Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 10

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 10


kecil dapat melumpuhkan lawan, sebesar apa pun dia,
seandainya dapat dipergunakan untuk menusuk matanya.
Demikian juga, cekikan macan apa pun dapat dibuka
seandainya kita mengetahui bagian-bagian tubuh lawan mana
yang dapat melemahkan cekikan itu kalau diserang. Belum
tentu perhatian kita harus kita tumpahkan pada tangan lawan
yang mencekik, mungkin perhatian dan serangan lebih baik
kita arahkan ke sasaran-sasaran lain."
Demikian penjelasan Banyak Sumba kepada Saltiwin yang
mendengarkannya dengan mengangguk-anggukkan kepala
tanda mengerti dan setuju. Apa-apa yang dikemukakan
Banyak Sumba bukanlah penjelasan yang diterimanya dari Paman
Wasis, tetapi hasil renungan-renungannya setelah belajar dan
memerhatikan perkelahian yang diajarkan Paman Wasis.
"Raden, sudah lama Paman ragu-ragu terhadap apa-apa
yang diajarkan petugas di puri ini kepada para gulang-gulang,
tetapi Paman hanya dapat merasakan keragu-raguan itu.
Bagaimana kalau begini, Raden, Paman carikan tempat di
salah satu kampung, lalu Paman mengumpulkan anak-anak
ponggawa, misalnya lima atau enam orang, agar tenaga
Raden tidak terbuang sia-sia."
Maksud itu disetujui Banyak Sumba dan berbagai persoalan
yang berhubungan dengan keperluan itu mereka bicarakan.
Saltiwin mengantar Banyak Sumba ke kampung yang paling
dekat dengan puri yangjuga ditetapkan menjadi tempr t
menginap Banyak Sumba.
PADA hari-hari pertama, hanya anak-anak Saltiwin yang
menjadi murid Banyak Sumba. Baru setelah kira-kira
seminggu, murid-murid bertambah. Mula-mula dua orang, dua
orang lagi, kemudian tiga orang. Karena ruangan serambi
Saltiwin kecil, Banyak Sumba meminta agar untuk sementara,
muridnya tidak bertambah lagi.
Demikianlah Banyak Sumba bekerja menjadi pengajar putra
beberapa orang ponggawa. Beberapa orang ponggawa
memberi pakaian, sedangkan yang lain menjanjikan akan
mendapatkan kuda baginya"karena ponggawa itu mendapat
keterangan dari Saltiwin bahwa Banyak Sumba sangat
memerlukan kuda. Ponggawa lain memberinya beberapa
kepmg uang perak. Semua kebaikan ini diterima Banyak
Sumba setelah mereka melihat kepandaian anak-anaknya.
Satu hal saja yang masih menyebabkan kepenasaran
Banyak Sumba. Ia belum pernah dapat melihat putri yang
pernah memesonakannya itu. Ia belum berani pula mencaricari
kesempatan karena ia masih dianggap sebagai orang
asing setiap kali memasuki puri. Akan tetapi, pada suatu sore
ketika ia berkunjung ke rumah Saltiwin, anak perempuan
Saltiwin yang terbesar pulang ke rumahnya.
Ketika emban itu melihatnya, ia tertegun dan
memperlihatkan bahwa gadis itu mengenalnya. Banyak Sumba
merasa senang, tetapi juga gelisah. Ia mengharapkan berita
kehadirannya sampai pula kepada Tuan Putri. Apakah yang
akan dikatakan emban itu kepada tuannya" Ia ingin sekali
bercakap-cakap dengan emban itu, tapi sukar sekali mencari
jalan bagaimana membuka percakapan dengan gadis yang
pemalu itu. Telinga Banyak Sumba yang tajam mendengar bahwa gadis
itu bertanya kepada ibunya tentang dia. Ibunya menjelaskan
kehadiran Banyak Sumba sejak kedatangannya sampai
menjadi guru putra para ponggawa. Banyak Sumba berdoa
dalam hati, mudah-mudahan gadis itu masih mengingatnya
ketika ia menegur putri dari bawah benteng itu; dan mudahmudahan
Tuan Putri masih ingat peristiwa itu.
Demikianlah berminggu-minggu Banyak Sumba bekerja
sambil berharap mendapat kesempatan bertemu dengan Tuan
Putri. Hingga pada suatu hari, datanglah kiriman seekor kuda
dari salah seorang ponggawa yang putranya diberi pelajaran.
Kiriman itu disertai surat yang menyatakan bahwa kuda itu tua
dan buruk, tetapi diharapkan akan bermanfaat bagi Banyak
Sumba. Betapapun tua dan buruk kuda itu, Banyak Sumba
mengucapkan syukur kepada Sang Hiang Tunggal atas
kebaikan ponggawa itu..
Beberapa hari setelah itu, ia mohon izin pergi ke
Kutabarang untuk bertemu Jasik dan memberi kabar
kepadanya tentang hal-hal yang dialaminya. Ia merasa perlu
segera bertemu Jasik karena tahu betapa akan gelisah dan
cemasnya Jasik oleh perpisahan itu. Maka, pada suatu subuh,
berangkadah Banyak Sumba menuju Kutabarang dan
Perguruan Gan Tunjung tempat Jasik bekerja. Jasik berlinang
air mata karena kelegaan dan kegembiraannya setelah
bertemu kembali dengan tuannya itu.
DALAM percakapan-percakapan itu, Jasik mengabarkan
sesuatu yang menarik perhatian Banyak Sumba, yaitu adanya
peristiwa perkelahian antara anggota sekelompok pemuda dari
sebuah kampung dan kelompok pemuda lainnya.
"Sayang sekali, kita tidak hadir pada peristiwa itu, Sik.
Kalau kita ada, mungkin kita dapat menemukan calon guru,"
ujar Banyak Sumba.
"Bukankah Raden telah menetapkan akan berguru kepada
Juragan Colat?"
"Memang, Sik. Akan tetapi, kita tidak dapat bermalasmalasan.
Selagi menunggu kesempatan bertemu lagi dengan
si Colat, kita harus memanfaatkan waktu." Banyak Sumba
berpaling kepada Arsim, lalu berkata, "Kang Arsim, seringkah
terjadi perkelahian semacam itu di sini?"
"Kadang-kadang saja, Raden."
"Tentu saja kadang-kadang, Kang Arsim," ujar Jasik sambil
tersenyum. "Dan kadang-kadang di sini penting sekali artinya bagi
saya, Kang," sambung Banyak Sumba. "Saya ingin sekali hadir
dalam peristiwa-peristiwa demikian."
. "Tapi jarang terjadi, Raden. Kalaupun terjadi, hanya
sebentar karena jagabaya segera tiba."
"Bagaimana sampai perkelahian itu terjadi?" tanya Banyak
Sumba kepada Arsim.
"Biasa saja, Raden."
'Justru biasa saja itu yang tidak saya ketahui, Kang,"
sambung Banyak Sumba seraya tersenyum.
Sekarang, Arsim sadar bahwa soal perkelahian memang
penting bagi Banyak Sumba. Ia menarik napas panjang, lalu
menceritakan kejadian-kejadian semacam itu dengan panjang
lebar, "Di Kutabarang, tarian silat sangat disenangi rakyat.
Pada pesta-pesta, di samping reog, ogel, buncis, calung,
angklung, dan pantun; acara tari silat biasanya tidak pernah
ketinggalan. Biasanya, pertunjukan-pertunjukan dilakukan
para seniman saja. Reog hanya oleh ahli tari, nyanyi, dan
lawak. Ogel hanya oleh badut yangpandai berbicara dengan
air muka dan bahasa, diiringi tabuhan dogdog. Hal ini berbeda
sekali dengan acara tari silat. Setiap orang yang dapat menari
silat boleh menari dengan syarat, pertama, memberi upah
kepada nayaga, kedua, berhenti kalau satu lagu selesai.
Dalam acara-acara demikian, penonton biasanya bergiliran
memasuki gelanggang, menari satu lagu, kemudian berhenti,
memberi upah kepada nayaga, dan mempersilakan yang lain
masuk. Seandainya masih ingin menari, ia boleh masuk lagi
pada kesempatan kemudian, kalau tidak ada penonton lain
yang memasuki gelanggang. x
Umumnya, acara tari silat berjalan lancar dan aman. Akan
tetapi, sering gelanggang dimasuki penonton berandalan atau
orang-orang kasar, atau mungkin para siswa ilmu keperwiraan
yang masih baru dan tidak baik wataknya. Orangorang
macam ini biasa mencari gara-gara. Ia memasuki
gelanggang dan tidak mau keluar setelah satu lagu habis.
Seandainya penonton lain penyabar, dia dibiarkan saja. Akan
tetapi, tidak semua penonton penyabar. Kadang-kadang orang
yang memborong lagu itu harus dikeluarkan, yaitu dengan
diusir. Ini berarti adu kepandaian seni berkelahi, bukan seni
tari. Kalau ini terjadi, penonton bubar, nayaga lari, dan
gelanggang tari menjadi gelanggang perkelahian, sampai
jagabaya datang mengamankan."
Demikian cerita Kang Arsim tentang salah satu adat di
Kutabarang yang asing tapi menarik bagi Banyak Sumba.
Itulah sebabnya, Banyak Sumba meminta Arsim agar kalau
ada pesta, ia diberi tahu dan dijemput dari Puri Pangeran
Purba-wisesa. Arsim menyanggupinya karena permintaan itu
tidak sukar, sedangkan ia terikat oleh kewajiban untuk
mengabdi kepada putra penguasa kotanya.
Setelah bercakap tentang hal-hal lain serta membuat
rencana baru dengan Jasik, Banyak Sumba pun minta diri
kembali ke tempatnya mengajar. Kedua orang panakawan dan
sahabatnya mengantarnya hingga gerbang kota dan
mendoakan mudah-mudahan guru yang dicari-cari dapat
segera ditemukan.
BANYAK SUMBA kembali bekerja di dekat Puri Pangeran
Purbawisesa. Karena muridnya ternyata bertambah tiga orang
lagi dan serambi Saltiwin sudah tidak mencukupi, diputuskan
ia akan mengajar mereka di lapangan kecil di tepi hutan. Ke
sanalah murid-murid itu pergi setiap sore ketika matahari
sudah tidak terlalu panas.
Setelah beberapa bulan, karena hadiah dari para ponggawa
dan upah tetap yang terimanya, bekal Banyak Sumba mulai
bertambah. Ia mulai memikirkan cara agar bekal itu terus
bertambah. Kudanya sekarang sudah baik karena atas usul
Jasik, ia menukarkannya dengan tambahan uang dari Jasik
kepada pemilik. Banyak Sumba tidak menolak kebaikan
panakawannya itu karena memang kuda baik yang
dibutuhkannya. Dengan keadaannya yang makin baik itu, ia
mulai agak lega, walaupun kepenasarannya masih juga belum
terpuaskan. Ia belum dapat kesempatan untuk bertemu
dengan Tuan Putri, di samping belum juga mendapatkan guru
yang baik itu. Pada suatu sore, datanglah Jasik dan Arsim berkuda ke
tempat latihan Banyak Sumba. Mereka memberitahukan akan
diadakannya pertunjukan-pertunjukan, di antaranya tari silat.
Dikatakan oleh Arsim bahwa seorang bangsawan kaya di
Kutabarang mengadakan pesta perkawinan putranya. Untuk
memeriahkannya, diadakan pesta selama beberapa malam.
Mungkin, sesuatu akan terjadi dalam pesta itu. Banyak Sumba
mempergunakan kesempatan itu. Setelah minta diri kepada
Saltiwin, ia segera berangkat. Mereka bertolak ketika matahari
condong ke barat dan tiba di pinggiran Kutabarang sekira
tengah malam. Keesokan harinya, Banyak Sumba berjalan-jalan dengan
Jasik di dalam Kota Kutabarang yang ramai itu. Banyak Sumba
membeli berbagai macam keperiuan untuk hidupnya di luar
kota, seperti pakaian, terompah, sanggurdi, dan pakaian kuda
yang baru. Dibelinya pula sebuah pisau kecil yang bergagang
gading dan sisir dari kulit penyu yang pinggirnya dilapis emas
tua. Sisir itu cocok sekali untuk dijadikan hiasan rambut
seorang gadis, pikirnya, seraya kenangannya mengembara ke
Puri Purbawisesa. Kemudian, ia tersenyum menertawakan
dirinya dan segera mengusir pikiran-pikiran yang dianggapnya
terlalu khayali itu. Ia menetapkan dalam hatinya bahwa ia
membeli sisir yang bagus lagi mahal itu hanya untuk
menghargai keahlian seniman pembuatnya. Sekali lagi ia
tersenyum, kemudian melupakan persoalan itu sambil
menawar sebuah ikat pinggang kulit yang lebar.
"Raden belanja seperti seorang calon pengantin," ujar
Arsim sambil melihat-lihat ikat pinggang yang lebar dan kuat
itu. "Saya sudah menikah dengan tugasku, Kang Arsim. Ikat
pinggang itu bukan untuk bersolek, tetapi untuk menyisipkan
beberapa buah belati. Janganlah salah sangka."
Mendengar penjelasan itu, Arsim tampak mengerti dan
dengan sayu memandang Banyak Sumba. Dari sikapnya
terhadap Banyak Sumba belakangan ini, tampaknya Arsim
sudah mendapat penjelasan yang cukup banyak dari Jasik
tentang tugas yang diemban Banyak Sumba. Banyak Sumba
pernah mendengar Arsim berkata kepada Jasik, "Sik, saya
merasa lebih beruntung lahir sebagai orang biasa. Saya tidak
perlu mengorbankan masa muda, bahkan nyawa saya, untuk
kehormatan diri atau keluagasaya. Bayangkan, Raden Sumba
yang tampan dan muda belia itu. Seharusnya, Den Sumba
sekarang sudah mulai berpacar-pacaran, punya kuda bagus,
punya kereta, berburu banteng atau harimau. Akan tetapi,
sebagai putra bangsawan, terpaksa Den Sumba harus berjerih
payah mencari guru ke tempat-tempat yangjauh, melupakan
gadis-gadis, dan mungkin menghadapi bahaya."
Mendengar pendapat Arsim, Banyak Sumba tersenyum. Ia
mengakui kebenaran pendapat itu, walaupun dianggapnya
berat sebelah. Arsim menyangka bahwa hidup ini cukup dengan makan,
tidur, dan berkeluarga serta berumah. Ia tidak tahu bahwa
orang hanya dapat mencukupi makan, pakaian, dan
kebutuhan lainnya kalau segalanya diatur oleh penguasa
kerajaan secara benar, adil, dan baik. Jadi, yang pertamatama
dibutuhkan sebenarnya bukan makanan, pakaian, dan
harta benda; melainkan kebenaran, kebaikan, dan keadilan.
Tanpa kebenaran, kebaikan, dan keadilan itu, suatu negeri
yang makmur tidak akan dapat memberi kebahagiaan kepada
penghuninya. Di sinilah mulainya perbedaan pandangan dan
tugas hidup seorang rakyat biasa dan seorang bangsawan
Pajajaran. Seorang bangsawan Pajajaran pertama-tama harus
menyadari bahwa hidup itu tidak cukup dengan memuaskan
kebutuhan-kebutuhan jasmaniah saja. Terutama para
bangsawan yang akan menjadi pemimpin rakyat, harus
memberi makanan bagi rohaninya sendiri. Ia harus merasa
lapar akan kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Ia harus
mencari ketiga makanan rohani yang sangat penting itu.
Hanya kalau para bangsawan menyadari dan dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan rohaninya itu, mereka akan menjadi
pemimpin rakyatnya, dan karena itu tepat bergelar
bangsawan. Kalau Banyak Sumba sudah bertahun-tahun berjerih payah
dan bahkan hidup sederhana di negeri orang, hal itu bukanlah
suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Ia dan keluarganya
dapat saja melupakan kematian Jaluwuyung dan membiarkan
setiap orang yang tangannya dilumuri darah hidup dengan


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenteram. Ia dapat saja berdamai dengan Anggadipati, dengan
keluarga Wiratanu, dan Pembayun Jakasunu. Akan tetapi,
masalahnya bukan susah dan senang, menderita atau tidak
menderita. Soalnya adalah keluarga Banyak Citra membutuhkan
kebenaran dan keadilan, di samping lain-lainnya. Bagi
keluarga Banyak Citra, keadilan dan kebenaran ini lebih
daripada makan dan tidur serta kesenangan jasmani lainnya.
Hal itu karena keluarga Banyak Citra adalah bangsawan
Pajajaran sejati, dan setiap kali kebenaran serta keadilan
dilanggar, berarti kehormatan pribadinya pun dilanggar. Inilah
yang tidak dimengerti Arsim dan bahkan oleh Jasik.
"Den Sumba, Jasik melihat pisau yang baik di sana," tibatiba
Arsim mengejutkan renungan Banyak Sumba. Banyak
Sumba pun berjalan mengikuti Arsim dan tiba di suatu tempat.
Di sana, seorang pedagang pisau menggelarkan tikarnya di
tanah. Banyak Sumba berdiri sambil melihat pisau pendek yang
digelarkan di hadapan orang itu. Semua pisau itu panjangnya
tidak ada yang lebih dari sejengkal karena yang lebih panjang
dari itu dilarang diperjualbelikan kepada umum berhubung ada
bahaya seandainya terjadi keributan-keributan. Pisau panjang
dan golok hanya bagi jagabaya dan petani kalau mereka
berada di huma atau hutan. Di kota, apalagi kota-kota besar
seperti Kutabarang, orang dilarang membawa senjata.
Kalaupun mereka boleh membawanya, senjata pendek itu
tidak boleh disandang di pinggang, tetapi harus dibungkus dan
diikat. Demikianlah peraturan negeri untuk menjaga
keamanan dalam kota besar. Peraturan ini diperkeras kalau
ada perayaan yang mempertunjukkan tari-tari silat. Dalam
peristiwa semacam itu, orang sama sekali dilarang membawa
senjata. Peraturan-peraturan itu jarang sekali dilanggar warga
negara Pajajaran. Pertama, mereka tidak perlu membawa
senjata di kota-kota Pajajaran yang aman dari gangguangangguan.
Kedua, parajagabaya selalu siap mengamankan
dan mengatasi keadaan seandainya terjadi keributan yang
biasa disebabkan para pemuda yang kebanyakan minum tuak
atau berebut gelanggang tari silat.
Senjata yang dihadapi Banyak Sumba bagus-bagus
buatannya. Ia menawar lima buah pisau yang besarnya tidak
sama, tetapi beruntun dari yang panjangnya sejari tengah
hingga sejengkal. Pisau ini sarungnya bersatu dan sudah
berbentuk ikat pinggang yang buatannya halus pula. Banyak
Sumba memegang senjata itu dengan penuh kekaguman akan
keahlian seniman yang membuatnya.
"Berapa harganya?"
"Dua keping perak, Raden," jawab pedagang senjata itu.
Mendengar harganya yang mahal, Banyak Sumba keheranan
dan memandang ke wajah pedagang itu. Pedagang itu
mengedipkan matanya sambil tersenyum. Banyak Sumba tidak
mengerti apa maksud pedagang itu. Kemudian pedagang itu
berdiri, memberi isyarat kepada Banyak Sumba untuk
mengikutinya ke samping sebuah bangunan. Di sana
berkatalah pedagang itu, "Dua keping perak bukan hanya
untuk pisaunya, Raden. Tapi dengan ini," lanjutnya seraya
mengambil sebuah pundi-pundi kecil dari dalam ikat
pinggangnya yang besar. Pundi-pundi itu ditunjukkannya
kepada Banyak Sumba sambil berkata, "Pundi-pundi ini berisi
racun. Celupkan ujung pisau itu, lalu lemparkanlah ke arah
kijang, harimau, atau banteng. Beberapa saat, binatang yang
kuat seperti apa pun akan lumpuh. Atau ... Raden punya
musuh" Inilah jawabnya," kata pedagang pisau itu sambil
tersenyum culas.
Menyadari ke mana penjual pisau itu membawanya, Banyak
Sumba jadi bimbang. Pertama, ia sangat ingin memiliki pisau
yang indah-indah buatannya itu; kemudian sekarang dia tahu
bahwa pisau itu mungkin ada hubungannya dengan tugas
yang diembannya. Mungkin sekali pisau dengan isi pundipundi
itu dapat membantunya menyelesaikan tugas dengan
cepat. Akan tetapi, ia pun ragu-ragu, apakah penggunaan
pisau beracun itu cocok baginya, bagi seorang bangsawan
Pajajaran yang punya rasa kehormatan"
Bukankah hanya orang pengecut dan orang jahat yang
sampai hati mempergunakan senjata secara licik seperti itu"
Akan tetapi, kalau lawan demikian busuknya dan telah memperdaya
keluarga Banyak Citra, bukankah pada tempatnya
kalau dilawan secara kejam pula" Dan bukankah dengan
mempergunakan pisau beracun itu, ia akan dapat
memperpendek penderitaan keluarga Banyak Citra"
Dalam kebimbangan dan kebingungan itu, ia berkata
kepada penjual itu, "Terlalu mahal."
"Raden, Paman tahu Raden tidak kekurangan uang.
Bukankah sudah banyak sekali Raden membeli barang-barang
tadi?" "Justru telah saya belanjakan, maka saya tidak sanggup
lagi membeli pisau itu."
"Ah, bukankah tidak terlalu mahal?"
"Bagaimana kalau pisaunya saja?"
"Raden, besi pisau itu dibuat khusus untuk mengisap isi
pundi-pundi itu. Sekali dicelup, isi pundi-pundi itu banyak
sekali yang terisap. Raden tinggal melemparkannya ke
sasaran. Sedangkan gagang pisau itu dibuat begitu rupa
hingga gerakan pisau itu di udara lebih lurus dari anak panah
yang paling lurus. Nah ..."
"Terlalu mahal dan itu benda terlarang. Bagaimana kalau
ada orang yang tahu dan saya ditangkap?"
Rupanya penjual pisau itu sadar bahwa ia telah banyak
bicara tentang sesuatu yang sebenarnya berbahaya bagi dia.
Dia melihat ke kanan ke kiri, lalu berbisik, "Bagaimana
kalau satu keping perak dan lima keping perunggu?"
"Terlalu mahal."
"Satu keping perak saja," kata pedagang itu sambil
menyodorkan pisau serta pundi-pundi itu. Dalam
kebimbangannya, Banyak Sumba menerima pisau dan pundipundi
itu, lalu memasukkannya ke balik pakaiannya. Ia
membayar harga senjata itu, lalu dengan tergesa-gesa pergi
dari tempat itu ke tempat Jasik dan Arsim yang sedang
menunggu. Banyak Sumba menyerahkan pisau yang
terbungkus itu kepada Jasik, tetapi ia tidak menyerahkan
pundi-pundi racun yang terasa dingin di rusuk kirinya.
Setelah berbelanja beberapa lama, mereka pun pulang ke
Perguruan Gan Tunjung, tempat Jasik dan Arsim bekerja dan
tempat Banyak Sumba menginap malam itu.
MALAM harinya, dengan ditemani Jasik, Banyak Sumba
pergi ke tempat keramaian. Acara lain tidak menarik
perhatiannya. Ia langsung ke tempat bunyi kendang dan
kempul. Banyak Sumba mencari tempat yang baik, lalu
memerhatikan para pemuda dan orang-orang setengah baya
bergiliran masuk dan keluar gelanggang.
Setelah memerhatikan gerakan-gerakan yang indah dan
lagu selesai, penari berjalan ke arah nayaga, lalu menjatuhkan
satu keping uang perunggu di atas bokor tembaga. Bunyi
perunggu menimpa tembaga, bukan saja isyarat giliran baru
sudah tiba, tetapi juga isyarat bertambahnya uang para
nayaga. Walaupun sudah beberapa belas penari masuk gelanggang,
menurut Banyak Sumba, belum seorang pun menguasai isi
gerakan-gerakan yang ditarikannya. Kebanyakan mereka
hanya dapat menari. Ini dapat dimengerti karena Pajajaran
sudah lama terhindar dari peperangan besar. Keamanan dan
ketenteraman itu telah menghikmahkan kemakmuran pada
rakyat Pajajaran. Namun, rakyat Pajajaran harus membayar,
di antaranya keahlian mereka merosot dalam ilmu
keprajuritan. Barangkali hal itu baik bagi Pajajaran, tetapi bagi Banyak
Sumba, hal itu tidak menguntungkan. Karena negeri damai
dan makmur itulah mengapa sukar sekali baginya mencari
guru keperwiraan yang baik, demikian pikir Banyak Sumba.
Seraya pikirannya melayang ke hal yang demikian itu,
sadarlah ia pada suatu yang janggal. Bukankah ia telah
menyesali kedamaian dan kemakmuran" Bukankah itu pikiran
yang tidak baik" Ia menyadari suatu pertentangan. Pada satu
pihak, ia harus berusaha mengejar ilmu keperwiraan bagi
kehormatan keluarganya. Tetapi di lain pihak, ia tidak dapat
memungkiri kenyataan adanya pertentangan antara
kehormatan keluarga dan kepentingan rakyat Pajajaran.
Kehormatan keluarga adalah baik dan harus dijunjung, untuk
itu ia harus membalas dendam dan menyebabkan huru-hara.
Kedamaian dan lce-makmuran adalah baik dan harus menjadi
cita-cita setiap bangsawan Pajajaran, untuk itu ia harus
menghindarkan huru-hara dan ikut menjaga ketertiban.
Bukankah dengan demikian, kehormatan keluarga
bertentangan dengan kepentingan umum, padahal keduaduanya
baik" Banyak Sumba termenung dan lupa bahwa ia sedang di
tengah keramaian. Ia ingat kembali pada pundi-pundi racun
yang terselip di ikat pinggang lebar di rusuk kirinya. Ia seolahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
olah menyembunyikan dosa di sana. Akan tetapi, bukankah
racun yang jahat dan patut dihindarkan itu berguna untuk
menegakkan kehormatan keluarga, untuk membalas dendam"
Dan bukankah membalas dendam demi kehormatan
keluarga yang diperlakukan tidak adil itu tugas suci"
Banyak Sumba masih termenung ketika Jasik berbisik
bahwa di gelanggang ada seorang penari yang baik. Banyak
Sumba mulai memerhatikan pemuda yang sedang menari itu.
Pemuda itu kira-kira sebaya dengannya, tetapi tubuhnya lebih
kekar. Gerakan-gerakannya penuh tenaga serta dilakukan
dengan perhitungan yang selaras. Sayang, gerakan-gerakan
pemuda itu sangat terbatas, sedangkan gerakan yang
dilakukannya itu selalu diisi dengan tenaga.
"Sik, orang-orang Kutabarang lebih mengandalkan pada
tenaga dalam ilmu mereka. Saya dengar hal itu dari Paman
Saltiwin di Puri Purbawisesa. Masih banyak kelebihan ilmu
ayahmu," demikian Banyak Sumba berkata kepada Jasik.
"Demikian pula pendapat saya, Raden. Akan tetapi, saya
yakin, pemuda ini-prajurit yang tangguh. Baru dia itulah yang
berisi di antara yang pernah memasuki gelanggang."
"Ya, dan saya harap, dia tidak mau keluar dari gelanggang"
"Mudah-mudahan," ujar Jasik sambil tersenyum kepada
Banyak Sumba. "Ya, mudah-mudahan, dan saya akan langsung
mencobanya," kata Banyak Sumba pula.
Jasik segera menyela, "Tidak, Raden, saya lebih baik
mendahului Raden. Kalau saya sudah kewalahan, baru Raden
turun," demikian kata Jasik.
Ketika pukulan kendang menjadi cepat dan lagu hampir
selesai, Banyak Sumba berdebar-debar dengan harap-harap
cemas. Ia tidak sabar mengetahui, apakah pemuda itu akan
keluar dari gelanggang atau tidak. Ia berdoa dalam hati,
mudah-mudahan pemuda itu tidak keluar dari gelanggang.
Dengan begitu, akan terbuka kesempatan baginya untuk
menantangnya. Seandainya menang dalam perkelahian itu, ia
akan lebih yakin lagi pada ketinggian mutu ilmu Paman Wasis;
seandainya kalah, ia akan mendapat guru baru. Akan tetapi,
ketika kendang, kempul, dan trompet kayu berhenti, pemuda
itu sambil tersenyum memberi hormat kepada penonton,
berjalan ke luar gelanggang diiringi tepuk-sorak. Melihat hal
itu, berkatalah Banyak Sumba kepada Jasik, "Sik, saya kira,
usaha kita akan sia-sia. Padahal, saya sudah dua hari
meninggalkan murid-murid."
"Sabar sebentar, Raden," demikian ujar Jasik yang juga
tampak kesal. Banyak Sumba tidak berkata apa-apa, ia memandang ke
dalam gelanggang. Tampak olehnya seorang gemuk sedang
menari. Di samping gerakannya tidak berisi, dilakukan pula
dengan sangat buruk. Melihat penari gemuk itu, khayal
Banyak Sumba melayang, membayangkan sebuah orangorangan
yang terbuat dari jerami ditiup angin di tengahtengah
huma. Banyak Sumba lega ketika lagu habis dan orang
gemuk itu melemparkan uang ke dalam bokor tembaga yang
terletak di depan para nayaga. Penari yang berikut tidak lebih
baik kalaupun tidak lebih buruk daripada yang terdahulu.
"Sik, marilah kita pulang, hari sudah larut."
"Sabar sebentar, Raden," ujar Jasik. Banyak Sumba tidak
mengerti mengapa Jasik mau bertahan melihat tari-tarian
yang buruk itu. Banyak Sumba kemudian mengerti ketika Jasik
maju ke dalam gelanggang yang kosong dan mulai menari
dengan indahnya. Ketika satu lagu berhenti, Jasik mengambil
bokor tembaga tempat uang, lalu diletakkannya di tengahtengah
gelanggang. Ia menyuruh nayaga memainkan lagu
lain. Nayaga yang ketakutan melihat tubuh Jasik yang kuat
dan kekar itu menurut. Jasik pun menari dalam sikap dan
gerakan-gerakan yang menantang.
"Sik, apa-apaan?" seru Banyak Sumba yang terkejut dan
bingung. Jasik mendengar seruan itu karena ia tersenyum ke arah
Banyak Sumba. Banyak Sumba cuma terpukau. Rupanya, Jasik
benar-benar tak hendak mengecewakannya. Ia telah bertindak
dan menyediakan diri menjadi umpan perkelahian demi
kepentingan Banyak Sumba. Ia terus menari. Setelah dua
lagu, ia minta lagu baru dan setelah ketiga, minta keempat.
Para penonton mulai menggerutu, sebagian mulai
meninggalkan gelanggang, sebagian berdiri dengan
pandangan marah ke arah gelanggang. Akan tetapi, tidak ada
yang berani turun mengusir Jasik. Rupanya, mereka pun tahu
bahwa Jasik bukanlah penari sembarangan. Gerakan-gerakan
yang indah dan mantap menyebabkan mereka gentar. Belum
lagi mereka memperhitungkan tubuhjasik yang tinggi besar
dibandingkan dengan kebanyakan di antara mereka.
Pada lagu yang kelima, para nayaga sudah mulai bimbang.
Jasik berhenti menari, lalu berjalan ke arah nayaga. Ia
menepuk-nepuk sakunya, membunyikan uang, seraya berkata,
"Teruskan!"
Para nayaga yang ketakutan dan tidak berani mengambil
uang yang ada di tengah-tengah gelanggang, dengan
setengah hati mulai memainkan lagu baru: Kembang
Beureum. Ketika itulah, seorang penonton yang tubuhnya
besar masuk.

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu Jasik pasang, orang itu langsung menangkap tangan
kiri Jasik. Akan tetapi, tangan kiri Jasik yang terpegang
pergelangannya itu bagaikan seekor belut melingkar dan
berbalik menangkap pergelangan kanan lawan. Keduanya
berguncang karena dua arus bertabrakan di titik pergelangan
itu. Ketika itulah, Jasik memukul otot lengan kanan lawan
dengan cepat, lalu melanjutkan pukulan itu ke leher lawan dari
arah bawah. Kedua pukulan itu menyebabkan lawan
terhuyung ke belakang, dan Jasik tidak memberi kesempatan.
Kaki kirinya berkelebat masuk perut lawan yang langsung
jatuh ke luar gelanggang, ke tengah-tengah penonton.
Penonton mulai ribut, sebagian melarikan diri. Demikian
juga nayaga, tukang trompet, dan tukang kempul sudah tidak
ada, tinggal tukang kendanglah yang duduk. Ia tidak sampai
hati lari meninggalkan kendangnya yang tiga buah itu. Ia terus
saja menabuh kendangnya, walaupun lagu dan iramanya
sudah tidak menentu lagi.
Setelah gelanggang kosong beberapa saat dan Jasik
berkeliling menantang, melompadah dari antara penonton
seorang laki-laki kurus berbaju hitam dan mengenakan ikat
kepala barangbang semplak. Ketika laki-laki itu pasang,
tampak oleh Banyak Sumba gelang akar bahar yang besarbesar.
Entah seolah-olah ia terpesona oleh akar baharnya
sendiri yang seolah-olah ia pandangi ketika ia pasang, atau
entah karenajasik memang sangat cepat; begitu laki-laki
pasang begitu dagunya disambar oleh kaki Jasik yang
berterompah. Kepala laki-laki terpental ke belakang. Dengan
nanar, laki-laki itu mencoba berdiri dan berkuda-kuda kembali.
Akan tetapi, mungkin karena masih pusing oleh tendangan
Jasik atau barangkali ia memasang perangkap, laki-laki itu
tidak menghadap Jasik. Ia agak miring dan menghadap ke
arah seorang penonton yang berdiri paling depan dan paling
dekat dengannya.
Melihat hal itu, mula-mula Banyak Sumba heran, kemudian
ketika Jasik menghantam rusuk laki-laki itu dengan kaki
kanannya, Banyak Sumba menyadari bahwa orang itu karena
kalang kabut oleh pukulan pertama tidak dapat lagi
membedakan Jasik dengan penonton terdepan. Banyak
Sumba tidak dapat menahan tawanya. Dan bertepatan dengan
tawanya yang meledak, terdengarlah trompet jagabaya dan
derap kaki beberapa ekor kuda mengelilingi keributan. Jasik
berlari dan berseru, "Raden, lari!"
Banyak Sumba lari mengikuti Jasik. Seorang jagabaya
melempar tambang kepadajasik dan berhasil menjerat leher
panakawan itu. Akan tetapi, dengan kuat Jasik merenggut tali
hingga jagabaya yang malang itu jatuh dari kudanya. Mularrtula,
Jasik akan kembali dan menghantam jagabaya itu, tetapi
Banyak Sumba menariknya. Mereka pun lari ke dalam gelap
malam. Di tengah-tengah kebun pisang, mereka berhenti dan
mencari-cari arah sambil mendengar kalau-kalau ada
pengejar. Setelah mereka yakin keadaan aman, Banyak
Sumba bertanya, "Sik, kegilaan macam apa yang kaulakukan
itu?" "Saya tak hendak mengecewakan Raden, padahal Raden
telah meninggalkan puri dan murid-murid," jawab Jasik.
"Kau ini terlalu, Sik. Jangan sekali-kali lagi main monyetmonyetan
seperti itu!"
"Tidak apa, Raden. Di samping itu, saya tidak bersusahsusah
membayar, seperti yang pernah Raden lakukan dulu
ketika ada tukang pantun serampangan itu," sambutnya
sambil tersenyum di dalam gelap.
Banyak Sumba tidak dapat tersenyum karena perbuatan
Jasik tetap dianggapnya melewati batas.
"Sik, saya tidak main-main. Tadi kau pun akan memukul
jagabaya kalau tidak saya tahan. Itu berbahaya. Kautahu
bukan, barang siapa melukai atau menyebabkan cedera
seorang jagabaya akan dihukum berait Kau perlu lebih
berhati-hati di kemudian hari."
"Salah jagabaya itu, Raden, leher saya luka sedikit karena
tambangnya," ujar Jasik
Ketika itulah, Banyak Sumba tersenyum. Panakawannya itu
sungguh-sungguh sayang kepadanya sehingga kadang-kadang
melakukan hal-hal yang menurut pendapatnya keterlaluan. Di
samping itu, kesederhanaan cara berpikirnya sering
mengejutkan pula. Sementara kemampuannya mengendalikan
diri sangat lemah. Oleh karena itu, Banyak Sumba sering
menghindarkan dia dari hal-hal yang tidak diinginkan. Jasik ini
kalau tersinggung perasaannya sering lupa daratan, seperti
halnya ketika jagabaya itu menjeratnya. Kalau ada kesedihan
atau kegembiraan, air matanya mudah sekali tumpah. Sifatsifatnya
yang kekanak-kanakan serta kesetiaan dan
kepatuhannya kepada majikan, sering mengharukan Banyak
Sumba. Keharuan itu tergugah pula malam itu dan Banyak
Sumba menepuk bahu Jasik ketika mereka berjalan di antara
pohon-pohon pisang, menuju jalan yang terdekat, merentang
antara dua buah kampung kecil di pinggiran Kutabarang.
"Hati-hatilah, Sik, hidupku tidak lebih berharga daripada
hidupmu," kata Banyak Sumba. Mereka pun melangkah
menuju Perguruan Gan Tunjung, mengikuti Kang Arsim yang
telah lebih dulu meloloskan diri.
DUA hari setelah peristiwa itu, Banyak Sumba sudah berada
kembali di kampung kecil yang berdekatan dengan Puri
Pangeran Purbawisesa. Pekerjaannya sebagai pengajar ilmu
keperwiraan berjalan lancar dan menyenangkan.
Pagi hari ketika ayam baru berkokok, anak-anak para
ponggawa dan bangsawan rendahan sudah ramai di halaman
rumah tempatnya menginap. Dan ketika matahari terbit,
Banyak Sumba dengan bercelana pangsi dan berbaju
salontreng hitam, berlari menaiki bukit-bukit, melompati
sungai-sungai kecil serta pagar-pagar huma, diikuti tujuh belas
orang muridnya. Setelah memanaskan badan, anak-anak
mulai diberi pelajaran yang berupa gerakan.
Kalau hari mulai panas dan sebelum murid-murid
menyelesaikan latihan pagi hari, Banyak Sumba biasanya
mengajak mereka duduk-duduk di tepi hutan, di bawah pohon
yang rindang. Kesempatan beristirahat itu dipergunakannya
untuk menerangkan masalah-masalah yang penting mengenai
ilmu keperwiraan yang diajarkannya itu. Ternyata, hubungan
dengan anak-anak itu tidak saja memberinya kesibukan dan
obat kerisauannya sebagai anggota wangsa Banyak Citra yang
prihatin, tetapi juga memberinya hiburan yang
menggembirakan. Hubungan batin antara guru dan murid
terjalin dengan mesra. Hubungan ini sering dirasakan Banyak
Sumba sebagai sesuatu yang lebih berharga daripada uang
atau hadiah-hadiah yang diterimanya dari orangtua mereka.
Pada suatu hari, ketika mereka beristirahat sehabis latihan
pagi, tiba-tiba seorang murid yang bernama Giwang berkata,
"Kakanda, Rangga Sena berkelahi dengan Raden Sungging."
"Siapa Raden Sungging itu dan betulkah kau berkelahi,
Sena?" Rangga Sena tidak menjawab, ia menunduk memper-mainmainkan
rumput. Anak itu rupanya takut dan malu, karena
berulang-ulang Banyak Sumba berpesan agar mereka
menghindarkan perkelahian, bahkan kalau mereka diserang
dan tidak bersalah. Pesan Banyak Sumba adalah: Ambillah
jurus langkah seribu dan bertindaklah sebagai penakut karena
mengalah merupakan sebagian dari pelajaran kita!
Memang Banyak Sumba tidak hanya mengajar ilmu
keperwiraan dalam arti yang dangkal. Apa-apa yang
diberikannya tidak hanya ketangkasan, tetapi susila seorang
kesatria. Mengendalikan diri adalah salah satu syarat. Rendah
hati dan suka mengalah dalam urusan-urusan remeh adalah
syarat lain. Berdasarkan pandangannya itu, Banyak Sumba
melarang keras murid-muridnya terlibat perkelahian.
"Kalian belajar ilmu keperwiraan pertama-tama agar dapat
menghindarkan perkelahian. Keperwiraan itu dimulai dengan
menggerakkan lidah, bukan menggerakkan tangan dan kaki.
Lembutkanlah hati orang yang marah kepadamu dengan
kerendahan hati dan kejujuranmu yang disampaikan dalam
bahasa yang halus dan enak didengar. Jika lawanmu tidak
mau membuka telinganya, menghindariah kalian seandainya
tidak ada hal-hal lain yang terancam oleh lawan. Kalau lawan
ingin mendapat kepuasan dengan memukul, berilah
kesempatan dia memukulmu, lalu engkau pergi. Engkau baru
boleh melawan kalau lawan mengancam nyawamu, nyawa
orang lain, atau ada hal-hal suci yang akan dilanggar,
misalnya kebenaran, keadilan, dan kehormatan seluruh
keluargamu atau kerajaan dan rakyat Pajajaran."
"Kalian harus menyadari bahwa kalau seorang puragabaya
terlibat dalam perkelahian, ia mungkin dihukum dan dipecat
dari kepuragabayaan itu. Begitu keras peraturan bagi seorang
kesatria sejati karena kehidupan seorang kesatria bukan untuk
menciptakan huru-hara, melainkan sebaliknya."
Perkataan itu mengiang dalam telinganya sendiri.
Kebimbangan serta pertentangan-pertentangan batin timbul
oleh kata-kata itu dalam dirinya. Akan tetapi, bagaimanapun,
ia terpaksa harus mengatakannya karena kesabaran dan
pengendalian diri adalah salah satu watak yang harus
diletakkannya pada pribadi murid-muridnya. Ketika ia
termenung akibat perkataannya sendiri itu, berkata pulalah
Giwang, "Kakanda, saya tahu tentang puragabaya yang
hampir saja dipecat karena berkelahi."
"Bagus, ceritakanlah kepada kawan-kawanmu supaya
mereka lebih yakin akan segala yang kuajarkan kepada
kalian," sambut Banyak Sumba.
"Pada suatu waktu, demikian diceritakan oleh Pamanda,
seorang puragabaya berkunjung ke suatu kota ketika ia
berada dalam perjalanan untuk berlibur di kotanya. Ketika.itu,
upacara menerima Padi Sulung sedang dilakukan di dalam
kota. Para pemuda dan gadis-gadis kota itu berkumpul dan
bersu-karia dalam pesta semalam suntuk. Puragabaya itu,
dengan diiringi panakawannya, menghadiri upacara itu.
Kebetulan, seorang putri jatuh hati kepadanya. Ternyata, putri
ini dicintai oleh seorang bangsawan setempat. Ketika
mengetahui sang Putri jatuh hati, ia marah karena cemburu.
Saat pulang ke penginapannya tengah malam, puragabaya itu
disergap. Akan tetapi, karena setia kepada asas-asas
kesatriaan, puragabaya itu tidak melawan dan minta diadili
karena ia merasa tidak bersalah. Bangsawan yang marah dan
kawan-kawannya tidak mau mendengar perkataannya, lalu
menyiksa puragabaya itu beramai-ramai. Puragabaya itu tidak
hendak melawan, walaupun sebenarnya ia dapat membunuh
semua pengeroyoknya.
"Keesokan harinya, ia berhasil melarikan diri dari terungku
tempat ia disekap. Bangsawan itu dan kawan-kawannya
mengejar dan mengepungnya di suatu mata air. Di sanalah
baru puragabaya itu melawan dan mengalahkan semua
pengejarnya. Sepulang ke Padepokan Tajimalela yang
dirahasiakan tempatnya, ia langsung diadili berdasarkan
laporan penguasa kota yang kebetulan ayah bangsawan yang
cemburu itu. Ia diadili, tetapi karena bangsawan yang
cemburu itu memang kurang ajar, ia hanya dihukum sebentar
dan tidak dipecat. Puragabaya itu kemudian menjadi
puragabaya termasyhur di seluruh Pajajaran, yaitu Puragabaya
Anggadipati yang juga berhasil membunuh puragabaya yang
jadi gila "Sudah!" tiba-tiba Banyak Sumba berseru dengan keras.
Anak-anak keheranan. Banyak Sumba sadar bahwa tidak pada
tempatnya ia marah. Ia tersenyum dan menjelaskan bahwa ia
terkejut mendengar kata membunuh.
"Membunuh itu sangat mengerikan, Anak-anak. Oleh
karena itu, Kakanda sering terkejut mendengar perkataan itu."
Rupanya, anak-anak puas oleh jawaban Banyak Sumba,
walaupun mereka merasa heran juga melihat kegugupannya.
Sore itu, sehabis latihan, Banyak Sumba berkunjung ke Puri
Pangeran Purbawisesa. Ia pergi ke sana bukan didorong oleh
harapan dapat bertemu dengan Putri Purbamanik, tetapi
karena sudah lama tidak berkunjung kepada Paman Saltiwin.
Harapannya untuk bertemu dengan Putri Purbamanik semakin
menipis karena Tuan Putri ternyata sangat dipingit.
Ketika Banyak Sumba sedang duduk di serambi dan
mengobrol tentang berbagai hal dengan Saltiwin, anak
perempuan Saltiwin yang bekerja sebagai emban datang.
Begitu datang, ia segera kembali meninggalkan rumah.
Banyak Sumba tidak curiga apa-apa. Dia baru menyadari
kepergian emban itu ada hubungannya dengan dirinya setelah
suatu rombongan datang.
Rombongan terdiri dari lima orang emban mengiringi
seorang putri, Nyai Emas Purbamanik. Sadarlah Banyak
Sumba bahwa kesempatan yang dinanti-nantikan datang
tanpa diduga. Ia gembira tetapi juga cemas, debar jantungnya
tak dapat dikuasainya. Walaupun jantungnya berdegup
menggila, matanya tidak dapat dipalingkan dari putri jelita
yang berdiri di halaman. Banyak Sumba melihat bagaimana
istri Paman Saltiwin gemetar mempersilakan putri itu masuk
ke rumahnya. Dengan suara rendah, Nyai Emas Purbamanik
berkata, "Jangan repot-repot, Bibi, saya hanya mampir
sebentar. Ada suatu hal yang hendak saya uruskan dengan
putra Bibi."
"Tuan Putri pernah melihat rusa jantan yang tersesat,
barangkali ia lari kemari," kata seorang emban gemuk sambil
tertawa. 'Apakah ada rusa yang lepas dari dalam taman, Tuan
Putri?" tanya Paman Saltiwin sambil melihat-lihat ke arah
halaman. Para emban tertawa tergelak-gelak. Paman Saltiwin
kebingungan dan tidak tahu apa sebenarnya yang lucu. Ia
membetulkan ikat kepalanya, kemudian kainnya, karena
disangkanya para emban itu menertawakannya. Akan tetapi,
emban-emban itu malah makin ramai tertawa ketika melihat
Paman Saltiwin kebingungan.
"Sudah, Mang Saltiwin, tidak usah bingung karena rusa itu
memang ada di sini," kata emban gemuk itu.
Tuan Putri tampak marah kepada emban itu. Wajahnya
yang kuning pualam merah sebentar, kemudian ia menunduk.
Banyak Sumba melihat rambutnya yang lebat
bergelombang menuruni pundaknya yang landai.
"Asih," kata Tuan Putri kepada anak Paman Saltiwin, "mari
kita pulang."


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuan Putri, silakan duduk dulu. Mari masuk, tikar sudah
dihamparkan di ruangan tengah," kata Bibi Saltiwin sambil
menyembah-nyembah.
Mula-mula Nyai Emas Purbamanik bimbang, tetapi emban
gemuk itu kemudian mendorongnya perlahan-lahan. Naiklah
Tuan Putri ke serambi, lalu masuk rumah. Banyak Sumba
seperti patung, berdiri di ujung tangga serambi sambil tak
putus-putusnya memandang ke arah tuan putri yang
menghilang ke dalam rumah. Baru ketika Tuan Putri hilang
dari pandangannya, la sadar kembali akan dirinya.
"Raden, duduklah, tidak usah terganggu," kata Paman
Saltiwin yang juga gugup karena kedatangan putri
pangerannya itu.
Banyak Sumba duduk kembali sambil menarik napas
panjang. Kemudian, kedua-duanya terdiam. Suasana hening
itu sangat menekan hati Banyak Sumba. Ia berusaha mencari
bahan percakapan, tetapi tidak juga didapatnya. Untung tibatiba
dari dalam ruangan terdengar suara emban yang gemuk
bertanya kepada Paman Saltiwin, "Mang Saltiwin, kami
mendengar Mang Saltiwin punya anak pungut."
'Ah, bukan anak pungut, Nyimas Teteh. Raden ini
pengembara yang terlunta-lunta. Kewajiban setiap orang
untuk memungutnya, bukan?"
"Oh, terlunta-lunta" Pantas kudanya dulu terlunta-lunta
masuk semak di bawah benteng, hihihi
Paman Saltiwin kebingungan dan tidak mengerti maksud
emban itu. Ia berpaling kepada Banyak Sumba, lalu berkata
rendah, "Nyimas Teteh ini kepala emban dan inang pengasuh
utama Tuan Putri. Ia suka berlelucon yang aneh-aneh dan
sukar dimengerti."
Banyak Sumba hanya mengangguk. Dalam hatinya, ia
senang karena dikenal para emban dan tentu saja oleh Tuan
Putri. Kelakuannya dahulu dan keberaniannya menegur tuan
putri ketika berada di atas benteng, rupanya menarik
perhatian Tuan Putri.
"Hati-hati, Mang Iwin," tiba-tiba kepala emban berkata
kembah dari tengah rumah, "Jangan pungut sembarang
pungut, jangan-jangan Emang memasukkan elang ke kandang
ayam, harimau ke kandang kambing."
"Saya percaya kepada Sang Hiang Tunggal dan membantu
seseorang itu hanya karena perintah-Nya, Nyimas Teteh."
"Bagus, Mang Saltiwin. Jadi hati-hatilah! Lidah orang dapat
lebih tajam daripada tangannya, hihihi
Paman Saltiwin kembali risau. Tak lama kemudian,
rombongan Tuan Putri meninggalkan rumah Saltiwin. Sebelum
pergi, pandangan Banyak Sumba bertemu dengan pandangan
Tuan Putri. Banyak Sumba mengangkat tangannya
menyembah, tetapi Tuan Putri yang bimbang memalingkan
mukanya. Peristiwa itu menyebabkan Banyak Sumba gelisah
sepanjang malam. Mungkinkah Tuan Putri membencinya
karena keberaniannya menegur ataukah sebagai gadis yang
masih muda, ia gugup dan malu menghadapi orang asing"
Pertanyaan itu tidak dapat dijawabnya. Ia pun bergulingguling
di atas tikar pandan sepanjang malam.
KEESOKAN harinya, ketika ia selesai melatih pagi hari,
seorang gulang-gulang datang ke tempatnya menginap.
Gulang-gulang itu menyerahkan sebuah kotak lontar kecil, lalu
pergi tanpa memberi tahu siapa pengirim surat itu. Banyak
Sumba membuka kotak lontar itu seraya jantungnya berdebardebar.
Mungkinkah Tuan Putri mengusirnya atau
memanggilnya" Ia membuka lontar itu dengan tangan
gemetar. Ketika terbaca alamat pengirim, tahulah ia bahwa
bukan Tuan Putri yang mengirimkan surat itu, tetapi
seseorang yang bernama Girilaya.
Isi surat itu merupakan permohonan, dengan penuh
hormat, agar Banyak Sumba menemui sang pengirim surat di
suatu tempat di hutan. Karena penasaran, Banyak Sumba
segera berangkat menunggangi kudanya. Setiba di sana,
seorang pemuda yang dikenalnya karena pernah dilihatnya di
gelanggang tari, menjemputnya. Ia memberi hormat walaupun
tidak tersenyum.
"Terima kasih atas kesudian Saudara datang ke tempat ini.
Maaf, saya telah mengherankan Saudara," kata pemuda itu
dengan lemah lembut. Dari tutur kata dan tingkah lakunya,
sadarlah Banyak Sumba bahwa ia menghadapi seorang
bangsawan. "Sekali-kali, Saudara tidak menyusahkan saya. Kalau saya
merasa heran, hal itu tentu saja segera mendapat penjelasan
dari Saudara," jawab Banyak Sumba, juga dengan halus.
"Barangkali, apa yang akan saya sampaikan tidak akan
menyenangkan Saudara karena memang hal ini tidak pula
menyenangkan saya. Akan tetapi, saya yakin bahwa hal ini
tidak akan mengguncangkan ketenangan Saudara sebagai
seorang kesatria."
Pemuda itu berhenti berkata. Setelah termenung sebentar,
ia melanjutkan perkataannya, "Begini, Saudara. Murid saya
beberapa waktu berselang berkelahi dengan Rangga Sena.
Murid sayalah yang kalah, maka timbullah persoalan.
Seandainya murid saya menang, saya tidak akan memikirkan
masalah ini, tetapi ternyata murid Saudara lebih baik. Saya
beranggapan bahwa mungkin ilmu yang didapat Rangga Sena
dari Saudara lebih baik. Itulah sebabnya saya terpaksa
meminta Saudara untuk bertemu di sini. Maksud saya Pemuda
itu bingung sebentar, "Saya bermaksud akan menyerahkan
kedudukan saya sebagai pengajar putra-putra bangsawan di
Puri Purbawisesa, seandainya memang ilmu Saudara lebih
tinggi." "Tidak, Saudara," sahut Banyak Sumba, "seharusnya saya
minta maaf kepada Saudara dan meninggalkan pekerjaan saya
di kampung itu karena saya secara tidak kesatria telah
menyaingi Saudara. Saya harus minta maaf dan besok saya
akan pergi meninggalkan daerah ini."
"Sama sekali tidak. Yang memutuskan siapa yang pergi
bukan kita, tetapi ilmu kita masing-masing. Saya tidak sekalikali
menantang Saudara. Sama sekali tidak, tetapi saya
memikirkan kepentingan anak-anak di Puri Purbawisesa.
Mereka harus mendapat guru yang terbaik. Itulah sebabnya,
kita harus mengetahui siapa sebenarnya yang lebih pantas
menjadi guru mereka."
Mendengar itu, sedihlah hati Banyak Sumba. Ia merasa
bahwa ia sudah tidak menenggang hati dan kepentingan
orang lain. Ia hanya memerhatikan dirinya. Ia sudah merasa
berdosa karena pernah mengganggu keluarga yang sedang
kenduri. Sekarang, dengan tidak disadarinya, ia sudah berbuat
kesalahan. Akan tetapi, apa yang dikatakan kesatria itu
dimengertinya pula. Perkataan kesatria itu menunjukkan
kemuliaan hatinya sehingga Banyak Sumba merasa hina dan
kerdil sekali di hadapannya.
"Saya minta maaf kepada Saudara dan bersedia
meninggalkan tempat ini dengan segera agar Saudara dapat
mengajari putra-putra bangsawan seperti sediakala," kata
Banyak Sumba; ia tidak merasa ditantang oleh pemuda itu.
Kemuliaan hati yang memancar dari sinar mata pemuda itu
tidak sedikit pun memperlihatkan keangkuhan dan sifat
menantang. Hal itu makin membuat sedih hati Banyak Sumba.
"Saudara," kata pemuda itu, "marilah kita pikirkan anakanak
murid kita sendiri. Seandainya ada guru yang lebih baik,
saya merasa tidak berhak lagi tinggal dan mengajari mereka.
Saya harus pergi dan menuntut ilmu kembali. Bukankah sikap
saya itu sikap seorang kesatria yang Saudara setujui dalam
hati nurani Saudara?"
Banyak Sumba mengerti karena ia pun seorang kesatria
Pajajaran. Akan tetapi, perasaan tidak dapat bersatu dengan
pengertian itu. Ia tetap sedih karena merasa telah merugikan
orang lain yang begitu mulia hatinya. Ia tidak tahu apa yang
harus dilakukannya.
"Saudara, walaupun kita akan bertanding, percayalah, kita
akan bertanding tanpa kebencian. Kita berlawanan bukan
demi kepentingan diri sendiri, tetapi demi kepentingan asasasas
kesatria. Kalau saya tinggal di sini dan tahu ada guru
yang lebih baik bagi anak-anak, sifat kesamaan sayajadi
ternoda. Bantulah saya agar tetap menjadi kesatria yang
berharkat. Kalau Saudara pergi dari sini tanpa membuktikan
dulu kelemahan saya, Saudara pun membiarkan anak-anak
Pajajaran mendapat guru yangjelek, Saudara ternoda secara
kesatria. Marilah kita bertanding dengan tujuan hanya untuk
membuktikan bahwa salah seorang di antara kita lebih berhak
menjadi guru para calon perwira Pajajaran. Setelah
pertandingan itu, kita tidak akan saling membenci, kita akan
tetap bersaudara sebagai kesatria Pajajaran."
Banyak Sumba menarik napas panjang, lalu berkata, "Kalau
begitu, kalau kita akan tetap bersaudara, saya bersedia
bertanding dengan Saudara, walaupun hati saya sangat
sedih." Setelah itu, mereka berjalan bersama ke arah sebuah
lapangan kecil yang ada di dalam hutan. Tak lama kemudian,
mereka bersiap-siap.
"Marilah, kita mulai," kata kesatria itu, dan Banyak Sumba
mulai menghadapi kesatria Girilaya dengan hati-hati. Seraya
bersiap-siap itu, ia mencamkan dalam hatinya bahwa ia harus
menghindarkan bersentuhan tubuh dengan pemuda itu karena
ilmu yang berkembang di Kutabarang sangat mengandalkan
kekuatan tenaga. Kalau berdekatan, mungkin sekali dengan
mudah ia akan ditangkap dan dibanting oleh kesatria itu.
Itulah sebabnya, ia mengatur siasat untuk selalu menjauhi
lawan dan menyerang lawan dengan kecepatan dan
kelincahan. Setelah keduanya siap, untuk beberapa lama tidak ada
yang bergerak. Banyak Sumba tahu bahwa siasat lawan lebih
banyak menunggu dan menyerang kalau Banyak Sumba
mendekat. Itulah sebabnya Banyak Sumba bergerak ke
samping. Ketika lawan bergerak untuk menyesuaikan
pasangannya dengan kedudukan baru Banyak Sumba, secepat
kilat kaki Banyak Sumba menghantam tubuh lawan.
Tendangan yang kuat mengenai sasarannya. Tetapi, karena
lawan bertubuh kekar, tendangan itu tidak seberapa hasilnya.
Banyak Sumba dengan suatu gerakan umpan, maju. Tibatiba,
tinju lawan dengan cepat berdesing ke arah mukanya.
Untung Banyak Sumba sempat mempergunakan tangannya
menepuk tinju itu ke kiri. Akan tetapi, lawan tidak memberi
kesempatan. Tangan kirinya dengan cepat menangkap jari-jari
tangan Banyak Sumba dan dengan kuat mematahkannya.
Rasa sakit menusuk seluruh tangan dan belikat Banyak
Sumba. Tetapi, dengan naluriah, Banyak Sumba sempat
menghantamkan kaki kirinya ke ulu hati lawannya. Lawan
menunduk seraya matanya terpejam. Banyak Sumba hendak
menghantamnya kembali, tetapi ia menahan dirinya.
Lawan berjalan ke pinggir, duduk sambil memegang ulu
hatinya. Banyak Sumba mendekat, lalu memegang pundak
Girilaya. "Saudara lebih baik, karena itu lebih berhak menjadi guru
putra-putra bangsawan di Puri Purbawisesa," kata kesatria itu.
Banyak Sumba terharu mendengar perkataan itu. Ia
memegang pundak lawannya dengan jari-jari tangan kanan
yang mulai bengkak.
"Saya menyesal peristiwa ini harus terjadi."
"Sang Hiang Tunggal menghendaki, marilah kita pergi,
barangkali Saudara ada keperluan lain. Maaf, saya sudah
mengganggu," kata kesatria itu. Ia pun melangkah ke arah
kudanya dan setelah memberi hormat, bersiap menaiki
kudanya. Banyak Sumba mengejarnya, "Ke manakah Saudara akan
pergi?" "Ke Pakuan Pajajaran. Saya akan mencari kerja lain di
sana," jawabnya.
"Saya harap, kita akan bertemu di sana."
"Senang sekali kalau kita dapat bertemu di sana," ujar
pemuda itu sambil tersenyum untuk pertama kali.
Banyak Sumba terharu melihat senyum yang tulus dari
pemuda itu. Di hadapan senyum yang tidak dibuat-buat itu,
tiba-tiba ia menyadari betapa kecil dan kerdil dirinya
dibandingkan dengan kebesaran pribadi pemuda itu. Ketika
pemuda itu melepaskan tambang yang mengikat kudanya
pada sebatang pohon, Banyak Sumba tidak dapat berkatakata
lagi. Perasaan mendesak ke arah tenggorokannya dan
menghalangi kata-kata yang hendak diucapkannya. Banyak
sekali kata yang ingin diucapkannya kepada pemuda yang
budiman itu, tetapi satu pun tak hendak keluar. Ketika
pemuda itu telah menaiki kudanya dan melambai kepadanya,
Banyak Sumba tidak dapat bergerak. Ia seolah-olah terpaku di
atas tanah. Baru setelah pemuda itu lenyap dari
pandangannya, ia dapat melangkah meninggalkan lapangan
kecil itu. Sepanjang perjalanan pulang, hatinya tercekam oleh
peristiwa yang baru dialaminya. Baginya, pribadi pemuda itu
merupakan contoh terbaik dari kesatria Pajajaran. Sebagai
seorang kesatria Pajajaran, setiap orang harus menempatkan
diri sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya. Kalau ia
seorang kesatria, ia akan menjadi abdi raja atau seorang
perwira. Banyak Sumba seorang kesatria, tapi apakah ia telah
menemukan dan menduduki tempat yang tepat" Apakah
segala perbuatan yang telah dilakukan dan peristiwa yang
telah dialaminya telah mempersiapkan dirinya dalam usahanya
menjadi kesatria Pajajaran yang baik" Semua yang
dilakukannya, walaupun dalam keadaan terpaksa, seolah-olah
tidak ada hubungannya dengan usaha membina diri menjadi
kesatria Pajajaran yang baik. Ia teringat bagaimana ia pernah
mengacaukan orang yang kenduri. Ia teringat pula bahwa
berulang-ulang ia harus berkelahi dan menyakiti orang lain,
dan itu bukan untuk kesatriaan.
Sebaliknya, kesatria Girilaya yang baru dikalahkannya, dan
dengan sukarela telah menyerahkan kedudukan kepadanya.
Kalau ia Girilaya, apa yang akan dilakukannya" Apa ia dengan
sukarela menyerahkan kedudukan dan pekerjaan bagi orang
yang lebih baik" Banyak Sumba ragu-ragu akan dirinya karena
yang dilakukannya selama ini bukanlah demi kepentingan
kebenaran, keadilan, dan kesatriaan; akan tetapi bagi dirinya
sendiri, yang dengan sekuat tenaga mempersiapkan diri untuk


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tugas pembalasan dendam.
Apakah yang akan dilakukan Girilaya kalau ia mempunyai
kakak yang terbunuh, ayah yang direbut kedudukannya, serta
keluarga yang terpaksa melarikan diri dan hidup di dalam
hutan" Banyak Sumba tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Ia hanya termenung dan termenung sambil berjalan. Ia sadar
sekarang bahwa yang harus dicarinya bukan hanya guru
keperwiraan yang tangguh, tetapi juga guru keruhanian yang
bijaksana. Hanya dengan mendapat penjelasan mengenai
itulah, ia akan mendapatkan ketenteraman hati. Maka,
ditekadkanlah dalam hatinya untuk mencari seorang pertapa
yang akan membimbingnya dalam menjawab persoalanpersoalan
yang sering muncul dan tidak dapat dijawabnya.
Baru setelah tekad itu timbul, hatinya mulai berangsur
tenang kembali. Walaupun begitu, ia tetap murung karena
merasa walaupun lebih baik daripada Girilaya, sebagai seorang
manusia ia sangat kerdil. Ia sedih karena tidak pantas seorang
anggota wangsa Banyak Citra berjiwa kerdil.
BEBERAPA hari setelah peristiwa itu, Saltiwin datang ke
tempat Banyak Sumba menginap. Begitu ia duduk di serambi,
Saltiwin dengan muka cerah dan suara gembira berkata, "Den
Sumba, kesempatan yang baik telah dijatuhkan Sang Hiang
Tunggal di pangkuan Raden. Raden Girilaya, ipar Pangeran
Purbawisesa, bermaksud meninggalkan puri dan mengembara.
Den Girilaya mengusulkan agar Den Sumba menjadi
penggantinya sebagai pengajar ilmu keperwiraan. Raden,
apakah Raden sudah lama berkenalan dengan Raden
Girilaya?"
Kabar itu tidaklah menyebabkan Banyak Sumba gembira. Ia
menunduk merenungi tikar di hadapannya. Rasa kerdil dan
kesedihannya kembali menyesakkan dada. Kemuliaan Raden
Girilaya pada satu pihak menyebabkan kekaguman dan rasa
syukur bahwa di dunia ini ia dipertemukan dengan pribadi
yang budiman itu. Akan tetapi, di lain pihak ia menyadari,
betapa berat usaha yang harus dilakukannya hingga ia
menjadi kesatria sejati seperti Raden Girilaya. Melihat
kemurungan itu, heranlah Saltiwin. Ia bertanya, "Raden,
mengapa Raden bersedih?"
Untuk beberapa lama, Banyak Sumba tidak menjawab, ia
tetap menunduk. Akhirnya, karena Saltiwin memandangnya
dengan keheranan, berkatalah Banyak Sumba, "Paman,
sebenarnya tidaklah tepat saya menjadi pengganti Raden
Girilaya. Ia kesatria yang budiman. Saya bukan apa-apa
dibandingkan dengan dia. Mungkin gerakan-gerakan saya
lebih baik, lebih ampuh dalam berkelahi. Akan tetapi, seorang
guru tidak cukup dengan itu. Ia harus berjiwa besar seperti
Raden Girilaya. Sungguh, saya terlalu kecil untuk menjadi
pengajar putra-putra bangsawan di dalam puri," ujar Banyak
Sumba. "Raden! Tapi Raden Girilaya sangat kagum kepada Raden.
Di samping memuji-muji ketangkasan Raden, ia pun memuji
kehalusan tingkah laku dan tutur kata Raden. Paman heran
kalau Raden bersedih. Ini kesempatan yang sebaik-baiknya."
"Paman, tahukah Paman kapan Raden Girilaya akan
berangkat?" tanya Banyak Sumba seraya dalam hati
merencanakan akan menemuinya untuk berunding
"Sudah berangkat kemarin pagi, Raden. Jadi, Raden tinggal
pindah dari rumah ini ke rumah Paman, dan besok pagi mulai
mengajari anak-anak," ujar Paman Saltiwin dengan gembira.
Banyak Sumba menarik napas panjang, lalu berkata, "Baiklah,
Paman. Biarlah, saya akan mencari Raden Girilaya."
"Ia pergi tidak tahu tujuannya, Raden. Ia akan
mengembara seperti Raden mengembara. Katanya, ia akan
mempelajari ilmu kenegaraan, lalu mengikuti Pangeran
Purbawisesa ke Pakuan Pajajaran."
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi. Ia sadar bahwa
ia tidak akan dapat menerangkan persoalan-persoalan yang
ada dalam hatinya kepada orang seperti Saltiwin. Maka,
disanggupinya apa yang diminta Saltiwin dan keesokan
harinya, Banyak Sumba pindah ke rumah Saltiwin di dalam
puri. Setelah dibawa menghadap Raden Girijaya, pamanda
Raden Girilaya yang mewakili Pangeran Purbawisesa,
ditetapkanlah ia menjadi pengajar keperwiraan di dalam puri.
"Anak Muda," kata Raden Girijaya, "anakku Girilaya sangat
memuji kepandaianmu dan tingkah laku serta tutur katamu.
Saya pun melihat bahwa engkau bangsawan sejati," katanya.
Banyak Sumba menundukkan kepala memberi hormat sambil
menyembunyikan air mukanya yang sedih.
KEESOKAN harinya, Banyak Sumba mulai mengajar.
Muridnya ada empat puluh dua orang. Anak-anak ponggawa
yang pernah diajarnya, atas izin Raden Girijaya, sekarang
dibolehkan ikut belajar dengan putra-putra bangsawan tinggi
penghuni puri. Pelajaran itu pagi hari dilaksanakan di luar puri.
Sore hari dan kalau hari hujan, disediakan ruangan khusus,
yaitu ruangan yang berhubungan dengan gudang senjata.
Dalam pelajaran-pelajaran utama, Banyak Sumba
menjelaskan bahwa tenaga atau kekuatan bukanlah syarat
mutlak bagi ketangguhan seorang prajurit. Syarat lain adalah
ketangkasan. Bukan pukulan yang keras, pegangan yang
sukar dibuka, cekikan yang menutup lubang napas dengan
sempurna, atau kuncian yang ketat saja yang harus dikuasai;
tetapi seluruh anggota tubuh harus tunduk kepada kehendak
kita. Seluruh anggota tubuh harus dapat diperintah untuk
melakukan apa-apa yang kita ingini. Kelincahan bukan saja
menyarankan adanya kemampuan pikiran memerintah
anggota badan, tetapi menyarankan pula adanya kecerdasan.
Bagaimanapun, kemampuan untuk mempergunakan segala
kemungkinan gerak anggota tubuh bukanlah tujuan terakhir.
Tujuan terakhir latihan kelincahan adalah kemampuan
memerintah anggota tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan
yang sesuai dengan kebutuhan setempat dan sewaktu dalam
suatu perkelahian.
Itulah yang diterangkan Banyak Sumba pada hari pertama
kepada murid-murid barunya.
Setiap selesai memberikan latihan, Banyak Sumba pulang
ke rumah Saltiwin. Di sana, ia terus-menerus menunggu
kedatangan Jasik atau Arsim yang dimintanya untuk terus
berusaha mencari guru yang baik. Ia hampir tidak sabar lagi,
bahkan kadang-kadang bertekad untuk berangkat kembali
mengembara seandainya tidak ada yang menahannya.
Pertama, perbekalan yang dikumpulkan belum mencukupi;
kedua, ia tidak mau meninggalkan murid-muridnya begitu saja
sebelum mereka mendapat ilmu yang cukup; ketiga, Nyai
Emas Purbamanik yang berada di dalam puri.
Pada suatu malam, datanglah Asih, anak Saltiwin yang
bekerja di kaputren. Ketika itu, Banyak Sumba sedang
berbaring di dalam ruangannya dan terdengar Asih berkata
kepada ayahnya di ruangan tengah, "Bapak, pemimpin
gulang-gulang sedang sakit dan ada keperluan mendesak.
Beliau bermaksud pergi ke Kutabarang untuk membeli
sesuatu. Beliau bertanya kepada saya, apakah pengajar ilmu
keperwiraan itu dapat menggantikan pemimpin gulang-gulang
untuk sementara?"
Mendengar itu, berdebarlah jantung Banyak Sumba,
gembira bercampur cemas. Banyak Sumba berdoa, mudahmudahan
Paman Saltiwin menyetujui usul yang disimpulkan
dalam pertanyaan itu. Ditunggunya jawaban Saltiwin dengan
melekatkan telinga ke dinding, "Asih, Raden Sumba ini bukan
orang sembarangan. Ia seorang bangsawan, kau bisa
melihatnya sendiri dari rupa, sikap, dan tutur katanya. Bapak
sendiri yakin, Raden Sumba seorang bangsawan tinggi yang
sedang mencari ilmu dengan menyamar. Itulah sebabnya, kita
tidak dapat meminta sembarangan bantuan kepadanya.
Misalnya, mengawal Tuan Putri ke Kutabarang yang hanya
merupakan tugas seorang ponggawa biasa."
"Saya juga sudah mengemukakan hal itu kepada Tuan
Putri, dan memang Tuan Putri pun menduga demikian. Akan
tetapi, menurut pendapat Tuan Putri, tidak ada salahnya kalau
kita minta pertolongan kepadanya karena orang yang sedang
menyamar akan senang sekali diperlakukan seolah-olah dia
tidak sedang menyamar," kata Asih kepada ayahnya.
"Kalau demikian pertimbangan Tuan Putri, baiklah. Akan
tetapi, berat bagiku untuk menyampaikannya kepada Raden
Sumba. Segan aku untuk meneruskan permintaan itu,
jangan-jangan hal itu dianggap kelancangan olehnya."
"Bagaimana kalau Tuan Putri memerintahkan hal itu kepada
Bapak?" "Kalau demikian, lain soalnya. Aku hanya orang yang
menyampaikan dan karena itu tidak dapat dianggap lancang,"
ujar Paman Saltiwin.
"Kalau begitu, saya akan menyampaikannya kepada Tuan
Putri." "Ya. Jelaskan kepada beliau bahwa aku menyangka Raden
Sumba ini bangsawan tinggi yang di masa depan akan
memangku jabatan kenegaraan yang penting. Oleh karena itu,
ia harus mencari pengalaman dengan jalan berprihatin dan
menyamar seperti yang dilakukan sekarang."
"Tuan Putri pun menyangka demikian. Beliau sering
membincangkannya dengan saya."
"Syukurlah kalau begitu, jadi aku tidak usah
mengemukakan alasan-alasan tentang kesegananku untuk
meminta sesuatu kepada Raden Sumba, walaupun sekarang
Raden Sumba sudah dapat dianggap pegawai di dalam puri
ini." Keesokan harinya, sebelum Banyak Sumba siap untuk
mengajar, datang rombongan Nyai Emas Purbamanik. Dengan
hati berdebar-debar, Banyak Sumba duduk di samping Paman
Saltiwin yang mempersilakan Tuan Putri di serambi rumahnya
yang luas dan bersih itu.
"Ponggawa," ujar Tuan Putri setelah beberapa lama
ruangan hening, "saya memerlukan bantuanmu."
Sebutan ponggawa sangat berkesan dalam hati Banyak
Sumba. Bagaimanapun, kalau tidak menduga penyamarannya,
Tuan Putri tidak akan menyebutnya ponggawa.
"Hamba mohon diberi tahu, apa kehendak Tuan Putri," ujar
Banyak Sumba. "Kepala gulang-gulang kami jatuh dari kuda dan terkilir
kakinya. Untuk beberapa lama, ia tidak akan dapat melakukan
kewajibannya. Saya perlu pergi ke Kutabarang untuk
mengunjungi sanak keluarga di sana dan membeli beberapa
barang keperluan. Itulah sebabnya, saya minta bantuanmu
untuk memimpin para pengawal," kata Tuan Putri dengan
suara seorang majikan yang memerintah kepada
panakawannya. Sikap dan cara bicara Tuan Putri kepadanya
menyenangkan Banyak Sumba. Rupanya, Tuan Putri benar
hendak memainkan suatu peran dalam sandiwara yang
diciptakannya. "Tentu saja hamba harus mematuhi perintah Tuan Putri,
seandainya Tuan Putri beranggapan bahwa hamba cocok
untuk tugas itu."
"Para pembantuku menyatakan bahwa engkau seorang
ponggawa dan prajurit yang baik. Saya percaya kepada
mereka," ujar Tuan Putri pula, nada bicaranya lebih angkuh
daripada seharusnya. Ini pun menyenangkan hati Banyak
Sumba yang menyadari bahwa Nyai Emas Purbamanik
mengetahui keadaan dirinya dengan baik pula.
Tak lama kemudian, Tuan Putri memerintahkan agar para
pengawalnya bersiap kembali ke dalam Istana Pangeran
Purbawisesa. Sebelum pergi, Tuan Putri memerintah dengan
tegas dan angkuh bahwa pagi-pagi benar, ketika matahari
terbit, Banyak Sumba harus sudah siap di gerbang puri dan
mengurus segala-galanya dengan para gulang-gulang yang
akan dipimpinnya. Setelah itu, putri yang cantik jelita tersebut
meninggalkan rumah Paman Saltiwin.
Banyak Sumba manarik napas panjang, lalu berpaling
kepada Paman Saltiwin yang ada di sampingnya. Ia terkejut
ketika melihat Paman Saltwin bersedih hati.
"Apakah yang terjadi, Paman?" tanya Banyak Sumba
keheranan dan cemas.
"Tidak, Raden."
"Katakanlah Paman, barangkali saya akan dapat membantu
mengatasi kesusahan Paman."
"Tidak, Raden, Paman tidak mendapat kesusahan."
"Tapi, Paman bersedih hati. Katakanlah kepada saya,
mengapa" Barangkali saya dapat membantu Paman."
"Raden, tidak pada tempatnya sebenarnya Paman
mengatakan hal ini. Bagaimanapun, Tuan Putri adalah majikan
Paman. Akan tetapi, sikapnya terhadap Raden sekali-kali tidak
Paman setujui. Paman sungguh-sungguh sedih melihat hal itu.
Biasanya Tuan Putri begitu halus, begitu lemah lembut, dan
rendah hati walaupun beliau seorang bangsawan tinggi. Baru
terhadap Raden, beliau bertindak ... ya ... kasar dan angkuh,
bertindak sebagai seorang majikan terhadap panakawannya.
Padahal... sebelumnya Tuan Putri tidak pernah membedakan
antara orang biasa dan bangsawan, ponggawa rendahan dan
ponggawa tinggi. Baru sekarang tindakannya tidak sesuai
dengan wataknya, dan hal itu terhadap Raden pula
ditunjukkannya."
Banyak Sumba tersenyum dalam hati. Akan tetapi, ia
bersungguh-sungguh ketika bicara kepada Paman Saltiwin. Ia
berkata, "Paman, hak Tuan Putri untuk memperlakukan saya
sekehendak beliau. Saya berlindung dan hidup karena
kemurahan keluarga beliau. Bayangkanlah kalau saya tidak
diterima tinggal oleh Paman, yang merupakan bagian dari
keluarga beliau. Tentu saja, saya akan hidup tidak menentu,
terlunta-lunta, dan siapa tahu akan mendapat malapetaka di
tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggal manusia."
"Tidak, Raden. Bagaimanapun, Sang Hiang Tunggal
memerintahkan kita harus memperlakukan sesama manusia
sesuai dengan kedudukannya dalam kasih beliau. Manusia
sama-sama dicintai oleh Hyang Maha Wedi-Asih. Mengapa
manusia harus saling menghinakan dan saling merendahkan
satu sama lain" Benar, selama ini Raden telah hidup di bawah
lindungan dan kasih sayang keluarga Purbawisesa. Tapi
alangkah anehnya, ya alangkah anehnya, Tuan Putri telah
memperlakukan Raden begitu rendah. Paman sungguhsungguh
tidak mengerti. Belum pernah kepada siapa pun Tuan
Putri bersikap dan bertindak demikian. Untuk pertama kali
inilah, dan terhadap Raden pula. Paman panakawan Tuan
Putri, tetapi Paman tidak dapat dicegah untuk berkata, bahkan


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuan Putri tidak adil terhadap Raden."
"Paman, bukankah saya tidak bersedih oleh perlakuan Tuan
Putri itu"Jadi, mengapa pula Paman harus bersedih untuk
saya?" Paman Saltiwin heran dan memandang kepada Banyak
Sumba. Ia sungguh-sungguh heran ketika Banyak Sumba
tersenyum cerah kepadanya. Kemudian, dalam kebingungan ia
berkata, "Syukurlah kalau Raden tidak merasa terhina... akan
tetapi ... saya tidak setuju Tuan Putri bertindak demikian....
Saya lega Raden tidak bersedih, tetapi saya sedih mengapa
Tuan Putri bersikap begitu kasar terhadap Raden."
Banyak Sumba memegang pundak orang tua itu, lalu
mengajaknya berjalan memasuki rumah. Selagi berjalan,
berkatalah ia, "Paman, bergembiralah. Saya akan mendapat
upah sebagai pengawal Tuan Putri itu. Itu berarti, saya akan
segera melepaskan diri dari kemelaratan saya. Saya akan
segera dapat pulang ke tempat kelahiran saya. Saya akan
terbebas dari penghinaan atau perlakuan yang tidak tepat.
Bukankah hal itu akan menyenangkan hati Paman?"
"Ya, Raden. Tapi, saya tetap bersedih karena Tuan Putri
telah bersikap dan bertindak tidak pada tempatnya. Mudahmudahan,
hanya sekali inilah beliau khilaf," sambut Paman
Saltiwin, wajahnya masih tetap memperlihatkan kesedihan
hatinya. Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi. Ia mengerti
kesedihan Paman Saltiwin yang makin menyayanginya. Di
samping itu, ia pun menyadari bahwa dalam keadaan biasa, ia
akan marah terhadap periakuan Putri Purbamanik.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi benar Banyak Sumba sudah
bersiap di lapangan kecil yang terbuka di dekat gerbang puri.
Ketika ia datang ke sana, belum ada seorang pun gulanggulang
yang akan dipimpinnya hadir. Ia datang terlalu cepat
karena semalaman tidak dapat tidur nyenyak. Semua yang
direncanakan pada hari sebelumnya terlalu mendebarkan
seluruh jiwanya untuk dapat tidur nyenyak. Oleh karena itu,
ketika ayam berkokok, ia membersihkan diri, berdandan, dan
berangkat ke tempat yang ditentukan.
Sebagai seorang pengawal, ia berpakaian gulang-gulang
biasa. Rambutnya disanggul di atas kepala, agak ke belakang.
Ia berpakaian hitam yang tidak bertangan dan tidak
berkancing di depannya. Celana yang dipakainya adalah
celana son-tog, panjangnya hingga pertengahan betis. Sebuah
kain sarung warna nila muda dikenakannya dan digulung
setengahnya. Pada pinggang, sebagai peneguh kain dipakainya ikat
pinggang lebar yang menjadi tempat lima belati kecil
bergagang gading yang pernah dibelinya dari Kutabarang.
Pada ikat pinggang besar ini disisipkan pula badik panjang
yang tidak tampak dari luar karena tertutup oleh bajunya.
Pada pergelangan kiri dan kanan, dikenakannya gelang
lebar dari kulit. Gelang-gelang kulit ini selain berguna bagi
para gulang-gulang dalam perkelahian dari tangan ke tangan,
dianggap pula sebagai perhiasan yang mengesankan
kegagahan laki-laki Pajajaran. Banyak Sumba mengenakan
perhiasan itu bukan saja untuk menyesuaikan diri dengan para
calon anak buahnya, tetapi untuk menyesuaikan diri dengan
keadaan yang dihadapinya. Tuan Putri bermain sandiwara dan
ia pun akan melaksanakan perannya dalam sandiwara itu
sebaik-baiknya.
Terompah yang dikenakannya dari kulit tebal yang tidak
disamak dan kasar buatannya. Biasanya, ia. tidak pernah
mempergunakan kulit demikian, tetapi sengaja ia
meninggalkan terompah sehari-harinya yang terbuat dari kulit
halus yang disamak dan dihiasi. Hal itu pun dilakukannya
untuk menyesuaikan diri dengan permainan Nyai Emas
Purbamanik. Untuk lebih baik memerankan permainan itu, dibawa pula
sebatang tombak, walaupun sebagai kepala gulang-gulang
yang akan mengawal, sebenarnya ia tidak diharuskan
membawa tombak. Akan tetapi, ia sengaja membawanya
karena dengan pakaian dan senjata tombak itu, lengkaplah ia
berperan sebagai gulang-gulang. Paman Saltiwin yang sangat
bersedih melihat Banyak Sumba berpakaian demikian dan
membawa tombak, menegurnya sebelum ia berangkat,
"Raden, mengapa Raden harus merendah diri dengan
membawa senjata prajurit itu?"
"Paman, Tuan Putri memperlakukan saya sebagai gulanggulang
biasa. Untuk menyenangkan hati beliau, saya akan
berpakaian dan bertindak sebagai gulang-gulang biasa di
hadapan beliau."
Paman Saltiwin tidak berkata apa-apa lagi dan mereka pun
berpisah. Lama sekali Banyak Sumba menunggu di dekat gerbang.
Setelah dengan gelisah ia berjalan-jalan di lapangan kecil itu,
muncullah dari salah sebuah lorong beberapa orang gulanggulang
mendorong kereta. Banyak Sumba segera mendekati
mereka dan bertanya, apakah mereka termasuk anggota
rombongan yang akan mengawal Tuan Putri ke Kutabarang
Mereka mengiyakan dan memberi hormat kepada Banyak
Sumba sebagai pemimpin mereka. Banyak Sumba pun segera
bekerja memimpin pemasangan kuda pada kereta itu. Setelah
pemasangan kuda selesai, diperiksanya pula perlengkapan
lain-lain yang ada di dalam kereta dan di bagian belakangnya.
Setelah itu, Banyak Sumba pergi ke tempat senjata dengan
beberapa orang gulang-gulang. Panji-panji diambilnya dari
kamar senjata, lalu diperiksa dan dibersihkan oleh dua orang
gulang-gulang. Tukang kuda dipanggil dan diperintahkan
untuk memeriksa ladam serta memberi makan kuda itu.
Pekerjaan itu dilakukan dengan cepat karena selagi ia kecil di
Kota Medang, ia biasa mengikuti persiapan rombongan yang
hendak bepergian.
Setelah segalanya siap, diperintahkan agar kereta
diletakkan di tengah-tengah menghadap ke gerbang puri. Di
depan dan di belakang, dibariskan kuda yang siap
ditunggangi. Banyak Sumba sendiri menyiapkan kuda di
samping kanan kereta karena sebagai pemimpin pengawal, ia
harus siap selalu di dekat Tuan Putri untuk sewaktu-waktu
menerima perintah.
Ketika langit menjadi merah di sebelah timur dan ketika
penghuni mulai bermunculan dari rumah mereka, datanglah
rombongan Tuan Putri. Dua orang gulang-gulang yang biasa
menjaga kaputren, mengantar Tuan Putri. Sementara itu,
empat orang emban disertai emban gemuk yang dipanggil
Nyimas Teteh itu, berjalan di belakangnya. Ketika para
gulang-gulang memberi hormat, Tuan Putri tertegun melihat
Banyak Sumba yang berpakaian gulang-gulang biasa. Banyak
Sumba tidak dapat membaca apa yang terlintas dalam hati
Tuan Putri. Akan tetapi, hal itu tidak menjadi renungannya. Ia
segera mempersilakan Tuan Putri untuk memasuki kereta
yang sudah disiapkannya. Tak lama kemudian, gerbang puri
pun dibuka oleh para penjaga. Diiringi bunyi genta kuda yang
meriah, rombongan berangkat ke timur menuju Kutabarang.
Sepanjang hari, rombongan bergerak perlahan-lahan
karena Kutabarang tidak akan dicapai hari itu juga.
Rombongan akan berhenti di sebuah puri bangsawan yang
terletak antara Kutabarang dengan Puri Purbawisesa. Baru
keesokan harinya, perjalanan akan dilanjutkan. Dengan
demikian, perjalanan ke Kutabarang yang biasanya dapat
dicapai dalam waktu satu setengah hari, akan dicapai dalam
dua hari satu malam. Dengan demikian, perjalanan pun tidak
perlu dilakukan dengan tergesa-gesa. Rombongan dapat
menikmatinya sebagai perjalanan pesiar, Tuan Putri dapat
melihat-lihat pemandangan dengan leluasa sepanjang jalan.
Segala rencana perjalanan itu telah dibuat oleh Tuan Putri.
Rencana itu menyenangkan hati Banyak Sumba.
Perjalanan lama akan memberikan kesempatan kepadanya
untuk berdekatan dengan Tuan Putri yang sering menjadi
penghuni hatinya. Ia mengharapkan dalam kesempatan itu
dapat mengenal lebih banyak sifat-sifat Tuan Putri. Kalau
mungkin, ia ingin mengajuk perasaan Tuan Putri kepadanya.
Dengan harapan-harapan dan angan-angan yang indah dalam
hatinya, Banyak Sumba mengendarai kuda di sebelah kanan
kereta Tuan Putri.
Hari masih pagi, bahkan embun masih bergayutan di
semak-semak di kiri-kanan jalan. Jalan pun belum berdebu
karena belum lama embun bangkit. Angin bertiup lembut,
membawa harum bunga-bungaan dan sayup-sayup suara
burung dari arah-hutan-hutan yang abu-abu sejauh mata
memandang. Suara burung itu kadang-kadang diseling suara
percakapan dari dalam kereta, yang sayup-sayup saja
terdengar karena Banyak Sumba tidak berani berjalan dekatdekat
padanya. Keseganan itu bukan saja karena ia hendak
memerankan seorang gulang-gulang sebaik-baiknya, tetapi
juga karena ia tahu bahwa Nyimas Teteh akan mengucapkan
sindiran-sindiran yang menyebabkan merah daun telinganya.
Bagaimanapun, sindiran-sindiran itu menyenangkannya. Akan
tetapi, ia kikuk sekali menerima kegembiraan itu. Pengalaman
baru ini, yaitu pertemuan dengan Nyai Emas Purbamanik serta
dengan kejadian-kejadian yang selanjutnya menyebabkan
terjadinya pergolakan perasaan yang sukar dikendalikannya.
Kegembiraan, kecemasan, ketakutan, harapan, kesayuan
bergalau dalam dadanya, hingga ia ragu-ragu dalam
bertindak. Segala tindakan yang dilakukan di hadapan Tuan
Putri sering menjadi bahan renungannya. Bersamaan itu,
sering sekali ia menyalahkan dirinya, mengapa telah bertindak
demikian. Mungkinkah Tuan Putri akan marah kepadanya"
Keragu-raguan itu, ditambah dengan sindiran-sindiran Nyimas
Teteh, menyebabkan ia kebingungan dan gugup menghadapi
Tuan Putri. Sekarang, ia berpakaian gulang-gulang. Ia bermain
sandiwara karena Tuan Putri memberinya pekerjaan sebagai
seorang ponggawa. Apakah tindakan itu benar" Pertama kali
Tuan Putri melihatnya berpakaian dan bersenjata sebagai
prajurit biasa, Tuan Putri terkejut. Mungkinkah Tuan Putri
akan merasa disindir" Mungkinkah Tuan Putri menganggapnya
terlalu berani" Banyak Sumba terus termenung sambil
mengekang kendali kudanya yang gelisah karena tidak biasa
berjalan lambat.
Tiba-tiba, dari arah depan tampaklah serombongan pedati
kerbau yang mengangkut berbagai macam barang. Rupanya,
rombongan itu datang dari Kutabarang menuju kampungkampung
di sebelah barat untuk menjual barang-barang itu
kepada para petani. Melihat rombongan itu, lupalah Banyak
Sumba pada renungan-renungannya. Ia berseru kepada
rombongannya sendiri agar melambatkan jalan kuda,
kemudian memacu kudanya sendiri ke depan. Pertama
diperiksanya rombongan yang datang itu dengan bertanya
kepada penunggang kuda yang menjadi pencalang
rombongan. Ternyata, rombongan itu bukan rombongan
negara. Ia pun menerangkan bahwa Nyai Emas Purbamanik,
putri Pangeran Purbawisesa, sedang dalam perjalanan. Oleh
karena itu, Banyak Sumba minta diberi jalan. Pencalang itu
memberi hormat kepada Banyak Sumba, lalu berkata,
"Dengan senang hati, Juragan Ponggawa. Saya sendiri bekas
pamagersari pada Pangeran Purbawisesa, hanya nasib yang
membawa saya jauh mengembara. Salam-sembah kepada
Tuan Putri."
"Terima kasih, Pencalang, saya akan menyampaikannya
kepada Tuan Putri," ujar Banyak Sumba seraya membalikkan
kudanya, lalu memacunya ke arah rombongannya sendiri. Ia
memberi aba-aba agar rombongannya berjalan secepatcepatnya.
Sementara itu, ia pun melihat rombongan pedati
kerbau meminggir dan berhenti di atas rumputan di pinggir
jalan. Waktu rombongan berpapasan, pencalang
menghaturkan sembah kepada Tuan Putri yang menjenguk
dari balik tabir. Banyak Sumba melambaikan tangan kepada
pencalang yang menganggukkan kepalanya. Kedua
rombongan itu pun berpapasan dengan lancar, walaupun di
tempat itu jalan sangat sempit.
Pada saat berpapasan itu, kuda Banyak Sumba terpaksa
berdekatan sekali dengan kereta Nyai Emas Purbamanik.
Terdengarlah Nyimas Teteh berseru sambil tertawa, "Gulanggulang,
mudah-mudahan kita sering berpapasan dengan
rombongan saudagar!"
"Teteh, lebih dari itu tidak akan saya ampuni lagi." Tibatiba
terdengar Tuan Putri berkata. Dari nada suaranya
terdengar kemarahan, walaupun masih terkendalikan.
Semenjak itu, Nyimas Teteh tidak banyak terdengar tertawa
ataupun menyindir-nyindir. Hal itu menyenangkan hati Banyak
Sumba karena sindiran-sindiran Nyimas Teteh, walaupun
isinya menyenangkan, selalu menyebabkan mukanya merah.
Setelah Nyimas Teteh ketakutan, Tuan Putri menjadi berani
dan percaya kepada dirinya sendiri. Walaupun dengan nada
suara yang masih gemetar, pada suatu tempat, dipanggilnya
Banyak Sumba, "Sumba!"
Sebutan namanya yang diucapkan Tuan Putri menyentuh
pendengarannya, kemudian menggetarkan hatinya. Ia
mengekang kudanya, lalu mendekat ke arah kereta. Karena
dipanggil, ia berpaling dan memandang ke arah Tuan Putri,
walaupun tidak menatap wajahnya. Ia menjalankan kudanya
di samping kereta dengan khidmat, tetapi untuk beberapa
lama Tuan Putri tidak berkata apa-apa. Dengan tidak sengaja
dan karena hatinya diliputi pertanyaan, ia mengangkat
mukanya memandang ke wajah Tuan Putri. Tampak olehnya
Tuan Putri kebingungan, tidak tahu apa yang hendak
diperbuatnya. Sementara itu, wajahnya berubah-ubah warna,
kadang-kadang pucat, kadang-kadang kemerah-merahan.
Banyak Sumba tiba-tiba lupa bahwa ia sedang bermain
sandiwara dan memainkan peran gulang-gulang. Ketika itu, ia
hanya menyadari bahwa seorang putri yang sangat cantik
duduk malu-malu di hadapannya, dan sikap serta kecantikan
putri itu menimbulkan keberaniannya.
"Katakanlah kepada hamba apa yang Tuan Putri
kehendaki?" ujar Banyak Sumba dengan lancar dan teguh
suaranya. Rupanya, teguran Banyak Sumba itu membantu
melepaskan Tuan Putri dari kegugupannya. Ia hendak
berkata, tetapi sebelum itu ia berpaling kepada Nyimas Teteh
yang mulai bergerak hendak bersuara. Tuan Putri memandang


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tajam kepada emban gemuk itu, lalu berkata
kepadanya, "Teteh, carikan selendangku dalam jinjingan rotan
itu, cepat!" Nyimas Teteh mengerut mendengar bentakan itu
dan dengan patuh melaksanakan perintah tuannya.
"Sumba," kata Tuan Putri dengan suara yang masih
gemetar, "rupanya kau kenal dengan pencalang rombongan
itu. Biasanya, rombongan-rombongan tidak mau mengalah
dan tak memberi jalan hingga perjalanan tidak lancar."
"Tidak, Tuan Putri, tetapi pencalang itu kenal dengan Tuan
Putri. Ia anak salah seorang pamagersari di puri."
"Oh," kata Tuan Putri, lalu hening untuk beberapa lama.
Tuan Putri mulai kebingungan lagi mencari kata-kata, kadangkadang
ia menunduk, kadang-kadang tengadah memandang
ke arah padang-padang, huma, serta hutan yang membentang
di kiri dan kanan jalan. Kebingungan Tuan Putri menyebabkan
ketegangan dalam hati Banyak Sumba. Sebagai seorang lakilaki
yang halus perasaannya, ia menyadari betapa gemetarnya
hati Tuan Putri yang telah memberanikan diri mengatasi rasa
malu serta gangguan-gangguan dari Nyimas Teteh. Banyak'
Sumba merasa terdorong untuk membantu Tuan Putri
melepaskan diri dari suasana yang tidak menyenangkan itu. Ia
segera berkata, "Pemandangan di sini sangat indah, Tuan
Putri." "Ya ... Sumba, saya senang sekali ... melihatnya," ujar
Tuan Putri terputus-putus. Setelah berkata demikian, Tuan
Putri mengerling ke arah Nyimas Teteh. Nyimas Teteh tidak
berani memandang wajah Tuan Putri. Melihat putri yang
masih ragu-ragu itu, Banyak Sumba bertekad untuk
memperlancar percakapan dan membangkitkan keberanian
gadis yang masih muda itu.
"Sebagian dari bukit-bukit dan padang-padang di sini'
pernah hamba jalani, Tuan Putri. Semak-semak itu penuh
bunga-bungaan dan di sana, di tepi hutan itu, hamba melihat
anak rusa yang manis-manis sekali. Mereka tidak takut kepada
manusia, malah beberapa ekor berjalan mengikuti hamba.
Burung di hutan itu indah-indah bulu dan suaranya, hamba
belum pernah melihat burung indah sebanyak di hutan itu,"
kata Banyak Sumba sambil mengenang kembali perjalanannya
setelah perpisahan dengan si Colat.
"Oh, memang hutan itu indah sekali tampaknya dari sini."
"Hamba menganggapnya bukan hutan, Tuan Putri. Hamba
menganggap sebuah taman," ujar Banyak Sumba. Hatinya
lega karena Nyai Emas Purbamanik sudah dapat mengatasi
kebimbangan serta rasa malunya.
"Seringkah ... kau pergi ke sana?" tanya Tuan Putri.
"Baru sekali, Tuan Putri. Itu pun tidak sengaja. Hamba
terpaksa melompati pagar huma dan parit-parit, kemudian
tersesat di hutan itu. Mula-mula hamba ketakutan, kemudian
hamba terpesona dan bersyukur telah tersesat ke dalam hutan
yang indah itu."
"Oh, ingin sekali saya pergi ke sana!" kata Tuan Putri
dengan mata yang bersinar-sinar.
Banyak Sumba memandangi wajah Tuan Putri dengan tidak
dapat mengejapkan kelopak matanya sendiri.
"Bagaimana ... kau sampai tersesat dalam hutan itu?"
"Hamba pengembara yang terlunta-lunta, Tuan Putri," ujar
Banyak Sumba. Perkataannya itu rupanya menyadarkan Tuan
Putri bahwa mereka sedang bermain sandiwara bahwa ia
seorang putri yang berhadapan dengan gulang-gulangnya.
Selama ini, percakapan seolah-olah dilakukan oleh seorang
kesatria dengan seorang putri. Kini, Tuan Putri mulai
mengubah sikapnya dan berkata, "Gu ... gu ... lang-gulang,
senang sekali saya mendengar cerita tentang hutan yang
indah itu. Apakah hutan itu termasuk wilayah kekuasaan
Ayahanda?"
"Hamba kurang mengetahuinya, Tuan Putri. Hamba akan
menanyakannya kepada Paman Saltiwin," jawab Banyak
Sumba, kemudian memberi hormat kepada Tuan Putri karena
ia harus meninggalkan kereta, berhubung dari arah depan
datang serombongan penunggang kuda.
Banyak Sumba menegur pemimpin rombongan dan
menerangkan rombongan mereka. Para penunggang kuda itu
rombongan pedagang yang sedang mencari tempat para
petani yang sedang memanen buah-buahan. Mereka para
pedagang dari Kutabarang yang berjalan lebih dahulu
mendahului rombongan pedati kerbau mereka. Setelah
mereka tahu bahwa rombongan yang ada di hadapan mereka
adalah rombongan bangsawan, mereka pun memberi hormat
dan meminggir. Setelah mereka berpapasan, Banyak Sumba kembali ke
samping kanan kereta. Beberapa kali percakapan tentang
berbagai hal terjadi, tetapi ketika hari mulai panas dan jalan
mulai berdebu, dengan segan Tuan Putri menutup tabir tipis
penutup tingkap kereta. Banyak Sumba tetap melarikan
kudanya di samping kereta. Ia sadar bahwa Tuan Putri terus
memerhatikannya, dan ia merasa berbahagia sekali menyadari
hal itu. Senja itu, rombongan tiba di puri seorang bangsawan
antara Puri Purbawisesa dan Kutabarang. Rombongan
menginap di sana sesuai dengan rencana. Sebelum waktu
istirahat tiba, Banyak Sumba sibuk memimpin para gulanggulang
yang sepuluh orang banyaknya memeriksa semua
kuda, tali-tali perlengkapan, dan kereta. Hal itu perlu
dilakukan karena bukan saja ketelitian dibutuhkan setiap
waktu, tetapi perjalanan hari pertama yang panjang mungkin
sekali banyak menyebabkan perubahan pada perlengkapan.
Semua ladam kuda diperiksa, semua kuda diberi makan dan
minum secukupnya.
Roda kereta diperiksa, sedangkan kereta dibersihkan dari
debu. Mengurus kereta dipimpin Banyak Sumba. Hal itu bukan
saja karena kereta harus berada dalam keadaan baik, tetapi
dalam mengurusnya, Banyak Sumba mendapat kepuasan
tertentu. Ia menyadari bahwa ia sedang mengurus sesuatu
yang sangat berdekatan dengan Tuan Putri. Ia menyadari pula
bahwa dengan mengurus kereta, memperbaiki, dan
membersihkannya, ia sedang memberikan pelayanan kepada
Tuan Putri dengan sebaik-baiknya. Hal itu sangat
menyenangkan hatinya. Akan tetapi, sebelum ia selesai
menunaikan pekerjaannya, seorang penghuni puri datang
kepadanya membawa berita bahwa Tuan Putri memanggilnya.
Banyak Sumba membersihkan dirinya. Setelah berpakaian
rapi, ia berjalan mengikuti pelayan yang menjemputnya
melalui lorong-lorong dari puri kecil itu. Setelah beberapa lama
berjalan, ia dibawa masuk ke suatu ruangan yang besar.
Ketika masuk, terpukaulah ia akan segala yang dilihatnya.
Tuan Putri dengan pakaian kebesarannya duduk di atas
bangku pendek yang ditilami kasur tipis dari sutra. Tangan
kanan Tuan Putri bertelekan pada sebuah bantal guling kecil
yang sama-sama berwarna hijau muda dengan kasurnya.
Sementara itu, kakinya sebelah menjulur menyentuh lantai
yang dialasi permadani. Banyak Sumba yang terpukau berdiri
saja di ambang pintu. Mula-mula matanya tertarik oleh
sanggul Tuan Putri yang bergulung besar dihiasi mutiara,
kemudian oleh leher dan pundak Tuan Putri yang jenjang,
membayang di balik sutra tipis dari Katai warna emas, yang
juga setengah menyembunyikan pinggang Tuan Putri yang
ramping. Banyak Sumba tidak berani memandang wajah Tuan
Putri, ia takut mabuk oleh kecantikannya.
Di samping kiri-kanan Tuan Putri, duduk dua orang emban
yang dibawanya dari Puri Purbawisesa. Tapi, di antara yang
dua orang itu tidak tampak Nyimas Teteh. Ini melegakan hati
Banyak Sumba karena hubungan mereka tidak akan
terganggu. Ketika ia masih tertegun demikian, terdengarlah
Tuan Putri berkata, "Sumba, duduklah."
Mendengar namanya dipanggil dan menyadari bahwa Tuan
Putri tidak memanggilnya dengan sebutan gulang-gulang,
bergetarlah hati Banyak Sumba. Tuan Putri tidak bermain
sandiwara lagi dalam ruangan itu. Hal itu mendebarkan hati
Banyak Sumba karena ia menyadari bahwa hubungan-hubungan
yang wajar dan jujur akan dapat dilakukan dengan Tuan Putri.
Seraya menghaturkan hormat dengan menundukkan kepala,
Banyak Sumba duduk di atas permadani. Ia tidak menyembah
untuk menyatakan kepada Tuan Putri bahwa ia pun tidak
berhak bermain sandiwara lagi dan tidak akan
menyembunyikan kesamaannya. Oleh karena itu, tidak pada
tempatnya menyembah seorang putri yang lebih muda.
"Saya memanggil karena ada perundingan yang harus kita
bicarakan sore ini juga," lanjut Tuan Putri, kebimbangan dan
keragu-raguan dari kata-katanya sudah berkurang setelah
percakapan sebelumnya.
"Katakanlah masalahnya, Tuan Putri."
"Ada. dua jalan dari tempat ini ke Kurabarang Saya dengar
yang satu lebih jauh daripada yang lain. Akan tetapi, yang
agak jauh ini melalui hutan-hutan dan lembah-lembah yang
indah pemandangannya. Kesempatan yang sangat baik bagi
saya untuk menikmati alam, apalagi didampingi oleh orang
yang sudah banyak mengembara dan juga mempunyai rasa
keindahan."
Suatu pujian terhadap dirinya diterima dari putri yang
memesona seluruh jiwanya. Pujian itu menggetarkan hati
Banyak Sumba, tetapi ia tidak mabuk kepayang. Pikirannya
mulai menghadapi usul Tuan Putri yang ingin memilih jalan
yang lebih jauh. Ia mengerti bahwa dengan memilih jalan
yang lebih jauh, mereka akan lebih lama berdekatan. Itu akan
sangat menyenangkan karena akan lebih mendekatkan dan
mengeratkan hubungan mereka. Akan tetapi, satu hal tidak
dilupakan oleh Banyak Sumba yaitu jalan yang agak jauh ini
akan menyebabkan rombongan berjalan malam. Beberapa
kali, terdengar berita ada beberapa pedati kerbau yang
dirampas muatannya, mungkin oleh anak buah si Colat yang
butuh perbekalan atau oleh gerombolan lain. Dengan
kesadaran akan hal-hal itu, terpecahlah pikirannya. Pada satu
pihak ingin sekali ia berdekatan dengan Tuan Putri lebih lama
lagi, di lain pihak ia pun perlu menghindarkan Tuan Putri dari
malapetaka. Dengan sepuluh orang gulang-gulang, sebenarnya ia tidak
perlu takut melalui jalan itu. Akan tetapi, alangkah bodohnya
kalau ia mengambil risiko hanya untuk bersama-sama
beberapa saat dengan Tuan Putri. Akhirnya, pikiran sehatnya
menang dan ia pun berkata kepada Tuan Putri, lembut tapi
tegas, "Tuan Putri, jalan yang satu ini benar-benar
menyenangkan karena pemandangannya indah. Di samping
itu, Tuan Putri akan dapat melihat binatang hutan, yang buas
atau yang tidak buas, berkeliaran di padang-padang di kanankiri
jalan. Akan tetapi, kalau jalan itu yang diambil, rombongan
akan tiba di Kutabarang sebelum tengah malam. Jalan itu
biasa pula dipergunakan oleh perampok untuk mengambil
perbekalan mereka. Para jagabaya yang sedikit jumlahnya dan
agak jauh asramanya dari tempat itu, sukar sekali mengejar
mereka. Itulah sebabnya hamba usulkan agar kita mengambil
jalan yang satu lagi sesuai dengan rencana."
Tampaknya, Tuan Putri kecewa mendengar keterangan itu.
Setelah termenung dan menunduk sebentar, ia berkata,
"Bukankah sepuluh orang gulang-gulang merupakan pasukan
yang sangat besar dan perampok biasanya tidak lebih dari
sepuluh orang?"
"Ya, Tuan Putri. Akan tetapi, dengan mudah mereka akan
dapat mengumpulkan kawan-kawannya yang lain seandainya
mereka melihat rombongan besar. Di samping itu,...." Banyak
Sumba ragu-ragu sebentar sebelum mengucapkan katakatanya,
tetapi sebagai laki-laki ia harus teguh dan berani
menentang keinginannya sendiri kalau keinginan itu tidak baik
dan berbahaya. Setelah menelan liurnya, ia melanjutkan, "...
Di samping itu, pemandangan-pemandangan yang indah akan
kita lihat pula dijalan yang direncanakan semula."
Setelah berkata demikian, ia mengangkat mukanya
memandang Tuan Putri karena ia ingin tahu bagaimana sikap
Tuan Putri terhadap penolakan itu. Ternyata, Tuan Putri pun
memandangnya seolah-olah menyelidiki, apakah penolakan itu
dikemukakan secara jujur atau dibuat-buat. Bagaimanapun,
Tuan Putri rupanya sudah menduga bahwa sebenarnya
Banyak Sumba pun ingin lebih lama berdekatan dengannya.
Dan hal itu hanya dapat dilakukan di jalan yang satu itu. Akan
tetapi, Banyak Sumba dapat mengatasi kecenderungan
hatinya yang berbahaya itu.
Mereka berpandangan untuk beberapa lama. Secara
bersamaan, Tuan Putri tersenyum, lalu menunduk. Setelah itu,
dengan cepat ia mengangkat mukanya kembali dan berkata
dengan teguh, "Bukankah... kau suka sekali pada
pemandangan yang indah" Dari percakapan sore tadi, saya
mengambil kesimpulan bahwa perasaanmu sangat peka akan
keindahan, Sumba."
"Benar, Tuan Putri. Keinginan untuk melalui jalan yang jauh
itu keras sekali dalam hati hamba, hampir saja pikiran hamba
dan rasa tanggung jawab hamba dikalahkannya.
Bagaimanapun, hamba dapat menikmati perjalanan ini lebih
lama kalau kita mengambil jalan yang panjang itu. Akan
tetapi, hamba bertanggung jawab akan keselamatan Tuan
Putri." Tuan Putri termenung sebentar, lalu tersenyum terangterangan
dan tanpa malu-malu berkata, "Perasaan perempuan
yang meluap-luap sewaktu-waktu harus diimbangi oleh pikiran
sehat seorang pria. Saya berterima kasih kepadamu, Sumba,
karena telah mengalihkan perhatian saya dari godaan
perasaan yang bukan-bukan itu."
"Sama sekali tidak mengherankan perasaan itu, Tuan Putri.
Hamba sendiri ingin sekali melalui jalan itu. Seandainya kita
akan pergi lagi ke Kutabarang di masa-masa yang akan
datang, jalan itu dapat diambil, asalkan kita menetapkan
waktu secara lain. Sama sekali hamba tidak menganggap
perasaan Tuan Putri itu merupakan hal yang bukan-bukan,
bahkan hamba menganggapnya sebagai sesuatu perasaan
wajar, yang timbul dari hati yang mencintai keindahan."
"Rupanya engkau benar-benar mencintai keindahan,
Sumba?" "Saya berterima kasih kepada Tuan Putri karena dengan
tugas pengawalan ini, hamba mabuk kepayang oleh
keindahan."
Tuan Putri tertegun sejenak, kemudian wajahnya


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemerahan dalam cahaya lampu yang sangat terang itu.
Banyak Sumba terkejut dan menyesal telah mengucapkan
perkataan yang secara langsung mengemukakan isi hati yang
sebenarnya. Akan tetapi, kata-katanya sudah terlontar dan
menyebabkan tercipta suasana yang kaku. Betapapun, Tuan
Putri masih sangat muda. Oleh karena itu, ia masih pemalu.
Itulah sebabnya, dalam keheningan itu, Banyak Sumba
mencoba mencari kata-kata untuk mengubah suasana.
Akhirnya, terpikir olehnya bahwa saatnya sudah tiba untuk
mohon diri karena sudah lama sekali ia berada dalam ruangan
itu. Akan tetapi, perkataannya tidak mau keluar juga. Berat
baginya untuk meninggalkan kehadiran Tuan Putri, sedangkan
kesempatan semacam itu mungkin tidak mudah untuk
didapatnya kembali. Akan tetapi, suasana yang menekan itu
pun harus dihindarikan demi Tuan Putri sendiri. Akhirnya,
sebagai kesatria yang tidak boleh mementingkan dirinya
sendiri, ia berkata, "Tuan Putri, seandainya tidak ada lagi yang
akan dirundingkan, perkenankan hamba mohon diri."
"Nanti dulu, Sumba," kata Tuan Putri. Kata-katanya
terlontar begitu saja, seolah-olah tidak terkendali. Mendengar
itu, Banyak Sumba terkejut bercampur senang. Rupanya Tuan
Putri pun terkejut oleh perkataannya sendiri. Ia menundukkan
kepala dan sanggulnya yang indah berhias mutiara itu
bergerak perlahan-lahan. Sementara itu, jari-jari tangannya
yang tirus mempermainkan kalung. Sekarang, Banyak Sumba
mencari kembali kata-kata untuk menghilangkan suasana
kaku. Tuan Putri mengangkat kepala, lalu bertanya, "Sumba,
ceritakanlah kepadaku asal usulmu."
Mendengar permintaan itu, tertegunlah Banyak Sumba. Ia
menunduk memandangi lukisan-lukisan indah pada permadani
yang didudukinya. Lama sekali ia tidak dapat berkata,
kenangannya kembali pada nasibnya, pada segala
pengalaman yang telah dilaluinya, pada tugas yang diemban
tetapi belum ditunaikannya. Kesedihannya tiba-tiba
menyesakkan dadanya, berbaur dengan kerinduan akan
tempat kelahiran dan keluarganya.
Rupanya,' Tuan Putri menyadari bahwa Banyak Sumba
menjadi sedih mendengar pertanyaan itu. Tuan Putri segera
berkata dengan lemah lembut, "Sumba, maafkan saya.
Seandainya asal usulmu merupakan rahasia dan seandainya
menceritakan hal itu dapat menyedihkanmu, janganlah kau
menceritakannya. Saya tidak berhak meminta hal-hal yang
tidak mungkin dipenuhi. Maafkanlah."
Banyak Sumba demikian terharu akan kehalusan perasaan
Tuan Putri dan begitu besar perasaan terima kasihnya karena
Tuan Putri telah menarik kembali permohonannya, hingga ia
lupa bahwa ia tidak diharuskan menyembah kepadanya.
Sambil menyembah, Banyak Sumba memohon diri untuk
kedua kali. Sekali lagi, Tuan Putri dengan cepat mencegahnya
dan berkata, "Saya ada rencana, Sumba."
Banyak Sumba diam untuk beberapa lama, menanti
penjelasan Tuan Putri. Akan tetapi, penjelasan itu tidak
diucapkan juga. Baru ketika ia mengangkat mukanya, Tuan
Putri berkata, "Saya kira, kau sudah banyak mengembara dan
oleh karena itu tahu bagian-bagian kerajaan yang memiliki
pemandangan yang indah, puri-puri yang megah, dan kotakota
yang ramai. Saya ada rencana untuk berkunjung ke
Pakuan Pajajaran. Sudah lama saya tidak berjumpa dengan
Ayahanda. Saya akan meminta izin kepada Pamanda Girijaya.
Kalau permohonan itu dikabulkan, saya akan meminta kau
memimpin kembali para pengawal."
Rencana itu sangat menyenangkan Banyak Sumba. Ia
segera berkata, "Hamba menyokong rencana Tuan Putri
karena hamba pun ingin sekali mengunjungi Pakuan
Pajajaran. Mudah-mudahan, pamanda Tuan Putri berkenan."
"Sumba, kalau begitu, saya akan memohon izin segera
setelah kita kembali dari Kutabarang. Sebaiknya kita tidak
terlalu lama di Kutabarang karena perjalanan ke Pakuan
Pajajaran lebih jauh dan lebih lama, bukan?"
"Ya, Tuan Putri," ujar Banyak Sumba. Lalu, Tuan Putri
bertanya tentang itu dan ini, membicarakan segala rencana itu
dengan Banyak Sumba. Larut malam, baru Banyak Sumba
diizinkan meninggalkan ruangan itu. Setiba di tempatnya
menginap dalam puri, Banyak Sumba tidak segera tidur.
Pengalaman yang baru dilaluinya begitu menggetarkan
hatinya. Dan ketika ia tidur, mimpi-mimpi yang indah
memenuhi khayalnya.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi rombongan telah keluar dari
gerbang puri kecil itu dan bergerak ke timur, ke Kutabarang.
Hari itu, Tuan Putri makin akrab dan makin berani berbincangbincang
dengan Banyak Sumba. Nyimas Teteh rupanya
mendapat murka Tuan Putri. Ia menjauh dan tidak berani
menyindir-nyindir dan bermain-main lagi.
Setiba di Kutabarang, Nyai" Emas Purbamanik langsung
mengunjungi rumah besar tempat tinggal bangsawan yang
masih ada hubungan darah dengan keluarganya. Banyak
Sumba dengan rombongan ditempatkan di suatu
pesanggrahan yang berada di luar benteng. Akan tetapi,
keesokan harinya pagi-pagi benar, panggilan tiba kepada
Banyak Sumba yang segera berangkat memasuki Kutabarang.
Ternyata, Tuan Putri meminta pengawalannya di dalam kota.
Tugas ini sangat menggembirakan Banyak Sumba.
Banyak Sumba mengiringkan Tuan Putri-yang ditemani
seorang emban keluar masuk lorong-lorong tempat para
saudagar menebarkan dagangan mereka. Bermacam-macam
cita dari negeri Katai, ratna mutu manikam dari negeri
Bagdad, dan seribu satu macam barang-barang yang indah
ada di pasar Kutabarang. Barang-barang buatan anak negeri
sendiri tidak kalah banyaknya di pasar itu. Gading gajah, cula
badak yang berukir, perhiasan-perhiasan dari tanduk yang
disaputi emas dan ditatah dengan permata tidak kurang pula.
Di samping itu, ada pula pakaian laki-laki yang terbuat dari
kain ataupun kulit yang disamak, serta senjata hiasan yang
indah-indah buatannya. Akan tetapi, segala benda itu kurang
menarik perhatian Banyak Sumba ketika itu. Tuan Putri yang
ada di dekatnya merebut seluruh perhatiannya.
Tuan Putri memilih beberapa perhiasan yang indah-indah
dan berulang-ulang bertanya kepada Banyak Sumba, "Sumba,
bagaimana pendapatmu tentang kalung ini?"
Banyak Sumba yang banyak tahu tentang aneka macam
perhiasan dan mutu pembuatannya membantu Tuan Putri
memilihkan barang-barang itu dengan pendapat-pendapatnya.
"Rupanya engkau ahli dalam soal perhiasan, Sumba."
"Di kota tempat kelahiran hamba ... rumah hamba
berdekatan dengan pandai emas, Tuan Putri," ujar Banyak
Sumba. "Oh."
Pada suatu tempat, Nyai Emas Purbamanik sangat tertarik
oleh sebuah sisir hiasan sanggul yang terbuat dari gading dan
berselaput emas serta bertakhtakan intan permata.
"Dua keping emas, Tuan Putri," kata pedagang itu dengan
hormat. "Oh, terlalu mahal, saya sudah terlalu banyak
mengeluarkan uang," kata Tuan Putri sambil menjauh, tetapi
matanya masih tertambat kepada benda yang indah itu.
Banyak Sumba tertegun sebentar, kemudian berjalan
mengiringkan Tuan Putri dalam kesibukan orang-orang yang
sedang berjual beli itu.
Setelah ia mengantar kembali Tuan Putri ke rumah
bangsawan tempatnya menginap, Banyak Sumba tidak segera
kembali ke pesanggrahan di luar benteng. Ia berjalan ke arah
lapangan tempat pasar berada, lalu dibelinya sisir hiasan yang
terbuat dari gading itu.
"Saya telah menduga bahwa akhirnya Tuan Putri akan
menyuruhmu membeli perhiasan ini. Beliau sangat berkenan
tadi." "... Ya, Paman," ujar Banyak Sumba sambil melangkah
meninggalkan tempat itu menuju ke gerbang, kemudian
berjalan ke tempat ia menambatkan kuda.
Perjalanan pulang dari Kutabarang tidak kurang
membahagiakannya bagi Banyak Sumba. Nyai Emas
Purbamanik sudah tidak malu-malu atau ragu-ragu lagi
berbincang-bincang dengannya. Dan dalam perjalanan pulang
itu, rencana untuk pergi ke Pakuan Pajajaran dimatangkan.
"Oh, saya berdoa mudah-mudahan Pamanda Girijaya
mengizinkan."
"Hamba pun berdoa, Tuan Putri," ujar Banyak Sumba.
"Begitu sampai puri, saya akan menyampaikan rencana itu,
Sumba." "Hamba akan menunggu berita dari Tuan Putri," sahut
Banyak Sumba, "hamba pun tidak sabar menunggu berita itu,
Tuan Putri," ia melanjutkan perkataannya dengan berani, lupa
bahwa ia sedang bermain sandiwara sebagai gulang-gulang.
Kemudian, Tuan Putri bercerita tentang pengalamannya di
masa kecil ketika ia bersama Ayahanda dan Ibunda yang telah
tiada, tinggal di ibu kota Pakuan Pajajaran. Diceritakannya
tentang pintu gerbang kota yang sangat besar, tentang
menara-menara yang terbuat dari kayu menjulang di atas
benteng, tentang rumah-rumah yang indah-indah, tamantaman
luas yang ditanami beribu macam bunga dan
sebagainya. "Kita akan menyewa sebuah kereta kecil dan engkau akan
saya bawa berkeliling kota," ujar Tuan Putri, lupa bahwa yang
diajaknya bicara seorang pemimpin pengawal dan bukan
orang yang pantas diajak berbicara demikian. Rupanya,
setelah perkataannya itu diucapkan, baru Nyai Emas
Purbamanik sadar akan kekhilafannya. Ia segera menyusul
kalimatnya, "Maksud saya, engkau mengawalku mengelilingi
kota." Banyak Sumba tidak berkata apa-apa karena apa pun yang
dikatakan Tuan Putri, semuanya menyenangkannya belaka,
membawa perasaannya terbang ke langit kebahagiaan.
Kemudian, Nyai Emas Purbamanik berseru karena di tepi
jalan dilihatnya lapangan kecil yang ditumbuhi bunga-bungaan
yang indah-indah warnanya.
Rombongan pun berhenti sebentar dan Banyak Sumba
mengiringkan Tuan Putri melihat-lihat bunga dan memetik
beberapa kuntum. Perjalanan diteruskan kembali dan setelah
menginap semalam di puri yang pernah disinggahi rombongan
dalam perjalanan menuju Kutabarang, keesokan harinya"
pada senja hari"tibalah rombongan di Puri Purbawisesa.
Malam itu, ketika Banyak Sumba sedang bercakap-cakap
dengan Paman Saltiwin, datanglah seorang emban diiringkan
seorang gulang-gulang. Ternyata, kedua orang pendatang itu
utusan Tuan Putri yang membawa berita buat Banyak Sumba.
Dengan tangan gemetar dan hati tidak sabar, Banyak Sumba
membuka kotak lontar kecil yang indah, lalu mengambil lontar
yang putih bersih dan membaca tulisan yang ada di dalamnya,
Sumba, Pamanda memberikan izin itu. Datanglah besok
pagi-pagi, kita membuat rencana bersama-sama "
Purbamanik. Berulang-ulang Banyak Sumba mengucapkan terima kasih
kepada gulang-gulang dan emban yang mengantar surat itu,
hingga kedua orang itu keheranan oleh kelakuannya.
Demikian juga Paman Saltiwin yang melihat perubahan pada
tingkah laku Banyak Sumba ketika itu. Malam itu, Banyak
S.umba sendiri tidak dapat tidur nyenyak. Segala harapannya
untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan Nyai Emas
Purbamanik menjadi mimpi yang menghiasi tidurnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Banyak Sumba mengatur
latihan murid-muridnya, lalu berangkat ke kaputren.
"Engkau terlambat, Sumba."
"Maafkan hamba, Tuan Putri, hamba harus mengurus dulu
murid-murid hamba," jawab Banyak Sumba. Sekarang, Nyai
Emas Purbamanik yang tampak merasa bersalah, "Sayalah
yang harus dimaafkan, mengundangmu tidak
memperhitungkan waktu," katanya. Banyak Sumba tidak
terlalu mendengarkan permintaan maaf itu. Yang
menyenangkannya justru teguran Tuan Putri yang pertama.
Karena dengan adanya teguran itu, ia tahu bahwa Tuan Putri
telah lama menunggu dan mengharap-harapkan
kedatangannya. Perundingan pun dimulailah, tetapi tidak segera
menghasilkan keputusan karena Tuan Putri sering sekali
mengalihkan percakapan. Akhirnya, keputusan itu pun
ditentukan, yaitu mereka akan berangkat ke ibu kota Pakuan
Pajajaran dalam waktu lima hari sejak hari itu.
"Kita akan berhenti dua kali, pertama, di puri Pamanda
Girang Pinji, kedua, di puri Pamanda Banga. Kalau perlu, kita
dapat menginap di kampung, tentu saja kampung yang besar
dan diperkuat dengan pagar tinggi," kata Tuan Putri.
"Baik, Tuan Putri," kata Banyak Sumba.
"Kebetulan bulan purnama, sehari sebelum kita sampai ke
Pakuan itu, Sumba," sambung Tuan Putri. Mereka
berpandangan sekejap, kemudian mengalihkan tatapan
masing-masing. Hari-hari sebelum keberangkatan itu pun dipergunakan
Banyak Sumba untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan.
Walaupun secara resmi para pengawal belum diperintah untuk
bersiap-siap, Banyak Sumba sudah menghubungi mereka dan
memberi tahu adanya rencana tersebut. Semua kuda tidak
boleh dipergunakan untuk perjalanan yang terlalu melelahkan,
demikian permintaan Banyak Sumba kepada mereka itu.
Mereka juga senang mendengar rencana itu, bukan saja
karena mereka ingin tahu dan membuktikan sendiri tentang
keramaian ibu kota Pakuan, tetapi mereka pun merasa bahwa
Banyak Sumba lebih mengerti dan menenggang kepentingankepentingan
mereka daripada pemimpin mereka yang sedang
sakit. Itulah yang didengar Banyak Sumba secara tidak
langsung dari percakapan-percakapan mereka.
Akan tetapi, dua hari sebelum rencana keberangkatan tiba,
datanglah Jasik dan Arsim dari Kutabarang.
"Raden, Sunan Ambu telah menganugerahkan kesempatan
baik kepada kita untuk dapat menemukan guru itu!" kata Jasik
sambil menghaturkan sembah kepada Banyak Sumba.
"Kita pasti mendapat guru itu, Den Sumba!" Arsim menyela
dengan penuh semangat.
"Ceritakan kepadaku, apa yang terjadi," ujar Banyak
Sumba. "Begini, Raden," lanjut Jasik, "seminggu berselang, dalam


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu keramaian terjadi perkelahian antara dua kelompok
murid dari dua perguruan. Para jagabaya terlambat datang
hingga sudah jatuh beberapa orang korban. Tidak ada korban
_ jiwa, tetapi kedua pihak tidak dapat melewatkan peristiwa
itu tanpa dendam. Kebetulan, kami mendengar bahwa setelah
itu, terjadi perkelahian-perkelahian di huma-huma dan di
padang-padang sekitar Kutabarang. Akhirnya, kami
mendengar bahwa pada bulan purnama ini akan diadakan
perkelahian besar-besaran dan kedua pihak yang terlibat akan
berkelahi sampai titik darah penghabisan."
Mendengar itu, dan terutama mendengar perkataan "bulan
purnama", bimbanglah Banyak Sumba. Ia sudah berjanji
dengan gadis yang makin lama makin erat mengikat batinnya,
tetapi ia pun menyadari bahwa mencari guru adalah tugasnya
yang utama. Yang lain-lain harus dikesampingkan. Ia
sungguh-sungguh bingung, lalu berkata kepada kedua orang
panaka-wannya, "Pastikah kalian bahwa kita akan menemukan
guru yang baik?"
Mendengar pertanyaan itu, heranlah Jasik dan Arsim. Jasik
dengan mata yang tidak berkedip memandang ke arah Banyak
Sumba sambil berkata, "Raden, kita harus mencoba
menemukannya di sana. Ini kesempatan yang luar biasa
baiknya. Dalam perkelahian mati-matian ini akan dikeluarkan
seluruh ilmu mereka yang terlibat. Di sanalah kita akan
Dewi Sungai Kuning 2 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Suling Emas Dan Naga Siluman 4

Cari Blog Ini