Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 9

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 9


Tunjung, seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar bahwa
Banyak Sumba dan Jasik adalah saudaranya yang datang dari
Kota Medang untuk urusan dagang. Dengan keterangan itu,
Gan Tunjung mengizinkan kedua orang pengembara itu untuk
menyaksikan latihan.
Ruangan latihan itu sebuah lapangan yang dikelilingi
dinding. Banyak Sumba bertanya kepada Arsim, mengapa
tempat latihan itu tidak pakai atap. Sambil tersenyum dan
berbisik, Arsim berkata, "Agar kalau hujan, Gan Tunjung tidak
usah melatih dan dapat,bersenang-senang di Kutabarang, di
tempat judi."
Mendengar penjelasan itu, Banyak Sumba berpaling kepada
Gan Tunjung yang berdiri di tengah siswanya yang mulai
melakukan jurus-jurus. Arsim pun mulai membantu siswa yang
jumlahnya kira-kira tiga puluh orang.
Dari gerakan-gerakan yang mereka lakukan, Banyak Sumba
mengambil kesimpulan bahwa ilmu yang diajarkan dalam
perguruan itu tidaklah lebih tinggi daripada yang diajarkan
oleh Paman Wasis. Jurus-jurusnya memang banyak yang
rumit, tetapi jurus-jurus itu tidak akan banyak gunanya dalam
perkelahian yang sebenarnya. Sementara itu, tampak bahwa
gerakan-gerakan seperti yang dilihat di sana, banyak sekali
yang menggunakan tenaga, bukan kecerdikan. Ini mudah
dimengerti karena Gan Tunjung seorang yang berbadan tinggi
besar dan dengan sendirinya bertenaga kuat. Tenagalah yang
menjadi andalan siswa perguruan itu. Ini akibat sikap dan ilmu
gurunya, yaitu Gan Tunjung. Oleh karena itu, jelas berbeda
dengan sikap dan ilmu Paman Wasis yang lebih mengandalkan
kecerdikan. Pada waktu istirahat, Banyak Sumba bertanya kepada
Arsim yang duduk di dekatnya, "Kang Arsim, mengapa tidak
diberikan cara-cara tipuan yang kita terima dari Paman
Wasis?" Arsim mengerlingkan matanya, lalu berbisik, "Itu rahasia,
Raden. Saya hanya akan menjualnya kalau ada orang yang
mau membayar mahal, mahal sekali. Biarlah mereka menjadi
kuat seperti kerbau dan tetap dengan otak kerbau. Kalau
banyak olah kita, modal kita dikeluarkan, mereka akan tetap
hormat kepada kita, dan ... akan membayar tinggi."
"Kang Arsim, saya yakin, bagi Kang Arsim tidak sukar untuk
mengalahkan Gan Tunjung," kata Banyak Sumba berbisik.
Arsim tampak terkejut, kemudian tersenyum pahit, seolaholah
menganggap bahwa Banyak Sumba seorang yang tolol.
"Raden, kalau saya mengganggu Gan Tunjung, artinya saya
menghilangkan sumber rezeki! Bayangkan, saya jatuhkan Gan
Tunjung dengan tipuan-tipuan dari Paman Wasis, itu berarti
perguruan ini hancur dan saya kehilangan pekerjaan."
"Bukankah Kang Arsim dapat mendirikan perguruan baru?"
"Raden, cita-cita saya bukan jadi guru."
"Tapi, bukankah Kang Arsim dapat mengajarkan ilmu yang
didapat dari Paman Wasis di perguruan ini?"
"Sudah saya katakan, saya menjual mahal ilmu itu, Raden.
Dan... memang ada beberapa orang putra saudagar yang
belajar secara sembunyi-sembunyi kepada saya. Merekalah
yang akan menyebabkan saya segera pulang ke Kota Medang
dan akan mendirikan rumah besar di sana."
Dari obrolan-obrolan Kang Arsim, jelaslah bagi Banyak
Sumba, dengan orang macam apa ia berhadapan. Rupanya,
yang terpenting bagi Kang Arsim di dunia ini adalah uang. Ia
bersedia menghinakan diri di hadapan murid-murid perguruan
itu, demi uang. Ia pun bersedia bertindak sebagai pelayan Gan
Tunjung yang angkuh itu demi uang, walaupun sebenarnya
Gan Tunjung pantas jadi pelayannya kalau ditinjau dari
kepandaiannya berkelahi. Banyak Sumba muak bergaul
dengan orang macam itu.
Akan tetapi, ia sadar bahwa kemuakannya tidak akan siasia
kalau saja Arsim dapat membantunya mencarikan atau
menunjukkan perguruan atau guru yang pantas
dikunjunginya. Setelah latihan selesai, ia pun menanyakan hal
itu. "Raden, sebenarnya banyak juga jagoan di daerah ini.
Kawan-kawan Gan Tunjung ada beberapa orang yang
sebenarnya lebih sigap daripada Gan Tunjung. Kadangkadang,
mereka datang ke sini untuk mengobrol atau
mengurus utang piutang yang biasa terjadi dengan tukang
judi dan sabung ayam. Jagoan-jagoan ini biasa punya murid,
putra-putra saudagar, atau petani kaya. Tapi, secara
umumnya bukan bangsawan seperti Gan Tunjung. Mereka
tidak mendirikan perguruan secara resmi."
"Apakah benar, ada yang lebih pandai daripada Gan
Tunjung?" sela Banyak Sumba yang penasaran.
"Ada, bahkan sangat masyhur, yaitu si Colat. Disebut
begitu karena di keningnya terdapat luka berwarna merah,
bekas golok. Ia sangat pandai dan punya beberapa puluh
orang murid, tetapi budi pekertinya tidak baik sehingga selalu
dibayang-bayangi para jagabaya. Dikabarkan pula, ia tidak
segan-segan membunuh untuk sekeping uang perunggu. Dan
kalau sudah minum tuak, seolah-olah tuak itu menguap saja
dan tidak masuk perutnya."
Banyak Sumba masih penasaran, tetapi Arsim harus
kembali membantu siswa-siswa yang sedang berlatih. Sore itu,
Banyak Sumba dan Jasik kembali ke penginapan di
Kutabarang tanpa berhasil menemukan keterangan yang akan
berguna bagi mereka dalam mencari guru atau perguruan
yang pantas. Berminggu-minggu telah berlalu dalam pengembaraan,
guru yang baik belum juga ditemukan. Banyak Sumba mulai
gelisah. Dan untuk menghilangkan keresahannya itu,
diajaknya Jasik untuk melihat-lihat Kota Kutabarang pada
malam hari. Setelah mandi dan berganti pakaian, mereka berangkat.
Mereka berjalan di jalan-jalan lebar yang di tepinya berjajar
warung-warung yang diterangi lampu minyak kelapa.
Sementara itu, di tiap perempatan dinyalakan pula obor-obor
besar, tempat anak-anak muda berkumpul, mengobrol,
menggoda gadis-gadis yang duduk di serambi rumah yang
remang-remang diterangi lampu. Di sana sini, sayup-sayup
terdengar orang bernyanyi diiringi kecapi dan suling. Dari jauh
terdengar bunyi dogdog dan angklung buncis, mungkin ada
orang yang sedang kenduri. Di jalan-jalan, orang masih hilir
mudik, ada yang berjualan, ada juga yang sedang ngobrol.
Malam hari, orang-orang Kutabarang tidak segera tidur.
Mereka bersenang-senang melepas lelah setelah sibuk bekerja
sepanjang hari.
Di tengah kelompok-kelompok orang inilah, Banyak Sumba
dan panakawannya berjalan tak tentu arah. Kadangkadang,
Banyak Sumba berhenti melihat orang asing yang
menawarkan benda-benda aneh, seperti akik dan akar bahar.
Kadang-kadang, dikunjunginya pula warung yang memajang
senjata kecil dan pendek. Akan tetapi, hatinya yang risau tidak
mendorongnya untuk menikmati tamasya kota itu. Ia berjalan
terlunta-lunta dari lorong ke lorong, di antara orang banyak.
Ia menyesali dirinya karena tidak dapat segera melaksanakan
tugasnya. Ia marah dan tidak dapat menghargai dirinya
sebagai salah seorang wangsa Banyak Citra.
Pertanyaan-pertanyaan Jasik dijawab dengan singkat. Ia
sendiri tidak pernah membuka percakapan. Jasik yang
menyadari suasana hati tuannya sedang tidak baik, tidak
berkata apa-apa lagi. Ia membisu sambil terus mengikuti
tuannya. Mereka pun berjalan, sementara malam makin larut
dan bulan makin tinggi.
Tanpa disadari, mereka menuju suatu perempatan. Di sana,
banyak sekali orang berkumpul. Di tempat itu lebih banyak
obor dipasang hingga malam pun terang benderang. Tampak
pula pedagang luar biasa banyaknya.
Makin lama, orang makin banyak hingga akhirnya Banyak
Sumba dan panakawannya tidak dapat maju lagi. Mula-mula,
Banyak Sumba akan berbalik. Kemudian, terdengarlah suara
kecapi tukang pantun yang dengan lantang dan indah
menggetarkan udara malam yang sejuk. Banyak Sumba
tertegun. Jasik tampaknya senang karena dia tahu Banyak
Sumba senang sekali mendengarkan cerita dan nyanyian
tukang pantun. Ia berharap agar kesenangan itu dapat
mengubah suasana hati tuannya yang sedang kalang kabut.
Maka, berdirilah ia dengan hormat di belakang tuannya.
Banyak Sumba tengadah, mencoba melihat ke panggung
tempat tukang pantun buta itu duduk, dikelilingi para tamu
laki-laki dan para pemuda. Sementara tamu wanita dan
nyonya rumah, bersama para pemudi, berkumpul di seberang
ambang pintu di tengah rumah.
Ketika Banyak Sumba datang, tukang pantun itu sedang
melawak. Ia sedang menceritakan tokoh badut dalam cerita,
tetapi bukan Uwak Batara Lengser. Badut dalam cerita itu
namanya Mang Ogel. Dengan kata-kata yang kocak, tukang
pantun itu menceritakan tubuh Mang Ogel yang bulat,
kepalanya yang bulat, bahkan sampai kuda tunggangannya
pun bulat bentuknya.
Mendengar nama Mang Ogel, mengernyitlah kening Banyak
Sumba. Rasa-rasanya, ia ingat pada nama itu. Mungkin, ada
seorang panakawan atau gulang-gulang atau ponggawa yang
bernama demikian. Juga rasa-rasanya ia ingat bahwa memang
orang itu lucu seperti namanya. Akan tetapi, ia tidak ingat
benar, siapa dan di mana ia pernah bertemu dengan orang
itu. Mungkinkah orang itu pelawak yang biasa ngamen di
pasar Kota Medang" Atau mungkinkah petani, gembala, atau
kusir pedati kerbau kocak yang suka berkunjung ke Kota
Medang" Kemudian, renungannya terhenti karena ia
mendengar tukang pantun itu menyanyi dengan nyaring,
sementara para penonton tertawa dengan riuh.
Ternyata, tukang pantun menceritakan bagaimana Mang
Ogel itu dikeroyok di suatu tempat dekat mata air ketika ia
mengantar tuannya. Juga bagaimana lawannya yang diserang
tidak menyangka dia orang, tetapi batu bulat yang
menggelundung ke hadapan mereka.
"Saya bukan batu, jangan pura-pura, siapa yang berani"!"
seru Mang Ogel sambil siap dengan tangan-tangannya yang
besar. "Hei, Kepiting! Pergi ke laut!" kata lawannya. Mendengar
cerita itu, teringatlah Banyak Sumba akan Mang Ogel yang
diceritakan tukang pantun.
Tukang pantun itu sedang mengisahkan pengalaman
Puragabaya Anggadipati dengan panakawannya yang bernama
Ogel. Memang, Puragabaya Anggadipati dan panakawannya
bertahun-tahun belakangan ini telah menjadi tokoh cerita
yang termasyhur dan disenangi rakyat. Puragabaya
Anggadipati menjadi tokoh kesatria Pajajaran yang
menyerahkan hidupnya bagi kerajaan dan anak negeri,
sedangkan Mang Ogel contoh panakawan setia yang dalam
sukaduka tidak pernah mengeluh, bahkan selalu gembira dan
menghibur tuannya. Mengenai kisah-kisah puragabaya itu,
Banyak Sumba berpendapat bahwa rakyat memuja orang itu
secara membabi buta, sedangkan kisahnya kebanyakan
dilebih-lebihkan.
Akan tetapi, karena Banyak Sumba sangat suka pada
pertunjukan pantun, ia tidak jadi meninggalkan tempat itu.
Kebetulan, suara penyanyi buta itu sangat baik dan
kepandaian bercerita serta bermain kecapinya lumayan.
"Kita tinggal di sini sebentar, Sik," katanya kepadajasik.
"Baik, Raden," jawab Jasik, senang karena tuannya mulai
terhibur. Mereka pun berdiri di antara orang banyak.
Tukang pantun itu mengisahkan bagaimana seorang putra
bangsawan yang bernama Raden Jamu terpilih menjadi calon
puragabaya. Akan tetapi malang, anak yang cekatan dan
manis budi ini mendapat kecelakaan dalam latihan. Akhirnya,
kerajaan memutuskan bahwa Pangeran Anggadipati yang
muda, walaupun baru berumur dua belas tahun, dipilih
menjadi penggantinya. Pangeran yang masih muda itu
menjadi calon paling muda dan berlatih di Padepokan
Tajimalela. Dikisahkan, setelah latihan-latihan yang berat,
pangeran ingin menjadi puragabaya yang tangguh. Dikisahkan
pula bagaimana ia masuk air terjun maut dan keluar dengan
selamat, berkelahi dengan ular dan berhasil membunuh ular
itu. Setelah dilantik, ia menundukkan pemberontakan di Kota
Galuh yang tua. Kemudian, dikisahkan bagaimana seorang
putri yang cantik jelita bernama Yuta Inten menarik hatinya,
betapa mesra mereka berkasih-kasihan, serta betapa
menyedihkan dan cemasnya gadis itu ketika puragabaya
bertugas ke Cipamali untuk mengadakan serangan pada kubukubu
musuh. Akhirnya, diceritakan bagaimana kakak Yuta
Inten yang juga seorang puragabaya hebat menjadi gila
karena kerasukan siluman, dan bagaimana puragabaya yang
gila serta haus darah itu dibunuh oleh Pangeran Anggadipati,
hingga .... Sebelum tukang Pantun itu selesai berkisah, sesosok tubuh
melompat ke atas panggung, lalu berteriak, "Bohong!"
serunya. Sambil berkata demikian, disepaknya kecapi ke
samping. "Raden!" seru Jasik dengan terkejut. Beberapa orang
bangkit dan menyerang Banyak Sumba yang berdiri di atas
panggung di tengah-tengah para tamu. Seseorang menarik
Banyak Sumba dari belakang sambil berseru, "Kurang ajar,
orang gila macam apa berpakaian bagus begini"!"
Yang lain, tanpa berkata-kata, langsung menghantamkan
tangannya ke leher Banyak Sumba. Akan tetapi, tangan itu
ditangkap ketika berada di udara, sedangkan kaki Banyak
Sumba masuk ke perut orang itu. Orang yang menarik baju
Banyak Sumba tidak beruntung pula. Setelah menghantam
yang datang dari depan, Banyak Sumba mundur. Setelah
tubuhnya mendekat pada orang yang memegangnya, tangan
Banyak Sumba menangkap leher orang itu, lalu
melemparkannya ke depan. Orang itu melayang sekejap, lalu
terjerembap di atas gulai, acar-acar, dan berbagai masakan
yang ada di tengah serambi.
Wanita-wanita dan gadis-gadis menjerit-jerit, para tamu
berlompatan ke luar, bahkan ada yang berhambur dari atas
panggung ke tengah-tengah penonton. Tukang pantun
menghilang dituntun anak penuntunnya, sementara tuan
rumah yang punya kenduri pingsan di tengah rumah, di antara


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidangan, karena terkejut.
Sementara itu, di panggung, Banyak Sumba tetap berdiri
menghadapi beberapa orang pemuda dan laki-laki yang
mengepungnya. Ia tidak menunggu serangan, tetapi
menghambur ke kanan ke kiri, ke muka dan ke belakang,
membagikan pukulan yang pernah dipelajarinya dari Paman
Wasis. Ia berkelahi dengan penuh semangat karena segala
dukacita dan kemarahan yang selama ini dipendamnya tibatiba
meledak ke luar menemukan jalannya. Setiap orang yang
menerima pukulan atau tendangannya, kebanyakan roboh dan
tidak dapat tegak kembali.
Tiba-tiba, seorang berhasil menangkap pinggang Banyak
Sumba. Sikut Banyak Sumba tidak dapat dipergunakan
menghantam orang itu karena tangannya harus menghadapi
serangan yang datang dari muka. Ketika Banyak Sumba mulai
kewalahan harus menghadapi serangan sambil diberati oleh
orang yang erat-erat memegang pinggangnya, ia terpaksa
mengerahkan seluruh tenaganya untuk membanting tubuh
orang itu dengan gerakan badannya. Ia membanting orang itu
ke tiang panggung yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan gerakan yang kuat, ia mengibas orang itu hingga
kakinya terangkat dari lantai panggung, sementara tangannya
menangkis pukulan dari depan.
Pinggang orang itu menghantam tiang. Saking kerasnya, ia
mengaduh dan melepaskan pegangannya. Malang, sebuah
obor yang diikat pada tiang itu jatuh. Minyaknya meresap ke
lantai panggung yang terbuat dari anyaman bambu. Api tibatiba
berkobar. Karena tidak ada yang memikirkan untuk
memadamkannya, dalam sekejap kebakaran pun terjadi.
Banyak Sumba terus menghantam ke sana kemari, sementara
api berkobar-kobar di kanan kirinya.
Jeritan, sumpah serapah, teriakan minta tolong, perintahperintah,
ingar-bingar kedengarannya, hingga akhirnya suara
trompet tanduk mendayu dengan berat, tanda para jagabaya
datang untuk mengamankan. Ketika itulah, Banyak Sumba
sadar akan dirinya. Ia pun melompat dari atas panggung,
lenyap dalam gelap, di antara lorong-lorong yang penuh
dengan orang-orang berlarian ke sana kemari. Tak lama
kemudian, ia berlari di lorong yang lengang. Suara langkah
terdengar di belakangnya.
"Sik!" serunya.
"Saya, Raden," seru Jasik dalam gelap.
Di penginapan itu, Banyak Sumba merunduk dalam gelap.
Kesedihan yang dalam dan perasaan berdosa memberati
hatinya. Keesokan malamnya, secara rahasia, ia mengirim lima
belas keping uang emas untuk tuan rumah yang berkenduri,
yang tempatnya dijadikan gelanggang perkelahian itu.
Tinggallah sepuluh uang emas lagi yang dimilikinya.
-ooo0dw0ooo- Bab 5 Nyai Emas Purbamanik
Karena perbuatan yang dianggap sia-sia, biaya yang
dibawanya untuk mencari ilmu tinggal setengahnya lagi.
Banyak Sumba menyesal dan bahkan membenci dirinya
sendiri. Hatinya tertekan karena ia tidak dapat mengendalikan
hal-hal yang buruk yang ada pada dirinya. Ia jadi sering
meragukan dirinya, apakah ia dapat menjadi seorang anggota
wangsa Banyak Citra yang pantas. Kebencian dan kemarahan
serta keragu-raguan terhadap kemampuan dirinya itu mulamula
tampak pada Jasik dalam bentuk kemurungan. Akan
tetapi, hal itu kemudian mengambil bentuk yang lebih keras.
Ia menjadi pemarah, bukan terhadap Jasik, tetapi kepada
dirinya sendiri. Dalam renungannya, sering sekali tiba-tiba
Banyak Sumba memukulkan tinjunya ke atas bangku.
Sebagai seorang panakawan yang bijaksana, kalau Banyak
Sumba sedang murung, Jasik biasanya menjauh. Kalau
tuannya itu sudah agak tenang, ia mendekat lalu mengajukan
beberapa pertimbangan. Pada suatu sore, berkatalah ia,
"Segalanya tak usah dirisaukan benar. Raden. Sang Hiang
Tunggal akan menunjukkan jalan kepada kita pada waktunya."
"Biaya kita tinggal setengahnya, Sik, sedangkan guru yang
kuingini belum juga kita temukan," ujar Banyak Sumba sambil
meremas rambutnya yang hitam dan agak ikal itu.
Memang, beberapa kali dalam bulan terakhir ini, mereka
telah mengunjungi beberapa orang guru atas petunjuk rakyat
di Kutabarang. Akan tetapi, melihat beberapa gerakannya
saja, Banyak Sumba cepat mengambil kesimpulan bahwa
kepandaian mereka berada di bawah kepandaian Paman
Wasis. Itulah sebabnya ia hampir berputus asa.
"Waktunya akan tiba kita menemukan orang yang kita
perlukan itu, Raden," sambung jasik. Nada bicaranya begitu
penuh keyakinan hingga Banyak Sumba bangkit memandang
wajahnya. "Engkau yakin, di Kutabarang ini ada orang yang tinggi
ilmunya?" tanyanya kepada Jasik.
"Ayah saya mengatakan hal itu. Ia mengatakan bahwa di
Kutabaranglah tempat berkumpul orang-orang pandai,
termasuk yang pandai dalam perkelahian dan main senjata.
Hanya, seperti juga kata Kang Arsim, mereka ini bersembunyi.
Kesabaran kita akhirnya akan menemukan jejak ke ambang
pintu rumah mereka."
Banyak Sumba termenung untuk beberapa lama, lalu
berkata, "Seandainya biaya habis dan kita belum menemukan
orang itu, saya tidak akan pulang, Sik."
"Saya tahu, Raden tidak akan berbuat begitu," ujar Jasik
yang mengerti watak tuannya.
"Saya akan mencari pekerjaan, kalau perlu jadi kuli, Sik."
Jasik tersenyum. "Mengapa kau tertawa?"
"Tidak akan ada orang yang berani menyuruh Raden.
Mereka akan melihat bahwa Raden bukan orang kebanyakan."
Wajah Banyak Sumba gelap kembali. Jadi apakah ia kalau
seandainya harus bekerja"
"Saya jadi kuli, Raden jadi juru tulis pada keluarga kaya
atau bangsawan tinggi," sambung jasik.
"Betul, Sik. Tapi, saya tidak bermaksud menyuruhmu
menjadi kuli. Saya bekerja di sini, engkau boleh pulang ke
Panyingkiran."
"Tidak Raden, saya sekeluarga sudah terikat sumpah untuk
setia kepada seluruh anggota keluarga Raden."
Banyak Sumba mengangkat pundaknya. Sementara itu,
pintu diketuk orang dan ketika jasik membukanya tersenyumlah
Arsim. "Silakan masuk, Kang," kata Jasik.
"Raden, kabar baik!" serunya. Arsim menutup mulutnya,
lalu berpaling ke kanan ke kiri. Jasik yang mengerti segera
menutupkan wide yang bergantung di atas pintu kanan dan
kiri ruangan. "Raden, si Colat ada di kota."
"Bagaimana Kang Arsim tahu" Di mana?"
"Gan Tunjung dengan tergesa-gesa mengumpulkan uang
karena ia punya utang kepada penjahat itu. Saya sempat
bertanya kepadanya dan Gan Tunjung menerangkan, si Colat
menagihnya dan kalau pembayarannya tidak segera dilakukan
akan menyusahkan."
"Di mana ia berada?" tanya Banyak Sumba dengan tidak
sabar. "Di suatu tempat yang Kang Arsim tahu, tidak usah
dikatakan sekarang Pokoknya, nanti sore kita pergi ke sana.
Tapi....."
"Tapi apa?" tanya Banyak Sumba.
"Si Colat hanya mau mengajar kalau Raden bersedia
membayar tinggi."
Banyak Sumba termenung karena ia tahu bahwa ia sudah
bertambah miskin karena terjadi keributan dan kebakaran
pada orang yang sedang kenduri itu. Akan tetapi, ia kemudian
teringat percakapannya dengan Jasik. Kalau perlu, ia bekerja
jadi juru tulis pada orang kaya.
"Saya bersedia membayar tinggi seandainya memang ia
sangat tinggi ilmunya," kata Banyak Sumba.
Mereka pun berjanji bahwa sore itu mereka akan
mengunjungi sebuah gubuk di luar dinding benteng
Kutabarang. Setelah itu, mereka mengobrol tentang hal-hal
kecil; tentang kenangan-kenangan mereka kepada Kota
Medang yang jauh; tentang rencana Arsim membuat rumah
besar, memelihara pelayan, dan membeli kereta berkuda.
Ketika matahari condong, Arsim mohon diri dan kedua orang
pengembara itu pun mengantar hingga halaman.
KETIKA saat yang ditentukan tiba, kedua orang
pengembara memacu kuda masing-masing menuju gerbang
kota. Di sana, Arsim sudah menunggu dengan kuda di
sampingnya. Pada pelana kuda itu, agak tersembunyi,
bergantunglah sebuah kantong kulit. Dari bentuknya, tampak
bahwa kantong kulit itu berisi benda berat-logam! Melihat itu,
tersenyumlah Banyak Sumba. Ia akan mengatakan sesuatu,
tapi Jasik mendahuluinya, "Kang Arsim ini memang cerdik.
Kami dibuatnya jadi pengawal."
Arsim mengerlingkan matanya, lalu berkata, "Kalau tidak
cerdik, kita dimakan orang di rantau ini. Daripada minta
dikawal orang lain dan memberi upah, lebih baik dikawal dua
orang murid Paman Wasis, yang tentu saja tidak memerlukan
uang karena minta diantar mencari guru."
"Mari," kata Banyak Sumba yang langsung memimpin
rombongan. Walaupun di rantau dan lebih muda daripada
Arsim, ia tuan bagi warga kotanya.
"Ha! Ha!" seru Arsim menghalau kudanya. Maka, naiklah
debu jalan yang menuju kampung-kampung di luar gerbang
barat Kota Kutabarang Berulang-ulang mereka berpapasan
rakyat yang pulang dari huma dan kebun dengan iringan
pedati kerbau yang membawa hasil bumi ke arah kota;
pasukan-pasukan kecil jagabaya yang pulang bertugas; para
ponggawa; dan pengembara dengan buntalan di punggung,
disangkutkan pada sebatang cabang pohon.
Ketika itu, matahari hampir tenggelam, langit Jingga oleh
cahayanya. Bukit-bukit yang rendah, rawa-rawa di tepi laut,
abu-abu tampaknya. Atap ijuk kampung hitam, sedangkan di
sana sini tampak rumah-rumah besar menjulang, dikelilingi
benteng tinggi. Beberapa rumah itu bermenara pula pada
bentengnya. Itu rumah bangsawan-bangsawan yang tidak
suka kesibukan kota pelabuhan Kutabarang. Karenanya,
mereka mendirikan istana di luar kota.
Makin jauh mereka dari kota, makin jarang kampung dan
makin menyempit pula jalan. Akan tetapi, rumah bangsawan
masih tampak satu-dua. Pada suatu tempat, begitu ketiga
orang penunggang kuda keluar dari kelompok pohon cemara,
menjulanglah sebuah benteng yang terletak tidak jauh dari
jalan. Banyak Sumba berpaling ke atas dinding benteng dan
melihat beberapa orang gulang-gulang bersenjata panah
memerhatikan mereka. Banyak Sumba segera berpaling untuk
menghindarkan kecurigaan para penjaga itu. Akan tetapi, tibatiba
tampaklah oleh Banyak Sumba seorang putri diiringi
beberapa orang emban sedang berjalan-jalan di atas dinding
benteng sambil menikmati pemandangan senja itu. Banyak
Sumba tidak dapat mengejapkan matanya. Ia lupa kepada
kedua orang pengiringnya. Ia pun lupa kepada gulang-gulang
yang tidak jauh dari putri itu.
Akan tetapi, kudanya berlari cepat. Dalam sekejap, ia harus
menjauh dari tempat itu dan tidak dapat lagi melihat
kecantikan yang mengguncangkan hatinya. Secepat kilat,
ditemukannya akal. Ia mencabut belati kecil yang terselip di
ikat pinggang besar di bawah baju luarnya. Senjata itu
dijatuhkannya. Lalu, ia berseru, "Ha! Ha!"
"Ha! Ha!" seru kedua orang kawannya memberi semangat
kepada kuda masing-masing. Kuda-kuda pun melesat
bagaikan terbang di jalan yang lengang itu. Beberapa lama
kemudian, Banyak Sumba melambatkan kudanya hingga
kedua orang kawannya itu menyusul.
"Ada apa?" tanya Arsim.
"Pisau saya jatuh."
Arsim kelihatan muram. Banyak Sumba segera berkata,
"Tidak jauh. Baru saja saya betulkan letaknya, mungkin waktu
saya memecut kuda itulah ia jatuh."
"Mari, kita kembali," kata Jasik.
"Tidak usah," ujar Banyak Sumba. "Sekarang, pergilah
kalian dulu, nanti saya menyusul."
"Cepat, Raden, kami tunggu di persimpangan. Ingat, jalanjalan
di sini tidak seaman jalan-jalan di Kota Medang."
"Jangan khawatir," seru Banyak Sumba, lalu membalikkan
kuda dan memacunya. Sementara dalam hatinya tergambar
kecantikan putri itu.
Ia memacu kudanya dengan hati berdebar-debar. Tiba-tiba,
pikirannya ragu-ragu. Bukankah tidak pantas seorang yang
sedang mencari ilmu tergoda oleh kecantikan seorang putri
hingga harus menyimpang" Ia ragu-ragu dan hampir
membelokkan kudanya kembali serta merelakan pisaunya
yang bergagang gading itu menjadi korban. Akan tetapi, dari
jauh tampaklah pakaian merah muda putri itu berkibar ditiup
angin senja. Banyak Sumba sambil menengadah ke arah
benteng memecut kudanya. Makin lama makin dekat. Tampak
putri itu memandangnya, demikian juga para emban yang
berdiri di belakangnya. Banyak Sumba melambatkan kudanya
sambil tetap memandang ke arah benteng.
"Seperti sekuntum bunga di antara daun-daunan,"
demikianlah hatinya berkata, memperbandingkan putri itu
dengan emban-embannya. Kemudian, hatinya melanjutkan
bisiknya. "Para Pohaci di Kahiangan menciptakan boneka
cantik dari pualam dan gading, bibirnya dibuat dari dua helai
mahkota mawar, matanya dipetik dari bintang-bintang.
Sedangkan kedua pipinya itu adalah keratan purnama. Lalu,
para Pohaci meniupkan hidup dan itulah napas sang Putri."
Tiba-tiba, para emban menjerit, sedangkan putri itu
meletakkan kedua belah tapak tangannya satu sama lain di
depan wajahnya yang cemas. Ternyata, kuda Banyak Sumba
yang penurut itu sudah keluar dari jalan dan masuk ke dalam
semak-semak. "Hati-hati, Tuan Muda!" seru seorang emban yang nakal.
Lalu, terdengar emban-emban yang lain tertawa. Tuan Putri
tersenyum dan mata mereka bertemu. Tuan Putri
memalingkan pandangannya. Banyak Sumba membelokkan
kudanya, kembali ke jalan.
"Hai, di sana! Apa yang kaucari?" seru suara kasar penjaga.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Banyak Sumba berseru, "Pisau saya jatuh!"
"Jangan dekat-dekat ke benteng!" seru penjaga itu.
Beberapa orang di antara mereka mengarahkan panahnya
kepada Banyak Sumba.
Dengan tenang, Banyak Sumba menghentikan kudanya,
lalu turun. Ia berjalan menunduk, mencari-cari pisaunya,
walaupun hatinya tidak terpusat ke sana. Tak lama kemudian,
ia menemukannya, lalu mengambilnya. Ia berpaling kepada
para penjaga yang ternyata memerhatikannya dengan curiga.
Ia mengacungkan pisau itu, lalu memasukkan ke sarungnya.
Dengan sudut matanya, ia mencuri pandang ke arah putri
yang memerhatikannya dengan malu-malu di sudut benteng,
tidak jauh dari para penjaga. Para penjaga tampak puas
setelah melihat Banyak Sumba betul-betul mengambil pisau
dari jalan. Mereka tidak memerhatikannya lagi.
Banyak Sumba melompat ke atas kudanya, tetapi tidak
terus memacunya. Ia melarikan kudanya perlahan-lahan dan
dengan berani memandang ke arah putri itu. Putri itu pun
memerhatikannya, walaupun malu-malu. Merasa putri itu
memerhatikannya, timbullah keberanian Banyak Sumba. Dan
setelah ia tahu bahwa di dekat rombongan putri itu tidak ada
penjaga, dihentikanlah kudanya; ia berkata kepada putri yang
ada di atas benteng itu, "Hamba telah menemukan kembali
pisau hamba yang jatuh itu, Tuan Putri. Maaf, hamba telah
mengganggu."
"Sudah jauhkah engkau, Anak Muda?" tanya seorang
emban tua. "Belum, Bibi. Kalaupun sudah jauh berjalan, tidaklah saya
sia-sia. Pisau ini rupanya sengaja jatuh agar saya dapat
menyampaikan hormat saya kepada Tuan Putri."
"Engkau berjalan seorang diri, padahal senja sudah tiba?"
"Tidak, Bibi, kawan-kawan hamba menanti di
persimpangan. Mereka memarahi pisau saya yang jatuh, tapi
saya mengucapkan terima kasih kepadanya."
Lewat ujung pandangnya, Banyak Sumba melihat bahwa
putri itu arif akan apa-apa yang dikatakannya. Tampak
olehnya putri itu memalingkan muka, menyembunyikan
senyumnya Lesung pipitnya yang manis melekuk pada pipinya
yang seperti pualam, yang ketika itu jadi keemasan kena sinar
lembayung senja.
"Sekarang, selamat tinggal," kata Banyak Sumba sambil
menundukkan mukanya, memberi hormat ke arah tuan Putri.
Ia membelokkan kudanya. Sebelum membelakangi, ia
memandang dulu ke arah putri yang mencoba memalingkan
mukanya, tetapi tampak bimbang Kemudian, Banyak Sumba
memacu kudanya.
"Hati-hati, Anak Muda, kuda itu agak buta, tadi masuk
semak!" seru seorang emban yang nakal, kemudian terdengar
para emban itu tertawa. Banyak Sumba memacu kudanya
seperti terbang di atas jalan yang berkelok-kelok lembut di
bawah langit senja.
Segala kemurungannya, segala kemarahan terhadap dirinya
yang terpendam, tiba-tiba musnah oleh peristiwa yang baru
dialaminya itu. Ia tahu bahwa putri itu mengerti
perbuatannya. Bahkan, ia yakin, putri itu menyadari bahwa
pisau itu hanyalah dalih. Kesadaran akan hal itu menyebabkan
Banyak Sumba gembira. Bukankah dengan demikian semacam
saling mengerti sudah terjalin di antara mereka"
Ketika ia tiba di salah satu persimpangan, tampaklah kedua
orang kawannya menunggu. Jasik yang sangat halus
perasaannya memandang kepadanya dengan heran, "Raden
mendapat kabar gembira dari Medang?"
Sekarang, Banyak Sumba-lah yang keheranan. Akan te
tapi, hanya sekejap, la sadar bahwa Jasik yang halus
perasaannya akan segera melihat kegembiraan pada air
mukanya. Ia segera menjawab, "Saya menemukan pisau saya
lagi, Sik," katanya sambil tersenyum. Mereka pun, dengan
Arsim paling depan, memacu kudanya pada tujuan semula.
DI TENGAH-TENGAH perhumaan yang berbatasan dengan
hutan lebat, terletaklah sebuah kampung kecil. Kampung ini
hanya terdiri dari beberapa buah rumah yang lebih
menyerupai dangau daripada rumah. Atap rumah-rumah itu
pun tidak teibuat dari ijuk, tetapi dari ilalang. Itulah sebabnya,
sifat kesementaraan kampung itu lebih menonjol. Karena
letaknya berbatasan dengan hutan lebat, pagar kampung itu
di samping kuat, amat tinggi pula. Pagar itu terbuat dari
bambu berduri yang sebagian telah tumbuh. Ke kampung
inilah ketiga orang penunggang kuda menuju.
Ketika itu, hari telah senja dan lawang kari sudah ditutup.
Arsim berseru kepada seorang yang mengantuk di kandang
jaga yang terletak tepat di atas lawang kari.
"Siapa di sana?"
"Dari Gan Tunjung!" seru Arsim. Penjaga itu memanggil
kawannya, lalu dua orang di antara mereka melepaskan
palang lawang kori yang terbuat dari sebatang pohon pinang.
Ketiga orang penunggang kuda itu pun masuk. Setelah
kuda dititipkan kepada penjaga, mereka dibawa seorang lakilaki
ke rumah yang paling besar. Ketika mereka memasuki
rumah itu, Banyak Sumba yang paling tinggi di antara mereka
terpaksa menundukkan kepala. Begitu ia menengadah
kembali, tampaklah di depannya seorang laki-laki kira-kira
berumur tiga puluh tahun: si Colat.
"Selamat sore,Juragan," kata Arsim kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu tersenyum dan mempersilakan mereka dengan
isyarat. "Akhirnya, tuanmu mau juga memenuhi janjinya, Sim," kata
laki-laki itu sambil mengusap-usap seekor anjing besar yang
tidur di sampingnya, di atas bangku.
"Beliau sudah dapat bernapas lagi sekarang, Juragan.
Paman beliau yang tidak berputra belum lama ini wafat.
Walaupun sebagian warisan itu sudah mengalir bagai air,
Juragan kena juga basahnya," ujar Arsim.
Sementara, Banyak Sumba memerhatikan laki-laki yang ada
di depannya. Sungguh-sungguh meleset dugaannya. Ia
menyangka akan bertemu dengan laki-laki yang tinggi besar
dan kasar, seorang petani yang menjadi gila karena
keserakahannya. Akan tetapi, yang ditemukannya adalah
seorang laki-laki yang halus, berkulit kuning langsat, rambut
rapi, dengan sisir besar melintang di kepalanya. Sedangkan
pakaiannya terbuat dari sutra Katai yang hitam mengilat. Di
pinggangnya diikatkan sehelai ikat pinggang yang lebar,
terbuat dari kulit macan tutul yang indah. Wajah orang itu
lonjong, bentuk hidungnya mancung, bibirnya halus hampir
seperti bibir wanita, dahinya rata seperti pualam. Selintas
pandang, orang akan melihat bahwa laki-laki itu seorang
bangsawan, kalaupun bukan seorang bangsawan tinggi.
Kesan itu bukan saja disebabkan wajah dan sikapnya,
tetapi oleh air muka dan cahaya matanya yang berwibawa.
Hanya satu yang merusak kesan itu, yaitu bekas luka yang
mengerikan, melintang dari telinga hingga ke ujung bibirnya.
"Dan Raden, dari manakah Raden?" tiba-tiba si Colat
bertanya kepada Banyak Sumba sambil tetap mengusap-usap
kepala anjing besar yang tidur di sampingnya.
"Oh, iya," kata Kang Arsim sebelum Banyak Sumba sempat
menjawab. "Den Sumba sengaja datang dari Kota Medang,
berhasrat sekali belajar ilmu kepahlawanan kepada Juragan."
Si Colat mengangkat mukanya, memandang ke arah
Banyak Sumba sambil tetap tersenyum, "Bukankah Arsim
seorang guru yang baik, Raden," tanya si Colat.
'Juragan, Den Sumba ini seperguruan dengan saya. Den
Sumba sudah pasti dapat mengalahkan saya. Den Sumba
telah mengalahkan Jasik, yang ini putra guru kami."
"Kalau begitu, tidak perlu lagi belajar kepada saya, Raden,"
kata si Colat dengan lemah lembut. Karena semua diam, ia
melanjutkan berkata, "Tentu Arsim bercerita yang bukanbukan
tentang saya, tentang kepandaian saya, bukan?"
"Bukan dari Kang Arsim saya mendengar cerita tentang ...
tentang Kakanda," kata Banyak Sumba. Mereka berpandangan
dan keduanya menghubungkan jembatan pengertian. Mereka
bangsawan yang berhadapan satu sama lain sebagai
bangsawan. Pengakuan Banyak Sumba akan kebangsawanan
si Colat rupanya menyentuh hati si Colat yang menunduk
untuk beberapa lama.
"Tapi, saya bukan seorang guru yang baik," katanya.
Banyak Sumba merasa lega oleh perkataan itu. Itu berarti, si
Colat sudah bersedia mengajarnya. Ia sangat gembira karena
menurut orang, si Colat tokoh yang mengerti rahasia ilmu para
puragabaya. Karena tidak sabar, berkatalah Banyak Sumba,
"Kakanda dapat mengajar saya sesenggang waktu Kakanda,
saya akan menyesuaikan diri."
"Tidak banyak yang harus saya ajarkan, tetapi ternyata tak
sembarangan orang dapat mencerna pengetahuan itu. Akan
tetapi, baiklah. Kita akan berunding besok," katanya.
"Selesai satu persoalan, Juragan," ujar Arsim. "Sekarang,
mohon diterima titipan Gan Tunjung ini."
"Letakkanlah, Sim," katanya, lalu si Colat memanggil
seseorang, tidak berseru, biasa saja. Seseorang masuk, lalu
mengambil kantong kulit dari atas bangku. Tak lama
kemudian, orang itu kembali, melaporkan bahwa isinya cocok.
"Tentu tuanmu ingin tidur nyenyak, Sim," kata si Colat pula
sambil tersenyum. "Sekarang, marilah kita beristirahat."
Dengan lega, Banyak Sumba keluar ruangan itu. Karena
kesan yang menyorot dari pribadi itu, ia makin yakin bahwa
dari si Colat itulah ia akan mendapatkan ilmu yang
dibutuhkannya. Ia memasuki salah sebuah rumah kecil di
dalam kampung kecil itu, lalu membaringkan diri. Pikirannya
mengenai si Colat tidak mudah dihilangkan dari kesadarannya.
Maka sambil berbaring-baring itu, berkatalah ia.
"Kang Arsim, ceritakanlah apa yang kau ketahui tentang si
Colat. Menurut pendapat saya, ia bukan orang sembarangan."
"Memang, Raden. Sebenarnya, ia putra seorang bangsawan
tinggi dari seorang gundik. Akan tetapi, bangsawan tinggi ini
sangat takut kepada istrinya hingga si Colat, selain
dibengkalaikannya, tidak hendak diakui sebagai putra. Waktu
kecil, si Colat sangat menderita karena selalu diejek sebagai
anak tak tentu ayah. Itulah sebabnya di waktu muda ia sangat
pemalu. Karena pemalu itu, ia menjadi sangat halus tingkah
lakunya, seperti Raden lihat tadi.
Kemudian, tingkah lakunya jadi berubah setelah pada suatu
hari ia dikeroyok dan dibacok. Menurut keterangan oleh
perampok, tetapi didesas-desuskan pula bahwa sebenarnya
perampok itu adalah pembunuh bayaran. Orang-orangjahat itu
disuruh membunuh si Colat agar bangsawan tinggi itu dingin
telinganya. Istrinya sangat ganas dan bawel. Di samping itu,
didesas-desuskan pula bahwa perampok itu disuruh oleh
kakak seayah si Colat yang takut warisannya dibagi dua."
"Tahukah Kang Arsim siapa nama ayah si Colat itu?" "Wah,
tentu saja saya tidak tahu, Raden. Begitu tebal kabut rahasia
meliputi kehidupan si Colat ini. Di samping itu, Kang Arsim
tidak berani banyak bertanya tentang dia, siapa tahu ia jadi
curiga." Banyak Sumba termenung sambil berbaring merenungkan
kembali cerita yang disampaikan Kang Arsim tentang calon
gurunya, si Colat. Dalam hati Banyak Sumba, mulai timbul
rasa kasihan dan bahkan rasa sayang. Bagaimanapun, si Colat
menghadapi nasib yang sama seperti ia. Bukankah si Colat
pun telah diperlakukan secara tidak adil,.seperti dia dan
seluruh keluarga Banyak Citra"
Kesadaran bahwa mereka senasib menumbuhkan tekad
dalam diri Banyak Sumba untuk mempersatukan hidupnya
dengan si Colat dan bersama-sama dengan orang yang
malang ini melawan nasib. Dengan tulus, ia bertekad
memperlakukan si Colat sebagai kakaknya sendiri karena
bagaimanapun si Colat lahir di pangkuan nasib yang sama dan
mengecap derita lebih dahulu daripada dia. Renungannya itu
tiba-tiba menimbulkan pikiran aneh dalam hati Banyak Sumba.
Mungkinkah Sang Hiang Tunggal mempertemukan mereka
dengan maksud tersembunyi" Tidakkah si Colat yang terkenal
kepandaiannya dalam seni keperwiraan dapat dianggapnya
sebagai pengganti Kakanda Jante Jaluwuyung dalam rangka
menunaikan tugas suci wangsa Banyak Citra" Rencana Sang
Hiang Tunggal selalu terjadi, walaupun bagi manusia selalu
merupakan teka-teki dan penuh keajaiban.
Renungan-renungannya makin lama makin mengabur,
kemudian menjadi mimpi. Dalam bayangan impiannya itu, dia
melihat si Colat dalam pakaian puragabaya yang serba-putih
berhadapan dengan Puragabaya Anggadipati yang berpakaian
serbahitam, pakaian si Colat. Mereka saling mengintai,
kemudian melakukan gerakan-gerakan aneh yang belum
pernah disaksikannya. Banyak Sumba berteriak-teriak agar si
Colat mengundurkan diri.
"Raden!" tiba-tiba Jasik berseru. "Oh, saya bermimpi, Sik."
"Malam sudah sangat larut, Raden, marilah kita tidur
kembali." Mereka pun membetulkan selimut masing-masing dan tak
lama kemudian, gubuk itu pun sunyi kembali.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi benar, para pengiring si Colat
berseru-seru saling membangunkan satu sama lain. Ketika
Banyak Sumba keluar gubuk tempatnya menginap, tampak di
tengah lapangan kecil antara gubuk-gubuk itu telah berkumpul
para pengiring si Colat dengan beberapa ekor kuda.
"Sik," kata Banyak Sumba, "saya akan bertanya kepada si
Colat, jalan mana yang akan diambil, kemudian kita akan
menetapkan di mana kita akan bertemu."
Jasik terpaksa kembali ke Kutabarang untuk mengambil
sejumlah kecil barang milik mereka yang ditinggalkan di
tempat menginap. Jadi, sebelum ikut dengan Banyak Sumba
dan rombongan si Colat, Jasik akan turun ke Kutabarang
dengan Arsim, kemudian menyusul. Untuk mengatur hal itu,
Banyak Sumba segera menghubungi si Colat yang berada
dalam gubuknya dan sedang bersiap-siap. "Selamat pagi,
Kakanda." "Selamat pagi, Raden, kita harus segera meninggalkan
tempat ini. Anjingku telah membaui sesuatu yang busuk," ujar
si Colat sambil tersenyum.
"Ada yang ingin saya katakan, Kakanda."
"Ya?"
"Panakawan saya harus kembali dulu ke Kutabarang untuk
mengambil periengkapan. Ia harus menyusul di belakang.
Dapatkah saya mengetahui, jalan mana yang akan dilalui dan


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di mana kita akan beristirahat hingga ia dapat menyusul
rombongan."
Si Colat termenung. Tampaknya apa yang diajukan Banyak
Sumba merupakan persoalan yang sungguh-sungguh baginya.
Ini benar-benar di luar dugaan Banyak Sumba. Banyak
Sumba segera menyadari bahwa ia telah menyusahkan si
Colat. Ia segera bertanya, "Apakah hal itu akan menyusahkan
Kakanda?" "Bukan begitu, Raden. Soalnya, rombongan kadang-kadang
harus mengambil jalan yang tidak direncanakan terlebih
dahulu. Engkau harus menyadari, Raden, si Colat itu orang
jahat," katanya sambil tersenyum, "dan kepalanya sudah
dihargakan tinggi sekali. Banyak sekali jagabaya dan para
petualang yang ingin cepat kaya."
"Kalau begitu, saya akan memikirkan jalan lain. Saya
menyesal telah menyusahkan Kakanda."
"Bukan begitu, Raden. Marilah kita pikirkan." Si Colat
termenung. Tak lama kemudian, ia tersenyum kembali, lalu
berkata, "Panakawanmu itu pernah ke Perguruan Gan
Tunjung?" "Pernah Kakanda."
"Bagus. Nah, dari perguruan itu, melihatlah ke arah
selatan. Di sana akan tampak tiga buah puncak gunung.
Katakan kepadanya agar dia berusaha mencapai puncak
gunung yang tengah dalam waktu tiga hari. Apakah ia
penunggang kuda yang baik?"
"Kalau perlu, ia dapat menjadi penunggang kuda yang
baik." Bagus, jadi persoalan kita beres. Sekarang, bersiap-siaplah
Banyak Sumba pun minta diri, lalu bergegas menuju
gubuknya kembali. Segala yang diminta si Colat dijelaskannya
kepada Jasik. Dan setelah segalanya jelas, Jasik segera
berangkat dengan Arsim ke arah Kutabarang. Kalau tidak
segera pergi, Jasik khawatir, jangan-jangan ia tidak dapat
menyusul rombongan si Colat.
Setelah Jasik dan Arsim pergi, bertolak pulalah rombongan
si Colat yang terdiri dari enam orang, ketujuh Banyak Sumba.
Si Colat menunggang kuda belang, berjalan paling depan.
Banyak Sumba kedua dari belakang. Mereka melarikan kuda
masing-masing perlahan-lahan agar kuda menjadi hangat dulu
badannya. Ketika matahari mulai terbit, mulailah mereka
memecut kuda masing-masing.
Sesuai dengan yang telah dikemukakan si Colat bahwa
kepalanya telah diberi harga, rombongan menghindari jalan
besar. Mereka banyak sekali mengarungi padang dan jalan
kecil. Kampung-kampung pun dihindari si Colat. Tampak sekali
bahwa si Colat sudah hafal daerah yang dilaluinya. Dan dalam
waktu singkat, mereka sudah ada di puncak sebuah bukit
yang tinggi. Dari puncak bukit itu, tampaklah laut, Kota
Kutabarang, benteng, dan kelompok-kelompok perkampungan
di sekitarnya. "Kita berhenti dulu di sini, Raden," ujar si Colat yang sudah
berdiri di tanah dan melepaskan kendali kudanya.
Banyak Sumba turun, lalu berjalan mendekatinya. Banyak
Sumba melihat wajah si Colat muram. Banyak Sumba
berfirasat bahwa sesuatu yang tidak diingini terjadi terhadap si
Colat. Apakah yang menyebabkan si Colat muram"
'Arnasik, tidakkah kau salah membuat janji?"
"Sama sekali tidak, Juragan. Hari ini, di saat burung-burung
mulai bernyanyi. Di tempat ini," jawab orang yang bernama
Arnasik itu. "Seharusnya mereka sudah datang," ujar si Colat, wajahnya
bertambah muram. Setelah berkata demikian, si Colat
menjauh dari rombongan. Ia berdiri di bawah sebuah pohon
tanjung seraya memandang ke arah Kutabarang.
Banyak Sumba berjalan ke arah kudanya dan sambil
melepaskan kendali, ia bertanya kepada salah seorang
pengiring si Colat.
"Siapakah yang ditunggu?"
"Putra juragan, Raden Jimat."
"Berapa tahun umur Raden Jimat itu?"
"Oh, masih kecil, tujuh atau delapan tahun," jawab yang
ditanya. "Delapan tahun?"
"Ya, Den Jimat diantar oleh dua orang pengiring dan
seorang emban untuk berkunjung ke nenekandanya di
Kutabarang. Hari ini, saat ini, mereka seharusnya sudah ada di
sini kembali."
"Oh. Berapa orangkah putra tuanmu?"
"Hanya seorang dan mungkin tidak akan beradik lagi," kata
pengiring itu. "Bagaimana kautahu?" tanya Banyak Sumba.
"Sejak kejadian itu, juragan tidak pernah kembali kepada
juragan istri."
"Kejadian apa?" tanya Banyak Sumba jadi penasaran. "Lima
tahun yang lalu, juragan dicegat dan dikeroyok orang, lalu
dilukai dan bekasnya jelas bagi setiap orang. Dengan luka
yang mengerikan itu, tentu saja berat bagi juragan untuk
kembali kepada juragan istri. Padahal, juragan istri cantik
jelita. Maka, juragan memutuskan tidak akan kembali. Juragan
berpesan kepada saya dan Arnasik untuk kembali
mengabarkan kepada juragan istri bahwa juragan tewas oleh
perampok. Sebelum meninggal, begitu perintah juragan,
juragan berpesan agar Den Jimat dipelihara oleh ibunda
juragan. Juragan istri betul-betul patah hati dan menjadi
pertapa sekarang. Raden Jimat segera diserahkan kepada
nenekandanya. Akan tetapi, Raden Jimat segera diambil oleh
juragan. Sewaktu-waktu saja Raden Jimat dibawa untuk
dipertemukan dengan nenekandanya di Kutabarang."
Banyak Sumba mulai menyadari, nasib buruk macam apa
yang sebenarnya telah menimpa si Colat. Alangkah kejam
orang-orang yang menganiaya hingga ia luka dan karena itu
harus berpisah dengan istri yang dicintainya. Alangkah kejam
orang-orang yang memisahkan anak dari ibunya setelah
membinasakan ayahnya. Kesadaran akan nasib si Colat
menimbulkan rasa sayang Banyak Sumba kepada orang itu.
Bukankah ia dan si Colat sama-sama diperlakukan tidak adil
oleh dunia" Dan bukankah mereka berdua seharusnya bekerja
sama untuk menentang nasib"
Ketika Banyak Sumba termenung demikian, dari arah kaki
bukit itu muncullah empat orang penunggang kuda. Si Colat
segera menjemput keempat pendatang baru itu. Dengan
sudut matanya, tampaklah bahwa wajah si Colat makin penuh
dengan kecemasan. Dengan tidak sadar, Banyak Sumba pun
mendekat ke arah para pendatang yang mulai turun dari kuda
mereka. Demikian pula para pengiring si Colat.
'Apa yang terjadi?" tanya si Colat ketika para pendatang
baru itu memberi hormat.
Yang tertua dari penunggang kuda itu maju, lalu berkata,
"Dalam perjalanan menuju tempat ini, rombongan disergap,
emban ditangkap dengan Den Jimat, Obing terluka dan
dibawa oleh mereka."
"Siapa mereka?" tanya si Colat.
"Sebagian jagabaya, sebagian lagi somah."
"Ke mana Jimat dibawa?"
"Menurut keterangan yang kami kumpulkan ke arah
Kutabarang, tapi kami tidak yakin benar."
Si Colat tidak bertanya, tetapi dari cahaya matanya tampak
ia marah. Banyak Sumba yakin, hanya orang yang punya
keberanian dan keperkasaan seperti si Colat yang akan marah
dalam keadaan seperti itu. Orang yang lebih lemah akan
bersedih dan patah semangat.
Setelah beberapa saat termenung, berkatalah si Colat,
"Arnasik, kita menunggu malam di sini."
"Baik, Juragan," ujar Arnasik, lalu memberikan petunjuk
kepada para pengiring yang lebih muda. Keempat orang
pendatang menggabungkan diri. Ternyata, mereka itu bukan
pengiring si Colat, tetapi panakawan orangtua si Colat.
Setelah berkata kepada Arnasik, si Colat melangkah dan
matanya mencari Banyak Sumba. Setelah Banyak Sumba
tampak olehnya, si Colat melangkah ke arahnya. Setiba di
hadapan Banyak Sumba, berkatalah ia, "Raden, perjalanan
kita tertangguh. Engkau dapat menunggu di sini atau
barangkali akan mengurus hal-hal yang lain. Besok, atau
tengah malam ini, kita baru meninggalkan tempat ini."
"Lebih baik saya turut dengan Kakanda," ujar Banyak
Sumba yang telah menduga bahwa si Colat akan pergi ke
Kutabarang untuk merebut kembali putranya yang diculik oleh
orang-orang yang ingin menangkapnya.
"Saya senang mendapat bantuan, tetapi mungkin itu dapat
menjerumuskanmu. Bagaimana nanti dengan orangtuamu?"
"Ayahanda akan memerintahkan supaya saya membantu,
setia, dan berkorban bagi guru saya."
"Engkau benar-benar seorang kesatria, Raden. Akan tetapi,
saya belum menjadi gurumu. Engkau masih belum terikat
setia dan berkorban untukku."
"Saya telah memutuskan untuk ikut menyusul putra
Kakanda." Si Colat termenung, lalu berkata, "Baiklah, tetapi mungkin
engkau belum membayangkan apa yang kita hadapi nanti."
'Apa pun yang kita hadapi, saya telah memutuskan untuk
turut, Kakanda."
Mendengar perkataan Banyak Sumba itu, si Colat agak
keheranan, lalu memandang wajah Banyak Sumba. Ia pun
tidak berkata apa-apa lagi. Maka, rombongan pun membuka
perbekalan dan menggelarkan tikar di atas rumput di bukit itu.
Tampak si Colat tidak dapat makan. Tampak ia memaksakan
diri untuk menelan makanan yang disodorkan para
pengiringnya. Sebelum senja tiba, ketika si Colat sudah tidak sabar lagi
dan berulang-ulang melihat ke arah barat, datanglah pula
seorang penunggang kuda.
Sambil melompat dari punggung kuda, pendatang itu
berkata, "Den Jimat dibawa ke sebuah puri di tepi kota.
Juragan kenal dengan Jagabaya Agung?"
"Perwira tua yang hidungnya besar itu?" tanya si Colat.
"Ya."
"Baiklah. Kawan-kawan, mari kita berangkat sekarang!"
seru si Colat. Bangkitlah para pengiringnya, ada yang membereskan
barang-barang, ada pula yang langsung melompati punggung
kuda. Banyak Sumba mengikuti mereka dari belakang.
Pada suatu tempat, si Colat menghentikan rombongannya,
lalu berkata, "Sebentar lagi kita tiba ke tempat yang dituju.
Buatlah api unggun besar di luar puri, lalu lepaskan panah api
ke atap bangunan yang ada di dalam."
Hanya itu perintahnya, kemudian diperintahnya rombongan
meneruskan perjalanan menembus malam yang semakin
gelap itu. Kira-kira, saat anak-anak kecil mulai tidur, tibalah mereka
di sebuah jalan besar. Penunjuk jalan, yaitu orang yang
datang terakhir ke puncak bukit, berjalan di muka, kadangkadang
di belakang. Pada suatu tempat, mereka terpaksa menghindar dan
masuk semak-semak di pinggir jalan karena dari arah yang
bertentangan, datang sepasukan jagabaya dengan obor
bernyala-nyala melarikan kuda mereka dijalan besar itu. Tak
lama kemudian, berhentilah mereka di suatu tempat, antara
sebuah perkampungan dan sebuah puri bangsawan yang
cukup besar. Sesuai dengan perintah si Colat, para pengiring membuka
bungkusan-bungkusan anak panah dan memasang busur. Di
samping itu, mereka pun mengeluarkan pula bumbungbumbung
yang berisi cairan cokelat yang berbau. Api
dinyalakan dan dengan semburan benda cair dari bumbung
itu, api segera menjadi besar.
"Kalau mereka mengejar, larilah dan tunggu aku sampai
tiba!" "Baik," ujar Arnasik, pemimpin pengiring itu.
Sementara itu, dari atas benteng puri terdengar orang
berseru-seru, 'Ahoi! Ahoi! Siapa itu?"
Para pengiring terus menyalakan api dan menyiapkan anak
panah yang ujungnya dibasahi dengan benda cair dari
bumbung itu. Semetara itu, si Colat mendekat kepada Banyak
Sumba, lalu berkata, "Kalau Arnasik memerintah, ikudah
melarikan diri dengan semua pengiring. Saya akan menyusul
di belakang."
"Tapi, saya lebih baik membantu Kakanda."
"Lebih baik tidak, berbahaya bagimu, Raden." Banyak
Sumba akan berkata, tetapi Arnasik datang dan menyela.
"Kita dapat mulai, Juragan?"
"Mulailah!"
Para pengiring menyulut beberapa buah anak panah setiap
orangnya, lalu melompat ke atas kuda masing-masing. Mereka
melarikannya mendekati puri secara terpencar-pencar. Tak
lama kemudian, di angkasa terlihat pemandangan yang indah,
yaitu nyala api beterbangan bagai bintang jatuh. Semuanya
menuju atap-atap ijuk yang ada di dalam puri.
Dari arah puri terdengar kegaduhan dan trompet tanduk
yang ditiup mendayu tanda ada bahaya. Nyala api yang
membesar mulai tampak dari bagian atas puri itu. Akan tetapi,
tak ada tanda-tanda bahwa gerbang puri dibuka orang.
Mungkin orang-orang yang ada di dalam puri beranggapan
bahwa mereka diserang oleh pasukan yang besar. Mereka
kebingungan karena serangan yang tak disangka-sangka itu.
Di dalam puri terdengar kegaduhan yang luar biasa,
menandakan isi puri itu benar-benar ketakutan dan
kebingungan. Dalam gelap yang kadang-kadang dijilat cahaya api
kebakaran itu, terdengarlah tawa yang menyeramkan dari
arah si Colat. Mendengar suara tertawanya itu, meremanglah
bulu roma Banyak Sumba. Ia baru menyadari bahwa watak si
Colat memiliki segi yang lain. Ia pun heran oleh perbuatan si
Colat itu. Bukankah perbuatannya itu membahayakan begitu
banyak orang yang tak berdosa, perempuan, dan anak-anak,
termasuk anaknya sendiri, yang menurut kabar ditawan di
tempat itu" Pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab ketika
si Colat melarikan kudanya menuju puri. Banyak Sumba
mengikuti. Beberapa anak panah terdengar berdesing di
atasnya, tetapi ia tidak menghiraukan bahaya dan terus


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikuti si Colat yang memacu kudanya. Tak berapa lama
kemudian, mereka sudah di bawah dinding benteng dan tetap
memacu kuda mereka di bawah lemparan tombak dari para
gulang-gulang yang dalam gelap itu masih sempat mendengar
langkah kuda mereka.
Tiba-tiba, seperti seekor kucing, si Colat melompat dari
punggung kudanya ke arah benteng, lalu dengan cepat
memanjat dinding benteng yang terbuat dari tanah liat dan
batu itu, dengan memegang tumbuh-tumbuhan rambat yang
rapuh dan kecil-kecil. Banyak Sumba tidak dapat berbuat apaapa,
kecuali terus melarikan kudanya mengelilingi benteng itu.
Apa yang dilakukan si Colat adalah suatu keajaiban baginya.
Setelah beberapa keliling, ia pun membelokkan kudanya ke
dalam gelap, menjauhi dinding benteng, kemudian turun dari
kudanya. Dipandanginya puri yang mulai terbakar di sana sini. Ia
termenung memikirkan bagaimana caranya mengikuti si Colat
memasuki puri itu. Kemudian, terpikir olehnya bahwa pada
dinding benteng, biasanya tumbuh berbagai macam pohonpohonan.
Pohon-pohonan ini biasa dibersihkan, apalagi dalam
saat-saat tidak aman. Akan tetapi, dalam keadaan damai,
sering sekali pohon-pohonan kecil yang benihnya dibawa
burung-burung dibiarkan tumbuh, bahkan kadang-kadang
dianggap hiasan kalau kebetulan berbunga indah.
Pohon-pohonan itulah yang jadi harapan Banyak Sumba.
Akan tetapi, memanjati benteng merupakan perbuatan nekat.
Seandainya terlihat penjaga, ia akan jadi makanan tombak.
Namun demikian, ia pun menyadari, justru agar para penjar
ga itu kebingungan dan khawatir, si Colat melepaskan panah
api. Banyak Sumba mengerti bahwa kebakaran di dalam puri
akan membuat para penjaga terbagi perhatiannya, dan karena
itu diharapkan tidak terlalu tajam mengawasi bagian-bagian
benteng yang gelap.
Dengan pikiran itu, ia turun dari kudanya, lalu menyelinap
antara semak-semak, kembali menuju puri. Di tengah
perjalanan, ia berulang-ulang berhenti, menghindari
pandangan para gulang-gulang yang saling berseru satu sama
lain di atas benteng. Baru setelah beberapa lama mengendapendap,
Banyak Sumba sampai di kaki benteng. Ia merabaraba
dinding yang dingin di dalam gelap, kemudian menyadari
bahwa memang benteng itu sudah lama tidak dipelihara.
Setelah matanya terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat
semak-semak kecil yang tumbuh di sela-sela batu benteng itu.
Semak kecil yang rapuh itu dapat diharapkannya untuk
dipergunakan memanjati benteng.
Ia pun mulai merangkak, meraba-raba, dan memilih
pegangan. Kukunya berulang-ulang ditekan di sela-sela batuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
batu yang menonjol. Telapak tangannya berulang-ulang
menjambak semak kecil. Kalau terdengar langkah, ia berhenti
dan mengambil napas karena usaha memanjati benteng itu
ternyata berat sekali. Makin kagumlah ia kepada si Colat, yang
dengan cepat dan mudah dapat memanjat dinding benteng
yang curam itu.
Tiba-tiba, didengarnya suara langkah dekat sekali. Detak
jantung Banyak Sumba seolah-olah terhenti. Ia menahan
napasnya. Dua orang gulang-gulang rupanya berlari di atas
sambil berseru kepada teman-temannya. Ternyata, bagian
dinding benteng itu sudah dekat sekali ke puncaknya. Itu
memberi semangat pada usaha Banyak Sumba. Ia
menancapkan kukunya yang telah sakit-sakit ke sela-sela
batu, sedangkan telapak tangannya yang terluka oleh duri-duri
semak kecil tidak dihiraukannya.
Tak lama kemudian, tangannya menyentuh bibir benteng
itu. Akan tetapi, ia tidak segera mengangkat tubuhnya. Ia
harus yakin dulu bahwa di dekatnya tidak ada gulang-gulang.
Setelah mendengar dengan hati-hati, dengan cepat ia
mengangkat tubuhnya, lalu mengangkat kaki kanannya
menaiki bagian benteng yang menonjol tepat pada lekuk
untuk pemanah. Begitu ia tegak di atas benteng, terdengar teriakan dan dua orang menyerangnya sekaligus dengan golok terangkat
tinggi-tinggi. Banyak Sumba tidak menghindar, tetapi menyerudukkan
dirinya secepat mungkin ke arah tubuh lawanlawannya
selagi golok belum turun. Untung kedua orang
gulang-gulang itu tidak termasuk yang kuat. Tubuh Banyak
Sumba yang berat menabrak mereka, sementara tangan
Banyak Sumba yang kuat menghantam ke luar, memukul
tangan kan; n mereka yang hendak menghantamkan golokgolok
itu. Kedua orang gulang-gulang itu sempoyongan mundur.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Banyak Sumba untuk
menyerang sambil melarikan diri. Menghamburlah ia,
menyerang kedua orang itu dengan kakinya, bergiliran kanan
dan kiri, lalu ia berlari ke arah yang bertentangan. Banyak
Sumba berlari di atas benteng menuju menara jaga karena
dari sanalah ia dapat turun ke arah puri. Beberapa orang
gulang-gulang berpapasan dengannya, tapi tidak menyerang
Rupanya, mereka menyangka Banyak Sumba kawannya dalam
gelap itu. Sambil berlari dan bersiap-siap menghadapi
serangan, diliriknya kesibukan orang-orang dalam puri itu.
Mereka sedang sibuk memadamkan api yang menyala di sana
sini. Yang lain mengemasi barang-barang dan
mengumpulkannya di lapangan yang ada di tengah-tengah
puri. Anak-anak dan wanita berkumpul pula di sana.
Sementara itu, gulang-gulang yang tidak banyak jumlahnya
berlari-lari mengelilingi dinding benteng, menjaga
kemungkinan. Karena bingung atau karena api menakutkan,
umumnya para penjaga benteng tidak membawa obor. Itulah
yang menguntungkan Banyak Sumba sehingga ia dapat
berada di atas benteng itu.
Rupanya, ia tidak banyak berbeda dengan gulang-gulang
karena itu tidak diganggu lagi oleh yang berpapasan
dengannya. Setiba di menara jaga, ia berhenti. Di sana, ia
melihat pemandangan yang mengejutkannya. Beberapa orang
gulang-gulang terbaring, dan dalam gelap itu mereka bukan
tidur. Ia teringat kepada si Colat. Tentu si Colat yang
merobohkan gulang-gulang itu. Mereka bukan pingsan, karena
kalau pingsan, mereka sudah harus siuman. Mereka ...
meremang kembali bulu roma Banyak Sumba ketika ia
menyadari segi lain dari watak si Colat.
Pikiran itu tidak lama direnungkannya. Ia segera menuruni
tangga. Di tengah tangga, terpaksa seorang gulang-gulang
dipukulnya karena gulang-gulang itu menanyakan namanya.
Tak lama kemudian, ia sudah berada di lorong-lorong dalam
puri, berlari di antara orang-orang yang hilir mudik. Ia berlari
ke sana kemari, di antara orang-orang yang mengemasi
barang-barang dan memadamkan api. Ia mencari-cari si Colat.
Ia tidak tahu apakah hendak membantunya atau karena
didorong oleh keingintahuan saja. Ia hanya berlari ke sana
kemari, mencari-cari jejak si Colat.
Pada suatu saat, tibalah ia di lorong yang besar. Sebagai
seorang putra bangsawan yang biasa tinggal dalam puri, ia
sudah mengetahui bahwa salah satu ujung lorong besar itu
berakhir di ruangan utama. Nalurinya mendorong dia untuk
menuju ruangan utama itu. Ia berlari menuju pusat puri itu.
Di suatu tempat, di dekat pintu besar, ia melihat dua orang
bergelimpangan begitu saja dan darah membasahi lantai. Si
Colat telah memperlakukan mereka seperti yang lainnya, yang
menghalanginya. Tak lama kemudian, beberapa mayat
tampak ditangisi oleh beberapa orang wanita. Di tempat lain
mayat mulai diangkat. Makin dekat ke pusat puri, makin
banyak ia melihat pemandangan yang mengerikan. Banyak
mayat mandi darah, sedangkan pembunuhnya tidak ada di
sana. Tiba-tiba, ia mendengar gaduh di salah satu ruangan yang
tertutup. Banyak Sumba mendobrak pintu. Begitu ia
menghambur ke tengah-tengah ruangan, tampaklah olehnya
si Colat menggendong seorang anak laki-laki kecil yang
melekat di punggungnya, sementara tangan si Colat
memainkan golok yang sudah penuh darah. Kakinya yang juga
seolah-olah pasangan tangan yang lain, menghantam kian
kemari. Badannya melompat ke sana kemari seperti seekor
kucing; kadang-kadang ia seperti seekor gagak yang
menyambar-nyambar mangsanya.
Apa yang dilakukan si Colat bukanlah perkelahian, tetapi
lebih merupakan pembunuhan karena lawan-lawannya tidak
mampu memberikan perlawanan. Begitu cepat dan begitu
tepatnya pukulan-pukulan si Colat hingga dalam sekejap,
berge-limpanganlah isi ruangan yang terdiri dari lima orang
pongga-wa itu. Yang paling sial tidak bergerak-gerak lagi,
yang masih beruntung menggeliat-geliat di atas lantai batu
ruangan itu. Ketika si Colat melihat Banyak Sumba, ia tertegun seperti
keheranan. Kemudian, walaupun sangat samar, ia tersenyum,
"Ini anak saya," katanya, lalu menyambung perkataannya,
"engkau sangat berani, Raden. Mari, kita cepat-cepat keluar!"
Setelah berkata demikian, si Colat melompati ambang
pintu, memasuki ruangan lain. Setelah mereka berada dalam
ruangan itu, ternyata semua pintu tertutup. Si Colat mencoba
mendorong salah satu jalan keluar, tetapi pintu itu sangat
berat dan rupanya dipalang dari luar. Banyak Sumba mencoba
mendobrak pintu lain, tetapi tidak dapat membukanya.
Akhirnya, mereka ragu-ragu sejenak. Ketika mereka akan
kembali ke pintu tempat mereka masuk, terdengarlah suara
langkah orang-orang berlari. Si Colat melihat ke sebuah
tingkap, bagaikan seekor kucing dia melompat dan lenyap ke
luar tanpa menimbulkan bunyi. Banyak Sumba mengikuti,
tetapi tidak langsung melompat karena tingkap itu letaknya
sangat tinggi, sedangkan ruangan di seberangnya tidak
diketahui keadaannya. Akan tetapi, karena tidak ada jalan lain,
tingkap itulah yang digunakannya sebagai jalan keluar.
Ternyata, ruangan yang dimasukinya adalah ruangan besar
yang diterangi beberapa lampu. Dan begitu Banyak Sumba
berpijak di lantainya, tampaklah si Colat dikelilingi tiga orang
kesatria yang mengepungnya di salah satu sudut ruangan.
Banyak Sumba berkata, "Jangan main keroyok!"
Tidak disangka-sangka, si Colat berkata kepadanya,
'Jangan ikut campur, Raden, biarkan para pengecut ini
mengetahui dengan siapa ia berhadapan."
"Dengan bajingan, si Colat!" kata salah seorang di antara
ketiga kesatria yang mengepung si Colat.
"Baiklah," kata si Colat sambil bersiap-siap. Banyak Sumba
bergerak akan membantu, tetapi sekali lagi si Colat berseru,
"Tinggal di tempatmu, Raden. Kau tidak ada urusan dengan
orang-orang ini!"
Banyak Sumba bingung sejenak, kemudian diam dan berdiri
dekat pintu yang terbuka, menjaga jangan-jangan ada orang
lain yang memasuki ruangan remang-remang itu. Sementara
itu, ia mulai memerhatikan keempat orang yang sedang
berhadapan itu.
"Titipkan anak kecil itu. Ia tidak berdosa. Jangan biarkan ia
terluka karena kejahanaman ayahnya!" kata salah seorang
kesatria itu. Si Colat tertawa, suara tertawanya merentangkan bulu
roma Banyak Sumba.
"Biarlah ia tetap di punggungku agar kalian tidak bisa
mengambilnya tanpa membayar mahal. Di samping itu, ia
harus mulai belajar cara berkelahi secara jantan. Biarlah ia
belajar lewat pundakku!"
Sambil berkata demikian, si Colat bergerak. Bersamaan
dengan itu, bergerak pula ketiga orang pengepungnya,
mengubah sikap kedudukan. Banyak Sumba melihat segala
kejadian itu dengan tegang. Akan tetapi, dengan suasana
gawat itu, ia masih teringat pada hal-hal yang lain. Gerakan si
Colat dan ketiga pengepungnya mengingatkan dia pada tarian
yang sangat bagus yang ditarikan ahli-ahli tari yang mahir.
Sementara si Colat bergerak kembali, menggeser, dan
mendekat ke arah lawan-lawannya. Lawan-lawannya bergerak
pula dalam irama gerakan yang sama cepat dengan gerakan si
Cplat. Setiap gerakan baru itu seolah-olah menarik wajah serta
sikap tangan dan kaki mereka ke arah si Colat. Seolah-olah, si
Colat memiliki besi berani yang selalu menarik mereka untuk
menghadapinya secara lurus. Si Colat bergerak lebih
mendekat. Mereka pun bergerak, tangan sedikit menjulur ke depan,
sementara lutut melengkung dan kedua telapak kaki
berjauhan. Dari kuda-kuda mereka yang tidak memperlihatkan
sedikit celah pun untuk serangan, Banyak Sumba mengambil
kesimpulan bahwa si Colat menghadapi lawan-lawan yang
mahir. Banyak Sumba mulai bimbang dan cemas. Ia bertanya
dalam hati, tidakkah sudah saatnya ia membantu si Colat"
Mungkinkah si Colat dapat menyelamatkan diri" Mungkinkah
dia sendiri dapat keluar dari puri yang memiliki para perwira
mahir seperti itu"
Tiba-tiba, si Colat bergerak dengan cepat sekali ke arah
salah seorang lawannya yang berdiri paling kiri. Bersamaan
dengan gerakan itu, lawan-lawannya pun menyerangnya.
Terpentallah salah seorang di antara pengepung, bukan yang
diserang langsung oleh si Colat, tetapi yang datang dari
kanan. Bersamaan dengan terpentalnya penyerang dari kanan
itu, si Colat meloloskan diri ke kanan, sementara kedua orang
lawannya yang menyerang dari tengah dan kiri menghambur
ke tempat dia sebelumnya berdiri.
Pengepung yang terpental, setelah bergelundungan, segera
berdiri kembali dan siap dengan kuda-kudanya. Akan tetapi,
begitu dia siap, kaki si Colat menghantam dadanya. Sekali lagi
ia terjungkir ke belakang, dan sekarang dengan susah payah
ia berdiri. Setelah yang seorang ini dilumpuhkan dan tidak
akan dapat menyerang, si Colat membalikkan tubuhnya dan
tepat pada waktunya menghadapi lawan-lawannya yang
menyerang dari belakang. Si Colat melakukan beberapa
gerakan kaki dan tangannya, seperti tiga orang penari yang
mengikuti sebuah ciptaan tari yang indah, kedua lawan yang
datang menyerang menjawab gerakan-gerakan itu dengan
tangan dan kaki mereka dalam gerakan-gerakan yang cepat,
indah, dan berirama.
Dengan penuh kekaguman, Banyak Sumba memerhatikan
ketiga orang yang berhadapan itu. Dalam hatinya, ia berkata:
sekaranglah si Colat berkelahi, sebelumnya ia hanya


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan pembunuhan.
Sebagai perwira, Banyak Sumba pun dapat menilai bahwa
betapapun cepat dan indahnya gerakan-gerakan lawan si
Colat, si Colat jauh lebih unggul. Si Colat-lah yang memimpin
dalam perkelahian yang dilakukan seperti tarian itu. Si Colatlah
yang menetapkan gerakan-gerakan lawan seperti
kecepatan gerakan mereka, dan bukan lawan-lawannya.
Tampak pula pada Banyak Sumba bahwa kadang-kadang si
Colat mempercepat gerakan-gerakannya, mengubah polapolanya
dengan penuh tipuan. Berulang-ulang Banyak Sumba
melihat lawan-lawannya dengan susah payah menjawab
gerakan-gerakan si Colat dan menyesuaikan tempo kecepatan
gerakannya. Tak lama kemudian, Banyak Sumba melihat
bahwa kedua orang lawan si Colat yang masih tangguh
kelelahan; mereka tidak banyak bergerak lagi, sedangkan
sikap mereka lebih banyak melindungi diri daripada siap
melakukan serangan.
Pada suatu saat, berhentilah si Colat mempermainkan dan
memimpin mereka bergerak. Ia berkata mengejek, "Kalian
tahu, siapa yang lebih tengik di antara kita saat ini" Kalian
datang ke sini sebagai pembunuh bayaran. Aku datang ke sini
sebagai ayah yang anaknya diculik. Kalian harus menyadari
dosa kalian dan menerima hukumannya."
Mendengar perkataan si Colat itu dalam gelap remang,
tampaklah bagaimana ketakutan kedua orang pengepung
yang masih tangguh tapi tidak dapat bergerak dengan lincah
lagi itu. Si Colat mendekati mereka. Tiba-tiba, menyerang
yang sebelah kanan, yang segera menghindar. Yang sebelah
kiri, pada saat yang bertepatan, menyerang ke depan menjerit
sambil mundur. Ia berlari sejenak ke sana; dari mulutnya, dari
sudut bibirnya, keluarlah darah yang tampaknya hitam dalam
cahaya remang itu.
Si Colat yang rupanya mengetahui bahwa pukulannya
melumpuhkan lawannya yang seorang, segera bergerak
hendak menyudutkan lawannya yang terakhir di pojok
ruangan. Akan tetapi, lawannya itu tiba-tiba melompat ke arah
dinding. Kemudian, terdengarlah derak papan yang pecah dan
masuklah cahaya dari arah dinding yang terbuka, yang
ternyata sebuah tingkap.
Mengetahui lawannya yang terakhir melarikan diri, si Colat
berbalik ke arah kedua orang lawannya yang dilumpuhkannya
terlebih dahulu. Akan tetapi, kedua orang lawannya itu pun
segera melarikan diri. Yang seorang sempoyongan. Setiba di
pintu ruangan, ia roboh, bergerak-gerak sejenak, kemudian
diam. Banyak Sumba mengetahui bahwa lawan yang roboh itu
yang mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Mari!" tiba-tiba si Colat berseru, lalu berlari ke arah
tingkap yang terbuka. Dengan lompatan yang ringan dan
indah, lenyaplah ia dalam gelap malam.
Banyak Sumba bergerak, tetapi tiba-tiba didengarnya suara
langkah cepat dari belakang. Ia tidak dapat melanjutkan
niatnya karena kalau terus melarikan diri, ia akan menjadi
sasaran yang baik-untuk lemparan tombak atau pisau. Ia
berbalik dan dalam remang dilihatnya seorang ponggawa
berhenti dengan tiba-tiba dan memasang kuda-kuda. Akan
tetapi, Banyak Sumba tidak memberinya kesempatan. Ia
menghambur ke arah orang itu mempergunakan kakinya
sebagai alat penyerang. Ulu hati orang itu yang menjadi
sasarannya. Karena orang itu cukup sigap, dadanyalah yang
kena. Orang itu sempoyongan. Kesempatan itu dipergunakan
Banyak Sumba untuk meloloskan diri, tetapi tidak ke arah
tingkap karena terlalu berbahaya. Ia berlari secepat-cepatnya
ke arah pintu yang lebar terbuka.
"Tangkap! Cegat!" seru lawannya yang tinggal dalam
ruangan yang samar-samar itu. Banyak Sumba mendengar
bunyi langkah, tetapi semuanya jauh dan ia pun tidak terlalu
menghiraukannya. Ia berlari ke kiri, menuju bagian puri ke
arah si Colat meloloskan diri. Untuk beberapa lama, Banyak
Sumba berlari di taman bunga di dalam puri itu. Kemudian,
setelah memanjat dinding-dinding batu yang tidak terlalu
tinggi, ia tiba di sebuah lorong besar. Di sana, orang sibuk
berusaha memadamkan api yang berkobar-kobar. Mereka
tidak memerhatikan kedatangan Banyak Sumba. Kesempatan
itu dipergunakan Banyak Sumba untuk menarik napas dan
memerhatikan keadaan sekeliling.
Kebanyakan dari bahaya kebakaran sudah dapat diatasi
oleh penghuni puri itu. Hanya di tempat Banyak Sumba
berhenti itulah, api masih menakutkan. Karena kobaran api
yang besar itu, pemandangan sekeliling dengan terang dapat
dilihat. Banyak Sumba mencari-cari arah yang akan
dipergunakannya untuk keluar puri itu.
Tak lama kemudian, tampaklah olehnya menara jaga. Ia
pun segera berlari ke menara jaga itu. Akan tetapi, karena
bukan penghuni puri itu, berulang-ulang ia bertemu dengan
lorong-lorong buntu, dan berulang-ulang pula ia kembali ke
tempat asal. Setelah berkali-kali tersesat, hatinya pun mulai
cemas. Ia berhenti di tempat yang agak gelap sambil
terengah-engah. Ia memutuskan untuk naik dinding-dinding
lorong yang tinggi-tinggi itu.
Setelah lelahnya reda, ia mulai berlari, lalu memanjati
dinding pertama yang menghadangnya. Ia turun di sebuah
taman kecil, lalu berlari ke menara yang tampak dari taman
kecil itu. Karena di sebelah kirinya terdapat rumah salah
seorang bangsawan penghuni puri, ia melangkah berhati-hati
dan berusaha tidak menimbulkan terlalu banyak bunyi. Untung
para gulang-gulang sibuk membantu usaha mencegah
kebakaran dan karenanya rumah itu tidak dijaga.
Dengan mudah, Banyak Sumba memanjati dinding yang
kedua, lalu turun di sebuah lorong. Setelah itu, ia melewati
gerbang kecil dan tiba dijalan besar, tempat orang-orang sibuk
hilir mudik mengurus barang mereka yang berserakan di sana.
Barang-barang tersebut bersebaran karena diangkut dari
rumah-rumah untuk menghindari bahaya api. Setelah api
padam, orang-orang mulai memikirkan cara mengangkutnya
kembali. Di tengah onggokan barang itu, Banyak Sumba lewat
seraya bersinggungan bahu dengan orang-orang yang
berkumpul di sana.
Tak lama kemudian, tibalah Banyak Sumba di bawah
menara penjagaan. Akan tetapi, ia tidak berani mendekati landasan
tangganya. Pasti ia akan dicurigai. Ia termenung
sejenak, berpikir cara terbaik untuk menuruni dinding benteng
yang curam itu. Ia memutuskan untuk mencari seutas
tambang dan kembali berlari ke tempat orang-orang
berkumpul. Dengan pisaunya, dipotong tali pengikat barangbarang
yang pertama ditemukannya.
"Hai! Apa itu?" kata salah seorang yang berdiri di dekat
barang itu. Banyak Sumba segera berlari ke tempat gelap.
Teriakan-teriakan terdengar, Banyak Sumba sambil
menggulung tambang terpaksa berlari ke arah yang berjauhan
dengan menara. Ia berlindung di tempat gelap dan setelah
keadaan tenang kembali, ia berjalan menuju menara jaga.
Ketika ia berjalan itulah, didengarnya ayam berkokok. Hari
sudah subuh dan Banyak Sumba menyadari bahwa
rombongan si Colat akan segera meninggalkan tempat itu.
Itulah sebabnya Banyak Sumba mulai berlari secepatcepatnya.
Gulang-gulang yang terkejut, menodongkan tombak di
puncak tangga. Banyak Sumba menarik tombak itu ke
sampingnya. Gulang-gulang itu pun terjatuh bergelundung
sambil berteriak. Temannya yang datang tidak beruntung
karena sambil berpapasan, Banyak Sumba menghantam
lehernya dengan pinggir tangannya. Setelah itu, Banyak
Sumba tidak dapat halangan. Ia menyangkutkan ujung
tambang ke bagian benteng yang berada antara dua tempat
pemanah. Kemudian, dengan mudah ia meluncur dan begitu
kakinya menyentuh semak, ia berlari ke tempat ia
menambatkan kuda.
Akan tetapi, dengan kecewa ia melihat beberapa orang
gulang-gulang berkuda sudah berada di sana sambil
mengelilingi kudanya. Mereka berbicara satu sama lain bahwa
kuda itu ketinggalan atau penunggangnya masih di dalam
puri, "Mungkin penjahatnya masih ada di dalam."
"Siapa tahu terluka."
"Kita perlu segera lapor."
Mereka pun menunggangi kuda masing-masing, sedangkan
kuda Banyak Sumba mereka tuntun.
Banyak Sumba tidak dapat berbuat apa-apa karena kalau ia
mencoba menyerang mereka, itu berarti bunuh diri. Selain
mereka bersenjata lengkap, beberapa orang bahkan tampak
gagah-gagah. Tidak ada harapan bagi Banyak Sumba untuk
merebut kuda itu kembali. Itulah sebabnya, ia termenung di
tempat yang terlindungi oleh semak-semak dengan hati yang
sangat risau. Yang paling merisaukannya adalah kepergian si Colat.
Tanpa kuda, ia tidak mungkin menyusul calon gurunya itu.
Bukan saja mereka pergi berombongan dan karena itu tidak
usah bingung untuk menginap di hutan-hutan, tetapi
kecepatan dan arah mereka pun sekarang tidak dapat
diramalkan. Bagaimanapun, kehadiran si Colat di daerah
Kutabarang akan lebih menyebabkan para jagabaya siap
siaga. Dapat dimengerti kalau si Colat ingin segera menghilang
dari sekitar Kutabarang. Dan dapat dimengerti pula kalau
Banyak Sumba tidak menjadi perhatiannya, lalu ditinggalkan
begitu saja. la tidak marah apalagi dendam terhadap si Colat.
Ia mengerti kedudukan si Colat dalam peristiwa itu. Dialah
yang sial. Kesempatan yang sangat jarang mungkin akan
lepas dengan sia-sia pada saat itu.
Sebagai seorang anggota wangsa Banyak Citra yang tidak
pernah membiarkan dirinya risau, Banyak Sumba mulai
termenung, memikirkan apa yang akan dilakukannya. Harapan
masih ada, yaitu Jasik. Mungkin, si Colat tidak akan mengubah
jalan yang dilaluinya untuk bertemu dengan Jasik di sebuah
puncak bukit yang dijanjikan. Maka, usaha pertama yang
harus dilakukannya adalah pergi ke Kutabarang untuk bertemu
Jasik. Akan tetapi, untuk tiba di Kutabarang yang setengah hari
perjalanan berkuda jauhnya dari tempat itu, bukanlah suatu
hal yang mudah untuk dilakukan. Banyak Sumba harus
membeli kuda. Akan tetapi, membeli kuda hanya dapat
dilakukan di kota. Hanya orang yang beruntung yang dapat
menemukan penjual kuda atau orang yang menjual kuda di
dusun. Itu berarti, Banyak Sumba harus berjalan kaki. Dan
seandainya di perjalanan ia cukup beruntung menemukan
orang yang akan menjual kuda, uangnya yang tinggal sedikit
tidak cukup lagi untuk ongkos belajar. Inilah masalah yang
harus segera dipecahkan.
Banyak Sumba termenung kembali. Akhirnya,
diputuskanlah untuk bersabar dan tidak memasalahkan
pembelian kuda yang mahal itu. Ia akan menumpang pedati
sapi atau kerbau yang menuju Kutabarang. Dalam tiga atau
empat hari, mungkin ia sampai ke Kutabarang.
Bagaimanapun, kusir pedari kerbau senang ditemani, apalagi
kalau mereka mengetahui bahwa Banyak Sumba bisa
berkelahi. Ia akan menuju tempat menginap di Kutabarang,
bertemu Jasik, kemudian mencari jejak si Colat. Terpikir juga
untuk menambah biaya yang makin tipis itu, mungkin ia harus
menyediakan waktu untuk mengajari putra-putra bangsawan.
Ia bersedia mengajari putra-putra bangsawan di Kutabarang
membaca, menulis, dan seni berkelahi. Setelah tersedia sedikit
tambahan biaya, ia dapat melanjutkan tujuannya semula.
Sambil termenung demikian, kakinya mulai melangkah
meninggalkan tempat persembunyian. Ketika itu, hari hampir
pagi, langit sebelah timur telah keperak-perakan, sementara
ayam hutan ramai bersahutan. Dijalan besar yang lewat dekat
puri itu, berbondong-bondong orang pergi ke huma. Ada pula
sebuah pedati kerbau, tapi Banyak Sumba belum berani
mendekati jalan itu. Ia memilih berjalan dalam semak-semak.
Kejadian yang baru lewat akan menyebabkan para gulanggulang
tetap siaga. Orang-orang kampung yang bertemu
dengan Banyak Sumba mungkin akan curiga dan memberi
tahu kepada gulang-gulang tentang kehadirannya. Mereka
tentu akan menahan dan menanyainya. Itu harus dihindari.
Berjalanlah Banyak Sumba. Ia memperbaiki letak
terompahnya yang terbuat dari kulit, kemudian berulang-ulang
melompati semak-semak duri atau pagar huma yang pendek.
Beberapa kali dilewatinya kolong rumah petani yang tinggitinggi.
Kadang-kadang, terdengar olehnya penghuni yang
mende-ham, menandakan mereka sudah bangun dan tahu
kehadiran Banyak Sumba.
Di suatu tempat di bawah kolong rumah yang tinggi itu,
pemiliknya sudah siap menyalakan api. Banyak Sumba tidak
dapat menghindarkan diri karena kalau mencoba menjauh,
petani itu akan curiga. Ia berjalan setenang-tenangnya, lalu
mengucapkan sampurasun. Petani yang keheranan
mengucapkan "bagea", lalu mengajaknya singgah untuk ikut
mencicipi lahang barang satu tempurung. Banyak Sumba yang
kelelahan sebenarnya ingin sekali menerima air manis yang
menyegarkan itu, tetapi kehati-hatiannya lebih kuat dan ia
terus berjalan, tidak menjawab ajakan yang disampaikan
petani itu. Baru setelah Banyak Sumba merasa bahwa ia sudah cukup
jauh, kehati-hatiannya menjadi berkurang Di suatu tempat, ia
dipersilakan oleh seorang petani yang duduk dengan anaknya
mengelilingi api unggun. Banyak Sumba mengambil tempat
duduk di antara anak-anak petani yang masih kecil-kecil yang
dengan keheranan memandanginya sambil terse-nyumsenyum.
"Dari mana dan akan ke mana Raden, pagi buta begini
berjalan di reuma?"
"Saya dari puri, Paman. Saya berjalan pagi serta melompati
pagar-pagar untuk kesehatan saya."
Petani itu percaya kepada Banyak Sumba karena Banyak
Sumba telah mempersiapkan jawaban itu sebelumnya. Karena
itu, tidak ada nada keragu-raguan ketika ia mengucapkannya.
"Sakit apakah yang Raden derita?"
"Saya jatuh dari kuda, Paman. Ahli obat-obatan
menasihatkan, untuk mempercepat sembuhnya kaki yang
terkilir, saya harus melatihnya kembali setiap pagi. Tiga bulan
lamanya saya terbaring dan tidak dapat mempergunakan kaki
saya dengan semestinya. Otot-ototnya melemah; karena itu


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memerlukan latihan kembali."
Jawaban Banyak Sumba memuaskan petani dan anakanaknya.
Petani itu kemudian bertanya, "Semalam kami
melihat nyala api, apakah di perjalanan, Raden melihat hutan
atau huma yang terbakar?"
Banyak Sumba kebingungan. Ia merasa lebih baik berterus
terang daripada menyembunyikan hal yang sukar
disembunyikan. Ia menerangkan, "Tadi malam terjadi
keributan di puri. Sang Pangeran berhasil menangkap anak si
Colat. Tapi, malam tadi si Colat menyerang puri dengan
mencoba membakarnya."
Petani itu menganga keheranan, sementara anak-anaknya
dengan penuh rasa ingin tahu mendekat.
'Aduh! Seandainya pangeran dapat menangkap si Colat,
tentu pangeran mendapat hadiah dari Kutabarang. Apakah si
Colat sudah tertangkap atau ...?""
"Si Colat berhasil mengambil kembali anaknya. Ketika
orang-orang ketakutan melihat api, si Colat melompati
benteng, lalu mengambil anaknya."
"Memang perampok itu dapat menghilang dan tak mempan
senjata," kata petani itu sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Anak petani, karena tak dapat menahan
kepenasarannya, bertanya, 'Janggut si Colat itu sampai pusar
panjangnya?"
Sebelum Banyak Sumba menjawab, anak petani yang lebih
kecil menyela, "Sampai dada!"
Banyak Sumba tersenyum. Dalam hatinya, ia berkata
bahwa dalam khayal anak-anak atau rakyat biasa, suatu hal
yang luar biasa dapat mencapai bentuk yang tidak masuk
akal. Tiba-tiba, ia pun menyadari akan demikian pula halnya
dengan Puragabaya Anggadipati. Dalam cerita yang
diceritakan kembali di tengah-tengah rakyat, Puragabaya
Anggadipati itu benar-benar pahlawan yang tidak mungkin
ditundukkan. Menurut rakyat, ia dapat menghilang, dapat
melompati dinding benteng yang sepuluh depa tingginya,
tidak mempan senjata apa pun, dan pukulannya bukan saja
melukai tetapi menghancurleburkan lawannya. Padahal,
kenyataannya tidak sehebat itu. Kenyataannya, segala
kepandaian dan ketangkasan itu hasil renungan dan pemikiran
yang matang, disertai dengan ketekunan dan ketabahan
dalam latihannya.
Kalau si Colat dan Anggadipati bisa menjadi pahlawan yang
mahir, mengapa Banyak Sumba tidak" Bukankah ia punya
kemauan, ketekunan, ketabahan" Bukankah otaknya tidak
kalah dengan kebanyakan orang" Dan bukankah dia punya
tugas suci, menegakkan kehormatan keluarga" Renunganrenungannya
itu melegakan dadanya, maka ia pun berdiri,
mengucapkan terima kasih kepada petani itu, mengusap
kepala anak-anaknya sambil tersenyum, kemudian
melanjutkan perjalanan.
Setelah beberapa lama berjalan, ia beruntung bertemu
dengan serombongan pedati yang ditarik kerbau dan sapi. Pedatipedati itu mengangkut hasil palawija dan buah-buahan
hutan untuk Pelabuhan Kutabarang. Dengan senang hati, ia
dipersilakan menumpang ke kota. Dua hari satu malam di
perjalanan, tibalah ia di Kutabarang.
Dengan harap cemas, Banyak Sumba menunggu Jasik di
tempatnya menginap. Ketika Jasik datang, hilanglah
harapannya. Ternyata, di puncak bukit yang telah ditentukan,
Jasik tidak dapat bertemu dengan rombongan si Colat.
Mungkin, rombongan ini terpaksa mengambil jalan lain. Itulah
sebabnya Banyak Sumba memutuskan untuk bersabar.
Pada setiap kesempatan, Banyak Sumba dan Jasik
menonton tari silat. Menurut Paman Wasis, seorang ahli
berkelahi dapat dilihat kalau ia menari. Walaupun belum pasti
bahwa penari yang baik juga pahlawan yang tangguh,
sekurang-kurangnya Banyak Sumba dapat menyelidiki. Maka,
dengan rajin sekali, Banyak Sumba mengunjungi pertunjukanpertunjukan
yang sangat disenangi rakyat Kutabarang. Akan
tetapi, berbulan-bulan lewat tanpa memberikan hasil. Dari
beberapa gerakan saja, Banyak Sumba dapat menilai bahwa
kebanyakan penari itu hanya dapat menari. Gerakangerakannya
adalah bunga yang tidak ada buahnya. Bahkan,
banyak sekali gerakan yang tidak ada artinya sama sekali.
Karena tidak sabar dan merasa cemas berhubung biaya
makin lama makin menipis, pada suatu sore, berkatalah
Banyak Sumba kepada Jasik, "Sik, bekal kita tinggal sedikit.
Saya sudah merencanakan untuk mencari pekerjaan agar
kalau kesempatan datang, kita tidak kelabakan mencari
biaya." "Lebih baik saya yang bekerja, Raden. Raden terus berlatih.
Memahirkan apa-apa yang diberikan Ayah," ujarnya.
"Tidak, Sik. Saya sudah terlalu banyak berutang budi
kepadamu dan kepada keluargamu. Saya tidak hendak
menambah beban hati saya. Kita akan senasib
sepenanggungan untuk selama-lamanya."
"Tapi saya tidak sampai hati melihat Raden bekerja sebagai
kuli." "Sik, bukankah saya punya otot yang lebih baik daripada
kebanyakan kuli-kuli?"
"Bukan soal itu yang menjadi pikiran saya, Raden, akan
tetapi...," kata Jasik.
"Baiklah, Sik. Kita belum tentu harus melakukan pekerjaan
kasar, walaupun saya sendiri tidak menganggap pekerjaan
kasar lebih rendah daripada pekerjaan halus. Akan tetapi,
kalau kau lebih senang saya bekerja halus, tentu saja saya
akan mencari pekerjaan yang halus. Saya dapat mengajar
menulis dan membaca kepada putra-putra bangsawan atau
saudagar-saudagar kaya. Atau, tentu saja saya dapat
mengajari putra-putra mereka itu seni berkelahi yang saya
terima dari ayahmu."
Sejak percakapan itu, di samping mencari guru, mereka
mencari pekerjaan pula. Dalam waktu singkat, suatu
pekerjaan yang baik sudah ada untukjasik. Arsim yang
mendengar bahwa mereka mencari pekerjaan, segera
berbicara dengan Gan Tunjung tentang kepandaian Jasik.
Karena Gan Tunjung lebih senang berada di tempat judi atau
sabung ayam, tambahan tenaga di perguruannya diterimanya
dengan baik. Syaratnya, ia tidak usah kehilangan banyak
uang. Arsim mengatur hal itu. Dengan upah yang kecil tapi
berguna, Jasik segera dipekerjakan di Perguruan Gan
Tunjung. Tinggal Banyak Sumba yang untuk dua bulan tetap
tidak punya pekerjaan. Hingga pada suatu hari, teringatlah ia
akan putri cantik yang dilihatnya waktu mereka hendak
mengunjungi gubuk tempat menginap si Colat.
Dengan menumpang pedati kerbau, Banyak Sumba
berangkat ke luar kota. Sepanjang hari, Banyak Sumba duduk
di atas pedati kosong dan mengobrol tentang soal-soal kecil
dengan kakek-kakek kusir pedati itu. Sambil mengobrol,
dinikmatinya pemandangan alam di kanan-kiri jalan.
Ketika hari mulai teduh, Banyak Sumba mengucapkan
terima kasih kepada kusir pedati itu, lalu melompat turun. Ia
berjalan kaki karena puri bangsawan tempat putri itu tidak
jauh lagi. Beberapa kampung dilaluinya, tetapi puri itu belum
tampak. Ia salah menduga. Ternyata, setelah satu bukit
dilewati, barulah atap puri yang hitam dan dindingnya yang
cokelat keabu-abuan itu tampak dari jauh.
Dipandangnya puri itu dari atas bukit sambil melepaskan
lelah. Ia berpikir, membuat rencana-rencana agar ia dapat
mencapai maksudnya dengan lancar. Ia ingin sekali dapat
tinggal dalam puri itu, kalau perlu sebagai pekerja kasar,
walaupun hal itu tentu tidak akan disetujuijasik. Setelah
rencana-rencana dibuat dalam pikirannya, ia pun mulai
melangkah sambil menepuk debu dari pakaiannya yang kotor
dalam perjalanan.
Ketika ia bertambah dekat ke puri itu, tampaklah"di
sebuah lapangan kecil yang terletak tidak jauh dari puri"
kesibukan sehari-hari para penjual buah-buahan. Rupanya
penduduk sedang tidak mengurus huma. Mereka menambah
penghasilan dengan mengambil buah-buahan dari hutan. Para
pemungut buah-buahan mempergunakan lapangan kecil dekat
puri itu sebagai pasar mereka, sedangkan para tengkulak dari
Kota Kutabarang datang dengan pedati mereka ke tempat itu
sejak pagi hari.
Pedati-pedati ini datang dari Kota Kutabarang tidak dalam
keadaan kosong, tetapi penuh dengan barang yang
dibutuhkan oleh orang-orang dusun, seperti parang, sabit,
golok untuk pekerjaan petani sehari-hari, atau alat-alat
berburu. Di samping itu, dibawa pula cita halus yang indahindah
dan mahal-mahal harganya. Ketika matahari mulai
panas, ke tengah-tengah kesibukan perdagangan itulah
Banyak Sumba tiba. Setelah memesan makanan dan minuman
sedikit, Banyak Sumba bertanya kepada pemilik warung
tentang puri dan pemiliknya. "Pangeran Purbawisesa adalah
pembantu menteri kerajaan. Beliau lebih banyak berada di
Pakuan Pajajaran daripada di Kutabarang."
"Siapakah yang tinggal dalam puri beliau?"
"Ipar-ipar beliau," ujar pemilik warung.
"Tidakkah beliau berputra?"
"Ada tiga orang putra beliau, yang bungsu putri."
"Di mana putra-putra beliau berada?"
"Seorang di Padepokan Tajimalela. Raden Rangga Gading
calon puragabaya dan kebanggaan orang-orang sekitar puri.
Raden Rangga Malela ikut ayahandanya belajar menjadi abdi
kerajaan. Putri bungsu, Nyai Emas Purbamanik, tinggal di sini.
Tapi, barangkah' tidak lama lagi ia akan berangkat pula ke
Pakuan Pajajaran untuk mempelajari soal-soal yang
berhubungan dengan kewanitaan. Maklum, Nyai Putri sudah
remaja dan sekarang sudah jarang sekali kelihatan di luar
puri." Mendengar penjelasan itu, pada satu pihak Banyak Sumba
bergembira, tetapi di lain pihak ia pun menyadari kesukarankesukaran
yang harus dihadapinya. Di satu pihak, ia makin
banyak pengetahuannya tentang putri yang menarik
perhatiannya, di lain pihak ia menyadari bahwa ia berhadapan
dengan seluruh abdi-abdi kerajaan, termasuk keluarga putri
itu. Ia mulai membayangkan dirinya sebagai buronan, seperti
si Colat, seandainya berusaha melaksanakan tugas
keluarganya membunuh Anggadipati. Seandainya ia sendiri
yang terbunuh, persoalan bagi dirinya akan selesai. Persoalan
akan sangat rumit kalau ia hidup dan berhasil menegakkan
kembali kehormatan keluarga. Siapakah yang mau menerima
Banyak Sumba, buronan kerajaan, menjadi anggota
keluarganya" Putri mana yang akan mencintai seorang
pembunuh puragabaya"
Para puragabaya adalah para kesatria kebanggaan
kerajaan. Mereka bukan saja terlindung oleh kemahiran ilmu
keper-wiraan, tetapi juga oleh wibawa negara. Barang siapa
mengganggu dan melukai jagabaya, akan dihukum berat.
Barang siapa melukai puragabaya harus meninggalkan
Pajajaran. Banyak Sumba menyadari kesulitan-kesulitan yang
harus dihadapinya, dan hatinya pun kelam. Akan tetapi, hanya
sebentar karena kemudian, ia pun menyadari bahwa segala
hal bergantung pada perkenan Sang Hiang Tunggal, dan Sang
Hiang Tunggal adalah Sang Mahaadil. Mungkinkah Sang Hiang
Tunggal menghukum seseorang yang berjuang membela
saudaranya, kakaknya, dan mengembalikan kehormatan
keluarga yang direnggut dengan tipu muslihat" Banyak Sumba
yakin bahwa pihak yang benarlah yang akan menang, itulah
sebabnya ia bersedia menghadapi masa depan macam apa
pun dengan dada yang lapang, dengan gigih dan tabah.
Setelah selesai menghilangkan lapar serta dahaganya dan
setelah istirahat sebentar, ketika matahari mulai condong,
melangkah pulalah Banyak Sumba. Tak lama kemudian, ia pun
sampai di dekat puri itu. Banyak Sumba berhenti di bawah
sebatang pohon sambil memerhatikan puri yang ada di
hadapannya. Di atas menara jaga, tampak dua orang gulanggulang
memerhatikan kesibukan di huma dan di kampung
yang berada di sekeliling puri. Di setiap sudut benteng,
tampak pula gulang-gulang lain dengan busur dan anak panah
di punggung masing-masing. Mereka berjalan-jalan sepanjang
dinding benteng, bolak-balik di bawah panas matahari sambil
menunggu pengganti masing-masing.
Gerbang puri terbuka karena sekali-sekali masuk atau
keluarlah penunggang kuda atau pedati kecil. Ada pula orangorang
kampung yang keluar masuk puri membawa berbagai
keperluan, dari kayu bakar, buah-buahan, hingga macamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
macam tali. Rupanya, orang-orang itu para petani yang
tergolong kelompok pamagersari, yaitu para petani yang
menggarap tanah milik Pangeran Purbawisesa atau
keluarganya. Banyak Sumba memandangi segala kesibukan itu sambil
termenung. Kalau ia langsung berjalan ke dalam puri untuk
meminta pekerjaan, harapan untuk diterima kecil sekali.
Pertama, mungkin di puri itu sudah ada pengajar para putraputri
bangsawan dalam hal membaca dan menulis. Seandainya
ia menawarkan diri sebagai pengajar ilmu keperwiraan,
mungkin sekali pengajar ilmu itu pun sudah ada di sana, dan
ia akan ditolak tanpa diberi kesempatan untuk masuk. Oleh
karena itu, Banyak Sumba memutuskan bahwa ia akan
meminta izin untuk masuk setelah hari gelap. Dalam keadaan
yang seolah-olah terdesak itulah, ia sukar ditolak tuan rumah.
Dengan pikiran seperti itu, ia pun berjalan ke arah sebatang
pohon yang rindang, lalu beristirahat melepaskan lelah.
Ketika langit menjadi merah di sebelah barat dan ketika
keluang serta kelelawar beterbangan, ia pun bangkit, lalu
berjalan ke arah puri yang gerbangnya masih terbuka. Ia
berjalan cepat-cepat, apalagi setelah dianggapnya orangorang
yang berada di atas benteng akan dapat melihatnya.
Beberapa orang penunggang kuda memapasnya, juga menuju
benteng. Sementara di atas menara jaga, seorang penjaga
terus-menerus meniup trompet tiram, memanggil-manggil
para penghuni puri, yaitu para pamagersari yang masih
berada di luar, di huma-huma sekitar puri itu. Tak lama
kemudian, Banyak Sumba tiba di gerbang puri dan berjalan di
antara para petani yang memasuki gerbang itu sambil
mengobrol. "Berhenti!" tiba-tiba seorang gulang-gulang berseru.
Banyak Sumba berhenti dan beberapa orang gulang-gulang


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain segera datang mengelilinginya. Mereka memandangi
Banyak Sumba dengan curiga dalam remang senja itu.
"Orang asing harus melapor dulu kepada kepala jaga. Itu
tata krama di daerah ini, Saudara."
"Maafkan, saya bukan orang dari daerah sini, Paman."
"Sekarang, ikut saya. Saudara harus tahu, tidak sembarang
orang diizinkan masuk puri walaupun malam sudah dekat. Ini
bukan penginapan. Saudara harus mengerti," kata gulanggulang
yang paling tua sambil memberi isyarat kepada Banyak
Sumba untuk mengikutinya.
Banyak Sumba berjalan di belakang gulang-gulang itu
menuju sebuah gardu kecil yang terletak di samping kiri
gerbang. Setiba di sana, ia dipersilakan duduk, sementara
gulang-gulang tua menyalakan lampu minyak kelapa. Tak
lama kemudian, dari ruangan sebelah keluar seorang
ponggawa; dari pakaiannya jelas ia seorang bangsawan.
"Ini orang asing, rupanya kemalaman, Juragan." Ponggawa
itu memandangi Banyak Sumba untuk beberapa lama.
"Dari mana?" tanyanya.
"Sebenarnya saya datang dari jauh, Juragan," jawab
Banyak Sumba, "saya dari Kota Medang"
"Ada urusan apa datang ke sini?" tanya ponggawa itu.
"Sebenarnya saya tidak ada urusan khusus, pertama-tama
bermaksud menginap, kedua.."
"Mengapa tidak menginap di kampung-kampung yang ada
di sekeliling puri. Aneh sekali, orang asing berani minta .
menginap di dalam puri. Aneh, kalaupun tidak dikatakan
kurang sopan," kata ponggawa itu sambil tersenyum pahit,
sedangkan kecurigaannya tampak bertambah.
"Karena saya memerlukan pekerjaan pula, di samping
kebetulan kemalaman di tempat ini."
"Pekerjaan" Mengapa cari kerja begitu jauh" Kota Medang
berada di ujung timur kerajaan dan Saudara cari kerja ke
wilayah Kutabarang. Bayangkan! Apakah Saudara main-main?"
"Saya pengembara yang sedang mencari pengalaman,
Juragan. Kebetulan, saya kehabisan bekal. Saya memiliki bekal
lain, yaitu kepandaian membaca dan menulis, juga kepandaian
lain." "Kita sudah punya guru, di sini kelebihan guru."
"Saya memiliki kepandaian lain," ujar Banyak Sumba.
"Kami tidak mencari ponggawa baru."
Banyak Sumba diam. Ia melambat-lambat waktu. Ia tahu
kalau malam sudah terlalu gelap, penghuni puri tidak akan
sampai hati membiarkannya bergelandangan dalam gelap di
tengah-tengah binatang buas yang mulai berkeliaran.
"Saya punya kepandaian yang barangkali dibutuhkan di
sini, Juragan," lanjut Banyak Sumba.
"Pegawai sudah terlalu banyak di sini, Saudara." Sebelum
Banyak Sumba dapat memberi penjelasan, ponggawa itu telah
berseru kepada gulang-gulang yang berada di luar, "Saltiwin,
suruh Askiwin menyiapkan kuda. Antarkan orang asing ini ke
kampung terdekat."
Tenggelamlah harapan Banyak Sumba mendengar perintah
ponggawa itu. Ia berpikir keras bagaimana mencari akal agar
tidak diusir. Ia segera berkata, "Saya tidak berkeberatan tidur
di lapangan puri agar tidak menyusahkan penunggang kuda di
sini. Hari sudah terlalu malam, Juragan."
"Soalnya, puri ini tidak menginapkan orang asing dan tidak
pula membiarkan orang tidur di lapangan. Itu tidak baik
dipandang dan tidak menyenangkan bagi orang asing yang
mungkin suka mengoceh, apalagi orang asing yang suka
mengembara."
Banyak Sumba terdiam, hatinya kecut. Terbayang putri
yang sangat cantik yang pernah dilihatnya berjalan-jalan di
atas benteng puri itu. Hatinya sedih. Ia ingin sekali bertemu
dan mengetahui lebih banyak tentang putri itu. Barangkali,
itulah Putri Purbamanik, putri bungsu pemilik puri. Banyak
Sumba menarik napas panjang dan timbullah tekadnya untuk
dapat bertemu dengan putri itu pada kesempatan lain. Kalau
perlu, ia akan memanjati benteng kembali dan melihat putri
itu walaupun harus menghadapi bahaya. Ia akan mengatakan
kepada putri itu bahwa pertemuan yang pertama telah
menyebabkan ia tidak dapat meninggalkan puri itu jauh-jauh.
Akan tetapi, renungannya terganggu karena Saltiwin
datang membawa kabar bahwa semua kandang kuda sudah
di-palang, sedangkan para penunggang sudah tidur kelelahan.
Ponggawa itu mengerutkan mukanya, lalu berpaling kepada
Banyak Sumba, "Puri ini tidak pernah menerima orang asing,
Anak Muda. Karena kita tidak sampai hati melepasmu dalam
kegelapan malam, apa boleh buat. Saltiwin, ada tempat di
rumahmu untuk menginap anak muda ini?"
"Ada, Juragan. Mari... Raden," kata Saltiwin setelah
memerhatikan Banyak Sumba dari ujung kaki hingga ujung
rambutnya. Sambil mengikuti Saltiwin, Banyak Sumba
mengucapkan syukur kepada Sang Hiang Tunggal yang telah
berkenan menyampaikan maksudnya, yaitu bermalam di puri
itu. Soal lain-lain akan dihadapinya kemudian karena Banyak
Sumba percaya bahwa segala hal dapat dicapai dengan
ketekunan, kegigihan, ketabahan, dan doa kepada para
penghuni Ka-hiangan.
Tak lama kemudian, Banyak Sumba telah berjalan
mengikuti Saltiwin. Mereka melangkah melalui lorong-lorong
dan lapangan-lapangan kecil antara rumah-rumah besar kecil
yang terbuat dari kayu dengan atap ijuk yang berlumut karena
tuanya. Di lorong-lorong yang diterangi lampu-lampu minyak
di lapangan kecil dalam puri itu, orang masih banyak. OrangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
orang tua bercakap-cakap satu sama lain sambil melepas lelah
setelah bekerja sepanjang hari. Anak-anak kecil berlari-lari,
main kucing-kucingan, atau main sembunyi-sembunyian. Para
pemuda meniup seruling atau memetik kecapi di tempattempat
yang agak sepi, gadis-gadis sedang duduk di serambi,
suara percakapan mereka yang rendah dan merdu kadangkadang
diselingi tawa yang ditahan-tahan.
Suasana malam yang masih muda itu mengingatkan
Banyak Sumba pada kota kelahirannya, selagi Ayahanda
Banyak Citra masih berkuasa, selagi Kakanda Jante
Jaluwuyung masih hidup dan menjadi kebanggaan seluruh
warga kota karena keberaniannya sebagai puragabaya.
"Raden, kita sudah sampai," kata Saltiwin, mengembalikan
Banyak Sumba dari renungannya.
Banyak Sumba tidak menyahut, ia menengadah ke serambi
sebuah rumah yang sama besarnya dengan rumah-rumah lain
di dalam puri itu. Ketika Saltiwin mempersilakannya naik,
Banyak Sumba melepaskan terompah kulitnya, lalu
menyimpannya di pinggir tangga. Ia melangkah mengikuti
Saltiwin, di atas lampit yang"walaupun malam hari"
tampak mengilat karena bersihnya.
"Silakan duduk, Raden, sementara Bibi akan
mempersiapkan segalanya buat Raden."
"Terima kasih banyak, Paman, dan maaf saya
menyusahkan."
"Sama sekali tidak, silakan beristirahat dulu," ujar Saltiwin.
Sementara itu, dari dalam rumah keluarlah istri Saltiwin,
perempuan setengah baya yang gemuk dan ramah.
Sedangkan dari halaman, naik pulalah tiga orang anak yang
besarnya bertingkat-tingkat, dari umur sembilan hingga dua
belas tahun. Mereka duduk di atas lampit dan seraya
tersenyum-senyum memandang kepada Banyak Sumba.
"Duduklah di sini, Dik," kata Banyak Sumba sambil memberi
isyarat kapada mereka. Anak-anak itu cuma tersenyumsenyum
sambil memerhatikan Banyak Sumba yang
meletakkan koja besar yang selama ini disandangnya.
"Dodo, bantu Ibu ambil teh buat tamu," kata istri Saltiwin
kepada anak terbesar yang segera masuk ruangan.
"Maaf, Raden, di sini tidak ada anak perempuan yang
sepantasnya mengurus tamu. Bibi punya anak yang sudah
besar, tetapi ia sudah lama jadi emban di Bumi Ageung. Jadi,
di sini tinggal yang laki-laki, nakal-nakal pula."
"Saya yang harus minta maaf, Bibi, orang asing yang
datang hanya untuk menyusahkan," ujar Banyak Sumba.
Hatinya melihat suatu celah yang dapat dipergunakannya
untuk dapat berhubungan dengan Tuan Putri.
Kalau anak Paman Saltiwin sewaktu-waktu pulang ke
rumahnya, Banyak Sumba dapat menyelidiki lebih banyak
tentang putri itu; siapa tahu pula ia dapat mengajari putraputri
bangsawan dengan bantuan emban itu. Ia berdoa, mudahmudahan
Sang Hiang Tunggal berkenan memberikan hiburan
bagi hambanya yang nasibnya mungkin akan merupakan nasib
paling sial yang pernah dialami seorang bangsawan Pajajaran.
Salah satu jalan untuk bertemu dan berhubungan dengan
putri itu sekarang sudah terbuka, tetapi hal itu tidaklah berarti
persoalan lain sudah terpecahkan. Bagaimanakah caranya
agar ia dapat tinggal dalam puri itu untuk beberapa lama dan
tidak dipersilakan pergi esok harinya" Banyak Sumba
termenung untuk beberapa lama. Akan tetapi, pertanyaan itu
tidak terpecahkannya juga, hingga renungannya terganggu
oleh kedatangan istri Saltiwin yang mempersilakan masuk
rumah. Banyak Sumba dijamu makan-minum oleh tuan rumah.
Setelah membersihkan badan, ia dipersilakan beristirahat di
salah satu ruangan di atas tikar pandan yang putih bersih.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi benar, Banyak Sumba sudah
bangun karena tuan rumah sudah bersiap mengemban tugas
di lawang kori. Banyak Sumba segera menghubungi tuan
rumah, lalu menjelaskan persoalannya, "Paman, saya betulbetul
membutuhkan pekerjaan dan saya merasa di puri inilah
saya akan mendapat pekerjaan yang cocok."
Saltiwin termenung sebentar, lalu berkata, "Seandainya
Paman dapat membantumu, Raden, tentu engkau akan Paman
tahan di sini. Akan tetapi, seperti Raden dengar kemarin sore,
di sini sudah cukup tersedia guru membaca dan menulis untuk
putra-putri bangsawan. Bahkan anak-anak somahan pun, yang
baik-baik tingkah lakunya diberi kesempatan membaca dan
menulis karena banyaknya waktu senggang guru-guru itu."
"Sebenarnya, saya pun memiliki kepandaian lain, Paman.
Barangkali, kepandaian inilah yang akan membantu saya agar
tidak terus-menerus terlunta-lunta," kata Banyak Sumba,
harapannya belum padam.
"Kepandaian apa itu, Raden. Membuat obat-obatan?"
"Bukan, Paman. Saya pernah mempelajari pula ilmu keperwiraan."
Mendengar penjelasan itu, berpalinglah Saltiwin,
memerhatikan Banyak Sumba dari ujung rambut hingga ke
ujung kaki. Badan Banyak Sumba yang lampai tapi tegap,
otot-ototnya yang berisi tampak menarik perhatiannya ketika
itu. Saltiwin mengangguk-anggukkan kepala, lalu berkata,
"Pelatih keperwiraan pun tidak kurang di sini, Raden.
Sebenarnya, Paman sendiri ingin menahanmu, tetapi Paman
tidak berwenang untuk menginapkan orang asing tanpa izin
dari pangeran atau keluarganya. Maklumlah, Paman hanyalah
rakyat belaka yang tinggal di dalam puri yang aman ini berkat
kebaikan budi pangeran belaka. Jadi, kalau Paman banyak
permintaan kepada beliau, itu berarti Paman ini tidak tahu diri
terhadap beliau. Tapi, bagaimanapun, sebenarnya isi puri ini
berkewajiban membantu orang asing, apalagi orang asing
yang mendapat kesukaran seperti Raden."
Sambil berkata demikian, mereka berjalan ke arah gerbang
puri, untuk bertemu dengan kepala jaga yang tadi malam
bermaksud mengirimkan Banyak Sumba ke luar puri. Akan
tetapi, ternyata kepala jaga itu sedang dipanggil ke Bumi
Ageung, tempat keluarga Pangeran Purbawisesa berada. Oleh
karena itu, Banyak Sumba menunggu di ruangan yang
berdekatan dengan lawang kori. la tidak banyak berkata,
karena pikirannya giat mencari akal.
Kepala jaga belum hadir juga, maka berkatalah Banyak
Sumba kepada Saltiwin, "Paman, saya sungguh-sungguh
berutang budi kepadamu. Oleh karena itu, izinkanlah saya
mengembalikan kebaikan itu kepada Paman demi Sang Hiang
Tunggal. Saya akan mencari pekerjaan di kampung-kampung
sekitar puri, tetapi pada setiap kesempatan yang Paman
anggap baik, saya akan datang kemari, mengajari anak-anak
Paman mengenai ilmu keperwiraan itu."
Sekarang, Saltiwin-lah yang termenung. Berulang-ulang ia
melirik ke arah Banyak Sumba, lalu berkata, "Raden, Raden
tidak cocok untuk bekerja di kampung-kampung itu. Raden
tidak pantas bekerja di huma atau menjadi kuli, misalnya. Itu
tidak cocok, yang paling cocok adalah di sini. Raden adalah
seorang bangsawan, Raden hanya cocok untuk pekerjaan
keperwiraan dan kepemimpinan."
"Itu tidak benar, Paman. Semua pekerjaan cocok untuk
siapa pun, asal dia rajin dan jujur. Saya bersedia mengajarkan
apa saja, Paman, asal saya tidak kehabisan bekal dalam
pengembaraan saya ini."
"Baiklah, Raden. Sekarang, tunggulah hingga ponggawa
kepala jaga datang."
Ternyata, hingga hari siang, kepala jaga tidak muncul juga.
Ketika waktu makan tiba, Saltiwin mengajak Banyak Sumba
kembali ke rumahnya.
Pada kesempatan itulah, Banyak Sumba memanggil anakanak
Saltiwin, lalu memberikan pelajaran ilmu berkelahi yang
pertamartama. Kebetulan, anak-anak itu menyukai pelajaran
yang mereka terima dan Saltiwin memerhatikan mereka
dengan senang hati.
Pelajaran itu hanya berhenti setelah hidangan siap. Akan
tetapi, ketika orangtua makan, anak-anak itu demikian
senangnya pada pelajaran yang mereka terima hingga mereka
menolak untuk makan bersama-sama. Mereka terus
melakukan beberapa gerakan yang baru mereka terima,
diperhatikan oleh orangtua mereka.
"Raden, Paman baru melihat gerakan yang Raden ajarkan!"
kata Saltiwin. "Di Kota Medang pun guru saya saja yang memiliki gerakan
itu, Paman. Semuanya ada empat puluh dua gerakan dan
yang saya berikan kepada anak-anak itu adalah gerakan
persiapan, belum gerakan pertama. Saya ajarkan kepada
mereka gerakan-gerakan yang menggiatkan otot-otot mereka
yang berguna dalam perkelahian. Kalau mereka sudah dapat
mempergunakan otot-otot itu, barulah gerakan dapat saya
berikan." "Berapa lamakah diperlukan waktu untuk menguasai


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keempat puluh dua gerakan itu?"
"Saya mempelajarinya tiga tahun, Paman. Setiap hari saya
berlatih, tiga tahun lebih dua minggu, itu tepatnya, sampai
saat saya diuji oleh guru saya."
"Sayang!" ujar Saltiwin, "Sayang, Raden tidak dapat tinggal
di sini. Tapi... bagaimana kalau begini. Paman mengumpulkan
beberapa putra ponggawa yang berminat, lalu mereka Raden
ajar. Pelajaran diberikan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak,
akan dilarang oleh kepala jaga karena sudah ada guru
keperwiraan, yaitu saudaranya yang diberi tugas oleh
pangeran untuk mengajari putra-putra beliau dan para putra
ponggawa. Akan tetapi, Paman sebagai ponggawa biasa dapat
melihat bahwa yang diajarkan Oleh guru keperwiraan kami
sebenarnya tidak banyak. Menurut penjelasan yang kami
terima, untuk dapat menjadi prajurit yang baik, yang paling
diperlukan adalah kekuatan badan. Memang itu benar. Akan
tetapi, Paman pernah melihat bagaimana seorang laki-laki
yang tinggi besar dijatuhkan dengan mudah oleh seorang
pemuda lam-pai. Itu kejadian lima tahun yang lalu, ketika
Paman mendapat tugas pergi ke Kutabarang."
"Pendapatmu itu benar, Paman. Tenaga atau kekuatan
memang diperlukan oleh seorang prajurit, tetapi tidak perlu
berlebih-lebihan. Kalau tenaga tidak digabung dengan yang
lain-lain, tenaga itu berkurang keampuhannya. Apalagi kalau
dipergunakan untuk menghadapi seorang prajurit yang
mahir." "Wah, Paman pernah menduga demikian, dan sekarang
Raden membenarkannya," seru Saltiwin dengan senang.
"Pukulan yang keras dapat dihindarkan dan kalau tidak
dihindarkan, belum tentu berbahaya seandainya hanya
mengenai bagian-bagian badan yang tidak terpilih, misalnya
punggung, dada, atau bahkan perut. Akan tetapi, tenaga biasa
dapat berbahaya seandainya dapat dipergunakan secara baik
ke sasaran-sasaran yang terpilih. Telunjuk yang bertenaga
Panji Sakti 3 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Lencana Pembunuh Naga 15

Cari Blog Ini