantara penduduk
yang berkhianat kepada Kumpeni.
Pemimpin Kumpeni yang bertugas menangani para
penduduk pribumi yang menjad i mata- mata bayaran pada
waktu itu sepenuhnya dipegang oleh Mayor Yacques Lefebre
yang oleh Mataram lebih dikenal dengan na ma Jakuwes.
Mayor Jakuwes ini tinggal di dalam sebuah gedung besar di
Batavia, gedung yang mewah dan terjaga ketat. Di tempat
inilah biasanya para mata-mata yang membantu Kumpeni
menghadap Mayor Jakuwes.
Diantara sekian banyaknya telik sandi (mata- mata)
penduduk pribumi yang me mbantu Mayor Yacques terdapat
seorang tokoh wanita yang amat terkenal karena kesaktian
dan kecantikannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tokoh ini berna ma Nyi Maya Dewi, seorang wanita berusia
tiga puluh tahun lebih yang a mat cantik jelita. Selain terkenal
cantik jelita menggairahkan, ia
juga terkenal sakti mandraguna dan a mat berbahaya dan kejam sehingga banyak
orang menyebutnya sebagai iblis betina!
Nyi Maya Dewi berasal dari Parahyangan dan puteri dari
mendiang Resi Kalayit ma, seorang bertubuh raksasa, datuk
yang amat terkenal dari Parahyangan. Akan tetapi karena resi
ini me lakukan banyak kejahatan, maka dia menjadi orang
buruan dan terusir dari Parahyangan.
Dala m pelarian itu dia me mbawa puteri tunggalnya, yaitu
Nyi Maya Dewi, merantau dan akhirnya ayah dan anak ini
diperalat Kumpeni Belanda. Bahkan akhirnya Nyi Maya Dewi
menjad i telik-sandi Belanda yang dipercaya dan sudah banyak
jasanya. Setelah Resi Kalayitma men inggal dunia, Nyi Maya
Dewi masih melanjutkan kegiatannya menjadi antek Kumpeni
Belanda. Pada senja hari itu, suasana di jalan raya depan gedung
tempat tinggal Mayor Jakuwes sudah sepi. Jarang ada orang
berlalu lalang dan para penjaga di gardu depan gedung itu
baru saja diganti. Tiga orang berjaga disitu, dengan bedil di
tangan. Dari arah timur di ja lan raya itu tampak seorang wanita
berjalan melenggang menuju ke depan gedung. Wanita ini
bukan lain ada lah Nyi Maya Dewi.
Dala m keremangan senja itu masih ta mpak kecantikannya
yang me mpesona. Sa ma sekali tidak kelihatan sebagai
seorang wanita berusia tiga puluh tahun. Sepatutnya usianya
baru dua puluh tahun kurang, seperti seorang gadis yang baru
dewasa, bagaikan setangkai bunga ma war yang baru mekar
semerbak. Rambutnya hitam panjang digelung indah,
ujungnya masih terurai d i pundaknya. Wajah yang agak bulat
itu berseri, kulit muka, leher dan lengan yang tak tertutup
amat putih mulus kemerahan. Matanya lebar dengan kedua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ujung agak berjungat ke atas, bukan ma in man isnya.
Hidungnya kecil mancung dan mulutnya sungguh me miliki
daya tarik yang seimbang dengan matanya. Bibirnya merah
basah, tipis dan bentuknya begitu menggairahkan.
Sungguh Nyi Maya Dewi merupa kan seorang wanita yang
ayu manis, me miliki kecantikan yang khas dari para mojang
Parahyangan. Bentuk tubuhnya juga a mat mengga irahkan,
dengan lekuk lengkung yang sempurna dan tepat pada
ukurannya yang serasi. Lenggangnya lemah ge mula i seperti
seorang yang sedang menari, me mbuat siapapun juga yang
berpapasan dengannya pasti menengok berulang kali sa mpai
jalannya menabrak sesuatu di depannya! Yang lebih menarik
lagi adalah karena pada kerling matanya yang setajam pedang
pusaka, senyum bibirnya yang semanis madu itu mengandung
kegenitan yang merangsang dan me nantang.
Akan tetapi, saat ia melenggang menuju ke arah gedung
besar itu, wajah yang ayu itu seolah terselubung awan.
Bahkan sepasang mata yang seperti bintang kejora itu
menerawang, seolah melamun. Jelas bahwa ada sesuatu yang
tidak menyenangkan hatinya mengganggu pikirannya.
Nyi Maya Dewi pada saat itu merasakan sesuatu yang
belum pernah ia rasakan. Ia melihat segala sesuatu sebagai
penglihatan yang tidak menyenangkan, bahkan menyebalkan.
Segala sesuatu tampak menje mukan. Ia seperti kehilangan
sesuatu, kehilangan gairah hidup! Ia tidak tahu bahwa se mua
ini merupa kan tanda-tanda bahwa ia sudah merasa jenuh
dengan segala yang didapatinya dalam kehidupan. Pergaulannya dengan pria-pria tampan sekehendak hatinya, ia
tinggal pilih. Namun se mua itu kini terasa menje mukan. Ia
tidak mene mukan kebahagiaan sejati dalam se mua kesenangan itu.
Seperti orang kekenyangan yang akhirnya merasa muak
dengan apa yang tadinya ia anggap sebagai sesuatu yang
menyenangkan dan me mbahagiakan. Ia kehilangan sesuatu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan sesuatu itu, tanpa ia sadari, adalah cinta kasih! Banyak ia
bertemu pria yang seolah me mujanya, akan tetapi semua itu
kini terasa me muakkan karena pe mujaan itu hanya lahiriah
belaka, hanya karena nafsu berahi.
Tidak pernah ia merasakan adanya cinta kasih yang sejati.
Dan agaknya ia haus akan perasaan itu, haus akan cinta! Ia
rindu mene mukan orang yang benar-benar mencintanya,
bukan sekedar menyenangkan tubuhnya yang cantik menarik.
Ia muak akan se mua kesenangan yang selama ini mudah
diraihnya. Harta benda membosan kan. Pemuasan nafsu berahi
akhirnya juga menje mukan, bahkan me muakkan karena di
balik se mua keindahan itu ia mulai melihat kekotoran nafsu
berahi. Sudah berbulan-bulan ia merasakan se mua ini. Ia ingin lari
dari semua kesenangan itu. Ia tidak me mbutuhkannya lagi. Ia
me mbutuhkan sesuatu yang la in, yang tidak pernah
dikenalnya. Ia merindukan sesuatu yang lain dan jiwanya
seolah me mbis ikkan bahwa selama ini ia telah men iti jalan
yang semakin menjauhkannya dari sesuatu yang dirindukannya itu.
Perasaan itulah yang membawa Nyi Maya Dewi pada sore
hari itu ke Batavia. Ia ingin mene mui Mayor Jakuwes yang
selama ini menjad i atasannya.
Tiga orang serdadu Belanda yang bertugas jaga di dalam
gardu depan rumah gedung Mayor Jakuwes melangkah keluar
gardu dan mema langkan bedil mereka ketika melihat Nyi Maya
Dewi melangkah masuk ke pekarangan. Akan tetapi mereka
bertiga terpesona ketika me lihat wanita yang tersorot sinar
la mpu yang tergantung di depan gardu penjagaan. Mereka
terbelalak dan seolah tidak percaya kepada pandang mata
mereka send iri. Wanita itu begitu cantiknya, melebihi se mua
gambaran khayal mereka. Mereka tidak mengenal Nyi Maya
Dewi dan hal ini tidaklah me ngherankan karena biarpun
wanita itu merupakan pe mbantu yang amat penting dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mayor Jakuwes, namun sebagai seorang mata-mata tentu saja
kehadirannya selalu dirahasiakan.
"Siapakah engkau, nona" Ada keperluan apa kah nona
masu k kesini?" Sikap tiga orang itu dan pertanyaan ini yang
tadinya akan dilakukan dengan keras, menjadi ramah bahkan
ketiganya tersenyum simpul, seperti biasa dilakukan para la kilaki kasar berhadapan dengan wanita cantik.
Nyi Maya Dewi sedang kesal hatiya. Melihat tiga orang
serdadu Belanda yang kulit mukanya kemerahan dan mulut
mereka mengeluarkan bau minuman keras itu mendekatkan
muka mereka kepadanya sambil cengar-cengir, ia melangkah
mundur. "Tida k perlu kalian ketahui siapa aku. Laporkan saja kepada
Mayor Jakuwes agar dia keluar me ne mui a ku!" kata Nyi Maya
Dewi dengan suara ker ing.
Seorang di antara tiga serdadu itu, yang mukanya merah
karena kebanyakan minum bir dan agaknya menjadi pe mimpin
mereka, melangkah maju mendekati Nyi Maya Dewi.
"Tida k bisa, nona manis. Untuk melapor ke da la m kami
harus tahu lebih dulu s iapa engkau dan apa keperluan mu.
Mari, masuklah dulu ke dalam gardu, kami akan me mer iksamu
lebih dulu. Siapa tahu engkau mempunyai niat jahat!" Si muka
merah itu menjulurkan tangannya dan menang kap lengan kiri
Nyi Maya Dewi. "Keparat!" Wanita yang sedang kesal hatinya itu menjadi
marah. Sekali menggerakkan tangan, ia sudah mena mpar pipi
serdadu itu. "Plak!!" Serdadu itu terpelanting dan mengaduh.
Beberapa buah giginya rontok dan pipinya menjadi
bengkak! Dua orang kawannya cepat maju untuk menangkap
wanita itu. Akan tetapi mereka disambut tamparan tangan
yang bergerak dengan cepat dan kuat sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Plak-plak.. ..!!" Dua orang serdadu itupun terpelanting
roboh. Mereka menjadi marah dan ketiganya sudah menyambar
bedil mere ka, akan tetapi tiba-tiba bedil-bedil itu direnggut
lepas dari tangan mere ka dan tiga kali Nyi Maya Dewi
menggerakkan kedua tangan, tiga batang bedil itupun patah
dan dibuang ke atas tanah oleh Nyi Maya Dewi!
Melihat ini, tiga orang serdadu itu terkejut setengah mati,
juga ketakutan karena peristiwa itu mengingatkan mereka
akan cerita tentang setan-setan yang katanya banyak
berkeliaran di wa ktu malam.
Mereka lari tunggang langgang me masu ki gedung itu dan
tak lama kemudian, Mayor Jakuwes sendiri keluar dari gedung
itu, dikawal tujuh orang serdadu yang sudah siap dengan bedil
di tangan. Tujuh orang itu sudah mencar i kedudukan yang
aman, bersembunyi di balik tiang dan pot bunga sa mbil
m6nodongkan bedilnya. Akan tetapi ketika Mayor Jakuwes
me lihat Nyi Maya Dewi, dia segera mengenalnya dan
mengangkat tangan.
"Stop! Jangan tembak, ia kawan sendiri!" Para serdadu itu
menurunkan todongan mereka dan t idak merasa tegang lagi
dan Mayor Jakuwes la lu me langkah lebar mengha mpiri Nyi
Maya Dewi sambil tersenyum lebar dan menjulurkan tangan
kanannya. "Oh, kiranya engkau, Maya Dewi!" katanya gembira.
Maya Dewi menerima jabatan tangan itu dan ia
mengerutkan a lisnya ketika merasa betapa hangatnya jabatan
tangan orang Belanda itu dan betapa agaknya Mayor Jakuwes
tidak mau segera melepaskan jabatannya. Maya Dewi menarik
tangannya terlepas dari jabatan.
"Aku ingin bicara, tuan mayor!" katanya dengan singkat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oo, boieh, boleh! Mari masuk, kita bicara di dalam, Maya
Dewi!" kata Mayor Jakuwes, laki-laki Belanda peranakan
Portugis itu sambil tersenyum.
Mayor yang usianya kurang lebih e mpat puluh lima tahun
ini memang sudah la ma sekali tergila-gila kepada Maya Dewi,
akan tetapi wanita itu tidak pernah mau melayaninya.
Mereka lalu me masuki gedung besar itu. Dia m-dia m Mayor
Jakuwes yang sudah tahu benar betapa sakti dan
berbahayanya Nyi Maya Dewi, me mberi isarat kepada tujuh


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang serdadu pengawalnya. Mereka lalu mengikut i dua orang
itu dari belakang dan ikut me masu ki ruangan luas di mana
mayor itu mengajak Maya Dewi duduk dan bicara.
Maya Dewi teringat beberapa bulan, atau kurang leb ih
setahun yang lalu, sebelum Batavia diserbu untuk ke dua
kalinya oleh Mataram, ia sering duduk mengadakan
perundingan dengan mayor ini dan pe mbesar Kumpeni la in,
dihadiri pula oleh datuk yang memusuhi Matara m dan yang
rela menjadi antek Kumpeni, seperti Kyai Sidhi Kawasa, Aki
Somad, Wiku Menak Koncar, dan mas ih banyak lagi. Akan
tetapi mereka se mua telah tewas dalam perang melawan
Mataram. Ia beruntung dapat me loloskan diri.
Kini tampak olehnya betapa para datuk itu mengorbankan
nyawa mereka untuk me mbela orang-orang as ing kulit putih
yang kini mas ih hidup serba mewah dan sa ma sekali tidak
perduli a kan nasib para datuk yang tewas dalam me mbantu
Kumpeni. Andaikata ia send iri juga menjadi korban dan tewas
dalam pertempuran itu, mayor ini dan se mua orang Belanda
pasti sudah melupakannya! Pengorbanan sia-sia, bahkan
mendapat julukan pengkhianat nusa bangsa!
Setelah dua orang itu duduk berhadapan terhalang meja
besar, dan tujuh orang pengawal itu duduk di sudut ruangan,
tampak santai na mun sebenarnya siap siaga dengan bedil
mereka, Mayor Jakuwes me mandang wajah yang cantik jelita
yang tampak semakin ce merlang disinari la mpu gantung besar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang menerangi ruangan itu. Dia melihat betapa wajah ayu itu
keruh, alis yang kecil hita m panjang melengkung itu ber kerut
dan bibir man is yang biasa me ngembangkan senyum
mengga irahkan itu kini agak ce mberut.
"Zo, Maya Dewi, senang sekali hatiku dapat bertemu
denganmu. Aku selalu mengenang dan me mikirkan keadaanmu dan aku girang mendengar berita bahwa engkau
tidak tewas dalam pertempuran seperti kawan-kawan la in.
Kemana saja sela ma ini engkau pergi?"
Dengan alis ber kerut dan sinar mata penasaran Maya Dewi
me mandang Belanda itu la lu berkata dengan nada sinis.
"Tuan, Kumpeni men dapat kemenangan dan kami yang
me mbantu menjadi tumbal, mati konyol!"
"Zeg, Maya Dewi. Apa maksudmu" Kalian bekerja kepada
kami s udah mendapat imbalan. Soal tewas dalam perang
merupakan hal biasa dan lumrah. Akan tetapi aku tidak
me lupakan jasa-jasamu, Maya Dewi. Sudah lama sekali aku
me mikirkan, hadiah apa yang paling pantas kuberikan
padamu. Harta benda, engkau tentu tidak me mbutuhkan. Aku
lalu menga mbil keputusan...." dia menoleh ke arah para
serdadu yang duduk di sudut ruangan, tidak terlalu dekat
dengannya dan me lanjutkan dengan suara lirih, "....
bagaimana kalau engkau kuangkat menjad i isteriku,
mene man iku hidup disini. Kau tahu, Maya Dewi, aku berada di
Batavia, seorang diri dan aku.... aku suka sekali denganmu."
Maya Dewi merasa muak. Semua pria mengatakan cinta
padanya. Entah sudah berapa kali ia terkecoh. Cinta mereka
itu hanya cinta nafsu, hanya menginginkan tubuhnya, hanya
ingin mereguk kenikmatan dari tubuhnya. Ia sudah hafal dan
mua k. Sinar mata yang kebiruan itupun kini me mandangnya
bukan penuh kasih sayang, melainkan penuh nafsu berahi.
Betapa buruk wajah itu ta mpaknya, seperti wajah binatang
buas, seperti wajah setan!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tuan mayor, jangan bicara ngawur! Aku datang untuk
menge mba likan ini, bukan untuk hal lain!" Maya Dewi
me le mparkan mata uang e mas bergambar singa yang selama
ini menjadi tanda bahwa ia seorang mata-mata penting
Kumpeni. Mata uang itu jatuh berdencing d i atas meja. Melihat Maya
Dewi bangkit berdiri, Mayor Jakuwes segera mengambil uang
emas itu dan ikut berdiri pula, me mandang kepada wanita itu
dengan alis berkerut.
"Maya Dewi, apa maksudnya ini?" tanyanya, setengah
me mbentak. "Maksudnya sudah jelas! Aku pa mit, aku keluar dan t idak
lagi me mbantu Kumpeni!"
"Dan la maranku?"
"Aku tidak mau menjadi isterimu, Mayor. Selamat tinggal!"
kata Maya Dewi dan ia sudah menggerakkan kakinya untuk
me mutar tubuh.
"Wacht even (tunggu dulu)!" Mayor Jakuwes membentak
dan dengan langkah lebar dia memutari meja dan
mengha mpiri Maya Dewi. "Engkau tidak boleh pergi begitu
saja, Maya Dewi! Seorang mata-mata Kumpeni tidak boleh
men inggalkan kami begitu saja karena ia dapat menjadi
pengkhianat! Engkau harus me nerima la maran ku, hidup
senang disini bersa maku,
atau, terpaksa aku akan
menahan mu dan me masu kkan engkau dalam penjara!"
Sepasang mata indah itu sampa i terbelalak saking kaget
dan marahnya mendengar kata-kata itu. Sinar mata itu
mencorong seperti mata harimau dalam gelap. Perasaan hati
Maya Dewi saat ia menghadap Mayor Jakuwes sedang kesal
dan marah. Maka, mendengar anca man itu keadaan hatinya
yang kesal dan marah itu seperti api disiram minyak.
Kemarahannya me muncak dan sekali ia menggerakkan tangan
kirinya, ia sudah mena mpar ke arah muka Jakuwes.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mayor yang tentu saja bukan seorang laki-laki le mah itu
cepat menangkis dengan tangan kanannya. Namun, tangan
kiri Maya Dewi me mbuat tangkisannya terpental dan tangan
itu tetap meluncur ke
arah rahangnya.
"Wuuuttt....
tasss....!!"
Tubuh Jakuwes terpelanting dan dua atau tiga buah
giginya copot! Jakuwes
berguling di atas tanah,
kesakitan dan marah
sekali. Sebelum bangkit
kembali, dia sudah me mber i aba-aba kepada tujuh orang serdadu pengawalnya.
"Schiet haar dood
(Te mbak mat i ia)!!"
Tujuh orang serdadu itu menggerakkan bedil, akan tetapi
pada saat itu, terdengar bunyi ledakan dan la mpu gantung itu
pecah berantakan. Dalam keadaan gelap gulita karena tibatiba lampu pada m itu, meja besar tadi melayang ke arah tujuh
orang serdadu. Mereka tertimpa meja besar, suaranya hiruk
pikuk dan mereka mengaduh-aduh kacau. Dala m keadaan itu,
Maya Dewi cepat me lompat keluar dari gedung dan
menghilang dalam kegelapan mala m.
Mayor Jakuwes mencoba untuk me ngejar, akan tetapi
karena para serdadu itu sudah merasa jerih, maka pengejaran
itupun hanya setengah hati dan kegelapan ma la m me lindungi
Maya Dewi sehingga sebentar saja ia sudah menghilang dari
pandangan mereka.
Sebentar saja gegerlah Batavia. Banyak serdadu berkeliaran, berlari kesana-sini me nyusuri seluruh bagian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Batavia, untuk mencari Maya Dewi. Se mua rumah penduduk
digeledah, bahkan mereka yang dicurigai sebagai orang yang
mungkin mengetahui dimana wanita itu berada, ditangkap,
ditahan dan diperiksa. Namun se mua usaha Kumpeni sia-sia
belaka. Maya Dewi sudah tidak berada di Batavia lagi dan begitu
tadi berhasil keluar dari gedung tempat tinggal Mayor
Jakuwes, wanita sakti itu langsung keluar dari pintu gerbang
Batavia dan ketika para serdadu sibuk menyusuri seluruh
Batavia, ia sudah me larikan diri jauh me ninggalkan kota
Kumpeni itu. Pasukan Kumpeni juga disebar keluar kota,
namun tidak ada yang dapat mene mukan jejaknya, maka
akhirnya mereka kembali ke benteng dengan tangan ha mpa.
Maya Dewi meninggalkan Batavia dan merantau, mencari
sesuatu yang selama ini dia m-dia m a mat dirindukannya, yang
selama ini seolah tak pernah dapat diraihnya. Ia sebetulnya
sudah me miliki segala yang dapat dicapai oleh usaha manusia,
segala macam bentuk kesenangan duniawi.
Ia seorang wanita yang cantik jelita, yang dapat
me mbuatnya bangga karena ha mpir se mua pria yang
me lihatnya tentu menjad i tertarik dan banyak yang tergilagila. Ia juga me miliki kesaktian yang hebat, yang me mbuat ia
merasa a man dan bahkan dapat me maksakan se mua
kehendaknya kepada orang lain. Ia tidak pernah kekurangan
apapun karena dengan kepandaiannya yang hebat, ia bisa
mendapatkan benda apa saja yang dikehendakinya biarpun itu
dilakukannya dengan cara mencuri, mera mpas atau dengan
cara apapun juga. Bahkan dengan aji kesaktiannya itu, ia bisa
mendapatkan se mua laki-laki yang menar ik hatinya dengan
pengaruh aji pengasihannya. Ia juga dapat mempertahankan
kecantikannya, me mbuatnya tampak selalu seperti seorang
gadis muda. Dan selama kurang leb ih sepu luh tahun ini, ia
sudah me muaskan segala nafsunya, apapun yang ia inginkan
ia dapat mempero lehnya. Segala macam kesenangan telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
direguknya sepuas-puasnya, menggunakan segala cara. Ia
tidak pantang melakukan perbuatan jahat yang bagaimanapun
kejinya de mi mencapai apa yang diinginkannya.
Akan tetapi, makin banyak kesenangan yang dilahapnya, ia
menjad i se makin lapar. Semakin banyak kesenangan
diteguknya, ia menjadi se makin haus. Bahkan lebih dari itu, ia
mulai merasakan kebosanan yang hebat. Apa yang semula
terasa manis, kini berubah menjadi pahit, apa yang semula
terasa enak, kini menjadi me mua kkan. Apa yang tadinya
dirasakan sebagai suatu kesenangan, kini menjadi kekesalan.
Bosan, bosan, dan bosan! Kebosanan ini yang me mbuat ia
merasa sengsara. Ia merasa hidupnya hampa, tak berarti.
Ia mer indukan sesuatu, tanpa ia mengerti apa sesuatu
yang dirindukan nya itu. Tertindih perasaan yang me mbuatnya
merana dan merasa sengsara, membuat ia teringat akan
pantai Laut Kidul dimana ia dahulu pernah bertapa
me mperdalam ilmu-ilmunya. Maka, iapun melangkahkan
kakinya menuju kesana.
Di sepanjang perjalanannya, Maya Dewi me lihat betapa
sesuatu yang dirindukan nya namun yang tidak diketahuinya
apa itu dimiliki oleh banyak orang yang ditemuinya dalam
perjalanan itu. Ia melihat sekumpulan anak-ana k berusia
antara lima sa mpa i sepuluh tahun ber ma in-main di anak
sungai. Mereka terjun ke air, Berkecimpung, tertawa-tawa,
bertelanjang dan bersorak sorai. Ada sesuatu yang lebih dari
sekedar kesenangan terpancar pada wajah dan pandang mata
mereka yang berb inar-binar, terdengar dalam suara teriakan
dan tawa mereka. Dia melihat suami isteri yang sedang
bekerja di ladang yang laki-laki mencangkul, yang perempuan
mencabuti rumput yang mengganggu tana man kacang mereka
dan sambil bekerja, si isteri bertembang. Tembang Kinanti
yang sederhana saja, model dusun, dengan suara yang
sederhana dan agak sumbang. Lalu sambil bersembunyi ia
me lihat sua mi isteri itu berhenti, mengaso dan duduk di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
galengan (pematang) dan makan singkong rebus, minum air
kendi sambil bercakap-cakap.
Suami isteri itu berusia kurang leb ih e mpat puluh tahun.
Sang suami merupakan seorang laki-laki dusun yang
sederhana wajahnya, sederhana pula pakaiannya, tidak
tampan atau menarik. Demikian pula sang isteri, wanita
dusun. biasa, bahkan condong buruk wajahnya, gembrot
bentuk tubuhnya, tidak menarik. Adapun hidangan yang
mereka makan itu teramat sederhana, hanya singkong rebus
dan air kendi. Akan tetapi, Maya Dewi bengong melihat
kenyataan yang dihadapinya. Suami isteri itu makan dengan
enak dan lahapnya, minum air kendi dengan segarnya sampai
ia harus mene lan ludah sendiri karena timbul se lera melihat
mereka makan de mikian lezat. Dan ketika bercakap-cakap,
suami isteri itu saling pandang, saling senyum dan kemba li
Maya Dewi menangkap sesuatu itu, sesuatu yang tidak pernah
ia rasakan! Maya Dewi menghela napas, makin merasa betapa
hampa hidupnya, nelangsa hatinya dan ketika ia meninggalkan
suami isteri itu, wajahnya agak pucat dan dua butir air
menggantung di pelupuk ke dua matanya.
Ia melanjutkan perjalanan, mengingat-ingat. Sepanjang
pengalamannya dalam kehidupan yang sudah tiga puluh tahun
lebih ini, ia sudah merasakan segala ma ca m kesenangan.
Akan tetapi semua itu kini terasa hampa, tidak ada artinya dan
berakhir dengan kebosanan. Banyak orang bicara tentang
kebahagiaan. Semula ia mengira bahwa ketika me muaskan
nafsu-nafsunya, ia telah mencapai kebahagiaan. Namun
kenyataannya tidak de mikian. Ia hanya
mengunyah kesenangan yang akhirnya hanya mendatangkan kebosanan
dan kemuakan. Kebahagiaan" Rasanya, belum pernah ia


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyentuhnya, atau belum pernah ia disentuh kebahagiaan!
Apa dan bagaimana rasanya kebahagiaan itu" Dimana
tempatnya dan bagaimana mendapatkannya" Ia ingin
mencari, ingin mene mukan, ingin me milikinya!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika ia tiba diluar sebuah dusun, ia berpapasan dengan
seorang anak laki-la ki berus ia sekitar sepuluh tahun,
menunggangi seekor kerbau ge muk sa mbil men iup suling
bambu. Tiupan sulingnya biasa-biasa saja, bahkan tembang
yang dimainkannya dengan suara suling itu agak kacau dan
sumbang. Namun, Maya Dewi merasakan sesuatu yang luar
biasa, merasakan suasana yang penuh da mai dan indah pada
wajah dan tubuh anak yang duduk agak bergoyang-goyang
terbawa gerakan kerbau yang melangkah perlahan-lahan itu.
Tenang dan da mai, suatu keadaan yang hampir ia lupakan
karena selama bertahun-tahun ini tak pernah ia merasakannya! Kebahagiaan yang mencuat dari suasana yang ditimbulkan
bocah bertiup su ling itu terasa olehnya dan ia merasa betapa
hidupnya se makin ha mpa sehing-ga ia seo lah kehilangan
gairah hidup. Hidup terasa demikian tidak menyenangkan
hatinya. Tubuhnya menjadi le mas dan terhuyung-huyung ia
me lanjutkan perjalanannya.
Ia tiba di tepi dusun dan terdengar suara orang menumbuk
padi. Ia menghampiri dan sambil berse mbunyi mengintai dan
me lihat seorang ibu menumbuk padi sa mbil menggendong
seorang anak berusia sekitar satu tahun. Anak itu sedang
menyusu pada ibunya. Juga pada wajah sang ibu yang
sederhana dan miskin itu tampa k sinar kebahagiaan itu!
Bekerja keras, sambil menyusui anaknya lagi! Dan wajah anak
itu. Tampak de mikian nikmat me nyusu ibunya. Semua ini
kembali me mukul perasaan Maya Dewi dan ia tidak tahan
me lihat lebih la ma lag i. Ia berlari keluar dari dusun dan baru
berhenti ketika tiba di tepi sebuah sungai kec il.
Seorang kakek bercaping lebar sedang duduk di bawah
pohon di tepi sungai itu. Dia sedang me megang i sebatang
tangkai pancing. Rupanya sedang me mancing ikan. Wajahnya
begitu tenang, penuh kedamaian dan kesabaran me mandang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepada tali pancing yang bergerak-gerak terbawa aliran air
sungai. Maya Dewi tertegun. Ia seolah dapat melihat kebahagiaan
berulang-ulang terbayang di wajah orang-orang itu.
Kebahagiaan ia lihat di wajah sua mi isteri petani, kebahagiaan
di wajah dan dalam tawa anak-anak yang bermain di air,
kebahagiaan yang tampak di wajah ibu yang bekerja keras
sambil menyusui anaknya, di wajah si ana k yang menyusu
ibunya, dan di wajah anak yang meniup suling sa mbil
menunggang kerbau, kini di wajah kakek tua yang memancing
ikan. Akan tetapi, benar-benarkah mereka itu berbahagia" Ia
menjad i penasaran. Sebaiknya ia langsung bertanya kepada
kakek itu! "Selamat siang, pa man."
Pengail itu meno leh dan dia terbelalak heran melihat bahwa
yang menyalaminya itu adalah seorang wanita yang teramat
elok. Cantik jelita wajahnya dan elok pula pakaiannya. Jelas
bukan seorang wanita dusuo dan dia sama sekali tidak
mengenalnya. Akan tetapi karena wanita itu menegurnya
dengan ramah dan ketika dia menengok, penanya itu
tersenyum kepadanya, dia juga tersenyum, me mbuka dan
me letakkan capingnya diatas rumput.
"Selamat siang, mas ayu."
Kakek itu berusia ena m puluh tahun lebih, wajahnya yang
dihias banyak gar is-garis pengala man hidup itu mas ih ta mpak
berseri. Akan tetapi dia menjadi heran melihat wanita cantik
itu kini duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol di
permukaan tanah, menghadap inya.
"Sudah banyakkah hasil pancinganmu, pa man?" tanya
Maya Dewi. "Ahh, lumayan." Kakek itu menyodorkan kepis (tempat
ikan) kepada Maya Dewi. "Ada lima ekor ikan le le, cukuplah
untuk teman nasi ma kan siang ana k mantuku, dan dua orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cucuku siang ini." Dia tersenyum ge mbira dan tampak
mulutnya yang ompong, tinggal beberapa buah saja gigi yang
tampak. Kembali Maya Dewi me lihat sesuatu pada senyum dan
pandang mata kakek yang dari pakaiannya menunjukkan
bahwa dia seorang dusun sederhana yang miskin itu cahaya
kebahagiaan seperti yang ia lihat pada wajah-wajah suami
isteri, kanak-kanak, ibu dan anak yang disusuinya itu.
"Paman, bolehkah aku bertanya?" Maya Dewi merasa heran
kepada diri sendiri.
Mengapa ia t iba-tiba saja dapat bersikap sera mah dan
sehormat ini kepada seorang petani tua" Padahal, biasanya,
tak seorangpun di dunia ini yang dihormatinya. Tak pernah
ada perasaan dekat dengan orang lain, bahkan ia selalu
mencurigai orang dan dapat me mbunuh orang dengan mata
tak berkedip! "Wah, tentu saja boleh, mas ayu! Akan tetapi apa yang
hendak kau tanyakan?"
"Begini, paman. Jawablah dengan sejujurnya, apakah
paman merasa bahagia dalam hidup ini?" Bertanya demikian,
Maya Dewi menatap tajam mata kake k itu. Dari
pengalamannya, ia akan tahu apakah kakek itu berbohong,
ataukah jujur kalau menjawab pertanyaannya.
Ia melihat kakek itu me lebarkan kedua matanya,
me mandang ke atas, lalu mengerutkan alis dan termenung,
seolah menjadi bingung oleh pertanyaannya. Kemudian dia
menjawab pertanyaan Maya Dewi itu dengan pertanyaan pula.
"Mas ayu, apa sih kebahagiaan itu" Aku kok tidak mengerti.
Coba kau jelaskan, apa yang kau maksudkan dengan rasa
bahagia itu, mas ayu."
Maya Dewi menjad i bingung, akan tetapi la lu menjawab
sedapatnya. "Rasa bahagia itu adalah.... rasa tenteram, rasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
senang gembira, riang, tidak bosan, tidak susah, tidak takut,
tidak merasa hampa, tidak kesepian, tidak kesal, tida k....."
Maya Dewi bingung sendiri.
Kakek itu tertawa, merasa lucu. "O begitukah" Jadi kau
maksudkan dengan pertanyaan tadi, apakah aku tidak merasa
bosan, tidak susah, tidak takut, tidak kesal, dan sebagainya
lagi itu?"
Karena ia sendiri bingung, Maya Dewi mengangguk. "Ya,
begitulah kira-kira."
"Kalau itu yang kau tanyakan, mas ayu, pada saat ini aku
me mang tidak merasa bosan, tidak susah, tidak kesal, tidak
takut, tidak kesepian dan sebagainya itu."
"Nah, kalau begitu engkau bahagia pa man!"
"Bahagia?" Kake k itu menggaruk-garu k kepalanya yang
penuh uban. "Aku" Bahagia" Entahlah! Yang jelas, aku merasa
senang, sudah me mperoleh lima ekor ikan lele yang dapat
mengge mbirakan ke luarga kami! Akan tetapi bahagia" Apa sih
itu" Aku.. ... maaf, mas ayu, aku tidak butuh itu. Per mis i, mas
ayu, aku ditunggu anak, mantu dan cucu-cucuku." Pengail itu
lalu mengangkat pancingnya, mengambil kepisnya dan me makai cap ingnya, lalu perg i dar i situ menuju ke dusun disana.
Maya Dewi duduk termenung. Pengail itu berada dalam
keadaan yang sama sekali berlawanan dengannya! Kalau ia
merasa kecewa, kesal, sedih, hampa, kesepian, bosan, maka
orang itu sama sekali tidak me mpunyai perasaan yang serba
tidak enak di hati itu. Kalau ia mencari dan me mbutuhkan
bahagia, orang itu sama sekali tidak me mbutuhkannya.
Bagaimana bisa begitu" Apakah ini yang menjad i sebab maka
ia tidak merasa bahagia"
Dan orang itu, si pengail orang dusun miskin sederhana,
yang sudah merasa begitu gembira mendapatkan lima ekor
ikan lele kecil, justru merupakan orang bahagia"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maya Dewi menggeleng kepalanya, merasa nelangsa. Ia
merasa seperti menghadapi teka-teki. Ia bangkit tanpa
semangat, akan tetapi la ma kela maan ia menjadi penasaran
sekali dan ia segera mengerahkan tenaga dan berlari cepat
seperti terbang, menuju ke selatan. Ia ingin menjauhkan diri
dari semua keramaian, bertapa seperti dulu. Kalau dulu ia
bertapa untuk memperda la m ilmu-ilmunya, kini ia ingin
bertapa untuk mencari dan merasakan apa yang dina makan
bahagia itu. Dengan simpanan hartanya yang banyak berupa emas
permata, Maya Dewi menyuruh para ahli bangunan
me mbangun sebuah rumah mungil dan indah diatas tanah
yang amat luas di sebuah bukit kecil di pegunungan Wilis, Ia
me mbe li tanah di seluruh bukit itu dari kedemangan Pakis
yang berada di kaki bukit, lalu dibangunnya sebuah rumah.
Juga ia membuat sebuah taman yang luas dan indah
disekeliling ru mahnya. Bukan hanya tanaman bunga beraneka
warna yang berada di taman, melainkan juga pohon-pohon
buah-buahan. Baru beberapa bulan saja Maya Dewi tinggal di bukit yang
ia miliki dan ia beri na ma Bukit Keluwung itu, tempat itu
segera menjadi a mat terkenal. Maya Dewi dikenal sebagai
seorang wanita yang bukan hanya cantik jelita, akan tetapi
juga tidak suka berhubungan dengan para penduduk disekitar
pegunungan Wilis. Ia hidup menyendiri seperti seorang
pertapa. Hanya kalau ia me mbutuhkan bumbu-bumbu masak
dan segala kebutuhan lain, ma ka ia turun dari Bukit Keluwung
untuk berbelanja.
Penduduk dise kitar daerah itu amat kagum kepadanya
karena kecantikannya, akan tetapi juga takut setelah
mengetahui bahwa wanita cantik jelita itu ada lah seorang
yang sakti mandraguna. Beberapa kali, para lelaki yang berani
kurang ajar kepadanya, dihajar setengah mati. Apa lagi
setelah Ki Sentolo seorang gegedug (jagoan) yang ditakuti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang, bahkan namanya terkenal sampai di Kadipaten Madiun,
dengan congkaknya mengunjungi rumah Maya Dewi dengan
maksud untuk menundukkannya. Banyak penduduk dia m-dia m
mengikut inya dari jarak jauh untuk me lihat apa yang akan
terjadi. Akan tetapi, laki-laki berusia e mpat puluh tahun yang
bertubuh raksasa ini ketika bertemu dengan Maya Dewi,
setelah berani mengucapkan kata-kata dan me mper lihatkan
sikap kurang ajar, lalu dihajar sampai setengah mati oleh
wanita cantik je lita itu! Beruntung se kali Ki Sentolo bertemu
dengan Maya Dewi sekarang. Kalau saja dia kurang ajar
terhadap Maya Dewi dua tahun yang lalu, tentu dia sudah
mati! Entah apa yang terjadi dalam hati Maya Dewi, kini ia
bahkan bosan melakukan pe mbunuhan dan kekerasan
perangainya tidak seperti dulu lag i. Ia seolah kehilangan
semangatnya. Dihajarnya Ki Sentolo me mbuat na ma Nyi Maya Dewi
terkenal sekali. Mulailah para datuk dan orang-orang yang
me miliki kesaktian mendengar bahwa Nyi Maya Dewi yang
tadinya mereka anggap telah menghilang dan tidak pernah
muncul lag i semenja k perang di Batavia selesai itu ternyata
kini tinggal di Bukit Keluwung di pegunungan Wilis. Bahkan
mereka yang tadinya belum pernah mengenalnya, kini
mendengar bahwa Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita yang
cantik jelita seperti dewi kahyangan, masih gadis, belum
me mpunyai suami, dan kaya raya. Hal ini a mat menarik
perhatian tokoh-tokoh sakti yang masih hidup me mbujang.
Isteri seperti itulah yang mereka inginkan. Cantik je lita, sakti,
dan kaya! Malah bukan mereka yang masih perjaka saja yang
tergila-gila, juga para pria jagoan yang sudah beristeri dan
terutama para duda juga tertarik sekali.
Maka berbondong-bondonglah mereka yang merasa dirinya
sakti berdatangan untuk me minang Nyi Maya Dewi. Ada yang
me ma mer kan dan mengandalkan harta bendanya, ada yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menganda lkan kedudukan dan kekuasaannya, ada pula yang
menganda lkan kesaktiannya. Akan tetapi semua pinangan itu
ditolak oleh Maya Dewi yang kini seo lah merasa muak dan
sebal melihat para pria yang tergila-gila kepadanya itu.
Dahulu ia merasa bangga kalau ada pria tergila-g ila
kepadanya, bahkan dengan senang hati ia dapat me milih
diantara mereka yang menarik hatinya, ber senang-senang
sepuasnya mengumbar nafsu berahi. Namun kini ia muak. Ia
me lihat betapa di balik pernyataan cinta mereka itu
bersembunyi nafsu yang berkobar. Dari sinar mata mere ka ia
mengenal sinar yang penuh hawa nafsu, yang membuat ia
merasa muak karena ia ma klum bahwa dirinya hanya akan
dijadikan hiburan kesayangan yang dapat me muaskan nafsu
mereka. Penolakan pinangan terhadap banyak orang itu mendatangkan akibat ber macam-ma ca m. Ada pelamar yang
merasa penasaran dan penolakan itu berakhir dengan adu
kesaktian. Namun, tidak ada seorang pun di antara mereka
yang ma mpu menandingi kesaktian Maya Dewi.
Satu demi satu mereka yang mengandalkan kesaktian itu
kalah dan roboh walaupun Maya Dewi tidak sa mpai
me mbunuh mereka. Ada yang hendak mempengaruhinya
dengan harta benda yang melimpah, Namun Maya Dewi tidak
tertarik sama sekali. Ada pula yang me mpergunakan aji gunaguna pameletan, namun wanita itupun dapat menolak semua


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan yang me mpergunakan ilmu hita m dan sihir itu.
Akan tetapi, setelah puluhan orang gagal, tak pernah ada
lagi yang berani mengganggu Maya Dewi. Beberapa orang
datuk yang sakti mandraguna saja dikalahkan wanita cantik
itu, apa lagi mereka- mereka yang kesaktiannya di bawah
tingkat para datuk yang gagal itu. Mulailah Maya Dewi hidup
tenang di Bukit Keluwung, di dalam rumahnya yang mungil.
Tentu saja ia me mbutuhkan tenaga orang lain untuk merawat
rumah dan tamannya yang luas. Ia me mpunyai tiga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang pembantu wanita yang melakukan pekerjaan rumah,
me mbers ihkan ruma h, mencuci, me masak dan sebagainya. Ia
juga me mpunyai dua orang pe mbantu pria yang merawat
taman dan kebunnya. Akan tetapi lima orang pembantu ini
hanya bekerja dari pagi sampa i sore saja. Setelah pekerjaan
mereka selesai, pada setiap sore hari mereka pulang ke rumah
masing-masing yang berada di dusun bawah bukit itu. Mereka
tidak banyak mengetahui tentang diri maj ikan mereka yang
cantik jelita dan penuh rahasia itu.
Pada suatu sore di puncak Bukit Keluwung. Maya Dewi
duduk seorang diri di beranda rumahnya. Lima orang
pembantunya sudah pulang. Matahari sudah condong ke
barat. Maya Dewi duduk me la mun, teringat akan masa
lalunya, di waktu ia mas ih remaja dan tinggal di Parahyangan.
Ia teringat akan keluarganya, Resi Kalayitma ayahnya,
Minarsih ibunya, dan seorang kakaknya bernama Candra
Dewi. Ketika ibunya meninggal dunia, ia berusia tiga belas tahun
dan hidup bersama ayahnya dan kakaknya, Candra Dewi yang
ketika itu berusia lima belas tahun. Ayahnya mengge mbleng
mereka berdua dengan ilmu-ilmu tinggi, aji-aji kesaktian.
Ketika ia berusia delapan be las tahun dan Candra Dewi
berusia dua puluh tahun, ayahnya ingin me mperisteri Candra
Dewi yang merupa kan anak tirinya, bawaan dari Minarsih.
Candra Dewi meno lak, bahkan melarikan diri dan minggat,
bahkan para penguasa Kerajaan Parahyangan menentangnya
sehingga terpaksa Resi Kalayit ma mengajak ia melarikan diri
men inggalkan Parahyangan dan mengembara ke daerah
Mataram di timur. Ia tidak tahu dimana adanya kakak tirinya
itu. Ia masih ingat betapa cantiknya Candra Dewi, akan tetapi
kakaknya itu me mpunyai watak aneh. Candra Dewi
me mpunyai kecondongan untuk menjad i pertapa setelah
me mpe lajari kitab-kitab weda dari Agama Hindu. Ia bahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernah mengatakan bahwa ia ingin hidup me mbujang
selamanya, tidak akan pernah menikah dan hidup sebagai
seorang pendeta! Tentu saja ketika ayah tirinya hendak
menjad ikannya isteri pengganti ibunya, ia menolak keras dan
minggat. Iapun masih ingat betapa kakaknya itu me miliki hati
yang keras seperti baja.
Maya Dewi menghela napas pawjang. Kini terasa olehnya
bahwa selama hidupnya, baru satu kali ia merasakan kasih
sayang yang tulus, kasih sayang yang tanpa pamrih, yaitu
kasih sayang dari mendiang ibunya. Agaknya kasih sayang
seperti itulah yang menjadi satu di antara sebab ia murung
dan kesal seperti se karang ini. Ia kehilangan kasih sayang!
Berderapnya kaki kuda me mbuat Maya Dewi sadar dari
la munannya. Ia mengangkat muka dan me lihat dua orang
laki-laki melarikan kuda tunggangan mereka mendaki puncak
dan kini telah berada di luar pintu pekarangan rumahnya.
Maya Dewi me man dang penuh perhatian. Mereka itu seorang
kakek pendek ge muk dan seorang pemuda tinggi kurus
berwajah tampan dan gagah.
Maya Dewi mengerutkan alisnya. Tentu orang yang datang
ini hendak me minangnya, pikirnya kesal. Ia tetap duduk diam
tidak mengacuhkan sa mpa i kedua penunggang itu melompat
turun dari atas punggung kuda mereka, menambatkan kuda
pada pohon yang tumbuh di pekarangan, lalu melangkah
mengha mpiri beranda di mana Maya Dewi duduk seorang diri.
"Selamat sore, nimas ayu...!" terdengar suara lantang pria
berusia sekitar tiga puluh dua tahun itu.
Dia bertubuh tinggi kurus na mun tegap dan kokoh,
pakaiannya indah dan mewah sehingga sekali pandang saja
Maya Dewi dapat menduga bahwa pemuda itu tentu seorang
bangsawan. Wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya
tajam, kulitnya coklat gelap. Di pinggangnya tergantung
sebatang pedang yang sarungnya terukir Indah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di daerah Kerajaan Banten, pemuda ini bukan merupakan
tokoh asing. Bahkan dia terkenal sekali karena pe muda ini
adalah seorang pangeran! Namanya Raden Jaka Bintara,
seorang pangeran beribu selir. Selain berkedudukan tinggi
sebagai seorang pangeran, terhormat dan kaya raya, dia juga
seorang yang sakti karena Jaka Bintara ini adalah murid
tersayang dari mendiang Kyai Sidhi Kawasa, seorang datuk
dari Banten. Nama besar Nyi Maya Dewi, yang dikabarkan secantik dewi
kahyangan dan kini sedang mencari jodoh, demikian kabar
angin itu tersiar, menarik perhatian Jaka Bintara. Apa lagi
ketika mendengar bahwa Nyi Maya Dewi itu adalah adik dari
Nyi Candra Dewi yang na manya terkenal di Banten, dia
menjad i se makin tertarik. Sudah la ma dia menda mbakan
seorang isteri yang selain cantik jelita, juga sakti mandraguna.
Dia mene mukan ida man hatinya itu pada diri Candra Dewi
yang juga cantik dan sakti, akan tetapi Candra Dewi
meno laknya dan Jaka Bintara tidak berani me maksanya
karena Candra Dewi adalah seorang wanita yang tinggi sekali
kepandaiannya. Mendengar salam yang ditujukan kepadanya itu, Maya
Dewi men gangkat muka, me mandang kedua orang itu dan
menjawab salam itu dengan sebuah pertanyaan yang tidak
man is. "Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang
berkunjung ke rumah ku?"
Sambutan yang sama sekali tidak ra mah itu tidak me mbuat
Jaka Bintara kecewa. Dia malah tersenyum, sadar akan
kegagahannya dan ketampanannya yang di daerahnya
menarik hati banyak wanita. Dia seorang mata keranjang yang
sudah bergaul dengan banyak wanita dan merasa yakin
bahwa dia ma mpu menundukkan wanita termasu k Nyi Maya
Dewi ini. Sejak tadi me mandang wajah Maya Dewi, seketika
dia sudah tergila-gila.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ternyata kecantikan wanita ini melebihi se mua kabar yang
didengarnya. Bukan main! Pandang mata itu, tarikan bibir itu.
mengga irahkan dan mengge mas kan!
Juga dia agak tercengang melihat betapa wanita yang terkenal itu ternyata
tampak masih muda sekali. Pantasnya baru berusia belasan
tahun! Sejenak ia meragu. Benarkah ini wanita yang
disohorkan itu"
"Sebelum menjawab pertanyaan tadi, aku ingin tahu lebih
dulu. Benarkah andika yang berna ma Nyi Maya Dewi?"
Maya Dewi terpaksa mengangguk. "Kalau benar, lalu
engkau mau apa?"
Jaka Bintara tersenyum. "Wah, sungguh senang sekali
hatiku dapat bertemu denganmu, nimas. Kita ini bukan orang
lain, karena aku adalah murid mendiang Kyai Sidhi Kawasa!
Andika tentu mengenalnya dengan baik, bukan, ketika
bersama-sama menentang Matara m?"
Maya Dewi me ngerutkan alisnya. Ia tidak suka mendengar
tentang semua itu. Masa lalu itu baginya kini menje mukan.
"Aku tidak ingin b icara tentang siapa-pun. Hayo katakan siapa
kalian dan apa perlunya datang kesini, atau lebih baik kalian
cepat pergi meninggalkan tempat ini!"
Jawaban ketus ini tidak me mbuat Jaka Bintara mundur.
Dengan wajah mas ih cerah tersenyum, dia berkata, "Nimas
Maya Dewi, aku adalah seorang pangeran!" Dia berhenti,
untuk me lihat kesan yang didatangkan oleh pengakuan itu.
Maya Dewi me mang me mandang heran, akan tetapi tidak
terkejut. Bagi wanita yang sudah banyak pengalaman ini,
tingginya kedudukan, banyaknya harta atau ketampanan
wajah tidak lagi me mpengaruhinya.
"He mm, pangeran" Pangeran dari mana?" tanyanya,
nadanya me mbayangkan tidak percaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku adalah Pangeran Raden Jaka Bintara dari kerajaan
Banten! Dan ini adalah pa man guruku, Kyai Gagak Mudra, adik
seperguruan mendiang Kyai Sidhi Kawasa."
"Perkenalkan, Nyi Maya Dewi." kata kakek yang wajahnya
penuh senyum tawa riang itu. "Aku mengenal baik Nyi Candra
Dewi, bukankah ia kakakmu" A ku sudah mendengar tentang
dirimu dari mendiang Ka kang Sidhi Kawasa."
Akan tetapi na ma-nama itu t idak me ngubah s ikap Maya
Dewi yang kaku. "Lalu, apa keperluan kalian datang kesini?"
tanyanya sambil menatap taja m wajah Jaka Bintara.
Menghadapi sikap yang kaku dan suara ketus itu, dia mdia m Jaka Bintara merasa penasaran dan tersinggung juga.
Dia a mat dipandang rendah. Betapa pun cantik menariknya
Maya Dewi, akan tetapi kalau bersikap sed ingin itu terhadap
dirinya, ma ka keangkuhannya sebagai seorang pangeran
tersinggung sekali. Akan tetapi dia
masih menekan perasaannya dan bersabar karena saat itu dia sudah tergilagila akan kecantikan Maya Dewi.
"Nimas Maya Dewi. Aku mendengar berita bahwa andika
masih hidup sendiri, belum me mpunyai sua mi. Kebetulan
sekali akupun belum me mpunyai garwa padmi. Oleh karena
itu aku sengaja jauh-jauh datang ini untuk me minangmu
menjad i isteriku. Marilah, nimas. Andika kuboyong ke Kerajaan
Banten dan menjadi garwaku, hidup mulia, kaya raya,
terhormat dan bahagia bersama ku disana."
Maya Dewi tersenyum me ngejek. Sudah la ma wanita ini
tidak tersenyum dan kalau se karang ia tersenyum, adalah
karena ia mendengar Jaka Bintara mengeluarkan kata
"bahagia" itu. Ia tersenyum mengejek, bukan senyum karena
hatinya senang.
"Bahagia" Hemm, aku tidak akan bahag ia, bahkan semakin
sengsara! Pergilah dan jangan ganggu aku. Aku t idak mau
menjad i isterimu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maya Dewi!" Jaka Bintara kini me mbentak. "Lupakah
engkau la maran s iapa yang sekali ini kau to lak" Aku adalah
pangeran Banten!"
Maya Dewi juga menjadi marah dan ia bangkit berdiri dari
tempat duduknya. Matanya mengeluarkan sinar kilat ketika ia
me mbentak. "Tidak perduli engkau pangeran, atau dewa, atau
setan, aku tidak sudi menjad i isterimu. Nah, pergilah dari
tempatku ini!" Jari tangan kirinya menuding keluar untuk
mengusir dua orang itu.
Muka Jaka Bintara yang berwarna gelap itu menjadi
semakin gelap. Tangan kanannya meraba gagang pedangnya
dan dia me mbentak, "Keparat....!"
Akan tetapi paman gurunya, Kyai Gagak Mudra segera
menyentuh lengannya. "Sabarlah, raden! Bunga mawar indah
berduri runcing, kuda yang baik berwatak liar, perempuan
cantik yang galak dan panas semakin mengga irahkan.
Sebaiknya, pondong saja ia dan boyong ke Banten, raden."
Pendekar Sejagat 3 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Jodoh Rajawali 3

Cari Blog Ini